KEMELUT DI MAJAPAHIT JILID 34

   "Beliau adalah Ayah hamba..."

   "Ohh...! Kalau begitu, majulah mendekat, Turonggo,"
Kata Sang Puteri, suaranya terdengar makin ramah dan halus. Raden Turonggo lalu merangkak mendekat, lalu duduk bersila di depan ratu itu.

   Sejenak Sang Ratu yang masih muda dan seorang dara itu memandang wajah yang menunduk itu, kemudian dia menarik napas panjang dan berkata.

   "Betapa sedih hatiku kalau teringat kepada Paman Ronggo Lawe. Dan Andika adalah puteranya! Tahukah Andika betapa dahulu, di waktu aku masih kecil, Paman Ronggo Lawe sering mengajakku bermain-main, bahkan dia yang mengajarku menunggang kuda? Ahh... semua itu hanya tinggal kenangan. Turonggo, engkau menjadi utusan Sang Adipati di Lumajang? Apakah tugas yang kau bawa?"

   Raden Turonggo menyembah.

   "Pertama-tama, hamba menjunjung perintah Kakek Adipati untuk menyampaikan sembah sungkemnya dan doa restunya kepada Paduka..."

   "Terima kasih... sungguh dia seorang tua yang amat baik dan setia..."

   "Dan kedua kalinya, Beliau mengutus hamba untuk menyerahkan sebuah pusaka kepada Paduka, yaitu pusaka Kolonadah ..."

   Sang Puteri terkejut dan terbelalak.

   "Keris pusaka Kolonadah yang diperebutkan itu? Aku sudah mendengar akan keributan yang terjadi karena keris itu, Turonggo. Bukankah itu keris peninggalan Ayahmu sendiri?"

   "Benar, Gusti,"

   Kata Turonggo sambil menyerahkan bungkusan kuning yang terisi keris Kolonadah kepada Sang Puteri.

   Sang Dyah Tribuwanatunggadewi menerima keris itu dengan keraguan, membuka kain kuning itu dan memandang keris pusaka yang bersarung kayu cendana dan terletak di atas pangkuannya itu dengan alis berkerut.

   "Akan tetapi... mengapa diberikan kepadaku? Bukankah... Sang Prabu sendiri menghendaki keris ini... dan bukankah keris ini dahulunya milik mendiang Ayahmu sehingga sudah sepatutnya kalau Andika yang menjadi ahli warisnya, Turonggo?"

   Raden Turonggo menyembah.

   "Gusti, pusaka ini diciptakan oleh Eyang Empu Supamandrangi di Gunung Bromo, khusus untuk calon raja terbesar. Karena itu, setelah pusaka ini terdapat oleh Eyang adipati di Lumajang, Beliau menganggap bahwa satu-satunya junjungan yang patut memegangnya adalah Paduka, karena Padukalah keturunan langsung dari mendiang Sang Prabu Kertanegara dari pihak ibu dan Paduka adalah puteri permaisuri dari mendiang Sang Prabu Kertarajasa. Eyang Adipati di Lumajang bersama segenap rakyat Lumajang menyatakan setia kepada Paduka, dan hanya mengakui Paduka sebagai satu-satunya junjungan di Mojopahit, oleh karena itu pusaka ini hamba persembahkan kepada Paduka."

   Sang Puteri memejamkan kedua mata yang indah itu penuh keharuan, lalu katanya dengan suara sedih.

   "Terima kasih atas kesetiaan semua kawula di Lumajang. Akan tetapi, sesungguhnya aku sendiri tidak menghendaki adanya permusuhan antara saudara sendiri, antara bangsa sendiri. Permusuhan antara bangsa di Mojopahit hanya akan melemahkan negara. Demikian mendiang Rama Prabu selalu memberi nasihat. Oleh karena itu, kepentingan pribadi harus dikesampingkan, dan keperluan untuk negara didahulukan."

   Raden Turonggo tercengang juga mendengar ucapan yang penuh dengan kebijaksanaan itu keluar dari mulut Rani Kahuripan, wanita yang masih muda ini! Ucapan yang sekaligus menghancurkan semua cita-cita para pendukung keturunan Sang Prabu Kertanegara!

   "Harap Paduka suka mengampuni hamba. Bukan hamba berani membantah sabda Paduka, akan tetapi di Mojopahit dan di Lumajang terutama, rakyat mendukung Paduka yang sepatutnya menjadi Raja di Mojopahit, bukan keturunan dari Melayu..."

   "Hushh, Turonggo, jangan ulangi lagi kata-kata seperti itu! Kita harus ingat bahwa semua yang terjadi adalah kehendak mendiang Kanjeng Romo Prabu. Yang menentangnya, berarti bukan memberontak terhadap raja yang sekarang, melainkan terhadap mendiang Kanjeng Romo. Sudahlah, sampaikan kepada Sang Adipati di Lumajang bahwa pusaka ini kuterima dengan ucapan terima kasih dan akan kusimpan sebagai kenang-kenangan dan tanda bakti dan setia dari rakyat Lumajang, akan tetapi sampaikan pula pesanku bahwa mengingat akan mendiang Kanjeng Romo, hendaknya rakyat tidak akan bertindak terlalu jauh dan tidak akan terjadi perang saudara lagi. Ingat betapa pemberontakan-pemberontakan yang lalu telah menjatuhkan banyak sekali korban di antara saudara dan bangsa sendiri. Kalau hanya untuk aku seorang, untuk memenangkan kedudukan bagiku seorang, untuk memenangkan kedudukan bagiku seorang, harus mengorbankan laksaan jiwa rakyat, aku tidak sudi! Lebih baik aku menjadi kawula biasa saja! Aku akan selalu merasa berdosa, karena demi kedudukankulah maka banyak orang dikorbankan, dan aku tidak menghendaki hal ini terjadi. Pergilah, Turonggo, pulanglah kembali ke Lumajang disertai salamku untuk semua!"

   Raden Turonggo benar-benar terpukau oleh omongan itu dan tidak berani menjawab,lalu menyembah dan mengundurkan diri. Akan tetapi pada saat itu, seorang dayang masuk dengan muka pucat dan melapor bahwa di luar istana terjadi pertempuran hebat.

   Sang Puteri terkejut sekali.

   "Hati-hatilah, Turonggo!"

   Katanya melihat pemuda itu mundur dengan cepat dan segera berlari-lari melalui jalan belakang darimana dia datang tadi. Dengan keris pusaka terbungkus kain kuning, Sang Puteri lalu masuk dan menutupkan pintu kamarnya. Pertempuran yang terjadi di luar istana itu masih berlangsung dengan hebatnya.

   Kini, Sulastri seorang diri menghadapi Resi Harimurti, sedangkan empat orang tokoh Lumajang dikeroyok oleh puluhan orang perajurit Mojopahit yang menjadi mata-mata dan kaki tangan Resi Harimurti. Mereka ini rata-rata terdiri dari perajurit-perajurit pilihan yang memiliki kepandaian tinggi, maka empat orang itu harus mengerahkan seluruh kepandaian dan kekuatan mereka. Empat orang senopati itu mengamuk seperti banteng-banteng terluka, dan biarpun tubuh mereka semua sudah menderita luka-luka, namun amukan mereka berhasil merobohkan belasan orang lawan.

   Sementara itu, Sulastri sudah mengamuk dengan amat hebatnya. Tentu saja kalau diukur tingkat ilmu kepandaian antara Sulastri dan Resi Harimurti, tingkat Sang Resi itu lebih tinggi dan tentu saja lebih matang latihannya. Namun, Sang Resi yang selalu berkecimpung dalam gelombang nafsu, menghambakan diri kepada nafsu-nafsunya sendiri itu, telah menjadi lemah. Dia kalah tenaga, kalah kuat pernapasannya dan kalah cepat gerakannya. Memang dengan gerakan aneh dari ilmu-ilmunya, dia beberapa kali berhasil memecut tubuh Sulastri dengan cambuknya atau menghantam dengan kipasnya.

