KEMELUT DI MAJAPAHIT JILID 23

   Joko Handoko mengangguk, karena memang dia pun sudah menduga bahwa nama mereka itu adalah nama samaran yang berarti saudara kembar laki-laki dan perempuan.

   "Adik saya ini bernama Roro Kartiko."

   "Nama yang indah...."

   Kata Raden Murwendo.

   "Kepandaianmu hebat juga, mengapa engkau tidak ikut sayembara?"

Tanya Roro Murwanti kepada Roro Kartiko.

   "Tadinya saya hendak ikut, akan tetapi saya ngeri melihat kuda liar itu,"

   Jawab yang ditanya.

   Sorak-sorai penonton membuat mereka berempat menoleh dan memandang ke tengah panggung. Pertempuran itu memang hebat dan seru. Baru sekarang Joko Handoko mendapat kenyataan bahwa lawannya tadi memang tinggi ilmunya, maka dia pun tidak merasa penasaran telah dikalahkan oleh Si Tinggi Kurus. Dia tahu betapa saktinya Bromatmojo, namun pemuda dari puncak Bromo itu ternyata masih belum mampu mengalahkan lawannya! Memang Bromatmojo merasa penasaran sekali. Dia mengeluarkan ilmu-ilmu yang ampuh, sudah menerjang dengan menggunakan Aji Hasto Bairowo, yaitu ilmu pukulannya yang amat kuat dan cepat. Namun, lawannya ternyata dapat mengimbangi serangannya, dapat mengelak dan bahkan berani menangkis pukulan Hasto Nogo yang mengandung daya melumpuhkan dan mujijat itu! Ternyata ketika mereka berdua beradu lengan, keduanya terdorong mundur, tanda bahwa kekuatan tenaga sakti mereka berimbang!

   Hal ini membuat Bromatmojo menjadi pensaran dan marah, maka dia lalu mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya segera bergerak seperti seekor burung walet menyambar-nyambar. Demikian cepat gerakannya seolah-olah kedua kakinya tidak menginjak papan panggung lagi dan tubuhnya seperti berubah menjadi banyak, yang menyerang secara bertubi-tubi kepada Si Tinggi Kurus dari segala jurusan. Barulah sekarang Si Tinggi Kurus kelihatan terdesak! Para penonton bersorak-sorai,hampir semua orang menjagoi Bromatmojo. Akan tetapi Si Tinggi Kurus itu memang tangguh sekali. Biar pun kini dia tidak memperoleh kesempatan untuk membalas karena kecepatan gerak tubuh Bromatmojo benar-benar amat hebat, namun belum juga Bromatmojo dapat memukulnya secara tepat sehingga dia masih dapat melindungi dirinya dan bahkan beberapa kali tangkisan yang dilakukan dengan pengerahan tenaga seperti membendung serangan berantai dari Bromatmojo.

   "Hyaaaaaahhh.........!!"

   Bromatmojo tiba-tiba memekik keras dan dengan kecepatan luar biasa dia telah mengirim serangkaian pukulan sakti dengan kekuatan Hasto Nogo! Si Tinggi Kurus mengelak dan menangkis, namun dia kalah cepat dan pundaknya masih kena terdorong oleh tangan kiri Bromatmojo yang mengandung tenaga mujijat sehingga dia terhuyung ke belakang. Hanya terhuyung! Padahal tamparan Hasto Nogo itu dapat meremukan batu karang!

   "Cukup harap kalian mundur!"

   Raden Turonggo tiba-tiba melangkah maju dan melerai mereka. Dua orang itu sejenak berpandangan seperti dua ekor jago yang masih haus darah, akan tetapi Bromatmojo lalu tersenyum dan orang tinggi kurus itu makin merengut. Keduanya lalu kembali duduk di panggung itu, diiringi sorak-sorai penonton yang kegirangan karena jelas nampak oleh mereka tadi bahwa jagoan mereka Sang Arjuna telah menang, biar pun lawannya belum roboh. Karena para perwira yang bertugas mengumumkan bahwa sayembara telah bubar, maka mereka semua lalu bubaran. Banyak di antara mereka, laki-laki dan perempuan, tua muda, desakan ingin mendekati Sang Arjuno, akan tetapi para perajurit melarang mereka sehingga mereka hanya menonton dari jauh dan melambaikan tangan kepada Bromatmojo. Adipati Wirorojo mengundurkan diri memasuki istana dan lima orang muda yang dipilih itu, bersama Roro Kartiko yang diperkenankan pula menghadap bersama kakaknya, dipanggil masuk dan diantar oleh Raden Turonggo.

   Ruangan itu luas dan bersih, dan Sang Adipati duduk dihadap oleh semua hulubalang dan para pembantunya. Aryo Pranarojo duduk di sebelah kirinya,sedangkan Raden Kuda Anjampiani atau Raden Turonggo lalu menghadap mendampingi lima orang peserta sayembara bersam Roro Kartiko. Di ruangan itu hadir pula para senopati yang merupakan kawan-kawan seperjuangan dari Sang Adipati, bekas-bekas jagoan mojopahit yang telah mengungsi ke Lumajang. Mereka ini antara lain adalah Tumenggung Pamandana yang usianya sudah lima puluh tahun lebih, Aryo Semi yang masih muda dan kelihatan gagah perkasa, usianya paling banyak tiga puluh lima tahun, Aryo Jangkung dan Aryo teguh yang sedikit lebih tua, kemudian nampak pula Panji Samara dan Panji Wironagari. Mereka ini semua adalah orang-orang gagah perkasa yang sejak muda telah banyak membantu Mojopahit dan semenjak tewasnya Adipati Ronggo Lawe kemudian tewasnya Demang Lembu Sora lalu melarikan diri ke Lumajang karena mereka tidak tahan lagi melihat betapa kekuasaan Puteri Melayu makin kuat mencengkeram Sang Prabu sehingga merekalah yang berkuasa di Mojopahit.

   Mereka semua tadi ikut pula menyaksikan pertandingan sayembara dan kini mereka memandang orang-orang muda itu dengan penuh perhatian dan kekaguman. Setelah semua peserta yang lulus itu menghadap, dengan wajah berseri karena gembira memperoleh pembantu-pembantu muda demikian gagah perkasa, Sang Adipati lalu memandang kepada Bromatmojo, peserta yang dianggapnya paling hebat.

   "Eh, bocah bagus, engkau sungguh mengagumkan hati semua orang. Siapakah Andika dan dari mana asalmu, orang muda yang ganteng?"

   Bromatmojo cepat menyembah dan dengan kedua pipi berubah merah dia lalu menjawab, suaranya halus namun penuh keriangan dan nyaring karena memang demikianlah watak dara ini.

   "Mohon Paduka sudi mengampuni hamba. Sesungguhnya hamba bukanlah seorang pria, melainkan wanita....."

   "Jagad Dewa Bathara! Wanita....?"

   Sang Adipati berseru kaget.

   "Ah, wanita....?"

   Terdengar bisikan mereka yang hadir di situ dan semua mata menatap Bromatmojo dengan penuh rasa selidik, dengan mata terbelalak heran seolah-olah dara itu merupakan seorang manusia aneh dari bulan. Memang siapakah yang yang menyangka bahwa pemuda yang demikian tinggi kepandaiannya, yang keluar sebagai juara dalam sayembara itu, hanyalah seorang wanita muda, seorang dara? Kini barulah mereka mengerti mengapa pemuda itu demikian tampannya, demikian memikatnya. Kiranya seorang wanita, seorang dara, yang cantik!

   "Ampunkan hamba, Gusti Adipati. Nama Bromatmojo adalah nama penyamaran hamba, karena hamba datang dari puncak Bromo. Nama hamba yang sesungguhnya adalah Sulastri, murid dari Eyang Empu Supamandragi di puncak Bromo."

   "Hammm, pantas....pantas.... kiranya Andika murid Kakang Empu Supamandrangi...!"

   Adipati Wirorojo mengangguk-angguk. Tentu saja dia mengenal Empu yang sakti itu karena puteranya sendiri, mendiang Adipati Ronggo Lawe adalah juga murid Sang Empu itu.

