KERIS PUSAKA NOGOPASUNG 3
Share
hendak membalas dendam atas kematian ayah kandungnya yang terbunuh orang.
"Tentu saja aku akan membantumu, Dimas Ken Arok!"
Maka berangkatlah kedua orang muda itu meninggalkan dusun mereka, yaitu Dusun Sanja, menuju ke Gunung Kawi untuk mencari musuh besar Ken Arok. Dusun itu dan desa-desa di sekitarnya menjadi aman untuk sementara. Lega hati para penghuni dusundusun
itu ketika mereka melihat bahwa Ken Arok telah meninggalkan tempat itu. Berita tentang Witri dan ayahnya sudah tersebar luas, ditambah lagi berita-berita kejahatan lain
sehingga nama Ken Arok semakin dikenal sebagai seorang penjahat muda yang ganas.
Bahkan nama ini tersebar sampai jauh memasuki tapal batas Kadipaten Tumapel.
**** "Nah, kau lihat, buktinya hutan itu kita lewati dengan selamat tidak ada gangguan apaapa,
Wulan," kata Joko Handoko.
Wulan tersenyum. Mereka sudah turun dari kuda dan jalan berdampingan, Joko Handoko
menuntun kudanya. Mereka turun karena kasihan kepada kuda yang selama ini telah mereka tunggangi berdua.
"Agaknya peruntunganmu memang baik, Joko. Biasanya, hutan ini penuh dengan perampok jahat. Akan tetapi, begitu kau lewat, mereka tidak memperlihatkan batang hidung mereka."
"Hem, atau barangkali karena mereka sudah tahu bahwa aku melakukan perjalanan dengan puteri ketua Sabuk Tembogo?"
Beralasan juga ucapan Joko Handoko itu dan Wulandari mengangguk. Ia lalu mengangkat muka memandang wajah Joko Handoko. "Kita sudah dekat dengan Kadipaten Tumapel. Lihat di depan sana itu, tembok-temboknya sudah nampak."
Joko Handoko memandang ke depan. Di bawah lereng itu memang nampak temboktembok,
samar-samar tertutup pohon-pohon jati. "Ah, betapa aku ingin segera sampai ke sana," katanya gembira.
"Akan tetapi, kita.... akan segera saling berpisah......"
"Apakah engkau tidak merasa kecewa dan.... sedih, Kakang Handoko?"
Joko Handoko memandang wajah gadis itu, agak heran mendengar perubahan dalam penggilan gadis itu. Agaknya Wulandari sadar akan hal ini. Wajahnya menjadi kemerahan dan disambungnya pertanyaannya tadi. "Engkau tentu tidak keberatan kalau
aku menyebutmu Kakang Handoko, bukan" Bagaimanapun juga, engkau lebih tua dariku
sehingga tidak patut rasanya kalau aku menyebut namamu begitu saja."
Joko Handoko tersenyum senang. "Tentu saja tidak, Wulan. Akan tetapi mengapa aku harus kecewa dan bersedih?"
"Karena kita akan saling berpisah. Aku merasa sedih membayangkan harus bepisah darimu, Kakang. Aku senang sekali bertemu dan berkenalan denganmu." Joko Handoko tersenyum, menganggap ucapan gadis itu kekanak-kanakan. "Ah, Wulan, di dunia ini mana ada yang abadi" Ada pertemuan tentu ada perpisahan. Akan tetapi, di Tumapel engkau hendak melakukan apakah" Hendak pergi ke mana?"
Nampak gadis itu ragu-ragu, kemudian menjawab dengan elakan. "Ada urusan keluarga yang amat penting dan berbahaya. Akan tetapi engkau sendiri, hendak kemanakah, Kakang Handoko?"
"Aku hendak mencari dan mengunjungi Eyang Empu Gandring," jawab Joko Handoko dengan jujur.
Wulandari terkejut dan memandang tajam. "Empu Gandring" Apamukah dia dan mau apa engkau mencarinya?"
"Bukan apa-apa, hanya beliau adalah seorang kenalan baik mendiang kakekku. Aku ingin menyampaikan kematian kakekku kepadanya," Joko Handoko yang tidak ingin menonjolkan diri tidak mau mengaku bahwa mendiang ayahnya adalah murid Empu Gandring.
Setelah mereka tiba di pintu gerbang Kadipaten Tumapel yang ramai, keduanya berenti.
Wulandari memandang kepada pemuda itu dengan tajam. Ia merasa berat sekali harus berpisah dari Joko Handoko. Wajah yang tampan, tubuh yang tegap dan biarpun pemuda
itu tidak memiliki kepandaian namun ia berwatak satria yang gagah dan tabah, membuat
gadis ini jatuh cinta. Ditambah lagi pengalaman berboncengan kuda yang takkan terlupakan selamanya oleh Wulandari.
"Kakang, kapan kita akan saling berjumpa lagi?" tanyanya dengan suara memelas.
"Kalau memang kita berdua dalam keadaan sehat, lain waktu tentu kita akan dapat saling berumpa."
"Aku ingin sekali mengajakmu mengunjungi tempat tinggal kami di lereng Kawi, Kakang.
Maukah engkau berkunjung ke sana?"
Joko Handoko mengangguk-angguk, dalam hatinya dia bertanya-tanya apa yang akan menjadi sikap gadis ini kalau mengetahui bahwa ayah gadis ini adalah pembunuh ayahnya!"
"Kalau saja semua urusanku sudah selesai aku tidak keberatan untuk berkunjung ke
tempatmu, Wulan."
"Kalau begitu, mengapa tidak setelah engkau mengunjungi Empu Gandring" Kita pergi bersama dan...... ah, aku harus menyelesaikan tugasku dulu!" katanya memotong ucapannya sendiri dengan nada menyesal.
Hati Joko Handoko tertarik. Dia memang tidak mempunyai urusan lain kecuali mengunjungi Empu Gandring. Dia memang bermaksud merantau untuk meluaskan pengalaman dan pengetahuan. Mengapa dia tidak pergi mengunjungi Sabuk Tembogo untuk melihat bagaimana keadaan orang yang menjadi pembunuh ayahnya itu" Bukan untuk membalas dendam, melainkan untuk mengenal orang itu dan melihat begaimana
keadaan dan wataknya. Melihat Wulandari yang gagah perkasa dan baik hati, kesan dalam hatinya terhadap Sabuk Tembogo sudah menjadi lebih baik.
"Kalau begitu, mengapa tidak melakukan tugasmu itu bersamaku, kemudian kita berdua mengunjungi Empu Gandring dan baru bersama menuju ke tempat tinggalmu di Kawi?"
Sepasang mata yang indah itu berseri, agaknya usul Joko Handoko itu menggembirakan hatinya. Akan tetapi hanya sebentar karena alisnya berkerut lagi dan ia menggelang kepala. "Tidak mungkin, Kakang Handoko. Tugasku ini berbahaya sekali, mempertaruhkan nyawa dan aku tidak ingin melihat engkau terancam bahaya.
Sebaiknya, kita mengambil jalan masing-masing dan kalau engkau sudah selesai dengan urusanmu di sini, dan engkau berkunjung ke lereng Kawi, tentu aku akan menantimu di sana."
Joko Handoko mengangguk-angguk. Baiklah, Wulan."
Ketika itu senja telah larut dan cuaca sudah mulai gelap. Wulandari sekali ini menatap wajah Joko Handoko, lalu berkata, "Selamat berpisah, Kakang, sampai jumpa pula."
Setelah berkata demikian, dengan gesitnya, ia lalu meloncat dan memasuki pintu gerbang Kadipaten Tumapel.
Joko Handoko menuntun kudanya keluar kembali membawa kuda itu ke tempat yang gelap dan sunyi, mengikat kuda di sebatang pohon dan membiarkan kuda itu makan rumput di bawah pohon. Kemudian tubuhnya berkelebat dan di sudah cepat melakukan pengejaran dan membayangi gerakan Wulandari dengan diam-diam. Dia merasa khawatir sekali mendengar ucapan Wulandari hendak melaksanakan tugas yang berbahaya, bahkan mempertaruhkan nyawa! Dia harus tahu apa yang akan dilakukan oleh gadis perkasa itu.
Bayangan tubuh Wulandari dengan cepat berkelebat dan menyelinap di antara rumahrumah
penduduk dan pohon-pohon. Akhirnya, dengan loncatan ringan, Wulandari memasuki sebuah kebun dari gedung yang megah itu, meloncati pagar yang cukup tinggi tanpa terlihat oleh para penjaga di depan gedung. Ia tidak tahu bahwa tak jauh di belakangnya, ada sesosok tubuh lain yang selalu membayanginya sejak tadi. Bayangan ini bukan lain adalah Joko Handoko.
Dengan heran Joko Handoko menyelinap dan mengintai untuk melihat apa yang akan dilakukan oleh Wulandari di rumah gedung besar itu. Dia tidak tahu rumah siapa itu, akan tetapi melihat betapa di depan rumah terdapat perajurit yang berjaga, dapat
diduganya bahwa tentu penghuni gedung itu seorang pejabat atau bengsawan tinggi.
Ketika dia melihat gadis itu menyelinap masuk setelah membongkar pintu belakang sehingga terbuka tanpa mengeluarka suara bisik, Joko Handoko hanya menanti di luar pintu itu, tidak berani masuk karena dia tidak ingin ketahuan oleh Wulandari. Dia lalu meloncat naik ke atas wuwungan rumah gedung itu, dan mengintai dari genteng yang dibukanya perlahan-lahan ke bawah.
Hati sudah menjadi gelisah karena dia tidak melihat apa-apa di dalam ruangan belakang rumah itu yang amat luas. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara dan ketika dia mengintai
dia melihat Wulandari muncul dari sebuah kamar sambil menggandeng seorang gadis lain. Jantung dalam dada Joko Handoko berdebar tegang ketika dia melihat gadis ini.
Seorang gadis yang sebaya dengan Wulandari, akan tetapi yang berbeda dari Wulandari
seperti bumi dengan langit. Gadis itu lemah gemulai berkulit kuning putih, wajahnya cantik jelita dan agak pucat, sepasang matanya yang lebar itu terbelalak ketakutan, rambutnya awut-awutan, juga pakaiannya kusut. Gadis ini cantik bukan main menurut penglihatan Joko Handoko, kecantikan yang lembut tak berdaya, sungguh berbeda dengan Wulandari yang keras dan kuat. Jelas nampak bahwa Wulandari setengah memaksa gadis itu ikut bersamanya, apa lagi ketika terlihat bahwa Wulandari sudah
melolos sabuk Tembogonya dan mengancam gadis cantik itu agar ikut tanpa banyak suara.
Wulandari lalu mengeluarkan sehelai kertas tertulis yang agaknya sudah dipersiapkannya, menaruh kertas itu di atas meja dan tangan kirinya mencabut pisau belati, ditancapkannya pisau itu di atas kertas. Semua itu terjadi tanpa ada seorang pun
penghuni rumah itu yang tahu dan Joko Handoko dapat menduga bahwa tentu Wulandari, gadis perkasa itu, telah menggunakan aji penyirepan untuk membuat seisi rumah itu tidur nyenyak. Makin kagumlah dia kepada Wulandari, akan tetapi dia juga terheran-heran melihat Wulandari memaksa gadis cantik itu pergi bersamanya. Apa yang
sedang dikerjakan gadis itu" Perbuatan jahat ataukah baik" Sepasang mata yang indah itu berseri, agaknya usul Joko Handoko itu menggembirakan hatinya. Akan tetapi hanya
sebentar karena alisnya berkerut lagi dan ia menggelang kepala. "Tidak mungkin, Kakang Handoko. Tugasku ini berbahaya sekali, mempertaruhkan nyawa dan aku tidak ingin melihat engkau terancam bahaya. Sebaiknya, kita mengambil jalan masing-masing dan kalau engkau sudah selesai dengan urusanmu di sini, dan engkau berkunjung ke lereng Kawi, tentu aku akan menantimu di sana."
Joko Handoko mengangguk-angguk. Baiklah, Wulan."
Ketika itu senja telah larut dan cuaca sudah mulai gelap. Wulandari sekali ini menatap wajah Joko Handoko, lalu berkata, "Selamat berpisah, Kakang, sampai jumpa pula."
Setelah berkata demikian, dengan gesitnya, ia lalu meloncat dan memasuki pintu
gerbang Kadipaten Tumapel.
Joko Handoko menuntun kudanya keluar kembali membawa kuda itu ke tempat yang gelap dan sunyi, mengikat kuda di sebatang pohon dan membiarkan kuda itu makan rumput di bawah pohon. Kemudian tubuhnya berkelebat dan di sudah cepat melakukan pengejaran dan membayangi gerakan Wulandari dengan diam-diam. Dia merasa khawatir sekali mendengar ucapan Wulandari hendak melaksanakan tugas yang berbahaya, bahkan mempertaruhkan nyawa! Dia harus tahu apa yang akan dilakukan oleh gadis perkasa itu.
Bayangan tubuh Wulandari dengan cepat berkelebat dan menyelinap di antara rumahrumah
penduduk dan pohon-pohon. Akhirnya, dengan loncatan ringan, Wulandari memasuki sebuah kebun dari gedung yang megah itu, meloncati pagar yang cukup tinggi tanpa terlihat oleh para penjaga di depan gedung. Ia tidak tahu bahwa tak jauh di belakangnya, ada sesosok tubuh lain yang selalu membayanginya sejak tadi. Bayangan ini bukan lain adalah Joko Handoko.
Dengan heran Joko Handoko menyelinap dan mengintai untuk melihat apa yang akan dilakukan oleh Wulandari di rumah gedung besar itu. Dia tidak tahu rumah siapa itu, akan tetapi melihat betapa di depan rumah terdapat perajurit yang berjaga, dapat diduganya bahwa tentu penghuni gedung itu seorang pejabat atau bengsawan tinggi.
Ketika dia melihat gadis itu menyelinap masuk setelah membongkar pintu belakang sehingga terbuka tanpa mengeluarka suara bisik, Joko Handoko hanya menanti di luar pintu itu, tidak berani masuk karena dia tidak ingin ketahuan oleh Wulandari. Dia lalu meloncat naik ke atas wuwungan rumah gedung itu, dan mengintai dari genteng yang dibukanya perlahan-lahan ke bawah.
Hati sudah menjadi gelisah karena dia tidak melihat apa-apa di dalam ruangan belakang rumah itu yang amat luas. Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara dan ketika dia mengintai
dia melihat Wulandari muncul dari sebuah kamar sambil menggandeng seorang gadis lain. Jantung dalam dada Joko Handoko berdebar tegang ketika dia melihat gadis ini.
