KEMELUT DI MAJAPAHIT JILID 16

 

   "Kalau begitu, saya harus menyusul ke Mojopahit untuk mencari mbakayu saya. Adi Bromo, mari kita pergi."

   "Ah, nanti dulu!"

   Roro Kartiko berkata.

   "Berbahaya sekali kalau pergi dari sini begitu saja. Bapa Guru Resi Harimurti tentu masih merasa penasaran dan melakukan penjagaan ketat."

   "Benar apa yang dikatakan oleh Diajeng Roro Kartiko. Sebaiknya andika berdua berdiam dulu di sini sampai keadaan aman, baru kalian pergi meninggalkan tempat ini,"

   Kata Joko Handoko.

   "Itu yang sebaiknya,"

   Kata Bromotmojo.

   "Karena saya pun ingin minta tolong kepada... Sriti Kencana!"

   Roro Kartiko memandang pemuda itu dan memandang dengan sinar mata tajam penuh teguran.

   "Harap andika jangan menyebut saya demikian, nama saya Roro Kartiko, Kakangmas Bromatmojo."

   Bromatmojo tersenyum mendengar ini.

   "Terima kasih... eh, Diajeng... sesungguhnya saya membutuhkan bantuanmu, yaitu sukalah kiranya andika membuatkan sebuah warangka untuk saya..., yaitu untuk keris pusaka saya..."

   "Ehhh...!"

   Roro Kartiko menjadi merah sekali mukanya dan dia menunduk, sedangkan Joko Handoko mengerutkan alisnya.

   "Dimas Bromatmojo, apa artinya ucapanmu itu?"

   Bromatmojo merasa heran mengapa dara itu kelihatan malu-malu dan kakaknya itu kelihatan marah. Dia memandang kepada mereka berdua dengan heran, sepasang matanya yang jeli itu terbuka lebar dan dia berkata.

   "Eh, apa yang salah dengan permintaanku itu? Saya telah berhasil mendapatkan keris pusaka Kolonadah, akan tetapi semua warangka yang saya beli tidak ada yang dapat bertahan, semua pecah berantakan kalau dimasuki Kolonadah. Dan menurut nasehat Ki Empu Singkir, katanya pusaka itu panas dan harus diberi warangka buatan seorang dara yang memiliki kesaktian. Maka melihat Sriti... eh, Diajeng Roro Kartiko, timbul ingatan saya untuk minta bantuannya membuatkan warangka. Apa salahnya hal itu?"

   "Ah, begitukah...?"

   Roro Kartiko berkata dan tersenyum. Juga wajah Joko Handoko menjadi cerah.

   "Ah, kalau begitu tentu saja adikku ini akan suka sekali membantu!"

   "Habis anda berdua menyangka apa?"

   Tanya Bromatmojo yang masih tidak mengerti.

   "Tidak apa-apa, hanya tadi kami belum mengerti, Kakangmas Bromatmojo. Akan tetapi... aku tidak pernah membuat ukiran, bagaimana mungkin membuat warangka keris?"

   "Tidak usah diukir, asal merupakan warangka dan dapat untuk menyimpan Kolonadah, karena tidak enak membawa-bawa pusaka tanpa warangka, hanya dibungkus saja."

   "Baiklah, akan kucoba untukmu."

   Karena urusan pembuatan warangka ini, pula karena Joko Handoko melihat bahwa gurunya dan para pengawal masih terus melakukan penjagaan ketat dengan penuh kewaspadaan, maka dua orang muda itu tinggal di dalam gedung sampai tiga hari tiga malam lamanya. Mereka menyamar sebagai dua orang anggota Sriti Kencana sehingga para pelayan tidak ada yang menaruh curiga, karena memang seringkali ada orang-orang berpakaian hitam bertopeng hitam berkeliaran bersama dua orang putera-puteri bupati itu.

   Dan selama tiga hari itu, sikap dua orang putera-puteri Progodigdoyo itu amat baik, bahkan sikap Roro Kartiko amat manis kepada mereka, terutama sekali kepada Bromatmojo yang pandai mengambil hati dan yang memang amat tampan itu. Sutejo sendiri makin kagum dan merasa suka kepada puteri musuh besarnya itu, dan diam-diam dia menyayangkan mengapa seorang dara seperti itu menjadi puteri seorang jahat macam Progodigdoyo. Selain itu, juga dia merasa tidak senang menyaksikan sikap Bromatmojo yang begitu manis terhadap dara itu dan melihat Roro Kartiko bersikap seperti seorang dara yang amat tertarik oleh sahabatnya yang pandai merayu wanita itu.

   Setelah tiga hari, selesailah sudah pembuatan sebuah warangka yang sederhana,yang dibuat oleh tangan Roro Kartiko sendiri dan tentu saja pembuatannya itu menurut petunjuk Bromatmojo yang sebagai murid seorang empu atau ahli keris, mengerti akan cara pembuatan keris dan warangkanya. Tentu saja ketika memberi petunjuk, sikap Bromatmojo dan Roro Kartiko makin akrab dan Sutejo hanya memandang dengan alis berkerut. Pemuda ini benar-benar merasa tidak senang akan hal itu, karena dia yang mengagumi Roro Kartiko sebagai seorang gadis yang gagah dan baik, merasa tidak senang melihat gadis itu digoda oleh Bromatmojo yang ceriwis dan mata keranjang! Setelah warangka jadi, maka Bromatmojo dan Sutejo lalu mohon diri meninggalkan kabupaten itu. Penjagaan para pengawal sudah tidak begitu ketat lagi karena Resi Harimurti pun sudah meninggalkan Tuban, tidak ada yang tahu ke mana, mungkin ke Mojopahit menyusul Bupati Progodigdoyo. Ketika kedua orang muda itu pamit, Roro Kartiko kelihatan merasa berat sekali untuk berpisah.

   "Selamat jalan, Adimas berdua. Kami hanya dapat berdoa semoga andika berdua selalu dalam selamat dan bahagia,"

   Kata Joko Handoko.

   "Harap Kakangmas berdua tidak melupakan kami,"

   Kata Roro Kartiko yang sejak tadi memandang kepada Bromatmojo dengan mata bersinar-sinar dan kadang-kadang juga sayu,

   "Kami menganggap Kakangmas Sutejo sebagai putera mendiang Paman Lembu Tirta sebagai saudara kami sendiri..."


   "Wah, dan aku bagaimana? Dianggap seperti apakah?"

   Bromatmojo bertanya.

   Joko Handoko yang juga dapat menduga bahwa adiknya tertarik kepada pemuda yang tampan dan jenaka itu, tersenyum dan melirik kepada adiknya.

   "Sebagai apa, ya? Andida Roro, dianggap sebagai apakah sebaiknya Adimas Bromatmojo ini?"

   Roro Kartiko mengangkat muka memandang kakaknya, lalu memandang kepada Bromatmojo dan kedua pipinya berubah merah sekali.

   "Kami selalu menganggap andika sebagai seorang sahabat yang amat baik, dan terserah bagaimana anggapan Bromatmojo terhadap kami..."

   "Ahhh..."

   Sebagai sahabat baik? Terima kasih! Dan saya selalu menganggap Kakangmas Joko Handoko sebagai seorang sahabat yang gagah perkasa, dan Diajeng Roro Kartiko sebagai seorang puteri yang cantik jelita dan gagah perkasa seperti... seperti..."

   "Ya? Seperti apa sih?"

   Roro Kartiko mendesak, matanya bersinar-sinar, bibirnya yang merah seperti mawar sedang mekar itu tersenyum manja.

   "Seperti Srikandi!"

   "Ihh, saya tidak mau dianggap genit dan galak seperti Srikandi."

   "Kalau begitu seperti Dewi Suprobo saja, seperti bidadari dari kahyangan..."

   Roro Kartiko menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali.