   "Baiklah, Nini Sulastri, kami girang sekali mendengar bahwa Andika adalah murid gemblengan Kakang Empu Supamandrangi. Penyamaranmu baik sekali sehingga Andika mampu mengelabui orang se-Lumajang. Sekarang, katakanlah Nini, mengapa Andika sebagai seorang wanita muda bersusah-payah menyamar sebagai pria, dan memasuki sayembara yang kami adakan?"

   "Maaf, Gusti Adipati. Hamba menyamar agar mudah melakukan perjalanan dan hamba sengaja hendak menghambakan diri di sini kepada Paduka karena hamba tahu bahwa Paduka adalah ayah dari orang yang hamba junjung sebagai seorang Guru hamba yang paling baik, yang telah meninggalkan benda ini kepada hamba."

   Bromatmojo atau Sulastri mengeluarkan kalungnya yang tersembunyi di balik bajunya, yaitu kalung Kundolo Mirah pemberian mendiang Adipati Ronggo Lawe.

   "Kundolo Mirah....!!"

   Seruan ini keluar dari mulut Sang Adipati dan dari mulut Raden Turonggo.

   "Duh Jagat Dewa Bathara......! Kiranya Andika ada hubungan demikian erat dengan mendiang puteraku Ronggo Lawe? Coba ceritakan kepada kami, Nini, bagaimana Andika bisa mendapatkan Kundolo Mirah itu."

   "Beberapa bulan sebelum terjadi perang antara Tuban dan Mojopahit, Sang Adipati Ronggo Lawe pernah menolong Kakak hamba dan hamba dari gangguan orang-orang jahat. Karena kagum maka hamba minta menjadi murid beliau. Akan tetapi pada waktu itu beliau sedang sibuk dengan urusan kerajaan, maka sebagai gantinya Beliau memberikan Kundolo Mirah ini kepada hamba. Kemudian hamba menjadi murid Eyang Jembros...."

   "Ki Jembros.... yang tewas pula membantu Demung Lembu Sora?"

   "Benar, Gusti. Karena Eyang Jembros terluka dan hendak membantu Paman Juru Demung dan Paman Gajah Biru yang ketika itu berada di Pegunungan Pandan, hamba lalu disuruh pergi ke puncak Bromo menghadap Eyang Empu Supamandrangi dan di sanalah hamba digembleng dan menjadi murid Eyang Empu."

   "Ahh, sungguh beruntung sekali bagi kami mendapatkan bantuan seorang seperti Andika, Nini Sulastri. Lalu bagaimana asal mulanya maka Andika berada di Lumajang dan mengikuti sayembara?"

   "Hamba sedang menyelidiki hilangnya Kolonadah, Gusti...."

   Sang Adipati mengelus jenggotnya dan semua orang terkejut, saling pandang dan terdengarlah bisik-bisik halus. Sang Adipati lalu mengangkat tangan dan berkata.

   "Baiklah, kita akan bicarakan hal itu nanti setelah kami berkenalan dengan para peserta lainnya."

   Dengan kata-kata ini Sang Adipati hendak memberi tahu bahwa urusan Kolonadah tidak akan dibicarakan secara terbuka di persidangan itu dan Sulastri lalu menyembah dan menundukkan muka tanda bahwa dia mengerti. Sang Adipati kini memandang kepada kakak adik kembar itu, memberi isyarat kepada mereka agar mendekat laju maju. Murwendo dan Murwanti lalu maju sampai berjongkok dan Sang Adipati tertawa.

   "Ha-ha-ha, biar pun engkau menggunakan pakaian pria pula, Nini, akan tetapi semua orang dapat mengetahui atau menduga bahwa Andika adalah seorang wanita,tidak seperti Nini Sulastri. Apalagi dalam pendaftaran, nama Andika berdua adalah Gendana dan Gendini, tanda bahwa Andika adalah kakak beradik kembar, laki-laki dan wanita. Sebenarnya siapakah Andika berdua dan datang dari mana?"

   "Tepat seperti dugaan Paduka, Gusti, hamba berdua adalah kakak beradik kembar, nama hamba Murwenda dan adik hamba bernama Murwanti. Kami berdua adalah kakak beradik dari pantai selatan, dari keluarga nelayan yang ingin meluaskan pengetahuan maka ketika hamba mendengar bahwa di Lumajang diadakan sayembara, hamba ingin memasukinya, dan Adik hamba ini tidak pernah mau ketinggalan selalu bersama hamba. Harap Paduka maafkan kebodohan hamba berdua."

   Sang Adipati girang melihat sikap kakak beradik ini penuh hormat dan sopan bagi anak-anak nelayan.

   "Kepandaian kalian cukup baik dan kami merasa girang mendapat bantuan Andika, Murwendo dan Murwanti. Pembagian tugas bagi Andika semua akan diatur kemudian."

   Sang Adipatii lalu menyuruh maju pemuda tinggi kurus yang wajahnya muram dan mulutnya bersungut-sungut itu.

   "Siapakah Andika? Kami lihat kepandaian Andika hebat, kiranya mengimbangi kesaktian Nini Sulastri."

   Pemuda tinggi kurus itu menyembah.

   "Hamba bernama Harwojo dan hamba berguru kepada Ayah hamba sendiri yang bertapa di Lereng Gunung Anjasmoro dan yang sekarang sudah meninggal dunia. Hamba tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap, merantau dan kebetulan hamba sampai di sini mendengar tentang sayembara, maka hamba memasukinya."

   Sang Adipati mengangguk-angguk.

   "Baik, Harwojo. Melihat kepandaianmu, tentu Andika akan banyak berguna bagi Lumajang. Mudah-mudahan saja Andika akan dapat melaksanakan tugas Andika dengan baik."

   Kini Sang Adipati memandang kepada Joko Handoko yang berlutut di dekat adiknya yang cantik, Roro Kartiko. Tentu saja tadi Sang Adipati juga melihat gerakan Roro Kartiko ketika dara itu meloncat seperti seekor kijang ke atas panggung,dan diam-diam Sang Adipati kagum sekali.

   "Dan Andika siapakah, orang muda? Dan Nini Dewi itu apakah benar adik Andika? Sungguh mengherankan, sayembara ini sekaligus menarik datangnya tiga orang wanita Srikandi, ha-ha-ha!"

   Sang Adipati tertawa karena gembira hatinya.

   "Hamba bernama Joko Handoko dan adik hamba ini bernama Roro Katiko. Sebelum hamba memperkenalkan keluarga hamba, hamba mohon sudilah kiranya Gusti Adipati mengampuni hamba."

   Adipati Wirorojo mengerutkan alisnya dan memandang dua orang kakak beradik itu dengan penuh perhatian.

   "Hemm, apa sebabnya Andika datang-datang minta pengampunan? Tentu saja kalau ada sesuatu akan kami pertimbangkan dengan seadilnya, dan tidak mungkin kami menolak atau memberi pengampunan sebelum mendengar persoalannya. Ceritakanlah, Joko Handoko, siapakah keluargamu dan apa artinya sikapmu ini?"

   "Hamba berdua datang dari tuban dan Ayah hamba.... mendiang Ayah hamba Progodigdoyo...."

   Terdengar seruan-seruan kaget di ruangan itu dan Sang Adipati juga terkejut,memandang pemuda itu dengan mata tajam penuh selidik.

   "Progodigdoyo bupati Tuban?"

   Tanyanya menegas dan ketika Joko Handoko mengangguk. Adipati itu mengerutkan alisnya. Tentu saja dia sudah mengenal baik siapa itu Progodigdoyo dan mendiang Ki Ageng Palandongan sudah banyak bercerita tentang sepak terjang Progodigdoyo yang menjadi kaki tangan Resi Mahapati.

   "Hemm, Joko Handoko, apa sebabnya Andika datang ke Lumajang dan memasuki sayembara? Hayo ceritakan yang jelas karena mendengar bahwa Andika berdua adalah putera dan puteri Progodigdoyo, sungguh mengherankan hati kami mengapa Andika bisa berada di sini!"

   Di dalam suara Sang Adipati terkandung keraguan dan kecurigaan.

