KERIS MAUT




KERIS MAUT JILID 01



   "Jangan kau menurutkan nafsu hatimu, puteraku Anusapati yang bagus! Berlakulah tenang dan bijaksana serta pergunakan kekuatan batinmu untuk mengalahkan nafsu yang hendak menguasaimu. Manusia harus dapat mengendalikan dan menguasai nafsu, karena kalau sampai kau dikuasai oleh nafsu, kau akan menjadi mata gelap, kemarahan dan angkara murka akan membawamu ke jalan gelap. Dugaanmu itu tak beralasan, Anusapati, seperti juga saudara-saudaramu Tohjaya, Mahisa, dan yang lain-lain, kaupun putera ramandamu dan kau pun seorang pangeran di Kerajaan Singosari."

   Demikianlah ucapan yang dikeluarkan dengan suara perlahan dan halus oleh Permaisuri Kerajaan Singosari yang bernama Ken Dedes.

   "Tidak bunda, tidak!"

   Bantah Anusapati dengan suara keras sambil menggeleng-gelengkan kepala dan memandang kepada wajah ibundanya dengan tajam.

   "Bunda menyembunyikan sesuatu dariku. Bunda, bukankah aku putera bunda, yang sudah bunda kandung selama sembilan bulan, sudah bunda rawat dan didik dengan penuh kasih sayang dan kesabaran? Aku dapat merasakan kehangatan darah bunda yang mengalir di dalam tubuhku, dapat menangkap kemesraan pandang mata bunda yang menembus sampai ke dalam lubuk hatiku. Aku tidak meragukan bahwa aku adalah putera bunda sejati. Akan tetapi rama prabu... Berbeda sekali sinar matanya apa bila memandang kepadaku, seakan-akan aku ini seorang asing baginya. Bahkan... sering kali aku melihat api panas mengandung kebencian bercahaya dari matanya apa bila ia memandang kepadaku."

   "Anusapati...! Jangan kau berkata demikian, nak!"

   "Nah, bunda menangis lagi, menitikkan air mata yang hendak bunda sembunyikan dari padaku. Dua titik air mata yang menempel di atas pipi bunda itu lebih jujur, karena mereka membisikkan sesuatu kepadaku, sesuatu yang mengerikan! Bunda, aku sudah cukup dewasa, cukup tabah untuk mendengar dan menghadapi sesuatu yang hebat. Mengapa bunda khawatir menyampaikan sesuatu yang bunda sembunyikan itu kepadaku? Mengapa bunda tidak juga mau membuka rahasia yang menyelimuti kehadiranku di atas bumi ini? Bundaku sayang, harap bunda ingat bahwa aku yang bunda beri nama Anusapati ini, terlahir di atas bumi bukan atas kehendakku! Bunda mempunyai tanggung jawab pula atas kelahiranku di dunia, bertanggung jawab atas segala derita yang harus kupikul selama hidupku, selama aku belum kembali ke alam asal. Sekarang aku menderita, bunda, menderita karena gelisah dan ragu-ragu tentang asal-usul kelahiran puteranda, maka sudah menjadi tanggung jawab bunda pula untuk meringankan derita ini!"

   Mendengar tuntutan pemuda yang duduk bersimpuh di hadapannya itu, sang permaisuri menjadi makin terharu dan tak dapat ditahan pula membanjirnya air mata dari sepasang matanya yang masih indah dan bening.

   "Puteraku... Anusapati, mengapa kau memaksa bundamu menggali kebusukan yang telah terpendam selama belasan tahun? Apa gunanya segala kebusukan itu digali dan dikeluarkan lagi? Hal ini hanya akan mendatangkan cemar kepadamu, Kepadaku, kepacia keluarga kita! Kau sudah besar, mengapa kau masih mudah terpengaruh oleh rasa iri hati? Ramamu memberi keris pusaka kepada Tohjaya dan Mahisa, mengapa hal ini menyakiti hatimu benar? Kau tidak diberi keris pusaka, tidak apa, anakku, bundamu masih dapat memberi sebilah keris pusaka yang tiada keduanya di seluruh Kerajaan Singosari ini. Lihat, keris pusaka ini adalah keris pusaka ciptaan mendiang Empu Gandring yang sakti. Keris ini ampuh sekali, puteraku, boleh diumpamakan sekali digunakan dapat membuat bengawan menjadi kering dan gunung akan menjadi tumbang. Lenyapkanlah iri hatimu, nak, dan terimalah keris pusaka Empu Gandring ini."

   Ken Dedes menyerahkan sebilah keris dengan warangkanya yang terbungkus dengan sutera kuning Anusapati menerima keris itu dengan wajah masih muram, akan tetapi ketika ia membuka bungkusan kuning itu dan melihat warangka keris yang indah, ia menjadi girang sekali. Ia memegang gagang keris dan hendak dicabutnya, akan tetapi tiba-tiba terdengar pekik ibundanya mencegah,

   "Jangan, Anusapati! Jangan kau mencabut keris itu di hadapanku! Aku tak tahan melihatnya!"

   Dengan heran Anusapati memandang ibundanya yang menutup muka dengan kedua tangannya seakan-akan tidak mau melihat pemandangan yang amat mengerikan. Anusapati mencabut keris itu dan memandangnya dengan penuh perhatian. Tiba-tiba tangannya yang memegang gagang keris itu menggigil. Ada sesuatu yang aneh pada keris itu, seakan-akan ia melihat darah bertetes-tetes menitik dari ujungnya! Cepat-cepat ia masukkan kembali keris pusaka ciptaan Empu Gandring itu ke dalam warangka, kemudian ia bertanya kepada bundanya yang masih menutup kedua matanya dengan tangan,

   "Bunda, darah siapakah yang menodai ujung keris ini?"

   Ken Dedes menggigil mendengar suara ini.

   "Tidak, tidak ada darah Anusapati, jangan kau bertanya yang bukan-bukan!"

   Permaisuri ini menurunkan kelua tandannya dan Anusapati melihat betapa wajah bundanya menjadi pucat sekali dan kedua matanya merah karena menahan tangis. Anusapati mengisar duduknya mendekati bundanya. Ia menyembah dan mencium ujung kain bundanya, lalu berkata,

   "Bunda, junjungan hamba yang tiada keduanya di alam mayapada ini, tiada gunanya bunda menyembunyikan lebih lama lagi rahasia itu kepada hamba."

   Ken Dedes menundukkan mukanya.

   "Anakku, Anusapati, kau tentu telah mendengar desas-desus yang tidak baik. Sampai berapa jauhnya berita berbisa memasuki telingamu"

   "Aduh, bunda, bunda yang kusayang! Masih sajakah bunda bertega hati membiarkan anak kandung bunda menderita dalam kebimbangan? Aku tahu dan yakin bahwa rama prabu yang sekarang menjadi suami bunda bukanlah ayahku yang sesungguhnya!?

   "Anusapati!"

   Ken Dedes menjerit kaget.

   "Sesungguhnya, bunda. Aku telah mendengar riwayat bunda ketika Singosari masih belum seperti sekarang keadaannya. Ketika bunda masih menjadi isteri Akuwu Tunggul Ametung di Tumapel. Aku telah mendengar itu semua, betapa Raja Muda Tunggul Ametung terbunuh oleh kepala pasukan pengawalnya sendiri, Ken Arok, atau rama prabu yang sekarang bertakhta di Kerajaan Singosari ini! Dan melihat keris Empu Gandring ini... ah, bunda, mataku tidak buta melihat perbedaan wajahku dengan mereka itu! Coba bunda lihat wajah anakmu ini, bandingkan dengan wajah sang prabu, dengan adinda Mahisa, dengan Tohjaya. Adakah persamaannya? Bunda, bunda, kalau rahasia itu tersembunyi di dalam sebuah kamar, maka pintu kamar telah terbuka sebagian dan ananda telah mengintai dan melihatnya sedikit. Bunda tinggal membukakan saja pintu itu agar supaya aku dapat memandang jelas, asar hatiku tidak menjadi gelisah dan bimbang. Kasihanilah ananda, dan ceritakanlah, siapakah sesungguhnya ayahku yang sejati!"

   "Aduh, Jagad Dewa Batara!"

   Ken Dedes mengeluh...

   "Benarlah peribahasa yang menyatakan bahwasanya asap tak mungkin dapat terbungkus! Apa gunanya kusembunyikan lagi?"

   Ia lalu mengelus-elus rambut kepala puteranya. yang berlutut di depan kakinya, lalu berkata.

   "Anakku, sesungguhnyalah. Kau bukanlah putera Ken Arok yang sekarang bertakhta di singgasana Kerajaan Singosari. Kau adalah putera Raja Muda Tunggul Ametung yang telah meninggal dunia sebelum kau lahir. Anusapati memeluk kaki bundanya dan mencium ujung kaki itu.

   "Aduhai, bunda Sayang, terima kasih atas keterangan yang amat berharga ini! Jadi kalau demikian, mendiang ayahku telah dibunuh oleh Ken Arok yang kemudian merampas bunda menjadi permaisurinya?"

   "Stt, Anusapati, jangan terlalu keras kau bicara! Hal itu telah lama terlampau dan kau tidak boleh menyebutkan nama ramamu demikian saja. Kau telah menjadi pangeran di Singosari, dan semua rakyat jelata menganggap kau sebagai putera sang prabu sendiri!"

   Senyum mengejek menghias wajah Anusapati yang tampan.

   "Memang benar puteranya, ibunda, putera tiri! Sudah sepantasnya anak tiri dikesampingkan! Bunda, pernah aku mendengar dongeng tentang anak tiri yang dimasak dan digodok dalam kuali panjang, pengganti daging domba. Masih baik aku tidak digodok dan dapat hidup sampai dewasa."

   "Anusapati!"

   "Bunda, jangan kepalang tanggung, mohon bunda ceritakan bagaimana Ken Arok membinasakan mendiang ayahanda!"

   Bukan main sedih dan hancurnya hati Ken Dedes mendengar permintaan puteranya ini. Ia amat mencintai puteranya ini, akan tetapi ia juga mencinta kepada suaminya, dari siapa ia telah mendapatkan beberapa orang putera lagi.

   "Puteraku yang bagus, puteraku yang rupawan, kau tenangkanlah hatimu, sabarkan perasaanmu. Hal itu telah amat lama terjadi dan seperti kataku tadi, tak perlu barang busuk yang telah terpendam bertahun-tahun digali lagi. Hanya malapetaka dan kecemaran yang akan kita dapat dari penggalian itu. Ayahmu telah meninggal dunia, dan kau telah menjadi Pangeran Kerajaan Singosari. Untuk apakah kau mengetahui segala peristiwa yang telah lama dilupakan orang itu?"

   "Orang-orang boleh melupakan hal itu, bunda, akan tetapi aku tidak. Bahkan bunda sendiri boleh melupakan hal itu, namun aku tetap takkan dapat melupakannya."

   "Anusapati...!"

   Pemuda itu memandang kepada bundanya yang menangis lagi dan berkatalah ia dengan suara memohon,

   "Ampunkan ananda, bunda! Biarlah mata hamba menjadi buta. telinga hamba menjadi tuli, dan biarlah hamba dikutuk dewata kalau hamba telah menyakiti hati dan perasaan bunda. Ananda tidak bermaksud menyinggung hati bunda, karena bunda tidak bersalah. Bunda sudah menjadi permaisuri, bahkan telah menjadi ibu suri, sudah tentu bunda harus setia terhadap suami dan raja! Ampunkan hamba, bunda!"

   Ken Dedes mendekap kepala puteranya di atas pangkuannya.

   "Tidak, puteraku, dewata takkan mengutukmu, bahkan dewata akan melindungimu, akan berkasihan kepadamu yang tak berayah kandung lagi. Biarlah kuceritakan tentang pembunuhan itu, anakku. Ayahmu, Tunggul Ametung, raja muda di Tumapel itu, telah dibunuh oleh Ken Arok dengan keris pusaka ciptaan Empu Gandring itu!"

   "Apa...?"

   Anusapati memandang kepada keris itu dengan mata terbelalak dan ia mencabut keris itu dari warangkanya.

   "Jangan, Anusapati!"

   Kembali Ken Dedes menjerit sehingga Anusapati sadar kembali dan cepat-cepat menyimpan keris pusaka itu ke dalam wasangkanya.

   "Ingat, puteraku, kau adalah pangeran pati. Kau yang terbesar di antara semua pangeran. Kaulah yang kelak akan menggantikan kedudukan sang prabu, jangan kau melakukan hal-hal yang tidak parut"

   Kembali Anusapati tersenyum, akan tetapi kali ini senyumnya merupakan ejekan.

   "Putera mahkota? Lamunan kosong, bunda. Dari sikap dan pandangan sang prabu, aku yakin bahwa kelak tentu sang prabu akan memilih puteranya sendiri menjadi raja. Aku? Ah, hanya anak tiri, anak tiri yang patut digodok di kuali panjang!"

   "Anusapati!"

   Akan tetapi pemuda itu telah mengundurkan diri dan berlari keluar dari kamar bundanya yang memandangnya dengan penuh kegelisahan, kemudian permaisuri yang malang itu menjatuhkan diri di atas pembaringan dan menangis sedih. Beberapa pekan kemudian semenjak terjadi peristiwa di dalam kamar permaisuri Ken Dedes itu, terjadilah sebuah peristiwa yang amat hebat dan menggemparkan. Sang Prabu Ken Arok telah dibunuh oleh seorang punggawa! Hal ini terjadi ketika sang prabu sedang makan pada petang hari. Seorang punggawa yang menyamar sebagai pelayan dan melayani sang prabu makan, tiba-tiba menyerangnya dan dengan sebilah keris yang mengeluarkan cahaya berapi, punggawa itu menusuk dada sang prabu.

   Melihat keris itu, Ken Arok menjerit dan roboh mandi darah, terus menghembuskan napas terakhir di saat itu juga. Pada petang hari itu, kebetulan sekali Pangeran Anusapati masih duduk bercakap-cakap dengan para pengawal sang prabu di ruang depan. Mendengar jeritan mengerikan ini, Pangeran Anusapati lalu melompat dan dengan diikuti oleh para pengawal, ia lari menuju ke ruang makan sang prabu. Mereka melihat seorang punggawa hendak melarikan diri. Anusapati cepat menubruknya, merampas keris itu dan dengan sekali tusuk saja robohlah punggawa itu, menggeletak di depan kaki Anusapati. Punggawa itu sebelum menghembuskan napas terakhir, masih kuasa memandang ke arah Anusapati dan berkata,

   "Keris itu... keris itu"

   Akan membunuhmu pula kelak! Pengkhianat..."

   Akan tetapi sebuah tusukan ke dua membuat kata-kata itu terbenam kembali ke dalam mulutnya.

   Maka tersiarlah berita bahwa sang prabu telah dibunuh oleh seorang punggawa yang memberontak dan bahwa pemberontak itu telah terbunuh pula oleh Pangeran Anusapati! Hanya Ken Dedes permaisuri yang malang itu saja yang dapat menduga bahwa punggawa itu tentulah pesuruh Anusapati sendiri yang membalaskan dendam mendiang ayahnya kepada ayah tirinya, dan bahwa untuk menutup rahasianya, ia membunuh punggawa itu! Hancur luluh hati Ken Dedes sehingga ia sering kali menderita gering dan yang akhirnya membawanya ke alam baka, menyusul suami pertama dan suami ke duanya yang semua menjadi korban keris pusaka Empu Gandring. Sesungguhnya, Ken Arok terbunuh pula oleh keris pusaka yang ampuh itu, yang dipinjamkan oleh Anusapati kepada punggawa tadi. Kalau bukan keris pusaka Empu Gandring itu, belum tentu punggawa tadi berhasil membunuh Ken Arok yang sakti dan kebal itu.

   Oleh karena sang prabu tewas secara mendadak tanpa meninggalkan pesan sesuatu, maka menurut adat, Pangeran Anusapati sebagai putera sulung diangkat menjadi raja di Singosari. Permaisuri ke dua dari Ken Arok yang bernama Ken Umang, diam-diam menaruh hati curiga dan ia bersama puteranya yang bernama Tohjaya, menyaksikan upacara penobatan Anusapati sebagai raja dengan hati tak senang. Ketika masih hidupnya, Ken Arok sering kali menyatakan kepada Ken Umang bahwa kelak yang akan menggantikannya ke atas takhta adalah Tohjaya. Akan tetapi, karena pernyataan itu tidak diucapkan di depan para pembesar, maka tak dapat dibuktikan dan tidak ada saksi. Diam-diam Ken Umang dan Tohjaya mulai melakukan penyelidikan tentang nembunuhan Sang Prabu Ken Arok.

   Sebelum Permaisuri Ken Dedes meninggal dunia, Ken Umang tidak berani menyatakan dengan berterang ketidaksenangan hatinya, akan tetapi setelah Ken Dedes meninggal dunia, dimulailah penyelidikan dengan amat seksama. Akan tetapi, permaisuri ini amat cerdik dan ia memesan kepada Pangeran Tohjaya agar supaya mendekati kakaknya yang telah menjadi raja, dan agar supaya jangan memperlihatkan sikap membenci. Anusapati menganggap bahwa yang berdosa terhadap mendiang ayahnya hanya Ken Arok seorang, maka iapun tidak menaruh hati dendam terhadap adik-adik tirinya, bahkan sikapnya amat manis terhadap Tohjaya yang pandai mengambil hati. Sering kali kedua orang muda ini berburu di hutan bersama-sama atau melakukan bermacam-macam permainan, di antaranya mengadu jago, permainan yang amat disukai oleh Sang Prabu Anusapati.

   Semenjak pembunuhan terhadap Ken Arok itu, keris pusaka Empu Gandring selalu dipakai oleh Sang Prabu Anusapati, tak pernah terpisah dari ikat pinggangnya, karena kalau ia teringat akan kutukan punggawa yang dibunuhnya itu, ia merasa bergidik dan gelisah. Biarlah, kalau keris ini selalu kupakai, siapa orangnya yang akan dapat membunuhku? Demikian pikirnya. Akhirnya, Ken Umang berhasil pula dengan penyelidikannya. Dari seorang wanita kekasih punggawa yang membunuh Ken Arok dahulu, ia mendapat khabar bahwa punggawa itu diserahi tugas oleh Sang Pangeran Anusapati untuk membunuh Ken Arok dengan menggunakan keris pusaka Empu Gandring! Maka bertangis-tangisanlah Ken Umang dan puteranya, Tohjaya, di dalam kamar mereka ketika mereka mengetahui rahasia pembunuhan itu.

   "Ibunda, biar sekarang juga kubunuh Anusapati!"

   Berkata Tohjaya. Sebagai seorang pemuda, ia berdarah panas dan ia cukup gagah perkasa dan sakti. Akan tetapi ibunya melarangnya,

   "Jangan tergesa-gesa, anakku. Si jahat Anusapati telah menjadi raja dan selain kedudukannya kuat, iapun amat digdaya. Bagaimana kalau kau sampai gagal dan tertangkap lalu dibunuhnya? Ah, aku hanya mempunyai kau seorang, anakku."

   "Habis, apakah dendam hati ini didiamkan saja, ibunda?"

   "Tidak, tidak! Memang harus dibalas. Si jahanam itu harus dimusnahkan dari muka bumi ini. Akan tetapi, kira harus berlaku hati-hati, nak, dan jangan sembrono. Aku mendengar bahwa punggawa itu sebelum mati mengeluarkan kutukan kepada Anusapati, bahwa si jahat itu kelak akan tewas di ujung keris pusaka ciptaan Empu Gandring itu. Keris itulah yang telah menewaskan mendiang ayahandamu, maka keris itu tentulah sebilah keris pusaka yang amat ampuh. Kalau saja kau bisa mendapatkan keris itu..."

   "Akan tetapi, keris pusaka itu selalu dibawa oleh Anusapati, bagaimana aku dapat merampasnya?"

   "Karena itu kita harus berlaku hati-hati, Tohjaya. Kekerasan harus dibarengi kehalusan, penggunaan tenaga harus dibarengi akal budi, barulah semua usaha akan berhasil. Di samping kedua sifat ini, harus pula disertai kesabaran dan ketenangan, tak mungkin Anusapati selalu memakai keris pusaka itu seperti ia memakai tangan kakinya. Kita harus mencari kesempatan dengan sabar, bergerak pada saat yang tepat. Sementara itu, kau harus tetap bersikap manis dan berbakti kepada sang prabu, agar ia tidak menaruh hati curiga, karena sekali ia menaruh hati syak wasangka, akan sukar dan gagallah usaha kita."

   Demikianlah kedua ibu dan anak itu mulai menjalankan siasat dan mencari ketika untuk membalas dendam atas kematian Sang Prabu Ken Arok. Tohjaya bersikap makin manis terhadap Sang Prabu Anusapati, sehingga raja ini makin suka kepada adik titinya ini. Sementara itu, Ken Umang menghubungi para senapati dan pembesar tinggi, diam-diam menyebar tuduhan bahwa pembunuh Ken Arok adalah Anusapati dan perbuatan Anusapati ini atas desakan dan bujukan Ibu Suri Ken Dedes yang ingin membalas dendam kepada Ken Arok atas kematian Tunggul Ametung, suami pertama Ken Dedes. Tuduhan Ken Umang ini tersebar luas dan dapat diterima oleh para senapati dan pembesar tinggi, sungguhpun mereka meragukan tuduhan bahwa perbuatan Anusapati itu adalah atas bujukan Ibu Suri Ken Dedes.

   "Tak mungkin,"

   Kata seorang senapati tua.

   "Biarpun Sang Prabu Ken Arok telah membunuh Tunggul Ametung sehingga sudah sepatutnya isteri Tunggul Ametung menaruh hati dendam, akan tetapi dia sudah menjadi permaisuri sang prabu untuk belasan tahun lamanya, bahkan sudah mempunyai beberapa orang keturunan dengan Sang Prabu Ken Arok. Sungguh sukar untuk dipercaya kalau dia membujuk puteranya untuk membunuh suami dan ayah dari pada putera-puteranya. Kalau Sang Prabu Anusapati yang membunuh, ini dapat diterima, karena tentu sang prabu merasa sakit hati dan menaruh hati dendam atas pembunuhan terhadap mendiang ramandanya, yaitu Tunggul Ametung."

   Demikianlah, di antara para pembesar kerajaan terdapat dua aliran kepercayaan, satu fihak percaya bahwa Ken Dedeslah yang membujuk Anusapati membunuh Ken Arok, di lain fihak tidak dapat percaya akan hal ini dan menganggap bahwa Anusapati melakukan pembunuhan di luar kehendak ibunya.

   Betapapun juga, semua fihak yang setia kepada Ken Arok dan Ken Umang, diam-diam menaruh hati benci kepada Sang Prabu Anusapati, sungguhpun mereka ini tentu saja tidak berani berterang menyatakan perasaan mereka ini. Sang Prabu Anusapati adalah seorang yang selain digdaya dan sakti, juga mempunyai banyak pasukan yang setia kepadanya. Pangeran Tohjaya mentaati nasihat ibundanya, bersikap sabar dan ramah tamah terhadap Sri Baginda, menanti datangnya saat baik dan kesempatan untuk menggerakkan tangan membalas dendam. Di lereng Gunung Anjasmoro, di dekat mataair Sungai Brantas, terdapat sebuah pondok bambu yang amat sederhana dan kecil. Akan tetapi, pondok bambu ini balikan menambah keindahan tempat itu, yang penuh dengan tanaman dan bunga liar yang tumbuh karena kehendak alam, bukan ditanam oleh tangan manusia.

   Tamasya alam yang masih asli belum terjamah tangan manusia selalu amat sederhana, namun di dalam kesederhanaannya itu tersembunyi keindahan dan kebesaran yang luar biasa. Tidakkah pohon-pohon waringin itu amat sederhana yang biasa saja, akan tetapi lihatlah baik-baik, adakah yang lebih gagah, penuh sifat melindungi, kokoh kuat, seperti pohon-pohon waringin itu? Adakah yang lebih hidup, meriah, dan gembira dari pada serumpun pohon bambu apa bila tertiup angin sehingga batang mereka saling berpelukan dan daun-daun mereka mengeluarkan seribu satu macam bahasa yang menggembirakan hati? Bunga-bunga liar tumbuh amat subur dan sehatnya, berseri-seri mengingatkan orang akan perawan-pelawan gunung yang berpipi merah dan bermata kocak.

   Memang, di dalam kesederhanaan tersimpan kekuatan yang maha besar. Seandainya yang berdiri di tepi mataair Sungai Brantas itu bukan sebuah gubuk bambu, melainkan sebuah rumah gedung besar, akan janggallah nampaknya. Rumah gedung besar lebih pantas ditemukan orang dalam kota besar, bukan dalam rimba raya di atas lereng gunung yang sunyi di tepi mataair yang tak pernah kering itu. Sekalian penghuni alam di sekitar tempat itu agaknya tak pernah mengenal akan arti duka sengsara. Semua nampak gembira dan berbahagia belaka. Burung-burung berkicau merdu sambil berlompatan dari pohon ke pohon, dari cabang ke ranting, ratusan macam besar kecil. Sekali-kali keributan kicau burung ini diselingi oleh kokok ayam hutan yang mengagetkan karena nyaringnya.

   Di antara segala macam bunyi-bunyian yang memenuhi sorgaloka (taman sorga) ini, hanya satu macam suara yang tak pernah berhenti. Kicau burung ada kalanya tak terdengar sama sekali, berkerisiknya daun-daun tertiup angin ada kalanya berhenti, namun suara yang merupakan dendang yang berlagu terus-menerus tanpa mendatangkan rasa bosan ini belum pernah terhenti dan takkan berhenti selamanya. Suara ini adalah suara air dari sumber yang mengalir turun, memulai perjalanannya yang amat jauh, air yang melakukan perjalanan berliku-liku untuk akhirnya kembali ke tempat asal, yaitu samudera luas. Perjalanan air Sungai Brantas merupakan lambang kehidupan manusia, juga berliku-liku, menempuh segala macam rintangan dan peristiwa yang akhirnya hanya akan menjadi kenangan, bahkan lenyap di kala hidup kembali ke tempat asal, seperti air Sungai Brantas terjun ke dalam samudera!

   Gubuk kecil itu sunyi karena memang ditinggalkan oleh penghuninya. Kalau kita melihat jauh ke belakang pondok itu, akan kita jumpai dua orang duduk di dekat tanggul sawah. Hanya sedikit bagian ini telah menjadi sawah ladang, dikerjakan oleh dua orang itu. Mengapa dua orang laki-laki itu bekerja dan mencangkul sawah ladang? Mereka akan mudah mencari buah-buahan seperti pisang, pepaya, kelapa, mangga, dan lain-lain lagi kalau mereka lapar, dan menangkap rusa, kelinci, kancil, bahkan burung kalau mereka ingin makan daging. Mengapa mereka bersusah payah mencangkul ladang, sedangkan mereka hanya berdua tinggal di tempat sunyi itu? Pertanyaan-pertanyaan di atas pernah diajukan oleh seorang di antara kedua pekerja itu, yaitu yang muda, dan dijawab oleh yang tua dengan senyum tenang,

   "Wisena, pertanyaanmu itu memang wajar, karena demikianlah sifat orang, tidak mau bersusah payah, yang dikehendaki selalu ada saja untuk menutup kebutuhan hidupnya, puas menerima segala yang tersedia tanpa mengingat betana sukarnya yang mengadakan semua itu. Akan tetapi, ketahuilah anakku, kita diciptakan di dunia ini untuk hidup dan hidup berarti gerak. Adapun gerak yang paling sempurna bagi manusia hanyalah bekerja, bekerja untuk menghasilkan sesuatu, bekerja dengan satu tujuan, yaitu untuk menjadikan sesuatu, mengadakan sesuatu, sesuai dengan sifat pekerjaan dam. Kita diciptakan berlengan, berkaki, bermata, lengkap dengan segala yang kita perlukan. Untuk apa semua ini ada pada kita kalau tidak dipergunakan? Dan penggunaannya ada dua macam, dapat merusak dan dapat membangun, dapat melenyapkan dan dapat mengadakan! Nah, sekarang jelaslah, Wisena, kalau kita dapat makan, kita harus dapat mencari! Kalau kita dapat mengurangi hasil alam, kita harus dapat pula menambah hasil alam. Dengan bekerja!"

   Ucapan kakek inilah yang menjadi pegangan kedua orang itu untuk bekerja di ladang setiap hari, menanam padi, sayur dan apa saja yang mereka kehendaki. Pada saat itu, keduanya sedang beristirahat setelah bekerja mencangkul ladang. Keringat yang keluar dari tubuh mereka membuat kulit tubuh mereka berkilat. Alangkah besar perbedaan antara kedua orang laki-laki itu. Yang seorang sudah tua, berjenggot putih dan rambutnya yang putih itu terbungkus pengikat kepala warna hitam. Tubuhnya tinggi kurus dengan tulang-tulang menonjol keluar terbungkus kulit, akan tetapi warna kulitnya masih merah dan sehat segar, tanda akan kesehatannya yang baik.

   Orang akan merasa heran melihat tubuh yang kurus itu dapat berpeluh, sedemikian banyaknya. Kakek ini duduk di atas tanggul tanpa memperdulikan tanah lumpur yang mengotorkan celana dan kainnya, lalu mengambil kotak daun sirih dan mulailah ia menginang dengan nikmatnya. Orang ke dua masih amat muda, belum ada dua puluh tahun, akan tetapi pada sinar matanya telah membayang kematangan hidup berkat pengetahuannya yang dalam tentang hidup dan filsafatnya Rambutnya tebal dan hitam mengkilat, terurai sampai di leher dan segumpal rambut melingkar berjuntai di depan jidatnya. Wajahnya tampan dan gagah, bahunya bidang dan biarpun kulitnya halus, namun sepasang lengan yang penuh itu membayangkan tenaga tersembunyi yang kuat.

   Seperti yang dilakukan oleh kakek tadi sebelum mengunyah sirih, pemuda ini mencuci lengan dan kakinya dengan air selokan yang jernih, kemudian mengenakan bajunya yang berlengan pendek, menyelipkan lagi kerisnya yang tadi diletakkan di atas tanah bersama bajunya ketika ia bekerja. Kemudian ia mengambil ubi bakar yang dibawa dari pondok, mengupas kulitnya dan makan dengan sedapnya. Setelah menghabiskan dua buah ubi bakar yang besar, ia lalu mengambil kendi berisi air dingin dan ketika ia mengangkat kendi itu cli atas kepalanya, mancurlah air jernih berkilau ke dalam mulutnya, bagaikan pancuran air. Kakek itu sambil mengunyah sirih memandang kepada pemuda ini dengan mata tersenyum berseri. Ia merasa gembira melihat betapa nikmatnya pemuda itu makan dan minum.

   "Kau nampak segar sekali, Wisena,"

   Katanya. Pemuda itu menaruh kendinya di atas rumput dan mengangguk sambil berkata,

   "Memang segar dan nikmat sekali, paman begawan. Alangkah nikmatnya beristirahat melepaskan kiah sehabis bekerja keras,"

   Kakek itu mengangguk-angguk meludahkan dubang (ludah sirih) yang merah bagaikan darah ke atas tanah, lalu berkata dengan suaranya yang tenang dan halus,

   "Memang, tidak ada kenikmatan yang dapat melebihi nikmatnya orang beristirahat sehabis bekerja mengeluarkan peluh? Sesungguhnya, bekerja berat itulah yang mendatangkan nikmat. Tanpa bekerja berat, istirahat takkan ada artinya, takkan mendatangkan nikmat, bahkan akan mendatangkan kemalasan dan kelemahan tubuh. Hanya pekerja-pekerja berat sajalah yang dapat merasakan kenikmatan istirahat yang sesungguhnya,"

   Kakek itu tidak ikut makan minum. Telah bertahun-tahun ia tidak pernah makan atau minum sebelum sang surya bersembunyi di ufuk barat. Hanya sekali sehari ia makan dan minum, itupun hanya terdiri dari beberapa kepal nasi bersama sayur dan buah-buaban, dimakan pada tengah malam pula. Setelah pemudi itu selesai maYan dan minum, mereka lalu berdiri, memanggul pacul masing-masing dan berjalanlah keduanya kembali ke pondok bambu tempat tinggal mereka.

   Siapakah kedua orang ini, yang hidup seakan-akan mengasingkan diri dari masyarakat ramai? Kakek itu mengaku bernama Begawan Jatadara. Sesungguhnya nama ini bukanlah nama aselinya, oleh karena Jatadara berarti pertapa dan kakek ini menyembunyikan namanya Mengapa demikian? Bukan lain oleh karena ia adalah keponakan dari Empu Gandring yang telah terkenal itu, dan mengapa Ia menyembunyikan nama aselinya adalah untuk melepaskan diri dari pemburuan Sang Prabu Ken Arok. Baiklah kita menengok sejarah yang lalu tentang Empu Gandring dan Sang Prabu Ken Arok. Empu Gandring adalah seorang ahli pembuat keris yang amat sakti dan suci dan pada suatu hari, seorang pemimpin pasukan psngawal Raja Muda Tunggul Ametung di Tumapel, yaitu yang bernama Ken Arok, datang kepadanya dan minta dibuatkan sebilah keris yang ampuh.

   "Keris itu haruslah merupakan pusaka yang ampuh,"

   Demikian perwira Ken Arok berkata.

   "Sebuah keris pusaka yang benar-benar merupakan margapati (jalan kematian), yang sekali dicabut harus menewaskan seorang manusia!"

   Empu Gandring terkejut mendengar perintah ini, akan tetapi oleh karena Ken Arok adalah seorang tangan kanan raja muda, dan pula oleh karena mata Empu Gandring yang tua itu telah melihat teja (cahaya) yang menandakan bahwa perwira yang berdiri di hadapannya ini adalah seorang calon raja, maka ia lalu menerima perintah itu dan membuatkan sebatang keris yang ampuh. Pada waktu itu, Begawan Jatadara masih bernama Jaka Palungan, dan sebagai keponakan Empu Gandring, ia membantu Empu Gandring dalam dapur pembuatan dan penempaan keris Maka iapun melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Ken Arok memesan keris kepada pamannya. Beberapa hari kemudian, Ken Arok datang lagi untuk menerima keris pusaka pesanannya. Alangkah marahnya ketika ia melihat betapa keris itu buruk sekali bentuknya, tidak patut menjadi sebilah keris pusaka yang ampuh dan merupakan azimat seorang perwira besar.

   "Mengapa marah?"

   Empu Gandring berkata.

   "Keris ini amat ampuh dan bukan sembarang keris. Jangan melihat rupa, karena apakah artinya di luar indah kalau di dalamnya buruk?"

   Mendengar ucapan ini, Ken Arok tidak dapat memahami artinya bahkan makin marah.

   "Keris seperti pisau dapur ini kau bilang ampuh? Kalau begitu biarlah kucobakan kepadamu!"

   Sambil berkata demikian, Ken Arok mencabut keris itu dan secepat kilat menyambar, keris pusaka itu telah terbenam ke dalam dada Empu Gandring! Sungguhpun Empu Gandring seorang yang sakti, namun keris itu benar-benar ampuh sekali dan sebagaimana permintaan Ken Arok ketika memesan keris itu, oleh Emnu Gandring telah dibuatkan sebatang keris margapati yang sekali dipergunakan tentu menewaskan nyawa seorang manusia. Empu Gandring roboh dan sebelum menghembuskan nafas terakhir, Empu Gandring tersenyum dan berkata,

   "Ken Arok, kau telah menanam bibit yang amat berbisa dan kelak keris ini akan dipergunakan oleh keturunanmu untuk saling membunuh antara saudara sendiri!"

   Bukan main terkejut dan menyesalnya hati Ken Arok melihat orang tua itu tewas karena kerisnya dan lebih-lebih gelisah hatinya mendengar kutukan itu. Ia pikir bahwa keluarga Empu Gandring pasti akan membalas dendam, maka melihat Jaka Palungan berada di situ sambil memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat, ia lalu menyerangnya. Akan tetapi Jaka Palungan yang sudah menerima latihan dan gemblengan dari Empu Gandring, cepat melompat dan berhasil melarikan diri. Sebelum pergi meninggalkan Tumapel, luka Palungan singgah di rumah Ki Walangkara yang menjadi anak pungut Empu Gandring.

   "Lekas berkemas dan pergi melarikan diri!"
   Kata Jaka Palungan dengan nafas terengah-engah. Dengan singkat ia menceritakan tentang Empu Gandring yang dibunuh oleh Ken Arok dan bahwa perwira itu agaknya hendak membinasakan semua keluarga Empu Gandring. Akan tetapi Ki Walangkara menggelengkan kepalanya dan berkata,

   "Aku tidak mau melarikan diri, karena kalau aku pergi, siapakah yang akan mengurus jenazah bapak empu? Kalau Ken Arok mau membinasakan aku, biarlah, paling-paling hanya ragaku yang ia mampu membinasakannya."

