KEMELUT DI MAJAPAHIT JILID 19

    Sutejo, menyerahlah sebagai tawanan."

   Akan tetapi tentu saja Sutejo tidak mau ditangkap begitu saja. Dia membusungkan dadanya dan mengerling ke arah Resi Harimurti sambil berkata.

   "Siapa pun boleh mencoba untuk menangkap aku kalau bisa!"

   "Keparat! Kau sombong sekali! Di Tuban kau terlepas dari tanganku, kini jangan harap dapat mengulangi lagi hal itu!"

   Resi Harimurti sudah menubruk ke depan dan tangannya mencengkeram ke arah pundak Sutejo sedangkan tangan yang kiri menampar ke arah pelipis kanan lawan. Dia maklum bahwa pemuda ini amat sakti dan pernah dia bertanding segebrakan dengan Sutejo, maka begitu menyerang dia telah mempergunakan aji kesaktiannya dan mengeluarkan serangan maut. Melihat ini,Mahapati terkejut karena dia mengenal kesaktian temannya, akan tetapi dia hanya menonton saja sambil menggandeng tangan Lestari yang memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat.

   "Plakk! Desss!!"

   "Ahh...!"

   Resi Mahapati terkejut dan berseru kagum ketika melihat betapa tangkisan kedua tangan pemuda itu berhasil membuat Resi Harimurti terpental dan terhuyung ke belakang! Bukan main! Adik dari selirnya ini ternyata adalah seorang pemuda yang sakti!

   "Kakangmas Resi, maafkanlah Adik saya itu... bebaskan dia..."

   Lestari meratap. Mahapati mengelus lengan kekasihnya.

   "Diamlah, Lestari. Adikmu hebat, biar dia diuji oleh Harimurti,"

   Kata Mahapati tanpa melepaskan pandang matanya dari dua orang yang sedang bertanding itu. Resi Harimurti juga terkejut sekali. Tadi dia sudah mengerahkan tenaganya,sungguh tidak disangkanya bahwa tangkisan pemuda itu akan membuatnya terpental dan terhuyung, dan dia merasa betapa dari lengan pemuda itu menyambar keluar hawa panas yang dahsyat bukan main!

   Dia adalah pembantu dan kini menjadi tangan kanan Resi Mahapati, dan dia terkenal sebagai seorang yang memiliki kesaktian hebat. Tentu saja di depan Mahapati dia sampai terhuyung oleh tangkisan seorang pemuda, hatinya menjadi panas dan dia mengeluarkan suara melengking nyaring, suara yang menggetarkan dinding-dinding tahanan itu dan membuat Mahapati cepat merangkul kekasihnya dan membawanya keluar, sedangkan para pengawal juga menggigil mendengar lengking yang mengandung wibawa hebat itu. Namun, Sutejo berdiri dengan tenang, kedua kakinya terpentang dan kedua lengannya tergantung lepas di kanan kiri tubuhnya,sepasang matanya tak pernah berkedip mengikuti gerak gerik Resi Harimurti.

   "Hyaaaaaahhhh...!!"

   Dengan gerengan nyaring seperti suara orang penjaga sawah menggertak dan mengusir burung-burung yang makan padi di sawah, Resi Harimurti sudah menerjang lagi dengan gerakan kilat dan kedua tangannya sudah menghujankan tamparan-tamparan maut. Bunyi angin bersiutan menyambar-nyambar menandakan betapa dahsyatnya kedua tangan kakek itu ketika menyerang bertubi-tubi dari kanan kiri, atas dan bawah ke arah tubuh Sutejo dan pada bagian-bagian yang berbahaya.

   Sutejo sudah waspada sejak tadi, maka begitu tubuh lawannya menerjangnya, dia sendiri pun menggerakkan kedua kakinya bergeser ke sana sini dan kedua tangannya juga bergerak secepat kilat, menangkis, mengelak dan membalas dengan pukulan-pukulannya yang tidak kalah ampuh dan dahsyatnya. Terdengar suara nyaring berkali-kali ketika kedua pasang lengan mereka saling bertemu, dan setiap kali terjadi bentrokan paling keras karena kedua pihak mengerahkan seluruh tenaga, tentu Resi Harimurti yang terpental dan terhuyung ke belakang.

   "Keparat!"

   Bentak Resi Harimurti dan kedua tangannya bergerak ke pinggangnya.

   "Tar-tar-tarrr...!"

   Sehelai senjata pecut panjang telah meledak-ledak di udara, dan tangan kirinya sudah memegang pula senjatanya yang kedua, yang tidak kalah aneh dan hebatnya,yaitu sebuah kipas bambu yang bentuknya bundar. Melihat ini, Sutejo cepat mencabut kerisnya dan nampaklah sinar berkilauan ketika keris pusaka Nogopusoro tercabut keluar dari warangkanya. Tiba-tiba Resi Mahapati berseru,

   "Tahan!"

   Dan dia sudah melompat ke tengah di antara mereka.

   "Kakang Resi, harap simpan kembali senjata Andika!"

   Setelah itu, Resi Mahapati lalu menghadapi Sutejo sambil tersenyum ramah.

   "Dimas Sutejo, setelah mendengar penuturan Lestari, Andika ternyata adalah adik iparku sendiri, maka tidak baik kalau di antara kita terjadi kekerasan. Engkau harus mengerti bahwa kami adalah ponggawa-ponggawa kerajaan, maka terjadinya peristiwa pembunuhan atas diri Bupati Progodigdoyo, tentu saja tidak dapat didiamkan saja. Simpanlah keris pusakamu dan mari kita bicara dengan baik. Akan kucarikan jalan agar urusan ini dapat diselesaikan dan kita tidak mendapat marah dari Sang Prabu. Akan tetapi,kuharap agar engkau suka menjadi tamu di sini dan jangan pergi dulu sebelum urusan kematian Bupati Progodigdoyo ini selesai. Bagaimana, Dimas Sutejo?"

   Lestari sudah lari dan memegang lengan Adiknya.

   "Tejo Adikku! Apa yang dikatakan oleh Kakangmas Resi memang benar dan tepat. Marilah, kita bicara di dalam, Adikku. Aku sungguh rindu sekali padamu dan dapat kau bayangkan betapa bahagianya aku dapat bertemu dengan engkau yang tadinya kukira sudah mati."

   Sepasang mata yang bening itu mengalirkan air mata dan Sutejo menghela napas panjang. Kalau Resi Mahapati bersikap baik, tentu saja dia pun tidak akan melakukan kekerasan. Akan tetapi tiba-tiba dia teringat kepada Bromatmojo.

   "Nanti dulu, aku akan memanggil temanku!"

   Katanya kepada Lestari dan dia memandang ke atas, ke arah genteng yang terbuka di atas kamar tahanan itu.

   "Adi Bromo, turunlah!"

   Akan tetapi tidak ada jawaban dari atas.

   "Adi Bromatmojo!"

   Sutejo kembali berseru memanggil. Namun sunyi saja yang menyambut panggilannya. Resi Harimurti sudah melompat dari luar kamar itu ke atas genteng, dan tak lama kemudian dia melayang turun kembali.

   "Tidak ada siapa-siapa di atas,"

   Katanya. Sutejo mengerutkan alisnya, merasa heran mengapa Bromatmojo meninggalkan dia.

   "Siapakah temanmu itu, Tejo?"

   Tanya Kakaknya.

   "Dia? Ah, hanya seorang teman seperjalanan,"

   Jawab Sutejo singkat karena dia tidak mau bicara lebih banyak tentang Bromatmojo.

   Demi menjaga keselamatan kakaknya yang telah menjadi selir Resi Mahapati, Sutejo terpaksa tunduk dan dengan sabar dia menurut saja ketika digandeng oleh kakaknya meninggalkan kamar tahanan itu.

