KEMELUT DI MAJAPAHIT JILID 18
malam dia makan sendiri. Resi Mahapati menyambut kedatangannya dengan senyum.
"Wah, pakaianmu indah sekali, Nakmas Bupati,"
Kata Sang Resi dan memang pagi itu Progodigdoyo memakai pakaian serba baru sehingga dia nampak makin gagah. Lestari yang juga hadir dalam makan siang itu tersenyum saja dan ketika mereka bertemu pandang, di luar tahu Resi Mahapati Lestari mencibir dengan lagak menantang cium kepada Progodigdoyo.
"Ah... eh, biasa saja, Paman Resi..."
Katanya gagap lalu duduk menghadapi meja makan dan mereka makan bersama. Sejak tadi Resi Mahapati yang teringat akan rengekan kekasihnya semalam, memperhatikan Progodigdoyo, akan tetapi bupati ini dengan pandainya menyembunyikan perasaannya dan jarang sekali dia mengerling ke arah Lestari.
"Nakmas Bupati, sudah tiga minggu Andika berada di Mojopahit. Apakah Andika tidak ditunggu-tunggu oleh urusan pemerintahan di Tuban?"
"Ah... masih ada sedikit urusan, Paman Resi. Dalam beberapa hari ini saya akan kembali ke Tuban,"
Katanya sambil mengerling ke arah Lestari, akan tetapi karena lirikannya ini biasa saja, Resi Mahapati pun tidak menaruh curiga. Dalam pandangannya, Bupati Tuban ini tetap sopan seperti biasa, tidak ada apa-apa yang mencurigakan. Tentu hanya karena watak manja Lestari saja yang semalam melapor yang bukan-bukan.
Tak lama kemudian, lewat tengah hari, seperti biasa Resi Mahapati memasuki kamarnya ditemani oleh Lestari. Selir yang tercinta ini memijiti kaki Sang Resi dan tak lama kemudian mendengkurlah Resi Mahapati. Lestari lalu turun dari atas pembaringan dan keluar kamar memanggil empat orang emban kepercayaannya. Mereka mempersiapkan segala keperluan untuk mandi Sang Puteri terkasih itu, kemudian dengan diiringkan oleh empat orang emban itu, Lestari meninggalkan keputren dan menuju ke taman untuk pergi ke pemandian. Dan untuk perjalanan ini, tentu saja dia harus melewati ruangan tengah di mana Bupati Progodigdoyo sudah duduk menunggu sejak tadi. Melihat Lestari lewat, Progodigdoyo cepat bangkit berdiri dan mengangguk dengan hormat, sedangkan Lestari membalas penghormatan itu dengan senyum ramah, akan tetapi tidak berhenti dan melanjutkan langkahnya diikuti para emban. Progodigdoyo tersenyum dan mengurut kumisnya melihat gerak pinggul Lestari yang seperti menggapai-gapai kepadanya itu!
Dia menanti sebentar. Setelah kira-kira wanita dan para emban itu sudah tiba di pemandian, barulah dia berjalan, dengan perlahan, seenaknya agar tidak menarik perhatian para penjaga, lalu memasuki taman. Untung bahwa di taman itu sunyi tidak nampak penjaga, dan hal ini memang sudah diketahui baik oleh Lestari sebelum dia mengatur rencananya, maka dengan mudah Progodigdoyo lalu menyelinap di antara rumpun di taman itu, menghampiri tembok yang mengurung tempat pemandian itu.
Jantungnya berdebar penuh ketegangan dan penuh harapan. Progodigdoyo sudah berusia hampir lima puluh tahun, namun dia adalah seorang laki-laki yang bertubuh kuat dan berhati muda. Sudah banyak dia bermain cinta dengan segala macam wanita, namun tidak ada wanita yang benar-benar memikat hatinya seperti Lestari ini! Wanita muda ini mirip benar dengan Galuhsari, wanita yang dicintanya di waktu dia masih perjaka, dan kini Lestari menjanjikan kemesraan yang luar biasa! Belum pernah ada wanita baik-baik bersikap mesra dan berani seperti Lestari, yang dalam ciuman pertama sudah menggerakkan bibir membalas ciumannya dengan mesra. Yang pernah dan berani melakukan hal seperti itu hanyalah wanita-wanita pelacur, akan tetapi dia tahu bahwa semua itu hanya palsu belaka. Dan kini Lestari kiranya telah mencintanya! Dan dia makin nikmat membayangkan betapa Lestari tentu akan puas bermain cinta dengan dia yang masih kuat dan gagah perkasa, setelah sembilan tahun lamanya setiap hari dikecewakan oleh pelukan seorang tua bangka yang loyo!
Dengan kesaktiannya, mudah saja bagi Progodigdoyo untuk merayap naik ke atas tembok pemandian. Ketika dia berjongkok di atas tembok, sudah nampak olehnya Lestari sedang mandi kungkum (membenamkan tubuh) dalam air jernih kolam pemandian itu. Rambutnya terlepas, hitam panjang dan halus, kulit tubuhnya dari dada ke atas sampai kedua lengannya nampak halus kuning bersih dan halus. Dadanya yang menonjol itu hanya tertutup tapih pinjung, yaitu kain tipis yang menutupi dada sampai ke bawah, tanpa dibelit kemben (ikat pinggang), lepas-lepas saja dan dengan sekali gerakan saja akan terlepaslah kain itu!
Lestari tersenyum dan melambaikan tangannya. Tangan kanan menggapai dengan isyarat menyuruh Progodigdoyo turun, sedangkan telunjuk tangan kiri ditaruh di depan bibir tanda agar pria itu tidak membuat gaduh. Melihat senyum itu, Progodigdoyo lalu meloncat turun, ke sebelah dalam, lalu berindap-indap mendekat.
"Kakangmas..."
Lestari berseru lirih dengan mesra dan membuka kedua lengannya, kedua lengan mengembang seolah-olah hendak memeluk tubuh pria itu dan kain itu hampir terlepas dipermainkan air yang sepinggang dalamnya.
"Lestari..."
Progodigdoyo berseru lirih pula penuh kegembiraan dan saking besarnya hasrat yang mendorongnya, bupati ini lupa diri dan dengan pakaian masih lengkap dia langsung saja terjun ke dalam kolam air!
"Hi-hi-hik! Pakaianmu basah semua... hemmmmmppp..."
Lestari tidak dapat melanjutkan ketawa dan kata-katanya karena dia sudah dipeluk oleh Progodigdoyo dan mulutnya diciumi penuh nafsu oleh pria itu.
Progodigdoyo tidak tahu bahwa sejak dia meloncat turun tadi, seorang di antara empat orang emban yang berada di luar dan pura-pura tidak tahu namun sebenarnya mengintai dan melihat gerakan Progodigdoyo, kini berlari-lari melalui taman menuju ke kamar di mana Resi Mahapati sedang tidur mendengkur.
Sang Resi Mahapati meloncat bangun dari tempat tidurnya ketika dia mendengar suara emban yang menggugahnya. Matanya melotot marah ketika dia tidak melihat Lestari melainkan emban yang berani menggugahnya.
"Keparat, kau sudah bosan hidup? Berani benar kau mengganggu tidurku?"
"Ampunkan hamba..."
"Di mana gusti puterimu?"
"Hamba... hamba hendak melaporkan... gusti puteri sedang siram (mandi) di pemandian... dan... hendaknya paduka ketahui... di dalam pemandian terdapat seorang pencuri...!"
Karena masih setengah mengantuk, Resi Mahapati bersikap acuh tak acuh.
"Maling? Beri tahu penjaga. Maling masuk di pemandian mau mengambil apa? Mau mencuri airkah?"
"Tapi... gusti puteri sedang siram di sana..."
