KEMELUT DI MAJAPAHIT JILID 32

   Dia didorong dan kini tubuhnya terlempar ke belakang, diterima oleh kedua lengan yang amat kuat, lengan Suro Bargolo yang segera memondongnya!

   "Aduhh, kulitnya sedap seperti kayu cendana......!"

   Kata orang yang mencium lehernya tadi.

   "Ha-ha-ha, kawan-kawan. Kalian sabarlah, biar aku lebih dulu menikmatinya. Baru kalian boleh mendapatkannya. Aku tanggung semua kebagian kalau tidak keburu dia....eh, mati! Ha-ha-ha!"

   Suro Bargolo memondong tubuh yang meronta-ronta itu dan membawanya masuk ke dalam sebuah pondok terbuat dari kayu dan bambu yang berdiri tidak jauh dari situ. Baru sekali ini selama hidupnya Lestari mengalami rasa ngeri yang sedemikian hebatnya. Dulu pernah dia mengalami rasa takut ketika rumahnya dibakar oleh Progodigdoyo, ketika dia dilarikan orang itu, kemudian ketika dia hendak diperkosa. Akan tetapi rasa takutnya ketika itu tidaklah sengeri sekarang ini. Dia maklum akan nasibnya. Dia akan dipermainkan dan diperkosa oleh kepala berandal ini, kemudian akan diserahkan kapada anak buahnya dan akan dipaksa harus melayani mereka. Dia takut sekali, wajahnya pucat matanya terbelalak. Masih dicobanya untuk menggunakan akal.

   "Suro Bargolo..... kasihanilah aku.... aku akan menyerahkan diri kepadamu, aku akan melayanimu dengan senang.... akan tetapi untukmu sendiri saja.... biar aku menjadi milikmu selamanya, biar aku menjadi hambamu.... jangan berikan aku kepada mereka...."

   Akan tetapi Suro Bargolo tertawa dan mencium mulut itu sehingga tidak dapat bicara lagi. Setelah melepaskan ciumannya, Suro Bargolo berkata.

   "Apa? Ha-ha-ha,engkau tidak boleh hidup terus manis. Dan aku selamanya membagi-bagi apa pun juga dengan para anak buahku yang setia."

   Habislah harapan Lestari ketika dia dipondong masuk ke dalam pondok itu dan dilemparkan ke atas sebuah pembaringan kayu yang kasar. Sambil tertawa bergelak, Suro Bargolo menanggalkan bajunya lalu menubruk ke atas pembaringan.

   "Jangan....! Ah, jangan....!!"

   Lestari meronta dan mempertahankan diri. Akan tetapi Suro Bargolo seperti seekor harimau menerkam kelinci. Sekali renggut saja robeklah pakaian Lestari dan semua perlawanan Lestari sia-sia belaka. Pukulan dan cakaran kuku tangan wanita itu sama sekali tidak dirasakannya dan dia sudah menekan tubuh Lestari ke atas pembaringan sambil tertawa terbahak-bahak.

   "Keparat lepaskan dia!"

   Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan nampak seorang laki-laki muda bertubuh tinggi kurus berada di dalam pondok itu, mendekati pembaringan. Akan tetapi, Suro Bargolo yang sudah dimabok nafsu berahi itu tidak mendengar bentakan ini. Lestari hampir tidak kuat mempertahankan diri lagi, maka melihat berkelebatnya orang dia menjerit.

   "Tolong... tolonglah saya.....!"

   "Keparat busuk!"

   Orang itu membentak lagi dan tangannya diayun.

   "Desss....!"

   Tamparan itu keras sekali, mengenai tengkuk Suro Bargolo dan raksasa ini mengeluh, tubuhnya terpelanting ke bawah pembaringan. Dia nanar sejenak. Suro Bargolo memiliki kekebalan yang amat hebat. Kalau hanya tusukan dan bacokan senjata tajam saja belum tentu akan dapat memecahkan kulit dagingnya! Karena itulah maka ketika tadi dia dipukul oleh Darumuko, dia tidak menangkis melainkan mengandalkan kekebalannya. Tamparan yang baru diterimanya dari pemuda tinggi kurus itu hebat bukan main, dan tepat mengenai tengkuknya, akan tetapi dia hanya terpelanting saja biapun menjadi nanar sebentar.

   Sambil terisak dan terbelalak, Lestari bangkit duduk di atas pembaringan, berlutut dan menyambar kainnya yang tersobek tadi, lalu menutupi tubuhnya yang telanjang. Dia makin ketakutan dan merasa ngeri ketika melihat betapa Suro Bargolo kini sudah bangkit berdiri sambil mengeluarkan gerengan yang seolah-olah menggetarkan seluruh pondok.

   "Jahanam, siapa kau berani mengganggu kesenangan Suro Bargolo?"

   Bentak kepala penyamun itu sambil menyambar goloknya yang tadi diletakkannya di atas lantai ketika dia menggulat Lestari.

   Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, bertubuh tinggi agak kurus, wajahnya muram seperti orang berduka, sikapnya tenang sekali dan pandang matanya tajam. Menghadapi sikap mengancam raksasa itu, dia menjawab tenang,"

   Tak peduli siapapun juga aku, namun perbuatanmu yang jahat itu layak dihukum seberat-beratnya!"

   "Babo-babo keparat! Nyawamu seperti rangkap saja maka bicaramu demikian sombong. Makan golok ini!"

   Suro Bargolo menerjang dengan sambaran goloknya yang mengeluarkan suara berdesing, mengarah leher pemuda itu.

   Lestari menutupi muka dengan kedua tangannya, ngeri melihat betapa leher itu tentu akan putus dan darahnya akan muncrat-muncrat. Akan tetapi dia mendengar perkelahian berlangsung terus maka dibukanya lagi kedua matanya dan biarpun kedua tangan masih menutupi muka, namun dia mengintai dari celah-celah jari tangannya. Dia melihat hal yang amat luar biasa. Bayangan pemuda itu berkelebatan seperti berubah menjudi banyak, dan betapapun golok itu berdesing menyambar-nyambar, namun tidak pernah dapat menyentuhnya! Tiba-tiba pemuda itu berseru keras, kakinya menendang dan tepat mengenai perut Suro Bargolo.

   "Bukkk!!"

   Tandangan yang keras sekali dan tepat mengenai perut, akan tetapi akibatnya Suro Bargolo hanya terhuyung dan dia tertawa, terus menerjang lagi dengan hebatnya.

   Pemuda itu terbelalak kaget, maklum bahwa lawannya memiliki kekebalan yang amat kuat, maka dia pun cepat mengelak dan mempergunakan kecepatan gerakannya untuk menghindarkan diri dari serangan golok itu yang selain ganas juga amat kuat. Diam-diam pemuda itu mengerahkan seluruh kekuatannya pada telapak tangan kanannya, dan ketika dia melihat kesempatan baik,begitu golok itu menyambar dengan bacokan maut dari atas ke bawah, dengan maksud untuk membelah tubuhnya menjadi dua dari atas ke bawah, dia cepat miringkan tubuhnya ke samping kiri. Begitu tangan yang memegang golok itu berdesing menyambar di samping kanan tubuhnya, dia memutar tumit kakinya dan tangan kanannya menghantam dengan seluruh tenaganya dari atas ke bawah, mengarah pergelangan tangan kanan lawan yang memegang golok.

   "Dessss...... ahhhh! Syuuuuttt..... desss!!"

   Tubuh pemuda itu terlempar ke balakang seperti sehelai daun kering tertiup angin. Sedangkan Suro Bargolo menyeringai dan tangan kanannya tergantung seperti lumpuh. Kiranya ketika pergelangan tangan kanannya dihantam, pergelangan tangannya seperti dihantam palu godam dari baja yang amat berat sehingga goloknya terlempar dan dia berteriak, akan tetapi berbareng pada saat itu, tangan kiri kepala perampok ini sudah mengayun kolornya, senjata mautnya itu menyambar dada pemuda itu, membuat tubuh pemuda itu terjengkang dan terlempar keluar dari pintu pondok itu!

   "Keparat...... jahanam....!"

   Suro Bargolo memaki-maki karena marahnya. Tangan kanannya seperti lumpuh dan dengan kemarahan meluap dia mengejar, melompat keluar dari pintu pondok dengan tangan kiri mengayun-ayun kolornya yang ampuh itu.

