KERIS PUSAKA NOGOPASUNG 4
Share
kepada bekas lawannya yang merangkak bangun, kedua tangan meraba-raba kepalanya dan benar-benar di kepala itu nampak benjolan-benjolan sebesar telur-telur ayam.
Akibat ketukan-ketukan jari tangan Joko Handoko. Dia tidak memberi pukulan maut, namun cukup mambuat kepala itu benjol-benjol dan terasa nyeri. Dengan mulut masih mengaduh-aduh, Gajah Ireng lalu terhuyung menghampiri kakaknya dan menjatuhkan diri di atas kursi.
Gajah Putih kini meloncat dan terdengar dia mengeluarkan suara gerengan seperti seekor harimau marah. Matanya melotot mamandang ke arah wajah Joko Handoko dan dia pun membentak marah, "Joko Handoko! Tak perlu engkau berpura-pura seperti orang bodoh! Katakan siapa gurumu dan dari aliran mana agar aku tidak salah tangan membunuh orang yang tidak punya nama!"
"Sudah kukatakan bahwa namaku Joko Handoko, dan engkau bernama Celeng Putih....."
"Gajah Putih!" bentak raksasa bermuka putih itu marah dan terdengar banyak orang tertawa riuh rendah.
"Siapa bilang Gajah Putih" Coba tanyakan saudara-saudara itu, bukankah engkau lebih patut bernama Celeng Putih?"
"Keparat, kau hendak menyembunyikan aliranmu, pengecut!" Gajah Putih berteriak dan
dia sudah mengenakan sepasang sarung tangannya yang yang ampuh.
"Engkaulah yang menyembunyikan keadaanmu yang sebenarnya, dan engkaulah yang pengecut maka kau banyak cerewet dan tidak lekas turun tangan menyerangku."
"Jahanam keparat!" Gajah Putih memaki dan tiba-tiba diapun menyerang dengan kedua tangannya, serangannya kuat sekali karena raksasa itu telah mengerahkan tenaganya untuk menghadapi pemuda yang dia tahu bukan lawan yang boleh dipandang ringan itu.
Joko Handoko juga maklum bahwa lawannya ini lebih kuat dibandingkan Gajah Ireng, maka dia pun tidak berani memandang rendah, cepat mengelak dengan loncatan ke samping, membiarkan tubuh lawan meluncur lawat dan dia pun membalas dengan cengkeraman ke arah pundak lawan dari samping.
"Hehh!!" Gajah Putih membentak dan menangkis dengan tangannya yang bersarung tangan sambil menggerakkan tenaga karena dia sengaja ingin mengadu tenaga dan mengukur sampai di mana kekuatan lawan.
"Dukkk!" dua tenaga raksasa bertemu dan Joko Handoko terhuyung-huyung hampir roboh. Semua orang, terutama Wulandari, terkejut dan semakin khawatir. Hanya seoranglah yang tahu bahwa pemuda itu hanya pura-pura saja. Tadi ketika terjadi adu tenaga, Gajah Putih merasa betapa tenaga pemuda itu amat kuatnya, membuat tubuhnya tergeletar hebat.
Saking khawatirnya akan keselamatan pemuda itu, kembali Wulandari berseru nyaring,
"Kakang Handoko, kau harus menggunakan senjata! Kau bisa memakai senjata apakah"
Cepat bilang, akan kuambilkan dan kupinjamkan untukmu!"
Mendengar ini Gajah Putih tertawa dan bangkit kembali kesombongannya. Memang dengan perlindungan serung tangan, dia tidak takut menghadapi senjata lawan amacam apapun juga. "Ha-ha-ha, orang muda, cepat kau mengambil senjata sebelum kau mampus di tanganku!"
"Celeng Putih, aku sudah memiliki senjata!" dan Joko Handoko memungut sebatang lidi dari atas tanah. Agaknya sebatang lidi itu terlepas dari ikatan sapu lidi dan dia menemukan benda itu lalu diambilnya dan diakuinya sebagai senjata. Tentu saja semua orang berseru kaget dan heran. Mana mungkin orang berkelahi menggunakan sebatang lidi saja sebagai senjata"
Gajah Putih juga terkejut dan heran. Sudah gilakah pemuda itu" Akan tetapi sebagai seorang yang sudah banyak makan asam garamnya perkelahian, sikap pemuda itu membuat dia semakin hati-hati. "Engkau memilih lidi itu untuk senjata" Baik, bocah sombong, aku akan mematah-matahkan semua tulang di tubuhmu seperti batang lidi itu!" dan diapun sudah menerjang maju lagi dengan kedua tangannya yang bersarung tangan.
"Heiiiittt........!" dengan tangannya yang besar, Gajah Putih menyerang cepat, tangan kanannya mencengkeram ke arah kepala Joko Handoko dan tangan kirinya menyusul dengan tonjokan ke arah perut.
"Ahhh.....!" Joko Handoko mengelak, hanya miringkan tubuh saja dengan menggeser kaki ke belakang. "Luput....!" ejeknya dan dia pun membuat gerakan seperti orang menari-nari, mengelilingi tubuh lawan. Gerakannya demikian lemas dan anggun, seperti seorang penari yang mahir sehingga kini semua orang berseru kagum.
"Hyaaattt.....!" Kembali Gajah Putih menyerang lebih hebat, menubruk dari samping selagi Joko Handoko menari-nari dan miringkan tubuh membelakanginya. Tubrukan itu berbahaya sekali.
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 89
"Eiihhh......?" Joko Handoko dapat mengelak lagi dengan cepat dan membuat gerakan indah, kaki kanan diangkat, kaki kiri ditekuk dan kedua tangan diangkat ke atas seperti seekor burung hendak terbang, lalu tiba-tiba tangan kanan yang memegang lidi itu bergerak ke bawah, dan batang lidi itu pun tergetar di tangannya.
Gajah Putih terkejut ketika melihat batang lidi itu tiba-tiba meluncur ke arah mata kirinya. Biarpun hanya sebatang lidi, kalau sampai menusuk mata bisa berbahaya juga.
Diapun mengerti bahwa benda apa saja, kalau berada di tangan orang pandai, dapat menjadi senjata yang berbahaya.
"Ihhhh....!" Dia tanpa disadarinya mengeluarkan seruan kaget ini dan cepat memiringkan
kapala sambil menangis dan sekaligus mencengkeram dan merampas batang lidi itu.
Akan tetapi, tiba-tiba saja batang lidi yang amat kecil itu dan digerakkan dengan amat cepatnya itu lenyap dari tangkapan sinar matanya dan tahu-tahu daun telinga kanannya telah tertembus batang lidi.
"Keparat!" dia membentak lagi dan menubruk, kedua tangannya dipentang seperti seekor beruang yang menyerang mangsanya. Joko Handoko mengimbangi gerakannya dan kini kedua orang itu terlibat dalam gerakan serang-menyerang amat cepat dan kuatnya. Wulandari sudah bereru girang.
"Haa, telinga celeng itu sudah terluka." Ia dan ayahnya dapat melihat ketika daun telinga
itu tertembus batang lidi dan dia pun kagum setengah mati. Kini baru terbuka matanya,
baru ia tahu dan yakin benar bahwa Joko Handoko sesungguhnya adalah seorang pemuda perkasa yang memiliki kesaktian hebat, jauh lebih tinggi daripada kemampuannya,bahkan jauh lebih hebat daripada ayahnya.
"Ah, lengannya tembus batang lidi!" teriaknya.
"Nah, sekarang pahanya tembus! Pundaknya! Eh, hidungnya....!" Ia berteriak-teriak dan semua penonton memandang terbelalak penuh keheranan. Mereka, para perajurit dan anggota Sabuk Tembogo tidak dapat mengikuti perkelahian itu dengan baik, akan tetapi
mendengar seruan-seruan Wulandari, mereka memandang penuh perhatian dan memang benar, bagian yang disebut itu nampak berdarah dan darah itu mulai menetesnetes
turun membasahi lantai.
Memang hebat sekali Joko Handoko dengan batang lidinya. Senjata istimewa itu bergarak cepat dan seperti jarum saja,batang lidi itu menembus lengan, paha, pundak, bahkan batang hidung Gajah Putih kebagian pula ditembus lidi dari samping kiri menembus samping kanan. Luka-luka itu kecil saja, akan tetapi amat perih rasanya dan darah pun menetes-netes.
Namun Gajah Putih sudah menjadi nekat. Dia tahu bahwa dia tidak akan menang, akan tetapi pemuda itu terlalu menghina dan mempermainkannya dan dia sudah haus darah.
Dia harus membunuh pemuda itu!"
"Celeng busuk, pergilah!" tiba-tiba Joko Handoko berteriak dan begitu kedua tangannya
membuat gerakan mendorong, angin yang keras sekali membuat tubuh Gajah Putih yang tinggi besar itu terjengkang dan terguling-guling. Itulah jurus Nogopasung yang dilakukan oleh Joko Handoko dengan mengendalikan tenaganya karena dia tidak ingin membunuh orang.
Gajah Putih bangun dan dibantu oleh Gajah Ireng. Mukanya yang putih belepotan darah yang menetes-netes dari hidung dan telinganya, juga bajunya penuh darah yang menetes keluar dari luka-luka tusukan batang lidi. Keduanya menatap Joko Handoko dengan mata mendelik kemudian Gajah Ireng memondong tubuh kakaknya yang Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 90
nampak lemas, dan sekali meloncat, dia sudah lenyap dari situ, melarikan diri keluar dari
tempat itu tanpa pamit.
"Kakang Handoko.......!" Wulandari berlari menghampiri Joko Handoko dan tanpa malumalu
lagi gadis itu memegang kedua tangan pemuda itu dan memandang dengan penuh kekaguman."Engkau nakal, Kakang! Selama ini engkau menipuku, pura-pura sebagai seorang pemuda lemah dan bodoh! Kiranya engkau seorang pendekar yang berilmu tinggi!"
Ki Bragolo juga menghampirinya dan berkata, "Anakmas Joko Handoko, terima kasih.
Andika teah membikin terang aliran kami." Kemudian kakek ini menghampiri Ranunilo dan menegur, "Sahabat Ranunilo, apa artinya semua ini" Siapakah dua orang yang
sombong dan hendak menghina kami itu?"
Sejak tadi Ranunilo tertegun. Segala hal yang terjadi dengan amat cepatnya, di luar kekuasaannya. Dia tadinya girang sekali memperoleh pembantu-pembantu yang sehebat Gajah Putih dan Gajah Ireng. Akan tetapi diapun merasa tak setuju dan gelisah ketika melihat dua orang itu mepermainkan orang-orang Sabuk Tembogo dan menghina, namun dia tidak dapat melarang mereka yang baru saja menjadi pembantunya.
Kemudian, muncul pemuda luar biasa itu, yang memberi hajaran kepada dua orang pembantu barunya sehingga kedua orang itu malarikan diri tanpa berpamit darinya. Dia lalu bangkit berdiri dengan muka menyesal.
"Maafkan aku, paman Bragolo," katanya dengan hormat. "Sesungguhnya, mereka berdua
baru saja menjadi pemabantu pasukanku ketika kami bertemu di jalan dengan mereka, sehingga aku belum mengenal benar siapa sebetulnya mereka. Dan aku tidak mengira bahwa adu ilmu untuk menggembirakan suasana telah berubah menjadi seperti ini.
Sungguh membikin kami merasa tidak enak sekali. Sebaiknya kami pulang saja malam ini ke Tumapel. Kami harap paman suka mengantarkan sang puteri kembali ke Tumapel besok pagi, menghadap sang senopati agar segala hal dibikin beres."
Ki Bragolo mengangguk. "Baiklah, besok aku sendiri bersama Wulandari akan mengantar
sang puteri kembali ke Tumapel dan kami akan mengharapkan kebijaksanaan kanjeng senopati untuk membebaskan murid-murid kami yang memang tidak bersalah."
Ranunilo lalu mengumpulkan anak buahnya dan malam itu juga mereka turun dari lereng Kawi untuk kembali ke Tumapel. Kepada Senopati Pamungkas, Ranunilo melaporkan keadaan apa adanya di sarang Sabuk Tembogo, akan tetapi dia tidak berani melaporkan tentang Gajah Putih dan Gajah Ireng yang menimbulkan kekacauan itu. Mendengar betapa puterinya berada di sarang Sabuk Tembogo sebagai tamu agung, dan dalam keadaan selamat, bahkan besok pagi akan diantar pulang oleh Ki Bragolo sendiri bersama puterinya, hati sang senopati menjadi lega. Dan diam-diam dia mulai memikirkan kemungkinan fitnah yang dijatuhkan orang kepada orang-orang Sabuk Tembogo yang biasanya amat setia kepada Kadipaten Tumapel.
**** Dengan penuh kagum dan gembira, Ki Bragolo dan semua anak buahnya kini manjamu Joko Handoko. Bahkan sang puteri Dewi Pusporini yang mendengar dari Wulandari tentang segala keributan yang terjadi, berkenan keluar dari kamarnya dan ikut pula berpesta untuk menghormati Joko Handoko. Sang puteri duduk semeja dengan Wulandari, ditemani Ki Bragolo dan Joko Handoko sendiri.
"Sungguh kami tidak menyangka sama sekali, nakmas Handoko. Ketika andika datang bersama Wulandari, kami semua tidak mengira bahwa andika adalah seorang pendekar Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 91
sakti akan tetapi, tetap saja aku merasa seperti pernah mengenalmu, pernah berjumpa denganmu. Yakinkah andika bahwa kita tidak pernah saling jumpa, namas?"
Joko Handoko tersenyum dan menggeleng kepala, "Saya yakin bahwa baru sekarang ini kita saling bertemu, Paman."
"Biasanya engkau menyimpan rahasiamu, kakang Handoko. Aih, betapa malu aku kalau teringat betapa aku telah berusaha melindungimu dari perampok-perampok cilik itu, dan
memandang rendah padamu karena kukira engkau seorang pemuda yang lemah.
Sekarang aku baru mengerti mengapa engkau begitu tenang ketika dikepung perampok.
Dulu aku terheran-heran mengapa seorang pemuda lemah memiliki nyali sebesar itu.
Kau sungguh nakal!" Wulandari berkata dan pandang matanya yang ditujukan kepada wajah pemuda itu penuh kekaguman yang dinyatakan secara terbuka, tanpa tendeng aling-aling sehingga siapapun akan dapat melihat jelas bahwa gadis ini tergila-gila atau jatuh cinta kepada Joko Handoko. "Eh, kenapa andika diam saja, mbakayu Dewi"
Bagaimana pendapatmu tentang Kakang Handoko?" Wulandari kini sudah akrab sekali dengan Dewi Pusporini dan menyebutnya mbakayu seperti yang diminta oleh gadis bangsawan itu yang menyebut diajeng kepada Wulandari.
