KEMELUT DI MAJAPAHIT JILID 25
Pertempuran menjadi makin seru ketka Sulastri dikeroyok dua oleh Harwojo dan Padas Gunung. Namun dara perkasa ini tidak menjadi jerih. Sebaliknya malah,melihat betapa teman-temannya tertawan, dia menjadi marah sekali dan dicabutnyalah sebatang keris pemberian Adipati Lumajang. Maka mengamuklah Sulastri, dari mulutnya terdengar bentakan-bentakan nyaring dan gerakannya makin cepat sehingga biar pun dia dikeroyok dua namun tetap saja dia masih mampu mendesak Harwojo, bahkan pada suatu saat yang baik, tamparan tangan kirinya yang menyerempet bahu Padas Gunung membuat tokoh Puger terhuyung ke belakang dengan muka pucat.
"Trik-trik-sringgg.....!!"
Bunga api berpijar ketika berkali-kali keris di tangan Sulastri bertemu dengan keris di tangan Harwojo yang menangkisnya. Pada saat itu, Padas Gunung yang menjadi marah telah menerjang lagi, sulingnya mengeluarkan bunyi mendesing ketika menyambar ke arah leher Sulastri. Gadis ini terkejut karena serangan yang datang dari samping itu cepat dan berbahaya sekali, maka dia menjatuhkan diri ke kanan, kakinya menendang untuk mencegah lawan mendesaknya. Akan tetapi pada saat itu, ada bayangan hitam yang lebar menyambar dan lain saat tubuh Sulastri telah tertutup oleh sehelai jala yang berwarna hitam. Jala ini dilepas oleh Pragalbo,laki-laki bermuka hitam, tokoh ke dua dari Puger. Pragalbo turun tangan membantu setelah diperintah oleh Murwendo pula yang melihat betapa hebatnya Sulastri biarpun sudah dikeroyok oleh dua orang namun masih tetap mengamuk dan membuat Padas Gunung terhuyung itu.
"Ihhhhh.....!!"
Sulastri membentak dan biarpun tubuhnya diselimuti jala itu, dia meronta dan kakinya menendang dari dalam jala.
"Desss......!!"
Pragalbo terpaksa mundur karena tendangan itu berbahaya sekali,dan Harwojo cepat menghantam dari belakang, menggunakan tangan kirinya, mengarah tengkuk Sulastri.
"Plakkk! Heiiiiittt....!!"
Sulastri berhasil mengkis pukulan itu dengan tangan kirinya sambil membalik, namun gerakannya terhalang oleh jala sehingga tetap saja pundaknya kena terpukul. Dia terhuyung dan menggunakan kerisnya untuk membabat jala. Akan tetapi pada saat itu, jala ke dua dilempar ke atas tubuhnya.
Sulastri meloncat namun kakinya terlibat jala dan ketika Pragalbo menarik tali jala dengan sentakan keras, tak dapat dicegah lagi tubuh dara itu terguling dan diringkus oleh jala. Harwojo menubruknya dan menekuk kedua lengan gadis itu ke belakang lalu membelenggunya, demikian pula Padas Gunung cepat mengikat kedua kaki Sulastri. Dara itu tidak dapat meronta lagi, seperti seekor harimau yang sudah terjebak di dalam jala dengan kaki tangan teringkus dan terbelenggu.
"Pengkhianat! Keparat-keparat berhati palsu! Jahanam.....!"
Sulastri memaki-maki,akan tetapi tidak mereka tidak memperdulikannya.
"Murwendo dan Murwanti, harap jangan melupakan janji kalian,"
Kata Harwojo kepada dua orang kakak beradik kembar itu.
"Jangan khawatir, Harwojo,"
Jawab Murwendo.
"Dan sekarang kami akan membawa mereka ke Puger."
"Pergilah, akan tetapi seperti yang kalian janjikan, kalian tidak boleh sekali-kali menyia-nyiakan mereka! Ingat, aku yang membantu kalian mencapai apa yang kalian idam-idamkan."
"Ha-ha-ha, perlukah engkau bertanya lagi? Kami berdua amat cinta kepada mereka. Dan bagaimana dengan dia? Akan kami bawa sajalah dia itu bersama ke Puger?"
Murwendo menunjuk ke arah Sulastri yang masih rebah terbelenggu di dalam jala.
Harwojo menggeleng kepala.
"Dia tidak masuk dalam perjanjian kita. Serahkan saja dia kepadaku."
"Hik-hik, agaknya engkau pun tidak mau ketinggalan dari kami, Harwojo. Selamat menikmati...."
"Ha-ha-ha, dia memang cantik jelita dan......"
"Cukup! Jangan kalian bicara yang bukan-bukan! Pergilah!"
Harwojo tiba-tiba menghardik dan dua orang kakak beradik kembar itu sambil tertawa-tawa lalu masing-masing memanggul tubuh Joko Handoko dan Roro Kartiko, meloncat ke atas punggung kuda yang sudah dipersiapkan oleh orang-orangnya dan tak lama kemudian,pergilah dua orang saudara kembar itu membawa semua tawanannya, diiringkan oleh pasukan yang dipimpin oleh Padas Gunung dan Pragalbo. Harwojo memandang mereka sampai mereka itu lenyap dan hanya meninggalkan debu yang memenuhi hutan yang mulai gelap itu. Kemudian dia duduk di atas rumput dekat Sulastri yang masih meringkuk dalam keadaan tak berdaya di dalam jala.
"Harwojo manusia keparat!"
Sulastri memaki dengan marah.
"Engkau curang, licik dan tak tahu malu! Hayo kau bebaskan aku dan kita boleh bertanding sampai salah seorang di antara kita mengeletak tanpa nyawa di sini kalau engkau memang jantan sejati! Atau kalau tidak, kau boleh cabut kerismu dan bunuh aku sekarang, dan aku kan mati sambil mengenangmu sebagai seorang manusia pengecut yang hina-dina!"
Harwojo menghadapi maki-makian Sulastri dengan tenang saja, hanya menarik menarik napas panjang dua tiga kali dan mengerling ke arah gadis itu dengan sikap tak acuh. Kemudian dia berkata setelah gadis itu dengan memaki-maki lagi.
"Sulastri, kalau aku tidak sayang kepadamu, apa kau kira saat ini engkau masih hidup?"
"Jahanam besar! Siapa yang haus akan sayangmu? Siapa yang takut mati? Kau mau bunuh aku lekas bunuh, aku tidak sudi minta-minta belas kasihanmu, pengkhianat keji!"
Harwojo menggeleng-geleng kepalanya.
"Engkau memang memiliki ilmu kepandaian tinggi, sungguh mengagumkan sekali bagi seorang wanita semuda engkau. Akan tetapi engkau masih muda, keras hati dan keras kepala, ceroboh dan nekat."
"Dan engkau seorang penjahat yang berhati palsu, laki-laki mata keranjang dan busuk!"
Alis pemuda itu berkerut dan ia cepat menoleh kepada gadis itu.
"Hemm, jangan samakan aku dengan orang macam Murwendo tadi! Jangan kira aku sayang kepadamu karena engkau seorang perawan cantik! Sama sekali tidak! Aku sayang padamu melihat kepandaianmu karena engkau akan menjadi seorang yang berguna bagi Mojopahit. Namun engkau telah tersesat, menghambakan diri kepada Lumajang,kepada sarang pemberontak."
"Dan kau sendiri? Phuh, muak aku mendengarnya!"
"Engkau memang bodoh akan tetapi keminter (berlagak pinter)! Aku adalah utusan Gusti Ratu dan Gusti Pangeran di Mojopahit, aku menyamar sebagai seorang peserta sayembara, untuk menyelidiki Lumajang, untuk mencari Kolonadah."
"Hemm.....dan kau menjerumuskan Joko Handoko dan Roro Kartiko ke dalam jurang kecelakaan, dan engkau menangkap aku.....!"
"Tentu saja. Tugasku untuk menghancurkan kekuatan yang mendukung Lumajang. Dan Joko Handoko bersama adiknya adalah pelarian-pelarian Mojopahit, anak-anak dari Progodigdoyo. Masih baik aku tidak membunuh mereka, dan aku melihat nasib mereka tidak akan sengsara di Puger sana. Dan kau.... hemm, aku hanya ingin agar engkau sadar daripada kesesatanmu, dan marilah kau ikut denganku ke Mojopahit,menghambakan diri kepada Mojopahit sehingga tidak akan percuma engkau selama ini mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi."
"Tak usah kau pura-pura baik. Bebaskan aku dan mari kita bertanding secara jujur, ingin kulihat sampai di mana kedigdayaanmu, Harwojo!"
Pada saat itu, sebelum Harwojo sempat menjawab, terdengar suara nyaring.
"Adi Bromo, aku datang membantumu!"
"Kakang Tejo....!"
Harwojo sudah meloncat berdiri akan tetapi dia harus cepat membuang diri ke samping karena Sutejo telah menerjang dengan dahsyat. Harwojo membalik dan balas memukul, ditangkis oleh Sutejo dan terjadilah perkelahian yang hebat antara dua orang pemuda yang sama tangkas dan sama digdaya ini. Pukul memukul terjadi,tendang-menendang dan tampar-menampar, masing-masing mengeluarkan aji kesaktian mereka, desak-mendesak dan saling berusaha untuk merobohkan lawan. Sementara itu, malam mulai menggulung hutan itu dalam kegelapan. Namun mereka yang berkelahi tidak menghiraukan kegelapan dan biarpun pandang mata mereka tidak lagi dapat diandalkan dalam perkelahian itu, mereka yang merupakan orang-orang terlatih masih dapat mengandalkan ketajaman pendengaran dan perasaan mereka. Akan tetapi Harwojo yang menyangka bahwa lawannya adalah orang Lumajang dan karenanya membela diri mati-matian, akhirnya harus mengakui keunggulan lawan setelah dia mempertahankan diri selama seperempat jam perkelahian mati-matian di mana dia telah mengeluarkan segala ilmunya dan mengerahkan seluruh tenaganya.
Akhirnya, dalam keadaan lemas dan lelah sekali karena sebelumnya dia sudah harus bertanding melawan Sulastri yang juga tidak mudah dia robohkan, sebuah tamparan dari tangan kiri Sutejo mengenai lehernya dan dia terpenting roboh dalam keadaan setengah pingsan. Dia mencoba bangun, akan tetapi hanya berhasil bangkit duduk dan menggoyang-goyang kepalanya yang terasa pening dan pandang matanya berkunang-kunang. Ketika Sutejo menghampiri, terdengar Sulastri berteriak,
"Kakang Tejo, jangan bunuh dia!"
Sutejo menoleh, tentu saja dia tidak mempunyai niat membunuh lawannya yang tangguh dan yang sudah dikalahkannya itu. Pemuda ini seperti kita ketahui datang dari Gunung Bromo di mana dia berpisahan dengan Resi Harimurti yang menuju ke barat, kembali ke Mojopahit. Sutejo menuju ke Lumajang dan kebetulan sekali ketika dia tiba di dalam hutan itu dan berniat untuk beristirahat dan melewatkan malam itu di dalam hutan, dia mendengar suara yang amat dikenalnya, suara Bromatmojo yang lantang dan galak! Tentu saja dia merasa terkejut sekali dan cepat dia menuju ke arah suara itu tanpa memperdulikan kaki tangannya tergores-gores duri yang dilanggarnya karena hutan itu sudah diliputi kegelapan remang-remang.
Dan ketika dia melihat Bromatmojo rebah tak berdaya dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya dan digulung jala pula, tentu saja Sutejo menjadi marah dan dia lalu menyerang laki-laki yang berada di dekat Bromatmojo dan yang tadi dimaki-maki dan ditantang-tantang olehnya. Kini mendengar Sulastri berteriak mencegahnya agar dia jangan membunuh laki-laki itu, Sutejo cepat menghampiri Sulastri, menggunakan kerisnya untuk membabat jala dan belenggu kaki tangan sehingga gadis itu bebas dari ikatan.
"Siapakah dia.... Adi....Bromo?"
Sutejo memandang Sulastri yang masih seperti dulu, berpakaian seperti seorang pemuda tampan.
Kini setelah bebas, Sulastri teringat bahwa yang membebaskannya ini adalah Sutejo, bukan lagi Sutejo sahabatnya yang dahulu, melainkan Sutejo kaki tangan Resi Mahapati! Oleh karena itu, sikapnya berubah menjadi dingin, dan dengan suara kaku dia menjawab.
"Apakah engkau tidak mengenal dia? Dia bernama Harwojo dari Mojopahit!"
Sutejo menggeleng kepalanya.
"Aku tidak mengenal orang yang bernama Harwojo. Mengapa dia berada di sini dan engkau terbelenggu?"
Sulastri duduk di atas akar pohon, hatinya masih panas, panas terhadap Harwojo dan juga panas terhadap Sutejo yang kini telah berdiri di pihak musuhnya.
"Kau tanyalah sendiri kepadanya."
Sutejo merasa tidak enak mendengar suara Bromatmojo yang kaku itu, akan tetapi dia mendekati Harwojo yang sudah duduk dan tidak lagi menggoyangkan kepalanya karena kepeningan kepalanya sudah mereda.
"Kisanak, siapakah engkau dan mengapa engkau memusuhi..... Adi Bromatmojo?"
Harwojo mengangkat mukanya dan memandang wajah Sutejo yang kelihatan remang-remang tertimpa cahaya bulan yang mulai muncul itu dengan penuh kagum. Baru sekali ini dia bertemu lawan yang benar-benar tangguh, di samping Sulastri.
"Saya bernama Harwojo dan saya utusan dari Gusti Ratu Pangeran Pati di Mojopahit. Saya diutus untuk menyelidiki dan mencari keris pusaka Kolonadah yang kabarnya berada di tangan orang-orang Lumajang. Dan kau siapakah, orang muda yang gagah perkasa?"
"Aku.... namaku Sutejo."
"Dan dia adalah adik ipar dari Resi Mahapati,"
Sulastri melanjutkan.
"Ahhh.....! Kiranya begitu?"
Harwojo berseru kaget.
"Maafkan aku karena aku tidak tahu siapa engkau maka aku menyerangmu, Kisanak. Pula, melihat Adi Bromo...."
Sutejo tidak melanjutkan kata-katanya.
"Aku meresa menyesal sekali harus menangkapnya, akan tetapi sungguh aku tidak berniat buruk terhadap dia, aku hanya hendak membujuk agar dia tidak membantu pemberontak. Karena kita belum saling mengenal, maka ketika engkau menyerang,aku tentu saja mengira engkau seorang ponggawa Lumajang pula yang belum kuketahui."
Sutejo menarik napas panjang.
"Kalau begitu tugas kita sama. Aku pun sedang menyelidiki Kolonadah dan hendak pergi ke Lumajang."
"Kalian ini hamba-hamba Mojopahit yang bodoh!"
Tiba-tiba Sulastri berkata dengan nada mengejek.
