JAKA GALING
JAKA GALING JILID 01
JAKA GALING JILID 02
JAKA GALING JILID 03
JAKA GALING JILID 04
Jilid 01
Setelah mendengar perintah Sang Adipati Gendrasakti yang disampaikan oleh lima orang Ponggawa Kadipaten itu kepadanya, maka Panembahan Ciptaning lalu menyatakan kesanggupannya dan mempersilahkan kelima orang Ponggawa itu untuk menanti sembentar sambil menikmati hidangan sekedarnya, yaitu air teh kental panas-panas dengan pacitan ubi rebus dan gula kelapa. Karena telah melakukan perjalanan dan jauh sehingga mereka merasa lelah sekali, lima orang Ponggawa itu menghadapi hidangan ini dengan penuh selera dan menganggapnya sebagai rejeki besar. Sang Panembahan Ciptaning lalu minta diri para tamunya untuk berkemas dan berpamit kepada orang dalam. Ia menuju ke sanggar pamujan, yaitu sebuah pondok kecil di kanan rumah, tempat ia dan puteranya memuja Samadhi. Panembahan yang sudah tua dengan jenggot dan rambut yang telah memutih itu lalu mencuci kaki dan tangan kemudian masuk kedalam pondok kecil.
Ia hendak menyampaikan puji kepada Yang Maha Tunggal dan mohon berkah kekuatan untuk menghadapi peristiwa yang akan dialaminya. Tidak lama kemudian, dari luar tampak seorang pemuda berlari-lari mendatangi. Dengan kerling mata tajam pemuda itu memandang lima orang Ponggawa yang masih duduk makan minum di ruang depan, lalu tanpa memperdulikan mereka ia langsung lari ke dalam. Kelima orang Ponggawa itu memandangnya dengan penuh kagum. tak mereka sangka bahwa di tempat sesunyi ini terdapat seorang anak muda yang seperti itu. Tubuhnya yang tak berbaju tampak tegap dengan kulit yang halus putih kekuningan, sepasang lengannya tampak kuat dan tangkas sedangkan wajahnya sangat tampan dan membayangkan keagungan wataknya.
Mata lebar dan bening bercahaya dilindungi bulu mata yang panjang melengkung ke atas, hidung kecil mancung dengan tulang lurus dan di sekeliling lubang hidung tipis, bibirnya bagaikan gendawa dan berwarna merah sehat, sedangkan dagunya tajam berlekuk sedikit di tengah dengan tarikan kuat menandakan bahwa ia memiliki kemauan keras dan kuat serta iman yang teguh. Sepasang telinganya lebar dan bentuknya indah, tanda akan sifatnya yang berbudi. Tetapi pada saat itu, pemuda ini tampak mengerutkan kening seakan-akan ada sesuatu yang di khawatirkannya. Astaga, elok benar anak muda itu! seru seorang diantara para Ponggawa tadi sambil memandangi sepasang kaki yang kokoh kuat itu melangkah memasuki rumah. Celana warna hitam itu diselimuti kain tenun.
"Siapakah ksatria gagah ini?"
Tanya Ponggawa kedua, sambil memandang kearah rambut kepala yang terbungkus sehelai kain ikat kepala berwarna biru gelap.
Barangkali murid Panembahan bisik yang lain. Sementara itu, teruna elok yang menjadi sasaran pandangan kelima orang Ponggawa tadi, langsung melangkah kedalan dan dengan tindakan cepat menuju kesanggar pamujaan. Ia menanggalkan gendawa yang tadi dikalungkan di bahu kanannya dan melepaskan kantung anak panah yang tergantung di punggung. Dengan tergesa-gesa ia mencuci kaki dan kedua tangannya, lalu menaiki tangga sanggar itu. Dilihatnya kakek pendeta tengah duduk bersila,mengheningkan cipta. Untuk sejenak pemuda itu memandang kepala Panembahan Ciptaning dengan tak bergerak, matanya dibayangi kagum dan haru. Memang kalau orang melihat pendeta tua itu sedang bersemedi, akan timbul rasa kagum dan terhormat.
Tubuh pendeta itu kurus kering tapi kulitnya tidak berkeriput, juga tidak pucat, bahkan wajah yang kurus itu bercahaya kemerahan. Dadanya yang telanjang itu bergerak perlahan dan tetap ketika bernapas. pernapasannya panjang-panjang dan bebas lepas seperti yang hanya dapat dilakukan oleh manusia sidik dan bijaksana. Lengan kanannya memeluk pusar dan lengan kiri ditumpangkan diatas bahu kanan, Kedua kaki bersila tumpang dengan kedua telapak kaki terlentang diatas paha. Bibir tertutup rapat mengarah senyum, mata setengah terkatup dengan pandangan tertuju keujung hidung. Seakan-akan ada hawa panas menyinar keluar dari tubuhnya dan bernyala-nyala diatas kepalanya. Teruna itu lalu menyembah dan tiba-tiba Panembahan Ciptaning membuka matanya, seakan-akan sembah pemuda itu menariknya kembali dari alam hening.
"Putraku galing, kau sudah kembali?"
"Betul, rama Panembahan, karena ada berita buruk disampaikan paman suto kepadaku."
Kakek pendeta itu dengan tenang bertanya ,
"Berita yang mana, anakku?"
"Ketika sedang membidik seekor kijang dengan panahku, tiba-tiba paman suto datang dan berteriak memanggil hingga kijang itu terkejut dan lari ke dalam semak-semak belukar. Kemudian paman suto membertahukan bahwa Rama Bagawan didatangi Ponggawa dari Kadipaten dan bahwa Rama dipanggil menghadap betulkah! Betulkah itu, Rama?"
Begawan Ciptaning mengangguk sambil tersenyum ramah.
"Ahh, anak muda yang berdarah panas. Memang berita itu benar, tapi apakah itu dapat disebut berita buruk? Selayaknya seorang pembesar seperti Gusti Adipati Gendrasakti yang menguasai seluruh daerah Wanagading ini memanggil seorang warga Kadipaten yang mana saja untuk menghadap."
"Tapi, Rama, bayangan yang kulihat dalam mimpi semalam itu..."
Suara Jaka Galing terdengar penuh ragu-ragu dan cemas. Sang Bagawan menarik napas panang dan suaranya terdengar sungguh-sungguh ketika ia berkata,
"Puteraku yang baik, memang Yang Maha Pengasih selalu memberi alamat dan tanda kepada sekalian hambaNya, tapi hanya mereka yang waspada saja yang dapat menangkap dan mengerti akan alamat itu. Engkau tentu maklum, anakku, bahwa Yang maha Tunggal itu berkuasa mutlak, kuasa memberi dan mengambil, kuasa membangun dan meruntuhkan. Kita sebagai manusia hanya tinggal menjalani saja, kewajiban kita memilih, ialah jalan yang terbaik. Hilangkanlah keraguan dan kecemasan hatimu, kierena itu hanya akan menyeretmu kedalam jurang kelemahan batin dan mengurangi ketabahan dan kekuatanmu."
Jaka Galing menyembah hormat.
"Maaf, Rama Bagawan. Memang tadi hati hamba diliputi kekhawatiran besar terdorong oleh napsu hati. Tapi setelah mendengar wejangan Rama, hatiku menjadi tenteram kembali, sungguhpun terus terang saja hatiku takkan merasa enak melepas rama pergi menghadap sang Adipati. Dalam mimpiku semalam, kulihat rama berpakaian putih dan bersayap terbang keangkasa raya, inipun bukan alamat yang baik. Pula, hamba mendengar kabar angin bahwa sang Adipati sedang bela sungkawa, entah apa yang disusahkannya."
Kini Bagawan Ciptaning kembali tersenyum.
"Anakku, tak perlu kita sembunyikan lagi. Memang kita telah mengetahui bahwa mimpi macam itu biasanya berarti kematian. Tapi apakah kau masih menganggap bahwa kematian adalah hal yang buruk dan perlu disusahkan? Kau tentu tahu bahwa mati pada hakekatnya hanya memenuhi kewajiban, tunduk kepada hukum alam yang tak kuasa kita elakkan, sama halnya dengan kelahiran. Manusia mana yang dapat mengelakkan kelahiran sendiri? Demikian pula diapun takkan dapat menghIndrakan kematian, sesuatu hal lumrah yang akan dialami oleh setiap mahkluk di dunia ini."
Pada saat itu terdengar suara panggilan di luar sanggar pemujaan.
"Sang Bagawan! Harap suka keluar dan kita berangkat sekarang karena matahari telah naik tinggi!"
Itulah suara Ponggawa.
"Baik, mas Ponggawa, aku segera turun,"
Jawab Panembahan Ciptaning. Kakek pendeta itu berdiri dan mengambil jubahnya yang panjang dari sangkutan lalu dikenakan di tubuhnya yang kurus.
"Rama Bagawan!"Jaka Galing memeluk kaki pendeta itu. Bagawan Ciptaning membungkuk dan membelai-belai rambut taruna itu.
"Galing, ingat. Tidak ada pertemuan abadi di dunia dan juga tidak ada perpisahan abadi. Kelak kita semua akhirnya akan menjadi satu juga. Bersikaplah kau sebagai sebagai ksatria dalam segala hal. Janagn menuruti nafsu hati yang liar tanpa kendali. Pergunakanlah akal budi dan hatui nuranimu, perhatikan selalu bisikkan suara jiwa murnimu."
"Rama, aku ikut, rama. Biarkan aku melindungimu selama dalam perjalanan ke Kadipaten."
"Jangan, angger. Gusti Adipati hanya memanggil ramamu, dan kau harus jaga disini memimpin, pamong tani mengerjakan sawah. Hati-hati menjaga tanggul sawah, sekarang musim hujan dan kau tanggul sampai pecah sungguh kasihan nasib kawan-kawan tani kita. Sudahlah galing, puteraku, ramamu pergi."
"Selamat jalan, Rama Bagawan."
"Selamat tinggal, Yang Maha Tunggal akan selalu memberkatimu!"
Kakek pendeta itu lalu menuruni anak tangga diikuti oleh Jaka Galing. Pemuda ini merasakan adanya suatu bisikan didalam hatinya yang membuat ia tidak rela melihat ayahnya pergi. Tapi ayahnya melarang ia ikut dan tak berani membantah kehendak ayahnya. Panembahan Ciptaning lalu dipersilahkan naik tandu yang telah disediakan oleh para Ponggawa itu, tapi sambil tersenyum pendeta itu menolak. Ketika ketika ia dipersilahkan menunggang kuda ia menolak pula. Melihat kesibukan para Ponggawa itu, Jaka Galing bertindak maju dan berkata kepada mereka.
"Paman Ponggawa sekalian tidak perlu sibuk dan bingung. Rama Panembahan tidak pernah menyiksa orang dengan duduk di dalam tandu dan orang lain memikulnya, juga beliau tidak suka menunggang kuda. Akan tetapi, tak perlu kalian khawatir. Larikan saja kudamu secepatnya ke Kadipaten,rama takkan tertinggal oleh kalian!"
Mendengar ucapan itu para Ponggawa saling pandang dan tertawa geli,karena mereka menyangka bahwa anak muda itu membual. Tapi, alangkah heran mereka ketika pendeta itu berkata dengan suara halus.
"Mas Ponggawa, naiklah kuda kalian. Biar aku berjalan kaki saja."
"Tapi kita akan terlambat dan gusti Adipati akan marah kepada kami kalau kita datang terlambat. Sedang dengan naik kuda saja, baru setelah matahari turun kita akan sampai kesana, apalagi kalau jalan kaki, mungkin sampai besok kita belum tiba!"
"Naiklah kuda kalian dan larikan secepatnya, aku akan pergi lebih dulu,"
Kata pendeta itu.
Ketika lima orang Ponggawa itu bertindak masih agak ragu-ragu dan banyak rewel. Jaka Galing lalu menggunakan telapak tangannya menepuk pangkal paha kelima kuda mereka. Kuda-kuda itu meloncat dan meringkik, lalu melompat ke depan dengan cepat sekali tanpa dapat ditahan pula oleh penunggang-penunggangnya. Jaka Galing tertawa nyaring melihat mereka, dan Panembahan Ciptaning hanya tersenyum. Pendeta tua inipun lalu menggunakan aji kesaktiannya dan tubuhnya berkelebat cepat mengejar ke arah larinya kuda. Untuk akhir kalinya, Jaka Galing berlutut menyembah ke arah ayahnya. Sampai lama pemuda itu duduk bersila di depan pondoknya, dan baru berdiri ketika suto menghampirinya.
"Den bagus, ramamu sudah pergi, mari kita masuk kepondok."
Jaka Galing bagaikan baru sadar dari mimpi. Ia memandang wajah pelayan tua yang setia itu, lalu berkata,
"Paman suto, hari ini aku akan bersamadhi di sanggar pamujan untuk memohon berkah Sang Hyang Agung untuk Rama Panembahan. Aku takkan keluar sampai besok pagi, jangan kau ganggu aku."
Pemuda itu lalu berdiri dan masuk ke sanggar pamujan. Pak Suto menggelengkan kepalanya. Diam-diam ia memuja pemuda yang amat berbakti dan mencintai orang tua ini. Ia sendiri yang telah menaruh kepercayaan penuh kepada sang pendeta dan maklum betapa saktinya Panembahan Ciptaning, tidak merasa khawatir sedikit juga. Lima orang Ponggawa yang bertugas memanggil Panembahan Ciptaning menjadi marah sekali ketika kuda mereka tiba-tiba lari karena tepukan anak muda itu. Mereka mencoba menahan dan menenangkan kuda mereka, tapi kuda-kuda ini bagikan gila dan lari cepat ke depan hingga terpaksa mereka menurut saja. Sambil memaki-maki mereka mengarahkan kudanya ke jurusan Kadipaten. Tiba-tiba mereka mendengar suara yang halus dan berpengaruh,
"Mas Ponggawa, jangan suka menyumpah-nyumpah dan memaki-maki kuda. Kalau kalian terus memaki, tentu kalian akan terlempar jatuh!"
Mendengar suara ini mereka terkejut dan menengok. Ternyata dibelakang mereka tampak Panembahan Ciptaning berjalan seenaknya dengan tongkat di tangan.
Biarpun kedua kaki pendeta itu bergerak perlahan bagaikan seorang yang sedang berjalan-jalan, namun kecepatannya tidak kalah dengan larinya kuda! Melihat keadan yang aneh ini, empat orang Ponggawa segera berhenti nemaki-maki kuda mereka. Tapi seorang diantara mereka yang termuda, tidak merperdulikan peringatan Panembahan Ciptaning, dan bahkan memaki-maki lebih keras dengan kata-kata kotor. Tiba-tiba kudanya meringkik ganjil dan sambil bediri di kedua kaki belakang, binatang itu menggoyang-goyang tubuhnya dengan kuat hingga si Ponggawa tidak dapat bertahan lagi dan terlempar dari atas punggung kuda! Untung ia terlempar ke atas semak-semak yang tebal hingga tidak mengalami patah tulang, dan hanya menderita luka-luka dikulit saja. Sekali lagi Panembahan Ciptaning berkata.
"Mas Ponggawa, kalian paculah kuda itu baik-baik. Aku hendak berjalan lebih dulu."
Terlihat oleh mereka bayangan putih berkelebat dan pendeta tua itu telah lenyap dari pandangan mata mereka! Bukan main kagum mereka melihat kesaktian ini. Sesudah itu dengan cepat mereka menolong kawan mereka yang terlempar oleh kuda tadi. Ponggawa itu merintih-rintih, tapi kini tidak berani memaki lagi! Adipati Gendrasakti adalah Adipati yang mermerintah daerah Kadipaten Tandes dan terkenal sebagai seorang yang sakti mandraguna, karena ia pernah menjadi senopati dari Prabu Brawijaya di kerajaan majapahit.
Karena jasanya yang besar dalam menaklukkan Kerajaan Blambangan pada beberapa tahun yang lalu, ia lalu diangkat menjadi Adipati dan berkedudukan di Kadipaten Tandes, serta dijodohkan dengan seorang puteri kedaton yang cantik jelita bernama Cahyaningsih, yakni puteri seorang selir Prabu Brawijaya. Semenjak Adipati Gendrasakti memerintah di Tandes, daerah itu menjadi subur makmur dan tenteram. Para paman tani bekerja dengan penuh semangat karena selain mendapat petunjuk-petunjuk dari para Ponggawa Kadipaten yang bertugas khusus untuk itu,juga pajak sawah tidak terlalu berat. Para nelayan juga bekerja dengan penuh gembira dan hasil ikan yangt mereka dapat sedemikian banyaknya hingga dapat dikirim kedaerah lain, bahkan sampai dibawa keluar pulau. Tapi memang benar ucapan para cendekiawan zaman dahulu bahwa segala sesuatu yang nampak dipermukaan bumi itu tidak kekal adanya.
Sedangkan samudera yang demikian luasnya mengalami pasang surut, udara yang sedemikian luas mengalami musim panas dan dingin. Apalagi manusia, makhluk kecil yang tidak berdaya terhadap kehendak Sang Hya Agung. Roda pemerintahan yang tadinya berputar lancar di bawah pimpinan Adipati Gendro sakti, tiba-tiba harus tunduk pula kepada nasib yang menimpanya. Hal ini terjadi semenjak Adipati Gendrasakti mengambil seorang selir baru sebagai penambah selir-selirnya yang sudah berjumlah 14 orang itu. Tadinya Adipati sangat mencintai Dewi Cahyaningsih dan tidak memelihara selir, tapi semenjak istrinya yang tercinta itu melahirkan seorang anak perempuan, entah mengapa, berubahlah sifat Adipati Gendrasakti dan selirnya selalu bertambah banyak.
Selirnya yang terbaru adalah ledak yang sangat tersohor karena kecantikannya dan kepandaiannya menari serta suaranya yang merdu. Namanya Sariti, berasal dari Surabaya. Dan sejak memboyong selir ini keKadipaten, Adipati Gendosakti mulai melalaikan dan jarang sekali keluar dari Kadipaten untuk memeriksa keadaan rakyatnya di desa seperti yang dulu sering ia lakukan. Tiap hari ia bersenang-senang dengan selir baru itu dan hampir tiap malam terdengar suara gamelan dimainkan oleh para yogo dari ruang tengah Kadipaten, tanda bahwa Adipati sedang mengadakan klenengan. Dari luar Kadipaten, sayup-sayup terdengar suara Sariti mengalun merdu, merayu-rayu dan membuat sang Adipati tenggelam semakin dalam. Pada suatu malam, Adipati Gendrasakti bermimpi melihat api kecil bernyala di dalam rumahnya.
Lama-lama nyala api itu membesar hingga rumahnya menjadi lautan api dan terbakar habis. Ia berteriak-teriak minta tolong lalu sadar dari mimpinya dengan wajah penuh peluh dan hati tidak tenteram. Pada keesokan harinya, ia panggil menghadap para hulubalangnya dan memerintahkan untuk memanggil menghadap para cerdik pandai di seluruh Kadipaten. Setelah mereka datang menghadap, Adipati Gendrasakti lalu menceritakan kejadian yang diimpikannya dan bertanya kepada mereka apa arti mimpinya itu. Para penasehat itu saling pandang dan tak seorang di antara mereka dapat memecahkan arti mimpi yang aneh itu. Beberapa diantara mereka maklum bahwa mimpi seperti itu mempunyai arti yang tidak baik, maka mereka tak berani menerangkannya di depan Gendrasakti, dan merasa lebih aman dengan menutup mulut dan berpura-pura tidak tahu artinya.
"Paman sekalian adalah orang-orang yang dianggap paling pandai di Kadipaten Tandes. Tapi mengapa memecahkan arti mimpi yang sedemikian sederhananya saja tidak sanggup?"
Kata Adipati Gendrasakti marah. Penasehat tertua yang dianggap paling pandai, bernama Bagawan Sidik Permani, menyembah dan berkata.
"Gusti Adipati yang mulia. Menurut pendapat hamba yang rendah, mimpi adalah kembang tidur. Seorang yang bermimpi menandakan bahwa dia itu tidur nyenyak dan pulas. Hamba rasa tidak perlu paduka merasa bingung dan menyusahkan sebuah mimpi yang tidak ada artinya."
"Paman Bagawan, tak mungkin mimpiku semalam itu tak ada artinya. Sayapun bisa membedakan mimpi yang kosong dengan mimpi yang mengandung arti. Sayang saya tidak dikaruniai kewaspadaan oleh Sang Hyang Agung, dan lebih sayang lagi paman sekalian yang memiliki kewaspadaan ternyata tidak mampu mempergunakannya."
Bagawan Sidik Permani berkata pula,
"Maaf, Gusti Adipati, kalau gusti tetap hendak mengetahui arti mimpi paduak itu, kiranya di seluruh Tandas ini hanya ada seorang saja yang sanggup menerangkannya."
Wajah Adipati Gendrasakti berseri dan kemarahannya berkurang.
"Paman Bagawan, siapakah gerangan orangi itu? "tanyanya.
"Siapa lagi kalau bukan Paman Panembahan Ciptaning dari dusun tiban."
Pendeta yang mengasingkan diri dan bertapa di dusun itu. Ia maklum akan kesaktian dan kewaspadaan Panembahan Ciptaning, karena dulu ketika ia masih menjadi senopati di Majapahit, Panembahan Ciptaning juga mengabdi kepada Prabu Brawijaya dan menjadi penasihat yang dikasihani. Pada waktu itu nama Panembahan Ciptaning masih disebut Empu Ciptaning. Mendengar keterangan Bagawan Sidik Permani, hati Adipati Gendrasakti menjadi sangat girang dan mengutus lima orang Ponggawa untuk pergi ke dusun Tiban dan memanggil orang tua itu.
Panembahan Ciptaning dengan mempergunakan aji kesaktiannya telah mendahului para Ponggawa yang diutus memanggilnya dan sebelum hari menjadi gelap ia telah tiba di Kadipaten. Penjaga pintu gerbang Kadipaten yang telah mendengar bahwa Adipati Gendrasakti mengirim utusan untuk memanggil seorang tua yang sakti, ketika mendengar permintaan kakek itu dan mendengar namanya, segera berlaku hormat sekali dan mengiringkan pendeta itu masuk ke Kadipaten. Adipati Gendrasakti yang mendengar akan kedatangan Panembahan Ciptaning, menjadi girang sekali. Segera ia panggil menghadap semua hulubalang dan penasihatnya. Dan pada senja hari itu ia mengadakan pertemuan di balairung atau ruang di mana biasanya ia mengadakan persidangan dengan para Ponggawanya.
Setelah semua hulu balang datang menghadap, Panembahan Ciptaning yang sementara itu dipersilahkan menanti diruang tunggu, lalu dipanggil menghadap. Dengan langkah perlahan dan wajah yang sabar serta tenang, Panembahan Ciptaning memasuki balairung dan langsung menghadap Adipati Gendrasakti yang duduk di kursi kebesarannya, sebuah kursi dihias dengan gading-gading indah, hadiah dari sanga Prabu Brawijaya. Sebagai seorang tamu agung atau seorang yang terhormat, Panembahan Ciptaning tidak duduk di atas lantai seperti hamba sahaya yanga lain, melainkan dipersilahkan duduk di atas sebuah kursi cendana. Setelah tegur-menegur dan salam-menyalam sebagimana layaknya tamu dan tuan rumah. Adipati Gendrasakti lalu menceritakan maksudnya memenggil orang tua itu. Ia lalu menceritakan tentang mimpinya yang aneh dan yang membuat selalu hatinya bimbang.
"Paman Panembahan."
Katanya dengan sikap hormat.
"Semenjak saya mendapat mimpi itu, entah mengapa, hati saya merasa tidak enak, makan tak mau dan tidur tak nyenyak. Saya akan merasa menderita dan kecewa selalu sebelum mimpi saya itu dipecahkan artiya. Oleh karena itu, saya mohon kepada paman untuk sudi membantu dan menerangkan arti mimpi saya itu."
Semenjak tadi Panembahan Ciptaning mendengar dengan penuh kesabaran, Tidak satu kali pun ia memotong pembicaran Gendrasakti, Setelah Adipati itu selesai menuturkan mimpinya, baru pendeta itu mengangguk-angguk dan menggunakan tangannya meraba-raba jenggotnya yang putih dan panjang.
"Ananda Adipati, memang segala apa yang ada telah di tentukan oleh Sang Hyang Agung. Manusia boleh berusaha, namun Gusti Yang Maha Tinggi juga yang akhirnya jadi penentunya. Betapapun cerdik pandainya seseorang, tapi sebenarnya ia bukan apa-apa dan hanyalah makhluk kecil lemah dan tak berdaya dan harus tunduk kepada hukum alam. Ananda Adipati, sungguh amat mengherankan kalau dipikir bahwa untuk menerangkan arti mimpi yang sederhana ini saja sampai bersusah payah mendatangkan paman orang tua yang bodoh. Apakah paman takkan dianggap terlalu meremehkan saudara-saudara para cendekiawan di Tandes ini?"
"Inilah yang membingungkan hati saya, paman. Ternyata kali ini paman-paman penasihat di Tandes ini kehilangan kewaspadaan mereka dan tak sanggup menerangkan arti mimpi saya, oleh karena itu saya terpaksa mengganggu paman Panembahan."
Sekali lagi, Panembahan Ciptaning mengangguk-anggukkan kepalanya yang sudah ubanan dan terdengar ia menarik napas panjang.
"Hm, inipun kehendak Sang Hyang Agung, memang sudah seharusnya demikian. Baiklah ananda Adipati, dengarkanlah uraian paman akan arti mimpi itu. Ananda melihat buanga api kecil di dalam rumah yang kemudian membesar dan membakar rumah ini sampai habis binasa. Mimpi ini mempunyai arti buruk, ananda Memang, pada permulaan, bahaya yang mengancam Kadipaten Tandes tidak kentara dan karenanya ananda abaikan. Bunga api kecil di dalam rumah itu memperlambangkan adanya siluman di dalam rumah ananda, siluman yang telah menjelma menjadi wujud manusia dan yang kemudian hari akan mendatangkan bencana dan kehancuran kepada anada serta Kadipaten Tandes. Karena ini menjadi peringatan Sang Hyang Agung, maka berhati-hatilah, ananda!"
Tidak saja Adipati Gendrasakti yang menjadi pucat mendengar uraian ini, bahkan semua hadirin juga merasa ngeri dan terkejut. Tiadak hanya terkejut akan ancaman arti mimpi itu, tapi terkejut karena mereka menganggap bahwa pendeta ini terlampau berani dan lancang meramalkan keadaan yang demikian buruk bagi Kadipaten Tandes. Memang di dalam hati Gendrasakti telah timbul amarah besar, tapi ia masih kuasa menekan perasaannya itu, dan bertanya meminta nasihat.
"Kalau demikian halnya, usaha apakah yang dapat saya ikhtiarkan untuk menjauhkan bencana yang mendatang itu, paman Panembahan?"
Dengan suara sungguh-sungguh Panembahan Ciptaning menjawab.
"Seperti kukatakan tadi,manusia boleh berusaha, namun Sang Hyang Agung juga yang akan menentukan! Betapapun juga,kalau benar-benar diusahakan,memang belum terlambat. Jalan satu-satunya ialah ananda harus bertindak cepat, mengambil bunga api itu dan membuangnya jauh-jauh hingga tak menimbulkan kebakaran besar! Ananda harus insyaf bahwa segala akibat itu bersebab. Sang Hyang Agung takkan menjatuhkan hukuman kepada makhlukNya tanpa sebab, seperti juga air diam takkan bergerak tanpa ada yang menyentuhnya! Dan kesalahan-kesalahan apa yang telah ananda perbuat, hanya ananda sendiri yang bisa mencarinya."
Adipati Gendrasakti berpikir keras dan mencoba untuk menerka siapa gerangan siluman berwujud manusia yang merupakan bunga api yang kelak akan membakar rumah tangganya itu. Tapi ia tak sanggup menemukannya maka ia lalu bertanya lagi.
"Duhai, paman Panembahan yang waspada, janganlah kepalang tanggung menolong kami. Sebutkanlah orangnya yang paman anggap sebagai bunga api itu, dan saya akan melenyapkannya dari muka bumi ini sekarang juga!"
Karena agak lama pendeta itu belum menjawab, maka keadaan menjadi sunyi dan tegang. Setiap telinga dipasang baik-baik untuk mendengar jawaban Panembahan Ciptaning dan setiap dada berdebar. Kemudian terdengar jawaban Panembahan itu, perlahan dan tenang hingga jelas terdengar oleh semua orang.
"Bunga api indah dilihat dan setiap orang membutuhkannya. Dalam mimpi ini ia melambangakan seoarang yang cantik dan pada waktu ini paling ananda cintai dan anada sayang. Dialah orang itu!"
Hening sesaat, bahkan hembusan napaspun hampir tak terdengar lagi, tapi tiba-tiba meledaklah uap panas di dalam dada Adipati Gendrasakti.
"Paman Panembahan! Kau maksudkan Sariti?!"
Panembahan itu menundukkan kepala.
"Bukan aku yang memaksudkan, tetapi mimpi anada sendiri."
Tiba-tiba meledaklah suara ketawa dari mulut Gendrasakti. Suara ketawa terbahak-bahak yang sengaja dikeraskan untuk menekan gelora hatinya yang diliputi rasa cemas dan takut. Kemudian ia berkata keras.
"Ha, ha! Panembahan Ciptaning! Kau... kau curang! Agaknya kau menyimpan dendam padaku dan sekarang kau hendak membalasnya! Kau anggap Sariti akan merusak hidupku? Ha,ha! Gila! Kau sudah gila, Ciptaning!"
"Memang demikian sifat orang yang telah lupa."
Jawab Panembahan Ciptaning.
"Yang bodoh memaki yang lain goblok, yang edan memaki yang lain gila!"
"Pengkhianat tua bangka!"
Gendrasakti marah dan ia mencabut kerisnya. Tapi para penasihatnya segera meloncat menubruk dan menyambarnya hingga Adipati yang sedang marah itu tidak jadi membunuh Panembahan Ciptaning. Tapi ia masih marah sekali dan segera memerintahkan pengawal-pengawalnya.
"Tangkap tua bangka ini! Penjarakan dukun tenun itu!"
Panembahan Ciptaning lalu ditangkap, dan dimasukkan ke dalam kamar tahanan. Tapi senyum sabar tak pernah meninggalkan wajah pendeta itu. Adipati Gendrasakti menyumpah-nyumpah dan akhirnya hanya Sariti saja yang dapat menyabarkannya.
"Kang Mas Adipati,"
Kata Sariti dengan suara merdu dan gaya manja.
"Saya telah mendengar tentang ramalan yang diucapkan oleh Panembahan Ciptaning. Kalau memang Kang Mas menganggap bahwa saya dapat menimbulkan malapetaka di Tandes sini, lenyapkanlah saya, Kang Mas, bunuhlah saya, saya rela berkorban demi kebahagian Kang Mas."
Setelah berkata demikian, Sariti menangis terisak-isak.
"Yayi Sariti, jangan kau dengar obrolan kosong dukun tua itu!"
Sariti yang masih muda remaja dan memang cantik itu berkata lagi.
"Jadi kalau begitu dia bukan seorang Panembahan suci seperti yang orang anggap, Kang Mas?"
"Pendeta suci? Ha, ha! Ciptaning hanya seorang kampung yang bisanya hanya mengobati anak-anak kecil. Ha, ha, ha!"
"Kang Mas Adipati, kalu begitu, orang itu berbahaya sekali dan selayaknya dihukum mati."
"Memang! Memang tadinya juga hendak saya binasakan pada saat itu juga, tapi para Ponggawa mencegah saya! Biarlah besok akan kuperintahkan pengawal untuk menjatuhkan hukuman picis [hukuman mati dengan mengguliti tubuh si terhukum sedikit demi sedikit] padanya."
Adipati Gendrasakti makin geram saja.
"Kakang Mas Adipati, jangan jatuhkan hukuman picis padanya, kasihan. Ia akan menderita luar biasa dan hatiku takkan tega mendengar ini."
Adipati Gendrasakti memeluk selirnya yang tercinta itu.
"Ah, makluk begini manis, begini cantik jelita, begini halus dan lembut, serta mempunyai hati pengasih penyayang, makhluk indah ini disebut siluman berwujud manusia oleh Ciptaning? Gila!"
Pikir Gendrasakti.
"Kalau kau keberatan, baik ia dihukum penggal kepala saja, manis,"
Katanya menghibur.
"Kang Mas Gendrasakti, saya masih sangsi dan khawatir kalau-kalau ia memang benar-benar seorang sakti. Bukankah macan putih yang kita dapat dari Madura itu liar sekali? Nah, sebaiknya kita uji kesaktian Panembahan Ciptaning itu. Kalau benar ia dapat menghadapi macan putih yang buas itu dengan selamat, maka benar-benar ia seoarang suci dan tidak seharusnya dibinasakan. Tapi kalau ternyata macan putih sampai membinasakannya, berarti ia memang seorang dukun penipu dan biarlah ia dikubur dalam perut macan putih itu!"
Adipati Gendrasakti senang sekali mendengar usul ini dan ia menganggap selirnya cerdik sekali. Dan malam itu mereka lalui dengan bersenang-senang seperti biasa. Pada keesokan harinya, Adipati Gendrasakti memerintahkan kepada para pengawalnya untuk mengumumkan kepada semua penduduk bahwa di alun-alun hendak diadakan ujian bagi pendeta Ciptaning. Pendeta tua hendak diadu dengan harimau putih yang ditangkap dihutan Madura sebagai ujian.
Jika ia mati diterkam hariamau, ternyata bahwa ia memang seorang penipu, tetapi apabila ia dapat menalahkan harimau putih, ia akan dibebaskan. Berita itu disampaikan oleh rakyat dengan gembira sekali karena memang belum pernah ada peristiwa semacam itu. Sudah menjadi kebiasan bahwa sesuatu pertunjukan yang aneh selalu disukai orang, tanpa memikirkan baik buruknya pertunjukan itu. Sebaliknya para penasehat dan sentana merasa sangat cemas karena ujian itu dianggap terlalu kejam dan tak kenal perikemanusian. Kalau hendak menghukum mati, mengapa tidak dibunuh saja? Mengapa harus dijadikan mangsa seekor harimau yang terkenal ganas dan kejam? Sebelum ditangkap, macan putih itu telah membinasakan puluhan rakyat kampung di Madura dan terkenal sebagai seekor binatang buas yang jahat.
Namun, siapa berani menentang kehendak Adipati Gendrasakti yang kuasa? Semenjak pagi-pagi rakyat berduyun-duyun ke alun-alun, hendak menyaksikan tontonan istimewa ini. Setelah gong dipukul, Adipati Gendrasakti keluar dari Kadipaten, diiringkan oleh para abdi dalem dan para Ponggawa. Tampak pula selirnya yang tercinta, Sariti,hendak menyaksikan tontonan yang terjadi sebagi kenyataan daripada buah pikirannya itu. Semua oarang terutama para muda tiada hentinya memuji kecantikan puteri ini dan diam-diam mereka mengakui bahwa untuk seorang cantik jelita seperti Sariti, seorang laki-laki agaknya akan sanggup melakukan apapun jua yang dimintanya. Setelah Adipati Gendrasakti dan rombongannya duduk di atas panggung yang telah disiapkan di situ, Adipati itu memberi perintah.
Dan datanglah beberapa orang prajurit menggotong sebuah kurungan besi yang besar dan berat. Orang-orang merasa ngeri ketika melihat bahwa yang berada di dalam kurungan itu adalah seekor macan loreng putih yang besar sekali. Ketika harimau itu melihat orang banyak, ia mengaum dengan suaranya yang menggetar bumi. Orang-orang menjadi pucat ketakutan dan para penonton yang berdiri paling depan lalu mundur hingga keadaan menjadi panik! Serombongan perajuit pilihan bersenjata tombak yang runcing segera berbaris dan berderet-deret merupakan pagar tembok yang kokoh kuat. Mereka membuat lingkaran dan penonton hanya diperbolehkan berdiri di belakang pagar prajurit yang menjaga dengan tombak itu siap sedia, maka kembali Adipati Gendrasakti memberi tanda.
Dari arah kamar tahanan, dikeluarkan Panembahan Ciptaning yang tua itu. Ia masih diborgol dengan belenggu rantai dan besi panjang dan ujung rantai itu dipegang oleh seorang penjaga yang bertubuh tinggi besar. Pendeta tua itu masih tersenyum, seakan-akan merasa geli melihat pertunjukan ini. Ia berjalan dengan jalan perlahan dan tenang seperti biasa dan mukanya tunduk memandang tanah yang dilalui kakinya. Para penonton melihat pendeta ini lalu menyambutnya dengan tepuk tangan riuh rendah. Melihat hal ini, Sariti merasa gemas sekali. Ia menujukan pandangan matanya dengan penuh kebencian ke arah pendeta itu. Orang gila, pikirnya, tanpa sebab tanpa alasan hendak mencelakakan aku! Si cantik itu lalu menyentuh lengan Adipati Gendrasakti dan berbisik.
"Cepatkanlah ujian ini agar lekas beres."
Maka Gendrasakti lalu memberi tanda lagi dan belenggu di tangan Panembahan Ciptaning dibuka.
Ia berdiri di dekat kurungan menundukkan kepala. Kemudian kurungan itu dibuka pintunya. Setelah pintu terbuka, prajurit yang membukanya cepat meloncat menyelamatkan diri di belakang para prajurit penjaga. Terdengar macan putih mengaum lagi beberapa kali, lalu ia keluar dengan perlahan. Semua penonton berdebar-debar dan keadaan menjadi tegang sekali. Harimau memandang calon korbannya yang masih berdiri tegak. Kini Panembahan Ciptaning juga memandang kepada binatang itu. Keduanya berdiri diam tak bergerak saling berpandangan, bagaikan terkena gertaran yang menjalar ke seluruh tubuh. Akhirnya harimau itu kalah dan menundukkan kepala, tak kuasa menentang sinar mata kakek tua di depannya itu. Ia mencium-cium tanah dan mengaum lagi, tapi sama sekali tidak berani menatap Panembahan Ciptaning!
"Dia penyihirnya!"
Sariti berbisik di dekat telinga Gendrasakti.
"Benar-benar dia dukun jahat!"
Sementara itu, melihat betapa harimau yang galak dan ganas itu seakan-akan takut kepada pendeta itu, penonton menjadi kagum dan mereka mengeluarkan suara pujian riuh rendah! Keadaan menjadi panik lagi, orang-orang berdesak-desakan hendak menyaksikan kesaktian seorang pendeta yang telah terkenal dan termasyhur namanya! Pada saat itu, di luar lingkungan penonton terjadi keributan hebat. Terdengar suara bentakan nyaring.
"Minggir! Minggir kamu! Buka jalan!"
Suara bentakan itu begitu menakutkan hingga orang-orang menjadi kacau balau, karena orang yang baru datang itu tidak saja mengunakan suara yang menggeledek untuk minta jalan, tapi juga menggunakan sepasang lengan tangannya yang luar biasa kuatnya!
Dengan kedua tangannya, ia memegang orang-orang yang menghalangi jalan di depannya dan melemparkan ke kanan kiri bagaikan orang melempar-lemparkan rumput kering saja! Dia adalah seorang pemuda tampan yang bertubuh tegap. Dadanya tak berbaju dan ia hanya mengenakan sepasang celana hitam sebatas lutut, berkalung sarung tenun dan memakai ikat kepala berwarna ungu kehitam-hitaman. Orang ini tidak lain adalah Jaka Galing yang sengaja datang mencari ayahnya, karena ditangkap dan hendak dijadikan korban macan putih telah sampai pula di kampungnya! Dengan kedua lengannya yang kuat, akhirnya Jaka Galing dapat mendesak sampai ke depan. Kedua matanya yang tajam terbelalak marah ketika ia melihat betapa ramanya telah berhadapan dengan seekor harimau putih yang besar sekali dan yang telah siap untuk menubruk dan merobek-robek tubuh ayahnya.
"Jahanam!"
Teriaknya keras sambil meloncat ke dalam kalangan.
Seorang prajurit yang hendak menghalang-halangi dapat digulingkan dengan sekali dorong saja! Macan putih itu memang takut untuk menyerang oarang tua yang memiliki sepasang mata yang luar biasa dan membuatnya lemah itu. Akan tetapi, ketika ia melihat betapa seorang pemuda berani masuk dan datang mendekatinya, dengan menggereng-gereng memperlihatkan giginya yang tajam ia maju perlahan sambil merendahkan tubuh sampai perutnya menempel pada tanah. Kemudian, dengan tiba-tiba dan tak terduga,harimau itu melompat menerkam ke arah Jaka Galing! Terkaman ini dasyat dan cepat sekali dan semua penonton memekik ngeri, terutama para pelayan wanita yang mengiringi Sartini. Semua orang merasa iba dan sayang kalau-kalau dada pemuda yang berkulit halus dan bersih itu akan dibeset dan dirobek-robek oleh kuku harimau putih!
Telah terbayang pada pandangan semua orang yang menyaksikan kejadian ini betapa pemuda yang tampan dan muda itu rebah dada robek terbuka dan leher hampir putus dan tubuhnya rebah dalam genangan darahnya sendiri! Akan tetapi, segera kengerian itu berubah menjadi keheranan dan akhirnya terdengar tepok-sorak yang gegap-gempita dan menggetarkan bumi. Ternyata bahwa pemuda yang tampan dan gagah itu dengan cara yang mengagumkan sekali telah dapat mengelak ke samping hingga terkaman macan putih tak mengenai sasarannya. Dan sebelum binatang itu dapat menyerang lagi, kaki kanan Galing telah terayun kuat dan cepat menendang tubuh belekang harimau itu hingga binatang yang kuat dan liar itu terlempar ke depan tunggang langgang!
"Alangkah hebat pemuda itu!"
Seruan perlahan ini tanpa disengaja terloncat keluar dari bibir Sariti yang merah dan manis dengan sepasang matanya yang memancarkan sinar merayu serta menggairahkan. Adipati Gendrasakti yang memang sudah marah melihat betapa macan putih itu tidak berani menyerang Panembahan Ciptaning dan betapa seorang pemuda dusun berani lancang tangan membela pendeta itu, kini bertambah marah mendengar pujian selirnya kepada pemuda pengacau itu! Racun-racun cemburu dan iri hati mengotori hati dan pikirannya dan dengan wajah berubah merah tangannya meraba-raba tombak pusaka Kyai Santanu didekatnya! Sementara itu, Jaka Galing masih berdiri dengan gagah dan tabah menghadapi serangan pembalasan dari macan putih yang menjadi marah sekali dan tiada hentinya mengeluarkan auman mengerikan.
Kemudian binatang itu menyerang kembali, kini lebih dasyat dan berbahaya daripada serangan yang pertama tadi. Akan tetapi, Jaka Galing ternyata jauh lebih gesit dan tangkas daripada yang ia duga, karena pemuda itu kembali dapat menyelinap di bawah terkaman kakinya dan untuk kedua kalinya memberi pukulan dari belakang dangan tumit hingga macan putih itu berguling sampai beberapa depa jauhnya. Di bawah sorak dan teriakan para penonton, pertempuran dasyat itu berlangsung terus. Beberapa kali Jaka Galing memperlihatkan kesigapannya dan tiap serangan terkaman harimau dapat dielakkan dengan baik dan dibalas dengan serangan tangan dan kaki. Namunharimau itupun memiliki kulit yang tebal dan tubuh yang kuat, hingga pukulan tangan Jaka Galing yang sudah terlatih dan tergembleng itu ternyata tak mampu melukainya, tapi hanya membuatnya terguling-guling.
Bukan main ramainya pertempuran mati hidup antara Jaka galing dan macan putih, hingga tidak saja para penonton yang gembira dan tegang melihatnya, juga para prajurit yang tadinya berjaga dengan tombak di tangan kini juga menjadi penonton yang tidak tinggal diam saja, ikut bersorak-sorak. Jaka Galing merasa gemas juga melihat betapa beberapa kali pukulannya tidak berhasil merobohkan harimau itu. Padahal ia telah mengeluarkan aji kesaktiannya dan kepalan tangan kanannya itu pernah sekali pukul saja memecahkan kepala seekor babi hutan! Ketika macan itu menubruk lagi, Galing melompat tinggi ke kiri dan sebelum tubuh harimau kembali ketanah, pemuda gagah itu telah berada di atas punggungnya dan sambil menggunakan tangan kiri merangkul dan menjepit leher harimau, tangan kanannya bergerak cepat.
"Crepp!!"
Dua buah jari telunjuk dan tengah dari tangan kanannya telah tepat menancap di kedua mata harimau itu!
Harimau putih meraung-raung dan menjatuhkan diri bergulingan, tapi Jaka Galing tetap berada di punggungnya dan menghujani pukulan pada kepala dan tubuh macan putih itu! Para penonton bersorak-sorai bagaikan gila, ada yang berloncat-loncatan, ada yang bertepuk-tepuk tangan ada yang tertawa-tawa dan ada yang mencucurkan air mata karena terharu, girang dan puas melihat kegagahan pemuda itu! Pada saat Jaka Galing masih bergumul mati-matian dengan binatang itu, tiba tampak bayangan orang melompat turun dari panggung dengan sebatang tombak yang mengeluarkan cahaya di tangannya! Bayangan ini tidak lain ialah Adipati Gendrasakti sendiri yang tak dapat menahan gelora nafsu marahnya. Ia menghampiri Panembahan Ciptaning yang semenjak tadi berdiri sambil berpangku tangan dan melihat sepak terjang Jaka Galing. Kini pendeta itu memandang Gendrasakti dengan bibir tersenyum tenang.
"Dukun siluman! Kau berani memberontak?"
Panembahan Ciptaning menggeleng-gelengkan kepala, dan bibirnya bergerak mengeluarkan kata-kata lirih.
"Tidak ada yang memberontak, Adipati! Kedatangan anak ini adalah kehendak Sang Hyang Agung..."
"Pendeta tua, rasakanlah hukumanku!"
Teriak Gendrasakti dan secepat angin ia menyerang dada pendeta tua itu dengan sebuah tusukan tombak. Tombak yang bermata tajam dan mengeluarkan cahaya itu meluncur cepat dan menancap di dada Panembahan Ciptaning bagaikan ujung pisau belati yang tajam ditusukkan pada sebutir buah semangka! Dari mulut Panembahan itu tak terdengar keluhan maupun teriakan sakit, bahkan mulut itu masih tersenyum. Ia masih tetap berdiri, tapi jubahnya yang berwarna putih itu perlahan-lahan menjadi merah di bagian dada!
Jaka Galing pada saat itu sedang mengirim pukulan-pukulan terakhir untuk menewaskan harimau yang telah rebah di tanah dengan kepala pecah-pecah dan mata buta. Sorak-sorai dan tepuk tangan yang riuh dari para penonton mengobarkan api di dalam dadanya hingga ia lupa akan hal-hal lain dan tujuannya satu-satunya ialah membunuh macan putih itu. Tiba-tiba segala suara di sekelilingnya yang tadinya riuh-rendah itu terhenti sama sekali dan keadaan menjadi sunyi. Tak seorangpun terdengar suara. Jaka Galing seakan-akan baru sadar dari pengaruh hikmat. Ia melepaskan bangkai macan putih yang terkulai diatas tanah, lalu perlahan-lahan ia mengangkat muak memandang kepada orang di depannya. Ia melihat betapa semua mata orang-orang yang berdiri di depannya ditujukan kearah satu tempat, yaitu di belakangnya dan semua orang tampak sedih dan ngeri.
Perlahan-lahan ingatan Jaka Galing kembali dan kesadarannya membuat ia menengok ke arah Panembahan Ciptaning yang tadi berdiri di belakangnya. Tiba-tiba Jaka Galing merasa betapa tubuhnya menggigil dan kepalanya menjadi pusing. Ia memaksa dirinya untuk berdiri dan melihat darah merah membasahi jubah ayahnya di bagian dada ini, matanya menjadi kabur dan suram. Ia menggosok-gosok matanya seakan-akan hendak melenyapkan mimpi buruk yang tampak di depan matanya. Tapi ia bukan sedang mimpi. Ia melihat jelas betapa sebatang tombak menancap di dada ayahnya, tepat diulu hati dan betapa Adipati Gendrasakti yang memegang gagang tombak itu berusaha mencabut dan menrik-narik tombak itu keluar dari dada Panembahan Ciptaning!
"Rama!!"
Pemuda itu menjerit sayu dan belum kuasa melangkah maju karena kedua kakinya seakan-akan lumpuh! Adipati Gendrasakti menjadi gugup karena ternyata ia tak dapat mencabut keluar tombak pusakanya dari dada Panembahan itu! Ia mencoba dan mencoba lagi, tapi sia-sia, ujung tombak Kyai Santanu agaknya terjepit oleh tulang rusuk pendeta tua itu! Melihat betapa pemuda itu telah berhasil membunuh mati macan putih dan mendengar betapa pemuda yang gagah perkasa itu menyebut ayah kepada Panembahan Ciptaning, Adipati Gendrasakti terkejut sekali. Terpaksa ia melepaskan tombak yang dipegangnya dan Penembahan Ciptaning terhuyng-huyung kearah puteranya.
"Rama!"
Jaka Galing melompat maju dan menahan tubuh ayahnya yang hampir roboh. Ia meletakkan kepala ayahnya di atas pangkuannya dan menyebut-nyebut nama ayahnya dengan suara memilukan. Tiba-tiba wajah pemuda itu berubah. Ia mengangkat kepala ayahnya dan perlahan-lahan ia meletakkan kepala itu diatas tanah. Kemudian dengan perlahan sekali ia berdiri, kedua tangannya dikepalkan di tangan kiri dan tangan itu menggigil sedikit, dadanya yang telanjang turun naik bergelombang, matanya yang lebar setengah dikatupkan, memandang ke sekeliling dengan lirikan tajam dan akhirnya ditujukan ke arah wajah Adipati Gendrasakti.
Mulutnya masih terkatup dengan gigi dikertakan, tubuh agak membungkuk siap menerkam bagaikan sikap macan putih tadi ketika hendak menyerangnya! Adipati Gendrasakti bukanlah sembarangan orang yang mudah merasa takut. Ia adalah bekas senopati yang telah kenyang menghadapi musuh, telah kenyang bertempur dan menghadapi bahaya-bahaya maut yang mengancam dari ujung keris lawanya beryuda, juga ia terkenal mempunyai kesaktian dan kepandaian pencak silat yang tinggi. Akan tetapi,menghadapi anak muda gagah perkasa yang sedang diamuk rasa balas dendam dan sakit hati itu, sedangkan tombak Kyai Santanu yang diandalkan kini tertancap di dada Panembahan Ciptaning dan tak dapat dicabut kembali, ia merasa gugup. Tanpa disadarinya, ia mengeluarkan perintah.
"Barisan pengawal! Tangkap dan bikin mampus pengacau ini!"
Para pengawal yang tadi berjaga dengan tombak di tangan untuk menjaga kalau-kalau macan putih mengamuk, kini serentak maju dan mengepung Jaka Galing yang masih berdiri di dekat ayahnya yang rebah di atas rumput, sedangkan Adipati itu cepat menyelamatkan diri dibelakang para prajurit! Bukan main marahnya Jaka Galing melihat sifat pengecut Adipati itu, dan kini rasa marahnya ditumpahkan kepada para prajurit yang mengepungnya dengan tombak mengancam.
"Kalian mau mengeroyok aku? Majulah!"
Teriakan ini keluar dari mulut dengan suara perlahan dan parau karena dadanya masih penuh dengan hawa marah dan sedih. Beberapa orang prajurit bergerak maju, dan tiba-tiba Jaka Galing mengeluarkan seruan yang menyeramkan, hampir menyerupai pekik atau tangis lalu tubuhnya melompat dasyat, lebih hebat daripada lompatan seekor harimau yang menerkam. Sekali serang saja ia telah dapat merobohkan tiga orang prajurit pengawal dan merampas sebatang tombak. Ia memainkan tombak itu dan berputar-putarnya sedemikian rupa sambil bergerak memutar.
Semua prajurit berseru kaget karena ketika mereka mencoba untuk menusuk dengan tombak, tombak mereka tertangkis patah, sedangkan mereka yang berdiri paling depan,tak kuasa menangkis serangan tombak Jaka Galing. Tiap kali tombak pemuda itu menyambar, maka robohlah seorang prajurit dan mereka yang berani menangkis segera berteriak kesakitan karena selain tombak mereka terpental,juga telapak tangan mereka berdarah karena kulitnya terkupas oleh kerasnya pukulan Jaka Galing! Maka sebentar saja para prajurit yang mengepungnya mundur ketakutan. Untung Jaka Galing masih ingat bahwa mereka ini hanyalah alat yang digunakan oleh Adipati Gendrasakti untuk mengepungnya,maka ia tidak mau bertindak terlalu kejam. Tujuannya hanya hendak membubarkan kepungan itu agar ia dapat mencari dan membalas dendam kepada Gendrasakti.
"Hayo, Gendrasakti bangsat tua, pengecut besar! Keluarlah! Mari kau hadapi aku, Jaka Galing putera Panembahan Ciptaning, hayo kita mengukur kepandaian, mengadu kerasnya tulang liatnya kulit! Hayo, majulah. Mengapa engkau takut kepada anak desa Tiban?"
Jaka Galing berdiri dengan tombak berlumur darah di tangan kanan, tangan kiri bertolak pinggang, kedua kaki berdiri terpentang lebar,dada terangkat, menantang-nantang dan memaki-maki Adipati Gendrasakti. Sementara itu, para prajurit hanya berdiri menjaga dari jauh, tak berani mendekati anak muda yang hebat itu.
"Galing...,"
Tiba-tiba terdengar suara panggilan perlahan, suara halus yang seakan-akan datang dari angkasa dan membawa Jaka Galing melayang ke atas. Suara itu bagaikan air wayu yang disiramkan di kepalanya yang panas. Terasa betapa suara itu menembus kepalanya dan langsung memasuki dada, mendatangkan suasana dingin, tenang dan mengusir pergi nafsu marah yang menyala dasyat di dalam dadanya. Cepat Jaka Galing berlutut dan mengangkat kepala ayahnya. Suara tadi tidak lain ialah suara ayahnya yang kini memandang kepadanya dengan mata sayu.
"Galing, tenangkan hatimu, tekanlah perasaanmu dan jangan membiarkan dirimu dikuasai nafsu amarah. Semua ini sudah kehendak Sang Hyang Agung, aku...aku tak dapat lagi mengelak daripada kehendak Gusti Yang Maha Kuasa. Tombak ini... Kyai Santanu... ia terlampau ampuh dan sakti! Aku tak kuasa menerimanya..."
Melihat betapa tombak pusaka itu masih menancap di dada ayahnya. Jaka Galing berkata lirih,
"Harus kucabut tombak ini, rama...?"
Mulut Panembahan Ciptaning tersenyum perlahan dan Jaka Galing tak dapat menahan keharuan hatinya melihat betapa dalam keadaan mandi darah itu ayahnya masih dapat bersenyum. Ia memeluk tubuh ayahnya dan terisak-isak.
"Galing, biarpun aku kalah oleh Kyai Santanu, tapi takkan ada seorangpun yang dapat mencabut tombak itu dari ulu hatiku kecuali kukehendaki. Karena itu, selain engkau, tak seorangpun dapat mencabutnya. Tapi jangan sekarang, Galing,...nanti saja kalau aku sudah berangkat..."
Mendengar ucapan ini, bukan main sedih hati Jaka Galing. Ia maklum bahwa ayahnya takkan dapat tertolong lagi, maka ia hanya dapat memeluk dan menciumi kepala orang tua itu dengan penuh kasih sayang dan hati remuk-redam.
"Galing, sekarang tiba saatnya untuk membuka rahasia yang menyelimuti dirimu. Kau...kau adalah cucuku, bukan anakku..."
Kalau Jaka Galing mendengar rahasia itu pada saat lain, ia tentu akan merasa heran dan tercenggang, tapi seluruh perasaannya telah dipengaruhi oleh keadaan Panembahan Ciptaning yang menyedihkan, maka ia menerima berita ini dengan tenang saja. Baginya sama saja, baik sebagai ayah, maupun sebagai Eyang, Bagawan Ciptaning adalah seorang yang ia kasihi lahir batin, seorang yang telah mendidiknya, memliharanya, menggembengnya dengan penuh kasih sayang.
"Galing, cucuku yang tercinta. Kau adalah anak tunggal dari budiati anakku, dan kau adalah turunan dari... Sang Prabu Brawijaya di Majapahit!"
Betapapun juga, mendengar berita yang hebat dan sama sekali tak pernah disangkanya ini, Jaka Galing membelalakan matanya.
"Dengar, cucuku..."
Suara Panembahan Ciptaning makin lemah hingga hanya terdengar sebagi bisikan lirih saja.
"Dulu sang prabu berkenan berburu binatang hutan dan tersesat di pondokku. Beliau bertemu dengan budiati anakku dan jatuh hati. Sang prabu lalu mengajukan lamaran yang tentu saja tidak dapat kutolak karena budiati sendiri pun suka kepada beliau. Mereka lalu menjadi suami isteri, akan tetapi ibumu tak mau diboyong ke Majapahit. Akhirnya terpaksa sang prabu meninggalkan dan dari perkawinan itu lahirlah engkau, cucuku, Sayang sekali ibumu telah dipanggil pulang oleh Hang Widi ketika melahirkan engkau. Oleh karena itu, untuk mencegah agar kau jangan selalu merindukan ayah bundamu, aku mengaku sebagai ayahmu."
Jaka Galing melihat betapa napas Eyangnya payah sekali. Ia memeluk kepala Eyangnya yang putih dan mengeluh.
"Duhai Eyang Panembahan yang tercinta...aku hanya mempunyai kau seorang kalau sekarang Eyang pergi meninggalkan aku..., betapa akan jadinya nasib cucumu ini. Eyang kau adalah seorang yang memiliki kesaktian tinggi, pergunakanlah kesaktianmu itu, Eyang. Lawanlah maut yang yang hendak membawamu... jangan tinggalkan aku..."
Mendengar ucapan Jaka Galing yang merayu-rayu itu, seketika timbul kekuatan Panembahan Ciptaning dan tenaganya yang hampir habis itu pulih kembali. Ia dapat bergerak dan tiba-tiba ia bangkit lalu duduk. Gaggang tombak Kyai Santanu yang menancap di ulu hatinya tampak lucu ketika Panembahan ini duduk. Akan tetapi ternyata pertapa sakti itu bangkit hanya untuk menegur cucunya saja.