   "Kakangmas Bromatmojo terlalu memuji."

   "Elho! Siapa yang memuji? Memang andika cantik jelita seperti bidadari dari kahyangan, betul tidak, Kakang Tejo?"

   Sutejo yang memandang dengan mata melotot tidak menjawab, melainkan berpamit.

   "Kami harus berangkat sekarang. Mari, Adi Bromo!"

   Suaranya berat dan kaku.

   "Nanti dulu!"

   Joko Handoko berkata.

   "Biar pun sekarang cukup gelap, akan tetapi sebaiknya kalau andika berdua pergi dengan pakaian anggota Sriti Kencana dan kami antar sampai keluar dari kabupaten."

   "Benar, demi keselamatan andika dan jangan sampai menimbulkan keributan lagi,"

   Sambung Roro Kartiko dan kakak beradik ini lalu memberi kesempatan kepada dua orang sahabatnya itu untuk mengenakan pakaian dan kedok hitam, kemudian berangkatlah Bromatmojo dan Sutejo sebagai dua orang anggota Sriti Kencana diantar oleh Joko Handoko dan Roro Kartiko. Dengan pengawalan dua orang putera-puteri bupati itu, tentu saja dengan mudah mereka dapat keluar dari kabupaten, keluar dari pintu gerbang tanpa ada gangguan dari para penjaga.

   Ketika mereka hendak saling berpisah, Roro Kartiko mendekati Bromatmojo berkata lirih.

   "Kakangmas, harap jangan melupakan saya..."

   "Ah, mana mungkin orang dapat melupakanmu, Diajeng?"

   Bromatmojo dengan beraninya lalu memegang tangan puteri itu, tangan yang berkulit halus lembut dan hangat.

   "Saya tidak akan melupakanmu dan sampai berjumpa kembali, Diajeng."

   Akhirnya berangkatlah dua orang muda itu meninggalkan kabupaten. Joko Handoko dan Roro Kartiko memandang sampai bayangan dua orang muda itu lenyap ditelan kegelapan malam.

   Sutejo dan Bromatmojo melakukan perjalanan tanpa bicara dan biar pun beberapa kali Bromatmojo mencoba untuk mengajak sahabatnya bicara, Sutejo hanya menjawab dengan anggukan atau gelengan saja, bahkan beberapa kali sama sekali tidak menjawab. Mereka lalu pergi ke rumah Empu Singkir di ujung barat kota Tuban.

   Seperti biasa, sunyi di sekitar rumah kecil itu, tidak kelihatan ada orang,bahkan malam itu tidak terdengar bunyi berdencingnya baja digembleng. Bromatmojo menghampiri pintu dan diketuknya pintu rumah Empu Singkir. Namun, sampai lama dia mengetuk, tidak ada jawaban dari dalam.

   "Eyang! Eyang Empu...!"

   Berkali-kali Bromatmojo memanggil tanpa mendapat jawaban.

   "Kakang Cantrik!"

   Dia memanggil cantrik, namun juga tanpa mendapat jawaban.

   "Hemm, mencurigakan sekali,"

   Terdengar Sutejo berkata dan pemuda ini lalu mendorong daun pintu terbuka. Ternyata daun pintu tidak dipalang dari dalam, hanya ditutupkan saja.

   "Hati-hati, Kakang Tejo,"

   Kata Bromatmojo dan keduanya memasuki rumah yang gelap itu.

   "Eyang Empu....! Kakang Cantrik...!"

   Keduanya memanggil, namun sunyi saja yang menyambut panggilan mereka. Dengan meraba-raba Sutejo menemukan lampu dan alat pembuat apinya. Tak lama kemudian lentera itu telah dinyalakannya.

   "Ahhh...!"

   Bromatmojo berteriak dengan kaget dan Sutejo melihat mereka itu rebah malang-melintang di ruangan itu, mandi darah dan tidak bernapas lagi! Empu Singkir dan dua orang cantriknya telah tewas dan melihat dada dan leher mereka yang terluka parah, mudah diduga bahwa mereka dibunuh orang.

   "Lekas cari Kolonadah!"

   Bromatmojo berteriak.

   "Percuma saja, tentu telah dibawa pergi oleh yang membunuh mereka,"

   Kata Sutejo. Dan memang benar, setelah mencari-cari di seluruh rumah, mereka tidak menemukan Kolonadah. Juga Ki Ageng Palandongan tidak nampak.

   "Hemm, kakek itu, si keparat palsu! Siapa lagi kalau bukan dia yang membunuh mereka ini dan membawa lari keris Kolonadah?"

   Bromatmojo berkata marah.

   "Tidak baik menuduh tanpa bukti. Kematian mereka belum lama, siapa tahu kita dapat mengejar dan menyusul pembunuhnya. Mari!"

   Sutejo berseru dan mereka lalu berloncatan keluar dari rumah itu, terus lari keluar dari Kabupaten Tuban menuju ke selatan.

   Mereka mengejar dan mencari-cari jejak sampai pagi, namun tanpa hasil. Keris pusaka Kolonadah lenyap dan Empu Singkir bersama dua orang cantriknya tewas, Ki Ageng Polondangan tidak ada. Dengan hati penuh penasaran dan marah, Bromatmojo melanjutkan perjalanan ke selatan, diikuti oleh Sutejo yang banyak diam dan mengerutkan alisnya yang tebal itu.

   "Si keparat Ki Ageng Palandongan! Kalau aku dapat berjumpa dengan dia, akan kucekik leher kakek berhati palsu itu!"

   Bromatmojo berkata dengan marah sekali ketika dia dan Sutejo pagi hari itu duduk di bawah pohon besar untuk mengaso setelah semalam suntuk mereka mencari-cari jejak pencuri keris Kolonadah tanpa hasil.

   "Tidak semestinya engkau menuduh sembarangan saja kepada Ki Ageng Palandongan,"

   Sutejo mencela dan dari suaranya, jelas bahwa pemuda ini merasa tidak senang. Bromatmojo sedang marah, maka dicela demikian dia menjadi makin mendongkol.

   "Habis, aku harus menuduh siapa? Jelas bahwa yang tahu tentang Kolonadah hanyalah Empu Singkir, dua orang cantriknya, dan Ki Ageng Palandongan. Sekarang, Empu Singkir dan dua orang pembantunya dibunuh orang, keris pusaka lenyap dan Ki Ageng Palandongan juga lenyap. Siapa lagi kalau bukan dia pembunuh dan pencurinya? Siapa lagi yang harus kusalahkan?"

   "Hemm, orang pertama yang bersalah dalam hal ini adalah engkau sendiri!"

   Bromatmojo menoleh dan memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata penasaran.

   "Aku? Aku malah yang bersalah? Kakang Tejo, apa maksudmu?"

   "Engkau terlalu sembrono! Aku sudah merasa tidak setuju ketika engkau dengan mudah begitu saja meninggalkan keris pusaka itu kepada Empu Singkir. Akan tetapi engkau nekat meninggalkannya. Engkau masih begini muda akan tetapi engkau sudah tinggi hati, sembrono, dan mempunyai kebisaan-kebisaan yang tidak patut."

   Bromatmojo membelalakkan matanya. Baru sekarang dia tahu bahwa temannya ini sedang marah kepadanya. Pantas saja sejak malam tadi jarang mau bicara. Kiranya marah kepadanya.

   "Wah-wah, ada apalagi ini? Kau marah-marah dan memaki-maki orang!"

   "Aku tidak memaki, hanya mengatakan yang sebenarnya dengan maksud agar engkau dapat mengubah kebisaanmu yang buruk itu, demi kebaikanmu sendiri."

   Bromatmojo mengerutkan alisnya dan memandang tajam.

   "Coba katakan, perbuatan dan kebisaanku yang mana yang kau anggap tidak patut itu?"