"Wahh..., benar juga! Dan maling itu laki-laki atau perempuan?"
"Laki-laki..."
"Babo-babo, keparat!"
Resi Mahapati meloncat lagi dan hendak lari ke pintu,karena dia tergesa-gesa dia sampai lupa bahwa dia masih setengah telanjang! Memang kebiasaan Resi ini untuk tidur tanpa pakaian.
"Maaf... paduka lupa..."
Emban itu menahan ketawa sambil menuding ke arah tubuh Sang Resi.
"Eh, celaka hampir aku malu. Kenapa tidak dari tadi kau bilang? Hayo ambilkan celanaku...!"
Sambil menahan ketawa emban yang muda dan cantik itu mengambil celana dan baju Sang Resi.
Terpaksa emban itu membantu Sang Resi mengenakan pakaiannya dan karena mereka begitu berdekatan, baru tampak oleh Sang Resi betapa emban ini memilki kulit yang halus dan kuning. Tiba-tiba saja dia merangkul dan mencium pipinya.
"Eh..., eh...!"
Emban itu menjerit kecil.
"Denok, apakah engkau pernah melayani aku di pembaringan?"
Sang Resi bertanya sambil meraba sana-sini sehingga emban itu menjadi kegelian.
"Be... belum..."
Jawabnya.
"Ha-ha, kalau begitu sewaktu-waktu engkau harus melayani aku. Kau manis denok..."
Sang Resi Mahapati yang memang mata keranjang itu agaknya lupa akan pelaporan tadi dan mulai membelai.
"Akan tetapi... maling itu..."
"Eh, maling? Oya, keparat jahanam, dia harus mampus!"
Dan Pendeta itu meloncat keluar dari dalam kamar, langsung dia berlari menuju ke taman dan tempat pemandian.
Sementara itu setelah memeluk tubuh yang padat dan basah air pemandian, yang hanya terbungkus kain tipis sehingga terasa olehnya lekuk lengkung tubuh itu, biar pun basah namun masih terasa kehangatan yang membakar, apalagi ketika merasa betapa bibir dan lidah wanita cantik itu menyambut ciuman-ciumannya, nafsu berahi telah berkobar-kobar membakar seluruh tubuh Progodigdoyo.
"Lestari... kekasihku... dewiku..."
Bisiknya dengan gemetar, jari tangannya meraba-raba.
"Hi-hik, kau lupa... Kakangmas... pakaianmu..."
Lestari berbisik manja dan jari-jari tangannya yang runcing halus itu membantu Sang Bupati membukai kancing bajunya. Dengan tergesa-gesa Progodigdoyo menanggalkan pakaiannya, menjadi setengah telanjang dan dia sudah memondong tubuh Lestari, hendak dibawanya keluar dari dalam air menuju ke bagian yang lebih dangkal.
Lestari melirik ke kiri dan dia melihat seorang emban telah memberi isyarat dari balik daun pintu gapura pemandian dengan sehelai saputangan yang dilambaikan. Itulah tandanya bahwa Sang Resi telah hampir tiba di pintu gapura pemandian!
Tiba-tiba saja dia merangkul dan mencium mulut Progodigdoyo penuh gairah. Tentu saja Progodigdoyo membalasnya dan memeluknya erat-erat, hampir tidak kuat menahan gelora nafsunya. Dan pada saat itu, bagaikan halilintar menyambar telinganya, dia mendengar Lestari menjerit-jerit nyaring.
"Lepaskan aku... ahhh,tolonggg...! Tolonggg...! Kakangmas Resi..., tolong...! Lepaskan bedebah!"
"Eh, Lestari...?"
Progodigdoyo yang masih menciumnya dan memeluknya itu terkejut, akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan di pintu gapura pemandian.
"Jahanam kau, Progodigdoyo!"
Progodigdoyo terkejut bukan main ketika menoleh dan melihat bahwa yang berdiri di ambang pintu gapura adalah Resi Mahapati! Tentu saja Sang Resi marah bukan main melihat Lestari meronta-ronta, tapih pinjungnya terlepas bagian atasnya sehingga nampak buah dadanya yang menonjol, dan betapa Progodigdoyo memeluk kekasihnya itu dan menciumnya!
Saking kagetnya, Progodigdoyo melepaskan pelukannya dan Lestari lalu terhuyung menjauhkan diri dan keluar dari kolam pemandian sambil membereskan tapih pinjungnya dan lari menangis menubruk Resi Mahapati.
"Aduhhh... Kakangmas Resi... dia itu... jahanam itu... dia hampir memperkosa saya... hu-hu-huuuukkk.."
"Tidak..., tidak... saya tidak..."
"Keparat kau!"
Resi Mahapati melepaskan pelukan Lestari dan tubuhnya sudah menerkam ke depan, ke arah Progodigdoyo yang pucat ketakutan dan hendak menaiki tangga kolam itu dalam keadaan setengah telanjang.
"Bresss!!"
Progodigdoyo menangkis pukulan itu akan tetapi tetap saja tubuhnya terpelanting dan terjatuh kembali ke dalam kolam air.
"Byurrrr!"
Progodigdoyo cepat bangkit berdiri, matanya terbelalak dan mukanya pucat sekali.
"Nanti dulu, harap sabar dulu, Paman Resi... saya tidak bersalah... saya..."
"Keparat, kau masih hendak menyangkal? Mataku telah melihat sendiri dan kau masih berani untuk menyangkal?"
Resi Mahapati sudah marah sekali dan dia lalu meloncat ke dalam kolam sambil menerkam dengan serangan kilat ke arah Progodigdoyo.
Progodigdoyo maklum bahwa dia harus melawan, karena kalau tidak tentu dia akan mati konyol. Melihat Resi itu menubruk dan mengirim dua pukulan yang dahsyat bukan main, cepat dia mengelak, akan tetapi gerakannya di dalam air tentu saja kurang gesit dan serangan Sang Resi datangnya seperti halilintar.
"Desss...!! Kembali tubuh Progodigdoyo terpelanting dan sekali ini dia merasa seluruh tubuhnya panas dan kepalanya pening karena pukulan tadi masih menyerempet pundaknya, padahal Sang Resi menggunakan aji kesaktiannya sehingga pukulan itu amat ampuh."
"Aduh...! Tunggu saya tidak berdosa..."
Progodigdoyo masih berusaha membela diri dan menangkis pukulan susulan, namun dari samping tangan Sang Resi menampar,mengenai tengkuknya dan dia terguling roboh dan pingsan! Sang Resi sudah menjambak rambutnya dan membenamkan kepala Progodigdoyo ke dalam air.
"Tunggu, Kakangmas, jangan bunuh dia!"
"Ehh...?"
Resi Mahapati yang sudah merah mukanya itu memandang kepada Lestari dengan mata terbelalak.
"Kau minta aku tidak membunuh keparat ini?"
Tanyanya dengan nada suara hampir tidak percaya. Jangan-jangan kekasihnya itu mencinta laki-laki ini, pikirnya penuh cemburu.
"Ya, jangan Kakangmas membunuhnya karena saya hendak membunuhnya dengan kedua tangan saya sendiri! Dia telah berani menyentuh saya, memeluk dan menciumi saya, kalau saja Kakangmas dapat merasakan betapa hebatnya penghinaan itu. Saya harus membunuhnya dengan tangan saya sendiri!"
"Ha-ha-ha-ha!"
Legalah hati Resi Mahapati dan dia menjambak rambut Progodigdoyo keluar dari dalam air, lalu diseretnya Bupati yang pingsan itu keluar dari kolam.
"Keinginan hatimu akan terlaksana, manis. Engkau boleh membalas dendam sepuas hatimu!"