   Ke manakah perginya Bromatmojo? Tadi ketika Sutejo memasuki kamar tahanan itu,Bromatmojo hanya mengintai dari atas genteng. Dia juga ikut merasa ngeri menyaksikan wanita cantik yang amat kejam itu, yang ternyata adalah Kakak dari Sutejo, wanita yang agaknya sudah hampir gila oleh dendam sehingga mampu melakukan penyiksaan sedemikian kejamnya. Dia terkejut pula ketika melihat masuknya Joko Handoko dan Roro Kartiko dan diam-diam dia pun merasa amat kasihan kepada dua orang putera-puteri dari Progodigdoyo itu. Kemudian, ketika melihat Sutejo bertanding melawan Resi Harimurti, dia pun tidak dapat turun tangan. Pertandingan itu adalah satu lawan satu, maka tidak sepatutnya kalau dia mencampuri. Apalagi, bukankah Sutejo berada di antara keluarganya sendiri? Kalau dia melihat Sutejo dikeroyok misalnya, tentu dia sudah turun dan mengamuk.

   Apalagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa Sutejo tidak mungkin kalah oleh Resi itu. Dia percaya akan kesaktian pemuda itu. Ketika Resi Mahapati melerai dan dia mendengar percakapan di bawah, tahulah dia bahwa keadaan Sutejo tidak akan berbahaya, dan bahwa tentu wanita cantik itu akan melindungi adiknya. Maka dia pun diam-diam lalu cepat pergi dari situ, karena dia sendiri maklum bahwa urusan Sutejo telah selesai dan kehadirannya di situ tentu hanya akan menimbulkan keributan saja. Sutejo telah berhasil membunuh musuh besarnya dan bertemu dengan Mbakayunya. Tidak perlu dia mengganggunya, dan pula, dia merasa tidak senang kalau harus berhadapan dengan Resi Mahapati, nama yang sudah tidak disenanginya semenjak dia mendengarnya sebagai majikan dari dua orang yang dibencinya, yaitu Reksosuro dan Darumuko. Dan ternyata Mahapati itu adalah kakak ipar dari Sutejo!

   Demikianlah, tanpa pamit Bromatmojo meninggalkan istana Resi Mahapati dan dia melakukan perjalanan cepat sehingga ketika Resi Harimurti mencari ke atas genteng dia sudah pergi jauh. Malam itu dilewatkan oleh Bromatmojo di dalam sebuah gubuk di belakang sebuah candi tua yang sunyi di tepi kota. Gubuk itu tadinya menjadi tempat penjaga, akan tetapi karena candi itu sudah tidak dipakai lagi, maka gubuk itu pun kosong. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah melakukan penyelidikan untuk mencari dua orang yang dibencinya itu, yaitu Darumuko dan Reksosuro.

   Tadinya,setelah melihat Sutejo bertemu dengan kakaknya, dia ingin melanjutkan perjalanan ke Lumajang, untuk mencari Ki Ageng Palandongan. Akan tetapi ketika teringat kepada dua orang itu, dia ingin dulu bertemu dan memberi hajaran kepada dua orang yang dulu pernah menghina jenazah kakaknya itu. Mahapati telah dia lupakan karena dia mau memaafkan Mahapati yang ternyata adalah kakak ipar dari Sutejo, akan tetapi dua orang pria yang pernah menghina jenazah Mbakayunya dan pernah pula menghinanya di waktu dia masih kecil, harus dihajar!

   Tidaklah sukar bagi Bromatmojo untuk mencari dua orang itu yang cukup dikenal sebagai perwira-perwira pembantu Resi Mahapati. Dengan mengaku sebagai keponakan Darumuko, akhirnya Bromatmojo mendengar dari seorang perajurit pengawal Mahapati yang suka sekali mengobrol bahwa tadi dia melihat kedua orang perwira itu mengunjungi ledek (penyanyi/penari) Madumirah.

   "Ledek Madumirah? Di manakah rumahnya?"

   Tanya Bromatmojo dengan wajar, akan tetapi mendengar pertanyaan itu, perajurit tadi dan dua orang temannya tertawa-tawa sehingga Bromatmojo memandang heran.

   "Orang muda, hati-hati kau kalau ke sana. Engkau muda dan wajahmu tampan sekali,bisa dimakan bulat-bulat engkau!"

   Kata seorang di antara mereka.

   "Ha-ha-ha, engkau akan dikeroyok dan dihisap sampai kering!"

   Orang ke dua tertawa.

   "Ahh, mana mungkin? Ada Pamannya, Darumuko dan Reksosuro berada di sana, siapa berani mengunjungi tempat itu kalau ada mereka?"

   Tentu saja Bromatmojo menjadi bingung dan sama sekali tidak mengerti.

   "Kisanak yang baik, tolong Andika beritahukan di mana rumah ledek Madumirah itu karena aku sungguh belum pernah mengetahuinya."

   "Setiap hidung di Mojopahit tahu belaka di mana rumahnya. Dia adalah seorang pensiunan ledek istana yang terkenal karena dia memelihara banyak sekali gadis-gadis cantik, heh-heh. Kau pergilah ke dusun Pemintihan di luar pintu gerbang sebelah barat. Aihh, kalau saja Pamanmu tidak sedang berada di sana dan kau mau membiayaiku, tentu suka sekali aku mengantarmu ke sana, Kisanak."

   Bromatmojo belum mengerti betul, akan tetapi baginya penunjukkan tempat itu sudah cukuplah. Maka berangkatlah dia ke pintu gerbang sebelah barat dari kota raja itu dan setelah tiba di dusun Pamintihan yang berada di luar kota raja,barulah dia tahu bahwa ledek Madumirah itu terkenal sebagai seorang germo yang mempunyai banyak sekali anak buah yang terdiri dari gadis-gadis cantik dan bahwa tempat itu sering kali dikunjungi oleh pejabat-pejabat Mojopahit yang datang untuk mencari hiburan!

   Hari telah siang ketika dia tiba di depan rumah yang cukup besar dan bersih itu,dan dengan langkah tenang dia memasuki pekarangan rumah. Baru saja tiba di depan pintu, dia telah disambut senyum manis dan kerling memikat dari dua orang wanita muda yang cantik. Sikap mereka menarik dan genit sekali, akan tetapi Bromatmojo harus mengakui bahwa mereka adalah dua orang yang tergolong cantik dan menarik.

   "Raden, silakan masuk..."

   "Agaknya baru sekarang kami melihat paduka, Raden. Dari istana manakah Paduka datang?"

   Bromatmojo tersenyum dan jantung dua orang wanita pelacur yang biasanya terpaksa melayani orang-orang tua dan buruk itu berdebar. Bukan main gagah dan tampannya pemuda ini, masih remaja pula. Tentu masih seorang perjaka yang belum tahu apa-apa,masih segar dan bersih!

   "Terima kasih, Nimas berdua. Aku datang dari tempat jauh dan ingin mencari dua orang yang bernama Darumuko dan Reksosuro. Apakah mereka berada di sini?"

   Kata Bromatmojo setelah dia dipersilakan duduk di ruangan depan.

   "Ahh... mereka memang berada di sini"

   Kata yang seorang.

   "Tetapi, mereka sedang... ehmmm..."

   Bromatmojo tidak mengerti.

   "Sedang apa?"

   Tanyanya karena dia sungguh tidak mengerti apa artinya kata-kata yang disambung dengan deheman itu.

   "Hi-hik, masa Paduka tidak tahu, Raden?"

   Kata yang baju hijau sambil mencubit lengan Bromatmojo dengan sikap manja.

   Bromatmojo bergidik. Celaka, pikirnya. Wanita-wanita di sini sungguh amat tak tahu malu dan genitnya bukan main. Dia tersenyum dan teringatlah dia akan pengalamannya bersama Sutejo ketika dirayu oleh wanita-wanita cantik yang kemudian ternyata adalah anggota-anggota Sriti Kecana.

