KEMELUT DI MAJAPAHIT JILID 28

   Tidak memperlihatkan hal itu pada wajahnya yang tetap tanang ketika dia bertanya.

   "Kalau boleh aku mendengar, mengapa engkau tidak dapat menikah dengan Kakangmas Joko, Mbakayu?"

   Biarkan Roro Kartiko bersikap tenang dan biasa, namun pandang mata Sulastri yang tajm dapat melihat kekecewaan membayang di ujung bibir dan pandang mata dara itu,maka dia menarik napas panjang, menunduk dan menjawab lirih,

   "Aku..... aku tidak cinta kepadanya, Diajeng. Engkau juga tahu, aku....aku mencintai orang lain, mana mungkin aku menjadi isterinya? Aku tidak mungkin menjadi isterinya, akan tetapi pernikahan itu sajalah yang dapat menyelamatkan kita bertiga. Aku menjadi bingung sekali, Diajeng Roro Kartiko."

   Hening sejenak. Sulastri tahu bahwa pengakuannya itu memukul dan menyedihkan hati Roro Kartiko yang tadi kelihatan begitu gembira mendengar keputusan Adipati Puger. Akan tetapi dia tidak tahu bahwa ada hal lain yang menghancurkan hati Roro Kartiko pada saat itu. Roro Kartiko membuang muka untuk menyembunyikan matanya yang terasa panas dan air matanya memenuhi rongga matanya.

   Jantungnya seperti ditusuk keris beracun. Tadinya dia melihat cahaya harpan amat indah bagi kakaknya dan bagi dia sendiri. Memang dia pernah mendengar pengakuan Sulastri bahwa dara itu mencintai Sutejo dan hal ini kadang-kadang membuat hatinya perih kalau dia mengenangkan Sutejo sebagai pria yang menarik hatinya dan sekaligus menjatuhkan hatinya, sebagai pengganti Bromatmojo. Akan tetapi, Sulastri tidak pernah lagi membicarakan Sutejo dan perpisahan mereka membuat dia menduga-duga penuh harapan bahwa hubungan cinta kasih antara Sulastri dan Sutejo telah putus.

   Apalagi, melihat kemungkinan pernikahn Sulastri dan Kakaknya. Semua begitu indah, begitu tepat! Akan tetapi sekarang, tiba-tiba saja Sulastri mengatakan bahwa dia tidak mencintai kakaknya, melainkan mencintai orang lain. Siapa lagi kalau bukan Sutejo?

   "Ahhhh...!"

   Tiba-tiba Roro Kartiko menjerit dan meloncat berdiri, lalu berlari. Sulastri kaget bukan main mendengar jerit ini. Cepat dia mengankat muka memandang dan melihat Roro Kartiko sudah berlari hendak keluar dari dalam kamar itu.

   "Eh, Diajeng Roro....!!"

   Dia meloncat bangun dan memanggil.

   "Aku....aku harus memberi tahu kepada Kakangmas Joko...!"

   Roro Kartiko berkata tanpa menoleh dan dari suaranya Sulastri maklum bahwa dara itu menangis. Dia lalu membanting dirinya di atas pembaringan, menelungkup dan termenung. Dia sudah mengecewakan hati Roro Kartiko, pikirnya, dan tentu Joko Handoko akan merasa lebih kecewa lagi. Akan tetapi,memang jamu itu pahit, benar Roro Kartiko, pikirnya. Lebih baik berterus terang sehingga jelas semua daripada memendam perasaan di dalam hati. Biarlah Joko Handoko minun jamu pahit, mendengar bahwa dia tidak membalas cinta pemuda itu karena telah mencintai pemuda lain.

   Penjelasan itu ada baiknya bagi Joko Handoko. Akan tetapi, mereka harus menikah! Kalau tidak sudah pasti Murwendo dan Murwanti tidak akan diam begitu saja, tentu akan membunuh mereka bertiga dengan alasan bahwa mereka bertiga membohong dan mungkin benar mata-mata Lumajang seperti yang dituduhkan. Dan kalau mereka menolak untuk menikah, Sang Adipati Puger tentu juga kehilangan kepercayaannya.

   Memberontak dan berusaha meloloskan diri? Agaknya akan sukar sekali dan membahayakan, apa lagi kalau dia harus melindungi Joko Handoko, Roro Kartiko,dan tujuh orang anggota Sriti Kencana! Tidak mungkin dia menghadapi dan melawan orang sekadipaten Puger! Ah, dia merasa betapa hancur hati Joko Handoko dan Roro Kartiko. Dia tadi tidak dapat mengelak lagi dan terpaksa mengakui bahwa orang yang dia cintai adalah Sutejo! Pengakuan yang sekaligus menghancurkan hati kakak beradik itu karena kakanya mencintai dia dan adiknya mencintai Sutejo! Adakah suatu kebetulan yang lebih kejam daripada ini? Sulastri termenung.

   Dia sendiri merasa betapa hancur hatinya karena cinta gagal, bukan karena Sutejo tidak membalas cintanya, sama sekali tidak. Akan tetapi cinta di antara mereka juga hancur karena perbuatan Sutejo yang telah membantu Mahapati dan membunuh gurunya,Empu Supamandrangi! Dia sendiri merasakan penderitaan cinta gagal, dan kini dialah yang menjadi penyebab gagalnya cinta dalam hati Joko Handoko dan Roro Kartiko! Tiada yang lebih manis daripada cinta Seperti madu di waktu dua hati berpadu Dan tiada aral apa pun datang mengganggu Dunia terasa bagaikan surga! Tiada yang lebih pahit daripada cinta Seperti empedu di waktu du hati berpisah Menjadi permainan antara cinta dan benci Dunia terasa bagaikan neraka!

   Mata yang sudah merah itu kembali digenangi air mata. Di sudut hatinya terasa benar oleh Sulastri betapa dia amat mencintai Sutejo, betapa bahagianya ketika dia dipeluk dan saling berciuman dengan pemuda itu, betapa ingin hatinya untuk terus berdampingan dengan Sutejo, tidak pernah terpisah lagi sampai mati. Akan tetapi, pikirannya tidak dapat melepaskan ingatan bahwa Sutejo membantu musuh yang membunuh Empu Supamandrangi, bahwa Sutejo telah menjadi kaki tangan Mahapati. Iangatan ini membuat dia amat menyesal dan benci kepada Sutejo.

   Perasaannya yang mencinta dihantam oleh pikirannya yang mendatangkan benci! Tak lama kemudian dia mendengar langkah-langkah kaki. Cepat dia bangkit dan mengeringkan air matanya, lalu membereskan pakaian dan rambutnya. Akan tetapi kedua tangan yang baru membereskan rambut itu terlepas lagi ketikadia melihat bahwa yang muncul adalah Joko Handoko dan Roro Kartiko! Jantungnya terasa perih seperti tertusuk keris pusaka ketika dia melihat pemuda itu berdiri dengan muka pucat dan wajah muram, sedangkan Roro Kartiko jelas kelihatan merah-merah kedua matanya, bekas tangis.

   Sulastri bangkit berdiri, sejenak mereka bertiga saling berpandangan tanpa mampu mengeluarkan kata-kata. Akhirnya Sulastri yang memaksa mulutnya mengeluarkan kata-kata dengan suara gemetar dan lirih.

   "Kakangmas Joko Handoko, harap kau suka memaafkan saya......"

   Lalu disambungnya sambil menatap Roro Kartiko,

   "Roro,maafkanlah aku...."

   Ucapan itu seperti air dingin menyiram hati dua orang kakak beradik itu. Joko Handoko seperti baru sadar dan cepat dia berkata.

   "Ah.... tidak... tidak...! Akulah yang tidak tahu diri, aku dan Adikku yang seperti buta, tidak mengetahui bahwa engkau dan Sutejo saling mencinta. Aku datang bukan untuk mengungkit kembali soal itu, Diajeng, biarlah kesalahan ini dipendam saja agar tidak menimbulkan luka-luka di hati. Aku datang untuk membicarakan tentang.... eh, maksud Sang Adipati. Setelah keadaannya begini, jelas bahwa tidak mungkin engkau.... menikah dengan aku...."

   "Duduklah, Kakangmas Joko Handoko dan Diajeng Roro,"

   Sulastri berkata, sikapnya tenang kembali. Mereka duduk di atas kursi-kursi yang berada di kamar itu,kemudaian Sulastri memandang mereka dan berkata.