Resi Mahapati lalu memanggil penjaga dan para penjaga menjadi terheran-heran ketika mereka melihat bupati yang setengah telanjang itu dan setelah mereka mengerti bahwa Progodigdoyo tentu telah mengganggu Sang Puteri, mereka tidak ragu-ragu lagi ketika diperintah untuk mengikat kaki tangan Progodigdoyo dan membawanya ke dalam kamar tahanan dan mengikatnya pada tiang di dalam kamar itu.
Ketika Progodigdoyo siuman dari pingsannya dan mendapatkan dirinya diikat di tiang dalam kamar itu, dia teringat akan segala pengalamannya dan tubuhnya menggigil. Mengertilah dia kini bahwa dia telah masuk perangkap yang dipasang oleh Sulastri! Rasa takut merayapi seluruh parasaannya. Dia tahu bahwa Lestari sengaja hendak membalas dendam dengan cara yang amat licik dan dia, Si Mata Keranjang Tolol, dia begitu saja dengan mudah dapat terjebak! Progodigdoyo memaki-maki dirinya sendiri, akan tetapi kembali dia terbelalak ketakutan karena dia teringat akan segala hal yang telah dilakukannya terhadap Galuhsari dan dua orang anaknya itu. Dia ketakutan, akan tetapi tidak berdaya meloloskan diri,apalagi karena di luar kamar tahanan itu terdapat banyak penjaga. Dia seperti seekor harimau yang telah terjebak dalam kerangkeng, menanti kematian. Bahkan dia sudah tidak berdaya sama sekali karena selain dijebloskan dalam tahanan,juga kaki tangannya terikat! Saat-saat itu merupakan siksaan yang amat hebat bagi Progodigdoyo dan dia merasa seakan-akan bayangan Lembu Tirta dan Galuhsari muncul untuk menagih nyawa kepadanya!
"Kita harus menyelidiki ke mana hilangnya Kolonadah,"
Kata Roro Kartiko kepada kakaknya.
"Benar, kita harus membantu Adimas Sutejo dan Bromatmojo,"
Jawab Joko Handoko setelah dia dan adiknya kembali ke kamar mereka di Kabupaten Tuban.
"Akan tetapi ke mana kita harus menyelidikinya?"
Joko Handoko mengerutkan alisnya.
"Kita tahu bahwa sejak dahulu Ayah selalu mengerahkan pasukannya untuk menyelidiki dan mencari Kolonadah, sehingga hampir semua orang di Tuban tahu belaka bahwa pusaka itu dicari oleh Ayah. Dan melihat kenyataan bahwa lenyapnya pusaka itu di Tuban, tentu ada orang Tuban yang mengetahuinya. Sebaiknya kita menyelidiki di sini, mungkin di antara para perajurit ada yang mendengar sesuatu tentang peristiwa kematian Empu Singkir dan cantrik-cantriknya itu. Kabarnya, pagi harinya sepasukan perajurit datang ke rumah Empu itu, dan ini berarti tentu ada sesuatu yang mereka ketahui."
Dua orang muda itu lalu melakukan penyelidikan dan akhirnya mereka mendengar dari seorang anak buah Sriti Kencana bahwa ada perajurit yang menceritakan bahwa malam terjadinya pembunuhan itu, seorang cantik dari Empu Singkir yang ikut pula terbunuh, telah mengunjungi kabupaten dan tadinya bermaksud mencari dan menghadap Sang Bupati.
Karena Bupati Progodigdoyo tidak ada, maka cantrik itu diterima oleh seorang perwira yang bernama Klabang Curing, yaitu orang kepercayaan Sang Bupati. Kemudian pada keesokan harinya, perajurit itu dan pasukannya dipimpin oleh Perwira Klabang Curing, mendatangi rumah Empu Singkir dan melihat bahwa empu dan dua orang cantriknya telah tewas.
Hanya itulah yang dapat diceritakan oleh perajurit itu kepada isterinya yang secara rahasia menjadi anggota Sriti Kencana. Setelah mendengar penuturan itu, Joko Handoko dan Roro Kartiko lalu menemui Klabang Curing. Karena yang bertanya adalah putera puteri atasannya, Klabang Curing lalu menceritakan bahwa memang benar pada malam hari itu cantrik pembantu Empu Singkir telah datang melapor bahwa keris pusaka Kolonadah berada di rumah Empu itu, akan tetapi di situ terdapat pula Ki Ageng Palandongan, mertua mendiang Ronggo Lawe maka Empu Singkir minta agar Bupati Progodigdoyo mengirim pasukan untuk melindungi Empu Singkir dari Ki Ageng Palandongan dan keris pusaka itu akan diserahkan kepada Bupati Progodigdoyo oleh Sang Empu.
"Karena Gusti Bupati tidak ada, maka hamba tidak berani sembrono dan pada keesokan harinya baru hamba membawa pasukan pergi ke sana. Dan ternyata sesampainya di tempat itu, Empu Singkir dan dua orang cantriknya telah tewas, Ki Ageng Palandongan tidak ada di sana dan keris pusaka itu pun tidak ada."
Demikian Klabang Curing melanjutkan ceritanya.
Joko Handoko dan Adiknya lalu pulang dan mereka bercakap-cakap di dalam kamar mereka.
"Tidak salah lagi, tentu Ki Ageng Palandongan yang melarikan keris itu,"
Kata Joko Handoko.
"Kita harus mengejarnya! Kakang Joko, kalau aku mengingat akan sikap Ayah, aku merasa malu sekali dan biarlah kita berdua menebus dosa-dosa Ayah dengan membantu Kakangmas Sutejo dan Kakangmas Bromatmojo. Kita pergi ke kota raja untuk melaporkan hal itu kepada Ayah yang masih berada di sana, kemudian kita menyelidiki dan mengejar Ki Ageng Palandongan yang kurasa membawa pusaka itu ke Lumajang."
Joko Handoko mengangguk-angguk.
"Agaknya dugaanmu itu benar, Diajeng. Akan tetapi, sungguh aku tidak mengerti mengapa Ki Ageng Palandongan sampai membunuh Empu Singkir dan dua orang cantriknya. Padahal aku mendengar bahwa beliau adalah seorang yang gagah perkasa dan berbudi."
"Tidak perduli bagaimana dia itu, aku harus dapat merampas keris itu untuk kuserahkan kepada Kakangmas Bromatmojo..."
"Hemm, Adikku yang manis. Agaknya hatimu sudah benar-benar terpikat oleh Adimas Bromatmojo yang tampan itu, ya?"
Joko Handoko menggoda Adiknya.
Sepasang pipi itu menjadi merah dan Roro Kartiko menundukkan mukanya. Akan tetapi hanya sebentar karena dia segera memandang Kakaknya, satu-satunya orang yang disayang dan dipercayanya karena hubungannya dengan Ayah mereka hambar saja,sedangkan ibu mereka pun kelihatan tidak suka kepada suaminya.
"Memang benar, Kakang Joko aku... aku jatuh cinta kepadanya dan aku malah telah bersumpah dalam hatiku bahwa aku hanya mau menjadi isteri Kakangmas Bromatmojo seorang."
"Ah, sudah demikian jauh?"
Kakak itu berseru dengan terharu sambil memegang lengan adiknya.
"Jangan khawatir, Adikku. Aku melihat bahwa Dimas Bromatmojo agaknya mencintamu pula, sikapnya jelas kelihatan mesra, dan aku pasti akan membantumu agar tercapai apa yang menjadi idaman hatimu."
"Terima kasih, Kakang Joko Handoko, engkau memang Kakakku yang amat baik."
Pada keesokan harinya, berangkatlah kakak beradik ini menuju ke kota raja. Ibu mereka hanya menyetujui saja karena ibu ini mengerti bahwa kedua orang anaknya adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi sehingga dia tidak perlu mengkhawatirkannya, apalagi karena dua orang anaknya itu berpamit untuk menyusul ayah mereka yang sudah terlalu lama pergi ke Mojopahit.