"Dan engkau Sutejo, engkau pun telah dibodohi orang dengan mudah! Kuberi tahu kalian bahwa Kolonadah tidak berada di Lumajang, melainkan berada di tangan orang Mojopahit!"
"Ah, mana mungkin....?"
Sutejo dan Harwojo berseru kaget.
"Memang kalian bodoh! Kalau sudah berada di Lumajang, perlu apa Adipati Wirorojo mengutus aku untuk menyelidikinya dan mencarinya di Mojopahit? Keris itu sudah berada di tangan Resi Harimurti! Tadinya memang keris pusaka itu dilarikan oleh Ki Ageng Palandongan dari Tuban, untuk dibawa ke Lumajang. Akan tetapi di tengah jalan, Ki Ageng Palandongan diserang oleh Resi Harimurti!"
"Akan tetapi..... menurut Gusti Ratu, sampai sekarang tidak ada yang menyerahkan keris pusaka itu!"
Kata Harwojo.
"Hemm, kalau keris sudah berada di tangan Resi Harimurti, tentu diserahkan kepada Resi Mahapati, bukan kepada Sri Ratu!"
Kata Sulastri.
"Akan tetapi, Resi Mahapati adalah tangan kanan Gusti Ratu, dan Resi Mahapati juga belum menyerahkan keris pusaka itu,"
Bantah Harwojo.
"Dan menurut cerita Resi Harimurti, biarpun dia telah berhasil merampas keris dari tangan Ki Ageng Palandongan, akan tetapi orang-orang Lumajang telah berhasil merampas dari tangannya pula,"
Kata Sutejo.
"Aneh!"
Sutejo dan Harwojo berkata hampir berbareng dan ketiganya duduk termenung dengan bingung. Keris pusaka itu tidak berada di tangan Resi Harimurti seperti yang disangka oleh Sulastri, tidak juga berada di tangan Orang-orang Lumajang. Lalu di mana? Siapa yang merampasnya dari tangan Resi Harimurti?
"Apakah ada yang menyaksikan ketika keris itu dirampasnya dari tangan Resi Harimurti?"
Sulastri bertanya tanpa menujukannya kepada orang tertentu.
"Tidak,"
Sutejo menjawab dengan alis berkerut.
"Menurut penuturannya, dia seorang diri ketika keris itu dirampas orang-orang yang menggunakan akal mengeroyoknya."
"Huh,kalau begitu kalian dibohongi oleh Resi jahanam itu!"
Harwojo lalu bangkit berdiri.
"Maafkan saya...., kalau begitu saya harus cepat pulang ke Mojopahit untuk melaporkan hal ini........."
Baik Sulastri mau pun Sutejo tidak menjawab apa-apa, juga tidak mencegah ketika Harwojo meninggalkan tempat itu. Mereka berdua masih duduk berhadapan di atas tanah sampai lama setelah Harwojo tidak tampak lagi dan tidak terdengar suara apa-apa kecuali jangkerik dan belalang yang riuh rendah menghidupkan suasana yang sunyi di dalam hutan itu. Bulan sudah naik agak tinggi dan karena tempat mereka duduk merupakan tempat terbuka yang cukup luas, maka sinar bulan dapat menimpa tempat itu tanpa terhalang, mendatangkan penerangan yang cukup sehingga mereka dapat melihat wajah masing-masing dengan jelas.
"........Adi Bromo...."
Akhirnya suara Sutejo memecah kesunyian. Dia merasa canggung sekali kalau harus mengganti sebutan ini, sungguhpun kini dia sudah yakin bahwa "pemuda"
Yang berada di depannya ini adalah seorang dara yang cantik jelita dan gagah perkasa.
Sulastri mengira bahwa Sutejo belum tahu akan rahasia pribadinya, dan teringat akan jurang yang memisahkan mereka karena pemuda ini membantu Resi Mahapati, dia lalu menjawab dengan sikap dingin dan suara kaku.
"Sutejo di antara kita tidak ada lagi hubungan persahabatan."
Wajah pemuda itu menjadi agak pucat dan matanya terbelalak, kemudian dia berkata dengan suara yang bernada sedih.
"Adi Bromo, setelah segala yang kita alami bersama, mengapa....engkau bersikap seperti ini kepadaku? Tidakkah engkau sudi memaafkan aku, seandainya aku ada kesalahan terhadapmu?"
"Tidak perlu bicara tentang kesalahan dan masihkah engkau bertanya lagi mengapa aku bersikap begini, Sutejo? Lupakah engkau bahwa engkau dan aku berdiri di dua pihak yang bertentangan? Aku adalah musuhmu dan engkau adalah musuhku!"
"Adi Bromatmojo!"
Sutejo berkata sambil melangkah maju.
"Jangan kau berkat demikian. Malah kedatanganku ini sengaja hendak mencarimu. Hendak menyadarkan engkau telah menempatkan dirimu di dalam bahaya besar dan juga dalam penyelewengan yang kelak hanya akan membuatmu menyesal."
Sulastri mengerutkan alisnya.
"Hemm, engkau malah berani berkata seperti itu? Hendak menyadarkan aku? Dalam hal apakah?"
"Adi Bromo...."
Teringat bahwa yang diajaknya bicara dengan sebutan pria itu sebetulnya adalah seorang dara, Sutejo tidak berani lama-lama menentang wajah Sulastri dan ia melanjutkan sambil menunduk, dan hanya sekali-kali saja mengangkat muka memandang.
"Aku mendengar bahwa engkau telah menghambakan diri kepada adipati di Lumajang, bahkan engkau sendiri tadi mengatakan bahwa engkau menjadi utusan Sang Adipati untuk mencari keris pusaka Kolonadah. Adi Bromo.....hendaknya engkau insaf dan menyadari bahwa engkau telah tersesat......"
Mendengar ucapan itu, otomatis kedua tangan Sulastri bergerak naik ke pinggangnya dan sepasang matanya memandang marah. Mulutnya tersenyum mengejek, senyum yang sudah amat dikenal oleh Sutejo, senyum yang akan keluar kalau temannya itu sedang mengkal hatinya.
"Aku? Tersesat? Memang aku menghambakan diri kepada Adipati Wirorojo, Adipati Lumajang. Tidak tahukah engkau siapa beliau? Beliau adalah seorang yang arif bijaksana, seorang pemimpin sejati. Kenapa kau berani mengatakan aku tersesat?"
"Ah, itulah salahnya, Adi Bromo. Engkau tidak sadar bahwa engkau telah menghambakan diri kepada pemberontak."
"Sutejo jangan sembarangan menuduh. Adipati Wirorojo bukanlah pemberontak!"
"Memang belum memberontak, akan tetapi di sanalah ditampungnya semua orang yang memusuhi Mojopahit. Semua bekas pengikut Ronggo Lawe, pengikut Lembu Sora, semua pergi ke Lumajang, bahkan bekas-bekas perejurit mereka pun kini menjadi perajurit Lumajang. Apakah itu bukan suatu bukti bahwa Lumajang adalah sarang pemberontak?"
"Huh,hati dan pikiranmu memang sudah diracuni oleh Resi Mahapati, Sutejo! Maka wawasanmu juga ngawur! Telingaku sendiri yang mendengar ucapan keluar dari mulut Sang Adipati Lumajang baru beberapa hari yang lalu bahwa Beliau tidak ingin memberontak, bahkan tidak ingin bentrok dengan Mojopahit selama di sana masih ada Sang Prabu yang Beliau junjung tinggi itu menduduki tahta kerajaan. Akan tetapi Beliau tidak setuju kalau Kolonadah terjatuh ke tangan Pangeran Kolo Gemet. Dan engkau tahu siapa gerangan pangeran itu? Pangeran berdarah Melayu, dan Resi Mahapati justeru berhamba kepada Pangeran itu! Orang-orang Lumajang bukan berjiwa pemberontak, bahkan amat mencintai Mojopahit dan Sang Prabu. Hanya membenci para ponggawa Mojopahit yang jahat dan sewenang-wenang itu."
"Hemm, tentu saja mereka tidak mau mengaku, Adi Bromo. Tidak ada maling yang mengaku pencuri, tidak ada perampok mengaku begal, tidak ada orang bersalah mengaku tidak benar. Adipati Lumajang sudah mambuktikan dengan sikapnya yang tidak mau tunduk lagi kepada Sang Prabu di Mojopahit yang seharusnya ditaati oleh semua kawula Mojopahit yang setia."
"Kawula Mojopahit yang setia? Huh, kau anggap orang-orang macam Resi Mahapati dan Resi Harimurti itu orang-orang yang baik? Betapa engkau sudah buta!"
"Aku tidak peduli akan pribadi mereka, selama mereka tidak menggangguku dan tidak melakukan kejahatan di depan mataku karena kalau demikian halnya, tentu aku akan menentangnya. Aku harus setia kepada Mojopahit dan karena kulihat Resi Mahapati dan Resi Harimurti setia kepada Mojopahit, maka aku rela membantu. Coba Resi Mahapati memberontak terhadap Mojopahit, biar dia kakak iparku sendiri,sudah pasti akan kulawan. Karena itu, Adi Bromo, marilah engkau kembali ke jalan benar, jalan satria utama yang tidak akan keliru dalam menentukan langkah,membela yang benar dan setia kepada kerajaan. Mari kita bersama kembali dan kita melihat dengan mata sendiri siapa yang tidak benar, kita lawan bersama."
"Wah, sungguh engkau telah mabok, Sutejo! Mabok oleh bujuk rayu Resi Mahapati! Muak aku mendengar semua kata-katamu, kata-kata yang tentu telah diatur sebelumnya oleh Resi keparat itu! Nah, kita sekarang berhadapan sebagai musuh. Tidak perlu banyak cakap lagi, Sutejo. Engkau adalah kaki tangan Resi Mahapati yang dibenci dan dimusuhi oleh Adipati Lumajang, dan aku adalah seorang pengawal dari Adipati Lumajang. Engkau berada di sini tentu sebagai mata-mata Resi Mahapati, maka hayo kita menentukan kebenaran melalui kepandaian. Kau sambutlah!"
Setelah berkata demikian, Sulastri sudah menerjang ke depan dan menyerang Sutejo dengan sungguh-sungguh sambil mengerahkan seluruh tenaganya karena dia maklum betapa saktinya pemuda ini.
"Eh, eh, nanti dulu ....!"
Sutejo mengelak dan mundur ke belakang, menghindarkan diri dari sambaran tangan yang kecil namun mengandung hawa pukulan dan tenaga sakti yang ampuh itu.
"Sutejo, sudah jelas engkau adalah kaki tangan Resi Mahapati dan aku adalah ponggawa Lumajang. Di antara kita terdapat permusuhan besar, dan dalam memperebutkan Kolonadah pun kita akan berhadapan sebagai musuh."
"Adi Bromo, nanti dulu, mari kita bicara dulu.....!"
"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Sambutlah, atau minggatlah kau dari sini!"
Sulastri yang merasa amat kecewa dan penasaran melihat Sutejo berkukuh dalam pendiriannya membenarkan Resi Mahapati, sudah menerjangnya lagi dengan dahsyat dan sungguh-sungguh karena kekecewaan hatinya itu mendatangkan kemarahan besar.
Sutejo yang dikagumi, yang amat disukai, yang dianggap sebagai sahabat paling baik di dunia ini dan yang sedetik pun tidak penah dilupakannya, Sutejo telah mengecewakan hatinya dengan menjadi kaki tangan Resi Mahapati! Dan yang lebih mengecewakan hatinya lagi adalah kenyataan yang memaksa pemuda itu membantu Resi Mahapati yang dibencinya, yaitu bahwa pemuda itu adalah adik ipar dari Sang Resi itu. Inilah yang membuatnya kecewa dan marah sehingga kini dia menyerangnya kalang kabut untuk melampiaskan rasa penasaran dan kekecewaan hatinya.
Sutejo terkejut menghadapi serangan Sulastri karena dia maklum bahwa dara itu menyerangnya dengan sungguh-sungguh. Dahulu, pernah temannya ini menyerang dan memaksanya berkelahi, dan bairpun murid dari Gunung Bromo ini amat sakti, namun dia masih dapat mengatasinya. Kalau dia mau, tentu saja dia dapat membendung semua serangan kilat itu dan balas menyerang. Akan tetapi, setelah kini tahu bahwa yang menyerannya ini adalah seorang dara, bagaimana dia tega untuk melawannya? Pula, rasa suka dan sayangnya kepada Bromatmojo yang tadinya dianggap sebagai sahabatnya yang terbaik, kini mengalami perubahan besar setelah dia tahu bahwa Bromatmojo adalah Sulastri, seorang dara. Dia sendiri masih belum dapat menentukan apakah perubahan itu dan bagaimana kini perasaan hatinya terhadap Sulastri, akan tetapi yang sudah jelas tidak mungkin baginya untuk melawan Sulastri, apalagi mencoba untuk merobohkan dara ini! Maka dia pun hanya mengelak dan menangkis saja, dan tangkisan ini pun dilakukannya tanpa pengerahan tenaga sakti sepenuhnya karena dia khawatir kalau-kalau tangkisan yang keras akan melukai lengan atau tangan dara itu! Akan tetapi dia lupa bahwa Sulastri bukanlah seorang lawan yang sembarangan saja.
Bahkan dia yang telah memiliki kesaktian tinggi, dibandingkan dengan dara itu hanya menang sedikit saja. Oleh karena itu, mana mungkin dia mengadapi amukan Sulastri hanya dengan elakan dan tangkisan yang dibatasi tenaganya? Apalagi karena Sulastri, dara yang berhati baja itu, ketika malihat sikap Sutejo yang hanya mengelak dan menangkis, merasa dipandang rendah dan hina, maka serangan-serangannya menjadi semakin menghebat dan dara itu telah mainkan Ilmu Hasto Bairawa dan mengisi kedua tangannya dengan hawa sakti dari Hasto Nogo, terutama tangan kirinya yang setiap menyambar mengeluarkan suara bersiutan keras itu.
Sutejo masih tetap mengelak dan menangkis, akan tetapi ketika Sulastri mendesak,dia kalah cepat. Tamparan Hasto Nogo tangan kiri Sulastri menyusul serangan tangan kanannya yang tertangkis. Tangan kiri yang ampuh itu menyambar ke arah pelipis Sutejo. Pemuda itu terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi dia masih kalah cepat dan tamparan itu masih mengenai pangkal lehernya dekat pundak kanan.
"Plakkk.... uhhh....!!"
Tubuh Sutejo terpelanting dan ia roboh ke atas tanah dalam keadaan pingsan! Yang terakhir kelihatan oleh Sutejo hanyalah wajah Sulastri yang berputar-putar, dengan sepasang mata yang indah lebar itu terbelalak dan telinganya mendengar jerit tertahan, kemudian gelaplah semua baginya dan dia merasa betapa dia hanyut di air bengawan yang sedang banjir.
Tubuhnya seperti tersedot ke bawah dan tenggelam dan biarpun dia sudah berusaha untuk timbul ke permukaan, namun tetap saja dia tenggelam lagi. Pergulatan melawan air ini berjalan lama sekali dan agaknya kepalanya tertumbuk batu karena tiba-tiba terasa berdenyut-denyut nyeri bukan main.
