KEMELUT DI MAJAPAHIT JILID 20

    Mahapati yang pandai sekali bicara dan bersikap tepat.

   Sutejo makin termenung. Dia teringat akan mendiang Ayahnya. Nama Lembu Tirta adalah nama seorang pahlawan, seorang pembela kerajaan yang setia. Dan sekarang, dia sebagai keturunan pahlawan itu melihat betapa Mojopahit terancam bahaya seperti yang diceritakan oleh Resi Mahapati. Memang ada rasa tidak senang melihat kenyataan bahwa Mbakayunya hanya menjadi selir seorang yang sudah tua seperti Resi ini, akan tetapi dia harus mengesampingkan perasaan demi urusan pribadi dan keluarga, dan mementingkan pembelaan Mojopahit!

   "Aku mendengar dari Kakang Resi Harimurti bahwa sahabatmu itu, pemuda tampan itu,juga memiliki kesaktian heabat, bahkan kabarnya dia adalah murid Empu Supamandrangi sendiri, pencipta pusaka Kolonadah. Alangkah baiknya kalau kau dapat menarik dia agar bersama dengan kita berbakti kepada Mojopahit, Adimas Sutejo."

   Sutejo yang berwatak polos dan wajar itu, yang masih belum banyak mengenal manusia sehingga dia tidak tahu bahwa di dunia ini jauh lebih banyak terdapat manusia yang curang, palsu dan jahat daripada yang jujur, wajar dan baik, mudah saja terkena bujukan Resi Mahapati dan Lestari. Mengapa pula Lestari ikut membujuk Adiknya? Sudah tentu saja! Wanita ini tidak ingin melihat Adiknya bermusuhan dengan suaminya, dia ingin agar Adiknya itu selalu berada di dekatnya dan tidak akan berpisah lagi. Selain itu, juga dia mempunyai cita-cita sendiri,yaitu dia hendak membasmi semua ponggawa Mojopahit yang amat dibencinya, ponggawa-ponggawa Mojopahit rekan-rekan Progodigdoyo yang mendiamkan saja ketika keluarganya dihancurkan! Dan untuk dapat melaksanakan cita-cita itu, dia harus lebih dulu mempergunakan Mahapati yang sudah jatuh di bawah telapak kakinya.

   Maka dia ingin melihat adiknya membantu pula, membantu terlaksananya cita-citanya demi untuk membalas dendam Ayah dan Ibu mereka. Karena itulah maka dia turut membujuk, seolah-olah dia merasa setuju dengan siasat suaminya sehingga tentu saja hati Resi Mahapati menjadi makin jatuh karena hal ini dianggapnya sebagai kesetiaan dan cinta kasih dari Lestari kepadanya. Demikianlah, setelah terkena bujukan Kakak ipar dan Mbakayunya, pada keesokan harinya Sutejo keluar diiringi pasukan untuk mencari Bromatmojo dan akhirnya seorang perajurit memberi tahu kepadanya bahwa temannya itu berada di dusun Pemintihan di rumah ledek Madumirah. Bersama pasukan itu pergilah Sutejo menyusul ke sana sehingga terjadi perkelahian hebat antara dia dan Bromatmojo.

   Hatinya terasa kecewa dan cemas sekali ketika dia pulang bersama Kakak iparnya,memikirkan Bromatmojo yang kini menganggapnya sebagai musuh. Namun, karena dia merasa betapa dia memikul tanggung jawab dan kewajiban yang berat, juga amat penting, yaitu berdarma bakti kepada kerajaan, maka ditanggunglah derita batin itu dan dia mengesampingkan urusan pribadinya dengan Bromatmojo. Sama sekali dia tidak tahu bahwa pada waktu itu ada dua orang lain yang merasa amat benci kepadanya. Mereka ini adalah Reksosuro dan Darumuko!

   "Huh, mentang-mentang menjadi Adik ipar Sang Resi, begitu datang dia sudah berani panjang mulut sehingga kita ditendang oleh Sang Resi!"

   Darumuko mengomel ketika dia dan Reksosuro rebah di atas pembaringan dalam satu kamar di rumah pelacuran itu, dirawat oleh germo Madumirah yang memanggil dukun untuk mengobati tulang mereka yang patah-patah dan luka-luka lainnya.

   "Dan dia itu kurasa hanya pura-pura saja baik kepada Sang Resi!"

   Kata Reksosuro. Darumuko menoleh dan memandang kepada temannya.

   "Apa katamu, Kakang Reksosuro? Apa yang kau maksudkan dengan kata-kata itu?"

   "Hemm, apakah kau tidak melihat, Adi Darumuko? Kalau dia betul-betul setia kepada Sang Resi, tentu dia sudah menangkap atau setidaknya merobohkan bocah bernama Bromatmojo itu. Dia begitu sakti dan Bromatmojo itu, hemm... amat mencurigakan sekali. Tentu ada hubungan antara Sutejo ini dengan dara itu."

   "Dara? Siapa yang kau maksudkan?"

   Tanya Darumuko makin heran.

   "Siapa lagi kalau bukan Bromatmojo itu,"

   Jawab Reksosuro, meringis karena kakinya terasa nyeri bukan main, rasa nyeri yang menusuk ke ulu hatinya.

   "Eh? Bukankah dia seorang pria, seorang pemuda yang amat sakti?"

   Darumuko bertanya sambil membelalakkan matanya yang liar.

   "Ha-ha, dia boleh mengelabuhi orang lain, akan tetapi aku adalah seorang laki-laki yang sudah kenyang bermain dengan wanita! Sejak berusia belasan tahun aku sudah banyak bergaul dengan wanita, sampai sekarang entah sudah berapa ribu orang wanita yang kugauli. Dan dia hendak mengelabuhi aku? Huh, tidak mungkin! Kulit mukanya begitu halus, matanya begitu bening, alis matanya kecil panjang, bulu matanya lentik, hidungnya kecil, bibirnya merah basah dan mungil, giginya pun keci-kecil, lehernya jenjang tanpa kalamenjing, rambutnya begitu panjang halus sekali, hemm, ketika kita melawan dia, apakah tidak tercium olehmu, Adi Darumuko?"

   "Tercium apanya?"

   "Ah, percuma saja engkau selama ini menjadi serigala penerkam wanita! Kiranya masih hijau. Tentu saja bau badannya, bau keringatnya!"

   "Eh, apa bedanya?"

   "Tentu saja beda! Wanita memiliki ciri bau yang khas, seperti juga pria, dan aku sudah hafal akan bau badan wanita..."

   Darumuko terbelalak memandang kepada temannya dengan kagum. Tak disangkanya temannya itu mempunyai pengetahuan begitu mendalam tentang wanita! "Eh, Kakang Reksosuro, katakan kepadaku, bagaimanakah baunya?"

   "Bau wanita mengandung bau seperti air susu, seperti bau bayi dan kembang, sedangkan bau pria mengandung bau seperti binatang jalang."

   "Wah, kau pandai sekali, Kakang."

   "Hemm, siapa bilang aku bodoh? Bukan itu saja yang kuketahui, akan tetapi untuk membuktikan kebenaran dugaanku, mari kita tanya kepada Si Tanjung. Njunggg...! Tanjungggg...! Ke sinilah sebentar!"

   Dia berteriak keras dan tak lama kemudian terdengar suara menyahut dari luar, daun pintu kamar terbuka dan masuklah wanita muda berbaju merah yang tadi paling hebat merayu Bromatmojo.

   "Ada apakah, Kakangmas Reksosuro?"

   Tanya wanita itu, menekan perasaan tak senangnya kepada dua orang kasar itu.

   "Anu, nduk cah ayu, engkau tadi sudah berdekatan dan bersentuhan dengan pemuda bernama Bromatmojo tadi. Nah, katakanlah terus terang, bagaimana kesanmu tentang dia?"

   Dua orang itu memandang tajam penuh selidik ke arah wajah dan bibir wanita itu, menanti keluarnya jawaban.

   "Kesan apa?"

   Tanya wanita itu terheran-heran dan juga khawatir karena dia tidak mau tersangkut setelah melihat betapa Bromatmojo dimusuhi oleh para perajurit bahkan Sang Resi Mahapati sendiri tadi datang mencarinya.

