KEMELUT DI MAJAPAHIT JILID 24
terdapat tenaga mujijat di dalamnya yang menahan tenaga tekukannya. Potongan besi itu tidak dapat ditekuknya!
"Ehhh....??"
Dia berseru heran dan penasaran, kemudian dia mengerahkan pula seluruh tenaganya, kedua kakinya memasang kuda-kuda sehingga dia hampir berjongkok, kemudian mengerahkan tenaga dari pusar yang naik ke dalam kedua lengannya, menjalar ke dalam tangannya dan jari-jari tangannya, lalu dia memusatkan tenaga itu dan kembali berusaha menekuk potongan besi itu.
"Heeggghhh....!"
Dari tenggorokannya keluar suara dari tenaganya yang membocor keluar, namun tetap saja potongan besi itu kaku tak dapat ditekuknya!
"Uhhhh!"
Dia merasa malu, penasaran dan juga marah. Hampir saja dia membuang potongan baja itu saking malu dan marahnya, akan tetapi Sutejo cepat mengulurkan tangannya dan berkata.
"Paman Resi, biarkan saya mencobanya."
Mendengar ini, dengan muka merah Resi Harimurti tidak jadi membuang besi itu dan menyerahkannya kepada Sutejo, lalu duduk dengan wajah muram dan menggunakan tangan mengusap keringat di dahinya, matanya mengerling ke arah Empu Supamandrangi dengan marah.
"Jangan kecil hati Sang Resi. Andika tidak dapat membekuknya itu berarti bahwa Andika tidak berjodoh."
"Biar saya mencobanya, Eyang Empu, siapa tahu saya yang berjodoh,"
Kata Sutejo dan karena pemuda ini maklum bahwa tosan aji itu merupakan benda mujijat yang mempunyai kekuatan mujijat pula.
Maka dia tidak mau main-main dan begitu dia hendak mulai membekuk tosan aji itu, lebih dulu dia memegang tosan aji itu dengan kedua tangan, mengangkat tinggi di atas ubun-ubun kepalanya sebagai tanda penghormatan, kemudian dia menyembah ke arah Empu Supamandrangi, dan barulah dia memasang kuda-kuda, kedua kakinya terpentang lebar, lutut agak ditekuk, kemudian dengan kedua tangan memegang kedua ujung besi itu, dia menggerakkan lengannya mula-mula lurus ke depan, lalu membuat lingkaran ke atas dan tiba-tiba ditarik ke arah ulu hatinya, diam sejenak, memejamkan mata, bibirnya bergerak membaca mantera kemudian tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking nyaring, suara yang menggetarkan ruangan itu sambil mengerahkan tenaga menekuk potongan besi. Empu Supamandrangi memandang dengan mata terbelalak, dan Resi Harimurti memandang kagum ketika melihat betapa potongan besi itu ternyata telah dapat ditekuk oleh Sutejo! Pemuda itu dengan tenang dan tersenyum lalu meletakkan besi yang sudah melengkung itu ke atas meja, lalu duduk kembali.
"Aha, kiranya tosan aji itu berjodoh dengan Sutejo!"
Kata Resi Harimurti, memuji sambil menutupi rasa malunya karena dia tadi tidak kuat menekuknya. Dengan mengatakan berjodoh, maka berarti bahwa dia bukan kalah kuat oleh pemuda itu, melainkan besi itu yang tidak berjodoh dengan dia dan tidak mau ditekuk olehnya!
Dengan pandang mata masih menatap wajah Sutejo, Empu Supamandrangi berkata lirih.
"Benar....memang berjodoh dengan dia...."
Kemudian tiba-tiba dia bertanya kepada Sutejo, dengan suara mendesak.
"Anakmas Sutejo, ada hubungan apakah antara Andika dengan Kakang Panembahan Ciptaning?"
Terkejutlah Sutejo mendengar pertanyaan ini, apalagi ketika dia melihat betapa sinar mata kakek itu mencorong penuh selidik.
"Beliau adalah Guru saya, juga Eyang Guru saya karena dahulu, mendiang Ayah saya Lembu Tirta adalah murid Beliau. Bagaimana Eyang Empu dapat mengetahuinya?"
Sepasang mata tua itu terbelalak dan mulut ompong itu tersenyum.
"Aihh, kiranya engkau putera Lembu Tirta dan murid Kakang Panembahan Ciptaning? Tentu saja aku mengetahui karena aku mengenal gerakanmu tadi, orang muda. Gurumu itu sahabat baikku. Andaikata aku tahu bahwa engkau adalah muridnya tadi, tentu saja aku tidak akan ragu-ragu lagi......ah, Anakmas Sutejo, mengingat akan persahabatan antara Gurumu dan aku, maukah engkau berjanji kepadaku?"
Sutejo meresa kagum dan suka kepada kakek ini, apalagi mengingat kakek ini adalah Guru Bromatmojo.
"Tentu saja, Eyang Empu. Katakanlah, apa pesan Eyang itu?"
"Kelak, aku titip Sulastri muridku kepadamu, Kulup. Kau amat-amati dia, karena dia amat muda.... kau bimbinglah dia. Maukah kau berjanji?"
Berdebar rasa jantung Sutejo dan terbayanglah wajah tampan yang nakal dan suka menggodanya itu, yang kini terbayang sebagai wajah seorang dara jelita yang kenes. Dia mengangguk-angguk.
"Saya berjanji, Eyang. Dan sebelum Eyang pesan pun, dia adalah seorang sahabat saya yang akrab."
"Syukurlah, Kulup. Nah, lega sekarang hatiku. Resi Harimurti, kini tidak ragu-ragu lagi untuk membuatkan keris itu, keris yang akan serupa benar dengan Kolonadah."
"Berapa lama kiranya dapat selesai?"
Tanya Resi Harimurti.
"Tiga hari tiga malam cukuplah. Dan Andika berdua tentu saja boleh tinggal di sini menjadi tamuku. Bocah cantrik.....?"
Empu Supamandrangi yang kini tiba-tiba kelihatan gembira dan tangkas itu berteriak. Dua orang cantrik yang berada di luar itu bergegas datang dan menyembah.
"Kau bersihkan kamar-kamar untuk para tamu dan engkau cepat membuat api di puputan."
Dua orang cantrik itu menyembah dan cepat pergi untuk mengerjakan perintah guru mereka.
Selama tiga hari Sutejo dan Resi Harimurti tinggal di pertapaan itu. Sutejo tinggal di puncak yang indah itu, dan setiap hari dia pergi menikmati pemandangan alam di sekeliling puncak sambil membayangkan betapa selama empat tahun Bromatmojo berada di tempat ini, berguru kepada Empu Supamandrangi. Kalau tidak pergi berjalan-jalan, dia membantu para cantrik bekerja di ladang dan kalau malam dia lebih senang tidur bersama cantrik sambil membicarakan keadaan Sulastri yang dikenal oleh cantrik sebagai murid Empu Supamandrangi ketika mereka belum menjadi cantrik, dan tidak pernah Sutejo tidur bersama Resi Harimurti. Dia memang tidak suka kepada resi itu dan kalau dia terpaksa bekerja sama adalah karena mereka sama-sama melakukan tugas yang diperintahkan oleh kakak iparnya, Resi Mahapati.
Pada hari itu, karena merupakan hari terakhir dan menurut janji Empu Supamandrangi keris akan jadi pada hari itu, Sutejo kembali pergi berjalan-jalan sampai jauh meninggalkan pondok dan menuju ke puncak dekat kawah Bromo yang amat dasyat, mengerikan dan mempesonakan. Dia hendak menikmati keadaan di sekitar tempat itu pada hari terakhir ini sebelum dia meninggalkan gunung ini. Sama sekali pemuda ini tidak menyangka akan terjadi hal yang amat hebat di dalam pondok pertapaan Empu Supamandrangi.
Karena pada hari ke tiga itu merupakan hari terakhir di mana Sang Empu menyempurnakan keris itu dengan duduk bersamadhi, kemudian menghaluskan keris itu dengan pijatan-pijatan jari-jari tangannya, maka bantuan cantrik tidak diperlukan lagi dan mereka itu sejak tadi telah sibuk di ladang.
Selagi Sang Empu duduk bersila dalam keadaan samadhi, keris yang serupa benar dengan Kolonadah itu di pangkuannya, dengan kaki berjingkat masuklah Resi Harimurti ke dalam kamar Sang Empu. Biarpun dia masuk dengan perlahan-lahan,namun Empu Supamandarngi dapat mengetahui kedatangannya dan kakek ini membuka matanya lalu memandang dengan sinar mata penuh pertanyaan.
Melihat kakek itu sudah sadar dari samadhinya, Resi Harimurti tersenyum dan berkata.
"Maaf, Empu Supamandarngi, karena hari yang dijanjikan telah tiba dan saya ingin segera melihat hasil pekerjaan Andika, maka saya tidak sabar lagi menanti dan masuk ke sini untuk melihat keris itu."
"Masuklah, Sang Resi dan duduklah. Memang keris ini sudah jadi, tiada ubahnya seperti Kolonadah, akan tetapi tentu saja memiliki daya dan hawa yang berbeda. Kolonadah adalah sebuah keris pusaka yang diperuntukkan raja-raja, dan pembuatannyapun memakan waktu bertahun-tahun. Biar pun keris ini serupa dengan Kolonadah, namun hanya serupa luarnya belaka. Betapa pun juga, karena terbuat dari tosan aji yang mujijat, sebahan dengan Kolonadah, maka hanya boleh berada di tangan yang berjodoh saja. Oleh karena itu, melihat bahwa yang berjodoh adalah Sutejo, maka saya hanya menyerahkan kepada Sutejo untuk dibawa ke Mojopahit dan diserahkan kepada Pangeran pati."
Resi Harimurti tentu saja merasa mendongkol sekali, akan tetapi dia pura-pura tersenyum dan mengangguk-angguk.
"Memang benar sekali apa yang Andika katakan, Saudara Empu."
"Selain dari itu, keris ini tidak boleh dinyatakan sebagai Kolonadah, tidak boleh menjadi keris palsu. Amat tidak baik membohongi Pangeran Pati. Sebaiknya diserahkan kapada Beliau dengan terus terang mengatakan bahwa keris ini untuk sementara sebagai pengganti Kolonadah yang masih dicari-cari. Jangan sekali-kali dipakai untuk membohongi keluarga Sang Prabu di Mojopahit."
Hati Resi Harimurti makin mendongkol. Mana mungkin begitu? Justru kehendak Resi Mahapati adalah untuk membohongi pangeran agar keris ini dianggap Kolonadah. Sementara itu, Kolonadah yang asli kalau sudah dapat mereka peroleh, tentu tidak akan mereka berikan kepada siapa pun, melainkan akan disimpan oleh Resi Mahapati sendiri!
Agaknya Empu Supamandrangi dapat menduga pikiran dan isi hati Resi Harimurti, maka dengan napas terengah-engah karena merasa lemah sekali, dia berkata.
"Kalau sampai terjadi keris ini dipakai sebagai pemalsu Kolonadah, aku sendiri yang akan melaporkan ke Mojopahit, Sang Resi."
Resi Harimurti mengangguk-angguk, lalu tersenyum dan berkata.
"Tentu akan kami taati semua pesanmu, Empu Supamandrangi. Sekarang, bolehkah saya memegang keris itu sebentar?"
"Tentu saja boleh."
Empu Supamandrangi menyerahkan keris itu kepada Resi Harimurti.
Resi Harimurti bangkit berdiri dan menghempiri Sang Empu, mengulurkan tangan mengambil keris itu, diamatinya sebentar, lalu berkata sambil tersenyum.
"Apakah benar keris yang Andika buat selama tiga hari ini merupakan keris yang ampuh, Empu Supamandrangi?"
"Hemm, biarpun tidak seampuh Kolonadah, namun saya kira jarang ada keris pusaka yang akan mampu menandinginya."
"Boleh kucoba?"
"Coba? Coba bagaimana?"
"Coba kepadamu!"
Secepat kilat Resi Harimurti menusukkan keris itu ke ulu hati Empu Supamandrangi. Sang Empu kaget sekali, akan tetapi karena tubuhnya amat lemah, tubuh yang baru saja sembuh lalu diperas tenaganya untuk membuat keris pusaka itu, dia terlambat mengelak dan "cresssssss......!!"
Keris pusaka itu menancap tepat di ulu hatinya sampai ke ganggangnya!
"Uuhhhhh..... uhhhh....."
Empu Supamandrangi terjengkang di atas pembaringannya, tangan kiri mendekap gagang keris yang menancap di ulu hatinya, telunjuk kanan menuding ke arah Resi Harimurti, matanya terbelalak dan terdengar kata-katanya.
"....Resi Harimurti... terkutuk kau dan keris ini..... kau akan lebih tersiksa dari pada aku menghadapi kematianmu... dan... dan keris ini.... akan mendatangkan malapetaka bagi pemegangnya.... uhhh...."
Kepala Sang Empu terkulai dan nyawanya melayang.
Resi Harimurti menoleh ke kanan kiri, lega bahwa perbuatannya tidak ada yang menyaksikan. Dia lalu cepat menghampiri mayat Sang Empu, memaksa tangan kanan Empu Supamandrangi menggenggam gagang keris, kemudian dia berteriak-teriak.
"Tolooong! Sang Empu membunuh diri.....!!"
Teriakannya terdengar oleh dua orang cantrik dan mereka cepat-cepat lari ke dalam pondok dan memasuki kamar itu. Mereka terbelalak, berlutut dan menangisi kakek yang menggeletak tak bernyawa di atas pembaringannya itu, dengan tangan kanan masih menggenggam gagang keris yang menancap di ulu hatinya. Ketika Sutejo disusul oleh seorang cantrik dan diberitahu, dia terkejut setengah mati dan cepat dia lari ke pondok meninggalkan cantrik yang memberitahukannya.
Dia terbelalak memandang mayat Empu Supamandrangi, lalu menoleh kepada Resi Harimurti dan bertanya.
"Paman Resi, apakah yang telah terjadi?"
Resi Harimurti menutupi mukanya dan menggeleng-geleng kepala, lalu menarik napas panjang.
"Aahh".., mengapa seorang pertapa yang sudah menjadi arif bijaksana masih tidak mampu mengendalikan perasaannya? Ah, Sang Empu Supamandrangi,sungguh bodoh sekali tindakan Andika ini......! Sutejo, ternyata Empu Supamandrangi amat keras hati dan keras kepala. Ketika aku masuk hendak minta lihat keris, dia menyatakan bahwa dia membuat keris ini karena terpaksa dan sebelum sempat aku mencegahnya, dia telah membunuh diri dengan keris ini."
Sutejo mengerutkan alisnya dan memandang lagi kepada mayat Empu Supamandrangi.
"Hemmm, mengapa begitu? Mengapa? Dan apa artinya Andika mengatakan bahwa dia keras hati dan keras kepala, Paman Resi?"
