RONDO KUNING MEMBALAS DENDAM

Daftar isi



RONDO KUNING MEMBALAS DENDAM JILID 01

 Dibawah pemerintahan Sultan Agung yang arif dan bijaksana, Mataram mengalami masa jaya dan makmur. Sesuai dengan namanya, Sri Sultan memang memiliki sifat-sifat dan kepribadian yang luhur dan agung. Tidak saja beliau sakti mandraguna dan terkenal dan terkenal digdaya, juga dalam ilmu-ilmu filsafat, kesusteraan dan kesenian, Sultan Agung adalah seorang ahli yang mengagumkan. Kitab filsafat "Sastra Gending" yang hingga kini dikagumi orang adalah hasil karya beliau.
Kalau pimpinan pusat berada dalam tangan seorang yang adil bijaksana tak dapat tidak para petugas lain tentu akan tunduk, terpengaruh oleh sifat-sifat baik dan menjalankan pekerjaan dan tugasnya dengan baik pula. Tiada bedanya dengan ranting-ranting dan cabang serta daun-daun sebatang pohon yang subur tentu merupakan ranting, cabang dan daun yang subur pula sehingga keseluruhan Mataram merupakan sebatang pohon Waringin yang besar, megah dan subur dapat mengayomi dan menjadi pelindung serta tempat berteduh para rakyat kecil. Betapapun juga, tepat sebagaimana yang telah menjadi sebutan orang bahwa tak ada gading yang tak retak atau tak ada kebaikan yang sempurna melainkan sifat Tuhan Yang Maha Sempurna,
Diantara para petugas yang menjalankan tugas pemerintah di bawah pimpinan Sultan Agung, banyak pula terdapat orang-orang yang kurang baik wataknya. Namun, oleh karena pengaruh kebajikan yang bercahaya keluar dari dalam Istana Sultan Agung, watak dan sifat dari mereka ini terkekang dan apabila Sri Sultan berada di kota raja, mereka tidak berani memperlihatkan sifat-sifat mereka yang kurang jujur. Sultan Agung takkan terkenal sebagai seorang raja besar apabila beliau hanya pandai memerintah saja dan tidak mau perduli akan keadaan rakyatnya. Akan tetapi beliau mempunyai hati penuh sifat welas-asih dan terhadap rakyat kecil beliau sangat menaruh perhatian dan cinta Kasih seperti terhadap keluarga sendiri. Tidak jarang Sri Sultan Agung melakukan perjalanan ke dusun-dusun dan gunung-gunung dengan menyamar seperti seorang rakyat biasa.
Untuk melakukan peninjauan dan untuk menyaksikan dengan mata kepala sendiri keadaan dan kehidupan rakyat. Oleh karena daerah Mataram amat luasnya, maka seringkali terjadi bahwa Sultan Agung yang menjalankan peninjauan dan hanya diikuti oleh beberapa orang abdi pelayan ini sampai berpekan-pekan meninggalkan Istana. Dan pada saat-saat Sri Sultan tidak berada di kota raja inilah para pembesar dan petugas yang jahat berani muncul mengumbar nafsu sesatnya. Memang, tikus-tikus baru berani keluar berlagak apabila sang kucing tidak berada kesitu. Cerita inipun dimulai dengan peristiwa yang timbul dari pengumbaran nafsu jahat dari seorang pembesar yang nyeleweng dan yang terjadi pada waktu Sri Sultan pergi meninjau ke daerah luar hingga beliau tidak tahu akan peristiwa itu.
Di dusun Waru yang terletak di sebelah timur Ibukota Mataram yang menjadi kepala seorang bernama Galiga Jaya yang berpangkat Penewu, yaitu seorang pembesar yang pada waktu perang mengepalai seribu orang perajurit, oleh karena itu disebut Penewu (sewu = seribu). Penewu Galiga Jaya ini adalah seorang sakti dan mempunya pengaruh besar dan ditakuti, terutama disekitar daerah yang dikuasai, oleh karena selain kuat dan sakti, ia mempunyai watak yang keras dan mudah sekali marah. Juga ia terkenal sebagai seorang perusak pagar ayu, pengganggu anak-bini orang kampung, hingga diam-diam banyak orang membencinya" Usianya belum empat puluh, bercambang-bauk dengan kumis yang dipelintir ke atas seperti kumis Sang Gatutkaca, sepasang matanya besar dan hitam berpengaruh, kulit mukanya hitam dan tubuhnya tinggi besar.
Biarpun Penewu Galiga Jaya belum berusia empat puluh tahun dan kedudukannya hanya seorang Penewu, akan tetapi dalam soal beristeri, ia tak mau kalah oleh Sri Sultan sendiri!. Istrinya banyak sekali, memenuhi gedungnya yang besar dan agaknya ia masih belum puas dan masih banyak wanita yang menjadi selirnya di luar gedung. Dan inipun agaknya masih belum memuaskan hatinya, karena ia masih berkeliaran tak tenang, mencari-cari korban baru dan menggangu anak bini orang di dusun-dusun sekitar Waru. Di antara selir-selirnya yang tidak tinggal di dalam gedungnya, terdapat seorang wanita yang tinggal di dusun Pakem. Wanita ini tidak muda lagi, usianya telah tiga puluh tahun lebih, akan tetapi kecantikannya tidak kalah oleh remaja puteri yang manapun juga.
Dia ini adalah Rondo Kuning, seorang janda yang ditinggal mati suaminya beberapa tahun yang lalu dan Sebagaimana dapat diduga dari nama sebutannya, ia memang berkulit kuning dan halus bersih yang membuatnya Nampak jauh lebih muda daripada usia sebenarnya. Rondo kuning ini mempunya tiga orang anak perempuan dari suaminya yang dulu dan ketiga orang anak perempuan ini kini telah remaja puteri. Yang pertama bernama Kencanawati, berusia tujuh belas tahun, cantik jelita menarik hati. Yang kedua bernama Sariwati, berusia enam belas tahun, ayu kuning dan lemah lembut seperti Ibunya dan yang ketiga bernama Bandini, berusia empat belas tahun, agak kehitam-hitaman akan tetapi hitam-hitam manis dan mempunyai sifat jenaka, kenes dan kewat menggemaskan hati dan menggoncangkan iman pria!
Selain ketiga puterinya ini, dalam pernikahannya denga Penewu Galiga Jaya yang menjadi suaminya karena memaksa hingga untuk melindungi keselamatan ketiga orang puterinya, Rondo Kuning terpaksa menurut, janda cantik ini memperoleh seorang putera lagi yang baru berusia satu tahun. Betapapun hatinya tidak mempunyai rasa kasih sedikit juga kepada suami paksaan ini, namun melihat puteranya yang sehat dan mungil, Rondo Kuning merasa sayang sekali. Hal ini tidak mengherankan oleh karena Rondo Kuning tidak mempunyai anak laki-laki dan sebagaimana biasanya, seorang wanita yang telah lama tidak mempunyai anak, lalu memperoleh anak lagi, maka sayangnya terhadap anak yang baru itu amat besar. Juga ketiga orang puterinya yang telah remaja puteri itu amat cinta kepada Bondan, putera Ibu mereka yang lahir dari Penewu Galiga Jaya, Ayah tiri mereka.
Akan tetapi, semenjak lahirnya putera yang diberi nama Bondan itu, sikap Penewu Galiga Jaya yang tadinya amat mencinta Rondo Kuning, mulai berubah. Mulai saat itu apabila Penewu Galiga Jaya datang berkunjung ke rumah Rondo Kuning, perhatiannya beralih kepada ketiga puteri tirinya! Terutama sekali kepada Kencanawati yang laksana kembang sedang mekarnya dan menyiarkan keharuman yang membuat nafsu di dalam hati Galiga Jaya terbangun, Ayah tiri ini seringkali memperlihatkan sikap yang mengandung gejala kurang bersih. Hal ini diketahui baik oleh Rondo Kuning hingga Ibu ini merasa khawatir sekali. Seringkali Penewu Galiga Jaya menyindirkan kepada Rondo Kuning bahwa Kencanawati yang cantik jelita itu patut menjadi isteri atau selir orang berpangkat, karena sungguhpun hanya seorang perawan desa, namun kecantikannya tidak kalah oleh puteri-puteri kota raja.
Seorang wanita memiliki perasaan halus dan pandai sekali menangkap maksud hati pria, terutama apabila wanita itu telah menjadi isteri orang maka tentu saja ia dapat mengetahui segala gerak-gerik suaminya dan tahu betul apa yang sedang menggelora di dalam dada suami itu. Oleh karena ini, maka Rondo Kuning dalam kekhawatirannya, lalu mencarikan jodoh untuk Kencanawati yang sudah cukup dewasa untuk menjadi isteri orang. Akhirnya pilihannya terjatuh pada diri seorang pemuda dusun Pakem yang bernama Sutadi, seorang pemuda tani yang baik budi, sopan santun dan rajin bekerja. Ketika Penewu Galiga Jaya mendengar usul Rondo Kuning yang hendak menjodohkan Kencanawati dengan pemuda itu, ia menjadi marah sekali dan melarang keras.
"Apa katamu" Si Kencana hendak dijodohkan dengan bujang dusun itu" Ah, tidak, tidak boleh! Betapapun juga, Kencanawati adalah anakku, anak Penewu Galiga Jaya! Tidak patut ia menjadi isteri seorang petani busuk dan miskin! Aku tidak rela memberikan. Kencanawati harus menjadi isteri atau setidak-tidaknya selir seorang yang berkedudukan tinggi!"
"Kanda Galiga Jaya, mengapa kau berkata demikian" Hendaknya kau ingat bahwa Kencanawati adalah anakku dan Ayahnya dulupun hanya seorang petani biasa. Aku lebih berhak untuk menentukan nasib anak itu sedangkan hak dan kewajibanmu hanyalah memberi doa restu saja" Merah muka Penewu Galiga Jaya mendengar alasan dan sangkalan ini.
"Apa" Bukankah kau isteriku" Dan karena kau isteriku, maka anak-anakmu juga anakku pula! Akulah yang berhak menentukan dan memilihkan suami anak-anak itu!"
"Kanda! Kau berhak atas diri anak kita Bondan ini, akan tetapi ketiga orang gadis itu adalah anakku dan akulah orangnya yang berhak sepenuhnya untuk mengatur dan menentukan nasib mereka! Kencanawati telah dewasa, kalau kita menanti datangnya pinangan dari orang besar, sampai bilakah dia akan memasuki pintu penikahan" Apakah kanda ingin melihat Kencanawati menjadi perawan tua?" sambil berkata demikian, Rondo Kuning mulai menangis, akan tetapi tangisnya segera berhenti ketika Bondan yang melihat Ibunya menangis, lalu menjerit-jerit hingga Ibunya harus menimang-nimangnya. Dengan hati sebal dan marah, Penewu Galiga Jaya menyambar ikat kepala dan tongkatnya, mengenakan ikat kepala dengan gerakan marah, lalu mengayun tongkat hendak meninggalkan rumah itu. Akan tetapi, sesampainya di pintu ia berhenti, menengok dan berkata,
"Kalau dia sudah kau anggap terlalu besar, boleh dinikahkan. Akan tetapi tidak boleh dengan seorang pemuda tani kampungan, daripada menjadi isteri orang miskin dan kotor, lebih baik dia menjadi isteriku sendiri!" Pucatlah muka Rondo Kuning mendengar ini. Biarpun ia sudah lama dapat menduga akan kandungan hati suaminya ini, namun ia terkejut juga mendengar kehendak ini dikeluarkan dari mulut.
"Kanda Galiga Jaya! Omongan sesat apakah yang kanda ucapkan itu tadi" Kencanawati adalah anakmu sendiri!" Tiba-tiba Penewu itu tersenyum menyeringai dan matanya yang lebar hitam memandang tajam.
"Tidak ingatkah kau akan kata-katamu tadi bahwa dia itu adalah anak suamimu" Dia tidak mempunyai hubungan darah daging dengan aku, maka apa salahnya kalau dia menjadi selirku?"
"Kanda Penewu!" Rondo kuning menjerit, akan tetapi Penewu Galiga Jaya telah melangkah pergi sambil memutar-mutar tongkatnya. Rondo Kuning merasa betapa seluruh tubuhnya mejadi lemas dan lemah-lunglai. Ia jatuh terduduk di atas kursi dan Bondon yang mulai menangis menjerit-jerit lagi kini tak dihiraukan. Wanita itu duduk memandang ke depan dengan mata tak bersinar dan wajah pucat bagaikan mayat. Bibirnya menggigil dan terdengar bisikan-bisikan Perlahan-lahan,
"Ya Allah... Apa yang harus kulakukan?" Pada saat itu, Kencanawati, Sariwati, dan Bandini sedang berada di belakang. Telah beberapa lama ketiga gadis itu selalu menjauhkan diri apabila Penewu Galiga Jaya datang mengunjungi Ibu mereka. Ketiga dara muda ini memang merasa benci kepada Penewu Galiga Jaya yang kasar. Terutama Kencanawati, dara ini merasa betapa pandang mata Ayah tirinya itu berkilat dan menakutkan apabila sepasang mata yang lebar dan hitam itu ditujukan kepadanya. Pandang mata Ayah tirinya itu membuat ia merasa seakan-akan ia sedang berdiri telanjang bulat di depan Ayahnya.
Oleh karena itu setiap kali mendengar akan kedatangan Ayah tirinya, ia segera cepat-cepat meninggalkan rumah dan mengajak kedua orang adiknya. Ketika mendengar tangis dan jerit Bondan yang mereka kasihi, ketiga dara itu merasa tidak tega dan juga hran. Biasanya Bondan jarang menangis sampai sekeras dan selama itu, seakan-akan tidak dihiraukan oleh Ibunya. Maka ketiganya lalu berlari pulang dan alangkah kaget mereka melihat betapa Bondan menangis dalam gendongan Ibunya yang duduk bengong tak bergerak bagaikan sebuah patung. Kencanawati lalu cepat mengambil Bondan dari pangkuan Ibunya dan sebentar saja setelah gadis ini menimang-nimangnya dan menepuk-nepuknya, anak itu lalu tertawa-tawa riang. Sementara itu, Sariwati dan Bandini segera memeluk Ibu mereka.
"Ibu, mengapa si Bondan menangis saja?" tanya Sariwati sambil menatap wajah Ibunya yang pucat.
"Apakah Bondan nakal dan membuat Ibu berduka dan marah?" tanya Bandini sambil membelai-belai lengan Ibunya. Tiba-tiba Rondo Kuning memeluk kedua anaknya itu dan menangis terisak-isak. Sariwati dan Bandini terkejut, akan tetapi mereka ini hanya ikut menangis sambil bertanya,
"Ibu... ada apakah, Ibu?" Rondo Kuning tak dapat menjawab, hanya menangis tersedu-sedu sambil menyebut-nyebut nama Kencanawati. Kencanawati yang lebih dapat melihat keadaan daripada kedua orang adiknya, lalu memberikan Bondan kepada Sariwati dan menyuruh kedua kedua orang adiknya itu membawa Bondan kebelakang. Sariwati dan Bandini menurut perintah kakaknya walaupun mereka tak tega meninggalkan Ibu mereka yang masih menangis. Setelah kedua adiknya itu pergi, Kencanawati lalu duduk berlutut di depan Ibunya sambil memegang tangan orang tua itu dengan halus, lalu bertanya,
"Bunda sayang, hal apakah yang mendukakan hatimu?" Rondo Kuning memeluk dan mendekap kepala puterinya ke dada sambil mengeluh perlahan,
"Kencana... apakah yang harus kita lakukan?" Kencanawati bangun dengan sikap tenang, memang dara ini memiliki ketenangan dan ketabahan hati yang mengagumkan,
"Ceritakanlah Ibu, dan biarlah anakmu ikut memikirkan persoalan yang mengganggu pikiranmu."
"Kencanawati, benar-benarkah kau sudah cocok dan setuju apabila menjadi isteri Sutadi, biarpun ia hanya seorang pemuda tani yang bodoh dan miskin?" Wajah Kencanawati yang cantik itu memerah, akan tetapi dengan masih tenang serta penuh kesadaran ia menjawab,
"Ibu, bukankah aku telah menjawabnya pada beberapa hari yang lalu ketika Ibu bertanya tentang hal ini" Aku hanya menurut dan taat kepada kehendak Ibu, karena aku yakin bahwa pilihan Ibu tentu telah dipertimbangkan semasak-masaknya. Aku percaya bahwa Ibu takkan salah pilih."
"Kau takkan menyesal walaupun calon suamimu itu melarat dan hanya pandai mencangkul tanah?"
"Kemiskinan bukan merupakan penghalang kebahagian dan kekayaan bukan merupakan tangga kebahagiaan. Bukankah ini ucapan Ibu sendiri yang dulu sering diajarkan kepadaku dan adik-adikku?"
"Biarpun kepandaian Sutadi hanya mencangkul tanah?"
"Ibu, bertani adalah pekerjaan yang semulia mulianya pekerjaan, mengandung tugas bakti kepada Tuhan Yang Maha Murah." Rondo Kuning menarik napas panjang.
"Aku tahu bahwa kau akan berbahagia apabila kau menjadi kawan hidup pemuda itu nak. Akan tetapi... Ayahmu..." Tiba-tiba hati Kencanawati berdebar cemas.
"Rama Penewu" Ada hubungan apakah dia dengan urusan kita ini, Ibu?"
"Dia... dia tidak setuju, bahkan melarang keras!" Kencanawati terkejut. Sungguhpun hal ini tidak mengherankannya.
"Apa... Apa kehendaknya, maka ia melarang perjodohan saya, Ibu?" tanyanya dengan hati tiba-tiba merasa tidak enak sekali.
"Dia...dia" berkata bahwa daripada kau kawin dengan seorang petani miskin lebih baik dia mengambilmu sebagai selirnya sendiri."
"Jahanam keparat!!" Tiba-tiba kedua mata Kencanawati yang bagus itu memancarkan cahaya merah.
"Ibu, lebih baik anak mati daripada menjadi selirnya!" Sambil berkata demikian, gadis yang berhati tabah dan keras itu berlari memasuki kamarnya.
"Kencana...!" Rondo Kuning berteriak dan lari mengejar ke dalam bilik anaknya itu. Ia melihat betapa Kencanawati mengambil sebuah pisau belati dan siap hendak menanamkan pisau itu ke dalam dada ke dalam dada kirinya. Bondo Kuning cepat menubruk dan merampas pisau itu.
"Kencana, gilakah kau?" serunya mencela. "Pantaskah anakku berlaku senekat dan berpikiran sependek ini" Kita harus mencari jalan yang baik, tidak berputus asa dan membunuh diri! Ini bukanlah jalan yang sempurna, anakku." Kencanawati memeluk Ibunya dan barulah ia menangis.
"Ampun, Ibu..." Setelah Ibu dan anak itu bertangisan dengan hati duka, Rondo Kuning lalu menghibur anaknya dan berkata,
"Jangan kau kira bahwa akupun rela memberikan kau menjadi selir si durhaka itu. Akan tetapi, apa daya kita wanita-wanita lemah terhadap Galiga Jaya yang berpengaruh dan berkuasa" Jalan satu-satunya ialah melarikan diri, nak. Kau harus lari sebelum terlambat dan aku hendak memberi tahu kepada Sutadi agar kalian bisa lari bersama."
"Dan meninggalkan Ibu serta adik-adikku?" kata Kencanawati dengan air mata mengalir turun membasahi pipinya yang pucat.
"Tidak apa, anakku. Demi keselamatanmu, kau dan calon suamimu harus lari dan pergi jauh-jauh dari tempat berbahaya ini. Kelak masih banyak waktu bagi kita untuk saling bertemu kembali."
Tanpa dapat membantah lagi, Kencanawati lalu mengumpulkan pakaian dan bersiap-siap, sedang Rondo Kuning lalu memanggil Bandini dan menyuruh anak ini segera pergi mencari Sutadi yang masih bekerja di sawah dan memanggil pemuda itu agar cepat datang ke rumah Rondo Kuning. Alangkah marahnya Sutadi ketika mendengar penuturan Rondo Kuning tentang maksud jahat Penewu Galiga Jaya. Akan tetapi sebagai seorang pemuda biasa, dia juga tidak berdaya melawan dan tidak berani menentang Penewu itu secara berterang, maka ia lalu tunduk terhadap rencana Rondo Kuning. Ketika melihat tunangannya yang cantik itu keluar sambil menangis dan membawa buntalan pakaian, hati Sutadi terharu sekali. Ia lalu mengangkat dada dan berkata kepada Rondo Kuning,
"Ibu, percayalah kepada saya. Saya akan membawa pergi dinda Kencanawati dan akan melindunginya. Saya rela mengorbankan nyawa dan raga saya yang tidak berharga ini untuk membelanya dari kekejaman Penewu Galiga Jaya!"
Setelah bertangis-tangisan dengan Ibunya serta dengan Sariwati dan Bandini, Kencanawati lalu mencium Bondan, sama sekali tidak ingat bahwa anak kecil itu adalah keturunan orang yang kini hendak mencelakakannya. Kemudian ia pergi dengan cepat bersama tunangannya meninggalkan rumah Ibunya dan meninggalkan dusun Pakem. Akan tetapi mereka yang sedang berusaha untuk melarikan diri dan mencoba untuk menghindarkan diri dari bencana kekejaman Penewu Galiga Jaya, tidak tahu akan pengaruh dan kecerdikan Penewu itu! Setelah meninggalkan rumah Rondo Kuning, Galiga Jaya telah dapat menduga bahwa tentu selirnya itu takkan tinggal diam dan mencoba untuk mencegah kehendaknya yang hendak menyelir puteri tirinya.
Maka Penewu ini telah memerintahkan kaki tangannya untuk mengintai dan melakukan penjagaan. Ketika mendengar laporan dari perajuritnya bahwa Kencanawati melarikan diri dengan seorang pemuda ani, Galiga Jaya segera membawa serombongan perajurit dan dengan naik kuda lalu melakukan pengejaran. Mereka tak usah lama mengejar, oleh karena seorang gadis selemah Kencanawati tentu saja tak dapat berlari cepat dan Sutadi yang mencinta tunangannya tak tega untuk memaksanya berlari-lari cepat. Keduanya menjadi pucat ketika tiba serombongan orang berkuda mengejar dan menyusul mereka. Ketika Galiga Jaya melompat turun dari kuda dan berdiri sambil bertolak pinggang menghadapi mereka, keduanya hanya dapat berpegang tangan dan menggigil.
"Hm, bagus sekali perbuatanmu ini, Kencanawati! Pantaskah seorang Puteri Penewu yang terhormat melakukan perbuatan yang teramat rendah dan hina, melarikan diri dengan seorang pemuda melarat" Kau sungguh mencemarkan nama Ayahmu ini."
"Aku tidak mempunyai Ayah seperti kau!" jawab Kencanawati yang biarpun merasa takut akan tetapi masih memiliki kekerasan dan ketabahan hatinya.
"Ha-ha-ha! Kau memang benar, anak manis! Aku bukan Ayahmu dan sebentar lagi aku adalah suamimu!"
"Keparat tak tahu malu!" tiba-tiba Sutadi tak dapat menahan marahnya lagi dan ia lupa akan takutnya.
"Hanya anjing rendah saja yang hendak mengganggu anak perempuannya, walaupun hanya anak tiri!" Berputarlah kedua mata Galiga Jaya yang besar itu karena marahnya.
"Bangsat yang sudah bosa hidup!" serunya dan ia mencabut keris lalu melompat menerkam. Sutadi adalah seorang pemuda tani biasa. Walaupun ia memang bertubuh tegap dan kuat sehat, namun ia tidak pandai ilmu pencak silat serta tak pernah mempelajari ilmu berkelahi. Menghadapi serangan Galiga Jaya ia mencoba untuk mengelak dan balas memukul, akan tetapi, melawan Penewu yang telah banyak mengalami pertempuran dan yang telah banyak mempelajari aji kesaktian serta ilmu perkelahian, ia merupakan makanan lunak. Dalam beberapa gebakan saja, keris Galiga Jaya telah berkali-kali menusuk perut dan dadanya hingga pemuda bernasib malang itu roboh mandi darah dan tewas seketika setelah berhasil mengeluh,
"Kencanawati...!" Kencanawati menjerit ngeri dan menubruk mayat pemuda itu. Akan tetapi, secepat kilat kedua lengan Galiga Jaya memeluknya dan Penewu itu sambil tertawa bergelak-gelak lalu memondong tubuh dara itu ke atas kudanya. Kemudian, ia membawa anak buahnya menuju ke dusun Pakem. Bukan main kaget dan cemasnya hati Rondo Kuning ketika melihat kedatangan Galiga Jaya dengan anak buahnya, terutama ketika melihat Kencanawati terpeluk erat di depan Penewu itu! Sambil menggendong Bondan di dada, ia lari menyambut dan segera hendak menarik turun Kencanawati, akan tetapi Galiga Jaya lalu mendahului melompat turun sambil memberi perintah kepada seorang pembantunya untuk menjaga agar Kencanawati tidak turun dari kuda.
"Kau... kau apakan dia" Kau hendak membawa kemana anakku..." dengan mata terbelalak dan jari telunjuk menunding, Rondo Kuning berkata. Galiga Jaya tersenyum menyeringai dan mengejek.
"Hm, kau perempuan rendah, tak kenal budi, dan Ibu yang tidak dapat menjaga kehormatan anak perempuannya! Kau secara tidak tahu malu telah menyuruh Kencanawati melarikan diri dengan seorang pemuda melarat!"
"Kau perduli apa" Lebih baik ia lari dengan seorang pemuda tani daripada menjadi korban nafsu binatangmu! Hayo lepaskan anakku!"
"Rondo Kuning, jangan kau kurang kurang ajar. Ingatkah kau aku ini siapa?"
"Kau jahanam besar! Kau adalah seorang laki-laki keparat!"
"Kurang ajar!" Galiga Jaya mengayunkan cambuk kudanya yang tepat memukul Rondo Kuning hingga perempuan itu terhuyung ke belakang dan darah mengucur dari pipinya.
"Lepaskan anakku!" katanya dan untuk kedua kalinya cambuk di tangan Galiga Jaya menyambar, kini tepat mengenai mata kiri Rondo Kuning hingga wanita itu menjerit kesakitan dan matanya menjadi biru tak dapat dibuka lagi!
"Ibu" Kencanawati menjerit dan meronta-ronta di atas kuda, akan tetapi hal ini bahkan menyenangkan hati perajurit yang bertugas menjaga dan memeganginya hingga perajurit itu tersenyum-senyum senang sambil memeluk tubuh gadis yang meronta-ronta itu.
"Ibu...! Ibu...!!" tiba-tiba terdengar pekik dari dalam rumah dan Sariwati berdua Bandini berlari-lari menghampiri Ibunya. Mereka lalu menubruk dan memeluk Rondo Kuning sambil menangis. Orang-orang dusun yang melihat peristiwa ini, mengertak gigi dan memandang dengan mata merah saking marah dan gemasnya, akan tetapi mereka tidak berani menghadapi Penewu yang berkuasa serta yang diikut oleh anak buahnya yang lebih dari dua puluh orang banyaknya itu. Kini Rondo Kuning tak dapat menahan lagi rasa benci dan marahnya. Ia melepaskan diri dari pelukan Sariwati dan Bandini, lalu maju lagi bagaikan seekor harimau betina mengamuk.
"Jahanam Galiga Jaya! Lekas kau lepaskan dan bebaskan anakku. Hendak kau bawa ke mana Kencanawati" Dan kau apakan Sutadi?"
"Ha-ha-ha! Kau belum tahu, ya" Dengarlah! Sutadi bangsat kecil yang kurang ajar itu telah mampus di ujung kerisku. Dan Kencanawati mulai hari ini menjadi selirku dan tinggal digedungku. Hidupnya akan jauh lebih bahagia dan terhormat, daripada berada disini, dibawah asuhan Ibunya yang tidak dapat menjaga kehormatannya."
"Galiga Jaya anjing keparat!" Rondo Kuning menerkam maju sambil memeluk Bondan dengan tangan kiri. Tangan kanannya diulur maju, merupakan cengkeraman dan hendak mencakar muka Penewu itu. Sambil menyerang, Rondo Kuning menyemburkan ludah sirihnya yang merah ke arah muka suaminya. Galiga Jaya cepat mengelak dari cengkeraman itu, akan tetapi ia terkena ludah sirih merah, hingga sebagian muka dan lehernya menjadi merah. Bukan main marahnya, dengan gemas sekali ia lalu mengangkat tangan kanan memukul keras-keras ke arah dada Roro Kuning.
Dalam kemarahan besar, Roro Kuning sampai lupa kepada Bondan yang masih digendong dan dipeluknya, maka ketika pukulan Galiga Jaya menyambar dada, tanpa disengaja pukulan ini jatuh tepat mengenai kepala Bondan. Anak kecil itu memekik ngeri, berkelojotan dalam pelukan Ibunya dan" mati. Rondo Kuning memandang muka anaknya dan tiba-tiba ia berdiri diam bagaikan patung, memandang wajah anaknya yang telah putus nyawanya itu. Mata Rondo Kuning yang biru sebelah itu terbelalak, mulutnya celangap, kulit mukanya yang kuning menjadi putih bagaikan kapur. Galiga Jaya sendiri ketika melihat bahwa pukulan tangannya mengenai kepala anaknya sendiri hingga anaknya itu tewas, merasa terkejut sekali dan melangkah mundur tiga tindak dengan wajah pucat dan perasaan ngeri, sedangkan ia merasa betapa bulu tengkuknya berdiri.
"Bondan...!" Jerit ini terdengar sampai jauh karena dikeluarkan sedemikian keras dan nyaringnya hingga mengejutkan kuda yang ditunggangi para perajurit.
"Bondan... kau... kau mati! Kau dibunuh oleh Ayahmu sendiri... Bondan..." Rondo Kuning lalu menjatuhkan dirinya di atas tanah, berlutut dan menciumi muka anaknya sambil menangis meraung-raung. Tiba-tiba ia mengangkat kepala memandang dan ketika melihat wajah Galiga Jaya yang nampak terkejut dan menyesal, tiba-tiba saja timbul hati geli yang luar biasa di dalam hatinya. Tak disengaja lagi Rondo Kuning tertawa tergelak-gelak, lalu bangkit berdiri dan menuding kepada suaminya,
"Galiga Jaya, ha-ha-ha! Kau membunuh anakmu sendiri... Kau... kau anjing yang makan anak sendiri" ha-ha-ha! Kau telah berlumur darah di leher dan muka, kau akan mampus dengan darah memenuhi leher dan mukamu! Lihat, lihat darah anakmu memenuhi tanganmu!" Galiga Jaya melangkah mundur selangkah dengan muka makin pucat. Ia meraba lehernya dan memang ludah sirih yang berlumur di lehernya seperti darah hingga tangannya menjadi merah pula. Sementara itu, Rondo Kuning sudah menangis lagi meraung-raung dan sambil tertawa dan menangis berganti-ganti, akhirnya wanita itu lalu melompat dan lari dari situ sambil memanggil-manggil nama Bondan dan memondong mayat anak itu.
"Ibu...!" Sariwati dan Bandini mengejar. Akan tetapi Galiga Jaya lalu berseru,
"Tangkap kedua gadis itu!" Para anak buahnya tak perlu diperintah dua kali. Mereka berebut menangkap Sariwati dan Bandini yang cantik jelita dan menaikkan kedua orang remaja puteri itu ke atas kuda. Sementara itu, melihat Galiga Jaya tadi memukul mati Bondan, Kencanawati saking ngerinya telah menjadi lemas dan pingsan di atas kuda. Orang-orang dusun yang melihat betapa Galiga Jaya membunuh Bondan dan membuat Rondo Kuning menjadi gila, segera menyerbu maju dan seorang tua yang tinggal di dekat rumah Rondo Kuning menegur,
"Penewu Galiga Jaya! Perbuatanmu ini agak melampaui batas!"
"Apa" Kalian hendak memberontak" Hajar mereka!" seru Galiga Jaya kepada anak buahnya dan para perajurit berkuda itu lalu majukan kuda dan menghujankan pukulan dan tendangan kepada orang-orang kampung itu.
Orang-orang kampung lari cerai-berai, yang agak tabah mencoba melawan, akan tetapi mereka ini bahkan menjadi korban tombak dan sebentar saja bersihlah tempat itu, yang lari telah bersembunyi, sedangkan yang melawan telah roboh semua. Termasuk kakek yang menegur tadi, sebelas orang kampung tewas dalam amukan ini. Setelah itu Penewu Galiga Jaya lalu melarikan kudanya yang membawa Kencanawati dan gadis itu masih saja belum siuman dari pingsanya. Juga Sariwati dan Bandini dinaikkan ke atas kuda dan dibawah lari oleh dua orang pembantu Galiga Jaya. Berbeda dengan kakaknya, Sariwati dan Bandini tiada hentinya menjerit-jerit minta tolong dan meronta-ronta mencoba melepaskan diri dari pelukan penawannya. Akan tetapi, siapa yang berani menolong"
Di lereng Gunung Lawu, sebelah timur puncak yang disebut Pringgodani, terdapat sebuah gua batu. Gua ini lebar dan dalam, menghadapi sebuah lapangan yang tidak saja ditumbuhi rumput hijau yang rata dan gemuk hingga apabila angin gunung menghembus lalu, ujung-ujung rumput yang bergelombang itu merupakan permukaan air hijau yang indah dan bergerak-gerak hidup, akan tetapi disana-sini terdapatpula bunga-bunga liar yang indah.
Bunga-bunga ini memang liar dan tidak sengaja ditanam oleh tangan manusia, akan tetapi mereka hidup subur dan menyiarkan keharuman yang sedap dan menyegarkan. Di antara bunga-bunga indah, terdapat pula mawar, melati dan kemuning. Gua ini tidak kosong, melainkan didiami oleh seorang tua renta yang bertubuh tinggi kurus. Jenggot dan kumisnya yang panjang dan putih bersih itu menandakan bahwa usianya telah sangat lanjut. Memang kakek ini sudah tua sekali, bahkan menurut cerita orang-orang tua yang tinggal disekitar kaki Gunung Lawu dan di lereng gunung yang subur tanahnya itu, kakek ini sudah ada semenjak Ayah mereka masih hidup! Menurut cerita ini, apabila benar-benar terjadi, maka kakek ini tentu sudah lebih dari seratus tahun umurnya! Kakek tua ini bernama Panembahan Sidik Paningal dan yang terkenal di desa-desa sekitar Gunung Lawu sebagai Eyang Sidik saja.
Beberapa pekan yang lalu, pada suatu pagi yang cerah, panembahan itu duduk di muka gua, bersila di atas tanah kering yang berumput oleh karena tanah itu memang menjadi tempat duduknya pada waktu ia berada di luar gua, hingga rumput-rumput mengering dan tidak tumbuh di tempat itu. Di depannya, seorang pemuda teruna duduk pula bersila dengan sikap hormat. Pemuda ini bertubuh sedang, tidak terlalu besar, tidak pula kurus kering, bahkan pada sepasang lengan dan dadanya yang tak berbaju itu nampak daging dan otot-otot yang membayangkan tenaga yang kuat. Keningnya lebar, hidungnya lurus mancung, dan bibirnya menandakan bahwa ia kuat iman dan teguh hati. Yang menarik hati adalah sepasang matanya, karena sepasang mata ini bercahaya ganjil dan dari manik matanya seakan-akan bersinar keluar tenaga yang berpengaruh dan kuat, yang membuat orang tidak tahan menatap dan menyambut padang mata itu lama-lama. Mata ini bagus bagaikan sepasang bintang pagi.
"Adiguna, muridku. Sekali lagi kutekankan bahwa kau tidak mempunyai bakat untuk menjadi seorang pertapa. Kau tidak dilahirkan untuk menjadi pertapa. Sungguhpun harus kuakui bahwa kau kuat menjalankan tapabrata. Waktu yang lima tahun kau lewatkan di tempat ini sudah cukup lama dan sekarang sudah tiba waktunya bagimu untuk turun gunung." Adiguna tertegun mendengar penjelasan gurunya ini. Hatinya ingin benar tinggal terus di tempat ini, tempat yang telah merebut hatinya yang telah disayanginya sebagai tempat yang paling indah dan menyenangkan di dunia ini. Kata-kata gurunya yang menyebutkan tentang "Dilahirkan" tadi, tiba-tiba membuat ia sadar dan timbul pula pertanyaan yang dulu sering mengganggu hatinya.
"Eyang panembahan, betapapun hamba ingin sekali diperkenankan tinggal terus ditempat ini, menjaga Eyang yang sudah tua serta mempelajari ilmu dari Eyang, namun kehendak Eyang tak berani hamba membantahnya. Akan tetapi, ucapan Eyang tadi mengingatkan hamba akan sesuatu dan hamba mohon sebelum hamba meninggalkan tempat ini, sudilah kiranya Eyang menerangkan hati hamba yang telah lama digelapkan oleh sebuah hal yang ingin sekali hamba ketahui." Panembahan Sidik Paningal tersenyum dan aneh sekali, pada saat ia tersenyum, lenyaplah sifat tua yang menyelimuti wajahnya, terganti oleh kemudaan. Bahkan mukanya menjadi seperti muka seorang kanak-kanak yang segar dan sehat.
"Adiguna, sudah menjadi hak seorang murid untuk bertanya dan memang kewajiban seorang guru untuk menjawab pertanyaan itu. Katakanlah apa yang mengganggu hatimu, dan seberapa dapat aku hendak menerangkannya."
"Maafkan hamba, Eyang. Sesungguhnya, walaupun hamba datang disini dalam usia belasan tahun, namun peristiwa itu agaknya telah membuat hamba kehilangan ingatan hamba ini, datang dari mana dan siapa pula Ayah Ibu hamba." Panembahan Sidik Paningal tersenyum lagi.
"Memang benar, muridku, ketika aku menemukan kau usiamu telah tiga belas tahun, dan yang kau ketahui hanyalah namamu sendiri. Apakah kau masih ingat akan peristiwa kedatangamu ditempat ini?"
Adiguna masih ingat dengan baik sekali peristiwa yang mengerikan itu. Ketika ia berusia tiga belas tahun dan sedang mengarit (membabat dengan arit) rumput yang tebal, tiba-tiba seekor macan loreng yang besar sekali melompat dan menyerangnya! Adiguna melawan mati-matian dengan aritnya dan kekagetan serta ketakutan membuatnya tak kuasa berteriak minta tolong. Akhirnya sebuah sampokan kaki depan harimau itu membuat arit Adiguna terlempar jauh dan ia roboh pingsan sebelum mengetahui apa yang diperbuat oleh harimau itu pada dirinya. Macan loreng itu tidak segera menerkam, dan mengaum serta mencium-ciuminya, seakan-akan merasa ragu-ragu dan mengira bahwa ia telah mati. Kemudian, macan itu mengigit pundaknya dan membawanya lari keras.
Ketika siuman, Adiguna mendapat kenyataan bahwa dirinya telah berada di sebuah hutan di kaki Gunung Lawu dan bahwa macan itu telah lenyap, dan yang berada di depannya kini adalah seorang kakek tua yang bukan lain Panembahan Sidik Paningal adanya. Ternyata kemudian kakek sakti itu telah menolongnya dan mempergunakan kesaktiannya untuk mengusir harimau itu dan melepaskan korbannya. Adiguna yang merasa takut dan terkejut, ternyata telah mendapat pukulan keras pada ingatannya yang membuatnya lupa akan segala, kecuali namanya sendiri. Demikianlah semenjak hari itu ia menjadi murid Panembahan Sidik Paningal mempelajari ilmu batin dan aji kesaktian, serta mengerjakan pekerjaan keperluan mereka berdua sehari-hari. Kini mendengar pertanyaan gurunya, terbayanglah kembali segala peristiwa itu dan ia menjawab dengan sembah,
"Hamba masih teringat dengan baik akan segala budi Eyang yang telah menolong hamba dari terkaman mulut harimau!"
"Jangan ikat dirimu dengan segala budi pertolongan Adiguna. Semua peristiwa tidak terluput dari gerakan tangan sakti dari Yang Maha Agung dan kita hanya tinggal menjalankan saja. Kalau kau ingin mengetahui asal-usulmu, kau harus kembali ke tempat dari mana harimau itu membawamu. Dia dulu datang dari arah barat bukit ini, maka sekarang kau turunlah dari sini dan menuju ke barat. Kalau kau mencari dengan teliti, tentu kau akan dapat mencari keterangan tentang asal usulmu itu. Juga kau akan tiba di Ibu kota Mataram hingga kau akan mendapat kesempatan mengabdi kepada Sri Sultan yang bijaksana, karena apakah gunanya segala macam ilmu yang kau pelajari dan tak dapat mempergunakannya guna menolong negara dan bangsa?"
Demikianlah setelah menerima petunjuk-petunjuk dan petuah-petuah yang amat luhur dan berharga dari gurunya, Adiguna lalu turun gunung dari sebelah barat. Ia menggunakan ketangkasannya dan sebentar saja ia telah dapat menuruni gunung dan melintasi jurang-jurang yang dalam dan berbahaya. Ketika ia melalui sebuah hutan yang amat liar dan luas, tiba-tiba dari balik pohon-pohon besar berlompatan keluar lima orang tinggi besar yang memegang golok atau keris di tangan kanan. Sikap mereka menakutkan dan mengancam, dan seorang pemimpinnya yang bercambang bauk dengan keris di tangan membentak,
"Hai, pemuda bagus, kau berhentilah!" Adiguna menahan langkah kakinya dan memandang tenang. Ia tak tahu sedang berhadapan dengan siapa dan mengapa mereka ini mencegat perjalanannya.
"Ada keperluan apakah saudara-saudara menghentikan perjalananku?" tanyanya dengan sabar. Panembahan Sidik Paningal yang cinta kepada muridnya itu telah memberikan beberapa potong pakaian kepada Adiguna, dan pakaian itu dibuntal serta diikatkan di belakang punggung pemuda itu. Kelima orang yang menghadangnya itu memandang ke arah buntalan pakaian dan pemimpinnya berkata,
"Anak muda yang bagus, sebelum kau melanjutkan perjalananmu, lebih dulu kau harus menyerahkan buntalan itu kepada kami!" Adiguna terheran dan memandang dengan bingung.
"Mengapa aku harus menyerahkan buntalan yang terisi pakaian itu kepada kalian?"
"Tak usah banyak cerewet, lekas kau serahkan buntalan itu!" seorang diantara yang empat lain membentak sambil peletotkan matanya yang besar dan merah.
"Apakah kalian butuh akan pakaian" Kalau benar-benar kalian membutuhkannya, marilah, kalian boleh ambil semua!" Sambil berkata demikian, Adiguna melepas ikatan buntalan dari pundaknya dan memberika itu kepada si cambang bauk yang segera menyambarnya. Mereka lalu beramai membuka bantalan itu akan tetapi wajah mereka kecewa sekali oleh karena melihat bahwa isi buntalan itu hanyalah pakaian-pakaian yang biarpun bersih dan indah, namun tak berapa banyak harganya! Mereka lalu memandang kepada Adiguna dengan mengancam.
"Hayo kau keluarkan semua barang milikmu yang masih kau bawa!" Adiguna makin terheran.
"Eh, apakah sebenarnya maksud kalian" Kalian membutuhkan pakaian dan aku sudah memberikan semua pakaianku, sekarang apakah lagi yang kalian kehendaki" Aku sunguh-sunguh tidak mempunyai apa-apa lagi." Pemuda ini belum pernah mendengar atau bertemu dengan perampok, maka ia tidak tahu bahwa kini ia sedang berhadapan dengan perampok-perampok! Tiba-tiba si cambang bauk yang menjadi pemimpin mereka berbisik-bisik kepada kawan-kawannya. Biarpun mereka itu berdiri agak jauh, namun dengan kesaktiannya, Adiguna dapat mendengar percakapan mereka. Ia mendengar si cambang bauk berkata,
"Pemuda ini bagus dan tampan sekali. Mari kita culik dia!" kata si camban bauk.
"Ya, kita jadikan dia pelayan kita!" kata kawannya.
"Tidak, kita jual saja dia kepada pembesar mataram!" Si cambang bauk lalu menghadapi Adiguna yang masih berdiri dengan tenang dan berpura-pura tidak mendengar percakapan mereka tadi sungguhpun mendengar percakapan itu, ia merasa heran sekali.
"Anak muda yang bagus!" kata si cambang bauk. "Kalau engkau tidak mempunyai barang-barang berharga untuk menebus dirimu, terpaksa engkau harus ikut dengan kami dan menjadi tawanan kami!"
"Kalian ini sebenarnya orang-orang apakah dan mengapa tanpa sebab agaknya hendak mengganggu aku" Kukira tadi kalian memang orang melarat yang membutuhkan pertolongan hingga aku telah memberikan pakaianku, akan tetapi mengapa kalian hendak menawanku" Sebenarnya siapakah kalian ini?" Kelima orang perampok itu saling pandang dengan mata heran, kemudian tertawalah mereka dengan geli hati.
"Anak bodoh! Engkau mengira kami ini orang-orang melarat yang butuh pakaian" Ha-ha-ha! Jangan engkau menghina, anak muda. Kami adalah lima saudara yang berkuasa di hutan ini, dan aku bernama Bandusenggoro! Engkau siapakah, anak muda yang bagus dan hendak kemana?"
"Namaku Adiguna dan aku hendak mencari keluargaku," jawab Adiguna sejujurnya.
"Siapa keluargamu itu dan orang mana?"
"Inilah yang aku sedang mencari-cari, aku sendiri tidak tahu siapakah keluargaku."
"Eh, kau ini benar-benar orang aneh! Siapa nama Ayah Ibumu?" tanya pula Bandusengoro. Adiguna mengangkat kedua pundaknya keatas.
"Inipun aku sedang mencari tahu, karena aku telah lupa akan nama mereka." Bendusengoro saling pandang dengan kawan-kawannya dan mereka ini mulai menganggap bahwa pemuda yang bagus ini barangkali telah berobah otaknya! Mana ada orang lupa nama Ayah Ibu sendiri" Adiguna juga maklum bahwa pernyataannya tadi tentu menimbulkan keheranan dan tidak kepercayaan, maka ia lalu menyambung kata-katanya,
"Lima tahun yang lalu ketika aku bekerja mencari rumput, seekor harimau menyerang dan menggondolku pergi dan semenjak itu aku telah lupa sama sekali akan keadaan keluargaku." Tiba-tiba seorang diantara perampok-perampok itu berseru,
"Hai, kalau begitu kau tentulah kemenakan Pak Wiryosentiko di dusun Pakem!" Akan tetapi Bandusengoro berkata keren,
"Siapapun adanya kau, sekarang juga kau harus ikut dengan kami!" Sambil berkata demikian, ia melompat maju memegang lengan tangan Adiguna. Pemuda itu ketika mendengar nama Wiryosentiko di dusun Pakem yang diperkenalkan sebagai pamannya, berdiri sejenak tak bergerak dan otaknya mengingat-ingat. Serasa pernah didengarnya nama ini, juga nama dusun Pakem tak asing bagi telinganya. Maka ia tidak memperdulikan pegangan tangan Bandusengoro. Setelah kepala rampok itu membetotnya dengan kuat, barulah ia seakan tersadar dari mimpi. Tanpa disengaja ia menarik lengannya yang terpegang dan dengan mudah saja terlepas dari pegangan Bandusengoro. Kepala rampok itu terkejut, tak pernah disangkanya bahwa pemuda itu begitu kuat sehingga sekali merenggut saja pegangan tangannya terlepas.
"Kau hendak lari kemana?" bentaknya dan menubruk lagi. Akan tetapi sekarang Adiguna telah merasa mendongkol sekali melihat kekasaran perampok-perampok ini. Sekali ia menggerakkan kaki ke kiri, tubrukan itu menjadi luput dan tubuh kepada rampok itu terhuyung ke depan.
"Jangan kau memaksa, Bandusengoro!" kata Adiguna. Akan tetapi serentak kawanan perampok itu maju hendak menangkapnya. Terpaksa Adiguna lalu memperlihatkan ketangkasannya. Kedua tangannya bergerak cepat dan sebelum kelima orang perampok itu tahu apa yang telah terjadi atas diri mereka, tahu-tahu tubuh mereka telah terpelanting ke kanan kiri hingga kulit mereka lecet-lecet dan kepala mereka benjol-benjol. Bukan main marahnya kelima orang itu. Mereka masih belum mau mengerti bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Mereka mencabut senjata tajam yang tadi diselipkan dipinggang karena memandang rendah pemuda halus ini dan sambil mengeluarkan teriakan menyeramkan, mereka lalu maju menyerang.
Walaupun tidak takut kepada semua senjata tajam itu, namun Adiguna merasa khawatir kalau-kalau pakaian yang dipakainya akan rusak dan robek, maka ia lalu bergerak lebih cepat lagi, kini dengan kedua kaki dan tangannya. Dan akibatnya hebat sekali! Kelima orang perampok yang terkenal buas dan memiliki ilmu berkelahi yang cukup tangguh dan tenaga luar biasa kuatnya itu, tiba-tiba menjerit-jerit kesakitan sambil memegangi tangan mereka yang tadi memegang senjata tajam yang kini telah terlempar ke kanan kiri. Ternyata bahwa gerakan Adiguna yang cepat hingga tak terlihat oleh mata lawan-lawannya itu telah dengan cepat menyerang tangan mereka dengan kipratan tangan dan tendangan kaki hingga pergelangan tangan mereka menjadi matang biru dan sakit sekali.
"Jahat! Jahat! Kalian ini lima orang perampok sungguh ganas dan kejam! Kalau bukan aku yang kalian serang, bukankah kalian telah berhasil membunuh orang?"
Setelah berkata demikian, tanpa memperdulikan lima orang perampok yang memandang dengan mata terbelalak heran, pemuda itu lalu mengambil kembali buntalan pakaiannya dan melanjutkan perjalanannya dengan cepat menuju ke barat. Mudah saja bagi Adiguna untuk mencari dimana adanya dusun Pakem. Segera ia mencari rumah Wiryosentiko dan ternyata bahwa Pak Wiryosentiko adalah seorang tua yang bekerja sebagai penggarap sawah yang miskin. Ketika ia masuk ke dalam pondok, ia disambut oleh Pak Wiryosentiko sendiri beserta isterinya yang telah tua pula dan seorang anaknya yang telah menikah dan tinggal dirumah itu dengan isterinya. Anak kedua Wiryosentiko, seorang pemuda berusia sebaya dengan Adiguna, sedang pergi dan tidak berada di rumah. Mula-mula Wiryosentiko merasa heran melihat kedatangan Adiguna.
"Raden ini siapakah dan ada perlu apa mencari hamba?" tanyanya, karena wajah dan sikap Adiguna menimbulkan persangkaan padanya bahwa pemuda ini tentulah seorang bangawan.
"Paman, apakah benar paman mempunyai seorang kemenakan yang bernama Adiguna?" tanya Adiguna dengan suara gemetar menahan perasaan hatinya yang menggelora. Orang tua itu terkejut dan heran.
"Adiguna" Benar, Raden. Adiguna itu adalah anak kemenakan hamba yang telah lenyap lima tahun yang lalu, khabarnya ia digondol macan!" Mendengar ucapan ini, Adiguna lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah,
"Paman... akulah Adiguna kemenakanmu itu!" Untuk sejenak Pak Wiryosentiko berdiri tertegun dan memandang dengan mata terbelalak, demikian isterinya. Puteranya yang juga memandang, tiba-tiba berseru,
"Benar Ayah, dia ini benar si Guna! Lihat saja tahi lalat di pangkal lengan kanannya dekat pundak itu!" Pak Wiryosentiko memandang dan ia lalu menubruk dan memeluk Adiguna,
"Aduhai, anakku! Jadi engkau masih hidup!" Isterinya pun lalu maju memeluk Adiguna dengan tangisnya, dan pertemuan ini mendatangkan haru dan suka. Adiguna dengan singkat menuturkan pengalamannya, hingga Pak Wiryo suami isteri dan Jimanta serta isterinya, yaitu putera dan mantu Pak Wiryo memandang dengan penuh takjub. Setelah bertemu dengan orang-orang yang dulu dikenalnya baik ini, teringatlah Adiguna kepada Riyatman, putera bungsu pak Wiryosetiko.
"Dimanakah si Riyatman?" tanyanya gembira. Pak Wiryosentiko menghela napas. "Saudaramu itu sukar sekali diatur dan tidak taat kepada orang tua. Jarang sekali ia berada dirumah dan kesukaannya hanyalah belajar pencak silat dan mengejar segala macam ilmu kepandaian berkelahi. Entah mau menjadi apa anak itu! Semenjak kemarin ia tidak pulang sudah biasa ia pulang dua atau tiga hari sekali." Kemudian Adiguna bertanya kepada pamannya tentang kedua orang tuanya. Pamannya memandang heran dan berkata,
"Adiguna, engkau sungguh patut dikasihani. Agaknya peristiwa dengan harimau itu telah membuat engkau sedemikian takut dan kaget hingga engkau telah lupa akan segala hal. Lupakah engkau bahwa engkau adalah seorang yatim-piatu, tak berayah tak beribu lagi" Engkau ikut padaku semenjak berusia sepuluh tahun dan sebelum Ibumu meninggal dunia menyusul suaminya, ia telah menitipkan engkau kepadaku."
Adiguna mendengarkan penuturan singkat ini dengan kepala tunduk dan ia tak dapat berkata apa-apa, hanya menekan perasaannya yang terserang kekecewaan dan kedukaan hebat. Paman dan bibinya memandang dengan penuh iba sambil menggelengkan kepala. Para tetangga yang masih ingat akan Adiguna, ketika mendengar bahwa pemuda yang digondol macan itu kini masih hidup dan datang kembali menjadi girang dan heran, maka sebentar saja penuhlah rumah Pak Wiryosentiko dengan para tetangga yang hendak melihat Adiguna yang tidak mati setelah digondol harimau pada lima tahun yang lalu.
Perlahan-lahan, teringat jugalah Adiguna kepada wajah orang-orang yang dulu menjadi tetangganya itu hingga terhibur juga kedukaan dan kekecewaan hatinya. Pada saat itu, diluar terdengar suara ribut-ribut dan orang menceritakan tentang amukan Penewu Galiga Jaya yang menculik anak perempuan Rondo Kuning dan bahkan telah membunuh beberapa orang kampung yang membela Rondo Kuning! Adiguna menjadi marah sekali mendengar bahwa hal yang kejam dan ganas ini dapat terjadi dikampung itu maka ia lalu berseru keras dan tiba-tiba semua orang terkejut melihat bayangan berkelebat dan pemuda itu tahu-tahu telah lenyap dari tengah-tengah mereka! Pak Wiryosentiko berdiri bingung dan barulah semua orang dapat menduga bahwa Adiguna, tentu telah menjadi seorang sakti!
"Tentu saja!" kata seorang diantara mereka. "Kalau dia tidak sakti, tentu ia telah mati dimakan macan!"
"Yang menggondolnya tentu macan siluman dan ia menjadi murid macan siluman itu!" kata seorang lain. Ketika Adiguna tiba ditempat pertempuran, ternyata ia hanya melihat mayat-mayat orang kampung bergelimpangan, ditangisi oleh sanak keluarga masing-masing. Penewu Galiga Jaya telah pergi jauh membalapkan kudanya, diikuti oleh para anak buahnya.
"Kemana jahanam itu pergi?" Adiguna bertanya. Seorang kampung dengan gemas menunjuk ke jurusan utara dan Adiguna lalu mempergunakan ilmu lari cepat mengejar ke arah itu! Ilmu lari cepat yang digunakan oleh Adiguna ini adalah ilmu lari Tunggang Bayu (Naik Angin) yang kecepatannya luar biasa, tidak kalah oleh larinya kuda!
Oleh karena itu, tak lama kemudian ia berhasil menyusul rombongan Penewu Galiga Jaya. Ia mudah mengikuti kemana larinya rombongan itu, oleh karena suara kedua orang gadis yang menjerit-jerit itu dapat terdengar oleh telinganya yang memiliki pendengaran tajam. Barisan Galiga Jaya yang terdiri dari dua puluh tiga orang itu, ketika masuk ke daerah Waru dan tiba di jalan yang diapit oleh sawah di kanan kiri, tiba-tiba menjadi ribut dibagian belakangnya. Penunggang kuda yang berada paling belakang, tiba-tiba saja merasa betapa pinggangnya, dipegang orang dari belakang dan tahu-tahu tubuhnya terlempar ke dalam sawah, jatuh di tanah lumpur hingga muka dan kepalanya penuh lumpur hitam! Orang kedua menyusul, ketiga, keempat, tubuh-tubuh mereka melayang bagaikan dihembus angin badai dan jatuh bergelimpangan di atas sawah.
Gegerlah keadaan barisan itu. Yang di belakang berteriak dan yang di depan berhenti lalu membalikkan kuda mereka. Juga Galiga Jaya sendiri terheran dan menghentikan kudanya. Kencanawati telah siuman kembali dan menangis terisak-isak, sedangkan Sariwati dan Bandini masih saja berteriak-teriak dan menjerit-jerit minta tolong sampai suara mereka menjadi serak. Adiguna setelah menjatuhkan beberapa orang perajurit dan melihat betapa semua penunggang kuda menghentikan kuda mereka, lalu melompat ke arah dua ekor kuda dimana Sariwati dan Bandini tertawan dan menjerit-jerit. Dua orang perajurit yang menawan kedua orang gadis itu, ketika melihat bahwa yang mengamuk adalah seorang pemuda tanggung yang nampak lemah lembut segera menyambut Adiguna dengan golok di tangan dan membacok dari atas kuda. Akan tetapi, Adiguna beseru,
"Rebahlah kamu!" dan sekali kedua tangannya bergerak ia telah dapat menangkap lengan tangan mereka yang memegang golok dan sekali ia membetot, kedua orang itu terpelanting dari atas kuda mereka! Karena mereka keduanya memeluk Sariwati dan Bandini, maka ketika mereka jatuh maka kedua orang gadis itupun ikut terjatuh pula. Akan tetapi Adiguna berlaku sebat. Ia melompat maju dan dengan cepat ia dapat merampas kedua orang gadis itu dari tangan penawan-penawan mereka. Melihat bahwa pemuda itu datang hendak menolong mereka, maka Sariwati dan Bandini segera lari dan bersembunyi dibelakang Adiguna dengan muka ketakutan.
"Awas, Raden!" kata Bandini dengan bibir gemetar ketika lima orang perajurit turun dari atas kudanya, dan lari mendatangi dengan pedang ditangan!
"Tenanglah adikku!" kata Adiguna dengan tersenyum, "Dan kalian duduklah saja di atas rumput di pinggir sawah itu!" Sariwati dan Bandini lalu lari ke rumput dan duduk berlutut sambil berdoa memohon kepada Yang Agung agar supaya pemuda penolong mereka itu mendapat kemenangan!
Ketika lima orang itu datang menyerbu, tiba-tiba Adiguna mempergunakan kegesitannya dan tahu-tahu ia telah melompat tinggi melewati kepala mereka! Tentu saja kelima orang perajurit itu terkejut dan heran sekali ketika tiba-tiba pemuda itu lenyap dari depan mereka! Selagi mereka merasa bingung, tiba-tiba dari belakang Adiguna mendorong keras dan kelima tubuh perajurit itu terdorong dan jatuh dengan kepala lebih dulu ke dalam selokan kecil yang penuh lumpur! Menjadi menjadi gelagapan karena untuk sementara mereka menjadi buta, hidung, mata dan mulut, bahkan telinga mereka penuh tersumpal tanah lumpur. Terdengar tertawa nyaring dan ternyata bahwa Bandini gadis yang kenes dan lincah itu, timbul kembali kejenakaannya melihat pemandangan ini. Ia tertawa geli dan bertepuk tangan menyoraki kelima orang perajurit itu.
"Ahai...! Ada lima ekor buaya bermandi lumpur di selokan itu!" Mau tidak mau Adiguna tersenyum mendengar kejenakaan gadis hitam manis itu, akan tetapi terpaksa ia harus mencurahkan perhatiannya ke depan karena kini semua perajurit datang menyerbu dan kesemuanya telah turun dari kuda dan mencabut senjata masing-masing! Terdengar lagi seruan Bandini,
"Hai, Mbak Sari, lihat! Buaya-buaya itu berkaki dua!" Sariwati biarpun biasanya bersikap tenang dan halus, kini melihat keadaan lima orang perajurit yang merangkak dan berdiri dengan muka dan kepala serta seluruh tubuh berlumur lumpur dan dengan bingung meraba-raba kesana-kemari, mendengar kelakar adiknya terpaksa tersenyum juga. Akan tetapi, biarpun ia rasa geli mendengar kejenakaan adik, dan melihat keadaan lima perajurit itu, ia masih teringat akan nasib kakaknya yang masih berada di atas kuda Penewu Galiga Jaya, maka ia segera berteriak ke arah Adiguna.
"Den-Mas yang budiman! Mohon engkau suka menolong kakakku yang masih tertawan itu!" Mendengar suara yang halus merdu ini, Adiguna merasa sesuatu yang aneh terjadi pada hatinya. Dada kirinya tiba-tiba berdebar aneh dan di dalam kesibukannya mengelak serangan para lawan-lawannya, ia masih menengok memandang ke arah Sariwati.
Biarpun ia hanya memandang sekilas, namun ia mendapat kenyataan bahwa gadis berkulit kuning itu luar biasa cantiknya, bagai seorang bidadari turun dari kahyangan! Maka ia lalu memperhatikan ke depan dan melihat bahwa seorang gadis lain masih berada diatas kuda yang ditunggangi seorang tinggi besar bercambang bauk dan bermata lebar menyeramkan. Ia segera dapat menduga bahwa ini tentu Penewu Galiga Jaya yang kejam itu, maka ia lalu berseru keras dan tahu-tahu ia telah menyusup diantara belasan senjata yang menyerangnya dan melompat ke arah Penewu Galiga Jaya. Galiga Jaya bukanlah seorang lemah dan ia telah banyak mendapat pengalaman bertempur melawan orang-orang sakti. Kedigdayaannnya yang terkenal di Mataram dan selain memiliki ilmu pencak silat yang tinggi, iapun memilki tubuh yang kebal dan aji kesaktian yang cukup ampuh.
Melihat gerakan pemuda yang berusaha menolong ketiga orang puteri Rondo Kuning itu, ia maklum bahwa pemuda itu tentulah murid seorang pandai, maka ia cepat mengeluarkan sebatang sabuk yang tadi membelit perutnya. Sabuk ini terbuat dari lawe berwarna merah dan ini bukanlah sabuk biasa, melainkan sebuah senjata yang teramat ampuh. Senjata sabuk lawe merah ini didapatnya dari daerah Gunung Lawu sebelah timur dari seorang pertapa yang sakti. Jangankan manusia biasa, bahkan kabarnya makluk haluspun takut menghadapi sabuk lawe yang mujijat ini, karena sibuk ini telah dicapai dan diberi mantera mujijat oleh seorang sakti hingga ampunya luar biasa! Ketika tubuh Adiguna berkelebat dekat, Galiga Jaya lalu memutar sabuk lawe hingga menimbulkan angin dan menyabet ke arah Adiguna sambil membentak,
"Mampuslah kau!" Adiguna terkejut sekali ketika merasa bahwa sambaran sabuk itu menerbitkan hawa yang luar biasa kuatnya dan yang melemahkan semangatnya. Ia maklum bahwa ia sedang menghadapi sebuah senjata yang ampuh dan mujijat, maka ia tiidak berani menerima senjata itu, lalu mengelak mempergunakan kelincahannya. Sabuk itu menyambar lewat di dekat lambungnya dan biarpun kulitnya tidak tersentuh oleh sabuk lawe merah, namun hawa sambarannya saja sudah menimbulkan rasa panas pada kulit tubuhnya! Tak terasa lagi Adiguna melompat mundur dua langkah, dan kesempatan ini digunakan oleh Galiga Jaya untuk berseru kepada anak buahnya,
"Kepung dan tangkap dia!" Setelah berkata demikian, Penewu ini lalu memecut kudanya yang segera membalap memasuki dusun Waru. Penewu ini cerdik sekali. Ia maklum bahwa pemuda itu sakti mandraguna dan untuk menghadapinya, perlu ia mengerahkan dan mencurahkan seluruh kepandaian dan tenaganya. Apabila kencanawati masih berada di atas kuda, maka tentu saja gerakannya terhalang, maka ia pikir lebih baik melarikan puteri itu dulu dan menahannya di dalam gedung, baru nanti kembali menghadapi pemuda pengacau yang gagah itu! Melihat betapa Penewu itu melarikan diri, Adiguna hendak mengejar, akan tetapi perajurit-perajurit itu maju mengurung dengan rapatnya.

