KERIS PUSAKA NOGOPASUNG 2
Share
Wajah kakek itu nampak berseri. "Ah, suatu tindakan yang bijaksana sekali,raden.
Akan tetapi perjalanan dari sini ke kadipaten bukan dekat."
"Kami mau naik kuda, Ayah," kata Dyah Kanti cepat. Ia adalah seorang keturunan pendekar sakti, biarpun wanita, ia memiliki kesaktian dan juga kesigapan. Menunggang kuda bukan merupakan hal yang sukar atau asing baginya.
"Jadi kau telah membawa dua ekor kuda, Raden" Baiklah, hati-hati di jalan dan jangan terlalu malam pulangnya nanti."
Dyah Kanti lalu menghampiri Joko Handoko dan mengelus kepala anaknya. "Handoko, ibu mau pergi dulu ke kadipaten. Engkau minta dibawakan oleh-oleh apakah, anakku?"
"Kalau ibu hendak pergi, pergilah saja, aku tidak ingin dibawakan apa-apa Ibu. Terima kasih," kata Joko Handoko dan dia pun mulai bersilat lagi untuk latihan tanpa memperdulikan ibunya dan calon ayahnya itu.
Ibunya saling pandang dengan calon suaminya, lalu tersenyum masam dan berpemit dari ayahnya. Tak lama kemudian terdengar derap kaki dua ekor kuda yang membalap keluar
dari padepokan, menuruni Lereng Gunung Anjasmoro menuju Kadipaten Wonoselo, di mana Raden Pringgoloyo adalah keponakan dari adipati di Wonoselo. Setelah derap kaki kuda itu tidak terdengar lagi, barulah Panembahan Pronosidhi menegur cucunya.
"Joko Handoko, hentikan latihanmu. Eyang mau bicara denganmu sebentar."
Pemuda itu menghentikan silatnya dan duduk bersimpuh di atas rumput, di depan batu hitam. "Ada perintah apakah, Eyang?"
"Aku ingin bicara denganmu tentang ibumu, Cucuku!"
Wajah yang biasanya ceria dan penuh senyum itu kini menjadi muram. "Apa lagi yang hendak dibicarakan, Eyang" Ibu akan menikah lagi dengan Raden Pringgoloyo keponakan
Sang Adipati di Wonoselo, dan Eyang sudah memberi restu. Mau apa lagi?"
Sungguh pahit sekali nada yang terkandung di dalam ucapan sederhana itu dan sang panembahan menarik napas panjang, akan tetapi tetap tesenyum.
"Joko, baru saja aku melihat sikapmu tadi yang tak ramah terhadap ibumu dan terhadap
Raden Pringgojoyo, hal itu menujukkan bahwa engkau pada hakekatnya tidak setuju kalau ibumu menikah dengan dia. Bukankah demikian, Cucuku?"
"Ampun, Eyang. Saya hanya anak-anak tidak tahu apa-apa. Akan tetapi sesungguhnya, saya kira tidak patut kalau ibu menikah, baik dengan Raden Pringgoloyo maupun dengan pria manapun juga!" Suaranya berapi-api, tanda bahwa ucapan itu merupakan pendaman perasaan di dalam hatinya yang selama ini ditekan-teannya.
Kakek itu mengengguk-angguk, maklum apa yang terpendam di dalam hati cucunya.
"Cucuku, kenapa engkau berpendapat demikian?"
"Tentu saja, Eyang! Sejak saya dalam kandungan ayah kandung saya telah emninggal duni dan bagaimana dia meninggal dunia, masih belum saya ketahui sebabnya karena agaknya ibu maupun eyang masih merahasiakannya. Tak mungkin ayah mati begitu muda tanpa sebab. Dan sekarang, setelah ibu menjadi janda selama delapan belas tahun, tiba-tiba saja ibu hendak kawin lagi, menjadi selir! Bukankah hal itu amat memalukan?"
"Memalukan" Malu kepada siapa, Cucuku?"
"Malu kepada orang-orang tentu saja, Eyang."
"Ee, Lhadalah! Mengapa begini aneh pendapatmu, cucuku" Urusan kawin adalah urusan pribadi antara dua orang, kenapa harus ada rasa malu kepada orang lain" Apakah kehidupan kita, termasuk pernikahan, harus diatur oleh orang-orang lain" Siapa yang berhak mengatur dan menentukan?"
"Memang, merupakan urusan pribadi dan diri sendiri yang mengatur dan menentukan.
Akan tetapi ada pendapat umum bahwa janda yang sudah tua, tidak patut kawin lagi.
Dan andaikata tidak malu kepada orang lain, setidaknya juga malu kepada diri sendiri!"
"Wah-wah-wah, lebih aneh lagi ini, cucuku. Orang harus malu kepada diri sendiri kalau dia melakukan sesuatu yang tidak baik, kalau dia melakukan seuatu yang jahat dan jahat ini berarti merugikan orang lain, bagaimana ia harus malu terhadap diri sendiri?"
"Ampun, Eyang, bukan saya ingin berbantah-bantahan dengan Eyang atau tidak mentaati petunjuk Eyang. Akan tetapi, setidaknya ibu harus merasa bahwa sayalah orang yang dirugikan kalau ibu menikah lagi!"
"Aha! Begitukah" Ah, jadi itukah gerangan yang membuat engkau tidak senang hati, dan
menggangap ibumu melakukan sesuatu yang salah, yang jahat karena merugikan dirimu" Sekarang jelaskan, kerugian apakah yang kau derita dengan kawinnya ibumu dengan Raden Pringgojoyo, cucuku" Suara Panembahan itu masih penuh dengan
kehalusan sehingga cucunya tidak merasa dimarahi dan tidak menjadi gugup atau takut.
"Tentu saja saya rugi karena menjadi anak tiri!"
"Bukankah malah menguntungkan karena engaku mendadak saja, engkau yang sudah tidak mempunyai seorang ayah, tiba-tiba kini mempunyai seorang ayah, walaupun ayah tiri?"
"Ayah tiri mana bisa menggantika ayah kandung , Eyang" Ayah tiri, mana ada yang baik?"
"Calon Ayah tirimu itu, Raden Pringgoloyo, adalah seorang yang baik, cucuku. Kalau aku tidak yakin akan kebaikannya, mana mungkin aku merestui rencana perkawinan mereka"
Dia pernah menjadi muridku ketika masih muda, aku tahu wataknya. Dan ingatlah, ayah kandung sendiri belum tentu baik, Cucuku!"
Pendeta itu termangu, teringat akan keadaan mantunya, Ginantoko, seorang yang biarpun tadinya amat baik, kemudian menjadi seorang mata keranjang yang mendatangkan banyak permusuhan dan bencana.
"Maksud Eyang....... apakah mendiang ayah kandung saya tidak baik?"
Kakek itu sudah terlanjur bicara dan memang kini dianggap sudah saatnya untuk memperkenalkan cucunya kepada mendiang ayahnya, karena Joko Handoko sudah berusia delapan belas tahun, sudah cukup dewasa. Maka dengan suara tenang, dengan halus dan sabar, kakek itu bercerita tentang petualangan Ginantoko sampai kemudian dia meninggal di tangan musuhnya.
Sejak tadi Joko Handoko mendengarkan dengan wajah yang tidak berubah. Memang pemuda itu sudah menerima gemblengan yang hebat dari eyangnya sehingga apa yang terasa di hatinya tidak samapi mengguncang batin dan tidak nampak pada wajahnya.
Setelah eyangnya selesai bercerita, barulah dia berkata, "Jadi, pembunuh mendiang ayah
kandung saya adalah Ki Bragolo, ketua Sabuk Tembaga dari lembah Gunung Kawi, Eyang?"
"Benar, akan tetapi dia tidak mampu menewaskan ayahmu kalau saja dia tidak mempergunakan keris pusaka yang dipinjamnya dari eyangmu Empu Gandring, yaitu keris pusaka Nogopasung....."
"Apa....!!" Kini pemuda itu terkejut akan tetapi segera dapat menguasai hatinya. "
Jadi keris pusaka peninggalan ayah itu.... keris itu malah yang telah membunuh ayahku?"
"Dengarlah baik-baik, cucuku. Mendiang ayahmu, Ginantoko, telah menjadi hamba nafsunya sendiri. Dia mengejar-ngejar wanita, bahkan tidak segan-segan mempermainkan wanita yang sudah menjadi bini orang. Dia merayu dan menjinai isteri Ki Bragolo, dan itulah sebabnya maka terjadi permusuhan sehingga ayahmu tewas di ujung keris Nogopasung. Akan tetapi bersama dengan darah ayahmu, keris itu pun ternoda darah Galuhsari..... sehingga percampuran darah pria dan wanita itu tidak dapat
lenyap dan tetap menodai keris pusaka itu."
"Galuhsari.....?"
"Yaa, isteri Ki Bragolo sendiri."
"Ahh.......!" kini Joko Handoko termangu-mangu, kehilangan akal. Ayahnya memang bersalah dan agaknya banyak hal yang perlu dibuat penasaran kalau Ki Bargolo membunuh ayahnya, bahkan orang itu telah kehilangan isterinya pula. Akan tetapi yang membuat dia penasaran, kenapa justeru keris Nogopasung itu yang membunuh ayahnya" Bukankah keris itu ciptaan Empu Gandring, dan bukankah ayah kandungnya itu keponakan dan murid Empu Gandring sendiri"
"Eyang, apakah eyang Empu Gandring demikian marah kepada mendiang ayahku sehingga beliau menyerahkan keris pusaka itu kepada Ki Bragolo agar ayah dapat dibunuhnya?"
"Hushh......! Jangan bicara yang bukan-bukan, cucuku! Eyangmu Empu Gandring adalah seorang sakti mandraguna dan arif bijaksana. Semua itu sudah dikehendaki Hyang Maha
Wisesa, tidak ada dosa tak terhukum dan segala hal yang kebetulan itu hanya nampaknya saja kebetulan, akan tetapi sesungguhnya sudah ada yang mengaturnya.
Karena itu, semua ini kuceritakan kepadamu agar engkau mengerti duduknya perkara.
Kalau tidak, dan engkau mendendam kepada Ki Bragolo yang membunuh ayahmu, hal itu berarti engkau hendak membela yang bersalah, cucuku. Dan kini engkau tentu maklum betapa lama ibumu menderita. Ibumu telah menahan derita selama belasan tahun. Biarpun banyak sekali pria yang datang meminang, ibumu selalu menolak karena mengingat bahwa engkau masih kecil. Ibumu tidak ingin menyerahkan pendidikanmu ke dalam tangan ayah tiri. Akan tetapi, sekarang engkau telah dewasa dan ibumu hanya
seorang manusia biasa saja, yang membutuhkan kasih sayang seorang pria. Apakah engkau kini tega hati untuk mencegah ibumu menikmati hidupnya setelah belasan tahun merana?"
Joko Handoko menundukkan mukanya. Setelah mendengar cerita eyangnya, pandangannya tentu saja berubah. Dia merasa terharu sekali dan dapat membayangkan betapa berat beban batin ibunya karena perbuatan ayah kandungnya yang memalukan itu sehingga mengakibatkan ayah kandungnya tewas.
"Setelah mendengar semua cerita eyang, saya tidak berani apa-apa lagi, eyang.
Memang itu telah cukup lama menderita dan kalau sekiranya sekarang, dengan menjadi isteri paman Pringgojoyo, ibu menemukan kebahagiaan, saya tidak akan berani menghalanginya."
Kakek itu tersenyum, mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya yang panjang.
"Nah, kalau ucapanmu itu keluar dari lubuk hatimu, barulah benar, cucuku. Tidak benar kalau seorang menentukan jalan hidup orang lain, apapun hubungannya dengan orang lain itu. Setiap orang manusia memiliki hak untuk menentukan jalan hidupnya sendiri karena ia memiliki pendapat dan seleranya sendiri yang hanya dapat ia sendiri rasakan.
Apalagi dalam hal memilih jodoh! Sudahlah, sekarang mari hentikan percakapan tentang
ibumu dan mari kita berdoa saja ke hadirat Hyang Agung semoga ibumu akan memperolah kebahagiaan di samping Raden Pringgoloyo. Dan mari kita lanjutkan tentang ilmu silat yang sedang kau pelajari."
"Baik, Eyang," jawab pemuda itu dengan wajah berseri dan perubahan pada wajahnya ini
melegakan hati sang begawan karena menunjukkan bahwa tidak ada lagi ganjalan di dalam hati pemuda itu mengenai urusan ibu kandungnya.
"Nah, sekarang kita lanjutkan pelajaran jurus Nogopasung. Seperti engkau ketahui dan sudah kaupelajari dengan baik, inti dari ilmu silat aliran Hati Putih kita adalah Ilmu Silat
Nogokredo. Ilmu silat kita bersumber kepada gerakan-gerakan seekor naga. Jurus Nogopasung ini juga bersumber pada ilmu silat Nogokredo kita, akan tetapi merupakan jurus yang khas dan amat cocok kalau dimainkan dengan sebatang keris, terutama Nogopasung sendiri. Gerakan tadi memang sudah baik, akan tetapi kebaikan yang kau peroleh itu hanya sampai pada kulitnya saja. Engkau belum menguasai tenaga intinya.
Hanya dengan pengerahan tenaga sakti dari dalam tubuh dengan gerakan tertentu saja yang dapat membuat gerakanmu menjadi sempurna."
"Eyang, saya mohon eyang memberi petunjuk agar lebih mudah bagi saya untuk menangkapnya. Berilah contoh, Eyang."
"Ha-ha-ha, sudah setua ini aku harus berlagak" Akan tetapi baiklah. Nah, kau lihat baikbaik
pohon di depan itu." Pendeta itu lalu menghampiri sebatang pohon yang besarnya sebadan orang dewasa. Dia berhenti dalam jarak dua meter dari pohon itu,kemudian dia
pun memasang kuda-kuda jurus Nogopasung. Tubuh yang kurus tua itu nampak kokoh dan mantap sekali ketika dia memasang kuda-kuda yang khas itu. Kaki kirinya di depan, lutut ditekuk, kaki kanan terjulur ke belakang dengan lurus dan hanya ujung jari kaki kanannya saja yang menyentuh tanah, jari-jari lainnya terangkat, tangan kiri melintang di depan dada dengan jari-jari terbuka membentuk cakar naga, tangan kanan terlentang
menempel pinggang dengan jari-jari membentuk cakar naga pula, muka menghadap ke depan, mata mencorong dan mulut terbuka. Inilah kuda-kuda Nogopasung yang telah dilatih selama berbulan-bulan oleh Joko Handoko. Ketika melihat kakeknya memasang kuda-kuda, Joko Handoko memandang dengan mata yang tidak pernah berkedip, penuh perhatian dan dia pun dapat melihat bahwa pengaturan pernapasan dari hidung dan mulut setengah terbuka itulah yang belum dikuasainya dengan benar" Seperti pernah diajarkan oleh kakeknya, untuk menghimpun tenaga dalam jurus ini dia harus menghirup
hawa dari hidungnya sebanyak tiga kali, dan mengeluarkannya dengan halus melalui
mulut tiga kali. Melihat cara kakeknya bernapas, dan kini dia tahu bahwa dia telah membuang napas melalui mulut terlampau banyak. Kiranya tenaga yang terkumpul oleh isapan napas itu menghimpun hawa murni dalam tubuhnya yang siap dipergunakan
untuk digerakkan dalam pukulan jurus Nogopasung.