"Ah, tidak dapatkah kau menduga, Sutejo? Sebenarnya dia tidak suka dan tidak setuju membuat keris itu, sebetulnya di dalam hatinya dia memberontak terhadap Mojopahit, seperti yang jelas diperihatkan oleh muridnya pula, sebetulnya dia tidak rela membuatkan keris ini untuk Mojopahit, hanya karena dia tidak berani menolak, maka dia melakukannya dengan terpaksa, kemudian setelah keris itu jadi,dia mengotori keris dengan darahnya sebagai pernyataan tidak setuju dan dia membunuh diri untuk menyatakan penyesalannya."
"Hemmm..."
Sutejo masih mengerutkan alisnya, akan tetapi biar pun dia tidak dapat menerima begitu saja dugaan Resi Harimurti, dia melihat bukti bahwa Empu Supamandrangi memang membunuh diri, maka dia lalu melangkah keluar dengan hati tidak enak.
Resi Harimurti lalu mencabut keris dari ulu hati Sang Empu. Tidak mudah dia melakukan ini, seolah-olah keris itu ada yang menahan dari dalam dada kakek itu, sehingga dia harus mengerahkan seluruh tenaganya barulah keris itu tercabut dan ternyata ujung keris itu berwarna hitam oleh darah! Betapa pun Sang Resi mencoba untuk membersihkannya, namun tetap saja darah hitam itu melekat di ujung keris. Resi Harimurti dan Sutejo membantu dua orang cantrik itu mengurus pembakaran jenazah Empu Supamandrangi dan sesuai dengan pesan Sang Empu di waktu hidupnya, abunya lalu ditaburkan ke dalam kawah Gunung Bromo. Setelah selesai, Resi Harimurti dan Sutejo meninggalkan puncak gunung itu.
"Paman Resi Harimurti, saya tidak ikut kembali ke Mojopahit,"
Kata Sutejo setelah mereka tiba di kaki Gunung Bromo.
Resi Harimurti memandang tajam.
"Dan kenapa, Sutejo?"
"Pertama, saya tidak mau ikut mencampuri penipuan itu, menyerahkan keris yang palsu kepada Gusti Ratu. Dan ke dua saya akan menyelidiki dan mencari keris pusaka Kolonadah yang asli. Ke tiga sesuai dengan pesan Kakangmas Resi Mahapati,saya akan mencari Sulastri untuk saya bujuk agar jangan membantu pemberontak, sesuai pula dengan pesan mendiang Eyang Empu Supamandrangi agar saya mengamat-amati muridnya itu."
Tadinya, mendengar alasan pertama dari pemuda itu, Resi Harimurti mengerutkan alis dengan hati tidak senang, akan tetapi ketika mendengar alasan berikutnya,dia mengangguk dan berkata.
"Baiklah, kalau begitu kita berpisah di sini. Mudah-mudahan Andika akan berhasil baik dalam tugas itu, Sutejo."
Berpisahlah mereka. Resi Harimurti manuju ke barat dan Sutejo menuju ke timur,ke Lumajang.
"kakangmas Murwendo, kalau aku tidak bisa mendapatkan dia, aku lebih baik mati saja, Kakangmas...."
Murwanti menangis dalam rangkulan kakak kembarnya.
Murwendo mengelus rambut adiknya yang ikal mayang itu, menghiburnya.
"Hemm, jangan begitu mudah putus asa seperti anak kecil, Adikku. Aku tidak menyalahkan engkau, memang Joko Handoko seorang pemuda yang pantas menerima cinta kasihmu dan aku yakin bahwa Ayah dan Ibu juga tidak akan berkeberatan mempunyai mantu seperti dia dan Roro Kartiko....."
"Ehh....?"
Murwanti kini melepaskan diri dari rangkulan kakaknya dan memandang wajah kakaknya dengan muka merah dan air mata membasahi pipi.
"Apa, Kakangmas? Roro Kartiko.....? Kalau begitu engkau..... engkau...."
Dan gadis itu tertawa dalam tangisnya, menertawakan kakaknya yang ternyata tanpa sengaja telah membuka rahasia hatinya pula.
Karena sudah terlanjur, Murwendo mengangguk dan menarik napas panjang.
"Agaknya karena kita saudara kembar, maka perasaan kita pun sama, Adikku. Kita sama-sama mencintai kakak beradik itu, engkau mencintai Joko Handoko dan aku tergila-gila kepada Roro Kartiko semenjak pertama kali melihat dia meloncat naik ke atas panggung itu. Dia hebat, Diajeng Murwanti."
Murwanti kelihatan gembira! Ternyata kakaknya mengalami hal yang sama.
"Aku girang sekali, Kakangmas. Memang dia seorang wanita yng hebat. Akan tetapi....."
Gadis itu mengerutkan alisnya.
"Bagaimana kalau.... kalau mereka tidak membalas cinta kita?"
Murwendo dan Murwanti adalah dua orang kakak beradik yang semenjak kecil tidak pernah dikecewakan, segala yang dikehendaki terpenuhi belaka.
"Hemm, lupakah engkau bahwa kita adalah putera-puteri rama yang menjadi raja di Puger? Kita harus berterus terang, menyatakan cinta kasih kita kepada mereka dan membujuk mereka untuk menikmati hidup mulia dan bahagia bersama kita di Puger. Mereka adalah orang-orang pelarian dari Mojopahit, pengungsi yang menumpangkan hidup di Lumajang, kalau mereka mendengar bahwa kita adalah putera raja di Puger, dan mereka menjadi mantu-mantu raja di Puger, hidup mulia dan terhormat, tentu mereka akan merasa girang."
"Akan tetapi...aku melihat mereka itu bukanlah orang-orang biasa, Kakangmas. Mereka berkepandaian tinggi dan bersikap agung. Bagaimana kalau mereka menolak?"
"Menolak? Ha-ha-ha! Menolak kehendak kita? Diajeng Murwanti, pernahkah kehendak kita tidak terpenuhi dan pernahkah ada orang berani menolak kehendak kita? Ha-ha-ha, Diajeng, jangan khawatir, kalau benar mereka menolaknya, kita masih dapat menggunakan kekerasan."
Tiba-tiba Murawanti juga tertawa dan sikapnya berubah, tidak lagi penuh kekhawatiran seperti tadi. Kakak beradik kembar itu berangkulan dan tertawa girang, saling berciuman seperti orang-orang gila. Wajah mereka pun berubah beringas dan memang ada sesuatu yang aneh pada diri kakak beradik kembar ini.
"Ehhh....??"
Dia berseru heran dan penasaran, kemudian dia mengerahkan pula seluruh tenaganya, kedua kakinya memasang kuda-kuda sehingga dia hampir berjongkok, kemudian mengerahkan tenaga dari pusar yang naik ke dalam kedua lengannya, menjalar ke dalam tangannya dan jari-jari tangannya, lalu dia memusatkan tenaga itu dan kembali berusaha menekuk potongan besi itu.
"Heeggghhh....!"
Dari tenggorokannya keluar suara dari tenaganya yang membocor keluar, namun tetap saja potongan besi itu kaku tak dapat ditekuknya!
"Uhhhh!"
Dia merasa malu, penasaran dan juga marah. Hampir saja dia membuang potongan baja itu saking malu dan marahnya, akan tetapi Sutejo cepat mengulurkan tangannya dan berkata.
"Paman Resi, biarkan saya mencobanya."
Mendengar ini, dengan muka merah Resi Harimurti tidak jadi membuang besi itu dan menyerahkannya kepada Sutejo, lalu duduk dengan wajah muram dan menggunakan tangan mengusap keringat di dahinya, matanya mengerling ke arah Empu Supamandrangi dengan marah.
"Jangan kecil hati Sang Resi. Andika tidak dapat membekuknya itu berarti bahwa Andika tidak berjodoh."
"Biar saya mencobanya, Eyang Empu, siapa tahu saya yang berjodoh,"
Kata Sutejo dan karena pemuda ini maklum bahwa tosan aji itu merupakan benda mujijat yang mempunyai kekuatan mujijat pula.
Maka dia tidak mau main-main dan begitu dia hendak mulai membekuk tosan aji itu, lebih dulu dia memegang tosan aji itu dengan kedua tangan, mengangkat tinggi di atas ubun-ubun kepalanya sebagai tanda penghormatan, kemudian dia menyembah ke arah Empu Supamandrangi, dan barulah dia memasang kuda-kuda, kedua kakinya terpentang lebar, lutut agak ditekuk, kemudian dengan kedua tangan memegang kedua ujung besi itu, dia menggerakkan lengannya mula-mula lurus ke depan, lalu membuat lingkaran ke atas dan tiba-tiba ditarik ke arah ulu hatinya, diam sejenak, memejamkan mata, bibirnya bergerak membaca mantera kemudian tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking nyaring, suara yang menggetarkan ruangan itu sambil mengerahkan tenaga menekuk potongan besi. Empu Supamandrangi memandang dengan mata terbelalak, dan Resi Harimurti memandang kagum ketika melihat betapa potongan besi itu ternyata telah dapat ditekuk oleh Sutejo! Pemuda itu dengan tenang dan tersenyum lalu meletakkan besi yang sudah melengkung itu ke atas meja, lalu duduk kembali.
"Aha, kiranya tosan aji itu berjodoh dengan Sutejo!"
Kata Resi Harimurti, memuji sambil menutupi rasa malunya karena dia tadi tidak kuat menekuknya. Dengan mengatakan berjodoh, maka berarti bahwa dia bukan kalah kuat oleh pemuda itu, melainkan besi itu yang tidak berjodoh dengan dia dan tidak mau ditekuk olehnya!
Dengan pandang mata masih menatap wajah Sutejo, Empu Supamandrangi berkata lirih.
"Benar....memang berjodoh dengan dia...."
Kemudian tiba-tiba dia bertanya kepada Sutejo, dengan suara mendesak.
"Anakmas Sutejo, ada hubungan apakah antara Andika dengan Kakang Panembahan Ciptaning?"
Terkejutlah Sutejo mendengar pertanyaan ini, apalagi ketika dia melihat betapa sinar mata kakek itu mencorong penuh selidik.
"Beliau adalah Guru saya, juga Eyang Guru saya karena dahulu, mendiang Ayah saya Lembu Tirta adalah murid Beliau. Bagaimana Eyang Empu dapat mengetahuinya?"
Sepasang mata tua itu terbelalak dan mulut ompong itu tersenyum.
"Aihh, kiranya engkau putera Lembu Tirta dan murid Kakang Panembahan Ciptaning? Tentu saja aku mengetahui karena aku mengenal gerakanmu tadi, orang muda. Gurumu itu sahabat baikku. Andaikata aku tahu bahwa engkau adalah muridnya tadi, tentu saja aku tidak akan ragu-ragu lagi......ah, Anakmas Sutejo, mengingat akan persahabatan antara Gurumu dan aku, maukah engkau berjanji kepadaku?"
Sutejo meresa kagum dan suka kepada kakek ini, apalagi mengingat kakek ini adalah Guru Bromatmojo.
"Tentu saja, Eyang Empu. Katakanlah, apa pesan Eyang itu?"
"Kelak, aku titip Sulastri muridku kepadamu, Kulup. Kau amat-amati dia, karena dia amat muda.... kau bimbinglah dia. Maukah kau berjanji?"
Berdebar rasa jantung Sutejo dan terbayanglah wajah tampan yang nakal dan suka menggodanya itu, yang kini terbayang sebagai wajah seorang dara jelita yang kenes. Dia mengangguk-angguk.
"Saya berjanji, Eyang. Dan sebelum Eyang pesan pun, dia adalah seorang sahabat saya yang akrab."
"Syukurlah, Kulup. Nah, lega sekarang hatiku. Resi Harimurti, kini tidak ragu-ragu lagi untuk membuatkan keris itu, keris yang akan serupa benar dengan Kolonadah."
"Berapa lama kiranya dapat selesai?"
Tanya Resi Harimurti.
"Tiga hari tiga malam cukuplah. Dan Andika berdua tentu saja boleh tinggal di sini menjadi tamuku. Bocah cantrik.....?"
Empu Supamandrangi yang kini tiba-tiba kelihatan gembira dan tangkas itu berteriak. Dua orang cantrik yang berada di luar itu bergegas datang dan menyembah.
"Kau bersihkan kamar-kamar untuk para tamu dan engkau cepat membuat api di puputan."
Dua orang cantrik itu menyembah dan cepat pergi untuk mengerjakan perintah guru mereka.
Selama tiga hari Sutejo dan Resi Harimurti tinggal di pertapaan itu. Sutejo tinggal di puncak yang indah itu, dan setiap hari dia pergi menikmati pemandangan alam di sekeliling puncak sambil membayangkan betapa selama empat tahun Bromatmojo berada di tempat ini, berguru kepada Empu Supamandrangi. Kalau tidak pergi berjalan-jalan, dia membantu para cantrik bekerja di ladang dan kalau malam dia lebih senang tidur bersama cantrik sambil membicarakan keadaan Sulastri yang dikenal oleh cantrik sebagai murid Empu Supamandrangi ketika mereka belum menjadi cantrik, dan tidak pernah Sutejo tidur bersama Resi Harimurti. Dia memang tidak suka kepada resi itu dan kalau dia terpaksa bekerja sama adalah karena mereka sama-sama melakukan tugas yang diperintahkan oleh kakak iparnya, Resi Mahapati.
Pada hari itu, karena merupakan hari terakhir dan menurut janji Empu Supamandrangi keris akan jadi pada hari itu, Sutejo kembali pergi berjalan-jalan sampai jauh meninggalkan pondok dan menuju ke puncak dekat kawah Bromo yang amat dasyat, mengerikan dan mempesonakan. Dia hendak menikmati keadaan di sekitar tempat itu pada hari terakhir ini sebelum dia meninggalkan gunung ini. Sama sekali pemuda ini tidak menyangka akan terjadi hal yang amat hebat di dalam pondok pertapaan Empu Supamandrangi.
Karena pada hari ke tiga itu merupakan hari terakhir di mana Sang Empu menyempurnakan keris itu dengan duduk bersamadhi, kemudian menghaluskan keris itu dengan pijatan-pijatan jari-jari tangannya, maka bantuan cantrik tidak diperlukan lagi dan mereka itu sejak tadi telah sibuk di ladang.
Selagi Sang Empu duduk bersila dalam keadaan samadhi, keris yang serupa benar dengan Kolonadah itu di pangkuannya, dengan kaki berjingkat masuklah Resi Harimurti ke dalam kamar Sang Empu. Biarpun dia masuk dengan perlahan-lahan,namun Empu Supamandarngi dapat mengetahui kedatangannya dan kakek ini membuka matanya lalu memandang dengan sinar mata penuh pertanyaan.
Melihat kakek itu sudah sadar dari samadhinya, Resi Harimurti tersenyum dan berkata.
"Maaf, Empu Supamandarngi, karena hari yang dijanjikan telah tiba dan saya ingin segera melihat hasil pekerjaan Andika, maka saya tidak sabar lagi menanti dan masuk ke sini untuk melihat keris itu."