RONDO KUNING MEMBALAS DENDAM JILID 02

Kalau ia mau, mudah saja baginya untuk melepaskan diri dari kurungan ini dan terus mengejar, akan tetapi ia teringat kepada dua orang dara yang duduk di atas rumput itu. Kalau mereka ini ditinggalkan, bukankah keadaan mereka berbahaya sekali karena para perajurit yang ganas itu masih berada disitu"
Maka ia lalu menjadi gemas sekali dan menghadapi keroyokan belasan orang perajurit itu dengan gagah perkasa. Melihat betapa Kencanawati dilarikan Penewu, Sariwati menjadi khawatir dan menangis lagi, tetapi Bandini yang tidak melihat ke arah Kencanawati dan tidak tahu bahwa kakaknya yang sulung itu dilarikan Penewu, bersorak-sorak gembira melihat betapa Adiguna menghajar para perajurit habis-habisan! Memang mengagumkan sekali sepak terjang Adiguna menghadapi para pengeroyoknya. Dimana saja tubuhnya melompat dan berkelebat, terdengar pekik terkejut dan tubuh seorang perwira dilontarkan tinggi-tinggi dan akhirnya tubuh itu jatuh ke dalam lumpur, membuat tanah lumpur memercik ke atas dan tubuh itu terbenam ke dalam lumpur dengan kepala dibawah!
"Bagus, bagus! Nah, dia menjadi seekor kura-kura di dalam lumpur!" teriak Bandini sambil tertawa geli. Kalau tangan Adiguna bergerak memukul atau kakinya bergerak menendang hingga seorang perajurit memekik kesakitan mengaduh-aduh sambil memegangi kepalanya yang terpukul atau mengaduh-aduh sambil memegangi sebelah kaki ke atas dan menggunakan kaki kedua untuk berloncat loncat karena kakinya tertendang sakit sekali, Bandini berseru sambil tertawa,
"Lihat, lihat! Mereka sekarang menari-nari! Aduh bagusnya! Itu, itu... kepalanya benjol-benjol seperti disengat tawon!" Memang Bandini yang baru berusia empat belas tahun itu masih memiliki sifat kanak-kanak, terdorong oleh sifatnya yang kenes dan kewat. Melihat sepak terjang Adiguna yang gagah perkasa itu, kepungan para perajurit menjadi kocar-kacir dan mereka yang masih mengeroyok lalu mengundurkan diri dengan hati jerih. Tujuh orang perajurit lain telah terlempar ke dalam tanah lumpur hingga kini ada selusin perajurit yang merangak angkak keluar dari lumpur dengan kedua tangan meraba-raba karena kedua mata mereka yang kemasukan lumpur tak dapat melihat!
"Eh, pengacau muda, siapakah namamu dan mengapa engkau begitu berani melawan Penewu?" tanya seorang perajurit dari tempat jauh. Dengan keringat membasahi dadanya yang telanjang Adiguna berdiri bertolak pinggang dan sambil tersenyum ia berkata,
"Ketahuilah, wahai kaki tangan Penewu yang jahat! Aku bernama Adiguna dan setelah aku berada disini, aku takkan membiarkan kalian mengganas dan membunuh rakyat secara sewenang-wenang dan kejam." Kemudian Adiguna menghampiri kedua orang gadis itu dan Sariwati lalu berlutut dan menyembah didepan pemuda itu sambil menangis. Bandini juga berlutut dan menyembah, akan tetapi ia tidak menangis, bahkan memandang kepada wajah pemuda itu dengan penuh kekaguman dan terima kasih.
"Den-Mas, saya menghaturkan beribu terima kasih atas budi pertolongan yang besar ini dan hanya Tuhan Yang Maha Agung yang akan membalas budi ini."
"Kau gagah sekali, Den-Mas, dan bolehkan kami ketahui, siapa nama Den-Mas yang gagah ini?" bertanya Bandini dengan berani. Sariwati mengerling tajam kepada adiknya untuk menegurkan akan tetapi sambil tersenyum dan merendahkan diri Adiguna menjawab,
"Silahkan kalian berdiri dan janganlah memberi penghormatan sebesar ini kepadaku. Aku bukanlah Raden-Mas dan bukan pula orang bangsawan, akan tetapi aku adalah orang kampung biasa seperti kalian. Namaku Adiguna dan aku adalah anak kemenakan Pak Wiryosentiko!" Kedua orang gadis itu memandang dengan penuh perhatian dan untuk kedua kalinya Adiguna tertegun melihat wajah Sariwati yang benar-benar amat cantik molek dalam pandangannya.
"Jadi" kau ini... anak yang hilang digondol harimau itu?" tanya Sariwati gugup. Ketika Adiguna mengangguk, Bandini segera bediri dan memandang dengan kagum.
"Ah" pantas saja kau sakti mandraguna, tidak tahunya kau telah diangkat anak oleh seekor harimau siluman yang sakti."
Gambar 0201 "Bandini!" seru Sariwati menegur, akan tetapi adiknya tidak memperdulikannya hanya memandang wajah Adiguna dengan kagum dan tersenyum-senyum manis.
"Hm, jadi namamu Bandini?" kata Adiguna kepada gadis hitam manis itu. "Dan siapakah nama kakakmu ini" Apakah kalian anak Mbok Rondo Kuning?"
"Mbakyuku ini bernama Sariwati dan ia cantik sekali."
"Bandini!" kembali mbakyunya menegur dan ketika Bandini dan Adiguna memandang, ternyata bahwa Sariwati telah menangis lagi dengan sedihnya.
"Kau mengapa, diajeng?" kata Adiguna menghibur.
"Ah, bagaimana dengan nasib kakakku Kencanawati" Den-Mas?"
"Jangan menyebut aku Den-Mas!" Adiguna memotong. Untuk sejenak Sariwati tak dapat berkata-kata dan memandang dengan bingung dan Bandini menolongnya.
"Kau harus memanggil Kang Mas, Mbak Sari!" Dengan muka merah Sariwati lalu berkata lagi,
"Kang Mas... mohon kau suka menaruh belas kasihan kepada kami dan tolonglah mbakyu Kencanawati. Dan Ibuku" Ibuku... ah..." Sariwati tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tangisnya datang lagi membuat ia terisak-isak.
Kini Bandini teringat kembali kepada Kencanawati dan kepada Ibunya, terutama sekali ia teringat kepada Bondan yang terbunuh mati, maka ia pun menangis dan tangisnya keras sekali. Adiguna mamandang bingung. Para perajurit telah pergi dari situ, bahkan yang tadi merangkak-rangkak keluar dari lumpur, telah ditolong oleh kawan-kawannya dan telah pergi semua hingga tempat disitu sunyi. Apakah yang harus dilakukannya" Kalau ke Waru untuk menolong Kencanawati, bagaimana dengan dua orang gadis ini" Bisa juga mereka disuruh pulung dulu ke Pakem, akan tetapi bagaimana kalau mereka ini bertemu dengan anak buah Galiga Jaya di tengah jalan" Akhirnya ia mengambil keputusan untuk mengantar kedua orang dara ini ke rumah pamannya dulu, baru kemudian ia kembali lagi dan menolong Kencanawati.
"Marilah kalian kuantar ke Pakem dan untuk sementara waktu tinggal dengan pamanku. Setelah itu aku akan mencoba menolong kalian." Oelh karena tubuh kedua orang gadis itu telah menjadi lemah saking takut dan menderita waktu mereka ditawan dan menjerit-jerit tadi, maka tentu saja mereka tak dapat berjalan cepat. Setelah hari menjadi senja, barulah mereka tiba di Pakem dan disambut oleh para penduduk kampung dengan riang gembira, akan tetapi mereka menjadi berduka ketika mendengar bahwa Kencanawati belum tertolong dari tangan Penewu Galiga Jaya. Adiguna lau menyerahkan kedua orang dara itu kepada paman dan bibinya Wiryosentiko, kemudia ia lalu berlari cepat menuju ke Waru untuk menolong Kencanawati.
Hari telah menjadi gelap ketika ia tiba di gedung Galiga Jaya. Ternyata bahwa Penewu Galiga Jaya telah bersiap sedia menanti datanganya serangan musuh, oleh karena ia telah mengatur barisan pendam (perajurit-perajurit bersembunyi) disekitar tempat itu hingga tadipun ia telah diberi tahu oleh penjaga terdepan bahwa anak muda yang gagah perkasa itu telah datang menyerbu seorang diri. Ketika dengan hati-hati Adiguna telah memasuki taman, tiba-tiba saja tamansari itu telah terkurung rapat oleh ratusan orang perajurit yang memegang tombak dan pedang hingga mereka merupakan pagar tombak yang amat kokoh kuat. Obor-obor dipasang dari sekeliling taman itu hingga keadaan di dalam taman menjadi terang dan tubuh pemuda itu nampak nyata di bawah sinar obor. Adiguna tidak menjadi jerih, bahkan lalu bertolak pinggang dan berteriak,
"Galiga Jaya, kalau kau memang seorang jantan dan sakti, keluarlah kau untuk mencoba tebalnya kulit kerasnya tulang dengan aku!"
"Adiguna, anjing kecil yang tak tahu adat! Kau kira aku takut kepadamu?" terdengar jawaban dari tempat gelap dan tiba-tiba tubuh Galiga Jaya yang tinggi besar lagi kuat itu melompat keluar. Penewu ini nampak menyeramkan sekali. Pakaiannya serba ringkas berwarna hitam, rambutnya yang panjang digulung ke atas dan diikat dengan kain wungu, sarungnya diikatkan kebelakang hingga nampak celana hitam sebatas lutut. Dadanya telanjang dan berbulu ditengah-tengah. Di kedua pergelangan tangannya nampak gelang akar cendana yang berwarna kehitam-hitaman, tangan kiri memegang sabuk lawe merah dan tangan kanan memegang sebatang keris luk tujuh. Adiguna masih saja tersenyum dan bersikap tenang, kemudian setelah Galiga Jaya berdiri dihadapannya dengan sikap yang mengerikan bagaikan seekor harimau haus darah, pemuda itu berkata mengejek,
"Galiga Jaya, kau mengandalkan pangkat dan kekuasaan untuk berlaku sewenang-wenang menindas rakyat kecil, menculik perawan-perawan dusun, membunuh kaum tani untuk melepas nafsumu yang jahat. Apakah kau tidak malu" Sebagai seorang pemimpin dan Penewu, kau seharusnya memberi contoh-contoh baik kepada rakyat agar rakyat hidup dalam keadaan tata tenteram kerta raharja. Kalau pemimpinnya berlaku sebagai seorang berandal perampok besar, apakah perampok-perampok dan maling-maling kecil takkan berkeliaran mencontoh perbuatanmu" Apa kau tidak takut kepada Sri Sultan yang arif bijaksana?" Bukan main marahnya Galiga Jaya mendengar ini, dan kedua matanya yang lebar menjadi merah ketika ia membentak,
"Babo, babo! Adiguna bocah kampung! Kau mengandalkan sedikit ilmu kepandaianmu untuk bersikap sombong! Kau ini orang macam apakah berani sekali membuka mulut besar dan berlaku sebagai penasihatku" Bangsat benar! Bukalah matamu dan lihat baik-baik! Ketiga anak perempuan itu adalah anak tiriku dan aku berhak untuk membawa mereka, siapa berani bilang bahwa aku menculik mereka! Kau pandai memutar lidah. Kaulah yang menculik Sariwati dan Bandini, dan kalau tidak lekas kembalikan kedua anak tiriku itu, kau akan mampus di ujung ribuan senjata! Aku membunuh orang-orang karena mereka telah memberontak dan berani melawan Penewu dan perajurit-perajurit Mataram. Mengapa Sri Sultan akan amarah kepadaku" Sudahlah, Adiguna, sayangi jiwa dan usia mudamu! Aku akan ampuni kau asal saja kau mengembalikan kedua orang puteri tiriku yang kau culik itu dan pergilah selanjutnya dari daerahku ini dengan aman!"
Biarpun ucapan Penewu itu terdengar seakan-akan ia berbaik hati dan berlaku murah kepada Adiguna, namun pada hakekatnya ucapan ini terdorong oleh rasa jerih menghadapi pemuda dan gagah dan sakti itu, walaupun belum boleh dianggap bahwa ia takut. Galiga Jaya adalah murid Panembahan Baudenda yang terkenal sakti dan yang bertapa di tepi sungai sebelah timur Gunung Lawu. Ia telah mempelajari berbagai ilmu kepandaian berkelahi dan aji kesaktian, serta sudah banyak mengalami pertempuran-pertempuran besar hingga kegagahannya membuat ia terpilih dan diangkat menjadi Penewu oleh Sri Sultan. Maka tentu saja ia tidak takut kepada seorang pemuda tanggung seperti Adiguna ini.
"Galiga Jaya!" jawab Adiguna yang sama sekali tidak marah mendengar dirinya dimaki-maki, "Jangan kau bicara seperti anak kecil. Semua orang tahu akan maksudmu yang keji dan kotor. Kau bertopeng hendak melindungi puteri tirimu, padahal sebenarnya kau hendak mengambilnya menjadi selir! Dan kau bahkan telah menyiksa isterimu Rondo Kuning dan yang lebih hebat lagi, kau telah menjatuhkan tangan kejam dan membunuh anakmu sendiri yang masih kecil. Lekas kau bebaskan Kencanawati agar aku dapat mengembalikannya kepada adik-adiknya dan selanjutnya jangan kau berbuat sewenang-wenang lagi!" Diingatkan akan pembunuhan terhadap Bondan yang tak disengaja itu, tiba-tiba Galiga Jaya menjadi pucat karena marah dan sambil berseru dengan geramnya ia lompat menerkam dan sekaligus menggerakkan dua buah senjata di kedua tangannya mengirim serangan hebat!
"Bagus!" seru Adiguna yang cepat mengelak karena ia maklum bahwa tidak saja sabuk lawe merah di tangan lawannya itu amat ampuh, juga keris luk tujuh itupun buka senjata sembarangan dan kehijau-hijauan itu saja menujukkan bahwa itu adalah senjata yang mengandung bisa! Galiga Jaya tidak memberi kesempatan kepada Adiguna untuk balas menyerang, ia memutar-mutar sabuk lawenya sedemikian rupa hingga menyambar-nyambar ke arah Adiguna, sedangkan kerisnya siap sedia menembus dada pemuda itu apabila kesempatannya terbuka baginya. Diam-diam Adiguna terkejut dan kagum melihat sepak terjang lawannya yang tangkas.
Ia maklum bahwa Penewu ini bukan seorang lawan yang lemah dan tidak boleh dibuat gegabah. Maka ia berlaku hati-hati sekali dan mempergunakan kesigapan dan kecepatan gerakannya untuk menghindarkan ancaman kedua senjata itu. Beberapa lama mereka bertempur di bawah sorak-sorai para perajurit yang masih mengurung denga obor di tangan kiri dan tombak di tangan kanan. Mereka bersorak gembira oleh karena melihat betapa pemuda pengacau itu tidak mendapat kesempatan untuk membuat serangan balasan. Memang, terjangan dan serbuan Galiga Jaya yang dilakukan bertubi-tubi itu tak memungkinkan Adiguna membuat serangan balasan. Biarpun dalam pandangan mata para perajurit, agaknya Galiga Jaya mendesak terus dan akan mendapat kemenangan, namun Penewu itu sendiri merasa terkejut dan kagum sekali.
Belum pernah selama hidupnya ia menghadapi seorang lawan yang memiliki kegesitan seperti Adiguna. Ia merasa seakan-akan sedang bertempur melawan sebuah bayangan. Semua serangannya gagal dan selalu mengenai angin! Keringat telah membasahi jidatnya. Sebaliknya, Adiguna juga merasa bahwa apabila dia hanya bertempur sambil mundur dan mengelak saja, akhirnya ia tentu akan kalah, karena selain menghadapi Galiga Jaya yang sakti, disitu masih berdiri ratusan perajurit yang tentu akan mengeroyok. Ia berpikir bahwa sebelum mereka itu bergerak, lebih baik berusaha merobohkan Galiga Jaya terlebih dulu. Maka Adiguna lalu meraih ikat kepalanya dan menarik ikat kepalanya yang berwarna biru. Ikat kepalanya adalah ikat kepala yang biasa dipakai oleh gurunya dan ketika hendak turun gunung, gurunya memberikan ikat kepala biru itu kepadanya sambil berkata,
"Muridku, kalau terpaksa engkau harus melawan seorang lawan tangguh dengan senjata, kau pergunakanlah ikat kepala ini yang mempunya daya melumpuhkan lawan, akan tetapi ingat, jangan sekali-kali engkau menewaskan nyawa lawan kalau tidak mempunya dasar yang kuat hingga engkau terpaksa menewaskannya. Kalau engkau sembarangan membunuh manusia, engkau akan terkena kutuk, Adiguna!" Kini menghadapi Galiga Jaya, Adiguna yang terdesak itu terpaksa menarik ikat kepala ini dari atas kepalanya dan memegangnya di tangan kanan pada ujungnya. Ketika keris luk tujuh di tangan Galiga Jaya menyambar, cepat bagai kilat Adiguna menggerakkan tanggannya dan ujung ikat kepalanya meluncur dan menangkis keris itu.
Sekali saja Adiguna menggentakkan tangannya, ujung ikat kepala itu membelit keris! Galigaya mengeluarkan suara ketawa keras dan ia mempergunakan tenaganya untuk membetok kerisnya agar ikat kepala lawan muda itu terbabat putus. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika mendapat kenyataan bahwa kerisnya sama sekali tak dapat dilepas dari belitan ikat kepala itu. Bahkan tiba-tiba terdengar Adiguna berseru keras dan menggerakkan tenaganya dan keris di tangan Galiga Jaya itu terlepas dari pegangan, karena dibetot oleh kain pengikat kepala di tangan Adiguna. Saking kerasnya Adiguna menarik, keris itu sampai terlepas dan meluncur cepat menancap di atas tanah! Galiga Jaya marah sekali dan memukul dengan sabuk lawe merah di tangannya, Adiguna menangkis dengan kebutan kain kepalanya.
Gambar 0202 Dua helai senjata ini bertemu dan Galiga Jaya merasa betapa lengan tangannya tergetar hebat! Ia makin marah dan penasaran sekali dan menyabet bertubi-tubi, akan tetapi kali ini Adiguna tidak hanya main kelit saja. Ia menangkis dengan ikat kepalanya dan bahkan membalas dengan serangan kebutan yang mendatangkan angin!. Sorak-sorai para perajurit tiba-tiba tak terdengar lagi ketika melihat betapa keris pusaka Penewu itu telah terpukul jatuh dan bahkan kini pemuda yang luar biasa itu mulai membalas dengan serangan-serangan yang tak kalah hebatnya. Mereka melihat betapa Penewu yang tinggi besar itu mulai terdesak mundur, agaknya tidak kuat menghadapai ikat kepala ditangan Adiguna! Beberapa orang perwira pembantu Galiga Jaya yang juga memiliki kepandaian, ketika melihat betapa pemimpin mereka terdesak,
Tanpa menanti perintah lagi, segera melompat maju sambil menghunus senjata masing-masing. Mereka ini terdiri dari tujuh orang perwira yang disebut Penatus, atau perwira yang mengepalai seratus orang perajurit dan rata-rata memiliki kepandaian bertempur yang lumayan juga. Milihat datangnya serbuan ini, Adiguna bergerak cepat. Sambil mengeluarkan ilmu pencak silatnya yang disebut "Joget Lutung Sakti", ia menyerang cepat sekali hingga ujung ikat kepalanya berhasil memukul pundak Galiga Jaya. Biarpun yang dipukulkan itu hanyalah sehelai kain pengikat kepala, namun akibatnya hebat sekali! Galiga Jaya merasa seakan-akan seluruh otot dan bayu di dalam tubuhnya diloloskan dan yang membuatnya menjadi lumpuh tak bertenaga! Ia jatuh mendeprok dan mendekam di atas tanah tanpa daya, mengeluarkan keluhan yang timbul dari rasa heran dan putus asa!
Ia maklum sepenuhnya bahwa apabila pada saat itu Adiguna menyerang dan menjatuhkan pukulan maut, ia tak akan dapat mengelak ataupun menangkis lagi. Maka ia lalu meramkan mata menanti jatuhnya pukulan dan menerima nasib. Akan tetapi, biarpun Adiguna amat benci kepadanya, dia tidak mau menjatuhkan pukulan maut, bahkan lalu membalikkan tubuh dan menghadapi serbuan tujuh orang perwira itu. Kini ia mengamuk bagaikan seekor naga sakti bermain dengan ombak laut. Kain pengikat kepala yang ampuh itu telah diikatkan kembali dan untuk menghadapi sekalian perwira itu, dia tidak perlu menggunakan senjata. Ia hanya pergunakan kedua tangan dan kakinya yang sudah lebih dari cukup untuk membuat para pengeroyoknya kocar-kacir dan jatuh bangun!
Akan tetapi, para pengeroyok datang bagaikan air membanjir, jatuh satu datang dua, jatuh dua datang empat dan roboh empat datang delapan! Adiguna mengerti bahwa kalau ia terus melayani mereka, ia akan kehabisan tenanga, dan pula hal ini akan berarti membuang-buang waktu dengan sia-sia. Maka ia lalu berseru keras dan dengan sebuah lompatan yang mentakjubkan para pengeroyoknya, pemuda sakti ini telah berhasil melompat dengan cepat melewati kepala para pengeroyoknya dan terus berlari menuju ke gedung Penewu! Setiap perajuit yang menghadangnya, dirobohkannya dengan sekali dorong atau sekali tendang. Ketika ia berhasil menyerbu masuk kedalam gedung dan langsung menuju ke ruang keputren, yakni tempat tinggal para selir dan isteri Penewu yang banyak sekali jumlahnya, ternyata bahwa disitupun terjadi keributan hebat!
Ketika Galiga Jaya berhasil membawa lari Kencanawati, ia masukkan dara itu ke dalam kamar dan membujuk-bujuknya agar dara itu suka menjadi selirnya. Biarpun Kencanawai memaki-maki dan menangis serta menyatakan tidak sudi, namun d depan Penewu itu, gadis ini tidak berdaya dan biarpun ia ingin sekali membunuh diri, namun tak berhasil karena Penewu itu keburu mencegahnya. Ketika serbuan Adiguna datang, maka Galiga Jaya lalu menyingkirkan semua benda yang kiranya dapat dipakai untuk membunuh diri, lalu meninggalkan Kencanawati setelah mengunci pintu kamarnya. Akan tetapi, setelah Penewu itu pergi, Kencanawat lalu melepaskan kembennya (sabuknya) dan menggunakan kemben itu untuk menggantung diri!
Dan ketika para selir mengintai dari balik daun jendela, mereka melihat bahwa tubuh Kencanawati telah bergantung dengan kaku dan tak bernyawa pula! Setelah mendapat keterangan dimana adanya kamar yang menjadi tempat tawanan gadis itu, Adiguna lalu menendang daun pintu hingga roboh dan ia berdiri diam bagaikan patung ketika menyaksikan pemandangan yang mengerikan itu. Tubuh dara yang cantik jelita itu ternyata telah tak bernyawa pula dan masih tergantung dengan leher terikat kemben! Dengan hati penuh iba, Adiguna melompat ke atas dan merenggut kemben itu terlepas dari tiang usuk. Cepat ia melepaskan kemben dari leher Kencanawati dan setelah mendapat kenyataan bahwa dara jelita itu benar-benar telah mati, Adiguna lalu memondong tubuh yang tak bernyawa pula itu dan berlari keluar dengan cepat sekali!
Para perajurit yang telah merasa jerih, tidak ada yang berani mencegahnya dan Adiguna lalu melarikan diri menuju ke Pakem dengan mayat dara itu di dalam pondongannya. Ketika ia tiba di Pakem, malam telah hampir lewat dan fajar telah mulai menyingsing. Penduduk dusun Pakem termasuk pamannya dan sekalian keluarga, juga Sariwati dan Bandini telah menanti di luar kampung. Tiba-tiba semua orang melihat dengan samar-samar diantara halimun menebal, sesosok bayangan orang berlari mendatangi dengan cepat sekali. Dan setelah bayangan itu berdiri di depan mereka, ternyata itulah orang yang mereka tunggu-tunggu, Adiguna. Akan tetapi, ketika melihat bahwa pemuda itu memondong tubuh seorang wanita yang telah lemas dengan rambut terurai, Bandini dan Sariwati menubruk maju dan menjerit,
"Mbakyu Kencanawati"!!" Jerit tangis yang memilukan terdengar ketika Adiguna menceritakan bahwa Kencanawati menggantung diri sampai mati di dalam kamar tahanannya di gedung Penewu. Sariwati bahkan sampai pingsan beberapa kali hingga ributlah semua orang dusun Pakem. Orang-orang telah mencari Rondo Kuning dengan tersebar, akan tetapi ternyata bahwa Ibu yang karena sedihnya menjadi seperti gila itu tak dapat ditemukan.
"Bagaimana kalau Penewu Galiga Jaya dan perajurit-perajuritnya datang mengejar dan menyerbu disini?" Pak Wiryosentiko menyatakan kekhawatirannya.
"Jangan khawatir, paman. Kalau keparat itu dan kaki tangannya datang mengejar, biarlah ananda yang menghadapinya!" jawab Adiguna dengan gagah.
"Adiguna" kata pamannya yang telah tua dan banyak pengalaman itu sambil menghela napas, "Aku percaya akan kesaktianmu. Akan tetapi, engkau hanya seorang diri, sedangkan Penewu mempunyai banyak perajurit. Bagaimana engkau yang hanya seorang diri ini dapat menghadapinya" Mungkin engkau sendiri dapat membela diri dan selamat, akan tetapi apakah engkau dapat menjaga keselamatan kami sekampung dan kedua orang gadis ini?" Setelah berpikir-pikir, Adiguna menganggap bahwa ucapan pamannya ini betul juga. Maka semua orang lalu mencari daya upaya untuk menghindarkan kedua orang gadis remaja itu dari bencana yang mengancam. Akhirnya Pak Wiryosentiko juga yang mendapatkan jalan terbaik.
"Baiknya begini saja, Guna. Jangan kepalang tanggung menolong keluarga Rondo Kuning. Kau bawalah kedua orang gadis ini ke tempat aman jauh letaknya dari sini. Kami akan mengubur jenazah Kencanawati yang akan kami kebumikan bersama-sama jenazah pemuda Sutadi yang juga telah diketemukan. Kalau Galiga Jaya menyerbu kesini, tentu dia takkan mengganggu kami asalkan engkau dan kedua orang gadis ini tidak berada di kampung Pakem." Semua orang menyatakan setuju, maka biarpun kedua orang gadis yang malang itu masih lelah sekali dan mereka tidak mau meninggalkan jenazah kakak mereka, namun mereka dipaksa oleh semua orang, bahkan Adiguna lalu berkata kepada Sariwati,
"Aku percaya bahwa kalian berdua mempunyai kebijaksanaan cukup untuk mengerti bahwa apabila Penewu jahanam itu melihat kalian berada disini, maka seluruh kampung akan tertimpa bencana. Apakah kalian tega melihat kehancuran penduduk sekampung ini?" Sariwati memandang pemuda itu dengan mata basah, kemudian dengan hati berat sekali ia membungkuk dan mencium sekali lagi kening jenazah kakaknya, lalu ia membetot tangan Bandini.
"Aku" aku telah siap," katanya dengan suara gemetar. Pada pagi hari itu juga, Adiguna kembali mengiringkan kedua orang gadis itu meninggalkan Pakem.
Sariwati dan Bandini sebenarnya telah lelah sekali hingga mereka merasa betapa kedua kaki mereka lemas tak bertenaga, sedangkan telapak kaki mereka yang berkulit tipis itu telah pecah-pecah. Kemarin mereka telah melakukan perjalanan jauh setelah menderita takut, kaget dan lelah ketika terculik, kemudian malam tadi sama sekali mereka tak dapat tidur. Kini pagi-pagi mereka telah diharuskan berjalan lagi, bukan berjalan di atas tanah yang halus dan baik, akan tetapi masuk keluar hutan yang penuh duri dan kerikil tajam, maka tentu saja mereka berjalan dengan sukar sekali! Hati Adiguna merasa kasihan sekali melihat kedua orang remaja puteri ini, terutama melihat Sariwati, biarpun gadis ini sedikitpun tak pernah mengeluh dan hanya berjalan sambil tertunduk. Sebaliknya Bandini mengeluh panjang pendek.
"Aduh, awak celaka! Aduh, tubuh sial! Mengapa nasibku sampai menderita semacam ini" Aduh, Dewata yang Agung, cabutlah saja nyawa hamba daripada menderita sengsara seperti ini." Kadang-kadang Bandini mengeluh dan menyebut-nyebut Ibunya sambil menangis,
"Ibu" Ibu" dimanakah engkau Ibu" Aku hendak ikut Ibu"!" Kalau Bandini menyebut-nyebut Ibunya, Sariwati lalu mendekap dan memeluknya sambil menangis dan keduanya lalu mogok berjalan, hingga terpaksa Adiguna menghibur dengan kata-kata halus. Ketika mereka berjalan di atas jalan yang penuh kerikil tajam, Bandini menyumpah-nyumpah,
"Bedebah! Kerikil kejam tak mengenal perikemanusiaan! Sudah tahu orang lagi sengsara masih menyiksa dan menusuk-nusuk kaki. Aduh" kakiku lecet-lecet dan sakit..." Bandini terhuyung-huyung dan hampir saja ia jatuh kalau Adiguna tidak lekas-lekas menangkap dan mendukungnya. Ketika merasa betapa enaknya didukung oleh sepasang lengan tangan yang kuat itu, Bandini menarik napas panjang dengan lega sambil memejamkan mata dan berkata,
"Ah... Kalau saja aku mempunyai seorang kakak yang berlengan kuat seperti ini, tentu ia akan mendukungku dan tidak membiarkan aku berjalan kaki hingga kakiku hancur-lebur." Adiguna tersenyum dan memandang wajah dara nakal yang hitam manis itu.
"Bagaimana kalau kau anggap aku kakakmu sendiri dan kau kudukung" Maukah kau?" Bandini mengangguk-anggukkan kepala dengan senang.
"Mau" mau sekali!" Tiba-tiba ia mengerling kepada Sariwati.
"Tapi" ah, turunkanlah aku. Kak Sari tentu akan marah dan memaki aku sebagai gadis genit seperti biasa! Biarlah kakiku hancur dan lecet-lecet! Biar kedua kakiku patah-patah, lebih baik begitu daripada kau dukung dan dimaki-maki oleh Mbak Sari yang galak!" Ia mencoba melepaskan diri, akan tetapi sambil tersenyum geli. Adiguna bertanya kepada Sariwati,
"Bolehkah dia kudukung" sebagai" sebagai kakaknya?" Sariwati merasa gemas melihat kenakalan dan kemanjaan adiknya, akan tetapi hatinya merasa kasihan juga melihat adiknya berjalan dengan sukar.
Dia sendiri merasa betapa sepasang kakinya sakit-sakit dan lelah sekali, maka ia lalu mengangguk perlahan tanpa mengeluarkan jawaban. Adiguna merasa kasihan sekali kepada Sariwati dan ia lalu berjalan perlahan disamping gadis itu sambil mendukung Bandini. Dan tak lama kemudian, Bandini telah jatuh pulas dalam dukungannya. Di dalam pulasnya, gadis cilik itu tersenyum! Beberapa kali Adiguna memandang wajah manis dalam dukungannya ini dan ia merasa, betapa bahagianya kalau ia mempunyai seorang adik seperti ini! Dia sendiri hidup sebatang kara, tak berayah tak beribu, tak bersaudara pula. Keluarga satu-satunya, Pak Wiryosentiko sekarang terpaksa ditinggalkannya pula. Ia menghela napas dan berkata kepada Sariwati yang berjalan dengan kepala tunduk, seakan-akan gadis ini sedang menghitung langkah kakinya,
"Diajeng Sari... adikmu ini manis dan jenaka sekali. Aku suka sekali mempunyai adik seperti ini!" Kata-kata yang dikeluarkan tanpa disadari artinya ini membuat Sariwati bermerah muka. Dan gadis ini yang merasa cinta sekali kepada Bandini, selalu tak dapat menahan senyumnya kalau orang bicara tentang Bandini yang nakal, kenes, akan tetapi mempunyai hati baik.
"Dia nakal, Mas. Bangunkanlah dia dan biar dia berjalan lagi."
"Ah, biarlah, diajeng. Tak apa, kasihan kakinya sampai pecah-pecah dan bengkak," kata Adiguna sambil memandang ke arah kaki Bandini. Sariwati memandang kepada pemuda itu dengan sinar mata mengandung pernyataan terima kasih besar dan kagum sekali.
"Kau baik sekali kepada kami, Mas Guna. Mengapakah?" Adiguna terkejut dan memandang. Sepasang mata bertemu yang membuat pemuda itu menjadi bingung, tak tahu harus menjawab bagaimana. Akhirnya ia dapat juga menentramkan hatinya yang berdebar, lalu berkata,
"Sudah menjadi tugas hidup setiap orang untuk menolong sesamanya yang sedang menderita sengsara, diajeng. Aku adalah orang biasa saja, tidak lebih baik daripada orang lain." Sariwati merasa terharu sekali dari dalam hatinya ia mengakui bahwa selama hidupnya belum pernah ia bertemu dengan seorang pemuda yang semulia ini hatinya, segagah ini sepak terjangnya dan setampan ini wajahnya!
"Kau tentu lelah, Mas. Marilah kita beristirahat dulu." Adiguna tidak tahu bahwa sebenarnya Sariwatilah yang merasa lelah, akan tetapi oleh karena gadis itu berbicara dengan sewajarnya, ia tidak mengerti dan menyangka gadis itu benar-benar khawatir kalau ia lelah.
"Aku sama sekali tidak lelah, diajeng. Jangankan baru berjalan sedemikian dekat, aku pernah berjalan kaki tiga hari tiga malam tanpa merasa lelah." Tanpa disengaja, entah mengapa dan berbeda dengan sikapnya yang biasa, ia telah membanggakan kepandaian dan kekuatannya kepada gadis itu! Di dalam hatinya Sariwati mengeluh. Tiga hari tiga malam berjalan kaki"
"Kau mau artikan bahwa selama tiga hari tiga malam kau sanggup berjalan kaki terus-menerus sambil mendukung orang?" Adiguna mengangguk sambil tersenyum. Hatinya membesar karena bangga.
"Tanpa merasa lelah?" tanya lagi dara itu. Kembali Adiguna mengangguk.
"Celaka," pikir Sariwati, Kalau pemuda ini mengajak ia bejalan terus selama tiga hari tiga malam, ia bisa mati sambil berjalan! Sedangkan sekarang juga kakinya telah menggigil karena lelahnya. Tiba-tiba Sariwati tersandung dan terhuyung ke depan. Adiguna terkejut dan hendak menolong, akan tetapi tak dapat karena ia sedang mendukung tubuh Bandini. Akan tetapi gerakannya ini membuat Bandini tersadar. Sariwati jatuh terduduk dan memijit-mijit kaki kanannya. Bandini segera turun dari dukungan dan menghampiri kakaknya.
"Mengapa, Mbak Sari" Kau jatuh?" tanyanya. Sariwati tidak menjawab, bahkan mengerling tajam dan cemberut kepada adiknya.
"Kenapa kakimu, diajeng" Sakitkah?" tanya Adiguna sambil membungkuk dan melihat kulit yang putih kuning dan halus itu.
"Entahlah, keseleo agaknya," kata gadis itu sambil memijit-mijit betis kakinya yang menjadi bunting. Terpaksa Adiguna membuang muka dan tak sanggup melihat betis itu lebih lama lagi karena terjadi sesuatu pada hatinya yang membuat dada kirinya berdebar keras! Bandini membantu kakaknya berdiri dan ketika dicoba berjalan, Sariwati terpincang dan sukar dapat melangkahkan kaki.
"Mbak Sari, engkau harus didukung! Kang Mas Guna kau dukunglah Mbak Sari. Kasihan, kakinya keseleo!" Adiguna bermerah muka dan merasa serba salah. Apakah yang harus dilakukan" Untuk mendukung Sariwati, tentu saja ia mau dan bahkan agaknya di saat itu tidak ada kegirangan yang lebih besar daripada mendukung tubuh itu dan merasai tubuh yang menimbulkan debar mengherankan pada jantungnya itu berada dekat-dekat dengan dirinya. Akan tetapi, ia tak kuasa mengucapkan kata-kata, malu untuk menawarkan jasanya.
"Mengapa, Mas Guna" Apakah engkau tidak mau menolong dan mendukung Mbak Sari?" tanya Bandini dengan wajah mengandung penasaran dan marah.
"Tentu aku mau!" jawab Adiguna cepat-cepat.
"Habis, tunggu apalagi" Dukunglah, lihat, kakinya juga pecah-pecah. Tidak kasihankah engkau kepadanya?"
"Bandini!" Sariwati mencela sambil memandang adiknya dengan tajam.
"Diajeng Sari, maukah engkau kudukung?" akhirnya dapat juga pemuda itu mengeluarkan kata-katanya.
Makin merah wajah Sariwati mendengar tawaran ini dan tanpa berani memandang, ia berkata lembut,
"Kalau engkau mau..."
Adiguna lalu membungkuk dan kedua lengan tangannya kuat memeluk belakang tubuh Sariwati, lalu diangkatnya tubuh itu dengan ringannya! Ia merasa betapa tubuh itu seakan-akan lebih ringan daripada tubuh Bandini, dan aneh sekali, kedua lengan tangannya gemetar ketika menyentuh tubuh darah ini. Sariwati merasa malu sekali hingga meramkan matanya, tidak berani membukanya, hanya merasa betapa tubuhnya kini merasa enak dan senang sekali. Lenyap seluruh rasa lelah yang tadi dideritanya! Ketika ia mencoba membuka mata, kebetulan sekali mata Adiguna yang berada dekat wajahnya sendiri itu sedang memandangnya. Kembali dua pasang mata beradu dan Sariwati cepat-cepat meramkan matanya lagi. Diam-diam Adiguna melirik ke arah kaki kanan gadis itu dan ia mendapat kenyataan, bahwa kaki itu sebenarnya tidak apa-apa!
Diam-diam ia merasa geli dan mendukungnya lebih erat lagi, seakan-akan ia merasa khawatir kalau-kalau tubuh yang didukungnya itu akan terlepas dan jatuh. Ia merasa seolah-olah mendukung sebuah benda yang tak bernilai harganya dan diam-diam ia bersumpah bahwa ia hendak membela tubuh yang didukungnya ini dengan seluruh badan dan nyawanya! Biarpun Adiguna membantu kedua remaja puteri itu didalam perjalanan, mendukung mereka silih berganti, namun terpaksa ia sering berhenti dan beristirahat, oleh karena kalau dipaksanya tentu mereka akan jatuh sakit karena lelah dan lapar. Mereka hanya makan buah-buah yang mereka dapatkan di sepanjang perjalanan. Apabila malam tiba, mereka bermalam di bawah pohon-pohon besar dan Adiguna selalu menjaga mereka dengan penuh perhatian hingga kedua remaja itu merasa berterima kasih sekali.
Hubungan antara Adiguna dan Sariwati tidak kaku lagi, bahkan apabila mereka bertiga berjalan melanjutkan perjalanan mereka, Bandini memegang tangan kiri Adiguna, sedang tangan kanan pemuda itu berpegang dengan tangan kiri Sariwati! Tanpa mengucapkan dengan mulut, antara Sariwati dan Adiguna terdapat jalinan kasih cinta yang mendalam. Pandang mata mereka jelas menyatakan suara hati dan masing-masing telah dapat menyelami isi hati tanpa mengeluarkan kata-kata. Apakah yang lebih meyakinkan dan jelas dari pertukaran pandang mata untuk menyatakan cinta kasih antara seorang pria dan seorang wanita" Bandini yang lincah dan kewat merasa suka sekali kepada Adiguna dan menganggapnya kakak sendiri.
Remaja puteri ini cerdik dan nakal, maka biarpun kedua muda-mudi itu tak pernah menyatakan perasaan cinta kasih mereka, baik dengan kata-kata maupun dengan perbuatan, namun Bandini sudah dapat menerka bahwa keduanya saling tertarik dan saling cinta. Hal ini menjadi bahan baginya untuk menggoda kakaknya, dan tiap kali ada kesempatan, tentu dia menggoda Sariwati dan Adiguna yang membuat Sariwati pura-pura marah dan Adiguna tertawa gembira! Pada hari ketiga, ketika mereka bermalam di sebuah hutan dan pada keesokan harinya pagi-pagi sekali melanjutkan perjalanan, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara mengaum yang keras sekali dan menggetarkan seluruh isi hutan! Bandini dan Sariwati terkejut sekali dan mereka memegang tangan Adiguna di kanan kiri sambil merapatkan tubuh kepada pemuda itu.
"Harimau," bisik Sariwati dengan tubuh terasa dingin, sedangkan Bandini telah menggigil ketakutan!
"Tenanglah," bisik Adiguna sambil melepaskan kedua tangannya yang terpegang erat-erat itu untuk bersiap sedia menghadapi serangan. Tiba-tiba rumpun alang-alang di sebelah kiri bergoyang-goyang dan Adiguna cepat memutar tubuhnya menghadapi alang-alang itu.
Sariwati dan Bandini cepat berlari di belakang tubuh Adiguna sambil mengintai dan balik punggung pemuda itu. Terdengar lagi auman keras, dan kini nampaklah kepala seekor harimau muncul dari alang-alang. Sepasang matanya yang bercahaya terang itu liar memandang, kemudian menatap wajah Adiguna yang berdiri tak bergerak. Akan tetapi, hanya sebentar saja mata harimau itu kuat beradu pandang dengan Adiguna dan terpaksa harimau itu mengalihkan pandang matanya ke bawah. Mata pemuda dihadapannya itu terlampau kuat dan tajam hingga membuat matanya terasa perih dan pedas. Ia lalu maju perlahan dan kini nampaklah tubuhnya yang tinggi dan besar seperti seekor anak sapi, kulit kuning dan loreng-loreng sedangkan perutnya yang kecil ramping itu mengempis, tanda bahwa ia sedang lapar sekali dan telah beberapa hari tak mendapat mangsa.
"Kang Mas Guna" hati-hati, mas"!" terdengar Sariwati berbisik gemetar oleh karena dara ini teringat betapa dulu pemuda pujaan hatinya ini pernah digondol macan. Dengan perasaan berterima kasih karena mendengar betapa suara gadis yang penuh kecemasan dan kekhawatiran terhadap dirinya itu terdengar mesra sekali, Adiguna tersenyum dan menyentuh tangan Sariwati yang terulur kepadanya.
"Jangan kau khawatir, diajeng!" Sambil berkata demikian, tangan kiri Adiguna tak disengaja meraba pundaknya dimana terdapat luka kecil bekas gigitan harimau yang menggodolnya ketika ia masih kecil dulu.
"Tinggal saja disini, jangan mendekat!" katanya lagi kepada Sariwati dan Bandini, kemudian dengan amat beraninya Adiguna melangkah ke arah kanan agar ia dapat melayani terjangan binatang itu di tempat yang agak lega dan jauh dari kedua dara itu.
Melihat betapa calon korbannya melangkah ke kanan, harimau itu bergerak mengikuti dengan tindakan perlahan dan dari hidungnya keluar suara menghembus-hembus. Kedua matanya memandang kepada Adiguna, akan tetapi tidak secara langsung, bagaikan mengerling dari bawah dan selalu menghindari pandang mata pemuda itu. Ekornya menjungat ke atas, tak bergerak, tanda dari ketegangan hatinya. Tiba-tiba harimau itu merendahkan diri, masih maju perlahan, akan tetapi perutnya hampir menempel tanah, kedua matanya memandang tajam. Kemudian, tiba-tiba sekali sambil mengeluarkan gerengan keras dan menyeramkan, ia melompat tinggi dan menerkam ke arah leher Adiguna. Bandini memekik lalu menubruk Sariwati untuk menyembunyikan mukanya di dada kakaknya itu. Sariwati mendekapnya, akan tetapi gadis ini dengan mata terbelalak memandang ke arah Adiguna sambil menjerit ngeri,
"Awas, Mas...!" Adiguna bersikap tenang-tenang saja. Sambil melangkah ke kiri dengan cepat, ia dapat menghindarkan diri dari terkaman pertama itu dan tak lupa ia melirik ke arah Sariwati sambil tersenyum membesarkan hati dan berkata lembut,
"Jangat takut, Sari!"
Gambar 0203 Ketika terkamannya dielakkan oleh lawannya, harimau itu cepat membalikkan tubuh dan kini ia menjadi marah sekali. Ia mendekam, mengerahkan seluruh tenaga pada kaki belakangnya, kemudian mengejot tubuhnya tinggi-tinggi, menerkam lagi dengan lebih hebat dan cepat daripada tadi! Adiguna menyuruk maju ke depan di bawah tubuh harimau itu, lalu cepat membalikkan tubuh hingga ketika harimau itu melompat turun, ia berada dibelakang harimau dan sekali ia mengangkat kaki menendang, tubuh itu terpental jauh dan bergulingan!
Bukan main besar hati Sariwati melihat ini. Matanya terbelalak kagum dan bangga, sungguhpun hatinya masih dak-dik-duk, karena khawatir sekali melihat betapa ketika menerkam, kuku-kuku harimau itu terulur panjang sedangkan mulut harimau itu meringis memperlihatkan gigi yang tajam-tajam mengerikan! Harimau itu geram sekali. Ia menggereng keras dan setelah ia dapat berdiri kembali, ia segera menubruk lagi, kini lompatannya rendah dan langsung ke depan hingga tidak memungkinkan Adiguna untuk menyusup ke depan seperti tadi. Pemuda itu tidak kurang akal. Ia mempergunakan ilmu kepandaiannya melompat tinggi ke kanan dan dan sambil melompat dan miringkan tubuh hingga lagi-lagi terkaman harimau itu tidak mengenai tubuhnya,
Ia mengulur tangan dan berhasil menangkap ekornya hingga tubuh harimau itu rebah miring dan cepat-cepat ia memukul dengan tangan kanan ke arah leher binatang itu. Akan tetapi, harimau itu bukanlah lawan yang ringan. Sambil menggerakkan tubuh dan menundukkan kepala, ia mencoba untuk mengelakkan pukulan Adiguna hingga pukulan itu meleset dan hanya menyerempet pundak binatang itu saja. Namun pukulan ini biarpun hanya menyerempet kulit, cukup membuat binantang itu menggerung kesakitan dan sekali meronta ekornya dapat terlepas dari pegangan Adiguna. Kini harimau itu lebih berhati-hati karena agaknya ia maklum bahwa pemuda yang menghadapinya dengan tenang ini bukanlah seorang yang mudah saja dicalonkan menjadi pengisi perutnya!
Ia mulai berjalan memutar dan berusaha menghampiri Adiguna dari belakang! Bandini yang kini berani mengangkat muka dan memandang, merasa ngeri sekali. Tidak seperti ketika menyaksikan Adiguna berlagak melawan para perajurit Penewu dulu, kini ia betul-betul merasa ngeri melihat harimau itu, hingga bukan saja ia tidak bergembira melihat pertempuran ini, bahkan ia memandang takut-takut dan memeluk mbakyunya erat-erat. Sebaliknya, makin lama kekhawatiran Sariwati melenyap dan pandang matanya makin kagum dan makin mesra terhadap Adiguna. Alangkah gagahnya pemuda itu, pikirnya. Segagah Arjuna, tiada keduanya di dunia ini! Sementara itu, Adiguna mengikuti harimau yang berputar-putar berusaha mengelilingi dirinya. Ia juga ikut berputar hingga harimau itu sudah mengelilingi dirinya dua 1.
"Heh, bedebah pengecut!" Adiguna berkata mengejek sambil mengernyitkan hidung kepada harimau itu. "Kau tidak berani menyerang dari depan" Baiklah, seranglah dari belakang!" Ia lalu berdiri diam dan tidak mau mengikuti harimau itu berputar lagi.
"Awas, Kang Mas!" teriak Sariwati karena hatinya menjadi cemas lagi melihat betapa Adiguna berlaku sembrono dan terlalu berani. Akan tetapi, pada saat itu harimau tadi telah melompat dan menubruk dari belakang tubuh Adiguna! Namun, kini Adiguna memperlihatkan kegagahannya yang luar biasa. Ia membalikkan tubuh dan tidak mengelak, akan tetapi sebaliknya, secepat kilat ia mengirim serangan untuk menyambut terkaman itu!
Serangannya ini adalah ilmu pukulan yang disebut Raksa Rodra (Beruang Buas). Kedua tangannya bergerak demikian cepat dan kuatnya hingga pukulan tangan kiri sekali gerak dapat menyampok kedua kaki depan harimau yang mencakar dan pukulan tangan kanan dengan tenaga penuh menghantam muka harimau itu, tepat di pangkal matanya. Harimau itu seperti terkena sambaran petir. Ia meraung keras dan tubuhnya berguling-guling sampai merupakan buntalan kain loreng-loreng yang bulat digelundungkan. Setelah tubuhnya itu menabrak sebatang pohon jati, barulah tubuhnya berhenti bergulingan. Ia berdiri lagi dengan kepala pening, karena untuk beberapa lama ia hanya mengeluh dan menggereng-gereng. Agaknya pandang matanya nanar dan segala yang dilihatnya berputaran!
Pukulan yang baru diterimanya tadi benar-benar hebat dan belum pernah ia terpukul sekeras itu. Sebetulnya, keberaniannya telah lenyap dan ia merasa jerih menghadapi pemuda itu, akan tetapi oleh karena perutnya merasa lapar sekali, ia menjadi nekat. Ia mulai menoleh ke kanan kiri dan tiba-tiba ia melihat dua orang gadis yang duduk berpelukan di bawah pohon. Kebetulan sekali ketika ia terpukul dan terlempar bergulingan, ia terlempar ke arah tempat dua orang gadis itu, hingga kini jarak antara dia dengan tempat mereka lebih dekat daripada jarak antara Adiguna dengan tempat mereka! Ia mengaum sekali lagi keras-keras dan tiba-tiba ia berlari ke arah kedua gadis itu! Bandini memekik keras dan tiba-tiba kedua kakinya seakan-akan lumpuh hingga ia terguling jauh dan lekas-lekas dipeluk oleh kakaknya, sedangkan Sariwati berseru,
"Kang Mas" lekas, tolong"!" Biarpun telah mempunyai perasaan benci terhadap harimau, namun tadi Adiguna tidak mempunyai niat untuk membinasakan harimau ini. Akan tetapi setelah melihat betapa binatang itu dengan ganas dan buasnya lari hendak mengganggu Sariwati, Adiguna menjadi marah sekali.
"Binatang keparat!" Ia memaki dan tubuhnya melompat cepat sekali hingga sebelum harimau itu sempat menubruk Sariwati dan Bandini, Adiguna telah menubruknya dari belakang dan memeluk pinggangnya. Tubrukan ini keras sekali hingga binatang itu terguling dan Adiguna tetap memeluk pinggangnya dan terguling bersama!
Harimau itu mencoba untuk memberontak dan ketika ia mencakar dengan keempat kakinya, kaki belakangnya mencakar paha Adiguna dan pemuda ini merasa pahanya perih! Makin marahlah Adiguna dan ia lalu bangun berdiri dengan harimau itu masih dipeluknya hingga binatang itupun terbawa berdiri di atas kaki belakangnya! Demikian hebat tenaga Adiguna hingga harimau itu tak kuasa melawannya. Adiguna lalu melepaskan pelukan tangan kanan dan sekarang ia menggunakan lengan kanan yang kuat itu untuk memeluk dan menjepit leher harimau dari belakang, sedangkan lengan kirinya masih tetap memeluk pinggang. Ia mengerahkan tenaga, otot-otot pada lengan kanannya membusung dan tak lama lagi "Krak" patahlah leher harimau itu! Setelah Adiguna melepaskan bangkai harimau itu dan berdiri memandang bangkai lawannya, Sariwati berlari sambil memekik,
"Kang Mas... Kau... kau terluka hebat...?" Ternyata bahwa dara itu melihat betapa paha Adiguna berlumur darah hingga saking cemas dan kagetnya, ia lupa diri, berlari cepat dan segera berlutut dan memeluk kaki kanan pemuda yang terluka itu. Terharu sekali hati Adiguna melihat pernyataan cinta kasih yang suci murni ini. Ia segera membungkuk dan mengangkat bangun gadis itu dengan halus. Mereka berdiri berhadapan dan kedua tangan Adiguna masih memegang kedua bahu Sariwati dan dua pasang mata saling pandang dengan mesra, menyatakan perasaan hati masing-masing dalam seribu satu bahasa gagu! Bandini yang melihat keadaan mereka itu, lalu datang berlari-lari. Kini gadis cilik ini tidak takut lagi dan ia tertawa-tawa dan menari-nari mengelilingi kedua teruna remaja itu.
"Bagus, bagus! Kalian kini menjadi mimi dan mintuna seperti Kamajaya dan Kamaratih!"
"Hush, Bandini! Jangan kau berlaku nakal dan main-main! Tidak kau lihatkah betapa Kang Mas Adiguna menderita luka parah?" Teringat akan luka itu Sariwati lalu berlutut kembali untuk memeriksa paha yang terluka, dan karena biarpun luka itu sedikit saja akan tetapi mengalirkan banyak darah hingga lukanya tertutup, maka Sariwati menyangka bahwa luka dipaha Adiguna parah.
"Tidak apa-apa diajeng. Hanya luka kecil saja dan tidak berarti."
"Kaki berlumur darah dan kau bilang luka kecil tidak berarti apa-apa?" mencela Sariwati dan gadis lalu melepas kembennya (sabuknya) yang terbuat dari sutera hijau untuk dipotong sedikit pada ujungnya.
Ia mempergunakan giginya yang putih dan kuat menggigit pinggir kemben lalu merobeknya. Setelah membetulkan kembennya dengan baik-baik, ia lalu mempergunakan potongan kemben itu untuk membalut luka di paha Adiguna yang masih berdiri sambil menundukkan kepala memandang gadis kekasih yang cantik ini. Dari atas ia melihat alis yang hitam indah dan hidung yang lurus dan memancung, melihat potongan tubuh yang menggairahkan hingga diam-diam ia makin kagum melihat keindahan bentuk tubuh dan kecantikan Sariwati yang dianggapnya sempurna tanpa cacat itu. Ia merasa berterima kasih sekali kepada sepuluh jari tangan yang kecil-kecil dan berkulit halus, jari-jari runcing yang membalut pahanya dengan cekatan dan sentuhan mesra. Setelah selesai membalut paha yang terluka itu, Sariwati bangun berdiri dan mukanya memerah.
"Terima kasih, diajeng," bisik Adiguna.
"Kami yang harus berterima kasih kepadamu, bukan kau!" kata Sariwati. Kemudian ia memandang khawatir, "Bagaimana Kang Mas. Sakit sekalikah kakimu" Apakah kau dapat berjalan" Atau, akan lebih baikkah kalau kita istirahat dulu agar kakimu sembuh kembali?" Adiguna memandang dan tersenyum mendengar pertanyaan-pertanyaan yang dihujankan oleh gadis itu. Ia menggeleng-geleng kepala dan menjawab,
"Kakiku tidak apa-apa. Kalau lukanya lebih besar dan patah sekalipun, mendapat rawatanmu dan dibalut oleh tanganmu yang halus lembut itu, tentu akan sembuh juga seketika! Mari kita lanjutkan perjalanan agar lekas sampai di tempat tujuan."
"Kemanakah kau hendak membawa kami pergi, Kang Mas?" tanya Sariwati.
"Tidak ada tempat yang lebih aman daripada tempat tinggal guruku," jawabnya.
"Gurumu" Apakah gurumu siluman macan yang menggondolmu dulu?" Bandini bertanya sambil membelalakan matanya yang hitam lebar karena kengerian. Juga Sariwati memandang penuh pertanyaan.
"Bukan, guruku bukan siluman, juga bukan macan! Beliau adalah Sang Panembahan Sidik Paningal atau lebih terkenal dengan sebutan Eyang Sidik, yang tinggal di lereng Gunung Lawu."
"Jadi gunung ini adalah Gunung Lawu?" tanya Bandini lagi. Memang benar, mereka telah tiba di kaki Gunung Lawu yang mengandung banyak hutan-hutan liar. Perjalanan menjadi makin sukar, akan tetapi berkat ketangkasan Adiguna yang tak segan-segan untuk memondong mereka seorang demi seorang apabila melintasi jurang yang berbahaya, dan berkat keteguhan hati kedua remaja puteri yang tidak bersikap manja itu, akhirnya sampai juga mereka di lereng gunung dengan selamat. Ketika Adiguna tiba di depan gua tempat tinggal Eyang Sidik, panembahan tua dan sakti itu kebetulan sekali tengah duduk di depan guanya. Ia menyambut muridnya dengan senyum dikulum.
"Wahai, Adiguna muridku, kau sudah kembali lagi" Dan siapakah gerangan dua orang puteri yang ikut datang bersamamu ini?" Sambil menyembah dan berlutut, Adiguna menceritakan pengalamannya selama meninggalkan perguruan. Panembahan Sidik Paningal mengangguk-anggukkan kepala dan akhirnya berkata kepada dua orang gadis itu.
"Memang betul apa yang direncanakan oleh Adiguna, angger. Kalian berdua lebih baik untuk sementara waktu tinggal dulu disini bersama Eyang." Sariwati dan Bandini berlutut dan menyembah. Semenjak pertama kali melihat panembahan yang bermuka terang dan agung itu, mereka merasa tunduk dan menghormat sekali.
Dari pandangan pertama mereka dapat menduga bahwa panembahan itu tentu seorang suci yang patut dihormati dan dapat dipercaya penuh. Kemudian, atas perintah Panembahan Sidik Paningal, Adiguna lalu membangun sebuah pondok sederhana dari bambu dan kayu gunung beratapkan ilalang kering. Biarpun pondok ini sederhana sekali, namun cukup untuk tempat tinggal kedua orang perawan itu. Mereka suka benar tinggal di tempat itu, oleh karena selain berhawa sejuk segar, juga tentram dan kaya akan tamasya alam yang indah. Kepada orang-orang tani yang kebetulan melihat kedua orang gadis itu, dengan singkat Eyang Sidik memberi tahu bahwa mereka adalah dua orang keluarga Adiguna yang datang kesitu untuk menjadi muridnya. Ucapan ini bukanlah bohong semata, oleh karena memang kedua kakak beradik itu semenjak datang mempelajari ilmu dari Panembahan Sidik Paningal.
Bandini yang merasa sakit hati dan benci melihat kekejaman orang-orang yang telah menghancurkan kebahagiaan keluarganya menaruh hati dendam dan dia bercita-cita menjadi seorang pendekar wanita seperti Srikandi, Mustokoweni, atau Larasati yang kegagahannya tidak kalah oleh pria. Eyang Sidik yang mengetahui sifat gadis ini tidak segan-segan memberi pelajaran olah keperwiraan, sedangkan Sariwati yang lebih halus dan lemah lembut serta mempunyai bakat sebagai ahli tapa yang teguh iman dan kuat kemauan, mendapat latihan aji kesaktian berdasarkan ilmu batin. Sementara itu setelah bermalam tiga hari di tempat gurunya, Adiguna lalu diperintahkan untuk turun gunung lagi oleh Eyang Sidik, agar supaya pemuda itu dapat meluaskan pengetahuan dan mencari pengalaman serta mengulurkan tangan membela dan menolong mereka yang tertindas dan menderita sengsara.
"Kau perlu datang ke Pakem lagi, Adiguna, karena aku khawatir sekali kalau-kalau Penewu itu menjatuhkan tangan jahat kepada penduduk disana sebagai penumpah amarahnya kepadamu." Adiguna maklum akan kesaktian gurunya dan ia tahu pula bahwa gurunya itu mempunyai pandangan yang tajam sekali. Apa yang diucapkan oleh kakek sakti ini selalu terbukti, maka tanpa membuang waktu lagi, ia segera turun gunung. Sebelum ia pergi, ia berhasil menemui Sariwati.
"Diajeng, jagalah baik-baik dirimu dan adikmu disini dan jangan kau khawatir, karena dalam perlindungan Eyang Panembahan, kau dan adikmu takkan menemui bencana sesuatu. Aku takkan lama pergi dan segera aku akan kembali lagi, diajeng."
"Kakang Mas, berjanjilah sekali lagi bahwa kau akan kembali!" Adiguna melangkah maju dan tanpa ragu-ragu lagi ia memegang kedua tangan dara itu. Mereka berpegangan tangan dan getaran yang keluar dari hati mereka melalui tangan itu menceritakan kepada masing-masing akan perasaan hati mereka.
"Aku bersumpah, diajeng, bahwa aku pasti akan kembali kepadamu."
"Aku akan selalu mengenangmu, Kang Mas, dan aku akan bersetia menantimu sampai datang ajalku!"
"Diajeng... Terima kasih atas cinta kasihmu yang besar ini." Kedua berpegang tangan dan berdiri dan tak bergerak, hanya saling pandang dengan mesra. Akhirnya Sariwati melepaskan tangannya dan berkata lirih.
"Jangan lupa untuk mencari tahu tentang keadaan Ibu, Kang Mas."
"Tentu, diajeng, tentu. Aku takkan melupakan hal penting itu." Maka akhirnya berangkatlah Adiguna, diikuti pandang mata kekasihnya.
Pada masa itu, daerah Mataram amatlah luasnya. Daerah sebelah selatan meluas sampai kepinggir Laut Kidul, laut yang bergelombang besar dan dahsyat, laut yang tak pernah diam airnya, yang selalu melempar ombak ke pantai dan siang malam tiada hentinya ombak memukul batu-batu karang di pingir laut, menerbitkan bunyi menggelegar bagaikan ratusan raksasa mengamuk dan saling bunuh sambil mengeluarkan teriakan-teriakan menyeramkan. Semua orang merasa seram dan takut apabila melihat Laut Kidul, laut yang pusat perhatian para pertapa, laut yang terkenal Nyai Roro Kidul, Ratu wanita yang menguasai laut luas itu dengan anggauta yang menyeramkan oleh karena tentaranya bukanlah manusia biasa, melainkan para siluman dan dedemit.
Nyai Roro Kidul menjadi tokoh besar sebagai Ratu iblis dan setan, seperti Sang Batari Durga di jaman pewayangan! Semua orang yang tinggal di dekat pantai laut, tiap malam Selasa dan malam Jum"at, tak pernah lalai dan lupa untuk membakar dupa dan menyajikan kembang rampai untuk menghormat dan memuja Nyai Roro Kidul yang terkenal sakti dan gaib itu. Pada suatu hari, diantara batu-batu karang yang menghitam dan telah licin mengkilat karena tiap saat disiram air laut yang datang bergelombang, nampak sesosok bayangan orang berjalan terbungkuk-bungkuk dan terhuyung di tepi laut. Bayangan ini jelas sekali merupakan bayangan seorang wanita dan kalau pada saat itu ada orang yang melihatnya dari jauh, maka tentu orang itu tak akan ragu lagi bahwa yang sedang berjalan itu adalah Nyai Roro Kidul sendiri.

