KEMELUT DI MAJAPAHIT JILID 14

"Tidak, aku... ahhh..."

   Sutejo kelihatan terkejut karena rasa kantuk dan pening itu makin menghebat menyerang kepalanya.

   "Mari, mari Raden... kata wanita baju ungu dan dia sudah menghampiri Sutejo hendak memegang lengan pemuda itu. Sutejo terkejut, tidak mau membiarkan dirinya dipegang, maka dalam keadaan pening dia mendorong. Akan tetapi dengan sedikit gerakan saja wanita baju ungu itu dapat mengelak. Hal ini kelihatan jelas oleh Bromatmojo yang juga sudah bangkit berdiri.

   "Mari aku yang mengantarmu, Kakang,"

   Katanya sambil menggandeng tangan Sutejo.

   "Di mana kamarnya, Nimas yang manis? Tolong kau antarkan..."

   Katanya kepada gadis baju hijau tadi.

   "Mari, Raden. Ke sini..."

   Kata Si Baju Hijau dengan manis dan dia mendahului jalan dengan langkah yang membuat buah pinggulnya menari-nari!

   Bromatmojo melihat Sutejo terhuyung.

   "Aihh...!"

   Dia berseru kaget dan dia pun terhuyung.

   "Hik-hik, mari kubantu, Raden!"

   Si Baju Hijau cepat membalik dan memegang lengannya agar pemuda tampan ini tidak sampai jatuh. Yang berbaju ungu juga sudah memegang lengan kiri Sutejo dan kini pemuda itu tidak menolak karena dia seperti orang tidur saja, berjalan terhuyung dan membiarkan dirinya dipapah sambil memejamkan matanya. Bromatmojo juga sama keadaannya dengan Sutejo. Ketika mereka dipapah sampai ke dalam kamar di mana terdapat sebuah pembaringan kayu yang lebar, kedua orang muda itu didorong ke atas pembaringan dan sebentar saja mereka tak bergerak lagi, rebah miring dan tidak ingat apa-apa lagi.

   Empat orang gadis cantik itu memasuki kamar sambil terkekeh girang.

   "Bagus! Mereka dengan mudah dapat kita tundukkan!"

   Kata Si Baju Hijau dengan suara garang dan tegas, jauh bedanya dengan tadi ketika merayu Bromatmojo.

   "Mbakayu Ambar dan Tarmi, kalian pergilah melapor kepada Den Bagus dan Den Roro, katakan bahwa mereka telah ditangkap dan kita menanti keputusan mereka."

   "Baik, Ayu,"

   Kata Si Baju Merah dan baju biru. Mereka cepat meninggalkan tempat itu, pergi ke belakang dan tak lama kemudian terdengar bunyi derap kaki kuda yang dibalapkan.

   "Cempaka, kau pergi cepat menutup warung itu agar jangan sampai ada tamu mengganggu."

   "Baik, Ayu,"

   Dan gadis baju ungu segera pergi ke depan, menutupkan warung,kemudian kembali lagi ke dalam kamar. Dia tertawa ketika melihat wanita baju hijau itu menggunakan tangan membelai pipi dan dagu Bromatmojo.

   "Ah, kau agaknya tergila-gila kepada yang satu itu, Ayu."

   Ayu atau Si Baju Hijau itu, menarik napas panjang.

   "Siapa yang tidak tergila-gila kepada pemuda sehebat ini? Cempaka, agaknya akan bahagia hidupku kalau aku akan dapat menjadi isteri pemuda ini... heemmmm..."

   "Tapi dia adalah tawanan kita, Ayu. Kita harus menanti keputusan Den Roro atau Den Bagus..."

   "Tentu saja. Akan tetapi mudah-mudahan mereka ini, atau setidaknya pemuda ini,jangan sampai dibunuh. Sayang..."

   "Engkau tahu, kita mana bisa tidak mentaati perintah mereka? Ayu, kita harus cepat mengenakan pakaian kita sebelum Den Roro atau Den Bagus datang. Dan dua orang ini harus cepat dibelenggu. Mereka ini tentu memiliki kepandaian tinggi,berbahaya kalau tidak diringkus ketika mereka nanti sadar kembali."

   "Engkau benar, Cempaka."

