KEMELUT DI MAJAPAHIT JILID 15
"Mengapa sikapku itu membuat engkau penasaran, Kakang Tejo? Kau merasa dirimu sebagai pria terlalu tinggi dan agungkah? Engkau lupa agaknya, bahwa tanpa adanya wanita di dunia ini, seorang Sutejo tidak akan dapat lahir di dunia! Engkau lupa bahwa ibu-ibu kita adalah wanita, saudara-saudara perempuan kita adalah wanita, bibi-bibi kita adalah wanita. Apakah engkau pun hendak mengutuk mereka, termasuk ibumu sendiri?"
"Ah..., ah...! Tidak begitu sama sekali! Aku tidak mengutuk wanita, dan tidak semua wanita jahat. Sriti Kencana itu seorang wanita yang hebat. Aku hanya ingin menasihatimu agar engkau jangan terlalu banyak main cinta dengan wanita, Adi Bromo, dan..."
"Sudahlah, Kakang Tejo. Agaknya memang tidak ada kecocokan dalam urusan wanita ini antara engkau dan aku. Sekarang, setelah aku menjelaskan mengapa aku membela ibu-ibu kita, tentu engkau tidak penasaran lagi. Nah, selamat tinggal!"
Bromatmojo sudah melangkah dan berjalan cepat memasuki pintu gerbang Kadipaten Tuban. Akan tetapi Sutejo cepat mengejarnya.
"Eh, Adi Bromo. Benar-benarkah engkau marah sekali kepadaku? Apakah engkau tidak suka memaafkan aku?"
Sambil melangkah terus Bromatmojo hanya mendengus.
"Hemmm...!"
"Kita adalah sahabat-sahabat kontan, sahabat-sahabat karib yang sudah mengalami suka duka bersama. Maukah engkau... eh, bolehkah aku menemanimu, Adi Bromo? Tujuan kita juga sama..."
"Asalkan engkau tidak lagi menghina kaum ibu..."
"Tidak, sungguh mati tidak!"
Maka masuklah dua orang muda itu ke kota Tuban di waktu orang-orang telah mulai menyalakan lampu penerangan. Karena dua orang muda itu sudah sejak kecil meninggalkan dunia ramai dan hidup sebagai pertapa di pegunungan, dan baru sekarang mereka melihat kota sebesar kota Tuban yang ramai, keduanya melihat-lihat dengan hati kagum. Setelah mereka makan di dalam warung, menikmati nasi dan goreng udang yang banyak dijual di kota pelabuhan itu, Bromatmojo lalu mengajak Sutejo untuk mencari tukang menjual warangka (sarung keris).
"Tidak enak membawa pusaka dibungkus begini, kakang. Kita harus membeli sebuah warangka untuk Kolonadah."
Mereka segera mendatangi pedagang warangka dan keris, lalu memilih sebuah warangka yang cukup indah ukirannya karena Bromatmojo menghendaki agar keris pusaka itu memperoleh warangka yang indah.
"Aku ingin segera menyelidiki si keparat Progodigdoyo, Adi Bromo."
"Memang semestinya demikian, aku pun ingin mendengar apa jadinya dengan mbakayumu, akan tetapi kita akan menyelidiki sebuah gedung kadipaten di mana terdapat banyak penjaganya, Kakang. Oleh karena itu, sebaiknya kalau kita mencari rumah penginapan lebih dulu sehingga kalau sampai terjadi apa-apa, kita dapat dengan mudah menyembunyikan diri."
Sutejo mengangguk tanda setuju dan pergilah mereka mencari sebuah rumah penginapan kecil di ujung kota. Mereka menyewa dua buah kamar karena seperti biasa, Bromatmojo ingin tidur menyendiri. Akan tetapi baru saja mereka memasuki kamar masing-masing, Bromatmojo sudah mengetuk pintu kamar Sutejo dan ketika pemuda ini membuka pintunya, Bromatmojo berkata dengan muka tegang.
"Kakang Tejo,terjadi suatu hal yang luar biasa. Mari kau lihat di kamarku!"
Sutejo cepat mengikuti Bromatmojo memasuki kamarnya dan di situ Bromatmojo memperlihatkan warangka Kolonadah yang telah menjadi pecah berantakan sehingga keris pusaka itu kelihatan, mencorong mengeluarkan sinar yang panas!
"Eh, apa yang terjadi?"
Sutejo bertanya heran.
"Aku sendiri tidak tahu. Begitu memasuki kamar, aku mengeluarkan pusaka ini dan meletakkannya di atas meja. Tiba-tiba terdengar suara membeletak dan kulihat warangka itu telah pecah berantakan.
Sutejo memeriksa warangka itu dan menggelengkan kepalanya.
"Warangka itu terbuat dari kayu yang tua dan kuat, sungguh aneh sekali bagaimana bisa pecah seperti ini. Akan tetapi bukankah engkau tadi membeli dua buah warangka?"
"Benar, yang sebuah adalah warangka kayu galih asem yang amat indah ukirannya dan kubeli karena aku suka akan ukirannya."
"Nah, kalau begitu pakai saja itu,"
Kata Sutejo.
Bromatmojo lalu mengeluarkan warangka ke dua yang tadi dimasukkan bungkusan pakaiannya, dan mencabut Kolonadah dari warangka yang sudah pecah-pecah itu dan dimasukkan keris pusaka itu ke dalam warangka galih asem. Akan tetapi, begitu dia meletakkan keris itu di atas meja, terdengar suara membeletak dan ketika mereka memandang, ternyata warangka galih asem yang terukir indah itu pun pecah berantakan!
"Luar biasa...!!"
Kata Sutejo sambil memandang Kolonadah di atas meja dengan mata terbelalak.
Bromatmojo mengambil keris itu, mengeluarkannya dari warangka yang pecah, lalu membungkusnya dengan kain kuning. Sebagai murid seorang empu yang sakti, ahli pembuat keris pusaka, Bromatmojo mengerti apa yang telah terjadi.
"Kakang Tejo, Kolonadah adalah pusaka sakti, maka tentu saja tidak mau bertempat tinggal di warangka biasa saja. Warangka biasa itu tentu saja tidak kuat menahan hawa sakti yang keluar dari pusaka ini. Sebaiknya sekarang kita mencari seorang empu yang sakti di kota ini dan minta dibuatkan sebuah warangka yang cocok."
"Baiklah, Adi Bromo. Sungguh hebat sekali pusaka itu..."
Kata Sutejo yang masih belum hilang kagum dan kagetnya akan keampuhan pusaka peninggalan Adipati Ronggo Lawe itu.
Setelah mencari keterangan kepada pelayan rumah penginapan, mereka mendengar bahwa di ujung barat kota Tuban terdapat seorang empu tua yang berilmu tinggi. Menurut keterangan itu, empu ini dahulu menjadi empu di Mojopahit dan kini telah mengundurkan diri, kembali kepada tempat asalnya, yaitu di Tuban dan di Tuban hanya melayani pesanan-pesanan yang penting saja, dengan bantuan dua orang cantriknya.