Dewi Pusporini tersenyum dan mukanya berubah agak merah. "Ah, apa yang harus ku katakan" Ketika pertama bertemu, aku mengira bahwa Joko Handoko adalah sekutumu, setidaknya murid Sabuk Tembogo. Kemudian dari percakapan kalian aku baru tahu bahwa di antara kalian tidak ada hubungan apa-apa. Dan melihat sikapnya yang lemah lembut, aku pun tidak mengira bahwa dia seorang pendekar yang sakti. Sayang aku tidak menyaksikan adu ilmu yang terjadi di sini."
"Engkau lelah dan perlu istirahat, mbakayu Dewi, maka aku tidak berani mengganggumu. Apalagi, orang-orang itu kasar-kasar sekali, tentu akan menyinggung perasaanmu yang halus kalau engkau hadir."
Joko Handoko yang tadi hanya tersenyum saja mendengarkan pujian Ki Bragolo dan Wulandari, kini menundukkan mukanya mendengar ucapan Dewi Pusporini. "Ah, sebetulnya saya hanya orang biasa saja yang pernah mempelajari satu dua macam jurus pukulan, dan kebetulan saja tadi Gajah Putih dan Gajah Ireng lengah sehingga saya berhasil mengungguli mereka. Tidak ada yang patut dikagumi."
Sikap Joko Handoko yang merendahkan diri itu membuat Ki Bragolo semakin suka kepada pemuda ini. Dan diam-diam timbul niat di dalam hatinya. Dia melihat jelas betapa puterinya, yang sejak kecil memang berwatak polos dan terbuka, telah jatuh hati
agaknya kepada Joko Handoko. Dan dia sendiri akan merasa beruntung kalau pemuda yang sakti ini bisa menjadi mantunya. Dan mengapa tidak" Asal dia tahu riwayat pemuda
ini, siapa orang tuanya, siapa pula gurunya. Mudah-mudahan saja pemuda ini belum menjadi suami orang.
"Anakmas Joko Handoko, kalau boleh kami mengetahui, anakmas datang dari manakah?"
"Saya datang dari lereng Gunung Anjasmoro, paman."
"Dari lereng Anjasmoro" Ah, dari dusun manakah?"
"Dari.... Kadipaten Wonoselo, Paman." Jawab Joko Handoko, teringat akan ayah tirinya yang menjadi yang menjadi kaponakan Adipati Wonoselo dan tinggal di sana. Dia harus barhati-hati sekali. Kalau sampai Ki Bragolo mengatahui bahwa dia adalah putera
kandung mendiang Raden Ginantoko, tentu saja, tentu pertemuan itu akan berubah menjadi amat tidak enak. Tidak perlu dia merusak suasana dengan memperkenalkan ayahnya.
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 92
"Ah, aku tahu tempat itu," kata Ki Bragolo mengangguk-angguk. "Dan siapakah ayahmu"Ayahmu orang Wonoselo kah?"
Joko Handoko manunduk mukanya sebentar sambil menggeleng. "Bukan, Paman. Ayah kandungku telah meninggal dunia. Kini hanya tinggal ibu dan ayah tiriku."
"Siapakah ayah tirimu?" Ki Bragolo tidak mendesak menanyakan nama ayah kandung yang sudah meninggal dunia itu.
"Ayah tiri saya bernama Pringgojoyo."
Ki Bragolo mengangguk-angguk. Dia tidak mengenal nama itu, akan tetapi nama itu manunjukkan bahwa ayah tiri pemuda ini adalah seorang bangsawan, hal ini dapat diketahui dari namanya. Setidaknya, bukan nama seorang dusun.
"Dan ilmu silatmu yang hebat itu, dari aliran manakah dan siapa yang mengajarmu, anakmas?"
"Dari seorang pendeta bernama Panembahan Pronosidhi yang sakti mandraguna itu!
Aku tahu siapa beliau. Apakah sang Panembahan masih sehat-sehat saja?"
Joko Handoko menundukkan mukanya. "Beliau telah meninggal dunia, paman."
"Ah, sayang sekali. Akan tetapi tentu anakmas telah mewarisi ilmu-ilmu kapandaiannya.
Kini aku tidak heran mengapa semuda ini anakmas telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, kiranya murid sang Panembahan Pronosadhi!"
"Ayah, kakang Handoko malah kenal baik dengan Empu Gandring."
"Begitukah" Pantas....pantas.....seorang pendekar muda sakti tentu saja kenal baik dengan seorang sakti seperti Empu Gandring!" Ki Bragolo manjadi semakin girang dan kagum.
Joko handoko diam saja karena membicarakan kakeknya dan Empu Gandring berarti sedikit-sedikit menyingkap tabir rahasia keluarganya dan dia tidak atau belum mau memperkenalkan keluarganya, terutama mendiang ayah kandungnya kepada keluarga Sabuk Tembogo ini.
Setelah makan minum selesai, Ki Bragolo mengajak Joko Handoko untuk bercakapcakap
di ruangan depan, sedangkan Dewi Pusporini dan Wulandari masuk ke ruangan belakang.
"Anakmas Joko Handoko, maafkan pertanyaanku ini kalau terlalu menyangkut urusan pribadi," setelah duduk berdua saja, Ki Bragolo bertanya.
Berdebar juga rasa jantung dalam dada Joko Handoko. Dia mengira bahwa tuan rumah ini akan bertanya tentang ayah kandungnya. Di bawah sinar bulan yang terang ditambah
sinar lampu di ruangan serambi depan itu, dia memandang tajam ke arah wajah tuan rumah. Angin malam semilir mendatangkan hawa sejuk."
"Bicaralah, paman. Urusan apakah yang hendak paman tanyakan?" katanya dengan suara ditenangkan karena dia merasa tidak enak juga. Ki Bragolo ini sudah tahu bahwa
dia murid mendiang Panembahan Pronosidhi walaupun tidak menduga bahwa gurunya itu juga kakeknya. Akan tetapi kalau Ki Bragolo mendesak dengan pertanyaan-pertanyaan pribadi, dapatkah dia menyangkal dan merahasiakan terus" Dan kalau dia membuka rahasianya, apakah tidak akan terjadi sesuatu diantara mereka"
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 93
"Begini, anakmas Joko Handoko. Kalau boleh akau bertanya, apakah anakmas sudah.......sudah berkeluarga?"
Sejenak Joko Handoko tidak dapat mengerti, akan tetapi setelah saling pandang agak lama, diapun dapat menangkap apa yang dimaksudkan orang itu dan dia tersenyum sambil berkata, "Kalau yang paman maksudkan itu apakah saya sudah menikah, maka jawabannya dalah belum. Saya masih muda, belum berpengalaman dan belum mempunyai penghasilan sedikitpun, bagaimana berani berpikir untuk membentuk keluarga, paman?"
Ki Bragolo tertawa bergelak saking lega dia tahu bahwa Wulandari seorang gadis yang amat baik, dan andai kata dia mau juga, ibunya tentu akan menentang dengan keras.
"Anakmas Joko Handoko, ketahuilah bahwa anakku Wulandari mencintaimu dan hidupnya akian bahagia sekali kalau ia dapat menjadi isterimu. Dan kulihat hubunganmu dengan Wulandari demikian akrab. Bukankah andika juga amat suka kepadanya?" Ki Bragolo yang sudah biasa bicara secara jujur dan terbuka itu mendesak.
"Memang saya suka sekali kepada diajeng Wulandari, akan tetapi hubungan kami hanyalah sebagai sahabat, paman. Dan memang perjodohan, bagaimanapun juga saya tidak berani melancangi ibu saya......"
"Tentu saja, anakmas. Urusan ini harus seijin ibu andika. Asal anakmas sejutu lebih dulu,
urusan orang tua akan mudah dibereskan dan kalau perlu, aku akan pergi menghadap orang tuamu di Wonoselo."
"Harap paman tidak tergesa-gesa dan berilah saya kesempatan untuk berpikir. Saya baru saja keluar meninggalkan rumah dan pergi merantau untuk memperdalam pengetahuan dan hatinya. "Ha-ha-ha-ha, orang muda seperti anakmas ini, apa sukarnya mencari jodoh dan apa sukarnya mendapatkan kedudukan yang baik" Sang Akuwu Tunggal Ametung di Tumapel tentu akan menerima anakmas dengan tangan terbuka dan
anakmas tentu akan memperoleh kedudukan tinggi, setidaknya senopati muda."
"Ah, paman terlalu memuji......"
"Tidak, anakmas. Aku bicara sesungguhnya. Dan tentang jodoh, kalau anakmas tidak menganggap kami terlalu rendah, aku dan Wulandari akan merasa berbahagia sekali kalau anakmas sudi menerima anakku Wulandari sebagai isteri."
Joko Handoko sekali ini terkejut bukan main, jantungnya berdebar dan mukanya berubah
kemerahan. "Paman.....!" serunya bingung. Tak disangkanya sama sekali bahwa kakek ini berniat menjodohkan dia dengan Wulandari. Dia tahu bahwa Wulandari bukanlah anak
kandung Galuhsari, selir Ki Bragolo yang menjadi kekasih mendiang ayahnya dan yang
menyebabkan kematian ayahnya. Akan tetapi, ayahnya tewas di tangan Ki Bragolo, bagaimana mungkin kini dia menjadi mantu pembunuh ayahnya" Walaupun memperluas pengalaman, belum ingin terikat seuatu."
"Tapi ini bukan berarti anakmas menolak....."
Tiba-tiba terdengar suara jerit melengking di tengah malam itu. Karena suara jerit wanita itu datang dari belakang, keduanya terkejut bukan main. Joko Handoko mengenal
suara Dewi Pusporini yang menjerit itu, maka sekali melompat tubuhnya sudah lenyap dari depan Ki Bragolo. Kakek inipun cepat melompat dan berlari ke belakang untuk melihat apa yang telah terjadi.
Kebun belakang rumah besar pedukuhan yang menjadi sarang Sabuk Tembogo ini luas dan cukup terang oleh sinar bulan dan juga oleh lampu-lampu gantung yang dipasang di Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 94
belakang rumah. Ketika tubuh Joko Handoko berkelebat memasuki kebun, dia melihat dua orang kakek mengamuk dikeroyok oleh belasan orang murid Sabuk Tembogo. Dia mengenal dua orang kakek itu sebagai Gajah Putih dan Gajah Ireng. Akan tetapi yang lebih mengejutkan hatinya adalah ketika dia melihat seorang kakek lain yang usianya tentu sudah enampuluhan tahun, berdiri di bawah pohon nonton perkelahian itu. Kakek ini tubuhnya bengkok seperti udang,memegang sebatang tongkat hitam, rambutnya panjang dibiarkan raip-riapan dean lengan kirinya memanggul tubuh seorang wanita yang bukan lain adalah Dewi Pusporini yang nampaknya pingsan dan lemas terkulai.
Tiba-tiba muncul Wulandari. "Kakek iblis, lepaskan mbakayu Dewi! Bentaknya dan gadis ini menyerang kakek itu dengan sabuk tembaga yang barada di tangannya. Agaknya gadis ini telah memperoleh sebuah sabuk tembaga lain sebagai ganti sabuknya yang dirusak oleh lawan ketika ia betanding melawan Gajah Putih sore tadi.
"Heh-heh-heh!" kakek itu terkekeh, suara ketawanya seperti ringkik kuda dan sekali dia
mengangkat tongkat hitamnya menangkis, lalu mendorong, Wulandari terlempar sampai hampir roboh dan terhuyung-huyung.
"Apa yang terjadi?" Joko Handoko bertanya.
"Kami sedang bercakap-cakap ketika muncul dua orang jahanam itu. Ketika aku mengejar dan menyerang mereka, tiba-tiba mbakayu Dewi yang kutinggalkan menjerit dan tahu-tahu telah ditawan oleh kakek iblis itu. Dia sakti, kakang....."
Ki Bragolo telah tiba di situ dan melihat dua orang yang sore tadi sudah membuat kacau
itu kini mengamuk, dia menjadi marah sekali. "Kiranya, kalian berdua memang pengacau busuk!" Dan dia pun sudah terjun ke dalam pertempuran, ikut mengeroyok Gajah Putih dan Gajah Ireng.Sementara itu, Joko Handoko sudah meloncat ke depan kakek yang kini
memandang kepadanya sambil menyeringai. Mulut kakek itu terbuka dan nampak betapa
giginya sudah sudah banyak yang tanggal, dan yang tersisa di mulutnya berwarna hitam mengerikan. Akan tetapi melihat sepasang mata yang kecil seperti dipejamkan itu
mengeluarkan sinar mencorong, tahulah Joko Handoko, bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang sakti.
"Heh-heh, agaknya engkau inilah orang muda yang telah mengalahkan dua orang muridku" Hemm, siapakah gurumu, orang muda?"
"Tidak perlu banyak bicara, yang penting, lepaskan Dewi Pusporini!" bentak Joko Handoko.
"Heh-heh, tanpa kau beritahupun aku akan dapat menebak setelah kita bertempur, orang muda, apakah engkau mampu merampas tubuh si denok ini dari tanganku?"
Tangan kiri kakek itu yang merangkul paha yang tergantung di pundaknya, secara kurang ajar sekali menepuk-nepok pinggul Dewi Pusporini yang pingsan.
Joko Handoko menjadi bukan main. "Kakek jahanam kau!" bentaknya dan diapun sudah menerjang dengan pukulan tangan kiri menampar kearah kepala sedangkan tangan kanannya membentuk cakar untuk mencengkeram dan merampas tubuh Dewi Pusporini.
"Plak! Plak!" Kakek itu menangkis dengan tongkat hitamnya dan kedua orang itu terkejut. Tangkisan tongkat itu terasa oleh Joko Handoko amat kuat dan membuat kedua
lengannya yang tertangkis tergetar hebat. Sebaliknya, kakek itupun terkejut setengah mati ketika merasa bahwa tongkatnya tergetar dan pemuda itu berani mengadu lengan dengan tongkatnya tanpa terluka sidikitpun.
Kakek itu mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau dan tiba-tiba saja tubuhnya melesat ke depan dengan amat cepatnya. Tongkatnya berubah menjadi sinar hitam yang
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 95
meluncur lalu bergulung-gulung menyerang kearah Joko Handoko. Pemuda ini bersikap hati-hati, cepat dia mengelak dengan berloncatan sambil berusaha membalas. Dia tahu bahwa sebagai guru Gajah Putih yang bertenaga raksasa dan Gajah Ireng yang memiliki keringanan tubuh istimewa, tentu kakek ini selain amat kuat, juga memiliki ilmu meringankan tubuh yang tak boleh di pandang ringan.
Biarpun kakek itu melakukan serangan bertubi-tubi, namun Joko Handoko mampu menghindarkan diri dan serangan balasannya membuat kakek itu repot. Bagaimanapun juga, karena memanggul tubuh Dewi Pusporini, kakek itu tidak dapat bergerak dengan leluasa. Apalagi setelah Joko Handoko memainkan Ilmu Silat Nogokredo, yaitu ilmu aliran
Hati Putih yang terkenal kuat, kakek itu mengeluarkan suara kaget.