"Heeiiikkkkk......!" Terdengar kakek itu mengeluarkan bentakan dan tubuhnya menerjang
ke depan, kedua lengannya yang membentuk cakar naga itu bergerak-gerak dengan cepat. Terdengar bunyi desir angin keluar dari kedua telapak tangannya, menyambar ke
arah pohon di depan.
"Krakkk.... bruuuukkkk....!" Pohon itu pun tumbang, pecah dan patah di tengah-tengah batangnya!
Joko Handoko memandang kagum dan kakek itu sudah berdiri tegak dan memejamkan kedua mata, mengatur pernapasannya. Dia sudah terlalu tua untuk mengeluarkan tenaga yang sedemikian besarnya.
"Hebat sekali, Eyang," kata Joko Handoko setelah kakeknya membuka mata kembali.
Kakek itu tersenyum lebar. "Kalau sudah menguasai jurus ini benar-benar, karena engkau masih muda dan tenagamu lebih besar, maka akibatnya akan lebih hebat lagi.
Hanya, engkau tentu tahu bahwa jurus ini hanya merupakan jurus terakhir untyk membela diri saja dan jangan sekali-kali kau pergunakan kalau kau tidak terpaksa untuk
menyelamatkan diri. Jurus ini kuciptakan bukan untuk membunuh orang, Cucuku."
"Saya mengerti, Eyang."
"Sekarang ambil keris pusaka Nogopasung."
Pemuda itu lalu berlari memasuki pondok dan ketika dia keluar kembali, dia telah membawa keris yang tersembunyi dalam sarung keris pusaka sederhana. Keris itu panjang dan ketika Panembahan Pronosidi mencabutnya, keris lekuk lima belas itu mengeluarkan sinar menyeramkan. Di ujungnya masih terdapat noda hitam, bekas darah
Ginantoko dan Galuhsari! Bergidik juga Joko Handoko melihat keris pusaka yang tidak pernah dihunusnya itu karena ia tahu bahwa darah di ujung keris itu adalah darah ayah kandungnya!
"Kalau engkau menggunakan keris ini untuk memainkan jurus Nogopasung akibatnya akan lebih hebat bagi lawan. Nah, sudah kepalang tanggung aku memberi petunjuk. Kau lihat aku memainkan keris ini."
Bukan main gembiranya hati Joko Handoko. Dia melihat kakeknya memasang kuda-kuda seperti tadi, hanya bedanya, kalau tadi tangan kanan membentuk cakar naga, kini tangan itu memegang keris Nogopasung yang terhunus, keris itu menuding ke depan lurus, sejurus dengan lengan kanan. Mulailah kakek itu bersilat dengan keris, gerakannya lambatdan mantap, akan tetapi ketika dia menutup gerakan jurus itu, dia mengeluarkan bentakan dan keris Nogopasung itu menciptakan gulungan sinar yang amat menyilaukan mata. Sinar itu menerjang ke depan.
"Trakkk....!" Terdengar suara nyaring disusul bunga api berpijar menyilaukan mata dan ketika kakek itu menarik kembali tubuh dan kerisnya, tenyata sebongkah batu besar telah pecah berantakan terkena tusukan keris di tangan kakek itu!
"Bukan main.....!" Joko Handoko memuji dan mulai saat itu, dia pun berlatih semakin
tekun dan giat sekali. Sampai setahun lamanya dia berlatih siang dan malam di bawah pengawasan yang keras dari kakeknya dan akhirnya pemuda ini dapat menguasai jurus Nogopasung dengan baik sekali dan ketika Panembahan Pronosidhi mengujinya, maka
hasil yang diperoleh pemuda itu masih lebih hebat dari pada yang pernah diperlihatkan sang panembahan sendiri!
Sementara itu, Dyah Kanti telah resmi menjadi isteri Raden Pringgojoyo dan diboyong ke
Wonoselo. Perayaan pernikahan dilakukan secara sederhana sekali, karena bagaimana pun juga, Dya Kanti hanya menjadi selir ke tiga dari Raden Pringgojoyo! Pada jaman itu, menjadi selir ke tiga dari seorang bangsawan seperti Raden Pringgojoyo merupakan suatu hal yang sama sekali tidak mendatangkan rasa malu, bahkan sebaliknya, seorang wanita akan menjadi bangga karena ia merasa derajatnya terangkat setelah menjadi selir seorang bangsawan! Dan bagi Dyah Kanti, bukan derajat ini yang dipentingkan benar, melainkan karena ia telah jatuh cinta kepada pria yang gagah dan manis budi itu.
Raden Pringgojoyo dengan ramah mengajak Joko Handoko untuk ikut dengan ibunya, pindah ke Wonoselo. Juga Dyah Kanti membujuk puteranya, akan tetapi, Joko Handoko menolak dengan halus.
"Eyang panembahan sudah berusia lanjut dan tidak ada yang menemaninya kecuali beberapa orang cantrik. Saya tidak tega untuk meninggalkannya. Biarlah saya menemani
eyang di sini sambil memperdalam ilmu saya." Demikian ia berkata dengan halus dan ibunya, juga ayah tirinya, tidak mendesaknya lebih jauh.
Demikianlah, semenjak ibunya pergi meninggalkan padepokan di lereng Gunung Anjasmoro, Joko Handoko semakin tekun mempelajari ilmu silat sampai ahirnya dia berhasil menguasai jurus Nogopasung. Jurus Ini hanya dia seorang saja yang mempelajarinya dari kakeknya. Para cantrik dan para murid, anggota aliran Hati Putih tidak ada yang mempelajarinya.
Aliran silat Hati Putih ini didirikan oleh Panembahan Pronosidhi semenjak tiga puluh tahun yang lalu. Banyak sudah murid-murid atau cantrik-cantrik yang menjadi anggota aliran ini, dan menguasai ilmu pencak silat Nogokredo yang menjadi inti dari ilmu aliran Hati Putih. Kini murid-murid itu banyak yang sudah meninggalkan lereng Gunung Anjasmoro dan menjalani kehidupan masing-masing. Ada yang menjadi guru silat, menjadi buruh, petani atau ada pula yang menjadi perajurit-perajurit di kadipatenkadipaten.
Mereka semua selalu menjunjung tinggi nama aliran Hati Putih, sesuai dengan namanya, tidak mempergunakan ilmu itu untuk melakukan kejahatan, sebaliknya mereka mempergunakan untuk menentang kejahatan.
Kertika Dyah Kanthi meninggalkan padepokan, yang masih berada di lereng Gunung Anjasmoro menjadi cantrik hanya ada lima orang saja. Mereka itu rata-rata berusia tiga
puluh tahun dan sudah memiliki ilmu silat tinggi. Mereka tidak meninggalkan Sang
Panembahan karena mereka berlima itu memperdalam ilmu kebatinan dan mereka sudah
mengambil keputusan untuk menjaga dan membantu Sang Panembahan yang sudah berusia lanjut sampai kakek itu meninggal dunia. Mereka berlima inilah yang melakukan pekerjaan sehari-hari, bertani dan membersihkan padepokan, mempersiapkan segala keperluan dan kebutuhan Sang Panembahan yang menjadi guru mereka.
*** Untung tak dapat diraih,malang tak dapat ditolak, demikian bunyi pepatah. Untung atau
malang ini hanya merupakan pendapat hasil penilaian saja akan hal-hal yang sudah terjadi. Sebenarnya, yang terjadi pun terjadilah dan yang terjadi itu adalah sesuatu kenyataan, sesuatu kewajaran yang tidak mengandung malang atau mujur, untung atau rugi. Segala macam peristiwa itu terjadi sebagai akibat dari sesuatu sebab, dan akibat ini
pun dapat menjadi sebab baru untuk akibat berikutnya. Maka terjadilah lingkaran setan
atau rantai yang tak pernah putus dari sebab dan akibat, yang dikenal dengan hukum
karma. Putus atau tidaknya rantai sebab akibat ini hanya tergantung kepada kita sendiri,
karena jalinan rantai itu melalui telapak tangan kita sendiri. Kalau kita habiskan sampai saat itu saja, maka habis dan putuslah. Sebaliknya kalau kita mendendam dan membalas, rantai itu akan bersambung terus. Kalau kita menghadapi segala peristiwa yang terjadi seperti apa adanya, sebagai kenyataan, tanpa penilaian baik buruk dan untung rugi, maka peristiwa itu pun tidak akan bersambung.
Kalau terjadi suatu peristiwa menimpa diri kita yang kita anggap merugikan, maka kita sukar untuk dapat menerimanya. Kita menganggap diri kita cukup baik sehingga tidak layak untuk menderita! Hal ini timbul karena kita selalu mengajar senang dan selalu melarikan diri dari susah! Kalau kita menghadapi segala sesuatu dengan kenyataan yang wajar, maka tidak ada lagi penilaian dan karenanya tidak ada lagi derita. Jangan dikira bahwa orang yang dianggap baik akan terhindar daripada bencana! Sakit dan mati adalah bagian dari hidup, juga bencana mengintai di mana-mana tanpa menilai baik buruknya orang. Hidup ini sendiri sudah berarti menempatkan diri dalam intaian bahaya
setiap saat. Joko Handoko keluar dari dalam hutan, memanggul seekor kijang yang sudah mati. Dia merobohkan kijang itu dengan lemparan batu yang tepat mengenai kepalanya. Dengan hati gembira dia membawa pulang kijang yang muda dan gemuk itu dan mulutnya sudah menjadi basah ketika dia membayangkan betapa akan sedap dan gurihnya dia dan para Cantrik nanti menikmati daging kijang yang dipanggang atau dimasak. Sayang, kakeknya sudah selama puluhan tahun tidak suka makan daging binatang, dan hanya makan sayuran saja.
Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa pada saat itu, di padepokan terjadi hal-hal
yang amat mengerikan. Sejak tadi pagi dia sudah meninggalkan padepokan yang tadi nampak sunyi dan tenteram. Eyangnya sudah bangun dan seperti biasa, setelah mencuci badan, eyang sudah duduk bersamadhi di luar pondok. Lima orang kakek seperguruannya, yaitu para cantrik, sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ada yang mengisi kolam air, ada yang menyapu pekarangan, membersihkan rumah, masak air dan sebagainya. Mereka semua sudah biasa bagun pagi-pagi sekali, suatu kebiasaan yang amat baik bagi kesehatan lahir dan batin.
Mula-mula para cantrik yang sedang menyapu pekarangan yang melihat kedatangan lima orang asing itu. Dua orang canrik yang bekerja di pekarangan dan serambi depan, menghentikan pekerjaan mereka ketika lima orang itu memasuki pekarangan dengan langkah lebar. Mereka berdua memandang penuh perhatian. Yang muncul adalah dua orang kakek berusia sekitar enam puluh tahun dan tiga orang berusia sekitar empat puluh tahun. Mereka itu bertubuh tinggi besar dan nampak kuat, dengan pakaian serba hitam yang ringkas. Karena ia merupakan orang-orang yang tak dikenal, dan melihat sikap mereka yang tegas ketika memasuki pekarangan, tanda bahwa mereka itu sengaja
datang dengan maksud tertentu, dua orang itu pun cepat menyambut.
"Kisanak, apakah di sini padepokan aliran Hati Putih?" Seorang di antara mereka, yaitu kakek yang kepalanya botak dan tidak tertutup kain kepala seperti teman-temannya, bertanya. Suaranya kasar dan matanya yang besar itu melotot tanda bahwa dia sedang marah.
Seorang di antara dua cantrik itu mengangguk. "Benar sekali. Siapakah Andika berlima dan dari mana, ada keperluan apakah?"
Akan tetapi si botak itu tidak memperdulikan pertanyaan orang, melainkan memandang dengan muka beringas dan dia pun melangkah maju mendekati cantrik yang menjawab itu.
"Dan kamu ini seorang cantrik, murid aliran Hati Putih?"
Sang cantrik tidak menduga buruk walaupun dia merasa heran mengapa orang-orang ini kelihatan seperti orang-orang yang sedang marah. Dia mengangguk. "Benar, dan....."
"Kalau begitu mampuslah!" bentak si botak dan secepat kilat sudah menyerang dengan tangan kiri yang terbuka. Pukulan itu mengarah ke dada. Akan tetapi sang cantrik yang kurus kecil ini adalah murid Panembahan Pronosidhi yang sudah belasan tahun melatih diri dengan ilmu-ilmu pencak silat dari aliran Hati Putih. Dia bukan orang sembarangan dan melihat datangnya pukulan yang demikian berbahaya, dia pun melempar tubuh ke belakang. Dia selamat, akan tetapi angin pukulan itu masih terasa olehnya, panas dan kuat sekali, membuat dia terhuyung dan terkejut bukan main.
"Eh,eh tahan dulu.....!" cantrik ke dua yang bertubuh gemuk cepat melangkah maju melerai. "Kalau ada urusan, dapat kita bicarakan dulu."
"Kau pun harus mampus!" bentak kakek ke dua yang cepat maju menyerang dengan pukulan tangan kosong yang terbuka jari-jarinya, menampar ke arah kepala.
Cantrik itu menagkis dengan cepat dari samping.
"Duukk.....!" dua lengan bertemu dan akibatnya, tubuh cantrik itu terlempar dan
terbanting keras. Cantrik itu, yang juga memiliki kepandaian yang cukup kuat, terkejut bukan main. Tangkisannya tadi telah dilakukan dengan pengerahan tenaga sakti, namun tetap saja dia terlempar dan lengan yang beradu dengan lengan lawan tadi terasa ngilu dan panas seperti bertemu dengan besi panas saja! Maklumlah dia bahwa dia menghadapi lawan-lawan tangguh, maka tanpa banyak cakap lagi dia meloncat berdiri dan lari memasuki pondok untuk memberitahukan kawan-kawannya. Akan tetapi, cantrik
pertama yang kurus kecil merasa penasaran dengan jurus-jurus pilihan Ilmu Silat Nogokredo.