"Masuklah, Sang Resi dan duduklah. Memang keris ini sudah jadi, tiada ubahnya seperti Kolonadah, akan tetapi tentu saja memiliki daya dan hawa yang berbeda. Kolonadah adalah sebuah keris pusaka yang diperuntukkan raja-raja, dan pembuatannyapun memakan waktu bertahun-tahun. Biar pun keris ini serupa dengan Kolonadah, namun hanya serupa luarnya belaka. Betapa pun juga, karena terbuat dari tosan aji yang mujijat, sebahan dengan Kolonadah, maka hanya boleh berada di tangan yang berjodoh saja. Oleh karena itu, melihat bahwa yang berjodoh adalah Sutejo, maka saya hanya menyerahkan kepada Sutejo untuk dibawa ke Mojopahit dan diserahkan kepada Pangeran pati."
Resi Harimurti tentu saja merasa mendongkol sekali, akan tetapi dia pura-pura tersenyum dan mengangguk-angguk.
"Memang benar sekali apa yang Andika katakan, Saudara Empu."
"Selain dari itu, keris ini tidak boleh dinyatakan sebagai Kolonadah, tidak boleh menjadi keris palsu. Amat tidak baik membohongi Pangeran Pati. Sebaiknya diserahkan kapada Beliau dengan terus terang mengatakan bahwa keris ini untuk sementara sebagai pengganti Kolonadah yang masih dicari-cari. Jangan sekali-kali dipakai untuk membohongi keluarga Sang Prabu di Mojopahit."
Hati Resi Harimurti makin mendongkol. Mana mungkin begitu? Justru kehendak Resi Mahapati adalah untuk membohongi pangeran agar keris ini dianggap Kolonadah. Sementara itu, Kolonadah yang asli kalau sudah dapat mereka peroleh, tentu tidak akan mereka berikan kepada siapa pun, melainkan akan disimpan oleh Resi Mahapati sendiri!
Agaknya Empu Supamandrangi dapat menduga pikiran dan isi hati Resi Harimurti, maka dengan napas terengah-engah karena merasa lemah sekali, dia berkata.
"Kalau sampai terjadi keris ini dipakai sebagai pemalsu Kolonadah, aku sendiri yang akan melaporkan ke Mojopahit, Sang Resi."
Resi Harimurti mengangguk-angguk, lalu tersenyum dan berkata.
"Tentu akan kami taati semua pesanmu, Empu Supamandrangi. Sekarang, bolehkah saya memegang keris itu sebentar?"
"Tentu saja boleh."
Empu Supamandrangi menyerahkan keris itu kepada Resi Harimurti.
Resi Harimurti bangkit berdiri dan menghempiri Sang Empu, mengulurkan tangan mengambil keris itu, diamatinya sebentar, lalu berkata sambil tersenyum.
"Apakah benar keris yang Andika buat selama tiga hari ini merupakan keris yang ampuh, Empu Supamandrangi?"
"Hemm, biarpun tidak seampuh Kolonadah, namun saya kira jarang ada keris pusaka yang akan mampu menandinginya."
"Boleh kucoba?"
"Coba? Coba bagaimana?"
"Coba kepadamu!"
Secepat kilat Resi Harimurti menusukkan keris itu ke ulu hati Empu Supamandrangi. Sang Empu kaget sekali, akan tetapi karena tubuhnya amat lemah, tubuh yang baru saja sembuh lalu diperas tenaganya untuk membuat keris pusaka itu, dia terlambat mengelak dan "cresssssss......!!"
Keris pusaka itu menancap tepat di ulu hatinya sampai ke ganggangnya!
"Uuhhhhh..... uhhhh....."
Empu Supamandrangi terjengkang di atas pembaringannya, tangan kiri mendekap gagang keris yang menancap di ulu hatinya, telunjuk kanan menuding ke arah Resi Harimurti, matanya terbelalak dan terdengar kata-katanya.
"....Resi Harimurti... terkutuk kau dan keris ini..... kau akan lebih tersiksa dari pada aku menghadapi kematianmu... dan... dan keris ini.... akan mendatangkan malapetaka bagi pemegangnya.... uhhh...."
Kepala Sang Empu terkulai dan nyawanya melayang.
Resi Harimurti menoleh ke kanan kiri, lega bahwa perbuatannya tidak ada yang menyaksikan. Dia lalu cepat menghampiri mayat Sang Empu, memaksa tangan kanan Empu Supamandrangi menggenggam gagang keris, kemudian dia berteriak-teriak.
"Tolooong! Sang Empu membunuh diri.....!!"
Teriakannya terdengar oleh dua orang cantrik dan mereka cepat-cepat lari ke dalam pondok dan memasuki kamar itu. Mereka terbelalak, berlutut dan menangisi kakek yang menggeletak tak bernyawa di atas pembaringannya itu, dengan tangan kanan masih menggenggam gagang keris yang menancap di ulu hatinya. Ketika Sutejo disusul oleh seorang cantrik dan diberitahu, dia terkejut setengah mati dan cepat dia lari ke pondok meninggalkan cantrik yang memberitahukannya.
Dia terbelalak memandang mayat Empu Supamandrangi, lalu menoleh kepada Resi Harimurti dan bertanya.
"Paman Resi, apakah yang telah terjadi?"
Resi Harimurti menutupi mukanya dan menggeleng-geleng kepala, lalu menarik napas panjang.
"Aahh".., mengapa seorang pertapa yang sudah menjadi arif bijaksana masih tidak mampu mengendalikan perasaannya? Ah, Sang Empu Supamandrangi,sungguh bodoh sekali tindakan Andika ini......! Sutejo, ternyata Empu Supamandrangi amat keras hati dan keras kepala. Ketika aku masuk hendak minta lihat keris, dia menyatakan bahwa dia membuat keris ini karena terpaksa dan sebelum sempat aku mencegahnya, dia telah membunuh diri dengan keris ini."
Sutejo mengerutkan alisnya dan memandang lagi kepada mayat Empu Supamandrangi.
"Hemmm, mengapa begitu? Mengapa? Dan apa artinya Andika mengatakan bahwa dia keras hati dan keras kepala, Paman Resi?"
"Ah, tidak dapatkah kau menduga, Sutejo? Sebenarnya dia tidak suka dan tidak setuju membuat keris itu, sebetulnya di dalam hatinya dia memberontak terhadap Mojopahit, seperti yang jelas diperihatkan oleh muridnya pula, sebetulnya dia tidak rela membuatkan keris ini untuk Mojopahit, hanya karena dia tidak berani menolak, maka dia melakukannya dengan terpaksa, kemudian setelah keris itu jadi,dia mengotori keris dengan darahnya sebagai pernyataan tidak setuju dan dia membunuh diri untuk menyatakan penyesalannya."
"Hemmm..."
Sutejo masih mengerutkan alisnya, akan tetapi biar pun dia tidak dapat menerima begitu saja dugaan Resi Harimurti, dia melihat bukti bahwa Empu Supamandrangi memang membunuh diri, maka dia lalu melangkah keluar dengan hati tidak enak.
Resi Harimurti lalu mencabut keris dari ulu hati Sang Empu. Tidak mudah dia melakukan ini, seolah-olah keris itu ada yang menahan dari dalam dada kakek itu, sehingga dia harus mengerahkan seluruh tenaganya barulah keris itu tercabut dan ternyata ujung keris itu berwarna hitam oleh darah! Betapa pun Sang Resi mencoba untuk membersihkannya, namun tetap saja darah hitam itu melekat di ujung keris. Resi Harimurti dan Sutejo membantu dua orang cantrik itu mengurus pembakaran jenazah Empu Supamandrangi dan sesuai dengan pesan Sang Empu di waktu hidupnya, abunya lalu ditaburkan ke dalam kawah Gunung Bromo. Setelah selesai, Resi Harimurti dan Sutejo meninggalkan puncak gunung itu.
"Paman Resi Harimurti, saya tidak ikut kembali ke Mojopahit,"
Kata Sutejo setelah mereka tiba di kaki Gunung Bromo.
Resi Harimurti memandang tajam.
"Dan kenapa, Sutejo?"
"Pertama, saya tidak mau ikut mencampuri penipuan itu, menyerahkan keris yang palsu kepada Gusti Ratu. Dan ke dua saya akan menyelidiki dan mencari keris pusaka Kolonadah yang asli. Ke tiga sesuai dengan pesan Kakangmas Resi Mahapati,saya akan mencari Sulastri untuk saya bujuk agar jangan membantu pemberontak, sesuai pula dengan pesan mendiang Eyang Empu Supamandrangi agar saya mengamat-amati muridnya itu."
Tadinya, mendengar alasan pertama dari pemuda itu, Resi Harimurti mengerutkan alis dengan hati tidak senang, akan tetapi ketika mendengar alasan berikutnya,dia mengangguk dan berkata.
"Baiklah, kalau begitu kita berpisah di sini. Mudah-mudahan Andika akan berhasil baik dalam tugas itu, Sutejo."
Berpisahlah mereka. Resi Harimurti manuju ke barat dan Sutejo menuju ke timur,ke Lumajang.
"kakangmas Murwendo, kalau aku tidak bisa mendapatkan dia, aku lebih baik mati saja, Kakangmas...."
Murwanti menangis dalam rangkulan kakak kembarnya.
Murwendo mengelus rambut adiknya yang ikal mayang itu, menghiburnya.
"Hemm, jangan begitu mudah putus asa seperti anak kecil, Adikku. Aku tidak menyalahkan engkau, memang Joko Handoko seorang pemuda yang pantas menerima cinta kasihmu dan aku yakin bahwa Ayah dan Ibu juga tidak akan berkeberatan mempunyai mantu seperti dia dan Roro Kartiko....."
"Ehh....?"
Murwanti kini melepaskan diri dari rangkulan kakaknya dan memandang wajah kakaknya dengan muka merah dan air mata membasahi pipi.
"Apa, Kakangmas? Roro Kartiko.....? Kalau begitu engkau..... engkau...."
Dan gadis itu tertawa dalam tangisnya, menertawakan kakaknya yang ternyata tanpa sengaja telah membuka rahasia hatinya pula.
Karena sudah terlanjur, Murwendo mengangguk dan menarik napas panjang.
"Agaknya karena kita saudara kembar, maka perasaan kita pun sama, Adikku. Kita sama-sama mencintai kakak beradik itu, engkau mencintai Joko Handoko dan aku tergila-gila kepada Roro Kartiko semenjak pertama kali melihat dia meloncat naik ke atas panggung itu. Dia hebat, Diajeng Murwanti."
Murwanti kelihatan gembira! Ternyata kakaknya mengalami hal yang sama.
"Aku girang sekali, Kakangmas. Memang dia seorang wanita yng hebat. Akan tetapi....."
Gadis itu mengerutkan alisnya.
"Bagaimana kalau.... kalau mereka tidak membalas cinta kita?"
Murwendo dan Murwanti adalah dua orang kakak beradik yang semenjak kecil tidak pernah dikecewakan, segala yang dikehendaki terpenuhi belaka.
"Hemm, lupakah engkau bahwa kita adalah putera-puteri rama yang menjadi raja di Puger? Kita harus berterus terang, menyatakan cinta kasih kita kepada mereka dan membujuk mereka untuk menikmati hidup mulia dan bahagia bersama kita di Puger. Mereka adalah orang-orang pelarian dari Mojopahit, pengungsi yang menumpangkan hidup di Lumajang, kalau mereka mendengar bahwa kita adalah putera raja di Puger, dan mereka menjadi mantu-mantu raja di Puger, hidup mulia dan terhormat, tentu mereka akan merasa girang."
"Akan tetapi...aku melihat mereka itu bukanlah orang-orang biasa, Kakangmas. Mereka berkepandaian tinggi dan bersikap agung. Bagaimana kalau mereka menolak?"
"Menolak? Ha-ha-ha! Menolak kehendak kita? Diajeng Murwanti, pernahkah kehendak kita tidak terpenuhi dan pernahkah ada orang berani menolak kehendak kita? Ha-ha-ha, Diajeng, jangan khawatir, kalau benar mereka menolaknya, kita masih dapat menggunakan kekerasan."
Tiba-tiba Murawanti juga tertawa dan sikapnya berubah, tidak lagi penuh kekhawatiran seperti tadi. Kakak beradik kembar itu berangkulan dan tertawa girang, saling berciuman seperti orang-orang gila. Wajah mereka pun berubah beringas dan memang ada sesuatu yang aneh pada diri kakak beradik kembar ini.
Mereka adalah putera dan puteri raja di Puger yang masih ada hubungannya darah dengan kerajaan Blambangan. Semenjak kecil, kakak dan adik kembar ini dimanja dan sudah biasa semua kehendak mereka dipenuhi belaka oleh ayah bunda mereka.
Bahkan, terjadi hubungan yang aneh dan bahkan mesum dan kotor antara mereka, namun semua itu tidak mendapat tentangan dari siapa pun! Orang-orang yang mengenal mereka sebagai saudara kembar yang tampan dan cantik, yang bersikap sopan dan menarik, tentu akan terkejut dan terheran-heran kalau menyaksikan sikap mereka pada saat itu di dalam kamar Murwanti.
Beberapa hari kemudian, Murwendo dan Murwanti berhasil mangajak Joko Handoko dan Roro Kartiko untuk mengadakan pertemuan di dalam taman di istana Lumajang. Mereka memang sudah menjadi sahabat-sahabat baik, rekan-rekan sepekerjaan di istana dan biarpun Joko Handoko dan Roro Kartiko merasa terheran-heran atas ajakan kakak beradik kembar itu, namun mereka tidak berkeberatan dan tidak menolak ketika dua saudara kembar itu mengundang mereka bertemu di dalam taman dan untuk membicarakan sesuatu yang penting.
Malam itu cuaca diterangi oleh sinar bulan yang lembut. Sinar keemasan memandikan taman dan menciptakan bayang-bayang lembut dari pohon-pohon yang warnanya menjadi serba menguning. Tidak ada angin bersilir, daun-daun pohon diam tak bergerak seperti sudah tidur pulas, akan tetapi di dalam keheningan itu penuh dengan suara kutu-kutu walang atogo, yaitu segala macam belalang dan jengkerik serta binatang serangga lain yang hidup dan berdendang di waktu malam.
Namun suara yang riuh rendah itu, yang menghidupkan suasana, tidak mempengaruhi keheningan, bahkan melengkapi keheningan itu sendiri karena suara-suara itu tercangkup di dalamnya. Biar pun tidak ada angin bersilir, namun hawanya sejuk sekali, mendekati dingin, sungguhpun dari tanah di bawah rumput-rumput keluar hawa yang hangat. Ketika Joko Handoko dan adiknya, Roro Kartiko tiba di taman, ternyata kakak beradik kembar itu telah menanti di situ, duduk di atas bangku panjang di dalam taman, di dekat kolam ikan mas yang bermain-main di antara daun-daun teratai merah. Melihat kedatangan mereka, Murwendo dan Murwanti cepat bangkit dan mempersilahkan mereka berdua untuk duduk.
"Ah, sungguh girang sekali hati kami melihat Andika bedua sudi memenuhi undangan kami,"
Kata Murwendo sambil memandang kepada Roro Kartiko dengan sepasang mata yang bersinar-sinar.