   "Kurasa, tidak ada pilihan lain bagi kita. Dua orang kembar yang gila itu jelas hendak menjerumuskan kita, dan Sang Adipati sengaja menikahkan kita untuk menangkis tuduhan mereka. Kalau kita menolak, sudah pasti dua orang gila itu akan menang dan kita akan terancam malapetaka. Untuk menggunakan kekerasan, kurasa percuma saja karena tidak mungkin kita dapat melawan perajurit-perajurit kadipaten yang amat banyak. Jadi, jalan satu-satunya untuk dapat menyelamatkan diri kita dan akhirnya lolos dari sini, adalah.... memenuhi keinginan Sang Adipati, kita....eh, menikah dan menerima kembali Kolonadah, bayangkan betapa mengejutkan kenyataan ini, kemudian kita dapat lolos dengan aman."

   Joko Handoko mengerutkan alisnya dan menggelengkan kepalanya.

   "Diajeng, engkau tentu cukup maklum bahwa Joko Handoko bukanlah seorang manusia rendah macam itu,yang hanya untuk menyelamatkan secuil nyawa ini akan sudi melakukan kerendahan itu. Sampai mati pun aku tidak akan mungkin suka untuk mengkianati Dimas Sutejo dan engkau..."

   "Ah, engkau tidak mengkhianati siapa-siapa, Kakangmas Joko. Aku yang menghendaki ini, dan pernikahan kita itu hanya pura-pura saja, untuk mencari kesempatan lolos dari sini dengan aman!"

   Sulastri membantah.

   Joko Handoko tetap menggeleng kepalanya.

   "Biarpun demikian, kalau kita sudah dinikahkan secara resmi, hal itu tentu akan merupakan pukulan hebat bagi Dimas Sutejo yang kelak akan menjadi jodohmu, Diajeng...."

   "Tidak! Dia tidak akan menjadi jodohku! Dia....dia musuhku....!"

   "Ihhh.....!"

   Roro Kartiko menjerit.

   "Bukankah dia cinta kepadamu, Mbakayu Sulastri?"

   "Dia boleh cinta, akan tetapi aku... aku benci padanya! Aku ingin membunuhnya!"

   "Eh,eh... bagaimana pula ini?"

   Joko Handoko terbelalak.

   "Mbakayu Sulastri...."

   Roro Kartiko memandang dengan khawatir, takut kalau-kalau kedukaan membuat dara perkasa itu berubah ingatan! "Ingalah, tadi engkau mengatakan bahwa engkau mencintai Kakangmas Sutejo dan....."

   "Memang, kami saling mencinta, memang aku tidak bisa menikah dan menjadi isteri orang lain, akan tetapi aku... aku juga membencinya, ingin membunuhnya. Dia musuh besarku, dia telah membunuh Eyang Empu Supamandrangi!"

   Sulastri mengepal tinju dan matanya menyinarkan api kemarahan.

   Joko Handoko dan adiknya saling pandang dan menggeleng-geleng kepalanya.

   "Agaknya antara engkau dan Dimas Sutejo selalu ada ketegangan-ketegangan, tentu ada kesalahpahaman dalam hal itu, Diajeng....."

   "Sudahlah, hal ini adalah urusan dia dan aku, Kakangmas Joko. Tidak perlu engkau merasa tidak enak kepada musuhku Sutejo itu! Kita melakukan upacara pernikahan, biarpun diresmikan, agar kita dapat lolos dari sini, dan terutama sekali bagiku agar kalian dan tujuh orang anak buah kalian dapat diselamatkan. Tentang pernikahan itu, bagi kita hanya pura-pura, kita tidak sungguh-sungguh menjadi suami isteri.... eh, maafkan, Kakangmas."

   Sulastri menyambung ketika melihat Joko Handoko memejamkan mata dengan wajah pucat. Setiap kata dalam ucapan Sulastri bagaikan tikaman keris di ulu hatinya terasa olehnya.

   Joko Handoko menarik napas panjang.

   "Kalau begitu kehendakmu, terserah, Diajeng."

   "Hanya pernikahan pura-pura, Kakangmas."

   Joko Handoko makin pucat.

   "Aku tahu, Diajeng, dan jangan khawatir, aku selalu ingin melihat engkau bahagia."

   "Maaf, aku hanya ingin agar di kemudian hari tidak terjadi keributan mengenai pernikahan pura-pura ini. Diajeng Roro menjadi saksinya,"

   Kata Sulastri. Roro Kartiko hanya mengangguk lemah.

   Ruangan pendopo yang luas dari istana Kadipaten Puger terhias meriah. Suara gamelan yang dipukul berirama menyambut datangnya para tamu yang membanjiri pendopo itu. Tamu-tamu ini terdiri dari pembesar-pembesar dan penduduk terhormat di Puger, untuk menghadiri perayaan pesta pernikahan antara Joko Handoko dengan Sulastri sebagai tamu-tamu kehormatan Sang Adipati yang oleh Sang Prabu Bandardento sendiri dianggap sebagai keluarga dan diresmikan pernikahan mereka di bawah perwalian dan restu Sang Prabu sendiri!

   Setelah melakukan upacara pertemuan pengantin, sepasang pengantin itu duduk bersila di atas panggung yang disediakan untuk mereka, didampingi oleh Roro Kartiko dan tujuh orang anggota Sriti Kencana. Mereka tidak mau saling berjauhan dalam peristiwa ini, selalu siap menghadapi apa pun. Sulastri menunduk dan menahan air matanya karena kembali dia teringat kepada Sutejo dan membayangkan betapa akan bahagianya kalau dia dapat bersanding sebagai pengantin bersama Sutejo, kalau saja Sutejo tidak membunuh Empu Supamandrangi! Dan Joko Handoko juga duduk dengan anteng, hatinya terasa perih sekali karena semua kebahagiaan yang tentu akan mengayunkannya ke sorgaloka ini ternyata hanyalah pura-pura belaka! Para tamu memuji ketampanan pengantin pria dan kecantikan pengantin puteri, juga kecantikan Roro Kartiko dan anak buahnya, terutama sekali Ayu Kunti dan Cempaka.

   Setelah upcara pertemuan pengantin selesai dan pengantin sudah duduk bersanding di atas panggung yang terhias dengan kembar mayang dan segala hiasan pengantin,mulailah pesta yang meriah. Setelah minuman-minuman keras memasuki perut melalui tenggorokan yang lahap, mulailah terdengar suara tertawa-tawa dan suasana menjadi lepas dan bebas, menjadi gembira. Sang Adipati sendiri juga tertawa-tawa gembira karena tercapailah hasil kecerdikannya. Peristiwa ini tentu akan menyenangkan Lumajang dan tanpa banyak kesukaran dia telah dapat menaklukkan hati orang-orang Lumajang, berarti menghindarkan musuh yang berbahaya!

   Murwendo dan Murwanti tidak hadir dalam pesta pernikahan itu. Akan tetapi Sang Prabu Bandardento tidak peduli, dia dapat menduga bahwa dua orang kembar itu tentu tidak senang hati mereka, akan tetapi biarpun mereka itu adalah anak-anaknya,dia tidak mungkin dapat membela mereka yang salah. Bahkan teringat kepada mereka,hati Sang Prabu menjadi tidak senang dan kecewa. Betapa akan bahagianya kalau anak-anaknya itu bukan Murwendo dan Murwanti, melainkan Joko Handoko dan Roro Kartiko! Kalau saja Sang Prabu Bandardento tahu apa yang dilakukan oleh dua orang anaknya itu! Kalau saja dia tahu apa yang telah terjadi selama beberapa hari ini, semenjak penyerbuan Sulastri!

   Sudah beberapa bulan lamanya, seorang selirnya yang bernama Retno Sami, seorang wanita berusia hampir tiga puluh tahun yang cantik manis, tergila-gila kepada Murwendo. Sebagai seorang selir yang ke sekian kalinya, apalagi seorang selir dari seorang Adipati yang sudah setua Sang Prabu Bandardento, yang dalam hal pengumbaran nafsu sudah banyak berkurang, tidak bergairah lagi, tentu saja seorang wanita muda seperti Retno Sami itu menjadi kehausan seperti seekor ikan kekurangan air. Tidak ada pelayan pria di kaputren, dan semenjak terjadinya peristiwa aib, hubungan perjinaan yang terjadi antara selir raja dan juru taman, kini bahkan juru taman pun seorang wanita! Satu-satunya pria yang dapat memasuki kaputren hanyalah Pangeran Murwendo, maka anehkah kalau selir ini tergila-gila kepada pemuda yang memang tampan, gagah dan kuat ini? Murwendo juga bukan seorang yang berbatin teguh.

