KEMELUT DI MAJAPAHIT JILID 17
Bulan purnama terang sekali. Langit bersih tiada awan dan dalam keadaan seperti itu sinar bulan yang murni dan sepenuhnya menyinari bumi menciptakan suasana yang sejuk dan tenteram, dengan sinarnya yang keemasan dan jernih, membuat segala sesuatu nampak cukup terang namun tidak menyilaukan, mendatangkan suasana mujijat kepada setiap benda di permukaan benda yang bermandikan cahaya bulan.
Daun-daun dan kembang-kembang menjadi lebih hidup di dalam keadaan yang tenang, tidak seperti di waktu siang, daun-daun dan kembang-kembang hidup seperti memprotes panasnya sinar matahari dan amukan angin lalu. Kini, semua kelihatan tenang dan tenteram, seolah-olah dunia merupakan tempat yang amat menyenangkan, seperti gambaran sorga loka, bukan merupakan neraka yang lebih terasa di siang hari di mana manusia mengumbar hawa nafsu keinginannya yang jutaan macam itu.
Gamelan pun terdengar lebih indah di waktu malam. Di waktu siang, suara-suara hanya terbatas sekali jarak jangkauannya, ditelan oleh suara lain dan dihembus pergi oleh angin lalu, dikeringkan oleh hawa panas matahari. Akan tetapi di waktu malam, suara dapat bergema sampai jauh. Bahkan dari bawah bukit, dari kaki Pegunungan Kendeng, terdengar suara gamelan itu, lapat-lapat mengandung daya tarik yang amat kuat sehingga banyak pula orang-orang yang tinggal di kaki Pegunungan Kendeng berbondong naik ke lereng gunung untuk menonton keramaian pemujaan Sang Hyang Bathari Durga.
Menurut kepercayaan para penyembah Durga, apalagi karena propaganda dari Nyi Durgakelana, Sang Candra (bulan) sendiri menghormati Sang Hyang Bathari Durga sehingga malam itu muncul sepenuhnya untuk membantu pesta pemujaan itu! Dan pada malam itu kabarnya banyak pula wanita yang ingin masuk menjadi Anggota baru.
Kabarnya tidak kurang dari dua puluh orang wanita muda dan cantik! Para Anggota yang sudah dianggap agak "tinggi"
Tingkatnya, yaitu wanita-wanita yang telah "berkenalan"
Dengan para dewa yang malam-malam di waktu sunyi memberkahi mereka, sudah duduk berjajar, berlutut di atas panggung di sekeliling arca Sang Hyang Bathari yang dikalungi rangkaian bunga dan asap kemenyan mengepul tebal menyiarkan bau yang harum aneh menyeramkan. Nyi Durgakelana sendiri duduk di atas kursi rendah di sebelah kanan arca itu, tersenyum-senyum sehingga wajahnya yang kasar hitam dan buruk itu kelihatan makin menyeramkan,tangan kanannya memegang tongkat hitamnya yang panjang dan bentuknya seperti ular. Nyi Durgakelana sendiri yang kadang-kadang menambah dupa di pedupaan, dan mulutnya selalu berkemak-kemik kalau dia menambah dupa, seolah-olah dia bercakap-cakap dengan arca Sang Hyang Bathari Durga yang kelihatan tersenyum manis itu.
Kini semua penduduk yang memuja Dewi Durga yang berbentuk arca batu itu, sudah berduyun-duyun datang membawa sesajen dan di dalam tumpukan sesajen inilah terdapat banyak benda yang amat berharga. Ada yang memberi buah-buahan dan sayur-mayur,makanan, akan tetapi ada pula yang menyertai kain dan benda-benda berharga seperti perhiasan emas perak dan lain-lain karena menurut ceramah Nyi Durgakelana, makin berharga sesajen di waktu terang bulan itu diserahkan kepada Sang Bathari Durga, makin banyak pula berkah yang dilimpahkannya.
Setelah para pemuja Durga yang sebagian besar terdiri dari kaum wanita itu sudah menaruh sesajen mereka di atas panggung di depan arca itu dan menerima "berkat"
Dari Nyi Durgakelana, mereka mengundurkan diri dan kini naiklah dua puluh orang wanita muda yang ingin masuk menjadi "murid"
Sang Bathari Durga. Akan tetapi tiba-tiba keadaan menjadi geger dengan naiknya seorang laki-laki yang masih muda. Laki-laki ini meloncat ke atas panggung dengan membawa sebatang keris.
"Sang Bathari, kau telah merampas isteriku!"
Bentaknya dan dengan keris di tangan pemuda itu lalu menerjang dan menusukkan kerisnya ke arah dada arca Bathari Durga.
"Takkk!"
Keris itu terpental dan laki-laki itu terdorong ke belakang lalu roboh terjengkang dalam keadaan pingsan! Nyi Durgakelana yang tadi menggerakkan kedua tangan melihat pemuda itu mengamuk, diam-diam telah menggunakan kesaktiannya memukul pemuda itu dari jarak jauh. Ketika pemuda itu terpukul roboh, dia pura-pura kaget dan cepat bangkit berdiri, lalu dengan lemah lembut dia menolong menyadarkan pemuda itu. Pemuda itu mengeluh dan ketika melihat Nyi Durgakelana,dia cepat berlutut.
"Hemm, orang muda, mengapa engkau seperti gila berani kurang ajar terhadap Sang Bathari?"
Nyi Durgakelana membentak marah.
"Ampunkan saya... saya menjadi gelap mata karena... karena sejak isteri saya menjadi murid Sang Bathari, sikapnya terhadap saya menjadi dingin..."
Terdengar suara ketawa di sana-sini menyambut keterangan suami muda yang dikecewakan oleh isterinya itu dan orang muda itu menjadi makin malu dan akhirnya setelah dia menyembah kepada Nyi Durgakelana, dia lalu meninggalkan panggung dan menyelinap di antara para penonton, diantara sorak dan ejekan.
"Kau lihat pukulan tadi?"
Bromatmojo berbisik kepada Sutejo.
"Sudah kuduga, dia bukan orang sembarangan."
Sutejo yang berada di antara banyak penonton bersama Bromatmojo dan Joko Handoko, mengangguk dan dia melirik ke atas panggung di mana telah berkumpul wanita-wanita muda yang malam itu hendak dilantik menjadi murid-murid baru. Hatinya terasa tidak enak ketika pandang matanya bertemu dengan Roro Kartiko yang juga berlutut di atas panggung, di antara banyak wanita muda itu. Roro Kartiko sengaja memasuki rombongan calon murid-murid baru itu untuk mengungkapkan rahasia apa yang tersembunyi di balik perkumpulan Pemuja Bathari Durga ini. Sedangkan tiga orang temannya melindunginya dari dekat, berada di antara penonton.
Bromatmojo mengerutkan alisnya, hatinya merasa tidak enak sekali akan keselamatan Roro Kartiko. Dia memberi isyarat kepada dua orang temannya dan mereka menyisih keluar, ke tempat yang agak sunyi. Suara gamelan masih ramai sehingga mereka dapat saling berbisik tanpa khawatir didengarkan orang lain.
"Nini, kau sungguh cantik jelita."
Tangan yang merangkul pinggang ramping itu menurun dan mencubit pinggul.
"Dan kau tentu masih perawan, bukan?"
Wajah Sulastri menjadi merah sekali dan kalau saja dia tidak sedang melakukan tugas yang berbahaya dan penting, tentu sudah ditamparnya wanita genit itu. Dia mengangguk.
"Hi-hik, malam ini engkau tentu akan terpilih. Mudah-mudahan saja seorang perawan cantik seperti engkau akan dipilih oleh dewa yang muda dan tampan, dan tidak sampai terpilih oleh dua orang raksasa mengerikan itu."
"Raksasa? Apa maksudmu?"
Sulastri bertanya kaget.
"Hi-hik, engkau tidak tahu, bukan? Di antara para dewata memang terdapat mereka yang wajahnya seperti raksasa. Pagi tadi sudah muncul dua orang. Tuh di kamar sebelah kiri. Mereka sedang makan minum. Siang tadi mereka kenyang mengganyang daging domba dan malam ini tentu akan menikmati perawan-perawan yang terpilih. Mudah-mudahan bukan engkau. Mereka itu memang dewa, akan tetapi... uhh, mengerikan."