"Kulup, cucuku! Lupakah kau bahwa betapapun tinggi kepandaian sesorang manusia, pada hakekatnya ia tak lebih berarti daripada setitik debu bila dibandingkan dengan kehendak Hyang Agung? Aku atau kau hanyalah setitik air disamudera dan tidak mungkin setitik air itu hendak membawa kehendak sendiri.Mau atau tidak, betapapun ia hendak melawannya, ia pasti aakn hanyut terbawa oleh gelombang itu. Apakah kau akan senang melihat Eyangmu atau gurumu berkhianat dan melawan kehendak Hyang Maha Agung?"
Hati Jaka Galing terpukul oleh kata-kata ini dan ia lalu menubruk dan menciumi kedua tangan Eyangnya yang penuh darah.
"Ampun, Eyang. Ampun..."
Tapi tiba-tiba ia merasa betapa tangan yang di ciumi nya itu dingin sekali. Ia cepat memandang wajah orang tua itu. Ternyata Panembahan Ciptaning telah melepaskan napas terakhirnya dan telah wafat dalam keadaan duduk!
"Eyang..."
Hanya demikian Jaka Galing dapat berbisik. Ia tetap berlutut didepan Eyangnya sambil mencium tangan orang tua itu. Lama sekali ia berada dalam keadaan seperti itu seakan-akan kakek itu sedang memberi berkah kepada seoarang cucu atau muridnya yang berlutut dan menyembah di depannya. Kemudian Jaka Galing bergerak perlahan dan memondong jenazah Eyangnya dibawa pergi dari situ dengan tindakan perlahan dan kepala ditundukkan, para prajurit sama sekali tidak berani mengganggunya. Mereka hanya memandang dengan hati terharu, melihat betapa pemuda yang gagah perkasa itu berjalan perlahan dan betapa rambut dan jenggot Panembahan yang putih dan panjang itu melambai-lambai tertiup angin.
Adipati Gendrasakti yang melihat dari tempat jauh, tak tahu harus berbuat apa, maka lalu menyusul Sariti yang telah diantar pulang oleh para pelayan ketika terjadi keributan tadi. Para penonton juga tidak ada yang berani menegeluarkan suara sedikitpun dan memandang pemuda yang memandang tubuh Eyangnya itu dengan pandangan sayu, mengikuti gerakan Jaka Galing dengan pandang mata mereka sampai pemuda itu lenyap dari pemandangan. Peristiwa ini menggores di kalbu rakyat Tandes dan meninggalkan kesan mendalam yang mengharukan Rakyat ikut berduka cita didalam hati, mereka mengutuk perbuatan Adipati Gendrasakti yang terlalu kejamdan menurutkan dorongan nafsu angkara. Namun, siapakah di antara mereka yang berani menyatakan ini dan berterus terang?
Betapapun juga, Adipati Gendrasakti adalah pembesar yang paling berkuasa di Kadipaten Tandes, dan wilayah itu, kekuasannya tak terbatas dan boleh dikata bahwa hidup atau mati seluruh rakyat Tandes berada di dalam gemgaman tangannya. Oleh karena inilah maka peristiwa berdarah itu berlaku tidak berkesan lama, dan lenyap dari kenangan orang bersama dengan terbangnya waktu... Kamar tidur yang disediakan untuk Sariti adalah yang sebuah kamar yang terbesar dan terindah di antara sekian banyak kamar di dalam gedung besar Kadipaten. Kamar ini dulu adalah kamar pertama, dewi cahyaningsih, akan tetapi semenjak Sariti diboyong masuk kedalam Kadipaten, puteri Majapahit yang sabar dan halus budi pekertinya itu mengalah dan pindah ke dalam sebuah kamar yang tidak begitu besar di ruang belakang bersama anak perempuannya.
Sariti yang cantik jelita tengah duduk menghadapi cermin dan membereskan rambutnya dengan sebuah sisir. Rambutnya memeng indah. Hitam panjang sampai ke paha dan sekalian halus juga mengombak air, harum sedap karena selalu digosok pandan dan sari kembang melati dan mawar. Wanita muda ini dengan perasaan bangga memandang bayangannya di dalam cermin. Memang ia cantik dan manis, tubuhnya ramping dengan kulit kuning halus menggairahkan, sedang usianya masih muda sekali. Maka, tak heran apabila Adipati Gendrasakti sampai lupa daratan dan mabuk. Akan tetapi pada saat itu, sang ayu Sariti bermuram durja. Sepasang alis matanya bertemu dan kedua matanya yang jernih indah itu memerah, seakan-akan menahan tangis yang mendesak, air matanya hendak tumpah.
Adipati Gendrasakti tampak duduk diatas pembaringan yang indah bertilam sutera merah muda berkembang sulam bunga seruni dengan bantal-bantal yang bersarung indah pula serta berbau harum mewangi mengingatkan dia bau rambut selirnya itu. Gendrasakti duduk bersila dengan wajah bingung. Ia maklum bahwa selirnya yang tercinta itu sedang marah dan tak senang hati. Atas desakan selirnya ini, ia telah mengusir pergi semua selir lain dan kini Sariti mendesaknya agar ia mengusir pula Dewi Cahyaningsih! Tentu saja ia tak dapat meluluskan permintaan ini. Pada saat itu, Sariti memutar tubuhnya yang indah itu menghadapi Adipati Gendrasakti. Air matanya tak dapat ditahannya pula dan telah membasahi kedua pipinya yang kemerah-merahan seperti warna mawar yang seindah-indahnya.
"Kang Mas, Adipati, kalu begitu, cinta Kang Mas terhadap diri saya hanya... palsu belaka..."
Ia lalu menggunakan sepuluh jari tangannya yang halus runcing untuk menutupi mukanya karena air matanya mengucur makin banyak. Adipati Gendrasakti turun dari pembaringan dan dengan penuh kasih sayang memegang pundak selirnya sambil berkata perlahan.
"Jangan kau berkata demikian, Sariti kau tahu betul bahwa cintaku kepadamu cinta murni dan tak dapat diukur besarnya. Permintaanmu yang manakah yang pernah kutolak?"
"Buktinya... Kang Mas lebih memberatkan yunda Dewi daripada aku..."
Adipati Gendrasakti membelai-belai rambut Sariti yang hitam dan harum.
"Permintaanmu kali ini memng sukar untuk dapat dilaksanakan, Sariti. Telah berkali-kali aku jelaskan, bahwa untuk menyuruh Cahyaningsih pulang tidaklah semudah kau kira. Hal ini berlainan sekali dengan keadan para selir yang telah kita usir dri sini. Ingatlah, dia adalah isteriku yang sah dan isteri pertama. Tentu akan menimbulkan perasaan tidak senang di kalangan para hamba sahaya dan rakyat di Tandes."
Dengan gaya manja sekali Sariti menolakkan kedua tangan Adipati Gendrasakti yang membelai-belai rambutnya itu, lalu katanya.
"Itu hanya alasan kosong belaka, Kang Mas. Apa hubungan para hamba sahaya dan rakyat dengan urusan rumah tangga Kang Mas sendiri? Bilang saja bahwa hatimu masih berat sebelah kepada yunda Dewi."
"Ingat bahwa Cahyaningsih telah mempunyai seorang puteri dariku, apa akan jadinya dengan dia dan anakku Puspasari?"
Sariti cemberut dan bibirnya yang berbentuk gendawa dan merah segar itu ditajamkan, menambah manisnya.
"Kang Mas maklum bahwa yunda Dewi benci kepadaku. Biarlah, daripada hidup dibenci dan selalu terancam, lebih baik Kang Mas pulangkan saja aku atau bunuh saja. aku tidak kuat hidup di bawah satu wuwungan dengan orang yang membenciku dan biarlah kalau memang Kang Mas lebih mencintai nenek tua itu daripada aku"
Mendengar ucapan ini, dengan cepat Gendrasakti memeluk selirnya dengan hati cemas.
"Sariti. jangan kau mengambil keputusan nekat seperti itu. Aku takkan hidup lama lagi tanpa kau. aku, mencintaimu sepenuh jiwaku. Aku tak peduli lagi akan keadaan Dewi Cahyaningsih, jangankan baru seorang, biarpun ada seribu Cahyaningsih, aku masih berat kepadamu, manis. Sariti cepat berkata dengan suara manis dan merdu,
"Kalau begitu, suruhlah dia pergi, Kang Mas. Biar kita berdua hidup rukun dan tenteram, penuh cinta kasih dan damai!"
"Tapi, Sariti manisku, dia adalah keturunan Prabu Brawijaya di Majapahit. Kalau sang prabu mendengar akan hal puterinya terusir dari sini, pasti beliau akan marah sekali. Bibir Sariti yang tadinya sudah membayangkan senyum manis, kembali cemberut, bahkan sepasang matanya yang bersinar-sinar dan berkelap-kelip bagaikan dian terhembus angin itu memandang dengan cahay menghina.
"Kau takut Kang Mas? Apa yang kau takutkan? Bukankah kau terkenal gagah perkasa dan mempunyai prajurit-prajurit pilihan dan kuat? Lagi pula, bukankah kau dahulu menjadi senopati Majapahit yang terkenal paling sakti? Prabu Brawijaya mampu berbuat apa terhadap kita?"
Untuk beberapa lama Adipati Gendrasakti termenung, lalu berkata perlahan.
"Biarpun ucapanmu itu betul, akan tetapi harus diingat bahwa Majapahit mempunyai banyak perwira yang sakti dan tentara yang sangat kuat. Kalau sang prabu marah kepada kita dan mengirim barisan ke sini, tentu akan pecah peperangan dasyat yang akan menimbulkan banyak korban jiwa di kedua belah pihak. Apakah tidak ada jalan lain yang lebih aman dan baik untuk mencapai maksud kita?"
Adipati yang sudah berumur 50 th lebih itu mengerutkan keningnya yang sudah penuh garis. Tiba-tiba Sariti menghampiri Adipati Gendrasakti yang duduk di atas kursi sambil termenung menggigit-gigit bibirnya, lalu dengan gaya menarik hati sekali menjatuhkan diri di atas pangkuan Adipati itu.
"Kang Mas, mengapa kau begitu bodoh dan kurang akal? Serahkan saja hal ini kepada Sariti, isterimu yang cerdik dan setia, isterimu yang mencintaimu dengan penuh jiwa."
Kemudian dengan bisik-bisikan di dekat telinga Adipati Gendrasakti, Sariti menceritakan siasatnya. Adipati Gendrasakti mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu mengangguk-angguk dan memandang selirnya yang cantik jelita itu dengan pandangan kagum dan gembira.
"Alangkah pandainya kau mengatur siasat, isteriku manis. Baik, baik! Memang harus diatur begitu!"
Memang tidak keliru ucapan para pujangga purbakala yang menyatakan bahwa betapapun pandai, gagah perwira, kuat dan saktinya seorang laki-laki, namun apabila ia telah tergila-gila akan kecantikan dan berada di bawah pengaruh seorang wanita maka segala kepandaian dan kegagahannya itu akan sia-sia belaka dan ia hanya merupakan tanah liat yang lembek sekali dalam gemgaman tukang periuk yang pandai, ia akan menyerah dan menurut saja di-bentuk oleh wanita yang dikasihinya itu! Adipati yang mabok akan belaian dan rayuan Sariti yang cantik jelita, lupa akan anak bini, bahkan rela mengorbankan isteri dan anaknya demi kesenangan dan kepuasan hati kekasihnya itu.
Sariti memang berpikiran cerdik dan mempunyai banyak muslihat licin. Ia majukan siasatnya, yakni Dewi Cahyaningsih dan anaknya akan diantar pulang ke Majapahit dengan pengawal-pengawal sebagaimana mestinya. Akan tetapi, di tengah jalan kedua ibu anak itu akan di binasakan, kemudian para pengawal itu lalu diharuskan lari ke Majapahit dan memberi laporan kepada Sang Prabu Brawijaya bahwa ketika mereka mengantar Dewi Cahyaningsih dan puterinya berkunjung ke Majapahit, ditengah jalan di serang oleh... Jaka Galing yang berhasil membunuh ibu anak itu! Sungguh siasat yang kejam tapi licin luar biasa. Seperti telah merencanakan untuk menggunakan sebatang pedang yang bermata dua hingga dapat sekali pukul meruntuhkan dua lawan. Di satu pihak membinanasakan kedua wanita yang menjadi penghalang baginya itu,
Di pihak lain dapat merusak nama Jaka Galing yang berbahaya pula bagi Adipati Gendrasakti, hingga sang prabu tentu akan mengutus prajurit untuk menangkap Jaka Galing! Satu siasat yang harus dipuji, tapi yang harus dikutuk karena kejamnya. Pada keesokan harinya. Adipati Gendrasakti dengan menguatkan hati dan melenyapkan segala rasa segan dan malu, memasuki kamar isterinya. Kedatangannya disambut dengan wajah heran oleh isterinya dan dengan kegembiraan oleh Puspasari, anaknya. Telah berbulan-bulan Adipati ini tak pernah masuk ke dalam kamar isterinya, maka kedatangannya ini tentu saja menimbulkan heran kepada isteri yang sudah tak mengharapkan lagi kunjungan suaminya itu. Dengan cekatan Puspasari menyuguhkan minum kepada ayahnya. Setelah duduk berhadapan dengan isterinya, Gendrasakti lalu berkata.
"Yayi Dewi, sebenarnya kedatanganku ini hendak minta pertimbanganmu. Sebagaimana kau ketahui, telah berbulan-bulan aku tidak pergi menghadap ke Majapahit."
"Mengapa kanda tidak pergi menghadap Rama Prabu?"
Tegur Dewi Cahyaningsih yang tidak menyangka sesuatu. Gendrasakti menghela napas.
"Kau tahu, yayi, pekerjaan di sini amat banyak dan aku... Tak punya waktu untuk pergi-pergi jauh. Memang, kalau terlalu lama tidak menghadap, aku takut kalau-kalau Rama Prabu marah. Oleh karena itu, malam tadi aku mgambil keputusan untuk minta bantuanmu, yayi. Kau telah lama tidak bertemu dengan keluargamu di Majapahit, maka sekalian kau tengok mereka, kau wakililah aku menghadap Rama Prabu, menuturkan keadaan di Tandes yang tidak ada halangan suatupun apa."
Memang di dalam hatinya, semenjak suaminya tergila-gila kepada Sariti, Dewi Cahyaningsih merasa bosan dan tidak senang tinggal di Tandes, dan sering kali terkenang kepada sanak familinya yang berada di Majapahit. Mendengar usul suaminya ini, ia merasa genbira, lalu menjawab,
"Baiklah, kanda. Kalau kanda Adipati memerintahkan begitu, tentu saja saya tak berani membantah."
"Rama, ijinkanlah saya ikut kalau ibu pergi ke Majapahit."
Puspasari berkata. Ayahnya mengangguk-angguk,
"Tentu saja boleh, kalian pergilah berdua. Berkemeslah dan sementara itu aku akan memerintahkan pengawal-pengwal yang cakap untuk mengiringi perjalanan kalian, juga menyediakan barang-barang berharga untuk dihaturkan kepada Rama Prabu."
Kata Adipati Gendrasakti dengan suara manis, seperti seorang ayah yang baik hati!
Dengan gembira sekali Puspasari menari-nari dan lari masuk ke kamarnya sendiri di sebelah kamar ibunya untuk menyiapkan apa yang perlu di bawa dalam perjalanan jauh itu. Gendrasakti memilih 12 orang perwira yang paling dipercaya dan setelah memberi pesan kepada mereka, lalu disiapkan tandu dan segala keperluan. Sariti juga hadir dalam keberangkatan ini dan selir cantik jelita ini dengan gaya manis memberi bekal nasihat dan pesan agar mereka yang melakukan perjalanan itu berlaku hati-hati dan dapat menjaga diri di tengah jalan, serta membekali doa-doa selamat bagi ibu dan anak! Setelah rombongan itu berangkat Gendrasakti menjatuhkan diri di atas kursi di dalam kamar Sariti, dan Adipati tua itu termenung denga muka pucat betapapun juga,
Hati nuraninya memberontak dan suara hatinya mencaci maki dan mengutuknya, membuatnya termenung dengan hati menyesal. Akan tetapi, tiba-tiba sebuah lengan yang berkulit halus memeluk lehernya dengan suara merayu-rayu dan belaian-belaian penuh kasih sayang Sariti menghiburnya hingga hati nuraninya kembali tertutup. Dua belas orang yang dipilih oleh Gendrasakti untuk mengantar anak dan isterinya adalah bekas perampok-perampok jahat dan kejam yang tak pantang mundur menghadapi perbuatan yang bagaimana kejam dan ngerinya. Mereka ini adalah orang-orang taklukan, bekas pemimpin perampok yang didalam hatinya memang mempunyai sikap dendam dan memberontak terhadap kerajaan Majapahit, hingga mereka memang tepat sekali kalau diperalat oleh Gendrasakti untuk melakukan pembunuhan kejam ini.
Rombongan itu berjalan dengan cepat dan ketika hari telah menjadi senja, mereka masih berada di dalam sebuah hutan yang amat liar dan luas. Memang kedua belas pengawal itu sengaja membawa ibu dan anak itu kedalam hutan ini agar mereka dapat melakukan tugas mereka dengan leluasa. Setelah tiba di tempat yang mereka anggap cocok untuk melakukan kejahatan itu, tiba-tiba kepala pengawal, seorang tinggi besar bernama Klabangkoro berteriak memerintah agar rombongan itu berhenti. Delapan orang pelayan pemanggul tandu merasa lega mendengar perintah ini, karena mereka telah merasa lelah sekali. Dengan perlahan mereka menurunkan kedua tandu itu dan menggunakan kain ikat kepala untuk menyeka peluh mereka yang membasahi seluruh tubuh. Dewi Cahyaningsih dan Puspasari membuka kain renda penutup tandu dan Dewi Cahyaningsih bertanya.
"Hei, pengawal, mengapa berhenti di tengah hutan? Hari sudah menjadi gelap, hayo kita lanjutkan perjalanan mencari tempat penginapan di kampung depan."
Tapi 12 pengawal itu mendekatinya sambil ketawa menyeringai. Melihat keadaan ini, hati Dewi Cahyaningsih merasa tidak enak, maka ia lalu keluar dari tandunya. Juga Puspasari keluar dari tandunya.
"Kita takkan melanjutkan perjalanan!"
Kata Klabangkoro sambil mengurut kumisnya. Kemudian dengan cepat sekali ia mencabut goloknya yang terselip di pinggang dan sekali mengayun senjata itu, dua orang pemanggul tandu roboh mandi darah dan mati di saat itu juga tanpa dapat berteriak lagi! Alangkah terkejutnya semua pemanggul tandu yang enam orang itu. Tapi kekagetan mereka hanya sebentar, karena pengawal-pengawal lain lalu menggunakan senjata mereka dan sekejap kemudian kedelapan pemenggul tandu itu terbunuh dan tubuh mereka berserakan di atas rumput dalam keadaan yang mengerikan! Dewi Cahyaningsih dan anak gadisnya hampir saja pingsan melihat kekejaman dan pembunuhan ini. Mereka saling peluk dan menutup muka sambil menangis dan dengan tubuh menggigil mereka menanti kemungkinan selanjutnya.
"Ha, ha, ha!"
Terdengar Klabangkoro tertawa tergelak-gelak.
"Sayang Adipati tidak melihat sendiri hal ini!"
Mendengar ucapan ini, timbul dugaannya yang mengerikan di dalam hati Dewi Cahyaningsih. Dengan hati nekat, ia membuka matanya dan memandang kepada kepala pengawal ini.
"Klabangkoro! Apakah maksudmu maka kalian membunuh para pemikul tandu ini? Siapakah yang akan memenggul tandu kami selanjutnya?"
"Ha, ha,ha! Perempuan bernasib celaka, yang akan memanggul kau hanyalah setan-setan akhirat, karena sebentar lagi kaupun akan mengikuti kedelapan anjing-anjing ini! Ha-ha! Adapun yang akan memanggul puterimu yang cantik ini, jangan kau khawatir, tanganku masih kuat memondongnya! Betul tidak, kawan-kawan?"
Kawan-kawannya tertawa geli, dan seorang diantara mereka berkata.
"Kakang Klabangkoro, jangan kau habiskan sediri. Beri aku bagian! Ha, ha!"
Mendengar ucapan ini, bukan main kaget Dewi Cahyaningsih dan Puspasari.
"Apa? Kau hendak membunuh kami? Mengapa Klabangkoro, mengapa?"
Tanya Dewi Cahyaningsih dengan suara gemetar, sedangkan Puspasari memeluk ibunya dengan tubuh menggigil ketakutan.
"Jangan kau salah sangka, Wanita! Kami hanya menjalankan perintah Adipati Gendrasakti. siapa lagi yang menyuruh kami membunuhmu kalau bukan suamimu sendiri?"
"Tetapi... tak mungkin... mengapa begitu..."
Wanita yang bernasib malang itu mengeluh.
"Ha, ha, ha!"
Klabangkoro tertawa. Mudah saja diterka. Kau sudah tua, suamimu sudah tak suka lagi padamu, sudah mendapat yang baru, yang muda, yang cantik, tidak seperti kau yang sudah kisut. Ha, ha!"
Kini mengertilah Dewi Cahyaningsih. Jadi suaminya sendiri yang merencanakan pembunuhan ini! Tentu diatur bersama dengan perempuan siluman itu. Alangkah kejamnya! Tiba-tiba wanita tua itu mengangkat dada dan datang keberaniannya.
"Klabangkoro! Kau mau membunuh kami, bunuhlah. Aku tidak takut mati. Tetapi kuminta padamu dan kepada semua kawanmu. Kasihanilah anakku si Puspasari. Dia tidak tau apa-apa. Demi perikemanusian dan demi Gusti Yang Maha Agung, bebaskanlah anakku ini. Kalian boleh mengambil semua barang-barang berharga milik kami, boleh bunuh aku, tetapi kalian jangan bunuh anakku ini..."
Dewi Cahyaningsih memeluk anaknya yang sudah lemas itu dengan tersedu-sedu.
"Ah, perempuan cerewet! Jangan banyak cakap!"
Bentak Klabangkoro sambil menarik tangan Dewi Cahyaningsih yang memeluk anaknya, tetapi ibu itu tak mau melepaskan pelukannya. Puspasari menjerit-jerit dan mengeluh.
"Ibu... Ibu..."
"Sari... Sari anakku..."
Dewi Cahyaningsih juga menjerit pilu. Kakang Klabangkoro. Mampuskan saja perempuan tua itu supaya jangan banyak rewel lagi!"
Kata seorang diantara pengawal-pengawal itu. Dengan wajah menyeringai mengerikan Klabangkoro mengangkat goloknya yang masih berlumuran darah itu keatas dengan sepenuh tenaga ia membacok!
"Trang!"
Klabangkoro berteriak kesakitan dan goloknya hampir saja terlepas dari pegangan! Ternyata ketika ia menganyunkan goloknya membacok ke arah leher Dewi Cahyaningsih, tiba-tiba dari belakang sebatang pohon meloncat keluar seorang laki-laki memegang tombak dan secepat kilat menggerakkan tombaknya menangkis golok yang mengancam leher wanita itu!
"Bangsat jahanam! Siapa kau begitu lancang berani mencampuri urusan kami?"
Bentak Klabangkoro, sedangkan sebelas orang kawannya lalu maju mengepung. Laki-laki itu ternyata adalah seorang yang memakai kedok ikat kepala hitam yang dibalutkan di depan mukanya sebatas mata. Dari sinar matanya dan tubuhnya, dapat diketahuai bahwa ia masih muda benar, tetapi tubuhnya tegap berisi dan tampak kuat. Melihat dirinya dikepung, pemuda berkedok itu mengangkat tombaknya ke atas dan tiba-tiba dari atas sebatang pohon melayang keluar seorang pemuda lain yang juga berkedok! Pemuda ini bersenjata sebatang pedang dan karena pakaian dan kedoknya serupa dengan yang dikenakan pemuda bertombak, mereka ini seakan-akan dua saudara kembar!
"Keparat!"
Pemuda bertombak itu balas memaki.
"Pembunuh-pembunuh kejam, iblis bermuka manusia! Iblis-iblis macam kalian ini harus dibasmi dari muka bumi!"
Bukan main marahnya Klabangkoro mendengar caci maki ini. Biarpun dari tangkisanh tadi ia maklum bahwa pemuda bertombak ini memiliki tenaga kuat, namun mereka hanya berdua, sedangkan dia mempunyai sebelas orang kawan yang telah diketahui kekuatan dan kepandaiannya. Maka ia berbesar hati dan tertawa menghina.
"Ha-ha! Cacing-cacing busuk hendak berlaku sombong di depan naga! Mampuslah kau!"
Goloknya diayun tanpa ada peringatan, menunjukkan betapa curangnya kepala pengawal itu!"
Akan tetapi dengan memiringkan sedikit kepalanya, bacokan itu tak mengenai sasaran dan pemuda bertombak lalu balas menyerang. Kawannya tertawa bergelak lalu memutar pedangnya yang mempunyai gerakan hebat juga. Tak lama kemudian terjadilah pertempuran hebat dan mati-matian. Dua orang berkedok di keroyok oleh dua belas orang pengawal yang buas dan bertenaga kuat.
"Indra, mari pencarkan mereka!"
Pemuda bertombak berseru kepada kawannya. Memang, dalam keroyokan campur aduk itu mereka tak dapat bergerak leluasa, maka mereka lalu berkelahi sambil mundur saling menjauhi hingga para pengeroyok menjadi terpencar. Pemuda berpedang dikeroyok enam orang dan pemuda bertombakpun dikeroyok enam orang termasuk Klabangkoro!
Karena pemuda bertombak itu mengetahui bahwa para lawannya hanyalah orang-orang yang mengandalkan kebuasan dan kekuatan belaka, maka ia yakin bahwa ia dan kawannya pasti akan dapat mengalahkan mereka. Kalau kiranya para pengeroyokitu berkepandaian tinggi dan cukup membahayakan, tentu ia akan lebih senang membela diri di dekat kawannya hingga dapat saling membantu. Kini, menghadapi enam orang pengeroyok, ia berlaku lebih leluasa karena dapat mencurahkan perhatiannya. Tombaknya diputar sedemikian rupa hingga ujung tombak berubah seakan-akan menjadi berpuluh-puluh banyaknya dan tiap ujung tombak mengeluarkan tenaga yang luar biasa, karena tiap kali senjata lawan tersentuh ujung tombak itu, senjata lawan pasti terpental!
Keenam pengeroyoknya tak berdaya dan tak dapat menyerang, karena tubuh pemuda itu dilindungi oleh puluhan batang tombak yang bergerak dan berputar cepat sekali! Tak lama kemudian, setelah bertempur puluhan jurus,terdengar teriakakn-teriakan ngeri karena dua orang pengeroyok telah tertembus perut dan dadanya oleh ujung tombak!"
Sentara itu, pemuda berpedang juga tidak kalah hebatnya. Pedangnya berputar cepat dalam gerakan-gerakan yang tak terduga sama sekali oleh keenam lawannya. Tubuhnya lincah dan gesit sekali. Selain itu, pemuda ini berwatak jenaka, karena sambil berputar tiada hentinya ia mengejek dan menggoda. Pernah ia sengaja mengetok tulang kaki seorang lawan dengan gagang pedangnya, hingga lawan itu berjingkrak-jingkrak karena kakinya merasa demikian sakit sampai terasa menyusup tulang!"
"Ha, ha! Kau seperti Burisrawa kebakaran jenggot!"
Pemuda itu mengejek sambil mengirimkan serangan kilat yang membuat pedangnya menari-nari itu! Sebentar saja iapun dapat merobohkan lagi tiga orang lawan dengan pedangnya!"
Sementara itu, pemuda bertombak telah berhasil menewaskan empat orang dan yang melawannya kini tinggal Klabangkoro dean seorang temannya. Melihat betapa gagah perkasanya pemuda lawannya itu dan betapa kawan-kawannya telah banyak yang tewas, tiba-tiba Klabangkoro melompat jauh dan lari kearah Dewi Cahyaningsih dan Puspasari yang saling peluk dan berdiri menggigil di dekat tandu mereka!
Klabangkoro mengayun-ayunkan goloknya untuk membinasakan dua orang wanita itu untuk menunaikan tugas. Melihat hal ini, pemuda bertombak merasa terkejut sekali. Ia hendak meloncat mengejar, tapi lawannya yang tinggal seorang itu menghalanginya dengan pedang dan mengirim serangan ke arah lambungnya. Karena perhatian pemuda itu dicurahkan kepada Klabangkoro, hampir saja lambungnya tertusuk pedang kalau ia tidak cepat-cepat melempar tubuh kebelakang. Pada saat ia menggulingkan diri, ia melihat betapa Klabangkoro telah berada dekat dengan kedua wanita itu dan telah mengangkat goloknya. Tidak ada jalan lain untuk menolong kecuali dengan melemparkan tombaknya dengan sekuat tenaga ke arah tubuh Klabangkoro.
Lemparannya tepat sekali dan pada saat Klabangkoro hampir berhasil membunuh Dewi Cahyaningsih dan gadisnya, tiba-tiba punggung manusia jahat itu tertikam tombak hingga menembus ke dadanya! Klabangkoro berteriak ngeri dan goloknya terlepas dari tangannya. Tubuhnya terhuyung-huyung dan akhirnya roboh telungkup tak bernyawa lagi! Pemuda itu segera lari menghampiri tubuh Klabangkoro dan mencabut keluar tombaknya. Ketika ia menengok, ternyata orang terakhir yang melawannya tadi telah lenyap! Ia merasa menyesal karena orang itu tentu telah melarikan diri. Ketika ia berpaling, ternyata kawannya yang bersenjata pedangpun baru saja menyelesaikan pertempurannya dan dengan puas membersihkan pedangnya sambil memandangi lima orang lawannya yang telah tewas bergelimpangan di sekelilingnya!
"Indra, kau hebat sekali!"
Pemuda bertombak itu memuji kawannya sambil tertawa membuka kedok. Ternyata bahwa pemuda bertombak itu bukan lain ialah Jaka Galing! Kawannya yang bernama Indrapun membuka kedoknya dan ternyata ia adalah seorang pemuda yang tampan juga, berambut keriting dan bermata penuh kegembiraan.
"Kaupun hebat, Galing."
"Tapi lawanku ada yang lari seorang."
Mereka lalu menghampiri Dewi Cahyaningsih dan Puspasari yang masih saling rangkul dengan wajah pucat. Jaka Galing dan Indra tidak mengenal siapa kedua wanita itu, mereka berdua memandang kagum kepada Puspasari yang cantik manis.
"Ibu dan adik, bahaya telah lalu dan tak perlu takut dan khawatir lagi."
Galing menghibur. Ia tak pernah menyangka bahwa wanita tua itu adalah isteri Adipati Gendrasakti dan mengira bahwa mereka berdua hanyalah wanita-wanita kampung karena memang Dewi Cahyaningsih berdua puterinya mengenakan pakaian sederhana.
"Aduh, raden... semoga Gusti Yang Maha Agung melimpahkan rahmatNya kepada kalian berdua. Kalian telah menolong jiwa kami ibu dan anak, kalau tidak ada kalian...entah bagaimana jadinya..."
Wanita tua itu tersendu-sendu karena merasa terharu dan sedih.
"Sudahlah, ibu, jangan bersedih, penjahat-penjahat kejam itu telah kami bunuh semua. Kalau kami boleh bertanya, ibu dan adik ini siapakah dan hendak pergi kemana?"
Sebelum ibunya sempat menjawab, Puspasari menjawab dengan suara malu-malu dan pipi merah sambil menundukkan mukanya,
"Kami... kami orang Tandes, ibuku seorang janda dan aku anak tunggalnya. Kami hendak pergi ke Majapahit mengunjungi sanak keluarga kami. Tapi dihutan tiba-tiba bertemu dengan perampok-perampok. Untung kalian berdua menolong kami, raden, dan terimalah pernyataan terima kasih kami!"
Tiba-tiba gadis itu berlutut menyembah hingga Jaka Galing merasa kikuk. Hendak membangunkan gadis itu, ia harus menyentuh pundaknya dan ia tidak berani melakukan ini. Didiamkan juga tidak enak.
"Nona... jangan... jangan kau melakukan segala upacara ini. Sudah sepantasnya manusia di dunia saling tolong-menolong."
Setelah Puspasari berdiri kembali, ibunya berkata.
"Benar kata Puspasari anakku ini, raden.Kami memang hendak pergi ke Majapahit."Kami memang hendak pergi ke Majapahit."
Dewi Cahyaningsih maklum akan maksud Puspasari yang sengaja berbohong,karena kalua ia berterus terang, tentu kedua pemuda ini merasa terkejut dan siapa tahu kalau-kalau kedua pemuda ini meras berkewajiban untuk mengantarkan dan memaksa mereka pulan ke Tandes.
"Tapi hari sudah menjadi gelap, dan tak mungkin melanjutkan perjalanan yang masih jauh. Lagi pula, para pemikul tandu telah binasa semua. Kalau kalian sudi, kami persilakan singgah di kampung kami yang berada tak jauh dari sini dan besok barulah kalian melanjutkan perjalanan menuju ke Majapahit."
Kata Indra sambil memandang gadis yang manis itu. Kedua wanita itu menyetujui dan Galing bersama kawannya mengiringkan mereka menuju ke sebuah kampung yang berada tak jauh dari hutan itu. Dewi Cahyaningsih dan Puspasari heran dan kagum ketika mereka tiba di kampung itu, karena di dusun yang baru itu berkumpul banyak sekali orang dari segala golongan dan mereka ini ramah tamah sekali. Mereka disambut dengan segala kehormatan dan hampir semua orang,
Laki-laki maupun perempuan yang menyambut mereka, menyantakan simpati dan mengutuk para perampok yang berniat jahat terhadap mereka. Karena keramah-tamahan orang-orang itu. Dewi Cahyaningsih dan Puspasari merasa terharu dan suka sekali berada di situ. Bagaimanakah Jaka Galing yang dulu tinggal di dusun Tiban bersama kakeknya kini berada di dusun itu dan siapa pula kawan-kawannya penduduk dusun itu? Dulu ketika Jaka Galing membawa pulang jenazah kakeknya dengan hati hancur karena sedihnya, ia disambut rakyat dengan perasaan terharu dan sedih. Memang nama Panembahan Ciptaning telah terkenal sebagai seorang sakti yang berbudi dan bijaksana, juga tidak sedikit orang yang telah ditolong oleh Panembahan itu, baik berupa nasehat atau petuah maupun pertolongan mengobati mereka yang menderita sakit.
Selain daripada itu banyak yang mengangkat dia sebagai guru mereka, karena sedikit banyak mereka telah menerima petunjuk-petunjuk dan petuah-petuah yang berharga dari orang suci itu. Oleh karena itu, maka tidak heran apabila nasib Panembahan Ciptaning yang tewas dalam keadaan menyedihkan itu telah membangkitkan perasaan marah dan dendam di hati para pemuda itu. Di antara para pemuda yang sakit hati terhadap Adipati Gendrasakti, adalah Indra, seorang putera kepala kampung di dusun Keling, yang menjadi murid terkasih dari Panembahan Ciptaning dan seorang kawan baik Jaka Galing semenjak kecil. Disaksikan oleh banyak orang, Jaka Galing mencabut tombak pusaka Kyai Santanu yang menancap di dada kakeknya dan ia bersumpah di depan tombak pusaka itu dengan ucapan keras dan tegas.
"Aku bersumpah untuk membalas dendam rama Panembahan yang terbunuh oleh Gendrasakti dan pada suatu saat aku tentu akan mengembalikan tombak ini ke dalam dada Gendrasakti!"
Jaka Galing maklum bahwa dirinya tentu dimusuhi oleh Adipati Gendrasakti dan bukan tak mungkin besok atau lusa akan datang prajurit-prajurit dari Tandes ke dusun Tiban untuk menangkap atau membunuh dirinya. Dugaan ini dibenarkan oleh banyaknya anak muda di dusun Tiban, maka Jaka Galing lalu mengambil keputusan untuk pergi dari Tiban. Alangkah terharu hatinya ketika hampir semua pemuda Tiban, bahkan ada beberapa orang pula dari desa Keling, yakni Indra dan kawan-kawannya, menyokong maksudnya hendak membalas dendam, Mereka lalu berkumpul dan merupakan satu pasukan terdiri dari pemuda-pemuda yang gagah berani dan bersemangat! Karena takut kalau-kalau Adipati Gendrasakti menumpahkan amarahnya kepada keluarga mereka, maka para pemuda itu lalu memboyongi keluarga mereka dan menebang hutan untuk mendirikan sebuah dusun baru di tengah-tengh hutan.
Dusun ini mereka beri nama dusun Bekti dan di dalam hutan lebat ini Galing dan Indra melatih para kawannya dalam olah keprajuritan dan permainan tombak dan pedang. Mereka siap untuk sewaktu-waktu menyerbu ke Kadipaten Tandes dan membalas dendam kepada Adipati Gendrasakti. Sementara itu, seringkali Jaka Galing termenung jika teringat akan cerita Panembahan Ciptaning sebelum menghembuskan napas terakhir, yakni bahwa mendiang ibunya adalah seorang isteri Sang Prabu Brawijaya. Kalau begitu, dia masih berdarah bangsawan, berdarah raja, seorang Pangeran. Namun ia simpan rahasia ini baik-baik dan tak pernah menceritakan kepada siapapun juga. Oleh karena itu maka semua orang masih menganggap bahwa ia adalah Jaka Galing putera Panembahan Ciptaning.
"Perjumpaannya dengan Dewi Cahyaningsih dan anak gadisnya, membuat Jaka Galing makin benci kepada Adipati Gendrsakti. Malam itu juga, ia mengumpulkan kawan-kawannya dan menyatakan pendapatnya.
Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kawan-kawanku, peristiwa yang baru saja dialami oleh kedua tamu kita itu menyatakan betapa kacau-balaunya daerah yang yang dikuasai oleh Gendrasakti. Perampok berani muncul dimana-mana dan mengganggu rakyat, tanpa mendapat perhatian sama sekali dari Gendrasakti. Bahkan aku merasa curiga melihat pakaian para perampok itu, karena pakaian macam itu tidak layak dipakai oleh para perampok. Lebih pantas kalau mereka itu disebut pengawal-pengawal atau pemimpin-pemimpin prajurit Kadipaten."
Dewi Cahyaningsih dan Puspasari yang berada di ruang tengah itu dan mendengar kata-kata Jaka Galing, menjadi terkejut sekali. Tadinya mereka hanya menyangka bahwa Jaka Galing dan Indra hanyalah dua orang pemuda dusun yang gagah perkasa, dan tidak menyangka bahwa pemuda ini demikian cerdik dan seakan-akan mempunyai sikap bermusuh dan membenci Adipati Gendrasakti. Mereka berdua mendengar lebih lanjut dengan penuh perhatian.
"Memang akupun sudah menaruh curiga,"
Indra membenarkan kata-kata Galing.
"Mereka itu memainkan senjata dengan baik sekali dan memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, sekali-kali tak pantas kalau mereka hanya perampok-perampok biasa. Lebih baik kita bertanya lagi kepada tamu-tamu kita."
Semua orang menyatakan setuju dan Dewi Cahyaningsih serta puterinya dipersilakan maju mendekat. Wanita tua itu merasa kagum memandang para pemuda tampan yang duduk bersila dalam deretan rapi dan sikap mereka yang sopan-sopan itu, sedangkan Puspasari menundukan kepala dengan wajah merah. Ia tidak kuasa menentang pandang mata sekian banyak pemuda yang kesemuanya ditujukan padanya dengan pandang mata kagum.
"Kanjeng bibi, harap maafkan kami kalau kami mengganggu kanjeng bibi. Sebetulnya kami merasa curiga sekali melihat keadaan para perampok yang mencegat perjalan bibi berdua sore tadi. Apakah kanjeng bibi tidak pernah melihat orang-orang itu atau tidak menyangka sesuatu mengapa bibi berdua diganggu?"
Sambil berkata demikian, Jaka Galing memandang tajam. Dewi Cahyaningsih adalah seorang puteri dari Majapahit yang bagaimanapun juga mempunyai keagungan dan perbawa besar. Melihat betapa anak muda itu mengajukan pertanyaan seakan-akan sedang memeriksanya, ia balas bertanya denga suara angkuh.
"Anak muda, sebelum aku menjawab pertanyaanmu, lebih dulu perkenalkan dirimu. Siapa kau ini, raden? Dan ada hubungan apa engkau dengan Adipati Gendrasakti, siapa pula sekian anak muda yang berkumpul di sini?"
Jaka Galing tercengang mendengar suara dan pertanyaan ini. Karena ini bukanlah suara seorang wanita tua dari dusun dan pertanyaan inipun membayangkan bahwa wanita di depannya tentu tahu banyak tentang diri Gendrasakti!
"Kanjeng bibi, kiranya kepadamu aku tidak perlu membohong atau menyimpan rahasia. Aku adalah Jaka Galing putera mendiang Panembahan Ciptaning yang dibunuh mati oleh Gendrasakti!"
"Biarpun Dewi Cahyaningsih telah menekan perasaan hatinya, namun wajahnya masih berpucat mendengar pengakuan ini. Untung baginya bahwa cahaya dian yang tidak begitu terang itu membuat perubahan wajahnya tidak tampak oleh yang lain. Sementara itu, diam-diam Puspasari menggerakkan sedikit mukanya dan ia mengerling ke arah Jaka Galing.
"Jadi... kau adalah putera Panembahan Ciptaning yang bernasib malang itu raden? Aduh, raden. Kasihan sekali ramamu!"
Dewi Cahyaningsih berkata perlahan.
"Dan kau kumpulkan kawan-kawanmu ini untuk membalas dendam? Hendak menggempur dan mengobrak-abrik Kadipaten Tandes?"
"Bukankah sudah selayaknya kalau aku membalaskan dendam rama Panembahan? Tidak pantaskah kalau ujung tombak yang mengantar nyawa rama Panembahan ini kugunakan untuk mengantar nyawa Gendrasakti menysulnya?"
Kemudian, Jaka Galing yang untuk sesaat dikuasai oleh nafsu amarah itu teringat kembali dan menyambung kata-katanya kepada Dewi Cahyaningsih dengan suara perlahan.
"Maaf, kanjeng bibi, tidak seharusnya didepan seorang tamu yang tiada sangkut pautnya sama sekali dengan urusan ini aku melampiaskan amarahku."
Ia lalu menyembunyikan tombak pusaka Kyai Santanu di belakang tubuhnya. Tapi Dewi Cahyaningsih telah mendengar itu semua, telah merasai ancaman yang tersembunyi dalam kata-kata Jaka Galing tadi. Betapapun juga, Adipati Gendrasakti adalah suaminya, suami yang pernah dicintainya, walaupun ia telah dikhianati dan hampir saja dibunuh! Sebagai seorang wanita bangsawan ia harus berani menghadapi kenyataan, berani menghadapi segala akibat dari kejahatan suaminya. Maka sambil menatap wajah anak muda yang tampan di depannya itu ia berkata, suaranya lantang.
"Baik sekali, anak muda! Kau sudah mengaku dan sudah mengutarakan semua isi hatimu. Kini, kau dengarlah baik-baik 12 orang perampok yang kau tewaskan iu, adalah pengawal-pengawal pilihan dari Gendrasakti! Mereka itu memang sengaja hendak membunuh aku dan anakku. Ketahuilah,aku adalah isteri Gendrasakti dan puspasari adalah anakku, anak Adipati Gendrasakti!"
"Ibu..."
Puspasari mencegah dan memandang wajah ibunya denga air mata berlinang. Mengapa ibunya seberani ini membuat pengakuan di depan musuh-musuh ayahnya? Untuk sesaat semua orang berdiam dengan mata terbelalak dan keadaan menjadi sunyi. Dan sesaat kemudian ramailah mereka itu berteriak-teriak dengan suara mengancam, bahkan Indra telah mencabut keris pusaka yang terselip di pinggangnya! Tapi Jaka Galing mengangkat kedua tangannya dan berkata perlahan.
"Diam semua! Kanjeng bibi, kau teruskan ceritamu! Mengapa kau hendak dibunuh oleh pengawal-pengawal suamimu sendiri?"
Sepasang mata Jaka Galing kini memancarkan cahaya, memandang ke wajah wanita itu seakan-akan hendak menembus dan membaca isi hatinya.
"Para pengawal itu memang sengaja disuruh untuk membinasakan kami berdua. Kami disuruh pergi ke Majapahit dan diantar oleh 12 orang pengawal. Tapi di tengah hutan, kami hendak dibunuh dan menurut mereka, memang mereka diperintah untuk membunuh kami."
Orang-orang yang tadinya memandang marah kepada Dewi Cahyaningsih kini menggeleng-geleng kepala dan merasa heran sekali. Juga Jaka Galing merasa tak mengerti.
"Tapi, mengapa suamimu hendak membunuhmu dan membunuh puterinya sendiri?"
Tanyannya.
Dewi Cahyaningsih menghela napas, sementara itu Puspasari terisak-isak.
"Ini semua gara-gara perempuan siluman itu. Gara-gara Sariti! Memang betul kata-kata Panembahan Ciptaning dulu bahwa dia adalah seorang perempuan siluman! Rupa-rupanya perempuan itu ingin berkuasa di Tandes, dan setelah berhasil mengusir semua selir, ia juga ingin sekali melenyapkan aku dan anakku yang dianggap penghalangnya."
"Alangkah kejamnya! Binatang berwajah manusia!"
Indra menggeram. Dewi Cahyaningsih menggeleng-gelengkan kepala dengan sedih.
"Ia tidak jahat, raden. Dulu ia adalah seorang senopati yang gagah perwira dan berhati mulia. Tapi... Setelah ia memboyong ledek dari Surabaya itu ke Kadipaten... ah, ia menjadi tersesat demikian jauh! Bahkan kematian Panembahan Ciptaning juga gara-gara Sariti! Aduh, suamiku, nasib apakah yang akan menimpamu kelak?"
Wanita tua itu tak dapat menahan kesedihan hatinya dan ia lalu menangis tersedu-sedu.
"Keparat betul!"
Jaka Galing berkata gemas.
"Sayang sekali aku biarkan lepas seorang dari mereka. Tentu ia pergi membuat laporan kepada Gendrasakti dan Adipati itu akan tahu bahwa isteri dan anaknya belum terbunuh."
Kini kebencian semua orang terhadap Dewi Cahyaningsih dan Puspasari lenyap, berganti dengan perasaan kasihan, karena bukankah kedua orang ibu dan anak itupun bernasib malang dan sengsara akibat kekejaman Adipati Gendrasakti? Sampai hampir menjelang fajar mereka bercakap-cakap dan mengingat bahwa Gendrasakti Tentu akan mengejar-ngejar isteri dan puterinya yang belum terbunuh, maka Jaka Galing berpikir lebih baik kedua orang itu untuk sementara tinggal bersama mereka di kampung itu untuk menyembunyikan diri.
Hal inipun akhirnya disetujui oleh Dewi Cahyaningsih. Tadinya puteri itu hendak pergi ke Majapahit dan mengadukan hal suaminya itu kepada Prabu Brawijaya, akan tetapi sebagai seorang puteri ia merasa malu kalau terdengar oleh orang lain bahwa dia sebagai isteri Adipati Gendrasakti mengadukan suaminya sendiri. Ia tentu akan dipandang hina dan karenanya ia pikir lebih baik untuk sementara waktu bersembunyi di antara orang-orang yang ramah-tamah dan sopan itu. Semenjak saat itu, Dewi Cahyaningsih dan puterinya tinggal di kampung Bekti, hidup di antara para petani kampung. Kedua puteri bangsawan itu melewatkan waktunya dengan memberi petunjuk-petunjuk dan pelajaran kerajinan tangan kepada para wanita kampung hingga sebentar saja mereka dikasihi oleh orang-orang kampung.
Dewi Cahyaningsih dikenal sebagai seorang wanita yang cerdas dan berpengetahuan luas dan orang-oarang datang minta nasihat dan petuah dari padanya, sedangkan Puspasari dikagumi karena kecantikannya dan kepandaiannya dalam pelajaran membatik dan kerajinan tangan lainnya. Ia segera terkenal menjadi kembangnya dusun Bekti dan dipuja serta dikagumi oleh semua pemuda! Bukan main terkejut dan herannya Adipati Gendrasakti ketika pagi hari itu melihat seorang pengawalnya datang kembali berlari-lari denga wajah pucat, pakaiannya robek-robek dan napas terengah-engah serta tubuhnya lemas dan lemah karena semalam-malaman pengawal itu berlari cepat. Ia menjatuhkan diri sambil menangis di depan kaki Adipati Gendrasakti dan bersembah.
"Aduh, gusti Adipati, celakalah hamba kali ini..."
"Dwipa, kenapa kau...? Dan di mana kawan-kawanmu?"
Ketika melihat bahwa semua orang yang telah menghadap di situ memandang heran, ia lalu membubarkan orang-orang itu hingga ia berada berdua saja dengan Dwipa yang berhasil menyelamatkan diri dan pulang. Pada saat itu Sariti muncul dari ruang dalam dan wanita cantik inipun menjadi pucat melihat keadaan Dwipa.
"Apa yang terjadi?"
Tanyanya dengan bibir gemetar. Dengan suara terputus-putus, akhirnya kuasa juga Dwipa menuturkan pengalamannya, betapa mereka dua belas orang yang bertemu dengan dua orang pemuda berkedok yang membinasakan sebelas orang di antara mereka,dan menolong Dewi Cahyaningsih dan Puspasari.
"Apa katamu?"
Gendrasakti marah sekali dan kakinya bergetar menendang hingga tubuh pengawal yang bernasib malang itu terpental jauh bergulingan di atas lantai.
"Ampun, gusti Adipati..."
Dwipa merintih-rintih.
"Bangsat, pengecut! Manusia-manusia tiada guna! Kalian dua belas orang yang mengaku diri gagah perkasa, kalah oleh dua orang anak muda saja! Alangkah hina dan memalukan!"
Adipati Gendrasakti lalu menjatuhkan diri di atas kursi dan wajahnya pucat sekali. Hal isteri dan puterinya tak sampai terbunuh, tidak membuat ia menyesal bahkan ia bersyukur karenanya. Akan tetapi ia teringat bahwa isteri dan anaknya itu tentu akan terus pergi ke Majapahit dan kalau pengkhianatannya itu dilaporkan kepada Sang Prabu Brawijaya, apa jadinya? Sariti menghampiri Gendrasakti dan memegang pundaknya denga jari-jari gemetar.
"Celaka, Kang Mas... tentu sang parbu akan mengirim barisan menggempur Kadipaten Tandes..."
Tiba-tiba Gendrasakti meloncat bangun dan membentak kepada Dwipa.
"Bangsat, bangunlah dan panggil Dimas Suranata ke sini! Ingat, kalau ada yang bertanya kau harus menceritakan bahwa rombonganmu dicegat dan dirampok oleh Jaka Galing anak Panembahan Ciptaning di dalam hutan dan bahwa gustimu Dewi Cahyaningsih dan puterinya telah mereka culik, mengerti?"
Dwipa berlutut menyembah lalu mengundurkan diri uantuk menyampaikan perintah memenggil Suranata. Tak lama kemudian Suranata datang menghadap. Ia adalah seorang perwira yang terkenal gagah dan menjadi tangan kanan Gendrasakti hingga mendapat julukan "Banteng Tandes".
"Dimas Suranata, apakah Dwipa telah menceritakan peristiwa yang dialami oleh isteri dan puteriku?"
Tanya Gendrasakti setelah mempersilahkan Suranata duduk.
"Sudah, Kang Mas Adipati, tapi belum jelas. Mohon keterangan lebi jauh,"
Jawab Suranata.
"Si keparat Jaka Galing, anak Panembahan Ciptaning dukun palsu itu, ternyata telah memberontak dan menjadi perampok. Dia dan kawan-kawannya telah menjegat mbakyumu Dewi Cahyaningsih dan anakku Puspasari di dalam hutan Kledung dan membunuh mati sebelas orang pengawal serta menculik mbakyumu dan keponakanmu. Sekarang jangan sampai terlambat, adimas, kau kerahkan barisan tamtama dan seranglah kawanan perampok di hutan Kledung itu. Bawalah Dwipa sebagai petunjuk jalan."
"Baiklah, Kang Mas Adipati. Jangan kau khawatir, kalau baru Jaka Galing dan beberapa orang kawannya saja bukan makanan keras bagiku. Mohon pangestumu saja!"
"Berangkatlah, adimas, dan doa restuku bersamamu!"
Pada saat Suranata menyiapkan barisan tentaranya, diam-diam Adipati Gendrasakti memberi pesan kepada Dwipa untuk membawa beberapa orang kawan ikut dalam barisan itu dan kelak setelah dapat mengobrak-abrik sarang Jaka Galing, hendaknya Dewi Cahyaningsih dan Puspasari dibunuh di dalam keributan pertempuran itu.
Biarpun Suranata telah menyatakan kesanggupannya dan telah berangkat membawa sepasukan prajurit seratus dua puluh orang banyaknya, namun Adipati Gendrasakti tetap merasa tidak enak hati, Ia merasa khawatir dan entah bagaimana, ada sesuatu yang tak sedap terasa dalam hatinya. Belum lama barisan Suranata berangkat, tiba-tiba terdengar gong berbunyi dan seorang penjaga memberi laporan sambil berlari-lari bahwa telah datang seorang utusan dari Sang Prabu Brawijaya dari Majapahit dan utusan itu bersama rombongannya telah memasuki pintu gapura. Kalau ada petir menyambarnya di saat itu, mungkin Gendrasakti tidak sanggup dan setakut saat ia mendengar laporan ini. Bergegas-gegaslah ia berdiri dari kursinya, bertukar pakaian lalu keluar untuk menyambut tamu agung itu.
Diam-diam ia memerintahkan pelayan kepercayaannya untuk memberitahu kepada pegawai-pegawai pribadinya untuk berjaga-jaga dan bilamana perlu, membelanya. Ia menyangka kedatangan ini tentu ada hubungannya dengan Dewi Cahyaningsih, sungguhpun menurut perhitungan agak tidak masuk akal bahwa sang prabu dapat mengetahui sedemikian cepat. Akan tetapi, ketika melihat bahwa rombongan yang datang hanya terdiri dari belasan orang pengiring yang mengawal dua orang laki-laki, hatinya menjadi tenang kembali. Ia merasa girang sekaali melihat bahwa dua orang utusan yang datang itu adalah seorang laki-laki tua yang dikenalnya, yakni penasihat Majapahit bernama Ki Ageng Bandar dan seorang pemuda tampan dan berpakaian indah sekali ialah seorang Pangeran, putera selir, dan bernama Pangeran Bagus Kuswara! Dengan senyum lebar, Adipati Gendrasakti menyambut para tamunya.
"Wahai, Paman Bandar, angin baik dari manakah yang meniup paman sampai ke pondokku yang buruk ini?"
Kemudian kepada Pangeran Bagus Kuswara, ia berkata.
"Dimas Pangeran, kau makin tampan dan gagah saja! Kalian baik-baik saja bukan?"
Mereka saling menyapa dan menyalam denag gembira dan Adipati Gendrasakti lalu menggiringkan para tamu agungnya ke ruang dalam. Para pelayan sibuk melayani mereka, mengeluarkan segala hidangan yang terbaik dengan sikap yang sangat hormat. Para pelayan wanita itu tak dapat mencegah mata mereka yang mengerling kearah Pangeran yang tampan itu dengan kagum sekali. Dan Pangeran ini, yang biasa hidup mewah dan memang terkenal sebagai seorang Pangeran muda yang mata keranjang, tiada hentinya melirik ke sana ke mari mencari "obat mata". Setelah menanyakan keselamatan masing-masing, Ki Ageng Bandar menuturkan maksud kedatanganya.
"Karena ananda Adipati telah berbualn-bulan tidak pernah datang menghadap ke Majapahit, maka saya diutus oleh sang prabu untuk menjenguk ke Kadipaten Tandes melihat keadaan. Gusti prabu merasa khawatir kalau-kalau di sini terjadi sesuatu yang tidak dikehendaki. Akan tetapi, syukurlah bahwa ternyata keadaan di sini tentram dan damai."
Ki Ageng Bandar lalu minum air teh wangi yang dihidangkan dengan nikmatnya.
"Dan aku hanya ikut saja, Kang Mas Adipati. Ingin melihat betapa cantiknya Kadipatenmu dan ingin sekali aku berjalan-jalan di tepi pantai laut!"
Kata Pangeran Bagus Kuswara, kemudian Pangeran ini teringat akan kakaknya dan bertanya.
"Dan di manakah kakang mbok Dewi Cahyaningsih, Kang Mas? Aku tidak melihat beliau keluar menemui kami."
Gendrasakti menghela napas dan tiba-tiba wajahnya berubah sedih, Setelah menghela napas berkali-kali, akhirnya berkata.
"Inilah yang mengganggu pikiranku dimas Pangeran. Memang dilihat dari luar seakan-akan di sini tidak terjadi sesuatu, akan tetapi sebenarnya telah terjadi peristiwa hebat yang menggoncangkan seluruh Kadipaten Tandes ini!"
Ki Ageng Bandar memandang kepada tuan rumah dengan heran.
"Ada peristiwa hebat apakah, ananda Adipati?"
"Kemarin aku telah mengutus isteriku yayi Dewi Cahyaningsih beserta anakku Puspasari untuk menghadap Rama Prabu di Majapahit dengan dikawal oleh dua belas orang pengawal pilihan. Akan tetapi..."kembali Adipati itu menghela napas dan tiba-tiba saja dari kedua matanya menitikkan dua butir air mata!
"Apa yang terjadi?"
Kedua orang tamu itu bertanya cemas.
"Mereka telah dicegat perampok yang dikepalai seorang perampok muda bernama Jaka Galing. Para pemikul tandu dan para pengawal dibunuh mati, hanya seorang saja yang dapat menyelamatkan diri, sedangkan..."
Pangeran Bagus Kuswara memegang lengan kakak iparnya.
"Apa yang terjadi dengan kakang mbok dan puterinya?"
"Kakakmu dan... Puspasari... telah... telah diculik oleh gerombolan Jaka Galing...!
"Ya Jagat Dewa Batara!"
Ki Ageng Bandar menyebut nama dewata.
"Babo, babo! Si keparat Jaka Galing itu harus dibinasakan!"
Pangeran Bagus Kuswara mencaci. Adipati Gendrasakti lalu menuturkan betapa ia telah mengutus Suranat membawa seratus dua puluh orang prajurit untuk membasmi kawanan perampok itu dan menolong isteri dan puterinya. Mereka lalu bercakap-cakap dan Adipati itu sedapat mungkin memperlihatkan wajah muram dan sedih. Akan tetapi, Pangeran muda yang sembrono itu dapat menghibur suasana dengan kata-katanya yang jenaka dan gembira. Bahkan ia berani bertanya.