   Dua orang gadis itu lalu menanggalkan baju dan kain, lalu mengenakan pakaian serba hitam, bahkan muka dan kepala mereka tertutup kain hitam dan di kepala mereka terdapat hiasan seekor burung emas! Setelah kini mengenakan pakaian aneh itu, gerakan mereka terlihat tangkas sekali ketika mereka mengambil dua helai tali untuk membelenggu kaki tangan Sutejo dan Bromatmojo. Dengan cekatan, gadis baju ungu yang kini telah menjadi seorang berpakaian hitam dan bertopeng hitam pula, membelenggu kedua kaki dan tangan Sutejo dan tentu saja pemuda yang sedang tidur atau pingsan itu tidak bergerak sama sekali. Sedangkan baju gadis hijau yang tadi bersikap mesra terhadap Bromatmojo, menghampiri "pemuda"

   Tampan itu sambil membawa sehelai tali besar. Pada saat itu, Bromatmojo meloncat turun dan menggunakan lengan kirinya merangkul dan memuntir leher gadis baju hijau.

   "Cempaka... tolong...!"

   Gadis bernama Ayu yang kini juga sudah menjadi seorang berpakaian dan bertopeng hitam itu menjerit. Cempaka melepaskan Sutejo yang telah terbelenggu, lalu dengan tangkasnya dia menerjang ke arah Bromatmojo untuk menolong kawannya. Akan tetapi kaki Bromatmojo menendang.

   "Bukk... ahhh...!"

   Cempaka terpental dan terbanting roboh. Akan tetapi dia sudah meloncat lagi dan kini tangan kanannya memegang sebatang pisau mengkilap yang amat runcing. Bromatmojo berdiri dengan tenang, lengan kirinya masih mengempit leher Ayu sambil memegang pergelangan tangan kanan gadis itu yang tadi dipuntirnya ke belakang sehingga Ayu tidak mampu berkutik. Dengan sinar mata tajam Bromatmojo memandang ke arah Cempaka yang telah memegang pisau belati itu.

   "Haiiiiittt!"

   Cempaka menerjang dan pisau belati di tangannya menghunjam ke arah Bromatmojo, namun dengan tenang "pemuda"

   Ini menggerakkan tangan kanannya, menampar ke arah pergelangan lengan dan kakinya juga meluncur lagi ke depan.

   "Plakk! Dukk...!!"

   Untuk kedua kalinya tubuh Cempaka terlempar dan pisaunya terlepas dari pegangan karena lengannya terasa lumpuh terkena tamparan tangan Bromatmojo tadi. Dia terkejut bukan main, nanar sejenak, lalu merangkak bangun,memandang penuh keraguan, lari keluar dari pintu belakang dan tak lama kemudian terdengar pula derap kaki kuda meninggalkan tempat itu.

   "Nah, semua temanmu telah pergi, tinggal engkau sendiri. Sekarang, kau beri obat penawar kepada sahabatku itu!"

   Kata Bromatmojo sambil melepaskan wanita itu.

   

   "Heiiiiittt!"

   Tiba-tiba wanita yang berpakaian hitam dan bertopeng hitam itu menyerangnya. Gerakannya gesit sekali, jauh lebih gesit daripada gerakan wanita yang menyerang dengan pisau tadi. Pantas saja wanita termuda ini menjadi pemimpin antara empat orang tadi, kiranya dia memang memiliki kelebihan, bukan saja paling muda dan paling cantik, akan tetapi melihat gerakannya juga memiliki kepandaian paling tinggi. Akan tetapi tentu saja dia bukanlah lawan Bromatmojo yang dapat menangkis dengan cepat dan sekaligus menampar dengan tangan kirinya, mengenai pundak wanita itu.

   "Plakk! Aduhhh...!"

   Wanita itu menjerit, akan tetapi begitu terhuyung dia sudah meloncat lagi, gerakannya seperti burung sriti yang amat lincah, menerjang dengan kedua tangan mengirim pukulan keras.

   "Plak! Plak! Bresss...!"

   Untuk kedua kalinya, wanita itu dapat digagalkan serangannya dengan tangkisan oleh Bromatmojo yang kemudian mendorong sehingga wanita itu terlempar dan terbanting ke atas lantai.

   "Ah...!"

   Wanita itu mengeluarkan seruan kaget bukan main, agaknya tidak mengira bahwa pemuda tampan itu demikian hebat ilmunya, maka dia lalu meloncat ke belakang dan hendak melarikan diri.

