KERIS PUSAKA NOGOPASUNG 6
Share
"Paman Kebosoro, sebelum Eyang Panembahan Pronosidhi meninggal dunia, beliau berpesan kepadaku agar aku tidak menaruh dendam terhadap Hastorudiro atas kematiannya yang disebabkan oleh penyerbuan orang-orang Hastorudiro ke Anjasmoro........."
"Hemm, kalau mau membalas dendam pun boleh!" tiba-tiba Pramudento memotong dengan suara tegas dan menantang.
Joko Handoko tersenyum memandangnya. "Sobat, Andika sungguh penuh prasangka."
Lalu dia memandang lagi kepada Kebosoro dan melanjutkan. "Karena itu, sedikit pun
tidak terkandung dendam dalam hatiku terhadap Hastorudiro, apalagi setelah aku melihat kenyataan aliran Hati Putih kena fitnah dan Hastorudiro tertipu sehingga terjadilah penyerangan ke Anjasmoro itu".
"Orang muda, apa maksudmu?" Ki Kebosoro membentak sambil menatap tajam wajah Joko Handoko. Peristiwa dengan aliran Hati Putih itu memang merupakan ganjalan di dalam hatinya. Mula-mula ada empat orang yang mengaku murid aliran Hati Putih mengacau dan menyerang orang-orang Hastorudiro, kemudian empat orang murid itu melarikan diri kembali ke Anjasmoro, dikejar oleh dua orang adik seperguruan, yaitu Ki Gagaksampar dan Ki Gagakmeto bersama tiga orang murid kepala. Orang-orang Hati Putih itu ketika dikejar, lari naik ke sarang mereka di Gunung Anjasmoro. Dua orang adik
seperguruannya mengejar dan akhirnya berhadapan dengan Panembahan Pronosidhi
sehingga terjadi perkelahian. Akibatnya, Ki Gagaksampar patah tulang lengannya.
Walaupun keduanya akhirnya sembuh, akan tetapi mereka nyaris tewas oleh luka-luka mereka, dan dua orang murid kepala Hastorudiro tewas sekeltik. Biarpun kemudian dia mendengar bahwa Panembahan Pronosidhi itu pun tewas, namun masih ada ganjalan di dalam hatinya terhadap aliran Hati Putih yang dianggapnya mencari gara-gara dan lebih
dahulu mengorbankan api permusuhan antara kedua aliran itu. Kini, mendengar keterangan cucu penambahan itu bahwa sebab permusuhan itu adalah fitnah dan Hastorudiro tertipu, tertu saja dia terkejut dan heran, juga merasa penasaran.
"Bukan hanya Hastorudiro yang tertipu sehingga diadu-domba dengan Hati Putih, bahkan
perkumpulan Sabuk Tembogo juga diadu-domba dengan pasukan Kadipaten Tumapel, dan kami datang ke sini untuk mengabarkan bahwa kini Hastorudiro juga diadu-domba dengan pasukan Tumapel. Sangat boleh jadi bahwa dalam waktu dekat. Hastorudiro akan diserbu oleh pasukan Tumapel yang menganggap Hastorudiro sebagai pemberontak-pemberontak karena ada anak buah Hastorudiro yang membunuh empat orang perajurit Tumapel."
"Bohong! Kami tidak pernah memusuhi prajurit-prajurit Tumapel!" bentak Ki Kebosoro.
"Tentu saja, paman. Akan tetapi para senopati Tumapel tentu berpendapat lain karena prajurit-prajurit Tumapel dibunuh oleh dua orang yang mempergunakan ilmu pukulan yang meninggalkan tapak tangan merah."
Mendengar keterangan ini, Ki Kebosoro saling berpandangan dengan dua orang adik seperguruannya, dan Pramudento berkata, "Ayah, jangan sembarangan percaya kepada orang lain. Siapa tahu kalau dia orang yang bahkan menyebar fitnah dan mengadudomba!"
"Joko Handoko, kami tidak dapat percaya begitu saja akan ceritamu tadi. Coba jelaskan
apa yang telah terjadi! Jelas bahwa empat orang murid Hati Putih mengacau kami, mereka mempergunakan ilmu-ilmu Hati Putih dan mengaku murid-murid Hati Putih, bagaimana engkau mengatakan bahwa itu fitnah dan kami tertipu" Apapula artinya bahwa kini kami diadu-domba dengan pasukan Tumapel" Ceritakan yang jelas!"
"Baiklah, paman. Hati Putih memang diadu-domba dengan Hastorudiro. Empat orang yang mengacau dan mengaku murid Hati Putih itu sebenarnya bukan murid-murid aliran kami. Akibat adu-domba itu, para pembantu paman menyerbu Anjasmoro sehingga mengakibatkan kematian-kematian, juga kematian eyang yang sudah berusia lanjut.
Kemudian, pasukan Tumapel menangkap murid-murid Sabuk Tembogo karena ada orang-orang yang mengaku murid-murid Sabuk Tembogo melakukan kejahatankejahatan
di Tumapel. Dan akhirnya, ada dua orang yang menggunakan ilmu-ilmu Hastorudiro membunuh empat orang prajurit Tumapel, sehingga tentu saja senopati Tumapel akan menjadi marah sekali dan mungkin akan mengerahkan pasukan untuk menyerbu ke sini." Joko Handoko berhenti bicara dan kini Wulandari yang menyambung.
"Dan kami berdua yang mengetahui rahasia itu, dengan susah payah datang ke sini
untuk memperingatkan, akan tetapi bukan diterima dengan baik malah akan dihina!" dan dia pun memandang kepada Pramudento, Ki Gagaksampar dan Ki Gagakmeto dengan sinar mata mengandung kemarahan.
"Hemmm, cerita itu sungguh tidak menyakinkan!" kata pula Pramudento yang masih tetap berprasangka bahwa Joko Handoko hanya berbohong. "Siapa orangnya yang menyebar fitnah dan berusaha mengadu-domba seperti itu?"
"Ya, siapakah yang hendak mengadu-domba secara keji itu, Joko Handoko?" tanya Ki Kebosoro.
"Yang melakukan semua itu adalah kaki tangan kerajaan Daha."
"Ehh..........!!" Empat orang itu mengeluarkan suara kaget dengan berbareng.
Joko Handoko mengangguk-angguk untuk menyakinkan hati mereka. "Aku tidak suka membohong. Untuk apa aku berbohong" Sang Prabu Dandang Gendis hendak melemahkan Kadipaten Tumapel dengan cara mengadu-domba antara kekuatankekuatan di Tumapel, dan itu dipimpin oleh Begawan Buyut Wewenang yang dibantu oleh Ki Danyang Bagaskoro, Ki Bajulbiru, Ki Suroyudo dan Ki Banyakluwo, masih dibantu banyak orang pandai dari Daha."
Mendengar banyak disebutnya tokoh-tokoh yang pandai dari Daha ini, Ki Kebosoro menjadi sangat terkejut. "Akan tetapi......... bagaimana..... andika bisa tahu akan semua itu" Dan apa buktinya bahwa ceritamu itu benar?"
Joko Handoko lalu bercerita singkat menceritakan pengalamannya, ketika Gajah Putih dan Gajah Ireng berusaha menghancurkan perkumpulan Sabuk Tembogo, bahkan betapa
mendiang Ki Danyang Bagaskoro berusaha membunuh Dewi Pusporini puteri Senopati Pamungkas, kemudian dia menceritakan ketika dia dan Wulandari ditawan oleh kaki tangan Begawan Buyut Wewenang.
"Karena kami ditangkap, maka terbonkarlah rahasia mereka itu dan kami tahu akan semua rahasia mereka. Tentu rahasia mereka itu akan kami bawa sampai mati kalau saja akmi tidak diselamatkan oleh Pangeran Maheso Walungan." Joko Handoko menutup
ceritanya yang didengakan oleh Ki Kebosoro dengan mata terbelalak.
"Ah, sungguh celaka kalau begitu.......!" katanya.
"Tapi, apa buktinya bahwa semua itu benar, ayah" Sebelum mempercayainya, kita harus
melihat buktinya lebih dulu!" Pramudento berseru. Di dalam hatinya, pemuda ini memang memihak Kerajaan Daha, karena gurunya Ki Ageng Marmoyo dari Gunung Bromo adalah orang Daha juga tentu saja berpihak kepada Kerajaan Daha.
Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar, suara banyak orang dan masuklah seorang murid Hastorudiro dengan muka pucat dan dengan gugup dia melaporkan kepada Ki Kebosoro bahwa tempat mereka telah dikepung oleh pasukan Tumapel yang besar jumlahnya!
"Hemm, agaknya itulah bukti kebenaran ceritaku tadi, Paman Kebosoro. Tentu para
senopati Tumapel marah dan menyerbu karena ada dua orang yang menyamar sebagai orang-orang Hastorudiro membunuhi prajurit-prjurit Tumapel dengan ilmu pukulan yang
bertapak merah," kata Joko Handoko.
"Jangan khawatir, Ayah. Biar aku yang akan menyambut mereka!" Kata Pramudento dengan suara lantang dan sikap gagah,bahkan dia lalu meloncat keluar dari ruangan itu.
Dengan muka berubah dan hati cemas, Ki Kebosoro lalu mengejar keluar, diikuti pula
oleh dua orang adik seperguruannya. Mereka agaknya sudah melupakan Joko Handoko dan Wulandari.
Joko Handoko lalu mengajak gadis itu keluar. "Wulan, sebaiknya kita melihat perkembangannya dulu sebelum menentukan apa yang harus kita lakukan."
"Kakang Joko Handoko, mereka adalah orang yang keras kepala dan tinggi hati, untuk apa kita lebih lama tinggal di sini" Biarkan mereka diserbu dan dihancurkan oleh pasukan
Tumapel, memang sudah pantas mereka dihajar!"
Joko Handoko memegang lengan gadis itu dengan lembut. "Aihhh, engkau harus belajar sabar dan tenang, Wulan. Tak baik menurutkan perasaan. Orang boleh saja bersikap keras terhadap kita, akan tetapi mengapa kita hrus mengimbanginya" Kalau kita tahu bahwa kekerasan itu tidak baik, lalu kita membalas dengan kekerasan, bukankah hal itu berarti tidak ada perbedaan antara mereka dengan kita?"
"Ah, kakang, aku tidak setuju. Apakah kata-katamu itu berarti bahwa kalau orang berbuat jahat terhadap kita, maka kita bahkan harus berbuat baik terhadap mereka?"
"Mengapa tidak, Wulan" Kalau kita diserang, kita memang sudah sepatutnya membela diri, berusaha menyelamatkan diri. Akan tetapi, kalau orang berbuat jahat terhadap kita
lalu kita membalas dengan perbuatan yang sama, maka mereka dan kita sama jahatnya!
Bukankah demikian?"
"Tapi mereka yang memulai lebih dulu, kita hanya membalas?"
"Dulu atau kemudian tidak penting, diajeng Wulandari yang manis......."
"Eh, merayu, ya?" kata Wulandari, akan tetapi mukanya berubah merah dan bibirnya girang, sepasang matanya tajam mengerling.
Joko Handoko tersenyum, dia tidak bermaksud merayu, hanya berkelakar untuk mendinginkan hati gadis itu yang mulai panas.
"Sesungguhnya Wulan, yang paling penting bukan siapa yang lebih dulu berbuat jahat, melainkan perbuatan jahat itu sendiri. Kalau orang lain berbuat jahat, maka hal itu adalah masalah orang yang berbuat itulah. Sebaliknya, kalau kita juga melakukan hal yang sama, tak peduli apapun alasannya, membalas dendam atau apa saja, maka perbuatan jahat yang kita lakukan ini merupakan masalah penting pribadi kita sendiri."
"Wah, wahh jadi maksudmu, kalau ada orang membenci kita, maka kita harus membalas dengan mencintainya" Mana mungkin?"
Joko Handoko tersenyum. "Bukan mencintainya, akan tetapi yang penting, kita tidak membencinya! Kalau ada sedikit saja kebencian terkandung dalam batin kita, terhadap
siapapun juga, maka berarti telah ada racun mengeram di hati dan racun itu akan menimbulkan kesengsaraan batin. Sudahlah, Wulan mari kita cepat kaluar untuk melihat
apa yng terjadi di sana."
Mereka lalu cepat keuar dan ternyata para tamu sudah berkeruman di depan. Tentu saja
pesta itu terhenti, gamelan tadi tidak dipukul lagi, para penabuh gamelan bersama penari dan penyanyinya telah bersembunyi di balik gong-gong besar. Joko Handoko dan Wulandari lalu menyelinap di antara para tamu yang kini menjadi penonton. Seperti para
tamu, mereka berdua ini memandang ke arah pihak tuan rumah yang sudah berhadapan dengan belasan orang perwira yang memimpin pasukan Tumapel.
Ki Kebosoro didampingi oleh Pramudento berdiri saling menghadapi para perwira Tumapel, sedangkan dua orang adik seperguruannya berdiri di belakang mereka.
Kemudian belasan murid yang sudah memiliki kepandaian tinggi berdiri pula di belakang dua orang kakek ini. Sikap mereka, terutama sekali Pramudento, sama sekali tidak memperlihatkan rasa jerih, bahkan sikap mereka menantang. Agaknya telah terjadi perbantahan di antara kedua pihak.
"Para perwira Tumapel, dengarkan baik-baik!" terdengar suara Pramudento lantang, agaknya dia sudah marah sekali. "Semenjak dahulu sampai sekarang, aliran Hastorudiro kami tidak pernah memusuhi kadipaten Tumapel, bahkan kami yang akan maju menanggulangi kalau ada pihak yang hendak menganggu ketentraman Tumapel.
Bagaimana sekarang andika datang dengan tuduhan yang bukan-bukan" Sekali lagi kami menjawab bahwa tidak ada murid kami yang melakukan pembunuhan terhadap prajuritprajurit
Tumapel!" "Orang muda, biarlah ketua Hastorudiro yang bicara dengan kami. Dialah yang bertanggung jawab atas semua ini!" kata seorang di antara para perwira yang berkumis tebal seperti kumis Raden Gatutkaca.
"Sama saja!" tiba-tiba Ki Kebosoro berkata. "Dia adalah anakku, dan jawabnya adalah jawabanku pula!"
Perwira berkumis tebal ini mengangguk. "Ah, kiranya putera ketua Hastorudiro.
Dengarlah kalian, orang-orang Hastorudiro. Kami hanyalah utusan dari Sang Akuwu Tunggal Ametung, dan segala bantahan kalian sebaiknya disampaikan saja didepan beliau. Sekarang tugas kami hanyalah menangkap para pimpinan Hastorudiro yang berada di sini untuk kami hadapkan Gusti Akuwu."
