KERIS PUSAKA NOGOPASUNG 7





Kemudian terdengar jawaban Pusporini lirih, "Aku akan merasa bahagia sekali, kakangmas..........."
Selanjutnya Wulandari tidak mendengar apa-apa lagi karena ia merasa pandang matanya berkunang, kepalanya pening dan tubuhnya pening dan tubuhnya menggigil.
Joko Handoko, yang menjadi tumpuan harapanya, yang menjadi pegangan hidupnya, satu-satunya pria yang dicintanya, satu-satunya orang yang dikasihaninya, kini, sedang memadu cinta dengan Dewi Pusporini! Ah, ia tidak dapat membayangkan apa yang akan dilakukannya terhadap wanita yang berani merebut Joko Handoko darinya kalau bukan Dewi Pusporini. Mungkin akan dibunuhnya! Akan tetapi, justru yang dicinta oleh Joko Handoko adalah Dewi Pusporini, wanita yang disayangnya, yang dianggapnya saudara sendiri!
"Oohhhh................!" Wulandari terhuyung-huyung, hampir terjatuh, akan tetapi ia cepat menguasai dirinya dan dalam keadaan dibakar cemburu ini, timbullah duka yang amat mendalam dan teringatlah ia akan keadaan dirinya, betapa ia hidup sebatangkara, betapa ayahnya telah meninggal dunia dan teringat akan kematian ayahnya, ia pun ingat kepada Ken Arok yang dianggapnya penyebab kematian ayahnya. Ia kini tidak mempunyai apa-apa lagi, tidak memiliki harapan lagi. Ken Arok harus dibunuhnya untuk membalas dendam kematian ayahnya! Dan ia pun tahu betapa saktinya Ken Arok, maka ia lalu cepat memasuki kamar Joko Handoko untuk mengambil keris pusaka Nogopasung yang oleh pemiliknya ditinggalkannya di atas meja. Dengan keris pusaka yang ampuh itu ia akan menghadapi Ken Arok. Diambilnya keris pusaka itu, ditulisnya cepat-cepat sebuah surat singkat untuk Joko Handoko dan ai pun cepat melarikan diri meninggalkan
gedung Senopati Pamungkas tanpa pamit.
Dengan keris pusaka Nogopasung terselip di pinggang, Wulandari lari dengan cepat memasuki lorong, yang sunyi. Ia berlari sambil menangis. Bayangan Joko Handoko dan Dewi Pusporini dalam taman tadi selalu membayanginya dan bayangan itu seperti ujung keris berkarat menusuki perasan hatinya. Hatinya penuh dengan duka, penuh dengan cemburu dan iri hati kepada Dewi Pusporini. Hatinya terasa perih sekali.
Cemburu adalah suatu penyakit yang amat berbahaya. Ada yang mengatakan cemburu adalah kembangnya cinta. Benarkah itu" Kiranya pertanyaan semacam itu perlu direnungkan secara mendalam, penuh kewaspadaan agar kita tidak mendapatkan pengertian yang palsu dan keliru tentang cemburu dan cinta. Cinta adalah sumber kebahagian, sedangkan cemburu adalah sumber kebencian dan duka. Cinta meniadakan aku, sedangkan cemburu merupakan penonjolan dan pementingan diri sendiri yang berupa iba diri. Cemburu terjadi karena keinginan hati untuk menguasai dan memiliki
seseorang secara mutlak dan memonopoli, gagal. Cemburu timbul karena kita melihat behwa sumber kesenangan yang kita nikmati dari seseorang terancam bahaya, karena melihat betapa orang yang ingin kita miliki sepenuhnya, akan terlepas dari tangan dan menjadi milik orang lain. Cemburu jelas tidak ada hubungannya dengan cinta kasih, sebaliknya cemburu malah erat hubungannya dengan nafsu pementingan diri sendiri.
Cemburu adalah kembangnya nafsu, sama sekali bukan kembangnya cinta kasih.
Cemburu bahkan dapat mengubah cinta menjadi benci, dan cinta yang dapat berubah menjadi benci bukanlah cinta namanya, melainkan nafsu memiliki dan menikmati sesuatu yang dianggap mendatangkan kesenangan. Pengejaran kesenangan yang didorong oleh nafsu keinginan memang hanya mendatangkan kecewa dan duka, kalau terdapat mendatangkan kebosanan.

Kita adalah makhluk yang lemah, lahir batin kita mudah terikat dan terbelanggu oleh segala macam hati yang dibutuhkan oleh badan dan batin kita. Cemburu dan segala macam nafsu lainnya tak terpisah dari diri kita sendiri, semua itu merupakan permainan
dari pikiran atau batin sendiri. Karena itu, tidak ada gunanya menentang cemburu, karena hal ini ia dapat diusir, esok lusa ia akan muncul kembali. Cemburu merupakan satu di antara cara hidup kita, di dalam masyarakat dan dunia kita yang penuh iri hati ini. Yang penting bukan melenyapkan cemburu, akan tetapi pengamatan terhadap diri sendiri setiap saat kerena pengamatan ini yang akan mengadakan perubahan.
Pengamatan menimbulkan kesadaran dan hal ini akan menghentikan cemburu itu sendiri,
tanpa sengaja dipaksa untuk dihentikan. Dan kalau tidak ada cemburu, kalau tidak ada pengejaran kesenangan oleh dorongan nafsu, maka sinar cinta kasihpun akan bercahaya terang.
Wulandari sudah tahu di mana letak gedung tempat tinggal perwira tinggi Ken Arok.
Maka iapun pergi menuju ke tempat itu. Ia tahu bahwa Ken Arok sakti dan sebagai seorang panglima, tentu saja rumahnya dijaga banyak pengawal. Ia tidak boleh sembrono, harus berhati-hati jangan sampai ia mengalami kegagalan. Kalau sampai ia gagal membunuh Ken Arok, ia akan merasa malu sekali kepada Joko Handoko. Ia akan membunuh diri saja dengan keris pusaka Nogopasung kalau sampai gagal.
Dugaannya memang tepat. Nampak para prajurit pengawal berjaga di sekitar gedung itu.
Malam telah larut dan kalau ia sengaja minta bertemu dengan Ken Arok, tentu akan gagal pula. Kalau memaksa masuk, sebelum berjumpa dengan Ken Arok ia tentu menghadapi para pengawal dan dikeroyok, melihat ini, ia menjadi semakin sedih dan menangislah Wulandari dan di bawah pohon asam di tepi jalan, tidak jauh dari gedung besar itu.
Tiba-tiba muncul bayangan seorang laki-laki yang datang menghampiri Wulandari.
"Siapakah engkau dan mengapa menangis di sini?" tanya suara laki-laki itu, suaranya halus dan bayangan laki-laki itu kelihatan gagah.
Melihat ada orang menegurnya, Wulandari cepat meloncat berdiri siap untuk
mendamprat laki-laki yang berani menegurnya. Akan tetapi begitu ia berdiri dan berhadapan dengan orang itu, cahaya bulan menerangi wajah mereka dan keduanya terkejut. Keduanya saling mengenal karena laki-laki itu bukan lain adalah Pramudento, putera Ki Kebosoro, ketua Hastorudiro.
"Ah........... kiranya ..........andika.......... diajeng Wulandari!" kata Pramudento agak gagap karna heran dan juga girang, sejak pertama kali jumpa dengan Wulandari, dia memang tertarik sekali kepada dara hitam manis yang lincah jenaka dan gagah perkasa ini. "Apakah yang telah terjadi,........... diajeng Wulandari" Kenapa andika menangis di tengah malam seperti ini dan di tempat ini?"
Duka timbul kerena iba diri. Pikiran yang mengingat-ingat hal-hal yang tidak menyenangkan hati, seolah-olah berubah menjadi tangan yang meremas-remas hati sehingga timbullah perasan nelangsa dan duka, mendorong air mata yang keluar bercucuran. Dalam keadaan duka, iba ciri membutuhkan hiburan akan tetapi kalau datang hiburan dari orang lain, dengan kata-kata yang mengandung iba, maka iba diri menjadi semakin membesar dan mendatangkan keharuan yang mendorong lebih banyak lagi keluarnya air mata. Mendengar pemuda perkasa itu menyebutnya diajeng, dengan ucapan yang bernada halus dan penuh perhatian dan iba, Wulandari merasa semakin nelangsa saja, dan ia pun menagis lagi. Padahal, ketika melihat ada orang muncul tadi, ia telah menghentikan tangisnya dan dalam kadaan siap siaga menghadapi lawan. Kini ia menangis lagi, tersedu-sedan dan menutupi mukanya tanpa menjawab pertanyaan Pramudento.
Pemuda itu cukup bijaksana untuk membiarkan Wulandari menyalurkan perasaan
dukanya lewat tangisnya. Setelah tangis itu agak mereda, diapun mendekat dan diamdiam
mengagumi keindahan rambut yang hitam lebat itu, leher yang berkulit kehitaman namun halus lembut dan indah bentuknya itu, lalu berkata halus.
"Diajeng Wulandari, di dunia ini tidak ada kesulitan yang tidak dapat diatasi, asalkan hati
kita sabar. Kesabaran akan membuat kita tanang dan dapat mengambil tindakan yang bijaksana. Karena itu, bersabarlah dan tahan air matamu, diajeng."
Mendengar ucapan yang bijaksana itu Wulandari menghentikan tangisnya, mengusap air matanya dan ia pun mengangkat muka memandang. Wajah Pramudento memang ganteng,tampan dan gagah maka di bawah sinar bulan purnama, wajah itu nampak anggun dan menarik sekali. Ia pun mengangguk. Bagaimana pun juga Pramudento ini adalah putera ketua Hastorudiro, jadi derajatnya tak jauh berbeda dengan ia sendiri yang menjadi puteri ketua Sabuk Tembogo. Kedua perkumpulan itu memiliki sifat yang tak jauh berbeda, keduanya adalah perkumpulan orang-orang gagah yang mengandalkan kepandaian dan kekerasan, kadang-kadang untuk memaksakan kehendak seperti biasa watak jagoan-jagoan.
"Maafkan kelemahanku dan..... terima kasih." Akhirnya Wulandari dapat juga berkata setelah hatinya tenang kembali.
Pramudento tersenyum, maklum bahwa senyumnya yang membuka, bibir
memperhatikan deretan giginya yang putih rapi tentu akan mampu memikat hati setiap orang wanita, dan diapun duduk di tepi jalan, di atas sebongkahbatu. "Nah, begitu lebih baik, diajeng. Kalau andika percaya kepadaku, ceritakanlah apa yang telah menjadi ganjalan hatimu, dan aku berjanji akan membantumu, diajeng, membantu untuk mendatangkan penerangan dalam kegelapan dan menyingkirkan ganjalan dalam hatimu." Peamudento memang terkenal pandai merayu dan sudah berpengalaman menghadapi wanita, maka Wulandari yang masih belum berpengalaman itu segera tertarikdan diam-diam dia harus mengakui bahwa pemuda ini memang menyenangkan sekali, sikapnya manis budi dan tentu melindungi. Dan iapun teringat bahwa Pramudento
memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, jauh lebih tinggi darinya, maka kalau pemuda ini mau membantunya, tentu akan labih mudah baginya untuk membunuh musuh besarnya, yaitu Ken Arok.
"Tentu saja aku percaya kepadamu, kakang Pramudento." Karena pemuda itu menyebutnya diajeng, ia pun merasa tidak enak kalau harus menyebut namanya begitu saja padahal jelas bahwa pemuda ini lebih tua darinya. "Aku menangis karena putus harapan melihat betapa penjagan di rumah perwira Ken Arok demikian kuatnya sehingga
sukar bagiku untuk menembusnya."
Pramudento memandang tajam, matanya agak terbelalak karena dia merasa, heran mendengar. "Ehh" Apa maksudmu maka andika ingin menembus penjagaan para pengawal Ken Arok?"
Wulandari memandang dengan ragu, kemudian menarik napas panjang. "Biarlah aku mengaku saja, karena bukankah kita berdua sama-sama anak seorang ketua perkumpulan yang beraliran sama" Teru terang saja, malam ini aku ingin membunuh Ken Arok."
"Ahhh....!" Pramudento benar-benar tekejut, akan tetapi hatinya semakin tertarik.
"Kenapa kalau aku boleh tahu sebabnya?"
"Mendiang ayahku tewas karena ulah Ken Arok. Ayah sedang menderita sakit ketka Ken
Arok datang dan menantangnya berkelahi. Ken Arok datang untuk membunuh ayah, untuk membalas dendam atas kematian ayahnya, karena ayahnya memang dibunuh oleh ayahku, karena ayahya bejina dengan ibu tiriku. Memang dia tidak langsung membunuh ayah, akan tetapi karena perkelahian itu, maka penyakit ayah semakin parah dan ayah
meninggal dunia. Kuanggap Ken Arok biang keladi kematian ayah, maka malam ini aku ingin membunuhnya. Melihat penjagaan demikian ketat, aku menjadi putus asa dan saking sedihku, aku menangis di sini."
Pramudento mengangguk-angguk dan dia menatap wajah yang amat manis itu.
Sepasang matanya mengeluarkan sinar aneh, mulutnya tersenyum dan wajahnya berseri. Akan tetapi semua perubahan wajah ini tidak nampak nyata oleh Wulandari karena hanya di terang cahaya bulan yang redup dan pucat.
"Ahh, memang sudah sepatutnya kalau engkau membunuh musuhmu itu, diajeng
Wulandari. Dan jangan khawatir, aku akan membantumu! Mengingat bahwa kita sealiran, engkau puteri tunggal ketua Sabuk Tembogo dan aku putera tunggal ketua Hastorudiro, sudah sepatutnya kalau kita saling bantu. Aku akan membantumu sampai berhasil, kalau perlu dengan taruhan nyawaku!"
"Ah, terima kasih, kakang Pramudento, terima kasih. Engkau sungguh baik sekali."
Wulandari berkata dengan hati yang merasa lega. Ia jadi baru saja kehilangan Joko Handoko yang dicintainya, akan tetapi agaknya para dewata menaruh hati iba kepadanya
karena segera bertemu dengan seorang pemuda yang demikian baiknya dan suka membantunya sehingga ia boleh mengharapkan keinginannya membunuh Ken Arok terkabul.
"Ah, tidak sama sekali, diajeng. Kita memang sudah selayaknya kalau bantu membantu.
Akan tetapi, menghadapi Ken Arok kita tidak boleh sembrono. Dia adalah seorang perwira tinggi yang mempunyai pasukan yang kuat, maka kalau kita menyerang ke rumahnya, hal itu selain berbahaya, juga sukar sekali dapat berhasil, kita harus menggunakan akal, memancing dia keluar atau menunggu sampai dia keluar seorang diri berulah kita melakukan penyergapan. Dengan tenaga kita berdua, aku yakin engkau akan dapat dengan mudah membunuhnya untuk membalas dendam.
Wulandari mengangguk-angguk, dapat menerima pendapat yang memang dianggapnya masuk akal ini. "Baiklah, aku akan menuruti nasihatmu, kakang. Lalu apa yang harus kulakukan sekarang" Ia memang sedang bingung, tak tahu harus berbuat apa setelah ia,
melepaskan diri dari pimpinan Joko Handoko. Pemuda itulah yang biasa menjadi pembimbingnya, yang menentukan apa yang harus mereka lakukan. Akan tetapi sekarang ia seorang diri saja di dunia ini. Sebelum bertemu dengan Joko Handoko, ia pun sendirian dan sudah terbiasa hidup berkelana seorang diri. Akan tetapi setelah bertemu dengan pemuda itu, ia bersandar sehingga kini, setelah kehilangan sandaran dan berdiri sendiri lagi, ia merasa canggung.
"Marilah ikut bersamaku, diajeng. Membunuh Ken Arok merupakan urusan besar, dan agar hasilnya dapat pasti, kita harus minta bantuan guruku. Kebetulan sekali, guruku, yaitu Ki Ageng Marmoyo, baru saja datang dari Gunung Bromo dan dengan bantuan beliau, biar Ken Arok sakti dan dibantu orang banyak sekalipun, pasti dia akan terbunuh
olehmu. Mari kita menemui guruku, tinggal di tempat rahasia kami sambil menanti saat yang baik, yaitu munculnya Ken Arok di tempat terbuka sendirian saja."
Karena tidak mengetahui jalan yang lebih beik, Wulandari mengangguk dan setuju saja lalu mengikuti Pramudento yang membawanya pergi ke luar kota Tumapel, ke sebuah pondok yang berdiri terpencil di lereng bukit yang penuh dengan hutan lebat. Pada keesokan harinya pagi-pagi sekali baru mereka tiba di situ dan Wulandari diajek menghadap kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih. Kakek ini tinggi kurus, rambut, kumis dan jenggotnya sudah putih semua. Jenggotnya berjuntai sampai ke dada.
Inilah Ki Ageng Marmoyo, seorang pendeta bertapa di lereng Gunung Bromo. Kakek ini
beragama Hindu Trimurti, dan dialah guru Pramudento, seorang yang sakti dan menjadi hamba hamba setia, dari kerajaan Daha. Kakek ini masih sealiran dengann Begawan
Sarutomo dan Begawan Buyut Wewenang, bahkan masih sahabat karib. Hanya bedanya, kalau dua orang begawan itu masih suka mencari kedudukan mulia untuk menyenangkan hatinya, Ki Ageng Marmoyo lebih suka mencari kedamaian hati di lereng gunung. Akan tetapi sebagai sahabat karib orang-orang seperti Begawan Sarutomo dan Begawan Buyut
Wewenang, tentu saja Ki Ageng Marmoyo inipun tergolong orang yang belum bebas daripada nafsu untuk mencari kesenangan bagi diri sendiri, walaupun jalan yang ditempuhnya untuk mencari kesenangan itu berbeda dari dua orang rekannya.
Ki Ageng Marmoyo mengangguk-angguk ketika menerima sembah penghormatan Wulandari, sepasang matanya yang masih terang itu bersinar-sinar dan diam-diam dia melempar senyum kepada muridnya yang memiliki seorang kawan yang demikian manis dan gagahnya.
"O-ho-ho.......... jadi engkau puteri ketua Sabuk Tembogo" Bagus........... agus, jadilah sahabat baik Pramudento, kalian cocok sekali untuk bekerja sama, heh-heh.......!" kakek itu berkata sambil terkekeh. Diam-diam Wulandari merasa heran dan tidak senang kepada kakek ini. Sikapnya sama sekali tidak halus seperti para pertapa yang saleh dan sinar matanya itu masih demikian panas ketika menjelajahi wajah dan tubuhnya, seperti
mata orang muda yang penuh nafsu saja. Akan tetapi karena kakek ini gurunya Pramudento dan ia tahu bahwa Ki Ageng Marmoyo ini sakti sekali iapun mengambil sikap
hormat. Siang hari itu, melihat betapa Wulandari nampak pucat dan lelah Pramudento mempersilahkan gadis itu untuk beristirahat di dalam sebuah kamar di pondok itu.
Kamar sederhana akan tetapi dengan sebuah pembaringan kayu yang sederhana karena ia benar-benar merasa lelah sekali. Kedukaan yang dideritanya semalam amat melelahkan dan ia pun cepat tidur pulas. Hal ini amat perlu baginya karena ia harus dapat memulihkan tenaganya. Setelah kini ia bertemua dengan Pramudento, rasa nyeri di hatinya agak terobati, maka Ia pun dapat tidur dengan nyenyak sekali. Setelah hari sore, barulah gadis ini terbangun dari tidurnya.
Setelah mandi di sebuah anak sungai dalam hutan yang airnya jernih, Wulandari menemukan dirinya kembali dan ia pun sudah tenang dan tenaganya sudah pulih. Iapun tidak berduka lagi kecuali kalau teringat kepada Joko Handoko dan Pusporini, ia merasa
jantungnya seperti tertusuk.
Akan tetapi agaknya Pramudento tidak ingin melihat ia berduka terus. Setelah selesai mandi dan kembali ke pondok, pemuda itu menyambutnya dengan wajah riang. "Bopo Guru dan aku ingin sekali menjamu kehadiranmu dengan sedikit hidangan yang terkesan dari dusun yang berdekatan, diajeng Wulandari."
"Ah, tidak perlu repot-repot, kakang Pramudento."

