KERIS PUSAKA NOGOPASUNG 5
Share
peduli lagi terhadap urusan luar dan selalu mengeram di dalam kamar bersama Ken Dedes!
Ken Arok terus belari dari satu ke dusun lain. Dari Kapundungan, dia lari ke dalam hutan
Patangtangan, lalu terus ke dusun Ano dan masuk ke hutan Terwag. Sementara itu, kesukaannya merampok tak juga dihintikan, bahkan makin menjadi-jadi.
Anehnya, kemana pun dia pergi ada saja orang yang menolongnya. Hal ini mungkin sekali karena pembawaannya yang baik, wajahnya yang tampan dan sikapnya yang pandai mengambil hati orang. Pada suatu hari, seorang pandai emas bernama Empu Palot yang tinggal di dusn Turyantopodo, melakukan perjalanan ke dusun Kebalon.
Karena dia membawa emas sebanyak lima tail dan mendengar desas-desus akan adanya perampok yang berkeliaran, dan hari sudah menjelang senja, dia merasa khawatir juga
ragu-ragu untuk pulang dusunnya. Kebetulan dia melihat seorang yang bukan lain adalah Ken Arok.
Melihat kakek itu seorang diri saja di tepi jalan, Ken Arok bertanya, "Paman hendak pergi
kemanakah?"
"Saya baru saja pulang dari Kebalon dan hendak pulang kembali ke Turyatopodo, akan tetapi saya mendengar bahwa di perjalanan tidak akan aman karena munculnya seseorang perampok muda yang ganas."
Ken Arok tesenyum, maklum siapa yang dimaksudkan. Wajah kakek ini mendatangkan kesan baik dalam hatinya. Dia membutuhkan bantuan orang yang akan menampungnya untuk bersembunyi, apalagi kakek ini memiliki wajah yang membayangkan orang berilmu.
"Harap paman jangan khawatir. Mari saya antar paman ke Turyantopodo, kalau muncul perampok itu akan saya hajar dia!"
Karena pemuda itu berwajah tampan dan bertubuh tinggi tegap membayangkan kekuatan, maka Empu Palot girang sekali menerima penawaran itu dan mereka pun melakukan perjalanan menuju ke Turyantopodo. Di sepanjang perjalanan, Ken Arok mendengar bahwa kakek ini adalah seorang pandai emas yang mahir, maka timbul niat di hatinya untuk berguru kepada Empu Palot. Hal ini dikemukakannya dan Empu Palot yang merasa berhutang budi, menerimanya dengan gembira. Mulailah Ken Arok hidup di Dusun Turyantopodo sebagai murid Empu Palot.
Pada suatu hari Empu Palot menyuruh Ken Arok pergi ke Kabalon untuk memperdalam ilmu membuat perhiasan dari emas kepada seorang pendeta sahabatnya di Kebalon.
Pergilah Ken Arok ke sana. Akan tetapi ternyata dia tidak disambut manis oleh penduduk
Kabalon, bahkan dicurigai. Marahlah Ken Arok dan dia pun mengamuk, merobohkan beberapa orang yang berani memperlihatkan sikap tidak manis dan curiga kepadanya.
Dia pun dikeroyok dan dikepung dan muncul pula orang-orang Daha yang segera melakukan pengejaran.
Ken Arok melarikan diri lagi, sampai ke Tunggaran. Akan tetapi, kepala dusun Tunggaran
juga mencurigainya dan tidak mau menerimanya tinggal di dusun itu. Hal ini amat menyakitkan hati Ken Arok. Ketika Ken Arok berada di luar dusun, dia bertemu dengan seorang gadis yang sedang bertaman kacang di ladang. Ketika oleh Ken Arok diketahui bahwa gadis itu adalah puteri Kepala Desa Tunggaran, terbukalah kesempatan baginya untuk membalas dendam atas penolakan kepala desa terhadap dirinya. Ditangkapnya gadis itu dan diperkosanya, lalu ditinggalkannya untuk melanjutkan pelariannya.
Setelah menjadi buruan lagi, lari dari hutan ke hutan, dari dusun ke dusun, bertemulah dia dengan seorang nenek dari dusun Panitikan dan nenek yang arif ini menasehatinya untuk bertapa di Gunung Lejar. Maka pergilah Ken Arok ke gunung itu dan bertapa.
Baru
dia telepas dari pengejaran orang-orang Daha.
Setelah merasa aman dan bebas dari pengejaran, Ken Arok berani meninggalkan tempat
pertapaannya dan segera dia menjadi langganan tempat perjudian di dusun Kaloka. Dan di tempat inilah bintangnya mulai terang. Pada suatu hari, seorang pendeta Brahmana dari India yang bernama Danyang Lohgawe, bertemu dengannya di tempat perjudian itu.
Sampai lama pendeta itu menatap wajah dan bentuk tubuh Ken Arok dan pendeta yang arif dan bijaksana ini maklum bahwa dalam diri Ken Arok terdapat wahyu yang akan mengangkat pemuda itu kelak menjadi orang yang besar. Setelah merasa yakin akan bisikan hatinya, dia lalu mendekati dan menegurnya!
"Orang muda, tempatmu bukan di sini. Tinggalkan meja perjudian ini dan marilah ikut bersamaku."
Ken Arok yang sedang kalah itu terkejut melihat ada orang yang berani menegurnya, dan dia memandang kakek itu dengan penuh perhatian. Kakek itu bertubuh jangkung, berkulit kehitaman dan wajahnya asing. Hidungnya mancung sekali. Akan tetapi sepasang matanya mencorong seperti memandang bara api yang panas. Diam-diam Ken Arok kagum dan dapat menduga bahwa kakek ini tentu seorang pendeta yang pandai.
Pakaiannya demikian sederhana, hanya kain dilibat-lihatkan tubuhnya yang jangkung.
"Siapakah engkau, paman" Pergilah dan jangan menggangguku. Aku sedang berjudi mengejar kekalahanku." Jawab Ken Arok sambil mengibaskan tangannya dengan hati sebal.
"Hemm, engkau mengejar kemenangan" Mengejar uang" Mari keluar bersamaku kalau engkau mengejar kemenangan uang!" Berkata demikian, kakek itu melangkah keluar dari rumah perjudian, seolah-olah merasa yakin bahwa orang muda itu tentu akan mengikutinya. Dan benar saja. Ken Arok meninggalkan arena perjudian, biar pun dia sudah menderita kalah sampai hampir habis uang bekal yang dipakai modal berjudi tadi.
Ada sesuatu dalam suara pendek itu yang menarik hatinya dan membuatnya ingin tahu sekali. Dia lalu mengikuti pendeta itu keluar.
"Apa maksudmu dengan kemenangan dan uang paman?" setelah tiba di luar, Ken Arok bertanya.
Danyang Lohgawe tertawa. "Kau pungut batu-batu itu dan lihat!"
Ken Arok masih tidak mengerti, akan tetapi dia lalu mengambil kerikil yang bertebaran di
bawah kakinya. Diambil dan dikepalnya kerikil-kerikil itu dan ketika dilihanya, matanya terbelalak. Kerikil-kerikil yang tadi merupakan batu-batu tak berharga itu kini nampak olehnya telah menjadi emas, benda berkilau yang indah!
"Emas...............!" serunya dan diperiksanya kerikil itu. Dia pernah berguru kepada Empu Palot dan dia pandai membedakan mana emas mana bukan dan benda-benda yang berada di tangannya itu benar-benar emas!
"Demikianlah, anakku. Di dalam tangan orang yang mengandung wahyu, batu pun dipegang berubah menjadi emas. Akan tetapi apa gunanya semua emas itu" Kalau tidak pandai-pandai engkau mengusahakan dan menempatkan diri sesuai dengan wahyu itu,
semua emas itu pun akan mudah habis dan engkau kembali ke asalmu."
Mendengar ucapan ini, Ken Arok sadar dan diapun membuang kerikil-kerikil itu. Selama ini dia telah menyia-nyiakan waktu dan usianya. Maka dia lalu berlutut dan menyembah kepada Danyang Lohgawe.
"Paman panembahan, saya mohon petunjuk."
Danyang Lohgawe lalu menyentuh pundaknya, menariknya bangkit berdiri. "Mulai detik ini, engkau menjadi anak angkatku. Aku ada Danyang Lohgawe."
"Nama saya Ken Arok dan saya akan menaati semua petunjuk Bopo Danyang!"
"Mari ikut bersamaku, Ken Arok anakku, tempatmu bukan di sini, melainkan di dekat para bangsawan tinggi."
Hari itu juga, Danyang Lohgawe mengajak Ken Arok pergi ke Tumapel. Tentu saja Ken Arok terkejut setengah mati dan hampir membangkang karena mana mungkin dia pergi ke Tumapel" Bukankah itu sama artinya seperti harimau masuk perangkap" Akan tetapi,
bersama Danyang Lohgawe, dia dapat memasuki Kadipaten Tumapel dengan selamat.
Mungkin karena aji kesaktian Danyang Lohgawe, atau memang karena Ken Arok jarang dapat dilihat oleh perajurit dan selama ini yang mengejar-ngejarnya adalah orang Daha,
maka dia dapat masuk ke Tumapel dengan selamat. Tak seorangpun dapat mengenalnya sebagai perampok muda yang selama ini dikejar-kejar.
Di Tumapel, pendeta Brahmana dari india itu segera terkenal kepandaiannya mengobati,
meramal dan ilmu kesaktian lain. Kepandainnya terkenal sekali sampai ke istana Sang Akuwu Tunggal Ametung, Ken Arok bekerja sebagai murid pendeta ini dan pada suatu hari, Tunggal Ametung mengundang Danyang Lohgawe untuk mengobati seorang di antara selir-selirnya yang menderita sakit berat. Bersama Ken Arok, Danyang Lohgawe segera menghadap dan dengan pengetahuannya yang luas, akhirnya dia berhasil menyembuhkan selir Tunggal Ametung.
Tentu saja Sang Akuwu menjadi girang dan berterima kasih dan kesempatan ini dipergunakan oleh Danyang Lohgawe untuk memintakan pekerjaan bagi anak angkatnya, Ken Arok. Melihat pemuda yang tampan, tegap dan cekatan itu, Tunggal Ametung merasa suka dan segera diterimanya Ken Arok sebagai seorang perajurit pengawal.
Bahkan Danyang Lohgawe juga diberi kedudukan sebagai tabib dan pensehat dan mereka diberi pondok yang cukup mewah tak jauh dari istana Sang Akuwu sendiri.
Mulailah keadaan hidup ini Ken Arok meningkat, tepat seperti yang dilihat oleh Danyang
Lohggawe, dan merasa yakin bahwa anak angkatnya itu akan meningkat lebih tinggi lagi kedudukannya.
**** Joko Handoko dan Wulandari yang sedang sarapan di sebuah warung di dusun itu, menoleh ketika menderap derap kaki dua ekor kuda berhenti di depan warung. Ketika Joko Handoko melihat dua orang penunggang kuda itu, cepat dia membayar harga
makanan dan minuman the, menyambar tangan Wulandari diajak menyelinap keluar dari pintu samping warung. Mereka lalu bergegas keluar dari samping sehingga tidak terlihat
wajah mereka oleh dua orang penunggang kuda yang memasuki warung sambil bercakap-cakap.
"Kita masih banyak waktu dan dusun Memeling sudah tidak jauh lagi. Perutku lapar, mari
kita sarapan dulu," kata seorang. Temannya mengangguk setuju dan keduanya sambil bercakap-cakap memasuki warung itu dan memesan makanan ketan kelapa dan air teh panas.
Sementara itu, Joko Handoko dan Wulandari sudah menyelinap dan bersembunyi di balik
pohon besar yang tumbuh tak jauh dari warung, sambil mengintai. Kini Wulandari juga mengenal dua orang itu, itu bukan lain adalah Gajah Putih dan Gajah Ireng, dua orang yang pernah membantu Tumapel dan hampir saja membikin malu dan merusak nama dan kehormatan Sabuk Tembogo kalau saja tidak ada Joko Handoko yang hadir dan mengalahkan mereka. Wulandari merasa heran mengapa temannya itu menyingkir dan kelihatan seperti takut menghadapi mereka. Padahal, ia tahu benar bahwa dua orang itu
bukanlah lawan Joko Handoko. Agaknya, pemuda itu dapat membaca isi hatinya.
"Wulan, kita harus membayangi mereka dengan diam-diam. Siapa tahu mereka akan membawa kita kepada pemecahan rahasia yang kita selidiki."
Wulandari mengangguk. Ia seorang gadis cerdik dan tahulah ia sekarang. Memang tepat
sekali. Dua orang itu muncul bersama pasukan Tumapel dan menyudutkan Sabuk Tembogo. Sikap mereka itu seolah-oleh hendak mengadu domba antara Sabuk Tembogo
dan pasukan Tumapel. Mereka patut dicurigai. Apalagi kalau diingat betapa mereka muncul lagi bersama guru mereka. Ki Danyang Bagaskoro, yang bermaksud menculik, bahkan membunuh Dewi Pusporini.
"Mereka tadi bilang hendak pergi ke Dusun Memeling, sebaiknya kita mendahului mereka
ke sana dan di sana kita membayangi mereka," bisiknya. Joko Handoko mengangguk dan merasa kagum akan kecerdasan Wulandari. Memang tidak mudah membayangi dua orang berkuda dan mereka berkuda pula. Tentu akan mudah ketahuan. Tadi, tanpa disengaja mereka mendengar Gajah Putih mengatakan kedua orang itu hendak pergi ke Tumapel, maka sebaiknya kalau mereka mendahului ke sana dan membayangi dua orang itu di sana
Dengan hati-hati mereka lalu mengambil kuda yang tadi mereka tambatkan di pohon tak
jauh dari warung itu, dan mereka lalu menunggangi kuda mereka, menuju ke utara, ke Dusun Memeling yang tidak begitu jauh lagi. Wulandari sudah mengenal daerah ini,
maka ia tahu di mana Dusun Memeling.
Tak lama kemudian tibalah mereka di luar Dusun Memeling. Joko Handoko lalu menitipkan dua ekor kuda pada seorang petani yang miskin dan tinggal di dusun itu dengan memberi upah yang cukup banyak. Kemudian mereka berjalan kaki menuju ke pintu gerbang dusun dan bersembunyi, mengintai dan menanti datangnya dua orang yang akan mereka bayangi.
Dusun itu berada di tapal batas antara Tumapel dan Kerajaan Daha, sebuah dusun yang cukup besar, dikelilingi hutan lebat dan di tepi sebuah sungai yang menjadi anak Sungai Brantas. Penghuni dusun itu sudah dikuasai oleh pengaruh Kerajaan Daha dan hal ini tidak diketahui oleh Joko Handoko dan Wulandari.