"Aih, Nogokredo, ya" Kau tentu murid Pronosidi!" teriaknya.
"Bagus kalau sudah tahu,kakek sesat! Bebaskan sang puteri dan pergilah!" Joko Handoko
membentak. Kakek itu tertawa terkekeh-kekeh. "Heh-heh-heh, bocah masih ingusan berani menggertakku! Menghadapi Pronosidhi sendiri aku tidak takut, apalagi hanya muridnya yang masih bocah seperti engkau."
"Lepaskan sang puteri!" Joko Handoko membentak dan diapun sudah menyerang lagi, kini dia mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari Nogokredo. Kedua tangannya
membentuk cakar naga, dan kedua lengannya membuat gerakan seperti tubuh ular laga mengamuk. Dari kedua telapak tangannya keluar hawa sakti yang amat kuat ketika dua tangan itu menyerang dengan kecepatan kilat, yang kanan menampar ke arah ulu hati.
Kakek yang terlalu memandang rendah lawan itu memutar tongkat hitamnya melindungi tubuh.
"Plak! Desss"..!" Dua kali tongkatnya menangkis dan memang kakek itu berhasil menangkis pukulan berganda dari Joko Handoko, akan tetapi akibat benturan tenaga itu
dia terhuyung ke belakang.
Kini marahlah kakek itu. Dia melemparkan tubuh Dewi Pusporini yang masih pingsan ke atas rumput di bawah pohon, dan diapun melompat ke depan Joko Handoko, matanya mencorong seperti mata kucing dalam gelap. "Babo-babo si keparat! Tak dapat diberi hati, kau berani melawan Ki Danyang Bagaskoro, berarti sudah bosan hidup kau!"
Diam-diam Joko Handoko terkejut. Mendiang kakeknya seringkali menceritakan kepadanya tentang adanya orang-orang sakti di dunia ini dan pernah kakeknya menyebut nama Ki Danyang Bagaskoro adalah seorang tokoh yang sakti di Kerajaan Doho, dan termasuk orang yang condong ke golongan sesat. Akan tetapi, dia tidak merasa gentar. Betapapun saktinya kakek ini adalah orang sesat yang harus dilawan dan
dibasminya, dan seorang yang begitu tinggi hati dan sombong sehingga menggunakan nama julukan Bagaskoro yang berarti Matahari, tentu tidak akan diberkahi para dewata!
"Heeeeeeeeeeekkkkhhhhh.......!!"
Kakek itu mengeluarkan seruan dahsyat seperti suara iblis sendiri di tengah kuburan, dan tubuhnya melesat ke depan, didahului gulungan sinar hitam itu mencuat dan menusuk kearah bagian kemaluan, pusar, uluhati, tenggorokan, pundak kanan, pundak kiri, dan di antara mata. Satu saja bagian ini terkena, tentu akan mendatangkan malapetaka hebat.
"Hyaaaaaaaaahhhhhhhhh.......!" Joko Handoko yang menghadapi serangan hebat itu cepat menggerakkan tenaga kaki menggenjot tanah dan tubuhnya sudah mencelat ke atas, seperti terbang sehingga serangan bertubi-tubi itu luput semua. Dan dari atas, Joko
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 96
Handoko berjungkir balik. Kini dengan kepala di bawah didahului oleh kedua tangan yang
membentuk cakar, dia meluncur dan melakukan serangan belasan. Hebat sekali gerakan ini yang disebut jurus Nogosungsang, sebuah jurus hebat dari Ilmu Silat Nogokredo.
Hanya murid-murid dari tingkat tertinggi saja dari perguruan Hati Putih yang mampu melakukan jurus Nogosungsang sebaik yang dilakukan oleh Joko Handoko di saat itu.
Namun Ki Danyang Bagaskoro yang sombong dan memandang rendah lawan itu, tidak menjadi gentar,bahkan dia memkik lagi dan tubuhnya juga mencelat ke atas menyambut
serangan lawan di udara, tongkat hitamnya diputar dan diobat-abitkan sehingga
mengeluarkan suara bercuitan dan angina yang menyambar-nyambar ganas.
"Plak! Plak! Desss.... bretttttt....!"
Keduanya berjungkir balik mambuat salto beberapa kali baru turun ke atas tanah dan Joko Handoko memandang dan meraba bajunya yang robek di bagian dada dengan muka berubah. Sungguh hebat gerakan kakek itu sehingga walaupun dia mampu menghindarkan diri dari akibat yang parah dan benturan di udara tadi, namun tetap saja
tubuhnya tergoncang dan bajunya robek.
"Heh-heh-heh, bocah ingusan. Sekarang bajumu yang robek, nanti dadamu yang akan kurobek menjadi empat potong, heh-heh!" Ki Danyang Bagaskoro membual sambil terkekeh untuk menyembunyikan rasa kagetnya. Tadi dia sudah mengerahkan kepandaian dan tenaganya namun dia hanya mampu merobek baju lawan, sedangkan benturan tenaga itu membuat dadanya sendiri terguncang hebat.
Sementara itu, Wulandari yang melihat betapa ayahnya dan para murid Sabuk Tembogo
sudah mengeroyok dua orang lawan, cepat turun ke dalam kancah pertempuran dan ikut mengeroyok. Dua orang murid Ki Danyang Bagaskoro itu m,asih lelah, bahkan sudah menderita luka ketika mereka berkelahi melawan Joko Handoko sore tadi, terutama sekali Gajah Putih sudah kehilangan banyak darah dan tenaga. Maka, kini dikeroyok oleh
Ki Bragolo, Wulandari, dan murid-murid Sabuk Tembogo yang sudah berkumpul semua dan jumlahnya empat puluh orang itu, tentu saja mereka terdesak hebat. Mereka tadi mengandalkan guru mereka untuk turun tangan. Tak mereka sangka bahwa kini pemuda itu pula yang sanggup menahan amukan Ki Danyang. Karena mereka berdua terancam maut di antara sabuk-sabuk tembaga yang berterbangan itu akhirnya mereka tidak kuat
menahan lagi dan keduanya lalu meloncat ke dalam kegelapan malam dan melarikan diri.
Kini Ki Bragolo, Wulandari dan para murid Sabuk Tembogo mengurung tempat itu dan mereka melihat betapa Joko Handoko terobek bajunya dan kakek itu terkekeh mengejek.
Ki Bragolo dan puterinya sudah mengayun sabuk tembaga mereka untuk maju membantu Joko Handoko, akan tetapi pemuda itu cepat mencegah mereka. "Paman dan diajeng, harap jangan ikut-ikut. Dia adalah lawanku, dan aku belum kalah!" Pemuda itu mencegah karena dia tahu betapa hebatnya kakek itu dan kalau Ki Bragolo dan Wulandari maju, sangat boleh jadi ayah dan anak itu akan tewas menjadi korban.
Dicegah oleh Joko Handoko, ayah dan anak itu mundur kembali dan hanya menonton dengan hati gelisah. Mereka dapat menduga akan kesaktian kakek bungkuk itu, akan tetapi karena Joko Handoko melarang, mereka tidak berani maju. Memaksakan pengeroyokan berarti akan merendahkan derajat Joko Handoko dan seorang yang gagah
perkasa seperti Joko Handoko tentu lebih mempertahankan kehormatan daripada nyawa.
Ki Danyang Bagaskoro sudah melangkah maju lagi. Langkahnya pendek-pendek dan kakinya sebetulnya tidak terangkat, bukan melangkah melainkan menggeser ke depan, tongkat hitamnya yang ampuh itu diputar-putar di depan tubuhnya, siap untuk melakukan serangan dahsyat lagi.
Joko Handoko maklum bahwa kalau dia hanya mengandalkan Ilmu Silat Nogokredo saja, Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 97
agaknya dia tidak akan mampu mengalahkan kakek ini. Maka, perlahan-lahan dia lalu menggerakkan tubuhnya, kaki kiri ke depan dengan lutut ditekuk sehingga tubuhnya merendah, kaki kanan di belakang, terjulur lurus dengan ujung ibu jari kaki kanan saja yang menyentuh tanah, tangan kiri melintang di depan dada dengan jari-jari terbuka membentuk cakar naga, tangan kanan terlentang menempel pinggang dengan membentuk cakar naga pula. Muka menghadap lurus ke depan, mata mencorong dan mulut agak terbuka. Tiga kali dia menghirup hawa dari lubang hidung dan mengeluarkannya sedikit demi sedikit melalui mulutnya. Dadanya terasa mengembung dan penuh dengan hawa sakti, tanda bahwa kuda-kuda jurus Nogopasung yang dilakukannya itu sudah sempurna dan dia sudah siap memainkan jurus Nogopasung itu.
Ki Danyang Bagaskoro sudah tahu bahwa pemuda itu adalah murid perguruan. Hati Putih
dan menguasai Ilmu Silat Nogokredo. Akan tetapi dia tidak mengenal jurus Nogopasung,
yang diciptakan baru saja oleh Panembahan Pronosidhi. Khusus untuk Joko Handoko.
Maka dia pun memandang rendah dan tidak tahu bahwa tubuh yang agak merendah dari pemuda itu mulai menghimpun tenaga sakti yang amat dahsyat.
"Heiiiiiiiittttt......." Kakek itu sudah meloncat lagi ke depan dan memutar tongkatnya untuk menyerang.
"Aaaaaarrrghh.....!" Joko Handoko juga menerjang ke depan, kedua tangan yang membentuk cakar naga itu bergerak-gerak dengan cepat menyambut terjangan lawan.
"Deessss........!!" Hebat bukan main tumbukan yang terjadi antara dua orang itu, terasa oleh semua orang yang nonton seolah-olah kilat menyambar dan guntur menggelegar dan akibatnya tubuh kakek itu terlempar dan melayang seperti sehelai daun kering terhempas angin lalu jatuh terbanting dengan keras.
Semua orang memandang dengan hati tegang. Ternyata kakek itu benar-benar sakti atau memiliki tubuh yang amat kebal. Biarpun dia terlempar dan terbanting sedemikian kerasnya, dia masih mampu bangkit kembali. Matanya mencorong, tangannya mengusap bibir yang berdarah dan dia mendengus penuh kemarahan. Mulutnya mengeluarkan desis
seperti ular marah.
"Keparat......! Kalau aku tidak mampu membunuhmu jangan sebut aku Ki Danyang Bagaskoro......!" Kemarahannya memuncak dan tiba-tiba dia memindahkan tongkat hitam ke tangan kirinya, sedangkan tangan kanan mencabut keluar sebatang keris yang mengeluarkan sinar hitam menyilaukan mata. Keris itu tidak panjang, hanya dua jengkal saja, berlekuk tiga. Itulah Keris Ki Bango Dolog yang ampuh karena selain di "isi"
dengan
kekuatan ilmu hitam, juga mengandung racun yang sangat ampuh. Tergores sedikit saja,
kulit akan melepuh dan nyawanya sukar diselamatkan lagi.
Kini dengan keris pusaka di tangan kanan dan tongkat hitam di tangan kiri , Ki Danyang Bagaskoro berlari dan menerjang kea rah Joko Handoko. Pemuda ini mengelak, akan tetapi hawa dan pengaruh keris pusaka yang mengandung hawa ilmu hitam itu membuat dia terkejut dan bulu tengkuknya meremang. Rasa takut menyelinap di dalam hatinya dan hal ini membuat gerakannya kurang cepat.
"Tukkk.....!" Tongkat hitamnya itu berhasil mengenai pundak kirinya dan Joko Handoko cepat melempar tubuh ke belakang dan berguling. Dia meloncat bangun, meraba pundaknya yang terasa nyeri bukan main. Nyaris tulang pundaknya pecah oleh pukulan tongkat hitam yang ampuh itu.
Kakek itu kini terkekeh lagi, merasa mendapat kemenangan atau setidaknya menebus kekalahannya yang tadi. Dia memastikan bahwa dengan keris Ki Bango Dolog dia tentu akan berhasil membunuh Joko Handoko.
Akan tetapi, Joko Handoko yang maklum akan keampuhan keris itu, terpaksa mencabut Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 98
keluar keris pusaka Nogopasung dari balik bajunya. Pada saat itu, lawannya sudah menerjang lagi dengan keris dan tongkatnya. Dia pun menggerakkan keris Nogopasung dan segera terdengar suara berdencing dan bendentang nyaring, nampak bunga api berpijar menyilaukan mata ketika dua orang itu sudah berkelahi dengan keris dan tongkat. Belum sampai sepuluh jurus, tiba-tiba tubuh kakek itu terpental oleh tendangan
Joko Handoko sedangkan keris pusaka Ki Bango Dolog patah menjadi dua potong.
Hal ini mengejutkan Ki Danyang Bagaskoro. Keris pusakanya patah! Dia mengeluarkan suara mirip tangisan dan tiba-tiba saja, dengan tongkat hitamnya, dia menubruk ke arah
tubuh Dewi Pusporini yang baru saja siuman dan masih duduk di bawah pohon nonton perkelahian dengan mata terbelalak. Ternyata dalam keadaan kalah dan putus asa, tibatiba
kakek itu seperti gila, hendak membunuh sang puteri dengan tongkat hitamnya.
Pada saat itu, Joko Handoko juga masih tergetar dan terguncang hebat karena pertemuan tenaga tadi. Akan tetapi, melihat betapa kakek itu bergerak hendak membunuh Dewi Pusporini, dia terkejut dan tiba-tiba tubuhnya meluncur cepat ke arah kakek itu, dengan keris pusaka Nogopasung di tangan.
Pada saat itu Ki Danyang Bagaskoro sudah menggerakkan tongkatnya ke atas ketika dia
melihat meluncurnya tubuh Joko Handoko menyerangnya, tiba-tiba dia membalikkan tubuh dan tongkatnya menyambut ke arah dada pemuda itu yang juga menujukan kerisnya kepadanya.
"Dukkk......! Cressss.......!"
Tubuh kakek itu terjengkang dan darah membasahi baju di lambungnya. Akan tetapi, Joko Handoko juga terhuyung ke belakang, tangan kanan memegang keris Nogopasung
yang dipandangnya dengan mata terbelalak karena ujung keris itu belepotan darah, sedangkan tangan kirinya menekan dada yang tadi terpukul tongkat hitam.