   Joko Handoko dan Roro Kartiko menunduk, muka mereka sebentara merah dan sebentar pucat.

   "Setelah apa yang terjadi dengan ayah hamba di Mojopahit...."

   Akhirnya Joko Handoko berkata sambil menunduk.

   "...hamba dan Adik hamba mengajak Ibu hamba berdua untuk lari dari Tuban..... dan hamba berdua ingin menghambakan diri di Lumajang untuk menentang kelaliman sebagai penebusan dosa orang tua hamba..."

   Adipati Wirorojo mengelus jenggotnya. Tentu saja hatinya meragu. Progodigdoyo terkenal sebagai seorang yang berwatak jahat, dan biarpun kini putera dan puterinya kelihatan baik-baik, akan tetapi siapa berani tanggung apakah kedatangan mereka ini membawa hati yang jujur? Selagi dia ragu-ragu, tiba-tiba Bromatmojo atau Sulastri menyembah dan berkata.

   "Maaf, Gusti Adipati! Untuk Kakangmas Joko Handoko dan Diajeng Roro Kartiko, hambalah yang sanggup menanggung mereka! Telah lama hamba mengenal mereka, dan biarpun mereka adalah putera dan puteri mendiang Progodigdoyo, namun mereka berdua orang-orang gagah perkasa dan budiman yang dapat dipercaya penuh. Mereka adalah pemimpin-pemimpin dari perkumpulan Sriti Kencana yang menggegerkan Tuban karena sepak-terjang mereka menentang para pembesar lalim dan membela rakyat yang tertindas, bahkan mereka tidak segan-segan untuk menentang kelaliman Ayah mereka sendiri. Hamba kira, kelaliman Progodigdoyo tidak boleh ditimpakan kepada mereka, Gusti."

   Dengan singkat namun padat Sulastri menceritakan sepak-terjang kakak beradik itu, betapa mereka berdua itu bersama dia malah telah membasmi Kakek Durgakelana, dan betapa jauh bedanya antara dua orang muda itu dengan ayah mereka yang sesat.

   "Dengan penuh harapan mereka berdua membawa Ibunda mereka ke Lumajang dan memasuki sayembara dengan niat menebus dosa-dosa Ayah mereka, hal itu tentu saja mereka lakukan karena mereka telah mendengar akan kebijaksanaan Paduka sebagai Adipati di Lumajang."

   Sulastri menutup ceritanya dan Sang Adipati mengangguk-angguk.

   "Nini Sulastri, Andika sungguh merupakan seorang wanita muda yang seperti Srikandi, selain sakti mandraguna juga amat setia terhadap kawan. Senangkanlah hati kalian, wahai orang-orang muda belia, karena tanpa pembelan Nini Sulastri tadi, kami tentu saja dengan hati dan tangan terbuka suka menerima janda Progodigdoyo beserta kedua putera puterinya di Lumajang."

   Dengan hati terharu Joko Handoko dan Roro Kartiko menghaturkan terima kasih dengan sembah mereka, dan mereka menceritakan pula kepada Sang Adipati bahwa tujuh orang anggota Sriti Kencana, yang merupakan wanita-wanita terlatih, juga ikut bersama mereka ke Lumajang dan mereka pun menyiapkan diri untuk mengabdi dan membantu Lumajang apabila diperlukan. Hal ini menggirangkan hati Sang Adipati Wirorojo. Tak lama kemudian persidangan dibubarkan dan keenam orang muda itu ditahan disitu karena Sang Adipati bersama Aryo Pranarojo masih ingin bicara dengan mereka, ditemani Raden Turonggo.

   Joko Handoko diberi sebuah rumah untuk ibunya dan para anggota Sriti Kencana,rumah yang cukup baik dan berada di dekat istana, sebuah di antara rumah-rumah para punggawa yang dipercaya. Kemudian mereka semua diberi tugas. Sulastri diangkat menjadi kepala pengawal dalam istana, Roro Kartiko sebagai pengawal bagian kaputren, Joko Handoko sebagai pengawal pribadi Sang Adipati, sedangkan Harwojo dibantu oleh Murwendo dan Murwanti menjadi perwira perwira pengawal bagian luar istana. Pembagian tugas ini saja sudah membayangkan bahwa Sang Adipati telah menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada Sulastri dan bahwa kepercayaannya terhadap putera-puteri Progodigdoyo juga diperkuat oleh jaminan sulastri. Dan memang sesungguhnya demikianlah. Sang Adipati masih meragukan Harwojo dan kakak beradik kembar yang belum diketahui benar riwayat asal-usulnya itu. Sebaliknya Sulastri, Joko Handoko dan adiknya merupakan orang-orang yang sudah jelas riwayatnya dan latar belakangnya, apalagi Sulastri yang mengaku guru kepada mendiang Adipati Ronggo Lawe.

   Demikianlah, mulai hari itu, orang-orang muda yang perkasa itu mulai dengan tugas mereka masing-masing, dan Sulastri menjadi buah bibir semua penghuni kadipaten ketika mereka mendengar bahwa pemuda tampan seperti Arjuna itu ternyata adalah seorang dara perkasa! Tak terhitung banyaknya hati perawan Lumajang yang menjadi trenyuh dan kecewa, sebaliknya banyak hati kaum muda yang bangkit penuh kekaguman terhadap dara yang bernama Sulastri dan yang kini menjadi pengawal dalam istana Sang Adipati itu.



"Brakkkk!!"

   Meja di depannya pecah oleh tamparan tangan Resi Mahapati. Mukanya menjadi merah, keruh dan metanya jalang, giginya berkerot menahan kemarahan.

   "Celaka, Kakang Resi Harimurti! Peraturan Andika sungguh menambah kebingungan hatiku! Kenapa kita begini sial?"

   Gerutunya sambil memandang kepada Resi Harimurti yang duduk di depannya, sedangkan Lestari cepat menghampiri dan merangkul pundaknya, menghiburnya.

   "Kakangmas, sabarlah. Kemarahan hanya akan mengeruhkan hati dan pikiran, sebaliknya ketenangan akan memungkinkan kita berpikir dengan baik dan mencari jalan keluar dari segala kesukaran."

   "Jalan keluar yang mana?"

   Resi Mahapati menghardik, tak sabar.

   "Sebulan yang lalu aku dipanggil menghadap oleh Gusti Ratu Sri Indreswari dan di situ, bersama Gusti Pangeran Pati Kolo Gemet, aku ditegur, dicaci-maki, karena sampai sekarang aku belum bisa mendapatkan keris pusaka Kolonadah yang mereka inginkan. Terpaksa aku mohon Beliau bersabar dan aku mohon waktu tiga bulan. Sekarang, sebulan telah lewat dan kini datanglah Resi Harimurti menceritakan bahwa Kolonadah terampas orang-orang Lumajang! Siapa tidak menjadi bingung?"

   "Adimas Resi Mahapati, harap Andika maafkan saya. Sebetulnya saya sudah berhasil membunuh Ki Ageng Palandongan dan merampas keris pusaka, akan tetapi siapa kira saya telah dipermainkan dan keris pusaka itu mereka rampas secara curang. Kalau mereka tidak menggunakan tipu daya, tidak mungkin keris pusaka itu dapat mereka rampas! Selain itu, saya masih ragu-ragu apakah benar dua orang itu adalah orang-orang Lumajang dan hal ini harus kita selidiki lebih dulu. Betapapun juga, saya akan menyelidiki dan demi para dewa, saya pasti akan merampas kembali pusaka itu!"

   Kata Resi Harimurti dengan marah dan ia memang masih mendongkol sekali kalau mengingat akan peristiwa itu.

   "Akan tetapi, baik yang merampas itu orang Lumajang atau bukan, waktunya sudah mendesak sekali, Kakang Resi Harimurti. Tinggal dua bulan lagi dan kalau sampai tiba waktunya aku belum dapat menyerahkan pusaka itu kepada Gusti Ratu, hemmm....entah apa yang akan terjadi dengan diriku. Tentu kepercayaan Beliau kepadaku akan berkurang atau bahkan akan lenyap."

   Harimurti mengerutkan alisnya.