RONDO KUNING MEMBALAS DENDAM JILID 03

Kalau orang yang melihatnya itu akan mendekat, maka ia akan merasa ngeri dan terkejut sekali, oleh karena wanita ini selain rambutnya yang hitam dan panjang itu terurai kebelakang dan tak terurus dan pakaiannya compang-camping, juga mukanya yang nyata cantik sekali itu nampak mengerikan. Kedua matanya memerah, pipinya yang kuning itu memucat, mulutnya dengan bibir berbentuk indah dan merah warnanya itu menyeringai seakan-akan ia menderita kesakitan hebat, sedangkan peluh dan debu telah mengotori mukanya hingga corang-coreng tidak karuan. Titik-titik air mata mengering di kedua pipinya.
Yang lebih mengerikan adalah bahwa wanita yang paling banyak berusia tiga puluh lima tahun ini, menggendong seorang anak kecil. Bukan, bukan anak lagi, melainkan sebuah mayat anak kecil yang telah mulai rusak dan menyiarkan bau busuk! Wanita itu adalah Rondo Kuning, yang telah menjadi gila oleh karena kesedihan dan kehancuran hatinya melihat puteranya, Bondan, mati terbunuh oleh kepalan tangan Ayah anak itu sendiri, Penewu Galiga Jaya! Juga karena terlalu mengkhawatirkan keadaan ketiga orang puterinya, terutama Kencanawati, maka wanita yang malang ini menjadi berubah pikiran. Ia melarikan diri dari Pakem sambil menggendong, menciumi dan menangisi mayat Bondan, terus berlari ke selatan dan menangis disepanjang jalan. Sebentar-bentar menangisi anaknya, sebentar tertawa tergelak-gelak atau terkekeh-kekeh sambil memaki-maki Galiga Jaya!
Orang-orang yang bertemu di jalan lari menjauhi dengan hati ngeri dan takut. Berhari-hari bahkan berpekan-pekan Rondo Kuning berjalan kaki terus menuju ke arah selatan tanpa tujuan tanpa kehendak dan apabila ia merasa lapar, ia makan apa saja yang ditermukan. Daun-daun pohon, akar-akar, buah-buah, bahkan kadang-kadang ada ulat yang dimakannya! Tiada hentinya ia menimang-nimang Bondan yang sudah menjadi mayat itu dan tentu saja mayat itu rusak dan menyiarkan bau busuk hingga keadaannya sungguh mengerikan dan menyedihkan! Oleh karena lelah dan lapar Rondo Kuning lalu menjatuhkan diri berlutut diatas pasir yang halus dan bersih itu, melempar-lempar batu karang yang terdapat dibeberapa tempat, lalu menurunkan mayat Bondan dan menidurkan sambil mulutnya mengeluarkan bunyi sebagaimana biasanya Ibu menidurkan anak,
"Ssh" ssh" ssh?" dan tangan kanannya dengan mesra dan lemah lembut menepuk-nepuk paha mayat anaknya yang mulai keriputan itu! Kebetulan sekali pada waktu itu, air laut sedang surut hingga, air laut tidak sampai ke atas pasir dimana Rondo Kuning menidur-nidurkan anaknya. Kemudian, karena terlampau lelah, Rondo Kuning lalu membaringkan tubuhnya di sebelah mayat Bondan dan jatuh pulas. Tak terasa lagi, malam tiba dengan cepatnya menggantikan siang. Bulan muncul menggantikan malam hari yang agaknya merasa terlalu ngeri dan kasih melihat keadaan Rondo Kuning, hingga ingin buru-buru bersembunyi agar tak usah terlalu lama melihat keadaan wanita yang mengharukan itu!
Gambar 0301 Dan bersama dengan munculnya bulan, datanglah air laut yang bergulung-gulung bagaikan pasukan besar iblis dan demit dari Laut Kidul keluar hendak menyerbu musuh! Tanpa mengenal kasihan, gulungan air itu menimpa tubuh Rondo Kuning dan mayat anaknya. Untuk sesaat tubuh wanita itu lenyap ditelan air, seakan-akan telah dimakannya dan tak akan muncul lagi, akan tetapi ketika air menipis dan hanyut kembali ke laut, nampak tubuh Rondo Kuning yang gelagapan itu merangkak bangun. Cepat ia melihat ke arah anaknya dan alangkah kagetnya ketika melihat bahwa anaknya telah dibawa oleh air ke tengah laut.
"Ha... Ha?" pekiknya nyaring sekali, mengalahkan deru ombak Laut Kidul, "Kembalikan anakku" hai...! Jangan bawa anakku...! Hayo kembalikan...!" Dan tanpa memperdulikan datangnya gulungan ombak yang baru, Rondo Kuning lalu berlari-lari di air yang selutut dalamnya itu, mengejar tubuh anaknya yang mengambang di air, sambil memaki-maki. Akan tetapi, gulungan ombak yang besar itu kembali menelan dirinya hingga ia menjadi gelagapan dan terbawa hanyut ke tepi lagi. Rondo Kuning tidak menjadi takut, bahkan lalu cepat merangkak bangun lagi dan melihat kearah dimana tadi tubuh anaknya mengambang. Akan tetapi, sekarang ia tidak melihat lagi tubuh kecil yang tadi masih mengambang itu. Maka ia menjadi makin marah dan penasaran.
"Hayo kembalikan anakku... Kembalikan"!" dan ia maju lagi dengan susah payah melawan aliran air. Ia terdampar air dan roboh lagi, bangun kembali, jatuh lagi, bangun kembali, terhuyung ke depan, terdampar ke belakang, maju lagi ke depan sambil mengulurkan tangan ke arah laut dan ke arah ombak yang datang bergulung-gulung dan menjerit,
"Bondan... Bondan anakku...! Tunggulah nak... Tunggulah Ibumu, Bondan... Bondan" Hai, jangan bawa anakku. Hayo kembalikan"!"
Rondo Kuning berlari-lari di air yang selutut dalamnya itu. Akhirnya, karena terlampau lelah jatuh bangun menjadi permainan ombak yang seakan-akan berubah menjadi iblis yang tertawa dan bersuka ria mempermainkan wanita yang malang ini, Rondo Kuning roboh pingsan di dalam gulungan ombak! Akan tetapi, agaknya Nyai Roro Kidul tidak menghendaki tubuh wanita ini hanya menghendaki mayat Bondan, karena ternyata bahwa ombak yang datang bergulung berikutnya telah melontarkan tubuh Rondo Kuning yang telah menjadi lemah tiada berdaya itu ke pantai, dimana tubuh itu jatuh di atas pasir dalam keadaan pingsan! Setelah mempermainkan Rondo Kuning, agaknya ombak tidak mengganas lagi seperti tadi, buktinya air ombak itu tidak sampai ke pasir dimana tubuh Rondo Kuning menggeletak bagaikan telah mati.
Pada keesokan harinya di waktu fajar mulai menyingsing dan matahari muncul dari ujung bulan lautan merupakan bola merah yang besar, bulat dan tidak bercahaya, tubuh Rondo Kuning yang menggeletak bagaikan mati itu bergerak-gerak. Dan agaknya penyakit gilanya menghebat oleh karena tiba-tiba ia merangkak bangun, berdiri sambil bertolak pinggang dan tertawa keras sekali seperti bukan suara manusia, kemudian tiba-tiba ia menjatuhkan diri berlutut di atas pasir, menghadapi lautan sambil menyembah, seakan-akan berhadapan dengan seorang yang berdiri di depannya dan yang hormati sekali! Dan lebih gila lagi, tiba-tiba ia berkata perlahan dan kalau kebetulan ada orang di dekatnya yang mendengar apa yang diucapkannya, tentu orang itu tidak akan ragu-ragu lagi bahwa wanita ini benar-benar telah gila!
"Baiklah Gusti Ratu!" katanya sambil menyembah dengan penuh khidmat. "Hamba menerima titah paduka dan perintah paduka akan junjung tinggi di atas kepala hamba. Hamba hanya mohon doa restu semoga hamba akan kuat menunaikan tugas dan menjalankan perintah paduka, Gusti!" Ia menyembah lagi, kemudian ia membentur-benturkan kepalanya di atas pasir hingga ketika ia mengangkat kepalanya kembali, jidat dan rambutnya yang terurai itu penuh dengan pasir halus. Ia duduk berlutut tak bergerak seakan-akan ada sesuatu yang di dengarnya dengan amat teliti, kemudian mulutnya kemak-kemik berkata lagi,
"Hamba rela, Gusti. Biarlah anak saya Bondan paduka ambil, asalkan hamba diberi kesempatan untuk membalas dendam!" Setelah menyembah lagi berkali-kali, agaknya gilanya berubah lagi. Ia lalu menangis tersedu-sedu dan meremas-remas rambutnya, lalu tertawa terkekeh-kekeh menyeramkan sambil berkata,
"Aws kau, Galiga Jaya! Awas kau" ha-ha-ha! Akan kubeset kulit dadamu, akan kurogoh jantungmu dan kumakan mentah-mentah! Ha-ha-ha!" Kemudian ia berdiri dan berjalan terhuyung-huyung ke darat. Seekor kepiting yang agaknya terbawa ombak ke tepi, terkejut meliha kedatangannya dan hendak melarikan diri, akan tetapi terlambat! Rondo Kuning mengejar dan sekali pijak saja remuklah tubuh kepiting itu. Dari tubuhnya keluarlah kepiting-kepiting kecil yang banyak sekali jumlahnya, mungkin ada ratusan. Roro Kuning lalu berlutut dan meraup kepiting kecil-kecil ini dan memasukkan ke dalam mulutnya, lalu dikunyah dengan enaknya sambil masih tertawa-tawa dan memaki-maki.
"Bangsat keparat Galiga Jaya! Enak sekali makanan ini, akan tetapi jantungmu yang penuh darah lebih enak lagi!" Ia lalu bangkit berdiri, membawa bangkai kepiting itu dan makan daging kepiting sambil tiada hentinya bicara seorang diri! Demikian, semenjak saat ini, Rondo Kuning nampak berkeliaran di dekat pantai,
Rambut riap-riapan, pakaian hampir telanjang, tubuhnya menjadi bongkok, seringkali tertawa terkekeh-kekeh atau memaki-maki dan kemudian menangis tersedu-sedu. Akan tetapi, ada kalanya ia tak keliahatan di pandai dan ternyata bahwa ia berada dalam sebuah gua yang angker dan menyeramkan di tepi pantai itu, gua karang yang pantas menjadi kediaman siluman dan iblis, duduk tak bergerak, kedua kaki bersila, kedua tangan dirangkapkan merupakan sembah dan ditempelkan di ujung hidung, bersamadhi dengan tekun, tak bergerak sampai kadang-kadang sembilan hari lamanya. Dan yang amat mengherankan ialah perubahan pada sepasang matanya yang dulu bersinar terang bersih dan berbentuk indah itu, kini berubah menjadi kemerah-merahan dan menyeramkan karena dari kedua mata itu memancar keluar sinar ganjil dan mengerikan!
Dengan pengaruhnya yang besar, Penewu Galiga Jaya lalu menyuruh para anak buah dan kaki tangannya untuk menyiarkan berita tentang ada pemberontakan di Pakem, dan ia sendiri membawa tiga ratus orang perajurit menyerbu ke Pakem!
Dengan ganasnya, Penewu itu melarikan kudanya, diikuti oleh barisannya menuju ke kampung Pakem dan langsung menuju ke rumah Pak Wiryosentiko, oleh karena dari para penyelidik dan mata-matanya, ia mendapat kabar bahwa Adiguna adalah kemenakan petani tua itu. Ketika ia tiba di pondok pak Wiryosentiko, petani ini dengan para tetangganya tengah sibuk mengurus jenazah Kencanawati dan Sutadi, pemuda tunangan Kencanawati yang tewas dalam tangan Penewu itu, karena Pak Wiryosentiko bermaksud hendak mengubur kedua jenazah itu dalam waktu yang sama dan menjajarkan kuburan kedua teruna remaja itu. Semua orang terkejut sekali melihat kedatangan Penewu Galiga Jaya, akan tetapi mereka berusaha sekerasnya agar dapat bersikap tenang, oleh karena memang telah dapat menduga akan datangnya serbuan ini.
"Pak Wiryosentiko! Dimana adanya bajingan besar, pemberontak kurang ajar itu?" bentak Galiga Jaya setelah turun dari kudanya dan bertolak pinggang di depan pintu. Pak Wiryosentiko dengan tubuh membungkuk-bungkuk memberi hormat, menjawab,
"Pemberontak yang manakah, gusti Penewu" Hamba tidak mengerti akan maksud paduka." Terputar kedua mata Galiga Jaya mendengar ini.
"Setan tua! Jangan kau mencoba berlaku cerdik! Siapa lagi kalau bukan keponakanmu si Adiguna itu" Hayo lekas panggil dia keluar, atau beritahukan dimana ia bersembunyi. Juga dimana kedua anakku si Sariwati dan Bandini" Awas, kalau kau membohong, tidak saja kau yang akan kubikin mampus, akan tetapi seluruh Pakem akan kumusnahkan!" Menggigil tubuh semua orang Pakem mendengar ancaman ini, bukan hanya karena takut dan ngeri, akan tetapi juga karena amarah yang ditahan-tahan.
"Hamba sekalian tidak tahu, gusti. Adiguna hanya datang menyerahkan jenazah Kencanawati dan minta agar supaya jenazah ini diurus baik-baik, kemudia ia meninggalkan dusun kami tanpa meberitahukan hendak kemana."
"Bohong! Kau juga ingin memberontak?" Sambil berkata demikian, Galiga Jaya mendorong orang tua itu sampai terjengkang dan jatuh dengan kepala menubruk daun pintu! Ketika pintu yang tertubruk kepala Wiryosentiko ini terbuka, Galiga Jaya lalu melangkah ke dalam rumah untuk memeriksanya sendiri, seakan-akan ia mengharapkan untuk melihat kedua gadis yang dicarinya dan Adiguna bersembunyi disitu. Akan tetapi ia hanya mendapatkan dua tubuh Kencanawati dan Sutadi yang telah menjadi mayat, berbaring terlentang dan bersanding dibalai-balai.
Sutadi Nampak tampan dan Kencanawati masih cantik jelita hingga keduanya merupakan pasangan yang cocok sekali. Melihat wajah Kencanawati, makin menyesal, kecewa dan marahlah hati Galiga Jaya. Terutama sekali ketika ia memandang ke arah jenazah Sutadi, timbul gemas dan cemburu mendesak dadanya, maka tanpa pikir panjang lagi ia lalu mengayun kakinya menendang balai-balai dimana mayat pemuda itu telentang. Kaki balai-balai dari bamboo itu patah dan mayat Sutadi terlempar bergulingan ke atas lantai. Kemudia sambil bersungut-sungut Galiga Jaya keluar lagi dari rumah itu mendapatkan Wiryosentiko yang telah berdiri lagi. Penewu itu memegang lengan tangan Pak Wiryosentiko dan memuntirnya kebelakang dengan kuat-kuat hingga petani tua itu wajahnya menggeliat kesakitan, akan tetapi tidak ada keluhan keluar dari mulutnya yang sudah ompong.
"Pemberontak tua! Kalau kau tidak lekas meberitahukan dimana adanya bangsat Adiguna dan kedua anakku yang diculiknya, akan kupatahkan lenganmu ini!"
"Hamba bersumpah bahwa hamba sungguh-sungguh tidak tahu dimana adanya mereka pada saat ini," jawab Pak Wiryosentiko dengan berani oleh karena ia benar-benar tidak membohong. Ia memang tidak tahu dimana Adiguna membawa pergi Sariwati dan Bandini. Galigaja marah sekali. Ia memutar lengan itu makin keras ke belakang dan "Krek" tulang lengan kakek tua itu patah. Pak Wiryosentiko hanya mengeluarkan keluhan.
"Aaah..." dan ia roboh pingsan, tak kuasa menahan rasa sakit yang menusuk jantungnya. Beberapa orang tetangga dan isteri Pak Wiryosentiko melangkah maju hendak menolong, Galiga Jaya segera membentak dan memerintahkan kepada anak buahnya,
"Periksa semua rumah di Pakem ini! Tanyai setiap orang laki-laki dimana adanya pemberontak itu. Mereka yang tidak mengaku, bunuh saja, karena mereka hendak membantu pemberontak itu!" Sambil berkata demikian, Penewu yang telah marah sekali ini menggunakan kaki dan tangannya memukul dan menendangi semua orang, termasuk Mbok Wiryosentiko yang hendak menolong Pak Wiryosentiko.
Sedangkan para perajurit dan mendapat tugas ini, mempergunakan kesempatan itu untuk mengumbar nafsu angkara murka mereka! Setiap rumah dimasuki, barang berharga digondol, wanita-wanita muda diganggu, laki-laki dibunuh dengan kejam, anak-anak gadis orang diculik dan dibawa lari! Pak Wiryo sentiko dan isterinya dibunuh mati oleh Galiga Jaya sendiri, juga anak laki-lakinya yang sudah kawin. Mantu perempuannya dilarikan oleh seorang perajurit. Gegap-gempita di desa Pakem! Jerit tangis membubung tinggi ke udara. Keluh kesah dan pekik kesakitan terdengar memenuhi kampung. Anak-anak lari kesana kemari, ada yang tertumbuk kuda yang ditunggangi oleh para perajurit yang tergesa-gesa melarikan harta atau gadis yang dirampasnya. Setiap orang laki-laki dewasa dan tua dibinasakan.
Maut mengamuk di Pakem dan sekejab saja, kampung yang tadinya tenteram dan aman itu berubah menjadi tempat penyembelihan yang mengerikan. Darah mengalir di setiap rumah dan dimana-mana. Suara isteri yang melihat suaminya mati terbunuh, gadis-gadis yang dilarikan, anak-anak yang ditinggal mati orang tua, serempak memenuhi angkasa dan menggelapkan cahaya matahari yang bersembunyi di balik awan tak tahan menyaksikan kekejaman luar biasa ini. Tiba-tiba terdengar Guntur menggelegar di angkasa dan sebentar lagi turunlah dengan derasnya sungguhpun cahaya matahari masih menerangi alam. Agaknya Yang Maha Kuasa tak rela menyaksikan sepak terjang makhluknya yang ganas ini. Terdengar kaki-kaki kuda berlari dan meninggalkan kampung Pakem. Galiga Jaya dan anak buahnya telah selesai melakukan pembersihan dan kembali ke Waru.
Disepanjang jalan, jerit tangis perawan-perawan desa yang diculik membuat air hujan menimpa turun makin deras. Ketika para iblis berbentuk manusia itu telah meninggalkan Pakem, dari luar dusun ini datang berlari-lari seorang pemuda yang bertubuh tinggi tegap dan berwajah gagah. Pemuda ini masih muda sekali, akan tetapi larinya cepat dan sinar matanya tajam. Dia ini bukan lain ialah putera bungsu Pak Wiryosentiko yang bernama Riyatman, seorang pemuda berusia tujuh belas tahun yang jarang berada di rumah, karena kesukaannya ialah merantau kedesa-desa lain, mencari sahabat-sahabat dan mempelajari ilmu olah keperwiraan. Di dalam usia semuda itu, Riyatman telah terkenal sekali karena ilmu kepandaian pencak silatnya yang hebat. Ia telah diaku menjadi "Jago" dari Pakem, bahkan berkali-kali ia telah mengalahkan jago-jago dari luar dusun, yakni dalam sebuah pertempuran mengadu ilmu.
Tiap kali mendengar bahwa di dusun lain terdapat seorang kuat dan jago pencak yang pandai, tentu ia datang ke dusun itu dan mengajak jago itu untuk bertanding kekuatan. Kalau ia memang, maka dengan segala suka hati tanpa disertai sikap sombong, ia mengganggap jago yang dikalahkannya itu sebagai kawan baik dan anak buahnya. Sebaliknya kalau ia kalah, tanpa merasa dengki, ia tidak segan-segan untuk berlutut menyembah dan mengangkat guru pencak itu sebagai gurunya! Dengan sikapnya yang baik ini, Riyatman disukai sebagai seorang pemuda yang gagah perkasa dan jujur, dan ilmu kepandaiannya makin meningkat saja. Akan tetapi, karena ia jarang berada di rumah dan jarang sekali mau membantu pekerjaan disawah, Ayahnya seringkali marah sekali dan memakinya.
"Anak tiada guna!" makinya, "Apakah kau kelak hendak menjadi tukang pukul" Apakah semua kepandaian bermain pukulan itu dapat kau makan dan mengenyangkan perutmu yang gembul itu?" Riyatman hanya tertawa dan memandang wajahnya Ayahnya dengan muka terbuka dan terang, hingga Ayahnya tersenyum juga dan selalu marahnya dilenyapkan oleh pandangan mata Riyatman yang disertai senyumnya. Ketika terjadi peristiwa maut di dusunnya, Riyatman sedang berada di sebuah dusun tak jauh dari Pakem, bergembira ria dengan kawan-kawannya, pemuda-pemuda di kampung itu. Tak lain yang mereka bicarakan adalah tentang ilmu berkelahi atau membicarakan ayam-ayam jago aduan yang juga menjadi kegemaran Riyatman. Pemuda ini memang suka mengadu jago, oleh karena ia tertarik sekali akan lagak dan sepak terjang ayam-ayam jago itu di dalam perkelahian.
Ia menganggap bahwa diantara segala mahluk ayam jago adalah mahluk yang paling gagah berani! Ketika itu, Riyatman dan kawan-kawannya menerima kedatangan seorang bercambang bauk yang membawa seekor jago adu. Si cambang bauk ini datang dari timur dan logat bicaranya yang kaku itupun menjadi tanda bahwa ia datang dari timur jauh. Ketika diperkenalkan kepada tamu tinggi besar dan bercambang bauk ini, diam-diam Riyatman memandang tajam dan merasa kagum oleh karena ia maklum bahwa di balik baju kurung yang berwarna hitam itu tentu bersembunyi tubuh yang kuat sekali. Diam-diam ia mengukur potongan orang ini dan mengaku bahwa tentu si cambang bauk yang berusia tiga puluh tahun ini merupakan seorang lawan yang kuat dan tangguh!
"Jika diantara saudara-saudara ada yang mempunyai seekor jago aduan yang jempolan dan berani diadu dengan jagoku ini, aku berani bertaruh lima potong uang emas!" katanya menantang. Mereka adalah pemuda-pemuda dan laki-laki dusun yang miskin, maka uang emas merupakan benda berharga yang tak mungkin didapat.
"Ayam jago memang banyak terdapat disini, akan tetapi kami tidak mempunyai uang emas untuk dipertaruhkan." Si cambang bauk itu tertawa,
"Tidak apa, tidak apa! Kalau jagoku kalah, uang emasku sebanyak lima potong boleh kalian ambil untuk dibagi-bagi, sedangkan kalau ayamku menang, kalian hanya kuminta menyediakan tempat menginap yang patut dan makanan yang enak saja," orang itu tertawa lagi.
"Aku yakin bahwa tidak ada ayam jago di seluruh Mataram yang dapat mengalahkan ayam jagoku ini. Ketahuilah, jagoku si Naga ini adalah pemberian Sang Hyang Yamadipati, maka ia menjadi pencabut nyawa juga!" Semua orang merasa mendongkol mendengar kesombongan ini, Yamadipati adalah seorang tokoh dewa pewayangan yang terkenal sebagai malaikat pencabut nyawa. Juga Riyatman yang kebetulan pula membawa jagonya si Wareng yang belum pernah terkalahkan, merasa mendongkol sekali. Si Wareng ini adalah seekor ayam jago yang kuat dan sigap sekali, dan bukan sembarang jago, karena ayam jagonya ini adalah keturunan langsung dari ayam jago aduan milik seorang pangeran di kota raja. Hal ini terjadi ketika Riyatman masih kecil. Ia mendengar tentang kehebatan dan kekuatan ayam jago milik seorang pangeran yang seringkali mendatangi dusun-dusun membawa jago aduannya.
Ketika mendengar bahwa pangeran itu membawa jagonya dan berada di sebuah dusun yang tak jauh dari situ, Riyatman diam-diam minggat dari rumahnya membawa seekor ayam betina milik Ibunya. Ia tiba di dusun yang ditujunya dan dengan diam-diam ia mendatangi tempat adu jago. Ketika dilihatnya bahwa jago pangerang yang terkenal sekali itu berada dalam sebuah kurungan di atas tanah, ia mencari waktu sambil mengempit ayam betinanya di bawah lengan. Dan pada waktu pangerang berunding dengan orang-orang kampung pemilik jago lain, diam-diam Riyatman memasukkan ayam betinanya ke dalam kurungan itu! Demikianlah, terlahir si Wareng yang kemudian menjadi jago aduan yang baik sekali, seperti ayam jago milik pangeran itu dulu! Kini, melihat seorang dari timur jauh menyombangkan jagonya yang bernawa si Naga. Riyatman lalu menjawab,
"Baiklah, kawan. Kuterima tantanganmu dan biar si Wareng mencoba kekuatan jagomu. Akan tetapi, oleh karena aku bukan orang kampung ini, maka biarlah kalau aku kalah, aku berikan semua pakaian yang menempel di tubuhku ini kepadamu, berikut jagoku pula!" Si cambung bauk memandang kepada Riyatman dengan tajam dan berseri. Kemudian ia tersenyum dan berkata,
"Kau gagah sekali, anak muda dan tentu jagomu juga gagah seperti kau! Perkenalkan, namaku Singalodra dan marilah kita segera memberi kesempatan kepada jago-jago kita." Riyatman juga memperkenalkan namanya dan ia merasa suka kepada orang ini. Ketika melihat jago Riyatman si Wareng itu, Singalodra menjadi tertegun.
"Eh-eh, bukankan ini ayam jago Pangeran Wirokusumo?" katanya, akan tetapi ia menggeleng-geleng kepada membantah pertanyaan sendiri.
"Tak mungkin, ayam jago pangeran itu sudah mati beberapa tahun yang lalu. Sungguh sama benar bentuk dan warnanya." Riyatman diam-diam tertawa geli dan ia tidak mau membuka rahasianya dan membiarkan saja Singalodra merasa khawatir.
"Apakah engkau takut kalau jagomu akan kalah" Kalau begitu kita batalkan saja," kata Riyatman. Merahlah wajah Singalodra.
"Siapa yang takut" Hayo kita mulai!" Dua ekor jago itu lalu dilepas dan dikelilingi oleh mereka yang menontonnya. Mula-mula kedua ekor binatang itu berlagak dan saling pandang dengan mata penuh amarah. Kemudian bertarunglah mereka! Kedua-duanya sama kuat, sama tangkat dan sama cepat. Pukulan datang balas-membalas dan tiada satupun pukulan yang tidak segera dibalas kontan, tanda bahwa itu adalah jago-jago baik. Akan tetapi, akhirnya ternyata bahwa biarpun dalam hal kekuatan dan ketangkasan kedua jago itu berimbang, namun dalam hal kecerdikan, si Wareng itu lebih menang.
Si Wareng menggunakan siasat lari memutar, dikejar-kejar oleh si Naga, apabila pengejarnya sudah dekat, tiba-tiba si Wareng membalik dan memukul! Sebelum si naga sempat membalas, Wareng telah lari pula berputaran, dikejar-kejar lagi oleh lawannya. Tiba-tiba ia membalik dan menyerang lagi dengan pukulan keras, lalu lari pagi. Karena beberapa kali terkena pukulan keras tanpa dapat membalas, si Naga mulai nampak lelah dan lemas. Penonton-penonton bersorak riuh-rendah, karena tentu saja mereka membela jago Riyatman. Sedangkan Singalodra makin merah wajahnya, melihat betapa ayam jagonya kena diakali dan dipermainkan. Semua orang, juga dia maklum bahwa akhirnya jagonya tentu akan kalah. Benar saja, dengan pukulan yang keras sekali datangnya, si Naga dibikin tunduk dan terkeok-keok sambil melarikan diri, kini dikejar-kejar oleh si Wareng!
"Sialan!" Singalodra bersungut-sungut, "Bertemu dengan ayam jago yang licik dan pengecut!" Mendengar makian ini, Riyatman menjadi naik darah dan ia segera menghampiri dengan mata memandang tajam.
"Tutup mulutmu yang lancing itu" bentaknya. "Jago siapa yang licik dan pengecut" Jagomu sudah kalah, tak perlu kau mencari-cari alasan dan memaki-maki jago orang lain!" Singalodra memandang kepada wajah Riyatman yang berapi-api itu, dan tiba-tiba timbul seri pada muka si cambang bauk. Agaknya sikap Riyatman menggembirakannya dan juga menimbulkan rasa kagum dalam hatinya.
"Memang jagoku kalah, tetapi jagomu licik!" katanya sambil mengangguk-angguk.
"Hayo kau keluarkan taruhanmu dan berikan kepadaku!" Riyatman menuntut. Sambil tersenyum-senyum Singalodra merogoh sakunya dan mengeluarkan lima buah kancing kuningan yang telah digosok mengkilat. Ia memberikan kancing kuningan itu kepada Riyatman yang menerimanya dengan sangsi, karena memang ia belum pernah melihat bagaimana macamnya uang emas!
"He, itu bukan uang emas! Itu adalah kancing kuningan!" teriak seorang pemuda kawan Riyatman memandang tajam.
"Betulkah bahwa ini kancing kuningan dan bukan uang emas?" tanyanya kepada Singalodra.
"Aku namakan ini uang emas, terserah kalian mau menamakannya apa," jawabnya tenang.
"Itu bukan uang emas tulen, itu uang emas palsu! Riyatman, kita kena ditipu oleh orang ini!" kata kawan Riyatman pula. Singalodra tertawa bergelak.
"Siapa tadi yang bilang bahwa aku hendak bertaruh uang emas tulen" Aku hanya bilang lima potong uang emas, tulen atau palsu tidak masuk hitungan!" Riyatman hampir saja tertawa karena ia merasa bahwa kata-kata orang ini betul juga! Akan tetapi, melihat wajah kawan-kawannya yang marah, ia menahan kegelian hatinya.
"Kau... Licik!" katanya kepada Singalodra.
"Ayam jagomu lebih licik dan pengecut!" jawab Singalodra.
"Kalau ia tidak berkali sambil berlari-lari seperti ayam betina, tentu kepalanya sudah hancur oleh ayamku tadi!" Marahlah Riyatman.
"He, hati-hati menjaga lidahmu yang panjang itu, kawan. Kalau aku sudah naik darah, bukan jagomu saja yang terkeok-keok, tapi kau juga!" Kawan-kawan Riyatman tertawa terkekeh-kekeh mendengar ucapan ini, sedangkan Singalodra juga tertawa bergelak.
"Eh-eh, agaknya kau ini jagoan juga, anak muda?" tanyanya, sambil memandang kepada Riyatman dengan mata dipicingkan, seakan-akan menaksir dan mengukur kekuatannya.
"Memang, aku Riyatman memang jagoan dusun ini!" Riyatman mengaku dengan gagah. "Dan aku bukan orang yang tergila-gila akan lima buah uang emas. Kalau saja kau mau mengakui bahwa kau telah menipu kami dan minta maaf, aku akan bikin habis perkara ini!" Makin kagum kedua mata Singalodra memandang wajah Riyatman, dan sambil tertawa ia berkata,
"Aku Singalodra orang miskin dan perantau melarat, mana punya lima potong uang emas tulen" Aku tidak merasa menipu kalian, dan kalau kau mau mencoba kekuatanku, marilah kita coba-coba, kawan!" Sambil melangkah ke kalangan di mana ayam-ayam tadi berkelahi, Singalodra mengangkat dada, mempererat ikatan kain kepalanya, menalikan ujung sarungnya di pinggang dan berdiri memasang kuda-kuda. Ramailah orang-orang membuat kalangan perkelahian dan mereka sudah nongkrong mengelilingi tempat itu, bersiap menonton pertandingan yang menarik hati, lebih menarik daripada perkelahian dua ekor ayam jago. Riyatman dengan tenang juga masuk ke dalam kalangan itu dan menghadapi Singalodra!
Keduanya memasang kuda-kuda dan tak lama kemudian, sambil mengeluarkan bentakan keras, Singalodra maju menyerang dengan kepalan tangan kanan ke arah dagu Riyatman. Pemuda ini dengan gesit menggerakkan kaki dan mengelak ke samping kemudian secepat kilat ia mengirim pukulan dari samping ke arah iga lawannya. Tentu saja singalodra tidak membiarkan tulang-tulang iganya dibuat gambang dan dipukul oleh pemuda itu, dengan sebat ia menangkis dengan lengan tangan dan demikianlah kedua orang itu kini berkelahi dengan seru dan hebat menggantikan ayam-ayam jago mereka yang tadi telah berlagak dan bertanding. Riyatman berusaha sunguh-sungguh untuk mencontoh ayam jagonya yang telah mendapat kemenangan, sebaliknya Singalodra berusaha keras untuk menebus kekalahan ayam jagonya.
Para penonton di luar ramai mengadakan taruhan atas perkelahian itu. Ternyata Singalodra memiliki tubuh yang kuat dan tenaga yang besar sekali melebihi kekuatan Riyatman sendiri. Hal ini terasa oleh Riyatman dan diam-diam ia menjadi terkejut. Akan tetapi sebaliknya, Singalodra kagum sekali melihat ketangkasan dan kecepatan pemuda itu yang dalam hal ini lebih unggul daripadanya. Kekurangan dan kelebihan masing-masing ini membuat pertempuran itu berlangsung ramai dan hebat sekali hingga terdengar sorak-sorai para penonton, lebih hebat daripada sorak-sorai ketika kedua ekor ayam jago tadi bertanding. Pada saat petempuran itu terjadi dan sedang ramai-ramainya, tiba-tiba seorang pemuda dengan wajah pucat sekali dan keringat mengucur datang di tempat itu dan langsung masuk ke dalam kalangan pertempuran.
"Riyatman"! Riyatman...! Berhentilah berkelahi. Celaka... Celaka besar?" Semua orang terkejut dan yang berkelahi juga berhenti dengan sendirinya.
"Riyatman" Penewu Galiga Jaya mengamuk di dusunmu" semua orang dibunuh habis-habisan... lekas" lekas!" Riyatman menjadi pucat sekali dan tak menanti sampai orang itu habis bercerita, ia telah melompat keluar dari kalangan pertempuran itu dan berlari secepat angin menuju ke Pakem. Ketika tiba di luar dusun Pakem, ia telah mendengar jerit tangis yang keluar dari dusun itu. Ketika memasuki dusun, ia melihat banyak sekali anak-anak kecil berlari simpang-siur bagaikan anak-anak ayam melihat alap-alap. Makin berdebarlah jantungnya dan ia segera lari menuju ke rumah Ayahnya. Hatinya makin kecut ketika melewati rumah-rumah tetangganya karena mendengar jerit tangis keluar dari setiap rumah.
Dan ketika ia memasuki rumahnya, tiba-tiba ia berdiri diam bagaikan patung di depan rumahnya. Tubuhnya menggigil wajahnya sepucat mayat, kedua tangannya mengepal, dan kemudia dengan sedu ia menubruk mayat yang menggeletak di depan rumah itu. Mayat Ayahnya. Kemudian ia melihat pula mayat Ibunya, mayat kakaknya, bergelimpangan di depan rumah dan darah mengalir membuat tanah di depan rumahnya berwarna merah. Riyatman sambil menangis menubruk mayat-mayat itu, memeluk sana, menangis sini, dan akhirnya ia memondong semua mayat itu dan membawanya ke dalam rumah. Sambil berdiri di depan mayat-mayat yang direbahkan di atas balai-balai, pemuda itu berdiri diam tanpa bergerak dan bibirnya berkemak-kemaik. Di dalam hatinya ia berbisik.
"Ayah, Ibu, Kang Mas dan semua orang dusun Pakem! Dengarlah sumpahku! Aku Riyatman sebelum membalas dendam ini, bersumpah takkan mau berhenti berusaha dan akan kubunuh dengan kedua tanganku sendiri si jahanam Galiga Jaya!" Kemudian, dengan wajah beringas dan menyeramkan, ia lalu melompat ke luar dari rumah dan berlari sekerasnya menuju ke Waru untuk mencari Penewu Galiga Jaya dan membalas dendam! Ketika ia tiba di luar kampung, dari depan mendatangi seorang tinggi besar yang bercambang bauk yang bukan lain adalah Singalodra sendiri. Si Cambung bauk ini berlari keras ketika tadi mendengar cerita orang yang mengabarkan tentang malapetaka yang menimpa keluarga kampung Pakem, mengejar dan hendak menyusul Riyatman. Melihat pemuda itu keluar dari kampung sambil berlari-lari dan dengan wajah yang menyeramkan, Singalodra mencegat jalan bertanya,
"Riyatman, kawan baikku! Bagaimana dengan keluargamu" Selamatkah mereka?" Riyatman berhenti berlari, memandang tajam dengan mata berapi-api, lalu berkata,
"Hendak kucekik leher si Galiga Jaya!" Lalu ia berlari-lari tanpa memperdulikan Singalodra. Akan tetapi si cambang bauk lalu menubruk dan memeluknya erat-erat.
"Anak muda, sahabat baikku! Dengarlah nasihatku, jangan kau berlaku sembrono dan terlalu menurutkan nafsu hati. Galiga Jaya adalah seorang yang berpengaruh dan mempunyai perajurit seribu orang banyaknya. Apakah dayamu menghadapi perajurit yang sekian banyaknya itu?" Riyatman meronta-ronta hendak melepaskan diri akan tetapi Singalodra memeluknya sehingga ia tidak berhasil melepaskan diri.
"Lepaskan aku" lepaskan!" teriaknya marah. "Apakah aku harus duduk diam sambil menangis saja melihat mayat Ayah, Ibu, kakakku, dan banyak orang kampung yang telah tewas terbunuh oleh jahanam itu" Biar dia mempunyai selaksa perajurit, aku Riyatman tidak takut! Aku rela berkorban untuk membalas dendam itu!"
"Tenang... Tenangkanlah hatimu, Riyatman dan dengarlah kata-kataku dengan kepala dingin. Memang sakit hati ini harus dibalas, dan aku akan merasa jijik dan benci kepadamu kalau kau tidak berusaha membalasnya. Akan tetapi harus dilakukan dengan teratur dan tidak gegabah. Apa artinya pembalasan dendammu kalau begitu tiba disana engkau akan dikeroyok hingga mati. Bukankah itu akan menambah penasaran kepada roh orang tuamu saja?" Mendengar ucapan ini, pikiran Riyatman tersadar dan ia lalu menjatuhkan mukanya pada dada si cambang bauk yang bidang itu, lalu menangis terisak-isak bagaikan seorang anak kecil! Kedua mata Singalodra berkaca-kaca karena terharu.
"Marilah kita kembali ke dusunmu untuk membantu mereka mengurus semua jenazah itu. Setelah jenazah keluargamu dikubur baik-baik, baru kita merundingkan tentang usaha membalas dendam itu." Riyatman mengangkat mukanya memandang.
"Apa maksudmu. Kita?" Apakah... Kau...?" Singalodra mengangguk sambil tersenyum menghibur.
"Anak muda, semenjak pertemuan pertama tadi aku maklum bahwa engkau cukup berharga untuk menjadi sahabat baikku. Aku suka kepadamu dan aku bersedia membantumu dalam usaha membalas sakit hatimu itu."
Riyatman lalu maju menubruk dan memeluk tubuh tinggi besar itu dengan hati terharu dan bersyukur. Setelah kini kehilangan Ayah, Ibu dan kakaknya hingga ia hidup sebatangkara, ia merase seperti mendapatkan pengganti mereka itu dalam diri Singalodra. Keduanya lalu pergi ke Pakem dan membantu orang-orang perempuan dan beberapa orang laki-laki yang kebetulan sedang pergi keluar dusun ketika serbuan itu tejadi hingga mereka terluput dari kematian. Dan setelah penguburan selesai dan beres, Riyatman dan Singalodra meninggalkan Pakem dan masuk ke dalam hutan lebat. Mereka hendak mengumpulkan kawan-kawan sehaluan untuk memberontak dan menumbangkan kekuasaan Galiga Jaya yang kejam! Banyak sekali kawan-kawan yang menggabungkan diri dengan mereka, terutama mereka yang masih terhitung keluarga dari para korban penumpasan di Pakem itu.
Mereka ini berkumpul dan bersembunyi di dalam hutan yang liar dan semenjak saat itu mereka mengumpulkan tenaga, berlatih perang dan melakukan pencegatan dan gangguan kepada setiap rombongan perajurit yang melakukan perjalanan atau penjagaan. Riyatman setelah mendengar dengan jelas penuturan orang-orang kampung Pakem tentang terjadinya segala peristiwa, tidak saja mendendam kepada Galiga Jaya, akan tetapi juga merasa benci dan tidak senang kepada Rondo Kuning dan kedua puterinya, terutama sekali kepada seorang pemuda yang bernama Adiguna yang dulu ketika kecilnya menjadi kawan bermain. Di dalam anggapannya, yang menjadi biang keladi hingga menimbulkan bencana hebat di desa Pakem itu adalah Adiguna!
Pada suatu hari, ketika Adiguna yang turun gunung dan melakukan perjalanan lelana brata tiba di hutan itu, dari belakang pohon-pohon berlompatan keluar lima orang yang masih muda-muda dan bersikap gagah.
"Berhenti! Jawab dulu sebelum melanjutkan perjalanan. Apakah engkau seorang warga Mataram?"" teriak seorang di antara kelima orang itu. Adiguna tertegun. Kemudian ia mengangguk dan menjawab,