"Tidak repot. Apakah engkau belum merasa lapar?"
"Lapar?" Diingatnya akan hal ini, tiba-tiba saja betapa Wulandari merasa betapa perutnya memang lapar sekali. Semalam ia membuang banyak tenaga lahir batin, dan sehari ini pun tidur dan belum lapar, dan biarlah nanti kumasakkan untuk kalian."
Pramudento tersenyum dan kembali Wulandari harus mengagumi pemuda itu. Demikian gantengnya kalau tersenyum, lenyap bayangan yang agak angkuh itu dan nampak ramah bukan main. "Tidak usah sungkan, Diajeng. Sudah kubeli dari dusun dan kini Bopo Guru sudah menanti. Mari kita makan bersama."
Biarpun merasa sungkan sebagai seorang tamu wanita, masih muda pula, harus menjadi beban tuan rumah, terpaksa Wulandari mengikuti Pramudento masuk ke dalam pondok.
Benar saja, di ruangan pondok itu. Ki Ageng Marmoyo sudah duduk dan di depannya, diatas tikar, nampak hidangan nasi tumpeng berikut segala lauk pauknya! Dan nasi
itupun masih mengepul! Melihat ini, Wulandari diam-diam menelan ludahnya.
"Heh-heh-heh, engkau nampak cantik sekali dengan rambutmu yang basah kuyup itu, anak baik," kata Ki Ageng Marmoyo. "Mari............... mari makan bersama........"
Wulandari mengerutkan alisnya. "Tidak sopan kalau saya ikut makan bersama, Eyang,"
katanya lembut. "Biarlah silahkan Eyang makan berdua bersama Pramudento, nanti saja akan makan sendiri setelah Andika berdua selesai." Pada jaman dahulu itu, memang wanita selalu harus jatuh di belakang!
"Ah, Diajeng, jangan sungkan-sungkan. Marilah kita mekan bersama agar lebih sedap,"
kata Pramudento membujuk.
"Benar, di dalam pondok ini hanya kita bertiga, kenapa makan saja tidak bersama-sama"
Pula, Pramudento membeli nasi tumpeng ini memang untuk menyambut kehadiranmu, Wulandari, karena itu seyogiyanyalah engkau tidak menolak ajakannya untuk makan bersama."
Wulandari adalah seorang gadis yang sejak kecil digembleng dengan kegagahan, tidak malu-malu seperti gadis kebanyakan di jaman itu, maka ia pun tidak sungkan-sungkan lagi dan segera menghadapi hidangan itu bersama Ki Ageng Marmoyo yang duduk di samping kanannya dan Pramudento yang duduk di sebelah kiri. Wulandari makan tanpa ragu-ragu lagi karena memang perutnya lapar, dan hidangan itu pun lezat dengan nasi putih masih hangat, beberapa macam sayur dan gudangan, ikan panggang dan gading ayam goreng, ia makan dengan bernafsu dan lahap.
"Malam nanti aku akan pergi melakukan penyelidikan kapan kiranya Ken Arok keluar sendirian, Diajeng. Kalau sudah ada ketentuan, kita akan menghadapinya, dan Bopo Guru akan membantu kita."
"Ha-ha-ha, jangan khawatir. Dengan adanya aku di sini, Ken Arok tidak akan terlepas dari tanganmu, Wulandari," kata kakek itu sambil terbahak senang.
Mereka makan dan minum air manis dari pohon aren. Wulandari tidak begitu suka dengan minuman yang agak masam ini, akan tetapi karena dara ini merasa sungkan terhadap tuan rumah, diminumnya juga minuman itu dalam takaran yang agak banyak.
Dan setelah mereka selesai makan, Wulandari merasa kepalanya agak pening.