Kedua orang muda itu lalu berangkat malam itu juga, menuju ke rumah Empu Singkir, demikian nama empu terkenal dan sudah tua itu. Ketika mereka tiba di depan rumah sederhana itu mereka sudah mendengar berdentingnya baja digembleng, suaranya perlahan namun melenting nyaring tanda bahwa yang digemleng adalah baja murni yang baik. Seorang cantrik menerima kedatangan mereka dan ketika Bromatmojo menyatakan bahwa dia datang untuk mohon pertolongan Empu Singkir untuk memilihkan atau membuatkan sebuah warangka untuk keris pusakanya, cantrik itu lalu mempersilakan mereka menanti di ruangan depan dan melaporkan kepada Empu Singkir yang sedang bekerja. Suara baja digembleng itu terhenti dan tak lama kemudian muncullah seorang kakek yang sudah tua sekali, sedikitnya delapan puluh tahun usianya, kurus kering dan berpakaian sederhana dan jalannya sudah terbongkok-bongkok. Sutejo dan Bromatmojo cepat bangun berdiri dan memberi hormat kepada kakek ini.
"Siapakah andika berdua, Raden?"
Tanya kakek itu dengan suara yang sudah gemetar.
"Saya bernama Bromatmojo dan sahabatku ini bernama Sutejo, Eyang."
"Uh-hu-huh... andika berdua adalah orang-orang muda yang gemblengan, dapat saya lihat dari sikap dan pandang mata kalian. Akan tetapi, menurut laporan cantrik, andika datang untuk dibuatkan warangka? Sungguh aneh sekali, biasanya orang datang untuk memesan, curigo (keris), bukan warangka! Warangka hanyalah wadah dan merupakan hiasan belaka, angger, dan yang terpenting adalah isinya, yaitu kerisnya. Mengapa andika hanya memesan warangkanya saja?"
Sebagai murid Empu Supamandrangi yang sakti, Bromatmojo cepat dapat menangkap arti kata-kata yang tidak begitu dimengerti oleh Sutejo itu, dan menjawablah pemuda Bromo itu.
"Maaf, Eyang. Sungguh pun apa yang Eyang katakan itu benar,akan tetapi warangka tidaklah kalah pentingnya dengan curigo, karena tanpa warangka, curigo tidaklah lengkap, bahkan tidak berwujud dan tidak kelihatan. Karena itu, betapa pun baiknya curigo, tanpa mempunyai warangka yang indah dan kuat, berarti tidak sempurna. Tentu saja sebaliknya pun demikian, betapa pun indah dan kuatnya warangka, tanpa curigo, juga tidak ada artinya dan hanya merupakan kemewahan yang sia-sia. Bukankah demikian, Eyang?"
"Hu-hu-huh... wawasanmu memang tajam dan tepat, Angger. Dan karena andika bernama Bromatmojo, agaknya datang dari Bromo dan..."
"Terus terang saja, saya adalah murid dari eyang guru Empu Supamandrangi."
Sepasang mata tua itu memandang terbelalak, kemudian dia membungkuk penuh hormat.
"Jagad Dewa Bathara..., sungguh mata tua ini sudah lamur... maafkan saya, Raden. Kiranya saya berhadapan dengan murid seorang yang sakti mandraguna... ahh,sungguh merupakan kehormatan besar bagi saya kalau andika sudi minta bantuan seorang bodoh seperti saya. Andika tadi katanya memesan warangka. Untuk apakah, Raden Bromatmojo?"
"Untuk sebuah pusaka, Eyang. Pusakaku itu demikian ampuhnya sehingga sudah dua buah warangka pecah berantakan olehnya."
"Bolehkah saya melihat pusaka yang ampuh itu, Raden?"
"Silakan, Eyang."
Bromatmojo mengeluarkan bungkusan kain kuning dan menyerahkannya kepada Empu Singkir. Dengan jari-jari tangannya yang lentik panjang dan halus, tangan seorang seniman, Empu Singkir membuka bungkusan itu dan memeriksa gagang keris pusaka Kolonadah. Matanya terbelalak lebar.
"Kolonadah...?"
Dia berteriak, keras sekali teriakannya dan Bromatmojo cepat merampas kembali keris pusakanya karena tiba-tiba dia mendengar suara gaduh dari balik pintu ruangan. Empu Singkir yang tua renta itu kini tiba-tiba meloncat ke belakang dan dari balik pintu muncullah seorang kakek tinggi besar yang mukanya brewok penuh cambang bauk, sikapnya gagah bukan main dan biar pun usianya tentu sudah tujuh puluh tahunan, namun dia masih kelihatan gagah perkasa menyeramkan, dengan pakaiannya serba hitam dan ikat kepala yang hitam pula.
"Dia... dia membawa Kolonadah!"
Teriak pula Empu Singkir sambil menudingkan telunjuknya kepada Bromatmojo. Mendengar ini, kakek berpakaian hitam itu menerjang ke depan dan berkata kepada Bromatmojo.
"Serahkan Kolonadah kepadaku!"
Bentakan ini dibarengi dengan uluran tangan hendak merampas keris pusaka yang sudah dipegang oleh Bromatmojo, namun pemuda ini dengan mudah mengelak dan membungkus keris pusaka itu, menyelipkan di pinggangnya kemudian dia menghadapi serangan kakek tinggi besar yang ternyata memiliki gerakan cepat dan pukulan ampuh yang mendatangkan angin besar itu.
Ketika Sutejo hendak membantu sahabatnya, Empu Singkir bersama dua orang cantriknya sudah menyerang dan mengeroyoknya sehingga terjadilah pertempuran hebat di dalam ruangan depan yang cukup luas itu. Sutejo tidak tega untuk sembarangan melukai empu tua dan dua orang cantriknya itu, maka dia hanya bersikap mempertahankan diri, mengelak dan menangkis. Akan tetapi tidak demikian dengan Bromatmojo. Melihat kakek raksasa itu bertekad untuk merampas Kolonadah, maka dia menyangka buruk dan dia mengerahkan tenaga pada setiap tangkisannya dan beberapa kali kakek raksasa itu terhuyung dan berseru kaget. Ketika melihat bahwa pemuda tampan itu ternyata sakti dan kuat sekali, kakek itu melolos ikat kepalanya yang hitam dan dengan seruan menggeledek dia menggerakkan ikat kepala itu melecut. Angin menyambar dan Bromatmojo terkejut bukan main karena merasa betapa ikat kepala itu menyambar dengan kekuatan dahsyat. Namun, tentu saja dia tidak takut, bahkan mengangkat tangan kirinya menangkis.
"Plakk! Brettt...!"
Ikat kepala itu tertangkis tangan Bromatmojo, membalik, akan tetapi ujungnya tadi masih menyambar melalui tangan Bromatmojo dan mengenai leher baju orang muda itu sehingga leher bajunya terkoyak dan nampaklah kalung yang selalu dipakainya. Karena tidak tertutup leher baju, kalung itu terjuntai keluar.
"Eh... Kundolo Mirah...??"
Kakek berpakaian hitam itu berteriak sambil melompat mundur.
"Tahan dulu...! Hentikan pertempuran...!!"
Bromatmojo memandang tajam dan Empu Singkir bersama dua orang cantriknya yang kewalahan menghadapi Sutejo, kini juga mundur. Napas empu itu empas-empis seperti ikan berada di darat.
"Memang ini Kundolo Mirah. Habis mengapa?"
Tanya Bromatmojo sambil memandang kakek raksasa itu dengan sikap menantang.
"Dan memang keris ini pusaka Kolonadah. Apakah kalian masih hendak merampasnya?"
Kakek raksasa itu memandang dengan mata terbelalak.
"Engkau... engkau siapakah...? Dari mana engkau memperoleh Kolonadah dan Kundolo Mirah?"