   Biarpun Retno Sami adalah seorang "ibu"

   Baginya, seorang ibu tiri, namun bujuk rayu yang keluar dari pandang mata, gerak bibir dan suara wanita itu menggerakkan hatinya, membangkitkan berahinya. Apalagi ketika Retno Sami membisikkan bahwa dia mengetahui rahasia dari saudara kembar itu! Segera Murwendo dan Murwanti menarik "ibu"

   Ini menjadi sekutu mereka dan tentu saja, sebagai imbalannya, Murwendo menuruti hasrat hati wanita itu dan sudah sejak beberapa bulan ibu itu menjadi kekasihnya, berbuat jina dengan dia dan disetujui pula oleh Murwanti! Bahkan di antara tiga orang manusia yang dikuasai oleh nafsu ini, terjadilah perbuatan-perbuatan yang amat kotor dan mereka bertiga sudah biasa tidur sekamar di mana terjadi hal-hal yang sukar dibayangkan dapat terjadi di antara mereka! Tentu saja tidak ada seorangpun selir lain yang berani membocorkan rahasia ini karena perbuatan itu memungkinkan mereka dibunuh oleh Murwendo dan Murwanti.

   Retno Sami inilah yang membocorkan rahasia kelahiran Murwendo dan Murwanti sehingga dua orang saudara kembar itu tahu bahwa sesungguhnya mereka bukanlah keturunan Sang Prabu Bandardento, bahwa Ibu mereka telah meninggal ketika melahirkan mereka, dan betapa "ayah"

   Mereka yang sesungguhnya adalah seorang juru taman yang telah dibunuh atas perintah Sang Prabu Bandardento!

   Hal itu masih dapat dimengerti olah kakak beradik kembar ini. Akan tetapi ketika Sang Prabu menolak kehendak mereka mengawini Joko Handoko dan Roro Kartiko, timbullah kebencian mereka terhadap orang yang selama ini mereka anggap sebagai ayah kandung itu. Mereka merasa dikesampingkan, dan merasa bahwa sesungguhnya adipati itu tidak sayang kepada mereka. Dan mulailah timbul keinginan mereka untuk memberontak, menggulingkan Sang Adipati untuk merampas kekuasaan, dengan Murwendo menjadi raja dan Murwanti menjadi permaisurinya, Retno Sami menjadi selirnya! Pikiran yang gila memang bagi orang waras!

   Maka diam-diam kakak beradik kembar ini, dibantu oleh Retno Sami, menghubungi Menak Srenggo, yaitu kakak misan dari Retno Sami yang menjadi senopati di Puger, mengepalai pasukan yang cukup besar jumlahnya. Persekutuan dibentuk dan Menak Srenggo yang dapat terbujuk untuk diangkat sebagai patih kelak, telah berhasil mengumpulkan lima ratus orang perajurit bawahannya untuk dipergunakan sewaktu-waktu.

   Kemudian, saat yang dinanti-nanti itu telah tiba, yaitu pada saat pernikahan antara Joko Handoko dan Sulastri! Dan sebelumnya, Murwendo dan Murwanti telah berhasil memasuki gedung pusaka dan membunuh lima orang penjaga yang tidak menyangka sesuatu, kemudian Murwendo mengambil keris pusaka Kolonadah yang dianggapnya sebagai keris pusaka calon raja!

   Para tamu sedang makan minum dengan gembira ketika tiba-tiba di luar pendopo terdengar suara riuh rendah. Karena pendopo di malam perayaan itu amat terang, tentu saja dari dalam memandang keluar amat gelap sehingga semua orang yang terkejut itu tidak segera tahu apa yang telah terjadi. Akan tetapi, Padas Gunung dan Pragalbo sudah meloncat bangun dan memandang keluar. Joko Handoko, Sulastri, Roro Kartiko dan tujuh orang wanita Sriti Kencana juga sudah siap.

   Sulastri adalah seorang wanita perkasa yang cepat dapat menguasai keadaan, maka mendengar suara ribut-ribut di luar disusul pekik-pekik kesakitan tanda bahwa di luar terjadi pertempuran itu, dia dengan cepat berbisik kepada Joko Handoko dan Roro Kartiko.

   "Kalian berdua dibantu oleh tujuh orang anak buahmu harap melindungi Sang Adipati!"

   Dara perkasa ini maklum bahwa dalam keadaan apa pun di daerah Puger itu, satu-satunya orang yang dapat melindungi mereka hanyalah Sang Adipati, oleh karena itu keselamatan Sang Adipati amatlah penting bagi mereka.

   Agaknya Joko Handoko dan Roro Kartiko juga mengerti akan maksud hati Sulastri itu, apalagi karena memang dua orang kakak beradik ini merasa suka sekali kepada Sang Adipati yang selama ini memperlakukan mereka dengan baik.

   "Bunuh! Bunuh mata-mata Lumajang......"

   Terdengar teriakan-teriakan dan kini para penyerbu itu sudah memasuki pendopo. Para tamu menjadi panik dan bubar! Pekik kesakitan terdengar di sana sini dan kini tampak oleh Sulastri bahwa yang menyerbu itu adalah Murwendo dan Murwanti, diikuti oleh banyak sekali perajurit, ratusan orang banyaknya!

   Padas Gunung dan Pragalbo sudah cepat lari mendekati Sang Adipati dan Permaisuri, para selir menjerit kecuali tentu saja Retno Sami yang diam-diam tersenyum penuh harapan. Akan tetapi Sang Adipati dan keluarganya telah dikelilingi dan dijaga oleh Joko Handoko, Roro Kartiko dan tujuh anggota Sriti Kencana yang berdiri dengan gagah dan siap sedia! 

"Paman Padas Gunung dan Paman Pragalbo, kami akan melindungi Sang Prabu!"

   Kata Joko Handoko kepada dua orang senopati itu. Ketika dua orang tokoh Puger itu kelihatan ragu-ragu, tiba-tiba Sang Prabu Bandardento berkata dengan suara nyaring.

   "Padas Gunung! Pragalbo! Kalian tunggu apa lagi? Cepat kumpulkan pasukan untuk membasmi para pemberontak ini!"

   Mendengar perintah ini, barulah dua orang tokoh itu meloncat keluar sambil membentak-bentak marah. Para perajurit menjadi gentar menghadapi dua orang tokoh yang merupakan tokoh utama Puger ini, maka tentu saja mereka membuka jalan untuk dua orang tokoh ini yang cepat berlari keluar untuk mepersiapkan pasukan. Mereka terkejut sekali ketika melihat bahwa penyerbu itu terdiri dari pasukan yang ratusan ribu jumlahny, dan tahulah mereka bahwa putera dan puteri raja telah menggunakan pasukan di bawah pimpinan Menak Srenggo, Senopati yang berasal dari Selat Bali itu.

   Sementara itu, Sulastri dengan sigapnya telah meloncat dan menghadapi Murwendo dan Murwanti. Dengan Aji Hasto Bairowo dia mendesak dua orang ini karena dara perkasa ini marah bukan main. Hampir saja Murwanti kena ditampar kepalanya dan kalau tamparan dengan Aji Hasto Nogo itu tepat mengenai sasaran, kiranya kepala Murwanti tentu akan pecah. Akan tetapi, puteri adipati itu mengelak dan terhuyung, dan ketika Sulastri hendak mendesak, tiba-tiba dia merasa ada hawa yang dingin dan sinar merah menyambar ke arahnya. Dia terkejut, mengelak dengan loncatan sigap, merobohkan dua orang pengeroyok di sebelah kirinya sambil menoleh.

   "Kolonadah......!"

   Teriaknya ketika dia melihat keris yang berada di tangan Murwendo yang tadi menyerangnya untuk menyelamatkan adiknya.

   "Ha-ha-ha!"

   Murwendo tertawa.

   "Hayo keroyok, bunuh mata-mata Lumajang ini! Tangkap hidup-hidup Roro Kartiko, calon isteriku ha-ha!"

   Sulastri marah sekali, akan tetapi di tidak dapat meyerang kakak beradik kembar itu karena dia telah dikepung dan dikeroyok oleh banyak sekali perajurit pemberontak.

   "Bunuh Sang Adipati!"

   Terdengar Murwanti juga berteriak,

   "Bunuh Ayah palsu itu!"

   Sulastri mengamuk dan sepak terjangnya seperti seekor naga betina marah. Karena banyaknya pengeroyok, hatinya khawatir juga dan dia lalu mundur mendekati tempat Adipati di mana juga terjadi pertempuran hebat. Ketika tiba di situ sambil terus mengamuk, mengadu punggung dengan Roro Kartiko dan Joko Handoko bersama para anggota Sriti Kencana, mengurung keluarga raja di tengah-tengah mereka, Sulastri tercenggang melihat Adipati itu tertawa!