   Namun, Aji Trenggiling Wesi yang membuat tubuh dara perkasa itu kebal, melindungi Sulastri sehingga pecutan dan pukulan itu hanya membuat kulitnya lecet dan tubuhnya terpelanting. Dan secepat kilat, setelah terguling, Sulastri setiap kali meloncat bangun kembali dan menyerang lagi dengan makin dahsyat! Beberapa kali sudah dara ini berhasil pula mendaratkan pukulan Hasto Nogo dengan tangan kirinya. Resi Harimurti juga melindungi tubuhnya dengan aji kekebalan, namun hantaman-hantaman yang mengandung tenaga sakti itu membuat dia terengah-engah dan getaran hebat dari pukulan itu seolah-olah merontokkan isi dada dan perutnya.

   Resi Harimurti merasa penasaran sekali. Masa dia, seorang pertapa yang amat terkenal dan ditakuti banyak tokoh, kini menghadapi seorang dara muda saja sampai ratusan jurus belum juga mampu mengalahkannya? Tiba-tiba dia mengeluarkan suara bentakan nyaring dan cambuknya meledak-ledak di angkasa, lalu ujung cambuk itu menyambar ke bawah dengan kecepatan kilat. Sulastri maklum bahwa kalau dia tidak nekat, akan sukarlah baginya untuk mengalahkan Sang Resi ini, maka dia tidak memperdulikan sambaran cambuk itu, melainkan membarengi serangan lawan untuk menubruk ke depan dengan keris di tangan kanan menusuk lambung dan tangan kirinya menghantam ke arah kepala Sang Resi.

   "Brettt...!"

   Sulastri terpekik kaget. Tidak sangka sama sekali dia bahwa Sang Resi akan menggunakan kecurangan seperti itu. Kiranya ujung cambuk tadi tidak menyerang tubuhnya melainkan menyerang bajunya dan merobek bajunya bagian depan sehingga dadanya terbuka dan menjadi telanjang sehingga nampak sepasang bukit dadanya!

   Sementara itu, Sang Resi terbelalak kagum dan tersenyum menyeringai, cambuknya digerakkan dan tahu-tahu cambuk itu telah menyerang ke arah pakaian Sulastri bagian bawah! Dara itu tadi terkejut dan tentu saja membatalkan serangannya, kini sibuk hendak menutupi dadanya. Akan tetapi dia melihat cambuk yang menyambar ke bawah, maka tangan kirinya menangkap ujung pecut itu dan dipegangnya kuat-kuat, lalu dia melangkah maju, tanpa mempedulikan dadanya yang terbuka dan kerisnya sudah menusuk dengan kuatnya.

   "Prakkk...!"

   Kipas yang menangkis amat kuatnya itu bertemu dengan keris dan kipas itu patah, keris di tangan Sulastri pun patah!

   Sulastri membuang gagang kerisnya dan tangan kanannya memukul. Namun Sang Resi telah siap dan dia menangkap pergelangan kanan gadis itu, lalu menariknya sampai tubuh Sulastri menubruk tubuhnya. Kini tangan Sulastri yang kiri masih memegang ujung cambuk dan tangannya yang kanan sudah dipegang lawan yang menariknya sehingga dadanya yang terbuka itu merapat ke dada Sang resi.

   "Ha-ha-ha, manis... lebih baik kau bersenang-senang dengan aku..."

   Merasa betapa tubuh yang muda dan mulus itu merapat ke dadanya, seketika bangkitlah nafsu dan gairah di hati Sang Resi. Dia sudah merasa menang, tangan kanan gadis itu telah ditangkapnya dan tangan kiri Sulastri pun sedang memegang ujung cambuknya. Dan dada yang terbuka itu, bau kewanitaan yang begitu dekat dengan dia, semua ini membangkitkan nafsu berahinya dan membuat Sang Resi lengah. Dia tidak tahu bahwa tangan kiri Sulastri telah melepaskan ujung cambuk dan kini tangan kiri itu, dengan pengerahan aji kesaktian Hasto Nogo sepenuhnya, bergerak seperti kilat, menghantam ke arah dadanya di bawah tulang iga.

   "Hekkk...!"

   Sepasang mata Sang Resi terbelalak, tubuhnya terhuyung ke belakang dan otomatis pegangannya terlepas, lalu kedua tangan mendekap dada yang terpukul. Karena tadi diamuk nafsu berahinya yang bangkit, maka dia menjadi lengah dan aji kekebalannya untuk sementara punah. Tentu saja pukulan Hasto Nogo yang amat ampuh itu tidak dapat tertahan oleh tubuhnya yang sudah mulai tua tanpa dilindungi aji kekebalannya, maka pukulan itu biarpun di luarnya tidak melukai kulit, namun getaran hawa sakti yang dibawa pukulan itu telah meremukkan segala yang berada di rongga dadanya, termasuk jantungnya!

   "Aughhhh...!"

   Jerit terakhir Resi Harimurti terdengar mengerikan sekali, tubuhnya roboh dan untuk yang terakhir kali, dia masih mampu mengerakkan cambuknya sehingga terdengar bunyi "tarrr!"

   Nyaring sekali. Seperti lenyapnya bunyi itu, lenyap pula nyawanya dan meninggalkan tubuhnya yang sudah terkapar menjadi sesosok mayat mati! Sulastri cepat membungkuk, menanggalkan baju dari seorang mayat perajurit dan memakai baju itu untuk menutupi ketelanjangan dadanya, kemudian dia mengamuk lagi membantu empat orang tokoh Lumajang yang sudah mulai lelah dan menderita luka-luka. Amukan Sulastri ini membuat kepungan membuyar, akan tetapi seperti rombongan semut para perajurit sudah mengeroyoknya pula.

   Pada saat itu muncul Raden Turonggo yang tanpa banyak cakap lagi telah terjun ke dalam medan pertempuran membantu teman-temannya yang dikeroyok. Melihat pemuda ini, Panji Wironagari bertanya.

   "Bagaimana, Raden?"

   Sudah beres?.

   "Sudah, Paman...!"

   Jawab Turonggo sambil menendang roboh seorang pengeroyok yang menusukkan tombaknya dari kanan dan yang dapat dielakkannya. Dia merampas tombak itu dan mengamuk dengan hebat.

   "Raden, cepat lari...!"

   Kata Panji Wironagari.

   "Cepat pulang memberi laporan, biar kami yang menahan mereka!"

   "Akan tetapi, Paman...!"

   Raden Turonggo membantah. Mana mungkin dia melarikan diri dan meninggalkan empat orang itu bersama Sulastri dalam kepungan musuh dan terancam bahaya maut?

   "Raden, ingat, ini tugas! Dan saya yang memimpin. Saya perintahkan engkau untuk pergi secepatnya! Dan Nini Sulastri yang harus melindungimu!"

   Melihat Raden Turonggo meragu, tiga orang tokoh Lumajang lainnya juga membujuk sambil mereka terus mengamuk. Akhirnya Sulastri yang mendengar ini semua mengerti bahwa memang sebaiknya demikian.

   "Marilah, Dimas Turonggo!"

   Katanya dan tanpa menanti jawaban, dia menyambar tangan pemuda itu dan diajaknya melompat jauh, merobohkan orang-orang yang berusaha menghadang dan mereka lalu melarikan diri di dalam kegelapan malam. Empat orang bekas senoapati Mojopahit itu mengamuk terus, menghadang dan mencegah mereka untuk mengejar Turonggo dan Sulastri.

   Keributan itu segera terdengar oleh para penjaga dan kini makin banyaklah perajurit yang datang mengeroyok. Empat orang bekas senopati Mojopahit itu mengamuk sampai titik darah terakhir, akan tetapi akhirnya mereka itu roboh seorang demi seorang, roboh dan tewas di bawah keroyokan banyak senjata sehingga tubuh mereka hancur lebur, kematian seorang perajurit yang gagah berani.

   Betapa banyaknya manusia-manusia yang berwatak gagah berani harus tewas secara sia-sia seperti empat orang tokoh Lumajang ini. Betapa nyawa manusia menjadi tidak berharga kalau sudah dicengkeram oleh permusuhan dan dipermainkan oleh semangat bermusuhan dan saling membunuh demi apa yang biasa dinamakan perjuangan,demi negara, demi bangsa, demi kerajaan dan demi apa pun yang dianggapnya sebagai perbuatan mulia! Mati dalam perang dalam usaha bunuh-membunuh di antara manusia, oleh kita yang menamakan diri sebagai manusia-manusia beradab,dinamakan dengan sebutan muluk, yaitu mati sebagai kusuma bangsa, mati gagah perkasa, mati mulia, mati sebagai pahlawan dan sebagainya!