   Sementara itu, dua belas orang anak buah Suro Bargolo tadinya menyeringai dan terkekeh-kekeh mendengar hiruk-pikuk di dalam pondok itu. Mereka membayangkan betapa kepala mereka itu sedang menggumuli wanita cantik tadi dan mereka mengira bahwa Si Wanita tadi tentu melawan agaknya maka terjadi pergumulan yang hiruk-pikuk.

   Mereka membayangkan segala penglihatan cabul yang membuat mereka terkekeh-kekeh dan mengeluarkan ucapan-ucapan kotor pula. Maka, dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya hati mereka ketika mereka melihat tubuh seorang pemuda tinggi kurus yang terlempar dari dalam pondok, terbanting ke atas tanah dan berguling-guling,kemudian disusul meloncatnya Suro Bargolo yang memutar-mutar kolornya dengan muka marah sekali!

   Ketika pemuda itu kena dihantam kolor, Lestari yang melihat pertempuran itu dengan menahan napas, mengeluarkan jerit ngeri. Dia mengira bahwa pemuda yang menolongnya itu tentu tewas pula seperti yang terjadi pada diri Darumuko,apalagi melihat pemuda itu terlempar keluar pondok dan dikejar oleh Suro Bargolo yang menyeramkan itu. Biarpun kedua kakinya menggigil dan napasnya sesak saking ngeri dan gelisahnya, Lestari memaksa dirinya turun dari pembaringan dan mengintai dari balik pintu, selain untuk melihat apa jadinya dengan pemuda itu,juga untuk mencari kesempatan melarikan diri selagi Suro Bargolo mengejar Si Pemuda yang terlempar keluar.

   Akan tetapi, tidak seperti yang dikhawatirkan oleh Lestari, biarpun dia telah terkena pukulan kolor yang ampuh itu dan sudah terlempar keluar, terbanting dan jatuh bergulingan, pemuda itu ternyata masih dapat melompat bangun lagi dengan sigapnya! Hanya mukanya yang muram itu kini berubah agak pucat, akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar maut! Sesungguhnya, tingkat kepandaian pemuda ini masih jauh lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Suro Bargolo yang kasar. Pemuda itu memiliki dasar ilmu pembelaan diri yang amat kuat, baik dan teratur. Hanya karena dia tidak mengira bahwa lawannya memiliki senjata kolor yang demikian ampuhnya, maka dia menjadi lengah dan terpukul senjata kolor yang merupakan senjata mujijat para warok, senjata yang bukan sembaranga karena senjata itu telah ditapai, di manterai, dan mengandung jimat-jimat yang mujijat!

   Betapapun juga, pemuda itu memang hebat. Lain orang, terkena hantaman simpul di ujung kolor pada dadanya seperti itu, tentu akan remuk-remuk tulang iganya. Akan tetapi pemuda itu hanya terlempar saja dan merasa betapa dadanya ampek dan agak nyeri, namun dengan mengerahkan tenaga dari pusar dan menghirup hawa murni, dia dapat memulihkan lagi kekuatannya dan begitu lawannya amat marah itu menerjang dengan kolornya diayun mengarah kepalanya, pemuda yang juga marah itu sudah waspada dan dapat mengelak cepat.

   Suro Bargolo penasaran bukan main. Tangan kanannya masih lumpuh, mungkin patah tulangnya atau terlepas sambungan sendi tulangnya. Dia tadinya mengira bahwa tentu pemuda itu telah mampus dan dia mengejar keluar untuk menghancurkan kepala pemuda itu. Siapa kira, pemuda itu bangkit kembali dan bahkan mampu mengelak dari hantaman kolornya dengan mudah. Maka, dengan mata merah, cuping hidung berkembang-kempis, ujung mulut berbuih saking marahnya, bagaikan seekor kerbau gila dia mengamuk, menyerang dengan ganasnya.

   Pemuda itu juga sudah mengambil keputusan untuk mengadu nyawa. Begitu melihat lawannya menubruk, didahului sambaran kolor yang berubah menjadi segulung sinar merah, dia miringkan tubuhnya, secepat kilat tangan kanannya menyambar ujung kolor yang dibuat simpul besar itu, lalu dia meoncat dan....kolor itu membelit leher Suro Bargolo! Si Warak Sakti itu terkejut, meronta dan hendak merenggut kolornya, namun pemuda itu sudah membelitkan dua kali dan kini berada di belakang tubuhnya, menarik ujung kolor yang mencekik leher itu sekuat tenaganya!

   Tubuh Suro Bargolo meronta-ronta, kedua kakinya menyepak-nyepak, kedua tangannya tadinya hendak merenggut kolornya yang mencekiki leher, namun tak mungkin lagi karena kolor itu telah menggigit kulit lehernya maka kini kedua tangannya seperti dua ekor ular gila, bahkan tangan kanan yang lumpuh itu ikut juga bergerak, berusaha untuk mencengkeram ke arah lawannya yang berada di belakangnya. Namun, pemuda itu menarik dan terus menarik. Kolor itu mencekik makin dalam.

   Semua anak buah Suro Bargolo memandang dengan mata terbelalak, tercengang dan bingung. Kini muka Suro Bargolo menjadi merah sekali, matanya melotot sepeti hendak keluar dari rongga matanya, mulutnya terbuka dan mengeluarkan busa,lidahnya menjulur keluar, dari tenggorokannya keluar suara yang aneh. Cekikan makin menghebat, sekali lagi tubuh itu meronta keras untuk yang terakhir kali,sedemikian kuatnya tubuh itu meronta sampai pemuda itu terbawa dan keduanya jatuh teguling. Namun cekikan itu tidak pernah mengendur sedikitpun juga dan tubuh Suro Bargolo terkulai. Pemuda itu menarik lagi dengan pengerahan tenaga terakhir sampai terdengar "krekkk"

   Dari leher kepala perampok itu, tanda bahwa tulang tengkuknya patah! Tewaslah Suro Bargolo dengan mata mendelik dan lidah terjulur keluar! Pemuda itu bangkit berdiri, terhuyung-huyung dan dari ujung bibirnya menetes darah. Kiranya dia telah mempergunakan seluruh tenaganya ketika mencekik tadi,padahal dia telah menderita luka di sebelah dalam tubuhnya akibat hantaman kolor.

   Kini, melihat kepalanya tewas, dua belas orang perampok itu berteriak-teriak dan bagaikan kerbau-kerbau gila terlepas mereka menerjang Si Pamuda yang masih terhuyung! Pemuda itu terkejut, cepat bergerak menangkis dan mengelak, akan tetapi tetap saja pundak kirinya terkena bacokan golok sehingga berdarah. Pemuda itu pulih kembali tenaganya karena marah, sekali dia menampar, penyerang ini roboh terpelanting goloknya terampas dan kini pemuda itu mengamuk! Dalam sinar golok yang tergulung-gulung, terdengar teriakan-teriakan dan berturut-turut robohlah empat orang pengeroyok! Manyaksikan kehebatan ini, para pengeroyok itu menjadi gentar dan mereka melangkah mundur.

   Pemuda itu berdiri tegak dengan golok berlumuran darah di tangannya, sikapnya gagah dan menyeramkan.

   "Hayo, majulah kalau kalian sudah bosan hidup! Kalau tidak, pergilah dan bawalah bangkai-bangkai ini dari sini! Hayo cepat!!"

   Sisa tujuh orang perampok itu maklum bahwa pemuda itu bukan orang sembarangan. Kepala mereka yang amat sakti itu telah di bunuhnya, dan dalam beberapa gebrakan saja lima orang kawan mereka tewas pula. Maka mereka lalu membungkuk-bungkuk,menyeret mayat-mayat teman-teman mereka dan kepala mereka, lalu melarikan diri dari tempat itu. Pemuda itu masih berdiri tegak dengan golok berlumuran darah di tangan. Dia memandang sampai mereka itu kabur dan tak nampak lagi, barulah dia mengeluh,goloknya terlepas. Dia mencoba untuk melangkah, lalu mengeluh lagi, memegangi kepalanya yang menjadi pusing, lalu terhuyung dan roboh terguling!

   "Ksatria yang gagah perkasa..... ahh, pendekar yang berhati mulia......ohh, orang muda yang budiman....!"