   Setelah membujuk tanpa hasil, akhirnya Jaka Palungan yang kebingungan itu lalu membawa pergi putera tunggal Ki Walangkara yang bernama Wisena, seorang anak laki-laki berusia empat tahun- Dan memang terjadi seperti yang dikhawatirkan oleh Jaka Palungan itu, karena Ken Arok akhirnya membunuh Ki Walangkara pula bersama isterinya! Demikianlah, untuk menghindarkan diri dari kejaran Ken Arok yang akhirnya berhasil menduduki takhta Kerajaan Singosari, Jaka Palungan mengubah namanya menjadi Begawan Jatadara, bertapa di lereng Gunung Anjasmoro di tepii sumber air Sungai Brantas. Sambil bertapa dan memperdalam ilmu batin, ia mendidik putera keponakannya, Wisena, sehingga anak itu menjadi dewasa, menjadi seorang pe-muda yang gagah perkasa dan digdaya.

   Selain mendidik Wisena menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa, Begawan Jatadara juga menurunkan ilmu pembuatan keris kepada pemuda itu Oleh karena itu, di dalam pondok bambu itu terdapat alat-alat pembuatan keris. Ketika kedua orang paman dan keponakan itu memasuki pondok, Begawan Jatadara meloloskan sarung kerisnya dan menggantungkan sarung keris itu pada dinding. Semenjak dahulu Wisena sudah merasa kagum melihat warangka keris itu dan ingin sekali melihat keris yang berada di dalam warangka itu. Akan tetapi pamannya selalu melarangnya mencabut keris yang gagangnya terbuat dari pada gading terukir indah. ini. Kini melihat keris itu digantung di dinding, timbul pula keinginan hati Wisena untuk mencabut dan melihat keris itu, akan tetepi sebelum ia membuka mulut, tiba-tiba lantai pondok di mana ia dan pamannya berdiri itu bergoncang keras sekali.

   "Gempa bumi... mari keluar!"

   Kata Begawan Jatadara sambil melangkah ke luar dari pintu pondok, diikuti oleh Wisena yang berjalan terhuyung-huyung karena bumi yang dipijaknya menggetar dan seakan-akan bergelombang. Hebat sekali pemandangan yang mereka saksikan di luar pondok. Seluruh pepohonan tergetar seakan-akan digoyang-goyang oleh tangan raksasa yang tidak kelihatan, dan bumi di bawah kaki mereka menggigil! Sang Begawan Jatadara bersedakap seperti laku orang bersamadhi dan menundukkan kepalanya dengan penuh khidmat. Setelah gempa bumi itu berakhir, kakek itu membuka matanya dan sambil menatap wajah Wisena ia berkata,

   "Wisena, baru saja kau telah menyaksikan sendiri betapa hebat kekuasaan dan kebesaran Hyang Agung. Alangkah kecil tak berarti manusia-manusia seperti kita ini, juga segula macam benda dan makhluk di permukaan bumi. Siapakah yang dapat menyamai kehebatan tenaga yang sanggup inenggoncang dan menggetarkan bumi? Maka ingatlah, Wisena, bahwa di mana-mana terdapat Dia, Hyang Agung, yang kuasa menerbitkan dan menurunkan sang surya, yang kuasa menciptakan bintang-bintang dan bulan, yang kuasa menurunkan manusia di dalam dunia dan memanggilnya kembali! Terhadap Hyang Maha Agung, tiada sebuah rahasia dapat disembunyikan, anakku, maka tiliklah baik-baik segala sepak terjangmu dalam hidup. Sesuatu perbuatan sesat, sungguhpun tak terlihat oleh siapapun juga, masih akan terlihat oleh si pembuat sendiri dan itu berarti masih terlihat oleh Hyang Maha Agung, oleh karena kekuasaan Hyang Agung berada di mana-mana, dalam diri setiap manusia, dalam tubuh setiap binatang, dalam pohon-pohon dan batu-batu. Lihat kekuasaan Hyang Agung yang tersembunyi di dalam pohon dan menciptakan bunga serta buah dan daun-daunnya! Lihat kekuasaan Hyang Agung yang tersembunyi di dalam batu sehingga batu itu menjadi keras, berat dan sanggup mengeluarkan api!"

   Wisena menundukkan kepalanya dengan penuh khidmat. Baginya, setiap wejangan dari pamannya berkesan betul di dalam hatinya, dan ia merasa amat berterima kasih atas segala kasih sayang, pendidikan, dan gemblengan pamannya ini Mereka kembali ke dalam pondok. Senja kala telah turun dan di dalam pondok itu agak gelap. Tiba-tiba Wisena menunjuk ke dinding dan berseru,

   "Paman begawan, apakah itu?"

   Begawan Jatadara memandang dan ia mengeluarkan seruan kaget,

   "Ya Jagad Dewa Batara...!"

   Ia melangkah maju dan mengambil benda yang mencorong di dinding itu. Ternyata itu adalah kerisnya yang digantungkan di dinding tadi. Agaknya karena gempa bumi tadi menggoyang-goyang semua benda, dinding pondok itu tergoyang-goyang pula dan warangka keris itu terlepas dan terjatuh, meninggalkah keris yang masih tergantung di dinding.

   "Aduh bagusnya keris paman begawan!"

   Seru Wisena dengan mata terbelalak kagum setelah ia melihat bahwa benda bercahaya itu adalah keris pamannya yang bergagang gading.

   "Bolehkah aku melihatnya, paman?"

   Begawan Jatadara menarik napas panjang.

   "Keris ini telah terbuka karena kekuasaan Hyang Agung, untuk apa aku menyembunyikan pula?"

   Ia memberikan keris itu kepada Wisena yang memandang dengan penuh kekaguman. Jelas kelihatan bahwa pemuda ini tertarik dan sayang sekait kepada keris itu.

   "Paman, kalau paman dapat membuat keris sehebat ini, mengapa paman tidak membuatkan sebilah untukku?"

   Begawan Jatadara menyalakan dian dari minyak kelapa dan menarik nafas panjang lagi.

   "Duduklah, anakku, duduk dan masukkanlah kembali keris itu ke dalam warangkanya. Tak baik keris pusaka terlalu lama terhunus dari warangkanya."

   Ia sendiri lalu duduk di atas sebuah bangku sederhana. Wisena menyarungkan keris gagang gading itu kembali ke dalam warangkanya dan menyerahkannya kepada Begawan Jatadara dengan rasa sayang. Sang begawan menerima keris itu dan menaruhnya di atas meja kecil di sebelah kanannya. Wisena lalu bersila di hadapan pemonnya, siap untuk mendengar apa yang hendak dikatakan oleh pamannya itu.

   "Wisena, kau keliru sangka kalau mengira bahwa keris pusaka ini aku yang membuatnya- Kepandaianku membuat keris belum setinggi itu, nak. Keris pusaka ini adalah buatan dari paman Empu Gandring, dan dari dia pula aku menerimanya."

   "Paman begawan, siapakah paman Empu Gandring itu? Baru kali ini paman menyebutkan namanya."

   "Memang, sedianya hendak kurahasiakan hal ini, akan tetapi, agaknya keris pusaka Ki Dentasidi tak menghendaki keadaannya dirahasiakan, demikian pula mendiang naman Empu Gandring. Ketahuilah, Wisena, bahwa paman Empu Gandring itu bukan lain adalah pamanku sendiri atau juga eyangmu."

   "Kalau begitu, siapakah adanya ayahku, paman begawan? Telah berkali-kali aku tanyakan hal ini kepada paman, akan tetapi selalu paman tidak berkenan menjawabnya."

   "Sekarang tak perlu kurahasiakan lagi, Wisena. Kau telah dewasa dan cukup pandai mempertimbangkan sesuatu dengan akal budimu sendiri."

   Kemudian Begawan Jatadara lalu menceritakan kepada Wisena tentang riwayat Empu Gandring dan Ki Walangkara beserta isterinya yang terbunuh mati oleh Ken Arok, yang didengarkan oleh Wisena dengan hati terharu, marah, dan juga duka.

   "Demikianlah, anakku. Kalau aku tidak cepat-cepat melarikan diri dan mengubah namaku menjadi Jatadara, serta membawamu pergi dari Tumapel, tentu kau dan aku akan menjadi korban keganasan Ken Arok pula."

   "Paman begawan!"

   Wisena berkata dengan penasaran.

   "Mengapa paman tidak melawannya? Paman memiliki kesaktian, mengapa paman tidak melawan Ken Arok dan membalas kejahatannya?"

   Kakek itu menggelengkan kepalanya.

   "Tiada gunanya, Wisena. Kalau aku melakukan perlawanan, itu berarti kematianku dan kaupun tentu takkan dapat hidup sampai sekarang ini. Ken Arok adalah seorang perwira yang digdaya dan mempunyai banyak anak buah, siapa berani melawannya?"

   "Paman, aku hendak pergi mencarinya dan mencoba sampai di mana kesaktiannya. Betapapun sakti dan digdayanya, demi kebenaran dan keadilan, ia pasti akan dapat kuhancurkan sebagai pembalasan dendam kira!"

   Kata Wisena dengan gagah.

   "Itulah yang kukhawatirkan, anakku. Balas-membalas, bunuh-membunuh, menjadi hakim dan penghukum sendiri seakan-akan manusia telah lupa akan kekuasaan Hyang Agung Yang Maha Adil! Tentang pembalasan dendam itu bukan menjadi idaman hatiku, Wisena, karena aku percaya dengan penuh keyakinan bahwa setiap perbuatan jahat pasti akan mendatangkan malapetaka terhadap dirinya sendiri. Aku masih percaya akan kekuasaan dan keadilan Hyang Agung yang mengatur seluruh jagad raya. Yang menjadi ganjalan hatiku adalah kutukan yang dikeluarkan oleh eyangmu sebelum ia meninggal dunia."

   "Kutukan bagaimanakah, paman?"

   "Eyangmu, mengeluarkan kutukan bahwa keris buatan eyangmu yang dipergunakan oleh Ken Arok untuk membunuh eyangmu, kelak akan dijadikan senjata pembunuh keturunan Ken Arok di antara saudara sendiri. Alangkah ngerinya kutukan ini, Wisena."

   "Biarlah, paman!"

   Sahut Wisena dengan gemas.

   "Biar orang sejahat itu menerima hukumannya pula."

   "Akan tetapi tidak seperti itu, Wisena. Apakah dosa keturunannya sehingga mereka harus menerima hukuman sebagai akibat dari dosa Ken Arok? Biarlah si jahat memikul dosanya sendiri, biarlah si penanam bibit makan buah tanamannya sendiri, jangan keturunannya dibawa-bawa merasakan buah pahit yang ditanam oleh nenek moyangnya."

   Wisena tertegun mendengar ini.

   "Habis, apakah yang harus kulakukan, paman? Aku hanya menurut dan taat kepada nasihat dan perintah paman begawan."

   "Terbukanya rahasia ini menjadi tanda bahwa sudah tiba masanya kau turun gunung, Wisena Setelah kau mengetahui rahasia ini hanya akan merupakan gangguan bagi pikiran dan batinmu saja apa bila kau tidak turun gunung dan terjun di dunia ramai. Kau masih muda dan tenaga serta kepandaianmu akan terpendam sia-sia apa bila tidak kau pergunakan demi kebaikan sesama manusia. Akan tetapi, ingat, jangan kau melibatkan dirimu pada ikatan balas dendam yang mengerikan itu, karena sekali kau terlihat, kau akan terbelenggu oleh karma dan sukarlah bagimu untuk melepaskan diri dan membebaskan jiwamu Kau pergilah ke Kerajaan Singosari. Kalau aku tidak salah dengar. Ken Arok kini telah menjadi raja besar di Singosari. Di dalam angkara murkanya, Ken Arok telah mempergunakan keris buatan eyangmu itu untuk membunuh Raja Muda Tunggul Ametung dan merampas isterinya menjadi permaisurinya. Permaisurinya itu, yaitu yang bernama Ken Dedes, mempunyai seorang putera dari Tunggul Ametung yang bernama Anusapati. Nah. Kau usahakanlah agar supaya kau dapat suwira (bekerja) kepada Pangeran Anusapati itu, anaku"

   "Baiklah, paman begawan. Mohon pangestu agar supaya saya dapat mengabdi kepada kebenaran di manapun saya berada."

   "Berangkatlah besok pagi pada waktu fajar menyingsing, anakku, dan bawalah keris pusaka Ki Dentasidi bersamamu, hanya keris itulah yang dapat menandingi kesaktian dan keampuhan keris Marga pati buatan eyangmu Empu Gandring yang kini berada di tangan Sang Prabu Ken Arok."

   Malam hari itu, Wisena menerima wejangan-wejangan terakhir dari pamannya. Begawan Jatadara, dan pada-keesokan harinya. mulailah ia turun gunung melakukan lelana brata memenuhi tugas seorang ksatria. Persaingan yang terdapat antara keturunan Ken Dedes dan keturunan Ken Umang yang terjadi di dalam kerajaan, sungguhpun persaingan ini terjadi diam-diam, melemahkan kerajaan di bawah pemerintahan Anusapati. Kalau kerajaan yang menjadi pusat pemerintahannya lemah, maka para bupati dan pamong praja yang diberi kekuasaan memerintah di daerah-daerah lalu Berani memperlihatkan sikap yang berlebihan. Mereka merasa seakan-akan harimau yang terlepas dari pada belenggu kekuasaan raja dan berani bertindak sewenang wenang menurutkan kata nafsu hati sendiri.

   Jangankan para adipati dan bupati, bahkan demang-demang dan lurah-lurah juga menjadi raja kecil yang berkuasa penuh di kedemangan dan kelurahan masing-masing, mengadakan peraturan-peraturan sendiri dan pemerasan-pemerasan yang masuk ke dalam sakunya sendiri. Ken Umang maklum akan hal ini dan ia bersama putera-nya yang cerdik tidak melewatkan kesempatan ini untuk mencari nama dan jasa di kalangan rakyat kecil. Sering kali Tohjaya membawa pasukan istimewa untuk berkeliling di kampung dan dusun untuk menghukum para pamong praja yang berlaku sewenang-wenang atau membasmi perampok-perampok dan pengacau-pengacau yang selalu timbul apa bila pemerintahan sedang lemah. Oleh karena itu nama Pangeran Tohjaya mulai dikenal rakyat sebagai seorang pangeran yang bijaksana dan adil.

   Inilah yang dicari oleh Pangeran Tohjaya, yang telah merencanakan untuk membasmi Sang Prabu Anusapati dan menggantikan ke-ludukannya sebagai raja- Nama baik ini perlu sekali baginya, karena kelak akan merupakan sokongan dan suara rakyat yang amat kuat baginya untuk menduduki takhta kerajaan. Sayang sekali, di samping usahanya yang amat baik ini, Pangeran Tohjaya juga memperlihatkan sifatnya yang kurang sempurna, yaitu kesukaannya mempermainkan wanita. Ia adalah seorang mata keranjang yang tidak dapat melewatkan batuk kelimis ( wajah cantik ) begitu saja tanpa mengganggu nya. Mungkin karena usahanya memikat hati rakyat dengan membela dan melindungi mereka itu tidak terbit dari har sanubari yang bersih, hanya dipergunakan dengan pamrih mencari nama belaka,

   Maka usahanya ini tidak mendapat hasil yang sebagaimana mestinya Nama baiknya yang timbul karena usahanya ini dirusak kembali oleh sifatnya mengganggu anak bini orang, terutama anak bini orang-orang dusun yang dalam hal ini tidak berdaya sama sekali. Siapakah yang tidak suka dan bangga melihat puterinya disukai dan terpakai oleh seorang pangeran? Apa lagi bagi orang-orang dusun yang amat tunduk dan menganggap keturunan raja bagaikan dewata saja, tentu hal itu merupakan penghormatan yang amat besar bagi keluarga si perawan itu. Lebih-lebih kalau disertai hadiah-hadiah dari Pangeran Tohjaya yang dalam hal ini berlaku amat royal! Di lembah Sungai Brantas, pada pertemuan antara Sungai Lekso dan Sungai Brantas, terdapat sebuah dusun bernama Karangluwih- Dusun ini cukup besar, dikepalai oleh seorang lurah yang kaya raya bernama Ki Lurah Reksoyudo.

   Ki Lurah Reksoyudo selain terkenal kaya raya dan mempunyai sawah yang lebar dan rumah gedung model rumah bangsawayi di kota raja, juga terkenal karena puteri tunggalnya yang denok ayu, cantik jelita bernama Mekarsari. Gadis ini telah berusia tujuhbelas tahun, bagaikan bunga mawar sedang me-kar semerbak mengharum, mendatangkan rindu dendam dan birahi pada dada setiap teruna yang berada di kampung itu. Akan tetapi, para muda itu hanya berani memandang dengan kagum dan penuh gairah, dengan harapan setipis kulit bawang, karena bagi mereka, merindukan dara juwita Mekarsari sama halnya dengan si pungguk merindukan bulan yang mengapung tinggi di awan! Di samping sifat-sifat Ki Lurah Reksoyudo yang baik, ramah tamah dan adil terhadap rakyat dusun Karangluwih terdapat sifat yang kurang baik, yaitu sifat tamak akan harta benda, pendek kata sifat mata duitan.

   "Anakku hanya Mekarsari seorang, cantik jelita, kembang Karangluwih, cantik manis dan denok, tak kalah oleh puteri-puteri Singosari! Maka, sudah sepatutnya kalau Mekarsari menjadi isteri seorang berpangkat tinggi, setidaknya seorang bupati, atau seorang pangeran! Mekarsari cantik, aku berharta, sudah sepatutnya kita memilih menantu yang akan mengangkat derajat kita tinggi-tinggi selagi kita hidup dan kelak mengubur kita dalam-dalam kalau kita mati!"

   Demikian berkali-kali ki lurah menyatakan pendapatnya kepada isterinya apa bila isterinya menyatakan bahwa puteri mereka sudah cukup dewasa untuk dinikahkan. Istilah "Mikul duwur mendem jero" (memikul tinggi mengabur dalam-dalam) bermaksud dapat mengangkat derajat mereka selagi masih hidup sampai setelah mereka meninggal dunia. Oleh karena hampir setiap hari semenjak Mekarsari masih belum dewasa, ki lurah selalu mengemukakan idam-idaman hati ini,

   Akhirnya baik nyi lurah maupun Mekarsari menjadi mabok dan terpengaruh sehingga nyi lurah juga mengharapkan seorang menantu yang berpangkat tinggi, sedangkan Mekarsari sering kali melamun dan membayangkan betapa senangnya menjadi seorang isteri bupati atau pangeran yang disembah-sembah oleh ribuan orang! Akan tetapi, sudah menjadi lazimnya bahwa hal yang diharap-harapkan itu tak kunjung datang dan yang datang balikan hal yang sama sekali tak pernah diimpikan! Tidak ada seorangpun pemuda dusun yang berani meminang Mekarsari, sungguhpun tiap malam semua pemuda digoda oleh bayangan Mekarsari yang cantik jelita dalam alam mimpi. Dan yang datang meminang pada suatu hari adalah seorang yang sama sekali tak pernah diharapkan, yaitu seorang kepala gerombolan rampok bernama Klabang Songo yang bersarang di sebuah hutan liar di kaki Gunung Kelud!

   Di waktu Sang Prabu Ken Arok masih berkuasa dan belum binasa, Klabang Songo dan anak buahnya tak berani banyak bergerak, hanya bersembunyi di dalam hutan dan menghadang orang-orang yang berani lewat di daerah mereka. Akan tetapi semenjak Sang Prabu Ken Arok meninggal dunia dan keadaan kerajaan di bawah pimpinan Sang Prabu Anusapati amat lemahnya, Klabang Songo mulai memperlihatkan keberanian dan kekejamannya. Ia memimoin anak buahnya keluar dari hutan itu dan mulai melakukan"

   Perampokan di dusun-dusun sekitar kaki Gunung Kelud. Bahkan akhir-akhir ini ia turun gunung dan menielaiah di sepanjang Kali Lekso sampai di luar dusun Karangluwih! Penduduk Karangluwih telah tahu akan adanya geromlioLm perampok yang dipimpin oleh Klabang Songo ini, karena sudah banyak orang yang dirampok dan menjadi korban keganasan gerombolan itu.

   Akan tetapi, selama itu, Klabang Songo belum pernah menyerbu ke dusun Karangluwih, karena ia masih merasa segan dan ragu-ragu, mengira bahwa pertahanan di dusun itu kuat. Ia hanya mengganggu kampung-kampung kecil yang termasuk dalam wilayah Karangluwih. Ki Lurah Reksoyudo telah mengumpulkan pasukan dusun dan mencoba mengusir gerombolan ini, akan tetapi ternyata bahwa gerombolan yang terdiri dari seratus orang lebih itu amat kuat. Terutama sekali Klabang Songo lernyata adalah seorang yang amat kuat dan digdaya sekali sehingga akhirnya Ki Lurah Reksoyudo terpaksa hanya menjaga keamanan Karangluwih saja dan tidak lagi mengejar-ngejar gerombolan Klabang Songo. Klabang Songo adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih tigapuiuh tahun, bertubuh tinggi besar, berkulit hitam.

   Kepalanya yang besar itu menjadi tambah seram kelihatannya karena sepasang matanya yang sebesar jengkol dan kumisnya yang melintang sekepal sebelah. Telah beberapa kali ia bertukar isteri, karena selalu isteri-isterinya itu tidak memperlihatkan sikap mencinta sehingga ia menjadi bosan. Akhirnya ia mendengar tentang kecantikan Mekarsari, puteri mnggal Ki Lurah Reksoyudo di dusun Karangluwih. Mendengar pujian orang-orang yang pernah melihat gadis itu. gandrung-gandrunglah ia dan segera diutusnya seorang pembantunya pergi memasuki dusun Karangluwih untuk meminang gadis itu! Dapat dibayangkan betapa terkejut dan marahnya hati Ki Lurah Reksoyudo ketika ia menerima tamunya yang bersikap kasar dan bermata jelilatan itu ke ruang tamu lalu mendengar bahwa tamunya ini adalah utusan dari kepala rampok Klaoangsongo!


"Ki sanak,"

   Katanya dengan suara dibikin gagah sebisanya.

   "Ada keperluan apakah gerangan maka pemimpinmu Klabang Songo mengutusmu masuk ke dusun ini dan menemui aku?"

   Utusan Klabang Songo itu masih muda dan la pernah mendengar tentang kecantikan Mekarsari, maka ketika ia memasuki nr.ng tamu, sepasang matanya yang liar dan merah itu jelilatan mencari-cari ke dalam rumah, dengan harapan akan dapat melihat si denok ayu Mekarsari!

   "Ki lurah"

   Jawabnya dengan suara yang membuat Ki Lurah Reksoyudo merasa punggungnya panas dingin.

   "Hamba diutus oleh Kakang Mas Klabang Songo untuk meminang puterimu, si denok Mekarsari!"

   Seketika itu juga pucatlah wajah ki lurah mendengar pinangan yang kasar dan kurang ajar ini. Kepucatan mukanya berobah menjadi merah karena marah. Hampir saja ia mencabut kerisnya dan menyerang utusan kepala rampok itu, kalau saja ia tidak ingat bahwa betapapun juga orang ini adalah seorang pesuruh yang hanya menyampaikan perintah majikan atau junjungannya. Bukan utusan ini yang kurang ajar dan bukan pula orang ini yang meminang puterinya. Di dalam kemarahannya ki lurah masih ingat akan peraturan dan ketatasopanan seorang tuan rumah menerima tamu seorang utusan. Adapun utusan Klabang Songo itupun dapat melihat betapa tuan rumah menjadi marah, maka buru-buru ia melanjutkan ucapannya,

   "Ki Lurah Reksoyudo, hamba menyampaikan pinangan Kakang Mas Klabang Songo disertai syarat dan perjanjiannya. Kalau ki lurah menerima pinangannya, tidak saja kami tidak akan mengganggu Karangluwih, bahkan Kakang Mas Klabang Songo berjanji akan menjaga keamanan dusun ini, akan memberi kebahagiaan dan harta benda kepada puterimu. Ketahuilah bahwa Kakang Mas Klabang Songo tidak mempunyai isteri lain, kecuali piaraan di sana sini. Dia seorang yang gagah perkasa, sakti mandraguna, dan mempunyai simpanan harta benda yang tidak kalah besarnya dengan kekayaan seorang bupati. Kau mau sawah? Tunjuk saja yang mana, Kakang Mas Klabang Songo sanggup merampaskannya dari pemiliknya untuk mertuanya. Kau mempunyai musuh? Tunjukkan yang mana orangnya, dalam sehari saja Kakang Mas Klabang Songo akan mematahkan batang lehernya dan mempersembahkan kepala musuhmu di depan kakimu. Asalkan jangan minta singgasana kerajaan, Kakang Mas Klabang Songo sanggup memenuhi segala permintaanmu."

   "Bedebah! Keparat! Lekas kau minggat dari sini! Sampaikan kepada Klabang Songo si jahanam bahwa lebih baik dusun ini menjadi lautan api dari pada aku harus menyerahkan puteriku kepadanya."

   Sambil berkata demikian, ki lurah menuding ke arah ointu depan, mengusir utusan itu yang hanya menyeringai saja dengan tabah sekali.

   "Ki lurah, kau telah menentukan nasibmu sendiri. Nah, selamat berpisah sampai bertemu lagi di dalam lautan api!"

   Pergilah utusan itu berlari ke luar. Ki Lurah Reksoyudo menjatuhkan dirinya di atas kursi. Nafasnya memburu, wa-jahiiya seoentar pucat sebentar merah. Bedebah, makinya dengan pikiran kusut, pinangan pertama terhadap puterinya datang dari seorang kepala rampok! Tiba-tiba ia teringat akan ancaman Klabang Songo yang diucapkan oleh utusannya tadi, maka cepat-cepat ia berteriak keras,

   "Penjaga...!!!"

   Tiga orang penjaga yang memegang tombak dan tadi berdiri di luar kelurahan segera bergegas lari masuk.

   "Kumpulkan kepala pasukan, suruh mereka datang ke sini. Cepat!!"

   Tiga orang penjaga itu lalu berlari ke luar lagi dan segera melakukan perintah ki lurah. Setelah para kepala pasukan datang, ki lurah lalu berkata,

   "Si keparat Klabang Songo telah mengancam akan menyerang dusun kita. Cepat atur penjagaan yang kuat. Jaga seluruh kampung, kelilingi dengan pasukan-pasukan!"

   Ki lurah tidak berani menceritakan tentang pinangan yang amat memalukannya itu, kemudian ia sendiri mengatur barisan penjaga untuk bersiap sedia menyambut serbuan para perampok. Penduduk dusun Karangluwih menjadi gelisah sekali, akan tetapi semua orang laki-laki ikut bersiap sedia menjaga keamanan dengan senjata yang ada pada mereka seperti tombak, pedang, keris, linggis, pacul dan lain-lain. Orang-orang perempuan tidak berani keluar dari pintu rumah dan memeluk anak-anak mereka di dalam kamar dengan hati berdebar dan kedua kaki lemas. Setiap kali mendengar suara gaduh di luar rumah, kaki mereka menggigil. Pak Bejo, petani tua yang tinggal di ujung timur dusun bersama isterinya, biarpun usianya sudah ada limapuluh tahun, namun masih bersemangat. Ia ikut keluar dari pintu rumah membawa sebatang alu besar yang biasanya dipergunakan oleh isterinya untuk menumbuk padi.

   "Pakne, kau mau ke mana? Jangan tinggalkan aku, pakne!"

   Kata mbok Bejo dengan suara gemetar. Biarpun mereka tidak pernah punya anak, mbok Bejo selalu menyebut suaminya "Pakne"

   Dan suaminya menyebutnya "Mbok-ne."

   "Aah, kau seperti penganten baru saja, mbokne. Orang laki mau keluar berjaga, kau ribut mulut tak karuan"

   Pak Bejo mengomel sambil melepaskan tangannya yang dipegang oleh isterinya.

   "Kau sudah tua bangka, mau menjaga apa? Lebih baik di rumah saja, menjaga aku kalau-kalau aku jatuh pingsan karena kaget dan takut!"

   Kata isterinya.

   "Biarpun sudah tua, akan tetapi tua-tua kelapa, makin tua makin keras batoknya, makin banyak minyaknya! Lupakah kau bahwa aku adalah bekas cabang atas? Kalau baru sepuluh dua puluh orang perampok saja, terkena sambaran aluku di atas kepalanya, tentu akan remuk kepalanya, menggeletak tak kuasa membuka mulut meminta air minum lagi!"

   Sumbarnya sambil mengayun-ayun alunya yang besar itu di atas kepalanya sehingga nafasnya terengah-engah karena alu itu memang berat.

   "Pakne, jangan pergi... kalau mau berjaga, jagalah di depan pintu rumah sendiri. Bagaimana nanti kaiau kau pergi, ada perampok masuk ke dalam rumah? Apa yang harus kulakukan?"

   "Jewer telinganya dan jambak rambutnya! Apakah ia tidak tahu bahwa kau adalah mbok Bejo, isteri pak Bejo cabang atas?"

   Jawab pak Bejo seraya mengangkat dada, seolah-olah perampok yang mereka bicarakan itu hanya seorang anak kecil yang nakal saja.

   "Jangan pergi, pakne. Aku takut!"

   "Aku harus pergi, menggabung dengan para penjaga untuk mengusir perampok kalau mereka berani masuk dusun,"

   Kata pak Bejo nekat dan hendak pergi. Akan tetapi isterinya lari memeluknya dan mereka lalu bertarik-tarikan, seorang ingin pergi, yang seorang menahan.

   "Baiklah, kalau kau nekat pergi, aku mau ikut ke sana!"

   "Ikut? Kau...? Orang perempuan tua mau ikut berjaga?"

   "Biar! Biar aku mati di sampingmu. Bukankah kita dulu sudah bersumpah hidup serumah mati seliang?"

   Suaranya masih mengandung kemesraan semasa mudanya. Pak Bejo lemas dan semangatnya bertempur melawan perampok terbang setengahnya.

   "Baiklah... baiklah..."

   Ia menarik nafas panjang.

   "Biar aki menjaga di depan rumah. Kau masuk dan bersembunyilah di dalam kamar."

   
   




KERIS MAUT JILID 02


   "Kau betul-betul tidak meninggalkan aku?"

   Tanya mbok Bejo manja.

   "Tidak, bagaimana nanti kalau ada perampok mengganggu bidadariku?"

   Kata pak Bejo sambil mengobat-abitkan, alunya di atas kepala. Mbok Bejo segera masuk ke dalam rumah dan bersembunyi di dalam biliknya... Sementara itu, hari telah mulai gelap. Hampir setengah hari penduduk Karangluwih menanti dengan hati berdebar, namun perampok-perampok itu tak juga datang. Makin gelap cuaca, makin gelap pula hati dan pikiran semua orang. Malam yang biasanya aman dan tenteram, kini nampak seakan-akan amat mengerikan. Agaknya para iblis dan setan pada keluar dari tempatnya dan beterbangan di atas dusun itu, siap mencari korban. Kebetulan sekali di atas rumah pak Bejo terbang seekor burung gagak yang berbunyi tiga kali,

   "Gaok... gaok... gaok...!"

   Mbok Bejo menjumbul kaget dalam biliknya dan bagaikan seekor kijang melompat ia lompat turun dari ambennya terus lari keluar.

   "Pakne...! Pakne...! Tolong...!"

   Hampir saja ia bertumbukan denean suaminya yang dari luar lari ke dalam mendengar jeritnya ini.

   "Eh, eh, kau kenapakah?"

   Tanya pak Bejo dengan hati tidak enak. Mereka memang tinggal di tempat yang paling ujung dan jauh tetangga, di kanan kiri rumah hanya ladang penuh tanaman jagung dan ubi.

   "Suara gagak itu... tiga kali... alamat tidak baik, dia mencari bangkai..."

   "Hush... jangan bicara yang bukan-bukan, mbokne. Masuklah kembali ke dalam bilik dan kalau kau mendengar sesuatu jangan sekali-sekali keluar. Kalau ada perampok datang, serahkan saja kepadaku, dan kalau aku sedang bertempur melawan puluhan perampok, jangan kau keluar."

   Mbok Bejo menggigil.

   "Aku... aku takut, pakne. Kau masuk sajalah. Aku takut seorang diri di dalam bilik, takut kalau-kalau kau kenapa-kenapa..."

   Di dalam hatinya, pak Bejo memang telah merasa ngeri mendengar ucapan isterinya tentang burung gagak dan bangkai tadi, akan tetapi ia menahan-nahan kengeriannya. Kini ia mendapat alasan untuk masuk ke dalam rumah, maka katanya sambil tersenyum lega,

   "Aah, perempuan! Kau memang makhluk lemah dan penakut. Jangan takut, selama ada suamimu di sini, takkan ada orang berani menyentuhmu!"

   Dengan lenggang seakan-akan Sang Gatotkaca merungrum (mencumbu rayu) Dyah Pergiwa, pak Bejo menggandeng isterinya masuk ke dalam pondoknya. Akan tetapi baru saja sampai di ambang pintu, tiba-tiba terdengar,

   "Brak...! Kresek! Kresek... brak!"

   Hampir saja pak Bejo njrantal (melompat anjing) saking kagetnya dan mbok Bejo menjerit sambil memegang baju suaminya.

   "Ngeoong...!"

   "Bedebah! Keparat! Babo-babo, amuk sura-mrata jaya-mrata!!"

   Pak Bejo menyambar alunya dan melompat ke luar karena tahu bahwa suara tadi hanya ditimbulkan oleh sepasang kucing yang sedang memadu kasih.

   "Mana perampoknya? Ayoh keluar, bertanding tebalnya kulit kerasnya tulang melawan jago tua Bejo! Majulah, jangan seorang, keroyoklah sepuluh orang kalau hendak merasakan bagaimana nikmatnya kepala diremuk alu!"

   Ia petantang-peten-teng (berlagak mengangkat dada) di depan rumah sambil mengobat-abitkan alunya yang besar dan berat. Mbok Bejo menarik ujung bajunya ke dalam pintu.

   "Masuklah, pakne, jangan begitu. Itu tadi hanya kucing!"

   "Ah, kucing? Kukira perampok-perampok yang datang. Kau penakut sekali, mbokne. Ayoh kuantar masuk bilik."

   Keduanya masuk ke dalam bilik dan suasana menjadi sunyi, sunyi yang menakutkan. Bulan sabit muncul membawa cahaya yang remang-remang, menambah keseraman malam.

   "Pakne, aku takut..."

   Terdengar suara mbok Bejo perlahan, gemetar.

   "Takut apa? Biar aku rengeng-rengeng (bersenandung), kuceritakan tentang Sang Hanoman mengamuk di Ngaleng-kadiraja!"

   Maka terdengarlah suara pak Bejo uro uro (menembang moeopat) mengisahkan perjalanan dan pengalaman Sang Hanoman kera putih perkasa yang menjadi utusan Sang Prabu Raniawijaya ketika mengamuk di Ngalengka (dalam cerita wayang Ramayana). Suara pak Bejo memang empuk dan pulen, maka terdengar enak sekali. Orang-o-rang yang menjadi tetangga pak Bejo tinggal agak jauh dari situ, akan tetapi ketika mereka mendengar suara pak Bejo uro-uro ini, mereka geleng-geleng kepala.

   "Ampun...!"

   Kata seorang tetangga menggelengkan kepala.

   "Dalam saat seperti ini pak Bejo masih rengeng-rengeng menghibur hati bininya!"

   "Mungkin otaknya sudah miring,"

   Mencela seorang yang brangasan karena diserang rasa kegelisahan dan ketakutan hebat. Suara tembang pak Bejo yang merdu itu mengalun di kesunyian malam dan mbok Bejo merem melek karena suara suaminya ini selalu masih mempesona hatinya. Rasa takutnya sudah mengurang dan ia mendengarkan suara uro-uro suaminya yang memang baik itu.

   "Sang Hanomam melompat tinggi menantang-nantangnya, mengejek berani, Heh kamu Rahwana, raja durhaka! Keluarlah kalau memang perkasa inilah lawanmu, Sang Hanoman sakti keroyoklah, aku takkan lari! Inilah dadaku! Majukan laskarmu Babo babo! Inilah ksatria sejati!"

   Tiba-tiba pak Bejo menghentikan mocopatnya karena terdengar suara,

   "Srek, srek, kietek!"

   Kemudian disusul oleh suara kaki orang berjalan, lalu sunyi.

   "Pakne..."

   "Ssst, jangan berisik, tidak ada apa-apa..."