Pada waktu itu, yang menjadi raja di Daha atau Kediri adalah Sang Prabu Dandang Gendis, nama lain dari Sang Prabu Kertajaya. Sang Prabu Dandang Gendis mendenga akan sikap Sang Akuwu Tunggal Ametung yang hidup seperti seorang raja muda di Tumapel, dan di dalam hatinya tidak rela tunduk kepada Kerajaan Daha. Akan tetapi karena Tunggal Ametung tidak terang-terangan menentangnya, dia mengingat bahwa Kadipaten Tumapel cukup kuat, terutama dibantu oleh orang yang memiliki kesaktian, maka raja Kediri itu masih bersikap sabar. Diam-diam Sang Prabu Dandang Gendis atau Kertajaya berunding dengan para penasehatanya, kemudian diambil keputusan untuk rahasia berusaha melemahkan Tumapel dengan jalan mengadu domba. Dipilihlah orangorang
sakti di bawah pimpinan seorang senopati untuk melakukan serangan gelap terhadap Tumapel. Usaha-usaha itulah yang mengakibatkan peristiwa-peristiwa yang kini
sedang diselidiki oleh Joko Handoko dan Wulandari dan tanpa mereka sadari, mereka kini
mendekati sarang persekutuan rahasia dari kerajaan Daha atau Kediri itu!
Joko Handoko dan Wulandari tidak usah menunggu terlalu lama. Segera terdengar derap
kaki kuda dan mereka melihat Gajah Putih dan Gajah Ireng menunggang kuda mereka menuju ke pintu gerbang dusun itu. Setelah tiba di pintu gebang, mereka menahan kuda
dan memasuki dusun itu dengan perlahan-lahan. Setelah mereka masuk agak jauh, Joko Handoko dan Wulandari cepat menyelinap keluar dan membayangi mereka dari jauh.
Mudah saja membayangi dua orang yang masuk dusun dengan menunggang kuda itu, apalagi kuda mereka lari congklang dengan lambat. Melihat sikap para penduduk dusun menyambut dua orang penunggang kuda itu dengan senyum lambaian tangan, Joko Handoko dapat menduga bahwa hubungan antara dua orang itu dengan penduduk dusun
amat baik. Hal ini membuat dia lebih hati-hati lagi. Dari jauh mereka melihat betapa dua
orang itu memasuki perkarangan sebuah rumah besar yang berada di ujung dusun.
Giranglah hati Joko Handoko karena rumah itu berdiri agak terpencil dan keadaannya cukup sunyi sehingga akan memudahkan dia dan Wulandari untuk melakukan
pengintaian. Mereka terus berjalan melewati depan pekarangan itu dan melihat betapa dua ekor kuda yang masih berpeluh itu ditambatkan di dalam pekarangan depan. Akan tetapi pekarangan itu sunyi, tidak nampak ada seorang pun manusia. Tentu saja mereka sama sekali tidak menduga bahwa keadaan mereka kini sudah berbalik sama sekali.
Bukan mereka yang membayangi orang, melainkan gerak-gerik merekalah yang dibayangi orang! Sama sekali mereka tidak menduga bahwa pada saat mereka menitipkan kuda mereka kepala petani di luar dusun, mereka telah terperangkap.
Petani dusun yang miskin itu yang menerima titipan dua ekor kuda dengan menerima upah yang cukup banyak, sudah mengkhianati mereka! Kiranya petani itu adalah seorang yang setia kepada Kerajaan Daha, bahkan dia bertugas sebagai mata-mata persekutuan
rahasia yang bersarang di dusun Memeling.
Petani atau mata-mata Daha itu sudah lebih dahulu melapor kepada para pimpinan yang berada di dusun Memeling tentang munculnya seorang pemuda dan seorang gadis yang gerak-geriknya mencurigakan.
"Mereka menitipkkan kuda kepada saya dengan memberi upah yang cukup besar, lalu memasuki dusun ini dengan berjalan kaki dan dengan sikap yang berhati-hati. Mereka patut dicurigai." demikian antara lain petani itu melapor, mendahului Joko Handoko dan Wulandari dengan mengambil jalan memotong yang lebih dekat.
Laporan itu menarik perhatian para pimpinan, apalagi mengingat bahwa pada saat itu datang pula dua orang tokoh yang menjadi utusa mereka, yaitu Gajah Putih dan Gajah Ireng. Demikianlah, tanpa diketahui Joko Handoko dan Wulandari,kedatangan mereka ke
dusun itu, yang tadinya bermaksud untuk membayangi dua orang bekas musuh itu, kini berbalik merekalah yang dibayangi dan diintai setiap gerak-gerik mereka. Dan itu pula sebabnya ketika mereka memasuki pekarangan rumah itu, mereka hanya melihat dua ekor kuda yang tadi ditunggangi Gajah Putih dan Gajah Ireng tertambat di pekarangan itu, dan tidak melihat dua orang itu sedangkan keadaan di situ sunyi sekali.
Pada saat itu, Kerajaan Daha atau Kediri yang dipimpin oleh Sang Prabu Dandang Gendis
atau Sang Prabu Kertajaya, sedang kuat-kuatnya. Sang Prabu Dandang Gendis memerintah negaranya dengan tangan besi, akan tetapi harus diakui bahwa dia adalah seorang raja yang pandai dan kuat. Selain dia memiliki kesaktian, juga dia dibantu oleh dua orang kakak beradik yang tadinya merupakan pertapa-pertapa yang tekun.
Begawan Saritomo, yang tua telah berusia enam puluh lima tahun dan dialah yang diangkat oleh Sang Prabu Dandang Gendis menjadi puruhita (pendeta keraton) di Kerajaan Daha, sebagai penasehat dan juga guru terakhir dari Sang Prabu Dandang Gendis. Sang Begawan Sarutomo ini dibantu oleh adiknya yang bernama Begawan Buyut Wewenang, pada waktu itu berusia enam puluh tahun, seorang pertapa yang sakti mendraguna, bahkan cerdik sekali. Dua orang pendeta inilah yang selain mengajarkan ilmu-ilmu kesaktian kepada Sang Prabu, juga menjadi penasehat dan semua nasihat mereka
dipenuhi dan dituruti belaka oleh Sang Prabu Dandang Gendis sehingga tentu saja kekuasaan mereka semakin besar.
Adalah dua orang pedeta ini pula yang memberi nasihat dan membujuk Sang Prabu Dandang Gendis dari Kediri untuk melakukan siasat adu domba di antara kekuatankekuatan
di Tumapel untuk melemahkan kedudukan Tumapel yang dianggap memperlihatkan tanda-tanda tidak menghargai kedaulatan kerajaan besar Kediri. Dan Sang Begawan Buyut Wewenanglah yang mendapatkan tugas membentuk suatu kekuatan untuk mengatur siasat memecah belah dan mengadu domba untuk mengacaukan dan melemahkan kedudukan Tumapel. Begawan Buyut Wewenang memilih dusun Memeling untuk menjadi pusat kegiatannya, karena dusun itu terlatak di tapal
batas antara wilayah aha dan Tumapel. Dalam tugas ini dia dibantu oleh banyak orang pandai dari Kediri, dan di antara mereka, yang menjadi kepercayaannya adalah Gajah Putih dan Gajah Ireng, bersama guru mereka, yaitu Ki Danyang Bagaskoro yang kemudian tewas ketika bertanding melawan Joko Handoko.
Demikian keadaan di dusun Memeling pada saat itu. Ketika petani yang merangkap menjadi mata-mata yang banyak disebar oleh Buyut Wewenang itu datang melapor, yang berada di dalam dusun itu adalah Begawan Buyut Wewenang sendiri bersama tiga orang lain yang juga merupakan orang-orang sakti yang menjadi pembantu-pembantu pendeta ini. Mereka adalah Ki Bajulbiru, Ki Suroyudo, dan Ki Banyakluwo, jagoanjagoan
dari Kerajaan Kediri pada waktu itu. Begitu mendengar pelapoan petani, Begawan Buyut Wewenang lalu mengajak mereka bertiga untuk melakukan pengintaian.
Joko Handoko dan Wulandari yang merasa kehilangan dua orang yang mereka bayangi, dengan berani lalu menyelinap ke samping bangunan itu di mana terdapat sebuah kebun yang luas. Mereka menyelinap di antara pohon-pohon di kebun itu,mendekati bangunan dan mengintai. Namun, keadaan sunyi saja dan tidak nampak seorangpun di sekitar bangunan itu.
"Hemm, sunyi benar seperti tidak ada penghuninya," bisik Wulandari.
"Tidak mungkin kosong," bisik Joko Handoko kembali. "Jelas bahwa dua orang itu telah masuk ke dalam dan agaknya mereka sedang melakukan perundingan di dalam. Penting sekali bagi kita untuk dapat melihat siapa yang berunding dan apa yang sedang dipercakapkan."
"Kalau begitu, mari kita masuk dari pintu belakang itu." Wulandari menuding ke arah sebuah pintu belakang dan kecil. Joko Handoko mengangguk dan mereka berloncatan dengan gerakan seperti dua ekor kucing saja menuju ke pintu itu.
Joko Handoko mendorong daun pintu dan ternyata tidak terkunci. Mereka masuk ke dalam, berindap-indap. Tiba-tiba keduanya berhenti dan cepat bersembunyi ke balik ruangan yang ada di situ. Dua orang yang mereka bayangi tadi, Gajah Putih dan Gajah Ireng, muncul dari sebuah pintu ke dalam ruangan besar di depan mereka keduanya nampak bicara perlahan, lalu keduanya berpencar. Gajah Putih melalui pintu kiri dan Gajah Ireng masuk melalui pintu kanan!
Tentu saja Joko Handoko dan Wulandari menjadi bingung. "Kau ikuti dia, dan aku akan membayangi yang lain," kata Joko Handoko. Gadis itu mengangguk berani, lalu mereka berpencar, menyelinap ke kanan dan kiri. Joko Handoko membayangi Gajah Putih sedangkan gadis itu mengikuti Gajah Ireng.
Mudah bagi Joko Handoko untuk memabayangi Gajah Putih tanpa dapat diketahui oleh orang itu. Dan dia mendapatkan kenyataan bahwa bangunan itu sungguh luas sekali.
Gajah Putih telah keluar masuk ruangan-rungan yang luas dan belum juga nampak ada manusia lain. Selagi Joko Handoko yang terus mengikutinya itu merasa heran dan mulai menduga bahwa mungkin ruang besar ini memang kosong dan yang ada hanya dua orang yang mereka bayangi tadi, tiba-tiba Gajah Putih memasuki sebuah ruangan dan lenyap! Joko Handoko terkejut. Dia tidak melihat jelas ke arah mana lenyapnya orang yang dibayanginya, maka dia pun cepat masuk ke dalam ruangan itu. Sebuah rungan yang lebarnya tidak kurang dari empat daun pintu di situ. Dia tidak tahu ke pintu mana Gajah Putih tadi menghilang.
Joko Handoko berdiri di tengah ruangan itu, bingung menduga-duga ke mana Gajah Putih pergi dan tiba-tiba saja ke empat daun pintu dari empat jurusan itu terbuka dan muncullah dari masing-masing pintu seorang kakek yang diikuti oleh lima orang pengawal. Mereka menghadang di depan pintu dan dengan demikian Joko Handoko telah
terkepung. Dari pintu yang dilaluinya tadi, muncul seorang kakek yang agaknya menjadi pemimpin mereka,karena kakek ini mengeluarkan suara ketawa yang meringkik seperti
kuda sedangkan yang lain hanya diam saja, memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik.
"Hi-heh-heh-heh! Orang semuda ini berani masuk ke sini sebagai maling" Orang muda, apakah engkau sudah bosan hidup?" bentak kakek yang memiliki suara seperti meringkik
kuda itu. Joko Handoko membalikkan tubuhnya untuk menghadapi kakek itu. Dia memandang penuh perhatian dan merasa belum pernah mengenal kakek ini, juga belum pernah mendengar kakek yang memiliki suara seperti ringkik kuda. Kakek ini buruk sekali.
Tubuhnya kurus dan agak bongkok, usianya tentu sudah enam puluh tahunan, mukanya hitam dan saking kurusnya nampak seperti tengkorak dengan kedua mata yang cekung dalam menghitam. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat hitam yang bentuknya seperti ular. Pakiannya juga serba hitam akan tetapi terbuat dari kain yang halus dan potongannya juga indah, dihias benang emas dan kancing emas dengan batu permata. Dia sama sekali tidak tahu bahwa dia sedang berhadapan dengan Begawan Buyut Wewenang, orang kedua setelah Begawan Sarutomo yang yang berkuasa di Keraton Daha sebagai guru dan penasehat raja! Joko Handoko memperhatikan tiga orang kakek yang lain.
Yang seorang bertubuh tinggi besar dan berbadan kokoh kuat seperti raksasa, mukanya
yang hitam kasar itu penuh cambang bawuk, kelihatan menyeramkan. Kakek ini berusia
sekitar lima puluh tahun dan dia adalah Ki Bajulbiru, senjata ruyungnya yang berat selalu
tergantung di pinggang kanan. Orang kedua juga berusia sebaya, mukanya pucat seperti
orang berpenyakitan, tubuhnya tinggi kurus dan pakaiannya seperti pakaian seorang penggembala. Di pinggang belakang terselip gagang sebatang pecut yang ujungnya dipasangi besi kaitan! Kakek ini bernama Ki Surodoyo. Orang ketiga yang usianya juga lima puluhan, bernama Ki Banyakluwo, tubuhnya gendut bundar, mukanya selalu tersenyum menyeringai seperti orang mengejek, gerak-geriknya lucu akan tetapi dia kejam sekali dan mudah mengayun golok besarnya untuk membunuh orang. Tiga ini adalah para pembantu Begawan Buyut Wewenang dan mereka memiliki kepandaian yang tinggi karena mereka bertiga ini tunggal guru dengan Ki Danyang Bagaskoro, dari perguruan Blambangan.
Melihat mereka, Joko Handoko merasa tidak enak hatinya dan malu. Bagaimana pun juga dia tidak mengenal mereka, tidak tahu rumah siapa yang dimasukinya dan yang jelas, dia telah bersalah, memasuki rumah orang tanpa ijin, seperti seorang pencuri!
Oleh karena itu, dia merendahka diri, membungkuk dengan hormat kepada kakek bongkok di depannya itu.
"Harap para paman yang terhorat suka memaafkan saya. Saya bukan seorang pencuri dan tidak bermaksud mencuri walaupun benar saya telah memasuki rumah ini. Akan tetapi saya masuk kerena membayangi seorang yang pernah mengacau di padukuhan Sabuk Tembogo. Dia bernama gajah Putih dan seorang temannya lagi bernama Gajah Ireng ang tadi saya lihat masuk ke dalam rumah ini."