Kalau berhasil membunuh lawan sebanyaknya, lupa bahwa lawan itu pun manusia juga seperti kita,maka sang pahlawan dipuja-puja. Kalau dia yang tewas dalam perang itu, juga namanya dipuja-puja dan disanjung-sanjung! Dia yang banyak membunuh sesama manusia dianggap pahlawan. Mengapa kita yang merasa beradab dan berkebudayaan menjadi sekejam ini? Mengapa sejak kecil kita dilolohi kepalsuan dan kebohongan ini? Sehingga tertanam di dalam benak kita bahwa dalam bunuh-membunuh sesama manusia dalam perang itu adalah sesuatu yang patut dibanggakan dan dipuja-puja? Mengapa kita menanamkan benih kejahatan ini ke dalam anak-anak kita sehingga setiap orang manusia ingin sekali menjadi seorang pahlawan yang aakhirnya nanti menjadi pembunuh banyak manusia atau juga terbunuh?

   Siapa pun yang berjuang untuk membunuh atau dibunuh ini, terdorong oleh semangat yang ditanamkan sejak ribuan tahun yang lalu tentang betapa mulianya seorang pahlawan. Dia berjuang untuk mendapatkan sebutan pahlawan di samping pamrih lainnya seperti memperoleh kedudukan, nama besar, kemuliaan dan sebagainya. Perjuangan seperti itu pada umumnya, di dunia manapun juga, disebut sebagai perbuatan gagah perkasa, perjuangan demi negara, demi bangsa, demi tanah air,bahkan ada pula yang berani membawa-bawa nama Tuhan di dalam urusan bunuh-membunuh antara manusia ini! Membunuh sesama manusia demi Tuhan! Perang demi Tuhan!

   Betapa palsu dan munafiknya kita ini. Padahal siapakah yang sesungguhnya yang untung, siapakah sesungguhnya yang menjadi biang keladi semua permusuhan, semua perang yang telah melanda seluruh dunia selama ribuan tahun ini? Jawabannya sudah terdapat di situ. Kalau kita mempelajari sejarah di dunia manapun juga,jelaslah siapa yang menjadi biang keladi perang, siapa pula yang jatuh bangun oleh perang. Tiada lain hanyalah manusia-manusia yang bercita-cita untuk duduk di tempat teratas.

   Yang patut disebut seorang pemimpin rakyat adalah dia yang tidak menjerumuskan rakyat ke dalam perang! Yang hanya mencurahkan segala daya upaya untuk ketenteraman dan kemakmuran hidup rakyat yang dipimpinnya. Yang memajukan pembangunan lahir batin untuk rakyat. Yang menjauhkan rakyat daripada permusuhan, dendam-mendendam, dan pertikaian. Yang mengarahkan seluruh kekuatan yang ada untuk perbaikan-perbaikan taraf kehidupan rakyat. Kalau ada pemimpin yang menyeret rakyat ke dalam perang, itu berarti bahwa dia bukanlah seorang pemimpin, melainkan seorang pembesar yang membesarkan ambisi dan keinginan diri pribadi untuk enak, untuk senang, untuk menang!

   Seorang yang demikian itu biasanya tentu seorang yang berjiwa pengecut! Sejarah telah membuktikan semua itu. Mereka yang mengaku pemimpin-pemimpin rakyat yang mengobarkan perang, yang menjerumuskan rakyat dalam peperangan, adalah orang-orang yang ingin menang dan ingin senang,ingin mempertahankan kedudukannya dan sebagainya. Dan orang-orang macam begini,dapat tersenyum bangga jika dapat memenangkan peperangan sehingga kedudukannya menjadi makin baik dan makin tinggi, sungguhpun untuk "kemenangan"

   Itu telah dikorbankan nyawa ratusan ribu orang manusia, baik yang termasuk sebagai rakyat bangsanya maupun rakyat bangsa lawannya.

   Akan tetapi bagaimana kalau perang itu,perang yang dikobarkan demi kepentingan mereka-mereka itu dengan diselubungi istilah-istilah muluk-muluk "Demi bangsa".

   "Demi negara".

   "Demi tanah air"

   Dan sebagainya itu sampai kalah? Kalau sampai kalah, dan ini sudah banyak terbukti dalam catatan sejarah, maka dia atau mereka ini yang paling dulu melarikan diri! Sambil membawa harta benda yang telah dikumpulkannya, tentu saja! Siapakah yang dapat membantah kenyataan ini? Dapatkah "peradaban"

   Dan "kebudayaan"

   Macam sekarang ini berubah sama sekali?

   Dapatkah manusia di dunia ini hidup tanpa terpecah-pecah, tanpa permusuhan,tanpa senjata pembunuh, tanpa perang? Kiranya baru akan terdapat kemungkinan berubahnya dunia kalau kita masing-masing ini sudah berubah! Karena kitalah yang membentuk keadaan di dunia ini! Kitalah yang membentuk masyarakat dan kita pula yang membentuk negara. Kalau kita sendiri, setiap orang, masih dikuasai oleh kekerasan, masih mengandung kebencian, mengandung permusuhan, masih iri hati,masih ingin menang sendiri, ingin senang dan enak sendiri, maka tak dapat dicegah lagi sudah tentu masyarakat kita pun demikian pula sifatnya, dan seluruh dunia pun demikian pula. Dan kalau seperti itu keadaannya, anehkah kalau di sana-sini berkobar perang? Jadi, kuncinya adalah pada diri kita sendiri masing-masing!

   Kitalah yang harus berubah, bukan dirubah, karena dirubah berarti bentuk pemaksaan. Dan semua yang dipaksa itu adalah palsu dan setiap waktu akan terbuka kepalsuannya. Perubahan harus terjadi dalam diri sendiri, bukan dirubah karena undang-undang, oleh propaganda-propaganda, oleh hukum dan sebagainya. Seorang akan terus-menerus melakukan pencurian biarpun dia sudah dihukum beberapa kali karena mencuri! Akan tetapi, kalau orang itu sudah berubah di sebelah dalam batinnya, berubah karena sudah tidak ada lagi keinginan mencuri itu, maka tanpa ada ancaman hukuman pun dia tidak akan sudi melakukan pencurian!

   Karena itu, yang terpenting adalah mengenal diri sendiri lahir batin, mengenal kepalsuan dan kekotoran diri sendiri, segala macam kebusukan yang memenuhi batin sendiri haruslah dikenal dan diketahui baik, bukan hanya untuk diketahui belaka lalu habis. Sama sekali tidak! Haruslah dipelajari setiap saat, yaitu diawasi,diamati, dipandang setiap saat penuh kewaspadaan! Pengamatan tanpa pamrih inilah yang mendatangkan kebijaksanaan. Pengamatan tanpa pamrih apa pun ini yang akan mendatangkan perubahan, yang akan mendatangkan kebebasan. Dan hanya yang bebas sajalah yang akan mengenal apa artinya cinta kasih, dan di mana ada cinta kasih,tidak ada permusuhan, tidak ada kebencian, tidak ada iri hati, tidak ada perang!

   Dalam keadaan perang, gembar-gembor tentang perdamaian adalah omong kosong belaka! Jangan perang, maka tak perlu lagi bicara tentang perdamaian! Akan tetapi anehnya, semua orang ingin bicara tentang perdamaian! Kita adalah manusia-manusia lemah yang menjadi korban dari konflik dalam batin kita sendiri. Kita begini,itu kenyataannya, namun kita ingin begitu. Kita perang, itu kenyataannya, akan tetapi kita ingin damai. Kita pemarah, akan tetapi kita ingin sabar, dan demikian selanjutnya sehingga kita hidup dalam alam keinginan belaka. Mengapa kita tidak menghadapi kenyataan, membuka mata mempelajari dan mengenal keadaan kita sendiri, membuka mata dan melihat bahwa kita ini pemarah, kita ini gila perang, kita penuh kebencian dan sebagainya?

   Kita membayang-bayangkan yang bersih-bersih bagi kita sehingga kita tidak melihat bahwa kita ini sesungguhnya kotor. Dan dalam keadaan kotor begini, membayangkan kebersihan adalah sia-sia,menutupi kekotoran dengan pakaian bersih pun percuma, hal itu tidak akan melenyapkan kekotoran itu. Akan tetapi kalau kita meneliti diri sendiri, membuka mata dan melihat kenyataan, maka kewaspadaan inilah yang akan mendatangkan perubahan, yang akan membebaskan kita dari segala kotoran, segala ikatan, segala bayangan-bayangan dan khayal. Dan ini jauh lebih penting daripada mengkhayalkan kebersihan.

