KEMELUT DI MAJAPAHIT JILID 31
menundukkan hatinya, dan aku yakin engkau pasti akan berhasil, bukankah kelak engkau ada harapan untuk diangkat menjadi permaisuri kalau beliau telah menjadi raja? Nah, bukankah hal itu akan mengangkat dirimu ke tempat yang paling tinggi bagi seorang wanita? Lebih tinggi dari semua wanita di Mojopahit? Dan tentu saja, kalau engkau sudah menjadi permaisuri, mudah saja bagimu mengulurkan kepadaku, menarik aku ke
(Lanjut ke Jilid 31)
Kemelut Di Majapahit (Cerita Lepas)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Jilid 31
atas kursi kepatihan, bahkan lebih tinggi lagi!"
Memang sesungguhnya hati Lestari sudah girang sekali dengan usul itu, maka kiranya tidak usah dibujuk pun dia sudah setuju sekali. Hanya dia berpura-pura saja untuk membuat Sang Resi makin percaya dan makin cinta kepadanya. Setelah berhasil membalas dendam atas kematian ayah bundanya terhadap diri Progodigdoyo dan melampiaskan dendamnya pula kepada para ponggawa Mojopahit yang dibencinya semua, kini timbul nafsu lain dalam diri Lestari yang telah menjadi hamba dari nafsu kebencian itu.Dia ingin memperoleh kedudukan tertinggi agar dapat menguasai semua orang yang dibencinya!
Tentu saja, sebagai selir yang tercinta dari Resi Mahapati, dia tak berani mendekati Sang Pangeran, namun dia sudah lama tahu bahwa jalan satu-satunya untuk mencapai cita-cita itu hanyalah mendekati Pangeran Pati itu, dan tadi dia sudah memancing-mancing dan memberi jalan untuk melakukan pendekatan kepada Sang Pangeran. Dia sama sekali tidak pernah menyangka bahwa resi itu akan memperkenan dia, bahkan menyuruh, untuk merayu sendiri Sang Pangeran. Hal itu sungguh merupakan hal yang amat menyenangkan hatinya. Memancing teri memperoleh kakap namanya!
Maka bujukan-bujukan Sang Resi itu hanya menambah kebesaran hatinya karena kepura-puraannya telah behasil pula mengelabui mata Sang Resi yang menganggap wanita ini amat mencintainya dan telah menerima tugas dengan hati "berat". Maka mereka lalu mengatur rencana untuk mulai menjebak Sang Pangeran ke dalam perangkap yang mereka atur bersama.
Tentu saja perangkap ini dipasang dengan kerja sama para pembantu resi itu, terutama sekali Resi Harimurti, Ki Durgakelana, Ki Warak Jinggo dan Sarpo Kencono. Empat orang kakek inilah yang membantu terlaksananya siasat itu karena mereka mempunyai kepentingan yang sama dengan Resi Mahapati, yaitu memperoleh kedudukan setinggi-tingginya di Mojopahit kelak setelah Pangeran Kolo Gemet naik tahta.
Demikianlah pada suatu pagi, dengan diantar oleh tiga orang kakek pengawal,yaitu Ki Durgakelana, Warak Jinggo dan Sarpo Kencono, Pangeran Pati itu pergi berburu ke hutan di dekat kota raja. Hutan ini memang merupakan hutan yang istimewa diperuntukkan keperluan Sang Prabu kalau pergi berburu. Rakyat tidak boleh berburu di hutan ini, bahkan banyak binatang dari luar sengaja dilepas di dalam hutan ini untuk kesenangan raja sekeluarganya.
Setelah matahari naik tinggi dan berhasil merobohkan seekor kijang dengan anak panahnya, atas bujukan para pengawal itu, Sang Pangeran pergi ke sebuah telaga di tepi hutan untuk beristirahat di tempat yang teduh dan nyaman itu, dengan maksud untuk mandi karena menyusup-nyusup ke dalam semak belukar tadi membuat tubuh menjadi penat dan juga gatal-gatal.
Ketika mereka tiba di tepi telaga, dari jauh Ki Durgakelana sudah berbisik kepada Sang Pangeran sambil menuding ke depan, ke pinggir telaga.
"Ah, Gusti Pangeran..... harap suka memeriksa ke sana itu.... agaknya Paduka telah didahului orang yang mandi di telaga..."
"Ah, benar! Dan dia seorang wanita....!"
Kata Ki Warak Jinggo.
"Wanita muda yang mandi seorang diri di telaga! Jangan-jangan dia itu peri....!"
Kata pula Sarpo Kencono.
Sang Pangeran tertarik sekali, lalu dia berkata.
"Kalian tunggu di sini, biar aku yang mendekati dan melihat siapa dia."
Sikap pangeran itu seperti tadi ketika dia melihat bayangan kijang dan hendak merobohkannya sendiri kijang itu. Tiga orang kakek itu menyembah lalu duduk di bawah pohon tak jauh dari telaga itu sambil saling lirik dan mengulum senyum penuh arti.
Berindap-indap Sang Pangeran menghampiri telaga. Dari jauh dia memang melihat seorang wanita muda sedang mandi berkecipung di pinggir telaga. Di mana air telaga yang jernih itu dalamnya hanya sampai di dada. Ketika tiba di tepi telaga, dia melihat tumpukan pakaian wanita itu dan jantungnya berdebar. Wanita itu mandi telanjang bulat! Dan makin berdebar lagi jantung pangeran muda yang mata keranjang ini melihat rambut yang hitam panjang dan halus, kulit yang kuning bersih dan bentuk tubuh yang padat menggairahkan.
Akan tetapi dia belum melihat wajah orang itu karena wanita itu berdiri di dalam air membelakanginya Setelah puas menikmati keindahan bentuk tubuh dan kulit punggung dan leher yang kuning langsat dan halus itu, Sang Pangeran mendehem. Wanita itu terkejut,membalikkan tubuhnya dan..... Sang Pangeran terpesona! Dia memandang dengan mata terbelalak penuh kegum, menikmati kecantikan wajah itu dan keindahan dada yang tidak tertutup itu. Sejenak wanita itu seperti berubah menjadi patung, agaknya saking kagetnya melihat ada seorang laki-laki muda di tepi telaga, di dekat pakaiannya, lalu agaknya dia teringat dan cepat membenamkan tubuhnya ke dalam air sampai sebatas lehernya. Mukanya berubah merah sekali menambah keayuannya.
Sampai lama barulah Sang Pangeran mampu mengeluarkan suara yang agak gemetar.
"Aihhh, siapakah Andika? Bidadarikah? Perikah? Siapakah Andika, wanita cantik jelita,yang telah mendahului aku yang hendak mandi di telaga?"
Sepasang tangan dengan jari-jari yang meruncing terpelihara muncul dari dalam air, lalu membuat sembah ke arah pangeran, dan terdengar suara yang halus lembut dan merdu.
"Hamba mohon Paduka sudi mengampunkan hamba, Kanjeng Gusti Pangeran. Karena hamba tidak tahu bahwa Paduka hendak mandi di sini, maka hamba berani lancang turun mandi."
Sang Pangeran tersenyum bangga.
"Ha-ha, Andika telah mengenal aku, manis?"
"Hamba adalah kawula Mojopahit, tentu saja mengenal Paduka Kanjeng Gusti Pangeran yang mulia."
Wanita muda itu berhenti sebentar, mengerling dengan manis sekali, lalu berkata lagi.
"Akan tetapi Paduka belum menyatakan bahwa Paduka mengampuni hamba......"
Kembali pangeran itu tersenyum.
"Tidak, engkau harus dihukum!"
Wanita itu membelalakkan matanya yang lebar dan bagus, kelihatan takut.
"Harap Paduka sudi mengampuni hamba....... karena hamba tidak sengaja....."
"Engkau harus dihukum berat! Ha-ha, jangan takut, sayang, engkau terlalu cantik untuk dihukum. Pula, apa salahnya engkau mandi di sini? Aku pun hendak mandi, apa salahnya kita mandi bersama?"