"Memang ada adalah seorang kawula (rakyat) Mataram!" Tiba-tiba kelima orang itu tertawa menghina dan tanpa banyak cakap lagi kelimanya lalu menghunus keris dan menyerbu hendak membunuhnya! Adiguna terkejut sekali dan juga merasa penasaran. Ia melompat jauh mengelak dan berkata keras,
"Hai! Apakah kalian berlima ini kemasukan setan dan menjadi gila semua" Datang-datang menyerang orang kalang-kabut dengan keris di tangan. Jangan main-main, keris adalah senjata berbahaya yang dapat membunuh orang."
"Memang kami hendak membunuhmu!" kata seorang diantara mereka. Adiguna merasa heran sekali sehingga ia memandang mereka dengan mata terbelalak.
"Pernahkah kita bertemu dan apakah salahku maka kalian hendak membunuhku?"
"Engkau adalah warga Mataram, maka harus kami bunuh!"
"Siapa yang berkata bahwa warga Mataram harus dibunuh?"
"Siapa lagi yang memerintah kami kalau bukan pemimpin kami" Sudahlah, jangan banyak cerewet. Hayo kawan-kawan kita bunuh manusia ini!" Dan kelimanya lalu menyerbu lagi dengan lebih ganas.
Adiguna merasa heran sekali. Kelima orang ini masih muda-muda dan melihat gerakan mereka mempermainkan keris, nyata bahwa mereka ini terlatih baik dalam ilmu perkelahian dan sikap merekapun bukan seperti perampok. Siapakah mereka ini" Sambil menduga-duga, ia mengelak dengan cepat dan ketika kakinya bergerak, sebuah keris terlepas dari pegangan seorang pengeroyoknya dan orang itu berteriak kesakitan. Adiguna hanya bermaksud untuk merampas senjata mereka dan melukai tangan yang memegang keris itu, akan tetapi pada saat itu, dari dalam hutan lebat keluarlah belasan orang lain yang segera maju mengeroyok sambil berteriak-teriak. Alangkah kagetnya Adiguna ketika melihat bahwa mereka itu sebagian besar terdiri dari pemuda-pemuda yang berpakaian sebagai petani-petani biasa.
"Tahan dulu... tahan dulu...!" teriaknya, akan tetapi semua orang tak mau menghiraukannya, hanya menyerang membabi buta dan berteriak-teriak.
"Bunuh warga Mataram! Bunuh!" Terpaksa Adiguna memperlihatkan ketangkasannya dan melawan mereka, akan tetapi lawan yang mengepungnya makin banyak saja. Tiba-tiba, seorang di antara mereka yang dulu tinggal di Pakem, dapat mengenal pemuda ini dan ia segera berseru keras.
"Kawan-kawan, tahan! Jangan menyerang dia! Dia adalah adiguna, seorang kawan sendiri, bukan warga Mataram!" Teriakan ini berhasil baik dan semua orang menahan senjata mereka. Mereka menahan dengan kagum kepada pemuda yang dengan mudahnya telah merobohkan lebih dari lima orang dengan hanya bertangan kosong. Sementara itu, Riyatman dan Singalodra yang juga berlari mendatangi tempat itu, lalu maju ke depan. Riyatman terkejut sekali ketika mendengar bahwa pemuda itu adalah Adiguna, maka ia lalu melangkah maju mendekati. Sambil bertolak pinggang dan memandang dengan mata menghina, ia berkata,
"Hm, jadi engkau ini yang bernama Adiguna" Engkaukah anak yang dulu digondol macan siluman dan setelah kembali ke kampung hanya mendatangkan malapetaka belaka" Kenalkah engkau siapa aku?" Melihat lagak yang keras dan sikap marah ini, Adiguna makin terkejut dan heran. Ia dapat menduga bahwa orang ini tentu pimpinan rombongan yang tadi mengeroyoknya, dan serasa ia pernah melihat wajah yang gagah dan tampan ini, akan tetapi ia tidak ingat lagi dimana dan bilaman ia bertemu dengan pemuda gagah ini.
"Sapakah kau yang muda dan gagah ini, sahabat" Dan mengapa kau memusuhiku?"
"Adiguna, benar-benar tak ingat lagikah kau kepadaku" Ingatkah engkau kepada putera bungsu pak Wiryosentiko?"
"Riyaman!" Adiguna berseru girang dan maju hendak memeluk pemuda itu, akan tetapi Riyatman mengelak cepat.
"Jangan menyentuh aku dengan jari-jarimu yang kotor dan berlumur darah!" bentaknya. Adiguna melangkah mundur dengan kaget,
"Apa" apa maksudmu, Riyatman" Mengapa engkau berkata demikian?"
"Hm, memang engkau berhati palsu! Mukamu yang cakap itu hanya menjadi kedok kepalsuanmu! Engkau datang ke Pakem dan menimbulkan huru-hara, mengandalkan kesaktian menolong wanita dan apa akibatnya" Seluruh rakyat Pakem dibinasakan oleh Galiga Jaya! Hampir semua orang lelaki tewas, banyak wanita diculik, rumah-rumah dirampok dan dibakar, sedangkan engkau enak-enak pergi meninggalkan hasil dan akibat perbuatanmu itu, senang-senang membawa lari dua orang gadis cantik! Tidak rendahkah perbuatanmu ini?" Bukan main terkejutnya Adiguna mendengar berita ini.
"Apa katamu..." Galiga Jaya menumpas rakyat Pakem" Dan... dan... paman Wiryosentiko?" Sambl menggigit bibir Riyatman berkata,
"Ayah, Ibu dan semua keluargaku-pun tewas! Semua" ini akibat perbuatanmu mengerti?" Kalau pada saat itu ada kilat dari angkasa menyambarnya, Adiguna mungkin takkan sekaget itu. Mukanya menjadi pucat.
"Keparat si Galiga Jaya!" serunya dengan marah. Riyatman tertawa menghina.
"Mudah saja memaki, aku lebih pandai dari padamu. Akan tetapi apa buktinya" Aku yang menderita, kehilangan keluarga, bahkan sebagian besar kawan-kawanku inipun menderita, keluarganya habis binasa, semua ini karena engkau! Dan kami bersumpah hendak membasmi setiap warga Mataram yang terkutuk!" Makin terkejut hati Adiguna,
"Riyatman! Engkau keliru! Galiga Jaya memang tersesat dan jahat, akan tetapi apakah salahnya Mataram dalam hal ini" Kalau Sri Sultan mendengar tentang perbuatanmu ini, bukankah engkau dan kawan-kawanmu akan dianggap sebagai pemberontak dan hal ini sangat membahayakan?"
"Biarlah! Biar aku dan kawan-kawan dianggap pemberontak! Kami akui, memang kami memberontak! Kata orang Sri Sultan adil dan bijaksana akan tetapi mana buktinya" Seorang Penewu yang kejam dan jahat seperti Galiga Jaya, didiamkan saja dan rakyat Pakem yang menderita sengsara dan dibinasakan oleh Penewu itu tidak diperdulikan, apakah ini boleh disebut bijaksana dan adil" Pendeknya, kami akan memusuhi setiap orang Mataram, terutama sekali Galiga Jaya dan kaki tangannya!"
"Riyatman! Pikirlah baik-baik, kau tidak sadar dan dibutakan oleh nafsumu dan dendam di hatimu! Sri Sultan adalah raja kita yang agung, arif bijaksana, dan mencinta rakyat seperti mencinta anak sendiri! Kalau tidak demikian halnya, apakah Mataram bisa jaya seperti sekarang" Tentang Galiga Jaya, mungkin karena orang ini amat licin dan cerdik, Sri Sultan belum mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya. Insyaflah engkau, Riyatman. Aku tidak percaya bahwa sikap ini Timbul dari hati nuranimu, tentu ada orang yang membujuk dan menyeretmu ke jurang kesesatan. Untuk membalas dendan kepada Galiga Jaya itu adalah hal yang terpisah, dan dicampuradukkan dengan sikap memberontak terhadap Mataram. Engkau tersesat!
"Tutup mulutmu! Aku tidak membutuhkan nasihat-nasihatmu. Enak saja engkau bicara. Tentu saja engkau tidak merasakan kesedihan yang kuderita, karena engkau yang menjadi biang keladi ini, tidak kehilangan keluargamu!"
"Riyatman, engkau tahu bahwa aku amat berduka mendengar berita tentang bencana yang menimpa keluarga paman Wiryo. Engkau tahu bahwa aku menganggap orang tuamu seperti orang tuaku sendiri. Bukankah dulu kita hidup seperti sahabat-sahabat baik, bahkan seperti saudara sendiri" Sadarlah, Riyatman, bahwa nasihatku tadi terdorong oleh rasa setia kawanku kepadamu yang kuanggap saudara sendiri."
"Cukup!" tiba-tiba Singalodra berkata, "Riyatman, pemuda ini berbahaya sekali dan dapat melemahkan semangat perlawanan kita!" Riyatman juga tidak mau membuka mulut lagi dan menyerang dengan pukulannya yang keras ke arah dada Adiguna.
"Hm, engkau mengandalkan kepandaianmu, Riyatman" Cobalah, hendak kulihat sampai dimana kemajuanmu!" kata Adiguna yang merasa penasaran juga.
Dengan cepat ia mengelak, mempergunakan kegesitannya yang sudah banyak membuat orang merasa kagum. Riyatman pandai main pencak silat dan serangan-serangannya sengit dan berat, akan tetapi Adiguna sama sekali tidak mau membalas, hanya mengelak atau kadang-kadang menggunakan tangan yang terbuka jari-jarinya menangkis perlahan. Namun lengan dan tangan Adiguna yang telah berisikan aji kesaktian ini, biarpun hanya ditangkisnya perlahan saja, cukup membuat Riyatman merasa lengannya yang tertangkis pedas dan sakit, hingga ia menjadi terkejut dan diam-diam ia mengagumi kegagahan Adiguna! Lebih dari dua puluh jurus Riyatman menyerang hebat dan akhirnya ia merasa tidak kuat lagi Manahan kesakitan pada lengan tangannya, maka dengan berseru keras ia mencabut kerisnya! Segera ia menyerang lagi dengan sengit.
"Ingat, Riyatman, kerismu dapat membunuh orang. Tegakah engkau membunuh aku, saudara misanmu sendiri?" Akan tetapi, Riyatman yang merasa marah dan malu karena tak dapat merobohkan Adiguna, tidak menjawab dan mengeraskan hatinya, lalu menyerang terus makin hebat. Terpaksa Adiguna memperlihatkan kepandaiannya. Setelah ia miringkan tubuh hingga keris Riyatman lewat di samping tubuhnya, ia lalu mempergunakan dua buah jari tangannya mengetuk pergelangan lengan Riyatman dengan perlahan.
Akan tetapi oleh karena ketukannya tepat mengenai urat, Riyatman menjerit kesakitan dan lengannya serasa lumpuh! Ia terpaksa melepaskan kerisnya dan segera melompat mundur sambil memandang dengan terheran-heran dan kagum. Singalodra merasa marah sekali dan mencabut kerisnya lalu menyerang dengan hebat kepada Adiguna. Riyatman tak keburu mencegah. Sebetulnya, melihat kepandaian Adiguna yang luar biasa, kemarahan Riyatman telah lenyap, terganti oleh rasa kagum dan ingin sekali ia membaiki Adiguna dan mengajaknya berkawan kembali agar ia dapat mempelajari ilmu dari pemuda itu. Adiguna maklum dan dapat menduga bahwa si cambang bauk ini tentu seorang jagoan yang telah membujuk Riyatman yang kurang berpengalaman dan masih sangat muda itu,
Karena ia melihat betapa serangan Singalodra ini lebih hebat daripada serangan Riyatman. Akan tetapi, murid Eyang Sidik Paningal ini telah mendapat gemblengan selama bertahun-tahun dari gurunya yang sakti, maka menghadapi Singalodra, ia tidak gentar sedikitpun juga. Dengan sigap ia mengelak serangan keris itu dan tiba-tiba ia merendahkan tubuhnya dan sebelah kakinya menyabet, mempergunakan gerakan menyerampang Singalodra hingga tidak ampun lagi tubuh Singalodra yang tinggi besar itu roboh terguling-guling! Akan tetapi, dasar orang cabang atas yang banyak pengalaman, didalam robohnya, Singalodra dapat mengatur dirinya hingga ia tidak menderita luka dan cepat sekali ia melompat berdiri lagi dan mengirim tendangan bertubi-tubi dengan gesitnya.
Adiguna hanya mempergunakan kegesitannya dan melompat kesana-kesini untuk menghindarkan tikaman keris itu. Kawan-kawan Riyatman yang melihat pertempuran ini menjadi penasaran sekali ketika menyaksikan betapa dengan mudahnya Riyatman, jago yang mereka segani itu roboh dalam tangan Adiguna yang bertangan kosong. Dan kini ketika pemuda itu menghadapi Singalodra, yang mereka kenal pula kegagahannya, hanya dengan tangan kosong pula, bahkan dalam segebrakan saja berhasil membuat Singalodra terjatuh, mereka lalu maju mengeroyok! Riyatman hendak mencegah, akan tetapi ia merasa kurang baik kalau memperlihatkan sikap membela Adiguna, khawatir kalau-kalau dianggap pengecut dan jerih terhadap saudara misannya itu.
Pertempuran berjalan makin ramai dan seru. Kini Adiguna terpaksa melawan juga karena tak mungkin baginya untuk terus mempertahankan diri tanpa membalas terhadap keroyokan yang hebat itu. Namun, ia tetap tidak mau melukai mereka. Ia hanya mendorong, mendupak, memegang lalu melemparkan, hingga sebentar saja banyak orang terlempar dan roboh sambil berseru terkejut. Adiguna tak melanggar pantangan membunuh hanya oleh karena kesalahfahaman dan kemarahan Riyatman saja. Ia maklum bahwa pemuda itu mempunya hati yang baik dan kegagahan yang patut dipuji, dan dapat menduga bahwa kedukaan dan kemarahan karena bencana menimpa keluarganya itulah yang menyebabkan pemuda itu bersikap keras kepadanya. Kemudian setelah berkata lagi kepada Riyatman, sambil melawan keroyokan,
"Ingatlah nasihatku dan sadarlah, Riyatman!" Adiguna lalu mempergunakan kesaktiannya dan sekali tubuhnya melompat, ia telah lenyap dari kepungan para pengeroyoknya. Bukan main terkejutnya semua orang itu dan tiada habisnya mereka memuji-muji kesaktian Adiguna. Juga Riyatman merasa kagum sekali. Sedangkan Singalodra sambil menghela napas, berkata,
"Hebat sekali kepandaian pemuda itu. Kalau saja kita dapat menariknya untuk membantu kita, dengan mudah kita dapat menghancurkan Mataram!"
Adiguna melanjutkan perjalanannya. Hatinya berduka dan menyesal. Berduka karena malapetaka yang menimpa penduduk Pakem, dan menyesal karena memikirkan kesesatan Riyatman. Kalau saja pemuda itu membatasi rasa dendamnya dengan usaha membalas sakit hatinya kepada Penewu Galiga Jaya, tentu ia akan membantunya sekuatnya. Akan tetapi, dendam hati pemuda itu ternyata amat besar dan meluas, hingga ia membenci semua orang Mataram, tidak ingat bahwa ia sendiri adalah kawula Mataram. Baginya sendiri, Adiguna tidak mempunyai niat untuk membalas kejahatan Galiga Jaya atau membunuhnya, oleh karena hal itu ia anggap bukan tugasnya.
Ia tidak mau membunuh Galiga Jaya, karena teringat akan pantangan membunuh yang dulu dinasihatkan oleh gurunya kepadanya. Mungking ia dapat mendatangi dan mengajar adat kepada Galiga Jaya yang kejam, akan tetapi apakah gunanya" Adiguna langsung menuju ke Pakem. Hatinya diliputi keharuan besar melihat betapa dusun itu kini sunyi sepi dan wajah orang-orang nampak berkabung dan sedih. Beberapa orang dulu pernah melihatnya dan kini mengenalnya, ketika melihat pemuda itu, membuang muka dengan penuh sesal dan marah. Adiguna menghela napas panjang dan ia dapat meraba dan memaklumi kemarahan Riyatman kepadanya. Orang-orang yang singkat pandangan dan bodoh ini mempunyai pandangan dan pertimbangan yang sempit sekali.
Mereka memandang sesuatu perkara hanya di luarnya saja, tidak mau memeriksa lebih dalam, hingga bencana itu mereka anggap timbul karena perbuatannya! Mereka tidak mau merenungkan bahwa biarpun ia tidak datang di dusun itu, tetap saja Galiga Jaya akan melakukan kejahatan itu dan merampas ketiga puteri Rondo Kuning. Akan tetapi, Adiguna maklum bahwa segala sesuatu itu telah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Ia lalu pergi mencari makam orang-orang kampung yang menjadi korban, lalu berziarah ke makam paman dan bibinya. Ia bersila di depan makam mereka dan mengheningkan cipta, menyatakan bela sungkawa atas nasib mereka yang malang. Ia tidak tahu bahwa pada saat itu banyak sekali mata memandangnya dengan tajam dan banyak sekali tangan meraba-raba gagang keris siap menyerbu.
Tiba-tiba ia mendengar suara ranting terpinjak. Ia cepat menengok dan pada saat itu, dari balik pohon-pohon yang banyak tumbuh disekitar tanah kuburan itu, berlompatan keluar banyak perajurit dengan senjata di tangan! Ini adalah perajurit-perajurit Mataram yang gagah perkasa, dan mereka ini dipimpin oleh seorang perwira yang gagah perkasa dan sakti, seorang panglima yang telah amat terkenal di Mataram, yakni Tumenggung Surgo Agul-agul yang terkenal sakti mandraguna dan memiliki ilmu kepandaian pencak silat yang amat tinggi! Ternyata bahwa Penewu Galiga Jaya yang licik dan cerdik itu telah menyuruh kaki tangannya menyiarkan berita bahwa di daerahnya terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh orang-orang sakti bernama Adiguna dan Riyatman. Kemudian ia sendiri berangkat ke kota raja dan membuat laporan ke hadapan Sri Sultan Agung,
Hingga Sri Sultan yang berkhawatir kalau-kalau pemberontakan itu akan menjadi luas dan membahayakan keamanan negara, lalu mengutus Tumenggung Suro Agul-agul untuk membawa seribu orang perajurit guna menumpas pemberontak-pemberontak itu! Suro Agul-agul adalah seorang panglima perang yang berpengalaman dan cerdik. Ia dapat menduga bahwa pemberontak-pemberontak itu tentu dipimpin oleh orang-orang Pakem, maka ia sengaja menjaga tanah kuburan Pakem yang baru itu, menanti kalau-kalau pemimpin pemberontak yang namanya disebut sebagai Adiguna dan Riyatman datang berziarah ke makam keluarganya di kuburan itu. Karena itulah maka ketika Adiguna berziarah disitu, tahu-tahu ia telah dikepung oleh banyak perajurit Mataram! Tumenggung Suro Agul-agul sendiri melompat maju menghadapi Adiguna dan bertanya,
"Bukankah kau yang bernama Adiguna?" Matanya tajam menatap wajah pemuda tampan itu.
"Betul, namaku Adiguna," jawab Adiguna dengan tenang, sedikitpun tidak memperlihatkan wajah takut dan gentar.
"Ha, jadi kaukah yang menjadi pemimpin pemberontak itu" Menyerahlah baik-baik, anak muda. Kalau kau menyerah, mungkin Gusti Sultan yang welas asih akan mengampunimu. Dimanakah adanya Riyatman, kawanmu yang memimpin pemberontakan itu?" Tiba-tiba Adiguna mendapat pikiran untuk melindungi Riyatman, maka ia menjawab lantang,
"Tentu Galiga Jaya yang menghasut dan memfitnah. Kalau kalian percaya bahwa disini ada pemberontakan, biarlah aku yang bertanggung jawab. Riyatman adalah seorang pemuda petani yang tahunya hanya mengayun cangkul dan menyabit rumput, mana ia bisa memimpin pemberontakan?" Kedua mata Suro Agul-agul yang berpengaruh dan tajam itu mengeluarkan sinar kagum, karena ia tidak percaya bahwa pemuda yang tampan dan tabah ini menjadi pemimpin pemberontakan. Apalagi setelah mendengar ucapan pemuda itu yang penuh setia kawan, melindungi kawan-kawannya dan sengaja mengorbankan diri sendiri dengan mengakui semua kesalahan. Alangkah gagah berani, sesuai dengan jiwa ksatria!
Gambar 0302 "Menyerahlah, Adiguna, dan aku sanggup untuk memintakan ampun untukmu kepada Gusti Sultan," katanya.
"Bagaimana aku dapat menyerah kalau aku tidak merasa bersalah?" kata Adiguna yang sudah berdiri dengan sikap tenang dan berani.
"Tangkap pemuda ini!" Tumenggung Suro Agul-agul memerintah, dan tiga orang pembantunya yang tinggi besar dan kuat melangkah maju membawa tali pengikat tangan.
Akan tetapi, sekali tubuhnya bergerak, Adiguna telah berhasil merobohkan ketiga orang itu dengan dorongan kedua tangannya! Para perajurit menjadi marah dan belasan orang datang menerjang hendak menangkap pemuda pemberontak itu. Akan tetapi Adiguna memperlihatkan kesigapan dan kegagahannya. Setiap perajurit yang berani datang dekat, tak perduli dia bertubuh kecil kurus atau tinggi besar seperti raksasa, baik yang menyerangnya dengan senjata tajam maupun tangan kosong, dia pasti terpelanting roboh dan menjerit-jerit kesakitan! Bukan main kagumnya Tumenggung Suro Agul-agul melihat kegagahan ini. Hatinya tertarik sekali dan sekarang ia mau percaya bahwa pemuda ini tentulah pemimpin pemberontak! Tidak aneh kalau orang-orang berani mengadakan pemberontakan di bawah pimpinan pemuda segagah ini.
"Kalian mundur semua, biarkan aku menghadapi pemuda ini!" teriak Tumenggung Suro Agul-agul dengan suara keras. Teriakannya ini keras dan berpengaruh sekali hingga semua perajurit cepat-cepat mengundurkan diri. Adiguna diam-diam merasa kagum karena dari suara ini saja ia dapat mengukur sampai dimana kehebatan ilmu kepandaian panglima ini. Teriakan ini mengandung perbawa (pengaruh seseorang) besar sekali.
"Adiguna!" kata Suro Agul-agul sambil memandang tajam.
"Sebelum aku turun tangan dan menangkapmu dengan kedua tangan sendiri, lebih baik engkau menyerah saja. Jangan engkau khawatir, aku yang menanggung bahwa Gusti Sultan pasti akan mengampunimu!"
"Maaf, tak mungkin menyerah karena aku tidak bersalah apa-apa!" Jawab Adiguna dengan sikapnya yang masih tenang.
"Keparat, sombong sekali engkau! Tahukah engkau bahwa engkau sedang berhadapan dengan Suro Agul-agul, banteng dari Mataram" Lebih baik engkau menyerah sebelum menghadapi seranganku!" Adiguna terkejut juga. Pernah ia mendengar bahwa Tumenggung Suro Agul-agul adalah seorang senapati (panglima besar) Mataram yang berilmu tinggi dan sakti mandraguna! Akan tetapi ia tidak merasa takut, bahkan ingin sekali mencoba kesaktian tumenggung ini! Maka ia sengaja menjawab.
RONDO KUNING MEMBALAS DENDAM JILID 04
"Aku tidak kenal dengan segala banteng Mataram dan aku tidak mau menyerah dan ditawan oleh karena aku tidak merasa melakukan pelanggaran apa-apa!" Tumenggung Suro Agul-agul menjadi marah dan sambil menggereng bagaikan seekor harimau marah, ia mengayunkan tangan menampar ke arah pundak Adiguna.
Biarpun tumenggung itu sengaja tidak mau menurunkan pukulan maut dan hendak merobohkan saja pemuda itu, namun tamparannya keras sekali karena tangannya mempunyai aji kesaktian yang kuat. Adiguna merasa betapa angin tamparan itu bertenaga besar, maka ia tidak berani berlaku semberono dan cepat mengelak. Melihat kegesitan pemuda itu, Suro Agul-agul yang tamparannya memukul tempat kosong, menjadi marah dan menyerang lagi. Kali ini ia mendorong dada Adiguna. Akan tetapi, dengan sigapnya pemuda itu dapat melompat ke pinggir dan mengelakkan dorongan itu lagi. Kini Adiguna tidak tinggal diam karena maklum bahwa ia menghadapi seorang kuat, maka iapun membalas dengan sebuah tamparan ke arah dada tumenggung itu. Suro Agul-agul yang kuat dan sakti tertawa melihat datangnya tamparan dan ia sengaja memasang dadanya menerima tamparan itu!
Ketika tamparan itu mengenai sasaran, Adiguna merasa seperti menampar batu karang yang keras, sedang Suro Agul-agul merasa betapa kulit dadanya menjadi pedas! Kedua-duanya terkejut dan kagum, Suro Agul-agul membalas dengan sebuah pukulan ke dada Adiguna. Kini pemuda itu tidak mau kalah dan iapun memasang dadanya menerima pukulan Suro Agul-agul! Dan ketika pukulan itu tiba, tumenggung itu merasa seakan-akan ia memukul kapas yang lunak dan lembut hingga tenaga pukulannya buyar sendiri. Ia terkejut sekali dan memandang dengan mata terbelalak. Tak disangkanya bahwa pemuda ini mempunyai aji kesaktian yang demikian hebat. Ia makin tertarik dan ketika Adiguna membalas memukul, ia lalu mengerahkan seluruh tenaganya menerima pukulan itu sambil tertawa.
"Ha-ha-ha! Engkau hendak mengadu ilmu" Baik, baik, Adiguna! Engkau pukullah dan pilihlah tempat yang lunak dan empuk!" Sambil berdiri dan bersedekap, mengheningkan cipta dan mengerahkan aji kekebalannya Trenggiling Wesi! Adiguna masih belum mau mengeluarkan kesaktiannya yang paling tinggi, hanya memukul tiga kali sekuat tenaga. Akan tetapi, semua pukulannya ketika jatuh di tubuh tumenggung itu, meleset bagaikan memukul sesuatu yang amat keras dan licin! Adiguna juga lalu berdiri diam dan bersedekap, lalu berkata,
"Tumenggung Suro Agul-agul! Bukan engkau saja yang memiliki kulit keras. Engkau pukullah aku tiga kali dan pilihlah tempat yang paling lunak!"
Setelah tertawa bergelak-gelak, Suro Agul-agul lalu memukul sekuat tenaga. Berbeda dengan Adiguna, ia mengeluarkan aji kesaktiannya dan menggunakan ilmu Pukulan Liman Petak (Gajah Putih), semacam aji kesaktian yang mengakibatkan pukulan itu keras sekali. Bahkan kata orang, pukulan Suro Agul-agul ini apabila dipukulkan kepada kepala gajah, maka kepala itu akan pecah! Adiguna maklum akan hebatnya pukulan ini, maka ia lalu mengeluarkan aji kekebalannya si Welut Putih, hingga ketika kepalan tangan Suro Agul-agul menyentuh kulit tubuhnya, tiba-tiba pukulan itu meleset kesamping karena tubuhnya menjadi licin sekali bagaikan belut! Tiga kali Suro Agul-agul memukul dan tiga kali pula pukulannya meleset! Hal ini tentu saja membuat tumenggung itu terkejut dan kagum.
Mereka lalu bertempur lagi, masing-masing mengeluarkan aji kesaktian dan kepandaiannya. Ketika Adiguna mendapat kesempatan, ia menampar leher tumenggung itu dengan ilmu pukulannya yang paling ampuh, yaitu disertai Aji Regi Geni (Gunung Merapi). Terkena pukulan yang ampuh ini, Suro Agul-agul merasa kepalanya menjadi pening dan ia terhuyung ke belakang! Untung ia memiliki kekebalan, kalau tidak, ia tentu akan tewas terkena pukulan yang dapat menghancurkan batu karang itu! Dengan geram Suro Agul-agul lalu mencabut keris pusakanya si Banaspati, dan dengan keris di tangan ia menanti sampai rasa pening di kepalanya lenyap. Ia merasa penasaran sekali bahwa seorang pemuda dusun yang tak ternama ternyata telah dapat mengalahkannya. Adiguna memang hanya bermaksud mengukur tenaga mengadu kepandaian dengan banteng Mataram ini.
Melihat betapa tumenggung itu tidak roboh oleh pukulannya Redi Geni, ia merasa kagum sekali, akan tetapi ia merasa cukup puas betapa melihat tumenggung itu merasa tidak kuat menghadapinya dengan tangan kosong hingga ia mencabut keris pusaka yang mengeluarkan hawa panas itu. Maka ia lalu mempergunakan ilmunya, melompat pergi jauh sekali dan ketika para perajurit mengejar, Adiguna telah lari jauh dan lenyap dari pandangan mata. Kalau Adiguna mengira bahwa ia dapat mengalihkan perhatian Suro Agul-agul dari pengejaran terhadap rombongan yang dipimpin oleh Riyatman kepada dirinya, maka ia keliru sangka dan tidak mengetahui akan kecerdikan dan keuletan Tumenggung Suro Agul-agul yang sudah banyak pengalaman dalam hal mencari pemberontak dan yang mempunyai banyak siasat itu.
Tumenggung Suro Agul-agul maklum bahwa pokok kekuatan setiap pemberontakan bukan terletak di tangan seorang dua atau beberapa gelintir pemimpin, akan tetapi seluruhnya tergantung pada kekuatan kesatuan, yakni anak buah para pemberontak itu. Biarpun ribuan anak buah pemberontak takkan berbahaya apabila tidak dipimpin oleh seorang yang pandai dan sakti, namun pemberontakan yang dilakukan oleh beberapa orang pemimpin saja tanpa ada yang setia, takkan ada guna dan artinya pula. Maka tugas terutama baginya ialah mencari, mengejar dan menghancurkan kekuatan pasukan pemberontak itu. Ia dapat menduga bahwa pemberontak itu tentu bersembunyi di dalam huta-hutan, maka ia lalu menyebar barisan penyelidik dan mata-matanya untuk mencari dimana letak sarang pemberontak yang dipimpin Adiguna dan Riyatman.
Beberapa hari kemudian, ia berhasil mengetahui tempat bersembunyi para pemberontak itu dan dengan kekuatan sepenuhnya barisannya menyerbu dan menyergap. Riyatman dan Singalodra yang belum mengadakan persiapan lebih dulu, terkejut sekali dan keadaan para pemberontak menjadi kacau-balau. Sungguhpun Riyatman dan Singalodra memimpin anak buahnya dan melawan mati-matian, namun dengan mudah Tumenggung Suro Agul-agul menghancurkan pasukan pemberontak yang tidak saja kalah besar jumlahnya, akan tetapi juga kalah pengalaman dan kalah pula dalam hal kepandaian atau pengalaman berkelahi. Tumenggung Suro Agul-agul sendiri mengantuk dan akhirnya ia berhadapan dengan Riyatman dan Singalodra. Melihat si cambang bauk yang tinggi besar itu, Tumenggung Suro Agul-agul tertawa bergelak-gelak.
"Ha-ha-ha! Tidak tahunya kau yang menjadi biang keladi semua kerusuhan ini. Mertalaya! Pemberontakanmu di Pasuruan gagal dan hancur, kini kau mencoba-coba menghasut orang-orang Mataram untuk memberontak! Bagus, sekarang kau berhadapan dengan aku, hendak lari kemana?" Sambil berkata demikian, Tumenggung Suro Agul-agul lalu menyerang si cambang bauk dengan sengitnya. Riyatman terkejut sekali dan untuk sementara tak dapat bergerak maupun berkata-kata.
Tak pernah disangkanya bahwa kawannya yang bernama Singalodra ini bukan lain ialah Mertalaya, pemberontak yang telah didengar namanya itu, pemberontak yang telah kalah dan yang melarikan diri, menjadi orang buruan! Maka menyesallah dia, karena merasa malu bahwa ia telah kena bujuk oleh seorang pemberontak yang dulu amat dibencinya. Ia lalu melawan sambil mundur, dan akhirnya karena tidak tahan menghadapi amukan perajurit-perajurit Mataram yang merupakan perajurit pilihan itu, ia melarikan diri ke arah Timur dengan diikuti oleh beberapa orang kawannya! Akan tetapi, Tumenggung Suro Agul-agul yang tidak mau bekerja kepalang tanggung dan yang telah memperhitungkan dengan tepat sekali, telah menaruh perajurit-perajurit penjaga yang sengaja mencegat disitu untuk mencegah para pemberontak melarikan diri.
Kembali Riyatman dan kawan-kawannya terkepung dan didesak hebat oleh perajurit-perajurit Mataram! Biarpun kenyataan bahwa selama ini ia bersekutu denan seorang pemberontak membuat hatinya menjadi tawar dan tiada nafsu lagi untuk melawan, namun karena keadaannya amat terdesak, Riyatman lalu melakukan perlawanan hebat dan mengamuk seolah-olah seekor banteng terluka! Banyak fihak lawan yang roboh karena amukannya ini hingga kepungan menjadi melonggar, Riyatman terus membuka jalan darah dan akhirnya, dengan tubuh penuh luka-luka, ia berhasil melarikan diri ke dalam hutan dan terus lari menuju ke timur. Semua kawannya kena terbunuh atau tertawan. Sementara itu, Singalodra atau Mertalaya tidak kuat menghadapi kegagahan Tumenggung Suro Agul-agul.
Setelah melawan mati-matian, akhirnya dadanya tertembus oleh keris Banaspati yang ampuh. Tanpa mengeluarkan teriakan Singalodra roboh binasa! Melihat betapa kedua orang pemimpin mereka telah kalah, habislah semangat para pemberontak itu, dan ketika Tumenggung Suro Agul-agul berseru keras dan membentak supaya mereka menyerah, mereka lalu melempar senjata dan menjatuhkan diri berlutut tanda takluk! Sekali lagi Tumenggung Suro Agul-agul yang gagah perkasa itu kembali ke kota raja membawa laporan kemenangan bahwa ia telah membasmi pemberontakan di daerah Pakem. Kemenangannya disambut oleh Penewu Galiga Jaya dengan girang sekali dan Penewu ini lalu mengadakan pesta besar untuk menghormat Tumenggung Suro Agul-agul dan membagi banyak hadiah kepada para perajurit Mataram.
Namun, biarpun tidak berani mengucapkan dengan kata-kata, hatinya masih khawatir dan merasa kecut mendengar betapa Adiguna dan Riyatman dapat melarikan diri dan belum dibinasakan! Riyatman terus melarikan diri ke jurusan timur sampai ia tiba di kaki Gunung Lawu. Melihat bukit yang penuh hutan itu, Riyatman merasa girang dan melanjutkan pelariannya ke atas gunung. Oleh karena tubuhnya memang kuat, maka luka-luka di kulitnya cepat mengering dan baiknya tidak ada luka yang parah dan berat. Ia lalu masuk ke dalam hutan-hutan di lereng Gunung Lawu dan merasa dirinya aman berada di hutan yang sunyi dan liar itu. Sambil merawat luka-lukanya, pemuda ini berkeliaran di dalam hutan dan hidup menyendiri sambil menyesali untungnya yang buruk. Tetapi, api dendam terhadap Galiga Jaya masih tetap bernyala di dalam kalbunya.
Kini ia tersadar dan dapat menangkap maksud baik dari nasihat-nasihat Adiguna, dan ia merasa menyesal sekali mengapa ia menurutkan nafsu hati memusuhi pemuda sakti itu dan dengan mudah terbujuk oleh Singalodra yang pada hakekatnya memang benci kepada Mataram dan memang sengaja mencari kawan untuk mengadakan pemberontakan lagi! Ia kini maklum akan maksud Adiguna dan mengakui bahwa sebenarnya ia tidak harus memusuhi Mataram, oleh karena yang bersalah dalam peristiwa pembasmian Pakem hanyalah Galiga Jaya seorang. Ia dapat menduga pula bahwa barisan Mataram yang datang menyerbu tentu utusan Sri Sultan yang tertipu oleh Galiga Jaya, karena selain Galiga Jaya yang melaporkan dan menuduh bahwa ia dan kawan-kawannya memberontak kepada Mataram, dari manakah Sri Sultan mengetahuinya dan mengirim pasukan penggempur.
Didalam perantauannya, Adiguna tiba di sebuah dusun yang amat ramai dan makmur. Sawah ladang di sekitar dusun ini amat suburnya hingga keadaan kaum tani disitu boleh dikatakan makmur. Ini dapat dilihat dari keadaan rumah-rumah yang rata-rata besar dan baik dan juga pakaian penduduk dusun itu jarang ada yang compang-camping. Bahkan beberapa belas rumah, termasuk rumah Lurah dan pemilik-pemilik tanah, amat besar dan megah, terbuat dari kayu jati tua yang kokoh dan kuat. Ketika Adiguna masuk ke dusun itu, ia melihat bawah dua diantara rumah-rumah itu, terhias dan di depannya dipasangi tarup (bangunan darurat) seperti biasanya jika orang merayakan pesta pernikahan.
Ia mendengar pembicaraan orang dusun itu bahwa yang hendak melangsungkan perkawinan itu adalah pak Romojali yang menikahkan anak gadisnya kepada Raden Panji, seorang priyayi (ningrat) yang kaya raya dan yang menjadi tuan tanah terkaya di dusun itu. Pesta pernikahan ini menurut kata orang-orang dusun, adalah yang terhebat di dusun itu. Malam ini dan besok pagi, fihak pengantin perempuan menanggap wayang kulit dengan cerita "Narayana Maling", yaitu tujuh cerita ketika Sri Kresna Ratu Dwarawati masih muda dan bernama Narayana menjadi maling. Akan tetapi yang dicurinya bukanlah emas atau permata, melainkan seorang puteri! Cerita ini memang amat digemari orang, apalagi kalau yang menjadi dalangnya pandai, karena sifat cerita yang jenaka dan penuh pertandingan yang mengagumkan antara Narayana dan Arjuna.
Dan yang memainkan wayang di rumah pak Kromojali adalah seorang dalang Mataram yang amat terkenal dan mahal bayarannya. Wayangnya kepunyaan Raden Panji sendiri, demikian gamelan-gamelannya dan semua orang tahu bahwa wayang kulit milik Raden Panji masih baik-baik dan catnya masih mengkilat, sedangkan gamelannyapun nyaring dan merdu. Raden Panji yang kaya raya itu mempunyai dua perangkat gamelan, seperangkat dipinjamkan kepada calon mertuanya, yang seperangkat lagi dipakainya sendiri untuk meramaikan malaman hari kawinnya, karena ia mengadakan hiburan yang lebih ramai dan menggembirakan lagi, yaitu hiburan tayuban dengan memanggil ledek dari Widuran, si Harum manis yang terkenal indah suaranya dan cantik jelita wajahnya. Adiguna memang gemar akan cerita wayang dan suka sekali menonton wayang.
Dulu ketika ia masih kecil dan tinggal di Pakem, di rumah pamannya, tiap kali di lain dusun ada wayang kulit, biarpun secara sembunyi-sembunyi dan diam-diam, ia bersama Riyatman selalu pergi dari rumah dan menonton wayang semalam suntuk, rela mendapat teguran dan marah dari Pak Wiryosentiko pada keesokan harinya! Oleh karena ini, mendengar bahwa di dusun yang makmur itu malam nanti ada pertunjukan wayang dengan cerita Narayana maling yang disukainya pula, ia lalu menunda perjalanannya dan menonton wayang di rumah pak Kromojali. Benar saja, dalang Mataram ini memang seorang ahli. Suaranya empuk dan nyaring, dan suluknya bagus, kata-katanya jelas dan tidak ngawur, setiap kata-kata mengandung filfasat kebatinan yang tinggi dan dalam meniru suara tokoh-tokoh pewayangan, ia seakan-akan memiliki beberapa banyak macam suara.
Para tamu memenuhi ruangan dan semua orang menyatakan selamat kepada Kromojali, seorang tua berambut putih yang bermata kecil. Dan tamu-tamu ini lalu mendapat tempat duduk di belakang layar wayang kulit, ada pula yang sengaja mencari tempat duduk di depan untuk dapat menikmati pertunjukan lebih sempurna lagi. Adiguna berdesak-desak dengan para penonton yang berdiri di luar, tak seorangpun memperhatikannya. Percakapan masing-masing disekelilingnya memberi tahu padanya bahwa Kromojali yang tak boleh disebut kaya itu mengawinkan anaknya kepada Raden Panji yang sudah tua dan sudah mempunyai banyak isteri, dan Sutinah gadis Kromojali ini menjadi isterinya yang entah keberapa belasnya! Diam-diam Adiguna menghela napas panjang dan menyesali kedua orang itu. Raden Panji karena sifat mata keranjangnya dan mengandalkan pengaruh kekayaannya,
Sedangkan pak kromojali karena sifat mata duitan yang mengorbankan anak daranya semata-mata karena ingin bermenantukan orang kaya raya! Akan tetapi, urusan ini tidak menyangkut dirinya dan ia tidak berhak untuk ikut mencampurinya. Akan tetapi, pada saat cerita sedang ramai-ramainya dan wayang sedang dimainkan oleh ki dalang dengan indahnya, telinga Adiguna yang mempunyai pendengaran tajam sekali dan jauh melebihi pendengaran orang biasa itu, tiba-tiba dapat menangkap suara isak tangis yang datang dari arah belakang. Adiguna memiliki hati yang perasa sekali dan rasa iba menyelubungi hatinya ketika ia mendengar suara tangis yang amat menyedihkan itu. Ia maklum bahwa yang menangis itu adalah seorang wanita dan wanita itu mencoba untuk menahan tangisnya karena takut kalau-kalau suara tangisnya akan terdengar dari luar.
