KEMELUT DI MAJAPAHIT JILID 27

   Malah menjadi rusak! Ataukah mungkin sudah terdapat dalam darah mereka?

   Mula-mula Sang Prabu hanya melihat gejala buruk itu ketika melihat anak kembar itu bersikap kejam dan keras terhadap ponggawa dan pelayan. Apalagi setelah mereka mepelajari ilmu kedigdayaan, mereka suka bertindak sewenang-wenang. Hanya terhadap Sang Prabu saja mereka tunduk dan taat, akan tetapi mereka tidak lagi tunduk kepada ibu-ibu mereka, apalagi kepada para ponggawa!

   Akhirnya kenyataan yang amat pahit mulai manusuk hati Sang Prabu ketika Beliau menerima bisikan dari para pengawal penyelidik bahwa Murwendo dan Murwanti mengadakan hubungan sebagai suami isteri! Dua orang anak kembar itu telah mulai dewasa, telah melakukan perjinaan! Hal ini sungguh merupakan pukulan berat bagi raja itu. Akan tetapi, dia sendiri tidak tahu bagaimana harus menghadapi keadaan itu. Menegur mereka? Peristiwa itu sudah terjadi, sudah terlanjur. Marah-marah?

   Kalau umum mengetahui, akan menimpa aib dan noda yang lebih hebat lagi daripada noda yang ditimbulkan oleh selirnya yang berzina dengan juru taman dahulu! Didiamkan saja? Juga makan hati! Diam-diam raja ini menderita tekanan batin dan rasa sayangnya terhadap dua orang anak kembar itu mulai menipis. Biarpun dua orang anak kembar itu kini menjadi seorang pemuda dan seorang dara yang berwajah tampan dan cantik, namun dia tahu benar bahwa watak mereka amat tidak baik, selain kejam juga rendah dan hina.

   Hanya ada satu hal yang merupakan hiburan besar di dalam hati Sang Prabu bahwa dua orang anak itu bukanlah keturunannya. Dan selain dia sendiri, yang tahu akan hal itu hanyalah permaisurinya, dan tentu saja orang-orang kepercayaannya, yaitu pengawal-pengawal pribadinya yang dua orang, Si Sulung Hitam Padas Gunung dan Si Demit Kinang Pragalbo. Kedua orang tokoh Puger inilah yang dulu disuruhnya membunuh juru taman dan mereka berdua itulah yang tahu akan rahasia Murwendo dan Murwanti.

   Ketika Sang Prabu melihat dua orang anak kembar itu pulang membawa dua orang tawanan, dia terkejut dan merasa tidak senang. Dan jawaban mereka bahwa pemuda dan dara yang ditawan itu merupakan calon-calon mantunya, membuat wajahnya menjadi merah sekali. Betapa tidak tahu aturan adanya dua orang anaknya ini!

   Mana mungkin mencari jodoh sendiri dengan paksa itu, seperti dua orang liar,tanpa minta dulu pendapat dan perkenannya. Ingin Sang Prabu membentak-bentak marah, akan tetapi dia menahan diri, hanya bertepuk tangan membari isyarat kepada pengawal. Cepat sekali pengawal kepala datang memasuki kamar itu dan menghadap Sang Prabu.

   "Cepat panggil Padas Gunung dan Pragalbo ke sini!"

   Teriak Sang Prabu suaranya jelas mengandung kemarahan. Pengawal itu cepat berlalu memenuhi perintah Sang Prabu yang segera duduk kembali dan memandang ke arah dua orang tawanan itu sambil mengelus jenggot.

   Harus diakuinya bahwa pemuda tawanan itu tampan dan gagah, sedangkan dara itu pun cantik dan seperti puteri istana. Makin tidak enaklah rasa hatinya Melihat keadaan mereka, tentu pemuda dan dara itu bukan orang-orang sembarangan di Mojopahit dan perbuatan dua orang anaknya itu berarti menanam bibit permusuhan hebat dengan Mojopahit. Perbuatan yang amat berbahaya! Dia melihat betapa Murwendo mengusap rambut di dahi tawanan wanita itu dengan mesra, dan melihat sianr mata penuh kebencian dari dara tawanan itu yang cepat membuang muka. Demikian pula, pemuda yang menjadi tawanan itu membuang muka ketika Murwanti mengelus pundaknya dengan sikap mesra dan tak tahu malu. Betapa jauhnya sikap sepasang tawanan itu dengan sikap dua orang anaknya!

   Padas Gunung dan Pragabo, dua orang tokoh Puger yang memiliki kepandaian tinggi itu, kini sudah datang menghadap. Sang Prabu memandang kepada mereka dengan sikap marah, kemudian terdengar dia membentak.

   "Padas Gunung dan Pragalbo! Apa saja yang kalian lakukan bersama Pangeran dan Puteri? Mengapa kalian menawan dua orang muda ini?"

   Padas Gunung yang bermuka kuning itu tidak dapat bicara dan hanya menunduk dengan sikap bingung dan dia menyerahkan jawabannya kepada Pragalbo yang memang lebih pandai bicara daripada dia. Namun, menghadapi junjungannya yang sedang marah itu, Pragalbo juga kelihatan gugup dan dia cepat menyembah lalu berkata.

   "Mohon beribu ampun apabila hamba berdua melakukan hal yang tidak berkenan di hati Paduka, Gusti. Sesungguhnya, hamba berdua dan pasukan hanya melaksanakan perintah dari Gusti Pangeran dan Gusti Puteri. Pemuda dan gadis ini, juga tujuh orang wanita lain yang menjadi anak buah mereka, adalah orang-orang Lumajang,dan karena Gusti Pangeran dan Gusti Puteri menghendaki, maka hamba berdua terpaksa lalu menangkap mereka dan...."

   "Hayo cepat lepaskan belenggu kaki tangan mereka!"

   Sang Prabu menghardik marah dan hatinya menjadi makin khawatir mendengar bahwa mereka itu adalah orang-orang Lumajang! Dia sudah mendengar bahwa Lumajang kini tidak tunduk kepada Mojopahit,dan hal ini amat menguntungkan Puger, karena Lumajang dapat menjadi perisai atau benteng yang akan dapat menghadang gerakan Mojopahit kalau-kalau kerajaan itu hendak meluaskan wilayah ke timur. Sebelum Mojopahit berkesempatan menyerbu Puger, haruslah lebih dulu membobolkan pertahanan Lumajang. Oleh karena itu, sungguh tidak baik untuk menanam permusuhan dengan Lumajang.

   Mendengar perintah yang dikeluarkan dengan bentakan marah ini, dua orang pengawal yang juga menjadi senopati itu cepat menghampiri dua orang tawanan itu. Murwendo dan Murwanti juga tidak berani menghalangi dan mereka mundur dan duduk bersimpuh sambil memandang kepada dua orang tawanan itu dengan sinar mata penuh kemesraan. Setelah dibebaskan dari belenggu, Joko Handoko dan Roro Kartiko menggosok-gosok pergelangan tangan dan kaki mereka yang terasa sakit setelah kini darahnya berjalan lancar kembali. Kemudian Joko Handoko memandang kepada raja yang berambut putih dan bersikap agung itu. Dia segera menyembah, diikuti oleh adiknya yang seperti juga kakaknya merasa lega bahwa raja itu kiranya tidaklah sejahat kakak beradik kembar itu.

   Melihat sikap pemuda dan dara itu, Sang Prabu Bandardento menjadi makin kagum dan makin keras dugaannya bahwa memang mereka ini bukan orang sembarangan. Yang jelas mereka itu tahu akan susila, maka dengan suara halus dai lalu bertanya kepada Joko Handoko,

   "Orang muda, maafkanlah perlakuan yang tidak patut dari putera dan puteri kami. Sebelum mendengar keterangan dari pihak putera-puteri kami, lebih baik dulu kami mendengar darimu, siapakah engkau dan gadis ini, dan bagaimana sampai menjadi tawanan anak-anak kami?"

   Karena Joko Handoko maklum bahwa dia berhadapan dengan raja yang bijaksana dan berkuasa di Puger, dia menyembah lagi sebelum menjawab.

"Hamba bernama Joko Handoko dan ia ini adalah adik kandung hamba yang bernama Roro Kartiko. Mendiang ayah hamba berdua adalah bekas bupati di Tuban yang karena menentang Mojopahit telah terhukum mati dan hamba berdua bersama ibu hamba telah mengungsi ke Lumajang dan....."

