KEMELUT DI MAJAPAHIT JILID 30

 kalau engkau malam ini juga pulang ke Lumajang."

   Dengan suara sayau karena bercampur tangis, isteri Sang Patih, yaitu bibi dari Sarjitowarman berkata.

   "Betapa kejamnya kalau memaksa dia pulang sekarang Kakangmas. Biarlah dia menunggu jenazah Wulan semalam ini dan besok pagi-pagi dia berangkat ke Lumajang. Saya kira kalau hanya semalam ini tidak akan terjadi sesuatu."

   Akhirnya Ki Patih yang merasa kasihan sekali kepada pemuda itu, menyetujui dan pemuda itu diperkenankan menjaga jenazah kekasihnya itu di dalam kamar, membakar dupa dan duduk bersamadhi.

   Demikianlah berita yang didengar oleh Resi Mahapati. Tentu saja pembawa berita itu hanya memberitakan bahwa Dyah Wulandari telah mati membunuh diri dan bahwa Sarjitowarman besok pagi-pagi akan kembali ke Lumajang. Juga bahwa di kepatihan tidak terjadi hal-hal lain, tidak nampak sikap marah atau sakit hati berhubung dengan peristiwa itu. Di samping terkejut mendengar berita itu, perasaan girang yang mula-mula terasa di dalam hatinya berubah menjadi kekecewaan ketika mendengar bahwa Ki Patih agaknya sama sekali tidak terpengaruh oleh peristiwa kematian keponakannya itu.

   Celaka, dia telah gagal menanam bibit permusuhan antara Ki Patih dan Sang Pangeran. Bahkan kini Sang Pangeran tentu merasa menyesal sekali atas perbuatannya itu dan merasa amat berterima kasih bahwa Ki Patih tidak memperpanjang urusan itu. Juga Sang Prabu sendiri tentu makin memuji kesetiaan dan kebijaksanaan KI Patih Nambi. Gagallah usahanya memburukkan nama Ki Patih. Kemurungannya karena kegagalan itu dibawanya ke dalam kamarnya malam itu. Lestari, seperti biasa menyambut suaminya dengan ramah dan sikap yang menarik.

   Ketika dia melepaskan jubah luar suaminya yang duduk di kursi, mencuci kakinya yang berdebu, dia melihat sikap suaminya yang murung. Lestari tersenyum. Mudah saja baginya untuk melenyapkan kemurungan suaminya yang tua ini. Dia lalu memperlihatkan sikap manja, lalu duduk di atas pangkuan Resi Mahapati dan merangkul lehernya. Kehangatan tubuhnya merayap keluar dan mempengaruhi Resi Mahapati yang segera memeluk selirnya terkasih yang amat pandai merayu dan menyenangkan hatinya itu, mengambung pipi halus itu dengan penuh kasih sayang.

   Melihat gairah sudah timbul di dalam hati Sang Resi, Lestari lalu bartanya manja.

   "Kakangmas Resi, awan mendung apakah gerangan yang menggelapkan matahari kegembiraan Paduka? Wajah Paduka muram, pandang mata Paduka penuh geram, urusan apakah gerangan yang menyusahkan hati dan memusingkan pikiran Paduka?"

   Sang Resi menarik napas panjang dan jari-jari tangan yang tadi menelusuri leher wanita muda cantik itu berhenti karena gairahnya lenyap lagi ketika dia teringat akan kegagalannya.

   "Aahhh....., hasil baik dan memuaskan yang hampir tercapai tangan telah gagal hanya karena sikap pengecut KI Patih Nambi."

   Mendengar ini, Lestari menjadi tertarik sekali.

   "Patih Nambi? Ada apakah, Kakangmas?"

   Resi Mahapati lalu menceritakan tentang siasat yang telah diaturnya bersama Ki Durgakelana, Warak Jinggo dan Sarpo Kencono untuk memancing permusSang Resi menarik napas panjang dan jari-jari tangan yang tadi menelusuri leher wanita muda cantik itu berhenti karena gairahnya lenyap lagi ketika dia teringat akan kegagalannya.

   "Aahhh....., hasil baik dan memuaskan yang hampir tercapai tangan telah gagal hanya karena sikap pengecut KI Patih Nambi."

   Mendengar ini, Lestari menjadi tertarik sekali.

   "Patih Nambi? Ada apakah, Kakangmas?"

   Resi Mahapati lalu menceritakan tentang siasat yang telah diaturnya bersama Ki Durgakelana, Warak Jinggo dan Sarpo Kencono untuk memancing permusuhan antara Sang Pangeran dan Ki Patih Nambi, melalui diri Dyah Wulandari yang dikorbankan kepada Sang Pangeran. Dia menceritakan semua hasil siasatnya yang sudah hempir berhasil, betapa Dyah Wulandari telah menjadi korban nafsu pangeran dan diperkosa oleh pangeran di depan mata tunangannya, keponakan dari isteri Ki Patih. Pendeknya, telah terjadi hal-hal yang pasti akan membangkitkan kemarahan dan dendam di hati Ki Patih sehingga dapat diharapkan akan timbul peristiwa hebat antara Ki Patih dan pangeran yang akan menjatuhkan kedudukan Ki Patih sehingga dia memperoleh lowongan dan kesempatan baik sekali.

   "Akan tetapi, Patih Nambi ternyata penakut dan pengecut. Keponakannya telah dipermainkan orang, diperkosa kehormatannya sampai sehari semalam, bahkan lalu membunuh diri. Akan tetapi dia tidak mau melakukan apa-apa, bahkan di depan Sang Prabu dia telah memaafkan Sang Pangeran. Dengan begini, derajat Ki Patih akan meningkat di mata pangeran dan Sang Prabu! Siasatku tidak menjatuhkannya, bahkan mengangkatnya! Celaka!"

   Lestari turun dari atas pangkuan resi itu, lalu mengambilkan minuman untuk Sang Resi. Setelah menaruh minuman di atas meja, dia lalu duduk di tepi pembaringannya yang selalu dijaga dan dirawat sehingga nampak bersih selalu, bersih dan menyenangkan, berbau harum. Memang pembaringan inilah merupakan modal utama dari Lestari dalam menjatuhkan hati resi tua itu!

   "Kakangmas Resi, mengapa Kakangmas menjadi murung? Kegagalan itu terjadi akibat kesalahan dan kelengahan Paduka sendiri!"

   Resi Mahapati memandang wajah selirnya itu dengan alis terngkat, lalu alisnya dikerutkan dan matanya memancarkan kemarahan.

   "Tari, apa yang kaukatakan itu? Engkau tidak menghibur hatiku yang sedang kecewa dan susah, malah engkau mengejekku?"

   "Maaf, Kakangmas. Mana berani Lestari yang mencintai Kakangmas dengan sepenuh jiwa raga ini mengejek Paduka? Sama sekali saya tidak mengejek, hanya memperingatkan Kakangmas yang sekali ini memang salah dan lengah."

   "Hemm, coba jelaskan di mana letak kesalahan dan kelengahanku?"

   "Kakangmas lengah karena Kakangmas telah melupakan saya. Kakangmas mengatur rencana dan menjalankan siasat sendiri tanpa saya. Itulah letak kesalahan Kakangmas sehingga mengalami kegagalan!"

   "Ahh.....! Akan tetapi bukan maksudku untuk melupakanmu, sayang. Aku tahu akan kecerdikanmu dan betapa sudah banyak engkau berjasa dengan siasat-siasatmu yang berhasil dan amat hebat. Akan tetapi, urusan dengan Ki Patih Nambi adalah urusan kami kaum pria dan aku sudah mengatur siasat bersama siasat bersama Ki Durgakelana, Warak Jinggo dan Sarpo Kencono."

   "Yang ternyata gagal, bukan? Hemm, orang-orang seperti Ki Durgakelana, Warak Jinggo dan Sarpo Kencono itu hanyalah orang-orang kasar yang hanya pandai menggunakan otot dan kaki tangan untuk membunuh orang, mana bisa mempergunakan otak? Sekarang setelah Paduka gagal, apa yang dapat mereka lakukan dan bagaimana pula siasat mereka?"