   Balas pak Bejo dengan bisikan menghibur, akan tetapi kedua telapak kakinya telah menjadi dingin sekali. Ia lalu menembang kembali, suaranya dikeras-keraskan, hatinya diberani-beranikan, akan tetapi tetap saja suaranya menjadi sumbang dan kata-kata dalam tembangnya ngawur. Tiba-tiba keadaan yang sunyi dan suara pak Bejo yang tadinya hanya menjadi suara tunggal di malam sunyi itu terganggu oleh suara bersorak dari jauh.

   "Pakne... suara apa itu yang bersorak-sorak...?"

   Bisik mbok Bejo.

   "Sst, jangan ribut, dengarkan uro-uroku,"

   Sela pak Bejo sambil menekan suaranya yang gemetar karena iapuu ketakutan setengah mati. Ia dapat menduga bahwa sorak-sorai itu tentulah suara para perampok yang datang menyerbu. Untuk memberanikan hatinya ia melanjutkan tembangnya yang tr.di tertunda, dengan suara gemetar,

   "Ribuan bala Ngalengka ratusan para raksasa ganas liar menyerbu! Hanoman trengginas nyambut menyambar alu... eh, batu menghantam para perampok... eh... menghantam para raksasa gagah perkasa Sang alu... eh... alu..."

   Pak Bejo tak sanggup melanjutkan tembangnya karena kata-katanya sudah kacau-balau, tercampur dengan pikirannya yang penuh dengan bayangan perampok-perampok ganas dan alunya yang menyambar-nyambar mengamuk!

   "Ha, ha, ha!"

   Tiba-tiba terdengar suara ketawa geli dari luar pintu.

   "Pak Bejo, sejak kapan Sang Hanoman bersenjata alu?"

   Mendengar suara yang asing itu di luar pintu, mbok Bejo menggigil seluruh tubuhnya. Ia menarik kaki dan tangannya, membuat tubuhnya menjadi sekecil mungkin, mepet di pojok balai-balai. Pak Bejo memandang kc arah pintu dengan mata terbelalak.

   "Si... siapa itu...?"

   Tanyanya, akan tetapi suaranya tenggelam di dalam sorak sorai dan derap kaki yang kini telah terdengar riuh, tanda bahwa banyak sekali orang telah memasuki dusun Karangluwih. Suara ini disusul oleh suara pekik kesakitan dan beradunya senjata. Ternyata para perampok telah menyerbu masuk dan telah terjadi perang tanding antara para penjaga dan perampok-perampok itu. Pak Bejo menyambar alunya dan melompat turun dari balai-balai, siap menyerbu ke luar pintu. Akan tetapi mbok Bejo memegang kakinya, sehingga pak Bejo tak dapat keluar. Tiba-tiba nampak cahaya terang masuk ke dalam bilik itu dan pak Bejo berkata dengan suara serak,

   "Celaka mbokne. Perampok-perampok itu membakar rumah..."

   "Jangan pergi, pakne... biar kita mati seliang..."

   "Baik... baik... aduh, kalau rumah kita dibakar... kita mati terpanggang... mbokne, mari kita lari...!"

   Pak Bejo memegang tangan isterinya dan menyeretnya turun dari balai-balai. Keduanya berlari keluar dari bintil, akan tetapi baru saja sampai di ambang pintu, mbok Bejo menjerit dan lari kembali ke dalam biliknya.

   Ternyata bahwa di dalam rumah nampak seorang pemuda sedang berdiri bertolak pinggang, sedangkan dari jauh datang menyerbu belasan orang perampok yang tinggi besar dan menyeramkan, karena setiap orang perampok memegang sebilah golok yang mengkilat karena tajamnya. Pak Bejo terpaku di ambang pintu dan memandang dengan mata terbelalak, kemudian ia menutupkan daun pintu sambil mengintai dari celah-celah daun pintu itu. Siapakah adanya pemuda yang berdiri di depan rumah pak Bejo itu? Sesungguhnya pemuda ini bukan lain adalah Wisena! Di dalam perjalanannya menuju ke Singosari, Wisena tiba di dusun Karangluwih pada malam hari itu. Ia merasa heran melihat para peniasyi mengadakan penjagaan yang demikian rapat dan kuat di sekeliling dusun.

   Karena ingin sekali mengetahui apa gerangan yang terjadi, ia lalu menggunakan kepandaiannya memasuki dusun dari sebelah timur tanpa diketahui oleh para penjaga yang hanya melihat bayangan hitam berkelebatan cepat. Wisena berjalan perlahan dan ketika tiba di dekat rumah pak Bejo, ia mendengar percakapan antara pak Bejo dan isterinya. Maka tahulah Wisena bahwa dusun itu terancam cleh Ferbuan para peramjook. Ia lalu beristirahat di emper rumah pak Bejo. Yang terdengar oleh kedua suami isteri itu tadi adalah suara tindakan kakinya di depan rumah. Kemudian Wisena mendengar pak Bejo bertembang sehingga ia menjadi geli dan suaranya nulalah yang mencela pak Bejo tentang Sang Hanoman bersenjata alu! Wisena telah mendengar pula sorak sorai dari para perampok yang menyerbu dan ketika ia melihat belasan orang perampok menyerbu masuk dari timur, ia segera menyambut mereka.

   Ternyata bahwa Klabang Songo telah menyerbu dusun itu dari berbagai jurusan. Siasat ini membuat para penjaga menjadi kacau-balau, dan kekuatan mereka menjadi terpecah-pecah. Lebih-lebih lagi kekacauan para penjaga ketika perampok-perampok itu dari luar dusun mempergunakan anak-anak panah yang membawa api. Sudah ada beberapa buah pondok terdekat yang telah terbakar. Jerit minta tolong dari penghuni rumah yang terbakar bercampur dengan pekik orang-orang yang mulai bertempur. Pertahanan para penjaga bobol dan perampok-perampok yang ganas itu telah menyerbu masuk dusun! Dua-belas orang perampok yang menyerbu dari timur telah merobohkan para penjaga dan kini mereka berlari menuju ke rumah pak Bejo yang berada di paling ujung.

   Tiba-tiba muncul sesosok tubuh manusia dari depan rumah pak Bejo dan bayangan ini adalah seorang pemuda yang bukan lain adalah Wisena sendiri. Ia berdiri menghadang perampok-perampok itu dengan kedua tangan bertolak pinggang. Tentu saja duabelas orang perampok itu menjadi marah dan juga heran melihat seorang pemuda bertangan kosong dan seorang diri berani berdiri menghadang di tengah jalan. Tiba-tiba pintu pondok pak Bejo terbuka dan pak Bejo sendiri dengan aki di tangan melompat ke luar. Melihat seorang pemuda berdiri di deoan rumabnya dan membelakanginya, ia menjadi girang sekali. Ia mengobat-abitkan alunya dan berlari"Menghampiri Wisena yang masih berdiri tegak. Diangkatnya alu itu dan dipukulkannya ke arah Menala Wisena yang sama sekali tidak menangkis atau mengelak!

   "Duk!"

   Ketika alu itu beradu dengan kepala Wisena, pak Bejo berseru terkejut karena bukan kepala itu yang pecah atau retak, bahkan alunya sendiri yang terlepas dari pegangannya. Pak Bejo memandang kepada belakang tubuh pemuda itu dengan mata terbelalak, kemudian ia melihat rombongan perampok yang telah tiba di depan pemuda itu, maka tanpa menengok lagi ia lalu berlari pontang-panting masuk kembali ke dalam rumah, melemparkan daun pintu dan menubruk mbok Bejo yang masih meringkuk di atas balai-balai.

   "Eh, ada apa, pakne?"

   Tanya isterinya ketakutan.

   "Celaka... celaka...perampok itu sakti sekali... kepalanya sekeras batu! Celaka...!"

   Kedua orang tua itu berpelukan sambil menggigil ketakutan Sementara itu, Wisena menghadapi para perampok dengan senyum menghina.

   "Perampok-perampok jahat macam kalian ini perlu dihajar!"

   Duabelas orang perampok itu menjadi marah sekali mendengar ucapan yang tenang dan menghina ini, maka sambil berseru keras mereka maju mengurung dan menyerang Wisena dengan golok mereka. Wisena membalikkan tubuhnya dan mengambil alu yang tadi dilepaskan oleh pak Bejo. Ketika ia menggerakkan tubuhnya dan memutar alu itu, terdengar pekik kesakitan dan beberapa batang golok beterbangan terlepas dari tangan para pemegangnya, disusul dengan robohnya tubuh mereka terkena sambaran alu yang besar dan berat itu. Sekali saja kepala atau dada tercium ujung alu, robohlah seorang perampok tanpa dapat bangun lagi, hanya merintih-rintih dan bergerak-gerak perlahan. Dalam waktu singkat saja keduabelas orang perampok itu telah menggeletak memenuhi pekarangan rumah pak Bejo dalam keadaan terluka atau pingsan!

   "Hm, perampok-perampok macam kalian ini masih berani mengganggu penduduk kampung? Sungguh berani mati!"

   Wisena berkata sambil menancapkan alunya di atas tanah. Seakan-akan berujung runcing, alu itu menancap di tanah dan berdiri lurus seperti pohon pisang! Pada saat itu, terdengar jerit seorang wanita. Wisena cepat memandang dan di dalam kegelapan malam ia melihat seorang perampok melarikan seorang dara di atas kudanya yang dibedal keluar dari kampung itu.

   "Tolong..., tolong...! Ayah... abu... tolong!"

   Dara itu memckik-mekik ngeri.

   "Diamlah, manis. Kau pantas menjadi isteri Klabang Songo... ha, ha, ha, diamlah, denok!"

   Kata laki-laki itu sambil membalapkan kudanya.

   "Jahanam!"

   Seru Wisena dan segera pemuda ini melompat mengejar kepala rampok Klabang Songo yang melarikan Mekarsari itu. Ternyata bahwa Klabang Songo mempergunakan kesempatan selagi para penjaga berperang tanding melawan anak buahnya, ia lalu menyerbu ke dalam rumah ki lurah dan melarikan Mekarsari di atas kudanya. Ketika melihat seorang pemuda yang dapat lari secepat rusa mengejarnya, Klabang Songo mencambuki kudanya yang segera membalap keluar dari dusun menuju ke utara. Kuda itu ternyata adalah seekor kuda yang baik dan besar, dan dapat berlari cepat sekali sehingga sukarlah bagi Wisena untuk dapat menyusulnya, sungguhpun pemuda ini memiliki kepandaian lari cepat. Namun Wisena telah memiliki keuletan dan kesabaran, ia tidak putus harapan dan terus melakukan pengejaran.

   "Keparat, ke manapun juga kau melarikan gadis itu, aku takkan melepaskanmu!"

   Katanya dan terus berlari dengan cepat. Sementara itu, pada saat para penjaga sudah terdesak hebat dan makin banyak rumah yang terbakar oleh perarnpok-perampok anak buah Klabang Songo tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan sepasukan prajurit berkuda memasuki dusun itu. Pasukan berkuda ini dipimpin oleh Pangeran Tohjaya yang gagah perkasa! Prajurit-prajurit yang terlatih ini lalu menyerbu para perampok dan kosar-kacirlah para perampok menghadapi prajurit-prajurit ini.
Para penjaga dan orang-orang dusun yang mengenal prajurit-prajurit Singosari ini menjadi girang sekali. Semangat bertempur mereka bangkit kembali dan dengan hebat mereka mengadakan pembalasan sehingga semua perampok dapat dipukul mundur. Banyak sekali para perampok jatuh menjadi korban, dan sebagian besar yang sudah tak melihat pemimpin mereka lagi, lalu melarikan diri cerai-berai keiuar dari dusun Karangluwih. Setelah fajar menyingsing dan cuaca menjadi agak terang, bersihlah dusun itu dari semua perampok. Korban bertumbuk-tumpuk dan kini orang-orang sibuk memadamkan api yang mengamuk membakar rumah-rumah. Berkat semangat gotong royong para penduduk, penjaga, dan dibantu pula oleh para prajurit di bawah pimpinan Pangeran Tohjaya, maka tak lama kemudian padamlah semua api yang mengamuk itu.

   Ketika Pangeran Tohjaya memimpin pasukannya dan diikuti pula oleh para penjaga dan penduduk yang bersoraksorak girang itu mengadakan pemeriksaan di seluruh dusun, mereka melihat sesuatu yang lucu dan mengherankan terjadi di pekarangan rumah pak Bejo. Orang tua ini tadinya bersembunyi di dalam biliknya beserta isterinya. Kemudian setelah keadaan menjadi sunyi dan di luar tidak terdengar sesuatu, pak Bejo memberanikan dirinya keluar dari pintu. Alangkah heran dan terkejutnya ketika ia melihat betapa di pekarangan rumahnya penuh dengan tubuh para perampok yang terluka dan mengerang kesakitan. Ia melihat alunya berdiri menancap di atas tanah bagaikan batang pisang. Segera ia menghampiri alunya itu dan berusaha mencabutnya, akan tetapi alu itu telah menancap amat dalam dan sukar dicabut.

   "Mbokne! Mbokne! Keluar dan bantulah mencabut senjataku ini!"

   Katanya terengah-engah sambil membetot-betot alu itu.

   Isterinya keluar dan hampir saja lari lagi ketakutan ketika melihat tubuh para perampok bertumpang tindih di pekarangannya. Akan tetapi melihat snaminya ber-kutetan dengan alu dan para perampok itu tidak dapat bangun, ia memberanikan hati dan segera membantu suaminya mencabut alu yang menancap di atas tanah. Biarpun sudah tua, agaknya mbok Beio masih memiliki tenaga juga. Apa lagi ia memang sering kali mempergunakan alu untuk menumbuk padi, sehingga sudah biasa baginya untuk memegang dan mengangkat alu. Mereka memoersatukan tenaga, membetot, menarik, mendongkrak dan akhirnya... tercabutlah alu itu sehingga keduanya terjengkang ke belakang, kerengkangan bagaikan sepasang kura-kura ditelentangkan di atas batoknya! Pak Bejo melompat bangun. Sambil mengobat-abitkan alunya ia berseru,

   "Babo, babo! Mana dapat perampok-perampok lemah melawan pak Bejo jago tua!"

   Sambil berkata demikian, ia mulai mengerjakan alunya, menghantam ke kanan kiri, kepada perampok-perampok yang sudah tak berdaya lagi itu.

   Terdengar suara bak-buk-bak-buk ketika alunya bertubi-tubi menghantam perampok-perampok itu berganti-ganti. Perampok-perampok itu hanya bisa mengaduh-aduh, karena sungguhpun tenaga pak Bejo tidak besar dan pukulan itu tidak sampai menghancurkan kepala, akan tetapi masih cukup keras untuk menambah beberapa benjol di kepala, dan beberapa bengkak dan matang biru pada tubuh mereka! Demikianlah, ketika Pangeran Tohjaya bersama pasukannya dan orang-orang kampung tiba di situ, mereka dengan mata terbelalak melihat betapa pak Bejo bersilat dengan alunya menghantam para perampok dengan gagahnya, sedangkan mbok Bejo berdiri bertolak pinggang, senyum menghias pipinya yang kempot dan sinar bangga menghias matanya yang keriputan!

   "Aduh gagahnya pak Bejo!"

   Terdengar seorang penduduk dusun memuji dengan heran, karena ia tahu bahwa biasanya pak Bejo hanya pandai menembang dan membual saja. Dari mana pak Bejo memperoleh kesaktian sedemikian rupa? Ketika pak Bejo melihat banwa orang-orang dusun datang, ia makin memperhebat lagaknya, menghantam, menyepak, menendang. Sambil mengamuk ia berkali-kali berseru,

   "Babo, babo! Klabang Songo, jangan maju sendiri, keroyoklah jago tua pak Bejo dengan ratusan anak buahmu"

   Akan tetapi oleh karena ia memang sudah amat lelah mengobat-abitkan alunya yang berat, ketika ia menghantamkan alunya ke atas tubuh seorang perampok dibarengi dengan tendangannya, kakinya kena hantaman alunya sendiri.

   "Duk!"

   Kakinya menendang ujung alunya sendiri dan ia terhuyung lalu terpincang-pincang, berputaran sambil mengeluh,

   "Aduh...aduh...!"

   Tentu saja pemandangan yang amat lucu ini membuat semua orang tertawa bergelak, dan mbok Bejo buru-buru menolong suaminya dan mengelus-elus tulang kering kaki suaminya yang menjadi biru.

   "Mari kuparami, pakne,"

   Katanya menghibur. Pada saat itu, tiba-tiba dari jurusan rumah kelurahan, datang berlari Ki Lurah Reksoyudo dengan muka pucat. Begitu melihat Pangeran Tohjaya, ia lalu menjatuhkan diri bersimpuh dan menyembah di depan pangeran itu sambil menangis.

   "Eh, eh, ki lurah, kau kenapakah? Apakah ada korban jatuh di antara keluargamu?"

   Tanya Pangeran Tohjaya.

   "Ketiwasan, kanjeng gusti, ketiwasan..."

   Kata pak lurah sambil menangis.

   "Puteri hamba, Mekarsari, telah diculik dan dibawa lari oleh Klabang Songo!"

   Pangeran Tohjaya terkejut. Sesungguhnya, kedatangannya pada malam hari itu di dusun Karangluwih bukanlah hal yang kebetulan saja. Dari dusun yang berdekatan, ketika ia sedang mengadakan perjalanan dalam usahanya mempertinggi nama dengan menolong rakyat, ia telah mendengar tentang kecantikan Mekarsari yang dipuji-puji orang setinggi gunung. Untuk menyaksikan kecantikan si juwita inilah ia memimpin pasukannya menuju ke dusun Karangluwih dan kebetulan dapat menolong dusun itu dari ancaman anak buah perampok Klabang Songo.

   "Apa? Puterimu si cantik Mekarsari dibawa lari oleh Klabang Songo? Ke mana larinya si bedebah itu?"

   Tanyanya marah.

   "Menurut keterangan orang-orang yang melihatnya, ia melarikan diri menunggang kuda menuju ke utara, gusti. Hamba menyerahkan keselamatan puteri hamba itu ke tangan paduka yang berkuasa!"

   Pangeran Tohjaya menghampiri seorang anggauta perampok yang masih mengaduh-aduh karena beberapa kali dipentung alu kepalanya oleh pak Bejo tadi.

   "He, kau!"

   Pangeran Tohjaya menyepak tubuh orang itu.

   "Katakan di mana sarang Klabang Songo! Mengakulah. terus terang, kalau tidak, akan kusuruh penggal lehermu!"

   "Ampun, gusti, ampun... kalau kakang Klabang Songo pulang, tentu ia akan pergi ke Hutan Waru di kaki Gunung Kelud."

   Pangeran Tohjaya lalu memerintahkan tigapuhib orang prajurit pilihan untuk ikut dengan dia mengejar Klabang Songo, sedangkan para prajurit lain disuruh membantu penduduk menolong orang-orang yang menjadi korban perampok.

   "Mari kita kejar Klabang Songo si bedebah!"

   Serunya sambil melompat naik ke atas kudanya.

   "Gusti pangeran, perkenankan hamba ikut mencari puteri hamba!"

   Ki Lurah Reksoyudo memohon. Permintaannya dikabulkan dan seekor kuda diberikan kepada ki lurah. Maka berangkatlah rombongan ini, membalapkan kuda menuju ke utara. Derap kaki kuda mereka bergemuruh dan debu mengebul ke atas. Sambil mengepit pinggang Mekarsari dengan lengan kiri dan tangan kanan memegang kendali kudanya, Klabang Songo membalapkan kudanya. Beberapa kali ia menengok ke belakang dan setelah melihat bahwa pengejarnya, pemuda yang pandai berlari secepat rusa itu, tertinggal jauh dan akhirnya tidak nampak lagi, ia menjadi lega. Mekarsari telah kehabisan tenaga dan suara karena berteriak-teriak sekuatnya. Kini ia hanya menangis terisak-isak di dalam pelukan Klabang Songo.

   "Jangan menangisi manis!"

   Klabang Songo menghibur sambil masih melarikan kudanya sungguhpun tidak membalap seperti tadi, ia merasa yakin bahwa pemuda itu takkan dapat mengejarnya lagi. Mana ada manusia dapat menyusul lari kuda? "Mekarsari, bidadari denok ayu, ketahuilah bahwa untuk mendapatkan dirimu, aku telah banyak berkorban. Telah berhari-hari aku tidak enak makan tak nyenyak tidur... ha, ha, ha, sekarang kau telah berada di tanganku, Mekarsari, kau akan menjadi biniku, sayang...!"

   "Bangsat hina dina! Bedebah! Lepaskan aku, lepaskan! Aku tidak sudi menjadi isterimu, lebih baik aku mati...!"

   Mekarsari meronta-ronta hendak melepaskan diri, akan tetapi di dalam pelukan tangan kiri Klabang Songo ia tidak ber-daya sama sekali. Ia menggunakan kedua tangannya yang terkepal kecil itu untuk memukul sekenanya, ke arah dada dan muka penjahat itu, akan tetapi diganda ketawa saja oleh Klabang Songo.

   "Waduh, tanganmu empuk dan lunak sekali, Mekarsari... biarlah sekarang kaupukul-pukul aku, lain kali kau harus menggunakan tanganmu yang halus dan lunak untuk memijati tubuhku... ha, ha, ha!"

   Klabang Songo telah lari jauh dan matahari kini telah naik tinggi. Sama sekali ia tidak mengira bahwa selama itu, semenjak ia melarikan diri, Wisena selalu masih mengikutinya, dan karena ia memperlambat lari kudanya, maka kini pemuda itu telah dapat menyusulnya! Wisena telah mempergunakan kesaktiannya dan berlari sampai di belakang kuda, akan tetapi tindakan kakinya demikian ringan sehingga sama sekali tidak menerbitkan suara. Apa lagi ketika itu Klabang Songo sedang tenggelam dalam nafsu berahi dan tidak memperhatikan keadaan sekelilingnya. Ia sedang menundukkan kepala berusaha mencium muka Mekarsari. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,

   "Keparat jahanam!"

   Dan bagaikan kilat menyambar, tubuh Wisena melompat tinggi dan sebuah tamparan keras menempeleng pi-lingan Klabang Songo, mendatangkan bunyi bagaikan petir di dalam telinga kepala perampok itu.

   "Aduh...!"

   Tubuh Klabang Songo terlempar dari atas kuda. Pelukannya pada pinggang Mekarsari terlepas dan dara itupun terlempar pula ke jurusan lain. Akan tetapi, sebelum tubuh Mekarsari terbanting di atas tanah yang berbatu, sepasang lengan tangan yang kuat menangkap dan memondongnya. Mekarsari membelalakkan matanya dan ia melihat muka seorang pemuda yang tampan dan cakap bagaikan wajah Sang Arjuna!

   Untuk sekejap dua pasang mata bertemu pandang dan merahlah seluruh wajah Mekarsari. Dara ini merasa betapa jantungnya berdebar keras dan dengan amat malu ia meronta-ronta minta diturunkan dari pon-dongan. Wisena dapat merasakan gerakan ini dan buru-buru ia menurunkan gadis itu di atas tanah, lalu dengan sigapnya ia menghadapi Klabang Songo yang telah melompat bangun kembali. Kuda tunggangan kepala perampok itu telah melarikan diri saking terkejutnya Klabang Songo berdiri dengan sikap yang menyeramkan. Alisnya yang tebal dikerutkan, sepasang matanya mengeluarkan cahaya seakan-akan berapi, hidungnya kembang kempis dan mulutnya seakan-akan hendak menelan pemuda itu bulat-bulat. Dengan kedua tangannya yang besar itu dikepalkan, ia membentak marah,

   "Keparat kecil, siapakah kau berani sekali mengganggu Klabang Songo?"

   Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring,

   "Keparat jahanam"

   Dan bagaikan kilat menyambar, tubuh Wisena melompat tinggi dan sebuih tamparan kerai menempeleng pilingan Klabang Songo... Wisena tetap tenang saja, bahkan kini ia tersenyum mengejek. riulah siasatnya untuk menambah rasa amarah dalam dada calon lawannya. Pemuda ini maklum bahwa makin besar amarah lawan, makin mudahlah menghadapinya, karena di dalam setiap perkelahian, orang yang tak dapat menguasai nafsu amarahnya, menjadi mata gelap dan kurang tenang dan waspada.

   "Jadi kau kah yang disebut Klabang Songo dan menjadi kepala perampok? Kusangka bahwa Klabang Songo adalah seorang jantan yang gagah perkasa, tidak tahunya hanya seorang penjahat penculik wanita yang hina dan keji! Dengarlah, Klabang Songo, aku bernama Wisena, seorang kelana yang tidak akan tinggal berpeluk tangan saja melihat orang macam kau melakukan kejahatan."

   "Setan alas! Sumbarmu seakan-akan berkepala tiga berlengan enam saja!"

   Teriak Klabang Songo dengan telinga makin merah.

   "Habis, kau mau apa?"

   Jawab Wisena acuh tak acuh dan dengan pandang mata merendahkan sekali.

   "Jangan harap kau akan dapat menculik seorang wanita begitu saja di hadapanku. Kalau belum pecah dada Wisena, kau takkan berhasil, Klabang Songo!"

   "Keparat, kalau begitu akan kupecahkan dadamu!"

   Klabang Songo menubruk maju dengan kedua tangan dipentang-Sikapnya amat mengerikan, bagaikan seekor harimau menubruk kambing. Ia hendak membuktikan ancamannya, hendak membeset kulit dada pemuda yang berkulit halus itu, hendak meremukkan tulang-tulang dada yang tak berapa besarnya itu. Akan tetapi biarpun nampaknya pemuda itu lemah lembut.

   Ketika tubrukannya hampir mengenai sasaran, tiba-tiba Wisena menggerakkan tubuhnya dan dengan cepat dapat mengelak ke kiri. Klabang Songo cepat membalikkan tubuh dan mengirim serangan berikutnya dengan sebuah pukulan ke arah dada Wisena. Kembali Wisena mengelak dan ketika tangan Klabang Songo yang memukul dadanya itu lewat, ia cepat menggerakkan tangan kiri untuk menampar siku lawan. Klabang Songo adalah seorang perampok yang berkepandaian tinggi dan telah memiliki banyak sekali pengalaman dalam pertempuran, maka ia maklum akan bahayanya tamparan yang dilakukan dari belakang sikunya ini. Kalau saja tamparan ini mengenai sasaran, banyak bahayanya sambungan sikunya akan terlepas! Sambil berseru nyaring, ia miringkan tangannya dan mcnyusul dengan pukulan tangan kiri ke arah kepala Wisena.

   Pukulan ini cepat sekali datangnya sehingga terpaksa Wisena menarik kembali serangannya untuk mengelak. Klabang Songo mempunyai aji pukulan yang mengerikan dan aji ini terletak di dalam telapak tandan kirinya. Kalau ia mempergunakan aji pukulan ini, maka siaoa Yang kena pukul akan meniadi bengkak-bengkak seperti terkena bisa dari binatang klabang yang puluhan banyaknya. Wisena juga dapat menduga akan hal ini oleh karena setiap kali tangan kiri Klabang Songo memukul, ia mencium bau yang amat amis, tanda bahwa tangan kiri Itu mengandunq aii yang jahat dan berbisa. Ini pula sebabnya maka ia tidak berani menerima pukulan tangan kiri Klabang Songo sungguhpun ia tidak menakuti datangnya pukulan mengandalkan kekebalannya, namun bisa itu amat berbahaya.

   Pertempuran berjalan amat serunya. Klabang Songo kuat dan ganas lagi cepat, sedangkan Wisena memiliki gerakan yang ringan dan gesit sehingga Klabang Songo merasa seakan-akan sedang melawan bayangan! Sementara itu, dara juwita Mekarsari berdiri dengan kedua tangan di depan dada, memandang dengan gelisah dan penuh kekhawatiran, mengharap agar supaya penolongnya yang tampan dan gagah itu akan dapat mengalahkan perampok jahat itu. Akhirnya Wisena dapat juga mencapai maksud dan usahanya yang semenjak tadi dinanti datangnya kesempatan, yaitu-dengan cepat tangan kanannya berhasil menangkap pergelangan tangan kiri Klabang Songo. Kepala perampok itu meronta dan mencoba membetot tangan kirinya, akan tetapi sia-sia belaka, pegangan Wisena benar-benar kuat seakan-akan tangan kirinya itu dipasang belenggu baja yang berat dan tebal!

   Klabang Songo marah sekali dan memukul dengan tangan kanannya secara membabi-buta dan bertubi-tubi ke arah muka dan dada Wisena. Pemuda itu menangkis dengan tangan kirinya, akan tetapi masih saja. ada beberapa pukulan tangan kanan lawannya mengenai dada dan pipinya. Akan tetapi, pukulan-pukulan itu tidak terasa olehnya, karena semenjak tadi Wisena memang telah mengerahkan aji kekebalannya. Klabang Songo terkejut sekali ketika tangan kanannya yang memukul merasa betapa keras dan kuat kulit dada dan muka pemuda itu. Ia maklum bahwa lawannya yang masih muda ini kebal dan sakti, maka ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk menarik kembali tangan kirinya, oleh karena hanya pada tangan kirinya inilah ia mengandalkan kesaktian pukulannya.

   Wisena menahan seberapa dapat, namun tenaga lawannya benar-benar mengagumkan. Pernah Wisena mencoba tenaganya dengan memegang tanduk seekor kerbau jantan dengan sebelah tangannya dan kerbau itu sama sekali tidak dapat berkutik. Akan tetapi sekarang, biaroun ia telah mengerahkan tenaganya, namun hampir saja ia tidak kuat menahan tangan kiri Klabang Songo yang meronta minta lepas. Akhirnya pemuda ini lalu mengirim pukulan dengan tangan kirinya yang mengenai leher Klabang Songo sambil melepaskan pegangannya pada pergelangan tangan lawan. Klabang Songo memekik kesakitan dan tubuhnya terlempar sampai dua tombak, jatuh bergulingan, akan tetapi segera berdiri lagi dengan terhuyung-huyung ke belakang dan ke depan.

   Wisena memandang dengan mata terbelalak kagum. Pukulan tangan kirinya tadi bukanlah sembarang pukulan dan jarang sekali ada orang yang mampu menahannya Tadinya ia sangka bahwa dengan sekali pukulan penuh tenaga muji-jat itu akan dapat menewaskan Klabang Songo, tidak tahunya kepala perampok itu hanya bergulingan dan terhuyung-huyung sebentar saja! Klabang Songo memandang kepada lawannya dengan wajah makin beringas. Matanya mencorong dan melotot seakan-akan hendak meloncat keluar dari pelupuknya. Tiba-tiba tangan kanannya bergerak ke pinggang dan ia telah melepaskan senjatanya yang hebat, yaitu sebatang rantai baja yang dipasangi duri dan ujungnya dipasangi besi bersilang yang runcing pada keempat ujungnya. Panjang rantai ini sedepa lebih dan agaknya amat berat.

   "Wisena, terjanganmu seperti banteng terluka!"

   Katanya perlahan, setengah gemas setengah kagum.

   "Rasakanlah!"

   Jawab Wisena tenang.

   "Kerahkan seluruh kesaktianmu, aku takkan mundur setapakpun!"

   "Bangsat sombong, sumbarmu seperti telah berhasil merobohkan Gunung Kelud. Lihatlah apa yang kupegang ini?"

   Wisena tersenyum mengejek,

   "Ah, alangkah lucu senjatamu itu, lebih patut kalau dipergunakan untuk mengikat hidungmu seperti kerbau lalu kutuntun ke lumpur!"

   "Bangsat, akan kuhancurkan kepalamu dengan ini!"

   "Majulah, Klabang Songo, akan kuhadapi serangan senjatamu tanpa berkejap!"

   Sambil mengeluarkan gerengan seperti harimau menerkam, Klabang Songo menggerakkan rantainya seperti cambuk, lalu diayunkannya menghantam kepala Wisena.

   "Eh, terlampau tinggi, kawan!"

   Wisena mengejek sambil menundukkan kepalanya sehingga rantai itu menyambar lewat di atas kepalanya. Akan tetapi, tahu-tahu rantai itu telah menyambar kembali menghantam pinggangnya! Wisena terkejut juga melihat kecepatan gerakan lawannya, akan tetapi pemuda ini masih danat mengelak dengan mudah, dengan jalan memutar tubuh dan melangkah ke kanan.

   "Tidak kena!"

   Ia tetap mengejek. Tingkah laku dan ejekan Wisena ini benar-benar membuat Klabang Songo marah sekali.

   Hampir gila ia dibuatnya, dan dengan gigi gemeretuk gemas ia lalu menghujani tubuh Wisena dengan serangan yang bertubi-tubi. Serangan-serangannya ini benar-benar berbahaya sekali, karena tidak saja ia menyerang dengan rantainya yang dahsyat, akan tetapi juga tangan kirinya dengan telapakan terbuka ikut pula menyerang dengan pukulan-pukulan yang tak kalah ampuhnya dari pada senjatanya! Kini Wisena tidak berani main-main lagi. Ia mengerahkan kelincahan dan kegesitannya, tubuhnya lenyap berkelebatan bagaikan burung walet di antara sambaran-sambaran air hujan. Akhirnya ia tidak dapat menahan lagi karena kalau ia teruskan dan satu kali saja terkena serangan lawan, akan celakalah ia. Sambil berseru keras Wisena melompat mundur, jauh dari lawannya dan turun ke atas tanah sambil berjung-kir balik beberapa kali.

   "Ha, ha, ha, belum juga babak-belur kulitmu, belum keluar setetes darahmu, kau sudah mundur! Itukah lakunya seorang ksatria? Ha, ha, ha, Wisena, apakah kau mau mengaku kalah dan mau menyerahkan Mekarsari si denok ayu?"

   "Jangan kau tergesa-gesa tertawa dan mengira mendapat kemenangan, Klabang Songo. Aku hanya mundur sebentar karena geli dan jijik menghadapi sepak terjangmu yang kasar seperti celeng buta. Lihatlah, ada apa di tanganku?"

   Wisena telah mencabut keris pusakanya Ki Dentasidi. Klabang Songo tertegun menyaksikan keris yang mencorong cahayanya itu, tetapi ia tidak mau memperlihatkan rasa takutnya.

   "Ha, ha, ha! Kerismu hanya sekilan panjangnya, seperti rumput kecilnya. Keris macam itu hanya pantas untuk permainan anak kecil, dan kalau, kau tusukkan ke dadaku tentu akan menjadi patah atau bengkok!"

   "Waspadalah, Klabang Songo, akan kuantar kau ke alam asalmu!"

   Kini Wisena yang menyerbu dengan kerisnya. Klabang Songo cepat menangkis dengan rantainya, karena sungguhpun ia menyombong dan menghina keris itu,

   Namun ia tidak berani sungguh-sungguh menerima keris itu dengan dadanya! Pertandingan dilanjutkan lagi lebih dahsyat dan mati-matian dari pada tadi. Akan tetapi, kalau tadi menghadapi Wisena yang bertangan kosong saja Klabang Songo tak dapat mendesak, apa lagi kini Wisena telah mencabut keris pusakanya. Daya keris pusaka Ki Dentasidi amat luar biasa. Keris ini adalah ciptaan Empu Gandring yang sakti, maka juga mempunyai perbawa atau pengaruh yang luar biasa. Tiap kali Klabang Songo menggunakan rantainya menangkis keris itu, ia merasa seakan-akan telapak tangannya bersentuhan dengan api membara! Juga bergeraknya keris yang menyambar-nyambar bagaikan hidup itu membuat pandangan matanya kabur dan pikirannya bingung. Akhirnya, setelah bertempur cukup lama, Wisena berhasil menusuk ulu hati Klabang Songo.

   Sebelum keris itu masuk sampai ke gagangnya, pemuda itu cepat mencabutnya kembali sehingga keris itu hanya menancap sampai setengahnya saja. Akan tetapi itupun sudah cukup. Klabang Songo menjerit, melemparkan rantainya dan kedua tangannya mendekap luka di ulu hatinya yang serasa dibakar. Ia terhuyung-huyung beberapa kali kemudian roboh telungkup dengan kedua tangan masih mendekap ulu hatinya. Ternyata ia telah tewas pada saat itu juga. Demikian ampuh dan hebat adanya keris pusaka Ki Dentasidi ciptaan Sang Empu Gandring yang sakti! Semenjak pertama kali melihat wajah Wisena yang tampan dan gagah, hati dara juwita Mekarsari telah berdenyut lebih cepat dari biasanya. Kini melihat sepak terjang dan kegagahan pemuda itu yang berhasil membunuh Klabang Songo, makin tertariklah hati dara itu.

   "

   "Alangkah tampannya, alangkah gagahnya,"

   Demikian ia berpikir dengan kagum.

   "Tak mungkin pemuda seperti ini hanya orang biasa saja. Matanya tajam bercahaya, bulu matanya lentik dan panjang, kulitnya kuning. Ah, tentu ia seorang darah bangsawan, jangan-jangan putera bupati atau seorang pangeran..."