   "Maksudmu Bupati Ronggo Lawe?"

   Tanya Raja Puger itu.

   "Bukan, Sri Baginda. Mending Ayah hamba adalah pengganti Beliau dan bernama Progodigdoyo. Kini hamba berdua tinggal di Lumajang dan telah diterima menjadi perwira pengawal oleh Sang Adipati di Lumajang."

   "Pengawal Lumajang? Hemmm..."

   Hati Raja itu menjadi makin khawatir.

   "Lalu bagaimana Andika berdua sampai tertawan oleh pasukan kami?"

   Joko Handoko bukan orang bodoh. Raja ini adalah ayah dari dua orang kembar yang aneh itu, maka mengadu kepada raja ini merupakan hal yang sia-sia belaka,sungguh pun raja ini kelihatan bijaksana dan halus. Dia menjadi serba salah dan bingung juga, akan tetapi dengan hati-hati pemuda ini lalu menjawab.

   "Maaf, Sri Baginda, sesungguhnya hamba berdua juga masih merasa heran. Berdua saudara Murwendo dan Murwanti, yang baru sekarang hamba ketahui adalah putera-puteri Paduka tadinya adalah rekan-rekan hamba setelah mereka berhasil pula memasuki sayembara dan diangkat menjadi perwira pengawal seperti hamba. Akan tetapi,selagi hamba berdua dan teman-teman hamba yang sedang melaksanakan tugas yang diperintahkan oleh Sang Adipati Lumajang, mereka berdua mengajak hamba untuk ikut ke Puger. Hamba dan adik hamba menolak dan mereka menggunakan paksaan sehingga terjadi perkelahian. Hamba berdua dikeroyok dan tertawan."

   Wajah Sang Prabu Bandardento menjadi merah. Dia merasa malu sekali atas perbuatan dua orang putera kembarnya itu. Akan tetapi, membebaskan dua orang muda ini pun tidak baik karena tentu mereka akan kembali ke Lumajang dan Adipati Lumajang tentu akan marah dan memusuhi Puger kalau mereka mendengar bahwa perwira-perwiranya diganggu oleh Puger, apa lagi kalau mendengar bahwa putera-puteri Puger telah menyelundup ke Lumajang dan menjadi penggawal. Tentu akan menimbulkan sangkaan yang tidak baik.

   Maka dia lalu berkata kepada Joko Handoko dan Roro Kartiko dengan suara yang halus namun tegas.

   "Dua orang putera kami telah melakukan kekasaran terhadap Andika berdua, harap Andika berdua tidak menaruh dendam. Setelah Andika berdua barada di sini, kami menganggap Andika berdua sebagai tamu-tamu terhormat dan kami minta sukalah kiranya Andika berdua menjadi sahabat-sahabat putera-puteri kami dan mengajarkan kesusilaan dan kebajikan kepada mereka."

   "Tapi, Kanjeng Romo, hamba ingin menikah denga Roro Kartiko!"

   Tiba-tiba Murwendo berkata.

   "Hamba juga, kawinkan hamba sekarang juga dengan Joko Handoko, Kanjeng Romo!"

   Kata Murwanti.

   "Diam....!!!"

   Sang Prabu Bandardento membentak, marah dan malu bukan main.

   "Awas, kalian tidak boleh menggunakan paksaan! Padas Gunung dan Pragalbo, aku perintahkan kalian untuk mengawasi dan menjaga agar pangeran dan puteri tidak memaksa dan mengganggu dua orang tamu kita dan tujuh orang pengiring mereka itu! Murwendo dan Murwanti, perjodohan tidak boleh dipaksakan. Kalau memang mereka berdua ini suka menjadi jodohmu tanpa paksaan, aku akan merasa senang dan bangga sekali mempunyai mantu seperti mereka. Akan tetapi, kalau kalian melakukan paksaan dan kotor, aku sendiri akan menentangmu!"

   Setelah berkata demikian, Sang Prabu membubarkan persidangan dan Joko Handoko bersama Roro Kartiko dipersilakan keluar oleh Padas Gunung dan Pragalbo. Dua orang kakak beradik ini terkejut dan bingung, akan tetapi mereka tidak diberi kesempatan untuk membantah lagi. Maka mereka terpaksa untuk sementara menerima nasib, karena bagaimana pun juga, keputusan raja itu membuat mereka terlepas daripada ancaman saudara kembar itu.

   Mereka diperbolehkan bebas di Puger dan diberi rumah pemondokan yang cukup baik bersama tujuh orang anak buah Sriti Kencana, namun mereka maklum bahwa untuk lolos dari tempat itu adalah tidak mungkin karena siang malam mereka selalu diawasi. Murwendo dan Murwanti memang tidak berani melanggar pantangan ayah mereka.

   Mereka berdua tidak berani menggunakan paksaan, apalagi karena mereka berdua maklum bahwa Joko Handoko dan Roro Kartiko bukanlah orang-orang lemah yang dapat dipaksa begitu saja. Dahulu pun kalau tidak ada bantuan Padas Gunung dan Pragalbo, tidak mungkin mereka mampu menawan kakak beradik yang membuat mereka tergila-gila itu. Sekarang, dua orang tawanan itu telah menjadi tamu-tamu yang terhormat dan bebas, bahkan diawasi selalu oleh Padas Gunung dan Pragalbo yang mereka tahu amat setia kepada ayah mereka sehingga dua orang tokoh yang juga menjadi guru-guru mereka itu tentu tidak akan segan-segan menentang mereka untuk mentaati perintah junjungan mereka kalau mereka berdua berani mengganggu Joko Handoko dan Roro Kartiko.

   Murwendo dan Murwanti merasa penasaran sekali, namun mereka hanya dapat menimbun rasa kekecewaan mereka di dalam hati saja. Mereka berdua bersikap manis dan berusaha memikat hati dua orang muda itu dengan cara halus, akan tetapi Joko Handoko dan Roro Kartiko sama sekali tidak pernah mau melayani mereka setiap kali dua orang saudara kembar itu muncul, Joko Handoko dan adiknya tentu meninggalkan mereka dan mengunci diri dalam kamar masing-masing,sedikit pun tidak mau bicara dengan mereka! Hal ini tentu saja membuat Murwendo dan Murwanti merasa tersiksa sekali.

   Dan kalau sudah begini, yang menjadi bulan-bulan kemarahan mereka tentulah para abdi yang melayani mereka, dipukul, ditendang dan dimaki hanya karena kesalahan yang kecil saja. Dan untuk menghibur diri dari kekecewaan, kakak beradik kembar ini saling menumpahkan rasa rindu dan tergila-gila mereka itu satu kepada yang lain, dan makin berlarut-larutlah hubungan gelap, perjinaan yang amat mencemarkan Kadipaten Puger antara dua orang kakak beradik kembar yang agaknya mempunyai kelainan batin ini.

   Sesungguhnya hidup ini sempurna, menjadi tidak sempurna karena kita sendiri yang membuatnya. Sesungguhnya hidup ini bahagia, menjadi tidak bahagia karena kita menganggapnya demikian. Sesungguhnya kebahagiaan tidak pernah meninggalkan kita,melainkan kitalah yang meninggalkannya untuk mengejar bayangannya! Mengapa kita tidak pernah menghadapi segala sesuatu yang terjadi pada kita sebagai sesuatu kewajaran, menghadapinya tanpa sorak kemenangan atau keluh kekalahan? Selalu kita nilai dengan keuntungan atau kerugian sehingga tentu saja menimbulkan kepuasan atau kekecewaan, kesukaan atau kedukaan. Dan terseretlah kita ke dalam lingkaran setan yang tiada putusnya, tenggelamlah kita ke dalam gelombang suka duka, di mana dukanya lebih banyak daripada sukanya, di mana apa yang dinamakan kebahagiaan hanya kadang-kadang saja bercahaya seperti kilat di musim hujan yang selalu penuh awan gelap.

   Bagi seorang biasa yang melihat Sang Prabu Bandardento sebagai seorang yang paling berkuasa dan paling mulia di Puger, tentu menganggapnya sebagai ukuran tertinggi orang yang hidup bahagia. Akan tetapi apa kenyataannya bagi Sang Prabu Bandardento sendiri? Tidak ada bedanya dengan orang-orang yang paling miskin di puger. Tetap saja dilanda kecewa dan kedukaan. Hal-hal yang dianggapnya sebagai sumber bahagia oleh orang-orang kecil, seperti kekayaannya, kekuasaannya kini sama sekali tidak dirasakan sebagai keadaan berbahagia oleh raja yang sudah memiliki semua itu semua! Dan demikian pula keadaan kehidupan kita semua!

