KEMELUT DI MAJAPAHIT JILID 26

 
  "Sulastri......ah, aku telah menghancurkan hatimu, Sulastri....."

   Sutejo mengeluh dan dia memeluk batang pohon yang tadi menjadi sandaran dara itu ketika Sulastri duduk dan memangku kepalanya. Membayangkan kemesraan yang terjadi antara dia dan Sulastri tadi, Sutejo tidak dapat menahan keluarnya air matanya.

   Dia terguling dan lehenya yang masih nyeri itu menipa akar pohon. Sutejo rebah dalam keadaan setengah pingsan dan seperti mengigau menyebut-nyebut nama Sulastri! Tadi, dia tidak lari jauh. Hatinya tidak dapat bertahan untuk meninggalkan Sulastri, maka setelah dia mendapat kenyataan bahwa Sulastri tidak mengejarnya,dia berhenti dan tak lama kemudian, berindap-indap dia kembali ke tempat tadi dengan penuh harapan mudah-mudahan kemarahan Sulastri sudah mereda. Akan tetapi,ketika tiba di situ, dia hanya mendapatkan tempat sunyi dan kosong. Sulastri telah pergi, cantrik itu pun tidak kelihatan lagi, yang ada hanya bekas-bekas rumput rebah di mana dia tadi memangku dan dipangku Sulastri!

   Akibat pukulan Hasto Nogo dari Sulastri yang mengenai pangkal lehernya memang belum sembuh benar dan kini ditambah dengan himpitan batin yang amat hebat, maka tidaklah mengherankan kalau Sutejo tak dapat bangun lagi dan terserang demam yang cukup hebat, membuat dia mengingau sepanjang malam!

   Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, dua orang nampak memasuki hutan itu dan bercakap-cakap. Suara dua orang ini amat berbeda, seperti suara burung nuri dan burung gagak, yang satu halus merdu dan yang satu lagi parau dan kasar seperti gerengan harimau. Suara dua orang itu makin mendekati tempat Sutejo rebah dalam keadaan tidak sadar dan gelisah itu "Kakang Bandu, aku lapar sekali, Kakang."

   Terdengar suara yang halus itu merengek dan seperti suara wanita yang manja dan bersikap kekanak-kanakan.

   "Hemmm, di dalam hutan dan sepagi ini, mana mungkin mencari makanan, Sari?"

   Terdengar suara parau besar itu menjawab.

   "Ahhh, Kakang Bandupati, perutku lapar sekali, kakiku gemetar. Sejak kemarin siang kita tidak makan dan aku ingin sekali sarapan. Kalau belum sarapan aku tidak mau melanjutkan, Kakang. Biar aku tinggal di sini dan mati kelaparan di sini."

   Suara halus itu merengek makin manja.

   "Wah-waaahhh.......jangan kau rewel lagi, Sariwuni. Marilah kita maju sedikit lagi. Aku tadi mendengar suara kokok ayam hutan di depan. Kalau tidak ada buah-buahan di depan biar kutangkapkan ayam hutan dan kupanggang dagingnya untukmu. Adikku yang manis."

   "Benarkah, Kakang? Aku sudah lapar sekali, kakiku lemas hampir tidak kuat melangkah."

   "Kalau begitu, mari kugendong kau, Sari."

   "Ah, tidak mau. Malu kalau kelihatan orang!"

   "Hemm, di hutan sunyi begini mana ada orang!"

   "Biar pun begitu aku tidak mau digendong, aku bukan anak kecil, Kakang. Kalau memang di depan ada ayam hutan, mari kita maju lagi."

   Mereka kini sudah dekat sekali dengan tempat Sutejo rebah. Ternyata mereka adalah dua orang yang seperti juga suaranya, orangnya pun jauh berbeda. Yang seorang adalah wanita muda, dara yang usianya tidak akan lebih dari sembilan belas tahun, wajahnya cantik dan kemerahan karena kelelahan, sepasang matanya tajam bersinar-sinar namun kadang-kadang mengandung kelembutan, dihias sepasang alis yang hitam kecil melengkung seperti dilukis, hidungnya kecil mancung dan mulutnya amat manis dengan bibir merah yang kelihatan seperti merajuk atau setengah mengejek terus, akan tetapi justeru di situlah terletak daya tariknya yang luar biasa, membuat wajah itu kelihatan menggemaskan yang mendatangkan rasa sayang, membuat orang gemas ingin mencubit, mencium! Tubuhnya agak kecil, pinggang tawon kemit, agaknya empat jari tangan kedua tangan seorang pria normal akan dapat melingkari pinggang itu. Karena pinggang yang kecil inilah maka pinggulnya kelihatan besar dan penuh, menonjol dan padat.

   Orang ke dua adalah seorang laki-laki yang tubuhnya tinggi besar, seperti raksasa, atau lebih pantas seperti Brotoseno atau Werkudoro, tinggi besar namun tegap dan gagah, wajahnya dihias kumis dan jenggot yang tumbuhnya bagus sehingga biar pun dia tinggi besar, namun dia kelihatan gagah dan tampan. Seperti juga wanita itu, laki-laki tinggi besar ini memiliki sepasang mata yang amat tajam bersinar-sinar, namun agak liar memandang ke sana-sini, dan kadang-kadang mengandung sinar yang kejam dan ganas.

   Siapakah dua orang ini? Yang wanita demikian cantik manis seperti puteri keraton,akan tetapi yang laki-laki biar pun gagah perkasa dan tampan, begitu tinggi besar dan kasar seperti seorang raksasa. Mereka ini, seperti dapat diketahui dari percakapan mereka, adalah kakak beradik. Mereka bukanlah orang dusun atau orang gunung biasa saja, apalagi dari pakaian mereka pun dapat diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang kaya dan memiliki pakaian yang serba indah dengan hiasan kaki tangan dari emas permata. Dan sesungguhnyalah, mereka bukanlah orang-orang biasa saja, melainkan putera dan puteri dari majikan atau kepala, juga boleh dinamakan raja kecil, dari Pulau Nusabarung yang terkenal di Laut Selatan.

   Atau mereka yang mengangkat diri sendiri sebagai raja kecil atau adipati, terkenal dengan nama sebutan Adipati Menak Dibyo, seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun yang bertubuh raksasa, brewok dan sakti mandraguna, seorang yang selain ahli dalam olah yuda, juga digdaya dan mahir pula bermain di dalam air samudra seperti seekor ikan saja. Adipati Menak Dibyo mempunyai seorang permaisuri dan beberapa orang selir yang cantik-cantik, namun dia hanya mempunyai dua orang anak, yaitu Bandupati yang lahir dari permaisurinya dan Sariwuni yang lahir dari seorang selir. Dua orang kakak beradik yang berada di hutan itu adalah Bandupati dan Sariwuni.

   Bandupati berusia dua puluh enam tahun, sedangkan Sariwuni baru berusia sembilan belas tahun. Mungkin karena dia wanita, dan merupakan puteri tunggal, juga anak bungsu, maka terhadap orang tua dan juga terhadap kakaknya, Sariwuni bersikap luar biasa manjanya. Dia memang disayang oleh Adipati Menak Dibyo, bahkan permaisuri Sang Adipati yang hanya mempunyai seorang putera seperti ayahnya, tinggi besar dan kasar, amat menyayang Sariwuni yang cantik jelita, kenes dan lincah jenaka itu. Tentu saja Bandupati yang hanya mempunyai satu-satunya saudara, amatlah sayangnya kepada adiknya ini dan sejak kecil, apa pun yang diminta oleh Sariwuni selalu dituruti belaka oleh Bandupati.

   Demikianlah pada suatu hari, kurang lebih sebulan yang lalu, ketika kakak beradik itu seperti biasa sedang berperahu di sekitar Pulau Nusabarung, melihat para nelayang yang mencari ikan, timbul keinginan di hati Sariwuni untuk pergi merantau ke daratan Nusa Jawa yang nampak melintang panjang dan amat luasnya di sebelah utara itu.

   "Jangang, Sari. Berbahaya sekali di sana. Banyak orang-orang sakti dan banyak pula orang jahat. Ayahnya selalu melarang kita untuk pergi ke daratan besar di sana."