   Ketika Wisena telah membersihkan kerisnya dan menyimpannya kembali lalu berjalan perlahan menghampirinya, berdeguplah jantung Mekarsari. Dugaan bahwa pemuda ini seorang pangeran membuat wajahnya kemerah-merahan, lirikannya tajam mengait jantung, senyum dikulum kemalu-mainan menambah kecantikannya yang makin menggiurkan. Diam-diam Wisena juga kagum sekali melihat dara yang cantik jelita ini.

   "Pantas saja Klabang Songo tergila-gila. Laki-laki manakah yang takkan menjadi gelap mata dan gandrung-gandrung melihat dara sejelita ini?"

   Pikir Wisena sambil menghampiri gadis itu. Mekarsari lalu berlutut dan berkata dengan suaranya yang halus dan merdu,

   "Aduh, raden! Alangkah baiknya nasib saya dapat bertemu dengan raden dan dapat tertolong dari pada bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut! Entah bagaimana nasib saya kalau tidak bertemu dengan raden..."

   Mekarsari memicingkan kedua matanya sebentar dengan gerakan kepalanya yang amat menarik.

   "Aah... tak dapat saya membayangkannya. Tak terkira besarnya rasa syukur dan terima kasih saya kepada raden, saya tak hanya berhu-iring budi, bahkan berhutang nyawa kepada raden. Ketika dibawa lari oleh keparat itu, saya telah bersumpah bahwa siapa saja yang dapat menolong saya, kepadanya akan saya serahkan jiwa dan raga..."

   Ia lalu menunduk dengan muka kemerahan sampai ke telinganya yang berbentuk indah itu. Wisena tertegun dan dengan suara gemetar karena debar hatinya tak dapat ditekannya lagi, ia melangkah maju, menyentuh kedua pundak gadis itu dan membangunkannya. Alangkah halus kulit pundaknya, pikir pemuda itu dengan gairah.

   "Wahai, diajeng, puteri juwita yang cantik jelita dan halus manis tutur sapanya, berdirilah diajeng dan jangan memberi penghormatan sebesar itu kepadaku. Kau siapakah dan puteri siapakah? Bagaimana kau sampai dapat terculik oleh Klabang Songo?"

   Kini Mekarsari telah berdiri menundukkan kepala di depan pemuda itu. Tubuhnya yang langsing dan tinggi montok itu hanya sampai di dagu Wisena. Sembabat dan sesuai benar sepasang orang muda itu, sedap dipandang di kala mereka berdiri berhadapan itu, bagaikan dewa dan dewi, tak ubahnya seperti Batara Kamajaya dan Dewi Ratih!

   "Raden, saya bernama Mekarsari, puteri tunggal dari Ki Lurah Reksoyudo di dusun Karangluwih. Semalam gerom. bolan perampok yang dikepalai oleh Klabang Songo menyerbu dusun kami karena... ayahku telah menolak pinangan Klabang Songo kepadaku."

   Wisena mengangguk-angguk.

   "Pantas, pantas, siapa orangnya yang takkan rindu dendam melihat seorang juwita seperti kau? Siapa yang takkan hancur kalbunya kalau pinangannya terhadap kau ditampik?"

   Mekarsari melempar senyum sambil miringkan kepalanya dengan gaya yang amat menarik hati. Tidak ada seorangpun wanita di dunia ini, bidadari sekalipun tidak, yang tidak berdebar bangga hatinya apa bila mendapat pujian tentang kecantikannya dari seorang pria, apa lagi kalau pria itu seorang teruna setampan dan segagah Wisena, bahkan yang telah menolongnya pula.

   "Ah... raden, kau terlalu memuji..."

   Melihat sikap dara yang manis merak ati dan seakan-akan menantang itu, runtuhlah iman Wisena. Ia mengulur tangannya dan memegang lengan kanan Mekarsari. Gadis itu hanya menundukkan kepala, tidak berusaha menarik tangannya yang terpegang. Wisena menariknya lebih dekat dan berbisik,

   "Mekarsari, sesungguhnyakali sumpahmu tadi bahwa? kau hendak suwita kepada pria yang telah menolongmu dari tangan Klabang Songo?"

   Dengan senyum ditahan dan wajah kemalu-maluan Mekarsari mengangguk. Suaranya hampir tak terdengar ketika ia berbisik kembali,

   "Mengapa tidak sesungguhnya, raden?

   "Jadi... kalau begitu..."

   Wisena menarik napas panjang untuk menenangkan hatinya yang berdebar sehingga ucapannya menjadi gagap.

   "Kau... suka menjadi... jodohku?"

   Saking malunya, Mekarsari tak dapat mengeluarkan suara, hanya mengangguk saja. Bukan main girangnya hati Wisena. Hatinya membesar sebesar Gunung Keiud. Hal ini sungguh-sungguh tak pernah disangkanya. Telah banyak ia melihat perawan-perawan di sekeliling Gunung Anjasmoro di mana ia dibesarkan, namun belum pernah ia melihat seorang gadis seperti Mekarsari. Juga belum pernah hati pemuda ini tersinggung oleh panah asmara dan kali ini, secara tiba-tiba, ia telah bertemu dengan Mekarsari yang bersedia untuk menjadi isterinya!

   Ia tak tahu dan tak mengerti apa artinya cinta, akan tetapi yang sudah pasti, gadis ini cantik dan menarik I latinya, membuatnya segan untuk mengalihkan pandang ma-i inya dari gadis ini. Dikaguminya seluruh bagian tubuh Me-karsari, dari tumit kaki yang mencekung bagian atasnya, jari-jari kaki yang kecil mungil kemerahan, bersih seakan-akan tidak menginjak tanah sampai ke atas kepalanya di mana rambut yang halus kehitaman itu bergerak-gerak tertiup angin. Rambutnya agak awut-awutan akibat pergulatannya hendak melepaskan diri dari pelukan Klabang Songo tadi dan banyak gumpalan rambut kecil terlepas dan berjuntai di depan jidatnya. Sinom rambutnya yang halus lemas itu terletak rapi di atas jidat, dan rambut pelipisnya melingkar di depan telinga.

   "Diajeng Mekarsari..."

   Bisiknya dan ia hanya dapat memegang kedua tangan gadis itu dan dua puluh buah jari tangan saling remas, membawa getaran hati masing-masing yang mengandung penuh arti. Untuk berbuat lebih dari ini, Wisena tidak berani. Inipun telah membuat seluruh tubuhnya menggigil dan membuat ia merasa serba canggung dan bingung, kedua kakinya lemas dan hampir saja ia terhuyung-huyung, maka cepat-cepat ia melepaskan pegangan tangannya.

   "Mari, diajeng, mari kuantar kau pulang. Ayahmu tentu merasa gelisah memikirkan nasibmu."

   "Baiklah Kakang Mas... eh, siapa pula namamu? Ah, aku terlalu bingung sehingga lupa menanyakan nama ksatria yang telah menolongku..."

   Mekarsari kembali melempar senyum dan kerling yang mempunyai daya melemparkan semangat Wisena ke sorga ke tujuh!

   "Namaku...? Aku adalah Jaka Wisena."

   "Indah dan gagah namamu, Kang Mas Wisena."

   "Tidak seindah namamu, diajeng..."

   Kedua orang muda itu sambil bergandeng tangan dan saling pandang tiada bosannya, berjalan perlahan menuju ke dusun Karangluwih. Mereka tidak memperdulikan lagi, bahkan, sudah lupa sama sekali, akan mayat Klabang Songo yang masih menggeletak telungkup di atas rumput. Dalam sekali cinta pertama yang mencengkeram di hati Wisena. Belum pernah ia mengalami perasaan seperti ini.
   
   Pohon-pohon di hutan nampak melambai-lambai memberi selamat kepadanya. Daun-daun nampak lebih hijau dan berseri dari pada biasa. Kembang-kembang seakan-akan tersenyum manis kepadanya. Bahkan sinar sang surya nampak makin gemilang. Suara burung-burung pagi yang berkicau masuk ke dalam telinganya bagaikan gamelan dari sorga, demikian merdu dan indah, namun semua keindahan itu hanya merupakan latar belakang saja dari pada keindahan yang me-nyolok dan khusus, yakni diri Mekarsari, dara yang berjalan di sampingnya! Juga Mekarsari nampak berbahagia, wajahnya kemerahan dan sepasang matanya berseri-seri. Di dalam hatinya ia mengucap syukur kepada Hyang Agung yang sudah mempertemukannya dengan seorang pemuda bangsawan, mungkin seorang pangeran!



"Dia tentu seorang pangeran yang menyamar. Kata orang, banyak sekali pangeran yang berkelana sebagai pemuda biasa, seperti halnya Pangeran Tohjaya yang dikabarkan orang suka masuk keluar kampung dan dusun,"

   Demikian gadis ini berpikir dengan girang.

   "Kata orang, Pangeran Tohjaya cakap dan gagah, akan tetapi tak mungkin secakap dan segagah pangeranku ini..."

   Gadis ini makin muluk lamunannya dan sebentar-sebentar ia menoleh ke arah pemuda yang masih memandangnya itu. Tiap kali pandang mata mereka bertemu, ia merasa malu dan warna merah menjalar di seluruh wajahnya, membuat ia tersenyum-senyum malu dan jari tangannya yang menjadi satu dengan jari tangan pemuda itu bergerak-gerak. Tiba-tiba terdengar bunyi derap kaki kuda dari depan, Tanpa berjanji lebih dulu, tangan mereka saling melepaskan pegangan dan keduanya berdiri di pinggir jalan, memandang ke depan dengan hati menduga-duga. Ternyata bahwa yang datang itu adalah rombongan Pangeran Tohjaya. Ki Lurah Reksoyudo sangat girang ketika melihat puterinya dalam keadaan selamat, akan tetapi ia memandang kepada Wisena dengan penuh curiga. Sementara itu, Mekarsari juga berseru girang,

   "Ayah...!"

   Ketika ayahnya melompat turun dari kuda, Mekarsari berlari dan menubruk ayahnya sambil menangis.

   "Mekarsari, yang datang adalah Pangeran Tohjaya yang hendak menolongmu, lekas kau memberi hormat!"

   Bisik ayahnya. Mekarsari terkejut dan memandang kepada laki-laki yang masih duduk di atas kuda dengan gagahnya itu. Pangeran Tohjaya tidak muda lagi dan juga tidak dapat disebut tua, dan benar-benar ia seorang yang cakap dan gagah. Pakaiannya yang mewah itu membuat ia nampak makin gagah dan agung. Akan tetapi, Pangeran Tohjaya sedang memandang ke arah Wisena dengan marah dan ia segera mengeluarkan seru a n kepada para prajurit,

   "Tangkap perampok ini!!"

   Bukan main marahnya Wisena mendengar perintah ini dan melihat sikap Pangeran Tohjaya yang sombong.

   "Eh, eh, nanti dulu. Kalian ini siapakah dan mengapa datang-datang hendak menangkapku tanpa bertanya lebih dulu?"

   Tanyanya sambil meraba gagang kerisnya. Seorang prajurit melompat turun dari kuda, diikuti o"Eh empat orang kawannya.

   "Perampok rendah! Berlutut dan menyembahlah, tak tahukah kau bahwa kau sedang berhadapan dengan Gusti pangeran Tohjaya dari Singosari?"

   Terkejutlah Wisena mendengar bahwa orang itu adalah seorang pangeran dari Singosari. Tentu ia seorang saudara dari Pangeran Anusapati yang kabarnya telah menjadi raja di Singosari, pikirnya. Ia hendak bekerja kepada Sang Prabu Anusapati, maka tidak seharusnya kalau ia berlaku kasar terhadap seorang pangeran dari Singosari. Wisena lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah kepada pangeran itu.

   "Mohon beribu ampun karena hamba tidak tahu bahwa paduka adalah gusti pangeran dari Singosari. Hamba Jaka Wisena dari Gunung Anjasmoro menghaturkan sembah bakti kehadapan paduka gusti pangeran."

   "Hm, rupamu bagus dan kau masih muda, mengapa berani kau menjadi perampok?"

   "Ampun, gusti. Hamba sekali-kali bukan perampok. Hamba adalah seorang kelana yang hendak bersuwita kepada Sang Prabu Anusapati di Singosari."

   Sementara itu, Mekarsari berdiri tertegun melihat sikap Wisena yang demikian merendah terhadap Pangeran Tohjaya. Tak salahkah pendengarannya bahwa pemuda yang menolongnya dan yang merampas kasih hatinya itu hanyalah seorang pemuda gunung biasa saja? Kekecewaan memenuhi kalbunya, akan tetapi ketika melihat betapa Pangeran Tohjaya

   "Mohon beribu ampun karena hamba tidak tahu bahwa paduka adalah gusti pangeran dari Singosari. Hamba Jaka Wisena dari Gunung Anjasmoro menghaturkan sembah bakti ke hadapan paduka..."

   Ia salah sangka dan mengira Wisena seorang perampok, ia laiu berlutut menyembah dan berkata,

   "Sesungguhnya, gusti pangeran. Pemuda ini bukanlah perampok, bahkan ia telah menolong hamba dari tangan Klabang Songo!"

   Mendengar suara yang halus dan merdu itu, Pangeran Tohjaya menengok dan wajahnya berseri ketika ia melihat dara yang cantik jelita itu.

   "Aduh, kaukah yang bernama Mekarsari? Ki Lurah Reksoyudo, inikah puterimu?"

   "Benar, gusti pangeran. Inilah puteri hamba Mekarsari yang dilarikan perampok."

   Pangeran Tohjaya mengangguk-angguk dan sepasang matanya menatap wajah dara itu dengan penuh kekaguman. Melihat senyum dan pandang mata pangeran itu terhadap Mekarsari, perihlah hati Wisena karena cemburu dan seketika itu juga bencilah ia terhadap pangeran itu- Sebagai pemuda gemblengan Begawan Jatadara yang telah mempelajari ilmu batin dan memiliki pandangan waspada, ia maklum bahwa kekaguman pangeran itu terhadap dara itu mengandung nafsu-nafsu kotor. Kemudian Pangeran Tohjaya berpaling lagi kepadanya dan keningnya berkerut.

   "Hm, jadi kau bukan perampok, malah penolong Mekarsari? Dan katamu tadi kau hendak bersuwita di Singosari? Baik, kau boleh mengabdi kepadaku. Kembalilah ke Karangluwih dan kalau sudah sampai di sana, kau rawatlah baik-baik kudaku dan kuda para pera-jurit. Hendak kulihat apakah kau cukup cakap menjadi tukang kuda!"

   Wisena menyembah menghaturkan terima kasih sedangkan di dalam hati Mekarsari, makin besarlah kekecewaannya. Penolong dan kekasihnya hanya menjadi tukang perawat kuda? Alangkah rendah dan hinanya!

   "Manis, Mekarsari, marilah kau ikut aku naik kuda ini, kembali ke Karangluwih!"

   Pangeran Tohjaya mengajak gadis itu sambil melompat turun dari atas kuda.

   Mekarsari terkejut dan memandang kepada ayahnya dengan ragu-ragu. Akan tetapi ayahnya tersenyum dan menganggukkan kepala kepadanya Mekarsari lalu menghampiri pangeran itu yang dengan sikap agung dan cekatan lalu memegang pinggangnya yang ramping lalu mengangkatnya dengan ringan ke atas kuda. Pangeran Tohjaya mendudukkan dara itu di atas kuda, lalu ia melompat di belakang dara itu. Dipeluknya pinggang Mekarsari dengan lengan kiri dan lengan kanannya memegang tali kendali kuda yang lalu dike-praknya kuda itu menuju ke dusun Karangluwih. Para prajurit saling pandang dengan senyum, lalu mengikuti pangeran, demikian pula Ki Lurah Reksoyudo. Tak seorangpun menengok lagi kepada Wisena yang masih duduk bersimpuh di atas tanah.

   Ketika hendak berangkat, Mekarsari melempar pandang ke arah Wisena dan melihat pemuda itu duduk bersimpuh sambil menundukkan muka, ia merasa terharu. Di sepanjang jalan terbayanglah wajah pemuda itu. Aduh sayang, mengapa ia hanya seorang biasa saja? Pemuda yang disangkanya pangeran atau bangsawan itu, ternyata hanyalah seorang pemuda gunung dan kini diangkat menjadi tukang kuda, tukang menggosok tubuh kuda dan tukang mencari rumput untuk makan kuda! Pelukan tangan Pangeran Tohjaya pada pinggang Mekarsari makin erat dan ia mencium harum minyak wangi yang dipakai oleh pangeran itu. Perlahan-lahan wajah Mekarsari yang muram karena memikirkan keadaan Wisena itu menjadi terang kembali. Akhirnya tercapai juga idam-idaman hatinya, dipeluk oleh seorang pangeran asli, dan tak lain tak bukan adalah Pangeran Tohjaya yang terkenal cakap, gagah, dan budiman itu!

   "Alangkah beratnya tugas ini..."

   Wisena berkata seorang diri sambil mengumpulkan rumput hijau yang gemuk.

   "Betapapun juga... paman begawan sudah memberi pesan yang cukup jelas bahwa aku harus mengabdi kepada Sang Prabu Anusapati di Singosari. Hanya sayang... Mekarsari..., ah, agaknya Pangeran Tohjaya... ah, nasib apakah yang kelak akan menimpa pada diriku...?"

   Agar dapat memulai tugasnya dengan baik, sebelum masuk ke dusun Karangluwih, terlebih dahulu Wisena mengumpulkan rumput-rumput sampai sepikul, karena bukankah kuda-kuda itu perlu diberi makan rumput yang gemuk? Ia takkan mengecewakan hati Pangeran Tohjaya, dan siapa tahu kalau-kalau melalui pangeran ini ia akan dapat mengabdi kepada Sang Prabu Anusapati.

   "Keris itu...,"

   Pikirnya lagi sambil berjalan memasuki dusun memikul rumput.

   "Menurut paman begawan, keris Margapati pemberian eyang empu gandring yang berada di tangan Ken Arok dan kini tentu berada di tangan Sang Prabu Anusapati itu harus dapat terampas olehku. Harus dapat kusingkirkan dari Singosari agar jangan sampai timbul bunuh-membunuh di antara keturunan Ken Arok!"

   Memang sebelum tiba di tempat itu. ia telah mendengar cerita orang betapa Sang Prabu Ken Arok telah terbunuh mati oleh seorang pengawal dan bahwa semenjak itu, Pangeran Anusapati menggantikan kedudukan mendiang Prabu Ken Arok, menjadi raja di Singosari.

   Karena belum tahu di mana letak kelurahan dan di mana pula kandang kuda tempat Pangeran Tohjaya dan pasukannya menyimpan kuda dan tidak ada kenalan di dusun Karang luwih, Wisena lalu teringat akan pak Bejo dan segera menuju ke pondok kecil di ujung timur dusun itu. Ketika ia tiba di pondok itu, pak Bejo dan bininya sedang makan besar. Ternyata bahwa nama pak liejo menjadi terkenal setelah dengan gagahnya ia merobohkan duabelas orang perampok dengan alunya! la mendapat kiriman makanan dari para tetangganya untuk menyalakan penghormatan mereka dan pak Bejo sedang menghadapi makanan di atas tikar dengan senang, ketika ia mendengar suara Wisena menurunkan pikulan rumputnya di luar pintu. Ia segera keluar, mengira bahwa itu tentu seorang tetangga lain yang datang untuk mengaguminya dan mengirim hadiah. Akan tetapi ketika ia melihat Wisena, ia menjadi pucat.

   "Kau...?"

   Katanya sambil berdiri bengong. Wisena tersenyum.


KERIS MAUT JILID 03


   "Benar, pak Bejo. Akulah yang datang, kita sudah berkenalan malam tadi. Namaku Jaka Wisena dan aku... aku telah diterima oleh gusti pangeran, dipekerjakan menjadi tukang merawat kuda."

   Makin lebar mulut Pak Bejo terbuka.

   "Aduh...ketika aluku terpental kembali mengenai tubuhmu, kusangka kau seorang siluman, kemudian... kemudian aku tahu bahwa kaulah yang merobohkan semua perampok itu. Kukira..."

   "Kau kira apa, pak?"

   "Kusangka kau seorang bangsawan, seorang pangeran yang menyamar, atau seorang senapati atau ksatria dari kerajaan. Kau gagah sekali, akan tetapi... menjadi tukang kuda??"

   Wisena mengangguk dan tersenyum.

   "Apa salahnya Tukang kudapun pekerjaan juga, bukan? Dan aku membutuhkan pekerjaan."

   "Siapa namamu tadi? Wisena? Tentu Raden Wisena, bukan?"

   "Tidak, cukup Wisena saja, bukan raden, Jaka Wisena namaku, pak, anak Gunung Anjasmoro."

   "Masuklah, masuklah... aduh, alangkah anehnya dunia. Kau yang merobohkan penjahat menjadi tukang kucra dan aku... aku mendapat sanjungan dan penghormatan. Mari, mari, kau belum makan, bukan?"

   Wisena menggelengkan kepalanya, memang semenjak hari kemarin perutnya belum diisi. Hal ini sesungguhnya merupakan hal biasa baginya. Ia seorang pemuda ahli tapa dan tahan tapa, akan tetapi entah mengapa, pertemuannya dengan Mekarsari tadi membuatnya merasa lapar sekali!

   "Bagus, kebetulan sekali. Mari kau makan bersamaku. Ah, sudah menjadi hakmulah itu."

   "Terima kasih, pak Bejo. Aku tidak menolak datangnya rezeki."

   "Mbokne...! Mbokne... ambil tikar yang satunya itu, gelar di sini supaya lebar. Ada tamu makan bersama...!"

   Mbok Bejo menyambut kedatangan Wisena dengan ramah tamah.

   "Duduklah, denmas, duduklah... seadanya saja, tempat kami bobrok dan makanan itu... makanan itu... sesungguhnya pemberian para tetangga! Biasanya kami hanya makan nasi merah dan sambal!"

   "Nasi merah dan Sambal enak sekali, mbok Bejo"

   "Eh, eh, kok sudah tahu nama kami? Kau siapa, denmas?"

   "Bukan den dan bukan pula mas, sebut saja Jaka Wisena, itulah namanya. Nama yang bagus, sama seperti orangnya,"

   Kata Pak Bejo yang duduk bersila di atas tikar, diturut oleh Wisena. Gembira hati Wisena melihat kedua orang suami isteri yang sederhana dan ramah tamah ini. la seakan-akan merasa berada di antara keluarga sendiri. Maka makanlah ia dengan lahapnya sambil bercakap-cakap.

   "Untung pasukan Pangeran Tohjaya yang gagah perkasa tiba,"

   Kata Pak Bejo.

   "Kalau tidak, tentu menjadi karang abang (lautan api) dusun ini!"

   "Sesungguhnya, siapakah Pangeran Tohjaya ini, pak? Apa hubungannya dengan Sang Prabu Anusapati?"

   Pak Bejo memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak heran.

   "Aduh, sungguh kau ketinggalan zaman, nak Wisena! Hal itu saja kau tidak tahu?"

   "Aku berada di gunung semenjak kecil pak, terpisah dari pada pergaulan ramai."

   "Pangeran Tohjaya amat terkenal sebagai seorang pangeran yang"Gagah berani dan budiman. Beliau telah sering kali mengadakan perjalanan ke dusun-dusun untuk menolong rakyat kecil dan membasmi penjahat-penjahat. Sungguh seorang pangeran yang luhur budinya, patut dijadikan teladan. Semoga kelak beliau yang menjadi raja di Singosari"

   Diam-diam Wisena merasa heran mengapa seorang yang mempunyai pandangan sekurang ajar itu terhadap seorang dara bisa menjadi seorang pendekar budiman.

   "Apakah beliau menjadi pangeran pati Kerajaan Singosari?"

   Tanyanya sambil lalu.

   "Sebetulnya bukan, karena sang prabu mempunyai putera, yakni Pangeran Ranggawuni, dan sudah tentu saja Pangeran Ranggawuni yang menjadi pangeran pati. Pangeran Tohjaya sebagai paman pangeran Ranggawuni tentu hanya menjadi walinya saja. Akan tetapi, siapa tahu...,"

   Ia melanjutkan dengan suara berbisik.

   "Bukan rahasia lagi bahwa mendiang Sang Prabu Ken Arok dibunuh oleh Prabu Anusapati yang sekarang."

   "Apa...? Bukankah yang membunuh adalah seorang punggawa?"

   Pak Bejo mengangguk-anggukkan kepalanya yang setelah dibuka ikat kepalanya ternyata botak dan kelimis.

   "Memang demikianlah, akan tetapi... siapa tahu kalau yang menyuruhnya orang lain! Ah, sudahlah, hal ini tak perlu dibicarakan, berbahaya!"

   Mendengar penuturan ini, makin sukalah Wisena kepada Sang Prabu Anusapati. Kalau benar dia yang membunuh Ken Arok, berarti Prabu Anusapati telah pula membalaskan dendamnya kepada Ken Arok yang telah membunuh eyang dan ayah bundanya! Sudah sepatutnya kalau ia mengabdi kepada Sang Prabu Anusapati! Alangkah tepatnya perhitungan paman Begawan Jatadara, pikir Wisena dengan puas.

   "Kalau demikian, perkenankanlah aku mengundurkan diri, pak Bejo. Ke manakah kiranya rumput ini harus kuantarkan? Tentu kau lebih mengetahui di mana disimpannya kuda dari sang pangeran itu."

   "Ah, di mana lagi kalau tidak di kandang kuda ki lurah? Di sanalah kandang terbesar karena ki lurah memang suka sekali memelihara kuda. Kudanya banyak dan bagus-bagus. Mari kau kuantar, nak Wisena."

   Maka berangkatlah kedua orang itu. Pak Bejo berjalan dengan mengangkat dada karena setiap orang yang bertemu dijalan tentu menyapanya dengan amat hormat. Buru kafi ini pak Bejo merasa betapa derajatnya naik sekali, dihormati oleh semua orang karena jasanya merobohkan duabelas orang perampok ganas! Wisena yang memikul rumput itu berjalan di sebelahnya dengan tunduk.

   "Lihat, orang-orang menghormatiku karena kau menjatuhkan para perampok itu. Biarlah kuwakili kau

   menerima hormat mereka."

   "Biarlah, pak Bejo. Sesungguhnya kau memang gagah berani dan patut mendapat penghormatan,"

   Kata Wisena dengan setulus hatinya, karena ia memang suka sekali kepada pak Bejo yang sederhana dan lucu ini. Setelah tiba di depan kandang kuda, ternyata dugaan pak Bejo benar, karena kandang itu penuh dengan kuda dan di situ banyak pula prajurit yang merawat kuda. Pak Bejo lalu kembali ke rumahnya dan Wisena masuk ke pekarangan itu.

   "Eh, mengapa kau baru tiba?"

   Tanya seorang prajurit kepada Wisena sambil memandang tak senang.

   "Maaf, saudara. Aku pergi mencari rumput dulu untuk makanan kuda,"

   Jawab Wisena. Prajurit itu merengut dan mendengus marah.

   "Apa? Siapa menjadi saudaramu? Awas, jaga mulutmu baik-baik, ya? Kau seorang tukang kuda dan aku seorang prajurit tamtama! Jangan sembarangan menyebut saudara?

   "Habis, aku harus menyebut apakah?"

   "Sebut denmas, tahu?"

   Wisena menarik napas panjang untuk menekan kegemasan hatinya.

   "Baiklah, denmas."

   "Nah, begitu. Kau harus tahu adat dan penurut kalau mau terpakai oleh gusti pangeran! Ayoh kau beri makan semua kuda ini kemudian gosok peluhnya sampai kering. Awas, kalau kain penggosok sudah terlalu basah, jangan dipergunakan lagi, ganti dengan yang kering."

   Wisena menerima kain penggosok yang hanya sehelai itu.

   "Di mana penggantinya, denmas?"

   Tanyanya heran.

   "Gantinya? Bodoh, untuk apa bajumu itu? Pakai saja bajumu, kalau sudah bisa dicuci kembali,"

   Kata prajurit itu yang segera menghampiri kawan-kawannya. Setelah tertawa-tawa dan bersendau gurau, seorang di antara mereka berkata,

   "Kawan-kawan, ayoh kita mencari pacar!"

   "Ah, Dadap, jangan main-main, bukankah gusti pangeran melarang kita mengganggu wanita?"

   Memperingatkan yang lain.

   "Ha, ha, ha, gusti pangeran sendiri telah mendekati kembang dusun ini dan siap untuk memetiknya, mengapa kita tidak? Lagi pula. gusti pangeran melarang kita mempergunakan paksaan dan kekerasan. Kita tak perlu memaksa, gadis-gadis dusun paling gampang dipikat!"

   "Akan tetapi, di mana terdapat kembang indah di dusun kecil ini?"

   Kata yang lain pula.

   "Bodoh, lihat saja si juwita Mekarsari. puteri ki lurah itu! Kalau ada dara secantik itu di sini, tentu masih ada lainnya yang denok ayu, walaupun tidak seindah kembang tanaman ki lurah!"

   Terdengar suara mereka tertawa-tawa lagi ketika mereka meninggalkan kandang kuda itu, dan Wisena mengertakkan giginya dengan hati mendongkol dan marah. Seperti ini watak anak-anak buah pasukan Pangeran Tohjaya, dapat dipastikan bahwa pemimpinnya sendiri, sang pangeran itu, tentu seorang Bandot mata keranjang pula. Akan tetapi, ia sedang berusaha mencari jalan untuk dapat mengabdi kepada sang prabu di Singosari, maka apakah dayanya? Ia harus tunduk dan taat kepada seorang pangeran yang menjadi saudara dari sang prabu.

   Sambil menekan amarah dan kegemasannya, Wisena memaksa senyum lalu merawat kuda-kuda itu, memberi mereka makan, lalu menggosok-gosok tubuh mereka sehingga peluh mereka kering. Setelah binatang-binatang itu kenyang dan tenang di dalam kandang, Wisena duduk termenung. Terbayanglah wajah Mekarsari dan ia merasa berbahagia sekali. Bukankah dara itu telah menyatakan cintanya kepadanya? Sungguhpun tidak terucapkan, namun dari sikap dan gerakannya tadi, ia telah yakin akan perasaan hati gadis cantik itu. Alangkah akan berbahagianya kalau ia dapat bersanding dengan dara itu, sebagai suaminya. Akan tetapi, bagaimanakah caranya meminang kepada ki lurah? Hal ini belum dibicarakan dengan Mekarsari, karena keburu datangnya Pangeran Tohjaya yang merenggut kebahagiaan yang sedang dinikmatinya bersama Mekarsari di hutan itu.

   "Aku harus menjumpainya,"

   Wisena mengambil kepu-tusan.

   "Ya, harus kujumpai Mekarsari dan minta petunjuknya dalam hal pinangan ini. Aku harus bertemu dengan dia, malam ini juga!"

   Pekerjaan merawat kuda itu makan waktu lama juga tanpa terasa, karena tahu-tahu hari telah menjadi gelap. Wisena lalu menuju ke sungai, memilih tepi yang sunyi, menanggalkan pakaian lalu melompat ke dalam air. Semenjak kecil ia tinggal di dekat mataair dan setiap hari ia mandi di sumber air yang dalam maka tidak mengherankan apa bila ia pandai sekali berenang. Bagaikan seekor ikan besar saja tubuhnya yang tegap dan langsing itu berenang hilir-mudik. Ia merasa segar sekali dan untuk membersihkan kulit dari debu dan kotoran di kandang kuda, ia menggosok-gosok kulitnya dengan sepotong batu licin. Akhirnya ia berenang ke tepi dan duduk di atas batu menanti sampai kulit tubuhnya kering. Lalu dikenakan kembali pakaiannya dan pada saat itu ia mendengar suara gamelan.

   "Aneh,"

   Pikirnya,"Siapa orangnya yang berpesta pada saat seperti ini?"

   La tidak memperdulikannya lagi, lalu bergegas menuju ke kandang kembali, karena ia hendak mencari Mekarsari melalui taman bunga di belakang rumah ki lurah yang tak berapa jauh dari kandang itu letaknya. Akan tetapi, makin dekat dengan kandang itu, makin jelas terdengar suara gamelan itu dan akhirnya dengan terheran-heran ia mendapat kenyataan bahwa gamelan itu datangnya dari dalam gedung ki lurah!

   "Heran sekali! Bagaimana sih pikiran ki lurah? Baru saja dusunnya diserbu gerombolan perampok dan penduduknya banyak yang tewas, rumah-rumah banyak yang terbakar. Bagaimanakah dalrm keadaan yang menyedihkan ini ia bisa berpesta dan menabuh gamelan?"

   Pikir Wisena dengan penuh keheranan. Ia lalu menuju ke pagar bambu yang mengelilingi kebun bunga di belakang rumah ki lurah. Dengan sekali menggerakkan tubuhnya, ia telah dapat melompati pagar bambu itu, masuk ke dalam taman. Karena di situ sunyi saia dan kesibukan terdengar dari dalam gedung, Wisena lalu mencari jalan untuk mengintai ke dalam gedung.

   Ia tidak berani memasuki gedung itu dari pintu, karena hal ini tentu akan membikin marah ki lurah. Melihat sebarang pohon jambu yang besar di dekat rumah, ia laki memanjat pohon itu bagaikan seekor kera gesitnya, kemudian dari pohon itu ia merayap ke atas genteng. Genteng gedung ki lurah istimewa tebalnya, maka dengan kepandaiannya yang tinggi ia dapat maju merayap di aras genteng itu tanpa menerbitkan suara atau merusak genteng. Dengan cepat ia lalu maju sampai keatas ruang tengah dari mana terdengar suara gamelan itu. Dibukanya sepoleng genteng dan Wisena mengintai ke dalam. Kini tahulah ia mengapa ki lurah mengadakan pesta. Ternyata ia tengah menjamu Pangeran Tohjaya dan para pemimpin pasukannya yang berjumlah lima orang, hadir pula di situ para petugas dusun Karangluwih.

   Yakni pembantu-pembantu ki lurah dan para pemimpin atau kepala penjaga. Pangeran Tohjaya mcndapai lempai kehormaian dan pangeran ini nampak gembira sekali. Hidangan-hidangan memenuhi tikar berkembang yang digelar di alas lantai. Pena-buh-penabuh gamelan yang duduk di ujung ruangan memperdengarkan lacu-lagu yang meriah. Yang membikin hati Wisena merasa tidak enak sekali adalah ketika ia melihat Mekarsari beserta beberapa orang perawan dusun lainnya melayani Pangeran Tohjaya dengan senyum simpul manis sekali. Alangkah menariknya gerakan tubuh Mekarsari ketika gadis ini membawa baki berisi minuman, kemudian dengan berjongkok gadis ini bergerak maju ke arah pangeran itu dan mempersembahkan minuman tadi Wisena tidak dapat mendengar aoa yang dikatakan oleh pangeran itu, Akan tetapi ia dapat melihat betapa mesra pandangan mata pangeran itu kepada Mekarsari, menggerakkan bibirnya mengucapkan sesuatu yang membuat Mekarsari tunduk kemalu-maluan dan tersenyum, kemudian ia melihat Pangeran Tohjaya mengulurkan tangan dan mencubit pipi Mekarsari. Bukan main panasnya hati Wisena melihat hal ini. Ia melihat Mekarsari mengundurkan diri dan duduk bersimpuh di tempat tak berapa jauhnya dari Pangeran Tohjaya dan antara kedua orang ini lalu ada permainan mata, saling lirik dan senyum yang membuat Wisena merasakan tubuhnya panas dingin. Pemuda ini lalu mengerahkan tenaga batinnya untuk menenteramkan kembali hatinya yang berdebar, kemudian ia bersedakap, mengheningkan cipta sebentar lalu dengan sinar mata penuh pengaruh dan kekuatan batin, ia memandang ke arah Mekarsari sambil mengeluarkan perintah di dalam hati kepada gadis itu untuk meninggalkan ruang pesta dan pergi ke taman bunga.

   Berkat kesaktian Wisena, tiba-tiba Mekarsari merasa gelisah sekali. Entah mengapa, tiba-tiba gadis ini merasa betapa panas dan menyesakkan napas hawa di dalam ruangan itu dan betapa ada perasaan yang amat aneh mendorongnya untuk pergi dari situ. Timbul keinginan yang amat keras di dalam hatinya untuk pergi ke taman bunga, mencari hawa sejuk! Dengan perlahan Mekarsari lalu berdiri dan berjalan dengan lenggang lemah-gemnlai meninggalkan ruangan itu, menuju ke belakang. Setelah tiba di taman bunga, barulah dadanya terasa lapang dan hawa sejuk mengalir masuk ke dalam dadanya, membuat tubuhnya terasa segar sekali. Akan tetapi tiba-tiba berkelebat bayangan dari atas dan tahu-tahu sesosok bayangan berdiri di depannya. Hampir saja Mekarsari menjerit.