"Uhh, kepalaku menjad pening. Kakang Pramudento" ia mengaduh sambil memijit-mijit pelipis kepalnya.
"Ah, itu akibat minuman aren, Diajeng. Memang agak tua minuman itu, akan tetapi tidak
mengapa, kalau dipakai tidur-tiduran, tentu kepeningan itu akan segera hilang," kata Pramudento, sementara itu Ki Ageng Marmoyo terdengar tertawa terkekeh-kekeh, Wulandari bangkit berdiri, akan tetapi menjadi terhuyung dan agaknya ia akan terjatuh
lagi kalau saja tidak ada Pramudento yang cepat merangkul pundaknya.
"Hati-hati, Diajeng, mari kuantar engkau ke kemarmu. Engkau harus beristirahat, dan tentu akan enak kalau dipakai rebahan," berkata demikian, Pramudento mempererat rangkulannya.
Terjadi keanehan pada diri Wulandari. Dalam keadaan biasa, tentu ia akan marah sekali
melihat kenyataan betapa Pramudento merangkul pundak dan lehernya, bahkan merangkul terlalu ketat dan mesra. Akan tetapi aneh, ia sama sekali tidak marah, bahkan jantungnya berdebar dan ia merasa senang sekali, aman dan mesra sehingga ia bahkan menyandarkan kepalanya di dada pemuda yang menuntunnya ke dalam kamarnya! Setelah mereka memasuki kamar, diiringi suara ketawa terkekeh dari Ki
Ageng Marmoyo, Wulandari merasa seperti tenggelam ke dalam laut kemesraan yang amat nikmat dan membuatnya tidak ingat akan apa-apa lagi. Ia bahkan tertawa lirih ketika Pramudento memeluk dan menciumnya, ia seperti hanyut dalam gelombang kemesraan yang membuatnya mabok. Ia merasa seperti melayang-layang di angkasa, takut kalau terbanting dan jatuh maka ia pun hanya menurut saja dibawa melayanglayang
oleh Pramudento yang ada saat itu merupakan satu-satunya orang yang menolongnya, menyelamatkannya, dan menyenangkan hatinya. Kepeningan kepalanya terasa nyeri dan menyiksa kalau dilawannya, akan tetapi kalau ia membiarkan tanpa perlawanan, menyerahkan diri sepenuhnya, kepeningan itu menghanyutkan dan menimbulkan kenikmatan yang merenggut kesadarannya.
Wulandari merintih lirih dan membuka kedua matanya. Kepalanya terasa sedikit pening,
akan tetapi kesadarannya sudah pulih. Ia terkejut mendengar suara orang mendengkur di sisinya dan dapat dibayangkan betapa kagetnya melihat Pramudento rebah di sisinya,
terlantang dan mendengkur, hampir telanjang bulat! Dan ia menahan jeritnya dengan tangan kiri menutup mulutnya keras-keras ketika ia melihat betapa keadaan dirinya sendiri tidak jauh bedanya dengan keadaan Pramudento. Bagaikan disengat kalajengking, ia pun melompat turun dari pembaringan, memunguti pakaiannya yang berserakan di atas lantai. Ketika ia membungkuk untuk mengambil kembennya, ia melihat bahwa di bawah pembaringan itu terdapat sebuah dian minyak kelapa dengan apinya yang kecil dan tenang, sebuah cermin, telur ayam dan kembang setaman! Ia
terbelalak memandang kesemuanya itu dan teringatlah ia akan semua peristiwa yang terjadi semalam. Kembali ia menahan jeritnya. Ia telah ternoda! Ia telah menyerahkan dirinya kepada Pramudento, bukan diperkosa, melainkan secara suka rela karena ia seperti mabok dan tidak ingat apa-apa lagi di saat itu, dan kini ia tahu bahwa ia menyerahkan diri karena ia berada di awah pengaruh ilmu hitam yang dipasang oleh Pramudento atau mungkin sekali oleh Ki Ageng Marmoyo, guru pemuda itu.
Dengan kedua tangan menggigil Wulandari mengenakan pakaiannya, sejadi-jadinya air matanya bercucuran akan tetapi ditahannya agar tidak ada suara keluar dari mulutnya yang dapat membangunkan Pramudento yang masih mendengkur. Kemudian, melihat keris pusaka Nogopasung mengeletak di dekat bantal, ia cepat menyambarnya, menghunus keris pusaka dan dengan kebencian dan kemarahan memuncak, ia pun lalu menusukkan keris pusaka itu dengan kekuatan sepenuhnya ke arah dada Pramudento yang masih tidur nyenyak.
"Ceppp.............. aughhhh........" Hanya satu kali Pramudento mengeluarkan suara lemah ini, matanya terbelalak bingung, kemudian dia pun terkulai lemas dan tewas tak lama kemudian. Wulandari mencabut keris ini dan melompat ke belakang melihat darah muncrat dari dada Pramudento. Barulah dia sadar akan perbuatannya dan merasa ngeri.
Kemudian, dengan keris pusaka masih di tangan ia lalu membuka pintu dan meloncat ke luar dari dalam kamar, terus lari ke luar dari dalam kamar, terus lari keluar dari pondok
itu ke dalam kegelapan sisa malam dan larilah ia tanpa tujuan, asal menjauhi pondok itu.
Ia berlari sambil terisak dan keris pusaka Nogopasung masih di tangan kanannya. Hari masih pagi sekali, walaupun sinar matahari yang masih berada di bawah ufuk timur sudah mulai mengusir kegelapan malam dan mendatangkan pertanda bahwa kegelapan akan menghilang, namun cuaca masih remang-remang ketika Wulandari berlari sambil menangis itu.
Karena berlari dengan pikiran tidak karuan, kacau dan hampir buta oleh tangis, dalam cuaca yang masih gelap pula, di atas tanah yang asing bagi kakinya, ketika ia meloncati sebuah jurang kecil ia pun terserimpet dan jatuh tersungkur. Untung tubuhnya terlatih
sehingga dalam keadaan terjatuh, ia masih sempat memegang keris Nogopasung dan ia cepat bergulingan sehingga tubuhnya tidak terbanting keras. Ketika ia bangkit berdiri, di
depannya telah berdiri seorang laki-laki yang kelihatanya teheran-heran melihat tingkahnya. Namun, dengan mata terhalang air mata melihat laki-laki berdiri di depannya, Wulandari sudah meloncat ke depan dan keris Nogopasung yang haus darah itu meluncur ke arah dada orang itu, siap untuk minum darah segar!

"Diajeng Wulan..........!" Laki-laki itu dengan gerakan kaki yang ringan sekali mengelak, lalu menangkap lengan kanan Wulandari yang memegang keris.
Mendengar suara ini, Wulandari membelalakkan mata dan ternyata yang diserangnya adalah Joko Handoko.

"Kakang......!" Ia mengeluh dan air matanya makin membanjir. ".......Kakang........, uhuhu-huuuuuhh..............!
"Diajeng Wulan........!" Joko Handoko berseru dan keduanya saling dekap. Wulandari menangis sampai mengguguk sambil menyandarkan kepala dan menyembunyikan mukanya di dada Joko Handoko yang mengelus rambutnya dan menepuk-nepuk pundaknya. Dia membiarkan gadis itu menangis sampai puas, barulah dia bertanya.
"Apakah yang telah terjadi, Wulan" Mari kita duduk dan kau ceritakan semuanya kepadaku."
Wulandari masih terisak-isak ketika dengan lambut Joko Handoko mendorongnya sehingga mereka berdiri berhadapan. Akan tetapi Wulandari tidak mau duduk, melainkan
berdiri dengan muka ditundukkan dan pundaknya masih terguncang oleh tangis. Joko Handoko diam-diam merasa khawatir dan terkejut ketika melihat Nogopasung di tangan
Wulandari, keris pusaka itu telanjang dan mengeluarkan hawa yang meggiriskan.
"Aku.......... aku baru saja membunuh......... Pramudento........." katanya dengan suara terputus-putus.
Joko Handoko terbelalak kaget. "Tapi kenapa.....?"
"Dia telah menodaiku!" kata Wulandari dan tiba-tiba saja sikapnya berubah keras dan beringas, seolah-olah bayangan bahwa dirinya ternoda itu membuat kemarahannya bangkit kembali.
Joko Handoko semakin kaget mendengar ini. "Tapi........ bagaimana hal itu bisa terjadi"
Bukankah engkau pergi untuk membunuh Ken Arok?"
"Kakang Joko, kau........ kau maafkan aku. Aku........ aku tidak tahan Kakang dan Mbakayu Dewi di taman itu....... maka aku lalu teringat akan kematian ayah dan aku ingin membalas dendam. Keris Pusaka Nogopasung kubawa. Di jalan aku bertemu dengan Pramudento yang membujukku katanya hendak membantuku. Aku diajak pergi ke pondoknya dan diperkenalkan dengan gurunya, Ki Ageng Marmoyo, kami lalu makan dan minum dan aku......... aku menjadi pening........ lalu.... lalu Prmudento membawaku ke kamar, aku seperti tidak ingat apa-apa lagi.......... dan...... dan dia menodaiku.
Paginya, aku melihat bunga setaman di kolong pembaringan, tentu aku diguna-gunai.
Aku marah dan membunuh Pramudento yang masih tidur, dan aku lari, Kakang...........!
Hu-hu-huuuuk, aku.......... aku telah ternoda dan tidak ada artinya lagi hidup ini bagiku, Kakang!"
Joko Handoko bergerak cepat sekali, menangkap lengan kanan Wulandari dan dengan menggunakan tenaganya dia berhasil merampas keris pusaka Nogopasung yang tadi hendak dipergunakan gadis itu untuk membunuh diri.
"Wulan! Jangan berlaku bodoh! Membunuh diri bukan jalan yang terbaik!" bentak Joko Handoko dengan muka pucat.
"Kakang Joko........!" Wulandari menjerit dan menubruk pemuda itu, kembali ia menangis sesenggukan di dada Joko Handoko. Pemuda itu cepat menyelipkan keris telanjang itu di pinggangnya, lalu menghibur Wulandari.


"Diajeng Wulan, segala yang terjadi dan menimpa diri kita di dunia ini sudah ada garisnya. Kita harus berani menghadapinya betapa pahitnya pun. Yang tidak berani menghadapi kepahitan hidup adalah seorang pengecut, dan aku yakin engkau bukanlah seorang pengecut. Hidup merupakan serangkaian peristiwa yang sambung sinambung, membiarkan diri hanyut dan jatuh hanya oleh satu di antara serangkaian peristiwa itu sungguh merupakan kebodohan. Sadar dan tenanglah, Wulan, kehidupan ini masih panjang dan ceritanya belum habis untuk dirimu. Terang dan gelap silih berganti.
Jangan takabur kalau sedang terang dan jangan putus asa kalau sedang gelap."
"Akan tetapi, Kakang, apa artinya hidupku ini setelah kehilangan engkau lalu kehilangan harga diriku?" Wulandari mengeluh dan Joko Handoko merasa terharu sekali. Ucapan ini
merupakan pengakuan bahwa gadis itu kehilangan dia, berarti gadis ini mencintainya, seperti yang telah diduganya.
"Diajeng Wulan, bagaimana engkau bisa mengatakan bahwa engkau kehilangan diriku?"
Dia berhenti sejenak dan menimbang-nimbang dalam hatinya. Harus diakuinya bahwa dia sangat suka kepada gadis ini, bahkan mencintainya, akan tetapi sebagai seorang pria, dia lebih tertarik dan lebih mencintai Dewi Pusporini. Terhadap Wulandari, cintanya
lebih condong kepada cinta seorang kakak atau seorang sahabat baik, walaupun harus diakuinya bahwa jarang ada gadis seperti Wulandari yang manis sekali, lincah, jenaka dan juga memiliki kepandaian tinggi.
"Kakang, egkau.........engkau telah menjadi milik Mbakayu Dewi........"
"Hemmm, apakah andaikata benar demikian, berarti engkau kehilangan aku, Diajeng"
Kita masih dapat berhubungan dengan baik, menjadi saudara, atau sahabat yang paling baik. Dan jangan katakan bahwa perbuatan terkutuk yang dilakukan Pramudento terhadap dirimu berarti melenyapkan harga dirimu dan kehormatanmu. Dalam pandanganku, engkau masih tetap Wulandari yang gagah perkasa dan patut dikagumi dan dihormati."
Tiba-tiba Joko Handoko menarik Wulandari ke samping dan cepat memandang penuh selidik ke depan. Wulandari ikut memandang dan ternyata yang muncul dengan berlari cepat adalah Ki Ageng Marmoyo! Kakek itu nampak marah sekali, matanya mencorong dan begitu melihat Wulandari, dia lalu menggosok kedua tangannya dan nampaklah asap tebal mengepul di antara kedua tangannya. Itulah Tapak Bromo, aji pukulan yang amat hebat, yang berhawa panas dan ampuhnya menggiriskan!
"Babo-babo, perempuan iblis! Biar engkau akan lari ke neraka sekalipun akan tetap kukejar sampai dapat! Engkau telah berani membunuh muridku si Pramudento! Engkau harus menebus dosamu itu dengan badan dan nyawa. Badan dan nyawanya harus kau serahkan ke dalam tanganku! Menyerahlah, atau kalau tidak, kepalamu akan hancur oleh
tanganku!"
Joko Handoko maklum bahwa kakek ini amat sakti, jauh terlalu tangguh bagi Wulandari,

maka dia pun lalu melangkah maju melindungi Wulandari dan membungkuk dengan sembah hormat.
"Sadhu-sadhu-sadhu, semoga para dewata memberkahi orang yang penyabar. Paman panembahan, harap suka bersabar dan dapat melihat kenyataan yang sebenanya terjadi.
Memang harus diakui oleh diajeng Wulandari bahwa ia telah membunuh Pramudento, akan tetapi hal itu dilakukannya karena ia gelap mata saking marah dan sakit hatinya karena Pramudento telah menodainya!"
Ki Ageng Marmoyo agaknya baru sekarang melihat Joko Handoko. Ia mengerutkan alisnya dan memandang dengan mata mencorong. Dia seorang sakti dan dapat melihat bahwa pemuda ini seorang yang "berisi", maka ia pun cepat membentak.