"Tidak perlu banyak alasan lagi! Engkau sudah masuk seperti maling, dan karena itu berlutut dan menyerahlah untuk kami tangkap," kata pula Begawan Buyut Wewenang yang belum mengenal adannya pemuda ini, hanya tahu dari padepokan patani bahwa pemuda ini dan gadis temannya amat mencurigakan. Keika Gajah Putih dan Gajah Ireng memasuki rumah itu, dia dan para pembantunya tahu betapa pemuda dan gadis itupun membayangi, maka cepat dia memberi isyarat kepada Gajah Putih dan Gajah Ireng untuk berpencar agar pemuda dan gadis itupun melakukan pengejaran, secara berpisah.
Joko Handoko mengerutkan alisnya. Tak salah lagi, pikirnya. Mereka ini tentulah temanteman
Gajah Putih dan dia memang dipisahkan dari Wulandari timbul kekhawatiran hatinya terhadap keselamaan Wulandari.
"Saya tidak bermaksud buruk, tidak ingin mencuri dan tidak ingin bermusuhan. Karena itu, harap paman suka memaafkan saya dan biarlah saya keluar lagi dari rumah ini"
katanya dengan sikap masih hormat.
"Ha-ha-ha, waaahh, enaknya! Berkeliaran di rumah orang tanpa ijin lalu minta maaf begitu saja dan hendak pergi. Heh-heh, boleh, boleh, boleh asal mau merasakan dulu tajamnya golokku!" kata Ki Banyakluwo sambil terkekeh.
"Biar kuhajar dia dengan pecutku!" kata Ki Suryudo dan dia pun sudah mencabut Pecutnya, memutar pecut di udara dan terdengar bunyi pecut meledak-ledak.
"Berikan saja kepadaku, biar kuhantam kepalanya dengan ruyungku, hendak kulihat hanya bujat ataukah pecah berantakan!" kata pula Ki Bajulbiru dengan suaranya yang gemuruh seperti auman harimau.
Melihat sikap mereka, Joko Handoko melklum bahwa dia telah berada di gua harimau, dan agaknya akan sedikit sekali harapan untuk dapat keluar dari situ dengan damai.
"Nah, engkau mendengar sendiri pendapat teman-temanku, orang muda. Maka, berkutut
dan menyerahlah sebelum kami menggunakan kekerasan!" kata pula Begawan Buyut Wewenang yang segera menduduki sebuah kursi yang dibawa datang oleh seorang pengawal. Kakek ini memandang rendah kepada Joko Handoko dan dia sendiri sebagai pemimpin tertinggi tidak pernah atau jarang sekali turun tangan sendiri. Cukup dengan para pengawal dan anak buahnya, atau para pembantunya saja.
Mendengar ucapan ini, Joko Handoko berdiri tegak dan kini suaranya terdengar mantap
dan tegas ketika dia berkata, "Sekali lagi aku mohon agar paman membiarkan aku keluar
dari tempat ini dengan aman dan damai."
"Dan sekali lagi kami tekankan agar engkau berlutut dan menyerah!" bentak Begawan Buyut Wewenang.
"Kalau aku tidak menyerah?" tanya Joko Handoko, suaranya menetang.
Kini Begawan Buyut Wewenang sudah kehabisan kesabaran. "Tangkap bocah ini!"
katanya kepada para pengawalnya. Sepuluh orang perajurit pengawal berlompatan maju mengepung dan berlomba hendak menangkap pemuda itu yang nampaknya hanya seorang pemuda yang lemah lembut gerak-geriknya. Ajkan tetapi, Joko Handoko yang maklum bahwa kalau dia membiarkan dirinya ditangkap maka nyawanya akan terancam bahaya, sudah dengan cepat sekali mengerakkan kaki tangannya dan sekali dia menyambut terjangan mereka itu, empat orang perajurit terpelanting ke kanan dan sambil mengaduh-aduh! Melihat ini, sisa para perajurit yang jumlahnya ada enam belas orang lagi itu menjadi marah dan mereka tanpa dikomando lagi lalu menerjang ke dalam ruangan itu. Empat orang kakek itu hanya nonton saja, membiarkan para perajurit menangkap pemuda kendel itu karena betapa pun juga mereka, terutama sekali Begawan Buyut Wewenang merasa sungkan dan malu kalau turun tangan sendiri menghadapi seorang pemuda yang masih hijau. Tentu saja mereka harus menjaga nama kedudukan mereka sebagai jagoan-jagoan Kerajaan Daha.
Ruangan itu memang luas, akan tetapi kalau ada belasan orang mengeroyok, tentu saja menjadi sempit. Dan para perajurit itu seperti serombongan nyamuk menerjang lilin saja
layaknya. Setiap kali menerjang dan disambut oleh Joko Handoko, mereka tentu terpelanting dan tersungkur atau terjengkang karena tamparan dan tendangan pemuda perkasa itu. Suara mereka mengaduh-aduh memenuhi ruangan itu.
Tiba-tiba terdengar seruan Gajah Ireng dari luar pintu. "Para paman yang berada di dalam. Dia adalah Joko Handoko yang telah membunuh Bopo Guru Ki Danyang
Bagaskoro!"
Tiga orang kakek itu, Ki Bajulbiru, Ki Suroyudo dan Ki Banyakluwo adalah saudarasaudara
seperguruan dari mendiang Ki Danyang Bagaskoro. Mereka berempat adalah jagoan-jagoan dari perguruan Blambangan yang dalam perantauan mereka ke barat lalu menetap di Daha dan diterima sebagai pembantu-pembantu oleh Begawan Sarutomo dan
Begawan Buyut Wewenang. Kedudukan empat orang dari Blambangan ini sudah cukup tinggi. Ketika mereka mendengar bahwa pemuda inilah yang membunuh saudara mereka, tentu saja mereka menjadi marah bukan main.
"Babo-babo..........! Jadi inikah jahanam itu?" bentak Ki Bajulbiru sambil mengambil ruyung besar yang tergantung di pinggangnya.
"Dojleng-dojleng iblis laknat. Aku harus membalaskan kematian kakang Bagaskoro!"
teriak Ki Suroyudo yang melolos pula pecut yang tadi telah diselipkannya lagi ke ikat pinggangnya.
"Para perajurit mundurlah! Kami akan menghadapi tikus ini!" Ki Banyakluwo juga membentak. Sambil mencabut golok besarnya.
Tadi tiga orang ini merasa sungkan dan malu menandingi pemuda itu karena mereka memandang rendah dan menurunkan derajat mereka kalau mengeroyok seorang pemuda hijau. Akan tetapi setelah mendengar bahwa pemuda itu adalah pembunuh saudara mereka, merekapun tahu bahwa pemuda itu memiliki kesaktian, dan kemarahan membuat mereka tidak malu-malu lagi untuk maju bersama melakukan pengeroyokan terhadap seorang lawan yang begitu masih muda.
Para perajurit pengawal cepat mundur sambil menarik teman-teman yang terluka keluar
dari ruangan itu. Hati merasa lega karena mereka tadi masih belum roboh sebelumnya mereka merasa gentar sekali mengahapi amukan pemuda perkasa itu. Pemuda itu demikian kuatnya,bahkan menangkisi senjata tajam dengan kedua tangan begitu saja tanpa terluka sedikitpun. Kini mereka keluar dan hanya berjaga di luar pintu untuk mengepung pemuda itu. Begawan Buyut Wewenang hanya nonton, masih duduk di kursinya, sikapnya tenang seolah-olah kehebatan pemuda itu bukan apa-apa baginya.
Dia ingin melihat apakah tiga orang pembantunya akan berhasil mengalahkan pemuda perkasa ini.
Kini tiga orang kakek itu sudah melangkah maju dengan senjata masing-masing, mengepung Joko Handoko dengan membentuk segi tiga. Seorang, yaitu Ki Bajulbiru, langsung berhadapan dengan pemuda itu sedangkan dua orang temannya. Ki Suroyudo dan Ki Banyakluwo datang diri kanan kiri agak ke belakang Joko Handoko dkepung dari tiga penjuru dan dia berdiri tegak dengan sikap tenang. Dia maklum bahwa bicara lagi tidak ada gunanya. Agaknya merek ini merupakan komplotan dari Gajah Putih dan Gajah
Ireng bersama guru mereka. Dia sudah membunuh Ki Danyang Bagaskoro, maka tentu saja mereka tidak akan mau melepaskan dia begitu saja. Yang membuat dia merasa
gelisah adalah kalau dia teringat kepada Wulandari. Bagaimana nasib gadis itu" Gadis itu
tadi membayangi Gajah Ireng dan kini Gajah Ireng sudah muncul di situ, ketika berteriak
memperenalkan dirinya. Akan tetapi, dalam keadaan gawa seperti itu, Dia menyingkirkan
rasa khawatirnya terhadap keselamatan Wulandari dan bersikap waspada menghadapi pengepungan tiga orang lawannya. Dia dapat menduga bahwa mereka tentulah orangorang
pandai yang memiliki tingkat seperti Ki Danyang Bagaskoro. Karena itu, melihat betapa tiga orang lawan sudah memegang senjata masing-masing, diapun cepat maraba gagang kerisnya dan segera, nampak sinar berkilat ketika Keris Pusaka Nogopasung sudah telanjang dalam genggaman tangan kanannya.
"Tar-tar-taaaarrrr..................!" Cambuk berujung kaitan besi di tangan Ki Suroyudo meledak-ledak di atas kepala Joko Handoko. Akan tetapi garakan itu hanya merupakan gertak saja Joko Handoko tetap.......berdiri tegak, tidak menjadi panik.
Aaahhhhhhh......................!" Ki Bajulbiru menggereng dan tiba-tiba tubuhnya yang tinggi dan besar itu menerjang ke depan, ruyung di tanga kanannya menyambar.
Ruyung itu beratnya tidak kurang dari dua puluh lima kati, digerakkan oleh tenaga yang kuat maka menyambar dahsyat sekali ke arah kepala Joko Handoko dalam serangan pertama yang langsung datang dari depan itu.
Joko Handoko dengan sikap tenang menggeser kaki dan memutar tubuhnya miring ke kiri.
"Wuutttttt......." Ruyung itu menyambar di samping kepala Joko Handoko. Angin pukulan
yang dahsyat itu masih bertiup dan membuat rambut pemuda itu berkibar.
"Singgggg........!" Golok menyambar ke arah lambung Joko Handoko ketika Ki Banyakluwo menyambut elakannya dari sambaran ruyung tadi, disusul oleh suara ledakan pecut dari atas.
"Syuuuuuuuttt............!" Ujung cambuk itu menyambar turun, seperti patuk seekor burung menyerang ubun-ubun kepala pemuda itu!
Menghadapi dua serangan susulan yang amat berbahaya ini, Joko Handoko memperlihatkan kegesitan tubuhnya. Dengan langkah cepat dan menyelinap sehingga ujung pecut tidak mengenai sasaran melainkan lewat saja di dekat telinganya, dan dia pun sambil membalik, mengerakkan kerisnya menyambut golok yang mengaancam lambung.
"Cringggggg..........!" Bunga api berpijar dan Ki Banyakluwo yang bertubuh bundar berperut gendut itu terhuyung, tidak kuat dia bertahan ketika goloknya bertemu dengan
Keris Pusaka Nogopasung. Ada hawa panas yang aneh menyusup ke tangannya yang memegang golok dan tahulah dia bahwa pemuda itu memiliki sebatang keris yang amat ampuh. Pada saat itu, untung baginya, Ki Bajulbiru sudah menyerang lagi dengan
menghantamkan ruyungnya ke arah dada Joko Handoko. Pemuda ini terpaksa tidak dapat menyusulkan seranga kepada Ki Banyakluwo yang sudah terhuyung, dan tenaganya dikerahkan ke arah lengan kirinya ketika dia menangkis ruyung yang datangnya telalu cepat untuk dapat dielakkan dengan baik.
"Dukk!" Lengan pemuda itu bertemu ruyung, namun ruyungnya yang terpental seperti bertemu dengan lengan baja. Ia dan Ki Bajulbiru mengeluarkan seruan marah karena telapak tangannya seperti hampir lecet rasanya. Dia menjadi marah dan memutar ruyungnya, lalu menyerang kalang kabut seperti seekor kerbau mengamuk.
Penyerangannya yang bertubi-tubi itu diikuti oleh Ki Suroyudo yang memutar-mutar pecutnya, menyerang dari atas dan dari samping, dibarengi pula dengan gerakan golok di tangan Banyaklawo. Tiga buah senjata para pengeroyok itu bergerak sedemikian cepatnya sehingga yang tampak hanya tiga gulungan sinar yang mengepung dan membungkus tubuh Joko Handoko! Akan tetapi, pemuda yang maklum akan kesaktian tiga orang lawannya, mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk melindungi dirinya, dengan elakan-elakan, tangkisan-tangkisan, dan benturan kerisnya. Akan tetapi karena tiga orang lawannya itu menghujankan serangan, dia pun tidak sempat untuk membalas dan dia sedang mencari-cari kesempatan untuk mempergunakan Ilmu Sakti Nogopasung untuk membalas serangan tiga orang pengeroyok yang tangguh itu.
Dan kesempatan itu tiba setelah dia mempertahankan diri selama kurang lebih seperempat jam! Biarpun dia mampu melindungi dirinya dan tidak sampai roboh oleh serangan bertubi-tubi ini sedikitnya tiga kali dia terkena gebukan ruyung dan celananya
robek pada bagian paha kanannya kena sambaran golok, namun kehebatan tubuhnya masih melindungi sehingga dia belum terluka! Dan kesempatan itu pun tiba. Ketika itu, cambuk Ki Suroyudo untuk kesekian kalinya menyambar dan ujung cambuk dari kaitankaitan
besi itu menyambar ke arah ubun-ubun kepalanya. Bagian ini tentu akan
tertembus dan terkait ujung cambuk kalau saja dia tidak bertindak cepat. Padahal beberapa detik kemudian, ruyung Ki Bajulbiru sudah menyambar lagi ke arah kepalanya juga. Untuk menangkis tidak mungkin karena pada saat itu, kerisnya sedang menangkis golok Ki Banyakluwo. Dalam keadaan yang amat genting itu, Joko Handoko memperlihatan kegesitannya. Tangan kirinya menyambar dan dia berhasil menangkap ujung cambuk, lalu dengan gerakan kuat sekali, dengan sentakan tiba-tiba, dia menarik dan dengan cambuk itu dia berhasil melibat ruyung yang menyambar! Dengan demikian, sekaligus dia membuat cambuk dan ruyung yang saling libat dan itu tidak dapat menyerangnya dirinya. Kakinya menendang dengan cepat sekali pada saat Ki Banyakluwo yang agak lambat gerakannya itu termangu melihat betapa senjata kedua orang temannya saling libat.