   Resi Mahapati menghampiri selirnya, duduk di samping selirnya dan merangkulkan lengannya ke pundak selirnya itu.

   "Manisku, apakah engkau mempunyai siasat baru? Apakah engkau mempunyai akal untuk menebus kegagalanku ini?"

   Dengan sikap manja dan "jual mahal"

   Lestari melepaskan dirinya, bangkit dan melangkah menjauhi Sang Resi dengan langkah lemah gemulai sehingga nampak buah pinggulnya yang manari-nari ketika dia melangkah meninggalkan resi itu, membuat Sang Resi yang tak pernah merasa bosan terhadap Lestari itu menelan ludahnya.

   Lalu Lestari membalikkan tubuh, berpegang kepada sandaran kursi dan memandang suaminya itu.

   "Apakah Paduka mau berjanji bahwa semenjak saat ini, Paduka tidak akan pernah meninggalkan saya dalam mengatur siasat Paduka menghadapi musuh-musuh Paduka? Ingatlah, hanya Lestari yang setia dan yang dapat membantu Paduka dan hendaknya Paduka tidak lupa bahwa semenjak semula kita berdua telah bekerja sama demi tercapainya cita-cita Paduka."

   "Baik-baik, sayang.... maafkan aku bahwa aku telah meninggalkanmu dalam siasat memancing permusuhan antara Ki Patih dan Sang Pangeran yang ternyata gagal total itu! Sekarang, aku berjanji akan selalu mengajakmu serta, Lestari. Maaf, aku telah lupa dan selalu memandang rendah kepadamu."

   Lestari menghampiri suaminya, lalu merangkul leher suaminya itu dan mencium mulut yang sebagian tertutup kumis tebal itu.

   "Ah, Kakangmas, saya hanyalah isterimu yang setia, yang selalu akan berusaha demi untuk tercapainya cita-cita Paduka..."

   "Cita-cita kita berdua, sayang. Sekarang ceritakan, apakah siasatmu itu untuk menembus kegagalanku?"

   "Kakangmas, karena tadinya Paduka hanya mengatur siasat bersama Ki Durgakelana, Warak Jinggo dan Sarpo Kencono saja, maka sekarang saya minta agar meraka bertiga Paduka panggil ke sini agar mereka mendengarkan siasat saya dan selanjutnya agar mereka itu tunduk kepada perintah saya seperti juga kepada perintah Paduka."

   Resi Mahapati mengerti akan maksud permintaan selirnya ini. Tentu karena tadinya ditinggalkan, kini Lestari ingin agar terpandang dan dihormati oleh tiga orang pembantunya itu.

   "Adinda Tari, permintaanmu tidak mungkin dapat dilaksanakan semua. Ki Durgakelana dapat kupanggil, akan tetapi Warak Jinggo dan Sarpo Kencono kini menjadi pengawal-pengawal pribadi Sang Pangeran, tidak mungkin meninggalkan pangeran. Akan tetapi mereka adalah anak buah Ki Durakelana, sehingga kehadiran KI Durgakelana sudah cukup mewakili meraka."

   "Kalau begitu, biarlah dia saja yang dipanggil bersama Resi Harimurti yang menjadi pembantu utama Paduka, Kakangmas Resi."

   "Baiklah, memang semestinya demikian sehingga kita dapat berkumpul dan saling bertukar pikiran sehingga rencana kita menjadi lebih masak. Besok akan kupanggil mereka berdua."

   "Bukan Besok, Kakangmas, melainkan sekarang juga! Siasat saya harus dijalankan sekarang dan besok tentu sudah akan terlambat."

   "Ah, begitukah?"

   Resi Mahapati segera memanggil dua orang pembantunya yang setia, yaitu Reksosuro si jangkung bermata juling dan Darumuko. Si Bibir Tebal. Mereka ini lalu diperintahkan untuk mengundang Resi Harimurti dan Ki Durgakelana agar mereka datang malam ini juga.

   Tak lama kemudian, muncullah dua orang tokoh yang diundang itu dan mereka diterima oleh Resi Mahapati dan Lestari di ruangan tamu di mana telah disediakan minuman dan makanan untuk mereka. Melihat bahwa yang menyambut kedatangannya adalah Resi Mahapati yang ditemani oleh selir muda yang cantik menggiurkan itu, Resi Harimurti dan juga Ki Durgakelana memandang dengan wajah berseri. Dua orang kakek ini memang selalu merasa gembira kalau berhadapan dengan seorang wanita muda yang cantik, apalagi berhadapan dengan Lestari yang denok ayu itu.

   Setelah saling memberi hormat, Resi Harimurti berkata sambil tersenyum lebar.

   "Ah, tumben sekali Adi Resi Mahapati mengundang saya datang melam-malam begini."

   "Benar, saya pun terkejut ketika Darumuko datang menyampaikan undangan Adimas Resi yang tiba-tiba, tentu ada urusan yang amat penting untuk dibicarakan,"

   Sambung Ki Gurdakelana sambil menyandarkan tongkatnya yang hitam panjang bengkok-bengkok seperti ular itu di dinding belakang tempat dia duduk.

   "Memang saya memanggil Kakang berdua untuk berunding setelah kita mengalami kegagalan dalam urusan Ki Patih,"

   Kata Resi Mahapati.

   "Ki Patih Nambi memang pengecut sehingga dihina seperti itu dia diam dan enak saja,"

   Kata Ki Durgakelana yang ikut menyesal behwa semua kesukaran yang mereka lakukan itu tidak behasil menyalakan api permusuhan antara Ki Patih dan Sang Pangeran.

   "Ah, setidaknya peristiwa itu telah merupakan pukulan hebat kepada Ki Patih yang begitu menjila-jilat terhadap Sang Prabu,"

   Kata Resi Harimurti.

   "Kakang Resi, pukulan itu tidakah penting karena yang kita kehendaki adalah permusuhan antara Ki Patih dan Sang Pangeran agar mempengaruhi kedudukan Ki Patih. Sekarang, setelah kita sama sekali gagal, bahkan peristiwa itu telah mengangkat derajat Ki Patih dalam mata Sang Pangeran dan Sang Prabu, apakah Andika berdua mempunyai siasat lagi untuk dapat dipergunakan menebus kegagalan kita itu?"

   Resi Harimurti mengertkan alisnya dan menundukkan muka. Ki Durgakelana menggosok-gosok kedua tangan. Mereka merasa tidak enak dan akhirnya mereka berdua saling pandang lalu menggeleng kepala.

   "Saya tidak mempunyai siasat lain, Adimas Resi,"

   Kata Ki Durgakelana.

   "Saya pun belum menemukan jalan yang baik, Adi resi,"

   Kata Resi Harimurti.

   "Nah, kalau begitu, hendaknya Andika berdua suka mendengarkan siasat yang akan diatur oleh selirku ini, isteriku yang tersayang ini!"

   "Ahhh....., begitukah?"

   Harimurti dan Durgakelana berseru hampir berbareng dan mereka kini memandang wajah yang manis itu penuh perhatian dan kekaguman.

   "Paman Resi Harimurti dan Paman Durgakelana, saya telah mendengar akan semua kegagalan dari suami saya, Kakangmas Resi Mahapati. Kegagalan itu terjadi karena rencana yang mentah, dan juga karena Kakangmas Resi telah lupa untuk mengajak saya dalam perundingan itu. Setelah mendengar akan semua peristiwa itu, saya hanya melihat suatu jalan untuk menebus kegagalan itu sehingga apa yang tadinya gagal menjadi berhasil baik sekali. Kalau siasat saya ini dijalankan dengan baik, maka saya kira Ki Patih tidak akan dapat menahan kemarahannya lagi dan pasti terjadi pertikaian dan permusuhan antara Ki Patih dan Sang Pangeran."

   "Hebat! Siasat bagaimanakah itu?"

   Resi Harimurti tertarik sekali dan diam-diam dia merasa betapa untungnya Resi Mahapati memilikiselir yang begini denok montok,ayu dan cerdik, sedangkan Ki Durgakelana juga memandang bengong.

   "Diajeng Tari, kekasih hatiku, lekas ceritakan apa siasat itu, sudah berdebar jantungku ingin mendengarnya."

