KEMELUT DI MAJAPAHIT JILID 29

   Tiba-tiba terdengar Resi Mahapati tertawa. Suara ketawa ini seperti memecahkan lamunan Sang Pangeran. Dia cepat menunduk, membuka mata memandang wajah Sang Resi dan berkata dengan nada suara menegur.

   "Apa yang ditertawakan, Paman Resi? Senangkah Andika melihat saya menderita? Atau lucukah kalau saya jatuh cinta kepada dara yang denok ayu itu?"

   "Ampunkan hamba, Kanjeng Pangeran. Sama sekali bukan demikian. Hamba tertawa karena melihat Paduka merisaukan hal yang sebetulnya sederhana saja. Kalau Paduka menghendaki seorang dara, mengapa hal itu dirisaukan benar? Wanita mana yang tidak akan bersembah sungkem di depan kaki Paduka, yang akan siap dan rela menyerahkan diri untuk melayani cinta kasih Paduka? Kalau memangPaduka gandrung kepada keponakan Ki Patih Nambi itu, apa sih sukarnya meraih Si Denok ke pangkuan Paduka?"

   "Hemm, mudah dan enak saja Andika bicara, Paman Resi. Kalau Wulandari itu anak atau isteri sekalipun dari seorang ponggawa biasa, tentu mudah aku memintanya. Bahkan kalau dia itu puteri seorang raja muda di luar Mojopahit, juga aku akan melamarnya atau merampasnya. Akan tetapi dia keponakan Paman Patih! Dan dia sudah bertunangan!"

   "Apa salahnya, Gusti? Biar sudah menikah sekalipun, apalagi baru bertunangan,dapat saja diputuskan atau dibatalkan kalau Paduka menghendaki!"

   "Ah, tapi dia keponakan Ki Patih Nambi!"

   Pemuda itu berkata lagi sambil mengerutkan alisnya.

   "Kalau begitu, mengapa? Paduka adalah Pangeran Mahkota dan Ki Patih hanya seorang abdi yang harus mentaati perintah Paduka."

   "Hemm, Andiaka seperti tidak tahu saja, Paman Resi. Kita sama tahu siapa adanya Paman Patih Nambi. Dia kepercayaan Kanjeng Romo! Kanjeng Romo tentu akan marah sekali kalau sampai aku berani mengganggu Paman Patih Nambi. Dia sudah memper- kenalkan keponakannya itu kepadaku dan bahkan menambahkan bahwa keponakannya itu telah bertunangan dengan lain orang, hal itu berarti bahwa aku tidak boleh mengganggu Wulandari! Tidak ada jalan dan tidak ada alasannya. Kalau aku menggunakan kekerasan, tentu Kanjeng Romo akan marah kepadaku. Paman Resi,Andika harus menolongku..... ah, tidak kuat rasanya menanggung derita rindu ini!"

   "Ha-ha-ha, segala hal kalau Paduka ceritakan kepada hamba, tanggung beres! Hamba yang mananggung bahwa Paduka akan dapat meraih dara jelita itu ke dalam rangkulan Paduka,ke atas pangkuan Paduka tanpa ada bahaya kemarahan dari Ramanda Paduka Kanjeng Gusti Sinuhun."

   Sepasang mata yang sayu itu beserinar, wajah yang muram itu berseri.

   "Benarkah,Paman? Bagaimana caranya? Ohh, cepat katakan kepadaku!"

   "Paduka tentu maklum bahwa biarpun Beliau menjadi kepercayaan Sang Prabu, namun sebenarnya di balik wajah setia dari Ki Patih Nambi tersembunyi hati yang bengkok! Dia mempunyai hati yang condong kepada Lumajang, buktinya, Ayah kandungnya sendiri, Aryo Pranarojo, juga berada di Lumajang, bahkan kabarnya menjadi tangan kanan dari Adipati Lumajang, yaitu Aryo Wirorojo."

   "Aku tahu, dan Kanjeng Romo juga sudah mengetahuinya, akan tetapi buktinya Ki Patih Nambi adalah seorang patih yang cakap dan setia. Apa hubungannya itu dengan Wulandari, Paman Resi?"

   "Sekarang tiba saatnya untuk membuka kelemahannya itu, Kanjeng Pangeran. Kemarin hamba menerima laporan dari para penyelidik bahwa di kepatihan datang penyelidik bahwa di kepatihan datang seorang mata-mata dari Lumajang dan bermalam di kepatihan. Nah, kalau Paduka mendatangi kepatihan dan menyergap, menangkap mata-mata itu di kepatihan, bukankah hal itu akan membuka rahasia Ki Patih bahwa dia mempunyai hubungan dengan para pemberontak Lumajang?"

   Sang Pangeran mengerutkan alisnya dan menggeleng-geleng kepalanya.

   "Aku tahu betapa Kanjeng Romo paling tidak suka mendengar Lumajang dijelek-jelekkan. Bahkan Kanjeng Romo selalu menganggap Lumajang sebagai tempat orang-orang yang setia kepada Beliau. Kalau aku melakukan penangkapan terhadap orang Lumajang di rumah Paman Patih, hal itu hanya akan menimbulkan kegemparan dan kemarahan kanjeng Romo. Tidak, Paman Resi, aku tidak mau mencampuri urusan pemerintahan selama Kanjeng Romo masih menjadi raja, dan hal itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan Wulandari."

   "Justru penangkapan atas diri orang Lumajang itu merupakan satu-satunya jalan bagi Paduka untuk mendapatkan diri Dyah Wulandari, Kanjeng Pangeran."

   "Ehhh....??"

   Sang Pangeran kini menjadi tertarik sekali dan mendekat.

   "Ceritakan,paman, Resi."

   "Ketahuilah bahwa orang Lumajang itu bernama Sarjitowarman."

   "Ahh...? Orang yang dikatakan tunangan Dyah Wulandari?"

   "Benar, Kanjeng Pangeran. Tunangan Dyah Wulandari dan juga keluarga Ki Patih,keponakan dari isteri Ki Patih."

   "Dan dia mata-mata Lumajang?"

   "Bukan, Kanjeng Pangeran."

   Pangeran Kolo Gemet bengkit berdiri dan memandang marah.

   "Paman Resi, apakah Andika hendak mempermainkan aku?"

   Resi Mahapati pura-pura gugup dan cepat dia memberi hormat.

   "Harap Paduka tenang dan harap suka mendengarkan penjelasan hamba. Sarjitowarman tentu saja bukan mata-mata, melainkan datang berkunjung kepada pamannya dan tunangannya, tentu saja membawa pesan dan berita dari Aryo Pranarojo untuk puteranya, Yaitu Ki Patih Nambi. Akan tetapi, karena pemuda itu merupakan seorang asing di sini, juga seorang Lumajang, tentu saja Paduka dapat menangkapnya dengan tuduhan mata-mata Lumajang. Tentu tidak ada yang berani menentang, juga Ki Patih sendiri tidak berani kalau Paduka menangkap pemuda itu dengan dalih hendak memeriksanya demi keselamatan kerajaan. Nah, setelah di Paduka tangkap, selanjutnya Ki Durgakelana yang akan memberi jalan untuk menyelamatkan pemuda itu, yaitu agar Dyah Wulandari sendiri yang menghadap Paduka. Selanjutnya, segala hal dapat diatur..... heh-heh!"

   Makin berseri wajah Pangeran Kolo Gemet. Yang tebayang olehnya hanya dara yang denok ayu itu menyerah kepadanya dan betapa dia akan menikmati dara yang membuatnya tergila-gila itu! Dia mendengarkan suara Resi Mahapati yang berbisik-bisik mengatur siasat, mengangguk-angguk puas. Malam itu, rencana telah diatur untuk melaksanakan siasat Resi Mahapati yang cerdik itu.