   "Jangan takut, katakan terus terang. Kau tadi sudah mencium pipiya, bukan? Dan meraba-raba badannya? Apakah tidak ada sesuatu yang luar biasa pada orang itu?"

   Tanya Reksosuro memancing.

   "Tidak... hanya dia... eh, tampan sekali, terlalu tampan..."

   Jawab Tanjung mengingat-ingat dengan penuh dendam birahi.

   "Terlalu tampan bukan? Terlalu halus kulitnya, bukan? Herankah kau kalau kukatakan bahwa dia itu seorang perempuan?"

   Desak Reksosuro.

   "Perempuan? Ya, Dewa Bathara...! Perempuankah dia? Ah, Andika benar juga, Kakangmas Reksosuro. Gerak-geriknya, senyumnya, pandang matanya... ah, pantas dia tampan bukan main. Dia mestinya seorang gadis yang cantik jelita. Aih,mengapa kami begitu bodoh? Akan tetapi, kalau perempuan... ah, dia begitu sakti..."

   "Ha-ha-ha, apa kataku, Adi Darumuko? Nah, pergilah, Tanjung, sudah cukup keteranganmu, ha-ha-ha!"

   Reksosuro tertawa-tawa girang sekali karena kini dugaannya dibenarkan dan diperkuat oleh Tanjung yang sebagai seorang wanita tentu akan mengenal kaumnya. Tanjung cepat pergi meninggalkan kamar itu dengan hati lega. Dia sudah khawatir kalau-kalau dua orang pria kasar itu akan minta dilayani, biar dalam keadaan seperti itu dan dia merasa jijik untuk melakukannya.

   "Wah, engkau memang hebat, Kakang! Dan apalagi yang kau ketahui tentang dara yang menyamar sebagai laki-laki itu?"

   "Ada lagi, lebih hebat!"

   Jawab Reksosuro sambil tersenyum bangga.

   "Biarpun dia telah menghajar kita, akan tetapi kita rugi. Aku telah tahu rahasianya, dan biar Sutejo itu tahu rasa! Tentu dia kekasih dara itu, tak salah lagi, dan pertempuran antara mereka itu agaknya hanya pura-pura saja! Aku tahu siapa dara itu."

   "Eh, benarkah? Siapa dia, Kakang?"

   "Kita berdua sudah seringkali bertemu dengan dia."

   "Eh, aku tidak ingat lagi... siapa sih?"

   "Ingat baik-baik, Adi Darumuko. Pernahkah keris pusakaku Kyai Bandot tidak mempan menusuk tubuh orang? Hanya satu kali sebelum ini, ingat saja."

   "Ya, aku ingat pengalaman pahit itu. Ketika kau mempergunakannya menyerang Setan Jembros."

   Benar, kau cerdik juga! Nah, bukankah orang tadi pun sama kebalnya dengan Setan Jembros? Tentu dia murid Setan Jembros! Dan kau ingat anak perempuan dulu itu yang ditolong Setan Jembros dan menjadi muridnya? Dia tadi datang untuk membalaskan dendam Sri Winarti, bukan? Lupakah kau akan bocah perempuan bernama Sulastri, Adik Sri Winarti itu? Dan dia tadi menyebut Sri Winarti sebagai Mbakayunya."

   Makin lama makin berseri wajah Darumuko dan tiba-tiba dia menggebrak amben yang ditidurinya.

   "Brakk! Kau betul... aduhhh..."

   Dia menyeringi karena saking gembiranya dia sampai lupa dan hampir saja dia terloncat bangun sehingga gerakan itu membuat kaki dan tangannya yang patah tulang itu nyeri bukan main, kiut miut rasanya menyusup ke tulang-tulang sumsum.

   "Jelaslah. Dia itu Sulastri, anak perempuan yang dulu itu! Dan pernah pula Ki Ageng Palandongan menolongnya ketika kita menangkapnya. Nah, jelas sekarang. Dan keris pusaka Kolonadah kabarnya dilarikan oleh Ki Ageng Palandongan. Tentu mereka itu sekomplotan! Sekomplotan yang diutus dari Lumajang. Tidak salah lagi. Dan Sutejo ini pun tentulah kaki tangan Lumajang!"

   Kata Reksosuro.

   "Hati-hati, Kakang, dia adalah adik dari Lestari, selir terkasih Sang Resi."

   "Tentu saja. Cukup kita secara diam-diam melaporkannya kepada Sang Resi saja. Laporan ini penting sekali bagi Sang Resi dan tentu kemarahannya terhadap kita akan berubah menjadi pujian, dan tentu dia akan terus diawasi. Rasakan engkau, Sutejo, engkau telah membikin celaka kami, dan kelak kami akan membalasnya, tunggu saja!"

   Demikianlah, rahasia penyamaran Bromatmojo telah dapat diketahui oleh dua orang ini sehingga tanpa disadarinya sendiri, Sutejo terancam bahaya dari fihak Kakak iparnya sendiri yang tentu saja mencurigainya dan selalu mengawasi gerak-geriknya setelah mendengar laporan dari dua orang itu, sungguh pun pada lahirnya Resi Mahapati tetap bersikap ramah. Resi Mahapati terkejut juga ketika mendengar pelaporan dua orang itu yang disampaikan secara rahasia dan tidak diketahui oleh orang lain. Setelah menyatakan kegembiraannya dan memberi hadiah kepada dua orang itu dengan pesan agar hal itu dirahasiakan, Sang Resi Mahapati termenung. Dia masi ragu-ragu.

   Benarkah Sutejo tersangkut dalam komplotan itu dan menjadi mata-mata Lumajang? Dia harus berhati-hati dan menyelidiki hal ini sedalam-dalamnya. Jadi Bromatmojo itu adalah anak perempuan, adik dari wanita yang membunuh diri menggunakan Kolonadah? Murid Eyang Empu Supamandrangi? Kalau begitu sungguh sayang dia tidak dapat menangkapnya. Dan bagaimana dengan Sutejo? Benarkah Sutejo tidak mampu menangkapnya ketika mereka bertempur? Ataukah Sutejo sengaja melepaskannya? Dia harus menyelidiki, katanya dalam hati sambil mengepal tinju. Dan dia tidak akan memberitahukan hal ini kepada Lestari. Sebaliknya, dia menarik Resi Harimurti dan membisikinya tentang rahasia itu. Hanya mereka berdua, Reksosuro dan Darumuko saja yang mengetahui akan hal itu.

   "Kau manusia bodoh..., kau manusia tolol dan lemah... ohhh... Sulastri, kau benar-benar tolol...!"

   Bromatmojo menjambak rambutnya sendiri sambil berjalan di dalam hutan itu dan menangis. Dia masih marah, kecewa, berduka dan penasaran setelah tadi lari meninggalkan dusun Pemintihan. Ketika dia mendapat kenyataan betapa perasaan hatinya merasa trenyuh, sunyi, berduka dan kecewa karena Sutejo kini memusuhinya dan jauh dari padanya, tangisnya menjadi-jadi dan dia memaki dirinya sendiri.

   "Engkau cinta padanya... ah, gadis bodoh, engkau cinta padanya...!"

   Kini dia menghentikan langkahnya, bersandar pada batang pohon randu yang halus kulitnya itu sambil menangis. Terbayanglah semua keakraban antara dia dan Sutejo selama dalam perjalanan berdua itu, semua kebaikan-kebaikan Sutejo terhadap dirinya dan tangisnya makin mengguguk.

   "Kakang Tejo... engkau kejam padaku, Kakang, ah, kenapa engkau kejam padaku...?"

   Setelah semua kesedihannya diluapkan melalui tangisan yang tidak ditahan-tahan,karena betapa seringnya dia menahan tangis selama bersama Sutejo, hatinya terasa agak ringan dan akhirnya dia duduk di atas batu di bawah pohon randu itu,termenung dan kadang-kadang masih terisak sebagai sisa tangis tadi. Mulailah dia berpikir dan perasaannya makin ringan ketika dia teringat bahwa Sutejo melakukan hal itu karena belum tahu bahwa dia adalah seorang wanita. Bagaimana kalau pemuda itu mengetahuinya? Ah, tidak, dia tidak akan membuka rahasianya. Selain memalukan, juga akan makin menyakitkan hati saja kalau pemuda itu tetap tidak senang dan marah kepadanya. Kini Sutejo telah menjadi kaki tangan Mahapati!

