SEJENGKAL TANAH SEPERCIK DARAH
JILID 01
MALAM JUMAT KLIWON. Langit hitam pekat bagaikan beludu hitam terhampar luas ditaburi ratna mutu manikam bintang-bintang gemerlapan di angkasa. Tiada segumpalpun awan putih. Jutaan bintang berkedip penuh rahasia, saling bercengkerama membicarakan rahasia alam dalam bahasa yang bisu. Cahaya dingin redup jutaan bintang menciptakan bayang - bayang raksasa beraneka bentuk dari pohon-pohon. Dalam kediamannya, antara cahaya redup dan bayangan, pohon-pohon itu lebih hidup dari pada di kala siang, kehidupan penuh rahasia. Angin semilir berbisik-bisik. Para penghuni pohon besar agaknya merundingkan sesuatu, merasakan datangnya sesuatu yang hebat, malapetaka yang hanya mampu dilakukan oleh mahluk yang disebut manusia. Bahkan para mahluk halus gemetar dibuatnya, melihat apa yang akan terjadi sebagai akibat ulah manusia, mahluk yang mereka takuti.
Rumah bilik bambu sederhana itu berdiri agak terpencil, di ujung dusun yang sudah tidur lelap itu. Lebih tepat dinamakan padepokan, tempat tinggal seorang petani setengah pertapa yang suka hidup menyendiri dan menyepi. Rumah itu nampak sunyi dan gelap, seolah - olah tiada penghuninya. Akan tetapi, di ruangan belakang, yang dijadikan pula sebagai sanggar pamujan atau tempat bersamadhi, duduklah seorang laki-laki bagaikan arca batu. Kedua kakinya bersila dengan sikap bunga padma, kedua kaki saling tertumpang di paha, kedua lengan berbilang merangkul pundak, tubuhnya yang tegap kokoh itu tegak lurus, kedua mata terpejam. Dari pernapasannya dapat diketahui bahwa dia tidak sedang bersamadhi, akan tetapi seluruh perhatiannya bersatu penuh kewaspadaan karena pria inipun dapat merasakan sesuatu yang akan terjadi, yang agaknya makin dekat menghampirinya dengan ancaman yang mengerikan. Sejenak jantungnya berdebar dan rasa gelisah mengguncang batinnya ketika pikirannya membayangkan kemungkinan datangnya marabahaya. Rasa takut tercipta oleh pikiran sendiri. Pikiran membayangkan sesuatu yang tidak ada, yang mungkin terjadi, yang mencelakakan, dan muncullah rasa takut.
"Hong Wilaheng, Nir Baya Sedya Rahayu........" bibirnya berkomat kamit dan suaranya sendiri ini mengusir bayangan pikiran. Maka tenang kembalilah hatinya, heninglah batinnya dan kewaspadapanyapun kembali. Dia siap menghadapi apapun juga karena dia yakin bahwa sepandai-pandainya manusia, siapapun dia, pada akhirnya akan menyerah kepada nasib, kepada keputusan dari kekuasaan yang paling tinggi, yang tak terukur oleh akal budi dan kemampuan manusia. Hidup dan mati hanyalah terlaksananya garis yang telah ditentukan sebelumnya. Dia hanya harus berikhtiar, itulah wajib! Senyum ketenangan menghias wajah yang sudah tidak muda lagi itu. Ruangan sanggar pamujan itu terbuka dan sinar angkasa berbintang menerangi wajahnya, keharuman malam menembus hidungnya dan tembang malam kutu-kutu dan belalang memasuki telinganya.
Ki Baka memang tidak muda lagi. Usianya sudah enampuluh tahunan walaupun tubuhnya masih tegap dan kokoh kuat, tubuh seorang petani yang setiap hari menggeluti tanah dengan kerja keras. Diapun bukan petani biasa, bukan pula pertapa biasa. Ketika mudanya, dia seorang yang perkasa, tangkas dan sakti mandraguna. Pernah nama Baka malang melintang di lembah Sungai Brantas, disegani dan dihormati, bukan sebagai seorang penjahat, melainkan sebagai seorang gagah perkasa yang selalu menentang pelaku - pelaku kejahatan tanpa pandang bulu! Akan tetapi, semua itu telah ditinggalkannya. Bahkan Ki Baka lalu lenyap dari dunia ramai, menyembunyikan diri. Dia malu! Kakaknya, yang juga terkenal sebagai seorang yang sakti mandraguna, yang bernama Ki Baya, telah memberontak terhadap Kerajaan Singasari! Merampok, membunuh rakyat, menentang kerajaan, sampai akhirnya kakaknya itu ditumpas dan terbunuh. Dia malu, dan diapun menghilang, menjadi petani setengah pertapa di dusun kecil itu, dusun Ke-linting yang sepi, jauh dari keramaian kota dan kerajaan, bahkan jauh pula dari pamong Araja yang paling kecil pangkatnya sekalipun. .* Akan tetapi malam ini, malam Jumat Kliwon yang lain dari pada biasanya! Ki Baka masih bersila dengan hening, seluruh panca indranya bersatu dan tepat pada saat tengah malam, tiba - tiba segalanya itu terhenti, seolah-olah dunia ini berhenti berputar pada detik tengah malam itu, seperti yang hafal olehnya, "Rep sidhem premanem tan ana sabawaning walang alisik, gegodhongan tan ana obah, samirana datan surailir........" (Sunyi Senyap hening tiada suara belalang berbisik, tiada daun bergerak, anginpun tiada sumilir......)
Detik itu, detik tengah malam yang sejak tadi ditunggunya, karena dia tahu bahwa setiap tengah malam ada tiba detik seperti ini, di mana segala sesuatu berhenti sesaat, dan Ki Baka memusatkan seluruh keadaan dirinya lahir batin kepada Hyang Wisesa. "Duh Gusti, hamba menyerahkan segala yang ada ini kepada paduka, dengan rela, dengan pasrah........"
"Kulik........! Kulik........! Kulik......." Burung malam itu terbang lewat, jeritannya memecah keheningan sedetik saja. Cuping hidung Ki Baka kembang kempis ketika dia mencium bau keharuman yang tidak wajar, bau sari cendana, bukan bau pohon, rumput dan tanah. Dan diapun sudah siap siaga kembali. Setelah keadaan di luar dirinya itu menyeretnya ke dalam kesadaran, diapun mengenangkan segala yang terjadi.
Sebagai seorang bekas pendekar yang banyak tahu akan dunianya kaum gentho, rampok, maling, kecu, bajak dan gerombolan-gerombolan pengumbar angkara murka, budak-budak nafsu loba tamak dan kesenangan, pengejar - pengejar kekuasan duniawi tanpa memperdulikan cara demi tercapainya kepuasan nafsu, dia tahu bahwa kini terjadi geger di dunia yang hitam itu. Baru saja kakaknya, Ki Baya, mengumpulkan para gerombolan jahat itu untuk diajak bersekutu, dihasutnya untuk menentang pemerintah Kerajaan Singasari. Gerakan kakaknya itu gagal, dapat dihancurkan, Ki Baya tewas dan sekutunya lari cerai berai, banyak pula yang tewas. Kemudian, aman untuk sementara.
Kemudian Kerajaan Singasari mengerahkan semua kekuatan pasukannya, dikirimnya pasukan yang besar itu ke negeri Malayu, dengan harapan negeri itu akan menerima kedaulatan dan kekuasaan Singasari dengan damai dan suka rela, tanpa perang karena memang kekuasaan dan pengaruh Singasari sudah terkenal sampai ke negeri itu. Peristiwa pengiriman pasukan besar inilah yang menggegerkan dunia hitam. Pasukan besar, berikut para senopati yang gagah perkasa, meninggalkan kerajaan! Kalau kucing-kucing berada di rumah, tentu tikus-tikus tidak berani berkeliaran. Akan tetapi kini kucing - kucing itu pergi, rumah kosong tanpa penjaga yang tangguh, dan tikus-tikus-pun mulai bergerak.
Ki Baka tahu benar akan hal ini. Dan dja-pun tahu bahwa begitu hamba-hamba nafsu yang selalu mempergunakan hukum rimba itu berani bergerak bebas, tentu dirinya menjadi sasaran! Pertama, karena dia tidak sudi membantu mendiang Ki Baya sehingga dia dianggap sebagai seorang pengkhianat, dan ke dua, apa lagi kalau bukan karena tombak Tejanirmala. Tombak pusaka itu dikenal dengan sebutan Ki Ageng Tejanirmala, sebuah tombak penolak bala, tombak yang dikeramatkan, memiliki petuah pelindung diri dan bahkan keluarga, juga negara. Menurut cerita orang dari mulut ke mulut, Ki Ageng Tejanirmala pernah menjadi pusaka Sang Prabu Sanjaya dari Kerajaan Mataram, limaratus tahun yang lalu! Menurut kata orang, Ki Baka sendiri belum pernah membuktikannya, demikian ampuhnya Ki Ageng Tejanirmala sehingga dengan mengacungkannya, air banjir yang merusak dusun dapat dibelokkan, bahkan kebakaran besar dapat dipadamkan. Semua niat buruk dalam hati musuh dapat ditundukkan dan dipatahkan, demikian ampuhnya tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala.