"Kalau kami menolak ditangkap?" tanya Pramudento marah.
"Ha-ha, orang muda, jangan terlalu tinggi hati. Lihat, padukuhan ini telah dikepung oleh ratusan prajurit kami dan kami sudah menerima tugas untuk mempergunakan kekerasan
kalau perlu."
"Babo-babo! Kami tidak merasa bersalah dan selama ini kami tidak pernah menentang
Kadipaten Tumapel. Akan tetapi, kalau kami ditekan, kami akan melawan! Semut pun akan membela diri kalau diinjak, apalagi kami adalah manusia-manusia gagah. Hayo, aku tantang para senopati Tumapel untuk menangkap aku sebelum mengandalkan keroyokan ratusan orang prajurit! Apakah Tumapel mempunyai senopati yang cukup tangguh dan berani untuk memangkap aku?" Pemuda iini menantang sambil membusungkan dadanya, sikapnya sombong sekali sehingga diam-diam Wulandari ingin sekali melihat sampai di mana kehebatan pemuda yang tinggi hati itu.
Hati para perwira yang bertugas untuk menangkap pimpinan Hastorudiro menjadi panas
mendengar tantangan yang sombong itu. Tentu saja Tumapel memiliki banyak orangorang
gagah dan perwira-perwira yang berkepandaian tinggi, dan di antaranya adalah mereka yang kini memimpin pasukan sebagai para pembantu Senopati Raden Pamungkas, senopati ini sendiri tidak maju ke depan, menyerahkan kepada para pembantunya karena dia tidak ingin bersitegang dan berbantahan dengan orang-orang yang telah memberontak terhadap Tumapel.
Seorang di antara para perwira itu bernama Manudibyo, seorang yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, kepalanya yang besar dan tertutup kain panjang terurai dan matanya yang lebar selalu melotot menyeramkan. Dia adalah seorang perwira yang tangguh dan disegani karena memiliki tenaga gagah di samping ilmu pencak silat yang berasal dari daerah Parahyangan. Mendengar tantangan yang memanaskan perutnya itu,
Manudibyo tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Sambil mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau dia melangkah maju.
"Orang muda yang sombong! Orang macam engkau ini berani menentang para senopati
Tumapel" Babo-babo, sumbarmu seperti dapat meloncati Gunung Semeru dan menyelam
dasar Laut Kidul! Biarlah aku Manudibyo, menangkap dan menghajar mulutu yang lancang itu!"
Berkata demikian, si raksasa ini melangkah maju menghadapi Pramudento. Perwira berkumis tebal yang memwakili senopati mendiamkan saja dan setuju kalau raksasa ini yang maju, karena dia tahu benar bahwa di antara para perwira, Manudibyo boleh dianggap sebagai yang paling tangguh. Dia sendiri tidak akan menang melawan Manudibyo, maka dia mengangguk dan mundur, memberi ruang yang cukup luas bagi dua orang jagoan yang hendak bertanding itu. Teman-temannya juga mundur dan mereka membentuk lingkaran bersama orang-orang Hastorudiro. Sikap mereka seperti sekelompok orang yang hendak menyambung ayam jago, wajah mereka rata-rata gembira dan tegang karena hendak menyaksikan pertarungan yang mengasikkan.
"Dento, hati-hati jangan sampai membunuh orang," kata Ki Kebosoro. Tentu saja bagi seorang seperti dia, membunuh orang bukan hal yang terlalu hebat dan perlu diributkan.
Akan tetapi dia maksudkan agar puteranya tidak sampai membunuh perwira Tumapel
karena hal itu hanya akan memperuncing keadaan. Pramudento bukan seorang bodoh dan dia pun mengerti akan maksud kata-kata ayahnya.
"Harap ayah jangan khawatir. Tanpa membunuh pun aku akan mampu menundukkan semua jagoan Tumapel satu demi satu, Ki Manudibyo, majulah!"
Manudibyo yang tidak dipandang sebelah mata oleh pemuda itu seperti, menjadi penasaran. "Bocah sombong siapakah namamu" Aku tidak ingin tanganku yang tidak bermata terlanjur menewaskan orang tidak kukenal namanya."
Pramudento tersenyum mengejek, dan melihat betapa kini Joko Handoko dan Wulandari
telah menyelinap dan brada di antara tamu, dia melempar kerling dan senyum kepada gadis itu. Wulandari hanya memandang dengan mulut cemberut. Aneh, ia merasa tidak senang melihat pemuda itu bersikap sombong sekali, akan tetapi di samping perasaan tidak senang ini, ia pun tertarik sekali. Harus diakuinya bahwa Pramudento memang tampan dan gagah!
"Aku idak pernah menyembunyikan nama. Aku bernama Pramudento, putera tunggal ketua Hastorudiro."
"Bagus, Pramudento, sekarang sambutlah pukulan ini!" bentak Manudibyo yang segera menerjang ke depan. Lengannya yang panjang itu diangkat ke atas dan yang kiri menyambar turun ke arah ubun-ubun kepala Pramudento, sedangkan yang kanan menyambar turun dengan cengkeraman ke arah dada. Serangan yanghbat ini dilakukan dengan cepat, akan tetapi yang menggiriskan adalah suara angin bertiup saking kuatnya kedua lengan itu menyambar turun. Rambut dan pakaian Pramudento sampai berkibar tertiup angin pukulan yang sudah menyambar lebih dahulu sebelum tenaga tiba pada sasaranya.
Pemuda lulusan gemblengan Ki Ageng Marmoyo di Gunung Bromo itu mengenal serangan berbahaya dan tahulah dia bahwa lawannya memiliki tenaga gajah, maka dia pun dengan tenang namun cepat, mengelak dengan merendahkan tubuh tubuhnya dan meloncat ke belakang. Dengan gerakan ini, serangan kedua tangan itu hanya mengenai tempat kosong. Akan tetapi, Manudibyo sudah bergerak cepat pula, mengirim tendangan
susulan dengan kaki kirinya yang panjang dengan jari-jari melebar. Kalau tendangan ini, yang dilakukan dengan tenaga besar, mengenai tubuh Pramudento, tentu tubuh pemuda itu akan terlempar jauh seperti bola ditendang!
"Wuuuuuuuttt.............!" Kembali tendangn itu melayang dan hanya mengenai tempat kosong karena lebih dulu tubuh Pramudento sudah mengelak ke kiri.
Manudibyo semakin penasaran dan marah. Perkelahian itu ditonton banyak orang dan tentu dia merasa malu karena tiga kali berturut-turut serangan hanya mengenai udara kosong saja. Dan pemuda itu setiap kali mengelak, lalu bediri seolah-olah menanti datangnya serangan lanjutan tanpa membalas. Memang demikianlah, setelah melihat gerakan-gerakan Manudibyo yang dilakukan secepatnya namun baginya masih nampak lamban itu, dia pun mengerti bahwa lawannya ini hanya memiliki tenaga gajah itu saja.
Tidak ada keistimewaan lainnya, maka dengan mudah saja dia pun hanya mengandalkan
kegesitannya untuk menghadapi serangan-serangan itu dengan elakan-elakan.
Dan memang tepat perhitungannya. Manudibyo menyerang lagi makin lama makin sengit dan hebat, akan tetapi karena bagi Pramudento gerakan itu datangnya lamban dan dapat
diikuti dengan pandang mata secara jelas, maka dia pun mudah saja menghindarkan diri dengan elakan yang gesit, ke kanan ke kiri, meloncat atau ke belakang. Sampai dua puluh jurus Manudbyo menyerang terus, dan selalu seranganya dapat dielakkan oleh Pramudento tanpa satu kali pun ditangkis. Manudibyo yang menyerang terus-menerus itu, makin lama semakin ganas dan mempergunakan tenaga sekuat-kuatnya, tentu saja kini terengah-engah. Dia mengeluarkan tenaga terlampau besar dan terus-menerus, hal ini amat melelahkan dan jantungnya berdebar keras membutuhkan udara sebanyaknya maka dia pun megap-megap seperti ikan terlempar ke darat. Peluhnya sudah membasahi
leher dan mukanya, bajunya juga sudah basah.
Sementara itu, para anggota Hastorudiro lupa bahwa mereka semua telah dikepung pasukan besar. Saking gembira hati mereka melihat betapa putera ketua mereka mempermainkan raksasa itu, mereka brsorak dan bertepuk tangan setiap kali serangan Manudibyo mengenai tempat kosong dan raksasa itu terhuyung, terbawa oleh kerasnya serangannya sendiri.
"Ahaa, hanya beginikah jagoan dari Kadipaten Tumapel" Ternyata tidak berapa hebat!"
kata Pramudento, sengaja membikin marah lawan. Dan ternyata dia behasil karena Manudibyo mengeluarkan suara menggereng seperti harimau marah dan dia menubruk ke sana sini, ke mana saja Pramudento mengelak. Pemuda itu dengan sengaja main kucing-kucingan, mengelak dengan lompatan cepat ke kanan, kiri atau belakang agak jauh dan membiarkan lawan mengejarnya, menyerangnya lagi, dielakkannya lagi sambil mengeluarkan suara-suara ejekan seperti "luput lagi", "Wah, tidak kena!", "Meleset terus!" dan sebagainya yang membuat lawannya menjadi semakin bernafsu.Seperti mau putus rasanya pernapasan Manudibyo setelah dia menyerang terus-menerus selama seperempat jam tanpa henti, mengerahkan seluruh tenaganya, bahkan serangannya semakin ganas dan buas saja. Tubuhnya terhuyung dan lemas, kalau dia berhenti untuk mengaso, lawannya mengejaknya.
"Ha,sudah habiskan ilmu-ilmumu" Cuma sekian saja" Sudah putuskah napasmu?"
Mendengar ejekan-ejekan ini, Manudibyo menjadi semakin garang. Tanpa memperdulikan keadaan tubuhnya yang sudah terlalu lelah dan napasnya yang hampir putus itu, dia menyerang terus, kini mencabut sebatang golok besar dan menyerang dengan senjata itu. Kalau sejak tadi dia menggunakan goloknya, agaknya Pramudento tidak akan mempermainannya seenak itu walaupun tingkat kepandaiannya Manudibyo masih jauh di bawah Pramudento. Sekarang, menggunakan golok itu bahkan menguras tenaga Manudibyo semakin cepat lagi. Golok itu besar dan berat, walaupun bagi Manudibyo yang bertenaga gajah golok itu seperti sehelai bulu saja, namun dalam keadaan kelelahan, kehabisan tenaga dan napas, golok itu terasa seperti seratus kali beratnya!
"Hayo serang terus!" Pramudento mengejek sambil meloncat ke atas ketika golok
menyerampang kedua kakinya.
Manudibyo hampir tidak kuat lagi. "Keparat, hayoo balas lagi kalau kau laki-laki sejati!"
Parmudento merasa sudah cukup dia memperlihatkan kepandaiannya dan pamer ini tentu saja ditujukan kepada para penonton, terutama sekali kepada Wulandari, gadis hitam manis yang menarik hatinya itu.
"Baik, rebahlah!" bentaknya dan tiba-tiba kakinya menendang, tepat mengenai pergelangan tangan kanan Manudibyo sehingga goloknya terlepas, dan Pamudento mengirim tamparan dari atas, mengarah kepada lawan. Melihat ini, Manudibyo berdongak dan menakis dengan tangan kanan, siap untuk menangkap lengan lawan itu yang tentu akan dibuatnya patah-patah seperti orang mematah-matahkan sebatang lidi saja. Akan tetapi, tiba-tiba Pramudento menarik tangan kirinya itu dan secepat kilat menyambar, tangan kanannya dengan jari terbuka, menghantam dari bawah, ke arah leher lawan.
Kekk.....! Tubuh itu terpalanting roboh dan tidak mampu bergarak lagi. Ketika raksasa tadi menengadah, lehernya terbuka dan bagian bawah tangan Pramudento, dengan tenaga yang sudah diukur agar tidak terlalu keras datangnya, mengenai leher kiri bawah
dagu raksasa itu yang seketika merasa kepalanya sepeti disambar halilintar yang membuatnya roboh pingsan. Pingsan bukan hanya karena pukulan, melainkan terutama sekali karena kehabisan tenaga dan napas.
"Singkirkan kerbau tolol itu!" tiba-tiba terdengar suara nyaring dan di situ sudah muncul
seorang pria berusia kurang lebih empat puluh tahun yang melihat pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang senopati kadipaten, sedangkan di sampingnya berdiri seorang pemuda berusia kurang dari dua puluhan tahun yang bertubuh tegap gagah dan berwajah penuh wibawa.
Joko Handoko yang sejak tadi nonton perkelahian itu, mengerutkan alisnya dan diamdiam
menganggap Pramudento sombong dan keterlaluan memamerkan kepandaiannya dan menghina lawan. Sebaliknya, Wulandari tadi ikut bertepuk tangan memuji karena ia tahu bahwa pemuda itu ternyata memang hebat dan memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi darinya! Kini, Joko Handoko terkejut munculnya dua orang yang amat dikenalnya, juga Wulandari mengenal dua orang yang baru muncul. Gadis itu memegang tangan Joko Handoko dan menekannya sebagai isyarat ketika ia mengenal dua orang itu.
Joko Handoko hanya mengangguk dan memandang penuh perhatian. Kiranya yang memimpin pasukan mengepung itu adalah Senopati Raden Pamungkas sendiri, ayah dari Dewi Pusporini dan agaknya dibantu pula oleh Ken Arok, saudaranya seayah berlainan ibu!
Sementara itu, Ken Arok yang kini teah memperoleh kemajuan pesat dalam pengabdiannya kepada Sang Akuwu Tunggal Ametung, telah menjadi orang kepercayaan dan berpangkat perwira tinggi dalam pasukan pengawal istana, dan kini diperbantukan
kepala Senopati Pamungkas dalam menghadapi Hastorudiro yang dianggap pemberontakan, telah maju menghampiri Pramudento.
"Pemberontak sombong! Berani engkau menentang utusan Kadipaten Tumapel?" sambil membentak demikian, Ken Arok sudah menerjang dengan tamparan yang cukup kuat dan amat cepat ini, Pramudento terkejut karena dia berhadapan dengan orang yang
"berisi", bukan sekedar besar tenaga seperti Manudibyo tadi, maka dia pun tidak barani
mengelak karena serangan itu cepat sekali datangnya, melainkan mempergunakan lengan kirinya untuk menangkis sambil mengerahkan aji pukulan Tapak Bromo.