   "Akan tetapi, sejak kecil aku ingin sekali ke sana, Kakang. Sudah banyak dongeng-dongeng kudengar tentang kebesaran dan kehebatan Nusa Jawa, akan tetapi sampai sekarang belum juga aku melihatnya."

   "Berbahaya sekali, Adikku."

   "Aku tidak takut, Kakang! Apakah engkau takut? Kalau begitu apa perlunya sejak kecil kita digembleng oleh Ayah mempelajari segala macam aji kesaktian kalau kita hanya menjadi orang-orang penakut?"

   "Aku tidak takut, hanya tidak berani, karena Ayah tentu melarangnya dan akan memarahi kita, Sari."

   "Kalau begitu, jangan bilang-bilang kepada Ayah. Kita pergi dan setelah kita melihat-lihat sampai puas di sana, kita kembali lagi. Kita tidak mempunyai niat buruk, apa perlunya takut? Nanti kalau sudah kembali dan Ayah marah, biarlah Beliau marah kepadaku, aku yang bertanggung jawab!"

   Mula-mula Bandupati tidak mau, akan tetapi setelah setiap hari ditangisi dan dibujuk-bujuk, bahkan adiknya itu merajuk dan mengatakan hendak pergi sendiri dan tidak akan sudi lagi bicara dengan Bandupati, terpaksa Bandupati memenuhi permintaan adiknya. Demikianlah, mereka berkemas dan membawa bekal secukupnya,kemudian mereka naik perahu meninggalkan Nusabarung pergi ke utara mendarat di pantai yang sunyi, menyembunyikan perahu mereka lalu mulailah mereka melakukan perjalanan ke utara.

   Keadaan di sepanjang perjalanan mengecewakan hati Sariwuni,karena ternyata penuh dengan gunung dan hutan, sedangkan dusun-dusunnya kecil dan miskin, tidak ada bedanya dengan Nusabarung, bahkan tempat tinggalnya itu lebih bagus, rumah-rumahnya lebih besar. Maka dia merengek lagi dan mengajak kakaknya itu pergi ke Mojopahit karena dia banyak mendengar dongeng tentang Mojopahit yang katanya amat besar dan menakjubkan. Terpaksa Bandupati menuruti permintaan adiknya dan pada pagi hari itu sampailah mereka di dalam hutan di tapal batas antara Lumajang dan Mojopahit. Ketika mereka berdua melangkah menyusup di antara semak-semak belukar di dalam hutan itu, dengan rengekan Sariwuni yang bersambat lapar dan lelah, tiba-tiba mereka mendengar suara orang merintih atau mengeluh.

   "Eh, Kakang ada orang di depan....."

   Bisik Sariwuni.

   "Ssssttt......!"

   Bandupati yang selalu berhati-hati karena dia sudah mendengar betapa banyaknya orang sakti di daerah Mojopahit, memberi isyarat kepada adiknya agara tidak mengeluarkan suara. Mereka lalu berindap-indap menghampiri arah suara tadi mendatang.

   Akhirnya mereka tiba di tempat di mana Sutejo masih rebah dengan gelisah, mengeluh dan dalam keadaan setengah sadar setengah tidak. Melihat itu, Bandupati memberi isyarat kepada adiknya untuk tinggal bersembunyi di balik semak-semak dan dia sendiri lalu berindap menghampiri. Sejenak dia melihat pemuda tampan yang mengeluh dengan mata terpejam itu, lalu di menyentuh pundak Sutejo sambil betanya,

   "Kisanak, apakah yang terjadi denganmu? Apakah Andika sakit?"

   Sutejo miringkan tubuhnya dan membuka matanya. Dalam keadaan setengah sadar, dia melihat seraut wajah yang menyeramkan dan sama sekali asing baginya, maka dia lalu mengeluarkan teriakan keras dan tiba-tiba tubuhnya mencelat ke atas dan langsung dia menghantam ke arah laki-laki tinggi besar seperti raksasa itu.

   "Ehhhh.....!"

   Bandupati terkejut bukan main melihat pemuda itu tiba-tiba meloncat dengan amat cepat dan sigap dan menyerangnya, apalagi ketika dia merasa betapa pukulan tangan pemuda itu didahului oleh angin yang berdesir tajam sekali. Cepat dia mengangkat lengannya menangkis.

   "Desss.....!"

   Tubuh Bandupati terpelanting jatuh bergulingan oleh pertemuan tenaga sakti yang dahsyat melalui kedua tangan itu.

   Melihat ini, Sariwuni depat meloncat untuk membantu kakaknya. Akan tetapi begitu Sutejo melihat munculnya Sariwuni, pemuda ini lalu menjadi lemas tubuhnya,menjatuhkan dirinya berlutut dan dengan sikap memelas dan suara penuh permohonan dia berkata.

   "Sulastri, pujaanku.......kau ampunilah aku, Sulastri.....!"

   Tentu saja Sariwuni menjadi terheran-heran, terbelalak memandang dan menghentikan langkahnya. Dia melihat betapa pemuda tampan itu mengulurkan kedua tangan kepadanya, seperti akan memeluknya, dengan mata memandang penuh kasih sayang, penuh kemesraan, penuh harapan dan kedukaan.

   "Sulastri.... aku bersalah.......ampunilah aku......"

   Kata pula Sutejo seperti orang yang hilang ingatan.

   Pada saat itu, Bandupati yang sudah bangkit dan menghampiri Sutejo dari belakang,cepat menggerakkan tangannya, memukul dengan tangan miring ke arah tengkuk Sutejo. Pemuda ini sedang terpesona oleh Sariwuni yang dalam pandangan matanya adalah Sulastri, maka dia sama sekali tidak mengelak maupun menangkis.

   "Dukkk!"

   Pukulan itu tepat mengenai tengkuknya dan Sutejo terguling roboh.

   "Jangan, Kakang! Jangan bunuh dia!"

   Sariwuni cepat berteriak ketika dia melihat kakaknya sudah hendak menghantam lagi ke arah tubuh yang sudah rebah pingsan itu.

   Bandupati menahan tangannya dan memandang kepada adiknya dengan heran.

   "Sari, dia berbahaya sekali. Kalau dia siuman, belum tentu kita akan dapat menandinginya. Serangannya tadi hebat bukan main, hampir tidak kuat aku menangkisnya."

   Bandupati memandang kepada tubuh yang tidak bergerak itu.

   "Lihat pukulanku yang hebat tadi pun hanya membuat dia pingsan, padahal jarang ada orang di dunia ini yang dapat menahannya, pukulanku tadi adalah pukulan maut. Sari, dia inilah satu di antara orang-orang sakti mandraguna seperti yang kita dengar dari dongeng. Banyak orang sakti seperti dia di Mojopahit. Sebaiknya dia dibunuh selagi pingsan....."

   "Jangan, Kakang. Jangan, aku". entah mengapa, aku suka padanya. Dan kurasa aku dapat menguasainya. Tidakkah engkau melihat betapa dia tadi berlutut kepadaku dan memandangku dengan penuh kasih sayang?"

   "Dia belum pernah mengenal kita. Sikapnya terhadapmu tadi menandakan bahwa dia telah kehilangan ingatannya."

   "Justeru karena itulah maka aku akan dapat menguasainya, Kakang. Dia menganggap aku sebagai seorang wanita bernama Sulastri yang agaknya amat dicintainya. Kakang, bukankah kita amat membutuhkan orang sakti mandraguna seperti dia? Kalau kita ajak dia ke Nusabarung dan kalau aku dapat menguasainya, bukankah berarti kita mempunyai seorang pembantu yang amat berguna? Ayah tentu akan senang pula memperolah seorang pembantu yang memiliki kesaktian seperti dia. Dan dengan menggunakan akar Lalijiwo yang tentu kau bawa pula sebagai bekal di antara obat dan racun lainnya, akan lebih mudah kita menguasainya, bukan?"

   Bandupati mengerutkan alisnya, akan tetapi seperti biasa, dia tidak dapat menolak keinginan hati adiknya.

   "Aku tahu, melihat betapa pemuda ini amat gagah dan tampan, tentu hatimu telah tercuri olehnya, bukan?"

   "Ah, Kakang Bandupati.....! Kau...."

   Wajah yang cantik itu menjadi merah dan dara itu tersenyum simpul.