   "Manis, aku sungguh tidak mengerti. Mereka itu di mana sekarang?"

   Yang bajunya merah terkekeh genit, kemudian jari tangannya lancang mengusap dagu Bromatmojo yang halus itu.

   "Aih, ada orang kok begini gantengnya! Aduh, Raden, rasanya aku mau dijadikan tebu..."

   "Heh? Dijadikan tebu? Apalagi artinya ini?"

   Bromatmojo memang tidak biasa dengan kelakar-kelakar mereka yang mengandung sindiran cabul.

   "Ya, biar menjadi tebu dan dihisap-hisap oleh bibir ini..."

   Si Baju Merah kini menyentuh bibir Bromatmojo dengan sikap memikat sekali.

   "Dan saya ingin sekali dijadikan selimut, biar setiap malam menyelimuti Paduka kalau kedinginan, Raden,"

   Kata Si Baju Hijau.

   "Heii...! Ada apakah ramai-ramai di situ? Wah, ada tamu rupanya!"

   "Amboi, agaknya Raden Janoko yang datang ini. Aduh, bagusnya diborong sendiri saja!"

   "Pantas aku semalam mimpi kejatuhan bulan, kiranya akan bertemu dengan Sang Hyang Komajaya!"

   Tiga orang wanita yang baru datang dari dalam itu pun muda-muda dan cantik-cantik akan tetapi kesemuanya genit dan bersikap memikat. Sebentar saja Bromatmojo dikurung oleh mereka, bahkan sudah ada yang berani mendekatkan muka ingin menciumnya. Dengan tertawa dan menyabarkan hatinya Bromatmojo mengelak dan menolak rayuan-rayuan mereka.

   "Maafkan, Nimas sekalian yang cantik manis. Kedatanganku ini sungguh bukan hendak bersenang-senang dengan kalian, sungguh pun hatiku bingung untuk memilih siapa di antara kalian yang paling cantik jelita. Semuanya cantik manis seperti bidadari dari kahyangan!"

   "Hi-hi-hik! Pandainya merayu!"

   "He-heh, sungguh persis seperti Raden Arjuno ketika dirayu oleh bidadari dari kahyangan!"

   Lima orang wanita muda itu menjadi makin gemas, bahkan kini ada yang mencoba untuk menarik-narik tangan Bromatmojo agar suka mengikuti masuk ke dalam kamarnya.

   "Kau tidak usah memberi hadiah apa-apa, Bagus..."

   "Aku malah rela menyerahkan semua tabunganku..."

   Mereka berebutan dan nyaris terjadi perkelahian antara wanita-wanita itu kalau tidak muncul seorang laki-laki dari sebelah belakang. Laki-laki ini usianya sudah empat puluh lima tahun, bertubuh jangkung dan pakaiannya cukup garang dan indah. Sikapnya angkuh dan bajunya terbuka memperlihatkan dadanya yang kurus sehingga nampak tulang iganya. Akan tetapi sebatang keris panjang terselip di pinggangnya.

   "Heh, siapa berani membuat gaduh di sini? Mengganggu orang yang sedang bersenang-senang dan mengaso! Hayo mengaku siapa kau atau kuhancurkan kepalamu!"

   Bentak orang itu sambil melotot memandang kepada Bromatmojo. Seorang wanita yang cantik pula,tidak berbaju hanya memakai tapih pinjung dan rambutnya kusut, leher dan mukanya berpeluh, agaknya dialah wanita yang melayani laki-laki galak ini, keluar dari kamar dan menyentuh lengan laki-laki itu.

   "Kenapa marah-marah, Kakangmas...?"

   "Minggir kau! Aku akan menghajar bocah lancang ini! Berani kau datang ke sini,ya? Tidak tahu bahwa aku sedang bersenang di sini dan tidak sudi diganggu oleh bocah macam engkau? Mau menjual tampang, ya?"

   Laki-laki itu makin marah ketika melihat wanita yang baru saja melayani itu kini juga memandang kepada pemuda tampan itu dengan sinar mata kagum!

   Si Baju Merah yang amat bernafsu untuk meraih cinta kasih pemuda tampan seperti Arjuno itu cepat berkata.

   "Harap maafkan, Kakangmas, Raden ini katanya adalah masih keluarga dari Kakangmas Darumuko. Bukankah begitu katamu tadi, Raden?"

   Bromatmojo mengangguk tersenyum, akan tetapi matanya tajam memandang kepada laki-laki di depannya itu. Tentu saja dia tidak dapat melupakan mata yang juling itu. Kiranya hanya seorang saja laki-laki jangkung sombong yang bermata juling seperti Reksosuro ini di atas dunia atau setidaknya di seluruh Mojopahit! Akan tetapi dia menahan sabar karena dia ingin mendapatkan dua-duanya.

   "Benar, manis. Di manakah Paman Darumuko?"

   Tanya Bromatmojo sambil mencubit dagu Si Baju Merah sehingga wanita itu menjadi merah mukanya. Matanya bersinar-sinar dan bibirnya tersenyum gemetar seperti seorang anak perawan yang baru pertama kali jatuh Cinta! Mendengar bahwa pemuda tampan ini adalah keponakan Darumuko, tentu saja Reksosuro tidak mau bertindak ceroboh.

   Akan tetapi dia merasa tidak percaya bahwa temannya itu mempunyai seorang keponakan yang tampan ganteng seperti ini,maka dia lalu berteriak.

   "Adi Darumuko! Ke sinilah sebentar! Keluarlah, ada urusan penting!"

   Dari dalam sebuah kamar yang daun pintunya tertutup terdengar suara orang,nadanya tidak senang.

   "Aah... bagaimana sih Kakang Reksosuro. Mengganggu saja!"

   "Keluarlah sebentar saja, ada orang mengaku sebagai keponakanmu!"

   Kata pula Reksosuro yang masih belum hilang marahnya.

   Lama terdengar suara orang bersungut-sungut diselingi kekeh seorang wanita dari dalam kamar itu, lalu daun pintu berbunyi dan terbuka. Muncullah seorang laki-laki yang pakaiannya masih kedodoran diikuti seorang wanita yang juga hanya bertaping pinjung dengan rambut kusut dan badan penuh keringat. Siang itu memang hawanya panas sekali. Pria ini usianya kurang lebih empat puluh tahun, tubuhnya kurus kecil, bibirnya tebal sekali dan matanya liar, mukanya bulat. Girang sekali hati Bromatmojo ketika dia mengenal bahwa orang ini memang benar Darumuko. Dua orang musuhnya itu telah berada di depannya sekarang!

   "Apa maksudmu, Kakang Reksosuro? Mana orangnya yang mengaku keponakanku itu?"

   Darumuko bertanya dengan muka jelas memperlihatkan ketidak-senangan hatinya.

   "Itu dia. Katanya dia adalah keponakanmu."

   Darumuko sudah siap untuk memaki orang yang mengaku-aku dan mengganggu kesenangannya itu, akan tetapi ketika dia melihat wajah yang tampan dan ganteng itu, dia tidak jadi marah. Mempunyai seorang keponakan seperti ini sungguh boleh dibanggakan! Maka dia lalu berkata dengan lagak sombong, memandang ke arah wanita-wanita itu dengan matanya yang liar.

   "Mungkin saja dia ini seorang di antara keponakanku yang sangat banyak."

   "Adi Darumuko, engkau benar mempunyai keponakan sehebat ini?"

   Reksosuro heran dan kagum.

   "Biasa saja. Banyak keponakanku yang seperti ini. Memang sudah kukatakan berkali-kali,ada darah priyayi mengalir dalam tubuhku, Kakang Reksosuro!"

   "Hemm, karena keturunan dan darah priyayi luhur, kenapa ada yang keluar seperti engkau itu?"