Mereka duduk berhadapan, Murwendo dan Murwanti berjajar di sebuah bangku, sedangkan Joko Handoko dan Adiknya duduk di bangku ke dua, di depan mereka. Joko Handoko tersenyum. Selama di mengenal kakak beradik kembar ini, memang dia melihat betapa mereka mempunyai watak yang lincah jenaka dan selalu gembira.
"Murwendo, engkau dan adikmu sungguh aneh dan ada-ada saja. Ada urusan penting apakah gerangan maka kalian berdua mngundang kami untuk bertemu di taman sunyi ini?"
"Joko Handoko, aku..."
Murwanti terpaksa menghentika kata-katanya ketika kakaknya menyetopnya dengan memberi isyarat dengan telunjuk ke depan mulut.
"Diajeng Murwanti, biarkan aku yang menjelaskan kepada mereka,"
Kata Murwendo.
Bibir yang merah itu cemberut, akan tetapi Murwanti lalu berkata sambil memandang kepada Joko Handoko dengan kerling memikat.
"Sesukamulah."
"Begini, Diajeng Roro Kartiko dan Joko Handoko.... kami berdua hendak memperkenalkan diri kepada kalian."
Roro Kartiko memandang dengan bibir tesenyum.
"Eh, kalian ada apa sih? Kami berdua sudah cukup mengenal kalian kakak beradik kembar yang aneh selama beberapa pekan. Masa sekerang baru memperkenalkan diri?"
Murwendo tersenyum lebar, jantungnya jungkir balik melihat Roro Kartiko tersenyum semanis itu. Selama ia bertualang di kerajaan ayahnya, bermain-main dengan banyak wanita, belum pernah dia menemukan seorang wanita sehebat Roro Kartiko!
"Andika berdua belum tahu siapa sebenarnya kami. Ketahuilah, aku adalah Pangeran Murwendo dan ini adalah Adikku Puteri Murwanti, kami adalah putera dan puteri dari Rama Prabu Bandardento dari Kerajaan Puger di Pantai Laut Selatan!"
Setelah berkata demikian, dua orang kakak beradik itu memandang dengan sikap bangga.
Dan memang Joko Handoko dan Roro Kartiko terkejut dan terheran-heran mendengar pengakuan ini! Mereka memandang dengan mata terbelalak, dan Roro Kartiko hanya dapat mengeluarkan kata-kata.
"Ahhhh.....!"
Joko Handoko mengerutkan alisnya.
"Sungguh aneh sekali Andika berdua, kalau benar kalian putera-puteri raja, mengapa memasuki sayembara? Dan apa pula artinya semua ini kalian ceritakan kepada kami kakak beradik!"
"Ha-ha-ha!"
Murwendo tertawa dan begitu pemuda tampan itu tertawa, Joko Handoko dan terutama sekali Roro Kartiko terkejut dan merasa ngeri. Sungguh jauh bedanya setelah pemuda itu tertawa bergelak seperti itu, menimbulkan suasana yang mengerikan.
"Ketahuilah, Diajeng Roro Kartiko dan Joko Handoko, kami kakak beradik jauh-jauh meninggalkan kerajaan kami dan merantau sampai ke Lumajang dengan meksud mencari jodoh! Dan di sinilah kami menemukan jodoh kami. Mengapa hanya kepada Andika berdua kami menceritakan dan membuka rahasia kami? Ha-ha, Diajeng Murwanti,jawablah, mengapa?"
"Karena aku menemukan jodohku di sini, karena aku mencintaimu, Joko Handoko,"
Jawab Murwanti.
"Dan aku jatuh cinta kepadamu semenjak pertama kali malihatmu meloncat ke atas panggung itu, Diajeng Roro Kartiko!"
"Ihhhh.....!!"
Roro Kartiko bangkit berdiri, wajahnya menjadi merah sekali dan matanya mengeluarkan sinar kemarahan.
"Hemmm..... kalian..... sungguh aneh....!"
Joko Handoko juga menjadi merah mukanya dan memandang kepada kakak beradik kembar itu sambil meraba-raba dagunya. Betapa anehnya kakak beradik itu, menyatakan cinta demikian terang-terangan dan di waktu mereka berada berempat seolah-olah urusan yang hanya menyangkut rahasia hati dua orang itu boleh dibicarakan seperti hal-hal biasa saja di depan orang-orang lain!
"Joko Handoko.... Kakangmas Joko Handoko, aku sudah bersumpah bahwa kalau tidak menjadi jodohmu, aku.....aku lebih baik mati saja!"
Murwanti berkata lagi dan sepasang matanya memandang wajah pemuda itu penuh dengan kemesraan, penuh gairah dan seluruh air mukanya, dari tatapan pandang matanya, gerakan cuping hidungnya,kedua bibirnya yang terbuka sedikit dan tarikan bibirnya, semua membayangkan gairah nafsu yang panas!
"Dan aku pun demikan, Diajeng Roro Kartiko, Andika berdua, kakak beradik, telah menjadi pilihan hati kami berdua, kakak beradik kembar. Oleh karena itu, marilah Andika berdua ikut bersama kami, marilah kita menikmati hidup penuh kemuliaan, kehormatan dan cinta kasih di kerajaan kami. Engkau akan menerima kedudukan pangkat tinggi, Joko Handoko, dan engkau Diajeng Roro Kartiko, engkau akan menjadi seorang puteri mulia di sampingku, isteri pangeran dan kelak menjadi permaisuri raja kalau aku sudah menggantikan tahta kerajaan Ayahku. Kalian berdua akan kami angkat naik sampai ke tempat paling tinggi dan.... dan Ibu kalian boleh saja ikut dan menikmati pula kehormatan dan kemuliaan di Puger......"
Saking kaget, heran dan juga malu, kakak beradik dari Tuban itu sejenak tidak mampu bicara dan beberapa kali mereka hanya saling pandang.
"Kakangmas Joko Handoko, jangan berkata demikian.... aku sungguh mencintaimu, mencintai dengan seluruh jiwaku dan seluruh ragaku mencintaimu sampai ke setiap lembar rambut yang tumbuh di tubuhku..."
Joko Handoko mengkirik dan merasa serem.
"Cukuplah! Aku tidak mencintaimu, Murwanti."
Gadis itu terbelalak dan wajahnya seketika menjadi pucat, lebih pucat daripada sinar bulan di atas pupus daun jeruk yang tumbuh di dekat situ.
"Dan aku pun tidak mencintaimu, Murwendo!"
Kata pula Roro Kartiko dengan tegas dan lantang.
"Hemmmm......!"
Terdengar pemuda Puger itu mendengus.
"Kenapa, Kakangmas Joko Handoko? Kenapa? Aku diperebutkan oleh semua orang laki-laki di Puger! Semua pemuda menyembah-nyembah mengharapkan balasan cintaku. Dan aku hanya cinta kepadamu akan tetapi kau...."
"Aku tidak cinta kepadamu!"
Sambung Joko Handoko tegas.
"Diajeng Roro Kartiko, tidak kelirukah pendengaranku? Kau tidak mencintai aku,seorang pangeran mahkota.....?"
Murwendo juga bertanya dengan penuh penasaran.
"Tidak, sama sekali tidak!"
Jawab Roro Kartiko.
"Ahhhh.....!"
"Kakang..... Kakangmas Murwendo....uh-huuuu-hu....!"
Murwanti menubruk kakaknya dan mereka berangkulan dan bertangisan dengan penuh kesedihan. Melihat ini, Roro Kartiko mendekati kakaknya dan memegang tangan kakaknya,karena dia merasa serem dan juga kasihan. Mereka berdiri saling bergandengan tangan dan memandang kepada dua orang saudara kembar yang masih berangkulan dan bertangisan itu. Timbul rasa iba di dalam hati mereka.
"Sudahlah, Murwendo dan Murwanti. Harap jangan menangis dan terlalu bersedih. Cinta kasih tidak dapat dipaksakan....."
Kata Joko Handoko.
Murwanti melepaskan rangkulan kakaknya dan kini dia menghadapi Joko Handoko,memandang dengan sepasang mata basah.
"Akan tetapi, aku tidak percaya bahwa engaku tidak bisa mencintai seorang seperti aku, Kakangmas. Mengapa? Mengapa kau tidak bisa cinta kepadaku? Apakah karena kau sudah mencintai seorang wanita lain?"
Ditanya demikian, merah wajah Joko Handoko dan terbayanglah wajah Sulastri dalam pakaian pria yang amat tampan itu. Dan dia merasa kasihan kepada gadis Puger ini, lalu mengangguk dan berkata lirih.
"Benar, Murwanti."
"Aaahhh.....hu-hu-huuu....!"
Murwanti menangis lagi, sambil menjatuhkan dirinya duduk diatas bangku, kedua punggung tangan mengusap-usap air mata seperti seorang anak kecil merajuk dan menangis manja.
"Dan bagaimana dengan engkau, Diajeng Roro Kartiko? Mengapa kau tidak bisa mencintai seorang pangeran pati seperti aku? Apakah juga karena engkau telah mencintai seorang laki-laki lain?"
Tentu saja Roro Kartiko merasa marah dan malu sekali mendengar pertanyaan yang melanggar kesusilaan ini, akan tetapi karena dia tahu bahwa pemuda Pugeritu sedang menderita kekecewaan dan kedukaan, dia pun hanya meniru saja kakaknya,mengangguk dan berkata.
"Benar."
"Ahhh....celaka.... kami kakak beradik yang celaka....."
Murwendo terhuyung dan menjatuhkan diri berlutut di dekat adiknya dan mereka berdua itu bertangis-tangisan lagi. Joko Handoko menyentuh lengan adiknya,memberi isyarat dengan mata dan mereka berdua lalu meninggalkan taman itu, meninggalkan kakak beradik kembar yang sedang bertangis-tangisan dengan sedihnya itu.
Murwendo dan Murwanti menangis dan tenggelam dalam kekecewaan dan kedukaan mereka sehingga tidak tahu bahwa telah lama Joko Handoko dan Roro Kartiko meninggalkan mereka, juga tidak tahu bahwa sejak tadi, ada bayangan orang yang mengintai dan mendengarkan semua yang terjadi di situ. Kini, setelah Joko Handoko dan adiknya sudah agak lama pergi,bayangan itu muncul dari balik semak-semak dan melangkah dengan tenang menghampiri kakak beradik kembar yang masih bertangis-tangisan itu.
"Kegagalan tidak cukup dengan ditangisi, melainkan harus diusahakan agar berhasil. Dan amat tidak enak melihat orang-orang gagah menangisi kegagalan!"
Murwendo dan Murwanti terkejut dan mereka cepat meloncat dan berbareng mereka menyerang dan menghantam bayangan orang yang berdiri di situ dan menegur mereka tadi.
"Plak! Plak!"
Kakak beradik kembar itu terhuyung ketika orang itu menangkis.
"Murwendo dan Murwanti, tenanglah, aku bukan musuh, melainkan kawan yang datang hendak membantu kalian."
"Harwojo....!"
Murwendo berseru kaget ketika mengenal siapa orangnya yang muncul dan mengejutkan mereka.
"Kau? Hendak membantu kami? Dengan cara bagaimana kau hendak membantu kami, kau yang seperti setan telah mengintip pebuatan orang lain?"
Murwanti menegur marah. Harwojo yangberwajah keruh itu tersenyum sedikit, namun senyum itu hanya sebentar saja karena wajahnya sudah menjadi keruh kembali, dengan alis dikerutkan.
"Kalian duduklah dan mari kita bicara."
Murwendo dan Murwanti yang merasa putus asa karena cinta mereka ditolak mentah-mentah itu lalu duduk bejajar dan Harwojo duduk di depan mereka.
"Jadi kiranya Andika berdua ini adalah putera-puteri Sang Prabu Bandardento di Puger?"
Tanya Harwojo dengan suara lirih.
"Harap Andika suka merahasiakan hal ini,"
Kata Murwendo.
"Jangan khawatir. Andika berdua dapat percaya kepada saya karena kita mempunyai kepentingan bersama dan harus saling bantu-membantu. Ketahuilah Pangeran....."
"Sementara ini sebut saja namaku Murwendo."
"Baik dan maafkan saya, Murwendo. Ketahuilah kalian berdua bahwa saya adalah seorang utusan dari kerajaan Mojopahit...."
"Ahhh......!"
Kakak beradik kembar itu memandang dengan mata terbelalak.
"Saya adalah orang kepercayaan dari Pangeran Pati Kolo Gemet di Mojopahit. Gusti Pangeran bersama Gusti Ratu yang mengutus saya untuk secara rahasia melakukan penyelidikan di Lumajang, karena saya adalah seorang pembantu rahasia yang tidak akan dikenal orang di sini."
"Hemm, kiranya begitu? Dan apa kehendakmu menghubungi kami?"
Murwanti yang kini tertarik hatinya melupakan kesedihannya, bertanya sambil memandang penuh selidik.
"Saya diutus untuk menyelidiki hilangnya keris pusaka Kolonadah dan merampasnya kembali. Oleh karena itu, melihat bahwa Andika berdua adalah putera-puteri Kerajaan Puger yang tentu dapat mengerahkan pasukan untuk membantu saya melakukan penyelidikan, marilah kita saling membantu terlaksananya tugas saya dengan hasil baik, saya pun akan membantu Andika berdua untuk melaksanakan hasrat hati Andika berdua terhadap kakak beradik putera mendiang Bupati Tuban itu."
"Hemm, tentang keris pusaka, kiranya tidak akan sukar kalau kami mau melakukan penyelidikan, bahwa kami dapat menjanjikan bahwa kami tentu akan berhasil. Akan tetapi...."
"Benarkah itu, Murwendo? Tahukah engkau di mana adanya Kolonadah?"
Kakak beradik kembar itu saling pandang dan tersenyum.
"Jangan khawatir kataku, kami akan sanggup mencarikan pusaka itudan menyerahkannya kepadamu, akan tetapi kami ingin mendengar dulu bagaimana Andika dapat membantu kami mendapatkan kekasih kami yang telah menolak cinta kasih kami itu. Dengan guna-guna?"
Kata Murwendo.
"Tidak, selain aku tidak pandai mengguna-guna, juga jangan memandang rendah orang-orang Tuban dalam hal guna-guna. Tidak akan berhasil kiranya kalau kalian menggunakan guna-guna, biarpun saya mendengar bahwa daerah Blambangan menjadi pusat orang-orang yang ahli dalam hal itu. Satu-satunya jalan untuk membawa mereka berdua ke Puger sehingga niat hati Andika berdua dapat terlaksana adalah menculik mereka!"
"Hemmm....."
Dua orang kakak beradik itu saling pandang.
"Saya dapat menduga bahwa tanpa bantuan saya pun Andika berdua tentu suatu saat akan melakukan hal itu. Akan tetapi ingat bahwa mereka berdua memilikiilmu kepandaian tinggi, apalagi karena di samping mereka ada Sulastri yang kepandaiannya lebih tinggi lagi, dan tentu saja, kalau Andika berdua tidak bekerja sama dengan saya, saya pun akan berpihak kepada mereka. Sebaliknya,kalau kita bekerja sama, Andika berdua dibantu oleh orang-orang Andika dapat menculik Joko Handoko dan adiknya, sedangkan Sulastri, serahkan saja kepada saya."