"Orang muda, siapakah Andika yang berani mencampuri urusan antara aku dan perempuan ini?"
"Nama saya Joko Handoko, paman panembahan. Saya tidak mencampuri urusan, melainkan harus membela Diajeng Wulandari yang menjadi sahabat baik saya. Ia telah bercerita tentang peristiwa dengan Pramudento dan a tidak bersalah, harap andika dapat
mempertimbangkannya dengan bijaksana."
"Pramudento tidak menodainya, tidak memperkosanya. Adalah perempuan ini sendiri yang tergila-gila kepada Pramudento dan menyerahkan dengan suka rela......."
"Bohong! Kau pendeta palsu tak perlu menyebar fitnah dan kebohongan! Setelah makan dan minum aku menjadi pening dan tidak ingat apa-apa lagi, dan apa artinya kembang setaman, dian, telur dan cermin di bawah pembaringanku itu" Engkau atau muridmu telah mempergunakan pembius dalam makanan atau minuman, dan menggunakan gunaguna
untuk melumpuhkan aku!"
Ki Ageng Marmoyo menjadi semakin marah. Tentu saja dia tahu bahwa muridnya menguasai gadis dengan bantuan guna-guna darinya, akan tetapi untuk mengakui hal itu dia merasa malu. "Tak perlu banyak cerewet, cepat emnyerah atau kepalamu akan kuhancurkan sekarang juga!" bentaknya sambil melangkah maju.
"Pendeta jahanam! Biar kau bunuh seribu kali pun aku tidak sudi menyerah kepadamu!"
Wulandari lalu membentak marah.
"Keparat!" Ki Ageng Marmoyo melangkah maju, tangan kanannya menyambar dan hawa amat panasnya menyambar ke arah Wulandari, disertai bunyi yang berdesing seperti sambaran pedang tajam.
Joko Handoko terkejut. Serangan itu merupakan serangan maut yang amat keji dan dia tahu betapa kuatnya tangan maut itu. Maka dia pun berseru nyaring dan meloncat ke depan langsung menangkis dengan lengan kirinya sambil mengerahkan tenaga sakti Nogopasung.
"Wuuuuuuttt........ desss.......!!" Akibat benturan kedua lengan itu, tubuh Joko Handoko terpental sampai dua meter ke belakang, akan tetapi tubuh kakek itu pun terhuyung.
Hal
ini amat mengejutkan Ki Ageng Marmoyo dan dia memandang kepada pemuda itu dengan lebih teliti. Tak disangkanya pemuda itu memiliki tenaga yang demikian kuatnya.
Di lain pihak, Joko Handoko kini yakin bahwa lawannya benar-benar tangguh dan memiliki ilmu pukulan ampuh, maka tanpa ragu-ragu lagi dia pun mencabut keris pusaka Nogopasung dari pinggangnya.
"Babo-babo........! agaknya keri ini yang telah dipergunakan untuk membunuh muridku.
Sekarang aku akan membunuh kalian dengan keris ini pula!" bentaknya dan dia pun menerjang dengan ganasnya. Terjangan itu disambut oleh Joko Handoko dengan sama kerasnya pula, mempergunakan keris dan aji Nogopasung yang ampuh. Berkali-kali terjadi benturan dua tenaga sakti yang dahsyat yang mambuat keduanya terlempar ke belakang. Kan tetapi, karena Ki Ageng Marmoyo dapat merasakan betapa hawa keris pusaka itu amat ampuh maka dia pun tidak berani mengadu kedua tangannya dengan keris secara langsung. Hal ini membuat gerakannya menjadi kaku dan tidak leluasa karena dia harus selalu mengelak dari sambaran ujung keris yang mengandung tenaga dahsyat itu. Setelah lewat tigapuluh jurus lebih, usia tua menentukan perkelahian yang seimbang itu. Ki Ageng Marmoyo mulai terengah-engah kehabisan napas dan dengan sendirinya, tenaga dan kecepannya pun banyak berkurang. Untung baginya bahwa Joko Handoko memiliki batin yang bersih dan tenang, sehingga dalam keadaan seperti itu pemuda ini masih selalu teringat bahwa dia tidak akan sembarangan membunuh orang.
Ki Ageng Marmoyo tidak bermusuhan dengannya, dan kalau kakek ini marah adalah
karena kematian muridnya, sehingga kemarahannya itu merupakan hal yang wajar dan dapat di maafkan.
Kakek itu pun tahu diri. Setelah napasnya hampir putus dan dia belum juga mampu mengalahkan Joko Handoko walaupun dia telah mengerahkan kekuatan ilmu hitamnya untuk mempengaruhi pemuda itu tanpa hasil, dia pun lalu mengeluarkan teriakan panjang karena kecewa dan dia pun meloncat jauh ke belakang dan melaikan diri tanpa pamit lagi.
"Hemmm, berbahaya sekali. Kakek itu sungguh memiliki kesaktian yang hebat," kata Joko Handoko sambil menyimpan kerisnya, lalu dia menoleh kepada Wulandari yang sejak tadi hanya nonton saja karena maklum bahwa tingkat kepandaiannya masih terlampau rendah untuk mencampuri perklahian itu. "Diajeng Wulan, marilah engkau ikut
bersamaku kembali ke rumah Kanjeng Senopati Pamungkas. Mereka sekeluarga menanti-nanti kembalimu ke sana."
Wajah Wulandari berubah merah. "Ke sana" Ahh...... aku..... aku tidak berani, aku malu Kakang........" keluhnya.
Joko Handoko memegang kedua pundak gadis itu, ditegakkannya tubuh itu dan diangkatnya muka itu dengan menyentuh dagunya. "Diajeng Wulan, pandanglah aku!
Tidak percayakah engkau kepadaku bahwa hal ini yang terbaik yang dapat kau lakukan"
Engkau seperti adikku sendiri, engkaulah orang yang akan kubela kalau sampai engkau diganggu orang lain. Kemana larinya kegagahanmu" Marilah, tenangkan hatimu dan
ikutlah bersamaku, kembalilah ke rumah paman Senopati Pamungkas. Mereka semua sayang kepadamu, Diajeng, dan mereka semua cemas melihat kepergianmu."
Akhirnya Wulandari dapat dibujuk oleh Joko Handoko dan mereka pun kembali ke Tumapel, ke rumah Senopati Pamungkas. Tentu saja kembalinya Wulandari ini disambut dengan gembira oleh keluarga itu apa lagi ketika mereka mendengar bahwa Wulandari tidak atau belum sampai membunuh Ken Arok.
Pertemuan mengharukan terjadi antara Wulandari dan Dewi Pusporini. Dua orang gadis ini berdiri berhadapan, saling berpandangan tanpa kata karena pandang mata mereka saja sudah mengeluarkan seribu satu macam kata. Dua pasang mata yang sama indah dan beningnya itu kemudian perlahan-lahan menjadi basah dan Wulandari menjerit lirih sambil lari merangkul Dewi Pusporini.
"Mbakayu Dewi........"
"Wulan........!" Wulandari menangis sesenggukan dan Pusporini juga bercucuran air mata, lalu ia merangkul leher Wulandari dan ditariknya dengan lambut memasuki kamar mereka. Senopati Pamungkas dan isterinya hanya dapat memadang dengan penuh keharuan, dan Joko Handoko merasa lega bahwa di antara dua orang gadis itu tidak timbul kebencian seperti yang dikhawatirkannya.
"Anakmas Joko Handoko, menurut pendapat kami, sebaiknya kalau engkau cepat pulang dan memberitahukan ibu dan ayah tirimu untuk segera datang bersamamu ke sini melakukan pinangan itu. Baru lega hati kami kalau hal itu terlaksana, Anakmas."
"Baiklah, akan saya lakukan perintah itu, Kanjeng Paman," jawab Joko Handoko. Dia tidak mau bercerita tentang peristiwa memalukan yang menimpa diri Wulandari. "Akan tetapi saya ingin pergi mencari Kanjeng Eyang Empu Gandring lebih dahulu untuk mengunjungi beliau."
Selagi Joko Handoko bercakap-cakap dengan Senopati itu dan isrinya, di dalam kamar terjadi percakapan yang menarik antara Wulandari dan Pusporini. Sambil merangkul mereka memasuki kamar dan setelah menutupkan daun pintu, Pusporini mengajak
Wulandari duduk berdampingan di atas pembaringan. "Wulan, apa yang kaulakukan itu sungguh terlalu terburu nafsu, adikku. Kalau aku yang menjadi penghalang kebahagianmu, mbakayumu ini bersedia untuk mengalah, Wulan. Bialah aku mundur agar engkau dapat hidup berbahagia dengan dia." Ucapan itu keluar dengan suara yang jujur dan setulusnya.
Wulandari merangkul dan menciumi pipi Pusporini yang masih basah. Ia merasa malu sekali. Kiranya puteri Senopati ini memiliki hati yang amat mulia.
"Tidak, mbakayu Dewi. Tidak ada urusan kalah mengalah dalam hal ini. Dia mencintaimu seorang, dan mbakayu juga cinta padanya. Adapun aku.....ah, aku tak tahu diri. Aku akan pulang saja untuk mengurus Sabuk Tambogo, karena setelah banyak mengalami hal-hal yang hebat, aku ingin menjaga, agar Sabuk Tembogo jangan sampai terbawa dalam kesesatan. Tugasku masih banyak, mbakayu Dewi, dan aku tidak ingin menjadi lemah dan cengeng."
Kini Pusporini yang menciumi pipi yang agak pucat dari Wulandari. "Diajeng Wulan, hatiku takkan pernah tenteram kalau aku membiarkan engkau merana karena
kegagalanmu ini. Engkau tidak akan patah hati?"
Wulandari tersenyum pahit dan menggeleng kepala. "Kenapa harus patah hati" Kakang Joko Handoko amat bik kepadaku, walaupun cintanya jatuh kepadamu. Kalau aku tidak dapat mencintainya sebagai....... calon istri, biarlah aku mencintainya sebagai seorang adik, atau sahabat baik...... seperti........... seperti yang telah dikatakannya kepadaku......." Wulandari memejaman matanya agar air matanya tidak runtuh kembali.
Dewi Pusporini merasa terharu sekali. "Engkau berhati mulia, adikku. Orang seperti engkau ini tentu akan mendapatkan seorang suami yang tidak kalah mulianya dari pada Kakangmas Joko Handoko."
Akan tetapi tiba-tiba terdengar jawaban yang tegas dari gadis itu. "Tidak, selamanya aku
tidak akan bersuami!"
Tentu saja Pusporini terkejut sekali dan dia memandang Wulandari dengan mata penuh selidik. "Tapi........ tapi kenapakah, adikku?"
Ditanya demikian, tiba-tiba Wulandari menangis lagi karena pertanyaan itu seperti pedang beracun yang menusuk ulu hatinya. Perih dan mengingatkannya kembali akan malapetaka yang menimpa dirinya. Berkali-kali ia menggeleng kepala dan akhirnya dapat
juga ia berkata, "Tidak......... tidak.......! Aku sudah tidak berharga lagi, Mbakayu, aku....
aku telah ternoda dan tak seorang pun laki-laki di dunia ini mau menjadi suamiku......"
"Apa.......?" Pusporini merangkul Wulandari, dan mengguncang-guncang pundaknya, mukanya pucat. Pikiran buruk menyelinap dalam kepalanya. Jangan-jangan hubungan yang amat erat antara Wulandari dan Joko Handoko telah sampai ke tingkat yang demikian jauhnya sehingga gadis ini telah menyerahkan diri kepada Joko Handoko.
"Apa maksud ucapanmu tadi Wulan" Apa maksudmu?" Ia setengah menjerit.
Tanpa mengangkat mukanya yang menunduk, dan dengan suara bercampur isak, Wulandari berkata lirih, "Baru malam tadi terjadinya....." Dan dia menceritakan pengalamannya ketika ia melarikan diri tanpa pamit dari kamar itu, betapa ia ternoda oleh Pramudento yang kemudian dibunuhnya.
Mendengar penuturan itu, Dewi Pusporini menjadi lemas seluruh tubuhnya.
Bermacammacam perasaan mengaduk hatinya. Perasaan lega karena ternyata bukan Joko Handoko yang menodai Wulandari, perasaan iba mendengar nasib buruk yang menimpa diri gadis ini dan juga terkejut mendengar betapa Wulandari membunuh putera ketua Hastorudiro.
"Ah, kasihan sekali engkau, Diajeng! Aku harus berbuat sesuatu! Aku harus berbuat
sesuatu untukmu........!" Berkali-kali puteri senopati itu berkata demikian sambil mengepal tangan kanannya.
Wulandari memaksa tersenyum. "Sudahlah, Mbakayu. Tadinya aku pun ingin membunuh diri saja, akan tetapi kakang Joko Handoko menyadarkanku dan mencegahku. Aku sekarang mau pergi, harus cepat pulang, dan memimpin Sabuk Tembogo. Itulah tugas
hidupku satu-satunya sekarang. Selamat tinggal, mbakayu Dewi, semoga engkau akan hidup berbahagia bersama kakang Joko......" Gadis itu lalu melangkah keluar sambil mengusap semua air matanya sehingga ketika ia tiba di ruangan dalam, tidak ada lagi air
mata mengalir keluar walaupun matanya masih merah dan wajahnya masih jelas menunjukkan bekas tangis.
Dewi Pusporini juga menahan diri, mengikuti keluar dan bersikap tenang ketika Wulandari berpamit dari ayah ibunya, juga gadis itu berpamit dari Joko Handoko.
"Selamat tinggal, Kakang Joko Handoko dan terima kasih atas segala budi kebaikan yang
telah kau limpahkan kepadaku selama ini." Dengan gagah dan tenang, Wulandari lalu pergi meninggalkan mereka, diikuti pandang penuh iba oleh Joko Handoko dan Dewi Pusporini karena hanya dua orang itulah yang tahu akan nasib buruk yang menimpa diri Wulandari.
Joko Handoko juga mohon diri untuk pergi mencari Empu Gandring setelah dia menyatakan kesanggupannya untuk dalam waktu secepat mungkin mengajak ibu dan ayah tirinya untuk berkunjung kepada keluarga senopati itu dan mengajukan pinangan secara resmi.
**** Dengan hati bulat Joko Handoko mencari pondok Empu Gandring di Dusun Lulumbung.
Sudah bulat tekadnya untuk mengembalikan keris pusaka Nogopasung kepada Empu Gandring yang menciptakannya. Keris itu menjadi terlalu haus darah, pikirnya.
Semenjak minum darah ayahnya kandungnya, Ginantoko dan kekasihnya Galuhsari, agaknya keris pusaka Nogopasung menjadi seperti seekor ular naga yang hidup dan haus darah. Kini telah minum darah baru, darahnya Pramudento yang tewas dalam keadaan tidur, berarti
dalam keadaan penasaran. Nyawa tiga orang itu tentu akan mempengaruhi keris itu dan menciptakan hawa yang kejam dan haus darah. Berat rasa tangannya memegang keris pusaka itu sekarang. Dia tidak menghendaki keris itu minum darah manusia semakin banyak lagi, maka jalan satu-satunya hanyalah mengembalikan kepada penciptanya. Dia percaya bahwa guru dari mendiang ayahnya itu seorang sakti yang bijaksana, tentu dapat pula membersihkan keris Nogopasung. Setelah keris pusaka itu bersih, barulah ia
aka menerimanya sebagai sebatang keris pusaka yang patut dijadikan senjata pembela diri, bukan menjadi senjata pembunuh seperti keadaan keris itu sekarang ini.
Joko Handoko agaknya belum cukup waspada untuk dapat melihat bahwa sebab akibat seluruhnya berada di tangan manusia sendiri. Keris pusaka Nogopasung, seperti segala macam senjata lain di dunia ini, bahkan seperti segala macam benda di dunia ini, tidak dapat dinamakan baik atau buruk. Baik ataupun buruk baru timbul setelah dinilai oleh manusia, dan baik atau buruk itu baru nampak setelah benda dipergunakan oleh manusia. Asal keris datang dari besi mulia yang berada di dalam tanah. Besi yang berada

di dalam tanah, apakah itu baik atau buruk" Tidak baik tidak buruk, wajar saja. Akan tetapi setelah dibuat menjadi sebatang keris, baik atau burukkah" Kalau hanya diletakkan saja atau digantung, juga tidak baik atau buruk. Setelah berada di tangan orang dan oleh orang itu dipergunakan, barulah keris itu dapat dikatakan baik atau buruk, melihat perbuatan apa yang dilakukan dengan keris itu. Tidakkah segala macam benda, di dunia itu demikian pula halnya! Api nama benda itu. Bisa baik bisa buruk. Baik kalau untuk masak, membuat penerangan, pemanasan dan sebagainya. Akan tetapi buruk kalau untuk membakar rumah orang! Pisau dapat juga berguna dan menjadi baik kalau untuk pekerjaan bermanfaat, akan tetapi menjadi buruk kalau dipergunakan untuk
menusuk perut orang lain.