"Kang Mas Adipati, aku mendengar berita angin bahwa kau telah memboyong kembang juita dari Surabaya, betulkah?"
Ki Ageng Bandar menggunakan matanya memberi isyarat untuk menegur Pangeran yang sembrono ini, akan tetapi Adipati Gendrasakti menjawab.
"Kau maksudkan Sariti? Memang benar adimas."
"Kang Mas, mengapa kau anggap kami sebagai orang-orang asing? Bukankah kita masih sanak dekat? Mengapa kau simpan selir-selirmu di dalam dan tidak disuruh menyambut kami?"
Pertanyaan ini memang kurang ajar sekali, akan tetapi karena Pangeran ini sudah biasa berlaku demikian, Adipati Gendrasakti hanya tersenyum dan menjawab,
"Dimas Pangeran, aku hanyalah seorang Adipati kecil, tidak seperti engkau. Mana aku berani memelihara banyak selir? Selirku hanyalah Sariti seorang!"
"Bagus, bagus! Memang kau seorang laki-laki setia. Tapi, Kang Mas, apa salahnya kalau kakang mbok Sariti keluar menjumpai kami? Karena ia adalah selirmu, maka ia termasuk keluargaku juga."
Adipati Gendrasakti memang sengaja memesan supaya selirnya itu jangan keluar menemui tamu agung karena tadinya ia menyangka bahwa kedatangan mereka bertalian dengan urusan Dewi Cahyaningsih. Akan tetapi setelah ternyata bahwa kedatangan mereka itu bukan untuk urusan itu, ia lalu menyuruh seorang pelayan untuk memberitahu kepada Sariti dan meminta supaya selirnya itu keluar menyambut tamu agung.
Ketika Sariti keluar dari ruang belakang. Pangeran Bagus Kuswara memandang sambil menahan napas. Ia terpesona oleh kecantikan wanita yang sedang melenggang halus menghampiri mereka itu dan ia merasa seakan-akan sedang berhadapan dengan seorang bidadari yang baru turun dari khayangan! Demikian cantik jelitanya wajah Sariti, demikian menggairahkan potongan tubuhnya, terutama mata dan bibirnya! Sungguh, dalam pandangan mata Bagus Kuswara, belum pernah ia melihat wanita secantik dan sejelita Sariti! Bahkan Ki Ageng Bandar yang sudah tuapun untuk sesaat tercengang dan kagum melihat si jelita itu, tapi ia dapat menekan perasaannya dan batuk-batuk memberi tanda kepada Pangeran yang bengong memandang wanita itu. Pangeran Bagus Kuwara sadar dari mimpinya, lalu ia menyapa dengan hormatnya.
"Kakang mbok Sariti, sungguh aku merasa bahagia sekali dapat berkenalan dengan engkau. Kang Mas Adipati memang seorang laki-laki yang paling berbahagia di muka bumi ini!"
Biarpun kata-kata ini sedikitpun tidak menyatakan pujian secara langsung, namun terdengar sedap dan merdu sekali di telinga Sariti. Wanita cantik itu mengerling sedikit dan cepat menundukan muka dengan lagak yang sangat sopan. Sebagai seorang dari keturunan biasa, ia menyembah kepada Pangeran Bagus Kuswara dan kepada Ki Ageng Bandar, lalu menghaturkan selamat datang kepada mereka. Suaranya yang merdu, bening, dan empuk, itu mengelus-elus dada Bagus Kuswara dan membelai-belai jantungnya, membuatnya setengah sadar! Setelah dengan hormat menuang air teh ke dalam cangkir kedua tamu agung itu, Sariti lalu memohon diri dan mundur sambil menundukan mukanya yang cantik dengan sikap hormat sopan sekali. Setelah selir itu pergi, Ki Ageng Bandar menghela napas dan berkata.
"Ananda Adipati, sungguh kau pandai sekali memilih selir. Orang cantik dan tahu sopan santun seperti selirmu itu memang sukar dicari."
Tentu saja Adipati Gendrasakti merasa bangga dan senang sekali mendengar pujian ini, akan tetapi ia hanya menjawab dengan sederhana.
"Ah, ia seorang bodoh dan datang dari dusun. Mana ada harga untuk dipuji-puji?"
"Kanda Adipati jangan berkata demikian. Sungguh mati, terus terang kuakui bahwa selama hidup belum pernah aku melihat seorang selir demikian... baik dan sopan. Kau sungguh-sungguh bahagia, kanda Adipati. Akan tetapi, pernah aku mendengar berita bahwa kakang mbok Sariti pandai sekali akan seni suara dan seni tari. Ah, kalau saja beliau sudi mempertunjukan untuk menambah meriahnya pertemuan kita ini agaknya takkan sia-sialah kedatanganku di Tandes! Karena terdorong oleh rasa bangga akan selirnya yang terkasih, pada saat itu Gendrasakti lupa bahwa keadaan dirinya sedang diliputi kekhawatiran, hingga terlanjur berkata tanpa di sadarinya,
"Tentu saja ia suka sekali. Biarlah malam nanti kita bersama melihat ia menari dan bertembang."
Hanya Ki Ageng Bandar seorang yang merasa akan janggalnya pembicaraan kedua orang itu, akan tetapi ia tidak berani mencampuri. Suka atau duka perasaan Adipati Gendrasakti, bukanlah urusannya dan bukan termasuk tugasnya. Biarpun akhirnya Adipati Gendrasakti insyaf bahwa bersenang-senang dalam waktu itu kurang tepat, akan tetapi janjinya kepada Pangeran Bagus Kuswara tak dapat dibatalkan dan pula kehadiran dua orang tamu agung itu dapat dijadikan alasan untuk berbuat itu.
Demikianlah, pada malam hari itu, pada saat banyak penduduk Tandes yang mendengar akan malapetaka yang menimpa diri Dewi Cahyaningsih dan Puspasari merasa khawatir sekali hingga banyak orang-orang perempuan berprihatin dan malam itu sengaja tidak tidur untuk berdoa bagi keselamatan kedua puteri itu, Adipati Gendrasakti menyuruh para yogo untuk menabuh gamelan! Dalam kesempatan yang hanya dihadiri oleh Adipati Gendrasakti dan kedua tamu agungnya ini, Sariti memperlihatkan kepandaiannya. Ia mengenakan pakaian serimpi yang terindah. Kutang hitam yang di hias renda emas itu menyentak dada, pundak dan lengannya yang telanjang tampak putih bersih dan halus bagaikan sutera. Rambutnya yang panjang dan hitam berombak di lepas terurai ke belakang punggung dan diatas kepala dihias kembang-kembang mawar dan rangkaian melati menambah kecantikannya.
Sabuk warna merah muda terhias emas permata mengikat kainnya yang diwiru indah di bagian depan dan diatur sedemikian rupa hingga ujung kain yang memanjang di belakang itu tersingkap sedikit di di bagian depan hingga betis kakinya yang menguning dan memadi bunting mengintai keluar pada tiap kali ia melangkahkan kakinya! Kalau Sariti dalam pakaian nyonya rumah yang sopan telah dapat menggiurkan hati Pangeran Bagus Kuswara, maka Sariti dalam pakaian srimpi ini membuat pemuda itu betul-betul tenggelam dalam gelombang birahi yang membuatnya bagikan gila! Apalagi setelah kedua lengan yang putih kuning dan telanjang itu bergerak-gerak perlahan dan lemah gemulai menurutkan suara gamelan, dengan pangkal lengan terbuka perlahan,
Siku melenggak-lenggok dan pergelangan tangan berputar-putar melebihi lemasnya kepala seekor ular, jari-jari tangan yang manis meruncing itu berjentik-jentik dan bergerak-gerak seakan-akan sepuluh ekor burung yang hidup, kaki yang maju mundur perlahan-lahan dengan gaya lemah-lembut dan sopan dengan lenggang yang tidak kasar tapi cukup membayangkan potongan tubuh yang tiada cacatnya, ditambah lagi dengan kepalanya yang manis itu bergerak-gerak di atas leher yang panjang dan indah bentuknya, berjoget leher sedemikian kenesnya hingga mendatangkan air liur di dalam mulut Pangeran Bagus Kuswara yang melihat dengan mata terbelalak! Setelah Sariti membuka mulut bertembang, maka gelora dahsyat di dalam dada Pangeran Bagus Kuswara mencapai puncaknya dan ia mengambil keputusan nekat dan berjanji dalam hati.
"Aku harus mendapatkan perempuan ini! Biar apapun yang akan terjadi, perempuan ini harus menjadi punyaku!"
Sariti bukanlah seorang wanita yang tidak berperasaan atau berhati batu.
Hatinya cukup panas dan darahnya cukup menggelora ketika ia dapat menangkap sinar mata Pangeran Bagus Kuswara yang tampan dan muda itu. Suaminya adalah seorang tua yang telah tua, berusia lima puluh tahun lebih sedangkan ia berusia paling banyak dua puluh tahun! Kini melihat seorang Pangeran yang muda dan tampan serta berpakaian indah, dan yang terang-terangan memperhatikan hasrat dan suara hatinya kepadanya, maka tak heran bila dadanya berdebar-debar pula. Ia menggunakan kerling matanya memandang Pangeran yang duduk di dekat suaminya dan alangkah jauh perbedaan mereka. Yang seorang bertubuh tinggi besar dan kasar gerak-geraknya, sudah beruban dan bercambang bauk menjemukan, sedangkan yang lain bertubuh sedang dan tegap, tubuh seorang bambang, halus gerak-geriknya, berkulit putih kekuning-kuningan,
Rambut keriting dan hitam, wajah tampan dengan kumis kecil menghias bawah hidung yang mancung, sepasang mata jenaka dan liar membayangkan gairah, ahh... hati siapa takkan tergoda? Pangeran Bagus Kuswara adalah seorang yang sudah berpengalaman, dan melihat gerak-gerik Sariti, ia maklum bahwa anak panah yang dilepaskannya dari kedua matanya telah mengenai sasaran yang tepat. Karena ia maklum bahwa si jelita itu tentu tidak berani berlaku sembrono di depan Adipati Gendrosaki, karena ia duduk di dekat adaipati itu, maka ia lalu menyatakan bahwa ia ingin sekali mempelajari seni gamelan yang ditabuh oleh para yogo yang mahir dan sangat dipujinya itu. Tentu saja Adipati Gendrasakti hanya tertawa melihat kebodohan Pangeran yang lebih menikmati gamelan daripada nyanyi dan tari selirnya yang indah.
Pangeran itu lalu berdiri dan lalu duduk di tempat para penabuh gamelan. Sariti dengan sudut matanya dapat melihat perpndahan tempat duduk ini dan diam-diam ia merasa geli serta memuji kecerdikan Pangeran itu. Dengan duduk di tempat gamelan, maka ia dapat memandang kepada Pangeran itu dengan leluasa sekali, karena tempat itu berada di seberang tempat duduk suaminya, hingga pada saat ia memutar tubuh dan menghadap Pangeran, ia berdiri membelakangi suaminya. Maka terjadilah main mata yang leluasa. Tiap Sariti memutar tubuh membelakangi suaminya dan menghadapi Pangeran itu, Pangeran Bagus Kuswara pura-pura memperhatikan gamelan gambang yang dipukul oleh penabuhnya, tapi diam-diam ia mengirim lirikan-lirikan tajam dan matanya di pejam-pejamkan sambil bibirnya tersenyum penuh arti.
Saritipun menggunakan kesempatan itu untuk mengirim lirikan-lirikan mata yang kenes dan menarik dan memperhatikan senyum semanis-manisnya dengan bibirnya yang kemerah-merahan. Melihat reaksi jelita itu, bukan main senangnya hati Pangeran Bagus Kuswara. Ia lalu memutar-mutar otak mencari akal. Para penabuh gamelan yang merasa mendapat kehormatan besar sekali karena dikagumi oleh seorang Pangeran dari Majapahit, tidak tahu akan rahasia ini karena mereka megerahkan seluruh perhatian dan keahlian mereka untuk memukul gamelan sebaik-baiknya. Dengan bisikan-bisikan, Pangeran Bagus Kuswara mendapat keterangan bahwa pemain gamelan yang sudah berusia tua dan Pak Lenjer. Maka ia lalu menyatakan kagumnya dengan pujian-pujian muluk hingga wajah orang tua itu berseri-seri.
"Yogo sepandai engkau ini sepantasnya menjadi pemain di Keraton Rama Prabu."
Katanya hingga Pak Lenjer mersa gembira sekali sampai wajahnya berubah kemerah-merahan dan kedua tangannya menggigil.
Setelah pertunjukan selesai dan Sariti mengundurkan diri kekamarnya, Pangeran Bagus Kuswara menyatakan maksudnya hendak belajar menabuh gambang dari Pak Lenjer pemimpin rombongan penabuh itu. Tentu saja Adipati Gendrasakti merasa senang dan memberi perintah kepada Pak Lenjer untuk melayani gusti Pangeran, sedangkan penabuh lainnya lalu mengundurkan diri. Demikianlah, karena hari telah jauh malam, Adipati Gendrasakti mengundurkan diri setelah mengantar Ki Ageng Bandar ke kamar tamu. Sedangkan Pangeran Bagus Kuswara tinggal di ruang tengah itu bersama Pak Lenjer dan terdengarlah suara gambang dipukul perlahan ketika orang tua itu memberi petunjuk-petunjuk kepada Pangeran Bagus Kuswara. Setelah keadaan menjadi sunyi, Pangeran Bagus Kuswara berkata.
"Pak Lenjer, sudah lamakah kau menjadi penabuh gambang mengiringi permainan kakang mbok Sariti?"
"Sudah, gusti Pangeran, sudah lama sekali. Semenjak Jeng Roro Sariti masih belajar menari, sudah menjadi pemukul gambang, bahkan ikut melatih beliau."
Pangeran Bagus Kuswara mengangguk-anguk dengan hati senang. Tiba-tiba ia bertanya.
"Sebetulnya, kau pantas sekali menjadi pemimpin para yogo di Keraton Majapahit! Bagaimana pendapatmu, Pak lenjer?"
Orang tua itu memandang penanyanya dengan mata terbelalak, lalu menyembah,
"Ah, gusti. Hamba adalah seorang bodoh dan hanya pandai memainkan beberapa lagu. Mana pantas hamba menjadi pemimpin para yogo yang pandai di Majapahit? Untuk menjadi pemukul gamelan biasa saja hamba sudah kurangt patut!"
"Jangan merendah, Pak Lenjer. Aku bisa menolong engkau menjadi pemimpin penabuh gamelan di Keraton, atau setidaknya menjadi penabuh gambang di sana! Bukan main girang hati orang tua itu, karena yogo manakah yang tidak merindukan kedudukan yang mulia itu?
Untuk memperlihatkan di hadapan Sang Prabu Brawijaya sendiri! Untuk memainkan gamelan-gamelan pusaka yang sudah terkenal mempunyai suara yang luar biasa bagaikan gamelan dari surga! Demikianlah, dengan licin sekali Pangeran Bagus Kuswara akhirnya dapat juga membujuk orang tua itu untuk menjdi jembatan dan penolong dia bertemu dengan Sariti! Di tengah hutan kledung yang liar, agak sebelah barat dusun Bekti, Jaka Galing dan Indra sedang melatih kawan-kawan mereka bermain pedang.Kedua teruna itu sambil duduk di bawah sebatang pohon beringin yang besar, melepaskan lelah dan memandang ke arah kawan-kawan mereka yang bermain pedang mencontoh mereka tadi. Mereka merasa puas karena kawan-kawan mereka memperoleh kemejuan pesat dan mereka tampak tangkas gesit.
"Galing. kata Indra memcah kesunyian, Bagaimana pendapatmu tentang tamu kita?"
Jaka Galing memandang dengan mulut tersenyum. Ia tidak heran mendengar pertanyaan ini, karena memang Indra berwatak gembira dan segala macam hal mungkin ditanyakan pemuda nakal ini.
"Isteri Gendrasakti itu memang harus dikasihani, jawabnya.
"Eh, eh, siapa yang menanyakan tentang dia? Yang kumaksud anaknya, Puspasari itu. Bagaimana pendapatmu tentang gadis itu?"
Tanya Indra pula.
"Dia...? Ah, mengapa? Dia juga harus dihasihani. Sungguh malang nasibnya."
"Aah, kawan, jangan berpura-pura lagi. Maksudku tentang kecantikannya."
"Memang dia cantik dan menarik,"
Kata Jaka Galing sejujurnya.
"Nah, begitulah namanya orang jujur! Dengar, Galing, entah mengapa, tapi hatiku tertarik sekali padanya Entah apanya yang menarik hatiku, agaknya... sepasang matanya yang bening dan indah, dihias bulu matanya yang lentik dan alis matanya yang tajam dan panjang itulah agaknya. Sungguh mati, belum pernah aku melihat mata sehebat itu! Jaka Galing tersenyum. Memang sejak kecil antara dia dan Indra tak pernah ada rahasia dan mereka selalu bercakap-cakap denag sejujurnya. Hanya satu saja rahasianya yang disimpan, ialah bahwa dia adalah keturunan Prabu Brawijaya!
"Menurut pendapatku, agaknya... mulutnyalah yang menarik hati sekali,"
Katanya setelah berpikir dan membayangkan gadis malang itu.
"Mulutnya? Indra memandang heran."
"Ya, mulutnya. Bibirnya manis benar, coba kau perhatikan. Seperti potongan gendawa Sang Arjuna, lengkung lekuknya demikian sepurna, tipis-tipis penuh dan halus kemerah-merahan, dan giginya bagaikan mutiara berderet. Dan... kau pernah melihat lesung pipitnya di sebelah kiri mulutnya? Aduh, memang manis benar mulut itu!"
Indra memandang kawannya yang berbicara sambil menggigit bibir dan memandang ke langit itu, dan matanya terbelalak. Tiba-tiba ia menepuk pundak Galing hingga pemuda itu terkejut.
"Ha, kalau begitu, kaupun terkena!"
Kata Indra sambil tertawa pahit.
"Ha, terkena? Apa maksudmu?"
"Kaupun terkena panah asmara, kau jatuh cinta padanya, kawan, seperti... seperti halku pula...!"
"Indra, kau gila!"
"Memang, memang aku gila, gila kepada Puspasari, seperti kau pula. Ha, ha,"
Dan Indra menepuk-nepuk bahu Galing yang bidang.
"Indra, jangan kau bicara sembarangan!"
"Aku tidak berolok-olok, kawan. ketahuilah, kalau seorang pemuda mulai membayangkan bagian tertentu dari tubuh seorang dara, itu tandanya ia telah tergila-gila dan jatuh cinta! Yang terbayang dimuka mataku hanya sepasang mata dara itu dan kau selalu membayangkan mulutnya, nah, itu berarti kau dan aku sama-sama mencintai Puspasari!"
"Indra, jangan berolok-olok. Dia adalah puteri Adipati dan ayahnya adalah musuh besarku!"
"Apa salahnya? Ayahnya bukan anaknya dan anaknya berbeda daripada ayahnya. Hal itu tak menjadi soal, Galing. Soalnya ialah, siapa diantara kita yang akan dipilih olehnya. Nah inilah yang penting!"
"Sudahlah, jangan kau berkelakar soal itu, Indra."
"Biarpun kelakar, tapi tepat mengenai hatimu, bukan?"
"Pada saat itu, seorang pemuda datang berlari-lari dengan napas terengah-ngeah ia menuturkan bahwa sepasuakan besar dari Kadipaten Tandes sedang mendatangi ke arah hutan Kledung. Jaka Galing dan Indra meloncat dengan sigap dan mereka memberi aba-aba hingga semua kawan yang sedang berlatih pedang itu berlari menghampiri dan segera kembali ke dalam dusun Bekti. Persidangan kilat dibuka dan mereka mengatur siasat untuk menghadapi musuh.
"Menurut laporan para penyidik, jumlah barisan musuh berjumlah seratus orang lebih. Kita hanya berjumlah tiga puluh orang. Senja nanti baru mereka akan tiba di hutan dan tentu mereka takkan menyerang malam-malam, kita harus memperhatikan dengan diam-diam dan menanti sampai mereka membuat kemah untuk bermalam. Kemudian kita harus mengurung mereka dan menyalakan api di sekeliling mereka sambil melepas anak panah."
"Sekarang marilah semua mengumpulkan kayu dan daun kering untuk bahan bakar."
Semua orang lalu berpencar dan mengumpulkan ranting-ranting dan daun kering.
Laki perempuan, tua muda bekerja dengan sibuk dan bersatu hati, karena mereka tahu bahwa pekerjaan ini untuk kepentingan mereka semua. Bahkan Puspasari yang tahu akan maksud mengumpulkan bahan bakar itu tidak mau ketinggalan, dia ikut pula mengumpulkan daun kering bersam-sama gadis-gadis lain! Pada saat puspasari dan dua orang gadis lain mengumpulkan daun kering tiba-tiba ia melihat Indra berjalan menghampiri dengan senyumnya yang menawan hati! Dengan pejaman mata kanan, pemuda itu mengusir pergi dua gadis yang lain hingga ia berdiri berhadapan dengan Puspasari yang masih memondong daun-daun kering yang dibungkus dengan ujung bajunya hingga kembennya yang berwarna hijau muda itu tampak. Karena melihat yang datang adalah Indra, seorang daripada dua orang pahlawan penolongnya, ia lalu tersenyum sambil menundukkan mukanya.
"Nona, mengapa kau bersusah payah membantu kami mencari daun kering? Tidak tahukah kau bahwa bahan bakar ini digunakan untuk menjebak dan melawan pasukan-pasukan ayahmu?"
Indra memang biasa berkata secara langsung dan berterus terang. Puspasari memandang dengan dua mata bintangnya yang menimbulkan kagum bagi Indra, lalu berkata dengan suara tetap,
"Aku telah berada disini dan menjadi orang sini. Aku tidak tahu pasukan siapa yang hendak kita musuhi, pokoknya aku tahu pasti bahwa pasukan yang datang itu adalah musuh kita dan kedatangan mereka tidak bermaksud baik. Mengapa aku harus tidak membantu?"
Indra terbelalak memandang dan kekagumannya meningkat.
"Adinda yang manis, kau sungguh hebat, makin percayalah aku kepada suara hatiku yang setiap saat berbisik-bisik padaku!"
Puspasari memandang heran. Kata-kata pemuda ini merupakan teka-teki baginya.
"Apa maksudmu, raden?"
"Maksudku, pertama-tama jangan kau sebut aku raden, karena aku hanyalah seorang putera lurah biasa saja dan sebutan Kang Mas cukup baik bagiku. Kedua,yang kumaksudkan suara hatiku itu ialah bisikan-bisikan yang terdengar dari sebelah dalam dadaku dan berkata bahwa aku...mencintaimu!"
Puspasari memandang dengan mulut ternganga. Belum pernah selama hidupnya ia berhadapan dengan seorang pemuda yang begitu sopan-santun sikapnya, tapi yang bicaranya begitu terung terang tanpa tendeng aling-aling hingga kalau tidak melihat pandang mata dan gerak gayanya yang penuh kesopanan, tentu akan menimbulkan dugaan bahwa ia adalah seorang pemuda yang tidak tahu adat dan kurang ajar!
"Nah, kau sudah tahu sekarang apa yang terkandung dalam hatiku, maka jangan kau menjadi heran kalau melihat cahaya mesra keluar dari mataku pada saat memandangmu."
Puspasari menjadi gagu dan tak dapat mengucapkan sepatah-katapun, hanya beberapa kali menelan ludah dengan wajah kemerah-merahan dan mata lebar terbelalak. Kemudian gadis ini tertawa kecil dan membalikkan tubuh dan lari. Tapi Indra masih mendengar gadis itu berkata perlahan.
"Hi, hi, kau... lucu... Kang Mas Indra!"
Sepeninggal puspasari, Indra menepuk-nepuk kepalanya yang berambut keriting itu sambil berkata perlahan,
"Celaka dua belas! Aku menyatakan cintaku dan dia"
Hanya menganggap aku lucu! Ah, betapapun juga, aku lebih cepat daripada Jaka Galing!"
Sambil tersenyum-senyum Indra lalu menghampiri kawan-kawannya dan memberi petunjuk untuk mengikat ranting-ranting dan daun-daun itu menjadi satu hingga lebih mudah dibawa. Sementara itu, puspasari termenung memikirkan kata-kata Indra tadi. Ia menganggap Indra seorang pemuda yang sangat jujur dan menarik, akan tetapi... hati gadis itu diam-lebih condong kepada Jaka Galingt yang berwatak pendiam dan sungguh-sungguh. Ia telah jatuh hati kepada Jaka Galing pada saat mereka bertemu untuk pertama kali di dalam hutan beberapa hari yang lalu.
Setelah hari menjadi senja, para penyelidik memberi laporan bahwa pasukan dari Tandes telah tiba di luar hutan, dan bahwa pasukan itu terdiri dari 120 prajurit pilihan dan dipimpin sendiri oleh Senopati Suranata yang terkenal gagah perkasa. Dan malang bagi mereka, karena senopati yang telah berpengalaman dan berlaku hati-hati itu tidak membawa tentaranya memasuki hutan, akan tetapi membuat perkemahan di pinggir hutan! Jaka Galing dan Indra mengatur siasat baru. Setelah hari menjadi gelap benar barulah kedua pemuda itu membawa ke 28 kawannya menuju ke tempat di mana pasukan Suranata berkumpul. Pada saat itu Suranata sedang mengadakan perundingan dengan para pembantunya, mengatur siasat yang akan dilakukan besok pagi-pagi untuk menyergap dan menolong Dewi Cahyaningsih dan puterinya. Tiba-tiba terdengar suara ketawa dari dalam hutan, diikuti suara Jaka Galing yang keras.
"Suranata! Kau hendak menangkap aku? Ha, ha! Kau dan anak buahmua yang sepengecut ini, hendak menangkap aku? Lucu benar!"
Suranata dan kawan-kawan cepat memandang dan mereka melihat Jaka Galing dengan obor di tangan sedang berdiri di bawah sebatang pohon johar.
"Itu dia Jaka Galing!"
Berkata Dwipa dan di dalam hatinya ia merasa heran sekali karena sebenarnya ia tidak menduga akan bertemu dengan Jaka Galing di situ. Ia tidak kenal dengan dua orang pemuda bertopeng yang menyergapnya dan membunuh kawan-kawannya, dan hanyalah siasat Adipati Gendrasakti belaka yang mengharuskan ia bercerita di luar bahwa perampok itu adalah Jaka Galing. Sementara itu, Suranata yang merasa marah karena ejekan Jaka Galing, diam-diam memberi tanda dan seorang ahli panah yang ulung meluncurkan beberapa batang anak panah ke arah tubuh Jaka Galing. Tapi tiba-tiba obor di tangan Jaka Galing dipadamkan dan keadaan di bawah pohon johar menjadi gelap. Surata dan anak buahnya tidak tahu apakah anak panah itu berhasil mengenai sasarannya atau tidak. Akan tetapi, sekali lagi terdengar suara ketawa Jaka Galing yang berkata.
"Suranata, kalau kau memang benar laki-laki perwira, majulah ke sini! Atau kau takut kepadaku?"
Suranata adalah seorang yang telah kenyang mengalami pertempuran, maka hatinya sedikitpun tidak merasa gentar menghadapi Jaka Galing.
"Maju! Serbu dan tangkap dia hidup-hidup!"
Ia memberi perintah dan beberapa orang perjurit yang bertugas sebagai pelapor dan petunjuk jalan segera memasang obor yang telah disediakan.
Dan majulah mereka memasuki hutan lebat itu, didahului oleh regu obor. Hutan yang tadinya gelap dan penuh pohon-pohon raksasa itu kini menjadi terang dan di mana-mana terdapat bayang-bayang pohon yang menyeramkan. Setelah maju dan mencari-cari sampai beberapa lama tapi tak menemukan Jaka Galing atau kawan-kawannya, Suranata menjadi curiga, maka ia lalu memerintahkan kepada tentaranya untuk mundur dan keluar lagi dari hutan gelap itu. Tapi terlambat! Di sekeliling mereka, terdengar sorak-sorai yang riuh dan tiba-tiba tampak api bernyala-nyala di sekeliling tempat itu. Tidak ada jalan keluar. Dan pada saat semua prajurit merasa bingung dan panik, tiba-tiba datang anak panah bagai hujan menyerang mereka dari segala penjuru. Beberapa orang prajurit memekik ngeri dan roboh terkena anak panah.
"Berlindung di belakang pohon!"
Suranata memberi perintah, karena serangan anak panah itu datang dari segala jurusan hingga tak mungkin menggunakan tameng untuk melindungi diri.
Suranata sendiri yang berkepandaian tinggi, dapat mendengar suara anak panah yang mengarah kepadanya hingga dapat menangkis dengan tepat. Mendengar aba-aba ini, para prajurit lari tunggang langgang di sekitar tempat ini untuk berlindung di balik pohon, tapi karena jumlah mereka banyak dan keadaan gelap setelah banyak pemegang obor menjadi korban anak panah musuh, maka mereka saling tabrak dan berdesak-desakan. Serangan anak panah dari pihak Jaka Galing dan kawan-kawannya makin menghebat, bahkan kini di ujung anak panah dipasang api. Sungguh kasihan prajurit Suranata yang diserang habis-habisan tanpa dapat membalas sama sekali itu. Suranata menyesal sekali mengapa ia tadi menuruti nafsu amarahnya dan mengejar ke dalam hutan. Kalau ia berada di luar hutan, tak mungkin mereka menjebak seperti ini.
"Mundur!!"
Teriaknya. Tapi para anak buahnya bingung, harus mundur ke mana? Di belakang mereka api juga telah berkobar!
"Hayo mundur, serbu bagian belakang. Cari jalan keluar!"
Kembali Suranata memberi komando dan sisa-sisa perejurit-prajuritnya lalu berlaku nekat dan lari menyerbu ke arah dari mana mereka tadi datang. Ketika mereka telah tiba di dekat api yang berkobar, ternyata api yang menyala itu hanyalah daun-daun kering yang diikat menjadi satu, bukan pohon-pohon hutan terbakar seperti yang mereka duga semula. Dengan menggunakan tombak, mereka berhasil mengobrak-abrik api dan memadamkannya, lalu menerobos ke luar di antara hujan anak panah yang kini ditujukan ke arah jalan ke luar itu.
Kembali banyak korban jatuh, tapi sisa tentara Suranata berhasi ke luar dari kepungan dan kembali keluar dari hutan. Ketika Suranat memeriksa keadaan barisannya, ternyata tinggal 57 orang lagi! Ternyata bahwa selain terbinasa di dalam hutan, banyak pula yang melarikan diri dan tidak kembali lagi! Suranata marah sekali. Ia lau memerintahkan beberapa orang anak buahnya untuk pergi ke Tandes dan minta bantuan 100 orang prajurit lagi! Malam hari itu juga, tiga orang pesuruh itu naik kuda menuju ke Kadipaten untuk menyampaikan permintaan bantuan dari Suranata. Akan tetapi, di tengah jalan ketiga orang pesuruh ini tiba-tiba diterkam oleh Jaka Galing dan kawan-kawannya dan sebentar kemudian Indra sendiri dan 2 orang kawannya menggantikan 3 orang pesuruh itu menuju ke Tandes!
Jaka Galing yang sudah menyelidiki keadaan dan kekuatan barisan Tandes, tahu bahwa para perejurit yang berkumpul di Kadipaten dan menjadi orang-orang kepercayaan Gendrasakti berjumlah 300 orang, maka ia mengatur siasat untuk memancing semua prajurit pengawal itu ke dalam hutan! Pada keesokan harinya, barulah Indra dan 2 orang kawannya tiba di Tandes, dan sedikitpun tak mengira bahwa di Kadipaten sendiri telah terjadi peristiwa hebat pada malam tadi! Pangeran Bagus Kuswara dengan mendapat bantuan Ki Lenjer tukang gambang, pada malam hari menjelang fajar setelah Gendrasakti tidur pulas, berhasil mengadakan pertemuan dengan Sariti. Kedua orang muda yang hanya indah rupa dan kulit tapi sebenarnya kotor dan buruk isi ini, semenjak bertemu pada pertama kali ia telah jatuh hati dan atas petunjuk Ki Lenjer, mereka mengadakan pertemuan yang mesra di dalam taman Kadipaten.
Memang benar sebagaimana dikatakan orang bahwa perbuatan sesat adalah awal segala malapetaka. Pertemuan ini dapat terlihat oleh seorang juru taman yang menaruh dendam kepada Sariti karena orang tua ini pernah mendapat marah dari si jelita ini. Kini melihat betapa Sariti mengadakan pertemuan rahasia dengan Pangeran Bagus Kuswara yang menjadi tamu agung, juru taman ini cepat menyelinap di antara tetumbuhan bunga di taman dan langsung menuju ke dalam gedung. Ia tahu benar di mana letak kamar Adipati Gendrasakti dan benar saja, pintu kamar Adipati itu tidak terkunci karena ketika Sariti meninggalkan kamar itu untuk pergi ke taman, ia hanya merapatkan saja daun pintunya. Adipati Gendrasakti terkejut sekali ketika membuka mata dan melihat juru taman menggoyang-goyang ibu jari kakinya dan memanggil-manggil namanya.
"Eh, mengapa kau berani mengganggu aku, juru taman?"
Bentaknya marah.
"Ampun, gusti Adipati. Hamba melihat hal yang ganjil dan luar biasa sekali dilakukan oleh gusti ayu!"
Adipati Gendrasakti cepat memandang ke arah sisi kirinya dan melihat tempat itu kosong.
"Gustimu Sariti berada di mana? Tanyanya cepat.
"Gusti Adipati, marilah ikut hamba dan menyaksikan sendiri!"
Juru taman menjawab perlahan.
Pucatlah muka Gendrasakti. Ia menyambar sebilah keris yang tergantung di dinding, lalu mengikuti juru taman itu. Dan setelah tiba ditempat itu, ia melihat pemandangan yang membuat giginya berbunyi berkeretak-keretak dan kedua matanya berputar-putar karena marahnya. Cambang bauknya seakan-akan berdiri. Dengan sekali lompat ia telah berada di depan sepasang merpati yang sedang berkasih-kasihan itu. Pangeran Bagus Kuswara terkejut sekali dan memandang ketakutan, tapi ia tidak banyak diberi kesempatan. Tangan Gendrasakti yang besar dan kuat itu diayun dan keris itu beberapa kali masuk dan keluar dari dada Pangeran Bagus Kuswara hingga darah merah menyembur keluar dari dadanya dan tubuhnya lemas lalu roboh tanpa dapat bersuara lagi. Sariti menjatuhkan diri berlutut di depan Gendrasakti sambil menangis memohon ampun.
"Perempuan rendah! Kaupun harus dibunuh!"
Gendrasakti menendang tubuh Sariti hingga bergulingan, lalu ia mengangkat kerisnya untuk ditusukkan. Tapi melihat wajah kekasihnya itu memandangnya dengan penuh kesedian dan ketakutan, tiba-tiba tangannya menjadi lemas dan amarahnya lenyap seketika.
"Ampun, kanda Adipati... hamba... hamba tidak berdaya... Pangeran telah memaksa hamba dan... hamba takut untuk menolaknya. Hamba sedang berada di taman ini dan... dan gusti Pangeran datang. Apakah daya hamba? Apakah hamba dapat mengusirnya...? Ampun, Kang Mas..."
Pada saat itu terdengar orang berkata,
"Bohong! Ananda Adipati, selirmu ini memang berbahaya sekali, hingga ia berani memfitnah gusti Pangeran hingga kau sampai berani membunuhnya!"
Yang berkata ini adalah Ki Ageng Bandar. Orang tua ini merasa terkejut sekali melihat betapa Pangeran Bagus Kuswara terbunuh mati. Tadinya ia merasa heran mengapa Pangeran itu belum juga memasuki kamarnya, maka ia lalu keluar mencarinya dan kebetulan sekali pada saat ia tiba di situ, Pangeran Bagus Kuswara tak bernapas lagi.
Biarpun Adipati Gendrasakti sedang marah kepada selirnya terkasih, akan tetapi mendengar kata-kata Sariti kemarahannya berkurang. Kini mendengar ucapan Ki Ageng Bandar dan melihat orang tua itu muncul, ia teringat akan bahaya yang mengancam dirinya. Kalau sampai sang prabu mendengar bahwa ia telah membunuh seorang puteranya, tentu maha raja itu akan marah dan menghukumnya! Tiba-tiba ia mendapat akal, dan setelah melihat ke kanan kiri tak melihat siapapun juga di dalam taman itu, secepatnya ia melompat menerkam dan menyerang Ki Ageng Bandar dengan kerisnya! Apakah daya seorang tua menghadapi serangan Adipati Gendrasakti yang digdaya itu? Beberapa kali keris Adipati itu menancap di ulu hatinya dan Ki Ageng Bandar roboh binasa tanpa dapat mengeluarkan sedikitpun keluhan!
"Kang Mas Adipati... kau telah membunuh tamu-tamu agung itu, bagaimana ini?"
Sariti akhirnya mengeluarkan keluhan dengan tubuh menggigil. Adipati Gendrasakti menjatuhkan dirinya diatas bangku yang berada di taman. Biarpun hawa malam itu dingin sekali, tapi ia merasa panas dan jidatnya berpeluh. Ia menghela napas panjang lebar dan pikirannya ruwet dan bingung.
"Kang Mas Adipati... kalau kau dapat mengampuni saya dan masih percaya kepada saya, maka masih ada jalan baik untuk menghIndarkan diri dari kemurkaan sang prabu. Tidak ada orang lain yang mengetahui kejadian malam ini, maka lebih baik kita kabarkan bahwa pembunuhan ini dilakukan oleh musuh kita, yaitu Jaka Galing! Katakan saja bahwa Jaka Galing dan beberapa orang kawannya memasuki taman dan hendak membunuhmu, dan bahwa Pangeran Kuswara dan Ki Ageng Bandar hendak membantumu, tapi mati terbunuh... Bagaimana pikiranmu Kang Mas?"
Bersinarlah cahaya terang dalam pikiran Adipati Gendrasakti yang sedang gelap dan bingung. Ia berdiri dan memeluk selirnya sambil berbisik,
"Sari, aku maafkan kau. Tapi janganlah kau berbuat bodoh lagi lain kali. Akalmu tadi bagus sekali dan agaknya itulah satu-satunya jalan bagi kita menyelamatkan diri."
Setelah bermufakat dan mencari akal, Adipati Gendrasakti lalu menggunakan keris untuk menusuk lengan kirinya sendiri hingga mengalirkan darah. Ia lalu merobohkan diri diatas tanah dan Sariti lalu berteriak-teriak minta tolong dengan suara nyaring sambil menangis dan berlutut di depan tubuh Adipati Gendrasakti! Para pengawal dan penjaga malam yang mendengar jerit tangis dalam taman, berlari-lari menghampiri dan alangkah terkejutnya mereka melihat Adipati Gendrasakti rebah dengan dengan lengan berdarah serta melihat kedua tamu agung itu telah binasa!
Segera Adipati Gendrasakti diangkut kedalam dan kedua jenazah itupun dibawa ke dalam rumah. Maka berceritalah Adipati Gendrasakti dan Sariti betapa pada malam itu ketika mereka berdua sedang menghibur para tamu agungnya di dalam taman, tiba-tiba datang Jaka Galing dan lima orang kawannya dan menyerang mereka.Karena serbuan itu tak terduga datangnya, maka kedua orang tamu agung kena terbunuh dan Adipati Gendrasakti sendiri mendapat luka sebelum mereka sempat minta tolong! Cerita ini memang meragukan, tapi siapakah yang berani menyangkal cerita yang keluar dari bibir Sariti dan Adipati Gendrasakti? Ki juru taman yang mengetahui peristiwa itu saja tidak berani membuka mulut! Juga Ki Lenjer, tukang gambang yang menjadi penghubung natara Pangeran Bagus Kuswara dan Sariti, tak berani menceritakan pengalamannya, karena itu berarti mencekik leher sendiri.
Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun, pada keesokan harinya, kedua orang tua itu telah lenyap dan tak seorangpun mengetahui ke mana mereka pergi. Yang mengetahui hal ini tentu saja hanya Adipati Gendrasakti dan Sariti serta orang-orang kepercayaannya yang diperintahkan membawa pergi dan membunuh kedua orang tua bernasib malang itu! Demikianlah, ketika pagi-pagi hari Indra beserta kedua kawannya tiba di Tandes, ia mendengar peristiwa yang hebat itu dan kembali ia mengutuk akan kekejaman Adipati Gendrasakti karena ia tahu betul bahwa kabar itu bohong dan menyangka bahwa yang membunuh Pangeran Bagus Kaswara dan Ki Ageng Bandar tentu Adipati itu sendiri, walaupun ia masih merasa heran dan tidak tahu akan sebab-sebabnya. Ketika ia minta menghadap Adipati Gendrasakti, ia diterima dan Adipati itu merasa terkejut sekali mendengar kata-kata Indra.
"Aduh, gusti Adipati, celakalah hamba sekalian kali ini! Pasukan pasukan yang menyerang Jaka Galing telah dihancurkan dan banyak yang tewas. Maka mohon dikirim bala bantuan yang besar jumlahnya!"
Akan tetapi pada saat itu, para perwira yang berada di situ meras heran karena tidak mengenal Indra dan dua kawannya, maka seorang diantara mereka membentak.
"He, anak muda, siapa kau dan siapa yang menyuruhmu membuat laporan ini?"
Ia menyembah dan berkata.
"Hamba bertiga adalah prajurit-prajurit dari dusun Pedukuan yang secara suka rela membantu pasukan gusti Suranata karena kamipun merasa benci kepada Jaka Galing dan kawan-kawannya yang menjadi perampok. Akan tetapi, malam tadi kami sekalian telah disergap dan diserang oleh pasukan perampok yang besar jumlahnya dan mengalami kekalahan hebat!"
Mendengar laporan ini, ributlah semua orang dan Adipati Gendrasakti lalu memukul-mukul meja di depannya.
"Celaka! Si keparat Jaka Galing ia harus dibasmi dan dimusnahkan dari muka bumi! He, para perwira jangan menyia-nyiakan waktu lagi. Bawa semua prajurit ke hutan Kledung gempur perampok-perampok yang kurang ajar itu, dan kau, Raden Candra, bawa seregu prajurit untuk cepat-cepat memberi kabar kepada gusti prabu di Majapahit tentang tewasnya Pangeran Bagus Kuswara dan Ki Ageng Bandar. Beritahukan bahwa di daerah Tandes timbul pemberontakan yang dipimpin oleh Galing dan berpusat di tengah hutan Kledung!"
Maka berangkatlah perwira yang bernama Raden Candra itu membawa 12 prajurit berkuda dan mereka menuju ke Majapahit untuk menyampaikan berita itu. Sementara itu, perwira-perwira lainnya mengerahkan seluruh prajurit dan dengan membawa Indra serta 2 orang kawannya sebagai petunjuk jalan, mereka lalu berangkat ke hutan Kledung. Biarpun mereka lelah sekali, Indra diam-diam tertawa geli dan kegembiraannya tak kenal batas melihat hasil pancingannya ini. Ia maklum bahwa Jaka Galing telah siap dengan rencananya. Diam-diam ia mengatur sedemikian rupa hingga perjalan itu makan waktu sehari penuh hingga ketika mereka tiba di hutan Kledung dari lain jurusan, hari telah menjadi gelap.
Senopati Suranat dengan gelisah menanti balabantuan yang tak kunjung datang. Ia melarang prajurit-prajuritnya pergi menjauhi perkemahan, takut kalau-kalau datang serbuan lagi! Jaka Galing telah menjalankan siasat yang cerdik dan hendak mencari kemenangan tanpa mengorbankan kawan-kawannya. Ketika melihat bahwa Indra telah dapat memancing pasukan balabantuan dari Tandes di luar hutan, ia lalu mengajak beberapa orang kawannya mengintai dari dalam hutan. Kemudian, setelah memberi petunjuk-petunjuk, ia lalu memberi aba-aba dan dengan riuh rendah mereka bersorak-sorak sambil melepaskan anak panah dari dalam hutan! Indra segera memberi tahu kepada para perwira sambil berteriak.
"Nah, itulah mereka, di dalam hutan. Hayo serbu mereka!"
Pasukan-pasukan baru ini berjumlah hampir dua ratus orang. Mereka lalu menyerbu ke dalam hutan yang gelap. Belum beberapa lama terjadi pertempuran beberapa orang diantara mereka roboh terkena anak panah yang dilepas oleh Galing dan anak buahnya. Tapi karena para prajurit itu menggunakan tameng untuk melindungi diri, maka yang dapat dirobohkan hanya beberapa orang saja.
Galing lalu mengajak kawan-kawannya mundur dan tiap kali ia telah berada jauh, ia sengaja menyuruh kawan-kawannya berteriak-teriak untuk memberi tahu tempat mereka kepada pasukan yang mengejar itu. Sementara itu, beberapa orang kawan lain juga menggunakan anak panah menyerang pasukan Suranata yang berkemah di luar hutan. Mereka ini hanya mengganggu belaka dan tidak datang dekat, sekedar memberi tanda bahwa para "Perampok"
Berada di dalam hutan dan membuat Suranata dan para anak buahnya berjaga-jaga sambil membalas dengan melepaskan anak panah. Setelah para pasukan bala bantuan itu mengejar sampai dekat pinggir hutan di mana pasukan Suranata berada, Galing lalu mengajak kawan-kawannya bersembunyi dan bersatu dengan kawan-kawan yang mengganggu Suranata. Sementara itu, Indra lalu berseru kepada para perwira.
"Nah, mereka telah lari sampai di luar hutan. Bagus sekali! Mereka takkan dapat bersembunyi lagi. Lihat itu di luar hutan mereka berkumpul, lekas serbu!"
Para perwira tak dapat melihat nyata dalam gelap itu, mereka hanya melihat remang-remang bahwa di luar hutan memang berkumpul banyak sekali orang dan bahkan dari jurusan itu datang anak-anak panah yang banyak sekali. Maka mereka lalu memberi aba-aba dan semua prajurit mereka menyerbu keluar hutan dengan golok dan tombak di tangan.
Sebaliknya, pasukan Suranata ketika tiba-tiba melihat banyak sekali orang keluar dari hutan dan lari menyerbu, menyangka bahwa itu adalah barisan Jaka Galing. Mereka cepat-cepat mempersiapkan diri! Dan terjadilah perang tanding di dalam gelap, dibarengi pekik-pekik kesakitan dari mereka yang roboh terluka dan pekik-pekik kemenangan dari mereka yang berhasil dirobohkan seorang "lawan"
Untuk kemudian dirobohkan oleh kawan lain! Keadaan menjadi hiruk-pikuk dan ramai! Pada saat itu, Jaka Galing memeluk Indra dan memuji-mujinya dan semua kawan mereka bersukaria sambil menonton pertempuran hebat yang terjadi di luar hutan. Akhirnya Suranata dapat juga mengenali pasukan yang menyerbu mereka, demikianpun di fihak pasukan balabantuan. Tapi hal ini telah terlambat karena dikedua fihak telah banyak jatuh korban. Mereka lalu berkumpul dan menyesali kecerobohan masing-masing dan menuturkan pengalaman masing-masing yang menyedihkan.
"Siapakah tiga orang yang memberi laporan ke Tandes itu?"
Seorang perwira bertanya kepada Suranata.
"Memang kami telah mengutus tiga orang utusan untuk memberi laporan dan minta bantuan, tapi mengapa mereka itu menyesatkan kalian dan bahkan menjebak hingga kita bertempur sendiri?"
"Mungkin pesuruh-pesuruhmu itu berubah pikiran dan menjadi penghianat!"
Di dalam gelap mereka mencari Indra dan dua orang kawannya, tapi sia-sia belaka. Suranata merasa gemas sekali dan membanting-banting kaki, apalagi setelah mendengar dari para perwira itu bahwa ketiga orang utusan itu sama sekali berbeda wajah dan potongan tubuhnya dengan tiga utusannya.
"Mereka itu utusan palsu! Keparat benar Jaka Galing! Tentu mereka telah menangkap para pesuruh kita menggantikannya dengan kawan perampok yang sengaja memasang perangkap! Sungguh memalukan!"
"Biarlah malam ini kita beristirahat di sini dan besok pagi kita kumpulkan semua tenaga untuik mencari dan menyerbu ke dalam hutan!"
Kata seorang perwira dengan marah.
Usul ini diterima baik dan semua orang beristirahat, menyesali nasib dan kelalaian mereka. Prabu Brawijaya tengah duduk bersiniwaka, dihadap oleh para senopati dan pembesar lain, sang prabu yang telah lanjut usianya itu masih kelihatan gagah dan tampan,dengan pakaina keprabon yang indah dan duduk diatas singgasana berukir dan terhias emas permata. Para senopati yang menghadap tampak gagah perkasa dan para selir dan pelayan yang duduk di belakang sang prabu semua cantik-cantik dan berpakaian indah. Keadaan Prabu Brawijaya dan segala yang berada disekelilingnya menunjukkan kejayaan Negara Majapahit dan sesuai pula dengan nama besar maha raja itu yang terkenal adil bijaksana dan sidik permana.
Di antara senopati yang menghadap, tampak Patih Gajah Mada yang terkenal sebagai banteng majapahit, seorang yang cakap dan sakti dan yang telah berjasa besar dalam usahanya memuliakan nama Negara Majapahit. Tampak pula para bupati dan nayaka yang gagah dan di depan di sebelah Patih Gajah Mada tampak pula Pangeran Lembungpangarsa, yakni putera Prabu Brawijaya yang terkenal sakti mandraguna dan banyak mendapat pelajaran ilmu dari Patih Gajah Mada sendiri! Berbeda dengan Pangeran Bagus Kuswara, Raden Lembungpangarsa ini suka akan keperwiraan dan kegagahan. Prabu Brawijaya tengah membicarakan hal Adipati Gendrasakti yang telah lama tidak menghadap dan tentang kepergian Ki Ageng Bandar yang diutus meninjau Kadipaten itu. Patih Gajah Mada berakata.
"Menurut warta yang telah hamba dengar dari para penyelidik, keadaan di Tandes tidak sangat menggembirakan. Ada berita bahwa dimas Adipati Gendrasakti kurang memperhatikan keadaan rakyat di Tandes dan sudah beberapa bulan tak pernah keluar meninjau keadaan daerahnya. Agaknya ada sesuatu terjadi di Kadipaten itu, gusti."
Sang prabu membenarkan sangkaan patihnya.
"Mudah-mudahan saja tidak terjadi sesuatu karena dulu Gendrasakti adalah seorang hamba yang baik dan perwira."
Belum lama mereka bercakap-cakap, datanglah penjaga yang memberitahukan bahwa ada utusan datang dari Tandes dan tampaknya tergesa-gesa sekali. Sang prabu lalu memberi perkenan agar mereka lansung menghadap. Raden Candra, utusan dari Tandes itu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah di hadapan Sang Prabu Brawijaya lalu menangis!
"Eh, eh, Ponggawa. Tak patut bagi seorang prajurit untuk menjatuhkan air mata. Ke mana perginya keteguhan hatimu?"
Bentak Patih Gajah Mada kepada Raden Candra.
"Hemm, prajurit Tandes bersifat wanita, mudah sekali menangis."
Pangeran Lembu Pangarsa juga mencela. Mendengar celaan-celaan ini, Raden Candra cepat menggunakan tangannya menyeka air matanya dan menyembah lagi sambil berkata.
"Ampun beribu ampun gusti sinuhun, hamba tak dapat menahan keluarnya waspa karena dorongan hati hamba sedih. Mohon ampun bahwa kedatanga hamba membawa berita duka, gusti."
"Ponggawa, katakanlah apa yang menjadi tugasmu sebagai seorang utusan,"
Kata Prabu Brawijaya dengan suara halus.
"Telah terjadi peristiwa maut di Kadipaten Tandes, gusti yang mulia. Kadipaten Tandes telah telah diserbu oleh seorang pemberontak bernama Jaka Galing dan pemberontak itu menyerang Gusti Pangeran Bagus Kuswara dan Ki Ageng Bandar yang sedang dijamu oleh Adipati Gendrasakti dan garwanya di dalam taman. Dan... dan gusti Pangeran berdua dengan Ki Ageng elah tewas terbunuh oleh Jaka Galing, sedangkan gusti Adipati telah terluka, gusti..."
"Ya Jagat Dewa Batara..."
Sang prabu berseru sambil menggunakan tangan kanannya menyentuh dada kirinya untuk menenteramkan hatinya yang terpukul.
"Coba kau tuturkan yang jelas, Ponggawa."
Maka Raden Candra lalu menceritakan betapa di waktu malam hari, ketika Adipati Gendrasakti sedang menjamu kedua tamu agung itu di dalam taman, datanglah Jaka Galing beserta beberapa orang perempok yang langsung menyerang Adipati Gendrasakti. Pangeran Bagus Kuswara dan Ki Ageng Bandar maju membantu, tetapi keduanya tewas di ujung keris Jaka Galing, sedangkan sang Adipati sendiri mendapat luka.
"Keparat betul Jaka Galing! Ramanda prabu, perkenankan hamba pergi menangkap si keparat itu! Pangeran Lembu Pangarsa memajukan diri dengan muka merah mendengar betapa adikanya terbunuh oleh jaka Galing. Tapi Patih Gajah Mada berkata,
"Gusti pujaan hamba, sungguhpun perbuatan Jaka Galing itu sangat kurang ajar dan harus dihukum, akan tetapi perbuatannya itu masih belum diketahui sebab-sebabnya. Sebaliknya, menurut pertimbangan hamba. Adipati Gendrasakti ternyata telah menyia-nyiakan kepercayaan paduka sebagai seorang Adipati yang mengatur Kadipaten Tandes. Buktinya, telah ada seorang pemberontak merajalela dan bahkan ia sebagai seorang yang berkuasa penuh di desa Tandes, tak mampu menjaga keselamatan dua orang utusan paduka. Pantaskah ini bagi seorang pembesar yang telah dipercaya?"
"Puteraku Lembu Pangarsa, kau siapkan barisan secukupnya untuk mengiringkan aku ke Tandes. Aku sendiri akan menyelidiki perkara ini dan akan memberi hukuman kepada pemberontak itu! Kakang patih, harap kau wakili aku menjaga praja!"
Maka berangkatlah Prabu Brawijaya dengan sekalian pengiring dan prajurit terutama di bawah pimpinan Pangeran Lembu Pangarsa yang gagah perkasa! Di sepanjang jalan, rakyat dari dusun-dusun yang yang dilalui oleh rombongan Sang Prabu Brawijaya, bahkan rakyat dari dusun-dusun yang telah mendengar akan lewatnya rombongan agung ini, datang berduyun-duyun menyambut dan berlutut di kanan kiri jalan sambil menaburkan bunga-bunga. Sedangkan Sang Prabu yang terkenal bijaksana dan pemurah, beberapa kali sengaja turun dari kuda dan mengajak paman-paman tani bercakap-cakap, menanyakan tentang kemajuan sawah dan tentang keadaan penghidupan di dusun, bahkan tidak lupa memberi hadiah-hadiah kepada mereka. Tentu saja kebijaksanaan ini disambut oleh rakyat dengan penuh kegembiraan, dan rasa cinta dan bakti mereka terhadap Sang Prabu Majapahit makin menebal.
Pangeran Lembu Pangarsa yang tampan dan gagah duduk di atas kuda putihnya bagaikan seorang ksatria gagah perkasa dari Negara Pendawa, hingga orang-orang yang memandang menjadi kagum dan para gadis dusun memandang dengan mata merayu dan terpesona hingga wajah dan kegagahan Raden Lembu Pangarsa itu terukir dalam hati mereka dan tak mudah dilupakan! Ketika rombongan Sang Prabu Brawijaya tiba di dekat hutan Kledung, mereka melihat pasukan-pasukan yang dipimpin Suranata berada di pinggir hutan itu. Suranata dan para perwira lainnya terkejut sekali melihat bahwa yang datang itu adalah rombongan dari Majapahit yang dikepalai oleh sang prabu sendiri. Maka dari jauh-jauh mereka telah mengatur persiapan menyambut kedatangan Sang Prabu Brawijaya dengan segala kehormatan!
Telah dua hari bertrut-turut pasukan Suranata ini menyerbu ke dalam hutan, tapi serbuan mereka gagal selalu karena Jaka Galing yang cerdik dan mempunyai pembantu-pembantu yang cepat dan tangkas itu selalu dapat mengetahui lebih dulu akan maksudnya dan dapat menjauhkan diri tepat pada waktunya. Berkali-kali Suranata menyerbu tempat kosong hingga ia makin marah saja. Ia menyuruh anak buahnya mengobrak-abrik dan membakar rumah-rumah dusun Bekti yang telah dikosongkan dan ditinggalkan oleh Jaka Galing. Di waktu malam Suranata tidak berani berdiam di dalam hutan, tapi mengajak anak buahnya bermalam di luar hutan. Karena kegagalan-kegagalan ini, maka hatinya menjadi lemah dan nafsu bertempurnya menjadi berkurang. Maka pada hari ke tiga, ia masih berada di luar hanya mengutus beberapa orang menyelidik masuk ke dalam hutan dan mencari tahu tentang gerakan-gerakan musuh.
Ketika Prabu Brawijaya mendengar bahwa pasukan itu datang dari Tandes dan sedang melakukan pengejaran atas Jaka Galing dan kawan-kawannya, ia lalu memanggil menghadap Suranata untuk ditanyai tentang segala peristiwa yang terjadi di Tandes. Ketika sang prabu mendengar bahwa puterinya Chyaningsih juga diculik oleh Jaka Galing, sang prabu tak dapat menahan lagi kemarahan hatinya. Ia lalu memimpin sendiri para prajurit Majapahit dan bersama Pangeran Lembu Pangarsa lalu menyerbu ke dalam hutan! Pada saat itu, Jaka Galing sedang duduk melamun seorang diri di pinggir sebuah anak sungai yang berair jernih. Ia duduk didekat air, di atas sebuah batu dan dan memandangi daun-daun kering dihanyutkan air. Pikirannya melayang jauh. Tadinya ia termenung memikirkan keadaan Suranata yang dipermainkan itu dengan hati geli dan senang.