Wanita itu lalu melepaskan rangkulannya dan menuding ke arah sebuah kamar besar.
"Nah, itulah kamar Nyi Durgakelana."
Bergegas dia pergi meninggalkan Sulastri, agaknya ngeri mengingat akan dua raksasa yang diceritakannya tadi.
Sulastri berdiri termangu-mangu. Dia merasa heran dan juga curiga. Jelas bahwa ada sesuatu yang tidak beres di dalam rumah ini. Suasana sunyi sekali, dan benar dugaannya bahwa semua orang tentu sibuk di luar, di panggung yang ramai karena sedang diadakan upacara pemujaan dan pemilihan murid-murid baru sehingga rumah itu sunyi.
Sulastri mendengar suara orang laki-laki bicara dan tertawa dia dalam kamar yang ditunjukkan oleh wanita setengah tua tadi sebagai kamar yang didiami oleh dua orang "raksasa". Karena merasa heran dan curiga, dia lalu berindap menghampiri kamar besar itu, mempergunakan kepandaiannya sehingga dia dapat mengintai ke dalam melalui celah-celah pintu tanpa menimbulkan suara apa-apa.
Apa yang tampak olehnya di dalam kamar itu membuat Sulastri terperanjat sekali. Dia melihat dua orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar sedang duduk menghadapi meja sambil bercakap-cakap dan tertawa. Di sudut kamar itu terdapat dua buah pembaringan dan dua orang kakek raksasa itu duduk seenaknya dengan mengangkat sebelah kaki ke atas bangku. Benarkah mereka ini adalah sebangsa dewa? Sulastri tidak percaya. Andaikata benar mereka itu bukan manusia, mereka ini tentulah sebangsa iblis jahat, sama sekali tidak pantas kalau menjadi dewa!
"Hemm, kenapa lama amat?"
Seorang di antara mereka yang hidungnya besar berkata, suaranya jelas membayangkan ketidaksabaran.
"Ha-ha-ha, Adi Warak, agaknya kau sudah tidak sabar menanti lagi. Ha-ha-ha, tenanglah mereka sedang sibuk bersembahyang. Nanti kita tentu akan berpesta pora. Ha-ha, betapa akan senangnya. Durgakelana telah menjanjikan kepada kita masing-masing menerima dua orang perawan!"
"Kakang Sarpo, engkau sebagai seorang saudara tua harus mengalah dan membiarkan aku memilih lebih dulu nanti,"
Kata orang ke dua yang hidungnya besar itu. Orang pertama yang matanya lebar tertawa.
"Ha-ha-ha, apa sih bedanya bagiku? Mereka tentu perawan-perawan yang muda dan mulus-mulus. Durgakelana tidak begitu tolol untuk memilih perawan yang buruk. Ha-ha, sekali ini dia pegang janji dapat menyenangkan kita."
"Tentu saja, dia tentu belum lupa ketika kita menyelamatkan dia dari tangan-tangan musuh-musuhnya ketika dia dikeroyok di pantai Madura itu."
Cukuplah bagi Sulastri mendengar percakapan itu. Dadanya terasa panas dan ingin dia membobol pintu dan menghajar dua orang raksasa itu. Mereka ini sama sekali bukanlah iblis, apalagi dewa, melainkan dua orang laki-laki yang jahat dan berbatin kotor. Dan mereka ini adalah sahabat-sahabat Nenek Durgakelana yang agaknya hendak menghidangkan murid-murid wanita yang baru itu kepada dua orang raksasa ini! Keparat jahanam! Sulastri marah bukan main. Pantas saja menurut cerita Joko Handoko yang mendengar dari anak buah Sriti Kencana, banyak gadis yang membunuh diri karena mengandung. Kiranya terjadi kekotoran macam ini! Perawan-perawan yang terjebak menjadi murid Sang Bathari Durga, ternyata oleh Nyi Durgakelana disajikan kepada pria-pria jahat yang menjadi sahabatnya. Dengan hati panas sekali Sulastri lalu berindap menghampiri kamar Nyi Durgakelana.
Setelah mengintai dan mendapat kenyataan bahwa kamar yang amat mewah itu kosong,dia lalu membuka pintunya dan menyelinap masuk. Heran dan kagumlah dia melihat isi kamar yang serba lengkap dan serba indah, seperti kamar seorang pembesar berkedudukan tinggi yang kaya raya saja. Bahkan tidak kalah indah dan lengkapnya dibandingkan dengan kamar Joko Handoko dan Roro Kartiko, kedua orang putera-puteri Bupati Tuban itu!
Sementara itu, Sutejo dan Joko Handoko yang menyelinap di antara para penonton, melihat pertunjukan yang amat hebat dan meriah. Dengan sikap seperti seorang dukun sakti, Nyi Durgakelana membaca mantera-mantera sambil memimpin para murid wanita untuk memuja dan menyembah arca Bathari Durga. Asap kemenyan yang mengepul tebal, dan suara doa yang menyeramkan itu seolah-olah menyihir semua orang di situ. Bahkan Sutejo seperti melihat betapa arca batu itu seperti berkedip-kedip kepadanya dan mengulum senyum! Akan tetapi dia cepat menekan batinnya dan arca itu kembali seperti batu biasa, hanya ukirannya memang amat halus, tanda bahwa pembuat arca itu seorang ahli yang pandai.
Dari tempat duduknya yang agak tinggi, Nyi Durgakelana tadi sudah melirik-lirik dan pandang matanya yang tajam sudah memilih-milih, dan segera pandang matanya tertarik sekali kepada kecantikan Roro Kartiko yang memang luar biasa dan amat menonjol di antara kecantikan perawan-perawan dusun itu. Kulitnya yang putih kuning, matanya yang seperti bintang, bulu matanya yang melengkung ke atas,wajahnya yang mengandung keagungan telah memikat hati Nyi Durgakelana. Kemudian, pandang matanya kembali mencari-cari dan dia sudah memilih empat orang wanita muda lainnya di samping Roro Kartiko, yang dianggapnya tepat untuk menjadi murid-murid baru malam itu.
Perayaan itu memuncak dengan diadakannya tari-tarian oleh para murid Sang Bathari, yang menari dalam keadaan mabok sehingga tari-tarian mereka itu lebih berani dan menggairahkan. Kemudian, lewat tengah malam, seperti biasa setiap malam bulan purnama, Nyi Durgakelana "kesurupan"
Oleh Sang Bathari Durga sendiri.
Tiba-tiba saja nenek ini roboh kemudian mengeluarkan kata-kata yang tidak dimengerti orang, lalu dia meloncat bangun, tongkat hitamnya diputar cepat sampai berubah menjadi gulungan sinar hitam yang menutupi tubuhnya. Melihat gerakan ini, Sutejo terkejut karena dia mengenal gerakan yang mengandung kesaktian.
Gerakan tongkat itu makin melambat dan akhirnya nenek itu menggunakan tongkatnya untuk menuding. Yang pertama dituding adalah Roro Kartiko, kemudian empat orang perawan lain yang memang diam-diam sudah dipilihnya tadi. Para anak muridnya cepat maju dan mengangkat bangun Roro Kartiko dan empat orang gadis itu, diiringi sorak-sorai para anak murid yang lama dan juga para penonton ikut bersorak. Keluarga empat orang gadis itu tertawa bangga sekali, hanya Roro Kartiko yang tersenyum seorang diri karena pancingannya berhasil. Dia melirik dan melihat Sutejo dan kakaknya, Joko Handoko tidak jauh dari panggung. Akan tetapi dia mengerutkan alis ketika tidak melihat adanya Bromatmojo. Ke manakah perginya pemuda itu, pikirnya.