"Dukk!!" keras sekali pertemuan antara dua lengan yang berisi tenaga sakti itu dan akibatnya, keduanya terdorong mundur sampai dua langkah dan keduanya terkejut sekali ketika merasa betapa tenaga lawan amat kuatnya. Ken Arok juga diam-diam terkejut. Lawannya memiliki tangan yang mengandung hawa panas! Dia mengira bahwa
itulah aji pukulan Hastorudiro {Tangan Berdarah}, akan tetapi sesunguhnya, aji pukulan itu lebih hebat lagi, yaitu Tapak Bromo! Sebaliknya, Pramudento juga terkejut karena dia
mendapat kenyataan bahwa kekuatan lawan tidak berada di sebelah bawah tingkatnya.
Akan tetapi, sebelum dua orang pemuda yang sama-sama memiliki ilmui kepandaian tinggio ini saling hantam lebih lanjut, tiba-tiba Senoapati Raden Pamungkas berseru kepada Ken Arok, "Anakmas, hentikan saja perkelahian perorangan ini. Kita gempur saja
pemberontak-pemberontak ini dengan pasukan kita. Pasukan siaaaapp............!!"
Tentu saja keadaan gempar ketika pasukan itu bersorak dan berteriak sambil memperketat kepungan. Semua anggota Hastorudiro sudah siap siaga untuk membela diri mati-matian, walaupun mereka maklum bahwa menghadapi jumlah pasukan yang amat banyak, tentu mereka akan kalah dan akan dibasmi habis kalau tidak menyerah dan menakluk.
Ki Kebosoro yang maklum pula akan hal ini, dan dia sudah mengenal senopati itu, lalu berseru, "Kanjeng senopati, kami sungguh-sungguh tidak bersalah apa-apa!"
"Kalau begitu, menyerahlah kalian semua untuk kami bawa ke kadipaten!" bentak sang senopati.
"Ayah, kita tidak bersalah, tak parlu takut, lawan saja!" teriak Pramudento yang merasa
terlalu rendah kalau dia harus mengalah.
"Lawan saja, kakang Kabosoro!" teriak pula Ki Gagaksampar dan Ki Gagakmeto, dua orang yang juga memiliki kekerasan hati.
Pada saat senopati hendak meneriakkan aba-aba penyerbuan, tiba-tiba terdengar suara
halus namun berwibawa, "Harap andika semua bersabar dan jangan bertempur!"
Semua orang memandang dan ternyata yang berseru itu adalah Joko Handoko yang sudah melompat ke tengah medan perkelahian tadi, diikuti oleh Wulandari yang juga melompat dengn ringan dan sigapnya.
"Joko Handoko dan Wulandari..........!" Senopati Pamungkas berseru, terkejut ketika mengenal dua orang muda ini.
"Adimas Ken Arok, harap bersabar dulu!" teriak pula Joko Handoko melihat betapa Ken Arok memandang marah.
"Kakang, Joko Handoko!" Ken Arok berteriak sambil memandang marah kepada pemuda itu, "Apa artinya ini" Andika berada di sini, apakah berarti bahwa andika kini sudah bergabung dengan para pemberontak?"
"Dimas Ken Arok, harap jangan salah sangka. Tidak ada pemberontak di sini. Aku tidak, juga Hastorudiro bukanlah pemberontak." jawab Joko Handoko dengan suara lantang.
"Joko Handoko, apa maksudmu dengan ucapan itu?" Harap jelaskan!" Senopati Pamungkas membentak dan memandang tajam.
Semua orang memandang dan mencurahkan perhatian sehingga suasana menjadi sunyi.
Buhkan Ki Kebosoro dan puteranya, juga adik-adik seperguruan dan para muridnya, kini mulai percaya akan kebenaran cerita yang disampaikan Joko Handoko kepada mereka.
Buktinya sudah ada, yaitu bahwa pasukan Tumapel telah menyerbu tempat mereka dengan tuduhan pemberontakan, cocok dengan apa yang diceritakan Joko Handoko tadi.
"Kanjeng Senopati, tentu paduka masih ingat akan apa yang telah terjadi terhadap puteri
paduka dan pihak Sabuk Tembogo. Saya dan diajeng Wulandari telah melakukan
penyelidikan dan mendapat kenyataan bahwa memang ada pihak ketiga yang sengaja menyebar fitnah dan mengadu dombakan antara kekuatan-kekuatan di Tumapel, antara lain mengadu antara Kadipaten Tumapel dengan Sabuk Tembogo, antara Hastorudiro dengan Hati Putih, kemudian bahkan berusaha membunuh puteri paduka ketika menjadi tamu di rumah ketua Sabuk Tembogo. Dan sekarang, mengadu domba antara Hastorudiro dengan pasukan Tumapel, dengan menjatuhkan fitnah, menyamar sebagai orang-orang Hastorudiro untuk membunuhi para prajurit Tumapel. Karena itu, saya harap agar paduka suka menghentikan pengepungan ini dan mendengar penuturan saya."
Senopati Pamungkas memang pernah menduga bahwa setelah Sabuk Tembogo benarbenar
tidak pernah memberontak terhadap Tumapel, tentu ada pihak ketiga yang sengaja memburukkan nama perkumpulan itu. Dia tidak menyangka sama sekali bahwa pembunuhan terhadap para perajurit Tumapel yang dilakukan oleh orang-orang bertopeng dengan menggunakan pukulan aji Hastorudiro juga bukan orang-orang perkumpulan itu. Maka, mendengar penuturan Joko Handoko, dia terkejut bukan main.
"Joko Handoko, keterangan ini membingungkan dan juga berbahaya sekali. Kalau Hastorudiro bukan pemberontak, lalu siapakah yang membunuhi para prajurit Tumapel itu" Tahukah engkau siapa orangnya?"
"Saya tahu, Kanjeng Senopati. Bahkan saya bersama diajeng Wulandari pernah tertawan
dan hampir terbunuh oleh mereka. Mereka itulah yang mengatur siasat untuk mengadu
domba antara kekuatan-kekuatan di Tumapel, agar Tumapel menjadi kacau dan juga menjadi lemah."
"Siapakah mereka itu?"
"Mereka adalah orang-orang pandai dari Kerajaan Daha, Kanjeng Senopati."
Semua orang terkejut dan Ken Arok mengeluarkan seruan tertahan.
"Kakang Joko Handoko! Yakin benarkah andika akan keteranganmu itu, ataukah hanya dugaanmu belaka?"
"Bukan hanya dugaan, dimas Ken Arok. Seperti kukatakan tadi, aku dan Wulandari bahkan pernah ditawan mereka sendiri yang nyaris membunuh kami kalau saja kami tidak ditolong dan dibebaskan oleh Pangeran Maheso Walungan sendiri. Rombongan oang-orang Daha yang berilmu itu dipimpin oleh Begawan Buyut Wewenang, atas perintah Sang Prabu Dandang Gendis yang berniat melemahkan Tumapel yang dianggap tidak tunduk terhadap kerajaan Daha. Mereka mempunyai orang-orang pandai yang dapat melakukan pukulan seperti pukulan Hastorudiro, pandai memainkan Sabuk Tembogo, seperti murid-murid Sabuk Tembogo, bahkan ada yang menyamar menjadi murid Hati Putih untuk mengadu dombakan Hati Putih dengan Hastorudiro. Yang menjadi
pimpinan adalah Begawan Buyut Wewenang yang dibntu Ki Bajulbiru, Ki Suroyudo, Ki Banyakluwo, dan Ki Bagaskoro."
Mendengar penuturan yang jelas itu, Senopati Pamungkas mengangguk-angguk.
"Hemm, sungguh keji sekali dan curang sekali usaha Sang Prabu Dandang Gendis itu!"
"Paman Senopati, kita serbu saja Daha!" Ken Arok berseru dengan marah karena dia pun
percaya penuh akan kebenaran cerita Joko Handoko.
"Anakmas, Ken Arok, kita tidak berwenang untuk melakukan hal itu. Dan apakah andika mengira demikian mudahnya memukul Kerajaan Daha yang besar dan memiliki banyak sekali orang pandai dan bala tentara yang besar itu" Tidak, kewajiban kita hanyalah melaporkan semua ini kepada Sang Akuwu Tunggal Ametung dan beliau yang akan mengambil keputusan. Bagaimanapun juga, Tumapel memang masih berada di bawah
kekausaan Daha."
Kini Ki Kebosoro lalu mempersilakan para pimpinan pasukan Tumapel itu untuk masuk dan ikut berpesta menjadi tamu-tamu Agung, bahkan pasukan itu pun dipersilakan untuk
ikut makan minum. Sungguh peristiwa yang lucu dan menggembirakan. Pertempuran yang nyaris terjadi itu, yang tentu akan mengalirkan banyak darah dan melayangkan banyak nyawa manusia, kini berubah sama sekali menjadi pesta pora makan minum dan senda gurau antara kedua pihak!
Setelah selesai makan minum, Senopati Raden Pamungkas mengajak Joko Handoko dan Wulandari ikut bersama ke Tumapel, untuk menjadi saksi dalam pelaporannya kepada Sang Akuwu, juga hendak menjadi tamu di rumahnya karena senopati ini suka sekali kepada Joko Handoko dan Wulandari yang dianggapnya selain pernah berbuat baik terhadap Dewi Pusporini, juga kini bahkan menjadi pahlawan-pahlawan yang
menyelamatkan Tumapel. Karena dibutuhkan sebagai saksi di depan Sang Akuwu, tentu saja Joko Handoko dan Wulandari tidak dapat menolaknya dan mereka pun bersama pasukan itu ke Tumapel.
Berkat ketrampilan dan kegagahannya, juga dibantu leh kedudukan Danyang Lohgawe yang menjadi penasihat Sang Akuwu Tunggal Ametung dan amat dihargai karena kebijaksanaannya, maka sebentar saja Ken Arok telah memperoleh kemajuan dan diangkat menjadi senopati muda dalam pasukan pengawal kerajaan. Kemajuan ini terjadi
semenjak Ken Arok bertemu dengan Danyang Lohgawe dan barulah dia melihat betapa kehidupannya yang lalu itu sia-sia belaka. Kini dia menjadi seorang panglima muda yang disegani dan dihormati. Akan tetapi, Ken Arok masih belum puas. Dia bercita-cita tinggi,
ingin mencapai kedudukan setinggi-tingginya. Dia mulai membanding-bandingkan kedudukannya sekarang dengan kedudukan orang lain, dalam hal ini saja kedudukan orang yang lebih tinggi, seperti Tunggal Ametung. Dia merasa tidak kalah dalam segalanya dengan Tunggal Ametung, akan tetapi kenapa kedudukannya kalah jauh dan dia menjadi bawahan Sang Akuwu itu" Hal ini mendatangkan rasa penasaran dan iri hati.
Manusia hidup takkan pernah berbahagia selama dia memandang jauh ke depan, selama dia mengharapkan hal-hal yang lebih baik daripada keadaannya saat ini. Pengharapan akan keadaan yang lebih baik itu dengan sendirinya mendatangkan rasa tidak puas dan kecewa akan keadaan saat ini. Dan dia pun akan selalu menjadi korban dari keinginannya sendiri, takkan pernah puas selamanya karena dari keinginannya dia selalu mengharapkan yang lebih baik. Dan keadaan ini oleh kita sudah dianggap amat baik, dengan istilah cita-cita! Padahal, kebahagiaan terletak pada saat ini! Berbahgialah orang
yang dapat menikmati saat ini, sekarang, dalam keadaan bagaimana pun juga, tanpa memandang ke masa depan, tanpa menginginkan hal yang lain daripada yang ada.
Karena hidup adalah saat ini, kebahagiaan hidup adalah dalam saat ini.
Semenjak pertemua itu, Ken Arok selalu mencari kesempatan untuk dapat bertemu dengan Ken Dedes, walaupun hanya saling pandang dari jarak jauh. Akan tetapi, setiap kali terdapat kesempatan mereka saling berpandangan, walaupun hanya beberapa menit
saja, dua pasang mata itu tentu bertaut ketat, bahkan Ken Dedes menambah dengan senyum simpul yang amat manis penuh dengan pencaran rasa hatinya. Hal ini tentu saja membuat Ken Arok menjadi semakin tergila-gila dan akhirnya, terdorong asmara yang sudah membakar seluruh tubuhnya, berhasillah dia mencuri masuk ke dalam taman kadipaten pada saat Ken Dedes sedang berduan saja dengan danyang kepercayaannya.
Waktu itu matahari mulai terbenam dan Sang Akuwu Tunggal Ametung masih belum bangun dari tidurnya.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya rasa hati Ken Dedes ketika melihat bayangan berkelebat dan ternyata Ken Arok telah berdiri di depannya. Ia terbelalak memandang,
kemudian wajahnya berubah merah dan panjang matanya memancarkan rasa takut.
Kalau sampai ketahuan Sang Akuwu, tentu panglima muda ini akan celaka!
"Andika......... Andika..........bagaimana berani masuk ke sini.........?" tanyanya gagap.
Ken Arok masih berdiri terpesona. Dalam keadaan panik itu, Ken Dedes nampak semakin
cantik. Apalagi ketika bibirnya bergerak mengeluarkan kata-kata yang amat merdu olehnya.
"Harap paduka jangan khawatir, karena saya dapat menjaga diri, dan andaikata sampai hamba mati pun, saya tidak menyesal setelah sempat bertemu dan bercakap-cakap dengan paduka, dewi yang cantik jelita."
Mendengar ucapan itu, kedua pipi Ken Dedes menjadi semakin merah dan jantungnya berdebar keras. "Ah.... senopati......, bagaimana ini" Pergilah cepat, jangan sampai ketahuan oleh Sang Akuwu.........." pintanya dengan suara yang penuh kegelisahan.
"Tidak, sang dewi. Saya tidak akan beranjak dari tempat ini sebelum menyampaikan apa
yang selama ini terpendam di dalam lubuk hati saya."
"Ahh........." Ken Dedes menjadi bingung sekali. Dipandangnya dayang yang masih bersimpuh di situ. "Kau.......kau pergilah dulu....... dan bantu lihat kalau-kalau ada orang datang, cepat beritahu........"
Tanpa diperintah dua kali, dayang itu pun maklum bahwa ia harus meninggalkan mereka berdua dan bertugas sebagai penjaga pintu agar pertemuan antara kedua orang muda itu tidak sampai tertangkap basah. Maka sambil menutupi mulutnya, dayang itupun pergi
dari dalam taman itu, menuju ke pintu tembusan dan menanti di sana.
"Nah, cepat katakan apa kehendakmu, Raden...... dan cepat pula tinggalkan tempat ini.