   Kenyataan ini sungguh menyakitkan hatinya karena dia tahu sekarang bahwa dia telah jatuh cinta kepada pemuda itu! Tadinya, ketika mereka masih bersama-sama,dia hanya merasa suka sekali kepada pemuda itu, dan kini setelah mereka cekcok dan berpisah, baru dia tahu dari penderitaan batinnya bahwa dia mencinta pemuda itu! Teringat semua olehnya betapa dia cemburu sekali kepada Roro Kartiko ketika mengira bahwa Sutejo mencinta puteri itu!

   "Kakang Tejo, aku cinta padamu, akan tetapi jalan hidup kita bersimpang...!"

   Dia mengeluh. Akan ke manakah dia sekarang setelah dia berpisah dari pemuda itu? Hidup seolah-olah menjadi begini sepi tanpa tujuan! Kemudian dia teringat tugas yang diberikan oleh Gurunya kepadanya. Dia harus mencari Kolonadah. Bukankah Gurunya mengutusnya untuk menyerahkan keris pusaka Kolonadah itu kepada Pangeran Kolo Gemet, putera Sang Prabu yang menjadi Pangeran Pati atau Pangeran Mahkota? Dan sekarang Kolonadah dilarikan oleh Ki Ageng Palandongan. Akan tetapi sebelum mencari ke Lumajang, dia akan mencari Gurunya yang pertama lebih dulu. Ki Jembros!

   Dalam keadaan sepi seperti itu, tiba-tiba saja dia teringat kepada Ki Jembros. Ingin dia berjumpa dengan kakek itu, menyampaikan semua keluhan hatinya,menyampaikan semua isi hatinya dan minta nasihat dari kakek yang aneh namun bijaksana dan amat mencintanya itu. Ke Pegunungan Pandan! Dahulu, di sanalah dia meninggalkan Gurunya itu yang katanya hendak beristirahat dan berobat bersama anak buah dua orang gagah yang menjadi pelarian Mojopahit, yaitu Raden Gajah Biru dan Juru Demung yang gagah perkasa.

   "Benar,"

   Pikirnya.

   "Seorang diri saja mencari Kolonadah tentu akan sukar. Aku dapat minta bantuan Eyang Jembros, paman-paman yang gagah perkasa itu. Dan aku akan minta bantuan Eyang Jembros untuk menghadapi Resi Mahapati, untuk menginsyafkan Kakang Sutejo bahwa dia membantu orang jahat!"

   Dengan pikiran ini yang menjadi keputusan hatinya, berangkatlah Sulastri atau karena dia masih berpakaian sebagai pria lebih tepat menyebutnya Bromatmojo,menuju ke Pegunungan Pandan di sebelah utara Mojopahit. Dia melakukan perjalanan cepat dan dengan hati penuh harapan. Akan tetapi, ketika dia tiba di Pegunungan Pandan beberapa hari kemudian, sunyi saja di pegunungan itu. Bahkan dia tidak bertemu dengan seorang pun ketika dia tiba di tempat yang dulu dijadikan markas oleh Gajah Biru dan kawan-kawannya.

   Dia masih ingat betul bahwa di tempat itulah dia dahulu berusaha mencuri ketan untuk Ki Jembros. Akan tetapi rumah itu telah rusak-rusak dan kosong, tidak ada orangnya sama sekali. Dengan hati kecewa Bromatmojo meninggalkan tempat itu, akan tetapi dia masih terus melakukan penyelidikan di sekitar Pegunungan Pandan. Ternyata hanya sedikit saja orang yang tinggal di sekitar kaki pegunungan itu, dan dusun-dusun yang berada di lereng-lereng gunung telah kosng ditinggalkan para penghuninya.

   Dan sedikit kelompok orang yang tinggal di kaki gunung adalah pendatang-pendatang baru yang tidak mengenal nama Ki Jembros, Gajah Biru atau pun Juru Demung. Penghuni-penghuni lama sebagian besar ikut dalam pemberontakan dan tewas,sedangkan keluarganya yang tidak ikut telah melarikan diri takut kalau tersangkut.

   Di bagian mana pun di dunia ini, dalam jaman apa pun, perang merupakan peristiwa yang paling jahat dan busuk di antara manusia. Bukan hanya karena perang menjatuhkan korban manusia di kedua fihak, akan tetapi lebih dari itu. Juga keluarga mereka yang tidak turut apa-apa akan terkena getahnya, ada yang ditangkap, dibunuh, difitnah dan dipermainkan. Kalau tidak begitu, karena kepala keluarganya mati, maka wanita-wanita menjadi janda dan keluarga kehilangan mata pencaharian. Dan masih banyak akibat-akibat dari perang yang amat jahat, yaitu munculnya kekacauan dan kekerasan, munculnya penjahat-penjahat yang mempergunakan kesempatan memancing di air keruh, munculnya pejabat-pejabat yang mempergunakan kedudukan dan kekuasaannya untuk menekan rakyat dengan dalih apa pun untuk menakut-nakuti mereka demi tercapainya kesenangan yang diinginkannya,pemerasan, perkosaan, dan lain sebagainya. Dan lebih mengenaskan lagi, rakyat yang tak terhitung banyaknya itu, manusia-manusia itu, berperang karena digerakkan oleh beberapa gelintir orang pula yang kebetulan duduk di atas!

   Manusia-manusia menjadi semacam boneka yang tidak berdaya menurut saja disuruh saling bunuh demi tercapainya kemenangan beberapa gelintir orang yang berkuasa itu, yang menutupi keinginannya untuk menang itu dengan slogan-slogan dan kata-kata indah dan suci. Perang terjadi di mana-mana di dunia ini, di jaman apa pun, dan selalu didengungkan alasan-alasan yang amat baik untuk itu! Bahkan tidak jarang alasannya adalah untuk menciptakan damai! Menciptakan damai dengan jalan perang! Betapa gilanya ini!

   Namun, kita hidup di dalam kekerasan sejak nenek moyang kita. Kita dilatih sejak kecil untuk menang, menang, menang! Dalam hal apa pun juga, kita dididik untuk jangan kalah oleh orang lain! Tentu saja dorongan atau hasrat untuk menang ini selalu menimbulkan kekerasan. Hal ini dapat kita lihat setiap saat, setiap hari di sekitar kita, dapat kita lihat semenjak dalam kehidupan anak-anak. Sekelompok anak-anak akan bermain tari-tarian atau nyanyi-nyanyian dengan rukun dan damai,akan tetapi begitu semacam permainan mereka lakukan, permainan di mana terdapat kemenangan dan kekalahan, maka timbullah percekcokan dan perkelahian! Karena tidak berhasil mencari keterangan tentang Ki Jembros, akhirnya Bromatmojo mengambil keputusan untuk melanjutkan saja perjalanannya ke Lumajang. Maka dia lalu kembali ke selatan untuk kemudian melanjutkan perjalanannya ke timur.

   Dua hari kemudian ketika dia sedang berjalan di hutan sebelah utara Sungai Tambakberas, dekat perbatasan timur antara wilayah Tuban dan Mojopahit, dia mendengar teriakan-teriakan orang bertempur. Bromatmojo mempercepat jalannya,bahkan dia lalu berlari menuju ke suara itu dan terkejutlah dia melihat bahwa yang bertempur adalah Joko Handoko, Roro Kartiko yang dibantu oleh tujuh orang wanita anggauta-anggauta Sriti Kencana, dikeroyok oleh dua puluh orang lebih perajurit Tuban yang dipimpin oleh Gagaksona dan Klabang Curing! Di tengah-tengah tempat pertempuran itu nampak sebuah kereta di mana duduk seorang wanita setengah tua yang cantik dan bersikap tenang, menonton pertempuran itu dengan alis berkerut namun tidak memperlihatkan ketakutan. Wanita itu adalah Sariningrum, ibu dari Joko Handoko dan Roro Kartiko, yang sedang mereka kawal untuk melarikan diri dari Tuban.