   "Menurut penuturan Paduka tadi, keponakan Ki Patih itu telah suduk selira membunuh diri, bukan?"

   "Benar demikian, sayang."

   "Dan pemuda yang bernama Sarjitowarman itu besok pagi akan kembali ke Lumajang, dengan demikian Ki Patih menghabiskan perkara itu dan tidak akan menuntut sesuatu?"

   "Benar, dan itulah yang mengesalkan hatiku."

   "Kalau begitu, mengapa tidak kita atur agar hatinya menjadi semakin sakit dan memaksanya untuk melakukan tindakan terhadap Sang Pangeran sehingga permusuhan di antara mereka terjadi juga?"

   Resi Mahapati saling pandang dengan Resi Harimurti dan Ki Durgakelana. Kemudian Resi Mahapati berkata.

   "Kalau bisa begitu, alangkah baiknya. Akan tetapi apalagi yang dapat kita lakukan?"

   Lestari tersenyum.

   "Hal itu mudah saja dilakukan. Menurut pendapat saya, sudah pasti sekali pemuda itu menaruh hati dendam yang amat hebat kepada Sang Pangeran, hanya dia tidak dapat berbuat sesuatu karena tidak terdapat kesempatan, maka dia mengalah dan menurut nasihat pamannya, yaitu Ki Patih, untuk kembali ke Lumajang tanpa melakukan sesuatu. Akan tetapi, kalau besok pagi-pagi dia pergi ke Lumajang, lalu seorang di antara Paduka dapat menemuinya, menghasut dan memanaskan hatinya, mengatakan bahwa Paduka ikut merasa sakit hati dan penasaran,dan menunjukkan bahwa terbuka kesempatan baik bagi pemuda itu untuk melampiaskan dendam dan sakit hatinya untuk membunuh Sang Pangeran, untuk membalas kematian tunangannya, saya rasa pemuda itu tidak akan menolak kesempatan yang amat baik itu."

   Resi Mahapati dan dua orang pembantunya masih tidak mengerti dan mereka memandang dengan heran.

   "Mana mungkin hal itu dilaksanakan?"

   Resi Mahapati berkata penuh keraguan.

   "Untuk menghasut pemuda itu, tentu saja amat mudah dan memang sudah pasti bahwa dia menaruh dendam sakit hati yang amat hebat terhadap Sang Pangeran. Akan tetapi tentu dia segera akan melihat bahwa hal itu tidak mungkin."

   "Mengapa tidak mungkin?"

   Lestari mempermainkan anak rambutnya yang berjuntai ke bawah, di atas dahinya yang berkulit halus dan berbentuk indah.

   "Kalau diusahan dengan cerdik, tentu mungkin saja memberi kesempatan agar pemuda itu dapat bertemu dengan Sang Pangeran berdua saja dan memberi kesempatan kepadanya untuk menyerang Sang Pangeran."

   "Eh, apa maksudmu?"

   Resi Mahapati terbelalak memandang selirnya dengan kaget.

   "Kau..... kau... mengusulkan agar pemuda itu membunuh Sang Pangeran?"

   Lestari tersenyum, seperti seorang dewasa tersenyum menghadapi kebodohan seorang anak kecil.

   "Kakangmas Resi, saya belum gila dan tak begitu bodoh untuk mengusulkan hal seperti itu."

   "Akan tetapi kau tadi.... sudahlah, Nimas, coba kaubeberkan sejelasnya siasatmu itu dan jangan membuat kami menjadi bingung,"

   Kata Resi Mahapati.

   "Begini, Kakangmas. Kita hasut pemuda itu sehingga dia mau melakukan percobaan untuk menyerang dan membunuh Sang Pangeran, besok pagi-pagi kalau dia hendak pergi meninggalkan Mojopahit. Dan di samping itu, kita harus dapat membujuk Sang Pangeran, tentu saja melalui Paman Warak Jinggo dan Paman Sarpo Kencono, agar Sang Pangeran suka keluar dari istana pagi hari besok dan berada di dalam tamansari seorang diri saja. Dengan demikian, tentu Sarjitowarman itu akan mencoba untuk menyerang dan membunuh Sang Pangeran. Nah, pada saat itu, Sarjitowarman ditangkap dengan tuduhan menyerang dan hendak membunuh Sang Pangeran. Kalau Sang Prabu mendengar ini, tentu Beliau tidak akan sangsi lagi bahwa Sarjitowarman memang mata-mata Lumajang dan kalau keponakannya melakukan dosa seperti itu, bukankah pamannya, Ki Patih, juga akan terbawa-bawa? Dengan berhasilnya siasat itu, bukankah kegagalan Kakangmas dapat tertebus dan berbalik menjadi suatu hasil yang amat gemilang di mana Ki Patih menjadi rusak namanya oleh perbuatan keponakan isterinya itu dan Kakangmas sekalian berjasa karena mencegah Sang Pangeran terbunuh dan berhasil menagkap mata-mata yang hendak membunuh Sang Pangeran?"

"Ahhh.......!"

   Ki Durgakelana berseru kagum.

   "Akal yang hebat....!"

   Seru Resi Harimurti.

   Resi Mahapati meloncat dari kursinya, langsung merangkul leher kekasihnya dan hendak menciumnya tanpa memperdulikan dua orang pembantunya itu, akan tetapi Lestari menolak dengan dorongan tangannya. Melihat wajah isterinya cemberut, Resi Mahapati membatalkan niatnya lalu duduk kembali sambil berkata.

   "Hebat! Engkau memang hebat, Diajeng hebat sekali! Takkan pernah terpikirkan olehku siasat sehebat itu. Benar-benar luar biasa!"

   Resi Mahapati mengepal tinjunya.

   "Dan sekali ini pasti akan berhasil!"

   "Nanti dulu, Adi Resi,"

   Kata Resi Harimurti kepada Resi Mahapati.

   "Memang harus saya akui bahwa siasat itu amat halus dan hebat, dan tentu akan berhasil baik. Akan tetapi ada suatu hal yang membuat saya bersangsi, yaitu bagaimana caranya membuat Sang Pangeran dapat berada seorang diri di dalam taman besok pada hari,pagi-pagi itu?"

   "Benar, hal itu sukar juga,"

   Kata Ki Durgakelana sambil menggosok-gosok dahinya.

   "Kanjeng Pangeran biasanya bangun dari tidur setelah matahari naik tinggi, dan tentu saja beliau tidak pernah pergi ke taman sendirian saja."

   Mendengar ucapan dua orang pembantunya itu, Resi Mahapati mengerutkan alisnya dan menoleh kepada selirnya yang terkasih, bertanya.

   "Nah, kalau sudah begini, bagaimana, Lestari?"

   "Ah, hal itu mudah saja, Kakangmas Resi. Gusti Pangeran harus dapat dibuat agar besok di taman, dan saya kira untuk tugas ini, Paduka sendirilah yang paling tepat untuk melaksanakannya. Kalau Paduka malam ini menghadap Sang Pangeran, mengatakan bahwa Paduka melihat adanya perasaan dendam di hati Sarjitowarman, betapa pemuda itu mengeluarkan ancaman untuk membunuh beliau, dan Paduka nasihati beliau untuk bertindak sebagai umpan agar pemuda itu berani mencoba untuk menyerang beliau kemudian dia ditangkap basah."

   Sang Resi mengangguk-angguk dan berkata perlahan,

   "Hemm, hal itu memang dapat dilaksanakan....., tentu dapat...."

   "Bagus kalau begitu, Kakangmas. Nah, sekarang tinggal membagi-bagi tugas saja. Seorang bertugas menghadang Sarjitowarman besok pagi-pagi untuk menghasut pemuda itu. Siapakah yang ditugaskan untuk ini?"

   Tanya Lestari.

   "Saya dapat melakukannya,"

   Kata Ki Durgakelana.

   Lestari menggeleng kepalanya.