   "Ha-ha-ha, sungguh menyenangkan Joko Handoko! Kartiko! Anak-anakku yang baik, mari kita melawan para pemberontak bersama! Kalian lihat, biar tua aku tidaklah selemah raja-raja yang lain. Ha-ha-ha, mari kita hancurkan Si Kembar yang gila itu, pemberontak-pemberontak laknat ini!"

   Dan kini Sang Prabu Bandardento juga ikut pula mengamuk dan memang dia hebat sekali! Kiranya Adipati ini memiliki kepandaian yang tinggi, tidak kalah kalau dibandingkan dengan Padas Gunung atau Pragalbo!"

   "Bunuh Sang Adipati!"

   "Bunuh Sang Prabu!"

   Teriakan-teriakan itu jelas terdengar dari mulut Murwendo dan Murwanti, akan tetapi meraka tidak berani mendekati raja yang kini melawan bersama Joko Handoko dan teman-temannya. Si Kembar itu membiarkan Menak Srenggo dan anak buahnya yang mengepung raja, sedang mereka sendiri sambil tertawa-tawa membunuh-bunuhi para pengawal dan pelayan di situ, juga para tamu yang semua terdiri dari pejabat-pejabat dan yang tentu saja berusaha melawan, membela diri maupun membela Sang Adipati.

   Terjadilah pertempuran yang amat hebat, akan tetapi yang berat sebelah sehingga semua pengawal dan pelayan yang tadi bekerja melayani pesta, kini roboh bergelimpangan. Hanya pertahanan di sekitar keluarga Sang Adipati yang masih sukar ditembus oleh para pemberontak! Joko Handoko dan Roro Kartiko, juga Sang Adipati sendiri dan tujuh orang anggota Sriti Kencana sudah luka-luka lengan mereka, akan tetapi tidak ada seorang pun di antara mereka yang roboh dan mereka melawan terus dengan gagah berani. Hanya Sulastri yang tidak luka sama sekali, lecet pun tidak sungguhpun pakaiannya ada yang robek terkena senjata. Hal ini adalah karena dara perkasa ini dilindungi aji kekebalan Trenggiling Wesi. Amukannya menggetarkan hati para pengeroyok, akan tetapi karena jumlah mereka banyak, roboh satu maju dua, roboh sepuluh maju dua puluh. Sulastri mulai merasa lelah juga.

   "Ha-ha-ha, sungguh menggembirakan!"

   Lagi-lagi Sang Prabu Bandardento tertawa terbahak-bahak. Kedua lengannya sudah berdarah karena disambar golok, akan tetapi masih mengamuk hebat, setiap tendangan atau pukulannya tentu merobohkan seorang pengeroyok.

   "Mati pun aku puas, dapat berkelahi bersama-sama kalian,anak-anakku! Ha-ha-ha!"

   Raja tua itu seperti seorang anak kecil yang sudah lama dijauhkan dari permainan yang amat disukainya dan yang sekarang dia mainkan secara memuaskan sekali! Melihat sikap ini, Joko Handoko dan kawan-kawannya merasa kagum dan juga terharu. Sungguh seorang adipati yang baik budi, halus dan gagah perkasa!

   Tiba-tiba terdengar sorak-sorai dan keadaan para perajurit pemberontak menjadi kacau seperti rombongan semut ditiup. Mereka lari berserabutan dan berpencaran sehingga kini yang mengepung rombongan raja tidak seketat tadi. Ternyata bahwa Padas Gunung dan Pragalbo telah datang bersama pasukan mereka yang jauh lebih besar jumlahnya! Mulailah kini pasukan kadipaten menghajar dan membasmi pasukan pemberontak yang mulai menjadi kocar-kacir. Menak Srenggo mulai merasa menyesal mengapa dia percaya kepada kakak beradik kembar itu yang katanya bahwa pasukan kedipaten tidak akan berani menghalangi mereka berdua! Buktinya, kini pasukannya terhimpit oleh pasukan kadipaten. Dia mulai mengamuk keluar dan segera dia dihadapi oleh Padas Gunung dan Pragalbo!

   "Si keparat Menak Srenggo pemberontak hina! Mampuslah kau!"

   Bentak Pragalbo dan Padas Gunung dan mereka cepat menubruk ke depan, Padas Gunung menggerakkan suling hitamnya sedangkan Pragalbo sudah menusukkan kerisnya. Dua tokoh utama Puger ini merasa yakin bahwa sekali serang saja mereka tentu akan merobohkan dan menangkap perwira pemberontak ini karena Menak Srenggo adalah senopati di bawah mereka yang kepandaiannya tidak melebihi mereka. Melawan seorang di antara mereka saja akan kalah, apalagi dikeroyok dua. Akan tetapi betapa heran dan kaget hati mereka ketika tiba-tiba Menak Srenggo mengelak dari keris Pragalbo dan menggunakan lengan kirinya menangkis sulung hitam.

   "Dukkk!"

   Dan suling itu terpental, tangan Padas Gunung terasa ngilu! Bukan main kagetnya hati tokoh Puger ini. Dalam tangkisan tadi dia mendapat kenyataan bahwa Menak Srenggo memiliki kekuatan yang tidak kalah besarnya dengan tenaganya sendiri!

   "Ha-ha-ha, kau sangka aku selemah yang kalian kira, Padas Gunung?"

   Padas Gunung dan Pragalbo menerjang lagi, akan tetapi Menak Srenggo benar-benar tangkas sekali dan serangan balasannya membuat dua orang tokoh Puger itu terdesak ke belakang. Kesempatan itu dipergunakan oleh Menak Srenggo untuk menyambar lengan seorang perajurit musuh dan melontarkannya ke arah dua orang tokoh itu dengan kekuatan laur biasa. Padas Gunung dan Pragalbo tentu saja cepat mengelak, akan tetapi Menak Srenggo sudah meloncat dan keluar dari kepungan, terus melarikan diri! Terpaksa dua orang senopati itu mengamuk dan membabati perajurit-perajurit yang memberontak.

   Sementara itu, setelah para pengeroyok kini berbalik diserbu dan dikeroyok oleh pasukan Puger, Sulastri membiarkan Joko Handoko dan Roro Kartiko dibantu tujuh orang anggota Sriti Kencana melindungi dan membela Raja Bandardento, sedangkan dia sendiri cepat menerjang Murwendo dan Murwanti yang kini telah terkurung di tengah-tengah! Dua oarng saudara kembar itu menjadi nekat setelah melihat bahwa usaha mereka gagal, dan kini melihat Sulastri yang mereka anggap sebagai biang keladi kegagalan mereka, kakak beradik itu menyerang dengan membabi buta.

   Sebetulnya, kakak beradik kembar ini bukan merupakan lawan yang terlalu tangguh bagi Sulastri. Andaikata Murwendo tidak memegang Kolonadah, tentu mereka tidak akan lama dapat bertahan melawan Sulastri. Akan tetapi, keris pusaka Kolonadah amat ampuhnya sehingga Sulastri sendiri tidak berani menggunakan Aji Trenggiling Wesi untuk menangkis keris itu dan dia selalu mengelak sambil membalas dengan serangan-serangan dari samping yang membuat dua orang itu selalu terhuyung mundur.

   Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring dan tahu-tahu Roro Kartiko dan Joko Handoko sudah menerjang maju membantu Sulastri. Hal ini adalah karena kini keadaan Raja Bandardento sudah bebas dari bahaya, bahkan raja itu telah mengajak permaisuri dan para selirnya untuk menyingkir ke sebelah dalam. Tujuh orang anggota Sriti Kencana mengawal keluarga raja masuk ke dalam istana kadipaten. Karena itu, melihat betapa Sulastri dikeroyok oleh dua saudara kembar yang gila itu, kakak beradik ini tidak tahan melihatnya. Mereka amat benci kepada Murwendo dan Murwanti yang menjadi penyebab sampai mereka menjadi tawanan di Puger, maka kini dengan keris -keris rampasan, Joko Handoko dan adiknya lalu menyerang mereka. Dengan kemarahan meluap, Roro Kartiko menyerang Murwendo dengan keris di tangan.

   "Hati-hati, Roro.....!"

   Sulastri berseru.

   "Trangg.....! Iihhhhh.....!"

   Roro Kartiko menjerit ketika keris rampasannya menjadi patah oleh Kolonadah. Akan tetapi Murwendo yang memandang wajah wanita yang digilainya itu meragu untuk menusuk dan pada saat itu Sulastri sudah melayangkan tangannya dari samping.

   "Plakk! Aughhh.....!!"

