KEMELUT DI MAJAPAHIT JILID 35

   Debu mengebul tinggi memenuhi udara bercampur dengan pekik dan sorak mereka yang mengantar nyawa mereka yang tewas dalam perang yang haus darah itu. Mereka itu seperti bukan manusia lagi, melainkan sekelompok binatang buas yang haus darah. Darah berceceran di mana-mana, kilatan keris, pedang dan tombak yang berlumur darah menyilaukan mata, peluh bercucuran bersama dengan darah, dan sinar mata yang mencorong penuh nafsu membunuh sungguh mengerikan untuk dipandang. Yang ada hanyalah membunuh atau terbunuh inilah yang membuat mereka menjadi nekat.

   Naluri untuk menyelamatkan diri bercampur dengan nafsu untuk menang, yang membuat manusia lupa akan segala sesuatu, membuat manusia menjadi kejam luar biasa. Yang penting hanya menang, menang, dan untuk mencapai kemenangan itu, membunuh sesama manusia bukan apa-apa, bahkan merupakan hal yang terhormat dan tinggi nilainya! Itulah "kebudayaan"

   Perang dan celakanya,kebudayaan macam ini menjadi bagian penting dari "peradaban"

   Manusia! Kini kedua pihak sudah sama lelah sehingga teriakan-teriakan tidak bergitu terdengar lagi. Yang meramaikan suasana hanyalah bunyi dencing bertemunya senjata-senjata dibarengi dengus napas mereka dan kadang-kadang diseling teriakan mengerikan kalau ada manusia yang roboh dan tewas. Pihak Puger makin terdesak.

   Pertempuran antara Sulastri dan Sutejo juga nampak perubahan ketika Sutejo mempercepat gerakannya. Dalam benturan tenaga sakti, Sutejo mengeluarkan suara bentakan nyaring dan Sulastri terpental sampai beberapa meter lalu roboh terbanting. Melihat ini, Sariwuni yang sejak tadi mendesak Roro Kartiko namun belum berhasil mengalahkannya karena dara ini dibantu dua orang, cepat meloncat dan mengayun kerisnya menikam ke arah leher Sulastri. Sariwuni yang menyaksikan sikap Sutejo kini diam-diam mengerti bahwa gadis berpakaian pria inilah yang selalu disebut-sebut oleh suaminya. Pantas saja suaminya yang baru sekarang diketahui bernama Sutejo itu hanya mengenal dua nama, yaitu Sulastri dan Bromatmojo, yaitu nama dari dara itulah! Baru dia dapat menduga akan duduknya perkara. Tentu "ada apa-apa"

   Antara suaminya dan dara berpakaian pria yang sakti mandraguna itu, maka kini melihat Sulastri roboh, dia sudah menerjang untuk membunuhnya.

   "Isteriku, jangan...!"

   Sutejo melompat dan cepat menangkis tusukan itu.

   Lengannya berdarah karena kulitnya lecet oleh tusukan keris Sariwuni, akan tetapi Sulastri lolos dari bahaya maut. Dara ini sudah meloncat lagi, mukanya pucat dan matanya memandang dengan kemarahan meluap-luap. Akan tetapi dia tidak merasa bahwa ada dua titik air mata menempel di atas kedua pipinya, di bawah mata.

   Pada saat tentara Puger terdesak hebat, tiba-tiba terdengar sorak-sorai gegap gempita dan nampaklah pasukan baru yang datang menyerbu, langsung menyerang pasukan Nusabarung! Itulah pasukan bantuan dari Lumajang yang dipimpin oleh Maeso Pawagal! Seperti kita ketahui, melihat Sulastri meninggalkan Lumajang dan mendengar betapa Puger diserang oleh Nusabarung, Sang Adipati di Lumajang lalu mengutus Maeso Pawagal, seorang senopatinya, untuk memimpin seribu orang perajurit pilihan dan pergi ke selatan membantu Puger. Ketika tiba di Puger,Maeso Pawagal mendengar bahwa bala tentara Puger telah menyerang ke selatan,maka dia segera membawa pasukannya mengejar. Akhirnya, menjelang senja itu, dia tiba di pesisir dan melihat betapa pasukan Puger sedang terdesak hebat, maka dia lalu mengerahkan pasukannya untuk menyerbu. Kini gemparlah keadaan di medan perang itu dan pasukan Nusabarung menjadi panik.

   Kekuatan pasukan Lumajang masih segar dan tentu saja bantuan pasukan Lumajang ini membangkitkan kembali semangat pasukan Puger yang tadi sudah terdesak dan terhimpit itu. Sebaliknya, pasukan Nusabarung menjadi geger dan nyali mereka menyempit. Melihat gelagat yang tidak baik ini, apalagi karena senja telah mulai gelap, Menak Srenggo cepat membunyikan tanda untuk menarik mundur tentaranya.

   Mereka segera mundur dan lari berserabutan ke laut, di mana telah siap perahu-perahu mereka. Mereka berloncatan ke dalam perahu, dikejar-kejar oleh pasukan Puger dan Lumajang, meninggalkan mereka yang tewas dan terluka. Juga Sutejo, Sariwuni, dan Bandupati telah lebih dulu mengundurkan diri dan kembali ke Nusabarung. Sekali ini, biarpun tadinya pihak Nusabarung telah hampir merebut kemenangan, akhirnya mereka harus mengakui kekalahan karena bantuan dari Lumajang itu.

   "Keparat! Aku akan membujuk Kakang Adipati Menak Dibyo untuk sewaktu-waktu menyerbu dan menghajar Lumajang!"

   Menak Srenggo mengepal tinjunya di atas perahu ketika luka di paha kirinya dirawat oleh seorang ahli pengobatan. Sementara itu, Sutejo duduk termenung di perahu, membiarkan saja isterinya merangkulnya. Dia masih bingung dan betapapun dia memutar otaknya, dia tidak dapat mengingat siapa adanya tiga orang muda yang menjadi senopati Puger tadi.

   Dia merasa sudah mengenal baik dengan mereka itu, terutama sekali gadis berpakaian pria yang gagah perkasa tadi. Ada sesuatu yang aneh tergerak di dalam dadanya ketika dia bertemu dan bertanding dengan dara itu, sesuatu yang menyentuh perasaan dan amat mengharukan hatinya. Akan tetapi juga membuat dia bingung sekali. Apalagi mendengar nama Sutejo disebut orang, dia menjadi makin bingung karena nama ini pun amat dikenalnya!

   "Kakangmas, mereka itu menggunakan ilmu hitam untuk membikin bingung padamu. Sudahlah, jangan memikirkan mereka lagi. Untuk kekalahan ini, Ayah tentu akan membalas dendam."

   Sariwuni menghibur, biarpun hatinya sendiri merasa tidak enak,penuh dengan kegelisahan dan rasa cemburu mengingat akan sikap suaminya terhadap dara berpakaian pria tadi.

   Akan tetapi Sutejo diam saja dan menghadapi belaian dan rayuan wanita yang dianggapnya Sulastri dan yang menjadi isterinya itu dengan sikap dingin. Perahu-perahu itu membawa perajurit-perajurit Nusabarung, melaju karena layar-layarnya menerima hembusan angin sepenuhnya menuju ke Nusabarung. Hampir sepertiga jumlah pasukan mereka menjadi korban dalam perang itu.

   Biarpun pihaknya sendiri mengalami banyak korban yang jatuh, namun pasukan Puger kembali ke Puger dengan hati besar. Sang Adipati lalu mengadakan pesta untuk menghormati kedatangan pasukan Lumajang yang membantu dan untuk merayakan kemenangan. Beginilah perang! Perang dikobarkan oleh manusia yang memperebutkan kemenangan, karena kemenangan dianggap sebagai jalan menuju ke kemuliaan dan kesenangan. Demikian kejamnya perang, kejam dan palsu. Manusia menjadi tidak ada artinya sama sekali, dipermainkan oleh nafsu-nafsu beberapa orang yang berada di atas yang menghendaki kemenangan di pihaknya karena kemenangan ini akan memperkuat kedudukannya, akan mempertahankan kemuliaan dan kehormatannya, akan menjamin keselamatan dan kesenangannya. Dan untuk itu, semua rakyat dikerahkan untuk saling bunuh dengan musuh, yaitu manusia-manusia lain yang dianggap menghalangi kesenangannya atau membahayakan kedudukannya. Dan kalau perang sudah selesai, kemenangan dirayakan dengan pesta pora.