"Tapi dalam sayembara, engkau telah dikalahkan oleh Sulastri.
Harwojo tersenyum mengejek.
"Saya, Raden Harwojo adalah utusan Gusti Ratu yang dipercaya penuh, masa kalah oleh seorang wanita? Kalau saya kalah di waktu itu adalah karena saya sengaja mengalah agar tidak menimbulkan kecurigaan. Bagaimana,apakah Andika berdua setuju untuk bekerja sama dengan saya dan berjanji akan benar-benar menyerahkan Kolonadah kepada saya kalau Andika berhasil merampasnya?"
"Baik, Raden Harwojo,"
Kata Murwendo dan mereka lalu melanjutkan percakapan dengan bisik-bisik mengatur rencana. Dalam percakapan ini, secara terus terang Raden Harwojo mengatakan bahwa tugasnya di samping mencari dan merampas Kolonadah, juga menghancurkan atau setidaknya mengurangi kekuatan Lumajang.
"Karena Sulastri merupakan seorang kuat dan berbahaya, maka aku akan menundukkannya, membujuknya atau kalau perlu juga membunuhnya,"
Demikianlah katanya kepada kedua orang saudara kembar itu.
Demikianlah, suatu persekutuan yang berbahaya telah terjalin, persekutuan yang mengancam keselamatan Joko Handoko, Roro Kartiko, dan juga Sulastri. Bagi orang-orang seperti Murwendo, Murwanti dan Harwojo itu, tentu saja rencana mereka itu mereka anggap benar dan sudah tepat atau semestinya. Mereka bertindak demi mencapai kesenangan yang mereka idam-idamkan, dalam halnya dua saudara kembar itu tentu saja mengejar kesenangan dari kepuasan hasrat cinta yang tak lain hanyalah nafsu birahi belaka, sedangkan Raden Harwojo pada hakekatnya juga mengejar kesenangan melalui berhasilnya tugasnya, karena berhasilnya tugas ini tentu saja membuat dia dipuji oleh majikannya dan akan menerima ganjaran dan imbalan.
Segala bentuk penyelewengan dalam hidup selalu didorong atau diawali oleh pikiran yang mengenangkan segala macam pengalaman enak dan ingin mengulangnya di masa depan atau di masa mendatang. Kita lupa bahwa justru keinginan untuk mengejar atau mencapai sesuatu yang belum berada di tangan kita, sesuatu yang kita anggap lebih enak, lebih baik dan pendeknya lebih daripada yang ada sekarang, keinginan inilah yang menghancurkan nikmat hidup. Keinginan untuk mengejar sesuatu yang belum ada, sesuatu yang tak terjangkau oleh kekuatan kita,diselimuti dengan kata-kata indah seperti ambisi, cita-cita, dan lain sebagainya. Ada pula yang menganggap bahwa cita-cita ini yang mendatangkan kemajuan! Benarkah demikian? Dan apa yang kita maksudkan dengan "kemajuan"
Itu?
Mari kita membuka mata dan melihat! Tuhan telah memberi kenikmatan hidup secara berlimpah-limpah sehingga dalam segelas air putih pun terkandung kenikmatan. Air jernih itu mengandung manfaat teramat besar dan kenikmatan, merupakan nikmat hidup untuk meminumnya di waktu haus. Akan tetapi, di waktu tangan memegang segelas air jernih, lalu pikiran membayangkan es jeruk dan ingin memperolehnya padahal es jeruk itu belum ada dan tidak akan dapat kita adakan, maka, ketika itu juga lenyaplah kenikmatan dari air jernih itu. Lenyaplah nikmat hidup dalam segala sesuatu apabila pikiran ini menghendaki yang lain daripada yang ada.
Demikian pula dengan segala hal yang kita miliki, lahir maupun batin. Pikiran yang ditujukan untuk memperoleh sesuatu yang belum ada dianggap lebih sempurna daripada yang telah berada di tangan, melenyapkan keindahan dan kenikmatan dari yang telah kita miliki. Dan sekali kita menyandarkan diri kepada cita-cita,sampai kita mati pun kita tidak akan dapat menikmati sesuatu, nikmat hidup akan terus didesak minggir oleh kesenangan membayangkan kenikmatan sesuatu yang belum kita miliki.
Pejalan kaki tidak akan menikmati jalan kaki kalau dia menginginkan sepeda yang belum dimilikinya. Pemilik sepeda tidak akan menikmati sepedanya kalau dia menginginkan sepeda motor yang belum dimilikinya. Pemilik sepeda motor tidak akan menikmati sepeda motornya kalau dia menginginkan mobil, dan selanjutnya terus meningkat. Herankah kita kalau melihat orang-orang yang sudah muak dengan segala kendaraan itu lalu INGIN KEMBALI BERJALAN KAKI? Keinginan akan membentuk lingkaran setan yang tiada habisnya, dan hidup kita menjadi hamba daripada nafsu keinginan yang tiada kenyangnya.
Tidak ingin bukan berarti menjadi malas dan acuh tak acuh. Sebaliknya malah! Segala sesuatu yang dilakukan tanpa memandang akan hasilnya, melainkan dilakukan karena kita mencintai pekerjaan yang kita lakukan itu, barulah nikmat hidup namanya! Karena cinta terhadap apa yang ada, tidak membayangkan hal-hal yang tidak ada, maka akan terciptalah hal-hal yang baru!
Karena cinta terhadap pekerjaan akan membuat kita tekun dan rajin. Sebaliknya kalau kita bekerja dengan tujuan mengejar uang misalnya, maka akan terjadilah penyelewengan-penyelewengan dalam bentuk korupsi, pencurian, penipuan, perjudian, pendeknya apa saja yang memungkinkan kita untuk cepet-cepat mendapatkan uang yang kita kejar-kejar itulah! Pernahkah ada orang besar dalam sejarah yang tadinya adalah orang yang bercita-cita menjadi orang besar? Kalau demikian, dia bukan orang besar namanya,melainkan mengejar kesenangan pribadi! Orang menjadi besar karena karyanya,bukan karena pengejaran sesuatu melainkan karena cintnya terhadap karyanya,karena cintanya itu melahirkan total dari perhatiannya.
Dapatkah kita hidup tanpa mengejar-ngejar dan mencari-cari kesenangan yang hanya akan menyeret kita ke dalam kemaksiatan dan penyelewengan karena kita diperhamba oleh nafsu keinginan itu? Ini bukanlah berarti bahwa kita MENOLAK kesenangan. Tidak mengejar bukan berarti menolak! Dan apabila kita tidak mengejar, maka kesenangan itu terdapat disetiap saat, dan di dalam setiap hal! Kesenangan yang bukan merupakan pemuasan nafsu, karena pemuasan nafsu dalam bentuk apapun juga hanya akan menimbulkan kebosanan, pertentangan dan karenanya berakhir dengan kekecewaan dan kesengsaraan.
Setelah merasa yakin bahwa tiga di antara tiga di antara orang-orang muda yang menjadi orang-orang kepercayaan baru di Lumajang itu benar-benar dapat dipercaya,pada suatu hari Adipati Lumajang memanggil Sulastri, Joko Handoko dan Roro Kartiko dan kepada mereka ini diserahi tugas untuk menyelidiki Kolonadah dan kalau mungkin merampasnya kembali dari tangan Resi Harimurti atau siapa saja di Mojopahit yang telah merampasa keris pusaka itu.
"Kami tidak ingin memberontak, tidak ingin bentrok secara terbuka dengan Mojopahit selama di sana masih ada Sang Prabu yang kami junjung tinggi menduduki tahta kerajaan,"
Demikian antara lain Sang Adipati berkata.
"Akan tetapi Kolonadah harus dijaga agar jangan sampai terjatuh ke tangan Pangeran Kolo Gemet, seorang pangeran berdarah melayu. Maka kami mengutus kalian, dan boleh kalian membawa pasukan yang menyamar untuk menyelidiki ke Mojopahit dan berusaha mendapatkan Kolonadah itu."
Sulastri, Joko Handoko dan Roro Kartiko lalu menerima baik perintah ini dan mereka bertiga tidak membawa pasukan Lumajang, melainkan hanya membawa tujuh orang wanita para anggota Sriti Kencana. Setelah berpamit dan mohon doa restu dari Sariningrum, yaitu ibu dari Joko Handoko dan Roro Kartiko, berangkatlah tiga orang muda perkasa ini bersama tujuh orang anggota Sriti Kencana meninggalkan Lumajang. Sore hari itu, sepuluh orang utusan ini berhenti di sebuah hutan dekat perbatasan, di kaki Pegunungan Bromo sebelah timur untuk beristirahat dan mereka lalu mengadakan perundingan dan mengatur siasat.
"Karena Ki Ageng Palandongan terbunuh oleh Resi Harimurti, maka jelaslah bahwa keris pusaka Kolonadah itu berada di tangannya, maka setelah tiba di Mojopahit kita harus mencari Resi Harimurti,"
Kata Roro Kartiko yang tidak lagi menyebut Sang Resi itu sebagai gurunya.
"Akan tetapi Resi Harimurti adalah pembantu dan orang kepercayaan Resi Mahapati,maka kurasa keris pusaka itu sudah berada di tangan Resi Mahapati. Sebaiknya kalau kita langsung melakukan penyelidikan ke istana Resi Mahapati,"
Kata Joko Handoko.
"Aku mengharap agar kalian suka mengesampingkan urusan dendam pribadi karena kita adalah utusan-utusan yang memikul tugas yang amat berat,"
Sulastri berkata sambil memandang kakak beradik itu berganti-ganti.
Joko Handoko menarik napas panjang.
"Harap Andika jangan salah mengerti, Diajeng Sulastri. Biarpun Ayah kami terbunuh di istana Resi Mahapati, namun kami sadar bahwa kematian Ayah adalah karena kesalahannya sendiri dan kami tidak menaruh dendam kepada siapa pun walau tentu saja kematian Ayah amat menyedihkan hati kami."
"Benar, Mbakyu Sulastri. Ketika kami bicara tentang Kolonadah dan Resi Mahapati,adalah dalam rangka tugas kita, sama sekali tidak mengandung maksud lain."
"Bagus, dan maafkan saya kalau begitu. Memang tidak keliru pendangan kalian bahwa keris pusaka itu hanya mungkin berada di antara dua orang, yaitu Resi Harimurti atau Resi Mahapati. Akan tetapi, kita harus berhati-hati dan sama sekali tidak boleh bertindak ceroboh. Di Mojopahit terdapat banyak sekali orang sakti. Resi Mahapati sendiri adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat,ditambah lagi ada Resi Harimurti di sana yang kalian sudah tahu betapa saktinya dia.
Dan jangan lupa, kini Kakang Tejo juga berada di sana. Inilah yang meragukan hatiku. Kakang Tejo amat sakti, aku sendiri tidak dapat menandinginya! Karena itu, kita harus dapat bekerja dengan hati-hati, menyelidiki secara menggelap jangan sampai bentrok dengan mereka sehingga urusan menjadi gagal. Kita melakukan penyelidikan dengan mengenakan pakaian dan topeng Sriti Kencana,dan hanya di waktu malam gelap saja. Kita mencari kesempatan dan saat yang tepat untuk turun tangan kalau sudah tahu benar di mana adanya keris pusaka itu."
Joko Handoko, Roro Kartiko dan tujuh orang anak buah Sriti Kencana itu menganggk-angguk tanda setuju.
"Awas....!!"
Tiba-tiba Sulastri meloncat berdiri dan membalikkan tubuh sambil mengepal tinju. Sembilan orang lainnya itu terkejut dan juga serentak mereka bangkit, mata mereka mencari-cari karena mereka belum tahu apa sebabnya Sulastri meloncat berdiri dengan tiba-tiba itu. Tangan meraka meraba gagang keris dan sikap mereka tegang.
Akan tetapi hati mereka mejadi tenang ketika mereka melihat siapa yang muncul dari balik pohin-pohon itu. Ternyata tiga orang yang kedatangannya telah dilihat atau didengar oleh Sulastri lebih dulu adalah Raden Harwojo, Murwendo dan Murwanti, tiga orang jagoan Lumajang yang menjadi rekan-rekan mereka pula. Sulastri segera melangkah maju menyambut mereka. Dia merupakan pemimpin rombongannya, maka dengan alis berkerut dan pandang mata penuh selidik dia lalu menegur,
"Saudara-saudara Harwojo murwendo dan Murwanti bertiga, ada keperluan apakah Andika bertiga menyusul kami? Apakah Sang Adipati yang mengutus kalian?"
Raden Harwojo yang mukanya muram itu menggeleng kepala.
"Sama sekali tidak, Sulastri. Kami bertiga tidak menyusul, melainkan sudah menanti di sini dan kami tidak diutus oleh Adipati Lumajang, melainkan kami ingin bicara dengan Andika bertiga atau lebih tepat, aku ingin bicara dengan Andika, sedangkan Murwendo dan Murwanti ingin bicara dengan Joko Handoko dan adiknya."
Sulastri memandang makin curiga.
"Harwojo di antara kita tidak ada persoalan sesuatu, apa yang hendak kau bicarakan dan mengapa pula memilih waktu sekarang padahal sebelum ini banyak waktu di Lumajang?"
"Justeru sekaranglah waktunya yang tepat, Sulastri. Sebelum engkau terlambat dan menjadi seorang pemberontak dan pengkhianat aku ingin memperingatkan kepadamu bahwa amatlah tidak baik bagimu untuk memberontak terhadap Mojopahit dengan menjadi kaki tangan pemberontak Lumajang."
Terkejutlah hati semua orang, temasuk Sulastri. Dia menatap tajam wajah yang keruh itu dan berkata dengan suara marah.
"Harwojo! Apa yang kaukatakan ini? Kita adalah sama-sama seorang ponggawa Lumajang, mengapa engkau bicara tentang pemberontakan terhadap Mojopahit? Apakah engkau hendak mengkhianati Lumajang?"
"Hemm, aku bukanlah ponggawa Lumajang, Sulastri, melainkan seorang kawula Mojopahit, bahkan aku seorang utusan dari Gusti Ratu dan Gusti Pangeran di Mojopahit! Oleh karena itu, aku meperingatkan agar engkau suka menghentikan kesesatanmu dan lebih baik membela Mojopahit daripada menjadi kaki tangan pemberontak Lumajang."
"Keparat! Kau berani membujukku seperti itu? Kau pengkhianat besar!"
Sulastri memberontak dan sudah siap menerjang. Akan tetapi Raden Harwojo mengangkat tangan ke atas dan berkata dengan nyaring.
"Tahan, Sulastri! Lihatlah di sekelilingmu!"
Sulastri dan sembilan orang temannya menengok ke sekeliling dan berubah wajah mereka melihat bahwa tempat itu telah terkurung oleh puluhan orang perajurit yang dipimpin oleh dua orang laki-laki berusia empat puluhan tahun. Mereka itu seperti arca berjajar tanpa bergerak, dengan sikap yang mengandung penuh ancaman!
"Ha-ha-ha!"
Tiba-tiba Murwendo berkata sambil tertawa.