   Reksosuro yang sudah biasa berkelakar itu berkata sambil tertawa.

   "Ha-ha, apakah aku kurang gagah? Memang tidak begitu tampan, akan tetapi aku menuruni kegagahannya. Mungkin darah endeg-endeg (bagian yang kotor) yang menjadi aku, dan yang bening-bening menjadi seperti dia inilah. Eh, kulup,benarkah engkau mencari Pamanmu yang bernama Darumuko?"

   Tanya Darumuko dengan sikap manis kepada Bromatmojo yang hanya tersenyum mendengar percakapan mereka yang konyol itu.

   "Benar, aku mencari Darumuko dan Reksosuro."

   "Akulah Darumuko! Engkau tentu keponakanku!"

   "Dan akulah Reksosuro! Jangan-jangan aku Pamanmu itu!"

   Reksosuro tidak mau kalah.

   Bromatmojo tersenyum dan bangkit berdiri dari bangku yang tadi didudukinya sambil mendorong wanita-wanita yang masih mengerumuninya itu ke kanan kiri.

   "Sungguh kebetulan sekali aku dapat bertemu dengan kalian berdua di sini. Memang aku mencari kalian karena ada pesan untuk kalian."

   "Eh, pesan? Untuk kami? Pesan dari mana?"

   Reksosuro kini memandang tajam karena dia melihat betapa sikap pemuda itu sama sekali tidak menghormat lagi dan tidak menyebut Paman lagi.

   "Dari kuburan!"

   Jawab Bromatmojo. Wanita-wanita itu menjerit lirih dan melangkah mundur, terbelalak memandang kepada Bromatmojo. Dua orang laki-laki yang sudah biasa menghadapi musuh itu adalah orang-orang yang tangguh dan pemberani, akan tetapi semenjak kecil sampai usianya empat puluh tahunan, Darumuko yang pemberani dan kejam itu amat penakut terhadap setan. Maka begitu mendengar bahwa pesan itu datang dari kuburan, seketika mukanya menjadi pucat dan kakinya menggigil!

   "Bocah, jangan main-main dan kurang ajar kau! Hayo berkata yang benar!"

   Reksosuro membentak dan mulai curiga dan marah.

   "Memang sesungguhnya aku mendapat pesan dari orang yang sudah mati untuk disampaikan kepada kalian berdua,"

   Kata Bromatmojo dengan sikap dan suara sungguh-sungguh.

   "Hiiihhhh"

   Darumuko mendekati Reksosuro, matanya makin liar dan mukanya makin pucat dan mulutnya berkemak-kemik,

   "Hong...wilaheng...nir boyo sedyo rahayu...!

   "Keparat, kau berani mempermainkan kami? Hayo mengaku siapa kau dan apa niatmu datang mencari kami!"

   Reksosuro membentak dan melangkah maju mendekati Bromatmojo. Betapa pun juga, tentu saja dia tidak merasa takut menghadapi pemuda remaja yang tampan dan halus itu, yang agaknya dengan sekali pukul saja sudah akan dapat dia robohkan.

   "Reksosuro dan Darumuko, dengarlah baik-baik. Buka lebar-lebar kedua telingamu dan kedua matamu! Ingatkah kalian akan seorang dara suci murni bernama Sri Winarti yang tewas suduk seliro (bunuh diri dengan keris) di Sungai Tambakberas karena berbela pati atas kematian Adipati Ronggo Lawe? Nah, dara suci itulah yang menyuruh aku menyampaikan pesan kepada kalian!"

   Wajah Reksosuro menjadi pucat dan kini Darumuko makin menggigil. Mereka segera teringat dan terbayanglah di depan mata mereka dara cantik jelita yang bunuh diri dengan keris pusaka Kolonadah itu, yang kemudian lenyap entah ke mana,seolah-olah jenazah itu hidup kembali dan dapat melarikan diri begitu saja!

   Kemudian mereka mendengar pelaporan yang disampaikan kepada Resi Mahapati oleh Gagaksona malam tadi bahwa keris pusaka Kolonadah telah diambil orang dari sebuah kuburan tersembunyi di dalam hutan dekat Sungai Tambakberas. Dan sekarang,pemuda ini menyatakan bahwa dia membawa pesan dari gadis yang mati itu untuk mereka! Betapapun juga, timbul harapan di hati Reksosuro untuk mendengar tentang keris pusaka Kolonadah yang kabarnya tidak berhasil dirampas oleh orang-orang Resi Mahapati.

   "Hemm, tentu kami ingat. Bukankah yang membunuh diri dengan keris pusaka Kolonadah itu? Apakah kau hendak memberitahukan kepada kami di mana adanya keris pusaka Kolonadah? Jangan khawatir, engkau akan mendapatkan hadiah besar, orang muda."

   "Sayang sekali, pesannya bukan begitu, Reksosuro dan Darumuko."

   "Habis, apa... apa... pesannya?"

   Darumuko mencoba untuk

   mengatasi rasa takutnya dengan bersikap garang dan membentak-bentak, akan tetapi tetap saja bentakan-bentakan itu keluar dengan gagap. Sementara itu, melihat bahwa suasana menjadi makin panas, para wanita pelacur itu sudah mundur-mundur menjauhkan diri dan sekarang di antara mereka terdapat seorang wanita setengah tua yang masih kelihatan cantik, dan dia ini adalah Nyi Madumirah bekas ledek keraton itu! Wanita-wanita itu kelihatan ketakutan dan mengkhawatirkan pemuda tampan itu karena mereka semua sudah mengenal siapa adanya Reksosuro dan Darumuko yang kejam.

   Pernah mereka berdua memukuli dan menghajar dua orang pemuda sampai pingsan ketika pemuda-pemuda itu berani datang ke tempat itu dan bercanda dengan para pelacur selagi mereka berdua berpelesir. Tentu saja pemuda-pemuda itu bukanlah putera bangsawan, melainkan rakyat biasa, karena dua orang perwira ini pun bukan orang bodoh. Terhadap putera-putera bangsawan yang orang tuanya lebih tinggi kedudukannya tentu saja mereka itu siap untuk setiap saat bersikap hormat dan menjilat-jilat. Biasanya, seorang yang suka menindas ke bawah tentulah suka pula menjilat ke atas, seorang yang kejam terhadap bawahannya tentulah seorang penjilat terhadap atasannya. Karena seorang penjilat adalah seorang yang mengejar kekuasaan, dan sikapnya yang menindas terhadap bawahan justru untuk menonjolkan kekuasaannya itulah!

   Bromatmojo tersenyum mengejek. Dia ingin menghajar dua orang ini bukan demi dirinya sendiri, maka dia tidak perlu memperkenalkan diri sebagai Sulastri,melainkan untuk menebus penghinaan terhadap jenazah Kakaknya.



"Mau tahu apa yang dipesan oleh Dyah Sri Winarti? Dia pesan kepadaku untuk mencari kalian berdua yang telah menghina jenazahnya dahulu itu, dan aku diharuskan menghajar kalian sampai setengah mati!"

   "Babo-babo, keparat bermulut besar!"

   Bentak Darumuko yang kini timbul kembali keberaniannya karena dia maklum bahwa pemuda ini hanya mempermainkannya saja,sama sekali bukan utusan dari alam baka!

   "Jahanam sombong, kau sudah bosan hidup!"

   Reksosuro juga membentak dan dia sudah mendahului Darumuko untuk menubruk dan menghantam ke arah dada pemuda halus itu dengan pengerahan tenaga sekuatnya karena dia ingin sekali pukul memecahkan dada yang tidak berapa besar itu.

   "Plak-plak, plengg...!!"