Ki Baka tahu bahwa akhirnya mereka akan berdatangan, manusia - manusia berwatak iblis itu. Dan sekaranglah saat terbaik bagi mereka untuk muncul di dunia ramai, selagi kerajaan lemah ditinggalkan pasukan dan para senopati perkasa ke tanah Malayu. Karena sudah dapat diduganya sebelumnya, dia sudah siap siaga. Sebulan yang lalu puteranya, Nurseta, telah disuruhnya pergi dari situ. Disuruhnya pergi bertapa ke Guha Kantong - bolong di tebing pantai laut selatan yang curam itu. Stbuah guha yang menurut dongeng pernah menjadi tempat pertapaan Ki Petruk, ponakawan yang amat terkenal dari keluarga Pandawa. Karena itu diberi nama Guha Kantong- bolong karena Kantong Bolong adalah satu diantara nama poyokan Ki Petruk.
Tiba-tiba terdengar bunyi suling ditiup orang. Ki Baka tetap tidak bergerak, akan tetapi telinganya mendengarkan penuh perhatian. Dia mengenal suara suling itu. Nadanya Slendro, cengkok Banyuwangen. Siapa lagi kalau bukan Ki Sardulo" Akan tetapi dia diam saja, menanti sampai peniup suling itu menyelesaikan lagunya. Sebuah lagu tantangan. Jelas. Namun tak ditanggapinya. Dia takkan mendahului. Biarlah mereka itu membuat gerakan pertama, membuat gebrakan pendahuluan, baru dia akan memperlihatkan siapa sebenarnya Ki Baka! Bukan orang yang mudah digertak begitu saja. Seorang jantan tulen! Tak pernah merasa takut karena bersenjatakan kebenaran yang diyakininya.
Belum habis suara suling itu ditiup orang, lapat-lapat terdengar suara orang bertembang. Suaranya merdu dan jelas, tembangnya Pangkur dan isi lagunya juga tantangan ! Diapun segera mengenal siapa penembang itu. Siapa lagi kalau bukan Gagak Wulung, si mata keranjang itu!
Kemudian terdengar suara tembang lain. Kidung yang ditembangkan ini agak asing, dengan suara meliuk- liuk memelas, akan tetapi segera dia mengenalnya sebagai tembang dari tanah Pasundan. Suara itu merdu bukan main, suara seorang wanita, demikian lembutnya, demikian menyentuh sehingga Ki Baka merasa betapa suara itu menyusup ke dalam kalbunya. Cepat dia menarik napas panjang dan mengerahkan tenaga sakti untuk melawan pengaruh kidung yang demikian kuat itu. Heran, Dedeh Sawitri juga datang, pikirnya, kaget juga. Tak disangkanya tokoh wanita daii Pasundan itu datang pula bersama yang lain. Akan ramai sekali ini, pikirnya gembira. Sedikitpun tidak ada rasa takut dan waswas Seorang satria harus berani menghadapi apapun dan siapapun. Kebenaran merupakan senjata pamungkas yang amat ampuh. Badan boleh hancur, nyawa boleh melayang, namun kebenaran akan tetap menghidupkan semangat juangnya.
Kurang lebih setengah jam lewat tengah malam. Bintang-bintang di langit semakin cemerlang cahayanya, redup dingin kehijauan sinarnya menerangi sanggar pamujan yang terbuka itu. Ki Baka maklum akan kehadiran beberapa orang mengepung sanggar pamujan, makin lama mereka semakin mendekat dan kini sudah terasa olehnya kehadiran mereka di sekelilingnya. Sedikitnya tentu ada lima orang yang berada dekat di sekelilingnya, tidak ada jarak liga tombak, dan dia dapat menduga bahwa banyak lagi yang mengepung tempat itu dari jarak aman, agak.jauh. Lapat-lapat terdengar suara berisik mereka, seperti sarang lebah diganggu, diseling suara dehem dan gerutu.
"Hemmm...........sssssshhhh........ kakang Baka, benarkah engkau telah menjadi orang yang demikian angkuhnya sehingga tidak lagi mau menyambut datangnya tamu ?" tiba - tiba terdengar suara orang, suaranya serak dan diseling suara mendesis seperti ular atau seperti orang sakit gigi.
Ki Baka membuka matanya, tersenyum. Wajahnya cerah ketika sinar sejuta bintang menimpa wajahnya yang agak ditengadahkan. Seraut wajah yang ganteng dan gagah. Seperti itulah agaknya wajah Sang Gatutkaca kalau sudah berusia enampuluh tahun. Kumisnya masih tebal dan melintang garang walaupun sudah bercampur uban, matanya ketika terbuka nampak lebar dan mencorong, menyambar-nyambar ke kanan kiri dengan tenang -namun dengan kekuatan seperti kilat menghunjam.
Baka tersenyum, otot di dagu dan lehernya mengejang, memberi gambaran kejantanan perkasa.
"Adi Sardulo, aku tidak tahu bagaimana caraya menyambut tamu tak diundang yang datang pada tengah malam buta. Keangkuhan hanyalah kedok yang suka dipakai orang bodoh yang merasa pintar untuk menyembunyikan kebodohannya. Aku seorang bodoh yang lugu, tahu benar akan kebodohanku, maka aku tidak membutuhkan keangkuhan Andika datang tanpa diundang, nah, masuk sajalah, adi Sardulo!"
Tiba-tiba ada bayangan berkelebat menyambar memasuki sanggar pamujan, bagaikan seekor burung garuda terbang masuk dan tahu-tahu, seorang laki-laki telah berdiri di atas sebongkah batu yang berada dua tombak li depan Ki Baka. Laki - laki itu berusia kurang lebih limapuluh tahun, bertubuh tinggi urus dengan wajah yang kurus seperti teng-orak terbungkus kulit, mukanya licin tanpa kumis dan jenggot, matanya sipit terpejam, dan pakaiannya serba hitam, dengan ikat pinggang berwarna putih dari sutera panjang seperti selendang. Tangan kirinya memegang sebatang suling bambu hitam pula. Begitu kedua kakinya hinggap di atas batu, laki - laki ini mengeluarkan suara mendesis yang menggetarkan jantung, mendekati lengking, dan sebongkah batu yang diinjaknya itu amblas ke dalam tanah, lantai sanggar pamujan itu!
Ki Bika masih tetap tersenyum, dia diam dia maklum bahwa adik sepergurud mendiang Ki Baya kakaknya itu ternyata telah memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu tenaga dalam. Itulah ilmu memberatkan tubuh yang dipamerkan sehingga batu itu tidak kuat menahan beban badannya sehingga amblas Jelaslah sudah. Orang yang datang-datang memamerkan kekuatannya, sudah tentu bermaksud menggertak untuk memaksakan kehendaknya melalui kekerasan,
"Adi Sardulo, kalau kunjunganmu ini hanya untuk pamer kekuatan, sungguh tidak lucu. Lihat, jutaan bintang di angkasa menyaksi kan perbuatanmu, apakah engkau tidak malu. Apa artinya kekuatanmu itu bagi kesaktian! bintang-bintang itu?"
"Kakang Baka, aku datang dengan niat baik. Kalau tidak, apa kaukira masih hidup sekarang" Tentu sudah kuserang sejak tadi dengan sulingku."
"Hemm, mati hidupku di dalam tangan Hyang Widhi, Sardulo. Nah, katakan, apa keperluanmu datang berkunjung di tengah malam buta begini ?"
Ki Sardulo memandang ke sekelilingnya dan kembali dia mendesis. "Ssssssh! Hemm, banyak orang mendengarkan kita, kakang Baka. Akan tetapi biarlah, kukira kedatangan merekapun mempunyai niat yang tidak jauh bedanya. Aku datang untuk mengingatkanmu akan kematian kakang Bayaraja !"
"Hemm, adi Sardulo Kakang Baya telah lama meninggal dunia, apalagi yang harus diingat?"
"Sssshhh! Dengar suara khianat!" Ki Sardulo meludah ke kiri dan air ludahnya mengeluarkan bunyi keras ketika mengenai tanah. Kakang Baka, saudara kita itu mati terbunuh. Sekaranglah tiba saatnya kita membalas dendam atas kematiannya!"
"Jagad Dewa Bathara........!" Ki Baka berseru lirih, "Lalu kepada siapa kita harus membalas dendam atas kematian kakang Baya, adi Sardulo?"
"Sssssshh! Kakang Baka tidak perlu berpura-pura. Kepada siapa lagi kalau tidak kepada Kerajaan Singasari " Kerajaan Singasari yang menumpas kakang Baya, dan terutama sekali kepada Raden Wijaya karena dialah yang memimpin pasukan yang telah menewaskan kakang Baya!"
"Engkau keliru, adi Sardulo. Tidak ada manusia mampu membunuh manusia lain, Pembunuh tunggal hanyalah Sang Hyang Pamungkas! Tangan manusia hanya menjadi alat belaka. Hidup mati berada di tangan Hyang Widhi. Kalau Sang Hyang Pamungkas sudi menghendaki, siapapun akan mati, denga cara apapun. Kalau engkau hendak membalas dendam, sepatutnya engkau membalas kcpada Hyang Pamungkas!"
"Engkau gila, kakang Baka! Bagaimanj mungkin aku membalas kepada Sang Pembel Hidup dan Sang Pencabut Nyawa ?"
"Nah, kalau tidak mungkin, buanglah dendammu jauh - jauh. Mendiang kakang Baya meninggal dunia karena akibat ulahnya sendiri. Dia merampok, membunuh, memberontak, melanggar semua hukum para dewata dan hukum para manusia. Apa pula yang perlu di sesalkan kecuali bahwa dia mati dalam keadaan menyimpang dari kebenaran" Mati hidup bukan urusan manusia, akan tetapi kelakuan benar atau jahat sepenuhnya berada di tangan kita sendiri."