Apakah sesungguhnya yang terjadi di malam hari itu di rumah Empu Singkir? Dan benarkah Ki Ageng Palandongan membunuh Empu Singkir dan dua orang cantriknya lalu membawa lari keris pusaka Kolonadah? Dugaan Joko Handoko dan Roro Kartiko hanya benar sebagian saja.
Pada malam hari itu, secara kebetulan Ki Ageng Palandongan terbangun dari tidurnya karena ingin buang air kecil. Agar tidak mengganggu tuan rumah, Kakek ini dengan hati-hati keluar dari dalam biliknya dan hendak pergi ke luar, ke belakang rumah. Akan tetapi ketika dia berindap-indap melalui kamar Empu Singkir,dia mendengar percakapan bisik-bisik antara Empu Singkir dan dua orang cantriknya.
"Bejo, engkau sekarang juga pergilah ke kabupaten, menghadap Sang Bupati dan katakan bahwa aku yang menyuruhmu untuk memberi tahu kepada Sang Bupati bahwa keris itu berada di sini! Katakan agar Gusti Bupati mengirim pasukan untuk melindungi kita karena di sini terdapat Ki Ageng Palandongan. Kalau kita serahkan pusaka itu kepada Sang Bupati, tentu akan mudah bagiku untuk mencari kedudukan lagi. Nah, kau berangkatlah, Bejo!"
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Ki Ageng Palandongan mendengar ini. Dia cepat menyelinap dan setelah cantrik yang bernama Bejo itu pergi, dia mengintai lagi, lupa akan keinginannya untuk kencing tadi. Sampai Bejo kembali melaporkan bahwa Sang Bupati belum pulang dan bahwa besok pagi seorang perwira akan datang bersama pasukan, Ki Ageng Palandongan terus mengintai dan mengetahui rencana mereka. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ki Ageng Palandongan sudah keluar dari kamarnya dan dia disuguhi sarapan ketan dan minuman teh oleh cantrik Bejo. Karena sudah tahu akan rencana mereka, Ki Ageng Palandongan menangkap tangan cantrik itu dan berkata,
"Bejo, coba kau minum tehku ini."
"Tidak... tidak... kenapa begitu, Ki Ageng...?"
"Hayo minumlah, aku hendak melihat apa jadinya!"
Hardik Ki Ageng Palandongan.
"Tidak... saya tidak mau...!"
Cantrik yang bernama Bejo menjadi pucat sekali mukanya dan dia melarikan diri. Akan tetapi sekali menggerakkan lengannya, Ki Ageng Palandongan telah menangkap pundaknya dan dengan sentakan kuat dia memaksa Bejo menghadapinya, kemudian dengan tangan kirinya dia memaksa cantrik itu membuka mulutnya dengan menekan kedua pipinya kuat-kuat dan dengan tangan kanannya dia menuangkan isi cangkirnya, yaitu air teh yang disuguhkannya tadi,ke dalam mulut Bejo dan memaksa cantrik itu menelannya dengan memencet hidungnya. Air teh itu di "cekokkan"
Ke dalam perut cantrik Bejo.
"Aaaahhh... aahhh, tolong... Bapa Empu...!"
Cantrik itu menjerit-jerit, akan tetapi dia segera roboh dan melolong-lolong sambil memegangi perutnya karena racun warangan telah mulai bekerja di dalam perutnya. Sebagai seorang ahli keris, tentu saja Empu Singkir menyimpan banyak warangan yang dipakai untuk mencuci keris pusaka dan racun ini memang amat dahsyat. Empu Singkir dan cantrik ke dua datang berlarian dan terkejutlah melihat Bejo telah berkelojotan dalam sekarat.
"Ki Ageng, apa yang kau lakukan ini?"
Empu Singkir menegur, pura-pura heran.
"Empu Singkir, tidak perlu lagi berpura-pura. Aku telah mendengar semua rencanamu bersama para cantrikmu semalam. Aku memaksa dia minum racun yang kau suguhkan untukku. Hayo kau serahkan Kolonadah!"
Empu Singkir terkejut bukan main dan sebagai jawabannya, dia dan cantriknya sudah menyerang dengan keris di tangan. Namun, Empu yang lemah dan tua itu bersama cantriknya merupakan lawan yang lunak bagi Ki Ageng Palandongan yang gagah perkasa, maka biar pun Kakek tinggi besar ini tidak menggunakan senjata, namun dengan mudah dia dapat merampas keris di tangan Empu itu dan keris itu makan tuan ketika ditusukkannya ke dada Empu Singkir.
"Ki Ageng Palandongan... aku... aku sahabatmu..."
Empu itu merintih ketika dia roboh ke atas tanah.
"Hemm, keadilan tidak kawan atau lawan, Empu Singkir. Engkau berkhianat dan dalam usia tua masih loba akan kedudukan dan kemuliaan duniawi!"
"Ahhh... aku menyesal sekali... aku bertobat..."
Empu itu merintih dan tewas. Cantriknya hendak lari akan tetapi Ki Ageng Palandongan menyambitnya dengan keris rampasan itu.
"Wuuuttt... cesss... !"
Keris itu menancap di lambungnya sampai ke gagangnya dan robohlah cantrik itu, tewas seketika karena ampuhnya keris milik Empu Singkir.
Ki Ageng Palandongan cepat mencari-cari ke dalam kamar Sang Empu dan akhirnya dia menemukan Kolonadah yang masih dibungkus kain kuning karena belum memperoleh warangka. Tanpa membuang waktu lagi, dibawanya pusaka itu dan larilah Ki Ageng Palandongan di waktu pagi sekali, sewaktu belum ada seorang pun penduduk Tuban keluar dari rumah mereka. Dia mengambil keputusan untuk melarikan keris Pusaka Kolonadah ke Lumajang. Demikianlah, maka ketika pasukan kabupaten yang dipimpin oleh Klabang Curing itu muncul di depan pintu pondok Empu Singkir, mereka hanya menemukan jenazah tiga orang itu, sedangkan keris Pusaka Kolonadah telah lenyap,demikian pula Ki Ageng Palandongan tidak dapat ditemukan jejaknya lagi.
Wanita muda yang cantik jelita itu kini wajahnya amat mengerikan dan menakutkan bagi Progodigdoyo. Dia bergidik dan bulu tengkuknya berdiri ketika dia melihat siapa yang memasuki kamar tahanannya. Lestari masih cantik jelita, akan tetapi kini sinar matanya seperti sinar mata iblis yang haus darah ketika dia berdiri dan memandang Progodigdoyo yang berdiri bersandarkan tiang dan diikat kaki tangannya itu. Tentu saja bagi orang lain, mata itu indah sekali dan bersinar-sinar menggairahkan, namun, bagi Bupati Tuban itu, sinar mata Lestari seperti mata iblis yang penuh hawa maut.
Senyumnya yang manis itu kini nampak seperti senyum kuntilanak yang siap untuk menyedot darahnya! Tubuh Progodigdoyo menggigil. Dia adalah seorang laki-laki yang pemberani dan tak pernah mengenal takut, bahkan di antara hujan anak panah dan keroyokan musuh di dalam perang, dia dapat tersenyum tabah dan sedikit pun tidak pernah merasa gentar. Akan tetapi sekarang,menghadapi Lestari yang memandangnya penuh dendam, dia merasa ngeri juga. Apalagi karena sejak kemarin dia selalu membayangkan wajah Lembu Tirta dan Galusari.
"Lestari, kau... kau sengaja hendak mencelakakan aku...!"