   "Saya berani menanggung bahwa kelak keris itu pasti akan dapat saya temukan, akan tetapi kalau waktunya ditentukan, dua bulan lagi, hemm.....mana mungkin saya berani menjamin? Bagaimana kalau belum berhasil? Ahh, janjimu terhadap Gusti Ratu itu sungguh berat, Adimas Resi Mahapati."

   "Hemm, sudah kujanjikan kepada Beliau dan sudah bertahun-tahun aku mencari tanpa hasil. Pusaka itu lenyap ditelan bumi setelah secara tak terduga-duga terdengar berita bahwa pusaka itu terjatuh ke tangan Ki Ageng Palandongan dan Andika mengejarnya, Andika berhasil merampasnya akan tetapi... ternyata hilang kembali! Pendeknya, bagaimana pun juga, dalam waktu sebulan duabulan ini, Kolonadah harus sudah berada di tanganku! Lestari, panggil adikmu Tejo ke sini!"

   Resi Mahapati yang sedang bingung dan marah itu kini bahkan bersikap kasar kepada selirnya yang tercinta sehingga Lestari menjadi kaget dan cepat-cepat wanita itu pergi sendiri untuk mencari adiknya, tidak menyuruh pelayan.

   Setelah Lestari pergi, Resi Mahapati berkata kepada Harimurti.

   "Kakang Resi Harimurti. Amat penting sekali agar sebelum dua bulan pusaka itu dapat kuserahkan kepada Gusti Ratu Sri Indreswari dan Pangeran Kolo Gemet karena kalau sampai gagal, tentu aku akan kehilangan kepercayaan Beliau. Padahal, hanya melalui Beliau sajalah maka cita-cita kita akan tercapai."

   Sesi Harimurti hanya mengangguk-angguk dan dia merasa makin menyesal mengapa dia sampai dapat tertipu oleh dua orang itu yang dia tahu kini tentu sengaja mempergunakan perawan dusun itu untuk membuat dia lengah! Dia kini hanya dapat menyesal dan mendongkol, mengepal tinju dan memaki-maki di dalam hatinya.

   "Adimas Sutejo,"

   Kata Resi Mahapati setelah pemuda itu muncul bersama kakaknya.

   "Kini tiba saatnya bagi Adimas untuk membuktikan dharma baktimu kepada Mojopahit! Gusti Pangeran Pati telah memerintahkan kepadaku untuk mendapatkan keris pusaka Kolonadah dan memberi waktu kepadaku selama dua bulan saja. Padahal, menurut penuturan Kakang Resi Harimurti, kerispusaka itu kini berada di tangan orang-orang Lumajang."

   Sutejo mengerling ke arah Resi Harimurti. Tentu saja di dalam hatinya dia merasa tidak senang kepada Resi Harimurti ini, akan tetapi karena ternyata bahwa Resi ini membantu kakak Iparnya, Resi Mahapati yang merupakan seorang ponggawa setia dari Mojopahit, maka dia harus menanam rasa tidak sukanya itu.

   "Bukankah kabarnya keris itu berada di tangan Ki Ageng Palandongan?"

   Tanya Sutejo dengan sikap tenang.

   "Memang benar, dan aku telah merempas pusaka itu dari tangannya,"

   Kini Resi Harimurti yang menjawab.

   "Ketika mendengar bahwa keris itu terampas olehnya dari tangan Empu Singkir, aku lalu melakukan pengejaran dan akhirnya perhitunganku tepat, dia mengambil jalan selatan dan di Pegunungan Kidul aku berhasil menyusulnya. Kami bertempur dan aku berhasil merobohkannya dan merampas Keris Kolonadah. Akan tetapi musuh dua orang yang tidak kukenal, akan tetapi kuyakin meraka tentulah orang-orang Lumajang, dan dengan menggunakan tipu daya curang mereka berdua akhirnya dapat merampas pusaka itu dari tanganku."

   "Hemmm, bagaimana mungkin mereka dapat merampas pusaka itu dari tangan seorang sakti seperti Andika?"

   Sutejo bertanya dengan pandang mata penuh selidik.

   Wajah Harimurti menjadi merah.

   "Aku.....tertidur di dalam hutan saking lelahku,dan di dalam tidur itulah aku kehilangan keris pusaka itu. Mereka mencurinya dan aku melakukan pengejaran. Tentu keris pusaka itu dapat kurampas kembali kalau mereka tidak melakukan tipu muslihat curang. Mereka melemparkan keris itu dan tentu saja aku tidak mengejar lagi melainkan mencari keris yang dilemparkan ke dalam jurang. Ketika itu aku mendapatkan keris itu, ternyata keris itu adalah keris palsu, bukan Kolonadah dan ketika aku naik dari jurang, mereka telah lenyap."

   "Jelas bahwa mereka itu tentulah orang-orang Lumajang. Siapa lagi kalau bukan orang-orang Lumajang yang tahu tentang pusaka Kolonadah? Karena itu, Adimas Sutejo, waktunya sudah amat mendesak, Gusti Pangeran hanya memberi waktu dua bulan, maka kuharap Adimas dapat membuktikan dharma bhaktimu terhadap Mojopahit dan membantu Kakak Iparmu dari tugas berat ini. Kau bersama Kakang Resi Harimurti pergilah ke Lumajang untuk menyelidiki dan merampas kembali pusaka itu. Adimas Sutejo."

   Sutejo mengerutkan alisnya yang tebal, lalu menghela napas dan menjawab.

   "Dengan senang hati saya akan menempuh bahaya demi membela dan berbakti kepada Mojopahit,saya kira tidaklah mungkin untuk bisa menemukan keris pusaka itu di Lumajang dalam waktu sesingkat itu. Pertama, dua orang yang merampas keris dari tangan Paman Resi Harimurti itu belum dikenal siapa orangnya. Ke dua, andaikata benar mereka itu orang-orang Lumajang, bagaimana mungkin mencari sebatang keris di antara penduduk Lumajang yang tentu puluhan ribu rumah banyaknya? Ke tiga,andaikata keris itu terjatuh ke tangan Sang Adipati di Lumajang, saya kira lebih sukar lagi karena di sana terdapat banyak orang sakti. Mana mungkin kami berdua akan dapat mencuri atau merampas yang tentu dijaga dengan kuat oleh orang-orang sakti? Bukan saya berkeberatan untuk menempuh bahaya, akan tetapi kita harus memperbandingkan kemungkinan dan hasil-hasilnya yang dapat dicapai. Bukankah kalau dalam waktu dua bulan kami belum berhasil, berarti gagal usaha kita ini,Kakangmas Resi?"

   Resi Mahapati mengerutkan alisnya dan memegangi jenggotnya, mengangguk-angguk dan menarik napas panjang.

   "Aku mengerti. Adimas. Akan tetapi jalan apa lagi yang dapat kutempuh? Karena sudah kehabisan akal maka aku minta bantuanmu,Adimas Sutejo."

   "Kalau memang itu jalan satu-satunya, tentu saja saya akan berangkat, Kakangmas. Akan tetapi saya tidak berani menjamin akan berhasil! Dalam waktu dua bulan."

   Tiba-tiba Lestari berkata nyaring.

   "Mengapa harus menempuh jalan yang sukar yang sedikit sekali kemungkinanya berhasil kalau ada jalan yang jauh lebih mudah dan lebih baik daripada itu?"

   Meraka bertiga memandang kepada wanita cantik itu dan wajah Resi Mahapati berseri penuh harapan.

   "Diajeng Lestari, istriku yang jelita.....lekas katakanlah kepadamulah aku mengantungkan harapanku, lekas katakan, jalan apakah yang lebih mudah itu?"

   Lestari tersenyum penuh kebanggaan. Akan tetapi di depan adiknya dan Resi Harimurti, dia merendah dan berkata.

   "Sebetulnya sederhana saja dan baru terpikir olehku ketika kau mendengar cerita Sang Resi Harimurti tadi. Kalau dia dapat tertipu dengan keris palsu, mengapa kita tidak menggunakan itu untuk menyenangkan Gusti Ratu dan Gusti Pangeran Pati?"