   "Banyak! Selain engkau kementus (besar kepala), kemaki (banyak lagak), terutama sekali engkau kurang susila terhadap wanita."

   Bromatmojo terbelalak, mukanya menjadi merah dan dia sudah bangkit berdiri.

   "Kakang Tejo! Apa mksudmu?"

   Dia membentak, marah.

   Sutejo juga berdiri namun sikapnya masih tenang sungguh pun dia jelas kelihatan marah pula.

   "Maksudku, engkau perayu wanita, engkau mata keranjang, engkau tidak sopan sehingga engkau tidak dapat membedakan wanita mana yang pantas kau rayu dan mana yang tidak."

   "Eh, eh, mengapa kau tiba-tiba menjadi marah-marah begini? Siapa yang kurayu?"

   "Engkau berani bersikap tidak sopan, tidak pantas dan merayu Roro Kartiko..."

   "Ohhh, begitukah? Jadi engkau cemburu, ya? Engkau iri hati? Engkaulah yang tergila-gila kepada Roro Kartiko!"

   "Hemm, boleh jadi aku kagum kepadanya. Dia seorang wanita yang hebat, seorang wanita yang berbudi, gagah perkasa, cantik jelita dan halus budi pekertinya..."

   "Tapi dia anak musuh besarmu!"

   "Aku tidak perduli akan hal itu, tidak boleh menyamakan ayahnya dengan anaknya. Akan tetapi, aku tidaklah tergila-gila macam engkau. Aku bukan seorang pemuda macam engkau yang mata keranjang."

   "Eh, Kakang Tejo bicaramu makin lancang saja! Sikapmu ini saja jelas menunjukkan bahwa engkau jatuh cinta kepada puteri itu dan cemburu kepadaku, kau iri melihat aku dapat bersahabat akrab dengan dia!"

   "Tidak! Andaikata hubunganmu dengan dia itu sewajarnya, sepatutnya, aku tidak akan merasa iri. Aku bukan cemburu, hanya aku tidak rela kalau engkau menyamakan dia dengan wanita-wanita biasa yang boleh saja kau bujuk rayu dan kau jatuhkan dengan ketampananmu, dengan lagak dan gayamu yang memikat, dengan kepalsuanmu..."

   "Keparat!"

   Bromatmojo marah bukan main, kedua matanya seperti berapi-api.

   "Kau yang cinta dan tergila-gila kepadanya, tapi kau menuduh aku yang bukan-bukan. Hemm, Sutejo, kalau benar aku merayunya, habis, kau mau apa?"

   "Bromatmojo, aku menganggap engkau sebagai seorang sahabat. Akan tetapi kalau engkau menyeleweng, tentu akhirnya engkau akan dihajar orang dan daripada orang lain yang menghajarmu, biarlah aku sendiri yang menghajarmu kalau engkau tidak bisa kuberi nasehat untuk merubah kelakuanmu yang tidak patut."

   "Babo-babo keparat Sutejo! Sumbarmu seperti laki-laki tanpa tanding, seolah-olah engkau dapat mengukur tingginya langit dalamnya lautan! Kau hendak menghajar aku,ya? Keparat sombong, coba ingin aku melihat bagaimana engkau akan dapat menghajarku!"

   Sutejo juga sudah marah sekali, kemarahan yang ditahan-tahannya semenjak dia melihat sikap Bromatmojo yang terlalu bermanis-manisan terhadap wanita.

   "Baik,kau majulah, Bromatmojo!"

   "Kau terlalu memandang rendah kepadaku, setan!"

   Bromatmojo berteriak dan dia lalu meloncat ke depan sambil memekik nyaring.

   "Haaiiiittt...!"

   Langsung dia menyerang Sutejo dengan pukulan-pukulan Hasto Bairowo setelah dengan gemas dia membanting-banting kakinya.

   "Ehhh...!!"

   Sutejo bergerak mengelak sambil menangkis.

   "Dukkk!!"

   Dua lengan bertemu dengan dahsyatnya dan keduanya terhuyung ke belakang.

   "Rasakan ini...!"

   Bromatnojo kembali menyerang, kini dia bergerak cepat, lalu tiba-tiba tubuhnya merendah, tangan kirinya dengan aji kesaktian Hasto Nogo yang amat dahsyat itu menyambar ke arah lambung lawan.

   "Wuuuttt... ehhh!"

   Sutejo cepat mengelak dari sambaran pukulan sakti yang amat berbahaya itu, akan tetapi tiba-tiba kaki kanan Bromatmojo mencuat dan menendang dari bawah ke arah perutnya.

   "Plakk!"

   Sutejo menangkis dari samping dan berusaha menangkap pergelangan kaki lawan, akan tetapi pada saat itu, tangan kanan Bromatmojo sudah menyambar dengan jotosan dari depan sehingga terpaksa dia mengelak dengan miringkan tubuh dan menangkis, tidak sempat lagi menangkap kaki.

   Terjadilah pertandingan yang amat seru. Berkali-kali keduanya mengeluarkan bentakan, teriakan dan tangan kaki mereka bergerak-gerak dengan cepatnya, saling serang, saling pukul, saling tampar, saling tendang. Kemarahan Bromatmojo sudah memuncak. Sebetulnya, dara ini merasa hatinya sakit sekali. Dia yang diam-diam telah jatuh cinta kepada Sutejo kini mengira bahwa Sutejo telah jatuh hati kepada Roro Kartiko, pemuda yang kelihatannya pendiam dan yang selalu menjauhkan diri dari wanita itu, kini jatuh cinta kepada Roro Kartiko maka diam-diam dia merasa cemburu, sakit hati dan marah sekali! Apalagi mendengar dia memaki-maki sebaliknya Roro Kartiko dipuji-puji, membuat dia lupa sedang menyamar sebagai seorang pria dan bahwa Sutejo menganggap dia seorang pria! Dia dibakar oleh api cemburu.

   Di lain fihak, Sutejo juga marah dan kecewa. Diam-diam dia suka sekali kepada sahabat barunya ini, suka dan kagum. Akan tetapi, melihat Bromatmojo menggoda Roro Kartiko, dia merasa tidak senang. Dia tidak ingin melihat puteri yang dikaguminya itu menjadi korban keceriwisan Bromatmojo, juga dia tidak ingin melihat sahabatnya itu melanjutkan kebisaannya yang tidak patut. Dia ingin menyadarkan Bromatmojo, kalau perlu menghajarnya seperti seorang kakak menghajar adiknya yang menyeleweng.

   Justru karena dasar yang mendorong pertempuran itulah yang membuat pertempuran itu ramai dan seru sekali, bahkan setanding. Sebetulnya tingkat kepandaian Sutejo masih lebih tinggi daripada tingkat kepandaian Bromatmojo. Akan tetapi,kalau Bromatmojo yang diamuk cemburu itu berkelahi dengan sungguh-sungguh,mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua aji kesaktiannya, di lain fihak Sutejo banyak mengalah dan tidak mempunyai niat sedikit pun untuk melukai sahabatnya itu, apalagi membunuhnya dengan pukulan sakti yang terlalu kuat.

   Pertandingan itu berlangsung dengan hebat, dan agaknya serangan-serangan kedua fihak tidak pernah mengendur. Sampai matahari naik tinggi, masih saja mereka saling hantam dan tubuh mereka bergerak cepat berkelebatan di bawah pohon itu. Hawa-hawa pukulan mereka sampai merontokkan daun-daun pohon. Peluh telah membasahi seluruh tubuh mereka, dan keduanya sudah terasa kelelahan.

   "Desss...!"