   "Sst... jangan kaget, diajeng. Akulah yang datang..."

   Kata bayangan itu yang bukan lain adalah Wisena sendiri. Mekarsari membelalakkan matanya yang indah.

   "Kau..."

   "Terkejutkah kau melihat aku datang, diajeng Mekarsari?"

   "Tentu saja, aku terkejut setengah mati. Kau datang bagaikan setan!"

   "Dan... girangkah kau melihat aku datang?"

   Gadis itu menggelengkan kepala.

   "Tidak, kau akan mendatangkan keributan. Bagaimana kalau ada yang melihatmu datang secara ini? Kau akan mendapat celaka!"

   Biarpun sikap gadis ini tidak semanis tadi ketika berada di dalam hutan, akan tetapi Wisena yang telah gila asmara ini tidak menjadi kecewa, bahkan senang mendengar betapa gadis ini masih mengkhawatirkan keselamatannya.

   "Diajeng... marilah, aku ingin bicara denganmu,"

   Kata Wisena sambil memegang tangan gadis itu dengan mak sud mengajaknya ke tempat gelap untuk membicarakan soal pinangan itu. Akan tetapi Mekarsari melepaskan lauganuy i can berkata,

   "Tidak, tidak, aku... aku harus kembali ke dalam! Aku harus melayani tamu agung..."

   Gadis ini membalikkan tubuhnya dan hendak lari kembali ke dalam gedung, akan tetapi Wisena memburu,

   "Diajeng..."

   Pemuda ini menangkap lengan gadis itu dan menariknya sehingga di lain saat Mekarsari telah berada di dalam pelukannya! Ia mendapat kenyataan bahwa gadis ini mengenakan pakaian serba baru, bahkan hidungnya dapat menangkapkeharuman kembang-kembang yang kini menghias rambut gadis itu.

   "Diajeng, bagaimanakah ini...? Mengapa agaknya kau hendak menjauhkan diri dariku...? Bukankah... kita berdua sudah sehati untuk hidup bersama selamanya..."

   Untuk sesaat, dada Wisena yang bidang, pelukannya yang dilakukan dengan penuh kasih mesra, sepasang lengannya yang kuat, melumpuhkan perlawanan Mekarsari dan sambil memeramkan mata ia menyandarkan kepalanya pada dada pemuda itu. Akan tetapi tiba-tiba ucapan Wisena itu menyadarkannya dan sekali merenggutkan tubuh, ia lelah melepaskan diri dari pelukan Wisena.

   "Tidak... jangan...!"

   Ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya dan dua titik air mata melompat tuiui ke atas pipinya.

   "Diajeng Mekarsari... kenapakah kau?"

   Kemudian ia tenngat akan sesuatu dan tersenyum.

   "Diajeng apakah kau kecewa melihat keadaanku? Bajuku bau kuda! Memang tadi kupakai menggosok badan kuda dan belum kucuci karena tidak ada penggantinya! Bukan aku yang berbau kuda, diajeng..."

   La tertawa, memancing senyum gadis itu, akan tetapi kata-katanya ini bahkan membuat air mata Mekarsari jatuh berderai.

   "Kakang Mas Wisena..."

   Katanya sambil terisak,

   "Kau...kau seorang pemuda gunung biasa sajakah?"

   Wisena mengangguk heran.

   "Bukan pangeran...?"

   Pemuda itu menggeleng.

   "Bukan... anak adipati atau bupati?"

   Kembali Wisena menggelengkan kepalanya.

   "Juga bukan keturunan bangsawan lain lagi? Sesungguhnyakah?"

   "Bukan, diajeng. Aku seorang pemuda biasa, orang gunung yang bodoh. Akan tetapi... adakah hal ini penting bagi perasaan cinta kasih kita?"

   Ia melangkah maju hendak memeluk lagi, akan tetapi Mekarsari cepat mundur.

   "Jangan...!"

   Suaranya terdengar agak ketus sehingga Wisena merasa seakan-akan kena tampar mukanya.

   "Mengapa, diajeng? Ada apakah...?"

   Tanyanya khawatir.

   "Jangan kau sentuh aku! Kau... kau bukan seperti yang kuharapkan... ah... nasib..."

   "Eh, diajeng Mekarsari, mengapakah kau? Lupakah kau akan perasaan hati kita yang timbul pada saat pertemuan kita pertama siang tadi? Kau...kau berjanji hendak menyerahkan jiwa ragamu kepadaku... dan aku... aku hendak meminangmu, karena itulah maka malam ini aku menjumpaimu, hendak minta nasihat bagaimana aku harus meminangmu!"

   "Tak mungkin! Aku... ah, Gusti Pangeran Tohjaya telah meminangku dan...ayah telah menyatakan persetujuannya, aku telah diserahkan kepadanya!"

   Bagaikan digigit ular berbisa, Wisena melangkah mundur dengan wajah pucat.

   "Apa...? Dan kau sendiri...? Setujukah...?"

   Gadis itu mengangguk.

   "Aku setuju!"

   "Diajeng Mekarsari! Tak tahukah kau akan keadaan Pangeran Tohjaya? Aku mendengar ia telah beristeri, telah banyak mempunyai bini muda... apakah kau mau... dijadikan bini mudanya?"

   "Apa salahnya?"

   Suara Mekarsari menantang.

   "Dia seorang, pangeran besar, berkuasa, dan berhati mulia!"

   "Mekarsari!"

   Amarah mulai mendesak cinta kasih pe-muda itu.

   "Kau... kau mengingkari janji... dan rela menjadi... bini muda yang entah ke berapa belas atau ke berapa puluhnya?"

   Mendengar suara yang mengandung ejekan ini, Mekarsari juga timbul amarahnya.

   "Kau perduli apa? Menjadi bini muda Pangeran Tohjaya jauh lebih mulia dari pada menjadi isteri seorang tukang kuda!"

   Ucapan ini merupakan tamparan hebat bagi Wisena sehingga hampir saja ia roboh karena kakinya menggigil dan tubuhnya gemetar.

   "Mekarsari, alangkah kejamnya engkau! Kau sama sekali tidak menghiraukan perasaan hatiku! Aku... aku telah jatuh cinta kepadamu, mabok oleh janji yang memancar keluar dari kerling matamu, dari senyum bibirmu dan sekarang... ah, aku harus bagaimanakah...?"

   "Kau pergilah dari sini dan jangan melihat aku lagi! Sebagai pembalasan budimu, aku takkan menceritakan kepada si apapun juga tentang kedatanganmu malam ini. Kita berpisah dengan baik-baik, dan aku... aku akan mengenangmu sebagai seorang ksatria gagah yang pernah menolongku. Pergilah!"

   "Mekarsari..."

   Suara Wisena menggetar karena penuh perasaan.

   "Sekejam kau inikah semua wanita di dunia? Melupakan yang lama dan silau oleh yang baru karena yang baru ini mengkilat dan indah? Menukarkan kesetiaan hati dengan harta dan pangkat? Semurah itukah cinta kasih bagimu? Alangkah rendahnya! Terkutuklah semua..."

   Hampir saja Wisena mengutuk semua wanita, akan tetapi tiba-tiba ia memegang kepalanya dengan kedua tangannya

   "Tidak, tidak... tidak semua wanita sejahat engkau! Tidak semua wanita sekejam dan sepalsu engkau! Ibuku juga seorang wanita... ah, Dewata Yang Maha Agung... ampunanlah hambaMu, kuatkanlah iman hambamu..."

   Wisena terhuyung-huyung, kakinya lemas, dadanya panas membakar, jantungnya terasa perih bagaikan tertusuk keris berkarat dan ia harus menahan tubuhnya dengan tangan menekan batang pohon jambu agar tidak terguling jatuh, karena kepalanya tiba-tiba menjadi pening. Mekarsari hendak melarikan diri masuk ke dalam gedung, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Pangeran Tohjaya menegur,

   "Mekarsari, kekasihku yang manis, mengapa kau seorang diri di dalam taman? Tidak dinginkah kau? Mari, mari... manis, akan kuhibur hatimu dengan tembang-tembang indah dari keraton, akan kuusir hawa dingin yang menyerangmu."

   Tiba-tiba ia melihat Wisena yang berdiri bersandar di pohon sambil memejamkan matanya.

   "He, keparat, siapakah ini??"

   Ia melangkah maju untuk memandang lebih nyata karena Wisena berdiri di bawah pohon yang gelap.

   "Dia... dia datang hendak berlaku kurang ajar kepada hamba!"

   Tiba-tiba terdengar suara Mekarsari gemetar, karena gadis ini benar-benar merasa takut kalau-kalau Pangeran Tohjaya menyangka yang bukan-bukan.

   "Keparat jahanam!"

   Teriak Pangeran Tohjaya.

   "Ular berbisa... lidahmu berbisa..."

   Terdengar Wisena memaki perlahan sambil memandang kepada Mekarsari, kemudian tubuhnya melesat melompati pagar bambu dengan cepat sekali sehingga Pangeran Tohjaya belum sempat melihat mukanya. Pangeran Tohjaya memeluk tubuh Mekarsari yang menggigil.

   "Sari, siapakah dia? Aku seperti pernah mendengar suaranya."

   "Entah, hamba juga tidak mengenalnya. Ia baru saja datang dan sedang hamba usir ketika paduka tiba..."

   Jawab Mekarsan.

   Pangeran Tohjaya menggandeng tangan Mekarsari diajak masuk, dan ia tidak meniperdiilikan hal itu lagi. Tentu seorang pemuda dusun yang pernah mencintai Mekarsari dan sekarang menjadi patah hati karena gadis pujaannya menjadi milik pangeran, pikirnya. Dengan perasaan hancur luluh Wi"enn meninggalkan dusun Karangluwih pada malam hari itu juga. Ia berlari terus secepatnya keluar dari dusun memasuki hufan, tiada hentinya ia berlari cepat. Bahkan ketika malam telah berganti pagi, ia masih berjalan terus bagaikan seorang yang tak bersemangat lagi. Jiwanya merana, hatinya remuk-rednm. pikirannya kacau balau dan bingung. Baru pertama kali ia merasai kenikmatan dan kebahagiaan cinta kasih yang mendalam dan baru pertama kali ini pula cinta kasih yang mendatangkan kebahagiaan itu menghancurkan hidupnya.

   Sampai dua pekan lebih ia berjalan terus, tiada hentinya, lupa makan lupa tidur, terus berjalan bagaikan mayat hidup! Hanya satu pegangan yang menjadi tujuannya dan yang masih belum terlupa olehnya, yakni menuju ke Singosari, mengabdi kepada Sang Prabu Anusapati. Sifat jantan dan ksatria masih belum meninggalkannya Pesan Begawan Jatadara masih menjadi pegangannya dan biarpun ia berjalan terus tanpa makan tanpa tidur tak pernah mengaso, namun ia masih menujukan tindakan kakinya ke Singosari! Tubuhnya kurus kering, wajahnya pucat dan pandangan, matanya redup dan muram bagaikan dian kehabisan minyak. Tanpa diketahuinya, ia telah masuk ke dalam sebuah hutan besar di luar Ibu Kota Singosari.

   Tubuhnya mulai lemas, tindakan kakinya mulai tak tetap. Betapapun juga, tubuh yang tak terpelihara dan perut yang berhari-hari tak diisi, mata yang berhari-hari tak ditidurkan, membuat raganya lemah lunglai dan tak kuat menahan. Terik matahari yang membakar membuat kepalanya berdenyut-denyut dan ketika ia tiba di bawah sebatang pohon waringin yang besar dan teduh, pergantian hawa yang tadinya panas membakar ke tempat yang teduh dan sejuk dingin, membuat ia menggigil dan tiba-tiba ia terhuyung-huyung dan robohlah Wisena di bawah pohon beringin itu, tak sadarkan diri! Namun pemuda ini memang memiliki raga yang kuat sekali. Sungguhpun tiada tenaga lagi di dalam tubuh, kesadarannya timbul kembali, sedikit demi sedikit dan teli-raganya dapat menangkap suara suling bambu yang merdu mengayun kalbu.

   "Ah, ada suara suling...tanda bahwa di sini ada orang... tentu dekat kampung... mengapa aku selemah ini? Mengapa aku berputus asa...? Bukan laku seorang ksatria...Ah, Wisena... Wisena, tidak malukah engkau...?"

   Demikianlah bibirnya berbisik menurutkan suara hatinya. Suara suling itu makin perlahan dan tiba-tiba terhenti, lalu terdengar nyanyian sebagai gantinya, masih dalam lagu Asmaradana seperti yang dilagukan oleh suling tadi. Lagunya amat lambat menyedihkan, kata-katanya menyayat kalbu, sungguhpun suara itu nyaring dan kecil, tanda bahwa yang menyanyikannya masih kanak-kanak, belum dewasa. Mungkin penggembala kerbau. Suara nyanyian itu dengan jelas memasuki telinga Wisena yang masih berbaring menelungkup dengan pipi kanan di atas tanah.

   "Duhai nyawa... tinggalkan raga... untuk apa merana di mayapada... Tak tertahan lagi perihnya, hati pahit getir, melebihi butrawali, betapapun usalia melupakannya wajah adinda juwita terkenang jua! Duhai Dewata agung, cabuClah nyawa tak tertahan lagi oleh hamba..."

   Bagaikan disayat-sayat rasa hati Wisena mendengar tembang ini. Tak tertahan pula air matanya mengalir ke luar dan ia menangis tersedu-sedu. Tertumpahlah semua dendam aan sakit hati melalui air matanya dan dadanya terasa lapang. Menelungkup dengan pipi di atas tanah membuat ia merasa seakan-akan ia menangis di atas pangkuan ibunda.

   "Ibu... ibu, tolonglah ananda... kuatkanlah ananda...!"

   Ia berbisik sambil mencengkeram rumput dan memeluk tanah. Kemudian, dengan menggigit bibir mengeraskan hati, ia mencoba untuk merangkak bangun. Setelah mencucurkan air mata, hatinya lapang, tak sebeku tadi, pikirannya terbuka, akan tetapi tubuhnya makin lemas. Perutnya mulai terasa amat perih dan kosong.

   "Aku harus makan... aku harus hidup...jalan masih lebar di hadapanku...!"

   Pikiran dan tekad... ini mendatangkan tenaga baru dan Wisena dapat juga berdiri dan berjalan terhuyung-huyung ke depan.

   Akan tetapi, bani saja beberapa langkah, ia terguling lagi. Kalau nasib lagi sial, agaknya kekosongan perutnya dan kekeruhan pikiran serta luka di hatinya, mendatangkan angin jahat dan ia terserang sakit! Tubuhnya panas membara, akan tetapi di sebelah dalam terasa dingin menggigil. Dari jauh terdengar derap kaki kuda. Karena telinga Wisena menempel tanah, ia dapat mendengar suara ini dengan jelas, akan tetapi tak kuasa menggerakkan tubuhnya. Makin lama makin keraslah suara kaki kuda itu dan muncullah tiga orang penunggang kuda. Mereka ini adalah dua orang pemuda dan seorang dara. Ketiganya elok dan dari pakaian me: reka mudah diduga bahwa mereka adalah putera-puteri bangsawan belaka. Memang, sesungguhnya mereka ini adalah keturunan bangsawan tertinggi, karena mereka adalah keluarga Raja Singosari!

   Bahkan seorang di antara mereka adalah pangeran pati sendiri, yakni putera Sang Prabu Anusapati. Mudah dilihat dari lambang pangeran pati yang terbuat dari pada emas itu menghias kepalanya. Dia ini adalah Pangeran Pati Ranggawuni yang muda belia, tampan dan gagah. Pemuda ke dua juga seorang pangeran, yakni Pangeran Narasingamurti. kemenakan sang prabu, karena Pangeran Narasingamurti ini adalah putera Prabu Anom Mahisa Wongateleng. Pangeran Pati Ranggawuni amat cinta kepada adik misannya ini yang telah menjadi sahabatnya semenjak kecil. Agar lebih jelas lagi, sesungguhnya perbedaan antara kedua orang pangeran ini adalah nenek-nenek mereka- Keduanya memang cucu dari Ken Dedes, akan tetapi ayah Ranggawuni, yakni Anusapati, adalah putera Tunggul Ametung, sedangkan ayah Narasinqa-muirti, yakni Mahisa Wongateleng, adalah putera dari Ken Arok.

   Adapun dara yang juga. menunggang kuda bersama kedua orang pangeran ini juga seorang puteri dari Anusanan yang terlahir dari selir, namanya Dewi Murtiningsih. Dara ini selain cantik jelita, juga memiliki kegagahan, karena semenjak kecil, bersama Panperan Ranpgawuni dan Pangeran Narasingamurti, ia selalu ikut berlatih olah keprajuritan-Kalau kedua orang pangeran ini berburu binatang di dalam hutan, Dewi Murtinincsih tak pernah ketinggalan dan selalu ikut serta. Pangeran Pati Ranggawuni amat kasih kepada adiknya ini dan sungguhpun mereka berlainan ibu, namun mereka bergaul seperti kakak beradik sekandung saja. Tiba-tiba Narasingamurti yang berkuda paling depan, menahan kendali kudanya dan berkata sambil menudingkan telunjuknya ke depan dan menengok kepada kedua orang saudaranya,

   "Kakang Mas Ranggawuni, lihat, ada orang berbaring di bawah pohon waringin itu."

   Pangeran Pati Ranggawuni menahan kendali kudanya pula can memandang.

   "Dia tidak mati dan juga tidak tidur karena kepala dan tangannya bergerak-gerak. Dewi, ayoh kita melihat orang itu, kalau-kalau dia membutuhkan pertolongan."

   Tiga orang muda bangsawan itu lalu melarikan kuda menghampiri Jaka Wisena yang masih menggeletak di bawah pohon waringin. Ketiganya lalu melompat turun dan sambil menuntun kuda mereka mendekati Wisena yang masih berbaring dengan gelisah dan memicingkan matanya.

   "Ki sanak (saudara), kenapakah kau?"

   Tanya Pangeran Pati Ranggawuni dengan suara halus. Wisena mendengar suara ini seperti bisikan dari jauh, akan tetapi ia tak dapat menjawab karena kini perasaan dingin di dalam tubuhnya fetah berobah menjadi panas seakan-akan Kawah Candradi-muka berpindah di dalam dadanya, membuat telinganya mengiang-ngiang dan kepalanya berdenyut-denyut. Melihat betapa tubuh itu bergerak gelisah dan mendengar orang itu mengerang perlahan, Ranggawuni lalu berpaling kepada adiknya dan berkata,

   "Dewi, agaknya orang ini sakit. Kau lebih mengerti tentang hal itu, cobalah kau memeriksanya. Kasihan sekali ia sakit seorang diri di tempat sunyi ini."

   Memang di samping kegemarannya berlatih panah dan menunggang kuda, Dewi Murtiningsih juga pernah mempelajari ilmu pengobatan dari seorang pertapa. Ia lalu melepaskan kendali kudanya yang jinak dan berlutut di dekat tuouh Wisena yang masih menelungkup.

   Diulurkannya sebuah tangan yang berjari kecil runcing dan berkulit halus kekuningan itu, kemudian dirabanya jidat Wisena sambil memutar sedikit kepala pemuda itu. Gerakan ini mendatangkan dua macam perasaan kaget kepada dara ini. Pertama karena ketika jari tangannya meraba jidat Wisena, ia merasa betapa kulit jidat pemuda itu panas membakar, dan ke dua adalah ketika ia memutar sedikit kepala pemuda itu ia memandang kepada wajah, seorang teruna yang tampan dan gagah! Bukan sekali-kali karena Dewi Murtiningsih tak pernah melihat wajah pemuda tampan, akan tetapi kali ini ia benar-benar terkejut dan tercengang karena tadinya mereka semua mengira bahwa yang rebah di atas tanah itu hanyalah seorang petani yang menderita sakit. Juga kedua orang pangeran itu tertegun menyaksikan wajah pemuda yang tampan itu.

   "Ah, agaknya seorang ksatria yang menderita sengsara!"

   Seru Pangeran Narasingamurti.

   "Mungkin ia seorang kelana yang terserang penyakit di hutan ini,"

   Kata Pangeran Pati Ranggawuni.

   "Kakang Mas Ranggawuni, ia terserang demam hebat!"

   Kata Dewi Murtiningsih yang masih tertegun Wajah Wisena amat berkesan dalam hatinya, menimbulkan belas kasiriau dan juga kekaguman. Hatinya yang masih muda merupakan kuncup kembang itu mulai tersentuh oleh tiupan sayap seekor kupu-kupu dan mulai bergerak. membuka untuk menerima kedatangan kupu-kupu yang indah itu.

   "Ah, kasihan,"

   Kata Ranggawuni.

   "Dewiku, kau tolonglah dia sedapatmu."

   "Akan kucoba, Kang Mas Ranggawuni. Dimas Narasinga-murti, tolong kau mencari air yang jernih. Aku henclaK pergi mencari daun obat,"

   Kata dara itu dengan suara tenang dan tetap, tanda bahwa ia yakin akan apa yang hendak dilakukannya. Narasingamurti pergi mencari air jernih yang dibutuhkan, sedangkan gadis itu lalu masuk ke dalam hutan, mencari daun-daun yang pahit rasanya untuk melawan demam.

   Tak lama kemudian keduanya kembali dan berlutut di dekat Wisena yang masih belum sadar bahwa ada tiga orang muda berlutut di dekatnya. Dengan cekatan. Dewi Murtiningsih lalu memeras daun-daun itu, dicampurnya dengan air lalu diminumkannya ke dalam mulut Wisena yang dibukakan oleh Narasingamurti... Berkerutlah muka Wisena ketika obat yang pahit sekali itu memasuki tenggorokannya. Kemudian Dewi Murtiningsih menggunakan air jernih yang ditiupnya tiga kali sambil membaca mantera, kemudian air itu ia gosok-gosokkan pada jidat Wisena dan disiramkannya sisa air itu kepada ubun-ubunnya"

   Tak lama kemudian bergeraklah bibir Wisena dan kalau tadi ia hanya mengerang saja perianan, kini kata-katanya dapat ditangkap,

   "Dewi... Dewiku... tolonglah hamba..."

   "Ahh..."

   Dewi Murtiningsih melompat bangun dan berdiri dengan mata terbelalak dan mukanya berobah merah, sampai ke telinganya. Sementara itu, kedua orang pangeran itupun terheran-heran ketika mendengar pemuda yang sakit itu menyebut nama saudara mereka. Mereka hanya memandang dengan melongo ketika Wisena perlahan-lahan membuka matanya. Ketika ia melihat orang-orang itu, ia heran dan bangun lalu duduk. Melihat bekas tempat air dan sisa daun obat, ia maklum bahwa orang-orang ini tentu telah menolongnya, maka ia tersenyum dan mengangguk penuh terima kasih.

   "Saudara... apakah arti kata-katamu tadi?"

   Tanya Ranggawuni sambil memandang tajam. Wisena masih agak oening dan ia hanya melihat wajah seorang teruna yang cakap dan agung.

   "Kata-kata yang mana...?"

   "Kau tadi menyebut Dewi... siapakah itu?"

   Tiba-tiba merahlah wajah Wisena. Sesungguhnya, ketika tadi ia membuka sedikit matanya, ia seperti melihat seorang gadis cantik duduk di dekatnya. Wajah itu begitu cantik jelita sehingga tak salah lagi tentulah itu wajah Mekarsari yang datang hendak menolongnya. Ia menyebut "Dewi"

   Bukan dimaksudkan menyebutkan nama seseorang, akan tetapi sebutan yang berarti menjunjung tinggi gadis kekasihnya itu, dianggapnya seakan-akan dewi dari kahyangan. Akan tetapi, bagaimana ia harus menjawab? Apa lagi ketika pandangan matanya makin terang dan ia melihat seorang gadis cantik jelita berdiri tak jauh dari situ, memandang kepadanya dengan sepasang mata yang jernih dan bening, berkilauan bagaikan sepasang bintang pagi, ia menjadi makin bingung.

   "Maksudku... aku tadi bermimpi agaknya... bermimpi diserang oleh seorang siluman... aku tak berdaya, lalu datang seorang dewi penolong dari kahyangan, maka aku lalu minta pertolongannya!"

   Bergelak tertawalah Pangeran Pati Ranggawuni dan Pangeran Narasingamurti ketika mendengar keterangan ini.

   "Ha, ha, ha, kau lucu, saudara!"  Kata Ranggawuni.

   "Tanpa disengaja kau telah mengeluarkan sebutan yang amat tepat. Ketahuilah, kau memang telah ditolong oleh saudaraku ini yang bernama Dewi Murtiningsih, seorang puteri Kerajaan Singosari."

   Bukan main terkejutnya hati Wisena mendengar ini. Cepat-cepat ia membereskan pakaiannya lalu duduk bersila dengan penuh khidmat. Makin terkejut dia ketika mendengar Narasingamurti berkata menyambung keterangan kakaknya,

   "Dan ketahuilah bahwa kakakku ini adalah Kakang Mas Pangeran Ranggawuni, Pangeran Pati Kerajaan Singosari dan aku sendiri bernama Pangeran Narasingamurti!"

   Wisena menjadi demikian kaget sehingga sisa-sisa penyakitnya lenyap seketika itu juga. Ia merangkapkan sepuluh jari tangannya, menyembah dengan hormat kepada tiga orang muda yang kini telah bangkit berdiri di hadapannya sambil berkata,

   "Aduh, gusti pangeran! Yang banyaklah maaf paduka kepada hamha yang telah berani bersikap tidak selayaknya terhadap paduka bertiga oleh karena hamba tidak mengetahuinya."

   Senanglah hati kedua orang pangeran muda itu mendengar ucapan yang sopan dan halus serta sikap yang amat baik dari pemuda ini.

   "Siapakah kau, dari mana dan hendak ke mana? Bagaimana kau sampai terlunta-lunta sengsara seorang diri di sini dan menderita sakit sampai tubuhmu kurus kering?"

   Tanya Ranggawuni, akan tetapi tiba-tiba Wisena memejamkan kedua matanya. Pandangan matanya gelap dan selaksa bintang menari-nari di depan kedua matanya, sungguhpun mata itu telah dipejamkannya. Agaknya obat pahit tadi telah mulai bekerja di dalam perutnya dan kerjanya mengusir demam sedemikian kerasnya sehingga perutnya serasa diremas-remas. Lapar, perih, dan sakit menggeragoti dasar perutnya. Saking hebatnya rasa sakit, Wisena menggunakan kedua tangannya menekan bawah ulu hatinya dan menggigit bibirnya sampai berdarah! Kemudian, sambil mengeluh perlahan ia terguling dan pingsan.! Kedua orang pangeran itu terkejut sekali dan buru-buru. mereka berlutut di dekat tubuh Wisena.

   "Dewi, kau telah memberi obat apakah tadi? Jangan-jangan daun itu mengandung bisa!"

   "Tak mungkin, Kakang Mas Ranggawuni. Mungkin ada lain penyakit di dalam perutnya."

   "Periksalah, periksalah lekas! Lihat, mukanya sudah menjadi pucat Kebiruan. Lekas"

   Dewi Murtiningsih lalu berlutut dan kedua tangannya ditekankan ke ulu hati dan perut Wisena. Getaran perasaan yang mengalir memenuhi ujung-ujung jari tangannya yang terlatih itu seakan-akan mencari-cari, meresap ke dalam tubuh Wisena untuk melihat apakah yang menyebabkan pemuda itu demikian menderita. Kedua orang saudaranya memandang dengan penuh perhatian, menahan nafas. Tiba-tiba Dewi Murtiningsih tertawa perlahan dengan geli, lalu bangkit berdiri. Masih saja senyum manis menghias bibirnya dan sepasang matanya yang indah itu berkilat.

   "Eh, eh, mengapa kau malah mentertawakannya, Dewi?"

   Tanya Ranggawuni heran dan penasaran. Kembali Dewi Murtiningsih tertawa sehingga nampaklah dua deret giginya yang putih berkilau, berbentuk indah dan teratur rapi itu di antara bibir dan mulutnya yang merah.

   "Dia tidak sakit apa-apa, hanya..."

   "Hanya apa?"

   "Lapar! Perutnya kosong sama sekali, agaknya telah berpekan-pekan ia tidak makan sesuatu"

   "Aduh kasihan..."

   Kata Ranggawuni pula.

   "Dimas Narasingamurti, berikan bekal nasiku kepadanya. Suapkan-lah nasi itu ke dalam mulutnya, kasihan sekali teruna ini""

   Narasingamurti mengambil bungkusan nasi dan lauk-pauknya dari atas kuda, kemudian ia berusaha menyuapkan nasi itu ke dalam mulut Wisena. Akan tetapi gerakannya kaku dan canggung sekali sehingga lebih banyak nasi yang jatuh di tanah dari pada yang dapat masuk ke mulut Wisena. Bahkan ada yang hampir masuk ke lubang hidung pemuda itu! Melihat ini, Ranggawuni berkata,

   "Ah, dimas Narasingamurti, kau canggung sekali. Dewi, kaulah yang menyuapkan nasi itu."

   "Ah, Kakang Mas, aku malu...bagaimana aku harus menyuapkan nasi ke mulut seorang yang tak kukenal sama sekali...?"

   "Dewi, memang seharusnya kita, terutama sekali kau sebagai seorang wanita, menjaga baik-baik tata susila dan kesopanan. Bukan semestinya kalau kau menyuapkan nasi ke dalam, mulut seorang asing, terutama kalau orang itu seorang pria. Akan tetapi, keadaannya sekarang lain lagi Biarpun kita belurri mengenalnya, akan tetapi ia adalah seorang yang sedang menderita sengsara, seorang yang tidak berdaya dan membutuhkan pertolongan. Kau sendiri menyatakan bahwa dia kelaparan dan perlu diberi makan, sedangkan ia masih pingsan tak dapat makan sendiri. Kalau dibiarkan saja tentu ia akan mati. Dalam hal ini, berlakulah sebagai seorang manusia menolong manusia lain, dan dalam prikemanusiaan tiada perbedaan antara pria maupun wanita, bangsawan besar maupun rakyat kecil."

   Dewi Murtiningsih terpaksa menurut perintah pangeran pati yang bijaksana ini dan dengan cekatan sekali gadis ini lalu menyuapkan nasi ke dalam mulut Wisena. Akan tetapi, baru. saja sekepal nasi disuapkan oleh puteri itu ke dalam mulut Wisena, pemuda ini telah siuman kembali. Dengan bergegas ia lalu duduk dan sungguhpun tubuhnya masih gemetar, namun ia memaksa diri duduk dengan sopan.

   "Kau makanlah dulu, jangan banyak cakap,"

   Kata Pangeran Ranggawuni.

   Wisena adalah seorang pemuda yang terdidik oleh pamannya dan sungguhpun ia semenjak kecil berada di atas gunung, namun ia tahu akan sopan-santun dan kini disuruh makan nasi di hadapan seorang puteri, ia merasa malu sekali. Diam-diam ketiga orang putera-puteri bangsawan itu maklum akan hal ini, maka Dewi Murtiningsih lalu memutar tubuhnya dan berdiri membelakangi Wisena. Pemuda ini lalu mulai makan. Sungguhpun ia amat lapar dan agaknya dapat menghabiskan nasi itu dengan sekali dua kali telan, namun ia makan dengan sopan, tidak tergesa-gesa dan mengunyah nasi dengan bibir rapat. Kedua orang pangeran itu makin suka kepadanya. Setelah Wisena selesai makan, ia menyembah kepada mereka dan berkata lagi

   "Telah sering kali hamba mendengar berita akan kebijaksanaan dan kemuliaan"

   Hati para bangsawan tinggi di Singosari. Kini bertemu dengan paduka bertiga, hamba tidak ragu-ragu lagi bahwa berita itu sesungguhnya benar belaka. Hal ini lebih meyakinkan hati hamba dan lebih mempertebal tekad hamba untuk mengabdi kepada Kerajaan Singosari.

   "Kau tadi belum menjawab pertanyaanku. Kuulangi lagi, siapakah kau dan datang dari mana?"
"Hamba bernama Jaka Wisena dan semenjak kecil hamba tinggal di puncak Gunung Anjasmoro bersama paman hamba, Begawan Jatadara. Hamba sedang dalam perjalanan menuju ke Singosari untuk menghambakan diri kepada Gusti Sinuhun Sang Prabu Anusapati. Akan tetapi, malang nasib hamba, setibanya di hutan ini hamba terserang penyakit, sungguhpun kemalangan nasib itu hanya menjadi awal kebahagiaan hamba, karena buktinya hamba dapat bertemu dengari paduka yang bijaksana. Oleh karena itu, hamba mengucap syukur dan terima kasih kepada Dewata yang telah memberi kehormatan kepada hamba untuk diperjumpakan dengan paduka."

   "Hm, jadi kau hendak mengabdi kepada ramanda prabu? Kebetulan sekali, Jaka Wisena. Besok pagi diadakan pemilihan abdi-abdi baru. Kau dapat bekerja apakah?"

   "Apa saja yang dititahkan kepada hamba, akan hamba usahakan sedapat mungkin."

   "Bukan demikian maksudku. Kau hendak mencari pekerjaan halus atau kasar? Apakah kau ingin menjadi pamong kerajaan yang mengurus pekerjaan sehari-hari, ataukah kau ingin menjadi seorang prajurit?"

   "Hamba adalah seorang bodoh dan kasar dan hanya mengandalkah sepasang tangan dan sepasang kaki hamba. Maka apa bila gusti sinuhun sudi menerima hamba, hamba hendak mengabdi sebagai seorang prajurit untuk menjaga keselamatan Kerajaan Singosari."

   "Bagus, agaknya tak keliru dugaanku bahwa kau tentu seorang ksatria! Kebetulan sekali kalau begitu, Jaka Wisena. Besok pagi datanglah kau ke alun-alun Singosari, di sana rama prabu hendak mengadakan pemilihan calon senapati dan pengawal. Kalau kau memang mempunyai kedigdayaan dan dapat menempuh ujian dengan baik, aku akan senang sekali melihat kau diangkat menjadi senapati atau kepala pasukan."

   Dengan wajah berseri girang Wisena menyembah.

   "Beribu terima kasih hamba haturkan, gusti pangeran, tidak saja karena pertolongan paduka, akan tetapi juga untuk penerangan ini. Hamba akan mentaati pesan paduka dan besok pagi pasti hamba akan berada di alun-alun. Sekali lagi terima kasih kepada paduka bertiga, semoga para Dewata selalu melindungi paduka dan semoga pada suatu waktu hamba diberi kesempatan untuk membalas budi."

   "Jangan sibuk memusingkan hal itu, Jaka Wisena. Sudah semestinya manusia saling tolong-menolong, tak perduli dia seorang raja, seorang pangeran, maupun seorang ksatria atau sudra. Manusia dilahirkan sama, hanya nasib yang menentukan di mana ia akan dilahirkan, pada keluarga tinggi ataukah rendah."

   "Sungguh tepat sabda paduka, gusti."

   "Nah, kami hendak kembali ke keraton, Jaka Wisena. Semoga kau akan? berhasil besok."

   "Terima kasih, gusti."

   Berkat hasutan-hasutan yang dijalankan oleh Ken Umang dan Tohjaya, banyak senapati dan pembesar yang tidak senang kepada Pangeran Anusapati yang kini telah menjadi raja. Para senapati dan juga banyak bupati dan adipati yang mendengar dari Pangeran Tohjaya bahwa pembunuhan atas diri Sang Prabu Ken Arok adalah atas usaha Pangeran Anusapati yang kini menjadi raja, pada mengundurkan diri. Bupati-bupati memisahkan diri dan mereka bersiap untuk melakukan pemberontakan. Hal ini masih terjadi diam-diam, karena mereka masih takut dan segan terhadap Sang Prabu Anusapati yang selain digdaya dan sakti, juga mempunyai cukup banyak pengikut.

   Para senapati tua, pahlawan-pahlawan aseli berasal dari Tumapel dahulu, kesemuanya ber-fihak kepada Sang Prabu Anusapati, demikian pula rakyatnya, oleh karena mereka ini masih setia terhadap Tunggul Ametung yang telah dibunuh oleh Ken Arok. Sungguhpun amat dirahasiakan, namun para senapati sepuh banyak yang"

   Tahu bahwa ketika Ken Dedes diperisteri oleh Ken Arok, ia telah berada dalam keadaan mengandung. Maka tentu saja mereka merasa yakin bahwa sesungguhnya Sang Prabu Anusapati bukanlah putera Ken Arok, melainkan putera Tunggul Ametung. Sementara itu, Sang Prabu Anusapati diam-diam juga dapat menduga bahwa para senapati merasa kurang senang ia naik takhta kerajaan, maka ia lalu membuat persiapan. Hilang dan mundurnya para senapati itu tidak menyusahkan hatinya, bahkan ia lalu sering kali mengadakan sayembara-sayembara pemilihan senapati dan panglima-panglima baru.