   Sang Resi Mahapati tidak pernah melepaskan ambisinya yang besar. Dia telah berhasil mengadu domba dan meruntuhkan banyak tokoh yang dianggap dapat merintangi jalan menuju tercapainya cita-citanya, tanpa memperdulikan betapa jahat dan kejinya pelaksanaan untuk menjangkau cita-citanya itu. Kini, mulailah dia bersiasat untuk menanam kebencian antara Ki Patih Nambi dengan Pangeran Kolo Gemet. Raja sudah tua dan setiap saat tentu Pangeran Mahkota yang akan naik tahta. Maka, Ki Patih Nambi harus lebih dulu disingkirkan, atau setidaknya diusahakan agar putera mahkota dan patihnya itu mempunyai dendam atauatau saling bermusuhan! Dan jalan satu-satunya untuk berhasil, mengingat bahwa Ki Patih Nambi adalah seorang bijaksana yang sukar sekali dibujuk, adalah mempergunakan kelemahan Pangeran Kolo Gemet terhadap wanita.

   Pada keesokan harinya, tentu saja Ki Patih Nambi terkejut bukan main ketika para pengawal melaporkan akan kedatangan Pangeran Kolo Gemet yang diikuti oleh sepasukan pengawal pangeran yang kelihatan marah-marah itu! Cepat Ki Patih Nambi lalu menyambut keluar dan dia makin terkejut dan heran ketika Pangeran Mahkota itu langsung saja berkata kepadanya dengan suara lantang dan kaku.

   "Paman Patih, harap Paman serahkan mata-mata dari Lumajang itu kepadaku!"

   Sepasang mata Ki Patih Nambi terbelalak dan alisnya terkerut.

   "Apakah yang Paduka maksudkan?"

   Tanyanya bingung.

   "Paman tidak perlu berpura-pura. Jangan mengira bahwa aku tidak tahu. Ketahuilah bahwa sebagai seorang Pangeran Mahkota, diam-diam aku pun memasang penyelidik-penyelidik untuk mengetahui keadaan kerajaan. Kemarin di sini datang seorang dari Lumajang dan bermalam di kepatihan. Tidak benarkah itu?"

   Ki Patih tersenyum lega.

   "Ah, dia? Memang benar, Kanjeng Pangeran. Kemarin ada datang seorang keponakan saya dari Lumajang yang bernama Sarjitowarman, akan tetapi dia adalah keponakan saya sendiri dan bukan mata-mata...."

   "Paman Patih! Sebagai seorang ponggawa Mojopahit, tentu Paman cukup mengerti bahwa urusan negara lebih penting daripada urusan pribadi! Harap Paman suka menyuruh orang Lumajang itu keluar agar dapat kuperiksa dan kutanyai dia."

   Dengan hati tidak enak Patih Nambi lalu menyuruh pengawalnya yang segera masuk dan tak lama kemudian pengawal itu kembali lagi bersama seorang pemuda yang tampan. Melihat bahwa di samping Pamannya di situ terdapat pula Pangeran Mahkota pemuda itu cepat duduk bersila dan menyembah dengan sikap hormat. Pangeran Kolo Gemet menatap wajah pemuda itu dan bibirnya tersenyum mengejek. Begini sajakah tunangan Dyah Wulandari? Demikian hatinya mengejek. Tidak seberapa!

   "Heh, kau orang Lumajang?"

   Dia membentak dengan sikap congkak.

   Pemuda itu menyembah dan menjawab.

   "Benar, Kanjeng Pangeran."

   "Siapa namamu?"

   "Hamba bernama Sarjitowarman, Gusti."

   "Kau datang membawa berita-berita dari Lumajang, bukan?"

   Pemuda itu mulai kelihatan gelisah, akan tetapi dia mengangguk.

   "Benar, Kanjeng Pangeran,"

   Katanya lirih, karena memang dia tidak mebohong. Bukankah dia diutus oleh Aryo Pranarojo untuk menyampaikan berita keselamatan kepada Pamannya di Mojopahit?

   "Kau menyampaikan berita rahasia dan melakukan penyelidikan di sini, memata-matai Mojopahit?"

   Ki Patih Nambi memandang dengan kaget dan hendak memprotes, akan tetapi Sang Pangeran mengangkat tangan mencegahnya. Pemuda itu juga terkejut sekali dan menjawab gagap.

   "Ti..... tidak, Kanjeng Pangeran...."

   "Kau bohong! Tangkap dia!"

   Bentak Sang Pangeran kepada para pengawalnya dan majulah Warak Jinggo, menagkap dan mengikat kedua tangan pemuda itu.

   Ki Patih Nambi melangkah maju hendak mencegah, akan tetapi pada saat itu Ki Durgakelana berkata.

   "Harap Paduka tenang, Gusti Patih. Ingat bahwa yang menagkap adalah Gusti Pangeran Pati sendiri."

   Mendengar ini, Ki Patih Nambi menahan kemarahannya dan menghadapi Pangeran Kolo Gemet, memandang tajam dan bertanya dengan suara kaku.

   "Kanjeng Pangeran, apakah artinya penangkapan yang Paduka lakukan terhadap keponakan saya ini?"

   Pangeran muda itu tersenyum mengejek.

   "Artinya? Artinya adalah bahwa saya telah menangkap seorang dari Lumajang yang disangka mata-mata dan dia akan diperiksa sampai ada bukti bahwa dia tidak bersalah, Paman Patih. Apakah Andika keberatan dengan tugasku itu? Biarpun dia adalah keponakanmu, akan tetapi saya harus mangutamakan keselamatan Mojopahit, Paman Patih."

   Tentu saja Patih Nambi tidak dapat menjawab dan tidak berani menyatakan keberatan dan dia hanya memandang dengan wajah pucat ketika pangeran dan pasukannya pergi sambil membawa Sarjitowarman sebagai seorang tawanan. Setelah rombongan itu pergi jauh, barulah Ki Patih Nambi melihat bahwa kakek itu masih berada di situ. Dia mengenal kakek ini sebagai seorang kepercayaan dan pengawal Pangeran, seorang yang kabarnya memiliki kesaktian dan bernama Ki Durgakelana. Ki Patih memandang heran dan matanya mengandung penuh pertanyaan.

   "Eh, Paman masih berada di sini?"

   Tanyanya.

   "Saya ingin membicarakan hal tadi dengan Paduka, Gusti Patih,"

   Jawab Ki Durgakelana kepada Patih Nambi sambil melirik ke arah para pengawal.

   Patih itu maklum dan segera berkata.

   "Mari kita masuk ke ruangan tamu dan bicara, Paman Durgakelana."

   Mereka memasuki sebuah kamar di serambi depan dan setelah mereka duduk berdua,Ki Patih Nambi manarik napas panjang menekan ketegangan hatinya dan bertanya.

   "Apakah yang akan Andika sampaikan Paman?"

   "Maafkan saya, Gusti Patih. Sesungguhnya, saya merasa ikut prihatin menyaksikan penangkapan yang dilakukan oleh Gusti Pangeran tadi. Terus terang saja, Gusti Pangeran melakukan penagkapan itu atas pelaporan penyelidik yang melihat orang asing di sini apalagi ketika mendengar bahwa pemuda itu datang dari Lumajang. Gusti Pangeran yang amat membenci orang-orag Lumajang tentu saja menjadi marah dan melakukan penangkapan."

   "Habis, apa yang dapat saya lakukan atau Andika lakukan, Paman?"

   "Saya akan berusaha menolong, akan tetapi harus dicarikan jalan yang baik, Gusti Patih. Kenyataan bahwa Sarjitowarman itu keponakan Paduka bukanlah merupakan alasan yang kuat. Harus ada alasan yang lebih kuat yang mengikatkan dia dengan Mojopahit....."

   "Ah, dia bukan hanya keponakanku, akan tetapi juga calon suami keponakanku Dyah Wulandari! Itulah sebabnya maka dia sering berkunjung ke Mojopahit, selain untuk mengunjungi kami, terutama sekali untuk menjenguk tunangannya."