Dia tidak kuat lagi dan menghentikan rontaannya, membiarkan dirinya hanyut terbawa air bengawan yang sedang banjir. Dia merasa dihanyutkan ke pinggir,napasnya terhenti dan rasa nyeri sudah hampir lenyap ketika dia mendengar suara sayup-sayup, suara orang memanggil-manggilnya. Karena dia mengenal baik suara itu, maka dia mengerahkan tenaga terakhir untuk mendengarkan, untuk melawan kekuatan dahsyat yng menyeretnya agar dia dapat menangkap kata-kata dari suara yang amat dikenalnya ini.
"Kakang Tejo.....! Kakang Tejo....!!"
Sutejo merasa berada di dalam sebuah jurang atau sumur yang amat dalam dan amat gelap. Akan tetapi suara itu mendorongnya, menariknya agar dia keluar dari jurang gelap itu. Dia seperti meraba-raba dalam gelap, hanya suara itu yang menjadi pedomannya keluar dari dalam kegelapan yang menelannya.
"Kakang Tejo... kau maafkan aku, Kakang...."
Sutejo merasa terheran-heran mendengar suara ini, suara yang disambung dengan isak tangis! Dia mengenal suara itu, tentu saja. Suara siapa lagi yang renyah itu kalau bukan suara Bromatmojo? Akan tetapi Bromatmojo menangis? Pemuda yang gagah perkasa itu, yang tidak mengenal takut, kini menangis terisak-isak? Aneh!
"Kakang Tejo....., jangan kau mati, Kakang......, kalau kau mati, aku pun tidak sudi hidup sendirian.........Kakang Tejo......!"
Tubuhnya diguncang-guncang dua tangan dan suara tangis itu makin menjadi.
Akan tetapi, dia teringat betapa Bromatmojo memusuhinya, menyerangnya dan menamparnya. Ingatan ini membuat hatinya sedih bukan main dan mengendurkan lagi semangatnya untuk bangkit dari kegelapan. Biarlah dia mati saja, pikirnya dan kembali dia ditelan kegelapan jurang itu.
"Kakang Tejo.....aduhh, Kakang..... bangunlah..... tidak tahukah engkau bahwa aku cinta padamu....? Kakang...."
Ucapan itu seperti halilintar menyambar dan menerangi jurang yang gelap itu!
Kini teringatlah dia bahwa Bromatmojo adalah Sulastri, seorang dara. Dan apa yang diucapkan Sulastri tadi? Ah, dia tidak percaya! Akan tetapi, kini Sulastri menangis di atas dadanya, tidak mengguncang-guncang lagi dengan tangan, akan tetapi tubuh dara yang menangis itu sudah terguncang-guncang sehingga tubuhnya sendiri ikut terguncang pula.
"......aku cinta padamu, Kakang Tejo........... aku cinta padamu dan aku yang membunuhmu......"
Tangis itu makin mengguguk kini dan Sutejo merasa betapa muka yang halus itu melekat pada mukanya, betapa air membasahi pipinya. Air mata!
Sulastri menangis dan menciuminya! Kini gadis itu kembali menangis di atas dadanya. Dengan halus kedua tangannya mengusap kepala itu, dan terdengar pula suaranya,kedengarannya aneh bagi telinganya sendiri, karena suaraya gemetar.
".....jangan menangis....., jangan kau menangis....."
Sulastri mengangkat mukanya dari atas dada Sutejo, dengan kedua mata basah dan pipi kemerahan dia memandang wajah Sutejo.
"Kakang Tejo....."
Dia berseru girang bukan main.
"Kau.... kau..... tidak mati....??"
Sutejo membuka matanya. Kedua tangannya kini merangkul leher itu.
"Belum, Diajeng....... aku nyaris mati akan tetapi suaramu memanggilku kembali...."
"Kakang kau menggeletak dengan muka pucat, tak bernapas lagi, tadi aku yakin bahwa engkau tentu telah tewas..... ahhh, olah pukulan Hasto Nogo yang terkutuk......, betapa khawatir aku....."
"Jangan khawatir, Nimas. Aku tidak mati dan kau.....Diajeng Sulastri...."
"Ehh.....?"
Sulastri terbelalak.
"Kau....kau sudah tahu.... bahwa aku......"
Sutejo bangkit duduk dan kedua tangannya masih merangkul pinggang dan leher dara itu. Dia mencoba tersenyum.
"Aku.... telah menduganya.... eh, aku telah mengetahuinya..... Sulastri....aku... aku pun cinta kepadamu, Diajeng....."
"Apa....??"
Sulastri meronta dan melompat berdiri.
"Kau... kau... tadi mendengar semua kata-kataku?"
Mata itu terbelalak lebar sekali, mukanya menjadi pucat lalu merah sekali.
"Aku...... berada di jurang gelap..... tiba-tiba mendengar suaramu memanggil.....dan pernyataan cintamu......."
"Kau pura-pura mati! Kau.... ah, kau tak tahu malu.....! Kau menyalahgunakan penyesalanku, pura-pura mati dan memancing aku membuka rahasia hati.... saking menyesalku memukulmu.... ah, kau.... kau.....!"
Dara itu menangis lagi, menangis karena marah!
"Ah, Sulastri, tidak....... sama sekali tidak......! Aku memang hampir mati.... kiraku tentu mati kalau tidak ada engkau yang memanggilku...... Sulastri, aku.... cinta padamu, baru sekarang kusadari benar hal ini. Sulastri, ah, jangan kau memandang kepadaku dengan marah seperti itu...."
Dan sutejo bangkit berdiri akan tetapi dia terguling pula, kepalanya berdenyutan dan pandang matanya gelap,berkunang-kunang dan dia roboh seperti tadi. Kini pingsan kembali untuk ke dua kalinya.
Ketika Sutejo siuman kembali. Seketika dia teringat kepada Sulastri dan bangkitlah dia, menengok ke sana-sini akan tetapi tempat itu kosong, sekosong hatinya karena Sulastri tidak nampak di situ. Dirabanya pangkal lehernya dekat pundak itu dan ternyata bekas pukulan itu telah diberi obat dan dibalut. Siapa lagi kalau bukan Sulastri yang mengobatinya. Akan tetapi dia tidak ada lagi!
"Ah, Sulastri........, Sulastri.....!"
Dia mengeluh dan memanggil-manggil.
"Aku di sini, Kakang Tejo!"
Sutejo cepat bangkit berdiri, biar pun lehernya terasa agak nyeri namun dia tidak peduli dan dia menengok. Terbelalak dia memandang, terpesona ketika melihat seorang dara cantik jelita berdiri di bawah pohon, agaknya baru datang dan tangan kirinya membawa sesisir pisang yang sudah matang, tangan kanannya membawa kelapa muda. Bukan main cantiknya dara itu.
"Sulastri.....!!"
Mereka berdua melangkah dan saling menghampiri, pandang mata mereka melekat.
"Kakang Tejo, kau.... maafkan aku?"
Bibir itu berbisik dan mata itu masih sayu karena habis menangis.
"Sulastri, tentu saja. Kau tidak bersalah, bahkan sudah selayaknya aku kau pukul mati! Kau.... ah, Lastri..... betapa..... betapa cantiknya engkau.......!"
"Kakang, ini kucarikan pisang dan kelapa muda untukmu. Air kelapa muda ini baik sekali untuk cepat menyembuhkan bekas pukulan itu, Kakang...."
Akan tetapi Sutejo tidak memperdulikan itu semua dan kini dia sudah berdiri dekat di depan Sulastri dan merangkul pinggang dara itu, menariknya dekat-dekat dengan tubuhnya. Sepasang mata itu saling melekat, saling menyelami sedalam-dalamnya,seperti hendak saling menjenguk isi hati masing-masing.
"Nimas.... aku berterima kasih untuk pukulanmu ini....... kalau tidak begitu agaknya kita akan terus saling bermusuhan. Sulastri, betapa bodohnya aku selama ini. Aku selalu memikirkan diri sendiri, memikirkan kerajaan dan lain-lain yang sama sekali tidak ada artinya dibandingkan engkau. Semenjak engkau kukenal sebagai Bromatmojo engkau telah menjadi sebagian dari hidupku. Begitu Bromatmojo pergi dari sampingku, hidup terasa sunyi kosong tak berarti. Aku telah jatuh cinta semenjak aku mengenalmu sebagai Bromatmojo, Diajeng Sulastri! Hanya, tentu saja perasan itu terkekang dan terbentur oleh kenyataan bahwa engkau tadinya kusangka seorang pria. Kini ternyata engkau seorang wanita dan memang cinta kasih dan perasaan hatiku lebih awas daripada aku yang bodoh dan seperti buta."
"Dan engkau.... engkau memarahkan hatiku karena engkau memandang rendah wanita."
"Dan engkau juga memanaskan hatiku dengan bersikap ceriwis dan mata keranjang terhadap wanita yang kita jumpai."
"Kusengaja untuk menggodamu..... kau yang bersikap sebagai seorang pria yang tidak suka jatuh cinta kepada wanita......"
"Kemudian engkau cemburu terhadap Roro Kartiko!"
"Dan karena itu aku sengaja menjatuhkan hatinya, agar dia....jangan sampai jatuh cinta kepadamu, karena.... semenjak kita bertemu, Kakang, aku...... tidak ingin ada wanita lain yang kau cinta, kecuali aku....."
"Sulasri.....!"
Mereka berangkulan dan ketika Sutejo menciumnya, berjatuhanlah pisang dan kelapa itu dari kedua tangan Sulastri. Mereka tidak peduli, karena kini kedua tanganya merangkul leher pemuda yang sejak dahulu dicintainya itu.
Mereka lupa akan segala sesuatu, seperti diayun ke sorgaloka. Mereka saling mendekap, saling mencium dan saling membelai, sampai sesak napas mereka berciuman, seolah-olah tidak ingin lepas kembali. Sulastri tertawa kecil ketika Sutejo memondongnya, lalu berputaran seperti seorang anak kecil yang memperoleh mainan baru, kemudian pemuda itu jatuh terduduk di atas rumput bersama Sulastri yang dipangkunya. Sulastri tertawa,lalu meloncat bangun dan berlari. Sutejo juga tertawa dan mengejarnya. Mereka berkejaran di dalam hutan itu sampai bercucuran peluh mereka, kemudian Sulastri membiarkan dirinya berpegang dan mereka berdua kembali jatuh bergumul di atas rumput.
"Lihat keringatmu....!"
Sutejo berbisik dan mengusap keringat Sulastri dari leher dan dahinya.
"Engkau juga, Kakang,"
Bisik Sulastri. Mereka saling mengusap keringat masing-masing,dan tak lama kemudian Sutejo duduk bersandar pohon dan merasa amat berbahagia memandang wajah dara yang amat cantik manis dan yang kini rebah di atas pangkuannya itu. Dia mengelus rambut sinom yang melingkar di depan dahi Sulastri,membungkuk dan mencium sepasang alis yang hitam melengkung indah itu. Sulastri memejamkan matanya, dadanya berombak penuh kebahagiaan.
"Sulastri darimana engkau memperolah pakaian wanita ini?"
Tanya Sutejo dan kedua tangan mereka saling berpegangan, dua puluh buah jari tangan itu saling melingkar seperti bergelut.
"Semenjak berada di Lumajang, aku selalu membawa pakaian wanita, Kakang. Mereka semua sudah tahu bahwa aku wanita. Hanya engkau seorang yang belum tahu, akan tetapi ketika tadi aku mendengar kenyataan bahwa kau pun sudah tahu, aku cepat berganti pakaian."
"Mengapa?"
Sutejo mengelus rambut yang hitam panjang halus itu.
"Karena sejak dahulu, sejak kita bertemu, betapa besar keinginanku untuk muncul di depanmu sebagai seorang wanita, Kakang."
"Ahhh, dan engkau begini cantik jelita, begini ayu dan manis merak ati, begini kewes dan luwes....engkau seperti Dewi Komaratih......"
Sutejo mencium mulut yang terbuka kegirangan mendengar pujian itu. Sulastri menyambut ciuman itu sepenuh hatinya dan kembali mereka tenggelam di dalam alam asyik masyuk.
Kini Sulastri yang duduk bersandar pohon dan Sutejo rebah dengan kepalanya di atas pangkuan kekasihnya. Jari-jari tangan Sulastri yang lentik memijat-mijat leher yang dipukulnya tadi, penuh kasih sayang.
"Kakang, aku tidak mau berpisah lagi darimu."
"Jangan khawatir, aku pun tidak sudi meninggalkan engkau seorang diri, Dewiku. Sampai mati kita tidak akan saling bepisah lagi."
"Dan bagaimana dengan Mojopahit?"
Sulastri bertanya, alisnya berkerut khawatir.
"Ha-ha, kita telah bersikap bodoh. Apa peduli dengan Mojopahit atau Lumajang? Apa peduli dengan semua orang lain? Yang terpenting adalah kita berdua, Dewiku."
"Akan tetapi, Kakang......."
Sutejo bangkit dan mereka duduk berhadapan.
"Ada apakah, Diajeng?"
"Kita lalu akan ke mana?"
"Ke mana pun yang kau kehendaki, aku menurut, Sulastri. Akan tetapi sebaiknya kalau kita berdua membebaskan diri dari ikatan mereka agar tidak terjadi lagi kesalahpahaman. Mari kita pergi saja, yang jauh....."
"Tidak mungkin, Kakang Sutejo. Kita harus menolong mereka."
"Siapa?"
"Joko Handoko dan Roro Kartiko."
"Mereka telah diculik oleh Murwendo dan Murwanti, dua orang kembar dari Puger itu."
Sulastri lalu menceritakan tentang pengalamannya ketika dia dan dua orang muda dari tuban bersama para anggota Sriti Kencana dikurung kemudian ditangkap oleh Pasukan Puger di bawah pimpinan Murwendo dan Murwanti.
Setelah mendengar penuturan itu, dengan alis berkerut Sutejo berkata.
"Sulastri, Dewiku, pujaan hatiku, sudahlah mari kita berdua jangan melibatkan diri dengan urusan orang lain. Mari kita berdua pergi dari sini dan menjauhkan diri dari semua urusan, Hidup berbahagia berdua saja, jauh dari semua keributan dan urusan,sayang."
Sulastri memandang wajah kekasihnya yang gagah dan tampan, yang amat dicintainya itu, dengan alis berkerut dan pandang mata aneh.
"Ah, Kakang Sutejo, apa yang telah terjadi denganmu? Mana jiwa satriamu dan mana watak gagahmu yang amat kukagumi itu? Tidak mungkin kita mebiarkan mereka tertawan dan terancam. Pula, tidaklah mungkin kita berdua menyendiri saja. Selama kita masih hidup, tentu kita akan berhubungan dengan orang lain dan tentu akan timbul persoalan, Kakang.