"Desss.......!" Tubuh yang bundar gendut itu terguling-guling dan inilah kesempatan baik yang ditunggu-tunggu oleh Joko Handoko. Selagi Ki Bajulbiru dan Ki Suroyudo belum dapat menyerangnya karena ujung cambuk masih melibat ruyung, dan selagi Ki Banyakluwo terguling, dia lalu cepat mengerahkan aji Nogopasung dan sambil
mengeluarkan pekik dahsyat diapun menggerakkan keris pusaka Nogopasung ke depan, menyerang Ki Banyakluwo dengan dahsyat. Kalau seorang di antara tiga pengeroyoknya roboh dan tewas lebih dulu, tentu akan mudah baginya mengatasi dua orang pengeroyok
lainnya. Hebat bukan main serangan Joko Handoko yang ditujukan kepada Ki Banyakluwo yang masih belum sempat bangun setelah tadi terguling itu. Sinar keris pusaka itu menyambar
dengan ganasnya, dibarengi hawa pukulan sakti yang amat dahsyat, menyerbu ke arah tubuh Ki Banyakluwo yang karena gendutnya tiodak dapat cepat bangkit kembali itu.
Pada saat itu nampak sinar hitam menyambar dari samping, menangkis sinar keris pusaka Nogopasung.
"Tranggg......!!" Terjadi pertemuan antara dua senjata dan dua tenaga yang amat kuat, yang membuat Joko Handoko terkejut sekali karena serangannya terhenti di tengah jalan, seolah-olah bertemu dengan benteng baja yang menghadang di depan. Akan tetapi, penangkisnya juga mengeluarkan seruan kaget karena pertemuan antara dua senjata itu membuatnya tergetar hebat. Ketika Joko Handoko memandang, kiranya yang
menangkis keris itu adalah sebatang tongkat hitam yang berbentuk ular, yang dipegang oleh Begawan Buyut Wewenang sendiri! Kakek kurus bongkok ini tadi melihat betapa seorang di antara para pembantunya terancam bahaya maut, maka dia turun tangan menangkis serangan maut yang dilakukan Joko Handoko. Dan dari pertemuan tongkat ular hitam dengan pusaka Nogopasung, pemuda perkasa itupun maklum bahwa kakek kurus bongkok itu ternyata memang sakti dan tangguh sekali, lebih tangguh dibandingkan tiga orang pengeroyoknya!
Akan tetapi, tangkisan itu pun membuat dia menjadi marah. "Kakek licik, engkau boleh mengeroyokku! Jangankan hanya engkau, keluarkan seluruh pembantumu untuk mengeroyokku, aku tidak akan mundur selangkah!"
Akan tetapi, pada saat itu terdengar suara keras membentak, "Joko Handoko, lihat siapa
yang sudah kami tangkap ini! Hentikan perlawananmu atau ia akan kucekik mampus di depan matamu!"
Joko Handoko memutar tubuh di kanan dan wajahnya seketika berubah ketika dia melihat munculnya Gajah Putih yang mendorong tubuh Wulandari yang sudah terbelenggu kedua tangannya di belakang pinggilnya. Gadis itu telah tertawan!
"Jangan pedulikan aku, kakang! Bunuh tikus-tikus ini!" Wlandari berteriak dan beusaha meronta. Akan tetapi belenggu itu terlampau kuat dan Gajah Putih juga sudah memegang pergelangan tangannya dengan kuat. Ia tadi juga terperangkap ketika mengejar bayangan Gajah Ireng yang memancingnya memasuki sebuah ruangan di
samping bangunan besar itu dan ketika ia tiba di dalam ruangan, Gajah Ireng muncul bersama belasan orang perajurit yang mengepungnya. Tentu saja ia melawan matimatian.
Akan tetapi sabuk tembogo di tangannya tidak dapat menandingi pengeroyokan mereka. Baru menghadapi Gajah Ireng saja ia pernah kalah, apa lagi kini Gajah Ireng dibantu oleh belasan orang perajurit. Setelah melawan mati-matian, akhirnya ia pun tertawan dan dibelenggu, lalu di bawa ke tempat di mana Joko Handoko masih mengamuk. Melihat kehebatan pemuda itu, Gajah Putih menggunakan akal, membawa Wulandari yang sudah terbelenggu ke dala m dan mengancam akan membunuh gadis itu kalau Joko Handoko tidak mau menyerah.
Tentu saja Joko Handoko menjadi bingung dan biar pun gadis itu minta agar dia tidak memperdulikannya dan terus mengamuk, dia tidak berani melakukan hal ini. Orangorang macam Gajah Putih itu kejam sekali dan mungkin saja akan melaksanakan ancamannya lebih dahulu membunuh Wulandari, baru kemudian mengeroyoknya. Diapun maklum bahwa kalau pengeroyokan itu ditambah majunya Begawan Buyut Wewenang yang ternyata amat sakti itu, diapun akhirnya akan kalah juga.
Melihat keraguan pada wajah Joko Handoko, Begawan Buyut Wewenang terkekeh.
"Haha- ha, bocah bagus, menyerahlah kalau ingin selamat bersama gadis itu."
Mengingat akan keselamatan Wulandari, Joko Handoko manarik napas panjang lalu menyarangkan keris pusaka Nogopasung. "Baiklah, aku menyerah, akan tetapi bebaskan gadis itu, ia tidak bersalah."
"Tidak, kami maju berdua. Aku tidak mau dibebaskan kalau dia ditawan!" Wulandari berseru.
"Heh-heh-heli!" Begawan Buyut Wewenang terkekeh dan berkata kapada Gajah Putih dan Gajah Ireng. "Belenggu juga pemuda itu!"
Dua orang bekas lawan Joko Handoko itu bergerak ke depan dan Joko Handoko tidak melawan ketika kedua lengannya ditelikung ke belakang seperti halnya Wulandari dan dibelenggu dengan kulit kerbau yang amat kuat. Akan tetapi ketika Begawan Buyut Wewenang merampas keris pusaka Nogopasung dia memandang dengan mata menyala.
"Kembalikan kerisku!" Akan tetapi kakek itu hanya menyeringai dan mencabut keris pusaka Nogopasung, diamatinya dengan kagum lalu mengangguk-angguk. "Orang-orang Tumapel memang pandai membuat keris yang baik. Keris ini baik sekali, heh-heh-heh!"
Dan kakek itupun menyelinapkan keris dengan sarungnya ke ikat penggang sendiri.
Joko Handoko tidak berdaya, terpaksa menahan kemarahannya. "Siapakah kalian dan mengapa kalian menawan kami berdua?" tanyanya.
"Hemm, pemuda tinggi hati! Engkaulah yang menjadi tawanan dan engkaulah yang memperkenalkan diri dan maksudmu membayangi Gajah Putih dan Gajah Ireng," kata Begawan Buyut Wewenang yang kini berdiri di dekat Wulandari, keduanya terbelenggu kedua tangan mereka.
"Tentu engkau sudah mendengar dari Gajah Putih dan Gajah Ireng siapa kami," jawab Joko Handoko. "Gadis ini adalah Wulandari, puteri ketua Sabuk Tembogo mendiang Ki Bragolo dari lereng Kawi. Adapun aku, aku bernama Joko Handoko dari Gunung Anjasmoro."
"Ada hubungan apa antara engkau dan Sabuk Tembogo maka engkau membela, perkumpulan itu?" tanya, pula Begawan Buyut Wewenang yang tentu saja telah
mendengar penuturan Gajah Putih dan Gajah Ireng tadi tentang pemuda perkasa ini, yang bahkan telah membunuh Ki Danyang Bagaskoro, seorang di antara para pembantunya yang boleh diandalkan.
"Aku hanya, sahabat dari Sabuk Tembogo, kebetulan aku berada di sana ketika Gajah utih dan Gajah Ireng datang mengacau, kemudian melihat Ki Danyang Bagaskoro, guru mereka, hendak membunuh puteri kanjeng Senopati Pamungkas, aku mencegahnya sehingga dia tewas. Karena itu, ketika kami melihat dua orang ini, kami menjadi curiga dan kami lalu membayangi mereka," Joko Handoko sengaja membuat pengakuan itu karena di dapat menduga bahwa tanpa dia menceritakan, tentu kakek ini sudah mendengar dari Gajah Putih dan Gajah Ireng yang jelas merupakan anak buahnya.
Kakek itu mengangguk-angguk, lalu menatap wajah Joko Handoko dan wajah Wulandari dengan penuh perhatian. Hatinya tertarik sekali kepada pemuda perkasa ini. Seorang pemuda yang benar-benar tangguh dan kalau saja dia dapat menarik pemuda itu menjadi pembantunya, tentu kedudukannya menjadi semakin kuat dan dia dapat melaksanakan tugasnya dengan lebih baik lagi. Bukankah dengan memiliki seorang pembantu orang Tumapel, berilmu tinggi lagi, maka akan lebih mudah baginya untuk mengadu domba dan melemahkan Tumapel"
"Joko Handoko, engkau masih muda dan memiliki kepandaian tinggi. Apalagi engkau tidak ingin memperoleh kedudukan tinggi dan hidup dalam kemuliaan" Engkau bantulah kami, dan engkau bersama gadis ini akan diampuni, bahkan akan meperoleh kedudukan yang mulia."
Tentu saja Joko Handoko merasa terkejut dan heran mendengar ini, tetapi semua itu tidak nampak pada wajahnya yang tetap tenang. Dia seorang cerdik tidak mudah terbujuk kata-kata manis. Dia memandang tajam dan penuh selidik kepada kakek bongkok bermuka hitam buruk itu, lalu bertanya dengan suara tenang.
"Siapakah paman yang bepakaian seperti seorang pendeta ini, dan bantuan apakah yang dapat kami berikan kepada paman sekalian?"
Terdengar suara tertawa bergelak dan yang tertawa itu adalah Ki Banyakluwo yang bertubuh gendut bundar, "Ha-ha-ha, orang-orang Tumapel memang bodoh dan tidak tahu apa-apa sampai tidak mengenal orang! Joko Handoko, engkau berhadapan dengan seorang di antara mereka yang berkuasa, di Kerajaan Daha dan engkau masih belum mengenal beliau. Beliau ini adalah Sang Begawan Buyut Wewenang, penasihat Sang Prabu Dandang Gendis!"
Terkejut juga hati Joko Handoko mendengar ini. Memang dia belum pernah mengenal tokoh-tokoh Daha, bahkan pergi kemanapun belum, akan tetapi, dia pernah mendengar dari kakeknya bahwa di Daha terdapat banyak orang pandai dan seorang di antaranya adalah Begawan Buyut Wewenang dan menjadi pensihat raja di samping kakaknya yang paling berkuasa di bawah raja, yaitu Begawan Sarutomo, puruhito/pendeta istana, Daha.
Joko Handoko kini menatap tajam wajah kakek yang buruk rupa itu, lalu menolah memandang ke kanan kiri, menatap wajah tiga orang kakek yang tadi mengeroyoknya, lalu berkata, "Ah kiranya andika bertiga tentu bukan orang-orang sembarangan pula."
Pemuda ini memang ingin mengenal mereka agar dia tahu dengan siapa mereka berhadapan.
Ki Banyakluwo geli. "Ha-ha kami bertiga adalah saudara seperguruan dengan Ki Danyang
Bagaskoro. Kami dari Blambangan dan kini menjadi pembantu-pembantu Sang Begawan Buyut Wewenang. Namaku Ki Banyakluwo, dan kedua saudaraku ini adalah Ki Bajulbiru dan Ki Suroyudo."
Joko Handoko diam-diam mencatat nama-nama itu,kemudian bertanya kepada Begawan Buyut Wewenang, "Sang Begawan, andika sekalian adalah tokoh-tokoh Daha yang berkedudukan tinggi. Sedangkan kami berdua hanyalah rakyat dari Tumapel. Bantuan apa yang andika harapkan dari kami?"
"Hemm, Tumapel hanya sebuah daerah yang kecil saja, akan tetapi sikap Sang Akuwu Tunggal Ametung amat tinggi hati. Sang Prabu Kertajaya di Daha masih bersikap sabar,
akan tetapi kalau singa itu dibiarkan meliar dan tumbuh tanduk dan sayap, tentu akan menjadi semakin ganas. Karena itu, tugas kami adalah mematahkan tanduk dan sayap itu, agar Tumapel tidak menjadi semakin sombong saja."
"Maksud andika......., Daha hendak menggempur Tumapel?"
"Ahh, tidak sama sekali" Kami melihat Tumapel menjadi lemah dengan sendirinya tanpa kami menggempurnya. Kami ingin membiarkan kekuatan-kekuatan dfi Tumapel saling gempur sendiri, bermusuhan sendiri sehingga ahirnya Tumapel akan menjadi lemah dengan sendirinya. Kalau engkau mau membantu kami, tentu akan lebih mudah bagi kami untuk mengadu dombakan antara mereka, menimbulkan pertentangan dan permusuhan di antara kekuatan-kekuatan yang ada di daerah Tumapel."
"Ahhh......" Joko Handoko memandang dengan mata terbelalak kepada kakek bermukahitam buruk itu. Kini mengertilah dia akan segala fitnah yang dijatuhkan pada pihak Sabuk Tembogo.
"Aku mengerti sekarang!" Wulandari berseru marah. "Keparat-keparat inilah yang telah
mengadu domba antara Sabuk Tembogo dengan kadipaten dan..........dua orang bertopeng yang membunuh perajurit-perajurit dengan pukulan Hastorudiro itu...., ah tentu untuk mengadu dombakan pihak perkumpulan Hastorudiro dengan pemerintah Tumapel, seperti juga orang-orang yang mempergunakan ilmu dan sabuk tembaga untuk menjatuhkan fitnah pada perkumpulan kami!"
Joko Handoko yang memandang gadis itu mengangguk-angguk. "Dan Eyang Panembahan Pronosidhi juga terbunuh ketika orang-orang Hastorudiro datang menyerbu." Dia lalu mamandang lagi kepada Buyut Wewenang. "Jadi semua peristiwa itu
adalah buatan andika untuk mengadu-domba antara kekautan-kekuatan di Tumapel untuk melemahkan Tumapel?"
Begawan Buyut Wewenang tertawa. "Kalian adalah orang-orang muda yang cerdik.
Keris Pusaka Nogopasung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Benar sekali dugaan kalian, memang kami bertugas untuk melemahkan Tumapel dan
kami mempegunakan siasat mengadu domba antara kekuatan-kekuatan yang ada di Tumapel. Joko Handoko dan Wulandari, jangan merasa heran mendengar betap aku menceritakan semua ini terang-terangan kepada kalian, kau kalian tidak mempunyai pilihan lain kecuali bersedia membantu kami dengan tugas kami, atau kalian akan kami bunuh karena kalian telah mengetahui rahasia kami."