Tidak sukar menemukan pondok Empu Gandring di Dusun Lulumbung. Semua orang mengenal kakek ini. Seorang empu pembuat keris pusaka yang amat terkenal, sakti dan pandai sekali para senopati sampai adipati, hampir semua memesan keris buatan Empu Gandring.
Ketika Joko Handoko tiba di pondok itu dia menemukan Empu Gandring sedang duduk seorang diri di dalam bengkel pembuatan keris, duduk termenung dan agaknya sedang betistirahat. Tempat itu penuh dengan alat-alat pembuat keris, baja-baja yang masih kasar, keris-keris yang baru nampak bentuknya saja dan belum jadi dan belum "diisi".
Kakek itu nampak agung dan berwibawa dalam usianya yang sudah tujuh puluh lima tahun atau tujuh puluh enam tahun, sudah nampak tua walaupun wajahnya masih segar penuh semangat dan sepasang matanya masih mencorong dan mulutnya masih membayangkan senyum penuh pengertian.
Melihat seorang pemuda yang datang-datang terus bersimpuh dan menyembahnya, Empu Gandring tersenyum. Senang hatinya melihat seorang pemuda tampan yang wajahnya mengeluarkan sinar cemerlang itu. Seorang pemuda yang baik, pikirnya.
"Tejo-tejo sulaksono.........! Siapakah andika ini, orang muda" Dan ada keperluan apakah gerangan andika datang ke tempatku yang buruk ini?"
"Maafkan saya, Eyang. Salahkah dugaan saya bahwa eyang adalah Empu Gandring ahli pembuat keris pusaka?"
Empu Gandring tersenyum lebar dan mengangguk-angguk. "Dugaanmu benar, orang muda."
"Kalau begitu, Eyang. Saya Joko Handoko dari lereng Anjasmoro menghaturkan sembah
bakti kepada Eyang."
"Joko Handoko" Dari Anjasmoro katamu" Eh, eh, nanti dulu........, Sepasang mata yang masih tajam itu kini mencermati wajah Joko Handoko. Wajah pemuda ini tidak asing baginya, seperti pernah dikenalnya, dan sebutan lereng Anjasmoro membuatnya mengangguk-angguk dan teringat. Wajah ini mirip sekali dengan wajah muridnya, mendiang Raden Ginantoko dan bukankah isteri mendiang muridnya itu, Dyah Kanti, puteri Panembahan Pronosidhi, sahabat baiknya yang tinggal di Anajasmoro" "Joko Handoko, kiranya tidak banyak meleset dugaanku kalau aku mengatakan bahwa tentu
ada hubungannya antara engkau dan Panembahan Pronosidihi di lereng Ajasmoro!"
"Mendiang Panembahan Pronosidhi di lereng Anjasmoro!"
"Mendiang Panembahan Pronosidhi adalah eyang saya, ayah dari ibu kandung saya, Eyang."
"Ha-ha, tak salah lagi, andika tentu putera mendiang Ginantoko dan Dyah Kanti, tidakkah begitu?"
"Benar sekali, Eyang."


Keris Pusaka Nogopasung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Akan tetapi engkau tadi menyebut mendiang Panembahan Pronosidihi. Jadi sahabatku itu telah mendahuluiku kembali ke alam kelanggengan?"
"Beliau menjadi korban adu domba yang dilakukan oleh orang-orang Daha terhadap kekuatan-kekuatan di Tumapel, Eyang." Joko Handoko lalu menceritakan semua pengalamannya tentang adu domba yang dilakukan Kerajaan Daha untuk memperlemah kedudukan Tumapel dan tentang serangan orang-orang Hastorudiro kepada eyangnya sehungga mengakibatkan meninggalnya eyangnya yang sudah tua. Kemudian dia menceritakan pula usahanya untuk membongkar rahasia itu sampai berhasil, juga tentang pertemuannya dengan Ken Arok, saudaranya seayah berlainan ibu. Mendengar
disebutnya nama Ken Arok, kakek itu mengerutkan alisnya. Sebelum Joko Handoko tadi
tiba, dia pun termenung memikirkan Ken Arok. Sampai sekarang,sudah tiga bulan lewat dan dia belum membuatkan keris yang dipesan oleh putera Ginantoko yang lain itu.
Jauh sekali bedanya antara Ken Arok dan pemuda ini, walaupun keduanya putera Ginantoko.
Pandang mata Ken Arok penuh keinginan dan nafsu, sebaliknya pemuda ini memiliki sinar mata yang bijaksana dan matang.
"Ceritamu menarik sekali, kulup, dan senang hatiku mendengar bahwa engkau telah berjasa terhadap Tumapel,telah berhasil membongkar ahasia yang berbahaya dan dapat
mengacaukan Tumapel itu. Dan sekarang, apakah maksud kunjunganmu ini?"
"Pertama-tama, saya ingin menghaturkan sembah bakti saya kepada eyang. Dan kedua kalinya, saya ingin menghaturkan keris pusaka ini kepada eyang." Berkata demikian, Joko Handoko mengambil keris pusaka Nogopasung berikut sarungnya, menyerahkannya
kepada Empu Gandring dengan kedua tangan. Kakek itu memandang heran, lalu menerima keris itu, dan mengamatinya.
"Jagat Dewo Bathoro........." dia mengeluh. Bukankah ini keris Nogopasung?"
"Benar sekali, Eyang. Keris Nogopasung ciptaan eyang sendiri, keris yang telah minum darah aah kandung saya."
Kakek itu menarik napas panjang dan menggangguk-angguk. "Benar, darah ayahmu dan darah Galuhsari, isteri ketua Sabuk Tembogo." Dia menarik keris itu dari sarungnya dan
matanya terbelalak. "Ah......." Keris ini ternoda darah baru.....!"
"Benar sekali, Eyang, dan karena itulah maka keris pusaka ini saya bawa ke sini untuk
saya haturkan kepada eyang."
"Maksudmu" Apakah engkau telah mepergunakan keris ini untuk membunuh orang secara penasaran?"
"Tidak sama sekali, Eyang. Memang beberapa kali terpaksa saya mempergunakan keris pemberian ibu ini untuk menghadapi lawan yang tangguh, akan tetapi di tangan, saya, keris ini belum pernah minum darah orang lain. Akan tetapi, baru bebrapa hari yang lalu
keris ini dipergunakan oleh orang lain untuk membunuh. Karena itulah, saya berpikir bahwa keris ini menjadi haus darah dan terlampau keji, dan saya bawa ke sini untuk saya kembalikan kepada Eyang dengan harapan agar Eyang sudi membersihkannya dari hawa jahat yang membuatnya haus darah."
Empu Gandring mengangguk-angguk. Senang sekali dia mendengar kata-kata Joko Handoko karena dari ucapan itu saja dia tahu bahwa pemuda ini adalah seorang bijaksana yang biarpun memiliki kepandaian namun tidak suka mepergunakan kekerasan untuk membunuh orang. Teringatlah dia akan Panembahan Pronosidhi yang bijaksana.
Panembahan itu bijaksana dan lemah lembut, juga tidak suka akan kekerasan, akan tetapi pada saat terakhir, kakek itu tewas dalam perkelahian! Dia tersenyum mencela diri
sendiri. Bukankah hidup ini merupakan perjuangan dan perkelahian yang tiada akhirnya"
Baru berakhir kalau kalah dalam perkelahian dan mati. Andaikata tidak berkelahi melawan manusia lain, tentu akan berkelahi melawan penyakit usia tua dan sebagainya sampai kalah dan terpaksa meninggalkan dunia fana ini.
"Keris ini pada mulanya bukan keris yang jahat, kulup. Kan tetapi, darah pria dan wanita
sekaligus menodainya sehingga dia tidak dapat dicuci. Noda ini melekat terus.
Sekarang, keris itu telah minum darah seorang dan hal ini memudahkan bagiku untuk membersihkan noda yang melekat padanya. Akan tetapi, harus kutapai agar dia dapat bersih benar, juga sarungnya dan gagangnya harus diganti. Baiklah, akan kukerjakan pembersihan keris Nogopasung ini, kulup. Dalam waktu setengah tahun, andika boleh datang lagi untuk mengambilnya sebagai sebatang keris pusaka bersih dan ampuh, juga
mengandung hawa baik yang memperterang nasib pemiliknya."
"Terima kasih, Eyang." Joko Handoko merasa girang sekali dan setelah bercakap-cakap dengan Empu Gandring, dia lalu bermohon diri untukk cepat pulag mencari ibunya dan ayah tirinya, yaitu Raden Prainggojoyo yang tinggal di Kadipaten Wonoselo.
Setelah Joko Handoko pergi, Empu Gandring lalu mulai dengan pekerjaannya yang menyenangkan hatinya, yaitu berusaha untuk membersihkan keris pusaka Nogopasung dari hawa jahat. Untuk itu dia harus bersamadhi dan berpuasa, mengenakan pakaian putih-putih yang bersih dan pekerjaan itu dia mulai pada hari itu juga.
Berhari-hari Empu Gandring tidak menerima pesanan keris baru dengan alasan sibuk dan

banyak pekerjaan. Semua akan terjadi dengan lancar dan baik kalau saja sebulan lebih kemudian tidak muncul Ken Arok di tempat kerjanya! Pemunculan pemuda yang berpakaian indah dan garang itu mengejutkan hati Empu Gandring yang pada saat itu sedang mengerjakan pembersihan keris pusaka Nogopasung. Begitu masuk dan memberi
hormat degan singkat kepada kakek itu. Ken Arok lalu menanyakan keris pesanannya.
"Bagaimana, Eyang. Sudah jadikah keris pesanan saya lima bulan yang lalu itu?"
Bertanya demikian, Ken Arok mengamati keris yang sedang digosok-gosok dan dicuci oleh kakek itu. Keris itu nampak kasar dan gagangnya bahkan terbuat dari kayu cangkring. Maka keris masih bekas gemblengan dan masih hitam menghangus oleh api.
Sebatang keris yang buruk sekali rupanya.
Empu Gandring menggelang kepalanya dan meanjutkan pekerjaannya. Keris pusaka Nogopasung itu telah digembleng dan dibakar untuk mengusir hawa jahat yang terkandung di dalamnya, namun masih belum dapat bersih. Dengan tekun dia menggosok dan mencucinya sejak beberapa hari ini.
"Aku belum sempat, angger Ken Arok. Seperti andika lihat sendiri, aku sedang sibuk membersihkan keris pusaka ini dan belum sempat mengerjakan keris pesananmu."
Wajah Ken Arok Menjadi merah. Kemarahan menyelinap di dalam hatinya dan sepasang matanya berkilat. Akan tetapi dia tertarik mendengar kakek itu menyebut keris yang dicucinya dan yang buruk itu sebagai keris pusaka.
"Maaf, Eyang. Keris pusaka apakah yang sedang eyang kerjakan itu" Bolehkan saya melihatnya sebentar saja?"
Empu Gandring mengulurkan tangannya dan Ken Arok mengambil keris itu, memegang gagannya yang buruk dan tebuat dari kayu cangkrik sederhana itu. Keris itu jelek sekali,
pamornya telah terbakar dan kasar sekali buatannya, sama sekali tidak memberi kesan sebagai keris pusaka yang ampuh. Akan tetapi karena kakek itu menyebutnya sebagai keris pusaka, Ken Arok mengamati penuh perhatian.
"Keris ini keris pusaka yang ampuh sekali, angger, dan sedang kubersihkan untuk melenyapkan hawa jahat yang terkandung di dalamnya."
Bukan main girang rasa hati Ken Arok mendengar ucapan itu. "Kalau begitu, Eyang. Biar saya pinjam sebentar keris ini, kupinjam selama satu bulan saja."
"Jangan, Angger. Tidak boleh, karena keris ini belum bersih benar."
Marahlah Ken Arok. "Hemm, keris macam begini saja apa sih ampuhnya, Eyang"
Rupanya saja buruk, tentu tidak mengandung keampuhan sama sekali!?"Jangan berkata demikian, Angger Ken Arok. Keris ini ampuhnya menggiriskan dan agaknya sukar ditemukan orang yang akan mampu menahan keampuhanya. Jangan lama-lama andika memegangnya, berikan kembali kepadaku untuk kubersihkan. Keris ini berbahaya sekali,