Bromatmojo memandang tajam dan kini dia teringat bahwa dia pernah bertemu dengan kakek ini. Dia mengingat-ingat dan tiba-tiba teringatlah dia ketika sembilan tahun yang lalu dia hendak disiksa oleh Reksosuro dan Darumuko, dia ditolong oleh seorang kakek berpakaian hitam, kakek raksasa yang bernama Ki Ageng Palandongan! Inilah dia kakek itu! Akan tetapi, Bromatmojo segera teringat bahwa dia tidak mungkin mengaku kepada kakek ini, bahwa dia adalah anak perempuan sembilan tahun yang lalu itu, maka dia lalu berkata.
"Harap andika ketahui bahwa saya Bromatmojo adalah murid eyang guru Empu Supamandrangi, dan bahwa atas perintah Empu Supamandrangi maka saya mengambil keris pusaka Kolonadah ini."
"Ehh..., tapi... tapi Kundolo Mirah itu...?"
"Ini?"
Bromatmojo memegang mainan kalungnya dan memasukkannya kembali ke balik bajunya.
"Kundolo Mirah ini adalah hadiah yang saya terima dari...eyang guru.."
Dia terpaksa membohong.
"Serupa benar dengan milik mantuku, mendiang Adipati Ronggo Lawe!"
Kata Ki Ageng Palandongan.
"Tentu saja,"
Kata Bromatmojo cerdik.
"Bukankah mendiang Adipati Ronggo Lawe adalah murid dari eyang guru Empu Supamandrangi?"
Sementara itu, mendengar ucapan kakek raksasa itu, Sutejo menjadi terkejut.
"Jadi paduka adalah ayah mertua mendiang Adipati Ronggo Lawe?"
"Benar. Aku bernama Ki Ageng Palandongan, dan aku sering kali datang ke Tuban untuk menyelidiki hilangnya Kolonadah, pusaka milik mendiang Adipati Ronggo Lawe. Memang pusaka itu adalah ciptaan gurunya, yaitu Paman Empu Supamandrangi dan setelah kini Paman Empu sendiri mengutus muridnya dan telah berhasil mendapatkan kembali pusaka itu, hatiku merasa lega. Harap andika berdua suka memaafkan kelancangan seorang tua. Ketika aku mendengar teriakan sahabatku, Empu Singkir bahwa ada orang datang membawa Kolonadah, tentu saja aku menjadi terkejut dan menyangka buruk kepada andika berdua."
"Tidak mengapalah, Paman Ki Ageng Palandongan. Sudah biasa di antara orang-orang gagah bahwa setelah bertanding baru saling berkenalan. Dan memang agaknya sudah ditakdirkan bahwa antara kita akan terjadi pertemuan dan perkenalan. Sahabatku ini bernama Sutejo."
"Bukan main, sungguh andika memiliki kesaktian yang hebat, Raden Sutejo. Aku dengan bantuan dua orang cantrikku sama sekali tidak berdaya menghadapi kedigdayaanmu."
Empu Singkir memuji sambil memandang kepada Sutejo dengan sinar mata kagum.
"Tentu saja, Eyang Empu, sahabatku ini adalah murid dari Panembahan Ciptaning di lereng Gunung Kawi,"
Kata Bromatmojo yang merasa bangga akan kesaktian sahabatnya.
"Ahhh...!"
Seru Empu Singkir.
"Ohhh...!!"
Ki Ageng Palandongan juga berseru kaget karena tentu saja dia mengenal nama Panembahan Ciptaning yang sakti mandraguna itu.
"Kiranya andika berdua adalah murid orang-orang sakti dan tentu kedatangan andika berdua di Tuban mempunyai maksud tujuan yang penting."
Bromatmojo melirik ke arah Sutejo yang mengerutkan alis, lalu berkata.
"Pertama-tama, kami merasa pusing karena sukar sekali mencarikan warangka untuk keris pusaka Kolonadah, maka kami sengaja datang minta bantuan Eyang Empu Singkir."
Empu yang tua itu tersenyum.
"Tidaklah mudah mencarikan warangka yang tepat bagi sebuah keris pusaka seampuh Kolonadah. Saya tahu akan sifat keris pusaka seperti ini, yang mengandung hawa panas sekali. Pusaka ini harus sebuah warangka yang dingin, yang dibuat oleh tangan seorang perawan dan untuk membuat warangka yang baik, tentu saja gadis itu haruslah mempunyai kesaktian."
Mendengar ini, Bromatmojo menjadi bingung. Tentu saja dia sendiri memenuhi syarat untuk membuatkan warangka itu, akan tetapi hal ini akan berarti membuka rahasianya. Maka dia lalu berkata.
"Kalau begitu, saya menyerahkan pembuatan warangka itu kepada Eyang. Dan urusan ke dua dari kami yang amat penting adalah urusan sahabatku, Kakang Sutejo ini."
Sutejo yang memang ingin menyelidiki keadaan mbakayunya, tidak menghendaki urusannya itu diceritakan oleh Bromatmojo kepada orang-orang lain, maka dia lalu berkata.
"Saya mempunyai urusan pribadi dengan Progodigdoyo dan malam ini juga saya harus menyelidiki tempat tinggalnya."
Mendengar ini, baik Empu Singkir maupun Ki Ageng Palandongan memandang tajam penuh selidik, dan kening kakek raksasa berpakaian hitam itu berkerut khawatir.
"Raden, amatlah berbahaya untuk menyelidiki keadaan kabupaten. Selain sang Bupati memiliki kepandaian tinggi, juga pembantu-pembantunya adalah orang-orang sakti. Harap saja andika berdua bersikap hati-hati sekali kalau hendak melakukan penyelidikan."
"Saya tahu orang macam apa adanya Progodigdoyo, Paman. Adi Bromo, aku ingin pergi sekarang juga,"
Katanya kemudian kepada Bromatmojo.
"Tunggu sebentar Kakang Tejo,"
Kata Bromatmojo yang kemudian menyerahkan keris pusaka Kolonadah yang terbungkus kain kuning itu kepada Empu Singkir sambil berkata.
"Eyang Empu, saya titipkan pusaka ini agar Eyang buatkan warangkanya. Tidak enak membawa-bawa pusaka ampuh ini tanpa warangka."
"Baiklah, Raden. Akan saya usahakan mencarikan orang yang akan membantu kita membuatkan warangka itu,"
Jawab Sang Empu sambil menerima bungkusan kuning itu dengan kedua tangan gemetar. Pusaka ampuh ini selama bertahun-tahun menimbulkan keributan karena banyak sekali orang ingin memperebutkannya, dan kini secara tidak terduga sama sekali, pusaka itu berada di tangannya.
Setelah menyerahkan pusaka dan berpamit dari Empu Singkir dan Ki Ageng Palandongan, dua orang muda itu meninggalkan rumah kecil itu dan menyelinap di dalam kegelapan malam hendak menyelidiki istana Kabupaten Tuban. Malam itu gelap karena langit tertutup mendung, dan kalau ada yang kebetulan melihatnya, tentu orang itu akan menjadi ketakutan dan menyangka setan berkeliaran ketika dua orang muda ini mempergunakan aji kesaktian mereka untuk bergerak cepat sekali melalui jalan yang sunyi menuju ke bangunan-bangunan rumah besar berkelompok di sebelah dalam lingkungan tembok kabupaten yang tebal dan tinggi.
"Adi Bromo kenapa engkau begitu sembrono meninnggalkan Kolonadah kepada mereka? Kita baru saja mengenal mereka dan tidak tahu apakah mereka dapat dipercaya..."
"Jangan khawatir, Kakang Tejo,"
Jawab Bromatmojo yang kini mengerti mengapa tadi sahabatnya itu kelihatan tidak senang melihat dia menyerahkan keris pusaka kepada empu itu.
"Aku percaya penuh kepada Ki Ageng Palandongan."