   "Ahh! Begitukah?"

   Wajah Ki Durgakelana itu berseri-seri, seolah-olah dia baru tahu akan hal ini.

   "Kalau begitu, itulah satu-satunya jalan untuk membebaskan dia!"

   "Maksudmu?"

   "Gusti Pangeran paling lemah menghadapi wanita, maka kalau keponakan Paduka itu menghadap Gusti Pangeran dan mengajukan permohonan agar pemuda itu dibebaskan karena pemuda itu adalah calon suaminya, tentu Gusti Pangeran akan mereda kemarahannya dan melihat bukti bahwa pemuda itu tidak bersalah."

   Sang Patih mengerutkan alisnya.

   "Akan tetapi....."

   Dia tidak melanjutkan kata-katanya karena hatinya bimbang. Dia tentu saja sudah mendengar bahwa Pangeran Kolo Gemet adalah seorang pria mata keranjang dan suka menganggu wanita. Akan tetapi dia pun tentu saja tidak berani menyatakan suara hatinya ini di depan Ki Durgakelana,orang kepercayaan Sang Pangeran. Maka dia termenung bimbang.

   "Selain itu, kiranya tidak ada cara lain untuk menolong pemuda tadi, Gusti Patih. Urusan ini cukup gawat, menyangkut soal tuduhan mata-mata. Ikatan antara Paduka dan pemuda itu hanyalah sebagai paman dan keponakan luar. Kurang kuat untuk mematahkan belenggu persangkaan itu. Akan tetapi ikatan antara calon suami isteri tentu lebih kuat dan Gusti Pangeran tentu lebih mempercayai puteri keponakan Paduka."

   Ki Patih tetap termenung penuh keraguan. Dan Ki Durgakelana menggunakan kesempatan itu untuk mendesak,

   "Saya kira, paling tepat kalau puteri keponakan Paduka itu sekarang juga menghadap Gusti Pangeran di istananya sebelum ada keputusan dijatuhkan atas diri pemuda itu. Dan sebaiknya di waktu menghadap ditemani saja oleh seorang dayang. Saya sudah bicara terlalu banyak, terdorong oleh rasa iba, Gusti Patih. Nah, saya mohon diri."

   Kakek Raksasa itu memberi hormat lalu meninggalkan tempat itu, diantar oleh ucapan terima kasih dari Ki Patih Nambi yang masih ragu-ragu.


Ketika Ki Patih Nambi memasuki ruangan dalam, dia disambut oleh tangis isterinya dan tangis Dyah Wulandari. Mendengar keponakan ditangkap, tentu saja isteri Ki Patih merasa khawatir dan berduka sekali. Demikian pula Dyah Wulandari, karena dara cantik jelita ini sejak kecil telah mengenal Sarjitowarman dan setelah menjadi tunangannya, dia jatuh cinta kepada pemuda calon suaminya itu. Ki Patih Nambi duduk dengan penuh kegelisahan, lalu dia menceritakan usul yang disampaikan oleh Ki Durgakelana tadi.

   Mendengar ini, Dyah Wulandari lalu bangkit dan berkata.

   "Kalau begitu, saya akan menghadap Gusti Pangeran, Kanjeng Paman!"

   Wajah yang cantik itu agak pucat dan kedua pipinya basah air mata.

   "Akan tetapi....ah, hatiku khawatir kalau aku menghadap Beliau, Wulan!"

   Kata Ki Patih.

   "Apa yang dikhawatirkan?"

   Isterinya membantah.

   "Kalau memang hanya itu jalannya untuk membebaskan Warman, biarlah Wulan pergi menghadap. Sudah selayaknya seorang calon isteri membuktikan darma baktinya kepada suami."

   "Akan tetapi..... Gusti Pangeran itu terkenal mata keranjang dan......"

   "Ahhh, mana dia berani mengganggu keponakan Paduka?"

   Akhirnya setelah Wulandari dan isterinya mendesak, Ki Patih Nambi menyetujui juga, melepaskan keponakannya itu pergi dengan diantar oleh seorang dayang tua,dengan hati tidak enak. Akan tetapi dia masih berharap bahwa Sang Pangeran tidak akan berani mengganggu dara itu dan memandang kepadanya. Ketika Wulandari dan dayang yang mengantarnya tiba di istana Pangeran Kolo Gemet,dia segera dipersilakan masuk dan seketika tiba di ruangan dalam, dayang itu tidak diperkenankan masuk terus dan Dyah Wulandari diantar oleh pengawal sampai ke depan sebuah kamar yang pintunya tertutup.

   "Kanjeng Gusti Pangeran menanti di dalam kamar ini, harap Andika masuk saja,"

   Kata Ki Sarpo Kencono yang menjaga di depan kamar itu bersama Ki Warok jinggo.

   Keduanya menyeringai penuh arti dan dyah Wulandari merasa seram terhadap dua orang kakek raksasa yang kasar dan buruk rupa itu. Maka dia lalu membuka daun pintu dan bergegas memasuki kamar itu. Sebuah kamar yang besar sekali.

   "Klik!"

   Dyah Wulandari terkejut dan menengok, kiranya daun pintu itu telah ditutupkan kembali oleh tangan-tangan raksasa di luar tadi. Dia membalik lagi dan memandang ke dalam kamar.

   Kamar itu besar dan mewah sekali, juga berbau harum seperti kamar pengantin. Di sudut kamar itu terdapat sebuah pembaringan yang amat indah bertilam sutera merah muda yang tersulam bunga-bunga kuning dan daun-daun hijau. Lantainya terhias permadani tebal dan semua perabot kamar itu merupakan benda-benda yang mahal dan indah. Di atas sebuah meja dekat pembaringan tersedia minuman-minuman dalan guci dan cawan-cawan terbuat daripada emas dan perak. Pendeknya, belum pernah selama hidupnya Dyah Wulandari melihat kamar semewah dan seindah itu biarpun kamar-kamar di istana kepatihan juga merupakan kamar-kamar yang mewah bagi ukuran rakyat biasa. Akan tetapi Wulan jadi tidak begitu memperhatikan segala keindahan itu.

   Jantungnya berdebar-debar penuh ketegangan, kegelisahan dan ketakutan dan kedua kakinya menggigil, tidak lagi dapat digerakkan ketika dia melihat seorang pemuda dengan pakaian sarung tipis menyelimuti tubuhnya yang telanjang, sedang duduk di atas pembaringan itu. Pemuda itu bukan lain adalah Sang Pangeran Kolo Gemet yang memandang kepadanya dengan mulut tersenyum dan sepasang mata yang seolah-olah menelannya bulat-bulat!

   "Ahhh... Si Dewi Kahyangan...... Dyah Wulandari! Akhirnya kau datang juga kepadaku, bocah denok ayu?"

   Sang Pangeran bangkit berdiri dan menyambutnya dengan kata-kata yang membuat Wulandari makin ketakutan itu.

   Saking takutnya, Wulandari tidak dapat lebih lama lagi berdiri, dia lalu mendeprok dan duduk di atas lantai sambil menyembah.

   "Mohon.... mohon belas kasihan Paduka, Gusti...."

   Dia berkata dengan suara gemetar.

   "Ah, jangan begitu, cah ayu. Jangan duduk di bawah, mari kita duduk di sini dan bicara dengan baik dan enak. Marilah....."

   Sang Pangeran menggapai.

   Wulandari memandang dengan muka pucat dan mata terbelalak ketakutan lalu menggeleng kepala dan berkata lebih lirih.

   "Hamba.... hamba.....biar hamba duduk di sini saja........"

   "Ah mana bisa begitu? Tidak enak bicara begini. Marilah, sayang kita bicara sambil duduk di sini. Marilah!"