   "Perlahan dulu! Hendak lari ke mana kau?"

   Bromatmojo juga meloncat dan loncatannya jauh lebih gesit sehingga dia dapat merangkul pinggang wanita itu dari belakang dan mereka terguling bersama! Dengan mudah saja Bromatmojo memegang dan menelikung kedua tangan wanita itu ke belakang tubuh sehingga biar pun dia meronta-ronta namun sia-sia saja.

   "Kau kenapa? Aku hanya minta kau menyembuhkan sahabatku!"

   Kata Bromatmojo.

   Sejenak wanita itu tidak bergerak, lalu menarik napas panjang dan berkata,suaranya rendah menunjukkan bahwa dia tidak berdaya dan merasa kalah.

   "Engkau hebat sekali, Raden. Melawan pun tidak ada gunanya bagiku, dan pula, sahabatmu itu tanpa diobati pun nanti akan sadar sendiri."

   "Aku menghendaki agar dia dapat sadar sekarang!"

   Kata Bromatmojo.

   "Baiklah, aku mempunyai obatnya."

   Bromatmojo melepaskan pegangannya. Wanita itu membalik dan memandang kepadannya melalui dua lubang di topeng itu, matanya yang bening itu bersinar-sinar penuh kekaguman, kemudian kembali dia menarik napas panjang dan mengeluarkan sebungkus obat bubuk dari dalam saku baju hitam itu, menghampiri Sutejo dan menaburkan sedikit obat bubuk pada lubang hidung Sutejo, dipandang dan dijaga oleh Bromatmojo.

   Tiba-tiba Sutejo berbangkis dua kali dan dia terbangun memandang heran, lalu meloncat bangun.

   "Ada apa, Adi Bromo...?"

   "Hemm, wanita-wanita itu ternyata adalah anggota-anggota Sriti Kencana, Kakang. Dan hampir saja kita kena dibius."

   Sutejo teringat akan semua yang dialaminya, maka melihat wanita bertopeng itu berdiri di situ, dia cepat meloncat dan biar pun wanita itu berusaha mengelak, tetap saja Sutejo telah menangkap pergelangan tangannya dan tangan kiri pemuda itu merenggut topeng dari muka itu.

   "Bretttt...!"

   Dan nampaklah wajah cantik manis dari wanita termuda yang tadi memakai baju hijau! Sepasang mata yang bening itu memandang Sutejo dengan terbelalak, terkejut dan juga gentar.

   "Hayo katakan!"

   Sutejo berkata, suaranya mengandung kemarahan besar.

   "Siapa pemimpin kalian dan siapa pula yang mencuri keris pusaka Kolonadah, dan di mana keris itu sekarang? Hayo cepat kau mengaku!"

   Tiba-tiba terjadi perubahan wajah yang cantik manis itu. Kalau tadinya dia kelihatan gentar, tiba-tiba sinar matanya penuh tantangan.

   "Kami para anggota Sriti Kencana bukanlah kaum pengkhianat dan pengecut. Kami tidak takut mati dan kalau kau hendak membunuhku, kau bunuhlah!"

   Mendengar tantangan ini Sutejo makin marah.

   "Kau penjahat wanita sombong! Orang seperti engkau masih bicara tentang kegagahan, bukan pengkhianat dan bukan pengecut? Huh, kalian anggota-anggota Sriti Kencana adalah sekumpulan maling betina, menggunakan rayuan palsu untuk menjatuhkan kami. Hayo mengaku tidak?"

   Sutejo memperkeras cekalannya pada pergelangan tangan itu dan gadis itu menyeringai. Bukan main nyerinya rasa lengannya, seperti akan hancur dalam cengkeraman tangan pemuda tinggi tegap itu. Maklumlah dia bahwa pemuda ini sakti bukan main dan dia bukanlah lawannya, akan tetapi tetap saja dia tidak mau menyerah.

   "Tidak perlu banyak cakap. Bunuhlah! Aku tidak takut mati!"

   Sepasang mata yang bening itu bersinar-sinar penuh tantangan.

   "Bagus! Aku tidak akan membunuhmu, akan tetapi aku bisa memotong hidungmu dan merobek pipi dan bibirmu!"

   Sutejo melepaskan gadis itu, secepat kilat dia menyambar pisau belati milik Cempaka yang tadi menyerang Bromatmojo.