Dengan suara tinggi melengking, seperti suara yang datangnya dari angkasa, Nyi Durgakelana lalu memerintahkan murid-muridnya untuk memberi minum "darah suci"
Kepada lima orang gadis yang dipilih sendiri oleh Sang Bathari itu! Tentu saja Roro Kartiko tidak akan sudi minum apa yang dinamakan darah suci itu kalau memang minuman itu benar-benar darah, akan tetapi ketika dia melihat bahwa yang berada di cawan itu dan yang dinamakan darah itu sebenarnya hanyalah minuman tuwak yang diberi warna merah, maka untuk tidak menimbulkan kecurigaan, dia meminumnya seperti yang dilakukan oleh empat orang gadis lainnya. Kemudian dia dan empat orang itu disuruh berlutut menyembah arca Bathari Durga, kemudian menyembah Nyi Durgakelana dan dituntun oleh murid-murid lain memasuki rumah.
Upacara itu pun selesai dan semua penonton bubaran, juga keluarga empat orang perawan yang pulang dengan hati girang karena anak gadis mereka terpilih sebagai murid Sang Bathari dan tentu hal ini akan mendatangkan berkah berlimpah-limpah!
Sunyi sekali malam itu. Lima orang perawan itu dihadapkan kepada Nyi Durgakelana yang sudah duduk di atas kursi dalam sebuah ruangan besar. Lalu nenek ini memberi isyarat kepada para murid lain agar mereka itu mundur karena dia ingin memberi "wejangan"
Kepada murid-murid baru ini.
"Kalian pandang aku baik-baik dan dengarkan semua pesanku, Nini,"
Nyi Durgakelana mulai dan lima orang gadis itu semua mengangkat muka memandang. Roro Kartiko terkejut bukan main ketika pandang matanya bertemu dengan pandang mata yang tajam luar biasa, seperti mata kucing, pandang mata yang seperti menembus jantungnya dan mencengkeram atau melekat pada nenek itu!
"Engkau, Nini, engkau ikut bertapa bersamaku di dalam kamarku dan kalau malam nanti terjadi apa pun, jangan engkau kaget atau menolak. Mungkin sekali ada dewa yang akan datang melantikmu dan kalau kau menolak atau melawan tentu engkau akan kena kutuknya dan akan celaka. Sebaliknya kalau engkau menurut, maka engkau akan memperoleh berkah berlimpah-limpah. Dan kalian berempat harus bertapa dalam sebuah kamar besar bersama-sama. Juga kalian jangan sekali-kali melawan atau menolak kalau ada para dewata datang mengunjungi kalian. Mengertikah?"
Empat orang gadis itu menyembah dan mengangguk dan Roro Kartiko merasa heran dan terkejut sekali karena dia merasa bahwa di luar kehendaknya, dia pun mengangguk! Kemudian, dengan lemas dia merasa tangannya dipegang dan digandeng, lalu diajak bangkit berdiri oleh nenek yang pakaiannya berbau apak itu! Empat orang gadis itu pun disuruh bangkit, kemudian mereka disuruh memasuki sebuah kamar besar yang dibuka sendiri oleh Nyi Durgakelana. Mereka memasuki kamar itu seperti boneka-boneka hidup, tidak tahu bahwa sudah ada dua orang kakek raksasa yang telah menanti mereka dengan air liur membasahi bibir. Sambil tersenyum Nyi Durgakelana berkata.
"Terimalah tanda persahabatanku, sahabat-sahabatku!"
Dia lalu menutupkan pintu kamar itu dan menggandeng tangan Roro Kartiko.
"Nini, siapakah namamu, cah ayu?"
Dengan suara gemetar Roro Kartiko menjawab.
"Nama saya Kartiko..."
"Bintang! Sungguh hebat, memang kau cantik dan cemerlang seperti bintang di langit! Marilah, manis."
Roro Kartiko terkejut sekali mendengar ucapan itu dan menyaksikan perubahan sikap nenek ini, akan tetapi anehnya agaknya tubuhnya tidak mau menurut kata-kata hatinya dan dia seperti bergerak sendiri mengikuti nenek itu yang menggandeng tangannya memasuki sebuah kamar yang amat indah.
Sulastri yang kini telah mengenakan kembali pakaian pria dan yang bersembunyi di balik lemari besar sambil mengintai, tentu saja memandang dengan jantung berdebar ketika melihat Nyi Durgakelana memasuki kamar itu sambil menggandeng tangan Roro Kartiko. Penerangan di dalam kamar besar itu cukup terang dan melihat betapa Roro Kartiko melangkah masuk seperti boneka berjalan. Sinar mata dara itu memandang jauh, tak pernah berkedip, mulutnya setengah terbuka dan wajahnya membayangkan keheranan besar, akan tetapi agaknya dia menurut saja dibimbing masuk oleh nenek itu.
Nenek Nyi Durgakelana lalu duduk di atas tepi pembaringan dan menarik gadis itu duduk pula di sebelahnya, kemudian dia berkata.
"Nini Kartiko, cah ayu. Engkau telah dipilih oleh Sang Bathari dan mulai sekarang engkau berhak memasuki alam kahyangan, akan tetapi engkau harus menyucikan diri lahir batin. Untuk menyucikan jasmanimu, engkau harus kumandikan dengan air suci."
Dia bangkit dan mengambil sebuah tempayan yang penuh air dengan ada kembang mawar di dalamnya, membawanya ke dekat pembaringan.
"Nah, tanggalkan semua pakaianmu, Nini."
Bromatmojo melihat dan mendengar semua itu dengan mata terbelalak. Dia melihat betapa Roro Kartiko mengerutkan alisnya, wajahnya jelas membayangkan penolakan atas permintaan itu, akan tetapi anehnya, kedua tangan dara itu melepaskan kemben yang melilit dadanya yang membusung padat. Roro Kartiko mulai menanggalkan pakaiannya!
Karena dia sendiri adalah seorang wanita, tadinya Bromatmojo tentu akan mendiamkannya saja, ingin melihat apa yang akan terjadi selanjutnya karena bukankah Nyi Durgakelana itu pun hanya seorang nenek wanita tua? Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kaget dan marahnya ketika kemben yang melilit dada Roro Kartiko itu mulai terlepas dan sebagian dari buah dada yang indah bentuknya itu kelihatan, tiba-tiba saja tangan Nyi Durgakelana bergerak menyentuh ke arah dada itu!
"Cah ayu... engkau benar-benar cantik jelita... manis menggairahkan... ah, aku tidak akan perdulikan perempuan-perempuan yang lain setelah memperoleh dirimu, manis..."
Dan nenek itu dengan cepat menanggalkan jubahnya. Baru tahulah Bromatmojo bahwa nenek itu sebenarnya adalah seorang pria karena dadanya rata dan tenggorokannya yang biasanya tertutup leher jubah lebar itu nampak ada kalamenjingnya!
"Keparat jahanam!"
Bromatmojo membentak dan tubuhnya sudah mencelat keluar dari balik lemari dan langsung saja dia menerjang kakek yang menyamar sebagai nenek itu dengan marah sekali.
"Bressss!! Bromatmojo yang marah sekali itu menyerang dengan aji kesaktian Hasto Bairowo, hebatnya bukan kepalang sehingga biar pun kakek itu sudah menangkisnya, tetap saja dia terlempar dan terbanting roboh sehingga kakek itu terkejut sekali.
Selain terkejut, kakek itu pun marah bukan main karena ada seorang pemuda berani bersembunyi di dalam kamarnya dan selain menentangnya, juga rahasianya telah diketahui orang. Dengan menggereng seperti seekor harimau marah, dia lalu menyambar tongkat hitamnya yang panjang dan menerjang Bromatmojo tanpa bicara lagi. Rahasianya sebagai pria telah diketahui pemuda ini, maka dia harus dapat cepat membunuhnya, hanya inilah isi hatinya.
"Wuuuutttt....! Brakkk!"
Bromatmojo maklum akan kehebatan tongkat itu maka dia sudah cepat menggunakan kegesitan tubuhnya mengelak dan tongkat itu menghantam lemari di belakangnya sampai hancur berantakan! Sementara itu, seperti baru terbangun dari tidur nyenyak, Roro Kartiko kelihatan terkejut dan setengah menjerit menutupi dada dengan tangan, lalu tergesa-gesa membereskan kembennya lagi, wajahnya merah dan kedua matanya bersinar-sinar penuh kemarahan.
"Jahanam busuk!"