Setelah berkata demikian, Sang Pangeran tanpa malu-malu dan tanpa ragu-ragu lagi lalu menanggalkan pakaiannya di tepi telaga itu, menumpuk pakaiannya di dekat tumpukan pakaian wanita itu. Melihat ini, wanita muda itu memalingkan mukanya dan tidak berani memandang. Baru setelah mendengar bunyi air ketika pangeran itu turun ke dalam telaga, dia menoleh dan berkata dengan suara memohon,
"Gusti harap...harap perkenankan hamba keluar dulu...."
"Eh, apa salahnya kita mandi bersama?"
"Jangan Gusti....... hamba.... hamba...."
"Kau kenapa?"
"Hamba malu...."
"Malu? Malu kepada siapa?"
"Hamba takut...."
Pangeran itu masih muda dan masih hijau, maka melihat sikap ini, dia makin tertarik dan dia sudah mendekat, lalu memegang lengan Lestari yang pura-pura meronta dan menjauhkan diri, akan tetapi tidak cukup kuat sehingga lengannya masih terpegang oleh tangan pangeran itu.
"Bocah ayu, engkau malu dan takut kepada siapa? Kepadaku?"
Lestari mengerling dengan manisnya lalu menundukkan mukanya, senyum malu-malu yang membuat wajahnya menjadi semakin menarik.
"Paduka..... Paduka adalah seorang Pangeran dan hamba..... hamba takut berdosa....."
Pangeran itu sudah menarik lengan Lestari dan dicobanya untuk merangkul leher itu.
"Jangan malu-malu, jangan takut. Aku adalah Pangeran Pati, aku berkuasa dan tidak akan ada orang yang berani menggangguku atau mengganggumu. Aku cinta padamu, manis. Siapakah namamu?"
"Hamba..... hamba Lestari...."
"Ah, namamu semanis wajahmu."
Pangeran itu mendekatkan mukanya dan mencium.
"Hamba..... hamba takut...."
Lestari mengelak dan miringkan mukanya, akan tetapi tidak cukup jauh sehingga membiarkan bibir pangeran itu menyentuh sedikit ujung bibirnya yang lembut dan basah. Dia sudah berpengalaman dan banyak menerima ajaran dari Resi Mahapati tentang permainan cinta. Dia tahu bahwa memberi sedikit-sedikit dengan sikap jinak-jinak merpati merupakan bahan bakar yang amat baik untuk makin mengobarkan api nafsu berahi. Tentu saja kalau menolaknya sama sekali juga berbahaya, dapat memadamkan api yang mulai menyala itu. Kalau memberinya terlalu murah dan mudah, akan menimbulkan kebosanan. Pengatahuan ini sekarang dipraktekannya atas diri pangeran yang masih hijau itu. Dan memang hasilnya baik sekali. Sang Pangeran yang hanya dapat menyentuh sedikit ujung bibir Lestari, menjadi bergairah.
"Jangan takut, cah ayu. Aku tidak akan membikin sudah padamu, aku cinta padamu,manis."
Pangeran itu membujuk lagi dan merangkul.
"Benarkah, Gusti? Benarkah Paduka cinta kepada hamba? Kalau begitu jangan.... jangan di sini, Gusti. Hamba bukanlah wanita rendah dan murahan..... kalau memang Paduka cinta kepada hamba, hamba..... hamba bersedia melayani Paduka dengan segala senang hati. Hamba suka menyerahkan jiwa raga hamba kepada Paduka junjungan hamba, akan tetapi bawalah hamba ke istana Paduka, jangan di sini....."
Lestari meronta halus.
Pangeran itu membelalakkan matanya, lalu tertawa.
"Ha-ha-ha, aku senang sekali. Itulah yang amat baik."
Dia lalu mencium dan kini Lestari menggunakan kepandaiannya membalas ciuman itu sehingga Sang Pangeran makin tergila-gila.
"Marilah kita naik ke darat dan kita berangkat pulang ke.... kamarku...."
Pangeran itu menggandeng tangan Lestari dan mereka keluar dari dalam air. Sang Pangeran makin kagum dan makin tergila-gila ketika dia melihat wanita itu mengenakan pakaian dengan gaya yang amat memikat, malu-malu akan tetapi juga menantang. Setelah mereka berdua berpakaian, Sang Pangeran lalu memanggil dua orang pengawalnya dan tergesa-gesa dia mengajak Lestari yang diboncengnya naik kuda pulang ke istananya. Dua orang pengawalnya itu, Ki Warak Jinggo dan Ki Sarpo Kencono, pura-pura tidak mengenal Lestari, sungguhpun mereka berdua girang sekali bahwa siasat yang dilakukan oleh Lestari itu telah berhasil dengan amat baik.
Setelah berada di dalam kamar istana pangeran, Lestari mempergunakan seluruh kepandaiannya untuk menjatuhkan hati Sang Pangeran. Dia berhasil baik sekali karena pada keesokkan harinya, setelah semalam lamanya dipermainkan oleh Lestari, Sang Pangeran benar-benar telah terpikat sehingga dia menyatakan bahwa Lestari diangkat sebagai selirnya terbaru. Akan tetapi, Lestari tiba-tiba menangis sehingga pangeran itu terkejut dan heran.
Dipeluknya wanita itu dan dihiburnya.
"Ah, kenapa engkau menangis Lestari? Apakah engkau tidak senang menjadi selirku, setiap hari berdampingan dengan aku di dalam kamar ini?"
Lestari merangkul pinggang pangeran itu dan menangis di atas dada orang muda itu.
"Mohon Paduka sudi mengampuni hamba..... sebenarnya hamba....hamba adalah selir dari seorang resi...."
Sang Pangeran terkejut, akan tetapi mempererat rangkulannya.
"Eh?? Resi mana? Siapa dia?"
"Dia adalah Resi.... Resi Mahapati......"
Bukan main kagetnya Sang Pangeran mendengar nama ini. Rangkulannya terlepas dan dia bergerak mundur di atas pembaringan itu, menatap wajah yang cantik itu. Wajah itu agak pucat, air matanya membasahi pipi, rambutnya masih kusut bekas belaiannya semalam. Tubuh itu demikian padat dan bagus bentuknya, dengan kulit yang halus dan putih kuning.
Jantung Sang Pangeran berdebar tegang. Selir Resi Mahapati? Sejenak timbul kecurigaannya.
"Lestari, benarkah engkau selir dari Paman Resi Mahapati?"
Wanita itu mengangguk dan menghapus air matanya dengan ujung kain.
"Kalau begitu..... mengapa engkau tidak berada di istana Paman Resi, melainkan di dalam hutan itu, mandi di telaga? Dan kenapa engkau tidak mengaku demikian sebelum kubawa ke sini?"
Di dalam pertanyaan pangeran ini terkandung kecurigaan besar.
Lestari terisak, kelihatan bersedih sekali.
"Paduka.... Paduka tidak tahu.... betapa hamba menderita batin yang hebat semenjak menjadi selir Sang Resi...."
Sang Pangeran mengerutkan alisnya. Ini merupakan berita baru baginya! "Eh, apa yang telah terjadi, Nimas? Apakah dia berlaku kejam kepadamu?"
Wanita itu mengeleng kepalanya, lalu menjawab sambil menunduk.
"Baru beberapa bulan semenjak hamba diambil sebagai selir, dia..... dia... jatuh sakit...."
"Eh? Sepanjang pengetahuanku, Paman Resi tidak pernah sakit, melainkan sehat saja. Apa maksudmu?"
"Tubuhnya memang sehat dan tidak kelihatan sakit, Gusti, akan tetapi.... dia.... sakitnya itu....eh..."
Lestari masih mengeluarkan air mata, akan tetapi bibirnya menahan senyum malu-malu dan dia menundukkan mukanya. Tentu saja Sang Pangeran menjadi makin tertarik dan heran. Dia lalu merangkul wanita yang telah membuatnya tergila-gila semalam itu dan mencium pipinya yang masih basah air mata.