   Pemuda itu membuka matanya. Mula-mula dia heran sekali melihat bahwa dia telah berada di atas pembaringan dalam sebuah pondok yang morat-marit keadaannya, dan ada lampu teplok remang-remang di sudut, lalu suara bisikan itu! Dan dia merasa ada jari-jari tangan yang lembut meraba dahinya, mengelus rambut kepalanya.

   "Kasihan orang muda yang gagah perkasa....."

   Kembali suara itu berbisik lembut dan kini jari-jari tangan itu membuka bajunya, mencuci luka di pundaknya dengan sehelai saputangan yang dibasahi air. Perih rasanya dan dia menyeringai,merintih lirih.

   "Aduhhh...."

   "Ah, engkau telah sadar? Syukurlah, ah, aku sudah takut kalau-kalau engkau mati...."

   Suara bisikan lembut itu mengandung isak.

   "Ya, Tuhan, terima kasih! Ternyata engkau masih hidup, pahlawanku, ksatria yang telah menyelamatkan hamba daripada malapetaka yang lebih hebat daripada maut....."

   Dan wanita itu menangis perlahan sambil masih mencuci luka itu. Kini wajah itu mulai nampak jelas tertimpa sinar redup lampu teplok. Wajah yang amat manis, amat cantik jelita. Wajah yang sudah lama dikenalnya dari jauh, yang sudah lama mendebarkan jantungnya, akan tetapi juga wajah yang telah lama membuatnya risau, membuatnya penasaran, membuatnya penuh penyesalan.

   "Cukup.... besarkah lukanya....?"

   Dia berbisik Wanita itu mengangguk.

   "Tidak berapa besar, akan tetapi darahnya mengalir terus....ah, aku khawatir sekali....."

   "Tolong carikan sarang laba-laba.... merupakan obat yang baik untuk sementara menghentikan darah....."

   Pemuda itu berkata lemah karena dadanya terasa sakit.

   Luka di pundaknya itu bukan apa-apa. Dia adalah seorang ksatria yang sudah sering bertempur, maka luka di kulit dan daging bukanlah apa-apa, dapat cepat sembuh. Akan tetapi luka akibat pukulan kolor tadi benar-benar hebat dan memerlukan pengobatan lebih teliti lagi. Dia lalu bengkit duduk dan bersila,mengatur pernapasan untuk menghirup sebanyak mungkin hawa murni, mengumpulkan di pusar dan kemudian mengerahkan tenaga dalam yang bangkit dari pusar. Hawa yang panas menjalar naik dan berputar-putar di dalam dadanya. Itulah cara pengobatannya yang pertama sementara wanita itu membawa lampu teplok dan mulai mencari sarang laba-laba dan mengumpulkannya di tangan yang berjari kecil-kecil mungil dan berkulit halus putih itu. Lestari sudah kembali lagi membawa sarang laba-laba yang merupakan kapas putih.

   Melihat pemuda itu duduk bersila, cepat dia mendekatkan lampu teplok dan berkata lirih.

   "Inilah obatnya....."

   "Tolong tutupkan pada luka dan balut....."

   Pemuda itu berkata singkat karena dia tahu bahwa dalam keadaan seperti itu, dia tidak boleh banyak bicara. Kemudian dia mengatur kembali pernapasannya sementara Lestari lalu menaruh sarang laba-laba itu memanjang di atas luka yang masih meneteskan darah. Benar saja, begitu tertutup oleh benda seperti kapas itu, darah berhenti menetes dan dia lalu membalut pundak itu dengan robekan sabuk suteranya. Dibalutnya dengan hati-hati sekali dan dia kadang-kadang melirik ke arah wajah pemuda yang bersahaja dan tidak terlalu tampan, namun membayangkan kegagahan, membayangkan kedukaan, membayangkan sesuatu yang menimbulkan perasaan iba di dalam hati wanita itu,perasaan yang selama ini belum pernah dirasakannya.

   Setelah membalut, Lestari melihat betapa pemuda itu masih bersila, kedua matanya terpejam, alisnya berkerut, napasnya panjang-panjang. Dia tidak berani mengganggu, maklum bahwa pemuda itu adalah seorang yang sakti, mungkin sedang melakukan sesuatu yang bertalian dengan luka-lukanya. Dia sendiri tahu bahwa suaminya, Resi Mahapati, sama sekali tidak mau diganggu kalau sedang duduk bersila seperti itu, sedang bersamadhi. Lestari lalu menggodok air dengan alat-alat sederhana yang terdapat di dalam pondok itu.

   Akan tetapi, air sudah lama mendidih, apinya sudah lama padam dan air mendidih itu sudah lama menjadi dingin kembali, dan pemuda itu masih juga bersila seperti arca, sama sekali tidak bergerak. Bahkan tengah malam telah lewat dan pemuda itu masih juga duduk bersila di atas pembaringan. Melihat ini, Lestari merasa khawatir sekali. Didekatinya pemuda itu, dipandangnya dan dirabanya dahinya. Duduknya begitu diam! Begitu diam seperti arca, seperti... seperti mayat! Jantungnya berdebar tegang dan muka Lestari tiba-tiba pucat.



"Kisanak.....! Kisanak.....! Raden....! Raden.... bangunlah....!"

   Dia menggoyang-goyang tubuh itu dengan sentuhan pada pundaknya, pahanya, namun yang duduk besila itu seperti sudah menjadi kaku, seperti mayat duduk! Jangan-jangan sudah mati! Raksasa itu memang sakti sekali. Jangan-jangan pemuda ini juga sudah tewas seperti Darumuko! Pikiran yang menyelinap di dalam benaknya ini membuat Lestari terbelalak, mukanya makin pucat menatap wajah itu dan tak terasa lagi dia menjerit dan menubruk tubuh yang duduk bersila itu lalu menangis sejadi-jadinya!

   "Jangan tinggalkan aku..... hu-huuuuh....... raden, jangan mati.... oh, jangan...!"

   Lestari menangis tersedu-sedu dan memeluki tubuh itu, menyembunyikan mukanya di dada dan di atas pangkuan pemuda itu yang masih duduk bersila seperti telah tidak bernyawa lagi. Baru satu kali ini selama hidupnya Lestari benar-benar menangis sungguh-sungguh, benar-benar merasa hancur hatinya, merasa berduka karena kematian seseorang. Peristiwa tadi benar-benar mengguncangkan seluruh batin Lestari. Ancaman yang amat mengerikan hatinya, keadaannya yang sudah berada di ambang malapetaka dan kehancuran, di mana dia sudah menjadi putus harapan. Kemudian meunculnya pemuda ini yang sama sekali tidak pernah disangka-sangkanya,muncul dan sekaligus menyelamatkan dirinya dari malapetaka. Wajah pemuda ini yang kelihatan demikian muram seperti mengandung kedukaan hebat, kegagahan pemuda yang selain menyelamatkannya juga telah mengorbankan dirinya sampai terluka hebat, semua ini membangkitkan perasaan aneh di dalam hatinya.

   Padahal,semenjak dia diculik oleh Pragodigdoyo, kemudian semenjak dia terpaksa harus menyerahkan dirinya kepada Resi Mahapati, hati wanita itu menjadi beku dan tertutup begi perasaan cinta kasih terhadap seorang pria. Namun peristiwa siang hari ini seperti mendobrak semua kebekuannya dan perasaan wanitanya tergugah,membuat dia memandang pemuda itu seperti seorang pria yang amat berjasa, yang patut diserahi cinta kasihnya, jiwa raganya! Maka, kini melihat pria itu duduk seperti arca, kemudian disangkanya telah mati, Lestari mengalami kehancuran hati yang selama ini belum pernah dirasakannya, bahkan belum pernah dimimpikannya.

   Tiba-tiba Lestari menghentikan sedu-sedannya. Ada jari-jari tangan mengelus rambut kepalanya, lalu jari-jari itu merayap ke bawah, membelai kedua pipinya,dan lehernya. Dan suara berbisik-bisik lirih.

   "Engkua sungguh cantik jelita....engkau sungguh agung.... engkau wanita yang patut dibela dengan nyawa......"

   Lestari cepat mengangkat mukanya yang tadinya menelungkup di atas pangkuan pemuda itu dan dia melihat betapa pemuda itu telah membuka matanya dan memandang kepadanya dengan sinar mata mesra, sungguhpun wajah itu masih nampak muram berduka.

   "Kau.... kau tidak mati....? Kau masih hidup, Raden? Akh, terima kasih kepada para dewata....!"