   Kita melihat orang lain yang memiliki kelebihan daripada kita sebagai orang yang berbahagia, akan tetapi kenyataanya tidak demikian karena orang yang kita anggap beahagia itu pun akan meliah orang lain dan menganggap orang lain itu berbahagia sedangkan dia tidak! "Mengapa demikian?"

   Karena kesalahan yang satu ini kita miliki bersama, yaitu kesalahan membayang-bayangkan selalu bahwa kebahagiaan berada DI SANA, sama sekali tidak pernah meneliti dan menyelidiki keadaan DI SINI atau saat ini!

   "Ah, kami merasa kuat bertanggung jawab atas perpisahan dua pasang merpati,"

   Kata Sang Prabu Bandardento kepada Joko Handoko dan Roro Kartiko pada suatu senja ketika dia dan permaisurinya memanggil dua orang kakak beradik itu dalam taman sari.

   "Kami akan berusaha untuk mendatangkan tunangan-tunangan kalian, Joko dan Roro. Katakanlah, siapakah tunangan kalian itu?"

   Wajah Joko Handoko dan Roro Kartiko menjadi merah sekali mendengar pertanyaan ini. Mereka saling pandang dan dalam sinar mata mereka berdua, kakak beradik ini sama-sama mengerti bahwa untuk menghindarkan diri dari harapan Sang Prabu untuk menjodohkan mereka dengan Si Kembar, memang sebaiknya kalau mengaku saja rahasia hati mereka secara terbuka. Joko Handoko maklum pula akan isi hati adiknya, maka dia lalu menyembah dan berkata.

   "Harap Paduka maafkan karena hamba berdua pun tidak tahu di mana mereka sekarang. Akan tetapi kalau Paduka ingin mengetahui, pujaan hati hamba itu adalah seorang dara yang cantik jelita dan gagah perkasa yang bernama Sulastri."

   "Hemm, Sulastri? Dan dia pun gagah perkasa seperti Roro?"

   Tanya Sang Permaisuri.

   "Seperti hamba? Ah, hamba tidak ada seperempatnya!"

   Kata Roro Kartiko. Sulastri adalah murid dari puncak Bromo, murid Empu Supamandrangi...."

   "Ahh.....!"

   Adipati Puger itu kelihatan terkejut sekali.

   "Pantas dia gagah perkasa......, dan di manakah dia sekarang, Joko Handoko?"

   Pemuda itu menarik napas panjang.

   "Hamba tidak tahu, Gusti. Ketika itu, dia dan hamba berdua sedang diutus oleh Adipati Lumajang untuk menyelidiki pusaka ke Mojopahit, akan tetapi muncul pasukan dari Puger dan hamba berdua ditawan....."

   "Menyelidiki pusaka? Pusaka apakah itu?"

   "Keris pusaka Kolonadah...."

   "Ahhh....!"

   Kembali Sang Prabu Bandardento berseru kaget dan mengangguk-angguk,lalu dia bertanya kepada Roro Kartiko.

   "Dan Engkau, Nini? Siapakah pujaan hatimu itu, yang membuatmu tidak mau menerima cinta kasih Murwendo?"

   Roro Kartiko terkejut dan dia menundukkan mukanya.

   Kedua pipinya menjadi kemerahan, bibirnya tersenyum malu-malu dan beberapa kali bibir itu bergerak,namun tidak mampu mengeluarkan suara! Melihat ini, Sang Prabu Bandardento tertawa bergelak dan Sang Permaisuri berkata.

   "Ah, tentu saja dia malu untuk mengaku."

   "Joko Handoko, Andika sajalah yang menceritakan, siapa pujaan hati Adikmu itu? Apakah dia juga seorang yang sakti mandraguna? Agaknya di mojopahit banyak sekali orang-orang muda yang digdaya."

   "Sesungguhnyalah, Gusti. Pria yang menjadi pujaan Roro adalah seorang pemuda yang kesaktiannya bahkan melebihi kesaktian Sulastri. Namanya adalah Sutejo, putera dari mendiang Senopati Mojopahit yang bernama Lembu Tirta,"

   Kata Joko Handoko.

   "Hebat! Dan Murid siapakah dia?"

   "Kalau tidak salah, dia adalah murid Panembahan Ciptaning...."

   "Pertapa di lereng Gunung Kawi? Hebat sekali.... luar biasa....! Dan di mana dia sekarang?"

   Dengan alis berkerut karena kecewa mengenang sahabatnya ini, Joko Handoko berkata.

   "Dia menjadi hamba di Mojopahit."

   "Ah, sayang.... kalau dia berada di sini, juga Sulastri itu...."

   Tiba-tiba Adipati itu menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba muncul beberapa orang pengawal yang tugasnya menjaga di sekitar tamansari.

   "Harap Paduka mengampuni hamba kalau hamba mengganggu...."

   Kata seorang di antara mereka dengan napas terengah-engah. Pada saat itu, Sang Prabu Bandardento, Permaisuri dan dua orang muda itu telah pula mendengar suara ribut-ribut yang terdengar di sebelah depan istana kadipaten.

   "Apa yang terjadi, pengawal?"

   Tanya Sang Prabu Bandardento dengan sikap tenang.

   "Di pendapa istana ada seorang wanita mengamuk, dia digdaya sekali, banyak pengawal yang sudah roboh dan sekarang Ki Padas Gunung dan Ki Pragalbo sedang berusaha menandinginya, Gusti."

   "Diajeng, kau kawal Gusti Puteri ke dalam, biar aku melihat siapa pengacau itu!"

   Kata Joko Handoko yang kemudian berkata pula kepada Sang Prabu Bandardento.

   "Harap Paduka suka menanti saja di dalam, hamba akan menangkap pengacau itu."

   Sang Prabu Bandardento mengagguk dan tersenyum girang menyaksikan sikap pemuda itu. Lalu dia bersama permaisuri memasuki istana dari pintu belakang, dikawal oleh Roro Kartiko dan beberapa orang pengawal. Setelah mengawal raja dan permaisuri sampai ke dalam dengan selamat, Roro Kartiko juga cepat lari keluar untuk membantu kakaknya menangkap pengancau.

   Apakah yang terjadi di luar? Ketika itu, malam telah mulai tiba dan lampu-lampu di sekitar istana kadipaten telah dinyalakan oleh para perajurit penjaga. Akan tetapi, ketika dua orang perajurit sedang sibuk memasang lampu besar yang tergantung di tengah ruangan pendopo, tiba-tiba ada sinar hitam menyambar.

   "Pyarrrr....!!"

   Lampu itu pecah berantakan terkena sabitan batu hitam yang menyambar tadi. Dua orang perajurit itu terkejut bukan main dan ketika mereka melihat ada bayangan orang melompat masuk ke ruangan pendopo, mereka terkejut dan cepat menyerang.

   "Maling!"

   Teriak mereka, akan tetapi teriakan mereka itu terhenti di tengah karena dua kali tamparan yang amat cepat datangnya membuat tubuh mereka terpelanting dan mereka roboh pingsan seketika!

   Para perajurit penjaga lainnya mendengar suara pecahnya lampu penerangan itu dan melihat pula robohnya dua orang teman mereka. Cepat mereka berlari-larian menuju ke ruangan pendopo itu dan di situ, di dalam cuaca yang remang-remang, nampak berdiri sesosok tubuh manusia ramping dan terdengar suara halus seorang wanita yang berteriak nyaring.

   "Murwendo dan Murwanti, keluarlah kalau kalian memang gagah!"

   Mendengar wanita itu menantang pangeran dan puteri, tentu saja par perajurit yang jumlahnya tujuh orang itu cepat menerjang dengan marah. Akan tetapi wanita itu menggerakkan kaki tangannya dan para pengeroyoknya roboh terpelanting ke kanan kiri. Terdengar teriakan-teriakan disusul robohnya tubuh mereka. Kini para pengawal yang mendengar suara ribut-ribut, berlarian keluar dan sebentar saja lebih dari dua puluh orang perajurit pengawal mengurung pendopo itu.