"Lestari, jangan takut-takut, jangan malu-malu. Katakanlah segalanya kepadaku dan aku akan menolongmu sedapat mungkin. Apa sebenarnya yang terjadi antara engkau dan Paman Resi?"
"Ampun, Gusti..... dia itu terkena penyakit dan..... dia tidak lagi dapat melakukan tugas sebagai seorang suami.... dia....eh, dia telah menjadi lemah....."
"Ahh......?"
Sang Pangeran terbelalak, mulutnya ternganga, kemudian dia tertawa bergelak dan mencubiti paha dan pipi wanita itu, lalu merangkul menciumi sambil tertawa-tawa.
"Ha-ha-ha, sudah berapa lama semenjak itu sampai sekarang?"
"Sudah bertahun-tahun, Gusti, maka dapat Paduka bayangkan betapa saya merasa tersiksa dan menderita...."
"Ha-ha-ha! Kau bocah nakal! Pantas saja engkau begitu..... begitu kehausan semalam!"
"Ah, Pangeran....!"
Lestari menyembunyikan mukanya dengan sikap malu-malu.
"Kiranya begitukah? Dan.... mengapa pula engkau berada di dalam hutan itu?"
"Begini, Gusti. Hamba dalah seorang anak yang dahulu biasa hidup di dusun dan suka bermain-main di dalam hutan. Hamba suka menyendiri dalam hutan dan mandi sepuasnya untuk menghibur hati hamba. Karena hutan itu hamba tahu tidak boleh dimasuki orang lain, maka hamba berani memasukinya dan mandi seorang diri di dalam telaga."
"Tanpa pengawal dan pengiring?"
"Hamba sudah biasa ketika kecil bermain-main seorang diri di hutan."
"Dan Paman Resi boleh saja kau pergi sendirian, bahkan sampai semalam tidak pulang?"
"Ahhh..... semenjak dia.... sakit itu, dia tidak lagi memperdulikan hamba, Gusti. Agaknya kalau hamba pada suatu hari menggeletak mati di depan kakinya pun ia tidak akan tahu atau peduli. Hamba diberi kebebasan seluasnya, dan biarpun dia tidak pernah berlaku buruk terhadap hamba, namun hamba tidak diperdulikannya lagi. Oleh karena itu, hamba berani ikut dengan Paduka kemarin ke istana Paduka ini."
"Bagus, kalau begitu engkau tidak usah kembali ke sana. Engkau tinggal di sini sebagai selirku yang tercinta!"
Lestari menggeleng kepalanya.
"Hamba kira hal itu tidaklah baik, Gusti. Hamba tahu betapa baiknya hubungan antara Paduka dengan Kakangmas Resi, maka janganlah kiranya soal diri hamba yang tidak berharga ini akan menjadi pemisah atau penghalang hubunga baik itu."
"Akan tetapi katamu tadi, Paman Resi sudah tidak peduli lagi kepadamu."
"Benar, akan tetapi sebetulnya dia mencintai hamba, Gusti. Dan semua orang tahu bahwa hamba adalah selirnya yang dahulu amat dicintainya. Maka, apabila hamba pindah ke sini ikut dan mengabdi Paduka, tentu hal itu akan merupakan pukulan hebat bagi kehormatannya dan dapat mengganggu kesetiaannya kepada Paduka. Oleh karena itu, hamba mohon pertimbangan dan kebijaksaan Paduka agar hamba diperkenankan pulang ke gedung Kakangmas Resi."
Pangeran itu mengerutkan alisnya.
"Lestari, apakah kau tidak cinta kepadaku?"
Ditanya demikian, tiba-tiba Lestari menjatuhkan diri menelungkup dan menyembunyikan mukanya di atas pangkuan pangeran itu sambil menangis.
"Aduh Pangeran......., tidak terasakah oleh Paduka betapa hamba telah menyerahkan seluruh jiwa raga hamba kepada Paduka semalam? Tidak terasakah oleh Paduka getaran cinta kasih hamba kepada Paduka? Hamba rela.... mati demi untuk Paduka yang hamba junjung tinggi, hamba puja-puja dan hamba cinta. Belum pernah hamba mencinta seorang pria seperti terhadap Paduka."
Pangeran itu tersenyum dan mengelus rambut halus di atas pangkuannya.
"Kalau begitu, mengapa engkau memperdulikan benar bagaimana Paman Resi akan tersinggung kalau kau tinggal di sini?"
Lestari bangkit duduk kembali dengan muka basah.
"Gusti, Paduka salah tampa! Hamba sama sekali bukan memikirkan kepentingan Sang Resi, melainkan kepentingan Paduka sendiri! Sang Resi adalah pembantu dan orang kepercayaan Paduka, kalau sampai terjadi rasa tidak enak, maka Padukalah yang menderita rugi. Andaikata dia bukan orang kepercayaan Paduka yang setia, ah, tentu saja hamba tidak sudi kembali ke sana, lebih baik mati hidup di sini bersama Paduka!"
Pangeran itu lalu mencium bibir yang pandai mengeluarkan kata-kata dengan lancar dan menyenangkan itu.
"Akan tetapi, cah ayu, kalau engkau kembali ke sana..... apakah kau tega membiarkan aku merindukanmu setiap hari?"
Lestari menggunakan ujung jari-jari tangannya mengusap dagu pangeran itu.
"Sudah hamba katakan tadi bahwa Sang Resi tidak lagi memperdulikan hamba, maka dia tentu tidak akan marah mendengar hamba.... eh, di sini bersama Paduka. Maka,biarpun hamba masih tinggal di sana, setiap waktu Paduka..... eh, rindu kepada hamba, apa sukarnya? Paduka tinggal menyuruh pengawal Paduka menjemput hamba,dan hamba akan datang berlarilari memenuhi panggilan Paduka dengan hati penuh kerinduan!"
"Benarkah begitu? Paman Resi tidak akan berkeberatan?"
"Hamba tanggung, Gusti. Dia memang sudah tidak membutuhkan hamba lagi, dan kiranya dia akan merasa senang sekali kalau hamba melayani Paduka yang juga menjadi junjungannya. Percayalah kepada hamba."
Sang Pangeran merasa girang sekali dan dia lalu menyuruh Ki Warak Jinggo untuk mengawal Lestari pulang ke gedung Resi Mahapati, mempergunakan keretanya sendiri Sama sekali Sang Pangeran tidak tahu betapa setibanya di rumah, Resi Mahapati memuji-muji kepandaian Lestari dan dia menuntut agar Lestari menceritakan semua pengalaman selirnya itu ketika melayani Sang Pangeran!
Lestari adalah seorang wanita yang cerdik sekali. Dia bukan hanya berhasil menundukkan hati pangeran, bahkan dengan siasatnya jinak-jinak merpati dia telah benar-benar membuat hati Sang Pangeran tergila-gila. Dia tahu bahwa kalau mau tinggal di istana, lebih banyak lagi harapannya untuk mempermainkan pangeran dan mencari kedudukan yang lebih baik. Akan tetapi dia tahu bahwa Sang Pangeran masih amat muda, dan kalau dia berada di situ, berarti dia terlalu banyak memberi kesempatan kepada Sang Pangeran untuk bercinta dengannya. Hal ini terdapat bahayanya, yaitu bahaya kebosanan. Sebaliknya, kalau dia tetap tinggal di gedung Resi Mahapati, berarti bahwa tidaklah semudah itu Sang Pangeran memuaskan hasrat hatinya sehingga Sang Pangeran akan selalu kehausan. Makanan yang diberi sedikit-sedikit akan selalu terasa enak dan lezat, akan tetapi kalau diberikan terlalu banyak dapat membosankan, demikian pendapat Lestari. Selain itu, dia juga belum mau kehilangan pengaruh dan kekuasaan Sang Resi yang dapat diboncengnya.