Dan kalau timbul persoalan, tentu kita akan menghadapinya sebagai orang-orang yang berjiwa satria. Sekarang melihat Joko Handoko dan Roro Kartiko tertawan oleh orang-orang Puger, bagaimana kita dapat tinggal berpeluk tangan saja?"
"Sulastri aku takut..... aku khawatir untuk kembali kepada waktu lampau, kepada hal-hal yang lalu. Mari kita tinggalkan ini semua dan mulai hidup baru, susana baru dan....."
"Sulastri...... ahh, Sulastri....!"
Dua orang itu terkejut dan cepat menoleh. Sutejo sudah meloncat bangun diikuti oleh Sulastri. Muka Sutejo pucat sekali karena kaget, apalagi ketika dia mengenal siapa yang datang itu. Akan tetapi Sulastri cepat lari menghampiri orang yang datang dan memanggilnya itu.
"Bukankah Andika.... Kakang cantrik dari Bromo....?"
Sulastri bertanya dan memandang laki-laki setengah tua yang bertubuh kurus itu.
Orang itu mengangguk-angguk, akan tetapi matanya terbelalak memandang kepada Sutejo.
"Ada apakah Kakang Cantrik? Bagaimana Andika dapat tiba di tempat ini?"
"Aku sengaja mencarimu, Sulastri. Dengan susah payah aku mencarimu. Sebetulnya kami berdua yang mencarimu dan kami berpencar setelah tiba di Lumajang. Syukur bahwa aku dapat bertemu danganmu di sini Sulastri."
"Apa yang terjadi?"
Sulastri memandang dengan jantung berdebar, perasaan hatinya tidak enak melihat wajah cantrik itu dan melihat betapa cantrik itu memandang kepada Sutejo dengan sinar mata penuh kebencian!
"Terjadi hal yang amat hebat, Sulastri. Guru kita, Eyang Supamandrangi, beberapa pekan yang lalu ini telah dibunuh orang!"
"Ehhh.......!!"
Sulastri menjerit dan memegang lengan cantrik itu.
"Eyang......dibunuh orang? Siapa? Mengapa?"
"Mau tahu siapa yang membunuh? Dia itulah seorang di antaranya! Dan mengapa? Tanya saja kepada kaki tangan Resi Mahapati itu! Orang Mojopahit sungguh kejam!"
Cantrik itu menudingkan telunjuknya kepada Sutejo dengan wajah pucat.
"Hemm, harap jangan menuduh yang tidak-tidak, Kisanak!"
Sutejo berkata tenang namun mukanya juga menjadi pucat dan dia memandang kepada Sulastri dengan wajah penuh kegelisahan.
"Menuduh yang tidak-tidak? Sutejo, beranikah engkau menyangkal? Siapa yang datang bersama Resi Harimurti ke pertapaan puncak Bromo? Hayo jawab, bukankah Andika yang datang bersama dia?"
Tanya cantrik itu sambil telunjuknya masih menuding, dipandang oleh Sulastri dengan wajah pucat sekali.
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Benar, sayalah orangnya,"
Jawab Sutejo tenang namun jantungnya berdebar penuh kekhawatiran.
"Kemudian Andika dan Resi Harimurti memaksa Eyang Supamandrangi untuk membuatkan Kolonadah palsu. Bukankah begitu?"
"Tidak memaksa, tapi...."
"Tidak memaksa? Kalau tidak dipaksa, mana mungkin Eyang Empu sudi membuatkan keris pusaka palsu? Kalian memaksa, bahkan ketika Eyang Empu Supamandrangi mengeluarkan tosan aji untuk ditekuk, Resi Harimurti tidak kuat menekuknya. Akan tetapi, Andika yang turun tangan menekuknya sehingga terpaksa Eyang Empu membuatkan keris Kolonadah palsu. Hayo jawab, tidakkah begitu?"
"Benar, saya yang menekuk tosan aji itu, akan tetapi Eyang Empu Supamandrangi tidak terbunuh, melainkan membunuh diri...."
Biarpun mulutnya berkata demikian, namun sebenarnya di dalam hatinya dia masih curiga dan ragu-ragu untuk menerima kenyataan itu.
"Membunuh diri? Eyang membunuh diri?"
Sulastri menjerit, sedikit pun tidak peraya.
"Nah, siapa bisa percaya, Sulastri? Kami pun tidak percaya. Eyang adalah seorang manusia yang arif bijaksana, seorang pertapa yang sudah mencapai tingkat tertinggi, mana mungkin melakukan perbuatan rendah itu? Dia dibunuh! Ini sudah pasti, andaikata benar membunuh diri pun, kalianlah orang-orang Mojopahit yang menjadi pendorongnya! Kalian pura-pura tidak tahu, pura-pura berduka, orang-orang khianat dan jahat! Cantrik itu makin marah dan cepat dia menerjang dan menyerang Sutejo dengan keris terhunus. Akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja, tubuh cantrik yang kurus itu terlempar dan kerisnya pun terlepas dari tangannya.
"Sutejo manusia keji!"
Tiba-tiba Sulastri menerjang dengan pukulan hebat ke arah Sutejo.
"Duk!"
Sutejo menangkis dengan keras sekali.
"Diajeng....! Nanti dulu, jangan...!"
Akan tetapi semua ucapannya percuma saja karena Sulastri sudah menyerangnya dengan ganas dan dahsyat sekali, menyerangnya sambil menangis.
"Tidak..... tidak, Nimas, tidak....! Aku tidak membunuhnya. Demi para Dewata aku tidak......."
"Cukup!"
Sulastri membentak dan memandang dengan mata merah.
"Siapa percaya kepada sumpahmu? Kalau benar engkau bersih, mengapa tadi engkau sama sekali tidak menceritakan tentang hal itu? Engkau mendatangi Eyang, memaksa membuat keris, sampai Eyang terbunuh...... hu-huk, engkau harus mati di tanganku, Sutejo!"
Dan kembali Sulastri menyerang sambil menangis.
"Sulastri..... aduh, Sulastri, aku cinta padamu..... lupakah engkau Nimas? Kita saling mencinta...."
"Cintamu palsu, sepalsu hatimu! Engkau tidak menceritakan peristiwa itu kepadaku,hal itu cukup menujukkan kepalsuanmu!"
Sulastri menyerang lagi dan ketika Sutejo menangkis, pemuda ini terhuyung ke belakang karena lehernya masih terasa nyeri dan tangannya belum pulih kembali.
"Aku.... aku... takut kalau hal itu mengganggu...."
Sutejo menghentikan kata-katanya karena merasa bahwa ucapannya itu salah dan tidak akan memperbaiki keadaan, dan kembali dia mengelak. Kini Sulastri tidak mau mendengarkan lagi, terus menyerang dan semua ucapan Sutejo tidak didengarnya lagi.
"Plak....brukkk....!"
Sutejo terpelanting dan cepat pemuda ini menggulingkan dirinya karena Sulastri sudah menyusulnya dengan tendangan maut. Maklumlah dia bahwa Sulastri marah sekali dan sungguh-sungguh hendak membunuhnya, maka dia merasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya.
"Aduh, Sulastri....teganya engkau kepadaku....?"
Dia merintih dan meloncat sambil mengelak lagi.
"Tega? Siapa yang tega dan kejam? Engkau laki-laki palsu!"
Sulastri menerjang lagi dan kini Sutejo melompat jauh dan melarikan diri karena dia maklum bahwa kalu dia melanjutkan bertahan seperti itu, akhirnya dia akan terbunuh dan untuk melawan sungguh-sungguh, selain dia tidak mau, juga dalam keadaan masih terluka itu dia tidak akan menang melawan Sulastri. Pula, dia tidak merasa bersalah,tidak merasa membunuh Empu Supamandrangi dan kemarahan Sulastri itu hanya karena salah sangka belaka. Maka dia tidak ingin terbunuh, sekarang setelah dia tahu bahwa dia dan Sulastri saling mencintai, juga dia tidak ingin melihat Sulastri menjadi pembunuh. Biar pun hatinya terasa hancur, Sutejo cepat melarikan diri.
Sulastri yang sejak tadi menahan-nahan hatinya dan menyerang dengan air mata bercucuran, tidak mengejar, melainkan menjatuhkan diri di atas rumput sambil menangis terisak-isak. Cantrik itu menghampirinya dan berkata.
"Tidak perlu ditangisi lagi, Sulastri, kelak kita masih akan dapat membalas kamatian Sang Empu dan mencari Sutejo dan Resi Harimurti."
Mendengar suara cantrik itu, Sulastri terkejut, meloncat bangun dan menghadapi cantrik dengan mata bersinar-sinar penuh kemarahan.
"Mengapa kau datang? Mengapa kau ke sini!!"
Cantrik itu terkejut melihat mata yang terbelalak dan bercucuran air mata itu.
"Aku....aku.... eh, kau kenapa. Sulastri?"
Tanyanya bingung dan gagap.
Sulastri teringat bahwa sikapnya amat tidak sepatutnya, maka dia lalu menundukkan mukanya dan berkata.
"Kakang Cantrik, kau kembalilah ke Bromo. Biarkan aku sendiri, aku yang kelak membalaskan kematian Eyang Empu Supamandrangi, Pergilah...."
"Akan tetapi biar aku membantumu, Sulastri...."
"Tidak! Pergilah, lekas pergi jangan sampai aku menjadi marah!"
Tentu saja cantrik itu menjadi makin terheran-heran, dan sambil mengangguk-angguk dan bersungut-sungut pergilah dia meninggalkan gadis itu yang masih berdiri seperti patung. Setelah cantrik itu pergi, Sulastri mengambil buntalan pakaiannya dan sambil terisak-isak dia pun pergi dengan cepatnya dari tempat itu, menuju ke selatan karena dia mengambil keputusan untuk mencari dan menolong Joko Handoko dan Roro Kartiko. Kalau dia teringat kepada Sutejo, teringat akan pengalamannya yang mesra dan penuh madu asmara bersama Sutejo di dalam hutan itu, hampir dia tidak kuat melangkahkan kaki dan ada dorongan kuat agar dia lari kembali mencari Sutejo. Namun dia mengeraskan hatinya.
Jelas bahwa Sutejo bukanlah orang yang jujur, dan telah menjadi manusia jahat, kaki tangan Resi Mahapati yang tidak segan-segan membunuh Empu Supamandrangi untuk memaksa Empu itu membuatkan Kolonadah yang palsu. Dan itu masih belum hebat, yang amat menyakitkan hatinya lagi adalah bahwa setelah ikut membunuh atau menyebabkan kematian Empu Supamandrangi, Sutejo masih begitu tak tahu malu untuk membujuk rayu dia,bermain cinta dengan dia tanpa memberitahukan tentang keadaan Empu Supamandrangi yang telah dibunuhnya! Inilah yang amat menyakitkan hatinya, rasa sakit hati yang memaksa dia melupakan cintanya terhadap Sutejo.
Jelaslah bahwa sakit hati, dendam dan kemarahan tidak mungkin dapat bergandeng tangan dengan cinta kasih! Sakit hati dan dendam hanya mendatangkan kebencian dan di mana terdapat kebencian, tidak mungkin ada cinta kasih.
Cinta kasih bukanlah kebalikan daripada kebencian. Cinta kasih adalah cahaya yang bersinar-sinar,akan tetapi tentu saja cahaya cinta tidak dapat menerangi batin yang penuh dengan debu dan kotoran berupa sakit hati, dendam, dan kebencian.
Dan kebencian hanya akan mendatangkan derita dan kesengsaraan kepada batin sendiri! Bagi orang yang membenci, sudahlah jelas bahwa yang pertama kali menderita adalah dirinya sendiri. Setelah melihat kenyataan yang jelas ini, bahwa kebencian hanya mendatangkan deritadan kesengsaraan bagi diri sendiri, begitu bodohkah kita untuk melanjutkan kebencian yang merusak batin sendiri itu? Sayang bahwa Suastri belum melihat kanyataan itu, kebencianlah yang menjadi akibat sakit hati dan dendamnya, kebencian yang dipaksakan menutupi rasa cintanya, dan mulailah dara ini memasuki kehidupan penuh derita dan kesengsaraan batin ketika dia berlari-lari keluar masuk hutan sambil kadang-kadang menangis itu.
Peristiwa yang terjadi di dalam hutan itu, yang mengahancurkan kebahagiaan Sulastri, membuat dara itu seperti orang gila berlari-larian menyusup-nyusup hutan sambil menangis, ternyata juga mendatangkan akibat yang amat hebat bagi Sutejo. Pemuda ini semenjak berpisah dari Bromatmojo yang meninggalkanya di mojopahit, telah mulai merasa kehilangan kegembiraan hidupnya yang didapatkannya semenjak dia bersahabat dengan Bromatmojo. Kemudian, terjadi pergolakan dan konflik di dalam batinnya ketika dia melihat mbakayunya menjadi selir seorang seperti Resi Mahapati yang sebetulnya tidak disukainya. Akan tetapi oleh bujukan mbakayunya, satu-satunya orang yang dicintainya dan menjadi keluarganya, juga melihat kenyataan bahwa Mahapati setia kepada Mojopahit, maka Sutejo mengeraskan dan memaksa hatinya untuk membantu Mahapati.
Ketika dia mendengar bahwa Bromatmojo adalah seorang gadis, seketika dia sudah jatuh hati dan tahulah dia bahwa sesungguhnya dia jatuh cinta kepada Bromatmojo yang ternyata seorang gadis itu! Mulailah dia merasa bimbang dan berduka teringat bahwa Bromatmojo dan dia berpisah bukan sebagai sahabat. Ketika melihat kesempatan untuk mencari Bromatmojo, maka dia pun bersedia menemani Resi Harimurti mendatangi Empu Supamandrangi di puncak Bromo. Akan tetapi sungguh di luar persangkaannya bahwa pertemuan itu berakhir dengan kematian Sang Empu yang masih meragukan hatinya. Dia curiga bahwa Harimurti yang membunuh Empu itu, akan tetapi karena tidak ada bukti, dia pun tidak dapat berbuat apa-apa.
Kemudian, pertemuannya dengan Bromatmojo yang disambung dengan perkelahian,kemudian dilanjutkan dengan pertemuan asyik masyuk yang dilanjutkan dengan pernyataan saling cinta yang penuh kemesraan antara dia dan Sulastri! Kebahagiaan yang berlimpah-limpah ini membuat Sutejo tidak ingin kembali lagi kepada hal-hal yang lalu, tidak ingin kembali ke Mojopahit, tidak ingin menghadapi urusan kerajaan dan dia tadinya ingin mengajak Sulastri pergi jauh,hidup baru dan tidak mengingat lagi hal-hal yang lampau. Akan tetapi, dia terlambat ketika muncul cantrik Gunung Bromo dengan ceritanya tentang kematian Empu Supamandrangi sehingga membuat Sulastri marah-marah dan menuduh dia sebagai seorang di antara pembunuh-pembunuh Empu Supamandrangi.
"Aduh, Sulastri....!"