Seorang gadis yang sebaya dengan Wulandari, akan tetapi yang berbeda dari Wulandari
seperti bumi dengan langit. Gadis itu lemah gemulai berkulit kuning putih, wajahnya cantik jelita dan agak pucat, sepasang matanya yang lebar itu terbelalak ketakutan,
rambutnya awut-awutan, juga pakaiannya kusut. Gadis ini cantik bukan main menurut penglihatan Joko Handoko, kecantikan yang lembut tak berdaya, sungguh berbeda dengan Wulandari yang keras dan kuat. Jelas nampak bahwa Wulandari setengah memaksa gadis itu ikut bersamanya, apa lagi ketika terlihat bahwa Wulandari sudah melolos sabuk Tembogonya dan mengancam gadis cantik itu agar ikut tanpa banyak suara.
Wulandari lalu mengeluarkan sehelai kertas tertulis yang agaknya sudah dipersiapkannya, menaruh kertas itu di atas meja dan tangan kirinya mencabut pisau
belati, ditancapkannya pisau itu di atas kertas. Semua itu terjadi tanpa ada seorang pun
penghuni rumah itu yang tahu dan Joko Handoko dapat menduga bahwa tentu Wulandari, gadis perkasa itu, telah menggunakan aji penyirepan untuk membuat seisi rumah itu tidur nyenyak. Makin kagumlah dia kepada Wulandari, akan tetapi dia juga terheran-heran melihat Wulandari memaksa gadis cantik itu pergi bersamanya. Apa yang
sedang dikerjakan gadis itu" Perbuatan jahat ataukah baik"
Gadis cantik itu terpaksa mengikuti Wulandari keluar dari dalam rumah, dan setelah keluar dari pintu belakang, Wulandari lalu menariknya dekat pagar kebun itu dan tibatiba
Wulandari memondong gadis itu dan membawanya loncat keluar pagar. Gadis itu mengeluarkan suara menjerit kecil karena ngeri ketika dibawa loncat, akan tetapi ia segera diturunkan lagi dan setengan diseret, diajak berlari oleh Wulandari, menyusupnyusup
dan menyelinap di antara pohon-pohon dan rumah-rumah menuju ke pintu gerbang kota Kadipaten Tumapel.
Ketika Wulandari yang menggandeng tangan gadis itu keluar dari pintu gerbang dan tiba
agak jauh dari tembok kota Kadipeten Tumapel, di dalam cuaca yang remang-remang itu
tiba-tiba dia melihat seorang laki-laki yang menuntun kuda menghadang di depan perjalanannya. Mula-mula dara itu terkejut, akan tetapi hatinya berubah girang ketika ia
mengenal siapa adanya pria itu.
"Kakang Handoko! Engkau di sini?" teriaknya girang.
"Wulan, aku girang dapat bertemu dengan engkau disini. Eh, siapakah gadis ini?"
"Panjang ceritanya, Kakang. Kenapa engkau bisa berada di sini" Bukankah engkau akan pergi mengunjungi Empu Gandring?"
"Aku sudah pergi ke sana dan beliau sedang pergi ke luar kota, aku lalu kembali ke sini untuk mencarimu." Joko Handoko membohong.
"Bagus sekali! Dan engkau mau melakukan perjalanan bersamaku ke Kawi?"
"Memang aku ingin ke sana. Akan tetapi siapakah gadis ini?"
"Nanti dulu. Ia seorang gadis lemah, biar menunggang kudamu. Nanti kuceritakan semua
ini kepadamu, Kakang Handoko."
"Silahkan," kata Joko Handoko.
Wulandari lalu berkata kepada gadis itu. "Naiklah ke punggung kuda agar tidak lelah, perjalanan kita masih jauh."
Gadis itu memandang kepada Wulandari, kemudian kepada Joko Handoko. Biarpun ia nampak lemah tak berdaya, namun kini ia tidak memperlihatkan rasa takut. Sikapnya masih lembut dan suaranya amat halus ketika ia bertanya, "Kalian hendak membawaku kemanakah?"
"Sudahlah, naik dan jangan banyak bertanya. engkau adalah tawananku dan engkau harus melakukan semua perintahku." Wulandari membentak. Gadis itu menarik napas panjang lalu naik ke atas punggung kuda. Ternyata ia seorang gadis yang biasa menunggang kuda karena biar pun tubuhnya kelihatan lemah, cekatan juga ia dapat naik ke punggung kuda yang besar itu. Melihat ini, Wulandari cepat memegang kendali kudanya.
"Awas, jangan coba untuk melarikan diri. Kakang, sebaiknya engkau duduk di atas punggung kuda pula bersamanya untuk mencegah agar ia jangan melarikan diri."
"Tidak!" kata gadis di atas punggung kuda itu." Kalau aku harus menunggang kuda bersama dia, lebih baik aku jalan kaki!"
"Ihh, banyak lagak kau! Apa salahnya menunggang kuda berboncengan dengan Kakang Joko Handoko?" bentak Wulandari marah. Ia sendiri senang sekali berboncengan naik kuda dengan pemuda itu dan kini gadis ini, sebagai seorng tawanan, banyak lagak menolaknya.
"Biarkan ia sendiri menunggang kuda, Wulan. Bukankah kendalinya berada di tanganmu"
Tanpa kendali, ia tidak akan dapat menguasai kuda. Dan pula, aku sudah biasa berjalan kaki."
Mereka lalu melanjutkan perjalanan, kuda dituntun oleh Wulandari dan Joko Handoko berjalan di sampingnya. Malam itu sore-sore bulan telah menampakkan diri sehingga cuaca tidak gelap benar, cukup terang untuk melakukan perjalanan meninggalkan kota Kadipaten Tumapel.
"Nah, sekarng ceritakan, Wulan. Siapa gadis ini dan mengapa pula engkau menawannya?" Joko Handoko bertanya dengan tidak sabar. Dia merasa tidak puas dengan perbuatan Wulandari kali ini. Gadis itu demikian lemah lembut, sama sekali tidak
kelihatan sebagai orang jahat. Kenapa Wulandari menawannya" Dia sudah merasa kasihan kepada gadis itu.
"Gadis ini puteri Raden Pamungkas, seorang senopati dari Tumapel," Wulandari mulai bercerita. "Aku menawannya untuk ditukar dengan tiga orang saudara seperguruanku yang kini ditawan oleh ayahnya."
"Hemm, kenapa tiga orang murid Sabuk Tembogo itu ditawan oleh Senopati Pamungkas?" Joko Handoko menjadi semakin penasaran. Seorang senopati adalah seorang perwira tinggi dan kalau sampai tiga orang anggota Sabuk Tembogo itu ditawan,
tentu mereka telah melakukan suatu pelanggaran atau kejahatan sehingga tidak layak kalau Wulandari kini menculik puterinya untuk ditukar dengan tawanan itu.
"Kami difitnah" Wulandari berkata lantang. "Dari kesaksian Puteri Pusporini inilah yang menjadi gara-garanya. Karena itu ia kutawan karena ia yang menjadi bianang keladi sehingga tiga orang anggota kami ditangkap. Mula-mula, rombongan keluarga senopati itu bersama Pusporini ini melakukan perjalanan. Mereka dihadang olah tiga orang perampok dan dirampok habis-habisan, juga beberapa orang perajurit pengawal tewas oleh tiga orang itu. Senopati Pamungkas marah, apa lagi mendengar keterangan dari
Pusporini bahwa yang merampok adalah tiga orang yang bersenjata sabuk Tembogo.
Ketika tiga orang kakak seperguruanku pergi ke Tumapel, mereka langsung ditangkap dan dijebloskan penjara dengan tuduhan merampok, Kami difitnah!"
"Wuladari, siapakah yang melakukan fitnah" Dan untuk apa aku melakukan fitnah terhadap murid-murid ayahmu yang selama ini menjadi sahabat dan pembantu yang baik dari Kadipaten Tumapel" Aku sendiri mengenal ayahmu, mengenalmu sebagai orang-orang yang selalu membela kebenaran dan sudah banyak berjasa terhadap
Tumapel. Akan tetapi, ketika terjadi perampokan. Aku melihat sendiri bahwa tiga orang
perampok yang menutupi muka dengan topeng itu memainkan sabuk-sabuk tebaga mereka. Siapa lagi kalau bukan murid-murid ayahmu yang melakukan penyelewengan"
Karena itulah, ketika mereka bertiga muncul di Tumapel mereka ditangkap. Apakah sekarang engkau hendak membela orang-orang yang bersalah, walaupun orang-orang itu saudara-saudara seperguruanmu sendiri?" Gadis bernama Dewi Pusporini itu bicara dengan suara lembut dan merdu, walaupun ditujukan untuk menegur Wulandari.
"Aku tidak pecaya!" Wulandari membentak. "Tiga orang kakak seperguruanku itu terkenal sebagai orang gagah yang tidak akan sudi melakukan perampokan. Pendeknya, engkau harus menjadi tawananku dan tadi aku sudah meninggalkan sepucuk surat pemberitahuan kepada ayahmu bahwa engkau baru akan kubebaskan setelah tiga orang saudaraku itu pun dibebaskan!"
Dewi Pusporini tidak menjawab dan tidak bicara lagi, melainkan menunggang kuda sambil termenung. Diam-diam Joko Handoko mempertimbangkan percakapan itu dan dia
pun menjadi ragu-ragu dan bingung. Jelas bahwa tindakan Wulandari ini bukan suatu kejahatan, akan tetapi bagaimana kalau gadis yang halus lembut itu bicara benar"
Bagaimana kalau memang tiga orang anggota Sabuk Tembogo itu melakukan penyelewengan" Berarti gadis lembut itu menjadi korban. Bagaimanapun juga, dia harus
melindungi gadis yang sama sekali tidak berdosa ini! Dan gadis itu kelihatan demikan tenang, sama sekali tidak takut! Joko Handoko mendekati kudanya, memandang wajah puteri itu dan berkata, "Apakah Andika tidak merasa takut menjadi tawanan?"
tanyanya sambil lalu. "Kenapa mesti takut?" jawab Dewi Pusporini. "Aku tidak bersalah, dan ayahku memiliki banyak pembantu yang sakti sehingga aku yakin mereka akan membebaskan aku, mungkin sebelum aku tiba di sarang Sabuk Tembogo."
"Hemm, justru karena ayahmu mempunyai pasukan dan pembantu-pembantu yang sakti maka aku menawanmu, Dewi! Hendak kulihat mereka aka mampu berbuat apa kalau engkau terjatuh ke tangan kami," kata Wulandari sambil tersenyum mengejek. Joko Handoko mengerti dan dia kagum. Siasat Wulandari memang cerdik menghadapi Senopati Tumapel memang bukan main-main. Maka Wulandari menggunakan siasat ini, lebih dulu puteri senopati itu untuk melumpuhkan semangat perlawanan Sang Senopati,
memaksanya menukar tawanan. Akan tetapi dia pun tahu bahwa tindakan Wulandari ini sembrono sekali, karena berarti telah menanam bibit permusuhan dengan Tumapel.
Bagaimana kalau kelak, setelah tawanan ditukar, Senopati Pamungkas melakukan tindakan kekerasan, menggunakan pasukannya menyerang Sabuk Tembogo" Hal ini agaknya tidak diperhitungkan oleh gadis perkasa itu.
Dewi Pusporini tidak menjawab ucapan Wulandari tadi, akan tetapi tiba-tiba terdengar derap langkah kuda yang agaknya mewakili gadis itu untuk menjawab. Joko Handoko terkejut dan Wulandari meloncat dan mencabut sabuk Tembogonya. "Kakang Handoko, tolong kau awasi gadis itu agar jangan sampai melarikan diri. Aku akan menghadapi mereka!" katanya dengan sikap gagah sekali, berdiri menghadang di belakang kuda.
Tak lama kemudian muncullah belasan orang berkuda yang melakukan pengejaran dan ternyata mereka itu memang pasukan dari Tumapel, para perajurit pengawal Senopati Pamungkas yang melakukan pengejaran. Senopati Pamungkas melakukan pengejaran dengan pasukanya yang dipencar-pencar dan kebetulan sekali pasukan yang terdiri dari lima belas orang ini berhasil menyusul Wulandari di tengah hutan itu. Mereka berada di
bagian hutan yang terbuka sehingga memperoleh sinar bulan secukupnya, membuat cuaca di situ cukup terang.
Pemimpin pasukan, seorang laki-laki yang tinggi kurus berseru, menghentikan pasukannya dan diapun sudah meloncat turun dari kudanya diikuti oleh anak buahnya.
Sekali pandang saja dia dapat mengenal Dewi Pusporini di atas kuda yang dituntun oleh seorang pemuda, sedangkan Wulandari berada di depannya dengan sabuk Tembogo di tangan kanan, berdiri tegak dengan sikap menantang. Tentu saja para perajurit itu sudah Mengenal Wulandari karena selama ini perkumpulan Sabuk Tembogo yang dipimpin oleh Ki Bragolo merupakan sahabat baik dari Sang Senopati, bahkan perkumpulan itu banyak membantu Tumapel. Wulandari dikenal sebagai seorang gadis perkasa puteri ketua Sabuk Tembogo. Dan juga kepala pasukan itu tadi sudah mendengar bahwa penculik Dewi Pusporini menghendaki penukaran tawanan maka tahulah dia bahwa orang Sabuk Tambogo yang melakukan penculikan.
"Wulandari!" bentak perwira itu. "Kiranya engkau telah menculik Sang Putri. Hayo engkau menyerah untuk kami tangkap atau kau serahkan kembali Sang Puteri kepada Kanjeng Senopati!"
"Tidak akan kuserahkan Dewi Pusporini sebelum kalian membebaskan tiga orang saudaraku yang ditawan!" Wulandari membentak dengan penuh tantangan.
"Kau... Kau berani menentang dan melawan perajurit-perajurit Tumapel?"
"Akan kulawan siapa saja yang mengganggu perkumpulan kami. Saudara-saudaraku itu tidak berdosa, kami difitnah,maka kami menuntut agar mereka dibebaskan!"
"Kepung dan serbu! Tangkap pemberontak ini!" Perwira tinggi kurus itu membentak dan pasukannya lalu menyerbu. Akan tetapi, mereka disambut oleh gulungan sinar yang keluar dari sabuk Tembogo yang diputar dengan dahsyat oleh Wulandari.
Terjadi perkelahian yang hebat. Wulandari mengamuk, dikeroyok oleh belsan orang itu.
Akan tetapi, biarpun ia sedang marah dan mengamuk, Wulandari agaknya masih ingat
bahwa ia tidak boleh membunuh perajurit-perajurit Tumapel karena hal ini hanya akan memperhebat kesalahpahaman di antara perkumpulannya dengan Kadipaten Tumapel.