Kini, ketika Sang Resi menuntut kepadanya agar dia menceritakan semua pengalamannya ketika dia melayani Sang Pangeran, Lestari bersungut-sungut dan merangkul leher resi tua yang masih kuat itu.
"Aahhh, kalau tidak demi Paduka, mana saya sudi melakukannya?"
Dan dia pun menangis!
Memang Lestari berbakat sekali untuk bermain sandiwara. Air matanya dapat dipanggilnya secara tiba-tiba.
"Hushhh, kenapa menangis? Aku tahu bahwa engkau telah melakukan semua itu demi untukku, manis, dan aku berterima kasih sekali. Sudah, jangan menangis dan ceritakan bagaimana engkau melayani dia."
"Ahh, kalau tidak ingat betapa saya dapat tugas melaksanakan perintah Paduka, tentu saya sudah menangis karena merasa tersiksa sekali di depan beliau, Kakangmas."
"Ehh? Kenapakah? Apakah dia berlaku kasar? Apakah dia kejam terhadapmu?"
"Sama sekali tidak! Sebaliknya malah. Kalau dia kasar, setidaknya saya tidak akan begitu menderita. Akan tetapi, sangat lemah. Beliau seorang pemuda yang masih hijau dan ingusan dibandingkan dengan Paduka yang kuat dan berpengalaman. Ah, saya kecewa sekali....."
Tentu saja hati Sang Resi menjadi bangga dan senang.
Demikianlah, dengan pandainya Lestari dapat mengambil hati kedua pihak. Di depan pangeran, dia mengatakan bahwa Resi Mahapati adalah seorang kakek yang sudah mati gairahnya,sebaliknya di depan Sang Resi dia mengatakan bahwa Sang Pangeran adalah seorang pemuda hijau yang masih ingusan dan mengecewakan! Di depan Sang Resi dia memmuji kakek ini, di depan Sang angeran di memuji-muji pemuda itu. Dan itulah kelemahan setiap orang pria! Kalau seorang pria sudah dipuji-puji oleh wanita kekasihnya bahwa dia adalah seorang yang kuat dan memuaskan, kepala pria itu menjadi sebesar gentong kosong dan apa pun yang dikehendaki oleh kekasihnya itu pasti akan ditaati! Hanya wanita bodoh sajalah yang mencela "kejantanan"
Kekasihnya atau suaminya! Kalau setiap orang wanita mengidamkan pujian kecantikannya dan "awet mudanya", maka sebaliknya setiap orang pria mengidamkan pujian tentang "kejantanannya"
Mulailah Lestari menanam bibit kekuasaannya melalui diri Sang Pangeran, makin mendekati tujuannya yang terakhir, yaitu kekuasaan di kerajaan Mojopahit!
Pada keesokan harinya, Sang Pangeran yang sudah tergila-gila kepada Lestari itu sengaja mengunjungi Resi Mahapati untuk melihat keadaan. Begitu bertemu, Sang Resi menyambutnya dengan penuh kegembiraan dan kehormatan sehingga legalah hati Sang Pangeran. Dan ketiak mereka berdua saja tanpa ada orang lain, Sang Resi berkata lirih.
"Hamba girang sekali mendengar laporan Lestari bahwa Paduka telah berjumpa dengan dia dan bahwa Paduka berkenan memberi kehormatan kepadanya untuk menghibur hati Paduka."
Betapa pun halusnya ucapan itu, wajah Sang Pangeran menjadi merah juga. Akan tetapi hatinya girang mendengar ucapa yang sama sekali tidak mengandung kemarahan itu, maka dia menjawab.
"Sesungguhnyalah, hati saya yang amat tertarik oleh Lestari, Paman. Saya akan merasa berterima kasih sekali kalau Paman suka merelakan dia untuk kadang-kadang ke istana saya untuk....eh, melayani saya....."
Sang Resi membungkuk-bungkuk sambil tersenyum dan mengelus jenggotnya.
"Tentu......, tentu sekali, dengan segala kerendahan dan kerelaan hati, Gusti. Sebetulnya....... hem, Lestari itu adalah sudah seperti...... anak hamba sendiri. Kapan saja Paduka membutuhkan, dia boleh pergi menghadap Paduka dan hamba akan merasa terhormat sekali."
Tentu saja Sang Pangeran merasa girang dan menganggap bahwa resi itu benar-benar amat setia kepadanya! Dan memang inilah yang dikehendaki oleh resi itu. Dia harus dapat memikat hati pangeran pati, calon raja ini, karena hanya melalui pangeran inilah jalan satu-satunya baginya untuk mencapai kedudukan tertinggi!
Sang Prabu Kertarajasa Jayawardana jatuh sakit! Memang beberapa tahun ini kesehatan Sang Prabu terus-menerus terganggu dan keadaannya lemah sekali. Semenjak pemberontakan yang dilakukan oleh Adipati Ronggo Lawe, maka Sang Prabu terus-menerus mengalami tekanan batin secara bertubi-tubi dalam beberapa tahun ini.
Mula-mula pemberontakan Ronggo Lawe, disusul matinya Ronggo Lawe dan Kebo Anabrang, lalu dilanjutkan dengan pemberontakan Lembu Sora, Juru Demung, Gajah Biru dan banyak para senopatinya dahulu terkenal gagah dan setia. Hal ini membuat hati Sang Prabu menjadi tertekan dan prihatin. Semua itu ditambah lagi dengan kenyataan betapa dalam keluarganya sendiri terjadi perpecahan yang biarpun dilakukan secara diam-diam namun makin menghebat saja. Perpecahan antara para isterinya dan kedua pihak tentu saja menarik para pengikut masing-masing sehingga diam-diam terjadi pula perpecahan antara ponggawa dan senopati. Hal ini membuat Sang Prabu merasa prihatin sekali kesehatannya makin lama makin mundur.
Setelah Sang Prabu jatuh sakit, kemelut di Mojopahit makin terasa. Kini persaingan dan permusuhan itu behkan mulai nampak secara terang-terangan. Kadang-kadang terjadi bentrok secara tebuka antara pengikut golongan Sri Indreswari, yaitu Dyah Dara Petak ibu Pangeran Pati Kolo Gemet di satu fihak dan pengikut golongan para isteri Sang Prabu dari keturunan Sang Prabu Kertanegara di lain Fihak. Bahkan kedua fihak sudah menyebar mata-mata untuk saling menyelidiki kelemahan dan kalau mungkin kesalahan masing-masing.
Sementara itu, Sang Pangeran sendiri makin dalam tenggelam ke dalam pelukan dan rayuan Lestari yang telah menjadi kekasihnya hampir satu tahun lamanya. Wanita itu pandai sekali merayu.
"jual mahal"
Sehingga ada kalanya sampai beberapa minggu dia tidak melayani panggilan Sang Pangeran dengan bermacam-macam alasan sakit dan sebagainya, padahal semua itu dilakukan dengan sengaja untuk membuat Sang Pangeran menjadi semakin terbakar! Bau yang busuk sukar sekali untuk ditutup-tutupi, seperti juga keharuman tentu akan semerbak sampai jauh. Perbuatan buruk mau pun baik, lambat laun tentu akan ketahuan orang juga, betapapun hendak ditutup-tutupi oleh yang melakukannya.
Demikian pula hubungan antara pangeran dan selir Resi Mahapati, lambat laun diketahui orang dan bukan merupakan rahasia lagi. Berita itu terdengar sampai di telinga Sri Indreswari, ibu dari Pangeran pati itu. Segera Sang Ibu memanggil puteranya dan memberinya nasihat.
"Puteraku, ingatlah akan kedudukanmu sebagai seorang Pangeran Mahkota, sebagai calon raja! Mengapa engkau menyeret nama baikmu serendah itu? Kalau engkau ingin dihibur seorang atau lebih banyak lagi wanita, apa sukarnya bagimu untuk mencari wanita-wanita yang muda lagi cantik jelita? Mengapa harus selir Sang Resi yang kaupilih? Sang Resi Mahapati adalah seorang di antara mereka yang setia kepada kita!"