   "Keris palsu?"

   Sutejo berseru. Resi Mahapati mengerutkan alisnya, penuh kekecewaan.

   "Ah, mana mungkin hal itu dilakukan? Kakang Resi Harimurti sendiri telah mendapatkan keris palsu itu segera mengenalnya, apalagi Gusti Ratu dan Gusti Pangeran. Kalau mereka itu tahu bahwa yang kuserahkan adalah keris palsu, tentu tidak akan lama kepala ini tinggal di leherku."

   "Memang tidak mungkin dilakukan hal itu."

   Kata pula Resi Harimurti.

   "Keris pusaka Kolonadah tidak bisa sembarangan saja dipalsukan. Gusti Ratu dan terutama Gusti Pangeran Pati tentu akan mengenalnya."

   "Dan pula, berdosa sekali untuk mengelabui Gusti Ratu dan Gusti Pangeran,"

   Sutejo berkata karena dia sama sekali tidak merasa setuju dengan usul mbakayunya (kakak perempuannya) itu. Melihat tiga orang laki-laki itu semua menyatakan tidak setuju, Lestari tidak menjadi kecil hati, sebaliknya dia malah tersenyum lebar, manis sekali, sepasang matanya yang mengandung kecerdikan itu bersinar-sinar.

   "Tentu saja aku akan bodoh sekali kalau menganjurkan pemalsuan begitu saja. Akan tetapi yang kumaksudkan bukan sembarangan pemalsuan, bahkan tidak boleh disebut pemalsuan kalau yang membuat keris ke dua yang serupa segala-galanya dengan Kolonadah itu adalah pencipta Kolonadah sendiri."

   "Apa maksudmu, Mbakayu...?"

   Sutejo berseru kaget.

   "Bukankah Kolonadah itu kabarnya dibuat oleh Empu Supamandrangi yang bertapa di puncak Gunung Bromo? Nah, daripada susah payah mencari Kolonadah yang belum diketahui dengan pasti berada di mana, bukankah jauh lebih mudah mendatangi Empu Supamandrangi untuk dibuatkan sebuah keris yang serupa benar dengan Kolonadah dan menyerahkan keris itu kepada Gusti Ratu?"

   "Aaahh.....ha-ha-ha.... engkau memang hebat! Engkau istri yang cantik dan bijaksana, sungguh.....ha-ha-ha, mengapa aku begitu bodoh dan tidak terpikirkan olehku hal ini sebelumnya? Aduh, terima kasih Diajeng Lestari, terima kasih! Ha-ha,bagaimana pendapatmu, Kakang resi? Hebat bukan siasat istriku tercinta ini?"

   Harimurti sejenak memandang kagum kepada Lestari, kemudian mengangguk-angguk dan menjawab.

   "Saya kira tidak ada akal yang lebih baik daripada itu, Adimas Resi. Memang tepat sekali."

   "Tidak, saya tidak setuju!"

   Tiba-tiba Sutejo berkata.

   "Kita sebagai Kawula-kawula (hamba) Mojopahit yang setia bagaimana mungkin akan menipu Gusti Ratu Pangeran?"

   Resi Harimurti melotot akan tetapi Resi Mahapati mengedipkan matanya kepadanya, lalu berkata kepada Sutejo,

   "Ha-ha-ha, Adimas Sutejo. Tidak mengherankan kalau Andika beranggapan demikian karena Andika masih muda, berdarah panas dan belum pandai menggunakan akal yang halus. Tentu saja kami pun tidak setuju untuk menipu Gusti Ratu, bahkan kami akan menghalangi siapa saja yang akan menipu Beliau dengan keris di tangan! Akan tetapi kita sama sekali tidak akan menipu Beliau, Adimas. Renungkan baik-baik. Beliau minta waktu hanya dua bulan dan kalau samai dua bulan aku belum dapat menyerahkan Kolonadah, tentu Beliau akan merasa berduka sekali dan marah kepadaku. Maka, penyerahan keris buatan Empu Supamandrangi juga yang mirip dengan Kolonadah, sama sekali bukan untuk menipu, melainkan untuk meredakan kedukaan dan kemarahan Beliau. Tentu saja kita masih akan terus berusaha mencari Kolonadah yang asli, dan kalau pusaka itu sudah terdapat oleh kita, tinggal menukarkannya saja, bukan?"

   "Andika Sutejo yang baik, kalau engkau tidak setuju dengan akal itu, apakah engku lebih suka melihat Kakak Iparmu menerima kemarahan Gusti Ratu dan menerima hukuman?"

   Kata Lestari kepada adiknya.

   Sutejo menarik napas panjang dan dia memang dapat melihat kebenaran semua ini,akan tetapi hatinya masih merasa berat.

   "Kalau memang demikian yang Andika sekalian anggap baik, terserah, akan tetapi berat bagi saya ikut pergi ke puncak Bromo. Empu Supamandrangi adalah guru dari sahabatku yang baik, yaitu Bromatmojo. Mana bisa aku ikut membujuknya membuat Kolonadah palsu....? Bagaimana kalau Beliau menolak? Aku tidak mungkin harus memaksanya."

   Kembali Resi Mahapati berkedip kepada Lestari dan Resi Harimurti, lalu menyentuh pundak pemuda itu dan berkata dengan ramah.

   "Adimas Sutejo, jangan salah mengerti. Tidak ada paksaan dalam hal ini. Kalau Empu Supamandrangi benar seorang pertapa yang suci, seorang yang setia, tentu dia tidak akan menolak permintaan kita, demi untuk kebaikan Mojopahit. Dan pula, ada satu hal yang amat penting mengenai diri sahabatmu yang bernama Bromatmojo itu, Adimas, dan aku yakin Andika belum mengetahuinya."

   Seketika Sutejo timbul gairahnya dan dengan penuh semangat dia memandang Kakak Iparnya itu dan bertanya.

   "Ada apa dengan dia? Apa yang terjadi dengan dia?"

   "Baru saja ada pelaporan dari anak buah Kakang Gagaksona bahwa sahabatmu itu telah melindungi istri Progodigdoyo dan anak-anaknya yang melarikan diri ke Lumajang. Sahabatmu itu malah telah membunuh Kakang Gagaksona dan Klabang Curing serta banyak prajurit dan kini dia dan keluarga Progodigdoyo tentu telah berada di Lumajang."

   Akan tetapi berita ini tidak mengejutkan hati Sutejo.

   "Hemm, saya kira hal itu tidak aneh. Adi Bromo tentu saja membela mereka karena kedua orang anak dari Progodigdoyo itu adalah orang-orang yang baik."

   "Tapi mereka adalah anak-anak yang telah berdosa, Adimas Sutejo!"

   Kata Resi Mahapati.

   "Mereka pun harus dihukum!"

   "Saya tidak setuju dengan hukum itu, Kakangmas Resi. Yang bersalah boleh dihukum, akan tetapi keluarganya yang tidak bersalah, tidak semestinya menerima hukuman pula."

   Resi Mahapati menarik napas panjang.

   "Mungkin Andika benar... akan tetapi tidak sayangkah andika melihat sahabat baik Andika itu menyeberang ke Lumajang dan membantu pihak pemberontak? Tidak sayangkah hati Andika melihat dia menentang Mojopahit sebagai seorang pemberontak dan pengkhianat?"

   "Memang sayang sekali, akan tetapi apa dayaku, dia berhati keras...."

   Kata Sutejo dengan suara menyesal.

   "Nah, sayang sekali, bukan? Memang sayang kalau seorang seperti dia, murid Empu Supamandrangi, kini membantu pemberontak. Apalagi karena dia itu seorang wanita, seorang dara remaja....."

   Sutejo terkejut dan memandang kepada Resi Mahapati dengan mata terbuka lebar.

   "Apa maksud Andika....?"

   Resi Mahapati tersenyum.

   "Hanya seorang pemuda seperti Andika yang masih polos, jujur dan belum berpengalaman saja yang mudah dikelabui, Adimas. Akan tetapi banyak orang-orang yang berpengalaman ketika bertemu dengan sahabatmu itu segera mengetahui bahwa dia sebenarnya adalah seorang dara remaja yang menyamar sebagai seorang pemuda."