   "Betapa pun juga, ada benarnya dalam omonganmu tadi, Sari. Memang tentu saja tenaga seperti dia amat berguna bagi kita, bagi kekuasaan Ayah. Apalagi mengingat akan ancaman dari Kadipaten Puger terhadap kita yang selalu ada. Memang kata-katamu tadi benar, kita sebaiknya menguasai orang ini sebagai pembantu kita."

   Bandupati lau cepat mengeluarkan bungkusan dan memilih obat bubuk berwana kuning.

   Setelah Sariwuni mencarikan airnya, bubukan itu dicampur dengan air lalu dengan paksa mereka cekokkan (masukkan) dalam mulut Sutejo yang terpaksa menelannya dalam keadaan setengah sadar. Ketika Sutejo siuman, dia membuka matanya dan mendaptkan dirinya rebah di atas rumput dan melihat wajah cantik itu berada di atasnya, sepasang mata yang bening itu memandangnya, dia berbisik.

   "Diajeng Sulastri.....!"

   "Kakangmas...."

   Wanita itu tersenyum dan berkata mesra. Melihat ini, Sutejo menjadi girang sekali dan dia bangkit duduk, kepalanya agak pening dan wanita itu membantunya dan merangkul pundaknya.

   "Diajeng, kau maafkan aku...?"

   Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   

   Tanyanya dengan suara gemetar.

   Wanita itu yang bukan lain adalah Sariwuni, tersenyum lebar dan mengangguk.

   "Tentu saja, Kakangmas. Aku girang sekali melihat Kakangmas telah sembuh dan sadar kembali..."

   Sutejo mengerutkan alisnya dan menggunakan kedua tangan untuk meraba-raba tengkuk dan kepalanya, lalu menggeleng-gelengkan kepala.

   "Apa yang terjadi? Di mana aku? Kepalaku pening dan aku lupa segala...., Diajeng Sulastri, apa yang telah tejadi dengan aku? Aku hanya ingat bahwa aku telah bersalah kepadamu...."

   "Sudahlah, Kakangmas. Aku tentu saja memaafkan segala kesalahanmu kepadaku. Engkau memang sakit dan aku merawatmu di sini. Apakah sekarang engkau ingin kembali? Ingatkah engkau siapa namamu, Kakangmas?"

   Sutejo termenung, mengingat-ingat, lalu enggeleng kepala.

   "Aku tidak ingat lagi,satu-satunya nama yang kuingat adalah namamu, Diajeng Sulastri......"

   Sariwuni memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik.

   "Coba kau ingat-ingat benar, Kakangmas, masa engkau tidak dapat ingat namamu sendiri? Setidaknya, coba ingat akan nama seorang pria."

   Kembali Sutejo termenung, kemudian tiba-tiba dia berseru.

   "Ah, aku ingat nama pria. Bromatmojo....!"

   "Itukah namamu?"

   Sutejo memandang bodoh.

   "Aku tidak tahu, tidak ingat lagi."

   "Satu-satunya nama pria yang kau ingat hanya Bromatmojo?"

   Dia mengangguk.

   Sariwuni berpikir. Dalam keadaan terpengaruh racun akar Lalijiwo, memang orang menjadi lupa segelanya, terhapus segala ingatannya, akan tetapi pemuda ini mengingat nama Bromatmojo. Siapa lagi kalau bukan namanya sendiri? Biasanya, nama sendiri yang paling dulu teringat atau yang sukar untuk terhapus dari ingatan.

   "Memang itulah namamu, Kakangmas Bromatmojo!"

   "Ahhh.....!"

   Sutejo mengangguk girang, lalu memandang wajah Sariwuni.

   "Diajeng, benar-benar kau memaafkan aku?"

   Sariwuni mengangguk.

   "Dan..... dan engkau masih cinta kepadaku, Diajeng Sulastri?"

   Tiba-tiba sepasang pipi itu menjadi merah sekali, akan tetapi sambil tersenyum Sariwuni mengangguk pula. Sutejo lalu merangkul dan menarik tubuh dara itu ke dadanya.

   "Diajeng....... betapa mulia hatimu, engkau sudi memaafkan aku dan bahkan masih mencintaiku. Hampir aku tidak dapat percaya karena aku berdosa besar kepadamu.........., maka harus kau buktikan bahwa engkau benar mencintaiku agar aku tidak ragu-ragu lagi, Diajeng...."

   "Bukti? Bukti bagaimana....?"

   Sariwuni agak menggigil dengan jantung berdebar ketika merasa betapa pemuda itu memeluk dan mendekapnya demikian mesra.

   "Bukti ini....!"

   Sutejo menunduk lalu mencium mulut Sariwuni dengan bibirnya, mencium dengan seluruh perasaan cintanya sehingga Sariwuni terkejut, gelagapan, akan tetapi akhirnya karena dia memang tertarik dan kagum sekali kepada pemuda itu, dia pun merasa bahagia sekali dan membalas ciuman Sutejo.

   "Terima kasih, Diajeng.... engkau benar masih cinta kepadaku...."

   Bisik Sutejo ketika bibir mereka saling berpisah. Sariwuni gelagapan, terengah-engah dan jantungnya berdebar, dadanya bergelombang,sampai lama dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata. Akhirnya dia melepaskan diri perlahan, lalu memandang pemuda yang telah menciumnya itu, pemuda yang secara tiba-tiba menjadi kekasihnya, dan dia merasa bahwa dia benar-benar jatuh cinta kepada pemuda ini!

   "Kakangmas Bromatmojo, coba katakan dosa apa yang Kau lakukan kepadaku."

   Nada suaranya itu seperti orang menguji.

   Sutejo mengerutkan alis mengingat-ingat, akan tetapi dia lalu menggeleng kepala dan menarik napas panjang.

   "Aku tidak ingat lagi, Diajeng, hanya aku tahu bahwa aku telah berdosa besar kepadamu."

   Sariwuni tertawa manis.

   "Kalau begitu, lebih baik dilupakan sama sekali saja. Engkau sudah tidak ada dosa apa pun kepadaku, Kakangmas. Kita saling mencinta,bukan? Nah, orang-orang yang saling mencinta tidak ada dosa satu sama kepada yang lain. Akan tetapi coba ingat, apakah engkau masih siapakah aku? Siapakah kekasihmu yang kau sebut Sulastri ini? Dari mana asalnya, anak siapa?"

   Sutejo menatap wajah yang cantik itu dan dia makin kagum. Wajah itu memang cantik sekali, kulit mukanya halus kemerahan, merah jambu yang amat mempesonakan, bibirnya merah, lebih merah daripada pipinya, sepasang matanya bersinar-sinar seperti sepasang bintang kejora. Siapa lagi kalau bukan kekasihnya yang bernama Sulastri?

   "Diajeng, jangan main-main!"

   Kata Sutejo sambil merangkul dan mengecup bibir itu dan dia merasa betapa bibir itu bergerak menyambut ciumannya.

   "Ehhh.....ahhh, nanti dulu, Kakangmas. Kau jawab dulu pertanyaanku tadi!"

   Sariwuni menarik diri dan melepaskan rangkulannya dengan sikap manja, matanya bersinar-sinar penuh kebahagaiaan kerena memang baru pertama kali ini dia merasakan kegembiraan dan kebahagiaan yang membuat jantungnya berdebar tegang. Baru pertama kali ini dia diciumi seorang pria sehebat itu, semesra itu!

   "Diajeng, jangan kau menggodaku,"

   Sutejo berkata lagi, jari-jari tangannya saling belit dengan jari tangan gadis itu dan jari-jari mereka terasa getaran-getaran hangat yang menjalar sampai ke sudut hati mereka.

   "Sudah terang bahwa engkau adalah Diajeng Sulastri, mengapa bertanya lagi? Dari mana asalmu dan anak siapa..... ini..... aku tidak tahu lagi, Diajeng. Akan tetapi pentingkah itu?"

   "Ah, Kakangmas, sungguh kasihan sekali engkau, engkau sampai lupa akan semua itu......"

   Akan tetapi pada saat itu, Sutejo tiba-tiba melepaskan diri dan meloncat berdiri, memandang dengan mata beringas kepada laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan brewok, siap untuk menyerang.