   Karena bantuan Sulastri, akhirnya Raden Turonggo dapat lolos dari Kahuripan dan ketika mereka menanti di luar batas kota dan belum juga melihat kembalinya empat orang senopati itu, Raden Turonggo menangis terisak-isak. Mereka berdua maklum bahwa empat orang teman mereka itu sudah pasti tidak dapat lolos lagi dari kepungan yang demikian ketatnya, dan tentu telah menemui kematian mereka. Sulastri menghibur Raden Turonggo dan berkata,

   "Sudahlah, Adimas. Ditangisi pun tidak ada gunanya lagi. Sebaiknya kita cepat kembali ke Lumajang dan melapor kepada Sang Adipati."

   Raden Turonggo mengangguk dan dengan muka pucat dan mata merah, dia mengikuti Sulastri melanjutkan perjalanan menuju ke Lumajang. Raden Turonggo menubruk kaki eyangnya ketika dia dan Sulastri tiba di Lumajang dan menghadap Sang Adipati bersama para tokoh Lumajang lainnya. Pemuda ini menangis dengan sedihnya.

   "Kulup, tenangkan hatimu. Apakah yang terjadi? Apakah tugasmu gagal dan pusaka itu tidak berhasil engkau haturkan kepada Gusti Puteri?"

   Tanya Adipati Wirorojo sambil mengelus kepala cucunya.

   "Sudah saya haturkan... Eyang, akan tetapi... eh, keempat Paman... mereka... tertinggal dan..."

   Pemuda itu menangis lagi.

   Melihat keadaan pemuda itu, Sulastri lalu menceritakan dengan tenang semua peristiwa yang terjadi di waktu mereka berenam pergi ke Kahuripan, betapa Raden Turonggo berhasil menyerahkan keris pusaka Kolonadah kepada Puteri Tribuwanatunggadewi, akan tetapi betapa mereka ketahuan oleh Resi Harimurti dan pasukannya sehingga terjadi perkelahian dan empat orang tokoh Lumajang itu, Panji Wironagari, Panji Samara, Aryo Jangkung, dan Aryo Teguh telah tertinggal untuk menahan pasukan yang hendak mengejar. Dia sendiri melarikan Raden Turonggo untuk menyelamatkannya atas permintaan dan perintah empat orang gagah itu. Mendengar ini, Sang Adipati mengerutkan alisnya dan merasa gelisah sekali.

   Kegelisahan yang berubah menjadi kedukaan ketika datang laporan dari mata-mata Lumajang yang bertugas di Kahuripan bahwa keempat orang gagah itu benar-benar telah tewas oleh pengeroyokan banyak sekali perajurit dan pengawal. Keadaan di Kadipaten Lumajang masih dalam suasana berkabung ketika datang utusan dari Kadipaten Puger yang mengabarkan bahwa Kadipaten Puger diserang oleh pasukan-pasukan dari Nusabarung yang amat kuat sehingga mengalami kerugian besar.

   Ketika utusan ini datang menyampaikan berita itu kepada Sulastri, wanita perkasa ini masih menghadap Sang Adipati di Lumajang, maka semua orang mendengar akan malapetaka yang menimpa Puger itu. Sulastri terkejut bukan main dan cepat dia menyembah kepada Sang Adipati dan berpamit. Tanpa menanti jawaban, dia lalu melesat keluar dan berlari cepat menuju ke selatan, ke Puger!

   Sang Adipati Wirorojo lalu memerintahkan kepada Maesa Pawagal, seorang tokoh Lumajang bekas senopati Mojopahit, untuk memimpin seribu orang perajurit dan membawa pasukan ini ke selatan untuk membantu Puger. Tentu saja Sang Adiapti ini membantu Puger hanya karena mengingat kepada Sulastri, Joko Handoko dan Roro Kartiko yang sudah banyak berjasa terhadap Lumajang dan kini menjadi keluarga Prabu Bandardento di Puger. Terutama sekali Sulastri telah banyak berjasa, maka Sang Adipati merasa sudah selayaknya kalau dia membantu Puger.

   Andaikata tidak ada tiga orang muda itu di Puger, agaknya dia tidak akan mau mencampuri urusan antara Puger dan Nusabarung, karena Lumajang sendiri harus memperkuat diri untuk menghadapi Mojopahit yang kini dikuasai oleh keturunan Melayu itu. Dengan kecepatan luar biasa, Sulastri tiba di Puger. Hatinya prihatin sekali menyaksikan keadaan Puger, di mana jelas nampak orang-orang berkabung, berduka,dan juga gelisah.

   Cepat dia menemui Sang Prabu yang sedang berunding dengan dua orang putera puterinya, yaitu "suaminya"

   Joko Handoko dan Roro Kartiko bersama para senopati. Padas Gunung dan Pragalbo yang kelihatan luka-luka lengan mereka juga hadir. Suasana di dalam persidangan itu jelas nampak suram diliputi ketegangan. Kedatangan Sulastri disambut oleh mereka semua dengan gembira dan ada sekilas cahaya harapan nampak di wajah Sang Prabu yang tadinya muram. Bahkan Sang Prabu Bandardento segera bangkit berdiri menyambut kedatangan Sulastri, sedangkan Roro Kartiko segera memeluknya.

   "Syukur Andika telah datang, Anakku! Kami amat mengharapkan bantuanmu untuk dapat menyelamatkan Puger!"

   Sulastri mengerutkan alisnya, bergantian dia memandang kepada para senopati,kepada Padas Gunung, Pragalbo, kemudian kepada Roro Kartiko dan Joko Handoko, lalu berkatalah dia dengan penasaran.

   "Kita telah memiliki pasukan yang kuat dan banyak senopati yang digdaya, bagaimanakah kita sampai dapat terpukul oleh pasukan musuh dari Nusabarung? Paman Padas Gunung, demikian hebatkah kekuatan musuh?"

   "Ah, engkau tidak tahu, Anakku. pihak musuh dipimpin oleh seorang senopati baru yang amat sakti. Lihat, Padas Gunung dan Pragalbo sendiri sampai terluka olehnya,dan banyak senopati yang terluka atau tewas,"

   Kata Sang Prabu dengan sedih.

   "Sekarang,agaknya harus aku sendiri yang memimpin pasukan menghadapi senopati Nusabarung itu!"

   Sang Prabu yang sudah tua itu mengepal tinju dan sinar matanya berapi karena marahnya.

   "Dan kalian... Kakangmas Handoko dan Diajeng Kartiko? Apakah kalian tidak turun tangan bersama para pembantu kalian?"

   Joko Handoko menarik napas panjang.

   "Mereka itu dua kali menyerang dan untuk kedua kalinya, aku dan Roro Kartiko, dibantu oleh para anggota Sriti Kencana,memperkuat pasukan, akan tetapi... ah, musuh terlampau kuat..."

   Dan Joko Handoko lalu menundukkan mukanya. Sikapnya ini amat mengherankan hati Sulastri, maka dia menoleh kepada Roro Kartiko dan memandang dengan sinar mata penuh pertanyaan.

   Roro Kartiko memegang lengan Sulastri, lalu berkata kepada Sang Prabu.

   "Kanjeng Romo, perkenankan kami bicara di dalam..."

   Sang Prabu Bandardento mengangguk dan Roro Kartiko lalu menarik tangan Sulastri,diajaknya masuk ke dalam kamar, Roro Kartiko berkata,"Ah, engkau tidak tahu apa yang telah terjadi, Mbakayu Sulastri. Ada peristiwa yang amat aneh dan hebat.

   Kau tahu, ketika kami membantu pasukan mengamuk, muncullah senopati muda yang menggemparkan itu dan dapat kau bayangkan betapa kaget rasa hati kami ketika mengenal senopati itu!"

   "Hemm, siapa dia?"

   Sulastri bertanya dengan alis berkerut.

   "Dia... dia adalah... Kakangmas Sutejo..."

   "Ehhh...??"

   Sulastri terlonjak kaget dan mengepal tinju.

   "Dia? Dia menjadi senopati di Nusabarung?"