Ketika Adiguna melirik ke arah tuan rumah ia melihat betapa pak Kromojali sama sekali tidak mendengar suara tangis itu dan mukanya yang lebar masih berseri-seri dan bercakap-cakap dengan gembiranya melayani para tamu. Oleh karena tidak dapat menahan keinginan tahunya lebih lama lagi, Adiguna lalu menyelinap diantara penonton dan diam-diam mengambil jalan memutar menuju kebelakang rumah. Ia memandang ke atas dan melihat bahwa rumah itu mempunyai atap kayu yang kuat, dan karena dibawah banyak sekali orang hilir-mudik, ia lalu mempergunakan kepandaiannya. Sambil menahan napas dan mengerahkan aji kesaktiannya, pemuda itu lalu melompat ke atas dan tubuhnya melayang ke atas genteng.
Perbuatannya ini tidak terlihat oleh siapa juga, oleh karena selain malam gelap sekali, juga gerakannya amat cepat hingga kalau misalnya ada yang melihatnya, tentu akan mengira bahwa yang melompat itu adalah seekor kucing. Dengan hati-hati dan tidak mengeluarkan suara sedikitpun, Adiguna menuju ke bagian belakang dari mana ia mendengar suara tangis yang makin nyata. Ia membetot sebuah papan di atas dan mengintai ke dalam. Ternyata di dalam kamar itu terdapat seorang dara muda yang mudah diduga bahwa ia pengantinnya karena jidatnya telah berbekas kerikan dan ditambah hiasan-hiasan pengantin pada sanggulnya. Biarpun hanya gadis kampung, namun ternyata bahwa Sutinah manis sekali wajahnya. Ia duduk dan menangis, sedangkan seorang perempuan setengah tua yang juga duduk di atas balai-balai itu menghiburnya.
"Sudahlah! Sutinah, mengapa kau bersedih" Kau dan aku tak berdaya melawan kehendak Ayahmu, dan pula apa susahnya menjadi isteri Raden Panji" Dia seorang keturunan bangsawan agung, pandai dan kaya raya pula. Kau akan hidup penuh kebahagiaan disampingnya anakku." Tahulah Adiguna bahwa wanita setengah tua itu adalah Ibu gadis itu atau isteri pak Kromojali. Kembali Adiguna menarik napas panjang. Hal ini sudah diduganya sejak tadi. Sudah seringkali terjadi perkawinan-perkawinan ganjil seperti ini, dimana yang memegang peranan penting adalah pengantin laki-laki dan orang tua pengantin perempuan. Sedangkan pengantin perempuannya sendiri lebih patut disebut seekor domba yang menanti jatuhnya pisau penjagal yang hendak menyembelihnya. Setiap orang gadis harus tunduk akan kehendak Ayahnya, dan harus siap sedia tanpa membantah lagi untuk dikawinkan dengan siapa saja.
"Ibu..., lebih baik Ayah bunuh saja aku" aku tidak sudi menjadi isteri muda bandot tua itu, Ibu" aku lebih suka mati...!" tangis anak dara itu dengan suara memilukan.
Adiguna termenung. Seringkali ia mendengar ucapan seperti ini, bukan langsung dari para pengantin perempuan yang dipaksa kawin, akan tetapi mendengar cerita orang-orang. Gadis-gadis dusun yang dipaksa kawin, selalu menyatakan lebih baik mati daripada diperisteri oleh seorang laki-laki pilihan Ayahnya, apalagi kalau suami paksaan itu seorang yang sudah tua dan mempunyai banyak isteri. Akan tetapi, lazimnya mereka ini terpaksa tunduk, menyerah, tak berdaya, dan akhirnya mereka hanya dapat menyesali nasib! Kalau kelak beberapa tahun lagi suami mereka yang sudah kakek-kakek itu mati, mereka menjadi janda muda, janda kembang yang menjadi rebutan orang untuk menjadi permainan mereka. Ini sudah umum, sudah lazim, dan sudah menjadi nasib para dara kampung.
"Jangan kau bicara seperti itu, anakku!" Wanita tua itu menghibur, "Kau adalah seorang anak baik, yang cinta orang tua, yang dapat menjaga nama baik orang tua. Kau tahu sendiri bahwa Ayahmu yang gemar berjudi dan mengadu ayam itu telah menghabiskan uang banyak sekali. Dan tahukah kau darimana datangnya sekalian uang sebanyak itu" Ayahmu tidak bekerja, kita tidak mempunyai penghasilan apa-apa! Uang itu adalah uang pinjaman, anakku. Uang itu adalah uang Raden Panji yang baik hati dan merasa kasihan melihat nasib kita, maka ia mengulurkan tangan memberi pertolongan. Coba saja pikir, pinjaman Ayahmu yang sekian banyaknya itu telah dibebaskan, dianggap lunas. Dan lebih lagi, Raden Panji telah menyumbangkan sejumlah uang yang cukup untuk membeli sawah dua patok hingga penghidupan Ayahmu dan aku kini terjamin. Juga penanggapan wayang ini adalah kehendak Raden Panji, dan semua dibiayainya, juga wayang dan gamelannya adalah miliknya sendiri! Kurang apakah dia" Dia adalah seorang baik, Sutinah. Kau harus bergirang dan merasa bangga, karena tidak sembarang gadis dapat ditanggapkan wayang apabila ia menikah. Bahkan Ibumu sendiri dulu waktu menikah, jangankan menanggap wayang, bahkan menanggap ketek ogling (pertunjukan kera menari) pun juga tidak!"
Mendengar hiburan Ibunya yang mendesaknya ini, Sutinah tunduk dan menahan isaknya yang membuat tubuhnya bergoyang-goyang. Butiran air mata mengalir turun membasahi pipinya yang sudah dibedaki dengan langir, semacam bedak berwarna kuning. Adiguna yang mengintai dan mendengarkan di atas genteng, tidak merasa heran mendengar cerita tentang segala macam pinjaman yang dibebaskan itu. Lagu lama bagi si miskin di dusun-dusun. Memang demikianlah nasib si kecil yang miskin di dusun.
Sudah diperas, digencet, dinodai kehormatannya, masih harus berterimakasih lagi! Dan si kaya yang berkuasa yang menipu, memikat, memancing kemudian meminta korban gadis orang, masih dipuji-puji lagi sebagai seorang Budiman! Melihat keadaan Sutinah itu, Adiguna maklum bahwa sebagaimana lain gadis yang senasib sependeritaan, Sutinah akhirnya akan tunduk dan menyerah, lalu mengalah dan menyesali untung! Pada saat Adiguna hendak melompat turun lagi oleh karena merasa dalam hal ini ia tidak berhak dan tak dapat ikut campur, tiba-tiba ia melihat sesosok bayangan orang bergerak cepat dipekarangan belakang yang gelap dan sunyi! Pandangan matanya yang tajam dapat menembus gelap dan melihat bahwa bayangan itu adalah seorang pemuda yang bergerak mencurigakan, seperti seorang pencuri lakunya.
Adiguna lalu melompat kebagian paling belakang dan mengintai. Dilihatnya bayangan tadi kini berdiri di ujung pekarangan yang gelap sambil bersedekap tak bergerak. Ia merasa heran sekali dan memandang penuh perhatian. Tiba-tiba ia merasa betapa dari arah pemuda itu datang hawa yang aneh dan setelah mencurahkan perhatiannya, Adiguna tersenyum geli. Ternyata bahwa pemuda itu sedang mengerahkan aji kesaktian dan mendatangkan sirep kepada seisi rumah! Ia merasa kagum juga melihat pengaruh sirep yang amat kuat itu hingga lambat-laun keadaan di dalam rumah makin sunyi. Tamu-tamu yang duduk bercakap-cakap mulai menguap dan bahkan ada yang sudah mendengkur tertidur sambil duduk menghadapi hidangan dan minuman.
Akan tetapi, gamelan dan wayang bermain terus dan hal ini menandakan bahwa ki dalang itupun memiliki kekuatan yang luar biasa dan tidak mempan dijatuhi sirep pemuda itu. Adiguna makin tertarik dan ingin sekali ia melihat apa sebenarnya yang menjadi kehendak pemuda itu. Apakah ia seorang maling biasa" Akan tetapi mengapa ia harus menjatuhkan sirep yang demikian hebatnya. Tentu ada maksud yang lain lagi. Maka diam-diam Adiguna lalu membaca mantera dan menambah kekuatan aji sirep pemuda itu hingga sebentar saja suara gamelan menjadi tidak karuan bunyinya karena sebagian besar pemukulnya telah tertidur dan tak lama kemudian gamelan itu berhenti sama sekali, juga ki dalang yang mempunyai kepadaian tinggi itupun kena pengaruh sirep Adiguna dan tertidur dengan kedua tangannya masih memegang wayang! Pemuda itu lalu bergerak cepat dan masuk ke dalam rumah.
Adiguna melompat turun bagaikan sehelai daun melayang dan tidak menimbulkan suara lalu mengejar dan mengintai. Ternyata bahwa pemuda itu adalah seorang yang gagah dan tampan, berkulit hitam manis dan berkumis kecil di bawah hidungnya yang lurus mancung. Ia langsung menuju ke kamar pengantin dan Adiguna mengintainya dengan perasaan makin tegang dan heran! Ketika tiba di dalam kamar pengantin, ternyata bahwa Ibu pengantin telah tertidur sambil meringkuk bagaikan seekor kucing, sedangkan Sutina sendiri sambil duduk menyandar bilik. Dengan perlahan pemuda itu lalu mempergunakan jari-jari tangan kirinya menyentuh muka gadis itu mengusap wajah manis itu tiga kali. Sutinah membuka matanya dan memandang dengan mata terbelalak. Untuk sejenak ia bingung dan tak tahu apa yang telah terjadi. Kemudian ia memandang pemuda di depannya itu dan berbisik,
"Kang Teja!" "Ssstt?" pemuda itu menaruh telunjuk pada mulutnya minta agar supaya gadis itu tidak mengeluarkan suara keras.
Gambar 0401 "Sutinah, aku datang untuk menolongmu. Marilah kau ikut aku melarikan diri!" Gadis itu masih memandangnya dengan mata terbelalak dan timbul keraguan pada matanya.
"Kang Teja" aku" aku takut!"
"Takut" Mengapa" Takut apa?" tanya pemuda itu.
"Bagaimana kalau mereka mengetahuinya" Kita akan celaka dan kau... Kau akan dibunuhnya!" Wajah gadis itu memucat di balik bedak langirnya. Pemuda itu tersenyum menghibur.
"Jangan kita persoalkan hal itu sekarang. Pokoknya, Tinah, apakah kau cinta kepadaku seperti aku mencinta padamu?"
"Kau masih bertanya lagi, kang Teja" Kau tahu bahwa tidak ada laki-laki lain yang kucinta selain engkau!"
Pemuda itu mengangguk puas.
"Nah, kalau begitu mengapa kau ragu-ragu" Apakah kau suka menjadi isteri muda Raden Panji?" Gadis itu memandang marah.
"Aku lebih suka mati!"
"Kalau begitu, apakah tidak lebih baik mati disampingku daripada, disamping bandot tua itu?" Keraguan Sutinah melemah dan ia bangkit berdiri.
"Kang, kau betul-betul berani melarikan aku?" Pemuda itu menahan ketawanya.
"Kalau tidak berani masak aku bisa sampai kesini" Semua orang telah kusirep dan tertidur, mari lekas pergi." Dipegangnya tangan gadis itu dan hendak menariknya keluar dari kamar.
"Nanti dulu, kang..."
"Ada apa lagi?"
"Uang pemberian Raden Panji yang disimpan Ayah" apakah tidak lebih baik kita bawa untuk keperluan kita?" Suara pemuda yang bernama Suteja itu terdengar sunguh-sungguh ketika ia menjawab perlahan,
"Sutinah! Jangan kita sentuh uang itu! Aku tidak sudi mengotori tangan mengambil uangnya! Uang itu akan menodai usaha kita yang suci. Kita saling mencinta dan tidak sudi diganggu oleh tua bangka bandotan itu, mengapa kita harus mengambil uangnya" Tidak, Tinah, biarpun aku miskin akan tetapi untuk keperluan kita berdua, aku akan berusaha dengan jalan bersih."
Tanpa membantah lagi, Sutinah lalu ikut pemuda itu berlari ke tempat gelap. Adiguna yang menyaksikan dan mendengar semua ini, berdiri diam bagaikan patung. Ia merasa terharu dan kagum menyaksikan kegagahan dan kejujuran Suteja. Mendapat seorang suami seperti pemuda itu, dapat dipastikan bahwa hidup sutinah tentu akan berbahagia, apalagi mereka saling mencinta. Jauh lebih baik hidup miskin di samping orang yang dicintainya daripada hidup mewah dan kaya raya di samping seorang bandotan tua yang dibencinya. Adiguna tersenyum senang dan merasa bersyukur melihat peristiwa tadi. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar teriakan dari depan.
"Tolong" Tolongg" maling" maling!" Ini adalah teriakan ki dalang yang karena memiliki kekuatan batin yang lebih daripada orang-orang biasa, maka dapat tersadar lebih dulu dari pengaruh sirep. Mendengar teriakannya ini, orang-orang yang tadi kena sirep juga tersadar karena Suteja sudah pergi dari situ dan tidak menjaga atau memperkuat daya sirepnya. Dan dari jauh terdengar teriakan-teriakan orang banyak dan nampak orang-orang datang membawa obor ditangan. Ini adalah rombongan Raden Panji, karena mendengar keganjilan yang terjadi di rumah Kromojali.
Oleh karena yang terkena sirep hanya orang-orang di rumah Kromojali, maka ketika tiba-tiba gamelan wayang berhenti berbunyi, para tetangga menjadi heran dan ketika ada yang menjenguknya dan melihat betapa semua orang tertidur dalam keadaan yang aneh dan lucu, ada yang mulutnya masih penuh makanan yang belum dikunyahnya telah tertidur pula sambil duduk dan di tangan memegang makanan, maka orang itu lalu berlari sambil memberi kabar kepada yang lain hingga malam-malam Randen Panji datang membawa rombongannya dengan obor di tangan sambil berlari-lari. Ketika mereka mendengar teriakan-teriakan ramai di rumah pak Kromojali, mereka makin khawatir dan mempercepat larinya. Alangkah kaget dan marahnya Raden Panji ketika tiba disitu dan mendapat kenyataan bahwa pengantin wanita telah lenyap digondol maling!
"Bangsat kurang ajar!" Teriaknya dengan kumis berdiri. Orang-orang menjadi panik dan semua orang heran akan peristiwa yang aneh itu. Kebetulan sekali wayang itu melakonkan cerita Narayana Maling Puteri dan sekarang puteri pak Kromojali yang lenyap digondol maling! Siapakah gerangan maling yang teramat berani dan yang telah memcontoh perbuatan Narayana dalam cerita wayang itu"
"Ayo kita kejar! Kita cari sampai dapat! Biar aku sendiri membunuh mampus keparat yang berani kurang ajar itu!" teriak Raden Panji yang segera mengatur orang-orangnya untuk mencari dan mengejar ke berbagai jurusan. Akan tetapi, tiba-tiba dari atas genteng terdengar suara ketawa berkakakan dan suara ketawa ini demikian kerasnya membuat semua orang yang berada di bawah tersentak diam ketakutan.
"Raden Panji"!!" Tiba-tiba terdengar suara yang besar dan menyeramkan. "Tak perlu kau mencari! Pengantinmu telah kuambil karena ia tidak pantas menjadi isteri seorang bandot tua yang telah banyak mempunyai isteri sepeti engkau!" Semua orang merasa ketakutan dan Raden Panji marah sekali. Dia adalah seorang keturunan bangsawan dan sedikit banyak ia memiliki ilmu kepandaian dan kesaktian.
"Iblis keparat! Siapakah engkau yang berani mempermainkan Raden Panji" Turunlah kalau engkau memang jantan!" Kembali terdengar suara tertawa yang keras dan membuat bulu tengkuk berdiri.
"Ha-ha, Raden Panji! Engkau naiklah kalau ingin merebut kembali pengantinmu!" Raden Panji mencabut kerisnya dan ia lalu melompat ke arah genteng rumah pak Kromojali. Kaki kirinya menginjak patah papan genteng, akan tetapi ia dapat juga menjaga keseimbangan tubuhnya hingga tidak terjatuh kembali kebawah. Ia memandang ke sekeliling, akan tetapi tidak melihat bayangan orang.
Ia melangkah maju dan melompat ke atas wuwungan rumah itu. Tiba-tiba ia merasa ada angin menyambar dan ketika memutar tubuh sambil mengayunkan kerisnya untuk menyerang, tiba-tiba ia merasa betapa tubuhnya terdorong oleh semacam tenaga yang aneh dan kuat sekali hingga ia tak dapat mempertahankan dirinya lagi dan tubuhnya lalu terguling dan menggelundung ke bawah! Baiknya Raden Panji memang tangkas dan gesit, maka ketika merasa bahwa tubuhnya jatuh ke bawah, ia dapat menggerakkan kaki tangan dan mengatur sedemikian rupa hingga ketika tubuhnya tiba di tanah, ia jatuh dengan kaki dan tangan di depan dan tidak mengalami luka-luka hebat. Kembali terdengar tertawa mengejek dari atas genteng hingga Raden Panji merasa marah luar biasa. Ia acung-acungkan kerisnya yang masih berada di tangannya ke arah genteng dan berseru,
"Iblis keparat, mengakulah siapa engkau?"
"Aku adalah Kala Kaprah, penunggu hutan disebelah selatan! Sutinah telah kubawa untuk menjadi isteriku yang tercinta, dan mereka yang merasa penasaran, boleh naik kesini atau menyusulku ke hutan!"
"Iblis laknat! Engkau pengecut! Kalau engkau memang gagah, jangan main-main sembunyi dan keluarlah!" kata Raden Panji yang memberi isyarat kepada kaki tangannya untuk bersiap hingga orang-orang itu telah mencabut senjata masing-masing dan bersiap sedia dengan hati gentar! Tiba-tiba dari atas genteng berkelebat sesosok bayangan bagaikan seekor gardu melayang turun dan menyambar. Semua orang merasa ngeri dan terkejut. Raden Panji mengangkat kerisnya menyambut bayangan yang turun menyambar itu, akan tetapi ia segera memekik kesakitan dan kerisnya dapat terampas oleh bayangan itu.
Sambil tertawa menyeramkan, bayangan itu lalu mematahkan keris Raden Panji. Semua kawan-kawan Raden Panji menyerbu, akan tetapi bayangan itu gesit sekali gerakan-gerakannya hingga tak dapat terlihat nyata mukanya, berkelebat kesana kemari membagi-bagi pukulan dan tendangan hingga keadaan menjadi kalang-kabut dan banyak orang pembantu Raden Panji terlempar dan jatuh saling tindih! Raden Panji sendri yang mendapat serangan pertama, telah patah tulang lengannya dan kini merintih-rintih sambil memegangi lengan tangannya! Kemudian bayangan itu lalu melarikan diri cepat sekali menuju ke selatan dan menghilang di dalam gelap! Tentu saja dapat diduga bahwa yang menjadi setan ini bukan lain ialah Adiguna dalam usahanya membantu Sutinah yang melarikan diri dengan kekasihnya menuju ke utara.
Ia sengaja memancing Raden Panji dan orang-orangnya hingga tidak melakukan pengejaran, memberi kesempatan kepada sepasang merpati itu untuk terbang pergi jauh meninggalkan tempat itu. Juga ia sengaja memberi tahu bahwa ia membawa Sutinah ke hutan sebelah selatan untuk membelokkan perhatian Raden Panji dan kaki tangannya. Setelah melakukan perbuatan ini, sambil tersenyum-senyum puas dan geli, Adiguna melanjutkan perjalanannya. Sebagaimana yang ia telah duga dan rencanakan, pada keesok harinya Raden Panji disertai banyak sekali orang-orangnya, pergi ke hutan di sebelah selatan dan mencari-cari Sutinah, akan tetapi tentu saja mereka tidak dapat menemukan gadis yang kini telah berada jauh di utara bersama pemuda kekasihnya untuk menempuh hidup baru yang penuh bahagia!
Pada suatu hari Adiguna tiba di dusun Gandekan. Dusun ini berada di sebelah selatan kali dan keadaan dusun ini nampak tenteram dan makmur. Kaum tani yang mengerjakan sawah di sekitar Gandekan, bekerja sambil menembang, menandakan bahwa keadaan penghidupan di dusun itu memang baik dan serba cukup. Ketika Adiguna berjalan perlahan di atas lorong yang diapit sawah ladang yang amat luas dan suburnya itu, ia melihat para petani bekerja dengan rajin dan seorang laki-laki yang sudah tua berdiri di atas gelengan sawah memberi petunjuk-petunjuk kepada mereka yang sedang menanam padi. Orang tua ini berwajah peramah dan baik hati dan melihat sikap para petani terhadap dia, Adiguna dapat menduga bahwa orang tua ini tentulah pemimpin mereka atau setidaknya Lurah dusun di depan itu.
Ia menjadi amat tertarik karena sikap kakek ini berbeda dengan orang-orang yang menjadi Lurah di dusun-dusun lain. Orangnya bersikap ramah-tamah, sederhana dan jelas kelihatan bahwa ia amat menghargai tenaga para petani di kampungnya. Pada waktu itu, matahari telah naik tinggi dan panasnya bukan main. Adiguna lalu pergi ke sebuah pohon di pinggir jalan dekat tempat itu, dan duduk berteduh di bawah pohon sambl melihat petani-petani bekerja. Dari arah desa datang dua orang yang memikul keranjang. Ketika mereka ini tiba di tempat dimana kakek itu memberi petunjuk dan contoh kepada para petani dengan turun tangan sendiri ikut membantu menanam padi, dua orang pemikul keranjang itu berhenti. Kakek itu lalu berdiri dan berteriak dengan suara nyaring,
"Berhenti dulu, kawan-kawan! Kita mengisi perut dulu!" Maka berhentilah semua petani dan meninggalkan pekerjaannya lalu menghampiri dua orang pemikul keranjang itu dengan wajah gembira. Ternyata bahwa yang dipikul itu adalah sebuah keranjang besar berisi makanan. Petani-petani laki perempuan yang jumlahnya dua puluh orang lebih itu lalu duduk di atas rumput dan nasi serta sayur-mayurnya dibagi-bagi. Dari dalam keranjang juga dikeluarkan empat buah kendi berisi air jernih. Tak enak sekali hati Adiguna melihat orang makan minum dengan senang itu, karena ia sendiri juga merasa amat lapar. Ia lalu berdiri dan hendak meninggalkan tempat itu. Akan tetapi, tiba-tiba kakek itu memanggilnya,
"Hai, sahabat. Marilah kau ikut makan dan membantu kami menghabiskan nasi ini!" suaranya terdengar ramah-tamah sekali, dan banyak mulut petani-petani itupun lalu menawarkan makanan kepada Adiguna. Adiguna merasa malu sekali.
"Terima kasih, terima kasih. Saudara-saudara makanlah dengan enak, aku tak berani mengganggu."
"Eh-eh, mengapa begitu, nak?" kata kakek tadi. "Tak baik menolak rezeki. Marilah, jangan malu-malu. Setelah kebetulan engkau berada di sini, engkau terhitung orang kami sendiri!" Adiguna merasa malu dan tidak enak untuk menolak terus, maka iapun lalu menghampiri mereka. Banyak pasang tangan yang segera menyambutnya dengan ramah dan ia mendapat bagiannya pula, nasi merah dengan sayur terong dan sambal. Sungguhpun hidangan itu amat bersahaja, namun Adguna makan dengan enaknya.
Ia melihat betapa keramah-tamahan semua orang ini keluar dengan sewajarnya dari hati yang tulus ikhlas, jujur dan baik. Oleh karenanya, ia merasa gembira sekali. Makan bersama ini membuat ia mendapat perasaan seakan-akan ia berada di tengah-tengah keluarga sendiri yang besar, hingga tiba-tiba ia merasa terharu sekali. Dengan mata berseri, ia memandang dan menatap semua wajah mereka seorang demi seorang dan mendapat kenyataan bahwa mereka ini benar-benar petani tulen yang berhati jujur dan bersih, sejujur sifat tanah yang sehari-hari mereka kerjakan. Hanya kakek itu saja yang mempunyai wajah cerdik dan berpengalaman. Setelah selesai makan, semua petani lalu merokok dan kembali ke pekerjaan masing-masing, sedangkan kakek tadi duduk bercakap-cakap dengan Adiguna sambil menghisap rokok klobotnya.
"Banyak terima kasih atas budi kebaikanmu ini, pak," kata Adiguna dengan gembira. "Kalian sungguh-sungguh orang-orang baik dan saat aku makan dengan kalian tadi adalah saat yang paling bahagia bagiku dan yang takkan mudah kulupakan." Adiguna mengeluarkan ucapan ini dengan sejujurnya, dan kakek itu memandangnya dengan muka mengandung iba hati.
"Anak muda," katanya dengan suara lemah lembut, "melihat keadaanmu, tentu kau seorang yang datang dari tempat jauh dan mungkin sekali kau ini seorang pemuda perantau. Memang hidup merantau amat sengsara, karena kau tidak mengenal kebahagian kekeluargaan. Kalau kau merasa suka tinggal disini, tinggallah bersama kami, kami akan menerimamu dengan segala senang hati." Adiguna tersenyum dan diam-diam ia merasa kagum akan kebaikan yang tulus ikhlas ini. Ia tahu bahwa bangsanya memang bangsa yang ramah-tamah, penuh perikemanusiaan, jujur dan suka menolong sesama manusia. Akan tetapi, jarang ia bertemu dengan seorang yang seperti kakek ini, yang dengan tepat dapat mengetahui keadaan dan yang tanpa ragu-ragu hendak menerimanya sebagai keluarga kampung itu.
"Bapak yang berhati mulia, terima kasih atas tawaran ini. Dusun apakah namanya tempatmu ini dan siapa gerangan bapak ini yang memimpin para petani?" Kakek itu tersenyum,
"Dusun kami bernama dusun Gandekan dan aku adalah Lurah mereka." Adiguna segera menjura dan menyatakan hormatnya,
"Ah tidak tahunya bapak adalah pak Lurah Gandekan. Maaf, maaf, aku berlaku kurang hormat." Pak Lurah Gandekan tersenyum ramah,
"Ha-ha, anak muda. Siapakah aku ini maka harus mendapat perlakuan berbeda" Seorang Lurah bukanlah seorang bangsawan agung yang harus dipuja-puja. Aku hanyalah seorang Lurah yang menjadi bapak seluruh penduduk Gandekan." Adiguna merasa kagum sekali. Jarang ada Lurah sesederhana dan sebaik ini. Biasanya Lurah dusun yang ia lihat adalah orang-orang yang ingin berkuasa saja, ingin mempengaruhi seluruh penduduk dan bersikap seolah-olah ia adalah raja kecil di dalam dusunnya. Maka ia merasa amat girang dapat bertemu dengan Pak Lurah Gandekan ini.
"Pak Lurah, tidak heran apabila rakyatmu bekerja dengan rajin dan dusunmu menjadi makmur, karena dusun Gandekan mempunyai seorang Lurah yang bijaksana seperti bapak!" Tiba-tiba Pak Lurah tua ini menghela napas.
"Tidak semakmur yang kau duga atau yang kuhendaki. Telah beberapa hari ini dusun kami mendapat gangguan luar biasa dari seorang maling. Beberapa orang yang keadaannya lumayan didatangi dan dicuri uangnya oleh maling ini. Kami telah mengerahkan seluruh tenaga peronda dan penjaga, namun sia-sia saja. Maling itu terlampau cerdik bahkan memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi. Kalau saja meneruskan aksinya di kampung kami, sebentar saja Gandekan akan mengalami penderitaan hebat!" Adiguna tertarik sekali hatinya.
"Bagaimana bapak tahu bahwa maling itu memiliki ilmu kepandaian tinggi?"
"Pernah ia terkepung oleh barisan peronda yang mengintai dan kemudian ia dikeroyok, akan tetapi, belasan orang peronda dengan mudah dapat dirobohkannya semua!" Adiguna terkejut, karena maling yang dapat merobohkan belasan orang peronda bukanlah maling biasa! Kemudian ia minta penjelasan dari Pak Lurah Gandekan yang segera menceritakan bahwa telah beberapa hari ini, tiap malam pasti terjadi pencurian, dan yang dicuri uang dalam jumlah besar dari para penduduk yang agak baik keadaannya. Pencuri itu sama sekali tidak meninggalkan bekas dan ia selalu masuk ke dalam rumah melalui jendela atau pintu yang dibukanya dengan cara luar biasa sekali, bahkan kadang-kadang ia turun dari atap rumah.
"Pak Lurah, aku telah menerima kebaikan penduduk Gandekan dan sudah seharusnya aku membantu kalian apabila terjadi kesukaran. Apalagi dusun yang mempunyai penduduk sebaik kalian, bahkan seandainya aku tidak diterima dengan baik-baikpun, sudah menjadi kewajibanku untuk menolong. Biarlah malam nanti kucoba untuk menangkap maling sakti itu!" Semenjak pertama kali bertemu dengan Adiguna, Pak Lurah Gandekan memang telah dapat menduga bahwa pemuda ini tentu bukanlah seorang pemuda sembarangan, bahkan tadinya a menaruh curiga jangan-jangan pemuda ini adalah maling sakti itu! Kini mendengar janji Adiguna, ia merasa girang sekali.
"Kau gagah dan baik sekali, nak. Bolehkah aku mengetahui namamu yang mulia?"
"Aku yang rendah dan bodoh bernama Adiguna dan datang dari dusun Pakem" Pak Lurah Gandekan nampak terkejut,
"Pakem, dusun yang telah mengadakan pemberontakan itu?" Adiguna tersenyum.
"Sudah begitu luaskah menjalarnya berita itu" Benar, pak lurah, memang dusun Pakem yang kau maksudkan itu. Akan tetapi, jangan khawatir, aku bukanlah seorang pemberontak!" Demikianlah, malam hari itu Adiguna bermalam di rumah Pak Lurah Gandekan, dan setelah malam tiba, pemuda ini lalu keluar melakukan pengintaian. Sebelum keluar, ia bertanya kepada pak Lurah dimana rumah-rumah yang belum didatangi maling itu dan kiranya didatangi maling, yakni rumah-rumah orang-orang yang keadaannya cukup kaya.
Ia melakukan pengintaian dan berkeliling sambil mempergunakan ilmu kepandaiannya berjalan cepat hingga tak ada orang yang melihatnya. Kurang lebih jam dua belas tengah malam, tiba-tiba ia melihat bayangan orang yang berlari cepat sekali dibawah sinar bulan purnama. Bayangan ini tidak saja berlari cepat, akan tetapi kedua kakinya tidak mengeluarkan suara, seakan-akan kedua kaki itu tidak menginjak bumi. Adiguna terkejut dan heran, karena dapat menduga bahwa ini tentulah maling yang ternyata benar-benar berkepandaian tinggi. Ia lalu mengeluarkan kepandaiannya dan mengejar tanpa diketahui oleh yang dikejarnya. Benar saja seperti dugaannya, orang yang dikejarnya itu menuju ke sebuah rumah orang kaya di ujung timur dan ketika tiba di dekat rumah itu, ia lalu bersembunyi di balik sebatang pohon dan memandang ke sekelilingnya yang sunyi.
Adiguna juga bersembunyi dan mengintai dengan pandangan mata tajam. Ia ingin menyaksikan bagaimana cara bekerjanya maling sakti ini. Ia melihat betapa maling itu duduk bersila di bawah pohon dan diam tak bergerak seperti orang ber samadhi, maka tahulah ia bahwa maling sakti itu sedang mengeluarkan aji sirepnya untuk membuat seisi rumah itu tertidur nyenyak. Kemudian, maling itu lalu berdiri dan menghampiri rumah itu dengan perlahan. Ia meraba-raba daun pintu dan ketika mendapat kenyataan bawah daun pintu itu terpalang kokoh kuat, ia lalu menghampiri jendela. Akan tetapi, juga jendela ini tertutup dan terkunci kuat-kuat, karena semenjak di dusun itu terjadi banyak pencurian, setiap orang mengunci pintu dan jendela rumah mereka kuat-kuat.
Maling itu lalu melangkah mundur, kemudian tiba-tiba ia melompat ke atas atap rumah. Adiguna merasa kagum sekali oleh karena ilmu lompat maling itu cukup hebat. Ia tetap menanti di luar oleh karena hendak menangkap basah pencuri itu. Ia tak usah lama menanti karena agaknya sebentar saja pencuri itu beraksi di dalam rumah. Kini ia keluar melalui pintu samping, setelah membuka palang pintu dari dalam dan dengan enaknya ia keluar seperti keluar dari rumahnya sendiri saja. Di pundaknya terdapat sebuah buntalan kain yang besar dan berat, dipegang dengan tangan kiri. Ketika melihat wajah pencuri itu di bawah sinar bulan, Adiguna makin heran, karena pencuri itu adalah seorang yang masih muda dan tampan. Ia segera melompat ke depan pencuri itu sambil membentak,
"Maling sakti, menyerahlah untuk menebus dosamu terhadap penduduk Gandekan!" Maling itu terkejut karena melihat betapa pemuda yang datang ini memiliki kepandaian melompat demikian hebatnya. Tanpa banyak cakap lagi ia lalu maju menyerang dengan tangan kanannya. Pukulan ini hebat dan mendatangkan angin karena kerasnya. Adiguna menangkis untuk mencoba tenaga itu dan tangkisan ini membuat maling itu terhuyung ke samping. Karena tahu bahwa kali ini bukan menghadapi peronda atau penjaga biasa, akan tetapi seorang lawan tangguh, maling itu tidak berani berlaku sembrono.
Terpaksa ia melepaskan buntalan yang dipegangnya di tangan kirinya agar ia dapat melawan dengan menggunakan kedua tangan. Maka berkelahilah mereka dengan hebat, saling pukul, saling tendang dan mengeluarkan ilmu kepandaian masing-masing. Akan tetapi, ternyata bahwa maling itu tidak cukup sakti untuk menghadapi Adiguna yang tangguh. Setelah berkali-kali pukulannya diterima dengan tenang oleh Adiguna yang seakan-akan tidak merasa sesuatu, maling itu maklum bahwa ia takkan mungkin menang. Tiba-tiba ia berseru keras sekali hingga Adiguna merasa terkejut karena tubuhnya menjadi lemas! Ia maklum bahwa ini tentu semacam aji kesaktian yang luar biasa, maka ia lalu mengerahkan tenaga batinnya untuk melawan seruan ini.
Ia berhasil menolak pengaruh itu akan tetapi kesempatan ini digunakan oleh maling itu untuk melarikan diri dengan cepat. Adiguna mengejar dan ia sengaja tidak mau menyusul karena ia memang ingin tahu dimana tempat tinggal maling sakti yang muda ini. Ternyata bahwa maling itu lari terus ke timur dan Adiguna juga tetap mengejar. Jarak antara kedua orang yang berlari-lari ini tak pernah berubah. Maling itu beberapa kali berpaling dan mengeluh dengan gugup ketika melihat bahwa pemuda yang sakti itu masih saja mengejarnya! Mereka telah berkejar-kejaran jauh sekali dan setelah tiba di dalam sebuah dusun kecil dan miskin, maling itu lalu masuk ke dalam sebuah pondok bobrok yang terbuka pintunya. Adiguna mengetuk pintu pondok itu dan seorang petani yang berpakaian penuh tambal-tambalan membuka pintu.
"Maaf, pak. Baru saja ada seorang pemuda masuk di dalam pondokmu. Aku mengejar dia dan suruhlah dia keluar."
"Kau siapa dan mengapa malam-malam menggangguku" Di rumahku tidak ada siapa-siapa dan juga tidak ada orang yang masuk kesini!"
"Jangan begitu, pak. Aku mengejar seorang maling dan kulihat jelas bahwa ia masuk ke dalam pondok ini. Apakah dia itu anakmu?"
"Tidak, tidak ada siapa-siapa disini!" kata orang tua itu sambil bergerak hendak menutupkan daun pintu.
Akan tetapi, tiba-tiba Adiguna terkejut sekali. Ia mengenal sinar mata ini!
"Kaulah orangnya!" katanya sambil cepat mengulurkan tangan hendak menangkap. Akan tetapi maling sakti yang dengan cepat telah dapat menyamar sebagai seorang kakek itu lalu mengelak dan melompat lagi sambil mendengarkan suara ketawa! Adiguna menjadi gemas dan cepat mengejar lagi. Akan tetapi, oleh karena kini mereka berkejaran di dalam sebuah kampung, agak sukar juga bagi Adiguna untuk menangkap maling itu yang berlari-lari memutari rumah-rumah. Adiguna lalu mendapat akal. Ia melompat dan memanjat pohon cemara yang tinggi dan duduk di atas puncak pohon itu sambil memandang tajam. Benar saja, dari tempat tinggi ini ia dapat melihat segala gerak-gerik maling itu.
Ketika maling itu tidak melihat pengejarnya lagi, ia lalu mengetuk pintu sebuah rumah dan keluarlah beberapa orang dari rumah itu. Cepat sekali maling itu masuk ke dalam rumah dan pintu ditutup lagi. Adiguna tersenyum puas. Ia telah tahu kediaman tempat tinggal maling sakti yang cerdik itu. Ia merasa kurang baik kalau malam-malam bergerak dan menangkap maling, karena takut kalau-kalau mengganggu penduduk kampung itu, maka ia lalu menanti sampai malam berganti pagi. Setelah rumah-rumah di kampung itu semua pintunya telah terbuka, Adiguna dengan tindakan tenang menuju ke rumah itu. Ia melihat seorang laki-laki setengah tua sedang menggiring kerbaunya keluar dari kandang dan agaknya orang itu hendak bekerja di sawah, karena iapun telah mengeluarkan bajaknya. Melihat kedatangan Adiguna, orang itu lalu bertanya,
"Saudara hendak mencari siapa?" Adiguna tersenyum dan merasa geli hatinya. Ternyata bahwa orang ini sudah mengetahui maksudnya, karena pertanyaan hendak mencari siapa ini juga sudah cukup membongkar keadaan hatinya! Maka langsung pula ia menjawab,
"Aku hendak mencari maling sakti yang mengganggu dusun Gandekan!" Orang itu nampak marah.
"Apa katamu" Jangan engkau main-main, kawan. Mengapa engkau mencari maling di rumahku" Apakah engkau mau berkata bahwa aku adalah seorang maling?" Ia melepaskan tali kerbau yang tadi dipegangnya dan menghampiri Adiguna. Tubuhnya yang besar dan kuat itu menegang, siap untuk berkelahi!
"Tenang, sahabat!" kata Adiguna, "Bukan engkau pencuri yang kumaksudkan itu, akan tetapi ia bersembunyi di dalam rumahmu. Suruhlah dia keluar dan menyerah kepadaku!"
"Bangsat! Jangan engkau menghina orang! Aku hanya hidup dengan seorang Ayah yang telah tua, seorang isteri dan dua orang anak, serta seorang adik perempuan. Tidak ada maling disini!"
"Maaf, saudara yang berangasan! Bolehkah kiranya aku menemui keluargamu itu untuk membuktikan sendiri bahwa benar-benar di rumahmu tidak ada maling?"
"Kurang ajar! Engkau tidak percaya omonganku?" Pada saat itu, dari dalam rumah keluar dua orang anak laki-laki kecil dan petani itu segera berkata kepada anak-anaknya,
"Suruh kakekmu dan Ibumu keluar!" Kedua orang anak itu lalu berlari masuk dan tak lama lagi dari pintu itu keluarlah seorang kakek-kakek dan seorang wanita, Ibu kedua orang anak kecil tadi.
"Nah, inilah Ayahku dan ini isteriku. Apakah mereka ini patut menjadi maling?" Adiguna tersenyum tenang.
"Masih ada adik perempuanmu, kawan, dan ia belum keluar."
"Keparat kurang ajar! Jadi engkau masih tidak percaya" Hai, Untari"! Keluarlah engkau sebentar!" Adiguna memandang tajam ke arah pintu dan ketika gadis yang bernama Untari itu keluar, terkejutlah dia. Memang tak dapat disangkal lagi bahwa gadis ini lemah lembut dan manis sekali wajahnya, akan tetapi mata itu!! Mata itu tiada bedanya dengan mata maling sakti yang telah bertempur dengannya malam tadi, dan sama pula dengan mata petani tua penyamaran maling sakti! Inikah maling sakti yang dikejar-kejarnya malam tadi" Ah, tidak mungkin! Akan tetapi mata itu! Ia tidak bisa salah lagi, pasti inilah malingnya!
"Ada apakah kang?" tanya gadis itu dengan suaranya yang halus dan merdu.