Akhirnya dia dapat berkata juga. Lestari tersenyum lebar dan sepasang matanya ikut pula tersenyum. Wanita itu kelihatan girang dan bernafsu sekali, bahkan kelihatan seperti orang yang sedang diamuk gairah berahi! Atau seperti sinar mata seorang calon ibu yang mengidam dan melihat apa yang diidamkannya!
"Hi-hik, kau baru tahu sekarang? Nah, sekarang kita berhadapan di sini, berdua saja dan aku dapat melakukan apa pun atas dirimu sesuka hatiku. Hi-hi-hik! Progodigdoyo, sekarang kau hendak mengeluh kepada siapakah?"
Wanita itu melolos sebatang pisau belati yang kelihatan amat tajam dan runcing, yang tadi diselipkan di ikat pinggangnya.
"Lestari, kau... kau mau apa...?"
Progodigdoyo bertanya, suaranya kering,sekering mulutnya dan kini lidahnya berusaha untuk membasahi bibir dengan jilatan gugup.
"Mau apa? Hi-hi-hik, kau masih bertanya mau apa lagi, Progodigdoyo? Mau merayu engkau? Ha-ha, mau melayanimu agar nafsu berahimu terpuaskan? Mau menyanjungmu karena engkau telah begitu gagah perkasa membunuh Ayahku secara curang dan pengecut? Dan engkau mau mengulangi perkosaanmu atas tubuh Ibuku yang suci itu kepada diriku? Dan memujimu karena Adikku telah mati kau bakar? Begitukah Progodigdoyo?"
Lestari mendekati dan mengejek. Progodigdoyo melihat sinar mata itu dan kembali dia bergidik ngeri. Sinar mata itu serupa dengan sinar mata Lestari ketika dia hendak memperkosanya dahulu.
"Kau... kau... gila!!"
Dia berseru.
"Ha-ha-ha, aku memang gila, gila oleh dendam! Dan kau pun gila, gila karena nafsu angkara. Dan sekarang aku memperoleh kesempatan untuk membalas dan menyiksamu sepuas hatiku!"
Lestari mendekati sampai hampir menyentuh tubuh Progodigdoyo dan pisau belatinya diamang-amangkan di depan wajah Progodigdoyo.
"Kau gila! Kau boleh bunuh aku sekarang juga. Jangan kira aku takut mati!"
Progodigdoyo menghardik, tetapi di dalam hatinya dia takut sekali, takut oleh ancaman siksaan dan penghinaan.
"Hi-hik, enak saja kau minta mati. Lupakah kau betapa Ibuku memohon-mohon kepadamu, betapa Ibuku merintih-rintih ketika kau perkosa dan kau hina? Sekarang,aku ingin mendengar kau juga merintih-rintih dan memohon ampun!"
"Tidak sudi!"
Progodigdoyo yang maklum bahwa dia tentu akan mati itu mengeraskan hatinya dan tidak mau menerima penghinaan itu. Dia ingin mati dalam keadaan gagah.
"Tidak sudi? Hi-hik, kita sama lihat saja. Engkau seorang hidung belang, ya? Begitukah macamnya seorang laki-laki hidung belang? Hidungnya harus dibuang saja!"
Sambil berkata demikian, Lestari menggunakan pisaunya yang amat tajam itu untuk membacok hidung Progodigdoyo. Akan tetapi Progodigdoyo menggerakkan kepalanya dan mengelak.
"Crottt"
Pipinya yang tertusuk dan berdarah. Akan tetapi Lestari sambil tertawa-tawa seperti seorang anak kecil memperoleh sebuah mainan baru, terus menghunjamkan pisaunya dan akhirnya karena kaki tangannya terikat, tentu saja Progodigdoyo tak dapat terus mengelak dan hidungnya kena dirobek dan dikerat sampai buntung!
Darah mengucur deras, dan hidung itu kini merupakan lubang hitam melompong yang berdarah, di samping bibir dan pipinya yang tadi terkena ujung pisau dan juga luka-luka berdarah ketika dia mengelak. Namun siksaan ini masih belum mendatangkan rasa takut bagi Progodigdoyo, sungguh pun dia menderita rasa nyeri dan perih. Matanya melotot lebar memandang kepada Lestari penuh kebencian.
"Perempuan iblis, terkutuk..."
Dia memaki akan tetapi suaranya terdengar aneh dan lucu karena hidungnya buntung itu. Lestari tertawa terkekeh seperti iblis,kegirangan dan kegembiraannya makin bertambah ketika dia melihat keadaan musuhnya dan dia seperti seekor binatang buas yang mencium darah dan menjadi makin buas.
"Dan kau laki-laki mata keranjang. Ya, mata keranjang, maka harus dibuang satu matanya, hi-hik!"
Dan kini pisau itu menyambar ke arah mata kiri Progodigdoyo! Progodigdoyo mengelak dan miringkan kepalanya.
"Crepp!"
Pelipisnya tergores pisau, bukan main nyeri dan perihnya. Dan mulailah dia merasa takut sekali.
"Lestari, bunuh sajalah aku!"
Katanya dengan suara pelo dan gemetar.
"Ha-ha, kau boleh minta ampun!"
Saking ngeri dan takutnya, Progodigdoyo tidak dapat lagi mempertahankan kekerasan hatinya.
"Ampunkan aku, Lestari. Ampunkan aku dan kau bunuh sajalah aku... ohhh..."
"Engkau belum menangis! Engkau harus minta ampun sambil menangis, seperti Ibuku dulu!"
"Ah... kurang bagaimana lagi, Lestari? Aku sudah minta mati..., kau ampunkan aku..."
"Crott!"
Kembali pipi atasnya dekat mata termakan ujung pisau ketika dia mengelak dari tusukan ke dua.
"Kau mintalah ampun kepada Ayahku!"
"Kakang Lembu Tirta, saya minta ampun kepadamu...!"
"Kepada Ibuku!"
"Diajeng Galuhsari... ampunkan aku... ampunkan aku..."
"Creppp...! Aughhhh...!"
Progodigdoyo menjerit kesakitan ketika pisau itu menancap di mata kirinya, diputar dan dicongkelkan, diiringi suara ketawa Lestari yang kini benar-benar telah menjadi seperti orang gila!
"Aduhh... Lestari... Lembu Tirta... Galuhsari... ampun...!"
Progodigdoyo juga merintih-rintih seperti gila saking takutnya.
"Dan sekarang hukumanmu ketika kau memperkosa Ibuku! Brettt ..."
Pisau itu bergerak dan terbukalah celana di depan tubuh Progodigdoyo.
"Jangan, Lestari...! Bunuh saja aku...! Akan tetapi kata-kata ini disusul pekik mengerikan ketika pisau itu menyambar dan menusuki alat kelaminnya yang dilakukan dengan ganas sekali oleh Lestari yang tertawa-tawa. Para penjaga di luar kamar tidak berani menjenguk karena mereka sudah dipesan agar membiarkan kekasih Sang Resi itu menyiksa dan membunuh tawanan itu. Mereka bahkan tertawa-tawa karena semua penjaga merasa marah mendengar betapa Progodigdoyo berusaha untuk memperkosa Sang Puteri di tempat pemandian!
Akan tetapi betapa pun Progodigdoyo merintih, mengeluh, minta ampun dan merengek-rengek, semua itu bahkan menambah buasnya Lestari dan wanita yang sudah seperti gila ini terus-menerus menggerakkan pisaunya yang tajam, mengiris sana mengerat sini, menusuk dan mengiris lagi, semua dilakukan perlahan karena dia tidak ingin cepat-cepat membunuh orang yang disiksanya.
Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat memasuki tempat tahanan itu dan seorang pemuda memandang dengan mata terbelalak penuh kengerian. Pemuda ini adalah Sutejo! Seperti telah diceritakan di bagian depan, dengan ditemani oleh Bromatmojo, Sutejo yang mendengar bahwa Mbakayunya, Lestari, kini telah menjadi selir dari Mahapati, juga ketika mendengar bahwa Progodigdoyo yang dicari-carinya itu kebetulan sekali sedang menjadi tamu di gedung Resi Mahapati, malam itu cepat mempergunakan kesaktiannya, bersama Bromatmojo dia meloncat ke atas genteng istana Resi itu dan mencari-cari.
Ketika dia mendengar pekik-pekik kesakitan yang mengerikan itu, cepat dia bersama Bromatmojo menghampiri dan mengintai dari atas genteng. Alangkah kaget rasa hati Sutejo ketika dia melihat seorang wanita yang seingatnya mirip benar dengan Mbakayunya, sedang menyiksa seorang pria yang bukan lain adalah Progodigdoyo. Baru setelah orang yang disiksa itu menyebut nama Lestari dan minta diampuni dan dibunuh saja, dia tidak merasa ragu-ragu lagi.
"Adi Bromo, harap kau menjaga di sini. Aku harus mencegah Mbakayuku melakukan kekejaman seperti itu!"
Katanya kepada Bromatmojo, kemudian dia membuka genteng dan meloncat turun seperti seekor burung garuda.
"Mbakayu Lestari...!"
Lestari yang tadinya terkekeh dan matanya bersinar-sinar, mulutnya terengah-engah dan peluhnya membasahi leher dan dahi, mukanya agak pucat, terkejut mendengar suara panggilan itu dan cepat dia menoleh, pisau yang sudah berlepotan darah itu di tangan kanannya, sebagian bajunya juga terkena darah yang muncrat-muncrat dari luka-luka baru setiap kali pisaunya menusuk atau mengerat. Sejenak mereka berpandangan dan Lestari tidak lagi mengenal Adiknya.
"Engkau siapa?"
Bentaknya marah.
"Mbakayu Lestari, ini aku... Sutejo!"
Kata Sutejo dengan leher seperti dicekik rasanya. Mbakayunya kini telah menjadi seorang wanita dewasa yang cantik sekali,bukan lagi seorang dara remaja, akan tetapi dia tidak akan dapat melupakan wajah Mbakayunya. Akan tetapi, melihat keadaan Mbakayunya seperti itu, teringat betapa tadi Mbakayunya menyiksa orang itu, dia bergidik. Dia menoleh ke arah Progodigdoyo dan bergidik lagi. Seluruh tubuh orang itu tidak ada yang utuh,tidak ada yang tidak terkena darah sehingga sukar dilihat bagian mana yang belum terluka. Pakaiannya compang-camping dan terutama di bagian kelaminnya hanya kelihatan warna merah, penuh darah! Mengerikan sekali, dan Progodigdoyo kini hanya dapat merintih perlahan-lahan, ah-ah-uh-uh mengerikan dan menyedihkan sekali.
"Sutejo...!! Engkau...? Tejo adikku...!"
Lestari hendak memeluk Adiknya, akan tetapi Sutejo mundur dan memandang Mbakayunya dengan alis berkerut.
"Mbakayu Lestari, apa yang kau lakukan ini?"
Tegurnya, suaranya nyaring.
"Hi-hik, Tejo adikku. Arwahmu kah ini yang datang untuk menyaksikan sendiri balas dendam keluarga kita?"
Wanita itu bicara seperti gila.
"Tidak, Mbakayu. Ini aku, Sutejo, aku belum mati, ketika rumah kita terbakar,aku ditolong oleh Eyang Guru. Mbakayu, mengapa kau melakukan perbuatan yang amat kejam ini?"
"Aku? Kejam? Heii! Bagaimana kau ini? Dan kau mau bilang bahwa jahanam Progodigdoyo ini tidak kejam? Ah, kau tidak melihat ketika Ibu diperkosa, ya? Jahanam, aku harus hancurkan itu...!"
Pisaunya sudah diangkatnya pula ketika dia membalikkan tubuhnya dan dengan beringas dia hendak membacokkan pisau itu ke arah bawah pusar yang sudah penuh darah itu.
"Prakkk!"
Kepala Progodigdoyo yang sukar dikenal lagi itu karena hidungnya buntung dan matanya buta sebelah, juga mukanya penuh coret-coret bekas keratan pisau, tiba-tiba pecah dan orangnya tewas seketika.
Lestari menoleh ke arah Sutejo dan memandang dengan marah.
"Ah, kenapa kau tergesa-gesa membunuhnya, Tejo? Belum puas hatiku menyiksanya. Sebetulnya dia harus mati sedikit demi sedikit, akan tetapi kau bunuh dia. Sungguh terlalu enak bagi Si Keparat ini. Cuh-cuh!"
Dia meludah ke arah muka mayat Progodigdoyo.
Sutejo mengerutkan alisnya. Tak disangkanya bahwa Mbakayunya telah berubah menjadi seperti iblis. Begitu cantik jelita, akan tetapi begitu kejam luar biasa. Dan dengan hati penasaran dia lalu menegur.
"Mbakayu Lestari, engkau ternyata telah tersesat terlampau jauh! Engkau seperti gila oleh dendam! Perbuatanmu ini kejam sekali dan membikin aku merasa malu, Mbakayu!"
Lestari juga memandang kepada adiknya dengan marah.
"Kau? Malu? Kau kira selama bertahun-tahun ini siapa yang menderita sengsara? Siapa yang mengorbankan dirinya, rela dihina, rela menanggung segala kepedihan, berkali-kali mempertahankan keinginan untuk membunuh diri, yang sampai kehabisan air mata untuk menangis,yang hatinya selalu bercucuran darah, yang ..."
Suaranya habis dan dia menangis sesenggukan.
Sadarlah Sutejo bahwa dia bersikap terlalu keras kepada Mbakayunya.
"Mbakayu Lestari, kau maafkanlah aku..."
Katanya perlahan sambil menundukkan mukanya, tidak tahan melihat Mbakayunya menangis. Sama benar Mbakayunya ini dengan mendiang Ibunya ketika menangis.
"Tejo...!"
Lestari menubruk, mereka berangkulan dan bertangisan, sungguh pun sebenarnya hanya Lestari yang menangis karena Sutejo dapat menekan keharuannya dan masih belum hilang rasa kaget dan ngerinya melihat kekejaman yang dilakukan oleh Kakaknya itu kepada Progodigdoyo. Secara terpaksa sekali dia tadi menggerakkan tangan menampar kepala Progodigdoyo dan membunuhnya karena dia tidak ingin melihat orang itu lebih lama tersiksa lagi oleh Mbakyunya, sungguh pun orang itu adalah musuh besar keluarganya. Tamparannya tadi dilakukan untuk mengakhiri penderitaan Progodigdoyo yang amat hebat itu.
"Adikku sayang... kau harus mengerti keadaanku. Aku tadinya mengira bahwa kau sudah mati dan aku seorang diri, bagaimanakah aku dapat membalas dendam? Apa dayaku? Bagaimana mungkin aku dapat membalas dendam selain mempergunakan kecantikan dan kewanitaanku? Dan dendam keluarga kita bertumpuk setinggi gunung! Mendiang Ayah kita telah berjuang mati-matian selamanya untuk kejayaan Mojopahit,akan tetapi imbalan apa yang kita terima? Ayah dibunuh secara curang Ibu diperkosa, dihina dan dibunuh, engkau hampir mati, dan aku... sudah rusak hidupku, hancur semua harapanku. Akan kubasmi seluruh Mojopahit!"
"Hushhh, Mbakayu, apa yang kau katakan itu?"
Sutejo terkejut.
"Musuh keluarga kita hanya dia dan dia sudah mati."