"Kakang Baka ! Sejak dahulu engkau memang pengkhianat! Tidak membela kakak sendiri, bahkan melarikan diri dan menyembunyikan diri. Dan kinipun mengelak dari tanggung jawab membalas dendam! Laki - laki macam apakah engkau ini ?"
Tiba tiba Ki Baka bangkit berdiri. Tubuhnya yang tinggi besar itu nampak kokoh kuat dan penuh wibawa. Dadanya yang tak tertutup pakaian itu bidang dan kokoh seperti batu krang yang tidak akan gentar menghadapi hantaman setiap gelombang yang datang menerpa. Sepasang matanya yang lebar itu mencorong penuh semangat hidup.
"Ki Sardulo! Namaku Baka dan aku seorang laki-laki sejati! Seorang laki-laki haruslah mempunyai pendirian dalam hidupnya, haruslah mampu menemukan kebenaran di dalam pandangannya dan setia terhadap kebenaran itu! Tanpa kesetiaan terhadap kebenaran yang didambakannya, dia tidak patut dinamakan laki - laki! Aku adalah seorang kawula Singasari dan sebagai seorang kawula, aku harus setia kepada negara dan bangsa ! Sejengkal tanah hanyalah tanah, namun di situlah kita berpijak, kita hidup dan kita matil Sepercik darah hanyalah darah, namun dengan itulah kita hidup, kita memiliki kehormatan. Kalau para pimpinan di negaraku kuanggap tidak benar, sebagai kawula maka kewajibanku adalah untuk menyadarkan dan mengingatkan, demi negara, demi bangsa! Kalau para pemimpin di negaraku kuanggap benar, sebagai kawula maka kewajibanku adalah untuk mendukung dan membela. Kedua hal ini akan kulakukan demi negara dan bangsa, kalau perlu kupertaruhkan dengan selembar nyawaku, biarpun kakang Baya itu kakangku sendiri, akan tetapi dia membahayakan kewibawaan negara, membahayakan keamanan bangsa.Tentu saja aku tidak sudi membantunya, bahkan aku bersukur bahwa akhirnya dia dapat dibinasakan. Nah, aku sudah bicara, tidak ada apa-apa lagi yang perlu diperbincangkan !" Setelah berkata demikian, Ki Baka duduk bersila kembali di atas batu tempat dia bersamadhi.
Hening sejenak setelah suara Ki Baka yang lantang tadi terdengar. Kata demi kata bukan hanya menghunjam ke dalam batin Ki Sardulo, akan tetapi agaknya juga dirasakan benar oleh setiap orang yang mendengarkan pada waktu itu.
Tiba - tiba Ki Sardulo mengeluarkan suara mendesis hebat, air ludahnya sampai memercik-mercik keluar, matanya yang sipit agak melebar dan kelihatan merah. Dia sudah marah sekali! Kemudian, dia mengeluarkan suara mendesis yang dilanjutkan gerengan seperti seekor binatang buas dan tubuh yang jangkung itu telah menerjang ke arah Ki Baka dengan dahsyatnya. Sukar mengikuti gerakan tubuhnya yang secepat itu, seperti kilat menyambar, didahului suling bambu hitamnya yang rnenghantam ke arah dada Ki Baka. Suling itu berubah menjadi sinar hitam bergulung - gulung, dan serangan itu didahului oleh sambaran angin yang berputar seperti angin lesus !
Ki Baka mengenal baik Ki Sardulo yang memiliki Aji Gereng Sardulo (Auman Harimau) dan juga Aji Suling Lesus. Diapun tahu bahwa Ki Sardulo juga mengenal dirinya, maka sekali serang, tentu Ki Sardulo tidak main-main dan berusaha untuk mencapai kemenangan sekali pukul. Dalam serangan ini, tentu Ki Sardulo mengeluarkan ajinya yang paling ampuh dan tenaganya yang paling kuat. Diapun sudah siap dan melihat hantaman suling dengan Aji Suling Lesus, dibarengi gerengan seperti harimau mengamuk, dia tidak mau sembarangan menangkis Dengan tubuh masih duduk bersila, tiba-tiba tubuhnya itu melayang meninggalkan batu di mana dia duduk bersila. Memindahkan tubuh dalam keadaan masih duduk bersila ini bukanlah ilmu sembarangan saja. Hanya orang yang sudah memiliki kesaktian tinggi saja mampu melakukannya, apa lagi gerakan itu dilakukan tiba-tiba untuk menghindarkan serangan maut yang demikian dahsyatnya.
"Darrrr........!" Terdengar suara keras dan nampak debu mengepul memenuhi ruangan anggar pamujan itu, batu - batu kecil beterbangan ke sana-sini dan ternyata batu besar yang tadi diduduki Ki Baka kini telah hancur berkeping-keping, tidak kuat menerima hantaman Ki Sardulo dalam serangan maut yang dahsyat tadi. Bahkan dinding bambu di belakang batu itupun ikut pula roboh, membawa sebagian genteng, menimbulkan suara berisiki
"Ki Sardulo, membangun adalah pekerjaan manusia bijaksana, sebaliknya merusak hanyalah permainan kanak-kanak bodoh dan manusia-manusia picik yang bejat ahlaknya. Engkau datang datang hanya menimbulkan pengrusakan, sungguh menjijikkan !" kata Ki Baka yang kini sudah berdiri dengan sikap tenang dengan kedua lengan bersedakap dan sinar mata penuh teguran memandang wajah kuruj seperti tengkorak hidup itu.
Ki Sardulo merasa malu, juga penasaran sekali. Serangannya tadi hebat bukan main, sudah diperhitungkannya baik - baik dan dia hampir yakin bahwa sekali serang, Ki Baka tentu akan roboh tewas, setidaknya terluka parah. Akan tetapi apa hasilnya " Dia hanya menghancurkan batu dan merobohkan dinding bambu !
"Babo-babo, keparat! Jangan engkau mengelak, Baka ! Belum lecet kulitmu, belum retak tulangmu, belum menetes darah dan engkau sudah lari dari seranganku, ha-ha. Pengecut, hadapilah seranganku kalau engkau Seorang jantan sejati !"
Muka yang gagah itu menjadi agak kemerahan. Ucapan itu memanaskan telinga dan hitam "Sardulo namamu, seperti harimau pula watakmu. Sombong, tinggi hati dan memandang remeh orang lain. Majulah, Sardulo, dan kerahkan semua aji kedigdayaanmu katanya, suaranya masih tenang, setenang hatinya yang tidak mudah terguncang walau dia mulai panas.
Ki Sardulo yang sudah penasaran dan marah sekali, kini memutar-mutar suling hitamnya di atas kepala dan terdengarlah suara mengaung - ngaung, seolah-olah suling itu ditiup dan dimainkan orang. Suara itu makin lama makin tinggi melengking ketika putaran itu makin cepat dan lenyaplah bentuk sulingnya, berubah menjadi sinar hitam yang melengking lengking. Itulah puncak dari Aji Suling Lesus! Kini Ki Sardulo tidak mau bergerak kepalang tanggung, dia mulai maju dengan langkah-langkah teratur, bermain silat dengan berjingkat, gerakannya aneh dan berputar putar, seolah-olah tubuhnya dituntun oleh gerakan suling yang menjadi gulungan sinar hitam, menghampiri Ki Baka yang sudah siap.
Ki Baka juga maklum akan kehebatan lawan, maka diapun menurunkan kedua lengan yang tadi bersedakap, lalu kedua kakinya terpentang lebar berdiri kokoh kuat bagaikan sebatang pohon karena dia memang sedang mengerahkan ajinya yang disebut Aji Wandin Kingkin Beringin Kokoh). Dengan aji ini kedua kakinya seperti menghisap tenaga dari bumi, seolah-olah akar - akar pohon beringin yang menyedot kekuatan dari bumi dan mengalirlah Aji Sari Patolo (Sari Bumi) ke dalam tubuhnya. Kekuatan yang memenuhi tubuhnya pada saat itu sukar dibayangkan kehebatannya dan pada saat Ki Sardulo menyerangnya sambil mengeluarkan desis yang dilanjutkan gerengan seperti harimau, Ki Baka lalu menggerakkan kedua tangannya, mcnyamhut dengan dorongan kedua telapak tangan dengan Aji Bajradenta (Kilat Putih).
"Desss.......!!!" Tubuh yang tinggi kurus dari Ki Sardulo seperti disambar petir, terdorong ke belakang dan berputaran, terhuyung, kemudian terpelanting dan bergulingan seperti sehelai daun kering tertiup angin. Ketika tubuhnya tiba di luar sanggar pamujan dan dia berhasil bangkit duduk, nampak dia muntah dan darah segar keluar dari mulutnya ! Kakek tinggi kurus ini cepat duduk bersila dan mengatur pernapasannya yang terengah - engah, untuk menyelamatkan nyawanya karena dia telah terluka sebelah dalam tubuhnya oleh guncangan hebat dan oleh tenaganya sendiri yang membalik. Masih untung baginya bahwa Ki Baka tadi bergerak hanya untuk menangkis dan menolak tenaga serangannya, bukan untuk menyerangnya. Kalau Ki Baka tadi berniat menyerangnya, tentu tidak akan seringan itu akibatnya, dan mungkin saja dia tidak akan mampu bangkit lagi!