   "Kalau Paman Durgakelana yang melakukannya, mungkin tidak akan berhasil baik. Paman telah dikenal sebagai pengawal Gusti Pangeran, maka kalau Paman yang menghasut, tentu pemuda itu menjadi curiga dan menduga akan perangkap yang sengaja diatur. Tidak, sebaiknya bukan Paman melainkan seorang yang tidak dikenal oleh pemuda itu, seorang yang dapat diterima kalau menyatakan bahwa dia juga merasa penasaran dan marah terhadap Sang Pangeran."

   "Kalau begitu biarlah saya yang melakukan tugas itu,"

   Kata Resi Harimurti.

   "Pemuda itu tidak mengenal saya."

   "Saya kira itulah yang terbaik,"

   Kata Lestari menganggu-angguk.

   "Akan tetapi, sebaiknya kalau Kakang Resi Harimurti menyamar. Kalau kelak pemuda itu setelah tertangkap lalu mengaku dan menyeret Kakang Resi sebagai penghasutnya, maka Sang Prabu akan menaruh curiga dan dapat menduga adanya siasat yang diatur ini,"

   Kata Resi Mahapati.

   "Hal itu memang benar sekali dan membuktikan bahwa Kakangmas Resi memang cerdik bukan main,"

   Lestari memuji.

   "Kemudian setelah tugas menghasut pemuda itu akan dilakukan oleh Paman Resi Harimurti dan tugas membujuk Sang Pangeran dilakukan oleh Kakangmas Resi Mahapati sendiri, maka tugas untuk menangkap pemuda itu di waktu dia menyerang Sang Pangeran sebaiknya dilakukan oleh Paman Durgakelana, Paman Warak Jinggo, dan Paman Sarpo kencono."

   "Ha-ha-ha, untuk menghadapi seorang pemuda seperti dia itu, seorang di antara kami bertiga saja sudah cukup,"

   Kata Ki Durgakelana sambil tertawa.

   "Akan tetapi dalam hal ini kita harus berlaku hati-hati, Paman. Sebaiknya kita dapat yakin bahwa pemuda itu harus dapat ditangkap hidup-hidup agar dia dapat mengaku bahwa memang dia bermaksud membunuh pangeran. Itulah pokok persoalan yang kita hendak pergunakan untuk memukul Ki Patih,"

   Kata Lestari dan kembali tiga orang kakek itu merasa kagum bukan main.

   Setelah berunding masak-masak, maka pada malam itu juga Resi Mahapati pergi mengunjungi Sang Pangeran dan mohon untuk menghadap. Resi Mahapati adalah tangan kanan Pangeran Kolo Gemet, maka tentu saja sewaktu-waktu dia boleh saja datang menghadap, apalagi untuk menyampaikan hal yang amat penting lebih mudah lagi baginya karena pengawal-pengawal pangeran itu adalah anak buahnya sendiri, yaitu Warak Jinggo dan Sarpo Kencono. Sebelum menjumpai pangeran itu Resi Mahapati lebih dulu menemui dua orang kakek pengawal ini dan secara singkat menceritakan tentang siasat yang akan dilaksanakan besok pagi dan minta agar dua orang itu suka berunding dengan Ki Durgakelana.

   Memang perhitungan Lestari tepat sekali. Karena mendengar pelaporan dari mulut Resi Mahapati sendiri bahwa Sarjitowarman menaruh dendam sakit hati dan bermaksud membunuhnya jika ada kesempatan, Sang Pangeran percaya dan menjadi marah sekali.

   "Si keparat itu! Biar kusuruh pasukan menangkapnya sekarang juga!"

   Bentak Pangeran Kolo Gemet sambil bangkit dari tempat duduknya dan mengepal tinju.

   Akan tetapi Resi Mahapati cepat mengakat kedua tangan ke atas.

   "Harap Paduka suka bersabar, Gusti Pangeran. Menangkapnya adalah mudah, akan tetapi mana buktinya bahwa dia hendak membunuh Paduka? Dia harus diberi kesempatan dulu, dan kita harus dapat menangkap basah pemuda pemberontak itu."

   "Hemm, apa maksudmu, Paman Resi?"

   "Sarjitowarman hanya menyebar desas-desus untuk menyatakan sakit hatinya terhadap Paduka, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat melaksanakan ancamannya itu karena tidak mungkin ada kesempatan baginya untuk menyerang Paduka. Oleh karena itu, sebaiknya Paduka membuka kesempatan itu agar dia berani turun tangan menyerang Paduka......"

   "Resi Mahapati apa maksudmu?"

   Pangeran itu bertanya dengan terkejut sehingga suaranya membentak-bentak.

   "Ampunkan hamba, Gusti Pangeran. Itulah satu-satunya jalan untuk menangkap orang yang membenci Paduka. Paduka bertindak sebagai umpan agar dia berani melakukan perbuatan terkutuk itu, dan tentu saja pengawal-pengawal Paduka yang sakti telah siap untuk menangkapnya apabila dia berani melakukan penyerangan. Dengan demikian, dia akan tertangkap basah dan untuk menghukumnya tentu tidak akan ada larangan dari Kanjeng Gusti Sinuhun."

   Sang Pangeran mengangguk-angguk dengan alis berkerut.

   "Akan tetapi.... apakah tidak berbahaya itu, Paman?"

   "Ah, tidak, Gusti Pangeran. Sebelumnya, kita memberi tahu kepada Ki Durgakelana,Warak Jinggo dan Sarpo Kencono agar mereka bersembunyi dan bersiap melindungi Paduka dan menangkap pemuda itu. Selain itu tentu hamba sendiri juga selalu menjaga agar jangan sampai Paduka terancam bahaya.

   Kalau pemuda itu didiamkan saja, berarti Paduka selalu terancam bahaya, sebaliknya kalau dia diberi kesempatan sehingga berani turun tangan, hamba dan teman-teman akan menangkapnya dan kalau dia sudah dihukum mati, berarti Paduka terbebas daripada ancaman bahaya maut."

   Kembali Sang Pangeran mengangguk-angguk.

   "Lalu bagaimana caranya untuk membuka kesempatan agar dia mau turun tangan itu, Paman Resi?"

   Sang Resi menoleh ke kanan kiri, lalu berbisik.

   "Besok pagi-pagi sekali sebaiknya Paduka berada di tamansari seorang diri dan...."

   Resi itu berbisik-bisik mengatur siasat yang didengarkan oleh pangeran itu dengan penuh perhatian sambil mengangguk-angguk.

   Pagi itu sunyi sekali. Cuaca masih gelap karena sang surya belum nampak,sungguhpun langit di timur mulai terang dan kokok ayam jantan saling bersautan menggugah semua mahluk yang telah beristirahat dan tidur semalam. Jalan-jalan masih sunyi karena mereka yang baru saja terbangun masih segan meninggalkan rumah. Di jalan yang sunyi itu, di luar pintu gerbang kepatihan, berjalan seorang pemuda. Wajahnya muram, pandang matanya sayu dengan sepasang mata yang membengkak kemerahan bekas tangis, kedua pipinya pucat, rambutnya kusut dan pakaiannya kumal. Langkahnya satu-satu dan lesu, sama sekali tidak bersemangat.

   Pemuda ini adalah Sarjitowarman yang dengan hati berat meninggalkan kepatihan,meninggalkan jenazah kekasihnya yang masih membujur di atas pembaringan. Atas nasihat Ki Patih, suami bibinya, dia terpaksa harus meninggalkan Mojopahit secepat mungkin di pagi hari itu agar jangan sampai terjadi hal yang berlarut-larut dengan pangeran. Pangeran iblis! Demikian hatinya mengumpat dan dia mengepal tinju. Dadanya yang penuh luka guratan keris yang dilakukan oleh pangeran pada kemarin dulu, masih terasa perih, akan tetapi lebih perih lagi rasa hatinya mengingat akan semua hal yang telah dilakukan oleh pangeran itu kepada mendiang Dyah Wulandari, kekasih dan tunangannya yang kini telah membunuh diri untuk mengakhiri kehidupan penuh iab dan noda! Pangeran keparat! Pangeran iblis! Demikian bisik hatinya dengan penuh geram.