   Lestari menangis lagi sambil merangkul.

   Pemuda itu juga merangkulnya, mereka saling berpelukan. Dengan air mata bercucuran Lestari mengangkat muka, mereka saling berpandangan dan muka mereka saling berdekatan.

   "Kau.... kau menangis....? Kau.... menangisi aku....?"

   Pemuda itu bertanya, suaranya gemetar.

   "Mengapa...? Mengapa...?"

   Suara yang penuh getaran ini seperti meremas-remas hati Lestari, dia menggunakan tangannya menutupi mulut itu agar tidak bicara lagi dan dia lalu memperketat dekapannya dan mencium pemuda itu dengan sepenuh perasaan hatinya. Pemuda itu kelihatan terkejut, akan tetapi tak kuasa menolak, bahkan lalu membalas sehingga mereka berpelukan dan berciuman dengan penuh kemesraan.

   Akhirnya, pemuda itu dapat bernapas dan berkata terengah-engah dan gagap.

   "Maafkan...., hamba....hamba adalah...."

   "Ssshhhh.... Kakang mas..... perlukah kita bicara....?"

   Lestari memotong dan kembali jari-jari tangannya menutupi mulut itu yang kemudian diciuminya dan mereka berdua lalu berguling di atas pembaringan. Hanya ada satu dorongan terasa oleh mereka, yaitu pencurahan kasih sayang mereka. Bukan, sama sekali bukan dorongan nafsu berahi semata. Ada sesuatu terasa oleh mereka, sesuatu yang melebihi pengaruh nafsu berahi belaka. Lampu teplok itu kehabisan minyak, beredip-kedip dan nyalanya tiba-tiba mengecil,seperti mata berkedip-kedip, kemudian padam dan pondok itu menjadi gelap pekat. Namun hal ini sama sekali tidak terasa oleh dua orang itu. Mereka telah lupa segala, yang ada hanya mereka berdua dan perasaan cinta yang menggelora.

   Sinar matahari yang masih amat muda, kemerahan bagaikan sinar emas, menerobos masuk melalui celah-celah bilik ke dalam pondok itu. Sunyi sekali di dalam dan di luar pondok. Hanya bunyi kicau burung di pohon-pohon di luar pondok yang menyemarakkan suasana pagi hari yang cerah dan indah itu.

   Mereka masih berbaring di atas balai kayu di depan pondok. Pemuda itu terlentang dan matanya menatap ke atas ke atap rumput alang-alang dari pondok itu. Tangannya yang kanan mengelus-elus rambut yang panjang itu, rambut dari kepala yang rebah telentang, kepalanya berbantal dada pemuda itu, rambutnya yang hitam dan panjang, halus mengkilap karena kemarin pagi sebelum berangkat telah dikeramasinya, kini terlepas dari sanggulnya dan menyelimuti dada pemuda itu yang tak berbaju. Wajah wanita ini seperti mengeluarkan cahaya, gemilang dan berseri biarpun agak pucat dan membayangkan kelelahan. Bulu matanya yang panjang lentik itu masih digenangi dua butir air mata, dan bibirnya yang tipis merah itu tersenyum penuh kebahagiaan. Sinar matanya sayu melamun, juga menerawang ke atas.

   Ketika merasa jari-jari tangan itu membelai rambutnya, dia tersadar, menoleh sedikit sehingga bertemu pandang mata dengan pemuda itu, dia tersenyum, lalu menggerakkan tangan sehingga jari-jari tangan kirinya bertemu dengan jari-jari tangan kanan pemuda itu, mereka saling cengkeram dan jari-jari mereka saling dekap. Getaran mesra terasa oleh mereka melalui sentuhan antara jari-jari tangan itu. Dua butir air mata yang tergenang di bulu mata itu bertitik jatuh ke atas pipi yang halus dan agak pucat.

   "Mengapa baru sekarang kita saling bertemu....? Mengapa tidak sejak dulu....?"

   Lestari berbisik seperti orang yang menyalahkan nasibnya. Ketika dia merasa betapa dada yang ditidurinya itu bergerak sedikit, Lestari menoleh dan kini menatap wajah itu. Wajah yang masih kelihatan muram, akan tetapi sinar mata yang memandangnya itu demikian tajam, demikian penuh pernyataan cinta yang mesra.

   Lalu Lestari berbisik nadanya menegur.

   "Mengapa tidak dari dulu-dulu engkau menemui aku?"

   Pemuda itu menarik napas panjang, jari-jari tangannya melepaskan tangan Lestari dan kini menelusuri pipi dan dagu itu.

   "Mengapa? Ah, engkau begini cantik jelita, dan engkau selama ini.... ah, tempatmu begitu tinggi...."

   Dia tidak melanjutkan kata-katanya, untuk sejenak hanya melamun, kemudian berkata lagi.

   "sungguhpun telah lama aku mengagumimu, merindukanmu dari jauh...."

   Tangan Lestari membelai dada yang telanjang itu, digurat-guratnya dengan kuku telunjuknya.

   "Siapakah engkau? Siapakah namamu?"

   "Aku? Namaku Harwojo dan aku hanya seorang abdi biasa saja, aku..."

   "Tak mungkin! Engkau memiliki kesaktian, engkau gagah perkasa."

   "Itulah pekerjaanku, mengandalkan sedikit kemampuan untuk berkelahi! Aku adalah seorang pengawal dan kepercayaan dari Gusti Ratu Sri Indreswari......"

   "Ahh...!"

   Lestari terkejut akan tetapi tidak bangkit dari dada pemuda itu, hanya kini dia rebah miring sehingga mereka dapat saling berpandangan.

   "Dan bagaimana engkau dapat menolongku di tempat ini, Kakangmas Harwojo?"

   "Kebetulan saja.... kebetulan saja aku dapat melihat keretamu dilarikan keluar dari pintu gerbang. Aku merasa curiga. Aku sudah mengenak betul keretamu, sudah terlalu lama mengenalmu, Diajeng Lestari, mengenalmu secara diam-diam. Hanya menyesal diriku sendiri.... akan tetapi, akan tetapi...."

   Tiba-tiba dia bangkit duduk dan mendorong Lestari sehingga wanita itu bangkit duduk pula.

   Mereka duduk berhadapan di atas pembaringan itu. Wajah Harwojo nampak makin keruh dan sinar matanya berkilat, seperti orang marah.

   "Kenapa, Kakangmas Harwojo....?"

   Lestari bertanya, khawatir melihat orang itu seperti marah, merangkulnya. Harwojo menarik napas panjang, lalu balas merangkul dan ada sedu sedan naik dari dadanya.

   "Eh, kau.... kau menangis?"

   Lestari bertanya kaget, merangkul leher.

   Harwojo menunduk, menyembunyikan mukanya dan dengan punggung kepalan tangannya,dia mengusir dua titik air mata yang tadi meloncat keluar. Kemudian dia mengangkat mukanya, menggunakan kedua tangannya untuk memegang kedua pipi Lestari, dipandang wajah itu dan dia berkata, suaranya mengandung penasaran.

   "Diajeng Lestari, engkau begini cantik, begini ayu..... begini manis....."

   Tangan itu membelai seluruh muka yang amat mengagumkan hatinya itu,

   "Akan tetapi mengapa.... mengapa engkau membiarkan orang mempermainkan dirimu? Mengapa engkau membiarkan orang lain memperalat dirimu, memperalat kecantikanmu?"

   "Maksudmu, Kakangmas Harwojo?"

   "Aku tahu bahwa engkau sengaja dipergunakan orang untuk memikat Sang Pangeran....."

   Harwojo berhenti sebentar, lalu melepaskan kedua tangannya, membuang muka dan mengepal tinjunya.

   "Ah, aku cinta padamu...... Diajeng Lestari, demi iblis! Biar terkutuk aku! Aku cinta padamu....!!"

   Lestari memandang wajah itu dan air mukanya membayangkan kelembutan, membayangkan rasa sayang penuh iba.

   "Kakangmas Harwojo, aku pun cinta padamu..... sungguh, langit dan bumi menjadi saksi, para dewata mendengarkan pengakuanku ini,baru sekarang ini selama hidupku, aku mencintai orang. Aku cinta padamu, Kakangmas Harwojo."

   "Plak!"

   Harwojo menghantam telapak tangan kirinya sendiri. Nyeri sekali rasanya, kiut miut rasanya pundak yang terluka, akan tetapi lebih nyeri lagi rasa hatinya.