   Pada hari itu, alun-alun Kerajaan Singosari amat ramai, karena pada hari itu sebagaimana sering kali terjadi, sang prabu hendak memilih orang-orang gagah untuk dijadikan pengawal sang prabu. Tentu saja dalam kesempatan ini, banyak orang-orang gagah mencoba kesaktiannya untuk dapat memperoleh kedudukan tinggi itu. Banyak orang muda murid-murid pertapa sakti turun gunung, banyak panglima-panglima perang yang gagah perkasa mencoba untuk merebut pangkat yang lebih tinggi dan banyak harapan ini, karena menjadi pengawal sang prabu tentu saja amat mulia, selalu berdekatan dengan raja, menjadi orang kepercayaannya dan dihormati oleh semua pembesar. Sang Prabu Anusapati sendiri terkenal sebagai seorang yang digdaya dan pandai sekali bermain segala macam senjata, juga amat kuat tenaganya. Di Kerajaan Singosari terdapat dua orang jago yang bernama Lembuseta dan Lembusena.

   Mereka ini adalah dua orang yang bertubuh bagaikan raksasa, tenaganya melebihi gajah, kulitnya tebal dan keras seperti kulit badak, akan tetapi sayang sekali otak mereka amat tumpul. Oleh karena itu, maka kedua orang kakak beradik yang berasal dari Madura ini oleh Sang Prabu Anusapati dijadikan jago penguji orang-orang gagah yang hendak menjadi senapati. Jarang ada orang yang dapat menandingi kedua jago ini, maka siapa yang dapat menghadapi seorang di antara kedua jago ini selama satu lagu dimainkan sampai habis oleh gamelan yang ditabuh sewaktu pertandingan berlangsung, dan orang itu tidak sampai pingsan atau tewas selama itu, maka ia dianggap sudah digdaya dan dapat diterima karena dinyatakan lulus ujian! Oleh karena itu, tidak banyak orang yang mengikuti ujian berat ini. Sungguhpun pertandingan menghadapi seorang di antara kedua raksasa ini dilakukan tanpa mempergunakan senjata,

   Namun kalau orang tidak memiliki tubuh kuat dan tenaga besar, maka akibatnya akan mengerikan sekali. Sekali terkena pukulan kepalan tangan yang sebesar buah kelapa itu, dada dapat remuk dan tulang iga dapat patah-patah. Sekali terkena dipiting (dijepit) lehernya oleh sepasang lengan yang sebesar paha manusia biasa dan yang penuh dengan lingkaran urat dan otot menggembung itu, batang leher bisa patah dan orang dapat mati karena sesak napas! Apa lagi kalau sampai tertangkap dan dibanting, kepala bisa remuk dan otaknya keluar berhamburan. Dan syarat untuk dipilih menjadi calon pengawal pribadi Sang Prabu Anusapati kali ini lebih berat lagi, karena peserta harus menghadapi dua orang raksasa itu seorang sekali! Tentu saia dalam pemilihan ini, yang amat gembira hatinya adalah penonton.

   Pertandingan-pertandingan seperti itu selalu menarik hati, maka lama sebelum sang prabu sendiri keluar dari keraton dan datang di alun-alun, penduduk ibu kota telah berdesak-desak memenuhi alun-alun, mengelilingi panggung yang khusus dibuat untuk keperluan ini. Panggung itu lebar dan hanya berpayon di bagian tempat duduk sang prabu dan para pengiringnya. Di bagian depan dibiarkan terbuka, berbentuk bundar dan lebar, tingginya hampir dua tombak. Oleh karena itu, para penonton dapat melihat pertandingan itu dengan nyata dan enak, sambil duduk berjubel di bawah panggung. Pada masa itu, permainan adu ayam sudah menjadi kegemaran rakyat, bahkan sang prabu sendiri terkenal sebagai &hli adu ayam yang amat suka akan permainan itu. Maka, dalam pertandingan ini, tidak sedikit para penonton yang bertaruh sehingga suasana menjadi makin menggembirakan.

   Ketika Sang Prabu Anusapati keluar dari keraton dan menuju ke alun-alun diikuti oleh para bayangkari, suasana yang tadinya berisik itu menjadi sunyi. Semua orang menunduk menyembah ke arah sang prabu yang naik ke atas panggung dengan langkah tenang. Gamelan yang telah tersedia di situ ditabuh perlahan menyambut kedatangan Sri Baginda. Setelah sang prabu mengambil tempat duduk dan memberi tanda dengan anggukan kepalanya, maka perwira yang bertugas mengatur pertandingan itu lalu memberi isyarat.orang jago keraton yang bertubuh seperti taksasa itu ke atas panggung, disambut dengan tepuk tangan dan sorak-sorai oleh para penonton. Lembuseta dan Lembu-sena dengan mengangkat dadanya yang bidang itu mengangguk-angguk ke arah penonton dengan senyum bangga. Perwira itu lalu memberi laporan kepada Sang Prabu Anusapati,

   "Gusti sinuhun, hamba melaporkan bahwa yang mendaftarkan diri untuk mengikuti ujian berat kali ini hanya ada lima orang saja."

   Sang prabu tersenyum, kemudian menarik napas panjang.

   "Agaknya makin berkurang saja orang-orang gagah di Singosari, biarlah, suruh mereka seorang demi seorang menghadapi Lembuseta dan Lembusena."

   "Sendika (baik), gusti, hamba akan menjalankan perintah paduka."

   Ia lalu mengundurkan diri dan memberi tanda kepada seorang cli antara lima peserta yang duduk di pojok panggung sambil bersila, kemudian ia memberi tanda kepada Lembusena untuk mengundurkan diri dari panggung. Kini yang berdiri di atas panggung hanya Lembuseta seorang, siap menanti datangnya penantangnya. Orang pertama yang naik ke atas panggung adalah seorang laki-laki berkulit hitam dan bercambang bauk, nampaknya kuat sekali- Ketika ia naik ke atas panggung, ia disambut dengan tepuk tangan oleh para penonton. Si cambang.bauk ini lebih dulu bersujud kepada Sri Baginda raja, dan berkata,

   "Hamba yang rendah bernama Surawahana dari lereng Gunung Bromo, menghaturkan sembah bakti, gusti sinuhun."

   Sang Prabu Anusapati mengangkat tangan kanannya dan menjawab,

   "Maju dan lawanlah Lembuseta, Surawahana."

   Si cambang bauk yang bernama Surawahana itu lalu menyembah lagi dan masuk ke dalam gelanggang. Sang prabu menengok ke kiri di mana duduk puterinya yang terkasih, yakni Dewi Murtiningsih. Di dalam rombongan sang prabu, selain para pelayan, tidak ada puteri lain yang suka menonton pertandingan itu, kecuali Dewi Murtiningsih yang memang semenjak kecil suka akan olah raga dan olah keperwi-raan. Sang prabu tersenyum dan berkata perlahan,

   "Dewi, Surawahana itu takkan dapat melawan Lembuseta. Lihatlah saja."

   "Benar, ramanda prabu, ia memiliki kegesitan, akan tetapi, tenaganya masih jauh untuk menghadapi Lembuseta."

   Dari pembicaraan ini saja, dapat diduga bahwa sang puteri telah banyak mempelajari ilmu sehingga sekali pandang saja ia telah dapat menaksir kepandaian seorang peserta.

   Selain Sang Puteri Dewi Murtiningsih, di situ nampak juga Pangeran Pati Ranggawuni dan Pangeran Narasinga-rnurti. Mereka ini, juga Dewi Murtiningsih, agak kecewa karena tidak melihat Jaka Wisena yang mereka harapkan ikut serta, dalam sayembara ini. Begitu Sura wahana memasuki gelanggang dan telah berhadapan dengan Lembuseta, maka berbunyilah gamelan, tanda bahwa pertandingan boleh dimulai. Kalau suara gamelan ini nanti berhenti lagi dan sebuah tembang telah habis dimainkan, maka

   



KERIS MAUT JILID 04



   berarti Habislah pertandingan sebabak ini. Apa bila Sura wahana dapat mempertahankan diri selama itu, maka ia akan dianggap menang, sungguhpun ia tidak merobohkan Lembuseta.

   "Awas...!"

   Tiba-tiba Lembuseta berseru garang dan tubuhnya yang besar itu bergerak maju dengan cepatnya, mendorong dada Surawahana dengan tangan kiri. Sura-wahana bertubuh cukup besar, akan tetaoi di dekat raksasa itu nampak kecil. Dengan cekatan sekali, Surawahana mengelak dan melompat ke kiri lalu mengirim pukulan tangan kanan dari kiri.

   "Blek!"

   Pukulan itu tepat mengenai pundak Lembuseta karena cepatnya gerakan, dan riuhlah suara penonton bersorak, memuji kedua orang itu. Surawahana dipuji karena dalam segebrakan saja sudah berhasil memberi pukulan, dan Lembuseta dipuji oleh karena tubuhnya yang terpukul itu tak bergeming sedikitpun juRa, seolah-olah yang menyambar, pundaknya bukan kepalan Surawahana yang keras, melainkan seekor lalat! Surawahana terkejut sekali, akan tetapi iapun merasa penasaran. Pertandingan dilanjutkan dengan serunya. Setiap serangan Lembuseta dihindarkan oleh Surawahana dengan gerakan lincah dan gesit, tepat sebaeaimana yang diduga oleh Puteri Dewi Murtiningsih tadi. Akan tetapi-sebaliknya.

   Surawahanapun tidak mampu merobohkan lawannya. Beberapa kali tamparan, dorongan dan pukulannya yang mengenai tubuh Lembuseta hanya diterima dengan tertawa bergelak saja oleh Lembuseta! Penonton makin menjadi tegang melihat kehebatan pertandingan ini dan agaknya Surawahana akan dinyatakan menang karena sudah cukup lama mereka bertempur, belum juga Lembuseta dapat merobohkan Surawahana. Akan tetapi, gamelan masih berbunyi dan pertandingan belum habis. Lembuseta maklum bahwa kalau ia tak berhasil menyerang lawannya, ia akan kehabisan waktu dan akan malulah ia kalau tak dapat merobohkan Surawahana sebelum gamelan berhenti. Maka ia lalu merobah siasat. Biarpun ia bodoh, akan tetapi pengalaman pertandingan yang banyak membuat ia mengerti beberapa macam akal.

   Ia selalu menyerang dengan mengandalkan tenaga saja dan menerima pukulan mengandalkan kerasnya kulit, karena ia tidak faham ilmu perkelahian. Kini ia sengaja berlaku lambat dan jarang-jarang menyerang, akan tetapi memperhatikan serangan lawan. Surawahana dapat tertipu dan mengira bahwa lawannya telah Jelah dan putus asa. Ia tidak puas kalau mendapat kemenangan tanpa merobohkan lawan, maka nada suatu saat yang baik, ketika lawannya nampak lengah, ia cepat menghantam sekuat tenaga ke arah lambung raksasa itu. Biarpun ia takkan dapat merobohkannya setidaknya lawannya tentu akan terdorong, dan terhuyung-huyung. Akan tetapi, saat inilah yang dinanti-nanti oleh Lembuseta. Ia.membiarkan saia lambungnya dipukul, akan tetapi begitu puKulan Surawahana mengenai lambungnya, ia menubbruk maju mengirim tamparan keras dengan telapak tangan kanan yang selebar kipas ke arah kepala Surawahana!

   "Blek! Plak!"

   Demikian suara pukulan lambung dan tamparan kepala itu berbunyi hampir berbareng dan terdengar suara ketawa Lembuseta untuk menyatakan bahwa pukulan pada lambungnya itu hanya terasa bagaikan dipijat saja. Akan tetapi akibat tamparan pada kepala Surawahana itu hebat sekali. Bagaikan kena sambaran petir, tubuh Surawahana terputar-putar beberapa kali lalu robohlah ia tak sadarkan diri, sama sekali tak dapat bergerak lagi! Gegap-gempita sorak-sorai para penonton menyambut kemenangan Lembuseta ini. Tubuh Surawahana yang tak ber daya lagi itu lalu digotong turun oleh dua orang penjaga dan dibawa pergi.

   Peserta ke dua dipersilahkan naik. Seperti halnya Sura-wahana tadi, peserta inipun memberi hormat kepada Sri Baginda dan memperkenalkan namanya. Ia masih muda dan tubuhnya juga besar dan tinggi, hampir menyamai Lembusena lawannya yang kali ini mendapat giliran. Akan tetapi, Lem-busena lebih pandai bertempur dari pada Lembuseta dan pemuda tinggi besar ini belum juga setengah babak telah dapat tertangkap dan dilemparkan ke bawah panggung! Ia kuat dan tidak terluka, akan tetapi saking malu dan tiada harapan,, ia lalu lari meninggalkan tempat itu. Kembali para penonton bersorak ramai. Peserta ke tiga dan ke empat yang bertubuh kuandari tinggi besar, juga tidak berdaya menghadapi kedua orang, raksasa itu. Mereka inipun dirobohkan dengan mudah sebelum gong mengakhiri babak pertandingan. Semua penonton mulai merasa kecewa dan Sang Prabu Anusapati mengeluh,

   "Mengapa hanya ada lima orang calon dan lemah-lemah belaka?"

   Katanya kecewa kepada Dewi Murtiningsih.

   "Nanti dulu, ramanda prabu, coba periksalah calon ke lima itu. Agaknya ia tidak mudah dirobohkan!"

   Sri Baginda cepat memandang dan peserta ke lima itu bersujud menyembah. Suaranya terdengar nyaring ketika ia berkata,

   "Hamba Jaka Lumping dari Belambangan menghaturkan sembah sujud dan mohon pangestu paduka agar supaya hamba berhasil mengabdikan jiwa raga hamba di bawah kaki paduka."

   "Hmm, baik, Jaka Lumping, maju dan lawanlah Lembuseta. Mudah-mudahan kau berhasil."

   Jaka Lumping menyembah lagi lalu menuju ke gelanggang pertandingan. Dia adalah seorang pemuda yang aneh bentuk tubuhnya. Dada dan perutnya kecil, demikian pula kedua kakinya. Akan tetapi kepalanya dan kedua lengannya besar. Sepasang matanya tajam berpengaruh dan urat-urat menonjol keluar dari daging lengannya. Ketika ia berjalan di atas gelanggang, nampaknya tindakan kakinya demikian ringan. Ketika ia tiba di depan Lembuseta, raksasa itu tersenyum mengejek- la merasa girang sekali oleh karena hari ini ia dan kakaknya Lembusena telah merobohkan masing-masing dua orang peserta.

   "Kudengar namamu tadi Jaka Lumping dari Belam-bangan? Kau bersiaplah baik-baik!"

   Katanya dan dengan cepat ia lalu menyerbu. Jaka Lumping cepat mengelak dan balas menyerang. Pertandingan kali ini ternyata jauh lebih hebat dari pada yang sudah-sudah. Jaka Lumping yang aneh itu ternyata benar-benar digdaya. Kalau empat orang peserta yang tadi selalu roboh terkena pukulan atau tamparan Lembuseta dan Lembusena, Jaka Lumping ternyata juga memiliki kekebalan seperti lawannya. Sekali pernah kepalan tangan Lembuseta yang besar menghantam dadanya, akan tetapi ia hanya mundur tiga langkah, lalu maju kembali dengan cepatnya, membalas serangan lawan dengan pukulan bertubi-tubi sehingga Lembuseta jatuh terduduk!

   Bukan main riuhnya para penonton menyaksikan pertandingan ini. Lembuseta sendiri terkejut karena pukulan-pukulan lawannya yang aneh ini ternyata amat kuatnya sehingga ia merasa tubuhnya sakit-sakit dan sampai terjatuh. Dengan marah dan penasaran Lembuseta bangun kembali. Ketebalan kulitnya membuat ia kebal dan kini ia mengamuk bagaikan seorang raksasa yang liar dan ganas. Akan tetapi Jaka Lumping tidak gentar dan menghadapinya dengan sepak terjang yang gagah. Pukul-memukul, tendang-menendang, dorong-mendorong terjadi dengan hebatnya. Tenaga keduanya amat besar sehingga panggung itu bergoyang-goyang seakan-akan hendak roboh. Bahkan tempat duduk sang prabu dan para pangeran sampai bergetar.

   "Ah, benar-benar kuat Jaka Lumping!"

   Kata sang prabu dengan girang. Karena lawannya dapat menahan pukulan-pukulannya, maka kedua orang di atas gelanggang pertempuran itu kemudian bergumul. Saling cekik, saling piting sehingga mereka menjadi satu seakan-akan dua ekor naga bertempur saling membelit. Terdengar suara napas mereka,

   "Ah, uh, ah, uh!"

   Mengerahkan tenaga. Berkeretak bunyi tulang mereka, dan otot-otot besar melingkar-lingkar pada lengan mereka. Sebentar Jaka Lumping terbanting ke bawah, tertindih oleh tubuh Lembuseta yang seperti raksasa ku, akan tetapi dengan gerakan kakinya yang mengait kemudian dengan gerakan membalik yang tiba-tiba, Jaka Lumping berhasil membuat penindihnya terguling dan secepat kilat Jaka Lumping lalu menindih tubuh lawannya. Leher lawannya dipiting dengan lengan kanan, tangan kiri memegang pergelangan tangan kanan lawan yang hendak memukul, sedangkan lututnya diinjakkan ke perut lawan.

   Lembuseta mengerahkan tenaga, meronta-ronta hendak melepaskan diri, akan tetapi lawannya juga mengerahkan tenaga menahan. Hebat sekali pergumulan ini sampai lantai papan yang tebal itu berderak-derak. Akhirnya Lembuseta dapat memasukkan tangan kirinya di bawah lengan lawannya dan berhasil melepaskan diri. Mereka berdiri terhuyung-huyung dan pergumulan dilanjutkan sambil berdiri, sebentar mendorong maju dan sebentar terdorong ke belakang. Para penonton bersorak-sorak bagaikan gila saking tegang dan gembiranya Gamelan dipukul makin keras karena para penabuh gamelan juga terpengaruh oleh pertandingan hebat ini. Akhirnya gamelan berhenti bersuara karena lagu telah habis dimainkan, berarti bahwa babak itu telah berakhir!

   "Hidup Jaka Lumping...!"

   Teriak para penonton dan Lembuseta lalu melepaskan pelukannya. Jaka Lumping dinyatakan menang karena ia dapat mempertahankan diri selama sebabak, bahkan dalam pertandingan ini tak dapat dikatakan ia terdesak. Benar-benar kuat Jaka Lumping, pemuda Belambangan yang aneh ini. Ketika pengatur pertandingan memberi tanda, Lembuseta mengundurkan dan gelanggang, hari kini Lembusenu melangkah maju untuk mengadakan ujian terakhir.

   Sekali lagi Jaka Lumping harus dapat mempertahankan diri terhadap Lembusena, oaru ia akaii dapat dinyatakan lulus dan dapat merebut kedudukan pengawal pribadi Sri Baginda! Betapapun juga diam-diam Jaka Lumping harus mengakui kehebatan Lembuseta tadi. Pergumulan tadi telah membuat ia lelah. Belum pernah ia menghadapi seorang lawan sekuat itu. Kini melihat Lembusena telah maju, ia ingin mempercepat jalannya pertandingan agar jangan sampai kehabisan tenaga. Begitu gamelan mulai dipukul lagi, ia menubruk maju, memeluk pinggang Lembusena yang besar, mengerahkan tenaga dan mengangkat tubuh raksasa itu! Penonton bersorak-sorak lagi dan diam-diam Sang Prabu Anusapati mengangguk-angguk memuji Jaka Lumping. Setelah mengangkat tubuh Lembusena ke atas sampai hampir melampaui kepalanya, Jaka Lumping lalu,membanting tubuh itu ke bawah.

   "Brek...!!"

   Tubuh raksasa itu dihempaskan ke atas lantai demikian kerasnya, bagaikan terjatuh dari tempat tinggi saja. Melihat besarnya tenaga yang dipergunakan dan kerasnya bantingan itu, kalau tubuh lain orang yang terbanting tentu akan remuk-remuk tulangnya dan luka-luka kulitnya! Akan tetapi. Lembusena hanya tersenyum saja dan segera bangkit berdiri kembali. Jaka Lumping memandang kepada lawannya dengan mata terbelalak heran. Tak disangkanya bahwa lawannya ini demikian kuat, bahkan mungkin lebih kuat dari pada Lembuseta! Sebelum hilang rasa kagetnya, Lembusena telah menubruk maju dan membalas serangan lawannya tadi. Ia memegang pinggang jaka Lumping yang kecil dengan kedua tangannya, mengangkat tubuh itu seakan-akan orang mengangkat benda ringan saja, lalu membantingnya sambil melepaskan pegangannya!

   "Krak...!!"

   Bukan main hebatnya bantingan ini sehingga papan yang tertimpa tubuh jaka Lumping sampai menjadi pecah dan tubuh Jaka Lumping masuk setengahnya ke bawah papan yang kosong!

   Para.nenonton menahan napas, ngeri menyaksikan kehebatan kedua orang itu. Bantingan itu benar-benar hebat sekali, akan tetapi bagaimanakah tubuh seorang manusia dapat begitu kuat sehingga bahkan papan yang tebal itu yang pecah? Memang mengagumkan sekali kekuatan tubuh Jaka Lumping yang kecil itu. Biarpun ia telah merasa lelah dan tubuhnya sakit-sakit, akan tetapi ia masih dapat menekankan kedua tangannya pada papan gelanggang dan menarik kakinya dari bawah! Begitu ia berdiri, Lembusena telah menyerbunya lagi, kini menghujankan pukulan-pukulan keras kepada kepalanya yang besar itu. Jaka Lumping mencoba untuk menangkis, akan tetaoi sepak terjane Lembusena ternyata jauh lebih cepat. Beberapa kali kepalanya kena pukul dan sungguhpun ia tidak terluka, namun kini nampak ia mulai terhuyung-huyung.

   "Ah, dia kalah!"

   Kata Sri Baginda perlahan dengan kecewa. Benar saja, kini Lembusena melangkah maju, memegang tangan Jaka Lumping dan sekali menggerakkan tangannya, ia telah melontarkan tubuh pemuda itu yang melayang cepat ke bawah panggung! Penonton bersorak-sorak, sungguhpun sebagian besar diam saja karena merasa kecewa melinat pemuda itu dikalahkan. Dengan demikian, maka pertandingan akan bubar tanpa ada yang dianggap menang! Memang siapa yang sampai terlempar keluar dari panggung, telah dianggap kalah. Akan tetapi Jaka Lumping benar-benar sakti. Biarpun tubuhnya berdebuk jatuh ke atas tanah, namun secepat itu pula ia melompat bangun, lalu dengan cepat ia menaiki tangga panggung dan berlutut di hadapan Sang Prabu Anusapati, menyembah dengan hormatnya.

   "Mohon beribu ampun, gusti sinuhun. Hamba mengaku kalah, Lembusena terlampau kuat. Hamba telah mengecewakan hati paduka."

   Senang juga hati sang prabu melihat sikap pemuda itu.

   "Jaka Lumping, kau cukup digdaya. Sayang kurang sedikit saja daya tahanmu, sesungguhnya, aku akan senang sekali mempunyai pengawal seperti engkau!"

   Pada saat itu, terdengar suara ribut-ribut di kalangan penonton dan tiga orang penjaga nampak sedang berkeras mencegah seorang pemuda yang hendak memaksa naik ke panggung. Karena marah melihat kebandelan pemuda itu, seorang di antara penjaga lalu mencabut pedang dan mengancam, akan tapi entah bagaimana, tahu-tahu tiga orang penjaga itu terpelanting ke kanan kiri dan pemuda itu terus saja menggerakku, tubuh. Bagaikan seekor burung, ia telah melompat naik keatas panggung dan langsung menghadap sang prabu, berlutut di sebelah Jaka Lumping yang juga masih duduk bersila di situ! Seorang pengawal hendak mengusir pemuda lancang ini, akan tetapi Sang Prabu Anusapati menggerakkan tangan mencegahnya. Sri Baginda sendiri juga kurang senang menyaksikan kelancangan dan keberanian pemuda itu, maka sebera ditegurnya pemuda itu dengan kata-kata yang tetap terdengar halus,

   "Anak muda, siapakah kau dan mengapa kau lancang sekali menghadap tanpa dipanggil?"

   "Hamba mohon beribu ampun, gusti sinuhun, dan apa bila paduka sudi mendengar keterangan hamba, hamba adalah seorang kelana bernama Jaka Wisena dari puncak Gunung Anjasmoro. Adanya hamba memberanikan hati menghadap tanpa dipanggil tak lain hamba jauh-jauh datang sengaja hendak mengabdi kepada gusti sinuhun yang mulia dari bijaksana. Hamba memang telah berdosa dan lancang berani menghadap tanpa paduka kehendaki dan hamba menyerahkan jiwa raga di tangan paduka, segala hukuman akan hamba terima dengan rela dan senang, tak lain hamba mengharapkan mohon pengampunan!"

   "Hem, pandai kau bicara! Kepandaian apakah yang kau miliki maka kau hendak menghamba di sini?"

   "Hamba seorang gunung yang bodoh, gusti, namun ham ba telah bertekad untuk mengorbankan jiwa raga demi mem bela paduka dan Kerajaan Singosari."

   "Ah, jadi kau agaknya ingin pula menjadi pengawal? Beranikah kau menghadapi Lembuseta dan Lembusena?"

   "Apa bila gusti sinuhun yang menghendaki, tentu saja hamba berani menghadapi mereka berdua,"

   Jawab Wisena sederhana. Mendengar ucapan ini, Jaka Lumping menengok kepada Wisena dengan senyum sindir. Pemuda kurus kering dan pucat ini hendak menghadapi raksasa-raksasa itu? Hah, mencari mampus dia, pikirnya.

   "Kau betul-betul berani melawan mereka berdua?"

   "Hamba sanggup dan berani, gusti."

   Gembiralah sang prabu mendengar ini. Ia memberi tanda kepada Jaka Lumping untuk mengundurkan diri, lalu memberi perintah kepada petugas untuk mencoba dan menguji kedigdayaan pemuda yang baru datang ini dengan Lembuseta dan Lembusena. Kedua raksasa itu harus maju berbareng mengeroyok pemuda itu selama gamelan dimainkan!

   "Ramanda prabu...,"

   Terdengar Dewi Murtiningsih berkata perlahan.

   "Mengapa keduanya? Bukankah syaratnya maju seorang demi seorang...?"

   Mendengar suara puteri ini, Wisena menundukkan kepalanya dengan wajah merah tanpa berani memandang, dan ia berterima kasih kepada puteri yang baik hati itu. Sang prabu tidak menjawab hanya menyuruh Wisena segera memasuki gelanggang, kemudian baru ia berkata kepada puteri-nya,


   "Mengapa, Dewi? Apakah kau merasa kasihan kepada pemuda itu?"

   Merahlah wajah Dewi Murtiningsih mendengar ini.

   "Tidak demikian, ramanda prabu, hanya saja hamba melihat wajahnya pucat dan tubuhnya kurus, seakan-akan baru habis sakit keras. Bagaimana mungkin ia kuat menghadapi keroyokan Lembuseta dan Lembusena?"

   Sang Prabu Anusapati tersenyum simpul.

   "Dewi, tak kaulihat mata pemuda itu? Orang yang memiliki mata setajam itu kurasa takkan mudah dikalahkan, biar oleh Lembuseta dan Lembusena sekalipun!"

   Tentu saja Dewi Murtiningsih sudah mengetahui akan si pemuda itu, bahkan ia pernah menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, akan tetapi tetap saja hatinya berdebar penuh kekhawatiran.

   Juga Pangeran Pati Ranggawuni dan Pangeran Narasingamurti yang duduk di belakang Sang Prabu Anusapati memandang dengan penuh perhatian dan khawatir. Sementara itu, ketika Wisena masuk ke dalam gelang-gang hanya sedikit saja orang bertepuk menyambutnya. Sebagian besar orang-orang yang menonton menjadi ragu-ragu ketika melihat seorang pemuda kurus kering dan pucat masuk ke gelanggang pertandingan. Bagaimanakah, seorang muda berpenyakitan ini hendak menghadapi raksasa-raksasa itu? Empat orang yang gagah dan tinggi besar dengan mudah dirobohkan oleh Lembuseta atau Lembusena, bahkan orang ke lima yang amat gagah tadipun akhirnya kalah oleh Lembusena, bagaimanakah sekarang pemuda ini berani mengajukan diri?

   Agaknya ia gila, demikian banyak orang berpikir. Lembuseta dan Lembusena ketika mendapat perintah untuk maju berbareng mengeroyok.pemuda itu, saling pandang dengan heran dan mengangkat pundak. Sekali tampar saja agaknya tulang-tulang pemuda itu akan remuk, bagaimana mereka berdua harus maju berbareng? Terutama sekali para penonton ketika melihat kedua orang raksasa itu maju berbareng, memandang dengan mata terbelalak ke atas panggung. Benar-benarkah kedua orang raksasa itu hendak menghadapi pemuda kurus kering itu bersama? Mereka tak dapat percaya dan memandang dengan melongo, sehingga keadaan menjadi sunyi. Ketika gamelan mulai ditabuh, barulah mereka ribut dan suasana menjadi berisik sekali.

   "Tidak adil ah..."

   Terdengar orang berseru.

   "Ini pembunuhan namanya! Penyembelihan!"

   "Tentu ia akan mati di tangan kedua orang raksasa itu!"

   Bermacam-macamlah orang bicara, dan kesemuanya merasa kasihan kepada Wisena yang berdiri dengan tenang dan waspada itu. Sesungguhnya tubuhnya masih lemah dan kedua kakinya masih terasa ringan sekali, akan tetapi menghadapi dua orang lawan yang mengerikan ini mendatangkan semangat perjuangannya. Dadanya mulai terasa panas, mulurnya tersenyum, kegembiraannya timbul kembali dan ia se-akan-akan merasa sedang menghadapi dua ekor harimau seperti yang sering kali ia alami ketika ia masih berada di puncak Gunung Anjasmoro. Di gunung itu memang terdapat banyak sekali harimau dan sering kali untuk mencoba kepandaiannya, Wisena sengaja mencari binatang binatang itu untuk menggodanya. Setelah berhadapan dengan pemuda itu dan gamelan mulai dipukul, Lembuseta lalu mengayun tangannya menampar kepala Wisena.

   Ia ingin merobohkan pemuda ini dengan sekali pukul saja, karena betapapun juga perintah dari sang prabu ini membuat ia dan saudaranya merasa terhina dan malu sekali. Bagaimana mereka harus mengeroyok seorang anak-anak kurus kering macam ini? Agaknya tamparannya itu akan mengenai sasaran, karena Wisena tidak mengelak, akan tetapi setelah telapak tangannya yang selebar kipas itu telah mendekati pipi pemuda itu, tiba-tiba kepala Wisena menunduk dan tamparan itu mengenai angin! Melihat cara mengelak ini, diam-diam Sang Prabu Anusapati menjadi kagum dan ia lalu menonton dengan penuh kegembiraan. Itulah cara mengelak seorang pendekar yang ahli, pikirnya. Memang, bagi orang yang kurang tinggi kepandaiannya, baru melihat berkelebatnya pukulan saja, sudah buru-buru mengelak atau menangkis!

   Tidak demikian dengan seorang ahli silat yang telah pandai. Ia amat tenang dan waspada, dan selalu mengelak atau menangkis apa bila perlu saja dan apa bila pukulan telah mendekati tubuhnya dengan cara mengelak yang cepat, akan tetapi sederhana. Miringkan atau menundukkan kepala saja sudah merupakan cara mengelak yang tepat dan baik, sedangkan tubuh yang diserang, dapat dielakkan dengan hanya melangkah maju atau mundur setindak saja, atau bahkan hanya dengan miringkan tubuh. Serangan balasannya juga menunjukkan cara seorang ahli. Begitu tangan yang menampar itu lewat di atas kepalanya, tanpa merobah kedudukan kakinya, Wisena mengulur tangan kanan dengan jari terbuka.

   "Memasukkan"

   Tangan itu di bawah lengan lawan dan jari-jari tangannya yang dapat diperkeras bagaikan baja itu menusuk lambung lawannya.

   "Ngek!!"

   Dan terjadilah pemandangan yang amat lucu Lembuseta menekan lambung, berdongak ke atas, lalu tubuhnya berputar-putar dan terdengarlah suara ketawanya meledak terbahak-bahak. Akan tetapi... benarkah ia tertawa? Bukan, bukan suara tertawa karena diseling dengan keluhan.

   "Aduh... ha-ha-ha-hah... aduh..."

   Ternyata ia bergelak bukan tertawa, akan tetapi terengah-engah setengah menangis. Rasa nyeri yang luar biasa sekali membuat ia sesak bernafas dan mengaduh-aduh. Saking heran dan terkejutnya, para penonton duduk melenggong, mata terbelalak lebar dan mulut ternganga. Ada pula yang menggigit-gigit jari tangannya dengan penuh takjub. Apakah sesungguhnya yang terjadi? Apakah tiba-tiba Lembuseta terserang sakit perut? Demikianlah mereka menduga-duga. Akan tetapi sesungguhnya bukan demikian. Kalau ada orang yang pernah merasakan betapa sakitnya lambung ditusuk gagang linggis yang tumpul, tentu akan merasai pula penderitaan yang kini dirasakan oleh Lembuseta.

   Lembusena agaknya maklum bahwa lawannya ini amat sakti dan tangannya ampuh sekali, maka ia cepat menghampiri saudaranya dan telapak tangannya yang lebar itu lalu diurut-urutkan dan digosok-gosokkan pada lambung Lembuseta. Berkuranglah rasa sakit itu dan Lembuseta kini memandang ke arah Wisena dengan kagum dan marah. Akan tetapi Lembusena yang sudah maklum akan ketangguhan lawan, mendahuluinya dan menyerang dengan kepalan tangannya yang sebesar buah kelapa- Caranya menyerang bertubi-tubi dan bersungguh-sungguh, karena ia dapat menduga bahwa pemuda ini tentu tak mudah dirobohkan. Pantas saja sang prabu menyuruh mereka berdua mengeroyoknya! Kegembiraan Wisena timbul dan ia lalu mempergunakan kelincahannya untuk mengelak ke sana ke mari, kadang-kadang menangkis pukulan lawannya itu.

   Sebelum ia dapat membalas, Lembuseta telah menyerbu dengan marah karena ia ingin membalas "Hadiah"

   Yang diterimanya tadi. Ia maju mencengkeram, ketika dapat dielakkan lawan, ia lalu merangsek maju dengan pukulan-pukulan dan cengkeraman yang hebat dan berbahaya! Kini baru terbukalah mata semua penonton dan sorak-sorai gemuruh menyambut pertandingan yang luar biasa ramainya itu. Benar-benar bagaikan dua ekor singa menyerang seekor burung yang amat gesitnya, yang berkelebatan di antara hujan pukulan. Wisena yang baru sembuh dari sakitnya, menjadi pening juga ketika bergerak-gerak sedemikian cepatnya, maka ia lalu memperlambat gerakannya, mengerahkan aji kekebalannya lalu melompat cepat sehingga tiba-tiba lenyap dari depan kedua lawannya. Lembuseta dan Lembusena yang tiba-tiba kehilangan lawan, saling pandang dengan mata terbelalak.

   "Ha, ha, kawan, aku di sini!"

   Tiba-tiba mereka mendengar suara mengejek dan ketika mereka memutar tubun, ternyata pemuda kurus kering itu telah berdiri di belakang mereka!

   "Kurang ajar, akan kubeset kulitmu!"

   Seru Lembuseta.

   "Kuhancurkan kepalamu!"

   Bentak Lembusena. Wisena tersenyum, kini kedua pipinya telah merah, lenyaplah kepucatan mukanya. Pertandingan mi benar benar menggembirakan hatinya. Ketika kedua lawannya menyerbu lagi, ia tidak mengelak dan sengaja hendak mencoba samp-u di mana kehebatan pukulan mereka! Lembuseta mengayun kepalan tangannya dan menonjok ke arah dada Wisena. Pemuda itu bertolak pinggang dan menerima pukulan itu dengan dada telanjang. Penonton memeramkan mata karena ngeri.

   "Duk!!"

   Bagaikan seekor gajah menyeruduk dengan gadingnya, pukulan itu mengenai dada Wisena dan mencelatlah tubuh pemuda itu sampai tiga tombak lebih ke belakang! Akan tetapi, ia tidak roboh, dan jatuhnyapun di atas kedua kakinya dalam keadaan berdiri dan masih tersenyum. la menghampiri kedua lawannya yang berdiri terpaku di lengah gelanggang dan sambil tersenyum ia berkata,

   "Aduh, kau kuat sekali. Terima kasih atas jotosanmu tadi, lenyaplah rasa pegal-pegal di dadaku!"