   Perajurit-perajurit yang masih hidup diberi hadiah, sekedar hiburan. Yang sakit dirawat dan diberi hadiah pula,sekedar hiburan. Yang mati akan dihormati namanya dan diingat untuk suatu saat tertentu, sekedar hiburan. Mereka ini hanya alat cukup dipelihara sekedarnya agar sewaktu-waktu dapat dipergunakan lagi apabila perlu. Dan yang benar-benar merayakan kemenangan ini adalah mereka yang benar-benar menang, mereka yang dapat mempertahankan kedudukan dan kesenangan bagi diri sendiri. Penderitaan rakyat atau para perajurit hanya diingat sewaktu-waktu saja, lalu dilupakan. Para keluarga perajurit yang tewas, kehilangan suami, ayah atau anak, dan sebagai gantinya menerima sekedar hiburan itu, juga hiburan batin bahwa mereka mengorbankan nyawa ayah, suami atau anak demi ini, demi itu yang muluk-muluk.

   Akan tetapi, betapa banyaknya di keheningan malam di kala mereka merindukan dia yang telah "gugur sebagai bunga", mereka bertanya-tanya kepada diri-sendiri mengapa terjadi ini semua? Mengapa nyawa manusia dikorbankan secara demikian sia-sia? Dapatkah kebahagiaan diperoleh dengan cara saling sembelih? Dapatkah kebenaran diraih dengan cara saling bunuh? Hati nurani bertanya-tanya. Mengapa kita suka perang? Mengapa kita suka bermusuhan? Mengapa kita membenci?

   Semua orang mengatakan ingin damai. Semua orang mengatakan ingin baik. Semua orang mengatakan ingin bersahabat, ingin dicinta. Betapa mungkin bicara tentang damai kalau kita masih suka bermusuhan? Hentikan permusuhan dan tanpa dicari perdamaian pun akan muncul. Betapa mungkin bicara tentang kebaikan kalau kita masih suka melakukan kejahatan. Hentikan perbuatan jahat dan tanpa dicari lagi kebaikan pun akan timbul. Yang penting adalah meneliti diri sendiri, mengenal diri sendiri, mengerti diri sendiri. Hal ini baru mungkin terlaksana kalau kita mengawasi diri sendiri setiap saat, memandang dan mendengarkan segala gerak-gerik diri sendiri lahir batin setiap saat, mengamati jalan pikiran sendiri, suara hati sendiri, sehingga akan nampaklah semua kepalsuan dan kebusukan diri sendiri.

   Kita selalu ingin merubah kedudukan, padahal keadaan itu adalah kenyataan,sedangkan keinginan merubah itu hanyalah khayal belaka. Kita pemarah, akan tetapi kita ingin menjadi penyabar. Mana mungkin ini? Nanti hanya akan muncul paksaan, sabar pura-pura dan palsu, dan itu bukanlah sabar namanya. Kesabaran akan ada kalau kemarahan sudah tidak ada. Jadi yang penting bukan mengkhayalkan kesabaran yang tidak ada, melainkan mempelajari kemarahan yang berada di dalam batin sendiri itulah! Aku marah! Aku adalah kemarahan itu sendiri adalah pikiran,dan pikiran adalah kemarahan itu sendiri. Kemarahan timbul karena pikiran mengingat-ingat hal yang merugikan Si aku lahir batin. Si aku juga Si pikiran itulah, pikiran membentuk aku dan kalau aku dirugikan, maka aku menjadi kemarahan! Aku marah, kemarahan itu tiada bedanya dengan aku, Si pikiran. Lalu aku tidak marah, pikiran yang sesungguhnya adalah kemarahan itu ingin lain, ingin sabar,ingin tidak marah.

   Mana mungkin? Sebaliknya tanpa ingin apa-apa, hanya mengamati diri-sendiri, yaitu kemarahan itu, maka kita akan mengenal diri sendiri. Pengenalan diri sendiri ini akan menimbulkan kewaspadaan dan pengertian, dan mendatangkan perubahan yang tidak dipaksakan oleh Si aku, yaitu pikiran itu sendiri pula. Kalau sudah terjadi perubahan, kalau sudah tidak ada kemarahan,maka tidak lagi dibutuhkan kesabaran yang dicita-citakan itu tadi. Demikian pula dengan perdamaian. Perdamaian yang dicita-citakan hanyalah permainan dari pikiran, permainan dari Si aku yang sedang berada dalam keadaan perang. Dalam keadaan perang mengkhayalkan perdamaian adalah omong kosong besar.

   Perang di dunia merupakan bentrokan keinginan yang berbeda-beda dan berlawanan dari bangsa-bangsa, dan bangsa-bangsa adalah masyarakat-masyarakat, dan masyarakat adalah kita, saya dan anda dan dia. Selama kita menjadi hamba dari keinginan-keinginan kita, mengejar keinginan yang diperluas dengan sebutan cita-cita dan sebagainya, maka sudah pasti akan terjadi bentrokan-bentrokan, konflik-konflik yang berupa bentrokan antar manusia, kemudian bentrokan antar ras, antar kelompok, antar suku, kemudian antara bangsa dan antara negara, juga antara agama dan politik! Hal ini sudah jelas sekali bagi siapa yang sudi membuka mata dan telinga dan tidak menutup mata terhadap kenyataan, lalu hanya ikut-ikutan saja kepada ajaran-ajaran lapuk yang diulang-ulang.



Di Puger sedang dirayakan pesta, tentu saja mereka yang pulang dengan badan utuh saja yang dapat bersenang-senang. Mereka yang terluka rebah merintih di atas pembaringan, ditangisi sanak keluarganya. Mereka yang tewas dan bahkan jenazahnya saja tidak dapat dibawa pulang, juga hanya tinggal nama yang diratap tangisi oleh anak isterinya. Sulastri juga menangis. Sepanjang perjalanan pulang ke Puger, dia sudah menangis dan kini dia menangis di dalam kamarnya. Semua ucapan hiburan dari Roro Kartiko tidak didengarnya dan dia masih menangis terisak-isak. Hatinya sakit bukan main.

   Sutejo telah berpihak kepada Nusabarung! Bukan itu saja. Sutejo tidak lagi mengenalnya atau mungkin memang tidak lagi sudi mengenalnya! Dan lebih dari itu lagi. Sutejo memanggil isterinya itu dengan Sulastri, yaitu namanya, bahkan Sutejo menggunakan nama Bromatmojo! Bukankah semua itu ditujukan untuk mengejeknyam untuk memukul batinnya? Sakit sekali hatinya!

   "Sudahlah, Mbakayu, jangan terlalu berduka. Saya yakin bahwa tentu ada apa-apa yang luar biasa terjadi pada diri Kakangmas Sutejo. Kalau tidak begitu, tidak mungkin rasanya dia bersikap seaneh itu. Mbakayu Sulastri,"

   Roro Kartiko berkata untuk ke sekian kalinya, akan tetapi Sulastri hanya menggeleng kepala sambil sesenggukan, bahkan menjambaki rambutnya sendiri seperti seorang anak kecil yang mengambek. Dengan air mata membasahi kedua matanya Roro Kartiko lalu meninggalkan Sulastri seorang diri dan diam-diam dia mendatangi Kakaknya, Joko Handoko yang juga sedang duduk bermuram durja dan termenung di dalam kamarnya.

   "Kakangmas, kasihan sekali Mbakayu Sulastri. Tak dapat aku menghiburnya..."

   Roro Kartiko menangis.

   Joko Handoko menarik napas panjang.

   "Aku tahu, Adikku, aku tahu..., memang terlalu sekali Dimas Sutejo...."

   "Jangan menyalahkan dia, Kakangmas. Aku tidak percaya bahwa Kakangmas Sutejo akan sengaja bersikap seperti itu. Tentu ada apa-apanya, ada rahasianya... dan aku akan pergi menyelidiki ke sana, Kakangmas."

   "Tidak, jangan, Diajeng. Akulah yang akan pergi menyelidiki ke sana dan mengingatkan Adimas Sutejo. Sebelum kau datang memang aku sudah merencanakan itu. Aku harus melakukan itu demi Sulastri..."

   "Tidak, aku harus pergi juga. Kakangmas, lupakah kau siapa adanya orang yang kucinta sepenuh hatiku di dunia ini? Selain engkau dan Mbakayu Sulastri, aku... aku hanya dapat mencinta seorang pria saja di dunia ini...."

   Joko Handoko menunduk.

   "Hemm, sungguh kasihan sekali engkau, Adikku. Kenapa nasib kita serupa benar? Engkau mencinta Sutejo dan aku mencinta Sulastri, akan tetapi mereka berdua tidak dapat membalas cinta kita karena mereka itu saling mencinta. Apalagi yang dapat kita lakukan untuk membalas budi mereka itu selain mempertemukan mereka? Marilah, Adikku, mari kita pergi bersama."