   "Setan! Kalau benar, mengapa engkau menjadi selir Resi Mahapati? Mengapa engkau menjadi kekasih Sang Pangeran? Aku ingin sekali percaya kepadamu, akan tetapi betapa mungkin??"

   Tiba-tiba Lestari menangis menutupi mukanya. Tangis sungguh-sungguh, bukan seperti biasa kalau dia menangis di depan Resi Mahapati atau Sang Pangeran. Sudah terbiasa dia menangis secara palsu, tangis buatan sehingga kini tangis yang sungguh-sungguh membuat jantungnya terasa seperti akan putus!

   Mendengar suara tangis yang demikian memilukan, melihat wanita itu sedemikian sedihnya, Harwojo menjadi terharu akan tetapi pandang matanya masih penuh selidik, hampir dia tidak percaya.

   "Diajeng Lestari, seorang seperti engkau ini.... dengan kedudukan begitu tinggi dan mulia, penuh kesenangan, mana mungkin dapat merasakan penderitaan batin seperti aku? Semenjak kecil aku hidup sebatangkara, tidak pernah mengenal kebahagiaan. Kemudian, aku bertemu dengan engkau, Diajeng dan mulailah semua penderitaan kutanggung! Aku jatuh cinta, akan tetapi aku tidak berani bertemu denganmu, bahkan memandang pun sudah merupakan suatu hal yang lancang bagiku. Engkau adalah selir terkasih dari Resi Mahapati, seorang yang berkudukan tinggi, dan engkau adalah Kakak kandung dari Adimas Sutejo, ksatria yang memiliki kesaktian luar biasa. Sedangkan aku...."

   "Engkau adalah seorang ksatria yang gagah perkasa pula, Kakangmas Harwojo,engkau seorang laki-laki sejati, engkau seorang pria yang kucintai, satu-satunya pria yang pernah kucinta."

   "Jangan kau berkata demikian!"

   Tiba-tiba Harwojo membentak marah.

   "Ah, Diajeng Lestari, engkau yang begini cantik seperti dewi kahyangan, engkau yang begini kucinta, janganlah kau lontarkan kata-kata yang menyakitkan hatiku itu....yang mengingatkan aku betapa.... palsu hatimu..... betapa engkau setelah menjadi selir tercinta Resi Mahapati, engkau rela dijadikan umpan, menjadi kekasih Sang Pangeran, dan tadi..... bersamaku.... engkau...."

   Harwojo tidak dapat melanjutkan, menutupi mukanya dan kini pria yang gagah perkasa ini menangis benar-benar!

   Lestari memandang dengan mata terbelalak. Kini dia mengerti dan persangkaan pemuda yang secara aneh telah menjatuhkan hatinya itu, menyakitkan hati sekali. Dia belum pernah mencintai seorang pria, bahkan belum pernah dia merasa benar-benar hidup seperti ketika berada dalam pelukan pemuda itu tadi. Belum pernah dia merasakan kesenangan sedemikian besarnya, yang membuat dia menangis dalam pelukan itu, yang membuat dia terheran-heran betapa berdekatan dengan seorang pria dapat membuat dia merasa betapa hidup ini seolah-olah berubah sama sekali,betapa segalanya nampak indah, segalanya terasa nikmat, semua terasa bahagia!

   "Kakangmas Harwojo, kau pandanglah aku dan Kau dengarkanlah kata-kataku! Aku bersumpah, selama hidupku baru sekali ini aku mengeluarkan isi hatiku, aku mengakui keadaanku."

   Ucapan itu dikeluarkan dengan penuh semangat sehingga Harwojo mengangkat mukanya yang basah air mata dan enjadi pucat sekali. Kini Lestari yang memegangi kedua pipi pemuda itu dan dengan mesra dikecupnya mulut pemuda itu,lalu berkata,

   "Dengarlah baik-baik. Jangan sekali-kali engkau mengira bahwa aku pernah merasakan cinta kasih, pernah merasakan kebahagiaan dengan pria lain. Sama sekali belum pernah dan baru tadi aku merasa benar-benar hidup, merasa benar-benar jatuh cinta Hanya padamu seoranglah aku jatuh cinta, Kakangmas. Kau tahu mengapa aku menjadi selir Resi Mahapati? Karena dendam! Aku dipaksa menjadi selirnya, dan aku lalu menyerah untuk dapat melampiaskan dendamku, dendam keluargaku. Kemudian, kau tahu mengapa aku mau dijadikan umpan untuk menjadi kekasih Sang Pangeran? Karena keinginan mengejar kedudukan! Nah,sama sekali tidak ada cinta di situ. Aku muak! Kau tidak tahu betapa menderita batinku kalau aku terpaksa harus melayani Sang Resi dan Sang Pangeran! Aku ingin membunuh mereka karena benciku! Aku muak, aku mau muntah kalau mengingatnya, Kakangmas!"

   Harwojo memandang wajah wanita itu dengan alis berkerut, penuh kasih sayang dan penuh rasa iba.

   "Kalau begitu, mengapa engkau menyiksa diri sedemikian rupa, Diajeng? Mengapa masih kau kukuhi kedudukanmu itu kalau memang engkau tidak menemukan bahagia di situ?"

   "Apa dayaku, Kakangmas? Apa pilihanku? Hanya tadi, setelah bertemu denganmu, setelah merasa betapa engkau benar-benar amat mencintaiku, setelah..... setelah tadi.... aku tahu bahwa selama ini aku hidup seperti dalam alam mimpi, tidak melihat kenyataan. Kini aku tahu bahwa semua itu, dendam dan pengejaran kedudukan, hanya kosong belaka dan makin dituruti makin membuatku kosong. Hanya dengan cintamu maka aku merasa penuh, aku merasa hidup, Kakangmas. Karena itu, mari kita tinggalkan segala kepalsuan dan kekosongan itu, mari kita hidup bersama, jauh dari segala kericuhan ini....kaubawalah aku pergi, Kakangmas, biar kita hidup miskin dan papa biar harus makan dua hari sekali, biar harus tinggal di gubuk dan memakai pakaian kasar...., aku akan bekerja, aku akan melayanimu, aku akan membahagiakan hidupmu karena kebahagianmu berarti kebahagiaanku pula....."

   Harwojo menggeleng kepala.

   "Tidak..... tidak....! Tidak mungkin!"

   Dia lalu meloncat turun dari pembaringan, mengenakan pakaiannya kembali dan berjalan hilir mudik di dalam pondok. Pikirannya kacau dan bingung sekali. Seperti kita ketahui, Harwojo ini pernah menjadi mata-mata Sang Ratu Sri Indreswari dan bertugas di Lumajang. Bersama dengan dengan Sulastri, Joko Handoko dan yang lain-lain, dia berhasil memasuki sayembara, lulus dan menjadi panglima.

   Dia menjadi mata-mata ini untuk menyelidiki tentang hilangnya keris pusaka Kolonadah. Kemudian, seperti telah diceritakan di depan, dia telah membantu Murwendo dan Murwanti menawan Joko Handoko dan Roro Kartiko yang dianggap sebagai anak-anak pemberontak yang patut dihukum, dan juga hal itu dilakukannya karena dia ingin agar orang kembar itu akan membantunya kelak dalam tugasnya mencari Kolonadah. Akan tetapi, selain itu dia pun hendak mencegah gadis yang dikaguminya itu menjadi kaki tangan pemberontak Lumajang. Akan tetapi,ketika dia berhasil menawan Sulastri, muncul Sutejo yang mengalahkannya.

   Akhirnya, setelah tahu bahwa dia adalah utusan Sang Ratu, Sutejo membebaskannya dan dari pemuda perkasa dan dara itu tahulah Harwojo bahwa keris pusaka Kolonadah tidak berada di tangan orang-orang Lumajang dan masih lenyap. Maka dia kembali ke Mojopahit untuk memberi pelaporan kepada Sang Ratu sehingga Sang Ratu menjadi curiga bahwa keris pusaka yang oleh Resi Mahapati diserahkan kepadanya itu adalah Kolonadah yang palsu!"