   "Ah, tidak mungkin......! Biar pun dia amat tampan..... akan tetapi.... ah, kalau dia pria, tentu dia tidak akan bohong kepadaku. Dan dia....ah, tidak mungkin!"

   Sutejo tidak melanjutkan kata-katanya yang hendak menceritakan betapa Bromatmojo telah memperlihatkan "Kejantanannya"

   Dengan sikapnya yang mata keranjang dan suka menggoda wanita.

   "Siapa yang lebih tahu kalau bukan Gurunya, Adimas? Mengapa Andika tidak sekalian menanyakan hal itu kepada gurunya, Empu Supamandrangi? Dan kalau Empu itu mendengar bahwa Andika sahabat baik dari muridnya, tentu dia akan suka membuatkan keris itu demi kepentingan Mojopahit."

   Sutejo menjadi bimbang dan akhirnya, setelah dibujuk-bujuk oleh Resi Mahapati dan Lestari, dia pun menyerah dan pada keesokan harinya, berangkatlah Resi Harimurti bersama Sutejo menuju ke timur, ke Gunung Bromo. Dia terdesak oleh bujukan Resi Mahapati bahwa semua yang dilakukannya itu adalah demi kepentingan Mojopahit, demi perjuangan! Tidaklah mengherankan kalau Sutejo dapat terbujuk.

   Betapa semenjak sejarah berkembang sehingga kini, kita selalu tertipu dengan kata-kata indah yang berupa slogan kosong, yaitu perjuangan! Di setiap penjuru dunia di mana terjadi perang,baik perang melawan bangsa lain, perang saudara, perang agama, atau perang antar suku, selalu terdengar slogan kosong yang berbunyi indah itu berdengung:Perjuangan! Dan betapa kita semua, tua muda, terpelajar mau pun buta huruf,seperti mabok kepayang oleh keindahan kata-kata ini, meninggalkan rumah,meninggalkan sawah, meninggalkan pekerjaan, untuk membunuh atau dibunuh yang dinamakan orang: Perjuangan! Berjuang demi kerajaan! Berjuang demi bangsa, demi negara, demi agama, dan sebaginya lagi. Berjuang demi rakyat! Demikianlah yang didengung-dengungkan oleh para pemimpin. Benarkah semua itu? Benarkah perjuangan, perang bunuh-membunuh,semua itu dilakukan demi bangsa, demi agama, demi rakyat? Kalau kita mau meneliti jalannya sejarah, maka siapa saja yang mau membuka mata melihat kenyataan akan dapat melihat bahwa sesungguhnya tidak demikianlah kenyataannya.

   Kata-kata perjuangan demi ini dan itu yang didengung-dengungkan oleh para pemimpin itu pada hakekatnya adalah demi kepentingan mereka itu, kepentingan para pemimpin itu sendiri, atau juga demi politik pemerintah yang pada hakekatnya juga terdiri dari kelompok pemimpin pula. Sudah sejak sejarah berkembang terbukti nyata bahwa setiap peperangan yang didengung-dengungkan sebagai perjuangan itu, hasilnya selalu sama. Kalau kalah, para pemimpin itu jatuh dan menyeret rakyat yang menjadi korban perang dan korban pihak yang kalah.

   Kalau menang, para pemimpin itulah yang terangkat setinggi langit dan memperoleh kemuliaan. Rakyat yang tadinya menjadi alat untuk meraih kemuliaan itu dengan dalih perjuangan? Cukup mendapatkan "kepyuran"

   Hadiah, seperti segenggam beras diseberkan untuk ayam-ayam bodoh, sesudah itu, sudahlah! Rakyat pula yang menjadi korban perang, baik kalah maupun menang, dengan korban nyawa anggota keluarga, harta benda dan kadang-kadang kehormatan.

   Akan tetapi mengapa kita, rakyat, begitu bodoh dan seperti dapat dilihat dalam sejarah, perang yang diselimuti kata-kata perjuangan itu berulang terus? Mengapa? Begitu bodohkah rakyat di dunia ini dipermainkan oleh sekelompok orang-orang yang dinamakan pemimpin, yang tidak lain hanya berambisi besar, yang mengejar kesenangan diri pribadi melalui kedudukan, kekuasaan, harta benda, atau nama besar belaka? Yang demi pengejaran semua itu, tidak segan-segan menyeret rakyat ke dalam api peperangan? Kalau kita mau mengenal diri sendiri, akan nampaklah bahwa hal ini adalah karena kita merasa diri sendiri kosong, hampa, tidak berarti. Oleh karena itu kita mencari sesuatu yang lebih berarti, yang akan dapat "mengangkat"

   Diri pribadi kita ke tempat yang lebih berarti, melalui partai, melalui perkumpulan, melalui negara,melalui bangsa, melalui agama.

   Dan untuk meraih nilai yang lebih tinggi ini maka kita mengesampingkan diri pribadi sendiri, kita menyamakan diri dengan bangsa, negara, dan sebagainya. Dan di dalam semua itu TERDAPAT KESENANGAN! Inilah sebabnya! Kalau begitu, agaknya tidak akan pernah mungkin ada perdaimaian di dunia ini! Tidak mungkin perang berakhir! Kapankah dunia ini akan menjadi tempat yang aman damai tanpa perang untuk seluruh manusia, di mana selain tidak ada perang juga tidak ada permusuhan, dan manusia hanya mementingkan kesejahteraan seluruh manusia di dunia yang merata dan tidak ada lagi kelaparan dan penindasan?

   Agaknya kalau sudah tidak ada pemimpin-pemimpin yang mementingkan diri pribadi,sudah tidak ada orang perorangan, atau kelompok yang mengejar-ngejar kekuasaan melalui kedudukan , harta, kepandaian dan lain-lain, kalau sudah tidak ada perpecahan-perpecahan yang melenyapkan nilai manusia, kalau yang menjadi faktor utama dan terpenting adalah manusia, bukan agama, bukan politik, bukan negara,bukan bangsa, bukan kedudukan atau harta, kepandaian atau kekuasaan, barulah mungkin bicara tantang perdamaian.

   Selama nilai manusia sendiri tenggelam,teruruk oleh perpecahan-perpecahan yang lebih dipentingkan seperti agama, politik, bangsa, dan sebegainya itu, sudah tentu saja akan selalu timbul pertentangan, permusuhan, iri hati, kebencian, yang kesemuanya terkumpul lalu meletus menjadi perang. Dan itu tentu saja berlaku untuk seluruh manusia di dunia, karena kalau sudah benar-benar manusia yang menjadi faktor utama, maka sebutan bangsa dan lain-lain itu tidak ada pengaruhnya lagi bagi kehidupan.

   Dua orang cantrik itu terheran-heran melihat Sang Empu bangun dan duduk dengan mata masih terpejam, kemudian berkata perlahan.

   "Cantrik, apakah kalian berdua masih ingat kepada muridku Sulastri?"

   Dua orang cantrik itu saling pandang. Tentu saja mereka ingat, karena gadis lincah murid pertapa ini selama empat tahun berada di situ dan mereka berdua adalah penghuni dusun di lereng Bromo dan sudah mengenal dara itu. Mereka baru saja menjadi cantrik melayani Empu Supamandrangi, semenjak kepergian Sulastri dari situ.

   "Hamba ingat, Sang Empu!"

   Jawab seorang di antara mereka.

   "Kalau begitu ingat baik-baik, jika ada terjadi sesuatu kelak di pertapaan ini, kalian pergi carilah Sulastri."

   "Ke mana hamba harus mencarinya?"

   "Ke Mojopahit, Tuban, atau Lumajang....."

   Setelah berkata demikian, Empu Supamandrangi merebahkan diri kembali dan tidur pulas, seolah-olah dia tadi hanya mimpi saja.

   Dua orang cantrik itu saling pandang dan merasa heran. Sudah tiga pekan Sang Empu menderita sakit. Tadi mereka sedang bekerja di ladang ketika mereka seperti mendengar suara Empu Supamandrangi memanggil meraka. Bergegas mereka memasuki kamar Sang Eampu hanya untuk mendapatkan kakek itu tidur nyenyak! Dan tiba-tiba kakek itu bangun duduk dengan mata terpejam dan mengatakan pesan itu kepada mereka!