Kini muncullah seorang laki-laki yang tampan. Usianya kurang lebih empatpuluh lima tahun, tubuhnya sedang dan tegap, pakaiannya seperti priyayi saja, pesolek dan tampan, wajahnya tersenyum - senyum ketika dia melangkah masuk ke dalam sanggar pamujan dan berhadapan dengan Ki Baka yang masih berdiri di situ dan kini sudah bersedakap lagi
"Sampurasun, Ki Baka yang gagah perkasa!" kata-kata laki-laki itu, orang yang tadi bertenbang Pangkur dengan nada penuh tantangan.
"Dhirgahayu kepadamu, Gagak Wulung!" jawab Ki Baka dengan sikap manis dan hormat. "Angin baik apakah yang meniupkan andika sampai ke tempat ini di malam yang mulia ini" Apakah ingin menikmati keindahan dan kesucian malam Jumat Kliwon bersamaku, mencoba untuk menghitung jumlahnya bintang di langit?"
Laki-laki tampan yang bernama Gagak Wu-ung itu tertawa bergelak, suara ketawanya genit dan dibuat-buat agar terdengar gagah dan menarik. Memang Gagak Wulung ini terkenal sekali, selain terkenal sebagai seorang jagoan di Kediri yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, digdaya dan sakti mandra guna juga dia terkenal sebagai seorang pria mata keranjang, seorang perayu wanita yang tidak ketulungan lagi. Istilahnya tuk-mis (batuk klimis), yaitu tidak tahan kalau melibat wanita yang batuknya kelimis (dahinya halus) dalam arti cantik manis! Siapapun wanita itu, perawan atau janda, tunangan atau isteri orang pasti akan digodanya dengan rayuan mautnya Entah berapa banyak sudah wanita yang jatuh ke dalam pelukannya, melalui bujuk rayu atau kalau perlu melalui kekerasan. Dan memang dia seorang pria yang tampan dan gagah, pandai pula merayu sehingga sukar bagi wanita untuk menolaknya.
"Ha-haha-ha! Ki Baka yang bijaksana. Aku belumlah sepandai andika yang sudah mampu menghitung jumlahnya bintang di langit. Kemampuanku barulah menghitung jumlah perempuan jelita yang pernah duduk d atas pangkuanku, ha-ha-ha! Kedatanganku ini selain membawa salam hangat dari para rekan di Kediri, juga menyampaikan undangan mereka kepadamu, Ki Baka. Kami amat mengharapkan bantuanmu dan kerja sama untuk menegakkan kebenaran dan keadilan !"
Ki Baka memandang dengan mata terbelalak. Heran dia mendengar seorang seperti Gagak Wulung ini menyebut-nyebut tentang kebenaran dan keadilan! Padahal dia tahu benar siapa Gagak Wulung ini. Seorang hamba nafsu berahi yang juga malang melintang mengandalkan kepandaiannya, menegakkan hukum rimba yang sama sekali tidak mengenal kaidah kebenaran dan keadilan. Apa maksudnya kini, di malam Jumat yang keramat, secara tiba-tiba bicara tentang penegakan kebenaran dan keadilan"
"Maaf kalau aku belum tanggap akan maksud hatimu, ki sanak," kata Ki Baka halus. "Akan tetapi, kebenaran dan keadilan macam apakah yang kaumaksudkan itu " Kalau memang kebenaran dan keadilan yang kaubawa dan tawarkan kepadaku, sudah tentu Ki Baka siap mempertaruhkan nyawanya untuk menegakkannya !"
"Ha-ha-ha, bagus, bagus! Memang siapapun tahu bahwa Ki Baka adalah seorang satria sejati, seorang pendekar perkasa, seorang gagah yang patut dihormati. Ki Baka, tentu engkau tahu bahwa dahulu Kerajaan Dhaha adalah kerajaan yang besar dan siapakah yang tidak tahu akan Sang Prabu Dandang Gendis " Siapa tidak mengenal nama besar Sang Prabu Kertajaya " Sayang bahwa ketika itu orang " orang seperti kita belum terlahir sehingga ada saja orang hina dari dusun, seorang maling biasa yang bernama Ken Arok sempat bangkit dan mengumpulkan kekuatan menghancurkan Kediri yang jaya. Akibatnya, sampai kini Kediri menjadi taklukan Singasari! Tidakkah merupakan suatu penegakan kebenaran dan keadilan kalau kini orang-orang gagah berusaha untuk membangkitkan kembali kejayaan Kediri" Nah, andika diundang untuk itu, Ki Baka. Marilah ikut bersamaku untuk menemui para satria dan pendekar, untuk membicarakan usaha penegakan kebenaran dan keadilan itu!"
Ki Baka mengerutkan alisnya. "Hemm, omongan apakah yang kaukeluarkan itu, Gagak Wulung" Apakah engkau hendak membujuk aku untuk mengotorkan tanganku dengan permainan pemberontak " Apakah engkau, dengan kata-katamu yang halus, dengan lidahmu yang tajam, hendak membujuk agar aku membalikkan punggungku terhadap Sang Prabu Kertanegara, keturunan dari dua orang pangeran, yaitu Sang Pangeran Rangga Wuni dan Sang Pangeran Mahesa Cempaka, kepada siapa di waktu muda aku telah menjadi pengawal dan senopati mereka" Ketahuilah, Gagak Wulung. Orang harus tegak di atas bumi di mana kedua kakinya berpijak. Kalau engkau sebagal orang .Kediri, hal itu adalah hakmu, bahkan mungkin kewajibanmu. Akan tetapi aku orang Singasari dan aku akan membela Singasari. Aku bukan bangsawan, bukan darah keraton din keluarga raja, oleh karena itu, urusan kerajaan bukanlah urusanku. Aku hanyalah kawula yang harus setia kepada penguasanya, selama penguasa itu benar dan menurut aku, Sang Prabu Kertanagara adalah seorang penguasa yang bijaksana dan patut dibela kawulanya! Nah, simpan bujuk rayumu untuk orang-orang Kediri. Juga ingatlah, bukankah sikap Sang Prabu Kertanagara amat baik dan bijaksana terhadap Kediri" Biarpun Kediri sudah ditaklukkan, bukankah keluarga rajamu masih diberi hak hidup dan kedaulatan" Bahkan diajak berbesan" Nah, sudah cukuplah aku bicara, jangan engkau mengeluarkan kata-kata beracun yang amat berbahaya. Persatuan adalah usaha pembangunan yang bijaksana, akan tetapi perpecahan adalah usaha pengrusakan yang picik dan bahkan jahat "
Muka Gagak Wulung menjadi merah. Semua jawaban itu sudah merupakan pukulan kata-kata yang melumpuhkannya. Akan tetapi tentu saja dia merasa malu untuk mundur begitu saja sebelum berusaha sekuatnya. Kembali dia tertawa dan suara ketawanya semakin nyaring, untuk menutupi rasa malunya. "Ha - haha - ha. engkau memang seorang yang terkenal keras hati dan keras kepala, Ki Baka. Tidak mengherankan kalau kerabatmu sendiri memusuhimu dan engkau dianggap sebagai pengkhianat. Akan tetapi sudahlah, kedatanganku bukan untuk membujukmu menjadi sekutu dan sahabat kami, melainkan untuk menyerahkan Ki Ageng Tejanirmala kepadaku. Serahkan Tejanirmala kepadaku dan aku akan pergi sebagai seorang tamu yang baik dan berterima kasih, Ki Baka."
"Hemm, nampaklah belangnya kini. Memang sebaiknya jujur saja, Gagak Wulung. Engkau datang hendak merampok Ki Ageng Tejanirmala, begitu saja, tidak perlu memakai kata-kata yang berliku - liku. Akan tetapi, pusaka itu sama sekali tidak cocok untuk golonganmu. Gagak Wulung. Untuk apa engkau minta Ki Ageng Tejanirmala" Pusaka itu adalah penolak bala, sedangkan golonganmu adalah justeru pengundang malapetaka . Kebalikannya, Gagak Wulung. Tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala sama sekali tidak akan berjodoh dengan golonganmu."
"Cukup semua alasan itu. Serahkan tombak pusaka Tejanirmala atau terpaksa aku akan mempergunakan kekerasan, Ki Baka."
Ki Baka tersenyum. Dia tidak menjadi heran karena dia sudah mengenal benar watak oring-orang seperti Gagak Wulung. "Engkau melihat sendiri tombak pusaka itu tidak berada di tanganku, dan andaikata adapun tidak akan kuberikan kepadamu. Nah, apa yang ikan kaulakukan terhadap diriku ini, Gagak Wulung?"
"Babo-babo, keparat! Engkau menantangku! jangan mengira aku selemah Ki Sardulo yang hanya pandai mengaum seperti harimau, Ki Baka. Sumbarmu seperti dapat membendung air Kali Brantas. seperti dapat melompati puncak Gunung Semeru !"
"Hemm, kau minta gending apa, akan kulayani. Gagak Wulung "
"Heiiiiittt ahhhh.......!" Gagak Wulung lalu memasang kuda - kuda, mengangkat kaki kanan ke atas, ditekuk lutut dan pergelangannya, menunjuk ke depan, sedangkan kaki kiri tegak lurus, menyerong dan ke samping, tangan kanan dibuka dengan ibu jari ditekuk diletakkan telentang di pinggang, tangan kiri juga dibuka dan diletakkan di depan dada seperti setengah sembah, matanya melirik kearah Ki Baka, sikapnya itu gagah sekali, merupakan pembukaan pencak silat yang penuh gaya, juga mengandung penghimpunan tenaga sakti karena kedua tangan itu mula-mula gemetar, lalu menggigil, dan nampaklah uap nengepul dari kedua telapak tangan yang menjadi kemerahan itu!