   Karena jumlah musuh lebih banyak dan dua orang pemimpin mereka, terutama Gagaksona, memiliki kepandaian tinggi, maka pihak Joko Handoko terdesak hebat. Melihat ini, Bromatmojo berteriak keras dan terjun ke dalam pertempuran,mengamuk dan sekali bergerak dia telah merobohkan empat orang perajurit pengeroyok! Melihat munculnya Bromatmojo, tentu saja putera-puteri Progodigdoyo itu menjadi girang sekali dan demikian pula anak buah Sriti Kencana. Mereka kini bertempur dengan semangat berkobar.

   "Kakangmas Joko! Diajeng Roro! Serahkan dua ekor celeng (babi hutan) ini kepadaku!"

   Teriak Bromatmojo sambil menerjang ke depan, menendang ke arah Gagaksona dan menampar ke arah Klabang Curing dengan dahsyat. Dua orang itu terkejut dan cepat meloncat ke belakang.

   "Terima kasih, Kakangmas Bromatmojo!"

   Roro Kartiko berkata dengan kedua pipi merah dan mata bersinar-sinar, lalu bersama Kakaknya dia membantu anak buah mereka, mengamuk di antara para perajurit Tuban. Gagaksona dan Klabang Curing mengenal Bromatmojo yang pernah mereka lawan itu. Tentu saja mereka menjadi marah sekali, juga girang karena inilah pemuda yang dulu menggali lubang kuburan dan menemukan keris pusaka Kolonadah! Maka dengan keris di tangan, kedua orang itu lalu menerjang dengan hebat, mengeroyok Bromatmojo dari kanan kiri.

   Boleh jadi Gagaksona merupakan lawan yang agak berat bagi Joko Handoko atau Roro Kartiko, akan tetapi dia adalah lawan yang ringan saja bagi Bromatmojo, biarpun dia masih dibantu oleh Klabang Curing. Melihat bahwa dua orang temannya itu masih dikeroyok oleh banyak perajurit lawan, maka Bromatmojo tidak mau membuang banyak waktu dalam menandingi dua orang lawannya. Dia tidak memandang kepada keris di tangan mereka, ketika mereka menyerang, dia malah maju memapaki dengan kedua tangan kosong, menyambut keris-keris itu dengan tamparan Hasto Bairawa!

   "PLAK! Plak!"

   Dua orang itu terpental ke belakang dengan mata terbelalak. Keris di tangan mereka tentu saja mengenai lengan Bromatmojo, namun lecet sedikit pun tidak kulitnya, rontok sehelai pun tidak bulunya, bahkan mereka merasa seolah-olah mereka tertiup badai yang dahsyat, yang membuat keris mereka membalik dan tubuh mereka terpental.

   Tentu saja mereka kaget dan juga marah, penasaran, lalu sambil mengeluarkan gerengan seperti dua ekor singa mereka maju menubruk lagi dengan keris mereka.

   "Robohlah kalian!"

   Bentak Bromatmojo dan kedua tangannya menyambut tanpa memperdulikan tusukan keris lawan.

   "Dess! Dess!!"

   "Aduh...!"

   Gagaksona terguling.

   "Tobaaattt...!"

   Klabang Curing juga terlempar dan terbanting. Keduanya setengah klenger (pingsan) dan hanya dapat mengeluh panjang pendek memegangi kepala mereka yang seperti hendak pecah rasanya, telinga mereka penuh dengan suara terngiang-ngiang, mata mereka hanya melihat warna merah.

   Bromatmojo lalu membantu kakak beradik itu mengamuk. Tentu saja para perajurit Tuban menjadi gentar. Memang di dalam hati, mereka sudah agak enggan untuk melawan Joko Handoko dan Roro Kartiko, putera-puteri bekas bupati mereka itu.

   Mereka mengenal dua orang kakak beradik ini sebagai dua orang muda yang gemblengan dan juga amat baik. Hanya karena terpaksa saja mereka tadi menurut perintah Gagaksona dan Klabang Curing melakukan pengeroyokan. Akan tetapi setelah kini mereka berdua itu roboh, dan mereka memang tidak kuat menghadapi amukan wanita-wanita cantik dan seorang pemuda seperti Joko Handoko, kini ditambah pula oleh pemuda tampan yang amat sakti itu, maka para perajurit itu lalu melarikan diri sambil memondong tubuh Gagaksona dan Klabang Curing yang masih belum sadar betul.

   "Mari cepat kita melarikan diri sebelum pasukan yang lebih besar datang lagi!"

   Kata Joko Handoko yang mengkhawatirkan keselamatan Ibunya.

   "Maaf, Adimas Bromatmojo, nanti saja kita bicara!"

   Bromatmojo mengangguk, malah menghampiri kereta dan bertanya.

   "Siapakah Bibi ini?"

   "Dia Ibuku...!"

   Kata Roro Kartiko yang sejak tadi menatap wajah Bromatmojo dengan penuh kagum.

   "Kalau begitu, kita tinggalkan saja kereta. Biar kupondong beliau agar perjalanan lebih cepat,"

   Kata Bromatmojo dan tanpa menanti jawaban lagi, dia menyembah kepada wanita setengah tua itu lalu memondongnya dan lari dengan cepat.

   Joko Handoko dan Adiknya saling pandang, Roro Kartiko tersenyum dan mereka lalu cepat mengejar, diikuti oleh tujuh orang anak buah mereka. Dan memang benar,melarikan diri memang lebih baik kalau berjalan kaki, mereka dapat lari nyusup-nyusup di antara semak belukar. Kalau mereka naik kereta mengawal Ibu mereka, mereka harus melalui jalan besar yang kadang-kadang terhalang oleh jalan yang becek akibat hujan besar semalam dan juga pohon-pohan yang tumbang.

   Mereka berdua makin kagum melihat betapa Bromatmojo dapat berlari lebih cepat dari mereka biarpun pemuda tampan itu memondong tubuh Ibu mereka. Kalau saja mereka tidak sering meneriakinya, tentu pemuda itu sudah jauh meninggalkan mereka. Dan mereka semua, termasuk para anggauta Sriti Kencana, telah terengah-engah kehabisan napas ketika mereka berlari terus menerus tanpa berhenti, akan tetapi Bromatmojo masih enak-enak saja berlari. Hal itu adalah karena Bromatmojo mempergunakan aji kesaktian Turonggo Bayu sehingga dia dapat berlari cepat tanpa banyak mempergunakan tenaga.

   Menjelang senja barulah mereka menghentikan perjalanan itu. Mereka beristirahat di bawah pohon-pohon besar yang rimbun. Ketika Bromatmojo menurunkan tubuh Sariningrum ke atas rumput di bawah pohon itu, wanita ini memandangnya dengan kagum dan tersenyum sambil berkata.

   "Betapa kuatnya engkau!"

   Setelah mereka mengaso, mereka mendapat kesempatan bercakap-cakap. Roro Kartiko menghampiri Bromatmojo dan dengan suara menggetar saking terharu dia berkata.

   "Kakangmas Bromatmojo. Tak terukur besarnya rasa syukur dan terima kasih kami kepadamu. Kalau tidak ada Andika yang datang menolong, entah bagaimana jadinya dengan kami."

   "Benar, ucapan Diajeng Roro, pertolonganmu besar sekali artinya bagi kami,Adimas Bromatmojo. Entah bagaimana kami akan dapat membalas budi pertolonganmu itu,"

   Sambung Joko Handoko dengan pandang mata kagum dan penuh syukur.

   "Sudahlah, di antara kita sebagai sahabat-sahabat, perlu apa bicara tentang budi?"

   Kata Bromatmojo.

   "Akan tetapi, bagaimanakah Andika berdua dengan Ibu Andika berada di tempat itu, hendak pergi ke mana, dan mengapa pula dikeroyok oleh pasukan Tuban?"

   "Kami memang melarikan diri dari Tuban setelah Ayah meninggal... dan kami dikejar, tersusul di perbatasan. Kami hendak dijadikan orang-orang tawanan,tentu saja kami tidak mau dan melawan,"

   Jawab Joko Handoko yang agaknya hendak menyembunyikan tentang kematian Ayahnya.

   "Kakangmas Bromatmojo... sungguh tidak kusangka..."

   Roro Kartiko menangis kini.