   Para penjaga pintu gerbang di timur membiarkan pemuda ini lewat tanpa mengganggunya karena mereka telah menerima perintah dari Ki Patih untuk membiarkan keponakan Ki Patih itu keluar dari pintu gerbang, kembali ke Lumajang. Berita tentang pemuda ini yang ditangkap oleh pangeran, tentang tunangannya,yaitu keponakan Ki Patih yang telah mati membunuh diri, tentu saja telah terdengar oleh mereka, maka ketika pemuda itu lewat, para penjaga memandang dengan sinar mata mengandung perasaan iba, sungguhpun di antara mereka ada pula yang tersenyum mengejek.

   Setelah tiba di luar benteng Mojopahit, Sarjitowarman lalu mempercepat langkahnya. Ingin di cepat-cepat sampai di Lumajang di mana dia dapat menumpahkan perasaan hatinya kepada ayah bundanya dan kepada semua tokoh di Lumajang. Ingin dia menceritakan siapa saja di Lumajang tentang kekejaman dan kejahatan pangeran iblis itu! Lumajang harus bangkit dan memberontak terhadap pangeran laknat calon Raja Mojopahit itu!

   Akan tetapi ketika dia tiba di tepi sungai, dia menghentikan langkahnya karena hatinya tertarik oleh alunan suara orang yang bertembang dengan suara yang memilukan. Suara seorang laki-laki yang bertembang dengan tembang Asmaradana,suaranya jelas terdengar di pagi hari itu dan karena tertarik, Sarjitowarman menghentikan langkahnya lalu memperhatikan kata-kata dalam tembang itu. Tembang itu mengandung kata-kata yang memilukan dan suar orang itu seperti mengandung isak tangis, sesuai benar dengan keadaan hatinya di saat itu.

   "Duhai para Dewata di Suralaya dengarlah ratapan hambamu ini Hyang Komajaya Dewa Asmara Sang Hyang Wisnu Dewa Kebijaksaan Hyang Jagat Girinata Dewa Keadilan mengapa hamba mengalami siksa ini? Kekasih terbunuh, Si Laknat bebas dari hukuman duhai Hyang Yamadipati Dewa Maut cabutlah nyawa hamba untuk menghentikan derita!"

   Sarjitowarman terkejut. Betapa tepatnya isi tembang itu dengan keadaan dirinya! Demikianlah bisikan hatinya semenjak kemarin, semenjak dia menagisi kematian Dyah Wulandari! Dia cepat menghampiri dan akhirnya dia melihat penembang, seorang kakek tua berpakaian seperti seorang nelayan sedang duduk seorang diri di bawah pohon, di tepi sungai memegang tangkai pancing memancing ikan! Melihat kedatangan pemuda itu, kakek ini menancapkan gagang pancingnya dan bangkit berdiri. Tubuhnya kurus jangkung dan pandang matanya tajam.

   "Maaf, Paman, kalau saya mengganggu. Pamankah tadi yang bertembang?"

   Tanya Sarjitowarman sambil membungkuk. Kakek itu memandang kepada Si Pemuda dengan penuh perhatian, lalu mengangguk.

   "Benar, mengapakah orang muda?"

   "Kalau saya boleh bertanya, siapakah orang yang mengeluh dalam nyanyian itu, Paman?"

   Kakek itu menarik napas panjang.

   "Ah, siapa yang mengeluh seperti itu? Entah berapa banyak di dunia ini yang mengeluh seperti itu? Akan tetapi, aku menembang menggambarkan keluhan Dyah Anggraini yang menangisi kematian suaminya, Sang Prabu Palgunadi yang tewas dalam pertempuran melawan Sang Arjuna karena perebutan wanita itu."

   Sarjitowarman tentu saja pernah mendengar cerita tentang Dyah Anggraini itu.

   Memang cocok. Dyah Anggraini, isteri Sang Prabu Palgunadi digoda dan di rayu oleh Sang Arjuna, akan tetapi isteri yang setia itu tidak mau melayani, lalu melaporannya kepada suaminya. Terjadi perang tanding antara dua orang sakti itu dan akhirnya Sang Palgunadi tewas. Sang Arjuna melanjutkan niatnya yang buruk mengejar Dyah Anggraini. Akhirnya wanita ini membunuh diri pula dan nyawanya melayang bersama-sama nyawa suaminya ke Sorgaloka.

   "Paman, mengapa Paman menembangkan tangis Dyah Anggraini itu di pagi hari seperti ini?"

   "Ah, pertanyaanmu aneh sekali, orang muda. Aku menembang karena iseng, karena sunyi, akan tetapi mungkin juga karena aku tahu betapa banyaknya orang yang terlanda malapetaka dalam cinta mereka, yang membuat cinta meraka terputus. Dan betapa banyaknya terjadi di dunia ini perbuatan sewenang-wenang tanpa dapat dibalas oleh korbannya."

   Mendengar betapa suara kakek itu menjadi gemetar dan melihat mata itu basah air mata, Sarjitowarman makin tertarik.

   "Paman, agaknya Paman sendiri juga tertimpa malapetaka seperti itu?"

   Kakek itu menarik napas panjang, lalu mengangguk.

   "Di waktu aku masih muda, kekasihku dirampas oleh lurah dusun kami, dipaksa menjadi selirnya. Kekasihku tak dapat lama bertahan dan mati karena sakit beberapa bulan kemudian, meninggalkan aku yang hidup merana. Aku berhasil menuntut balas dan membunuh lurah jahanam itu."

   "Kalau begitu, mengapa Paman kelihatan masih penasaran?"

   "Aah, urusan pribadiku memang telah terbalas. Akan tetapi semenjak itu, aku melihat betapa banyaknya terjadi peristiwa yang sama tanpa si Korban mampu membalas. Seperti misalnya Pangeran Pati yang sekarang ini, kabarnya suka sekali mengganggu wanita. Hal itu membuat hatiku seperti dibakar dan ditusuk. Kalau saja aku masih muda, tentu akan kubunuh pangeran itu, akan tetapi aku sudah tua dan.... heii, kau kenapa, orang muda?"

   Sarjitowarman tak dapat menahan tangisnya dan dia mengusap air matanya.

   "Apakah daya kita, Paman? Aku pun menjadi korban pangeran itu, kekasihku.... kekasihku....."

   Pemuda itu menangis lagi.

   "Apa yang terjadi?"

   Dengan suara tersendat-sendat, Sarjitowarman lalu menceritakan tentang kematian tunangannya oleh perbuatan keji Pangeran Kolo Gemet.

   "Krekk!"

   Gagang pancing itu patah di tangan kakek itu.

   "Jahanam, memang sudah banyak kudengar tentang dia. Orang muda, mengapa engkau diam saja? Engkau masih muda dan kuat! Kalau aku menjadi engkau, sudah kucekik batang leher pangeran itu!"

   "Paman, apakah dayaku? Seperti juga Paman, aku tidak berdaya. Apa yang dapat kulakukan terhadap seorang seperti pangeran itu yang selalu dikawal kuat?"

   "Tidak selalu, orang muda. Tidak selalu! Dengar baik-baik, sudah lama aku menyelidiki karena aku membencinya. Aku mengintai dan melihat kebiasaan-kebiasaannya,maka aku tahu belaka bahwa pangeran itu suka sekali mengganggu wanita. Dia mempunyai kebiasaan untuk berjalan-jalan seorang diri saja di pagi hari dalam tamannya. Dan aku tahu pintu rahasia di antara semak-semak di belakang taman. Sudah kukatakan tadi, andaikata aku masih muda, tentu sudah kucekik dia! Mengapa engkau seorang pengecut yang membiarkan kekasihnya dihina sampai membunuh diri seperti itu?"

   "Paman!"

   Sarjitowarman bangkit semangatnya dan membentak, mukanya merah. Lalu disambungnya.

   "Maukah engkau menjadi petunjuk jalan bagiku?"

   "Untuk membunuh dia? Tentu saja! Sekaranglah saatnya yang baik sekali. Mari kuantar engkau sampai dapat berhadapan sendiri dengan dia di taman yang sunyi." "Baik, Paman. Marilah dan sebelumnya terima kasih saya haturkan,"

   Kata Sarjitowarman penuh semangat.