"Tidak! Yang melakukan memang jahanam itu, akan tetapi mengapa Mojopahit diam saja melihat ponggawanya berbuat kejahatan terhadap kita? Dari Rajanya sampai semua ponggawanya adalah tidak baik semua dan harus kubasmi, baru akan puas hatiku!"
"Mbakayu, buanglah jauh-jauh pikiran gila itu..."
Sutejo menghentikan kata-katanya karena pada saat itu muncul Resi Mahapati dan Resi Mahapati diiringi para pengawalnya membuka pintu kamar tahanan dan memasuki tempat itu.
Resi Mahapati tidak berani lancang membunuh Progodigdoyo begitu saja karena orang itu adalah seorang Bupati, seorang ponggawa pula, maka dia menghadap Sri Baginda dan melaporkan tentang perbuatan Progodigdoyo yang melanggar kesusilaan.
Pada waktu itu, Kerajaan Mojopahit telah mempunyai undang-undang hukum, dan barang siapa mengganggu seorang wanita yang sudah bersuami, maka pengganggu itu dihukum mati dan pelaksanaan hukumannya dapat dilakukan oleh Si Suami. Marahlah Sang Prabu mendengar pelaporan itu dan tentu saja sebagai seorang raja yang adil dan bijaksana, dia mengijinkan Resi Mahapati untuk menghukum mati kepada Progodigdoyo dan Sang Prabu mengutus Panji Samara dan Empu Wahono pergi ke Tuban untuk sementara mengatur kabupaten itu yang tidak mempunyai kepala daerah lagi.
Kebetulan sekali pada hari itu, Resi Harimurti tiba dan segera dua orang Resi ini bercakap-cakap sambil makan minum dan di situ Resi Harimurti menceritakan semua pengalamannya ketika dia berada di Tuban. Tentang dua orang muda yang sakti dan yang menyerbu kabupaten lalu menghilang. Kemudian dia menceritakan pula tentang kematian Empu Singkir dan cantrik-cantriknya dan tentang keris Pusaka Kolonadah yang kabarnya tadinya berada di tangan Empu Singkir.
"Menurut berita itu, agaknya tidak salah lagi bahwa yang membunuh Empu Singkir dan merampas Kolonadah adalah Ki Ageng Polondangan, Adi Resi Mahapati."
Resi Harimurti mengakhiri ceritanya.
Tentu saja Resi Mahapati merasa tertarik sekali. Dia maklum bahwa keris Pusaka Kolonadah adalah sebatang keris pusaka ampuh ciptaan Maha Empu Supamandrangi dan keris itu khusus diciptakan untuk menjadi pegangan para raja besar. Pemegang keris itu akan mempunyai wibawa untuk menjadi raja besar. Hanya karena khasiat ini sajalah maka dia mati-matian mencari keris pusaka Kolonadah itu dan kini dia mendengar bahwa keris yang dicari-cari itu telah terjatuh ke dalam tangan Ki Ageng Palandongan!
"Hemm, berita ini penting sekali, Kakang Resi Harimurti,"
Katanya sambil mengelus jenggotnya yang masih hitam.
"Kalau benar Ki Ageng Palandongan yang memperoleh pusaka itu, tentu dia akan membawanya lari ke Lumajang. Kita harus dapat merampasnya kembali, Kakang."
Resi Harimurti mengangguk-angguk.
"Memang seharusnya begitu, Adi Resi. Dengan pusaka itu di tangan Andika, kiranya baru lengkaplah perabot-perabot untuk mencapai cita-cita Andika. Dan saya akan siap untuk membantu sampai akhir tujuan cita-cita kita tercapai. Akan tetapi, ada apakah ribut-ribut yang kudengar dibicarakan orang di rumah Andika ini? Saya mendengar berita tentang Progodigdoyo ketika dalam perjalanan ke sini."
Resi Mahapati menarik napas panjang.
"Aahhh, sungguh menggemaskan sekali Si Progodigdoyo, Kakang Resi Harimurti. Dia telah tergila-gila kepada kekasiku, Si Lestari!"
Resi Mahapati mengepal tinjunya.
Resi Harimurti tersenyum dan minum tuwaknya.
"Ha-ha-ha, Adi Resi. Apakah anehnya itu? Selirmu itu demikian cantik jelita, siapa orangnya tidak akan tergila-gila kepadanya? Mengapa hal seperti itu saja diributkan benar?"
"Kakang Resi, Andika tidak tahu. Kalau hanya tergila-gila saja, tentu saya tidak begitu bodoh untuk meributkannya, akan tetapi dia telah berani melanggar kesusilaan dan berusaha memperkosa selirku di waktu dia sedang berada di kolam pemandian."
"Ahhh...! Tertangkap basah?"
Resi Mahapati mengangguk.
"Saya sendiri yang menangkapnya. Hal itu berarti menghinaku dan bolehkah dibiarkan begitu saja?"
Resi Harimurti menarik napas panjang.
"Ahhh..., tak kusangka dia akan segila itu! Habis sekarang bagimana, Adi Resi?"
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Mungkin saja, mengingat dia belum berhasil dalam usahanya memperkosa, dan mengingat dia merupakan seorang pembantu yang baik, saya sendiri akan dapat mengampuninya. Akan tetapi saya sangsi apakah Lestari sudi untuk melupakan peristiwa itu!"
Mahapati termenung dan mengerutkan alisnya.
"Selirku merasa sakit hati sekali, bahkan dia melarang saya membunuh Progodigdoyo dalam kemarahanku yang meluap kemarin, dan dia minta agar dia sendiri yang akan membunuhnya."
Resi Harimurti tentu saja merasa sayang sekali kalau seorang pembantu seperti Progodigdoyo sampai dibunuh hanya karena urusan wanita. Dia sendiri sudah menerima banyak kesenangan dari Bupati itu, bahkan putera dan puteri Bupati itu telah berguru kepadanya.
"Kalau sekiranya mungkin, sebaiknya kalau dia diampuni, Adi Resi. Diberi hajaran dan peringatan saja pun sudah cukuplah. Kita menghadapi urusan besar, jangan sampai urusan besar dihalangi oleh segala urusan yang lebih kecil, sungguh pun saya tahu bahwa perbuatannya itu benar-benar keterlaluan terhadap Andika."
Resi Mahapati mengangguk-angguk.
"Saya mengerti, Kakang. Akan saya coba untuk membujuk Lestari nanti."
Para pelayan yang menghidangkan masakan-masakan yang masih panas datang dan Mahapati segera berkata.
"Sudahlah, mari kita makan dulu dan kita lupakan saja hal-hal yang tidak menyenangkan itu. Malam masih panjang dan masih banyak waktu untuk urusan itu."
Harimurti tertawa dan Mahapati memberi tanda kepada para pengawal. Gamelan dibunyikan dan segera beberapa orang wanita cantik menari dan bertembang mengikuti irama gamelan untuk menghibur dua orang Resi yang sedang pesta itu.
Akan tetapi, Resi Mahapati tidak dapat menikmati makanan dan suasana yang meriah itu. Alisnya berkerut dan semua masakan yang dicobanya terasa cemplang (hambar). Karena itu, dia lebih banyak menuangkan minuman tuwak ke dalam perutnya daripada makanan, sehingga mukanya menjadi merah sekali karena hawa minuman keras itu. Kelezatan tidaklah sepenuhnya terletak di dalam piring.