"Huh, orang-orang Hati Putih ternyata berhati busuk!" bentak kakek botak yang cepat menangkis sambil mengeluarkan tenaga saktinya. Kembali pertemuan dua lengan itu membuat sang cantrik terpental dan terhuyung. Sebelum dia sempat mengatur keseimbangan tubuhnya, seorang di antara tamu-tamu tak diundang itu yang berada dekat dengannya, sudah memapaki tubuhnya dengan tamparan keras yang mengenai punggungnya.
"Buk....!" Cantrik kurus kecil itu mengeluh, lalu muntah darah dan tubuhnya terjungkal roboh dan tidak dapat bangkit lagi.
Empat orang cantrik yang berlarian keluar terkejut sekali, juga marah melihat betapa saudara mereka telah roboh dan agaknya telah tewas melihat muka yang pucat dan mata yang terbelalak, mulut berlepotan darah itu.
"Kalian orang-orang jahat dari mana berani mengacau padepokan kami!" Bentak mereka dan lima orang tamu tak diundang itu pun hanya tersenyum mengejek. Lalu serentak maju menyambut dan menjawab kata-kata pihak tuan rumah dengan serangan-serangan kilat. Empat orang cantrik yang sudah merasa marah sekali itu pun menyambut dan terjadilah perkelahian empat lawan lima orang. Namun, para cantrik itu segera merasa terkejut bukan main karena mereka memperoleh kenyataan bahwa lima orang lawan itu,
terutama dua orang kakek, sungguh, sungguh merupakan lawan yang amat tangguh.
Rata-rata lima orang itu memiliki tingkat kepandaian dan kekuatan yang lebih dari mereka, sehingga dalam belasan jurus saja mereka berempat sudah terdesak hebat.
Dua orang kakek pendatang itu sungguh menggiriskan. Tadinya mereka lebih banyak nonton saja ketika tiga orang anak buah mereka menghadapi empat orang cantrik, dan mereka itu hanya membantu sedikit saja, dengan pukulan-pukulan jarak jauh yang
cukup membuat yang diserang kerepotan. Kini, setelah lewat belasan jurus dan tiga orang anak buah mereka itu belum mampu merobohkan lawan walaupun sudah mendesak, mereka berdua menjadi tidak sabar lagi.
"Hemm, kalian lihat baik-baik bagaimana kita merobohkan mereka!" kata si kakek botak
dan bersama rekannya yang tinggi besar dan berjenggot panjang segera bergerak ke depan.
Cantrik tertua yang memiliki ilmu kepandaian paling tinggi di antara rekan-rekannya, cepat menyambut terjangan si botak yang telah membunuh temannya tadi dengan
pukulan tangan kanan ke arah pusar sedangkan tangan kirinya membentuk cakar naga dan mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala botak itu. Jurus ini amat berbahaya dan merupakan jurus pilihan dari ilmu Silat Nogokredo (naga marah). Apalagi yang melakukan jurus ini adalah cantrik yang sudah matang ilmu kepandaiannya. Terutama cakaran ke arah ubun-ubun itu amat hebat. Batu pun akan remuk terkena cengkeraman itu, apa lagi ubun-ubun kepala manusia!
Akan tetapi, si Botak hanya tertawa saja melihat serangan ini. Dia hanya mengangkat tangan kanan untuk menangkis cengkeraman ke arah kepalanya sedangkan pukulan tangan kanan lawan ke arah pusarnya itu dibiarkannya saja. Bahkan ia membarengi ketika kepalan kanan lawan menghantam pusar, dia sendiri menampar dengan tangan kirinya ke arah dada lawan.
Datangnya dua pukulan itu berbareng. Kepalan kanan si cantrik tepat mengenai pusar kakek botak, akan tetapi tamparan tangan kakek itu pun tepat mengenai dada lawan.
"Plak! Plak...!" Akibatnya sungguh hebat. Kakek itu terkena pukulan, pada dasarnya masih tetap berdiri sedikitpun tidak terguncang karena pusarnya telah dilindungi dengan
aji kekebalan. Sebaliknya, tamparan tangan terbuka pada dada sang cantrik itu membuat dia terjengkang, muntah darah dan tewas seketika!
Pada saat itu, kakek tinggi besar juga sudah berhasil menampar dengan tangan terbuka,
tepat mengenai lambung seorang cantrik dan muntah darah, tewas tanpa sempat berteriak.
Melihat dua orang temannya roboh, dua orang cantrik lainnya menjadi terkejut. Namun mereka telah dikepung dan sebuah tamparan yang kuat dari lawan membuat cantrik ke tiga roboh pula. Cantrik terakhir meloncat dan bermaksud memberi tahu kepada gurunya.
"Bapak Panembahan....!" Akan tetapi sebelum dia sempat melanjutkan teriakannya, sebuah tangan terbuka sudah menghantam punggungnya, dan dia pun tersungkur dan muntah darah.
Pada saat itu, muncullah Panembahan Pronosidhi dari dalam pondok. Dia tadi sedang bersamadhi, tenggelam dalam samadhinya sehingga tidak memperdulikan segala sesuatu yang terjadi di luar dirinya. Akan tetapi kegaduhan dan teriakan muridnya, membuat dia terpaksa menghentikan samadhinya dan berjalan keluar untuk melihat apa
yang terjadi maka murid-muridnya itu membuat kegaduhan luar biasa.
"Duh jagat Dewa Bathara....!" Kakek yang sudah tua renta itu membelalakkan matanya dan memandang ngeri, ketika melihat lima orang muridnya menggeletak tanpa nyawa lagi sedangkan di situ berdiri lima orang laki-laki yang bermuka beringas dan yang kini memandang kepadanya penuh kemarahan. "Siapa Andika sekalian mengapa......
mengapa kalian melakukan ini semua" Apa kesalahan para cantrik ini maka kalian membunuh mereka dengan kejam...?"
Kakek botak dan kakek tinggi besar melangkah maju menghadapi Panembahan
Pronosidhi. Kakek botak itu segera bertanya dengan suara kaku. "Apakah Andika yang bernama Panembahan Pronosidhi, ketua dari aliran Hati Putih?"
"Benar sekali, dan siapakah Andika, mengapa pula Andika, membunuhi murid-muridku?"
"Hemm, engkau pendeta palsu yang jahat! Masih pura-pura lagi" Hayo keluarkan muridmuridmu
yang melarikan diri dari Tumapel agar dapat kami bunuh. Barulah kami akan mengampunimu, mengingat engkau sudah begini tua!"
Tentu saja kakek itu manjadi terkejut dan heran. "Aku tidak mengerti maksud kalian.
Aku tidak menyembunyikan murid-muridku dan yang berada di dalam pondok ini sekarang hanyalah lima orang cantrik ini. Agaknya ada permusuhan antara kalian dengan murid-murid Hati Putih. Akan tetapi aku sama sekali tidak tahu akan hal itu.
Apakah yang telah terjadi?"
Walaupun hatinya merasa berduka karena kematian lima orang cantriknya, namun kakek
pendeta ini masih bersikap sabar. Dia dapat menduga tentu ada murid-muridnya di luar yang menanam bibit permusuhan dengan lima orang ini sehingga mereka datang menyerbu padepokan Hati Putih untuk membalas dendam. Dan melihat betapa lima orang cantriknya tewas dengan cepat, tentu lima orang ini memiliki kesaktian dan bukan
lawan murid-murid Hati Putih di luar itu yang melarikan diri entah ke mana.
"Panembahan Pronosidhi, ketahuilah bahwa murid-muridmu, sebanyak tiga orang, telah berbuat dosa terhadap aliran Hastorudiro (Tangan Berdarah), karena itu mereka harus
kami bunuh. Akan tetapi mereka telah melarikan diri dan karena kami tak berhasil mencari mereka, kami datang ke sini. Kalau engkau tidak mau menyerahkan mereka untuk kami bunuh, maka sebagai gantinya adalah nyawamu dan nyawa mereka yang berada di Padepokan Hati Putih!"
Panembahan Pronosidhi mengerutkan alisnya yang sudah berwarna putih. Dia pernah mendengar akan nama aliran Hastorudiro itu, sebuah perkumpulan orang-orang gagah yang terkenal bengis. Biarpun orang-orang dari aliran ini memasukkan dirinya ke dalam golongan para ksatria dan pendekar, namun mereka terkenal angkuh, dan suka sekali mempergunakan kekerasan untuk memaksakan kehendak mereka dan selalu mengangap diri mereka benar sendiri. Dia tidak berani memastikan bahwa tiga orang muridnya itu, entah yang mana, berada di pihak benar. Akan tetapi cara orang-orang Hastorudiro yang
penuh dendam ini melampiaskan kemarahan mereka, dengan menyerbu padepokannya, membunuh lima orang cantriknya, kemudian mengancamnya saja sudah membuktikan bahwa mereka benar-benar bengis seperti srigala-srigala yang haus darah.
"Apakah Andika ini pimpinan dari Hastorudiro?" tanya dengan suara masih penuh ketenangan walaupun peristiwa itu tentu saja mengguncangkan batinnya.
Kakek botak dan kakek tinggi besar itu yang memimpin rombongan lima orang itu tertawa bergelak dan sekarang kakek tinggi besar itu yang menjawab, "Ha-ha-ha, untuk
memukul kirik (anjing kecil) tidak perlu mempergunakan tongkat besi! Untuk membereskan urusan sekecil ini tidak perlu menyusahkan dan membikin lelah guru kami.
Kami berdua adalah dua oarng adik seperguruan ketua Hastorudiro dan tiga orang ini adalah murid-murid kepala. Panembahan Pronosidhi, sekarang tentukan pilihanmu sendiri. Kau serahkan tiga orang muridmu itu ataukah engkau mampus pula di tangan kami?"
"Hemmm, Andika adalah orang-orang yang haus akan kekuasaan dan kemenangan, mabok akan kekerasan. Sudah kukatakan bahwa aku tidak tahu apa-apa dengan tiga orang murid itu, dan aku tidak tahu siapa yang kalian maksudkan, karena murid-murid Hati Putih amat banyak. Akan tetapi, setiap orang murid Hati Putih sewaktu belajar di
sini, benar-benar telah diputihkan atau dibersihkan hatinya sehingga tidak akan melakukan kejahatan. Bagaimanapun juga, aku harus mendengarkan dulu keterangan dari mereka mengenai urusan dengan kalian, untuk menentukan apakah mereka salah ataukah tidak. Aku tidak dapat menyerahkan mereka kepada kalian. Akupun tidak pernah berkelahi atau mencari permusuhan dengan siapapun juga. Akan tetapi kalau kalian memaksa hendak melakukan kekerasan dan hendak membunuhku, silhkan. Suah menjadi kewajibanku mempertahankan kehidupan dan melindungi tubuh yang sudah tua ini."
"Bagus! Memang akan kami basmi semua orang Hati Putih, dan membasmi rumput harus dengan akar-akarnya. Tua bangka, bersiaplah engkau untuk mampus!" kata kakek botak.
"Maju! Keroyok dan bunuh!" perintah kakek ke dua yang tinggi besar dan dia sendiri medahului dengan tamparan tangannya yang amat ampuh. Orang-orang Hastorudiro ini memang terkenal memiliki telapak tangan yang ampuh. Seperti dua orang kakek ini yang
memiliki tinkat tinggi, sebagai adik-adik seperguruan ketua Hastorudiro, sdah memiliki kekuatan yang dahsyat. Kalau mereka menyerang, maka kedua telapak tangan mereka berubah merah seperti dilumuri darah! Inilah yang membuat perkumpulan itu dinamakan
Tangan Berdarah atau Hastorudiro. Juga nama itu sebagai ejekan pula karena memang mereka itu besikap keras dan ringan tangan, mudah membunuh orang seolah-olah tangan mereka berdarah dan berlepotan darah para korban.
Panembahan Pronosidhi melihat telapak tangan merah itu dan diam-diam dia pun terkejut. Orang-orang ini sesungguhnya tidak dapat digolongkan kaum pendekar yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, penentang kejahatan. Dia pun menggerakkan tangan kirinya menangkis.
"Plakk!" kakek tua renta itu merasa betapa lengannya dijalani hawa panas yang dapat ditekannya dengan kekuatan hawa sakti di tubuhnya, akan tetapi sebaliknya, kakek tinggi besar itu terpental dan terhuyung. Tentu saja kakek tinggi besar itu terkejut!
Ternyata ketua Hati Putih ini, biarpun sudah tua sekali, masih memiliki tenaga yang bukan main kuatnya, Dia pun maju lagi dengan lebih hati-hati.
Kakek botak melihat betapa kawannya terpental tadi dan dia pun maklum bahwa Panembahan Pronosidhi bukan lawan yang lemah, maka diapun cepat membantu dan mengeroyok dari samping kiri, mulai melakukan penyerangan yang dahsyat. Tiga orang murid keponakan mereka pun sudah mengepung dan menyerang dari belakang.
Terjadilah perkelahian yang amat seru. Panembahan Pronosidhi memang bukan orang yang suka berkelahi, bahkan ia tidak pernah berkelahi. Namun, dia seorang sakti yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Imu silat Nogokredo yang diciptakannya merupakan ilmu yang hebat dan langka, gerakannya gagah dan kedua tangannya membentuk cakar seperti cakar naga, tubuhnya juga meliuk-liuk seperti tubuh naga. Bahkan ke sana-sini dan kadang-kadang dapat digunaan untuk menangkis serangan lawan atau menyerang dengan tendangan-tendangan ampuh! Karena itu, biarpun dikeroyok lima orang yang memiliki tenaga besar dan ilmu-ilmu pukulan dahsyat, dia dapat melakukan perlawanan dengan cukup gigih, bahkan dapat pula kadang-kadang membalas dengan seranganserangan
yang tidak kalah dahsyatnya.
Namun, dalam hal penggunaan tenaga badan, memang usia mempunyai pengaruh yang amat besar. Usia tua merupakan penyakit yang menggerogoti kekuatan badan dari sebelah dalam, sedikit demi sedikit digerogoti sehingga yang mempunyai badan sendiri tak merasakannya. Usia semakin meningkat, tanpa dirasakan, tahu-tahu badan sudah menjadi semakin loyo dan lemah! Kenyataan ini, merupakan hukum alam, tidak dapat dielakkan pula oleh seorang sakti seperti Panembahan Pronosidhi sekali pun. Setelah
melakukan perlawanan dengan gigih selama puluhan jurus, napasnya mulai terengahengah
dan tenaganya mulai berkurang. Tenaga yang berkurang ini mengakibatkan gerakannya menjadi lamban pula.