   Tubuh Reksosuro berpusing seperti gasing ketika dia terkena tempilingan pipinya oleh tamparan tangan Bromatmojo setelah dua kali pukulannya tadi kena ditangkis. Matanya berkunang-kunang dan kepalanya pening dan akhirnya dia jatuh bergelimpang, berpegang kepada bangku akan tetapi tetap saja dia masih terbanting dan bangku itu ikut pula terseret.

   "Mampuslah!"

   Darumuko marah sekali dan menerjang dengan tendangan kakinya yang kecil pendek. Melihat menyambarnya kaki lawan ini, Bromatmojo miringkan tubuhnya membiarkan kaki itu lewat, kemudian secepat kilat dia menyambar mata kaki dan mendorong kaki itu ke atas.

   "Blukk, ngekkk!"

   Pantat yang kerempeng itu terbanting keras sekali di atas lantai dan perut Darumuko seketika terasa mulas, kepalanya berputar dan matanya menjadi juling menyaingi mata rekannya, Reksosuro yang kini sudah merangkak bangun.

   Mereka bangkit dan menggoyang-goyang kepala mengusir pening dan keheranan. Mereka merasa heran dan terkejut sekali karena sama sekali mereka tidak tahu bagaimana mereka tadi roboh, seolah-olah mereka disambar petir layaknya. Akan tetapi mereka dapat menduga bahwa pemuda tampan itu tentu memiliki kesaktian hebat, maka mereka menjadi marah dan nekat. Keduanya mencabut keris yang terselip di pinggang. Keris di tangan Reksosuro adalah masih keris yang dulu juga. Bromatmojo teringat dan menahan ketawanya. Teringat dia akan gurunya yang pertama, yaitu Ki Jembros, ketika Ki Jembros mempermainkan kedua orang ini.

   Keris di tangan Reksosuro itulah yang dulu oleh gurunya ditekuk-tekuk seperti terbuat dari timah saja! Dan kini, keris itu telah lurus lagi, keris berluk sembilan yang namanya Kyai Bandot! Sedangkan keris di tangan Darumuko juga panjang sekali, seperti golok saja!

   "Hemm, kau mengeluarkan Kyai Bandot?"

   Bromatmojo mengejek kepada Reksosuro. Pemilik keris ini terkejut mendengar orang muda itu mengenal nama kerisnya, akan tetapi dia menjadi girang. Agaknya pemuda itu telah mengenal keris pusakanya yang terkenal dan merasa jerih tentunya.

   "Hemm, kau mengenal pusakaku yang ampuh? Kyai Bandot ini sekarang telah menjadi pusaka yang ampuhnya tidak kalah oleh Kolonadah! Ditusukkan gunung akan jebol,ditusukkan lautan akan kering..."

   "...ditusukkan sate malah patah!"

   Bromatmojo menyambung dan lagaknya demikian jenaka sehingga terdengar ada suara terkekeh di antara para pelacur yang tadi melihat betapa dalam segebrakan saja dua orang yang ditakuti itu gelayaran oleh pemuda luar biasa itu. Benar-benar mereka merasa kagum, seolah-olah mereka menonton pertunjukkan wayang di mana Raden Arjuno dikeroyok dua oleh raksasa-raksasa cebol!

   "Keparat, berani kau menghina pusakaku?"

   Reksosuro membentak.

   "Pusaka apa? Pisau dapur lebih tajam! Mari, kau boleh tusuk aku dengan keris tempe itu!"

   Reksosuro marah bukan main. Keris pusakanya itu adalah senjata pusaka yang setiap pekan sekali tentu dia bakari kemenyan, dia kutugi (diasapi kemenyan) dan beri sesajen kembang tujuh macam dan sekarang dimaki orang sebagai keris tempe dan ditantang! Dengan kemarahan meluap, dia lalu menggerakkan kerisnya itu menusuk ke arah perut Bromatmojo yang sengaja agak dibusungkan ke depan.

   Bromatmojo dulu melihat gurunya, Ki Jembros menerima keris itu dengan dada. Kini,setelah dia berguru kepada Empu Supamandrangi, tentu saja dia juga sudah memiliki aji kekebalan yang amat kuat. Karena dia tahu bahwa keris yang bernama Kyai Bandot itu hanya namanya saja yang serem, maka dia berani menerima tusukannya dengan mengandalkan aji kekebalannya. Dan dalam hal ini, Bromatmojo sama sekali bukanlah seorang yang sembrono. Dia adalah murid seorang empu,bahkan seorang maha empu. Tentu saja pengetahuannya tentang perkerisan sudah cukup mendalam dan dia dapat melihat dari jauh apakah sebabnya keris itu ampuh atau tidak. Dan keris Kyai Bandot di tangan Reksosuro itu hanyalah keris yang boleh dipakai untuk menakuti-nakuti orang saja!

   "Tukk!"

   Keris itu tepat mengenai perut atas dari Bromatmojo dan dapat dibayangkan betapa kaget hati Reksosuro ketika dia merasa seperti menusukkan kerisnya pada sebongkah besi saja. Kerisnya membalik dan hampir terlepas dari pegangan tangannya!

   "Mati kau!"

   Darumuko juga membentak dan menusukkan kerisnya pada lambung Bromatmojo. Pemuda itu sama sekali tidak mengelak, melainkan melindung lambungnya dengan hawa sakti dari tubuhnya, mengerahakan aji kekebalannya.

   "Tukkk!"

   Juga keris panjang di tangan Darumuko itu membalik dan "pemuda"

   Tampan itu sedikit pun tidak terluka.

   "Hemm, apa kataku?"

   Bromatmojo mengejek.

   Darumuko merasa bulu tengkuknya berdiri dan dia memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak. Tentu setan, pikirnya! Celaka, agaknya orang ini benar-benar iblis. Kalau tidak, mana mungkin bisa membawa pesan orang mati dan kini dapat menerima tusukan keris mereka sedemikian enaknya? Saking ngerinya, dia hanya bengong saja. Akan tetapi Reksosuro lebih cerdik. Si Juling ini maklum bahwa pemuda di depan mereka itu benar-benar sakti dan bukan lawan mereka, maka dia mencari siasat untuk dapat melarikan diri.

   "Aku tahu! Engkau menggunakan aji kekebalan. Kalau punggungmu yang kutusuk tentu kau akan mampus!"

   Bentaknya.

   Bromatmojo tersenyum mengejek. Sebetulnya dia sayang kepada pakaiannya yang setidaknya tentu berlubang sedikit oleh ujung keris, akan tetapi karena ditantang seperti itu, dia tidak dapat mundur. Dia berkata.

   "Begitukah? Nah, kau boleh menusuk punggungku sekuatmu dengan keris tempemu itu!"

   Dia lalu membalikkan tubuhnya, memberikan punggungnya sambil mengerahkan aji kekebalannya. Reksosuro memberi isyarat kepada kawannya. Mereka menggerakkan keris secara berbareng, Reksosuro menusuk ke arah punggung, dan Darumuko menusuk ke bukit pinggul kiri.

   "Tukk! Tukk!!"

   Apalagi punggungnya, bahkan bukit pinggul yang membulat dan yang mestinya lunak penuh daging itu ternyata berubah keras seperti besi! Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, Reksosuro menowel lengan temannya dan mempergunakan kesempatan selagi lawan yang tangguh itu berdiri membelakangi mereka, keduanya lalu menggerakkan kaki mereka, melarikan diri terbirit-birit keluar dari pintu depan.

   "Hemm, enak saja mau lari!"

   Tiba-tiba terdengar bentakan halus itu dan nampak bayangan berkelebat, tahu-tahu pemuda yang amat sakti itu telah berdiri di pekarangan depan menghadang mereka. Kiranya Bromatmojo telah mempergunakan Aji Turonggo Bayu sehingga ketika dia meloncat dan lari, dia seperti angin saja cepatnya mendahului kedua orang lawannya dan menghadang di halaman depan. Dua orang itu saking takutnya menjadi nekat. Mereka berdua lalu menerjang dengan keris di tangan, menyerang secara membabi buta, Bromatmojo kini tidak lagi mau menerima tusukan-tusukan keris itu karena takut kalau-kalau pakaiannya rusak.