Amat berbahaya bagimu, bagi kita........"
"Duhai sang dewi..... pujaan saya, hukuman dan kematian bukan apa-apa bagi saya setelah berhasil menatap wajah paduka dari dekat, mendengar suara paduka dan dapat bercakap-cakap dengan paduka. Saya rela mati untuk paduka. Semenjak pertemuan di luar taman Boboyi itu, saya tidak dapat melupakan sang dewi, siang malam terbawa dalam lamunan dan mimpi. Saya.....saya cinta kepada paduka, sang dewi Ken Dedes pujaan kalbu..........."
"Ahh...........!" Ken Dedes memejamkan kedua matanya yang menjadi basah. Terharu dan bahagia rasa hatinya mendengar pangakuan cinta yang demikian panas dari pria yang selama ini dirindukannya. "Jangan........jangan berkata demikian......"Perasannya pecah menjadi dua dan berpeang sendiri. Di satu bagian, perasaannya girang bukan main, penuh dengan kebahagiaan karena pria yang menarik hatinya ini menyatakan cinta kepadanya, akan tetapi di lain bagian, pelajarannya dalam keagaaman membuat ia merasa bahwa ia telah berdosa karena melanggar kesetiaannya terhadap suaminya.
Biarpun sejak semula ia tidak mencintai Tunggal Ametung, namun bagaimana pun juga pria itu telah menjadi suaminya dan menurut hukum agamanya yaitu Agama Buddha Mahayana ia harus taat dan setia kepada suaminya. Dan sekarang, ia menghadapi
pernyataan cinta dari seorang pria lain, pria yang yang menarik hatinya.
Ken Arok memandang dengan alis berkerut. Hatinya gelisah dan juga kecewa sekali.
"Apakah....... apakah paduka hendak menolak kasih saya" Apakah paduka...... hendak mengatakan bahwa paduka tidak suka kepada saya, tidak sudi menerima cinta kasih saya?" suaranya gemetar penuh kegelisahan. "Kalau begitu, lebih baik kalau saya mati saja di depan kaki paduka......"
"Jangan.......!" Ken Dedes melangkah maju dan dengan tubuh menggigil memegang kedua lengan Ken Arok untuk mencegah pemuda itu mencabut kerisnya, Ken Dedes menangis dan Ken Arok lalu merangkulnya, memeluk dengan sepenuh perasaan kasih
sayangnya. Akan tetapi hanya sebantar Ken Dedes sepeti dibuai kemesraan yang membuatnya lemas. Ia lalu melepaskan diri dengan lembut dan memandang kepada pemuda itu melalui genangan air matanya.
"Raden, harap jangan menyiksa hatiu.......bukan sekali-kali saya menolak, akan tetapi andika juga maklum bahwa hal ini tidaklah mungkin terjadi, tidak boleh terjadi. Saya adalah isteri Sang Akuwu.........saya tidak bebas lagi........ bahkan........ bahkan saya....... saya telah mengandung........."
Ken Arok juga sadar keadaannya dan dia menarik napas panjang. "Saya tidak peduli akan semua itu. Yang penting bagi saya, apakah paduka membalas cinta saya. Apakah andaikata suami paduka itu tidak ada lagi, paduka suka menjadi isteri saya?"
Ken Dedes memandang wajah pemuda itu dengan mata terbelalak. Mata yang jeli indah dan basah air mata. "Tidak ada lagi" Maksud.... maksudmu....." Kalau..... dia.....
meninggal dunia.........?"
Ken Arok mengangguk dan tersenyum. "Nyawa manusia di tangan para dewata, bukanlah demikian, diajeng yang manis?" Dia semakin berani dan menyebut Ken Dedes dengan sebutan diajeng yang mesra. "Andaikata dia tidak ada, maukah engkau menjadi isteriku?"
"Tapi..... tapi kandunganku....."
"Dia akan menjadi anakku pula. Bagaimana?"
Ken Dedes termenung sejenak. Tentu saja ia ingin sekali selalu berdekatan dengan pria ini dan menjadi isterinya merupakan hal yang dianggapnya paling membahagiakan.
Akhirnya ia mengangguk. Kembali mereka saling berpandangan dengan penuh kemesraan dan Ken Arok hendak merangkul lagi. Akan tetapi pada saat itu, dayang tadi datang berlari dan menunjuk ke arah pintu tembusan, mengataan bahwa Sang Akuwu datang. Mendengar ini, Ken Dedes menahan jeritnya dan Ken Arok menggunakan ilmu kepandaiannya untuk melompat dan keluar dari dalam taman sebelum Tunggal Ametung tiba di pintu tembusan.
Ken Arok menjadi semakin bimbang. Berhari-hari dia termenung saja, kadang-kadang menarik napas panjang. Kadang-kadang mengepal tinjunya. Dia tidak suka makan dan selalu gelisah di tempat tidurnya. Hal ini diketahui oleh gurunya atau ayah angkatnya yang terakhir, yaitu Danyang Lohgawe. Kakek itu berkunjung ke rumah kediaman Ken Arok yang kini memperoleh rumah sendiri, disambut dengan hormat oleh Ken Arok dan
dipersilahkan duduk.
"Ahh...........!" Ken Dedes memejamkan kedua matanya yang menjadi basah. Terharu dan bahagia rasa hatinya mendengar pangakuan cinta yang demikian panas dari pria yang selama ini dirindukannya. "Jangan........jangan berkata demikian......"Perasannya pecah menjadi dua dan berpeang sendiri. Di satu bagian, perasaannya girang bukan main, penuh dengan kebahagiaan karena pria yang menarik hatinya ini menyatakan cinta kepadanya, akan tetapi di lain bagian, pelajarannya dalam keagaaman membuat ia merasa bahwa ia telah berdosa karena melanggar kesetiaannya terhadap suaminya.
Biarpun sejak semula ia tidak mencintai Tunggal Ametung, namun bagaimana pun juga pria itu telah menjadi suaminya dan menurut hukum agamanya yaitu Agama Buddha Mahayana ia harus taat dan setia kepada suaminya. Dan sekarang, ia menghadapi pernyataan cinta dari seorang pria lain, pria yang yang menarik hatinya.
Ken Arok memandang dengan alis berkerut. Hatinya gelisah dan juga kecewa sekali.
"Apakah....... apakah paduka hendak menolak kasih saya" Apakah paduka...... hendak mengatakan bahwa paduka tidak suka kepada saya, tidak sudi menerima cinta kasih saya?" suaranya gemetar penuh kegelisahan. "Kalau begitu, lebih baik kalau saya mati saja di depan kaki paduka......"
"Jangan.......!" Ken Dedes melangkah maju dan dengan tubuh menggigil memegang kedua lengan Ken Arok untuk mencegah pemuda itu mencabut kerisnya, Ken Dedes menangis dan Ken Arok lalu merangkulnya, memeluk dengan sepenuh perasaan kasih sayangnya.
Akan tetapi hanya sebantar Ken Dedes sepeti dibuai kemesraan yang membuatnya lemas. Ia lalu melepaskan diri dengan lembut dan memandang kepada pemuda itu melalui genangan air matanya.
"Raden, harap jangan menyiksa hatiu.......bukan sekali-kali saya menolak, akan tetapi andika juga maklum bahwa hal ini tidaklah mungkin terjadi, tidak boleh terjadi. Saya adalah isteri Sang Akuwu.........saya tidak bebas lagi........ bahkan........ bahkan saya....... saya telah mengandung........."
Ken Arok juga sadar keadaannya dan dia menarik napas panjang. "Saya tidak peduli akan semua itu. Yang penting bagi saya, apakah paduka membalas cinta saya. Apakah andaikata suami paduka itu tidak ada lagi, paduka suka menjadi isteri saya?"
Ken Dedes memandang wajah pemuda itu dengan mata terbelalak. Mata yang jeli indah dan basah air mata. "Tidak ada lagi" Maksud.... maksudmu....." Kalau..... dia.....
meninggal dunia.........?"
Ken Arok mengangguk dan tersenyum. "Nyawa manusia di tangan para dewata, bukanlah demikian, diajeng yang manis?" Dia semakin berani dan menyebut Ken Dedes dengan sebutan diajeng yang mesra. "Andaikata dia tidak ada, maukah engkau menjadi isteriku?"
"Tapi..... tapi kandunganku....."
"Dia akan menjadi anakku pula. Bagaimana?"
Ken Dedes termenung sejenak. Tentu saja ia ingin sekali selalu berdekatan dengan pria ini dan menjadi isterinya merupakan hal yang dianggapnya paling membahagiakan.
Akhirnya ia mengangguk. Kembali mereka saling berpandangan dengan penuh kemesraan dan Ken Arok hendak merangkul lagi. Akan tetapi pada saat itu, dayang tadi datang berlari dan menunjuk ke arah pintu tembusan, mengataan bahwa Sang Akuwu datang. Mendengar ini, Ken Dedes menahan jeritnya dan Ken Arok menggunakan ilmu kepandaiannya untuk melompat dan keluar dari dalam taman sebelum Tunggal Ametung tiba di pintu tembusan.
Ken Arok menjadi semakin bimbang. Berhari-hari dia termenung saja, kadang-kadang menarik napas panjang. Kadang-kadang mengepal tinjunya. Dia tidak suka makan dan selalu gelisah di tempat tidurnya. Hal ini diketahui oleh gurunya atau ayah angkatnya yang terakhir, yaitu Danyang Lohgawe. Kakek itu berkunjung ke rumah kediaman Ken Arok yang kini memperoleh rumah sendiri, disambut dengan hormat oleh Ken Arok dan dipersilahkan duduk.
Setelah saling menyalam dan menerima penghormatan murid atau anak angkatnya itu Danyang Lohgawe lalu bertanya, "Anakku Ken Arok, selama beberapa hari ini aku melihat wajahmu seperti diliputi awan gelap, tanda bahwa hatimu sedang risau dan gundah. Ada apakah gerangan, anakku?"
Ken Arok berpikir sejenak sebelum menjawab. Kakek ini selain sakti juga menjadi penasihat Tunggal Ametung, dan amat sayang kepadanya. Sebaiknya berterus terang saja dan mengharapkan nasehat dan bantuannya.
"Bapak Danyang Lohgawe, memang hati saya sedang diliputi perasaan duka dan saya amat mengharapkan kalau ada seorang pria mempergunakan kekuasaannya untuk memaksakan kehendanya terhadap seorang wanita, dan memaksa gadis itu menjadi selirnya?"
Danyang Lohgawe mengerutkan alisnya. "Jelas bahwa perbuatan itu merupakan perkosaan dan tidak benar, anakku."
"Jadi pria seperti itu patut kalau dihukum atas perbuatannya?"
"Memang patut dihukum, anakku."
Hati Ken Arok menjadi lega. "Terima kasih, bapak. Sekarang satu lagi. Saya jatuh cinta kepada seorang dan dia pun membalas perasaan cinta saya......."
Keris Pusaka Nogopasung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ha-ha-ha, apa kesukarannya" Kalau sudah saling mencintai, pinang saja gadis itu dan ambil ia sebagai isterimu."
"Inilah kesukarannya, bapak pendeta. Wanita itu telah menjadi isteri orang lain."
"Saddhu........Saddhu..........Saddhu..........." Kakek itu memandang tajam. "Merampas istri orang lain adalah perbuatan tidak benar, anakku. Dan seorang isteri yang mencintai
pria lain juga merupakan orang yang tidak baik karena perbuatannya itupun tidak diperbolehkan."
"Tapi, bapak, wanita itu adalah gadis yang dipaksa menjadi isteri suaminya yang sekarang yang tadi saya ceritakan."
"Ahh......!"
"Ia dipaksa menjadi isteri orang. Kami berjumpa dan saling mencintai. Apa yang harus saya lakukan, bapak?"
Kakek pendeta itu menarik napas panjang. "Ahh persoalan ini sulit sekali, anakku. Akan tetapi, siapakah wanita itu?"
"Sesungguhnya, bapak, wanita itu bukan lain adalah Ken Dedes, selir dari Sang Akuwu Tunggal Ametung."
"Jagat Dewa Bathara............!" Danyang Lohgawe terkejut sekali.
"Karena itu, saya mohon doa restu dari bapak, agar saya dapat membunuh Tunggal Ameung dan memperisteri Ken Dedes. Dengan demikian, saya menghukum pria yang memaksa wanita itu menjadi iserinya, dan kedua saya dapa melaksanakan cinta kasih kami berdua menjadi ikatan pernikahan."
Sampai lama Danyang Lohgawe termangu-mangu. Dia merasa amat sayang kepada murid atau anak angkatnya ini dan tentu saja dia suka sekali membantu muridnya itu dalam segala hal. Akan tetapi, sebagai seorang pendeta, dia pun tentu saja tidak setuju
dengan niat Ken Arok untuk membunuh orang, apalagi orang itu adalah Tunggal Ametung yang menjadi atasan mereka sndiri. Pendeta itu menjadi bimbang. "Anakku engkau tentu tahu bahwa seorang pendeta, tidak layak begiku untuk mencampuri urusan
ini. Terserah saja kepadamu."
Karena tidak mendapatkan restu dari gurunya ini, hati Ken Arok menjadi bimbang dan penasaran. Dia pun teringat kepada Bangosamparan, penjudi besar dahulu memungut Ken Arok sebagai anaknya dan dengan demikian telah menyelamatkan bayi Ken Arok dario ancaman maut ketika ditinggalkan ibu kandungnya di tengah kuburan. Ken Arok segera mengunjungi ayah angkatnya itu. Dia tahu betapa ayah angkatnya itu amat sayang kepadanya dan tentu akan membantunya, setidaknya memberi nasehat karena dalam keadaan bimbang sekarang, dia amat membutuhkan nasihat orang yang menyayanginya. Urusannya itu belum tentu saja tidak dapat dia ceritakan kepada sembarangan orang, kecuali orang-orang terdekat seperti Danyang Lohgawe yang tidak mau membantunya dan Ki Bangosamparan yang telah menjadi yah angkatnya sejak dia masih bayi.
Dan benar saja. Ki Bangosamparan yang girang sekali bertemu dengan anak angkatnya, apalagi mendengar bahwa anak angkatnya telah menjadi seorang panglima muda di Kadipaten Tumapel, segera memberi persetujuannya ketika mendengar cerita Ken Arok.
"Anakku yang baik, hal itu tentu dapat dilakukan dengan mudah. Engkau adalah titisan Sang Hyang Brahma, segala perbuatanmu tentu dibenarkan dan direstui para dewata.