   Pangeran Kolo Gemet menghampiri dara itu yang menggigil ketakutan, memegang tangannya dan menariknya berdiri. Karena takut, Dyah Wulandari terpaksa bangkit berdiri. Sukar kakinya melangkah, akan tetapi dengan sikap halus dan mesra pangeran itu menggandengnya dan merangkul pinggangnya, menarik ke depan dan diajak menghampiri pembaringan yang lebar dan indah itu.

   "Nah, duduklah di sini dan mari kita bicara seenaknya."

   Dia memaksa Dyah Wulandari duduk di tepi pembaringan. Pembaringn itu lunak dan halus, akan tetapi terasa oleh dara itu seperti ada bara api membakar pinggulnya atau ada ujung-ujung keris tajam menusuk pinggulnya ketika dia duduk sehingga duduknya mepet di sudut dan hanya menempelkan pinggulnya di tepi pembaringan, mukanya menunduk, sebentar pucat sebentar merah, jantungnya berdebar-debar sehingga terdengar olehnya bunyi debur jantungnya yang makin mengencang.

   Melihat dara itu ketakutan, Pangeran Kolo Gemet melepaskan pegangan tangannya,kemudian dia pun duduk di samping dara itu, bertanya dengan halus.

   "Diajeng Wulandari yang manis, yang cantik jelita, yang membuat aku seperti gila dalam beberapa hari ini, sungguh aku merasa kejatuhan bulan melihat engkau masuk ke dalam kamarku. Diajeng, sekarang katakanlah, apa yang membawa Diajeng datang ke sini menemui aku? Apakah karena engkau merasakan desakan rindu hatiku, jeritan hatiku setiap malam di waktu aku bermimpi dan bertemu denganmu?"

   Dyah Wulandari merasa kepalanya pening karena jantungnya yang berdebar keras itu sehingga semua ucapan itu seperti terdengar amat jauh baginya. Kata-kata yang amat asing baginya, kata-kata rayuan yang belum pernah didengarnya semula.

   Bahkan tunangannya sendiripun Sarjitowarman, belum pernah mengeluarkan kata-kata merayu seperti itu. Sarjitowarman hanya menyampaikan rasa cinta kasihnya melalui senyum dan pandang mata, Sarjitowarman! Untuk tunangannya itulah dia kini berada di kamar ini! Teringat akan tunangannya yang ditangkap, timbul pula keberanian di hati Wulandari dan kini dia mengangkat muka, memadang wajah pangeran yang tampan dan mengerikan baginya itu.

   "Pangeran..."

   Dia berhenti lagi, kerongkongannya terasa tersumbat ketika dia melihat pandang mata pemuda itu demikian liar dan seperti hendak menelanjanginya,maka dia terpaksa menundukkan mukanya lagi.

   "Hamba datang menghadap Paduka karena hamba hendak mengajukan permohonan....."

   "Ah, gembira sekali hatiku bahwa orang seperti engkau suka minta sesuatu dariku, Diajeng Wulandari. Permintaan apakah itu?"

   "Hamba mohon agar Paduka suka mengampunkan.... Kakangmas Sarjitowarman. Dia bukanlah mata-mata Lumajang, Pangeran. Dia datang ke mojopahit karena memang mempunyai keperluan pribadi, yaitu..... untuk mengunjungi hamba. Hamba adalah tunangannya, calon isterinya, maka sudah sepantasnya kalau dia kadang-kadang untuk mengunjungi hamba, dan juga mengunjungi Kanjeng Paman Nambi, karena Kakangmas Sarjitowarman adalah keponakan dari Kanjeng Bibi. Maka, hamba mohon kebijaksanaan dan belas kasihan Paduka, sudilah kiranya Paduka membebaskan Kakangmas Sarjiowarman."

   Setelah berbicara, dara itu merasa tenang dan dapat bicara dengan lancar.

   "Ah, tentu saja.... tentu saja....! Dengan senang hati aku akan menolongmu dan memenuhi permintaanmu. Apa lagi baru permintaan seringan itu, biar engkau minta bulan pun akan kulaksanakan, Diajeng Wulandari. Akan tetapi tentu saja tidak ada kebaikan tanpa dibalas, dan aku yakin engkau adalah seorang yang mengenal budi."

   Dara itu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah.

   "Terima kasih atas kebijaksanaan Paduka. Budi Paduka tidak akan hamba lupakan selama hidup..."

   "Ah, tidak perlu begini, manis. Aku cinta padamu asal engkau bersikap manis dan suka melayaniku dengan suka rela dan manis, kuanggap budi ini sudah cukup terbalas. Marilah, sayang, aku cinta padamu.... ah, betapa rinduku kepadamu, Wulandari."

   Pangeran itu mendekat dan merangkul.

   "Ihhhh"..!"

   Dyah Wulandari menjerit kecil.

   "Jangan..... jangan, Kanjeng Pangeran, jangan.....!"

   Dia meronta dan bangkit berdiri lalu melangkah mundur, dadanya berombak, mukanya pucat dan matanya terbelalak, seperti mata seekor kelinci menghadapi seekor harimau yang akan menubruknya dan mencabik-cabik dagingnya.

   Alis pangeran itu berkerut.

   "Wulandari, baru saja kau mengakatakan bahwa sampai mati kau tidak akan melupakan budiku, akan tetapi sekarang agaknya sudah kau lupakan!"

   Aku cinta padamu dan aku ingin engkau melayani cintaku dengan suka rela tanpa paksaan..... Diajeng, percayalah, aku sungguh tergila-gila kepadamu....."

   Pangeran itu menghampiri, menangkap pergelangan tangan dara itu, menariknya dan mendekapnya lalu mendekatkan mukanya hendak mencium.

   "Tapi.... tapi hamba akan menjunjung tinggi Paduka sebagai seorang sesembahan yang bijaksana....... bukan untuk bersikap seperti.... itu....."

   "Wulandari, pemuda Lumajang itu mestinya harus mati, akan tetapi demi melihatmu aku suka mengampuninya dan mengembalikan nyawanya kepadamu. Dan untuk pengganti nyawanya, aku hanya minta agar engkau suka melayaniku dengan manis budi. Bukankah itu sudah adil? Aku cinta padamu dan aku ingin engkau melayani cintaku dengan suka rela tanpa paksaan..... Diajeng, percayalah, aku sungguh tergila-gila kepadamu....."

   Pangeran itu menghampiri, menangkap pergelangan tangan dara itu, menariknya dan mendekapnya lalu mendekatkan mukanya hendak mencium.

   "Tidak... eh, jangan.... ampunkan hamba... jangan......!"

   Wulandari meronta-ronta,dan sukar bagi pangeran itu untuk dapat mencium bibirnya karena dara itu mengelak terus dan mendorong-dorong sehingga akhirnya Pangeran Kolo Gemet melepaskan rangkulannya. Mukanya menjadi merah, matanya liar dan napasnya mendengus-dengus, tanda bahwa dia marah dan nafsu berahinya sudah membuat matanya galap.

   "Engkau menolak? Sungguh-sungguh engkau berani menolak cintaku?"

   Wulandari menangis terisak-isak dan menjatuhkan dirinya di atas lantai, menyembah-nyembah.

   "Ampunkan hamba, Gusti..... hamba akan menjunjung Paduka sebagai seorang sesembahan yang bijaksana, yang pemurah, akan tetapi jangan Paduka menghendaki yang itu.... karena hamba sudah bertunangan, hamba sudah mempunyai seorang calon suami...."

   "Kalau begitu kau ingin melihat tunanganmu itu mampus?"

   "Ampun, Gusti.... ampunkan hamba, ampunkan dia.... demi para dewata yang agung, ampunkan hamba dan dia...."

   Wulandari meratap.

   "Wulandari, jawablah pertanyaanku yang terakhir ini. Maukah engkau melayaniku dengan suka rela? Kalau mau, ke sinilah dan duduklah di pembaringan ini. Kalau tidak mau jawab saja sejujurnya!"