   Beberapa kali dia mengelak dengan mudah, kemudian dua kali tangannya bergerak memukul dengan tangan terbuka dan miring mengenai pergelangan tangan kedua orang itu, dan keris mereka terlepas dari pegangan karena tulang pergelangan tangan mereka telah patah oleh pukulan yang dilakukan dengan pengerahan Aji Hasto Nogo itu!

   "Duhh... celaka...!"

   Reksosuro berseru kaget dan memegangi lengan kanan dengan tangan kirinya.

   "Ampun... desss!"

   Darumuko terpelanting dan teriaknya minta ampun tadi berubah menjadi rintihan ketika kaki Bromatmojo menendang dan mengenai dadanya. Serasa ambrol dadanya oleh tendangan kaki yang kecil itu. Reksosuro yang licik itu sudah hendak melarikan diri lagi, akan tetapi kaki Bromatmojo lebih cepat lagi, sekali tendang robohlah Reksosuro. Dia hendak bangkit lagi akan tetapi Bromatmojo sudah menggerakkan tangannya.

   "Plakk! Ngekkk!"

   Tengkuknya kena ditampar dan mata yang juling itu mendelik dan dia gelayaran seperti seekor ayam jago kena dijalu lawannya tepat pada lehernya. Akan tetapi Bromatmojo memang tidak bermaksud membunuh mereka, maka dia membatasi tenaganya dan tamparannya itu pun hanya cukup untuk merobohkan orang tanpa membunuhnya. Beberapa kali mereka berdua bangkit berdiri dan hendak lari,akan tetapi dengan tamparan dan tendangan Bromatmojo membuat mereka roboh lagi. Semua pelacur kini berjubal di pintu, menonton ke luar dengan sinar mata kagum bukan main.

   "Benar-benar dia Raden Arjuno..."

   "Bukan, lebih pantas menjadi Raden Abimanyu, masih begitu remaja!"

   Mereka berbantahan sendiri dan kini tidak merasa takut atau khawatir lagi setelah jelas tampak oleh mereka betapa dua orang "raksasa kerdil"

   Itu sama sekali tidak berdaya mengeroyok Sang Arjuno.

   "Hayo kalian berlutut dan minta ampun kepada Mbakayu Sri Winarti!"

   Bentak Bromatmojo.

   Akan tetapi pada saat itu datanglah sepasukan perajurit yang belasan orang jumlahnya. Melihat kedatangan mereka, Reksosuro dan Darumuko bangkit kembali, semangat mereka menjadi besar lagi dan mereka segera berteriak-teriak.

   "Tolong... tolong..."

   "Penjahat ini hendak membunuh kami...!"

   Belasan orang perajurit itu berlari-larian dan segera mengepung Bromatmojo. Akan tetapi Bromatmojo tidak perduli, tetap dia merobohkan Darumuko dan Reksosuro setiap kali kedua orang ini hendak bangkit berdiri sambil menangkis dan merobohkan para pengeroyok lainnya. Setiap orang perajurit yang berani datang mendekat tentu terlempar atau terguling dan kehebatan sepak-terjang Bromatmojo ini menggegerkan para perajurit yang menjadi jerih melihatnya. Sedangkan Reksosuro dan Darumuko kini tidak berani bangkit lagi, hanya mendekam di atas lantai sambil menangis saking takutnya.

   "Hayo kalian minta ampun kepada Mbakayu Sri Winarti!"

   Bentak Bromatmojo berulang-ulang.

   "Desss! Desss!"

   Dua tendangan itu membuat dua orang itu untuk ke sekian kalinya terguling-guling. Sudah bengkak-bengkak muka mereka, berdarah hidung mereka dan patah tulang pergelangan tangan mereka sehingga seluruh tubuh terasa nyeri semua.

   Akan tetapi setelah kini datang pasukan yang menyaksikan, dua orang itu makin enggan untuk memenuhi permintaan Bromatmojo. Mereka yang biasa berlagak dan menyombongkan diri di depan para perajurit, mana mungkin kini berlutut dan minta-minta ampun kepada seorang wanita yang tidak ada di situ? Sungguh akan memalukan sekali dan tentu nama mereka sudah tidak akan laku dijual sekeping pun, dan akan menjadi buah tertawaan semua orang.

   Tentu saja kekerasan hati dua orang itu membuat Bromatmojo menjadi makin gemas sekali. Kalau saja kedua orang itu mau minta ampun dan menyebut nama mbakayunya,dia sudah akan merasa puas, karena sebetulnya dua orang ini hanyalah orang-orang sombong yang kosong belaka, yang terhadap semua orang yang dianggap lemah tentu akan bersikap menghina seperti yang telah mereka perlihatkan kepada jenazah mbakayunya dan kepada dirinya ketika dia masih kecil. Kembali dia menendang dan sekali ini dia mengarahkan tendangannya ke kaki mereka.

   "Krek! Krek!"

   Terdengar tulang-tulang patah dan mereka mengaduh-aduh karena tulang kaki mereka tertendang patah. Empat orang perajurit yang berusaha menolong dan mendekat, terlempar kembali oleh tamparan dan tendangan kaki Bromatmojo. Kembali ada seorang perajurit berkelebat maju.

   "Pergi kau!"

   Bentaknya dan tangannya mendorong.

   "Plakk!"

   Terkejut bukan main Bromatmojo karena perajurit itu menangkis dan tangkisannya demikian kuatnya sehingga dia terdorong mundur! Cepat dia memandang dan alisnya berkerut.

   "Kau...???"

   Orang itu ternyata bukan seorang perajurit, melainkan Sutejo! Tentu saja Bromatmojo merasa heran, terkejut dan juga penasaran sekali.

   "Kau... kau membela mereka?"

   "Adi Bromo, hentikan amukanmu itu. Tidak baik menentang ponggawa-ponggawa Kerajaan Mojopahit,"

   Tegur Sutejo dengan suara halus.

   "Kakang Sutejo! Engkau tentu tahu siapa mereka ini! Mereka adalah Darumuko dan Reksosuro yang pernah kuceritakan kepadamu. Aku memang sengaja hendak menghajar mereka."

   "Sudah cukup, Adi Bromo. Urusan pribadi tak perlu direntang panjang. Kalau sampai kau membunuh mereka, kau bisa dianggap sebagai seorang pemberontak terhadap Kerajaan Mojopahit!"

   Memang tadinya sama sekali tidak ada niat di dalam hati Bromatmojo untuk membunuh mereka, akan tetapi melihat betapa Sutejo membela mereka, hatinya menjadi panas seperti dibakar. Dia marah dan penasaran sekali! Sutejo, teman seperjalanan yang selama ini bersama-sama dengan dia menghadapi kejahatan, yang berkelahi bahu-membahu menentang kejahatan, kini tiba-tiba saja berbalik dan menentang dia, membela dua orang musuhnya. Hati siapa tidak akan panas?

   "Tidak perduli mereka itu ponggawa Kerajaan Mojopahit atau ponggawa neraka sekali pun. Aku mau menghajar mereka sampai mati atau tidak, tidak ada orang lain boleh mencampuri apalagi menentangku!"

   Bentaknya dengan napas memburu saking marahnya.

   Sutejo mengerutkan alisnya. Dia amat suka kepada Bromatmojo, amat mengagumi pemuda yang tampan seperti Arjuno, yang cerdik bukan main dan yang biasanya berwatak jenaka, juga agak bengal suka menggoda orang, akan tetapi agak mata keranjang atau ceriwis terhadap wanita ini. Akan tetapi, rasa sukanya itu kadang-kadang berkurang kalau Bromatmojo sudah bersikap merayu dan memikat wanita cantik, dan kini dia memandang marah karena Bromatmojo tidak mau diajak bicara baik-baik dan hendak memperlihatkan kekerasan kepalanya seperti yang pernah terjadi di antara mereka sehingga pernah mereka saling serang dengan hebat.