"Kami kira kami pengkhianat-pengkhianat hina" Tidak sudi! Lebih baik dibunuh daripada
hidup menjadi kaki tangan kalian, menjadi pengkhianat-pengkhianat keji!" Wulandari membentak marah dan Joko Handoko mengangguk-angguk kagum. Gadis ini memang hebat, pikirnya."Sang Begawan, andika sudah mendengar sendiri pendirian kami,"
sambungnya. Begawan Buyut Wewenang menjadi kecewa dan marah sekali kepada Wulandari yang dianggapnya mempengaruhi Joko Handoko. Dia tidak begitu mengharapkan bantuan gadis itu yang tingkat kepandaiannya tidak begitu hebat, melainkan mengharapkan Joko
Handoko. Akan tetapi gadis itu mendahului dengan teriakannya tadi yang tentu saja mempengaruhi batin pemuda itu. Padahal, tanpa teriakan Wulandari sekalipun, agaknya kakek itu tidak memiliki harapan untuk berhasil membujuk Joko Handoko menjadi seorang pengkhianat.
"Joko Handoko, selagi kami minta agar engkau suka membantu kami, untuk itu, selain pengampunan bagi kalian, kami juga menjanjikan kemuliaan dan kedudukan yang baik
untukmu. Kalau engkau menolak, berarti kematian bagi kalian! Mana yang kau pilih?"
"Heiiii, kunyuk tua, lutung hitam busuk! Kenapa masih cerewet lagi" Kami adalah kesatria-kesatria sejati yang tidak sudi menjadi pengkhianat. Mau bunuh" Lekas bunuh,
kami bukanlah orang-orang yang takut mati seperti kamu!" Wulandari berteriak marah karena khawatir kalau-kalau pemuda itu akan terbujuk, kekhawatiran yang tidak berdasar.
"Begawan Buyut Wewenang, percuma saja andika membujuk kami. Kami tidak sudi menjadi pengkhianat." Joko Handoko berkata.
Sang Begawan meloncat turun dari kursinya, kakinya mencak-mencak karena marah mendengar makian Wulandari dan penolakan Joko Handoko. "Baik, kalian akan mampus sekarang juga. Eh, tidak..... tidak begitu enak! Kalian akan disiksa, dan engkau perempuan lancang mulut, engkau akan menderita siksaan yang paling berat yang mungkin diderita seorang perempuan. Dia lalu menoleh dan menggapai Ki Bajulbiru, Ki Suroyudo, Ki Banyakluwo, Gajah Putih dan Gajah Ireng, lalu berkata kepada mereka berlima, "Siksaan apakah yang patut dijatuhkan kepada perempuan lancang ini sebelum ia dibunuh?"
"Paman Begawan, serahkan saja ia kepada saya!" kata Gajah Putih dan sepasang matanya seperti hendak menelan bulat-bulat Wulandari yang cantik jelita itu.
"Ho-ho, nanti dulu, Gajah Putih. Aku juga ingin mempermainkannya sebelum ia dibunuh, dan karena Aku paman gurumu, engkau harus mengalah kepadaku!" kata Ki Banyakluwo
yang biarpun tubuhnya gendut seperti bola, terkenal mata keranjang dan suka mempermainkan wanita cantik itu.
Akan tetapi yang lain-lain nampaknya tidak setuju karena siapakah yang tidak tertarik melihat Wulandari gadis berusia enam belas tahun yang hitam manis, tubuhnya sedang mekar seperti setangkai bunga, tegaop berisi, sikapnya yang kenes dan galak akan tetapi
memanbah daya tariknya itu" Melihat betapa lima orang itu seolah berebutan, Begawan
Buyut Wewenang tertawa.
"Ha-ha-ha, kalian ini seperti lima ekor anjing diberi tulang! Akan tetapi yang kuberikan itu bukan tulang, melainkan daging lunak. Nah, sekarang begini saja. Kalian berlima boleh mengeroyoknya di sini, di depan mata Joko Handoko, kecuali......", kecuali kalau dia mau membantu kita. Bagaimana, Joko Handoko, apakah engkau masih berkeras dan membiarkan gadis ini diperkosa beramai-ramai di depan matamu, dipermainkan sampai mati" Setelah ia mati, barulah tiba giliranmu. Bagaimana" Masihkah engkau hendak berkeras?"
Tiba-tiba terdengar suara teriakan melengking yang keluar dari mulut Wulandari dan Joko Handoko. Gadis itu, biarpun kedua tangannya dibelenggu ke belakang, sudah meloncat ke depan dan mengirim tendangan kepada orang terdekat. Dan pada saat yang
sama. Joko Handoko juga sudah meloncat ke depan Begawan Buyut Wewenang dan juga menyerang dengan tendangan kakinya yang masih bebas.
"Desss.......!" Gajah Ireng yang berdiri paling dekat dengan Wulandari, tidak sempat menyingkir karena tidak menduga akan serangan itu sehingga ketika dia menangkis, tetap saja tendangan itu menerobos tangkisannya dan mengenai pahanya, membuat dia terpelanting. Akan tetapi, Begawan Buyut Wewenang dapat meloncat dan mengelak dari
tendangan Joko Handoko, kemudian dari samping tangannya menyambar.
"Deesss.............!" pundak Joko Handoko kena ditampar dan tubuh pemuda itu terpelanting dan terbanting keras. Sementara itu, Gajah Putih juga berada dekat Wulandari, menjadi marah melihat saudaranya tertendang, diapun menampar dan tamparan yang keras mengenai leher Wulandari, membuat gadis itupun terpelanting
keras dan bergulingan!
Tubuh Joko Handoko yang terpelanting itu disambut tendangan-tendangan oleh Ki Bajulbiru dan Ki Banyakluwo, sehingga tubuh pemuda itu terlempar ke sana sini. Gajah Ireng yang tadi menerima tendangan, menjadi marah dan diapun menubruk ke arah Wulandari yang masih rebah di atas lantai. Akan tetapi, Wulandari dapat bergulingan sehingga tubrukan itu luput dan gadis itu pun meloncat bangun. Akan tetapi, kainnya dapat dicengkeram oleh Ki Bajulbiru dan sekali dorong, tubuh Wulandari kembali terpelanting. Sebelum Ia dapat bangkit, rambutnya yang terlepas dari sanggulnya telah
dijambak oleh Ki Banyakluwo yang menariknya bangun. Sambil tersenyum menyeringai,
Ki Banyakluwo yang berperut gendut itu lalu menarik rambut itu sehingga muka gadis itu
dekat dengan mukanya, dan diapun siap untuk menciumnya. Akan tetapi Wulandari yang sudah nekat itu lalu meludah.
"Cuhh.........!?"Keparat.....!" Ki Banyakluwo mendorong kepala gadis itu dan melepaskan jambakannya karena kedua matanya terpaksa, dipejamkan ketika kena semburan air ludah. Dia marah sekali, akan tetapi ketika itu, tubuh Wulandari yang didorong sudah dirangkul dan didekap oleh Ki Suroyudo.
Sementara itu, Joko Handoko berusaha untuk melawan walaupun hanya dengan kedua kakinya. Akan tetapi, untuk kesekian kalinya, terpaksa roboh lagi dan dipukul sana sini, ditendang sana sini.
Tiba-tiba terdengar suara yang dalam dan berwibawa sekali. "Hemmm, Jagat Dewa Bathara! Apa yang sedang terjadi di sini?"
Begawan Buyut Wewenang dan para pembantunya terkejut bukan main melihat munculnya dua orang itu. Seorang kakek berusia enampuluh tahun lebih, berpakaian seperti pendeta buddha, hanya kain kuning dilibatkan di badan, kepalanya tidak gundul seperti biasanya pendeta buddha melainkan berambut dan digelung ke atas seperti pendeta Siwa. Kakek ini bertubuh tinggi besar, kulitnya bersih dan mukanya juga bersih
dari cambang, jenggot atau kumis, sepasang matanya lebar terbelalak dan bersinar tajam, walaupun mengandung sifat yang lembut. Adapun orang ke dua jelas merupakan seorang priayayi dengan pakaian seorang pangeran. Dan orang ini berusia kurang lebih tigapuluh tahun, bertubuh tegap dan bersikap gagah, dengan sinar mata yang tajam melihat semua peristiwa yang terjadi di dalam ruangan itu. Kakek pendeta itu bukan lain
adalah Ki Danyang Maruto, seorang pendeta Siwa Buddha di Kerajaan Daha, seorang tokoh putih yang disegani karena dia terkenal seorang yang sakti dan suci. Adapun pemuda itu adalah Pangeran Maheso Walungan, adik dari Sang Prabu Dandang Gendis, seorang pangeran yang terkenal sebagai seorang ahli perang dan senopati yang berani dan gagah perkasa!
Ki Suroyudo masih mendekap tubuh Wulandari di dadanya. Melihat munculnya sang pangeran, Ki Suroyudo menjadi salah tingkah, masih mendekap tubuh muda itu akan tetapi dia memandang kepada dua orang yang baru datang itu dengan muka bodoh dan melongo.
"Ki Suroyudo, apa yang kau lakukan ini" Menghina seorang wanita muda?" bentak Pangeran Maheso Walungan sambil melangkah maju.
"Ti..... tidak, gusti pangeran......." kata Ki Suroyudo, akan tetapi lengan kirinya masih merangkul pinggang dan lengan kanannya merangkul leher gadis itu yang sudah tidak berdaya.
"Tidak" Keparat, memalukan saja engkau sebagai abdi Kerajaan Daha!" bentak Sang Pangeran dan kakinya bergerak menendang.
"Dess......! Aduhhhhh......!" Tubuh Ki Suroyudo terlempar dan terbanting keras. Dia
merasa kesakitan, akan tetapi tidak tidak berani melawan dan merangkak bangun sambil
mengusap darah dari bibirnya yang pecah ketika terbanting tadi.
"Dan kalian sedang menyiksa orangnya" Beginikah sikap ksatria-ksatria Daha" Sungguh memalukan sekali!" Sang Pangeran lalu memegang lengan Joko Handoko dan membantunya bangkit sendiri. Tubuh pemuda itu bengkak-bengkak dan lecet-lecet, akan
tetapi tidak terluka berat karena tubuhnya dilindungi kekebalan.
"Paman Begawan Buyut Wewenang!" Kini Sang Pangeran menghadap pendeta itu dengan alis berkerut. Dia selama ini memang tidak suka kepada begawan ini, juga Begawan Sarutomo karena maklum bahwa kedua orang pendeta ini adalah pembujuk dan perayu yang amat dipercaya oleh kakaknya, Sang Prabu Dandang Gendis. "Coba ceritakan, apa yang telah Andika lakukan di sini" Menyiksa seorang pemuda dan menghina seorang gadis?"
"Harap Paduka suka memaafkan mereka. Raden Maheso Walungan," kata Begawan Buyut Wewenang dengan tenang. Biarpun dia menghadap adik raja, namun dia sendiri memiliki kekuasaan dan dipercaya oleh Sang Prabu, bahkan apa yang dilakukannya sekarang ini ada hubungannya dengan tugas yang diterimanya dari Sang Prabu sendiri, maka dia dengan Sang Prabu memang tidak pernah ada keakraban karena pengeran itu condong untuk menentang dia dan kakaknya, yaitu Begawan Sarutomo. Dan sikapnya pu tidak terlalu hormat kepada pangeran itu." Mereka tidak bersalah dan kami sama sekiali
bukan sedang menyiksa seorang pemuda dan menghina seorang gadis, melainkan menghajar mata-mata Tumapel. Orang muda itu seorang penjahat besar, Raden, kaerena dia telah membunuh Ki Danyang Bagaskoro."
"Bohong besar.........!" Wulandari berseru marah. "Mereka semua ini adalah pembohongpembohong
dan penjahat-penjahat keji. Mereka tadi bermaksud memperkosaku ramairamai di depan Kakang Joko Handoko untuk memaksa Kakang Handoko menjadi kaki tangan mereka! Akan tetapi kami tidak sudi, lebih baik mati daripada menjadi pengkhianat!"
Pangeran ini memandang kepada gadis ini dengan hati tertarik. Jelas bukan seorang gadis sembarangan, pikirnya. Sikapnya seperti seorang puteri sejati, seperti seorang pendekar wanita yang gagah perkasa.
"Apakah engkau orang Tumapel?" tanyanya sambil menatap tajam wajah yang manis itu.
"Benar, Raden........"
"Hushhh, beliau ini dalah Gusti Pangeran Maheso Walungan dari Daha, jangan bersikap sembarangan!" bentak Gajah Putih yang hendak mencari muka kepada Sang Pangeran.
"Diam kau!" Pangeran Maheso Walungan membentak Gajah Putih, lalu berkata kepada Wulandari, "Lanjutkan keteranganmu."
Wulandari tadi sudah mendengar betapa Ki Suroyudo menyebut Gusti Pangeran, akan tetapi karena belum mengenal orang muda ini, maka ia hanya menyebut raden seperti sebutan yang dipakai oleh Buyut Wewenang. Kini, mendengar keterangan Gajah Putih,
diam-diam ia terkejut. Kiranya seorang pangeran sungguh-sungguh!
"Hamba bernama Wulandari dari Tumapel, Gusti Pangeran."
"Dan engkau memusuhi Daha?"
"Sama sekali tidak! Akan tetapi, kalau kami berdua dipaksa harus membantu mereka yang hendak mengacau di Tumapel, harus mengadu domba kekuatan-kekuatan di
Tumapel, tentu saja kami menolak."
Pangeran itu sudah mendengar akan siasat yang dilakukan kakaknya, yaitu hendak melemahkan Tumapel dengan cara mengadu domba. Dia sama sekali tidak setuju dengan cara yang dianggapnya pengecut itu. Kalau Tumapel memang menentang, sepatutnya diserbu dan dikalahkan, bukan dikacau seperti itu. Karena inilah dia datang ke Memeling bersama Ki Danyang Maruto yang menjdi gurunya. Gurunya, seperti para pendeta Siwa Budha yang lain, juga tidak setuju dengan cara-cara yang dipakai raja, yang menurut saja dibujuk oleh kedua orang pendeta yang menjadi pensehat raja.
"Orang muda, siapakah engkau dan benarkah engkau membunuh Ki Danyang Bagaskoro?" Pangeranitu bertanya.