Angger,hawa jahat mempengaruhi orang yang memegangnya." Berkata demikian, Empu Gandring lalu mengulurkan tangan hendak mengambil kembali keris pusaka Nogopasung itu. Akan tetapi tiba-tiba Ken Arok yang sudah marah itu menjadi beringas. Benarkah
keris ini ampuh sekali" Untuk mencobanya tidak ada orang yang lebih sakti dari pada Empu Gandring sendiri! Dan kakek ini memang layak dibunuh kerena telah mengecewakannya, tidak memenuhi pesanannya. Maka, tanpa berkata apa-apa, selagi kakek itu tidak menduga dan mengulur tangan hendak menerima keris akan tetapi tibatiba
dia menusukkan keris itu pada dada Empu Gandring.
"Ceppp!" Dada yang biasanya kebal dan sakti itu tembus! Ken Arok meloncat ke belakang dan mencabut kerisnya dan tubuh Empu Gandring terkulai. Kakek itu menggunakan tangan kiri menutup luka di dadanya, tangan kanannya ke atas dan dia memandang kepada Ken Arok dengan mata seperti mencorong, mengeluarkan suara sinar yang menakutkan.
"Wahai Ken Arok........andika telah berbuat khianat dan keji. Para dewata menjadi saksi bahwa keris ini kelak akan membunuhmu, membunuh keturunanmu sampai tujuh turunan." Setelah berkata demikian tubuh tua itu terkulai dan napasnya pun terhenti.
Sejenak Ken Arok tertegun, terkejut oleh perbuatannya. Namun tidak ada penyesalan di
dalam hatinya. Memang sudah direncanakannya untuk membunuh Empu Gandring setelah dia memperoleh sebaang keris yang ampuh, karena kakek itu merupakan saksi pertama bahwa dia mencari sebatang keris yang ampuh di tempat itu. Dia memandang keris buruk rupa di tangannya, setengah kagum dan puas, setengah masih agak raguragu.
Benarkah keris ini ampuh, atau tubuh Empu Gandring ang sudah terlalu tua dan kehilangan kesaktiannya" Dia tidak boleh gagal dan harus yakin benar akan keampuhan keris pusaka di tangannya itu. Maka dia lalu menusukkan keris itu pada lumpang batu tempat pengumpulan, bekas-bekas gosokan keris dan lumpang itu pun pecah menjadi dua potong dengan amat mudahnya. Dia menusukkan lagi keris itu pada besi landasan tempaan keris dan landasan itu pun pecah menjadi dua potong. Bukan main girang rasa hati Ken Arok karena keris itu benar-benar ampuh sekali. Empu Gandring telah berjasa kepadanya.
Ken Arok memandang mayat yang rebah di atas lantai itu dan berkata, "Jika kelak tercapai semua cita-citaku dan aku menjadi orang besar, saya tidak akan melupakan anak cucu para pandai besi di Lulumbang!" Setelah berkata demikian dia pun menyelinap
pergi meninggalkan tempat itu. Sudah diaturnya bahwa ketika dia tadi datang dan masuk ke tempat pekerjaan Empu Gandring, tidak seorang pun mengetahuinya dan kini pun keluar tanpa diliat orang lain.
Kesenangan bukanlah sesuatu yang buruk ataupun jahat. Segala macam kesenangan di dunia ini telah menjadi hak kita manusia untuk kita nikmati. Untuk dapat menikmatinya, Ketika kita lahir telah terbawa oleh kita, segala sarana untuk dapat menikmati kesenangan. Panca indera kita lengkap sehingga kita dapat menikmati kesenangan dari pendengaran, penglihatan, penciuman, makanan dan perabaan. Yang menimbulkan kejahatan dan penyelewengan adalah pengejarannya, pengejaran terhadap kesenangan yang muncul dari si-aku yang ingin selalu senang. Pengejaran akan selalu suatu ujuan
menghasilkan segala macam cara! Kekayaan adalah diantara kesenangan yang telah menjadi hak untuk kita nikmati, namun pengejarannya menimbulkan korupsi, manipulasi, segala kecurangan dalam perdagangan dan usaha, pencurian, penipuan, dan segala "cara" sesat lainnya untuk mencapai tujuanya, yaitu mendapatkan uang yang dianggap mendatangkan kesenangan. Pengejaran terhadap kesenangan sex menimbulkan penjinahan, perkosaan, pelacuran. Pengejaan terhadap kesenangan dari kedudukan dan kekuasaan menimbulkan pertentangan, perusahaan, bahkan perang!
Kesengan sendiri merupakan anugerah bagi kita dan kita hendak menikmatinya.
Berbahagialah dia yang dapat menikmati segala macam yang ada dan yang jatuh
kepadanya. Pengejaran terhadapat kesenangan menyembunyikan pamrih terhadap segala perbuatan kita sehingga perbuatan itu menyadi palsu. Pengejaran ini merupakan suatu penyakit yang akan kambuh terus. Suatu pengejaran berhasil, akan timbul bosan dan disusul oleh pengejaran yang lain, demikian terus tiada habisnya. Pengamatan terhadap diri sendiri akan membuka mata, menimbulkan kewaspadaan dan kesadaran sehingga penyakit ini pun akan sembuh sama sekali, pengejaran akan terhenti sampai di sini saja. Bukan berarti MENOLAK kesenangan, melainkan menikmati apa yang ada tanpa
mengotori badan dengan pengejaran.
**** Sesuai dengan niat yang telah berbulan-bulan direncanakan, Ken Arok menyembunyikan keris pusaka itu dan pada suatu hari dia memamerkan keris pusaka, yang buruk rupa itu
kepada seorang sahabatnya yang bernama Kebo Hijio, seorang perwira pasukan pengawal yang disayang oleh Tunggal Ametung dan dekat dengan Sang Akuwu itu.
"Lihat Dimas Kebo Hijo, biarpun kelihatan jelek, keris ini merupakan keris pusaka yang ampuh bukan main dan dapat menambah kekuatan orang yang memegangnya" Ken Arok lalu mendemonstrasikan keampuhan keris itu dengan memecahkan batuan dan mematahkan sebatang linggis besi dengan keris itu.
Kebo Hijo terbelalak kagum. Keris itu seperti keris yang belum jadi, tangkainya saja dari
kayu cangkring yang masih ada durinya sederhana sekali, dan dilekatkan pada keris itu memakai damar. Akan tetapi keris itu ternyata ampuh bukan main!
"Keris yang habat!" katanya dengan pandang mata penuh kagum.
"Sayang rupanya buruk sehingga aku merasa malu untuk memakainya," kata pula Ken Arok memancing.
Pancingannya kena. "Kalau begitu Kakangmas Ken Arok, kalau boleh biar aku yang memakainya. Biar aku ketularan kesaktiannya."
Ken Arok pura-pura merasa keberatan sehingga kawannya itu mendesak lagi. Sudah menjadi watak setiap orang manusia bahwa benda yang sukar didapat itu menambah semangat untuk memperolehnya. Hal ini diketahui benar oleh Ken Arok. Akhirnya dia mengalah. "Baiklah, kau boleh memijam keris itu, Dimas. Akan tetapi dengan janji agar jangan beritahukan kepada siapa juga bahwa keris ini milikku. Boleh kau katakan
milikmu saja. Asal jangan sampai rusak atau hilang."
Bukan main girangnya Kebo Hijo. Dipakainya keris itu dan dalam waktu beberapa hari saja semua orang di Tumapel tahu belaka bahwa Kebo Hijo memiliki sebatang keris yang
buruk akan tetapi ampuh. Pemuda itu agaknya tidak dapat menahan diri untuk memamerkan keris kepada siapa saja. Hal ini pun sudah diperhitungkan oleh Ken Arok sehingga diam-diam dia merasa girang sekali. Semua siasatnya berjalan dengan lancar dan baik menurut rencananya.
Pada malam yang sudah direncanakannya, Ken Arok menyelinap keluar dari rumahnya tanpa diketahui seorang pun dan diam-diam dia pun menuju ke tempat Kebo Hijo.
Dengan Aji penyirepan Ken Arok berhasil membuat Kebo Hijo tertidur nyenyak sekali di
dalam kamarnya dan Ken Arok lalu menyelinap masuk, membuka daun jendela dan melompat ke dalam kamar itu. Dengkur Kebo Hijo sama sekali tidak terganggu oleh sedikit suara berisik yang timbul ketika Ken Arok membuka jendela. Mudah baginya untuk mencuri keris pusaka Nogpasung yang terkletak di atas meja, kemudian dia menutupkan lagi daun jendela dan melenyapkan bekas-bekas tangannya. Kamar itu nampak seperti biasa dan tidak pernah dibongkar orang.
Sesuai dengan rencananya, malam itu Ken Dedes menunggunya di dalam tanam. Ketika Ken Arok, dengan keris pusaka di pinggangnya, melompat dari pagar taman, Ken Dedes
yang sejak sore tadi nampak pucat dan gelisah, terkejut akan tetapi tak jadi berteriak ketika melihat bahwa yang datang adalah kekasihnya.
Ken Arok merangkul kekasihnya dan berbisik, "Sudah tidurkah dia?"
Ken Dedes mengangguk dan berbisik kembali. "Sesuai dengan rencanamu, malam ini aku menjauhkan diri dan dia tidur sendirian di dalam kamar semadhinya. Tadi sudah kudengar dengkurnya. Akan tetapi....... Kakangmas...... sudah benarkah jalanan yang kita ambil ini" Apakah tidak ada jalan dan cara lain?"
Ken Arok memegang kedua pundak kekasihnya, "Tidak ada jalan lain, dia atau aku yang harus mati agar seorang di antara kami dapat hidup di sampingmu untuk selamanya, Diajeng. Apakah engkau ragu-ragu" Tinggal kau pilih, dia atau aku........!"
Mendengar ini menggigil tubuh Ken Dedes dan ia merangkul pemuda itu dan menyandarkan mukanya di dada yang bidang itu, lalu ia mengeluh lirih. "Ah, aku cinta padamu, Kakangmas, tentu aku memilih engkau, akan tetapi aku khawatir, aku takut kalau engkau akan gagal.......ahhh......."
"Jangan khawatir, Diajeng. Kalau aku gagal, berarti aku mati dan engkau tetap menjadi istri Tunggal Ametung, aku tidak akan menyangkut dirimu. Akan tetapi tidak mungkin gagal. Ingat, aku adalah keturunan Sang Hyang Brahma sehingga para dewata tentu akan melindungiku!"
Dengan bantuan Ken Dedes, tentu saja Ken Arok dapat memasuki rumah Tungggal Ametung dengan mudah dan tanpa diketahui orang lain. Ken Dedes lalu bersembunyi di dalam kamarnya sendiri, mukanya pucat dan hatinya gelisah bukan main. Ia menjatuhkan diri di atas pembaringan, menutupi kedua telinganya dengan bantal agar
tidak mendengar sesatu karena hatinya merasa ngeri.
Sementara itu, Ken Arok menyelinap masuk ke dalam kamar samadhi Sang Akuwu Tunggal Ametung. Terdengar suara dengkur Sang Akuwu dan benar saja, dia mendapatkan pembesar itu sedang tidur nyenyak. Ken Arok menghunus keris pusaka Nogopasung, mengerahkan aji kesaktiannya, kemudian dengan sepenuh tenaganya, dia menusukkan keris pusaka itu ke dada kiri Sang Akuwu. Keris Pusaka Nogopasung itu memang amat ampuh dan haus darah. Begitu dadanya tembus, Sang Akuwu terbelalak dan mulutnya bergerak-gerak, namun tidak ada suara yang keluar dari Sang Akuwu yang
juga sakti itu masih mampu bangkit duduk, akan tetapi keampuhan keris pusaka itu membuat dia terjengkang kembali dan tewas seketika. Ken Arok meloncat keluar dan meninggalkan keris pusaka itu di dada Sang Akuwu Tunggal Ametung.
Tidak ada seorang pun kecuali dirinya sendiri yang menjadi saksi pembunuhan keji ini.
Yang tahu akan rahasia itu hanya Ken Dedes, ada pula yang dapat menduga bahwa yang membunuh Tunggal Ametung adalah Ken Arok, dan mereka yang tahu itu tentu saja Ki Bango Samparan dan Ki Danyang Lohgawe. Akan tetapi dua orang ini adalah ayah-ayah angkat Ken Arok yang membela pemuda itu sehingga rahasia itu akan aman.
Biarpun berasal dari rakyat kecil, ternyata Ken Arok merupakan seorang yang pandai dan
bijaksana. Dia bukan hanya memberi hadiah kepada mereka yang telah berjasa kepadanya, yang pernah menolongnya ketika dia menjadi orang buruan, akan tetapi dia juga tidak melupakan orang-orang yang telah menjdi korban usahanya mencapai tujuan, seperti keturunan Kebo Hijo dan Empu Gandring. Dia dengan royal menyebar harta di bekas isatan Akuwu Tunggal Ametung, bukan hanya untuk memperbesar rasa suka dan kesetaian orang-orang yang sudah mendukungnya, akan tetapi juga untuk menghapus segala dendam yang ditujukan kepadanya, mengubah segala perasaan benci menjadi perasaan suka.
Kebesaran Ken Arok bukan berhenti sampai di situ saja. Bintangnya menjadi semakin
terang cemerlang. Sungguh merupakan kebetulan yang amat menguntungkan dirinya bahwa pada waktu itu, di Kerajaan Daha timbul perpecahan agama. Sang Prabu Dandang
Gendis yang lebih condong membela agama Hindu karena pembantu dan penasihatnya seperti Begawan Surotomo dan Begawan Buyut Wewenang memeluk agama itu, mulai melakukan penekanan terhadap para pendeta yang beragama Siwa Budha. Para pendeta Siwa Budha ini, termasuk Ki Danyang Maruto, tidak mau menjolat-jilat kepada Sang Prabu Dandang Gendis seperti yang dilakukan oleh para pendeta Hindu Trimurti. Oleh karena itu, sang prabu menekan dan memaksa mereka untuk lebih menghormatinya, menyembah-nyembahnya. Hal ini ditolak oleh para pendeta Siwa Budha sehingga Sang Prabu Dandang Gendis menjadi marah. Menuruti bujukan Begawan Sarutomo dan kawan-kawannya, Raja Daha itu hendak menangkap semua pendeta Siwa Budha dan terjadilah perpecahan. Pada pendeta Siwa Budha lalu melarikan diri kepada raja baru
Kerajaan Singosari di Tumapel itu. Makin kuatlah kedudukan Ken Arok yang kini menjadi
Sang Prabu Sri Rajasa Bhatara Sang Amarwabumi!
Seperti tercatat dalam sejarah, kelak terjadilah perang antara kerajaan baru Singosari
melawan Kerajaan Daha, dan Kerajaan Daha dapat dikalahkan dan ditaklukkan. Maka, Raja Singosari yang dahulunya bernama Ken Arok, seorang penjudi, bahkan pernah menjadi perampok, kini menjadi Maharaja di Pulau Jawa!
Tentu saja Ken Arok tidak melupakan saudara tirinya, yaitu Joko Handoko.
Diundangnya saudaranya itu. Joko Handoko sudah mendengar akan kemajuan pesat yang dicapai Ken Arok, akan tetapi dia memang tidak tertarik untuk memperoleh kedudukan, maka dia pun hanya mendengar dari jauh saja betapa Ken Arok kini menjadi raja dan menikah dengan janda almarhum Tunggal Ametung yang tewas dibunuh Kebo Hijo. Ketika panggilan tiba, Joko Handoko Yang sedang mempersiapkan diri untuk meminang Dewi Pusporini itu, terpaksa memenuhi panggilan dan dia pun terpaksa menunda niatnya mengajak orang tuanya meminang dan berangkat ke Tumapel.
Di Tumapel dia mendengar akan kematian yang tiba-tiba dari Empu Gandring. Tentu saja
dia merasa terkejut sekali dan sebelum pergi menghadap Ken Arok, dia lebih dulu pergi
ke Lulumbang untuk mengunjungi tempat tinggi Empu Gandring. Dari para cantrik dia mendengar akan pembunuhan aneh yang terjadi atas diri Empu Gandring. Ketika dia menanyakan dan mencari keris pusaka Nogopasung yang pernah diberikan kepada kakek
itu, ternyata para cantrik tidak mengetahuinya dan dia tempat kerja itu pun tidak dapat
menemukan keris pusaka Nogopasung. Diam-diam Joko Handoko mengerutkan alisnya dan merasa heran sekali. Timbul dugaan di dalam hatinya bahwa agaknya pembunuhan atas diri Empu Gandring itu ada hubungannya dengan lenyapnya Nogopasung. Apakah ada orang yang merampasnya" Dia pun tahu bahwa Empu Gandring adalah seorang kakek yang sakti, maka besar sekali kemungkinannya bahwa kakek sakti itu benarbenar
terbunuh oleh orang yang mempergunakan keris pusaka Nogopasung. Akan tetapi ke mana hilangnya keris pusaka itu dan siapa pula yang mencurinya" Yang mencuri tentulah
pembunuh Empu Gandring. Dengan bermacam pertanyaan itu mengganggu hatinya, Joko Handoko lalu pergi ke Tumapel yang bernama Singosari dan menghadap Ken Arok yang telah menjadi raja.
"Wahai, Kakang Joko Handoko, akhirnya andika datang juga menghadap!" Kata Sang Prabu Sri Rajasa. "Ke mana saja andika selama ini maka tak pernah nampak walaupun aku sedang bersusah payah untuk memperoleh kedudukan seperti sekarang ini!
Lihatlah,
kakang Joko Handoko, aku telah menjadi raja di sini, tidakkah andika merasa bangga pula?"
Joko Handoko yang tahu diri itu menyembah. Bagaimanapun juga, adik tirinya ini telah menjadi raja, menjadi yang dipertuan di Tumapel dan dia hanyalah seorang di antara rakyatnya. "Mohon beribu maaf, Sribaginda. Paduka tentu sudah sejak dahulu memaklumi bahwa hamba sama sekali tidak ada keinginan untuk memegang kedudukan.
Hamba lebih senang tinggal di dusun, di lereng gunung yang sunyi, bekerja sebagai petani yang tenteram."