Sabuk Tembogo di tangannya hanya dipergunakan untuk menangkis senjata lawan, sedangkan ia merobohkan para pengeroyok hanya dengan tamparan-tamparan tangan kirinya, cukup membuat lawan terpelanting akan tetapi tidak sampai membunuh.
Sementara itu, melihat betapa para perajurit pengawal ayahnya sudah menyusul sampai
di situ dan mengepung Wulandari, Dewi Pusporini lalu berkata kepada Joko Handoko,
"Mendengar percakapanmu dengan Wulandari tadi, engkau tentu bukan anggota Sabuk Tembogo. Orang muda, kenapa engkau ikut-ikut melakukan dosa terhadap Tumapel"
Engkau dapat terlibat pemberontakan. Oleh karena itu, bebaskanlah aku dan aku akan mengatakan kepada ayah bahwa engkau tidak berdosa."
Suara itu demikian lembut dan ramah, juga mengandung kebenaran, memiliki daya tarik yang kuat sehingga hampir saja Joko Handoko menanti atau memenuhi permintaannya.
Betapa mudahnya beginya untuk membebaskan puteri dan membiarkannya pulang menunggang kudanya. Akan tetapi, setelah tadi bercakap-cakap dengan Wulandari, hatinya tertarik, dan ingin dia melihat apa yang sebanarnya terjadi. Dia telah dimintai tolong oleh Wulandari untuk menjaga gadis ini agar tidak melarikan diri. Kalau sampai dia membiarkan gadis ini pergi, tentu akan terjadi hal yang tidak enak antara dia dan Wulandari.
"Sang Puteri, memang aku bukan anggota Sabuk Tembogo dan aku sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan permusuhan di antara Sabuk Tembogo dan Kadipaten Tumapel. Akan tetapi justeru karena tidak tersangkut dan tidak tahu urusannya, maka aku tidak boleh memihak. Aku telah mendapat kepercayaan Wulandari untuk menjaga agar Andika tidak akan melarikan diri, oleh karena itu, maaf bahwa aku tidak mungkin dapat memenuhi permintaanmu itu. Akan tetapi, percayalah bahwa aku akan menjaga agar engkau tidak akan diperlakukan sewenang-wenang oleh siapapun juga."
Puteri itu tidak membantah lagi, maklum bahwa percuma saja ia membujuk pemuda ini.
Dan ia memandang ke arah pertempuran dengan hati gelisah. Wulandari sungguh hebat.
Biarpun dikeroyok belasan orang, ia dapat menandingi mereka dan berkali-kali terdengar
suara berdenting keras ketika senjata-senjata tajam para pengeroyok bertemu dengan
sabuk Tembogonya, dan sudah ada beberapa orang yang terpelanting roboh oleh tamparannya, mengaduh-aduh dan untuk sementara tak mampu melanjutkan pengeroyokan. Akan tetapi, karena gadis perkasa itu tidak membunuh lawan pengeroyokan menjadi semakin ketat.
Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan keras dan beberapa orang pengeroyok terpelanting
roboh. Nampak dua orang yang mengenakan topeng tahu-tahu sudah mengamuk dan memukuli para pengeroyok dengan tamparan-tamparan keras. Melihat ini, Wulandari terkejut. Ia tidak mengenal siapa dua orang bertopeng itu, akan tetapi melihat betapa
tamparan-tamparan mereka demikian kuatnya, ia merasa takut kalau-kalau orang-orang yang membantunya itu melakukan pembunuhan.
"Hai, tahan! Jangan membunuh orang?" bentaknya dan ia menerjang ke depan menghadapi dua orang yang datang membantunya itu. Akan tetapi, tiba-tiba dua orang itu membalikkan dirinya dan lennyap di antara pohon-pohon. Dan para prajurit yang juga
gentar menghadapi dua orang pendatang baru yang tangguh, yang mereka anggap tentu teman-teman Wulandari, cepat melarikan diri, meninggalkan empat orang yang telah roboh dan tidak dapat bergerak kembali akibat tamparan-tamparan yang ampuh dari dua
orang bertopeng tadi.
Wulandari tidak melakukan pengejaran, bahkan cepat menghampiri empat orang yang roboh itu untuk memeriksa. Alangkah kaget hatinya melihat betapa empat orang itu telah tewas semua, dengan mulut mengeluarkan darah!
"Ahhh..... Hastorudiro.......!"
Wulandari menengok dan ternyata Joko Handoko telah berdiri di belakangnya dan pemuda inilah yang mengeluarkan ucapan itu.
"Apa maksudmu?"
"Lihat itu.....!" kata pula pemuda itu sambil menunjuk ke arah dada sesosok mayat.
Wulandari memandang dan melihat bahwa baju dada itu robek dan nampak kulit dadanya di mana terdapat bekas telapak tangan merah darah.
Gadis itu teringat dan terkejut. "Kau maksudkan Hastorudiro, perkumpulan Tangan Berdarah itu?"
Joko Handoko termenung, teringat akan kematian kakeknya dan para cantrik yang juga tewas di tangan orang-orang dari Hastorudiro. Dia mengangguk.
Wulandari makin terkejut dan heran, lalu bengkit. "Eh, kami tidak pernah berhubungan dengan mereka, bagaimana mereka itu tiba-tiba membantuku" Dan mereka telah melakukan pembunuhan. Sungguh celaka....., tentu kami akan semakin dianggap pemberontak oleh Kadipaten Tumapel!"
"Jangan khawatir Wulan. Engkau sendiri tidak pernah melakukan pembunuhan, dan dua orang Hastorudiro itu dating membantumu tanpa kau minta. Bahkan engkau mencegah mereka melakukan pembunuhan. Hal ini disaksikan oleh aku dan juga sang puteri itu!"
Akan tetapi Dewi Pusporini berkata halus, "Hemm, kalian adalah pemberontak
pemberontak dan kini telah membunuh empat orang perajurit. Dua orang bertopeng tadi
jelas membantu kalian dan bisa saja kalian pura-pura tidak mengenal mereka!"
Mendengar ini, Wulandari nampak gelisah "Ayah tentu akan marah sekali mendengar ini.
Aku menculik Dewi Pusporini tanpa sepengetahuan ayah, dalam usahaku untuk memaksa Senopati Raden Pamungkas membebaskan tiga orang saudara seperguruanku. Dan kini terjadi pembunuhan, bukan olehku, akan tetapi mereka itu bermaksud membantuku.
Sungguh celaka!"
"Keadaan sudah terlanjur begini," kata Joko Handoko. "Sesal kemudian tiada gunanya.
Sebaiknya sekarang melaporkan semua ini kepada ayahmu, lihat apa yang akan beliau lakukan."
Wulandari mengangguk dengan lemas. "Usahamu memang baik dan agaknya tidak ada jalan lagi." Tiba-tiba ia memandang tajam kepada Joko Handoko seperti teringat seuatu
berseru. "Heii, Kakang Joko Handoko! Bagaimana engkau bisa mengetahui ini semua?"
Joko Handoko memandang dengan mata terbelalak. "Mengetahui apa maksudmu?"
"Engkau segera mengenal korban pukulan orang-orang Hastorudiro! Padahal engkau seorang lemah yang asing tentang ilmu silat......."
Joko Handoko tersenyum dan diam-diam memuji kecerdikan Wulandari. Dia harus bersikap hati-hati terhadap gadis yang cerdik ini, pikirnya. "Ah, apa anehnya" Di dalam perantauanku, aku pernah melihat korban pembunuhan seperti ini dan orang-orang mengatakan bahwa para pembunuhnya adalah orang-orang dari perkumpulan Hastorudiro. Apa sukarnya melihat tanda tapak tangan darah itu?"
Wulandari mengangguk-anggukdan termenung.
"Aku hanya pernah mendengar saja tentang Hastorudiro, akan tetapi belum pernah berhubungan. Menurut berita perkumpulan Hastorudiro adalah perkumpulan orangorang
gagah yang seperti juga kami, biasanya setia dan membantu Tumapel. Heran sekali mengapa mereka kini tanpa Tanya-tanya telah turun tangan membantuku dan membunuh perajurit Tumapel, padahal kami dari Sabuk Tembogo sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk memusuhi Tumapel?"
Percakapan itu didengarkan dengan penuh perhatian oleh Dewi Pusporini dan diam-diam gadis ini pun merasa heran. Ia merasa bahwa Wulandari tidak berpura-pura. Mengapa para pembunuh perajurit ketika rombongan keluarganya dirampok itu pun mengenakan topeng walaupun mereka itu membunuh dengan senjata sabuk Tembogo" Dan sekarang, dua orang yang membunuh empat orang perajurit dengan meninggalkan tanda pukulan dari orang-orang Hastorudiro, juga mengenakan topeng. Mengapa ada persamaan dengan pembunuhan terdahulu dan seolah-olah semua ini diatur agar ia menyaksikannya"
"Sudahlah, lebih baik kita berangkat cepat-cepat agar tidak ada gangguan lagi di tengah
perjalanan," kata Joko Handoko.
"Kalau begitu, engkau naiklah ke atas punggung kuda, berboncengan dengan Dewi Pusporini. Aku akan berlari cepat mengikuti kuda agar kita dapat segera tiba di tempat tinggal kami di lereng Kawi."
Joko Handoko memandang kepada Dewi Pusporini dan gadis ini menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan. Gadis itu tidak membantah seperti tadi, akan tetapi jelas bahwa gadis itu akan merasa malu dan sungkan sekali kalau harus duduk berdua dengan dia. Dia merasa tidak tega untuk membikin malu Sang Puteri.
"Biarlah aku juga lari saja, Wulan."
"Mana engkau kuat mengikuti larinya seekor kuda kalau aku sudah biasa berlari cepat dan untuk itu sudah kupelajari suatu ilmu berlari cepat." Bantah Wulandari. "Kau jangan
hiraukan puteri itu. Kalau engkau berboncengan dengannya, hal itu bukan berarti kau mau kurang ajar, melainkan karena keadaan mendesak. Pula, apa salahnya duduk berbocengan kuda begitu saja" Kita juga sudah melakukannya, kan tidak apa-apa!"
Dewi Pusporini menoleh dan memandang kepada Joko Handoko dengan sepasang matanya yang indah itu penuh teguran dan penolakan. Joko Handoko kembali berkata,
"Sudahlah, aku akan mencoba sekuatku!"
Terpaksa Wulandari lalu memegang kendali kuda dan berlari. Kuda itu berlari congklang
dengan cepat. Joko Handoko mengikuti dari belakang. Wulandari tidak terlalu cepat karena takut pemuda itu tertinggal, akan tetapi biarpun demikian, nampak betapa pemuda itu berlari dengan susah payah dan napasnya terengah-engah, kadang-kadang tersandung batu dan tersuruk-suruk. Terpaksa Wulandari sering menghentikan lari mereka untuk membiarkan Joko Handoko beristirahat memulihkan pernapasannya yang memburu. Bagaimanapun juga, dengan berlari-larian seperti itu, tentu saja jauh lebih cepat daripada kalau hanya berjalan seenaknya.
**** "Wulandari! Apa yang kau lakukan ini!" bentak Ki Bragolo dengan mata melotot kepada puterinya ketika Wulandari datang menghadap padanya pada hari itu bersama Joko Handoko dan tawanannya, yaitu Puteri Dewi Pusporini. Tentu saja kakek itu segera mengenal, Sang Puteri dan dia terkejut bukan main melihat anaknya telah menawan puteri Senopati Raden Pamungkas.
Sementara itu dengan jantung berdebar Joko Handoko memandang kepada kekek itu dengan penuh perhatian. Ini kiranya orang yang telah menikam dada ayah kandungnya dengan pusaka Nogopasung yang kini berada padanya. Inilah pembunuh ayahnya. Akan tetapi dia merasakan dengan jelas betapa hatinya tidak diliputi kebencian atau dendam,
dan dia pun merasa lega. Di bawah gemblengan Panembahan Pronosidhi, dia senatiasa mengamati keadaan hatinya sendiri dan sekarang pun, di samping mengamati keadaan Ki Bragolo dia pun melakukan pengamatan terhadap dirinya sendiri. Seorang kakek yang
gagah perkasa, tinggi besar dan usinya tentu sudah hampir tujuh puluh tahun.
Rambutnya sudah hampir putih semua, bahkan kumis dan jenggotnya, juga alisnya, sudah berwarna putih. Akan tetapi wajahnya masih segar penuh semangat dan harus diakui bahwa wajah itu gagah dan berwibawa. Seluruh tubuh dan pembawaannya membayangkan kekuatan besar yang menggiriskan.
Juga banyak laki-laki tua muda yang hadir di situ, para anggota Sabuk Tembogo ratarata
nampak gagah perkasa dan walaupun mereka itu membayangkan watak yang kasar namun mereka itu gagah dan terbuka. Hal ini dapat dilihat dari sinar mata mereka ketika
mereka memandang kepada Wulan atau Dewi Pusporini. Tidak terdapat pandang kurang ajar seperti orang-orang kasar yang menjadi hamba nafsu dan sudah biasa melakukan kejahatan.
"Ayah, aku sudah tidak tahan lagi membayangkan betapa tiga orang saudara seperguruanku yang tidak bedosa itu ditawan oleh Senopati Pamungkas, mungkin disiksa
atau dibunuh! Karena itu, setelah ayah gagal meminta mereka dibebaskan dengan jalan membujuk dan minta kepada enopati, aku lalu mengambil keputusan ini. Harap ayah maafkan, akan tetapi aku tidak melihat jalan lain untuk memaksa Sang Senopati untuk membebaskan tiga orang anggota kita kecuali menculik puterinya."
"Bodoh! Ini merupakan pemberontakan dan perang terbuka terhadap Tumapel! Apa kau kira Sang Akuwu Tunggal Ametung akan tinggal diam saja mendengar betapa kita memusuhi Senopati Pamungkas yang berarti juga memusuhi Tumapel" Kita akan dianggap pemberontak dan ke mana kita akan menyelamatkan diri kalau begitu" Engkau tahu bahwa pendirian Sabuk Tembogo adalah membela kebenaran dan mengabdi kepada
Tumapel!" Kakek itu marah sekali. "Hayo, kembalikan sekarang juga Sang Puteri kepada ramandanya dan engkau harus minta maaf kepada Sang Senopati!"
"Akan tetapi, Ayah...."
"Tidak ada tapi! Jangan engkau menambah kesalahpahaman antara kita dengan senopati
menjadi semakin parah dan menjadi permusuhan! Hayo kembalikan Sang Putri ini sekarang juga dan sampaikan maafku kepada Sang Senopati!"
Wulandari cemberut. "Ayah, enak saja ayah bicara. Keadaannya tidak sesederhana itu.
Ada empat orang perajurit senopati yang tewas, bagaimana aku dapat menghadap ke sana?"