   "Pengacau gila, hayo kau menyerah sebelum mampus dalam pengeroyokan kami!"

   Bentak seorang perwira pengawal.

   Wanita itu berdiri sambil bertolak pinggang di tengah ruangan, memandang kepada para pengepung dan melihat betapa beberapa orang yang sudah dia robohkan itu terseret keluar, lalu dia berkata.


"Babo-babo, majulah semua orang Puger kalau Si Kembar pengecut Murwendo dan Murwanti tidak berani menandingi aku!"

   Tentu saja para pengawal menjadi marah dan mereka serentak maju, kini dengan keris dan tombak karena mereka menganggap wanita ini seorang pengacau yang amat berbahaya dan yang mengencam keselamatan pangeran dan puteri. Akan tetapi, tiba-tiba tubuh wanita itu berkelebat dan pandang mata pengeroyok menjadi kabur. Cuaca remang-remang itu membantu kecepatan gerakan wanita itu yang seolah-olah pandai menghilang dan tahu-tahu para pengeroyok di sebelah kirinya mawut diterjang oleh tamparan-tamparan dan tendangan-tendangan kakinya sebelum mereka sempat menggerakkan senjata mereka. Teriakan-teriakan terdengar disusul robohnya mereka dan senjata mereka beterbangan berjatuhan di atas lantai. Para pengeroyok mendesak maju dari belakang, akan tetapi, tiba-tiba wanita itu membalikkan tubuh dan tangannya bergerak. Sebatang tombak yang telah dirampasnya menyambar dan membabat dari samping.

   "Des-des-plakk!"

   Tiga orang rubuh dan tangkai tombak itu patah-patah, kemudian wanita itu melanjutkan amukannya dengan gerakan yang amat kuas tangkas dan cepat. Gerakannya seolah-olah di pandai terbang, seperti seeekor burung srikaan menyembari kupu-kupu dan setiap kali tangannya bergerak manampar, tentu ada seorang pengeroyok yang terpelanting. Dalam waktu singkat saja lebih dari sepuluh pengeroyoksudah roboh! Akan tetapi, lebih banyak lagi perajurit pengawal datang dan sebagian di antara mereka membawa obor sehingga ruangan pendopo yang luas itu kini menjadi terang benderang.

   Para pengawal terkejut dan heran bukan main bercampur kagum ketika sinar obor menerangi wajah dan tubuh wanita yang mengamuk itu. Ternyata yang mengamuk itu adalah seorang dara yang amat cantik dan masih muda belia! Akan tetapi, beberapa orang pengawal yang dulu ikut dalam pasukan yang dipimpin oleh Padas Gunung dan Pragalbo, mengenal dara itu dan mereka berseru.

   "Dia orang Lumajang!"

   Dara perkasa itu memang Sulastri adanya. Dengan hati tertekan penderitaan yang amat berat, Sulastri manuju ke Puger dan melakukan penyelidikan. Dari penduduk dia mendengar bahwa Adipati Puger, yang berjuluk Sang Prabu Bandardento, adalah seorang raja yang amat bijaksana dan baik. Akan tetapi menurut berita itu,putera Sang Prabu yang kembar tu, Pangeran Murwendo dan Puteri Murwanti, memang terkenal sebagai orang-orang muda yang aneh dan kadang-kadang suka melakukan hal-hal yang tidak terpuji, bahkan mendekati kekejaman. Tentu saja dia tidak dapat benyak memancing berita tentang kejahatan saudara kembar itu.

   Akan tetapi dia mendengar pula akan adanya tawanan-tawanan yang kini bereda di istana, kabarnya di antara para tawanan terdapat seorang pemuda dan seorang gadis yang dikabarkan akan menjadi mantu-mantu raja! Mendengar ini, tidak syok lagi hati Sulastri bahwa memang Joko Handoko dan Roro Kartiko yang dicarinya berada di situ,menjadi tawanan istana agaknya. Dia merasa penasaran dan marah sekali. Andaikata Sulastri tidak sedang dihimpit kedukaan dan kekecewaan berhubung dengan adanya peristiwa Sutejo yang amat mengecewakan hatinya, agaknya dia akan bersikap hati-hati dan akan berusaha menolong kawan-kawannya itu dengan cara yang lebih halus. Akan tetapi, kedukaan dan kekecewaan membuat dia menjadi nekat.

   Dia seperti orang yang tidak peduli lagi akan nasibnya, tidak peduli lagi ada bahaya mengancamnya. Dengan marah dia malam itu juga lalu menyerbu istana kadipaten dan menantang-nantang kepada Murwendo dan Murwanti! Pengeroyokan para pengawal tidak membuat dia menjadi gentar, bahkan dia mengamuk dan merobohkan banyak pengawal dengan menggunakan kegesitan dan ketangkasannya.

   Betapa pun juga, dia tidak hendak menumpahkan rasa marah dan bencinya kepada para pengawal yang dia tahu hanya merupakan alat-alat belaka, maka dia tidak mau menyebar maut dan hanya merobohkan mereka dengan tenaga terkendali agar tidak ada yang tewas oleh tendangan atau pukulannya. Biarpun demikian, karena kedua tangannya mengandung aji kesaktian Hasto Nogo, maka setiap kali ada yang terkena sentuhan jari tangannya tentu terpelanting dan kalau tidak pingsan, tentu sedikitnya patah tulang atau salah urat, membuat mereka tidak dapat melanjutkan pengeroyokan lagi.

   Dengan Aji Hasto Nogo di jari-jari tangannya dia mainkan Ilmu Silat Hasto Bairowo, dengan kecepatan seperti kilat menyambar-nyambar tubuhnya bergerak ke sana-sini dan kedua lengan yang sudah menjadi kebal oleh aji kesaktian itu, dia pergunakan untuk menangkis patah tombak-tombak dan memangkap keris-keris lawan yang kemudian dilemparkan begitu saja ke atas lantai. Para pengeroyoknya menjadi panik dan gentar sekali menghadapi wanita muda yang demikian saktinya, seolah-olah bukan manusia yang mereka hadapi melainkan seorang dewi kahyangan yang mempergunakan kesaktiannya yang mujijat!

   "Tahan! Mundur semua!"

   Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan muncullah dua orang laki-laki di ruangan pendopo itu. Mereka ini bukan lain adalah Padas Gunung dan Pragalbo, dua orang senopati dan tokoh yang paling kuat dari Kadipeten Puger. Para pengawal tentu saja cepat mundur dan memberi jalan kepada dua orang ini dengan hati lega karena mereka semua tahu bahwa hanya dua orang senopati ini sajalah yang kiranya dapat menandingi dara yang mengamuk ini.

   Sulastri menghentikan gerakannya dan memandang. Dia segera mengenal dua orang laki-laki itu dan dia menjadi marah sekali. Itulah dua orang laki-laki yang membantu Murwendo dan Murwanti dan yang mengerahkan pasukan menawan Joko Handoko dan Roro Kartiko dan tujuh orang anak buah Sriti Kencana. Dia memandang penuh perhatian. Yang seorang memegang sebatang suling hitam, kulitnya kuning dan mukanya berbentuk bulat telur. Orang ke dua bermuka hitam berbentuk persegi,matanya berseri dan pinggangnya terselip sebatang keris panjang.

   "Hemm, aku mengenal kalian!"

   Sulastri menudingkan telunjuknya ke arah hidung mereka.

   "Kalian adalah kaki tangan Murwendo dan Murwanti yang pengecut, mengandalkan pengeroyokan dan menawan teman-temanku. Hayo suruh Murwendo dan Murwanti keluar menerima hajaran kaki dan tanganku. Kalau tidak berani, cepat bebaskan Joko Handoko dan Roro Kartiko bersama tujuh orang anak buah mereka. Kalau tidak, hemm,........ Kadipaten Puger akan kubikin rata dengan Bumi!"

   Hebat sekali tantangan dan ancaman itu, juga terdengar amat sombong dan semua itu terdorong oleh kemarahan Sulastri. Kemarahannya terhadap Sutejo ditumpahkan semua kepada orang-orang Puger maka tentu saja apa yang diucapkannya itu sudah tidak terkendali lagi olehnya. Padas Gunung dan Pragalbo adalah dua orang tokoh Puger yang berkepandaian tinggi.