😦

"Pemuda kurang ajar ini hendak melatihmu!" Gadis itu mengerling ke arah Adiguna dan merahlah wajahnya.
"Siapakah dia" Aku tidak mengenalnya," katanya.
"Maaf " maling itu" eh" aku" aku yakin bahwa maling sakti yang kukejar malam tadi masuk ke rumah ini dan" dan" maling itu" matanya sama benar dengan matamu, nona!" kata Adiguna dengan gagap.
"Memang pemuda kurang ajar!" kata petani itu sambil mengepal tinju. Sementara itu, peristiwa ini menarik perhatian semua orang dusun yang segera menghampiri dan mengelilingi mereka. Sikap mereka ini rata-rata memperlihatkan kemarahan kepada Adiguna hingga pemuda ini merasa serba salah dan juga heran. Agaknya semua orang dusun ini membela si maling sakti!
"Di dusun ini memang banyak terdapat orang-orang yang hampir serupa bentuk dan mukanya," kata gadis itu.
"Akan tetapi tidak ada mata yang sama sinarnya," kata Adiguna dengan pandangan mata tajam menatap mata gadis itu. Untari tersenyum dan makin manislah wajahnya yang ayu.
"Dan sinar mataku bagaimanakah?"
"Sinar matamu sama benar dengan sinar mata maling sakti tadi, sama bening, sama tajam dan bentuknya sama... indah." Kembali memerah wajah gadis itu, sedangkan kakaknya lalu melangkah maju dan mengamang-amangkan tinjunya yang besar.
"Pemuda kurang ajar! Ayoh, kau lekas pergi dari dusun kami, kalau tidak, kuhancurkan mukamu yang halus itu!"
"Tidak! Aku baru mau pergi kalau maling sakti ini suka ikut padaku untuk mempertanggungjawabkan dosa-dosanya kepada penduduk Gandekan! Aku merasa pasti bahwa adik perempuanmu inilah malingnya!" Sambil berkata demikian, untuk mencoba, Adiguna lalu mengulurkan tangan dan mempergunakan tenaganya untuk mencengkeram lengan Untari, akan tetapi, dengan gesit gadis itu dapat mengelak!
"Ha, tahulah aku sekarang Untari adikmu inilah malingnya! Maling wanita yang sakti!" Akan tetapi, pada saat itu semua orang dusun yang mengurungnya lalu serempak maju mengeroyoknya! Adiguna terkejut dan berteriak,
"Saudara-saudara, jangan salah faham! Di dalam dusun kalian terdapat seorang maling jahat. Inilah malingnya, gadis ini. Tak salah lagi!"
"Bangsat kurang ajar!" teriak seorang petani yang berpakaian lapuk. "Jeng Untari yang menjadi penolong dan pembela kami kau sebut maling jahat!" Sambil berkata demikian ia mengayun aritnya dan menyerang kalang kabut! Diam-diam Adiguna maklum bahwa kiranya Untari adalah seorang maling haguna, yaitu maling yang menjalankan pekerjaan khusus untuk menolong orang-orang yang menderita sengsara karena kemiskinannya. Ia pernah mendengar tentang adanya maling-maling haguna seperti ini dan perbuatan mereka itu betapapun juga telah mendatangkan rasa kagum di dalam hatinya. Akan tetapi belum pernah selama hidupnya ia mendengar tentang adanya seorang maling haguna wanita! Dan wanita itu seorang gadis ayu dan muda seperti Untari lagi!
"Tahan dulu!" teriaknya dengan keras hingga para pengeroyoknya menahan senjata masing-masing karena tertarik oleh suaranya yang berpengaruh dan nyaring. "Aku bukanlah seorang peronda atau penjaga dusun Gandekan, dan aku hanyalah seorang perantau yang tidak rela melihat dusun Gandekan diganggu maling! Tak kusangka bahwa maling itu bukan maling biasa. Apakah benar dugaanku bahwa Nona Untari ini seorang maling haguna yang membagikan hasil curiannya kepada rakyat miskin" Kalau memang demikian halnya, aku Adiguna tak akan mau ikut campur!" Kini Untari yang melompat maju dan menghadapi Adiguna tanpa gentar sedikitpun, hingga pemuda ini mengenal lagi pencuri aneh yang bertempur dengan dia malam tadi.
"Benar, aku adalah Untari, maling haguna! Tak perlu aku bersembunyi lagi dan berlaku pengecut menyembunyikan perbuatanku! Kau ingin menangkapku" Boleh, engkau coba saja! Sebelum Untari menggeletak dengan nyawa putus, jangan harap engkau akan dapat menawan aku" Gagah benar sikap gadis ini hingga Adiguna memandang kagum.
"Jangan bersikap galak, sahabat," kata Adiguna sambil tersenyum. "Aku mengejar-ngejarmu karena tidak tahu bahwa engkau adalah seorang maling haguna yang budiman, dan karena aku telah berjanji kepada Pak Lurah Gandekan untuk menangkap pencuri yang mengganggu dusunnya. Sekarang karena ternyata bahwa engkau bukanlah maling jahat biasa, maka akupun tidak mau ambil perduli lagi. Hanya saja, karena kulihat bahwa penduduk Gandekan adalah orang-orang yang baik hati dan lurahnya pun seorang bijaksana, kuharap engkau suka memandang mukaku dan jangan melakukan pencurian disana lagi! Kau pilih orang-orang kaya yang jahat dan kikir di dusun atau kota lain. Aku berjanji tak akan menghalangi pekerjaanmu yang istimewa itu!" Untari memandang wajah Adiguna dan nyata bahwa gadis ini tertarik dan kagum. Memang malam tadipun ia telah selalu memikirkan diri pemuda yang sakti dan yang telah mengalahkannya itu.
"Kau adalah seorang gagah yang jujur, dan nasihatmu itu patut diturut. Akupun tahu bahwa pak Lurah Gandekan adalah seorang bijaksana, maka akupun tak pernah melukai para peronda yang menjaga di dusun Gandekan. Aku hanya mengambil sedikit saja uang orang-orang kaya disana untuk dibagikan kepada para petani miskin disekitar dusun itu pula. Akan tetapi, karena kini telah engkau minta, biarlah aku tidak akan mengganggu Gandekan lagi."
RONDO KUNING MEMBALAS DENDAM JILID 05

Untari dan kawan-kawannya hendak mencegah pemuda itu pergi, akan tetapi Adiguna telah mempergunakan kesaktiannya, dan sekali saja berkelebat, tubuhnya telah lenyap dari kepungan mereka. Untari menghela napas berkenalan dengan pemuda gagah itu. Adiguna lalu menuju ke Gandekan dan kembali ke rumah Pak Lurah. Ia tidak membongkar rahasia Untari, hanya menceritakan bahwa ia dapat membengkuk maling itu dan telah membuatnya bertobat.
"Aku yang menanggung bahwa dusunmu takkan mendapat gangguannya lagi, Pak Lurah. Akan tetapi satu saja pesanku, hendaknya Pak Lurah sudi memperhatikan keadaan rakyat tani yang miskin disekitar dusunmu ini dan kau selidiki baik-baik siapa yang patut mendapat pertolongan dan bantuan agar tidak Timbul hal-hal yang tidak diinginkan." Setelah meninggalkan pesanan ini, Adiguna lalu melanjutkan perjalanannya berkelana brata, yaitu merantau sambil menyebar perbuatan-perbuatan yang bersifat menolong sesama manusia yang menderita sengsara dan membutuhkan pertolongan. Karena ini, namanya sebentar saja menjadi terkenal sebagai seorang pendekar Budiman di dusun-dusun yang pernah dijelajahinya dan pengalamannyapun bertambah banyak.
Setelah beberapa bulan lamanya hidup terasing seorang diri di dalam hutan-hutan di kaki Gunung Lawu, keadaan Riyatman menjadi seperti seorang liar. Pakaiannya telah hancur dan kini ia hanya mengenakan cawat yang dibuatnya dari kulit harimau yang dibunuhnya. Rambutnya panjang dan mukanya penuh kumis dan jenggot. Akan tetapi, tubuhnya makin tegap mukanya makin gagah. Ia hidup menyendiri, memburu binatang buas dengan tombak dan anak panah yang dibuatnya sendiri. Cita-citanya untuk membalas dendam masih saja menyala di dalam hati, sungguhpun ia tidak melihat adanya kesempatan untuk melakukan hal ini.
Ia tidak berdiam di tempat tertentu, melainkan mengembara dan berpinda-pindah dari satu ke lain hutan. Telah seringkali ia bertemu binatang buas dan menghadapi bahaya maut, akan tetapi berkat ketangkasan dan kegagahannya, ia berhasil menyelamatkan diri dan semenjak berbulan-bulan itu, hanya beberapa luka kecil tak berarti saja bekas terkaman binatang buas yang pernah dideritanya. Tubuhnya yang kuat dan darahnya yang sehat menolak setiap penyakit yang mencoba menghampirinya. Pada suatu pagi, seperti biasa ia pergi memburu binatang hutan. Telah beberapa hari lamanya ia mengintai seekor rusa muda dan mengejar-ngejarnya, karena telah lama sekali ia ingin makan daging rusa muda. Akan tetapi, binatang itu terlampau liar dan gesit hingga usahanya untuk menangkapnya selalu gagal.
Akhirnya ia dapat mengetahui jalan mana yang biasa dilalui rusa ini untuk mencari air minum, maka kini ia mengintai di dalam alang-alang, siap dengan busur dan anak panahnya. Ketika saat yang dinanti-nantinya tiba dan rusa itu mendatang dari jauh, dengan hati berdebar girang Riyatman menarik busurnya. Anak panah terlepas cepat dan karena rusa itu gerakannya gesit sekali, sasaran tidak mengenai tepat dan anak panah tidak menancap di dada yang diarah Riyatman, akan tetapi menancap perut. Binatang itu memekik keras dan melompat tinggi laru berlari. Riyatman berseru girang dan mengejar, akan tetapi saat itu, seekor bayangan loreng-loreng menerkam dan menubruk rusa itu! Ternyata seekor harimau telah keluar dari tempat persembunyiannya dan sebagaimana Riyatman, dia juga menanti kedatangan rusa itu yang biasanya terlalu cepat baginya itu.
Kini rusa itu telah terluka dan larinya tidak cepat lagi, maka harimau itu tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan menerkam! Riyatman terkejut dan marah sekali, ia melemparkan busur dan anak panahnya, lalu dengan tombak di tangan ia menyerang harimau itu! Sementara itu, rusa yang muda itu telah kena diterkam dan kini rebah tak berdaya dengan leher terkoyak. Petarugan sengit antara harimau dan Riyatman terjadi. Harimau itu besar sekali dan bertubuh kuat hingga ketika ujung tombak Riyatman meluncur kea rah dadahnya, tombak itu dapat diterkam dan ditangkis dengan kaki depan dan harimau itu sambil mengaum keras lalu maju menubruk. Akan tetapi Riyatman dapat mengelak dan bersiap menghadapi rajah hutan itu. Tiap kali harimau menerkam, Riyatman melompat kesamping sambil memukul dengan tombaknya.
Sebuah tusukannya telah berhasil melukai punggung harimau hingga binatang yang kelaparan itu menjadi makin buas dan mengamuk makin hebat, akan tetapi dengan gagah dan tangkas Riyatman membela diri cukup baik. Ia merasa yakin bahwa kalau ia berlaku tenang, akhirnya ia tentu akan berhasil menundukkan binatang buas ini dan telah terbayang pada matanya betapa ia akan menikmati daging binatang buas ini serta mengulitinya dan kulit itu akan menjadi sebuah celana pendek yang indah. Pada saat itu, sang harimau yang telah mulai lelah, melakukan serangan nekat. Ia tidak menubruk dari atas lagi, akan tetapi langsung menubruk maju dengan kedua kaki depan terpentang lebar ke kanan kiri untuk menjaga lawannya mengelak ke samping, sedangkan mulutnya terbuka lebar memperlihatkan giginya yag tajam bagaikan ujung pisau-pisau belati.
Pada saat Riyatman hendak mengerjakan tombaknya, tiba-tiba dari arah kiri menyambar dua batang anak panah yang tepat menancap di lambung dada binatang itu hingga sang harimau memekik ngeri dan terlempar. Ia berdiri lagi, akan tetapi tombak Riyatman menembusi kulitnya yang tebal dan langsung menusuk jantungnya hingga binatang itu rebah berkelojotan dan mati tak lama kemudian. Riyatman merasa jengkel dan penasaran sekali. Siapakah yang telah berlaku lancing dan merusak "Bahan Celananya" dengan dua tusukan anak panah" Ia berpaling dengan mata marah, akan tetapi matanya memandang terbelalak heran ketika ia melihat seorang gadis bertindak mendatangi dengan gagahnya! Gadis itu memegang sebuah busur kecil di tangan kiri, dan di pingganya terselip sebilah pisau belati yang panjang. Rambut hitam panjang dikucir dan kini membelit lehernya.
Pakaiannya serba ringkas dan singsat. Kutang berwarna hijau muda mengikat dadanya dengan kencang, kainnya yang panjang itu dilibatkan ke pinggang. Gelang terbuat dari akar yang kecil bagaikan dua ekor ular kecil melilit di pergelangan lengannya. Sikapnya sungguh gagah perkasa, mengingatkan Riyatman kepada Srikandi, pendekar wanita dalam cerita perwayangan sebagai tokoh wanita yang terkenal gagah perkasa! Riyatman sama sekali tak dapat menduga bahwa gadis gagah ini bukan lain ialah Bandini, anak bungsu Rondo Kuning, gadis sekampungnya yang dulu pernah dikenalnya. Mana dapat ia mengenal Bandini yang sudah amat berubah itu. Dulu Bandini hanya seorang gadis cilik yang kenes dan nakal. Akan tetapi gadis yang berdiri di depannya dengan tangan kiri memegang busur dan tangan kanan bertolak pinggang ini telah merupakan seorang gadis dewasa yang cantik manis dan gagah.
Sebaliknya, Bandini juga tidak dapat mengenal wajah Riyatman yang peram kumis dan yang hanya berpakaian cawat kulit macan tutul hingga lebih pantas menjadi orang hutan yang liar itu. Riyatman memang orang beradat keras dan biarpun ternyata olehnya bahwa yang berlancang tangan melepas batang anak panah tadi adalah seorang gadis jelita, namun amarahnya belum lenyap. Dengan cemberut ia menatap wajah gadis itu. Sementara itu, Bandini yang tadinya mengira akan disambut oleh pemuda liar ini dengan ucapan terima Kasih dan pandangan mata kagum ketika kini melihat bahwa pemuda itu memandangnya dengan marah dan mulut cemberut, iapun menjadi penasaran sekali dan balas memandang dengan marah dan mulut cemberut pula.
"Siapakah engkau ini yang begitu lancang berani merusak kulit buruanku" Siapa engkau yang mengandalkan sendikit kepandaian memanah untuk menyombongkan diri?" Bukan main marahnya Bandini mendengar caci maki ini. Alis matanya yang berbentuk indah dan hitam sekali itu seakan-akan berdiri dan sepasang matanya memancarkan cahaya panas.
"Orang hutan kurang ajar!" teriaknya sambil menunding dengan telunjuknya. "Engkau ini orang hutan liar sungguh tak tahu diri. Kalau aku tidak segera datang dan membunuh harimau itu dengan anak panahku tentu sekarang engkau telah menjadi lumat dimakan macan!"
"Siapa menyuruh kau melepaskan anak panah" Apakah kau tadi mendengar aku berteriak minta tolong" Mengapa kau selancang ini dan menjual kepandaian di hadapanku" Kau kira aku kagum melihat permainan kanak-kanak ini?" Bandini menjadi gemas sekali. Dibanting-bantingnya kakinya dan memaki kalang kabut,
"Orang hutan! Monyet, kera, kunyuk. Seorang binatangpun takkan bersikap serendah sikapmu menghadapi seorang wanita!"
"Seorang wanita" Hm, hm, engkau yang lancang ini tak pantas disebut wanita. Agaknya engkau seorang wadat wandu, seorang bandi!" jawab Riyatman yang menjadi marah jua ketika ia dimaki munyuk monyet. Hampir Bandini menangis karena sebutan ini.
"Bangsat kurang ajar! Aku baru saja menolong jiwamu dari ancaman harimau dan sekarang engkau memaki-maki aku" Bagus! Engkau memang patut dibikin mampus!"
Gambar 0501 "Siapa sudi dan butuh akan pertolonganmu?" jawab Riyatman dengan marah pula. Bandini lalu meletakkan busurnya ke atas tanah dan melompat maju sambil mengirim pukulan tangannya kearah dada Riyatman.
Pemuda ini melihat gerakan pukulan Bandini dan merasa betapa pukulan ini berbahaya datangnya, tidak berani memandang rendah dan segera menangkis. Keduanya lalu berkelahi ramai sekali. Ternyata Bandini telah mempelajari ilmu berkelahi yang hebat juga karena gerakan tubuhnya cepat dan gesit, sebentar menyerang dari kiri, sebentar dari kanan, setiap pukulannya diarahkan ke tempat berbahaya. Riyatman tidak mau mengalah dan juga menangkis sambil membalas dengan serangan-serangannya, akan tetapi ia pantang menyerang dada lawannya dan hanya menujukan pukulan-pukulannya kearah leher dan kepala saja! Biarpun menjadi murid seorang sakti dan berilmu tinggi seperti Eyang Sidik, akan tetapi oleh karena baru beberapa bulan Bandini mempelajari ilmu kepandaian,
Sedangkan lawannyapun bukan seorang pemuda biasa, maka lambat laun Bandini terdesak oleh serangan-serangan Riyatman. Sebetulnya kalau ia mau berlaku kejam tentu akan dapat merobohkan Bandini dengan pukulan keras, akan tetapi entah mengapa, tiba-tiba hati pemuda ini merasa tidak tega maka ia hanya berusaha untuk menangkap gadis ini atau menyerampang kakinya agar terjatuh. Asal saja ia dapat membikin gadis itu terjungkal dan jatuh mencium rumput, ia akan merasa puas! Sibuk juga Bandini ketika Riyatman berusaha sekuatnya untuk merobohkannya, maka akhirnya dengan gemas ia lalu mencabut pisau belatinya yang tajam mengkilat! Riyatman tertawa mengejek melihat Bandini mencabut belati. Ia berdiri bertolak pinggang sambil tertawa geli.
"Engkau mencabut senjata tajam" Bagus, bagus!" katanya mengejek.
"Keparat! Lekas cabutlah kerismu jika engkau memang jantan! Jangan engkau mengejek orang yang bersenjata karena engkau sendiri juga membawa keris. Cabutlah dan biar kita bertempur mati-matian untuk menentukan siapa yang lebih gagah!" Riyatman mencabut keris yang terselip pada pinggangnya akan tetapi ia tidak hendak menggunakan senjata itu untuk berkelahi.
"Lihat!" katanya, "untuk menghadapi kau saja aku tak perlu mempergunakan senjata tajam!" Sambil berkata demikian, Riyatman melempar kerisnya kearah sebatang pohon jati yang terpisah kurang lebih tiga tombak dari tempatnya. Kerisnya meluncur bagaikan anak panah dan menancap sampai di gagangnya pada batang pohon itu. Ternyata bahwa timpukannya jitu sekali. Melihat betapa pemuda itu memamerkan kepandaiannya menimpuk dengan keris, Bandini tertawa menghina.
"Apa anehnya kepandaian seperti itu" Kau kira aku tak bisa?" Sambil berkata demikian, gadis yang berhati keras dan berwatak tidak mau kalah ini lalu mengayun tangannya yang memegang pisau belati. Pisau itu tidak meluncur seperti anak panah, akan tetapi meluncur berputaran seperti kitiran angin dan akhirnya ketika tiba di batang pohon, pisau itu menancap sampai di gagangnya pada batang, tepat di atas keris Riyatman.
"Bandi sombong!" teriak Riyatman. "Apa kau kira kau sudah terlalu pandai dan gagah" Apakah anehnya kau melepas anak panah tadi" Lihatlah ini!" Ia lalu mengambil busur dan anak panahnya yang tadi dilempar ke tanah. Sekali pasang ia menaruh tiga batang anak panah pada busurnya dan ketika tali gendewanya menjepret, tiga anak panah itu meluncur keras dan menancap ke batang pohon yang tadi juga.
"Kunyuk monyet! Kepandaianmu itu hanyalah permainan kanak-kanak!" Bandini memaki dan gadis inipun meniru perbuatan pemuda itu dengan sama baiknya. Sambil memaki-maki keduanya lalu memperlihatkan kepandaian memanah. Bandini menaruh seluruh anak panahnya yang berjumlah dua puluh batang lebih itu diatas gendewanya dan dengan cepat sekali anak panahnya sebatang demi sebatang meluncur cepat dan kesemua anak panah itu tepat menancap di batang pohon yang telah penuh dengan anak panah itu. Riyatman juga tidak mau kalah dan meniru perbuatan ini. Pada saat kedua orang ini sedang saling maki dan saling memamerkan kepandaian, tiba-tiba terdengar seruan orang mencela,
"Kalian berdua ini apakah sudah menjadi gila" Memaki-maki dan menyerang pohon jati. Lihatlah batang pohon itu sampai penuh tertancap senjata. Apakah salahnya pohon itu, maka kalian siksa dia sampai begitu macam?" Ternyata ketika Riyatman menengok, yang berbicara ini adalah seorang dara muda yang berkulit kuning dan berwajah ayu sekali,
Gerak-geriknya lemah lembut dan suaranya merdu dan halus. Dengan mata terbelalak heran ia mengenal gadis ini sebagai Sariwati, puteri kedua Rondo Kuning. Sariwati melangkah perlahan menghampiri batang pohon yang penuh dengan anak panah itu. Gadis ini menggunakan telapak tangannya menepuk batang pohon itu tiga kali perlahan-lahan, dan aneh! Semua anak panah, termasuk pisau belati dan keris yang menancap di batang pohon itu berloncatan keluar dan jatuh di atas tanah di bawah pohon merupakan tumpukan malang melintang. Riyatman hampir tak dapat mempercayai mata sendiri. Benarkah gadis itu Sariwati yang lemah lembut" Akan tetapi, bagaimana gadis itu dapat memiliki aji kesaktian yang menakjubkan" Sariwati lalu menghampiri mereka dan kepada Riyatman ia berkata sambil tersenyum,
"Riyatman, bagaimana engkau sampai menjadi begini?"
"Sariwati! Benar-benar engkaukah ini" Tidak sedang mimpikah aku?" Sariwati tersenyum geli.
"Siapa yang bermimpi" Karena kekerasan hatimulah yang membuat engkau seakan-akan buta dan tidak mengenal bahwa gadis ini adalah adikku Bandini!"
"Bandini" Jadi engkau Bandini anak perempuan yang" nakal dan kewat dahulu itu?" katanya kepada Bandini sambil memandang dengan heran.
"Siapa pula bisa menyangka bahwa engkau yang seperti orang hutan ini adalah Riyatman, anak muda yang bisanya Cuma mengadu ayam dan main judi itu!" jawab Bandini dengan masih marah.
"Bandini, mengapa engkau marah-marah dan saling maki dengan Riyatman" Seharusnya pertemuan dengan kawan sekampung menggembirakan, tidak disambut dengan makian dan perang tanding mati-matian! Kalian ini benar-benar orang liar!"
"Habis, siapa yang tidak gemas" Aku dimakinya banci!" Sariwati memandang kepada adiknya dan menahan geli hatinya.
"Dan aku dimakinya munyuk monyet!" Kembali Sariwati menahan kegelian hatinya. Kedua anak muda ini benar-benar berwatak sama. Sama keras dan sama kasar, dan diam-diam Sariwati membandingkan keadaan Riyatman dengan Adiguna, pemuda kekasihnya yang sopan dan santun dan halus tutur sapanya itu. Mereka lalu duduk di bawah pohon yang dijadikan korban kemarahan kedua orang muda tadi dan saling menuturkan pengalaman masing-masing. Dengan muka geram dan suara menyatakan kemarahan hatinya, Riyatman menutup penuturannya dengan ucapan,
"Aku telah bersumpah bahwa pada suatu saat aku tentu aku membunuh mampus si jahanam keparat Galiga Jaya yang telah menumpas kampung kita itu!" Melihat sikap pemuda ini, Bandini yang telah melupakan kemarahannya tadi lalu berkata,
"Bagus, Riyatman! Dalam hal ini, jangan engkau takut karena akupun masih mempunyai perhitungan dengan keparat laknat si Galiga Jaya itu!" Sariwati memandang kedua orang itu dengan senyum tenang.
"Memang kita harus membalas dendam, akan tetapi kita tidak boleh bertindak dengan semboro, karena betapapun juga, Galijaya adalah seorang Penewu yang bekerja untuk Gusti Sultan di Mataram. Terutama sekali kita harus mendapat perkenan dan nasihat Eyang Panembahan." Riyatman memandang heran.
"Siapakah Eyang Panembahan yang engkau sebutkan itu?"
"Beliau adalah guruku, dan guru Mbak Wati!" kata Bandini dengan bangga. "Eyang Bagawan Sidik Paningal adalah seorang sakti mandraguna dan mulia." Riyatman merasa tertarik sekali dan menyatakan keinginannya hendak menghadap pertapa suci itu. Terutama sekali ketika ia mendengar bahwa pertapa itu adalah guru Adiguna, ia makin tertarik. Dengan wataknya yang jujur, Riyatman menceritakan kepada dua orang gadis itu tentang pertemuannya dan pertempurannya dengan Adiguna. Tanpa malu-malu diakuinya tentang kesalahannya dan kesesatannya bahwa ia dan kawan-kawan tak berdaya menghadapi Adiguna. Diam-diam Sariwati merasa girang dan bangga sekali di dalam hatinya, akan tetapi tentu saja wataknya yang halus melarang ia memperlihatkan kebanggaan ini. Akan tetapi, Bandini yang nakal berkata kepada Riyatman,
"Baiknya kau tidak mengganggu atau melukai Kang Mas Adiguna, kalau kau lakukan itu, tentu sekarang Mbak Wati takkan menerimamu dengan manis budi. Mungkin kau akan dibunuhnya!" Riyatman terkejut dan memandang Sariwati, akan tetapi gadis ayu kuning ini hanya mengerling tajam kepada adiknya dengan mulut cemberut. Riyatman terbawa sinis dan berkata,
"Aha, syukurlah kalau begitu. Dia memang seorang pemuda gemblengan yang patut sekali menjadi calon anumu!"
"Eh-eh, bicara kok tidak keruan!" sela Bandini. "Calon anu bagaimana" Apakah maksudmu dengan anu itu?" Sariwati makin merah mukanya dan dengan gemas berkata,
"Sudahlah, Bandini! Kalau kau tidak mau diam, akan kutampar mulutmu!" Bandini membelalakan matanya yang bagus itu seakan-akan terkejut. Ia tahu bahwa kakaknya ini selamanya takkan pernah melakukan ancamannya, akan tetapi ia berpura-pura ketakutan dan berkata,
"Ya ampun, Mbak Wati. Kalau kau menampar mulutku, apa akan jadinya dengan mulutku yang malang ini" Betapapun gagahnya seorang, tak mungkin ia dapat menahan tamparanmu yang sakti, apa lagi mulutku yang lancang ini. Ampunkanlah, Mbak Wati!"
Sariwati hanya tersenyum saja dan tidak mau melayani adiknya yang nakal dan suka menggoda orang itu. Kedua orang gadis itu lalu kembali ke tempat pertapaan Panembahan Sidik Paningal, diikuti oleh Riyatman dan disepanjang jalan mereka tiada hentinya bercakap-cakap, terutama Bandini yang telah lenyap sama sekali rasa bencinya kepada Riyatman dan kini menjadi kawan baik. Panembahan Sidik Paningal menerima Riyatman dengan sabar dan mendengarkan cerita pemuda itu sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Ketika Sariwati dan Bandini minta perkenan darinya untuk membantu Riyatman dalam usaha membalas dendam kepada Galiga Jaya, pertapa itu menghela napas, dan berkata perlahan,
"Memang segala hal telah ditentukan oleh Yang Maha Kuasa, manusia hanya wajib menjalani saja. Bukan kehendak kita hingga hari ini kalian berdua bertemu dengan Riyatman. Aku tidak mencela kalian bertiga yang mempunyai maksud membalas dendam atas kekejaman Penewu Galiga Jaya, dan akupun tidak berhak melarang. Akan tetapi pesanku, hendaknya kalian bertiga berlaku waspada dan hati-hati, jangan selalu menurutkan nafsu hati. Terutama kau Sariwati, oleh karena setidaknya kulihat bahwa kaulah yang wajib memimpin adikmu dan juga Riyatman ini, karena keduanya berwatak keras dan berdarah panas. Kaulah yang seakan-akan memegang kemudinya dan kedua orang muda ini hanya mendayung saja. Riyatman dan Bandini, dalam segala hal kalian berdua harus tunduk kepada bimbingan Sariwati, karena kalau tidak mungkin kalian akan tersesat ke jalan keliru, menurutkan nafsu hatimu dan mengandalkan kepandaian yang tidak seberapa. Apakah arti kepandaian seseorang apabila ia ditunggangi oleh nafsu angkara murka" Lebih baik tiada kepandaian sama sekali akan tetapi waspada dan dapat memilih jalan benar!" Banyak sekali petuah-petuah dan nasihat-nasihat mulia diucapkan oleh sang arif bijaksana ini dalam pesannya kepada ketiga orang muda itu. Dan pada keesok harinya di waktu fajar menyingsing, ketiga anak muda itu lalu turun gunung untuk melakukan tugas mereka, yakni membalas dendam kepada Galiga Jaya.
Penewu Galiga Jaya merasa senang dan lega hatinya. Pemberontakan Riyatman yang ia ketahui ditujukan kepada dirinya itu telah berhasil ditumpas. Walaupun Riyatman dan Adiguna sendiri belum dibinasakan, akan tetapi setelah hampir setahun tak pernah ada kabar cerita tentang kedua orang muda itu, ia merasa girang dan bahkan cerita tentang pemberontakan di Pakem telah mulai dilupakan orang. Oleh karena ia telah kehilangan selirnya yang tercinta, yaitu Rondo Kuning, dan telah gagal untuk mengambil selir anak tirinya sendiri, bahkan Sariwati dan Bandini juga telah dilarikan orang, maka Penewu Galiga Jaya mencari korban-korban baru dan mengambil selir banyak gadis-gadis dusun yang didapatkannya dengan berbagai jalan, yaitu dengan pengaruh uang, pengaruh kedudukan dengan halus maupun dengan kasar.
Pendeknya, biarpun telah mendapat pelajaran hebat yang berupa pemberontakan Pakem sebagai akibat kejahatannya, Penewu ini tidak menjadi kapok, bahkan makin mengganas karena dianggapnya bahwa tidak akan ada orang yang berani menentangnya. Semenjak lenyap dan hancurnya ancaman pemberontak-pemberontak di Pakem itu, keadaan di Waru tenteram daan aman. Berkat kekuasaan dan pengaruh Penewu Galiga Jaya yang besar dan ditakuti orang, tidak ada yang berani mengacau desa Waru yang tiap malam masih diakan penjagaan keras oleh karena betapapun juga, pengalaman-pengalaman yang lalu membuat Galiga Jaya berlaku amat hati-hati menjaga desanya, bahkan rumah Penewu itu kini dijaga keras di sekelilingnya hingga jangankan orang, biarpun seekor kucing tak akan dapat memasuki rumah itu tanpa terlihat oleh barisan penjaga.
Malam Jum"at Kliwon yang gelap gulita,keadaan di desa Waru sunyi senyap, oleh karena seperti biasa pada malam Jum"at Kliwon yang menyeramkan, penduduk jarang yang keluar pintu diwaktu malam, kecuali apabila ada keperluan penting yang memaksa mereka keluar dari rumah. Dari setiap rumah mengebul asap kemenyan hingga di seluruh desa dapat tercium bau yang harum dan sedap akan tetapi menyeramkan itu memenuhi udara. Bagi mereka yang mempunyai tujuan tertentu, malam ini adalah malam istimewa untuk melakukan puja samadhi memohon berkah kepada dewata yang mereka puja agar cita-cita mereka dapat terkabul. Para pemuda dan penjaga keamanan yang biasanya pada lain malam suka berjalan meronda melakukan tugasnya, pada malam itu hanya duduk berkelompok di gardu penjagaan masing-masing, bercakap-cakap sambil merokok menghilangkan kesunyian yang menyeramkan.
Apabila malam itu tidak ada bulan, hanya ribuan bintang yang berkelap-kelip di udara menyinarkan cahaya remang-remang yang menambah seram keadaan. Burung-burung malam yang disebut juga burung setan agaknya amat senang menyambut malam Jum"at Kliwon, terbukti dari suara mereka yang tiada hentinya terdengar dan menambah seram keadaan. Sebetulnya hal ini bukan tidak ada sebabnya, yakni apabila pada malam-malam biasa banyak orang berada di luar rumah sehingga burung-burung itu takut bersuara, adalah pada malam Jum"at Kliwon yang sunyi sepi ini membuat mereka berani keluar dari tempat persembunyian dan memperdengarkan suara mereka yang menakutkan. Rasa takut dan seram memang terbit dari dalam hati dan pikiran sendiri. Apabila orang merasa takut di dalam hatinya, maka segala apa yang tampak pada matanya mendatangkan pemandangan yang menyeramkan.
Pohon-pohon besar nampak sebagai raksasa-raksasa atau iblis-iblis besar bergerak-gerak dengan tangan seribu. Segala apa yang berbunyi menimbulkan pendengaran yang menyeramkan pula. Kalau bunyi jangkerik dan belalang pada malam-malam hari biasanya mendatangkan nyanyian indah dan merdu, pada malam Jum"at itu tiba-tiba saja dalam pendengaran mereka berobah menjadi suara yang menyeramkan, seakan-akan segala iblis dan siluman sama keluar dan menjerit-jerit. Tujuh orang penjaga yang bertugas menjaga pintu gerbang desa Waru di sebelah selatan, sedang berkumpul mengelilingi api unggun yang dibuat oleh mereka di dalam gardu penjagaan. Mereka membakar jagung dan makan jagung bakar yang manis gurih itu, kadang-kadang diseling dengan meneguk air kopi. Mereka makan sambil bercakap-cakap mengusir kesunyian. Malam itu hawanya dingin, juga karena seorang diantara mereka yang bernama Saimin menyatakan bahwa segala macam siluman paling takut kepada api.
"Segala iblis dan siluman takut menghadapi api oleh karena mereka segan melawan kekuasaan Dewi Agni yang menguasai api dan yang sakti sekali. Maka apabila kita menyalakan api, takkan ada setan berani mengganggu," katanya.
"Aah, engkau ini penakut sekali!" sela seorang penjaga lain bernama Balelo yang terkenal sombong dan pemberani. "Bilang saja hendak membuat api untuk mencegah hawa dingin. Segala macam omonganmu tentang siluman dan iblis itu, siapa yang akan percaya?" Ia meludah ke arah api.
"Kau memang paling sombong dan tidak percaya tentang iblis dan siluman." Saimin mencelanya sambil menambah kayu kering pada api unggun itu hingga api berkobar makin besar. "Tunggu saja sampai engkau mengalami hal seperti yang dialami Paryoso, penjaga di gardu utara, tentu engkau akan mati ketakutan." Biarpun semua penjaga lain merasa tidak enak mendengarkan mereka bercerita tentang segala siluman dan iblis, akan tetapi seperti biasanya, mereka ingin sekali mendengar cerita ini. Mereka menggeser tempat duduk agar lebih mendekati api dan kawan-kawan, lalu mendesak agar Saimin suka menceritakan pengalaman mengerikan yang katanya dialami oleh penjaga Paryoso di gardu utara.
"Begini pengalamannya," Saimin mulai berceria sambil mengerling kepada Balelo yang mendengarkan dengan senyum menghina. "Pada malam Jum"at Kliwon yang lalu, keadaan juga seperti sekarang ini, dingin dan gelap. Paryoso berjaga malam dengan lima orang kawan lain. Karena hawa yang dingin, mereka itu mengantuk dan untuk menahan rasa kantuk mereka menghisap rokok. Akan tetapi akhirnya kelima orang kawan Paryoso itu tertidur mendengkur dan tinggal Paryoso seorang diri yang masih duduk melenggut dan menahan kantuknya dengan menghisap rokok kelobot terus menerus. Tiba-tiba ia mencium harum kembang cempaka. Ia merasa heran oleh karena disitu jauh dari rumah orang dan juga harum bunga itu tercium olehnya dengan tiba-tiba saja. Kemudian ia melihat kawan-kawannya bangun seorang demi seorang dan dari depan mendatangi seorang wanita yang cantik jelita dan harum baunya. Paryoso dan kawan-kawannya lalu menegur dan mengajak wanita itu bersenda-gurau yang dilayani dengan genitnya oleh wanita itu. Ternyata bahwa diantara kawan-kawannya, wanita itu memilih Paryoso dan agaknya mencinta dia karena duduknyapun selalu mendampingi Paryoso. Tentu saja Paryoso merasa gembira sekali dan semalam suntuk ia merasa berbahagia dan bangga. Ketika fajar hendak menyingsing dan terdengar suara ayam berkokok, Paryoso yang tertidur dengan kepala di pangkuan wanita itu, terbangun karena wanita itu bergerak dan berkata bahwa ia hendak pulang. Paryoso membuka matanya dan" ia melihat seorang... Bangkai hidup! Wajah wanita itu pucat dan kedua matanya memandang tanpa sinar, mulutnya menyeringai menakutkan dan baunya busuk sekali, bau bangkai! Ketika paryoso tersentak bangun dan melompat keluar dari gardu, lalu berdiri dengan tubuh menggigil memandang mayat hidup itu, mayat itu tertawa terbahak-bahak-bahak dan terdengar amat mengerikan. Paryoso lalu memandang ke arah kelima kawan-kawannya yang tadi ikut bersenda-gurau dengannya, dan alangkah kagetnya ketika melihat bahwa lima orang kawannya itu bukan lain adalah lima tengkorak manusia yang telah kering dan yang kini bangun satu demi satu sambil mengeluarkan suara berkotekan karena tulang-tulang itu beradu! Paryoso jatuh pingsan dan ketika ia siuman kembali, ternyata bahwa ia telah ditolong oleh kelima orang kawannya yang tadinya tertidur dan yang sama sekali tidak tahu-menahu tentang perisitiwa yang dialami oleh Paryoso." Semua orang mendengarkan cerita ini dengan bulu tengkuk berdiri, akan tetapi Balelo dengan suara mencemooh berkata,
Gambar 0502 "Yang menceritakan hal itu tentu Paryoso sendiri bukan" Ah, bohong belaka semua itu! Dia memang orang pengecut dan penakut, aku tahu sifat-sifatnya. Buktinya, kawan-kawannya yang lima orang tidak tahu dan tidak melihat sesuatu, ia membohong!" Pada saat itu, terdengar suara yang ketawa dan suara ini terdengar begitu menyeramkan hingga Balelo sendiri yang terkenal berani menjadi pucat, sedangkan orang-orang lain telah menggigil tubuh mereka.
"Nah" ce" celaka... Tentu iblis yang tertawa"!" kata seorang diantara mereka dengan bibir menggigil ketakutan. Enam orang penjaga saling mendekati dan memegang tombak mereka erat-erat. Balelo bangun berdiri dan memegang tombaknya.
"Siapa yang tertawa itu?" bentaknya dengan nyaring seakan-akan hendak memamerkan keberaniannya, akan tetapi pada hakekatnya, hatinya terasa kecut sekali dan ia tidak berani maju meninggalkan tempat itu.
"Jangan tinggalkan api?" kata Saimin yang teringat bahwa segala macam iblis takut kepada api. Tiba-tiba dari gelap muncul sesosok bayanga orang yang mendatangi dengan terbongkok-bongkok dan dengan langkah terseok-seok.
Bayangan itu datang makin dekat dan ketujuh orang penjaga itu melihat seorang wanita, bukan seorang wanita cantik jelita seperti yang dituturkan oleh Saimin tadi, akan tetapi seorang wanita yang kelihatan tua dan rambutnya telah riap-riapan tidak keruan, pakaiannya compang-camping. Ia berjalan terbongkok-bongkok dan dibantu oleh sebatang tongkat berbengkok-bengkok warna hitam. Sepasang mata wanita ini memancarkan cahaya aneh dan ketujuh orang penjaga itu harus mengakui bahwa di waktu mudanya wanita ini tentu cantik sekali, karena bentuk mulutnya dan matanya amat indah. Setelah datang dekat, ketujuh orang penjaga itu merasa seram sekali karena ternyata muka wanita ini jelas sekali menyatakan bahwa ia adalah seorang gila! Wanita gila ini tertawa terkekeh-kekeh dan berkata singkat,
"Kamu orang-orang Galiga Jaya?" Balelo tidak sudi menjawab pertanyaan orang gila yang kurang ajar ini, akan tetapi Saimin menjawab.
"Ya, kami adalah penjaga-penjaga disini. Kau orang gila lekaslah pergi dari sini dan jangan mengganggu kami!" Kembali terdengar suara ketawa, seperti suara ketawa yang menyeramkan tadi dan tubuh wanita itu terguncang-guncang dan mukanya berdongak ke atas.
"Hi-hi-hi-hi! Kalian anjing-anjing penjilat! Galiga Jaya harus mampus!" Marahlan Balelo dan kawan-kawannya. Mereka lalu menggunakan tombak untuk mengusir orang gila ini, akan tetapi tiba-tiba si wanita yang menyeramkan itu mengangkat tongkat hitamnya dan membentak,
"Diam dan jangan bergerak!" Sungguh luar biasa! Ketujuh orang penjaga itu tiba-tiba berdiri diam tak kuasa bergerak sama sekali! Pikiran mereka masih terang, panca indra mereka masih bekerja seperti biasa, akan tetapi mereka tak mampu bergerak dan berada dalam keadaan pada saat wanita itu membentak mereka. Ada yang berdiri memegang tombak, ada yang baru saja mau bangkit berdiri ada yang masih duduk.
"Ha-ha-ha! Anjing Galiga Jaya, mampuslah kalian!" dengan ujung tongkatnya, wanita iblis itu lalu mendorong tubuh seorang penjaga ke dalam api unggun yang masih bernyala-nyala dengan garangnya! Ia membakar hidup-hidup penjaga itu! Penjaga itu tak dapat berteriak, hanya kedua matanya saja berputar-putar karena menderita kesakitan hebat, sedangkan tubuhnya tak dapat bergerak sama sekali dan terpaksa diam saja biarpun api telah membakar kulitnya! Pakaiannya mulai termakan api dan sebentar saja pakaiannya itupun berkobar membakar dirinya. Orang kedua didorong lagi ke dalam api dan wanita itu membakas sambil tertawa haha-hihi dan berkata,
"Bagus... Bagus" anjing-anjing Galiga Jaya harus mampus dulu, biar kalian mendahului Galiga Jaya dan menjadi penjaga-penjaganya nanti di neraka. Ha-ha-ha-ha!" Kemudian ia mendorong lagi orang ketiga, keempat dan seterusnya hingga tubuh-tubuh itu bertumpuk-tumpuk di dalam api unggun! Balelo adalah yang terakhir karena ia berdiri paling jauh dari api unggun.
Ketika tubuh Balelo masuk ke dalam tumpukan tubuh kawan-kawannya, api telah mulai mengecil dan hampir padam! Sambil tertawa terkekeh-kekeh wanita itu lalu meninggalkan tempat itu dan malam menjadi sunyi kembali seperti sediakala, hanya kini lebih menyeramkan. Balelo yang jatuh paling akhir di dalam api yang sudah hampir padam, tertolong jiwanya. Api hanya menjilat kakinya dan tubuhnya lalu terguling dari tumpukan mayat-mayat kawannya jatuh terguling keluar dari unggun api hingga ia selamat. Akan tetapi enam orang penjaga lainnya terbakar hingga mayat mereka menjadi hangus! Pada keesokan harinya, seluruh Waru menjadi gempa dengan adanya peristiwa ini. Apalagi ketika Balelo telah dapat bicara kembali dan menceritakan peristiwa yang mendirikan bulu roma itu, semua orang Waru menjadi ketakutan.
"Iblis mengamuk di Waru!" kata mereka dan gegerlah dusun Waru. Galiga Jaya ketika mendengar cerita ini menjadi terkejut sekali. Ia tidak dapat menduga siapa adanya wanita itu, oleh karena menurut cerita Balelo, setan wanita itu sudah tua dan bongkok pula.
Manusia atau setankah dia" Akan tetapi Galiga Jaya lalu mengerahkan seluruh perajurit untuk mencari wanita setan itu. Seluruh desa diperiksa, bahkan para perajurit sampai di luar dusun. Semua tempat diperiksa, gua-gua dimasuki, hutan-hutan digeledah, akan tetapi wanita itu tak dapat ditemukan. Dan pada malam hari berikutnya, kembali tujuh orang penjaga di sebelah utara terdapat mati semua pada keesokan harinya. Kepala mereka pecah seakan-akan terpukul oleh benda keras. Tak seorangpun tahu bahwa iblis wanita itu datang lagi dan menyerang ketujuh orang penjaga itu dengan tongkatnya yang berat dan luar biasa! Kalau ada yang melihat peristiwa itu, tentu mereka akan merasa heran sekali, oleh karena ketika para penjaga hendak melawan, kembali wanita itu membentak dan menyuruh mereka diam jangan bergerak seperti halnya ketujuh orang yang dibakarnya itu.
Dan penjaga-penjaa di gerbang utara ini diam tak bergerak hingga mudah saja bagi wanita itu untuk memukulkan ujung tongkatnya yang hitam berbengkok-bengkok kearah kepada mereka. Sekali pukul saja, remuklah kepala mereka. Peristiwa pada malam kedua ini membuat semua orang Waru makin gempar dan ketakutan! Mulai takut pula hati Galiga Jaya, akan tetapi kembali ia mengerahkan perajurit-perajuritnya untuk mencari iblis wanita itu walaupun tanpa mendapatkan hasil memuaskan. Nama iblis wanita menjadi kembang bibir setiap orang dan apabila malam mulai tiba, tak seorangpun di Waru dapat memejamkan mata. Bahkan mereka yang telah sangat ketakutan berlari mengungsi di rumah tetangga dan rela berjaga sampai pagi di rumah tetangga ini. Dan pada malam ketiga ini terjadi lagi peristiwa mengerikan yang mendatangkan korban lebih banyak lagi!
Galiga Jaya yang merasa penasaran dan marah sekali mengerahkan seluruh tenaga untuk melakukan penjagaan rapat di luar pintu gerbang, akan tetapi iblis wanita itu tetap muncul di pintu gerbang. Puluhan orang penjaga mengeroyoknya, akan tetapi iblis wanita itu mengamuk makin hebat, menggunakan tongkat hitamnya mengamuk dan memukul membabi buta. Akan tetapi, setiap kali pukulannya mengenai tubuh seorang perajurit, sambil memekik ngeri perajurit itu roboh terguling dengan kepala remuk atau dada pecah! Setiap ujung tombak yang berhasil menusuk tubuh iblis wanita itu, hanya merobek pakaian yang sudah compang-camping itu, akan tetapi sama sekali tidak melukai tubuh iblis wanita itu! Akhirnya, semua penjaga melarikan diri, meninggalkan kawan-kawan mereka yang menjadi korban dan yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang!
Peristiwa ini hebat sekali dan lebih menggegerkan daripada peristiwa pemberontakan Pakem dulu, Galiga Jaya lalu mengirim utusan untuk membuat laporan ke Ibukota Mataram, yaitu kota Karta. Utusan ini naik kuda dan membalapkan kudanya membawa laporan yang menggegerkan dusun Waru itu. Sementara itu, Galiga Jaya dengan hati cemas lalu mengerahkan penjagaan yang lebih hebat dan kuat lagi. Dikerahkannya semua pembantu-pembantunya yang mempunyai kepandaian tinggi dan memperlangkapi penjagaannya dengan tambahan perajurit-perajurit bersenjata lengkap. Akan tetapi, pada malam berikutnya, dengan secara aneh sekali, iblis wanita itu tidak muncul di pintu gerbang, bahkan muncul di gedung Penewu Galiga Jaya sendiri!
Ketika itu Galiga Jaya yang merasa tidak enak hati karena terjadinya peristiwa yang aneh dan menyeramkan itu, duduk di ruang depan dengan para pembantu dan penasihatnya, membicarakan iblis wanita yang mengamuk. Tiba-tiba terdengar suara ketawa yang menyeramkan. Dari dalam gelap muncullah setan wanita itu. Sambil berjalan terbongkok-bongkok dan menyeret tongkatnya, wanita menghampiri tempat mereka duduk berunding, Penewu Galiga Jaya menjadi pucat dan cepat dikeluarkannya keris pusaka dan sabuk lawe merah, dua buah senjatanya yang ampuh dan diandalkan. Semua pembantunya juga mengeluarkan pusaka masing-masing dan seorang diantara mereka berteriak memberi tahu kepada para penjaga di luar gedung! Entah bagaiman cara iblis wanita itu dapat masuk tanpa diketahui para penjaga.
Para penjaga mendengar teriakan ini, lalu berlari-lari memasuki Penewu dengan tombak dan pedang di tangan. Iblis wanita itu sambil tertawa terkekeh-kekeh lalu mengangkat tongkatnya dan sambil berlompatan ia kini menghampiri Galiga Jaya. Beberapa orang perwira pembantu Galiga Jaya maju menyerang dengan keris, akan tetapi sekali saja tongkat itu diputar, beberapa orang perwira roboh. Biarpun mereka tidak tewas karena mereka memiliki kesaktian cukup, akan tetapi pukulan itu membuat mereka merasa pening dan pandangan mata mereka nanar, seakan-akan mabok oleh bau amis yang keluar dari tongkat itu. Iblis wanita itu segera dikeroyok, akan tetapi dia tetap melangkah maju sambil memutar-mutar tongkatnya yang berbahaya, maju terus menuju ke tempat dimana Galiga Jaya berdiri dengan wajah pucat dan kedua senjata di tangan.
Ketika wanita itu telah datang dekat, Galiga Jaya berusaha mengenal wanita itu, akan tetapi oleh karena keadaan tidak begitu terang dan wajah itu tertutup oleh rambut yang riap-riapan, ia tidak dapat mengenal muka itu dan ia harus segera mengadakan perlawan karena agaknya iblis itu memang sengaja hendak menyerangnya. Iblis wanita itu agaknya maklum akan keampuhan senjata ini, karena ia tidak berani menerima sabetan itu, lalu menangkis dengan tongkat hitamnya. Galiga Jaya lalu menusuk dengan keris, akan tetapi sampokan tangan iblis wanita itu membuat kerisnya terpental dan terlepas dari tangannya. Pada saat itu para pengeroyok sudah datang lagi dan mengepung dengan rapat kepada iblis wanita itu. Galiga Jaya dengan pucat melompat mundur dan memungut kerisnya.
Ia merasa heran dan terkejut sekali karena ternyata tangkisan tangan wanita itu mendatangkan hawa dingin yang membuat tubuhnya menggigil. Belum pernah ia bertemu dengan lawan yang memiliki kesaktian menyeramkan ini dan ia mulai menduga bahwa wanita ini tentulah iblis tulen yang sengaja datang mengamuk atau memang disuruh oleh orang-orang yang menjadi musuhnya. Iblis itu mengamuk terus dan kepungan makin tebal oleh karena para perajurit yang menjaga di pintu gerbang dusun, ketika mendengar bahwa iblis wanita itu kini mengamuk di gedung Penewu, segera masuk ke dusun untuk membantu mengeroyok. Akan tetapi, oleh karena yang dikeroyok hanya satu orang lawan, maka sekian banyaknya perajurit itu tidak bisa turun tangan bersama dan hanya kurang lebih sepuluh orang saja yang dapat mengepung dan mengeroyoknya.
Iblis tua itu tetap mengamuk dan korban yang jatuh telah bertumpuk-tumpuk. Darah membanjir di dalam gedung itu. Iblis itu tetap saja mencari dan mengejar-ngejar Galiga Jaya yang terpaksa melawan juga, biarpun hatinya takut sekali. Ia tidak mau dianggap pengecut oleh anak buahnya, maka ia melawan sambil mundur dan mengandalkan bantuan keroyokan anak buahnya. Pertempuran berlangsung terus hingga pagi hari dan ternyata bahwa iblis wanita itu makin kuat saja, amukannya makin ganas! Akhirnya Galiga Jaya merasa tidak aman. Ia lalu menunggangi kudanya dan melarikan diri keluar dari kampungnya! Iblis wanita itu agaknya tahu juga bahwa Galiga Jaya pergi melarikan diri, karena ia lalu menyerang dan membuka jalan darah sambil berteriak menyeramkan,
"Galiga Jaya"!! Kemana engkau hendak lari...?" Tunggu aku beset kulit dadamu dan makan jantungmu"!!" Semua orang merasa ngeri sekali mendengar suara ini, dan ketika mereka melangkah mundur dengan takut-takut, iblis wanita itu lalu memutar tongkatnya mengejar ke arah larinya Galiga Jaya. Akan tetapi Penewu itu telah membalapkan kudanya berlari jauh dan sambil memaki-maki. Iblis wanita ini lalu melarikan diri keluar dusun sambil memutar-mutar tongkat hingga tak ada orang yang berani mencegahnya melarikan diri.
Bersama dengan menghilangnya kabur fajar, iblis inipun menghilang, entah kemana sembunyinya! Walau ada orang yang dapat mengikutinya tentu orang ini akan melihat bahwa iblis wanita ini dengan larinya yang cepat sekali menuju ke dusun Pakem! Pada waktu penduduk Pakem kembali dari sawah ladang dan melewati tanah perkuburan para korban keganasan Penewu Galiga Jaya setahun yang lalu, mereka melihat seorang wanita yang berpakaian compang-camping dan berambut riap-riapan sedang menangis di depan batu-batu nisan itu. Ia meratap-ratap memilukan hingga beberapa orang merasa tertarik dan berhenti mendengarkan ratap tangisnya. Hari telah mulai gelap dan orang-orang yang melihat wanita ini merasa seram dan ngeri karena ucapan yang mereka dengar penuh mengandung ancaman maut,
"Saudara-saudara sekalian janganlah penasaran. Tak lama lagi aku tentu akan membalaskan sakit hati kalian, dan akan kubeset kulit dada Galiga Jaya dan akan kumakan jantungnya mentah-mentah!!" Kemudian, wanita yang menyeramkan itu menangis keras dan meratap-ratap,
"Bondan" Bondan anakku?" Maka terkejutlah semua orang.
"Rondo Kuning"!" mereka berteriak memanggil lalu menghampiri wanita yang berlutut membelakangi mereka itu. Tiba-tiba tubuh itu tersentak kaget dan melompat berdiri. Bukan main terkejutnya semua orang itu ketika melihat wajah yang mengerikan itu. Namun, mereka masih dapat mengenal bahwa orang yang bermuka seperti iblis ini memang Rondo Kuning, janda yang dianiaya oleh Galiga Jaya dulu!
"Rondo Kuning...!" teriak seorang wanita pula yang dulu yang menjadi tetangganya. Tiba-tiba Rondo Kuning yang telah menyerupai iblis wanita itu tertawa menyeramkan hingga orang-orang petani itu melangkah mundur ketakutan.
"Ya, aku adalah Rondo Kuning dan akulah satu-satunya wanita Pakem yang memiliki pribudi! Hanya akulah orang perempuan yang berani membalaskan sakit hati semua orang yang telah menjadi gundukan tanah ini! Kalian ini semua orang apakah" Bukan orang, akan tetapi anjing-anjing yang kalau dipukul menyembunyikan ekor di bawah perut dan lari berkaing-kaing! Ha-ha-ha! Kalian dibinasakan, suami dibunuh, anak dibunuh, Ayah disembelih semua dilakukan oleh Galiga Jaya, akan tetapi apakah yang dilakukan oleh kalian perempuan-perempuan Pakem" Ha-ha-ha paling hebat kalian lalu kawin lagi mencari suami baru!" Sambil tertawa terkekeh-kekeh Rondo Kuning lalu melompat pergi dan menghilang di balik pohon.
Semua orang lalu berlari dan menceritakan pengalaman ini. Terkenalah hati para janda di Pakem oleh kata-kata Rondo Kuning yang menghina ini. Mereka yang bersetia kepada suami dan Ibu-ibu yang kehilangan anak mereka, lalu berkumpul dan berunding. Wanita-wanita lain, para isteri petani juga ikut berkumpul dan kemudian mereka memutuskan untuk beramai-ramai menghadap Sri Sultan Agung di karta untuk membuat laporan dan menuntut Penewu Galiga Jaya yang telah melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap penduduk Pakem! Pada keesokan harinya, berangkat segerombolan wanita terdiri dari tiga puluh orang lebih wanita dan beberapa orang pria sebagai pengantar, menuju ke kota raja untuk menuntut Galiga Jaya dihadapan Sang Prabu, terdorong dan terpengaruh oleh kata-kata Rondo Kuning yang mencela mereka.
Penewu Galiga Jaya yang ketakutan setengah mati melihat betapa iblis wanita itu mengamuk hebat dan berkeras hendak membunuhnya, pada menjelang fajar itu melarikan diri sambil menunggang kudanya. Beberapa orang pembantu-pembantu melihat hal ini lalu ikut pula melarikan diri hingga sebentar saja ada sepuluh orang pemimpin perajurit yang melarikan diri bersama Galiga Jaya! Penewu ini tidak menjadi marah bahkan diam-diam merasa girang bahwa ada orang-orang yang mengantarnya,
Oleh karena sebenarnya, ia merasa takut dan ngeri dan takut untuk melarikan diri seorang diri saja melalui hutan-hutan liar itu! Setelah bertemu dengan iblis wanita itu, Galiga Jaya yang biasanya sombong dan pemberani itu, tiba-tiba menjadi penakut! Tanpa banyak bicara Galiga Jaya dan kawan-kawannya membalapkan kuda menuju ke Karta Ibukota Mataram. Setelah matahari naik tinggi dan mereka telah berada jauh dari dusun Waru, barulah Galiga Jaya berhenti di dalam sebuah hutan untuk memberi kesempatan kepada kudanya untuk bernapas dan makan rumput. Ia lalu duduk dan bercakap-cakap dengan anak buahnya yang sepuluh orang itu, dan tentu saja mereka membicarakan tentang iblis wanita yang mengerikan itu. Ketika mereka sedang asyik bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar bentakan suara wanita nyaring,
"Kepara Galiga Jaya! Bersedialah untuk binasa di ujung senjataku!" Bukan main terkejutnya Penewu itu hingga wajahnya berubah pucat hijau. Ia menyangka bahwa iblis wanita itu telah mengejar sampai ke tempat itu, maka tanpa menoleh lagi ia lalu melompat ke atas punggung kuda hendak melarikan diri.
Juga kawan-kawannya terkejut dan ketakutan, lalu masing-masing melompat pula ke atas punggung kuda. Akan tetapi pada saat itu, beberapa anak batang anak panah menyambar dan menancap di perut kuda. Kuda Galiga Jaya yang terkena anak panah pada dadanya, melonjak tinggi dan meringkik keras, berdiri di atas kedua kaki belakang meronta-ronta hingga Galiga Jaya terlempar dari atas punggung kuda dan jatuh bergulingan. Demikian pula beberapa orang kawannya karena kuda mereka terkena anak panah. Ributlah mereka dan ketika Galiga Jaya menengok, ternyata bahwa yang melepas anak panah itu adalah Riyatman dan seorang wanita gagah berkulit hitam manis. Seorang gadis ayu kuning berdiri ditengah-tengah antara Riyatman dan gadis hitam manis itu, sikapnya halus dan tenang, akan tetapi kedua matanya berpengaruh dan memandangnya dengan tajam.
"Bangsat Riyatman, pemberontak hina-dina!" teriak Galiga Jaya dengan marah dan hatinya lega melihat bahwa yang datang bukanlah iblis wanita yang ditakutinya.
"Kau datang mengantarkan nyawamu?" Kawan-kawannya yang mendengar bentakan ini, juga menjadi lega dan yang sudah melarikan diri lalu kembali lagi dan melompat turun dari kuda masing-masing sambil menghunus golok dan keris.
"Ha, Galiga Jaya, keparat kejam! Kematian sudah berada di depan matamu, akan tetapi kau masih berani berlagak?" teriak Bandini sambil mencabut pisau belati di tangan kanan dan menggerak-gerakkan busur di tangan dengan sikap gagah sekali.
"Siapakah kau, setan perempuan?" bentak Galiga Jaya. Bandini tertawa nyaring dan merdu, akan tetapi matanya yang indah itu mengeluarkan cahaya mengancam hebat.
"Bangsat tua Bangka! Matamu sudah terlalu tua dan lamur! Lihatlah baik-baik, tidak kenalkah kau kepada Bandini dan kakakku Sariwati ini" kami datang menagih hutangmu kepada mbakyu Kencanawati dan penduduk Pakem!" Galiga Jaya melengak dan heran. Betulkah kedua gadis ini Bandini dan Sariwati, kedua anak tirinya itu" Ia menggosok-gosok kedua matanya denga heran-heran.
"Kalian anak-anak ini mau apa menggangguku" Apakah kalian juga ingin mampus?"
"Bangsat tua, jangan sombong!" seru Bandini sambil melompat maju dan mengayun pisaunya menusuk dada, sedangkan gendewa di tangan kanan dipukulkan kea rah muka Galiga Jaya. Melihat gerakan serangan ini terkejutlah Galiga Jaya dan ia cepat-cepat melompat dan mengelak.
"Ayoh, keroyok dan tangkap tiga setan ini!" teriaknya dan pembantu-pembantunya lalu maju menyerang dengan ganas. Menghadapi ketiga orang lawan muda, bahkan yang dua orang hanya gadis-gadis muda yang lemah, timbul pula keberanian dan keganasan mereka. Akan tetapi, Riyatman dan Bandini mengamuk bagaikan banteng-banteng terluka hingga sebentar saja para pengeroyok ini terkejut sekali karena tak pernah disangkanya bahwa Bandini dapat bertempur sehebat itu. Sariwati tidak seganas Riyatman dan Bandini, dan gadis ini hanya menjaga diri saja, akan tetapi kesaktiannya membuat para perajurit pengiring Galiga Jaya menjadi jerih dan takut mendekatinya. Seorang perajurit yang tertarik melihat kecantikan Sariwati, maju menubruk dengan tangan kosong, bermaksud memeluk dan menawan gadis itu.
Akan tetapi, dengan gerakan yang indah Sariwati mengelak kesamping dan ketika tangan kirinya menampar pilingan kepala perajurit itu, lawannya menjerit keras dan bergulingan di atas tanah sambil memegangi kepalanya yang serasa remuk terkena tempilingan Sariwati. Perajurit kedua yang masih merasa penasaran maju pula menubruk, akan tetapi kini dengan keris di tangan Sariwati menggerakkan tangannya yang cepat sekali menyentuh siku tangan lawan yang memegang keris. Perajurit itu merasa tangannya tiba-tiba menjadi lumpuh dan lemas karena urat lengannya kena disentil oleh jari Sariwati dan sebelum ia tahu apa yang terjadi dengannya, telapak tangan Sariwati menampar pipi yang membuat ia tiba-tiba melihat bintang bertaburan dan berloncatan di depan matanya hingga ia terhuyung kebelakang lalu roboh merintih-rintih! Setelah terjadi hal ini, tak seorangpun perajurit berani menghampiri Sariwati!
Bandini dan Riyatman mengamuk hebat, bagaikan dua ekor harimau kelaparan! Galiga Jaya yang mempergunakan senjata lawe merah dan keris pusakanya, tak tahan menghadapi desakan kedua anak muda ini sunggupun ia telah dibantu oleh beberapa orang pembantunya! Beberapa orang perajurit yang membantunya telah roboh di tangan Riyatman dan Bandini. Ketika seorang perajurit dengan gemas dan penasaran menyerang Bandini dengan goloknya, membacok leher gadis hitam manis itu, Bandini mengelak cepat dan gendewa di tangannya bergerak menghanam muka penyerang itu. Pedas perih rasa kulit muka orang itu terkena pecutan gendewa dan terpaksa iaa memejamkan mata. Pada saat itu, keris Bandini terayun kearah perutnya, akan tetapi tiba-tiba lengan tangan Bandini serasa dipegang orang dan terdengar suara Sariwati membentak adiknya,
"Bandini, jangan membunuh orang!"
Mendengar bentakan kakaknya ini, Bandini menarik kembali kerisnya dan sebagai gantinya, kaki kanannya bergerak dan "Masuk" ke lambung lawan itu hingga ia terjungkal dan merintih-rintih memegangi perutnya yang terkena tendangan kaki Bandini yang keras! Juga Riyatman mendengar bentakan Sariwati yang melarangnya membunuh orang, maka pemuda inipun membatasi gerakannya dan hanya memukul lawan-lawannya hingga pengeroyok-pengeroyoknya roboh menjerit-jerit kesakitan!
Melihat sepak terjang ketiga anak muda itu, Galiga Jaya menjadi terkejut sekali. Dengan permainannya yang hebat ia masih dapat mempertahankan diri dan belum kena pukul, akan tetapi ia maklum bahwa keadaannya berbahaya sekali dan kalau melawan terus, akhirnya ia akan kalah juga, maka ia lalu mencari kesempatan dan melompat ke atas punggung seekor kuda terdekat dan lari dari tempat itu!
"Kejar! Kejar si jahanam!" teriak Sariwati sambil berlari cepat! Sungguh mengherankan, gadis yang halus dan lemah lembut ini ketika berlari, cepat sekali seakan-akan kedua kakinya tak menginjak tanah! Akan tetapi, Galiga Jaya telah membedal kudanya yang larikan bagaikan dikejar setan. Bandini dan Riyatman juga berlari mengejar, sedangkan para perajurit yang belum dijatuhkan lalu menolong kawan-kawan mereka dan membantu mereka naik ke atas kuda masing-masing. Galiga Jaya cepat melarikan kudanya dan memecuti kuda itu tiada hentinya karena ia mendengar betapa ketiga anak muda yang gagah perkasa itu mengejar dari belakang. Ketika ia tiba di sebuah tikungan di dalam hutan itu, tiba-tiba dari depan datang seorang pemuda tampan berpakaian serba hitam yang tampan sekali. Pemuda itu berdiri di tengah jalan dan memandangnya dengan heran.
"He, ada apakah maka engkau melarikan diri seakan-akan orang ketakutan?" teriaknya. Melihat sikap pemuda ini, Galiga Jaya menahan kudanya dan dengan terengah-engah ia menjawab,
"Aku adalah Penewu dari Waru dan dikejar-kejar oleh tiga orang pemberontak."
"Keparat!" seru pemuda ini dengan suaranya yang merdu dan nyaring. "Jangan engkau takut, bapak Penewu. Teruskanlah perjalananmu dan aku akan menghadapi ketiga pemberontak itu!"
"Terima kasih... terima kasih, engkau baik sekali, anak muda. Kalau ada kesempatan, datang di kota raja dan carilah Galiga Jaya, aku takkan melupakan budi kebaikanmu ini." Pemuda baju hitam itu tersenyum dan wajahnya makin tampan. Galiaga Jaya lalu membedal lagi, melarikan diri secepatnya menuju ke kota raja. Pemuda ini lalu bertolak pinggang dan berdiri tak bergerak, memandang kepada tiga orang yang lari cepat mendatangi tempat itu. Ia merasa terkejut dan kagum juga ketika melihat bahwa orang-orang yang mengejar Penewu dan disebut pemberontak itu adalah dua orang dara yang manis dan seorang pemuda tampan. Sikap ketiga orang ini gagah sekali.
"Berhenti!" teriak pemuda itu sambil mengangkat tangan kanan ke depan. Riyatman, Bandini dan Sariwati berhenti di hadapan orang itu.
"Apa maksudmu menyuruh kami berhenti?" Riyatman membentak
"Apakah kalian ini pemberontak-pemberontak yang mengejar-ngejar Penewu?" tanya pemuda itu dengan beraninya.
"Kalau betul begitu, engkau perduli apakah?" Bandini melangkah maju sambil memandang tajam. Pemuda itu tersenyum melihat lagak Bandini yang galak.
"Eh-eh, galak benar engkau. Melebihi Srikandi! Apakah kepandaianmu juga melebihi Srikandi?"
"Pemuda kurus kecil seperti cacing tanah," Bandini memaki marah. "Apa engkau sudah bosan hidup?"
"Belum," jawab pemuda itu dengan sikap jenaka. "Aku masih ingin seribu tahun lagi, apalagi disamping seorang Srikandi seperti engkau ini."
"Bangsat rendah bermulut busuk!" Riyatman berseru marah sekali. Entah mengapa, mendengar pemuda ini menggoda Bandini, ia merasa marah bukan main. Sambil berseru ia melompat maju dan memukul dengan tangan kanannya ke arah dada pemuda baju hitam itu.