   Sebenarnya telah lama Harwojo tergila-gila kepada Lestari. Dalam suatu pertemuan, di pesta yang diadakan seorang ponggawa, di mana Resi Mahapati dan Lestari hadir, Harwojo melihat wanita ini dan pada saat itu pun dia telah jatuh cinta. Akan tetapi, mengingat bahwa wanita itu adalah selir terkasih dari Sang Resi, tentu saja dia segera menjauhkan diri dan makan hati sendiri. Tidak mungkin dia dapat dan berani mendekati selir terkasih dari resi yang sakti itu. Pula, dia tidak ingin mengganggu isteri orang lain. Akan tetapi, hatinya selalu gandrung dan baru terobati rasa nyeri hatinya kalau di sudah dapat melihat wajah wanita itu sewaktu-waktu, birapun hanya sebentar saja. Maka, telah lama Harwojo kadang-kadang membayangi dan mencari Lestari, hanya untuk memandang wajahnya dari jauh.

   Untuk melaksanakan rencananya membunuh wanita yang dianggapnya menggoda puteranya, Sang Ratu Sri Indreswari tidak mau mengutus Harwojo karena dia tahu bahwa Harwojo adalah seorang ksatria yang mengutamakan kesetiaannya terhadap Mojopahit, jadi bukan seperti ponggawa atau pengawal bayaran yang mau melakukan apa saja demi uang atau hadiah. Maka, apa yang dilakukan oleh pengawal utusan ratu yang menghubungi Suro Bargolo, sama sekali tidak diketahui oleh Harwojo dan ketika dia secara kebetulan melihat Lestari dilarikan, tentu saja dia cepat menolong dan menentang Suro Bargolo, tidak tahu sama sekali bahwa di balik semua peristiwa ini berdiri Sang Ratu kepada siapa dia sendiri menghambakan diri!

   "Kakangmas Harwojo, mengapa tidak mungkin?"

   Lestari berkata sambil memandang pria yang telah merebut hatinya itu dengan pandang mata penuh permohonan.

   "Tadinya,tidak pernah termimpi olehku bahwa aku akan dapat meninggalkan semua kedudukanku, semua cita-citaku. Akan tetapi setelah bertemu denganmu, Kakangmas, setelah aku menyerahkan segala-galanya kepadamu, aku yakin bahwa kebahagiaanku hanyalah berada di sampingmu. Aku seperti baru tergugah dari mimpi buruk dan baru terbuka mataku. Marilah, Kakangmas, mari kita pergi yang jauh, meninggalkan semua ini meninggalkan Mojopahit, di tempat sunyi.... jauh dari segala macam persoalan...."

   Harwojo membalik dan menghampiri Lestari, memeluknya. Lestari terisak dan menyambunyikan muka di dada orang yang dicintainya itu. Sejenak mereka diam dan hanya merasakan betapa getaran yang terasa di antara mereka adalah getaran yang amat kuat, yang selama ini belum pernah mereka rasakan.

   "Diajeng Lestari, aku cinta padamu, Hyang Wisesa mengetahui akan hal ini. Aku rela mengorbankan nyawa dan apa saja demi untuk dirimu, Diajeng. Akan tetapi, jangan minta aku melakukan hal itu. Kita tidak boleh melarikan diri, karena hal itu tentu akan membangkitkan kemarahan Resi Mahapati, bahkan Sang Pangeran sendiri akan menjadi marah. Kita tentu akan dicari-cari, dikejar-kejar...."

   "Kakangmas, pujaan hatiku yang gagah perkasa, jangan katakan bahwa aku takut..."

   "Engkau tahu bahwa aku tidak takut, kekasihku, tidak takut menghadapi apa pun demi untukmu. Akan tetapi aku tidak mau melihat engkau terancam bahaya......"

   "Aku tidak takut! Mereka boleh mengejar, mencari, boleh menghukum, menyiksa dan membunuhku, aku tidak takut! Apa pun yang terjadi atas diriku, asal aku berada bersamamu, Kakangmas, akan kuhadapi dengan senyum di bibir!"

   Harwojo mencium mulut yang mengeluarkan kata-kata yang amat menyenangkan hatinya itu, kemudian dia mengelus rambut yang hitam mulus dan panjang halus itu.

   "Bukan begitu, Dewiku. Aku tidak takut mati, akan tetapi aku amat takut melihat engkau sengsara. Aku tidak takut dianggap pemberontak akan tetapi aku ngeri kalau namamu disebut sebagai seorang pengkhianat dan pemberontak. Sampai mati pun aku akan terus menyesal dan rohku akan menjadi setan penasaran kalau sampai menyebabkan engkau dikejar dan dihukum sebagai pemberontak. Tidak, Yayi, aku tidaklah sejahat itu. Tidak, Diajeng Lestari, engkau adalah selir Resi Mahapati yang mulia dan terhormat. Engkau bukan seorang wanita yang bebas. Sudah nasib kita begini....."

   "Kakangmas Harwojo....!"

   Lestari merangkul sambil menangis.

   "Setelah pertemuanku denganmu, apa kau kira aku akan sanggup lagi menyerahkan diriku kepada Resi Mahapati, kepada Pangeran, kepada siapapun juga? Aku adalah milikmu, Kakangmas, lahir batin....."

   Akan tetapi Harwojo tidak dapat dibujuk lagi. Setengah memaksa dia membantu Lestari menganakan pakaiannya yang robek, kemudian dia mengajak Lestari kembali ke Mojopahit di dalam kereta itu. Di sepanjang perjalanan itu, Lestari menangis terisak-isak. Terbayanglah semua pengalaman hidupnya dan dia menyesal bukan main.

   Dia merasa betapa dia telah menyia-nyiakan semua waktu hidupnya hanya dengan dendam dan sakit hati. Sekarang, setelah dia bertemu dengan orang yang dicintainya, semua telah terlambat. Harwojo tidak mau menyeret dia ke dalam kesengsaraan dan nama busuk. Seolah-olah hidupnya yang sekarang ini penuh kebahagiaan! Harwojo tidak tahu betapa hidupnya yang kelihatan senang dan mewah itu merupakan racun baginya! Ingin dia membunuh diri saja. Kalau saja Harwojo tidak telah menjanjikan bahwa pria yang dikasihaninya itu akan mau mengadakan pertemuan sewaktu-waktu, tentu dia sudah membunuh diri ketika Harwojo tidak mau memenuhi permintaannya untuk minggat berdua.

   Sementara itu, di Mojopahit, Resi Mahapati dan Sang Pangeran telah menjadi bingung dan khawatir. Kereta yang membawa Lestari lenyap tak meninggalkan bekas! Pangeran yang memanggil kekasihnya itu, yang telah penuh kerinduan menanti kedatangan wanita yang amat memikat hatinya itu, menjadi makin penasaran karena belum juga Lestari tiba. Padahal biasanya, setiap menerima panggilannya, wanita itu bergegas datang. Maka dia lalu mengirim utusan untuk menanyakan ke istana Resi Mahapati. Tentu saja Resi Mahapati terkejut bukan main mendengar penuturan utusan itu bahwa selirnya belum tiba di istana Pangeran. Padahal sudah sejak pagi tadi Lestari berangkat. Maka dengan jantung berdebar penuh kekhawatiran,dia sendiri lalu meninggalkan rumahnya pergi ke istana Pangeran. Benar saja,tidak ada Lestari di sana dan wanita itu telah menghilang!

   Baik Resi Mahapati maupun Pangeran lalu mencari, mengutus orang-orang untuk mencari. Namun hasilnya sia-sia belaka. Semua rumah dan semua sudut kota raja telah diperiksa, namun sampai malam tiba, mereka tidak berhasil. Sang Resi menjadi resah sekali. Pada waktu itu, persaingan antara dua kelompok di Mojopahit sudah menjadi makin sengit dan sudah berubah menjadi pertentangan kelompok dan permusuhan secara terbuka. Dalam waktu beberapa bulan ini terjadi ketegangan-ketegangan, kematian-kematian yang aneh, pembunuhan-pembunuhan terselubung. Oleh karena itu, Resi Mahapati mulai menaruh curiga bahwa jangan-jangan selirnya itu diculik orang dengan maksud untuk memukul dia, ataukah memukul Sang Pangeran? Masih menjadi teka-teki yang takkan terjawab sebelum dia dapat menemukan kembali Lestari!