"Ampunkan saya......., eyang......" bisiknya dan diapun tiba-tiba menjatuhkan diri, duduk bersila sambil memejamkan kedua mata, mengumpulkan hawa murni untuk mengobati luka di sebelah dalan tubuhnya akibat pukulan tongkat hitam. Keris pusaka Nogopasung menggeletak di atas pangkuannya, masih belepotan darah. Sementara itu, setelah berkelejotan sebentar, tubuh Ki Danyang Bagaskoro tidak bergerak lagi, matanya melotot mulutnya terbuka dan tubuhnya tak bernyawa lagi. Lambungnya telah tertusuk keris pusaka Nogopasung yang amat ampuh itu. Joko Handoko prihatin sekali, bukan karena lukanya, melainkan karena terpaksa dia tadi menggunakan keris pusaka itu untuk
membunuh orang, terpaksa karena kalau tidak cepat-cepat dia turun tangan, tentu Dewi
Pusporini telah tewas di tangan kakek itu. Dia merasa menyesal harus melanggar janjinya kepada mendiang eyangnya, Panembahan Pronosidhi.
Ki Bragolo yang tadi menahan napas dan merasa tegang sekali menyaksikan perkelahian mati-matian yang amat dahsyat itu, merasa kagum dan lega melihat bepata pemuda itu berhasil pula merobohkan musuh yang demikian saktinya. Kalau sampai sang puteri tewas, tentu akan terjadi geger karena Senopati Pamungkas tentu akan menyalahkan padanya. Bukankah sang puteri itu berada di bawah perlindungannya" Kini dia cepat menghampiri Joko Handoko untuk melihat apakah pemuda yang terkena pukulan tongkat
itu tidak apa-apa. Juga Wulandari berlari menghampiri pemuda yang dikaguminya dan dicinta itu.
Ketika Ki Bragolo melihat keris pusaka di atas pangkuan pemuda itu, seketika wajahnya menjadi pucat, matanya terbelalak dan kedua kakinya gemetar. "Keris pusaka Nogopasung........!" teriaknya seperti melihat ular berbisa hendak menggigit kakinya.
"Jagat Dewa Bathoro......!" Dari mana andika memperoleh keris ini, anakmas?"
Joko Handoko hanya membuka sebentar kedua matanya. Seperti mimpi dia mendengar Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 99
pertanyaan itu dan dijawabnya dengan sejujurnya, "Saya menerimanya dari ibu saya paman," dan dia pun memejamkan kembali kedua matanya.
Ki Bragolo memandang wajah pemuda itu dengan muka sebentar pucat sebentar merah.
Ibunya! Dan gurunya adalah panembahan Pronosidhi yang disebut eyang! Dan wajah pemuda ini! Kini teringatlah dia mengapa dia mempunyai perasaan seolah-olah pernah mengenal pemuda ini, pernah bertemu dengannya. Ah, betapa bodohnya!
"Anakmas Joko Handoko, engkau masih ada hubungan apakah dengan mendiang Raden Ginantoko?" tanyanya dan suaranya terdengar membentak, mengejutkan Wulandari yang berada di sampingnya. Ki Bragolo memang belum pernah bercerita kepada puterinya tentang Ginantoko dan peristiwa yang terjadi sebelum gadis ini terlahir.
Joko Handoko yang merasa tidak ada gunanya lagi menyembunyikan keadaan dirinya, masih seperti dalam mimpi, tanpa membuka kedua mata yang terpejam, menjawab,
"Mendiang Raden Ginantoko adalah ayah kandungku."
"Keparat"..!" Dan tiba-tiba Ki Bragolo mengangkat sabuk tembaga di tangannya, mengayunnya dan menghantamkan sabuk itu ke arah kepala Joko Handoko.
"Tranggg"..!" Sabuk tembaga itu bertemu dengan sabuk tembaga di tangan Wulandari yang telah menangkisnya.
"Ayah, apakah engkau telah menjadi gila?"" Gadis itu berteriak dan melangkah, melindungi pemuda itu dan menghadapi ayahnya dengan mata mengandung api kemarahan siap untuk membela Joko Handoko.
"Memang aku telah gila!" Ayahnya membentak, juga marah sekali. "Minggirlah aku akan membunuh anak setan ini! Aku telah gila membiarka engkau bergaul dengan dia dan menerimanya sebagai tamu dan sahabat. Dia adalah musuh besar yang harus kita bunuh, atau dia akan mencelakakan kita semua!"
Kembali orang tua itu mengangkat sabuk tembaganya di atas kepala, siap untuk menyerang pemuda yang masih duduk bersila itu. Joko Handoko mendengar semua itu akan tetapi dia dalam keadaan terluka parah. Bergerak sedikit saja akan membahayakan
keselamatannya, maka diapun menyerakan diri kepada nasib.
"Tidak ayah. Kau tidak boleh membunuhnya!" Wulandari berkeras, dengan sabuk tembaga di tangan, siap melawan ayahnya.
"Bocah tolol, minggir kau!" Si ayah membentak marah.
"Tidak, sebelum ayah membunuhnya, ayah bunuhlah dulu aku!" bentak Wulandari.
Sejenak ayah dan anak itu saling pandang dengan mata melotot. Akhirnya Ki Bragolo yang mengenal watak anaknya dan tahu bahwa anaknya akan membela mati-matian dan dia baru akan dapat menyerang Joko Handoko setelah membunuh anaknya, menurunkan sabuk tembaganya dan menarik napas panjang.
"Anak bodoh, sialan, anak tolol!" gerutunya.
Tiba-tiba Dewi Pusporini yang juga dating mendekat, berkata halus, "Paman Bragolo, sungguh aku merasa heran sekali dan tidak mengerti akan sikap paman ini. Joko Handoko telah membelamu menghadapi musuh-musuh yang tangguh, bahkan telah menyelamatkan nyawaku dari tangan kakek iblis itu. Akan tetapi engkau tidak berterima
kasih kepadanya, bahkan hendak membunuhnya! Sikap macam apakah yang saya lihat ini?"
Ki Bragolo menundukkan mukanya dan berkali-kali dia menrik napas panjang. Tentu saja Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 100
dia amat berterima kasih kepada Joko Handoko, akan tetapi kenyataan bahwa pemuda ini putera kandung Ginantoko,seorang yang telah berbuat mesum terhadap Galuhsari, isteri yang amat disayangnya, hal itu sampai sekarang masih membuat darahnya mendidih penuh kemarahan dendam.
"Ayah, kakang Handoko telah berkali-kali menolong kita dan bahkan telah membersihkan
nama dan kehormatan Sabuk Tembogo, bahkan malam ini, demi untuk menolong kita dan menyelamatkan mbakayu Dewi, dia telah menderita luka parah dan hampir saja mengorbankan nyawanya. Sepatutnya kita berterima kasih dan bersyukur dengan
kehadirannya. Bagaimana kini ayah begitu membencinya dan hendak membunuhnya"
Andaikata ada urusan antara ayah dengan ayah kandung kakang Handoko, kiranya hal itu tidak ada sangkut pautnya dengan kakang Handoko."
Keris Pusaka Nogopasung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Wulandari, engkau tahu apa" Ayahnya seorang jahanam keparat yang busuk, mana mungkin anaknya baik" Kacang tidak meninggalkan lanjaran,anak tidak akan jauh berbeda dari ayahnya. Anak-anak, tangkap dia,belenggu dan masukkan kamar tahanan!"
Biarpun meragukan perintah itu,namun para murid Sabuk Tembogo tidak berani membantah dan mereka lalu dengan sikap halus menarik Joko Handoko bangkit, dan mengajaknya masuk ke bagian belakang di mana terdapat pondok-pondok yang biasa dipergunakan untuk menghukum murid yang bersalah atau dipakai untuk bertapa paera murid yang ingin memperdalam ilmu kedigdayaannya.
"Belenggu kaki tangannya dan jaga jangan sampai dia terlepas!" Ki Bragolo mereriakkan perintahnya.
"Ayah! Kau sungguh keterlaluan!" teriak Wulandari sambil menangis. "Kakang Handoko, jangan khawatir, aku akan membelamu!" ia pun berteriak kepada Joko Handoko yang melangkah dengan tubuh masih lemas, diiringkan beberapa orang murid Sabuk Tembogo. Joko Handoko yang maklum bahwa dia menderita luka parah, menurut saja ketika digiring ke dalam, dia pun duduk bersila dan mengatur pernapasan, sama sekali tidak peduli ketika kaki tangannya diikat dengan rantai besi yang kuat. Biarpun dengan hati berat, para murid Sabuk Tembogo melaksanakan perintah guru dan ketua mereka itu, diam-diam mereka masih penasaran. Akan tetapi beberapa orang murid yang lebih tua seperti Sentono dan Sentanu, tidak merasa heran. Mereka berdua ikut pula mengeroyok ketika Ki Bragolo menyerang Ginantoko karena menangkap basah petualang
asmara itu memadu asmara dengan mendiang Galuhsari, isteri tercinta Ki Bragolo.
Maka, dua orang murid kepala ini maklum bahwa guru mereka masih menaruh dendam kepada Ginantoko walaupun sudah berhasil membunuhnya, sehingga kini mendengar bahwa Joko Handoko adalah putera musuh besar itu, dia menjadi marah sekali dan menyuruh tangkap pemuda yang telah banyak menolongnya itu.
Kita semua tahu betapa bahayanya dendam. Dendam yang tertanam di dalam batin kita bukan hanya mendatangkan kebencian dan permusuhan, bahkan dapat meluas menjadi dendam golongan dan dendam antara bangsa sehingga dunia ini penuh dengan perang, bunuh-membunuh, semua itu dibakar oleh api dendam.
Dari manakah datangnya dendam" Bagaimana terjadinya" Seseorang melempar sesuatu yang mengenai tubuh kita menimbulkan nyeri badan dan kitapun marah, mendendam dan ingin membalas. Atau seseorang melempar kata-kata yang menyinggung perasaan dan menimbulkan nyeri di hati sehingga kitapun marah dan dendam, ingin membalas.
Jelaslah bahwa dendam timbul karena kita merasa disakiti, dirugikan, baik lahir maupun
batin. Kita sejak kecil membangun sebuah "aku" dari diri kita, yang kita agungkan sehingga si-aku yang makin lama makin kita bangun menjadi kokoh kuat dan merasa selalu benar sendiri, baik sendiri dan seterusnya. Kalau si-aku ini sampai tersinggung,
dibahayakan keagungannya, maka marahlah kita. Kita bela si-aku ini mati-matian karena kita merasa bahwa tanpa gambaran si-aku, kita ini bukan apa-apa. Kalau si-aku disinggung kita melawan, karena kalau tidak, si-aku menjadi tidak dipentingkan lagi, Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 101
tidak diagungkan lagi. Pangagungan si-aku inilah yang menjadi sumber terjadinya dendam. Milik kita diambil orang, kita merasa dirugikan. Iba hati tergadap si-aku membuat kita ingin membalas, dan dendam ini melahirkan kekerasan dan kekejaman.
Orang yang biasanya tidak tega mambunuh seekor lalat pun, kalau sudah dibakar api dendam aka tega menyiksa musuhnya dengan sadis sekali.
Dapat kita menghadapi segala sesuatu tanpa si-aku ikut campur" Menerima segala sesuatu sebagai suatu kenyataan, dengan penuh kewaspadaan kita mengamati kalau ada orang mencela kita, dapatkah kita mendengarkan dia sambil mengamati diri sendiri tanpa adanya si-aku yang tersinggung" Mungkin saja kita memang patut dicela karena suatu kesalahan. Kalau ada orang menginjak kaki kita, dapatkah kita menghadapi peristiwa ini dengan dengan mata terbuka penuh kewaspadaan tanpa si-aku mencampuri
sehingga kita akan dapat melihat terjadinya peristiwa itu dalam keadaan yang sebenarnya" Akan nampak oleh kita bahwa orang itu melakukannya tanpa sengaja,dan bahwa di tempat yang penuh sesak itu besar sekali kemungkinan salah injak.
Pembukaan mata penuh kewaspadaan tanpa adanya campur tangan si-aku si bayangan congkak itu, akan melahirkan kebijaksanaan dan tindakan yang sehat. Bukan tindakan terdorong oleh emosi karena si-aku tersinggung keagungannya. Kalau ada orang yang mengambil milik kita. Kembali si-aku yang telah mengikatkan diri dengan milik kita yang membelenggu si-aku, kekayaan,kedudukan,nama besar, isteri tercinta, anak-anak tersayang, keluarga,dan sebagainya, merasa kehilangan. Si-aku yang dipisahkan dari miliknya ini menimbulkan iba diri, menimbulkan duka, dan menimbukan dendam kepada orang yang memisahkan si-aku dari miliknya.
Semua peristiwa yang terjadi di dalam diri ini, tidaklah patut untuk kita pelajari dengan
seksama, dengan cara mengamati diri setiap detik" Karena, permusuhan dan kekacauan dan permusuhan di dalam hati masing-masing. Perang di dunia hanyalah pengluasan parang dalam batin kita sendiri.
Ki Bragolo demikian erat terikat dengan Galuhsari,isterinya yang menurut pendapatnya amat mencintanya. Isterinya itu dianggap tergoda oleh Ginantoko sehingga malakukan perbuatan jina dengan petualang asmara itu sampai kedua orang itu dibunuhnya. Dan kehilangan Galuhsari ini terus menghantuinya, sampai belasan tahun masih saja teringat
dan selalu mendatangkan duka, kecewa, dan melahirkan dendam yang tidak ada habisnya. Walaupun dia telah membunuh Ginantoko dalam hal ini. Memang, setelah musuhnya itu tidak ada lagi, nampaknya dia tidak lagi menaruh dendam. Namun api dendam itu tak pernah padam sama sekali dari lubuk hatinya. Bagaikan api yang membara, setiap waktu dapat berkobar lagi. Maka, begitu mendengar bahwa Joko Handoko adalah putera Ginantoko, api yang membara itu kini berkobar.
"Ayah, aku sungguh tidak setuju dengan tindakan ayah!" Tiba-tiba Wulandari mengguncang Ki Bragolo dari lamunan. "Sungguh tidak adil perbuatan ayah terhadap kakang Handoko! Aku tidak setuju dan memprotes! Kakang Handoko harus dibebaskan!"
"Paman Bragolo, harap paman ingatlah. Kalau paman tidak membebaskan Joko Handoko, apakah paman ingin dinamakan orang yang tidak mengenal budi"Patutkah air susu dibalas air tuba, pertolongan dan jasa Joko Handoko dibalas dengan kekejaman"
Aku menjadi saksi, paman bahwa Joko Handoko tidak bersalah apa-apa terhadap paman,
bahkan telah membuat jasa besar."
Makin pening rasa kepala Ki Bragolo mendengar protes yang dilakukan Wulandari dan Dewi Pusporini itu. Dia segera memasuki pendopo rumahnya dan menjatuhkan diri duduk
di atas kursi. Akan tetapi dua orang gadis itu tetap mengikutinya. Ki Bragolo menutup muka dengan kedua tangannya yang besar.