   Untuk ke sekian kalinya, dua lengan mereka bertemu dan keduanya terhuyung ke belakang. Bromatmojo hampir roboh saking lelahnya. Kedua kakinya sudah gemetar rasanya. Dia mengusap peluh di dahinya dengan punggung tanganya yang terasa nyeri-nyeri. Lengannya sudah matang biru karena sering bertemu dengan lengan Sutejo, tangannya juga panas dan nyeri. Napasnya sudah terengah-engah dan kepalanya agak pening. Kemarahannya makin memuncak dan mengingat betapa Sutejo tidak mau mengalah kepadanya, kejengkelannya memenuhi dada dan dia mengusap lagi peluh yang menetes turun sehingga kelihatan dia agak lambat menyerang lagi.

   "Hayo keluarkan seluruh tenaga dan kesaktianmu, Bromatmojo! Sebelum engkau menyatakan bertobat dan tidak akan melanjutkan sikapmu yang ugal-ugalan terhadap wanita, aku akan menghajarmu!"

   "Keparat...!!"

   Kemarahan yang bagaikan api mengamuk itu mendatangkan tenaga baru kepada Bromatmojo dan dia sudah meloncat dan menyerang lagi dengan hebatnya.

   "Bress!!"

   Kembali keduanya terlempar ke belakang oleh pertemuan dua telapak tangan yang sama-sama memiliki aji kesaktian, akan tetapi karena kedua kaki Bromatmojo sudah gemetar kelelahan, dia jatuh terduduk sedangkan Sutejo hanya terhuyung saja. Kedua tangannya terasa panas dan sakit sekali, maka tanpa dapat dicegah lagi, Bromatmojo menangis! Sutejo terkejut dan terheran-heran. Seorang pemuda yang memiliki kesaktian seperti Bromatmojo jarang sekali dapat ditemukan, begitu muda dan begitu halus akan tetapi benar-benar amat perkasa, jauh lebih sakti daripada Joko Handoko. Akan tetapi kenapa menangis?

   "Huh, kau pemuda cengeng! Belum patah tulangmu, belum robek kulitmu, sudah merenggek seperti perempuan saja!"

   "Keparat sombong kau, Sutejo!"

   Bromatmojo meloncat lagi dan seketika tangisnya terhenti oleh kemarahan dan dengan pengerahan tenaganya, dia telah menggunakan ilmu meringankan diri Turonggo Bayu, tubuhnya seperti kilat saja menyambar ke arah Sutejo dan dia mengerahkan tenaga Hasto Nogo memukul dengan dahsyat.

   "Bresss...!!"

   Kini Sutejo yang terpental, karena biar pun dia sudah berhasil menangkis, ternyata dia kalah cepat sehingga kedudukan kedua kakinya belum kuat dan dia tidak dapat bertahan sehingga terpental dan terguling-guling. Bromatmojo terkejut bukan main, cepat dia meloncat mendekati.

   "Kau... kau tidak apa-apa?"

   Tanyanya.

   Sutejo sudah bangkit berdiri.

   "Ilmumu meringankan tubuh bukan main hebatnya, kau terlalu cepat bagiku,"

   Kata Sutejo.

   "Akan tetapi aku belum kalah!"

   Dan kini dialah yang menyerang sehingga Bromatmojo cepat menghindarkan diri, mengandalkan kegesitan tubuhnya. Mereka bertanding lagi dengan hebatnya.

Tiba-tiba terdengar seruan-seruan kaget dan dua sosok bayangan berkelebat datang. Mereka itu ternyata adalah dua orang yang berpakaian hitam-hitam dan berkedok hitam, pakaian Sriti Kencana.

   "Tahan...! Dimas Sutejo, tahan...!"

   Terdengar suara Joko Handoko.

   "Kakangmas Bromatmojo, hentikan pertempuran ini!"

   Terdengar pula suara Roro Kartiko dan kakak beradik ini cepat meloncat ke tengah-tengah, melerai dan menghadang mereka yang sedang bertempur. Sutejo dan Bromatmojo cepat melompat mundur dan berdiri terengah-engah mandi peluh.

   "Apa yang terjadi? Kenapa Andika berdua saling bertanding sendiri?"

   Roro Kartiko bertanya dengan penuh keheranan dan kekhawatiran.

   "Eh, Diajeng Roro Kartiko, siapa yang bertempur?"

   Bromatmojo balas bertanya.

   "Jelas bahwa kalian berdua tadi bertanding mati-matian!"

   Kata pula Joko Handoko.

   "Dimas Sutejo, bukankah kalian tadi bertanding?" Sutejo memandang ke arah Bromatmojo yang sudah tersenyum sambil menghapus peluh dari dahi dan leher, dan dia lalu menggeleng kepala tanpa menjawab.

"Kami tidak bertanding, mengapa harus saling serang? Kami hanyalah berlatih saja! Saya dan Kakang Tejo sedang berlatih agar tidak menjadi kaku gerakan kami,"

   Kata Bromatmojo.

   "Benarkah begitu, Kakangmas Sutejo?"

   Roro Kartiko bertanya sambil menoleh kepada Sutejo, akan tetapi dia masih berdiri dekat Bromatmojo.

   "Benar, kami hanya berlatih,"

   Jawab Sutejo.

   "Aihh, kalian berlatih demikian hebatnya, sampai kami berdua merasa kaget bukan main. Baru latihan saja sudah demikian hebat, apalagi kalau sungguh-sungguh,benar-benar kalian adalah dua orang yang memilki kesaktian hebat!"

   Joko Handoko berseru kagum bukan main.

   "Hebat apanya? Jangan terlalu memuji, Kakangmas Joko Handoko. Kami adalah orang-orang bodoh, terutama aku sendiri, sehingga mudah saja ditipu orang,"

   Kata Bromatmojo,menarik napas panjang dan diam-diam dia merasa lega karena kalau saja dua orang ini tidak cepat datang, agaknya dia harus mengakui keunggulan Sutejo.

   "Eh apa maksudmu?"

   Roro Kartiko bertanya.

   "Keris pusaka Kolonadah yang saya titipikan kepada Empu Singkir telah lenyap!"

   "Ehh?? Apakah Empu Singkir melarikannya?"

   Tanya Joko Handoko.

   "Tidak,"

   Jawab Bromatmojo.

   "Malah dia dan dua orang cantriknya kami dapati tewas di rumahnya, dan pusaka itu lenyap tak meninggalkan bekas, tentu dilarikan oleh pembunuh mereka. Dan semua itu adalah karena kelalaian saya yang mempercayakan pusaka itu di sana."

   Sambil berkata demikian, Bromatmojo melirik ke arah Sutejo karena kata-katanya itu seolah-olah pengakuan bahwa memang dia lalai dan sembrono.

   "Hemm, kami berjanji akan mengerahkan saudara-saudara kami untuk menyelidiki hal itu, Dimas Bromatmojo. Kami akan membantu kalian,"

   Kata Joko Handoko.

   "Terima kasih,"

   Sutejo yang sejak tadi diam saja ikut menjawab.

   "Akan tetapi,Andika berdua hendak pergi ke manakah?"

   Joko Handoko menarik napas panjang lalu menceritakan.

   "Setelah malam tadi Andika berdua pergi, datang seorang anak buah Sriti Kencana yang melaporkan adanya peristiwa yang patut kami selidiki sendiri. Menurut laporan itu, di Pegunungan Kendeng terdapat beberapa orang penyembah Bhatari Durga yang kabarnya banyak memikat para wanita untuk menjadi pengikut mereka. Hal itu sebenarnya bukanlah hal aneh dan tentu kami tidak akan melakukan penyelidikan kalau saja tidak ada laporan bahwa keadaan para pendeta penyembah Bhatari Durga itu, pendeta-pendeta perempuan yang aneh, amat mencurigakan. Selain banyak wanita cantik yang seperti tergila-gila dan berbondong menjadi murid mereka, juga terdapat berita bahwa tiga orang wanita yang tadinya masih gadis, setelah menjadi Anggota selama beberapa bulan, pada suatu hari pulang ke dusun mereka dalam keadaan hamil dan membunuh diri! Nah, itulah sebabnya maka Anggota kami lalu melapor dan karena kabarnya pendeta-pendeta Durga memiliki kesaktian, kami berdua sendirilah yang akan pergi menyelidikinya. Kalau Adimas berdua suka, kami harap Andika berdua ikut menyelidiki ke sana, dan kalau Andika berdua mau, sungguh pertemuan ini merupakan hal yang amat menguntungkan."