Kemudian ia teringat kepada Gendrasakti dan air mukanya segera berubah menjadi keruh dan muram tanda hati tak sedap dan marah. Ia merasa gemas sekali mengingat akan kejahatan Gendrasakti. Sakit hati mengingat pembunuhan atas kakeknya yang terkasih belum juga terbalas, kini tanmbah lagi denag fitnah Adipati jahanam itu bahwa ia telah membunuh Pangeran Bagus Kuswara dan Ki Ageng Bandar! Sungguh kurang ajar sekali! Ia sedang memikir-mikirkan dan mencari jalan keluar untuk dapat bertemu muka dan membalas dendamnya kepada musuh besarnya itu. Tiba-tiba ia mendengar suara tindakan kaki perlahan-lahan di belakangnya dan berkat kewaspadaannya, ia cepat meloncat dan menghadapi orang yang baru datang dengan perlahan-lahan itu. Tapi ketika melihat bahwa yang datang diam-diam itu tak lain adalah Puspasari, wajah Jaka Galing berubah kemerah-merahan.
"Aah... kusangka siapa..."
"Kang Mas Galing, terkejut kau melihat aku datang?"
Tanya Puspasari dengan senyum yang manis. Telah beberapa kali gadis ini bercakap-cakap dengan Galing dan keramahan mereka membuat mereka cepat dapat melenyapkan rasa segan dan malu-malu hingga perhubungan mereka dalam beberapa hari saja telah menjadi erat seperti kakak beredik. Hanya terhadap Indra, Puspasari masih malu, karena jejaka itu tanpa tendeng aling-aling lagi tiap kali bertemu dengannya selalu memperlihatkan perasaan hatinya yang mencinta!
"Tidak, Puspasari, aku tidak terkejut. Aku tadi baru melamun dan tak menyangka bahwa kau yang datang. Maklumlah penghidupan di dalam hutan ini membutuhkan kecepatan dan kewaspadaan, kalau terlena maka akan celakalah badan!"
"Kau memang sigap dan cepat, Kakang Mas. Tapi... agaknya ada seorang bidadari yang sedang kau lamunkan, betulkah?"
Jaka Galing tersenyum.
"Kau pandai sekali menerka pikiran orang yayi. Dari siapa kau tahu bahwa aku sedang melamunkan seorang bidadari?"
Puspasari menggunakan telunjuknya yang kecil runcing menuding ke arah air yang mengalir perlahan.
"Tadi aku berada di hilir sungai dan riak air yang datang ke sana dari sini mengatakan kepadaku bahwa di udik terdapat seorang teruna sedang melamunkan bidadari kekasih hatinya. Aku lalu menuju ke sini karena ingin tahu teruna manakah yang sedang menderita rindu asmara itu. Eh, tidak tahunya Kang Mas sendiri!"
Jaka Galing memandang wajah gadis yang ayu itu dan merasa kagum sekali karena gadis itu selain cantik jelita dan manis budi bahasanya, juga pandai sekali mempergunakan kata-kata dengan mengarang kiasan-kiasan dan perumpamaan-perumpamaan yang indah.
"Kau sungguh-sungguh cerdik dan waspada bagaikan seorang dewi kahyangan. Wahai dewi yang bijaksana dan bermata tajam, sudilah kiranya kau melihat dengan matamu yang tajam bagaikan bintang pagi itu, bagaimanakah gerangan keadaan bidadari yang kurindukan itu? Dapatkah bidadariku menerima kasih asmara yang kupersembahkan kepadanya?"
Mendengar kelakar pemuda yang biasanya pendiam itu, sepasang mata Puspasari berseri dan kulit wajahnya berubah merah. Ia nampak gembira sekali dan senyum ramai menghias mukanya.
"Coba aku periksa dulu, wahai teruna yang malang,"
Katanya, lalu ia duduk di dekat Galing, juga, menghadapi air yang mengalir perlahan dan bermain denga batu-batu kali yang hitam licin hingga mengeluarkan suara gemericik menyedapkan pendengaran. Sambil menatap air sungai dengan kedua matanya yang bagus, dara jelita itu berkata lirih.
"Aku lihat... bidadari itupun merindukan engkau Kang Mas..."
Jaka Galing cepat menengok dan memandang muka itu dari samping. Gadis itu nampaknya sungguh-sungguh dan tidak sedang berkelakar, maka hatinya menjadi berdebar keras. Tanpa ia sadari ia manggunakan tangan kananya memegang pundak Puspasari dan berkata.
"Dinda... benar-benarkah itu...?"
"Tentu saja benar!"
Lalu gadis itu memandangnya sambil berkata manis.
"Eh, apa pula ini? Mengapa teruna yang gandrung merindukan bidadari itu memegang-megang pundakku?"
"Yayi Puspasari, jangan kau menggodaku, yayi. Coba kau katakan sekali lagi, benar-benarkah bidadari yang kurindukan itu membalas cintaku?"
Puspasari tetap tersenyum dan kedua matanya menggoda.
"Untuk apa aku membohongimu? Bidadari itu betul-betul mencintaimu!"
Sekali lagi Jka Galing memegang pundak Puspasari hingga untuk kedua kalinya dara itu menegurnya.
"Mengapa kau memegang-megang pundakku"
"Yayi puspasari... jangan kau berolok-olok... ketahuilah, yayi, bidadari yang kurindukan, yang selalu melayang-layang dan menari-nari dalam lamunanku, dalam mimpiku, tidak lain adalah... engkau sendiri, yayi!"
Tetapi alangkah heran dan girangnya hati Jaka Galing ketika ia tidak melihat perubahan pada wajah yang ayu itu, bahkan kini terlihat makin merah dan bercahaya, sedangkan sepasang matanya yang indah memandang sayu bagaikan mata orang mengantuk, tetapi bibirnya tetap tersenyum ketika menjawab.
"Kalau demikian halnya, mengapa?"
Saking haru dan girangnya, hampir saja Jaka Galing memeluknya, tetapi pada saat itu terdengar suara Indra berteriak dari jauh, Jaka Galing menarik kembali kedua tangannya dan menjauhi Puspasari sambil berkata perlahan.
"Yayi, ingatlah, bahwa betapapun juga aku adalah musuh besar ayahmu!"
Puspasari menjawab dengan suara yang tak kalah tepatnya,
"Kang Mas, kata-kata ini pun berlaku bagimu juga, kaupun tahu bahwa betapapun juga, aku adalah anak perempuan dari musuh besarmu!"
Pada saat itu Indra muncul dari dalam hutan.
"Ah, payah aku mencarimu, Galing. Kiranya kau sedang bercakap-cakap dengan srikandiku!"
Memang karena kejenakaannya, Indra selalu menyebut Puspasari sebagai pahlawan wanita dan isteri Arjuna, yaitu Dewi wara Srikandi! Melihat betapa wajah Indra tetap tegang walaupun mulutnya masih sempat berkelakar itu, Jaka Galing maklum bahwa tentu telah terjadi peristiwa penting. Maka ia segera menyambut kedatangan kawan itu sambil bertanya.
"Indra, ada terjadi apa?"
"Celaka betul, Galing. Sang prabu sendiri telah membawa pasukan menuju ke sini untuk menangkap kita!"
Wajah Jaka Galing menjadi pucat.
"Apa? Sang Prabu Brawijaya?"
"Siapa lagi kalau bukan Sang Prabu Brawijaya dari Majapahit? Dan didekat beliau masih ada lagi Pangeran Lembu Pangarsa yang tampan dan gagah perwira itu. Kawan-kawan kita lari bersembunyi ketakutan melihat cahaya yang memancar keluar dari kedua orang agung itu! Apa yang harus kita lakukan, Galing?"
Betapapun juga, suara Indra terdengar agak gemetar, tanda bahwa iapun merasa gentar menghadapi Prabu Brawijaya dan Pangeran Lembu Pangarsa yang sakti mandraguna itu.
"Apalagi yang harus kita lakukan? Kita harus menyerah, karena memang bukan maksud kita memusuhi sinuhun."
"Tetapi kau tentu akan dihukum mati. Tidak tahukah kau bahwa kau telah dikabarkan membunuh Gusti Pangeran Bagus Kuswara?"
Jaka Galing tersenyum.
"Itu hanya fitnah belaka dan aku percaya penuh akan kewaspadaan dan kebijaksanaan gusti sinuhun."
Sementara itu, mendengar hal kedatangan Sang Prabu Brawijaya, diam-diam Puspasari telah lari pergi untuk memberi tahu ibunya.
Pada saat itu, suara kaki kuda yang mendatangi telah terdengar makin mendekat dan Jaka Galing lalu mengajak Indra dan sekalian kawan yang masih berada dalam hutan uantuk menghadap Sang Prabu Brawijaya. Ia memerintahkan kawan-kawannya untuk menyimpan senjata masing-masing di dalam sarung, tak boleh dipegang seperti hendak menghadapi musuh. Ternyata yang masih tinggal di hutan tinggal 20 orang saja berikut orang-orang wanita, orang-orang tua dan anak-anak. Sedang yang lain sudah pada lari entah ke mana karena takut mendengar kedatangan Sang Prabu Brawijaya dan Pangeran Lembu Pangarsa! Biarpun Sang Prabu Brawijaya telah berusia lanjut, namun perasaan marah membuat beliau menjadi muda kembali dan semangatnya berkobar-kobar untuk menghadapi pemberontak yang telah menculik puterinya dan membunuh seorang puteranya itu.
Juga Pangeran Lembu Pangarsa gatal-gatal tangannya untuk segera menghajar Jaka Galing yang dianggapnya berlaku kurang ajar. Maka mereka lalu menjalankan kuda dengan cepat mengejar maju! Tiba-tiba rombongan Prabu Brawijaya berhenti, karena dari dalam rimba yang liar itu keluar serombongan orang-orang muda berpakaian sederhana sepertai biasanya orang-orang dusun, sedangkan di belakang rombongan pemuda itu tampak beberapa orang wanita, kakek-kakek dan kanak-kanak. Ketika mendengar suara dari barisan Suranata yang ikut menyerbu dari belakang bahwa yang memimpin rombongan pemuda itu adalah si pemberontak Jaka Galing, Sang Prabu Brawijaya dan Pangeran Lembu Pangarsa tercengang dan keheranan. Jaka Galing memelopori kawan-kawannya dan berlutut menyembah dengan sikap hormat sekali.
"Kanjeng sinuhun, hamba Jaka Galing dengan kawan-kawan dari dusun Bekti menghaturkan sembah sujud di hadapan paduka."
Kata Jaka Galing dengan penuh hormat sambil bersila dan menyembah. Sang Prabu Brawijaya turun dari kudanya, demikian juga para pengikutnya, lalu mendekati Jaka Galing.
"Eh, anak muda! Kaukah yang bernama Jaka Galing dan yang telah menculik Dewi Cahyaningsih dan membunuh Pangeran Bagus Kuswara?"
Tanya Sang Prabu Brawijaya. Jaka Galing menyembah lagi sebelum menjawab.
"Benar sebagaimana sabda paduka, gusti. Hamba bernama Jaka Galing, akan tetapi tentang penculikan dan pembunuhan itu hanyalah fitnah belaka, gusti!"
"Bangsat pengecut! Laki-laki apa kau ini yang berani berbuat tidak berani bertanggung jawab?"
Tiba-tiba Pangeran Lembu Pangarsa melompat ke depan dan mengayun tangannya menempeleng kepala Jaka Galing! Tamparan Pangeran yang gagah ini bukanlahlah sembarangan tamparan dan kalau mengenai kepala Jaka Galing tentu akan hebat sekali akibatnya, karena di tangan Pangeran Raden Lembu Pangarsa terkandung tenaga mujijat dari aji kesaktian yang dimilikinya. Akan tetapi JakaGaling telah maklum akan hal ini karena sebelum tangan itu tiba di kepalanya, ia telah merasakan berkesiutnya angin dingin meniup rambutnya, maka dengan cepat sekali anak muda ini menundukkan kepalanya hingga tamparan itu hanya menyerempet rambutnya saja! Pangeran Raden Lembu Pangarsa marah sekali melihat betapa tamparannya dielakkan sedemikian mudahnya, maka ia lalu berseru.
"Keparat, kau berani melawan?"
Dan kepalan tangannya menjotos ke arah dada! Kini Galing tidak berani melawan pula dan ia mengangkat dadanya sambil mengerahkan tenaga dalam untuk menahan serangan ini.
"Buk!"
Dan tubuh Jaka Galing bergulingan beberapa kali karena kerasnya pukulan itu, sedangkan Pangeran Raden Lembu Pangarsa menyeringai karena merasa betapa kulit lengannya perih seakan-akan habis memukul sebuah batu! Sementara itu. Galing sudah duduk bersila kembali dengan kepala tunduk dan kedua tangannya menyembah seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu! Ketika Pangeran Lembu Pangarsa hendak maju menyerang pula, Prabu Brawijaya membentak kepada puteranya,
"Lembu Pangarsa, tahan! Jangan kau lancang memukul orang tanpa memriksa dulu. Memalukan benar sikapmu itu!"
Mendengar bentakan ini, Pangeran Raden Lembu Pangarsa mundur dengan muka merah. Prabu Brawijaya memandang Jaka Galing dengan mata heran dan ragu-ragu. Anak muda yang duduk bersila itu tak pantas menjadi anak dusun yang bodoh dan kasar. Dari tubuhnya nampak sinar bercahaya dan sepasang mata yang lebar itu mengeluarkan cahaya berpengaruh, kulitnya putih kekuningan dan bersih sedangkan sikapnya sopan-santun dan beradap. Inikah pengkhianat dan pemberontak, kepala perampok itu?
"Eh, Jaka Galing, di manakah anak buahmu?"
Bentak pula Sang Prabu Brawijaya.
"Kalau paduka maksudkan kawan-kawan hamba, maka hanya inilah kawan-kawan hamba, sedangkan beberapa yang lain telah melarikan diri, takut akan murka paduka."
Prabu Brawijaya makin heran, lalu ia memanggil Suranata menghadap.
"Suranata, hanya beberapa, belas anak-anak muda inikah yang telah memukul hancur pasukanmu? Perwira macam apakah kau ini?"
Suranata dengan malu dan tubuh gemetar menuturkan pengalamannya, betapa ia diserbu oleh kawan-kawan Jaka Galing dengan menggunakan api, kemudian ia "Di adu dombakan"
Dengan barisan bala bantuan dari Tandes. Kemudian atas pertanyaan Prabu Brawijaya, Jaka Galing minta Indra menceritakan siasat-siasatnya melawan pasukan Suranata. Hal ini dilakukan oleh Indra dengan gaya dan gerakan-gerakan lucu hingga banyak pengiring Prabu Brawijaya diam-diam tertawa dengan hati geli.
"Jaka Galing, kalau begitu kau benar-benar telah memberontak?"
"Mohon beribu ampun, gusti. Hamba sekali-kali tidak berani memberontak kepada paduka yang adil dan bijaksana. Akan tetapi Adipati Gendrasakti tidak adil, dan dia telah mengirim pasukan-pasukan ke dalam hutan untuk membasmi hamba dan kawan-kawan hamba tanpa dosa. Oleh karena itulah maka hamba membela diri dan melawan."
"Tapi kau telah menculik Dewi Cahyaningsih!"
Bentak pula Sang Prabu Brawijaya.
"Dia membohong, kanjeng sinuhun. Memang dia yang menculik dan telah membunuh para pengawal, di sini ada saksinya, yaitu seorang pengawal yang dapat menyelamatkan diri."
Dwipa lalu dipanggil oleh Suranata dan disuruh maju. Ketika ditanya oleh sri baginda raja, Dwipa lalu menceritakan bahwa benar-benar ketika ia dan kawan-kawannya mengawal Dewi Cahyaningsih, telah dicegat oleh Jaka Galing dan Indra, dan sebelas kawannya terbunuh semua.
"Jaka Galing, benarkah kau dan Indra kawanmu ini telah membunuh sebelas pengawal itu?"
Tanya Sang Prabu Brawijaya.
"Benar, gusti. Akan tetapi bukan karena hamba ingin menculik, hanya karena pengawal-pengawal itu hendak membunuh kanjeng bibi dan puterinya."
Prabu Brawijaya tidak percaya akan keterangan Jaka Galing yang terdengar ganjil ini. Mana ada pengawal-pengawal yang membunuh puteri yang dikawalnya? Maka ia lalu memanggil seorang senopati dan berkata.
"Kalau kau tidak mengaku terus terang, kau akan dirangket, Jaka Galing!"
"Terserah kepada kebijaksanaan paduka, karena sesungguhnya hamba tidak menjalankan perbuatan jahat!"
Jawab Jaka Galing dengan suara tetap. Maka sang prabu lalu memberi perintah dan senopati itu mengayun cambuknya keras-keras. Terdengar suara keras meledak dari ujung cambuk memukul punggung Jaka Galing.
Darah mengalir keluar dari kulit yang terpecah oleh ujung cambuk itu, tapi Jaka Galing tetap bersila dan sedikitpun tidak bergerak maupun mengeluh. Indra menggigit bibirnya dan menahan gelora hatinya yang ingin memberontak dan mengamuk untuk membela kawannya itu, sedangkan semua kawan Jaka Galing memandang dengan terharu dan sedih. Cambuk terayun terus dan ketika ujung cambuk telah lima kali menyobek kulit punggung Jaka Galing, tiba-tiba terdengar suara wanita menjerit, dan dari dalam hutan itu datang berlari-larian dua orang wanita. Puspasari lari dan menubruk Jaka Galing sambil menangis, sedangkan Dewi Cahyaningsih langsung menghampiri Sang Prabu Brawijaya dan menyembah di depan kakinya. Sang Prabu Brawijaya melihat bahwa puterinya selamat tidak kurang suatu apa, mengangkat tangan menahan senopati yang bertugas mencambuki Jaka Galing.
"Rama Prabu... anak muda ini tidak berdosa, mohon ampun, Rama Prabu..."
Kata Dewi Cahyaningsih sambil menangis. Lalu dengan suara pilu ia menceritakan betapa sesungguhnya kedua belas pengawal istana itulah yang hendak membunuh dia dan puterinya,dan kalau tidak ada Jaka Galing dan Indra yang menolong, tentu mereka berdua telah tewas! Bukan main marahnya Pangeran Lembu Pangarsa mendengar ini. Dengan sekali tendang saja ia membuat tubuh Dwipa terguling-guling dan penjahat itu lalu dibelenggu dan menerima beberapa kali pukulan lagi! Sementara itu, ketika Puspasari
menghampirinya, Jaka Galing memandang dengan senyum untuk menghibur hati dara itu dan untuk menyatakan bahwa hukuman itu bukan apa-apa baginya. Puspasari menggunakan sehelai sapu tangan untuk menyeka darah dan peluh di punggung Jaka Galing.
Indra yang melihat kemesraan ini hanya menghela napas dan ia sama sekali tak iri hati atau marah, hanya menyesali nasib sendiri. Akan tetapi, ketika mendengar betapa Dewi Cahyaningsih menyebut Rama Prabu kepada Sang Prabu Brawijaya, tiba-tiba wajah Jaka Galing menjadi pucat sekali dan ia roboh dan pingsan! Puspasari menjerit dan Indra juga menubruk kawannya itu dan menggoyang-goyang tubuhnya. Semua orang merasa heran, termasuk Prabu Brawijaya sendiri. Tadi ketika menerima pukulan cambuk, pemuda itu sedikitpun tidak memperlihatkan rasa sakit bahkan bulu matanya sedikitpun tidak pernah berkedip. Mengapa sekarang tiba-tiba jatuh pingsan? Tapi sebentar kemudian Jaka Galing siuman kembali dan begitu ia sadar, ia tertawa tergelak-gelak. Suara ketawanya membangunkan bulu tengkuk, karena terdengar menyeramkan dan ia lalu berkata kepada Prabu Brawijaya.
"Gusti sinuhun, hamba telah mendengar betapa paduka adalah seorang maha raja yang terkenal sakti mandraguna dan waspada bijaksana. Maka hamba merasa bangga sekali telah merasai sedikit hukuman cambuk dari paduka."
Puspasari heran sekali melihat sikap pemuda itu yang tiba-tiba berubah dan sama sekali tidak mau memperhatikan dia lagi. Akan tetapi, di hadapan sang Prabu Brawijaya, ia tidak berani menyatakan sesuatu hanya duduk dengan menundukkan kepala, sementara Indra juga memandang kepada Jaka Galing dengan heran. Sebaliknya Sang Prabu Brawijaya tersenyum. Jaka Galing, kau ternyata telah terkena fitnah, dan seharusnya aku berterima kasih kepadamu karena kau telah memenolong jiwa puteriku dari kebinasaan. Akan tetapi, masih ada satu hal lagi, yaitu tentang pembunuhan Pangeran Bagus Kuswara. Apakah betul kau yang membunuhnya? Jaka Galing tersenyum dan sikapnya sekarang begitu terbuka dan gembira!
"Tentang hal itu, jika paduka mengijinkan, biarkanlah hamba menghadapi Adipati Gendrasakti si jahanam itu. Bila hamba telah berhadapan dengan keparat itu, tentu paduka akan mendengar sendiri!"
Jawaban ini sebenarnya kurang ajar, tetapi Sang Prabu Brawijaya tidak menjadi marah, bahkan bertanya,
"Eh, anak muda, apakah kau berani menghadapi Adipati Gendrasakti yang berkepandaian tinggi dan sakti mandraguna itu?
"Hamba takkan mundur setapakpun menghadapi seorang penjahat, gusti."
Prabu Brawijaya lalu memanggil Pangeran Lembu Pangarsa.
"Lembu Pangarsa."
Katanya dengan wajah berseri.
"Kau tadi telah berlaku lancang kepada Jaka Galing tanpa memeriksa dulu, sekarang kau cobalah keperwiraan anak muda itu, Jaka Galing, kau kuperkenankan melawan dan bertanding dengan Pangeran Lembu Pangarsa!"
Ternyata bahwa biarpun perintah ini terdengar aneh, namun sebenarnya Prabu Brawijaya hendak menguji kesaktian Jaka Galing sebelum anak muda yang menarik hatinya itu menghadapi Adipati Gendrasakti yang telah diketahui kedigdayaannya!
Pula, memang Sang Prabu Brawijaya suka melihat keperwiraan, terutama dari anak-anak muda yang tampan dan gagah seperti Jaka Galing yang sikapnya betul-betul telah menarik hatinya dan menimbulkan kasih sayang di dalam dadanya. Mendapat perintah dari Sang Prabu Brawijaya ini, Jaka Galing tampak gembira sekali. Ia lalu menyembah dan berdiri mengikuti Pangeran Lembu Pangarsa yang sudah siap menantinya di dalam kalangan yang dibuat oleh para prajurit yang mengelilingi tempat itu. Mereka berdua berhadapan, sama muda, sama tampan, sama gagah dan bidang bahunya. Hanya dalam soal pakaian Jaka Galing kalah, akan tetapi potongan tubuh dan dan ketampanan wajah mereka seimbang.!
"Jaka Galing, sebelum kita mengukur tenaga mengadu kesaktian, harap kau maafkan dulu kalau aku tadi telah salah tangan memukulmu."
Kata Pangeran Lembu Pangarsa yang berwatak jujur.
"Tidak apa, gusti Pangeran, hamba sedikitpun tidak menaruh dendam. Dan sebelumnya maafkan jika dalam pertandingan adu tenaga ini hamba akan salah tangan."
"Wasapadalah!"
Seru Pangeran itu yang lalu menyerang dengan pukulan tangan kanan. Jaka Galing sigap mengelak dan balas menyerang. Tak lama kemudian mereka lalu bertanding seru dan ramai. Saling tampar, saling jotos, dan saling tendang. Tetapi semua serangan kedua pihak dapat dielakkan atau ditangkis. Debu mengebul ke atas saking hebatnya gerakan-gerakan mereka yang dilakukan sepenuh tenaga. Mereka mengeluarkan kepandaian masing-masing, mengeluarkan kepandaian pencak silat dan kesaktian, akan tetapi keadaan mereka tetap berimbang tanpa ada yang kalah! Pangeran Lembu Pangarsa sigap dan trampil, akan tetapi Jaka Galing cekatan dan cepat. Pertempuran itu bagaikan pertempuran dua ekor harimau yang saling bertempur mati-matian.
Tak dapat ditahan lagi para prajurit bersorak ramai karena tegangnya pertempuran itu. Juga Indra dan kawan-kawannya bersorak-sorak, sedangkan Sang Prabu Brawijaya mengangguk-anggukkan kepala dan memuji. Lebih hebat dan tegang lagi pertempuran itu ketika keduanya mengeluarkan aji kesaktian mereka. Jaka Galing kena ditampar telinganya tetapi tangan yang menampar itu meleset seakan-akan menampar batu yang licin dan Jaka Galing merasa seakan-akan hanya diusap-usap pipinya oleh tangan gadis cantik! Ia tersenyum saja menerima tamparan itu dan dengan luar biasa hebatnya ia balas menjotos dada Pangeran Lembu Pangarsa. Akan tetapi ketika tangannya menghantam dada, tangan itu terpental kembali, sedangkan Pangeran Lembu Pangarsa hanya tersenyum saja menerima jotosan itu, seakan-akan hanya dipijit oleh tangan halus seorang dara!
Pada suatu saat Jaka Galing dapat ditangkap, diangkat ke atas lalu dilontarkan dengan sekuat tenaga. Akan tetapi Jaka Galing menggunakan kesaktiannya dan jatuh kembali ketempat semula, yaitu di hadapan lawannya dengan berdiri seperti seekor kupu-kupu hinggap di atas setangkai bunga mawar! Jaka Galing tidak mau kalah, ditangkapnya Pangeran Lembu Pangarsa, diangkatnya tinggi-tinggi lalu di banting! Tetapi Pangeran yang gagah perkasa itupun tiba di atas tanah dengan berdiri, maka mereka lalu saling terjang kembali! Dan meledaklah suara riuh dan sorak-sorai memuji kedua ksatria yang memiliki kesaktian dan keuletan seimbang. Kini kedua-duanya telah lupa bahwa mereka hanyalah sekedar mengukur tenaga belaka.
Mereka telah menjadi panas hati karena nafsu telah menguasai hati mereka untuk saling menjatuhkan! Mereka berjuang mati-matian untuk memperoleh kemenangan, akan tetapi lawan terlampau kuat hingga kedua-duanya tak berdaya! Pangeran Lembu Pangarsa yang terkenal sebagai banteng muda Majapahit dan menjadi murid terkasih dari Patih Gajah Mada yang digdaya dan sakti mandraguna, menjadi malu sekali. Ia lalu mencabut keris pusakanya yang ampuh yakni Kyai Barowo. Melihat betapa lawannya mencabut keris yang mengeluarkan hawa panas mengerikan. Jaka Galing lalu memberi isyarat kepada Indra. Kawannya ini mengerti isyarat Jaka Galing, lalu ia mengambil tombak Kyai Santanu yang tadi dititipkan kepadanya, lalu melontarkan tombak itu ke arah kawannya. Jaka Galing menyambut tombak pusaka Kyai Santanu dan bersiap sedia.
"Kalau paduka hendak mengajak adu jiwa, silakan, Pangeran!"
Kata Jaka Galing dengan sikap tenang. Keduanya berdiri dengan senjata ampuh di tangan, saling berhadapan, saling pandang. Keadaan tiba-tiba menjadi tegang sekali dan kini para penonton tidak ada yang bersorak lagi, semua memandang berdebar dan tak berani bernapas. Tiba-tiba Sang Prabu Brawijaya memecah kesunyian.
"Lembu Pangarsa! Jaka Galing! Tahan nafsumu dan simpan senjata kalian! Tak malukah kalian ksatria yang gagah perkasa tapi lemah iman hingga mudah saja dikuasai nafsu angkara?"
Ucapan Sang Prabu Brawijaya ini merupakan ait wayu yang dingin menyiram api yang berkobar-kobar hingga sebentar saja rasa dingin menyusup kepala dan dada kedua anak muda yang gagah itu hingga mereka menjadi lemah dan sadar.
"Kau benar-benar gagah perkasa, Galing!"
Kata Pangeran Lembu Pangarsa.
"Masih belum dapat melawan kedigdayaan paduka, gusti Pangeran!"
Jawab Jaka Galing dengan sederhana. Kemudian keduanya menghadap Sang Prabu Brawijaya yang merasa kagum sekali melihat sepak terjang Jaka Galing. Sang Prabu Brawijaya merasa marah sekali kepada Adipati Gendrasakti dan beliau lalu memberi perintah kepada semua orang untuk segera berangkat menuju ke Tandes. Dewi Cahyaningsih dengan hati hancur ikut pula dalam rombongan ini, naik tandu bersama puterinya. Diam-diam di dalam puteri ini menangis tersedu-sedu dan mengeluh kepada Dewata mengapa ia bernasib semalang ini, karena betapapun juga, Adipati Gendrasakti adalah suaminya! Kini ayahnya sendiri menuju ke sana hendak menghukum suaminya, dan isteri yang manakah yang takkan merasa hancur melihat kehancuran suaminya di depan mata?
Sementara itu, Puspasari diam-diam juga menangis, tapi biarpun ia juga merasa sedih karena perbuatan-perbuatan ayahnya, namun sebagian besar hati dan pikirannya penuh dengan bayangan Jaka Galing yang telah berubah sikapnya itu dan di dalam lubuk hatinya ia merasa bahwa tentu terjadi sesuatu dalam diri pemuda itu hingga ia merasa cemas sekali! Semenjak terjadi peristiwa yang hebat dan berlarut-larut itu, yang semenjak ia menyuruh membunuh anak isterinya sendiri dan maksud itu gagal karena kedatangan perampok-perampok yang ternyata adalah Jaka Galing dan kawan-kawannya, sampai peristiwa pembunuhan Pangeran Bagus Kuswara di tamannya, hati Adipati Gendrasakti tidak tenteram. Ia merasa gelisah sekali dan selalu mengharap-harapkan berita yang datang dari para prajurit yang diutus membasmi Jaka Galing.
Kalau saja prajuritnya berhasil menumpas Jaka Galing dan Dwipa berhasil membunuh Dewi Cahyaningsih dan puspasari, maka akan bereslah semua persoalan. Kepada Sang Prabu Brawijaya akan diceritakan semua peristiwa itu dengan menumpahkan semua kesalahan di pundak Jaka Galing si pemberontak itu! Akan tetapi, telah tiga hari ia menunggu-nunggu, belum juga ada berita dari orang-orangnya, maka bukan main gelisahnya. Akan tetapi Sariti, selirnya yang cantik manis itu, pandai sekali menghibur hatinya hingga ia dapat juga melupakan kegelisahannya, apalagi di waktu malam hari, kalau Sariti sudah menari dan berdendang dengan gaya yang menarik hati lenyaplah semua kekesalan dan kegelisahan hatinya. Sebentar saja Adipati ini telah melupakan segala hal yang membuatnya membunuh Pangeran Bagus Kuswara dan Ki Ageng Bandar dan cintanya terhadap Sariti semakin mendalam!
Ketika seorang penjaganya melaporkan pada suatu senja bahwa Sang Prabu Brawijaya dengan sekalian pengiringnya datang ke Kadipaten Tandes, menggigillah tubuh Adipati Gendrasakti. Tapi Sariti dapat menghiburnya hingga ketika ia menyambut kedatangan Sang Prabu Brawijaya dengan sembah baktinya, ia dapat menetapkan hatinya. Sang Prabu Brawijaya sengaja menyuruh Jaka Galing, Dewi Cahyaningsih dan Puspasari bersembunyi hingga Adipati Gendrasakti tidak tahu bahwa ketiga orang itupun datang bersama sang baginda. Setelah menerima penghormatan Adipati Gendrasakti, Sang Prabu Brawijaya pura-pura bertanya ke mana perginya puterinya Dewi Cahyaningsih. Adipati memandang heran dan menyembah serta berkata.
"Aduhai ramanda prabu, bukankah hamba sudah mengirim utusan untuk menyampaikan warta yang menyedihkan bahwa Dewi Cahyaningsih dan puterinya Puspasari telah diculik sipemberontak Jaka Galing di hutan Kledung?"
"Gendrasakti, coba kau ingat-ingat. Kurangkah kurniaku kepedamu? Kau telah kuangkat menjadi Adipati di Tandes, bahkan kuberi kurnia hingga puteriku Cahyaningsih kuberikan kepadamu sebagai isteri. Tapi mengapa kau berani membohong di depanku?"
Pucatlah wajah Adipati Gendrasakti mendengar ini hingga tubuhnya menggigil!
"Aduh Rama Prabu... hamba... hamba tidak sekali-kali... berani membohong..."
"Keparat! Kau berani bersumpah bahwa apa yang kau katakan tadi betul dan tidak membohong?"
Bentak Sang Prabu Brawijaya.
"Ti... tidak, Rama Prabu... hamba berani bersumpah..."
"Coba kau suruh selirmu yang bernama Sariti itu keluar!"
Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terkejutlah Adipati Gendrasakti, tapi terpaksa ia memberi perintah kepada pelayan untuk memanggil selirnya itu. Ketika Sariti keluar dengan gaya yang lemah-lembut, semua orang memandang dengan penuh rasa kagum akan kecantikannya, tapi benci akan pengaruhnya yang jahat terhadap Adipati Gendrasakti. Sariti dengan gaya yang menarik hati sekali menjatuhkan diri berlutut dan menyembah, lagak dan gayanya tidak kalah indah dan halusnya daripada sekalian puteri Keraton asli. Sang Prabu Brawijaya lalu memberi isyarat ke belakang dan Dewi Cahyaningsih beserta Puspasari lalu menghadap di situ. Bukan main kagetnya melihat betapa anak isterinya hadir di situ menjadi saksi. Ia hanya memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, tapi Sariti tampak tenang-tenang saja.
"Hai, Gendrasakti, tidak pandai pulakah kau menyapa anak isterimu yang terlepas dari bahaya maut?"
"Hamba... hamba merasa bahagia sekali, Rama Prabu..."
Gendrasakti menjawab gagap.
"Anakku Cahyaningsih, sekarang ceritakanlah kembali pengalaman dan penderitaanmu karena perbuatan keparat ini,"
Kata Prabu Brawiajaya. Sambil menangis Dewi Cahyaningsih menceritakan pengalamannya.
"Din... dinda Cahyaningsih, isteriku... sampai hatikah kau memfitnah suamimu sendiri macam ini?"
Gendrasakti menggigil sambil memandang wajah isterinya dengan pucat.
"Diam kau!"
Bentak Sang Prabu Brawijaya, Dwipa lalu dipanggil menghadap. Penjahat yang sudah rusak tubuhnya karena menerima pukulan tangan Lembu Pangarsa ini lalu dipaksa menceritakan segala perintah dan rencana Gendrasakti untuk membunuh anak isterinya. Mendengar ini, lemaslah Adipati Gendrasakti dan ia hanya menundukkan kepalanya, tidak berani mengangkat muka atau bergerak.
"Nah, penjahat kejam! Apakah kau hendak menyangkal pula? Kau hendak membunuh isterimu sendiri, hendak membunuh puteriku dan membunuh anakmu sendiri, hukuman apakah yang patut dijatuhkan kepada seorang manusia berhati binatang seperti engkau?"
Adipati Gendrasakti tidak dapat menjawab, hanya menyembah meminta ampun dengan tubuh menggigil ketakutan.
"Dan masih banyak lagi, jahanam! Puteraku Bagus Kuswara dan utusanku Ki Ageng Bandar dimana?"
Adipati Gendrasakti mengangkat mukanya yang pucat bagaikan mayat.
"Me... mereka... di... dibunuh oleh pemberontak Jaka Galing..."
Jawabnya gagap gemetar tidak karuan.
"Manusia sesat! Lagi-lagi kau timpakan kesalahan kepada orang lain! Benar-benarkah puteraku dan utusanku itu dibunuh oleh Jaka Galing?"
"Be... benar, Rama Prabu..."
"Jangan kau sebut aku Rama Prabu lagi!"
Bentak Sang Prabu Brawijaya. Kemudian Sang Prabu Brawijaya memberi isyarat dan dari belakang muncullah Jaka Galing dengan tombak Kyai Santanu di tangan kanan. Pemuda ini bertindak perlahan dan dengan dada terangkat gagah sekali, sedangkan sepasang matanya berkilat menyambar ke arah Adipati Gendrasakti! Melihat kedatangan anak muda itu, Gendrasakti makin bingung dan gelisah. Akan tetapi, tiba-tiba Sariti yang ikut melihat kedatangan pemuda itu, menuding sambil menangis,
"Inilah...! Inilah pembunuh gusti Pangeran itu...! Wanita ini lalu menangis tersedu-sedu. Sang Prabu Brawijaya lalu memandang ke arah Sariti dengan pandang mata menghina. Jaka Galing lalu duduk bersila di depan Sang Prabu Brawijaya dengan tenang, tapi di dalam dadanya bernyala api kebencian melihat Gendrasakti.
"Gendrasakti, orang yang kau tuduh itu telah berada di sini. Coba kau ulangi tuduhanmu tentang pembunuhan itu."
Dengan suara terputus-putus dan tidak leluasa, Gendrasakti lalu menuturkan betapa Jaka Galing menyerbu taman dan membunuh dua orang tamu agungnya.
"Jaka Galing, kau boleh bicara untuk membela diri dari tuduhan Gendrasakti."
Prabu Brawijaya berkata kepada Jaka Galing.
"Semua kata-kata yang keluar dari mulut Gendrasakti adalah bohong semata-mata! Pada waktu malam yang disebutkan olehnya itu, hamba sedang menghadapi serbuan Senapati Suranata di dalam hutan dan sedang mempermainkannnya dengan kurungan api. Banyak yang menjadi saksi hamba, di antaranya yang menjadi saksi adalah puteri paduka sendiri yang pada waktu itupun berada di hutan. Maka tuduhan ini hanyalah fitnah keji dan palsu belaka. Tidak ada sebab-sebab yang membuat hamba begitu gila untuk membunuh Gusti Pangeran Bagus Kuswara dan Ki Ageng Bandar yang belum pernah hamba jumpai dan tidak punya hubungan apa-apa. Hamba mohon keadilan paduka, gusti."
"Tahukah kau siapa yang membunuh mereka?"
Tanya sang prabu.
"Hamba tidak tahu, gusti, hal itu sebaiknya ditanyakan kepada Gendrasakti sendiri, karena ia dan selirnya pasti tahu akan hal ini."
"Benar, aku tahu dan menjadi saksi!"
Tiba-tiba Sariti berseru.
"Kaulah yang membunuh gusti Pangeran."
"Benarkah kata-kata selirmu itu, Gendrasakti?"
Tanya sang prabu.
"Benar... rama... eh, gusti sinuhun... memang Galing ini yang membunuhnya. Bahkan dia telah melukai lengan hamba...! Dan lagi, tombak pusaka hamba juga telah dirampasnya!"
Dalam kebingungannya, ketika melihat pemuda itu masuk membawa tombak pusaka Kyai Santanu, Gendrasakti dengan linglung mengatakan tombaknya dirampas oleh Jaka Galing, sama sekali lupa bahwa tombak itu dulu digunakan untuk membunuh Panembahan Ciptaning!
"Benarkah itu, Jaka Galing? Kau melukai tangannya dan merampas tombak Kyai Santanu?"
"Keterangan itupun bohong belaka, gusti. Hamba tidak melukai lengannya dan tidak merampas tombaknya."
Prabu Brawijaya lalu minta tombak itu dan memandang senjata pusaka itu dengan kagum.
"Tombak yang ampuh!"
Serunya, lalu ia mengembalikan tombak itu kepada Jaka Galing.
"Dari mana kau mendapatkan tombak ini, Jaka Galing?"
Mendengar pertanyaan ini, Jaka Galing menjadi pucat, karena tadinya ia hendak menyembunyikan keadaan dan rahasia dirinya, tapi kini terpaksa harus mengaku.
"Begini cerita sebenarnya, gusti sinuhun. Tombak ini dulu digunakan oleh Gendrasakti untuk membunuh kakek hamba tanpa dosa. Hamba lalu membawa pergi jenazah kakek hamba itu dengan tombak ini masih menancap di dada kakek hamba yang malang."
"Mengapa tidak diambil kembali oleh Gendrasakti?"
Tanya sri baginda.
"Telah diusahakan untuk mencabut, gusti, tapi tombak itu tidak dapat tercabut keluar dari ulu hati kakek hamba yang sengaja hendak memberikan tombak itu kepada hamba. Dan karena ini pulalah maka timbul permusuhan antara hamba dengan Gendrasakti. Dia berusaha menghancurkan hamba, sedangkan hamba selalu bercita-cita hendak membalas dendam."
Dalam penuturannya ini, sedapat mungkin Jaka Galing tidak menyebut nama kakeknya.
"Apakah kesalahan kakekmu maka ia dibunuh oleh Gendrasakti?"
"Kakek hamba dipanggil oleh Gendrasakti dan diminta untuk memecahkan rahasia dan arti sebuah mimpinya. Gendrasakti bemimpi melihat bunga api kecil yang membakar gedungnya sampai habis. Karena tidak ada orang yang dapat memecahkan artinya, maka kakek hamba dipanggil dan diminta nasihatnya. Kakek hamba berterus terang dan menyatakan bahwa bunga api itu tanda bahwa di Kadipaten Tandes kedatangan seorang iblis berujut manusia yang harus dilenyapkan dari Tandes, dan ketika ditanya siapa gerangan orang itu, kakek hamba berterus terang pula dan mengatakan bahwa iblis berujut manusia itu tidak lain adalah selir terkasih dari Gendrasakti yang sekarang juga menghadap di sini, yaitu Sariti! Karena pernyataan ini, maka kakek ditangkap dan dihukum di alun-alun dengan jalan dijadikan korban untuk macan putih yang ganas!"
Ketika cerita itu sampai di sini, wajah Sariti memucat dan terdengar seruan-seruan dari para pendengar.
"Akan tetapi, gusti,"
Demikian Jaka Galing melanjutkan ceritanya.
"Berkat kesucian kakek hamba, macan putih itu tidak berani mengganggunya. Hamba yang berada di dusun ketika mendengar akan hal ini, lalu datang dan hamba berhasil membunuh macan putih itu. Akan tetapi, pada saat hamba bergulat melawan macan putih, Gendrasakti yang berhati curang dan jahat itu telah menggunakan tombak pusaka Kyai Santanu ini untuk menusuk ulu hati kakek hamba hingga binasa!"
Sampai di sini, Jaka Galing menundukkan muka dan suaranya terdengar gemetar mengharukan dan ketika pemuda itu mengangkat mukanya lagi, maka wajahnya memerah dan kedua matanya berkilat!
"Alangkah kejam dan alangkah jahatnya seorang yang telah mabok akan kecantikan! Sang Prabu Brawijaya bersabda, lalu beliau bertanya kepada Jaka Galing.
"Siapakah kakekmu yang sakti dan suci itu?"
Suara Jaka Galing gemetar ketika menjawab,
"Kakek hamba ialah Sang Panembahan Ciptaning!"
Terkejutlah Sang Prabu Brawijaya mendengar nama ini.
"Apa katamu? Kakekmu adalah Rama Panembahan Ciptaning...? Dan kau... kau ini anak siapa? Siapakah ibumu...?"
Sambil menundukan muka Jaka Galing berkata lirih.
"Mendiang ibu hamba bernama Budiarti..."
"Jagat Dewa Batara!"
Sang Prabu Brawijaya mengucapkan puji-puji dan bertanya lirih.
"Jaka Galing, tahukah kau siapa ayahmu?"
"Hamba... hamba tahu, gusti,"
Sembahnya.
"Sebelum kakek menutup mata, beliau telah menceritakan kepada hamba tentang riwayat bunda..."
"Dan... kau mengapa tidak memperkenalkan diri kepadaku, kepada ayahmu sendiri?"
"Hamba... hamba tidak berani... hamba hanyalah seorang anak dusun yang bodoh, sedangkan paduka... maha raja yang agung..."
Dengan terharu Sang Prabu Brawijaya turun dari kursi dan menubruk Jaka Galing sambil berkata.
"Ah, Galing... puteraku... sifat-sifat yang merendah dan mulia ini tentu kau warisi dari Budiarti, ibumu yang mulia..."
Ketika dipeluk oleh Sang Prabu Brawijaya, Jaka Galing lalu memeluk dan menciumi kaki ayahnya sambil berkata lirih,
"Ramanda prabu..."
Pertemuan yang mengharukan antara ayah dan anak ini membuat semua orang menjadi terharu sekali, kecuali Gendrasakti dan Sariti.
Dua orang ini saling pandang dan ingin sekali mereka pada saat itu melihat tanah yang mereka injak menjadi belah agar mereka dapat melompat masuk ke dalamnya! Gendrasakti melihat ke kanan kiri hendak melarikan diri akan tetapi Pangeran Lembu Pangarsa telah berada di belakangnya dan memandangnya dengan mata melotot! Sementara itu, ketika mendengar bahwa Jaka Galing adalah putera sri baginda sendiri, Puspasari tidak dapat menahan air matanya bukan hanya karena terharu seperti ibunya yang mencucurkan air mata juga, tapi sebagian besar karena kehancuran hatinya. Pantas saja terjadi perubahan pada pemuda itu ketika mendengar bahwa ibunya adalah puteri sang prabu dan ia sendiri adalah cucu Prabu Brawijaya! Tidak ia sangka bahwa ia masih anak kemenakan dari Jaka Galing dan pemuda itu adalah pamannya. Tentu saja ia tidak mungkin menjadi kekasih pemuda itu!
"Anakku yang bagus! Kau ternyata tidak mengecewakan menjadi puteraku! Sekarang kau harus ikut ramamu ke Majapahit setelah aku menjatuhkan hukuman yang tepat untuk jahanam ini! Gendrasakti, sudah jelas dosa-dosamu dan apakah yang hendak kau katakan lagi?"
Dengan tubuh gemetar Gendrasakti menyembah, tanpa kuasa mengucapkan perkataan. Bibirnya bergerak memohon amapun tanpa suara.
"Coba katakan apa kehendakmu, puteraku."
"Hamba telah bersumpah hendak membalas dendam Eyang Panembahan. Maka ijinkanlah hamba menjatuhkan hukuman itu kepada Gendrasakti."
"Kau hendak menjadi algojo untuk menjatuhkan hukuman dan membunuh keparat ini?"
Tanya Sang Prabu Brawijaya dengan wajah tak puas.
"Benar, Rama Prabu, tapi hamba tidak akan berlaku sewenang-wenang. Biarlah dia dibebaskan untuk melawan hamba. Hamba takkan berlaku pengecut membunuh orang tak berdaya, ingin benar hamba mencoba kesaktian manusia rendah ini."
Wajah sang prabu menjadi terang lagi, agaknya beliau puas mendengar sikap yang gagah berani dan yang agung dari puteranya itu.
"Dengarlah ucapan seorang kesatria, Gendrasakti! Tidak malukah kau? Nah, kau kuberi kebebasan untuk bertanding melawan puteraku yang telah berkali-kali kau fitnah ini. Kalau kau sampai tewas dalam tangannya, maka itu memang sudah sepantasnya. Sebaliknya kalau kau yang menang, kau takkan dihukum karena membunuhnya, tapi akan dihukum karena telah membunuh Bagus Kuswara dan karena hendak membunuh anak isterimu."
Adipati Gendrasakti tidak dapat berkata lain kecuali menerima keputusan ini.
Malam hari itu, Adipati Gendrasakti dan Sariti dimasukkan ke dalam tahanan dan pertandingan akan dilakukan besok pagi. Sang prabu menitahkan supaya semua rakyat diberitahukan dan datang menyaksikan pertandingan yang akan dilakukan di alun-alun. Ketika pada keesokan harinya para penjaga datang hendak mengeluarkan Gendrasakti dari kamar tahanan, terkejutlah mereka karena melihat bahwa Sariti, wanita yang cantik jelita itu, telah mati dengan kedua mata melotot keluar dan lidah terulur mengerikan. Ternyata, karena insyaf akan dosa-dosanya dan menyesali perbuatannya karena bujukan-bujukan jahat dari selirnya yang tercinta itu, pula karena tahu bahwa tak ada jalan hidup lagi baginya, Adipati Gendrasakti telah mencekik batang leher Sariti hingga binasa!
Ketika mendengar hal ini, Sang Prabu Brawijaya hanya menggeleng-gelengkan kepala dan menyebut nama Dewata. Alun-alun telah penuh oleh rakyat yang hendak menonton pertandingan hebat antara Jaka Galing yang kini disebut Pangeran Bagus Galing melawan Adipati Gendrasakti. Pemuda ini memasuki gelanggang pertempuran dengan dada terangkat dan tombak pusaka Kyai Sentanu di tangan. Kedatangannya disambut dengan tampik sorak riuh rendah dari rakyat yang semua bersimpati kepadanya. Ketika Adipati Gendrasakti memasuki kalangan, maka terdengar cemoohan dan caci maki dari rakyat yang membencinya. Gendrasakti memilih senjata golok yang besar dan tajam. Wajahnya pucat dan matanya merah. Ia telah mengambil keputusan hendak berkelahi mati-matian.
Sang Prabu Brawijaya menyaksikan pertandingan ini di atas sebuah panggung, bersama para senapati. Setelah atas isyarat sang prabu, gong pertandingan dipukul, maka kedua musuh besar itu saling berhadapan. Gendrasakti dengan golok di tangan kanan, sikapnya mengerikan dan mukanya mengandung kebencian, sedangkan Jaka Galing tetap tenang, bahkan senyum manis menghias mulutnya! Tiba-tiba Gendrasakti menggereng keras dan menerkam dengan goloknya, tapi dengan sigap Jaka Galing mengelak. Golok besar menyambar leher, tapi dengan menundukkan kepala, golok itu menyambar lewat di atas kepala Jaka Galing. Gendrasakti adalah seorang prajurit yang ulung dan pandai main pencak silat, maka begitu goloknya tidak mengenai sasaran, golok itu diayun balik dan sambil berjongkok goloknya menyerang kaki Jaka Galing!
Serangan ini dasyat dan tidak terduga sekali hingga terdengar seruan-seruan tertahan di kalangan penonton, tapi dengan gerakan indah dan lincah, Jaka Galing menekan tubuh ke atas hingga sekali lagi golok itu lewat bersiutan di bawah kakinya! Para penonton bertepuk tangan riuh melihat kelincahan Jaka Galing. Gendrasakti yang melihat betapa serangannya selalu mengenai tempat kosong, menjadi marah sekali. Ia lalu menyerang membabi buta dan mengayun-ayunkan goloknnya, diputar-putar bagaikan kitiran angin cepatnya! Sinar goloknya ditimpa matahari berkeredepan menyilaukan mata dan mengerikan sekali karena golok itu seakn-akan berubah menjadi belasan batang yang menyambar-nyambar ke tubuh Jaka Galing dengan serangan-serangan maut!
Kini Jaka Galing tidak mau mempermainkan lawannya lagi. Ia mulai mengerakkan tombaknya yang ampuh. Tombak pusaka Kyai Santanu sekan-akan memiliki mata yang dapat melihat dan kemana saja golok lawan menyerang, selalu dapat ditangkis dan terpental! Jaka Galing lalu membalas dengan serangan-serangan hebat. Gendrasakti adalah seorang jago golok yang pandai dan jarang terkalahkan, permainan goloknya adalah warisan dari ilmu golok seberang, maka kehebatannya luar biasa. Akan tetapi, Jaka Galing tidak hanya dapat gemblengan ilmu tombak pusaka yang dimiliki oleh Sang Panembahan Ciptaning, tapi juga mendapat gemblengan ilmu batin yang membuat gerakan-gerakannya tenang dan tetap hingga gerakan-gerakannya lebih teratur dan lebih sempurna. Sebetulnya kalu dikehendaki, Jaka Galing sudah dapat merobohkan lawannya dengan mudah.
Akan tetapi karena pemuda ini takkan merasa puas kalau menjatuhkan lawan dengan cara lain, ia selalu menujukan serangannya ke arah ulu hati Gendrasakti. Maksudnya hendak membalas dendam seperti dulu ketika kakeknya dibinasakan, yakni dengan menusukan tombak Kyai Santanu di ulu hati Gendrasakti! Adipati ini agaknya maklum akan hal ini, maka keringat dingin mulai memenuhi jidatnya dan ia dengan mati-matian manjaga dadanya dari serangan tombak. Pada suatu saat dengan amarah meluap-luap, Gendrasakti mengayunkan goloknya ke arah leher. Ketika Jaka Galing mengelak, golok itu ditusukkan ke arah perut pemuda itu! Jaka Galing mengelak dengan melompat ke kiri dan secepat kilat kakinya menendang ke arah pergelangan tangan lawannya hingga tak dapat tercegah lagi golok yang dipegang itu terelpas dan terlempar dari tangan Gendrasakti!
Adipati itu terkejut sekali dan dengan mata terbelalak ia melihat betapa ujung tombak pusaka Kyai Santanu meluncur cepat ke arah ulu hatinya! Ia memekik ngeri dan "cress"
Ujung tombak sakti itu menembus ulu hatinya! Dengan kedua tangan berubah merupakan cengkeraman cakar setan dan kedua lengan terangkat keatas, Gendrasakti roboh telentang, gagang tombak pusaka Kyai Santanu menancap lurus-lurus di dadanya, tepat di tengah-tengah! Sorak-sorai gemuruh menyambut kemenangan ini dan Sang Prabu Brawijaya lalu masuk kembali ke Kadipaten serta mengumpulkan semua senapati. Ketika Pangeran Bagus Galing menghadap di depan Sang Prabu Brawijaya, ia mengajukan permohonan lagi kepada ramandanya.
"Hamba mohon kepada paduka agar supaya kawan hamba Indra yang cukup mulia dan digdaya diangkat menjadi Adipati di Tandes."
Sang Prabu Brawijaya meluluskan permintaan ini dan mendapat sambutan tepuk tangan, Indra maju dan berlutut menghaturkan terima kasih kepada Sang Prabu Brawijaya.
"Masih ada sebuah permohonan lagi, ramanda yang mulia, yaitu hamba mohon supaya Adipati Indra dijodohkan dengan kemenakan hamba Dewi Puspasari, karena hamba yakin bahwa sepasang teruna remaja itu saling mengasihi dan akan menjadi sepasang suami isteri yang saling mencintai. Hamba rasa kakang mbok Cahyaningsih takkan keberatan karena beliau juga telah tahu sampai di mana keagungan dan kegagahan Adipati Indra!"
Indra menundukkan mukanya yang memerah dan melirik kepada kawannya itu dengan pandangan terima kasih sekali. Sedangkan Puspasari terisak perlahan.
Sang Prabu Brawijaya yang arif bijaksana itu lalu menanyakan pendapat Indra, Dewi Cahyaningsih, dan Dewi Puspasari sendiri. Indra tentu saja menerima dengan berbahagia dan menghaturkan terima kasih, juga Dewi Cahyaningsih menyetujui dengan hati bulat, sedangkan Puspasari sebagai seorang dara bangsawan yang sopan santun, hanya menundukkan kepala dengan muka merah! Sang prabu lalu menjatuhkan hukuman kepada semua kaki tangan Adipati Gendrasakti atas petunjuk para senapati yang tahu benar akan adanya prajurit-prajurit kepercayaan yang selalu menjalankan perintah rahasia dan jahat. Kemudian sang prabu membawa rombongan kembali ke Majapahit. Ketika hendak berpisah, Pangeran Bagus Galing memegang erat-erat tangan Indra dan Puspasari yang mengantar sampai di depan gapura.
"Semoga kalian dapat hidup bahagia!"
Puspasari berkata lirih,
"Pamanda Pangeran, mohon diampunkan segala dosa hamba dan semoga Pamanda juga mendapat berkah Hyang Agung serta dapat hidup berbahagia di majapahit.
"Kemudian tak tertahan lagi dara itu lari kembali ke dalam Kadipaten! Indra dengan kedua mata berlinang memegang erat-erat kedua tangan kawannya dan berkata,
"Terima kasih, kawan. Kau telah mengangkat diriku yang hina dina ke tempat yang mulia, dan tidak itu saja, kau... kau telah mengorbankan hatimu... ah, kalau saja kau bukan pamannya, tentu aku akan mengundurkan diri..."
"Hush, jangan berkata begitu, Indra..."
"Aku maklum, Galing, kita sama-sama mencintainya... dan..."
"Diam! Jangan bicara macam itu kepadaku. Ingat, aku adalah pamannya dan... aku menjadi pamanmu pula, mengerti?"
Pangeran Bagus Galing terpaksa berlaku keras untuk memecahkan keadaan yang tidak menyedapkan perasaannya itu. Indra mengerti pula akan hal ini. Ia lalu berdiri tegak bagaikan seorang prajurit menghadap seorang pimpinannya dan menjawab,
"Baik... Pamanda Pangeran! Akan hamba jaga Puspasari baik-baik dan hamba usahakan agar ia hidup penuh bahagia!"
Pangeran Bagus Galing tersenyum melihat sikap ini.
"Nah, demikianlah"
Adipati Indra, demikianlah seharusnya ucapan seorang laki-laki sejati! Nah, selamat tinggal, Adipati!"
"Selamat jalan, Pamanda Pangeran yang arif bijaksana dan gagah perkasa!"
Ketika Pangeran Bagus Galing telah meloncat ke atas punggung kudanya yang berbulu dawuk dan hendak memacu kudanya itu menyusul rombongan Prabu Brawijaya, tiba-tiba Adipati Indra berseru memanggil. Pangeran Bagus Galing menahan kendali kudanya dan menengok.
"Ada apa pula, Adipati?"
Tanyanya heran.
"Sebuah permohonan, Pamanda Pangeran!"
"Permohonan apakah? Katakan saja!"
"Putera kami yang pertama akan hamba beri nama... Bagus Galing, bolehkah...?"
Kedua mata Pangeran Bagus Galing berkejap-kejap menahan tertumpahnya air mata karena terharu. Tapi ia mengeraskan hatinya dan berkata dengan suara nyaring dan keras.
"Setuju! Dan bila Bagus Galing telah terlahir, aku akan memberi sumbangan tombak Kyai Santanu kepadanya agar kelak ia akan menjadi seorang pahlawan gagah perkasa seperti ayahnya!"
Kemudian Pangeran Bagus Galing memacu kudanya dan membalapkan binatang itu menyusul rombongan Sang Prabu Brawijaya, sedangkan Adipati Indra masih berdiri di situ dengan kedua kaki terpentang, melihat tubuh kawan baiknya di atas kuda sampai bayangan dan kuda itu menghilang di sebuah tikungan dan hanya terdengar suara kaki kuda berlari. Dengan hati terharu ia masih berdiri terus di situ sambil mendengar derap kaki kuda yang membawa pergi kawannya itu dan baru berjalan perlahan ke gedung Kadipaten ketika derap kaki kuda itu makin perlahan dan menghilang pula...