   Memang terjadi perubahan di pondok pertapaan Empu Supamandrangi semenjak Sulastri meninggalkannya. Dahulu, kakek ini sudah biasa hidup menyendiri. Akan tetapi semenjak Sulastri menjadi muridnya dan adanya gadis itu merupakan cahaya cerah dalam kehidupannya, lalu gadis itu pergi turun gunung, Empu Supamandrangi seringkali merasa kesepian! Pula, dia merasa bahwa usianya sudah amat tua, hidup tentu tidak akan lama lagi dan daripada dia membawa semua pengertiannya itu lenyap bersama kematiannya lebih baik dia tinggal-tinggalkan kepada orang lain agar dapat diamalkan. Oleh karena itu, dia lalu mengambil dua orang cantrik dari penghuni dusun yang berada di lereng gunung dan mereka ini selain menjadi cantrik yang mempelajari soal-soal kebatinan, juga bertugas melayaninya.

   Beberapa hari kemudian setelah pagi hari itu Sang Pendeta meninggalkan seperti orang mimpi, keadaan kesehatan Empu Supamandrangi berangsur sembuh dan biar pun tubuhnya masih lemah, namun dia sudah dapat turun dari pembaringan dan berjalan-jalan. Pesan itu tidak lagi disinggung-singgung, dan sudah hampir terlupa oleh dua orang cantrik itu yang menganggap bahwa mungkin Sang Pendeta itu hanya bermimpi.

   Akan tetapi pada suatu senja, muncullah dua orang tamu di depan pondok Sang Pertapa. Ketika dua orang cantrik itu mendengar bahwa mereka datang dari Mojopahit, dari kota raja dan hendak bertemu dengan Sang Empu, bergegas mereka melaporkan kedatangan dua orang tamu itu kepada Empu Supamandrangi.

   Kakek ini cepat membereskan pakaiannya dan keluar dari dalam kamar, menyambut dua orang yang mengaku datang dari Mojopahit itu. Ketika melihat bahwa yang datang adalah seorang kakek berpakaian resi dan seorang pemuda yang amat gagah perkasa, dia cepat menyambut dengan hormat, mempersilahkan mereka duduk di ruang tamu dan menyuruh cantrik mengambil minuman.

   "Sungguh merupakan kehormatan besar bagi saya menerima kunjungan tamu-tamu yang terhormat, akan tetapi juga merupakan hal yang mengejutkan dan mengherankan karena tempat yang sunyi ini jarang sekali didatangi tamu,"

   Empu Supamandrangi berkata sambil menatap tajam wajah pemuda itu setelah mengerling kepada kakek berpakaian resi.

   "Siapakah Andika berdua, dari mana dan ada keperluan apakah datang berkunjung ke pertapaan yang sunyi ini?"

   Resi itu tersenyum lebar dan menjawab.

   "Harap Andika maafkan kalau kedatangan kami mengganggu. Saya adalah Resi Harimurti dan dia ini adalah Sutejo. Kami berdua sengaja datang karena diutus oleh Adimas Resi Mahapati dari Mojopahit. Kiranya Andika mengenal nama Adimas Resi Mahapati."

   Empu Supamandrangi mengerutkan alisnya yang sudah hempir putih semua itu.

   "Resi Mahapati? Hemm, saya teringat nama itu.... kalau tidak salah, seorang Resi Kerajaan Mojopahit dan menjadi seorang punggawa, bukan? Akan tetapi....biar pun saya sudah dengar tentang dia, saya tidak mengenalnya secara pribadi dan seingat saya, tidak ada urusan antara dia dan saya...."

   "Memang sebenarnyalah demikian, Saudara Empu Supamandrangi. Akan tetapi kami diutus oleh Adimas Resi Mahapati sebagai ponggawa setia dari Kerajaan Mojopahit yang menerima perintah dari Gusti Ratu Sri Indreswari dan Gusti Pangeran Pati sendiri."

   "Ah, begitukah?"

   Empu Supamandrangi memandang dengan mata terbelalak dan hatinya merasa tidak enak.

   "Sungguh makin menakjubkan sekali. Ada urusan penting apakah gerangan maka kerajaan teringat kepada seorang tua seperti aku, Sang Resi?"

   
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Begini persoalannya, Saudara Empu. Sudah lama sekali Gusti Pangeran Pati Kolo Gemet menginginkan keris pusaka Kolonadah."

   Dia berhenti sebentar dan memandang kepada kakek yang mengangguk-angguk itu.

   "Dan karena sampai kini keris pusaka itu belum juga berhasil didapatkan untuk dihaturkan kepada Gusti Pangeran, maka Adimas Resi Mahapati mohon bantuan Saudara Empu."

   Empu Supamandrangi mengerutkan alisnya. Dia sudah mengutus muridnya, Sulastri,untuk menyerahkan keris pusaka itu kepada Pangeran Kolo Gemet, mengapa sampai kini belum juga pusaka itu diterima oleh Sang Pangeran?

   "Kalau keris pusaka itu lenyap dan belum bisa didapatkan, bagaimana saya dapat menolong, Sang Resi?"

   Tanyanya.

   "Karena Andika adalah pencipta keris pusaka Kolonadah, maka kini untuk meredakan kedukaan dan kemarahan Gusti Pangeran, Resi Mahapati minta bantuan Andika agar suka membuatkan sebatang keris yang sama dengan Kolonadah untuk diberikan kepada Gusti Pangeran."

   "Ahhh.....!"

   Empu Supamandrangi tertegun, lalu menggelengkan kepalanya.

   "Hal itu tidak mungkin saya lakukan! Kolonadah tidak boleh dipalsukan begitu saja! Keris itu adalah sebuah pusaka kerajaan yang mengandung daya mujijat...."

   "Hendaknya Andika ingat bahwa keris ini adalah untuk meredakan kedukaan Gusti Ratu Sri Indreswari dan puteranya, Gusti Pangeran Pati Kolo Gemet."

   Akan tetapi Empu Supamandrangi menggeleng-gelengkan kepalanya.

   "Sungguh bukan pertanda baik untuk mempermainkan ratu dan Pangeran Pati, dan sungguh lebih tidak baik lagi untuk memalsukan Kolonadah...."

   "Akan tetapi ini merupakan perintah dan kepentingan Mojopahit, Saudara Empu!"

   Suara Resi Harimurti sudah berubah kaku karena hatinya mengkal melihat kekerasan hati kakek yang menolak itu.

   "Apakah harus saya katakan bahwa Andika membangkang perintah dan tidak mau berbakti kepada Mojopahit, bahkan menentang Mojopahit?"

   Sang Empu mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi ke atas dan menggeleng kepala.

   "Sama sekali tidak! Wahai.... betapa mudahnya sekarang ini orang dikatakan menentang dan membangkang kerajaan!"

   Dia menarik napas panjang.

   "Bukan sekali-kali saya menentang dan menolak Sang Resi, akan tetapi karena itu bukanlah jalan yang baik. Seharusnya keris Kolonadah yang asli itulah yang harus dihaturkan kepada pangeran."

   "Apakah Andika tahu bagaimana harus memperoleh kembali Kolonadah yang hilang?"

   "Ah, mana saya tahu? Saya telah mengutus murid saya untuk mencari keris itu dan menyerahkan kepada Pangeran Pati, akan tetapi...."

   Dia termangu-mangu karena merasa heran mengapa muridnya itu belum berhasil.

   "Maaf, Eyang Empu. Apakah Eyang maksudkan Bromatmojo?"

   Tiba-tiba Sutejo yang sejak tadi mendengarkan saja bertanya.

   Empu itu membelalakkan mata, memandang kepada Sutejo dengan mata tajam dari bawah alisnya yang putih.

   "Orang muda, Andika mengenal murid saya?"