"Apa?" Kakek itu membanting kaki dan mengepal tinju dengan marah, memandang anaknya dengan mata terbelalak. "Kau.... kau malah membunuh empat orang perajurit Tumapel?"
"Tidak, Ayah. Peristiwanya begini. Tanpa menjatuhkan korban, bahkan tanpa ketahuan aku mempergunakan aji penyirepan, aku berhasil melarikan Dewi Pusporini keluar dari gedung senopati. Aku bertemu dengan Joko Handoko ini yang kukenal dalam perjalanan dan dia pun membantuku dan memijamkan kudanya. Kami melarikan Sang Puteri dan ketika kami tiba di hutan, muncl sepasukan perajurit Tumapel yang melakukan pengejaran. Aku melayani mereka akan tetapi sudah kujaga benar agar aku tidak sampai
membunuh mereka. Tiba-tiba muncul dua orang yang membantuku dan mereka berdua itulah yang menurunkan tangan maut membunuh empat orang perajurit. Aku mencegahnya dan mereka melarikan diri. Melihat tanda tapak tangan berdarah, aku tahu
bahwa mereka adalah orang-orang Hastorudiro, Ayah."
"Ah....!! Adi Kebosoro membantu kita melawan Tumapel" Rasanya tidak mungkin! Adi
Kebosoro yang menjadi ketua Hastorudiro selamanya setia kepada Tumapel. Siapa mau percaya keteranganmu itu" Tetap saja disangka engkau yang menculik sang puteri.
Celaka..... celaka....engkau anak celaka, mendatangkan malapetaka kepada kita semua!"
Melihat Wulandari hanya menundukan muka dengan sedih dan bingung, Joko Handoko merasa kasihan. "Maaf, paman. Saya sendiri melihat sebagai saksi bahwa Wulandari sama sekali tidak membunuh orang."
Kakek itu mengangkat muka memandang kepada Joko Handoko dan agaknya baru sekarang ia memperhatikan pemuda itu karena tadi seluruh perhatiannya, didorong kemarahan ditujukan kepada putrinya. Dan tiba-tiba dia terbelalak, memandang dengan muka berubah. Sampai lama dia menatap wajah Joko Handoko kemudian terdengar suara perlahan dan lrih," Kau.... kau....., Siapakah engkau....?"
"Nama saya Joko Handoko, paman," jawab pemuda itu dengan hati tidak enak karena sikap tuan rumah itu sungguh aneh.
"Joko Handoko....." Belum pernah aku mendengar nama itu, akan tetapi di mana kita sudah pernah saling jumpa?"
"Belum pernah, Paman, baru pertama kali ini....."
"Tidak! Pernah ki9ta saling bertemu.... entah di mana...."
"Ayah, aku bertemu dan berkenalan di tengah hutan ketika aku menolongnya dari kepungan perampok. Joko Handoko ini tidak pernah bertemu dengan ayah."
"Sudahlah!" Kakek itu teringat lagi akan perbuatan Wulandari. Sekarang, engkau cepat kembali ke Tumapel, mengembalikan sang puteri."
"Tapi.... Mereka tentu akan menangkapku, ayah."
"Salahmu sendiri. Biar menjadi pelajaran bagimu!"
Kini Dewi Pusporini yang sejak tadi menaruh perhatian dan mendengarkan, mulai berubah pandangan terhadap keluarga Sabuk Tembogo. Ia mengerti bahwa agaknya memang telah terjadi rahasia yang aneh di balik semua peritiwa itu yang seolah-olah hendak menaruh Sabuk Tembogo di tempat gelap dan tersudut sehingga dimusuhi oleh Tumapel. Dari percakapan itu dan sikap ayah dan anak itu,ia merasa yakin bahwa Sabuk Tembogo sama sekali tidak berniat memberontak atau memusuhi Tumapel.
"Sudahlah, Paman Ki Bragolo. Saya sudah mendengar semuanya dan saya yakin bahwa terjadi kesalahpahaman antara Sabuk Tembogo dan kami. Memang benar bahwa aku melihat sendiri orang-orang bertopeng mempergunakan senjata Sabuk Tembogo merampok keluarga kami, akan tetapi kini aku mulai ragu-ragu apakah benar mereka adalah orang-orang Sabuk Tembogo, ada orang golongan lain yang menyamar. Biarlah aku di sini dulu, nanti kalau pasukan Tumapel datang, aku yang akan memberi penjelasan kapada mereka. Aku akan minta, kepada ayah untuk melakukan penyelidikan seksama dan tidak menimpakan kepada Sabuk Tambogo begitu saja."
Mendengar ucapan Sang Puteri ini, wajah Ki Bragolo menjadi berseri. Hatinya lega sekali.
"Ah, sungguh Andika seorang putri yang bijaksana sekali. Terima kasih, dan kami setuju
Keris Pusaka Nogopasung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekali dengan pendapat Andika. Hayo, Wulandari, ajak Sang Puteri ke dalam, beri kamar
terbaik dan layani dengan baik sebagai tamu agung kita!"
"Baik Ayah, dan Joko Handoko ini sudah banyak membantuku, Ayah. Biar dia mengaso dan menjadi tamu kita pula. Marilah, Raden Ajeng Dewi," kata Wulandari dengan sikap hormat dan bersukur karena bagaimana pun juga, Dewi Pusporini telah menolongnya dari kemarahan ayahnya tadi.
Setelah mereka berdua itu memasuki rumah, Joko Handoko lalu diajak oleh murid kepala
menuju ke pondok di sekeliling rumah besar Ki Bragolo, diberi sebuah kamar untuk beristirahat dan kudanya pun dimasukkan ke dalam kandang kuda dan diberi makan.
Semantara itu, di Kadipaten Tumapel, Senopati Raden Pamungkas menjadi marah bukan main mendengar pelaporan para prajurit yang berhasil menyusul penculik puterinya.
Laporan itu mengatakan bahwa yang menculik puterinya adalah Wulandari, puteri Ki Bragolo ketua Sabuk Tembogo. Lebih marah lagi dia ketika laporan itu mengatakan bahwa ketika pasukannya telah berhasil menyusul Wulandari dan mengeroyoknya, muncul dua orang berkedok yang mempergunakan ilmu pukulan berdarah membunuh empat orang perajurit. Pasukan itu telah menemukan empat mayat teman mereka dan melihat tapak tangan merah yang menewaskan mereka.
"Keparat! Sabuk Tembogo dan Hatorudiro telah berbalik haluan dan menjadi pemberontak" Kita harus menghajar mereka!" bentaknya dan dia pun memerintahkan perwira bawahannya, membagi pasukan menjadi dua, dan masing-masing pasukan disuruh menyerbu ke sarang perkumpulan Sabuk Tambogo di lereng Kawi dan perkumpulan Hastorudiro yang berada di kaki Pegunungan Arjuna. Dia sendiri tidak ikut
dalam penyerbuan itu, karena selain hal itu menurunkan derajatnya sebagai senopati,
juga dia harus cepat-cepat membuat pelaporan tentang pemberontakan dua perkumpulan itu kepada Sang Akuwu Tunggul Amentung yang menjadi atasannya.
Yang melakukan penyerbuan menuju ke lereng Kawi berjumlah lima puluh orang perajurit, dikepala oleh seorang perwira bernama Ranunilo, seorang perwira berusia empat puluh tahun yang memiliki kepandaian tinggi dan tenaga yang kuat. Oleh sang senopati , Ranunilo diberi tugas khusus untuk menyelamatkan puterinya yang tertawan di sarang Sabuk Tambogo. "Kalau mereka mau membebaskan Dewi, dan Ki Bragolo beserta puterinya mau menyerahkan diri,maka Sabuk Tambogo akan diampuni dan tidak
perlu dibasmi. Akan tetapi kalau mereka tidak mau menyerahkan Dewi, gempur dan habiskan mereka!" demikian pesan Sang Senopati dengan marah...
Pagi-pagi hari sekali, pasukan di bawah pimpinan komandan Ranunilo telah tiba di kaki Gunung Kawi. Selagi perwira itu mengatur pasukan untuk mendaki gunung dengan berpencar arag mereka langsung mengepung sarang Sabuk Tembogo kalau sudah tiba di
lereng, tiba-tiba muncul dua orang, laki-laki yang menarik perhatian karena mereka itu
langsung dating menghadap Ranunilo.
"Kami mendengar tentang pemberontakan Sabuk Tembogo terhadap Tumapel, maka kami kakak beradik seperguruan siap untuk membantu pasukan Tumapel, untuk menghajar Sabuk Tambogo," kata mereka.
Ranunilo mengerutkan alisnya dan mengamati dua orang laki-laki itu penuh perhatian.
Yang bicara adalah orang pertama yang bertubuh seperti raksasa, bermuka putih dan halus tanpa, kumis, berjenggot pendek. Adapun orang ke dua yang lebih muda, bertubuh
tinggi kurus dan bemuka hitam. Usia mereka kurang lebih empat puluh dan tiga puluh lima tahun.
"Hem, kami tidak membutuhkan bantuan. Siapakah kalian?" Tanya perwira itu dengan pandang mata curiga.
"Kami adalah dua orang kakak beradik dan datang dari pantai Segoro Kidul. Nama saya Gajah Putih dan adik seperguruan saya ini bernama Gajah Ireng. Kami berdua meninggalkan pantai untuk bekerja dan mengabdi kepada Kadipaten Tumapel.
Mendengar bahwa Sabuk Tembogo kini memberontak, kami menjadi penasaran dan ingin
membantu," kata Gajah Putih yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu.
"Hemm, kami pasukan Tumapel tidak membutuhkan bantuan dan kalau kalian ingin mengabdi, sebaiknya dating saja ke Tumapel dan menghadap yang bertugas di sana,"
kata pula Ranunilo.
"Maafkan kmi berdua," kata Gajah Putih sambil tersenyum. "Andika akan menyesal kalau
tidak meneria bantuan kami, karena kami sudah mengenal siapa adanya Ki Bragolo dan perkumpulannya Sabuk Tembogo. Dia seorang yang sakti dan murid-muridnya pun ratarata
memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kalau sampai Andika gagal menyerbu Sabuk Tambogo, selain Andika akan menerima kemarahan dari Sang Senopati dan Sang Akuwu,
juga Tumapel akan merasa malu sekali."
Ranuniro memandang dua orang kakak beradik seperguruan itu dengan alis berkerut.
"Hemm, kalau kalian mengira aku akan kalah, apakah kalian berdua akan mampu mengalahkan Ki Bragolo?"
"Tentu saja kami berdua akan mampu mengalahkan Ki Bragolo!" jawab Gajah Putih dengan tersenyum lebar dan sombong. "Kalau tidak, kami tidak akan berani mengajukan diri membantu pasukan Tumapel."
"Bagaimana aku dapat yakin bahwa kalian berdua memiliki kemampuan sebesar itu?"
perwira itu mendesak, tertarik juga.
"Ha-ha-ha, sudah kuduga bahwa andika akan minta bukti!" katanya kepada adiknya, Gajah Ireng yang sejak tadi hanya mendengarkan saja dan menyerahkan kepada kakak seperguruannya menjadi juru bicara.
Gajah Ireng lalu berkata kepada Ranunilo. "Apakah andika melihat burung emprit di
puncak pohon itu?"
Ranulniro mengangkat muka dan melihat adanya seekor burung emprit yang berloncatan
dari ranting ke ranting di puncak sebatang pohon randu alas yang tinggi. Dia mengangguk. "Ya, aku melihatnya."
"Saya akan menangkap burung itu untuk andika seperti saya akan menangkap Ki Bragolo untuk andika." Berkata demikian, tiba-tiba kedua kaki Gajah Ireng menekan dan
menendang tanah dan.... Tubuhnya sudah mencelat ke atas dengan cepatnya, seperti seekor burung garuda saja tubuh itu melayang ke arah puncak pohon. Ranuniro memandang dengan mata terbelalak ketika tubuh Gajah Ireng sudah meloncat turun dan
memperlihatkan emprit yang menggelempar di telapak tangannya!
"Hebat......! Engkau hebat.....!" katanya penuh takjub. Orang ini memiliki kecepatan gerakan yang luar biasa, pikirnya. Kalau kecepatan seperti itu dipakai dalam perkelahian,
tentu menggiriskan sekali. Gerakannnya sukar diikuti saking cepatnya dan berbahaya sekali melawan orang yang memiliki ketangkasan seperti ini. Melihat kecepatannya saja,
maklumlah dia bahwa dia sendiri bukanlah lawan Gajah Ireng itu.
"Ha-ha-ha, memang adik seperguruanku itu memiliki keringanan tubuh yang menakjubkan. Dan untuk mengalhkan Ki Bragolo, urusan mudah saja. Saya akan menumbangkan kekuasaan Sabuk Tembogo seperti ini." Kata Gajah Putih sambil menghampiri pohon randu alas tadi. Dia menggunakan kedua lengannya yang panjang dan besar untuk memeluk batang pohon sebesar dua kali tubuh orang itu, mengerahkan tenaga dan menarik. Terdengar suara keras dan pohon itupun jebol akar-akarnya dan tumbang, mengeluarkan suara gemuruh dan para prajurit cepat berloncatan dan berlarian agar jangan sampai tertimpa pohon itu! Kini para prajurit bersorak memuji karena demontrasi yang diperlihatkan Gajah Putih ini sungguh amat menganggumkan hati mereka.
Bukan main girangnya hati Ranunilo. Tadinya dia memang sudah agak gentar dan raguragu
ketika mengatur pasukannya untuk mendaki dan mengepung sarang Sabuk Tembogo. Dia sudah mengenal Ki Bragolo dan tahu bahwa kakek itu sakti mondroguno.
Kini, tiba-tiba muncul dua orang kakak beradik seperguruan yang memiliki kesaktian hebat dan ingin membantunya. Hal ini meyakinkan hatinya bahwa dia pasti akan berhasil
membawa kembali Dewi Pusporini dan menaklukkan Ki Bragolo.
Setelah menerima kakak beradik itu, dengan hati lapang dan semangat besar, Ranunilo lalu memimpin pasukannya untuk mendaki naik dan tak lama kemudian dia sudah tiba di depan pintu gerbang pedukuhan yang menjadi sarang Sabuk Tembogo, dilereng Gunung Kawi.
Tentu saja Ki Bragolo sudah tahu akan kedatangan pasukan Tumapel ini, maka dengan
sikap tenang diapun keluar menyambut ke pintu gerbang. Dia sudah memesan kepada para murid Sabuk Tembogo yang jumlahnya kurang lebih tiga puluh orang agar berdiam saja di dalam dan tidak menimbulkan keributan dengan pasukan Tumapel. Dia hanya keluar bersama Wulandari, Joko Handoko, dan Dewi Pusporini. Kehadiran puteri Senopati
Pamungkas itulah yang membesarkan hatinya.