   Suara Pangeran itu lantang dan penuh kemarahan.

   Dyah Wulandari menyembah, suaranya tergagap karena terganggu tangisnya.

   "Ampunkan....hamba.... hamba....... tidak mungkin dapat melakukan hal itu, biar sampai mati sekalipun...., harap Paduka suka mengampuni hamba..."

   "Keparat!"

   Pangeran Kolo Gemet lalu bertepuk tangan tiga kali dan daun pintu kamar itu terbuka cepat dari luar dan dua orang kakek raksasa itu sudah meloncat ke dalam. Mereka memandang kepada Sang Pangeran, hatinya merasa lega melihat Sang Pangeran tidak apa-apa hanya kelihatan marah, lalu mereka memandang kepada dara yang menangis dan berlutut di atas lantai itu.

   "Bawa mata-mata Lumajang itu ke sini!"

   Bentak Pangeran Kolo Gemet dengan penuh kegeraman.

   "Baik, Gusti Pangeran!"

   Jawab Warak Jinggo dan dia lalu meloncat keluar,sedangkan Sarpo Kencono masih berdiri di situ.

   "Sarpo Kencono siapkan tali untuk meringkus mata-mata itu!"

   Sarpo Kencono menyembah lalu keluar dari dalam kamar. Seluruh tubuh Dyah Wulandari menggigil penuh ketegangan dan kegelisahan. Dia maklum bahwa dia telah membikin marah pangeran, dan dia tidak dapat membayangkan apa yang hendak dilakukan oleh pangeran itu kepada tunangannya.

   Tak lama kemudian terdengar langkah-langkah kaki menghampiri pintu kamar dan muncullah Warak Jinggo yang mendorong tubuh Sarjitowarman memasuki kamar, diikuti Sarpo Kencono yang membawa tali. Kedua tangan pemuda Lumajang itu sudah dibelenggu ke belakang tubuhnya, mukanya pucat dan rambut serta pakaiannya kusut awut-awutan. Ketika dia melihat bahwa Dyah Wulandari berada di dalam kamar itu,berlutut sambil menangis, dia terkejut bukan main.

   "Diajeng....!"

   Teriaknya lirih tertahan karena Warak Jinggo sudah menekan pundaknya sehingga dia menjatuhkan diri berlutut.

   "Kakangmas....!"

   Dyah Wulandari juga menjerit lalu menangis sesenggukan.

   "Ikat dia di tiang pojok itu kuat-kuat, hadapkan ke sini!"

   Sang Pangeran membantak dan dua orang pengawalnya lalu menyeret tubuh Sarjitowarman ke pojok di mana terdapat tiang besar berukir indah, kemudian dengan kasar pemda itu ditelikung pada tiang itu. Tali yang kuat dan panjang itu dilibat-libatkan tubuhnya dari kaki sampai ke dada sehingga pemuda itu sama sekali tidak mampu bergerak lagi, hanya memandang ke arah tunangannya dengan penuh kekhawatiran.

   Sementara itu, Dyah Wulandari menangis makin hebat, mencoba untuk lari menghampiri tunangannya, akan tetapi Pangeran Kolo Gemet menghadang dan mendorongnya sehingga dara itu terhuyung dan jatuh ke atas pembaringan. Dia cepat turun lagi dan menyembah-nyembah sambil menangis sesenggukan.

   "Gusti Pangeran, Paduka boleh menyiksa hamba, boleh membunuh hamba, akan tetapi janganlah Paduka mengganggu Diajeng Wulandari!"

   Sarjitowarman berteriak dengan marah, matanya terbelalak berapi-api ditujukan kepada Pangeran Kolo Gemet. Pangeran itu meloncat dan menampar pipi pemuda itu.

   "Plakkk!"

   Dan darah mengalir dari ujung bibir yang pecah.

   "Tutup dan ikat mulutnya yang lancang dengan kain agar tidak mampu mengeluarkan suara!"

   Bentak Sang Pangeran dengan geram. Warak Jinggo lalu mempergunakan sehelai kain hitam untuk mengikat mulut Sarjitowarman sehingga pemuda itu kini selain tubuhnya terbelenggu, juga mulutnya tertutup ikatan yang erat sehingga sama sekali tidak mampu bersuara, hanya matanya saja yang masih dapat memandang dengan marah.

   "Sekarang keluarlah kalian, jaga di depan pintu, jangan perkenankan siapapun masuk ke kamar ini!"

   Dua orang kakek itu saling pandang, tersenyum lalu menyembah dan mengundurkan diri ke luar kamar, menutupkan daun pintu dan menjaga di luar kamar itu. Pangeran Kolo Gemet lalu menghampiri Dyah Wulandari yang masih berlutut sambil menangis itu.

   "Nah, Wulandari, bagaimana sekarang? Apakah engkau masih bersikeras tidak mau memenuhi permintaanku?"

   "Ampunkan, Gusti..... hu-hu-huhhh....... ampunkan hamba berdua...., lebih baik Paduka bunuh saja hamba berdua..... hu-huhhhhh......."

   Dara itu menangis tersedu-sedu.

   Kolo Gemet menjadi semakin penasaran dan marah.

   "Baik, kalau begitu kaulihat dia ini tersiksa!"

   Dengan langkah lebar dia menghampiri Sarjitowarman yang terbelenggu di tiang.

   "Brettt......!"

   Sekali renggut, robeklah baju pemuda itu sehingga dadanya nampak telanjang. Pangeran Kolo Gemet lalu mencabut kerisnya.

   "Aku akan membunuhnya perlahan-lahan di depan matamu. Lihat baik-baik.....!"

   Pangeran itu lalu menggunakan ujung kerisnya menggurat kulit dada pemuda itu. Darah mengucur dari luka memanjang dan Sarjitowarman memejamkan mata menahan nyeri, hanya alisnya saja yang berkerut.

   "Pangeran......!"

   Dyah Wulandari yang tadi memandang terbelalak, kini menjerit dan menubruk kaki pangeran itu, menyembah-nyembah.

   "Ampunkan dia.... ampunkan hamba.... demi para Dewata Yang Agung ampunkan dia....."

   Pangeran Kolo Gemet tersenyum mengejek.

   "Ampun? Mudah saja, manisku. Tentu saja aku akan mengampunkan kalian kalau saja engkau tidak keras kepala seperti itu. Nah, kau duduklah di pembaringan itu, hentikan tangismu dan bersiaplah untuk melayaniku dengan manis."

   "Tapi.... tapi..."

   "Apa kau ingin melihat dadanya kurobek-robek?"

   Pangeran itu membentak dan dengan muka pucat Dyah Wulandari lalu bangkit dan melangkah manuju ke pembaringan, akan tetapi tiba-tiba dia menoleh dan memandang kepada Sarjitowarman Pemuda ini tidak mampu bersuara atau bergerak, akan tetapi dia masih dapat menggeleng-gelengkan kepalanya, memberi isyarat yang jelas agar tunangannya itu tidak memenuhi kehendak Sang Pangeran.

   "Hamba......hamba tidak dapat....."

   Akan tetapi kata-kata itu terhenti dan berubah menjadi jeritan lalu dia lari dan menubruk kaki pangeran itu ketika ujung keris itu kini dengan gerakan kasar dan marah menyambar dan mencoret-coret di atas dada yang telanjang itu sehingga dada itu kini belepotan darah dengan guratan-guratan merah malang melintang.

   "Engkau masih berani membantah?"

   Pangeran itu membentak.

   "Baik... baik.... Gusti, akan tetapi jangan...... jangan siksa dia....."