"Maaf, Kanjeng Pangeran, sebelum bicara hamba ingin membebaskan diri dulu dari belenggu ini agar lebih leluasa." Berkata demikian, Joko Handoko mengerahkan tenaganya ke dalam kedua tangannya, lalu sekali renggut terdengar suara keras karena belenggu yang terbuat dari kulit kerbau itu telah putus-putus! Melihat ini, diam-diam Sang Pangeran menjadi kagum. Dia mengenal tali kerbau itu. Akan tetapi pemuda ini dapat merenggutnya satu kali putus seolah-olah tali itu terbuat dari kulit pohon pisang saja!
"Orang muda perkasa, kenapa baru sekarang engkau membikin putus belenggu tanganmu, tidak dari tadi ketika kalian disiksa?" Sang Pangeran bertanya heran.
"Hal itu tak mungkindapat hamba lakukan karena mereka tadi mengancam hendak membunuh Wulandari kalau hamba melawan," Joko Handoko yang segera menghampiri Wulandari dan melepaskan belenggu kedua tangan gadis itu. Wulandari menggosokgosok
kedua tangannya yang lecet dan sakit-sakit karena ia tadi berusaha meloloskan kedua tangan itu tanpa hasil.
"Nah, sekarang ceritakanlah semua yang telah terjadi, dan jangan takut, aku yang akan mepertimbangkan seadil-adilnya apakah kalian bersalah dan tidak perlu ditawan atau tidak."
"Hamba bernama Joko Handoko dari Gunung Anjasmoro, cucu dari Eyang Panembahan Pronosidhi........"
"Hemmmmm, pantas semuda ini engkau telah memiliki kepandaian yang tinggi. Aku sudah mendengar akan nama besar Panembahan Pronosidhi dari Anjasmoro," kata Sang Pangeran sambil mengangguk-angguk.
"Dan Diajeng Wulandari ini adalah puteri dari ketua Sabuk Tembogo, dari lereng Gunung
Kawi." Kembali Sang Pangeran mengangguk-angguk. "Nama Sabuk Tembaga juga pernah
kudengar sebagai perkumpulan orang gagah."
"Terjadi beberapa waktu yang lalu ketika di Tumapel terjadi peristiwa-peristiwa aneh, pembunuhan-pembunan dan sifatnya mengadu domba dan melakukan fitnah. Mendiang Eyang Panembahan Pronosidhi sendiri diserbu orang-orang Hastorudiro,dan ketika hamba berkunjung ke Pedusunan Sabuk Tembogo di sana muncul pasukan Kadipaten Tumapel yang hendak mengambil kembali Puteri Senopati Pamungkas yang diculik oleh Wulandari."
Sang Pangeran memandang kepada Wulandari dan mengerutkan alisnya. "Menculik puteri Senopati Pamungkas" Mengapa?"
Dengan tenang Wulandari menjawab, "Empat orang saudara seperguruan hamba, muridKeris
Pusaka Nogopasung >> karya Kho Ping Hoo >> published by buyankaba 134
murid Sabuk Tembogo, telah ditangkap oleh orang Kadipaten Tumapel dengan tuduhan melakukan kejahatan, hal yang tidak mungkin sekali. Maka hamba menculik dan menangkap puteri itu sebagai sandera agar saudara-saudara hamba dibebaskan.
Kiranya nama baik Sabuk Tembogo memang sengaja dirusak orang, mendapat fitnah sehingga kami dimusuhi pemerintah.
"Wah, menarik sekali!" kata Pangeran Maheso Walungan sambil melirik ke arah Begawan
Buyut Wewenang karena dia pun dapat menduga bahwa semua itu tentulah perbuatan penasihat nomor dua dari kakaknya yang menjadi raja itu. "Joko Handoko, lanjutkan ceritamu."
"Pasukan dari Tumapel itu dapat diredakan oleh Dewi Pusporini, Sang Puteri yang diculik
dan mendapat perlakuan baik sebagai seorang tamu itu. Akan tetapi di antara pasukan itu terdapat Gajah Putih dan Gajah Ireng yang ternyata di perjalanan menyatakan hendak membantu perwira Ranunilo yang memimpin pasukan. Dan dua orang itu sengaja mengeluarkan kepandaian untuk menghina dan menghancurkan Sabuk Tembogo. Hamba yang kebetulan menjadi tamu Sabuk Tembogo, berhasil mengalahkan dan mengusir mereka berdua. Akan tetapi, mereka berdua muncul lagi bersama guru mereka, Ki Danyang Bagaskoro yang berniat membunuh Dewi Pusporini, puteri Senopati Pamungkas, tentu dengan maksud agar Sang Senopati kembali kemudian akan memusuhi Sabuk Tembogo. Kembali Hambamengahadapinya dan dalam peerkelahian itu, Ki Danyang Bagaskoro tewas."
Raden Maheso Walungan, pangeran itu, menoleh ke arah Gajah Putih dan Gajah Ireng, bertanya, "Benarkah terjadi peristiwa seperti diceritakan Joko Handoko?"
Gajah Ireng Hanya menunduk, dan Gajah Putih memberanikan diri menjawab sambil mengerling ke arah Begawan Buyut Wewenang, "Akan tetapi, gusti pangeran........"
"Tidak ada tapi, jawab saja, benar demikian atau tidak?" bentak pangeran itu.
"Benar, memang demikian......." kata Gajah Putih meragu.
"Joko Handoko, lanjutkan ceritamu."
"Kemudian hamba dan Wulandari melakukan perjalanan untuk menyelidiki rahasia
semua peristiwa aneh yang kami duga tentu ada pihak ketiga yang melakukan fitnah dan
diperjalanan hamba melihat Gajah Putih dan Gajah Ireng. Kami membayangi dan ingin melakukan penyelidikan. Akhirnya kami tiba di Memeling dan ternyata kami terjebak dan
setelah diajeng Wulandari tertawan, terpaksa hamba juga menyerah. Mereka hendak menyiksa hamba dan diajeng Wulandari sampai mati, akan tetapi paduka datang menyelamatkan hamba berdua."
Pangeran itu kini memandang ke arah Begawan Buyut Wewenang dan para pembantunya dengan muka berubah merah.
"Paman Begawan, apa artinya perbuatan yang amat memalukan itu" Ataukah paman hendak menyangkal kebenaran cerita Joko Handoko tadi?"
Begawan Buyut Wewenang tenang-tenang saja, "Raden, memang cerita itu semua benar. Akan tetapi, pangeran harus ingat bahwa kami hanyalah pengemban-pengemban tugas saja yang diberikan kepada kami oleh Sribaginda."
"Hemmm, apakah tugas itu termasuk perbuatan kotor yang hendak menghina wanita dan menyiksa orang yang sudah menyerah karena tekanan licik?" sang pangeran mendesak marah.
Akan tetapi sang begawan tetap tenang dan menyeringai. "Bagi hamba, semua ini hanya siasat untuk menaklukkan Joko Handoko agar di mau membantu tugas hamba. Mereka adalah musuh-musuh, kalau tidak mau menyerah hukumannya hanyalah kematian."
"Tidak!" Pangeran Maheso Walungan membentak. "Selama ada aku di sini, kalian tidak boleh bertindak sewenang-wenang. Joko Handoko dan Wulandari ini tidak bersalah.
Mereka harus dibebaskan sekarang juga."
"Akan tetapi, pangeran!" Begawan buyut Wewenang membantah. "Mereka sudah tahu akan semua rahasia kita............!"
"Rahasiamu yang busuk, bukan rahasiaku. Kalau Tumapel bersikap memusuhi Daha, jalan satu-satunya yang patut hanya menggempur dan menghajarnya, bukan dengan cara licik mengadu domba untuk melemahkannya. Aku adalah seorang senopati, bahasaku hanyalah tindakan yang gagah dan jujur, bukan dengan car-cara,yang licik dan
curang. Joko Handoko dan Wulandari, sekarang kalian pergilah."
"Raden Maheso Walungan! Kalau paduka menentang hamba, berarti paduka menentang perintah Sribaginda!" Begawan Buyut Wewenang berseru memperingatkan pangeran itu,
sengaja mempergunakan nama Sang Prabu Dandang Gendis untuk menggertak pangeran itu.
"Santi-santi-santi.............!" Tiba-tiba Ki Danyang Maruto melangkah maju dan sepasang matanya mencorong memandang kepada Begawan Buyut Wewenang. "Buyut Wewenang, biarlah urusan ini menjadi urusan antara engkau dan au saja. Aku yang membebaskan dua orang muda yang tidak bersalah ini. Pangeran dan Sribaginda tidak perlu mencampurinya. Aku yang bertanggung jawab, mengingat bahwa pemuda ini adalah
cucu Panembahan Pronosidhi yang menjadi sahabat baikku."
Begawan Buyut Wewenang masih merasa sungkan dan tidak enak hati untuk bertentangan dengan Pangeran Maheso Walungan yang juga merupakan senopati tangguh dari Daha, akan tetapi menghadapi Ki Danyang Maruto, dia berbesar hati.
Bagaimanapun juga, pendeta Siwa Buddha ini tidak memiliki kedudukan, bahkan dalam banyak hal seringkali terjadi ketidaksesuaian paham antara para pendeta Siwa Buddha dengan pendirian Sribaginda.
"Babo-babo, Danyang Maruto, bicaramu seperti seekor katak yang merasa dirinya sebesar bukit! Engkau agaknya belum pernah mengenal kesaktianku. Lihat nagaku ini!"
Berkata demikian, Begawan Buyut Wewenang yang sengaja hendak memamerkan kesaktiannya, melontarkan tongkat hitamnya ke udara, sambil mengeluarkan pekik melengking nyaring. Semua orang terkejut dan memandang ke arah tongkat hitam yang dilontarkan ke atas itu dan semua mata terbelalak karena melihat betapa tongkat hitam
itu telah lenyap bentuknya dan nampaklah seekor ular naga yang besar dengan sepasang mata mencorong, moncong lebar terbentang dan lidahnya merah seperti mengeluarkan api dengan suara mendesis-desis! Melihat ini Joko Handoko juga terkejut
an diapun cepat mengerahkan tenaga saktinya. Namun, hal ini tidak melenyapkan bayangan naga itu, hanya naga itu kadang-kadang nampak seperti tongkat asalnya, dan kadang-kadang berubah menjadi naga lagi dalam pandang matanya.
"Santi-santi-santi.............! Andika seperti kanak-kanak saja, Buyut Wewenang!" Ki Danyang Maruto lalu mengambil segemgam tanah damn melemparkan tanah itu ke arah bayangan naga itu sambil berkata, "Segala sesuatu kembali kepada asalnya."
Dan naga itu pun terjatuh, mengeluarkan suara berkelotakan karena telah berubah menjadi sebatang tongkat hitam berbentuk ular lagi!. Begawan Buyut Wewenang cepat mengambil tongkaytnya dan dia nampak marah sekali. Akan tetapi pada saat itu, Pangeran Maheso Walungan sudah meloncat ke depan dengan sikap marah.
"Paman Begawan Buyut Wewenang! Engkau sudahi semua permainan ini atau akan menganggapmu sebagai seorang pembangkang!"
Sejenak kedua orang ini saling pandang dengan tajam. Akhirnya Begawan Buyut Wewenang menarik napas panjang dan menundukkan mukanya. Dia tahu bahwa kalau dia bertekat menentang, tentu pangeran ini dapat mengerahkan pasukannya dan hal ini tidak akan disukai oleh Sribaginda. Dan mangedu ilmu di situ, belum tentu dia menang karena di situ terdapat Ki Danyang Maruto yang sakti, guru dari Pangeran itu.
"Baiklah, Raden. Hamba menaati perintah paduka dan tidak akan menghalangi kalau paduka membebaskan mereka berdua ini.
Pangeran Maheso Walungan menarik napas lega. Dia tahu bahwa kakek ini memiliki pengaruh di istana, dan dia pun percaya bahwa kakek ini menjalankan tugas yang diperintahkan oleh kakaknya, Sribaginda. Kalau sampai terjadi bentrokan, tentu setidaknya dia akan menerima teguran dari kakaknya.
"Joko Handoko dan Ni Wulandari, kalian boleh pergi sekarang," katanya kepada dua
orang muda itu.
"Maaf, kanjeng pangeran," kata Joko Handoko. "Keris pusaka hamba dirampas oleh sang
Begaawan, hamba menuntut agar dikembalikan kepada hamba karena keris pusaka itu ciptaan Eyang Empu Gandring dan merupakan pusaka pemberian ibu hamba."
Sang Pangeran kini memandang kepada Begawan Buyut Wewenang dan suaranya terdengar memerintah dan penuh wibawa, "Paman begawan, harap andika kembalikan keris pusaka milik Joko Handoko yang paman sita."
Kakek itu mengerutkan alisnya, merasa sayang kalau harus mengembalikan keris pusaka yang dia tahu amat ampuh itu. Akan tetapi karena di situ terdapat sang pangeran dan gurunya, diapun tidak berani membantah. Dengan gerakan marah dia mengambil keris dan sarungnya dari ikat pinggang dan melemparkannya dengan pengerahan tenaga ke arah Joko Handoko. Pemuda ini cepat menyambut dengan kedua tangannya dan biarpun lontaran itu amat kuat, dia dapat menerimanya dengan baik, lalu menyimpan kembali kerisnya di ikat pinggang.
Joko Handoko lalu menghadap sang pangeran. "Kanjang pangeran, terima kasih atas kebaikan hati paduka yang dilimpahkan kepada hamba berdua. Hamba akan mengingat paduka sebagai seorang Pangeran yang gagah perkasa, adil dan bijaksana."
"Hamba tidak mungkin dapat melupakan budi kebaikan paduka yang telah menyelamatkan hamba dari malapetaka," kata pula Wulandari dengan hati terharu. Ia tahu bahwa kalau tidak ada pangeran itu yang menolongnya, tentu ia akan menderita siksaan yang lebih hebat dari pada segala siksa, walaupun ia masih percaya bahwa pada saat terakhir, tentu Joko Handoko akan meronta, membebaskan dirinya dan membelanya
mati-matian. Pangeran Maheso Walungan tersenyum dan memandang kepada mereka berdua dengan kagum.
"Kalau saja di Daha terdapat orang-orang muda seperti kalian......!"hanya demikianlah dia berkata. Joko Handoko dan Wulandari lalu memberi hormat dan keluar dari dalam gedung itu. Pangeran Maheso Walungan bersama gurunya, Ki Danyang Maruto juga segera kembali ke kota raja.
Peristiwa ini mengakhiri usaha Begawan Buyut Wewenang yang mengadu domba antara kekuatan yang ada di Tumapel untuk melumpuhkan dan melemahkan Kadipaten Tumapel. Bukan saja karena Pangeran Maheso Walungan memprotes, kepada Sribaginda
yang segera mencabut kembali perintahnya dan menyuruh Begawan Buyut Wewenang kembali ke kota raja, akan tetapi juga karena para tokoh di Tumapel tidak dapat diadudomba
lagi setelah mereka mendengar tentang siasat licik yang dijalankan oleh orangorang Daha itu.