Pangeran itu mengerutkan alisnya. Bagaikan seorang panghisap madat, dia sudah kecanduan terhadap rayuan maut Lestari sehingga tak mungkin dia dilepaskan dari kesenangan itu.
"Akan tetapi, Kanjeng Ibu. Paman Resi sendiri sudah merelakan Lestari kepada saya."
Betapapun sangat Sang Puteri membujuk puteranya, namun sia-sia belaka. Maka setelah mereka sampai berbantahan, akhirnya Sang Puteri berkata.
"Puteraku, engkau bukan anak-anak lagi, tentu sudah dapat berpikir sampai matang akan semua persoalan dan dapat mawas diri, dapat mengerti keadaan yang gawat dalam di kerajaan kita. Tidakkah engkau tahu betapa fihak sana sedang mati-matian berusaha untuk mencari-cari kesalahanmu? Bukankah kita harus menjaga agar kedudukanmu jangan sampai terguncang?"
"Ah, Ibu mengapa terlalu mengkhawatirkan yang bukan-bukan? Kanjeng Rama Prabu sudah mengangkat saya menjadi Pangeran Pati. Sudah jelas diterima oleh semua menteri dan ponggawa bahwa saya yang kelak akan menggantikan beliau. Selain itu, juga Kolonadah telah berada di tangan kita, maka apalagi yang perlu kita khawatirkan?"
Ibunya menarik napas panjang.
"Itulah, puteraku yang selalu mendatangkan was-was di dalam hati Ibumu ini. Baru saja yang mendengar pelaporan seorang petugas yang kuutus menyelidiki ke Lumajang sebelum Sang Resi Mahapati menyerahkan keris pusaka Kolonadah kepada kita, dan tahukah engkau apa yang dilakukannya?"
Pangeran itu memandang ibunya dengan mata penuh pertanyaan.
"Laporan apakah mengenai keris pusaka ini, Kanjeng Ibu?"
Tangan kiri pangeran itu meraba keris di pinggangnya.
"Bahwa keris pusaka Kolonadah masih dicari-cari oleh kadipaten Lumajang, bahwa mungkin saja keris yang didapatkan oleh Resi Mahapati itu adalah keris pusaka yang palsu."
"Palsu....?"
Sang Pangeran mencabut kerisnya dan mengamatinya dengan penuh perhatian.
"Kemungkinan besar begitu, dan engkau harus menanyakan hal ini sebenar-benarnya kepada Sang Resi. Kalau benar demikian, kita harus berusaha mendapatkan yang asli, agar jangan sampai terjatuh ke tangan orang Lumajang. Nah, kau lihat, betapa banyak dan pentingnya persoalan yang kita hadapi dan sekarang Kanjeng Ramamu sedang menderita sakit agak parah, bagaimana engkau hanya bersenang-senang dengan selir orang saja dan menjadi buah tertawaan para kawula?"
Dengan mengacung keris pusaka Kolonadah yang selama ini dianggapnya asli itu, Sang Pangeran berkata menantang.
"Siapa berani menertawakan saya dan Lestari? Akan dihirup darahnya oleh Kolonadah!"
"Pangeran!!"
"Maaf, Kanjeng Ibu. Tentang keris ini, saya tidak percaya bahwa ini adalah pusaka yang palsu. Pusaka ini amat ampuh dan mempunyi wibawa yang kuat sehingga tidak ada sebuahpun pusaka lain di kerajaan yang mampu menandingi getarannya yang amat kuat. Dan andaikata benar bahwa ada lagi yang aslinya, sebelum yang asli didapatkan orang, inilah yang asli, Ibu! Betapapun juga, sewaktu-waktu saya akan menanyakannya kepada Paman Resi."
Demikianlah, dengan hati berduka Dyah Dara Petak atau Sri Indreswari, isteri Sang Prabu yang berasal dari tanah Melayu ini segera menghubungi dua orang pengawal pribadinya. Dia mengambil keputusan bahwa selir resi itu, yang mempermainkan puteranya dan membuat puteranya tergila-gila, harus dilenyapkan dari permukaan bumi ini! Puteranya terlalu penting untuk merendahkan diri sedemikian rupa bersama seorang wanita yang menjadi selir Resi Mahapati itu!
Jalan satu-satunya hanyalah melenyapkan wanita itu! Akan tetapi dia tidak mau pula menghadapi resiko bahwa perbuatan itu akan membuat puteranya merasa sakit hati, atau membuat Resi Mahapati tidak senang hatinya. Oleh karena itu, dia memesan kepada dua orang pengawal pribadinya itu, yang amat setia dan yang mengawalnya semenjak dia dahulu dibawa dari tanah Malayu oleh senopati Kebo Anabrang ke Mojopahit, agar pelaksanaan itu diserahkan kepada segerombolan orang yang biasa bekerja sebagai penjahat-penjahat di laur kota raja. Dengan demikian maka tidak akan ada yang menyangka bahwa dialah yang bersembunyi di balik layar usaha pembunuhan itu.
Tentu saja dua orang pengawal ini melakukan tugas yang diperintahkan itu sebaik-baiknya. Mereka telah menyebar mata-mata untuk menyelidiki Sang Pangeran dan Lestari sehingga mereka dapat mengetahui semua setiap panggilan yang dilakukan oleh Sang Pangeran, dan bagaimana caranya wanita itu datang memenuhi panggilan. Segala persiapan untuk melaksanakan tugas itu telah diatur sebaik-baiknya dan dua belas orang jagoan yang biasanya berkeliaran di dalam hutan-hutan di sebelah barat tapal batas Mojopahit, orang-orang kasar yang tidak tahu menahu tentang urusan kerajaan, hanya melakukan apa saja kalau diberi hadiah besar, telah siap untuk melakukan penghadangan dan pembunuhan atas diri Lestari.
"Ha-ha-ha! Untuk membunuh seorang perempuan muda dibutuhkan tenaga kami dua belas orang?"
Suro Bargolo berkata sambil tertawa bergelak ketika mendengar permintaan seorang utusan dua pengawal Sri Indreswari. Utusan ini tentu saja sama sekali tidak tahu akan urusannya, hanya menerima perintah saja dari atasannya dan dalam jaman sekalut itu, perintah membunuh orang, siapa saja, tidak menimbulkan keheranan dan harus dilaksanakan tanpa banyak bertanya! Suro bargolo adalah seorang warak yang memiliki kepandaian dan kekuatan luar biasa, disegani oleh semua orang. Dia bersama sebelas orang anak buahnya, merupakan dua belas orang yang dianggap sebagai raja-raja dalam hutan-hutan itu.
Baru melihat bentuk tubuh dan wajah saja, orang sudah merasa gentar terhadap warok ini. Suro Bargolo berusia empat puluhan tahun, pakaiannya sederhana, serba hitam, dengan celana sebatas betis, baju sederhana dan ikat pinggang yang amat besar dari lawe merah. Di pinggangnya selalu terselip sebatang golok yang amat tajam mengkilap. Tubuhnya tinggi besar seperti raksasa, otot-ototnya menonjol di lengan, leher dan dadanya terbuka, dada yang dihias bulu lebat. Mukanya berkulit hitam kasar, matanya lebar dan mulutnya selalu menyeringai lebar dan sikapnya memandang rendah kepada siapapun juga!
"Suro Bargolo,"
Kata utusan itu yang sudah mengenal kepala jagoan ini.
"Pekerjaan itu tidaklah semudah yang kau kira. Perempuan muda yang harus dibunuh itu, pada besok pagi-pagi akan lewat dalam kereta di jalan raya dalam kota raja. Dan jangan kira bahwa dia tidak akan dikawal! Sedikitnya tentu ada seorang atau dua orang pengawal yang berkepandaian tinggi. Nah, apakah kau sanggup?"