Sutejo menjatuhkan dirinya di atas rumput di mana tadi dia dan Sulastri saling menumpahkan perasaan cinta kasih yang bergelora. Dia tidak menyalahkan Sulastri, tidak pula menyalahkan cantrik. Dia menyesali diri sendiri mengapa dia mendengarkan bujukan Resi Mahapati dan mbakayunya.
"Trik-trik-sringgg.....!!"
Bunga api berpijar ketika berkali-kali keris di tangan Sulastri bertemu dengan keris di tangan Harwojo yang menangkisnya. Pada saat itu, Padas Gunung yang menjadi marah telah menerjang lagi, sulingnya mengeluarkan bunyi mendesing ketika menyambar ke arah leher Sulastri. Gadis ini terkejut karena serangan yang datang dari samping itu cepat dan berbahaya sekali, maka dia menjatuhkan diri ke kanan, kakinya menendang untuk mencegah lawan mendesaknya. Akan tetapi pada saat itu, ada bayangan hitam yang lebar menyambar dan lain saat tubuh Sulastri telah tertutup oleh sehelai jala yang berwarna hitam. Jala ini dilepas oleh Pragalbo,laki-laki bermuka hitam, tokoh ke dua dari Puger. Pragalbo turun tangan membantu setelah diperintah oleh Murwendo pula yang melihat betapa hebatnya Sulastri biarpun sudah dikeroyok oleh dua orang namun masih tetap mengamuk dan membuat Padas Gunung terhuyung itu.
"Ihhhhh.....!!"
Sulastri membentak dan biarpun tubuhnya diselimuti jala itu, dia meronta dan kakinya menendang dari dalam jala.
"Desss......!!"
Pragalbo terpaksa mundur karena tendangan itu berbahaya sekali,dan Harwojo cepat menghantam dari belakang, menggunakan tangan kirinya, mengarah tengkuk Sulastri.
"Plakkk! Heiiiiittt....!!"
Sulastri berhasil mengkis pukulan itu dengan tangan kirinya sambil membalik, namun gerakannya terhalang oleh jala sehingga tetap saja pundaknya kena terpukul. Dia terhuyung dan menggunakan kerisnya untuk membabat jala. Akan tetapi pada saat itu, jala ke dua dilempar ke atas tubuhnya.
Sulastri meloncat namun kakinya terlibat jala dan ketika Pragalbo menarik tali jala dengan sentakan keras, tak dapat dicegah lagi tubuh dara itu terguling dan diringkus oleh jala. Harwojo menubruknya dan menekuk kedua lengan gadis itu ke belakang lalu membelenggunya, demikian pula Padas Gunung cepat mengikat kedua kaki Sulastri. Dara itu tidak dapat meronta lagi, seperti seekor harimau yang sudah terjebak di dalam jala dengan kaki tangan teringkus dan terbelenggu.
"Pengkhianat! Keparat-keparat berhati palsu! Jahanam.....!"
Sulastri memaki-maki,akan tetapi tidak mereka tidak memperdulikannya.
"Murwendo dan Murwanti, harap jangan melupakan janji kalian,"
Kata Harwojo kepada dua orang kakak beradik kembar itu.
"Jangan khawatir, Harwojo,"
Jawab Murwendo.
"Dan sekarang kami akan membawa mereka ke Puger."
"Pergilah, akan tetapi seperti yang kalian janjikan, kalian tidak boleh sekali-kali menyia-nyiakan mereka! Ingat, aku yang membantu kalian mencapai apa yang kalian idam-idamkan."
"Ha-ha-ha, perlukah engkau bertanya lagi? Kami berdua amat cinta kepada mereka. Dan bagaimana dengan dia? Akan kami bawa sajalah dia itu bersama ke Puger?"
Murwendo menunjuk ke arah Sulastri yang masih rebah terbelenggu di dalam jala.
Harwojo menggeleng kepala.
"Dia tidak masuk dalam perjanjian kita. Serahkan saja dia kepadaku."
"Hik-hik, agaknya engkau pun tidak mau ketinggalan dari kami, Harwojo. Selamat menikmati...."
"Ha-ha-ha, dia memang cantik jelita dan......"
"Cukup! Jangan kalian bicara yang bukan-bukan! Pergilah!"
Harwojo tiba-tiba menghardik dan dua orang kakak beradik kembar itu sambil tertawa-tawa lalu masing-masing memanggul tubuh Joko Handoko dan Roro Kartiko, meloncat ke atas punggung kuda yang sudah dipersiapkan oleh orang-orangnya dan tak lama kemudian,pergilah dua orang saudara kembar itu membawa semua tawanannya, diiringkan oleh pasukan yang dipimpin oleh Padas Gunung dan Pragalbo. Harwojo memandang mereka sampai mereka itu lenyap dan hanya meninggalkan debu yang memenuhi hutan yang mulai gelap itu. Kemudian dia duduk di atas rumput dekat Sulastri yang masih meringkuk dalam keadaan tak berdaya di dalam jala.
"Harwojo manusia keparat!"
Sulastri memaki dengan marah.
"Engkau curang, licik dan tak tahu malu! Hayo kau bebaskan aku dan kita boleh bertanding sampai salah seorang di antara kita mengeletak tanpa nyawa di sini kalau engkau memang jantan sejati! Atau kalau tidak, kau boleh cabut kerismu dan bunuh aku sekarang, dan aku kan mati sambil mengenangmu sebagai seorang manusia pengecut yang hina-dina!"
Harwojo menghadapi maki-makian Sulastri dengan tenang saja, hanya menarik menarik napas panjang dua tiga kali dan mengerling ke arah gadis itu dengan sikap tak acuh. Kemudian dia berkata setelah gadis itu dengan memaki-maki lagi.
"Sulastri, kalau aku tidak sayang kepadamu, apa kau kira saat ini engkau masih hidup?"
"Jahanam besar! Siapa yang haus akan sayangmu? Siapa yang takut mati? Kau mau bunuh aku lekas bunuh, aku tidak sudi minta-minta belas kasihanmu, pengkhianat keji!"
Harwojo menggeleng-geleng kepalanya.
"Engkau memang memiliki ilmu kepandaian tinggi, sungguh mengagumkan sekali bagi seorang wanita semuda engkau. Akan tetapi engkau masih muda, keras hati dan keras kepala, ceroboh dan nekat."
"Dan engkau seorang penjahat yang berhati palsu, laki-laki mata keranjang dan busuk!"
Alis pemuda itu berkerut dan ia cepat menoleh kepada gadis itu.
"Hemm, jangan samakan aku dengan orang macam Murwendo tadi! Jangan kira aku sayang kepadamu karena engkau seorang perawan cantik! Sama sekali tidak! Aku sayang padamu melihat kepandaianmu karena engkau akan menjadi seorang yang berguna bagi Mojopahit. Namun engkau telah tersesat, menghambakan diri kepada Lumajang,kepada sarang pemberontak."
"Dan kau sendiri? Phuh, muak aku mendengarnya!"
"Engkau memang bodoh akan tetapi keminter (berlagak pinter)! Aku adalah utusan Gusti Ratu dan Gusti Pangeran di Mojopahit, aku menyamar sebagai seorang peserta sayembara, untuk menyelidiki Lumajang, untuk mencari Kolonadah."
"Hemm.....dan kau menjerumuskan Joko Handoko dan Roro Kartiko ke dalam jurang kecelakaan, dan engkau menangkap aku.....!"
"Tentu saja. Tugasku untuk menghancurkan kekuatan yang mendukung Lumajang. Dan Joko Handoko bersama adiknya adalah pelarian-pelarian Mojopahit, anak-anak dari Progodigdoyo. Masih baik aku tidak membunuh mereka, dan aku melihat nasib mereka tidak akan sengsara di Puger sana. Dan kau.... hemm, aku hanya ingin agar engkau sadar daripada kesesatanmu, dan marilah kau ikut denganku ke Mojopahit,menghambakan diri kepada Mojopahit sehingga tidak akan percuma engkau selama ini mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi."
"Tak usah kau pura-pura baik. Bebaskan aku dan mari kita bertanding secara jujur, ingin kulihat sampai di mana kedigdayaanmu, Harwojo!"
Pada saat itu, sebelum Harwojo sempat menjawab, terdengar suara nyaring.
"Adi Bromo, aku datang membantumu!"
"Kakang Tejo....!"
Harwojo sudah meloncat berdiri akan tetapi dia harus cepat membuang diri ke samping karena Sutejo telah menerjang dengan dahsyat. Harwojo membalik dan balas memukul, ditangkis oleh Sutejo dan terjadilah perkelahian yang hebat antara dua orang pemuda yang sama tangkas dan sama digdaya ini. Pukul memukul terjadi,tendang-menendang dan tampar-menampar, masing-masing mengeluarkan aji kesaktian mereka, desak-mendesak dan saling berusaha untuk merobohkan lawan. Sementara itu, malam mulai menggulung hutan itu dalam kegelapan. Namun mereka yang berkelahi tidak menghiraukan kegelapan dan biarpun pandang mata mereka tidak lagi dapat diandalkan dalam perkelahian itu, mereka yang merupakan orang-orang terlatih masih dapat mengandalkan ketajaman pendengaran dan perasaan mereka. Akan tetapi Harwojo yang menyangka bahwa lawannya adalah orang Lumajang dan karenanya membela diri mati-matian, akhirnya harus mengakui keunggulan lawan setelah dia mempertahankan diri selama seperempat jam perkelahian mati-matian di mana dia telah mengeluarkan segala ilmunya dan mengerahkan seluruh tenaganya.
Akhirnya, dalam keadaan lemas dan lelah sekali karena sebelumnya dia sudah harus bertanding melawan Sulastri yang juga tidak mudah dia robohkan, sebuah tamparan dari tangan kiri Sutejo mengenai lehernya dan dia terpenting roboh dalam keadaan setengah pingsan. Dia mencoba bangun, akan tetapi hanya berhasil bangkit duduk dan menggoyang-goyang kepalanya yang terasa pening dan pandang matanya berkunang-kunang. Ketika Sutejo menghampiri, terdengar Sulastri berteriak,
"Kakang Tejo, jangan bunuh dia!"
Sutejo menoleh, tentu saja dia tidak mempunyai niat membunuh lawannya yang tangguh dan yang sudah dikalahkannya itu. Pemuda ini seperti kita ketahui datang dari Gunung Bromo di mana dia berpisahan dengan Resi Harimurti yang menuju ke barat, kembali ke Mojopahit. Sutejo menuju ke Lumajang dan kebetulan sekali ketika dia tiba di dalam hutan itu dan berniat untuk beristirahat dan melewatkan malam itu di dalam hutan, dia mendengar suara yang amat dikenalnya, suara Bromatmojo yang lantang dan galak! Tentu saja dia merasa terkejut sekali dan cepat dia menuju ke arah suara itu tanpa memperdulikan kaki tangannya tergores-gores duri yang dilanggarnya karena hutan itu sudah diliputi kegelapan remang-remang.
Dan ketika dia melihat Bromatmojo rebah tak berdaya dalam keadaan terbelenggu kaki tangannya dan digulung jala pula, tentu saja Sutejo menjadi marah dan dia lalu menyerang laki-laki yang berada di dekat Bromatmojo dan yang tadi dimaki-maki dan ditantang-tantang olehnya. Kini mendengar Sulastri berteriak mencegahnya agar dia jangan membunuh laki-laki itu, Sutejo cepat menghampiri Sulastri, menggunakan kerisnya untuk membabat jala dan belenggu kaki tangan sehingga gadis itu bebas dari ikatan.
"Siapakah dia.... Adi....Bromo?"
Sutejo memandang Sulastri yang masih seperti dulu, berpakaian seperti seorang pemuda tampan.
Kini setelah bebas, Sulastri teringat bahwa yang membebaskannya ini adalah Sutejo, bukan lagi Sutejo sahabatnya yang dahulu, melainkan Sutejo kaki tangan Resi Mahapati! Oleh karena itu, sikapnya berubah menjadi dingin, dan dengan suara kaku dia menjawab.
"Apakah engkau tidak mengenal dia? Dia bernama Harwojo dari Mojopahit!"
Sutejo menggeleng kepalanya.
"Aku tidak mengenal orang yang bernama Harwojo. Mengapa dia berada di sini dan engkau terbelenggu?"
Sulastri duduk di atas akar pohon, hatinya masih panas, panas terhadap Harwojo dan juga panas terhadap Sutejo yang kini telah berdiri di pihak musuhnya.
"Kau tanyalah sendiri kepadanya."
Sutejo merasa tidak enak mendengar suara Bromatmojo yang kaku itu, akan tetapi dia mendekati Harwojo yang sudah duduk dan tidak lagi menggoyangkan kepalanya karena kepeningan kepalanya sudah mereda.
"Kisanak, siapakah engkau dan mengapa engkau memusuhi..... Adi Bromatmojo?"
Harwojo mengangkat mukanya dan memandang wajah Sutejo yang kelihatan remang-remang tertimpa cahaya bulan yang mulai muncul itu dengan penuh kagum. Baru sekali ini dia bertemu lawan yang benar-benar tangguh, di samping Sulastri.
"Saya bernama Harwojo dan saya utusan dari Gusti Ratu Pangeran Pati di Mojopahit. Saya diutus untuk menyelidiki dan mencari keris pusaka Kolonadah yang kabarnya berada di tangan orang-orang Lumajang. Dan kau siapakah, orang muda yang gagah perkasa?"
"Aku.... namaku Sutejo."
"Dan dia adalah adik ipar dari Resi Mahapati,"
Sulastri melanjutkan.
"Ahhh.....! Kiranya begitu?"
Harwojo berseru kaget.
"Maafkan aku karena aku tidak tahu siapa engkau maka aku menyerangmu, Kisanak. Pula, melihat Adi Bromo...."
Sutejo tidak melanjutkan kata-katanya.
"Aku meresa menyesal sekali harus menangkapnya, akan tetapi sungguh aku tidak berniat buruk terhadap dia, aku hanya hendak membujuk agar dia tidak membantu pemberontak. Karena kita belum saling mengenal, maka ketika engkau menyerang,aku tentu saja mengira engkau seorang ponggawa Lumajang pula yang belum kuketahui."
Sutejo menarik napas panjang.
"Kalau begitu tugas kita sama. Aku pun sedang menyelidiki Kolonadah dan hendak pergi ke Lumajang."
"Kalian ini hamba-hamba Mojopahit yang bodoh!"
Tiba-tiba Sulastri berkata dengan nada mengejek.
"Dan engkau Sutejo, engkau pun telah dibodohi orang dengan mudah! Kuberi tahu kalian bahwa Kolonadah tidak berada di Lumajang, melainkan berada di tangan orang Mojopahit!"
"Ah, mana mungkin....?"
Sutejo dan Harwojo berseru kaget.