"Kalian tidak tahu......ah, kalian tidak tahu apa yang diperbuat ayahnya kepadaku....."
keluhnya sebagai pembelaan diri karena serangan-serangan dua orang gadis itu."Apa yang telah diperbuatnya" Ceritakanlah ayah, agar hatiku tidak menjadi penasaran dan Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 102
aku tahu mengapa ayah melakukan kekejian ini terhadap kakang Joko Handoko yang tidak berdosa."
"Benar, ceritakan paman, karena hatiku pun merasa penasaran sekali." Dewi Pusporini juga mendesak. Bagaimanapun juga, sang puteri ini merasa berhutang budi dan nyawa kepada Joko Handoko, maka melihat pemuda itu ditawan dan mengalami hal yang tidak adil, ingin ia membelanya.
Tanpa membuka kedua tangan dari depan mukanya, Ki Bragolo menarik napas panjang.
Dia sendiri juga menjadi bimbang, hatinya terobek antara dendam, kebencian dan hutang budi. Kemudian dia berkata, suaranya lirih penuh penyesalan. "Sudah terjadi lama sekali sebelum engkau lahir, Wulan. Ketika itu aku mempunyai seorang isteri, bernama Galuhsari....... dan aku..... aku amat sayang kepadanya." Dia berhenti karena hatinya terharu ketika bayangan wajah isterinya yang cantik itu memenuhi ingatannya.
"Kemudian datanglah dia....... si keparat Ginantoko. Dengan ketampanannya, dia merayu Galuhsari........ dan Galuhsari jatuh...... si keparat itu mengauli isteriku, di depan mataku. Lalu..... kubunuh dia, juga..... juga Galuhsari. Mereka tewas di ujung keris pusaka Nogopasung yang kepinjam dari Empu Gandring guru Ginantoko. Noda darah mereka tak dapat hilang dari ujung keris, yaitu Nogopasung yang kini dibawa oleh Joko Handoko." Kakek itu berhenti bercerita, lalu menurunkan kedua tangannya. Matanya merah dan wajahnya menjadi keruh sehingga dia nampak semakin tua.
"Akan tetapi ayah, bukankah ayah telah membunuhnya" Kesalahannya itu telah mendapat hukuman dan dosanya terhadap ayah telah dibayar lunas, bukan?"
"Biarpun begitu, dia telah menghancurkan kebahagiaanku. Aku amat sayang kepada Galuhsari dan aku telah kehilangan kebahagiaanku........."
Wulandari mengerutkan alisnya. Hatinya tersinggung karena ucapan ayahnya itu dapat berarti bahwa ayahnya tidak menemukan kebahagiaan di samping ibunya, atau
setidaknya, ayahnya tidak mencinta ibunya, seperti dia mencintai Galuhsari. "Akan tetapi, ayah sendiri yang membunuh Galuhsari!"
"Dan bagaimanapun juga, hal itu terjadi ketika Joko Handoko belum terlahir. Yang bersalah adalah ayahnya, kenapa dia diikut-ikutkan" Dia sama sekali tidak tahu menahu tentang perbuatan ayahnya itu, paman."
"Sekarang aku tahu mengapa kakang Handoko menyembunyikan keadaannya. Tentu dia sudah tahu pula akan peristiwa antara ayahnya dan kau, ayah. Sungguh dia berwatak budiman. Dia tahu bahwa ayah telah membunuh ayah kandungnya, namun dia telah menyelamatkan kami, sama sekali dia tidak menaruh dendam atas kematian ayahnya!"
Wulandari berkata penuh semangat. "Ayah harus membebaskannya sekarang juga!"
"Sudahlah. Kau pergilah tidur Wulan. Dan andika juga, diajeng. Aku akan memikirkan urusan itu sampai besok. Besok aku akan mengambil keputusan......."
"Tapi, ayah. Dia terluka dan......."
"Cukup! Besok kita bicarakan lagi!" bentak ayahnya yang kembali menutupi mukanya dengan kedua tangannya.
Wulandari dapat mengerti bahwa ayahnya juga dicekam kebimbangan dan kedukaan, maka ia, menggandeng tangan Dewi Pusporini, sambil menahan isaknya ia lalu pergi meninggalkan ayahnya, masuk ke dalam kamarnya bersama Dewi Pusporini yang mencoba untuk menghiburnya.
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 103
"Tenanglah, diajeng Wulan. Besok kita dapat membujuk lagi ayahmu untuk membebaskan Joko Handoko."
Wulandari merangkul puteri itu dan kini ia menangis. Dewi Pusporini menarik napas panjang dan mengelus rambut yang panjang halus dan terlepas dari sanggulnya itu.
"Diajeng Wulandari, cinta benarkah engkau kepadanya?"
Wulandari terisak dan mengangguk. Dan Dewi Pusporini tidak bertanya lagi. Ia sudah sejak pertemuan pertama dapat melihat bahwa gadis ini jatuh hati kepada Joko Handoko. Akan tetapi yang membuat ia kini termangu-mangu adalah karena adanya kenyataan yang tak terlepas dari pandang matanya pula, yaitu bahwa Joko Handoko bersikap wajar saja kepada Wulandari. Sebaliknya, pandang mata Joko Handoko kepadanya, sungguh jelas menunjukkan kekaguman terbuka, menunjukkan bahwa pemuda itu setidaknya amat tertarik kepadanya. Dan dia sendiri" Wajahnya menjadi merah dan cepat-cepat ia merangkul Wulandari.
"Sabarlah, diajeng Wulan......."
**** Ki Bragolo merasa amat tersiksa malam itu. Dia gelisah di atas tempat tidurnya, bahkan
menyuruh isterinya, ibu Wulandari, untuk tidur di kamar lain. Dia ingin menyendiri dan hal ini bahkan membuatnya menjadi semakin gelisah. Terjadi perang di dalam hatinya.
Bagaimana pun juga, dia teringat betapa baru beberapa saat yang lalu, dia amat suka kepada Joko Handoko, bahkan mengharapkan pemuda itu menjadi mantunya. Dia tahu bahwa dengan adanya Joko Handoko sebagai mantunya, kedudukannya dan Sabuk Tembogo menjadi semakin kuat. Pemuda itu amat baik dan gagah perkasa, tidak akan
mengecewakannya kalau menjadi mantunya. Di pihak lain, dia teringat akan Ginantoko dan kebenciannya meluap-luap dan merambat sampai kepada diri Joko Handoko. Antara suka dan benci berperang di dalam hatinya, membuat dia gelisah tak dapat tidur.
Menjelang pagi, tiba-tiba dia merasa dadanya sakit. Seperti diremas-remas dan mengeluh, semakin lama semakin nyeri dan napasnya juga terenagh. Berkali-kali dia menyebut nama Galuhsari dan Joko Handoko. Kalau teringat Galuhsari, ingin dia menimpakan dendamnya kepada Joko Handoko, akan tetapi kalau teringat akan jasajasa
pemuda itu, dia ingin menariknya sebagai mantu.
Akhirnya dia dapat tenggelam juga ke dalam alam tidur. Hanya sebentar karena begitu matahari terbit, terdengar suara nyaring di luar pintu gerbang pedukuhan itu.
"Ki Bragolo! Keluarlah kalau engkau laki-laki dan hadapi aku!"
Mendengar suara tantangan ini, Ki Bragolo terbangun dan kembali dia menyeringai karena dadanya terasa nyeri. Dia lalu turun dari pembaringan, akan tetapi kepalanya terasa pening dan langkahnya terhuyung. Dia cepat duduk kembali di atas pembaringan, memejamkan kedua matanya dan mengatur pernapasan.
"Aku tidak berurusan dengan siapa pun kecuali. Ki Bragolo!" Tedengar suara lantang tadi. "Suruh dia keluar kalau memang laki-laki dan bukan pengecut!"
Ki Bragolo bengkit berdiri. Dengan menahan perasaan nyeri di dadanya, dia keluar dari dalam pondok, terus menuju ke pintu gerbang. Murid-muridnya sudah banyak yang berada di luar pintu gerbang, menghadapi dua orang pemuda yang kelihatan gagah perkasa. Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi tegap kembali berkata kepada
para muridnya. Wulandari merangkul puteri itu dan kini ia menangis. Dewi Pusporini menarik napas panjang dan mengelus rambut yang panjang halus dan terlepas dari sanggulnya itu.
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 104
"Diajeng Wulandari, cinta benarkah engkau kepadanya?"
Wulandari terisak dan mengangguk. Dan Dewi Pusporini tidak bertanya lagi. Ia sudah sejak pertemuan pertama dapat melihat bahwa gadis ini jatuh hati kepada Joko Handoko. Akan tetapi yang membuat ia kini termangu-mangu adalah karena adanya kenyataan yang tak terlepas dari pandang matanya pula, yaitu bahwa Joko Handoko bersikap wajar saja kepada Wulandari. Sebaliknya, pandang mata Joko Handoko kepadanya, sungguh jelas menunjukkan kekaguman terbuka, menunjukkan bahwa pemuda itu setidaknya amat tertarik kepadanya. Dan dia sendiri" Wajahnya menjadi merah dan cepat-cepat ia merangkul Wulandari.
"Sabarlah, diajeng Wulan......."
**** Ki Bragolo merasa amat tersiksa malam itu. Dia gelisah di atas tempat tidurnya, bahkan
menyuruh isterinya, ibu Wulandari, untuk tidur di kamar lain. Dia ingin menyendiri dan hal ini bahkan membuatnya menjadi semakin gelisah. Terjadi perang di dalam hatinya.
Bagaimana pun juga, dia teringat betapa baru beberapa saat yang lalu, dia amat suka
kepada Joko Handoko, bahkan mengharapkan pemuda itu menjadi mantunya. Dia tahu bahwa dengan adanya Joko Handoko sebagai mantunya, kedudukannya dan Sabuk Tembogo menjadi semakin kuat. Pemuda itu amat baik dan gagah perkasa, tidak akan mengecewakannya kalau menjadi mantunya. Di pihak lain, dia teringat akan Ginantoko dan kebenciannya meluap-luap dan merambat sampai kepada diri Joko Handoko. Antara suka dan benci berperang di dalam hatinya, membuat dia gelisah tak dapat tidur.
Menjelang pagi, tiba-tiba dia merasa dadanya sakit. Seperti diremas-remas dan mengeluh, semakin lama semakin nyeri dan napasnya juga terenagh. Berkali-kali dia menyebut nama Galuhsari dan Joko Handoko. Kalau teringat Galuhsari, ingin dia menimpakan dendamnya kepada Joko Handoko, akan tetapi kalau teringat akan jasajasa
pemuda itu, dia ingin menariknya sebagai mantu.
Akhirnya dia dapat tenggelam juga ke dalam alam tidur. Hanya sebentar karena begitu matahari terbit, terdengar suara nyaring di luar pintu gerbang pedukuhan itu.
"Ki Bragolo! Keluarlah kalau engkau laki-laki dan hadapi aku!"
Mendengar suara tantangan ini, Ki Bragolo terbangun dan kembali dia menyeringai karena dadanya terasa nyeri. Dia lalu turun dari pembaringan, akan tetapi kepalanya terasa pening dan langkahnya terhuyung. Dia cepat duduk kembali di atas pembaringan, memejamkan kedua matanya dan mengatur pernapasan.
"Aku tidak berurusan dengan siapa pun kecuali. Ki Bragolo!" Tedengar suara lantang tadi. "Suruh dia keluar kalau memang laki-laki dan bukan pengecut!"
Ki Bragolo bengkit berdiri. Dengan menahan perasaan nyeri di dadanya, dia keluar dari dalam pondok, terus menuju ke pintu gerbang. Murid-muridnya sudah banyak yang berada di luar pintu gerbang, menghadapi dua orang pemuda yang kelihatan gagah perkasa. Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi tegap kembali berkata kepada
para muridnya. "Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian. Cepat panggil Ki Bragolo keluar atau aku akan kehabisan kesabaran dan terpaksa menyerbu ke dalam!"
Sebelum Ki Bragolo menghampiri tempat itu, tiba-tiba dia melihat puterinya berlari keluar dan membentak, "Siapakah orang kurang ajar yang datang mengacau?"
Dua orang pemuda itu memandang dan mereka kelihatan terkejut melihat munculnya seorang gadis yang manis dan gagah itu. Pemuda tinggi tegap itu lalu bertanya, "Heii, bocah perempuan, aku memanggil Ki Bragolo keluar menemui aku, kenapa engkau yang Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 105
muncul" Siapakah engkau" Aku tidak berurusan dengan murid-murid Sabuk Tembogo!"
"Aku adalah puteri Ki Bragolo! Ayah sedang istirahat dan kalau engkau ada keperluan, cukup dengan aku. Hayo cepat katakana apa keperluanmu datang mengacau seperti ini, dan siapa engkau?" Wulandari berseru dengan marah karena ia tadi mendengar teriakan
pemuda itu yang menantang ayahnya.
"Huh, kau anak kecil tahu apa!" Pemuda itu membentak. "Katakan kepada ayahmu bahwa aku datang menagih hutang nyawa. Katakan saja bahwa aku diutus oleh
mendiang ayahku, Raden Ginantoko, untuk mencabut nyawa Ki Bragolo!"
Bukan main kagetnya hati Wulandari mendengar itu. Baru saja terjadi keributan karena
ayahnya mendengar bahwa Joko Handoko adalah putera kandung Ginantoko dan kini muncul seorang pemuda yang ingin membunuh ayahnya dan mengaku sebagai putera Raden Ginantoko. Akan tetapi mendengar ancaman pemuda itu terhadap ayahnya, dan sikap pemuda itu yang memandang rebdah kepadanya, padahal usia pemuda itu tidak akan berselisih banyak dengan usianya sendiri, Wulandari sudah menjadi marah sekali dan mukanya berubah merah, matanya berapi.
Laki-laki tinggi tegap itu bukan lain adalah Ken Arok. Seperti telah diceritakan di bagian
depan, Ken Arok telah menemui ibu kandungnya, Ken Endok dan dari ibunya dia mendengar tentang ayahnya, Raden Ginantoko yang tewas di tangan Ki Bragolo, ketua Sabuk Tembogo di lereng Gunung Kawi. Mendengar itu, Ken Arok menjadi marah dan memperdalam ilmunya dengan belajar lebih tekun di bawah pimpinan Begawan Jumantoko. Setelah tamat belajar, dia lalu berhasil mengajak Panji Tito untuk mencari Ki
Bragolo dan membalas dendam kematian ayahnya.
Demikianlah, kini Ken Arok berhadapan dengan Wulandari, sedangkan Panji Tito hanya nonton karena dia berjanji, akan membantu kalau temannya itu kewalahan menghadapi lawan.
"Bocah sombong! Orang macam engkau ini tidak ada harganya untuk menemui ayahku!
Kau hendak mencabut nyawa ayahku" Sombong amat, sebelum itu, lebih dulu akulah yang akan mencabut nyawa tikusmu!" Sambil berkata demikian, Wulandari sudah mencabut sabut tembaganya dan memutar senjata itu dengan sikap mengancam.