Bentaknya setelah pakaiannya beres dan dia sudah menyambar sebuah bangku untuk menyerang Durgakelana dengan dahsyat.
"Brakkk!!"
Bangku itu pecah berhamburan ketika ditangkis oleh tongkat di tangan Durgakelana dan tubuh Roro Kartiko agak terhuyung ke belakang.
"Desssss....!!"
Ketika Durgakelana menangkis serangan Roro Kartiko tadi,Bromatmojo mempergunakan kesempatan itu untuk menampar dengan telapak tangannya yang ampuh. Durgakelana terkejut dan mengelak, akan tetapi tetap saja pundak kirinya kena tamparan ampuh dan dia terlempar dan terbanting jatuh.
"Ahhhh...!!"
Dia terkejut bukan main. Baru tahu dia sekarang bahwa memang pemuda dan gadis ini agaknya sengaja memancingnya. Dara cantik jelita itu tentu bukan sembarangan hendak menjadi murid Bathari Durga, melainkan sengaja memancing karena ternyata dara iu bukan orang lemah melainkan seorang yang sudah menyelundup masuk. Celaka, pikirnya dan dia lalu meloncat ke luar dari dalam kamar itu.
"Keparat busuk hendak lari ke mana kau?"
Bromatmojo membentak dan bersama Roro Kartiko dia meloncat keluar untuk mengejar.
Ketika mereka tiba di luar kamar, ternyata di ruangan tengah juga sedang terjadi pertempuran hebat. Sutejo dan Joko Handoko sedang menyerang dan mendesak dua orang kakek raksasa dan beberapa kali dua orang kakek itu terbanting jatuh lalu bangkit kembali dan melawan mati-matian.
"Kakang Durgakelana, tolong...!"
Seorang di antara dua raksasa itu, yang didesak oleh pukulan-pukulan sakti dari Sutejo, tiba-tiba berteriak ketika dia melihat Durgakelana. Akan tetapi, tentu saja kakek cabul ini sendiri tidak mampu membantu mereka karena dia sendiri pun segera diterjang oleh Bromatmojo yang dibantu oleh Roro Kartiko.
Kiranya Sutejo dan Joko Handoko tadi pun segera menyelinap ke dalam rumah gedung itu ketika pesta berakhir dan lima orang gadis itu dibawa ke dalam. Dan karena dua orang raksasa itu berbeda caranya menguasai korbannya dengan Durgakelana yang menggunakan kekuatan sihir, yaitu hanya mengandalkan tenaga kasar, maka dua orang pemuda itu segera mendengar jerit ketakutan di antara suara gelak tawa mereka. Dan ketika dua orang pemuda itu mengintai dan melihat betapa empat orang gadis itu dipermainkan oleh dua orang kakek raksasa, tentu saja mereka tidak dapat menahan kemarahan mereka lagi dan sekali tendang, pintu kamar itu jebol dan menyeret keluar dua orang raksasa itu untuk dihajar di luar kamar!
Pertandingan yang berlangsung di ruangan itu hebat sekali, akan tetapi jelas bahwa fihak Durgakelana dan dua orang temannya terdesak hebat. Beberapa kali mereka bertiga terbanting roboh dan mereka hanya melakukan perlawanan untuk membela diri saja, sama sekali tidak mampu balas menyerang lagi. Sebetulnya, kepandaian Dugakelana cukup tinggi, akan tetapi dia tidak tahan menghadapi ilmu-ilmu kesaktian Bromatmojo. Demikian pula dua orang raksasa itu memiliki kedigdayaan yang cukup hebat dan kiranya kalau hanya sendirian saja, Joko Handoko dan Roro Kartiko tentu tidak akan mampu menandingi mereka. Akan tetapi dengan adanya Sutejo, maka dua orang raksasa itu pun menemukan lawan yang terlalu berat sehingga mereka jatuh bangun.
"Kakang Tejo, kita basmi saja iblis-iblis ini!"
Bromatmojo berseru. Dia sudah amat marah kepada Durgakelana dan dia tahu bahwa Sutejo adalah seorang pemuda yang agaknya berpantang membunuh dan merasa khawatir kalau-kalau Sutejo akan membebaskan mereka itu.
Sebelum Sutejo menjawab, tiba-tiba berkelebat bayangan dari luar rumah dan terdengar suara yang nyaring.
"Tahan dulu! Jangan berkelahi!"
"Plak-plakk!"
Dua kali bayangan itu berkelebat cepat dan menangkis pukulan Bromatmojo yang ditujukan ke arah kepala Durgakelana dan tamparan Sutejo yang menyerang dua orang raksasa. Bromatmojo dan Sutejo merasa betapa lengan mereka bertemu dengan tangan yang amat kuat, yang mengandung tenaga ampuh. Keduanya terkejut dan siap, memandang dengan penuh perhatian.
"Bapa Guru!"
Joko Handoko dan Roro Kartiko berseru kaget ketika melihat orang yang datang itu bukan lain adalah Resi Harimurti, guru mereka sendiri. Sementara itu, ketika mereka tidak lagi diserang oleh orang-orang muda yang sakti itu, Durgakelana dan dua orang raksasa cepat meloncat keluar dan melarikan diri.
"Kejar...!!"
Bromatmojo berteriak akan tetapi Resi Harimurti sudah menghadang di pintu.
"Tahan...!"
Harimurti membentak.
"Joko dan Roro, kalian tidak boleh kurang ajar!"
"Akan tetapi, Bapa Guru, mereka adalah orang-orang jahat!"
Joko Handoko membantah.
"Hemm, kita sama sekali tidak boleh mencampuri urusan agama golongan lain, apalagi menghina mereka. Kalau Nyi Durgakelana hendak mengembangkan agama menyembah Sang Bathari Durga dan menerima murid-muridnya, hal itu tidak ada sangkut-pautnya dengan kita dan kita tidak boleh mengganggunya."
"Bapa Guru, yang menyebut diri Nyi Durgakelana itu sesungguhnya adalah seorang kakek cabul dan jahat! Dia memikat para wanita muda yang dikatakan hendak menjadi murid Sang Bathari Durga, padahal wanita-wanita itu menjadi korban kebiadabannya bersama dua orang kawannya tadi! Apakah melihat hal seperti itu kami harus diam saja?"
Roro Kartiko membantah dengan suara penasaran.
Resi Harimurti kelihatan terkejut sekali.
"Ahh... benarkah itu? Apakah itu bukan fitnah saja?"
Roro Kartiko yang diam-diam merasa benci kepada gurunya ini karena kakek ini pun pernah bersikap kurang ajar dan tidak semestinya terhadap dirinya, menjadi marah.
"Bapa Guru tidak percaya kepada saya? Saya sendiri yang membuktikan dengan masuk menjadi murid, dan hampir saja saya menjadi korban kebiadababan Kakek Durgakelana itu!"
"Kakang Tejo, mari kita kejar mereka. Mereka tentu belum lari jauh!"
Bromatmojo berseru.
"Ah, kalau begitu, sungguh mereka harus dihukum dan biar aku sendiri yang akan menghukum mereka!"
Resi Harimurti berseru dan dia lalu melompat keluar dan melakukan pengejaran.
Kalau saja di situ tidak ada Joko Handoko dan Roro Kartiko, tentu Bromatmojo dan Sutejo sudah melakukan pengejaran karena mereka tidak percaya kepada Resi Harimurti. Akan tetapi mereka merasa tidak enak kalau harus menentang Resi itu di depan orang muda yang menjadi murid Resi itu. Roro Kartiko mengepal tinjunya. Dia pun tidak percaya kepada gurunya sendiri,akan tetapi merasa tidak enak kalau harus memusuhi gurunya.
"Biarkan Bapa Guru berurusan dengan mereka. Kita basmi tempat ini dan menolong wanita-wanita itu,"
Katanya.