Memang harus diakui bahwa bumbu-bumbu menambah sedap makanan, namun sesungguhnya keselarasanlah yang membuat kita makan terasa enak. Keselarasan atau keseimbangan antara kesehatan jasmani, ketenangan batin, dan rasa dari makanan itu sendiri. Kalau ketiganya ini seimbang atau selaras, barulah makanan terasa enak. Bahkan yang memegang peran utama adalah kesehatan badan dan ketenangan batin itulah. Makanan yang sederhana sekali pun, kalau dimakan dalam keadaan perut lapar, badan sehat dan pikiran tenang, maka akan terasa nikmat. Sebaliknya, biar pun menghadapi puluhan macam masakan yang paling lezat seperti yang dihadapi oleh Mahapati, kalau pikirannya tidak tenang seperti dia, akan terasa tidak enak semua masakan itu. Demikian pula, betapa pun enaknya masakan, kalau badannya sedang tidak sehat,akan terasa tidak enak pula masakan itu. Maka yang penting bagi manusia adalah kesehatan badan dan ketenangan batin.
Malam makin larut dan gamelan dipukul makin keras, suara tembang para penari makin nyaring menyusup dalam kegelapan malam. Tiba-tiba beberapa orang pengawal datang mengiringkan dua orang muda memasuki ruangan makan itu. Karena para pengawal telah mengenal pemuda dan gadis yang datang ini, maka mereka berdua itu langsung saja diantar ke ruangan makan di mana Resi Mahapati sedang makan minum bersama Resi Harimurti.
Resi Harimurti terkejut dan cepat bangkit berdiri ketika mengenal bahwa yang datang itu adalah Joko Handoko dan Roro Kartiko, dua orang muridnya. Juga Resi Mahapati merasa tidak enak. Dia sudah pula mengenal dua orang muda itu sebagai putera-puteri Progodigdoyo, maka cepat dia menyambut kedatangan mereka.
"Andika berdua datang di waktu malam begini, ada keperluan apakah?"
Mahapati bertanya.
"Maaf, Paman Resi. Kami datang untuk mencari Ayah. Kami mendengar bahwa Ayah bertamu di sini dan karena tadi mendengar adanya suara di luar bahwa di sini terjadi keributan yang menyangkut nama Ayah, maka malam-malam ini juga kami memberanikan diri untuk datang menghadap. Di manakah Ayah, Paman Resi? Benarkah berita di luar bahwa Ayah telah Paman tangkap?"
Tanya Joko Handoko.
"Benar,"
Jawab Mahapati tenang saja.
"Mengapa?"
Roro Kartiko bertanya dengan suara nyaring.
"Mengapa Paman menangkap Ayah? Apa dosanya?"
"Kalian berdua boleh bertanya sendiri kepada Ayah kalian mengapa dia sampai kami tangkap,"
Kata Resi Mahapati dan dia mengangkat tangan memberi isyarat sehingga suara gamelan dan nyanyian berhenti. Begitu suara itu berhenti, terdengar suara teriakan mengerikan dari arah belakang.
Mahapati terkejut.
"Mari cepat ikut dengan kami!"
Katanya kepada Resi Harimurti dan dua orang muda itu, dan dia juga memberi isyarat kepada para pengawal yang cepat berkumpul dan mengikuti Sang Resi bergegas menuju ke tempat tahanan yang letaknya di belakang. Kiranya,gamelan dan nyanyian yang nyaring tadi membuat mereka tidak mendengar teriakan-teriakan Progodigdoyo ketika mengalami siksaan dari Lestari, dan baru setelah gamelan berhenti, terdengar teriakan itu. Hanya Mahapati seorang yang dapat menduga suara teriakan itu datang dari mana, maka dia cepat mengajak mereka untuk menuju ke tempat tahanan.
Demikianlah, ketika Sutejo sedang bercakap dan berbantahan dengan Mbakayunya, pintu tahanan terbuka dan muncullah Resi Mahapati dan Resi Harimurti. Akan tetapi segera terdengar teriakan tertahan dan dua orang menerobos masuk. Mereka itu adalah Joko Handoko dan Roro Kartiko. Kedua orang itu menubruk mayat Progodigdoyo sambil menangis. Dengan kerisnya, Joko Handoko membabat putus ikatan-ikatan tangan dan kaki mayat Ayahnya, kemudian dia membuka bajunya dan menutupi tubuh bawah Ayahnya dengan baju itu, lalu diletakkan mayat itu di atas lantai. Sementara itu, Lestari yang melihat betapa suaminya memandang kepada Sutejo dengan mata penuh ancaman, cepat menghampiri suaminya dan berkata.
"Kakangmas Resi, dia... dia adalah Adikku yang bernama Sutejo..."
Sementara itu, Sutejo juga mengkhawatirkan keselamatan Mbakayunya, maka dengan sikap tenang dia berkata.
"Sayalah yang telah membunuh Progodigdoyo!"
Mendengar ini, Roro Kartiko melompat dan menghadapi Sutejo. Dia sudah mendengar penuturan Bromatmojo tentang kejahatan Ayahnya terhadap keluarga Sutejo, akan tetapi melihat Ayahnya disiksa seperti itu, dengan mata mendelik dan muka pucat dia menghadapi Sutejo, mengepal tinjunya dan membentak.
"Kenapa kau menyiksa Ayahku? Kenapa kau membunuh Ayahku?"
Sutejo menarik napas panjang, memandang gadis itu dengan sinar mata penuh iba karena dia maklum bahwa gadis ini adalah seorang yang gagah dan baik, hanya sayang Ayahnya demikian jahat. Betapa pun juga, Progodigdoyo adalah ayah kandung gadis ini maka dia dapat memaklumi kemarahan yang diperlihatkan oleh Roro Kartiko melihat Ayahnya mati secara demikian mengenaskan.
"Mengapa? Karena dia telah memperkosa Ibuku dan membunuh Ibuku setelah dia membunuh pula Ayahku..."
"Dan dia hendak memperkosa aku pula, setelah dia memperkosa Ibu di depan mataku! Itulah sebabnya Sutejo membunuhnya!"
Hardik Sulastri. Ucapan itu seperti ujung keris menghunjam di ulu hati Roro Kartiko. Mendengar Ayahnya melakukan hal-hal sejahat dan sekeji itu, membuat dia merasa sakit sekali di dalam hatinya.
"Ahhh... Ayah...!"
Dia menubruk jenazah Ayahnya dan menangis sesenggukan.
"Sudahlah, Diajeng. Mari kita bawa pergi jenazah Ayah, tidak ada gunanya lagi kita berlama-lama di sini,"
Kata Joko Handoko dan dia sudah memondong jenazah Ayahnya, lalu keluar dari situ diikuti oleh Adiknya. Tidak ada orang yang berani mencegah mereka pergi, juga Resi Mahapati diam saja karena lebih baik mereka itu membawa mayat yang sudah tidak karuan rupanya itu cepat-cepat pergi dari rumahnya, pikirnya.
Sementara itu, diam-diam Resi Harimurti berbisik di dekat telinga Mahapati.
"Adi Resi, inilah satu di antara dua orang muda yang mengacau di Tuban itu. Mungkin dia mempunyai hubungan dengan lenyapnya Kolonadah."
Resi Mahapati lalu menghampiri Sutejo.
"Orang muda, biar pun Lestari mengakui engkau sebagai adiknya, akan tetapi karena kau telah melakukan pembunuhan di sini, engkau harus kutangkap dan kulaporkan. Yang kau bunuh adalah seorang ponggawa kerajaan, maka urusan ini harus dilaporkan ke istana."
"Kakangmas...!"
Lestari menjerit dan merangkul suaminya.
"Dia adalah Adikku,adik kandungku sendiri. Dia Sutejo! Dia membunuh jahanam itu karena marah mendengar aku hampir diperkosanya!"
"Biar pun begitu, dia harus ditahan dulu, Lestari. Kalau sampai urusan ini terdengar oleh Sang Prabu dan aku melepaskan dia yang telah membunuh seorang ponggawa, tentu akan celaka kita semua.
Komentar
Posting Komentar