Ki Baka terkejut. Dia pernah mendengar tentang ilmu atau aji yang bernama Aji Hasta Rudira (Tangan Darah) atau Hasta Jingga (Tangan Jingga). Yang manakah ini " Agaknya Hasta Jingga, pikirnya dan dugaannya memang benar. Itulah Aji Hasta Jingga yang berhawa panas sekali. Kedua telapak tangan Gagak Wulung menjadi kemerahan dan mengepulkan uap putih seperti asap. Baru tersentuh saja sudah panas, dan kalau terkena pukulan telapak tangan ini, tubuh lawan dapat menjadi hangus kulitnya dan patah - patah tulangnya. Bukan hanya aji ini sangat ampuh, akan tetapi Gagak Wulung juga merupakan seorang ahli pencak silat yang cekatan dan gerakannya indah sekali.Dia tidak hanya menguasai aliran ilmu pencak silat dari dalam Kerajaan Dhaha, bahkan dia telah pula mempelajari aliran dari pesisir kidul ( pantai selatan ), dan pernah pula dia berguru kepada seorang pendeta Buddhis Bangsa Cina yang merantau sampai ke Kediri, mempelajari ilmu silat yang amat cepat dan aneh, yang gerak-geriknya seperti gerak-gerik seekor monyet dan diberi nama Aji Wanoro Sekti (Kera Sakti). Selain itu, Gagak Wulung juga memiliki suatu ilmu yang amat buas, yang diberi nama Aji Gagak Rodra (Gagak Buas), dengan loncatan - loncatan seperti terbang dan cakaran-cakaran yang mematikan.
Ki Baka bersikap tenang. Dia belum pernah bertanding melawan jagoan ini, walaupun sudah lama dia mendengar nama besar Gagak Wuung sebagai seorang ahli pencak silai yang sukar dicari bandingnya. Orang ini bukan musuhnya, dan sesungguhnya, sudah bertahun-tahun dia sudah melenyapkan semua kebencian dari dalam hatinya sehingga dia tidak pernah punya musuh. Dia boleh saja dimusuhi orang karena hal itu merupakan urusan orang itu sendiri, akan tetapi dia tidak akan memusuhi orang lain. Gagak Wulung ini datang untuk merampas Ki Ageng Tejanirmala. Memang pada saat itu, tombak pusaka itu tidak berada padanya, namun, bagaimanapun juga, dia harus mencegah pusaka itu terjatuh ke tangan orang-orang dari golongan hitam. Tombak pusaka itu idak boleh sekali-kali disalahgunakan orang, tombak pusaka itu, seperti segala benda lain didunia ini, dapat saja diselewengkan dan disalahgunakan. Pijar bunga api dapat menghidupkan orang, dapat dipergunakan untuk menerangi kegelapan dan memasak makanan, memasak air dan sebagainya. Namun, pijar bunga api itupun dapat saja disalahgunakan, dipergunakan untuk membakar rumah orang misalnya.! Karena itu, dia harus mempertahankan Ki Ageng Tejanirmala dari sentuhan mereka yang menjadi hamba nafsu agar keagungan dan kesucian pusaka keramat itu tidak tercemar dan ternoda.
"Hyaaaattt.......!" Tiba - tiba Gagak Wulung yang setapak demi setapak maju mendekat dengan jalan memutar untuk tiba di sebelah kiri Ki Baka, melakukan serangan pertama. Kakinya menendang dan kaki itu mencuat dengan cepat, dengan tumit menyambar dan menghantam ke arah lambung Ki Baka. Yang diserang tidak menjadi gugup, melainkan menarik siku nya ke belakang melindungi lambung dan menangkis tumit kaki lawan
"Bukk!" Kaki itu ditarik kembali dan ki tubuh Gagak Wulung sudah membalik, kedua lutut ditekuk dan dari bawah, tangannya menyambar ke atas, yang kiri mencengkeram arah perut, yang kanan menampar ke arah dada. Gerakannya indah dan cepat, juga amat berbahaya karena kedua serangan itu dilakukan dengan dua tangan yang dipenuhi Aji Hasta Jingga. Namun, Ki Baka dengan tenangnya meloncat ke belakang sehingga serangan itu gagal sama sekali. Gagak Wulung lalu mengeluarkan suara parau seperti suara gagak marah dan tubuhnya menyambar-nyambar dengan cepatnya bagai seekor burung gagak kelaparan memperebutkan bangkai.
lnilah Aji Gagak Rodra, semacam ilmu pencak silat dari golongan sesat yang dipelajari Gagak Wulung di pesisir kidul. Gerakannya kacau balau akan tetapi justeru kekacauan ini yang membuat lawan menjadi bingung, disertai teriakan-teriakan parau dan empat buah kaki dan tangannya menyerang dari berbagai jurusan. Dihujani serangan seperti itu, Ki Baka juga cepat memainkan Aji Bajradenta yang ampuh, disertai Aji Wandiro Kingkin yang membuat tubuhnya kokoh kuat. Setiap kali dia menangkis, nampak tubuh Gagak Wulung terpental. Orang ini kaget bukan main. Dia menambah tenaganya dan memancing dengan cengkeraman ke arah kepala. Ki Baka tidak nemperdulikan pancingan ini, melainkan menyambut dengan tangkisannya. Dua tangan bertemu di udara, keduanya sama-sama mengerahkan aji kesaktian.
"Dukkk........!" Tubuh Gagak Wulung tergetar hebat dan diapun terdorong ke belakang, kedua kakinya terasa kehilangan kekuatan dan tanpa dapat dicegah lagi diapun jatuh berlutut! Marahlah Gagak Wulung. Dia mengeluarkan suara pekik nyaring dan kini tubuhnya meloncat ke atas lalu dia menyerang dengan ilmu silat Wanoro Sekti yang membuat tubuhnya berkelebatan cepat sekali. Ki Baka terkejut, dan berusaha mengimbangi kecepatan lawan. Namun, dia kalah cepat dan biarpun dia sudah berusaha untuk mengelak, menangkis dan membalas, tetap saja dua kali dia terkena tamparan tangan lawan, sekali pada pundaknya dan sekali lagi pada dadanya. Dia terhuyung dan merasa betapa dadanya nyeri, napasnya agak sesak, akan tetapi dengan pengerahan Aji Sari Patala, kekuatannya pulih kembali dan dia kini bersikap hati - hati sekali. Dia tahu bahwa ilmu silat yang dimainkan lawan ini cepat bukan main, sukar sekali diduga ke mana perkembangannya. Oleh karena itu, diapun tidak banyak bergerak, melainkan berdiri dengan tenang namun penuh kewaspadaan dan setiap kali nampak bayangan lawan berkelebat dan tangan atau kaki lawan mencuat dalam serangan kilat, dia lalu menyambut dengan dorongan Bajradenta yang amat dahsyat. Akal ini berhasil baik sekali karena pada suatu ketika, sambutannya sedemikian dahsyatnya sehingga tubuh Gagak Wulung terlempar keluar sanggar pamujan dan dia terbanting jatuh. Mukanya pucat sekali, napasnya memburu dan biarpun dia tidak terluka seperti halnya Ki Sardulo, namun jagoan Kediri ini maklum bahwa kalau dilanjutkan, dan kalau lawannya menghendaki, dia dapat menghadapi bahaya maut!
"Bukan main!" Tiba-tiba terdengar pujian suara halus. "Ki Baka sungguh seorang pria yang jantan dan gagah perkasa, ganteng dan menarik. Agaknya seperti andika inilah penjelmaan Raden Gatutkaca dari Pringgadani!"
Ki Baka mengangkat muka memandang wanita itu memang cantik, bukan kecantikan karena pulasan, melainkan memang pada dasarnya cantik dan memiliki daya tarik yang amat kuat. Rambut itu seperti mahkota saja, ikal mayang dan hitam lebat, panjang terurai, sebagian menutupi bukit dada yang membusung padat, sebagian menutupi leher yang kulitnya halus kuning dan mulus, dengan anak rambut berikal di pelipis, sinom halus melingkar-lingkar di dahi, kacau dan tidak tersisir, namun sungguh menambah daya tarik yang menggetarkan jantung setiap orang pria. Wajahnya manis sekali, terutama pada mata dan mulutnya. Sepasang mata itu demikian jeli, demikian jernih, demikian tajam lirikannya.dengan dua ujung mata yang meruncing ke atas, mata penuh gairah dan penuh tantangan, seperti yang tampak pada mata wanita yang memang memiliki kehangatan dan gairah membara sejak dewasa. Lalu mulut itu! Bibir itu demikian hidup, seolah-olah memiliki nyawa tersendiri, seperti sepasang ulat yang dapat bergerak-gcrak menantang, sepasang bibir itu seolah dicipta untuk bercumbu, menjadikan madu asmara yang manis memabukkan, bibir yang merah membasah, bergetar dan bergerak penuh undangan, kadang terbuka memperlihatkan kilatan gigi yang rata dan putih bersih, dan kadang pula cukup lebar memperlihatkan rongga mulut yang merah penuh rahasia, dan ujung sebuah lidah yang merah jambon, yang menjilat-jilat tepian bibir dengan jilatan memikat. Seorang perempuan yang cantik, genit kewes, luwes membuat gemas dalam usia yanj sukar diduga berapa, seperti tigapuluhan tahun lebih, perempuan yang matang segala-galanya, yang menjanjikan segala-galanya yang dapat diharapkan seorang laki-laki.