"Babo-babo, keparat!" Ken Arok berseru marah dan matanya melotot memandang gadis yang menantangnya itu. Belum pernah selama hidupnya dia ditantang gadis remaja seperti ini. "Engkau ini anak Ki Bragolo agaknya sudah bosan hidup. Kalau engkau ingin mati, biarlah kubunuh engkau lebih dulu, baru akan kucari dan kucabut nyawa Ki Bwagolo!"
Wulandari menjadi semakin marah. "Majulah!" tantangnya dan ia pun sudah memutar sabuk tembaganya. Ketika beberapa orang murid Sabuk Tembogo hendak maju pula mengeroyok, Wulandari membentaknya.
"Jangan ada yang maju mengeroyok! Ini adalah urusan keluargaku sendiri." Dan dengan gagah gadis ini menghadapi Ken Arok yang melangkah maju dengan tangan kosong dan senyum mengejek, mata memandang rendah.
"Tahan dulu!Mundurlah, Wulan, dan biarlah aku sendiri menghadapinya!" tiba-tiba terdengar suara parau dan Ki Bragolo sudah melangkah maju. Mukanya agak pucat dan masih merasa nyeri di dalam dadanya, akan tetapi perasaan itu ditahannya dan langkahnya dibikin tegap walaupun kepalanya terasa agak pening.
Ken Arok memandang kepadanya, "Apakah engkau yang bernama Ki Bragolo?" tanyanya memandang tajam.
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 106
Ki Bragolo mengangguk. "Benar, orang muda. Akulah Ki Bragolo, ketua Sabuk Tembogo.
Siapakah engkau dan apa artinya engkau tadi menyebut nama Raden Ginantoko sebagai ayah?"
Pandang mata Ken Arok ditujukan kepada kakek itu dengan penuh kebencian. Inilah orang yang dulu membunuh ayah kandungnya. "Bagus, engkau kah orangnya yang telah membunuh ayah kandungku belsan tahun yang lalu?" Dia melangkah maju mendekati kakek itu, dan pandang matanya menjelajahi dari kepala sampai ke kaki, seperti orang yang menaksir-naksir. "Raden Ginantoko adalah ayah kandungnya, namaku Ken Arok dan aku datang untuk menagih hutang. Engkau telah membunuh ayah kandungku, dan sekarang aku yang akan membalaskan kematian ayah dan akan membunuhmu.
Keluarkan senjatamu Ki Bragolo dan mari kita tentukan, siapa yang akan menggeletak di
sini dengan tubuh tak bernyawa!" Ken Arok menantang dan dia pun sudah mencabut kerisnya. Tadi ketika menghadapi Wulandari, dia merasa malu kalau harus memegang senjata, akan tetapi sekarang, berhadapan dengan kakek yang pernah membunuh ayah kandungnya, tentu saja dia tidak berani memandang rendah dan dia sudah mencabut kerisnya.
Ki Bragolo menarik napas panjang. Diam-diam membandingkan antara Ken Arok ini dan Joko Handoko. Keduanya mengaku putera kandung Ginantoko, tetapi alangkah jauh bedanya antara mereka berdua. Joko Handoko yang sudah pasti tahu akan keadaan dirinya, sama sekali tidak berniat untuk membalas dendam atas kematian ayahnya, melainkan justru malah menyembunyaikan diri dan tidak memperkenalkan ayahnya, selain itu juga malah melakukan pembelaan dan menyelamatkan nama dan kehormatan Sabuk Tembogo! Sedangkan orang muda ini datang-datang menantangnya dan terus terang mengatakan hendak membalas dendam atas kematian Ginantoko.
Kini terbukalah mata Ki Bragolo. Dia dan pemuda ini sama, keduanya menjadi hamba nafsu dendam. Dan betapa jauh bedanya dengan Joko Handoko. Dia baru melihat sekarang betapa sikapnya kepada Joko Handoko memang keterlaluan. Dia malah menyuruh anak buahnya menawan Joko Handoko yang terluka dalam usahanya menolong sang putri dan menyelamatkan pula Sabuk Tembogo.
"Baik orang muda. Aku membunuh ayahmu Ginantoko karena merusak pagar ayu, kini engkau hendak membunuhku untuk membalas dendam. Dendam mendendam, tidak akan ada habisnya di antara orang-orang yang bermusuhan. Yang kalah akan selalu menyimpan dendam, yang menang akan selalu mempertahankan kemenangannya.
Silakan!" dia pun terpaksa mencabut sabuk tembaganya dan terasa olehnya betapa berat
sabuk yang beratnya hanya belasan kati itu. Jelaslah bahwa kesehatannya terganggu dan dadanya semakin nyeri saja.
"Ki Bragolo, bersiaplah engkau untuk menebus kematian Raden Ginantoko!" Ken Arok berseru dan diapun sudah menerjang dengan kerisnya, menusukkan kerisnya ke arah lambung lawan, sedangkan tangan kirinya siap untuk menampar kalau kerisnya ditangkis atau dilelakkan. Menghadapi lawan yang dia tahu tentu memiliki kepandaian tinggi, Ken Arok segera memainkan ilmunya Warak Sakti.
"Hemm.......!" Ki Bragolo menggereng dan sabuk tembaganya menyambar ke depan, untuk menangkis keris.
"Tranggg.....!!" Keris itu bertemu dengan ujung sabuk tembaga, akan tetapi sabuk itu sudah mencelat ke samping dan terus menyambar ke arah pundak Ken Arok. Demikian hebatnya kakek ini, walaupun kesehatannya terganggu, namun gerakan sabuknya memang amat kuat dan aneh.
"Ehhhhh.....!" Ken Arok tidak sempat menggunakan tangan kirinya untuk melanjutkan serangan, bahkan tidak sempat pula menangkis. Kalau dia mau, dengan melempar tubuh ke belakang, tentu dia dapat mengelak dari sambaran sabuk tembaga. Akan tetapi orang
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 107
muda itu tidak mengelak, bahkan menerima hantaman sabuk tembaga itu dengan pangkal lengannya menggantikan pundaknya.
"Bukkk.....!" Sabuk tembaga itu terpental dan kakek itupun terhuyung.
Wulandari terkejut melihat ayahnya terhuyung. Tahulah bahwa tubuh pemuda itu memiliki kekebalan yang amat kuat. Ia mengkhawatirkan ayahnya maka ia pun melompat ke tengah gelanggang perkelahian.
Wulandari tidak berani membantah karena ia melihat betapa ayahnya marah sekali.
Dan ayahnya kini sudah saling terjang lagi dengan orang muda putera Raden Ginantoko itu.
Ia melihat betapa pemuda itu, seperti Joko Handoko, memiliki gerakan yang amat gesit
dan kuat dan walaupun bertangan kosong, pemuda itu mampu menandingi Ki Bragolo, bahkan berani menangkis sabuk tembaga di tangan kakek itu dengan lengannya yang mengandung aji kekebalan. Memang satu di antara ilmu yang dikuasai Ken Arok dari Begawan Jumantoko adalah Aji Jojokawoco. Sebetulnya ilmu itu hanya merupakan kekebalan bagian dada, akan tetapi Ken Arok telah melatihnya sedemikian rupa sehingga
dia sangup membuat kedua lengannya juga kebal.
Hati Wulandari merasa khawatir sekali. Apalagi melihat betapa wajah ayahnya amat pucat, gerakannya juga tidak sesigap biasanya, bahkan kedua kakinya agak terhuyung.
Ingin membantu, ayahnya tentu menolaknya dan menjadi marah. Ia lalu teringat pada Joko Handoko dan cepat ia berlari menuju ke pondok di mana Joko Handoko ditawan.
Beberapa orang murid Sabuk Tembogo yang berjaga di situ, cepat menyambutnya.
"Ada terjadi apakah?" tanta mereka melihat Wulandari tergesa-gesa berlari masuk.
"Minggir......!" Wulandari menerobos di antara mereka dan memasuki pondok itu. Ketika ia tiba di ambang pintu yang terbuka, tiba-tiba ia terhenti dan memandang ke dalam dengan mata terbelalak dan muka berubah menjadi merah. Kiranya di situ telah terjadi pertemuan antara Joko Handoko dan Dewi Pusporini! Pamuda itu masih duduk bersila dan menundukkan mukany, sedangkan Dewi Pusporini bersimpuh di depannya di atas lantai yang bertikar. Ia masih sempat mendengar kata-kata Dewi Pusporini yang terdengar halus. "........jangan khawatir, aku mempunyai cara untuk memaksa paman
Bragolo untuk membebaskanmu......"
Sampai di sini, sang puteri mendengar kedatangan Wulandari dan ia pun menengok dan mukanya berubah merah sekali ketika ia melihat Wulandari berdiri terbelalak memandang kepada mereka berdua.
"Diajeng Wulan....!" Katanya lembut namun jelas puteri itu merasa canggung dan malumalu.
"Kau kelihatan tegang, ada terjadi apakah?"
Akan tetapi Wulandari tidak memperdulikan Dewi Pusporini, melainkan cepat ia bersimpuh di dekat Joko Handoko dan berkata, "Kakang Handoko, cepat bangun dan tolonglah ayah. Dia sedang berkelahi melawan seorang pemuda yang mengaku putera Raden Ginantoko dan datang untuk membalas dendam atas kematian ayahnya."
"Hemmm............?" Joko Handoko yang tadinya menundukkan mukanya seketika terbangun dan mengangkat muka. Sepasang matanya mencorong sehingga dua orang gadis itu terkejut dan takut. Memang pada saat itu, di tubuh Joko Handoko penuh hawa
sakti yang dikumpulkan selama semalam itu untuk mengobati luka di sebelah dalam tubuhnya. Kini kekuatannya puluh kembali, bahkan tubuhnya penuh dengan hawa murni sehingga kedua matanya nampak mencorong. Dia terkejut bukan main mendengar ucapan Wulandari, terkejut dan juga penasaran.
"Criiiingggg......!" belenggu kaki tangannya yang terbuat dari besi itu patah-patah ketika
tiba-tiba dia menggerakkan kaki tangannya dan sebelum dua orang gadis itu hilang Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 108
kagetnya tubuh Joko Handoko sudah melesat keluar dari tempat itu bagaikan seekor burung yan baru saja terlepas dari kurungan.
Ketika dia tiba di luar pintu gebang, perkelahian antara Ken Arok dan Ki Bragolo masih berlangsung dengan dengan serunya, akan tetapi Joko Handoko dapat melihat betapa kakek itu mulai terdesak hebat. Dia merasa heran melihat betapa gerakan kakek itu jauh
lebih lemah daripada biasanya, bahkan kedua kakinya seperti selalu terhuyung. Ketika dia menatap ke arah wajah kakek itu, Joko Handoko terkejut sekali karena dari jauh saja
dia dapat melihat bahwa wajah itu pucat seperti orang sakit, dan mulut itu menyeringai
seperti menahan rasa nyeri yang sangat. Tidak pernah dikenalnya pemuda yang perkasa yang menyerang Ki Bragolo mati-matian itu, aka tetapi terdengar ucapan Wulandari bahwa pemuda itu mengaku sebagai putera Ginantoko yang datang membalas dendam, hal ini amat menarik hatinya.
"Tahan...........!" katanya dan tubuhnya sudah meloncat ke tengah lapangan perkelahian itu.
"Hemm, jangan mengeroyok!" tiba-tiba Panji Tito yang sejak tadi nonton perkelahian itu
dan melihat betapa Ken Arok mulai mendapat kemenangan meloncat dan menyambut
kemunculan Joko Handoko dengan serangan dahsyat. Dia tidak ingin Ken Arok dikeroyok, dan memang kehadirannya di situ untuk membantu sahabatnya itu. Melihat kesigapan orang yang baru datang, dia khawatir kalau-kalau sahabatnya dikeroyok maka
dia mendahului dengan serangan kilatnya.
"Dessss..............!" Joko Handoko menangkis dan akibatnya, Panji Tito terlempar dan terbanting keras. Terkejutlah Panji Tito karena tak tak disangkanya lawan memiliki tenaga yang demikian kuatnya. Juga Ken Arok terkejut melihat betapa sahabatnya itu, sekali bentrok, telah terbanting roboh oleh pemuda yang baru muncul. Maka ketika Joko
Handoko tanpa memperdulikan Panji Tito meloncat ke depannya, menghadang agar dia tidak dapat menyerang Ki Bragolo lagi, Ken Arok menjadi ragu-ragu untuk menyerang pemuda itu.
"Siapakah engkau yang mencampuri urusan pribadi antara aku dan Ki Bragolo" Sungguh tidak tahu malu untuk melakukan pengeroyokan!" bentak Ken Arok dengan keris masih di tangan.
"Namaku Joko Handoko. Mendiang Raden Ginantoko adalah ayah kandungku. Siapakah engkau yang mengaku sebagai putera Raden Ginantoko?"
Ken Arok terkejut dan memandang tajam. "Raden Ginantoko memang ayah kandungku, dan ibuku adalah Ken Endok, sekarang masih hidup untuk menjadi saksinya! Engkau yang mengaku-ngaku ayah kandungku!"
"Hemm, ibuku Dyah Kanti. Dahulu adalah isteri syah dari Raden Ginantoko. Aku adalah puteranya yang sah. Buktinya, kini keris pusaka Nogopasung yang dahulu membunuh ayahku kini diwariskan kepadaku." Joko Handoko menepuk ganggang keris yang terselip di pinggangnya.
Ken Arok mengerutkan alisnya. Dari ibunya dia mendengar bahwa ibunya bukan isterinya
Raden Ginantoko, melainkan isteri orang lain yang dipilih oleh Raden Ginantoko sebagai titisan sang Hyang Brahma untuk menjadi kekasihnya. Jadi dia bukan putera yang sah!
Hal ini menjengkelkan hatinya dan dia menatap wajah pemuda di depannya dengan marah.
"Joko Handoko! Kalau benar engkau ini putera Ramanda Ginantoko, putera macam apakah engkau ini" Apakah engkau tidak tahu begaimana matinya ayah kandung kita itu?"
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 109
"Aku tahu. Yah kita tewas karena ulahnya sendiri."
"Keparat!" Ken Arok membentak. "Ayah tewas di tangan Ki Bragolo......"
"Benar akan tetapi karena dia merayu dan menggauli isteri Ki Bragolo."
"Tidak peduli! Ayah mati karena Ki Bragolo dan aku Ken Arok sebagi anaknya harus membalas dengan atas kematian itu!" Dan dia menatap wajah Joko Handoko dengan tajam, mulutnya tersenyum dan dia menambahkan, "Apakah engkau yang mengaku anak Ginantoko malah terbalik hendak melindunginya" Tidak malukah engkau kepada Ramanda Ginantoko" Joko Handoko, apakah engkau akan menjadi seorang anak murtad,
hanya karena..... mungkin sekali menaksir anak perempuan musuh besar kita?"