   "Eh, nanti dulu, Kakangmas Bromatmojo! Apa kau lupa? Dia adalah Kakang Bandupati,dia Kakakku, apakah kau tidak ingat kepadanya?"

   Teriak Sariwuni sambil memeluk pinggang Sutejo dari belakang. Sutejo mengerutkan alisnya, mengingat-ingat, akan tetapi dia menjadi makin bingung.

   "Kakakmu....?"

   Bandupati yang baru kembali memanggul bangkai seekor kijang yang dirobohkannya, melemparkan bangkai kijang itu ke atas tanah, lalu tertawa tergelak dan melangkah maju menghampiri mereka.

   "Ha-ha-ha, Adimas Bromatmojo! Lupakah engkau kepada Bandupati, calon kakak iparmu? Ha-ha-ha!"

   Sutejo makin bingung, akan tetapi mendengar ucapan itu, cepat dia memberi hormat. Kiranya raksasa muda yang gagah ini adalah kakak dari kekasihnya, Sulastri. Jantungnya berdebar mendengar betapa raksasa itu mengatakan "calon kakak iparmu". Dia menoleh kepada dara itu dan melihat dara itu juga memandangnya sambil tersenyum lebar dan mengerling indah.

   "Maafkan..... aku.... aku lupa semua...."

   Sutejo berkata gagap.

   Bandupati tertawa lagi.

   "Memang engkau baru saja sembuh dari sakit, Dimas. Tenaglah dan kau menurut saja dalam perawatan Adikku......eh, Sulastri ini."

   Bandupati segera menyeret kijangnya untuk dikuliti dan dipanggang dagingnya. Sariwuni mengajak Sutejo duduk di bawah pohon, menggandengnya dengan mesra. Mereka duduk berhimpit-himpitan di bawah pohon dan bicara dengan penuh kemesraan.

   "Kakangmas, kasihan sekali bahwa engkau telah lupa segala. Kau dengarkan baik-baik. Agaknya engkau lupa bahwa kekasihmu ini mempunyai dua nama. Namaku yang sesungguhnya adalah Sariwuni, akan tetapi agaknya engkau lupa dan yang teringat hanya nama aliasku saja, yaitu Sulastri."

   "Sariwuni......?"

   Sutejo mengingat-ingat, akan tetapi nama itu seperti asing baginya.

   "Kenapa namamu sampai dua, Diajeng?"

   Sariwuni tersenyum dan nampaklah deretan gigi kecil-kecil rapi, membuat Sutejo ingin memeluk dan menciuminya lagi, akan tetapi Sariwuni yang tidak tahan lagi mengalami kemesraan yang hampir membuatnya hampir pingsan itu, dengan kedua tangannya menolak dada Sutejo dengan halus. Selamanya belum pernah dia bermesraan dengan pria, dan pengalamannya tadi sungguh membuat jantungnya terasa hampir pecah.

   "Nanti dulu, Kakangmas. Dengarkan dulu semua keteranganku karena aku hendak membantumu mengingatkan segala tentang diriku. Aku mempunyai nama dua karena aku adalah seorang puteri Adipati."

   "Kau....? Puteri adipati....? Ah, ya tentu saja, engkau puteri Adipati, Diajeng," 

Sutejo berkata, kaget dan bingung, akan tetapi membenarkan penuturan itu karena dia tahu bahwa dia memang sudah lupa segalanya!

   "Agaknya engkau sudah lupa sama sekali akan keadaan diriku. Aku bernama Sariwuni,alias Sulastri yang kupergunakan dalam perjalanan keluar dari Nusabarung agar jangan dikenal orang. Akan tetapi setelah kita kini akan kembali ke Nusabarung,kau harus mulai menyebut namaku yang asli, yaitu Sariwuni."

   "Ah, tapi bagiku lebih manis nama Sulastri, Diajeng,"

   Kata Sutejo sambil membelai anak rambut yang melingkar-lingkar di tengkuk dara itu sehingga membuat semua bulu di tubuh dara itu meremang, geli dan nikmat.

   "Biarpun begitu, akan luculah kalau di Nusabarung orang mendengar engkau menyebutku dengan nama asing itu. Kau sebutlah aku Sariwuni, Kakangmas."

   "Baiklah, Diajeng Sariwuni. Nama apapun yang kaupakai, tetap manis bagiku,karena bagiku yang penting adalah orangnya, bukan namanya."

   "Kakangmas Bromatmojo, tentu engkau lupa tentang Nusabarung dan tentang Ayah Bundaku, bukan?"

   Sutejo menggeleng kepala.

   "Aku tidak ingat sama sekali."

   "Ayahku adalah Adipati Menak Dibyo, adipati di Nusabarung, sebuah pulau besar Laut Selatan. Orang tua kami hanya mempunyai dua orang anak, yaitu Kakang Bandupati dan aku."

   Sariwuni lalu menceritakan keadaan di Nusabarung, akan tetapi Sutejo hanya mendengarkan dengan setengah hati karena jari-jari tangan dan matanya lebih senang menjelajahi rambut di leher, lalu garis-garis dagu, pipi dan seluruh wajah yang cantik itu.

   Bandupati memanggang daging kijang dan tak lama kemudian mereka bertiga makan daging kijang, beramah-tamah dan sebentar saja Sutejo telah mulai merasa biasa dan tak canggung lagi. Dia menerima begitu saja bahwa memang dia bernama Bromatmojo, dan dia bertunangan dengan Sariwuni dan kini dia bersama Sariwuni dan Bandupati sedang melakukan perantauan meninggalkan Nusabarung, bahwa mereka di tengah jalan bertemu orang-orang jahat, bertanding dan dia terpukul kepalanya sehingga pingsan dan kehilangan ingatannya, bahwa mereka kini akan kembali ke Nusabarung dan bahwa dia harus menurut saja dan menyerahkan diri di bawah perawatan kekasihnya, Sariwuni. Semua ini dia dengar dari Sariwuni dan tentu saja dia hanya menurut saja. Dengan Sariwuni atau Sulastri di sampingnya, apa pun yang dikehendaki oleh kekasihnya itu, akan dia lakukan! Yang dia tahu hanyalah bahwa dia telah berdosa besar kepada Sulastri dan bahwa di sekarang harus menebus dosanya itu dengan menaati semua permintaan dara itu.

   Demikianlah, tanpa banyak kesukaran, Sariwuni dan Bandupati mengajak Sutejo yang mereka kenal sebagai Bromatmojo itu kembali ke Nusabarung. Racun akar Lalijiwo mengandung khasiat melupakan ingatan orang dan bekerja selama satu bulan, dan sebelum lewat sebulan, Sutejo selalu diberi minum racun ini oleh Sariwuni melalui minuman atau makanan sehingga pemuda itu tak pernah mengingat kembali keadaannya sendiri. Sutejo terheran-heran ketika dia dibawa naik perahu oleh kakak beradik itu, akan tetapi dia hanya menyesalkan diri sendiri yang kehilangan ingatan dan menaruh kepercayaan penuh kepada mereka, terutama sekali kepada Sariwuni yang amat dicintainya.

   Ketika mereka tiba di pualu Nusabarung, para atau anak buah pulau itu memandang dengan heran kepada Sutejo, akan tetapi tentu saja tidak ada yang berani bertanya kepada putera dan puteri adipati. Sesampainya di istana kedipaten Bandupati mendahului adiknya masuk dan dengan singkat dia menceritakan tentang pemuda yang bernama Bromatmojo itu kepada ayah bundanya, betapa pemuda itu adalah seorang satria Mojopahit yang amat sakti dan betapa adiknya, Sariwuni,jatuh cinta kepada pemuda itu.

   "Mereka saling mencintai, Kanjeng Romo, oleh karena itu, sebaiknya Diajeng Sariwuni dijodohkan dengan Bromatmojo."

   "Hemm, begitu mudahnya?"

   Adipati Menak Dibyo meraba jenggotnya. Adipati ini berusia lima puluh tahun lebih, tubuhnya tinggi besar seperti Bandupati dan wajahnya keren.

   "Aku harus melihatnya dulu dan dia harus diuji apakah benar-benar dia memiliki kesaktian. Aku harus melihat bukti bahwa calon mantuku bukanlah orang sembarangan."