Ternyata banyak wanita muda yang dikeram di tempat itu, ada yang seperti sudah tidak waras ingatannya, ada yang menangis menyesali nasib akan tetapi ada pula yang sudah menerima nasib karena tidak berdaya melawan Nyi Durgakelana. Ketika empat orang muda itu mengumpulkan para wanita itu, tiba-tiba muncul Parmono dan Partiwi dan suami isteri ini langsung berlutut dan menyembah empat orang muda perkasa itu. Tentu saja kini Parmono telah tahu siapa adanya "Nyi"
Durgakelana itu dan tahu pula bahwa sebagai "murid kepala"
Isterinya telah dijadikan kekasih kakek yang menyamar wanita itu. Akan tetapi dia tidak berani berkata apa-apa karena maklum akan kesaktian kakek itu dan pula, bukankah mereka kini memiliki rumah yang besar dan menjadi kaya raya?
"Raden, harap sudi mengampuni kami yang tidak tahu apa-apa, yang hanya diperalat oleh Nyi Durgakelana..."
Parmono meratap.
"Hemm, siapa kalian?"
Bromatmojo bertanya sambil memandang tajam.
"Mereka ini adalah suami isteri yang memiliki pondok ini dan diangkat menjadi murid-murid kepala dan pembantu dari Durgakelana,"
Kata seorang di antara wanita-wanita yang kini telah berkumpul di situ.
"Ampun, kami ditipu... kami tidak berdaya..."
Partiwi berkata sambil menangis.
"Beberapa bulan yang lalu, dia datang dan mengobati orang-orang sakit... kami diangkat menjadi murid dan pembantu..."
"Sudahlah,"
Roro Kartiko berkata.
"Kalian semua hanyalah orang-orang bodoh dan tahyul yang menjadi korban penipuan keparat itu. Sekarang kalian keluarkan semua harta kekayaan dari kakek jahanam itu dan kumpulkan di sini!"
Parmono dan Partiwi cepat melakukan perintah ini. Kemudian, harta itu dibagi-bagi di antara mereka semua.
"Sekarang kalian semua boleh pulang ke dusun masing-masing dan bagian harta itu adalah milik kalian. Nah, pergilah sekarang juga karena kami mau basmi tempat terkutuk ini,"
Kata Roro Kartiko.
Para wanita itu menyembah dan menghaturkan terima kasih. Juga Parmono dan Partiwi yang mendapatkan bagian pula, tidak berani membantah dan mereka berdua lalu pergi dari tempat itu untuk memulai hidup baru di tempat lain dengan modal pembagian harta yang mereka terima.
Menjelang pagi, nampak api berkobar menjulang tinggi ketika empat orang muda perkasa itu membakar rumah yang tadinya menjadi sarang kemaksiatan itu. Empat orang muda itu tidak melihat betapa di tempat gelap terdapat seorang kakek yang memandang semua itu dengan tangan dikepal dan muka marah. Kakek ini adalah Resi Harimurti! Sebenarnya Durgakelana adalah seorang teman dari Sang Resi ini dan sudah beberapa kali Resi Harimurti berkunjung ke tempat temannya itu di waktu malam terang bulan dan sudah beberapa kali Kakek Pendeta yang berbatin kotor ini disuguhi pula "murid"
Baru dari Durgakelana. Malam itu Harimurti datang untuk mengharapkan bagian murid baru pula dan secara kebetulan saja dia dapat menyelamatkan Durgakelana dan dua orang raksasa yang menjadi sahabatnya. Setelah melakukan pengejaran, dia menasihatkan kepada Durgakelana yang sudah terbuka rahasianya itu untuk pergi sejauh mungkin, kemudian dia kembali dan melihat tempat yang merupakan tempat hiburan amat menyenangkan baginya itu dibakar oleh dua orang muridnya dan dua orang pemuda tampan yang sakti itu. Hatinya panas dan marah, akan tetapi tentu saja dia tidak berani sembarangan membela Durgakelana yang sudah terbuka kedoknya itu.
Hemm, Bupati Progodigdoyo sedang berada di kota raja, pikirnya. Dan dua orang anaknya, yang menjadi murid-muridnya, telah berkawan dengan dua orang muda yang mencurigakan. Dia harus cepat pergi ke kota raja dan memberitahukan hal itu kepada Progodigdoyo. Kalau dia sendiri yang turun tangan terhadap dua orang muridnya, sungguh tidak baik. Tentu Bupati Tuban itu akan dapat mengendalikan dua orang pemuda yang hendak mengacau di Tuban. Maka pergilah Resi Harimurti, meninggalkan Tuban pada pagi hari itu juga.
Sementara itu, dengan berpakaian sebagai Sriti Kencana, Roro Kartiko dan kakaknya, Joko Handoko lalu mendatangi para lurah di dusun-dusun sekitar tempat itu untuk memperingatkan mereka agar jangan mudah tertipu dan terbujuk oleh penjahat-penjahat seperti Durgakelana yang menyamar sebagai nenek itu. Mereka berdua ditemani oleh Sutejo dan Bromatmojo yang memakai pakaian anggauta Sriti Kencana. Para lurah itu sudah mendengar akan pembasmian tempat maksiat itu,mendengar bahwa wanita itu sebenarnya tertipu dan bahwa Durgakelana adalah seorang kakek cabul, tentu saja merasa terkejut dan menghaturkan terima kasih kepada empat orang Sriti Kencana. Semenjak itu, makin terkenallah nama Sriti Kencana yang ditakuti oleh para pejabat dan penjahat, yaitu para pejabat yang bersikap sewenang-wenang dan menindas rakyat dan para pejabat yang ketenteraman hidup rakyat.
Hari telah siang ketika mereka akhirnya menyelesaikan tugas mereka itu dan ketika Bromatmojo dan Sutejo menyatakan hendak melanjutkan perjalanan ke Mojopahit, Roro Kartiko dan kakaknya mengantar mereka sampai ke perbatasan Tuban. Kelihatan berat sekali bagi Roro Kartiko untuk berpisah dengan dua orang pemuda itu.
"Sudah cukup sampai di sini saja Andika berdua mengantar kami, Dimas Joko dan Diajeng Roro Kartiko,"
Kata Sutejo.
"Benar, sudah cukup jauh. Terima kasih atas kebaikan kalian dan mudah-mudahan kelak kita akan dapat saling berjumpa kembali,"
Kata Bromatmojo.
Roro Kartiko mengangkat mukanya dan memandang wajah Bromatmojo.
"Benarkah kita akan dapat saling bertemu kembali? Kapan dan di mana? Apakah Andika berdua sudi berkunjung ke Tuban dan tidak melupakan kami?"
"Kalau sudah selesai semua urusan kami, dan kalau sekali waktu kami lewat Tuban,pasti kami tidak akan lupa untuk singgah,"
Kata Sutejo.
"Ah, siapa dapat melupakan seorang seperti engkau, Diajeng Roro Kartiko? Sampai mati pun aku tidak akan dapat melupakanmu. Akan tetapi, ada waktunya bertemu tentu ada saatnya berpisah, dan sekarang kami berdua harus cepat melanjutkan perjalanan. Selamat tinggal dan selamat berpisah!"
Bromatmojo melambaikan tangan dan berjalan pergi dari situ bersama Sutejo.
Kakak beradik itu memandang dan tiba-tiba terdengar suara Kartiko.
"Kakangmas Bromatmojo... aku menanti kunjunganmu...!"
Bromatmojo hanya menoleh, tersenyum dan melambaikan tangan, tidak menjawab,namun senyumnya yang manis sudah cukup bagi Roro Kartiko karena senyum itu terukir di dalam hatinya. Setelah dua orang itu lenyap di tikungan jalan, Joko Handoko menarik napas panjang.
"Sungguh hebat mereka itu... dan aku tidak menyalahkan engkau kalau hatimu tertarik dan jatuh cinta kepada seorang pemuda seperti Dimas Bromatmojo itu..., akan tetapi aku lebih kagum kepada Dimas Sutejo yang pendiam. Dia benar-benar seorang ksatria yang gagah perkasa."
Roro Kartiko tidak menjawab, hanya menunduk dengan muka berubah merah. Akhirnya dia berkata tanpa menyinggung dua orang pemuda itu.
"Aku curiga sekali kepada Bapa Guru, agaknya ada apa-apa antara dia dan kakek jahanam Durgakelana itu."
Joko Handoko mengangguk-angguk.