   Bromatmojo yang ingin cepat menyelidiki tentang keris pusaka Kolonadah yang lenyap, sebetulnya ingin menolak ajakan itu. Akan tetapi dia didahului oleh Sutejo yang berkata.

   "Maaf, saya harus cepat-cepat menuju ke Mojopahit, dan karena pusaka Kolonadah juga lenyap, maka saya kira kami tidak bisa dan..."

   Terdorong oleh hati yang sedang marah terhadap Sutejo, penolakan Sutejo itu sudah cukup untuk mendorong hati Bromatmojo untuk mengambil sikap yang berlawanan. Kalau tadinya dia sendiri ingin menolak, kini cepat dia berkata.

   "Tentu saja aku suka sekali untuk membantu Andika berdua! Gunung Kendeng tidak jauh dari sini, mari kita berangkat sekarang juga!"

   Sutejo menerutkan alisnya, memandang kepada Bromatmojo.

   "Akan tetapi, Adi Bromatmojo, kalau kita tidak lekas mengejar, tentu pembunuh dan pencuri keris itu akan lari makin jauh."

   "Seorang ksatria mendahulukan hal yang terpenting,"

   Kata Bromatmojo, sengaja menentang untuk melampiaskan perasaanya yang mengkal terhadap pemuda itu.

   "Orang-orang jahat penyembah Bhatari Durga menyebar kemaksiatan dan mengganggu rakyat, hal itu tidak boleh ditunggu lagi dan harus cepat ditanggulangi, sedangkan urusan keris Kolonadah yang dilarikan pencuri, lain hari masih boleh diselidiki dan dicari. Bukankah benar demikian, Diajeng Roro?"

   Bromatmojo sengaja bersikap manis kepada puteri itu.

   Wajah Roro Kartiko yang kini sudah tidak tertutup kedok itu menjadi merah.

   "Andika adalah seorang ksatria utama, dan saya menghaturkan terima kasih atas bantuan yang andika janjikan itu, Kakangmas Bromatmojo."

   Hati Sutejo meradang, akan tetapi di depan kakak beradik itu, apa yang dapat dia lakukan kecuali menahan kemarahannya? "Baiklah, mari kita berangkat,"

   Katanya singkat sambil menelan kemarahannya terhadap Bromatmojo yang jelas hendak menggunakan kesempatan itu untuk menarik hati puteri jelita itu.

   Bromatmojo tentu saja mengerti bahwa temannya itu marah-marah dan mendongkol, akan tetapi karena dia tahu bahwa marahnya itu karena dia berbaik dengan Dyah Roro Kartiko,dia malah makin menjadi dan makin mesra sikapnya terhadap Roro Kartiko untuk menggoda hati Sutejo! Demikian mesra dan terang-terangan dia menggandeng tangan dara itu, sampai Raden Handoko sendiri menyentuh tangan Sutejo dan memberi isyarat dengan matanya ke arah pasangan yang bergandengan tangan itu. Tentu saja Sutejo menjadi makin meradang! Tidak, dia tidak cemburu, dia tidak mempunyai rasa cinta kasih terhadap Roro Kartiko, akan tetapi dia kagum terhadap dara itu dan tidak rela hatinya kalau melihat Roro Kartiko dipermainkan oleh Bromatmojo yang dia tahu adalah seorang "pemuda mata keranjang!"

   Apakah yang terjadi di Pegunungan Kendeng? Daerah pegunungan ini selamanya tenteram dan tenang, tanahnya subur, dan hawanya sejuk, tidak pernah terjadi sesuatu yang menggegerkan rakyat yang tinggal di sekitar daerah itu. Akan tetapi sejak beberapa bulan terakhir ini, ramai rakyat membicarakan datangnya seorang nenek yang kabarnya memiliki kesaktian seperti dewa! Nenek itu bertubuh tinggi besar dan dia datang entah dari mana tidak ada orang mengetahuinya, seorang nenek yang membawa tongkat panjang yang mula-mula menimbulkan rasa takut di hati orang, akan tetapi tak lama kemudian menjadi seorang yang dipuja-puja seperti seorang dewa yang sakti.

   Munculnya nenek itu sudah aneh. Pada suatu sore yang tenteram, beberapa bulan yang lalu, ketika suami isteri Parmono dan Partiwi sedang sibuk menggodok ketela untuk makan malam sambil bercakap-cakap karena mereka adalah pengantin baru yang belum ada sebulan menjadi pengantin, terdengar suara dari luar pondok mereka,suara seperti orang minta dibukai pintu.

   "Ihh, siapa yang datang bertamu di waktu surup (senja) begini, sih?"

   Partiwi mengomel karena merasa terganggu.

   Parmono sedang membelah kayu bakar dengan kapak, maka dia berkata.

   "Mungkin seorang tetangga, atau seorang yang datang untuk minta-minta. Keluarlah sebentar,manis."

   Sebutan ini menyenangkan hati Partiwi dan dia mau melakukan perintah apa saja kalau suaminya, yang baru dikenalnya kurang dari sebulan itu, menyebutnya seperti itu. Setelah mendorong beberapa kayu baru ke dalam perapian, dia lalu keluar dan membukakan daun pintu depan. Setiap matahari telah terbenam, pintu-pintu depan harus ditutup agar jangan ada "setan masuk"

   Ketika daun pintu terbuka, bulu tengkuk meremang di tengkuk pengantin baru itu. Hampir saja dia menutupkan lagi daun pintu dan lari masuk, akan tetapi ketika nenek itu tersenyum memandangnya, dia tidak jadi menutupkan daun pintunya. Kiranya yang berdiri di luar pintunya adalah seorang nenek yang usianya tentu tidak kurang dari tujuh puluh tahun, bertubuh tinggi besar dengan punggung agak bongkok, tangan kiri membawa sebatang tongkat panjang berwarna hitam dan berbentuk tubuh ular, tangan kanannya menyangga sebuah arca yang amat bagus,arca yang ukirannya amat indah membentuk tubuh seorang wanita cantik, arca Bathari Durga!

   "Ommm... syanti... syanti... syanti...!"

   Nenek itu berdoa dengan suara yang parau dan besar.

   "Semoga para dewata memberkahimu, cah ayu. Genduk, bocah ayu,kau tolonglah seorang nenek tua seperti aku, berilah aku sekedar makan dan tempat untuk melewatkan malam ini, dan aku akan berdoa agar Sang Hyang Bhatari Durga memberkahimu dengan seorang putera yang bagus dan mulia."

   Wajah yang manis itu seketika menjadi merah padam, akan tetapi tentu saja Partiwi cepat tersenyum dan mempersilakan nenek itu masuk.

   "Silakan masuk, Nek. Akan tetapi tempat kami kotor dan kami tidak mempunyai hidangan yang layak."

   "Hik-hik! Senyummu telah menerangi semua tempat sehingga nampak indah, dan sinar matamu membuat semua hidangan menjadi lezat, genduk bocah ayu!"

   Makin tersipu-sipulah Partiwi oleh pujian ini dan dia menutupkan kembali daun pintu setelah nenek itu memasuki pondoknya yang sederhana.

   "Siapa dia, isteriku?"

   Tiba-tiba Parmono muncul membawa kapak di tangan dan sepotong kayu bakar di tangan kiri. Ketika dia melihat seorang nenek tua bongkok, dia memandang penuh keheranan.