   Karena merasa bahwa mereka memiliki kepandaian tinggi, maka tentu saja mereka tadi meresa malu dan tidak senang menyaksikan betapa para pengawal mengeroyok seorang dara muda, sungguhpun dari gerakan gadis itu mereka dapat menduga bahwa gadis itu memang hebat sekali. Apalagi setelah mereka mengenal gadis itu bukan lain adalah seorang di antara pengawal-pengawal Adipati Lumajang yang pernah mereka saksikan sepak terjangnya. Akan tetapi, mendengar tantangan dan ancaman Sulastri, mereka menjadi marah sekali.

   "Bocah sombong! Kaukira aku takut padamu?"

   Bentak Padas Gunung yang tak pandai bicara.

   Akan tetapi Pragalbo tersenyum lebar.

   "Ha-ha-ha, bocah yang bermulut lancang. Kau seperti seekor anak harimau yang baru pandai mengaum. Berani benar kau menyombongkan diri di Puger, seolah-olah di sini tidak ada yang jantan. Ketahuilah, Kakang Pads Gunung ini, dan aku Pragalbo, adalah banteng-banteng dari Puger, maka lebih baik kau menyerah dan kami hadapkan Sang Adipati daripada engkau sampai roboh terluka. Sungguh kami berdua akan merasa malu kalau harus melawan bocah yang masih ingusan!"

   Sulastri membelalakkan matanya dan membanting kaki kanannya, tanda bahwa dia marah bukan main disebut bocah ingusan. Sepasang matanya yang lebar itu seolah-olah hendak menelan dua orang itu.

   "Keparat! Aku Sulastri tidak takut menghadapi celeng-celang macam kalian. Jangankan hanya kalian berdua, biar kelian kerahkan seluruh perajurit Puger, aku tidak akan mundur setapak!"

   "Babo-babo! Sumbarmu seperti dapat memecahkan Gunung Bromo dan melangkahi Gunung Mahameru saja! Langkahmu seperti Srikandi! Coba, hendak kulihat apakah benar-benar engkau segagah Srikandi!"

   Padas Gunung yang sudah tak dapat menahan kemarahannya itu sudah menerjang ke depan, menggerakkan suling hitamnya menusuk ke arah ulu hati Sulastri.

   "Hehh!"

   Sulastri membentak dan menggerakkan tubuhnya miring sambil menangkis dengan lengan kirinya. Melihat dara muda itu berani manangkis suling hitamnya,diam-diam Padas Gunung tersenyum mengejek. Rasakan sekarang, pikirnya dan dia mengerahkan tenaganya. Sulingnya itu terbuat dari baja hitam yang keras sekali,dapat mematahkan keris pusaka yang ampuh, maka kini tentu lengan anak perempuan itu akan patah karena berani menagkis suling hitamnya.

   "Dukkk!"

   Padas Gunung kaget setengah mati. Bukan saja lengan dara itu tidak apa-apa,malah tangannya manjadi gemetar dan hampir saja sulingnya terlepas karena tangan itu seperti lumpuh terserang tenaga sakti yang menggetar dari lengan lawan. Dia tidak tahu bahwa kedua tangan Sulastri telah terisi oleh Aji Trenggiling Wesi, yaitu ilmu kekebalan yang dahulu diwariskan oleh Ki Jembros! Dan sebelum dia tenang kembali dari kagetnya, Sulastri sudah menggerakkan kakinya menendang ke arah dada. Padas Gunung terkejut dan satu-satunya jalan untuk menyelamatkan diri dari kaki yang menyambar seperti kilat itu hanya dengan cara melempar tubuh ke belakang!

   Dia membanting tubuh ke belakang dan bergulingan sehingga dia terhindar dari tendangan kilat, namun pakaiannya menjadi kotor terkena debu dan mukanya menjadi merah sekali karena dalam segebrakan saja hampir dia roboh oleh dara ini! Karena merasa malu, dia menjadi marah bukan main. Teriakan panjang mengiringkan gerakannya menyerang dengan menggunakan suling hitamnya dan memang Padas Gunung bukan seorang lawan yang lemah. Sulingnya berubah menjadi sinar hitam yang bergulung-gulung dan dari gulungan sinar hitam itu terdengar suara melingking nyaring. Akan tetapi sekali ini dia menghadapi seorang lawan yang amat luar biasa.

   Sulastri yang maklum akan keampuhan senjata lawan dan kesaktian laki-laki itu,cepat mengerahkan ajinyayang disebut Turonggo Bayu sehingga tubuhnya berkelebatan, kadang-kadang seperti lenyap dari pandangan banyak orang saking cepatnya sehinga kalau tadinya Padas Gunung menyerang dengan pengerahan segala macam ilmunya, kini oleh kecepatan Sulastri, dia berbalik menjadi terdesak hebat. Sedemikan cepatnya gerakan dara itu sehingga dia sama sekali tidak memperoleh kesempatan sedikit pun untuk membalas menyerang. Beberapa kali dia terhuyung-huyung kerena desakan Sulastri dan bahkan satu kali pundaknya terserempet tamparan Hasto Nogo sehingga dia memekik kesakitan dan mukanya menjadi pucat.

   Melihat ini, Pragalbo memekik panjang dan terjun ke dalam medan laga. Kerisnya merupakan sinar kehijauan yang menyambar ke arah lambung Sulastri. Dara ini cepat meloncat ke belakang mengelak dan mengejek.

   "Huh, sudah kuketahui bahwa orang-orang Puger hanya merupakan sekelompok pengecut kecil yang bermulut besar.

   Majulah semua, hayo keroyoklah!"

   Dia membentak dan kini mengamuk, bukan hanya gerakannya yang amat cepat,namun kini tangannya juga melakukan serangan bertubi-tubi sehingga Pragalbo dan Padas Gunung kembali terdesak biarpun mereka maju berbareng!

   Tiba-tiba terdengar bentakan.

   "Hayo keroyok! Bunuh dia, bunuh!"

   Mendengar teriakan ini Sulastri meloncat ke belakang dan memandang. Bangkit kemarahannya ketika dia melihat Murwendo dan Murwanti sudah berdiri dengan keris terhunus di tangan, akan tetapi ketika dia hendak menyerbu, Padas Gunung dan Pragalbo sudah menghadang dan menyerangnya lagi sehingga kembali dia mengamuk dengan kemarahan yang semakin meluap ketika dia melihat dua saudara kembar itu.

   Akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan.

   "Diajeng Sulastri.....!"

   Dan berkelebatanlah bayangan Joko Handoko yang meloncat ke tengah ruangan itu.

   "Tahan, Padas Gunung dan Paman Pragalbo......!"

   "Bunuh perempuan ini! Bunuh...!"

   Kembali Murwanto berseru.

   "Mbakayu Sulastri....!"

   Terdengar suara wanita menjerit dan muncullah Roro Kartiko meloncat ke dalam kepungan itu dan memeluk Sulastri.

   "Kakangmas Joko! Diajeng Roro! Kalian selamat....?"

   Sulastri girang bukan main sambil memeluk Roro Kartiko.

   "Bunuh pengacau ini! Joko Handoko dan Roro Kartiko, mundur kalian!"

   Terdengar Murwendo membentak lagi sambil mengacungkan kerisnya demikian pula Murwanti yang memandang kepada Sulastri dengan penuh kebencian.

   "Jangan ganggu dia!"

   Joko Handoko berseru.

   "Aku akan membelanya!"

   "Dan aku akan melawan mati-matian!"

   Kata pula Roro Kartiko.

   Kini tiba orang itu sudah berdiri saling membelakangi, membentuk pertahanan segi tiga dengan sikap gagah, kedua tangan terkepal dan mata mereka bersinar-sinar penuh kemarahan. Mereka bertiga maklum bahwa keadaan mereka gawat sekali. Mereka telah dikepung dan terancam bahaya maut. Namun, mereka tahu bahwa lebih baik mati daripada menyerah kepada dua orang kembar yang gila itu. Dan kakak berdik dari Tuban itu tidak rela membiarkan Sulastri celaka sendiri. Kalau perlu,mereka akan mati bersama! Terutama sekali Joko Handoko yang mencintai Sulastri,tentu saja siap untuk mengorbankan apa saja, nyawa kalau perlu, demi membela dan melindungi wanita perkasa yang dicintanya itu.

   "Akan tetapi Andika belum tahu apakah akan demikian mudah saja Andika dapat membuat aku tidak berdaya, Sulastri. Jangan mengira bahwa Andika akan mudah saja manawanku. Aku tidak selemah Padas Gunung dan Pragalbo!"