   "Benar, Mbakayu Sulastri, dan agaknya dia... dia tidak mau mengenal kami lagi..., bahkan ketika kami menegurnya, dia seperti bingung dan tidak kenal kami, dan... nyaris kami tewas pula di tangannya. Akan tetapi... agaknya dia pun tidak mau terlalu mendesak kami dan membiarkan kami melarikan diri. Akan tetapi pasukan menjadi kacau dan hancur sehingga terpaksa untuk kedua kalinya, pasukan Puger harus ditarik mundur."

   "Hemm, keparat!"

   Sulastri mengepal kedua tinjunya. Sudah bertahun-tahun dia tidak pernah bertemu dengan Sutejo dan biarpun tidak ada seorang lain yang tahu,diam-diam dia harus mengaku bahwa dia tidak pernah dapat melupakan Sutejo.

   Betapa di waktu malam, setelah Roro Kartiko tidur nyenyak, dia bersila dan berusaha untuk bersamadhi, namun selalu gagal karena wajah Sutejo selalu terbayang dan betapa seringnya dia terisak-isak penuh kerinduan terhadap pemuda itu. Dia sudah hampir melepaskan harapannya untuk dapat bertemu kembali dengan pemuda itu. Dan kini, seperti halilintar menyambar, secara tiba-tiba saja pemuda itu muncul sebagai senopati musuh! Dan begitu mendengar pemuda itu menjadi senopati musuh, seketika timbul kemarahannya! Dia tidak tahu apakah kemarahan itu karena Sutejo menjadi senopati musuh, ataukah karena bertahun-tahun lamanya pemuda itu tidak pernah mengabarkan diri dan tidak pernah mencarinya. Roro Kartiko terkejut juga melihat betapa wajah Sulastri menjadi marah sekali dan dia cepat mengejar ketika melihat Sulastri sudah lari keluar lagi ke ruang persidangan.

   "Kanjeng Romo, perkenankan hamba memimpin pasukan untuk menghajar pasukan Nusabarung itu!"

   Sulastri berkata kepada Sang "mertua".

   "Engkau baru saja datang, Nini. Biarlah aku sendiri yang akan menghajar mereka yang kini menghaturkan barisan di perbatasan, di pantai laut. Biar mereka melihat bahwa Prabu Bandardento yang sudah tua ini masih sanggup untuk menghancurkan orang-orang Nusabarung!"

   "Tidak, Kanjeng Romo, selama masih ada hamba, tidak selayaknya kalau Paduka yang harus turun tangan sendiri. Pula, hamba mengenal senopati keparat itu dan biarkan hamba yang menghadapinya. Kakangmas, harap kau suka atur barisan, kita berangkat sekarang juga!"

   Melihat sikap Sulastri yang gagah perkasa, diam-diam Sang Prabu menjadi girang dan dia mengangguk memberi persetujuannya. Dengan cekatan Sulastri mengajak suaminya dan adik iparnya keluar dan mengumpulkan para senopati untuk memimpin pasukan. Tak lama kemudian, berangkatlah pasukan itu menuju ke selatan, ke pantai laut di mana pasukan dari Nusabarung telah membuat persiapan untuk menyerang Puger lagi. Di tengah perjalanan, Sulastri mendengar penuturan Roro Kartiko yang telah mempelajari keadaan Nusabarung dari Ayahnya, yaitu ayah angkatnya, Sang Prabu di Puger.

   "Nusabarung merupakan pulau yang dikuasai oleh Sang Adipati Menak Dibyo yang merupakan raksasa berkenpanadian tinggi,"

   Dia mulai bercerita.

   "Adipati Menak Dibyo mempunyai dua orang anak, yang laki-laki bernama Bandupati dan yang perempuan bernama Sariwuni, juga kedua orang anaknya itu memiliki kepandaian tinggi dan terkenal sakti mandraguna.

   Akan tetapi, karena Kadipaten Puger lebih besar, memiliki pasukan yang lebih kuat dan juga dalam hal kesaktian, para senopati Puger tidak kalah oleh tokoh-tokoh Nusabarung, maka selama belasan tahun Nusabarung tidak pernah berani menganggu Puger, setelah dahulu setiap serbuan dari Nusabarung selalu digagalkan dan pasukannya dipukul mundur kembali menyeberang laut ke pulau mereka. Akan tetapi sekarang, setelah kedua orang anak itu dewasa, mereka berani lagi, malah Kakangmas Sutejo tahu-tahu telah berada di antara mereka sebagai senopati, sungguh hal ini amat aneh dan juga mendatangkan rasa penasaran."

   "Dia bukan seorang yang setia, sungguh menjengkelkan!"

   Sulastri berkata dan di dalam suaranya terkandung kemarahan yang mengejutkan hati Roro Kartiko. Dara perkasa ini maklum bahwa kakak iparnya ini sampai sekarang masih belum juga mau menjadi isteri kakaknya, dalam arti kata yang sesungguhnya. Kakaknya dan Sulastri jarang sekali bicara, bahkan seperti saling menghindari, apalagi berada berdua saja di dalam kamar. Diam-diam dia merasa kasihan kepada kakaknya, akan tetapi dia juga tidak dapat menyalahkan Sulastri karena dia tahu bahwa adanya Sulastri mau menjadi isteri kakaknya adalah untuk menyelamatkan mereka semua. Dan dia menduga dengan hati berat bahwa kakak iparnya ini masih mencinta Sutejo,hal yang makin menyakitkan hatinya karena dia sendiri pun tidak pernah dapat melupakan Sutejo.

   "Mbakayu Sulastri, kalau... kalau engkau berjumpa dengan dia... apa yang hendak kau lakukan?"

   Tiba-tiba Roro Kartiko bertanya.

   Sulastri yang sedang melamun itu terkejut dan otomatis menarik kendali kudanya sehingga binatang itu mengangkat kedua kaki depan ke atas. Setelah berhasil menenangkan kudanya yang kaget itu, Sulastri menoleh, memandang kepada Roro Kartiko, lalu menjawab dengan sikap dingin,

   "Akan kuperingatkan dia agar meninggalkan pasukan Nusabarung, mengingat akan... persahabatan kami yang lalu."

   "Ah, aku dan Kakangmas Handoko juga sudah memperingatkan hal itu, Mbakayu, akan tetapi sia-sia belaka, bahkan dia seperti tidak mau mengenal kami lagi."

   "Hemm, kalau dia berani bersikap demikian kepadaku, akan... kubunuh dia!"

   Di dalam suara ini terkandung ancaman yang mengerikan hati Roro Kartiko, akan tetapi gadis ini pun merasa ragu-ragu apakah Sulastri akan mampu menandingi Sutejo yang benar-benar amat digdaya itu.

   Sementara itu, Joko Handoko yang menjalankan kudanya di belakang dua orang wanita itu, hanya mendengarkan saja. Wajahnya muram dan memang semenjak dia menjadi "suami"

   Sulastri, pemuda ini berubah sekali menjadi seorang yang tak pernah bergembira, wajahnya sering kali muram dan dia nampak lebih tua daripada usianya. Dia menanggung derita batin yang hebat, akan tetapi hal ini tidak pernah diperlihatkan kepada "isterinya", dan tidak pernah pula dia membicarakan hal itu kepada orang lain. Dia amat mencinta Sulastri, dan dia tidak dapat menyalahkan isterinya yang bersikap dingin terhada dia. Betapa setiap malam dia merindukan isterinya itu dan biarpun dia merasa yakin bahwa agaknya selama hidupnya Sulastri yang masih mencinta Sutejo itu tidak akan mau nyerahkan diri kepadanya, namun Joko Handoko tetap setia dan tidak pernah dia mau mengambil selir. Padahal kedudukannya pada waktu itu adalah putera adipati!

   Kita tinggalkan dulu pasukan Lumajang yang berbaris rapi menuju ke selatan itu dan mari kita tengok keadaan pasukan Nusabarung yang membentuk barisan di pantai Laut Selatan sebagai daerah perbatasan antara Puger dan Nusabarung. Pantai ini tentu saja masih termasuk wilayah Puger, akan tetapi pasukan Nusabarung kini telah menguasainya dan menggunakan dusun pantai yang telah mereka rampok habis itu sebagai markas mereka.