   Tubuh Murwendo terpelanting dan keris Kolonadah sudah disambar oleh tangan Sulastri. Murwendo berkelojotan karena kepalanya retak oleh pukulan dahsyat dari Aji Hasto Nogo tadi. Melihat ini, Murwanti menjerit dan menubruk kepada Sulastri, matanya merah, mulutnya berbusa seperti seekor harimau kelaparan. Sulastri mengelak ke samping dan menendang.

   "Dukkk!!"

   Tubuh Murwanti terlempar dan Joko Handoko menyambut dengan kerisnya.

   "Crappp.........!!"

   "Auhhhh......!"

   Tubuh Murwanti terpelanting dan darah mengucur dari dadanya.

   "Celaka...., kalian sudah membunuh mereka....."

   Roro Kartiko berkata dengan mata terbelalak.

   "Kita harus cepat pergi dari sini.....!!"

   Mendengar ini, Joko Handoko dan Sulastri menjadi pucat dan tanpa menanti lebih lama lagi, tiga orang muda itu lalu meloncat dan melarikan diri dari pendopo itu.

   "Benar, kita harus pergi. Kolonadah sudah berada di tanganku,"

   Kata Sulastri.

   "Akan tetapi bagaimana dengan anak buah kalian?"

   "Mereka berjasa terhadap Sang Adipati, dan tidak ikut membunuh putera-puteri Adipati, tentu mereka tidak akan diganggu,"

   Kata Joko Hndoko dan mereka terus melarikan diri di dalam kegelapan malam.

   Akan tetapi ketika mereka tiba di sebuah hutan yang gelap, ketiga orang muda ini terpaksa menghentikan lari mereka dan mereka berlindung di bawah pohon besar untuk berlindung di bawah pohon besar dan beristirahat.

   "Kita tentu akan dikejar-kejar sebagai pembunuh putera-puteri Adipati Puger,"

   Kata Sulastri.

   "Habis bagaimana baiknya?"

   Kata Roro Kartiko sambil memijit-mijit betisnya yang terasa nyeri dan lelah.

   "Sebaiknya kita kembali ke Lumajang, menghaturkan keris Kolonadah kepada Adipati Lumajang."

   Joko Handoko menarik napas panjang.

   "Sayang sekali bahwa kita menjadi orang buruan Puger. Sang Adipati Puger sesungguhnya merupakan seorang yang bijaksana. Sayang putera-puterinya gila dan jahat."

   Pemuda ini telah mengumpulkan kayu kering lalu membuat api unggun untuk mengusir nyamuk dan menghangatkan tubuh karena hawa di dalam hutan itu amat lembab.

   Akan tetapi baru saja api unggun bernyala, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dari arah mereka datang dan taklama kemudian terdengar suara-suara.

   "Mereka di dalam hutan...!"

   "Sialan!"

   Joko Handoko menginjak-injak apinya sampai padam, kemudian terpaksa mereka melanjutkan perjalanan sambil meraba-raba di dalam gelap agar jangan sampai bertubruk dengan pohon atau batu. Setelah tidak mungkin melakukan perjalanan lagi saking gelapnya karena langit mendung dan bintang-bintang tersembunyi di balik awan, mereka berhenti lagi akan tetapi mereka tidak berani membuat api unggun. Dan ternyata bahwa para pengejar mereka agaknya juga tidak melanjutkan pengejaran, entah kembali lagi entah mengaso. Akan tetapi pada keesokan harinya, begitu terang tanah, sudah terdengar lagi suara mereka, suara banyak kaki manusia dalam hutan itu dan suara mereka yang mencari-cari. Mendengar ini, tiga orang muda itu segera bergerak lagi, hendak melanjutkan pelarian mereka menuju ke Lumajang di sebelah utara.

   "Kenapa tidak kita lawan saja mereka, Diajeng?"

   Tanya Joko Handoko dengan suara penasaran kepada Sulastri. Dara itu memandangnya. Mereka berdua saling pandang dan tiba-tiba Sulastri merasa kedua pipinya panas dan jantungnya berdenyut ketika dia melihat betapa Joko Handoko masih memakai pakaian pengantin pria dan dia sendiri masih memakai pakaian pengantin puteri dengan sanggul istimewa dan rambut sinom didahinya dikerik dan ditambah dengan riasan pengantin! Teringatlah dia bahwa saat ini dia adalah "istri"

   Dari Joko Handoko. Di lain pihak, Joko Handoko juga melihat kenyataan yang sama dan dia memandang dengan hati terasa perih karena isterinya yang cantik ini, yang amat dicintainya, hanyalah isteri sebutan saja, pernikahan mereka hanyalah pura-pura saja! Hal ini akan merupakan siksaan baginya, merupakan penderitaan yang lebih hebat daripada kalau dia tidak dapat menikah dengan dara itu dan dia harus saling berpisah. Namun cinta kasihnya terhadap dara itu memperkuat batinnya. Kalau perlu, dia masih sanggup menderita lebih hebat lagi, demi kebahagiaan Sulastri!

   "Tidak baik kalau kita melawan mereka, Kakangmas Handoko. Tidak mungkin kita melawan pasukan sekadipaten. Pula, sekarang Kolonadah telah berada di tangan kita. Sebaiknya kita cepat kembali ke Lumajang, menyerahkan pusaka ini kepada Sang Adipati di Lumajang. Mari kita lanjutkan perjalanan."

   "Cepat, mereka telah mengejar dekat!"

   Kata Roro Kartiko sambil menoleh ke belakang darimana terdengar suara para pengejar yang banyak jumlahnya.

   Mereka lalu lari ke depan dengan cepat, menyusup di antara semak-semak dan menyelinap di antara pohon-pohon sampai akhirnya mereka keluar dari hutan itu. Akan tetapi, begitu mereka keluar dari hutan, mereka terkejut bukan main karena tiba-tiba dari balik pohon-pohon dan semak-semak belukar bermunculan banyak sekali orang yang dipimpin oleh Padas Gunung dan Pragalbo sendiri! Kiranya pasukan Puger telah menanti dan menghadang di situ dan agaknya semalam telah diatur oleh dua orang senopati yang pandai itu! Semalam, dua orang senopati ini telah membawa sebagian besar pasukannya untuk mengambil jalan memutar dan menghadang di laur hutan karena menurut perhitungannya, tiga orang muda itu tentu akan keluar dari sebelah utara hutan, sedangkan sebagian kecil saja dari pasukannya melanjutkan pengejaran di pagi hari itu. Dan ternyata perhitungan mereka berdua tidak meleset karena tiga orang muda itu benar-benar muncul di sebelah utara hutan. Melihat munculnya pasukan Puger, tiga orang muda itu terkejut bukan main, akan tetapi Sulastri menjadi marah, matanya mengeluarkan sinar berapi, sedangkan Joko Handoko lalu berkata sambil memandang dua orang senopati Puger itu,

   "Paman Padas Gunung dan Paman Pragalbo, kalau kalian hendak mengambil jalan kekerasan,terpaksa kami akan melawan sampai titik darah terakhir!"

   Akan tetapi dua orang senopati itu memandang dengan mata terbelalak seperti orang terheran-heran, sedangkan para perajurit yang amat banyak jumlahnya itu biarpun mengurung tempat itu namun tidak kelihatan seperti orang-orang yang bersikap hendak menyerang.

   "Kami...... kami tidak mengerti apa yang Andika maksudkan, kami hanya menerima perintah dari Sang Prabu untuk menyusul Andika sekalian,"

   Kata Padas Gunung dan pada saat itu terdengar derap kaki kuda. Muncullah Sang Prabu Bandardento sendiri yang membalapkan kuda menuju ke tempat itu. Ketika dia melihat tiga orang muda itu, dia berseru girang, melompat turun dari kudanya dan berlari menghampiri mereka.

   "Ahhhh, anak-anakku..... kenapa kalian pergi meninggalkan aku?"

   Katanya dan tiga orang muda itu memandang dengan terheran-heran. Sang Prabu yang tua itu kini memegang tangan Joko Handoko dan Roro Kartiko, memandang kepada Sulastri, lalu dia berkata lagi.

   "Agaknya kalian bertiga telah salah mengerti. Kalian lari karena telah membunuh sepasang bocah kembar yang sinting itu, bukan?"

   Joko Handoko dan Roro Kartiko yang masih terheran-heran itu hanya mengangguk.

   Sang Prabu Bandardento merangkul pundak Joko Handoko sambil tertawa.

   "Ha-ha-ha,sudah kuduga demikian. Mengapa kalian lari karena membunuh mereka?"

   Roro Kartiko tidak dapat menahan keheranannya.