   Lalu dia menoleh kepada isterinya, yaitu permaisurinya, Ibu kandung Bandupati dan berkata.

   "Yayi, harap suka menyuruh pelayan memanggil Ibunya Sariwuni menghadap".

   Permaisuri lalu memerintahkan dayang untuk memanggil selir adipati yang cantik,yaitu Ibu kandung Sariwuni dan tak lama kemudian muncullah seorang wanita yang usianya hampir enam puluh tahun, namun dia cantik jelita dan kelihatan masih muda. Dia menyembah dengan hormat lalu disuruh duduk di dekat permaisuri.

   Tak lama kemudian, Bandupati menjemput adiknya dan masuklah mereka bersama Sutejo yang kelihatan canggung dan bingung. Akan tetapi, dengan bisikan-bisikan Sariwuni yang memberi petunjuk, dia lalu bersama dua orang kakak beradik itu bersila, menyambah dengan hormat dan merasa kikuk sekali ketika tiga pasang mata memandangnya dengan penuh perhatian. Ibunya Sariwuni dan permaisuri segera merasa suka dan tertarik kepada pemuda yang halus gerak-geriknya dan tampan itu. Adipati Menak Dibyo sendiri sebagai seorang sakti, dapat melihat bahwa di balik kehalusan itu tersembunyi tenaga yang hebat, maka dia juga merasa kagum dan ingin sekali mencoba kehebatan pemuda yang katanya saling jatuh cinta dengan puterinya yang terkasih itu.

   Bandupati telah menceritakan kepada Ayah Bundanya bahwa pemuda itu, Bromatmojo, adalah seorang satria Mojopahit yang sudah tak berkeluarga lagi, hidup sebatangkara di tepi pantai Laut Selatan. Dan Sutejo juga sudah mendapatkan pesan dari kekasihnya bahwa dia adalah seorang yang hidup sebatangkara, dengan demikian tidak terjadi kejanggalan-kejanggalan ketika dia berhadapan dengan keluarga Adipati Nusabarung itu. Sang Adipati lalu cepat memerintahkan para jagoannya untuk menguji Sutejo di Alun-alun.

   "Mengapa aku harus bertanding dengan meraka?"

   Tanya Sutejo kepada Sariwuni ketika mereka mengundurkan diri setelah diberi tahu bahwa dia akan dipertandingkan dengan lima orang jagoan Nusabarung.

   "Kakangmas. Ayahku adalah seorang sakti. Oleh karena itu, tentu saja dia ingin memperolah mantu yang memiliki kepandaian paling tinggi di Nusabarung ini. Dan kau tahu, banyak sekali orang muda yang ingin meminangku. Olah karena itu,pertandingan ini dimaksudkan oleh Ayah agar mereka semua yang merasa penasaran karena aku memilihmu sebagai calonku, terbuka mata mereka bahwa engkau adalah orang yang paling sakti di Nusabarung ini."

   Sutejo mengerutkan alisnya. Sebenarnya dia tidak setuju dengan cara itu. Dia memang mencintai Sulastri atau Sariwuni, akan tetapi dia tidak ingin memperebutkan seorang gadis dengan menggunakan kekerasan.

   "Kita sudah saling mencintai, mengapa harus memperdulikan orang lain, Diajeng? Andaikata aku tidak sakti, apakah engkau akan tidak mencintaiku lagi?"

   Sariwuni merangkulnya dan merengek.

   "Kakangmas, apakah kau tidak mau menyenagkan haitku? Kalau engkau tidak berani maju, betapa mereka semua akan mengejek aku! Aku ingin membanggakan kekasihku yang gagah perkasa. Pula, aku adalah puteri adipati, tentu saja Ayah ingin memiliki mantu yang digdaya. Kakangmas, aku majulah dan menangkan pertandingan ini demi cintamu kepadaku. Kau akan membuat aku bangga sekali, Kakangmas. Sebaliknya, kalau kau tidak berani, aku akan malu sekali, bisa mati saking maluku!"

   Sutejo menarik napas panjang.

   "Hemm, siapakah lima orang itu, Diajeng?"

   "Mereka adalah lima jagoan Nusabarung yang disebut Lima Harimau Nusabarung. Mereka adalah senopati-senopati yang perkasa dan paling hebat adalah dua di antara mereka, Kakangmas. Engkau harus berhati-hati menghadapi mereka. Mereka adalah senopati-senopati dan merupakan orang-orang kepercayaan dari Kanjeng Romo Adipati dan tingkat kepandaian mereka hanya di bawah tingkat kesaktian Kanjeng Romo sendiri."

   "Apakah aku harus membunuh mereka?"

   Tanya Sutejo dengan nada suara kesal.

   "Jangan, Kakangmas. Mereka adalah pembantu-pembantu Kanjeng Romo, jadi bukan musuh kita. Mereka hanya bertindak sebagai penguji, akan tetapi tentu saja mereka berusaha untuk mengalahkanmu, kalau perlu membunuhmu. Kalau ada di antara mereka tewas dalam pertandingan itu, tentu tidak apa-apa dan sudah wajar. Hanya tentu saja Ayah akan merasa lebih kagum dan gembira kalau engkau bisa mengalahkan mereka tanpa membunuh mereka, Kakangmas. Dan aku minta agar engkau suka mengalahkan mereka tanpa membunuh, Kakangmas."

   Sutejo mengangguk-angguk.

   "Aku tahu, Diajeng. Engkau tentu tidak menghendaki aku membunuh orang tanpa dosa. Aku sendiri pun tidak mau membunuh orang. Akan tetapi seingatku....."

   Dia mengerutkan alisnya.

   "Bukankah kau sendiri memiliki kepandaian hebat, Diajeng?"

   Sariwuni memandang tajam dan dia menduga bahwa dara yang bernama Sulastri itu agaknya juga memiliki kesaktian. Akan tetapi karena tidak ada tanda-tanda bahwa pemuda itu sudah berubah dan mendapatkan kembali ingatannya, dia menjadi lega dan tersenyum.

   "Tentu saja aku mempunyai sedikit kemampuan yang tidak dapat dibandingkan denganmu, Kakangmas. Akan tetapi, lima orang itu lebih pandai daripada aku. Hanya aku memeringatkan kepadamu agar kau berhati-hati terhadap penggabungan tenaga mereka, Kakangmas. Mereka itu memiliki keistimewaan, yaitu dapat menggabungkan tenaga dengan saling berpegang tangan. Hati-hatilah kalau melihat mereka sudah saling bergandeng tangan."

   Sutejo mengangguk-angguk dan dengan hati besar dia lalu memasuki gelangang pertandingan yang sudah dipersiapkan di alun-alun. Di atas panggung nampak Adipati Menak Dibyo sendiri, didampingi Ibu kandung Bandupati dan Ibu kandung Sariwuni, duduk dengan wajah gembira seperti orang menonton pertunjukan yang menarik. Lingkaran telah dibuat di dekat bawah panggung, dan Bandupati yang mengatur tempat itu karena dialah yang bertugas menjadi wasit! Para ponggawa, pembesar-pembesar berkedudukan tinggi belaka di kadipaten atau kerajaan kecil Nusabarung, sudah berkumpul pula untuk menyaksikan kehebatan orang muda yang kabarnya menjadi calon suami Puteri Sariwuni. Banyak di antara mereka, terutama yang muda-muda dan yang belum berkeluarga, merasa iri dan ingin melihat sendiri apakah benar calon mantu adipati itu lebih hebat daripada mereka.

   Dan memang mereka harus mengakui bahwa tidak ada seorang pun di Nusabarung,kecuali mungkin Sang Adipati sendiri, yang akan mampu menandingi lima orang jagoan itu sekaligus. Bahkan Pangeran Bandupati sendiri, yang memiliki kesaktian cukup hebat, tidak akan mungkin dapat menandingi lima orang jagoan itu kalau mereka maju bersama mengeroyoknya. Lebih dari tiga puluh orang ponggawa hadir dan menonton, di samping banyak sekali penduduk yang kebetulan dapat meninggalkan pekerjaan mereka, semua memenuhi alun-alun dan berjejal di seputar lingkaran di bawah panggung.