Kalau hanya selir Sang Akuwu saja, tentu akan bisa kau peroleh dan kalau Akuwu Tunggal Ametung sudah binasa, engkau malah akan dapat mengangkat dirimu menggantikannya menjadi adipati Tumapel."
Mendengar ucapan itu, tentu saja Ken Arok berbesar hati dan mengucapkan terima kasih. "Akan tetapi, saya masih belum memperoleh jalan terbaik untuk dapat melaksanakan niat itu," katanya.
"Hal itu harus diau sebaik mungkin, anakku. Ingat, Sang Akuwu Tunggal Ametung adalah
seorang yang sakti. Sudah banyak aku mendengar akan kesaktiannya, kabarnya dia juga kebal sekali, tidak tedas tapak paluning pande. Oleh karena itu, engkau harus memiliki sebuah senjata ang benar-benar ampuh, yang melebihi keampuhan aji kekebalan Sang Akuwu. Dan aku tahu siapa yang akan mampu membuat sebuah keris yang dapat menembus kekebalan Tunggal Ametung."
"Siapakah orang itu, Bopo Bangosamparan?"
"Dia bukan lain adalah Empu Gandring."
"Empu Gandring?" Ken Arok termangu. Setelah menjadi seorang panglima muda, dia telah banyak menyelidiki tentang mendiang ayahnya, Raden Ginantoko, dan dia mendapat keterangan bahwa mendiang Ginantoko adalah murid dari keponakan Empu Gandring, juga keponakan senopati Prawiroyudo yang sudah tua. Dan kini ayah angkatnya menasehatkan agar dia mencari keris buatan Empu Gandring!
"Ya, Empu Gandring yang kini telah berpindah tinggal di Lululambang. Mintalah kepada sang empu untuk membuatkan sebuah keris pusaka untukmu, anakku."
Dengan hati lega dan girang, Ken Arok mengucapkan terima kasih, meninggalkan banyak uang dan barang berharga untuk ayah angkatnya, kemudian berangkatlah dia ke Lululambang mencari tempat kediaman Empu Gandring. Dengan mudah dia menemukan tempat kediaman sang empu yang tua itu dan dikunjunginya Empu Gandring yang berada di dalam tempat pembuatan keris.Empu Gandring menyambut pemuda itu dengan alis berkerut. Penglihatannya yang tajam membuat sang empu merasa bahwa kehadiran pemuda ini membawa hawa yang tidak baik baginya. Namun, sang empu yang sudah menyandarkan segalanya kepada kekuasaan Sang Hyang Widhi Wasesa, tidak menolak kunjungan itu dan menerimanya dengan ramah.
Untuk menenangkan hati dan kepercayaan sang empu, begitu bertemu dan mendapat
keterangan bahwa kakek itu benar Empu Gandring, Ken Arok lalu bersimpuh dan menyembah dengan hormatnya. "Cucu Ken Arok menghaturkan sembah bakti kepada Eyang Empu Gandring yang mulia," demikian katanya.
Tentu saja sikap sopan ini menyenangkan hati sang empu, "Terima kasih atas penghormatanmu, bocah bagus. Siapakah andika dan ada keperluan apakah datang berkunjung?"
"Nama saya Ken Arok, eyang dan mengingat bahwa mendiang ayah saya adalah murid juga keponakan eyang maka saya adalah cucu eyang sendiri?"
"Siapakah mendiang ayahmu?"
"Ayah bernama Raden Ginantoko."
"Jagat Dewa Bathara............! Ha-ha-ha, Ginantoko memang seperti Sang Harjuno saja, di mana-mana mempunyai anak. Siapakah gerangan ibu kandungmu, Ken Arok?"
"Ibu saya bernama Ken Endok dari dusun Pangkur, eyang?"
Kakek itu mengangguk-angguk. Tidak aneh mendengar bahwa mendiang muridnya mempunyai anak di mana-mana karena memang muridnya itu paling lemah terhadap wanita. "Dan apakah engkau mempunyai keperluan penting maka datang berkunjung
padaku?" "Selain ingin menghaturkan sembah dan mohon doa restu, juga saya ingin mohon pertolongan eyang untuk membuatkan sebatang keris yang ampuh untuk saya, eyang."
Kembali Empu Gandring mengerutkan alisnya teringat dia akan muridnya terdahulu Ginantoko yang disayanginya, akan tetapi muridnya itu mati muda karena menuruti hawa nafsu birahinya yang besar, yang membuatnya memiliki watak mata keranjang dan
suka sekali menggoda wanita-wanita cantik. Muridnya itu tewas di ujung keris buatannya
sendiri, karena menggoda isteri orang. Dan dia merasakan atau meraba dengan perasaan halusnya bahwa pemuda ini memiliki nafsu yang besar sekali, walaupun melihat sinar matanya bukan nafsu birahi yang menonjol, akan tetapi pamrih yang tersembunyi di balik matanya itu amat kuat.
"Akan tetapi saya mohon agar keris pusaka itu dapat diselesaikan dalam waktu sesingkat-singkatnya, eyang. Kalau mungkin tiga atau empat lima bulan saja."
"Aha, tidak begitu mudah membuat keris yang baik dan ampuh, Ken Arok. Sedikitnya membutuhkan waktu satu tahun agar matang benar. Akan tetapi, untuk apakah engkau membutuhkan sebuah keris pusaka, cucuku?"
"Untuk keperluan penting sekali, mengejar cita-cita, eyang. Dan saya mohon tidak lebih lama dari lima bulan."
Empu Gandring tidak mendesak lebih jauh karena cita-cita pemuda itu tentu saja tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya dan dia pun tidak berhak untuk mendesak.Dia hanya menghelanapas panjang. "Lima bulan terlalu singkat waktunya, cucuku, kurang matang tempaannya."
"Terserah bagaimana tempaannya saya percaya akan kesaktian dan kebijaksanaan eyang saja, akan tetapi dalam waktu lima bulan saya akan mengambil keris pusaka itu."Empu Gandring menyambut pemuda itu dengan alis berkerut. Penglihatannya yang tajam membuat sang empu merasa bahwa kehadiran pemuda ini membawa hawa yang tidak baik baginya. Namun, sang empu yang sudah menyandarkan segalanya kepada
kekuasaan Sang Hyang Widhi Wasesa, tidak menolak kunjungan itu dan menerimanya dengan ramah.
Untuk menenangkan hati dan kepercayaan sang empu, begitu bertemu dan mendapat keterangan bahwa kakek itu benar Empu Gandring, Ken Arok lalu bersimpuh dan menyembah dengan hormatnya. "Cucu Ken Arok menghaturkan sembah bakti kepada Eyang Empu Gandring yang mulia," demikian katanya.
Tentu saja sikap sopan ini menyenangkan hati sang empu, "Terima kasih atas penghormatanmu, bocah bagus. Siapakah andika dan ada keperluan apakah datang berkunjung?"
"Nama saya Ken Arok, eyang dan mengingat bahwa mendiang ayah saya adalah murid juga keponakan eyang maka saya adalah cucu eyang sendiri?"
"Siapakah mendiang ayahmu?"
"Ayah bernama Raden Ginantoko."
"Jagat Dewa Bathara............! Ha-ha-ha, Ginantoko memang seperti Sang Harjuno saja, di mana-mana mempunyai anak. Siapakah gerangan ibu kandungmu, Ken Arok?"
"Ibu saya bernama Ken Endok dari dusun Pangkur, eyang?"
Kakek itu mengangguk-angguk. Tidak aneh mendengar bahwa mendiang muridnya mempunyai anak di mana-mana karena memang muridnya itu paling lemah terhadap wanita. "Dan apakah engkau mempunyai keperluan penting maka datang berkunjung padaku?"
"Selain ingin menghaturkan sembah dan mohon doa restu, juga saya ingin mohon pertolongan eyang untuk membuatkan sebatang keris yang ampuh untuk saya, eyang."
Kembali Empu Gandring mengerutkan alisnya teringat dia akan muridnya terdahulu Ginantoko yang disayanginya, akan tetapi muridnya itu mati muda karena menuruti hawa nafsu birahinya yang besar, yang membuatnya memiliki watak mata keranjang dan
suka sekali menggoda wanita-wanita cantik. Muridnya itu tewas di ujung keris buatannya
sendiri, karena menggoda isteri orang. Dan dia merasakan atau meraba dengan perasaan halusnya bahwa pemuda ini memiliki nafsu yang besar sekali, walaupun melihat sinar matanya bukan nafsu birahi yang menonjol, akan tetapi pamrih yang tersembunyi di balik matanya itu amat kuat.
"Akan tetapi saya mohon agar keris pusaka itu dapat diselesaikan dalam waktu sesingkat-singkatnya, eyang. Kalau mungkin tiga atau empat lima bulan saja."
"Aha, tidak begitu mudah membuat keris yang baik dan ampuh, Ken Arok. Sedikitnya membutuhkan waktu satu tahun agar matang benar. Akan tetapi, untuk apakah engkau membutuhkan sebuah keris pusaka, cucuku?"
"Untuk keperluan penting sekali, mengejar cita-cita, eyang. Dan saya mohon tidak lebih lama dari lima bulan."
Empu Gandring tidak mendesak lebih jauh karena cita-cita pemuda itu tentu saja tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya dan dia pun tidak berhak untuk mendesak.Dia hanya menghelanapas panjang. "Lima bulan terlalu singkat waktunya, cucuku, kurang matang tempaannya."
"Terserah bagaimana tempaannya saya percaya akan kesaktian dan kebijaksanaan
eyang saja, akan tetapi dalam waktu lima bulan saya akan mengambil keris pusaka itu."Akuwu Tunggal Ametung kembali menghela napas. "Sudah kuduga bahwa kalian, orang-orang gagah yang biasa bebas, akan menolak. Akan tetapi tidak mengapalah, karena kalian sudah berjanji akan membela Tumapel."
Setelah bubaran, Senopati Pamungkas mengajak Joko Handoko dan Wulandari untuk pulang ke rumahnya di mana dua orang muda itu bermalam. Dewi Pusporini menyambut mereka dengan wajah berseri dan senyum gembira sekali. Gadis bengsawan ini segera merangkul Wulandari dan mencium pipinya. Wulandari juga merangkul gadis itu.
"Adikku Wulandari, engkau nampak semakin manis dan semakin gagah perkasa saja!"
seru Dewi Pusporini sambil menggandeng tangan gadis itu.
"Ah, paduka terlalu memuji......."
"Huhhh, Wulan. Apa itu pakai sebutan paduka-paduka segala macam" Bukankah kita seperti kakak beradik saja" Sebut saja mbak ayu atau aku tidak akan mau berbicara denganmu." Puteri itu pura-pura cemberut dan diam-diam Joko Handoko menelan ludah.
Demikian cantik jelitanya puteri itu, sehingga cemberut nampak semakin menarik.
Walaupun tersenyum agak sungkan, akan tetapi ketika dia melirik ke arah senopati itu dan melihat betapa pembesar itu juga tersenyum mengangguk, hatinyapun tenang.
"Baiklah, mbak ayu Dewi. Akan tetapi memang engkau telah memujiku, karena engkaulah sesungguhnya yang nampak semakin cantik jelita saja, seperti bidadari khayangan. Bukankah begitu, kakang Joko Handoko?"
Tentu saja pemuda itu terkejut dan tersipu dengan muka berubah merah. Pada saat itu memang ia sedang terpesona oleh kecantikan Dewi Pusporini, dan secara tiba-tiba saja Wulandari yang memuji kecantikan puteri senopati itu, bertanya kepadanya! Maka diapun hanya dapat mengangguk-angguk saja dengan canggung.
Malamnya, Senopati Pamungkas menjamu dua orang tamunya itu, ditemani oleh isteri dan puterinya. Mereka duduk menghadapi meja makan dan dilayani oleh para pelayan wanita. Setelah selesai makan, keluarga itu bersama dua orang tamunya bercakapcakap
di ruangan tengah.
"Anakmas Joko Handoko, aku melihat bahwa andika dan anakmas Ken Arok terdapat hubungan yang baik seperti kalian berdua telah mengenal dengan akrab. Hal itu sungguh
tidak kusangka. Dia merupakan seorang panglima muda yang cepat menanjak, karena memang dia gagah perkasa, pandai dan menjadi putera angkat dan murid paman Danyang Lohgawe yang amat bijaksana dan cerdik. Anakmas Ken Arok amat dipercaya dan disukai oleh Tunggal Ametung, dan hal itu tidak aneh karena memang dia merupakan seorang panglima muda pilihan yang amat baik."
Joko Handoko tersenyum. "Sesungguhnya, kanjeng..........."
"Sudahlah, aku ingin engkau dan Wulandari bersikap biasa terhadap keluarga kami sebut
saja aku paman dan isteriku bibi. Bagaimanapun juga, aku pernah mengenal baik Raden Ginantoko, ayah kandungmu itu."
"Baiklah kanjeng paman senopati sesungguhnya antara Ken Arok dan saya masih terdapat hubungan saudara. Kami satu ayah berlainan ibu."
"Jagat Dewa Bathara..............!! Kalau begitu dia juga putera kandung mendiang Raden Ginantoko" Ah, siapa sangka" Murid paman Empu Gandring itu ternyata memiliki puteraputera
yang hebat! Anakmas Joko, apakah engkau sudah bertemu dengan keluarga mendiang ayahmu?"
Joko Handoko menatap wajah senopati itu dan mengerutkan alisnya, lalu menggeleng kepala. "Saya hanya mendengar dari Empu Panembahan bahwa kedua orang tua ayah saya telah tiada."
"Benar, akan tetapi masih ada keluarga dekat ayahmu yang barada di Tumapel. Dia adalah seorang senopati tua yang bernama Senopati Prawiroyudo. Paman Prawiroyudo itu adalah paman dari mendiang ayahmu, dan dia merupakan senopati tua yang menjadi penasihat Sang Akuwu di bagian pertahanan dan bala tentara. Apakah engkau tidak ingin
berkunjung kepada paman Senopati Prawiroyudo" Aku dapat mengantarmu ke sana kalau kau ingin pergi. Anakmas Joko."
"Terima kasih, kanjeng paman. Saya tidak ingin pergi mengunjunginya sekarang. Entah lain waktu." Joko Handoko sedikitpun tidak tertarik. Yang berdarah bangsawan adalah mendiang ayahnya. Kini ayahnya telah tiada dan ibunya hanyalah puteri seorang pendeta. Buktinya, ibunya juga tidak diperdulikan oleh keluarga bangsawan itu. Untuk apa dia sekarang datang menghadap" Jangan-jangan disangka ingin minta sumbangan atau bantuan.