   "Karena.... mereka adalah putera-puteri Paduka...."

   "Ha-ha-ha, Roro Kartiko cah ayu, anakku yang baik. Mereka itu bukanlah anakku, mereka adalah dua bocah gila yang bahkan telah berani memberontak! Kalian berdualah anak-anakku dan Sulastri adalah mantuku yang baik!"

   "Apa... apa maksud Paduka?"

   Joko Handoko bertanya terkejut sekali.

   "Anak-anakku, tidak terasakah oleh kalian berdua betapa semenjak kalian tiba di Puger, aku telah merasa sayang kepada kalian seperti kepada anak-anak sendiri? Apalagi semenjak malam tadi, ketika bertempur bahu-membahu dengan kalian! Kalian berdualah anak-anakku yang sesungguhnya patut menjadi anak-anakku, biarpun hanya anak angkat, seperti halnya dua orang bocah kembar yang gila itu! Joko Handoko dan Roro Kartiko, kalian adalah anak-anakku, kuanggap anak-anakku sendiri dan marilah kita kembali ke Kadipaten di mana akan kami umumkan tentang pengangkatan kalian berdua sebagai anak-anakku yang sah, sedangkan Sulastri adalah anak mantuku. Marilah, anak-anakku, kita pulang dan menikmati kehidupan yang tenteram dan bahagia."

   Tentu saja tiga orang muda itu terkejut sekali mendengar ini. Joko Handoko dan Roro Kartiko memang merasa suka dan kagum kepada raja kecil yang bijaksana ini dan merupakan anugerah yang amat besar kalau mereka dapat menjadi anak-anak angkat raja ini. Akan tetapi karena Ibu mereka masih di Lumajang, mereka menjadi ragu-ragu. Juga Sulastri meragu karena di hendak menyerahkan keris pusaka Kolonadah kepada Adipati di Lumajang.

   "Akan tetapi....kami.... kami hendak ke Lumajang....."

   Kata Sulastri akhirnya karena agaknya dua orang kakak beradik itu agaknya tidak mampu menjawab.

   Raja tua itu mengangguk-angguk dan dia masih menggandeng Joko Handoko dan adiknya.

   "Aku mengerti...., tentu yang kalian bertiga pikirkan adalah Ibu kalian di Lumajang dan keris pusaka Kolonadah, bukan? Jangan khawatir, mari kita pulang dan merundingkan hal itu. Setelah Joko Handoko dan Roro Kartiko secara resmi menjadi anak-anakku dan Sulastri menjadi mantuku, maka pada suatu hari kalian bertiga boleh secara resmi mengunjungi Lumajang disertai salam hormatku kepada Adipati Wirorojo di Lumajang, untuk menghaturkan keris pusaka kepada Beliau dan untuk menjemput Ibu Kalian dan pindah ke Puger."

   Tiga orang muda itu saling pandang dan ketiganya setuju tentu saja. Jauh lebih baik demikian daripada menjadi musuh Puger! Dengan gembira raja atau Adipati Puger itu lalu mengajak tiga orang muda itu kembali ke istana, diiringkan oleh pasukan yang dipimpin Padas Gunung dan Pragalbo. Memang Sang Prabu Bandardento tidak membohong kalau dia mengatakan bahwa dia amat sayang kepada Joko Handoko dan Roro Kartiko. Apalagi setelah melihat betapa dua orang saudara kembar yang sesungguhnya bukan keturunannya sendiri itu berani memberontak sehingga akhirnya tewas dan melihat betapa Joko Handoko, istrinya dan adiknya itu membelanya mati-matian. Maka dia mengambil keputusan untuk mengangkat meraka menjadi anak-anaknya.

   Di samping ini, tentu saja ada segi lain yang dianggap amat menguntungkan Puger dengan pengangkatan itu. Setelah melihat betapa Menak Srenggo membantu pemberontakan dua orang anak kembar itu, kemudian senopati itu melarikan diri, tahulah dia bahwa puger selalu diintai musuh karena Menak Srenggo adalah seorang yang berasal dari Selat Bali dan hal ini saja menunjukkan bahwa tentu mempunyai hubungan dekat dengan raja di Nusabarung.

   Sangat boleh jadi bahwa Menak Srenggo sengaja diselundupkan oleh Raja Nusabarung ke Puger melalui saudaranya, yaitu Retno Sami. Malam itu juga, Sang Prabu telah menyuruh tangkap Retno Sami dan setelah diancam, akhirnya selir ini mengakui semuanya, bahwa dia telah lama menjadi kekasih anak tirinya, yaitu Murwendo dan betapa dia yang membujuk Menak Srenggo untuk membantu pemberontakan putera-puteri Adipati itu. Selir itu dihukum mati malam itu juga dan makin besar hasrat hati Sang Prabu Bandardento untuk mengankat anak kepada tiga orang muda itu karena dia tahu bahwa mereka, terutama sekali Sulastri, memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi dan hal ini tentu saja akan memperkuat Puger dalam menghadapi musuh-musuhmya,terutama Nusabarung. Di samping itu, perstiwa itu tentu akan membuat Puger menjadi makin akrab dengan Lumajang, hal yang lebih menguntungkan lagi bagi Puger sebagai kadipaten yang kecil.

   Demikianlah, pada keesokan harinya, dengan resmi Sang Prabu Bandardento mengangkat Joko Handoko dan Roro Kartiko menjadi putera dan puterinya, disahkan oleh para hulubalang, para pembesar di Puger. Untuk peristiwa ini, Puger mengadakan pesta selama tiga hari tiga malam, menjadi tanda bahwa hati Sang Prabu Bandardento benar-benar merasa bahagia sekali. Juga permaisuri dan para selir yang setia dari Sang Adipati, yang telah melihat sendiri betapa tiga orang muda itu gagah perkasa dan melindungi mereka ketika terjadi pemberontakan, merasa senang dengan peristiwa ini karena mereka maklum kini bahwa Sang Prabu tidak mungkin mempunyai keturunan, setelah sekian banyaknya selir tidak pernah ada yang mengandung, kecuali selir yang menjadi ibu kandung dua orang anak kembar itu, yang mengandung sebagai akibat perjinaannya dengan juru taman.

   Beberapa hari kemudian, dengan iringan pasukan pengawal dan pakaian mewah sebagai seorang pangeran dan puteri-puteri dari Puger, Joko Handoko, Sulastri dan Roro Kartiko berangkat ke Lumajang. Kedatangan mereka disambut dengan penuh kegembiraan oleh Sang Adipati Wirorojo dan para pembesar, terutama sekali oleh Ibu dua orang kakak beradik itu.

   Sang Adipati Wirorojo merasa gembira dan kagum ketika Sulastri menghaturkan keris itu, dengan terharu Sulastri berkata.

   "Harap Paduka ketahui bahwa penyerahan keris pusaka yang hamba lakukan ini sebetulnya merupakan suatu pelanggaran terhadap mendiang Empu Supamandrangi yang memesan kepada hamba agar hamba menyerahkan pusaka ini kepada Pangeran Kolo Gemet yang menjadi calon Raja Mojopahit. Namun, setelah melihat keadaan di Mojopahit yang sedang kacau, melihat sepak terjang orang-orang Mojopahit yang tersesat sehingga mendiang Eyang Empu Supamandrangi sendiri menjadi korban keganasan mereka sampai terbunuh, hamba merasa yakin bahwa mendiang Eyang tidak akan menyalahkan hamba kalau hamba kini menyerahkan pusaka kepada Paduka sebagai Adipati di Lumajang."

   Sang Adipati Wirorojo menarik napas panjang.

   "Mendiang Empu Supamandrangi memang benar bahwa pusaka ini seharusnya menjadi pegangan Raja di Mojopahit, Sulastri. Akan tetapi, aku sebagai Ayah dari pemilik pusaka ini, yaitu mendiang anakku Ronggo Lawe, juga berhak untuk menjaga pusaka ini dan menentukan kepada siapa semestinya pusaka ini diserahkan. Ketahuilah bahwa sepatutnya pusaka ini diserahkan kepada keturunan mendiang Sang Prabu Kertanegara, yang asli,sedangkan Pangeran Kolo Gemet adalah keturunan yang bercampur dengan darah melayu maka sesungguhnya tidak tepat kalau dia yang mewarisi pusaka ini." "Hamba menyerahkan ke dalam pertimbangan dan kebijaksanaan Paduka,"

   Jawab Sulastri.