Dan memang, Ranunilo tertegun melihat betapa puteri atasannya itu keluar pula menyambut bersama Ki Bragolo dan sama sekali tidak kelihtan sebagai seorang tawanan! Akan tetapi, dia bersikap angkuh dan begitu berhadapan, segera dia berkata dengan suara lantang.
"Heh, Ki Bragolo yang memberontak! Kami diutus oleh Sang Senopati Raden Pamungkas agar engkau menyerahkan kembali Sang Puteri Dewi Pusporini dan engkau sekeluargamu menyerahkan diri untuk kami tangkap dan kami bawa sebagai tawanan ke Tumapel. Kalau sudah begitu, barulah tempat ini tidak akan kami ganggu. Sebaiknya kalau kalian membangkang, terpaksa kami akan membuat tempat ini menjadi lautan api dan seluruh penghuninya kami bunuh!"
"Ranunilo, semenjak dahulu engkau mengenal Ki Bragolo bukan sebagai pem- berontak!
Agaknya terjadi kesalahpahaman dan biarlah Sang Puteri Dewi Pusporini sendiri yang akan menjelaskan kepadamu," jawab Ki Bragolo dengan sikap tenang. Jawaban ini tentu saja tidak disangka-sangka oleh Ranunilo yang menduga bahwa hanya ada dua jawabanm, yaitu Ki Bragolo melawan atau menyerah. Akan tetapi pada saat itu terdengar suara sang puteri dan terpaksa dia harus hormat mendengar penuh perhatian.
"Paman Ranunilo," kata Dewi Pusporini dengan suara Halus dan karena semua orang menahan napas untuk mendengarkan penuh perhatian, biarpun suaranya lembut namun terdengar jelas. "Apa yang dikatakan oleh paman Ki Bragolo itu memang benar. Ada kesalahpahaman antara Sabuk Tembogo dan Tumapel. Aku dating ke sini bukan sebagai tawanan melainkan sebagai seorang tamu agung yang dihormati. Karena itu, janganlah bersikap keras. Aku akan pulang dan paman Ki Bragolo, juga Wulandari, akan ikut bersamaku menghadap kanjeng romo."
Tentu saja hal ini tidak disangka-sangka oleh Ranunilo. Dia merasa kurang puas karena setelah kini memiliki dua orang jagoan, dia ingin menunjukkan kemampuannnya. Akan tetapi di situ terdapat Dewi Pusporini, tentu saja dia tidak berani membantah.
"Baik, baiklah, saya akan mentaati perintah Paduka," jawabnya.
Ki Bragolo tertawa gembira. "ha-ha-ha, girang sekali hatiku, adi Ranunilo. Andika pun bersama pembantu-pembantu andika menjadi tamu agung kami. Marilah masuk dan kita makan bersama!"
Ranunilo terpaksa pula memenuhi undangan Ki Bragolo. Bersama Gajah Putih dan Gajah Ireng yang nampak tidak puas dengan hasil penyerbuan itu, dia masuk ke dalam ruangan makan yang luas di mana telah disediakan hidangan-hidangan yang mewah.
Sang Puteri Dewi Pusporini mengundurkan diri ke ruangan dalam bersama Wulandari, akan tetapi Wulandari keluar lagi untuk menemani ayahnya menjamu para tamu itu.
Juga Joko Handoko hadir di samping murid-murid kepala Sabuk Tembogo dan pembantupembantu
perwira yang jumlahnya bersama Ranunilo dan dua orang pembantu barunya itu seluruhnya ada dua belas orang. Ki Bragolo ditemani oleh puterinya dan Joko Handoko bersama tujuh orang murid itu bekerja sebagai pelayan-pelayan walaupun mereka juga ikut berpesta.
Setelah diberi kesempatan berkumpul tanpa kehadiran Dewi Pusporini, Gajah Putih yang
suka bicara dan berwatak sombong itu, tidak dapat menahan lagi hatinya yang sejak tadi
diliputi perasaan tidak puas karena dia dan adik seperguruannya sama sekali tidak memperoleh kesempatan untuk mencari jasa dan memamerkan kepandaian.
"Ah, suasana begini gembira! Kalau di waktu dahulu, di dalam pertemuan antara orangorang
yang menjujung tinggi kegagahan, setiap peserta makan minum tentu saja disertai pameran ilmu kesaktian. Apa lagi kalau yang mengadakan pesta seorang gagah perkasa dan sakti seperti Ki Bragolo, ketua dari Sabuk Tembogo. Ha-ha-ha!"
Ranuniro agaknya maklum ke mana tujuan ucapan pembantu barunya itu. Di lubuk hatinya, dia pun amat tidak puas dengan hasil tugasnya. Walaupun sang puteri akan diajaknya kembali bersama Ki Bragolo dan Wulandari, namun kedua orang ini bukan ikut sebagai tawanan. Hal ini tentu saja menurunkan nilai jasanya. Maka, tahu bahwa pembantunya barunya yang pandai bicara itu sedang "cari-cari", dia pun lalu tertawa.
"Ha-ha-ha, kakang Gajah Putih, dalam suasana damai ini, mana ada kesempatan untuk mencoba ilmu kepandaian masing-masing?"
Gajah Ireng yang pendiam itupun menyambut. "Kakang Putih, tuan rumah telah bersembunyi dan berlindung di balik bayangan sang puteri, awas kau jangan mengganggunya. Salah-salah dia bisa melapor kepada sang puteri dan engkau dihukum!"
"Ha-ha-a-ha!" Gajah Putih tertawa, pura-pura mabuk, lalu menuangkan tuak ke dalam mulutnya. Suaranya menggelogok ketika tuak itu melewati kerongkongannya. "Aku sudah lama mendengar bahwa Ki Bragolo adalah seorang laki-laki sejati yang gagah perkasa. Sayang, hari ini dia lebih suka mengambil jalan aman dan damai." Lalu dia bangkit berdiri. "Heh! Menggunakan wanita untuk berlindung sama sekali bukan tindakan
laki-laki perkasa!"
Ki Bragolo adalah seorang laki-laki kasar yang sejak muda berkecipung di dalam dunia kekerasan dan kegagahan. Wataknya gagah perkasa dan sifat pengecut atau penakut merupakan pantangan besar baginya. Kini, mendengar ucapan tiga orang itu, telinganya sudah berubah menjadi merah dan melihat Gajah Putih bangkit, diapun kini bangkit berdiri, memandang kepada raksasa itu dengan sinar mata berkilat.
"Gajah Putih, jangan engkau sembarangan bicara! Apakah engkau sengaja hendak mencari keributan di sini" Jangan sekali-kali menyangka bahwa kami takut kepadamu
atau kepada siapa saja! Kami tidak minta perlindungan sang puteri, melainkan beliau sendiri yang tidak menghendaki kesalahpahaman ini menjadi berlarut-larut!"
Melihat kesempatan ini Ranunilo lalu bangkit berdiri. "Maafkan kami, Ki Bragolo! Sama sekali kami tidak bermaksud untuk membantah perintah sang puteri. Hanya saja engkau
tentu mengerti betapa kecewa perasaan orang-orang gagah yang pada saat berada di tepi gelanggang pertempuran, lalu dihentikan begitu saja. Tidak biasa bagi kami untuk bermanis-manis dan berdamai begini saja. Karena itu, biarpun kini permusuhan tiada lagi
untuk sementara, di antara orang-orang yang suka mengadu kerasnya tulang tebalnya kulit, bagaimana kalau pesta ini diramaikan dengan adu ilmu secara persahabatan"
Tidak perlu sampai ada korban, cukup untuk melihat siapa yang kalah dan siapa yang menang, siapa yang kuat dan siapa lemah. Bagaimana pandapatmu?"
Ki Bragolo juga merupakan orang yang biasanya mengunggulkan diri sendiri dan percaya akan kepandaian sendiri. Maka, tentu saja tantangan ini sempat membuat perutnya menjadi panas. "Ranunilo, engkau adalah seorang perwira yang sudah cukup mengenal watak Ki Bragolo yang pantang mundur menghadapi tantangan adu ilmu. Apakah engkau sendiri yang ingin mengadu ilmu?" Ki Bragolo belum mengenal Gajah Putih dan dia, maka tentu saja dia mengira bahwa di antara semua tamunya, Ranunilo merupakan orang yang paling tangguh karena dialah pemimpin pasukan itu.
"Adimas perwira Ranunilo adalah pemimpin pasukan. Sebelum dia sendiri yang turun tangan, di sini masih ada kami dua orang pembantunya yang akan maju menjadi jagoanjagoannya.
Nah, kami berdua maju, siapakah di antara perkumpulan Sabuk Tembogo yang akan maju?" kembali Gajah Putih berseru. "Kalau kami berdua keok, barulah dimas Ranunilo yang akan turun tangan sendiri!"
"Manusia sombong, sebelum ketua dan guru kami maju, biarlah kami yang akan maju
lebih dulu mewakili Sabuk Tembogo!" Terdengar bentakan keras dan dua orang laki-laki berusia empat puluh tahun bangkit berdiri. Mereka tadi memimpin para murid Sabuk Tembogo yang menjadi pelayan dan juga tuan rumah, dan mereka ini bernama Sentono dan Sentanu dua orang murid kepala dari Ki Bragolo, mereka berdualah yang memiliki tingkat tertinggi. Hanya Wulandari seoranglah kiranya yang mampu mengungguli ilmu kepandaian mereka."
"Ha-ha-ha!" Gajah Putih tertawa bergelak. "Di dalam pertandingan adu ilmu persahabatan ini, harus diajukan lawan-lawan yang sepadan kepandaiannya agar lebih seru dan menarik. Tingkat kepandaian dua orang saudara anggota Sabuk Tembogo ini agaknya tidak akan lebih tinggi daripada tingkat adikku. Adi Ireng, majulah menghadapi
mereka!" Gajah Ireng hanya mengangguk dan tersenyum mengejek, lalu dengan sekali menggerakkan tubuh, tubuhnya sudah mencelat ke tengah ruangan itu yang kosong dan
merupakan ruang yang baik sekali untuk mengadu ilmu. Melihat ini, semua orang memandang dan kini, para anak buah Sabuk Tembogo dan pasukan tamu yang sudah mendengar bahwa akan diadakan adu ilmu, sudah ramai memenuhi luar pintu dan jendela-jendela ruangan makan itu untuk menonton.
"Kalian berdua majulah, mari kita main-main sebentar!" kata Gajah Ireng dengan berdiri
tegak dan kedua tangan bertolak pinggang, sikapnya sombong sekali.
Sentono dan Sentanu saling pandang. Tentu saja mereka tidak sudi maju berdua untuk melakukan pengeroyokan. Pertandingan adu ilmu adalah suatu peristiwa di mana orang di dunia persilatan memperlihatkan kegagahan. Mengeroyok berarti akan membuat mereka hina dan dapat dianggap pengecut. Agaknya pihak lawan sengaja menantang agar mereka mengeroyok, hanya untuk melontarkan ejekan dan hinaan saja.
Sentanu lalu melangkah ke arah tengah ruangan itu setelah memperoleh anggukan setuju dari Ki Bragolo. Tuan rumah inipun merasa amat penasaran dan untuk mempertahankan nama dan kehormatan perguruannya, tentu saja dia tidak dapat menolak tantangan para tamu yang mengajak mengadu kepandaian. Dan memang tidak ada yang lebih tepat untuk melayani dua orang pembantu Ranunilo itu kecuali Sentono dan Sentanu. Dua orang murid kepala yang sudah boleh diandalkan kepandaiannya itu.
Setelah berhadapan dengan lawan, Sentanu lalu melolos sabuk tembogo yang menjadi ikat pinggangnya. Sabuk itu beratnya ada sepuluh kati, menunjukkan bahwa dia merupakan murid Sabuk Tembogo yang sudah mahir dan tangguh.
"Karena aku merupakan murid Sabuk Tembogo yang sedang mempertahankan nama dan kehormatan perkumpulan Sabuk Tembogo, maka untuk menguji kepandaian, aku harus mempergunakan sabuk ini yang menjadi lambing perguruan kami," kata Sentanu, memperlihatkan senjatanya itu kepada calon lawannya.
Gajah Ireng tersenyum. "Bagi aku, Gajah Ireng, lawan bersenjata apapun tidak ada bedanya, dan kalian berdua maju bersama atau maju satu demi satu juga tidak ada bedanya. Akan tetapi perlu aku mengetahui nama dari calon lawanku."
"Hemm, engkau agak besar mulut, sobat. Namaku Sentanu dan aku murid kedua dari guruku, juga ketua perguruan kami. Nah, aku sudah siap, engkau majulah!" Sentanu memasang kuda-kuda dan sabuk tembaga itu sudah diputar-putarnya dengan tangan kanan.
Di antara para anak buah Sabuk Tembogo dan pasukan Tumapel terjadi kesibukan sendiri karena ada pula yang bertaruhan! Mereka memang sudah saling mengenal karena sudah sering anak buah Sabuk Tembogo membantu Kadipaten Tumapel. Bahkan
ketika beberapa tahun yang lalu terdapat kerusuhan yang diakibatkan oleh merajalelanya para bajak Kali Berantas, para pendekar Sabuk Tembogo berjasa besar, berkelahi bahu-membahu dengan pasukan Tumapel untuk membasmi para bajak.
Tadinya memang ada ganjalan di antara mereka sehubungan ditawannya tiga orang anggota Sabuk Tembogo, akan tetapi setelah kini di antara mereka ada perdamaian berkat perintah sang puteri, mereka bercakap-cakap dengan akrab dan kini meraka menganggap adu ilmu itu suatu kegembiraan yang bersahabat. Karena itu mereka lalu
saling bertaruh. Para anak buah Sabuk Tembogo yang percaya penuh akan ketangguhan Sentanu, berani mempertaruhkan semua uang saku mereka, sedangkan para perajurit juga tadi sudah menyaksikan kehebatan Gajah Ireng yang dapat "terbang", tentu saja berani mempertaruhkan uang mereka.
Gajah Ireng yang tadinya memakai ikat kepala berwarna ungu, kini melolos ikat kepalanya itu dan agaknya hendak mengimbangi senjata lawan yang terbuat dari tembaga itu dengan senjata kain ikat kepala! Hal ini oleh Sentanu dianggap suatu sikap yang amat memadang rendah kepadanya dan sombong sekali.