   Di dalam ruangan sebuah rumah besar di tengah dusun itu, yaitu bekas rumah kepala dusun yang telah mereka bunuh, duduklah dua orang laki-laki muda dan seorang wanita muda cantik jelita bercakap-cakap. Mereka ini adalah Sutejo, Bandupati, dan Sariwuni. Di atas meja di depan mereka nampak hidangan dan mereka makan minum sambil bercakap-cakap.

   "Ha-ha-ha, orang-orang Puger lari cerai-berai, sungguh senang hati melihatnya! Besok kita harus terus menyerbu ke utara dan membumihanguskan Kadipaten Puger!"

   Kata Bandupati, orang muda tampan bertubuh raksasa, brewok dan gagah seperti Raden Werkudoro itu.

   "Kita harus menanti berita dari Paman Menak Srenggo, Kakang Bandupati. Kita tidak boleh ceroboh karena Puger merupakan kekuatan yang tak boleh dipandang ringan. Apalagi menurut kabar, ada seorang lagi jagonya yang datang, yaitu anak mantu Sang Adipati yang kabarnya adalah seorang wanita yang sakti mandraguna,"

   Kata Sariwuni.

   "Ha-ha, takut apa? Setelah ada Adimas Bromatmojo bersama kita, biar mereka itu mempunyai jago dewata, kita tak usah takut!"

   Sutejo mendengarkan dengan sikap tenang, akan tetapi dia mengerutkan alisnya.

   Melihat ini, Sariwuni berkedip kepada Kakaknya lalu menggeser bangkunya, duduk di dekat suaminya itu dan membelai lengan suaminya dengan sikap mesra dan manja.

   "Kakangmas Bromatmojo, engkau memang hebat sekali! Putera dan puteri angkat dari Sang Adipati Puger itu ternyata tangguh sekali, akan tetapi menghadapimu, mereka lari ketakutan!"

   Setelah berkata demikian, di depan kakaknya, secara terang-terangan Sariwuni lalu mendekatkan mukanya dan mengecup pipi suaminya. Hal seperti ini selalu tidak menyenangkan hati Sutejo dan kini pun dia menarik mundur mukanya untuk mengelak. Dia tidak senang melihat isterinya itu memperlihatkan kasih sayang di depan orang lain, biarpun orang lain itu kakaknya sendiri.

   "Ah, kenapa harus ada perang ini? Kenapa harus ada bunuh-membunuh? Sesungguhnya,aku tidak suka melihat perang..."

   Katanya, lalu dia menoleh kepada isterinya.

   "Diajeng Sulastri, kenapa kita tidak pulang saja ke Nusabarung? Apa sih perlunya menyerang Puger?"

   "Ah, Kakangmas, engkau tidak tahu. Puger adalah kadipaten yang selalu menghina Nusabarung dan baru sekarang kita mempunyai kesempatan untuk membalas dendam,"

   Jawab Sariwuni yang oleh Sutejo dianggap bernama Sulastri.

   "Dan telah lama aku mengidamkan seorang puteri yang cocok untuk menjadi isteriku,menjadi calon permaisuriku kalau kelak aku menggantikan Kanjeng Romo menjadi adipati di Nusabarung. Aku melihat puteri Adipati Puger itu cantik sekali,cantik dan gagah perkasa, pantas kalau menjadi calon isteriku,"

   Kata pula Bandupati.

   Seperti kita ketahui, Sutejo berada di bawah pengaruh racun Lalijiwo. Karena racun itu diberikan kepadanya setiap hari, maka setelah lewat dua tahun saja dia sudah lupa akan segala riwayatnya yang lampau. Yang diingatnya adalah semenjak dia bertemu dengan putera-puteri Adipati Nusabarung itu sampai sekarang. Dan dia sudah menganggap pasti bahwa dirinya adalah Bromatmojo dan bahwa wanita yang menjadi isterinya itu adalah Sulastri, satu-satunya wanita yang memenuhi hatinya,satu-satunya wanita yang dicintanya, bahwa Bandupati adalah Kakak Sulastri. Bahkan setelah melihat dia benar-benar melupakan asal-usulnya, Sariwuni berani menceritakan bahwa selain nama Sulastri, dia mempunyai nama lain, yaitu Sariwuni.

   Setelah melihat keadaan Sutejo benar-benar berada di bawah pengaruh mereka, mulailah keluarga Adipati Nusabarung mengatur pasukan untuk menyerbu ke seberang daratan, ke Puger yang menjadi musuh sejak dahulu. Dan tepat seperti yang mereka harapkan dan perhitungkan, di dalam pertempuran itu, Sutejo yang mereka kenal sebagai Bromatmojo itu telah berjasa besar, sepak terjangnya hebat sekali sehingga semua senopati dari Puger tidak kuat menghadapinya, bahkan putera dan puteri Adipati Puger yang terkenal digdaya itu pun tidak tahan melawannya dan sampai dua kali pasukan-pasukan Puger mereka pukul mundur! Akan tetapi, untuk terus menyerbu ke Puger mereka masih belum berani, mengingat bahwa Puger memiliki pasukan yang jauh lebih kuat dan lebih besar.

   Maka setelah memperoleh kemenangan sebanyak dua kali pertempuran, Bandupati yang memimpin penyerbuan itu lalu mengutus Pamannya, yaitu Menak Srenggo, untuk memimpin sepasukan mata-mata untuk melakukan penyelidikan ke Puger, untuk melihat perkembangan dan persiapan musuh. Ketika tiga orang muda ini sedang merayakan kemenangan mereka dengan pesta, tiba-tiba muncul seorang kakek tinggi besar yang bercambang bauk dan bermuka merah. Melihat tiga orang muda itu, kakek ini segera memberi hormat dengan menekuk sebelah kakinya dan menyembah lalu berdiri lagi.

   "Ah, Paman Menak Srenggo, engkau sudah kembali? Duduklah dan ceritakan bagaimana keadaan fihak musuh? Tentu Puger sedang berkabung dan berduka? Ha-ha-ha!"

   Bandupati tertawa bergelak.

   Kakek ini adalah Menak Srenggo, bekas senopati Puger. Seperti telah diceritakan di bagian depan Menak Srenggo ini adalah kakak misan dari Retno Sami, selir Adipati Puger yang bersekongkol dengan mendiang Murwendo dan Murwanti untuk memberontak kepada Adipati Puger dan akhirnya dua orang muda itu berikut selir yang tidak setia itu terbunuh. Akan tetapi Menak Srenggo berhasil melarikan diri.

   Menak Srenggo adalah adik misan dari Adipati Menak Dibyo, adipati dari Nusabarung, ayah kandung Bandupati dan Sariwuni. Dan memang dia bersama Retno Sami dahulu sengaja menyelundup sebagai orang-orang taklukan ke Puger untuk memata-matai dan menghancurkan Puger dari dalam. Maka setelah Menak Srenggo berhasil meloloskan diri dari Puger, dia langsung saja kembali ke Nusabarung untuk membantu kakak misannya memusuhi Puger.

   "Raden, kita harus cepat bertindak! Pihak musuh telah mengirim pasukan yang besar jumlahnya, dipimpin oleh Puteri mantu Sang Adipati sendiri! Kalau kita berhasil menghancurkan pasukan ini, maka kita dapat terus menyerbu ke Puger,karena sekali ini pihak Puger mengerahkan seluruh kekuatan kepada pasukannya ini."

   "Besar sekalikah jumlah pasukan mereka?"

   Tanya Bandupati dengan jantung berdebar tegang.

   "Kurang lebih dua kali lipat dari jumlah pasukan kita, Raden. Akan tetapi,semangat mereka sudah runtuh sedangkan semangat anak buah pasukan kita sedang berkobar."

   "Kita tidak perlu takut, suamiku akan menghancurkan nyali mereka setelah berhasil merobohkan semua senopatinya. Kakangmas Bromatmojo, sekali ini kami benar-benar mengharapkan bantuanmu,"

   Kata Sariwuni dengan sikap manja.

   "Jangan khawatir, aku akan menghadapi semua senopati mereka. Akan tetapi apakah tidak ada jalan lain untuk menghentikan perang ini? Bagaimana kalau berdamai saja dan secara baik-baik Kakang Bandupati melamar puteri Adipati Puger? Bukankah dengan demikian, Puger dan Nusabarung menjadi keluarga dan dapat hidup dalam perdamaian?"