   Ibu kandung Joko Handoko dan Roro Kartiko, yaitu janda mendiang Progodigdoyo yang bernama Sariningrum, merasa girang bukan main ketika mendengar bahwa putera dan puterinya diangkat menjadi pangeran dan puteri Puger, sedangkan puteranya itu telah menikah dengan Sulastri. Sambil mencucurkan air mata, Sariningrum merangkul mantunya dan Sulastri tidak dapat menahan pula tangisnya.

   Hanya bedanya, kalau Sariningrum menangis saking girangnya, sebaliknya Sulastri menangis saking sedihnya. Dia dan kakak beradik itu sudah berjanji untuk tidak membuka rahasia kepalsuan pernikahan itu kepada Ibu mereka, karena hal itu tentu akan menghancurkan hati orang tua itu. Setelah beberapa hari tinggal di Lumajang, akhirnya berangkatlah rombongan ini,sekarang ditambah dengan Ibu kandung Joko Handoko, diiringkan oleh para abdi dan pengawal, dititipi salam pula oleh Adipati Wirorojo untuk Sang Prabu Bandardento,kembali ke Puger dan Sang Prabu Bandardento menyambut kedatangan Ibu Kandung dua orang putera dan puteri angkatnya itu dengan segala kehormatan dan pesta.

   Semenjak hari itu, tiga orang muda ini hidup tenteram di Kadipeten Puger, dan Sariningrum hidup terhormat dan mulia sebagai Ibu kandung Pangeran Joko Handoko dan Puteri Kartiko. Akan tetapi, di luar tahunya semua orang, tiga orang muda itu sering kali termenung dan menderita tekanan batin yang tidak ringan. Roro Kartiko dan kakaknya sering kali termenung pucat sebagai akibat kepatahan hati mereka dalam cinta, terutama sekali Joko Handoko pada lahirnya saja disebut sebagi suami Sulastri, namun sesungguhnya tidak pernah mereka saling berdekatan!

   Sulastri sendiri juga menderita batin karena dia tahu bahwa dia telah menyebabkan pemuda itu menderita. Namun dia tetap merasa tidak mungkin melayani lain pria kecuali Sutejo yang dicintainya namun juga dibencinya itu. Untung di situ terdapat Roro Kartiko yang menjadi sahabat baiknya, dengan siapa dia tidur sekamar setiap malam. Andaikata tidak ada dara ini, kiranya Sulastri tidak akan dapat bertahan tinggal di Puger dan melihat wajah yang muram dan pandang mata sayu dari "suaminya"

   Setiap hari. Roro Kartiko mempergunakan kesempatan ini untuk mengobati luka-luka di hatinya dengan mempelajari ilmu-ilmu kesaktian dari Sulastri.

   Kita tinggalkan dulu keadaan tiga orang muda di Puger itu, orang-orang yang muda rupawan namun sudah menderita kepedihan hati itu. Sebaiknya kita menjenguk keadaan di Kerajaan Mojopahit yang tertutup awan mendung. Keadaan Mojopahit makin muram dan diam-diam makin terasalah panasnya api persaingan antara isteri-isteri Sang Prabu Kertarajasa Jayawardana. Sang Prabu makin tua dan makin sering berdiam di dalam kamar karena sakit-sakitan sehingga kekuasaan terpecah-belah dan terbagi-bagi.

   Memang kendali pemerintahan masih lancar berkat ketrampilan Ki Patih Nambi yang cakap mengurus pemerintahan,namun pengeruh-pengaruh dari dua pihak yang bermusuhan di istana, yaitu pihaknya para isteri raja keturunan dari Sang Prabu Kertarajasa dan pihak Puteri Malayu Sri Indreswari Ibu kandung Pangeran Kolo Gemet, menyusup pula ke dalam pemerintahan sehingga sering kali mengacaukan keadaan dan membuat Ki Patih Nambi menjadi pusing sekali. Para ponggawa besar kecil terpecah-pecah, dapat dikata terpecah menjadi tiga, yaitu mereka yang setia kepada Sang Prabu Kertarajasa, golongan ini dipimpin oleh Ki Patih Nambi, golongan ke dua adalah mereka yang mendukung permaisuri Dyah Tribuana dan adik-adiknya, sedangkan golongan ke tiga adalah para pendukung Sri Indreswari atau Dyah Dara Petak dari Malayu. Tentu saja terdapat golongan-golongan lain yang bergerak secara diam-diam, yaitu mereka yang berambisi besar untuk mengangkat diri sendiri, diantaranya yang terkuat adalah golongan Resi Mahapati.

   Kembali pada hari itu Sang Prabu tidak dapat memimpin persidangan dan tinggal di dalam kamar karena penyakitnya kambuh kembali, yaitu penyakit tua yang membuat dia pening dan lemas. Dalam pelayanan ketika Sang Prabu mederita sakit pun terjadi persaingan antara dua golongan isteri dan abdi-abdinya, sehingga perawatan tidak menjadi baik malah sebaliknya makin manambah kepusingan Sang Prabu.

   Di istana keputran, yaitu istana Pangeran Kolo Gemet yang kini telah menjadi seorang pemuda dewasa yang tampan dan pesolek, nampak pangeran itu duduk dalam taman bunganya yang indah bersama beberapa orang. Pemuda ini memang tampan,hanya sayang bahwa sepasang matanya mengeluarkan sinar yang panas dan kejam, dan tarikan mulutnya membayangkan bahwa dia mulai menghambakan diri kepada nafsu berahi. Di depannya duduk dengan sikap amat menghormat dua orang kakek,sedangkan di belakang pangeran ini selalu terdapat dua orang kakek lain yang seolah-olah menjadi bayangan pangeran itu, tak pernah melepaskan gerak-gerik pangeran itu dari pandang mata mereka.

   Seorang di antara dua orang kakek yang duduk berhadapan dengan Pangeran Kolo Gemet adalah Resi Mahapati. Resi itu masih tampak awet muda sungguhpun usianya sudah mendekati enam puluh tahun, rambut, kumis dan jenggotnya masih hitam beka ramuan jamu-jamu rahasia yang diminumnya dan dipakai meminyaki rambut-rambutnya.

   Kakek ke dua lebih tua lagi, usianya tentu sudah enam puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan dia selalu memegang sebatang tongkat panjang yang bentuknya seperti tubuh ular. Kakek ini adalah seorang yang sakti, yaitu Ki Durgakelana yang sudah kita kenal. Kakek pendeta penyembah Sang Batrhari Durgo yang pernah digempur oleh Sulastri, Sutejo, Joko Handoko dan Roro Kartiko dahulu. Adapun dua orang kakek yang berdiri di belakang Sang Pangeran adalah Ki Warak Jinggo dan Ki Kencono, dua orang kakek yang menjadi kawan-kawan Ki Durgakelana.

   Semanjak Sutejo menghilang dan tidak pernah muncul kembali ke Mojopahit, Resi Mahapati lalu mencari pembantu-pembantu baru dan Resi Harimurti lalu membawa tiga orang kakek sakti itu kepadanya. Akhirnya Sang Resi Mahapati yang pandai mengambil hati Pangeran Kolo Gemet, memuji-muji tiga orang kakek ini di depan Sang Pangeran mahkota dan akhirnya Kolo Gemet menerima mereka bertiaga menjadi pengawal-pengawal dan pembantunya. Ki Warak Jinggo dan Ki Sarpo Kencono siang malam bertugas menjaga keselamatannya, membayangi ke manapun Sang Pangeran pergi,sedangkan Ki Durgokelana melakukan segala perintah Pangeran Kolo Gemat. Dan malam hari itu, di taman bunga yang indah, Pangeran Kolo Gemat kunjungan Resi Mahapati yang dihadiri pula oleh Ki Durgakelana, dan tentu saj tidak ketinggalan Ki Warak Jinggo dan Ki Sarpo Kencono berada di belakang Sang Pangeran seperti dua ekor anjing penjaga yang amat setia.

   Sudah beberapa hari ini Sang Pangeran berwajah muram dan mudah marah-marah. Hal ini adalah karena hatinya murung dan kecewa. Beberapa hari yang lalu dia ikut dengan Resi Mahapati mengunjungi Ki Patih Nambi di waktu senja dan dalam kesempatan itu dia melihat seorang dara yang amat cantik jelita di dalam taman sari kepatihan. Dan tidak tahu bahwa peristiwa ini sudah diperhitungkan dengan tepat oleh Mahapati yang lebih dulu telah menyebar mata-mata sehingga dia tahu betul kebiasaan Sang Patih yang sering bercengkerama dengan keluarganya di waktu senja itu sehingga ketika secara tiba-tiba dia datang, keluarga Ki Patih tidak dapat menghindar maka seperti secara kebetulan saja dia mempertemukan Sang Pangeran dengan dara cantik jelita itu. Siapakah dara cantik itu? Dia adalah Dyah Wulandari, seorang gadis berusia enam belas tahun yang amat cantik,berkulit kuning langsat dan halus tanpa cacat, wajahnya semringah segar seperti sekuntum bunga mawar bermandikan embun. Dara ini adalah keponakan dari Ki Patih Nambi yang men-yayangnya seperti anak sendiri karena dara itu, anak darai kakak perempuannya, adalah seorang anak yatim piatu dan sejak kecil dipelihara Ki Patih.