"Ni Dedeh Sawitri........," kata Ki Baka dan dia menahan napas untuk melawan pengaruh yang memancar keluar dari diri wanita itu yang mengusik hatinya dan mulai membakar gairah kelakiannya. Diam-diam dia terkejut! dan maklum bahwa ini bukan sewajarnya. Sudah lama dia dapat menidurkan naga gairah kelakiannya, akan tetapi mengapa kini tiba-tiba saja naga itu bergerak menggeliat hendak bangun" Memang Ni Dedeh Sawitri ini cantik akan tetapi dia sudah sering melihat wanita, yang lebih cantik lagi sebelumnya tanpa terpengaruh sedikitpun juga. Dan melihat betapa kerling mata dan senyum itu memang tidak sewajarnya. Tahulah dia bahwa tentu wanita ini seorang ahli yang memiliki semacam aji asihan, yaitu ilmu untuk memikat hati melalui kekuatan yang tidak wajar.
"Hi - hik, andika memang seorang satria yang pandai mengingat wanita, Ki Baka. Baru jumpa satu kali saja, engkau masih ingat kepadaku, masih ingat pula akan namaku." kata wanita itu dan kini selagi bicara, tubuhnya ikut pula bicara. Tubuh yang padat dan matang, dengan lekuk lengkung sempurna, terutama bagian dada dan pinggulnya sungguh mengandung daya tarik yang amat kuat, pinggang yang ramping itu seolah-olah dapat digerakkan bagaikan tubuh seekor ular saja, melilit-lilit. Leher, pundak dan pinggul itu seperti tiga bagian yang disambung dengan penyambung yang lentur.
"Ni Dedeh Sawitri, aku yakin bahwa kedatangan andika ini bukan sekedar hendak memuji-mujiku. Katakan saja dengan singkat, apa keperluanmu datang berkunjung" Untunglah bahwa selain andika, masih ada banyak orang lain yang malam ini berkunjung kepadaku,karena andaikata tidak ada mereka dan hanya andika seorang yang datang........."
"Hik - hik, kalau aku sendiri yang datang, jadi berduaan saja denganmu, bukan begitu" Aiihh, tentu akan asyik sekali, Ki Baka. Dan.... emm, engkau memang menarik sekali, jantan dan di dalam hatiku seperti ada. api yang membakar, mendatangkan kehangatan yang panas melihat dirimu....." Ucapan yang dikeluarkan dengan gaya yang khas, dengan suara khas berlagu daerah Parahyangan, sungguh merdu merayu dan memikat hati.
"Bukan demikian maksudku, Ni Dedeh Sawitri. Andikapun tentu tahu bahwa kalau demikian keadaannya, aku tidak akan berani menerimamu. Nah, katakanlah, apakah andika ini datang dengan suatu maksud tertenti Kelirukah dugaanku kalau andika datang untuk merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala pula ?"
Kembali wanita itu tertawa, sekali ini mulutnya terbuka lebih lebar sehingga nampak jelas deretan giginya, rongga mulutnya dan lidahnya. Sambil tertawa itu, Ni Dedeh Sawitri mengerahkan aji kesaktiannya, aji pangasihan yang disebut Aji Asmoro Limut. Ada pancaran aneh dari dalam dirinya, yang membuat jantung pria berdebar penuh pesona dan ia nampak selain cantik manis juga baik hati sekali, Namun, diam-diam Ki Baka telah mengerahkan kekuatan hatinya untuk menolak pengaruh itu dan ketika wanita itu tertawa dengan mulut terbuka agak lebar, ia melihat kekejaman tersembunyi di balik mulut yang terbuka itu, seperti mulut seekor ular yang siap untuk mencaplok mangsanya dan diapun bergidik. Perempuan ini sungguh jauh lebih berbahaya dari pada dua orang yang tadi menyerangnya.
"Ki Baka, ucapanmu memang benar sekali, seorang wanita adalah mahluk lemah yang perlu sekali dilindungi, bukan" Oleh karena aku sungguh amat membutuhkan Tejanirmala untuk menjadi pelindungku. Engkau tahu di dunia ini banyak sekali manusia jahat, aku sebagai wanita lemah, membutuhkan pusaka itu untuk menyelamatkan diri. Dan aku percaya, seorang laki-laki jantan perkasa seperti andika tentu akan selalu mengalah terhadap wanita lemah dan siap melindunginya Ki Baka, serahkanlah Ki Ageng Tejanirmala kepadaku, dan selama hidupnya, Ni Dedeh Sawitri tidak akan melupakan Ki Baka!"
"Hemm, andika segolongan dengan mereka biarpun perempuan, andika memiliki kepandaian tinggi, cukup untuk berjaga membela diri, bahkan sisanya terlampau banyak untuk andika pergunakan menyebar malapetaka kepada orang lain. Ki Ageng Tejanirmala juga tidak jodoh dengan andika, Dedeh Sawitri, dan karena pusaka itu tidak berada padaku, maka akupun tidak dapat menyerahkannya kepadamu."
Senyum lebar yang menghias wajah ayu itu perlahan-lahan berubah. Mula-mula kelihatan wajah itu penuh keraguan dan keheranan, agaknya wanita itu merasa heran dan penasaian bagaimana ilmunya yang biasanya amat ampuh, yaitu Aji Asmoro Limut, kini tidak mempan agaknya terhadap Ki Baka. Buktinya, pria itu tidak kelihatan tertarik, bahkan tidak kelihatan menurut atau memenuhi permintaannya. Senyum itu makin menghilang seperti awan tipis terbawa angin dan alis yang hitam kecil melengkung itu mulai berkerut sepasang mata yang tadinya jeli dan ramah itu kini nampak mencoiong penuh kemarahan mulut yang tadinya tersenyum berubah cemberut.
"Ki Baka, apakah engkau sudah bosan hidup dan memilih mati dari pada menyerahkan pusaka itu kepadaku ?" bentak wanita itu marah.
"Tidak ada manusia yang berhak memilih mati atau hidup, Ni Dedeh Sawitri, namun di dapat memilih antara jalan hidup yang benar dan jalan hidup yang salah. Dan aku memilih kebenaran."
"Keparat, kalau begitu akulah yang akan membunuhmu dan mengirim nyawamu ke neraka jahanam" bentak wanita itu dan iapun sudah menggerakkan kakinya dan tubuhnya sudah berkelebat ke depan Ki Baka dengan gerakan yang amat cepat seperti burung terbang saja. Wanita itu kini menggerakkan kedua lengannya, saling bersilang naik turun dan kedua tangannya dibuka, jari-jari ditegangkan dan terdengarlah suara mendesis dan dari kukuku sepuluh jarinya yang panjang meruncing itu keluarlah uap hitam dengan bau yang amis ! Itulah Aji Sarpakenaka yang amat mengerikan karena setiap kuku jari tangan itu mengandung kekuatan dahsyat dan racun yang amat berbahaya. Jangankan sampai tergurat atau tergores sehingga kulit terluka berdarah, yang tentu akan membuat lawan tewas seketika seperti dipagut ular kobra, bahkan baru tercium saja bau amis itu sudah cukup memuat lawan menjadi pening kepala dan sukar ntuk melakukan perlawanan.
Selain Aji Sarpakenaka yang amat jahat ini, juga Ni Dedeh Sawitri menguasai pencak ilat Parahyangan yang gerakannya cepat dan tangkas. Setelah semua tenaga Aji Sarpakenaaka terkumpul di kedua tangannya dan berpusat di kuku jari tangan, wanita itu mulai menyerang dengan kedua tangan mencakar-cakar, seperti seekor harimau menyerang. Gerakannya cepat sekali, dan serangannya bertubi-tubi !
Ki Baka maklum akan kehebatan ilmu wanita ini, maka diapun tidak berani memandang rendah. Begitu lawan mengerahkan Ajian Sarpakenaka, dia sudah menahan napas da mengerahkan kekuatan batinnya untuk melindungi diri dari hawa beracun, dan ketika Dedeh Sawitri menyerang, diapun cepat meloncat ke samping, mengelak. Ni Dedeh Sawitri menyerang terus, mengejar kemanapun lawan melompat untuk menghindarkan diri dan semakin lama, serangannya menjadi semakin gencar, makin cepat dan kuat bagaikan gelonbang lautan. Namun, kini Ki Baka tidak hanya mengelak saja, melainkan juga menangkis. Kedua lengannya sudah terlindung oleh tenaga sakti Aji Sari Patala (Inti Bumi) dan dengan Bajradenta dia berani pula menangkis dan balas menyerang. Terjadilah perkelahian yang amat seru antara kedua orang sakti itu. Tepat seperti yang sudah diduganya, wanita ini memang hebat dan sakti, jauh lebih tangguh di bandingkan dua orang lawan sebelumnya.