   Kalau tidak muncul Joko Handoko dan Roro Kartiko, entah bagaimana jadinya dengan pertandingan hebat di antara mereka dahulu di dalam hutan itu. Kalau dia mau, tentu dia akan dapat merobohkan dan melukai hebat pemuda tampan ini, akan tetapi sungguh hatinya tidak tega untuk melakukan itu dan Bromatmojo murid Supamandrangi itu memang sakti bukan main. Dan kini, kembali Bromatmojo bersikap keras, bahkan menantangnya!

   "Adi Bromo mengapa engkau selalu berkeras kepala? Kita berada di luar tembok Kota Raja Mojopahit. Tidak boleh engkau di sini bertindak sewenang-wenang. Kalau kau dianggap pemberontak, selain engkau celaka, juga nama baikmu akan tercemar!"

   Dinasihati seperti itu, Bromatmojo menjadi makin marah. Dia teringat sekarang mengapa Sutejo datang bersama pasukan itu. Sutejo adalah adik ipar Resi Mahapati,seorang ponggawa Kerajaan Mojopahit, seorang ponggawa Kerajaan Mojopahit yang berkedudukan tinggi! Tentu saja kini Sutejo bersikap membela perajurit-perajurit Mojopahit termasuk Reksosuro dan Darumuko ini! Hatinya makin panas.

   "Kakang Tejo! Setelah kini engkau menjadi adik ipar Mahapati, engkau tentu menjadi kaki tangannya pula dan kau datang hendak membela dua orang jahanam ini? Majulah, siapa takut kepadamu, Sutejo?"

   Bromatmojo sudah marah sekali, lebih marah lagi daripada dia cekcok dengan Sutejo di dalam hutan dahulu itu, karena sekarang hatinya merasa sakit bahwa Sutejo lebih berat kepada dua orang jahanam ini daripada dia!

   "Adi Bromo wawasanmu sungguh terlalu. Aku hanya tidak ingin melihat engkau membunuh ponggawa kerajaan dan dianggap pemberontak."

   "Tak usah banyak cakap, mari kita lanjutkan pertempuran kita di hutan itu!"

   Bromatmojo sudah menerjang dengan kemarahan yang meluap-luap.

   "Hiaaattt....!"

   Bromatmojo sudah menggunakan Aji Turonggo Bayu dan menyerang dengan pukulan-pukulan Hasto Bairowo yang amat dahsyat.

   "Ehhh...!"

   Sutejo mengenal pukulan yang mengandung aji kesaktian dahsyat itu,maka dia meloncat keluar, ke halaman yang lebih luas. Akan tetapi Bromatmojo terus menerjangnya dan terjadilah pertempuran yang amat hebat di dalam halaman rumah pelacuran itu, ditonton oleh para perajurit.

   Diam-diam Reksosuro dan Darumuko merangkak menjauhi dan mereka minta tolong kepada perajurit untuk memapah mereka pergi, juga mereka menyuruh perajurit untuk melapor dan minta bantuan untuk menangkap pemuda yang sakti mandraguna itu. Ketika mendengar bahwa pemuda tinggi tegap yang baru datang dan yang kini melawan Bromatmojo dengan hebatnya itu adalah adik ipar dari Resi Mahapati, yaitu adik selir terkasih Lestari, mereka merasa heran akan tetapi bersyukur. Entah akan apa jadinya dengan mereka kalau pemuda itu tidak cepat muncul.

   Sementara itu, terpaksa Sutejo juga mengeluarkan kepandaiannya dan mengerahkan tenaganya untuk menandingi amukan Bromatmojo yang memang amat marah itu. Kedua lengannya sampai terasa panas dan nyeri-nyeri karena seringnya bertemu dengan lengan Bromatmojo dan dalam kemarahannya, Bromatmojo sampai tidak merasakan betapa lengan kanan kirinya terasa panas, nyeri dan bengkak-bengkak semua!

   Semenjak tadi, dia saja yang terus menyerang dan Sutejo hanya mempertahankan diri, mengelak dan lebih sering menangkis karena serangan pukulan-pukulan Bromatmojo terlalu cepat sehingga berbahaya kalau dielakkan terus, melainkan lebih baik dilawan dengan tangkisan yang sama kuatnya. Hanya kadang-kadang saja Sutejo membalas dengan tamparan-tamparan ke arah bagian tubuh yang tidak berbahaya dari lawannya.

   "Adi Bromo, sudahlah. Pergilah cepat!"

   Berkali-kali Sutejo berkata lirih, akan tetapi hal ini merupakan minyak tanah yang disiramkan kepada api yang sudah berkobar sehingga kemarahan ini makin melangit. Bromatmojo merasa seolah-olah Sutejo "mengalah"

   Kepadanya, seolah-olah Sutejo mengasihinya dan bahkan mengusirnya! Maka sambil menggigit bibir dan kedua matanya sudah panas-panas karena penuh air yang hendak membanjir keluar, dia menyerang makin dahsyat, kini seringkali mengeluarkan tamparan-tamparannya yang dapat mendatangkan maut, yaitu tamparan Hasto Nogo dengan tangan kiri! Ketika untuk ke sekian kalinya dia memperoleh kesempatan, Bromatmojo melayangkan lagi tangan kirinya itu yang membawa angin berdesing saking kuatnya. Sutejo cepat menggunakan tangan kanan memapaki.

   "Derrrr...!!"

   Seperti ledakan bunyinya kedua telapak tangan itu bertemu dan akibatnya, Sutejo terhuyung ke belakang dengan muka pucat sedangkan Bromatmojo terlempar dan terbanting keras!

   "Adi Bromo...!"

   Sutejo melompat dan mengulur tangan hendak menolong Bromatmojo yang terbanting itu, akan tetapi tiba-tiba kaki Bromatmojo mencuat dan menendang.

   "Desss...!"

   Dada Sutejo kena ditendang dan pemuda ini gelayaran, dadanya terasa ampeg (sesak). Bromatmojo sudah meloncat bangun lagi dan kini mendesak Sutejo dengan serangan-serangan kilat. Pada saat itu, dari jauh nampak debu mengepul dan ternyata ada sepasukan besar perajurit datang menuju ke dusun itu!

   "Celaka...! Adi Bromo, cepat kau lari! Ada pasukan besar datang, engkau tentu akan tertangkap dan celaka. Cepatlah, aku... aku sayang padamu, Adi Bromo!"

   Kata Sutejo sambil meloncat mundur, tidak mau lagi melayani serangan Bromatmojo.

   Bromatmojo menoleh dan melihat datangnya pasukan itu. Kalimat terakhir yang diucapkan Sutejo membobolkan bendungan itu dan air matanya pun bercucuran. Dengan isak tertahan dia membalikkan tubuhnya dan melompat dengan Aji Turonggo Bayu, melarikan diri dari tempat itu. Tubuhnya berkelebat seperti tatit dan sebentar saja bayangannya lenyap. Sutejo berdiri bengong, telinganya masih mendengar gema tangis Bromatmojo. Dia menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala. Pemuda itu hebat sekali memang. Akan tetapi pemuda yang amat aneh,begitu gagah perkasa, begitu lemah lembut, tampan, akan tetapi kadang-kadang amat pemarah dan juga... cengeng! Benar-benar seorang pemuda yang amat luar biasa dan aneh.

   Hati Sutejo lega ketika Bromatmojo sudah tidak kelihatan lagi. Dia percaya bahwa tidaklah mudah untuk mengejar seorang yang memiliki Aji Turonggo Bayu seperti pemuda tampan itu. Dia lega karena dia melihat bahwa pasukan itu dipimpin oleh Sang Resi Mahapati sendiri! Kalau Bromatmojo masih berada di situ, tentu akan repotlah dia!