TAMAT
JAKA GALING JILID 02
JAKA GALING JILID 03
JAKA GALING JILID 04
Jilid 01
Setelah mendengar perintah Sang Adipati Gendrasakti yang disampaikan oleh lima orang Ponggawa Kadipaten itu kepadanya, maka Panembahan Ciptaning lalu menyatakan kesanggupannya dan mempersilahkan kelima orang Ponggawa itu untuk menanti sembentar sambil menikmati hidangan sekedarnya, yaitu air teh kental panas-panas dengan pacitan ubi rebus dan gula kelapa. Karena telah melakukan perjalanan dan jauh sehingga mereka merasa lelah sekali, lima orang Ponggawa itu menghadapi hidangan ini dengan penuh selera dan menganggapnya sebagai rejeki besar. Sang Panembahan Ciptaning lalu minta diri para tamunya untuk berkemas dan berpamit kepada orang dalam. Ia menuju ke sanggar pamujan, yaitu sebuah pondok kecil di kanan rumah, tempat ia dan puteranya memuja Samadhi. Panembahan yang sudah tua dengan jenggot dan rambut yang telah memutih itu lalu mencuci kaki dan tangan kemudian masuk kedalam pondok kecil.
Ia hendak menyampaikan puji kepada Yang Maha Tunggal dan mohon berkah kekuatan untuk menghadapi peristiwa yang akan dialaminya. Tidak lama kemudian, dari luar tampak seorang pemuda berlari-lari mendatangi. Dengan kerling mata tajam pemuda itu memandang lima orang Ponggawa yang masih duduk makan minum di ruang depan, lalu tanpa memperdulikan mereka ia langsung lari ke dalam. Kelima orang Ponggawa itu memandangnya dengan penuh kagum. tak mereka sangka bahwa di tempat sesunyi ini terdapat seorang anak muda yang seperti itu. Tubuhnya yang tak berbaju tampak tegap dengan kulit yang halus putih kekuningan, sepasang lengannya tampak kuat dan tangkas sedangkan wajahnya sangat tampan dan membayangkan keagungan wataknya.
Mata lebar dan bening bercahaya dilindungi bulu mata yang panjang melengkung ke atas, hidung kecil mancung dengan tulang lurus dan di sekeliling lubang hidung tipis, bibirnya bagaikan gendawa dan berwarna merah sehat, sedangkan dagunya tajam berlekuk sedikit di tengah dengan tarikan kuat menandakan bahwa ia memiliki kemauan keras dan kuat serta iman yang teguh. Sepasang telinganya lebar dan bentuknya indah, tanda akan sifatnya yang berbudi. Tetapi pada saat itu, pemuda ini tampak mengerutkan kening seakan-akan ada sesuatu yang di khawatirkannya. Astaga, elok benar anak muda itu! seru seorang diantara para Ponggawa tadi sambil memandangi sepasang kaki yang kokoh kuat itu melangkah memasuki rumah. Celana warna hitam itu diselimuti kain tenun.
"Siapakah ksatria gagah ini?"
Tanya Ponggawa kedua, sambil memandang kearah rambut kepala yang terbungkus sehelai kain ikat kepala berwarna biru gelap.
Barangkali murid Panembahan bisik yang lain. Sementara itu, teruna elok yang menjadi sasaran pandangan kelima orang Ponggawa tadi, langsung melangkah kedalan dan dengan tindakan cepat menuju kesanggar pamujaan. Ia menanggalkan gendawa yang tadi dikalungkan di bahu kanannya dan melepaskan kantung anak panah yang tergantung di punggung. Dengan tergesa-gesa ia mencuci kaki dan kedua tangannya, lalu menaiki tangga sanggar itu. Dilihatnya kakek pendeta tengah duduk bersila,mengheningkan cipta. Untuk sejenak pemuda itu memandang kepala Panembahan Ciptaning dengan tak bergerak, matanya dibayangi kagum dan haru. Memang kalau orang melihat pendeta tua itu sedang bersemedi, akan timbul rasa kagum dan terhormat.
Tubuh pendeta itu kurus kering tapi kulitnya tidak berkeriput, juga tidak pucat, bahkan wajah yang kurus itu bercahaya kemerahan. Dadanya yang telanjang itu bergerak perlahan dan tetap ketika bernapas. pernapasannya panjang-panjang dan bebas lepas seperti yang hanya dapat dilakukan oleh manusia sidik dan bijaksana. Lengan kanannya memeluk pusar dan lengan kiri ditumpangkan diatas bahu kanan, Kedua kaki bersila tumpang dengan kedua telapak kaki terlentang diatas paha. Bibir tertutup rapat mengarah senyum, mata setengah terkatup dengan pandangan tertuju keujung hidung. Seakan-akan ada hawa panas menyinar keluar dari tubuhnya dan bernyala-nyala diatas kepalanya. Teruna itu lalu menyembah dan tiba-tiba Panembahan Ciptaning membuka matanya, seakan-akan sembah pemuda itu menariknya kembali dari alam hening.
"Putraku galing, kau sudah kembali?"
"Betul, rama Panembahan, karena ada berita buruk disampaikan paman suto kepadaku."
Kakek pendeta itu dengan tenang bertanya ,
"Berita yang mana, anakku?"
"Ketika sedang membidik seekor kijang dengan panahku, tiba-tiba paman suto datang dan berteriak memanggil hingga kijang itu terkejut dan lari ke dalam semak-semak belukar. Kemudian paman suto membertahukan bahwa Rama Bagawan didatangi Ponggawa dari Kadipaten dan bahwa Rama dipanggil menghadap betulkah! Betulkah itu, Rama?"
Begawan Ciptaning mengangguk sambil tersenyum ramah.
"Ahh, anak muda yang berdarah panas. Memang berita itu benar, tapi apakah itu dapat disebut berita buruk? Selayaknya seorang pembesar seperti Gusti Adipati Gendrasakti yang menguasai seluruh daerah Wanagading ini memanggil seorang warga Kadipaten yang mana saja untuk menghadap."
"Tapi, Rama, bayangan yang kulihat dalam mimpi semalam itu..."
Suara Jaka Galing terdengar penuh ragu-ragu dan cemas. Sang Bagawan menarik napas panang dan suaranya terdengar sungguh-sungguh ketika ia berkata,
"Puteraku yang baik, memang Yang Maha Pengasih selalu memberi alamat dan tanda kepada sekalian hambaNya, tapi hanya mereka yang waspada saja yang dapat menangkap dan mengerti akan alamat itu. Engkau tentu maklum, anakku, bahwa Yang maha Tunggal itu berkuasa mutlak, kuasa memberi dan mengambil, kuasa membangun dan meruntuhkan. Kita sebagai manusia hanya tinggal menjalani saja, kewajiban kita memilih, ialah jalan yang terbaik. Hilangkanlah keraguan dan kecemasan hatimu, kierena itu hanya akan menyeretmu kedalam jurang kelemahan batin dan mengurangi ketabahan dan kekuatanmu."
Jaka Galing menyembah hormat.
"Maaf, Rama Bagawan. Memang tadi hati hamba diliputi kekhawatiran besar terdorong oleh napsu hati. Tapi setelah mendengar wejangan Rama, hatiku menjadi tenteram kembali, sungguhpun terus terang saja hatiku takkan merasa enak melepas rama pergi menghadap sang Adipati. Dalam mimpiku semalam, kulihat rama berpakaian putih dan bersayap terbang keangkasa raya, inipun bukan alamat yang baik. Pula, hamba mendengar kabar angin bahwa sang Adipati sedang bela sungkawa, entah apa yang disusahkannya."
Kini Bagawan Ciptaning kembali tersenyum.
"Anakku, tak perlu kita sembunyikan lagi. Memang kita telah mengetahui bahwa mimpi macam itu biasanya berarti kematian. Tapi apakah kau masih menganggap bahwa kematian adalah hal yang buruk dan perlu disusahkan? Kau tentu tahu bahwa mati pada hakekatnya hanya memenuhi kewajiban, tunduk kepada hukum alam yang tak kuasa kita elakkan, sama halnya dengan kelahiran. Manusia mana yang dapat mengelakkan kelahiran sendiri? Demikian pula diapun takkan dapat menghIndrakan kematian, sesuatu hal lumrah yang akan dialami oleh setiap mahkluk di dunia ini."
Pada saat itu terdengar suara panggilan di luar sanggar pemujaan.
"Sang Bagawan! Harap suka keluar dan kita berangkat sekarang karena matahari telah naik tinggi!"
Itulah suara Ponggawa.
"Baik, mas Ponggawa, aku segera turun,"
Jawab Panembahan Ciptaning. Kakek pendeta itu berdiri dan mengambil jubahnya yang panjang dari sangkutan lalu dikenakan di tubuhnya yang kurus.
"Rama Bagawan!"Jaka Galing memeluk kaki pendeta itu. Bagawan Ciptaning membungkuk dan membelai-belai rambut taruna itu.
"Galing, ingat. Tidak ada pertemuan abadi di dunia dan juga tidak ada perpisahan abadi. Kelak kita semua akhirnya akan menjadi satu juga. Bersikaplah kau sebagai sebagai ksatria dalam segala hal. Janagn menuruti nafsu hati yang liar tanpa kendali. Pergunakanlah akal budi dan hatui nuranimu, perhatikan selalu bisikkan suara jiwa murnimu."
"Rama, aku ikut, rama. Biarkan aku melindungimu selama dalam perjalanan ke Kadipaten."
"Jangan, angger. Gusti Adipati hanya memanggil ramamu, dan kau harus jaga disini memimpin, pamong tani mengerjakan sawah. Hati-hati menjaga tanggul sawah, sekarang musim hujan dan kau tanggul sampai pecah sungguh kasihan nasib kawan-kawan tani kita. Sudahlah galing, puteraku, ramamu pergi."
"Selamat jalan, Rama Bagawan."
"Selamat tinggal, Yang Maha Tunggal akan selalu memberkatimu!"
Kakek pendeta itu lalu menuruni anak tangga diikuti oleh Jaka Galing. Pemuda ini merasakan adanya suatu bisikan didalam hatinya yang membuat ia tidak rela melihat ayahnya pergi. Tapi ayahnya melarang ia ikut dan tak berani membantah kehendak ayahnya. Panembahan Ciptaning lalu dipersilahkan naik tandu yang telah disediakan oleh para Ponggawa itu, tapi sambil tersenyum pendeta itu menolak. Ketika ketika ia dipersilahkan menunggang kuda ia menolak pula. Melihat kesibukan para Ponggawa itu, Jaka Galing bertindak maju dan berkata kepada mereka.
"Paman Ponggawa sekalian tidak perlu sibuk dan bingung. Rama Panembahan tidak pernah menyiksa orang dengan duduk di dalam tandu dan orang lain memikulnya, juga beliau tidak suka menunggang kuda. Akan tetapi, tak perlu kalian khawatir. Larikan saja kudamu secepatnya ke Kadipaten,rama takkan tertinggal oleh kalian!"
Mendengar ucapan itu para Ponggawa saling pandang dan tertawa geli,karena mereka menyangka bahwa anak muda itu membual. Tapi, alangkah heran mereka ketika pendeta itu berkata dengan suara halus.
"Mas Ponggawa, naiklah kuda kalian. Biar aku berjalan kaki saja."
"Tapi kita akan terlambat dan gusti Adipati akan marah kepada kami kalau kita datang terlambat. Sedang dengan naik kuda saja, baru setelah matahari turun kita akan sampai kesana, apalagi kalau jalan kaki, mungkin sampai besok kita belum tiba!"
"Naiklah kuda kalian dan larikan secepatnya, aku akan pergi lebih dulu,"
Kata pendeta itu.
Ketika lima orang Ponggawa itu bertindak masih agak ragu-ragu dan banyak rewel. Jaka Galing lalu menggunakan telapak tangannya menepuk pangkal paha kelima kuda mereka. Kuda-kuda itu meloncat dan meringkik, lalu melompat ke depan dengan cepat sekali tanpa dapat ditahan pula oleh penunggang-penunggangnya. Jaka Galing tertawa nyaring melihat mereka, dan Panembahan Ciptaning hanya tersenyum. Pendeta tua inipun lalu menggunakan aji kesaktiannya dan tubuhnya berkelebat cepat mengejar ke arah larinya kuda. Untuk akhir kalinya, Jaka Galing berlutut menyembah ke arah ayahnya. Sampai lama pemuda itu duduk bersila di depan pondoknya, dan baru berdiri ketika suto menghampirinya.
"Den bagus, ramamu sudah pergi, mari kita masuk kepondok."
Jaka Galing bagaikan baru sadar dari mimpi. Ia memandang wajah pelayan tua yang setia itu, lalu berkata,
"Paman suto, hari ini aku akan bersamadhi di sanggar pamujan untuk memohon berkah Sang Hyang Agung untuk Rama Panembahan. Aku takkan keluar sampai besok pagi, jangan kau ganggu aku."
Pemuda itu lalu berdiri dan masuk ke sanggar pamujan. Pak Suto menggelengkan kepalanya. Diam-diam ia memuja pemuda yang amat berbakti dan mencintai orang tua ini. Ia sendiri yang telah menaruh kepercayaan penuh kepada sang pendeta dan maklum betapa saktinya Panembahan Ciptaning, tidak merasa khawatir sedikit juga. Lima orang Ponggawa yang bertugas memanggil Panembahan Ciptaning menjadi marah sekali ketika kuda mereka tiba-tiba lari karena tepukan anak muda itu. Mereka mencoba menahan dan menenangkan kuda mereka, tapi kuda-kuda ini bagikan gila dan lari cepat ke depan hingga terpaksa mereka menurut saja. Sambil memaki-maki mereka mengarahkan kudanya ke jurusan Kadipaten. Tiba-tiba mereka mendengar suara yang halus dan berpengaruh,
"Mas Ponggawa, jangan suka menyumpah-nyumpah dan memaki-maki kuda. Kalau kalian terus memaki, tentu kalian akan terlempar jatuh!"
Mendengar suara ini mereka terkejut dan menengok. Ternyata dibelakang mereka tampak Panembahan Ciptaning berjalan seenaknya dengan tongkat di tangan.
Biarpun kedua kaki pendeta itu bergerak perlahan bagaikan seorang yang sedang berjalan-jalan, namun kecepatannya tidak kalah dengan larinya kuda! Melihat keadan yang aneh ini, empat orang Ponggawa segera berhenti nemaki-maki kuda mereka. Tapi seorang diantara mereka yang termuda, tidak merperdulikan peringatan Panembahan Ciptaning, dan bahkan memaki-maki lebih keras dengan kata-kata kotor. Tiba-tiba kudanya meringkik ganjil dan sambil bediri di kedua kaki belakang, binatang itu menggoyang-goyang tubuhnya dengan kuat hingga si Ponggawa tidak dapat bertahan lagi dan terlempar dari atas punggung kuda! Untung ia terlempar ke atas semak-semak yang tebal hingga tidak mengalami patah tulang, dan hanya menderita luka-luka dikulit saja. Sekali lagi Panembahan Ciptaning berkata.
"Mas Ponggawa, kalian paculah kuda itu baik-baik. Aku hendak berjalan lebih dulu."
Terlihat oleh mereka bayangan putih berkelebat dan pendeta tua itu telah lenyap dari pandangan mata mereka! Bukan main kagum mereka melihat kesaktian ini. Sesudah itu dengan cepat mereka menolong kawan mereka yang terlempar oleh kuda tadi. Ponggawa itu merintih-rintih, tapi kini tidak berani memaki lagi! Adipati Gendrasakti adalah Adipati yang mermerintah daerah Kadipaten Tandes dan terkenal sebagai seorang yang sakti mandraguna, karena ia pernah menjadi senopati dari Prabu Brawijaya di kerajaan majapahit.
Karena jasanya yang besar dalam menaklukkan Kerajaan Blambangan pada beberapa tahun yang lalu, ia lalu diangkat menjadi Adipati dan berkedudukan di Kadipaten Tandes, serta dijodohkan dengan seorang puteri kedaton yang cantik jelita bernama Cahyaningsih, yakni puteri seorang selir Prabu Brawijaya. Semenjak Adipati Gendrasakti memerintah di Tandes, daerah itu menjadi subur makmur dan tenteram. Para paman tani bekerja dengan penuh semangat karena selain mendapat petunjuk-petunjuk dari para Ponggawa Kadipaten yang bertugas khusus untuk itu,juga pajak sawah tidak terlalu berat. Para nelayan juga bekerja dengan penuh gembira dan hasil ikan yangt mereka dapat sedemikian banyaknya hingga dapat dikirim kedaerah lain, bahkan sampai dibawa keluar pulau. Tapi memang benar ucapan para cendekiawan zaman dahulu bahwa segala sesuatu yang nampak dipermukaan bumi itu tidak kekal adanya.
Sedangkan samudera yang demikian luasnya mengalami pasang surut, udara yang sedemikian luas mengalami musim panas dan dingin. Apalagi manusia, makhluk kecil yang tidak berdaya terhadap kehendak Sang Hya Agung. Roda pemerintahan yang tadinya berputar lancar di bawah pimpinan Adipati Gendro sakti, tiba-tiba harus tunduk pula kepada nasib yang menimpanya. Hal ini terjadi semenjak Adipati Gendrasakti mengambil seorang selir baru sebagai penambah selir-selirnya yang sudah berjumlah 14 orang itu. Tadinya Adipati sangat mencintai Dewi Cahyaningsih dan tidak memelihara selir, tapi semenjak istrinya yang tercinta itu melahirkan seorang anak perempuan, entah mengapa, berubahlah sifat Adipati Gendrasakti dan selirnya selalu bertambah banyak.
Selirnya yang terbaru adalah ledak yang sangat tersohor karena kecantikannya dan kepandaiannya menari serta suaranya yang merdu. Namanya Sariti, berasal dari Surabaya. Dan sejak memboyong selir ini keKadipaten, Adipati Gendosakti mulai melalaikan dan jarang sekali keluar dari Kadipaten untuk memeriksa keadaan rakyatnya di desa seperti yang dulu sering ia lakukan. Tiap hari ia bersenang-senang dengan selir baru itu dan hampir tiap malam terdengar suara gamelan dimainkan oleh para yogo dari ruang tengah Kadipaten, tanda bahwa Adipati sedang mengadakan klenengan. Dari luar Kadipaten, sayup-sayup terdengar suara Sariti mengalun merdu, merayu-rayu dan membuat sang Adipati tenggelam semakin dalam. Pada suatu malam, Adipati Gendrasakti bermimpi melihat api kecil bernyala di dalam rumahnya.
Lama-lama nyala api itu membesar hingga rumahnya menjadi lautan api dan terbakar habis. Ia berteriak-teriak minta tolong lalu sadar dari mimpinya dengan wajah penuh peluh dan hati tidak tenteram. Pada keesokan harinya, ia panggil menghadap para hulubalangnya dan memerintahkan untuk memanggil menghadap para cerdik pandai di seluruh Kadipaten. Setelah mereka datang menghadap, Adipati Gendrasakti lalu menceritakan kejadian yang diimpikannya dan bertanya kepada mereka apa arti mimpinya itu. Para penasehat itu saling pandang dan tak seorang di antara mereka dapat memecahkan arti mimpi yang aneh itu. Beberapa diantara mereka maklum bahwa mimpi seperti itu mempunyai arti yang tidak baik, maka mereka tak berani menerangkannya di depan Gendrasakti, dan merasa lebih aman dengan menutup mulut dan berpura-pura tidak tahu artinya.
"Paman sekalian adalah orang-orang yang dianggap paling pandai di Kadipaten Tandes. Tapi mengapa memecahkan arti mimpi yang sedemikian sederhananya saja tidak sanggup?"
Kata Adipati Gendrasakti marah. Penasehat tertua yang dianggap paling pandai, bernama Bagawan Sidik Permani, menyembah dan berkata.
"Gusti Adipati yang mulia. Menurut pendapat hamba yang rendah, mimpi adalah kembang tidur. Seorang yang bermimpi menandakan bahwa dia itu tidur nyenyak dan pulas. Hamba rasa tidak perlu paduka merasa bingung dan menyusahkan sebuah mimpi yang tidak ada artinya."
"Paman Bagawan, tak mungkin mimpiku semalam itu tak ada artinya. Sayapun bisa membedakan mimpi yang kosong dengan mimpi yang mengandung arti. Sayang saya tidak dikaruniai kewaspadaan oleh Sang Hyang Agung, dan lebih sayang lagi paman sekalian yang memiliki kewaspadaan ternyata tidak mampu mempergunakannya."
Bagawan Sidik Permani berkata pula,
"Maaf, Gusti Adipati, kalau gusti tetap hendak mengetahui arti mimpi paduak itu, kiranya di seluruh Tandas ini hanya ada seorang saja yang sanggup menerangkannya."
Wajah Adipati Gendrasakti berseri dan kemarahannya berkurang.
"Paman Bagawan, siapakah gerangan orangi itu? "tanyanya.
"Siapa lagi kalau bukan Paman Panembahan Ciptaning dari dusun tiban."
Pendeta yang mengasingkan diri dan bertapa di dusun itu. Ia maklum akan kesaktian dan kewaspadaan Panembahan Ciptaning, karena dulu ketika ia masih menjadi senopati di Majapahit, Panembahan Ciptaning juga mengabdi kepada Prabu Brawijaya dan menjadi penasihat yang dikasihani. Pada waktu itu nama Panembahan Ciptaning masih disebut Empu Ciptaning. Mendengar keterangan Bagawan Sidik Permani, hati Adipati Gendrasakti menjadi sangat girang dan mengutus lima orang Ponggawa untuk pergi ke dusun Tiban dan memanggil orang tua itu.
Panembahan Ciptaning dengan mempergunakan aji kesaktiannya telah mendahului para Ponggawa yang diutus memanggilnya dan sebelum hari menjadi gelap ia telah tiba di Kadipaten. Penjaga pintu gerbang Kadipaten yang telah mendengar bahwa Adipati Gendrasakti mengirim utusan untuk memanggil seorang tua yang sakti, ketika mendengar permintaan kakek itu dan mendengar namanya, segera berlaku hormat sekali dan mengiringkan pendeta itu masuk ke Kadipaten. Adipati Gendrasakti yang mendengar akan kedatangan Panembahan Ciptaning, menjadi girang sekali. Segera ia panggil menghadap semua hulubalang dan penasihatnya. Dan pada senja hari itu ia mengadakan pertemuan di balairung atau ruang di mana biasanya ia mengadakan persidangan dengan para Ponggawanya.
Setelah semua hulu balang datang menghadap, Panembahan Ciptaning yang sementara itu dipersilahkan menanti diruang tunggu, lalu dipanggil menghadap. Dengan langkah perlahan dan wajah yang sabar serta tenang, Panembahan Ciptaning memasuki balairung dan langsung menghadap Adipati Gendrasakti yang duduk di kursi kebesarannya, sebuah kursi dihias dengan gading-gading indah, hadiah dari sanga Prabu Brawijaya. Sebagai seorang tamu agung atau seorang yang terhormat, Panembahan Ciptaning tidak duduk di atas lantai seperti hamba sahaya yanga lain, melainkan dipersilahkan duduk di atas sebuah kursi cendana. Setelah tegur-menegur dan salam-menyalam sebagimana layaknya tamu dan tuan rumah. Adipati Gendrasakti lalu menceritakan maksudnya memenggil orang tua itu. Ia lalu menceritakan tentang mimpinya yang aneh dan yang membuat selalu hatinya bimbang.
"Paman Panembahan."
Katanya dengan sikap hormat.
"Semenjak saya mendapat mimpi itu, entah mengapa, hati saya merasa tidak enak, makan tak mau dan tidur tak nyenyak. Saya akan merasa menderita dan kecewa selalu sebelum mimpi saya itu dipecahkan artiya. Oleh karena itu, saya mohon kepada paman untuk sudi membantu dan menerangkan arti mimpi saya itu."
Semenjak tadi Panembahan Ciptaning mendengar dengan penuh kesabaran, Tidak satu kali pun ia memotong pembicaran Gendrasakti, Setelah Adipati itu selesai menuturkan mimpinya, baru pendeta itu mengangguk-angguk dan menggunakan tangannya meraba-raba jenggotnya yang putih dan panjang.
"Ananda Adipati, memang segala apa yang ada telah di tentukan oleh Sang Hyang Agung. Manusia boleh berusaha, namun Gusti Yang Maha Tinggi juga yang akhirnya jadi penentunya. Betapapun cerdik pandainya seseorang, tapi sebenarnya ia bukan apa-apa dan hanyalah makhluk kecil lemah dan tak berdaya dan harus tunduk kepada hukum alam. Ananda Adipati, sungguh amat mengherankan kalau dipikir bahwa untuk menerangkan arti mimpi yang sederhana ini saja sampai bersusah payah mendatangkan paman orang tua yang bodoh. Apakah paman takkan dianggap terlalu meremehkan saudara-saudara para cendekiawan di Tandes ini?"
"Inilah yang membingungkan hati saya, paman. Ternyata kali ini paman-paman penasihat di Tandes ini kehilangan kewaspadaan mereka dan tak sanggup menerangkan arti mimpi saya, oleh karena itu saya terpaksa mengganggu paman Panembahan."
Sekali lagi, Panembahan Ciptaning mengangguk-anggukkan kepalanya yang sudah ubanan dan terdengar ia menarik napas panjang.
"Hm, inipun kehendak Sang Hyang Agung, memang sudah seharusnya demikian. Baiklah ananda Adipati, dengarkanlah uraian paman akan arti mimpi itu. Ananda melihat buanga api kecil di dalam rumah yang kemudian membesar dan membakar rumah ini sampai habis binasa. Mimpi ini mempunyai arti buruk, ananda Memang, pada permulaan, bahaya yang mengancam Kadipaten Tandes tidak kentara dan karenanya ananda abaikan. Bunga api kecil di dalam rumah itu memperlambangkan adanya siluman di dalam rumah ananda, siluman yang telah menjelma menjadi wujud manusia dan yang kemudian hari akan mendatangkan bencana dan kehancuran kepada anada serta Kadipaten Tandes. Karena ini menjadi peringatan Sang Hyang Agung, maka berhati-hatilah, ananda!"
Tidak saja Adipati Gendrasakti yang menjadi pucat mendengar uraian ini, bahkan semua hadirin juga merasa ngeri dan terkejut. Tiadak hanya terkejut akan ancaman arti mimpi itu, tapi terkejut karena mereka menganggap bahwa pendeta ini terlampau berani dan lancang meramalkan keadaan yang demikian buruk bagi Kadipaten Tandes. Memang di dalam hati Gendrasakti telah timbul amarah besar, tapi ia masih kuasa menekan perasaannya itu, dan bertanya meminta nasihat.
"Kalau demikian halnya, usaha apakah yang dapat saya ikhtiarkan untuk menjauhkan bencana yang mendatang itu, paman Panembahan?"
Dengan suara sungguh-sungguh Panembahan Ciptaning menjawab.
"Seperti kukatakan tadi,manusia boleh berusaha, namun Sang Hyang Agung juga yang akan menentukan! Betapapun juga,kalau benar-benar diusahakan,memang belum terlambat. Jalan satu-satunya ialah ananda harus bertindak cepat, mengambil bunga api itu dan membuangnya jauh-jauh hingga tak menimbulkan kebakaran besar! Ananda harus insyaf bahwa segala akibat itu bersebab. Sang Hyang Agung takkan menjatuhkan hukuman kepada makhlukNya tanpa sebab, seperti juga air diam takkan bergerak tanpa ada yang menyentuhnya! Dan kesalahan-kesalahan apa yang telah ananda perbuat, hanya ananda sendiri yang bisa mencarinya."
Adipati Gendrasakti berpikir keras dan mencoba untuk menerka siapa gerangan siluman berwujud manusia yang merupakan bunga api yang kelak akan membakar rumah tangganya itu. Tapi ia tak sanggup menemukannya maka ia lalu bertanya lagi.
"Duhai, paman Panembahan yang waspada, janganlah kepalang tanggung menolong kami. Sebutkanlah orangnya yang paman anggap sebagai bunga api itu, dan saya akan melenyapkannya dari muka bumi ini sekarang juga!"
Karena agak lama pendeta itu belum menjawab, maka keadaan menjadi sunyi dan tegang. Setiap telinga dipasang baik-baik untuk mendengar jawaban Panembahan Ciptaning dan setiap dada berdebar. Kemudian terdengar jawaban Panembahan itu, perlahan dan tenang hingga jelas terdengar oleh semua orang.
"Bunga api indah dilihat dan setiap orang membutuhkannya. Dalam mimpi ini ia melambangakan seoarang yang cantik dan pada waktu ini paling ananda cintai dan anada sayang. Dialah orang itu!"
Hening sesaat, bahkan hembusan napaspun hampir tak terdengar lagi, tapi tiba-tiba meledaklah uap panas di dalam dada Adipati Gendrasakti.
"Paman Panembahan! Kau maksudkan Sariti?!"
Panembahan itu menundukkan kepala.
"Bukan aku yang memaksudkan, tetapi mimpi anada sendiri."
Tiba-tiba meledaklah suara ketawa dari mulut Gendrasakti. Suara ketawa terbahak-bahak yang sengaja dikeraskan untuk menekan gelora hatinya yang diliputi rasa cemas dan takut. Kemudian ia berkata keras.
"Ha, ha! Panembahan Ciptaning! Kau... kau curang! Agaknya kau menyimpan dendam padaku dan sekarang kau hendak membalasnya! Kau anggap Sariti akan merusak hidupku? Ha,ha! Gila! Kau sudah gila, Ciptaning!"
"Memang demikian sifat orang yang telah lupa."
Jawab Panembahan Ciptaning.
"Yang bodoh memaki yang lain goblok, yang edan memaki yang lain gila!"
"Pengkhianat tua bangka!"
Gendrasakti marah dan ia mencabut kerisnya. Tapi para penasihatnya segera meloncat menubruk dan menyambarnya hingga Adipati yang sedang marah itu tidak jadi membunuh Panembahan Ciptaning. Tapi ia masih marah sekali dan segera memerintahkan pengawal-pengawalnya.
"Tangkap tua bangka ini! Penjarakan dukun tenun itu!"
Panembahan Ciptaning lalu ditangkap, dan dimasukkan ke dalam kamar tahanan. Tapi senyum sabar tak pernah meninggalkan wajah pendeta itu. Adipati Gendrasakti menyumpah-nyumpah dan akhirnya hanya Sariti saja yang dapat menyabarkannya.
"Kang Mas Adipati,"
Kata Sariti dengan suara merdu dan gaya manja.
"Saya telah mendengar tentang ramalan yang diucapkan oleh Panembahan Ciptaning. Kalau memang Kang Mas menganggap bahwa saya dapat menimbulkan malapetaka di Tandes sini, lenyapkanlah saya, Kang Mas, bunuhlah saya, saya rela berkorban demi kebahagian Kang Mas."
Setelah berkata demikian, Sariti menangis terisak-isak.
"Yayi Sariti, jangan kau dengar obrolan kosong dukun tua itu!"
Sariti yang masih muda remaja dan memang cantik itu berkata lagi.
"Jadi kalau begitu dia bukan seorang Panembahan suci seperti yang orang anggap, Kang Mas?"
"Pendeta suci? Ha, ha! Ciptaning hanya seorang kampung yang bisanya hanya mengobati anak-anak kecil. Ha, ha, ha!"
"Kang Mas Adipati, kalu begitu, orang itu berbahaya sekali dan selayaknya dihukum mati."
"Memang! Memang tadinya juga hendak saya binasakan pada saat itu juga, tapi para Ponggawa mencegah saya! Biarlah besok akan kuperintahkan pengawal untuk menjatuhkan hukuman picis [hukuman mati dengan mengguliti tubuh si terhukum sedikit demi sedikit] padanya."
Adipati Gendrasakti makin geram saja.
"Kakang Mas Adipati, jangan jatuhkan hukuman picis padanya, kasihan. Ia akan menderita luar biasa dan hatiku takkan tega mendengar ini."
Adipati Gendrasakti memeluk selirnya yang tercinta itu.
"Ah, makluk begini manis, begini cantik jelita, begini halus dan lembut, serta mempunyai hati pengasih penyayang, makhluk indah ini disebut siluman berwujud manusia oleh Ciptaning? Gila!"
Pikir Gendrasakti.
"Kalau kau keberatan, baik ia dihukum penggal kepala saja, manis,"
Katanya menghibur.
"Kang Mas Gendrasakti, saya masih sangsi dan khawatir kalau-kalau ia memang benar-benar seorang sakti. Bukankah macan putih yang kita dapat dari Madura itu liar sekali? Nah, sebaiknya kita uji kesaktian Panembahan Ciptaning itu. Kalau benar ia dapat menghadapi macan putih yang buas itu dengan selamat, maka benar-benar ia seoarang suci dan tidak seharusnya dibinasakan. Tapi kalau ternyata macan putih sampai membinasakannya, berarti ia memang seorang dukun penipu dan biarlah ia dikubur dalam perut macan putih itu!"
Adipati Gendrasakti senang sekali mendengar usul ini dan ia menganggap selirnya cerdik sekali. Dan malam itu mereka lalui dengan bersenang-senang seperti biasa. Pada keesokan harinya, Adipati Gendrasakti memerintahkan kepada para pengawalnya untuk mengumumkan kepada semua penduduk bahwa di alun-alun hendak diadakan ujian bagi pendeta Ciptaning. Pendeta tua hendak diadu dengan harimau putih yang ditangkap dihutan Madura sebagai ujian.
Jika ia mati diterkam hariamau, ternyata bahwa ia memang seorang penipu, tetapi apabila ia dapat menalahkan harimau putih, ia akan dibebaskan. Berita itu disampaikan oleh rakyat dengan gembira sekali karena memang belum pernah ada peristiwa semacam itu. Sudah menjadi kebiasan bahwa sesuatu pertunjukan yang aneh selalu disukai orang, tanpa memikirkan baik buruknya pertunjukan itu. Sebaliknya para penasehat dan sentana merasa sangat cemas karena ujian itu dianggap terlalu kejam dan tak kenal perikemanusian. Kalau hendak menghukum mati, mengapa tidak dibunuh saja? Mengapa harus dijadikan mangsa seekor harimau yang terkenal ganas dan kejam? Sebelum ditangkap, macan putih itu telah membinasakan puluhan rakyat kampung di Madura dan terkenal sebagai seekor binatang buas yang jahat.
Namun, siapa berani menentang kehendak Adipati Gendrasakti yang kuasa? Semenjak pagi-pagi rakyat berduyun-duyun ke alun-alun, hendak menyaksikan tontonan istimewa ini. Setelah gong dipukul, Adipati Gendrasakti keluar dari Kadipaten, diiringkan oleh para abdi dalem dan para Ponggawa. Tampak pula selirnya yang tercinta, Sariti,hendak menyaksikan tontonan yang terjadi sebagi kenyataan daripada buah pikirannya itu. Semua oarang terutama para muda tiada hentinya memuji kecantikan puteri ini dan diam-diam mereka mengakui bahwa untuk seorang cantik jelita seperti Sariti, seorang laki-laki agaknya akan sanggup melakukan apapun jua yang dimintanya. Setelah Adipati Gendrasakti dan rombongannya duduk di atas panggung yang telah disiapkan di situ, Adipati itu memberi perintah.
Dan datanglah beberapa orang prajurit menggotong sebuah kurungan besi yang besar dan berat. Orang-orang merasa ngeri ketika melihat bahwa yang berada di dalam kurungan itu adalah seekor macan loreng putih yang besar sekali. Ketika harimau itu melihat orang banyak, ia mengaum dengan suaranya yang menggetar bumi. Orang-orang menjadi pucat ketakutan dan para penonton yang berdiri paling depan lalu mundur hingga keadaan menjadi panik! Serombongan perajuit pilihan bersenjata tombak yang runcing segera berbaris dan berderet-deret merupakan pagar tembok yang kokoh kuat. Mereka membuat lingkaran dan penonton hanya diperbolehkan berdiri di belakang pagar prajurit yang menjaga dengan tombak itu siap sedia, maka kembali Adipati Gendrasakti memberi tanda.
Dari arah kamar tahanan, dikeluarkan Panembahan Ciptaning yang tua itu. Ia masih diborgol dengan belenggu rantai dan besi panjang dan ujung rantai itu dipegang oleh seorang penjaga yang bertubuh tinggi besar. Pendeta tua itu masih tersenyum, seakan-akan merasa geli melihat pertunjukan ini. Ia berjalan dengan jalan perlahan dan tenang seperti biasa dan mukanya tunduk memandang tanah yang dilalui kakinya. Para penonton melihat pendeta ini lalu menyambutnya dengan tepuk tangan riuh rendah. Melihat hal ini, Sariti merasa gemas sekali. Ia menujukan pandangan matanya dengan penuh kebencian ke arah pendeta itu. Orang gila, pikirnya, tanpa sebab tanpa alasan hendak mencelakakan aku! Si cantik itu lalu menyentuh lengan Adipati Gendrasakti dan berbisik.
"Cepatkanlah ujian ini agar lekas beres."
Maka Gendrasakti lalu memberi tanda lagi dan belenggu di tangan Panembahan Ciptaning dibuka.
Ia berdiri di dekat kurungan menundukkan kepala. Kemudian kurungan itu dibuka pintunya. Setelah pintu terbuka, prajurit yang membukanya cepat meloncat menyelamatkan diri di belakang para prajurit penjaga. Terdengar macan putih mengaum lagi beberapa kali, lalu ia keluar dengan perlahan. Semua penonton berdebar-debar dan keadaan menjadi tegang sekali. Harimau memandang calon korbannya yang masih berdiri tegak. Kini Panembahan Ciptaning juga memandang kepada binatang itu. Keduanya berdiri diam tak bergerak saling berpandangan, bagaikan terkena gertaran yang menjalar ke seluruh tubuh. Akhirnya harimau itu kalah dan menundukkan kepala, tak kuasa menentang sinar mata kakek tua di depannya itu. Ia mencium-cium tanah dan mengaum lagi, tapi sama sekali tidak berani menatap Panembahan Ciptaning!
"Dia penyihirnya!"
Sariti berbisik di dekat telinga Gendrasakti.
"Benar-benar dia dukun jahat!"
Sementara itu, melihat betapa harimau yang galak dan ganas itu seakan-akan takut kepada pendeta itu, penonton menjadi kagum dan mereka mengeluarkan suara pujian riuh rendah! Keadaan menjadi panik lagi, orang-orang berdesak-desakan hendak menyaksikan kesaktian seorang pendeta yang telah terkenal dan termasyhur namanya! Pada saat itu, di luar lingkungan penonton terjadi keributan hebat. Terdengar suara bentakan nyaring.
"Minggir! Minggir kamu! Buka jalan!"
Suara bentakan itu begitu menakutkan hingga orang-orang menjadi kacau balau, karena orang yang baru datang itu tidak saja mengunakan suara yang menggeledek untuk minta jalan, tapi juga menggunakan sepasang lengan tangannya yang luar biasa kuatnya!
Dengan kedua tangannya, ia memegang orang-orang yang menghalangi jalan di depannya dan melemparkan ke kanan kiri bagaikan orang melempar-lemparkan rumput kering saja! Dia adalah seorang pemuda tampan yang bertubuh tegap. Dadanya tak berbaju dan ia hanya mengenakan sepasang celana hitam sebatas lutut, berkalung sarung tenun dan memakai ikat kepala berwarna ungu kehitam-hitaman. Orang ini tidak lain adalah Jaka Galing yang sengaja datang mencari ayahnya, karena ditangkap dan hendak dijadikan korban macan putih telah sampai pula di kampungnya! Dengan kedua lengannya yang kuat, akhirnya Jaka Galing dapat mendesak sampai ke depan. Kedua matanya yang tajam terbelalak marah ketika ia melihat betapa ramanya telah berhadapan dengan seekor harimau putih yang besar sekali dan yang telah siap untuk menubruk dan merobek-robek tubuh ayahnya.
"Jahanam!"
Teriaknya keras sambil meloncat ke dalam kalangan.
Seorang prajurit yang hendak menghalang-halangi dapat digulingkan dengan sekali dorong saja! Macan putih itu memang takut untuk menyerang oarang tua yang memiliki sepasang mata yang luar biasa dan membuatnya lemah itu. Akan tetapi, ketika ia melihat betapa seorang pemuda berani masuk dan datang mendekatinya, dengan menggereng-gereng memperlihatkan giginya yang tajam ia maju perlahan sambil merendahkan tubuh sampai perutnya menempel pada tanah. Kemudian, dengan tiba-tiba dan tak terduga,harimau itu melompat menerkam ke arah Jaka Galing! Terkaman ini dasyat dan cepat sekali dan semua penonton memekik ngeri, terutama para pelayan wanita yang mengiringi Sartini. Semua orang merasa iba dan sayang kalau-kalau dada pemuda yang berkulit halus dan bersih itu akan dibeset dan dirobek-robek oleh kuku harimau putih!
Telah terbayang pada pandangan semua orang yang menyaksikan kejadian ini betapa pemuda yang tampan dan muda itu rebah dada robek terbuka dan leher hampir putus dan tubuhnya rebah dalam genangan darahnya sendiri! Akan tetapi, segera kengerian itu berubah menjadi keheranan dan akhirnya terdengar tepok-sorak yang gegap-gempita dan menggetarkan bumi. Ternyata bahwa pemuda yang tampan dan gagah itu dengan cara yang mengagumkan sekali telah dapat mengelak ke samping hingga terkaman macan putih tak mengenai sasarannya. Dan sebelum binatang itu dapat menyerang lagi, kaki kanan Galing telah terayun kuat dan cepat menendang tubuh belekang harimau itu hingga binatang yang kuat dan liar itu terlempar ke depan tunggang langgang!
"Alangkah hebat pemuda itu!"
Seruan perlahan ini tanpa disengaja terloncat keluar dari bibir Sariti yang merah dan manis dengan sepasang matanya yang memancarkan sinar merayu serta menggairahkan. Adipati Gendrasakti yang memang sudah marah melihat betapa macan putih itu tidak berani menyerang Panembahan Ciptaning dan betapa seorang pemuda dusun berani lancang tangan membela pendeta itu, kini bertambah marah mendengar pujian selirnya kepada pemuda pengacau itu! Racun-racun cemburu dan iri hati mengotori hati dan pikirannya dan dengan wajah berubah merah tangannya meraba-raba tombak pusaka Kyai Santanu didekatnya! Sementara itu, Jaka Galing masih berdiri dengan gagah dan tabah menghadapi serangan pembalasan dari macan putih yang menjadi marah sekali dan tiada hentinya mengeluarkan auman mengerikan.
Kemudian binatang itu menyerang kembali, kini lebih dasyat dan berbahaya daripada serangan yang pertama tadi. Akan tetapi, Jaka Galing ternyata jauh lebih gesit dan tangkas daripada yang ia duga, karena pemuda itu kembali dapat menyelinap di bawah terkaman kakinya dan untuk kedua kalinya memberi pukulan dari belakang dangan tumit hingga macan putih itu berguling sampai beberapa depa jauhnya. Di bawah sorak dan teriakan para penonton, pertempuran dasyat itu berlangsung terus. Beberapa kali Jaka Galing memperlihatkan kesigapannya dan tiap serangan terkaman harimau dapat dielakkan dengan baik dan dibalas dengan serangan tangan dan kaki. Namunharimau itupun memiliki kulit yang tebal dan tubuh yang kuat, hingga pukulan tangan Jaka Galing yang sudah terlatih dan tergembleng itu ternyata tak mampu melukainya, tapi hanya membuatnya terguling-guling.
Bukan main ramainya pertempuran mati hidup antara Jaka galing dan macan putih, hingga tidak saja para penonton yang gembira dan tegang melihatnya, juga para prajurit yang tadinya berjaga dengan tombak di tangan kini juga menjadi penonton yang tidak tinggal diam saja, ikut bersorak-sorak. Jaka Galing merasa gemas juga melihat betapa beberapa kali pukulannya tidak berhasil merobohkan harimau itu. Padahal ia telah mengeluarkan aji kesaktiannya dan kepalan tangan kanannya itu pernah sekali pukul saja memecahkan kepala seekor babi hutan! Ketika macan itu menubruk lagi, Galing melompat tinggi ke kiri dan sebelum tubuh harimau kembali ketanah, pemuda gagah itu telah berada di atas punggungnya dan sambil menggunakan tangan kiri merangkul dan menjepit leher harimau, tangan kanannya bergerak cepat.
"Crepp!!"
Dua buah jari telunjuk dan tengah dari tangan kanannya telah tepat menancap di kedua mata harimau itu!
Harimau putih meraung-raung dan menjatuhkan diri bergulingan, tapi Jaka Galing tetap berada di punggungnya dan menghujani pukulan pada kepala dan tubuh macan putih itu! Para penonton bersorak-sorai bagaikan gila, ada yang berloncat-loncatan, ada yang bertepuk-tepuk tangan ada yang tertawa-tawa dan ada yang mencucurkan air mata karena terharu, girang dan puas melihat kegagahan pemuda itu! Pada saat Jaka Galing masih bergumul mati-matian dengan binatang itu, tiba tampak bayangan orang melompat turun dari panggung dengan sebatang tombak yang mengeluarkan cahaya di tangannya! Bayangan ini tidak lain ialah Adipati Gendrasakti sendiri yang tak dapat menahan gelora nafsu marahnya. Ia menghampiri Panembahan Ciptaning yang semenjak tadi berdiri sambil berpangku tangan dan melihat sepak terjang Jaka Galing. Kini pendeta itu memandang Gendrasakti dengan bibir tersenyum tenang.
"Dukun siluman! Kau berani memberontak?"
Panembahan Ciptaning menggeleng-gelengkan kepala, dan bibirnya bergerak mengeluarkan kata-kata lirih.
"Tidak ada yang memberontak, Adipati! Kedatangan anak ini adalah kehendak Sang Hyang Agung..."
"Pendeta tua, rasakanlah hukumanku!"
Teriak Gendrasakti dan secepat angin ia menyerang dada pendeta tua itu dengan sebuah tusukan tombak. Tombak yang bermata tajam dan mengeluarkan cahaya itu meluncur cepat dan menancap di dada Panembahan Ciptaning bagaikan ujung pisau belati yang tajam ditusukkan pada sebutir buah semangka! Dari mulut Panembahan itu tak terdengar keluhan maupun teriakan sakit, bahkan mulut itu masih tersenyum. Ia masih tetap berdiri, tapi jubahnya yang berwarna putih itu perlahan-lahan menjadi merah di bagian dada!
Jaka Galing pada saat itu sedang mengirim pukulan-pukulan terakhir untuk menewaskan harimau yang telah rebah di tanah dengan kepala pecah-pecah dan mata buta. Sorak-sorai dan tepuk tangan yang riuh dari para penonton mengobarkan api di dalam dadanya hingga ia lupa akan hal-hal lain dan tujuannya satu-satunya ialah membunuh macan putih itu. Tiba-tiba segala suara di sekelilingnya yang tadinya riuh-rendah itu terhenti sama sekali dan keadaan menjadi sunyi. Tak seorangpun terdengar suara. Jaka Galing seakan-akan baru sadar dari pengaruh hikmat. Ia melepaskan bangkai macan putih yang terkulai diatas tanah, lalu perlahan-lahan ia mengangkat muak memandang kepada orang di depannya. Ia melihat betapa semua mata orang-orang yang berdiri di depannya ditujukan kearah satu tempat, yaitu di belakangnya dan semua orang tampak sedih dan ngeri.
Perlahan-lahan ingatan Jaka Galing kembali dan kesadarannya membuat ia menengok ke arah Panembahan Ciptaning yang tadi berdiri di belakangnya. Tiba-tiba Jaka Galing merasa betapa tubuhnya menggigil dan kepalanya menjadi pusing. Ia memaksa dirinya untuk berdiri dan melihat darah merah membasahi jubah ayahnya di bagian dada ini, matanya menjadi kabur dan suram. Ia menggosok-gosok matanya seakan-akan hendak melenyapkan mimpi buruk yang tampak di depan matanya. Tapi ia bukan sedang mimpi. Ia melihat jelas betapa sebatang tombak menancap di dada ayahnya, tepat diulu hati dan betapa Adipati Gendrasakti yang memegang gagang tombak itu berusaha mencabut dan menrik-narik tombak itu keluar dari dada Panembahan Ciptaning!
"Rama!!"
Pemuda itu menjerit sayu dan belum kuasa melangkah maju karena kedua kakinya seakan-akan lumpuh! Adipati Gendrasakti menjadi gugup karena ternyata ia tak dapat mencabut keluar tombak pusakanya dari dada Panembahan itu! Ia mencoba dan mencoba lagi, tapi sia-sia, ujung tombak Kyai Santanu agaknya terjepit oleh tulang rusuk pendeta tua itu! Melihat betapa pemuda itu telah berhasil membunuh mati macan putih dan mendengar betapa pemuda yang gagah perkasa itu menyebut ayah kepada Panembahan Ciptaning, Adipati Gendrasakti terkejut sekali. Terpaksa ia melepaskan tombak yang dipegangnya dan Penembahan Ciptaning terhuyng-huyung kearah puteranya.
"Rama!"
Jaka Galing melompat maju dan menahan tubuh ayahnya yang hampir roboh. Ia meletakkan kepala ayahnya di atas pangkuannya dan menyebut-nyebut nama ayahnya dengan suara memilukan. Tiba-tiba wajah pemuda itu berubah. Ia mengangkat kepala ayahnya dan perlahan-lahan ia meletakkan kepala itu diatas tanah. Kemudian dengan perlahan sekali ia berdiri, kedua tangannya dikepalkan di tangan kiri dan tangan itu menggigil sedikit, dadanya yang telanjang turun naik bergelombang, matanya yang lebar setengah dikatupkan, memandang ke sekeliling dengan lirikan tajam dan akhirnya ditujukan ke arah wajah Adipati Gendrasakti.
Mulutnya masih terkatup dengan gigi dikertakan, tubuh agak membungkuk siap menerkam bagaikan sikap macan putih tadi ketika hendak menyerangnya! Adipati Gendrasakti bukanlah sembarangan orang yang mudah merasa takut. Ia adalah bekas senopati yang telah kenyang menghadapi musuh, telah kenyang bertempur dan menghadapi bahaya-bahaya maut yang mengancam dari ujung keris lawanya beryuda, juga ia terkenal mempunyai kesaktian dan kepandaian pencak silat yang tinggi. Akan tetapi,menghadapi anak muda gagah perkasa yang sedang diamuk rasa balas dendam dan sakit hati itu, sedangkan tombak Kyai Santanu yang diandalkan kini tertancap di dada Panembahan Ciptaning dan tak dapat dicabut kembali, ia merasa gugup. Tanpa disadarinya, ia mengeluarkan perintah.
"Barisan pengawal! Tangkap dan bikin mampus pengacau ini!"
Para pengawal yang tadi berjaga dengan tombak di tangan untuk menjaga kalau-kalau macan putih mengamuk, kini serentak maju dan mengepung Jaka Galing yang masih berdiri di dekat ayahnya yang rebah di atas rumput, sedangkan Adipati itu cepat menyelamatkan diri dibelakang para prajurit! Bukan main marahnya Jaka Galing melihat sifat pengecut Adipati itu, dan kini rasa marahnya ditumpahkan kepada para prajurit yang mengepungnya dengan tombak mengancam.
"Kalian mau mengeroyok aku? Majulah!"
Teriakan ini keluar dari mulut dengan suara perlahan dan parau karena dadanya masih penuh dengan hawa marah dan sedih. Beberapa orang prajurit bergerak maju, dan tiba-tiba Jaka Galing mengeluarkan seruan yang menyeramkan, hampir menyerupai pekik atau tangis lalu tubuhnya melompat dasyat, lebih hebat daripada lompatan seekor harimau yang menerkam. Sekali serang saja ia telah dapat merobohkan tiga orang prajurit pengawal dan merampas sebatang tombak. Ia memainkan tombak itu dan berputar-putarnya sedemikian rupa sambil bergerak memutar.
Semua prajurit berseru kaget karena ketika mereka mencoba untuk menusuk dengan tombak, tombak mereka tertangkis patah, sedangkan mereka yang berdiri paling depan,tak kuasa menangkis serangan tombak Jaka Galing. Tiap kali tombak pemuda itu menyambar, maka robohlah seorang prajurit dan mereka yang berani menangkis segera berteriak kesakitan karena selain tombak mereka terpental,juga telapak tangan mereka berdarah karena kulitnya terkupas oleh kerasnya pukulan Jaka Galing! Maka sebentar saja para prajurit yang mengepungnya mundur ketakutan. Untung Jaka Galing masih ingat bahwa mereka ini hanyalah alat yang digunakan oleh Adipati Gendrasakti untuk mengepungnya,maka ia tidak mau bertindak terlalu kejam. Tujuannya hanya hendak membubarkan kepungan itu agar ia dapat mencari dan membalas dendam kepada Gendrasakti.
"Hayo, Gendrasakti bangsat tua, pengecut besar! Keluarlah! Mari kau hadapi aku, Jaka Galing putera Panembahan Ciptaning, hayo kita mengukur kepandaian, mengadu kerasnya tulang liatnya kulit! Hayo, majulah. Mengapa engkau takut kepada anak desa Tiban?"
Jaka Galing berdiri dengan tombak berlumur darah di tangan kanan, tangan kiri bertolak pinggang, kedua kaki berdiri terpentang lebar,dada terangkat, menantang-nantang dan memaki-maki Adipati Gendrasakti. Sementara itu, para prajurit hanya berdiri menjaga dari jauh, tak berani mendekati anak muda yang hebat itu.
"Galing...,"
Tiba-tiba terdengar suara panggilan perlahan, suara halus yang seakan-akan datang dari angkasa dan membawa Jaka Galing melayang ke atas. Suara itu bagaikan air wayu yang disiramkan di kepalanya yang panas. Terasa betapa suara itu menembus kepalanya dan langsung memasuki dada, mendatangkan suasana dingin, tenang dan mengusir pergi nafsu marah yang menyala dasyat di dalam dadanya. Cepat Jaka Galing berlutut dan mengangkat kepala ayahnya. Suara tadi tidak lain ialah suara ayahnya yang kini memandang kepadanya dengan mata sayu.
"Galing, tenangkan hatimu, tekanlah perasaanmu dan jangan membiarkan dirimu dikuasai nafsu amarah. Semua ini sudah kehendak Sang Hyang Agung, aku...aku tak dapat lagi mengelak daripada kehendak Gusti Yang Maha Kuasa. Tombak ini... Kyai Santanu... ia terlampau ampuh dan sakti! Aku tak kuasa menerimanya..."
Melihat betapa tombak pusaka itu masih menancap di dada ayahnya. Jaka Galing berkata lirih,
"Harus kucabut tombak ini, rama...?"
Mulut Panembahan Ciptaning tersenyum perlahan dan Jaka Galing tak dapat menahan keharuan hatinya melihat betapa dalam keadaan mandi darah itu ayahnya masih dapat bersenyum. Ia memeluk tubuh ayahnya dan terisak-isak.
"Galing, biarpun aku kalah oleh Kyai Santanu, tapi takkan ada seorangpun yang dapat mencabut tombak itu dari ulu hatiku kecuali kukehendaki. Karena itu, selain engkau, tak seorangpun dapat mencabutnya. Tapi jangan sekarang, Galing,...nanti saja kalau aku sudah berangkat..."
Mendengar ucapan ini, bukan main sedih hati Jaka Galing. Ia maklum bahwa ayahnya takkan dapat tertolong lagi, maka ia hanya dapat memeluk dan menciumi kepala orang tua itu dengan penuh kasih sayang dan hati remuk-redam.
"Galing, sekarang tiba saatnya untuk membuka rahasia yang menyelimuti dirimu. Kau...kau adalah cucuku, bukan anakku..."
Kalau Jaka Galing mendengar rahasia itu pada saat lain, ia tentu akan merasa heran dan tercenggang, tapi seluruh perasaannya telah dipengaruhi oleh keadaan Panembahan Ciptaning yang menyedihkan, maka ia menerima berita ini dengan tenang saja. Baginya sama saja, baik sebagai ayah, maupun sebagai Eyang, Bagawan Ciptaning adalah seorang yang ia kasihi lahir batin, seorang yang telah mendidiknya, memliharanya, menggembengnya dengan penuh kasih sayang.
"Galing, cucuku yang tercinta. Kau adalah anak tunggal dari budiati anakku, dan kau adalah turunan dari... Sang Prabu Brawijaya di Majapahit!"
Betapapun juga, mendengar berita yang hebat dan sama sekali tak pernah disangkanya ini, Jaka Galing membelalakan matanya.
"Dengar, cucuku..."
Suara Panembahan Ciptaning makin lemah hingga hanya terdengar sebagi bisikan lirih saja.
"Dulu sang prabu berkenan berburu binatang hutan dan tersesat di pondokku. Beliau bertemu dengan budiati anakku dan jatuh hati. Sang prabu lalu mengajukan lamaran yang tentu saja tidak dapat kutolak karena budiati sendiri pun suka kepada beliau. Mereka lalu menjadi suami isteri, akan tetapi ibumu tak mau diboyong ke Majapahit. Akhirnya terpaksa sang prabu meninggalkan dan dari perkawinan itu lahirlah engkau, cucuku, Sayang sekali ibumu telah dipanggil pulang oleh Hang Widi ketika melahirkan engkau. Oleh karena itu, untuk mencegah agar kau jangan selalu merindukan ayah bundamu, aku mengaku sebagai ayahmu."
Jaka Galing melihat betapa napas Eyangnya payah sekali. Ia memeluk kepala Eyangnya yang putih dan mengeluh.
"Duhai Eyang Panembahan yang tercinta...aku hanya mempunyai kau seorang kalau sekarang Eyang pergi meninggalkan aku..., betapa akan jadinya nasib cucumu ini. Eyang kau adalah seorang yang memiliki kesaktian tinggi, pergunakanlah kesaktianmu itu, Eyang. Lawanlah maut yang yang hendak membawamu... jangan tinggalkan aku..."
Mendengar ucapan Jaka Galing yang merayu-rayu itu, seketika timbul kekuatan Panembahan Ciptaning dan tenaganya yang hampir habis itu pulih kembali. Ia dapat bergerak dan tiba-tiba ia bangkit lalu duduk. Gaggang tombak Kyai Santanu yang menancap di ulu hatinya tampak lucu ketika Panembahan ini duduk. Akan tetapi ternyata pertapa sakti itu bangkit hanya untuk menegur cucunya saja.