"Aku merasa heran sekali bagaimana dua orang pemuda dari satu ayah demikian berbeda wataknya. Aku melihat Ken Arok seorang pemuda yang memiliki semangat dan cita-cita besar sekali sehingga dalam waktu singkat telah memperoleh kedudukan tinggi
yang memang sesuai dengan kecakapannya. Akan tetapi engkau anakmas Joko, yang memiliki ilmu kepandaian tidak kalah tingginya, engkau malah menolak pemberian atau penawaran kedudukan oleh sang akuwu. Kenapa selagi memperoleh kesempatan yang amat baik, engkau tidak mau mencari kedudukan tinggi untuk masa depanmu?"
Joko Handoko tersenyum. "Maaf, kanjeng paman. Semenjak kecil saya hidup bersama mendiang eyang di gunung, menyukai hidup tenteram, tenang dan penuh damai di pegunungan. Dan saya melihat betapa di keramaian kota, hanya terdapat kekacauan, perebutan kekuasaan, permusuhan dan kebencian semata. Saya merasa ngeri untuk menceburkan diri di dalam kancah permusuhan dan kebencian itu, kanjeng paman."
Senopati itu mengangguk-angguk. Dia dapat mengerti. Pemuda ini sejak kecil hidup bersama seorang pendeta yang terkenal sakti dan bijaksana, yaitu Panembahan Pronosidhi, maka tidaklah mengherankan kalau jalan pikirannya pun bijaksana.
"Kalau begitu, apa yang menjadi cita-citamu, orang muda?" tanyanya, diam-diam merasa penasaran dan menyayangkan bahwa tenaga yang begini baik akan tersia-sia saja di pegunungan.
"Besok saya mohon diri untuk kembali ke Anjasmoro, kanjeng paman. Saya kan menjenguk ibu, kemudian mungkin saya akan hidup sebagai petani di Anjasmoro. Saya kira, hidup sebagai seorang petani tidak kalah besar manfaatnya bagi negara dan bangsa."
"Tentu saja!" tiba-tiba Dewi Pusporini berseru. "Tanpa adanya petani, kita orang-orang kota ini akan kelaparan, kecuali kalau kita mau menggarap sawah ladang sendiri yang tentu tidak akan baik hasilnya karena kita canggung dan lemah. Paman tani merupakan golongan yang paling besar jasanya untuk negara dan bangsa. Bukankah demikian, kanjeng romo?"
Senopati itu tertawa. Tentu saja, dia tidak mungkin dapat membantah kebenaran itu.
Akan tetapi Putera mendiang Raden Ginantoko, yang menjadi petani" Pada jaman itu,
pandangan orang, terutama para bangsawan terhadap orang-orang dusun atau pegunungan yang pekerjaannya sebagai petani memang amat merendahkan. Kaum petani dianggap sebagai golongan yang miskin, kotor dan berderajat rendah.
"Jagat Dewa Bathara..............!! Kalau begitu dia juga putera kandung mendiang Raden Ginantoko" Ah, siapa sangka" Murid paman Empu Gandring itu ternyata memiliki puteraputera
yang hebat! Anakmas Joko, apakah engkau sudah bertemu dengan keluarga mendiang ayahmu?"
Joko Handoko menatap wajah senopati itu dan mengerutkan alisnya, lalu menggeleng kepala. "Saya hanya mendengar dari Empu Panembahan bahwa kedua orang tua ayah saya telah tiada."
"Benar, akan tetapi masih ada keluarga dekat ayahmu yang barada di Tumapel. Dia adalah seorang senopati tua yang bernama Senopati Prawiroyudo. Paman Prawiroyudo itu adalah paman dari mendiang ayahmu, dan dia merupakan senopati tua yang menjadi penasihat Sang Akuwu di bagian pertahanan dan bala tentara. Apakah engkau tidak ingin
berkunjung kepada paman Senopati Prawiroyudo" Aku dapat mengantarmu ke sana kalau kau ingin pergi. Anakmas Joko."
"Terima kasih, kanjeng paman. Saya tidak ingin pergi mengunjunginya sekarang. Entah lain waktu." Joko Handoko sedikitpun tidak tertarik. Yang berdarah bangsawan adalah mendiang ayahnya. Kini ayahnya telah tiada dan ibunya hanyalah puteri seorang pendeta. Buktinya, ibunya juga tidak diperdulikan oleh keluarga bangsawan itu. Untuk apa dia sekarang datang menghadap" Jangan-jangan disangka ingin minta sumbangan atau bantuan.
"Aku merasa heran sekali bagaimana dua orang pemuda dari satu ayah demikian berbeda wataknya. Aku melihat Ken Arok seorang pemuda yang memiliki semangat dan cita-cita besar sekali sehingga dalam waktu singkat telah memperoleh kedudukan tinggi
yang memang sesuai dengan kecakapannya. Akan tetapi engkau anakmas Joko, yang memiliki ilmu kepandaian tidak kalah tingginya, engkau malah menolak pemberian atau penawaran kedudukan oleh sang akuwu. Kenapa selagi memperoleh kesempatan yang amat baik, engkau tidak mau mencari kedudukan tinggi untuk masa depanmu?"
Joko Handoko tersenyum. "Maaf, kanjeng paman. Semenjak kecil saya hidup bersama mendiang eyang di gunung, menyukai hidup tenteram, tenang dan penuh damai di pegunungan. Dan saya melihat betapa di keramaian kota, hanya terdapat kekacauan, perebutan kekuasaan, permusuhan dan kebencian semata. Saya merasa ngeri untuk menceburkan diri di dalam kancah permusuhan dan kebencian itu, kanjeng paman."
Senopati itu mengangguk-angguk. Dia dapat mengerti. Pemuda ini sejak kecil hidup bersama seorang pendeta yang terkenal sakti dan bijaksana, yaitu Panembahan Pronosidhi, maka tidaklah mengherankan kalau jalan pikirannya pun bijaksana.
"Kalau begitu, apa yang menjadi cita-citamu, orang muda?" tanyanya, diam-diam merasa penasaran dan menyayangkan bahwa tenaga yang begini baik akan tersia-sia
saja di pegunungan.
"Besok saya mohon diri untuk kembali ke Anjasmoro, kanjeng paman. Saya kan menjenguk ibu, kemudian mungkin saya akan hidup sebagai petani di Anjasmoro. Saya kira, hidup sebagai seorang petani tidak kalah besar manfaatnya bagi negara dan bangsa."
"Tentu saja!" tiba-tiba Dewi Pusporini berseru. "Tanpa adanya petani, kita orang-orang kota ini akan kelaparan, kecuali kalau kita mau menggarap sawah ladang sendiri yang tentu tidak akan baik hasilnya karena kita canggung dan lemah. Paman tani merupakan golongan yang paling besar jasanya untuk negara dan bangsa. Bukankah demikian, kanjeng romo?"
Senopati itu tertawa. Tentu saja, dia tidak mungkin dapat membantah kebenaran itu.
Akan tetapi Putera mendiang Raden Ginantoko, yang menjadi petani" Pada jaman itu, pandangan orang, terutama para bangsawan terhadap orang-orang dusun atau pegunungan yang pekerjaannya sebagai petani memang amat merendahkan. Kaum petani dianggap sebagai golongan yang miskin, kotor dan berderajat rendah.
Sementara itu, mendengar ucapan Dewi Pusporini girang sekali rasa hati Joko Handoko.
Hatinya girang kerena ternyata gadis bangsawan ini amat bijaksana dan menghargai jasa
kaum petani yang sederhana. Hal ini menunjukkan bahwa gadis itu sama sekali tidak memiliki watak tinggi hati.
Setelah bercakap-cakap, pihak tuan rumah mempersilahkan kedua orang muda yang menjadi tamu itu beristirahat. Joko Handoko mendapatkan sebuah kamar sendiri di begian belakang dekat taman, sedangkan Wulandari diajak tidur sekamar oleh Dewi Pusporini yang masih merasa rindu dan ingin bercakap-cakap dengan gadis dari kaki pegunungan Arjuno itu.
**** Malam itu, bulan purnama menerangi permukaan bumi. Sinarnya lembut namun cemerlang dan membuat malam yang biasanya gelap menyeramkan kini menjadi terang menggembirakan. Joko Handoko gelisah dalam kamarnya, tidak dapat memejamkan mata. Makin dipejamkan makin jelas bayangan wajah Dewi Pusporini tersenyum manis, matanya yang jeli bersinar-sinar dan suaranya yang merdu terngiang di telinganya.
Kamar yang cukup bersih dan indah kelihatan seprti sebuah sangkar yang mengurungnya, membuat dia merasa sesak untuk bernapas. Akhirnya, dengan hati-hati dan perlahan agar jangan menimbulkan suara berisik, dia keluar dari dalam kamar itu dan memasuki taman yang luas dan yang dipelihara dengan baik. Setelah memasuki taman bunga yang indah dan kini nampak semakin indah karena tengelam dalam sinar bulan purnama, dadanya terasa lega dan dia menarik napas dalam-dalam beberapa kali.
Kemudian dia berjalan-jalan di taman itu, merasa seolh-olah bukan berada di dunia melainkan di taman khayangan. Akan tetapi hanya sebentar saja keindahan taman itu mengalihkan perhatiannya karena tak lama kemudian diapun sudah duduk melamun di atas bangku di dekat kolam ikan, termenung memandang ke arah ikan-ikan emas yang
berenang di bawah sinar bulan purnama, saling kejar dan menggoyang daun-daun dan bunga teratai merah. Akan tetapi, bahkan di dalam kolam itu nampak bayangan wajah sang puteri.
Berulang kali Joko Handoko menarik napas panjang dan mencela diri sendiri. Engkau tak
tahu diri, demikian celanya. Siapakah dia yang berani menaruh hati pada seorang puteri
bangsawan seperti Dewi Pusporini" Dia telah jatuh cinta. Hal ini dirasakannya benar.
Tadinya dia mengira bahwa dia jatuh cinta kepada Wulandari akan tetapi setelah dia berjumpa dengan Dewi Pusporini hatinya tertarik sepenuhnya kepada gadis itu. Dia masih suka kepada Wulandari, suka sekali, akan tetapi harus diakuinya bahwa hatinya lebih condong kepada Dewi Pusporini yang lebih lembut dan cantik jelita, juga bijaksana
itu, kenapa dia harus bertemu dan jatuh cinta kepada Dewi Pusporini, padahal tak mungkin dia akan dapat bersanding dengan gadis itu sebagai suami isteri" Kalau dengan Wulandari harapannya besar. Dia melihat bahwa gadis itu agaknya suka dan cinta kepadanya, dan karena ini Wulandari sudah menentukan jalan hidupnya sendiri, akan mudahlah baginya kalau akan memperisteri gadis perkasa itu. Agaknya tinggal mengulurkan tangannya tentu Wulandari akan menerimanya. Akan tetapi, dia bertemu dengan Dewi Pusporini dan tergila-gila kepadanya.Bayangan di dalam air itu tersenum kepadanya. Betapa cantiknya! Belum pernah dia merasakan hal seperti ini. Kemesraan yang menusuk hatinya sehingga baru membayangkan wajah gadis itu saja sudah mendatangkan suatu kebahagian yang aneh, yang membangkitkan seluruh hasrat hatinya untuk bertemu dengan gadis itu, untuk memandang wajahnya, menikmati keindahan matanya, dan mendengar suaranya.
"Aduh, diajeng Dewi Pusporini....................." bisiknya berkali-kali kepada bayangan wajah cantik jelita yang nampak olehnya di permukaan air kolam. Demikian jelas wajah
itu, cemerlang dengan senyumnya, akan tetapi tiba-tiba dia tersentak kaget karena ternyata wajah itu adalah bayangan bulan yang tenggelam di dalam dasar kolam! Dan diapun mencaci dirinya sendiri.
"Joko Handoko, kenapa engkau begini lemah?" Akan tetapi cacian itu pun segera lenyap karena kembali sudah melamun.
Cinta asmara, memang sesuatu yang aneh, teramat indah teramat luas untuk dipelajari dan diselidiki sehingga semenjak laksaan tahun yang lalu selalu menjadi bahan penulisan
para cerdik pandai, para sastrawan dan seniman. Agaknya tak mungkin manusia hidup tanpa cinta. Hidup tanpa cinta bagaikan pohon tanpa bunga dan pohon itupun takkan berbuah, tanpa keindahan tanpa keharuman. Cinta asmara merupakan suatu kewajaran alamiah, agaknya diperuntukkan sarana perkembangbiakan agar manusia pria dan wanita saling tertarik, saling mendekati, melakukan hubungan badaniah yang merupakan
puncak dari cinta asmara sehingga mereka akan beranak dan manusia tidak akan sama
melainkan bersambung terus oleh keturunan demi keturunan, generasi demi generasi.
Cinta asmara mengandung kemesraan yang paling mendalam,keharuan yang paling halus, mengandung pula pengenyahan kepentingan diri sendiri sehingga berani berkorban nyawa kalau perlu akan tetapi juga di suatu merupakan penonjolan ke-akuan
yang paling besar karena di situ terdapat pula keinginan menguasai, memiliki, memonopoli. Ingin memiliki dan dimiliki, menyenangkan dan disenangkan. Sayang bahwa sebagian besar dari kita menitik beratkan kepada kesenangan dan kenikmatannya, sehingga berani mengambil peran terbesar dan terpenting. Kalau begini,
maka kekecewaan dalam hal ini akan membuat cinta asmara menjadi suatu penderitaan, kekecewaan, cemburu, bahkan tidak aneh lagi kalau cinta asmara berbalik menjadi kebencian.
Betapa indah dan anehnya cinta kasih, suatu masalah yang patut kita renungkan, kita amati dan kita pelajari setiap saat, dengan mengamati diri sendiri dan setiap orang manusia, tak peduli pangkatnya. Raja diraja sampai kepada pengemis yang paling miskin, berekuk lutut terhadap satu ini, ialah cinta kasih.
Kalau cinta asmara sudah menguasai batin, baik raja diraja maupun pengemis, akan bertekuk lutut menjadi boneka. Dipermainkan perasaan ini dapat membuatnya menangis
air mata darah, dapat pula membuatnya tertawa kegirangan sampai lewat batas. Cinta asmara dapat membuat seorang pria kasar menjadi lemah lembut seperti sutera, sebaliknya dapat membuat seorang pria yang sopan santun dan lembut berubah menjadi
kasar dan keras seperti baja. Banyak pula terjadi betapa pria gagah perkasa yang takkan
gentar menghadapi pengeroyokan puluhan orang musuh, akan gemetar bertekuk lutut di
depan kaki wanita yang dicintainya, tak tahan menghadapi kerling matanya, atau senyumannya, atau bahkan tangisnya!