RONDO KUNING MEMBALAS DENDAM JILID 06
  "AH, tak tahu malu, pemuda kasar kurang ajar!" seru pemuda baju hitam itu yang lalu mengelak cepat. Gerakannya cepat dan gesit sekali bagaikan seekor burung Srikatan.
"Riyatman, biarkan aku menjatuhkan cacing tanah ini!" teriak Bandini yang menyerang dengan cepatnya. Gadis ini mempergunakan Ilmu Pukulan Rajah Geni dan memainkan kedua tangannya dengan jari-jari terbuka, akan tetapi jangan dipandang ringan telapak tangan gadis yang berkulit halus ini, oleh karena kalau kena tampar tangan gadis ini, pipi orang bisa menjadi matang biru dan rasanya panas seperti dibakar, sedangkan gigi di dalam mulut bisa berantakan. Akan tetapi pemuda baju hitam itu tersenyum manis dan melayani Bandini sambil mengejek,
"Eh-eh, Srikandi beranikah engkau melawan Arjuna?"
"Bedebah!" Riyatman memaki sambil mengertak gigi, akan tetapi ia merasa malu kalau harus mengeroyok, sungguhpun tak ada yang lebih disenanginya lagi pada saat itu daripada mengirim kepalannya kepada mulut pemuda genit itu. Tiba-tiba Sariwati memandang dengan wajah berseri. Ia memperhatikan baik-baik gerakan pemuda baju hitam itu dan maklum bahwa kepandaian pemuda itu masih lebih tinggi daripada kepandaian Bandini dan Riyatman.
Pemuda ini memiliki kelincahan dan kecepatan yang hebat sekali hingga Bandini sebentar saja merasa pening menghadapinya. Tubuh pemuda berbaju hitam itu berkelebat kesana kemari bagaikan burung Srikatan hitam menyambar-nyambar. Berkat ketangkasan tangan Bandini saja yang membuat gadis ini masih kuat bertahan, dan hatinya menjadi makin gemas oleh karena pemuda baju hitam itu tiada hentinya mengejeknya. Pada saat yang tepat, pemuda itu berhasil menggunakan jari telunjuknya untuk menyentuh hidung Bandini. Gerakan ini demikian cepat hingga tahu-tahu Bandini merasa betapa hidungnya ditowel orang. Bukan main marahnya! Kemudian sambil berseru keras ia mencabut pisau belatinya yang tajam mengkilat. Akan tetapi, tiba-tiba Sariwati berseru,
"Bandini, tahan dulu!" Biarpun gemas dan kecewa sambil memandang kepada kakaknya dengan heran, Bandini tunduk juga terhadap perintah ini dan ia menahan pisaunya sambil berdiri terengah-engah. Ia memandang wajah pemuda baju hitam itu dengan kebencian besar dan seakan-akan hendak ditelannya pemuda nakal ini. Sariwati melangkah maju menghadapi pemuda itu. Sambil tersenyum manis, Sariwati berkata,
"Adik yang menyamar seperti laki-laki ini siapakah dan mengapa engkau mengganggu kami?" Bukan main terkejutnya pemuda itu mendengar ucapan ini. Tak pernah disangkanya bahwa Sariwati bermata tajam dan dapat mengetahui bahwa ia adalah seorang wanita. Padahal dalam hal menyamar, ia mahir sekali dan belum pernah ada orang yang dapat mengenalnya dalam penyamaran, karena ia telah mempelajari ilmu menyamar ini, hingga ia dapat merobah dirinya menjadi pemuda, menjadi nenek, atau kakek-kakek. Pemuda baju hitam ini bukan lain ialah Untari, simaling haguna yang dulu pernah bertempur dan dikalahkan oleh Adiguna. Ia lalu mengubah sikapnya dan berkata kepada Sariwati penuh hormat.
"Engkau bermata tajam sekali, saudara. Dan ini saja sudah cukup membuktikan bahwa engkau berkepandaian tinggi dan sakti. Engkau berbeda sekali dengan" Srikandi ini." Bandini dan Riyatman merasa terkejut dan heran sekali hingga mereka saling pandang dengan melongo. Tak pernah disangkanya bahwa pemuda baju hitam itu adalah seorang wanita.
"Dia adalah Bandini, adikku. Maafkanlah kekasarannya," kata Sariwati kepada Untari.
"Tidak apa, aku suka sekali kepada saudara yang lewat dan manis. Kepandaiannya mengagumkan juga. Akulah yang minta maaf karena telah mempermainkannya," jawab Untari
"Kuulangi lagi pertanyaanku. Kau ini siapakah dan mengapa kau menghalangi kami mengejar Galiga Jaya?"
"Aku bernama Untari dan tanpa tedeng aling-aling kuakui bahwa aku adalah seorang maling haguna! Aku tidak mempunyai hubungan sesuatu dengan Galiga Jaya, akan tetapi sebagai seorang yang bertugas membela mereka yang berada dalam bahaya, apalagi ketika seorang Penewu Mataram dikejar-kejar oleh tiga orang pemberontak, terpaksa aku turun tangan dan menghalangi kalian! Sebaliknya, kalian ini tiga orang yang gagah perkasa mengapa berlaku sesat dan memusuhi seorang petugas Mataram" Apakah kalian tidak takut akan kemarahan Gusti Sultan yang sakti dan arif bijaksana?"
"Dengarlah, Untari," jawab Sariwati. "Aku adalah Sariwati dan ini adikku Bandini. Pemuda itu adalah seorang sahabat kami bernama Riyatman."
"Hm, sudah kudengar nama Riyatman, bukankah ia pemimpin pemberontak di dusun Pakem?" kata Untari sambil memandang tajam kepada Riyatman.
"Kau telah terkena pengaruh racun jahat yang disebar oleh Galiga Jaya," kata Sariwati dengan tenang.
"Kami bukanlah pemberontak dan kami tidak bermaksud memberontak terhadap Mataram. Kami mempunyai urusan dendam pribadi terhadap Galiga Jaya dan kami harus membalas sakit hati kami terhadap keparat itu!"
"Tak mungkin! Aku sudah memberi janjiku untuk menolong dia dari ancaman kalian," kata Untari sambil menggeleng-geleng kepala.
"Maling rendah tak tahu diri!" bentak Bandini. "Sudahlah Mbak Wati jangan ladeni dia"
"Eh-eh, Srikandi marah lagi,"ejek Untari.
"Maling keparat! Rasakan ujung belatiku!" Bandini membentak sambil mengirim serangan dengan pisau belatinya. Untari melihat gerakan ini segera mengelak ke samping dan iapun mencabut kerisnya.
"Sekarang Arjuna diwakili oleh Larasati! Hendak kulihat bagaimana Srikandi berlagak melawan Larasati!" kata Untari dengan sikapnya yang Jenaka. Bandini makin marah dan keduanya lalu bertempur lagi, akan tetapi sekarang masing-masing mempergunakan senjata tajam hingga suara keris beradu berkali-kali dengan pisau belati menimbulkan ketegangan dalam hati Riyatman dan Sariwati. Tiba-tiba dari jauh terdengar suara kaki kuda yang banyak sekali dan yang menuju ketempat itu. Mendengar suara ini, baik Bandini mapupun Untari menghentikan pertempuran mereka. Ketika mereka memandang ke arah kaki kuda yang riuh itu, terkejutlah mereka oleh karena melihat bahwa yang datang itu adalah pasukan berkuda dari Mataram, dikepalai oleh seorang panglima besar Mataram, yaitu Tumenggung Suro Agul-agul.
Ini adalah barisan Mataram yang sengaja dikirim untuk menumpas pemberontakan dan menangkap iblis wanita yang mengamuk di Waru! Ketika rombongan ini di tengah jalan bertemu dengan Penewu Galiga Jaya yang melarikan diri, Penewu ini memberitahukan bahwa ia dikejar oleh beberapa orang anak muda pemimpin pemberontak dan diantaranya terdapat Riyatman, pemimpin pemberontak dari Pakem yang dulu belum sempat tertawan. Menengar ini, Tumenggung Suro Agul-agul lalu memimpin perajurit-perajuritnya menuju ke tempat itu. Ketika melihat anak-anak itu berdiri dengan gagah di tengah jalan, Tumenggung Suro Agul-agul lalu membedal kudanya menghampiri dan melompat turn. Akan tetapi ketika melihat pemuda baju hitam itu, wajahnya menjadi pucat dan ia bertanya dengan suara keras.
"Untari! Engkau... Disini...?" Untari tersenyum.
"Paman Tumenggung, tenangkanlah hatimu. Kemenakanmu ini tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan mereka bertiga ini, hanya kebetulan saja bertemu di jalan." Kemudian, maling haguna itu menengok dan berkata kepada Sariwati.
"Sariwati, dan engkau Bandini. Sebenarnya aku amat senang bertemu dan berkenalan dengan kalian. Akan tetapi, apa daya. Agaknya jalan hidup kita berlainan! Kalau saja engkau tidak menghadapi pasukan Mataram yang bahkan dipimpin oleh pamanku sendiri, tentu dengan senang hati aku akan membantumu. Lebih baik kalian menyerah saja, jangan melawan pasukan Mataram." Kemudian ia berkata kepada Tumenggung Suro Agul-agul,
"Paman Tumenggung, maafkan hamba tak dapat membantu" Setelah berkata demikian, gadis yang gagah perkasa ini lalu melompat dan melarikan diri jauh dari tempat itu, dipandang oleh Tumenggung Suro Agul-agul yang menghela napas panjang. Memang Untari adalah keponakannya, anak tunggal adik perempuannya, anak yang telah yatim piatu dan dulu ketika bertemu dengan Adiguna, petani tua itu bukanlah orang tuanya, hanya dipakai untuk menipu Adiguna saja, akan tetapi pemuda itu terlampau cerdik untuk dapat ditipu sebagaimana yang telah dituturkan. Kemudian Suro Agul-agul menghadapi ketiga anak muda itu dan berkata dengan halus,
"Benar seperti yang dikatakan oleh keponakanku tadi, kalian lebih baik menyerah, tiada gunanya melawan pasukan Mataram." Akan tetapi Riyatman menjawab,
"Kami lebih baik mati daripada menyerah sebelum dapat membunuh si keparat Galiga Jaya"
"Hm, engkau memang pemberontak muda yang keras kepala." Kata Tumenggung Suro Agul-agul, akan tetapi Tumenggung ini merasa ragu-ragu untuk menyerang kedua gadis yang nampak cantik jelita itu. Ia merasa sayang dan tidak tega kalau harus membunuh kedua dara muda ini, maka katanya,
"Kalian berdua remaja puteri ini mengapa ikut-ikut memberontak pula" Pulanglah saja ke rumah orang tuamu dan berlaku sebagai wanita utama!" Bandini mencibirkan bibirnya dan hendak menjawab, akan tetapi ia dicegah oleh Sariwati yang menjawab dengan suaranya yang halus dan tenang,
"Gusti Tumenggung, hambalah yang menjadi pemimpin dan penanggung jawab dari kami bertiga. Kami tidak bermaksud memusuhi pasukan Mataram yang kami hormati. Kami hanya ingin membalas dendam kami kepada Galiga Jaya si keparat." Tumenggung Suro Agul-agul menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aneh sekali kalian ini, anak-anak! Galiga Jaya adalah seorang Penewu, seorang pamong praja yang diangkat oleh Gusti Sultan. Tak mungkin kalian mau membunuhnya demikian saja. Itu berarti kalian hendak mengganggu petugas Mataram dan berarti memberontak pula! Kalian menyerahlah saja dan mungkin aku dapat memohon ampun untuk kalian dihadapan Gusti Sultan."
"Maaf, Gusti Tumenggung," jawab Sariwati. "Bukan kami yang menghendaki jika paduka mendesak hingga terbit pertempuran diantara kita. Lepaskanlah kami agar kami dapat mengejar dan membalas sakit hati kami kepada Galiga Jaya. Setelah itu, terserahlah, kami tak akan melawan apabila hendak di tawan."
"Tiba bisa, tidak mungkin! Aku yang bertanggung jawab dan mendapat kesalahan apabila kalian menggangu Galiga Jaya. Terpaksa aku melarangmu."
"Bukan hamba yang ingin bertempur dengan paduka, akan tetapi kami bertiga telah bertekad bulat untuk melawan siapa saja yang menghalangi maksud pembalasan dendam kami." Jawab Sariwati dengan suara tetap dan tenang.
"Rawe-rawe rantas, malang-malang putung." kata Riyatman dan Bandini serempak dengan suara gagah yang menyatakan bahwa mereka pantang mundur selangkahpun dalam mempertahankan dan memperjuangkan maksud hati mereka. Marahlah Tumenggung Suro Agul-agul melihat kekerasan hati ini.
"Tangkap mereka! Akan tetapi, kalau tidak terpaksa, jangan lukai mereka!" perintahnya dan puluhan perajurit serentak maju hendak menangkap ketiga orang muda itu. Akan tetapi, sambil mengeluarkan seruan keras, Riyatman dan Bandini bergerak menyambar dengan pukulan dan tendangan hebat hingga beberapa orang perajurit jatuh tersungkur! Melihat ketangkasan ini, Tumenggung Suro Agul-agul merasa kagum sekali, lalu ia sendiri turun tangan hendak menangkap anak-anak muda yang nakal ini. Akan tetapi diluar dugaannya, dara muda yang ayu kuning dan sopan santun serta halus gerak geriknya itu, ternyata memiliki ilmu kepandaian yang amat mengagumkan. Berbeda dengan Riyatman dan Bandini yang mengamuk mempergunakan kekerasan, Sariwati hanya melangkah maju perlahan dan dengan gerakan tangan halus ia mengebut tangannya sambil berseru perlahan,
"Roboh!" Dan aneh sekali, setiap perajurit yang hendak menyerangnya apabila kena dikebut dan dibentak segera roboh bagaikan terdorong oleh tenaga yang besar. Tumenggung Suro Agul-agul terkejut sekali karena ia maklum bahwa dara muda yang cantik jelita itu ternyata telah menggunakan ilmu batin yang kuat untuk melawan perajurit-perajurit itu dan merobohkannya dengan tenaga kesaktian yang keluar dari kebutan tangan dan bentakan berpengaruh. Semacam ilmu sihir yang luar biasa. Maka ia menjadi penasaran dan segera maju menghampiri.
"Engkau berani melawanku?" bentaknya sambil mengirim pukulan ke arah pundak Sariwati. Tumenggung Suro Agul-agul adalah seorang yang sakti dan berilmu tinggi maka Sariwati tidak berani menerima pukulan ini dan cepat mengelak sambil balas menyerang dengan kebutan ujung jarinya kearah dada tumenggung itu sambil mulutnya membentak halus,
"Robohlah, tumenggung!" Tumenggung Suro Agul-agul merasa betapa hawa yang kuat dan luar biasa mendorong dadanya. Ia mempertahankan dirinya dan hanya terdorong mundur dua langkah.
Sariwati maklum bahwa ia bukan tandingan tumenggung yang sakti ini, akan tetapi ia melawan dengan gigih sambil memperlihatkan kelincahannya. Sebentar saja, ia telah didesak hebat oleh serangan-serangan kedua tangan Tumenggung Suro Agul-agul dan hanya dapat menangkis sambil mundur. Akhirnya Sariwati terpaksa meloloskan sabuk cinde yang diikatkan di pinggang menutupi kemben dan dengan senjata istimewa ini ia menyerang hebat. Suro Agul-agul kembali dikejutkan oleh kehebatan dan tenaga yang luar biasa yang diterbitkan oleh sabuk cinde ini, karena ketika ia menangkis sabetan sabuk itu, ia merasa tangannya sakit sekali, bahkan rasa panas dan pedas sampai menusuk ke tulang. Ia maklum bahwa sabuk cinde itu adalah sebuah pusaka keramat, maka iapun lalu meloloskan keris pusakanya dan menghadapi Sariwati dengan kerisnya.
Pertempuran antara tumenggung yang menjadi pahlawan besar Mataram ini melawan Sariwati berlangsung ramai sekali. Dari pertahanan yang gigih ini saja dapat diukur sampai dimana kesaktian Panembahan Sidik Paningal, karena dalam waktu kurang dari setahun, ia telah berhasil menurunkan aji kesaktian yang demikian besar kepada Sariwati. Bandini mengamuk sambil menggunakan pisau belati dan busurnya. Sepak terjang gadis ini benar-benar seperti Srikandi yang gagah perkasa. Banyak sekali perajurit yang roboh di dalam tangannya, dan ia mat berhati-hati dalam merobohkan lawan karena teringat akan pesan Sariwati agar ia tidak membunuh perajurit Mataram, cukup merobohkan saja. Karena kehebatan sepak terjang Bandini, maka hati para perajurit menjadi gentar dan kagum dan mereka tidak berani maju seorang demi seorang lagi, tetapi mengeroyok.
Kini Bandini dikeroyok oleh lima orang dari segala jurusan hingga gadis ini mengobat-abitkan gendewanya sedemikian rupa sampai tali gendewa menerbitkan suara mengaung. Pisau belatinya berkelebatan mengerikan, mengancam setiap tangan yang berani datang mendekat! Namun, karena jumlah lawannya banyak sekali dan mereka itupun bukan perajurit-perajurit sembarangan, maka lambat laun ia terdesak juga. Demikian pula dengan keadaan Riyatman. Pemuda ini mengamuk bagaikan banteng terluka dan sebagaimana Bandini, iapun tidak mau menewaskan lawan dan hanya merobohkan mereka dengan tendangan dan pukulan yang keras. Sekali pukul saja seorang perajurit akan roboh tak dapat bangun pula karena kuatnya pukulan itu membuat kepalanya pening. Pengeroyok-pengeroyok lalu mempergunakan senjata hingga Riyatman menjadi sibuk juga.
Ia melawan mati-matian akan tetapi hanya dapat mempertahankan dan menjaga diri saja. Sementara itu Sariwati juga terdesak hebat oleh Tumenggung Suro Agul-agul yang tidak saja lebih unggul dalam hal kesaktian dan ilmu kepandaian bertempur, akan tetapi juga jauh lebih unggul dalam hal pengalaman mempergunakan senjata. Keadaan Sariwati, Bandini dan Riyatman sungguh-sungguh berbahaya dan sebentar lagi akan dapat dipastikan bahwa mereka tentu akan roboh tertawan. Pada saat yang kritis itu, tiba-tiba barisan belakang pasukan Mataram menjadi kalut karena mengamuknya seorang pemuda yang setelah berhasil menyerbu dan membubarkan kepungan yang mengurung ketiga teruna remaja itu, ternyata bukan lain ialah Adiguna. Berseri wajah Sariwati melihat pemuda kekasihnya ini dan tak terasa pula bibirnya menyebut nama pemuda itu dengan mesra,
"Kang Mas Adiguna..."
"Diajeng Sariwati, jangan khawatir, kanda datang membantumu."
"Kang Mas Adiguna." seru Bandini dengan gembira pula, "Syukur engkau datang" dan melihat pemuda ini, makin berkobat semangat gadis hitam manis ini karena sekarang ada orang yang diandalkan. Ketika Adiguna dan Riyatman bertemu pandang, Riyatman tersenyum dan berkata,
"Adiguna! Aku telah insyaf" Adiguna tersenyum pula dengan girang, lalu ia menghadapi Tumenggung Suro Agul-agul dan menahan serangan keras tumenggung itu dengan tangkisan lengannya sambil berkata,
"Gusti Tumenggung! Janganlah kau mendesak anak-anak muda yang hendak membalas sakit hatinya yang besar! Kami tidak sekali-kali bermaksud melawan pasukan mataram! Lepaskanlah mereka!" Dengan mata merah karena marah, Tumenggung Suro Agul-agul membentak,
"Adiguna! Lagi-lagi kau yang menjadi biang keladinya. Janganlah kau yang masih muda ini berlarut-larut terbenam dalam kesesatan. Menyerahlah sebelum terlambat." Melihat bahwa percuma saja untuk merobah, pendirian tumenggung yang kukuh melakukan tugasnya ini, Adiguna lalu berkata kepada Sariwati,
Gambar 0601 "Adinda, larilah dulu dengan kawan-kawan lain. Biarlah aku yang menahan serbuan mereka." Sariwati mengangguk lalu berkata kepada Riyatman dan Bandini,
"Mari kita pergi!" Bandini sebetulnya merasa kurang puas dengan keputusan ini. Setelah Adiguna datang dan tiba saatnya untuk membalas desakan lawan, kini ia bahkan disuruh lari! Sambil bersungut-sungut ia berlari disamping kakaknya dan berkata,
"Kang Mas Guna selalu mengalah."
Sariwati hanya tersenyum. Hati dara ini merasa girang sekali karena dapat bertemu kembali dengan Adiguna yang telah lama dikenang-kenangnya! Dengan cepat mereka bertiga berlari ke kanan untuk mengambil jalan memutar dan selanjutnya mencari Galiga Jaya. Tak lama kemudian, Adiguna yang dikepung oleh Surot Agul-agul dan perajurit-perajuritnya, dapat membingungkan lawan dengan gerakannya yang luar biasa cepatnya itu. Kemudian pemuda ini lalu memergunakan kesaktiannya dan melompat ke atas melampau kepala para pengeroyoknya keluar dari kepungan dan menghilang di dalam hutan, menyusul ketiga orang kawannya. Tumenggung Suro Agul-agul merasa kagum sekali dan ia menghela napas. Memang hatinya merasa berat untuk melukai, lebih-lebih lagi kalau harus membunuh empat orang muda yang mengagumkan hatinya itu.
Ia maklum bahwa mereka berempat itu bukanlah orang-orang jahat dan mempunyai sifat yang hampir sama dengan kemenakannya Untari. Ia dapat menduga bahwa Galiga Jaya tentu telah melakukan perbuatan rendah dan kejam yang membuat sakit hati orang-orang muda itu, dan iapun mulai merasa ragu-ragu untuk percaya bahwa empat orang muda itu benar-benar mempunyai niat memberontak kepada Mataram. Kemudian, teringat akan tugasnya menangkap seorang iblis wanita yang mengamuk di Waru, dipimpinnya sisa barisannya ke Waru. Hatinya menjadi lega ketika melihat bahwa sekian banyaknya perajurit yang roboh, tak seorangpun tewas. Ia maklum bahwa anak-anak muda itu memang sengaja tidak mau membunuh anak buahnya, maka ia menjadi makin kagum saja.
Kota raja Karta, Ibu kota Mataram adalah sebuah kota yang besar dan makmur, lambang kejayaan Mataram dibawah pimpinan Sultan Agung yang cerdik pandai dan arif bijaksana. Penduduk Karta hidup senang tenteram dan diliputi kebahagiaan. Akan tetapi, semenjak datangnya Galiga Jaya yang membawa kabar mengejutkan tentang mengamuknya seorang iblis wanita, penduduk merasa takut dan khawatir. Dan kekhawatiran mereka ini ternyata terbukti. Malam ketiga semenjak Galiga Jaya tiba di Karta dan menempati sebuah gedung yang disediakan untuk tamu-tamu para pembesar dari daerah luar.
Semenjak sore hari, penduduk Karta tidak ada yang mau keluar pintu rumah, karena mendung tebal menggelapkan udara dan kilat menyambar-nyambar tanda bahwa malam hari itu hujan akan turun deras. Bersama dengan datangnya malam gelap yang sebentar-sebentar diterangi cahaya kilat menyambar dan guntur menggelegar di angkasa, turunlah hujan angin ribut. Genteng-genteng rumah serasa akan pecah tertimpa air hujan yang besar-besar dan deras datangnya itu. Suara di luar rumah bergemuruh dan membisingkan telinga. Suara air menimpa genteng, angin ribut menghembus daun-daun pohon, dan suara guntur membuat semua orang merasa lega dan senang bahwa pada saat itu mereka tinggal di dalam rumah dan berkumpul dengan sanak keluarga dalam keadaan aman sentausa.
Para penjaga di pintu gerbang kota raja menggigil kedinginan dan bahkan ada yang mengutuk hawa udara seburuk itu. Tiba-tiba para penjaga melihat sesosok bayangan yang terbungkuk-bungkuk, berjalan di dalam hujan. Angin ribut membuat rambut kepala orang yang riap-riapan itu berkibar-kibar di belakang tubuhnya dan ketika ia telah datang dekat, semua penjaga merasa bulu tengkuk mereka berdiri. Ternyata yang datang itu adalah seorang wanita tua yang bongkok dan membawa sebatang tongkat. Wajahnya mengerikan sekali karena dalam cahaya kilat, wajah kurus itu nampak pucat seperti mayat dan rambutnya yang panjang berkibar di belakang tubuhnya menambah seram keadaannya.
"Hordah! Siapa itu?" bentak seorang penjaga dengan tombak di tangan. Nenek di dalam hujan itu lalu tertawa dan suara ketawanya mengalahkan suara angin, mendatangkan rasa takut dalam hati semua penjaga yang gagah berani.
"Hai, siapa engkau" Mengakulah!" bentak pula seorang penjaga lain dan semua orang penjaga di dalam penjagaan yang berjumlah lima belas orang lalu berkerumun di depan gardu dengan tombak di tangan.
"Ha-ha-ha! Orang Mataram! Serahkan Galiga Jaya kepadaku!" pekik wanita itu. Terkejutlah kini semua penjaga karena mereka telah mendengar tentang mengamuknya iblis wanita di Waru dan yang hendak membunuh Galiga Jaya.
"Iblis wanita!" seru seorang dengan suara ketakutan. Kembali wanita itu tertawa dan melompat ke arah gardu. Para penjaga lalu menyerang dengan tombak, akan tetapi iblis wanita itu lalu menggunakan tongkatnya untuk memukul tiang gardu yang besar. Tiang itu patah dan gardu itu ambruk. Para penjaga berlarian simpang-siur, tidak memperdulikan air hujan yang turun menimpa dan membasahi seluruh pakaian dan tubuh mereka. Mereka sambil berteriak-teriak mengeroyok dan menyerang iblis wanita itu dengan tombak. Akan tetapi, dengan mengeluarkan suara pekik mengerikan, iblis wanita itu memutar-mutar tongkatnya dan semua tombak terpental, lalu wanita itu menyerang membabi buta hingga bergelimpanganlah tubuh-tubuh para penjaga. Sambil mengamuk, iblis wanita itu terus masuk ke dalam kota dan gegerlah seluruh kota Karta.
"Iblis mengamuk di Mataram!" teriak orang-orang dan semua penduduk segera merapat pintu dan jendela kuat-kuat dan berkumpul di dalam rumah dengan hati berdebar takut. Orang-orang lelaki menyiapkan senjata mereka di tangan dan para Ibu memeluk anaknya dengan cemas. Orang-orang tua segera membakar kemenyan dan dupa terus berdoa minta diselamatkan dari iblis yang mengamuk di Mataram itu. Perajurit-perajurit berlari-lari keluar membawa tameng dan tombak dan seluruh tenaga dikerahkan untuk menangkap iblis wanita yang mengamuk di kota raja ini. Para panglima Mataram keluar dari rumah masing-masing membawa pusaka mereka. Iblis wanita itu agaknya mencari-cari dimana adanya Galiga Jaya, oleh karena ia mengamuk sambil memekik-mekik menyebut nama Galiga Jaya.
"Keparat Galiga Jaya! Keluarlah agar dapat kubeset kulit dadamu dan kuganyang (makan mentah-mentah) jantung dan isi perutmu." Teriakan menyeramkan ini diulangi berkali-kali dan dengan hantam kromo ia mengamuk dan memukuli rumah-rumah penduduk Karta. Tiap kali pintu rumah dipukul hancur, ia menjenguk ke dalam mencari-cari dengan sepasang matanya yang mengerikan. Orang-orang dalam rumah itu saling berpelukan dengan takut bahkan wanita-wanita banyak yang roboh pingsan ketika iblis itu menjenguk dari ambang pintu yang telah ambruk. Iblis wanita itu tidak mengganggu orang di dalam rumah, hanya setelah melihat bahwa Galiga Jaya tidak berada di rumah itu, ia memekik-mekik dan memaki-maki lalu pergi lagi untuk memukul hancur pintu rumah yang lain lagi.
Ada seorang laki-laki yang tinggal di dalam rumah, ketika melihat iblis itu menjenguk dari pintu, lalu menyerang dengan parangnya. Akan tetapi orang ini mencari mati sendiri, karena begitu ia bergerak menyerang, tongkat iblis wanita itu telah menghantam dan menghancurkan kepalanya. Jerit tangis terdengar disana-sini dan para perajurit setelah memburu ke tempat itu lalu mengeroyok. Iblis wanita itu mengamuk lagi dengan hebatnya. Tak seorangpun diantara para perajurit itu kuat menahan serangan tongkatnya yang ampuh dan mengeluarkan bau amis itu. Tubuh para perajurit yang kena pukul bergelimpangan mandi darah dan darah mengalir terbawa oleh air hujan hingga membuat air yang mulai tergenang di jalan raya menjadi kemerah-merahan. Banjir darah di Mataram! Iblis mengamuk di Mataram!
Pahlawan-pahlawan Mataram yang kebetulan berada di Karta ketika hal ini terjadi, adalah Baurekso dan Adipati Uposonto yang terkenal akan kesaktian mereka, rekan-rekan dari Tumenggung Suro Agul-agul yang sedang melakukan pengejaran ke Waru. Mereka berdua lalu mengejar ke tempat keributan itu dan berbareng mereka lalu menyerang iblis wanita itu. Serangan keris kedua pahlawan ini membuat iblis itu terdesak mundur dan mengamuk makin hebat. Akan tetapi, dikeroyok oleh panglima-panglima tangguh ini, iblis wanita ini terdesak hebat dan setelah berkelahi mati-matian di dalam hujan badai, akhirnya iblis wanita itu terkena pukulan tangan kiri Baurekso yang ampuh dan keras. Iblis itu terpukul pundak kanannya dan ia jatuh bergulingan di atas tanah. Akan tetapi, ketika kedua pahlawan itu datang hendak menangkapnya, tiba-tiba iblis itu melompat berdiri dan mengayun tongkatnya.
Gambar 0602 Gerakan ini tiba-tiba sekali datangnya dan kalau tidak dua orang ini memiliki kepandaian tinggi dan cepat sekali mengelak, tentu akan hancurlah kepala mereka. Iblis wanita menggunakan kesempatan ini untuk berlari menghilang di dalam gelap sambil memekik-mekik. Ketika Baurekso mengadakan pemeriksaan, ternyata bahwa yang terluka dan tewas dalam amukan itu berjumlah lebih dari tiga puluh orang! Pada keesokan harinya, pasukan yang dipimpin oleh Tumenggung Suro Agul-agul tiba di Karta, oleh karena tumenggung ini tidak berhasil mencari iblis wanita itu di Waru. Ketika mendengar bahwa iblis itu semalam telah mengamuk di kota raja, tumenggung Suro Agul-agul marah sekali. Penjagaan dilakukan dengan keras dan seluruh daerah Karta diperiksa untuk mencari dimana sembunyinya iblis wanita itu. Akan tetapi, agaknya iblis itu menghilang bersama perginya sang malam.
Hari itu penduduk Karta ramai membicarakan tentang iblis yang mengamuk di Mataram dan menjatuhkan sekian banyak korban. Hati semua orang gentar. Sri Sultan Agung sendiri ketika menerima laporan tertegun dan beliau duduk termenung seakan-akan memikirkan peristiwa yang aneh ini. Sri Sultan lalu memerintahkan agar semua pahlawannya mengerahkan tenaga istimewa dan berusaha sekerasnya untuk menangkap iblis yang mengamuk di Mataram ini. Para panglima dan perajurit maklum bahwa Sang Prabu merasa marah sekali karena menghadapi seorang iblis saja, panglima-panglima Mataram tak mampu menangkapnya. Ketika orang-orang sedang membicarakan tentang iblis wanita yang menyeramkan itu, tiba-tiba terjadi kegegeran lain lagi yang menggemparkan dan lebih mengacaukan keadaan.
Peristiwa yang menimbulkan kegemparan ini terjadi di tempat pemondokan Penewu Galiga Jaya. Dengan menyamar sebagai penduduk biasa, Adiguna berhasil membawa Riyatman, Bandini dan Sariwati memasuki pintu gerbang tanpa menimbulkan kecurigaan dan ia berhasil pula mencari tahu dimana tempat tinggal Galiga Jaya, pokok pangkal segala peristiwa. Akan tetapi Adiguna dan kawan-kawannya belum mengetahui tentang terjadinya geger yang disebabkan oleh iblis wanita malam tadi. Ketika itu Galiga Jaya sedang berada di dalam rumah pondokan dan hatinya berdebar ketakutan ketika mendengar bahwa iblis wanita itu telah mengejar dan menyusulnya ke Karta. Diam-diam ia dapat menduga bahwa iblis wanita itu tentulah Rondo Kuning yang entah bagaimana telah berubah menjadi iblis yang dahsyat dan mengerikan.
Ia bergidik dan bulu tengkuknya berdiri kalau ia ingat akan ancaman Rondo Kuning, maka ia sama sekali tidak berani keluar dari pintu pondokan, berdiam saja di dalam beserta selir-selirnya yang menghiburnya! Ketika penjaga pondoknya memberitahukan bahwa ada orang-orang petani dari Waru hendak bertemu dengannya, Galiga Jaya yang sedang kebingungan itu terpaksa keluar karena iapun ingin sekali mendengar berita tentang keadaan di desanya. Akan tetapi, ketika ia keluar dan melihat bahwa yang datang adalah Adiguna, Riyatman, Bandini dan Sariwati, ia menjerit dan hendak lari masuk lagi. Akan tetapi Riyatman telah melompat dan menyerangnya hingga terpaksa ia melawan! Kepandaiannya yang cukup tinggi membuat Riyatman terhuyung mundur ketika Penewu itu menangkis pukulannya dengan keras. Bandini berseru,
"Penewu bangsat! Terimalah pembalasanku!" Gadis ini lalu menyerang dengan pisau belatinya! Galiga Jaya yang sudah terkepung itu terpaksa menarik kerisnya dan melakukan perlawan hebat.
Sayang sekali bahwa ia tidak membawa sabuk lawe merah yang diandalkannya hingga ia melawan hanya dengan sebilah keris. Akan tetapi oleh karena ia sudah nekat, maka tidak mudah bagi Bandini dan Riyatman untuk menjatuhkannya. Sariwati lalu maju pula mengeroyok dan Adiguna juga maju pula. Kali ini Galiga Jaya kewalahan dan keadaannya berbahaya sekali. Akan tetapi teriakannya minta tolong telah menarik perhatian orang dan sebentar saja disitu terdapat banyak perajurit yang membantunya hingga sebaliknya keempat orang muda itulah yang dikeroyok! Para perajurit tak dapat melawan empat anak muda yang gagah itu hingga banyak orang yang telah roboh kena pukulan dan tendangan. Terutama sekali Adiguna yang memegang setiap lawan dan melempar-lemparkan kepada pengeroyok lain seakan-akan orang melemparkan ketela-ketela busuk saja!
Tak lama kemudian datanglah Baurekso, Adipati Uposonto dan Tumenggung Suro Agul-agul! Semua perajurit lalu mengundurkan diri, memberi tempat kepada ketiga pahlawan besar ini untuk mewakili mereka menangkap empat orang pengacau itu. Galiga Jaya sendiri segera menyelamatkan diri dan lari ke dalam rumah, masuk ke kamarnya dan mengunci kamar itu dari dalam! Melihat kedatangan panglima-panglima tangguh ini, Adiguna lalu mengajak kawan-kawannya melarikan diri. Ia lari paling belakang, merupakan pertahanan teguh hingga kawan-kawannya dapat lari dengan selamat oleh karena biarpun ia dikeroyok oleh ketiga orang jago Mataram itu, namun pertahanan Adiguna benar-benar tangguh hingga para pengejar tak dapat menghalangi larinya Riyatman, Bandini dan Sariwati.
Baurekso marah sekali dan mengeluarkan tombaknya yang jarang dipakai, yakni Tombak Pusaka Bandudenta. Melihat ujung tombak yang mengeluarkan cahaya merah ini, Adiguna terkejut sekali dan ia lalu melepaskan ikat kepalanya dan mengebut dengan ikat itu. Ketiga jago Mataram terkejut dan mundur karena hawa yang keluar dari kebutan itu sungguh ampuh dan luar biasa! Adiguna mempergunakan kesempatan ini untuk melarikan diri dengan cepatnya. Ketiga jago Mataram mencoba mengejar, akan tetapi oleh karena Adiguna mempergunakan aji kesaktian hingga larinya secepat angin, maka sebentar saja pemuda itu dapat melarikan diri keluar kota dan menyusul kawan-kawannya dengan selamat. Makin gegerlah kota raja dengan terjadinya peristiwa ini. Malam tadi iblis wanita mengamuk, dan kini pada siang hari ada empat orang muda yang sakti datang pula mengamuk.
Akan terjadi apakah di Mataram" Demikian orang-orang berpikir dengan hati kecut. Malam hari itu kembali iblis wanita mengamuk lagi. Dan kini iblis wanita ini bahkan terus mengamuk sampai ke depan keraton Sri Sultan! Kalau biasanya ia hanya membawa sebatang tongkatnya yang berbengkok-bengkok dan hitam kini tangan kirinya membawa sehelai kain yang basah dan ketika Baurekso, Adipati Uposonto dan Tumenggung Suro Agul-agul berusaha menangkapnya, ia mengibas-ngibaskan selampai itu dan air memercik dari situ menyerang ke arah ketiga orang panglima Mataram. Mereka segera mundur dengan terkejut sekali karena air yang memercik keluar itu menyiarkan bau busuk seperti bau bangkai yang telah lama rusak! Tentu saja mereka merasa jijik dan tak tahan menghadapi senjata istimewa ini. Ketika tiba di depan keraton Sri Sultan, iblis wanita itu menjerit-jerit,
"Hai...! Sultan Agung Mataram... Kau melindungi seorang penjahat dan membela seorang keparat, apakah itu sesuai dengan kebesaranmu" Apakah itu dapat disebut arif bijaksana" Keluarkanlah Galiga Jaya, kalau tidak, Mataram akan kubikin musnah, kuratakan dengan bumi!" Tentu saja para perajurit dan panglima menjadi marah sekali dan Baurekso lalu memerintahkan agar menghujani anak panah kepada iblis wanita yang ganas itu!
Para perajurit memasang anak panah yang pada busurnya dan sesaat kemudian beterbanganlah ratusan batang anak parah ke arah tubuh iblis wanita itu. Akan tetapi, ternyata tubuh iblis wanita itu agaknya kebal, karena sambil memutar-mutarkan tongkatnya,ia melarikan diri tanpa menderita luka! Ia memekik-mekik, menjerit-jerit, menangis dan tertawa menyeramkan hati mereka yang mengepungnya dan akhirnya ia berhasil melarikan diri keluar dari pintu gerbang. Juga kali ini ia telah menjatuhkan banyak korban! Melihat keganasan iblis wanita itu, Sri Sultan Agung menjadi marah sekali dan mengambil keputusan untuk keluar sendiri pada besok malam untuk menghadapi iblis pengganggu yang berani itu! Sementara itu, Adiguna, Sariwati, Riyatman, dan Bandini yang mendengar tentang amukan seorang iblis di Mataram menjadi terkejut.
"Kita harus membantu Mataam dan menangkap iblis yang mengamuk dan merusak Mataram itu. Ini adalah tugas kewajiban kita sebagai kawula Mataram," kata Adiguna karena merasa kasihan betapa puluhan orang perajurit telah tewas di tangan iblis yang ganas itu.
"Kau benar, Adiguna. Iblis itu telah berani menyerang keraton, berarti ia telah berani menghina Sri Sultan. Biarlah aku membantu untuk menangkapnya, sebagai penebus dosaku dulu karena aku telah mempunyai maksud untuk memberontak terhadap Mataram," kata Riyatman.
Sariwati dan Bandini saling pandang dan keduanya mempunyai perasaan yang tidak enak sekali. Siapakah iblis wanita itu, pikir mereka dan di sudut hati mereka mempunyai dugaan yang mengerikan. Jangan-jangan iblis itu Ibu mereka, Rondo Kuning! Akan tetapi, mereka segera mengusir pergi dugaan hati ini jauh-jauh! Tak mungkin Ibunya sampai menjadi seorang iblis yang mengerikan! Mereka tidak berani memikirkan hal ini, sehingga ketika Adiguna dan Riyatman menyatakan pendapat mereka, Sariwati dan Bandini tidak dapat menyatakan pendapatnya. Selain itu, sebagai seorang wanita, biarpun mereka memiliki kepandaian, namun merasa ngeri dan takut juga mendengar tentang sepak terjang yang ganas dan kejam itu.
"Terserah kepadamu sajalah, aku dan Bandini tentu saja siap membantu," kata Sariwati dengan menundukkan kepala. Adiguna mencari kesempatan untuk bicara berdua dengan Sariwati dan ketika kesempatan itu tiba, yaitu dengan perginya Riyatman dan Bandini yang mencari buah-buahan di hutanm, Adiguna berkata dengan suara halus,
"Diajeng Sariwati, aku telah maklum apa yang kau khawatirkan. Aku sendiripun mempunyai dugaan kuat bahwa iblis wanita itu bisa jadi Ibumu sendiri, Rondo Kuning."
"Kang Mas Adiguna"!" Sariwati menahan jeritnya dengan muka pucat.
"Tenanglah, dik. Ini hanya dugaan saja dan belum tentu benar. Akan tetapi andaikata benar bahwa iblis itu adalah Ibumu sendiri, apakah yang harus kuperbuat?" Ia memandang tajam. Tak tertahan lagi dari kedua mata Sariwati yang indah itu mengalir turun air mata.
"Bagaimana..." Aku sendiri tidak tahu, Kang Mas... Apakah yang harus kulakukan" Aku... Aku menyerah saja kepadamu, terserah kau yang mengaturnya?" Adiguna melangkah maju dan memegang tangan Sariwati.
"Adikku sayang, kita telah mendapat pelajaran untuk menjunjung tinggi kebajikan dan untuk menolong sesama manusia yang menderita. Maka andaikata ternyata bahwa iblis itu benar-benar Ibumu, tak dapat tidak kita harus melawannya. Iblis itu telah mendatangkan malapetaka kepada rakyat Mataram dan kalau kita diamkan saja, apakah kita dapat disebut pembela-pembela keadilan dan penolong orang sengsara" Pikirkanlah baik-baik. Kita mengejar-ngejar Galiga Jaya oleh karena ia seorang jahat dan telah banyak membinasakan orang. Sekarang, iblis inipun telah banyak menewaskan orang Mataram, apabila kita tidak mengejarnya pula, bukankah kita berlaku kurang adil?" Sariwati mengangguk-angguk dan menyatakan mengerti, akan tetapi oleh karena yang sedang dibicarakan ini adalah pengejaran terhadap Ibunya, maka hatinya terasa perih seperti ditusuk-tusuk pisau.
"Kang Mas, kalau benar dia ini Ibuku"jangan" jangan kau berlaku kejam kepadanya" jangan kau siksa dia, dan musnahkan saja dengan segera?" Gadis itu lalu menangis, hatinya merasa terharu dan sedih sekali. Dengan bibir gemetar ia mengeluh,
"Ibu... ibu" mengapa kau menjadi begitu?"" Adiguna merasa kasihan dan mendekap kepala kekasihnya ke dada.
"Sariwati, jangan kau bersedih. Apapun yang akan terjadi, bukankah kau masih mempunyai aku" Aku akan selalu membelamu dan menyayangimu sampai akhir zaman! Dan pula, tentang iblis itu, kita baru menduga-duga saja. Belum tentu dia itu Ibumu."
Akan tetapi Sariwati merasa yakin bahwa iblis wanita itu tentu Ibunya, oleh karena siapa lagi wanita yang begitu nekat mengejar-ngejar Galiga Jaya selain Ibunya" Juga dulu Ibunya telah melarikan diri dalam keadaan tidak waras dan hampir gila karena sedih. Sementara itu, Riyatman dan Bandini yang pergi mencari buah di sepanjang jalan bersenda gurau saja. Memang kedua muda-mudi ini mempunyai adat yang cocok, sama jenaka dan sama keras hati, akan tetapi keduanya mempunyai hati yang baik. Ketika Riyatman memanjat sebatang pohon kelapa dengan cekatan dan cepat, Bandini memandang kagum. Setelah pemuda itu memetik beberapa buah kelapa muda dan melemparkan ke bawah, Bandini dari bawah berteriak,
"Riyatman...! Kau sungguh pandai memanjat pohon kelapa, tiada ubahnya seperti" seperti?" Riyatman memandang ke bawah.
"Seperti apa?" tanyanya sambil meluncur turun.
"Seperti munyuk monyet."
"Kurang ajar kau! Awas, kalau aku sudah turun, akan kucubit bibirmu yang nakal!" Riyatman mempercepat turunnya dan ketika ia tiba di bawah, Bandini lalu melarikan diri. Riyatman mengejar dan mereka lalu berkejar-kejaran sambil tertawa-tawa. Bandini cepat larinya dan gesit gerakannya hingga sukar bagi Riyatman untuk menangkapnya. Setelah berkejar-kejaran sambil tertawa-tawa, Bandini lalu berkata,
"Sudahlah Riyatman, jangan kita bersenda-gurau saja! Mbak Wati dan Kang Mas Adiguna tentu menanti-nanti. Dan lagi, aku ada sesuatu yang hendak kukatakan padamu." Melihat sikap sungguh-sungguh gadis itu, Riyatman juga bersikap sungguh-sungguh. Mereka berdua lalu pergi mengambil buah kelapa muda dan beristirahat sebentar di atas rumput.
"Jangan engkau memaki aku munyuk monyet lagi, Bandini," kata Riyatman.
"Habis, engkau dulu juga pernah memaki aku banci." Kata Bandini mengerling tajam.
"Bukankah sekarang aku tak pernah memakimu lagi" Apakah aku begitu buruk seperti seekor monyet?"
"Katakan dulu, apakah akupun begitu buruk seperti seorang banci?" Riyatman menggeleng kepala dengan cepat.
"Tidak engkau... engkau seperti Srikandi, bahkan lebih hebat lagi. Engkau cantik manis dan gagah." Dua pasang mata saling pandang dan Bandini merasa girang sekali, akan tetapi tiba-tiba mukanya yang manis itu menunduk dan warna merah menjalar sampai ke telinganya.
"Eh, engkau belum menjawab pertanyaanku tadi," kata Riyatman. Bandini mengangkat mukanya dan memandang dengan wajah berseri,
"Pertanyaan apa?"
"Apakah aku benar-benar begitu jelek seperti monyet?" Bandini tersenyum manis dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Engkau" baik sekali." Riyatman tertawa dengan senang.
"Kalau engkau menganggap aku seperti monyet, biarlah! Akan tetapi aku bukanlah monyet sembarang monyet. Kalau aku menjadi monyet, aku adalah Sang Hanoman (monyet putih yang sakti dalam cerita pewayangan) dan engkau adalah Tri-jata." Keduanya tertawa lagi dengan gembira. Akan tetapi tiba-tiba Bandini nampak sedih.
"Riyatman, ada sesuatu yang mengganggu pikiranku."
"Apakah itu?" tanya pemuda itu dengan sungguh-sungguh.
"Tentang iblis itu. Aku mendapat perasaan aneh dan timbul dugaanku bahwa dia itu mungkin...ibuku."
Riyatman melompat kaget. "Apa..." Mbok Rondo Kuning?"" Ia lalu duduk kembali di dekat Bandini lalu termenung, kemudian ia mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Mungkin juga! Ibumu mempunyai banyak alasan untuk membenci Galiga Jaya dan mendendam sakit hati yang amat hebat. Habis, apa yang harus kita lakukan?" Bandini termenung dengan sedih.
"Terserah Mbak Wati saja. Aku tidak tahu. Menurut patutnya, kita harus membasmi iblis yang mengacau Mataram, akan tetapi kalau ia Ibuku... Ah, Riyatman, apakah yang harus kulakukan?" Gadis ini lalu menangis. Riyatman termenung dan tak tahu harus menjawab bagaimana.
"Bandini, jangan engkau bersedih. Disini masih ada aku yang akan membelamu dengan seluruh jiwaku." Bandini terharu sekali dan memandang kepada pemuda itu. Melalui air matanya dengan sinar mata berterima kasih. Kemudian mereka lalu membawa kelapa muda dan buah-buahan lain, kembali ke tempat dimana Adiguna dan Sariwati menanti mereka. Mereka telah mengambil keputusan untuk keluar dari hutan dan masuk ke Karta malam itu, mengintai dan membantu Mataram untuk menangkap iblis yang mengamuk!
Malam itu kebetulan sekali malam Jum"at. Penjagaan dilakukan dengan keras sekali hingga takkan mudah bagi orang luar untuk masuk ke dalam kota Karta pada malam itu. Akan tetapi, dengan cerdiknya Adiguna yang telah dapat menduga hal ini, telah masuk beserta ketiga kawannya siang tadi ke dalam kota dan bersembunyi menanti datangnya malam. Dan di luar dugaan mereka serta dugaan para penjaga, iblis wanita yang dicari-cari itupun telah berhasil memasuki kot pada senja hari, yaitu dengan bersembunyi di dalam tumpukan padi yang dibawa masuk oleh gerobak sapi yang mengangkut padi dari sawah! Tak seorangpun dapat menyangka kecerdikan ini. Ketika gerobak itu tiba di tempat sunyi, iblis wanita itu melompat turun tanpa diketahui orang dan ia lalu bersembunyi juga sambil mencari-cari tempat tinggal Galiga Jaya.
Agaknya iblis wanita itu maklum juga bahwa malam hari ini Sri Sultan sendiri turun tangan dan melakukan penjagaan, bahkan raja yang sakti ini melakukan perondaan dan memeriksa keadaan para penjaga sambil naik kuda! Oleh karena ini, iblis wanita itu tidak berani muncul, sehingga setelah lewat tengah malam tidak melihat terjadinya sesuatu, Sri Sultan merasa bosan dan lelah, lalu kembali ke dalam keraton untuk beristirahat. Akan tetapi menjelang fajar, orang-orang dikejutkan oleh pekik yang mengerikan yang keluar dari tempat kediaman Galiga Jaya! Ternyata bahwa ketika itu Galiga Jaya sedang berada di kamarnya dengan beberapa orang selirnya. Penewu itu merasa aman dan tenteram karena ia percaya penuh bahwa kali ini apabila iblis wanita berani keluar, tentu akan dapat ditewaskan.
Akan tetapi, menjelang pagi, ketika ia telah tidur pulas, tiba-tiba ia dikejutkan oleh suara ketawa yang menyeramkan dan ketika ia membuka matanya, ternyata bahwa iblis wanita itu telah berada di dalam kamar dan berdiri di depan pembaringannya sambil memandang dengan sikap mengancam. Galiga Jaya terkejut sekali dan merasa seperti sedang bermimpi. Ia menggosok-gosok kedua matanya, akan tetapi bayangan yang mengerikan itu bukanlah mimpi. Ia lalu melompat cepat hingga mengejutkan selir-selirnya yang segera bangun dari tidur dan memeluk kawannya sambil menggigil ketakutan. Galiga Jaya menyambar senjatanya, akan tetapi sambil berteriak buas, iblis wanita itu melompat menghalangi Penewu itu mengambil senjatanya yang tergantung di dinding.
Gambar 0603 "Ha-ha-ha, Galiga Jaya! Kau kenal siapa aku" Lihatlah... pandanglah baik-baik... Aku adalah Rondo Kuning, selir yang kau cintai dulu... ha-ha-ha! Dan kau tahu mengapa aku mencarimu" Ha-ha-ha, Galiga Jaya, aku datang untuk merasai jantungmu!"
"Rondo Kuning, kasihanilah aku. Aku bekas suamimu..." Galiga Jaya meratap.
"Keparat rendah!" Teriak Rondo Kuning sambil melangkah maju ke arah Galiga Jaya yang terduduk di atas pembaringan sambil menggigil ketakutan. Melihat betapa iblis wanita itu melangkah maju, Galiga Jaya menjadi nekat dan ia menerjang. Akan tetapi, sekali Rondo Kuning mengayun tangan, Galiga Jaya roboh sambil mengeluarkan pekik mengerikan karena takutnya. Selir-selirnya juga menjerit-jerit minta tolong lalu roboh pingsan karena takutnya.
"Ha-ha, Galiga Jaya. Engkau tidak patut mati di dalam rumah! Engkau harus mampus di tengah jalan, menjadi tontonan orang!"
Sambil berkata demikian, Rondo Kuning lalu memegang tangan Galiga Jaya dan menyeret tubuhnya yang telah lemas tak berdaya itu keluar dari pondoknya. Beberapa orang penjaga yang terkejut mendengar pekik tadi, dan kini berada di luar pondokan, hendak menyerang dengan tombak mereka, akan tetapi ketika ujung tombak mereka dapat dipukul patah oleh iblis wanita itu, mereka melarikan diri sambil berteriak-teriak minta tolong. Rondo Kuning menyeret tubuh Galiga Jaya yang meronta-ronta itu ke tengah jalan dan kembali terdengar jerit yang menyeramkan dari Galiga Jaya. Beberapa kali terdengar jerit mengerikan itu, seakan-akan Galiga Jaya mengalami kesakitan hebat dan ketakutan besar, kemudian jerit itu tidak terdengar lagi, terganti oleh suara ketawa yang diseling tangis sedih. Adiguna mendengar jerit itu, maka ia segera berkata kepada ketiga orang kawannya.
"Aku mengejar dulu kesana! Kalian menyusullah cepat-cepat!"
Kemudian pemuda yang gagah ini lalu mempergunakan kepandaiannya untuk berlari cepat mengejar ke arah tempat dimana terdengar jeritan itu. Pada saat itu, fajar telah mulai menyingsing dan keadaan tidak segelap tadi, akan tetapi kabut tebal masih menyelimuti seluruh kota. Ketika Adiguna tiba di tempat itu dan memandang ke arah dimana ia melihat bayanga orang, hampir saja ia berteriak karena merasa ngeri. Ia melihat betapa mayat Galiga Jaya rebah terlentang di atas jalan dengan mandi darah. Dadanya koyak-koyak dan rongga dadanya terbuka! Dan didekatnya, Rondo Kuning yang telah menjadi iblis itu duduk sambil mengunyah benda yang berdarah hingga mulutnya berlumuran darah, demikian pula kedua tangannya. Ternyata iblis wanita ini benar-benar telah menggayang jantung Galiga Jaya yang dicabutnya keluar dari dalam dadanya.
"Iblis kejam!" teriak Adiguna dan ia lalu maju menyerang dengan ikat kepalanya, karena ia tahu bahwa iblis ini sakti sekali. Rondo Kuning lalu melompat berdiri dan bagaikan seekor serigala yang khawatir makanannya direbut, ia mengeram keras dan menyambar tongkatnya lalu menyerang Adiguna. Mereka lalu bertempur hebat sekali. Adiguna mengerahkan kesaktiannya, akan tetapi ia menjadi ketakutan oleh karena Rondo Kuning benar-benar bukan merupakan manusia lagi. Agaknya iblis telah menguasainya hingga ia sejahat dan sekejam iblis, dan kesaktiannya luar biasa sekali. Pukulan ikat kepala Adiguna hanya membuatnya roboh sebentar untuk kemudian melompat lagi dan melakukan serangan pembalasan yang membuat Adiguna terhuyung-huyung mundur. Dan ketika Adiguna masih belum sempat bersiap sedia, tahu-tahu Rondo Kuning telah berhasil menangkap lengannya.
"Ha-ha-ha! Aku memang perlu pemuda-pemuda tampan untuk menjadi pelayan di Laut Kidul! Ha-ha-ha! Galiga Jaya telah kudapati dan ia pantas menjadi pemakan bangkai disana, karena banyak sekali bangkai-bangkai mengotorkan tempat. Galiga Jaya pemakan bangkai, ha-ha-ha! Dan engkau menjadi pelayan yang tampan!" Ketika Rondo Kuning sudah siap hendak mencekik pemuda itu dengan tangannya yang berkuku runcing, tiba-tiba terdengar jerit keras,
"Ibu...!" Rondo Kuning tersentak kaget mendengar suara ini dan tangannya yang telah diangkat hendak mencekik leher Adiguna itu tertahan. Ternyata bahwa yang memekik itu adalah Sariwati yang datang bersama Riyatman dan Bandini. Melihat betapa pemuda kekasihnya tertangkap dan hendak dibunuh Ibunya, tak terasa lagi Sariwati menjerit dan jeritannya ini telah menolong nyawa Adiguna. Riyatman marah sekali melihat hal ini dan ia segera menerjang iblis wanita itu dengan kerisnya.
"Iblis terkutuk!" serunya dan ia menusuk dengan kerisnya ke arah dada Rondo Kuning. Akan tetapi, Rondo Kuning mengangkat lengannya dan sekali ia bergerak, ia telah berhasil menangkap Riyatman pula.
"Ibu!" teriak lagi Sariwati, "Lepaskan Kang Mas Adiguna!" Rondok Kuning membelalakan matanya memandang kepada Sariwati.
"Hi-hi-hi..... pemuda ini siapakah" Kekasihmu?" Sariwati mengangguk dan sambil tertawa terkekeh-kekeh Rondo Kuning melepaskan lengan Adiguna dan mendorong pemuda itu hingga jatuh terduduk di pinggir jalan. Adiguna merasa heran sekali karena ia merasa bahwa yang dilawannya ini benar-benar bukan seorang manusia! Memang setelah berhasil makan jantung Galiga Jaya, keadaan Rondo Kuning benar-benar berobah dan kesaktiannya yang dimiliki pada saat itu mentakjubkan, seakan-akan ada iblis yang masuk ke dalam tubuhnya.