"Plakk......!" Sebuah tamparan yang cukup keras dari tangan kakek botak dengan telah mengenai lambung panembahan itu.
"Hukkh.....!" Sang Panembahan menahan napas, akan tetapi tetap saja darah segar muncrat dari dalam perut ke tenggorokannya, dan ada yang keluar dari bibirnya. Dia tahu bahwa pukulan maut itu telah mengakibatkan luka parah di sebelah calam tubuhnya. Maka dia pun teringat akan ilmu baru yang diciptakannya khusus untuk Joko Handoko. Cepat dan otomatis tubuhnya membuat kuda-kuda Jurus Nogopasung.
Tubuhnya merendah, kaki kiri ditekuk di depan, kaki kanan melurus ke belakang badan.
Ibu jari di atas tanah, kedua tangan membentuk cakar naga di depan dada dan di pinggang, kemudian mulutnya mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya bergerak maju dan berputar.
"Heiiiiiiiikkk.....!"
Lima tokoh Hastorudiro itu seperti dilanda angin badai yang amat kuat. Tubuh mereka tak dapat mereka pertahankan lagi, terlempar dan terbanting ke kanan kiri. Dua orang di
antara murid-murid Hastorudiro tak mampu bangkit kembali karena nyawa mereka telah
putus. Mereka yang paling dekat dan paling hebat menerima hantaman jurus Nogopasung. Murid ke tiga muntah-muntah darah sedangkan dua orang kakek itu pun bangkit dengan napas terengah-engah dan muka pucat sekali. Mereka telah menderita luka di sebelah dalam tubuh mereka.
Melihat betapa Panembahan Pronosidhi berdiri dengan tegak, dengan mata mencorong dan mulut agak terbuka dua orang kakek itu sudah kehilangan nyali mereka. Tanpa banyak cakap lagi, dibantu oleh seorang murid keponakan yang tidak tewas, mereka lalu pergi sambil membawa tubuh dua orang murid yang sudah tek bernyawa lagi, pergi Suasana menjadi sunyi di sekitar tempat itu. Hanya desir angin bermain dengan daundaun
pohon yang terdengar, selebihnya hening bersih dan tenteram. Seperti inilah keadaan alam kalau hawa nafsu angkara murka dari manusia tidak merajalela.meninggalkan tempat itu dengan cepat.
Kakek panembahan itu masih berdiri tegak beberapa lama. Setelah orang-orang itu pergi
tak kelihatan bayangan mereka lagi, barulah dia menarik napas panjang, memuntahkan darah dari mulutnya dan tubuhnya terguling dan terkulai lemas, jatuh di dekat mayatmayat
lima orang cantriknya.
Suasana menjadi sunyi di sekitar tempat itu. Hanya desir angin bermain dengan daundaun
pohon yang terdengar, selebihnya hening bersih dan tenteram. Seperti inilah keadaan alam kalau hawa nafsu angkara murka dari manusia tidak merajalela.
Sesosok tubuh yang menggendong bangkai seekor kijang nampak datang barlari dengan cepat seperti terbang. Joko Handoko tadi mendengar pekiki kakeknya dan dia mengenal
pekik itu. Pekik Nogopasung! Mungkinkah kakeknya sedang berlatih seorang diri" Ah, tak
mungkin kiranya. Dia tahu bahwa bagi kakeknya berlatih ilmu Nogopasung menghabiskan tenaganya. Karena ingin sekali tahu, Joko Handoko lalu mempergunakan ilmunya meringankan tubuh dan di berlari secepat lari kijang, menuju pulang.
Kini dia berhenti dan matanya terbelalak ketika dia memandang kepada tubuh yang berserakan di atas tanah itu. Sampai beberapa lama dia tidak mampu mengeluarkan suara, bahkan tidak mampu bergerak seolah-olah tubuhnya sudah menjadi patung.
Penglihatan itu terlalu hebat baginya sehingga dia tidak mau percaya bahwa semua itu merupakan hal yang sungguh-sungguh dan nyata.
"Eyanggg....!!" Akhirnya dia menjerit, melepaskan bangkai kijang dan menubruk tubuh eyangnya. Dilihatnya eyangnya memejamkan mata dan napasnya empis-empis, mukanya pucat dan mulutnya masih mengalir darah. Dia lalu memeriksa keadaan lima orang cantrik dan dia terkejut mendapat kenyataan bahwa mereka berlima itu tewas sama sekali.
"Eyaaaanggg......!" Kembali dia menjerit dan sekali lagi memeriksa tubuh eyangnya,
mengangkat dan memangku kepala yang terkulai lemas itu.
Perlahan-lahan Sang Panembahan membuka kedua matanya, lalu berusaha untuk tersenyum ketika dia mengenal wajah cucunya. "Joko....." bisiknya lemah.
"Eyang Panembahan! Apakah yang telah terjadi" Siapa yang melakukan semua ini" Dan mengapa?"
Kakek itu sudah hempir tidak kuat bicara, wajahnya sudah pucat sekali dan terlalu banyak darah keluar dari mulutnya tadi. "Joko.... ini perbuatan...... Hastorudiro.....ingat pesanku......" Dia berhenti dan memejamkan mata.
"Eyaaaaanggg.....! Apakah pesan Eyang?" Joko Handoko menjerit dan iar matanya sudah bercucuran. Dia memang sudah mempelajari ilmu memperkuat batinnya, akan tetapi peristiwa ini terlalu hebat baginya dan dia tidak ingin menahan kedukaannya lagi.
"Joko..... jangan.... jangan....menden...dam...." Kepala itu terkulai dan nyawanya melayang. Joko Handoko seperti dapat merasakan hal ini karena tubuh bagian atas yang
dipangkunya itu tiba-tiba saja kehilangan seluruh kekuatannya, menjadi lemas dan berat
walaupun masih hangat.
"Eyaaaaaaagggg........!" Dia menjerit lagi dan menagisi mayat eyangnya.
Sambil menahan kedukaannya, Joko Handoko mengangkat tubuh eyangnya dan lima orang cantrik, dibawanya masuk ke dalam pondok dan direbahkan berjajar dengan rapi.
Kemudian, dia mengerahkan seluruh tenaganya menuju ke Wonoselo, menghadap ibunya. Dengan air mata bercucuran dia menceritakan akan keadaan di padepokan lereng Gunung Anjasmoro. Ibunya, Dyah Kanti, terkejut dan menangis pula. Raden Pringgoloyo lalu menyertai isterinya dan Joko Handoko, juga belasan orang pembantu, naik kuda menuju ke padepokan. Hujan tangis terdengar di padepokan itu ketika Dyah Kanti tiba.
Jenazah Panembahan Pronosidhi dan lima orang cantriknya itu diperabukan, diiringi tangis Dyah Kanti dan Joko Handoko. Pemuda yang sejak kecilnya dididik oleh kakeknya
itu merasa kehilangan sekali. Kakek itu baginya bukan hanya sebagai kakek, melainkan juga sebagai guru dan pengganti ayah yang sejak lahir tak pernah dikenalnya itu.
Kembali Joko Handoko menolak ketika ibunya dan ayah tirinya mebujuk agar dia ikut ke
Wonoselo. Bahkan ayah tirinya membujuk bahwa kalau pemuda itu mau ikut ke sana, dia akan membantu agar Joko Handoko memperoleh kedudukan di kadipaten. Setidaknya, demikian Raden Pringgoloyo, pamuda itu telah memiliki modal, yaitu kepandaian dan kekuatan, untuk menjadi seorang senopati muda.
"Maaf dan terima kasih," jawab pemuda itu. "Bukan saya menolak budi kecintaan Kanjeng Romo, akan tetapi saya ingin merantau dan meluaskan pengalaman. Juga saya ingin melakukan penyelidikan mengapa mendiang eyang dan para cantriknya dibunuh orang seperti itu."
"Handoko," kata ibunya dengan suara lembut. "Aku yakin bahwa eyangmu tidak akan
setuju kalau engkau hendak melakukan balas dendam." Wanita ini tahu benar akan watak ayahnya. Ketika suaminya, ayah kandung Handoko, dibunuh orang pun, ayahnya melarang ia untuk mendendam.
Pemuda itu mengangguk. "Saya mengerti, Ibu. Saya melakukan penyelidikan bukan untuk karena dendam, hanya ingin tahu duduknya persoalan. Kalau aliran Hastorudiro bertindak sesat dan angkara murka, saya akan bertindak, bukan dengan alasan dendam, melainkan sudah menjadi kewajiban saya untuk menentang kelaliman dan kejahatan."
Dyah Kanti maklum bahwa biarpun kelihatan tenang dan sabar, namun puternya itu memiliki kekerasan dan ketabahan hati yang amat besar. Karena Joko Handoko bukan anak kecil lagi, melainkan sudah menjadi seorang laki-laki dewasa dan di samping itupun sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup sebagai bekal dan pelindung dirinya, maka ibunya dan ayah tirinya tidak dapat melarangnya lagi. Raden Pringgoloyo membekali uang cukup banyak dan seekor kuda yang baik. Mula-mula Joko Handoko menolaknya, akan tetapi ayah tirinya berkata, "Anakku Joko Handoko. Aku tidak, bermaksud meremehkanmu dengan bekal dan kuda ini, akan tetapi ketahuilah, Nak, bahwa bagaimanapun juga, kita tidak dapat melepaskan diri kebutuhan hidup sehari-hari yang memerlukan penggunaan benda berharga ini. Untuk membeli nasi, membeli pakaian kalau rusak, keorluan lain-lain lagi, bahkan dapat dipergunakan untuk menolong sesama hidup yang dilanda kekurangan. Terimalah, anakku. Aku menyerahkan suka rela dan demi kepentinganmu."
Ibunya juga membujuknya dan akhirnya Joko Handoko terpaksa, menerimanya juga karena merasa tidak enak kalau menolaknya terus. Lalu berangkatlah dia menunggang kuda meninggalkan lereng pegunungan Anjasmoro, diikuti pandan mata ibu kandungnya dan ayah tirinya yang sengaja datang ke situ untuk mengantarkan bekal-bekal itu.
"Semoga dia berbahagia...."bisik Dyah Kanti ketika derap kaki kuda yang ditunggangi puteranya itu makin menjauh. Ada dua titik air mata membasahi kedua matanya.
Keris Pusaka Nogopasung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lengan suaminya merangkulnya dari belakang dengan lembut.
Sang surya tersenyum cerah di ufuk timur, memancarkan cahaya kemerahan yang semakin lama menjadi semakin cerah dan berubah menjadi cahaya keemasan, dengan hangat dan lembut, sinar sang surya membelai dan membangunkan segala sesuatu dengan cahayanya yang mujijat. Rumput-rumput yang malam tadi basah kedinginan, kini bersemi dengan mutiara menghias pucuknya, juga daun-daun di pohon, digantungi mutiara embun yang cemerlang. Garis-garis cahaya menerobos celah-celah daun pohon, menciptakan garis-garis cahaya lembut dan hangat. Burung-burung menyambut datangnya fajar dengan kicau yang riang gembira, sibuk membuat persiapan untuk mencari makan di hari itu. Demikian pula, orang-orang di dusun sudah bangun, dibangunkan oleh kokok ayam jantan dan biarpun tidak segembira burung-burung pohon, mereka juga membuat persiapan untuk keperluan hari itu. Kaum prianya memanggul cangkul menuju ke sawah ladang, kaum wanitanya sibuk mengurus rumah tangga. Setiap orang sibuk dan memulai pekerjaan sehari-hari. Apakah atinya hidup kalau tidak diisi dengan pekerjaan, dengan kesibukan" Setiap manusia membutuhkan kesibukan, dan kalau sudah terendam kesibukan lalu mengeluh. Aneh dan lucu tetapi nyata. Kiranya, jarang dapat ditemukan orang yang dapat bertahan untuk hidup tanpa
melakukan apa pun juga. Dia akan merasa hampa, tidak berarti, dan penuh kegelisahan dan kekecewan.
Derap kaki kuda itu meninggalkan dusun. Joko Handoko meninggalkan dusun di mana dia semalam menginap. Di rumah ketua dusun yang amat ramah dan yang dapat menjadi tuan rumah yang baik, menyambut kedatangan seorang pendatang asing yang melakukan perjalanan jauh.
Setelah meninggalkan Pegunungan Anjasmoro, Joko Handoko merantau dan tanpa diketahuinya, dia telah tiba di kaki Pegunungan Kawi. Dia merasa bersyukur akan kebijaksanaan ayah tirinya. Ternyata bekal uang dn kudanya amat menolongnya. Bukan saja dia dapat melakukan perjalanan tanpa banyak lelah, akan tetapi juga dia dapat mempergunakan uang bekalnya untuk membeli makanan, bahkan perlu pula untuk membalas kebaikan orang-orang dusun yang memberinya tempat menginap dengan membelikan sesuatu untuk mereka. Kalau dia tidak mempunyai uang, biarpun ada di antara para penduduk dusun yang mau menerimanya dan memberinya tempat menginap,namun dia akan merasa rikuh karena tidak mampu membalas keramahan dan kebaikan hati mereka.
Suasan pagi yang amat cerah itu mendatangkan kegembiraan di dalam hati Joko Handoko. Perjalanannya menuju ke Tumapel karena dia ingin berkunjung ke tempat tinggal kakek gurunya, yaitu Ki Empu Gandring. Mendiang ayah kandungnya, Ginantoko, sudah tidak mempunyai ayah lagi dan Joko Handoko merasa enggan untuk mengunjungi keluarga ayahnya yang terdiri dari bangsawan-bangsawan di Kadipaten. Dia lebih suka berkunjung kepada Empu Gandring yang sudah didengar namanya, yang dipuji-puji oleh mendiang kakeknya, pembuat keris Pusaka Nogopasung yang sekarang disimpan di balik bajunya. Juga Empu Gandring adalah guru mendiang ayah kandungnya, seorang sahabat baik sekali dari mendiang kakeknya. Dia dapat mengabarkan tentang kematian kakeknya
kepada Empu Gandring sekalian mohon petunjuknya.