   "Kita harus menyamar sebagai Sriti Kencana dan mengajak empat orang pembantu kita yang paling setia, yaitu Ayu Kunti, Ambar, Tarmi dan Cempaka. Urusan ini harus dilakukan dengan sembunyi. Kalau kita berhasil menyelundup ke Nusabarung dan dapat bertemu dengan Kakangmas Sutejo, aku rasa dia tidak akan melupakan kita. Tadi pun sikapnya terhadap kita sudah menunjukkan bahwa dia masih ingat kepada kita."

   "Baik Adikku, mari kita mengadakan persiapan."

   "Demikianlah, tanpa diketahui seorang pun, kakak beradik ini bersama empat orang anak buahnya, mengenakan pakaian Sriti Kencana dan mereka berenam lalu lolos dari Puger, meninggalkan orang-orang yang masih dalam suasana pesta kemenangan itu, menuju ke selatan. Tak lama kemudian, enam orang yang berpakaian serba hitam ini sudah berlayar dalam sebuah perahu kecil menuju ke Nusabarung. Untung bagi mereka bahwa ombak laut di waktu itu sedang surut sehingga mereka dapat berlayar tanpa banyak kesukaran. Bulan sepotong di langit menerangi permukaan laut dan mereka dapat melihat Pulau Nusabarung yang seperti seekor ikan raksasa sedang timbul di permukaan air, kelihatan menyeramkan.

   Sementara itu, Sulastri yang ditinggalkan seorang diri di dalam kamarnya,menangis sepuas hatinya. Makin dia mengenangkan Sutejo, makin hancurlah hatinya,membuat hatinya merasa merana dan lenyaplah segala harapannya. Selama ini, masih ada sedikit harapan yang bernyala semacam dian kecil di hatinya bahwa sekali waktu dia akan dapat bertemu dengan pemuda itu dan mungkin segala hal akan dibikin terang. Selama ini dia merasa betapa telah bersikap terlalu terburu nafsu terhadap Sutejo. Kini dia dapat menduga apa yang telah terjadi di puncak Bromo. Mengingat akan watak Sutejo yang sudah-sudah, memang tidaklah mungkin kalau pemuda itu melakukan pembunuhan terhadap Gurunya. Tentu semua itu adalah perbuatan Resi Harimurti dan dia merasa gembira bahwa dia telah dapat membalas kematian Gurunya dan telah berhasil membunuh Resi Harimurti. Mengapa dia tidak pernah mau mendengarkan pembelaan diri dan penjelasan Sutejo?

   Akan tetapi, pertemuannya dengan Sutejo sebagai senopati Nusabarung ini menghapus semua harapan, memadamkan sedikit api harapannya. Sutejo telah menikah dengan puteri Adipati Nusabarung! Bahkan Sutejo telah mengejek dan mempermainkannya, dengan menggunakan namanya, nama aselinya yang diberikan kepada isterinya dan nama samarannya dipakainya sendiri! Betapa anehnya! Sulastri bangkit duduk, teringat kepada Roro Kartiko. Dia menoleh ke sana-sini mencari-cari, namun tidak melihat Roro Kartiko. Roro Kartiko tadi menghiburnya dan menyatakan berkali-kali bahwa tentu ada tersembunyi rahasia yang membuat Sutejo bersikap demikian tidak wajar. Tidak wajar?

   Memang! Kini dia teringat akan pandang mata pemuda itu. Memang ada sesuatu yang aneh pada pemuda itu. Ada sesuatu yang tidak wajar, seolah-olah Sutejo menjadi berubah wataknya, berubah ingatannya, seperti orang lupa segala. Dia tahu, dalam perang tanding siang tadi,kalau Sutejo menghendaki, tentu dia sudah roboh dan tewas oleh pemuda yang amat sakti mandraguna itu. Sutejo banyak mengalah dalam pertandingan tadi, bahkan Sutejo menyelamatkan dia ketika dia hendak dibunuh oleh Sariwuni! Apa artinya semua itu? Kini baru dia teringat bahwa dia tadi tidak pernah mempedulikan Roro Kartiko dan kini dia membutuhkan dara itu untuk diajak bicara tentang sikap Sutejo yang amat aneh itu.

   Cepat dia turun dari pembaringan dan keluar dari kamar itu, mencari-cari Roro Kartiko. Akan tetapi di luar pun tidak ada. Dia lalu menuju ke kamar suaminya dan ternyata kamar itu pun kosong. Dia merasa heran dan hatinya mulai merasa curiga dan tidak enak. Apalagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa para anggauta Sriti Kencana yang paling dekat dengan kakak beradik itu pun tidak nampak. Akhirnya dia bertemu dengan Sriwanti, seorang di antara anak buah Sriti Kencana.

   "Sriwanti, katakan, di mana adanya Kakangmas Handoko dan Diajeng Kartiko?"

   Dia bertanya.

   Sriwanti telah dipesan untuk tidak membocorkan kepergian enam orang itu, akan tetapi terhadap Sulastri tentu saja dia tidak berani menyangkal. Bukankah wanita ini adalah isteri Joko Handoko dan bahkan telah banyak berjasa terhadap Sriti Kencana sehingga tidak ada rahasia lagi baginya? Dengan sinar mata terheran-heran Sriwanti memandang wanita itu dan merasa heran mengapa isteri Joko Handoko sendiri sampai tidak tahu ke mana perginya rombongan Sriti Kencana itu.

   "Mereka berdua telah pergi bersama Ambar, Tarmi,

   Cempaka, dan Ayu Kunti. Berpakaian sebagai Sriti Kencana,

   sudah sejak tadi...."

   "Eh, ke mana mereka?"

   "Hamba-hamba tidak diberi tahu, hanya dipesan agar tidak mengatakan kepada siapa pun akan kepergian mereka. Akan tetapi terhadap Paduka hamba tidak berani menyembunyikan. Hamba tidak tahu ke mana mereka pergi...."

   Sulastri merasa terkejut sekali, alisnya berkerut dan dia termenung. Kemudian tiba-tiba dia teringat dan dia mengepal kedua tangannya, kemudian sekali berkelebat dia sudah lenyap dari depan Sriwanti, membuat wanita ini menjadi bengong dan kagum bukan main. Juga dia tidak mengerti mengapa kalau lain orang merayakan kemenangan perang itu, dua orang Gustinya dan wanita perkasa yang baru saja menghilang itu kelihatan sama sekali tidak gembira.

   Sementara itu, enam orang Sriti Kencana yang telah berlayar dengan perahu menuju ke Nusabarung, telah berhasil mendarat di pulau itu. Untung bagi mereka bahwa keadaan pulau itu tidak terjaga terlalu kuat, bahkan para penjaga sudah pergi tidur karena selain mereka itu semua letih setelah melakukan perang selama beberapa hari ini, juga mereka mengira bahwa setelah terjadi perang itu, tidak mungkin pihak musuh akan dapat menyerbu, karena betapapun juga, pihak musuh telah kehilangan banyak korban dan juga tentu telah berada dalam keadaan letih sekali.

   Enam orang itu mendarat dan menyembunyikan perahu, meninggalkan dua orang menjaga perahu agar mempersiapkan perahu kalau-kalau mereka nanti membutuhkan untuk melarikan diri dengan secepatnya. Kemudian Joko Handoko dan Roro Kartiko mengajak dua orang pembantunya, yaitu Ayu Kunti dan Cempaka yang memiliki kepandaian paling tinggi di antara empat orang anggauta Sriti Kencana, untuk menyelundup ke dalam pulau dan melakukan penyelidikan. Mereka berpencar menjadi dua, Roro Kartiko dan kakaknya membelok ke kiri dan kedua orang anggauta Sriti Kencana itu disuruh menyelidiki ke kanan dan mereka berjanji untuk kembali ke perahu sebelum fajar menyingsing.

   Roro Kartiko dan Joko Handoko melakukan perjalanan cepat memasuki pulau itu,berlindung di kegelapan bayangan-bayangan pohon dan akhirnya mereka tiba di bangunan-bangunan besar di tengah pulau. Karena malam itu di atas Pulau Nusabarung terdapat awan yang bergumpal-gumpal sehingga sering kali bulan sepotong tidak nampak, maka keadaannya cukup gelap bagi dua orang yang berpakaian hitam ini untuk menyelinap tanpa dicurigai oleh para penjaga yang bermalas-malasan itu. Karena kegelapan itu, maka akhirnya tanpa banyak kesulitan mereka dapat menemukan gedung kadipaten yang cukup besar dan megah. Juga di tempat ini penjagaan tidak begitu ketat. Memang Kadipaten Nusabarung merupakan sebuah pulau, maka tentu saja tidak memerlukan penjagaan ketat di sekitar kadipaten karena musuh hanya bisa datang dari luar pulau, sedangkan di dalam pulau itu semua adalah perajurit atau anak buah Kadipaten Nusabarung.