"Akan tetapi, baru saja kita mengenalnya, dan hanya karena pengakuannya saja kita tahu bahwa dia adalah mertua dari mendiang Adipati Ronggo Lawe."
Bromatmojo menggeleng kepala.
"Percayalah, Kakang Tejo. Dia benar Ki Ageng Palandongan yang gagah perkasa dan kita boleh percaya sepenuhnya kepada orang tua itu. Dahulu aku pernah bertemu dengan dia, hanya dia yang lupa kepadaku."
"Ah, begitukah?"
Hati Sutejo menjadi lega karena memang tadi dia tidak senang melihat keris pusaka itu diberikan kepada Empu Singkir, hal yang dianggapnya amat sembrono. Kini mereka tidak bercakap-cakap lagi dan melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Kabupaten Tuban.
"Maling...! Maling...!!"
"Kepung...! Tangkap...!"
Bromatmojo dan Sutejo terkejut bukan main. Mereka sudah bergerak dengan hati-hati sekali, berhasil melompati pagar tembok dan melalui tempat penjagaan para pengawal tanpa ada yang melihatnya. Mereka telah meloncat ke atas atap dan bergerak perlahan, hati-hati tidak menimbulkan suara ketika mereka mulai menyelidiki keadaan rumah-rumah gedung di kabupaten itu. Akan tetapi, ketika mereka melompat turun ke bagian samping rumah-rumah besar itu, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan itu dan dari mana-mana bermunculan pengawal-pengawal yang mengepung dan menerjang mereka!
Dari kepungan itu muncul empat orang pengawal yang bertubuh tinggi besar dan langsung mereka itu menerjang kepada Bromatmojo dan Sutejo. Ketika dua orang muda ini mengelak dan menangkis dua orang penyerang masing-masing, mereka terkejut karena ternyata empat orang itu memiliki tenaga yang cukup kuat dan gerakan yang tangkas. Benarlah cerita Ki Ageng Palandongan bahwa Kabupaten Tuban memiliki orang-orang pandai. Akan tetapi tentu saja Bromatmojo dan Sutejo tidak merasa takut. Mereka berdua mengeluarkan aji kesaktian mereka dan begitu mereka balas menyerang, biar pun empat orang itu sudah berusaha menghindar, tetap saja mereka berempat terlempar ke kanan kiri!
"Serbu! Keroyok!"
Lebih dari dua puluh orang pengawal kini maju menyerbu dan makin lama makin banyak juga berdatangan perajurit-perajurit yang menjaga di luar. Sutejo dan Bromatmojo merobohkan beberapa orang dan selagi mereka hendak mencari jalan keluar, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan ada angin pukulan itu dilakukan oleh seorang kakek yang berpakaian pendeta. Pendeta itu usianya sudah enam puluh lima tahun lebih, akan tetapi kelihatan masih gagah, dengan kumis dan jenggot terpelihara baik-baik, dengan pandang matanya yang amat tajam dan ketika tangannya yang terbuka itu menghantam, ada angin pukulan dahsyat sekali dan terasa panas oleh Bromatmojo!
"Heiiitt...!"
Bromatmojo membentak dan menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.
"Desss...!"
Bromatmojo terpental ke belakang dan kakek pendeta itu berseru kaget karena sama sekali tidak disangkanya bahwa seorang di antara "maling-maling"
Itu memiliki tenaga sedemikian kuatnya sehingga bukan saja mampu menangkis pukulannya, juga dia merasa betapa lengannya tergetar! Sementara itu, ketika Sutejo melihat betapa Bromatmojo terpental, dia terkejut.
"Kiranya ada pendeta yang begini sakti di tempat ini", pikirnya dan dia pun lalu berteriak nyaring, tubuhnya mencelat ke arah pendeta itu sambil menampar untuk mencegah pendeta itu mendesak Bromatmojo.
Pendeta itu bukan lain adalah Resi Harimurti, sahabat dari mendiang Empu Tunjungpetak. Seperti kita ketahui, Resi Harimurti menjadi pembantu dari Resi Mahapati dan karena ini maka dia menjadi sahabat dari Bupati Progodigdoyo pula dan keduanya merupakan rekan-rekan yang dipengaruhi oleh Resi Mahapati. Sering sekali Resi Harimurti berkunjung ke Tuban dan menjadi tamu kehormatan, bahkan untuk memikat hati pendeta cabul yang memiliki kesaktian hebat ini, Progodigdoyo biasa memberi "hidangan"
Berupa wanita-wanita cantik kepada Resi Harimurti sehingga resi ini menganggap Tuban sebagai tempat pelesir dan bersenang-senang.
Ketika Resi Harimurti merasa ada hawa pukulan menyambar dan melihat "maling"
Ke dua menyerangnya dengan gerakan yang demikian tangkasnya, dia pun menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.
"Desss...!!"
"Ehhh...??!"
Resi Harimurti kini makin terkejut karena hampir saja dia terjengkang ketika bertemu tangan dengan pemuda itu, yang ternyata jauh lebih kuat daripada pemuda pertama sehingga dalam pertemuan tenaga itu dia sampai terhuyung dan hampir terjengkang! Marahlah Resi Harimurti dan begitu tangannya bergerak, dia telah mengeluarkan kipas bambu dan pecutnya.
"Tar-tar-tarrrr...!"
Pecut itu meledak-ledak di udara, akan tetapi Sutejo yang tahu bahwa keadaan di situ amat berbahaya bagi dia dan sahabatnya, sudah menarik tangan Bromatmojo dan diajaknya ke atas wuwungan!
"Kita harus pergi, Adi Bromo!"
Bisik Sutejo.
"He, maling-maling hina! Kalian mau lari ke mana?"
Resi Harimurti membentak sambil melompat pula ke atas wuwungan, mengejar. Lebih dari dua puluh orang pengawal kini maju menyerbu dan makin lama makin banyak juga berdatangan perajurit-perajurit yang menjaga di luar.
"He, maling-maling hina! Kalian mau lari ke mana?"
ResHarimurti membentak sambil melompat pula ke atas wuwungan, mengejar.
Ketika dua orang muda itu hinggap di atas wuwungan, tiba-tiba dari depan dan kanan kiri menyambar puluhan batang anak panah ke arah mereka. Kiranya di atas wuwungan telah menanti pasukan anak panah. Memang penjagaan di Kabupaten Tuban ini amat kuat. Hal ini adalah karena Progodigdoyo selalu takut akan pembalasan musuh-musuhnya, maka dia sengaja mengatur penjagaan yang kuat siang dan malam. Maka begitu tadi diketahui bahwa di kabupaten kemasukan maling, semua penjaga telah bersiap-siap di tempat penjagaan masing-masing, termasuk pasukan panah yang bertugas jaga di atas wuwungan.
"Celaka...!"
Sutejo berbisik dan dengan cepat dia mengajak Bromatmojo melompat ke belakang, kemudian mereka melompat turun lagi. Enam orang penjaga di bawah menyambut mereka dengan serangan tombak, namun dengan mudah Sutejo dan Bromatmojo merobohkan mereka dalam waktu singkat.
"Maling-maling hina, menyerahlah kalian!"
Terdengar bentakan Harimurti di belakang mereka.
"Adi Bromatmojo, padamkan lampu-lampu...!"
Sutejo berbisik dan dia bersama Bromatmojo cepat menyambar batu-batu kerikil di bawah dan dengan cekatan mereka menyambiti lentera-lentera dan lampu-lampu yang tergantung di sekitar tempat itu sehingga terdengar suara ledakan-ledakan dan gelap gulitalah sekeliling mereka.