   Dengan ketakutan dan hati penuh kengerian melihat tunangannya disiksa seperti itu, Dyah Wulandari lalu setengah berlari menuju ke pembaringan dan duduk di situ dengan mata terbelalak dan muka pucat ketakutan terdengar rintih tangis Dyah Wulandari bersama rintih yang keluar dari kerongkongan Sarjitowarman yang hanya dapat memejamkan matanya rapat-rapat, akan tetapi air matanya menetes membasahi kedua pipinya.

   "Ha-ha-ha, nah, begitu baru baik dan manis."

   Dia lalu menyimpan kerisnya dan memandang wajah Sarjitowarman.

   "Dan kau! Berani benar kau ya? Nah, untuk keberanianmu itu, hendak kulihat apakah engkau cukup berani untuk menonton apa yang akan terjadi!"

   Sepasang mata Sarjitowarman kini memandang tanpa mengenal takut, tanpa rasa hormat, dan dia seolah-olah hendak mencekik pangeran itu dengan pandang matanya. Akan tetapi pangeran Kolo Gemet hanya tertawa lalu dengan langkah lebar menghampiri pembaringan.

   "Gusti.... jangan.... jangan....!"

   Keluhan Wulandari itu makin menghebat keika pangeran itu menubruknya sehingga dia roboh terjengkang dan terlentang di atas pembaringan dan dia meronta-ronta berusaha melepaskan diri, namun tentu saja dia kalah tenaga dan dia pun agaknya takut kalau-kalau pangeran itu akan menyiksa tunangannya lagi. Akhirnya, keluhannya itu berubah menjadi jeritan-jeritan menyayat hati, kemudian di dalam kamar itu hanya terdengar rintih tangis Dyah Wulandari bersama rintih yang keluar dari kerongkongan Sarjitowarman yang hanya dapat memejamkan matanya rapat-rapat, akan tetapi air matanya menetes membasahi kedua pipinya.

   Selama sehari itu, berkali-kali Dyah Wulandari roboh pingsan dan kalau tidak pingsan, terdengarlah rintihan dan tangisnya, keluhan dan sambatnya minta mati akan tetapi yang hanya dijawab dengan suara ketawa dan bujuk rayu Sang Pangeran.

   Karena asyik dengan pelampiasan nafsu-nafsu kotornya, Sang Pangeran tidak tahu betapa di luar pintu muncul Resi Mahapati yang berbisik-bisik dengan dua orang kakek pengawalnya, dan Resi Mahapati mengangguk-angguk tersenyum puas ketika mendengar suara rintihan-rintihan yang mengenaskan dari Dyah Wulandari di dalam kamar itu. Lalu kakek itu cepat meninggalkan istana pangeran dan bergegas mengunjungi kepatihan, di mana Patih Nambi masih menanti kembalinya keponakannya dengan hati gelisah.

Ki Patih Nambi menerima kunjungan Resi Mahapati yang kelihatan gugup dan gelisah itu dengan hati tidak enak. Dan sebelum Ki Patih dapat bertanya, Resi Mahapati telah mendahuluinya dengan suara gugup.

   "Celaka, Adimas Patih! Paduka harus cepat-cepat bertindak, kalau tidak maka

   celakalah....."

   Biasanya, menghadapi segala macam persoalan, Ki Patih Nambi selalu bersikap tenang, akan tetapi sekarang karena hatinya sejak pagi tadi sudah gelisah memikirkan Dyah Wulandari yang tak kunjung pulang, dia menjadi pucat mendengar ini.

   "Kakang Resi Mahapati! Apakah yang telah terjadi?

   "Saya baru saja mendengar bahwa keponakan Paduka, Dyah Wulandari, telah ditangkap oleh Sang Pangeran!"

   Ki Patih Nambi mengerutkan alisnya. Dia memang sudah mengkhawatirkan hal ini,akan tetapi dia ingin mendengar lebih banyak dari resi yang dia tahu memiliki hubungan akrab dan dekat dengan Sang Pangeran itu.

   "Apa dosanya, Kakang Resi? Keponakan saya itu hanya pergi menghadap Sang Pangeran untuk mohon dibebaskannya tunangannya."

   Resi Mahapati menarik napas panjang, kelihatan bingung dan khawatir sekali.

   "Saya sendiri hanya mendengar dari para pengawal Gusti Pangeran bahwa keponakan Paduka itu di tangkap dan dituduh membantu mata-mata dari Lumajang. Saya harap Paduka cepat-cepat pergi mendatangi pangeran untuk menolong keponakan Paduka itu, Dimas Patih."

   Ki Patih Nambi adalah seorang yang bijaksana. Dia tahu bahwa kalau dia menuruti nasihat ini, dia hanya akan membuat suasana menjadi tambah panas dan keruh.

   Dia menggeleng kepalanya.

   "Gusti Pangeran berhak untuk menahan siapa pun yang dia curigai, Kakang Resi. Saya tidak berhak mencampuri, biarpun hal ini menyangkut urusan keponakan saya sendiri."

   "Apa?"

   Resi Mahapati terbelalak.

   "Paduka maksudkan bahwa Paduka akan tinggal berpeluk tangan saja mendengar keponakan Paduka terancam? Ahh..... saya kira....ah,maafkan, kalau begitu tidak ada artinya saya bersusah payah melaporkan kepada Paduka..."

   "Bukan begitu, Kakang Resi. Saya berterima kasih sekali atas pemberitahuan Andika ini, akan tetapi saya hanya dapat mengharapkan kebijaksanaan Kanjeng Gusti Sinuhun. Mendatangi Sang Pangeran sendiri hanya akan menimbulkan suasana yang makin panas saja."

   "Ah, benar sekali, Adimas Patih! Sebaiknya sekarang juga Paduka pergi melapor kepada Sang Prabu!"

   Akan tetapi Ki Patih Nambi kembali menggelengkan kepalanya.

   "Tidak sekarang, Kakang Resi, saya tidak berani mengganggu Sang Prabu di waktu hampir malam begini. Biarlah besok pagi saya akan mohon kebijaksanaan Sang Prabu."

   Resi Mahapati mengangguk-angguk kemudian meninggalkan kepatihan. Di dalam hatinya dia merasa girang sekali. Biar pun pada lahirnya patih itu tidak kelihatan menaruh dendam, namun dia tahu bahwa di dalam hatinya tentu Ki Patih Nambi merasa sakit hati sekali. Tunggulah kau, Nambi, pikirnya, tunggulah sampai kau mendengar sendiri betapa keponakanmu telah diperkosa oleh Sang Pangeran! Dia menggosok-gosok kedua tangannya, membayangkan bentrokan antara Ki Patih Nambi dan Pangeran Kolo Gemet dan kalau hal itu terjadi, makin terbukalah kesempatan baginya untuk mengangkat diri sendiri memperoleh kedudukan patih yang diidam-idamkannya.

   Keputusan Ki Patih Nambi untuk menunda permohonannya kepada Sang Prabu sampai besok pagi itu memperpanjang penderitaan batin Dyah Wulandari. Dia tidak berdaya dan dipermainkan sepuasnya oleh Pangeran Kolo Gemet dan sehari semalam, itu dia tidak pernah dilepaskan oleh Sang Pangeran. Kalau Dyah Wulandari mengalami penderitaan dan penghinaan yang lebih hebat menimpa jasmaninya, adalah Sarjitowarman yang mengalami sisaan batin amat hebatnya.

   Pemuda ini harus melihat dan mendengar semua penderitaan kekasihnya, penghinaan yang paling hebat yang dapat diderita oleh seorang wanita. Biarpun dia dapat memejamkan matanya agar tidak melihat kekasihnya meronta-ronta seperti seekor kelinci yang dicabik-cabik oleh seekor harimau buas, namun dia tidak dapat menutupi telinganya dan terpaksa harus harus mendengarkan rintihan dan ratap tangis yang terulang-ulang keluar dari mulut dara yang tidak berdaya itu.