"Ken Arok harap jangan menyangka yang bukan-bukan, ketahuilah, Eyang Penembahan Pronosidhi sendiri, ayah dari ibuku, melarangku untuk membalas dendam. Ayah kita tewas karena ulah sendiri, merupakan pelaksanaan hukum karma yang langsung diterimanya pada waktu itu juga. Kalau kita membalas, berarti kita memperpanjang rangkaian hukum karma itu, karena tentu kelak keturunan Ki Bragolo atu muridmuridnya
akan mengusahakan balas dendam pula kepada kita, atau kepada keturunan kita. Apakah engkau menghendaki demikian" Kita bisa mematahkan hukum karma itu sekarang juga, dengan menghentikan permusuhan, menghentikan dendam mendendam ini.
Ken Arok tetegun mendengar ucapan yang dikeluarkan penuh wibawa itu. Dia tidak pernah melihat ayahnya, juga tidak suka keda ibunya yang telah memberikan dia kepada
orang lain sejak dia masih bayi. Kalau dia ingin membalas dendam, buka sekali-kali karena cintanya kepada ayahnya yang tak pernah dilihatnya, melainkan menurutkan dorongan nafsu dan darah muda. Merasa malu kalau tidak membalas kamatian ayah. Dia tidak pernah menyelidiki atau peduli mengapa ayahnya dibunuh orang kini, mendengar ucapan Joko Handoko yang begitu penuh wibawa dan juga lembut tanpa kemarahan, dia termenung. Akan tetapi dia masih penasaran.
"Aku ingin melihat bukti bahwa engkau tidak membunuh Ki Bragolo karena kesadaran seperti yang kau katakan tadi, bukan karena takut. Nah sambutlah ini!" Ken Arok kini menerjang dengan keris di tangannya, memainkan silat Warak Sakti dengan hebatnya.
Dia ingin menguji kepandaian orang yang menjadi saudara tirinya ini. Kalau memang benar Joko Handoko memiliki ilmu yang tinggi, berarti Joko Hamdoko akan mampu membunuh Ki Bragolo kalau dikehendakinya, jadi sama sekali tidak mungkin merasa takut kepada musuh. Aka tetapi kalau Joko Handoko tidak memiliki kepandaian tinggi, biarlah dia akan membunuhnya lebih dulu, baru membunuh Ki Bragolo.
Joko Handoko maklum akan isi hati adik tirinya ini. Maka dia pun tidak membuang waktu
lagi. Seketika dia menggerakkan tenaga dan membuka kuda-kuda Nogopasung, ketika tubuh Ken Arok menerjang dengan kerisnya, dia pun menyambut dengan gempuran jurus Nogopasung, dengan tangan kosong.
"Desss.....! Keris itu terpental dari tangan Ken Arok dan tubuh Ken Arok terdorong ke belakang, terhuyung-huyung dan hampir roboh. Tentu saja Ken Arok terkejut bukan main. Tahulah dia bahwa Joko Handoko ini memang hebat bukan main. Kecerdikannya membuat dia tersenyum setelah dapat mengatur keseimbangan tubuhnya, memungut kerisnya dan menyimpan keris itu.
"Joko Handoko, engkau pantas menjadi saudaraku dan memang alasanmu tadi berisi.
Aku tidak begitu bodoh membiarkan dirimu terseret dalam lingkaran karma hanya untuk
urusan kecil saja."
Joko Handoko girang bukan main, kiranya adiknya inipun seorang pemuda yang gagah
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 110
perkasa dan cerdik, tidak hanya menurutkan hawa amarah belaka. Dia menghampiri dan merangkulnya. "Adikku yang baik, terima kasih atas pengertianmu. Percayalah bahwa kelak dalam urusan lain, aku tidak akan menentangmu, bahkan akan membantumu."
"Ayah.......!" Tiba-tiba terdengar jerit Wulandari dan semua orang menengok. Joko Handoko terkejut sekali ketika melihat Ki Bragolo rebah terguling ditubruk oleh Wulandari yang menangisi ayahnya. Juga Dewi Pusporini telah berada di situ, memandang bingung. Tadi, ketika bersama Wulandari ia keluar, ia melihat perdebatan antara Joko Handoko dan Ken Arok. Dengan kagum sekali terhadap Joko Handoko ia melihat betapa Ken Arok dapat ditundukan oleh pemuda itu. Dan selama itu, Ki Bragolo juga berdiri menjadi penonton, tidak jauh dari tempat ia dan Wulandari berdiri. Kakek itu
terluka, hanya agak pucat dan napasnya terengah-engah. Dan tiba-tiba saja kakek itu mengeluarkan suara keluhan panjang dan roboh terkulai.
Joko Handoko cepat menghampiri dan berlutut di dekat tubuh kakek itu. Dia memeriksa
dan mendapat kenyataan yang mengejutkan sekali. Kakek itu sudah amat lemah, jantungnya berdetak lemah sekali dan napasnya terengah-engah. Tahulah ia bahwa kakek yang usianya sudah lanjut ini telah mendekati ajal. Mungkin karena keteganganketegangan
yang dihadapinya mengguncang jantungnya dan dia tidak kuat menahan lagi. Melihat Joko Handoko, kakek yang sudah terengah-engah itu mencoba untuk menoleh ke arahnya dan mengeluarkan kata-kata lirih terputus-putus.
"Anakmas............ Joko............Handoko,......... maafkan aku............ dan.......... dan Wulandari......." Dia tidak kuat lagi, lehernya terkulai dan nyawanya melayang. Agaknya dia ingin bicara tentang Wulandari yang ingin dia jodohkan dengan Joko Handoko akan tetapi merasa malu karena sikapnya terhadap pemuda itu, maka dia tidak melanjutkan dan keburu napasnya terhenti.
Jerit tangis terdengar karena pada saat itu, ibu Wulandari yang diberitahu sudah berlari
keluar. Kini ibu dan anak itu menjerit dan menangis, menimbulkan suasana menyedihkan yang membuat Dewi Pusporini terpaksa harus mengusap air mata yang membanjir keluar.
Melihat ini, Ken Arok diam-diam merasa girang dan lega. Bagaimana pun juga, musuh besar itu telah tewas. Memang bukan tewas di tangannya, akan tetapi setidaknya tewas
karena setelah berkelahi melawan dia. Biarpun tidak langsung, serangan-serangannya tadi telah membantu tewasnya orang tua itu. Mudah-mudahan arwah ayah kandungnya akan puas, pikirnya. Dia lalu berpamit pada Joko Handoko. Kedua saudara se-ayah kandung ini hanya saling pandang dan berpisah setelah sekali lagi Joko Handoko mengatakan bahwa dia girang akan kesadaran adik tirinya bahwa kelak, kalau dibutuhkan, dia tentu akan membantu adiknya itu, bukan menentang seperti ketika menghadapi Ki Bragolo.
Maka pergilah Ken Arok dan Panji Tito meninggalkan lereng Gunung Kawi.
**** Setelah membantu Wulandari dan ibunya mengurus jenazah Ki Bragolo, Joko Handoko bersama Wulandari lalu mengantar Dewi Pusporini pulang ke Tumapel. Mereka mempergunakan tiga ekor kuda dan kedatangan mereka di Tumapel disambut oleh Senopati Raden Pamungkas dengan ramah. Senopati ini sudah mendengar pelaporan perwira Ranunilo, apalagi di sudah mendengar akan kematian Ki Bragolo.
"Kanjeng Romo, menurut pendapat saya, tidak mungkin kalau orang-orang Sabuk Tembogo yang melakukan penghadangan dan peramokan terhadap kita. Saya telah mengenal Ki Bragolo, diajeng Wulandari dan para anggota Sabuk Tembogo. Mereka adalah orang-orang yang gagah yang selalu setia terhadap Tumapel. Karena itu saya yakin bahwa dalam hal ini tentu saja ada rahasianya, dan bukan tidak boleh jadi kalau Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 111
Sabuk Tembogo hanya terkena fitnah."
Senopati itu mengangguk-angguk. Memang terjadi keanehan-keanehan. Para perajurit kita dibunuh oleh orang-orang berkedok yang menggunakan Sabuk Tembogo, sehingga tentu saja aku suruh tangkap dan tahan tiga orang murid Sabuk Tembogo itu.
Kemudian, terjadi pula pembunuhan terhadap perajurit-perajurit Tumapel oleh orang-orang berkedok yang menggunakan Ilmu Pukulan Hastorudiro (Tangan Berdarah). Tentu saja aku pun mengirim pasukan untuk menghajar perkumpulan Hastorudiro. Akan tetapi, Ki Kebosoro, juga menyangkal walaupun tetap saja pasukanku menyerbu dan membuat mereka lari cerai berai. Sungguh aneh sekali semua peristiwa ini. Baik aliran Sabuk Tembogo maupun aliran Hastorudiro selamanya setia terhadap Tumapel, kenapa sekarang berbalik memusuhi kita?"
"Maaf, kanjeng senopati," tiba-tiba Joko Handoko yang masih menghadap bersama Wulandari, berkata dengan halus. "Saya pun merasa curiga, apalagi dengan adanya peristiwa ketika pasukan paduka dibantu oleh Gajah Putih dan Gajah Ireng yang agaknya
sengaja hendak membangkitkan permusuhan antara Sabuk Tembogo dan pasukan Kadipaten Tumapel. Bahkan, dua orang itu kembali lagi bersama seorang pendeta sakti untuk membunuh sang puteri. Hal ini menunjukkan bahwa memang ada pihak ketiga hendak mengeruhkan suasana dan mengadu domba. Oleh karena itu, saya akan melakukan penyelidikan tentang rahasia ini dan kalau sudah memperoleh keterangan, tentu saja akan saya laporkan hasilnya kepada paduka."
Senopati Raden Pamungkas mengangguk-angguk dengan muka girang. "Kami mendengar dari para perajurit tentang kemampuanmu, Joko Handoko. Coba ceritakan apa yang terjadi, dan siapa pula itu pendeta yang hendak membunuh puteri kami."
Joko Handoko lalu bercerita, dibantu oleh Dewi Pusporini sehingga senopati itu merasa yakin akan kebenaran cerita itu. Setelah mendengar semua, dia mengangguk-angguk lagi. "Kini makin yakinlah hati kami bahwa memang ada hal-hal aneh yang perlu diselidiki. Baiklah, tiga orang anggota Sabuk Tembogo akan kami bebaskan dan kami perbolehkan pulang ke lereng Kawi bersama andika berdua. Dan kami mengharapkan
pelaporanmu. Kami pun akan menyebar penyelidik untuk melakukan penyelidikan."
Girang sekali hati Wulandari ketika tiga orang kakak seperguruannya yang tidak berdosa
itu dibebaskan dan mereka boleh kembali ke lereng Kawi bersama ia dan Joko Handoko.
Mereka berpamit dan Dewi Pusporini menjadi terharu sekali ketika harus berpisah dari
mereka. Ia merangkul Wulandari. "Diajeng Wulan setelah engkau pulang, jangan lupa, kadang-kadang datanglah berkunjung ke Tumapel agar aku tidak terlalu rindu padamu."
"Baiklah, mbak ayu Dewi dan terima kasih atas kebaikan-kebaikanmu."
Dewi Pusporini memandang kepada Joko Handoko yang juga kebetulan sekali sedang menatap wajahnya. Dua pasang mata bertemu dan muka gadis itu menjadi merah sekali, jantungnya berdebar dan ia terpaksa menundukkan mukanya. Hatiya merasa tegang karena terasa sekali oleh gadis ini betapa pandang mata Joko Handoko mengandung pernyataan hati yang demikian jelas! Tidak ada pernyataan cinta kasih yang lebih jeas dari seorang pria kepada wanita dari pancaran kasih melalui pandang matanya! Dan gadis ini pun tiba-tiba saja mempunyai keinginan untuk memperkanalkan siapa adanya Joko Handoko kepada ayahnya.
"Kanjeng Romo, sebetulnya kakangmas Joko Handoko ini bukan orang lain. Dia adalah putera kandung mendiang Raden Ginantoko."
"Ahh.......?" Senopati Raden Pamungkas membelakkan mata memandang kepada Joko Handoko. "Jadi andika ini putera kakangmas Ginantoko" Dan ibumu......." Maaf, kakangmas Ginantoko mempunyai banyak isteri...., yang manakah ibumu, anakmas?"
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 112
Diam-diam Joko Handoko merasa rikuh ketika ayahnya diperkenalkan dan agaknya ada hubungan antara ayah kandungnya dan senopati ini. Teringalah dia akan cerita ibunya bahwa ayahnya seorang keponakan dari senopati di Tumapel, maka tidak mengherankan apabila senopati ini mengenal ayahnya.
"Ibu saya benama Dyah Kanti........"
"Ah, puteri dari Anjasmoro, puteri Panembahan Pronosidhi?"
Joko Handoko mengangguk.
"Aha, kalau begitu, pantas engkau memiliki ilmu kesaktian yang mengagumkan! Ayahmu adalah murid Empu Gandring, dan ibumu puteri panembahan Pronosidhi. Kiranya engkau adalah putera sahabatku sendiri, anakmas Joko Handoko!" kata senopati itu dengan girang.
Joko Handoko mengerling ke arah Dewi Pusporini. Kiranya gadis ini sudah tahu akan semua ini akan tetapi diam saja, dan barulah sekarang, di depan ayahnya ia menceritakan keadaan Joko Handoko, bahkan justeru pertama kali gadis itu menyebutnya kakangmas Joko Handoko! Hal ini dilakukannya karena mengingat bahwa derajat mereka, mengingat akan darah ningrat Raden Ginantoko, adalah sama.
"Terima kasih atas keramahan kanjeng Senopati......."
"Anakmas, mengingat ayahmu, andika tidak perlu bersikap sungkan dan merendahkan diri. Aku sepetri pamanmu sendiri dan sebut saja paman."
"Terima kasih, kanjeng paman."
Joko Handoko tidak melihat betapa Wulandari yang berada di sampingnya mengerutkan
alisnya dan pandang mata gadis itu menjadi suram ketika ia mendengar dan melihat semua. Mereka lalu berpamit, dan keluar dari istana senopati, bersama tiga orang murid
Sabuk Tembogo yang sudah dibebaskan.
Ketika mereka tiba di kaki Gunung Kawi, tiba-tiba dari depan datang sebuah kereta yang
dikawal oleh puluhan orang perajurit. Karena tidak ingin terjadi sesuatu yang tidak enak,
Joko Handoko mengajak Wulandari dan tiga orang murid Sabuk Tembogo untuk bersembunyi. Mereka menyembunyikan kuda dan mengintai dari balik semak-semak.