"Heii... gelap sekali!"
"Nyalakan lampu! Nyalakan obor! Cepat...!"
Tentu saja Resi Harimurti dan beberapa orang perwira pengawal yang melakukan pengejaran bersama dia menjadi bingung dan marah karena mereka tidak lagi dapat melihat ke mana larinya dua orang muda yang mereka kejar-kejar itu.
Obor-obor dinyalakan dan Resi Harimurti sendiri memimpin pasukan pengawal untuk mencari ke mana-mana. Resi ini khawatir sekali karena dari pertemuan tenaga dengan dua orang tadi, maklumlah dia bahwa mereka itu bukan maling-maling biasa saja,melainkan dua orang muda yang memiliki kedigdayaan luar biasa, bahkan yang seorang di antara mereka memiliki kesaktian yang hebat. Orang-orang dengan kepandaian seperti itu tidak mungkin hanya maling-maling biasa saja!
Sementara itu, Bromatmojo dan Sutejo yang memadamkan lampu dengan sambitan batu-batu kerikil, terus melarikan diri ke sebelah dalam, tidak tahu bahwa mereka itu memasuki bagian Keputren (tempat kediaman para puteri/wanita) yang berada di sebelah belakang. Barulah mereka sadar bahwa mereka bukan menuju jalan keluar melainkan masuk makin dalam ke bagian keputren ketika mereka bertemu dengan para dayang dan puteri-puteri yang menjerit ketakutan dan lari ke sana-sini.
"Wah, kita salah masuk, Adi Bromo!"
Sutejo berkata dan mereka berhenti sebentar di dalam sebuah ruangan.
"Benar, ini agaknya bagian keputren, Kakang Tejo!"
Kata Bromatmojo ketika mereka memandang ke sekeliling dan melihat hiasan-hiasan ruangan itu yang indah.
"Maling...!!"
Terdengar suara jeritan agak jauh dan dua orang muda itu cepat meloncat dan lari melalui lorong yang menembus ruangan itu. Makin berisik suara orang berteriak-teriak dan akhirnya dua orang muda itu menerobos masuk ke dalam sebuah kamar yang gelap. Mereka mengira bahwa kamar itu tentu merupakan kamar kosong yang gelap dan mereka bersembunyi sebentar di situ, membiarkan suasana agak mereda karena mendengar suara berisik yang datang dari semua penjuru itu membingungkan mereka.
Akan tetapi, begitu mereka memasuki kamar yang gelap itu, mereka merasa ada hawa pukulan menyambar, dibarengi bentakan nyaring seorang pria.
"Maling keparat,kalian mengantar nyawa ke sini!"
"Dess...!"
"Plakk...!"
Menggunakan ketajaman pendengaran mereka, Bromatmojo dan Sutejo berhasil menangkis pukulan-pukulan yang menyambut mereka dari dalam kamar dan mereka pun membalas. Dua orang yang berada di dalam kamar itu ternyata dapat pula menangkis dan gerakan mereka gesit sekali. Terjadilah pertempuran yang aneh di dalam kamar gelap itu. Pertempuran yang hanya mengandalkan ketajaman pendengaran karena yang mereka lihat hanya bayangan hitam remang-remang saja! Dalam pertandingan ini,ketajaman naluri dan perasaan mereka benar-benar diuji dan dua orang muda itu tidak mengecewakan menjadi murid-murid orang sakti karena biar pun mereka berada di dalam gelap, dan agaknya tentu saja kalah biasa dengan dua orang penyerang itu yang menjadi penghuni tempat itu, namun Bromatmojo dan Sutejo sama sekali tidak terdesak, bahkan dua orang penyerang mereka itulah yang kadang-kadang berseru kaget dan terdesak. Dari seruan inilah, tahulah Bromatmojo bahwa lawannya adalah seorang wanita, sedangkan lawan Sutejo adalah seorang pria.
"Plak-plak-plak!"
Bromatmojo menangkis pukulan bertubi-tubi itu yang dilakukan oleh lawannya dengan loncatan-loncatan seperti terbang "Heiii... bukankah engkau Sriti Kencana?"
Tiba-tiba Bromatmojo berseru kaget. Mendengar seruan ini, wanita yang menjadi lawannya itu pun terkejut.
"Tahan..., Kakangmas Joko, hentikan serangan!"
Terdengar suara merdu seorang wanita berseru. Pertempuran dihentikan dan dua orang muda itu pun menghentikan gerakan mereka ketika dua orang itu tidak menyerang lagi. Laki-laki yang menyerang tadi menyalakan sebuah lentera, kamar itu menjadi terang benderang dan Bromatmojo dan Sutejo terbelalak melihat bahwa mereka berada di dalam sebuah kamar besar yang amat indah dan di depan mereka berdiri seorang laki-laki muda yang tampan dan gagah bersama seorang dara yang amat cantik jelita seperti bidadari! Mereka berempat berdiri saling pandang sejenak, dan sepasang mata yang indah dan bening dari dara itu menatap wajah Bromatmojo, kemudian kedua pipinya menjadi merah sekali dan dia menunduk sebentar lagi.
"Eh..., jadi... andika ini... si burung Sriti Kencana itu?"
Bromatmojo berkata setelah reda keheranannya.
Dara jelita itu mengangguk, kemudian agaknya dia telah menguasai kembali ketenangannya, mengangkat muka memandang kepada Bromatmojo dan Sutejo bergantian, lalu berkata.
"Sudah kuduga bahwa tentu kalian dua orang yang menimbulkan geger di sini, aku menduganya begitu setelah kalian dapat menangkis pukulanku dan pukulan Kakangmas Joko..."
Bromatmojo memandang kepada pemuda tampan gagah di samping dara jelita, menduga-duga "Ah, tentu kalian berdua pemimpin perkumpulan Sriti Kencana yang disebut Den Roro dan Den Bagus itu?"
Akan tetapi sebelum pemuda dan pemudi itu menjawab, terdengar teriakan-teriakan dan ribut-ribut di luar kamar itu.
"Bayangan mereka tadi berkelebat memasuki keputren. Mereka tentu bersembunyi di sini!"
Terdengar suara Resi Harimurti.
"Akan tetapi, kaum pria tidak diperkenankan memasuki tempat ini kecuali anggota keluarga!"
Terdengar bantahan pengawal wanita.
"Heh, pengawal bodoh! Apakah engkau tidak tahu siapa aku? Hayo minggir dan biarkan aku sendiri yang memeriksa dan mencari maling-maling itu!"
Terdengar suara Resi Harimurti menghardik.
"Baiklah, baiklah, Sang Resi, akan tetapi para pengawal pria tidak boleh..."
Mendengar suara ribut-ribut itu, tiba-tiba dara jelita yang berada di dalam kamar itu melompat ke sudut kamar dan mengambil pakaian hitam, melemparkan pakaian-pakaian itu kepada Bromatmojo dan sambil berkata.
"Lekas kalian pakai pakaian anggota Sriti Kencana ini. Cepat!"
Dia lalu memadamkan lampu sehingga kamar itu menjadi gelap lagi. Di dalam kegelapan ini, Bromatmojo dan Sutejo yang maklum akan maksud dara jelita itu, lalu mengenakan pakaian hitam itu dan menutupi kepala mereka dengan kedok hitam dengan burung sriti emas di atas kepala mereka.
Lampu dinyalakan kembali dan ternyata kini pemuda tampan dan dara jelita itu sudah berobah menjadi dua orang berkedok hitam, demikian pula Bromatmojo dan Sutejo sudah mengenakan pakaian anggota Sriti Kencana! Dara cantik dan pemuda tampan itu memandang sebentar, kemudian menghampiri Bromatmojo dan Sutejo untuk membereskan kedok mereka yang kurang benar letaknya.