   Joko Handoko dan Roro Kartiko maklum bahwa kalau Sutejo telah menjadi mantu Adipati Nusabarung, maka dia tentu tinggal di dalam gedung kadipaten atau di dekatnya, maka mereka berdua lalu menyelinap ke dalam taman istana atau gedung besar kadipaten itu, lalu memasukinya melalui pintu belakang. Dengan kepandaian mereka, kedua orang kakak beradik ini akhirnya dapat mengintai ke dalam ruangan belakang di mana mereka melihat dua orang putera dan puteri Adipati Nusabarung, yaitu Bandupati dan Sariwuni, sedang sibuk bercakap-cakap dengan suara lirih.

   "Sari, perlukah itu? Aku khawatir kalau terlalu banyak engkau memberi sari akar Lalijiwo kepada Dimas Bromatmojo, hal itu akan merusak kesehatannya kelak. Sudah lama dia menjadi suamimu, perlukah engkau dibantu oleh Lalijiwo lagi?"

   "Kakang Bandu, melihat sikapnya di medan perang siang tadi, sungguh hatiku merasa khawatir sekali. Kiranya itulah wanita yang bernama Sulastri, dan agaknya nama Bromatmojo adalah nama samaran wanita itu pula! Dan nama Kakangmas Bromatmojo sesungguhnya adalah Sutejo! Ah, kalau dalam keadaan lupa segala dia masih teringat akan nama Sulastri dan nama samaran wanita itu, agaknya dahulu... dia amat mencinta Sulastri. Kini mereka saling berjumpa dan kulihat wanita itu memang selain cantik juga amat sakti mandraguna, maka aku khawatir sekali, Kakang. Dia harus diberi minum lebih banyak lagi."

   "Ah. Sari adikku yang manis. Dia telah menjadi suamimu, andaikata dia teringat akan masa lalu sekalipun, apa gunanya baginya? Dia adalah suamimu yang sah dan dia telah menerima banyak budi kebaikan dari kita, tentu dia tidak akan melupakan begitu saja. Pula aku mendengar bahwa senopati wanita yang ternyata adalah Sulastri itu adalah anak mantu Adipati Puger. Andaikata mereka berdua dulu memang saling mencinta, akan tetapi kalau keduanya telah menikah dengan orang-orang lain, mereka akan dapat berbuat apakah?"

   Sariwuni menarik napas panjang akan tetapi dia melanjutkan kesibukannya membuat ramuan obat, cairan jamu berwarna hijau dari perasan akar Lalijiwo dan rempah-rempah lainnya.

   "Biarpun begitu, hatiku merasa tidak enak, Kakang. Aku melihat dia sekarang termenung dan jelas kelihatan berduka dan murung. Agaknya, kalau dia sampai teringat masa lalu, tentu dia akan jatuh cinta kembali kepada wanita itu. Kalau saja kami mempunyai anak, tentu tidak begini khawatir hatiku. Akan tetapi semenjak dahulu, dia tidak pernah bersikap mesra yang sedalamnya terhadap diriku,seolah-olah ada jurang pemisah di antara kami. Kakang, aku... aku sudah terlanjur jatuh cinta kepadanya, dan aku takut kehilangan dia...."

   "Hemm, kita semua juga tidak ingin kehilangan dia, Adikku. Dia merupakan tenaga bantuan yang amat hebat dan amat berharga bagi Nusabarung. Akan tetapi, alangkah baiknya kalau dia menjadi adik iparku dan menjadi senopati Nusabarung dalam keadaan sadar, tidak seperti yang sudah-sudah, seperti patung hidup karena pengaruh Lalijiwo...."

   "Kakang, apakah kau berani tanggung kalau dia tidak kuberi Lalijiwo, lalu dia teringat akan segala hal dan kemudian lari meninggalkan aku dan meninggalkan Nusabarung?"

   "Ah, memang bahayanya terlalu besar... sudahlah terserah kepadamu, Adikku. Dia adalah suamimu."

   "Justru sekarang ini dia harus minum lebih banyak lagi sari Lalijiwo untuk membuat dia melupakan perempuan jahanam itu!"

   Sariwuni lalu membawa cawan terisi jamu itu memasuki sebuah pintu yang berada di sebelah kiri ruangan di mana dia tadi bercakap-cakap dengan Bandupati. Pemuda raksasa tampan ini menarik napas panjang, menggeleng-geleng kepala lalu pergi dari situ.

   Roro Kartiko menyentuh lengan kakaknya, kemudian mereka menanti sampai Bandupati pergi dan tidak terdengar lagi langkahnya, mereka lalu cepat memasuki ruangan yang sunyi itu dan berindap-indap memasuki pintu di mana mereka tadi melihat Sariwuni pergi membawa cawan berisi jamu. Jantung kakak dan adik ini berdebar keras. Sekarang mereka berdua mengerti apa yang terjadi dengan diri Sutejo. Kiranya pemuda itu telah diberi minum racun yang bernama Lalijiwo sehingga Sutejo lupa segala-galanya, bahkan agaknya telah lupa akan namanya sendiri dan yang diingatnya hanyalah dua nama, yaitu Sulastri dan Bromatmojo. Nama Sulastri kemudian dipakai oleh Sariwuni dan nama Bromatmojo dipakai sendiri oleh Sutejo.

   Melihat kenyataan ini, jantung kedua orang kakak beradik ini seperti ditusuk ujung keris berkarat. Jelaslah betapa Sutejo tetap mencinta Sulastri! Sebetulnya, penyelidikan mereka telah berhasil. Mereka telah dapat membongkar rahasia keanehan yang meliputi diri Sutejo. Akan tetapi mendengar dan melihat Sariwuni hendak mencekoki Sutejo dengan sari akar Lalijiwo yang lebih kuat lagi,tentu saja mereka berdua tidak dapat tinggal diam.

   Keduanya lalu menyelinap dan mengejar dengan niat untuk menyelamatkan Sutejo, sungguhpun mereka berdua maklum bahwa perbuatan mereka ini amat berbahaya sekali. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

   "Mata-mata hina, sungguh berani mati mengantarkan nyawa!"

   Dan secara tiba-tiba saja muncullah Menak Srenggo dari sebuah pintu dan menghadang kakak beradik itu!

   Joko Handoko dan Roro Kartiko terkejut bukan main melihat kakek raksasa ini menghadang di depan mereka. Mereka berdua cepat mencabut keris dan hendak menyerang, akan tetapi dengan tertawa Menak Srenggo bertepuk tangan tiga kali dan dari semua penjuru muncullah belasan orang pengawal yang bertubuh tinggi besar. Dengan sikap mengancam dan menyeramkan belasan orang itu, dipimpin oleh Menak Srenggo, telah mengurung kakak beradik ini yang berdiri saling membelakangi dan siap untuk membela diri.

   "Ha-ha-ha, kiranya Joko Handoko dan Roro Kartiko yang berani datang di sini. Bukan main! Sungguh berani sekali! Heran, mengapa Adipati Puger mengutus putera dan puteri angkatnya sendiri menjadi mata-mata? Apakah Puger sudah kehabisan jago? Hayo kurung dan bunuh mereka!"

   Akan tetapi sebelum para pengawal bergerak, terdengar seruan nyaring.

   "Tahan!"

   Semua orang berhenti bergerak dan ternyata yang muncul adalah Bandupati. Ketika Bandupati mendengar suara ribut-ribut itu, dan cepat menghampiri dan alangkah kaget dan juga girang serta heran rasa hatinya ketika dia mengenal putera dan puteri Adipati Puger! Terutama sekali melihat Roro Kartiko yang telah menggerakkan hatinya itu, dia benar-benar merasa girang sekali. Tanpa dicari, ternyata dara yang membuatnya tergila-gila itu telah datang sendiri!

   "Jangan bunuh mereka! Jangan sampai lukai mereka. Tangkap mereka hidup-hidup, mereka adalah putera dan puteri Adipati Puger, calon tawanan-tawanan kita yang amat berharga!"

   Teriak Bandupati. Munculnya Bandupati ini menyelamatkan nyawa Joko Handoko dan Roro Kartiko, akan tetapi tetap saja mereka tidak sudi kalau dijadikan tawanan maka ketika Bandupati dibantu oleh Menak Srenggo menyerang, mereka membela diri dan menyambut dengan keris di tangan.

   Bandupati menubruk untuk menangkap Roro Kartiko, akan tetapi dara ini dengan cekatan menyambut tubrukan itu dengan kerisnya yang menyambar ke arah dada. Karena mereka berdua merasa tidak ada gunanya lagi menyembunyikan wajah mereka,maka mereka sudah merenggut lepas kain hitam yang menutupi muka. Tadinya mereka bersama empat orang anak buah mereka mengenakan pakaian Sriti Kencana dan muka mereka sebagian besar, dari bawah mata ke bawah, ditutupi kain hitam. Sungguh tidak mereka sangka bahwa mereka akan terlihat oleh Menak Srenggo dan tentu saja Menak Srenggo yang pernah menjadi senopati Puger itu segera mengenal mereka.