   Dengan langkah tenang Sutejo memasuki lingkaran, disambut oleh Bandupati yang tersenyum ramah. Sutejo memberi hormat dengan sembah ke arah panggung dan disambut dengan tangan terangkat oleh Sang Adipati, sedangkan ibu Sariwuni tersenyum ramah karena ibu ini merasa suka kepada pemuda ini, merasa rela kalau anaknya menikah dengan pemuda Mojopahit ini. Daia sendiri berasal dari daratan utara, dari daratan Mojopahit dan semenjak kecil dia diculik oleh orang Nusabarung dan menjadi anak orang Nusabarung itu sampai kecantikannya menarik hati Sang Adipati dan dia diangkat menjadi selir. Maka, tentu saja dia akan merasa bahagia sekali kalau puterinya menjadi isteri satria Mojopahit, apalagi melihat pemuda itu memang tampan dan halus, tidak seperti para muda di Nusabarung yang sikap dan bicaranya kasar.

   Atas perintah Bandupati yang memberi isyarat dengan tangan, masuklah lima orang jagoan Nusa barung itu ke dalam lingkaran. Semua penonton menahan napas menyaksikan perbedaan antara satria Mojopahit itu dengan lima orang ini. Mereka adalah orang-orang yang tinggi besar, kelihatan kokoh kuat dan pemuda Mojopahit itu hanya setinggi pundak mereka! Akan tetapi, Sutejo merasa tenang dan lega ketika melihat calon-calon lawannya. Mereka itu boleh jadi bertubuh tinggi besar dan kelihatan kokoh kuat bertenaga, namun jelas bahwa mereka itu hanya orang-orang yang mengandalkan kekuatan otot-otot belaka, tidak memiliki kedigdayaan yang tersembunyi di balik kulit tubuh yang halus. Andaikata yang muncul itu adalah orang-orang yang kelihatan lemah, tentu Sutejo akan menjadi lebih waspada dan hati-hati.

   "Dimas Bromatmojo,"

   Kata Bandupati.

   "Atas kehendak Kanjeng Romo, Andika harus menghadapi pengeroyokan lima orang jagoan kami ini. Mereka akan berusaha sungguh-sungguh untuk mengalahkah Andika, Dimas, maka berhati-hatilah."

   Sutejo mengangguk dan berkata.

   "Kakangmas Bandupati, apakah yang menjadi tanda bagi pihak yang kalah?"

   "Pertama, kalau sampai terlempar keluar dari lingkaran dapat berarti kalah. Ke dua, kalau sampai terluka dan tidak dapat melawan lagi, dan ke tiga, tentu saja kalau menggeletak tak bernyawa lagi. Dan andaikata Andika terluka atau tewas dalam ujian ini, mereka tidak akan dipersalahkan karena wajarlah kalau terluka atau tewas dalam pertandingan adu kedigdayaan ini, Dimas. Oleh karena itu, kalau Andika merasa tidak kuat melawan sebaiknya meloncat keluar dari lingkaran."

   Sutejo mangangguk-angguk, lalu berkata.

   "Aku sudah mengerti dan silakan dimulai!"

   Bandupati memberi tanda dan oangeran ini lalu melangkah keluar dari lingkaran yang dibuat dengan lawe merah itu. Dia berdiri di luar lingkaran untuk mengamati jalannya pertandingan. Dengan tenang Sutejo berdiri menghadapi lima orang lawannya. Kedua kakinya terpentang lebar, kedua tangannya tergantung di kanan kiri tubuhnya tergantung lepas namun setiap lebar syarat berdenyut-denyut penuh perasaan, siap untuk menggerakkan semua anggota tubuh untuk melindungi diri dan menyerang. Sutejo memang telah kehilangan ingatannya, telah lupa nama sendiri dan lupa segala,akan tetapi kesaktiannya yang dipejarinya sejak dahulu, telah mendarah daging pada dirinya sehingga ilmu ini sama halnya dengan kalau dia berjalan, bicara dan lain pergerakan lagi, sudah secara otomatis tanpa menggunakan ingatan lagi. Tentu saja dia sudah lupa akan nama-nama ilmu itu, sungguhpun ingat, menggerakkan dan mengerahkan secara otomatis pula.

   Lima orang raksasa itu tidak memandang rendah lawan mereka. Sebagai senopati-senopati yang sudah banyak pengalaman, mereka mengenal kedigdayaan, mereka mengenal kedigdayaan orang-orang daratan utara yang biarpun kecil kelihatan lemah, namun memiliki kesaktian luar biasa. Sudah sering mereka bertemu dengan orang-orang seperti itu, maka kini menghadapi Sutejo, mereka tidak berani memandang rendah. Melihat pemuda itu sudah berdiri siap, lima orang jagoan ini lalu bergerak mengepungnya, dua orang di depannya, dan yang tiga orang di kanan kiri belakangnya. Sutejo sama sekali tidak bergerak, hanya bola matanya saja yang bergerak melirik ke kanan kiri sedangkan gerakan orang yang berada di belakangnya dia ikuti dengan pendengarannya.

   Tiba-tiba dua orang yang di depannya membentak nyaring dengan suara gerengan seperti harimau dan bentakan itu agaknya merupakan aba-aba bagi kawan-kawannya karena serentak mereka itu menerjang ke depan, menyerang Sutejo dari empat penjuru. Namun pemuda itu sudah siap. Dia maklum bahwa dalam keadaan terkurung,kalau lima orang pengeroyok itu malakukan sergapan secara mendadak dan berbareng,sukar baginya untuk melindungi dirinya, maka cepat dia menggenjotkan kedua kakinya ke atas tanah dan pada saat lima orang lawannya bergerak menyergapnya, tubuhnya sudah mencelat ke atas seperti kilat menyambar cepatnya dan tahu-tahu dia sudah berjungkir balik ke belakang dan turun di luar kepungan itu!

   "Ehhh......?"

   

   "Ahhhh.....!!"

   

   "Mana dia.....?"

   Lima orang raksasa itu hampir saja saling bertumbukan dan mereka terkejut karena pemuda yang mereka keroyok itu tiba-tiba lenyap. Demikian cepatnya gerakan Sutejo tadi ketika meloncat sehingga yang nampak oleh mereka hanya bayangan berkelebat dan tahu-tahu orangnya sudah lenyap. Tentu saja orang yang tadi berada di depan Sutejo, kini melihat pemuda itu yang telah berdiri di belakang pengeroyok yang tadi menyerangnya dari belakang, maka mereka berdua cepat menerjang diikuti oleh tiga orang kawan mereka. Melihat mereka berlima kini menyerbu dari depan semua dan tentu saja tidak mingkin bagi mereka untuk melakukan serangan secara berbareng, mulailah Sutejo menggerkkan kaki tangannya, mengelak, menangkis dan membalas serangan mereka dengan temparan-tamparan dan tendangan-tendangan yang terkendali tenaganya karena dia tidak ingin membunuh mereka.

   Terdengar suara plak-plak-buk yang cukup keras ketika tamparan-tamparan dan tendangan-tendangannya yang dilakukan dengan kecepatan kilat itu mengenai sasaran. Kecepatan pemuda itu tak dapat ditandingi oleh lima orang jagoan yang saking besarnya tidak mampu bergerak gesit itu, dan biarpun Sutejo telah mengendalikan tenaganya dan tidak menggunakan seluruh kesaktiannya, namun tamparan-tamparan itu cukup untuk membuat pingsan seorang lawan yang tangguh.

   Akan tetapi lima orang itu hanya terpelanting saja dan dengan cekatan mereka sudah meloncat bangkit kembali karena tamparan dan tendangan itu hanya membuat mereka pening sebentar dan kini mereka sudah mengamuk lagi, menyerang Sutejo kalang-kabut seperti harimau-harimau buas. Serangan mereka dibarengi gerengan-gerengan menyeramkan.

   Sutejo terkejut juga. Baru dia tahu bahwa lima orang lawannya itu memiliki kekebalan yang cukup kuat. Kini penyerangan mereka yang dahsyat, ganas dan membabi buta itu membuat dia agak kewalahan. Terpaksa dia mengelak dan mengandalkan kecepatan gerakannya, menyelinap di antara mereka sambil manangkis dan mengelak, namun selalu manjaga agar jangan sampai dia terdesak keluar dari lingkaran yang ditandai lawe merah. Hebatnya, lima orang itu terus mendesaknya,bahkan ada yang menggunakan cara berguling-guling di atas tanah untuk mengejarnya dan lengan-lengan mereka yang berbulu dan panjang itu menyambar dari bawah untuk menangkap kakinya, tentu dengan maksud diseret atau dibanting dan dilempar keluar dari lingkaran!