"Kalian harap jangan mengeluarkan kata-kata, dan duduklah saja di situ,"
Kata pemuda tampan tadi sambil menuding ke arah sebuah bangku panjang. Bromatmojo dan Sutejo mengangguk dan duduk berjajar di atas bangku panjang, menanti dengan jantung berdebar akan tetapi juga siap menjaga segala kemungkinan. Pintu yang tadi ditutup oleh dara jelita itu diketuk dari luar.
"Siapa?"
Dara itu berteriak nyaring.
"Roro Kartiko ini ada aku, gurumu, Resi Harimurti!"
Terdengar suara dari luar.
"Bukalah pintunya sebentar!"
Pemuda yang tampan yang sudah memakai pakaian Sriti Kencana itu melangkah maju dan terdengar suaranya.
"Bapa Guru, ada kepentingan apakah malam-malam datang ke sini? Saya dan Dinda Roro sedang sibuk..."
"Ah, kiranya engkau berada di situ pula, Joko Handoko? Kebetulan sekali!"
Biar pun suara itu mengatakan kebetulan, akan tetapi suaranya terdengar sumbang seperti suara orang kecewa.
"Bukalah pintunya, ada keperluan penting sekali. Ada maling mengacau di kabupaten."
Pintu itu dibuka oleh pemuda yang bernama Joko Handoko itu. Harimurti agak tercengang ketika melihat betapa dua orang muridnya itu berpakaian hitam-hitam dan berkedok hitam.
"Ah, lagi-lagi kalian main-main dengan pakaian seperti ini!"
Dia mengomel.
"Bapa Guru telah berjanji tidak akan mencampuri urusan kami dan tidak akan mengganggu Sriti Kencana!"
Terdengar Roro Kartiko, gadis cantik itu,memperingatkan. Resi Harimurti mengangguk-angguk.
"Baiklah, baiklah! Kalian seperti anak-anak kecil saja, suka main-main seperti ini. Akan tetapi ketahuilah, tadi ada dua orang maling mengacau di kabupaten dan bayangan mereka berkelebat masuk ke keputren."
"Sungguh aneh sekali, bapa guru Resi Harimurti, kenapa hanya dua orang maling saja diributkan seperti ini?"
Joko Handoko menegur.
"Mereka bukan maling biasa, melainkan orang-orang yang memiliki kesaktian."
Resi Harimurti memandang ke dalam, ke arah dua orang berpakaian anggota Sriti Kencana yang duduk tanpa bergerak.
"Siapa mereka itu? Tanyanya.
"Mereka adalah dua orang di antara anggota-anggota kami. Sejak tadi kami berempat sedang memperundingkan urusan perkumpulan ketika Bapa Guru mengetuk pintu,"
Kata Roro Kartiko.
"Hemm... yakinkah kalian bahwa mereka itu bukan palsu?"
"Tentu saja kami yakin!"
"Suruh mereka membuka kedok sebentar... biar aku melihat wajah mereka...
"Bapa Guru!"
Joko Handoko berkata dengan nada marah.
"Di antara para anggota Sriti Kencana dan kami tidak pernah ada yang membuka kedok. Apakah andika hendak mengatakan bahwa andika tidak percaya kepada kami berdua?"
Resi Harimurti menghela napas panjang.
"Sudahlah, tentu saja aku percaya. Cuma aku tidak senang dengan segala rahasia-rahasian ini, dan aku akan membicarakannya dengan ayah kalian kelak."
"Terserah akan tetapi kami sedang sibuk, harap Bapa Guru suka memaklumi,"
Kata Roro Kartiko.
Resi Harimurti menggerakkan kedua tangan tak sabar, akan tetapi dia lalu mundur dan daun pintu kamar itu ditutup kembali oleh Joko Handoko. Terdengar suara Sang Resi itu marah-marah di luar dan masih lama suaranya terdengar ketika resi itu mencari-cari di seluruh keputren, mencari dua orang maling itu yang lenyap tanpa meninggalkan bekas. Sementara itu di dalam kamar tadi, mereka telah membuka kedok masing-masing.
"Jangan menanggalkan pakaian hitam itu,"
Bisik Joko Handoko.
"sebelum kalian keluar dari kabupaten."
Mereka duduk berhadapan dan terdengar Sutejo menarik napas panjang, lalu memandang kepada Joko Handoko dan Roro Kartiko penuh perhatian, kemudian berkata,"Jadi kalian berdua yang memimpin perkumpulan Sriti Kencana, adalah putera dan puteri kabupaten, jadi putera dan puteri Bupati Progodigdoyo?"
"Dan kalian malah murid dari pendeta sakti itu?"
Tanya Bromatmojo.
"Bukankah dia itu Resi Harimurti?"
Bromatmojo pernah bertemu dengan Resi Harimurti, yaitu empat tahun yang lalu ketika dia sebagai Sulastri melihat gurunya, Ki Jembros, bertanding melawan Resi Harimurti dan Empu Tunjungpetak, bahkan dia sendiri pernah ketika itu bertanding melawan Resi Harimurti yang sakti itu.
Roro Kartiko hanya menghela napas dan menundukkan mukanya setelah beberapa kali dia bertemu pandang dengan Bromatmojo.
"Kakangmas Joko, kau sajalah yang menceritakan,"
Bisiknya kepada pemuda tampan itu.
"Adikku yang baik, engkau sudah menceritakan kepadaku tentang dua orang pemuda sakti ini, akan tetapi bagimana kita boleh membuka rahasia kita sebelum mengenal betul siapakah sesungguhnya mereka ini? Kisanak, andika berdua telah melihat adikku sendiri, Roro Kartiko, telah menyelamatkan dan melindungi kalian. Hal ini saja sudah jelas membuktikan iktikad baik kami yang hendak bersahabat. Akan tetapi, sebelum kami memperkenalkan diri, hendaknya andika berdua suka memperkenalkan diri lebih dulu dan hendaknya tidak menyembunyikan sesuatu."
"Sudah kujelaskan siapa adanya aku kepada Den Roro... eh kepada... Sriti Kencana..."
"Namaku Roro Kartiko!"
Kata dara itu dengan muka merah.
"Nama yang indah sekali!"
Kata Bromatmojo yang tersenyum melihat betapa mata Sutejo melotot kepadanya.
"Sudah kuceritakan kepada... Diajeng Roro Kartiko bahwa aku bernama Bromatmojo, murid dari Eyang Empu Supamandrangi pencipta keris pusaka Kolonadah, dan sahabatku ini bernama Sutejo, dia adalah murid dari Eyang Lereng Gunung Kawi, murid Sang Panembahan Ciptaning."
"Ahhh...!"
Terdengar Joko Handoko berseru kaget dan memandang kepada Sutejo dengan kagum.
"Lalu apakah kehendak andika berdua datang seperti ini, malam-malam dan penuh rahasia, ke kabupaten ini?"
Joko Handoko bertanya dengan sinar mata penuh selidik, juga sepasang mata Roro Kartiko yang indah bening itu memandang wajah Bromatmojo penuh selidik.
Bromatmojo tersenyum.
"Sebelum kami menceritakan hal itu, sebaiknya kalau andika berdua juga memperkenalkan diri lebih dulu, jadi di antara kita tidak ada rahasia bukan?"
Berkata demikian, Bromatmojo memandang langsung kepada wajah cantik Roro Kartiko sehingga kembali dara itu menunduk dengan kedua pipinya menjadi merah. Joko Handoko menarik napas panjang.