"Ha-ha-ha, sanggup atau tidak tergantung dari imbalan pekerjaan itu!"
Tanpa banyak cakap, utusan itu membuka sebuah buntalan yang terisi emas dan perak berkilauan! Sepasang mata Suro bargolo terbelalak dan teman-temannya juga mengilar ketika melihat harta sebanyak itu. Mereka akan dapat minum arak, makan segala yang mahal-mahal, dan bermain perempuan sepuas-puasnya sampai beberapa hari lamanya kalau harta itu dibagi-bagi untuk mereka!
"Ha, kalau begitu boleh!"
Kata Suro Bargolo sambil mengulur tangan meraih ke arah buntalan itu. Utusan itu memegang tangannya dan berkata dengan suara tegas.
"Suro Bargolo, engkau sudah mengenal siapa aku! Aku mewakili pengawal-pengawal dari kerajaan! Maka kalau sampai engkau dan teman-temanmu melanggar janji dan tidak sampai berhasil, tentu tempat ini akan diobrak-abrik oleh pasukan-pasukan kerajaan dan mereka tidak akan berhenti sebelum dapat menggantung kalian dua belas orang sampai mampus!"
"Ha-ha-ha! Kapankah Suro Bargolo melanggar janji? Pasti beres! Sekarang ceritakan semua penjelasannya."
Utusan itu lalu menceritakan semua, betapa wanita yang akan dijadikan korban itu pada saat tertentu akan melalui jalan ini, kemudian melalui jalan itu menuju ke arah istana pangeran.
"Nah, di tempat yang sunyi di sini, kalian dapat turun tangan,"
Akhirnya dia berkata.
Suro Bargolo memeluk buntalan emas dan perak itu, didekapnya di dadanya yang lebar.
"Baik, cukup jelas. Jangan khawatir, semua akan beres. Akan tetapi sebuah pertanyaan lagi."
"Tanyalah!"
"Perempuan muda itu.... heh-heh, bolehkah kalau sebelum kubunuh, kubawa dulu ke dalam hutan? Ha-ha, tahu sendiri kawan, dia merupakan hadiah tambahan bagi kita yang kesepian!"
"Ha-ha-ha!"
Semua anak buah Suro Bargolo tertawa-tawa dan saling siku. Utusan itu mengerutkan alisnya dan bangkit berdiri berkata tak acuh.
"Sesuka kamulah, pokoknya, wanita itu harus mati, kalau sampai gagal, tahu sendiri!"
Dia lalu pergi meninggalkan dua belas orang kasar itu sambil meludah. Memang pada hari itu Lestari menerima panggilan Sang Pangeran dan mereka sudah berjanji bahwa besok pagi-pagi sekali Lestari akan naik kereta menuju ke istana pangeran seperti biasa. Karena kini mulai terdengar desas-desus tentang hubungan mereka, maka semalam Lestari sudah berunding dengan Resi Mahapati bahwa dia akan minta "ditarik"
Ke dalam istana pangeran. Waktu bagi Sang Pangeran untuk naik tahta sudah semakin dekat, dan dia harus sudah "siap-siap"
Di samping pangeran itu kalau Sang Pangeran naik tahta menjadi raja sehingga dia akan lebih banyak mempunyai kesempatan untuk mempengaruhi Sang Pangeran agar memberi kedudukan setinggi-tingginya kepada Sang Resi.
Pagi-pagi sekali, Lestari sudah berdandan sebaik-baiknya, berkemas sehingga rambutnya yang hitam halus dan panjang itu mengkilap karena bersihnya, berbau harum karena sari bunga, dan dia mandi mandi air mawar sehingga kulitnya menjadi makin halus dan berbau harum pula. Melihat ini, Resi Mahapati hampir saja tidak kuat bertahan dan dia sudah memeluk selirnya dan membelainya. Lestari cemberut dan menolak tubuh resi itu sambil berkata.
"Ingat, saya akan berangkat menemui pangeran, apakah Paduka ingin agar saya mengecewakan Beliau? Kelak masih banyak waktu bagi kita untuk bersenang-senang, Kakangmas Resi."
Resi Mahapati sadar dan dia menjauh.
"Sudah banyak orang membicarakan hubunganmu dengan Sang Pangeran,"
Katanya sambil memandang jauh ke luar jendela kamar itu.
"Bahkan sudah ada yang secara halus menyindir-nyindir aku. Maka memang sebaiknya kalau engkau tinggal di sana. Dan pagi ini lebih baik tirai keretamu kaututup saja, tidak perlu kelihatan ada pengawal. Kusirnya saja biar diganti oleh seorang pengawal yang dapat dipercaya, untuk menjaga keselamatanmu."
"Baiklah, Kakangmas, terserah kepada Paduka. Lagi pula, di kota raja ini, siapa sih yang akan mengganggu saya? Mereka mengenal saya sebagai selir Paduka, hal itu saja sudah membuat orang merasa gentar untuk mengganggu saya apalagi kalau diketahui bahwa saya....."
Lestari tidak melanjutkan.
Resi Mahapati mengangguk-angguk.
"Semua orang tahu engkau kekasih Gusti Pangeran, siapa berani mengganggumu? Kau benar, biarlah Darumuko saja yang menggantikan kusir kereta dan mengawalmu!"
Darumuko segera dipanggil menghadap. Perwira setia yang sejak dahulu membantu Resi Mahapati ini merasa girang ketika ditugaskan untuk menggantikan kusir kereta dan mengantarkan Lestari ke istana pangeran. Dari para kusir dia memperoleh keterangan bahwa setiap kali kusir mengantar Lestari ke istana pangeran, tentu mereka dan para pengawal memperoleh hadiah yang cukup banyak dari Sang Pangeran. Dan kini, dia harus mengantar, menjadi kusir sekaligus menjadi pengawal. Dia sudah membayangkan betapa banyaknya hadiah yang akan diterimanya. Semua hadiah akan diborongnya! Bibirnya yang tebal sudah menjilat-jilat lidahnya sendiri, matanya yang liar makin kocak dan mukanya yang bulat itu berseri-seri. Setelah kereta disiapkan di depan gedung, Lestari memasuki kereta dan berangkatlah kereta itu, ditarik oleh dua ekor kuda, diikuti pandang mata Resi Mahapati yang mengepal-ngepal tinjunya. Pengorbanan yang dilakukannya amat besar.
Dia merelakan selirnya yang amat dicintainya itu menjadi permainan Sang Pangeran. Kadang-kadang dia merasa cemburu dan panas hatinya, akan tetapi semua ini dapat ditekan dengan bayangan kedudukan tinggi yang akan diperolehnya sebagai hasil pengorbanan selirnya itu. Diam-diam dia merasa "kasihan"
Kepada Lestari yang harus "menderita"
Dalam pelukan pangeran yang masih ingusan itu!
Memenuhi pesan Resi Mahapati, Darumuko menjalankan kereta itu lambat-lambat saja agar tidak menarik perhatian orang, dan tirai di jendela dan pintu kereta ditutup rapat-rapat agar Lestari tidak nampak dari luar. Ketika kereta meluncur melalui jalan sunyi di sebuah tikungan, dari depan nampak sepasukan perajurit yang bertubuh tinggi besar dan berpakaian seragam. Seorang di antara mereka mengangkat tangan ke atas memberi tanda kepada Darumuko agar kereta dihentikan.
"Siapa kalian? Ada apa?"
Darumuko menegur sambil menahan kendali kudanya. Orang tinggi besar yang memimpin pasukan perajurit itu tidak menjawab, melainkan dengan sigapnya meloncat dan telah duduk di sebelah Darumuko, di atas bangku depan.
"Kami adalah pasukan pengawal Gusti Pangeran, diutus untuk menjemput. Gusti Pangeran menanti di luar kota."