"Aku pun berpikir demikian, akan tetapi kita harus waspada dan mengerahkan teman-teman kita untuk melakukan penyelidikan,jangan sampai kakek jahanam itu mengulangi perbuatannya di wilayah Tuban."
Kakak beradik ini lalu kembali ke Tuban sambil membicarakan ayah mereka yang sudah agak lama meninggalkan Tuban dan pergi ke kota Raja Mojopahit. Memang agak sudah lama Bupati Progodigdoyo pergi ke Mojopahit. Biasanya, kalau Bupati ini bepergian ke Mojopahit, dalam waktu seminggu dia tentu sudah pulang ke Tuban. Akan tetapi sekarang, sudah hampir tiga minggu dia pergi dan belum juga pulang.
Seperti biasa, setelah menghadap Sang Prabu untuk melaporkan keadaan Tuban yang aman dan makmur seperti yang selalu keluar dari mulut para bupati kalau melaporkan daerah yang dikuasainya kepada atasan, Progodigdoyo lalu pergi mengunjungi Resi Mahapati. Memang sesungguhnya inilah yang menjadi inti kunjungannya ke Mojopahit. Kalau dia menghadap Sang Prabu untuk menghaturkan sembah bakti dan melaporkan keadaan wilayah Tuban, itu hanya untuk basa-basi belaka, akan tetapi sesungguhnya dia ingin menghadap Resi Mahapati dan seperti biasa mengadakan perundingan dengan orang yang dianggap sebagai pemimpinnya ini.
Ada suatu hal lain yang makin menarik hati Progodigdoyo untuk berkunjung sesering dan selama mungkin di istana Resi Mahapati, yaitu Lestari! Pada kunjungannya yang terakhir, pada suatu kesempatan ketika Resi Mahapati sedang tidur siang, tiba-tiba saja Lestari mengunjungi dia yang sedang duduk di ruangan belakang. Begitu bertemu berduaan, Lestari lalu menangis sehingga hal ini amat mengejutkan dan mengherankan hati Progodigdoyo. Sepanjang pengetahuannya, puteri dari mendiang Lembu Tirta ini, setelah diselir oleh Resi Mahapati, menjadi kekasih dan mendapatkan kedudukan paling tinggi di samping Sang Resi yang amat mencintanya. Bahkan dia sendiri setelah mendengar betapa segala permintaan Lestari diturut belaka oleh Sang Resi, dia menjadi agak gentar terhadap wanita muda yang amat cantik jelita ini. Dan kini, begitu bertemu dengan dia di tempat itu, Lestari menangis sesenggukan!
"Eh, maaf..... ada..... ada apakah? Mengapa kau menangis?"
Tanya Progodigdoyo dengan kaget, heran dan juga gugup karena baru sekarang dia sempat bertemu berdua saja dengan wanita muda yang dulu hampir dipaksanya menjadi selirnya itu.
Sekarang, setelah usianya cukup dewasa dan menjadi seorang wanita yang sudah matang, Lesatri benar-benar mirip sekali dengan mendiang ibunya, Galuhsari yang pernah dicintanya, hanya tentu saja Lestari ini jauh lebih muda dan lebih cantik. Akan tetapi persis seperti inilah Galuhsari ketika masih perawan dahulu, ketika dia memperebutkan cintanya dengan Lembu Tirta akan tetapi akhirnya Lembu Tirta yang menang dan menjadi suami Galuhsari.
Harus diakuinya bahwa dia dahulu tergila-gila kepada Galuhsari sehingga pernikahannya dengan Sariningrum yang cantik jelita pun tidak dapat mengobati rasa rindunya kepada Galuhsari yang sudah menjadi isteri Lembu Tirta. Karena iri hati dan cemburu, timbullah dendam dan bencinya kepada Lembu Tirta, padahal Lembu Tirta adalah sahabatnya yang paling baik, yang seolah-olah telah menjadi saudaranya sendiri, kawan seperjuangan yang selalu bahu-membahu dalam perang ketika mereka bersama-sama menghamba kepada Raden Wijaya.
Kebenciannya itulah yang membuat dia tega untuk membunuh Lembu Tirta secara curang, ketika mereka berdua sedang berada dalam medan perang melawan musuh. Progodigdoyo membunuh Lembu Tirta dari belakang dan hal ini dilakukan hanya karena dia ingin memperoleh jandanya, yaitu Galuhsari! Namun, Galuhsari yang sudah tahu akan kekejaman Progodigdoyo, menolaknya sehingga akhirnya terjadilah kemaksiatan di malam itu, di mana Progodigdoyo dengan kekerasan memaksa Galuhsari menyerahkan diri kepadanya, diperkosanya di depan anak-anaknya! Akan tetapi karena cintanya hanya cinta terdorong oleh nafsu berahi belaka, setelah dia memperoleh apa yang dikejar-kejar selama bertahun-tahun itu, dia kecewa.
Galuhsari telah terlalu tua untuk dapat dinikmatinya dan pandang matanya beralih kepada Lestari, gadis remaja puteri Galuhsari. Namun dia gagal memperoleh Lestari sehingga terpaksa dia menyerahkan gadis itu kepada Resi Mahapati dalam usahanya menjilat resi yang sedang berkuasa itu. Dan kini, Lestari yang usianya sudah dua puluh empat tahun, yang seperti bunga sedang mekar-mekarnya, seperti buah sedang ranum-ranumnya, sehingga membangkitkan kembali gairahnya yang telah lama terpendam, wanita cantik itu menangis di depannya!
"Lestari.... Mengapa kau menangis? Apa yang menyusahkan hatimu?"
Tanyanya dengan nada suara halus ketika wanita itu tidak menjawab pertanyaannya tadi dan terus menangis sesenggukan. Dia sudah bangkit dari tempat duduknya dan menghampiri wanita itu. Mendengar nada suara pertanyaan yang penuh dengan perhatian, lembut dan penuh perasaan itu, Lestari makin keras menangis, lalu dia berlari maju, menubruk dan merangkul, menangis di atas dada Progodigdoyo yang bidang!
"Eh..... eh.....! Mengapa begini...? Ada apa ini?"
Progodigdoyo tentu saja terkejut bukan main melihat kekasih Resi Mahapati ini merangkulnya begitu saja. Tentu saja dia merasa takut kalau sampai ketahuan orang, akan tetapi tidak urung jantungnya berdebar keras dan otomatis jari-jari tangannya balas merangkul dan mengelus rambut kepala yang halus dan berbau harum itu.
"Kakangmas Progodigdoyo, kau... kau kejam terhadap aku...."
Sepasang mata bupati yang lebar itu membelalak, kumisnya yang panjang melintang itu bergerak-gerak.
"Aku....? Kejam terhadapmu......?"
"Engkau kejam sekali, Kakangmas...." Kumis itu makin bergerak-gerak dan jantung Bupati Progodigdoyo makin berdebar tidak karuan. Kakangmas? Lestari menyebutnya kakangmas! Padahal dahulu menyebutnya paman, dan memang sejak kecil Lestari menganggapnya seorang paman.
Akan tetapi sekarang tiba-tiba saja menyebutnya kakangmas! "Engkau keliru, Lestari. Aku selalu sayang padamu....."
"Kalau sayang, mengapa dahulu Kakangmas menyerahkan aku kepada tua bangka itu? Mengapa Kakangmas melempar aku ke dalam lembah kekecewaan dan kesengsaraan ini?" Lestari kembali menangis dan membasahi dada baju Progodigdoyo dengan air matanya.
"Eh, bukankah kau hidup bahagia di sini? Bukankah kau menjadi kekasih Paman Resi dan hidup penuh kemuliaan? Aku mengira engkau berbahagia......"
"Berbagia hidup di samping kakek tua bangka yang sudah tidak mampu apa-apa itu? Ah, Kakangmas jangan mengejek aku! Di luar saja aku kelihatan bahagia, akan tetapi di sebelah dalam...... terutama di waktu malam...... aku merana dan sengsara, kecewa dan... ah, tidak mengertikah kau, Kakangmas? Semestinya aku yang masih muda ini hidup di samping seorang pria yang kuat dan perkasa seperti Kakangmas...... akan tetapi kau kejam sekali, menyerahkan aku kepada seorang tua bangka yang loyo dan sudah hampir mati!"