"Memang kalian bodoh! Kalau sudah berada di Lumajang, perlu apa Adipati Wirorojo mengutus aku untuk menyelidikinya dan mencarinya di Mojopahit? Keris itu sudah berada di tangan Resi Harimurti! Tadinya memang keris pusaka itu dilarikan oleh Ki Ageng Palandongan dari Tuban, untuk dibawa ke Lumajang. Akan tetapi di tengah jalan, Ki Ageng Palandongan diserang oleh Resi Harimurti!"
"Akan tetapi..... menurut Gusti Ratu, sampai sekarang tidak ada yang menyerahkan keris pusaka itu!"
Kata Harwojo.
"Hemm, kalau keris sudah berada di tangan Resi Harimurti, tentu diserahkan kepada Resi Mahapati, bukan kepada Sri Ratu!"
Kata Sulastri.
"Akan tetapi, Resi Mahapati adalah tangan kanan Gusti Ratu, dan Resi Mahapati juga belum menyerahkan keris pusaka itu,"
Bantah Harwojo.
"Dan menurut cerita Resi Harimurti, biarpun dia telah berhasil merampas keris dari tangan Ki Ageng Palandongan, akan tetapi orang-orang Lumajang telah berhasil merampas dari tangannya pula,"
Kata Sutejo.
"Aneh!"
Sutejo dan Harwojo berkata hampir berbareng dan ketiganya duduk termenung dengan bingung. Keris pusaka itu tidak berada di tangan Resi Harimurti seperti yang disangka oleh Sulastri, tidak juga berada di tangan Orang-orang Lumajang. Lalu di mana? Siapa yang merampasnya dari tangan Resi Harimurti?
"Apakah ada yang menyaksikan ketika keris itu dirampasnya dari tangan Resi Harimurti?"
Sulastri bertanya tanpa menujukannya kepada orang tertentu.
"Tidak,"
Sutejo menjawab dengan alis berkerut.
"Menurut penuturannya, dia seorang diri ketika keris itu dirampas orang-orang yang menggunakan akal mengeroyoknya."
"Huh,kalau begitu kalian dibohongi oleh Resi jahanam itu!"
Harwojo lalu bangkit berdiri.
"Maafkan saya...., kalau begitu saya harus cepat pulang ke Mojopahit untuk melaporkan hal ini........."
Baik Sulastri mau pun Sutejo tidak menjawab apa-apa, juga tidak mencegah ketika Harwojo meninggalkan tempat itu. Mereka berdua masih duduk berhadapan di atas tanah sampai lama setelah Harwojo tidak tampak lagi dan tidak terdengar suara apa-apa kecuali jangkerik dan belalang yang riuh rendah menghidupkan suasana yang sunyi di dalam hutan itu. Bulan sudah naik agak tinggi dan karena tempat mereka duduk merupakan tempat terbuka yang cukup luas, maka sinar bulan dapat menimpa tempat itu tanpa terhalang, mendatangkan penerangan yang cukup sehingga mereka dapat melihat wajah masing-masing dengan jelas.
"........Adi Bromo...."
Akhirnya suara Sutejo memecah kesunyian. Dia merasa canggung sekali kalau harus mengganti sebutan ini, sungguhpun kini dia sudah yakin bahwa "pemuda"
Yang berada di depannya ini adalah seorang dara yang cantik jelita dan gagah perkasa.
Sulastri mengira bahwa Sutejo belum tahu akan rahasia pribadinya, dan teringat akan jurang yang memisahkan mereka karena pemuda ini membantu Resi Mahapati, dia lalu menjawab dengan sikap dingin dan suara kaku.
"Sutejo di antara kita tidak ada lagi hubungan persahabatan."
Wajah pemuda itu menjadi agak pucat dan matanya terbelalak, kemudian dia berkata dengan suara yang bernada sedih.
"Adi Bromo, setelah segala yang kita alami bersama, mengapa....engkau bersikap seperti ini kepadaku? Tidakkah engkau sudi memaafkan aku, seandainya aku ada kesalahan terhadapmu?"
"Tidak perlu bicara tentang kesalahan dan masihkah engkau bertanya lagi mengapa aku bersikap begini, Sutejo? Lupakah engkau bahwa engkau dan aku berdiri di dua pihak yang bertentangan? Aku adalah musuhmu dan engkau adalah musuhku!"
"Adi Bromatmojo!"
Sutejo berkata sambil melangkah maju.
"Jangan kau berkat demikian. Malah kedatanganku ini sengaja hendak mencarimu. Hendak menyadarkan engkau telah menempatkan dirimu di dalam bahaya besar dan juga dalam penyelewengan yang kelak hanya akan membuatmu menyesal."
Sulastri mengerutkan alisnya.
"Hemm, engkau malah berani berkata seperti itu? Hendak menyadarkan aku? Dalam hal apakah?"
"Adi Bromo...."
Teringat bahwa yang diajaknya bicara dengan sebutan pria itu sebetulnya adalah seorang dara, Sutejo tidak berani lama-lama menentang wajah Sulastri dan ia melanjutkan sambil menunduk, dan hanya sekali-kali saja mengangkat muka memandang.
"Aku mendengar bahwa engkau telah menghambakan diri kepada adipati di Lumajang, bahkan engkau sendiri tadi mengatakan bahwa engkau menjadi utusan Sang Adipati untuk mencari keris pusaka Kolonadah. Adi Bromo.....hendaknya engkau insaf dan menyadari bahwa engkau telah tersesat......"
Mendengar ucapan itu, otomatis kedua tangan Sulastri bergerak naik ke pinggangnya dan sepasang matanya memandang marah. Mulutnya tersenyum mengejek, senyum yang sudah amat dikenal oleh Sutejo, senyum yang akan keluar kalau temannya itu sedang mengkal hatinya.
"Aku? Tersesat? Memang aku menghambakan diri kepada Adipati Wirorojo, Adipati Lumajang. Tidak tahukah engkau siapa beliau? Beliau adalah seorang yang arif bijaksana, seorang pemimpin sejati. Kenapa kau berani mengatakan aku tersesat?"
"Ah, itulah salahnya, Adi Bromo. Engkau tidak sadar bahwa engkau telah menghambakan diri kepada pemberontak."
"Sutejo jangan sembarangan menuduh. Adipati Wirorojo bukanlah pemberontak!"
"Memang belum memberontak, akan tetapi di sanalah ditampungnya semua orang yang memusuhi Mojopahit. Semua bekas pengikut Ronggo Lawe, pengikut Lembu Sora, semua pergi ke Lumajang, bahkan bekas-bekas perejurit mereka pun kini menjadi perajurit Lumajang. Apakah itu bukan suatu bukti bahwa Lumajang adalah sarang pemberontak?"
"Huh,hati dan pikiranmu memang sudah diracuni oleh Resi Mahapati, Sutejo! Maka wawasanmu juga ngawur! Telingaku sendiri yang mendengar ucapan keluar dari mulut Sang Adipati Lumajang baru beberapa hari yang lalu bahwa Beliau tidak ingin memberontak, bahkan tidak ingin bentrok dengan Mojopahit selama di sana masih ada Sang Prabu yang Beliau junjung tinggi itu menduduki tahta kerajaan. Akan tetapi Beliau tidak setuju kalau Kolonadah terjatuh ke tangan Pangeran Kolo Gemet. Dan engkau tahu siapa gerangan pangeran itu? Pangeran berdarah Melayu, dan Resi Mahapati justeru berhamba kepada Pangeran itu! Orang-orang Lumajang bukan berjiwa pemberontak, bahkan amat mencintai Mojopahit dan Sang Prabu. Hanya membenci para ponggawa Mojopahit yang jahat dan sewenang-wenang itu."
"Hemm, tentu saja mereka tidak mau mengaku, Adi Bromo. Tidak ada maling yang mengaku pencuri, tidak ada perampok mengaku begal, tidak ada orang bersalah mengaku tidak benar. Adipati Lumajang sudah mambuktikan dengan sikapnya yang tidak mau tunduk lagi kepada Sang Prabu di Mojopahit yang seharusnya ditaati oleh semua kawula Mojopahit yang setia."
"Kawula Mojopahit yang setia? Huh, kau anggap orang-orang macam Resi Mahapati dan Resi Harimurti itu orang-orang yang baik? Betapa engkau sudah buta!"
"Aku tidak peduli akan pribadi mereka, selama mereka tidak menggangguku dan tidak melakukan kejahatan di depan mataku karena kalau demikian halnya, tentu aku akan menentangnya. Aku harus setia kepada Mojopahit dan karena kulihat Resi Mahapati dan Resi Harimurti setia kepada Mojopahit, maka aku rela membantu. Coba Resi Mahapati memberontak terhadap Mojopahit, biar dia kakak iparku sendiri,sudah pasti akan kulawan. Karena itu, Adi Bromo, marilah engkau kembali ke jalan benar, jalan satria utama yang tidak akan keliru dalam menentukan langkah,membela yang benar dan setia kepada kerajaan. Mari kita bersama kembali dan kita melihat dengan mata sendiri siapa yang tidak benar, kita lawan bersama."
"Wah, sungguh engkau telah mabok, Sutejo! Mabok oleh bujuk rayu Resi Mahapati! Muak aku mendengar semua kata-katamu, kata-kata yang tentu telah diatur sebelumnya oleh Resi keparat itu! Nah, kita sekarang berhadapan sebagai musuh. Tidak perlu banyak cakap lagi, Sutejo. Engkau adalah kaki tangan Resi Mahapati yang dibenci dan dimusuhi oleh Adipati Lumajang, dan aku adalah seorang pengawal dari Adipati Lumajang. Engkau berada di sini tentu sebagai mata-mata Resi Mahapati, maka hayo kita menentukan kebenaran melalui kepandaian. Kau sambutlah!"
Setelah berkata demikian, Sulastri sudah menerjang ke depan dan menyerang Sutejo dengan sungguh-sungguh sambil mengerahkan seluruh tenaganya karena dia maklum betapa saktinya pemuda ini.
"Eh, eh, nanti dulu ....!"
Sutejo mengelak dan mundur ke belakang, menghindarkan diri dari sambaran tangan yang kecil namun mengandung hawa pukulan dan tenaga sakti yang ampuh itu.
"Sutejo, sudah jelas engkau adalah kaki tangan Resi Mahapati dan aku adalah ponggawa Lumajang. Di antara kita terdapat permusuhan besar, dan dalam memperebutkan Kolonadah pun kita akan berhadapan sebagai musuh."
"Adi Bromo, nanti dulu, mari kita bicara dulu.....!"
"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Sambutlah, atau minggatlah kau dari sini!"
Sulastri yang merasa amat kecewa dan penasaran melihat Sutejo berkukuh dalam pendiriannya membenarkan Resi Mahapati, sudah menerjangnya lagi dengan dahsyat dan sungguh-sungguh karena kekecewaan hatinya itu mendatangkan kemarahan besar.
Sutejo yang dikagumi, yang amat disukai, yang dianggap sebagai sahabat paling baik di dunia ini dan yang sedetik pun tidak penah dilupakannya, Sutejo telah mengecewakan hatinya dengan menjadi kaki tangan Resi Mahapati! Dan yang lebih mengecewakan hatinya lagi adalah kenyataan yang memaksa pemuda itu membantu Resi Mahapati yang dibencinya, yaitu bahwa pemuda itu adalah adik ipar dari Sang Resi itu. Inilah yang membuatnya kecewa dan marah sehingga kini dia menyerangnya kalang kabut untuk melampiaskan rasa penasaran dan kekecewaan hatinya.
Sutejo terkejut menghadapi serangan Sulastri karena dia maklum bahwa dara itu menyerangnya dengan sungguh-sungguh. Dahulu, pernah temannya ini menyerang dan memaksanya berkelahi, dan bairpun murid dari Gunung Bromo ini amat sakti, namun dia masih dapat mengatasinya. Kalau dia mau, tentu saja dia dapat membendung semua serangan kilat itu dan balas menyerang. Akan tetapi, setelah kini tahu bahwa yang menyerannya ini adalah seorang dara, bagaimana dia tega untuk melawannya? Pula, rasa suka dan sayangnya kepada Bromatmojo yang tadinya dianggap sebagai sahabatnya yang terbaik, kini mengalami perubahan besar setelah dia tahu bahwa Bromatmojo adalah Sulastri, seorang dara. Dia sendiri masih belum dapat menentukan apakah perubahan itu dan bagaimana kini perasaan hatinya terhadap Sulastri, akan tetapi yang sudah jelas tidak mungkin baginya untuk melawan Sulastri, apalagi mencoba untuk merobohkan dara ini! Maka dia pun hanya mengelak dan menangkis saja, dan tangkisan ini pun dilakukannya tanpa pengerahan tenaga sakti sepenuhnya karena dia khawatir kalau-kalau tangkisan yang keras akan melukai lengan atau tangan dara itu! Akan tetapi dia lupa bahwa Sulastri bukanlah seorang lawan yang sembarangan saja.
Bahkan dia yang telah memiliki kesaktian tinggi, dibandingkan dengan dara itu hanya menang sedikit saja. Oleh karena itu, mana mungkin dia mengadapi amukan Sulastri hanya dengan elakan dan tangkisan yang dibatasi tenaganya? Apalagi karena Sulastri, dara yang berhati baja itu, ketika malihat sikap Sutejo yang hanya mengelak dan menangkis, merasa dipandang rendah dan hina, maka serangan-serangannya menjadi semakin menghebat dan dara itu telah mainkan Ilmu Hasto Bairawa dan mengisi kedua tangannya dengan hawa sakti dari Hasto Nogo, terutama tangan kirinya yang setiap menyambar mengeluarkan suara bersiutan keras itu.
Sutejo masih tetap mengelak dan menangkis, akan tetapi ketika Sulastri mendesak,dia kalah cepat. Tamparan Hasto Nogo tangan kiri Sulastri menyusul serangan tangan kanannya yang tertangkis. Tangan kiri yang ampuh itu menyambar ke arah pelipis Sutejo. Pemuda itu terkejut dan cepat mengelak, akan tetapi dia masih kalah cepat dan tamparan itu masih mengenai pangkal lehernya dekat pundak kanan.
"Plakkk.... uhhh....!!"
Tubuh Sutejo terpelanting dan ia roboh ke atas tanah dalam keadaan pingsan! Yang terakhir kelihatan oleh Sutejo hanyalah wajah Sulastri yang berputar-putar, dengan sepasang mata yang indah lebar itu terbelalak dan telinganya mendengar jerit tertahan, kemudian gelaplah semua baginya dan dia merasa betapa dia hanyut di air bengawan yang sedang banjir.
Tubuhnya seperti tersedot ke bawah dan tenggelam dan biarpun dia sudah berusaha untuk timbul ke permukaan, namun tetap saja dia tenggelam lagi. Pergulatan melawan air ini berjalan lama sekali dan agaknya kepalanya tertumbuk batu karena tiba-tiba terasa berdenyut-denyut nyeri bukan main.