   "Kakang dia ini adalah seorang nenek yang kemalaman di jalan dan minta ikut makan dan bermalam di sini."

   "Hemm, kalau saja aku tidak mengganggu, orang muda,"

   Nenek itu berkata sambil memandang kepada Parmono. Parmono mendapat kenyataan dengan hati kaget bahwa nenek itu biar pun sudah tua sekali namun sinar matanya tajam dan penuh wibawa!

   "Tentu saja tidak, sama sekali tidak!"

   Katanya gugup.

   "Akan tetapi, kami miskin,tidak punya apa-apa, hanya godokan ketela..."

   Nenek itu terkekeh.

   "Benarkah, mari kita lihat!"

   Katanya.

   Suami isteri itu saling pandang, tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh nenek itu dan ketiganya lalu kembali ke dalam dapur. Nenek itu tanpa diminta lalu membuka tutup dandang dan melihat bahwa memang benar mereka menggodok ketela, atau lebih tepat mengedang ketela.

   "Kenapa tidak menanak nasi?"

   Tanyanya.

   Suami isteri itu saling pandang.

   "Belum waktunya panen padi, Nek, dan kami tidak mempunyai simpanan beras,"

   Kata Partiwi.

   "Heh-heh, mengapa amat susah? Mari kuberi kau beras, cah ayu,"

   Katanya sambil terbongkok-bongkok keluar dari pintu kecil belakang dapur. Suami isteri itu merasa bingung dan dengan bingung mengikutinya. Nenek itu lalu mengambil pasir di luar pondok dan memasukkan pasir itu ke dalam sebuah tumbu (tempat beras dari bambu).

   "Nah, kau masaklah beras ini."

   Partiwi hendak membantah dengan marah, akan tetapi suaminya menyentuh lengannya dan mengedipkan pandang matanya. Celaka, pikir Partiwi, agaknya nenek ini adalah seorang gila dan suaminya tidak berani membantahnya, khawatir kalau-kalau nenek itu mengamuk. Padahal bukan demikianlah pandangan Parmono. Dia melihat nenek itu datang membawa sebuah arca Bathari Durga yang amat indah, sikapnya pun aneh dan luar biasa sekali pandang matanya, maka timbul kepercayaan di dalam hatinya.

   Dengan bersungut-sungut Partiwi mulai menanak "beras"

   Itu dan setelah memasukkan pasir itu di atas kuwali dan menggodoknya, nenek itu berkata.

   "Genduk bocah ayu, jangan kau buka tutup kuwali itu sebelum berasnya matang, ya?"

   Partiwi hanya mengangguk dan nenek itu hanya terkekeh duduk di atas dingklik yang terdapat di dalam dapur. Parmono lalu menanggapnya.

   "Kalau boleh kami mengetahui, Nenek ini siapakah dan datang dari manakah?"

   "Ha-ha-ha, aku adalah Nyi Durgakelana, orang muda. Sang Hyang Bathari Durga sendiri yang berkenan mengutus aku untuk berkelana di seluruh jagad raya untuk memberi penerangan kepada umat manusia yang sedang dilanda kegelapan. Jangan kalian khawatir, karena kebetulan Sang Hyang Bathari Durga yang memilih kalian untuk menjadi pembantu-pembantuku, maka aku datang malam ini di sini."

   Parmono terkejut.

   "Tapi..."

   Bantahnya.

   Pada saat itu terdengar suara tangis riuh rendah dari rumah tangga di sebelah kiri.

   "Hemm, mengapa ribut-ribut menangis itu?"

   Nenek yang mengaku bernama Nyi Durgakelana bertanya.

   Tiba-tiba Parmono mendapat gagasan yang baik.

   "Nenek yang baik, kalau memang benar Andika adalah pilihan Sang Hyang Bathari, maka tolonglah keluarga Karyo di sebelah itu. Anaknya sakit keras dan agaknya sudah sukar untuk diobati lagi, maka mereka itu selalu menangis dengan sedih."

   "Benar, Nenek yang sakti. Tolonglah mereka."

   Partiwi juga membujuk karena dia merasa amat kasihan kepada keluarga yang ditimpa kemalangan itu.

   "Heh-heh-heh, apa sih sukarnya? Suruh bawa si sakit ke sini!"

   Jawab Nyi Durgakelana.

   Tanpa diperintah dua kali, Parmono segera meloncat dan lari ke tetangga di sebelah. Sementara itu, Partiwi mengusap keringat di dahinya dan mengusap sinom (anak rambut) yang melingkar di dahinya. Sejak tadi dia selalu bermain di dekat api, tadi menggodok ketela, kini menanak "beras". Dia tidak tahu bahwa sejak tadi nenek itu memandangnya dengan pandang mata penuh gairah.

   "Siapa namamu, cah ayu?"

   Tiba-tiba nenek itu bertanya.

   "Partiwi, Nek."

   "Hemm, namamu bagus sekali, akan tetapi orangnya lebih bagus. Engkau sungguh manis sekali, Partiwi."

   Biar pun, yang memujinya hanya seorang wanita tua, namun jantung wanita muda itu berdebar aneh dan mukanya menjadi merah.

   "Ke sinilah, genduk cah ayu."

   Dengan hati tegang dan agak takut-takut Partiwi mendekat dan nenek itu lalu memegang kedua pipinya yang halus dengan jari-jari tangan kasar, kemudian mengecup dahi yang berkeringat itu.

   "Cupp...!!"

   "Ah, Nek. Dahiku berkeringat..."

   Partiwi cepat menjauhkan diri, jantungnya makin berdebar tidak karuan. Biar pun nenek ini seorang wanita tua, akan tetapi selama hidupnya belum pernah ada orang mengecup dahinya semesra itu, kecuali suaminya tentu. Akan tetapi itu lain lagi.

   "Ke sinilah, genduk cah ayu, aku masih belum puas menikmati kecantikanmu!"

   Kata pula nenek itu dengan nada suara yang aneh. Partiwi hendak membantah, akan tetapi sungguh aneh sekali, hatinya tidak kuasa membantah, tidak berani dia menentang dan di luar kehendaknya, kakinya kembali melangkah mendekati nenek itu.

   "Heh-heh-heh, kau menjadi muridku yang pertama, engkau menjadi kepercayaanku dan engkau yang akan menjadi bendaharaku, akan tetapi engkau harus mentaati aku dan menjadi kesayanganku, cah ayu."

   Berkata demikian, jari-jari tangan yang kasar dan panjang-panjang itu mulai menggerayangi ke seluruh tubuh Partiwi.

   Bukan main kagetnya wanita muda itu.

   "Ih... Nek...!"

   Akan tetapi dia tidak kuasa menolak, apalagi menjauhkan diri sehingga dia hanya memejamkan mata ketika nenek itu memeluk dan menggerayangi dadanya. Akan tetapi nenek itu segera melepaskan pelukannya dan mendorong tubuh Partiwi yang sudah menggigil dan panas dingin itu ke samping ketika terdengar suara dari pintu dapur.

   Parmono muncul dan suami ini tidak melihat betapa isterinya yang berjongkok di depan perapian itu menggigil seluruh tubuhnya seperti orang kedinginan dan mukanya pucat, matanya sayu. Suami ini sedang sibuk membantu Pak Karyo menggotong seorang bocah laki-laki berusia sepuluh tahun yang sakit dan pingsan,ditangisi oleh ibunya dan saudara-saudaranya yang ikut pula mengantar si sakit ke rumah Parmono karena menurut orang muda itu, dia kedatangan seorang "dukun"

   Yang aneh.