Joko Handoko duduk termenung entah berapa lamanya, dia tidak ingat lagi. Waktu tidak
ada lagi baginya, yang ada hanya tenggelam ke dalam lamunan, membayangkan wajah gadis yang membuatnya tergila-gila. Dia yang biasanya berpendengaran tajam karena kedua telinganya dan syaraf-syarafnya terlatih baik, kini bahkan tidak tahu bahwa ada sesosok bayangan menghampirinya dengan langkah satu-satu perlahan-lahan.
Setelah bayangan itu tiba hanya tiga meter di belakangnya dan menginjak daun kering sehingga menimbulkan suara berkeresekan, barulah Joko Handoko mendengarnya dan pemuda ini pun sadar dari lamunannya, lalu menoleh. Sepasang matanya terbelalak, pandang matanya terpesona karena di depannya telah berdiri orang yang sejak tadi menjadi kembang lamunannya.
"Diajeng Dewi Pusporini.........." Bisiknya, hampir tidak terdengar sehingga gadis yang berdiri di depannya itu hanya melihat betapa bibir pemuda itu bergerak-gerak
menyebutkan namanya. Dan gadis itu pun tersenyum, sepasang bibirnya merekah dan nampak sedikit kilatan giginya.
Joko Handoko semakin terpesona. Betapa cantiknya! Sinar bulan purnama yang lembut menimpa rambut dan wajah itu, dengan sinar agak kehijauan, lembut dan membuat wajah gadis itu nampak agung dan seperti bukan wajah manusia lagi, melainkan wajah bidadari kahyangan dalam dongeng. Joko Handoko bangkit berdiri dan mereka berdiri saling berhadapan dengan jarak tiga meter, saling pandang. Karena sampai lama pemuda itu hanya berdiri memandang tanpa pernah berkedip, seperti telah berubah menjadi patung. Dewi Pusporini merasa kikuk juga dan ia pun tersenyum dan menunduk sebentar, lalu mengangkat lagi mukanya memandang.
"Kakang Joko Handoko, herankah engkau melihat aku datang?" tanyanya sambil tersenyum dan sepasang mata itu memandang lembut.
"Tidak.... tidak.... Diajeng...... Dewi" kata Joko Handoko dengan agak gagap, seperti orang yang baru saja dibangunkan dari tidur secara mendadak.
"Kalau begitu, terkejutkah engkau?"
"Tidak.........." Mengapa harus terkejut" Taman ini adalah tamanmu, diajeng........."
"Hemm, tidak gembirakah engkau dengan kedatanganku?"
"Tidak..........." Ah, tentu saja aku gembira sekali. Malam............ini indah sekali di taman, diajeng Dewi Pusporini."
"Aku...... aku tak dapat tidur maka keluar dari kamar memasuki taman ini."
"Akupun tidak dapat tidur dan biasanya, kalau malam aku memang suka berada di taman ini, apa lagi kalau bulan sedang purnama. Dan ikan-ikan emas dalam kolam ini menjadi kesayanganku." Ia melangkah maju dan berdiri di tepi kolam, melihat ikan-ikan emas berenang ke sana-sini dengan gerakan halus seperti terbang di udara saja layaknya.
"Memang indah sekali................." kata Joko Handoko, makin terpesona dan tidak tahu harus bicara apa, akan tetapi kedua kakinya melangkah menghampiri dan dia berdiri di dekat dara itu, memandang ke dalam kolam.
Bulan purnama bersinar dengan sepenuhnya, tanpa dihalangi awan dan karena tempat mereka berdiri itu bebas dari halangan pohon, maka mereka nampaklah bayangan mereka di permukaan air kolam.
"Lihat, kakangmas Joko, bayangan kita nampak di dalam air seperti dalam cermin saja?"
tiba-tiba Dewi Pusporini menuding ke depan kakinya, dia mana bayangan mereka kelihatan di dalam air dengan amat jelasnya.
"Sudah sejak tadi aku melihat bayanganmu di dalam air ini, diajeng."
"Ehhh......" Mana mungkin" Aku baru saja datang, Kakangmas Joko!" tanya dara itu sambil memandang heran. Memang ia baru saja datang. Setelah bercakap-cakap dengan
Wulandari, ia melihat gadis yang lincah dan riang itu mengantuk, maka setelah membiarkan Wulandari tertidur pulas, ia turun dari pembaringan dan dia pergi ke belakang, ke dalam taman karena ia ingin menikmati cahaya bulan di taman itu, seperti
biasa kalau bulan sedang purnama. Tak disangkanya bahwa di situ ia akan bertemu dengan Joko Handoko. Andaikata ia tahu lebih dahulu bahwa pemuda itu berada di taman, tentu ia tidak akan berani memasuki taman, malu.
Joko Handoko merasa terkejut sendiri dengan ucapannya tadi. Dia masih seperti dalam
keadan terpesona sehingga kata-kata itu terloncat begitu saja dari mulutnya. Kini,
melihat gadis itu memandang kepadanya dengan heran dan tajam menyelidik, jantungnya berdebar penuh ketegangan, akan tetapi dia menarik napas panjang.
"Aku tidak membohong, diajeng Dewi. Sejak tadi aku melihat bayanganmu di dalam kolam itu, bahkan di dalam kamar, bayanganmu selalu nampak olehku sehingga aku menjadi gelisah dan keluar ke dalam taman ini."
"Ahhhh.............!" Dewi Pusporini mengeluarkan seruan tertahan dan menggunakan tangan untuk menutup mulutnya agar ia tidak berseru terlalu keras, tubuhnya seperti menjadi lemas dan karena kedua kakinya terasa gemetar, dara itu lalu menghampiri bangku di tepi kolam dan duduk di ujung bangku. Dengan jantung berdebar ia bertanya lirih, "Kakangmas Joko Handoko, apa....... apa maksud kata-katamu itu.....?" Suaranya juga terdengar gemetar maka ia tidak bicara banyak.
Joko Handoko juga duduk di ujung yang lain dari bangku panjang itu. Biarpun dia seorang gemblengan yang biasanya bersikap tenang tidak mudah merasa gentar, akan tetapi sekarang dia merasa jantungnya berdebar dan seluruh tubuhnya gemetar!
"Diajeng Dewi Pusporini, harap maafkan aku yang sungguh tidak tahu diri...... aku sudah lupa siapa diriku dan siapa pula dirimu, aku telah lancang sekali, berani jatuh cinta kepadamu. Diajeng, maafkan aku, akan tetapi sejak pertemuan kita pertama kali itu, bahkan setelah pertemuan kedua ini, aku.... aku seperti menjadi gila. Ke mana pun aku berada, bayangamu selalu nampak di depan mata......."
Hening sejenak. Keduanya menundukkan mukanya. Joko Handoko dengan hati gelisah karena dia menduga bahwa sang puteri itu tentu akan merasa terhina dan marah kepadanya, sikapnya pasrah karena dia memang sudah siap menerima kemarahan Pusporini, bahkan siap menerima hukuman apapun juga. Sedangkan Dewi Pusporini menundukkan mukanya karena terharu, dan kedua matanya mulai membasah. Akhirnya ia tidak dapat menahan keharuan hatinya dan air matanya pun runtuh, ia terisak lirih dan mengusap air mata dengan sapu tangan.
Dapat dibayangkan betapa kagetnya rasa hati Joko Handoko mendengar suara isak tertahan itu. Dia cepat mengangkat mukanya dan memandang dengan wajah pucat.
Celaka, pikirnya, tentu dara itu merasa terhina sekali sampai menangis!
"Aduh, diajeng...............harap jangan menangis. Maafkan kelancanganku, ampunkanlah kalau aku menyakiti hatimu dengan kelancanganku, aku........ tidak bermaksud menghinamu, diajeng............"
Mendengar suara lembut penuh penyesalan yang dikeluarkan dengan suara gemetar itu Pusporini merasa seperti ditusuk-tusuk hatinya dan ia pun menangis semakin terisak!
Tentu saja Joko Handoko menjadi semakin khawatir dan menyesal. Dia bangkit berdiri dan berkata halus, "Diajeng Dewi Pusporini, aku mengaku bersalah kepadamu. Aku
lancang mulut, aku tidak tahu diri, berani menyatakan cinta kepada seorang puteri seperti engkau. Andaikata engkau sudi memaafkan aku sekalipun, aku takkan pernah dapat memaafkan diriku sendiri, diajeng, aku akan menyesal kelancanganku selama hidupku. Mohon pamit, diajeng, dan berhentilah menangis, hatiku hancur melihat engkau
menangis karena ulahku........."
Joko Handoko melangkah pergi dengan terhuyung dan seluruh tubuhnya lemas sekali.
Ingin dia menangis, akan tetapi ditahannya perasaan dukanya yang melanda hatinya.
Cinta asmara memang merupakan sarang dari suka-duka, susah-senang, sedih-gembira yang datang silih berganti mempermainkan korban-korbannya.
"Kakang mas Joko ............!" seruan lirih bercampur isak ini membuat Joko Handoko tersentak kaget dan seketika gerakan kakinya terhenti. Dia memutar tubuhnya dan
melihat betapa dara itu menangis sambil menuupi muka dengan kedua tangannya.
"Jangan........jangan pergi........"
Joko Handoko membelalakkan kedua matanya, hampir tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Benarkah itu suara Pusporini yang melarangnya pergi" Dia pun melangkah satu-satu menghampiri bangku itu dan berdiri di dekat Dewi Pusporini yang masih menundukkan muka yang ditutupinya dengan kedua tangan, pundaknya bergoyang perlahan dalam tangisnya.
"Diajeng, engkau............ menangis...............?" tanyanya ragu.
Dewi Pusporini menahan isaknya, sapu tangannya sudah basah semua dan ia pun tanpa mengangkat mukanya berkata lirih, "Aku menangis........ bukan karena terhina.............
melainkan kerena ............ karena bangga dan haru, kakang mas Joko........."
Hampir Joko Handoko tidak percaya akan pendengarannya sndiri. "Diajeng Dewi........
apakah ini berarti bahwa engkau juga..........."
Kini Pusporini mengangkat mukanya yang kemerahan dan masih basah air mata.
"Kakangmas Joko, semenjak engkau menolongku aku pun tidak pernah dapat melupakanmu, dan aku...... aku selalu mengharapkan..............."
Joko Handoko hampir berteriak saking gembiranya dan dia memegang kedua tangan dara itu yang masih duduk di atas bangku. "Diajeng, tidak mimpikah aku" Jadi engkau bersedia untuk menjadi isteriku?"
Dua pasang tangan itu saling berpegangan dan jari tangan saling cengkeram. "Aku akan merasa bahagia sekali, Kakangmas. Akan tetapi, aku hanya seorang wanita yang hanya mentaati kehendak ayah ibuku, karena itu, kau pinanglah aku kepada orangtuaku."
"Baik, akan kulakukan diajeng!" kata Joko Handoko dengan gembira sekali, "Aku akan mohon kepad ibuku, kepada ayah tiriku, agar mereka suka mengajukan pinangan, akan tetapi......... apakah ayahmu akan suka bermantukan seorang......... petani dusun seperti aku, diajeng?"
"Huusshhhh, kakangmas, kenapa berkata demikian" Kanjeng Romo bukan seorang yang haus akan kedudukan atau harta benda, dan dia selalu memuji di depanku. Kurasa dia akan senang hati........"
"Ssttt...............!" tiba-tiba Joko Handoko melepaskan pegangan tangannya dan
melangkah mundur menoleh ke kiri dan memandang ke arah bagian yang gelap karena bayangan pohon. Akan tetapi tidak nampak seorang pun di sana.
"Ada apa, kakangmas?"
"Aku melihat berkelebat bayangan orang tadi, akan tetapi dia sudah pergi. Sebaiknya engkau kembali ke dalam rumah, diajeng. Tidak baik untukmu, kalau sampai kelihatan orang lain pertemuan kita ini."
Dewi Pusporini mengangguk, bangkit bediri sambil berkata "Aahh, alangkah senangnya kalau aku menjadi gadis dusun biasa sehingga dapat bercengkerama denganmu setiap waktu tanpa takut melanggar kesopanan, kakangmas, harap engkau cepat-cepat mengajukan pinangan, aku menanti dengan sabar dan setia."
"Baiklah, diajeng dan percayalah kepadaku, aku cinta padamu!"
Dara itu mengerling dan mukanya menjadi merah, tetapi blasan langkah kemudian ia berhenti, menoleh dan melihat pemuda itu masih bediri, mematung dan mengikutinya
dengan pandang mata, ia pun berkata, "Aku pun cinta padamu, kakangmas." Dan ia pun berlari-lari kecil kembali memasuki pintu belakang.
Setelah mengikuti bayangan kekasihnya itu sampai lenyap di pintu belakang. Joko Handoko meloncat ke bawah pohon di mana dia tadi melihat bayangan orang. Akan tetapi tak nampak seorang pun juga manusia. Mungkin dia salah pandang, pikirnya.
Mungkin bayangan pohon tertiup angin. Hatinya terlampau gembira, untuk memusingkan bayangan yang tadi dilihatnya bekelebat itu, dan dia pun cepat kembali ke kamarnya dan
sekali ini, kembali ia tidak dapat tidur, dan kembali wajah Dewi Pusporini terbayang, akan tetapi betapa bedanya keadaan hatinya. Kalau tadi gelisah, kini dia tidak dapat tidur saking gembiranya!
Di kamar lain, yaitu kamar Dewi Pusporini, dara ini pun merasa gelisah. Akan tetapi bukan hanya karena kegembiraan hatinya setelah bertemu dengan Joko Handoko, melainkan karena ketika ia tidak melihat Wulandari yang tadi tidur pulas ketika ia meninggalkannya. Ke mana gerangan perginya gadis itu" Dewi Pusporini mencari-cari, akan tetapi tidak berhasil, dan para dayang juga tidak ada, yang melihat gadis itu keluar.
Ingin sekali Dewi Pusporini melaporkan hilangnya Wulandari ini kepada ayahnya, akan tetapi karena ayahnya sudah tidur dan hari telah larut malam, ia tidak berani membikin
ribut. Ingin pula ia menceritakannya kepada Joko Handoko akan tetapi bagaimana ia dapat menghubungi, pemuda itu" Ada sesuatu yang menggelisahkan hatinya. Bukankah tadi Joko Handoko mengatakan bahwa dia melihat berkelibatnya bayangan orang"
Jangan-jangan Wulandari yang tadi berkunjung, ke taman. Wajahnya berubah merah membayangkan hal ini. Tentu Wulandari melihat keadaan mereka! Walaupun hanya saling berpegang tangan, namun jelaslah tentu baik orang lain bahwa di antara ia dan Joko Handoko ada hubungan yang mesra. Dan ia pun teingat akan akrabnya hubungan antara Wulandari dan Joko Handoko! Ah jangan-jangan Wulandari juga mencintai pemuda itu, dan menjadi patah hati dan melarikan diri. Pucat wajah Dewi Pusporini
mendengar akan hal ini. Ia sangat suka kpada Wulandari dan sama sekali tidak ingin melukai hatinya. Ia benar-benar merasa sangat khawatir seingga semalaman itu ia tidak
dapat tidur pulas.