   Mereka kembali ke kota raja melalui pintu gerbang timur dan para penjaga yang sudah mengenal Sarjitowarman ketika berangkat tadi, hanya memandang heran akan tetapi tidak berani menegur atau mengganggu. Kakek nelayan itu pun berjalan sambil tunduk, akan tetapi setelah melewati penjagaan, dia mengajak pemuda itu bergegas menuju ke istana pangeran. Dengan jalan memutar lewat belakang, benar saja kakek itu dapat membawa Sarjitowarman ke dalam taman melalui sebuah pintu tersembunyi di antara semak-semak. Mereka menyelinap di antara pohon-pohon di dalam taman dan tak lama kemudian kakek itu berbisik.

   "Sssttttt....... lihat itu....."

   Sarjitowarman memandang dan jantungnya berdebar tegang. Benar saja! Dia melihat Sang Pangeran berjalan-jalan seorang diri di dalam taman, kemudian pangeran itu duduk di depan kolam ikan, termenung memandangi ikan-ikan yang berenang di dalam kolam. Sarjitowarman mengepal tinjunya ketika dia melihat musuh besarnya itu. Menurut gejolak nafsunya, ingin dia sekali tubruk mencekik leher pangeran itu.

   Melihat sikap pemuda itu, kakek nelayan itu lalu menyentuh lengannya.

   "Sst, sekaranglah saatnya untuk turun tangan, orang muda. Akan tetapi kasihanilah aku,aku orang tua yang tidak berdaya, aku harus pergi dulu dari sini."

   Sarjitowarman yang sudah dikuasai nafsu amarah itu hanya mengangguk-angguk. Dia maklum bahwa kakek ini yang telah membantunya dan memberi jalan, jangan sampai terlambat kalau usahanya gagal. Kakek itu menyelinap pergi di antara kegelapan pagi itu dan setelah melihat kakek itu menyingkir. Sarjitowarman lalu berindap-indap menghampiri tempat pangeran itu duduk seorang diri. Dengan tangan gemetar pemuda ini mencabut kerisnya, kemudian dia meloncat ke depan sambil membentak,

   "Manusia keji, terimalah pembalasanku!"

   Dia langsung menyerang dengan menusukkan kerisnya ke arah leher Sang Pangeran yang masih duduk termenung itu.

   Akan tetapi, tiba-tiba nampak sesosok bayangan berkelebat dan Sarjitowarman merasa betapa tubuhnya terlempar ke belakang, terpelanting dan terhuyung ke atas tanah sebelum kerisnya menemui sasaran. Dia terkejut bukan main, melompat bangun dan melihat pangeran itu pun sudah bangkit berdiri dan di dekat pangeran itu terdapat tiga orang kakek yang berada di tempat itu entah sejak kapan. Sarjitowaran sudah menjadi mata gelap, maka tanpa memperdulikan tiga orang kakek itu, tanpa menyelidiki mengapa tubuhnya tadi dapat terlempar seperti terdorong oleh angin yang dahsyat, dia telah meloncat lagi dan menyerang Sang Pangeran dengan kerisnya.

   "Hemm, pemberontak rendah!"

   Terdengar Ki Durgakelana membentak, sedangkan dua orang kakek yang lain menjaga di kanan kiri pangeran, hanya menonton sambil tersenyum lebar.

   "Plak! Brukkk......!"

   Serangan Sarjitowarman ke arah pangeran itu dihalangi oleh Ki Durgakelana yang menggunakan tangan kiri menangkis dari samping disusul tamparan tangan kanannya yang mengenai pundak pemuda itu, membuat Sarjitowarman kembali terpelanting ke atas tanah.

   Kini terbukalah mata Sarjitowarman. Maklumlah dia bahwa usahanya gagal dan keselamatannya terancam. Dia tidak akan mungkin mampu membunuh Sang Pangeran,tidak mungkin pula melarikan diri. Melawan pengawal-pengawal yang sakti itu pun percuma saja. Dia akan tertangkap dan akan mengalami siksaan dan penghinaan lagi. Mati baginya bukan apa-apa, apalagi kini tunangannya telah tiada, akan tetapi dia tidak mau tertangkap dan tersiksa. Digerakkannya keris itu menusuk ke arah ulu hatinya sendiri.

   "Plak! Desss.....!!"

   Kerisnya terpental dan Sarjitowarman kembali terpelanting dalam keadaan pingsan. Ki Durgakelana yang dapat bergerak cepat sekali itu telah mencegah pemuda ini membunuh diri dan memukulnya roboh pingsan, lalu cepat membelenggunya.

   Pangeran Kolo Gemet berdiri memandang tubuh Sarjitowarman. Mukanya merah dan dia marah sekali.

   "Si Bedebah! Berani sekali menyerang aku! Paman Durgakelana, bunuh saja jahanam ini!"

   Ki Durgakelana cepat menyembah.

   "Maaf, Kanjeng Gusti Pangeran. Hamba kira mudah saja membunuh anjing ini, akan tetapi apakah hal itu bijaksana? Harap Paduka ingat bahwa dia ini adalah keponakan Ki Patih Nambi, dan mengingat akan apa yang terjadi kemarin dulu antara Paduka dengan dia ini dan Ki Patih, tidak baiklah kiranya kalau dia dibunuh begitu saja di sini. Tentu hal itu akan menimbulkan dugaan buruk di dalam hati Ki Patih. Sebaiknya kalau keparat ini diseret ke pangadilan di mana dia akan mengakui semua perbuatannya sehingga tidak ada kecurigaan di pihak Ki Patih bahwa Paduka sengaja membunuh dia tanpa dosa."

   Pangeran Kolo Gemet mengangguk-angguk. Tentu saja dia tidak tahu bahwa semua ini sudah diatur, dan bahwa ucapan Ki Durgakelana itu adalah ucapan yang dihafalnya dari Resi Mahapati.

   Gegerlah keluarga istana dan juga keluarga kepatihan

   ketika mendengar berita bahwa pagi hari tadi, hampir saja Sarjitowarman membunuh Sang Pangeran! Ki Patih Nambi yang mendengar bahwa keponakannya itu ditangkap dengan tuduhan hendak membunuh Sang Pangeran, menjadi terkejut setengah mati dan bergegas mendatangi ruangan pengadilan istana di mana pemuda itu sedang diperiksa dan diadili. Persidangan itu dihadiri oleh Sang Prabu sendiri, juga Sang Pangeran, para pembesar seperti Resi Mahapati dan para nayaka praja. Persidangan yang mendapatkan perhatian penuh oleh para pembesar karena peristiwa itu benar-benar menggegerkan. Sang Pangeran hampir terbunuh oleh keponakan isteri Ki Patih!

   Semua orang memandang kepada Ki Patih ketika Patih Nambi memasuki persidangan, menyembah kepada Sang Prabu lalu mengambil tepat duduk. Pangeran Kolo Gemet membuang muka dan Sang Prabu juga melontarkan pandang mata penuh selidik kepada Ki Patih yang menundukkan mukanya yang agak pucat. Sarjitowarman melihat ini semua dan tiba-tiba saja dia dapat menduga akan hal yang sebenarnya. Pamannya telah tersudut oleh perbuatannya itu! Teringatlah dia akan kakek nelayan yang membangkitkan semangatnya untuk membunuh Sang Pangeran.

   Kini mengertilah dia bahwa memang ada pihak yang hendak menjerumuskan dia. Bukan, bukan dia yang menjadi sasaran pihak yang mengutus orang menyamar sebagai kakek nelayan itu, pihak yang mengatur agar Sang Pangeran kelihatan sendirian saja di taman padahal diam-diam di situ terdapat pengawal-pengawal sakti yang melindunginya. Jelaslah kini bahwa Sang Pangeran itu kelihatan sendirian dipergunakan sebagai umpan untuk memancingnya. Bukan dialah yang menjadi sasaran pihak itu, melainkan pamannya, Ki Patih! Akan tetapi tidak mungkin dia menuduh yang bukan-bukan kepada pihak yang tidak diketahuinya siapa itu, karena tidak ada bukti. Yang jelas terbukti, dia hendak membunuh pangeran. Dia harus berhati-hati,harus tidak melibatkan pamannya!