Dia tidak kuat lagi dan menghentikan rontaannya, membiarkan dirinya hanyut terbawa air bengawan yang sedang banjir. Dia merasa dihanyutkan ke pinggir,napasnya terhenti dan rasa nyeri sudah hampir lenyap ketika dia mendengar suara sayup-sayup, suara orang memanggil-manggilnya. Karena dia mengenal baik suara itu, maka dia mengerahkan tenaga terakhir untuk mendengarkan, untuk melawan kekuatan dahsyat yng menyeretnya agar dia dapat menangkap kata-kata dari suara yang amat dikenalnya ini.
"Kakang Tejo.....! Kakang Tejo....!!"
Sutejo merasa berada di dalam sebuah jurang atau sumur yang amat dalam dan amat gelap. Akan tetapi suara itu mendorongnya, menariknya agar dia keluar dari jurang gelap itu. Dia seperti meraba-raba dalam gelap, hanya suara itu yang menjadi pedomannya keluar dari dalam kegelapan yang menelannya.
"Kakang Tejo... kau maafkan aku, Kakang...."
Sutejo merasa terheran-heran mendengar suara ini, suara yang disambung dengan isak tangis! Dia mengenal suara itu, tentu saja. Suara siapa lagi yang renyah itu kalau bukan suara Bromatmojo? Akan tetapi Bromatmojo menangis? Pemuda yang gagah perkasa itu, yang tidak mengenal takut, kini menangis terisak-isak? Aneh!
"Kakang Tejo....., jangan kau mati, Kakang......, kalau kau mati, aku pun tidak sudi hidup sendirian.........Kakang Tejo......!"
Tubuhnya diguncang-guncang dua tangan dan suara tangis itu makin menjadi.
Akan tetapi, dia teringat betapa Bromatmojo memusuhinya, menyerangnya dan menamparnya. Ingatan ini membuat hatinya sedih bukan main dan mengendurkan lagi semangatnya untuk bangkit dari kegelapan. Biarlah dia mati saja, pikirnya dan kembali dia ditelan kegelapan jurang itu.
"Kakang Tejo.....aduhh, Kakang..... bangunlah..... tidak tahukah engkau bahwa aku cinta padamu....? Kakang...."
Ucapan itu seperti halilintar menyambar dan menerangi jurang yang gelap itu!
Kini teringatlah dia bahwa Bromatmojo adalah Sulastri, seorang dara. Dan apa yang diucapkan Sulastri tadi? Ah, dia tidak percaya! Akan tetapi, kini Sulastri menangis di atas dadanya, tidak mengguncang-guncang lagi dengan tangan, akan tetapi tubuh dara yang menangis itu sudah terguncang-guncang sehingga tubuhnya sendiri ikut terguncang pula.
"......aku cinta padamu, Kakang Tejo........... aku cinta padamu dan aku yang membunuhmu......"
Tangis itu makin mengguguk kini dan Sutejo merasa betapa muka yang halus itu melekat pada mukanya, betapa air membasahi pipinya. Air mata!
Sulastri menangis dan menciuminya! Kini gadis itu kembali menangis di atas dadanya. Dengan halus kedua tangannya mengusap kepala itu, dan terdengar pula suaranya,kedengarannya aneh bagi telinganya sendiri, karena suaraya gemetar.
".....jangan menangis....., jangan kau menangis....."
Sulastri mengangkat mukanya dari atas dada Sutejo, dengan kedua mata basah dan pipi kemerahan dia memandang wajah Sutejo.
"Kakang Tejo....."
Dia berseru girang bukan main.
"Kau.... kau..... tidak mati....??"
Sutejo membuka matanya. Kedua tangannya kini merangkul leher itu.
"Belum, Diajeng....... aku nyaris mati akan tetapi suaramu memanggilku kembali...."
"Kakang kau menggeletak dengan muka pucat, tak bernapas lagi, tadi aku yakin bahwa engkau tentu telah tewas..... ahhh, olah pukulan Hasto Nogo yang terkutuk......, betapa khawatir aku....."
"Jangan khawatir, Nimas. Aku tidak mati dan kau.....Diajeng Sulastri...."
"Ehh.....?"
Sulastri terbelalak.
"Kau....kau sudah tahu.... bahwa aku......"
Sutejo bangkit duduk dan kedua tangannya masih merangkul pinggang dan leher dara itu. Dia mencoba tersenyum.
"Aku.... telah menduganya.... eh, aku telah mengetahuinya..... Sulastri....aku... aku pun cinta kepadamu, Diajeng....."
"Apa....??"
Sulastri meronta dan melompat berdiri.
"Kau... kau... tadi mendengar semua kata-kataku?"
Mata itu terbelalak lebar sekali, mukanya menjadi pucat lalu merah sekali.
"Aku...... berada di jurang gelap..... tiba-tiba mendengar suaramu memanggil.....dan pernyataan cintamu......."
"Kau pura-pura mati! Kau.... ah, kau tak tahu malu.....! Kau menyalahgunakan penyesalanku, pura-pura mati dan memancing aku membuka rahasia hati.... saking menyesalku memukulmu.... ah, kau.... kau.....!"
Dara itu menangis lagi, menangis karena marah!
"Ah, Sulastri, tidak....... sama sekali tidak......! Aku memang hampir mati.... kiraku tentu mati kalau tidak ada engkau yang memanggilku...... Sulastri, aku.... cinta padamu, baru sekarang kusadari benar hal ini. Sulastri, ah, jangan kau memandang kepadaku dengan marah seperti itu...."
Dan sutejo bangkit berdiri akan tetapi dia terguling pula, kepalanya berdenyutan dan pandang matanya gelap,berkunang-kunang dan dia roboh seperti tadi. Kini pingsan kembali untuk ke dua kalinya.
Ketika Sutejo siuman kembali. Seketika dia teringat kepada Sulastri dan bangkitlah dia, menengok ke sana-sini akan tetapi tempat itu kosong, sekosong hatinya karena Sulastri tidak nampak di situ. Dirabanya pangkal lehernya dekat pundak itu dan ternyata bekas pukulan itu telah diberi obat dan dibalut. Siapa lagi kalau bukan Sulastri yang mengobatinya. Akan tetapi dia tidak ada lagi!
"Ah, Sulastri........, Sulastri.....!"
Dia mengeluh dan memanggil-manggil.
"Aku di sini, Kakang Tejo!"
Sutejo cepat bangkit berdiri, biar pun lehernya terasa agak nyeri namun dia tidak peduli dan dia menengok. Terbelalak dia memandang, terpesona ketika melihat seorang dara cantik jelita berdiri di bawah pohon, agaknya baru datang dan tangan kirinya membawa sesisir pisang yang sudah matang, tangan kanannya membawa kelapa muda. Bukan main cantiknya dara itu.
"Sulastri.....!!"
Mereka berdua melangkah dan saling menghampiri, pandang mata mereka melekat.
"Kakang Tejo, kau.... maafkan aku?"
Bibir itu berbisik dan mata itu masih sayu karena habis menangis.
"Sulastri, tentu saja. Kau tidak bersalah, bahkan sudah selayaknya aku kau pukul mati! Kau.... ah, Lastri..... betapa..... betapa cantiknya engkau.......!"
"Kakang, ini kucarikan pisang dan kelapa muda untukmu. Air kelapa muda ini baik sekali untuk cepat menyembuhkan bekas pukulan itu, Kakang...."
Akan tetapi Sutejo tidak memperdulikan itu semua dan kini dia sudah berdiri dekat di depan Sulastri dan merangkul pinggang dara itu, menariknya dekat-dekat dengan tubuhnya. Sepasang mata itu saling melekat, saling menyelami sedalam-dalamnya,seperti hendak saling menjenguk isi hati masing-masing.
"Nimas.... aku berterima kasih untuk pukulanmu ini....... kalau tidak begitu agaknya kita akan terus saling bermusuhan. Sulastri, betapa bodohnya aku selama ini. Aku selalu memikirkan diri sendiri, memikirkan kerajaan dan lain-lain yang sama sekali tidak ada artinya dibandingkan engkau. Semenjak engkau kukenal sebagai Bromatmojo engkau telah menjadi sebagian dari hidupku. Begitu Bromatmojo pergi dari sampingku, hidup terasa sunyi kosong tak berarti. Aku telah jatuh cinta semenjak aku mengenalmu sebagai Bromatmojo, Diajeng Sulastri! Hanya, tentu saja perasan itu terkekang dan terbentur oleh kenyataan bahwa engkau tadinya kusangka seorang pria. Kini ternyata engkau seorang wanita dan memang cinta kasih dan perasaan hatiku lebih awas daripada aku yang bodoh dan seperti buta."
"Dan engkau.... engkau memarahkan hatiku karena engkau memandang rendah wanita."
"Dan engkau juga memanaskan hatiku dengan bersikap ceriwis dan mata keranjang terhadap wanita yang kita jumpai."
"Kusengaja untuk menggodamu..... kau yang bersikap sebagai seorang pria yang tidak suka jatuh cinta kepada wanita......"
"Kemudian engkau cemburu terhadap Roro Kartiko!"
"Dan karena itu aku sengaja menjatuhkan hatinya, agar dia....jangan sampai jatuh cinta kepadamu, karena.... semenjak kita bertemu, Kakang, aku...... tidak ingin ada wanita lain yang kau cinta, kecuali aku....."
"Sulasri.....!"
Mereka berangkulan dan ketika Sutejo menciumnya, berjatuhanlah pisang dan kelapa itu dari kedua tangan Sulastri. Mereka tidak peduli, karena kini kedua tanganya merangkul leher pemuda yang sejak dahulu dicintainya itu.
Mereka lupa akan segala sesuatu, seperti diayun ke sorgaloka. Mereka saling mendekap, saling mencium dan saling membelai, sampai sesak napas mereka berciuman, seolah-olah tidak ingin lepas kembali. Sulastri tertawa kecil ketika Sutejo memondongnya, lalu berputaran seperti seorang anak kecil yang memperoleh mainan baru, kemudian pemuda itu jatuh terduduk di atas rumput bersama Sulastri yang dipangkunya. Sulastri tertawa,lalu meloncat bangun dan berlari. Sutejo juga tertawa dan mengejarnya. Mereka berkejaran di dalam hutan itu sampai bercucuran peluh mereka, kemudian Sulastri membiarkan dirinya berpegang dan mereka berdua kembali jatuh bergumul di atas rumput.
"Lihat keringatmu....!"
Sutejo berbisik dan mengusap keringat Sulastri dari leher dan dahinya.
"Engkau juga, Kakang,"
Bisik Sulastri. Mereka saling mengusap keringat masing-masing,dan tak lama kemudian Sutejo duduk bersandar pohon dan merasa amat berbahagia memandang wajah dara yang amat cantik manis dan yang kini rebah di atas pangkuannya itu. Dia mengelus rambut sinom yang melingkar di depan dahi Sulastri,membungkuk dan mencium sepasang alis yang hitam melengkung indah itu. Sulastri memejamkan matanya, dadanya berombak penuh kebahagiaan.
"Sulastri darimana engkau memperolah pakaian wanita ini?"
Tanya Sutejo dan kedua tangan mereka saling berpegangan, dua puluh buah jari tangan itu saling melingkar seperti bergelut.
"Semenjak berada di Lumajang, aku selalu membawa pakaian wanita, Kakang. Mereka semua sudah tahu bahwa aku wanita. Hanya engkau seorang yang belum tahu, akan tetapi ketika tadi aku mendengar kenyataan bahwa kau pun sudah tahu, aku cepat berganti pakaian."
"Mengapa?"
Sutejo mengelus rambut yang hitam panjang halus itu.
"Karena sejak dahulu, sejak kita bertemu, betapa besar keinginanku untuk muncul di depanmu sebagai seorang wanita, Kakang."
"Ahhh, dan engkau begini cantik jelita, begini ayu dan manis merak ati, begini kewes dan luwes....engkau seperti Dewi Komaratih......"
Sutejo mencium mulut yang terbuka kegirangan mendengar pujian itu. Sulastri menyambut ciuman itu sepenuh hatinya dan kembali mereka tenggelam di dalam alam asyik masyuk.
Kini Sulastri yang duduk bersandar pohon dan Sutejo rebah dengan kepalanya di atas pangkuan kekasihnya. Jari-jari tangan Sulastri yang lentik memijat-mijat leher yang dipukulnya tadi, penuh kasih sayang.
"Kakang, aku tidak mau berpisah lagi darimu."
"Jangan khawatir, aku pun tidak sudi meninggalkan engkau seorang diri, Dewiku. Sampai mati kita tidak akan saling bepisah lagi."
"Dan bagaimana dengan Mojopahit?"
Sulastri bertanya, alisnya berkerut khawatir.
"Ha-ha, kita telah bersikap bodoh. Apa peduli dengan Mojopahit atau Lumajang? Apa peduli dengan semua orang lain? Yang terpenting adalah kita berdua, Dewiku."
"Akan tetapi, Kakang......."
Sutejo bangkit dan mereka duduk berhadapan.
"Ada apakah, Diajeng?"
"Kita lalu akan ke mana?"
"Ke mana pun yang kau kehendaki, aku menurut, Sulastri. Akan tetapi sebaiknya kalau kita berdua membebaskan diri dari ikatan mereka agar tidak terjadi lagi kesalahpahaman. Mari kita pergi saja, yang jauh....."
"Tidak mungkin, Kakang Sutejo. Kita harus menolong mereka."
"Siapa?"
"Joko Handoko dan Roro Kartiko."
"Mereka telah diculik oleh Murwendo dan Murwanti, dua orang kembar dari Puger itu."
Sulastri lalu menceritakan tentang pengalamannya ketika dia dan dua orang muda dari tuban bersama para anggota Sriti Kencana dikurung kemudian ditangkap oleh Pasukan Puger di bawah pimpinan Murwendo dan Murwanti.
Setelah mendengar penuturan itu, dengan alis berkerut Sutejo berkata.
"Sulastri, Dewiku, pujaan hatiku, sudahlah mari kita berdua jangan melibatkan diri dengan urusan orang lain. Mari kita berdua pergi dari sini dan menjauhkan diri dari semua urusan, Hidup berbahagia berdua saja, jauh dari semua keributan dan urusan,sayang."
Sulastri memandang wajah kekasihnya yang gagah dan tampan, yang amat dicintainya itu, dengan alis berkerut dan pandang mata aneh.
"Ah, Kakang Sutejo, apa yang telah terjadi denganmu? Mana jiwa satriamu dan mana watak gagahmu yang amat kukagumi itu? Tidak mungkin kita mebiarkan mereka tertawan dan terancam. Pula, tidaklah mungkin kita berdua menyendiri saja. Selama kita masih hidup, tentu kita akan berhubungan dengan orang lain dan tentu akan timbul persoalan, Kakang.
Dan kalau timbul persoalan, tentu kita akan menghadapinya sebagai orang-orang yang berjiwa satria. Sekarang melihat Joko Handoko dan Roro Kartiko tertawan oleh orang-orang Puger, bagaimana kita dapat tinggal berpeluk tangan saja?"
"Sulastri aku takut..... aku khawatir untuk kembali kepada waktu lampau, kepada hal-hal yang lalu. Mari kita tinggalkan ini semua dan mulai hidup baru, susana baru dan....."