   Anak kecil yang pingsan itu dibaringkan ke dalam kamar Parmono, di atas balai-balai bambu dan nenek itu lalu menghampirinya. Tiba-tiba tubuh nenek itu mengejang, matanya terbelalak dan mulutnya berkemak-kemik membaca mantera, kedua tangannya mengejang kaku dengan jari-jari terbuka lebar ditodongkan ke arah si sakit. Kemudian dia mengeluarkan sesuatu dari dalam bajunya, membuka mulut si kecil yang pingsan itu dengan paksa dan meludahi mulut itu.

   "Ambil batok dan air!"

   Bentaknya, suaranya sudah menjadi lain.

   Parmono cepat lari mengambilkan air dalam batok kelapa. Nenek itu lalu memasukkan sedikit bubuk hitam dari bungkusan yang diambil dari saku tadi ke dalam air dan dengan bantuan Parmono, dia menuangkan cairan hitam itu ke dalam mulut si anak yang sakit. Kemudian kembali dia dengan kedua lengan mengejang,menggerak-gerakkan jari-jari tangan di atas badan anak itu sampai lama sekali.

   "Angger, bangunlah, Angger. Bangunlah!"

   Suaranya penuh dengan pengaruh mujijat sehingga mereka yang tadinya duduk pun otomatis bangkit berdiri seolah-olah suara itu ditujukan kepada mereka dan bukan pada Si Anak yang sakit. Dan terjadilah keanehan! Anak itu mengeluh, lalu bangkit duduk! Ibunya menjerit dan menubruk, merangkul dan menangis tersedu-sedu. Anaknya sudah dianggap mati tadi, dan sekarang hidup kembali!

   Semenjak peristiwa itu, Nenek Nyi Durgakelana menjadi terkenal sekali. Dia tetap tinggal di pondok Parmono dan makin banyaklah orang yang datang, bukan hanya orang-orang sakit minta diobati, akan tetapi juga nenek ini menerima banyak sekali murid-murid. Dan hebatnya, yang dapat diterima menjadi muridnya hanyalah wanita-wanita muda yang cantik-cantik yang menjadi "murid kepala"

   Adalah Partiwi!

   Tidak ada seorang pun tahu, juga Parmono sendiri tidak tahu, apa yang terjadi pada malam itu setelah anak tetangga itu disembuhkan. Parmono hanya tahu bahwa isterinya mendapatkan bahwa "pasir"

   Itu berubah menjadi nasi dan malamnya, nenek itu minta agar ditemani oleh Partiwi! Dan Parmono tentu saja tidak berani membantah, bahkan merasa bahagia sekali bahwa isterinya dipilih dan disayangi oleh nenek utusan Sang Bathari Durga itu! Dia tidak tahu apa yang terjadi, hanya semenjak malam itu, isterinya jarang menggaulinya, wajah isterinya agak pucat,matanya sayu dan seringkali isterinya termenung seperti orang bingung. Dia hanya mengira bahwa isterinya tentu telah menjadi murid dan mulai menerima ilmu maka sikapnya berubah aneh!

   Di dalam beberapa bulan itu, beberapa kali Sang Nenek aneh ini menerima tamu, yaitu dua orang kakek yang sama anehnya. Akan tetapi dua orang kakek itu hanya bermalam satu malam saja, tidak mau menemui lain orang, hanya bicara dengan Nyi Durgakelana di dalam kamar tanpa ada yang berani mengintai atau mendengar percakapan mereka. Dan kedatangan mereka selalu di waktu bulan purnama, sehabis dusun itu mengadakan pesta persembahan kepada Bathari Durga yang dilakukan dengan meriah dan penuh kegembiraan oleh para murid Nyi Durgakelana. Murid-muridnya sudah banyak sekali, lebih dari dua puluh orang wanita muda yang cantik, yang datang dari berbagai dusun, dan Partiwi tetap menjadi murid kepala dan orang kepercayaan, bahkan wanita ini pula yang memegang segala harta sumbangan yang datang membanjir dari segenap dusun. Bahkan kepala-kepala desa pun tunduk kepada nenek ini dan menganggapnya sebagai seorang keramat yang suci!

   
Kemelut Di Majapahit Karya Kho Ping Hoo di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

   
"Dusun-dusun kita telah menjadi dusun yang suci "murni!"

   Demikian antara lain Nyi Durgakelana berkata dalam berbagai "ceramahnya". Dusun-dusun kita telah dipilih Sang Bathari sendiri. Oleh karena itu, janganlah kalian melakukan kejahatan dan taatilah semua permintaan Sang Bathari yang dilakukan melalui mulutku. Apa pun yang dimintanya adalah baik dan jangan menafsirkan dengan akal budi dan pikiran, karena kehendak Sang Bathari tentu saja berlainan dengan kehendak manusia. Semua orang yang melakukan kejahatan, sudah pasti akan dihukum secara langsung di dusun-dusun ini!"

   Dan memang benar. Semenjak ada agama baru ini berkembang di dusun-dusun itu,tidak ada lagi maling berani beraksi dan orang merasa takut melakukan kejahatan! Apalagi setelah ada dua orang maling tahu-tahu telah tewas di dalam rumah yang dimalinginya tanpa ada yang tahu apa sebabnya! Dan dua orang laki-laki dan wanita yang melakukan perjinaan di tengah sawah dalam gubug, Si Wanita seorang janda dan Si Pria sudah beristeri, tahu-tahu mati pula di dalam gubuk itu tanpa luka! Tentu saja tidak ada yang menduga bahwa kematian maling-maling dan orang-orang yang bermain cinta haram di gubuk itu terbunuh oleh Nyi Durgakelana yang memiliki kesaktian!

   Untuk mencari nama dan pengaruh, pada malam-malam pertama nenek ini selalu menggunakan kepandaiannya untuk meronda di dusun-dusun sekitarnya, bahkan dia berhasil pula mendatangkan "mimpi-mimpi"

   Kepada semua kepala dusun sehingga mereka ini ketakutan dan tunduk kepada Si Nenek ajaib! Akan tetapi tidak ada sesuatu yang kekal di dunia ini. Apalagi hal-hal yang sifatnya jahat, bahkan yang baik sekali pun menurut ukuran umum belum tentu selalu lancar dan tidak ada gangguan. Pada malam bulan purnama dua bulan yang lalu, di antara para wanita muda cantik yang menjadi

   "Anggota"

   Baru dari perkumpulan penyembah Bathari Durga itu, terdapat tiga orang gadis-gadis cantik.

   Yang dua orang adalah gadis-gadis dusun yang jujur dan mulus, semulus tubuh mereka. Akan tetapi yang ke tiga sebenarnya adalah seorang Anggota Sriti Kencana yang merasa curiga dan melakukan penyelidikan! Bersama dua orang gadis dusun itu,dia diterima menjadi Anggota baru dan seperti biasa dalam penerimaan Anggota baru, mereka bertiga diberi minum "darah suci"

   Dan di dalam keadaan setengah mabok, mereka bertiga lalu diharuskan "bertapa"

   Di dalam kamar-kamar tertentu tanpa ada yang boleh mengganggu mereka.

   Setelah pesta habis dan bubar, apa yang terjadi? Sungguh amat mengerikan bagi tiga orang gadis itu! Nyi Durgakelana mendatangi mereka diharuskan "bertapa"

   Selama tiga hari tiga malam di dalam kamar masing-masing, tidak boleh keluar dan tidak boleh bicara dengan siapa pun juga.

   "Ingat, selama tiga hari tiga malam itu mungkin saja kalian menerima ilham dan anugerah dari para dewata dan jangan heran atau terkejut kalau ada dewa datang dari kahyangan untuk menemani kalian karena dengan menjadi Anggota kami, kalian adalah pilihan-pilihan para dewata. Kalian menurutlah saja karena apa pun yang terjadi yang dilakukan oleh para dewa, tentu saja amat baik bagi kalian!"