"Tentu andika berdua sudah dapat menduga. Kami kakak beradik adalah putera dan puteri Bupati Tuban. Ayah kami adalah Bupati Progodigdoyo. Namaku Joko Handoko dan adikku ini adalah Roro Kartiko."
Pemuda tampan gagah itu mulai bercerita, kemudian dengan singkat dia menceritakan keadaan dia dan adiknya. Mereka adalah anak-anak yang kurang mendapat perhatian dari ayah mereka, karena ayah mereka sibuk dengan pengejaran kedudukan dan kesenangan. Akan tetapi ibu mereka, Sariningrum, adalah seorang wanita keturunan ksatria yang bijaksana, seorang isteri yang sering dirongrong oleh suaminya. Di bawah asuhan dan pendidikan ibu bijaksana ini, Joko Handoko dan Roro Kartiko sangat berbeda dengan ayah mereka. Kedua orang anak ini sejak kecil memperoleh pendidikan kebudayaan, kesenian dan juga ilmu membela diri yang didatangkan oleh Sariningrum dari pegunungan. Karena sejak kecil digembleng oleh pendidikan ibu yang bijaksana, mereka berdua mewarisi watak ibu mereka dan mereka makin jauh dari ayah mereka. Mereka tahu betapa ayah mereka selalu mengejar kesenangan, berhubungan dengan orang-orang jahat, akan tetapi seperti juga ibu mereka, dua orang anak ini tentu saja tidak dapat berbuat apa-apa kecuali merasa menyesal.
Ketika mereka tahu bahwa Resi Harimurti yang menjadi sahabat ayah mereka itu adalah seorang resi yang amat sakti, mereka lalu minta menjadi muridnya. Dan memang mereka memperoleh kemajuan pesat di bawah bimbingan Resi Harimurti. Akan tetapi kemudian mereka memperoleh kenyataan bahwa resi ini ternyata adalah seorang pertapa yang cabul, yang banyak disuguhi wanita-wanita cantik oleh ayah mereka. Bahkan setelah Roro Kartiko makin dewasa, dia melihat betapa sikap Resi Harimurti kadang-kadang melanggar batas kesopanan terhadap dirinya, di waktu melatih suka memegang-megang dan mengusapnya. Hal ini menimbulkan rasa benci di hati Roro Kartiko. Untung baginya bahwa Resi Harimurti yang tergila-gila oleh kecantikannya itu masih tidak berani bertindak lebih jauh.
Melihat kenyataan betapa ayah mereka bersahabat dengan orang jahat, bahkan di antara para pembantu ayah mereka itu banyak terdapat orang-orang kejam dan jahat,diam-diam dua orang muda itu merasa penasaran dan timbul reaksi mereka. Kalau ayah mereka menindas rakyat, maka mereka akan berusaha untuk membela rakyat! Inilah sebabnya mengapa mereka lalu mengumpulkan para wanita yang memiliki kepandaian dan membentuk perkumpulan Sriti Kencana. Perbuatan ini sebenarnya adalah perbuatan Roro Kartiko, oleh karena itu, semua anggotanya adalah wanita. Akhirnya ketika Joko Handoko mengetahui usaha adiknya, dia mendukung, bahkan dia pun terjun ke dalam pimpinan Sriti Kencana dan para anggota mengenal dua orang pimpinan mereka sebagai Den Bagus dan Den Roro!
"Perbuatan kami itu kami tujukan untuk memprotes ayah kami,"
Roro Kartiko melanjutkan penuturan kakaknya.
"Dan Ayah memang sudah tahu akan Sriti Kencana,dan beliau juga mulai sadar, bahkan pernah memuji kami sebagai orang-orang muda perkasa yang menjunjung tinggi kehormatan keluarga. Akan tetapi, sayang karena lingkungannya memang tidak sehat, Ayah masih saja belum menghentikan persekutuannya dengan orang-orang jahat. Padahal, dahulu Ayah adalah seorang yang gagah, seorang ksatria yang menentang kejahatan, demikian menurut penuturan Ibu kami. Ketika itu, nama Ayah dan nama mendiang Paman Lembu Tirta merupakan nama-nama yang dihormati dan disegani di Mojopahit."
Mendengar nama ayahnya disebut, Sutejo berkata "Ahh...! Jadi paduka telah mengenal pula Ayah saya..."
Roro Kartiko dan Joko Handoko kaget mendengar ucapan pemuda tinggi tegap yang gagah dan tampan itu.
"Siapa? Ayah andika...?"
Tanya Roro Kartiko.
"Ayah adalah Lembu Tirta yang paduka sebut-sebut tadi. Hamba dahulu tinggal di Kembangsri bersama ibu dan mbakayu hamba..."
"Dimas Sutejo, harap kau jangan merendahkan diri terhadap kami. Benarkah andika putera mendiang Paman Lembu Tirta?"
Kata Joko Handoko cepat.
Sutejo mengangguk dan Joko Handoko memegang lengan pemuda itu.
"Ahh, sungguh tak kusangka akan bertemu dengan putera Paman Lembu Tirta yang kami kagumi itu. Ibu tentu akan berbahagia mendengar itu..."
Sutejo menggeleng kepala.
"Akan tetapi Bupati Progodigdoyo agaknya tidak sebahagia itu mendengarnya."
"Mengapa? Ada apakah dengan ayah kami?"
Roro Kartiko bertanya.
"Hemm, justru ayah kalianlah yang telah menghancurkan keluarga Kakang Tejo!"
Tiba-tiba Bromatmojo berkata.
Roro Kartiko dan kakaknya memandang dengan mata terbelalak kepada Sutejo. Pemuda ini menarik napas dan diam-diam dia merasa menyesal mengapa dia dan Bromatmojo telah kelepasan omong dan membuka rahasia pribadinya terhadap anak-anak musuh besarnya ini. Sudah jelas baginya bahwa anak-anak Progodigdoyo ini adalah orang-orang gagah yang sama sekali berbeda dengan watak ayah mereka. Namun bagaimana pun juga, Progodigdoyo adalah ayah kandung mereka!
"Apakah yang terjadi? Apakah yang telah dilakukan oleh ayah kami?"
Roro Kartiko bertanya lagi dengan suara mendesak penuh ketegangan sedangkan pandang matanya terus melekat pada wajah Sutejo.
"Sudahlah,"
Sutejo berkata.
"Semua ini adalah urusan kami dengan ayah kalian, tidak ada sangkut-pautnya dengan kalian."
"Dimas Sutejo, biar pun di antara kita baru saja bertemu, akan tetapi saya telah merasa kagum kepada kalian berdua. Apalagi sekarang nama ayah kami tersangkut, maka kiranya sudah sepatutnya kalau kami berdua mengetahui apa yang telah terjadi dan apa yang telah dilakukan oleh ayah terhadap keluarga andika. Jangan mengira bahwa kami tidak tahu akan watak ayah kami yang kadang-kadang membuat kami merasa berduka sekali. Ceritakanlah, Dimas Sutejo,"
Kata Joko Handoko dengan sinar mata penuh duka.
Melihat Sutejo masih ragu-ragu dan kadang-kadang memandang kepada wajah Roro Kartiko yang cantik itu dengan bingung, Bromatmojo lalu berkata.
"Kakang Tejo, biarlah aku yang menceritakan mereka."
Dan sebelum Sutejo menjawab, Bromatmojo sudah mulai menceritakan.