"Diajeng Roro Kartiko,lihatlah betapa pasukanku telah siap untuk menyambut engkau dan kakakmu untuk pergi ke Puger. Marilah Diajeng, mari kita hidup penuh kebahagiaan di sana, engkau menjadi calon permaisuriku, ha-ha!"
Murwendo tertawa bergelak.
"Kakangmas Joko Handoko, aku mohon kepadamu, jangan engkau melawan. Marilah kulayani dengan cinta kasihku yang mendalam, Kakangmas!"
Murwanti juga berkata dengan sikap mesra dan sedikit pun tidak merasa malu memperlihatkan sikap itu di depan begitu banyak orang.
"Tidak sudi aku!"
Bentak Joko Handoko.
"Lebih baik mati!"
Seru Roro Kartiko.
"Hemm, ternyata kalian adalah pengkhianat-pengkhianat hina!"
Sulastri memaki marah.
"Adalah menjadi tugas kami untuk membasmi pengkhianat-pengkhianat macam kalian!"
"Serbu......!!"
Dengan suara berbareng, Joko Handoko dan Roro Kartiko memberi komando kepada anak buahnya dan tujuh orang anggota Sriti Kencana itu bergerak tangkas membentuk lingkaran menghadap keluar untuk menyambut lawan yang amat banyak itu.
Sulastri sendiri sudah mencelat ke depan dan langsung saja mengirim pukulan Hasto Nogo yang amat ampuh kepada Harwojo. Pemuda dari Mojopahit ini cepat mengelak dan balas memukul dengan sama dasyatnya. Sulastri menangkis dan keduanya terdorong mundur, akan tetapi Sulastri terkejut karena kini dia merasa betapa tangkisan tangan Harwojo itu mengandung tenaga yang bukan main kuatnya, jauh lebih kuat daripada ketika dia melawan Harwojo di atas panggung sayembara dahulu itu!
"Hemm, Sulastri, dulu aku sengaja mengalah kepadamu, akan tetapi sekarang, kalau engkau tidak mau sadar akan kesesatanmu, terpaksa aku akan menggunakan kekerasan,"
Kata Harwojo sambil mengelak dari sambaran tangan Sulastri dan membalas dengan tendangan kilat sehingga Sulastri harus mundur untuk menghindarkan tendangan itu.
"Keparat, manusia palsu! Engkaulah yang akan mampus di tanganku!"
Bentaknya sambil menerjang lagi.
Sementara itu, Joko Handoko dan Roro Kartiko juga sudah menerjang maju dan Murwanti segera menyambut Joko Handoko, sedangkan Murwendo menyambut Roro Kartiko. Dua orang kakak beradik kembar itu hanya mengelak sana-sini sambil merayu sehingga dua orang muda dari Tuban itu menjadi makin muak dan marah, menyerang terus dengan sengit.
"Paman Padas Gunung dan Paman Pragalbo, bantulah kami!"
Teriak Murwendo dan kini dua orang laki-laki berusia empat puluh tahunan yang memimpin para perajurit itu meloncat maju membantu Si kembar itu.
"Akan tetapi tangkap saja, jangan sampai lukai mereka!"
Kata Murwanti.
"Semua perajurit maju!"
Teriak Murwendo.
"Tangkap sepuluh orang ini, jangan sampai mereka terluka!"
Kini pasukan yang jumlahnya mendekati seratus orang itu bergerak maju, dan dengan nekat tujuh orang anggota Sriti Kencana menyambut mereka mati-matian. Terjadilah pertempuran yang berat sebelah dan dalam waktu singkat saja tujuh orang anggota Sriti Kencana telah dapat diringkus semua dan kaki tangan mereka diikat.
Joko Handoko dan adiknya mengamuk dengan keris mereka sehingga Murwendo dan Murwanti merasa kewalahan. Akan tetapi dua orang laki-laki setengah tua itu ternyata hebat sekali. Seorang di antara mereka yang bernama Padas Gunung memegang sebatang suling yang ampuh, sedangkan Pragalbo juga menggunakan kerisnya untuk menangkis serangan-serangan Roro Kartiko, sedangkan Murwendo dan Murwanti hanya membantu dan mencari kesempatan untuk meringkus orang yang mereka cinta tanpa melukai mereka. Betapa pun mereka berdua mengamuk dengan nekat, namun ketika keris mereka terlepas oleh tangkisan suling dan keris Padas Gunung dan Pragalbo, dua orang kakak beradik ini akhirnya dapat diringkus pula dan diikat kaki tangan mereka.
"Murwendo, engkau sudah gila! Lepaskan aku!"
Joko Handoko meronta dan memaki.
Sambil tertawa Murwanti memeluknya dan mengelus dagunya.
"Tenanglah, wong bagus,kelak engkau akan berterima kasih kepadaku untuk kejadian ini."
Sementara itu, pertandingan antara Sulastri dan Harwojo masih berlangsung dengan hebat. Sulastri merasa penasaran sekali karena sedemikian jauh dia belum juga dapat merobohkan lawannya dan baru sekarang dia tahu bahwa memang Harwojo kini tidak dapat disamakan dengan ketika mereka bertanding di atas panggung dahulu itu gerakan pemuda berwajah muram ini kuat dan tangkas sehingga dapat mengimbangi serangan-serangannya walaupun dia sudah mengerahkan tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya.
Betapa pun juga, ketika Sulastri mengerahkan Aji Turonggo Bayu sehingga tubuhnya berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar, Harwojo menjadi sibuk juga dan dia lebih banyak menangkis untuk melindungi tubuhnya dari hujan serangan lawan itu daripada balas menyerang. Melihat bahwa dalam hal kecepatan saja dia lebih unggul, Sulastri yang cerdik tentu saja girang dan hendak menggunakan kecepatannya itu untuk meraih kemenangan. Dia menyerang terus dengan cepat dan mulailah dia mendesak lawan itu.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara keras dan sebatang suling menyambar ke arah pundaknya. Sulastri terkejut, cepat mengelak dan kakinya melayang ke arah pemegang suling. Akan tetapi Padas Gunung, si Pemegang Suling itu, cepat mengelak dan sulingnya terus diputar untuk menyerang Sulastri dan membantu Harwojo. Padas Gunung maju atas perintah Murwendo.
Bahkan, terjadi hubungan yang aneh dan bahkan mesum dan kotor antara mereka, namun semua itu tidak mendapat tentangan dari siapa pun! Orang-orang yang mengenal mereka sebagai saudara kembar yang tampan dan cantik, yang bersikap sopan dan menarik, tentu akan terkejut dan terheran-heran kalau menyaksikan sikap mereka pada saat itu di dalam kamar Murwanti.
Beberapa hari kemudian, Murwendo dan Murwanti berhasil mangajak Joko Handoko dan Roro Kartiko untuk mengadakan pertemuan di dalam taman di istana Lumajang. Mereka memang sudah menjadi sahabat-sahabat baik, rekan-rekan sepekerjaan di istana dan biarpun Joko Handoko dan Roro Kartiko merasa terheran-heran atas ajakan kakak beradik kembar itu, namun mereka tidak berkeberatan dan tidak menolak ketika dua saudara kembar itu mengundang mereka bertemu di dalam taman dan untuk membicarakan sesuatu yang penting.
Malam itu cuaca diterangi oleh sinar bulan yang lembut. Sinar keemasan memandikan taman dan menciptakan bayang-bayang lembut dari pohon-pohon yang warnanya menjadi serba menguning. Tidak ada angin bersilir, daun-daun pohon diam tak bergerak seperti sudah tidur pulas, akan tetapi di dalam keheningan itu penuh dengan suara kutu-kutu walang atogo, yaitu segala macam belalang dan jengkerik serta binatang serangga lain yang hidup dan berdendang di waktu malam.
Namun suara yang riuh rendah itu, yang menghidupkan suasana, tidak mempengaruhi keheningan, bahkan melengkapi keheningan itu sendiri karena suara-suara itu tercangkup di dalamnya. Biar pun tidak ada angin bersilir, namun hawanya sejuk sekali, mendekati dingin, sungguhpun dari tanah di bawah rumput-rumput keluar hawa yang hangat. Ketika Joko Handoko dan adiknya, Roro Kartiko tiba di taman, ternyata kakak beradik kembar itu telah menanti di situ, duduk di atas bangku panjang di dalam taman, di dekat kolam ikan mas yang bermain-main di antara daun-daun teratai merah. Melihat kedatangan mereka, Murwendo dan Murwanti cepat bangkit dan mempersilahkan mereka berdua untuk duduk.
"Ah, sungguh girang sekali hati kami melihat Andika bedua sudi memenuhi undangan kami,"
Kata Murwendo sambil memandang kepada Roro Kartiko dengan sepasang mata yang bersinar-sinar.
Mereka duduk berhadapan, Murwendo dan Murwanti berjajar di sebuah bangku, sedangkan Joko Handoko dan Adiknya duduk di bangku ke dua, di depan mereka. Joko Handoko tersenyum. Selama di mengenal kakak beradik kembar ini, memang dia melihat betapa mereka mempunyai watak yang lincah jenaka dan selalu gembira.
"Murwendo, engkau dan adikmu sungguh aneh dan ada-ada saja. Ada urusan penting apakah gerangan maka kalian berdua mngundang kami untuk bertemu di taman sunyi ini?"
"Joko Handoko, aku..."
Murwanti terpaksa menghentika kata-katanya ketika kakaknya menyetopnya dengan memberi isyarat dengan telunjuk ke depan mulut.
"Diajeng Murwanti, biarkan aku yang menjelaskan kepada mereka,"
Kata Murwendo.
Bibir yang merah itu cemberut, akan tetapi Murwanti lalu berkata sambil memandang kepada Joko Handoko dengan kerling memikat.
"Sesukamulah."
"Begini, Diajeng Roro Kartiko dan Joko Handoko.... kami berdua hendak memperkenalkan diri kepada kalian."
Roro Kartiko memandang dengan bibir tesenyum.
"Eh, kalian ada apa sih? Kami berdua sudah cukup mengenal kalian kakak beradik kembar yang aneh selama beberapa pekan. Masa sekerang baru memperkenalkan diri?"
Murwendo tersenyum lebar, jantungnya jungkir balik melihat Roro Kartiko tersenyum semanis itu. Selama ia bertualang di kerajaan ayahnya, bermain-main dengan banyak wanita, belum pernah dia menemukan seorang wanita sehebat Roro Kartiko!
"Andika berdua belum tahu siapa sebenarnya kami. Ketahuilah, aku adalah Pangeran Murwendo dan ini adalah Adikku Puteri Murwanti, kami adalah putera dan puteri dari Rama Prabu Bandardento dari Kerajaan Puger di Pantai Laut Selatan!"
Setelah berkata demikian, dua orang kakak beradik itu memandang dengan sikap bangga.
Dan memang Joko Handoko dan Roro Kartiko terkejut dan terheran-heran mendengar pengakuan ini! Mereka memandang dengan mata terbelalak, dan Roro Kartiko hanya dapat mengeluarkan kata-kata.
"Ahhhh.....!"
Joko Handoko mengerutkan alisnya.
"Sungguh aneh sekali Andika berdua, kalau benar kalian putera-puteri raja, mengapa memasuki sayembara? Dan apa pula artinya semua ini kalian ceritakan kepada kami kakak beradik!"
"Ha-ha-ha!"
Murwendo tertawa dan begitu pemuda tampan itu tertawa, Joko Handoko dan terutama sekali Roro Kartiko terkejut dan merasa ngeri. Sungguh jauh bedanya setelah pemuda itu tertawa bergelak seperti itu, menimbulkan suasana yang mengerikan.
"Ketahuilah, Diajeng Roro Kartiko dan Joko Handoko, kami kakak beradik jauh-jauh meninggalkan kerajaan kami dan merantau sampai ke Lumajang dengan meksud mencari jodoh! Dan di sinilah kami menemukan jodoh kami. Mengapa hanya kepada Andika berdua kami menceritakan dan membuka rahasia kami? Ha-ha, Diajeng Murwanti,jawablah, mengapa?"
"Karena aku menemukan jodohku di sini, karena aku mencintaimu, Joko Handoko,"
Jawab Murwanti.
"Dan aku jatuh cinta kepadamu semenjak pertama kali malihatmu meloncat ke atas panggung itu, Diajeng Roro Kartiko!"
"Ihhhh.....!!"
Roro Kartiko bangkit berdiri, wajahnya menjadi merah sekali dan matanya mengeluarkan sinar kemarahan.
"Hemmm..... kalian..... sungguh aneh....!"
Joko Handoko juga menjadi merah mukanya dan memandang kepada kakak beradik kembar itu sambil meraba-raba dagunya. Betapa anehnya kakak beradik itu, menyatakan cinta demikian terang-terangan dan di waktu mereka berada berempat seolah-olah urusan yang hanya menyangkut rahasia hati dua orang itu boleh dibicarakan seperti hal-hal biasa saja di depan orang-orang lain!
"Joko Handoko.... Kakangmas Joko Handoko, aku sudah bersumpah bahwa kalau tidak menjadi jodohmu, aku.....aku lebih baik mati saja!"
Murwanti berkata lagi dan sepasang matanya memandang wajah pemuda itu penuh dengan kemesraan, penuh gairah dan seluruh air mukanya, dari tatapan pandang matanya, gerakan cuping hidungnya,kedua bibirnya yang terbuka sedikit dan tarikan bibirnya, semua membayangkan gairah nafsu yang panas!
"Dan aku pun demikan, Diajeng Roro Kartiko, Andika berdua, kakak beradik, telah menjadi pilihan hati kami berdua, kakak beradik kembar. Oleh karena itu, marilah Andika berdua ikut bersama kami, marilah kita menikmati hidup penuh kemuliaan, kehormatan dan cinta kasih di kerajaan kami. Engkau akan menerima kedudukan pangkat tinggi, Joko Handoko, dan engkau Diajeng Roro Kartiko, engkau akan menjadi seorang puteri mulia di sampingku, isteri pangeran dan kelak menjadi permaisuri raja kalau aku sudah menggantikan tahta kerajaan Ayahku. Kalian berdua akan kami angkat naik sampai ke tempat paling tinggi dan.... dan Ibu kalian boleh saja ikut dan menikmati pula kehormatan dan kemuliaan di Puger......"
Saking kaget, heran dan juga malu, kakak beradik dari Tuban itu sejenak tidak mampu bicara dan beberapa kali mereka hanya saling pandang.
"Kakangmas Joko Handoko, jangan berkata demikian.... aku sungguh mencintaimu, mencintai dengan seluruh jiwaku dan seluruh ragaku mencintaimu sampai ke setiap lembar rambut yang tumbuh di tubuhku..."
Joko Handoko mengkirik dan merasa serem.
"Cukuplah! Aku tidak mencintaimu, Murwanti."
Gadis itu terbelalak dan wajahnya seketika menjadi pucat, lebih pucat daripada sinar bulan di atas pupus daun jeruk yang tumbuh di dekat situ.
"Dan aku pun tidak mencintaimu, Murwendo!"
Kata pula Roro Kartiko dengan tegas dan lantang.