"Plakkkl" Ketika Ki Baka menangkis dengan kuatnya sehingga tubuh lawan agak terhuyung ke belakang, tiba-tiba Ki Baka merasa betapa kulit lengan kirinya gatal-gatal. Dia cepat melihat dan terkejutlah dia karena ada tanda merah Jingga pada kulit lengan kirinya. Teringatlah dia akan perkelahiannya melawan Gagak Wulung tadi. Jelaslah bahwa tanda merah Jingga ini merupakan bekas tapak tangan Gagak Wulung yang menggunakan Aji Hasta Jingga tadi! Kiranya, biarpun dia keluar sebagai pemenang, ada bekas tangan beracun itu. pada kulit lengan kirinya dan sekarang baru terasa setelah berkali-kali dia beradu tenaga dengan Ni Dedeh Sawitri!
"Celaka...." keluhnya dalam hati. Pengaruh racun itu amat berbahaya, kalau dia tidak cepat mengobatinya dengan jalan mengatur pernafasan. Akan tetapi pada saat itu, tidak mungkin dia mengobati luka beracun itu. Ni Dedeh Sawitri sudah menyerang lagi. "Siuuuuutt........ wuuttt........" Dua kali cakaran lewat dekat lehernya, membuat Ki Baka cepat mencurahkan perhatiannya. Kalau dia lengah dan terkena goresan kuku beracun itu akan celakalah dia.
Agaknya, Gagak Wulung juga tahu akan kebingungan Ki Baka. Tiba-tiba dia meloncat ke dalam sanggar pamujan yang kini menjadi gelanggang perkelahian itu dan dia tertawa. "Ha-ha-ha, Ni Dedeh Sawitri yang manis, yang jelita, mari kubantu merobohkan Ki Baka yang sombong ini!" Dan diapun sudah menerjang dan mengeroyok Ki Baka yang terpaksa harus meloncat pula ke samping.
"Cih, laki-laki tak bermalu! Siapa sih yang ingin kaubantu ?" Ni Dedeh Sawitri membentak, akan tetapi Gagak Wulung hanya tertawa dan melanjutkan pengeroyokannya. Pada saat itu Ki Sardulo juga meloncat masuk dan ikut pula mengeroyok tanpa banyak cakap lagi. Muncul pula tiga orang lain yang sejak tadi hanya menjadi penonton. Mereka adalah tiga orang yang bersenjatakan clurit,yaitu arit Madura panjang melengkung. Melihat kumis mereka, pakaian mereka yang jelas menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang Madura, kemudian senjata clurit mereka, Ki Baka maklum siapakah tiga orang itu. Tentulah jagoan - jagoan Madura yang terkenal dengan julukan mereka, yaitu Clurit Lemah Abang. Clurit Lemah Abang ini nama sebuah perkumpulan atau gerombolan yang pernah menjagoi di pantai Madura, kemudian mereka itu ikut terpukul ketika pasukan Singasari menyerbu ke Madura dan menaklukkan pulau itu. .
Dikeroyok oleh enam orang yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi itu, Ki Baka yang sudah terluka oleh Aji Hasta Jingga, menjadi repot juga. Apa lagi tiga orang jagoan Madura itu adalah pimpinan gerombolan Clurit Lemah Abang. Permainan senjata clurit mereka berbahaya sekali dan nampaklah tiga sinar putih bergulung - gulung, bagaikan tiga ekor ular yang menyambar - nyambar.
Namun, sedikitpun tidak ada perasaan gentar di dalam hati Ki Baka. Dia pantang mundur dan mengamuk, bagaikan Sang Gatutkaca mengamuk ketika dikeroyok oleh bala Kurawil yang licik dan curang. Tubuhnya yang kokoh kuat itu bergerak ke sana-sini menyambut serangan setiap orang pengeroyok, gelung rami butnya terlepas sehingga rambut itu riap-riapan menambah kegagahannya seolah - olah setiap helai rambut ikut pula mengamuk membeli diri. Karena para pengeroyoknya bukan orang orang lemah dan tingkat kepandaian mereki hanya sedikit di bawah tingkatnya, maka tentu saja Ki Baka tidak terhindar dari hantaman mereka. Bahu kiri dan paha kanannya berdarah, kulitnya robek oleh sabetan cluril, pundak kanannya juga nampak menghitam karena pukulan suling Ki Sardulo, dan yang amat mencemaskan hatinya adalah goresan kecil pada punggungnya oleh kuku jari tangan Ni Dedeh Sawitri. Dia merasa betapa luka - luka itu mendatangkan kenyerian yang menyusup ke tulang, dan kepalanya mulai pening akibat luka beracun, gerakannya mulai kacau, namun tak sedikitpun keluhan pernah keluar dari mulutnya dan semangat perlawanannya tak pernah mengendur sedikitpun juga.
Bagaimanapun juga, keadaan Ki Baka sudah gawat sekali. Agaknya, tidak lama lagi dia tentu akan roboh juga. Berulang kali para pengeroyoknya membujuknya agar menyerahkan tombak pusaka itu, namun dia tidak penah menjawab dengan kata-kata, melainkan menjawab bujukan mereka dengan pukulan dan tendangan.
Pada saat itu, terdengarlah suara orang bertembang mocopat. Tembangnya Sekar Pangkur dan biarpun suara itu lirih namun kata-itanya jelas terdengar semua orang yang sedang berkelahi itu.
"Kawaca raras kawuryan
miwah mundi suradibya umingis
ing mangka punika tuhu
aling - alinging anggo
ananangi hardaning kang hawa napsu
manawi sampun angreda
dadya rubeda ngribedhi."
"Hardaning kang pancaidria
pan kuwasa amangreh kanang diri
angrubeda mrih tan lulus
saged rumesep ing tyas
amiluto ing dria amrih kepencut
anilepken kawaspadan
lir tiang ningali ringgit "
Rumah bilik bambu sederhana itu berdiri agak terpencil, di ujung dusun yang sudah tidur lelap itu. Lebih tepat dinamakan padepokan, tempat tinggal seorang petani setengah pertapa yang suka hidup menyendiri dan menyepi. Rumah itu nampak sunyi dan gelap, seolah - olah tiada penghuninya. Akan tetapi, di ruangan belakang, yang dijadikan pula sebagai sanggar pamujan atau tempat bersamadhi, duduklah seorang laki-laki bagaikan arca batu. Kedua kakinya bersila dengan sikap bunga padma, kedua kaki saling tertumpang di paha, kedua lengan berbilang merangkul pundak, tubuhnya yang tegap kokoh itu tegak lurus, kedua mata terpejam. Dari pernapasannya dapat diketahui bahwa dia tidak sedang bersamadhi, akan tetapi seluruh perhatiannya bersatu penuh kewaspadaan karena pria inipun dapat merasakan sesuatu yang akan terjadi, yang agaknya makin dekat menghampirinya dengan ancaman yang mengerikan. Sejenak jantungnya berdebar dan rasa gelisah mengguncang batinnya ketika pikirannya membayangkan kemungkinan datangnya marabahaya. Rasa takut tercipta oleh pikiran sendiri. Pikiran membayangkan sesuatu yang tidak ada, yang mungkin terjadi, yang mencelakakan, dan muncullah rasa takut.
"Hong Wilaheng, Nir Baya Sedya Rahayu........" bibirnya berkomat kamit dan suaranya sendiri ini mengusir bayangan pikiran. Maka tenang kembalilah hatinya, heninglah batinnya dan kewaspadapanyapun kembali. Dia siap menghadapi apapun juga karena dia yakin bahwa sepandai-pandainya manusia, siapapun dia, pada akhirnya akan menyerah kepada nasib, kepada keputusan dari kekuasaan yang paling tinggi, yang tak terukur oleh akal budi dan kemampuan manusia. Hidup dan mati hanyalah terlaksananya garis yang telah ditentukan sebelumnya. Dia hanya harus berikhtiar, itulah wajib! Senyum ketenangan menghias wajah yang sudah tidak muda lagi itu. Ruangan sanggar pamujan itu terbuka dan sinar angkasa berbintang menerangi wajahnya, keharuman malam menembus hidungnya dan tembang malam kutu-kutu dan belalang memasuki telinganya.
Ki Baka memang tidak muda lagi. Usianya sudah enampuluh tahunan walaupun tubuhnya masih tegap dan kokoh kuat, tubuh seorang petani yang setiap hari menggeluti tanah dengan kerja keras. Diapun bukan petani biasa, bukan pula pertapa biasa. Ketika mudanya, dia seorang yang perkasa, tangkas dan sakti mandraguna. Pernah nama Baka malang melintang di lembah Sungai Brantas, disegani dan dihormati, bukan sebagai seorang penjahat, melainkan sebagai seorang gagah perkasa yang selalu menentang pelaku - pelaku kejahatan tanpa pandang bulu! Akan tetapi, semua itu telah ditinggalkannya. Bahkan Ki Baka lalu lenyap dari dunia ramai, menyembunyikan diri. Dia malu! Kakaknya, yang juga terkenal sebagai seorang yang sakti mandraguna, yang bernama Ki Baya, telah memberontak terhadap Kerajaan Singasari! Merampok, membunuh rakyat, menentang kerajaan, sampai akhirnya kakaknya itu ditumpas dan terbunuh. Dia malu, dan diapun menghilang, menjadi petani setengah pertapa di dusun kecil itu, dusun Ke-linting yang sepi, jauh dari keramaian kota dan kerajaan, bahkan jauh pula dari pamong Araja yang paling kecil pangkatnya sekalipun. .* Akan tetapi malam ini, malam Jumat Kliwon yang lain dari pada biasanya! Ki Baka masih bersila dengan hening, seluruh panca indranya bersatu dan tepat pada saat tengah malam, tiba - tiba segalanya itu terhenti, seolah-olah dunia ini berhenti berputar pada detik tengah malam itu, seperti yang hafal olehnya, "Rep sidhem premanem tan ana sabawaning walang alisik, gegodhongan tan ana obah, samirana datan surailir........" (Sunyi Senyap hening tiada suara belalang berbisik, tiada daun bergerak, anginpun tiada sumilir......)