"Kulup, cucuku! Lupakah kau bahwa betapapun tinggi kepandaian sesorang manusia, pada hakekatnya ia tak lebih berarti daripada setitik debu bila dibandingkan dengan kehendak Hyang Agung? Aku atau kau hanyalah setitik air disamudera dan tidak mungkin setitik air itu hendak membawa kehendak sendiri.Mau atau tidak, betapapun ia hendak melawannya, ia pasti aakn hanyut terbawa oleh gelombang itu. Apakah kau akan senang melihat Eyangmu atau gurumu berkhianat dan melawan kehendak Hyang Maha Agung?"
Hati Jaka Galing terpukul oleh kata-kata ini dan ia lalu menubruk dan menciumi kedua tangan Eyangnya yang penuh darah.
"Ampun, Eyang. Ampun..."
Tapi tiba-tiba ia merasa betapa tangan yang di ciumi nya itu dingin sekali. Ia cepat memandang wajah orang tua itu. Ternyata Panembahan Ciptaning telah melepaskan napas terakhirnya dan telah wafat dalam keadaan duduk!
"Eyang..."
Hanya demikian Jaka Galing dapat berbisik. Ia tetap berlutut didepan Eyangnya sambil mencium tangan orang tua itu. Lama sekali ia berada dalam keadaan seperti itu seakan-akan kakek itu sedang memberi berkah kepada seoarang cucu atau muridnya yang berlutut dan menyembah di depannya. Kemudian Jaka Galing bergerak perlahan dan memondong jenazah Eyangnya dibawa pergi dari situ dengan tindakan perlahan dan kepala ditundukkan, para prajurit sama sekali tidak berani mengganggunya. Mereka hanya memandang dengan hati terharu, melihat betapa pemuda yang gagah perkasa itu berjalan perlahan dan betapa rambut dan jenggot Panembahan yang putih dan panjang itu melambai-lambai tertiup angin.
Adipati Gendrasakti yang melihat dari tempat jauh, tak tahu harus berbuat apa, maka lalu menyusul Sariti yang telah diantar pulang oleh para pelayan ketika terjadi keributan tadi. Para penonton juga tidak ada yang berani menegeluarkan suara sedikitpun dan memandang pemuda yang memandang tubuh Eyangnya itu dengan pandangan sayu, mengikuti gerakan Jaka Galing dengan pandang mata mereka sampai pemuda itu lenyap dari pemandangan. Peristiwa ini menggores di kalbu rakyat Tandes dan meninggalkan kesan mendalam yang mengharukan Rakyat ikut berduka cita didalam hati, mereka mengutuk perbuatan Adipati Gendrasakti yang terlalu kejamdan menurutkan dorongan nafsu angkara. Namun, siapakah di antara mereka yang berani menyatakan ini dan berterus terang?
Betapapun juga, Adipati Gendrasakti adalah pembesar yang paling berkuasa di Kadipaten Tandes, dan wilayah itu, kekuasannya tak terbatas dan boleh dikata bahwa hidup atau mati seluruh rakyat Tandes berada di dalam gemgaman tangannya. Oleh karena inilah maka peristiwa berdarah itu berlaku tidak berkesan lama, dan lenyap dari kenangan orang bersama dengan terbangnya waktu... Kamar tidur yang disediakan untuk Sariti adalah yang sebuah kamar yang terbesar dan terindah di antara sekian banyak kamar di dalam gedung besar Kadipaten. Kamar ini dulu adalah kamar pertama, dewi cahyaningsih, akan tetapi semenjak Sariti diboyong masuk kedalam Kadipaten, puteri Majapahit yang sabar dan halus budi pekertinya itu mengalah dan pindah ke dalam sebuah kamar yang tidak begitu besar di ruang belakang bersama anak perempuannya.
Sariti yang cantik jelita tengah duduk menghadapi cermin dan membereskan rambutnya dengan sebuah sisir. Rambutnya memeng indah. Hitam panjang sampai ke paha dan sekalian halus juga mengombak air, harum sedap karena selalu digosok pandan dan sari kembang melati dan mawar. Wanita muda ini dengan perasaan bangga memandang bayangannya di dalam cermin. Memang ia cantik dan manis, tubuhnya ramping dengan kulit kuning halus menggairahkan, sedang usianya masih muda sekali. Maka, tak heran apabila Adipati Gendrasakti sampai lupa daratan dan mabuk. Akan tetapi pada saat itu, sang ayu Sariti bermuram durja. Sepasang alis matanya bertemu dan kedua matanya yang jernih indah itu memerah, seakan-akan menahan tangis yang mendesak, air matanya hendak tumpah.
Adipati Gendrasakti tampak duduk diatas pembaringan yang indah bertilam sutera merah muda berkembang sulam bunga seruni dengan bantal-bantal yang bersarung indah pula serta berbau harum mewangi mengingatkan dia bau rambut selirnya itu. Gendrasakti duduk bersila dengan wajah bingung. Ia maklum bahwa selirnya yang tercinta itu sedang marah dan tak senang hati. Atas desakan selirnya ini, ia telah mengusir pergi semua selir lain dan kini Sariti mendesaknya agar ia mengusir pula Dewi Cahyaningsih! Tentu saja ia tak dapat meluluskan permintaan ini. Pada saat itu, Sariti memutar tubuhnya yang indah itu menghadapi Adipati Gendrasakti. Air matanya tak dapat ditahannya pula dan telah membasahi kedua pipinya yang kemerah-merahan seperti warna mawar yang seindah-indahnya.
"Kang Mas, Adipati, kalu begitu, cinta Kang Mas terhadap diri saya hanya... palsu belaka..."
Ia lalu menggunakan sepuluh jari tangannya yang halus runcing untuk menutupi mukanya karena air matanya mengucur makin banyak. Adipati Gendrasakti turun dari pembaringan dan dengan penuh kasih sayang memegang pundak selirnya sambil berkata perlahan.
"Jangan kau berkata demikian, Sariti kau tahu betul bahwa cintaku kepadamu cinta murni dan tak dapat diukur besarnya. Permintaanmu yang manakah yang pernah kutolak?"
"Buktinya... Kang Mas lebih memberatkan yunda Dewi daripada aku..."
Adipati Gendrasakti membelai-belai rambut Sariti yang hitam dan harum.
"Permintaanmu kali ini memng sukar untuk dapat dilaksanakan, Sariti. Telah berkali-kali aku jelaskan, bahwa untuk menyuruh Cahyaningsih pulang tidaklah semudah kau kira. Hal ini berlainan sekali dengan keadan para selir yang telah kita usir dri sini. Ingatlah, dia adalah isteriku yang sah dan isteri pertama. Tentu akan menimbulkan perasaan tidak senang di kalangan para hamba sahaya dan rakyat di Tandes."
Dengan gaya manja sekali Sariti menolakkan kedua tangan Adipati Gendrasakti yang membelai-belai rambutnya itu, lalu katanya.
"Itu hanya alasan kosong belaka, Kang Mas. Apa hubungan para hamba sahaya dan rakyat dengan urusan rumah tangga Kang Mas sendiri? Bilang saja bahwa hatimu masih berat sebelah kepada yunda Dewi."
"Ingat bahwa Cahyaningsih telah mempunyai seorang puteri dariku, apa akan jadinya dengan dia dan anakku Puspasari?"
Sariti cemberut dan bibirnya yang berbentuk gendawa dan merah segar itu ditajamkan, menambah manisnya.
"Kang Mas maklum bahwa yunda Dewi benci kepadaku. Biarlah, daripada hidup dibenci dan selalu terancam, lebih baik Kang Mas pulangkan saja aku atau bunuh saja. aku tidak kuat hidup di bawah satu wuwungan dengan orang yang membenciku dan biarlah kalau memang Kang Mas lebih mencintai nenek tua itu daripada aku"
Mendengar ucapan ini, dengan cepat Gendrasakti memeluk selirnya dengan hati cemas.
Jilid 02
"Sariti. jangan kau mengambil keputusan nekat seperti itu. Aku takkan hidup lama lagi tanpa kau. aku, mencintaimu sepenuh jiwaku. Aku tak peduli lagi akan keadaan Dewi Cahyaningsih, jangankan baru seorang, biarpun ada seribu Cahyaningsih, aku masih berat kepadamu, manis. Sariti cepat berkata dengan suara manis dan merdu,
"Kalau begitu, suruhlah dia pergi, Kang Mas. Biar kita berdua hidup rukun dan tenteram, penuh cinta kasih dan damai!"
"Tapi, Sariti manisku, dia adalah keturunan Prabu Brawijaya di Majapahit. Kalau sang prabu mendengar akan hal puterinya terusir dari sini, pasti beliau akan marah sekali. Bibir Sariti yang tadinya sudah membayangkan senyum manis, kembali cemberut, bahkan sepasang matanya yang bersinar-sinar dan berkelap-kelip bagaikan dian terhembus angin itu memandang dengan cahay menghina.
"Kau takut Kang Mas? Apa yang kau takutkan? Bukankah kau terkenal gagah perkasa dan mempunyai prajurit-prajurit pilihan dan kuat? Lagi pula, bukankah kau dahulu menjadi senopati Majapahit yang terkenal paling sakti? Prabu Brawijaya mampu berbuat apa terhadap kita?"
Untuk beberapa lama Adipati Gendrasakti termenung, lalu berkata perlahan.
"Biarpun ucapanmu itu betul, akan tetapi harus diingat bahwa Majapahit mempunyai banyak perwira yang sakti dan tentara yang sangat kuat. Kalau sang prabu marah kepada kita dan mengirim barisan ke sini, tentu akan pecah peperangan dasyat yang akan menimbulkan banyak korban jiwa di kedua belah pihak. Apakah tidak ada jalan lain yang lebih aman dan baik untuk mencapai maksud kita?"
Adipati yang sudah berumur 50 th lebih itu mengerutkan keningnya yang sudah penuh garis. Tiba-tiba Sariti menghampiri Adipati Gendrasakti yang duduk di atas kursi sambil termenung menggigit-gigit bibirnya, lalu dengan gaya menarik hati sekali menjatuhkan diri di atas pangkuan Adipati itu.
"Kang Mas, mengapa kau begitu bodoh dan kurang akal? Serahkan saja hal ini kepada Sariti, isterimu yang cerdik dan setia, isterimu yang mencintaimu dengan penuh jiwa."
Kemudian dengan bisik-bisikan di dekat telinga Adipati Gendrasakti, Sariti menceritakan siasatnya. Adipati Gendrasakti mendengarkan dengan penuh perhatian, lalu mengangguk-angguk dan memandang selirnya yang cantik jelita itu dengan pandangan kagum dan gembira.
"Alangkah pandainya kau mengatur siasat, isteriku manis. Baik, baik! Memang harus diatur begitu!"
Memang tidak keliru ucapan para pujangga purbakala yang menyatakan bahwa betapapun pandai, gagah perwira, kuat dan saktinya seorang laki-laki, namun apabila ia telah tergila-gila akan kecantikan dan berada di bawah pengaruh seorang wanita maka segala kepandaian dan kegagahannya itu akan sia-sia belaka dan ia hanya merupakan tanah liat yang lembek sekali dalam gemgaman tukang periuk yang pandai, ia akan menyerah dan menurut saja di-bentuk oleh wanita yang dikasihinya itu! Adipati yang mabok akan belaian dan rayuan Sariti yang cantik jelita, lupa akan anak bini, bahkan rela mengorbankan isteri dan anaknya demi kesenangan dan kepuasan hati kekasihnya itu.
Sariti memang berpikiran cerdik dan mempunyai banyak muslihat licin. Ia majukan siasatnya, yakni Dewi Cahyaningsih dan anaknya akan diantar pulang ke Majapahit dengan pengawal-pengawal sebagaimana mestinya. Akan tetapi, di tengah jalan kedua ibu anak itu akan di binasakan, kemudian para pengawal itu lalu diharuskan lari ke Majapahit dan memberi laporan kepada Sang Prabu Brawijaya bahwa ketika mereka mengantar Dewi Cahyaningsih dan puterinya berkunjung ke Majapahit, ditengah jalan di serang oleh... Jaka Galing yang berhasil membunuh ibu anak itu! Sungguh siasat yang kejam tapi licin luar biasa. Seperti telah merencanakan untuk menggunakan sebatang pedang yang bermata dua hingga dapat sekali pukul meruntuhkan dua lawan. Di satu pihak membinanasakan kedua wanita yang menjadi penghalang baginya itu,
Di pihak lain dapat merusak nama Jaka Galing yang berbahaya pula bagi Adipati Gendrasakti, hingga sang prabu tentu akan mengutus prajurit untuk menangkap Jaka Galing! Satu siasat yang harus dipuji, tapi yang harus dikutuk karena kejamnya. Pada keesokan harinya. Adipati Gendrasakti dengan menguatkan hati dan melenyapkan segala rasa segan dan malu, memasuki kamar isterinya. Kedatangannya disambut dengan wajah heran oleh isterinya dan dengan kegembiraan oleh Puspasari, anaknya. Telah berbulan-bulan Adipati ini tak pernah masuk ke dalam kamar isterinya, maka kedatangannya ini tentu saja menimbulkan heran kepada isteri yang sudah tak mengharapkan lagi kunjungan suaminya itu. Dengan cekatan Puspasari menyuguhkan minum kepada ayahnya. Setelah duduk berhadapan dengan isterinya, Gendrasakti lalu berkata.
"Yayi Dewi, sebenarnya kedatanganku ini hendak minta pertimbanganmu. Sebagaimana kau ketahui, telah berbulan-bulan aku tidak pergi menghadap ke Majapahit."
"Mengapa kanda tidak pergi menghadap Rama Prabu?"
Tegur Dewi Cahyaningsih yang tidak menyangka sesuatu. Gendrasakti menghela napas.
"Kau tahu, yayi, pekerjaan di sini amat banyak dan aku... Tak punya waktu untuk pergi-pergi jauh. Memang, kalau terlalu lama tidak menghadap, aku takut kalau-kalau Rama Prabu marah. Oleh karena itu, malam tadi aku mgambil keputusan untuk minta bantuanmu, yayi. Kau telah lama tidak bertemu dengan keluargamu di Majapahit, maka sekalian kau tengok mereka, kau wakililah aku menghadap Rama Prabu, menuturkan keadaan di Tandes yang tidak ada halangan suatupun apa."
Memang di dalam hatinya, semenjak suaminya tergila-gila kepada Sariti, Dewi Cahyaningsih merasa bosan dan tidak senang tinggal di Tandes, dan sering kali terkenang kepada sanak familinya yang berada di Majapahit. Mendengar usul suaminya ini, ia merasa genbira, lalu menjawab,
"Baiklah, kanda. Kalau kanda Adipati memerintahkan begitu, tentu saja saya tak berani membantah."
"Rama, ijinkanlah saya ikut kalau ibu pergi ke Majapahit."
Puspasari berkata. Ayahnya mengangguk-angguk,
"Tentu saja boleh, kalian pergilah berdua. Berkemeslah dan sementara itu aku akan memerintahkan pengawal-pengwal yang cakap untuk mengiringi perjalanan kalian, juga menyediakan barang-barang berharga untuk dihaturkan kepada Rama Prabu."
Kata Adipati Gendrasakti dengan suara manis, seperti seorang ayah yang baik hati!
Dengan gembira sekali Puspasari menari-nari dan lari masuk ke kamarnya sendiri di sebelah kamar ibunya untuk menyiapkan apa yang perlu di bawa dalam perjalanan jauh itu. Gendrasakti memilih 12 orang perwira yang paling dipercaya dan setelah memberi pesan kepada mereka, lalu disiapkan tandu dan segala keperluan. Sariti juga hadir dalam keberangkatan ini dan selir cantik jelita ini dengan gaya manis memberi bekal nasihat dan pesan agar mereka yang melakukan perjalanan itu berlaku hati-hati dan dapat menjaga diri di tengah jalan, serta membekali doa-doa selamat bagi ibu dan anak! Setelah rombongan itu berangkat Gendrasakti menjatuhkan diri di atas kursi di dalam kamar Sariti, dan Adipati tua itu termenung denga muka pucat betapapun juga,
Hati nuraninya memberontak dan suara hatinya mencaci maki dan mengutuknya, membuatnya termenung dengan hati menyesal. Akan tetapi, tiba-tiba sebuah lengan yang berkulit halus memeluk lehernya dengan suara merayu-rayu dan belaian-belaian penuh kasih sayang Sariti menghiburnya hingga hati nuraninya kembali tertutup. Dua belas orang yang dipilih oleh Gendrasakti untuk mengantar anak dan isterinya adalah bekas perampok-perampok jahat dan kejam yang tak pantang mundur menghadapi perbuatan yang bagaimana kejam dan ngerinya. Mereka ini adalah orang-orang taklukan, bekas pemimpin perampok yang didalam hatinya memang mempunyai sikap dendam dan memberontak terhadap kerajaan Majapahit, hingga mereka memang tepat sekali kalau diperalat oleh Gendrasakti untuk melakukan pembunuhan kejam ini.
Rombongan itu berjalan dengan cepat dan ketika hari telah menjadi senja, mereka masih berada di dalam sebuah hutan yang amat liar dan luas. Memang kedua belas pengawal itu sengaja membawa ibu dan anak itu kedalam hutan ini agar mereka dapat melakukan tugas mereka dengan leluasa. Setelah tiba di tempat yang mereka anggap cocok untuk melakukan kejahatan itu, tiba-tiba kepala pengawal, seorang tinggi besar bernama Klabangkoro berteriak memerintah agar rombongan itu berhenti. Delapan orang pelayan pemanggul tandu merasa lega mendengar perintah ini, karena mereka telah merasa lelah sekali. Dengan perlahan mereka menurunkan kedua tandu itu dan menggunakan kain ikat kepala untuk menyeka peluh mereka yang membasahi seluruh tubuh. Dewi Cahyaningsih dan Puspasari membuka kain renda penutup tandu dan Dewi Cahyaningsih bertanya.
"Hei, pengawal, mengapa berhenti di tengah hutan? Hari sudah menjadi gelap, hayo kita lanjutkan perjalanan mencari tempat penginapan di kampung depan."
Tapi 12 pengawal itu mendekatinya sambil ketawa menyeringai. Melihat keadaan ini, hati Dewi Cahyaningsih merasa tidak enak, maka ia lalu keluar dari tandunya. Juga Puspasari keluar dari tandunya.
"Kita takkan melanjutkan perjalanan!"
Kata Klabangkoro sambil mengurut kumisnya. Kemudian dengan cepat sekali ia mencabut goloknya yang terselip di pinggang dan sekali mengayun senjata itu, dua orang pemanggul tandu roboh mandi darah dan mati di saat itu juga tanpa dapat berteriak lagi! Alangkah terkejutnya semua pemanggul tandu yang enam orang itu. Tapi kekagetan mereka hanya sebentar, karena pengawal-pengawal lain lalu menggunakan senjata mereka dan sekejap kemudian kedelapan pemenggul tandu itu terbunuh dan tubuh mereka berserakan di atas rumput dalam keadaan yang mengerikan! Dewi Cahyaningsih dan anak gadisnya hampir saja pingsan melihat kekejaman dan pembunuhan ini. Mereka saling peluk dan menutup muka sambil menangis dan dengan tubuh menggigil mereka menanti kemungkinan selanjutnya.
"Ha, ha, ha!"
Terdengar Klabangkoro tertawa tergelak-gelak.
"Sayang Adipati tidak melihat sendiri hal ini!"
Mendengar ucapan ini, timbul dugaannya yang mengerikan di dalam hati Dewi Cahyaningsih. Dengan hati nekat, ia membuka matanya dan memandang kepada kepala pengawal ini.
"Klabangkoro! Apakah maksudmu maka kalian membunuh para pemikul tandu ini? Siapakah yang akan memenggul tandu kami selanjutnya?"
"Ha, ha,ha! Perempuan bernasib celaka, yang akan memanggul kau hanyalah setan-setan akhirat, karena sebentar lagi kaupun akan mengikuti kedelapan anjing-anjing ini! Ha-ha! Adapun yang akan memanggul puterimu yang cantik ini, jangan kau khawatir, tanganku masih kuat memondongnya! Betul tidak, kawan-kawan?"
Kawan-kawannya tertawa geli, dan seorang diantara mereka berkata.
"Kakang Klabangkoro, jangan kau habiskan sediri. Beri aku bagian! Ha, ha!"
Mendengar ucapan ini, bukan main kaget Dewi Cahyaningsih dan Puspasari.
"Apa? Kau hendak membunuh kami? Mengapa Klabangkoro, mengapa?"
Tanya Dewi Cahyaningsih dengan suara gemetar, sedangkan Puspasari memeluk ibunya dengan tubuh menggigil ketakutan.
"Jangan kau salah sangka, Wanita! Kami hanya menjalankan perintah Adipati Gendrasakti. siapa lagi yang menyuruh kami membunuhmu kalau bukan suamimu sendiri?"
"Tetapi... tak mungkin... mengapa begitu..."
Wanita yang bernasib malang itu mengeluh.
"Ha, ha, ha!"
Klabangkoro tertawa. Mudah saja diterka. Kau sudah tua, suamimu sudah tak suka lagi padamu, sudah mendapat yang baru, yang muda, yang cantik, tidak seperti kau yang sudah kisut. Ha, ha!"
Kini mengertilah Dewi Cahyaningsih. Jadi suaminya sendiri yang merencanakan pembunuhan ini! Tentu diatur bersama dengan perempuan siluman itu. Alangkah kejamnya! Tiba-tiba wanita tua itu mengangkat dada dan datang keberaniannya.
"Klabangkoro! Kau mau membunuh kami, bunuhlah. Aku tidak takut mati. Tetapi kuminta padamu dan kepada semua kawanmu. Kasihanilah anakku si Puspasari. Dia tidak tau apa-apa. Demi perikemanusian dan demi Gusti Yang Maha Agung, bebaskanlah anakku ini. Kalian boleh mengambil semua barang-barang berharga milik kami, boleh bunuh aku, tetapi kalian jangan bunuh anakku ini..."
Dewi Cahyaningsih memeluk anaknya yang sudah lemas itu dengan tersedu-sedu.
"Ah, perempuan cerewet! Jangan banyak cakap!"
Bentak Klabangkoro sambil menarik tangan Dewi Cahyaningsih yang memeluk anaknya, tetapi ibu itu tak mau melepaskan pelukannya. Puspasari menjerit-jerit dan mengeluh.
"Ibu... Ibu..."
"Sari... Sari anakku..."
Dewi Cahyaningsih juga menjerit pilu. Kakang Klabangkoro. Mampuskan saja perempuan tua itu supaya jangan banyak rewel lagi!"
Kata seorang diantara pengawal-pengawal itu. Dengan wajah menyeringai mengerikan Klabangkoro mengangkat goloknya yang masih berlumuran darah itu keatas dengan sepenuh tenaga ia membacok!
"Trang!"
Klabangkoro berteriak kesakitan dan goloknya hampir saja terlepas dari pegangan! Ternyata ketika ia menganyunkan goloknya membacok ke arah leher Dewi Cahyaningsih, tiba-tiba dari belakang sebatang pohon meloncat keluar seorang laki-laki memegang tombak dan secepat kilat menggerakkan tombaknya menangkis golok yang mengancam leher wanita itu!
"Bangsat jahanam! Siapa kau begitu lancang berani mencampuri urusan kami?"
Bentak Klabangkoro, sedangkan sebelas orang kawannya lalu maju mengepung. Laki-laki itu ternyata adalah seorang yang memakai kedok ikat kepala hitam yang dibalutkan di depan mukanya sebatas mata. Dari sinar matanya dan tubuhnya, dapat diketahuai bahwa ia masih muda benar, tetapi tubuhnya tegap berisi dan tampak kuat. Melihat dirinya dikepung, pemuda berkedok itu mengangkat tombaknya ke atas dan tiba-tiba dari atas sebatang pohon melayang keluar seorang pemuda lain yang juga berkedok! Pemuda ini bersenjata sebatang pedang dan karena pakaian dan kedoknya serupa dengan yang dikenakan pemuda bertombak, mereka ini seakan-akan dua saudara kembar!
"Keparat!"
Pemuda bertombak itu balas memaki.
"Pembunuh-pembunuh kejam, iblis bermuka manusia! Iblis-iblis macam kalian ini harus dibasmi dari muka bumi!"
Bukan main marahnya Klabangkoro mendengar caci maki ini. Biarpun dari tangkisanh tadi ia maklum bahwa pemuda bertombak ini memiliki tenaga kuat, namun mereka hanya berdua, sedangkan dia mempunyai sebelas orang kawan yang telah diketahui kekuatan dan kepandaiannya. Maka ia berbesar hati dan tertawa menghina.
"Ha-ha! Cacing-cacing busuk hendak berlaku sombong di depan naga! Mampuslah kau!"
Goloknya diayun tanpa ada peringatan, menunjukkan betapa curangnya kepala pengawal itu!"
Akan tetapi dengan memiringkan sedikit kepalanya, bacokan itu tak mengenai sasaran dan pemuda bertombak lalu balas menyerang. Kawannya tertawa bergelak lalu memutar pedangnya yang mempunyai gerakan hebat juga. Tak lama kemudian terjadilah pertempuran hebat dan mati-matian. Dua orang berkedok di keroyok oleh dua belas orang pengawal yang buas dan bertenaga kuat.
"Indra, mari pencarkan mereka!"
Pemuda bertombak berseru kepada kawannya. Memang, dalam keroyokan campur aduk itu mereka tak dapat bergerak leluasa, maka mereka lalu berkelahi sambil mundur saling menjauhi hingga para pengeroyok menjadi terpencar. Pemuda berpedang dikeroyok enam orang dan pemuda bertombakpun dikeroyok enam orang termasuk Klabangkoro!
Karena pemuda bertombak itu mengetahui bahwa para lawannya hanyalah orang-orang yang mengandalkan kebuasan dan kekuatan belaka, maka ia yakin bahwa ia dan kawannya pasti akan dapat mengalahkan mereka. Kalau kiranya para pengeroyokitu berkepandaian tinggi dan cukup membahayakan, tentu ia akan lebih senang membela diri di dekat kawannya hingga dapat saling membantu. Kini, menghadapi enam orang pengeroyok, ia berlaku lebih leluasa karena dapat mencurahkan perhatiannya. Tombaknya diputar sedemikian rupa hingga ujung tombak berubah seakan-akan menjadi berpuluh-puluh banyaknya dan tiap ujung tombak mengeluarkan tenaga yang luar biasa, karena tiap kali senjata lawan tersentuh ujung tombak itu, senjata lawan pasti terpental!
Keenam pengeroyoknya tak berdaya dan tak dapat menyerang, karena tubuh pemuda itu dilindungi oleh puluhan batang tombak yang bergerak dan berputar cepat sekali! Tak lama kemudian, setelah bertempur puluhan jurus,terdengar teriakakn-teriakan ngeri karena dua orang pengeroyok telah tertembus perut dan dadanya oleh ujung tombak!"
Sentara itu, pemuda berpedang juga tidak kalah hebatnya. Pedangnya berputar cepat dalam gerakan-gerakan yang tak terduga sama sekali oleh keenam lawannya. Tubuhnya lincah dan gesit sekali. Selain itu, pemuda ini berwatak jenaka, karena sambil berputar tiada hentinya ia mengejek dan menggoda. Pernah ia sengaja mengetok tulang kaki seorang lawan dengan gagang pedangnya, hingga lawan itu berjingkrak-jingkrak karena kakinya merasa demikian sakit sampai terasa menyusup tulang!"
"Ha, ha! Kau seperti Burisrawa kebakaran jenggot!"
Pemuda itu mengejek sambil mengirimkan serangan kilat yang membuat pedangnya menari-nari itu! Sebentar saja iapun dapat merobohkan lagi tiga orang lawan dengan pedangnya!"
Sementara itu, pemuda bertombak telah berhasil menewaskan empat orang dan yang melawannya kini tinggal Klabangkoro dean seorang temannya. Melihat betapa gagah perkasanya pemuda lawannya itu dan betapa kawan-kawannya telah banyak yang tewas, tiba-tiba Klabangkoro melompat jauh dan lari kearah Dewi Cahyaningsih dan Puspasari yang saling peluk dan berdiri menggigil di dekat tandu mereka!
Klabangkoro mengayun-ayunkan goloknya untuk membinasakan dua orang wanita itu untuk menunaikan tugas. Melihat hal ini, pemuda bertombak merasa terkejut sekali. Ia hendak meloncat mengejar, tapi lawannya yang tinggal seorang itu menghalanginya dengan pedang dan mengirim serangan ke arah lambungnya. Karena perhatian pemuda itu dicurahkan kepada Klabangkoro, hampir saja lambungnya tertusuk pedang kalau ia tidak cepat-cepat melempar tubuh kebelakang. Pada saat ia menggulingkan diri, ia melihat betapa Klabangkoro telah berada dekat dengan kedua wanita itu dan telah mengangkat goloknya. Tidak ada jalan lain untuk menolong kecuali dengan melemparkan tombaknya dengan sekuat tenaga ke arah tubuh Klabangkoro.
Lemparannya tepat sekali dan pada saat Klabangkoro hampir berhasil membunuh Dewi Cahyaningsih dan gadisnya, tiba-tiba punggung manusia jahat itu tertikam tombak hingga menembus ke dadanya! Klabangkoro berteriak ngeri dan goloknya terlepas dari tangannya. Tubuhnya terhuyung-huyung dan akhirnya roboh telungkup tak bernyawa lagi! Pemuda itu segera lari menghampiri tubuh Klabangkoro dan mencabut keluar tombaknya. Ketika ia menengok, ternyata orang terakhir yang melawannya tadi telah lenyap! Ia merasa menyesal karena orang itu tentu telah melarikan diri. Ketika ia berpaling, ternyata kawannya yang bersenjata pedangpun baru saja menyelesaikan pertempurannya dan dengan puas membersihkan pedangnya sambil memandangi lima orang lawannya yang telah tewas bergelimpangan di sekelilingnya!
"Indra, kau hebat sekali!"
Pemuda bertombak itu memuji kawannya sambil tertawa membuka kedok. Ternyata bahwa pemuda bertombak itu bukan lain ialah Jaka Galing! Kawannya yang bernama Indrapun membuka kedoknya dan ternyata ia adalah seorang pemuda yang tampan juga, berambut keriting dan bermata penuh kegembiraan.
"Kaupun hebat, Galing."
"Tapi lawanku ada yang lari seorang."
Mereka lalu menghampiri Dewi Cahyaningsih dan Puspasari yang masih saling rangkul dengan wajah pucat. Jaka Galing dan Indra tidak mengenal siapa kedua wanita itu, mereka berdua memandang kagum kepada Puspasari yang cantik manis.
"Ibu dan adik, bahaya telah lalu dan tak perlu takut dan khawatir lagi."
Galing menghibur. Ia tak pernah menyangka bahwa wanita tua itu adalah isteri Adipati Gendrasakti dan mengira bahwa mereka berdua hanyalah wanita-wanita kampung karena memang Dewi Cahyaningsih berdua puterinya mengenakan pakaian sederhana.
"Aduh, raden... semoga Gusti Yang Maha Agung melimpahkan rahmatNya kepada kalian berdua. Kalian telah menolong jiwa kami ibu dan anak, kalau tidak ada kalian...entah bagaimana jadinya..."
Wanita tua itu tersendu-sendu karena merasa terharu dan sedih.
"Sudahlah, ibu, jangan bersedih, penjahat-penjahat kejam itu telah kami bunuh semua. Kalau kami boleh bertanya, ibu dan adik ini siapakah dan hendak pergi kemana?"
Sebelum ibunya sempat menjawab, Puspasari menjawab dengan suara malu-malu dan pipi merah sambil menundukkan mukanya,
"Kami... kami orang Tandes, ibuku seorang janda dan aku anak tunggalnya. Kami hendak pergi ke Majapahit mengunjungi sanak keluarga kami. Tapi dihutan tiba-tiba bertemu dengan perampok-perampok. Untung kalian berdua menolong kami, raden, dan terimalah pernyataan terima kasih kami!"
Tiba-tiba gadis itu berlutut menyembah hingga Jaka Galing merasa kikuk. Hendak membangunkan gadis itu, ia harus menyentuh pundaknya dan ia tidak berani melakukan ini. Didiamkan juga tidak enak.
"Nona... jangan... jangan kau melakukan segala upacara ini. Sudah sepantasnya manusia di dunia saling tolong-menolong."
Setelah Puspasari berdiri kembali, ibunya berkata.
"Benar kata Puspasari anakku ini, raden.Kami memang hendak pergi ke Majapahit."Kami memang hendak pergi ke Majapahit."
Dewi Cahyaningsih maklum akan maksud Puspasari yang sengaja berbohong,karena kalua ia berterus terang, tentu kedua pemuda ini merasa terkejut dan siapa tahu kalau-kalau kedua pemuda ini meras berkewajiban untuk mengantarkan dan memaksa mereka pulan ke Tandes.
"Tapi hari sudah menjadi gelap, dan tak mungkin melanjutkan perjalanan yang masih jauh. Lagi pula, para pemikul tandu telah binasa semua. Kalau kalian sudi, kami persilakan singgah di kampung kami yang berada tak jauh dari sini dan besok barulah kalian melanjutkan perjalanan menuju ke Majapahit."
Kata Indra sambil memandang gadis yang manis itu. Kedua wanita itu menyetujui dan Galing bersama kawannya mengiringkan mereka menuju ke sebuah kampung yang berada tak jauh dari hutan itu. Dewi Cahyaningsih dan Puspasari heran dan kagum ketika mereka tiba di kampung itu, karena di dusun yang baru itu berkumpul banyak sekali orang dari segala golongan dan mereka ini ramah tamah sekali. Mereka disambut dengan segala kehormatan dan hampir semua orang,
Laki-laki maupun perempuan yang menyambut mereka, menyantakan simpati dan mengutuk para perampok yang berniat jahat terhadap mereka. Karena keramah-tamahan orang-orang itu. Dewi Cahyaningsih dan Puspasari merasa terharu dan suka sekali berada di situ. Bagaimanakah Jaka Galing yang dulu tinggal di dusun Tiban bersama kakeknya kini berada di dusun itu dan siapa pula kawan-kawannya penduduk dusun itu? Dulu ketika Jaka Galing membawa pulang jenazah kakeknya dengan hati hancur karena sedihnya, ia disambut rakyat dengan perasaan terharu dan sedih. Memang nama Panembahan Ciptaning telah terkenal sebagai seorang sakti yang berbudi dan bijaksana, juga tidak sedikit orang yang telah ditolong oleh Panembahan itu, baik berupa nasehat atau petuah maupun pertolongan mengobati mereka yang menderita sakit.
Selain daripada itu banyak yang mengangkat dia sebagai guru mereka, karena sedikit banyak mereka telah menerima petunjuk-petunjuk dan petuah-petuah yang berharga dari orang suci itu. Oleh karena itu, maka tidak heran apabila nasib Panembahan Ciptaning yang tewas dalam keadaan menyedihkan itu telah membangkitkan perasaan marah dan dendam di hati para pemuda itu. Di antara para pemuda yang sakit hati terhadap Adipati Gendrasakti, adalah Indra, seorang putera kepala kampung di dusun Keling, yang menjadi murid terkasih dari Panembahan Ciptaning dan seorang kawan baik Jaka Galing semenjak kecil. Disaksikan oleh banyak orang, Jaka Galing mencabut tombak pusaka Kyai Santanu yang menancap di dada kakeknya dan ia bersumpah di depan tombak pusaka itu dengan ucapan keras dan tegas.
"Aku bersumpah untuk membalas dendam rama Panembahan yang terbunuh oleh Gendrasakti dan pada suatu saat aku tentu akan mengembalikan tombak ini ke dalam dada Gendrasakti!"
Jaka Galing maklum bahwa dirinya tentu dimusuhi oleh Adipati Gendrasakti dan bukan tak mungkin besok atau lusa akan datang prajurit-prajurit dari Tandes ke dusun Tiban untuk menangkap atau membunuh dirinya. Dugaan ini dibenarkan oleh banyaknya anak muda di dusun Tiban, maka Jaka Galing lalu mengambil keputusan untuk pergi dari Tiban. Alangkah terharu hatinya ketika hampir semua pemuda Tiban, bahkan ada beberapa orang pula dari desa Keling, yakni Indra dan kawan-kawannya, menyokong maksudnya hendak membalas dendam, Mereka lalu berkumpul dan merupakan satu pasukan terdiri dari pemuda-pemuda yang gagah berani dan bersemangat! Karena takut kalau-kalau Adipati Gendrasakti menumpahkan amarahnya kepada keluarga mereka, maka para pemuda itu lalu memboyongi keluarga mereka dan menebang hutan untuk mendirikan sebuah dusun baru di tengah-tengh hutan.
Dusun ini mereka beri nama dusun Bekti dan di dalam hutan lebat ini Galing dan Indra melatih para kawannya dalam olah keprajuritan dan permainan tombak dan pedang. Mereka siap untuk sewaktu-waktu menyerbu ke Kadipaten Tandes dan membalas dendam kepada Adipati Gendrasakti. Sementara itu, seringkali Jaka Galing termenung jika teringat akan cerita Panembahan Ciptaning sebelum menghembuskan napas terakhir, yakni bahwa mendiang ibunya adalah seorang isteri Sang Prabu Brawijaya. Kalau begitu, dia masih berdarah bangsawan, berdarah raja, seorang Pangeran. Namun ia simpan rahasia ini baik-baik dan tak pernah menceritakan kepada siapapun juga. Oleh karena itu maka semua orang masih menganggap bahwa ia adalah Jaka Galing putera Panembahan Ciptaning.
"Perjumpaannya dengan Dewi Cahyaningsih dan anak gadisnya, membuat Jaka Galing makin benci kepada Adipati Gendrsakti. Malam itu juga, ia mengumpulkan kawan-kawannya dan menyatakan pendapatnya.
Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kawan-kawanku, peristiwa yang baru saja dialami oleh kedua tamu kita itu menyatakan betapa kacau-balaunya daerah yang yang dikuasai oleh Gendrasakti. Perampok berani muncul dimana-mana dan mengganggu rakyat, tanpa mendapat perhatian sama sekali dari Gendrasakti. Bahkan aku merasa curiga melihat pakaian para perampok itu, karena pakaian macam itu tidak layak dipakai oleh para perampok. Lebih pantas kalau mereka itu disebut pengawal-pengawal atau pemimpin-pemimpin prajurit Kadipaten."
Dewi Cahyaningsih dan Puspasari yang berada di ruang tengah itu dan mendengar kata-kata Jaka Galing, menjadi terkejut sekali. Tadinya mereka hanya menyangka bahwa Jaka Galing dan Indra hanyalah dua orang pemuda dusun yang gagah perkasa, dan tidak menyangka bahwa pemuda ini demikian cerdik dan seakan-akan mempunyai sikap bermusuh dan membenci Adipati Gendrasakti. Mereka berdua mendengar lebih lanjut dengan penuh perhatian.
"Memang akupun sudah menaruh curiga,"
Indra membenarkan kata-kata Galing.
"Mereka itu memainkan senjata dengan baik sekali dan memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, sekali-kali tak pantas kalau mereka hanya perampok-perampok biasa. Lebih baik kita bertanya lagi kepada tamu-tamu kita."
Semua orang menyatakan setuju dan Dewi Cahyaningsih serta puterinya dipersilakan maju mendekat. Wanita tua itu merasa kagum memandang para pemuda tampan yang duduk bersila dalam deretan rapi dan sikap mereka yang sopan-sopan itu, sedangkan Puspasari menundukan kepala dengan wajah merah. Ia tidak kuasa menentang pandang mata sekian banyak pemuda yang kesemuanya ditujukan padanya dengan pandang mata kagum.
"Kanjeng bibi, harap maafkan kami kalau kami mengganggu kanjeng bibi. Sebetulnya kami merasa curiga sekali melihat keadaan para perampok yang mencegat perjalan bibi berdua sore tadi. Apakah kanjeng bibi tidak pernah melihat orang-orang itu atau tidak menyangka sesuatu mengapa bibi berdua diganggu?"
Sambil berkata demikian, Jaka Galing memandang tajam. Dewi Cahyaningsih adalah seorang puteri dari Majapahit yang bagaimanapun juga mempunyai keagungan dan perbawa besar. Melihat betapa anak muda itu mengajukan pertanyaan seakan-akan sedang memeriksanya, ia balas bertanya denga suara angkuh.
"Anak muda, sebelum aku menjawab pertanyaanmu, lebih dulu perkenalkan dirimu. Siapa kau ini, raden? Dan ada hubungan apa engkau dengan Adipati Gendrasakti, siapa pula sekian anak muda yang berkumpul di sini?"
Jaka Galing tercengang mendengar suara dan pertanyaan ini. Karena ini bukanlah suara seorang wanita tua dari dusun dan pertanyaan inipun membayangkan bahwa wanita di depannya tentu tahu banyak tentang diri Gendrasakti!
"Kanjeng bibi, kiranya kepadamu aku tidak perlu membohong atau menyimpan rahasia. Aku adalah Jaka Galing putera mendiang Panembahan Ciptaning yang dibunuh mati oleh Gendrasakti!"
"Biarpun Dewi Cahyaningsih telah menekan perasaan hatinya, namun wajahnya masih berpucat mendengar pengakuan ini. Untung baginya bahwa cahaya dian yang tidak begitu terang itu membuat perubahan wajahnya tidak tampak oleh yang lain. Sementara itu, diam-diam Puspasari menggerakkan sedikit mukanya dan ia mengerling ke arah Jaka Galing.
"Jadi... kau adalah putera Panembahan Ciptaning yang bernasib malang itu raden? Aduh, raden. Kasihan sekali ramamu!"
Dewi Cahyaningsih berkata perlahan.
"Dan kau kumpulkan kawan-kawanmu ini untuk membalas dendam? Hendak menggempur dan mengobrak-abrik Kadipaten Tandes?"
"Bukankah sudah selayaknya kalau aku membalaskan dendam rama Panembahan? Tidak pantaskah kalau ujung tombak yang mengantar nyawa rama Panembahan ini kugunakan untuk mengantar nyawa Gendrasakti menysulnya?"
Kemudian, Jaka Galing yang untuk sesaat dikuasai oleh nafsu amarah itu teringat kembali dan menyambung kata-katanya kepada Dewi Cahyaningsih dengan suara perlahan.
"Maaf, kanjeng bibi, tidak seharusnya didepan seorang tamu yang tiada sangkut pautnya sama sekali dengan urusan ini aku melampiaskan amarahku."
Ia lalu menyembunyikan tombak pusaka Kyai Santanu di belakang tubuhnya. Tapi Dewi Cahyaningsih telah mendengar itu semua, telah merasai ancaman yang tersembunyi dalam kata-kata Jaka Galing tadi. Betapapun juga, Adipati Gendrasakti adalah suaminya, suami yang pernah dicintainya, walaupun ia telah dikhianati dan hampir saja dibunuh! Sebagai seorang wanita bangsawan ia harus berani menghadapi kenyataan, berani menghadapi segala akibat dari kejahatan suaminya. Maka sambil menatap wajah anak muda yang tampan di depannya itu ia berkata, suaranya lantang.
"Baik sekali, anak muda! Kau sudah mengaku dan sudah mengutarakan semua isi hatimu. Kini, kau dengarlah baik-baik 12 orang perampok yang kau tewaskan iu, adalah pengawal-pengawal pilihan dari Gendrasakti! Mereka itu memang sengaja hendak membunuh aku dan anakku. Ketahuilah,aku adalah isteri Gendrasakti dan puspasari adalah anakku, anak Adipati Gendrasakti!"
"Ibu..."
Puspasari mencegah dan memandang wajah ibunya denga air mata berlinang. Mengapa ibunya seberani ini membuat pengakuan di depan musuh-musuh ayahnya? Untuk sesaat semua orang berdiam dengan mata terbelalak dan keadaan menjadi sunyi. Dan sesaat kemudian ramailah mereka itu berteriak-teriak dengan suara mengancam, bahkan Indra telah mencabut keris pusaka yang terselip di pinggangnya! Tapi Jaka Galing mengangkat kedua tangannya dan berkata perlahan.
"Diam semua! Kanjeng bibi, kau teruskan ceritamu! Mengapa kau hendak dibunuh oleh pengawal-pengawal suamimu sendiri?"
Sepasang mata Jaka Galing kini memancarkan cahaya, memandang ke wajah wanita itu seakan-akan hendak menembus dan membaca isi hatinya.
"Para pengawal itu memang sengaja disuruh untuk membinasakan kami berdua. Kami disuruh pergi ke Majapahit dan diantar oleh 12 orang pengawal. Tapi di tengah hutan, kami hendak dibunuh dan menurut mereka, memang mereka diperintah untuk membunuh kami."
Orang-orang yang tadinya memandang marah kepada Dewi Cahyaningsih kini menggeleng-geleng kepala dan merasa heran sekali. Juga Jaka Galing merasa tak mengerti.
"Tapi, mengapa suamimu hendak membunuhmu dan membunuh puterinya sendiri?"
Tanyannya.
Dewi Cahyaningsih menghela napas, sementara itu Puspasari terisak-isak.
"Ini semua gara-gara perempuan siluman itu. Gara-gara Sariti! Memang betul kata-kata Panembahan Ciptaning dulu bahwa dia adalah seorang perempuan siluman! Rupa-rupanya perempuan itu ingin berkuasa di Tandes, dan setelah berhasil mengusir semua selir, ia juga ingin sekali melenyapkan aku dan anakku yang dianggap penghalangnya."
"Alangkah kejamnya! Binatang berwajah manusia!"
Indra menggeram. Dewi Cahyaningsih menggeleng-gelengkan kepala dengan sedih.
"Ia tidak jahat, raden. Dulu ia adalah seorang senopati yang gagah perwira dan berhati mulia. Tapi... Setelah ia memboyong ledek dari Surabaya itu ke Kadipaten... ah, ia menjadi tersesat demikian jauh! Bahkan kematian Panembahan Ciptaning juga gara-gara Sariti! Aduh, suamiku, nasib apakah yang akan menimpamu kelak?"
Wanita tua itu tak dapat menahan kesedihan hatinya dan ia lalu menangis tersedu-sedu.
"Keparat betul!"
Jaka Galing berkata gemas.
"Sayang sekali aku biarkan lepas seorang dari mereka. Tentu ia pergi membuat laporan kepada Gendrasakti dan Adipati itu akan tahu bahwa isteri dan anaknya belum terbunuh."
Kini kebencian semua orang terhadap Dewi Cahyaningsih dan Puspasari lenyap, berganti dengan perasaan kasihan, karena bukankah kedua orang ibu dan anak itupun bernasib malang dan sengsara akibat kekejaman Adipati Gendrasakti? Sampai hampir menjelang fajar mereka bercakap-cakap dan mengingat bahwa Gendrasakti Tentu akan mengejar-ngejar isteri dan puterinya yang belum terbunuh, maka Jaka Galing berpikir lebih baik kedua orang itu untuk sementara tinggal bersama mereka di kampung itu untuk menyembunyikan diri.
Hal inipun akhirnya disetujui oleh Dewi Cahyaningsih. Tadinya puteri itu hendak pergi ke Majapahit dan mengadukan hal suaminya itu kepada Prabu Brawijaya, akan tetapi sebagai seorang puteri ia merasa malu kalau terdengar oleh orang lain bahwa dia sebagai isteri Adipati Gendrasakti mengadukan suaminya sendiri. Ia tentu akan dipandang hina dan karenanya ia pikir lebih baik untuk sementara waktu bersembunyi di antara orang-orang yang ramah-tamah dan sopan itu. Semenjak saat itu, Dewi Cahyaningsih dan puterinya tinggal di kampung Bekti, hidup di antara para petani kampung. Kedua puteri bangsawan itu melewatkan waktunya dengan memberi petunjuk-petunjuk dan pelajaran kerajinan tangan kepada para wanita kampung hingga sebentar saja mereka dikasihi oleh orang-orang kampung.
Dewi Cahyaningsih dikenal sebagai seorang wanita yang cerdas dan berpengetahuan luas dan orang-oarang datang minta nasihat dan petuah dari padanya, sedangkan Puspasari dikagumi karena kecantikannya dan kepandaiannya dalam pelajaran membatik dan kerajinan tangan lainnya. Ia segera terkenal menjadi kembangnya dusun Bekti dan dipuja serta dikagumi oleh semua pemuda! Bukan main terkejut dan herannya Adipati Gendrasakti ketika pagi hari itu melihat seorang pengawalnya datang kembali berlari-lari denga wajah pucat, pakaiannya robek-robek dan napas terengah-engah serta tubuhnya lemas dan lemah karena semalam-malaman pengawal itu berlari cepat. Ia menjatuhkan diri sambil menangis di depan kaki Adipati Gendrasakti dan bersembah.
"Aduh, gusti Adipati, celakalah hamba kali ini..."
"Dwipa, kenapa kau...? Dan di mana kawan-kawanmu?"
Ketika melihat bahwa semua orang yang telah menghadap di situ memandang heran, ia lalu membubarkan orang-orang itu hingga ia berada berdua saja dengan Dwipa yang berhasil menyelamatkan diri dan pulang. Pada saat itu Sariti muncul dari ruang dalam dan wanita cantik inipun menjadi pucat melihat keadaan Dwipa.
"Apa yang terjadi?"
Tanyanya dengan bibir gemetar. Dengan suara terputus-putus, akhirnya kuasa juga Dwipa menuturkan pengalamannya, betapa mereka dua belas orang yang bertemu dengan dua orang pemuda berkedok yang membinasakan sebelas orang di antara mereka,dan menolong Dewi Cahyaningsih dan Puspasari.
"Apa katamu?"
Gendrasakti marah sekali dan kakinya bergetar menendang hingga tubuh pengawal yang bernasib malang itu terpental jauh bergulingan di atas lantai.
"Ampun, gusti Adipati..."
Dwipa merintih-rintih.
"Bangsat, pengecut! Manusia-manusia tiada guna! Kalian dua belas orang yang mengaku diri gagah perkasa, kalah oleh dua orang anak muda saja! Alangkah hina dan memalukan!"
Adipati Gendrasakti lalu menjatuhkan diri di atas kursi dan wajahnya pucat sekali. Hal isteri dan puterinya tak sampai terbunuh, tidak membuat ia menyesal bahkan ia bersyukur karenanya. Akan tetapi ia teringat bahwa isteri dan anaknya itu tentu akan terus pergi ke Majapahit dan kalau pengkhianatannya itu dilaporkan kepada Sang Prabu Brawijaya, apa jadinya? Sariti menghampiri Gendrasakti dan memegang pundaknya denga jari-jari gemetar.
"Celaka, Kang Mas... tentu sang parbu akan mengirim barisan menggempur Kadipaten Tandes..."
Tiba-tiba Gendrasakti meloncat bangun dan membentak kepada Dwipa.
"Bangsat, bangunlah dan panggil Dimas Suranata ke sini! Ingat, kalau ada yang bertanya kau harus menceritakan bahwa rombonganmu dicegat dan dirampok oleh Jaka Galing anak Panembahan Ciptaning di dalam hutan dan bahwa gustimu Dewi Cahyaningsih dan puterinya telah mereka culik, mengerti?"
Dwipa berlutut menyembah lalu mengundurkan diri uantuk menyampaikan perintah memenggil Suranata. Tak lama kemudian Suranata datang menghadap. Ia adalah seorang perwira yang terkenal gagah dan menjadi tangan kanan Gendrasakti hingga mendapat julukan "Banteng Tandes".
"Dimas Suranata, apakah Dwipa telah menceritakan peristiwa yang dialami oleh isteri dan puteriku?"
Tanya Gendrasakti setelah mempersilahkan Suranata duduk.
"Sudah, Kang Mas Adipati, tapi belum jelas. Mohon keterangan lebi jauh,"
Jawab Suranata.
"Si keparat Jaka Galing, anak Panembahan Ciptaning dukun palsu itu, ternyata telah memberontak dan menjadi perampok. Dia dan kawan-kawannya telah menjegat mbakyumu Dewi Cahyaningsih dan anakku Puspasari di dalam hutan Kledung dan membunuh mati sebelas orang pengawal serta menculik mbakyumu dan keponakanmu. Sekarang jangan sampai terlambat, adimas, kau kerahkan barisan tamtama dan seranglah kawanan perampok di hutan Kledung itu. Bawalah Dwipa sebagai petunjuk jalan."
"Baiklah, Kang Mas Adipati. Jangan kau khawatir, kalau baru Jaka Galing dan beberapa orang kawannya saja bukan makanan keras bagiku. Mohon pangestumu saja!"
"Berangkatlah, adimas, dan doa restuku bersamamu!"
Pada saat Suranata menyiapkan barisan tentaranya, diam-diam Adipati Gendrasakti memberi pesan kepada Dwipa untuk membawa beberapa orang kawan ikut dalam barisan itu dan kelak setelah dapat mengobrak-abrik sarang Jaka Galing, hendaknya Dewi Cahyaningsih dan Puspasari dibunuh di dalam keributan pertempuran itu.
Biarpun Suranata telah menyatakan kesanggupannya dan telah berangkat membawa sepasukan prajurit seratus dua puluh orang banyaknya, namun Adipati Gendrasakti tetap merasa tidak enak hati, Ia merasa khawatir dan entah bagaimana, ada sesuatu yang tak sedap terasa dalam hatinya. Belum lama barisan Suranata berangkat, tiba-tiba terdengar gong berbunyi dan seorang penjaga memberi laporan sambil berlari-lari bahwa telah datang seorang utusan dari Sang Prabu Brawijaya dari Majapahit dan utusan itu bersama rombongannya telah memasuki pintu gapura. Kalau ada petir menyambarnya di saat itu, mungkin Gendrasakti tidak sanggup dan setakut saat ia mendengar laporan ini. Bergegas-gegaslah ia berdiri dari kursinya, bertukar pakaian lalu keluar untuk menyambut tamu agung itu.
Diam-diam ia memerintahkan pelayan kepercayaannya untuk memberitahu kepada pegawai-pegawai pribadinya untuk berjaga-jaga dan bilamana perlu, membelanya. Ia menyangka kedatangan ini tentu ada hubungannya dengan Dewi Cahyaningsih, sungguhpun menurut perhitungan agak tidak masuk akal bahwa sang prabu dapat mengetahui sedemikian cepat. Akan tetapi, ketika melihat bahwa rombongan yang datang hanya terdiri dari belasan orang pengiring yang mengawal dua orang laki-laki, hatinya menjadi tenang kembali. Ia merasa girang sekaali melihat bahwa dua orang utusan yang datang itu adalah seorang laki-laki tua yang dikenalnya, yakni penasihat Majapahit bernama Ki Ageng Bandar dan seorang pemuda tampan dan berpakaian indah sekali ialah seorang Pangeran, putera selir, dan bernama Pangeran Bagus Kuswara! Dengan senyum lebar, Adipati Gendrasakti menyambut para tamunya.
"Wahai, Paman Bandar, angin baik dari manakah yang meniup paman sampai ke pondokku yang buruk ini?"
Kemudian kepada Pangeran Bagus Kuswara, ia berkata.
"Dimas Pangeran, kau makin tampan dan gagah saja! Kalian baik-baik saja bukan?"
Mereka saling menyapa dan menyalam denag gembira dan Adipati Gendrasakti lalu menggiringkan para tamu agungnya ke ruang dalam. Para pelayan sibuk melayani mereka, mengeluarkan segala hidangan yang terbaik dengan sikap yang sangat hormat. Para pelayan wanita itu tak dapat mencegah mata mereka yang mengerling kearah Pangeran yang tampan itu dengan kagum sekali. Dan Pangeran ini, yang biasa hidup mewah dan memang terkenal sebagai seorang Pangeran muda yang mata keranjang, tiada hentinya melirik ke sana ke mari mencari "obat mata". Setelah menanyakan keselamatan masing-masing, Ki Ageng Bandar menuturkan maksud kedatanganya.
"Karena ananda Adipati telah berbualn-bulan tidak pernah datang menghadap ke Majapahit, maka saya diutus oleh sang prabu untuk menjenguk ke Kadipaten Tandes melihat keadaan. Gusti prabu merasa khawatir kalau-kalau di sini terjadi sesuatu yang tidak dikehendaki. Akan tetapi, syukurlah bahwa ternyata keadaan di sini tentram dan damai."
Ki Ageng Bandar lalu minum air teh wangi yang dihidangkan dengan nikmatnya.
"Dan aku hanya ikut saja, Kang Mas Adipati. Ingin melihat betapa cantiknya Kadipatenmu dan ingin sekali aku berjalan-jalan di tepi pantai laut!"
Kata Pangeran Bagus Kuswara, kemudian Pangeran ini teringat akan kakaknya dan bertanya.
"Dan di manakah kakang mbok Dewi Cahyaningsih, Kang Mas? Aku tidak melihat beliau keluar menemui kami."
Gendrasakti menghela napas dan tiba-tiba wajahnya berubah sedih, Setelah menghela napas berkali-kali, akhirnya berkata.
"Inilah yang mengganggu pikiranku dimas Pangeran. Memang dilihat dari luar seakan-akan di sini tidak terjadi sesuatu, akan tetapi sebenarnya telah terjadi peristiwa hebat yang menggoncangkan seluruh Kadipaten Tandes ini!"
Ki Ageng Bandar memandang kepada tuan rumah dengan heran.
"Ada peristiwa hebat apakah, ananda Adipati?"
"Kemarin aku telah mengutus isteriku yayi Dewi Cahyaningsih beserta anakku Puspasari untuk menghadap Rama Prabu di Majapahit dengan dikawal oleh dua belas orang pengawal pilihan. Akan tetapi..."kembali Adipati itu menghela napas dan tiba-tiba saja dari kedua matanya menitikkan dua butir air mata!
"Apa yang terjadi?"
Kedua orang tamu itu bertanya cemas.
"Mereka telah dicegat perampok yang dikepalai seorang perampok muda bernama Jaka Galing. Para pemikul tandu dan para pengawal dibunuh mati, hanya seorang saja yang dapat menyelamatkan diri, sedangkan..."
Pangeran Bagus Kuswara memegang lengan kakak iparnya.
"Apa yang terjadi dengan kakang mbok dan puterinya?"
"Kakakmu dan... Puspasari... telah... telah diculik oleh gerombolan Jaka Galing...!
"Ya Jagat Dewa Batara!"
Ki Ageng Bandar menyebut nama dewata.
"Babo, babo! Si keparat Jaka Galing itu harus dibinasakan!"
Pangeran Bagus Kuswara mencaci. Adipati Gendrasakti lalu menuturkan betapa ia telah mengutus Suranat membawa seratus dua puluh orang prajurit untuk membasmi kawanan perampok itu dan menolong isteri dan puterinya. Mereka lalu bercakap-cakap dan Adipati itu sedapat mungkin memperlihatkan wajah muram dan sedih. Akan tetapi, Pangeran muda yang sembrono itu dapat menghibur suasana dengan kata-katanya yang jenaka dan gembira. Bahkan ia berani bertanya.