Debar jantung Progodigdoyo makin menghebat. Benarkah ini? Hampir dia tertawa. Benarkah bahwa Resi Mahapati yang sakti mandraguna itu sudah tidak ada gunanya lagi dalam hubungan suami isteri?
"Akan tetapi.... Lupakah engkau, Lestari? Dahulu aku ingin sekali mengangkatmu sebagai selirku yang terkasih, akan tetapi engkau tidak mau sehingga terpaksa aku menghadiahkan engkau kepada Paman Resi..."
Lestari mengangkat mukanya, merenggangkannya dari dada Progodigdoyo dan menatap tajam wajah bupati itu dengan kedua mata kemerahan karena tangis.
"Kakangmas,sebagai seorang wanita yang masih perawan, seorang gadis remaja, apakah aku harus tertawa girang menerima pinanganmu dahulu? Tentu saja aku malu, dan sebagai gadis baik-baik tentu saja aku pura-pura menolak, padahal di dalam hati... aku... aku selalu mengagumi kegagahanmu. Apalagi sekarang..... setelah bertahun-tahun aku selalu kecewa dalam pelukan tua bangka itu....."
"Ahhh.....!"
Progodigdoyo berseru dengan hati merasa terharu, lalu mempererat rangkulannya.
"Benarkah itu, Lestari? Benarkah bahwa engkau sejak dahulu suka kepadaku? Apakah kau sampai sekarang..... masih.... cinta kepadaku.....?"
Dia tergagap karena pertanyaan itu dianggapnya tidak mungkin.
Akan tetapi, tiba-tiba kedua lengan yang kecil bulat itu seperti dua ekor ular merayap merangkul lehernya, sepasang mata yang masih basah itu memandangnya penuh kemesraan, dan muka itu dekat sekali ketika berbisik.
"Masih perlukah kau bertanya lagi.....? Masih ragukah kau kepadaku, melihat sikapku ini, Kakangmas....?"
Mulut itu setengah terbuka, bibirnya basah dan merah, deretan gigi yang putih mengkilap nampak sedikit dan napas yang hangat keluar dari mulut itu menghembus pipinya.
"Lestari.....!"
Progodigdoyo menunduk dan entah siapa yang mendahului gerakan itu, tahu-tahu mulut mereka saling bertemu dalam kecupan mesra dan panas karena Progodigdoyo sudah dibakar oleh berkobarnya nafsu berahinya. Merasa betapa mulut wanita itu bergerak penuh gairah, dia mencium lebih bernafsu lagi dan dengan mata terpejam Progodigdoyo mencengkeram tubuh yang padat, lembut dan hangat itu seperti seekor burung garuda menerkam kelinci.
"Eh, jangan Kakangmas....."
Lestari terengah-engah setelah berhasil melepaskan mulutnya dari kecupan Progodigdoyo, lalu dengan halus dia mendorong dada pria itu dan melangkah mundur. Mukanya kemerahan, air matanya masih membasahi pipi dan matanya bersinar-sinar penuh kemesraan. Cantik bukan main dia dalam keadaan seperti itu.
"Jangan terburu-buru, Kakangmas. Bukan di sini tempatnya....."
Dia berbisik dan menjilati bibirnya. Melihat lidah kecil merah itu menjilati bibir, Progodigdoyo hampir saja menubruknya lagi, akan tetapi cepat Lestari menghindar dan berbisik,"Jangan...., kalau terlihat orang nanti....."
Bisikan ini membuat Progodigdoyo sadar kembali. Terkejutlah dia mengingat apa yang baru saja terjadi. Kalau sampai ketahuan orang dan terdengar oleh Resi Mahapati tentu celakalah dia! Akan tetapi, melihat kini Lestari tersenyum manis dan menggunakan kedua tangan untuk membereskan gelung rambutnya sehingga untuk pekerjaan itu dia mengangkat kedua lengan ke atas, memperlihatkan ketiak yang halus dan ditumbuhi sedikit rambut keriting yang mendatangkan daya tarik yang luar biasa, dan juga gerakan kedua lengan itu membuat buah dada yang tertutup kain tipis itu menonjol penuh tantangan, jantungnya berdebar lagi dan seluruh tubuhnya terbakar api gairah.
Beberapa kali dia menelan ludah sebelum berkata.
"Lestari, kekasihku.... ah,pujaan hatiku, kalau tidak di sini, di manakah dan kapankah....?"
Lestari tersenyum dan matanya menyambar dengan kerlingan tajam.
"Bukan hanya engkau, Kakangmas, akan tetapi aku pun haus sudah....., akan tetapi kita harus berhati-hati....."
"Mari kau kubawa minggat saja, kuboyong ke Tuban, sayang....."
"Ah, kau mencari penyakit. Tentu akan geger."
"Tidak takut! Kalau perlu kukerahkan pasukanku untuk melawan!"
"Ssstt, jangan begitu. Tidak perlu menggunakan kekerasan. Di sini pun bisa asal kita dapat mengaturnya dengan tepat. Besok siang, kalau tua bangka itu sudah tidur, aku akan mandi di pemandian. Kau tahu bukan, pemandian puteri di dekat taman? Nah, aku akan mandi di sana dan aku akan menyuruh semua pelayan mundur. Kau dapat memasuki pemandian itu dari belakang, dari taman, dengan memanjat tembok, lalu masuk ke pemandian. Aku akan menantimu di sana. Kau lihat saja, kalau aku diiringkan oleh para pelayan sudah menuju ke taman, tak lama kemudian kau boleh masuk ke sana dan kita dapat leluasa...."
Lestari tidak melanjutkan kata-katanya, hanya senyum dan pandang matanya yang penuh gairah itu menjanjikan sesuatu yang membuat jantung Progodigdoyo dag-dig-dug tidak karuan.
"Aku akan ke sana!"
Saking girangnya, Progodigdoyo melompat, menerkam dan merangkul, lalu menciumi lagi mulut itu. Lestari meronta dan melepaskan diri.
"Ssstt, cukup... besok banyak kesempatan bagi kita dan aku akan menyerahkan segala-galanya untukmu, Kakangmas Progodigdoyo yang tercinta...."
Bisiknya dan wanita itu lalu membalikkan diri, meninggalkan ruangan itu di mana Progodigdoyo berdiri bengong, mengikuti lenggang yang membuat kedua bukit pinggul itu bergoyang-goyang amat menggairahkan. Setelah bayangan Lestari lenyap, Progodigdoyo ingin sekali bersorak dan menari-nari! Begitu girang hatinya dan dia lalu berjalan kembali ke kamarnya sambil bersiul-siul, sikapnya seperti seorang pemuda remaja yang baru saja mencium pacarnya untuk yang pertama kalinya. Dia dicinta oleh Lestari!
Bukan main bahagia hatinya. Dia haus akan cinta kasih dan isterinya sendiri,Sariningrum, tak pernah memperlihatkan cinta kasih demikian berkobar seperti yang diperlihatkan oleh Lestari tadi! Bahkan dua orang anaknya juga kelihatan acuh tak acuh kepadanya, tidak terasa ada rasa kasih dari mereka kepadanya. Tidak ada seorang pun yang benar-benar mencintanya, dan baru sekarang dia melihat bukti cinta kasih seorang wanita yang demikian berkobar seperti yang diperlihatkan Lestari tadi!
Memang demikianlah. Seperti Progodigdoyo itu pulalah kebanyakan dari kita manusia. Kita selalu haus akan cinta. Kita ingin agar kita DICINTA oleh semua orang, oleh siapa saja di sekeliling kita. Namun kita tidak pernah menjenguk batin sendiri apakah kita ada cinta kasih di dalam batin kita, apakah kita MENCINTA orang dalam arti kata seluas-luasnya dan semurni-murninya. Kita ingin agar semua orang baik kepada kita, namun kita tidak pernah melihat atau menyelidiki apakah kita pernah baik kepada orang lain! Kalau toh kita merasa bahwa kita sudah mencinta dan sudah baik, perlu pula kita teliti apakah cinta dan kebaikan kita itu benar-benar ataukah bukan sesuatu yang mengandung pamrih untuk mengharapkan imbalan?