Pada keesokan harinya, dengan muka agak pucat dan rambut kusut, pagi-pagi sekali Dewi Pusporini mengetuk pintu kamar ayah ibunya. Ketika daun pintu dibuka, ia pun menyerbu ke dalam dan berkata kepada ayahnya.
"Kanjeng romo, diajeng Wulandari lenyap semalam dari kamar kami!"
Tentu saja senopati, itu terkejut dan heran. "Apa kau bilang" Lenyap" Bagaimana hal itu
bisa terjadi?"
"Saya tidak tahu, kanjeng romo. Saya...... eh, tidur nyenyak dan ketika pada malam hari terbangun, ia sudah tidak ada. Agaknya ia pergi tanpa pamit, romo."
"Aneh! Apakah terjadi percekcokan antara kalian?"
"Ah, tidak, kanjeng romo. Kami bercakap-cakap dengan baik sampai tertidur."
"Harus beri tahu kepada anakmas Joko Handoko..... eh, jangan-jangan......... dia pun pergi tanpa pamit."
Terkejut sekali hati Dewi Pusporini mendengar ini. "Tidak mungkin! Tidak mungkin dia pergi begitu saja tanpa pamit!"
"Eh, bagaimana kau bisa tahu" Wulandari juga pergi tanpa pamit," kata ayahnya sambil memandang wajah puterinya. Pusporini menunduk dengan muka agak kemerahan.
"Kakang Joko Handoko adalah seorang yang halus budi, kanjeng romo. Saya kira, dia
tidak akan, pergi begitu saja tanpa, pamit."
Senopati Pamungkas lalu mengutus seorang pelayan untuk pergi memanggil pemuda itu, dan tak lama kemudian Joko Handoko pun datang menghadap. Dia hatinya bertukar pandang dengan Dewi Pusporini, dengan pandang mata yang mesra, akan tetapi tidak berani mengeluarkan kata-kata terhadap puteri itu.
"Anakmas Joko Handoko menurut pelaporan Dewi, Wulandari semalam telah pergi tanpa
pamit. Apakah anakmas tahu akan kepergiannya?"
Tentu saja Joko Handoko mengetahuinya, bahkan dia pagi tadi panik ketika mendapat kenyataan bahwa. Keris pusakanya yang dia tinggal di dalam kamar ketika dia pergi ke taman, telah lenyap. Sebagai gantinya, dia mendapatan sehelai kertas dengan tulisan Wulandari yang meninggalkan pesan. Singkat kepadanya.
Kakang Joko Handoko,
Aku pergi dulu, keris pusakamu ku
pinjam untuk kupakai Ken Arok
yang menyebabkan kematian ayahku.
Wulandari yang malang.
Tentu saja Joko Handoko terkejut bukan main dan merasa heran. Selama ini, walaupun tak pernah memperdulikan Ken Arok, gadis itu nampaknya tidak pernah mendendam kepada Ken Arok. Pula, kematian KI Bragolo ialah karena menderita sakit, walaupun
mungkin sakitnya semakin parah karena harus bertanding dengan melawan Ken Arok yang hendak membunuhnya. Dan keris Nogopasung dibawanya untuk menghadapi Ken Arok. Hal ini dapat dimengertinya karena gadis itupun tahu, bahwa ia tidak dapat menandingi ketangguhan Ken Arok, dan tentu saja gadis itu mengharapkan dapat menang kalau mempergunakan keris pusaka Nogopasung yang ampuh itu. Tidak. Gadis itu harus dikejarnya dana dicegahnya mencari dan menantang Ken Arok! Akan tetapi diam-diam, dia merasa heran sekali mengapa terjadi perubahan demikia tiba-tiba pada diri Wulandari. Rasanya tidak masuk di akal kalau Wulandari melakukan hal itu, pergi diam-diam dan membawa kerisnya. Tentu ada sesuatu yang menyebabkan ia dan Joko Handoko teringat akan bayangan semalam di taman. Mengingat ini, tiba-tiba wajahnya menjadi pucat. Itukah sebabnya" Wulandarikah banyangan itu" Wulandari telah melihat
pertemuannya yang mesra dengan Dewi Pusporini, dan hal ini menyebabkan gadis itu menjadi nekat, mencuri keris pusaka dan pergi meninggalkannya! Dan ini hanya berarti bahwa gadis itu merasa berduka dan cemburu! Dan itu menandakan bahwa, Wulandari mencintainya!
Ketika pagi itu dia dipanggil, dia mengerti bahwa tentu urusan perginya Wulandari yang menyebabkannya. Maka, mengahadapi pertanyaan Senopati Pamungkas, diapun tidak terkejut dan menjawab sejujurnya.
Keris Pusaka Nogopasung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kanjeng paman senopati, saya sudah mengetahuinya. Karena diajeng Wulandari meninggalkan sepucuk surat, walaupun saya. Merasa heran dan tidak mengerti akan sikapnya itu. Inilah surat yang ditinggalkannya di dalam kamar saya," Joko Handoko mengeluarkan surat itu dan melihat surat ini, Dewi Pusporini yang sejak semalam merasa tidak enak hati, segera emngambil dari tangannya.
"Aku ingin sekali membaca suratnya!" katanya dan dia pun membaca dan memandang kepada Joko Handoko yang segera menundukkan mukanya karena dari sinar gadis itu diapun maklum bahwa Pusporini sudah mengerti akan persoalannya.
"Ohhh............... Wulandari.......!" Pusporini mengeluh.
Melihat sikap puterinya, Senopati Pamungkas mengambil surat itu dari tangan anaknya.
Apa sih isinya" Dan diapun membacanya. Akan tetapi dia menjadi terheran-haran dan
tidak mengerti mengapa Wulandari melakukan hal itu.
"Anakmas Joko, apa arti semua ini?"
"Sudah jelas, kanjeng paman. Dimas Ken Arok pernah menyerang mendiang Ki Bragolo ayah diajeng Wuladari untuk membalas kematian ayah kami, yaitu Raden Ginantoko yang dahulu terbunuh oleh Ki Bragolo. Walaupun dimas Ken Arok tidak jadi membunuhnya, namun Ki Bragolo tewas karena serangan jantung pada saat itu dia baru saja mengalami serangan itu. Dan agaknya diajeng Wulandari mendendam dan kini pergi untuk mencari dimas Ken Arok, untuk membalas dendam."
"Ahhh............! Kenapa ia begitu nekat" Kenapa mencuri pinjam keris pusaka dan tidak memberitahukan kepadamu akan niatnya yang nekat itu" Bagaimana mungkin ia dapat menang menghadapi Ken Arok yang sakti itu?"
"Saya harus cepat mengejar dan mencarinya, kanjeng paman, dan mencegah niatnya
itu. Mudah-mudahan saja saya tidak akan telambat. Saya mohon diri, kanjeng paman,"
kata Joko Handoko tanpa menjawab semua pertanyaan itu. Dia memang sudah siap untuk pergi, ketika dipanggil tadi.
"Pergilah, kakangmas Joko, pergilah dengan cepat dan cegahlah ia melakukan perbuatan
nekat dan berbahaya lagi," Pusporini berkata dengan suara memohon dan ayahnya terkejut melihat suara anaknya mengandung isak tangis. Akan tetapi dia pun setuju agar
pemuda itu cepat melakukan pengejaran.
"Memang engkau harus cepat melakukan pengejaran dan mencegahnya, anakmas."
Suaminya segera menjawab. "Wulandari semalam pergi tanpa pamit, meninggalkan surat kepada Joko Handoko bahwa ia meminjam keris pusakanya untuk membunuh Ken Arok. Agaknya Dewi yang mengetahui sebabnya mengapa Wulandari mengambil keputusan demikian nekatnya. Nah, Dewi, Sekarang ibumu juga hadir untuk mendengarkan keteranganmu."
Dengan masih di pangkuan ibunya karena ia merasa malu untuk memandang orang tuanya, Dewi Pusporini lalu bercerita. "Malam tadi, setelah Wulandari tidur, saya keluar
dari kamar dan pergi ke taman. Kanjeng Romo dan kanjeng ibu tentu sudah mengetahui akan kebiasaan dan kesukaan saya yang senang bergadang di dalam taman di bawa sinar bulan purnama. "Ia berhenti sebentar untuk melihat bagaimana sikap kedua orang tuanya.
"Hemm, lalu bagaimana?" tanya ayahnya dan ibunya juga memandang dengan penuh perhatian.
Dewi Pusporini memperoleh ketabahandan iapun kini duduk bersimpuh di atas lantai, menundukkan muka da melanjutkan. "Saya sama sekali tidak menduga bahwa di dalam taman itu telah ada lain orang, dia adalah Kakangmas Joko Handoko. Pertemuan yang tidak kami sengaja itu membawa kami kepada percakapan dan dalam kesempatan ini, kami.........saling membuka rahasia kami."
"Maksudmu bagaimana?" tanya ibunya karena dara itu kembali berhenti bicara.
"Kami......... kami saling jatuh cinta, ibu............." Akhirnya gadis itu dapat mengeluarkan kata-kata yang membuka rahasia hatinya. Ayah ibunya saling pandang, tersenyum dan tidak menjadi terkejut. Sudah berkali-kali Dewi Pusporini dilamar orang,
akan tetapi, gadis itu selalu menyatakan keberatan dan belum mau sehingga hal ini mengesalkan hati mereka. Merekapun tidak mau sembrono mengambil mantu sembarang orang saja untuk menjadi suami puteri mereka. Dan mereka berdua harus mengaku bahwa Joko Handoko adalah seorang pemuda yang amat baik. Hanya sedikit
hal yang mengecewakan hati sang senopati, yaitu bahwa Joko Handoko tidak mau menerima anugerah jabatan yang ditawarkan oleh sang akuwu.
"Kanjeng romo dan kenjeng ibu tidak.......... marah bukan?"
Ibunya menyetuh pundaknya dengan lembut. "Kenapa mesti, marah, anakku" Joko
Handoko adalah, seorang pemuda yang baik."
"Lanjutkan ceritamu!" kata senopati, tidak seramah isterinya. "Apa yang kalian lakukan dan kemudian bagaimana?"
Mendengar nada suara ayahnya, Pusporini terkejut.
"Kanjeng Romo, biarpun kami saling mencintai, namun kami tidak melakukan sesuatu yang rendah. Kami hanya berpegang tangan saja ketika saat itu Kakangmas Joko mengatakan bahwa dia melihat bayangan yang berkelebat. Akan tetapi ketika dicari, bayangan itu sudah lenyap. Tak lama kemudian kami berpisah dan saya masuk kembali ke dalam kamar. Akan tetapi, ketika saya masuk, Wulandari telah tiada dalam kamar."
"Kenapa kau tidak memberitahu kepadaku?"
"Kanjeng Romo dan Kanjeng Ibu sudah tidur, saya tidak berani membikin ribut. Pula, saya belum yakin bahwa Wulandari pergi tanpa pamit, hal itu baru saya ketahui ketika membaca suratnya yang ditinggalkan untuk kakangmas Joko."
Hening sejenak. Sang senopati diam dan mengerutkan alisnya, kemudian menganggukangguk.
"Hemmm, jadi menurut dugaanmu, bayangan itu adalah Wulandari dan ketika ia melihat engkau dan anakmas Joko Handoko, ia menjadi cemburu, marah dan melakukan perbuatan nekat itu" Kalau begitu halnya, engkau sama sekali tidak bersalah, anakku dan tidak perlu engkau menyesali peristiwa itu karena itu adalah kesalahan Wulandari sendiri."
"Saya........... saya hanya kasihan dan khawatir sekali,kanjeng romo."
Keluarga itu memang merasa gelisah dan mereka menanti kembalinya Joko Handoko untuk mendengar berita tentang Wulandari yang telah menjadi nekat itu.
Ke manakah perginya Wulandari" Malam itu memang belum tidur pulas ketika Dewi Pusporini meninggalkan pembaringan lalu keluar dari dalam kamar. Wulandari yang sudah mengantuk melihat temannya itu pergi, akan tetapi ia diam saja, mengira bahwa Pusporini pergi untuk suatu keperluan dan akan segera kembali. Akan tetapi, setelah agak lama teman itu tidak kembali ke kamar, ia pun menjadi heran dan hal ini mengusir kantuknya. Tidak enak rasanya rebah sendirian saja di kamar orang, ditinggal pergi pemilik kamar. Ia bangkit dan turun dari pembaringan, membereskan sanggul rambutnya yang terlepas, lalu menghampiri daun jendela. Ia tahu bahwa di luar jendela itu adalah sebuah taman yang luas dan indah. Dibukanya daun jendela. Cahaya bulan redup dan sejuk menyerbu kamar, membawa pula bau, semerbak harum.
"Oohhh......." Wulandari menarik napas panjang dan terpesona melihat keindahan malam itu. Taman itu bermandikan sinar bulan, dan bau semerbak harum datang dari pohon Arum Dalu yang sedang berkembang, penuh dengan bunga kecil-kecil berwarna putih yang amat harum di waktu malam walaupun di siang hari tidak berbau sedap sama sekali.
Keindahan taman itu sejenak mempesona Wulandari, kemudian manarik hatinya untuk keluar, dari kamar melalui pintu belakang dan masuk ke dalam taman. Ia ingin memetik seranting penuh bunga Arum Dalu.
Akan tetapi pada saat itu dia mendengar suara orang bercakap-cakap lirih. Ia menjadi
terejut dan curiga, lalu berindap-indap ia masuk lebih dalam ke taman itu. Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika melihat Joko Handoko dan Dewi Pusporini
berada di tengah-tengah taman itu, dalam pertemuan yang nampak olehnya demikian asyik-masyuk, demikian mesra! Joko Handoko berdiri di depan Pusporini yang duduk di bangku, dua pasang tangan mereka, saling genggam dan terdengar olehnya suara Joko Handoko, "Diajeng, tidak mimpikah aku" Jadi engkau besedia untuk menjadi isteriku?"
SELANJUTNYA
Komentar
Posting Komentar