   "Eh... hebat juga Andika, puteri yang manis!"

   Bandupati berseru dan cepat dia mengelak dari sasaran keris.

   "Bukankah namamu Dyah Roro Kartiko? Wong ayu, lebih baik engkau dan kakakmu menyerah saja. Sayang sampai kalau lecet kulitmu yang halus. Daripada bermusuhan, bukankah lebih baik kita bersahabat?"

   Bandupati berkata sambil tersenyum dan memandang kagum.

   "Siapa sudi bersahabat dengan orang macam engkau?"

   Roro Kartiko memaki dan dia cepat menerjang lagi. Namun Bandupati yang memiliki kepandaian tinggi itu sudah mengelak dengan mudahnya. Di lain pihak, Joko Handoko juga sudah diserang oleh Menak Srenggo yang dia tahu memang amat digdaya itu, akan tetapi orang muda ini tidak merasa gentar dan mengamuk seperti banteng terluka.

   "Pergunakan tali! Tangkap mereka hidup-hidup!"

   Bandupati berseru dan kini para pengawal sudah mempersiapkan tali-tali yang dibuat seperti laso. Dikepunglah Joko Handoko dan Roro Kartiko dan tali-tali itu beterbangan dari semua penjuru, merupakan laso-laso yang menyambar ke arah kepala mereka.

   Dua orang kakak beradik itu tentu saja menjadi sibuk sekali. Mereka berusaha mengelak, menangkis dan merobohkan para pengeroyok, akan tetapi kesibukan ini membuka kesempatan kepada Bandupati dan Menak Srenggo untuk menerkam ke depan. Kedua lengan Joko Handoko dan Roro Kartiko dapat ditangkap, ditelikung dan di lain saat para pengawal telah menubruk dan mengikat kaki tangan mereka dengan tali sehingga mereka tak mampu bergerak pula. Para pengawal lalu diperintahkan untuk mundur. Bandupati memondong tubuh Roro Kartiko dan Menak Srenggo menyeret tubuh Joko Handoko, keduanya lalu memasuki sebuah ruangan dalam di mana duduk Sariwuni dan Sutejo.

   "Kakang Bandu, apakah ribut-ribut itu? Eh, bagaimana mereka ini dapat kau tangkap?"

   Sariwuni berseru heran sambil memandang dua orang tawanan itu yang sudah diturunkan oleh Bandupati dan Menak Srenggo. Biarpun kaki tangan mereka dibelenggu, Joko Handoko dan Roro Kartiko berdiri dan memandang dengan mata mendelik penuh kemarahan, dan mereka memandang kepada Sutejo dengan sinar mata penuh rasa penasaran, akan tetapi juga mengandung kegelisahan dan kasihan karena mereka berdua maklum betapa pemuda yang gagah perkasa ini sama sekali tidak berdaya, seperti patung hidup dan kehilangan ingatan di bawah pengaruh racun yang dilolohkan kepadanya oleh putera-puteri Adipati Nusabarung yang kejam itu.

   Ketika Sutejo melihat dua orang tawanan itu, dia memandang seperti orang linglung dan bingung, akan tetapi dia mengerutkan alisnya dan bangkit berdiri sejenak memandang bergantian kepada Roro Kartiko dan Joko Handoko. Lalu bertanya.

   "Siapakah mereka ini? Mengapa mereka ditangkap dan dibelenggu?"

   Adimas Bromatmojo, apakah engkau lupa lagi? Mereka adalah putera dan puteri Adipati Puger. Mereka datang ke sini sebagai mata-mata Puger yang hendak menyelidiki keadaan kita, akan tetapi untung Paman Menak Srenggo melihat mereka sehingga mereka dapat ditangkap. Ha-ha, Adimas Bromatmojo, inilah puteri Puger yang cantik dan mengagumkan hatiku itu. Aku jadi ingat akan usulmu untuk berdamai dengan Puger dan melamar puteri Sang Adipati. Dan ternyata dia sendiri telah datang ke sini sebelum kulamar, ha-ha-ha!"

   "Kakangmas Sutejo! Ingatlah, Kakangmas, sadarlah! Engkau adalah Kakangmas Sutejo! Lupakah engkau akan namamu sendiri? Ingatlah betapa Mbakayu Sulastri selalu menanti-nantimu! Dan nama Bromatmojo adalah nama Mbakayu Sulastri kalau menyamar sebagai pria. Ingatlah, Kakangmas Sutejo!"

   Tiba-tiba Roro Kartiko berseru nyaring. Dua orang putera dan puteri Adipati Nusabarung itu tidak mencegah.

   Memang mereka hendak menguji Sutejo dan mereka memandang kepada orang muda itu penuh perhatian. Sutejo kelihatan makin bingung. Dia memandang dara yang bicara itu dengan alis berkerut.

   "Apa... apa artinya kata-katamu itu? Siapa Sutejo? Aku seperti mengenal nama itu, dan Sulastri...? Sulastri...?"

   Dia memandang kepada Sariwuni, kepada isterinya yang selalu dikenalnya sebagai Suastri.

   Sariwuni mendekati suaminya yang kembali duduk dengan alis berkerut dan dengan jari tangan memijit-mijit pelipis kepalanya itu. Sariwuni datang membawa secawan jamu yang tadi belum sempat diminum oleh Sutejo karena terjadi keributan tadi.

   "Kakangmas Bromatmojo, perlu apa mendengarkan ocehan pihak musuh? Mereka ini datang sebagai mata-mata dan sengaja hendak mengacaukan pikiran. Nah, kau minumlah jamu ini,Kakangmas. Jamu ini akan menghilangkan pening di kepalamu dan membuat pikiranmu tenang kembali."

   Tanpa memperdulikan dua orang tawanan itu, dengan sikapnya yang manja, dengan langkah yang lemah gemulai dan lenggang yang membuat pinggulnya yang penuh montok itu menonjol dan bergerak-gerak hidup, Sariwuni menghampiri Sutejo sambil membawa jamu dalam cawan terbuat daripada emas itu.

   "Perempuan iblis! Terkutuklah engkau! Kakangmas Sutejo, jangan mau minum! Itu adalah racun Lalijiwo dan karena minuman itulah maka engkau kehilangan ingatanmu!"

   Setelah berkata demikian, dengan nekat Roro lalu mengerahkan seluruh tenaganya dan biarpun kedua kaki dan tangannya terikat, tiba-tiba tubuhnya sudah mencelat ke atas dan dengan kedua kakinya dia telah menerjang Sariwuni! Kejadian ini sama sekali tidak disangka-sangka oleh semua orang. Bagaimana mungkin dalam keadaan terbelenggu kaki dan tangannya itu, dara Puger ini masih berani melakukan serangan senekat itu? Banduapti dan Menak Srenggo juga sama sekali tidak pernah menyangkanya, maka mereka tidak sempat mencegah. Sariwuni sendiri juga tidak menyangka, maka ketika tiba-tiba tubuh Roro Kartiko itu menerjang ganas, dia terkejut bukan main.

   "Ehhh...!"

   Dia berteriak, mencoba menghindar akan tetapi gerakannya itu membuat cawan jamu itu miring dan isinya tumpah keluar, sedangkan kedua kaki Roro Kartiko tetap saja mengenai pundaknya sehingga Sariwuni roboh terguling! Bersama robohnya tubuh Sariwuni, tubuh Roro Kartiko juga terguling karena dengan kedua kakinya terbelenggu tentu saja dia tidak dapat bergerak leluasa.

   Semua orang terkejut, akan tetapi tidak merasa khawatir karena biarpun tendangan tadi amat keras, namun tidak membahayakan keselamatan Sariwuni dan hanya menumpahkan obat di dalam cawan. Akan tetapi, Sariwuni menjadi marah bukan main. Mukanya merah dan matanya mengeluarkan sinar berapi-api. Dia meloncat bangun,memandang kepada Roro Kartiko yang tak dapat bangun kembali itu dengan mata mendelik.

   "Perempuan jahanam, kau sudah bosan hidup!"

   Secepat kilat Sariwuni menubruk dengan tangan mencabut kerisnya.

   "Sari..., jangan...!"

   Banduputi mencoba untuk mencegah, akan tetapi terlambat karena Sariwuni sudah menubruk dan sekali ayun, kerisnya menancap ke ulu hati Roro Kartiko.

   "Plakk...!"

   Sariwuni terhuyung ke belakang ketika lengannya ditampar oleh Sutejo, akan tetapi kerisnya tertinggal di dada Roro Kartiko dan menancap sampai ke gagangnya.