😦

"Hi-hi-hi! Bawalah pulang kekasihmu itu, manis. Akan tetapi, pemuda kasar ini cukup tampan juga untuk menjadi pelayan di Laut Kidul!"
"Ibu..... Kau lepaskan Riyatman! Kalau kau mengganggu dia, aku akan menyerangmu dengan belati ini!" Bandini berseru sambil memandang Rondo Kuning dengan sinar mata berapi-api. Rondo Kuning terkejut dan nampak marah mendengar ada orang berani melawannya, akan tetapi ketika sinar matanya yang liar itu bertemu dengan pandang mata Bandini yang berani, tiba-tiba ia tertawa terkekeh-kekeh lagi.
"Eh-eh, kau si hitam manis yang galak! Apamukah pemuda ini" Kekasihmu-kah?"
"Tak perlu bertanya. Pendeknya, kau harus melepaskan dia!" Rondo Kuning menggeleng-gelengkan kepala.
"Kalau bukan kekasihmu aku akan mencekik lehernya!" Sambil berkata demikian, jari-jari dengan kuku panjang itu telah menjalar ke dekat leher Riyaman yang tak berdaya dan hanya dapat memandang kepada Bandini dengan mata terbelalak!
"Jangan Ibu...! Dia... dia kekasihku..." kata Bandini sambil melompat maju, menangkap lengan Riyatman dan menariknya dari pegangan Rondo Kuning. Iblis wanita itu tertawa menyeramkan dan mendorong tubuh Riyatman hingga pemuda itu terlempar dan bertumbukan dengan Bandini hingga keduanya jatuh ke atas tanah. Pada saat itu, Baurekso dan lain-lain panglima telah tiba disitu dan memandang peristiwa ini dengan mata terbelalak. Mereka juga merasa ngeri sekali melihat mayat Galiga Jaya dan melihat keadaan iblis wanita itu. Rondo Kuning berdiri dan mengulurkan kedua tangannya berlumur darah itu keatas sambil berseru mengancam,
"Orang Mataram! Siapa hendak membela Galiga Jaya, majulah! Biar aku menambah sarapanku dengan beberapa buah jantung segar lagi! Ha-ha-ha!"
Pada saat itu, tiba-tiba orang-orang disekeliling tempat itu berlutut dan dari dalam kabut keluarlah seorang laki-laki yang berpakaian indah dan sikapnya agung sekali. Yang baru datang ini bukan lain ialah Sri Sultan Agung sendiri! Dengan langkah tetap dan pandang mata tenang dan tajam, Sultan Agung menghampiri Rondo Kuning yang masih berdiri dengan tubuh bongkok dan mata liar, Sultan Agung lalu berdiri dengan kedua kaki terpentang dan kedua tangan di pinggang sambil menatap wajah Rondo Kuning. Iblis wanita itu ketika melihat Sultan Agung lalu memekik liar dan menubruk dengan jari-jari terbuka ke arah leher Sultan Agung. Akan tetapi, raja sakti itu mengebutkan tangan kirinya yang mengenai kening iblis wanita itu. Terdengar pekik mengerikan dan tubuh iblis wanita itu roboh di depan Sultan Agung.
"Pergi kamu! Pergi tinggalkan tubuh wanita ini.!" Sri Sultan Agung membentak dengan suara yang amat berpengaruh. Iblis wanita itu masih memekik-mekik dan melompat berdiri lagi hendak menyerang Sri Sultan. Akan tetapi, kembali tangan kirin Sultan Agung menampar dan kini tubuh itu jatuh bergulingan di atas tanah seperti cacing kena abu panas! Namun, iblis wanita itu memang kebal sekali, ia mencoba untuk menyerang lagi hingga sampai tujuh kali Sultan Agung menamparnya sambil tiap kali membentak mengusir iblis yang mempengaruhi Rondo Kuning. Melihat betapa Ibunya mendapat siksaan dari Sultan Agung, Sariwati dan Bandini menjerit dan menangis lalu menghampiri tubuh yang masih bergulingan setelah kena tampar yang ketujuh kalinya. Agaknya ia tak kuasa bangun lagi dan bergulingan sambil menjerit-jerit.
"Ibu" ibu... mintalah ampun, Ibu..." Kata Bandini sambil memeluk tubuh yang mengerikan itu.
"Ibu... sadarlah, Ibu" aku anakmu, Sariwati, Ibu?" Rondo Kuning memandang kepada dua gadis itu, dan tiba-tiba ia terisak lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Sultan Agung.
"Pergilah, dan bawa tubuh yang kau nodai ini agar jangan mengotori yang lain!" Sri Sultan Agung bersabda. Rondo Kuning lalu menjerit lagi dengan suara memilukan, lalu bangun berdiri dan berlari pergi dari situ.
"Ibu..." Kedua gadis itu hendak mengejar, akan tetapi Adiguna dan Riyatman memeluk kekasih masing-masing, mencegah mereka mengejar Rondo Kuning. Orang-orang lain dan perajurit-perajurit yang mengejar nenek bongkok itu melihat Rondo Kuning berlari terus menuju Bengawan Solo dan wanita itu lalu melompat ke dalam air terus menghilang tak timbul lagi. Tubuhnya tak pernah ditemukan orang, entah menjadi korban buaya entah berada dimana. Sementara itu, Sri Sultan Agung lalu memandang kepada dua pasang muda-mudi yang masih bertangisan disitu, lalu bertanya dengan suara keren, Adiguna dan kawan-kawannya lalu menjatuhkan diri berlutut dan menyembah.
"Ampun beribu ampun, gusti junjungan hamba sekalian. Hamba mengaku salah dan segala keputusan paduka akan hamba terima dengan rela." Sri Sultan Agung memberi tanda agar supaya mayat Galiga Jaya dibawa pergi. Setelah mayat itu diangkut orang, beliau lalu berkata kepada Baurekso,
"Paman Baurekso, tangkap dan penjarakan empat anak-anak nakal ini!" Baurekso maklum bahwa Sri Sultan hanya hendak memberi pengajaran kepada empat anak muda itu dan takkan menghukumnya, maka dengan wajah berseri siap menjalankan perintah itu.
Akan tetapi, pada saat itu serombongan wanita datang dengan tangis memilukan dan datang-datang mereka semua berlutut di depan Sang Prabu. Dengan ratap tangis, semua wanita yang ternyata adalah janda dari Pakem, menuturkan tentang keganasan Galiga Jaya, betapa Penewu yang kejam itu telah menganiaya Rondo Kuning bahkan telah membunuh puteranya sendiri dan telah menculik ketiga anak tirinya. Kemudia menceritakan pula betapa Penewu Galiga Jaya telah membasmi dusun Pakem dan membunuh banyak rakyat lalu membuat laporan palsu bahwa rakyat Pakem yang memberontak terhadap Mataram. Semua orang merasa terharu mendengar jerit tangis dan cerita mereka ini dan merasa gemas kepada Galiga Jaya yang telah mati dalam keadaan demikian menyeramkan. Sri Sultan Agung mengangguk-angguk dan bersabda,
"Kalau begitu, kesalahan terletak di pundak Galiga Jaya yang telah tewas. Biarlah peristiwa ini dijadikan contoh oleh semua orang bahwa betapapun pandai seorang menutupi kesalahan dan kejahatannya, akhirnya Hyang Agung akan menjatuhkan hukumanNya juga!" Kemudian, dengan suara halus dan manis budi, Sri Sultan mengampuni kesalahan Adiguna, Riyatman, Sariwati dan Bandini, bahkan lalu bersabda,
"Adiguna, kau berjodoh dengan Sariwati dan bawalah isterimu ini ke Pakem. Kau kuangkat menjadi kepala desa Pakem dan pimpinlah rakyat dusun itu dengan bijaksana. Dan kau Riyatman, Bandini adalah jodohmu. Kau kuangkat menjadi kepala Desa Waru menggantikan Galiga Jaya. Kurangilah kekerasan hatimu dan pimpinlah rakyat tani dengan baik!" Keempat anak muda itu menyembah dan menghaturkan terima kasih lalu berangkat ke tempat masing-masing dengan penuh bahagia, diantar oleh rombongan yang datang dari Pakem. Untuk sepekan lamanya di dusun Pakem dan Waru diadakan perayaan ramai untuk merayakan pernikahan Adiguna dengan Sariwati dan Riyatman dengan Bandini.
Demikianlah, keempat anak muda yang gagah perkasa itu hidup bahagia. Ketika Sri Sultan pada tahun 1629 menyerang Belanda, Adiguna dan Riyatman beserta isteri mereka yang setia, ikut pula berjuang dengan gigih. Biarpun senjata para pahlawan Mataram hanya senjata tajam saja, namun perlawanan yang dahsyat itu telah membuat fihak Belandan hancur berantakan. Akan tetapi, siasat Belanda yang terkenal licin dan curang, yang seringkali menjalankan siasat adu domba, akhirnya menggagalkan penyerbuan Sultan Agung hingga terpaksa tentara Mataram di tarik mundur. Namun perlawanan terhadap penjajah Belanda tak pernah lenyap dari hati parah pahlawan bangsa.
TAMAT 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KERIS MAUT

PENDEKAR GUNUNG LAWU

DYAH RATNA WULAN