Pagi itu indah. Kadang-kadang Joko Handoko terpesona oleh keindahan pagi itu sehingga
seringkali dia menghentikan kudanya, hanya untuk dapat lebih menikmati apa yang dilihatnya. Cahaya sinar matahari yang membuat garis keemasan lembut di permukaan air rawa, kemudian rumpun padi muda menghijau seperti lautan yang nampak menjadi hijau pupus kekuningan tertimpa sinar matahari pagi. Melihat burung-burung berterbangan di angkasa sambil mengeluarkan bunyi menuju ke arah tertentu dengan terbang berbondong-bondong, atau seekor burung elang melayang sendirian jauh tinggi di angkasa, meluncur dengan terbang layang tanpa menggerakkan sayap, kepalanya menoleh ke kanan kiri penuh perhatian, agaknya mencari mangsa untuk mengisi perutnya yang lapar. Melihat bapak-bapak tani memanggul cangkul atau menggembala kerbau menuju ke sawah ladang. Melihat ibu-ibu menggendong senik (keranjang bambu) berisi hasil kebun atau sayuran, keranjang berisi penuh beban di punggung, dan anak bayi menetek dan bergelantung di dada. Ada pula, dara-dara ayu dengan sikap kenes berlomba jalan dengan teman-temannya sambil berkelakar, suara ketawa mereka itu
melengking nyaring di pagi cerah.
Setelah meninggalkan jalan raya dan membelok menuju hutan yang sunyi untuk memotong jalan menuju ke Tumapel, Joko Handoko mulai melarikan kudanya. Akan tetapi, ketika dia tiba di tepi hutan yang sunyi, tiba-tiba belasan orang laki-laki bermunculan dari balik semak-semak dan pohon-pohon atau batu-batu besar. Mereka itu
kelihatan kasar dan bengis, dan masing-masing memegang sebatang senjata, golok dan keris. Ada pula yang memegang tombak. Mereka itu seperti sekelompok orang yang siap
untuk pergi bertempur.
Joko Handoko baru sadar bahwa mereka itu bukan orang yang hendak, bertempur untuk
perang, melainkan sekawanan perampok yang ingin merampok-nya ketika mereka itu tiba-tiba menghadang di tengah perjalanan dan ketika dia menghentikan kudanya, mereka mengepung!
"Eh, andika sekalian ini mau apa menghentikan perjalananku?" Dia bertanya, pura-pura tidak tahu apa kehendak mereka.
Gerombolan perampok itu tertawa bergelak dan seorang di antara mereka, yang berkumis tebal panjang sekepal sebelah dan berjenggot pendek seperti sapu, melangkah
maju dan suara ketawanya paling keras di antara mereka. Orang ini berpakaian serba
hitam, bertubuh pendek akan tetapi besar dan perutnya gendut kedua lengannya yang telanjang memperlihatkan otot-otot di balik kulit yang penuh bulu. Sepasang matanya melotot lebar, dan ketika dia tebelalak, nampaklah giginya yang hitam semua karena dia
biasa mengunyah tembakau.
"Hua-ha-ha-ha! Anak bagus, engkau yang masih setengah kanak-kanak dan tidak berpengalaman, sudah berani melakukan perjalanan jauh seorang diri. Engkau ingin tahu
mengapa kami menghentikanmu" Ha-ha-ha! Kami adalah begal!"
"Begal" Apakah itu, Paman?" tanya Joko Handoko dengan sikap masih pura-pura karena dia sedang mencari akal bagaimana dapat lolos dari kepungan orang-orang ini tanpa harus berkelahi dengan mereka.
Mendengar pertanyaan ini, si jenggot pendek kumis tebal itu tertawa semakin keras.
Demikian geli dia sampai dia tidak mampu bicara, hanya tertawa sambil menudingkan telunjuknya ke arah pemuda di atas kudanya itu. "Ha-ha-ha-ha.....! Kau tidak tahu artinya begal" Perampok! Dan aku adalah kepalnya, namaku Kolowiryo. Kami adalah perampok, begal atau kecu. Serahkan kudamu yang bagus ini, dan buntelan di pinggangmu itu, juga pakaian yang ada di tubuhmu. Ha-ha-ha, dan engkau sendiri boleh menjadi kekasihku, menghiburku di kala kesepian, ha-ha-ha!" Kepala perampok itu tertawa dan tiga belas anak buhnya ikut pula tertawa geli. Apalagi melihat tarikan muka
pemuda itu begitu keheranan sehingga nampak bodoh, membuat mereka menjadi semakin geli.
Memang Joko Handoko merasa terheran-heran. Mendengar dia berhadapan dengan kawanan perampok, tentu saja tidak mengherankan hatinya. Sudah banyak dia mendengar penuturan ibunya dan kakeknya bahwa di dunia ini banyak terdapat orangorang
jahat, dan terdapat pula perampok-perampok yang mengganggu orang-orang di sepanjang jalan yang sunyi. Akan tetapi, yang membuat dia melongo keheranan sehingga nampak bodoh adalah ketika kepala perampok itu menyakan keinginannya untuk mengambil dia sebagai kekasih ini merupakan hal baru baginya. Tadinya dia mengira bahwa kepala perampok itu sengaja mempermainkan dan menghinanya, akan tetapi ketika melihat betapa sepasang mata yang melotot lebar itu ditujukan kepadanya
dengan penuh gairah, Joko Handoko merasa bulu tengkuknya meremeng saking ngerinya. Pemuda itu belum berpengalaman, dan baru saja keluar dari tempat di mana sejak kecil dia mempelajari ilmu. Ibu dan kakeknya tentu saja belum pernah bercerita kepadanya tentang pria-pria yang suka berksih-kasihan dan bermain cinta dengan sesama pria.
"Jangan main-main, Paman. Aku adalah seorang laki-laki sejati," katanya, heran dan juga memancing karena dia ingin sekali mendengar apakah benar-benar orang itu tidak main-main.
"Ha-ha-ha, siapa main-main, bocah bagus" Engkau begini tampan, kulitmu halus seperti kulit perempuan, tentu nikmat sekali tidur bersama engkau dalam pelukan. Ha-ha, engkau mau, bukan" Jangan khawatir, kalau engkau menjadi kekasihku, tak seorang pun di dunia ini akan berani mengganggumu. Bahkan, aku akan melarang anak buahku untuk mengambil barang-barangmu atau mengganggumu. Mau, bukan" Turunlah dan kesinilah, sayang."
Joko Handoko bergidik, terang-terangan dia menggerak-gerakkan pundaknya dengan seluruh bulu pada tubuhnya meremang. "Tidak..... aku tidak mau.....!" katanya tegas.
Wajah si kumis tebal menjadi keruh dan matanya melotot semakin lebar. "Kalau begitu, engkau memilih mampus?"
"Kakang Kolo, seret saja dia dari atas kuda itu!" teriak seorang di antara mereka dan
kepungan terhadap Joko Handoko menjadi semakin rapat.
Belasan orang itu kini menghampiri kuda yang ditunggangi Joko Handoko dengan wajah bengis. Agaknya kuda itu pun dapat mencium tanda bahaya dan dia mengangkat kaki depannya ke atas, mengeluarkan suara ringkik ketakuan dan kemarahan.
Tiba-tiba terdengar bentakan halus. "Perampok-perampok jahat jangan ganggu orang!"
Semua perampok terkejut dan cepat menoleh, Joko Handoko memandang terkejut dan heranlah dia melihat bahwa yang membentak itu seorang gadis yang entah dari mana tiba-tiba sudah muncul di tempat itu. Kepala perampok bernama Kolowiryo segera membalik dan menghadapi gadis itu, memandang penuh perhatian lalu tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, wah, mimpi apa kalian semalam, kawan-kawan" Baru saja kita mendapatkan seekor kambing gemuk, sekarang muncul seekor kelinci gemuk. Gadis ini biar pun masih amat muda, nampak bersemangat dan kuat, tentu kalian semua bisa mendapatkan bagian, sedangkan pemuda itu untukku seorang, ha-ha-ha!"
Diam-diam Joko Handoko memandang gadis itu penuh perhatian. Seorang gadis yang usianya kira-kira lima belas tahun, bertubuh singset, tegap berisi, kulitnya hitam lembut
dan halus, wajahnya manis bukan main, dengan mulut yang panas dan mata yang memancarkan sinar tajam penuh keberanian. Pakaiannya mewah dan pinggangnya yang kecil ramping itu diikat dengan sabuk tembaga yang berukir indah. Diam-diam Joko Handoko mengeluh. Tadi dia masih tenang saja karena yakin akan dapat melindungi dirinya terhadap para perampok ini. Akan tetapi sekarang, muncul seorang gadis yang tentu saja harus dilindunginya. Bagaimana pun juga, dia merasa kagum melihat keberanian anak perawan itu. Gadis-gadis lain tentu sudah menangis ketakutan melihat gerombolan perampok yang bengis dan ganas itu.
"Tikus-tikus pecomberan! Maut sudah menghadang di depan mata dan kalian masih berani membuka mulut besar!" perawan tanggung itu membentak dengan suara penuh tantangan.
Tentu saja belasan orang itu memandang rendah kepadanya. "Kawan-kawan, siapa yang dapat lebih dulu menangkapnya, dialah yang memperoleh bagian pertama!" kata Kolowiryo dan seruan ini disambut suara ketawa dan sorakan, kemudian bagaikan segerombolan anjing serigala, tiga belas orang itu mengepung dan menubruk untuk memperebutkan gadis hitam manis itu.
Joko Handoko sudah siap untuk menolong gadis itu, seluruh urat syaraf di tubuhnya sudah menegang. Akan tetapi dia menahan diri ketika melihat sikap gadis itu sama sekali
tidak memperlihatkan rasa takut, bahkan dia melihat betapa lincah kedua kaki gadis itu
menyambut serangan lawan. Kini dia dapat menduga bahwa tentu gadis itu memiliki kepandaian maka sikapnya seberani itu dan hal ini menimbulkan keinginan tahunya untuk melihat begaimana gadis itu akan mampu melawan pengeroyokan tiga belas orang yang ganas itu.
Dan dia pun tertegun penuh kagum ketika melihat betapa tubuh yang kecil langsing itu bergerak dengan amat cepatnya, mendahului sebelum para pengeroyok itu datang dekat, melocat ke depan dan empat kaki tangannya bergerak cepat sekali membagi tamparan dan tendangan yang ternyata merupakan serangan-serangan seorang ahli karena tangan dan kaki itu tiba di bagian-bagian tubuh yang lemah.
"Plak! Buk! Plak! Dess....!" Dan empat orang pengeroyok terpelanting sambil mengaduh karena tamparan-tamparan mengenai leher dan pelipis, tendangan-tendangan memasuki lambung dan dada! Melihat ini, sembilan orang lainnya terkejut, akan tetapi mereka menjadi marah dan kini mereka menerjang dengan maksud bukan hanya untuk
menangkap, melainkan menyerang!
Betapapun lincahnya, menghadapi sengaran penuh kemarahan dari sembilan orang yang rata-rata memiliki tenaga kerbau, gadis itu merasa kewalahan juga. Ia mengelak sambil berloncatan ke belakang. Yang membuat ia semakin kewalahan adalah bau keringat dan bau napas para pengeroyoknya. Mereka itu adalah orang-orang kasar yang kotor dan tidak pernah mandi sehingga tubuh mereka mengeluarkan bau yang ledis dan apak, sedangkan mulut yang tak pernah dibersihkan itu bau tuwak{arak} sehingga memuaskan perut gadis yang dikeroyok.
Tiba-tiba saja nampak sinar berkelebat dan dua orang roboh mandi darah. Semua orang
terkejut dan memandang dengan mata terbelakak melihat betapa dua orang kawan mereka roboh dengan dada dan perut robek! Kiranya gadis hitam manis itu telah melolos
sabuk tembaga yang tadi melilit pinggangnya dan sekali sabuk itu bergerak, dua orang pengeroyok telah roboh!
Melihat ini, Kolowiryo terkejut sekali dan juga marah. Tadi, melihat gadis itu merobohkan
empat orang anak buahnya dengan tamparan dan tendangan, dia masih merasa yakin behwa anak buahnya akan mampu membekuk gadis liar itu. Akan tetapi melihat betapa dua orang anak buah roboh lagi dengan luka parah, marahlah dia.
"Setan betina yang bosan hidup, berani kau melukai kawan-kawanku!" bentaknya dan Kolowiryo yang gendut pendek ini sudah mencabut sebatang golok yang tergantung di pinggangnya. Dengan gemas dia mengayunkan goloknya mambacok ke arah kepala gadis. Sampai terdengar suara berdesing saking kuatnya golok itu dibacokkan. Namun dengan gesit gadis itu miringkan tubuh sehingga golok menyambar lewat, dan kaki gadis
itu sudah menyambar dari samping dengan sebuah tendangan melintang, mengarah lambung lawan.
"Hehh!" Kolowiryo menggerakkan siku kiri ke bawah untuk menangkis tendangan.
Demikian kuatnya gerakan Kolowiryo ini sehingga ketika sikunya bertemu kaki, tubuh gadis itu terdorong dan agak terhuyung. Melihat kemenangan tenaga ini, Kolowiryo terkekeh dan timbul kesombongannya. Dia pun menubruk sambil memutar goloknya, merasa yakin bahwa kini dia akan berhasil menyembeleh gadis yang membuat perutnya merasa panas itu. Memang sejak muda, Kolowiryo tidak suka kepala wanita, lebih suka kepada pria-pria ganteng untuk menjadi kekasihnya. Karena itu, kini dia sama sekali tidak merasa sayang untuk membantai dan membunuh gadis hitam manis yang akan menggerakkan gairah hati setiap pria biasa itu.
Kembali Joko Handoko yang sejak tadi hanya menjadi penonton di atas kudanya, menjadi tegang dan seluruh urat syaraf di tubuhnya siap siaga untuk menggerakkan tubuhnya menolong gadis itu kalau-kalau terancam bahaya. Namun, sikap gadis itu yang membuat dia menahan diri. Diserang secara hebat, si gadis manis nampak tersenyum dan tetap tenang, bahkan kini tubuhnya meluncur ke depan, tubuhnya diputar cepat sehingga membentuk gulungan sinar keemasan yang menyilaukan mata. Kolowiryo terkejut karena bagi dia tiba-tiba tubuh gadis itu lenyap terbungkus atau tertutup
gulungan sinar keemasan. Hal ini membuat dia ragu-ragu dan goloknya menyambar ke depan dengan sinar.
"Trangg.... siingg.....crottt.....!" Kolowiryo mengeluarkan pekikan kesakitan dan dia melotot ke belakang sambil memandang terbelalak ke arah pangkal lengan kirinya yang terluka. Darah mengalir keluar dari baju yang robek di bagian itu.
Sementara itu, anak buahnya sudah menyerang dari belakang. Tujuh orang itu sudah menyerang dengan senjata mereka sehingga keris, golok dan tombak meluncur dan menghujani tubuh gadis hitam manis itu.
"Sing-sing-singgg.....!" Sinar keemasan itu bergulung-gulung dan kadang-kadang, ada sinar mencuat dari dalamnya, disusul robohnya seorang pengeroyok, lalu seorang dan seorang lagi! Tiga orang berturut-turut roboh dengan mandi darah!