Tanpa menanti jawaban lagi, laki-laki tinggi besar bermuka hitam yang bukan lain adalah Suro Bargolo ini merampas kendali dan mecambuk kuda, membelokkan kereta ke kiri, diikuti oleh sebelas orang anak buahnya yang mengiringkan kereta dengan naik kuda. Tentu saja semua ini sudah diatur oleh utusan Sri Indreswari yang menyediakan kuda dan pakaian pengawal untuk mereka.
Darumuko merasa bingung, akan tetapi menghadapi para pengawal pangeran, tentu saja dia tidak berani banyak membantah, sungguhpun diam-diam dia merasa penasaran mengapa pengawal-pengawal pangeran bersikap begini kasar-kasar terhadapnya. Akan tetapi segera dia teringat bahwa pada saat itu dia bertugas sebagai kusir, maka tentu saja kerbau-kerbau ini menganggap dia sebagai kusir biasa, bukan seorang perwira pengawal jagoan dan kepercayan Resi Mahapati!
Para penjaga pintu gerbang barat juga tidak mengganggu ketika mereka melihat pasukan yang berpakaian sebagai pengawal-pengawal pangeran itu melarikan kereta bersama Darumuko yang dikenalnya. Kereta dilarikan kencang dan ketika kereta memasuki sebuah hutan, dari dalam kereta terdengar bentakan Lestari.
"Heii, bagaimana ini? Ke mana kereta ini dibawa?"
Darumuko juga menoleh ke kiri dengan pandang mata penuh pertanyaan.
"Apakah artinya ini? Di mana Kanjeng Gusti Pangeran?"
Mendengar pertanyaan Darumuko ini, Lestari menjadi makin terkejut. Dibukanya tirai jendela dan melihat bahwa mereka telah berada di dalam hutan, ia berseru.
"Eh, aku dibawa ke mana?"
"Ha-ha-ha, mungkin ke sorga, mungkin juga ke neraka, manis!"
Kata Suro Bargolo sambil tertawa bergelak dan meloncat turun dari atas bangku depan kereta setelah kereta itu dihentikan. Juga sebelas orang temannya sudah meloncat turun dari atas kuda masing-masing sambil tertawa-tawa. Darumuko terkejut bukan main. Cepat dia bangkit berdiri dan membentak dengan suara nyaring.
"Kalian bukan pasukan Kanjeng Gusti Pangeran!"
"Ha-ha-ha,baru sekarang kau mengetahuinya? Terlambat, kawan, terlambat!"
Suro Bargolo tertawa sambil memelintir kumis yang tebal.
"Heiii, kalian jangan main-main! Apakah kalian tidak tahu siapa aku?"
Darumuko membentak pula dengan marah, matanya yang lebar itu melotot.
"Ha-ha-ha, engkau kusir berbau tahi kuda!"
Jawab seorang anak buah Suro Bargolo sehingga kembali mereka tertawa-tawa geli, menudingkan telunjuknya ke arah mua Darumuko yang memang kelihatan lucu pada saat itu. Darumuko merasa heran, kaget,khawatir dan marah menjadi satu.
"Hu-hu-huh, lihat, bibirnya sudah berubah menjadi bibir kuda!"
"Matanya seperti mata monyet ketakutan!"
"Eh, lihat lututnya sudah menggigil!"
Ejekan-ejekan ini membikin Darumuko menjadi marah. Dengan sigap dia meloncat turun dari atas kereta dan berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, lalu menggunakan tangannya untuk menumbuk-numbuk dadanya sendiri.
"Buk-buk-buk! Kalian tidak tahu siapa aku, ya? Akulah Darumuko, jagoan tanpa tanding, pengawal kepercayaan Sang Resi Mahapati! Kalian tidak tahu sudah beberapa ratus orang yang telah roboh menjadi korban pukulan dan keris pusakaku? Hayo cepat kalian berlutut minta ampun sebelum aku menghancurkan kepala kalian semua!"
Akan tetapi orang-orang itu hanya tertawa-tawa, agaknya sikap dan lagak Darumuko itu nampak amat lucu bagi mereka, seolah-olah mereka melihat seorang pelawak sedang beraksi di atas panggung.
"Eh, kalian masih nekat? Tahukah, kalian siapa Sang Resi Mahapati? Beliau adalah tangan kanan Sang Pangeran, dia adalah kepercayaan Sang Prabu!"
Kini Suro Bargolo tertawa bergelak dan melangkah maju menghadapi perwira itu.
"Ha-ha-ha, tidak perlu engkau menggunakan nama Sang Prabu atau Sang Pangeran, juga Sang Resi Mahapati untuk menakut-nakuti kami, kerbau dungu! Aku Suro Bargolo tidak takut kepada siapapun juga!"
Darumuko dalah seorang yang biasa bertindak keras, biasa ditakuti orang lain, biasa ditaati perintahnya oleh orang-orang bawahannya, maka dia menjadi makin marah.
"Babo-babo, keparat! Kau sudah bosan hidup kiranya!"
Bentaknya dan dengan kemarahan meluap dia lalu menerjang maju, menghantam ke arah dada yang telanjang, bidang dan di tumbuhi rambut itu dengan sekuat tenaganya. Darumuko adalah seorang perwira yang sudah banyak mengalami pertempuran, dan sedikitnya di telah memiliki kepandaian yang lumayan dan tenaga yang terlatih. Maka dalam hantamannya terkandung kekuatan yang cukup berbahaya dan dia sudah memastikan bahwa seperti biasa, pukulannya tentu akan meremukkan tulang-tulang iga orang yang dihantamnya. Akan tetapi, sambil menyeringai, Suro Bargolo sama sekali tidak mengelak dan menerima pukulan itu dengan dada dibusungkan.
"Bukkk....!"
Hantaman itu dengan kerasnya melanda dada Suro Bargolo dan akibatnya keduanya terkejut setengah mati.
Suro Bargolo yang tadinya mengira bahwa Darumuko hanyalah seorang kusir biasa saja, terkejut ketika merasa betapa pukulan itu cukup antep dan membuat dia sampai terhuyung ke belakang. Di lain pihak, Darumuko yang sudah merasa yakin akan meremukkan tulang dada orang tinggi besar itu, menyeringai ketika pukulan itu membuat tangannya terasa panas dan sakit-sakit karena dada orang itu amat keras seperti baja!
"Uhhh........keparat!"
Suro Bargolo memaki.
"Hemm, aku agaknya kuat juga, ya? Nah, makanlah pusakaku ini!"
Darumuko sudah melolos kerisnya, akan tetapi Suro Bargolo juga sudah mencabut golok yang terselip di pinggangnya. Ketika Darumuko menerjang ke depan, Suro Bargolo juga menubruk dan mengayun goloknya.
"Cring...... tranggg....!!"
Bunga api berpijar dan keduanya meloncat ke belakang untuk memeriksa senjata masing-masing yang tergetar hebat oleh pertemuan tadi. Ternyata senjata mereka tidak rusak dan keduanya lalu saling menyerang lagi. Terjadilah pertandingan yang amat seru, dan mulailah Darumuko merasa gelisah. Kiranya lawannya ini amat tangguh. Baru seorang ini saja sudah sukar dikalahkan, apalagi kalau lainnya maju. Akan tetapi, para anak buah Suro Bargolo tidak ada yang maju. Kalau tidak ada aba-aba dari pemimpin mereka,mereka tidak berani maju dan kini mereka hanya menonton sambil tertawa-tawa.
"Mampuslah!"
Darumuko berteriak dan tubuhnya sudah meloncat ke depan, didahului kerisnya yang menyerang dengan dahsyat. Sesungguhnya demikian dahsyat dan gerakan- nya cukup cepat sehingga mengejutkan Suro Bargolo. Kepala gerombolan penyamun ini terkejut, menangkis dengan goloknya, akan tetapi terjangan hebat itu membuat dia terjengkang dan roboh. Kesmpatan ini dipergunakan oleh Darumuko untuk menubruk ke depan dengan keris ditusukkan.
"Wuuuuttt.... desss..... aughhh....!!"