"Kang Mas Adipati, aku mendengar berita angin bahwa kau telah memboyong kembang juita dari Surabaya, betulkah?"
Ki Ageng Bandar menggunakan matanya memberi isyarat untuk menegur Pangeran yang sembrono ini, akan tetapi Adipati Gendrasakti menjawab.
"Kau maksudkan Sariti? Memang benar adimas."
"Kang Mas, mengapa kau anggap kami sebagai orang-orang asing? Bukankah kita masih sanak dekat? Mengapa kau simpan selir-selirmu di dalam dan tidak disuruh menyambut kami?"
Pertanyaan ini memang kurang ajar sekali, akan tetapi karena Pangeran ini sudah biasa berlaku demikian, Adipati Gendrasakti hanya tersenyum dan menjawab,
"Dimas Pangeran, aku hanyalah seorang Adipati kecil, tidak seperti engkau. Mana aku berani memelihara banyak selir? Selirku hanyalah Sariti seorang!"
"Bagus, bagus! Memang kau seorang laki-laki setia. Tapi, Kang Mas, apa salahnya kalau kakang mbok Sariti keluar menjumpai kami? Karena ia adalah selirmu, maka ia termasuk keluargaku juga."
Adipati Gendrasakti memang sengaja memesan supaya selirnya itu jangan keluar menemui tamu agung karena tadinya ia menyangka bahwa kedatangan mereka bertalian dengan urusan Dewi Cahyaningsih. Akan tetapi setelah ternyata bahwa kedatangan mereka itu bukan untuk urusan itu, ia lalu menyuruh seorang pelayan untuk memberitahu kepada Sariti dan meminta supaya selirnya itu keluar menyambut tamu agung.
Ketika Sariti keluar dari ruang belakang. Pangeran Bagus Kuswara memandang sambil menahan napas. Ia terpesona oleh kecantikan wanita yang sedang melenggang halus menghampiri mereka itu dan ia merasa seakan-akan sedang berhadapan dengan seorang bidadari yang baru turun dari khayangan! Demikian cantik jelitanya wajah Sariti, demikian menggairahkan potongan tubuhnya, terutama mata dan bibirnya! Sungguh, dalam pandangan mata Bagus Kuswara, belum pernah ia melihat wanita secantik dan sejelita Sariti! Bahkan Ki Ageng Bandar yang sudah tuapun untuk sesaat tercengang dan kagum melihat si jelita itu, tapi ia dapat menekan perasaannya dan batuk-batuk memberi tanda kepada Pangeran yang bengong memandang wanita itu. Pangeran Bagus Kuwara sadar dari mimpinya, lalu ia menyapa dengan hormatnya.
"Kakang mbok Sariti, sungguh aku merasa bahagia sekali dapat berkenalan dengan engkau. Kang Mas Adipati memang seorang laki-laki yang paling berbahagia di muka bumi ini!"
Biarpun kata-kata ini sedikitpun tidak menyatakan pujian secara langsung, namun terdengar sedap dan merdu sekali di telinga Sariti. Wanita cantik itu mengerling sedikit dan cepat menundukan muka dengan lagak yang sangat sopan. Sebagai seorang dari keturunan biasa, ia menyembah kepada Pangeran Bagus Kuswara dan kepada Ki Ageng Bandar, lalu menghaturkan selamat datang kepada mereka. Suaranya yang merdu, bening, dan empuk, itu mengelus-elus dada Bagus Kuswara dan membelai-belai jantungnya, membuatnya setengah sadar! Setelah dengan hormat menuang air teh ke dalam cangkir kedua tamu agung itu, Sariti lalu memohon diri dan mundur sambil menundukan mukanya yang cantik dengan sikap hormat sopan sekali. Setelah selir itu pergi, Ki Ageng Bandar menghela napas dan berkata.
"Ananda Adipati, sungguh kau pandai sekali memilih selir. Orang cantik dan tahu sopan santun seperti selirmu itu memang sukar dicari."
Tentu saja Adipati Gendrasakti merasa bangga dan senang sekali mendengar pujian ini, akan tetapi ia hanya menjawab dengan sederhana.
"Ah, ia seorang bodoh dan datang dari dusun. Mana ada harga untuk dipuji-puji?"
"Kanda Adipati jangan berkata demikian. Sungguh mati, terus terang kuakui bahwa selama hidup belum pernah aku melihat seorang selir demikian... baik dan sopan. Kau sungguh-sungguh bahagia, kanda Adipati. Akan tetapi, pernah aku mendengar berita bahwa kakang mbok Sariti pandai sekali akan seni suara dan seni tari. Ah, kalau saja beliau sudi mempertunjukan untuk menambah meriahnya pertemuan kita ini agaknya takkan sia-sialah kedatanganku di Tandes! Karena terdorong oleh rasa bangga akan selirnya yang terkasih, pada saat itu Gendrasakti lupa bahwa keadaan dirinya sedang diliputi kekhawatiran, hingga terlanjur berkata tanpa di sadarinya,
"Tentu saja ia suka sekali. Biarlah malam nanti kita bersama melihat ia menari dan bertembang."
Hanya Ki Ageng Bandar seorang yang merasa akan janggalnya pembicaraan kedua orang itu, akan tetapi ia tidak berani mencampuri. Suka atau duka perasaan Adipati Gendrasakti, bukanlah urusannya dan bukan termasuk tugasnya. Biarpun akhirnya Adipati Gendrasakti insyaf bahwa bersenang-senang dalam waktu itu kurang tepat, akan tetapi janjinya kepada Pangeran Bagus Kuswara tak dapat dibatalkan dan pula kehadiran dua orang tamu agung itu dapat dijadikan alasan untuk berbuat itu.
Demikianlah, pada malam hari itu, pada saat banyak penduduk Tandes yang mendengar akan malapetaka yang menimpa diri Dewi Cahyaningsih dan Puspasari merasa khawatir sekali hingga banyak orang-orang perempuan berprihatin dan malam itu sengaja tidak tidur untuk berdoa bagi keselamatan kedua puteri itu, Adipati Gendrasakti menyuruh para yogo untuk menabuh gamelan! Dalam kesempatan yang hanya dihadiri oleh Adipati Gendrasakti dan kedua tamu agungnya ini, Sariti memperlihatkan kepandaiannya. Ia mengenakan pakaian serimpi yang terindah. Kutang hitam yang di hias renda emas itu menyentak dada, pundak dan lengannya yang telanjang tampak putih bersih dan halus bagaikan sutera. Rambutnya yang panjang dan hitam berombak di lepas terurai ke belakang punggung dan diatas kepala dihias kembang-kembang mawar dan rangkaian melati menambah kecantikannya.
Sabuk warna merah muda terhias emas permata mengikat kainnya yang diwiru indah di bagian depan dan diatur sedemikian rupa hingga ujung kain yang memanjang di belakang itu tersingkap sedikit di di bagian depan hingga betis kakinya yang menguning dan memadi bunting mengintai keluar pada tiap kali ia melangkahkan kakinya! Kalau Sariti dalam pakaian nyonya rumah yang sopan telah dapat menggiurkan hati Pangeran Bagus Kuswara, maka Sariti dalam pakaian srimpi ini membuat pemuda itu betul-betul tenggelam dalam gelombang birahi yang membuatnya bagikan gila! Apalagi setelah kedua lengan yang putih kuning dan telanjang itu bergerak-gerak perlahan dan lemah gemulai menurutkan suara gamelan, dengan pangkal lengan terbuka perlahan,
Siku melenggak-lenggok dan pergelangan tangan berputar-putar melebihi lemasnya kepala seekor ular, jari-jari tangan yang manis meruncing itu berjentik-jentik dan bergerak-gerak seakan-akan sepuluh ekor burung yang hidup, kaki yang maju mundur perlahan-lahan dengan gaya lemah-lembut dan sopan dengan lenggang yang tidak kasar tapi cukup membayangkan potongan tubuh yang tiada cacatnya, ditambah lagi dengan kepalanya yang manis itu bergerak-gerak di atas leher yang panjang dan indah bentuknya, berjoget leher sedemikian kenesnya hingga mendatangkan air liur di dalam mulut Pangeran Bagus Kuswara yang melihat dengan mata terbelalak! Setelah Sariti membuka mulut bertembang, maka gelora dahsyat di dalam dada Pangeran Bagus Kuswara mencapai puncaknya dan ia mengambil keputusan nekat dan berjanji dalam hati.
"Aku harus mendapatkan perempuan ini! Biar apapun yang akan terjadi, perempuan ini harus menjadi punyaku!"
Sariti bukanlah seorang wanita yang tidak berperasaan atau berhati batu.
Hatinya cukup panas dan darahnya cukup menggelora ketika ia dapat menangkap sinar mata Pangeran Bagus Kuswara yang tampan dan muda itu. Suaminya adalah seorang tua yang telah tua, berusia lima puluh tahun lebih sedangkan ia berusia paling banyak dua puluh tahun! Kini melihat seorang Pangeran yang muda dan tampan serta berpakaian indah, dan yang terang-terangan memperhatikan hasrat dan suara hatinya kepadanya, maka tak heran bila dadanya berdebar-debar pula. Ia menggunakan kerling matanya memandang Pangeran yang duduk di dekat suaminya dan alangkah jauh perbedaan mereka. Yang seorang bertubuh tinggi besar dan kasar gerak-geraknya, sudah beruban dan bercambang bauk menjemukan, sedangkan yang lain bertubuh sedang dan tegap, tubuh seorang bambang, halus gerak-geriknya, berkulit putih kekuning-kuningan,
Rambut keriting dan hitam, wajah tampan dengan kumis kecil menghias bawah hidung yang mancung, sepasang mata jenaka dan liar membayangkan gairah, ahh... hati siapa takkan tergoda? Pangeran Bagus Kuswara adalah seorang yang sudah berpengalaman, dan melihat gerak-gerik Sariti, ia maklum bahwa anak panah yang dilepaskannya dari kedua matanya telah mengenai sasaran yang tepat. Karena ia maklum bahwa si jelita itu tentu tidak berani berlaku sembrono di depan Adipati Gendrosaki, karena ia duduk di dekat adaipati itu, maka ia lalu menyatakan bahwa ia ingin sekali mempelajari seni gamelan yang ditabuh oleh para yogo yang mahir dan sangat dipujinya itu. Tentu saja Adipati Gendrasakti hanya tertawa melihat kebodohan Pangeran yang lebih menikmati gamelan daripada nyanyi dan tari selirnya yang indah.
Pangeran itu lalu berdiri dan lalu duduk di tempat para penabuh gamelan. Sariti dengan sudut matanya dapat melihat perpndahan tempat duduk ini dan diam-diam ia merasa geli serta memuji kecerdikan Pangeran itu. Dengan duduk di tempat gamelan, maka ia dapat memandang kepada Pangeran itu dengan leluasa sekali, karena tempat itu berada di seberang tempat duduk suaminya, hingga pada saat ia memutar tubuh dan menghadap Pangeran, ia berdiri membelakangi suaminya. Maka terjadilah main mata yang leluasa. Tiap Sariti memutar tubuh membelakangi suaminya dan menghadapi Pangeran itu, Pangeran Bagus Kuswara pura-pura memperhatikan gamelan gambang yang dipukul oleh penabuhnya, tapi diam-diam ia mengirim lirikan-lirikan tajam dan matanya di pejam-pejamkan sambil bibirnya tersenyum penuh arti.
Saritipun menggunakan kesempatan itu untuk mengirim lirikan-lirikan mata yang kenes dan menarik dan memperhatikan senyum semanis-manisnya dengan bibirnya yang kemerah-merahan. Melihat reaksi jelita itu, bukan main senangnya hati Pangeran Bagus Kuswara. Ia lalu memutar-mutar otak mencari akal. Para penabuh gamelan yang merasa mendapat kehormatan besar sekali karena dikagumi oleh seorang Pangeran dari Majapahit, tidak tahu akan rahasia ini karena mereka megerahkan seluruh perhatian dan keahlian mereka untuk memukul gamelan sebaik-baiknya. Dengan bisikan-bisikan, Pangeran Bagus Kuswara mendapat keterangan bahwa pemain gamelan yang sudah berusia tua dan Pak Lenjer. Maka ia lalu menyatakan kagumnya dengan pujian-pujian muluk hingga wajah orang tua itu berseri-seri.
"Yogo sepandai engkau ini sepantasnya menjadi pemain di Keraton Rama Prabu."
Katanya hingga Pak Lenjer mersa gembira sekali sampai wajahnya berubah kemerah-merahan dan kedua tangannya menggigil.
Setelah pertunjukan selesai dan Sariti mengundurkan diri kekamarnya, Pangeran Bagus Kuswara menyatakan maksudnya hendak belajar menabuh gambang dari Pak Lenjer pemimpin rombongan penabuh itu. Tentu saja Adipati Gendrasakti merasa senang dan memberi perintah kepada Pak Lenjer untuk melayani gusti Pangeran, sedangkan penabuh lainnya lalu mengundurkan diri. Demikianlah, karena hari telah jauh malam, Adipati Gendrasakti mengundurkan diri setelah mengantar Ki Ageng Bandar ke kamar tamu. Sedangkan Pangeran Bagus Kuswara tinggal di ruang tengah itu bersama Pak Lenjer dan terdengarlah suara gambang dipukul perlahan ketika orang tua itu memberi petunjuk-petunjuk kepada Pangeran Bagus Kuswara. Setelah keadaan menjadi sunyi, Pangeran Bagus Kuswara berkata.
"Pak Lenjer, sudah lamakah kau menjadi penabuh gambang mengiringi permainan kakang mbok Sariti?"
"Sudah, gusti Pangeran, sudah lama sekali. Semenjak Jeng Roro Sariti masih belajar menari, sudah menjadi pemukul gambang, bahkan ikut melatih beliau."
Pangeran Bagus Kuswara mengangguk-anguk dengan hati senang. Tiba-tiba ia bertanya.
Jilid 03
"Sebetulnya, kau pantas sekali menjadi pemimpin para yogo di Keraton Majapahit! Bagaimana pendapatmu, Pak lenjer?"
Orang tua itu memandang penanyanya dengan mata terbelalak, lalu menyembah,
"Ah, gusti. Hamba adalah seorang bodoh dan hanya pandai memainkan beberapa lagu. Mana pantas hamba menjadi pemimpin para yogo yang pandai di Majapahit? Untuk menjadi pemukul gamelan biasa saja hamba sudah kurangt patut!"
"Jangan merendah, Pak Lenjer. Aku bisa menolong engkau menjadi pemimpin penabuh gamelan di Keraton, atau setidaknya menjadi penabuh gambang di sana! Bukan main girang hati orang tua itu, karena yogo manakah yang tidak merindukan kedudukan yang mulia itu?
Untuk memperlihatkan di hadapan Sang Prabu Brawijaya sendiri! Untuk memainkan gamelan-gamelan pusaka yang sudah terkenal mempunyai suara yang luar biasa bagaikan gamelan dari surga! Demikianlah, dengan licin sekali Pangeran Bagus Kuswara akhirnya dapat juga membujuk orang tua itu untuk menjdi jembatan dan penolong dia bertemu dengan Sariti! Di tengah hutan kledung yang liar, agak sebelah barat dusun Bekti, Jaka Galing dan Indra sedang melatih kawan-kawan mereka bermain pedang.Kedua teruna itu sambil duduk di bawah sebatang pohon beringin yang besar, melepaskan lelah dan memandang ke arah kawan-kawan mereka yang bermain pedang mencontoh mereka tadi. Mereka merasa puas karena kawan-kawan mereka memperoleh kemejuan pesat dan mereka tampak tangkas gesit.
"Galing. kata Indra memcah kesunyian, Bagaimana pendapatmu tentang tamu kita?"
Jaka Galing memandang dengan mulut tersenyum. Ia tidak heran mendengar pertanyaan ini, karena memang Indra berwatak gembira dan segala macam hal mungkin ditanyakan pemuda nakal ini.
"Isteri Gendrasakti itu memang harus dikasihani, jawabnya.
"Eh, eh, siapa yang menanyakan tentang dia? Yang kumaksud anaknya, Puspasari itu. Bagaimana pendapatmu tentang gadis itu?"
Tanya Indra pula.
"Dia...? Ah, mengapa? Dia juga harus dihasihani. Sungguh malang nasibnya."
"Aah, kawan, jangan berpura-pura lagi. Maksudku tentang kecantikannya."
"Memang dia cantik dan menarik,"
Kata Jaka Galing sejujurnya.
"Nah, begitulah namanya orang jujur! Dengar, Galing, entah mengapa, tapi hatiku tertarik sekali padanya Entah apanya yang menarik hatiku, agaknya... sepasang matanya yang bening dan indah, dihias bulu matanya yang lentik dan alis matanya yang tajam dan panjang itulah agaknya. Sungguh mati, belum pernah aku melihat mata sehebat itu! Jaka Galing tersenyum. Memang sejak kecil antara dia dan Indra tak pernah ada rahasia dan mereka selalu bercakap-cakap denag sejujurnya. Hanya satu saja rahasianya yang disimpan, ialah bahwa dia adalah keturunan Prabu Brawijaya!
"Menurut pendapatku, agaknya... mulutnyalah yang menarik hati sekali,"
Katanya setelah berpikir dan membayangkan gadis malang itu.
"Mulutnya? Indra memandang heran."
"Ya, mulutnya. Bibirnya manis benar, coba kau perhatikan. Seperti potongan gendawa Sang Arjuna, lengkung lekuknya demikian sepurna, tipis-tipis penuh dan halus kemerah-merahan, dan giginya bagaikan mutiara berderet. Dan... kau pernah melihat lesung pipitnya di sebelah kiri mulutnya? Aduh, memang manis benar mulut itu!"
Indra memandang kawannya yang berbicara sambil menggigit bibir dan memandang ke langit itu, dan matanya terbelalak. Tiba-tiba ia menepuk pundak Galing hingga pemuda itu terkejut.
"Ha, kalau begitu, kaupun terkena!"
Kata Indra sambil tertawa pahit.
"Ha, terkena? Apa maksudmu?"
"Kaupun terkena panah asmara, kau jatuh cinta padanya, kawan, seperti... seperti halku pula...!"
"Indra, kau gila!"
"Memang, memang aku gila, gila kepada Puspasari, seperti kau pula. Ha, ha,"
Dan Indra menepuk-nepuk bahu Galing yang bidang.
"Indra, jangan kau bicara sembarangan!"
"Aku tidak berolok-olok, kawan. ketahuilah, kalau seorang pemuda mulai membayangkan bagian tertentu dari tubuh seorang dara, itu tandanya ia telah tergila-gila dan jatuh cinta! Yang terbayang dimuka mataku hanya sepasang mata dara itu dan kau selalu membayangkan mulutnya, nah, itu berarti kau dan aku sama-sama mencintai Puspasari!"
"Indra, jangan berolok-olok. Dia adalah puteri Adipati dan ayahnya adalah musuh besarku!"
"Apa salahnya? Ayahnya bukan anaknya dan anaknya berbeda daripada ayahnya. Hal itu tak menjadi soal, Galing. Soalnya ialah, siapa diantara kita yang akan dipilih olehnya. Nah inilah yang penting!"
"Sudahlah, jangan kau berkelakar soal itu, Indra."
"Biarpun kelakar, tapi tepat mengenai hatimu, bukan?"
"Pada saat itu, seorang pemuda datang berlari-lari dengan napas terengah-ngeah ia menuturkan bahwa sepasuakan besar dari Kadipaten Tandes sedang mendatangi ke arah hutan Kledung. Jaka Galing dan Indra meloncat dengan sigap dan mereka memberi aba-aba hingga semua kawan yang sedang berlatih pedang itu berlari menghampiri dan segera kembali ke dalam dusun Bekti. Persidangan kilat dibuka dan mereka mengatur siasat untuk menghadapi musuh.
"Menurut laporan para penyidik, jumlah barisan musuh berjumlah seratus orang lebih. Kita hanya berjumlah tiga puluh orang. Senja nanti baru mereka akan tiba di hutan dan tentu mereka takkan menyerang malam-malam, kita harus memperhatikan dengan diam-diam dan menanti sampai mereka membuat kemah untuk bermalam. Kemudian kita harus mengurung mereka dan menyalakan api di sekeliling mereka sambil melepas anak panah."
"Sekarang marilah semua mengumpulkan kayu dan daun kering untuk bahan bakar."
Semua orang lalu berpencar dan mengumpulkan ranting-ranting dan daun kering.
Laki perempuan, tua muda bekerja dengan sibuk dan bersatu hati, karena mereka tahu bahwa pekerjaan ini untuk kepentingan mereka semua. Bahkan Puspasari yang tahu akan maksud mengumpulkan bahan bakar itu tidak mau ketinggalan, dia ikut pula mengumpulkan daun kering bersam-sama gadis-gadis lain! Pada saat puspasari dan dua orang gadis lain mengumpulkan daun kering tiba-tiba ia melihat Indra berjalan menghampiri dengan senyumnya yang menawan hati! Dengan pejaman mata kanan, pemuda itu mengusir pergi dua gadis yang lain hingga ia berdiri berhadapan dengan Puspasari yang masih memondong daun-daun kering yang dibungkus dengan ujung bajunya hingga kembennya yang berwarna hijau muda itu tampak. Karena melihat yang datang adalah Indra, seorang daripada dua orang pahlawan penolongnya, ia lalu tersenyum sambil menundukkan mukanya.
"Nona, mengapa kau bersusah payah membantu kami mencari daun kering? Tidak tahukah kau bahwa bahan bakar ini digunakan untuk menjebak dan melawan pasukan-pasukan ayahmu?"
Indra memang biasa berkata secara langsung dan berterus terang. Puspasari memandang dengan dua mata bintangnya yang menimbulkan kagum bagi Indra, lalu berkata dengan suara tetap,
"Aku telah berada disini dan menjadi orang sini. Aku tidak tahu pasukan siapa yang hendak kita musuhi, pokoknya aku tahu pasti bahwa pasukan yang datang itu adalah musuh kita dan kedatangan mereka tidak bermaksud baik. Mengapa aku harus tidak membantu?"
Indra terbelalak memandang dan kekagumannya meningkat.
"Adinda yang manis, kau sungguh hebat, makin percayalah aku kepada suara hatiku yang setiap saat berbisik-bisik padaku!"
Puspasari memandang heran. Kata-kata pemuda ini merupakan teka-teki baginya.
"Apa maksudmu, raden?"
"Maksudku, pertama-tama jangan kau sebut aku raden, karena aku hanyalah seorang putera lurah biasa saja dan sebutan Kang Mas cukup baik bagiku. Kedua,yang kumaksudkan suara hatiku itu ialah bisikan-bisikan yang terdengar dari sebelah dalam dadaku dan berkata bahwa aku...mencintaimu!"
Puspasari memandang dengan mulut ternganga. Belum pernah selama hidupnya ia berhadapan dengan seorang pemuda yang begitu sopan-santun sikapnya, tapi yang bicaranya begitu terung terang tanpa tendeng aling-aling hingga kalau tidak melihat pandang mata dan gerak gayanya yang penuh kesopanan, tentu akan menimbulkan dugaan bahwa ia adalah seorang pemuda yang tidak tahu adat dan kurang ajar!
"Nah, kau sudah tahu sekarang apa yang terkandung dalam hatiku, maka jangan kau menjadi heran kalau melihat cahaya mesra keluar dari mataku pada saat memandangmu."
Puspasari menjadi gagu dan tak dapat mengucapkan sepatah-katapun, hanya beberapa kali menelan ludah dengan wajah kemerah-merahan dan mata lebar terbelalak. Kemudian gadis ini tertawa kecil dan membalikkan tubuh dan lari. Tapi Indra masih mendengar gadis itu berkata perlahan.
"Hi, hi, kau... lucu... Kang Mas Indra!"
Sepeninggal puspasari, Indra menepuk-nepuk kepalanya yang berambut keriting itu sambil berkata perlahan,
"Celaka dua belas! Aku menyatakan cintaku dan dia"
Hanya menganggap aku lucu! Ah, betapapun juga, aku lebih cepat daripada Jaka Galing!"
Sambil tersenyum-senyum Indra lalu menghampiri kawan-kawannya dan memberi petunjuk untuk mengikat ranting-ranting dan daun-daun itu menjadi satu hingga lebih mudah dibawa. Sementara itu, puspasari termenung memikirkan kata-kata Indra tadi. Ia menganggap Indra seorang pemuda yang sangat jujur dan menarik, akan tetapi... hati gadis itu diam-lebih condong kepada Jaka Galingt yang berwatak pendiam dan sungguh-sungguh. Ia telah jatuh hati kepada Jaka Galing pada saat mereka bertemu untuk pertama kali di dalam hutan beberapa hari yang lalu.
Setelah hari menjadi senja, para penyelidik memberi laporan bahwa pasukan dari Tandes telah tiba di luar hutan, dan bahwa pasukan itu terdiri dari 120 prajurit pilihan dan dipimpin sendiri oleh Senopati Suranata yang terkenal gagah perkasa. Dan malang bagi mereka, karena senopati yang telah berpengalaman dan berlaku hati-hati itu tidak membawa tentaranya memasuki hutan, akan tetapi membuat perkemahan di pinggir hutan! Jaka Galing dan Indra mengatur siasat baru. Setelah hari menjadi gelap benar barulah kedua pemuda itu membawa ke 28 kawannya menuju ke tempat di mana pasukan Suranata berkumpul. Pada saat itu Suranata sedang mengadakan perundingan dengan para pembantunya, mengatur siasat yang akan dilakukan besok pagi-pagi untuk menyergap dan menolong Dewi Cahyaningsih dan puterinya. Tiba-tiba terdengar suara ketawa dari dalam hutan, diikuti suara Jaka Galing yang keras.
"Suranata! Kau hendak menangkap aku? Ha, ha! Kau dan anak buahmua yang sepengecut ini, hendak menangkap aku? Lucu benar!"
Suranata dan kawan-kawan cepat memandang dan mereka melihat Jaka Galing dengan obor di tangan sedang berdiri di bawah sebatang pohon johar.
"Itu dia Jaka Galing!"
Berkata Dwipa dan di dalam hatinya ia merasa heran sekali karena sebenarnya ia tidak menduga akan bertemu dengan Jaka Galing di situ. Ia tidak kenal dengan dua orang pemuda bertopeng yang menyergapnya dan membunuh kawan-kawannya, dan hanyalah siasat Adipati Gendrasakti belaka yang mengharuskan ia bercerita di luar bahwa perampok itu adalah Jaka Galing. Sementara itu, Suranata yang merasa marah karena ejekan Jaka Galing, diam-diam memberi tanda dan seorang ahli panah yang ulung meluncurkan beberapa batang anak panah ke arah tubuh Jaka Galing. Tapi tiba-tiba obor di tangan Jaka Galing dipadamkan dan keadaan di bawah pohon johar menjadi gelap. Surata dan anak buahnya tidak tahu apakah anak panah itu berhasil mengenai sasarannya atau tidak. Akan tetapi, sekali lagi terdengar suara ketawa Jaka Galing yang berkata.
"Suranata, kalau kau memang benar laki-laki perwira, majulah ke sini! Atau kau takut kepadaku?"
Suranata adalah seorang yang telah kenyang mengalami pertempuran, maka hatinya sedikitpun tidak merasa gentar menghadapi Jaka Galing.
"Maju! Serbu dan tangkap dia hidup-hidup!"
Ia memberi perintah dan beberapa orang perjurit yang bertugas sebagai pelapor dan petunjuk jalan segera memasang obor yang telah disediakan.
Dan majulah mereka memasuki hutan lebat itu, didahului oleh regu obor. Hutan yang tadinya gelap dan penuh pohon-pohon raksasa itu kini menjadi terang dan di mana-mana terdapat bayang-bayang pohon yang menyeramkan. Setelah maju dan mencari-cari sampai beberapa lama tapi tak menemukan Jaka Galing atau kawan-kawannya, Suranata menjadi curiga, maka ia lalu memerintahkan kepada tentaranya untuk mundur dan keluar lagi dari hutan gelap itu. Tapi terlambat! Di sekeliling mereka, terdengar sorak-sorai yang riuh dan tiba-tiba tampak api bernyala-nyala di sekeliling tempat itu. Tidak ada jalan keluar. Dan pada saat semua prajurit merasa bingung dan panik, tiba-tiba datang anak panah bagai hujan menyerang mereka dari segala penjuru. Beberapa orang prajurit memekik ngeri dan roboh terkena anak panah.
"Berlindung di belakang pohon!"
Suranata memberi perintah, karena serangan anak panah itu datang dari segala jurusan hingga tak mungkin menggunakan tameng untuk melindungi diri.
Suranata sendiri yang berkepandaian tinggi, dapat mendengar suara anak panah yang mengarah kepadanya hingga dapat menangkis dengan tepat. Mendengar aba-aba ini, para prajurit lari tunggang langgang di sekitar tempat ini untuk berlindung di balik pohon, tapi karena jumlah mereka banyak dan keadaan gelap setelah banyak pemegang obor menjadi korban anak panah musuh, maka mereka saling tabrak dan berdesak-desakan. Serangan anak panah dari pihak Jaka Galing dan kawan-kawannya makin menghebat, bahkan kini di ujung anak panah dipasang api. Sungguh kasihan prajurit Suranata yang diserang habis-habisan tanpa dapat membalas sama sekali itu. Suranata menyesal sekali mengapa ia tadi menuruti nafsu amarahnya dan mengejar ke dalam hutan. Kalau ia berada di luar hutan, tak mungkin mereka menjebak seperti ini.
"Mundur!!"
Teriaknya. Tapi para anak buahnya bingung, harus mundur ke mana? Di belakang mereka api juga telah berkobar!
"Hayo mundur, serbu bagian belakang. Cari jalan keluar!"
Kembali Suranata memberi komando dan sisa-sisa perejurit-prajuritnya lalu berlaku nekat dan lari menyerbu ke arah dari mana mereka tadi datang. Ketika mereka telah tiba di dekat api yang berkobar, ternyata api yang menyala itu hanyalah daun-daun kering yang diikat menjadi satu, bukan pohon-pohon hutan terbakar seperti yang mereka duga semula. Dengan menggunakan tombak, mereka berhasil mengobrak-abrik api dan memadamkannya, lalu menerobos ke luar di antara hujan anak panah yang kini ditujukan ke arah jalan ke luar itu.
Kembali banyak korban jatuh, tapi sisa tentara Suranata berhasi ke luar dari kepungan dan kembali keluar dari hutan. Ketika Suranat memeriksa keadaan barisannya, ternyata tinggal 57 orang lagi! Ternyata bahwa selain terbinasa di dalam hutan, banyak pula yang melarikan diri dan tidak kembali lagi! Suranata marah sekali. Ia lau memerintahkan beberapa orang anak buahnya untuk pergi ke Tandes dan minta bantuan 100 orang prajurit lagi! Malam hari itu juga, tiga orang pesuruh itu naik kuda menuju ke Kadipaten untuk menyampaikan permintaan bantuan dari Suranata. Akan tetapi, di tengah jalan ketiga orang pesuruh ini tiba-tiba diterkam oleh Jaka Galing dan kawan-kawannya dan sebentar kemudian Indra sendiri dan 2 orang kawannya menggantikan 3 orang pesuruh itu menuju ke Tandes!
Jaka Galing yang sudah menyelidiki keadaan dan kekuatan barisan Tandes, tahu bahwa para perejurit yang berkumpul di Kadipaten dan menjadi orang-orang kepercayaan Gendrasakti berjumlah 300 orang, maka ia mengatur siasat untuk memancing semua prajurit pengawal itu ke dalam hutan! Pada keesokan harinya, barulah Indra dan 2 orang kawannya tiba di Tandes, dan sedikitpun tak mengira bahwa di Kadipaten sendiri telah terjadi peristiwa hebat pada malam tadi! Pangeran Bagus Kuswara dengan mendapat bantuan Ki Lenjer tukang gambang, pada malam hari menjelang fajar setelah Gendrasakti tidur pulas, berhasil mengadakan pertemuan dengan Sariti. Kedua orang muda yang hanya indah rupa dan kulit tapi sebenarnya kotor dan buruk isi ini, semenjak bertemu pada pertama kali ia telah jatuh hati dan atas petunjuk Ki Lenjer, mereka mengadakan pertemuan yang mesra di dalam taman Kadipaten.
Memang benar sebagaimana dikatakan orang bahwa perbuatan sesat adalah awal segala malapetaka. Pertemuan ini dapat terlihat oleh seorang juru taman yang menaruh dendam kepada Sariti karena orang tua ini pernah mendapat marah dari si jelita ini. Kini melihat betapa Sariti mengadakan pertemuan rahasia dengan Pangeran Bagus Kuswara yang menjadi tamu agung, juru taman ini cepat menyelinap di antara tetumbuhan bunga di taman dan langsung menuju ke dalam gedung. Ia tahu benar di mana letak kamar Adipati Gendrasakti dan benar saja, pintu kamar Adipati itu tidak terkunci karena ketika Sariti meninggalkan kamar itu untuk pergi ke taman, ia hanya merapatkan saja daun pintunya. Adipati Gendrasakti terkejut sekali ketika membuka mata dan melihat juru taman menggoyang-goyang ibu jari kakinya dan memanggil-manggil namanya.
"Eh, mengapa kau berani mengganggu aku, juru taman?"
Bentaknya marah.
"Ampun, gusti Adipati. Hamba melihat hal yang ganjil dan luar biasa sekali dilakukan oleh gusti ayu!"
Adipati Gendrasakti cepat memandang ke arah sisi kirinya dan melihat tempat itu kosong.
"Gustimu Sariti berada di mana? Tanyanya cepat.
"Gusti Adipati, marilah ikut hamba dan menyaksikan sendiri!"
Juru taman menjawab perlahan.
Pucatlah muka Gendrasakti. Ia menyambar sebilah keris yang tergantung di dinding, lalu mengikuti juru taman itu. Dan setelah tiba ditempat itu, ia melihat pemandangan yang membuat giginya berbunyi berkeretak-keretak dan kedua matanya berputar-putar karena marahnya. Cambang bauknya seakan-akan berdiri. Dengan sekali lompat ia telah berada di depan sepasang merpati yang sedang berkasih-kasihan itu. Pangeran Bagus Kuswara terkejut sekali dan memandang ketakutan, tapi ia tidak banyak diberi kesempatan. Tangan Gendrasakti yang besar dan kuat itu diayun dan keris itu beberapa kali masuk dan keluar dari dada Pangeran Bagus Kuswara hingga darah merah menyembur keluar dari dadanya dan tubuhnya lemas lalu roboh tanpa dapat bersuara lagi. Sariti menjatuhkan diri berlutut di depan Gendrasakti sambil menangis memohon ampun.
"Perempuan rendah! Kaupun harus dibunuh!"
Gendrasakti menendang tubuh Sariti hingga bergulingan, lalu ia mengangkat kerisnya untuk ditusukkan. Tapi melihat wajah kekasihnya itu memandangnya dengan penuh kesedian dan ketakutan, tiba-tiba tangannya menjadi lemas dan amarahnya lenyap seketika.
"Ampun, kanda Adipati... hamba... hamba tidak berdaya... Pangeran telah memaksa hamba dan... hamba takut untuk menolaknya. Hamba sedang berada di taman ini dan... dan gusti Pangeran datang. Apakah daya hamba? Apakah hamba dapat mengusirnya...? Ampun, Kang Mas..."
Pada saat itu terdengar orang berkata,
"Bohong! Ananda Adipati, selirmu ini memang berbahaya sekali, hingga ia berani memfitnah gusti Pangeran hingga kau sampai berani membunuhnya!"
Yang berkata ini adalah Ki Ageng Bandar. Orang tua ini merasa terkejut sekali melihat betapa Pangeran Bagus Kuswara terbunuh mati. Tadinya ia merasa heran mengapa Pangeran itu belum juga memasuki kamarnya, maka ia lalu keluar mencarinya dan kebetulan sekali pada saat ia tiba di situ, Pangeran Bagus Kuswara tak bernapas lagi.
Biarpun Adipati Gendrasakti sedang marah kepada selirnya terkasih, akan tetapi mendengar kata-kata Sariti kemarahannya berkurang. Kini mendengar ucapan Ki Ageng Bandar dan melihat orang tua itu muncul, ia teringat akan bahaya yang mengancam dirinya. Kalau sampai sang prabu mendengar bahwa ia telah membunuh seorang puteranya, tentu maha raja itu akan marah dan menghukumnya! Tiba-tiba ia mendapat akal, dan setelah melihat ke kanan kiri tak melihat siapapun juga di dalam taman itu, secepatnya ia melompat menerkam dan menyerang Ki Ageng Bandar dengan kerisnya! Apakah daya seorang tua menghadapi serangan Adipati Gendrasakti yang digdaya itu? Beberapa kali keris Adipati itu menancap di ulu hatinya dan Ki Ageng Bandar roboh binasa tanpa dapat mengeluarkan sedikitpun keluhan!
"Kang Mas Adipati... kau telah membunuh tamu-tamu agung itu, bagaimana ini?"
Sariti akhirnya mengeluarkan keluhan dengan tubuh menggigil. Adipati Gendrasakti menjatuhkan dirinya diatas bangku yang berada di taman. Biarpun hawa malam itu dingin sekali, tapi ia merasa panas dan jidatnya berpeluh. Ia menghela napas panjang lebar dan pikirannya ruwet dan bingung.
"Kang Mas Adipati... kalau kau dapat mengampuni saya dan masih percaya kepada saya, maka masih ada jalan baik untuk menghIndarkan diri dari kemurkaan sang prabu. Tidak ada orang lain yang mengetahui kejadian malam ini, maka lebih baik kita kabarkan bahwa pembunuhan ini dilakukan oleh musuh kita, yaitu Jaka Galing! Katakan saja bahwa Jaka Galing dan beberapa orang kawannya memasuki taman dan hendak membunuhmu, dan bahwa Pangeran Kuswara dan Ki Ageng Bandar hendak membantumu, tapi mati terbunuh... Bagaimana pikiranmu Kang Mas?"
Bersinarlah cahaya terang dalam pikiran Adipati Gendrasakti yang sedang gelap dan bingung. Ia berdiri dan memeluk selirnya sambil berbisik,
"Sari, aku maafkan kau. Tapi janganlah kau berbuat bodoh lagi lain kali. Akalmu tadi bagus sekali dan agaknya itulah satu-satunya jalan bagi kita menyelamatkan diri."
Setelah bermufakat dan mencari akal, Adipati Gendrasakti lalu menggunakan keris untuk menusuk lengan kirinya sendiri hingga mengalirkan darah. Ia lalu merobohkan diri diatas tanah dan Sariti lalu berteriak-teriak minta tolong dengan suara nyaring sambil menangis dan berlutut di depan tubuh Adipati Gendrasakti! Para pengawal dan penjaga malam yang mendengar jerit tangis dalam taman, berlari-lari menghampiri dan alangkah terkejutnya mereka melihat Adipati Gendrasakti rebah dengan dengan lengan berdarah serta melihat kedua tamu agung itu telah binasa!
Segera Adipati Gendrasakti diangkut kedalam dan kedua jenazah itupun dibawa ke dalam rumah. Maka berceritalah Adipati Gendrasakti dan Sariti betapa pada malam itu ketika mereka berdua sedang menghibur para tamu agungnya di dalam taman, tiba-tiba datang Jaka Galing dan lima orang kawannya dan menyerang mereka.Karena serbuan itu tak terduga datangnya, maka kedua orang tamu agung kena terbunuh dan Adipati Gendrasakti sendiri mendapat luka sebelum mereka sempat minta tolong! Cerita ini memang meragukan, tapi siapakah yang berani menyangkal cerita yang keluar dari bibir Sariti dan Adipati Gendrasakti? Ki juru taman yang mengetahui peristiwa itu saja tidak berani membuka mulut! Juga Ki Lenjer, tukang gambang yang menjadi penghubung natara Pangeran Bagus Kuswara dan Sariti, tak berani menceritakan pengalamannya, karena itu berarti mencekik leher sendiri.
Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Namun, pada keesokan harinya, kedua orang tua itu telah lenyap dan tak seorangpun mengetahui ke mana mereka pergi. Yang mengetahui hal ini tentu saja hanya Adipati Gendrasakti dan Sariti serta orang-orang kepercayaannya yang diperintahkan membawa pergi dan membunuh kedua orang tua bernasib malang itu! Demikianlah, ketika pagi-pagi hari Indra beserta kedua kawannya tiba di Tandes, ia mendengar peristiwa yang hebat itu dan kembali ia mengutuk akan kekejaman Adipati Gendrasakti karena ia tahu betul bahwa kabar itu bohong dan menyangka bahwa yang membunuh Pangeran Bagus Kaswara dan Ki Ageng Bandar tentu Adipati itu sendiri, walaupun ia masih merasa heran dan tidak tahu akan sebab-sebabnya. Ketika ia minta menghadap Adipati Gendrasakti, ia diterima dan Adipati itu merasa terkejut sekali mendengar kata-kata Indra.
"Aduh, gusti Adipati, celakalah hamba sekalian kali ini! Pasukan pasukan yang menyerang Jaka Galing telah dihancurkan dan banyak yang tewas. Maka mohon dikirim bala bantuan yang besar jumlahnya!"
Akan tetapi pada saat itu, para perwira yang berada di situ meras heran karena tidak mengenal Indra dan dua kawannya, maka seorang diantara mereka membentak.
"He, anak muda, siapa kau dan siapa yang menyuruhmu membuat laporan ini?"
Ia menyembah dan berkata.
"Hamba bertiga adalah prajurit-prajurit dari dusun Pedukuan yang secara suka rela membantu pasukan gusti Suranata karena kamipun merasa benci kepada Jaka Galing dan kawan-kawannya yang menjadi perampok. Akan tetapi, malam tadi kami sekalian telah disergap dan diserang oleh pasukan perampok yang besar jumlahnya dan mengalami kekalahan hebat!"
Mendengar laporan ini, ributlah semua orang dan Adipati Gendrasakti lalu memukul-mukul meja di depannya.
"Celaka! Si keparat Jaka Galing ia harus dibasmi dan dimusnahkan dari muka bumi! He, para perwira jangan menyia-nyiakan waktu lagi. Bawa semua prajurit ke hutan Kledung gempur perampok-perampok yang kurang ajar itu, dan kau, Raden Candra, bawa seregu prajurit untuk cepat-cepat memberi kabar kepada gusti prabu di Majapahit tentang tewasnya Pangeran Bagus Kuswara dan Ki Ageng Bandar. Beritahukan bahwa di daerah Tandes timbul pemberontakan yang dipimpin oleh Galing dan berpusat di tengah hutan Kledung!"
Maka berangkatlah perwira yang bernama Raden Candra itu membawa 12 prajurit berkuda dan mereka menuju ke Majapahit untuk menyampaikan berita itu. Sementara itu, perwira-perwira lainnya mengerahkan seluruh prajurit dan dengan membawa Indra serta 2 orang kawannya sebagai petunjuk jalan, mereka lalu berangkat ke hutan Kledung. Biarpun mereka lelah sekali, Indra diam-diam tertawa geli dan kegembiraannya tak kenal batas melihat hasil pancingannya ini. Ia maklum bahwa Jaka Galing telah siap dengan rencananya. Diam-diam ia mengatur sedemikian rupa hingga perjalan itu makan waktu sehari penuh hingga ketika mereka tiba di hutan Kledung dari lain jurusan, hari telah menjadi gelap.
Senopati Suranat dengan gelisah menanti balabantuan yang tak kunjung datang. Ia melarang prajurit-prajuritnya pergi menjauhi perkemahan, takut kalau-kalau datang serbuan lagi! Jaka Galing telah menjalankan siasat yang cerdik dan hendak mencari kemenangan tanpa mengorbankan kawan-kawannya. Ketika melihat bahwa Indra telah dapat memancing pasukan balabantuan dari Tandes di luar hutan, ia lalu mengajak beberapa orang kawannya mengintai dari dalam hutan. Kemudian, setelah memberi petunjuk-petunjuk, ia lalu memberi aba-aba dan dengan riuh rendah mereka bersorak-sorak sambil melepaskan anak panah dari dalam hutan! Indra segera memberi tahu kepada para perwira sambil berteriak.
"Nah, itulah mereka, di dalam hutan. Hayo serbu mereka!"
Pasukan-pasukan baru ini berjumlah hampir dua ratus orang. Mereka lalu menyerbu ke dalam hutan yang gelap. Belum beberapa lama terjadi pertempuran beberapa orang diantara mereka roboh terkena anak panah yang dilepas oleh Galing dan anak buahnya. Tapi karena para prajurit itu menggunakan tameng untuk melindungi diri, maka yang dapat dirobohkan hanya beberapa orang saja.
Galing lalu mengajak kawan-kawannya mundur dan tiap kali ia telah berada jauh, ia sengaja menyuruh kawan-kawannya berteriak-teriak untuk memberi tahu tempat mereka kepada pasukan yang mengejar itu. Sementara itu, beberapa orang kawan lain juga menggunakan anak panah menyerang pasukan Suranata yang berkemah di luar hutan. Mereka ini hanya mengganggu belaka dan tidak datang dekat, sekedar memberi tanda bahwa para "Perampok"
Berada di dalam hutan dan membuat Suranata dan para anak buahnya berjaga-jaga sambil membalas dengan melepaskan anak panah. Setelah para pasukan bala bantuan itu mengejar sampai dekat pinggir hutan di mana pasukan Suranata berada, Galing lalu mengajak kawan-kawannya bersembunyi dan bersatu dengan kawan-kawan yang mengganggu Suranata. Sementara itu, Indra lalu berseru kepada para perwira.
"Nah, mereka telah lari sampai di luar hutan. Bagus sekali! Mereka takkan dapat bersembunyi lagi. Lihat itu di luar hutan mereka berkumpul, lekas serbu!"
Para perwira tak dapat melihat nyata dalam gelap itu, mereka hanya melihat remang-remang bahwa di luar hutan memang berkumpul banyak sekali orang dan bahkan dari jurusan itu datang anak-anak panah yang banyak sekali. Maka mereka lalu memberi aba-aba dan semua prajurit mereka menyerbu keluar hutan dengan golok dan tombak di tangan.
Sebaliknya, pasukan Suranata ketika tiba-tiba melihat banyak sekali orang keluar dari hutan dan lari menyerbu, menyangka bahwa itu adalah barisan Jaka Galing. Mereka cepat-cepat mempersiapkan diri! Dan terjadilah perang tanding di dalam gelap, dibarengi pekik-pekik kesakitan dari mereka yang roboh terluka dan pekik-pekik kemenangan dari mereka yang berhasil dirobohkan seorang "lawan"
Untuk kemudian dirobohkan oleh kawan lain! Keadaan menjadi hiruk-pikuk dan ramai! Pada saat itu, Jaka Galing memeluk Indra dan memuji-mujinya dan semua kawan mereka bersukaria sambil menonton pertempuran hebat yang terjadi di luar hutan. Akhirnya Suranata dapat juga mengenali pasukan yang menyerbu mereka, demikianpun di fihak pasukan balabantuan. Tapi hal ini telah terlambat karena dikedua fihak telah banyak jatuh korban. Mereka lalu berkumpul dan menyesali kecerobohan masing-masing dan menuturkan pengalaman masing-masing yang menyedihkan.
"Siapakah tiga orang yang memberi laporan ke Tandes itu?"
Seorang perwira bertanya kepada Suranata.
"Memang kami telah mengutus tiga orang utusan untuk memberi laporan dan minta bantuan, tapi mengapa mereka itu menyesatkan kalian dan bahkan menjebak hingga kita bertempur sendiri?"
"Mungkin pesuruh-pesuruhmu itu berubah pikiran dan menjadi penghianat!"
Di dalam gelap mereka mencari Indra dan dua orang kawannya, tapi sia-sia belaka. Suranata merasa gemas sekali dan membanting-banting kaki, apalagi setelah mendengar dari para perwira itu bahwa ketiga orang utusan itu sama sekali berbeda wajah dan potongan tubuhnya dengan tiga utusannya.
"Mereka itu utusan palsu! Keparat benar Jaka Galing! Tentu mereka telah menangkap para pesuruh kita menggantikannya dengan kawan perampok yang sengaja memasang perangkap! Sungguh memalukan!"
"Biarlah malam ini kita beristirahat di sini dan besok pagi kita kumpulkan semua tenaga untuik mencari dan menyerbu ke dalam hutan!"
Kata seorang perwira dengan marah.
Usul ini diterima baik dan semua orang beristirahat, menyesali nasib dan kelalaian mereka. Prabu Brawijaya tengah duduk bersiniwaka, dihadap oleh para senopati dan pembesar lain, sang prabu yang telah lanjut usianya itu masih kelihatan gagah dan tampan,dengan pakaina keprabon yang indah dan duduk diatas singgasana berukir dan terhias emas permata. Para senopati yang menghadap tampak gagah perkasa dan para selir dan pelayan yang duduk di belakang sang prabu semua cantik-cantik dan berpakaian indah. Keadaan Prabu Brawijaya dan segala yang berada disekelilingnya menunjukkan kejayaan Negara Majapahit dan sesuai pula dengan nama besar maha raja itu yang terkenal adil bijaksana dan sidik permana.
Di antara senopati yang menghadap, tampak Patih Gajah Mada yang terkenal sebagai banteng majapahit, seorang yang cakap dan sakti dan yang telah berjasa besar dalam usahanya memuliakan nama Negara Majapahit. Tampak pula para bupati dan nayaka yang gagah dan di depan di sebelah Patih Gajah Mada tampak pula Pangeran Lembungpangarsa, yakni putera Prabu Brawijaya yang terkenal sakti mandraguna dan banyak mendapat pelajaran ilmu dari Patih Gajah Mada sendiri! Berbeda dengan Pangeran Bagus Kuswara, Raden Lembungpangarsa ini suka akan keperwiraan dan kegagahan. Prabu Brawijaya tengah membicarakan hal Adipati Gendrasakti yang telah lama tidak menghadap dan tentang kepergian Ki Ageng Bandar yang diutus meninjau Kadipaten itu. Patih Gajah Mada berakata.
"Menurut warta yang telah hamba dengar dari para penyelidik, keadaan di Tandes tidak sangat menggembirakan. Ada berita bahwa dimas Adipati Gendrasakti kurang memperhatikan keadaan rakyat di Tandes dan sudah beberapa bulan tak pernah keluar meninjau keadaan daerahnya. Agaknya ada sesuatu terjadi di Kadipaten itu, gusti."
Sang prabu membenarkan sangkaan patihnya.
"Mudah-mudahan saja tidak terjadi sesuatu karena dulu Gendrasakti adalah seorang hamba yang baik dan perwira."
Belum lama mereka bercakap-cakap, datanglah penjaga yang memberitahukan bahwa ada utusan datang dari Tandes dan tampaknya tergesa-gesa sekali. Sang prabu lalu memberi perkenan agar mereka lansung menghadap. Raden Candra, utusan dari Tandes itu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah di hadapan Sang Prabu Brawijaya lalu menangis!
"Eh, eh, Ponggawa. Tak patut bagi seorang prajurit untuk menjatuhkan air mata. Ke mana perginya keteguhan hatimu?"
Bentak Patih Gajah Mada kepada Raden Candra.
"Hemm, prajurit Tandes bersifat wanita, mudah sekali menangis."
Pangeran Lembu Pangarsa juga mencela. Mendengar celaan-celaan ini, Raden Candra cepat menggunakan tangannya menyeka air matanya dan menyembah lagi sambil berkata.
"Ampun beribu ampun gusti sinuhun, hamba tak dapat menahan keluarnya waspa karena dorongan hati hamba sedih. Mohon ampun bahwa kedatanga hamba membawa berita duka, gusti."
"Ponggawa, katakanlah apa yang menjadi tugasmu sebagai seorang utusan,"
Kata Prabu Brawijaya dengan suara halus.
"Telah terjadi peristiwa maut di Kadipaten Tandes, gusti yang mulia. Kadipaten Tandes telah telah diserbu oleh seorang pemberontak bernama Jaka Galing dan pemberontak itu menyerang Gusti Pangeran Bagus Kuswara dan Ki Ageng Bandar yang sedang dijamu oleh Adipati Gendrasakti dan garwanya di dalam taman. Dan... dan gusti Pangeran berdua dengan Ki Ageng elah tewas terbunuh oleh Jaka Galing, sedangkan gusti Adipati telah terluka, gusti..."
"Ya Jagat Dewa Batara..."
Sang prabu berseru sambil menggunakan tangan kanannya menyentuh dada kirinya untuk menenteramkan hatinya yang terpukul.
"Coba kau tuturkan yang jelas, Ponggawa."
Maka Raden Candra lalu menceritakan betapa di waktu malam hari, ketika Adipati Gendrasakti sedang menjamu kedua tamu agung itu di dalam taman, datanglah Jaka Galing beserta beberapa orang perempok yang langsung menyerang Adipati Gendrasakti. Pangeran Bagus Kuswara dan Ki Ageng Bandar maju membantu, tetapi keduanya tewas di ujung keris Jaka Galing, sedangkan sang Adipati sendiri mendapat luka.
"Keparat betul Jaka Galing! Ramanda prabu, perkenankan hamba pergi menangkap si keparat itu! Pangeran Lembu Pangarsa memajukan diri dengan muka merah mendengar betapa adikanya terbunuh oleh jaka Galing. Tapi Patih Gajah Mada berkata,
"Gusti pujaan hamba, sungguhpun perbuatan Jaka Galing itu sangat kurang ajar dan harus dihukum, akan tetapi perbuatannya itu masih belum diketahui sebab-sebabnya. Sebaliknya, menurut pertimbangan hamba. Adipati Gendrasakti ternyata telah menyia-nyiakan kepercayaan paduka sebagai seorang Adipati yang mengatur Kadipaten Tandes. Buktinya, telah ada seorang pemberontak merajalela dan bahkan ia sebagai seorang yang berkuasa penuh di desa Tandes, tak mampu menjaga keselamatan dua orang utusan paduka. Pantaskah ini bagi seorang pembesar yang telah dipercaya?"
"Puteraku Lembu Pangarsa, kau siapkan barisan secukupnya untuk mengiringkan aku ke Tandes. Aku sendiri akan menyelidiki perkara ini dan akan memberi hukuman kepada pemberontak itu! Kakang patih, harap kau wakili aku menjaga praja!"
Maka berangkatlah Prabu Brawijaya dengan sekalian pengiring dan prajurit terutama di bawah pimpinan Pangeran Lembu Pangarsa yang gagah perkasa! Di sepanjang jalan, rakyat dari dusun-dusun yang yang dilalui oleh rombongan Sang Prabu Brawijaya, bahkan rakyat dari dusun-dusun yang telah mendengar akan lewatnya rombongan agung ini, datang berduyun-duyun menyambut dan berlutut di kanan kiri jalan sambil menaburkan bunga-bunga. Sedangkan Sang Prabu yang terkenal bijaksana dan pemurah, beberapa kali sengaja turun dari kuda dan mengajak paman-paman tani bercakap-cakap, menanyakan tentang kemajuan sawah dan tentang keadaan penghidupan di dusun, bahkan tidak lupa memberi hadiah-hadiah kepada mereka. Tentu saja kebijaksanaan ini disambut oleh rakyat dengan penuh kegembiraan, dan rasa cinta dan bakti mereka terhadap Sang Prabu Majapahit makin menebal.
Pangeran Lembu Pangarsa yang tampan dan gagah duduk di atas kuda putihnya bagaikan seorang ksatria gagah perkasa dari Negara Pendawa, hingga orang-orang yang memandang menjadi kagum dan para gadis dusun memandang dengan mata merayu dan terpesona hingga wajah dan kegagahan Raden Lembu Pangarsa itu terukir dalam hati mereka dan tak mudah dilupakan! Ketika rombongan Sang Prabu Brawijaya tiba di dekat hutan Kledung, mereka melihat pasukan-pasukan yang dipimpin Suranata berada di pinggir hutan itu. Suranata dan para perwira lainnya terkejut sekali melihat bahwa yang datang itu adalah rombongan dari Majapahit yang dikepalai oleh sang prabu sendiri. Maka dari jauh-jauh mereka telah mengatur persiapan menyambut kedatangan Sang Prabu Brawijaya dengan segala kehormatan!
Telah dua hari bertrut-turut pasukan Suranata ini menyerbu ke dalam hutan, tapi serbuan mereka gagal selalu karena Jaka Galing yang cerdik dan mempunyai pembantu-pembantu yang cepat dan tangkas itu selalu dapat mengetahui lebih dulu akan maksudnya dan dapat menjauhkan diri tepat pada waktunya. Berkali-kali Suranata menyerbu tempat kosong hingga ia makin marah saja. Ia menyuruh anak buahnya mengobrak-abrik dan membakar rumah-rumah dusun Bekti yang telah dikosongkan dan ditinggalkan oleh Jaka Galing. Di waktu malam Suranata tidak berani berdiam di dalam hutan, tapi mengajak anak buahnya bermalam di luar hutan. Karena kegagalan-kegagalan ini, maka hatinya menjadi lemah dan nafsu bertempurnya menjadi berkurang. Maka pada hari ke tiga, ia masih berada di luar hanya mengutus beberapa orang menyelidik masuk ke dalam hutan dan mencari tahu tentang gerakan-gerakan musuh.
Ketika Prabu Brawijaya mendengar bahwa pasukan itu datang dari Tandes dan sedang melakukan pengejaran atas Jaka Galing dan kawan-kawannya, ia lalu memanggil menghadap Suranata untuk ditanyai tentang segala peristiwa yang terjadi di Tandes. Ketika sang prabu mendengar bahwa puterinya Chyaningsih juga diculik oleh Jaka Galing, sang prabu tak dapat menahan lagi kemarahan hatinya. Ia lalu memimpin sendiri para prajurit Majapahit dan bersama Pangeran Lembu Pangarsa lalu menyerbu ke dalam hutan! Pada saat itu, Jaka Galing sedang duduk melamun seorang diri di pinggir sebuah anak sungai yang berair jernih. Ia duduk didekat air, di atas sebuah batu dan dan memandangi daun-daun kering dihanyutkan air. Pikirannya melayang jauh. Tadinya ia termenung memikirkan keadaan Suranata yang dipermainkan itu dengan hati geli dan senang.