Biasanya, kita tidak mencinta orang, kita tidak baik kepada orang, kita melainkan ingin mengejar kesenangan kita melalui cinta kita kepada orang lain itu, kita juga mengejar kesenangan dengan kebaikan kita kepada orang lain, baik itu kesenangan batin mau pun kesenangan lahir! Kita mencinta seseorang dengan TUJUAN atau HARAPAN agar orang itu pun mencinta kita, melayani kita, pendeknya menyenangkan kita! Kita berlaku baik kepada orang lain dengan tujuan atau harapan agar orang itu mengingat akan budi kita, membalas kebaikan kita, atau agar kita memperoleh pahala batiniah dan sebagainya. Cinta model itu bukanlah cinta namanya, kebaikan model itu bukanlah kebaikan, melainkan pengejaran kesenangan diri pribadi melalui yang dinamakan cinta atau kebaikan!
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan demikian, semua titik tujuan kita hanya satu, yaitu demi kesenangan diri pribadi. Kita ingin dicinta orang, karena dicinta orang ini mendatangkan kesenangan bagi kita. Kalau toh kita merasa mencinta orang, hal itu pun didorong oleh keinginan untuk memperoleh kesenangan bagi kita sendiri.
Padahal, dicinta orang lain atau dibaiki orang lain itu tidak mungkin ada kalau kita tidak ada cinta dan kebaikan di dalam batin kita terhadap orang lain! Tidak mungkin orang lain baik kepada kita kalau kita tidak baik kepadanya! Dan kalau kebaikan kita kepadanya itu palsu, pura-pura atau hanya penilaian belaka, tentu kebaikan kepada kita pun palsu adanya! Kalau cinta kita kepada orang lain itu hanya cinta yang merupakan jembatan untuk pemuasan nafsu keinginan kita mengejar kesenangan, maka sudah tentu cinta orang lain kepada kita itu pun ada iri, tidak ademikian pula. Cinta adalah wajar, tidak dibuat-buat, tidak ada pamrih, tidak ada benci, tidak ada kecewa. Dari cinta timbul kebajikan atau kebaikan yang wajar pula, tidak dibuat-buat, tidak mengharapkan imbalan, melainkan timbul dari welas asih (belas kasihan) yang juga cinta kasih adanya.
Cinta kasih Progodigdoyo terhadap Lestari sama sekali bukanlah cinta kasih dan hal ini sudah dibuktikan ketika dia hendak memaksa Lestari sembilan tahun yang lalu. Cintanya hanyalah cinta untuk mengejar kesenangan diri sendiri, dalam hal ini kesenangan itu adalah nafsu berahi! Cintanya hanya untuk mencari kepuasan nafsu berahinya belaka. Dan cinta yang hanya merupakan jembatan untuk mengejar kesenangan, dalam bentuk apa pun juga, sudah pasti hanya akan menimbulkan kekecewaan, kebosanan, dan kesengsaraan belaka Karena itu, perlu sekali kita membuka dada menjenguk isi batin kita.
Adakah cinta kasih itu di dalam hati kita? Kita selalu ingin agar Tuhan mencinta kita,akan tetapi kita tidak pernah memeriksa diri sendiri apakah ada cinta kasih kita itu terhadap Tuhan? Ataukah yang ada hanya perbuatan-perbuatan kita yang hanya merongrong Tuhan, yang selalu melanggar dan menyeleweng, kemudian minta ampun dan minta diberkahi, seperti seorang anak bengal yang tak pernah mau bertobat, selalu mengulangi kenakalannya kemudian merengek dengan manja minta diampuni?
Adakah cinta kasih kita terhadap Tuhan atau terhadap sesama manusia? Kalau tidak ada, mengapa? Inilah pertanyaan pokok yang harus kita selidiki selama kita hidup, kalau benar-benar kita ingin mengetahui apakah sebenarnya hidup ini mengapa ada penderitaan di dunia ini, mengapa ada kematian dan sebagainya. Sinar cinta kasih akan menerangi segalanya, dan cinta kasih tidak dapat dikejar, tidak dapat dipupuk, tidak dapat dicari dengan akal budi. Akan tetapi kalau semua kotoran,kebencian, iri hati, ambisi yang merupakan inti dari pementingan diri pribadi, itu lenyap, maka sinar cinta kasih akan bercahaya kembali.
Progodigdoyo malam itu tidak dapat tidur. Dia sudah tiga minggu berada di Mojopahit dan sebetulnya akan pulang hari ini. Akan tetapi dengan adanya perkembangan luar biasa dalam sikap Lestari kepadanya, dia sama sekali tidak ingat untuk pulang! Yang diingatnya hanya perjanjian Lestari untuk menerimanya besok di dalam tempat pemandian! Di tempat pemandian! Dia sudah menyeringai dan mengusap-usap kumisnya teringat akan ini dan membayangkan betapa akan mesranya pertemuan mereka di kolam pemandian!
Sama sekali tidak disangkanya bahwa Lestari yang dirindukannya, yang sudah dibayangkannya akan membalas belaiannya, membalas ciumannya seperti yang dilakukannya siang tadi, membalas peluapan cintanya besok di kolam pemandian yang lebar, pada malam itu dengan suara merengek manja berkata kepada Resi Mahapati setelah kakek ini tergolek kelelahan sehabis dilayani hasrat nafsunya oleh selir terkasih itu.
"Kakangmas Resi, saya merasa muak melihat sikap Progodigdoyo itu."
"Eh, jangan berkata begitu, sayang. Dia seorang baik, bahkan bukankah yang menjadi perantara pertemuan kita dahulu adalah Progodigdoyo?"
Lestari merangkul.
"Benar, Kakangmas Resi. Akan tetapi aku tidak senang melihat pandang matanya kepadaku yang kelihatan mengandung kekurangajaran itu. Paduka harus berhati-hati terhadap orang seperti dia, Kakangmas Resi. Agaknya di dalam hatinya terkandung niat yang kurang senonoh terhadap diri saya."
Resi Mahapati mengelus pipi yang halus itu.
"Sudahlah, dia tidak berbahaya, dan aku akan menegurnya."
Akan tetapi di dalam hatinya, kakek ini tersenyum. Mana mungkin Progodigdoyo akan berani kurang ajar terhadap Lestari? Kalau Progodigdoyo memandang kepada selirnya ini penuh gairah dan tertarik, hal itu sudah lumrah. Pria mana di dunia ini yang tidak akan memandang wajah cantik jelita dan tubuh padat menggairahkan itu dengan mata tertarik? Diam-diam dia merasa bangga sekali dan kecurigaannya terhadap Progodigdoyo pun lenyap berbareng dengan dengkurnya yang menandakan bahwa dia telah tidur pulas.
Dengan hati-hati Lestari melepaskan lengan berbulu yang merangkul lehernya dan menimpa dadanya itu, kemudian dia membereskan pakaiannya, lalu turun dari pembaringan dan menyelinap keluar, menemui empat orang pelayannya yang amat dipercayanya dan yang sudah dibanjiri hadiah sehingga empat orang itu benar-benar amat setia kepadanya. Dengan suara bisik-bisik dia mengatur rencananya dan empat orang emban itu mengangguk-angguk. Setelah empat orang emban itu mengerti benar apa yang dimaksudkan, barulah Lestari kembali ke dalam kamarnya, menutupkan pintunya, menghampiri pembaringan dan setelah memandang ke arah Resi Mahapati yang tidur mengorok itu dengan pandang mata menghina dengan hidung dikernyitkan dan bibir dicibirkan, wanita itu lalu naik ke atas pembaringan dan rebah miring membelakangi Sang Resi.
Pada keesokan harinya Progodigdoyo sudah lupa makan dan lupa segalanya. Sejak masih pagi Progodigdoyo sudah menanti di ruangan tengah, di mana Lestari tentu akan lewat kalau hendak pergi ke taman. Kagetlah dia ketika menjelang tengah hari, seorang pengawal mengundangnya atas perintah Resi Mahapati, padahal,setiap siang dia dijamu makan oleh tuan rumah dan hanya kalau
Komentar
Posting Komentar