"Sulastri...... ahh, Sulastri....!"
Dua orang itu terkejut dan cepat menoleh. Sutejo sudah meloncat bangun diikuti oleh Sulastri. Muka Sutejo pucat sekali karena kaget, apalagi ketika dia mengenal siapa yang datang itu. Akan tetapi Sulastri cepat lari menghampiri orang yang datang dan memanggilnya itu.
"Bukankah Andika.... Kakang cantrik dari Bromo....?"
Sulastri bertanya dan memandang laki-laki setengah tua yang bertubuh kurus itu.
Orang itu mengangguk-angguk, akan tetapi matanya terbelalak memandang kepada Sutejo.
"Ada apakah Kakang Cantrik? Bagaimana Andika dapat tiba di tempat ini?"
"Aku sengaja mencarimu, Sulastri. Dengan susah payah aku mencarimu. Sebetulnya kami berdua yang mencarimu dan kami berpencar setelah tiba di Lumajang. Syukur bahwa aku dapat bertemu danganmu di sini Sulastri."
"Apa yang terjadi?"
Sulastri memandang dengan jantung berdebar, perasaan hatinya tidak enak melihat wajah cantrik itu dan melihat betapa cantrik itu memandang kepada Sutejo dengan sinar mata penuh kebencian!
"Terjadi hal yang amat hebat, Sulastri. Guru kita, Eyang Supamandrangi, beberapa pekan yang lalu ini telah dibunuh orang!"
"Ehhh.......!!"
Sulastri menjerit dan memegang lengan cantrik itu.
"Eyang......dibunuh orang? Siapa? Mengapa?"
"Mau tahu siapa yang membunuh? Dia itulah seorang di antaranya! Dan mengapa? Tanya saja kepada kaki tangan Resi Mahapati itu! Orang Mojopahit sungguh kejam!"
Cantrik itu menudingkan telunjuknya kepada Sutejo dengan wajah pucat.
"Hemm, harap jangan menuduh yang tidak-tidak, Kisanak!"
Sutejo berkata tenang namun mukanya juga menjadi pucat dan dia memandang kepada Sulastri dengan wajah penuh kegelisahan.
"Menuduh yang tidak-tidak? Sutejo, beranikah engkau menyangkal? Siapa yang datang bersama Resi Harimurti ke pertapaan puncak Bromo? Hayo jawab, bukankah Andika yang datang bersama dia?"
Tanya cantrik itu sambil telunjuknya masih menuding, dipandang oleh Sulastri dengan wajah pucat sekali.
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Benar, sayalah orangnya,"
Jawab Sutejo tenang namun jantungnya berdebar penuh kekhawatiran.
"Kemudian Andika dan Resi Harimurti memaksa Eyang Supamandrangi untuk membuatkan Kolonadah palsu. Bukankah begitu?"
"Tidak memaksa, tapi...."
"Tidak memaksa? Kalau tidak dipaksa, mana mungkin Eyang Empu sudi membuatkan keris pusaka palsu? Kalian memaksa, bahkan ketika Eyang Empu Supamandrangi mengeluarkan tosan aji untuk ditekuk, Resi Harimurti tidak kuat menekuknya. Akan tetapi, Andika yang turun tangan menekuknya sehingga terpaksa Eyang Empu membuatkan keris Kolonadah palsu. Hayo jawab, tidakkah begitu?"
"Benar, saya yang menekuk tosan aji itu, akan tetapi Eyang Empu Supamandrangi tidak terbunuh, melainkan membunuh diri...."
Biarpun mulutnya berkata demikian, namun sebenarnya di dalam hatinya dia masih curiga dan ragu-ragu untuk menerima kenyataan itu.
"Membunuh diri? Eyang membunuh diri?"
Sulastri menjerit, sedikit pun tidak peraya.
"Nah, siapa bisa percaya, Sulastri? Kami pun tidak percaya. Eyang adalah seorang manusia yang arif bijaksana, seorang pertapa yang sudah mencapai tingkat tertinggi, mana mungkin melakukan perbuatan rendah itu? Dia dibunuh! Ini sudah pasti, andaikata benar membunuh diri pun, kalianlah orang-orang Mojopahit yang menjadi pendorongnya! Kalian pura-pura tidak tahu, pura-pura berduka, orang-orang khianat dan jahat! Cantrik itu makin marah dan cepat dia menerjang dan menyerang Sutejo dengan keris terhunus. Akan tetapi dalam beberapa gebrakan saja, tubuh cantrik yang kurus itu terlempar dan kerisnya pun terlepas dari tangannya.
"Sutejo manusia keji!"
Tiba-tiba Sulastri menerjang dengan pukulan hebat ke arah Sutejo.
"Duk!"
Sutejo menangkis dengan keras sekali.
"Diajeng....! Nanti dulu, jangan...!"
Akan tetapi semua ucapannya percuma saja karena Sulastri sudah menyerangnya dengan ganas dan dahsyat sekali, menyerangnya sambil menangis.
"Tidak..... tidak, Nimas, tidak....! Aku tidak membunuhnya. Demi para Dewata aku tidak......."
"Cukup!"
Sulastri membentak dan memandang dengan mata merah.
"Siapa percaya kepada sumpahmu? Kalau benar engkau bersih, mengapa tadi engkau sama sekali tidak menceritakan tentang hal itu? Engkau mendatangi Eyang, memaksa membuat keris, sampai Eyang terbunuh...... hu-huk, engkau harus mati di tanganku, Sutejo!"
Dan kembali Sulastri menyerang sambil menangis.
"Sulastri..... aduh, Sulastri, aku cinta padamu..... lupakah engkau Nimas? Kita saling mencinta...."
"Cintamu palsu, sepalsu hatimu! Engkau tidak menceritakan peristiwa itu kepadaku,hal itu cukup menujukkan kepalsuanmu!"
Sulastri menyerang lagi dan ketika Sutejo menangkis, pemuda ini terhuyung ke belakang karena lehernya masih terasa nyeri dan tangannya belum pulih kembali.
"Aku.... aku... takut kalau hal itu mengganggu...."
Sutejo menghentikan kata-katanya karena merasa bahwa ucapannya itu salah dan tidak akan memperbaiki keadaan, dan kembali dia mengelak. Kini Sulastri tidak mau mendengarkan lagi, terus menyerang dan semua ucapan Sutejo tidak didengarnya lagi.
"Plak....brukkk....!"
Sutejo terpelanting dan cepat pemuda ini menggulingkan dirinya karena Sulastri sudah menyusulnya dengan tendangan maut. Maklumlah dia bahwa Sulastri marah sekali dan sungguh-sungguh hendak membunuhnya, maka dia merasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya.
"Aduh, Sulastri....teganya engkau kepadaku....?"
Dia merintih dan meloncat sambil mengelak lagi.
"Tega? Siapa yang tega dan kejam? Engkau laki-laki palsu!"
Sulastri menerjang lagi dan kini Sutejo melompat jauh dan melarikan diri karena dia maklum bahwa kalu dia melanjutkan bertahan seperti itu, akhirnya dia akan terbunuh dan untuk melawan sungguh-sungguh, selain dia tidak mau, juga dalam keadaan masih terluka itu dia tidak akan menang melawan Sulastri. Pula, dia tidak merasa bersalah,tidak merasa membunuh Empu Supamandrangi dan kemarahan Sulastri itu hanya karena salah sangka belaka. Maka dia tidak ingin terbunuh, sekarang setelah dia tahu bahwa dia dan Sulastri saling mencintai, juga dia tidak ingin melihat Sulastri menjadi pembunuh. Biar pun hatinya terasa hancur, Sutejo cepat melarikan diri.
Sulastri yang sejak tadi menahan-nahan hatinya dan menyerang dengan air mata bercucuran, tidak mengejar, melainkan menjatuhkan diri di atas rumput sambil menangis terisak-isak. Cantrik itu menghampirinya dan berkata.
"Tidak perlu ditangisi lagi, Sulastri, kelak kita masih akan dapat membalas kamatian Sang Empu dan mencari Sutejo dan Resi Harimurti."
Mendengar suara cantrik itu, Sulastri terkejut, meloncat bangun dan menghadapi cantrik dengan mata bersinar-sinar penuh kemarahan.
"Mengapa kau datang? Mengapa kau ke sini!!"
Cantrik itu terkejut melihat mata yang terbelalak dan bercucuran air mata itu.
"Aku....aku.... eh, kau kenapa. Sulastri?"
Tanyanya bingung dan gagap.
Sulastri teringat bahwa sikapnya amat tidak sepatutnya, maka dia lalu menundukkan mukanya dan berkata.
"Kakang Cantrik, kau kembalilah ke Bromo. Biarkan aku sendiri, aku yang kelak membalaskan kematian Eyang Empu Supamandrangi, Pergilah...."
"Akan tetapi biar aku membantumu, Sulastri...."
"Tidak! Pergilah, lekas pergi jangan sampai aku menjadi marah!"
Tentu saja cantrik itu menjadi makin terheran-heran, dan sambil mengangguk-angguk dan bersungut-sungut pergilah dia meninggalkan gadis itu yang masih berdiri seperti patung. Setelah cantrik itu pergi, Sulastri mengambil buntalan pakaiannya dan sambil terisak-isak dia pun pergi dengan cepatnya dari tempat itu, menuju ke selatan karena dia mengambil keputusan untuk mencari dan menolong Joko Handoko dan Roro Kartiko. Kalau dia teringat kepada Sutejo, teringat akan pengalamannya yang mesra dan penuh madu asmara bersama Sutejo di dalam hutan itu, hampir dia tidak kuat melangkahkan kaki dan ada dorongan kuat agar dia lari kembali mencari Sutejo. Namun dia mengeraskan hatinya.
Jelas bahwa Sutejo bukanlah orang yang jujur, dan telah menjadi manusia jahat, kaki tangan Resi Mahapati yang tidak segan-segan membunuh Empu Supamandrangi untuk memaksa Empu itu membuatkan Kolonadah yang palsu. Dan itu masih belum hebat, yang amat menyakitkan hatinya lagi adalah bahwa setelah ikut membunuh atau menyebabkan kematian Empu Supamandrangi, Sutejo masih begitu tak tahu malu untuk membujuk rayu dia,bermain cinta dengan dia tanpa memberitahukan tentang keadaan Empu Supamandrangi yang telah dibunuhnya! Inilah yang amat menyakitkan hatinya, rasa sakit hati yang memaksa dia melupakan cintanya terhadap Sutejo.
Jelaslah bahwa sakit hati, dendam dan kemarahan tidak mungkin dapat bergandeng tangan dengan cinta kasih! Sakit hati dan dendam hanya mendatangkan kebencian dan di mana terdapat kebencian, tidak mungkin ada cinta kasih.
Cinta kasih bukanlah kebalikan daripada kebencian. Cinta kasih adalah cahaya yang bersinar-sinar,akan tetapi tentu saja cahaya cinta tidak dapat menerangi batin yang penuh dengan debu dan kotoran berupa sakit hati, dendam, dan kebencian.
Dan kebencian hanya akan mendatangkan derita dan kesengsaraan kepada batin sendiri! Bagi orang yang membenci, sudahlah jelas bahwa yang pertama kali menderita adalah dirinya sendiri. Setelah melihat kenyataan yang jelas ini, bahwa kebencian hanya mendatangkan deritadan kesengsaraan bagi diri sendiri, begitu bodohkah kita untuk melanjutkan kebencian yang merusak batin sendiri itu? Sayang bahwa Suastri belum melihat kanyataan itu, kebencianlah yang menjadi akibat sakit hati dan dendamnya, kebencian yang dipaksakan menutupi rasa cintanya, dan mulailah dara ini memasuki kehidupan penuh derita dan kesengsaraan batin ketika dia berlari-lari keluar masuk hutan sambil kadang-kadang menangis itu.
Peristiwa yang terjadi di dalam hutan itu, yang mengahancurkan kebahagiaan Sulastri, membuat dara itu seperti orang gila berlari-larian menyusup-nyusup hutan sambil menangis, ternyata juga mendatangkan akibat yang amat hebat bagi Sutejo. Pemuda ini semenjak berpisah dari Bromatmojo yang meninggalkanya di mojopahit, telah mulai merasa kehilangan kegembiraan hidupnya yang didapatkannya semenjak dia bersahabat dengan Bromatmojo. Kemudian, terjadi pergolakan dan konflik di dalam batinnya ketika dia melihat mbakayunya menjadi selir seorang seperti Resi Mahapati yang sebetulnya tidak disukainya. Akan tetapi oleh bujukan mbakayunya, satu-satunya orang yang dicintainya dan menjadi keluarganya, juga melihat kenyataan bahwa Mahapati setia kepada Mojopahit, maka Sutejo mengeraskan dan memaksa hatinya untuk membantu Mahapati.
Ketika dia mendengar bahwa Bromatmojo adalah seorang gadis, seketika dia sudah jatuh hati dan tahulah dia bahwa sesungguhnya dia jatuh cinta kepada Bromatmojo yang ternyata seorang gadis itu! Mulailah dia merasa bimbang dan berduka teringat bahwa Bromatmojo dan dia berpisah bukan sebagai sahabat. Ketika melihat kesempatan untuk mencari Bromatmojo, maka dia pun bersedia menemani Resi Harimurti mendatangi Empu Supamandrangi di puncak Bromo. Akan tetapi sungguh di luar persangkaannya bahwa pertemuan itu berakhir dengan kematian Sang Empu yang masih meragukan hatinya. Dia curiga bahwa Harimurti yang membunuh Empu itu, akan tetapi karena tidak ada bukti, dia pun tidak dapat berbuat apa-apa.
Kemudian, pertemuannya dengan Bromatmojo yang disambung dengan perkelahian,kemudian dilanjutkan dengan pertemuan asyik masyuk yang dilanjutkan dengan pernyataan saling cinta yang penuh kemesraan antara dia dan Sulastri! Kebahagiaan yang berlimpah-limpah ini membuat Sutejo tidak ingin kembali lagi kepada hal-hal yang lalu, tidak ingin kembali ke Mojopahit, tidak ingin menghadapi urusan kerajaan dan dia tadinya ingin mengajak Sulastri pergi jauh,hidup baru dan tidak mengingat lagi hal-hal yang lampau. Akan tetapi, dia terlambat ketika muncul cantrik Gunung Bromo dengan ceritanya tentang kematian Empu Supamandrangi sehingga membuat Sulastri marah-marah dan menuduh dia sebagai seorang di antara pembunuh-pembunuh Empu Supamandrangi.
"Aduh, Sulastri....!"
Sutejo menjatuhkan dirinya di atas rumput di mana tadi dia dan Sulastri saling menumpahkan perasaan cinta kasih yang bergelora. Dia tidak menyalahkan Sulastri, tidak pula menyalahkan cantrik. Dia menyesali diri sendiri mengapa dia mendengarkan bujukan Resi Mahapati dan mbakayunya.
Komentar
Posting Komentar