"Hemmmm......!"
Terdengar pemuda Puger itu mendengus.
"Kenapa, Kakangmas Joko Handoko? Kenapa? Aku diperebutkan oleh semua orang laki-laki di Puger! Semua pemuda menyembah-nyembah mengharapkan balasan cintaku. Dan aku hanya cinta kepadamu akan tetapi kau...."
"Aku tidak cinta kepadamu!"
Sambung Joko Handoko tegas.
"Diajeng Roro Kartiko, tidak kelirukah pendengaranku? Kau tidak mencintai aku,seorang pangeran mahkota.....?"
Murwendo juga bertanya dengan penuh penasaran.
"Tidak, sama sekali tidak!"
Jawab Roro Kartiko.
"Ahhhh.....!"
"Kakang..... Kakangmas Murwendo....uh-huuuu-hu....!"
Murwanti menubruk kakaknya dan mereka berangkulan dan bertangisan dengan penuh kesedihan. Melihat ini, Roro Kartiko mendekati kakaknya dan memegang tangan kakaknya,karena dia merasa serem dan juga kasihan. Mereka berdiri saling bergandengan tangan dan memandang kepada dua orang saudara kembar yang masih berangkulan dan bertangisan itu. Timbul rasa iba di dalam hati mereka.
"Sudahlah, Murwendo dan Murwanti. Harap jangan menangis dan terlalu bersedih. Cinta kasih tidak dapat dipaksakan....."
Kata Joko Handoko.
Murwanti melepaskan rangkulan kakaknya dan kini dia menghadapi Joko Handoko,memandang dengan sepasang mata basah.
"Akan tetapi, aku tidak percaya bahwa engaku tidak bisa mencintai seorang seperti aku, Kakangmas. Mengapa? Mengapa kau tidak bisa cinta kepadaku? Apakah karena kau sudah mencintai seorang wanita lain?"
Ditanya demikian, merah wajah Joko Handoko dan terbayanglah wajah Sulastri dalam pakaian pria yang amat tampan itu. Dan dia merasa kasihan kepada gadis Puger ini, lalu mengangguk dan berkata lirih.
"Benar, Murwanti."
"Aaahhh.....hu-hu-huuu....!"
Murwanti menangis lagi, sambil menjatuhkan dirinya duduk diatas bangku, kedua punggung tangan mengusap-usap air mata seperti seorang anak kecil merajuk dan menangis manja.
"Dan bagaimana dengan engkau, Diajeng Roro Kartiko? Mengapa kau tidak bisa mencintai seorang pangeran pati seperti aku? Apakah juga karena engkau telah mencintai seorang laki-laki lain?"
Tentu saja Roro Kartiko merasa marah dan malu sekali mendengar pertanyaan yang melanggar kesusilaan ini, akan tetapi karena dia tahu bahwa pemuda Pugeritu sedang menderita kekecewaan dan kedukaan, dia pun hanya meniru saja kakaknya,mengangguk dan berkata.
"Benar."
"Ahhh....celaka.... kami kakak beradik yang celaka....."
Murwendo terhuyung dan menjatuhkan diri berlutut di dekat adiknya dan mereka berdua itu bertangis-tangisan lagi. Joko Handoko menyentuh lengan adiknya,memberi isyarat dengan mata dan mereka berdua lalu meninggalkan taman itu, meninggalkan kakak beradik kembar yang sedang bertangis-tangisan dengan sedihnya itu.
Murwendo dan Murwanti menangis dan tenggelam dalam kekecewaan dan kedukaan mereka sehingga tidak tahu bahwa telah lama Joko Handoko dan Roro Kartiko meninggalkan mereka, juga tidak tahu bahwa sejak tadi, ada bayangan orang yang mengintai dan mendengarkan semua yang terjadi di situ. Kini, setelah Joko Handoko dan adiknya sudah agak lama pergi,bayangan itu muncul dari balik semak-semak dan melangkah dengan tenang menghampiri kakak beradik kembar yang masih bertangis-tangisan itu.
"Kegagalan tidak cukup dengan ditangisi, melainkan harus diusahakan agar berhasil. Dan amat tidak enak melihat orang-orang gagah menangisi kegagalan!"
Murwendo dan Murwanti terkejut dan mereka cepat meloncat dan berbareng mereka menyerang dan menghantam bayangan orang yang berdiri di situ dan menegur mereka tadi.
"Plak! Plak!"
Kakak beradik kembar itu terhuyung ketika orang itu menangkis.
"Murwendo dan Murwanti, tenanglah, aku bukan musuh, melainkan kawan yang datang hendak membantu kalian."
"Harwojo....!"
Murwendo berseru kaget ketika mengenal siapa orangnya yang muncul dan mengejutkan mereka.
"Kau? Hendak membantu kami? Dengan cara bagaimana kau hendak membantu kami, kau yang seperti setan telah mengintip pebuatan orang lain?"
Murwanti menegur marah. Harwojo yangberwajah keruh itu tersenyum sedikit, namun senyum itu hanya sebentar saja karena wajahnya sudah menjadi keruh kembali, dengan alis dikerutkan.
"Kalian duduklah dan mari kita bicara."
Murwendo dan Murwanti yang merasa putus asa karena cinta mereka ditolak mentah-mentah itu lalu duduk bejajar dan Harwojo duduk di depan mereka.
"Jadi kiranya Andika berdua ini adalah putera-puteri Sang Prabu Bandardento di Puger?"
Tanya Harwojo dengan suara lirih.
"Harap Andika suka merahasiakan hal ini,"
Kata Murwendo.
"Jangan khawatir. Andika berdua dapat percaya kepada saya karena kita mempunyai kepentingan bersama dan harus saling bantu-membantu. Ketahuilah Pangeran....."
"Sementara ini sebut saja namaku Murwendo."
"Baik dan maafkan saya, Murwendo. Ketahuilah kalian berdua bahwa saya adalah seorang utusan dari kerajaan Mojopahit...."
"Ahhh......!"
Kakak beradik kembar itu memandang dengan mata terbelalak.
"Saya adalah orang kepercayaan dari Pangeran Pati Kolo Gemet di Mojopahit. Gusti Pangeran bersama Gusti Ratu yang mengutus saya untuk secara rahasia melakukan penyelidikan di Lumajang, karena saya adalah seorang pembantu rahasia yang tidak akan dikenal orang di sini."
"Hemm, kiranya begitu? Dan apa kehendakmu menghubungi kami?"
Murwanti yang kini tertarik hatinya melupakan kesedihannya, bertanya sambil memandang penuh selidik.
"Saya diutus untuk menyelidiki hilangnya keris pusaka Kolonadah dan merampasnya kembali. Oleh karena itu, melihat bahwa Andika berdua adalah putera-puteri Kerajaan Puger yang tentu dapat mengerahkan pasukan untuk membantu saya melakukan penyelidikan, marilah kita saling membantu terlaksananya tugas saya dengan hasil baik, saya pun akan membantu Andika berdua untuk melaksanakan hasrat hati Andika berdua terhadap kakak beradik putera mendiang Bupati Tuban itu."
"Hemm, tentang keris pusaka, kiranya tidak akan sukar kalau kami mau melakukan penyelidikan, bahwa kami dapat menjanjikan bahwa kami tentu akan berhasil. Akan tetapi...."
"Benarkah itu, Murwendo? Tahukah engkau di mana adanya Kolonadah?"
Kakak beradik kembar itu saling pandang dan tersenyum.
"Jangan khawatir kataku, kami akan sanggup mencarikan pusaka itudan menyerahkannya kepadamu, akan tetapi kami ingin mendengar dulu bagaimana Andika dapat membantu kami mendapatkan kekasih kami yang telah menolak cinta kasih kami itu. Dengan guna-guna?"
Kata Murwendo.
"Tidak, selain aku tidak pandai mengguna-guna, juga jangan memandang rendah orang-orang Tuban dalam hal guna-guna. Tidak akan berhasil kiranya kalau kalian menggunakan guna-guna, biarpun saya mendengar bahwa daerah Blambangan menjadi pusat orang-orang yang ahli dalam hal itu. Satu-satunya jalan untuk membawa mereka berdua ke Puger sehingga niat hati Andika berdua dapat terlaksana adalah menculik mereka!"
"Hemmm....."
Dua orang kakak beradik itu saling pandang.
"Saya dapat menduga bahwa tanpa bantuan saya pun Andika berdua tentu suatu saat akan melakukan hal itu. Akan tetapi ingat bahwa mereka berdua memilikiilmu kepandaian tinggi, apalagi karena di samping mereka ada Sulastri yang kepandaiannya lebih tinggi lagi, dan tentu saja, kalau Andika berdua tidak bekerja sama dengan saya, saya pun akan berpihak kepada mereka. Sebaliknya,kalau kita bekerja sama, Andika berdua dibantu oleh orang-orang Andika dapat menculik Joko Handoko dan adiknya, sedangkan Sulastri, serahkan saja kepada saya."
"Tapi dalam sayembara, engkau telah dikalahkan oleh Sulastri.
Harwojo tersenyum mengejek.
"Saya, Raden Harwojo adalah utusan Gusti Ratu yang dipercaya penuh, masa kalah oleh seorang wanita? Kalau saya kalah di waktu itu adalah karena saya sengaja mengalah agar tidak menimbulkan kecurigaan. Bagaimana,apakah Andika berdua setuju untuk bekerja sama dengan saya dan berjanji akan benar-benar menyerahkan Kolonadah kepada saya kalau Andika berhasil merampasnya?"
"Baik, Raden Harwojo,"
Kata Murwendo dan mereka lalu melanjutkan percakapan dengan bisik-bisik mengatur rencana. Dalam percakapan ini, secara terus terang Raden Harwojo mengatakan bahwa tugasnya di samping mencari dan merampas Kolonadah, juga menghancurkan atau setidaknya mengurangi kekuatan Lumajang.
"Karena Sulastri merupakan seorang kuat dan berbahaya, maka aku akan menundukkannya, membujuknya atau kalau perlu juga membunuhnya,"
Demikianlah katanya kepada kedua orang saudara kembar itu.
Demikianlah, suatu persekutuan yang berbahaya telah terjalin, persekutuan yang mengancam keselamatan Joko Handoko, Roro Kartiko, dan juga Sulastri. Bagi orang-orang seperti Murwendo, Murwanti dan Harwojo itu, tentu saja rencana mereka itu mereka anggap benar dan sudah tepat atau semestinya. Mereka bertindak demi mencapai kesenangan yang mereka idam-idamkan, dalam halnya dua saudara kembar itu tentu saja mengejar kesenangan dari kepuasan hasrat cinta yang tak lain hanyalah nafsu birahi belaka, sedangkan Raden Harwojo pada hakekatnya juga mengejar kesenangan melalui berhasilnya tugasnya, karena berhasilnya tugas ini tentu saja membuat dia dipuji oleh majikannya dan akan menerima ganjaran dan imbalan.
Segala bentuk penyelewengan dalam hidup selalu didorong atau diawali oleh pikiran yang mengenangkan segala macam pengalaman enak dan ingin mengulangnya di masa depan atau di masa mendatang. Kita lupa bahwa justru keinginan untuk mengejar atau mencapai sesuatu yang belum berada di tangan kita, sesuatu yang kita anggap lebih enak, lebih baik dan pendeknya lebih daripada yang ada sekarang, keinginan inilah yang menghancurkan nikmat hidup. Keinginan untuk mengejar sesuatu yang belum ada, sesuatu yang tak terjangkau oleh kekuatan kita,diselimuti dengan kata-kata indah seperti ambisi, cita-cita, dan lain sebagainya. Ada pula yang menganggap bahwa cita-cita ini yang mendatangkan kemajuan! Benarkah demikian? Dan apa yang kita maksudkan dengan "kemajuan"
Itu?
Mari kita membuka mata dan melihat! Tuhan telah memberi kenikmatan hidup secara berlimpah-limpah sehingga dalam segelas air putih pun terkandung kenikmatan. Air jernih itu mengandung manfaat teramat besar dan kenikmatan, merupakan nikmat hidup untuk meminumnya di waktu haus. Akan tetapi, di waktu tangan memegang segelas air jernih, lalu pikiran membayangkan es jeruk dan ingin memperolehnya padahal es jeruk itu belum ada dan tidak akan dapat kita adakan, maka, ketika itu juga lenyaplah kenikmatan dari air jernih itu. Lenyaplah nikmat hidup dalam segala sesuatu apabila pikiran ini menghendaki yang lain daripada yang ada.
Demikian pula dengan segala hal yang kita miliki, lahir maupun batin. Pikiran yang ditujukan untuk memperoleh sesuatu yang belum ada dianggap lebih sempurna daripada yang telah berada di tangan, melenyapkan keindahan dan kenikmatan dari yang telah kita miliki. Dan sekali kita menyandarkan diri kepada cita-cita,sampai kita mati pun kita tidak akan dapat menikmati sesuatu, nikmat hidup akan terus didesak minggir oleh kesenangan membayangkan kenikmatan sesuatu yang belum kita miliki.
Pejalan kaki tidak akan menikmati jalan kaki kalau dia menginginkan sepeda yang belum dimilikinya. Pemilik sepeda tidak akan menikmati sepedanya kalau dia menginginkan sepeda motor yang belum dimilikinya. Pemilik sepeda motor tidak akan menikmati sepeda motornya kalau dia menginginkan mobil, dan selanjutnya terus meningkat. Herankah kita kalau melihat orang-orang yang sudah muak dengan segala kendaraan itu lalu INGIN KEMBALI BERJALAN KAKI? Keinginan akan membentuk lingkaran setan yang tiada habisnya, dan hidup kita menjadi hamba daripada nafsu keinginan yang tiada kenyangnya.
Tidak ingin bukan berarti menjadi malas dan acuh tak acuh. Sebaliknya malah! Segala sesuatu yang dilakukan tanpa memandang akan hasilnya, melainkan dilakukan karena kita mencintai pekerjaan yang kita lakukan itu, barulah nikmat hidup namanya! Karena cinta terhadap apa yang ada, tidak membayangkan hal-hal yang tidak ada, maka akan terciptalah hal-hal yang baru!
Karena cinta terhadap pekerjaan akan membuat kita tekun dan rajin. Sebaliknya kalau kita bekerja dengan tujuan mengejar uang misalnya, maka akan terjadilah penyelewengan-penyelewengan dalam bentuk korupsi, pencurian, penipuan, perjudian, pendeknya apa saja yang memungkinkan kita untuk cepet-cepat mendapatkan uang yang kita kejar-kejar itulah! Pernahkah ada orang besar dalam sejarah yang tadinya adalah orang yang bercita-cita menjadi orang besar? Kalau demikian, dia bukan orang besar namanya,melainkan mengejar kesenangan pribadi! Orang menjadi besar karena karyanya,bukan karena pengejaran sesuatu melainkan karena cintnya terhadap karyanya,karena cintanya itu melahirkan total dari perhatiannya.