   Tiba-tiba dua orang di antara mereka mendapat kesempatan untuk menubruk Sutejo dari depan. Dengan kedua lengan dikembangkan, kedua tangan membentuk cakar harimau, mereka menubruk dari kanan kiri secara berbareng. Sutejo tidak dapat mengelak ke belakang karena di belakangnya, hanya dalam jarak dua meter,terdapat lingkaran dan kalau dia meloncat ke belakang, ada bahayanya, dia keluar dari ringkaran dan dianggap kalah. Kanan dan kiri sudah terjaga oleh dua orang lawan pula. Maka dia menggunakan kecepatanya pula, mendahului penyerang yang datang dari kanan dengan tendangan kakinya, sedangkan kedua tangannya menyambut kedua lengan penyerang dari kiri, lalu tubuhnya diputar miring dan dengan pengerahan tenaga dia membanting penyerang itu ke samping.

   "Dukk!"

   Bresss....!!"

   Dua orang raksasa itu mengeluh, yang seorang memegangi perutnya yang tertendang, sedangkan yang dibanting itu bangkit duduk dan menggoyang-goyangkan kepala karena dunia berpusing di depan matanya! Namun, tiga orang yang lain sudah menyerang lagi sehingga Sutejo kembali sudah berloncatan dan mengelak ke sana-sini dengan sigapnya, kemudian dia pun membalas dengan tamparan berturut-turut,sekali ini menambahi tenaganya dan tiga orang itu terpelanting pula dan mengaduh-aduh. Tamparan tangan Sutejo terasa panas sekali bagi mereka.

   "Aarrgghhhhh.....!!"

   Seorang di antara mereka meloncat dan mengeluarkan gerengan hebat yang seolah-olah menggetarkan bumi yang berada di sekitar tempat pertandingan itu. Dan agaknya gerengan ini pun merupakan aba-aba bagi kawan-kawannya karena kini mereka menggunakan sebelah lengan untuk saling merangkul pinggang dan dengan cara demikian, mereka berlima begerak maju, sebelah lengan lagi dilonjorkan dan tangan mereka disatukan di depan dengan telapak tangan dibuka dan diarahkan kepada Sutejo. Lima buah tangan yang besar siap untuk mendorong pemuda itu dengan kekuatan dahsyat yang dipersatukan.

   Sutejo merasa heran sekali melihat cara mereka menghadapinya. Dia tidak merasa gentar karena dengan cara maju bersama seperti itu, dia tidak perlu lagi menjaga diri dari serangan kanan kiri maupun belakang, maka dia pun melangkah maju memapaki dan ketika lima buah tangan itu bergerak mendorongnya, dia mengelak sedikit saja dan menggerakkan lengannya menangkis.

   "Desss.....!"

   Hampir Sutejo berteriak saking kagetnya karena tiba-tiba dia terpelanting! Para penonton yang menjagoi lima orang itu kini untuk pertama kalinya tersenyum.

   Mereka sudah datang lagi, dengan saling rangkul dan melangkah maju berbareng seperti seekor kelabang yang aneh, sebelah lengan mereka diluruskan dengan tangan menjadi satu, menghampiri Sutejo, agaknya hendak mendorong pemuda itu atau memaksanya keluar dari lingkaran. Sutejo melirik ke arah panggung di mana duduk pula Sariwuni di samping ayah bundanya. Gadis itu memandang dengan mata terbelalak. Teringatlah Sutejo akan peringatan dara yang dikenalnya sebagai Sulastri atau Sariwuni itu, tentang lima orang yang dapat menyatukan tenaga. Dia merasa penasaran. Memang dirasakannya ketika bertemu dengan tangan mereka tadi dalam tangkisannya, betapa dari tangan itu mengalir keluar tenaga yang amat kuat dan yang membuatnya terpelanting. Akan tetapi, hal itu hanya dapat terjadi karena di sama sekali tidak menduganya sehingga dia terkejut dan tidak siap sebelumnya. Kalau dia mengerahkan tenaga kesaktiannya, belum tentu dia kalah.

   Melihat lima orang itu sudah maju lagi dengan sikap mengancam, Sutejo juga melangkah maju menyambut dan mengerahkan aji kesaktiannya yang amat hebat, yaitu Aji Kolo Cokro. Ketika dia menggosok kedua tangannya, dari kedua telapak tangannya mengepul uap! Kemudian dia menghadapi para musuhnya dengan kedua kaki terpentang dan segera menyambut tangan-tangan lima orang yang disatukan itu dengan kedua tangannya yang mengepulkan uap.

   "Plak! Plak!"

   Dua telapak tangannya bertemu dengan dua telapak tangan lawan yang dibantu oleh tiga telapak tangan lain itu. Kembali dia merasa betapa dari telapak tangan mereka menyambar tenaga dahsyat, namun sekali ini dia sudah siap dan cepat dia mengerahkan tenaganya untuk menentang.

   Terjadi dorong-dorong dan biarpun tidak nampak oleh mata, namun semua orang tahu bahwa sekarang telah terjadi adu tenaga sakti yang amat hebat. Sutejo mendapat kenyataan bahwa lima orang itu memang benar hebat sekali setelah menyatukan tenaga mereka! Dia merasa betapa tenaga saktinya bertemu dengan tenaga yang kokoh kuat seperti gunung karang, dan dorongan yang amat hebat yang menghimpitnya itu, namun dia maklum bahwa menggunakan kekuatan untuk memaksa mereka mundur kiranya merupakan hal yang amat sukar. Tentu saja dia dapat membagi tenaganya dan menggunakan tangan kirinya mengirim pukulan kepada mereka,akan tetapi hal itu akan berbahaya sekali bagi mereka, mungkin dapat menewaskan dan dia tidak ingin membunuh seorang pun di antara mereka.

   Sutejo mencari akal, tidak seperti lima orang itu yang mati-matian mengandalkan kekuatan mereka untuk bertahan dan untuk menang. Mereka diam-diam juga terkejut sekali ketika merasa betapa telapak tangan mereka amat panas dan betapa tenaga mereka bertemu dengan tenaga mujijat yang keluar dari telap tangan pemuda itu. Namun mereka merasa penasaran dan tidak percaya kalau mereka akan kalah kuat, maka mereka mengerahkan pula seluruh tenaga mereka untuk mendorong.

   Tiba-tiba Sutejo menggerakkan jari-jari tangannya dan kalau tadi mereka beradu telapak tangan, kini bagaikan dua ekor ular, kedua lengan Sutejo meluncur dan kedua tangannya menangkap pergelangan tangan orang pertama, mulutnya mengeluarkan bentakan nyaring dan menggetarkan jantung, tubuhnya merendah lalu kakinya bergerak sehingga tubuhnya miring dan kedua tangannya yang tadi mendorong dan mempertahankan, secara tiba-tiba sekali berubah menjadi daya tarik dengan betotan mendadak dan amat kuat.

   Lima orang itu sedang mengerahkan seluruh tenaga mereka mendorong, maka ketika kini tidak ada perlawanan yang menentang tenaga dorong mereka, bahkan Sutejo menggunakan kekuatan sakti untuk membetot, tanpa dapat dicegah lagi tubuh mereka tertarik ke depan! Sutejo menyentakkan dan melepaskan pegangannya dan..... seperti daun-daun kering tertiup angin, dan mengeluarkan suara seperti bata runtuh, lima orang itu terdorong ke depan dan roboh tunggang-langgang keluar dari lingkaran lawe merah yang menjadi putus keterjang tubuh mereka!

   Tepuk tangan nyaring dari atas panggung memecahkan kesunyian dan ketegangan yang mengikuti robohnya lima orang itu. Tepuk tangan Sariwuni memancing tepuk tangan dan sorak-sorai semua orang yang menyatakan kekagumannya kepada Sutejo yang merak kenal sebagai Raden Bromatmojo! Lima orang itu merangkak bangun, mengaduh-aduh karena baru sekarang mereka melihat betapa lengan tangan mereka merah sekali dan bengkak-bengkak akibat pengaruh Aji Kolo Cokro yang amat panas. Pangeran Bandupati menghampiri Sutejo dan menyatakan kemenangan pemuda ini dengan mengangkat lengan pemuda ini ke atas yang pula oleh sorak-sorai para penonton.