   "Ayah kami... dibunuh secara kejam sekali oleh Kakangmas Sutejo..., disiksa dan dibunuh secara mengenaskan..., ahhh..."

   

Dara itu menangis terisak-isak. Dia mengira bahwa Bromatmojo belum tahu akan hal itu. Mendengar Sutejo dicela dan dipersalahkan, aneh sekali, hati Bromatmojo menjadi panas! Tanpa disadarinya sendiri, timbul keinginan untuk membela pemuda itu!

   "Sudahlah, Diajeng Roro Kartiko, yang sudah lewat tidak ada gunanya disesalkan lagi. Dan saya kira tidak bijaksanalah kalau Andika mencela dan menyalahkan Kakang Sutejo tentang hal itu."

   "Ah... hu-hukk... kau... kau tidak melihatnya, Kakangmas Bromatmojo... betapa kejamnya Kakangmas Sutejo... dia menyiksa Ayah sampai seperti itu..."

   "Diajeng Roro! Apakah artinya kejam? Apakah engkau tahu apa yang telah dilakukan oleh mendiang Ayahmu terhadap dia dan keluarganya?"

   Suara Bromatmojo terdengar keras sehingga Roro Kartiko memandang terbelalak karena kaget melihat pemuda itu marah. Wajahnya menjadi merah ketika dia berkata gagap,

   "Aku tahu... mendiang Ayah telah membunuh Ayahnya dan Ibunya terbakar dalam rumahnya karena Ayahku... tapi... tapi mengapa menyiksanya seperti itu?"

   "Hemm, agaknya engkau belum mendengar seluruhnya, Diajeng. Baiklah kuceritakan apa yang pernah kudengar dari Kakang Sutejo agar engkau dapat mempertimbangkan mengapa Kakang Sutejo dan Mbakayunya membunuh Ayahmu. Ketika Kakang Sutejo masih kecil, Ayahmu datang dan menyuruh bunuh Kakang Sutejo oleh kaki tangannya, kemudian... kemudian Ayahmu itu... memperkosa Ibunya di depan kedua anaknya itu! Bahkan lalu menculik Mbakayunya..."

   "Ahhh...!!"

   Seruan ini keluar dari mulut Roro Kartiko dan Joko Handoko karena sungguh baru sekarang mereka mendengar perbuatan keji yang dilakukan oleh Ayah mereka itu. Muka mereka pucat sekali dan Joko Handoko tertunduk, termenung,sedangkan Roro Kartiko menangis sesenggukan. Ibu mereka yang duduk agak jauh dari situ, yang tidak mendengar percakapan mereka, memandang dan menunduk,mengira bahwa anak-anak mereka itu kembali menangis ketika membicarakan kematian Ayah mereka.

   Wanita ini cukup mengenal suaminya dan dia hanya merasa kasihan kepada suaminya yang semasa hidupnya terlalu mengejar kesenangan, mengumbar nafsu dan bertindak angkara murka dan sewenang-wenang sehingga akhirnya menemui kematian yang menyedihkan, dan kasihan kepada anak-anaknya yang sekarang menanggung akibat perbuatan Ayah mereka.

   "Kakangmas Bromatmojo... maafkan aku... kalau begitu... Kakangmas Sutejo dan Mbakayunya tidaklah terlalu salah... mereka tentu mata gelap dan menaruh dendam sedalam lautan kepada Ayah. Ahh, Kakangmas, setelah Kakangmas mengetahui itu semua, mengetahui betapa kejamnya Ayah kami... tentu... tentu Kakangmas menganggap kami keturunan dari keluarga rendah..."

   Gadis itu menangis makin sedih sampai terisak-isak.

   Bromatmojo memandang dengan penuh iba. Dia maklum apa yang menjadi gejolak hati dara ini. Jelaslah bahwa Roro Kartiko jatuh cinta kepadanya! Karena cintanya,maka gadis itu khawatir kalau-kalau dia akan memandang rendah kepadanya karena Ayahnya, khawatir kalau cintanya takkan terbalas. Ah, hal seperti ini tidak boleh berlarut-larut, pikirnya. Roro Kartiko seorang dara yang baik sekali,tidak semestinya kalau dia permainkan, tidak boleh menjadi korban cinta yang salah alamat ini! Maka dia lalu memegang tangan gadis yang masih terisak-isak itu, lalu menariknya berdiri.

   "Diajeng, mari kita bicara berdua saja di tempat lain, apakah kau mau...?"

   Roro Kartiko yang masih dipegang tangannya itu mengangkat muka dan memandang dengan wajah basah oleh air mata dan rambutnya kusut. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, gadis itu malah kelihatan cantik, kecantikan yang wajar dan asli.

   Dia mengangguk pasrah, sungguhpun kedua pipinya menjadi merah sekali karena tangannya masih belum dilepaskan oleh Bromatmojo. Joko Handoko juga memandang,akan tetapi lalu membuang muka, pura-pura tidak tahu karena dia tidak mau membikin malu Adiknya.

   "Akan tetapi aku harus minta ijin Ibumu lebih dulu. Mari..."

   Bromatmojo lalu menuntun tangan Roro Kartiko menghampiri Ibu gadis itu yang masih duduk menginang di bawah pohon dan kini memandang kedatangan mereka berdua dengan wajah cerah.

   "Kanjeng Bibi, bolehkah saya mengajak Diajeng Roro untuk bicara berdua di depan sana? Kami ingin membicarakan urusan penting dan tidak ingin terlihat atau terdengar oleh orang lain."

   Sariningrum memandang sejenak kepada mereka berdua, lalu mengangguk dan tersenyum! Bukan main girangnya hati Roro Kartiko dan ingin dia menubruk, merangkul dan mencium Ibunya untuk menyatakan terima kasihnya! Akan tetapi dia malu untuk melakukan ini, maka hanya memandang Ibunya dengan mata bersinar-sinar. Kemudian mereka berdua meninggalkan tempat itu dan lenyap di antara gerombolan pohon dalam cuaca yang sudah mulai remang-remang itu. Semua orang mengikuti mereka dengan pandang mata penuh kemesraan sampai mereka berdua lenyap.

   Setelah berdua saja di antara pohon-pohon, tidak nampak dari tempat tadi,Bromatmojo memegang kedua tangan Roro Kartiko dan memandang wajahnya. Gadis itu menunduk, merasa jengah dan malu, namun jantungnya berdebar tegang tidak karuan,menduga-duga apa yang akan dikatakan atau dilakukan oleh pemuda tampan seperti Arjuno ini.

   "Diajeng Roro, katakanlah sebenarnya, apakah kau cinta kepadaku?"

   Tentu saja Roro Kartiko merasa malu sekali. Memang dia jatuh cinta kepada pemuda ini, akan tetapi sebagai seorang perawan, mana mungkin dia menjawab pertanyaan itu? Bukankah wanita itu menyimpan cintanya di lubuk hatinya, diselimuti oleh kesusilaan dan hanya pasrah menanti saja, menikmati cinta kasihnya secara diam-diam bahkan kepada orang yang dicintanya pun tidak diperlihatkan secara nyata? Bukankah cinta kasih terpendam dan menjadi rahasia pribadinya ini malah lebih dapat dinikmatinya daripada kalau dibuka secara terang-terangan dan menjadi hambar karenanya, karena sudah tidak ada ketegangan yang terkandung dalam setiap rahasia lagi?

   "Bagaimana, Diajeng? Kita sekarang sudah bertemu empat mata, berdua saja di sini, tidak ada yang melihat atau mendengar. Nah, katakanlah terus terang, apakah engkau cinta padaku?"

   Beberapa kali Roro Kartiko menggerakkan bibirnya, akan tetapi tidak ada suara yang keluar. Sukar sekali bagi seorang wanita yang sejak kecil dididik untuk memegang teguh kesusilaan untuk membuka mulut mengaku cinta kepada seorang pemuda, biar pun perasaan cinta sudah menguasainya sepenuh hatinya. Maka akhirnya karena tidak berhasil mengeluarkan suara, dia hanya mengangkat muka memandang sejenak, lalu mengangguk dan tunduk kembali. Denyut jantungnya terasa sampai ke ubun-ubun kepalanya!