Kemudian ia teringat kepada Gendrasakti dan air mukanya segera berubah menjadi keruh dan muram tanda hati tak sedap dan marah. Ia merasa gemas sekali mengingat akan kejahatan Gendrasakti. Sakit hati mengingat pembunuhan atas kakeknya yang terkasih belum juga terbalas, kini tanmbah lagi denag fitnah Adipati jahanam itu bahwa ia telah membunuh Pangeran Bagus Kuswara dan Ki Ageng Bandar! Sungguh kurang ajar sekali! Ia sedang memikir-mikirkan dan mencari jalan keluar untuk dapat bertemu muka dan membalas dendamnya kepada musuh besarnya itu. Tiba-tiba ia mendengar suara tindakan kaki perlahan-lahan di belakangnya dan berkat kewaspadaannya, ia cepat meloncat dan menghadapi orang yang baru datang dengan perlahan-lahan itu. Tapi ketika melihat bahwa yang datang diam-diam itu tak lain adalah Puspasari, wajah Jaka Galing berubah kemerah-merahan.
"Aah... kusangka siapa..."
"Kang Mas Galing, terkejut kau melihat aku datang?"
Tanya Puspasari dengan senyum yang manis. Telah beberapa kali gadis ini bercakap-cakap dengan Galing dan keramahan mereka membuat mereka cepat dapat melenyapkan rasa segan dan malu-malu hingga perhubungan mereka dalam beberapa hari saja telah menjadi erat seperti kakak beredik. Hanya terhadap Indra, Puspasari masih malu, karena jejaka itu tanpa tendeng aling-aling lagi tiap kali bertemu dengannya selalu memperlihatkan perasaan hatinya yang mencinta!
"Tidak, Puspasari, aku tidak terkejut. Aku tadi baru melamun dan tak menyangka bahwa kau yang datang. Maklumlah penghidupan di dalam hutan ini membutuhkan kecepatan dan kewaspadaan, kalau terlena maka akan celakalah badan!"
"Kau memang sigap dan cepat, Kakang Mas. Tapi... agaknya ada seorang bidadari yang sedang kau lamunkan, betulkah?"
Jaka Galing tersenyum.
"Kau pandai sekali menerka pikiran orang yayi. Dari siapa kau tahu bahwa aku sedang melamunkan seorang bidadari?"
Puspasari menggunakan telunjuknya yang kecil runcing menuding ke arah air yang mengalir perlahan.
"Tadi aku berada di hilir sungai dan riak air yang datang ke sana dari sini mengatakan kepadaku bahwa di udik terdapat seorang teruna sedang melamunkan bidadari kekasih hatinya. Aku lalu menuju ke sini karena ingin tahu teruna manakah yang sedang menderita rindu asmara itu. Eh, tidak tahunya Kang Mas sendiri!"
Jaka Galing memandang wajah gadis yang ayu itu dan merasa kagum sekali karena gadis itu selain cantik jelita dan manis budi bahasanya, juga pandai sekali mempergunakan kata-kata dengan mengarang kiasan-kiasan dan perumpamaan-perumpamaan yang indah.
"Kau sungguh-sungguh cerdik dan waspada bagaikan seorang dewi kahyangan. Wahai dewi yang bijaksana dan bermata tajam, sudilah kiranya kau melihat dengan matamu yang tajam bagaikan bintang pagi itu, bagaimanakah gerangan keadaan bidadari yang kurindukan itu? Dapatkah bidadariku menerima kasih asmara yang kupersembahkan kepadanya?"
Mendengar kelakar pemuda yang biasanya pendiam itu, sepasang mata Puspasari berseri dan kulit wajahnya berubah merah. Ia nampak gembira sekali dan senyum ramai menghias mukanya.
"Coba aku periksa dulu, wahai teruna yang malang,"
Katanya, lalu ia duduk di dekat Galing, juga, menghadapi air yang mengalir perlahan dan bermain denga batu-batu kali yang hitam licin hingga mengeluarkan suara gemericik menyedapkan pendengaran. Sambil menatap air sungai dengan kedua matanya yang bagus, dara jelita itu berkata lirih.
"Aku lihat... bidadari itupun merindukan engkau Kang Mas..."
Jaka Galing cepat menengok dan memandang muka itu dari samping. Gadis itu nampaknya sungguh-sungguh dan tidak sedang berkelakar, maka hatinya menjadi berdebar keras. Tanpa ia sadari ia manggunakan tangan kananya memegang pundak Puspasari dan berkata.
"Dinda... benar-benarkah itu...?"
"Tentu saja benar!"
Lalu gadis itu memandangnya sambil berkata manis.
"Eh, apa pula ini? Mengapa teruna yang gandrung merindukan bidadari itu memegang-megang pundakku?"
"Yayi Puspasari, jangan kau menggodaku, yayi. Coba kau katakan sekali lagi, benar-benarkah bidadari yang kurindukan itu membalas cintaku?"
Puspasari tetap tersenyum dan kedua matanya menggoda.
"Untuk apa aku membohongimu? Bidadari itu betul-betul mencintaimu!"
Sekali lagi Jka Galing memegang pundak Puspasari hingga untuk kedua kalinya dara itu menegurnya.
"Mengapa kau memegang-megang pundakku"
"Yayi puspasari... jangan kau berolok-olok... ketahuilah, yayi, bidadari yang kurindukan, yang selalu melayang-layang dan menari-nari dalam lamunanku, dalam mimpiku, tidak lain adalah... engkau sendiri, yayi!"
Tetapi alangkah heran dan girangnya hati Jaka Galing ketika ia tidak melihat perubahan pada wajah yang ayu itu, bahkan kini terlihat makin merah dan bercahaya, sedangkan sepasang matanya yang indah memandang sayu bagaikan mata orang mengantuk, tetapi bibirnya tetap tersenyum ketika menjawab.
"Kalau demikian halnya, mengapa?"
Saking haru dan girangnya, hampir saja Jaka Galing memeluknya, tetapi pada saat itu terdengar suara Indra berteriak dari jauh, Jaka Galing menarik kembali kedua tangannya dan menjauhi Puspasari sambil berkata perlahan.
"Yayi, ingatlah, bahwa betapapun juga aku adalah musuh besar ayahmu!"
Puspasari menjawab dengan suara yang tak kalah tepatnya,
"Kang Mas, kata-kata ini pun berlaku bagimu juga, kaupun tahu bahwa betapapun juga, aku adalah anak perempuan dari musuh besarmu!"
Pada saat itu Indra muncul dari dalam hutan.
"Ah, payah aku mencarimu, Galing. Kiranya kau sedang bercakap-cakap dengan srikandiku!"
Memang karena kejenakaannya, Indra selalu menyebut Puspasari sebagai pahlawan wanita dan isteri Arjuna, yaitu Dewi wara Srikandi! Melihat betapa wajah Indra tetap tegang walaupun mulutnya masih sempat berkelakar itu, Jaka Galing maklum bahwa tentu telah terjadi peristiwa penting. Maka ia segera menyambut kedatangan kawan itu sambil bertanya.
"Indra, ada terjadi apa?"
"Celaka betul, Galing. Sang prabu sendiri telah membawa pasukan menuju ke sini untuk menangkap kita!"
Wajah Jaka Galing menjadi pucat.
"Apa? Sang Prabu Brawijaya?"
"Siapa lagi kalau bukan Sang Prabu Brawijaya dari Majapahit? Dan didekat beliau masih ada lagi Pangeran Lembu Pangarsa yang tampan dan gagah perwira itu. Kawan-kawan kita lari bersembunyi ketakutan melihat cahaya yang memancar keluar dari kedua orang agung itu! Apa yang harus kita lakukan, Galing?"
Betapapun juga, suara Indra terdengar agak gemetar, tanda bahwa iapun merasa gentar menghadapi Prabu Brawijaya dan Pangeran Lembu Pangarsa yang sakti mandraguna itu.
"Apalagi yang harus kita lakukan? Kita harus menyerah, karena memang bukan maksud kita memusuhi sinuhun."
"Tetapi kau tentu akan dihukum mati. Tidak tahukah kau bahwa kau telah dikabarkan membunuh Gusti Pangeran Bagus Kuswara?"
Jaka Galing tersenyum.
"Itu hanya fitnah belaka dan aku percaya penuh akan kewaspadaan dan kebijaksanaan gusti sinuhun."
Sementara itu, mendengar hal kedatangan Sang Prabu Brawijaya, diam-diam Puspasari telah lari pergi untuk memberi tahu ibunya.
Pada saat itu, suara kaki kuda yang mendatangi telah terdengar makin mendekat dan Jaka Galing lalu mengajak Indra dan sekalian kawan yang masih berada dalam hutan uantuk menghadap Sang Prabu Brawijaya. Ia memerintahkan kawan-kawannya untuk menyimpan senjata masing-masing di dalam sarung, tak boleh dipegang seperti hendak menghadapi musuh. Ternyata yang masih tinggal di hutan tinggal 20 orang saja berikut orang-orang wanita, orang-orang tua dan anak-anak. Sedang yang lain sudah pada lari entah ke mana karena takut mendengar kedatangan Sang Prabu Brawijaya dan Pangeran Lembu Pangarsa! Biarpun Sang Prabu Brawijaya telah berusia lanjut, namun perasaan marah membuat beliau menjadi muda kembali dan semangatnya berkobar-kobar untuk menghadapi pemberontak yang telah menculik puterinya dan membunuh seorang puteranya itu.
Juga Pangeran Lembu Pangarsa gatal-gatal tangannya untuk segera menghajar Jaka Galing yang dianggapnya berlaku kurang ajar. Maka mereka lalu menjalankan kuda dengan cepat mengejar maju! Tiba-tiba rombongan Prabu Brawijaya berhenti, karena dari dalam rimba yang liar itu keluar serombongan orang-orang muda berpakaian sederhana sepertai biasanya orang-orang dusun, sedangkan di belakang rombongan pemuda itu tampak beberapa orang wanita, kakek-kakek dan kanak-kanak. Ketika mendengar suara dari barisan Suranata yang ikut menyerbu dari belakang bahwa yang memimpin rombongan pemuda itu adalah si pemberontak Jaka Galing, Sang Prabu Brawijaya dan Pangeran Lembu Pangarsa tercengang dan keheranan. Jaka Galing memelopori kawan-kawannya dan berlutut menyembah dengan sikap hormat sekali.
"Kanjeng sinuhun, hamba Jaka Galing dengan kawan-kawan dari dusun Bekti menghaturkan sembah sujud di hadapan paduka."
Kata Jaka Galing dengan penuh hormat sambil bersila dan menyembah. Sang Prabu Brawijaya turun dari kudanya, demikian juga para pengikutnya, lalu mendekati Jaka Galing.
"Eh, anak muda! Kaukah yang bernama Jaka Galing dan yang telah menculik Dewi Cahyaningsih dan membunuh Pangeran Bagus Kuswara?"
Tanya Sang Prabu Brawijaya. Jaka Galing menyembah lagi sebelum menjawab.
"Benar sebagaimana sabda paduka, gusti. Hamba bernama Jaka Galing, akan tetapi tentang penculikan dan pembunuhan itu hanyalah fitnah belaka, gusti!"
"Bangsat pengecut! Laki-laki apa kau ini yang berani berbuat tidak berani bertanggung jawab?"
Tiba-tiba Pangeran Lembu Pangarsa melompat ke depan dan mengayun tangannya menempeleng kepala Jaka Galing! Tamparan Pangeran yang gagah ini bukanlahlah sembarangan tamparan dan kalau mengenai kepala Jaka Galing tentu akan hebat sekali akibatnya, karena di tangan Pangeran Raden Lembu Pangarsa terkandung tenaga mujijat dari aji kesaktian yang dimilikinya. Akan tetapi JakaGaling telah maklum akan hal ini karena sebelum tangan itu tiba di kepalanya, ia telah merasakan berkesiutnya angin dingin meniup rambutnya, maka dengan cepat sekali anak muda ini menundukkan kepalanya hingga tamparan itu hanya menyerempet rambutnya saja! Pangeran Raden Lembu Pangarsa marah sekali melihat betapa tamparannya dielakkan sedemikian mudahnya, maka ia lalu berseru.
"Keparat, kau berani melawan?"
Dan kepalan tangannya menjotos ke arah dada! Kini Galing tidak berani melawan pula dan ia mengangkat dadanya sambil mengerahkan tenaga dalam untuk menahan serangan ini.
"Buk!"
Dan tubuh Jaka Galing bergulingan beberapa kali karena kerasnya pukulan itu, sedangkan Pangeran Raden Lembu Pangarsa menyeringai karena merasa betapa kulit lengannya perih seakan-akan habis memukul sebuah batu! Sementara itu. Galing sudah duduk bersila kembali dengan kepala tunduk dan kedua tangannya menyembah seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu! Ketika Pangeran Lembu Pangarsa hendak maju menyerang pula, Prabu Brawijaya membentak kepada puteranya,
"Lembu Pangarsa, tahan! Jangan kau lancang memukul orang tanpa memriksa dulu. Memalukan benar sikapmu itu!"
Mendengar bentakan ini, Pangeran Raden Lembu Pangarsa mundur dengan muka merah. Prabu Brawijaya memandang Jaka Galing dengan mata heran dan ragu-ragu. Anak muda yang duduk bersila itu tak pantas menjadi anak dusun yang bodoh dan kasar. Dari tubuhnya nampak sinar bercahaya dan sepasang mata yang lebar itu mengeluarkan cahaya berpengaruh, kulitnya putih kekuningan dan bersih sedangkan sikapnya sopan-santun dan beradap. Inikah pengkhianat dan pemberontak, kepala perampok itu?
"Eh, Jaka Galing, di manakah anak buahmu?"
Bentak pula Sang Prabu Brawijaya.
"Kalau paduka maksudkan kawan-kawan hamba, maka hanya inilah kawan-kawan hamba, sedangkan beberapa yang lain telah melarikan diri, takut akan murka paduka."
Prabu Brawijaya makin heran, lalu ia memanggil Suranata menghadap.
"Suranata, hanya beberapa, belas anak-anak muda inikah yang telah memukul hancur pasukanmu? Perwira macam apakah kau ini?"
Suranata dengan malu dan tubuh gemetar menuturkan pengalamannya, betapa ia diserbu oleh kawan-kawan Jaka Galing dengan menggunakan api, kemudian ia "Di adu dombakan"
Dengan barisan bala bantuan dari Tandes. Kemudian atas pertanyaan Prabu Brawijaya, Jaka Galing minta Indra menceritakan siasat-siasatnya melawan pasukan Suranata. Hal ini dilakukan oleh Indra dengan gaya dan gerakan-gerakan lucu hingga banyak pengiring Prabu Brawijaya diam-diam tertawa dengan hati geli.
"Jaka Galing, kalau begitu kau benar-benar telah memberontak?"
"Mohon beribu ampun, gusti. Hamba sekali-kali tidak berani memberontak kepada paduka yang adil dan bijaksana. Akan tetapi Adipati Gendrasakti tidak adil, dan dia telah mengirim pasukan-pasukan ke dalam hutan untuk membasmi hamba dan kawan-kawan hamba tanpa dosa. Oleh karena itulah maka hamba membela diri dan melawan."
"Tapi kau telah menculik Dewi Cahyaningsih!"
Bentak pula Sang Prabu Brawijaya.
"Dia membohong, kanjeng sinuhun. Memang dia yang menculik dan telah membunuh para pengawal, di sini ada saksinya, yaitu seorang pengawal yang dapat menyelamatkan diri."
Dwipa lalu dipanggil oleh Suranata dan disuruh maju. Ketika ditanya oleh sri baginda raja, Dwipa lalu menceritakan bahwa benar-benar ketika ia dan kawan-kawannya mengawal Dewi Cahyaningsih, telah dicegat oleh Jaka Galing dan Indra, dan sebelas kawannya terbunuh semua.
"Jaka Galing, benarkah kau dan Indra kawanmu ini telah membunuh sebelas pengawal itu?"
Tanya Sang Prabu Brawijaya.
"Benar, gusti. Akan tetapi bukan karena hamba ingin menculik, hanya karena pengawal-pengawal itu hendak membunuh kanjeng bibi dan puterinya."
Prabu Brawijaya tidak percaya akan keterangan Jaka Galing yang terdengar ganjil ini. Mana ada pengawal-pengawal yang membunuh puteri yang dikawalnya? Maka ia lalu memanggil seorang senopati dan berkata.
"Kalau kau tidak mengaku terus terang, kau akan dirangket, Jaka Galing!"
"Terserah kepada kebijaksanaan paduka, karena sesungguhnya hamba tidak menjalankan perbuatan jahat!"
Jawab Jaka Galing dengan suara tetap. Maka sang prabu lalu memberi perintah dan senopati itu mengayun cambuknya keras-keras. Terdengar suara keras meledak dari ujung cambuk memukul punggung Jaka Galing.
Darah mengalir keluar dari kulit yang terpecah oleh ujung cambuk itu, tapi Jaka Galing tetap bersila dan sedikitpun tidak bergerak maupun mengeluh. Indra menggigit bibirnya dan menahan gelora hatinya yang ingin memberontak dan mengamuk untuk membela kawannya itu, sedangkan semua kawan Jaka Galing memandang dengan terharu dan sedih. Cambuk terayun terus dan ketika ujung cambuk telah lima kali menyobek kulit punggung Jaka Galing, tiba-tiba terdengar suara wanita menjerit, dan dari dalam hutan itu datang berlari-larian dua orang wanita. Puspasari lari dan menubruk Jaka Galing sambil menangis, sedangkan Dewi Cahyaningsih langsung menghampiri Sang Prabu Brawijaya dan menyembah di depan kakinya. Sang Prabu Brawijaya melihat bahwa puterinya selamat tidak kurang suatu apa, mengangkat tangan menahan senopati yang bertugas mencambuki Jaka Galing.
"Rama Prabu... anak muda ini tidak berdosa, mohon ampun, Rama Prabu..."
Kata Dewi Cahyaningsih sambil menangis. Lalu dengan suara pilu ia menceritakan betapa sesungguhnya kedua belas pengawal istana itulah yang hendak membunuh dia dan puterinya,dan kalau tidak ada Jaka Galing dan Indra yang menolong, tentu mereka berdua telah tewas! Bukan main marahnya Pangeran Lembu Pangarsa mendengar ini. Dengan sekali tendang saja ia membuat tubuh Dwipa terguling-guling dan penjahat itu lalu dibelenggu dan menerima beberapa kali pukulan lagi! Sementara itu, ketika Puspasari
Jilid 04
menghampirinya, Jaka Galing memandang dengan senyum untuk menghibur hati dara itu dan untuk menyatakan bahwa hukuman itu bukan apa-apa baginya. Puspasari menggunakan sehelai sapu tangan untuk menyeka darah dan peluh di punggung Jaka Galing.
Indra yang melihat kemesraan ini hanya menghela napas dan ia sama sekali tak iri hati atau marah, hanya menyesali nasib sendiri. Akan tetapi, ketika mendengar betapa Dewi Cahyaningsih menyebut Rama Prabu kepada Sang Prabu Brawijaya, tiba-tiba wajah Jaka Galing menjadi pucat sekali dan ia roboh dan pingsan! Puspasari menjerit dan Indra juga menubruk kawannya itu dan menggoyang-goyang tubuhnya. Semua orang merasa heran, termasuk Prabu Brawijaya sendiri. Tadi ketika menerima pukulan cambuk, pemuda itu sedikitpun tidak memperlihatkan rasa sakit bahkan bulu matanya sedikitpun tidak pernah berkedip. Mengapa sekarang tiba-tiba jatuh pingsan? Tapi sebentar kemudian Jaka Galing siuman kembali dan begitu ia sadar, ia tertawa tergelak-gelak. Suara ketawanya membangunkan bulu tengkuk, karena terdengar menyeramkan dan ia lalu berkata kepada Prabu Brawijaya.
"Gusti sinuhun, hamba telah mendengar betapa paduka adalah seorang maha raja yang terkenal sakti mandraguna dan waspada bijaksana. Maka hamba merasa bangga sekali telah merasai sedikit hukuman cambuk dari paduka."
Puspasari heran sekali melihat sikap pemuda itu yang tiba-tiba berubah dan sama sekali tidak mau memperhatikan dia lagi. Akan tetapi, di hadapan sang Prabu Brawijaya, ia tidak berani menyatakan sesuatu hanya duduk dengan menundukkan kepala, sementara Indra juga memandang kepada Jaka Galing dengan heran. Sebaliknya Sang Prabu Brawijaya tersenyum. Jaka Galing, kau ternyata telah terkena fitnah, dan seharusnya aku berterima kasih kepadamu karena kau telah memenolong jiwa puteriku dari kebinasaan. Akan tetapi, masih ada satu hal lagi, yaitu tentang pembunuhan Pangeran Bagus Kuswara. Apakah betul kau yang membunuhnya? Jaka Galing tersenyum dan sikapnya sekarang begitu terbuka dan gembira!
"Tentang hal itu, jika paduka mengijinkan, biarkanlah hamba menghadapi Adipati Gendrasakti si jahanam itu. Bila hamba telah berhadapan dengan keparat itu, tentu paduka akan mendengar sendiri!"
Jawaban ini sebenarnya kurang ajar, tetapi Sang Prabu Brawijaya tidak menjadi marah, bahkan bertanya,
"Eh, anak muda, apakah kau berani menghadapi Adipati Gendrasakti yang berkepandaian tinggi dan sakti mandraguna itu?
"Hamba takkan mundur setapakpun menghadapi seorang penjahat, gusti."
Prabu Brawijaya lalu memanggil Pangeran Lembu Pangarsa.
"Lembu Pangarsa."
Katanya dengan wajah berseri.
"Kau tadi telah berlaku lancang kepada Jaka Galing tanpa memeriksa dulu, sekarang kau cobalah keperwiraan anak muda itu, Jaka Galing, kau kuperkenankan melawan dan bertanding dengan Pangeran Lembu Pangarsa!"
Ternyata bahwa biarpun perintah ini terdengar aneh, namun sebenarnya Prabu Brawijaya hendak menguji kesaktian Jaka Galing sebelum anak muda yang menarik hatinya itu menghadapi Adipati Gendrasakti yang telah diketahui kedigdayaannya!
Pula, memang Sang Prabu Brawijaya suka melihat keperwiraan, terutama dari anak-anak muda yang tampan dan gagah seperti Jaka Galing yang sikapnya betul-betul telah menarik hatinya dan menimbulkan kasih sayang di dalam dadanya. Mendapat perintah dari Sang Prabu Brawijaya ini, Jaka Galing tampak gembira sekali. Ia lalu menyembah dan berdiri mengikuti Pangeran Lembu Pangarsa yang sudah siap menantinya di dalam kalangan yang dibuat oleh para prajurit yang mengelilingi tempat itu. Mereka berdua berhadapan, sama muda, sama tampan, sama gagah dan bidang bahunya. Hanya dalam soal pakaian Jaka Galing kalah, akan tetapi potongan tubuh dan dan ketampanan wajah mereka seimbang.!
"Jaka Galing, sebelum kita mengukur tenaga mengadu kesaktian, harap kau maafkan dulu kalau aku tadi telah salah tangan memukulmu."
Kata Pangeran Lembu Pangarsa yang berwatak jujur.
"Tidak apa, gusti Pangeran, hamba sedikitpun tidak menaruh dendam. Dan sebelumnya maafkan jika dalam pertandingan adu tenaga ini hamba akan salah tangan."
"Wasapadalah!"
Seru Pangeran itu yang lalu menyerang dengan pukulan tangan kanan. Jaka Galing sigap mengelak dan balas menyerang. Tak lama kemudian mereka lalu bertanding seru dan ramai. Saling tampar, saling jotos, dan saling tendang. Tetapi semua serangan kedua pihak dapat dielakkan atau ditangkis. Debu mengebul ke atas saking hebatnya gerakan-gerakan mereka yang dilakukan sepenuh tenaga. Mereka mengeluarkan kepandaian masing-masing, mengeluarkan kepandaian pencak silat dan kesaktian, akan tetapi keadaan mereka tetap berimbang tanpa ada yang kalah! Pangeran Lembu Pangarsa sigap dan trampil, akan tetapi Jaka Galing cekatan dan cepat. Pertempuran itu bagaikan pertempuran dua ekor harimau yang saling bertempur mati-matian.
Tak dapat ditahan lagi para prajurit bersorak ramai karena tegangnya pertempuran itu. Juga Indra dan kawan-kawannya bersorak-sorak, sedangkan Sang Prabu Brawijaya mengangguk-anggukkan kepala dan memuji. Lebih hebat dan tegang lagi pertempuran itu ketika keduanya mengeluarkan aji kesaktian mereka. Jaka Galing kena ditampar telinganya tetapi tangan yang menampar itu meleset seakan-akan menampar batu yang licin dan Jaka Galing merasa seakan-akan hanya diusap-usap pipinya oleh tangan gadis cantik! Ia tersenyum saja menerima tamparan itu dan dengan luar biasa hebatnya ia balas menjotos dada Pangeran Lembu Pangarsa. Akan tetapi ketika tangannya menghantam dada, tangan itu terpental kembali, sedangkan Pangeran Lembu Pangarsa hanya tersenyum saja menerima jotosan itu, seakan-akan hanya dipijit oleh tangan halus seorang dara!
Pada suatu saat Jaka Galing dapat ditangkap, diangkat ke atas lalu dilontarkan dengan sekuat tenaga. Akan tetapi Jaka Galing menggunakan kesaktiannya dan jatuh kembali ketempat semula, yaitu di hadapan lawannya dengan berdiri seperti seekor kupu-kupu hinggap di atas setangkai bunga mawar! Jaka Galing tidak mau kalah, ditangkapnya Pangeran Lembu Pangarsa, diangkatnya tinggi-tinggi lalu di banting! Tetapi Pangeran yang gagah perkasa itupun tiba di atas tanah dengan berdiri, maka mereka lalu saling terjang kembali! Dan meledaklah suara riuh dan sorak-sorai memuji kedua ksatria yang memiliki kesaktian dan keuletan seimbang. Kini kedua-duanya telah lupa bahwa mereka hanyalah sekedar mengukur tenaga belaka.
Mereka telah menjadi panas hati karena nafsu telah menguasai hati mereka untuk saling menjatuhkan! Mereka berjuang mati-matian untuk memperoleh kemenangan, akan tetapi lawan terlampau kuat hingga kedua-duanya tak berdaya! Pangeran Lembu Pangarsa yang terkenal sebagai banteng muda Majapahit dan menjadi murid terkasih dari Patih Gajah Mada yang digdaya dan sakti mandraguna, menjadi malu sekali. Ia lalu mencabut keris pusakanya yang ampuh yakni Kyai Barowo. Melihat betapa lawannya mencabut keris yang mengeluarkan hawa panas mengerikan. Jaka Galing lalu memberi isyarat kepada Indra. Kawannya ini mengerti isyarat Jaka Galing, lalu ia mengambil tombak Kyai Santanu yang tadi dititipkan kepadanya, lalu melontarkan tombak itu ke arah kawannya. Jaka Galing menyambut tombak pusaka Kyai Santanu dan bersiap sedia.
"Kalau paduka hendak mengajak adu jiwa, silakan, Pangeran!"
Kata Jaka Galing dengan sikap tenang. Keduanya berdiri dengan senjata ampuh di tangan, saling berhadapan, saling pandang. Keadaan tiba-tiba menjadi tegang sekali dan kini para penonton tidak ada yang bersorak lagi, semua memandang berdebar dan tak berani bernapas. Tiba-tiba Sang Prabu Brawijaya memecah kesunyian.
"Lembu Pangarsa! Jaka Galing! Tahan nafsumu dan simpan senjata kalian! Tak malukah kalian ksatria yang gagah perkasa tapi lemah iman hingga mudah saja dikuasai nafsu angkara?"
Ucapan Sang Prabu Brawijaya ini merupakan ait wayu yang dingin menyiram api yang berkobar-kobar hingga sebentar saja rasa dingin menyusup kepala dan dada kedua anak muda yang gagah itu hingga mereka menjadi lemah dan sadar.
"Kau benar-benar gagah perkasa, Galing!"
Kata Pangeran Lembu Pangarsa.
"Masih belum dapat melawan kedigdayaan paduka, gusti Pangeran!"
Jawab Jaka Galing dengan sederhana. Kemudian keduanya menghadap Sang Prabu Brawijaya yang merasa kagum sekali melihat sepak terjang Jaka Galing. Sang Prabu Brawijaya merasa marah sekali kepada Adipati Gendrasakti dan beliau lalu memberi perintah kepada semua orang untuk segera berangkat menuju ke Tandes. Dewi Cahyaningsih dengan hati hancur ikut pula dalam rombongan ini, naik tandu bersama puterinya. Diam-diam di dalam puteri ini menangis tersedu-sedu dan mengeluh kepada Dewata mengapa ia bernasib semalang ini, karena betapapun juga, Adipati Gendrasakti adalah suaminya! Kini ayahnya sendiri menuju ke sana hendak menghukum suaminya, dan isteri yang manakah yang takkan merasa hancur melihat kehancuran suaminya di depan mata?
Sementara itu, Puspasari diam-diam juga menangis, tapi biarpun ia juga merasa sedih karena perbuatan-perbuatan ayahnya, namun sebagian besar hati dan pikirannya penuh dengan bayangan Jaka Galing yang telah berubah sikapnya itu dan di dalam lubuk hatinya ia merasa bahwa tentu terjadi sesuatu dalam diri pemuda itu hingga ia merasa cemas sekali! Semenjak terjadi peristiwa yang hebat dan berlarut-larut itu, yang semenjak ia menyuruh membunuh anak isterinya sendiri dan maksud itu gagal karena kedatangan perampok-perampok yang ternyata adalah Jaka Galing dan kawan-kawannya, sampai peristiwa pembunuhan Pangeran Bagus Kuswara di tamannya, hati Adipati Gendrasakti tidak tenteram. Ia merasa gelisah sekali dan selalu mengharap-harapkan berita yang datang dari para prajurit yang diutus membasmi Jaka Galing.
Kalau saja prajuritnya berhasil menumpas Jaka Galing dan Dwipa berhasil membunuh Dewi Cahyaningsih dan puspasari, maka akan bereslah semua persoalan. Kepada Sang Prabu Brawijaya akan diceritakan semua peristiwa itu dengan menumpahkan semua kesalahan di pundak Jaka Galing si pemberontak itu! Akan tetapi, telah tiga hari ia menunggu-nunggu, belum juga ada berita dari orang-orangnya, maka bukan main gelisahnya. Akan tetapi Sariti, selirnya yang cantik manis itu, pandai sekali menghibur hatinya hingga ia dapat juga melupakan kegelisahannya, apalagi di waktu malam hari, kalau Sariti sudah menari dan berdendang dengan gaya yang menarik hati lenyaplah semua kekesalan dan kegelisahan hatinya. Sebentar saja Adipati ini telah melupakan segala hal yang membuatnya membunuh Pangeran Bagus Kuswara dan Ki Ageng Bandar dan cintanya terhadap Sariti semakin mendalam!
Ketika seorang penjaganya melaporkan pada suatu senja bahwa Sang Prabu Brawijaya dengan sekalian pengiringnya datang ke Kadipaten Tandes, menggigillah tubuh Adipati Gendrasakti. Tapi Sariti dapat menghiburnya hingga ketika ia menyambut kedatangan Sang Prabu Brawijaya dengan sembah baktinya, ia dapat menetapkan hatinya. Sang Prabu Brawijaya sengaja menyuruh Jaka Galing, Dewi Cahyaningsih dan Puspasari bersembunyi hingga Adipati Gendrasakti tidak tahu bahwa ketiga orang itupun datang bersama sang baginda. Setelah menerima penghormatan Adipati Gendrasakti, Sang Prabu Brawijaya pura-pura bertanya ke mana perginya puterinya Dewi Cahyaningsih. Adipati memandang heran dan menyembah serta berkata.
"Aduhai ramanda prabu, bukankah hamba sudah mengirim utusan untuk menyampaikan warta yang menyedihkan bahwa Dewi Cahyaningsih dan puterinya Puspasari telah diculik sipemberontak Jaka Galing di hutan Kledung?"
"Gendrasakti, coba kau ingat-ingat. Kurangkah kurniaku kepedamu? Kau telah kuangkat menjadi Adipati di Tandes, bahkan kuberi kurnia hingga puteriku Cahyaningsih kuberikan kepadamu sebagai isteri. Tapi mengapa kau berani membohong di depanku?"
Pucatlah wajah Adipati Gendrasakti mendengar ini hingga tubuhnya menggigil!
"Aduh Rama Prabu... hamba... hamba tidak sekali-kali... berani membohong..."
"Keparat! Kau berani bersumpah bahwa apa yang kau katakan tadi betul dan tidak membohong?"
Bentak Sang Prabu Brawijaya.
"Ti... tidak, Rama Prabu... hamba berani bersumpah..."
"Coba kau suruh selirmu yang bernama Sariti itu keluar!"
Jaka Galing Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Terkejutlah Adipati Gendrasakti, tapi terpaksa ia memberi perintah kepada pelayan untuk memanggil selirnya itu. Ketika Sariti keluar dengan gaya yang lemah-lembut, semua orang memandang dengan penuh rasa kagum akan kecantikannya, tapi benci akan pengaruhnya yang jahat terhadap Adipati Gendrasakti. Sariti dengan gaya yang menarik hati sekali menjatuhkan diri berlutut dan menyembah, lagak dan gayanya tidak kalah indah dan halusnya daripada sekalian puteri Keraton asli. Sang Prabu Brawijaya lalu memberi isyarat ke belakang dan Dewi Cahyaningsih beserta Puspasari lalu menghadap di situ. Bukan main kagetnya melihat betapa anak isterinya hadir di situ menjadi saksi. Ia hanya memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga, tapi Sariti tampak tenang-tenang saja.
"Hai, Gendrasakti, tidak pandai pulakah kau menyapa anak isterimu yang terlepas dari bahaya maut?"
"Hamba... hamba merasa bahagia sekali, Rama Prabu..."
Gendrasakti menjawab gagap.
"Anakku Cahyaningsih, sekarang ceritakanlah kembali pengalaman dan penderitaanmu karena perbuatan keparat ini,"
Kata Prabu Brawiajaya. Sambil menangis Dewi Cahyaningsih menceritakan pengalamannya.
"Din... dinda Cahyaningsih, isteriku... sampai hatikah kau memfitnah suamimu sendiri macam ini?"
Gendrasakti menggigil sambil memandang wajah isterinya dengan pucat.
"Diam kau!"
Bentak Sang Prabu Brawijaya, Dwipa lalu dipanggil menghadap. Penjahat yang sudah rusak tubuhnya karena menerima pukulan tangan Lembu Pangarsa ini lalu dipaksa menceritakan segala perintah dan rencana Gendrasakti untuk membunuh anak isterinya. Mendengar ini, lemaslah Adipati Gendrasakti dan ia hanya menundukkan kepalanya, tidak berani mengangkat muka atau bergerak.
"Nah, penjahat kejam! Apakah kau hendak menyangkal pula? Kau hendak membunuh isterimu sendiri, hendak membunuh puteriku dan membunuh anakmu sendiri, hukuman apakah yang patut dijatuhkan kepada seorang manusia berhati binatang seperti engkau?"
Adipati Gendrasakti tidak dapat menjawab, hanya menyembah meminta ampun dengan tubuh menggigil ketakutan.
"Dan masih banyak lagi, jahanam! Puteraku Bagus Kuswara dan utusanku Ki Ageng Bandar dimana?"
Adipati Gendrasakti mengangkat mukanya yang pucat bagaikan mayat.
"Me... mereka... di... dibunuh oleh pemberontak Jaka Galing..."
Jawabnya gagap gemetar tidak karuan.
"Manusia sesat! Lagi-lagi kau timpakan kesalahan kepada orang lain! Benar-benarkah puteraku dan utusanku itu dibunuh oleh Jaka Galing?"
"Be... benar, Rama Prabu..."
"Jangan kau sebut aku Rama Prabu lagi!"
Bentak Sang Prabu Brawijaya. Kemudian Sang Prabu Brawijaya memberi isyarat dan dari belakang muncullah Jaka Galing dengan tombak Kyai Santanu di tangan kanan. Pemuda ini bertindak perlahan dan dengan dada terangkat gagah sekali, sedangkan sepasang matanya berkilat menyambar ke arah Adipati Gendrasakti! Melihat kedatangan anak muda itu, Gendrasakti makin bingung dan gelisah. Akan tetapi, tiba-tiba Sariti yang ikut melihat kedatangan pemuda itu, menuding sambil menangis,
"Inilah...! Inilah pembunuh gusti Pangeran itu...! Wanita ini lalu menangis tersedu-sedu. Sang Prabu Brawijaya lalu memandang ke arah Sariti dengan pandang mata menghina. Jaka Galing lalu duduk bersila di depan Sang Prabu Brawijaya dengan tenang, tapi di dalam dadanya bernyala api kebencian melihat Gendrasakti.
"Gendrasakti, orang yang kau tuduh itu telah berada di sini. Coba kau ulangi tuduhanmu tentang pembunuhan itu."
Dengan suara terputus-putus dan tidak leluasa, Gendrasakti lalu menuturkan betapa Jaka Galing menyerbu taman dan membunuh dua orang tamu agungnya.
"Jaka Galing, kau boleh bicara untuk membela diri dari tuduhan Gendrasakti."
Prabu Brawijaya berkata kepada Jaka Galing.
"Semua kata-kata yang keluar dari mulut Gendrasakti adalah bohong semata-mata! Pada waktu malam yang disebutkan olehnya itu, hamba sedang menghadapi serbuan Senapati Suranata di dalam hutan dan sedang mempermainkannnya dengan kurungan api. Banyak yang menjadi saksi hamba, di antaranya yang menjadi saksi adalah puteri paduka sendiri yang pada waktu itupun berada di hutan. Maka tuduhan ini hanyalah fitnah keji dan palsu belaka. Tidak ada sebab-sebab yang membuat hamba begitu gila untuk membunuh Gusti Pangeran Bagus Kuswara dan Ki Ageng Bandar yang belum pernah hamba jumpai dan tidak punya hubungan apa-apa. Hamba mohon keadilan paduka, gusti."
"Tahukah kau siapa yang membunuh mereka?"
Tanya sang prabu.
"Hamba tidak tahu, gusti, hal itu sebaiknya ditanyakan kepada Gendrasakti sendiri, karena ia dan selirnya pasti tahu akan hal ini."
"Benar, aku tahu dan menjadi saksi!"
Tiba-tiba Sariti berseru.
"Kaulah yang membunuh gusti Pangeran."
"Benarkah kata-kata selirmu itu, Gendrasakti?"
Tanya sang prabu.
"Benar... rama... eh, gusti sinuhun... memang Galing ini yang membunuhnya. Bahkan dia telah melukai lengan hamba...! Dan lagi, tombak pusaka hamba juga telah dirampasnya!"
Dalam kebingungannya, ketika melihat pemuda itu masuk membawa tombak pusaka Kyai Santanu, Gendrasakti dengan linglung mengatakan tombaknya dirampas oleh Jaka Galing, sama sekali lupa bahwa tombak itu dulu digunakan untuk membunuh Panembahan Ciptaning!
"Benarkah itu, Jaka Galing? Kau melukai tangannya dan merampas tombak Kyai Santanu?"
"Keterangan itupun bohong belaka, gusti. Hamba tidak melukai lengannya dan tidak merampas tombaknya."
Prabu Brawijaya lalu minta tombak itu dan memandang senjata pusaka itu dengan kagum.
"Tombak yang ampuh!"
Serunya, lalu ia mengembalikan tombak itu kepada Jaka Galing.
"Dari mana kau mendapatkan tombak ini, Jaka Galing?"
Mendengar pertanyaan ini, Jaka Galing menjadi pucat, karena tadinya ia hendak menyembunyikan keadaan dan rahasia dirinya, tapi kini terpaksa harus mengaku.
"Begini cerita sebenarnya, gusti sinuhun. Tombak ini dulu digunakan oleh Gendrasakti untuk membunuh kakek hamba tanpa dosa. Hamba lalu membawa pergi jenazah kakek hamba itu dengan tombak ini masih menancap di dada kakek hamba yang malang."
"Mengapa tidak diambil kembali oleh Gendrasakti?"
Tanya sri baginda.
"Telah diusahakan untuk mencabut, gusti, tapi tombak itu tidak dapat tercabut keluar dari ulu hati kakek hamba yang sengaja hendak memberikan tombak itu kepada hamba. Dan karena ini pulalah maka timbul permusuhan antara hamba dengan Gendrasakti. Dia berusaha menghancurkan hamba, sedangkan hamba selalu bercita-cita hendak membalas dendam."
Dalam penuturannya ini, sedapat mungkin Jaka Galing tidak menyebut nama kakeknya.
"Apakah kesalahan kakekmu maka ia dibunuh oleh Gendrasakti?"
"Kakek hamba dipanggil oleh Gendrasakti dan diminta untuk memecahkan rahasia dan arti sebuah mimpinya. Gendrasakti bemimpi melihat bunga api kecil yang membakar gedungnya sampai habis. Karena tidak ada orang yang dapat memecahkan artinya, maka kakek hamba dipanggil dan diminta nasihatnya. Kakek hamba berterus terang dan menyatakan bahwa bunga api itu tanda bahwa di Kadipaten Tandes kedatangan seorang iblis berujut manusia yang harus dilenyapkan dari Tandes, dan ketika ditanya siapa gerangan orang itu, kakek hamba berterus terang pula dan mengatakan bahwa iblis berujut manusia itu tidak lain adalah selir terkasih dari Gendrasakti yang sekarang juga menghadap di sini, yaitu Sariti! Karena pernyataan ini, maka kakek ditangkap dan dihukum di alun-alun dengan jalan dijadikan korban untuk macan putih yang ganas!"
Ketika cerita itu sampai di sini, wajah Sariti memucat dan terdengar seruan-seruan dari para pendengar.
"Akan tetapi, gusti,"
Demikian Jaka Galing melanjutkan ceritanya.
"Berkat kesucian kakek hamba, macan putih itu tidak berani mengganggunya. Hamba yang berada di dusun ketika mendengar akan hal ini, lalu datang dan hamba berhasil membunuh macan putih itu. Akan tetapi, pada saat hamba bergulat melawan macan putih, Gendrasakti yang berhati curang dan jahat itu telah menggunakan tombak pusaka Kyai Santanu ini untuk menusuk ulu hati kakek hamba hingga binasa!"
Sampai di sini, Jaka Galing menundukkan muka dan suaranya terdengar gemetar mengharukan dan ketika pemuda itu mengangkat mukanya lagi, maka wajahnya memerah dan kedua matanya berkilat!
"Alangkah kejam dan alangkah jahatnya seorang yang telah mabok akan kecantikan! Sang Prabu Brawijaya bersabda, lalu beliau bertanya kepada Jaka Galing.
"Siapakah kakekmu yang sakti dan suci itu?"
Suara Jaka Galing gemetar ketika menjawab,
"Kakek hamba ialah Sang Panembahan Ciptaning!"
Terkejutlah Sang Prabu Brawijaya mendengar nama ini.
"Apa katamu? Kakekmu adalah Rama Panembahan Ciptaning...? Dan kau... kau ini anak siapa? Siapakah ibumu...?"
Sambil menundukan muka Jaka Galing berkata lirih.
"Mendiang ibu hamba bernama Budiarti..."
"Jagat Dewa Batara!"
Sang Prabu Brawijaya mengucapkan puji-puji dan bertanya lirih.
"Jaka Galing, tahukah kau siapa ayahmu?"
"Hamba... hamba tahu, gusti,"
Sembahnya.
"Sebelum kakek menutup mata, beliau telah menceritakan kepada hamba tentang riwayat bunda..."
"Dan... kau mengapa tidak memperkenalkan diri kepadaku, kepada ayahmu sendiri?"
"Hamba... hamba tidak berani... hamba hanyalah seorang anak dusun yang bodoh, sedangkan paduka... maha raja yang agung..."
Dengan terharu Sang Prabu Brawijaya turun dari kursi dan menubruk Jaka Galing sambil berkata.
"Ah, Galing... puteraku... sifat-sifat yang merendah dan mulia ini tentu kau warisi dari Budiarti, ibumu yang mulia..."
Ketika dipeluk oleh Sang Prabu Brawijaya, Jaka Galing lalu memeluk dan menciumi kaki ayahnya sambil berkata lirih,
"Ramanda prabu..."
Pertemuan yang mengharukan antara ayah dan anak ini membuat semua orang menjadi terharu sekali, kecuali Gendrasakti dan Sariti.
Dua orang ini saling pandang dan ingin sekali mereka pada saat itu melihat tanah yang mereka injak menjadi belah agar mereka dapat melompat masuk ke dalamnya! Gendrasakti melihat ke kanan kiri hendak melarikan diri akan tetapi Pangeran Lembu Pangarsa telah berada di belakangnya dan memandangnya dengan mata melotot! Sementara itu, ketika mendengar bahwa Jaka Galing adalah putera sri baginda sendiri, Puspasari tidak dapat menahan air matanya bukan hanya karena terharu seperti ibunya yang mencucurkan air mata juga, tapi sebagian besar karena kehancuran hatinya. Pantas saja terjadi perubahan pada pemuda itu ketika mendengar bahwa ibunya adalah puteri sang prabu dan ia sendiri adalah cucu Prabu Brawijaya! Tidak ia sangka bahwa ia masih anak kemenakan dari Jaka Galing dan pemuda itu adalah pamannya. Tentu saja ia tidak mungkin menjadi kekasih pemuda itu!
"Anakku yang bagus! Kau ternyata tidak mengecewakan menjadi puteraku! Sekarang kau harus ikut ramamu ke Majapahit setelah aku menjatuhkan hukuman yang tepat untuk jahanam ini! Gendrasakti, sudah jelas dosa-dosamu dan apakah yang hendak kau katakan lagi?"
Dengan tubuh gemetar Gendrasakti menyembah, tanpa kuasa mengucapkan perkataan. Bibirnya bergerak memohon amapun tanpa suara.
"Coba katakan apa kehendakmu, puteraku."
"Hamba telah bersumpah hendak membalas dendam Eyang Panembahan. Maka ijinkanlah hamba menjatuhkan hukuman itu kepada Gendrasakti."
"Kau hendak menjadi algojo untuk menjatuhkan hukuman dan membunuh keparat ini?"
Tanya Sang Prabu Brawijaya dengan wajah tak puas.
"Benar, Rama Prabu, tapi hamba tidak akan berlaku sewenang-wenang. Biarlah dia dibebaskan untuk melawan hamba. Hamba takkan berlaku pengecut membunuh orang tak berdaya, ingin benar hamba mencoba kesaktian manusia rendah ini."
Wajah sang prabu menjadi terang lagi, agaknya beliau puas mendengar sikap yang gagah berani dan yang agung dari puteranya itu.
"Dengarlah ucapan seorang kesatria, Gendrasakti! Tidak malukah kau? Nah, kau kuberi kebebasan untuk bertanding melawan puteraku yang telah berkali-kali kau fitnah ini. Kalau kau sampai tewas dalam tangannya, maka itu memang sudah sepantasnya. Sebaliknya kalau kau yang menang, kau takkan dihukum karena membunuhnya, tapi akan dihukum karena telah membunuh Bagus Kuswara dan karena hendak membunuh anak isterimu."
Adipati Gendrasakti tidak dapat berkata lain kecuali menerima keputusan ini.
Malam hari itu, Adipati Gendrasakti dan Sariti dimasukkan ke dalam tahanan dan pertandingan akan dilakukan besok pagi. Sang prabu menitahkan supaya semua rakyat diberitahukan dan datang menyaksikan pertandingan yang akan dilakukan di alun-alun. Ketika pada keesokan harinya para penjaga datang hendak mengeluarkan Gendrasakti dari kamar tahanan, terkejutlah mereka karena melihat bahwa Sariti, wanita yang cantik jelita itu, telah mati dengan kedua mata melotot keluar dan lidah terulur mengerikan. Ternyata, karena insyaf akan dosa-dosanya dan menyesali perbuatannya karena bujukan-bujukan jahat dari selirnya yang tercinta itu, pula karena tahu bahwa tak ada jalan hidup lagi baginya, Adipati Gendrasakti telah mencekik batang leher Sariti hingga binasa!
Ketika mendengar hal ini, Sang Prabu Brawijaya hanya menggeleng-gelengkan kepala dan menyebut nama Dewata. Alun-alun telah penuh oleh rakyat yang hendak menonton pertandingan hebat antara Jaka Galing yang kini disebut Pangeran Bagus Galing melawan Adipati Gendrasakti. Pemuda ini memasuki gelanggang pertempuran dengan dada terangkat dan tombak pusaka Kyai Sentanu di tangan. Kedatangannya disambut dengan tampik sorak riuh rendah dari rakyat yang semua bersimpati kepadanya. Ketika Adipati Gendrasakti memasuki kalangan, maka terdengar cemoohan dan caci maki dari rakyat yang membencinya. Gendrasakti memilih senjata golok yang besar dan tajam. Wajahnya pucat dan matanya merah. Ia telah mengambil keputusan hendak berkelahi mati-matian.
Sang Prabu Brawijaya menyaksikan pertandingan ini di atas sebuah panggung, bersama para senapati. Setelah atas isyarat sang prabu, gong pertandingan dipukul, maka kedua musuh besar itu saling berhadapan. Gendrasakti dengan golok di tangan kanan, sikapnya mengerikan dan mukanya mengandung kebencian, sedangkan Jaka Galing tetap tenang, bahkan senyum manis menghias mulutnya! Tiba-tiba Gendrasakti menggereng keras dan menerkam dengan goloknya, tapi dengan sigap Jaka Galing mengelak. Golok besar menyambar leher, tapi dengan menundukkan kepala, golok itu menyambar lewat di atas kepala Jaka Galing. Gendrasakti adalah seorang prajurit yang ulung dan pandai main pencak silat, maka begitu goloknya tidak mengenai sasaran, golok itu diayun balik dan sambil berjongkok goloknya menyerang kaki Jaka Galing!
Serangan ini dasyat dan tidak terduga sekali hingga terdengar seruan-seruan tertahan di kalangan penonton, tapi dengan gerakan indah dan lincah, Jaka Galing menekan tubuh ke atas hingga sekali lagi golok itu lewat bersiutan di bawah kakinya! Para penonton bertepuk tangan riuh melihat kelincahan Jaka Galing. Gendrasakti yang melihat betapa serangannya selalu mengenai tempat kosong, menjadi marah sekali. Ia lalu menyerang membabi buta dan mengayun-ayunkan goloknnya, diputar-putar bagaikan kitiran angin cepatnya! Sinar goloknya ditimpa matahari berkeredepan menyilaukan mata dan mengerikan sekali karena golok itu seakn-akan berubah menjadi belasan batang yang menyambar-nyambar ke tubuh Jaka Galing dengan serangan-serangan maut!
Kini Jaka Galing tidak mau mempermainkan lawannya lagi. Ia mulai mengerakkan tombaknya yang ampuh. Tombak pusaka Kyai Santanu sekan-akan memiliki mata yang dapat melihat dan kemana saja golok lawan menyerang, selalu dapat ditangkis dan terpental! Jaka Galing lalu membalas dengan serangan-serangan hebat. Gendrasakti adalah seorang jago golok yang pandai dan jarang terkalahkan, permainan goloknya adalah warisan dari ilmu golok seberang, maka kehebatannya luar biasa. Akan tetapi, Jaka Galing tidak hanya dapat gemblengan ilmu tombak pusaka yang dimiliki oleh Sang Panembahan Ciptaning, tapi juga mendapat gemblengan ilmu batin yang membuat gerakan-gerakannya tenang dan tetap hingga gerakan-gerakannya lebih teratur dan lebih sempurna. Sebetulnya kalu dikehendaki, Jaka Galing sudah dapat merobohkan lawannya dengan mudah.
Akan tetapi karena pemuda ini takkan merasa puas kalau menjatuhkan lawan dengan cara lain, ia selalu menujukan serangannya ke arah ulu hati Gendrasakti. Maksudnya hendak membalas dendam seperti dulu ketika kakeknya dibinasakan, yakni dengan menusukan tombak Kyai Santanu di ulu hati Gendrasakti! Adipati ini agaknya maklum akan hal ini, maka keringat dingin mulai memenuhi jidatnya dan ia dengan mati-matian manjaga dadanya dari serangan tombak. Pada suatu saat dengan amarah meluap-luap, Gendrasakti mengayunkan goloknya ke arah leher. Ketika Jaka Galing mengelak, golok itu ditusukkan ke arah perut pemuda itu! Jaka Galing mengelak dengan melompat ke kiri dan secepat kilat kakinya menendang ke arah pergelangan tangan lawannya hingga tak dapat tercegah lagi golok yang dipegang itu terelpas dan terlempar dari tangan Gendrasakti!
Adipati itu terkejut sekali dan dengan mata terbelalak ia melihat betapa ujung tombak pusaka Kyai Santanu meluncur cepat ke arah ulu hatinya! Ia memekik ngeri dan "cress"
Ujung tombak sakti itu menembus ulu hatinya! Dengan kedua tangan berubah merupakan cengkeraman cakar setan dan kedua lengan terangkat keatas, Gendrasakti roboh telentang, gagang tombak pusaka Kyai Santanu menancap lurus-lurus di dadanya, tepat di tengah-tengah! Sorak-sorai gemuruh menyambut kemenangan ini dan Sang Prabu Brawijaya lalu masuk kembali ke Kadipaten serta mengumpulkan semua senapati. Ketika Pangeran Bagus Galing menghadap di depan Sang Prabu Brawijaya, ia mengajukan permohonan lagi kepada ramandanya.
"Hamba mohon kepada paduka agar supaya kawan hamba Indra yang cukup mulia dan digdaya diangkat menjadi Adipati di Tandes."
Sang Prabu Brawijaya meluluskan permintaan ini dan mendapat sambutan tepuk tangan, Indra maju dan berlutut menghaturkan terima kasih kepada Sang Prabu Brawijaya.
"Masih ada sebuah permohonan lagi, ramanda yang mulia, yaitu hamba mohon supaya Adipati Indra dijodohkan dengan kemenakan hamba Dewi Puspasari, karena hamba yakin bahwa sepasang teruna remaja itu saling mengasihi dan akan menjadi sepasang suami isteri yang saling mencintai. Hamba rasa kakang mbok Cahyaningsih takkan keberatan karena beliau juga telah tahu sampai di mana keagungan dan kegagahan Adipati Indra!"
Indra menundukkan mukanya yang memerah dan melirik kepada kawannya itu dengan pandangan terima kasih sekali. Sedangkan Puspasari terisak perlahan.
Sang Prabu Brawijaya yang arif bijaksana itu lalu menanyakan pendapat Indra, Dewi Cahyaningsih, dan Dewi Puspasari sendiri. Indra tentu saja menerima dengan berbahagia dan menghaturkan terima kasih, juga Dewi Cahyaningsih menyetujui dengan hati bulat, sedangkan Puspasari sebagai seorang dara bangsawan yang sopan santun, hanya menundukkan kepala dengan muka merah! Sang prabu lalu menjatuhkan hukuman kepada semua kaki tangan Adipati Gendrasakti atas petunjuk para senapati yang tahu benar akan adanya prajurit-prajurit kepercayaan yang selalu menjalankan perintah rahasia dan jahat. Kemudian sang prabu membawa rombongan kembali ke Majapahit. Ketika hendak berpisah, Pangeran Bagus Galing memegang erat-erat tangan Indra dan Puspasari yang mengantar sampai di depan gapura.
"Semoga kalian dapat hidup bahagia!"
Puspasari berkata lirih,
"Pamanda Pangeran, mohon diampunkan segala dosa hamba dan semoga Pamanda juga mendapat berkah Hyang Agung serta dapat hidup berbahagia di majapahit.
"Kemudian tak tertahan lagi dara itu lari kembali ke dalam Kadipaten! Indra dengan kedua mata berlinang memegang erat-erat kedua tangan kawannya dan berkata,
"Terima kasih, kawan. Kau telah mengangkat diriku yang hina dina ke tempat yang mulia, dan tidak itu saja, kau... kau telah mengorbankan hatimu... ah, kalau saja kau bukan pamannya, tentu aku akan mengundurkan diri..."
"Hush, jangan berkata begitu, Indra..."
"Aku maklum, Galing, kita sama-sama mencintainya... dan..."
"Diam! Jangan bicara macam itu kepadaku. Ingat, aku adalah pamannya dan... aku menjadi pamanmu pula, mengerti?"
Pangeran Bagus Galing terpaksa berlaku keras untuk memecahkan keadaan yang tidak menyedapkan perasaannya itu. Indra mengerti pula akan hal ini. Ia lalu berdiri tegak bagaikan seorang prajurit menghadap seorang pimpinannya dan menjawab,
"Baik... Pamanda Pangeran! Akan hamba jaga Puspasari baik-baik dan hamba usahakan agar ia hidup penuh bahagia!"
Pangeran Bagus Galing tersenyum melihat sikap ini.
"Nah, demikianlah"
Adipati Indra, demikianlah seharusnya ucapan seorang laki-laki sejati! Nah, selamat tinggal, Adipati!"
"Selamat jalan, Pamanda Pangeran yang arif bijaksana dan gagah perkasa!"
Ketika Pangeran Bagus Galing telah meloncat ke atas punggung kudanya yang berbulu dawuk dan hendak memacu kudanya itu menyusul rombongan Prabu Brawijaya, tiba-tiba Adipati Indra berseru memanggil. Pangeran Bagus Galing menahan kendali kudanya dan menengok.
"Ada apa pula, Adipati?"
Tanyanya heran.
"Sebuah permohonan, Pamanda Pangeran!"
"Permohonan apakah? Katakan saja!"
"Putera kami yang pertama akan hamba beri nama... Bagus Galing, bolehkah...?"
Kedua mata Pangeran Bagus Galing berkejap-kejap menahan tertumpahnya air mata karena terharu. Tapi ia mengeraskan hatinya dan berkata dengan suara nyaring dan keras.
"Setuju! Dan bila Bagus Galing telah terlahir, aku akan memberi sumbangan tombak Kyai Santanu kepadanya agar kelak ia akan menjadi seorang pahlawan gagah perkasa seperti ayahnya!"
Kemudian Pangeran Bagus Galing memacu kudanya dan membalapkan binatang itu menyusul rombongan Sang Prabu Brawijaya, sedangkan Adipati Indra masih berdiri di situ dengan kedua kaki terpentang, melihat tubuh kawan baiknya di atas kuda sampai bayangan dan kuda itu menghilang di sebuah tikungan dan hanya terdengar suara kaki kuda berlari. Dengan hati terharu ia masih berdiri terus di situ sambil mendengar derap kaki kuda yang membawa pergi kawannya itu dan baru berjalan perlahan ke gedung Kadipaten ketika derap kaki kuda itu makin perlahan dan menghilang pula...
TAMAT
Komentar
Posting Komentar