   Hanya Sang Ratu Sri Indreswari dan pengawal utusannya saja yang tahu apa yang terjadi. Sang Ratu Sri Indreswari tersenyum puas di dalam kamarnya. Siasatnya berhasil. Wanita tak tahu malu itu telah diculik dan tentu kini telah dibunuh. Puteranya bebas, bebas dari bahaya aib dan malu. Kini puteranya dapat menghadapi semua orang yang tidak menyukainya dengan dada dibusungkan, tanpa khawatir dihubungkan dengan wanita rendah itu! Dapat dibayangkan betapa gelisah rasa hati Resi Mahapati dan Sang Pangeran.

   Mereka berdua telah terikat oleh wanita itu dan sukarlah membayangkan hidup tidak dilengkapi adanya Lestari di samping mereka! Bagi Sang Pangeran, dia seperti seorang anak-anak yang memperoleh sebuah mainan baru yang tak dapat membosankan, amat mengasikkan dan menyenangkan. Maka tentu saja dia menjadi gelisah dan murung, takut kalau sampai kehilangan mainan yang disenanginya itu. Resi Mahapati lebih parah lagi. Dia amat khawatir. Dia tidak hanya amat mencinta Lestari yang dianggapnya amat cinta dan patuh kepadanya, juga amat setia. Semua rahasianya telah diketahui belaka oleh wanita itu sehingga kalau sampai Lestari terjatuh ke tangan orang lain, apalagi kalau terjatuh ke tangan musuh, sungguh amat berbahaya baginya. Dan kini dia memperoleh dua macam kesenangan dari diri Lestari.

   Kesenangan pertama yang tak pernah membosankan tentu saja pelayanan wanita itu terhadap dirinya. Dan ke dua, yang kini merupakan kesenangan tersendiri baginya, adalah mendengar penuturan Lestari tentang tingkah laku Sang Pangeran dalam bercinta setelah wanita itu kembali dari pertemuannya dengan Pangeran! Dan sekarang, dia terancam akan kehilangan semua itu! Tentu saja Resi Mahapti menjadi gelisah. Dia minta bantuan Resi Harimurti dan para jagoannya untuk mencari Lestari sampai dapat. Di lain pihak, Pangeran juga mengutus Ki Durgakelana, Ki Warak Jinggo dan Ki Sarpo Kencono untuk mencari Lestari sampai dapat.

   Akan tetapi, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ketika mereka sedang sibuk mengatur pasukan untuk mulai mencari keluar Mojopahit, mereka melihat kereta milik Resi Mahapati memasuki kota raja, dikusiri oleh Harwojo! Kereta itu langsung menuju ke rumah gedung Resi Mahapati dan berhenti di depan pekarangan depan. Harwojo dengan sigapnya lalu meloncat turun, membuka pintu kereta. Tirai tersingkap dan..... Lestari muncul dari dalam kereta, langsung lari memasuki rumah itu sambil menangis!

   Resi Mahapati dan Sang Pangeran yang sepagi itu sudah berada pula di situ, menegur, akan tetapi Lestari tidak memperdulikan sama sekali kapada mereka,langsung saja lari menangis memasuki kamarnya! Resi Mahapati terkejut bukan main. Belum pernah Lestari bersikap seperti itu terhadapnya, apalagi terhadap Sang Pangeran yang hadir di situ. Seolah-olah dia dan Pangeran tidak dianggap apa-apa oleh Lestari! Resi Mahapati sudah melangkah ke depan menyambut Harwojo. Pemuda itu kelihatan murung dan tenang.

   "Anakmas Harwojo! Apa yang telah terjadi? Bagaimana Andika dapat membawanya pulang?"

   Tanya Resi Mahapati dan Sang Pangeran juga berlari keluar. Melihat Sang Pangeran berada pula di situ, hati Harwojo seperti ditusuk rasanya. Lestari telah menjadi permainan dua orang laki-laki ini! Resi Mahapati yang tak tahu malu, yang menjual selirnya kepada Sang Pangeran demi untuk mencari kedudukan dan untuk menjilat Sang Pangeran! Dan Sang Pangeran, orang muda yang tak tahu malu, yang mau saja menerima hubungan itu di depan mata Resi Mahapati. Dan betapa Lestari merasa tersiksa harus melayani dua orang pria yang sama sekali tidak dicintanya. Kalau menurutkan hasrat hatinya, ingin rasanya dia menyerang dan membunuh dua orang pria yang telah menyiksa batin kekasihnya itu. Akan tetapi Harwojo tahu diri, dia cepat berlutut dan menyembah ketika melihat Sang Pangeran.

   "Ahh, kiranya Kakang Harwojo! Bagaimana engkau dapat membawa Lestari pulang, Kakang Harwojo? Ke mana saja dia pergi?"

   Kalimat terakhir ini mengandung kecurigaan dan cemburu besar, dan sepasang mata Sang Pangeran ditujukan kepada Harwojo dengan tajam.

   "Maaf, apakah boleh hamba bercerita di dalam saja?"

   Jawab Harwojo ketika melihat betapa banyak orang ponggawa dan pengawal merubung pendopo itu untuk melihat kembalinya Lestari dan apa yang sebenarnya terjadi. Juga mereka ingin sekali tahu ke mana perginya Darumuko yang tadinya mengusiri kereta itu.

   Resi Mahapati maklum bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang amat hebat, maka dia lalu mengangguk dan mempersilakan Sang Pangeran memasuki ruangan dalam,diikuti oleh dia dan Harwojo. Setelah tiba di dalam, Resi Mahapati mempersilakan Sang Pangeran duduk, dan Harwojo yang agak pucat mukanya juga dipersilakan duduk.

   "Nah, sekarang ceritakan, apa yang telah terjadi?"

   Tanya lagi Sang Pangeran dengan tidak sabar dan matanya berkali-kali menengok ke dalam di mana Lestari tadi lari memasuki kamarnya.

   "Kemarin pagi, selagi hamba berjalan di dekat pintu gerbang sebelah barat, hamba melihat kereta milik Paman Resi yang dikusiri oleh Kakang Darumuko lewat gerbang. Di samping Kakang Darumuko hamba melihat ada seorang laki-laki tinggi besar yang berpakaian seperti pengawal kerajaan, akan tetapi sikapnya amat mencurigakan. Juga di belakang kereta terdapat dua belas orang pengawal yang menunggang kuda,namun hamba sama sekali tidak mengenal seorang pun di antara mereka. Kecurigaan hamba makin keras, maka hamba lalu mencoba untuk mengejar kereta itu."

   Harwojo berhenti sebentar sedangkan dua orang pendengarnya mendengarkan penuh perhatian.

   "Karena kereta itu dan para penunggang kuda itu melarikan kuda amat cepat, sedangkan hamba hanya berjalan kaki, maka hamba tertinggal jauh. Hamba tetap mengejar dan akhirnya hamba melihat bekas tapak roda kereta memasuki hutan. Tentu saja hamba mekin curiga dan terus mengikuti jejak roda kereta itu. Akhirnya dari jauh hamba melihat kereta itu di tengah hutan....."

   "Apa yang terjadi? Siapa mereka?"

   Resi Mahapati bertanya dengan keinginan tahu yang memuncak.

   "Ketika hamba tiba di sana,"

   Kata Harwojo yang menunjukkan cerita itu kepada Sang Pangeran maka sikapnya masih terus menghormat.

   "Hamba melihat Kakang Darumuko telah rebah dan tewas....."

   "Ahh....!!"

   Resi mahapati berseru dan mengepal tinju saking marahnya mendengar betapa orang kepercayaannya itu tewas.

   "Teruskan..... teruskan....!"

   Sang Pangeran mendesak, makin tertarik.

   "Selain Kakang Darumuko yang sudah menggeletak tak bernyawa, di situ terdapat belasan orang kasar itu, sedangkan kepalanya yang bernama Suro Bargolo berada di dalam pondok bersama.... bersama di....... eh, bersama selir Paduka, Paman Resi!"

   Harwojo masih ingat untuk mengurungkan sebutan "diajeng"

   Terhadap Lestari.

"Lalu bagaimana? Apa yang dilakukan oleh si keparat jahanam itu?"

   Sang Pangeran bertanya dengan mata terbelalak dan di dalam hati Harwojo terasa kenyerian yang membuat dia muak. Selir orang yang terancam malapetaka, Sang Pangeran ini yang kebingungan seperti monyet kebakaran jenggot!

   "Tidak apa-apa, atau belum, Gusti. Memang keparat itu hendak melakukan perbuatan terkutuk terhadap di.... terhadap selir Paman Resi, akan tetapi hamba keburu datang dan mencegah perbuatannya itu. Hamba bertempur melawan dia dan akhirnya hamba berhasil membunuh Suro Bargolo."