   "Jangan kaget, Adikku yang manis. Sungguh pun aku sama sekali tidak ingin mengecewakan hatimu, akan tetapi sungguh mati aku tidak mungkin dapat membalas cintamu itu, Roro Kartiko. Karena sesungguhnya aku... aku telah jatuh cinta kepada seorang lain..."

   Muka Roro Kartiko seketika menjadi pucat dan matanya terbelalak menatap wajah pemuda itu, maka melihat hal ini, Bromatmojo cepat melanjutkan.

   "aku telah jatuh cinta sejak dulu kepada... Kakang Sutejo!"

   "Ihhh...!!"

   Roro Kartiko melangkah mundur sampai tiga tindak, wajahnya sebentar pucat sebentar merah dan dia menatap wajah Bromatmojo seperti melihat setan di tengah hari, penuh kekagetan, penuh keheranan.

   "Apa ... apa yang kau katakan ini?"

   Dia berhasil mengeluarkan kata-kata dengan gagap.

   "Akan tetapi dia... dia seorang pria..."

   "Tentu saja! Karena dia seorang prialah maka aku mencintainya, dan karena kau seorang wanitalah maka aku tidak mungkin dapat membalas cintamu. Roro Kartiko, mendekatlah dan lihat baik-baik, aku siapa?"

   Bromatmojo telah menangkap tangan dara itu, menariknya dan mendekapnya. Roro Kartiko meronta, akan tetapi Bromatmojo tetap memeluknya.

   "Bocah ayu yang bodoh... apakah kau tidak tahu bahwa aku pun seorang wanita...?"

   "Ihhh...!!"

   Roro Kartiko meronta dengan keras dan berhasil melepaskan pelukan Bromatmojo. Tangan kanannya menutupi bibirnya agar dia tidak menjerit, matanya terbelalak memandang Bromatmojo dan bibirnya menggigil.

   "Aku... aku tidak percaya...!"

   Sepasang mata yang indah jeli itu makin terbelalak saja ketika melihat Bromatmojo perlahan-lahan membukai kancing bajunya dan tak lama kemudian sepasang mata itu memandang dengan penuh keheranan sepasang buah dada di dada "pemuda"

   Tampan itu, jelas merupakan sepasang buah dada wanita muda yang tidak kalah indah bentuknya dengan dia punya sendiri! Tak dapat diragukan lagi bahwa Bromatmojo adalah seorang wanita!

   "Hi-hik, Adikku yang baik, bagaimana aku dapat menjadi suamimu?"

   Bromatmojo atau Sulastri itu tertawa geli.

   Roro Kartiko mengalihkan pandang matanya, dari dada ke mata Sulastri, sejenak mereka saling pandang dan meledaklah suara ketawa Roro Kartiko. Gadis ini lalu berlari kembali ke tempat tadi dan suara ketawanya masih terdengar terus menerus seperti orang kegelian. Sulastri merasa khawatir dan setelah membereskan bajunya dia lari mengejar.

   "Ha-ha-ha, heh-heh...! Dia... dia seorang wanita... hi-hi-hik...! Bromatmojo seorang wanita...!"

   Gadis itu berkata kepada ibu dan kakaknya sambil terus tertawa-tawa akan tetapi suara ketawanya itu makin lama kedengarannya seperti suara orang menangis dan akhirnya gadis itu menangis tersedu-sedu!

   Kalau saja Roro Kartiko tidak pernah mendapat gemblengan batin ketika dia mempelajari aji-aji kesaktian, mungkin saja dia bisa menjadi gila oleh pukulan batin yang tiba-tiba dan amat hebat itu. Bermacam perasaan teraduk di dalam hatinya. Ada rasa terharu, rasa malu, kecewa dan juga geli. Akan tetapi rasa kecewa yang lebih besar sehingga biarpun dia ingin sekali tertawa akan tetapi akhirnya dia menangis!

   Bromatmojo mendekati dan memeluknya.

   "Tenanglah, Adikku, tenanglah dan karena kau telah membuka rahasiaku kepada yang lain, maka biarlah hanya keluargamu dan anggauta Sriti Kencana ini saja yang tahu. Selanjutnya aku tetap Kakangmas Bromatmojo bagimu dan kau Adikku Diajeng Roro Kartiko."

   "Hi-hik... hu-huuhhh..."

   Roro Kartiko merangkul Bromatmojo dan menangis di atas dadanya. Bromatmojo mencium pipi yang halus itu.

   "Sebagai Kakak dan Adik, kita masih dapat saling mencinta, bukan?"

   Bisiknya.

   Joko Handoko dan ibunya menghampiri mereka sedangkan para anggauta Sriti Kencana saling bisik-bisik sendiri, terutama sekali mereka mendengarkan cerita Ayu Kunthi yang menceritakan betapa dahulu mereka pernah "merayu"

   Bromatmojo yang mereka kira juga pria itu. Dan mereka tertawa-tawa sendiri setelah kini mereka mendengar bahwa pemuda yang terlalu tampan itu adalah seorang wanita! "Dimas... eh... Diajeng Bromatmojo..."

   Joko Handoko berkata gagap dan bingung.

   Bromatmojo tersenyum manis kepadanya.

   "Kakangmas Joko, harap kau tetap menyebut aku Dimas Bromatmojo saja sungguh tidak pantas kalau Diajeng Bromatmojo, karena nama itu adalah nama pria, bukan?"

   Joko Handoko juga tersenyum. Kiranya pemuda tampan yang mengagumkan itu adalah seorang gadis, gadis yang riang jenaka pula! "Harap kau maafkan, karena aku sendiri tidak pernah menduga bahwa engkau seorang wanita maka... ah, mungkin sikapku kurang hormat..."

   "Jangan berkata demikian, Kakangmas Joko. Laki-laki atau perempuan tidak ada bedanya bagi orang-orang yang bersahabat, bukan?"

   Kata Bromatmojo.

   "Hehhh, dasar kalian anak-anak yang bodoh. Sejak tadi aku sudah tahu bahwa dia ini seorang wanita. Kalau tidak, masa aku membolehkan dia mengajak Roro berdua saja ke tempat sunyi? Dan kalian malah sudah lama berkenalan. Hemm, anak muda sekarang memang bodoh!"

   Tiba-tiba Ibu mereka berkata.

   Joko Handoko merasa heran sekali mengapa tiba-tiba dia merasa canggung dan malu, maka dia lalu menjauhkan diri dan sikapnya termenung. Setelah Joko Handoko menjauh, Roro Kartiko yang sudah menyusut kering air matanya dan kini merangkul pinggang Bromatmojo yang ramping itu dengan sikap mesra, bertanya kepada ibunya,wajahnya sudah cerah dan biarpun bekas air matanya masih membasahi pipi, namun bibirnya tersenyum.

   "Ibu , bagaimana Ibu dapat menduga bahwa dia ini wanita?"

   Ibu itu melirik ke arah Joko Handoko yang berdiri cukup jauh, kemudian setelah memadang ke arah tujuh orang anggauta Sriti Kencana yang kini mendekat, dia berkata sambil tersenyum.

   "Kalian orang-orang muda memang kurang waspada dan kurang perhatian. Lihat saja, bukit pinggul wanita adalah bulat lebar dan menonjol rata, sedangkan bukit pinggul pria meruncing seperti kukusan atau trepes. Hanya pria gemuk saja yang kadang-kadang mempunyai pinggul menyerupai pinggul wanita. Karena Nakmas Bromatmojo bukan seorang pria gemuk, maka pinggulnya yang indah penuh dan bulat itu menunjukkan bahwa dia adalah seorang wanita, seorang perawan. Tentu saja, dengan melihat pinggulnya saja aku sudah menduganya, apalagi ditambah oleh ketampanannya yang amat luar biasa itu, mudah saja bagiku, sama dengan dua ditambah dua menjadi empat!"

   Semua orang tertawa dan Bromatmojo lalu mengeluh,

   "Wah, kalau begini tidak ada gunanya lagi menyamar! Untungnya menyamar pria belum ada, dan ruginya sudah jelas sekali, pertama : Diajeng Roro Kartiko tergila-gila kepadaku dan banyak lagi wanita lain yang tertarik,"

   Dia mengerling ke arah sekelompok wanita anggauta Sriti Kencana dan Ayu Kunti menjadi merah mukanya.