   Ketika merasa dirinya dilepaskan gadis bernama Ayu itu cepat menyambar burung sriti emas di kepalanya, lalu menyambitkan burung emas itu ke arah Sutejo. Kiranya hiasan kepala itu pun dapat dipergunakan sebagai senjata rahasia yang ampuh karena ketika menyambar ke arah Sutejo, burung emas itu mengeluarkan suara mengaung dan cepat sekali luncurannya, dengan patuk siap menusuk sasaran! Akan tetapi, tentu saja serangan seperti itu bukan apa-apa lagi bagi Sutejo. Dia miringkan tubuh dan ketika tangan kirinya menyambar, dia telah menangkap burung emas itu yang dia lemparkan ke arah Bromatmojo.

   Ayu hendak meloncat dan lari, terkejut menyaksikan betapa sambitannya dihindarkan dengan demikian mudahnya. Akan tetapi tahu-tahu dia melihat bayangan berkelebat dan ketika dia mengangkat mukanya, ternyata pemuda tinggi tegap itu telah berdiri di depannya, menghadang jalan keluar melalui pintu belakang. Karena nekat, Ayu lalu menubruk dan mengirim serangan, akan tetapi dengan tangkisan dan tamparan, kembali lengannya dapat dipegang dan ditelikung ke belakang, dan kini pisau tajam itu ditempelkan di lehernya!

   "Bunuhlah! Bunuhlah aku!"

   Dia menantang.

   Sutejo menggeleng dan tersenyum mengejek.

   "Tidak, karena aku tahu bahwa engkau tidak takut mati. Akan tetapi ingin kulihat apakah engkau tidak takut kalau hidungmu kupotong, pipi dan bibirmu kurobek dengan pisau ini!"

   Wajah itu pucat sekali, matanya terbelalak ketika pisau itu kini menempel di hidungnya yang kecil mancung. Air mata menetes-netes turun dari kedua matanya.

   "Nah, kau masih tidak mau mengaku dan menjawab pertanyaanku tadi?"

   Sutejo mengancam. Ayu menggeleng kepala sehingga Sutejo harus menarik kembali pisaunya agar jangan sampai mengiris hidung yang bentuknya indah itu.

   "Kalau begitu, aku akan benar-benar akan membuntungi hidungmu!"

   Pisau itu ditekan dan Ayu memejamkan matanya. Air matanya turun seperti hujan menetes-netes melalui kanan kiri hidungnya.

   "Tahan Kakang Tejo! Jangan siksa dia!"

   Tiba-tiba Bromatmojo berkata setelah tadi dia berkedip dan bermain mata dengan Sutejo.

   "Huh, kenapa kau membela penjahat wanita ini, Adi Bromo? Sudah patut kalau dia kehilangan hidungnya, pipi dan bibirnya robek-robek agar dia tidak dapat menggunakan kecantikannya untuk menjebak orang lain!"

   Kata Sutejo dan dia mendorong tubuh Ayu sehingga gadis itu terlempar ke atas pembaringan.

   Ayu membuka matanya, meraba hidungnya dan dia menangis sesenggukan ketika mendapat kenyataan bahwa hidungnya masih ada, pipi dan bibirnya belum terobek. Akan tetapi dia takut setengah mati.

   Bromatmojo sudah mendekatinya dan merangkulnya.

   "Ahh, sungguh keterlaluan sekali Kakang Tejo sahabatku itu..."

   Katanya berbisik mesra.

   "Masa orang cantik manisnya hendak dirusak mukanya. Terlalu sekali, terlalu! Pipi yang begini halus,hidung mancung dan bibir begini indah..."

   Bromatmojo mengambung pipi dan hidung itu, kemudian dia mengecup bibir itu.

   Ayu tersedak dan membuka matanya yang tadi dipejamkan, memandang wajah Bromatmojo yang begitu dekat. Dia kaget bukan main ketika tadi pipi dan hidungnya diambung, bibirnya dicium. Melihat betapa sepasang mata pemuda tampan itu memandangnya demikian mesra, dia tidak dapat menahan keharuan hatinya. Dia menubruk, merangkul dan menangis di atas pundak Bromatmojo.

   

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KERIS MAUT

PENDEKAR GUNUNG LAWU

KEMELUT DI MAJAPAHIT