**** Para tokoh Tumapel tahu akan siasat itu dari peristiwa yang terjadi di kaki Gunung
Arjuno, yaitu di padukuhan perkumpulan Hastorudiro, seperti telah kita ketahui di bagian
depan, empat orang perajurit yang dipimpin oleh perwira Ranunilo, ketika berusaha merampas kembali Dewi Pusporini, telah terbunuh oleh dua orang bertopeng yang menggunakan ilmu dari Hastorudiro, yaitu Pukulan maut yang meninggalkan bekas telapak tangan merah seperti darah. Pukulan ini hanya dimiliki orang-orang Hastorudiro
(Tangan Berdarah), maka tentu saja ketika Ranunilo melapor kepada Senopati Raden Pamungkas, senopati itu menjadi marah. Setelah melapor kepada Sang Akuwu tunggal Ametung tentang semua peristiwa yang terjadi, sang akuwu memerintahkan untuk menyerbu perkumpulan Hastorudiro di kaki Pegunungan Arjuno.
Senopati Raden Pamungkas kini berangkat sendiri memimpin pasukan yang duapuluh losin banyaknya menuju ke Gunung Arjuno. Pada waktu itu, ketua perkumpulan Hastorudiro adalah Ki Kebosoro, seorang yang memiliki aji kesaktian tangan berdarah, yang turun-temurun diwarisinya dari keluarganya. Usianya sudah enampuluh lima tahun, tubuh pendek gemuk dan wataknya keras.
Perkumpulan Hastorudiro tak dapat dinamakan perkumpulan bersih. Sebaliknya malah, perkumpulan ini condong ke golongan hitam, tidak segan melakukan kejahatan untuk membela kepentingan sendiri atau memperebutkan harta. Namun, harus diakui bahwa di
dalam dada Ki Kebosoro yang keras itu sama sekali tidak terkandung sifat menentang atau memberontak terhadap Kadipaten Tumapel. Bahkan dia selalu menekankan kepada para anak buahnya agar jangan melawan Para perajurit Tumapel, apa lagi melakukan pembunuhan. Sedikitnya ada peragaan dan semangat patriot di dalam dada Ki Kebosoro.
Kalaupun ada anak buahnya yang kadang-kadang melakukan perampokan, maka mereka selalu melakukan pekerjaan jahat ini di wilayah Daha dan tidak pernah mengganggu rakyat Tumapel sendiri. Karena inilah, makan nama perkumpulan Hastorudiro tetap baik
dan disegani di wilayah Tumapel.
Pada suatu hari, sejak pagi padukuhan Hastorudiro kedatangan banyak sekali tamu.
Sejak pagi orang-orang berdatangan memasuki dusun kecil yang menjadi pedukuhan atau sarang dari perkumpulan itu. Tidak kurang dari seratus orang anggota Hastorudiro
tinggal berkumpul di dusun itu. Sebuah rumah yang cukup besar berdiri di tengahtengah
dan ini merupakan rumah tinggal dan tempat pertemuan dari ketua Hstorudiro.
Sedangkan para anggotanya tinggal di dalam pondok-pondok yang dibangun di sekitar rumah besar itu. Para anggota ini tinggal bersama keluarga mereka sehingga perkampungan Hastorudiro itu memiliki penghuni tidak kurang dari tiga ratus orang.
Pada hari itu, sejak kemarin semua pondok dan terutama sekali rumah besar tempat tinggal Ki Kebosoro telah dihias dengan janur kuning dan kembang-kembang. Kiranya Hastorudiro sedang mengadakan Pesta perayaan, merayakan usia delapan windu dari
ketua Hastorudiro itu. Tentu saja undangan disebar, terutama para tokoh-tokoh dan perkumpulan-perkumpulan yang terpandang di wilayah Tumapel. Itulah sebabnya mengapa sejak pagi para tamu berdatangan dan mereka dipersilakan duduk di ruangan besar dari rumah KI Kebosoro yang sudah nampak menyambut para tamu dengan ketawanya yang bergelak dan suaranya yang nyaring. Ki Kebosoro dalam menyambut Para tamu dibantu oleh dua orang. Laki-laki berusia enam puluh tahun. Yang seorang bertubuh tinggi kurus bermuka hitam penuh cacar dan orang ini bernama Gagaksampar
ada pun orang ke dua yang tinggi besar berwajah gagah dan tampan bernama Ki Gagakmeto. Kedua orang ini adalah adik-adik seperguruan Ki Kebosoro dan mereka merupakan pembantu-pembantu dan pimpinan dari perkumpulan Hastorudiro. Para murid tertua yang jumlahnya belasan orang bertugas menerima tamu dan mempersilakan mereka duduk, beramah tamah dengan mereka, sedangkan murid-murid rendahan bertugas menjadi pelayan dalam pesta itu.
Ki Kebosoro sendiri dalam menyambut tamu-tamu kehormatan, ditemani oleh seorang pemuda berusia duapuluh tahun lebih, berwajah tampan dan gagah, berpakaian mewah.
Pemuda ini bernama Pramudento, putera tunggal Ki Kebosoro. Semenjak kecil, Pramudento ditinggal mati ibunya dan setelah istrinya mati, Ki Kebosoro tidak mempunyai anak lagi dari para selirnya, walaupun sudah kerap kali dia berganti selir.
Karena itu, tidak mengherankan kalau dia amat sayang kepada Pramudento. Selain mewarisi ilmu-ilmu dari ayahnya, juga Pramudento oleh ayahnya dikirim kepada Ki Ageng Marmoyo, terhitung uwa guru dari Ki Kebosoro sendiri, yang berdiam di lereng Gunung Bromo untuk berguru. Maka, setelah selam tiga tahun digembleng oleh pertapa Bromo itu, kini tingkat kepandaian Pramudento maju dengan pesatnya sampai melampui tingkat ayahnya! Hal ini membuat Ki Kebosoro manjadi semakin bangga dan sayang kepada puteranya itu.
Banyak orang tua yang menyayang puteranya dengan hati penuh kebanggaan, dan kebanggaan ini sendiri sudah menunjukkan, adanya pementingan diri sendiri, menuruti senangnga hati sendiri. Dan cinta kasih yang sudah dilumuri oleh kepentingan diri sendiri
itu tiada bedanya dengan kesenangan terhadap benda yang dianggap menyenangkan dan berharga, dan sayang seperti itu condong untuk mudah luntur, yakni apabila yang disayangnya itu tidak lagi mendatangkan kesenangan bagi dirinya! Dan sayang hanya kerena perasaan bangga dan senang ini condong untuk membuat orang tua memanjakan puteranya. Kalau sudah begini, maka orang tua meracuni pertumbuhan watak puteranya karena kemanjaan itu hanya membesarkan si-aku yang selalu harus dituruti kehendaknya. Keinginannya untuk bersenang sendiri tanpa memperdulikan orang lain.
Memanjakan anak, menyanjung dan memuji-mujinya menumbuhkan perasaan tinggi hati kepada jiwa anak, yang akan merasa bahwa dirinya amat baik, amat pandai, seperti yang dipuji-puji selalu oleh orang tuanya, dan si anak akan terbiasa oleh gambaran tentang dirinya sendiri yang terlalu tinggi.
Cinta kasih kepada anak memang membiarkan anak tumbuh wajar dan bebas, seperti penggembala yang mengamati domba-dombanya, dibiarkan doma-domba itu berkeliaran
di padang rumput, tanpa batas. Hanya mengamati dari belakang, tutwuri handayani, turun tangan kalau melihat dombanya menyeleweng, bukan demi diri sendiri melainkan demi si domba agar jangan sampai tersesat, jangan sampai merusak tanaman orang, dan jangan sampai makan benda beracun. Perasaan sayang dan mesra terhadap yang dikasihi bukanlah tumbuh dari kenginan untuk senang sendiri. Dan pendidikan terbaik adalah perasaan cinta kasih itu sendiri, karena perasaan ini akan terasa oleh si anak, terasa dalam setiap ucapan orang tua, setiap gerak-gerik orang tua, baik kalau sedang memberi nasihat atau sedang memberi peringatan dan larangan.
Demikian pula halnya dengan Pramudento. Rara sayang ayahnya yang penuh pemanjaan ini membuat dia merasa dirinya tinggi dan hebat, mendatangkan perasaan tinggi hati dan angkuh dalam batin pemuda itu. Apalagi dia hidup di lingkungan orang-orang yang condong melakukan hal-hal yang jahat seperti perampok, mempergunakan kekerasan mencapai semua keinginan sendiri, dan sebagainya.
Setelah matahari naik tinggi, di ruangan itu telah berkumpul tidak kurang dari seratus orang tamu dari berbagai macam golongan. Akan tetapi melihat dandanan dan sikap mereka, sebagian besar adalah jagoan-jagoan dan tokoh-tokoh pendekar di Tumapel.
Kepada setiap tamu terhormat Ki Kebosoro memperkenalkan puteranya yang baru beberapa bulan pulang dari Gunung Bromo. Semua tamu memandang dengan kagum Pramudento memang seorang pemuda yang ganteng, gagah perkasa dan menarik
perhatian para tamu yang mempunyai anak perempuan. Akan senang hati mereka kalau mempunyai seorang mantu seperti pemuda ini! Dan memang hal itu merupakan satu di antara keinginan hati Ki Kebosoro. Dia ingin mencarikan jodoh puteranya, dan siapa lagi kalau bukan puteri-puteri para tokoh itu yang pantas mendampingi hidup Pramudento, sebagai isterinya" Puteranya hanya pantas kalau berjodoh dengan puteri-puteri dari tokoh-tokoh kenamaan di saat itu.
Di antara para tamu terdapat pula kurang lebih dua puluh orang wanita, yaitu isteri atau
puteri tamu-tamu yang membawa keluarganya. Tentu saja para wanita ini lebih tertarik lagi melihat Pramudento dan terjadi bisik-bisik di antara mereka. Hal ini diketahui oleh
Pramudento yang sejak tadi tersenyum-senyum manis menjual lagak menjual mahal sehingga para tamu wanita itu menjadi semakin terpikat.
Selesai pesta berjalan dengan meriahnya dan tidak ada lagi tamu baru yang datang, tiba-tiba muncul seorang pemuda dan seorang gadis yang segera menarik perhatian pihak tuan rumah dan para tamu karena pemuda itu walaupun berpakaian sederhana, nampak halus dan tampan, sedangkan gadis itupun manis sekali mereka ini Joko Handoko dan Wulandari. Ketika keduanya lolos dari Dusun Memeling karena pertolongan
Pangeran Maheso Walungan dan Ki Danyang Maruto, mereka lalu cepat-cepat pergi ke Gunung Anjasmoro untuk berkunjung kepada perkumpulan Hastorudiro. Seperti diketahui, eyang dari Joko Handoko, Panembahan Pronosidhi, telah tewas ketika tempat
pertapaannya diserbu oleh orang-orang dari Hastorudiro. Akan tetapi kunjungan Joko Handoko dan Wulandari ke tempat itu sama sekali bukan dengan maksud membalas dendam atas kematian kakeknya. Sama sekali tidak. Sebelum meninggal dunia, Panembahan Pronosidhi sendiri sudah meninggalkan pesan kepada Joko Handoko agar jangan membalas dendam terhadap Hastorudiro, apalagi setelah dia mendengar dari Buyut Wewenang dan anak buahnya bahwa semua peristiwa itu memang diatur oleh orang-orang Daha, merupakan siasat untuk mengadu domba antara orang-orang Tumapel sendiri, Kunjungan ini justeru untuk memberi peringatan kepada Hastorudiro akan fitnah yang dilakukan oleh orang-orang Daha itu telah membunuh empat orang perajurit Tumapel dengan pukulan yang meninggalkan bekas tangan merah, dan tentu Kadipaten Tumapel akan marah kepada perkumpulan ini dan bukan tidak mungkin akan mengirim pasukan untuk membasmi Hastorudiro yang tentu dianggap memberontak!
Juga dia ingin memberi penjelasan bahwa urusan antara aliran Hati Putih yang dipimpin kakeknya dan Hastorudiro yang dipimpin Ki Kebosoro, tentu juga disebabkan oleh fitnah
keji yang dilakukan oleh orang-orang daha.
Melihat munculnya dua orang tamu baru yang datangnya agak terlambat, Ki Gagaksampar segera menyambut keluar karena pada saat itu ,Ki Kebosoro dan Pramudento sedang menajamu tamu-tamu agungnya yang duduk di tempat kehormatan, sedangkan Ki Gagaksampar bertugas juga sibuk di meja lain melayani para tamu.
Melihat bahwa pemuda dan gadis itu adalah orang-orang yang tidak dikenalnya, Ki Gagaksampar mengerutkan alisnya. Akan tetapi dia tetap menyambut mereka karena dia
mengira bahwa tentu dua orang ini datang mewakili orang tua atau guru mereka.
Apalagi gadis itu demikian cantik manis dan Ki Gagaksampar yang bermuka hitam penuh cacar itu bukan seorang pria yang alim.
"Selamat datang di padukuhan kami. Andika berdua siapakah dan dari mana" Saya Ki Gagaksampar mewakili kakang Kebosoro untuk menyambut tamu yang baru datang,"
katanya sambil menyeringai dan matanya menatap tajam dan menjelajahi wajah Wulandari yang cantik manis. Berkerut gadis itu betapa orang bermuka hitam buruk ini memandanginya tanpa menyembunyikan rasa kagumnya dan sinar kurang ajar bermain di pandang mata itu.
Joko Handoko membungkuk sebagai tanda hormat dan dengan sikap sopan dia pun menjawab, "Maafkan kami, Paman. Sesungguhnya kami tidak tahu bahwa Hastorudiro sedang mengadakan pesta perayaan dan maafkan kalau kedatangan kami mengganggu.
Akan tetapi kami mempunyai urusan penting untuk disampaikan kepada ketua Hastorudiro, yaitu paman Kebosoro."
Ki Gagaksampar memandang tak senang. Siapa pemuda ini yang berani mengganggu pesta mereka" Kalau ada urusan, kenapa tidak datang lain hari saja" Akan tetapi karena
di situ ada Wulandari, dia tidak mau memperlihatkan sikap kasar dan menahan
kemarahannya. "Kisanak, kalau engkau mempunyai keperluan dengan ketua kami, sebaiknya lain hari saja datang lagi ke sini."
"Akan tetapi urusan yang akan kami sampaikan ini penting sekali, paman," tiba-tiba Wulandari berkata. "Kalau tidak disampaikan sekarang, takut kalau-kalau akan terlambat. Harap kau panggilkan ketua Hastorudiro sebentar saja agar kami dapat menyampaikan urusan kami."