   "dan ke dua..."

   Dia tidak melanjutkan, wajahnya berubah merah dan sinar matanya kelihatan lesu.

   Roro Kartiko berbisik.

   "... adi dia belum tahu?"

   Bromatmojo menggeleng. Hanya mereka berdua saja yang mengerti apa artinya tanya jawab terakhir ini.

   "Mbakayu... eh, Kakangmas Bromatmojo, aku ingin sekali melihat engkau kalau berpakaian wanita. Mari kupinjami pakaianku..."

   Roro Kartiko memaksa-maksa dan untuk menghibur hati gadis yang "patah hati"

   Karena cinta yang salah alamat itu, Sulastri mau saja berganti pakaian wanita dan dibantu oleh Roro Kartiko dia menyanggul rambutnya. Setelah selesai, Roro Kartiko bertepuk tangan memuji.

   "Bukan main! Engkau... engkau cantik sekali!"

   Serunya. Ibunya mengangguk-angguk.

   "Memang manis dan kewes, gagah dan luwes, seperti Srikandi!"

   Joko Handoko yang dipanggil oleh adiknya dan datang mendekat, memandang kepada Sulastri dengan melongo ketika adiknya memperkenalkan. Dia sendiri terkejut dan kagum melihat bahwa Bromatmojo sesungguhnya adalah seorang gadis yang demikian cantik jelita dan manisnya! Dia hanya mengangguk kaku, kemudian duduk di atas rumput dan mulai membuat api unggun dengan umpan daun-daun dan kayu kering yang tadi dikumpulkan oleh para anggauta Sriti Kencana. Senja telah larut dan cuaca makin suram, bahkan kegelapan mulai menyusup di antara cabang-cabang pohon. Api unggun yang kini bernyala besar itu amat berguna bagi mereka. Pertama untuk memberi cahaya penerangan, ke dua untuk menghangatkan badan melawan hawa dingin yang mulai menyusup datang, dan ke tiga untuk mengusir nyamuk dan menakut-nakuti binatang buas yang mungkin datang mengganggu.

   Setelah mereka makan dari perbekalan dan ibu kedua orang kakak beradik itu mengaso sambil rebahan di bawah pohon, dijaga dan ditemani oleh tujuh orang anggauta Sriti Kencana yang sebagian lagi melakukan penjagaan di empat penjuru,tiga orang muda itu bercakap-cakap di dekat api unggun.

   "Diajeng... eh, sungguh canggung menyebutmu Dimas Bromatmojo dalam pakaian seperti sekarang ini,"

   Kata Joko Handoko yang sudah mulai dapat melenyapkan rasa gugup dan malunya.

   "Bolehkah kami mengetahui nama aslimu?"

   "Namaku Sulastri, dan karena aku mulai menyamar pria ketika turun dari Gunung Bromo tempat pertapaan Eyang Empu, maka aku menggunakan nama Bromatmojo,"

   Jawab Sulatri.

   "Diajeng Sulastri, sungguh untung sekali kami bertemu denganmu. Akan tetapi,mengapa bisa begini kebetulan? Andika sedang hendak pergi ke manakah dan datang dari mana?"

   Tanya Joko Handoko.

   "Aku pulang dari Pegunungan Pandan, mencari Guruku,"

   Jawab gadis itu.

   "Bukankah Gurumu Empu Supamandrangi di Bromo?"

   Roro Kartiko bertanya.

   "Itu adalah Guruku yang ke dua. Atau katakanlah Guru ke tiga. Guruku yang pertama adalah mendiang Adipati Ronggo Lawe yang belum pernah sempat mendidikku,dan Guruku kedualah yang kucari di Pegunungan Pandan itu. Dia adalah yang terkenal dengan nama Ki Jembros."

   "Ki Jembros? Ah, yang juga terkenal dinamakan Setan Jembros?"

   "Kau tahu di mana dia, Kakangmas Joko?"

   Sulastri bertanya penuh harapan ketika mendengar bahwa pemuda itu mengenal nama Gurunya.

   Joko Handoko mengangguk dan menunduk, jawabannya datar.

   "Ketika Senopati Lembu Sora memberontak kira-kira empat tahun yang lalu, dibantu oleh Raden Gajah Biru dan Juru Demung..."

   "Ya, kedua orang Paman itulah yang ketika itu berada di Pegunungan Pandan bersama teman-teman mereka!"

   Sulastri berkata girang.

   "Dan Guruku tinggal beristirahat bersama mereka."

   "Mereka menyerbu ke Mojopahit dibantu oleh Ki Jembros dan mereka semua telah tewas..."

   "Eyang Jembros...?"

   "Menurut cerita, Ki Jembros yang terakhir tewas dikeroyok oleh Resi Mahapati,Resi Harimurti dan Empu Tungjungpetak yang juga tewas oleh Ki Jembros."

   "Eyang...!!"

   Sulastri menjerit dan menangislah gadis ini dengan sedih. Kakak beradik itu membiarkan Sulastri menangis. Terasa perih hati Sulastri mendengar gurunya itu tewas. Teringatlah dia akan semua kebaikan Ki Jembros kepadanya dan makin terasalah kesunyian menyusup hatinya, teringat akan nasibnya yang terpaksa harus berpisah dari Sutejo sebagai musuh!

   Orang-orang yang menangisi orang mati selalu terdorong oleh perasaan iba diri,oleh perasaan kasihan kepada dirinya sendiri yang merasa ditinggalkan, merasa kehilangan dan sebagainya. Sama sekali bukan menangis karena kasihan kepada Si Mati, karena kita yang tidak tahu apa jadinya sesudah mati, bagaimana bisa menaruh kasihan kepada orang mati? Yang jelas, kita menangis dan berkabung karena merasa kasihan kepada diri kita sendiri yang ditinggal oleh Si Mati. Akan tetapi sayang, jarang yang ingat akan kebenaran ini sehingga banyak air mata terbuang sia-sia, banyak kedukaan diderita tanpa ada gunanya dan banyak kepalsuan dipamerkan tanpa disadari.

   Sulastri adalah seorang dara yang masih polos dan wajar. Hanya sebentar saja rasa duka mencekam hatinya karena tak lama kemudian dia sudah dapat mengatasinya, termenung sejenak kemudian berkata sambil melihat pakaian yang dipakainya,"Untung aku sudah menjadi wanita, kalau masih menjadi pria tentu akan sukar untuk menangis sepuasnya. Kalau menangis tentu akan ketahuan juga!"

   Dia tersenyum dengan pipi masih basah air mata!

   Roro Kartiko tersenyum dan menggoda.

   "Aih, engkau ini sungguh seorang yang aneh luar biasa! Belum juga berhenti tangisnya sudah tertawa!"

   "Lebih enak begini, tidak menahan-nahan perasaan seperti kalau menjadi pria,"

   Jawab Sulastri.

   "Kalau begini, mau menangis, mau tertawa, menurut sekehendak hatiku."

   Joko Handoko juga memandang heran, lalu cepat mengalihkan pandang matanya ketika gadis itu memandang kepadanya, takut kalau disangka memandang tak pernah berhenti. Seorang gadis yang hebat, pikirnya, demikian sakti, demikian lincah gembira, dan wataknya polos, aneh dan amat menarik hati!

   Memang tangis kadang-kadang merupakan jalan keluar untuk peluapan duka dan setelah orang menangis menumpahkan semua perasaan duka, pikiran menjadi kosong,hati menjadi lega dan orang lalu condong untuk mudah tertawa dan mudah gembira! Sebaliknya, orang yang terlalu gembira, tertawa-tawa sampai keluar air matanya! Kiranya jelas bahwa ada hubungan yang amat dekat, bahkan erat antara tawa dan tangis. Betapa besar manfaatnya bagi hidup kalau kita menyadari kenyataan ini setiap saat.