   "Siapkah yang menyuruhmu mencoba untuk melakukan pembunuhan atas diri Gusti Pangeran?"

   Terdengar lagi pertanyaan dari hakim yang berwenang memeriksanya. Sarjitowarman berlutut di atas lantai dengan kedua tangan dibelenggu ke belakang.

   "Tidak ada siapa pun yang menyuruh hamba melakukan itu,"

   Jawab Sarjitowarman dengan suara tegas.

"Ingat, kalau dosamu itu hanya sebagai pesuruh saja, maka akan jauh lebih ringan hukumannya. Maka sebaiknya engkau mengaku terus terang,"

   Kata pula hakim sambil melirik ke arah tempat duduk Ki Patih. Tentu saja hakim ini telah lebih dulu dihubungi oleh Resi Mahapati maka berusaha untuk melibatkan diri Ki Patih.

   "Katakan sejujurnya, siapa yang membujukmu, siapa yang memberimu semangat, dan siapa yang menyuruhmu? Apakah ada yang menyuruhmu dan yang mejadi sebab dari perbuatanmu itu?"

   "Memang ada yang menjadi sebabnya, ada yang menyuruh hamba melakukan hal itu."

   Tiba-tiba pemuda itu berkata dan suasana di dalam ruangan itu menjadi berisik karena para pendengarnya menjadi terkejut sekali. Hamir semua mata kini ditujukan ke arah Ki Patih Nambi yang juga mengangkat mukanya, memandang sebentar ke arah Sarjitowarman dan ketika melihat betapa semua orang memandangnya, Ki Patih menundukkan mukanya lagi.

   "Ha, benarkah demikian? Nah, ceritakanlah dengan jelas, apa sebabnya dan siapa yang menyuruhmu."

   Hening sejenak. Semua orang menahan napas dan memasang telinga penuh perhatian.

   Keheningan yang mencekam sekali, di mana setiap orang seperti dapat mendengar bunyi degup jantungnya sendiri. Pemuda yang berlutut itu mengangkat mukanya, memandang kepada Sang Pangeran dengan sinar mata penuh kebencian,kemudian dia berkata, suaranya tegas dan lantang sekali, sedikitpun tidak gemetar padahal semua mata memandangnya dan dia berada di dalam ruangan yang dihadiri oleh semua pembesar Mojopahit, bahkan Sang Prabu sendiri juga hadir.

   "Yang menyuruh hamba adalah perasaan dendam sakit hati yang meracuni batin hamba! Hamba disuruh oleh perasaan benci yang mendalam terhadap Sang Pangeran, karena dendam sakit hati terhadap perbuatannya yang telah dilakukannya kepada hamba dan mendiang tunangan hamba, Dyah Wulandari. Hamba hendak membunuh Sang Pangeran untuk membalas kematian Diajeng Wulandari. Itulah sebabnya!"

   Kembali suasana menjadi berisik karena jawaban itu sama sekali jauh daripada dugaan semua orang yang hadir. Resi Mahapati dan kaki tangannya merasa kecewa sekali mendengar jawaban ini. Hakim yang telah dipengaruhi Sang Resi itu masih mencoba untuk mendesak Sarjitowarman.

   "Ah, mana mungkin hanya itu saja yang menggerakkan perbuatanmu yang jahat itu? Andika adalah seorang dari Lumajang! Sudah pasti ada orang atau pihak lain yang menyuruhmu untuk melakukan percobaan pembunuhan itu. Lebih baik Andika mengaku saja terus terang di depan Kanjeng Gusti Sinuhun dan para pembesar yang hadir!"

   Sarjitowarman mengangkat mukanya dan memandang ke kanan kiri dengan sinar mata penuh ketabahan, lalu menatap wajah hakim itu dan menjawab lantang.

   "Agaknya ada pihak yang hendak mendorong dan mendesak hamba untuk mengakui hal-hal yang tidak semestinya! Akan tetapi pihak ini harp jangan mimpi untuk dapat mencapai maksudnya yang keji. Hamba adalah seorang laki-laki sejati, berani berbuat berani bertanggung jawab. Hamba tidak disuruh oleh siapa pun, Hamba mencoba untuk membunuh Sang Pangeran karena dendam pribadi. Sekarang hamba telah ditangkap, silahkan kalau hendak menghukum hamba. Akan tetapi janganlah hamba didorong untuk mengakui hal-hal yang bukan-bukan!"

   Ucapan yang dikeluarkan dengan nada lantang dan marah kembali membuat mereka yang hadir tertegun. Sang Prabu sendiri diam-diam merasa kagum dan diam-diam merasa menyesal mengapa puteranya membuat gara-gara dengan menangkap pemuda ini dan tunangannya sehingga terjadi peristiwa ini. Akan tetapi tentu saja Sang Prabu tidak mau menyalahkan dan merendahkan puteranya sendiri dalam persidangan itu.

   Sinar mata Resi Mahapati yang ditujukan kepada pembesar yang mengadili pemuda itu memandang tajam ke arah hakim. Hakim agaknya menerima isyarat pandang mata itu, maka untuk yang terakhir dia mendesak lagi.

   "Sarjitowarman! Mungkin Andika merupakan kaki tangan yang setia dari mereka yang menyuruhmu melakukan perbuatan itu, akan tetapi bagi Mojopahit Andika adalah seorang pengkhianat, seorang kaki tangan pemberontak. Namamu akan menjadi rusak dan seluruh keluargamu akan akan tertimpa bencana oleh perbuatanmu itu! Akan tetapi kalau Andika mengaku siapa yang menyuruhmu, pengadilan akan mempertimbangkan dosamu dan mengajukan permohonan kepada Kanjeng Gusti Sinuhun untuk meringankan hukuman!"

   Wajah Sarjitowarman menjadi merah sekali. Dia marah bukan main karena dia melihat komplotan yang ingin sekali menyeret nama pamannya di dalam persidangan ini, di depan kehadiran Sang Prabu, maka dia lalu membentak dengan suara nyaring.

   "Paduka hendak memaksa hamba mengaku? Nah, harap Paduka sekalian yang hadir di sini sudi mendengarkan pengakuan hamba ini. Yang menyuruh hamba melakukan percobaan pembunuhan terhadap diri Sang Pangeran bukan lain adalah......... Paduka sendiri!"

   Dia menudingkan telunjuknya kepada hakim itu! Tentu saja hakim menjadi pucat wajahnya, matanya terbelalak, kemudian mukanya berubah merah ketika mendengar suara ketawa ditahan dari beberapa orang yang hadir.

   "Andika melakukan fitnah pula!"

   Bentaknya dan dengan lancar dan dengan suara lantang dia lalu membacakan hukuman bagi Sarjitowarman. Hukuman mati tentu saja. Semua orang ramai membicarakan persidangan itu setelah persidangan dibubarkan, Sang Prabu dan pangeran telah lebih dulu meninggalkan sidang, kemudian orang hukuman itu diseret pergi untuk menerima hukuman yang dijatuhkan atas dirinya yang diterimanya dengan senyum karena Sarjitowarman merasa yakin bahwa kematiannya berarti bahwa dia akan bertemu kembali dengan tunangannya.

   "Maafkan saya, Kakang Resi. Akan tetapi saya tidak mau lagi membicarakan urusan Sajitowarman yang telah berdosa terhadap Gusti Pangeran dan telah menjalani hukuman mati. Saya kira memang sebaiknya begitu."

   Ki Patih Nambi berkata sambil mengerutkan alisnya, memandang kepada tamunya, Resi Mahapati yang duduk di depannya.

   "Akan tetapi, Adimas Patih. Siapa lagi kalau bukan kita yang memikirkan keadaan di Mojopahit? Apakah kita kan membiarkan saja calon raja kita melakukan penyelewengan-penyelewengan itu? Sang Pangeran memang telah bersikap keterlaluan,bukan hanya kepada Paduka dan keponakan Paduka, bahkan terhadap puteri-puteri istana beliau melakukan penghinaan. Kabarnya malah beliau bersikap kurang baik terhadap saudara-saudara tirinya, yaitu puteri-puteri keturunan langsung dari mendiang Sang Prabu Kertanegara, yaitu Gusti Puteri Sri Gitarya dan Gusti Puteri Dyah Wiyat...."