Kini Gagaksampar mengamati gadis itu dan mulutnya menyeringai semakin lebar, memperburuk muka yang tak sedap dipandang itu. "Bocah ayu, ada urusan apa sih engkau demikian ingin bertemu dengan Kakang Kebosoro"Kalau ada urusan, sampaikan saja kepada aku, Gagaksampar, tentu beres. Aku memwakili kakang Kebosoro dan aku adalah adik seperguruannya" Nah, bocah manis, lekas katakan, ada urusan apakah agar jangan mengganggu perayaan kami ini."
"Sekali-lagi maaf, Paman," kata Joko Handoko. "Hanya kepada ketua Hastorudiro saja kami dapat menyampaikan urusan yang amat rahasia dan penting ini, tidak kepada orang lain."
Ki Gagaksampar memandang marah. Ucapan-ucapan itu, walaupun sopan, baginya berarti bahwa dua orang muda ini tidak percaya kepadanya! "Hemm, katakan siapa engkau dan dari mana, mungkin aku akan melaporkan tentang kedatanganmu kepada kakang Kebosoro."
"Nama saya Joko Handoko, paman, dan saya datang dari lereng Anjasmoro......."
"Heh, Andika dari aliran Hati Putih?" Kakek itu membentak dan beberapa orang tamu yang duduknya agak di pinggir menoleh dan karena mereka melihat seorang gadis manis sekali, mereka tertarik dan terus memandang keluar.
Joko Handoko menggangguk. "Benar, Paman, saya adalah cucu dari mendiang Eyang Panembahan Pronosidhi............."
"Babo-babo keparat! Kiranya mata-mata dari Hati Putih yang sengaja datang untuk mengacau! Mampus kau di tanganku!" Sambil membentak dengan suara nyaring, Ki Gagaksampar menerjang dan menghantam ke arah kepala Joko Handoko. Tamparan itu hebat sekali karena dilakukan dengan pengerahan tenaga Hastorudiro{Tangan Berdarah}! Akan tetapi, Joko Handoko cepat mengelak dan ketika lawannya menyusulkan serangan bertubi-tubi sampai tiga kali, dia masih dapat mengelak dengan mudah.
"Heiii, engkau ini sungguh kasar dan tidak tahu aturan!" Wulandari membentak dan ia pun sudah melolos sabuk tembaga dari pinggangnya, lalu menyerang Ki Gagaksampar untuk membantu Joko Handoko yang didesak oleh kakek itu.
"Wuut-wuuuutt, singg..........!" Sabuk itu menjadi gulungan sinar yang menyambarnyambar.
Ki Gagaksampar meloncat ke belakang untuk mengelak. "Babo-babo! Sabuk Tembogo!
Kiranya engkau ini bocah manis adalah murid Sabuk Tembogo. Kenapa Sabuk Tembogo
ikut-ikutan membantu Hati Putih memusuhi kami?"
Joko Handoko membungkuk lagi. "Paman, harap dengarkan dulu, sesungguhnya kami
datang bukan untuk bermusuhan, melainkan untuk membicarakan hal yang teramat penting dengan ketua Hastorudiro."
"Keparat! Siapa percaya omongan Hati Putih" Namanya saja Hati Putih, akan tetapi hatinya berbulu dan jahat! Siapa dapat melupakan ini?" Dan dia pun mengangkat sedikit kain penutup kepala yang kiri sehingga nampak betapa kepalanya botak dan daun telinganya yang kiri buntung dan tinggal sedikit saja. Inilah luka yang dideritanya ketika
dia ikut menyerbu ke Anjasmoro, ketika dalam pembelaan diri mendiang Panembahan Pronosidhi mempergunakan aji kesaktian Nogopasung. "Kami sudah mendengar tentang kematian Panembahan Pronosidhi dan kami sudah menganggap habis semua urusan. Eh, tidak tahunya kamu ini tikus cilik berani datang mencari keributan!"
"Kakang Gagaksampar, apakah yang terjadi" Siapa pemuda ini?" Tiba-tiba Ki Gagakmeto
yang berlari keluar mendengar suara ribut-ribut, bertanya, memandang keduanya dengan penuh perhatian. Dibandingkan dengan Gagaksampar Ki Gagakmeto ini lebih mata keranjang lagi.
Melihat munculnya seorang laki-laki berusia enam puluh tahun yang bertubuh tinggi besar dan berwajah tampan gagah, Joko Handoko cepat memberi hormat. "Maaf, apakah
paman ketua perkumpulan Hastorudiro?"
Ki Gagakmeto menoleh kepada Joko Handoko dan menggeleng kepala, lalu dia memandang lagi wajah Wulandari, melihat sabuk tembaga di tangan gadis itu. "Eh-eh, bukankah itu sabuk tembaga yang berada di tanganmu, bocah ayu" Ki Bragolo memiliki murid semanis ini" Sungguh mengagumkan!"
Tentu saja Wulandari marah sekali mendengar ucapan itu. Ia dan Joko Handoko bersusah payah datang ke tempat ini untuk memperingatkan Hastorudiro akan ancaman
bahaya yang menjadi akibat fitnah orang-orang Daha, akan tetapi mereka disambut secara kurang ajar sekali.
"Paman ini adalah cucu Panembahan Pronosidhi!" kata Gagaksampar dan mendengar ini, seketika Gagakmeto membalikkan tubuhnya, menghadapi Joko Handoko dengan mata melotot marah. Dia mengangkat lengan kirinya ke atas dan nampak oleh Joko Handoko betapa lengan itu, di bawah siku, nampak bengkok, tanda bahwa lengan itu pernah patah tulangnya. Dan memang tulang lengan kiri itu pernah patah terkena sambaran aji kesaktian Nogopasung yang dipergunakan mendiang Panembahan Pronosidhi ketika membela diri dari pengeroyokan orang-orang Hastorudiro.
"Keparat, engkau harus membayar hutang kakekmu kepadaku!" Dan seperti juga Ki Gagaksampar tadi, tiba-tiba saja Ki Gagakmeto sudah menyerang dengan pukulan dahsyat ke arah dada Joko Handoko. Pemuda ini merasa mendongkol juga. Tak disangkanya bahwa orang-orang Hastorudiro begini kasar dan sukar diajak bicara secara
baik. Melihat datangnya pukulan yang amat dahsyat, dia pun mengangkat lengannya menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.
"Duukkkk........!" Dua lengan yang terisi tenaga sakti yang amat kuat bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Ki Gagakmeto terhuyung ke balakang sedangkan Joko Handoko masih berdiri tegak! Hal ini bukan saja mengejutkan dua orang adik seperguruan ketua Hastorudiro itu, akan tetapi juga membuat mereka marah.
"Kalian ini orang-orang kurang ajar, menyambut tamu seperti ini!" Wulandari sudah membentak lagi dan ia pun memutar sabuk tembaganya menghadang di depan Joko Handoko. Sebaliknya, Joko Handoko malah khawatir melihat sikap Wulandari yang galak
karena dia tahu bahwa tingkat kepandaian dua orang itu saja sudah lebih tinggi dari tingkat gadis itu.
"Paman berdua mundurlah, biar aku menghadapi pengacau-pengacau ini!" Tiba-tiba terdengar suara halus dan tiba-tiba saja sebuah tangan yang sudah menangkap ujung sabuk tembaga yang diputar oleh Wulandari. Gadis itu terkejut, sukar dipercaya bahwa
ada orang mampu menangkap ujung sabuk yang diputarnya, karena hal itu lebih berbahaya dari pada menangkap sebatang pedang tajam yang sedang diputar. Akan tetapi jelas bahwa sabuknya telah ditangkap ujungnya dan ketika ia mencoba untuk menariknya, sabuk itu tetap saja terpegang dan tidak terlepas dari pegangan orang. Ia pun memandang penuh perhatian. Dua pasang mata bertemu dan pemuda yang menangkap ujung sabuk tembaga itu tersenyum ketika melihat bahwa yang memegang sabuk tembaga adalah seorang gadis yang masih muda dan cantik manis sekali.
"Ah, kiranya seorang adik yang manis sekali! Sungguh mengherankan, siapakah andika dan mengapa andika membikin ribut di sini?" Pramudento bertanya sambil melepaskan ujung sabuk tembaga.
"Dua ekor monyet tua ini yang membikin ribut. Kami datang baik-baik dan mereka menyambut dengan serangan! Wulandari menjawab dengan ketus, agak jenuh karena maklum bahwa pemuda tampan yang muncul ini tangguh bukan main, dan agaknya lebih tangguh dari pada dua orang kakek itu. Pramudento menoleh dan memandang kepada dua orang paman gurunya dengan heran mengapa dua orang itu menerima kunjungan seorang gadis semanis dia dengan kasar.
"Pemuda itu adalah cucu Panembahan Pronosidhi dari Anjasmoro!" teriak Ki Gagaksampar. Mendengar disebutnya nama ini, Pramudento mengerutkan alisnya, lalu melangkah maju menghadapi Joko Handoko.
"Jadi kamu datang untuk memwakili aliran Hati Putih dan memata-matai kami?" bentak Pramudento dengan sikap mengejek dan memandang rendah. "Apakah kamu berkepala tiga dan berlengan enam maka berani sekali menentang kami?" Berkata demikian Pramudento sudah menggerakkan tangan kirinya menampar. Cepat sekali gerakannya, dan ketika Joko Handoko melangkah mundur mengelak, dia merasa betapa ada hawa panas sekali keluar dari telapak tangan pemuda itu. Terkejutlah Joko Handoko karena dia
tahu bahwa pemuda ini kejam sekali, begitu menyerangnya telah mempergunakan aji pukulan yang ganas, yang kalau mengenai sasaran tentu akan berbahaya sekali.
Sebelum Pramudento menyerang lagi, terdengar seruan Ki Kebosoro. "Dento, tahan......." Kakek ketua aliran Hastorudiro ini tadi mendengar ribut-ribut dan cepat melangkah keluar. Dia segera menahan puteranya yang kelihatan hendak menyerang seorang pemuda yang tidak dikenalnya.
"Dento, apa yang telah terjadi" Siapakah ki sanak ini?" Dia memandang kepada Joko Handoko. Melihat kakek yang pendek gemuk dan sikapnya penuh wibawa ini, Joko Handoko menduga bahwa tentu inilah ketua aliran Hastorudiro, maka dia cepat maju dan
membungkuk dengan sikap hormat.
"Maafkan kami, Paman. Saya bernama Joko Handoko dari Gunung Anjasmoro, dan ini adalah diajeng Wulandari, puteri ketua Sabuk Tambogo. Kami sengaja datang untuk bertemu dengan ketua Hastorudiro. Apakah paman yang menjadi ketua perkumpulan Hastorudiro?"
Diam-diam Ki Kebosoro juga terkejut mendengar bahwa pemuda itu datang dari Gunung
Anjasmoro, akan tetapi dia dapat menahan perasaannya dan tidak sembrono seperti dua
orang adik seperguruannya atau puteranya.
"Hemmm, orang muda, aku adalah Ki Kebosoro, ketua aliran Hastorudiro. Andika datang
dari Anjasmoro, apakah dari aliran Hati Putih?"
"Tidak keliru, paman Kebosoro, aku adalah cucu mendiang eyang Panembahan Pronosidhi, akan tetapi kedatanganku ini sama sekali tidak ada urusannya dengan kesalahpahaman yang terjadi antara Hastorudiro dan Hati Putih, justeru kedatanganku ini untuk menjelaskan segalanya, karena kedua pihak telah menjadi korban fitnah dan adu domba paman.
Ki Kebosoro mengerutkan alisnya dan memandang wajah itu penuh selidik.
"Orang muda, apa maksud kata-katamu itu?" Joko Handoko menoleh ke kanan kiri dan melihat betapa banyak tamu yang kini memperhatikan percakapan mereka, dia pun membungkuk lagi. "Paman Kebosoro, rahasia yang akan kusampaikan ini teramat penting, bahkan menyangkut keselamatan Hastorudiro yang terancam bahaya.
Dapatkah kita bicara di dalam agar tidak terdengar orang lain?"
"Kakang Kebosoro kenapa melayani bocah dari aliran Hati Putih" Biarlah aku membunuhnya" kata Ki Gagaksampar yang membuka ikat kepala sehingga nampak kepala botaknya dan telinga yang buntung karena hatinya terasa panas, membuat kepalanya menjadi panas pula. Orang ini memang biasanya membiarkan kepala botaknya telanjang begitu saja dan hanya karena ada pesta parayaan maka dia menutup
kepala botaknya dengan kain kepala.
Akan tetapi Kebosoro melihat sikap yang amat tenang dan serius dari pemuda itu, dan dia pun dapat melihat bahwa pemuda ini, betapapun sederhana sikapnya, namun
memiliki wibawa yang cukup kuat. Dia bukan orang yang sembrono mengandalkan kekuatan sendiri saja seperti adik-adik seperguruannya, dan karena inilah membuat dia berwibawa dan dapat menjadi ketua aliran Hastorudiro yang terkenal.
Keris Pusaka Nogopasung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Adik Gagaksampar, jangan mengotorkan pesta kita dengan keributan. Kalau dia mau bicara biarkan dia bicara dulu. Mari, orang muda mari kita masuk ke dalam sebentar."
Joko Handoko dan Wulandari mengikuti tuan rumah dengan hati lega walaupun Wulandari merasa khawatir kalau-kalau mereka akan terjebak pula seperti pernah terjadi
pada diri mereka ketika dijebak dan ditawan orang-orang Daha. Akan tetapi ia pun tidak
mau memperlihatkan rasa khawatirnya dan berjalan di samping Joko Handoko dengan sikap gagah. Biarpun tidak puas melihat sikap ayahnya yang mau menerima dua orang tamu muda itu. Namun Pramudento dan dua orang paman seperguruannya tidak berani membantah kehendak Ki Kebosoro dan mereka bertiga pun berjalan di belakang dua orang tamu itu. Para tamu yang tadinya mengharapkan untuk dapat melihat keributan atau perkelahian yang terjadi, menjadi tenang kembali melihat betapa tuan rumah mambawa dua orang muda itu masuk ke dalam dan pesta pun dilanjutkan dengan meriah.
Ki Kebosoro membawa dua orang tamu muda itu ke belakang yang kosong dan sepi.
Dengan sikap tegas dan singkat dia mempersilakan dua orang muda duduk. Mereka berenam duduk menghadapi meja panjang dan Ki Kebosoro segera berkata.
"Nah, sekarang engkau boleh bicara. Apa yang hendak kau katakan kepada kami?"
SELANJUTNYA
Komentar
Posting Komentar