   Semenjak Adipati Ronggo Lawe gugur ketika berperang melawan Mojopahit, memang sudah ada rasa tidak senang dalam hati Sulastri terhadap Mojopahit, apalagi karena Reksosuro dan Darumuko adalah orang-orang Mojopahit. Ketika dia ikut bersama Ki Jembros dan bertemu dengan Gajah Biru dan Juru Demung, kembali dia mendengar tentang ketidakadilan di Mojopahit sehingga orang-orang itu memberontak. Biarpun semua perasaan kurang senang terhadap Mojopahit ini dibikin mereda oleh nasihat-nasihat Empu Supamandrangi dan oleh pesan Eyang Gurunya itu untuk menyerahkan Kolonadah kepada Pangeran Mahkota di Mojopahit, namun kenyataannya sekarang membuat rasa tidak senang itu timbul kembali. Tewasnya Ki Jembros, kakek yang disayangnya itu pun oleh orang-orang Mojopahit, dan lebih lagi, Sutejo telah terbujuk oleh Mahapati pula.

   Maka terdapat kecocokan antara dia dan kakak beradik itu yang mendendam kepada para ponggawa di Mojopahit.

   "Sang Prabu yang sudah amat sepuh itu ternyata kurang bijaksana dan lemah,"

   Demikian antara lain Joko Handoko berkata ketika mereka bertiga mengadakan perundingan di sekeliling api unggun itu.

   "Dengan adanya isteri beliau dari Melayu itu, maka terpecahlah para senopatinya dan banyak senopati yang semenjak dahulu setia kepada Beliau, kini merasa kurang senang. Apalagi setelah Pangeran Kolo Gemet diangkat sebagai Pangeran Pati.

   Pangeran itu bukanlah keturunan dari Sang Prabu Kertanegara, padahal sebagian besar dari para Senopati Sepuh adalah para pengikut Sang Prabu Kertanegara yang tentu saja ingin melihat keturunan Sang Prabu Kertanegara memegang tampuk Kerajaan Mojopahit. Keadaan di kota raja sudah panas sejak dahulu, secara diam-diam telah terjadi perpecahan di antara para senopati. Mereka itu hanya karena rasa sayangnya kepada Sang Prabu, maka masih menyimpan rasa tidak senangnya itu."

   "Dalam keadaan seperti itu tentu muncul orang-orang yang mementingkan diri pribadi, orang-orang yang menyeleweng seperti Resi Mahapati dan... dan... mendiang Ayah,"

   Kata pula Roro Kartiko.

Sulastri memegang tangan dara itu.

   "Sudahlah, jangan menyebut lagi nama Ayahmu yang sudah tidak ada. Tentang Resi Mahapati, memang aku menduga bahwa dia adalah orang yang tidak baik. Sayang sekali bahwa kakak dari Kakang Sutejo telah menjadi selirnya, bahkan sekarang Kakang Sutejo terbujuk dan membantunya. Mahapati adalah pembunuh guruku Eyang Jembros, maka aku harus dapat membalasnya kelak."

   Joko Handoko memandangnya dengan penuh selidik.

   "Harap kau hati-hati, Diajeng Sulastri. Mahapati itu adalah seorang yang memiliki kesaktian tinggi, apalagi setelah ternyata Sutejo adalah Adik iparnya. Aku tahu Sutejo memilki kepandaian yang hebat pula. Dan di Mojopahit terdapat banyak orang-orang sakti, bahkan Guru kami, Resi Harimurti, juga menjadi pembantu Mahapati. Engkau hendaknya jangan sembrono untuk menyerbu ke sana."

   Sulastri menggeleng kepala.

   "Tidak, aku pun tidak sebodoh itu, Kakangmas Joko. Aku akan menanti saat yang baik dan tepat, dan sekarang yang penting bagiku adalah mencari pusaka Kolonadah yang hilang."

   "Menurut pendapatku, pusaka itu tentu telah dibawa oleh Ki Ageng Palandongan."

   Sulastri mengangguk-angguk.

   "Kurasa pun begitulah.

   Eyang Empu memesan kepadaku untuk menyerahkan pusaka itu kepada Pangeran Pati. Akan tetapi melihat perkembangan keadaan, aku sendiripun merasa tidak cocok kalau Mojopahit dipegang oleh bukan keturunan mendiang Sang Prabu Kertanegara. Aku berfihak kepada mendiang Guruku Adipati Ronggo Lawe dan para pemberontak lain. Oleh karena itu,mengingat bahwa pusaka Kolonadah tadinya adalah milik Adipati Ronggo Lawe, maka aku akan menyelidiki apakah benar kini terjatuh ke tangan Ki Ageng Palandongan. Kalau benar demikian, aku hanya akan mengajak Ki Ageng Palandongan untuk berunding, kepada siapa sebaiknya pusaka itu diserahkan, karena beliau adalah mertua Adipati Ronggo Lawe."

   Kakak beradik itu mengangguk-angguk.

   "Pendapatmu itu bijaksana, mbakayu Sulastri,"

   Kata Roro Kartiko.

   "Menurut perhitunganku, tentu Ki Ageng Palandongan melarikan diri ke Lumajang karena semenjak gugurnya Adipati Ronggo Lawe, dia pun boyongan ke sana dan tentu berlindung di bawah kekuasaan Adipati Wirorojo, dan memang semua sisa anak buah Adipati Ronggo Lawe dan Senopati Lembu Sora juga berkumpul di Lumajang."

   "Aku memang hendak menyusul ke sana."

   "Kami pun bermaksud hendak ke sana, Diajeng Sulastri. Kami rasa, hanya di Lumajang sajalah tempat paling aman bagi kami sekarang ini,"

   Kata Joko Handoko.

   "Ah, kalau begitu, sungguh kebetulan. Kita dapat melakukan perjalanan bersama ke Lumajang!"

   "Tidak ada hal yang lebih baik daripada itu!"

   Roro Kartiko berseru sambil memegang tangan Sulastri.

   "Akan tetapi aku akan menyamar sebagai pria lagi, Diajeng, dan jangan lupa, kau harus menyebutku Kakangmas Bromatmojo, pria yang kau cinta..."

   "Hushhh!"

   Roro Kartiko mencubit lengan Sulastri keras sekali sampai Sulastri menjerit-jerit minta ampun baru dilepaskan. Ke manakah perginya Ki Ageng Palandongan? Memang tepat dugaan semua orang bahwa Ki Ageng Palandongan melarikan diri dari Tuban, langsung menuju ke Lumajang dengan mengambil jalan memutar ke selatan dan menjauhi Kota Raja Majapahit.

   Keris pusaka Kolonadah yang dahulu dimiliki mendiang mantunya itu masih terbungkus kain kuning dan disembunyikan di bawah jubahnya, terselip dan diikat pada pinggangnya dengan kuat. Dia berjanji di dalam hatinya untuk melindungi keris pusaka itu dengan seluruh jiwa raganya. Dia mengerti bahwa banyak orang menghendaki keris pusaka yang merupakan keris pegangan raja itu. Tentu Sang Prabu di Mojopahit sendiri menghendakinya, untuk diserahkan kepada Putera Mahkota kelak, dan juga Mahapati menghendakinya melalui Progodigdoyo. Belum lagi golongan-golongan lain, adipati-adipati dan raja-raja kecil yang sudah mendengar tentang pusaka itu. Maka dia harus menjaganya dengan hati-hati sekali dan menyerahkan kepada Adipati Wirorojo, besannya yang kini menjadi Adipati Lumajang dengan kekusaan besar dan telah berdiri sendiri itu. Terserah nanti kepada keputusan Sang Adipati hendak dikemanakan keris itu.

   Ki Ageng Palandongan jalan menyusup-nyusup hutan melalui pegunungan kidul,sengaja mencari jalan yang sunyi. Pada suatu pagi, jauh sekali di daerah selatan dari wilayah Mojopahit yang hampir tak pernah tersentuh kekuasaan Mojopahit karena terpencil, Ki Ageng Palandongan berjalan perlahan melalui sebuah dusun yang rakyatnya hidup sederhana dan serba kekurangan karena memang daerah selatan ini merupakan daerah yang kurang subur tanahnya, penuh dengan bukit-bukit gamping. Selagi dia berjalan seenaknya karena kedua kakinya sudah terasa lelah, dia mendengar suara suling di sebelah depan.

   Suara suling yang amat merdu dan mendengar jenis lagunya, dia merasa curiga karena agaknya

   


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KERIS MAUT

PENDEKAR GUNUNG LAWU

KEMELUT DI MAJAPAHIT