   "Kenapa... kenapa kau membunuh dia...?"

   Sutejo bertanya gagap dan menjadi bingung. Ucapan Roro Kartiko tadi benar-benar mendatangkan kebingungan di dalam hatinya, seolah-olah angin badai yang menggoyahkan akar-akar yang telah lama terpedam. Akan tetapi dia masih belum dapat menerobos awan gelap yang menyelimuti pikirannya. Karena tadi dia termangu-mangu dan termenung bingung, maka dia juga tidak sempat mencegah Sariwuni menyerang Roro Kartiko. Dengan bingung Sutejo berlutut dan mengangkat leher Roro Kartiko, memandang dada yang sudah menjadi sarung keris itu. Roro Kartiko mengeluh akan tetapi ketika memandang wajah Sutejo, dia tersenyum. Teriakan Joko Handoko memanggil namanya tidak diperdulikannya.

   "Adikku... Roro..."

   Joko Handoko hanya dapat berseru dengan hati seperti ditusuk rasanya, matanya terbelalak dan mukanya pucat.

   Sutejo masih memandang wajah dara itu, lalu perlahan-lahan dia berkata.

   "Andika adalah puteri Adipati Puger, kenapa datang ke sini seperti ini...? Ah, Andika terluka parah, tak mungkin dapat tertolong lagi..."

   Roro Kartiko masih tersenyum.

   "Kakangmas Sutejo, aku datang untuk menyelamatkanmu... ingatlah, aku Roro Kartiko yang pernah kau bantu berkali-kali, aku dan Kakangmas Handoko adalah putera-puteri bekas Bupati Progodigdoyo. Ingat? Ayahku berdosa besar kepadamu, kepada keluargamu, biarlah aku mati dalam membelamu, Kakangmas. Ingatlah, engkau adalah Kakangmas Sutejo, dan Mbakayu Sulastri menanti-nantimu di Puger. Kau berada dalam cengkeraman orang-orang Nusabarung..."

   "Tutup mulutmu, perempuan rendah!"

   Sariwuni membentak dan menerjang maju, akan tetapi Sutejo memalangkan lengannya dan pada saat itu Roro Kartiko tersenyum dan menghembuskan napas terakhir. Agaknya dara ini rela mati di dalam rangkulan Sutejo. Sutejo merebahkan tubuh itu di atas lantai, lalu bangkit berdiri memandang isterinya, dan menarik napas panjang.

   "Sulastri, isteriku, sungguh aku tidak mengerti mengapa seringkali engkau melakukan hal-hal yang tidak menyenangkan hatiku?"

   Sariwuni merangkul suaminya dan menarik tangan suaminya itu untuk duduk kembali, lalu dia duduk di atas pangkuan suaminya dan mencium pipinya, lalu berkata merengek manja.

   "Suamiku, Kakangmas Bromatmojo, kenapa kau berkata demikian? Apakah kau tidak melihat betapa tadi dia menyerangku dan hampir membunuhku? Bahkan dia telah menumpahkan obat untukmu. Siapa yang tidak marah?"

   Sutejo menarik napas panjang, menoleh kepada Joko Handoko yang memandang kepada mayat Adiknya dengan air mata bercucuran.

   "Ah, permusuhan yang tiada habisnya ini sungguh tidak menyenangkan. Tadinya Kakang Bandupati berniat memperisteri puteri Puger, kini telah kau bunuh."

   "Dimas Bromatmojo, dia memang cantik dan aku suka kepadanya. Akan tetapi perbuatannya tadi memang keterlaluan dan setelah dia dibunuh adikku, sudahlah. Itu adalah salahnya sendiri. Kita masih mempunyai putera Adipati Puger untuk sandera dan dapat kita pergunakan untuk menekan Sang Adipati di Puger agar supaya takluk."

   "Kalian pengecut-pengecut hina!"

   Tiba-tiba Joko Handoko berteriak dengan air mata masih mengalir di kedua pipinya.

   "Kalian membunuh adikku setelah adikku tidak berdaya dan terbelenggu! Kalian manusia-manusia berhati iblis! Sutejo, dahulu engkau kami anggap sebagai seorang satria utama yang gagah perkasa, dan kami merasa berdosa kepadamu karena ayah kami telah mencelakakan keluarga Ibumu. Akan tetapi sekarang, ternyata engkau hanyalah menjadi permainan perempuan cabul yang hina dina ini! Sungguh engkau mengecewakan sekali!"

   "Desss...! Plak-plak-plakk!"

   Sariwuni sudah meloncat dan menendang lalu menampari muka Joko Handoko sehingga orang muda ini tidak dapat melanjutkan makiannya dan kalau saja Bandupati tidak mencegah Sariwuni, tentu wanita ini sudah membunuhnya pula.

   "Manusia hina! Berani engkau memaki suamiku?"

   Sariwuni memaki-maki.

   "Sudahlah, Adikku yang manis. Sudahlah, kalau kau membunuhnya pula, tidak ada artinya lagi kita berhasil menangkap mereka."

   "Kakang Bandu benar, isteriku. Kita tidak boleh membunuh tawanan yang telah tidak berdaya,"

   Sutejo berkata dan alisnya selalu berkerut karena dia sekarang mulai merasa aneh dan menduga tentu terjadi hal-hal yang luar biasa sehingga orang-orang muda dari Puger itu menyebutnya Sutejo dan bicara seperti itu.

   Pada saat itu, terdengar suara gaduh dan empat orang pengawal memasuki ruangan sambil menyeret tubuh dua orang wanita yang luka-luka. Joko Handoko makin terkejut melihat bahwa yang diseret masuk dalam keadaan terbelenggu pula itu bukan lain adalah Ayu Kunti dan Cempaka. Tubuh kedua orang pembantunya itu luka-luka dan pakaian mereka robek-robek sehingga nampak kulit tubuh mereka yang putih di balik pakaian robek. Joko Handoko memejamkan mata dengan ngeri, dapat membayangkan betapa tangan-tangan kurang ajar dari para perajurit pengawal Nusabarung tentu telah mempermainkan tubuh kedua orang pembantunya yang masih muda dan cantik itu.

   Sementara itu, Ayu Kunti dan Cempaka ketika melihat Joko Handoko terbelenggu, sedangkan Roro Kartiko menggeletak dalam keadaan terbelenggu, mandi darah dan agaknya telah tewas, juga menjadi terkejut bukan main dan seketika mereka menangis sesenggukan. Ketika tadi ketahuan, dikeroyok, ditangkap dan banyak tangan mencomoti tubuh mereka, dua orang anggauta Sriti Kencana yang gagah ini sama sekali tidak pernah mengeluh. Akan tetapi kini menyaksikan Roro Kartiko telah tewas, mereka benar-benar tak dapat menahan lagi kesedihan mereka.

   "Raden... harap maafkan kami... kami telah ketahuan dan gagal..."

   Ayu Kunti berkata kepada Joko Handoko, akan tetapi Joko Handoko tidak menjawab, hanya memejamkan matanya. Memang sudah disengaja dari Puger untuk datang ke Nusabarung dengan maksud menolong Sutejo. Kalau gagal, sudahlah. Memang dia dan adiknya sudah siap untuk mengorbankan nyawa demi Sutejo dan terutama sekali demi Sulastri! Dia ikut bersama adiknya mencoba untuk mengingatkan dan menyelamatkan Sutejo demi Sulastri. Kini mereka telah gagal, adiknya telah tewas, maka dia pun tidak mempunyai keinginan lain kecuali tewas pula seperti adiknya. Hidup pun sudah tidak ada artinya lagi baginya. Kehidupannya telah sia-sia, kebahagiaannya telah kandas semenjak dia menikah dengan Sulastri!

   Melihat tertangkapnya lagi dua orang wanita muda, Sutejo berkata.

   "Kakang Bandu, kuharap engkau suka memaafkan mereka dan membebaskan mereka demi mencapai perdamaian dengan Puger."

   "Ha-ha, tentu saja, Dimas Bromatmojo. Sudah kukatakan bahwa kematian Roro Kartiko ini adalah kesalahannya sendiri. Tadinya pun kami sama sekali tidak ingin membunuhnya. Kami akan menggunakan tiga orang ini sebagai sandera untuk menekan Adipati Puger agar suka menyerah saja dan..."

   Tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar jendela yang besar dari ruangan itu.

   "Hei, tahan...! Tahan..., aduh... ahhh...!"