   "Wah, mana bisa mereka menerima itu sebelum mereka dikalahkan!"

   Kata Bandupati,sedangkan Menak Srenggo yang merasa sakit hati sekali terhadap Puger juga diam-diam tidak setuju dengan usul perdamaian itu.

   "Puger selalu menghina Nusabarung, kalau sekali ini tidak dipukul hancur,selamanya tentu akan memandang rendah Nusabarung. Padahal, Nusabarung memiliki orang-orang sakti mandraguna, akan cemarlah nama kita sebagai orang-orang gagah kalau sampai harus tunduk kepada Kadipaten Puger tanpa menunjukkan kegagahan kita."

   Sutejo hanya menarik napas panjang dan Menak Srenggo bersama Bandupati segera meninggalkan ruangan itu untuk mengatur barisan. Menak Srenggo yang merupakan ahli perang itu mengatur pasukannya yang hanya setengah jumlah pasukan musuh dengan gaya barisan Kala Kroda yang membentuk seperti seekor kalajengking sedang marah. Seperlima bagian pasukan menjadi kepala kalajengking yang menyambut musuh dari depan, lalu masing-masing seperlima bagian lagi membentuk bagian sapit kalajengking yang akan menyerang dari kanan kiri, kemudian sisanya, yang dua perlima bagian bersembunyi di atas pohon-pohon dengan busur dan anak panah lengkap. Mereka ini diumpamakan bagian ekor yang mengandung sengatan kalajengking yang menyerang musuh dari atas secara menggelap.

   Bagian kepala dipimpin langsung oleh Sutejo yang diharapkan akan dapat langsung menghadapi para senopati lawan dan merobohkan mereka, bagian kedua capit kanan kiri dipimpin masing-masing oleh Sariwuni dan Bandupati, sedangkan bagian ekor yang bersembunyi di pohon-pohon dan di balik semak-semak dipimpin oleh Menak Srenggo. Demikianlah, dalam keadaan segar setelah beristirahat dan makan kenyang,penuh semangat karena sudah mengalami dua kali kemenangan, pasukan Nusabarung siap menanti kedatangan musuh.

   Lewat tengah hari, pasukan Puger sudah mulai tiba di daerah pantai yang berhutan itu. Debu mengebul tinggi diterjang kuda dan manusia yang berbondong datang menyerbu ke dusun yang menjadi markas besar pasukan Nusabarung. Setibanya di depan pintu gerbang dusun yang terjaga ketat itu, dalam jarak puluhan meter,pasukan Puger berhenti. Sulastri yang berpakaian pria, bersama Joko Handoko,Roro Kartiko, Padas Gunung, Pragalbo dan empat orang anak buah Sriti Kencana,telah meloncat turun dari atas kuda masing-masing dan berdiri dengan berjajar siap untuk menghadapi musuh. Sulastri memberi isyarat kepada Pragalbo. Demit Kinang yang berkulit hitam ini, meludahkan

   air sirih yang merah ke atas tanah,kemudian mengangkat dada dan mengeluarkan bentakan yang amat nyaring, ditujukan ke arah dusun yang menjadi benteng musuh, suaranya bergema sampai jauh.

   "Haiiii...! Orang-orang kasar dari Nusabarung! Keluarlah untuk menerima kematian!"

   Baru saja gema suara ini lenyap, terdengar sorak-sorai gegap-gempita dan dari dalam pintu gerbang dusun yang tiba-tiba terbuka, berbondong-bondong menyerbulah pasukan Nusabarung yang sepak terjangnya seperti gerombolan raksasa ganas dan buas itu. Pasukan yang buas ini dipimpin oleh seorang pemuda yang bukan lain adalah Sutejo, yang kelihatan menyolok sekali di antara gerombolan raksasa itu karena berbeda sekali dengan mereka yang bersorak dan bergerak dengan liar,pemuda ini nampak tenang dan halus gerak-geriknya.

   "Lihat, itulah dia, Mbakayu...!"

   Roro Kartiko berseru, akan tetapi Sulastri memang telah melihatnya dan dara ini berdiri dengan muka pucat sekali, kedua kakinya menggigil dan jantungnya berdebar tegang. Tak salah lagi, itulah Sutejo! Akan tetapi, dia melihat Sutejo mulai mengamuk dan dengan kedua tangan dan kaki, tanpa mempergunakan senjata, pemuda itu mulai menampar dan menendangi para perajurit Puger, sedangkan para perajurit Nusabarung juga sudah menyerbu bagaikan harimau-harimau buas, dengan pekik-pekik dan gerengan-gerengan dahsyat, ke tempat mereka berdiri. Timbullah kemarahan di hati Sulastri yang tadinya tersentuh keharuan hatinya melihat Sutejo. Dia pun bergerak dan mengamuk, di samping "suaminya"

   Yaitu Joko Handoko, Roro Kartiko dan teman-teman lain.

   Terjadilah perang campuh yang kacau balau, tidak memilih lawan, sehingga agak sukar bagi Sulastri untuk dapat mendekati Sutejo. Namun dia merobohkan setiap orang penghalang dalam usahanya mendekati pemuda yang kini menjadi senopati lawan itu. Hal ini tidaklah mudah karena para perajurit Nusabarung benar-benar merupakan manusia-manusia raksasa yang sepak terjangnya seperti segerombolan binatang buas, yang bertempur dengan nekat dan kasar sekali.

   Pada saat itu, terdengar sorak-sorai dari arah kanan dan kiri, dan ternyata muncul pasukan-pasukan dari kanan kiri yang tadinya sudah bersembunyi di luar dusun yang kini menghimpit pasukan Puger untuk membantu pasukan yang dipimpin oleh Sutejo itu. Melihat siasat lawan ini, Padas Gunung segera membunyikan tanda untuk memecah pasukannya menjadi barisan segitiga yang menghadap ke depan, kanan dan kiri. Mendengar isyarat ini, para perwira yang memimpin pasukan-pasukan kecil masing-masing lalu cepat memberi aba-aba dan berubahlah gerakan pasukan Puger, terpecah menjadi tiga sehingga perang campuh terjadi di tiga bagian dengan hebatnya.

   Biarpun jumlah pasukan pihak Nusabarung jauh kalah banyak, akan tetapi karena sepak terjang mereka yang nekat, berkelahi penuh semangat seperti harimau-harimau kelaparan, maka perang campuh itu hebat dan seru sekali. Setiap orang perajurit Nusabarung menghadapi pengeroyokan dua tiga orang lawan, namun mereka itu berkelahi seperti raksasa mabok, tidak mempedulikan keselamatan diri sendiri sehingga menggiriskan pihak Puger. Akhirnya Sulastri dan suaminya serta adik iparnya dapat berhadapan dengan Sutejo! Kini Sutejo telah bergabung dengan isterinya, yaitu Sariwuni, dan Bandupati.

   Melihat Roro Kartiko, Bandupati segera berteriak kepada para perajurit yang mengeroyok.

   "Jangan bunuh dara itu, jangan lukai dia! Tangkap hidup-hidup!"

   "Kakangmas Sutejo...!"

Tiba-tiba Roro Kartiko menjerit ketika berhadapan dengan Sutejo.

   Orang muda itu kelihatan terkejut dan memandang dengan mata terbelalak.

   "Sutejo...? Aku... aku mengenal nama itu..."

   "Ah, Kakangmas Sutejo, apakah Andika tidak ingat lagi kepada Mbakayu Sulastri?"

   Kembali Roro Kartiko berseru dan Sulastri yang kini tak dapat menahan dua titik air mata membasahi pipinya, mengambil sikap tidak perduli dan merobohkan seorang raksasa Nusabarung dengan tamparan Hasto Nogo tangan kirinya.

   "Dessss...!"

   Raksasa itu terguling dan tak dapat bangkit kembali karena kepalanya sudah pecah.

   "Sulastri? Dia isteriku... eh, Sulastri, apa yang dikatakan wanita ini? Apa artinya ini?"

   Sutejo memandang kepada Sariwuni yang cepat mendekatinya.

   "Kakangmas Bromatmojo, jangan dengarkan dia, jangan pedulikan mereka. Hantam terus, hancurkan musuh Nusabarung!"

   Kini pihak Sulastri dan dua orang kakak beradik itu yang terkejut bukan main. Sutejo disebut Bromatmojo oleh Sariwuni, dan Sariwuni disebut Sulastri oleh Sutejo. Apa artinya itu? Apakah Sutejo sudah gila, ataukah mereka yang linglung?