   Kata Wisena. Sementara itu, gegap-gempitalah sorak-sorai penonton yang menyaksikan kehebatan ini. Siapakah yang akan mengiira bahwa pemuda kurus kering itu memiliki kesaktian sedemikian rupa? Akan tetapi, memang ada yang sudah dapat mengira sebelumnya, yakni Sang Prabu Anusapati sendiri. Sri Baginda hanya mengangguk-angguk senang dan ia merasa kagum sekali terhadap pemuda dari Gunung Anjasmoro itu.

   "Kau sombong, anak muda!"

   Lembusena membentak dan secepat kilat tancannya diulur menangkap pinggang pemuda itu. Kembali Wisena tidak mengelak dan membiarkan dirinya dipegang, diangkat ke atas kepala raksasa itu., diayun dan diputar-putar sehingga kembali para penonton menjadi gelisah dan merasa ngeri.
 
"Mampuslah kau!"

   Bentak Lembusena sambil membanting tubuh pemuda itu ke atas lantai. Akan tetapi, yang di banting jatuh berdiri tanpa mengeluarkan suara sebatu Jan meledaklah pula tampik sorak para penonton.

   "Hebat sekali!"

   Seru seorang

   "Ia gagah perkasa seperti dewa, pantas menjadi pahlawan kerajaan!"

   Seru yang lain. Sementara itu, Lembuseta telah menubruk lagi dan meringkus pemuda itu, dipitingnya, kemudian Lembusena membantu dan mencekik leher Wisena. Tangan dan kaki Wisena telah dipegang dan ditekuk bagaikan sayap dan kaki ayam, lehernya dipiting dan dicekik oleh Lembusena.

   Agaknya akan tewaslah kali ini pemuda itu. Akan tetapi selagi semua penonton memandang penuh kengerian, bahkan Sang Puteri Dewi Murtiningsih juga memandang dengan hati dak-dik-duk penuh kegelisahan, tiba-tiba tubuh Wisena yang agaknya sudah tak berdaya itu bergerak, terdengar seruannya nyaring dan tahu-tahu ia telah terlepas dari ringkusan, berdiri di belakang kedua orang raksasa sambil mentertawakan lawan yang kini saling ringkus itu! Para penonton bergelak tertawa, sungguhpun mereka tidak mengerti bagaimana pemuda itu dapat melepaskan diri. Sesungguhnya, Wisena telah mengerahkan aji kesaktian Belut Putih sehingga tubuhnya menjadi licin bagai belut dan mudah saja ia meloloskan diri dari ringkusan kedua lawannya Ketika memutar tubuh dan melihat betapa pemuda itu mentertawakan mereka, Lembuseta dan Lembusena menjadi marah sekali.

   Mereka berbareng menubruk maju dan menangkap kedua lengan Wisena, seorang menarik ke kanan, seorang ke kiri. Mereka hendak menyempal bahu pemuda itu, hendak merobek tubuhnya menjadi dua potong. Akan tetapi usaha mereka ini seakan-akan merupakan dua ekor kera hendak mematahkan sepotong besi, karena tubuh Wisena sedikitpun tidak bergeming. Saking marah dan penasaran, kedua orang raksasa itu lalu mengayun tubuh Wisena beberapa kali, lalu dilontarkannya tubuh itu ke luar panggung! Mereka hendak mengambil kemenangan dengan jalan curang, karena kalau pemuda itu sampai jatuh ke luar panggung, berarti ia telah kalah! Tubuh Wisena yang dilontarkan sekuat tenaga oleh dua orang raksasa itu, melayang bagaikan anak panah terlepas dari busurnya.

   Pemuda itu maklum bahwa kalau ia sampai terjatuh di luar panggung, akan sia-sia sajalah usahanya tadi, maka ia lalu berjungkir balik beberapa kali, memutar-mutar tubuhnya dan dapat melayang turun ke atas panggung kembali! Memang hebat sekali kepandaian ini dan semua orang memandang dengan penuh kekaguman dan keheranan. Wisena merasa bahwa sudah cukup kiranya ia memperlihatkan kepandaiannya. Kini tubuhnya terasa segar, kalau tadinya bekas penyakit masih membuat ia merasa pening dan lemah, kini seakan-akan tanaman yang sudah lama tidak tersiram air lalu turun hujan, ia merasa tubuhnya sehat dan segar. Pukulan-pukulan dan serangan-serangan Lembuseta dan Lembusena tadi merupakan obat penawar yang manjur, merupakan air dingin yang menyegarkan seluruh tulang dan urat di dalam tubuhnya.

   "Lembuseta dan Lembusena, sekarang kalian rasakanlah pukulan Jaka Wisena!"

   Serunya keras sambil menerjang kedua orang lawannya itu. Lembuseta dan Lembusena menangkis pukulan pemuda itu, akan tetapi saking hebatnya tenaga pukulan Wisena, keduanya sampai terhuyung-huyung ke belakang. Wisena cepat melangkah maju menangkap rambut kepala kedua lawannya itu, mengangkat tubuh mereka dan sekali ia menggerakkan kedua tangannya,

   "Dak!"

   Ia telah membenturkan kedua kepala raksasa itu dengan keras. Untungnya Lembuseta dan Lembusena memiliki kekebalan dan kekuatan luar biasa, kalau orang lain yang diadukan kepalanya seperti itu, mungkin akan muncrat keluarlah benaknya! Melihat betapa kedua orang raksasa itu tidak roboh karena kepala mereka saling dibenturkan, Wisena kembali mengayun kepalan kedua tangannya sambil mengerahkan aji kesaktiannya.

   "Plak! Plak!!"

   Bagaikan disambar petir rasanya bagi kedua orang raksasa itu ketika tamparan Wisena mengenai pilingan kepala mereka. Pandangan mata menjadi berkunang. kunang dan tubuh terasa lemas dan lumpuh. Wisena lalu menyambar tubuh mereka dengan kedua tandan, berseru nyaring dan membanting tubuh mereka ke atas papan panggung.

   "Braak!!"

   Keras sekali suara ini karena papan itu telah jebol dan tubuh kedua orang raksasa itu lenyap dari atas panggung! Ternyata bahwa tubuh kedua orang itu telah membobolkan papan dan menerobos ke bawah, jatuh di atas tanah yang berada di bawah panggung itu Tepat sekali pada saat itu, gamelan berhenti berbunyi dan sebagai gantinya, sorak-sorai para penonton dapat terdengar dari tempat berpal-pal jauhnya di sekeliling kerajaan, sehingga orang-orang yang tadinya tidak menonton pertempuran di gelanggang ujian itu, berbondong-bondong datang ke alun-alun karena tertarik. Dengan girang sekali Sang Prabu Anusapati lalu menerima Wisena yang menghadap dan bersembah sujud dengan hormatnya.

   "Bagus, Jaka Wisena! Kau patut menjadi pengawal pribadiku! Mulai sekarang, kau ku tambah nama Raden Mas, Jaka, jadi Raden Mas Jaka Wisena dan tinggallah di dalam keraton mengepalai semua pengawal keraton!"

   Wisena menyembah menghaturkan terima kasih dan mulai saat itu, tanpa disadarinya, ia telah menanam bibit kebencian di dalam hari tiga orang, yakni Lembusena, Lembuseta, dan Jaka Lumping yang hanya diterima menjadi seorang perwira biasa saja! Pangeran Pati Ranggawuni dan Pangeran Narasingamurti dengan gembira lalu menghampiri Wisena yang kembali menghaturkan terima kasih kepada mereka. Sang prabu merasa heran ketika melihat betapa kedua orang puteranya telah mengenal Jaka Wisena, dan setelah mendengar keterangan kedua orang pu teranya, ia menarik nafas panjang dan makin merasa suka kepada Jaka Wisena yang gagah itu. Ketika Pangeran Tohjaya kembali ke kota raja dari perjalanannya mencari nama, ia melihat betapa pemuda yang dulu dijadikan tukang kuda di dusun Karangluwih itu telah menjadi pengawal pribadi sang prabu. Ia menjadi marah sekali dan segera pergi menghadap kakandanya.

   "Rakanda sinuhun,"

   Katanya dengan muka manis.

   "Tanpa rakanda sadari, rakanda telah memasukkan seorang penjahat ke dalam rumah! Sungguh saya merasa prihatin dan khawatir sekali."

   Sri Baginda memandang kepada Pangeran Tohjaya dengan heran sekali.

   "Adinda pangeran, apakah sesungguhnya yang adinda maksudkan?"

   "Maksud saya bukan lain adalah si Jaka Wisena itu! Dia telah bertemu dengan saya di dusun Karangluwih dan saya beri pekerjaan sebagai tukang merawat kuda."

   "Itu hanya menunjukkan bahwa adinda kurang teliti dan awas melihat kecakapan seseorang,"

   Sri Baginda memotong sambil tersenyum. Merahlah wajah Pangeran Tohjaya, akan tetapi ia masih jaja memperlihatkan muka manis.

   "Rakanda sinuhun yang mulia, bukan itulah yang saya persoalkan. Ada yang lebih penting lagi. Ketahuilah, rakanda, bahwa di dusun Karangluwih saya mendapat seorang selir baru, puteri ki lurah yang mengepalai dusun itu. Akan tetapi, dengan amat kurang ajar sekali, Jaka Wisena itu telah berani datang pada malam hari dan hendak mengganggu calon selir hamba itu! Seorang abdi, tukang mengurus kuda, sampai berani berbuat demikian kurang ajar, bukankah ini mencerminkan watak seorang rJenjahat? Apakah tidak berbahaya kalau -sekarang rakanda mengangkatnya sebagai pengawal pribadi?"

   Di dalam hatinya, Sang Prabu Anusapati tidak senang dan tidak puas mendengar kelakuan Jaka Wisena ini, akan tetapi di luarnya ia tidak memperlihatkan ketidaksenangannya, bahkan tertawa dan menggoda Pangeran Tohjaya,

   "Adinda, sesungguhnya kau sendirilah yang mencari penyakit. Mengapa kau memilih seorang gadis dusun sebagai selir? Itulah kalau orang muda terlalu menurutkan nafsu hati. Gadis dusun jodohnya tentu pemuda gunung, mengapa kau mencari selir di tempat yang begitu jauh? Sudahlah, Jaka Wisena sudah diangkat menjadi pengawal, kita sama-sama lihat saja, kalau memang tidak benar kelakuannya, masih banyak waktu untuk menghukum atau mengusirnya."

   Pangeran Tohjaya tersenyum dan merendahkan diri berkata,"Rakanda sinuhun tentu lebih waspada akan hal ini. Saya hanya mengharapkan keselamatan rakanda dan kerajaan. Kewajiban sayalah untuk memberitahukan segala apa yang terjadi, dan selebihnya terserah kepada kebijaksanaan rakanda. Karena bujukannya untuk menjatuhkan Jaka Wisena pada Sri Baginda tak berhasil, Pangeran Tohjaya lalu mencari jalan lain untuk mencelakakan Jaka Wisena, atau setidaknya untuk merenggangkan Sang Prabu Anusapati dari pengawal itu. Hal ini amat perlu bagi rencana Pangeran Tohjaya, karena selama Sri Baginda terjaga atau dikawal oleh pemuda yang didengarnya amat tangguh dan sakti itu, akan makin sukarlah usaha dan rencananya.

   Akan tetapi sikap Wisena amat halus, sopan-santun, dan memenuhi segala syarat sehingga tak mudah bagi Pangeran Tohjaya untuk memfitnahnya. Kemudian, pangeran yang cerdik ini dapat mengetahui bahwa Lembusena, Lembuseta, dan Jaka Lumping dari Belambangan itu menaruh hati dendam kepada Wisena, maka ia lalu mendekati ketiga orang gagah ini dan berhasil membujuk mereka untuk menjadi pengikutnya dengan jalan memberi hadiah-hadiah dan harta benda kepada mereka. Dengan jalan ini, maka ia mempunyai tiga orang pembantu yang kuat di sebelah dalam keraton. Sementara itu, setelah beberapa pekan tinggal di kota raja menjadi pengawal, mendapat tempat tinggal yang indah dan pakaian-pakaian yang mewah, Wisena merasa amat berbahagia.

   Kesehatannya telah pulih kembali, bahkan kini ia nampak lebih sehat dan lebih tampan. Betapapun juga, pemuda yang semenjak kecil tinggal di gunung dan telah mendapat didikan batin yang amat kuat ini, selalu bersikap sederhana dan tidak menjadi sombong karena kedudukannya yang tinggi. Ia telah menyuruh seorang prajurit memanggil pak Bejo. Ternyata bahwa pak Bejo dari dusun Karangluwih ini telah menjadi duda, karena isterinya telah meninggal dunia"

   Karena penyakit panas- Mendengar penuturan pak Bejo tentang isterinya, yang dilakukan sambil menangis, Wisena merasa terharu sekali. Jarang ia melihat cinta kasih yang demikian besar antara suami isteri, apa lagi yang setua pak Bejo. Diam-diam ia berjanji kepada diri sendiri untuk mencontoh kebaikan ini dari pak Bejo, hidup rukun dan damai bersama seorang isteri yang setia dan mencinta.

   "Pak Bejo, karena kau telah hidup sebatangkara dan akupun demikian, maka kuharap kau suka tinggal di sini bersamaku, menjadi pembantu, penasihat, dan penghiburku."

   Pak Bejo merasa girang sekali dan semenjak hari itu ia tinggal di dalam rumah Wisena yang berada di dalam lingkungan tembok pagar yang mengelilingi keraton Sri Baginda. Karena kakek ini memang lucu, periang, dan pandai membawa diri, maka sebentar saja ia telah dikenal oleh semua orang, bahkan disukai oleh semua bayangkari. Sang Prabu Anusapati sendiri sering kali dibuatnya tertawa oleh kelucuan

   pak Bejo.

   Hubungan Jaka Wisena dengan Pangeran Pati Ranggawuni beserta Pangeran Narasingamurti makin erat saja, demikianpun pada Sang Puteri Dewi Murtiningsih, Jaka Wisena sering kali bertemu muka. Hampir tiap kali ketiga anak muda bangsawan itu pergi berburu, Jaka Wisena tentu mereka ajak bersama. Bahkan ada kalanya, kalau kedua orang pangeran itu telah merasa lelah dan merasa malas untuk mengantarkan Sang Puteri Dewi Murtiningsih mencari kembang, mengejar kupu-kupu indah, atau memburu rusa, Wi-senalah yang disuruh mengawalnya! Pada suatu hari, di dalam sebuah hutan yang terletak di sebelah barat kota raja, pada suatu dataran terbuka, Pangeran Pati Ranggawuni dan Pangeran Narasingamurti sedang bermain pedang, melatih pelajaran ilmu pedang yang mereka pelajari dari Jaka Wisena. Pemuda ini berdiri tak jauh dari situ sambil memberi petunjuk-petunjuk. Karena latihan itu diulang-ulang lagi, Puteri Murtiningsih yang juga berdiri di bawah pohon menjadi bosan.

   "Kakang Mas Ranggawuni, aku hendak mencari bunga melur di hutan sebelah utara itu, kata orang di sana kembang-kembang melur telah mekar."

   Pangeran Ranggawuni menunda gerakan pedangnya dan memandang kepada adiknya.

   "Ah, Dewi, bukankah di taman belakang keraton banyak tumbuh bunga melur? Mengapa harus mencari jauh-jauh ke hutan yang angker itu?"

   "Melur di tamansari tidak seindah melur di hutan itu,"

   Jawab sang puteri.

   "Tidak begitu banyak susunnya dan juga tidak seharum di hutan itu!"

   "Kami masih sedang berlatih pedang!"

   Kata Narasingamurti yang masih belum puas berlatih pedang bersama Ranggawuni.

   "Tidak apa, kalian berdua berlatihlah, aku tidak minta diantar!!"

   Jawab Murtiningsih sambil cemberut kepada adiknya. Pangeran Ranggawuni tersenyum melihat adiknya mulai marah dan cemberut.

   "Sudahlah, Dewi, jangan kau marah. Kalau kau ingin sekali mencari kembang itu, biarlah Wisena mengawal dan mengantarmu, aku dan dimas Narasingamurti masih ingin berlatih pedang di bagian-bagian yang tersulit."

   Dewi Murtiningsih berpaling kepada Jaka Wisena dan berkata,

   "Marilah, Jaka Wisena, kita pergi tak lama, mencari kembang melur di hutan itu!"

   Ia menunjuk ke utara, lalu menunggang kudanya yang berbulu putih.

   "Baik, gusti. Mari hamba iringkan!"

   Jawab Wisena dengan sopan sambil menaiki kudanya pula. Ia tidak merasa laalu-malu atau ragu-ragu lagi untuk pergi berdua dengan

   Dewi Murtiningsih dan juga gadis itu tidak merasa sungkan, karena pemuda ini selalu memperlihatkan sikap amat sopan dan menghormat, sungguhpun Kesopanan dan penghormatan itu ia anggap keterlaluan dan berlebihan serangga mem-bosankannya! Ketika untuk pertama kalinya Dewi Murtiningsih melihat Jaka Wisena menggeletak sakit dan kelaparan di bawah pohon waringin dalam hutan itu, timbul perasaan iba di aalam hatinya. Kemudian, ketika pada pertemuan kedua kalinya ia menyaksikan kegagahan Wisena yang hebat itu di atas gelanggang panggung pertandingan menghadapi Lembuseta dan Lembusena, timbul perasaan kagum yang besar. Kalau orang-orang cerdik pandai dan bijaksana pernah menyatakan bahwa perasaan iba dan kagum adalah jalan langsung menuju kepada perasaan cinta kasih maka herankah kita kalau sekarang Dewi Asmara mulai mengutik-utik hati gadis remaja ini?.
Akan tetapi ia adalah seorang puteri raja, dan betapapun hatinya telah condong kepada sang bagus yang menjadi pengawal pribadi ayahnya. ini, tentu saja ia tidak mau memperlihatkannya. Apa lagi di fihak Jaka Wisena sendiri, nampaknya begitu "Pendiam"

   Dan "Sopan"! Perasaan cinta kasih yang bersemi di lubuk hatinya tanpa disadarinya itu, bagaikan kembang anggrek, sungguhpun tertutup di dalam bilik kaca, tetap bersemi dan tumbuh makin besar! Jaka Wisena juga bukan seorang pemuda yang buta matanya Ia dapat melihat kecantikan yang menggairahkan dari Dewi Murtiningsih, dapat mengagumi kelincahan gadis ini yang dapat menunggang kuda dengan gerakan yang amat cepat dan duduk di punggung kuda dengan tetap dan lurus seperti seorang ahli, yang dapat melepas anak panah dengan kejituan sepuluh kali lepas sembilan kali mengenai sasaran.

   Akan tetapi ada dua hal yang membuat pemuda ini mundur teratur dalam hatinya, yang mencegahnya memperlihatkan perasaan kagumnya dari sinar matanya, dan dua hal ini pertama adalah kepatahan hatinya yang timbul karena sikap tidak setia dari Mekarsari sehingga membuatnya kapok untuk bermain-main dengan api cinta yang membakar itu. Semenjak patah hati, ia mulai berusaha untuk "Membenci"

   Wanita yang dianggapnya mempunyai iman lemah dan tidak setia. Hal ke dua adalah kenyataan bahwa ia hanyalah seorang abdi, seorang hamba yang tidak patut dan tidak selayaknya menaruh perhatian -terhadap seorang puteri raja yang menjadi junjungannya! Setelah memasuki hutan yang berada di sebelah utara itu, Dewi Murtiningsih lalu membalapkan kudanya. Kuda putihnya memang amat baik dan dapat berlari cepat, sedangkan dia adalah seorang penunggang kuda yang ahli, maka kudanya meluncur maju bagaikan angin cepatnya.

   "Gusti puteri...! Perlahan jalan, jangan terlalu cepat...!"

   Teriak Wisena dengan khawatir karena ia telah mendengar bahwa hutan itu amat angker serta banyak binatang buasnya. Ia membedal kudanya untuk mengejar, akan tetapi kudanya masih kalah cepat larinya. Sementara itu, ketika Dewi Murtiningsih menoleh dan melihat betapa Jaka Wisena berteriak-teriak dan mengejarnya, timbul kegembiraannya dan ia bahkan mempercepat lari kudanya sambil tertawa-tawa gembira!

   "Gusti puteri...! Gusti Dewi... tunggulah...!"

   Teriak Wisena dan disambungnya dengan bersungut-sungut.

   "Ah, apakah gadis itu sudah mabok...?"

   Kejar-kejaran sambil membalapkah kuda itu sebentar saja membawa mereka tiba di tengah hutan yang amat liar. Tiba-tiba kuda yang ditunggangi oleh Dewi Murtiningsih, ketika tiba di bawah sebatang pohon Lo yang tinggi, meringkik keras dan berdiri dengan kedua kaki belakangnya. Gerakan ini hampir saja membuat Murtiningsih terpelanting, akan tetapi dara yang ahli menunggang kuda itu cepat mengatur keseimbangan tubuhnya, menjepit perut kuda dengan kaki dan memegang kendali kuda dengan erat yang ditariknya ke belakang.

   "Eh, Putih, kenapakah kau?"

   Tegurnya heran. Tiba-tiba terdengar suara mendesis keras dari atas dan ketika dara itu cepat menengok, hampir saja ia menjerit kaget. Ternyata bahwa dekat sekali di atas kepalanya tampak bergantungan seekor ular yang luar biasa besarnya! Kepala ular itu dengan sepasang matanya yang liar mengerikan telah berada dekat di atasnya, membuka mulutnya lebar-lebar dan mendesis-desis sambil menjulurkan lidahnya yang berbentuk keris dan merah.

   Belum sempat Dewi Murtiningsih menenangkan hatinya, tiba-tiba ular itu melepaskan belitannya pada cabang pohon dan tubuhnya yang besar dan panjang itu meluncur turun di atas Dewi Murtiningsih! Sungguh mujur bahwa dara bangsawan itu pernah mempelajari ilmu keperwiraan sehingga ia dapat bergerak cepat. Dengan lincah ia lalu membuang diri ke kanan dan menggulingkan tubuhnya dari atas kuda, ketika jatuh di atas tanah, ia lalu bergulingan bagaikan seekor binatang trenggiling. Kemudian ia melompat bangun dan pucatlah wajah nya ketika melihat betapa ular besar itu telah membelit perut kuda dan kepalanya telah dibuka lebar-lebar untuk mencaplok kepala kuda yang meringkik-ringkik dan meronta-ronta mengenaskan itu.

   "Ular jahanam, lepaskan kudaku!!"

   Darah ksatria dan pengaruh keturunan raja tiba-tiba membuat semangat Dewi Murtiningsih bangkit. Dengan marah dara ini lalu mencabut kerisnya yang kecil mungil, melompat ke dekat kudanya lalu menusuk perut ular itu dengan kerisnya.

   "Cep!"

   Keris kecil itu menancap sampai ke gagangnya, akan tetapi mungkin sekali dirasakan oleh ular besar itu bagaikan tusukan sebatang duri pohon randu saja. Buktinya, tanpa menengok, ular itu lalu mempergunakan ekornya yang panjang untuk menyerang gadis itu. Dewi Murtiningsih tidak keburu mencabut kerisnya, karena tahu-tahu ekor ular itu telah menangkap dan melibat pinggangnya dengan kekuatan yang luar biasa.

   Murtiningsih memekik ngeri. Ia merasa jijik, geli, dan juga takut- Denean kedua tangannya, dipukul-pukul dan di-tarik-tariknya ekor ular yang kini menjadi sabuk pada pinggangnya itu. Dengan hati geli ia merasa betapa jari-jari tangannya menyentuh kulit ular yang licin berlendir, kuat dan keras itu. Kembali ia menjerit dan hampir saja ia pingsan karena ngeri dan geli! Pada saat ular itu agaknya dengan hati senang mempermainkan kuda dan gadis yang meronta-ronta tak berdaya, seperti biasanya tidak hendak menelan korbannya sebelum tewas, datanglah Jaka Wisena yang membalapkan kudanya secepat mungkin. Ia telah mendengar pekik Dewi Murtiningsih dan hatinya berdebar cemas. Alangkah terkejutnya ketika melihat betapa kuda dan gadis itu telah berada dalam libatan seekor ular yang amat besar dan panjang!

   "Bedebah!"

   Serunya keras sambil melompat turun dari kudanya yang juga berjingkrak-jingkrak ketakutan melihat ular itu. Dengan gerakan kilat, Wisena melompat ke dekat ular itu sambil mencabut keris pusakanya Ki Dentasidi. Terlebih dahulu ia menghampiri Dewi Murtiningsih yang masih terbelit oleh ekor ular itu dan sekali ia menggerakkan tangan memegang ekor dan menarik, maka belitan ekor itu terlepas dari pinggang Dewi Murtiningsih yang menjatuhkan diri ke atas tanah sambil... menangis!

   Ular itu marah sekali ketika merasa betapa sepasang tangan yang kuat telah memaksa ekornya melepaskan belitan, maka kini ekor itu cepat menyerang dan membelit tubuh Wisena dengan eratnya! Akan tetapi Wisena yang terbelit pinggangnya itu, tidak memperdnlikan hal ini bahkan ketika ia bergerak main, ekor itu tak damt nienahannya dan ikut pula terbawa. Wisena lalu menusukkan kerisnya ke arah perut ular itu. Bukan main akibatnya tusukan keris ampuh ini. Bagaikan cacing terkena abu, ular itu bergerak-gerak menggila, menggeliat-geliat dan terlepaslah kuda putih dari belitannya sehingga kuda itu dapat meringkik sambil melarikan diri. Sebagai kuda yang terpelihara baik-baik dan sudah jinak, kuda ini menghampiri Dewi Murtiningsih dan berdiri di belakang gadis itu, seakan-akan minta perlindungan!

   Kini ular itu mencurahkan seluruh perhatiannya kepada pemuda yang telah menyakitinya itu. Kepalanya menghadapi Wisena, dan kepala ini mengkilat seakan-akan baru diminyaki. Kemudian dengan gerakan cepat sekali ia menyerang Wisena dengan mulut terbuka lebar-lebar. Wisena trengginas mengelak ke kiri dan sekali saja kerisnya diayun, maka menancaplah keris pusaka Ki Dentasidi itu ke leher ular tadi. Dicabutnya kembali kerisnya dan WTisena melompat ke belakang. Keris pusaka Dentasidi ternyata telah memperlihatkan kesaktian dan keampuhannya. Setelah tertusuk lehernya sampai hampir tembus oleh keris sakti itu, lemaslah tubuh ular itu. Kepalanya terletak di atas tanah dan lehernya mengucurkan darah, sedikitpun tak dapat bergerak lagi, hanya tubuh dan ekornya saja yang masih hidup, menggeliat-geliat lemah. Ketika Jaka Wisena menghampiri Dewi Murtiningsih yang masih menangis, ia berkata,

   "Gusti Dewi...sudahlah jangan menangis, bahaya telah lewat..."

   Tiba-tiba sang puteri berdiri, memandang kepada Wisena dengan mata basah, dan ditubruknyalah pemuda itu sambil mengeluh,

   "Ah... Wisena...!"

   Melihat gadis itu memeluk pinggangnya dan menjatuhkan jidat pada dadanya, Jaka Wisena melenggong. Ia merasa betapa sepasang lengan yang halus dari dara itu merangkul pinggangnya, seperti belitan ular tadi. Tiba-tiba ia bergidik dan teringatlah ia kepada Mekarsari.

   "Semua wanita durjana belaka, tak seorangpun dapat dipercaya... palsu, cinta palsu..."

   Demikianlah bisik hati Wisena yang masih terluka. Dengan perlahan ia memegang kedua pundak gadis itu sambil menundukkan kepalanya dengan maksud hendak mendorong gadis yang memeluknya sambil menangis itu. Akan tetapi, ketika kedua tangannya menyentuh pundak yang halus lunak itu,

   Ketika mukanya yang ditundukkan membuat hidungnya menyentuh sebagian rambut kepala Murtiningsih yang harum dan sedap, ketika ia merasa betapa air mata gadis itu hangat-hangat panas membasahi kulit dadanya, seakan-akan merembes masuk dan mengobati hatinya yang terluka, tangannya tak kuasa mendorong tubuh gadis itu, sebaliknya bahkan lalu ditariknya makin dekat, didekapnya tabuh itu dengan kasih sayang yang meluap-luao! Alangkah lamanya ia menderita dan rindu, rindu akan cinta kasih seorang wanita, rindu akan seseorang yang memberi cinta kasih kepada seorang yatim-piatu seperti dia! Untuk sesaat didekapnya kepala itu, dibelai-belainya rambut yang halus itu dengan pipi dan bibirnya, disedotnya keharuman yang memabokkan itu sehingga masuk ke dalam dadanya bagaikan air embun yang menyegarkan kembali akar-akar hatinya yang mengering.

   "Dewi..."

   Bisiknya perlahan di dekat telinga kiri gadis itu.

   "Dewiku...!"

   Akan tetapi, tiba-tiba cahaya terang mengembalikan ingatannya dan terbayanglah kembali ketidakmungkinan dan ketidaklayakan hal ini, membuat ingatannya sadar kembali. Didorongnya perlahan tubuh itu terlepas dari pelukannya.

   "Tak mungkin...janganlah kita terbawa oleh arus yang berbahaya ini, gusti puteri... jangan! Aku tak sanggup menerima pukulan kenyataan... ini hanya impian kosong...!"

   Dewi Murtiningsih melangkah mundur dua tindak dan memandang kepada pemuda itu dengan mesra.

   "Jaka Wisena...pantaskah bagi seorang ksatria untuk mengingkari suara hatinya sendiri? Beranikah kau bersikap palsu, mengeluarkan kata-kata yang tidak sesuai dengan bisikan hatimu sendiri? Wisena, terus terang saja, tak perlu kusembunyikan lagi bahwa kaulah teruna yang selama ini telah menggoncangkan imanku, kaulah pahlawan hatiku..."

   Merahlah wajah gadis itu karena mulutnya tanpa dapat dikendalikan lagi telah mengucapkan bisikan hatinya, akan tetapi ia segera menekan perasaan malu ini. Ia mencintai pemuda ini, cinta yang tulus ikhlas dan suci.

   "Gusti puteri, bagaimanakah ini...? Ingatlah, aku hanya seorang abdi, seorang pengawal, sedangkan kau... kau puteri gusti sinuhun... apakah harapanku?"

   "Wisena, tak perlu hal itu diperbincangkan, yang terpenting jawablah, apakah salah dugaanku bahwa kau mencintaiku? Cinta seorang pria terhadap seorang wanita?"

   "Ampun, gusti puteri, apakah yang dapat kukatakan? Mulutku akan terkutuk dan aku akan mengkhianati jun-junganku apa bila aku membohong mengucapkan suara hatiku... akan tetapi..., mungkinkah seekor gagak mencintai seekor burung cendrawasih?"

   Tiba-tiba Dewi Murtiningsih tersenyum manis sehingga nampaklah dua baris giginya yang putih bagaikan mutiara dirangkai,

   "Bodoh, bodoh dan canggung! Laki-laki tahan tapa, ksatria perkasa yang lemah!"

   Ia maju dan memegang tangan Wisena."Kau bukan seekor burung gagak dan aku-pun bukan seekor burung cendrawasih! Kau seorang manusia, demikianpun aku! Apakah artinya keturunan raja atau bukan? Pangkat dan harta hanya pakaian belaka! Siapakah yang dapat memperbedakan kerangka seorang raja dan seorang petani? Apakah bedanya hawa yang sama-sama kita isap dan yang menjadi nafas penghidupan kita? Ah, perjaka bodoh yang katanya telah mempelajari segala ilmu! Demikian rendahnyakah pandanganmu terhadapku sehingga menganggap aku tidak mengerti tentang prikemanusiaan? Kita sama-sama manusia, kau pria dan aku wanita, kita sama-sama mencinta, apakah lagi halangannya?"

   Jaka Wisena memeramkan kedua matanya. Ucapan ini benar-benar menikam ulu hatinya dan membuatnya amat terharu sehingga ketika ia membuka matanya kembali, dua titik air mata turun di atas pipinya. Tak terasa pula ditariknya tangan dara itu dan kembali Dewi Murtiningsih berada dalam pelukannya.

   "Aduhai Dewi... Dewiku...! Kau benar-benar seorang dewi dari kahyangan,, pembawa sinar terang dalam kegelapan hatiku Alangkah suci dan murni segala kata kata yang mengalir keluar dari bibirmu yang indah. Kau mustika jagat raya, yang termulia di antara semua wanita...! Tak kusangka akan sebesar ini anugerah Dewata kepada seorang hamba Nya yang hina dan papa seperti Jaka Wisena!"

   Sambil menyandarkan kepalanya di atas dada Wisena, Dewi Murtiningsih berbisik perlahan,

   "Kang Mas Wisena... kau pahlawanku, pujaan kalbuku... teruna yang pandai merendahkan diri, menyembunyikan keagungannya, akan tetapi mataku tidak buta, teja yang bercahaya dari tubuh dan kepalamu nampak terang olehku... kau sederhana dan selalu merendahkan diri, akan tetapi hal itu bahkan mempertinggi derajatmu dalam pandangan mataku..."

   Untuk sesaat kedua orang muda itu tenggelam dalam alunan ombak asmara, terbuai dan terayun tinggi membubung ke sorga ke tujuh.

   "Gusti puteri..."

   "Hush... di tempat ini, jauh dari orang lain, aku tidak sudi mendengar sebutan gusti puteri dari mulutmu. Sudah jemu aku mendengar setiap hari kau menyebut gusti, gusti, gusti..."

   Wisena tersenyum dan jari-jari tangan kirinya mempermainkan dan membelai ujung rambut Dewi Murtiningsih. Sambil menyandarkan kepalanya di atas dada Wisena, Dewi Murtiningsih berbisik perlahan,

   "Kang mas Wisena... kau pahlawanku, pujaan kalbuku... teruna yang pandai merendahkan diri..."

   Yang terurai kusut di atas alisnya yang keciJ panjang dan hitam.

   "Dewi... diajeng Dewi..."

   Merdu sekali sebutan ini bagi Murtiningsih sehingga sambil meramkan matanya, ia menjawab lirih,

   "Hmmm...?"

   "Aku sudah yakin betul akan kemurnian cintamu, akan kesetiaan batinmu, akan kebijaksanaan pandanganmu. Akan tetapi... bagaimana dengan ramandamu... gusti sinuhun? Apakah beliau takkan marah kalau melihat kau dan aku... apakah beliau takkan menganggap aku sebagai seorang abdi yang murtad dan mendatangkan cemar dan hina...?"

   Tiba-tiba Murtiningsih merenggutkan kepalanya, membalikkan tubuh dan menghadap pemuda itu. Bukan main kagumnya hati Wisena ketika ia melihat betapa sepasang mata yang indah itu bersinar-sinar seakan-akan mengeluarkan api.

   "Apa...? Siapa yang hendak merenggut cintaku? Biar ramanda prabu sendiri, tak berhak menghancurkan kebahagiaanku, tak berhak meruntuhkan jembatan yang akan membawa aku kepada kebahagiaan! Kalau beliau misalnya hendak menghalang-halangi, aku...aku bersedia lari minggat bersamamu!"

   "Dewi..."

   Kata Wisena terharu.

   "Percayalah, aku cinta padamu. Aku bersumpah hendak membelamu sampai nafas terakhir! Aku akan melindungimu dari siapapun juga, dan kalau perlu aku akan mengorbankan jiwa ragaku untukmu!"

   "Kang Mas Wisena...!"

   Serunya lirih. Kemudian mereka berjalan sambil bergandengan tangan, kembali ke hutan di mana tadi kedua orang pangeran berlatih pedang. Tangan mereka yang sebelah lagi menuntun kendali kuda.

   "Oh, Dewiku, bagaimana dengan kembang itu?"

   "Kembang?"

   Dewi menengok dan memandang heran.

   "Kembang apa yang kaumaksudkan?"

   Wisena tersenyum geli.

   "Sudah lupakah kau akan kembang melur yang hendak kaucari? Untuk apa kita datang ke hutan ini?"

   Merahlah wajah puteri itu, baru sekarang ia teringat. Akan tetapi, ia menjawab sambil mengerling manis.

   "Kembang melur? Aku sudah memetik kembang yang lebih indah dari pada segala melur, aku sudah memetik kembang Wijayakusuma, raja sekalian kembang, dari taman hatimu dan sudah ku tanam dalam taman hatiku!"

   "Ah, Dewi, kau memang nakal...!"

   Demikianlah, sambil bersendau-gurau penuh kebahagiaan, kedua orang muda itu kembali ke hutan pertama di mana mereka mendapatkan kedua pangeran itu telah duduk beristirahat.

   "Ah, lama amat kalian mencari kembang. Di mana kembang melur itu, Dewi?"