   Di mana dia, Adimas Sutejo?"

   Mahapati bertanya, matanya memandang penuh perhatian ke kanan kiri. Sutejo menarik napas panjang.

   "Dia sudah pergi, Kakangmas Resi."

   "Kenapa tidak kau tangkap?"

   Sutejo menggeleng kepala.

   "Tidaklah mudah menangkap seorang yang memilki kesaktian seperti Adi Bromatmojo. Dan dia memiliki ilmu berlari cepat Turonggo Bayu yang sukar dilawan. Pula, dia sahabatku, perlu apa ditangkap? Keributan ini hanyalah karena urusan pribadi."

   Resi Mahapati mengerutkan alisnya.

   "Akan tetapi, dia ada hubungannya dengan keris pusaka Kolonadah..."

   "Benar, Kakangmas Resi. Akan tetapi percayalah kepada saya, dia tidak membawa pusaka itu. Saya tahu benar dan melihat sendiri betapa keris pusaka itu dia tinggalkan kepada Empu Singkir. Sungguh sayang, setelah saya berhasil mencari Adi Bromo di sini, sebelum sempat menasihatinya dan membujuknya agar dia suka membantu usaha kita berbakti kepada Mojopahit, dia telah keburu marah-marah. Semua ini hanya karena ulah tingkah dua orangmu itu, Kakangmas Resi."

   Sutejo merasa menyesal sekali.

   "Siapa mereka, Dimas?"

   "Reksosuro dan Darumuko. Hampir saja mereka dibunuh oleh Adi Bromatmojo, kalau saya tidak keburu datang tentu mereka sudah mati."

   "Panggil mereka ke sini!"

   Bentak Mahapati kepada pengawalnya.

   "Mereka berdua luka-luka dan tidak bisa jalan, Sang Resi,"

   Lapor seorang perwira.

   
"Seret dia ke sini!"

   Bentak Resi Mahapati. Tak lama kemudian, dua orang yang bengkak-bengkak dan berdarah mukanya, yang hanya dapat bergerak ketika dipapah itu telah berlutut di depan Resi Mahapati dengan muka membayangkan ketakutan.

   "Apa yang kalian lakukan di sini?"

   Bentak Resi Mahapati

   "Am...ampun Gusti... hamba berdua... eh, mencari hiburan..."

   Kata Reksosuro mewakili mereka karena Darumuko sudah tak mampu bersuara saking takutnya.

   "Kenapa ribut dengan pemuda itu?"

   "Dia... dia yang datang mencari hamba berdua... dia... memukul hamba berdua..."

   "Kenapa?"

   "Katanya... katanya dia disuruh oleh... mendiang Sri Winarti yang membunuh diri dengan pusaka Kolonadah itu untuk menghajar hamba berdua..."

   Resi Mahapati mengerutkan alisnya, tidak jadi marah kepada dua orang kepercayaanya itu, lalu menoleh kepada Sutejo.

   "Dimas Sutejo, kiranya sahabatmu itulah yang sengaja datang untuk membikin ribut."

   "Memang sudah dia ceritakan kepada saya, Kakangmas Resi. Dua orang ini dahulu pernah menghina jenazah mbakayunya yang bernama Sri Winarti dan karena itulah maka mereka ini dia cari untuk dihajar, membalaskan penghinaan itu. Kalau tidak gara-gara mereka ini, tentu saya sudah dapat bicara dengan dia dan meyakinkan hatinya untuk membantu kita."

   "Saya... kami... tidak bersalah..."

   Darumuko berkata gagap dan memandang kepada Sutejo dengan marah.

   "Dess! Desss!"

   Tubuh mereka terpental dan bergulingan kena ditendang oleh Resi Mahapati.

   "Sekali ini kuampuni kalian. Lain kali kalau kalian melakukan sesuatu tanpa perintahku sehingga merugikan keadaan, kalian tentu akan kuhukum mati!"

   Bentaknya.

   "Mari, Dimas Sutejo, kita kembali saja."

   Sutejo mengangguk dan mengikuti Kakak iparnya itu kembali ke kota raja.

   Bagaimana ini? Benarkah dugaan Bromatmojo bahwa Sutejo telah menjadi kaki tangan Mahapati? Tidak sepenuhnya seperti yang disangka oleh Bromatmojo. Memang benar bahwa Sutejo kini membantu Mahapati, akan tetapi sama sekali bukan untuk mencari kedudukan, sama sekali bukan karena pengaruh harta benda dan kemuliaan, bukan pula karena Mahapati adalah Kakak iparnya. Dia membantu Mahapati setelah mendengar bujukan-bujukan Mahapati yang amat cerdik itu. Dibantu oleh Lestari, Mahapati berhasil membujuk Sutejo untuk membantunya dengan alasan bahwa Mahapati berjuang mencari Kolonadah demi keselamatan Mojopahit! Mahapati menceritakan betapa dia telah membela Mojopahit ketika terjadi pemberontakan-pemberontakan Adipati Ronggo Lawe, kemudian pemberontakan Lembu Sora. Dan dari Mbakayunya, Sutejo mendengar bahwa Mahapati amatlah berbudi dan bijaksana, amat mencinta Mbakayunya itu, dan atas bantuan Mahapati pulalah Mbakayunya berhasil membalas dendam keluarganya kepada Progodigdoyo!

   "Sekarang Kolonadah terjatuh ke tangan musuh,"

   Demikian kata Resi Mahapati di antara bujukan-bujukannya, disaksikan oleh Lestari.

   "Tentu oleh Ki Ageng Palandongan dibawa ke Lumajang. Di sanalah pusat orang-orang yang merasa tidak senang kepada Mojopahit, di sanalah sarang orang-orang yang mengandung hati khianat dan memberontak, diketuai oleh Aryo Wirorojo, Ayah mendiang Ronggo Lawe yang tentu selalu menaruh dendam kepada Mojopahit. Di sana pula larinya sisa-sisa pengikut Ronggo Lawe dan Lembu Sora. Karena itu, Dimas Sutejo, setelah Kolonadah dilarikan ke Lumajang, maka gawatlah keadaannya. Kolonadah itu adalah pusaka yang khusus diciptakan oleh Maha Empu Supamandrangi untuk raja! Akan tetapi oleh Ronggo lawe dikuasainya sendiri! Dan sekarang pusaka itu berada di Lumajang. Kita sebagai orang-orang gagah, sebagai kawula Mojopahit yang setia, berkewajiban untuk mempertahankan kejayaan Mojopahit. Kalau sudah begitu, barulah tidak sia-sia engkau mempelajari ilmu, Dimas Sutejo."

   Sutejo menundukkan mukanya sehingga dia tidak melihat betapa Mahapati memberi isyarat dengan sinar matanya kepada Lestari. Mbakayunya itu lalu mendekatinya, menaruh tangan di pundak Adiknya dengan mesra, lalu berkata.

   "Tejo, Adikku sayang. Semua yang diucapkan oleh Kakak iparmu itu benar belaka. Kalau tidak ada dia, entah sudah bagaimana jadinya dengan diriku, dan kalau tidak karena bantuannya, entah bagaimana pula aku dapat membalas dendam keluarga kita terhadap Progodigdoyo. Kita berhutang budi kepada Kakangmas Resi Mahapati, Tejo."

   "Ah, jangan bicara tentang budi, Diajeng Lestari. Aku cinta padamu dan semua yang kulakukan untukmu itu adalah demi cintaku, jadi bukan budi, memang sudah semestinya demikian,"

   Kata Resi




Komentar

Postingan populer dari blog ini

KERIS MAUT

PENDEKAR GUNUNG LAWU

KEMELUT DI MAJAPAHIT