"Hendaknya kalian ketahui apa yang telah dilakukan oleh ayah kalian terhadap keluarga kakang Tejo. Mula-mula sekali, ayah kalian sebagai seorang sahabat baik telah bersikap khianat dan di dalam medan perang telah membunuh ayah Kakang Tejo secara curang sekali."
"Ahhhh...!"
Roro Kartiko menjerit lirih.
"Paman Lembu Tirta dibunuh ayah? Mengapa?"
Joko Handoko bertanya kaget dan heran.
"Karena dia merasa suka dan ingin mendapatkan ibuku..."
Kata Sutejo sambil menundukkan mukanya, merasa tidak enak sekali terhadap Roro Kartiko.
"Kemudian sembilan tahun yang lalu, ayah kalian mendatangi rumah keluarga janda Galuhsari, ibu kandung Kakang Tejo, di dusun Kembangsri dan di rumah keluarga itu, secara keji ayah kalian memperkosa ibu Kakang Tejo di depan anak-anaknya dan..."
"Cukup, Adimas Bromo!"
Sutejo berseru keras ketika mendengar jerit tertahan disusul isak tangis Roro Kartiko. Bromatmojo diam dan memandang kepada pemuda itu, sebaliknya Sutejo memandang kepada Roro Kartiko yang menangis dan menutupi mukanya, dan kepada Joko Handoko yang memandang dengan wajah pucat kepadanya.
"Kami tahu bahwa ayah kami bukanlah orang yang boleh dibanggakan, selalu mengejar kedudukan, wanita dan kesenangan, akan tetapi kalau bukan kalian yang menceritakan, agaknya kami tidak akan percaya bahwa ayah melakukan hal yang demikian rendah dan terkutuk."
"Hal itu telah terjadi sembilan tahun yang lalu..."
Kata Sutejo dengan hati makin tidak enak melihat Roro Kartiko menangis sesenggukan yang hendak ditahan-tahannya itu.
"Dimas Sutejo, harap kau lanjutkan, lalu apa yang terjadi selanjutnya?"
Sukar bagi Sutejo untuk bicara sendiri. Andaikata kedua orang anak Progodigdoyo bukan orang-orang yang demikian baik dan gagah, andaikata mereka itu jahat seperti ayah mereka, tentu dia akan mudah menceritakan untuk merusak perasaan mereka, untuk membikin malu mereka. Akan tetapi mereka adalah orang-orang yang baik dan dia merasa berat untuk menyusahkan hati mereka. Dan karena dia telah menceritakan semua itu kepada Bromatmojo, bahkan tadi yang memulai dengan cerita itu pun Bromatmojo, maka dia memandang kepada Bromatmojo dan berkata.
"Adi Bromo, harap kau lanjutkan..."
Bromatmojo kelihatan senang sekali dengan tugas ini. Dia memang amat membenci Progodigdoyo setelah mendengar cerita Sutejo tempo hari, dan kini dia merasa senang melihat anak-anak bupati yang jahat itu menyesali perbuatan ayah mereka yang terkutuk.
"Dalam peristiwa itu, Kakang Tejo yang hendak menyerang Progodigdoyo, dipukul pingsan. Kemudian Kakang Tejo diselamatkan oleh gurunya ketika rumah keluarganya itu terbakar. Ibunya tewas terbakar dan mbakayunya yang bernama Lestari diculik oleh Progodigdoyo! Nah, sekarang Kakang Tejo datang ke sini untuk menyelidiki tentang mbakayunya yang diculik oleh ayah kalian itu."
Hening suasana dalam kamar itu, hanya isak tertahan dari
Roro Kartiko saja yang terdengar.
"Terkutuk perbuatan itu!"
Tiba-tiba Roro Kartiko berkata di antara isaknya.
"Dimas Sutejo kalau begitu, andika tentu menyimpan rasa dendam sakit hati terhadap ayah kami dan sekarang andika mencari ayah untuk membalas dendam itu dan membunuhnya, bukan?"
"Kau bunuhlah kami lebih dulu!"
Tiba-tiba Roro Kartiko berseru dan memandang Sutejo dengan mata merah.
"Kami adalah anak-anaknya, dan biarlah kami memikul sebagian daripada dosa-dosanya!"
Sutejo merasa terharu melihat sikap dua orang itu, dia menggeleng kepala dan menarik napas panjang, lalu berkata.
"Harap andika berdua tenang. Saya tidak menaruh dendam kepada siapa pun juga. Saya hendak mencari Mbakayu Lestari, ada pun tentang Bupati Progodigdoyo, kalau dia sekarang menjadi seorang jahat, sudah tentu saya akan menentangnya sekuat tenaga untuk membela kebenaran dan melindungi mereka yang tertindas. Akan tetapi, kalau saya menentangnya bukanlah karena rasa dendam, melainkan karena sudah menjadi kewajiban saya untuk menentang kejahatan, siapa pun juga dia yang melakukannya!"
Bromatmojo mengerutkan alis tanda tidak setuju dengan ucapan ini, akan tetapi Roro Kartiko dan Joko Handoko memandang kagum. Joko Handoko lalu melangkah maju dan memegang tangan Sutejo sambil berkata dengan suara menggetar.
"Dimas Sutejo, engkau sungguh merupakan seorang pemuda yang bijaksana dan mulia. Kebijaksanaanmu ini lebih menusuk hati daripada seandainya engkau memaki-maki atau menyerang kami."
"Maaf, andika berdua adalah orang-orang yang gagah perkasa dan baik, yang tidak ada sangkut-pautnya dengan perbuatan ayah kalian, dan kalian pun, seperti juga kami, menentang kejahatan. Bukan maksud saya untuk menyakitkan hati kalian. Hanya saya harap sukalah kalian memberi tahu kepada saya tentang nasib mbakayu saya itu."
"Saya tidak tahu tentang dia..."
Kata Joko Handoko.
"Saya tahu!"
Roro Kartiko tiba-tiba berkata dan mengusap air matanya, kini memandang kepada Sutejo dengan sinar mata yang membuat jantung pemuda ini berdebar. Dia maklum sekali kepada dara ini dan merasa menyesal telah membuat dara itu bersusah hati.
"Saya pernah mendengar tentang mbakayumu yang bernama Lestari itu. Menurut penuturan yang saya dengar, dia sekarang berada di Mojopahit, menjadi selir dari Sang Resi Mahapati."
"Ahh...!"
Sutejo berseru, perasaannya terombang-ambing antara kegembiraan mendengar mbakayunya masih hidup dan kedukaan mendengar mbakayunya menjadi selir Resi Mahapati karena dia dapat mengerti bahwa kakaknya itu tentu dipaksa menjadi selir orang.
"Dan bagaimana keadaannya? Bagaimana dia bisa menjadi selir Resi Mahapati?"
Roro Kartiko menggelengkan kepalanya.
"Tentang itu, saya tidak tahu. Saya hanya mendengar beberapa tahun yang lalu bahwa dulu pernah ayah pernah mendapatkan seorang selir baru, akan tetapi selir itu bertekad melawan dan tidak mau menjadi selir ayah, kemudian selir yang bernama Lestari itu dibawa ke Mojopahit. Selanjutnya, saya tidak tahu bagaimana jadinya dengan dia."
Sutejo menundukkan kepala dan termenung.
"Kalau begitu, saya harus menjumpai ayah kalian, untuk menanyakan tentang mbakayu Lestari."
"Ayah juga tidak berada di sini!"
Kata Roro Kartiko cepat-cepat, agaknya lega hatinya karena kebetulan ayahnya tidak ada.
"Sudah sepekan lamanya ayah berkunjung ke Mojopahit."
Komentar
Posting Komentar