   Kalau selama sehari semalam itu Sang Pangeran mau melapaskan Dyah Wulandari sebentar saja, tentu dara itu akan menggunakan kesempatan ini untuk membunuh diri dengan cara apa pun. Akan tetapi, pangeran itu sama sekali tidak pernah mau melepaskannya. Dan pada keesokan harinya, dalam keadaan tertidur, pangeran itu memeluknya erat-erat dan setiap kali Wulandari bergerak hendak melepaskan diri, pelukannya makin diperkuat. Hari telah agak siang ketika Sang Pangeran terbangun karena pintu kamar itu diketok orang dari luar. Dia bangkit duduk, memandang kepada Dyah Wulandari yang menangis terisak-isak ketika dia melepaskan pelukannya.

   "Manis, sudah jangan menangis Aku cinta kepadamu, Wulandari. Engkau telah menjadi milikku, dan aku akan membebaskan dia itu."

   Dyah Wulandari tidak menjawab, hanya menutupi mukanya dengan bantal dan menangis sesenggukan. Ketukan pintu terulang dan Sang Pangeran turun dari pembaringan, mengenakan pakaiannya sambil berseru.

   "Siapa?"

   "Hamba, Gusti. Ada utusan dari Gusti Sinuwun untuk paduka."

   Pangeran Kolo Gemet mengerutkan alisnya dan tanpa membuka pintu dia bertanya dari dalam.

   "Ada urusan apakah? Hayo katakan saja dari luar!"

   Terdengar suara lain, bukan suara Warak Jinggo yang tadi.

   "Ampun, Gusti Pangeran. Hamba diutus oleh Kanjeng Gusti Sinuhun yang minta agar Paduka suka datang menghadap sekarang juga di ruang persidangan di mana Kanjeng Gusti Sinuhun menanti Paduka."

   "Hemm baik, aku segera pergi. Warak Jinggo, kau masuklah!"

   Pintu terbuka dan Warak Jinggo memasuki kamar itu, melirik ke arah Sarjitowarman yang masih terbelenggu di tiang dalam keadaan lemas lahir batinnya, kemudian melirik ke arah Dyah Wulandari yang masih menangis di atas pembaringan dan menutupi tubuhnya dengan selimut.

   "Kau ikat kaki tangan wanita itu agar dia jangan lari atau melakukan hal yang buruk, akan tetapi awas, jangan sakiti dia dan jangan ganggu dia, dia adalah kekasihku!"

   Warak Jinggo menyembah, lalu menghampiri pembaringan, Dyah Wulandari yang sudah kehabisan tenaga itu diam saja ketika kaki dan tangannya diikat dengan hati-hati oleh kakek itu, menggunakan ikat pinggang dara itu sendiri yang berada di atas lantai di bawah pembaringan. Setelah berganti pakaian dan membereskan rambutnya,pangeran itu lalu meninggalkan kamar dan memesan kepada Warak Jinggo agar menjaga dua orang tawanan itu dengan hati-hati. Kemudian dia lalu pergi menghadap Sang Prabu, dikawal oleh Sarpo Kencono bersama Ki Dugakelana yang juga sudah datang pagi itu untuk menghadap Sang Pangeran seperti biasa setiap hari.

   Ketika Sang Pangeran tiba di ruang persidangan, dia melihat Sri Baginda lengkap dengan para pengawal telah berada di situ. Yang membuat hatinya merasa tidak enak adalah ketika dia melihat hadirnya Ki Patih Nambi di situ. Ki Patih duduk bersila dengan kepala tunduk dan wajah muram. Heran dia melihat Resi Mahapati juga hadir pula di situ. Dia tidak tahu bahwa Sang Resi itulah yang menemani Ki Patih menghadap ayahnya untuk melaporkan perbuatannya! Setelah melihat pangeran itu menghadap, Sang Prabu mengerutkan alisnya, lalu dia menegur.

   "Puteraku, apakah artinya pelaporan dari Patih Nambi bahwa Andika telah menangkap keponakannya yang bernama Dyah Wulandari?"

   Pangeran itu menyembah lalu berkata.

   "Harap Kanjeng Rama ketahui bahwa Dyah Wulandari telah membela seorang mata-mata Lumajang yang hamba tangkap. Karena itu, hamba menganggap bahwa Dyah Wulandari itu membantu mata-mata, keadaannya mencurigakan dan perlu ditahan pula untuk pemeriksaan lebih lanjut."

   "Hemm, siapakah orang yang kau anggap mata-mata Lumajang itu?"

   Tanya Sang Prabu.

   "Namanya Sarjitowarman, Kanjeng Rama."

   "Sarjitowarman adalah keponakan luar dari Ki Patih Nambi, dan Dyah Wulandari masih keponakannya sendiri. Mereka bukan mata-mata Lumajang, dan pula, tidak ada permusuhan, tidak ada persoalan antara Mojopahit dan Lumajang, maka bagaimana kau mengatakan ada mata-mata dari sana? Ki Patih Nambi telah menanggung bahwa dua orang keponakannya itu sama sekali bukan mata-mata, oleh karena itu kuperintahkan kepadamu agar kau suka membebaskan mereka berdua sekarang juga. Mengerti?"

   Pangeran Kolo Gemet terkejut. Tak di sangkanya ayahnya akan marah dan tahulah dia bahwa ayahnya mempunyai kepercayaan besar sekali terhadap Ki Patih Nambi. Maka dia tidak berani membantah. Betapapun juga, dia telah dapat mencapai maksud hati dan keinginannya, dia telah berhasil menguasai diri Dyah Wulandari selama sehari semalam. Dia telah merasa puas!

   "Baiklah, Kanjeng Rama. Hamba akan menjalankan perintah Paduka sebaiknya."

   Pangeran itu menyembah, bangkit dan hendak pergi, akan tetapi Sang Prabu berkata lagi kepadanya dengan suara lantang.

   "Pangeran, hayo kau minta maaf kepada Ki Patih atas perlakuanmu terhadap para keponakannya!"

   Pangeran Kolo Gemet mengerutkan alisnya, akan tetapi dia lalu tersenyum dan membungkuk kepada Ki Patih Nambi sambil berkata.

   "Paman Patih Nambi, saya harap Paman suka memaafkan saya atas apa yang saya lakukan terhadap Sarjitowarman dan Dyah Wulandari, Paman Patih!"

   Ki Patih Nambi cepat memberi hormat dan berkata.

   "Tidak apa, Gusti Pangeran. Semua kejadian itu terjadi karena kesalahpahaman, tentu saja hamba sudah melupakan semua itu dan sudah merasa girang dan berterima kasih kalau Paduka sudi membebaskan mereka berdua."

   "Benarkah Paman Patih tidak akan menaruh hati dendam kepada saya karena urusan itu?"

   "Ah, mana berani hamba menaruh dendam. Pula, perbuatan Paduka itu hanya terdorong oleh keinginan menyelamatkan kerajaan. Hamba tidak akan menaruh hati dendam, Gusti Pangeran."

   "Paduka baik sekali, Paman Patih, dan saya amat berterima kasih atas kebijaksanaan Paduka itu."

   Sang Prabu girang sekali mendengar percakapan antara patihnya dan puteranya itu, dia mengangguk-angguk dan memberi ijin dengan isyarat tangan ketika puteranya berpamit mengundurkan diri. Sang Prabu lalu membubarkan persidangan dan yang pulang dengan hati penasaran dan kecewa adalah Resi Mahapati. Semua jerih payahnya ternyata telah gagal! Dia tidak membakar api permusuhan dan dendam di antara patih dan pengeran. Mereka telah maaf-maafkan dan menyatakan tidak menaruh dendam di depan Sang Prabu sendiri!