"Wah......! Sabuk Tembaga......!" Terdengar teriak seorang di antara sisa pengeroyok, agaknya baru teringat melihat kehebatan sabuk dari tembaga yang dipegang gadis itu.
Mendengar itu, Kolowiryo terkejut bukan main dan mukanya berubah pucat.
"Kau..... kau..... masih terhitung apakah dengan Ki Bragolo ketua Sabuk Tembaga?"
tanyanya gagap.
Gadis itu tersenyum berdiri tegak dengan tangan kanan memegang sabuk tembaga yang
tipis dan diukir indah itu, sedangkan tangan kirinya bertolak pinggang, sikapnya manis, lucu akan tetapi juga gagah perkasa.
"Dia adalah ayahku," jawabnya tenang saja.
Sepasang mata yang lebar dari Kolowiryo terbelalak dan dia mengeluh, "Celaka....."
Kemudian tanpa banyak cakap lagi dia memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk pergi dari situ sambil membantu teman-teman yang terluka. Gadis itu hanya memandang dengan senyum mengejek dan tidak menghalangi mereka pergi.
Tempat itu menjadi sunyi dan tenang kembali setelah para perampok itu melarikan diri.
Gadis itu masih tetap berdiri tegak dan Joko Handoko juga masih duduk di atas kudanya.
Pemuda itu tertegun ketika mendengar pengakuan gadis hitam manis itu. Puteri Ki Bragolo! Teringatlah dia akan penuturan mendiang eyangnya bahwa ayah kandungnya yang bernama Ginantoko telah tewas di ujung Nogopasung yang ditusukan oleh KI Bragolo! Dan gadis itu mengaku puterinya, puteri dari orang yang membunuh ayah kandungnya. Sejak mendengar nasihat dan penuturan Panembahan Pronosidhi, hatinya sama sekali tidak disentuh oleh dendam terhadap Ki Bragolo. Dia merasa yakin bahwa kematian ayahnya itu adalah akibat ulah ayahnya sendiri. Bukanlah ayahnya telah merusak pagar ayu, menggoda isteri Ki Bragolo bernama Galuhsari yang juga kemudian tewas di ujung keris pusaka Nogopasung" Biarpun demikian, secara tiba-tiba dia berhadapan dengan puteri Ki Bragolo, sungguh merupakan hal mengejutkan dan membuatnya tertegun. Kalau begitu, gadis ini adalah puteri Ki Bragolo dan Galuhsari!
Ibu gadis ini adalah kekasih ayah kandungnya.
"Heii, apakah engkau gagu?" tiba-tiba terdengar suara gadis itu memecah kesunyian dan
sekali meloncat, tubuhnya berada di depan kuda yang terlonjat kaget.
"Siapa gagu" Aku tidak gagu," jawab Joko Handoko dan suaranya tidak ramah karena masih teringat bahwa gadis ini adalah puteri pembunuh ayahnya, dan sikap gadis ini yang galak, yang mengatakan dia gagu membuat hatinya jengkel juga.
"Kalau tidak gagu, kenapa sejak tadi kau terdiam saja di atas kuda" Kenapa sekarang tidak cepat turun dan menghaturkan terima kasih kepadaku?" Gadis itu menyerang dengan kata-kata, alisnya berkerut tanda bahwa hatinya merasa tidak puas dengan sikap
pemuda yang sudah dibebaskannya dari melapetaka itu.
"Kenapa aku harus berterima kasih kepadamu?" Joko Handoko bertanya.
"Wah! Bukankah baru saja aku telah menolongmu?"
"Akan tetapi aku tidak pernah minta tolong kepadamu."
"Ih kiranya engkau seorang yang tak tahu terima kasih! Kalau tadi aku tidak turun tangan, bukankah engkau kini sudah menjadi mayat?"
"Belum tentu!"
"Hemm, engkau angkuh dan sombong, penuh keberanian. Apakah ada yang kau andalkan?"
Joko Handoko menggeleng kepala. "Aku mungkin tidak sepandai dan segagah engkau, akan tetapi belum tentu kalau aku akan mati akan mati sekiranya engkau tidak muncul.
Mati hidup di tangan para Dewa, bukan di tangan perampok-perampok itu, bukan?"
"Hus, engkau memang pandai berdebat. Aku sudah bersusah payah menolongmu, menyelamatkanmu dari bencana, dari ancaman orang-orang jahat. Dan dalam menolongmu itu aku pun terancam bahaya. Dan sekarang, engkau bersikap angkuh, berterimakasih pun tidak. Kalau tahu begini......"
"Engkau tentu takkan menolongku dan membiarkan aku terbunuh. Bukankah begitu?"
"Mungkin saja......"
"Kalau begitu, aku ingin bertanya. Apakah ketika engkau turun tangan menyerang mereka itu, engkau berpamrih untuk mendapatkan pernyataan terima kasihku?"
Joko Handoko memandang tajam dan sejenak gadis itu termangu-mangu. Kemudian ia menggeleng kepala.
"Tidak, aku tidak mengharapkan apa-apa, hanya merasa bahwa sudah menjadi kewajibanku untuk membela yang lemah dan penentang yang jahat."
"Nah, kalau begitu, kenapa engkau menuntut terima kasih dariku" Bukankah kalau aku berterima kasih, maka pertolonganmu itu menjadi ternoda oleh pamrih?"
Gadis itu nampak bingung, kemudian manarik napas panjang. "Sudahlah, engkau memang aneh! Tidak berkepandaian, lemah, melakukan perjalanan seorang diri menunggang kuda begini baik, membawa buntalan besar. Tentu saja menarik perhatian kaum perampok! Kemudian, sudah dikepung perampok-perampok ganas engkau masih, enak-enak saja duduk di atas kuda, sedikitpun tidak merasa takut. Dan setelah ditolong
orang, engkau pun tidak peduli. Orang macam apa sih engkau ini" Siapa namamu dan di mana tempat tinggalmu?"
Merasa tidak enak bicara dengan seorang gadis muda duduk di atas kudanya, Joko Handoko lalu turun dari atas punggung kuda. Gadis itu memandang, dan sinar kagum memancar dari pandang matanya melihat pemuda tampan yang memiliki bentuk tubuh tegap itu.
"Namaku Joko Handoko dan tempat tinggalku.... ah, aku seperti sehelai daun yang tertiup angin, terbang ke mana saja angin meniupku, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap."
"Hemm, semakin aneh penuh rahasia saja engkau. Akan tetapi namamu indah sekali.
Joko Handoko! Biarpun engkau tidak memiliki tempat tinggal, setidak-tidaknya engkau mempunyai tujuan perjalanan. Hendak kemanakah engkau?"
"Aku hendak pergi ke Tumapel," jawab Joko Handoko sejujurnya dan dia pun semakin kagum kepada gadis ini. Setelah dia turun dari kuda dan berdiri dekat gadis itu, makin jelas nampak betapa manisnya gadis itu, betapa padat dan ramping tubuhnya dan dari tempat dia berdiri dia dapat mencium bau sedap keluar dari tubuh di depannya itu.
Seorang gadis remaja yang luar biasa, pikirnya. Belum pernah dia bertemua dengan
seorang gadis seperti ini! Dan memang pemuda itu masih amat hijau dalam pergaulannya dengan wanita. Hanya wanita-wanita dusun saja yang pernah dijumpainya.
Bahkan baru sekali ini dia berhadapan langsung dengan seorang gadis dan bercakapcakap
demikian bebasnya!
Mendengar bahwa pemuda itu hendak pergi ke Tumapel, gadis itu nampak girang.
"Bagus! Kalau begitu kita dapat jalan bersama karena aku pun akan pergi ke sana.
Dengan demikian, aku tidak akan mengkhawatirkan lagi engkau akan diganggu orang di tengah perjalanan. Perjalanan ke Tumapel masih melewati beberapa bukti yang cukup berbahaya."
Diam-diam Joko Handoko harus memuji bahwa gadis ini memiliki pribadi yang gagah dan
baik, suka menolong orang di samping kegagahan dan kecantikannya. "Nanti dulu!
Engkau sudah mengenal namaku dan tujuan perjalananku, sedangkan aku hanya mengetahui bahwa engkau adalah puteri Ki Bragolo dari perkumpulan Sabuk Tembaga.
Siapakah namamu dan ceritakan tentang dirimu. Dengan demikian baru kita saling mengenal dan patut melakukan perjalanan bersama."
Gadis itu tersenyum. Sejak tadi dia terheran-heran melihat sikap pemuda ini. Demikian anggun, akan tetapi lemah dan di dalam kelemahannya, pemuda ini memiliki sikap yang tegas dan keberanian yang luar biasa.
"Namaku Wulandari."
"Wah, indah sekali namamu itu. Wulandari....! Bukankah nama itu artinya Bulan Purnama, bulan yang dikelilingi garis cerah di sekelilingnya" Akan tetapi engkau mengingatkan aku kepada bunga, bikan kepada bulan."
Wajah Wulandari berseri. Gadis mana yang takkan berseri mukanya mendengar dirinya dipuji orang" Disamakan dengan bunga merupakan pujian yang menyenangkan karena ia pun menyukai bunga!
"Seperti bunga apa menurut pendapatmu?" tanyanya, mendesak dan ingin tahu. Ia suka bunga cempaka yang menjadi lambang kebersihan, bunga kamboja lambang kesucian, bunga melati lambang keharuman dan keluwesan wanita dan mengharapkan pemuda yang menarik hatinya ini akan menyebut satu di antara bunga-bunga itu.
"Engkau mengingatkan aku akan bunga mawar berduri."
Wulandari mengerutkan alisnya. "Bunga mawar masih bolehlah, akan tetapi mengapa berduri" Tidak enak sekali!"
"Engkau manis seperti bungan mawar, akan tetapi engkau gagah perkasa dan memiliki kepandaian sehingga tidak sembarangan orang boleh menyentuhmu. Siapa berani kurang ajar berusaha memetik dan mengganggu bunga mawar, pasti akan tertusuk duri.
Engkau manis dan gagah seperti bunga mawar berduri!"
Wulandari tidak marah. Ia tersenyum dan mukanya yang manis itu menjadi merah agak gelap, tandan bahwa darah naik ke mukanya karena merasa malu-malu senang, "Ih, engkau tukang merayu ya" Engkau pun seorang pemuda aneh, Joko Handoko. Engkau seorang pemuda yang tidak meiliki kepandaian beladiri, aka tetapi engkau penuh keberanian dan ketabahan."
"Kalau aku tukang merayu, engkau ahli memuji, Wulan." Joko Handoko tersenyum.
Keduanya tersenyum dan merasa akrab.
"Aku suka padamu, Joko," kata Wulandari dan ucapannya itu demikian terbuka dan jujur,
sama sekali, tidak mengandung maksud apa-apa kecuali suatu pernyataan yang apa adanya. Joko Handoko senang sekali mendengar dan melihat ini.
"Dan aku pun suka kepadamu, Wulan."
"Mari kita lanjutkan perjalanan. Hutan di depan ini cukup lebat dan gelap. Apakah engkau sudah mengenal jalannya?"
Joko Handoko menggeleng kepalanya. "Selama hidup baru pertama kali ini aku ikut lewat
di sini." "Wah, sungguh engkau sembrono sekali. Aku sendiri yang sudah sering lewat di sini, dan
yang memiliki kepandaian cukup untuk mengelola dia, masih harus berhati-hati sekali melewatinya. Hutan besar ini terkenal keangkerannya, bahkan ada yang menggambarkan bahwa siapa berani memasuki berarti menantang maut. Dan engkau enak-enak saja hendak pergi memasukinya dengan segala kelemahanmu. Mari kita berangkat dan jangan khawatir, aku akan melindungimu."
"Baik, marilah." Dan Joko Handoko menuntun kudanya.
"Eh" Kenapa dituntun" Naiklah ke punggung kudamu."
"Tidak, aku jalan kaki saja. Kalau engkau mau, engkau boleh menungganginya."
"Itu kan kudamu."
"Tapi aku laki-laki. Malu kalau harus menunggang kuda sedangkan engkau perempuan berjalan kaki. Biar kau yang menunggang dan aku yang jalan kaki."
"Biarpun perempuan, aku lebih kuat darimu," bantah Wulandari.
"Aku baru mau menunggang kuda kalau bersamamu. Kita menunggang bersama, atau jalan kaki bersama!" Joko Handoko berkeras.
"Engkau ini memang aneh! Kalau tidak ditunggangi sayang. Kuda ini kuat, tidak akan keberatan membawa beban kita berdua. Akan tetapi kalau dilihat orang, bukankah kita akan ditetawakan" Kita bukan apa-apa, tapi menunggang kuda dengan hati bersih, bukan?"
"Baiklah kalau begitu. Nah, kau naiklah, aku akan membonceng di belakangmu," kata gadis itu.
Joko Handoko lalu menunggang kudanya tiba-tiba, dengan gerakan ringan dan cekatan sekali, gadis itu sudah meloncat ke atas punggung kuda, di belakang Joko Handoko.
Pemuda itu merasa aneh, akan tetapi untuk mengusir perasaan ini, dia lalu membedal kudanya yang lari congklang ke depan.
"Kau ikuti saja jalan setapak ini," kata Wulandari. "Aku sudah mengenal jalan, jangan khawatir."
Joko Handoko hanya mengangguk dan mereka pun memasuki hutan yang lebat itu.
Mula-mula Joko Handoko merasa canggung sekali. Bagaimanapun juga, dia dapat merasakan ketika kudanya lari congklang, kedua paha gadis itu bersentuhan dengan pinggulnya, dan dua tonjolan payudara kadang-kadang menyentuh punggungnya.
Jantungnya berdebar tidak karuan dan dia bingung sendiri, merasa risi dan canggung, akan tetapi dia mengeraskan hatinya dan mematikan rasa. Dia sama sekali tidak tahu
betapa kadang-kadang gadis di belakangnya itu memejamkan matanya, tidak tahu betapa semenjak saat mereka menunggang kuda berbocengan itu, tertanam perasan cinta kasih yang mendalam di hati gadis itu terhadap dirinya!
**** Kita tinggalkan dulu Joko Handoko dan Wulandari yang berboncengan naik kuda menuju ke Tumapel dan mari kita mengikuti keadaan Ken Arok yang telah lama kita tinggalkan.