   Tanya Pangeran Pati Ranggawuni. Biarpun Dewi Murtiningsih berusaha menyembunyikan perasaannya, namun wajahnya.


KERIS MAUT JILID 05



   nampak merah.

   "Kembang? Enak saja kau bicara tentang kembang, Kakang Mas Ranggawuni. Hampir saja adikmu ini memetik kembang di dalam perut ular!"

   "He? Apa maksudmu, Dewi?"

   Dewi Murtiningsih lalu menceritakan betapa ia diserang oleh seekor ular besar sekali dan betapa ia diselamatkan oleh Jaka Wisena. Terkejutlah kedua orang pangeran itu mendengar cerita ini.

   "Hm, untung ada Jaka Wisena! Kalau tidak, bagaimana jadinya dengan nasibmu? Maka, lain kali kau percayalah kepada orang tua, dan jangan menurut kemauan sendiri!"

   Pangeran Ranggawuni menegur.

   "Baiklah, eyang!"

   Dewi mengejek."Cucu akan memperhatikan segala petuah eyang."

   "Eh, eh, apa pula ini?"

   "Bukankah Kakang Mas tadi mengatakan bahwa aku harus mendengar dan percaya kepada orang tua, kalau kakangj mas sudah tua, lebih pantas disebut eyang!"

   Semua orang tertawa karena kejenakaan ini dan kedua orang pangeran xlu lalu mengucapkan terima kasih kepada Jaka Wisena yang telah menolong puteri itu. Kemudian kembalilah keempat orang muda itu ke kota raja. Semenjak perpaduan kasih di dalam hutan itu, Jaka Wisena dan Dewi Murtiningsih sering kali mengadakan pertemuan, baik di waktu mereka bersama kedua orang pangeran berburu di hutan, maupun di tamansari belaKang Keraton yang indah itu. Sudah menjadi lazimnya apa bila orang muda sedang dibuat oleh kasih asmara, selalu berkurang kewaspadaannya.

   Sehari saja tak melihat wajah kekasih hati, seakan-akan kosong dunia ini, sehari menjadi setahun, sepekan serasa sewindu! Kalau sudah bertemu muka, walau hanya saling memandang, saling bertukar senyum dan pandang mata yang mesra, sudan terobatlah rindu dendam, biarpun pertemuan itu tidak pernah dikotori oleh pelanggaran-pelanggaran susila. Alangkah mesra dan sucinya cinta asmara orang-orang muda beriman tinggi, dan alangkah bodohnya orang-orang muda yang tenggelam ke dalam madu asmara! Demikian pula Wisena dan Dewi Murtiningsih. Mereka tidak pernah mengira bahwa ada sepasang mata yang selalu mengintai dan melihat pertemuan-pertemuan mereka itu dengan mata bernyala namun mulut tersenyum penuh dendam. Inilah mata dan mulut Pangeran Tohjaya yang hendak menjalankan siasatnya dengan bantuan hubungan antara sepasang-kekasih ini.

   "Rakanda sinuhun, sebelumnya saya mohon ampun sebanyaknya apa bila saya berani datang membawa berita yang amat buruk dan akan membuat hati rakanda menjadi berduka dan marah,"

   Demikian kata-kata berbisa yang diucapkan oleh Pangeran Tohjaya kepada Sang Prabu Anusapati. Sri Baginda memandang wajah adiknya dengan hati tak enak.

   "Adinda pangeran, berita apakah gerangan itu? Lekas beritahukan kepadaku, tak nanti aku akan marah kepada adirida, karena pembawa berita, baik berita buruk atau baik, sesungguhnya telah berjasa bagi pendengarnya."

   "Rakanda, ternyata Dewata telah menjatuhkan hukuman yang merupakan penghinaan dan kecemaran kepada keluarga kita Apa hendak dikata, bukan saya tidak mencintai keponakan, akan tetapi karena ada orang luar yang berani melemparkan hinaan kepada kita, terutama sekali kepada rakanda, terpaksa saya harus melaporkan hal ini. Harap jangan kaget, rakanda sinuhun, telah beberapa kali saya melihat sebuah peristiwa yang amat memalukan di tamansari. Kalau baru melihat sekali dua kali saja, saya takkan berani melaporkan hal ini, karena khawatir kalau-kalau mata saya yang salah lihat Akan tetapi, ternyata saya bukan bermimpi atau melamun dan peristiwa itu terjadi dengan sesungguhnya seperti pertemuan antara kita sekarang ini!"

   "Katakanlah, adinda, jangan ragu-ragu. Peristiwa apakah itu?"

   Hati Sri Baginda makin gelisah.

   "Ampun, rakanda. Berat mulut saya mengatakannya, akan tetapi kalau rakanda memaksa, apa boleh buat...!

   "Si keparat Jaka Wisena itu, yang semenjak dulu telah saya curigai, ternyata sekarang mendatangkan malapetaka kepada keluarga kita. Dia telah mengulangi perbuatannya di Karangluwih dahulu, dan kalau dahulu ia hanya mencoba untuk menggoda calon selir saya dan percobaannya itu tidak berhasil, kali ini ia telah berhasil menggoda hati puterinda sendiri, Dewi Murtiningsih!"

   "Apa katamu?"

   Bentak Sang Prabu Anusapati dengan geramnya.

   "Sesungguhnya, rakanda,"

   Kata Pangeran Tohjaya.

   "Saya sendiri hampir tak dapat mempercayai mata saya yang melihatnya. Telah beberapa kali, di waktu malam hari, puterinda Dewi Murtiningsih mengadakan pertemuan dengan si keparat Jaka Wisena di dalam tamansari."

   "Jahanam...!"

   "Jangan marah dulu sebelum menyaksikan sendiri, rakanda. Lebih baik malam hari ini saya mengadakan pengintaian dan apa bila benar-benar mereka mengadakan pertemuan lagi, akan saya beri tahu kepada rakanda sinuhun agar dapat menyaksikannya sendiri!"

   Sang prabu hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya, karena kemarahan membuat ia tak kuasa mengeluarkan suara. Malam hari itu, terang bulan dan indah sekali pemandangan di dalam tamansari. Seperti biasa, karena pada hari itu Wisena tidak berkesempatan bertemu muka dengan Dewi Murtiningsih, kedua orang muda ini mengadakan pertemuan, duduk bersanding di atas bangku di tamansari, bicara berbisik-bisik dengan penuh perasaan cinta yang makin hari makin berakar kuat di dalam hati masing-masing. Alangkah terkejut hati mereka ketika tiba-tiba terdengar bentakan keras,

   "Keparat Jaka Wisena! Kau sungguh seorang manusia tidak mengenal budi!"

   Jaka Wisena melompat bangun dan dengan tubuh menggigil ia menghadap Sang Prabu Anusapati dan Pangeran Tohjaya.

   "Hm, kalau memang pada dasarnya biadab, setelah menerima anugerah dan pangkat, tetap saja masih memperlihatkan kebiadabannya!"

   Kata Pangeran Tohjaya.

   "Keparat tak tahu malu, kau sungguh mencemarkan nama Kerajaan Singosari!"

   "Dewi...! Tidak malukah engkau? Patutkah seorang puteri keturunanku bertindak melanggar susila seperti ini? Berkasih-kasihan dengan seorang rendah budi, dengan seorang pemuda gunung, seorang keturunan sudra!"

   "Ramanda!"

   Tiba-tiba Dewi Murtiningsih yang tadinya juga tunduk penuh rasa malu dan takut itu, kini berdongak dengan wajah pucat memandang ayahnya, sikapnya seakan-akan seorang pahlawan menghadapi lawannya.

   "Jangan ramanda menuduh yang bukan-bukan! Pertemuanku dengan Jaka Wisena adalah pertemuan yang bersih dan sama sekali kami tak melanggar susila. Kami saling mencinta, itu betul, dan apa salahnya itu? Hendaknya ayah, dan terutama paman pangeran, jangan merendahkan nama Kakang Mas Wisena di hadapanku, karena apakah arti keturunan dan derajat seseorang? Hendaknya diingat, kita semua ini keturunan siapakah? Apakah para raja itu keturunan Dewata? Bukan, hanya keturunan manusia juga, dan belum tentu nenek moyang kitapun tadinya seorang raja"

   Bagaikan ditampar oleh tangan yang tak nampak rasanya wajah Sri Baginda dsn Pangeran Tohjaya. Alangkah beraninya anak ini, memperingatkan mereka bahwa Ken Arokpun tadinya bukan seorang keturunan raja, bahkan seorang pencuri, perampok, dan penjudi dari keturunan rendah saja! Meluaplah amarah di dalam dada Pangeran Tohjaya, keturunan langsung dari Ken Arok. Dicabutnya kerisnya dan dengan sebuah terkaman buas, ia menyerang Jaka Wisena dengan kerisnya, menusuk dada pemuda itu. Akan tetapi Jaka Wisena tidak mengelak, hanya mengerahkan aji kekebalannya karena ia melihat bahwa keris itu hanya senjata biasa saja.

   "Tak!"

   Ketika keris itu menusuk dada Wisena, keris itu patah menjadi dua!

   "Wisena, jangan kau memperlihatkan kesaktianmu untuk menyombong di hadapanku!"

   Teriak Sri Baginda dan bagaikan kilat cepatnya, tangan sri baqinda mencabut keris Marga-pati ciptaan Empu Gandring, lalu ia melompat dan menyerbu Jaka Wisena!

   Melihat keris yang bercahaya itu, gentarlah Wisena- Ia dapat mengenal bahwa inilah keris yang diceritakan oleh Begawan Jatadara, inilah keris pusaka Empu Gandring yang telah kena kutuk menjadi algojo keturunan Ken Arok! Wisena tentu saja tidak berani menyambut keris ini dan iapun lalu menghunus kerisnya, Ki Dentasidi, juga buatan empu Gandring. Hanya keris ini saja yang dapat menandingi kesaktian keris Margapati itu, maka ketika kedua senjata itu bertemu, berpijaranlah bunga api menyilaukan mata. Sri Baginda Anusapati terkejut sekali dan heran bagaimana keris pemuda itu dapat melawan keris pusaka Empu Gandring. Sementara itu, Wisena tidak ingin melawan terus serangan raja yang dijunjungnya tinggi dan bahkan menjadi ayah dari kekasihnya itu, akan tetapi iapun tidak mau meninggalkan kekasihnya begitu saja. Maka ia lalu berkata,

   "Gusti sinuhun, ampunkanlah hamba!"

   "Keparat, pengkhianat, pengacau! Kau mengotori keagungan namaku dan Kerajaan Singosari!"

   Kata Sang Prabu Anusapati sambil menyerang lagi, akan tetapi dengan mudah Wisena mengelak dan menjawab, "Paduka kelak akan membuktikan sendiri bahwa hamba bukanlah pengkhianat. Hamba tetap setia kepada paduka dan Kerajaan Singosari!"

   "Bedebah, rasakan hukumanku!"

   Kembali raja yang merah itu menyerang, akan tetapi kepandaiannya bermain keris bukanlah lawan Wisena yang gagah perkasa. Dengan sekali lompatan, pemuda itu telah berkelebat ke dekat Dewi Murtiningsih dan cepat ia menyambar pinggang kekasihnya lalu dibawa melompat cepat, menghilang di dalam bayangan pohon-pohon!

   Bukan main marahnya hati Sri Baginda dan sejak hari itu, ia nampak berduka saja- Pangeran Ranggawuni dan Pangeran Narasingamurti yang mendengar tentang larinya Dewi Murtiningsih dan Wisena, hanya saling pandang dan menarik nafas nanjang. Mereka menghibur ramanda mereka sedapat mungkin dan bahkan berjanji hendak mencari dan menangkap Wisena, akan tetapi Sri Baginda bahkan menjadi marah dan tidak mau melihat muka Dewi Murtiningsih lagi! Tohiaya tersenyum girang telah dapat melenyapkan Wisena dari dalam keraton, karena pemuda yang perkasa itu merupakan batu penghalang terbesar bagi rencananya. Ia lalu mendekati Sri Baginda, menghiburnya dan karena maklum akan kesukaan Sri Baginda mengadu ayam, ia lalu sengaja mencari ayam jago yang baik dan kuat, lalu dibawanya ayam jago itu ke hadapan Sri Baginda.

   "Rakanda sinuhun, lihatlah, saya telah mendapatkan seekor ayam jago yang telah mengalahkan ratusan ekor jago-jago dari timur dan barat!"

   Sn baginda memang suka sekali kepada ayam jago, dan melihat ayam itu ia tersenyum, meraba-raba ayam itu, memeriksa patuknya yang kuat, cenggernya yang telah dipotong pendek, menghitung jumlah bulu sayapnya, memeriksa kaki dan jalu yang kering itu dan berkata,

   "Jago baik,"

   Katanya mengangguk-angguk.

   "Akan tetapi takkan dapat mengalahkan Si Wadung (Kampak)!"

   Sri Baginda memang mempunyai seekor ayam jago yang diberi nama Si Wadung dan yang tersohor sebagai ayam jago tanpa tanding dan yang terkuat di seluruh Singosari.

   "Begitukah pendapat rakanda?"

   Kata Tohjaya sambil tersenyum menantang.

   "Kalau begitu, mari kita mengadu mereka, hendak kita lihat mana yang lebih kuat!"

   Sri Baginda menjadi gembira.

   "Tiga kali tladungan saja ayam ini akan tewas!"

   "Boleh kita lihat saja, rakanda. Ayam inipun ayam pilihan"

   Maka dipanggillah pak Bejo oleh Sang Prabu Anusapati karena pak Bejolah yang diberi tugas merawat ayam jago itu. Kemudian mereka berdua, diiringkan oleh pak Bejo, lalu menuju ke lapangan adu ayam yang memang tersedia di ke-bon belakang. Pak Bejo memegang Si Wadung, sedangkan Pangeran Tohjaya memegang ayam jagonya sendiri. Sebelum kedua ayam jago itu dilepas, sambil tersenyum Pangeran Tohjaya berkata kepada Sang Prabu Anusapati,

   "Rakanda sinuhun. saya tahu bahwa Si Wadung itu selalu menang karena rakanda mengagem (memakai) keris pusaka itu- Kalau sampai ayam jago saya ini kalah, maka kekalahannya bukan hal yang mengherankan karena rakanda sekarang juga mengagem keris pusaka."

   Sang Prabu Anusapati yang matanya telah berseri gembira mengnadapi ayam jagonya yang akan bertarung, tertawa bergelak.

   "Ha, ha, Tohjaya! Kau ini ada-ada saja, ucapanmu itu hanya alasan bagi kekalahan ayam jagomu."

   "Tidak, rakanda. Kalau selama pertandingan ini, keris pusaka itu saya bawa, tentu jago saya akan menang!"

   "Apa salahnya? Boleh, boleh, mari kaubawa pusakaku dan kita lihat apakah benar-benar ayam jagomu akan dapat menangkan Si Wadung!"

   Sambil berkata demikian, Sri Baginda mengeluarkan keris pusaka Empu Gandring berikut warangkanya dan memberikannya kepada Pangeran Tohjaya. Kedua ayam jago itupun dilepaslah dan pertarungan hebat dimulai! Si Wadung benar-benar ayam jago yang kuat dan gesit sekali. Bertubi-tubi jalunya yang panjang menghantam lawannya sehingga kegembiraan Sang Prabu Anusapati memuncak. Ia tertawa-tawa dan memegang perutnya menahan geli hatinya tiap kali jagonya dapat memukul jago Pangeran Tohjaya yang mulai terhuyung-huyung dan mandi darah Dada jenggernya.

   "Ha, ha, ha! Lihat, adinda, lihat... sebentar lagi jagomu tentu akan menggeletak tak bernyawa lagi! Ayoh, Wadung, habiskanlah musuhmu! Ha, ha, ha!"

   Sri Baginda tidak melihat betapa Pangeran Tohjaya mendekatinya dengan pandang mata beringas. Juga pak Bejo yang ikut bergembira melihat jago pemeliharaannya menang, tidak melihat gerakan Pangeran Tohjaya itu. Tiba-tiba Pangeran Tohjaya mencabut keris pusaka Empu Gandring dan secepat kilat ia menusuk Sri Baginda!

   "Cep...!!"

   Keris pusaka Empu Gandring tak dapat dielakkan lagi menancap di ulu hati Sang Prabu Anusapati yang menjerit dan terhuyung-huyung lalu roboh di atas tanah dengan keris masih tertancap pada dadanya.

   "Pengkhianat...!"

   Tiba-tiba terdengar bentakan keras dan tahu-tahu Jaka Wisena melompat turun dari atas dinding pagar, langsung menampar kepala Pangeran Tohjaya yang mencelat bergulingan di atas tanah bagaikan disambar petir. Jaka Wisena lalu lari menghampiri Sang Prabu Anusapati yang masih belum tewas. Melihat pemuda itu berlutut di dekatnya, Prabu Anusapati menggerakkan bibirnya dan berbisik,

   "Jaka Wisena... aku ampunkan kau... kawinlah dengan Dewi... kau benar... bukan kau pengkhianat... lindungilah putera-puteraku..."

   Dan dengan ucapan terakhir ini tewaslah Sang Prabu Anusapati.

   Dengan amarah meluap-luap Jaka Wisena lalu mencabut keris pusaka Empu Gandring yang menancap di ulu hati Sri Baginda itu, lalu berdiri dan memandang ke arah Pangeran Tohjaya dengan mata berapi. Akan tetapi, pada saat itu datang para pengawal dan beberapa orang senapati, dikepalai oleh Jaka Lumping, Lembuseta dan Lembusena, berlari-lari datang karena mendengar... dan tahu-tahu Jaka Wisena melompat turun dari atas dinding pagar, langsung menampar kepala Pangeran Tohjaya yang mencelat bergulingan di atas tanah bagaikan disambar petir jerit Sri Baginda, dan juga karena ketiga orang itu terlebih dahulu telah mendapat kisikan dari Pangeran Tohjaya. Melihat datangnya orang-orang itu yang di antaranya bukan kaki tangannya, Pangeran Tohjaya laiu merangkak bangun aan menudingkan jarinya ke arah Yisena sambil berseru,

   "Pembunuh...! Dia telah membunuh Sri Baginda"

   Lembusena, Lembuseta, dan Jaka Lumping dengan senjata di tangan menyerbu aan menyerang Wisena dan tiga jurusan. Mereka ini memang menanti-nanti kesempatan bais dan kini mereka menerjang dengan nafsu membunuh! bukan main marahnya Wisena. ia maklum oahwa Pangeran Tohjaya memfitnahnya dan bahwa tiga orang ini telah diperalat oleh pangeran itu untuk membunuhnya. Dengan tenang, akan tetapi cepat, ia lalu mempergunakan keris pusaka Empu Gandring yang tadi menewaskan nyawa Sri Baginda untuk menangkis dan membalas dengan serangan yang tak kalah ganasnya. Keris pusaka itu memang ampuh dan sakti sekaii, maka begitu tertangkis, keris di tangan Jaka Lumping terlempar dan sebuah pukulan tangan kiri yang amat ampuh telah mampir di pangkal telinganya.

   Jaka Lumping berteriak ngeri dan tubuhnya terjengkang, roboh tanpa dapat bangun lagi karena ia telah menjadi pingsan! Bingung juga Lembuseta dan Lembusena menyaksikan kegagahan ini, akan tetapi Wisena tidak memberi kesempatan kepada mereka dan sekali kerisnya terayun, terlepas pula senjata golok kedua raksasa itu Seperti dulu, Wisena menjambak- rambut Lembuseta dan ketika Lembusena maju, ia membenturkan kepala mereka dengan sekerasnya sehingga mereka jatuh bergulingan sambil mengaduh-aduh! Akan tetapi paaa saat itu datang rombongan prajurit dan luar! Wisena terkejut sekali, dan ia hendak mengamuk, akan tetapi ia teringat akan pesan pamannya bahwa ia tidak boleh melibatkan dirinya ke dalam peristiwa bunuh-membunuh antara keturunan Ken Arok ini.

   "Tohjaya, manusia berhati curang! Kelak akan tiba masanya kau menyesali perbuatanmu yang terkutuk ini!"

   Sambil berkata demikian, Wisena lalu melompat ke atas dinding pagar dan melenyapkan diri, dikejar oleh para pengawal.

   "Bukan dia..."

   Tiba-tiba pak Bejo berdiri dan berkata dengan suara gemetar.

   "Bukan Jaka Wisena yang melakukan pembunuhan, akan tetapi Pangeran Tohjaya yang membunuhnya... aku melihatnya dengan..."

   Tiba-tiba Pangeran Tohjaya melompat dan sekali pukul saja terlemparlah tubuh pak Bejo, Kepalanya pecah! Pak Bejo tewas pada saat itu juga dan ayam jago Si Wadung yang tadi telah dipegang oleh pak Bejo, berkeok-keok lari dari situ.

   "Orang tua ini adalah kawan jahanam Wisena, tentu saja ia membantu penjahat itu! Ayoh cari penjahat itu sampai dapat!!"

   Jaka Wisena semenjak melarikan diri dengan Dewi Murtiningsih memang tidak lari jauh dan hanya bersembunyi di luar kota.

   Akan tetapi ia masih sering kali diam-diam masuk ke kota raja untuk mengamat-amati Sri Baginda dan menjaga keselamatannya. Sayang sekali kedatangannya terlambat sehingga sang prabu telah dapat ditewaskan oleh Pangeran Ton jaya yang dibencinya itu. Setelah dapat melarikan diri dari kebun belakang, Wisena cepat mencari Sang Pangeran Pati Ranggawuni dan Pangeran Narasingamurti. Kebetulan sekali kedua orang pangeran ini sedang berburu di hutan sekalian mencari jejak Wisena yang melarikan diri dengan Dewi Murtiningsih. Maka Wisena lalu cepat menunggang kuda menyusul kedua orang putera raja itu. Ketika kedua orang pangeran itu melihat kedatangan Wisena, mereka memandang marah dan dengan muka merah telah siap untuk memaki dan menegurnya, akan tetapi mereka didahului oleh Wisena,

   "Gusti pangeran, cepat! Ayoh melarikan diri bersama hamba..."

   Mendengar ucapan ini dan melihat betapa pemuda itu berwajah pucat dan nafasnya terengah-engah, kedua orang pangeran itu terkejut sekali. Dengan singkat Wisena lalu menuturkan peristiwa pembunuhan atas diri Sri Baginda yang dilakukan oleh Tohjaya itu. Menangislah kedua orang pangeran itu dan mereka lalu dibawa pergi oleh Jaka Wisena ke tempat persembunyiannya, di mana mereka bertemu dengan Dewi Murtiningsih, Bertangis-tangisanlah keempat orang itu, menangisi kematian Sang Prabu Anusapati.

   "Kira harus membalas dendam! Tak dapat kubiarkan saja jahanam Tohjaya itu membunuh ramanda dan merampas kedudukan di Singosari!"

   Wisena lalu mengeluarkan keris pusaka Empu Gandrinya dan berkata,

   "Terimalah pusaka ini, Gusti Pangeran Ranggawuni. Keris inilah yang telah dipergunakan oleh Tohjaya untuk membunuh sang prabu, dan keris ini pulalah yang telah menewaskan Sang Prabu Ken Arok. Keris ini pula yang menewaskan Tunggul Ametung, eyang Empu Gandring dan kedua orang tuaku!"

   Terheranlah kedua orang pangeran itu mendengar ucapan ini- Dewi Murtiningsih yang telah mengetahui dari kekasihnya akan riwayat kekasihnya, lalu menceritakannya kembali kepada Pangeran Ranggawuni dan Pangeran Narasingamurti.

   "Sesungguhnya, Kakang Mas Wisena adalah cucu dari Empu Gandring pencipta keris pusaka ini dan dengan keris ini di tangan eyang Prabu Ken Arok, eyang dan kedua orang tuanya telah tewas."

   "Aku bersumpah untuk membalas kejahatan Tohjaya dengan keris ini,"

   Pangeran Ranggawuni mengucapkan sumpahnya yang didengarkan oleh Wisena dengan hati tak enak. Ia mendapat tugas untuk melenyapkan pembunuhan-pembunuhan sesama saudara yang dilakukan dengan keris ini, dan kini ia bahkan bersekutu dengan Ranggawuni yang hendak melanjutkan bunuh-membunuh itu! Kalau saja di situ tidak ada Dewi Murtiningsih kekasihnya, tentu ia akan membawa pergi keris pusaka Empu Gandring dan melenyapkan diri, kembali ke Gunung Anjasmoro! Akan tetapi, ternyata perasaan cinta mengalahkan segala sesuatu.

   "Hamba siap sedia, memenuhi perintah terakhir Sang Prabu Anusapati, untuk membantu paduka merebut kembali takhta kerajaan. Akan tetapi, hamba mohon dipenuhinya sebuah syarat."

   "Nanti dulu, dimas Wisena! Tak enaklah rasanya hatiku mendengar kau menyebut gusti kepadaku dan merendahkan dirimu sedemikian rupa. Kalau diingat akan asal-usul kita, ternyata kau tidaklah lebih rendah dari pada kami. Apa pula... kau telah menjadi calon suami Dewi, maka anggaplah aku sebagai rakandamu sendiri, dan sebutlah aku dengan Kang Mas sebagaimana biasa Dewi menyebutku."

   Bukan main girangnya hati Wisena dan ketika ia melirik ke arah Dewi Murtiningsih, ia melihat kekasihnya itu menunduk malu.

   "Terima kasih, Kakang Mas pangeran!"

   "Akupun telah menjadi adikmu sendiri, Kang Mas Wisena!"

   Kata Pangeran Narasingamurti.

   "Baik, baik, dimas pangeran. Tak ada kebahagiaan yang lebih besar dari pada menyebut dan menganggapmu sebagai adik sendiri."

   "Nah, sekarang ceritakan apakah syaratmu itu, dimas Wisena"

   "Tak lain syaratku, Kakang Mas pangeran, agar supaya setelah Kakang Mas pangeran dapat menduduki singgasana, keris pusaka bmpu Gandring itu dikembalikan kepadaku antuk kuserahkan kepada paman Begawan Jatadara."

   "Kehendakmu akan terpenuhi, dimas Wisena!"

   Beberapa bulan kemudian, Pangeran Pati Ranggawuni dengan dibantu oleh Pangeran Narasingamurti, dan selalu dilindungi oleh Jaka Wisena, telah dapat mengumpulkan bala tentara yang amat besar, diperkuat oleh para senapati dan perwira yang setia kepada mendiang Sang Prabu Anusapati. Sementara itu, Pangeran Tohjaya telah mengangkat diri sendiri menjadi raja di Singosari, menggantikan kedudukan rakandanya dengan alasan bahwa para putera pangeran telah melarikan diri dan bersekutu dengan penjahat besar Wisena! Tercapailah cita-cita Ken Umang yang kini telah dapat melihat puteranya menjadi raja di Singosari dan ia sendiri menjadi ibu suri! Akan tetapi, segala hasil yang didapatkan bukan dengan jalan yang suci, melainkan dengan kecurangan dan kejahatan, pasti takkan tahan lama!

   Belum lama Pangeran Tohjaya menjadi raja, tiba-tiba datanglah serangan hebat dari barisan besar yang dipimpin oleh Pangeran Pati Ranggawuni. Pangeran Narasingamurti, dan Jaka Wisena yang selalu didampingi oleh kekasihnya, Puteri Dewi Murtiningsih! Perang saudara yang hebat terjadi, akan tetapi fihak penyerang selain mendapat bantuan Wisena yang gagah perkasa dan sakti, juga mendapat bantuan para senapati tua yang berpengalaman, bahkan sebagian besar rakyat yang berada di dalam kota raja sendiri juga diam-diam membantu dan memihak kepada pangeran pati. Maka setelah berperang beberapa pekan lamanya, akhirnya pertahanan Pangeran Tohjaya dapat dibobolkan dan Tohjaya sendiri lalu melarikan diri beserta beberapa orang pengiringnya yang membawa harta benda dari keraton.

   Namun, memang sudah menjadi nasibnya, atau karena manjurnya kutukan Empu Gandring, di tengah jalan ia bertemu dengan rombongan Pangeran Pati Ranggawuni. Pertempuran hebat terjadi di dalam hutan dan akhirnya Tohjaya tewas di ujung keris pusaka Empu Gandring yang dipegang oleh Pangeran Pati Ranggawuni sendiri! Maka bergembiralah rakyat yang memihak pangeran pati dan dengan perayaan pesta besar, Pangeran Pati Ranggawuni lalu dinobatkan menjadi raja di Singosari dan berjuluk Sang Prabu Wisnuwardana! Perayaan ini tidak hanya merayakan penobatan Sang Prabu Wisnuwardana, akan tetapi juga merayakan pernikahan antara Sang Puteri Dewi Murtiningsih dengan Sang Adipati Jaka Wisena yang telah diangkat menjadi adipati oleh Sang Prabu Wisnuwardana!

   Adapun ibu suri Ken Umang ketika menyaksikan semua peristiwa ini, tak dapat menahan kehancuran hatinya dan ia lalu jatuh sakit sampai membawa kematiannya, menyusul puteranya yang telah tewas di medan peperangan. Ketika Sang Adipati Jaka Wisena beserta isterinya yang cantik jelita, diiringkan oleh sepasukan prajurit tamtama, menunggang kuda menuju ke Gunung Anjasmoro, rombongan ini melalui dusun Karangluwih. Ketika Adipati Jaka Wisena dan isterinya menjalankan kuda dengan perlahan memasuki dusun itu dan rakyat dusun berlutut menyembah di kanan kiri jalan, tiba-tiba seorang wanita yang masih muda dan cantik, akan tetapi berwajah muram dan berpakaian sederhana, sambil menggendong seorang anak kecil, maju dan berlutut menyembah dengan hormatnya.

   "Mekarsari...!"

   Adipati Jaka Wisena menahan kudanya, diturut oleh isterinya dan pasukan itupun berhenti. Memang benar, wanita yang berlutut adalah Mekarsari dan ketika mendengar panggilan itu, berdongak memandang, mengangkat mukanya perlahan-lahan. Ternyata bahwa air matanya telah mengalir turun membasahi pipinya. Terharulah hati Adipati Wisena.

   "Mekarsari... mengapa kau berada di sini...? Dan anak itu...?"

   "Gusti adipati, semoga dewata yang agung melimpahkan rahmatnya kepada paduka dan gusti puteri yang cantik jelita! Dewata memang bersifat agung dan adil, dan biarlah mengutuk hamba yang banyak dosa..."

   Kembali ia menangis.

   "Eh, eh, Mekarsari, kukira kau telah berada di keraton Pangeran Tohjaya...!"

   Suara adipati muda itu setengah mengejek.

   "Aduh, gusti adipati, lebih baik injaklah hamba dengan kaki kuda paduka itu dari pada menusuk perasaan hamba dengan ucapan ini..."

   Mekarsari lalu bangkit berdiri dan berlari terhuyung-huyung sambil menggendong anak itu. Ketika ki lurah menyambut sang adipati, ternyata oleh Wisena bahwa lurah cu dusun ini telah berganti, bukan Ki Lurah Reksoyudo lagi. la lalu bertanya-tanya aan mendapat keterangan yang membuat hatinya makin merasa terharu. Ternyata banwa Pangeran Tohjaya tidak mengambii MeKar-sari sebagai selir, dan sama sekali tidak pernah dibawa ke Singosari.

   Pangeran ini memang hanya mempermainkan para gadis dusun seperti biasanya dan setelah Mekarsari mengandung, pangeran itu meninggalkannya begitu saja! Kalau hati Mekarsari merasa hancur, hati ayahnya lebih rusak lagi sehingga Ki Lurah Reksoyudo jatuh sakit dan meninggal dunia. Mekarsari hidup bersama ibunya, menjadi seorang janda muda dengan seorang anak dan hidupnya sungguhpun tidak kekurangan dan pada lahirnya nampak senang, namun ia menderita di dalam batin. Setiap malam terbayanglah wajah Wisena, pemuda yang sesungguhnya dikasihinya itu dan mulailah ia merasa amat menyesal. Kemudian ia mendengar berita bahwa seorang adipati hendak lewat di dusun itu dan alangkah kagetnya ketika melihat bahwa adipati itu bukan lain adalah Wisena sendiri, pemuda yang dulu ditolaknya!

   Iapun telah mendengar akan matinya Pangeran Tohjaya, maka dapat dibayangkan betapa hancur hatinya. Ia merasa berdosa kepada Wisena, maka ia memberanikan diri untuk memberi hormat kepada adipati itu dan mengucapkan doa serta menyatakan penyesalannya. Tak disangkanya bahwa Wisena akan mengucapkan kata-kata yang mengejek dan menusuk perasaannya. Setibanya di rumah, janda muda ini menangis tersedu-sedu sehingga ibunya juga ikut menangis. Malam hari itu Adipati Wisena dan rombongannya bermalam di kelurahan dan dijamu dengan segala kehormatan. Setelah ia bersama isterinya masuk ke dalam kamar, barulah Dewi Murtiningsih mengeluarkan pertanyaan yang semenjak sore tadi mengganjal hatinya.

   "Kakang Mas, siapakah wanita yang bernama Mekarsari tadi?"

   Adipati Wisena tersenyum dan menggoda,

   "Ia seorang wanita dan kau sudah tahu bahwa namanya Mekarsari, mengapa bertanya lagi siapa dia?"

   Dengan cemberut Dewi Murtiningsih memukul lengan suaminya.

   "Kalau tidak kauceritakan tentang riwayatmu dengan Mekarsari itu, aku akan marah!"

   Wisena memeluk pundak isterinya dan menariknya duduk di atas kursi. Ia maklum akan kemuliaan budi isterinya dan ia sendiri juga seorang suami yang bijaksana. Apa bila terdapat sesuatu rahasia di antara suami isteri, betapa kecil-pun rahasia itu, maka suami isteri itu takkan menikmati kebahagiaan rumah tangga yang sejati. Dengan perlahan akan tetapi jujur, diceritakanlah oleh Wisena tentang segala pengalamannya dengan Mekarsari.

   "Karena Mekarsarilah, maka aku dulu amat membenci wanita yang kusangka semua berwatak tidak setia seperti dia, sampai aku bertemu dengan kau, Dewiku, yang membuka mata dan hatiku bahwa tidak semua wanita gila pangkat, gila harta, dan tidak setia."

   Terharulah hati Dewi Murtiningsih mendengar ucapan suaminya ini dan sambil merangkul suaminya ia berkata,

   "Kanda... ada sebuah permintaanku..."

   "Ya...?"

   "Kelak, kalau... kalau aku sudah..."

   Ia menghentikan kata-katanya dan wajahnya memerah.

   "Ya...?"

   Suaminya mendesak.

   "Kalau aku sudah... punya anak... kau harus mengambil Mekarsari sebagal selirmu!"

   Terbelalak mata Wisena mendengar permintaan ini.

   "Dia...? Seorang janda...?"

   Dewi Murtiningsih cemberut.

   "Ya, dia! Dan tidak boleh orang lain! Akhirnya kau tentu akan mempunyai selir juga, dan aku takkan rela melihat kau membagi cinta kasihmu kepada seorang gadis yang belum tentu mencintaimu, yang hanya mau menjadi selirmu karena harta dan pangkatmu, seperti halnya Mekarsari dan paman Pangeran Tohjaya! Mekarsari lain lagi, ia mencintaimu, hal ini aku dapat mengetahui dengan pasti ketika ia berlutut di pinggir jalan tadi!"

   "Alangkah mulia hatimu, Dewiku... sesungguhnya, belum pernah aku melihat bahkan mendengar adanya seorang puteri seperti engkau, isteriku sayangi"

   "Akan tetapi ingat, hanya kalau aku sudah punya anak! Dan hanya Mekarsari saja yang boleh menjadi selirmu dan sekali lagi, hanya seorang selir, tidak boleh lebih!"

   Ia memberi tekanan keras pada tiap-tiap kata-kata "Hanya"!

   "Baiklah, Dewiku!"

   Setahun kemudian, Mekarsari sudah berada di dalam gedung kadipaten Adipati Jaka Wisena, menjadi isteri ke dua dari adipati. Rumah tangga ini penuh kebahagiaan hidup, saling rukun dan damai, penuh cinta kasih.

   Adapun Adipati Jaka Wisena, sampai berpuluh tahun mengabdi kepada Sang Prabu Wisnuwardana, raja yang adil bijaksana sehingga ia memerintah Singosari tanpa halangan sesuatu. Pemberontakan yang timbul kecil-kecilan mudah saja dipadamkan oleh Adipati Jaka Wisena dan kutuk Empu Gandring terhenti sampai di situ saja, karena keris pusaka Empu Gandring telah dikembalikan oleh Adipati Wisena kepada Sang Begawan Jatadara.

   TAMAT

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KERIS PUSAKA NOGOPASUNG BAGIAN 1

JAKA GALING