"Lihat senjata!" bentaknya dan Sentanu sudah menyerang dengan gerakan ganas dam dahsyat sekali ke depan. Senjata sabuk tembaga itu diputarnya dengan cepat bagaikan kitiran sehingga tidak nampak lagi bentuknya melainkan berubah menjadi segulungan sinar dan tiba-tiba saja ada sinar mencuat ke arah dada Gajah Ireng. Akan tetapi, Sentanu mengeluakan seruan kaget ketika tiba-tiba saja lawannya itu lenyap! Hanya nampak bayangannya berkelebat dan tahu-tahu lawan itu lenyap dan tib-tiba ada angin menyambar ke arah tengkuknya dari belakang. Dia seorang murid kepala Sabuk Tembogo, tentu saja sudah banyak pengalaman dalam bertanding. Tahulah dia bahwa lawannya memiliki ajian kecepatan yang sangat hebat dan tentu angin yang bertiup itu merupakan serangan lawan. Cepat dia memutar tubuh dan menggerakkan senjatanya menangkis.
"Tukk!" benar saja dugaannya. Ikat kepala yang merupakan kain lemas itu ternyata dapat menyambar ke arah tengkuknya tadi dan berubah menjadi benda yang keras.
Bukan main hebatnya lawan itu. Ketika sabuknya menangkis, terjadi bentrokan tenaga melalui kedua macam senjata itu dan sabuk tembaga di tangan Sentanu terpental.
Terdengar Gajah Ireng tertawa kecil. Sentanu menjadi penasaran dan dia pun mempercepat gerakan sabuk di tangannya sehingga nampak gulungan sinar yang menyilaukan mata, yang melindungi seluruh tubuh Sentanu dan kadang-kadang dari gulungan sinar itu mencuat sinar yang merupakan serangan ujung sabuk ke arah lawan.
Namun, Gajah Ireng memang memiliki kecepatan yang laur biasa. Setiap kali diserang, tubuhnya berkelebat lenyap dan diapun membalas serangan lawan dari tempat-tempat yang tidak terduga. Tentu saja Sentanu yang jauh kalah cepat itu menjadi kewalahan dan setelah lewat dua puluh jurus, dia menjadi repat dan bingung karena gerakan cepat
lawan membuat dia tidak tahu kemana harus menyerang sedangkan serangan lawan datang bertubi-tubi dari segenap penjuru secara tidak terduga sama sekali.
Bagi para penonton, jelas nampak betapa Gajah Ireng mempermainkan Sentanu. Para penonton dapat melihat gerakan Gajah Ireng karena jarak mereka dari orang itu agak jauh, tidak seperti Sentanu yang berada dekat sekali. Nampak oleh mereka betapa Gajah
Ireng berloncatan dengan cepat bukan main mengintari Sentanu, selalu tak terjangkau oleh gulungan sinar sabuk di tangan murid Ki Bragolo itu, sebaliknya dari sudut-sudut bebas dia menyerang lawan dengan lecutan kain kepalanya.
Melihat betapa Gajah Ireng mempermainkan lawan dan berada di pihak yang selalu
mendesak, para perajurit Tumapel, terutama mereka yang bertaruhan, mulai bersoraksorak
gembira sebaliknya para murid Sabuk Tembogo memandang dengan hati gelisah.
Mereka pun dapat melihat bahwa kakak seperguruan mereka terdesak dan berada di ambang kekalahan.
Joko Handoko yang berdiri di pinggiran juga melihat semua ini. Dia menandang ke arah Wulandari yang berdiri di samping ayahnya. Gadis itu, juga Ki Bragolo, memandang ke arah perkelahian sambil mengepal-ngepal tinju. Jelas bahwa ayah dan anak itu merasa penasaran sekali.
"Pergilah!" tiba-tiba terdengar bentakan Gajah Ireng disusul bunyi ledakan kain ikat kepalanya yang menyambar dengan kecepatan kilat. Sentanu tidak mampu mengelak atau menangkis lagi dan terdengar bunyi kain robek ketika letusan itu mengenai pundak dan dadanya, merobek baju dan juga merobek sedikit kulit dada dan pundak. Nampak guratan merah pada pundak dan dada itu. Walaupun tidak terluka parah, hanya lecetlecet
pada kulit itu, namun ini merupakan bukti bahwa Sentanu telah kalah. Dia pun tahu akan kekalahannya dan segera mengundurkan diri.
Kini Sentono melangkah maju menghadapi Gajah Ireng. "Adikku telah kalah, biarlah aku
minta sedikit petunjuk darimu!" berkata demikian, Sentono memutar sabuk tembaga di tangannya. Dibandingkan dengan Sentanu, Sentono yang menjadi murid kepala itu hanya sedikit lebih tinggi tingkatannya, yaitu dalam hal tenaga saja. Ilmu silatnya tiada bedanya dengan Sentanu. Dia sendiri tadi telah menyaksikan perkelahian antara Sentanu
dengan Gajah Ireng, maklum bahwa dia sendiri takkan menang menghadapi lawan ini.
Namun dia tidak takut, bahkan merasa penasaran sekali dan ingin menebus kekalahan adiknya, walaupun dia tahu hal itu sama sekali tidak mudah.
"Hem, sudah kukatakan, kalian lebih baik maju bersama!" Gajah Ireng berkata dengan nada mengejek. Ucapan ini membuktikan kesombongannya. Sentono tidak menjawab, melainkan memutar senjatanya dan menubruk ke depan.
"Lihat sabukku!" namun seperti halnya adiknya tadi, tiba-tiba tubuh lawannya berkelebat
lenyap. Dia tadi sudah menonton pertandingan antara adiknya dan lawan ini, maka dia sudah memutar dan menggerakkan sabuknya, menyerang ke bagian belakang dan kanan kiri dengan cepat. Akan tetapi kembali Gajah Ireng dapat mengelak dengan amat mudahnya dan balas menyerang.
Pasar taruhan di luar ruangan itu kini sepi. Para anak buah Sabuk Tembogo tidak ada yang berani bertaruh karena mereka semua jerih melihat gerak cepat yang luar biasa dari Gajah Ireng dan memang rasa khawatir mereka beralasan. Sebentar saja, seperti halnya Sentanu tadi, Sentono juga hanya mampu melindungi dirinya, tidak sempat lagi untuk balas menyerang dan bahkan agaknya Gajah Ireng ingin cepat mengakhiri pertandingan itu. Lewat lima belas jurus, tiba-tiba ujung sabuk tembaga itu terlihat
ujung kain ikat kepala dan selagi Sentono berusaha manarik kembali sabuk tembaganya,
tiba-tiba kaki Gajah Ireng meluncur dan menendang.
"Dess....!" tubuh Sentono terpelanting keras dan biarpun dia juga tidak terluka parah, namun karena tubuhnya sudah terbanting, berarti dia sudah kalah. Dia bangkit dengan muka merah dan tanpa berkata apa-apa lagi dia mengundurkan diri.
"Biarlah aku yang mewakili Sabuk Tembogo!" Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan
Wulandari telah meloncat ke tengah ruangan menghadapi Gajah Ireng. Ki Bragolo hendak mencegah namun tidak keburu sehingga terpaksa diam saja, hanya memandang dengan hati gelisah. Dia tahu bahwa puterinya itu memiliki kepandaian lebih tinggi dari Sentono, dan terutama sekali memiliki garakan yang jauh lebih lincah. Akan tetapi dia masih meragukan apakah puterinya akan mampu menandingi Gajah Ireng yang tangguh itu.
Akan tetapi, tiba-tiba Gajah Putih melangkah maju. "Adi Ireng, engkau sudah cukup berjasa mengalahkan dua orang jagoan lawan. Mengasolah dan biarkan aku yang menghadapi anak perempuan yang manis itu."
Gajah Ireng tersenyum lalu mengundurkan diri dan gajah Putih yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu berdiri tegak dengan kedua kaki dipentang lebar, berhadapan
dengan Wulandari yang nampak kecil. Wajah gadis ini sudah menjadi merah mendengar ucapan Gajah Putih yang mengatakan ia seorang anak perempuan yang manis dengan demikian mengejek.
"Kalau tidak salah, andika adalah puteri Ki Bragolo. Sungguh bahagia sekali Ki Bragolo memiliki seorang anak yang begitu cantik manis dan gagah perkasa." kata Gajah Putih dengan wajah penuh senyum menyeringai. "Akan tetapi, anak manis. Lebih baik engkau mundur saja. Sayang kalau sampai kulitmu yang halus itu lecet atau tubuhmu yanmg kecil ramping dan padat ini terbanting babak bundas. Engkau sama sekali bukan lawanku!"
"Manusia sombong! Kamu yang tadi mengusulkan pertandingan adu ilmu secara persahabatan, antara tuan rumah dan tamunya yang dihormati. Akan tetapi kata-katau kotor dan beracun melebihi senjata seorang mush. Majulah dan jangan kira aku takut menghadapi kebesaran tubuhmu dan kelebaran mulutmu!"
Ucapan Wulandari ini sungguh pedas dan tajam menusuk, akan tetapi Gajah Putih tetap tersenyum menyeringai. Dia memang seorang mata keranjang dan kini menghadapi seorang dara remaja yang demikia manisnya, hatinya gembira sekali. Apalagi dia memperoleh kesempatan untuk mengadu ilmu dengan gadis ini, hatinya senang bukan main. Inilah kesempatan baik baginya untuk bersentuhan kulit, dan mempermainkan gadis ini sesuka hatinya tanpa ada yang dapat melarang karena bukankah mereka itu akan bertanding mengadu ilmu" Pula, andaikata ada yang melarang, diapun tidak takut.
"Hem, sudah kukatakan, kalian lebih baik maju bersama!" Gajah Ireng berkata dengan nada mengejek. Ucapan ini membuktikan kesombongannya. Sentono tidak menjawab,
melainkan memutar senjatanya dan menubruk ke depan.
"Lihat sabukku!" namun seperti halnya adiknya tadi, tiba-tiba tubuh lawannya berkelebat
lenyap. Dia tadi sudah menonton pertandingan antara adiknya dan lawan ini, maka dia sudah memutar dan menggerakkan sabuknya, menyerang ke bagian belakang dan kanan kiri dengan cepat. Akan tetapi kembali Gajah Ireng dapat mengelak dengan amat mudahnya dan balas menyerang.
Pasar taruhan di luar ruangan itu kini sepi. Para anak buah Sabuk Tembogo tidak ada yang berani bertaruh karena mereka semua jerih melihat gerak cepat yang luar biasa dari Gajah Ireng dan memang rasa khawatir mereka beralasan. Sebentar saja, seperti halnya Sentanu tadi, Sentono juga hanya mampu melindungi dirinya, tidak sempat lagi untuk balas menyerang dan bahkan agaknya Gajah Ireng ingin cepat mengakhiri pertandingan itu. Lewat lima belas jurus, tiba-tiba ujung sabuk tembaga itu terlihat ujung kain ikat kepala dan selagi Sentono berusaha manarik kembali sabuk tembaganya,
tiba-tiba kaki Gajah Ireng meluncur dan menendang.
"Dess....!" tubuh Sentono terpelanting keras dan biarpun dia juga tidak terluka parah, namun karena tubuhnya sudah terbanting, berarti dia sudah kalah. Dia bangkit dengan muka merah dan tanpa berkata apa-apa lagi dia mengundurkan diri.
"Biarlah aku yang mewakili Sabuk Tembogo!" Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan
Wulandari telah meloncat ke tengah ruangan menghadapi Gajah Ireng. Ki Bragolo hendak mencegah namun tidak keburu sehingga terpaksa diam saja, hanya memandang dengan hati gelisah. Dia tahu bahwa puterinya itu memiliki kepandaian lebih tinggi dari Sentono, dan terutama sekali memiliki garakan yang jauh lebih lincah. Akan tetapi dia masih meragukan apakah puterinya akan mampu menandingi Gajah Ireng yang tangguh itu.
Akan tetapi, tiba-tiba Gajah Putih melangkah maju. "Adi Ireng, engkau sudah cukup berjasa mengalahkan dua orang jagoan lawan. Mengasolah dan biarkan aku yang menghadapi anak perempuan yang manis itu."
Gajah Ireng tersenyum lalu mengundurkan diri dan gajah Putih yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa itu berdiri tegak dengan kedua kaki dipentang lebar, berhadapan
dengan Wulandari yang nampak kecil. Wajah gadis ini sudah menjadi merah mendengar ucapan Gajah Putih yang mengatakan ia seorang anak perempuan yang manis dengan demikian mengejek.
"Kalau tidak salah, andika adalah puteri Ki Bragolo. Sungguh bahagia sekali Ki Bragolo memiliki seorang anak yang begitu cantik manis dan gagah perkasa." kata Gajah Putih dengan wajah penuh senyum menyeringai. "Akan tetapi, anak manis. Lebih baik engkau mundur saja. Sayang kalau sampai kulitmu yang halus itu lecet atau tubuhmu yanmg kecil ramping dan padat ini terbanting babak bundas. Engkau sama sekali bukan lawanku!"
"Manusia sombong! Kamu yang tadi mengusulkan pertandingan adu ilmu secara persahabatan, antara tuan rumah dan tamunya yang dihormati. Akan tetapi kata-katau kotor dan beracun melebihi senjata seorang mush. Majulah dan jangan kira aku takut menghadapi kebesaran tubuhmu dan kelebaran mulutmu!"
Ucapan Wulandari ini sungguh pedas dan tajam menusuk, akan tetapi Gajah Putih tetap tersenyum menyeringai. Dia memang seorang mata keranjang dan kini menghadapi seorang dara remaja yang demikia manisnya, hatinya gembira sekali. Apalagi dia memperoleh kesempatan untuk mengadu ilmu dengan gadis ini, hatinya senang bukan main. Inilah kesempatan baik baginya untuk bersentuhan kulit, dan mempermainkan gadis ini sesuka hatinya tanpa ada yang dapat melarang karena bukankah mereka itu akan bertanding mengadu ilmu" Pula, andaikata ada yang melarang, diapun tidak takut.
"Ha-ha-ha, sungguh andika seperti seekor kuda betina liar yang amat cantik. Semakin liar semakin menarik untuk ditundukkan! Kalau tidak salah, nama andika tadi adalah Wulandari. Nama yang amat manis, semanis orangnya. Wulandari, sebagai puteri Ki Bragolo, aku yakin bahwa semua ilmu dari Sabuk Tembogo tentu telah kau warisi sehingga dengan melihat ilmu silatmu, sama saja dengan menjajagi tingginya tingkat kepandaian ketua Sabuk Tembogo. Nah, perlihatkan kepandaianmu, manis!"
Ki Bragolo merasa betapa dadanya panas dan hampir saja dia melompat ke depan untuk memaki dan menyerang raksasa bermuka putih itu. Akan tetapi, keadaan tidak mengijinkan karena mereka itu tidak saling bermusuhan, melainkan sebagai tamu yang hendak menguji ilmu kepandaian pihak tuan rumah. Maka diapun menekan saja kemarahannya, menahan sabar dan memandang ke arah puterinya dengan hati penuh kekhawatiran.