Seperti telah kita ketahui, Ken Arok bertemu dengan Panji Tito putera Ki Ageng Sahoyo
yang menjadi pinisepuh di Sagenggeng. Pendeta di Sagenggeng ini masih terhitung adik seperguruan dari Panembahan Pronosidhi, di Gunung Anjasmoro, maka tentu saja dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Biarpun dalam hal ilmu silat, dia tidak sehebat Panembahan Pronosidhi, namun dalam ilmu kesusasteraan dan kesenian, dia mengungguli kakak seperguruannya itu. Dan berbeda dengan Panembahan Pronosidhi yang hidup sebagai seorang pertapa yang saleh, Begawan Jumantoko tidak memantang kesenangan duniawi dan behkan terkenal sebagai seorang yang tergila-gila kepada wanita cantik! Karena kepandaiannya, maka banyaklah wanita muda yang menjadi muridnya, terjatuh ke dalam pelukannya dan banyak sekali wanita muda tinggal di padepokannya, ada yang belajar silat, belajar kesusatraan atau kesenian, akan tetapi juga diam-diam mereka menjadi selir-selir yang tidak sah dari pendeta itu!
Ken Arok dan Panji Tito dengan tekun mempelajari ulah keperajuritan dari Begawan Jumantoko yang merasa girang memperolah murid-murid yang pandai itu. Dan di tempat
itu pula Ken Arok memperoleh pelajaran dan pengalaman baru yang amat mengasikkan hatinya, yaitu bergaul dan berdekatan dengan wanita-wanita muda yang cantik dan genit, selir-selir yang juga menjadi murid-murid Begawan Jumantoko. Berbeda dengan Panji Tito yang tidak suka berdekatan dengan wanita-wanita genit itu, Ken Arok seperti
seekor harimau kelaparan bertemu dengan sekumpulan domba jinak. Dalam waktu singkat saja dia sudah bermesraan dengan mereka, dengan lahap menerima pelajaran tentang permainan cinta yang mengasikkan dari para selir itu.
Begawan Jumantoko bukan seorang bodoh dan dia sudah dapat menduga akan adanya hubungan antara murid yang tampan dan gagah ini dengan beberapa orang selirnya.
Akan tetapi, dia pura-pura tidak tahu saja. Dia pun merasa bahwa dirinya sudah terlalu tua sehingga tidak mengherankan apabila murid-muridnya itu tertarik kepada Ken Arok.
Akan tetapi, setelah semakin lama para selirnya bersikap semakin dingin terhadap dirinya, dia menjadi marah. Apa lagi ketika selirnya yang paling disayangnya, Lasmini, juga mulai mengadakan hubungan dengan Ken Arok. San Begawan merasa kehormatannya dilanggar. Dia sudah menyindirkan kepada Ken Arok dan Lasmini bahwa wanita yang satu ini tidak boleh diganggu.
Dalam kemarahannya, Sang Begawan Jumantoko ingin membunuh Ken Arok dengan diam-diam. Pada suatu malam dia bahkan menangkap basah Ken Arok yang sedang berkasih-kasihan dengan Lasmini di taman bunga. Dia tidak mengganggu mereka dan baru setelah kedua orang yang berjina itu berpisah, diam-diam dia mengikuti Ken Arok ke kamar orang muda itu. Dia menanti sampai Ken Arok tidur pulas. Dibukanya pintu kamar dengan kepandaiannya dan dengan keris di tangan, dia memasuki kamar, bermaksud membunuh Ken Arok selagi tidur. Tentu saja dia berani menyerang murid ini
dalam keadaan sadar, hanya dia tidak sampai hati berbuat demikian. Pula, kalau Ken Arok terbunuh selagi tidur, tidak akan ada yang tahu siapa pembunuhnya, mungkin seorang di antara selir-selir atau murid-murid perempuan yang saling cemburu.
Tiba-tiba kakek itu menghentikan langkahnya dan memandang dengan mata terbelalak ke arah Ken Arok yang tidur mendengkur di atas balai-balai, pulas karena kelelahan.
Senyum kepuasan membayang di wajahnya. Yang membuat Begawan Jumantoko tenganga adalah karena dia melihat sinar memancar dari kepala pemuda itu!
"Jagat Dewa Bathoro.....!" Dia berbisik. Dia sudah mendengar dari desas-desus yang ditiup oleh Ken Arok bahwa pemuda itu adalah keturunan Sang Hyang Brahma. Kini, melihat cahaya di kepala Ken Arok, timbul rasa takutnya dan dia pun menyembah, lalu mundur dan menutupkan kembali pintu kamar itu, tidak berani mengganggu pemuda yang kini dia yakin tentu keturunan Sang Hyang Brahma itu!
Peristiwa ini mengubah sikap Begawan Jumantoko. Beberapa hari kemudian, setelah membari wejangan-wejangan tentang ilmu bela diri yang romit-rumit kepada Ken Arok dan Panji Tito, dia memanggil Ken Arok untuk diajak bicara empat mata.
"Ken Arok, aku ingin bertanya. Sebenarnya, siapakah nama orang tuamu?"
Ken Arok memandang heran. "Bopo Begawan, bukankah pernah hal itu Paduka tanyakan" Dan saya pun sudah menerangkan bahwa ayah ibu saya adalah Ki Lembong dan Nyi Lembong yang tinggal di dusun Pangkur, dan sekarang menjadi budak di rumah kepala desa Lebak. Kenapa paduka menanyakan lagi?"
Begawan Jumantoko menggelang kepala. "Ceritamu itu tidak benar, muridku. Cobalah engkau tanyakan kepada Ki Lembong dan Nyi Lembong, siapa sebenarnya ayah ibumu.
Sekarang engkau telah dewasa, sudah sepatutnya engkau mengenal siapa sebenarnya orang tuamu."
Ucapan pendeta itu amat mengganggu hati dan pada saat hari itu, dia pamit dari gurunya dan Panji Tito untuk pulang ke Dusun Pangkur mengunjugi Ki Lembong dan Nyi Lembung. Ternyata kedua orang telah kembali ke rumah mereka setelah beberapa tahun
lamanya bekerja kepada kepala Desa Lebak untuk menebus hutang mereka, yaitu hewan
yang dihabiskan Ken Arok di meja judi. Tentu saja hati kedua orang tua ini amat girang melihat Ken Arok pulang. Dirangkulnya Ken Arok dan dikaguminya karena kini Ken Arok telah menjadi seorang pemuda dewasa yang tampan dan gagah. Nyi Lembong yang menganggap Ken Arok sebagai anak kandung sendiri, merangkul sambil menangis dengan terharu.
Akan tetapi, betapa heran hati mereka melihat bahwa Ken Arok bersikap dingin saja.
Dan mereka terkejut ketika tiba-tiba Ken Arok berkata, "Ki dan Nyi Lembung, katakanlah secara terus terang, sebenarnya aku ini anak siapa" Siapakah ayah dan ibuku yang sejati?"
Mendengar ini, dengan muka berubah, suami isteri itu saling pandang dan Nyi Lembong masih mencoba untuk mempertahankan. "Angger Ken Arok anakku! Mengapa engkau mengajukan pertanyaan seaneh itu" Tentu saja kami berdua ini ayah dan ibunya yang sejati!"
Ken Arok mengerutkan alisnya dan memandang kedua orang tua itu dengan bengis. "Tak perlu kalian berbohong lagi! Lihatah baik-baik diriku ini. Pantaslah aku menjadi anak seorang maling biasa" Pantaskah ayahku maling dan ibuku perempuan dusun yang bodoh?"
"Ken Arok! Sudah kami beritahukan bahwa engkau keturunan Sang Hyang Brahma, hanya melalui kami sebagai orang tua yang memeliharamu....." kata Ki Lembong.
"Sudahlah, Ki Lembong. Tak perlu banyak mengelak lagi. Aku yakin bahwa kalian bukan ayah ibuku yang sejati. Katakan saja yang sebenarnya atau aku akan marah dan lupa bahwa kalian pernah memeliharaku sejak kecil." Ken Arok yang berwatak keras itu sudah
mengancam dengan suara bengis. Hal ini tentu saja mengejutkan hati dua orang tua itu.
Bagaimana pun juga, di lubuk hati suami isteri ini memang sudah mempunyai rasa takut dan hormat kepada Ken Arok yang mereka yakin tentu keturunan Sang Hyang Brahma.
Maka Ki Lembung lalu menceritakan kepada Ken Arok tentang riwayat anak itu.
Diceritakannya betapa dia menemukan Ken Arok sebagai seorang bayi di tengah kuburan
dan betapa pada keesokan harinya, seorang wanita bernama Ken Endok mengakuinya sebagai anak kandung yang berayah Sang Hyang Brahma.
Girang hati Ken Arok mendengar ini. "Jadi, ibu kandungku bernama Ken Endok" Di mana
ia sekarang?"
Ken Endok sudah menikah lagi dan tinggal di dusun Pangkur itu juga, sudah mempunyai dua orang anak lagi dengan suaminya yang baru. Ken Arok lalu pergi mengunjunginya dan berkeras minta jumpa dengan wanita yang bernama Ken Endok. Akhirnya, bertemu jugalah ibu dan anak itu. Sejenak mereka berdiri saling pandang dan biarpun Ken Endok belum tahu siapa gerangan pemuda tampan yang berdiri di depannya itu, namun dia merasa betapa jantungnya berdebar penuh ketegangan. Terbayanglah wajah Ginantoko belasan tahun yang lalu, yang serupa benar dengan pemuda ini. Bahkan hampir dia percaya bahwa bekas kekasihnya itu, titisan Sang Hyang Brahma, kini muncul lagi di depannya!
"Saya Ken Arok," tiba-tiba pemuda itu berkata, membuyarkan semua lamunan Ken Endok. "Apakah ibu yang bernama Ken Endok?"
"Ken Arok..." Kau... kau... anak Ki Lembong....?"
"Benar, aku anak yang kau titipkan kepada Ki dan Nyi Lembong. Benarkah aku ini anak kandungmu?"
"Ken Arok....!" Ken Endok tak dapat menahan tangisnya dan ia pun merangkul pemuda itu, anak kandungnya sendiri yang terpaksa dipisahkan darinya semenjak bayi itu lahir.
Akan tetapi Ken Arok menyambut keharuan ibu kandungnya itu dengan dingin. Betapa pun juga, wanita yang mengaku ibu kandungnya itu tidak pernah mengasuhnya dan tidak ada perasaan kasih sayang kepadanya. Maka dia dengan lembut melepaskan diri dari pelukan.
"Ibu aku datang untuk bertanya, siapa sebenarnya ayah kandung saya. Saya dikabarkan keturunan Sang Hyang Brahma. Hanya engkau seoranglah yang tahu akan keadaan sebenarnya. Siapakah ayahku?"
Kalau saja Ken Endok belum menyelidiki sebelumnya, tentu ia akan bingung sekali menghadapi pertanyaan yang mendesak dari anaknya sendiri itu. Untung bahwa setelah menjadi isteri suaminya yang sekarang, hidupnya serba kecukupan dan ia mempunyai banyak waktu untuk melakukan penyelidikan. Dan ia pun dapat mengetahui dari hasil penyelidikannya bahwa pemuda tampan yang menjadi kekasihnya itu, atau titisan Sang Hyang Brahma, adalah seorang pemuda bangsawan dari Tumapel yang bernama Raden Ginantoko. Bahkan ia mendengar berita yang lebih dari itu, ialah bahwa Raden Ginantoko
telah tewas oleh seorang bernama Ki Bragolo ketua Sabuk Tembogo dari lereng Gunung
Kawi ketika pria ganteng itu tertangkap basah berjina dengan isteri Ki Bragolo!
Kini mendengar pertanyaan puteranya, ia lalu bermaksud untuk menceritakan semuanya karena diam-diam di lubuk hatinya mengandung niat agar puteranya ini membalas
dendam dan menuntut atas kematian ayah kandungnya! Tentu saja sebagai wanita yang diam-diam masih amat mencintai Ginantoko, hatinya sakit sekali mendengar kekasihnya dibunuh orang. Selama ini, ia hanya menahan perasaan dendamnya. Sebagai isteri dari suaminya yang sekarang, ia sama sekali tidak berdaya. Mana mungkin ia terangterangan menyatakan sakit hati atas kematian kekasihnya yang dulu" Juga, apa daya
suaminya atau ia sendiri terhadap seorang yang bernama Ki Bragolo itu, yang menurut kabar, merupakan kepala sebuah perkumpulan pencak silat yang amat jagoan"
"Anakku Ken Arok, duduklah dan dengarkan ceritaku. Ayahmu yang menjadi titisan Sang
Hyang Brahma itu sebenarnya bernama Raden Ginantoko, seorang pria bangsawan yang tampan dan gagah perkasa........"
"Ahh, akhirnya aku tahu juga siapa ayahku!" Ken Arok berseru gembira dan diapun duduk menghadapi ibunya. "Bagaimana selanjutnya, ibu?"
"Ketika itu, terdapat hubungan cinta kasih antara Raden Ginantoko dengan aku, dan walaupun aku dikawinkan dengan seorang bernama Ki Gajahporo, namun aku tidak mau disentuh oleh suamiku karena sejak perawan aku telah jatuh cinta kepada Raden Ginantoko. Akan tetapi, agaknya sudah menjadi kehendak para dewata, anakku. Ketika engkau masih berada di dalam kandungan, ayahmu itu, Raden Ginantoko telah tewas di tangan seorang yang bernama Ki Bragolo, ketua perkumpulan Sabuk Tembogo yang berada di lereng Gunung Kawi...."
Ken Arok mengerutkan alisnya. "Hemmm, Ki Bragolo ketua Sabuk Tembogo" Dan bagaimana aku lalu dapat menjadi anak angkat dari Ki dan Nyi Lembong, pencuri itu?"
"Aku...... aku yang menyerahkanmu kepada mereka untuk dipelihara, Nak. Aku.....
suamiku, Ki Gajahpuro juga tewas dan aku menjanda.... dan aku tidak kuat menahan desas-desus dan omongan orang bahwa aku sebagai janda mempunyai anak tanpa bepak." Ken Endok menangis.
Ken Arok bangkit berdiri, memandang kepada wanita yang menjadi ibu kandungnya itu dengan muka menyatakan tidak senang. "Dan ibu meikah lagi, kini sudah mempunyai dua orang anak lalu melupakan bayi yang ibu titipkan kepada keluarga maling itu, ya"
Baiklah selamat inggal ibu, aku pergi mencari pembunuh ayah kandungku!"
"Ken Arok......!"
Akan tetapi pemuda itu telah lari meninggalkan ibu kandungnya. Ken Endok hanya dapat menangis dengan sedih, akan tetapi diam-diam ia mengharapkan putera kandungnya itu akan berhasil menuntut balas atas kematian mendiang Raden Ginantoko.