Ken Arok merasa girang. Sikap Joko Handoko sungguh sopan dan hal ini menyenangkan hatinya. Dia tahu bahwa kakak tirinya memiliki kesaktian dan kalau dia dapat menariknya sebagai pembantu atau senopati, tentu kedudukannya akan menjadi semakin kuat.
"Akan tetapi itu adalah dulu ketika mendiang Sang Akuwu Tunggal Ametung yang menjadi penguasa di sini Kakang. Sekarang yang menjadi raja di sini adalah aku, adik tirimu sendiri. Tidakkah sudah selayaknya dan sepatutnya kalau kakang ikut membantu memperkuat kerajaan kita, dan membantuku memegang kendali pemerintahan"
Kuharap andika dapat mempertimbangkan hal ini kakang Joko Handoko."
"Hamba menghaturkan terima kasih atas kebaikan hati paduka, Sribaginda. Akan tetapi
hamba tetap pada pendirian hamba untuk tetap hidup tenang di dusun saja. Namun, bukan berarti hamba akan acuh saja kalau sampai negeri ini terancam bahaya. Hamba selalu siap membela negara dan bangsa dari ancaman pihak lain."
Ken Arok mengangguk-angguk. Dia tahu bahwa memaksa Joko Handoko berarti akan menciptakan perasaan tidak senang saja. "Baiklah, kakang. Akan tetapi aku mengharapkan bantuanmu kalau sampai terjadi perang, karena negeri ini sedang terancam oleh Kerajaan Daha. Dan tentang hidup sebagai petani, aku akan menghadiahkan tanah yang cukup luas untukmu agar berpuas-puaslah andika mengerjakan tanah."
Joko Handoko menghaturkan terima kasih dan dia lalu mengundurkan diri dengan perasaan lega karena dia merasa khawatir kalau-kalau dia akan dipaksa menjadi hulubalang. Setelah dia keluar dari istana, dia lalu langsung menuju ke gerbang Senopati
Pamungas. Keluarga senopati itu menerimanya dengan gembira, apalagi Dewi Pusporini yang sudah rindu kepada kekasihnya itu, akan tetapi keluarga itu pun agak kecewa melihat bahwa pemuda itu mencul sendirian saja.
"Anakmas Joko Handoko, mana orang tuamu" Kenapa mereka tidak ikut datang?"
tanyanya dengan suara mengandung teguran.
Setelah bertukar pandang dengan Dewi Pusporini Joko Handoko lalu memberi hormat kepada calon ayah dan ibu mertuanya. "Maafkan saya, kanjeng paman. Terpaksa saya
menunda urusan itu karena secara tiba-tiba saya dipanggil menghadap oleh Srinaginda."
Senopati Pamungkas mengangguk-angguk dan tersenyum. "Wah, adik tirimu memang hebat, anakmas. Semuda itu akan tetapi telah berhasil menggantikan Sang Akuwu Tunggal Ametung. Dia memang seorang yang gagah perkasa, setia dan memang hebat untuk menjadi raja di sini. Tumapel akan maju kalau dipimpin oleh seorang seperti dia.
Lalu apa kehendak beliau memanggilmu?"
"Beliau hendak menghadiahkan kedudukan kepada saya, Kanjeng Paman. Akan tetapi saya terpaksa menolak. Saya belum ingin memegang jabatan dan menjadi orang berpangkat. Saya lebih senang tinggal di dusun dan saya hanya berjanji bahwa kalau sampai terjadi perang, saya tentu akan menyumbangkan tenaga untuk membela negara dan bangsa."
Senopati Pamungkas menggangguk-angguk lagi. Biarpun hatinya kecewa karena tadinya mengharapkan bahwa sebagai kakak tirinya raja yang baru, calon mantunya ini tentu akan menjadi seorang bangsawan tinggi, dia tidak mau memberi komentar. "Memang benar kemungkinan terjadi perang antara Singosari dan Daha, dan memang sudah menjadi kewajiban kita bersama untuk membela negara dan bangsa. Akan tetapi bagaimana sekarang dengan urusan kita, urusan perjodohanmu dengan Dewi Pusporini?"

"Saya akan segera pulang dan segera mengajak kanjeng romo dan kanjeng ibu untuk bersama saya datang ke sini, kanjang paman."
"Baiklah, kami selalu menunggumu," kata senopati itu dan Joko Handoko diberi kesempatan untuk bercakap-cakap dengan Dewi Pusporini di dalam taman. Tentu saja kedua orang muda itu menjadi gembira sekali dan mereka melepas kerinduan hati masing-masing dengan bercakap-cakap dan menumpahkan rasa rindu melalui pandang mata, kata-kata dan sentuhan-sentuhan tangan. Dalam kesempatan ini Pusporini bertanya sambil lalu.
"Dan bagaimana kabarnya dengan diajeng Wulan, kakangmas?"
Ditanya tentang Wulandari, Joko Handoko mengerutkan alisnya. Akan tetapi hanya sebentar saja karena dia sudah dapat mengusir perasaan iba yang menyelinap di dalam hatinya mendengar disebutnya nama gadis Sabuk Tembogo itu.
"Aku tidak tahu, diajeng. Semenjak berpisah dari sini, aku tidak pernah lagi bertemu atau mendengar tentang dirinya. Tentu ia sibuk mengurus perkumpulan Sabuk Tembogo.
Bukankah demikian katanya dahulu ketika hendak berpisah?"
Akan tetapi Dewi Pusporini tidak menjawab tidak menjawab, bahkan bertanya lagi,
"Kakangmas, tahukah engkau akan aib yang menimpa diri Wulandari?"
Joko Handoko memandang tajam dan dua pasang mata itu bertemu. "Maksudmu?" Joko Handoko bertanya, diam-diam merasa heran apakah Wulandari menceritakan peristiwa yang menimpa dirinya dengan Pramudento itu kepada Dewi Pusporini.
"Peristiwa yang dialaminya di malam ketika dia melarikan diri itu. Sudahkah diajeng Wulan bercerita kepadamu?"
Joko Handoko mengangguk-angguk, maklum bahwa Wulandari sudah membuka
rahasianya itu kepada Dewi Pusporini. "Peristiwa yang menimpa dirinya bersama Pramudento yang kemudian dibunuhnya?"
Dewi Pusporini mengangguk.
"Aku sudah tahu, ia sudah bercerita kepadaku. Tak kusangka bahwa ia juga bercerita kepadamu, diajeng."
"Kami sudah seperti kakak dan adik sendiri saja, kakangmas. Kasihan diajeng Wulan.
Apakah engkau tidak kasihan kepadanya, Kakangmas?"
"Tentu saja! Kalau belum dibunuhnya tentu aku sendiri yang akan menghajar Pramudento. Akan tetapi, apa yang dapat kulakukan untuknya?"
"Banyak! Banyak yang dapat kita lakukan untuknya, kakangmas."
Kembali Joko Handoko memandang tajam kepada wajah kekasihnya, memandang penuh pertanyaan. "Apa maksudmu, diajeng" Apa yang dapat kita lakukan untuk Wulandari?"
Dara itu menarik napas panjang. "Nanti saja kuceritakan, kakangmas, kalau engkau sudah
Datang bersama orang tuamu untuk meminang diriku. Yang penting bagiku adalah mengetahui bahwa engkau kasihan kepadanya dan suka melakukan sesuatu untuk menolongnya."