Tubuh Darumuko terpelanting, kerisnya mencelat dan dia roboh dengan kepala pecah kena disambar senjata kolor {ikat pinggang} dari lawe yang merupakan senjata ampuh dari Suro Bargolo itu. Ketika tadi dia terjengkang dan melihat lawan menubruknya, Suro Bargolo sudah memutar kolornya dan memapaki tubuh lawan dengan sabetan kolor yang tepat mengenai kepala lawan dan memecahkan kepala itu. Darumuko roboh dan tewas seketika.
"Ha-ha-ha, anjing macam ini berani melawan Suro Bargolo!"
Kepala gerombolan itu menyombong dan menyimpan goloknya, membereskan kolornya. Kemudian, diikuti oleh para anak buahnya, dia menghampiri kereta dengan penuh kegembiraan. Lestari sejak tadi mengintai dari dalam kereta dengan tubuh menggigil. Melihat sikap belasan orang kasar itu, dia merasa ngeri sekali dan tahulah dia telah dilarikan oleh gerombolan yang kasar dan ganas seperti sekelompok binatang buas.
Maka, ketika melihat Darumuko melawan kepala gerombolan, dia merasa agak lega. Dia tahu bahwa Darumuko adalah orang kepercayaan Resi Mahapati yang telah memiliki kepandaian tinggi, maka dia mengharapkan Darumuko akan berhasil menundukkan dan mengusir mereka. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya dan gelisahnya ketika dia melihat Darumuko roboh dan tewas, sedangkan kini tiga belas orang itu sambil menyeringai lebar menghampiri kereta! Wanita lain dalam keadaan seperti itu tentu akan menangis atau mungkin bisa pingsan. Akan tetapi Lestari adalah seorang wanita yang amat cerdik. Dia tahu bahwa kalau dia tidak dapat mepergunakan kecerdikannya, dia tentu akan celaka, akan mengalami nasib yang amat mengerikan, penghinaan yang lebih hebat daripada maut sendiri.
Terperanjatlah Suro Bargolo dan anak buahnya ketika mereka menghampiri kereta tiba-tiba saja tirai pintu kereta itu terbuka dan muncul seorang wanita yang membuat mereka terbelalak penuh kagum. Bahkan mereka seperti terpesona oleh kecantikan wanita yang berdiri di ambang pintu kereta itu, yang menghadap dan memandang mereka dengan sikap agung, dengan sinar mata penuh wibawa, dengan mulut yang tersenyum manis sekali.
"Aduhai..... demi para dewata! Bidadarikah kiranya......?"
Suro Bargolo berseru kagum setelah dia mampu mengeluarkan suara.
"Bukan main cantiknya...."
"Mau akan mampus sepuluh kali setelah mendapatkannya!"
"Yang begini disuruh bunuh? Gila!"
"Sayang donggg....!"
Sejenak Lestari membiarkan orang-orang itu terpesona dan mengagumi wajahnya dan bentuk tubuhnya, kemudian dia menggerakkan tangan kanan ke atas dan berkata,suaranya amat halus dan merdu, akan tetapi juga mengandung bujukan di samping mengandung ancaman dan amat berwibawa pula,
"Kisanak, hendaknya kalian ketahui bahwa aku adalah kekasih dari Gusti Pangeran. Oleh karena itu, harap kalian jangan menggangguku, karena kalau kalian melakukan hal itu, Gusti Pangeran tentu akan menjadi marah sekali dan akan mengirim pasukan yang kuat untuk menghukum kalian. Sebaliknya, kalau kalian suka mengantar aku kembali dengan selamat sampai ke istana Gusti Pangeran, kalian akan menerima hadiah yang amat besar."
Lestari sengaja hendak mempergunakan nama Sang Pangeran untuk menakut-nakuti mereka. Akan tetapi yang dihadapinya adalah gerombolan orang-orang kasar yang tidak pernah merasa takut kepada siapapun juga selama mereka berada di dalam hutan yang menjadi tempat kekuasaan mereka itu. Sejenak mereka mendengarkan, akan tetapi kemudian mereka tertawa-tawa. Sikap mereka amat mengejutkan hati Lestari.
"Aduh wong ayu....! Pantas saja seorang seperti Sang Pangeran pun tergila-gila kepadamu, karena memang engkau amat cantik jelita, amat manis, denok montok,menarik dan menggairahkan. Ha-ha-ha! Sekarang engkau telah berada di tengah-tengah kami, engkau harus menjadi milik Suro Bargolo, ha-ha-ha! Aduhh, sungguh beruntung sekali aku mendapatkan wanita seperti ini....!"
"Eh, jangan lupakan kami, Kakang Suro!"
"Benar, harus dibagi rata!"
"Kita sehidup semati, kelaparan sama diderita, kenyang sama dinikmati!"
"Ha-ha-ha, kalian tunggu saja, sampai aku puas dan bosan, ha-ha!"
Suro Bargolo kini melangkah maju dengan kedua lengan dibentangkan sehingga bukan hanya bulu dadanya yang nampak melainkan juga bulu-bulu yang tebal di bawah ketiaknya.
"Mari kupondong, manis, mari kita bersenang-senang!"
Wajah Lestari menjadi pucat. Akan tetapi dia masih mencoba untuk mengancam.
"Engkau bernama Suro Bargolo? Suro Bargolo, ingatlah bahwa aku adalah selir dari Resi Mahapati! Engkau tentu sudah tahu betapa saktinya Resi Mahapati, bukan? Dan suamiku mempunyai banyak pembantu, di antaranya adalah Resi Harimurti dan banyak orang-orang sakti lain. Kau bebaskan aku, kalau tidak engkau tentu akan menyesal kelak....!"
"Ha-ha-ha, lihat dia itu!"
Suro Bargolo menunjuk ke arah mayat Darumuko.
"Dia menggertak dan mengancamku menggunakan nama Sang Prabu sendiri. Akan tetapi aku tidak takut. Mari, jangan kau banyak gertak, manis. Mari kaulayani aku, kemudian anak buahku. Ha-ha, kami semua sudah mengilar dan rindu kepadamu. Ha-ha-ha!"
Kini Lestari benar-benar merasa takut dan kehabisan akal. Matanya terbelalak dan bulu tengkuknya meremang. Orang yang tinggi besar seperti raksasa bermuka hitam itu makin mendekat dan dalam jarak dua meter saja dia sudah mencium bau keringatnya yang apek seperti bau kambing bendot. Hampir dia pingsan saking ngerinya. Lalu sambil menjerit, Lestari meloncat turun dari pintu kereta dan berusaha untuk lari.
"Ha-ha-ha, lari ke mana?"
"Heh-heh-heh!"
"Ha-ha-ha!"
Lestari terkejut sekali. Suara ketawa itu berada di mana-mana dan ketika dia mengangkat muka memandang, ternyata dia telah dihadang oleh anak buah Suro Bargolo yang mengejarnya dari belakang.
"Lepaskan aku....!"
Dia menjerit dan hendak menerobos ke depan, akan tetapi sepasang tangan yang kuat menangkap kedua lengannya, lalu dia didorong lagi ke belakang.
"Aduh, kulit lengannya halussss..... heh-heh!"
Kata orang yang tadi memegangnya. Lestari terhuyung, hendak lari ke kiri, namun dia ditangkap dan dipeluk oleh seorang anak buah lain yang mencium kepalanya dan mendorongnya lagi ke belakang,ke arah Suro Bargolo yang menghampiri sambil tertawa-tawa.
"Wah, rambutnya wangi seperti kembang setaman.....!"
Kata yang mencium rambutnya tadi sambil tertawa dan menyedot-nyedot hidungnya.
Lestari seperti seekor kelinci di antara segerombolan harimau, terhuyung ke kanan dan dia didekap lagi oleh seorang laki-laki lain, dekapan kasar yang mengerayangi tubuhnya dan hidung yang berkumis tebal telah mencium kulit lehernya, membuat dia menjerit dan hampir saja dia pingsan.
Komentar
Posting Komentar