Dengan hati yang puas akan tetapi juga marah terhadap ibu kandungnya, Ken Arok lalu meninggalkan Dusun Pangkur dan kembali ke Sugenggeng. Semanjak hari itu, dia melatih diri dengan tekun lagi sehingga memperoleh kemajuan pesat, hal itu yang membuat gurunya semakin mengaguminya. Sebagai seorang pendeta, Begawan Jumantoko maklum bahwa pemuda yang mencorong kepalanya itu adalah keturuna dewa dan kelak tentu akan menjadi orang besar. Maka diapun tidak pelit untuk mengajarkan semua ilmunya sehingga dalam waktu singkat, tingkat kepandaian Ken Arok dalam hal ilmu kanuragan melonjak cepat dan melampui tingkat panji Tito atau murid-murid
lainnya yang telah lebih dahulu menjadi orang digdaya, kini dia belajar dengan ada tujuan. Pertama, dia ingin membalas dendam kematian ayah kandungnya terhadap Ki Bargolo, dan ke dua, dia ingin menunjukkan kepada dunia bahwa dia benar-benar keturunan Sang Hyang brama dan akan menguasai dunia! Saking sayangnya bahkan mengajarkan kepada Ken Arok, Begawan Jumantoko bahkan mengajarkan dua macam ilmu yang diajarkannya kepada siapapun juga dan merupakan ilmu simpanannya, yaitu pertama adalah ilmu Silat watak Sakti dan kedua adalah aji Joyo kawaco. Yang pertama
merupakan ilmu silat yang amat dahsyat berdasarkan kekerasan bagaikan seekor binatang badak sakti yang mangamuk, sedangkan yang kedua merupakan ilmu kekebalan yang hebat, sesuai dengan namanya. Joko Kawoco (Dara berbaju Besi) Akan tetapi, ganguan Ken Arok terhapat para selir semakin menjadi-jadi, dan para selir
itu bahkan secara terang-terangan menyatakan tergila-gila kepada pemuda itu. Ha ini membuat sang begawan akhirnya mengambil keputusan untuk mengakhiri masa belajarnya kepada kedua orang pemuda itu.
"Murid-muridku yang baik, Ken Arok dan Panji Tito," katanya setelah dia memanggil kedua orang muda itu menghadap. "Tibalah saatnya kalian tamat dari belajar di sini.
Kalian sudah mempelajari berbagai ilmu dan bagaikan seekor burung, sudah memiliki sayap yang kuat untuk mengarungi dunia ini memperluas pengetahuan. Kalian sudah cukup dewasa untuk turun gunung dan mempergunakan ilmu-ilmu yang kalian pelajari.
Sudah tiba saatnya kalian terjun di dunia ramai dan mencari kedudukan yang tinggi, kemuliaan yang besar. Aku hanya mendoakan semoga kalian berhasil."
Ken Arok dan Panji Tito lalu menghaturkan terima kasih dan berpamit. "Kalau sampai saya berhasil, saya tidak akan melupakan jasa-jasa bopo guru begawaan yang mulia,"
kata Ken Arok dan janji ini membuat Begawan Jumantoko merasa girang bukan main.
Dia merasa yakin bahwa Ken Arok inilah yang kelak akan menjunjung tinggi namanya dan menariknya ke atas, ke tempat yang mulai.
Kepergian Ken Arok mengundang tangis dan keluh kesah para murid perempuan. Banyak di antara mereka yang menyatakan hendak ikut, akan tetapi tentu saja semua ditolak oleh Ken Arok. Bagaimanapun juga, Ken Arok berjina dengan mereka bukan karena jatuh
cinta, melainkan hanya karena dorongan nafsunya yang dikobarkan oleh para gadis genit
pengejar cinta itu. Selain mempelajari ilmu silat dan kesusasteraan, di tempat tinggal Begawan Jumantoko itu Ken Arok juga telah mempelajari ilmu bermain cinta dengan guru-gurunya yang pandai, yaitu murid-murid perempuan sang begawan itu sendiri!
Akan tetapi, kalau saja Begawan Jumantoko tahu apa yang terjadi dengan muridmuridnya
yang diharapkannya itu, tentu dia akan kecewa bukan main. Setelah pergi meninggalkan Sagenggeng dan berpamit pula kepada dari Ki Bango Samparan yang
memberi bekal secukupnya kepada Panji Tito dan Ken Arok, kedua orang pemuda itu lalu
pergi ke timur dan akhirnya keduanya membuka sebuah pedukuhan, yaitu dusun yang kecil, di sebelah timur yang diberi nama Dusun Sanja. Dan apa yang yang mereka kerjakan menjadi penyamun!
Mula-mula Panji Tito memang merasa tidak setuju dan tidak cocok dengan pekerjaan menyamun ini. Akan tetapi Ken Arok menekannya. "Kakang Panji, apa salahnya menjadi perampok" Kita merampok dengan melihat siapa yang kita rampok, bukan sembarangan merampok. Dan lihat, betapa banyaknya rakyat dusun yang hidup serba kekurangan.
Kita merampok dari para hartawan yang kuat, kemudian hasil rampokan kita bagibagikan
kepada orang-orang dusun yang miskin! Bukankah itu merupakan pekerjaan yang baik dan gagah?"
Panji Tito tidak berani membantah lagi karena sejak lama dia sudah kalah pengaruh oleh
Keris Pusaka Nogopasung Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ken Arok. Dia kalah wibawa, kalah pula dalam tingkat kepandaian sehingga seolah-olah menjadi pembantu dan bawahan Ken Arok. Setelah tinggal di Sanja selama beberapa bulan, terkenallah Ken Arok sebagai seorang perampok yang ditakuti orang. Pernah serombongan pedagang dengan iringan pengawal yang belasan orang jumlahnya, dihadang oleh Ken Arok dan Panji Tito, dan biarpun para pengawal itu mengeroyok mereka, tetap saja para pengawal dihajar cerai berai dan barang-barang bawaan para pedagang itu dirampok habis-habisan! Akan tetapi, bagi para penduduk dusun-dusun di sekitarnya yang miskin, Ken Arok dianggap sebagai dewa penolong karena pemuda ini suka membagi-bagikan harta yang dirampoknya kepada para fakir miskin.
Akan tetapi, nafsu keserakahan Ken Arok bukan hanya ditujukan untuk merampok harta
benda. Nafsu birahinya juga berkobar, sebagai akibat permainannya dengan para selir atau murid perempuan Begawan Jumantoko. Setiap dia melihat wanita cantik, biarpun wanita itu masih perawan atau sudah menjadi isteri orang-orang di dusun itu, dia selalu
mengganggunya. Hampir semua wanita yang menarik hatinya, akhirnya terjatuh dalam pelukannya. Hal ini adalah karena suami atau ayah takut menghadapinya, pula karena memang para wanita itu kagum kepada pemuda yang tampan dan gagah ini.
Pada suatu hari, ketika Ken Arok pergi seorang diri ke dalam hutan dengan maksud berburu binatang, dia melihat seorang kakek pencari tuak, yaitu minuman dari pohon aren sedang mencari tuak di dalam hutan, diikuti oleh seorang perawan remaja, puteri tunggalnya. Melihat anak perawan ini, tersirap darah Ken Arok dan dia langsung tergilagila.
Dihampirinya kakek dan anak perempuannya itu dan disapanya dengan halus.
"Paman, siapakah adik manis ini?" langsung saja Ken Arok bertanya.
Kakek itu sudah mendengar akan watak pemuda ini yang mata keranjang, maka jantungnya berdebar gelisah. Dia tidak ingin anak perempuannya menjadi korban pemuda yang gila perempuan ini.
"Ia Witri, anak saya, Raden. Permisi, kami hendak pulang agar tidak kemalaman di jalan."
"Dimanakah rumah andika, Paman?"
"Di dusun Lahat, sebelah barat sungai."
"Aih, jauh juga. Kasihan anak perempuan diajak bekerja sejauh ini. Kalian tentu lelah, marilah singgah di pondokku dan sebaiknya bermalam di sana saja, besok baru kalian pulang."
"Terima kasih, Raden. Kami hendak langsung pulang saja, karena ibunya Witri tentu akan merasa khawatir kalau kami tidak pulang. Mari, genduk Witri, kita pulang. "Ayah itu
lalu menggandeng tangan puterinya untuk diajak pergi secepatnya dari tempat itu.
Akan tetapi, tiba-tiba Ken Arok meloncat dan menghadang di depan mereka. "Paman, kalau paman tidak mau mampir juga tidak mengapa, akan tetapi adik Witri ini harus singgh di pondokku semalam. Biarlah besok kuantar ia pulang." Berkata demikian, Ken Arok mengulur tangan untuk menangkap lengan perawan itu.
"Jangan, Raden. Jangan ganggu anakku......!" Kakek itu menarik anaknya yang menjadi ketakutan dan merangkulnya. "Harap jangan ganggu anakku....!"
Ken Arok mengerutkan alisnya dan senyumnya menjadi bengis. "Paman, tahukah paman siapa aku?"
Orang tua itu mengangguk. "Engkau adalah Raden Ken Arok.....!"
"Nah, kalau sudah mengenal aku, tentu tahu bahwa kehendakku tidak mungkin dapat dibantah. Bukankah aku penolong rakyat miskin di dusun-dusun" Bukankah aku selalu memperoleh wanita mana saja yang kusenangi" Dan bukankah wanita yang kusenangi mendapat kehormatan besar?"
"Tapi.... tapi.... maafkan kami, harap jangan ganggu anakku, Raden...." orang tua itu meratap, tidak mampu membantah semua kata-kata Ken Arok.
Ken Arok menjadi marah karena merasa malu bahwa dirinya ditolak oleh seorang kakek penyadap aren. "Hemm, tua bangka tak tahu diri! Berani engkau membantah dan menolak keinginanku" Gadis ini harus menemaniku untuk malam ini, baik engkau setuju atau tidak!" Dan dengan cepat dia menubruk maju, menangkap lengan Witri dan merenggutnya dengan sentakan kuat. Gadis itu menjerit dan terlepas dari pelukan
ayahnya. "Jangan ganggu anakku! lepaskan anakku" Kakek itu mencoba untuk merampas kembali anaknya, akan tetapi. Ken Arok mengerakkan kakinya, menyamping, dengan kekutan penuh.
"Dukkkk!" Tubuh kakek itu terjengkang dan terbanting keras. Dia hanya menggeliat kesakitan dan tak mampu bengkit kembali. Melihat ini, Witri menjerit.
"Bapak.......!!" Akan tetapi Ken Arok sudah menariknya. Ketika gadis remaja itu meronta-ronta hendak melepaskan tarikan tangannya, Ken Arok lalu memondongnya dan
mambawanya pergi dari situ.
"Lepaskan aku... ohh, lepaskan...." Ia meronta-ronta akan tetapi apa dayanya
manghadapi dekapan kedua lengan Ken Arok yang berotot dan kuat itu" Ia melakukan perlawanan sejadi-jadinya, namun akhirnya ia harus menyerah dan hanya menangis ketika Ken Arok memaksa dan menggagahinya, memperkosanya di atas rumput, tak jauh dari tempat di mana ayahnya masih merintih kesakitan.
Pada keesokan paginya, sambil menangis, dengan rambut awut-awutan, pakaian tidak karuan, muka pucat Witri terhuyung-huyung menghampiri ayahnya yang masih mengaduh-aduh lemah. Mereka bertangisan dan Witri yang mengalami penderitaan hebat lahir batin itu membantu ayahnya, sedapat mungkin mereka tertatih-tatih pulang
ke dusun mereka. Akan tetapi, hanya dua hari setelah peristiwa itu, ayah Witri meninggal dunia. Witri dengan hati yang sakit lalu menceritakan kejahatan Ken Arok sehingga orang-orang semakin takut akan tetapi mulai merasa benci kepada pemuda itu.
Memang benar Ken Arok suka menderma dan membagi-bagikan harta, akan tetapi agaknya semua itu bukan dilakukan karena memang hatinya penuh welas asih, melainkan untuk mencari nama. Buktinya dia dapat berbuat keji dan kejam sekali terhadap Witri dan ayahnya.
Karena semakin ditakuti dan merasa betapa pengaruh dan kekuasaannya semakin meluas, Ken Arok bersikap semakin ganas dan jahat. Kalau tadinya dia masih memilih korban, kini dia tidak peduli lagi. Banyak sudah orang dusun yang sudah menjadi korban keganasannya. Juga beberapa kali dia memperkosa wanita yang tidak mau melayaninya, membunuh keluarga wanita yang tidak mau menyerahkan isterinya atau anak perempuannya.
Melihat ini, beberapa kali Panji Tito menegur dengan halus dan memperingatkan Ken Arok. Karena ternyata Ken Arok makin menjadi-jadi jahatnya, pada suatu hari Panji Tito
menjumpainya dan menyatakan bahwa dia hendak pulang saja ke rumah orang tuanya di Sagenggeng.
Barulah Ken Arok menjadi terkejut. "Ah, kenapa engkau hendak meninggalkan aku, Kakang Panji" Aku mengerti, engkau tidak setuju dengan sepak terjangku tentang.....
tentang wanita. Aku tidak berdaya, karena memang itu kesukaanku. Ah, sebelum engkau
pergi meninggalkan aku, aku ingin minta bantuan dulu, Kakang."
"Bantuan apakah, Dimas Ken Arok" Tentu saja aku mau membantu kalau memang tidak berlawanan dengan hatiku."
"Ketahuilah bahwa ayah kandungku telah terbunuh orang dan kini aku ingin membalas dendam terhadap orang itu. Hanya engkau yang kiranya dapat membantuku menghadapi musuh yang tangguh itu."
"Ayah kandungmu" Bukankah ayahmu Sang Hyang..."
"Benar!" Ken Arok memotong dengan wajah serius. "Ayah kandungku adalah titisan Sang
Hyang Brahma. Karena sudah menitis menjadi manusia, maka tentu saja ayahku tidak
terlepas dari maut. Dia dibunuh oleh Ki Bragolo ketua dari perkumpulan Sabuk Tembogo
yang bertempat tinggal di lereng Gunung Kawi. Nah, sekarang aku hendak mencarinya dan membalas dendam atas kematian ayah. Maukah engkau membantuku, Kakang Panji?"
Betapapun juga, Ken Arok adalah anak angkat ayahnya dan dia sendiri memang sayang kepada Ken Arok yang menjadi sahabat dan saudaranya selama bertahun-tahun. Kalau disuruh membantu melakukan hal-hal yang jahat, seperti menganggu penduduk dusun yang memperkosa wanita, tentu dia tidak sudi. Akan tetapi sekarang, adik angkatnya itu
Selanjutnya
Komentar
Posting Komentar