   Terdengar suara gedubrakan dan nampak dua orang pengawal terlempar masuk,menabrak daun jendela yang menjadi runtuh. Dua orang pengawal itu roboh terbanting ke dalam ruangan itu dengan kepala pecah! Dan seperti kilat menyambar, sesosok bayangan berkelebat masuk dan tahu-tahu di situ telah berdiri Sulastri yang berpakaian wanita dengan sikap gagah perkasa, sepasang mata berkilat-kilat dan kedua tangan terkepal, kedua kaki terpentang lebar, sikapnya seperti seekor naga betina yang sedang mengamuk. Dengan sepasang mata tajam bersinar-sinar dan penuh keberanian, Sulastri memandang ke kanan kiri, menatap wajah setiap orang yang hadir. Akan tetapi ketika pandang matanya bertemu dengan wajah Roro Kartiko, seketika matanya terbelalak, mukanya agak pucat dan dia cepat menoleh ke arah wajah suaminya, Joko Handoko!

   "Dia... dia telah tewas... dibunuh secara pengecut oleh perempuan iblis itu, dan... dan Dimas Sutejo tidak sempat menolongnya... ah, dia telah sengaja mengorbankan diri untuk kalian..."

   
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Kata Joko Handoko yang tak dapat melanjutkan kata-katanya karena dia terisak menangis.

   Perlahan-lahan kepala Sulastri bergerak, menoleh sampai dia bertemu pandang mata dengan Sutejo. Sesaat dua pasang pandang mata itu bertemu, bertaut dan Sutejo merasa jantungnya tergetar hebat, akan tetapi tetap saja dia tidak dapat mengingat siapa adanya wanita yang demikian hebat mempengaruhi batinnya. Melihat betapa kedua orang itu saling pandang sedemikian lamanya, timbul kekhawatiran di dalam hati Sariwuni dan dia cepat merangkul pundak Sutejo dan berkata.

   "Kakangmas, inilah wanita yang mengaku bernama Sulastri, dan karena dia bernama seperti itu, maka sejak saat ini biarlah aku membuang nama Sulastri dan memakai namaku yang ke dua saja, yaitu Sariwuni. Kakangmas, dia adalah isteri mata-mata itu, isteri putera Adipati Puger. Agaknya dia datang untuk menolong suaminya."

   Sulastri sudah marah sekali mendengar penuturan Joko Handoko tadi bahwa Roro Kartiko dibunuh oleh wanita ini. Kini mendengar ucapan wanita itu dan sikapnya yang merangkul pundak Sutejo dengan mesra, kemarahannya sudah tak tertahankan lagi. Terdengar suara lengking menyeramkan keluar dari tenggorokan wanita perkasa itu dan tiba-tiba tubuhnya sudah melesat bagaikan seekor burung walet saja, dia sudah menerjang ke arah Sariwuni yang masih merangkul leher suaminya.

   "Dukk... dess!!"

   Tubuh Sariwuni tergelimpang, akan tetapi tubuh Sulastri juga terpental karena tadi ketika Sariwuni menangkis, Sutejo juga mengangkat tangannya menangkis. Tangkisan Sutejo inilah yang membuat dia terhuyung ke belakang.

   "Sutejo, engkau membela perempuan sesat itu? Bagus, majulah!"

   Sulastri membentak marah.

   "Dia... dia isteriku... harap kau jangan membikin kacau di sini,"

   Kata Sutejo bingung.

   Sariwuni telah bangkit berdiri.

   "Kakangmas Bromatmojo, cepat kau bunuh perempuan itu!"

   Teriaknya.

   Mendengar ini, Sulastri marah bukan main.

   "Inilah Bromatmojo! Akulah Bromatmojo, murid puncak Bromo! Kalian semua boleh maju!"

   belasan orang pengawal yang sudah berkumpul di situ serentak maju menyerang, menggunakan senjata masing-masing.

   Namun, dengan menggerakkan kaki tangannya, dalam sekejab mata saja Sulastri telah merobohkan empat orang pengeroyok. Kemudian, dia mengeluarkan suara teriakan dahsyat dan tubuhnya seperti lenyap dan kadang-kadang nampak di sana-sini,seperti telah berubah menjadi banyak orang. Demikian cepat gerakannya, menyambar-nyambar dan terdengar pekik kesakitan berganti-ganti disusul robohnya para pengawal yang mengepung itu sehingga dalam waktu singkat saja belasan orang pengawal telah roboh dan tak dapat bangun kembali! Ruangan itu penuh dengan mayat dan tubuh mereka yang terluka, malang melintang dan berserakan! Bandupati, Sariwuni, dan Menak Srenggo memandang dengan mata terbelalak. Menak Srenggo maklum akan kesaktian wanita itu, akan tetapi sungguh tak pernah disangkanya betapa dalam keadaan marah, Sulastri menjadi makin dahsyat sehingga menggiriskan hatinya.

   "Hayo serbu, keroyok, maju semua!"

   Menak Srenggo berteriak keras untuk menyembunyikan perasaan girisnya.

   "Hamuk-hamuk suramrata jayamrata! Orang-orang Nusabarung, majulah semua. setapak pun Sulastri tidak akan mundur! Inilah Bromatmojo, anak Bromo!"

   Sulastri berteriak menantang, suaranya nyaring dahsyat sehingga Joko Handoko sendiri yang duduk terbelenggu dan bersandar dinding merasa ngeri. Dia tahu bahwa hati "isterinya"

   Itu tertindih dan merasa berduka sekali, bukan hanya karena kematian Roro Kartiko, akan tetapi terutama sekali karena keadaan Sutejo, maka diam-diam dia merasa terharu dan kasihan di samping perasaan khawatir akan keselamatan wanita yang menjadi isterinya dalam sebutan saja itu.

   Melihat kesaktian wanita itu, Bandupati dan Sariwuni, dibantu Menak Srenggo dan belasan orang pengawal yang sudah masuk ke dalam ruangan menggantikan belasan orang yang sudah roboh, mulai mengurung. Di luar ruangan itu masih terdapat banyak sekali pengawal, akan tetapi tentu saja mereka tidak dapat masuk semua karena ruangan itu terbatas sekali. Mayat-mayat dan tubuh-tubuh terluka para pengawal yang maju lebih dulu telah ditarik keluar, demikian pila meja kursi telah disingkirkan sehingga ruangan itu kini menjadi luas dan yang tinggal di situ hanya jenazah Roro Kartiko yang berada di sudut dan di dekat jenazah ini,Joko Handoko duduk bersandar tembok. Sedangkan Ayu Kunti dan Cempaka yang hanya terbelenggu kedua tangan mereka, sudah mendekati Joko Handoko dan duduk mepet tembok sambil memandang dengan mata terbelalak kepada Sulastri.

   "Serbuuuu...! Bunuh dia...!!"

   Sariwuni kini berteriak. Wanita ini khawatir sekali melihat sikap suaminya terhadap dara ini. Tahulah dia kini dengan yakin bahwa memang gadis inilah pujaan hati suaminya dahulu, maka kini gadis ini harus dibunuhnya! Kalau tidak, akan sukarlah menguasai suaminya yang biarpun masih terpengaruh Lalijiwo namun begitu berhadapan dengan gadis ini menjadi bingung dan ragu. Tadi pun dia sudah membujuk suaminya untuk menandingi gadis ini, akan tetapi suaminya hanya duduk bengong memandang Sulastri dan sama sekali tidak mau bergerak.

   Atas teriakan Sariwuni itu, semua pengawal bergerak dan mulailah pengeroyokan lagi atas diri Sulastri. Karena kini Sariwuni, Bandupati dan Menak Srenggo sendiri maju mengeroyok, maka Sulastri mengamuk dengan hebatnya. Tiga orang lawan ini bukan merupakan orang biasa, melainkan memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, maka tidak mudah bagi Sulastri untuk merobohkan mereka seperti yang telah dilakukannya tadi terhadap para anggauta pengawal Nusabarung.

   Akan tetapi, biarpun keris di tangan Sariwuni, pedang di tangan Bandupati dan golok di tangan Menak Srenggo menghujankan serangan yang ditujukan untuk membunuh, dan dibantu dengan belasan batang golok atau tombak para pengawal Sulastri dapat selalu menghindarkan diri dengan baiknya dan setiap kali dia menangkis dengan jari tangannya, keris, pedang atau golok itu terpental karena tangannya dilindungi oleh aji kekebalan Trenggiling Wesi! Bahkan setiap kali dia menangkap golok itu atau tombak yang dipakai seorang pengawal untuk menyerangnya, dia terus membetot senjata itu, menarik pemegangnya dan dengan sekali tendangan, tamparan atau lontaran senjata rampasan, dia merobohkan pengawal itu!