   Sulastri mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa Adipati ini mencobanya saja,menyerang dengan kata-kata.

   "Hemm, hal itu harus dibuktikan dulu."

   "Andika juga tidak memperhitungkan siasat dan kecerdikanku. Lihat saja!"

   Tiba-tiba Adipati itu menekan ujung meja dan tiba-tiba saja kursi yang didudukinya meluncur ke belakang dan lenyap di belakang sebuah pintu yang cepat tertutup kembali. Tentu saja Sulastri terkejut bukan main, akan tetapi Joko Handoko dan Roro Kartiko yang sudah mengenal Adipati itu, tidak menjadi heran atau kaget. Pintu terbuka kembali dan kursi yang diduduki Adipati itu meluncur datang lagi mendekati meja.

   "Ha-ha-ha, bukankah mudah saja aku menyelamatkan diri? Dan belum Andika lihat ini pula!"

   Dia bertepuk tangan tiga kali dan tiba-tiba semua pintu yang jumlahnya ada lima buah di ruangan itu terbuka dan muncullah lima orang dari masing-masing pintu, berjumlah dua puluh orang perajurit bersenjata lengkap dan dipimpin oleh Padas Gunung dan Pragalbo sendiri! Mereka itu sudah siap membela Sang Adipati dan kini mereka semua memandang kepada adipati itu dengan tegang.

   Akan tetapi Sang Prabu Bandardento tertawa dan melambaikan tangan kepada dua orang senopati yang juga bertugas sebagai pengawal itu.

   "Ha-ha, mundurlah dan tarik kembali pasukanmu. Ini hanya main-main saja!"

   Dua orang tokoh Puger itu kelihatan lega dan mereka memberi isyarat. Semua perajurit itu tanpa mengeluarkan mundur dan lenyap dari pintu-pintu itu dan daun pintu tertutup kembali.

   "Nah, lihatlah Sulastri. Bukankah tidak akan mudah bagimu andaikata kami menggunakan perangkap?"

   Sulastri tertegun dan diam-diam harus mengakui bahwa memang sukar sekali baginya untuk menyelamatkan diri. Tidak disangkanya bahwa Adipati Puger demikian cerdiknya. Dia menarik napas panjang dan berkata.

   "Hamba tidak mengira bahwa Paduka adalah seorang Adipati yang amat bijaksana dan juga amat cerdik. Hamba mengaku kalah."

   "Ha-ha-ha, jangan Andika merendahkan diri, Nini. Aku amat suka kepada orang-orang muda gagah perkasa dan baik budi. Aku telah menganggap bahwa Joko Handoko dan Roro Kartiko selain sebagai tamu agung, juga sebagai keluarga sendiri. Dan sekarang, Andika sebagai tunangan Joko Handoko telah datang, sungguh baik sekali......"

   "Apa.....???"

   Sulastri berseru dengan mata terbelalak.

   Muka Joko Handoko menjadi merah sekali dan cepat dia berkata.

   "Diajeng Sulastri, harap kau suka maafkan aku dan terserah kalau kau anggap aku tidak tahu malu, aku siap menerima kemarahan dan hukuman darimu. Ketahuilah, aku dan Adikku ditawan oleh Murwendo dan Murwanti dan mereka berdua itu hendak memaksa kami berdua menjadi jodoh mereka. Kami menolak dan kepada Sang Adipati tidak dapat membohong, maka dengan terus terang aku katakan bahwa aku tidak dapat menikah dengan Murwanti karena aku telah mempunyai seoerang dewi pujaan, seorang yang kucintai sepenuh jiwa ragaku. Orang itu adalah Andika sendiri, Diajeng Sulastri. Aku tahu bahwa aku tidak berharga, akan tetapi..... aku tidak dapat berbohong dan...."

   "Mbakayu Sulastri, kakangmas Joko Handoko telah berkata dengan terus terang. Seperti juga aku telah membuka rahasia hatiku bahwa aku hanya dapat berjodoh dengan Kakangmas Sutejo...."

   "Ahh....??!"

   Kembali Sulastri terbelalak dan mukanya berubah menjadi pucat. Sang Prabu Bandardento cepat menengok ke kanan dan semua orang juga menengok.

   Dari sebuah pintu muncullah Murwendo dan Murwanti. Mereka memberi hormat kepada Ayah mereka dan memandang kepada tiga orang muda itu dengan mata beringas, terutama kepada Sulastri. Akan tetapi ayah mereka sudah cepat mempersilahkan dua orang muda itu duduk, lalu menegur.

   "Kalian berdua datang tanpa kupanggil, ada keperluan apakah gerangan?"

   Murwendo cepat memandang ke arah tiga orang muda itu dan Murwanti melirik ke arah Ayahnya sambil cemberut. Lalu terdengar Murwendo berkata.

   "Kanjeng Romo,bukankah saya dan Diajeng Murwanti putera dan puteri Kanjeng Romo sendiri?"

   Adipati Puger itu mengerutkan alisnya dan matanya menatap tajam wajah puteranya, penuh selidik, lalu menegur.

   "Murwendo, ucapan apakah yang keluar dari mulutmu ini? Tentu saja kalian berdua adalah putera dan puteriku. Pernahkah aku menyangkal akan hal itu?"

   "Paduka memang tidak pernah menyangkalnya, akan tetapi Paduka bersikap lebih manis kepada mereka ini daripada terhadap kami berdua! Paduka bercengkerama dengan mereka bertiga ini seolah-olah kami berdua yang menjadi orang luar!"

   Murwendo menyatakan rasa penasaran hatinya.

   "Benar, Kanjeng Romo memang tidak suka kepada kita, Kakangmas!"

   Murwanti juga berkata dengan bibir cemberut.

   Adipati itu menarik napas panjang.

   "Memang demikianlah anak-anakku. Aku selalu tidak suka kepada yang busuk dan jahat. Mereka bertiga ini adalah ornag-orang yang gagah perkasa dan patut dipuji. Jangankan kalian sebagai anak-anakku, biarpun diriku sendiri, kalau jahat dan busuk, tentu aku tidak akan menyukainya."

   "Kenapa Kanjeng Romo menganggap kami busuk? Kami ingin menikah dengan Roro Kartiko dan Joko Handoko, apakah itu jahat dan busuk? Mengapa Ayah tidak memenuhi permintaan anak sendiri dan melindungi mereka?"

   Murwendo mendesak.

   "Sepatutnya Kanjeng Romo mendukung kehendak kami ini kalau Kanjeng Romo ingin melihat anak-anak sendiri berbahagia. Akan tetapi Kanjeng Romo malah menghalangi!"

   Murwanti juga menuntut.

   "Dan kalau memang tidak boleh menikah dengan kami,mengapa mereka tidak dilepas kembali saja, akan tetapi malah diagung-agungkan di sini? Bukankah itu membuat kami berdua merasa panas dan menderita?"

   "Atau sebaiknya mereka dibunuh saja karena telah membikin kecewa hati kami! Akan tetapi Ayah memperlakukan mereka lebih manis daripada kami!"

   Murwendo kembali menyerang.

   Diserang bertubi-tubi oleh kedua orang anaknya itu, Sang Prabu Bandardento menjadi pucat. Di dalam hatinya dia ingin menjerit bahwa dia membenci mereka, bahwa dia muak terhadap mereka karena ulah mereka sendiri, karena dua orang kakak beradik kembar itu telah berbuat hina, telah berjina sendiri. Ingin dia membuka rahasia bahwa mereka bukanlah anak-anaknya, bukan darah dagingnya, melainkan hasil perjinaan selirnya dengan Ki Juru Taman! Akan tetapi tak mungkin dia melemparkan noda dan aib itu di depan semua orang yang hanya akan mencemarkan nama keluarganya sendiri. Dia menarik napas panjang berkali-kali sedangkan Sulastri, Roro Kartiko dan Joko Handoko hanya mendengarkan dengan hati tegang sambil bersiap-siap kalau-kalau hasil teguran-teguran dua orang kembar itu akan mendatangkan akibat buruk bagi mereka.

   Akhirnya Sang Prabu Bandardento berkata sambil memandang tajam kepada dua orang anaknya itu.