   Adipati Menak Dibyo girang bukan main, girang dan kagum. Diam-diam dia mengakui bahwa agaknya di sendiri belum tentu akan mampu menandingi pemuda itu. Dengan adanya pemuda seperti ini di sampingnya, apalagi sebagai mantunya, tentu dia tidak takut lagi menghadapi musuh-musuh sakti. Terbayang sudah di depan matanya betapa dia akan dapat membasmi musuh besarnya, yaitu Kadipaten Puger di seberang!

   Demikianlah, pertunangan antara Raden Baromatmojo dan Puteri Sariwuni diumumkan,dan semenjak hari itu, Sutejo hidup sebagai Raden Bromatmojo dan calon mantu adipati, dan dia masih belum ingat akan keadaannya sebelum dia bertemu dengan Sariwuni dan sebelum lewat setengah bulan, Sariwuni tidak pernah lupa untuk mencampurkan akar Lalijiwo dalam hidangan tunangannya.

   Kita tinggalkan dulu Sutejo yang seolah-olah hidup sebagai seorang manusia baru dengan nama Raden Bromatmojo, dan satu-satunya orang yang masih diingatnya adalah Sulastri yang ditemukan dalam diri Sariwuni, dan bahwa dia mencintai Sulastri, bahwa dia bersalah terhadap Sulastri dan dia harus menaati semua kehendak Sulastri untuk menebus dosanya. Baru sekarang dia "tahu"

   Bahwa Sulastri juga bernama Sariwuni, puteri Adipati Nusabarung! Mari kita mengikuti perjalanan Sulastri yang asli, atau Bromatmojo yang tulen.

   Dengan muka agak pucat, wajah muram dan mata merah karena banyak menangis, tubuh agak kurus karena kurang tidur dan kurang makan, Sulastri melakukan perjalanan seorang diri ke selatan, menuju ke Kadipaten Puger untuk menyusul dan menolong dua orang sahabatnya yang tertawan, yaitu Joko Handoko dan Roro Kartiko. Perjalanan ini amat melelahkan dan amat sukar melaui pegunungan kapur yang memanjang dari timur ke barat, memalui hutan-hutan liar yang penuh pohon-pohon raksasa dan semak-semak belukar.

   Kalau teringat kepada Sutejo, bermacam perasaan menyakitkan hatinya. Dia mencinta Sutejo, dan hatinya sakit karena duka bahwa dia terpaksa harus berpisah dari pria yang dicintainya itu. Penyesalan dan kekecewaan memenuhi hatinya ketika teringat betapa Sutejo telah diperalat oleh Mahapati sehingga pemuda itu sampai hati untuk membantu Mahapati menyebabkan kematian gurunya. Padahal,gurunya yang pertama, Ki Jembros, juga tewas di tangan Mahapati yang mengeroyoknya. Kini Gurunya ke dua yang amat disayangnya pula, Empu Supamandrangi, juga mati di tangan orang-orang Mahapati. Dan Sutejo mambantu Mahapati! Hal ini amat menyakitkan hatinya.

   Akan tetapi ketika dia tiba di tepi daerah Kadipaten Puger, melihat penduduk dusun-dusun yang termasuk wilayah Puger, dia melupakan penderitaan batinnya sendiri karena perhatiannya kini tertuju untuk menyelamatkan Joko Handoko dan Roro Kartiko. Bagaimanakah keadaan mereka, pikirnya. Bagaimanakah sesungguhnya keadaan kakak beradik yang telah tertawan oleh dua orang kakak beradik kembar dari Puger itu? Seperti telah kita ketahui, Joko Handoko dan Roro Kartiko, juga tujuh orang anggota Sriti Kencana, semua tertawan oleh pasukan ang dipimpin oleh Murwendo dan Murwanti, kakak beradik kembar dari Puger itu.

   Mereka itu tergila-gila kepada Joko Handoko dan Roro Kartiko dan setelah berhasil manawan dua orang muda ini dan tujuh orang wanita anggota Sriti Kencana, Murwendo dan Murwanti lalu bergegas pulang ke selatan, ke Kadipaten Puger yang terletak di pantai Laut Selatan. Setelah pasukan tiba di Puger, Murwendo dan Murwanti langsung membawa tawanan mereka ke dalam istana kadipeten, menghadap ayah mereka dengan wajah berseri. Mereka menurunkan tubuh tawanan yang mereka panggul itu ke atas lantai dalam keadaan terbelenggu, lalu berlutut menyembah kepada ayah dan ibu mereka.

   Raja di Puger, memandang dengan mata terbelalak kepada kedua orang anaknya,demikian pula permaisurinya. Raja ini usianya sudah enam puluh tahun, rambutnya putih dan gerak-geriknya halus. Permaisurinya berusia empat puluh lima tahun, masih cantik jelita dan seperti juga suaminya, wanita ini halus gerak-geriknya. Para pengawal dan pelayan yang berada di ruangan itu juga memandang dengan terheran-heran ketika putera dan puteri raja itu datang memanggul seorang dara dan seorang pemuda yang cantik dan tampan. Sang Prabu Bandardento, Raja Puger itu, sudah mengenal keadaan putera-puterinya.

   Raja yang cukup bijaksana ini maklum bahwa ada sesuatu yang tidak wajar pada dua orang anak kembar ini. Melihat kedatangan mereka membawa tawanan, Sang Prabu lalu cepat memberi isyarat kepada semua pengawal dan pelayan untuk meninggalkan ruangan itu. Para pengawal dan pelayan menyembah dan cepat keluar dari situ, meninggalkan Sang Prabu dan permaisurinya berdua saja menghadapi Murwendo, Murwanti dan dua orang tawanan itu. Setelah semua orang pergi, barulah Sang Prabu bangkit dari kursinya.

   "Apa artinya ini? Darimana kalian berdua dan siapa yang kalian bawa sebagai tawanan ini?"

   Di dalam suaranya Sang Prabu Bandardento terkandung kemarahan dan teguran.

   "Kanjeng Romo, ini adalah Roro Kartiko, calon mantu Paduka,"

   Kata Murwendo.

   "Dan ini adalah Joko Handoko, juga calon mantu Paduka, Kanjeng Romo dan Kanjeng Ibu,"

   Sambung Murwanti sambil meraba pundak Joko Handoko yang rebah miring dan tidak mampu bergerak karena kaki tangannya terbelenggu. Sang Prabu saling pandang dengan permaisurinya, alisnya berkerut dan jantungnya terasa perih. Kedua orang anak kembarnya itu sudah mendekati kegilaan, pikirnya. Sakit sekali perasaannya kalau diingat. Dia tidak pernah mempunyai keturunan.

   Permaisurinya yang belasan orang selirnya tidak pernah ada yang mempunyai keturunan. Hanya seorang selir saja yang mempunyai keturunan, yaitu melahirkan anak kembar ini! Akan tetapi, selir itu meninggal dunia ketika melahirkan Si Kembar ini, dan Sang Prabu tahu bahwa anak kembar ini bukanlah keturunannya! Si kembar ini lahir karena selir itu mengadakan hubungan rahasia, berzina dengan seorang juru taman. Seorang yang rendah dan hina! Namun, untuk menjaga kehormatan, diam-diam Sang Prabu menyuruh pengawal membunuh juru taman itu. Kini pembuat aib itu, baik yang wanita maupun pria, telah mati semua hingga dia dapat menerima Si Kembar sebagai anaknya!

   Betapa dia sayang kepada dua orang anak kembar itu karena Sang Prabu tidak pernah dapat menikmati perasaan seorang ayah. Dilupakannya kenyataan bahwa Si Kembar itu bukan darah dagingnya. Disayang dan dimanja oleh Sang Prabu,permaisuri dan semua selir, dua orang kembar

   



    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KERIS MAUT

PENDEKAR GUNUNG LAWU

KEMELUT DI MAJAPAHIT