   Pertempuran di dalam ruangan itu memang hebat dan seru bukan main. Sulastri mengamuk bagaikan seekor singa yang buas sedang marah. Rambutnya yang panjang awut-awutan, beterbangan ketika dia bergerak, sanggulnya terlepas dan kadang-kadang rambutnya itu menutupi sebagian mukanya. Gerakan kakinya membuat kain yang dipakainya mengeluarkan bunyi seperti akan robek, kedua tangannya bergerak sedemikian cepatnya sehingga bagi pandangan mata biasa, kedua lengan gadis itu berubah menjadi lebih dari enam buah! Tubuhnya berloncatan, berkelebatan dan setiap kali dia bergerak dan mengeluarkan pekik dahsyat, robohlah seorang pengawal!

   Sepak terjang yang amat menggiriskan dari dara itu benar-benar membuat para pengawal menjadi gentar bukan main. Mereka ini, para pengawal pilihan dari Nusabarung yang bertugas sebagai pengawal-pengawal di kompleks istana kadipaten, merupakan orang-orang yang memiliki kepandaian, banyak pengalaman berkelahi dan memiliki keberanian hebat, juga kejam dan sewenang-wenang, apalagi terhadap wanita. Akan tetapi kini, menghadapi seorang wanita seperti Sulastri yang demikian gagah perkasa, yang dalam waktu kurang dari satu jam telah merobohkan lebih dari dua puluh orang pengawal, mereka benar-benar menjadi gentar bukan main. Karena gentar, maka kini para pengawal itu mundur dan hanya mengurung sambil mengancam dengan tombak yang bergagang panjang sambil berteriak-teriak,membiarkan tiga orang yang berkepandaian lebih tinggi itu, yaitu Sariwuni, Bandupati, dan Menak Srenggo untuk mengeroyok dara itu.

   Sebenarnya, setelah mengamuk sejam lebih itu, Sulastri yang semalam suntuk melakukan perjalanan yang melelahkan, menyeberangi laut menuju ke Nusabarung menggunakan sebuah perahu, padahal dia bukanlah ahli mengemudikan perahu, Sulastri merasa lelah bukan main. Akan tetapi, kemarahannya membuat dia memperoleh kekuatan yang berlipat ganda, dan biarpun dia kini dikeroyok oleh tiga orang yang pandai, dia sama sekali tidak terdesak, sebaliknya tamparan-tamparan Hasto Nogo tangan kirinya seperti sambaran-sambaran kilat di musim hujan yang selalu mengancam kepala tiga orang lawannya itu. Tiga orang lawannya menjadi penasaran sekali. Mereka adalah orang-orang pandai,dan di Nusabarung, mereka merupakan orang-orang yang sukar dicari tandingannya. Kini, mengeroyok seorang gadis saja, mereka sama sekali tidak mampu mendesak, apalagi merobohkannya.

   Menak Srenggo, jagoan dari Blambangan itu menjadi penasaran sekali. Dia mengeluarkan suara gerengan seperti seekor biruang marah, lalu goloknya diputar menerjang ke arah Sulastri. Gerakannya ini diikuti oleh Bandupati yang juga menggerakkan pedangnya dengan cepat. Melihat serangan dua orang ini dipercepat,Sulastri lalu mengerahkan ilmunya meringankan tubuh, dengan Aji Turonggo Bayu,tubuhnya seperti menunggang angin berkelebatan dan tidak tersentuh oleh gulungan sinar pedang dan golok. Pada saat yang dianggapnya tepat dan baik sekali, tiba-tiba Sariwuni membentak.

   "Mampuslah kau!"

   Dan dengan keris di tangan, wanita ini meloncat dari belakang dan menghunjamkan kerisnya ke arah punggung Sulastri.

   Ketika itu, Sulastri sedang menghadapi serangan pedang dan golok yang amat cepat, maka tentu saja bagian belakang punggungnya terbuka dan tidak terjaga, maka serangan dari belakang itu amat berbahaya. Namun, Sulastri yang sudah marah dan nekat itu seolah-olah tidak melihat serangan ini, sungguhpun diam-diam dia mengerahkan Aji Trenggiling Wesi sambil menanti tusukan.

   "Dukkk...!"

   Ketika itu, Sulastri sudah berhasil menghindarkan diri dari ancaman pedang dan golok, dan tepat keris yang dihunjamkan Sariwuni itu tepat mengenai punggungnya. Akan tetapi keris itu seperti mengenai benda dari karet yang ulet dan keras saja, tidak dapat menembus dan dengan dan dengan perhitungan yang tepat, tangan kiri Sulastri sudah menyambar dibarengi tubuhnya yang berputar ke belakang.

   "Wuuuutttt...!"

   Tangan berkulit halus berjari kecil runcing yang mengandung tenaga dahsyat dan ampuh dari Hasto Nogo itu menyambar ke arah kepala Sariwuni!

   "Sulastri, awas...!"

   Terdengar Sutejo tiba-tiba berseru keras. Sulastri terkejut dan cepat mencurahkan perhatiannya ke belakang dan kanan kiri, akan tetapi dia tidak melihat sesuatu yang mengancam dirinya. Karena perhatiannya terbagi, maka pukulan Hasto Nogo itu kurang terarah. Sebaliknya, mendengar seruan suaminya itu, Sariwuni sudah cepat membuang diri ke belakang. Namun, tetap saja pundaknya kena disambar hawa pukulan Hasto Nogo dan dia merasa tulang pundaknya nyeri seperti retak-retak dan dia terhuyung ke belakang.

   Sekarang tahulah Sulastri bahwa seruan yang dikeluarkan oleh mulut Sutejo tadi sama sekali bukan ditujukan kepadanya, melainkan kepada Sariwuni yang bagi Sutejo bernama Sulastri. Marahlah dia! Sementara itu, Sariwuni sudah merangkul leher Sutejo sambil merengek.

   "Kakangmas, benarkah engkau tega melihat aku terancam bahaya dan tidak mau membantu? Dia itu mata-mata musuh, dia hendak mencelakai kita, bahkan dia hampir saja tadi membunuhku."

   "Biarkan aku menangkapnya!"

   Tiba-tiba Sutejo berseru. Tadi dia merasa bingung dan serba salah. Tentu saja dia harus membantu isterinya dan para pengawal Nusabarung. Akan tetapi ada sesuatu pada diri wanita itu yang membuat dia bingung dan ragu-ragu. Kini, melihat isterinya hampir celaka, pula, karena dia tidak ingin melihat wanita perkasa itu akhirnya tewas oleh pengeroyokan, dia mengambil keputusan untuk menangkap wanita itu hidup-hidup.

   Begitu dia berseru demikian, tubuhnya sudah melesat ke depan dan tahu-tahu tangannya telah mencengkeram ke arah pundak kiri Sulastri. Inilah serangan yang sekaligus mengarah kelemahan lawan! Patut diketahui bahwa pukulan yang paling diandalkan oleh Sulastri adalah Hasto Nogo, aji pukulan ampuh yang menjadi inti dari ilmu berkelahi Hasto Bairowo, dan Hasto Nogo dipusatkan di dalam tangan kiri. Maka kini secara langsung Sutejo menyerang dengan cengkeraman ke arah pundak kiri Sulastri, tentu saja serangan ini merupakan serangan berbahaya yang ditujukan kepada bagian paling lemah dari pemilik Ilmu Hasto Nogo! Cara Sutejo menyerang ini sama sekali bukan karena dia teringat kepada Aji Hasto Nogo,melainkan karena memang dia cerdas sekali dalam menangkap inti gerakan ilmu dan aji kesaktian. Maka setelah menyaksikan sepak terjang Sulastri beberapa lamanya, dia sudah tahu bagaimana harus menghadapi wanita ini.

   "Aihhh...!"

   Sulastri memekik dan cepat dia melempar tubuh ke depan, kemudian dia membalik dan kakinya melayang cepat, menendang ke arah pusar lawan. Ketika melihat bahwa yang menyerangnya adalah Sutejo, hatinya menjadi makin panas dan dia pun menyusuli tendangannya dengan tamparan Hasto Nogo ke arah kepala orang muda itu.

   "Kau maju? Bagus, mari kita bertanding mati-matian!"

   Sutejo dapat menghindarkan diri dan dari belakang, Bandupati dan Menak Srenggo kembali telah menggerakkan padang dan goloknya. Namun Sulastri tidak menjadi gentar. Cepat dia mengelak dan balas menyerang, bahkan melihat Sariwuni berdiri di pinggir dia sudah menantang.

   "Perempuan hina, hayo kau majulah sekalian untuk kubunuh!"

   Akan tetapi Sariwuni tersenyum mengejek dan duduk di atas lantai sambil tersenyum dan menonton. Setelah Sutejo maju, dia merasa yakin bahwa wanita itu pasti akan dapat ditundukkan, karena ketika berada di medan perang pun dia sudah tahu bahwa suaminya lebih sakti daripada wanita itu.

   

   


Komentar

Postingan populer dari blog ini

KERIS MAUT

PENDEKAR GUNUNG LAWU

KEMELUT DI MAJAPAHIT