Pada hari itu, Joko Handoko pulang ke Kadipaten Wonoselo untuk menemui ibunya dan ayah tirinya, dengan hati bertanya-tanya pertolongan apakah terhadap Wulandari yang akan diminta oleh Dewi Pusporini darinya.
**** Dyah Kanti menyambut dengan hati gembira perkataan puteranya yang minta kepadanya untuk melamarkan puteri Senopati Pamungkas di Tumapel. Dari suaminya yang sekarang, yaitu Raden Pringgojoyo, ia tidak memperoleh keturunan. Raden Pringgojoyo juga menyambut dengan gembira dan dengan senang hati dia bersedia untuk melakukan peminangan itu bersama isterinya. Maka berangkatlah mereka bertiga ke Tumapel.
Di sepanjang perjalanan ke Tumapel mereka mendengar berita tentang pertentangan agama yang terjadi di Daha, dan melihat sendiri rombongan demi rombongan para pendeta dan pemeluk agama Siwa Budha mengungsi ke Tumapel. Dengan cerdik, Sang Prabu Sri Rajasa mengutus orang-orangnya untuk menyambut para pengungsi itu, bahkan mempersilahkan para tokoh pendeta Siwa Budha untuk menghadap ke istana, disambut pula oleh Ki Danyang Lohgawe yang juga merupakan seorang tokoh agama itu.
Tentu saja para pemimpin agama itu merasa terhibur dan seketika timbul perasaan setianya terhadap Kerajaan Singosari yang baru berdiri.
Setelah tiba di Tumapel, Raden Pringgojoyo, isterinya dan Joko Handoko disambut dengan gembira oleh keluarga Senopati Pamungkas. Pinangan diajukan oleh Raden Pringgojoyo sendiri. Senopati Pamungkas dan isterinya menyambut pinangan itu dengan wajah berseri, akan tetapi tiga orang tamu itu menjadi heran dan terutama sekali Joko
Handoko terkejut ketika sang senopati berkata halus, "Kami sekeluarga merasa
berbahagia sekali dan menyambut pinangan andika dengan senang hati, dan mudahmudahan
saja para dewata akan memberkahi kedua anak kita. Akan tetapi, hendaknya dimaklumi bahwa untuk dapat menerima pingangan ini, anak kami Dewi Pusporini mengajukan sebuah syarat."
"Syarat?" Raden Pringgojoyo tersenyum, disangkanya bahwa tentu syaratnya merupakan
benda yang diidamkan puteri itu. "Tentu saja kami dengan senang hati bersedia memenuhi syarat yang ditujukan, asalkan syarat itu masih berada dalam batas kemampuan kami untuk memperolehnya."
"Syarat itu bukan permintaan harta benda atau barang apapun juga, dan karena kami sendiri kurang leluasa untuk mengemukakannya, maka sebaiknya anak kami itu sendiri yang akan menyampaikan kepada anakmas Joko Handoko."
Tentu saja Joko Handoko menjadi terheran-heran. Sambil memandang wajah calon mertuanya, dia berkata, "Baiklah, kanjeng paman. Saya siap menerima permintaan diajeng Pusporini."
Seorang dayang lalu diutus memanggil sang puteri dan ternyata Dewi Pusporini telah berdandan serba indah untuk keperluan ini. Ia nampak cantik jelita bagaikan puteri dari
kayangan sehingga Raden Pringgojoyo dan Dyah Kanti memandang dengan penuh kagum dan girang bahwa Joko Handoko memperoleh calon jodoh yang demikian cantiknya. Bukan hanya cantik wajahnya dan kuning mulus kulitnya, akan tetapi juga lembut dan sopan santun gerak-geriknya ketika dara itu memasuki ruangan dengan sikap halus dan hormat sekali. Setelah dara itu mengambil tempat duduk sebagaimana mastinya, Senopati Pamungkas lalu berkata dengan suara lembut.
"Anakku Dewi Pusporini, orang tua dari anakmas Joko Handoko telah mengajukan pinangan yang telah kami terima dengan gembira seperti telah kita kehendaki bersama,
dan aku telah memberitahukan kepada mereka agar engkau mengajukan sebuah syarat.
Agar ayah dan ibumu tidak disangka sengaja mempersulit, maka engkau kami panggil agar engkau sendiri yang menyampaikan syaratmu itu kepada anakmas Joko Handoko."

Dewi Pusporini mengangkat muka memandang sejenak kepada Raden Pringgojoyo, kemudian agak lama memandang kepada Dyah Kanti Ibu kandung kekasihnya, lalu berkata pada mereka. "Saya mohon maaf sebesarnya dari kanjeng bibi, karena sesungguhnya syarat yang saya ajukan ini bukan sekali-kali merupakan kemanjaan atau pengairanagungan harga diri memainkan amat penting, baik bagi saya sendiri maupun bagi kakangmas Joko Handoko."
Sejak dara itu keluar, Dyah Kanti sudah merasa suka sekali, apalagi mendengar ucapan yang demikian sopan dan halus. Ia tersenyum ramah dan berkata, "Tidak mengapa, nini Dewi, sudah selayaknya kalau engkau mengajukan syarat. Katakanlah apa syarat itu?"
Tanpa memperdulikan pandang mata Joko Handoko yang penuh tanda tanya ditujukan kepadanya, Dewi Pusporini kini memandang kepada Joko Handoko dan berkata,
suaranya lantang dan tegas. "Saya hanya mau menjadi isteri Kakangmas Joko Handoko kalau mau dimadu dengan Diajeng Wulandari!"
"Diajeng Dewi...........!" Joko Handoko berseru kaget bukan main, memandang kepada kekasihnya dengan mata terbelalak.
"Kakangmas tentu masih ingat, saya pernah mengatakan bahwa kita harus me- lakukan sesuatu untuk Diajeng Wulandari."
Tentu saja Raden Pringgojoyo dan isterinya menjadi terheran-heran. Mana ada syarat minta dimadu" "Ah, bagaimana pula ini" Siapakah pula itu Wulandari?" kata Dyah Kanti dengan bingung sambil memadang kepada puteranya.
"Ia seorang sahabat baik yang sudah menjadi adik saya sendri, Kanjeng Bibi, juga seorang sahabat yang amat baik dari Kakangmas Joko Handoko."
Dyah Kanti memandang puteranya. "Benarkah itu, Joko?" Joko Handoko hanya mengangguk karena dia masih tekejut dan bingung.
"Akan tetapi, kepada siapakah kami harus mengajukn pinangan atas diri Wulandari itu dan di mana ia tinggal?" Raden Pringgojoyo bertanya.
"Pinangan itu dapat ditujukan kepada kami, karena Wulandari telah mengangkat kami suami isteri sebagai walinya pula." Senopati Pamungkas yang sejak tadi tersenyum itu berkata. Dua pasang suami isteri itu saling pandang dan mengertilah Raden Pringgojoyo dan Dyah Kanti bahwa ayah bunda Dewi Pusporini telah tahu akan persoalannya dan telah pula menyetujuinya! Sungguh luar biasa sekali!
"Kalau begitu, biarlah kami mengajukan pinangan untuk kedua kalinya!" kata Raden Pringgojoyo, "Sekali ini kami mengajukan pinangan atas dri nini Wulandari untuk menjadi
isteri yang kedua dari anak kami Joko Handoko dan......."
"Maaf, Kanjang Romo. Nanti dulu.......!" tiba-tiba Joko Handoko berseru sambil mengangkat tangannya. Semua orang memandang kepadanya dan pemuda ini memandang kekasihnya, alisnya berkerut penuh kekhawatiran.
"Diajeng Dewi Pusporini, mengapa engkau bersikap begini" Kita tidak boleh bertindak semau sendiri, karena hal ini menyangkut diri Diajeng Wulan. Kita harus memberi tahu Diajeng Wulan, karena saya kira dia tidak akan sudi........."
"Kakangmas Joko Handoko, soal Diajeng Wulandari tanggunganku. Yang penting sekarang kuserahkan jawaban dan keputusannya kepadamu. Maukah engkau mengambil kami berdua, aku dan Diajeng Wulandari, sebagai isteri-isterimu?"

"Benar, Anakmas Joko Handoko, keputusannya terserah kepadamu. Maukah Andika?"
kata Senopati Pamungkas.
"Tapi........... tapi......., saya harus mendapat keputusan dulu dari Diajeng Wulandari.
Bagaimana mungkin meminang seseorang yang belum saya ketahui apakah ia mau atau tidak?"
"Akan tetapi, Kakangmas. Jawablah dulu, andaikata ia mau, apakah engkau juga akan menerimanya?" Dewi Pusporini bertanya, memandang tajam.
"Ini........ ini...... wah, kalau memang engkau menghendaki demikian, Diajeng, akupun hanya menurut saja, terserah kepadamu," kata Joko Handoko. Harus diakui bahwa
sebelum berjumpa dengan Dewi Pusporini, dia sudah berkenalan dengan Wulandari dan sudah merasa suka sekali kepada gadis hitam manis itu.
"Nah, kalau begitu, akan kupanggil ia ke sini!" Dewi Pusporini lalu bangkit dan masuk ke dalam, diikuti pandang mata terbelalak dari Joko Handoko. Kiranya Wulandari telah berada di sini pula!
Wulandari nampak agak kurus dan ia berjalan sambil menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. Dewi Pusporini setengah menariknya dengan halus dan akhirnya mereka berdua tiba di ruangan itu. Dengan lemas karena merasa malu dan terharu, Wulandari menjatuhkan diri duduk bersimpuh dan tetap menundukkan mukanya.
Melihat gadis ini, Joko Handoko, tidak dapat menahan lagi kehauan hatinya. "Diajeng Wulan, apa artinya semua ini" Benarkah engkau........ engkau....... akan menerima pinangan dariku untuk menjadi....... madu dari Diajeng Pusporini?"
Sejak Joko Handoko menyebut namanya, air matanya sudah jatuh menetes-netes. Ia berusaha menguatkan hatinya, menggigit bibir agar tidak terisak. Tanpa mengangkat muka, ia pun menjawab, "Mbakayu Dewi menghendaki demikian, Kakang......,dan aku....... aku...... ahh......." ia tidak dapat melanjutkan, melainkan mengusap air matanya yang jatuh berderai.
Dewi Pusporini merangkulnya. "Sudahlah, Wulan, jangan menangis. Aku sudah mengambil keputusan, kita berdua menjadi isteri Kakangmas Joko Handoko, atau.......
aku pun tidak akan mau menikah sama sekali!"
Kiranya inilah yang menjadi kaputusan Dewi Pusporini sejak ia mendengar kisah yang amat menyedihkan dari Wulandari. Gadis itu talah ternoda, dan sebagai seorang gadis yang merasa dirinya ternoda, pada jaman itu memang amatlah sukar untuk memperoleh jodoh yang yang benar dan terhormat. Gadis itu akan seolah-olah terkutuk untuk selamanya. Dan malapetaka itu terjadi atas diri Wulandari karena malam itu melarikan diri dari rumah keluarga senopati. Dewi Pusporini merasa bahwa seolah-olah ialah yang menjadi biang keladinya. Ialah yang seperti mendorong Wulandari mengalami peristiwa yang keji itu. Dan ia pun yakin akan besarnya cinta kasih Wulandari terhadap Joko Handoko, tahu pula bahwa calon suaminya itu suka sekali kepada Wulandari, merasa kasihan pula. Tidak ada jalan lain baginya kecuali menarik Wulandari menjadi madunya, kalau tidak demikian, ia merasa seolah-olah menari-nari di atas kemalangan orang lain, berbahagia di atas kemalangan orang lain, berbahagia di atas kedukaan Wulandari. Ia akan menyesali hal ini selamanya. Dan ia pun merasa suka dan cocok sekali dengan gadis Sabuk Tembogo itu, maka diambilnya keputusan bulat yang mengejutkan hati semua orang itu. Orang tuanya sudah setuju karena orang tuanya juga merasa terharu dan kasihan setelah mendengar penuturan Dewi Pusporini tentang musibah yang menimpa diri Wulandari.
Akhirnya, orang tua kedua belah pihak telah setuju. Pinangan terhadap Dewi Pusporini dan Wulandari dilakukan dan diterima oleh Senopati Pamungkas dan isterinya. Dan hari
pernikahan pun ditentukan. Dengan hati penuh rasa bahagia dan gembira, Joko Handoko
bersama ibu kandungnya dan ayah tirinya pulang untuk mempersiapkan hari
pernikahannya dengan kedua orang mempelainya.
Kurang lebih lima pekan kemudian, dilangsungkanlah pernikahan antara Joko Handoko dan Dewi Pusporini yang ditemani oleh Wulandari. Biarpun tidak mungkin dapat dinikahkan secara resmi, Wulandari juga mengenakan pakaian sekembaran dengan Dewi Pusporini, dan di lingkungan keluarga kedua belah pihak, ia diterima sebagai isteri ke dua Joko Handoko. Pesta pernikahan berlangsung dengan meriah, bahkan Sang Prabu Sri
Rajasa sendiri berkenan menghadiri perayaan pesta pernikahan kakak tirinya.
Setelah pesta pernikahan diraykan, Joko Handoko lalu memboyong kedua orang isterinya
itu ke lereng Anjasmoro di mana dia diberi hadiah tanah yang cukup luas oleh Ken Arok atau Sang Prabu Sri Rajasa dan hidup bersama dua orang isterinya itu sebagai petani yang penuh kebahagiaan.
Sampai di sini, pengarang mengakhiri kisah Keris Pusaka Nogopasung ini. Akan tetapi keris pusaka itu sendiri, yang kini tidak dikenal lagi namanya karena sudah berubah bentuk, masih panjang ceritanya. Keris itu memang haus darah dan menerima kutukankutukan,
terutama kutukan Empu Gandring. Seperti tercatat dalm sejarah, Ken Arok sebagai Sang Prabu Sri Rajasa kelak akan tewas di ujung keris pusaka itu di tangan Anusapati, yaitu anak keturunan Tunggal Ametung yang terlahir dari Ken Dedes.
Kemudian, Anusapati sendiri pun akan tewas di ujung keris yang sama oleh Pangeran Tohjaya, putera Ken Arok yang terlahir dari isteri mudanya bernama Ken Umang. Keris itu memang haus darah!
Biarpun tidak menjadi pembesar atau bangsawan, Joko Handoko bersama dua isterinya hidup penuh kebahagiaan sampai hari tua. Nampaknya saja bahwa nasib adik tirinya, Ken Arok, jauh lebih baik. Akan tetapi kenyataannya sama sekali tidak demikian.
Kehidupan yang bergelimang dengan kemuliaan dan kekayaan dari Ken Arok itu penuh dengan perang, pertikaian dan dendam, perebutan kekuasaan dan permusuhan.
Mudah-mudahan dalam kisah ini terkandung manfaat bagi pembaca di samping hiburan di kala senggang, demikian harapan pengarang.
TAMAT