   Betapa pun juga hati Resi Mahapati masih penasaran dan dia cepat menghubungi Ki Durgakelana untuk selalu memberi kabar kepadanya mengenai perkembangan urusan itu lebih jauh. Dengan wajah murung dia lalu pulang ke rumah, menanti berita dari Durgakelana. Dan pada sore hari itu dia mendengar berita yang mengejutkan dari Ki Durgakelana tentang dua orang keponakan Ki Patih Nambi itu. Apakah yang telah terjadi?

   Ternyata bahwa setelah menerima perintah dari ayahnya, Sang Pangeran tidak berani membangkang, apalagi dia telah mendapatkan maaf dari Ki Patih di depan ayahnya, di depan Sang Prabu bahwa Ki Patih tidak akan menaruh dendam dan telah memaafkannya. Betapapun juga, biar dia tidak dapat menahan Dyah Wulandari, namun dia telah menikmati gadis itu selama sehari semalam sepuasnya!

   "Bebaskan mereka dan antarkan mereka pulang dengan kereta ke kepatihan, serahkan kepada Paman Patih,"

   Demikian perintahnya kepada Warak Jinggo ketika pangeran itu kembali ke istananya. Ketika dibebaskan dari belenggu, Sarjitowarman yang lemas lahir batinnya itu terguling roboh. Dyah Wulandari menjerit dan lari menubruk kekasihnya itu, menangis tersedu-sedan. Sarjitowarman hanya menghela napas perlahan-lahan,menggosok-gosok pergelangan tangan dan kakinya, kemudian dia merangkul tunangannya dan memapahnya keluar dari istana itu memasuki kereta yang sudah dipersiapkan.

   "Tenanglah, Diajeng....betapapun juga kita telah bebas...."

   "Aduh, kakangmas... akan tetapi aku..... aku.....ah, lebih baik aku mati saja..."

   "Bukan salahmu, Diajeng. Mari kita hadapi semua ini bersama..."

   Pemuda itu pun tidak dapat bicara banyak karena dia maklum betapa hebat penderitaan lahir batin dari kekasihnya itu.

   "Kakangmas....!"

   Dyah Wulandari menangis tersedu-sedu dalam pelukan tunangannya.

   Makin hancur rasa hatinya melihat tunangannya itu bahkan menghiburnya, padahal dia tahu betapa tunangannya itu terhina secara hebat sekali, dipaksa menyaksikan ketika dia diperkosa dan dipermainkan oleh pangeran jahanam itu. Setibanya kereta itu di gedung kepatihan, Dyah Wulandari turun dan sambil terisak-isak dia lari terhuyung-huyung ke dalam gedung, langsung memasuki kamarnya. Ki Patih Nambi beserta isterinya dan keluarganya merasa terkejut sekali, dan Ki Patih segera bertanya kepada Sarjitowarman yang masih berlepotan darah bajunya.

   "Apakah yang terjadi, Sarjitowarman?"

   Pemuda itu menjatuhkan diri berlutut, mukanya pucat dan terengah-engah menahan tangisnya, kemudian dengan suara tersendat-sendat dia berkata.

   "Saya.... saya..... tidak dapat bercerita di sini... Kanjeng Paman...."

   Ki Patih Nambi maklum bahwa tentu telah terjadi sesuati yang amat hebat. Dia cepat maju dan membuka baju pemuda itu. Para wanita itu menjerit ketika melihat dada yang penuh luka gurat-guratan itu dan Ki Patih Nambi lalu menarik tangan Sarjitowarman, diajaknya pemuda itu memasuki kamarnya karena keponakannya itu tidak dapat bercerita di depan banyak anggota keluarganya.

   Setelah mereka tiba di dalam kamar dan Ki Patih menutupkan daun pintu, patih itu berkata.

   "Nah, sekarang ceritakanlah apa yang telah terjadi."

   Dengan suara terputus-putus dan diseling tangisnya, Sarjitowarman lalu menceritakan kepada pamannya itu betapa dia ditawan oleh pangeran, kemudian betapa dia dibawa ke sebuah kamar di mana dia diikat pada tiang, ditutup mulutnya dan disiksa oleh pangeran untuk memaksa Dyah Wulandari, kemudian betapa tunangannya itu diperkosa, dihina dan dipermainkan selama sehari semalam oleh pangeran itu di depan matanya! Sarjitowarman mengakhiri ceritanya itu sambil menangis dan berkata.

   "Kanjeng paman.... harap Kanjeng Paman jangan menyalahkan Diajeng Wulan.... dia sudah menderita hebat sekali, Kanjeng Paman... dan jangan sampai berita ini terdengar oleh siapa pun, biarlah saya yang akan mencuci aib yang menimpanya, saya akan segera mengawininya...."

   "Bedebah....!"

   Ki Patih Nambi mengepal tinju dan mengatupkan giginya kuat-kuat sampai terdengar bunyi giginya berkerotan. Matanya terbelalak merah penuh kemarahan terhadap Pangeran Kolo Gemet, akan tetapi alisnya segera berkerut ketika dia teringat akan janjinya memaafkan pangeran itu. Janjinya memaafkan dan tidak mendendam yang telah diucapkan di depan Sang Prabu sendiri! Dia tidak berdaya lagi!

   Tiba-tiba terdengar jerit melengking dari kamar sebelah dalam. Ki Patih Nambi terkejut bukan main dan dia segera meloncat dan lari ke dalam, diikuti oleh Sarjitowarman. Terdengar tangis riuh-rendah di kamar Dyah Wulandari. Ketika Ki Patih meloncat masuk, dia berdiri terpaku dengan mata terbelalak, memandang isteri-isterinya dan para keluarga merubuh tubuh yang menggeletak di atas pembaringan itu, tubuh yang sudah tidak bergerak lagi, tubuh Dyah Wulandari yng terlentang dengan sebatang cundrik menancap di ulu hatinya. Dara itu telah tewas dengan jalan membunuh diri, suduk selira {menusuk diri sendiri}. Darah masih mengalir dari dadanya, darah yang dimaksudkan untuk mencuci darah kehormatannya yang menodainya akibat perkosaan yang dilakukan oleh Sang Pangeran!

   "Diajeng Wulan.....!!"

   Sarjitowarman menubruk mayat itu, meratap tangis dan dengan beringas tangannya menyambar keris di dada kekasihnya, mencabutnya dan hendak ditusukannya di dadanya sendiri. Akan tetapi dengan sigapnya, Ki Patih Nambi sudah menangkap lengannya, merampas keris dan berkata dengan suara berwibawa,

   "Sarjitowarman! Seorang ksatria pantang membunuh diri! Apakah engkau bukan ksatria? Bukan laki-laki?"

   Sarjitowarman yang masih dipegang lengannya itu hendak meronta, lalu menoleh dan melihat wajah pamannya, mendengar ucapan itu, dia menjadi lemas.

   "Paman....!"

   Dia menjatuhkan diri berlutut dan menangis, merangkul kedua kaki pamannya.

   Ki Patih Nambi memejamkan matanya, menahan napas memulihkan kembali ketenangannya, lalu dia meraba kepala pemuda itu dan berkata.

   "Sarjitowarman,kurasa Wulandari telah melakukan hal yang benar dan patut dihormati. Dia tidak ingin menyiksamu dengan kenangan buruk itu maka dia melakukan suduk salira agar kau terlepas dari ikatanmu bersama dia. Kalau dipikirkan dengan masak-masak,memang sebaiknya begitu, karena sebagai seorang puteri, tentu saja peristiwa itu akan menghantui kehidupannya selanjutnya. Sekarang, sebaiknya engkau pulang ke Lumajang agar tidak terjadi sesuatu atas dirimu."

   "Tidak, Kanjeng Paman, saya ingin menunggui jenazah Diajeng Wulandari sampai selesai pemakamannya."

   "Jangan, Warman. Aku merasa tidak enak, dan tentu ada ekornya semua peristiwa ini. Sebaiknya

   




   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KERIS MAUT

PENDEKAR GUNUNG LAWU

KEMELUT DI MAJAPAHIT