   Orang muda adalah seperti air yang jernih, mudah sekali terkena kotoran dari manapun datangnya. Oleh karena itu pergaulan amatlah penting karena pergaulan ini dapat mempengaruhi orang muda, dapat mengotori air yang jernih itu. Keadaan sekeliling dalam pergaulan amat kuat untuk membentuk watak seorang muda. Pangeran Kolo Gemet sejak kecil amat dimanja dan dituruti segala kemauannya.

   Setelah dia didekati oleh Mahapati apalagi setelah dia mempunyai pembantu-pembantu seperti Ki Durgakelana, Warak Jinggo dan Sarpo Kencono, sebentar saja segala sifat-sifat pengejar kesenangan dari mereka itu telah menular kepadanya. Apalagi dalam, hal mengejar wanita! Bujukan-bujukan manis yang berbisa dari Ki Durgakelana yang memang memiliki watak cabul, cepat tertelan oleh Pangeran Kolo Gemet sehingga dalam waktu singkat saja Pangeran muda ini mulai menghambakan diri kepada pengejaran kesenangan yang dinikmati dari pemuasan nafsu berahi.

   Mulailah Pangeran ini memandang wanita dengan sinar mata lain dan dengan bantuan Ki Durgakelana yang pandai menggunakan ilmu hitam dan sihir, mulailah dia menikmati hubungan dengan wanita yang tentu saja amat mudah didapatinya. Dari beberapa orang dayang keraton sampai abdi dalam, dari para seniwati istana sampai beberapa orang isteri dari ponggawa istana, banyak yang sudah menjadi korban kecabulan Pangeran Kolo Gemet yang dibantu oleh Ki Durgakelana itu!

   Segala macam nafsu timbul dari pikiran. Pikiran yang membayang-bayangkan segala macam kenangan akan kesenangan yang dirasakan, membangkitkan nafsu. Celakanya,sekali nafsu dituruti, dia akan mencengkeram manusia sehingga Si Manusia tidak mampu lagi untuk membebaskan diri darinya. Makin dituruti,makin kuatlah nafsu! Nafsu apa saja, dan terutama sekali nafsu berahi. Makin kita membiarkan diri dicengkeraman, makin kuat dia menguasai kita. Makin diberi makan, makin hauslah nafsu berahi, seperti sifatnya api, makin diberi makan makin berkobar dan makin ganas. Akan tetapi nafsu macam apa pun, betapa kuatnyapun, selalu didasari atas pikiran yang mengenangkan segala hal yang menyenangkan. Tanpa adanya kenangan pikiran yang merupakan bahan bakar terutama, maka api nafsu akan kehilangan kekuatannya dan akan padam dengan sendirinya.

   Orang yang menjadi budak nafsu makin lama menjadi makin lemah, hidupnya digerakkan oleh dorongan nafsu yang mengejar segala yang dianggapnya menyenangkan. Demikian pula Pangeran Kolo Gemet. Makin dia mengenal kenikmatan-kenikmatan dari perjinaan-perjinaan yang dilakukan dengan para wanita, makin hauslah dia untuk memuaskan nafsu berahinya. Maka, begitu dia melihat Dyah Wulandari, nafsu berahinya berkobar-kobar dan dia menjadi tergila-gila kepada keponakan dari KI Patih Nambi itu. Ki Patih Nambi bukanlah seorang yang bodoh. Sekali melihat saja sikap Pangeran itu, dia maklum bahwa ada bahaya mengancam diri keponakannya. Ki Patih ini sudah mendengar akan sepak terjang Pangeran Kolo Gemet yang suka mengganggu wanita.

   Tentu saja hal ini membuatnya tidak senang, akan tetapi apakah yang dapat dia lakukan? Untuk menegur, tentu saja dia tidak berani. Untuk melaporkan kepada Sang Prabu Kertarajasa juga tidak berani, apalagi mengingat betapa raja yang sudah tua itu sakit-sakitan saja. Dia hanya menyesalkan keadaan Pangeran itu dan maklum bahwa kerusakan Pangeran itu terutama adalah karena dimanja dan Ayahnya kurang memperhatikannya. Maka karena sudah tidak dapat menghindar lagi dan keponakannya bertemu dengan Sang Pangeran, dia membiarkan keponakannya memberi hormat dengan sembah yang dilakukan dengan lemah gemulai dan amat menggairahkan.

   "Paman Patih, siapakah dara yang amat cantik jelita ini? Tidak pernah saya melihatnya, dia cantik seperti bidadari dari khayangan!"

   
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
Dengan terus terang dan tidak tahu malu, dengan sikap seorang hidung belang tulen, Pangeran muda itu memandang wajah Sang Ayu yang menunduk itu.

   Mendengar ucapan ini, dara itu menjadi merah wajahnya, menyembah lagi dan cepat dia meninggalkan tempat itu. Ki Patih Nambi maklum bahwa tentu keponakannya itu merasa malu dan takut mendengar kekasaran sikap Sang Pangeran, akan tetapi dia juga khawatir melihat keponakannya pergi begitu saja, maka cepat di menjawab,

   "Harap Paduka maafkanlah kecelingusannya, maklumlah dia tidak pernah bertemu dengan Paduka. Dia adalah keponakan saya, bernama Dyah Wulandari dan..... dia sudah bertunangan dengan seorang pemuda bernama Sarjitowarman, juga seorang keponakan jauh dari isteri saya."

   Ki Patih sengaja menyambung keterangannya dengan bertunangan itu dan memang sikapnya itu tepat sekali. Dia melihat seolah-olah ada awan mendung menyelimuti wajah Sang Pangeran yang tadinya berseri-seri.

   "Dia.... dia sudah bertunangan.....? Ahhh.... selamat, selamat, Paman Patih."

   Sejak itulah, Sang Pangeran menjadi murung dan suka marah. Biarpun Ki Durgakelana mencoba menghiburnya dan menjanjikan wanita-wanita lain, namun tetap saja dia tidak senang dan yang dibayangkan hanya wajah Dyah Wulandari! Hal ini dilihat oleh Ki Durgakelana dengan hati girang karena memang itulah yang dikehendaki oleh Resi Mahapati, maka diam-diam dia lalu melaporkan hal ini kepada Sang Resi Mahapati. Dan pada senja hari itu, Sang Resi Mahapati datang berkunjung dan diterima oleh Pangeran Kolo Gemet di dalam taman sari karena sudah dua hari dia sering termenung di taman sari dan enggan meninggalkan tempat indah penuh bunga ini, kecuali apabila hari sudah malam dan hawa udara sudah amat dinginnya.

   Ketika Sang Resi Mahapati datang menghadap Pangeran Kolo Gemet dan melihat wajah pangeran yang murung itu, dia cepat memberi hormat kemudian bertanya, seolah-olah dia merasa heran padahal tentu saja dia sudah mendengar laporan selengkapnya dari Ki Durgakelana.

   "Menurut wawasan hamba, Paduka termenung dan diliputi kerisauan hati. Apakah yang terjadi, Kanjeng Pangeran? Ceritakan saja pada hamba dan hamba berjanji akan sanggup mengobatinya."

   Pemuda itu cemberut dan memandang kepada Sang Resi.

   "Sudah sepatutnyalah kalau Andika yang harus mengobatinya, Paman Resi, karena Andika pula yang menimbulkan penderitaanku ini."

   "Ehh??"

   Sang Resi yang cerdik pura-pura kaget.

   "Apa yang Paduka maksudkan?"

   "Paman Resi Mahapati, siapa yang membawa aku pergi berkunjung ke rumah Paman Patih Nambi tempo hari?"

   "Hamba yang mengajak Paduka. Kenapakah...?"

   "Andika tentu telah melihat dara itu..... hemm, seperti bidadari khayangan dan namanya begitu indah, Dyah Wulandari....."

   Pangeran itu menengadah dan memejamkan matanya sambil menarik napas panjang. Resi Mahapati bertukar pandang dengan Ki Durgakelana yang menyembunyikan senyum.

   

 






   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KERIS MAUT

PENDEKAR GUNUNG LAWU

KEMELUT DI MAJAPAHIT