Joko Handoko mengerutkan alisnya.Sejak tadu diapun diam saja dan menganggap bahwa adu ilmu ini hanya merupakan pelampiasan kecewa dari pihak pemimpin pasukan Tumapel. Akan tetapi tentu saja dia tidak dapat mencampuri urusan adu ilmu itu.
Betapapun juga, melihat sikap Gajah Ireng dan kini sikap Gajah Putih yang terlalu menghina dan teramat sombong, diam-diam dia mendongkol bukan main. Diapun mengerti bahwa melihat tingkat kepandaiannya, Wulandari tidak akan mampu mengalakan Gajah Ireng, apalagi Gajah Putih yang sabagai kakak Gajah Ireng tentu saja
memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi lagi. Akan tetapi, dia sendiri hanya seorang
tamu, dan dia telah menyembunyikan kepandaiannya sehingga pihak tuan rumah sendiri tidak tahu dan menganggap dia seorang sahabat baik yang tidak memiliki kepandaian silat. Bagaimana dia dapat mencampuri kalau pihak tuan rumah maju sendiri menghadapi tantangan para tamu" Kalau dia campur tangan, hal itu tentu akan menimbulkan perasaan malu terhadap pihak tuan rumah. Maka biarpun diam-diam dia
merasa khawatir sekali, dia tetap diam saja, hanya siap siaga menjaga segala kemungkinan dan diam-diam diapun bersiap-siap untuk melindungi Wulandari kalaukalau gadis itu terancam bahaya.
Kini Gajah Putih sudah mengeluarkan sepasang sarung tangan hitam dan mengenakan
sepasang sarung tangan itu untuk melindungi kedua tangannya. Itulah senjatanya, sepasang sarung tangan yang amat kuat, tahan menghadapi bacokan senjata tajam.
Banda itu terbuat dari semacam sutera yang amat ulet dan kuat merupakan benda kuno
yang datang dari Negeri Cina dan di tangan Gajah Putih yang bertenaga raksasa itu, sarung tangan ini menjadi senjata yang amat ampuh.
Sementara itu, Wulandari sudah tidak sabar lagi. Begitu lawannya sudah selesai mengenakan sarung tangan, ia mengelebatkan sabuk tembaganya sambil membentak nyaring, sebagai tanda bahwa ia mulai dengan serangannya. Akan tetapi yang diserang tidak menggerakkan tubuhnya, hanya kedua tangannya saja bergerak.
"Tak-tring-trang.........!" Bekali-kali sabuk tembaga itu bertemu dengan kedua tangan yang berlindung sarung tangan dan selalu sabuk itu terpental. Makin keras Wulandari mengayun senjatanya, semakin kuat pula senjatanya terpental sehingga ia merasa betapa telapak tangannya menjadi panas dan perih. Ia merasa terkejut bukan main dan ia pun cepat mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk berloncatan ke sana sini mengitari tubuh lawan dan mengayun sabuk tembaganya untuk menyerang bagianbagian yang berbahaya seperti tengkuk, ubun-ubun kepala, lambung, pusar, sekitar muka, pergelangan tangan, siku, lutut dan sebagainya. Gadis ini memang memiliki gerakan lincah, walaupun tidak secepat gerakan Gajah Ireng, namun cukup cepat sehingga tubuhnya nampak berkelebatan. Sebaliknya, Gajah Putih hanya mengeluarkan suara ketawa-ketawa dan tubuhnya tetap tegak hanya kakinya yang bergeser maju mundur, sehingga tubuhnya berbalik ke sana sini, menghadapi lawan ke mana saja lawan meloncat dan menangkis setiap lecutan sabuk tembaga dengan kedua tangannya yang dilindungi sarung tangan. Terdengar lagi suara nyaring berdentingan ketika sabuk itu bertemu sarung tangan.
"Ha-ha-ha, engkau hebat juga, anak manis!" Gajah Putih mengejek dan tiba-tiba saja tangan kanannya menangkap ujung sabuk tembaga, tangan kiri mencengkeram ke arah siku kanan Wulandari. Dara ini terkejut bukan main, terpaksa melepaskan sabuknya dan
menarik tangannya karena kalau tidak, tentu sikunya akan kena cengkeram. Gajah Putih tertawa bergelak, kedua tangannya menekuk-nekuk dan sabuk tembaga itu patah-patah
menjadi empat potong lalu dilemparkannya ke atas tanah. Dengan sikap sombong dia pun kini melepaskan sepasang sarung tangannya dan menyimpannya kembali.
"Keparat, berani kau merusak senjataku!" Wulandari yang marah sekali bahwa ia berhadapan dengan lawan yang jelas lebih tangguh darinya. Tubuhnya sudah mencelat ke depan dan kedua tangannya sudah menyerang dengan ganas, yang kanan mencengkeram ke arah kepala, yang kiri menghantam ke arah ulu hati. Serangan ini hebat sekali dan andaikata mengenai sasaran, biarpun Gajah Putih memiliki kepandaian tinggi, dapat menimbulkan bahaya maut baginya.
"Plak! Plak!" Gajah Putih menyambut kedua tangan dan tahu-tahu kedua tangan gadis itu telah ditangkapnya pada pergelangan. Tentu Wulandari terkejut bukan main, apalagi
ketika lawan itu tertawa bergelak dengan muka yang begitu dekat dengan mukanya sehingga dara itu ini dapat mencium bau busuk dari mulut yang terbuka itu. Dengan cepat, Wulandari mempergunakan tenaga tangkapan lawan pada kedua pergelangan tangannya untuk mengangkat tubuh, menggerakkan kedua kakinya menendang ke arah pusar dan muka lawan.
Gajah Putih sudah merasa girang sekali mempermainkan gadis itu dan berhasil menangkap kedua pergelangan tangan yang kulitnya helus dan hangat itu. Akan tetapi,
dia terkejut sekali melihat betapa gadis yang telah ditangkapnya itu ternyata masih mampu melakukan serangan yang demikia hebatnya. Serangan itu amat berbahaya sehingga dia mengeluarkan seruan kaget dan terpaksa mendorong tubuh itu ke atas, melepaskan pegangannya agar dia terhindar dari ancaman kedua kaki Wulandari. Tubuh gadis itu telempar ke atas. Wulandari menggerakkan tubuhnya dan berjungkir balik sampai tiga kali di udara.
Akan tetapi, Gajah Putih melihat kesempatan baik dan dia pun meloncat, tangannya mencengkeram.
"Iiihhh......!" Wulandari menjerit ketika ujung kemben{sabuk} di pinggangnya tertangkap lawan dan ketika Gajah Putih menarik dengan bentakan kuat, tubuh itu berputar dan kembennya sudah tertarik separuh, hampir telepas. Semua orang terkejut
dan memandang dengan menahan napas karena kalau sampai kemben atau sabuk itu terlepas, tentu kain yang membungkus tubuh gadis itu akan terlepas dan merosot turun.
"Gajah Putih, jangan kurang ajar engkau!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan nampak sinar terang berkelebat menyambar ke arah kemben dan putuslah kemben itu dan Wulandari terlepas dari ancaman ditelanjangi oleh Gajah Putih. Gadis itu dengan muka merah hampir menangis saking marahnya dan malunya, terpaksa mundur dan berdiri di pinggir dengan mata melotot ke arah Gajah Putih.
Kiranya yang membikin putus kemben itu untuk menghindarkan Wulandari dari penghinaan adalah Ki Bragolo sendiri. Orang tua ini sudah mempergunakan sabuk tembaganya unguk menyelamatkan muka puterinya dan kini, dengan muka saking marahnya, dia berdiri menghadapi Gajah Putih. Dua orang yang sama tinggi besarnya, hanya bedanya kalau muka Ki Bragolo agak kehitaman dan gagah perkasa, muka lawannya putih halus.
Gajah Putih masih menyeringai. "Ha-ha, akhirnya Ki Bragolo maju sendiri. Memang sudah lama sekali aku mendengar nama besar Ki Bragolo ketua Sabuk Tembogo dan sungguh beruntung hari ini aku dapat merasakan sendiri sampai di mana kehebatannya, apakah kepandaiannya yang sebesar namanya."
"Gajah Putih!" Ki Bragolo membentak. "Apakah sebenarnya yang menjadi kehendakmu?"
"Eh" Apa kehendakku" Ki Bragolo, bukankah kita berhadapan sebagai tuan rumah dan tamu yang hendak memeriahkan suasana dengan mengadu ilmu?"
"Gajah Putih! Sudah bertahun-tahun kami membantu Kadipaten Tumapel dan mengenal tokoh-tokohnya. Akan tetapi baru hari ini kami mengenal namamu dan melihat engkau
dan Gajah Ireng membantu pasukan Tumapel. Akan tetapi sikapmu tidak bersahabat.
Selain engkau memancing diadakannya adu kepandaian, juga engkau dan adikmu sengaja hendak melakukan penghinaan terhadap kami. Jelas bahwa di balik adu kepandaian ini, tersembunyi sesuatu yang busuk dalam benakmu!"
"Ha-ha-ha, Ki Bragolo. Memang baru hari ini kami menghambakan diri kepada Tumapel.
Dan apakah anehnya kalau adu kepandaian ada yang menang dan kalah" Dan tidak aneh pula kalau pihak yang kalah menjadi pahit dan marah-marah seperti sikapmu sekarang ini. Ha-ha-ha!"
Tentu saja Ki Bragolo menjadi semakin marah.Di situ terdapat Ranunilo sebagai pemimpin pasukan Tumapel dan perwira ini tidak berkata sesuatu, maka dia merasa terdesak omongan dan hal ini membuatnya menjadi semakin marah. "Gajah Putih, manusia sombong! Keluarkan senjatamu dan majulah!"
Gajah Putih sudah mengenakan sepasang sarung tangan hitam tadi dan kini sambil
menyeringai lebar dia melangkah maju. "Aku sudah siap untuk menghadapi pertandingan
terakhir ini. Ingat, Ki Bragolo, dua orang muridmu dan puterimu sudah kalah, maka kalau sekali ini engkau kalah, berarti Sabuk Tembogo harus mengakui keunggulan kami!"
"Hentikan ocehanmu dan lihat senjataku!" Ki Bragolo dan diapun sudah maju dengan cepat. Sabuk Tembaga di tangannya merupakan senjata yang amat berat dan ampuh, dan ketika dia menyerang, maka serangannya ini sama sekali tidak boleh disamakan dengan serangan sabuk tembaga di tangan kedua muridnya atau puterinya tadi. Gajah Putih juga tidak berani memandang rendah, maklum betapa hebatnya sabuk tembaga yang berat dan digerakkan dengan tenaga kuat itu. Dia cepat mengelak dan dengan tamparan tangannya kea rah dada lawan.
Ki Bragolo berhasil mengalak pula dan membalas kini dengan hantaman lebih kuat ke arah leher lawan. Sabuk tembaga di tangannya lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar
yang panjang berkilauan. Gajah Putih menggerakkan tangan kanannya, menyambut senjata itu dengan tangannya yang terlindung sarung tangan.
"Trakkk.....!" Keduanya terdorong mundur. Kiranya mereka memiliki tenaga yang seimbang kekuatannya. Terjadilah pertandingan yang mata seru dan kini mereka yang menonton di luar ruangan itu sudah sibuk lagi membuat taruhan yang lebih berani dan besar jumlahnya. Bagaimanapun juga, para murid Sabuk Tembogo tentu saja menjagoi guru mereka karena mereka yakin bahwa guru mereka itu amat sakti. Sebaliknya, para perajurit Tumapel yang sudah mendapat hati dengan kemenangan-kemenangan berturut-turut dari kedua orang jagoan mereka, kini menyambut taruhan itu dengan berani pula.
Setelah lewat lima puluh jurus, nampaklah bahwa Gajah Putih mulai dapat mendesak lawannya. Dia baru berusia empat puluh dua tahun sedangkan Ki Bragolo sudah berusia hampir tujuh puluh tahun. Usia tua membuat Ki Bragolo kalah daya tahan dan panjang napasnya, apalagi dia harus mainkan sabuk tembaga yang beratnya belasan kati,
sedangkan lawannya yang melindungi kedua tangan dengan sarung tangan itu bertangan kosong saja. Dan Memang, tingkat kepandaian Gajah Putih masih sedikit lebih unggul dibandingkan Ki Bragolo. Hal ini diketahui dengan jelas oleh Joko Handoko sehingga pemuda ini menjadi semakin mendongkol saja. Dia juga melihat betapa Wulandari dapat menduga akan kedaan ayahnya sehingga gadis itu hampir menangis saking gelisah, marah, dan malunya. Hancurlah nama Sabuk Tembogo sekali ini, piker Joko Handoko.
Seharusnya dia merasa senang dan puas, karena bukankah Ki Bragolo itu pembunuh ayah kandungnya" Biarpun dia tidak mendendam , setidaknya dia seharusnya puas dan senang melihat Sabuk Tembogo dihancurkan orang lain. Akan tetapi sungguh aneh. Dia sama sekali tidak merasa puas atau senang. Sebaliknya, dia malah merasa mendongkol dan tidak senang kepada Gajah Putih yang amat sombong itu. Dan diapun, seperti Ki Bragolo, mulai menaruh perasaan curiga terhadap kedua orang itu. Jelaslah bahwa sebagai pembantu-pembantu baru dari Tumapel, mereka berdua itu terlalu menonjolkan
niat mereka untuk membikin malu dan menghina Sabuk Tembogo, seolah-olah mereka berdua menaruh dendam atau membenci perkumpulan itu.
Saat yang dinanti-nanti dan dikhawatirkan Joko Handoko pun tiba. Ketika dengan tenaga
yang tersisa tidak berapa banyak lagi itu Ki Bragolo dengan nekat menyerang dengan sabetan sabuk tembaga di tangannya, mengarah kepada lawan, Gajah Putih menyambutnya dengan kedua tangan sambil menggerakkan tenaga.
"Dess......!" Tubuh Ki Bragolo terhuyung dan sabuk tembaga hampir terlepas dari tangannya. Pada saat itu, Gajah Putih sudah mengirim tendangan yang sudah diperhitungkan sebelumnya.
"Bukk....!" Tendangan itu mengenai paha Ki Bragolo yang mencoba mengelak. Dan tubuh kakek itupun terjengkang dan terbanting keras! Ki Bragolo bangkit berdiri menahan
sakit. Dengan muka merah dia lalu berkata, "Aku yang sudah tua dan tiada guna ini mengaku kalah."
"Ha-ha-ha!" Gajah Putih tertawa bergelak dan berdiri tegak, bertolak pinggang dan sengaja dia memandang ke arah Wulandari yang menundukkan muka dengan sedih.