   "Bukan hanya mengenal, Eyang, bahkan menjadi sahabat baik! Bahkan kami berdua telah berhasil mendapatkan keris pusaka Kolonadah itu, akan tetapi ketika keris itu kami titpkan kepada Empu Singkir, keris itu lenyap dilarikan oleh Ki Ageng Palandongan. Kemudian keris itu dapat diperoleh kembali oleh paman Resi ini dari Ki Ageng Palandongan, akan tetapi telah dirampas kembali oleh orang-orang yang sampai kini belum kami ketahui siapa. Mungkin orang-orangnya meraka yang hendak memberontak terhadap Mojopahit. Sedangkan Adi Bromo......eh, maksud saya murid Eyang.....yang selama ini menyamar sebagai pemuda tampan..."

   "Ha-ha, memang dia bocah nakal sekali! Paling suka menyamar sebagai pria, akan tetapi Sulastri adalah anak cerdik. Tentu dia akan bisa mendapatkan kembali keris pusaka itu."

   Sutejo menjadi bengong, jantungnya bedebar keras dan matanya terbelalak memandang kakek itu. Tadi dia memancing, dan ternyata benar bahwa Bromatmojo adalah seorang gadis yang bernama Sulastri! Dan mengakunya dahulu nama aslinya Sulastomo!

   "Eh, kau kenapa, orang muda?"

   Empu Supamandrangi bertanya.

   "Tidak apa-apa, Eyang..... hanya.....eh, Adi Bromo itu..... tidak pernah mengaku bernama Sulastri..."

   Sampai di sini Sutejo tidak membuka mulut lagi, masih bedebar jantungnya dan membayangkan Bromatmojo yang mata keranjang terhadap wanita itu! Pantas saja menggodanya dan sengaja menciumi wanita, bersikap mesra terhadap wanita. Kiranya semua itu hanya untuk menggodanya!

   "Bagaimana, Sudara Empu? Keris pusaka Kolonadah sudah lenyap dan tentu kami akan terus mencari sampai kembali ke tangan kami. Akan tetapi sementara ini, Adimas Resi Mahapati ingin meredakan kedukaan dan kemarahan Gusti Pangeran dengan keris buatan saudara Empu juga, yang serupa dengan Kolonadah. Tentu saja kalau Kolonadah sudah kembali ke tangan kami, akan segera kami haturkan kepada Gusti Pangeran sebagai pengganti sementara itu."

   Empu Supamandrangi menundukkan kepalanya dan berpikir. Dia sudah mempunyai banyak pengalaman hidup, dan dapat menilai orang. Resi yang duduk di depannya ini bukan seorang manusia yang baik, penuh diliputi hawa nafsu yang berkobar-kobar.

   Juga dia dapat menduga bahwa resi itu mempunyai kesaktian tinggi. Apalagi pemuda itu! Biar pun masih muda, namun pemuda yang datang bersama resi itu jelas merupakan murid seorang yang amat sakti, dan pemuda itu biar pun tidak dapat dia katakan seorang yang berwatak buruk, namun sekali ini datang sebagai pengemban tugas kerajaan. Kalau dia berkeras, menolak, sudah pasti akan timbul keributan dan dia yang baru saja sembuh dari sakit harus mengukur dulu sampai di mana kekuatan kedua lawan ini sebelum mengambil keputusan.

   Setelah menarik napas panjang. Empu Supamandrangi lalu berkata.

   "Resi Harimurti,karena memang perintah yang Andika bawa itu datang dari Mojopahit dan demi kepentingan Gusti Ratu dan Gusti Pangeran Pati, sudah tentu saja saya sebagai rakyat kecil tidak berani untuk menolak. Akan tetapi, membuat keris seperti Kolonadah bukan hal yang main-main dan harus menggunakan bahan yang khas. Baiknya saya masih mempunyai bahan Tosan aji (baja mulia) yang dulu saya pergunakan untuk membuat Kolonadah. Namun ada satu hal yang tidak dapat saya paksakan untuk membuat keris itu kalau syaratnya tidak dapat dipenuhi, Sang Resi."

   "Hemm, apakah syarat itu? Tanya Resi Harimurti.

   "Tosan aji ini bukan sembarang besi atau baja dan seolah-olah mempunyai naluri yang kuat. Dia memberi tanda apakah dia mau dibentuk menjadi keris ataukah tidak, tanda yang merupakan syarat yaitu apabila dia dapat ditekuk, itu tandanya bahwa dia rela dibentuk menjadi keris. Akan tetapi apabila tidak dapat, apa pun yang akan kita lakukan, dia tidak mungkin bisa dibentuk menjadi keris."

   "Hemm, keluarkan tosan aji itu hendak kulihat!"

   Kata Resi Harimurti yang percaya penuh bahwa dia akan mampu menekuk besi itu. Berapa sih kuatnya sepotong besi? Terbungkuk-bungkuk Empu yang sudah tua itu meninggalkan ruangan tamu dan memasuki kamarnya.

   Kesempatan ini dipergunakan oleh Resi Harimurti kepada Sutejo.

   "Bagaimana pendapatmu, Sutejo. Apakah dia akan membohongi kita?"

   Sutejo menggeleng kepalanya.

   "Kurasa tidak, Paman Resi. Dia tidak bohong dan kita harus percaya kepadanya dan mencoba apakan tosan aji itu dapat ditekuk atau tidak. Kita tidak dapat melawan kekuatan alam."

   Jawaban ini tidak memuaskan hati Resi Harimurti, akan tetapi dia tidak berkata apa-apa lagi karena Empu Supamandrangi telah datang kembali membawa sebuah bungkusan kain kuning yang panjangnya ada satu kaki lebih.

   "Inilah tosan aji itu, Sang Resi,"

   Katanya sambil meletakkan bungkusan di atas meja dan membukanya. Tampaklah kini sepotong besi yang kelihatannya biasa saja, hanya bersinar agak kehijauan. Empu Supamandrangi maklum bahwa dalam keadaan lemah seperti sekarang, dia tidak akan mampu menekuk baja itu, bahkan dalam keadaan sehat sekali pun hanya dengan mengerahkan seluruh tenaganya saja dia akan dapat menekuknya. Maka dia mempergunakan kekuatan tosan aji itu untuk menguji kepandaian dua orang tamunya. Kalau mereka mampu menekuk baja itu, berarti dia tidak akan mampu melawan mereka dan dia harus mentaati permintaan mereka.

   "Ah, inikah, Saudara Empu? Kalau begitu, coba Andika menekuknya."

   Empu Supamandrangi menggeleng kepala.

   "Tosan aji ini seperti hidup dan mempunyai pengertian. Dia hanya memandang kepada orang yang menghendaki dia menjadi keris. Kalau, dia setuju, biar pun yang menghendakinya itu anak kecil, dia akan dapat ditekuk oleh anak itu. Sebaliknya, kalau dia tidak mau, biar yang menghendakinya itu orang yang bertenaga besar, kiranya tidak akan kuat menekuknya."

   Resi Harimurti memandang potongan besi itu dengan mata mengejek.

   "Jadi kalau kami berdua yang menghendaki, harus kami berdua yang menekuknya?"

   "Begitulah."

   "Hemm, apa sih anehnya besi semacam ini? Berapa sih kekuatan besi seperti ini? Empu Supamandrangi, kami bukanlah anak-anak kecil yang bodoh dan dapat dipermainkan."

   "Resi Harimurti, kalau orang-orang yang memiliki kesaktian seperti Andika berdua tidak mampu menekuknya, apalagi saya seorang tua, bagaimana mungkin saya akan dapat memaksa tosan aji ini menjadi keris? Cobalah dan lihat apakah dia rela atau tidak dibentuk pusaka."

   Sambil tertawa Resi Harimurti mengambil potongan besi itu dan dia merasa betapa besi itu dingin sekali, dingin dan berat. Akan tetapi, mengandalkan kesaktiannya sendiri, dia tetap tersenyum, lalu memegang besi itu di kedua ujungnya dengan dua tangan, kemudian dia mengerahkan aji kesaktiannya, mengumpulkan tenaga saktinya kemudian menekuk potongan besi itu. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa besi itu kuat bukan main dan seperti

   

 
   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KERIS MAUT

PENDEKAR GUNUNG LAWU

KEMELUT DI MAJAPAHIT