   "Dimas Sutejo, apakah artinya ucapan Andika itu?"

   Joko Handoko membentak marah.

   "Diajeng Sulastri itulah Bromatmojo, dan...!"

   Akan tetapi dia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena dia sudah diterjang oleh Bandupati yang berteriak nyaring.

   "Plak-plak-plak...!"

   Tiga kali Bandupati menyerang dan tiga kali pula Joko Handoko menangkis, akan tetapi Joko Handoko terhuyung saking kuatnya serangan yang dilakukan oleh Bandupati. Mereka segera bertanding dengan hebat dan mati-matian,menggunakan keris masing-masing dan segera terpisah dari yang lain.

   Sutejo makin bingung. Dia memandang kepada Sulastri, kemudian kepada Roro Kartiko, dan kepada Sariwuni.

   "Aku... akulah Bromatmojo dan isteriku ini Sulastri... kalian bicara apakah...?"

   Sulastri tidak dapat menahan kemarahannya lagi.

   "Keparat yang menjadi pengkhianat! Engkau tidak mengenal lagi Bromatmojo atau Sulastri? Baiklah, akan tetapi tentu engkau mengenal ini!"

   Dan langsung dia menggunakan gerakan Turonggo Bayu, secepat kilat tubuhnya sudah meluncur dan tangannya menyambar ke arah kepala Sutejo dengan pukulan Hasto Nogo yang amat dahsyat!

   "Syuuuuuuttt... duk-duk-desss...!!"

   Sutejo dapat menangkis dan pertemuan kedua lengan terakhir sedemikian hebatnya sehingga tubuh mereka terpental ke belakang dan agak terhuyung, Sulastri merasa betapa seluruh tubuhnya tergetar. Dia maklum bahwa memang dalam hal kesaktian, dia masih kalah setingkat oleh pemuda itu. Akan tetapi perasaan sakit hati dan marah membuat dia nekat dan dia sudah menerjang lagi sambil berseru.

   "Engkau atau aku yang akan mati saat ini!"

   Dan dia sudah menggerakkan tubuhnya dengan cepat, menyerang dengan Aji Hasto Bairowo yang amat dahsyat.

   Sutejo dengan bingung dan bimbang menandinginya, akan tetapi lebih banyak menangkis atau mengelak daripada menyerang. Juga berkali-kali dia meneriaki Sariwuni dan Bandupati agar jangan membunuh lawan mereka. Dia merasa bingung, merasa seperti mengenal tiga orang lawan ini, akan tetapi tidak dapat mengingat lagi kapan dan di mana. Dia makin bingung mendengar nama Sutejo!

   "Sulastri, jangan bunuh dia...! Kakang Bandupati, jangan membunuh dia, aku seperti... seperti mengenal mereka dengan baik...!"

   Berkali-kali dia berteriak sambil tetap menghadapi Sulastri yang menyerangnya dengan mati-matian.

   Mendengar ini, Sulastri menjadi makin marah. Kiranya Sutejo telah menikah dengan wanita cantik itu, dan wanita itu bernama... Sulastri! Ataukah hanya berpura-pura bernama Sulastri? Buktinya, Sutejo kini beralih nama menjadi... Bromatmojo!

   "Tak perlu pura-pura dan banyak cakap, kau jahanam busuk!"

   Bentaknya dengan suara nyaring dan dia sudah menerjang lagi dengan hebat.

   "Wuuuttt... dessss!"

   Biarpun Sutejo sudah berusaha menangkis, namun pukulan itu sedemikian hebatnya sehingga tetap saja pundak Sutejo kena pukulan Hasto Nogo sehingga dia terlempar dan terbanting.

   "Kakangmas Bromatmojo...!"

   Sariwuni menjerit dan meninggalkan lawannya, menubruk ke arah suaminya. Namun Sutejo yang memiliki kedigdayaan luar biasa itu hanya merasa pening saja dan dia sudah meloncat bangkit kembali.

   "Mari kita mundur saja...!"

   Sutejo berkata.

   "Mereka... mereka itu..."

   Dia bingung dan pada saat itu, Sulastri yang melihat Sutejo berangkulan mesra dengan Sariwuni yang menolongnya, sudah menerjang lagi dengan dahsyat dan dengan hati yang amat panas.

   "Desss...!"

   Sutejo menangkis dan keduanya terpental. Sariwuni juga terpaksa harus melawan lagi Roro Kartiko yang sudah menerjangnya dengan keris di tangan. Pertempuran berlangsung terus dengan hebatnya.

   Kini pihak Nusabarung mulai terdesak juga karena memang kalah banyak. Akan tetapi tiba-tiba terdengar teriakan mengerikan dan banyak perajurit Puger roboh disambar anak panah dari atas. Itulah ekor atau sengat kalajengking yang sudah mulai bergerak! Barisan yang bersembunyi di atas pohon-pohon dan di balik semak-semak telah mulai bergerak menghujankan anak panak ke arah para perajurit Puger. Karena mereka itu bersembunyi di atas pohon, maka mereka yang memang terdiri dari ahli-ahli panah itu dapat menujukan anak-anak panah mereka ke arah tubuh para perajurit musuh. Tentu saja bantuan yang tak tersangka-sangka ini membuat pasukan Puger menjadi panik dan mereka terpaksa harus menggunakan perisai untuk melindungi diri dari serangan anak panah dari atas. Dan dengan cara begini, tentu saja mereka menjadi kurang kuat untuk menghadapi serangan lawan yang berdepan. Maka mulailah pasukan Puger terdesak dan banyak jatuh korban.

   Melihat keadaan ini, Sulastri dan kawan-kawannya menjadi khawatir juga. Sulastri merasa makin jengkel karena dia masih belum berhasil merobohkan Sutejo, sedangkan Roro Kartiko yang dibantu oleh Ayu Kunti dan Ambar, dua orang anak buah Sriti Kencana, dan Joko Handoko yang dibantu oleh Tarmi dan Cempaka, dua orang anak buah Sriti Kencana lainnya, juga belum berhasil menjatuhkan Sariwuni dan Bandupati. Bahkan Joko Handoko dan dua orang anak buahnya mulai terdesak oleh Bandupati yang amat tangguh itu dan baru setelah Padas Gunung turun tangan membantu, Bandupati menjadi berbalik kena didesak dan terpaksa dibantu oleh dua orang pengawalnya. Juga Pragalbo masih bertanding melawan Menak Srenggo yang sudah turun dari atas pohon dan membantu putera dan puteri adipati itu.

   Melihat betapa pasukannya mulai terdesak hebat, Pragalbo cepat berlari ke belakang, menyelinap di antara perajurit-perajurit meninggalkan Menak Srenggo dan membunyikan tanda untuk menarik mundur pasukannya. Akan tetapi tiba-tiba Sulastri meloncat dan merampas terompet yang ditiupnya.

   "Kita melawan terus, Paman, sampai titik darah terakhir!"

   Kata Sulastri dan dia langsung menerjang Sutejo lagi dengan kemarahan yang sudah meluap-luap! Pragalbo tercengang, bingung akan tetapi terdengar suara ketawa dan Menak Srenggo telah menerjangnya lagi.

   "Ha-ha, Pragalbo, wanita itu lebih gagah daripadamu yang takut mampus. Ha-ha, bersiaplah untuk mati dan kucekik lehermu!"

   "Manusia rendah, pengkhianat terkutuk!"

   Pragalbo membentak dan dia pun melawan dengan hebatnya. Kini tidak ada lagi sekelumit pun niat di hatinya untuk mundur.

   Akan tetapi sekali ini benar-benar pihak Puger terdesak dan terhimpit. Korban yang jatuh makin banyak dan semangat bertempur mereka pun mulai menurun, berbeda dengan semangat bertempur pihak Nusabarung yang makin menggelora. Agaknya, sebelum senja terganti malam, pasukan Puger sudah akan dapat dihancurkan dan dibinasakan sebagian besar perajuritnya dan mereka akan terpaksa melarikan diri atau menyerah, matahari telah condong ke barat namun perang campuh itu masih berlangsung terus.

   



    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KERIS MAUT

PENDEKAR GUNUNG LAWU

KEMELUT DI MAJAPAHIT