Nampaklah kerata itu, sebuah kereta yang mewah dan gagah, dikawal oleh oleh empat puluh orang perajurit di depan dan dibelakang kereta. Jendela kereta terbuka dan nampaklah seorang laki-lki berusia empat puluh lima atau lima puluh tahun yang bertubuh tinggi besar, bermuka merah. Di sebelahnya duduk seorang gadis yang amat cantik, dan tengah terisak-isak dan agaknya pria di sebelahnya itu mencoba untuk menghiburnya dengan kata-kata yang penuh kesabaran.
Hanya sebentar saja kereta itu lewat. Joko Handoko tidak mengenal siapa pria dalam kereta itu. Akan tetapi Wulandari mengenalnya dan terdengar gadis ini menggerutu setelah rombongan itu lewat. "Huh, si tua bangka mata keranjang Tunggal Ametung itu agaknya mendapatkan korban baru!"
Joko Handoko terkejut. Tunggal Ametung adalah yang disebut Sang Akuwu Tunggal Ametung, adipati di Tumapel yang hidup sebagai raja muda yang penuh kekuasaan.
"Wulan, apa maksudmu..........?"
Gadis itu tersenyum. "Aku sudah banyak mendengar tentang dia. Seorang penguasa yang gila perempuan. Aku berani bertaruh bahwa gadis yang menangis dalam kereta tadi
tentu seorang gadis yang dirampasnya dan dipaksanya untuk menjadi selirnya yang baru."
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 113
Tiga murid Sabuk Tembogo membenarkan cerita Wulandari. Mendengar ini, timbul rasa
tidak senang dalam hati Joko Handoko. "Ah, kenapa ada penguasa bersikap seperti itu"
Seorang penguasa sepatutnya melindungi rakyatnya, bukan mengganggu rakyat. Mari kita selidiki, siapakah gadis itu."
Mereka lalu mengikuti jejak dari mana kereta itu datang sambil bertanya-tanya di tengah
perjalanan, akhirnya mereka di dusun Ponowijen dan di situ mereka mendengar bahwa gadis yang berada di kereta bersama Tunggal Ametung tadi adalah puteri tunggal Empu
Purwo, seorang pendeta Agama Budha aliran Mahayana. Puteri ini bernama Ken Dedes,
seorang gadis yang cantik jelita bagaikan bidadari. Kecantikan Ken Dedes amat terkenal,
Keris Pusaka Nogopasung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sampai di seluruh daerah gunung Kawi sebelah timur, bahkan berita tentang kecantikan sampai pula ke Kadipaten Tumapel. Mendengar berita tentang kecantikan gadis di Ponowijen itu, hati Tunggal Ametung yang memang berwatak mata keranjang tertarik dan berangkatlah dia bersama pasukan pengawalnya ke Ponowijen untuk mengunjungi pendeta Empu Purwo dan menyaksikan sendiri berita tentang kecantikan Ken Dedes.
Ketika dia tiba di pondok sang pendeta, dia hanya bertemu dengan Ken Dedes yang menyambutnya dengan ketakutan, seperti lazimnya seorang gadis dusun menyambut kedatangan seorang raja. Pada waktu itu, Ken Purwo sedang pergi bertapa di tegal di mana didirikan sebuah sanggar pemujaan. Melihat Ken Dedes yang ternyata memiliki kecantikan yang melebihi semua berita yang pernah didengarnya, seketika Sang Akuwu Tunggal Ametung menjadi tergila-gila. Dia sudah tidak sabar lagi menanti sang pendeta,
ingin segera memboyong dan memiliki wajah ayu, maka dengan jalan kekerasan, dia pun membawa pergi Ken Dedes. Dilarikannya gadis itu dengan keretanya, dikawal empat puluh orang perajuritnya dan dibawanya gadis itu menuju Tumapel.
Mendengar berita ini, Joko Handoko dan Wulandari hanya menarik napas panjang.
Apalagi ketika mendengar betapa sang pendeta itu meninggal dunia karena terkejut, sedih dan marah, dan menurut penduduk setempat, sang pendeta sempat mengelaurkan sumpahnya, menyumpahi Tunggal Ametung agar kelak mati diujung keris, bahkan sumur-sumur di Ponowijen agar tidak mengeluarkan air lagi karena penduduknya tidak ada yang berani membela Ken Dedes ketika dilarikan Sang Akuwu Tunggal Ametung.
Joko Handoko merasa penasaran sekali. Akan tetapi apakah yang dapat dilakukannya"
Tunggal Ametung adalah penguasa Tumapel, kekuasanya seperti raja dan dia dilindungi olah puluhan ribu perajurit! Maka dengan hati berat, mereka lalu melanjutkan perjalanan
menuju ke sarang Sabuk Tembogo.
Setelah tiba di lereng Kawi, Joko Handoko berpamit dari Wulandari untuk melanjutkan perjalanan yaitu melakukan penyelidikan tentang fitnah yang dijatuhkan kepada Sabuk Tembogo dan Hastorudiro. Dia pun diam-diam ingin melakukan penyelidikan kepada aliran Hastorudiro, karena bukanlah eyangnya tewas oleh Hastorudiro pula" Dia harus menyelidiki mengapa ayahnya mereka serbu dan dibunuh di samping melakukan penyelidikan apakah benar orang-orang Hastorudiro membunuhi perajurit Tumapel, ataukah ada pihak lain yang menggunakan nama mereka seperti terjadi pada Sabuk Tembogo.
Akan tetapi Wulandari menahannya. "Kakang Handoko, aku minta dengan sangat agar kakang suka menagguhkan keberangkatan kakang meninggalkan kami. Tunggulah sampai aku membenahi Sabuk Tembogo. Setelah ayah tiada, maka harus diadakan pemilihan seorang ketua baru, dengan demikian maka Sabuk Tembogo akan tetap menjadi perkumpulan yang terpimpin."
Karena permintaan yang sangat dan Wulandari, Joko Handoko merasa tidak tega dan dia
pun menanti sampai tiga hari lagi. Pagi-pagi sekali, seluruh murid Sabuk Tembogo sudah
berkumpul di ruangan belakang yang luas, di mana biasanya dipergunakan untuk Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 114
berlatih silat. Hampir lima puluh orang berkumpul di situ, dipimpin oleh Wulandari. Dan ketika Wulandari bangkit berdiri dan bicara, Joko Handoko menjadi terkejut sekali.
"Saudara-saudara sekalian! Dengan terjadinya peristiwa yang menyedihkan kita semua, yaitu kematian ayahku, kita kehilangan pimpinan. Untuk menegakkan kembali Sabuk Tembogo agar memiliki seorang pemimpin, kita pagi ini berkumpul untuk mengadakan pemilihan ketua baru,menggantikan ayahku yang telah tiada. Seorang pemimpin, selain memiliki ilmu dan aji kesaktian yang lebih tinggi dari kita semua, juga harus bijaksana dan budiman. Kita semua tahu bahwa sifat-sifat itu dimiliki oleh kakang Joko Handoko, oleh karena itu, aku mengusulkan agar kakang Joko Handoko sudi menjadi pemimpin Sabuk Tembogo!"
"Setuju sekali"
"Akurr..................!"
Hampir semua orang bersorak dan bertepuk tangan menyambut usul ini, menyatakan kegembiraan hati mereka kalau Joko Handoko mau menjadi pemimpin mereka. Hanya ada beberapa orang murid tertua saja yang menyambut dengan tenang.
Setelah menenangkan hatinya yang berdebar karena tidak menyangka-nyangka dan tekejut mendengar usul Wulandari itu, Joko Handoko lalu bangkit berdiri dan mengacungkan tangan ke atas, minta kepada semua orang untuk tenang. Setelah semua orang terdiam dia lalu berkata, suaranya tetap lembut akan tetapi cukup lantang sehingga terdengar jelas oleh mereka semua.
"Saudara-saudara sekalian! Saya merasa terharu dan berterima kasih sekali atas kepercayaan besar yang diberikan oleh diajeng Wulandari dan saudara sekalian. Akan tetapi, dengan menyesal terpaksa saya tidak dapat menerima penghormatan yang diberikan kepada saya itu. Bukan karena saya tidak mau membantu saudara sekalian melainkan karena hal ini sama sekali tidak tepat. Perkumpulan kalian adalah aliran Sabuk Tembogo, oleh karena itu, ketuanya tentu saja haruslah seorang tokoh Sabuk Tembogo. Saya adalah seorang luar, orang asing yang sama sekali tidak mengenal ilmuilmu
dari Sabuk Tembogo, bagaimana mungkin saya dapat menjadi seorang pemimpin perkumpulan silat aliran Sabuk Tembogo?"
Kini Sentono, murid kepala dari Ki Bragolo, bangkit berdiri. "Saudara-saudara sekalian.
Alasan yang dikemukakan oleh anak mas Joko Handoko itu memang tepat sekali. Tentu saja dia cukup berharga menjadi pemimpin kita, dan dengan ilmunya kita bahkan akan memperoleh kemajuan kalau kita belajar darinya. Akan tetapi dengan demikian, aliran Sabuk Tembogo menjadi tidak murni lagi. Tepat sekali bahwa pemimpin haruslah seorang murid Sabuk Tembogo dan menurut pendapat saya, dilihat dari ketinggian ilmu dalam aliran kita, juga dari segi keturunan dan kebijaksanaan, maka kami mengusulkan agar Diajeng Wulandari saja yang menjadi pemimpin Sabuk Tembogo."
Kembali terdengar soak-sorai, kini lebih gemuruh, menyambut usul ini sebagai tanda
setuju. Sentono adalah kakak seperguruan Wulandari, maka diapun menyebut diajeng kepada gadis itu. Setelah jelas semua orang memilihnya, Wulandari tidak dapat menolak.
Memang ialah satu-satunya keturunan Ki Bragolo dan dalam hal ilmu silat aliran Sabuk Tembogo, ia masih mengungguli tingkat Sentono, murid kepala ayahnya. Setelah diadakan perundingan, akhirnya Wulandari diangkat menjadi ketua Sabuk Tembogo, diwakili dan dibantu oleh Sentono dan Sentanu.
Akan tetapi setelah pemilihan itu selesai, Wulandari lalu menyerahkan kekuasaan sementara kepada Sentono dan Sentanu dan ia sendiri, setengah memaksa menyatakan ingin ikut bersama Joko Handoko untuk melakukan penyelidikan, mencari siapa yang telah melakukan fitnah kepada Sabuk Tembogo sehingga perkumpulan itu dimusuhi oleh
pasukan Tumapel.
Keris Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 115
"Kakang Handoko, sudah menjadi tugas kewajibanku untuk membersihkan nama Sabuk Tembogo dari fitnah itu. Maka kuharap kakang tidak akan menolakku ikut melakukan perjalanan dan penyelidikan bersamamu," desaknya. Joko Handoko terpaksa tidak mampu menolak walaupun hatinya merasa kurang enak. Dia merasa bahwa gadis ini telah jatuh cinta kepadanya dan hal inilah yang membuat dia merasa kurang enak berdekatan terlalu lama dengan Wulandari
**** Setelah meninggalkan sarang Sabuk Tembogo, Panji Tito segera berpisah dari Ken Arok.
Putera Ki Ageng Sahoyo itu tidak betah lagi hidup dekat Ken Arok yang kini menjadi liar
dan ganas. Dia pulang ke Sagenggeng untuk membantu pekerjaan ayahnya. Ken Arok kini sendirian, akan tetapi hal ini bahkan membuat dia semakin ganas. Kalau sudah ada Panji Tito di sampingnya, setidaknya masih ada yang menegurnya. Kini bagaikan seekor kuda, dia terlepas sama sekali dari kendali, bebas melakukan apapun yang dikehendaki dan disukainya.
Karena seringnya dia melakukan perampokan tanpa pilih bulu, maka perbuatanperbuatannya
itu diberitakan orang sampai ke Kerajaan Daha dan kerajaan itu cepat memerintahkan Sang Akuwu Tunggal Ametung untuk menangkap perampok muda yang mengacau daerah Tumapel itu.
Karena diserbu ratusan orang perajurit, terpaksa ia melarikan diri dari dalam hutan dan
mulailah menjadi seorang buruan yang terus-menerus malarikan diri dari satu ke lain tempat. Dia tidak pernah merasa aman lagi. Kemana pun dia pergi, dia selalu diserbu.
Namun, agaknya para dewata masih melindunginya. Belum pernah dia tertangkap, dan selalu dia dapat meloloskan diri pada saat yang terakhir. Menurut catatan dalam kitab Pararaton, banyaklah tempat yang dijelajahi oleh Ken Arok dalam pelariannya itu, antara
lain Dusun Rabun Gorontol, dusun Wayang dan Tegal Sekomenggolo. Sambil melarikan diri, kalau membutuhkan sesuatu, dia tidak segan-segan merampok lagi. Dari Sukomenggolo dia melarikan diri ke Rabut Katu, kemudian ke Junwatu tempat kediaman
para pendeta. Sambil melarikan diri dia merampok, dia pun selalu memperdalam ilmunya. Ketika dia mengungsi ke dusun Lululambang, dia mondok di rumah seorang keturunan perajurit bernama Gagak Inget.
Agak lamam dia tinggal di Lululambang, akan tetapi karena pekerjaannya merampok, dia
selalu dikejar-kejar dan merasa tidak aman. Dia pergi lagi ke Kapundungan dan ketika dia melakukan pencurian di dusun Pamalantenan, dia ketahuan lalu dikejar penduduk dan dikepung. Akan tetapi biar pun hampir saja tertangkap, Ken Arok berhasil pula meloloskan diri secara unik. Ketika dikepung, dia memanjat pohon yang besar dan akhirnya para pengejar menemukannya di atas pohon. Pohon itu dikepung dan karena pohon itu berada di tepi sungai, Ken Arok hampir putus asa, tak tahu harus bagaimana menyelamatkan diri. Akan tetapi dia menemukan akal. Dengan dua helai daun tal yang lebar, dia melayang turun, menggunakan dua helai daun tal itu seperti sayap dan dia pun
dapat melompat turun dan melayang sampai ke seberang timur sungai itu, meninggalkan para pengejar di seberang sungai yang menjadi bengong terlongong. Dari situ, Ken Arok
terus melarikan diri ke Nagamasa, lalu ke daerah Orang dan kembali lagi ke daerah Kapundungan.
Perajurit dari Daha yang dikirim oleh Kerajaan Daha terus melakukan pengejaran terhadap Ken Arok, karena Ken Arok pernah merampok seorang pembesar dari Daha, maka dia dimusuhi dan dikejar-kejar oleh pasukan Daha. Ada pun Tungal Ametung sendiri tidak begitu peduli, pertama karena memang sudah lama dia menganggap diri sebagai raja muda dan ingin melepaskan kekuasaan Kerajaan Daha terhadap Tumapel, kedua kalinya karena semenjak memperoleh Ken Dedes sebagai selirnya, dia tidak begitu
Selanjutnya
Komentar
Posting Komentar