   "Murwendo dan Murwanti! Sikap kalian ini saja menunjukan betapa kalian berdua adalah orang-orang yang bersikap durhaka terhadap orang tua, akan tetapi dengarlah engapa aku bersikap menentang niat kalian mengawini Joko Handoko dan Roro Kartiko! Sudah kukatakan bahwa aku tidak suka melihat kalian memaksa mereka menjadi jodoh kalian. Kalau mereka dengan suka rela menjadi jodoh,aku akan merasa beruntung sekali. Akan tetapi, jodoh hanya dapat dilakukan secara suka rela oleh kedua pihak berdasarkan cinta, dan aku tahu bahwa mereka tidak dapat berjodoh dengan kalian karena mereka tidak mencintai kalian, karena mereka telah mempunyai pujaan hati masing-masing yang mereka harapkan menjadi jodoh mereka. Joko Handoko dan Roro Kartiko sampai ke Puger karena tindak kekerasan kalian maka untuk menebus kesalahan kalian itu, aku bersikap baik terhadap mereka dan menganggap mereka sebagai tamu agung. Hal itu adalah wajar, bukan?"

   "Memang wajar, akan tetapi wajarkah kalau Kanjeng Romo juga menerima wanita pengacau ini sebagai tamu yang dihormati dan yang boleh beramah-tamah dengan Kanjeng Romo? Padahal baru saja dia hampir membunuh belasan orang pengawal kita!"

   Murwendo membantah sambil menuding ke arah Sulastri. Namun Sang Prabu Bandardento tenang saja menghadapi serangan puteranya itu.

   "Murwendo, jangan menuruti panasnya hati dan pikirlah baik-baik, karena panasnya hati hanya akan mengeruhkan pikiran dan mengacaukan pertimbangan. Nini Sulastri ini adalah seorang dara perkasa, murid Sang Empu Supamandrangi dari Puncak Bromo yang arif bijaksana, maka segala tindakannya tentu mempunyai dasar yang kuat. Dia memang datang menyerbu ke Puger, akan tetapi tindakannya itu hanya menjadi akibat daripada perbuatan kalian yang sesat, yang telah menculik Joko Handoko dan Roro Kartiko. Dia datang dengan niat menolong dua orang muda yang menjadi sahabat baiknya. Tentu saja dalam penyerbuan itu terjadi pengeroyokan oleh para pengawal dan dia terpaksa merobohkan belasan orang pengawal. Akan tetapi, tidak ada seorang pun pengawal yang tewas, padahal akan mudah saja dia menewaskan para pengawal kalau dikehendakinya! Selain itu, dia adalah dewi pujaan Joko Handoko, dara yang dicintainya, maka sudah sepatutnya kalau dia datang menolong mereka......"

   "Keparat! Kalau begitu dia harus mampus!"

   Tiba-tiba Murwanti memekik dan meloncat ke depan, mencelat dari kursinya dan dengan keris terhunus dia menyerang Sulastri yang masih duduk di kursinya dan memandang dengan sikap tenang saja.

   "Wuuuuttt..... plakkk.... dessss.......!!"

   Tubuh Murwanti terpelanting ketika Sulastri sambil duduk menangis serangan kerisnya dan balas menampar. Murwanti terbanting ke atas lantai dengan keras, kerisnya terlampar jauh. Melihat ini, Murwendo sudah bangkit dan mencabut kerisnya.

   "Murwendo! Murwanti! Jangan kurang ajar kalian! Hayo kalian duduk kembali dan jangan bergerak!"

   Sang Prabu Bandardento menghardik dan dua orang kembar itu duduk kembali dengan muram dan mata memandang penuh kebencian kepada Sulastri.

   "Kanjeng Romo, lebih baik Kanjeng Romo sekarang membunuh kami berdua saja!"

   Tiba-tiba Murwanti berkata dan menangis terisak-isak. Murwendo juga mengusap air matanya.

   "Ah, kalian benar-benar amat tak tahu diri!"

   Sang Prabu Bandardento juga menjadi marah.

   "Kanjeng Romo amat tidak adil terhadap kami. Kanjeng Romo lebih percaya kepada tiga orang yang asing ini. Padahal siapa tahu mereka ini adalah mata-mata Lumajang yang menyelidiki keadaan kita? Siapa tahu kalau mereka itu hanya membohong saja? Kami berdua melihat sendiri betapa antara mereka hanya ada persahabatan biasa, akan tetapi kini tiba-tiba saja mereka mengaku bahwa antara Joko Handoko dan Sulastri ada hubungan cinta. Kami tidak percaya kalau tidak ada bukti! Kanjeng Romo, kalau memang benar bahwa Sulastri adalah pujaan hati Joko Handoko mereka harus membuktikannya dengan menikah di sini! Kalau tidak, kami tidak percaya dan kami terpaksa akan menyiarkan berita keluar istana kadipaten bahwa Kanjeng Romo bersikap tidak adil terhadap kami berdua dan lebih membela orang-orang luar seperti mereka ini!"

   Sulastri terkejut sekali mendengar ini. Ingin dia turun tangan menghajar dua orang kembar itu, akan tetapi dia teringat kepada dua orang sahabatnya dan kepada Sang Adipati, maka dia menahan sabar.

   Adipati Puger juga terkejut, akan tetapi dia lalu berpikir. Memang amat memalukan kalau sampai dua orang anaknya itu menyiarkan berita yang tentu akan dilebih-lebihkan di luar istana. Dan memang bukan niatnya untuk memanjakan tiga orang muda dari luar itu. Sikapnya yang baik itu hanya berdasarkan kebijaksanaan dan berhati-hati karena dia tidak mau bermusuhan dengan Kadipaten Lumajang yang besar dan kuat. Tantangan Murwendo untuk mengawinkan Joko Handoko dengan Sulastri tidak ada buruknya. Tentu mereka yang bersangkutan tidak akan keberatan dan baginya ada dua keuntungan. Pertama, dia akan menunjukkan kepada anak kembar itu bahwa tidak ada niat memanjakan luar dalam hatinya. Ke dua, dia kan berjasa bagi mereka berdua dan berarti berjasa pula bagi Lumajang yang kelak mendengar akan hal itu.

   "Baiklah! Aku akan membuktikan bahwa mereka ini adalah orang-orang muda gagah perkasa yang tidak sudi menipu dan bebohong seperti kalian! Joko Handoko dan Nini Sulastri, kuharap Andika berdua tidak menolak untuk merayakan pernikahan di Kadipaten Puger ini, dan aku sendiri yang akan menjadi wali kalian!"

   Wajah Joko Handoko menjadi merah sekali dan wajah Sulastri menjadi pucat.

   Melihat ini, tiba-tiba Murwanti berkata.

   "Lihat, Kanjeng Romo. Mereka itu membohong! Lihat wajah perempuan itu yang menjadi pucat, tanda bahwa dia membohong dan dia tidak mau menikah dengan Joko Handoko!"

   Joko Handoko mengangkat muka memandang dan Sulastri juga memandang kepadanya.

   Tiba-tiba kedua pipinya menjadi merah sekali dan dua titik air matanya hampir keluar karena dia teringat kepada Sutejo. Akan tetapi, mendengar serangan Murwanti itu, cepat dia berkata sambil menunduk.

   "Terserah kepada Paduka....."

   Jawaban itu mengejutkan Murwanti dan menggirangkan hati Joko Handoko dan Roro Kartiko. Bahkan Roro Kartiko lalu merangkul dan menciumi pipi Sulastri dengan mata basah air mata!

   "Bagaimana, Joko Handoko? Andika belum menjawab. Setujukah?"

Tanya Sang Prabu Bandardento.

   "Hamba.... setuju, Gusti."

   "Ha-ha-ha, lihat anak-anakku. Tidak ada apa-apa yang perlu dicurigai. Dan pernikahan itu akan segera diresmikan dan dirayakan, dan aku akan memberi hadiah yang amat berharga, yang tentu akan menggirangkan sepasang mempelai. Joko Handoko dan Nini Sulastri, tahukah kalian hadiah apa yang akan kuberikan kepada kalian? Ha-ha, tentu kalian tidak akan dapat menerkanya. Aku akan menghadiahkan keris pusaka Kolonadah kepada kalian."

   "Ehhh......??!!"

   Seruan ini keluar dari tiga buah mulut, yaitu mulut Sulastri,Joko Handoko, dan Roro Kartiko.