"Masih adakah jagoan Sabuk Tembogo yang mau mencoba untuk maju" Ataukah hanya sekian saja kehebatan Sabuk Tembogo" Dengan kekuatan seperti itu saja berani untuk mengusik seorang senopati Tumapel!"
Ranunilo mengerutkan alisnya. Gajah Putih sudah keterlaluan bicaranya, pikir perwira ini.
Bukankah dia sudah setuju dan menanti permintaan Dewi Pusporini dan meraka semua dijamu sebagai tamu" Mengadu ilmu kepandaian antara orang-orang gagah adalah wajar, akan tetapi sikap Gajah Putih ini sungguh keterlaluan, seolah-olah sengaja mencari perkara!
Tiba-tiba terdengar suara yan tenang namun lantang. "Aku masih ada, sebagai wakil Sabuk Tembogo untuk menerima pelajaran!"
Semua orang memandang dan Wulandari hampir saja berteriak kaget. Kiranya yang
maju adalah Joko Handoko! Ia tahu bahwa pemuda itu tidak pandai apa-apa, seorang yang lemah walaupun pemberani dan dia menduga bahwa majunya Joko Handoko karena penasaran melihat sikap sombong Gajah Putih. Pemuda itu hanya maju bermodalkan keberanian belaka. Juga Ki Bragolo terkejut dan khawatir. Akan tetapi ayah dan anak ini
tentu saja tidak dapat melarang karena mereka berada di tempat yang dihadiri oleh banyak tamu. Maka mereka hanya memandang dengan alis berkerut dan sinar mata membayangkan kekhawatiran.
Gajah Putih juga memandang dan melihat majunya seorang pemuda yang bersikap tenang, berpakaian sederhana namun memiliki sinar mata mencorong penuh keberanian, diapun bersikap hati-hati. "Siapakah andika" Apakah seorang murid Sabuk Tembogo?"
tanyanya. Joko Handoko menggeleng kepala. "Bukan, aku hanya seorang tamu biasa saja yang tidak rela melihat tuan rumah diejek dan dihina. Karena itu, aku akan maju menghadapimu, Gajah Putih."
"Kakang Handoko, jangan, engkau tidak biasa berkelahi, bagaimana mau melawan dia?"
Wulandari berteriak dan gadis ini sudah lari memasuki arena itu, menghadapi Gajah Putih. "Gajah Putih, engkau sudah berhasil mengalahkan kami, sudahlah. Dia ini sahabat dan tamu kami, sama sekali tidak biasa berkelahi dan tidak memiliki ilmu kepandaian silat, maka mundurlah dan pertandingan dinyatakan selesai!"
"Benar!" kata Ki Bragolo. "Dan biarkan aku atas nama Sabuk Tembogo mengaku kalah terhadap kepandaian kalian berdua." Kakek inipun tidak menghendaki tamunya celaka.
"Ha-ha-ha-ha!" Gajah Putih tertawa bergelak dengan lagak sombong. "Pemuda yang lemah ini dengan berani hendak melawan aku, berarti dia hendak membela Sabuk Tembogo dengan nekat. Aihh, agaknya dibalik kenekatanmu ini ada pamrihnya!" dia melirik ke arah Wulandari dan melanjutkan. "Dan agaknya aku tahu apa pamrihnya, hehheh,
tentu karena melihat puteri Sabuk Tembogo yang cantik manis!"
"Tutup mulutmu yang busuk!" Wulandari membentak marah.
Joko Handoko lalu berkata kapada Wulandari, "Wulan, mundurlah. Paman Bragolo, maafkan, kalau saya tidak boleh mewakili Sabuk Tembogo, saya akan maju atas nama
sendiri. Sebagai seorang tamu, tentu saya pun bebas untuk mengadu ilmu dengan mereka, bukan?"
Wulandari dan ayahnya saling pandang. Ki Bragolo kini berpikiran lain. Dia lalu menarik tangan anaknya dan diajaknya mundur. Dia menduga bahwa mungkin sekali tamu mudanya yang nampak lemah lembut ini menyimpan rahasia. Kalau tidak demikian, tentu tidak akan segila itu menantang Gajah Putih yang sudah mengalahkan dia.
Joko Handoko kini menghadapi Gajah Putih. "Orang sombong engkau mendengar sendiri.
Aku kini menantangmu untuk mengadu ilmu, bukan sebagai wakil Sabuk Tembogo, melainkan atas namaku sendiri."
"Babo-babo, engkau agaknya bosan hidup!" Gajah Putih kini memandang marah.
"Siapakah engkau, orang muda, dan dari aliran mana?"
"Namaku Joko Handoko dan aku bukan dari aliran manapun."
"Mundurlah, kakang Putih, biar aku yang menghajarnya. Engkau sudah dua kali melawan musuh."
Tiba-tiba Gajah Ireng maju dan melihat ini, Gajah Putih tertawa mundur. Dia pun merasa
agak rikuh kalau harus melawan seorang pemuda lemah yang tidak mempunyai aliran, maka biarlah adiknya yang akan menghajar pemuda lancang itu.
"Heh, orang muda lancing. Tahukah engkau bahwa mengadu ilmu bukan halmain-main"
Besar sekali kemungkinannya akan keluar dengan tubuh babak budas, lecet-lecet bahkan
setengah mati!" kata Gajah Ireng.
"Gajah Ireng, kemungkinan itu berlaku pula atas dirimu," jawab Joko Handoko dengan sikap masih tenang. "Engkau manusia sombong, besar kepala, kejam, dan kurang ajar.
Sama sekali bukan seperti seekor gajah yang biasanya tenang dan sabar. Engkau lebih pantas memakai nama tikus, tikus ireng karena mukamu hitam, dan watakmu seperti tikus, licik dan mengandalkan kecepatan."
Semua orang yang mendengarkan ucapan Joko Handoko ini terbelalak. Alangkah beraninya pemuda ini. Gajah Ireng jelas amat sakti, telah mengalahkan dua orang murid
Keris Pusaka Nogopasung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kepala dari Sabuk Tembogo dan kini pemuda itu berani memaki dan mengejeknya seperti itu. Ada pula yang Manahan ketawa, yaitu para murid Sabuk Tembogo.
Bagaimanapun juga,mereka merasa penasaran dan membenci dua orang Gajah itu, akan tetapi tidak berdaya. Kalau sekarang ada orang berani menghina dan mempermainkan dua orang musuh itu, tentu saja hati mereka merasa geli dan senang, walaupun mereka tahu bahwa pemuda tampan itu sungguh mencari penyakit saja.
Dan Gajah Ireng memang menjadi marah sekali. Mukanya yang hitam menjadi semakin hitam karena darahnya naik ke muka, matanya melotot dan mulutnya cemberut. Dia memang pendiam, tidak pandai bicara seperti kakaknya. Saking marahnya, dia semakin tak pandai bicara.
"Bersiaplah untuk mampus!" bentaknya dan dia pun sudah menyerang dengan kedua tangan dikepal, menghantam dari kanan kiri kea rah muka dan dada Joko Handoko.
Serangan itu hebat sekali, cepat dan mengandung tenaga kuat. Kedua tangannya bergerak dengan kecepatan yang sukar diikuti pandang mata sehingga para anggota Sabuk Tembogo menjadi silau dan gelisah. Juga Wulandari menonton dengan kedua tangan saling mencengkeram. Hatinya gelisah sekali. Diam-diam Wulandari teloah jatuh cinta pada Joko Handoko, maka melihat betapa pria yang dikasihaninya terancam, ia merasa khawatir bukan main.
Joko Handoko mengeluarkan seruan kaget dan mengelak dengan kaku sehingga dua pukulan itu hampir menyerempet sasaran. Dia memang sengaja melakukan hal ini, padahal tentu saja dia sudah dapat mengikuti gerakan lawan dengan baik sehingga mudah baginya untuk menghindarkan diri. Hal ini tentu saja membuat semua orang
semakin khawatir dan mereka menahan napas. Sebaliknya, Gajah Ireng menjadi gembira
sekali semangatnya bertambah dan sambil menyeringai lebar dia pun mendesak lagi dengan serangan-serangan yang lebih cepat. Ingin dia merobohkan pemuda ini secepat mungkin, dengan pukulan keras agar pemuda lancing ini tahu rasa. Akan tetapi, kini dialah yang harus menahan seruan heran dan aneh. Pemuda itu terhuyung ke sana sini, mengelak dengan kaku, akan tetapi semua serangannya luput. Sampai sepuluh jurus dia terus menerus melakukan serangan, makin lama semakin cepat, dean semua serangannya tetap tak dapat menyentuh lawan.
Kini semua orang mengikuti perkelahian ini dengan kedua mata terbelalak dan mulut ternganga, hampir tak pernah berkedip karena tidak ingin melepaskan pandang dari jalannya perkelahian yang luar biasa itu. Wulandari juga terbelalak seperti ayahnya, dan
gadis ini hampir tidak dapat mempercayai pandang matanya sendiri. Biarpun gerakannya
kacau sampai terhuyung-huyung, dan biarpun pukulan-pukulan Gajah Ireng itu kadangkadang
nyaris mengenai sasaran, namun begitu jauh, semua pukulan Gajah Ireng itu tidak ada yang mengenai tubuh Joko Handoko.
"Heiiii, Tikus Ireng, kenapa kau tidak memukul sungguh-sungguh" Jangan main-main, pukullah dengan cepat,masa dari tadi luput melulu!" Joko Handoko berteriak dan hampir
saja lambungnya menjadi sasaran sebuah tendangan lawan. Dimiringkan tubuh hampir terjengkang, dan tidak sengaja tangannya bergerak ke bawah.
"Tukk!!" Dua buah jari tangannya yang mengandung tenaga sakti amat kuat itu telah mengetuk tulang kering di kaki kiri yang menendang.
"Ouwww........!" Gajah Ireng tidak dapat menahan teriakannya karena tulang kering yang diketuk rasanya nyeri bukan main, kiut miut rasanya seperti ditusuk-tusuk jarum yang menembus ke jantungnya. Dia mengangkat kaki kiri, memeganginya dan berjingkrak-jingkrak dengan kaki kanan, berputar-putaran. Tulang kering pada kaki itu tidak patah, akan tetapi nyerinya bukan alang kepalang.
Kalau semua orang tadi melongo menahan napas dan tidak berkedip, kini meledaklah suara ketawa dan sorak sorai para anak buah Sabuk Tembogo melihat betapa Gajah Ireng jingkrak-jingkrak memegangi kaki kiri sambil berputaran.
"Heii, tikus Ireng, kau kenapa sih" Mau adu ilmu ataukah menari" Kalau mau menari pun
yang baik jangan berjingkrak seperti monyet kepedasen begitu!" Joko Handoko sengaja
mengejek dan semua orang tertawa geli. Mereka para murid Sabuk Tembogo, tidak melihat bagaimana Gajah Ireng terketuk tulang keringnya karena gerakan Gajah Ireng tadi terlampau cepat. Akan tetapi Wulandari dan ayahnya melihat dan kini meraka saling
bertukar pandang. Mereka masih keheranan karena sebegitu jauhnya Joko Handoko
sama sekali belum memperlihatkan bahwa dia pandai bersilat. Gerakan "gerakannya masih kaku dan selalu mengelak dengan kacau, maka bagaimanan mungkin kini tahutahu Gajah Ireng terpukul kakinya sampai kesakitan seperti itu" Kalau tidak melihat sendiri, tentu mereka akan menduga bahwa Gajah Ireng hanya pura-pura saja untuk mempermainkan Joko Handoko.
Gajah Ireng menjadi marah bukan main. Matanya merah dan mulutnya berbusa. Dia merasa penasaran sekali dan masih belum sadar bahwa dia berhadapan dengan lawan yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi darinya. Dia mengira pukulan pada tulang kering kakinya tadi hanya kebetulan saja. Betapapun juga, karena rasanya nyeri bukan main, kemarahannya memuncak dan dia sudah melolos kain ikat kepalanya yang menjadi senjata istimewa baginya dan dia tadi telah mempermainkan dua murid kepala
dari Ki Bragolo dengan senjatanya itu. Melihat ini, kembali Wulandari merasa gelisah sekali dan kedua kakinya sampai menggigil ketika ia membayangkan betapa ampuhnya senjata ini dan betapa Joko Handoko kini benar-benar terancam bahaya maut. Akan tetapi, ia tidak dapat berbuat apapun kecuali nonton dengan jantung berdebar tegang.
"Hei, tikus!" Joko Handoko mengejek lagi. "Kau berani membuka kepalamu tanpa ikat kepala"Awas, bisa masuk angin nanti, dan lebih mudah bagiku untuk mengetuk kepalamu sampai benjol-benjol!"
"Keparat, mampuslah kau! Gajah Ireng kini hampir gila saking marahnya dan dia pun sudah meloncat dengan kecepatan terbang sambil mengayun kain ikat kepalanya.
Terdengar suara ledakan-ledakan kecil ketika kain itu melecut-lecut seperti ujung cambuk. Seperti tadi, Joko Handoko terhuyung-huyung dan selalu mengelak, nampaknya
terhuyung dan kacau namun lecutan kain itu tak pernah menyentuh tubuhnya. Dan betapapun cepatnya Gajah Ireng bergerak, tetap saja kainnya tidak pernah dapat menyentuh tubuhnya. Dan betapapun cepatnya Gajah Ireng bergerak, tetap saja kainnya
tidak pernah dapat menyentuh lawan. Tentu saja dia menjadi semakin penasaran.
Para penonton kini bersorak-sorak, bukan hanya para anggota Sabuk Tembogo, bahkan ada perajurit pasukan Tumapel yang bertepuk tangan memuji Joko Handoko. Sukar diterima akal mereka betapa pemuda yang nampaknya tidak pandai silat itu dapat menghindarkan diri dari serangan-serangan yang demikian cepat dan gencarnya.
Gerakan Gajah Ireng amat cepat, namun ternyata Joko Handoko lebih cepat lagi walaupun nampaknya kacau dan terhuyung-huyung.
"Kakang Handoko, balaslah! Balaslah!" tiba-tiba Wulandari berteriak, suaranya nyaring melengking mengatasi sorak sorai para penonton yang merasa lucu, juga tegang dan gembira menyaksikan jalannya perkelahian yang aneh itu.
"Hem, Tikus Ireng, kau dengar itu" Aku harus membalas. Awas kepalamu yang tidak bertutup kain, kubikin benjol-benjol!"
Tiba-tiba saja semua orang terkejut karena tubuh Joko Handoko seperti lenyap, dan tahu-tahu terdengar suara Gajah Ireng mengaduh-aduh. Segera nampak tubuhnya terpelanting dan kini orang-orang melihat lagi Joko Handoko berdiri tegak memandang
selanjutnya
Komentar
Posting Komentar