   "Hemm, si kaparat! Sayang engkau telah membunuhnya, Harwojo. Kalau tidak, tanganku sendiri yang akan mencokel keluar sepasang matanya, merobek dadanya dan mencabut keluar jantungnya, memecahkan kepalanya dan mengorek keluar otaknya!"

   Resi Mahapati berteriak, marah sungguh-sungguh.

   "Bagus, Harwojo, bagus sekali engkau telah dapat membunuhnya. Ha-ha, aku pasti akan memberi hadiah besar kepadamu, Kakang Harwojo?"

   Sang Pangeran berkata sambil tersenyum girang, puas dan lega hatinya mendengar bahwa kekasihnya selamat nyawanya, juga selamat pula kehormatannya.

   Harwojo menghaturkan terima kasih dengan sembah. Di dalam batinnya terjadi perang hebat. Di satu pihak, dia adalah seorang hamba yang setia dari Mojopahit dan dia harus menjunjung tinggi Sang Pangeran Pati yang menjadi sesembahannya setlah Sang Prabu dan Sang Ratu Sri Indreswari. Akan tetapi di pihak lain dia melihat Pangeran ini sebagai seorang di antara pria yang telah menyiksa batin kekasihnya!

   "Anakmas Harwojo, aku pun amat berterima kasih kepadamu. Lalu, bagaimana selanjutnya?"

   "Ya, bagaimana lanjutannya, Harwojo?"

   Sang Pangeran bertanya pula dengan suara halus dan ramah, suara seorang yang berterima kasih.

   "Anak buah Suro Bargolo lalu mengeroyok hamba. Akan tetapi hamba berhasil membunuh beberapa orang di antara mereka dan mereka lalu melarikan diri sambil membawa mayat Suro Bargolo dan teman-teman mereka."

   "Ah, kenapa tidak kau bunuh semua atau kau tangkap seorang di antara mereka hidup-hidup?"

   Resi Mahapati bertanya.

   "Kita harus mengetahui siapa yang menyuruh mereka Pasti ada yang menyuruh, kalau tidak, masa mereka berani memusuhi aku?"

   "Hamba tidak dapat..... hamba terluka parah dan hamba terus pingsan,"

   Kata Harwojo sambil menundukkan mukanya. Kini Resi Mahapati menggunakan pandang matanya yang waspada, memandang wajah orang muda itu.

   "Hemm, agaknya Andika terkena pukulan yang ampuh, Anakmas Harwojo. Jangan khawatir, aku akan mengobatimu."

   "Terima kasih, Paman Resi. Tidak perlu kiranya, sudah hampir sembuh. Memang hamba terkena pukulan ampuh dari senjata kolor Suro Bargolo."

   Tiba-tiba Sang Pangeran berseru heran.

   "Akan tetapi bukankah peristiwa itu terjadi kemarin pagi? Lalu kemarin siang, sore dan malam tadi...., mengapa kau tidak segera mengajak pulang Lestari?"

   Mendengar pertanyaan Pangeran ini, Resi Mahapati juga memandang penuh kecurigaan. Harwojo menundukkan mukanya. Sukar baginya untuk menjawab. Semalam? Dia bermain cinta dengan Lestari! Apa yang harus dijawabnya?

   Pada saat itu, terdengar suara Lestari.

   "Kakangmas Resi Mahapati! Gusti Pangeran! Harwojo telah mempertaruhkan nyawa untuk hamba, akan tetapi mengapa Paduka sekalian masih mencurigainya?"

   Tiga orang itu memandang dan melihat Lestari muncul dari pintu dalam. Dia telah berganti pakaian bersih dan indah. Rambut yang disisir rapi dan biarpun wajahnya masih agak pucat, matanya sayu, mata orang yang kurang tidur, namun dia sudah kelihatan segar kembali. Tadi dia diam-diam mendengarkan dari balik pintu dan mendengar Pangeran mendesak Harwojo dan bersikap mencurigai, dia cepat muncul dan mengeluarkan kata-kata itu.

   "Dia hampir mati oleh luka-lukanya, pundaknya robek berdarah kena senjata, dia nyaris mati dan baru tadi pagi tadi dia sadar dari pingsannya terus mengantar hamba pulang. Kalau tidak ada dia, entah apa saja jadinya dengan hamba!"

   Sang Pangeran bangkit dari tempat duduknya, melihat sinar matanya dan gerak-geriknya, ingin sekali dia menghampiri Lestari. Kalau tidak ada orang lain di situ, tentu sudah ditubruknya wanita itu. Akan tetapi dia malu terhadap Harwojo, maka dia duduk kembali.

   "Hamba.... hamba luka parah, pukulan kolor itu amat dahsyat, hamba terluka di sebelah dalam dada, dan bacokan golok melukai pundak hamba..... harap ampunkan hamba yang tidak dapat mengantarnya kemarin....."

   "Dia rebah pingsan, hampir mati, mana bisa mengantar hamba?"

   Lestari berkata lagi.

   Resi Mahapati mengangguk-angguk.

   "Sungguh besar jasamu, Anakmas Harwojo. Kami berterima kasih sekali."

   "Kau pulanglah, Harwojo, dan nanti akan kukirim hadiah untukmu,"

   Kata Pangeran.

   Harwojo menghaturkan terima kasih menyembah dan mengundurkan diri tanpa berani melirik ke arah Lestari. Sang Pangeran juga berpamit dan berpesan agar setelah lenyap kagetnya, Lestari suka datang ke istananya.

   "Untuk menceritakan semua pengalamannya yang hebat itu", kata Sang Pangeran.

   Akan tetapi, Sang Pangeran terpaksa harus mengalami kekecewaan besar. Semenjak terjadinya peristiwa penculikan atas dirinya itu, Lestari tidak pernah lagi memenuhi panggilannya! Ada saja alasan yang dikemukakan oleh Lestari, sedang tidak enak badan dan sebagainya. Bahkan ketika secara terpaksa sekali, karena bujukan Resi Mahapati yang merasa khawatir sekali menyaksikan sikap selirnya itu, Lestari datang juga memenuhi panggilan ke istana Pangeran, dia tidak bersedia melayani gelora cinta Sang Pangeran, dengan alasan bahwa badannya tidak enak. Dia menerima cumbuan Sang Pangeran, akan tetapi hanya terbatas sampai di situ saja, dan minta tempo sampai lain kali kalau tubuhnya terasa sehat dan hatinya tidak dilanda ketakutan.

   "Gusti, harap ampunkan hamba. Peristiwa tempo hari itu membuat hamba menjadi ketakutan setiap kali menghadapi rayuan pria. Kepala perampok itu amat kejam,amat mengerikan...."

   Katanya sambil menangis dan terpaksa Sang Pangeran "melepaskannya".

   Bukan hanya terhadap Sang Pangeran Lestari menghindarkan diri. Juga terhadap Sang Resi Mahapati sendiri! Dia tidak pernah mau melayani Sang Resi dengan alasan-alasan yang sama! Dan kini dia lebih sering keluar dari rumah dan memang dia selalu memperoleh kebebasan dari Sang Resi. Kemanakah dia pergi yang hampir dilakukan setiap hari dan paling lama dua hari sekali itu? Kemana lagi kalau bukan mengadakan pertemuan dengan Harwojo! Dan pemuda itu tidak mampu menolak permintaan Lestari untuk mengadakan pertemuan dan saling mencurahkan kasih sayang mereka. Di dalam hutan itu! Di dalam pondok bekas sarang Suro Bargolo itu, di mana mereka memadu kasih! Makin dalam Lestari terbenam ke dalam kasih sayangnya terhadap pemuda itu. Perasaan yang belum pernah dirasakannya dan yang membuatnya tersiksa setengah mati!

   "Kakangmas, bawalah aku pergi.... tidak tahan lagi aku hidup di rumah Sang Resi. Ketahuilah, semenjak pertemuan kita itu, aku selalu menghindarkan diri, aku selalu menolak kasih sayang Sang Resi maupun Sang Pangeran..... dan aku takut bahwa aku tidak akan mungkin dapat menolak terus-menerus, Kakangmas...."

   


    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KERIS MAUT

PENDEKAR GUNUNG LAWU

KEMELUT DI MAJAPAHIT