   "Ha-ha-ha, tentu kalian merasa heran, bukan? Ketahuilah bahwa keris pusaka itu berhasil dirampas oleh Padas Gunung dan Pragalbo dari tangan Resi Harimurti, setelah Resi Harimurti membunuh Ki Ageng Palandongan di tengah jalan, tidak jauh dari batas wilayah Puger. Keris pusaka itu berada ditanganku, dan tersimpan di dalam kamar pusaka Puger. Akan tetapi, pusaka itu akan kuhadiahkan kepada sepasang mempelai dan kalian bertiga setelah itu boleh kembali ke Lumajang membawa keris pusaka Kolonadah dan menghaturkannya kepada Adipati Aryo Wirorojo di Lumajang disertai salam hormatku."

   Tiga orang muda perkasa itu saling pandang dan diam-diam mereka merasa girang karena tidak mereka sangka-sangka bahwa mereka akan begitu mudah mendapatkan kembali keris pusaka itu. Akan tetapi Murwendo dan Murwanti makin marah, makin keruh wajah mereka dan mereka lalu pergi meninggalkan ruangan itu setelah mohon diri dengan sikap kaku dari ayah mereka!

   Tiga orang muda itu pun diperkenankan mengundurkan diri dan Sulastri diperkenankan untuk berdiam di satu kamar bersama Roro Kartiko. Setelah tiba di dalam kamarnya, Roro Kartiko merangkul dan menciumi Sulastri dengan penuh kebahagiaan.

   "Aduhh, Mbakayu Sulastri....., betapa bahagia rasa hatiku. Ingatkah engkau betapa dulu aku tergila-gila kepadamu sebagai Bromatmojo? Aku mengharapkan manjadi isterimu dan aku cinta kepada.......Bromatmojo. Akan tetapi ternyata engkau adalah Mbakayu Sulastri dan sekarang bahkan engkau akan menjadi isteri Kakangmas Joko Handoko, menjadi kakak iparku! Betapa gembira rasa hatiku dan terima kasih kepadamu, Mbakayu Sulastri.... eh, Mbakayu.... ehh, kenapa kau? Kenapa kau menangis.......?"

   Roro Kartiko terkejut sekali melihat Sulastri, dara perkasa yang amat gagah dan sakti itu, yang amat dikaguminya semenjak dahulu menyamar sebagai pria, kini menjatuhkan diri di atas pembaringan, menyembunyikan mukanya di atas bantal dan menangis tersedu-sedu! Dia cepat merangkulnya dan mengguncang-guncang pundaknya,akan tetapi Sulastri tetap menangis terisak-isak karena dara ini sedang membiarkan semua ganjalan hatinya mencair dan membanjir keluar dari air matanya.

   Semua ganjalan hatinya sejak perpisahannya dengan Sutejo selama ini ditahan- tahannya. Kesedihan yang dideritanya yang tak pernah dapat dikeluarkan sebagai pencurahan di depan siapa pun, hanya ditanggungnya secara diam-diam, dan hanya dapat managisi kekecewaannya secara diam-diam pula, kini mendapatkan kesempatan di depan Roro Kartiko. Pertahanan itu bobol dan air kedukaan yang sudah hampir meluber itu kini ambrol dan membanjir tak dapat dibendung lagi. Dia menangis, mengguguk seperti seorang anak kecil.

   Duka timbul dari perasaan iba diri. Makin diingat, makin nyata nampak betapa dirinya patut dikasihani, betapa dirinya amat menderita, bahkan segala macam peristiwa duka yang dulu-dulu bermunculan dan teringat semua sehingga menambah besar rasa iba diri itu. Demikian pula dengan Sulastri. Ketika dia manangis itu,ketika dia teringat betapa hancur hatinya karena perpisahannya dengan Sutejo,karena melihat pemuda itu melakukan hal-hal yang amat menyakitkan hatinya,teringatlah dia akan keluarganya yang sudah tidak ada, teringat akan Mbakayunya,dan guru-gurunya, yaitu Ki Jembros dan Empu Supamandrangi yang keduanya mati karena kejahatan Resi Mahapati. Teringat betapa dia kini sebatangkara, tanpa masa depan yang baik, dan kini di bahkan terpaksa akan menikah dengan Joko Handoko! Tentu saja dia tidak membenci Joko Handoko yang diketahuinya merupakan seorang sahabatnya, sahabat mereka, yaitu dia dan Sutejo! Akan tetapi, mana mungkin dia menjadi isteri orang lain selama dia tahu bahwa hatinya masih tetap mencintai Sutejo?

   Melihat Sulastri menangis begitu sedih, mengguguk seperti anak kecil, Roro Kartiko maklum bahwa dia harus mendiamkan dulu sahabatnya itu. Dan mendengar serta melihat tangis menyedihkan itu, dia tidak dapat menahan pula air matanya.

   Dipeluknya dan diusapnya rambut kepala Sulastri dan kadang-kadang dia mengusap air matanya sendiri. Pada dasar batin manusia memang terdapat cinta kasih yang suci. Setiap orang akan merasa terharu dan ikut pula bersedih kalau menyaksikan orang lain dalam duka cita yang hebat. Air mata kita sukar ditahan karena rasa haru menggerogoti hati kita kalau kita melihat pemandangan yang menyedihkan,melihat penderitaanorang lain. Sebaliknya, sukar pula bagi kita untuk menahan senyum kalau kita mendengar atau melihat orang orang lain tertawa gembira. Kita mempunyai dasar watak yang seperti itu, gembira kalau melihat orang lain berbahagia, dan terharu kalau melihat orang lain menderita. Bukankah itu cinta kasih namanya? Sayang, sinar kasih yang hanya tinggal sedikit ini akhirnya lenyap sama sekali tertiup oleh loba, tamak dan angkara murka dari si aku yang terlalu mementingkan diri pribadi sehingga perasaan yang amat suci itu tidak nampak lagi, berubah menjadi perasaan gembira melihat orang lain menderita dan iri hati melihat orang lain bahagia!

   Setelah mereda tangis Sulastri, akhirnya Roro Kartiko bertanya halus.

   "Mbakayu Sulastri, kita adalah antara orang sendiri, setidaknya, aku adalah sahabatmu, bukan? Kita sudah sering berjuang bahu-mambahu dan bantu-membantu, sama-sama terancam bahaya maut. Maka, kiranya sudah sepantasnya kalau engkau memberi tahu kepadaku mengapa engkau begini berduka, Mbakayu? Ataukah hal itu merupakan rahasia bagimu? Setidaknya, katakanlah apa yang dapat kulakukan untuk membantumu?"

   Sulastri mengusap air matanya dan terisak, dada dan pundaknya berguncang, mukanya agak pucat dan kedua matanya merah. Bantal yang dipakai menyembunyikan muka tadi sudah basah semua. Akhirnya berhenti juga tangisnya dan dengan kekuatan batinnya, dia membuat dirinya tenang kembali. Dipandanginya Roro Kartiko dan berkatalah dia dengan suara serak.

   "Diajeng Roro, aku hanya membuat engkau dan kakangmas Joko Handoko kecewa dan berduka saja."

   Roro Kartiko mengerutkan alisnya dan menatap wajah yang agak pucat dengan rambut kusut namun makin nampak kecantikannya yang wajar itu, lalu memegang tangan Sulastri. Mereka duduk berdampingandi atas pembaringan itu.

   "Mbakayu Sulastri, sudah kukatakan tadi bahwa kita adalah sahabat-sahabat yang akrab dan baik, yang patut membagi suka-duka, bukan? Apakah kau kira kami kakak beradik akan senang kalau melihat kau berduka? Tidak, katakanlah saja, Mbakayu, seperti jamu yang pahit, hal-hal yang tidak menyenangkan lebih baik dikatakan terus terang, daripada dipendam dalam hati."

   Sulastri menarik napas panjang.

   "Ketahuilah, Diajeng Roro, aku tidak mungkin dapat menikah dengan kakakmu, akan tetapi.... aku tahu pernikahan itulah yang akan menyelamatkan kita bertiga, yang memungkinkan kita bertiga lolos dengan selamat dari tempat ini."

   Pengakuan ini amat mengejutkan hati Roro Kartiko, juga amat menyakitkan hatinya karena dara itu maklum betapa Kakaknya menaruh hati cinta yang mendalam terhadap Sulastri. Akan tetapi, dia

   


 




   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KERIS MAUT

PENDEKAR GUNUNG LAWU

KEMELUT DI MAJAPAHIT