   "Cukup, Kakang Resi!"

   Kini Ki Patih bangkit berdiri dengan alis berkerut dan pandang mata marah.

   "Saya tidak mau lagi melayani percakapan seperti ini! Ketahuilah, Kakang Resi, bahwa saya adalah seorang ponggawa yang setia, yang bersedia mengorbankan apa saja, sampai keluarga dan nyawa saya, untuk mengabdi kepada Sang Prabu Kertarajasa Jayawardana dan tidak ada apa pun di dunia ini yang akan membuat kesetiaan saya terguncang!"

   Wajah Resi Mahapati menjadi merah sekali. Dia cepat minta maaf lalu berpamit pergi meninggalkan kepatihan. Hatinya merasa kecewa dan mendongkol sekali. Sia-sia saja semua usahanya selama ini. Siasat selirnya yang dijalankan dengan amat baik itu, yang mangakibatkan terhukumnya keponakan isteri Ki Patih, hukuman mati, ternyata tidak pernah mengguncangkan hati Ki Patih yang amat setia kepada Sang Prabu! Jadi percuma sajalah semua itu. Dia tetap tidak dapat mengadu domba antara Ki Patih dan Sang Pangeran! Dengan murung dia pulang ke gedungnya sendiri. Dia mulai putus harapan. Jelaslah bahwa kesetiaan Ki Patih tidak mungkin dapat dia guncangkan. Sebaliknya mencari kesalahan Ki Patih untuk dilaporkan, untuk menghasut hati Sang Prabu atau Sang Pangeran, juga sukar sekali karena memang patih itu amat setia dan tidak pernah melakukan sesuatu yang dapat dijadikan bahan hasutan.

   Lestari menyambut kedatangan resi itu dengan manis dan selir itu segera mengerti akan kemurungan suaminya. Dia sudah mendengar bahwa siasatnya dijalankan dengan baik, akan tetapi dia juga dapat menduga bahwa tentu siasat yang dijalnkan dengan baik itu ternyata tidak mengakibatkan hasil yang mereka idam-idamkan, yaitu permusuhan antara Ki Patih dan Sang Pangeran. Dia kini menduga pula, dari wajah suaminya yang muram, bahwa usaha suaminya menghasut dan memanaskan hati Ki Patih tentu gagal pula.

   "Apakah Ki Patih tidak dapat dibakar hatinya?"

   Tanyanya perlahan sambil mendekati resi itu. Resi Mahapati menggeleng kepala dengan kening berkerut.

   "Dia tidak mungkin dapat dihasut dan mencari kesalahannya pun amat sukar. Dia berlindung kepada kesetiaannya terhadap Sang Prabu maka menjadi kebal dan sukar sekali diserang."

   "Kalau dia sukar ditembus, mengapa tidak mengalihkan sasaran saja, Kakangmas?"

   Kata Lestari tersenyum.

   Kakek itu mengangkat muka memandangnya.

   "Maksudmu?"

   "Kita alihkan kepada sasaran yang lebih lunak, yaitu Sang Pangeran. Kalau Sang Pangeran sudah dapat paduka kuasai dan pengaruhi, tentu apa pun yang paduka minta akan dilaksanakan olehnya."

   "Akan tetapi, hubunganku dengan Sang Pangeran sudah cukup baik, beliau, bahkan Kanjeng Gusti Puteri sudah menaruh kepercayaan besar kepadaku."

   "Masih belum cukup, Kakangmas. Saya kira, kita harus mempergunakan kelemahan Sang Pangeran untuk benar-benar menundukkan beliau itu. Beliau adalah calon raja,maka alangkah akan baiknya dan menguntungkan kalau Paduka dapat menguasai sepenuhnya. Saya kira, jalan satu-satunya adalah menyerang kelemahannya, yaitu terhadap wanita."

   Resi Mahapati mengangguk-angguk. Memang tepat sekali, pikirnya. Mengapa dia tidak memikirkan hal ini? Kalau Sang Pangeran dapat ditundukkan oleh seorang wanita, tentu segala permintaan wanita itu akan diturutinya belaka! Dan satu-satunya wanita yang akan mampu melakukan hal ini adalah Lestari! Selirnya yang tercinta!

   Dia mencintai Lestari, akan tetapi dia lebih cinta kepada cita-citanya. Terbayang di benaknya betapa Lestari mempermainkan pangeran sampai Sang Pangeran tunduk benar-benar di bawah telapak kaki wanita yang dia tahu amat hebat dalam menyenangkan hati pria ini. Mungkin saja Lestari akan berhasil sedemikian jauhnya sehingga kelak dapat mengangkat diri menjadi permaisuri kalau Sang Pangeran telah menjadi raja!

   "Ah, benar sekali!"

   Tiba-tiba Sang Resi berseru girang dan dia memandang kepada selirnya itu dengan wajah berseri mata bercahaya.

   "Itulah jalan satu-satunya,dan engkau tentu suka melakukannya untuk aku, Lestari!"

   Wanita yang usianya dua puluh enam tahun namun masih kelihatan muda dan cantik manis itu memandang kepada Resi Mahapati dengan mata terbelalak, setengah dibuat-buat karena sesungguhnya otaknya yang cerdik sudah dapat menduga-duga apa yang dimaksudkan oleh suaminya, akan tetapi dia bertanya.

   "Apa yang Paduka maksudkan, Kakangmas Resi?"

   "Maksudku tidak lain adalah agar engkau sendiri yang melakukan pendekatan kepada Sang Pangeran dan berusaha untuk menundukkan hatinya dengan kejelitaanmu, Lestari."

   Sepasang mata yang jeli itu terbelalak makin lebar, mulut yang berbibir merah dengan rongga mulut lebih merah lagi itu terbuka, lalu kedua tangannya menutupi muka itu.

   "Ohhhh.... oh, uhhhhhhuuuuuuhhh......!"

   Dan wanita itu menangis sesenggukan!

   "Kakangmas..... uh-huuuuh....... Paduka kejam sekali...., sudah tahu bahwa saya adalah milik Paduka, jiwa raga ini adalah milik Paduka........ mengapa Paduka menyuruh saya melakukan hal itu..... hu-huuu, nyuruh saya melakukan hal itu menandakan bahwa Paduka tidak lagi mencintai saya......"

   Resi Mahapati cepat merangkul wanita itu. Hatinya girang bukan main karena sikap wanita itu jelas membuktikan betapa besar cinta wanita ini terhadap dirinya! "Tenanglah, manis, tenanglah kekasih hati pujaanku. Ingatlah bahwa untuk mengangkat derajat kita berdua engkau harus berani berkorban sedikit."

   "Sedikit kata Paduka? Sedikitkah itu kalau saya harus merendahkan diri merayu Sang Pangeran kemudian menyerahkan diri saya kepadanya? Ah, Paduka minta terlalu banyak dari saya...."

   "Tidak, tidak, Lestari. Ingatlah bak-baik. Engkau memang harus menggunakan kecantikan dan keindahan tubuhmu, akan tetapi aku tahu bahwa hatimu tetap milikku! Nah, sedikit pengorbanan itu apa artinya kalau dibandingkan dengan hasilnya?"

   "Paduka mengingat kepentingan sendiri saja. Berarti Paduka tidak lagi cinta kepada saya."

   "Siapa bilang begitu? Justeru aku minta kepadamu melakukan hal itu adalah karena besarnya cintaku kepadamu, Lestari. Dengar baik-baik. Kalau engkau berhasil menundukkan hatinya, dan aku yakin engkau pasti akan berhasil, bukankah kelak engkau ada harapan untuk diangkat menjadi permaisuri kalau beliau telah menjadi raja? Nah, bukankah hal itu akan mengangkat dirimu ke tempat yang paling tinggi bagi seorang wanita? Lebih tinggi dari semua wanita di Mojopahit? Dan tentu saja, kalau engkau sudah menjadi permaisuri, mudah saja bagimu mengulurkan kepadaku, menarik aku ke

   



    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KERIS MAUT

PENDEKAR GUNUNG LAWU

KEMELUT DI MAJAPAHIT