   Demikian pesan nenek itu dan pada malam pertama itu juga, di kamar masing-masing muncullah seorang kakek dalam keremangan penerangan kecil di dalam kamar itu, seorang kakek yang sama sekali tidak bersikap sebagai dewa karena kakek itu merayu mereka dan kemudian memperkosa mereka yang sama sekali tidak berani melawan karena ketakutan! Sampai tiga hari tiga malam tiga orang kakek itu selalu muncul untuk mempermainkan mereka! Pada hari ke empatnya, dua orang gadis dusun itu dinyatakan sebagai murid dan diharuskan tinggal di asrama, sedangkan Anggota Sriti Kencana itu diangkat menjadi pelayan nenek itu, bekerja di sebelah dalam sedangkan dua orang temannya bekerja di sebelah luar.

   Dua bulan kemudian, pada suatu malam dua orang gadis manis itu melarikan diri, pulang ke kampung mereka dan tahu-tahu ada berita bahwa mereka itu membunuh diri di rumah mereka dalam keadaan sudah mengandung hampir dua bulan! Anggota Sriti Kencana yang tadinya seperti orang tidak sadar karena selalu diberi minum "darah suci", menjadi terkejut dan cepat dia melarikan diri lalu melaporkan hal yang aneh itu kepada pimpinan Sriti Kencana, yaitu Joko Handoko dan Roro Kartiko yang menjadi marah dan berangkat sendiri untuk melakukan penyelidikan.

   Malam itu bulan purnama berser-seri di langit cerah. Di lereng Pegunungan Kendeng, di dusu Kabalan yang kini menjadi dusun yang amat terkenal di seluruh daerah Kendeng karena menjadi dusun pusat agama Durga yang baru itu, lampu-lampu dinyalakan dengan terang sekali dan dari jauh saja sudah terdengar suara gamelan yang mengiringi suara pesinden yang merdu. Gamelan dan pesinden itu sengaja didatangkan dari dusun Kabangan, merupakan gamelan dan pesinden yang paling terkenal dan mahal di seluruh daerah itu dan yang membiayainya adalah seorang hartawan dari dusun Kabangan yang telah menerima berkah dari Sang Hyang Bathari.

   Pondok kecil milik Parmono yang dulunya kecil sederhana, kini telah berubah menjadi sebuah rumah besar yang mewah dan di sebelah belakang bangunan itu, yang dulunya hanya merupakan tegalan luas yang ditanami ketela dan jagung, kini telah menjadi sebuah taman di mana terdapat sebuah panggung dari kayu jati yang kokoh kuat dan di tempat inilah diadakan pesta meriah malam itu untuk memuja Sang Bathari Durga seperti biasa setiap bulan, yaitu di waktu bulan purnama menghias langit.

   Taman bunga itu penuh dengan orang yang menonton, mereka terdiri dari orang laki-laki perempuan, tua muda yang datang dari dusun-dusun di sekitar Gunung Kendeng. Banyak pula yang membawa Anggota keluarga yang sakit untuk minta berkah dan penyembuhan di malam istemewa itu, yang menurut Nyi Durgakelana, pada malam seperti itu Sang Bathari Durga amat gembira dan welas asih, menolong siapa saja yang minta pertolongannya. Akan tetapi seperti biasa, yang paling banyak mengunjungi tempat itu adalah para wanita, karena agaknya Sang Bathari ini paling suka memberkahi wanita.

   Yang tidak mempunyai anak minta agar bisa mempunyai seorang anak yang amat baik dan yang kelak dapat "mendem jero mikul duwur", yang belum menikah minta agar dapat segera bertemu jodoh seorang pria yang amat baik, dan perawan-perawan yang sudah agak terlambat usianya, sudah lewat dari delapan belas tahun dan belum menikah, mereka inilah yang paling prihatin dan tentu akan menurut dan taat biar disuruh apa pun oleh Nyi Durgakelana asal mereka dijamin akan cepat memperoleh jodoh! Biar disuruh menginap dan "bertapa"

   Di situ sampai sebulan lamanya pun mereka bersedia. Juga ayah bunda mereka tidak menaruh keberatan. Orang tua manakah yang tidak akan bangga mendengar bahwa anak perawan mereka ada harapan untuk menjadi isteri orang besar? Tidak kurang pula banyaknya para janda yang ingin kawin lagi, dan para pedagang yang ingin dagangannya maju dan laris, pejabat-pejabat yang ingin agar pangkatnya segera mendapat kenaikan. Karena agaknya Sang Bathari Durga ini seolah-olah menuruti keinginan semua orang, dari yang bertingkat rendah sampai yang bertingkat tinggi, maka tidak ada orang yang menentang Nyi Durgakelana.

   Agaknya seluruh manusia di dunia ini, tidak ada yang tidak mempunyai keinginan untuk "maju"

   Dan untuk mengecap keuntungan dan kesenangan, maka tentu saja sumber pemberi kesenangan seperti Nyi Durgakelana itu memperoleh dukungan orang sejagad!

   Mengapa hampir semua manusia di dunia ini condong untuk menyembah sesuatu yang dianggapnya lebih tinggi, lebih agung, dan lebih berkuasa? Semenjak sejarah berkembang sampai di jaman ultra modern ini, masih tidak ada bedanya. Setiap orang manusia ingin untuk memuja dan menyembah sesuatu yang dianggapnya lebih tinggi, suci dan berkuasa. Baik sesuatu itu diberi nama dengan sebutan Setan, Dewa, Nabi, Guru dan sebagainya lagi menurut pendidikan lingkungan masing-masing.

   Mari kita selidiki mengapa kita ini menyandarkan diri kepada sesuatu yang lebih tinggi dan lebih berkuasa daripada kita? Apakah artinya kalau kita membakar kemenyan dan menyediakan kembang setaman di malam Jumat dan malam Selasa? Apa artinya kalau kita berdoa kepada para Dewa? Apa artinya kalau kita bersujud kepada guru-guru kebatinan yang kita percaya! Apakah yang MENJADI DASAR dari pada semua perbuatan itu?

   Kita merasa berdosa! Itukah satu di antara sebab-sebabnya? Kita merasa berdosa dan kita mohon ampun daripada dosa! Dengan lain kata-kata, kita ingin bersih dari dosa, karena dosa itu mendatangkan hukuman kesengsaraan. Atau berarti, kita ingin terbebas dari hukuman! Atau juga berarti, kita ingin terbebas dari kesengsaraan, jadi kita ingin enak, ingin senang, ingin terbebas dari kesengsaraan yang melenyapkan kesenangan.

   Jadi jelaslah bahwa kita berdoa kepada sesuatu yang lebih berkuasa karena dorongan ingin hidup senang, baik lahir maupun batin! Kita hanya mau berdoa memuja sesuatu yang KUASA MEMBERI KESENANGAN kepada kita, sebaliknya kita mengutuk sesuatu yang mendatangkan kedukaan kepada kita. Kita selalu mengejar kesenangan, dengan jalan apa pun juga, dengan kekerasan, dengan kelembutan dengan kemunafikan! Kita tidak pernah mau membuka mata melihat betapa semua itu timbul karena perbuatan kita sendiri! Kita tidak pernah mau sadar dan waspada akan kekotoran diri sendiri! Kita mau enaknya saja!

   Kita melakukan hal-hal yang menimbulkan kesenangan dan akibat daripada itu,kalau kita sengsara karenanya, kalau kita berdosa karenanya, kita lontarkan semua itu kepada sesuatu yang lebih tinggi untuk minta dibersihkan dan diampuni lagi, agar kita tetap berada dalam kesenangan, kesentausaan, kedamaian dan ketenteraman! Betapa munafiknya kita ini! Demikian pula mengapa tempat pemujaan Sang Hyang Bathari Durga penuh dengan  yang meminta-minta.

   

  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KERIS MAUT

PENDEKAR GUNUNG LAWU

KEMELUT DI MAJAPAHIT