Dapatkah kita hidup tanpa mengejar-ngejar dan mencari-cari kesenangan yang hanya akan menyeret kita ke dalam kemaksiatan dan penyelewengan karena kita diperhamba oleh nafsu keinginan itu? Ini bukanlah berarti bahwa kita MENOLAK kesenangan. Tidak mengejar bukan berarti menolak! Dan apabila kita tidak mengejar, maka kesenangan itu terdapat disetiap saat, dan di dalam setiap hal! Kesenangan yang bukan merupakan pemuasan nafsu, karena pemuasan nafsu dalam bentuk apapun juga hanya akan menimbulkan kebosanan, pertentangan dan karenanya berakhir dengan kekecewaan dan kesengsaraan.
Setelah merasa yakin bahwa tiga di antara tiga di antara orang-orang muda yang menjadi orang-orang kepercayaan baru di Lumajang itu benar-benar dapat dipercaya,pada suatu hari Adipati Lumajang memanggil Sulastri, Joko Handoko dan Roro Kartiko dan kepada mereka ini diserahi tugas untuk menyelidiki Kolonadah dan kalau mungkin merampasnya kembali dari tangan Resi Harimurti atau siapa saja di Mojopahit yang telah merampasa keris pusaka itu.
"Kami tidak ingin memberontak, tidak ingin bentrok secara terbuka dengan Mojopahit selama di sana masih ada Sang Prabu yang kami junjung tinggi menduduki tahta kerajaan,"
Demikian antara lain Sang Adipati berkata.
"Akan tetapi Kolonadah harus dijaga agar jangan sampai terjatuh ke tangan Pangeran Kolo Gemet, seorang pangeran berdarah melayu. Maka kami mengutus kalian, dan boleh kalian membawa pasukan yang menyamar untuk menyelidiki ke Mojopahit dan berusaha mendapatkan Kolonadah itu."
Sulastri, Joko Handoko dan Roro Kartiko lalu menerima baik perintah ini dan mereka bertiga tidak membawa pasukan Lumajang, melainkan hanya membawa tujuh orang wanita para anggota Sriti Kencana. Setelah berpamit dan mohon doa restu dari Sariningrum, yaitu ibu dari Joko Handoko dan Roro Kartiko, berangkatlah tiga orang muda perkasa ini bersama tujuh orang anggota Sriti Kencana meninggalkan Lumajang. Sore hari itu, sepuluh orang utusan ini berhenti di sebuah hutan dekat perbatasan, di kaki Pegunungan Bromo sebelah timur untuk beristirahat dan mereka lalu mengadakan perundingan dan mengatur siasat.
"Karena Ki Ageng Palandongan terbunuh oleh Resi Harimurti, maka jelaslah bahwa keris pusaka Kolonadah itu berada di tangannya, maka setelah tiba di Mojopahit kita harus mencari Resi Harimurti,"
Kata Roro Kartiko yang tidak lagi menyebut Sang Resi itu sebagai gurunya.
"Akan tetapi Resi Harimurti adalah pembantu dan orang kepercayaan Resi Mahapati,maka kurasa keris pusaka itu sudah berada di tangan Resi Mahapati. Sebaiknya kalau kita langsung melakukan penyelidikan ke istana Resi Mahapati,"
Kata Joko Handoko.
"Aku mengharap agar kalian suka mengesampingkan urusan dendam pribadi karena kita adalah utusan-utusan yang memikul tugas yang amat berat,"
Sulastri berkata sambil memandang kakak beradik itu berganti-ganti.
Joko Handoko menarik napas panjang.
"Harap Andika jangan salah mengerti, Diajeng Sulastri. Biarpun Ayah kami terbunuh di istana Resi Mahapati, namun kami sadar bahwa kematian Ayah adalah karena kesalahannya sendiri dan kami tidak menaruh dendam kepada siapa pun walau tentu saja kematian Ayah amat menyedihkan hati kami."
"Benar, Mbakyu Sulastri. Ketika kami bicara tentang Kolonadah dan Resi Mahapati,adalah dalam rangka tugas kita, sama sekali tidak mengandung maksud lain."
"Bagus, dan maafkan saya kalau begitu. Memang tidak keliru pendangan kalian bahwa keris pusaka itu hanya mungkin berada di antara dua orang, yaitu Resi Harimurti atau Resi Mahapati. Akan tetapi, kita harus berhati-hati dan sama sekali tidak boleh bertindak ceroboh. Di Mojopahit terdapat banyak sekali orang sakti. Resi Mahapati sendiri adalah seorang yang memiliki kesaktian hebat,ditambah lagi ada Resi Harimurti di sana yang kalian sudah tahu betapa saktinya dia.
Dan jangan lupa, kini Kakang Tejo juga berada di sana. Inilah yang meragukan hatiku. Kakang Tejo amat sakti, aku sendiri tidak dapat menandinginya! Karena itu, kita harus dapat bekerja dengan hati-hati, menyelidiki secara menggelap jangan sampai bentrok dengan mereka sehingga urusan menjadi gagal. Kita melakukan penyelidikan dengan mengenakan pakaian dan topeng Sriti Kencana,dan hanya di waktu malam gelap saja. Kita mencari kesempatan dan saat yang tepat untuk turun tangan kalau sudah tahu benar di mana adanya keris pusaka itu."
Joko Handoko, Roro Kartiko dan tujuh orang anak buah Sriti Kencana itu menganggk-angguk tanda setuju.
"Awas....!!"
Tiba-tiba Sulastri meloncat berdiri dan membalikkan tubuh sambil mengepal tinju. Sembilan orang lainnya itu terkejut dan juga serentak mereka bangkit, mata mereka mencari-cari karena mereka belum tahu apa sebabnya Sulastri meloncat berdiri dengan tiba-tiba itu. Tangan meraka meraba gagang keris dan sikap mereka tegang.
Akan tetapi hati mereka mejadi tenang ketika mereka melihat siapa yang muncul dari balik pohin-pohon itu. Ternyata tiga orang yang kedatangannya telah dilihat atau didengar oleh Sulastri lebih dulu adalah Raden Harwojo, Murwendo dan Murwanti, tiga orang jagoan Lumajang yang menjadi rekan-rekan mereka pula. Sulastri segera melangkah maju menyambut mereka. Dia merupakan pemimpin rombongannya, maka dengan alis berkerut dan pandang mata penuh selidik dia lalu menegur,
"Saudara-saudara Harwojo murwendo dan Murwanti bertiga, ada keperluan apakah Andika bertiga menyusul kami? Apakah Sang Adipati yang mengutus kalian?"
Raden Harwojo yang mukanya muram itu menggeleng kepala.
"Sama sekali tidak, Sulastri. Kami bertiga tidak menyusul, melainkan sudah menanti di sini dan kami tidak diutus oleh Adipati Lumajang, melainkan kami ingin bicara dengan Andika bertiga atau lebih tepat, aku ingin bicara dengan Andika, sedangkan Murwendo dan Murwanti ingin bicara dengan Joko Handoko dan adiknya."
Sulastri memandang makin curiga.
"Harwojo di antara kita tidak ada persoalan sesuatu, apa yang hendak kau bicarakan dan mengapa pula memilih waktu sekarang padahal sebelum ini banyak waktu di Lumajang?"
"Justeru sekaranglah waktunya yang tepat, Sulastri. Sebelum engkau terlambat dan menjadi seorang pemberontak dan pengkhianat aku ingin memperingatkan kepadamu bahwa amatlah tidak baik bagimu untuk memberontak terhadap Mojopahit dengan menjadi kaki tangan pemberontak Lumajang."
Terkejutlah hati semua orang, temasuk Sulastri. Dia menatap tajam wajah yang keruh itu dan berkata dengan suara marah.
"Harwojo! Apa yang kaukatakan ini? Kita adalah sama-sama seorang ponggawa Lumajang, mengapa engkau bicara tentang pemberontakan terhadap Mojopahit? Apakah engkau hendak mengkhianati Lumajang?"
"Hemm, aku bukanlah ponggawa Lumajang, Sulastri, melainkan seorang kawula Mojopahit, bahkan aku seorang utusan dari Gusti Ratu dan Gusti Pangeran di Mojopahit! Oleh karena itu, aku meperingatkan agar engkau suka menghentikan kesesatanmu dan lebih baik membela Mojopahit daripada menjadi kaki tangan pemberontak Lumajang."
"Keparat! Kau berani membujukku seperti itu? Kau pengkhianat besar!"
Sulastri memberontak dan sudah siap menerjang. Akan tetapi Raden Harwojo mengangkat tangan ke atas dan berkata dengan nyaring.
"Tahan, Sulastri! Lihatlah di sekelilingmu!"
Sulastri dan sembilan orang temannya menengok ke sekeliling dan berubah wajah mereka melihat bahwa tempat itu telah terkurung oleh puluhan orang perajurit yang dipimpin oleh dua orang laki-laki berusia empat puluhan tahun. Mereka itu seperti arca berjajar tanpa bergerak, dengan sikap yang mengandung penuh ancaman!
"Ha-ha-ha!"
Tiba-tiba Murwendo berkata sambil tertawa.
"Diajeng Roro Kartiko,lihatlah betapa pasukanku telah siap untuk menyambut engkau dan kakakmu untuk pergi ke Puger. Marilah Diajeng, mari kita hidup penuh kebahagiaan di sana, engkau menjadi calon permaisuriku, ha-ha!"
Murwendo tertawa bergelak.
"Kakangmas Joko Handoko, aku mohon kepadamu, jangan engkau melawan. Marilah kulayani dengan cinta kasihku yang mendalam, Kakangmas!"
Murwanti juga berkata dengan sikap mesra dan sedikit pun tidak merasa malu memperlihatkan sikap itu di depan begitu banyak orang.
"Tidak sudi aku!"
Bentak Joko Handoko.
"Lebih baik mati!"
Seru Roro Kartiko.
"Hemm, ternyata kalian adalah pengkhianat-pengkhianat hina!"
Sulastri memaki marah.
"Adalah menjadi tugas kami untuk membasmi pengkhianat-pengkhianat macam kalian!"
"Serbu......!!"
Dengan suara berbareng, Joko Handoko dan Roro Kartiko memberi komando kepada anak buahnya dan tujuh orang anggota Sriti Kencana itu bergerak tangkas membentuk lingkaran menghadap keluar untuk menyambut lawan yang amat banyak itu.
Sulastri sendiri sudah mencelat ke depan dan langsung saja mengirim pukulan Hasto Nogo yang amat ampuh kepada Harwojo. Pemuda dari Mojopahit ini cepat mengelak dan balas memukul dengan sama dasyatnya. Sulastri menangkis dan keduanya terdorong mundur, akan tetapi Sulastri terkejut karena kini dia merasa betapa tangkisan tangan Harwojo itu mengandung tenaga yang bukan main kuatnya, jauh lebih kuat daripada ketika dia melawan Harwojo di atas panggung sayembara dahulu itu!
"Hemm, Sulastri, dulu aku sengaja mengalah kepadamu, akan tetapi sekarang, kalau engkau tidak mau sadar akan kesesatanmu, terpaksa aku akan menggunakan kekerasan,"
Kata Harwojo sambil mengelak dari sambaran tangan Sulastri dan membalas dengan tendangan kilat sehingga Sulastri harus mundur untuk menghindarkan tendangan itu.
"Keparat, manusia palsu! Engkaulah yang akan mampus di tanganku!"
Bentaknya sambil menerjang lagi.
Sementara itu, Joko Handoko dan Roro Kartiko juga sudah menerjang maju dan Murwanti segera menyambut Joko Handoko, sedangkan Murwendo menyambut Roro Kartiko. Dua orang kakak beradik kembar itu hanya mengelak sana-sini sambil merayu sehingga dua orang muda dari Tuban itu menjadi makin muak dan marah, menyerang terus dengan sengit.
"Paman Padas Gunung dan Paman Pragalbo, bantulah kami!"
Teriak Murwendo dan kini dua orang laki-laki berusia empat puluh tahunan yang memimpin para perajurit itu meloncat maju membantu Si kembar itu.
"Akan tetapi tangkap saja, jangan sampai lukai mereka!"
Kata Murwanti.
"Semua perajurit maju!"
Teriak Murwendo.
"Tangkap sepuluh orang ini, jangan sampai mereka terluka!"
Kini pasukan yang jumlahnya mendekati seratus orang itu bergerak maju, dan dengan nekat tujuh orang anggota Sriti Kencana menyambut mereka mati-matian. Terjadilah pertempuran yang berat sebelah dan dalam waktu singkat saja tujuh orang anggota Sriti Kencana telah dapat diringkus semua dan kaki tangan mereka diikat.
Joko Handoko dan adiknya mengamuk dengan keris mereka sehingga Murwendo dan Murwanti merasa kewalahan. Akan tetapi dua orang laki-laki setengah tua itu ternyata hebat sekali. Seorang di antara mereka yang bernama Padas Gunung memegang sebatang suling yang ampuh, sedangkan Pragalbo juga menggunakan kerisnya untuk menangkis serangan-serangan Roro Kartiko, sedangkan Murwendo dan Murwanti hanya membantu dan mencari kesempatan untuk meringkus orang yang mereka cinta tanpa melukai mereka. Betapa pun mereka berdua mengamuk dengan nekat, namun ketika keris mereka terlepas oleh tangkisan suling dan keris Padas Gunung dan Pragalbo, dua orang kakak beradik ini akhirnya dapat diringkus pula dan diikat kaki tangan mereka.
"Murwendo, engkau sudah gila! Lepaskan aku!"
Joko Handoko meronta dan memaki.
Sambil tertawa Murwanti memeluknya dan mengelus dagunya.
"Tenanglah, wong bagus,kelak engkau akan berterima kasih kepadaku untuk kejadian ini."
Sementara itu, pertandingan antara Sulastri dan Harwojo masih berlangsung dengan hebat. Sulastri merasa penasaran sekali karena sedemikian jauh dia belum juga dapat merobohkan lawannya dan baru sekarang dia tahu bahwa memang Harwojo kini tidak dapat disamakan dengan ketika mereka bertanding di atas panggung dahulu itu gerakan pemuda berwajah muram ini kuat dan tangkas sehingga dapat mengimbangi serangan-serangannya walaupun dia sudah mengerahkan tenaga dan mengeluarkan semua kepandaiannya.
Betapa pun juga, ketika Sulastri mengerahkan Aji Turonggo Bayu sehingga tubuhnya berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar, Harwojo menjadi sibuk juga dan dia lebih banyak menangkis untuk melindungi tubuhnya dari hujan serangan lawan itu daripada balas menyerang. Melihat bahwa dalam hal kecepatan saja dia lebih unggul, Sulastri yang cerdik tentu saja girang dan hendak menggunakan kecepatannya itu untuk meraih kemenangan. Dia menyerang terus dengan cepat dan mulailah dia mendesak lawan itu.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara keras dan sebatang suling menyambar ke arah pundaknya. Sulastri terkejut, cepat mengelak dan kakinya melayang ke arah pemegang suling. Akan tetapi Padas Gunung, si Pemegang Suling itu, cepat mengelak dan sulingnya terus diputar untuk menyerang Sulastri dan membantu Harwojo. Padas Gunung maju atas perintah Murwendo.
Komentar
Posting Komentar