Detik itu, detik tengah malam yang sejak tadi ditunggunya, karena dia tahu bahwa setiap tengah malam ada tiba detik seperti ini, di mana segala sesuatu berhenti sesaat, dan Ki Baka memusatkan seluruh keadaan dirinya lahir batin kepada Hyang Wisesa. "Duh Gusti, hamba menyerahkan segala yang ada ini kepada paduka, dengan rela, dengan pasrah........"
"Kulik........! Kulik........! Kulik......." Burung malam itu terbang lewat, jeritannya memecah keheningan sedetik saja. Cuping hidung Ki Baka kembang kempis ketika dia mencium bau keharuman yang tidak wajar, bau sari cendana, bukan bau pohon, rumput dan tanah. Dan diapun sudah siap siaga kembali. Setelah keadaan di luar dirinya itu menyeretnya ke dalam kesadaran, diapun mengenangkan segala yang terjadi.
Sebagai seorang bekas pendekar yang banyak tahu akan dunianya kaum gentho, rampok, maling, kecu, bajak dan gerombolan-gerombolan pengumbar angkara murka, budak-budak nafsu loba tamak dan kesenangan, pengejar - pengejar kekuasan duniawi tanpa memperdulikan cara demi tercapainya kepuasan nafsu, dia tahu bahwa kini terjadi geger di dunia yang hitam itu. Baru saja kakaknya, Ki Baya, mengumpulkan para gerombolan jahat itu untuk diajak bersekutu, dihasutnya untuk menentang pemerintah Kerajaan Singasari. Gerakan kakaknya itu gagal, dapat dihancurkan, Ki Baya tewas dan sekutunya lari cerai berai, banyak pula yang tewas. Kemudian, aman untuk sementara.
Kemudian Kerajaan Singasari mengerahkan semua kekuatan pasukannya, dikirimnya pasukan yang besar itu ke negeri Malayu, dengan harapan negeri itu akan menerima kedaulatan dan kekuasaan Singasari dengan damai dan suka rela, tanpa perang karena memang kekuasaan dan pengaruh Singasari sudah terkenal sampai ke negeri itu. Peristiwa pengiriman pasukan besar inilah yang menggegerkan dunia hitam. Pasukan besar, berikut para senopati yang gagah perkasa, meninggalkan kerajaan! Kalau kucing-kucing berada di rumah, tentu tikus-tikus tidak berani berkeliaran. Akan tetapi kini kucing - kucing itu pergi, rumah kosong tanpa penjaga yang tangguh, dan tikus-tikus-pun mulai bergerak.
Ki Baka tahu benar akan hal ini. Dan dja-pun tahu bahwa begitu hamba-hamba nafsu yang selalu mempergunakan hukum rimba itu berani bergerak bebas, tentu dirinya menjadi sasaran! Pertama, karena dia tidak sudi membantu mendiang Ki Baya sehingga dia dianggap sebagai seorang pengkhianat, dan ke dua, apa lagi kalau bukan karena tombak Tejanirmala. Tombak pusaka itu dikenal dengan sebutan Ki Ageng Tejanirmala, sebuah tombak penolak bala, tombak yang dikeramatkan, memiliki petuah pelindung diri dan bahkan keluarga, juga negara. Menurut cerita orang dari mulut ke mulut, Ki Ageng Tejanirmala pernah menjadi pusaka Sang Prabu Sanjaya dari Kerajaan Mataram, limaratus tahun yang lalu! Menurut kata orang, Ki Baka sendiri belum pernah membuktikannya, demikian ampuhnya Ki Ageng Tejanirmala sehingga dengan mengacungkannya, air banjir yang merusak dusun dapat dibelokkan, bahkan kebakaran besar dapat dipadamkan. Semua niat buruk dalam hati musuh dapat ditundukkan dan dipatahkan, demikian ampuhnya tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala.
Ki Baka tahu bahwa akhirnya mereka akan berdatangan, manusia - manusia berwatak iblis itu. Dan sekaranglah saat terbaik bagi mereka untuk muncul di dunia ramai, selagi kerajaan lemah ditinggalkan pasukan dan para senopati perkasa ke tanah Malayu. Karena sudah dapat diduganya sebelumnya, dia sudah siap siaga. Sebulan yang lalu puteranya, Nurseta, telah disuruhnya pergi dari situ. Disuruhnya pergi bertapa ke Guha Kantong - bolong di tebing pantai laut selatan yang curam itu. Stbuah guha yang menurut dongeng pernah menjadi tempat pertapaan Ki Petruk, ponakawan yang amat terkenal dari keluarga Pandawa. Karena itu diberi nama Guha Kantong- bolong karena Kantong Bolong adalah satu diantara nama poyokan Ki Petruk.
Tiba-tiba terdengar bunyi suling ditiup orang. Ki Baka tetap tidak bergerak, akan tetapi telinganya mendengarkan penuh perhatian. Dia mengenal suara suling itu. Nadanya Slendro, cengkok Banyuwangen. Siapa lagi kalau bukan Ki Sardulo" Akan tetapi dia diam saja, menanti sampai peniup suling itu menyelesaikan lagunya. Sebuah lagu tantangan. Jelas. Namun tak ditanggapinya. Dia takkan mendahului. Biarlah mereka itu membuat gerakan pertama, membuat gebrakan pendahuluan, baru dia akan memperlihatkan siapa sebenarnya Ki Baka! Bukan orang yang mudah digertak begitu saja. Seorang jantan tulen! Tak pernah merasa takut karena bersenjatakan kebenaran yang diyakininya.
Belum habis suara suling itu ditiup orang, lapat-lapat terdengar suara orang bertembang. Suaranya merdu dan jelas, tembangnya Pangkur dan isi lagunya juga tantangan ! Diapun segera mengenal siapa penembang itu. Siapa lagi kalau bukan Gagak Wulung, si mata keranjang itu!
Kemudian terdengar suara tembang lain. Kidung yang ditembangkan ini agak asing, dengan suara meliuk- liuk memelas, akan tetapi segera dia mengenalnya sebagai tembang dari tanah Pasundan. Suara itu merdu bukan main, suara seorang wanita, demikian lembutnya, demikian menyentuh sehingga Ki Baka merasa betapa suara itu menyusup ke dalam kalbunya. Cepat dia menarik napas panjang dan mengerahkan tenaga sakti untuk melawan pengaruh kidung yang demikian kuat itu. Heran, Dedeh Sawitri juga datang, pikirnya, kaget juga. Tak disangkanya tokoh wanita daii Pasundan itu datang pula bersama yang lain. Akan ramai sekali ini, pikirnya gembira. Sedikitpun tidak ada rasa takut dan waswas Seorang satria harus berani menghadapi apapun dan siapapun. Kebenaran merupakan senjata pamungkas yang amat ampuh. Badan boleh hancur, nyawa boleh melayang, namun kebenaran akan tetap menghidupkan semangat juangnya.
Kurang lebih setengah jam lewat tengah malam. Bintang-bintang di langit semakin cemerlang cahayanya, redup dingin kehijauan sinarnya menerangi sanggar pamujan yang terbuka itu. Ki Baka maklum akan kehadiran beberapa orang mengepung sanggar pamujan, makin lama mereka semakin mendekat dan kini sudah terasa olehnya kehadiran mereka di sekelilingnya. Sedikitnya tentu ada lima orang yang berada dekat di sekelilingnya, tidak ada jarak liga tombak, dan dia dapat menduga bahwa banyak lagi yang mengepung tempat itu dari jarak aman, agak.jauh. Lapat-lapat terdengar suara berisik mereka, seperti sarang lebah diganggu, diseling suara dehem dan gerutu.
"Hemmm...........sssssshhhh........ kakang Baka, benarkah engkau telah menjadi orang yang demikian angkuhnya sehingga tidak lagi mau menyambut datangnya tamu ?" tiba - tiba terdengar suara orang, suaranya serak dan diseling suara mendesis seperti ular atau seperti orang sakit gigi.
Ki Baka membuka matanya, tersenyum. Wajahnya cerah ketika sinar sejuta bintang menimpa wajahnya yang agak ditengadahkan. Seraut wajah yang ganteng dan gagah. Seperti itulah agaknya wajah Sang Gatutkaca kalau sudah berusia enampuluh tahun. Kumisnya masih tebal dan melintang garang walaupun sudah bercampur uban, matanya ketika terbuka nampak lebar dan mencorong, menyambar-nyambar ke kanan kiri dengan tenang -namun dengan kekuatan seperti kilat menghunjam.
Baka tersenyum, otot di dagu dan lehernya mengejang, memberi gambaran kejantanan perkasa.
"Adi Sardulo, aku tidak tahu bagaimana caraya menyambut tamu tak diundang yang datang pada tengah malam buta. Keangkuhan hanyalah kedok yang suka dipakai orang bodoh yang merasa pintar untuk menyembunyikan kebodohannya. Aku seorang bodoh yang lugu, tahu benar akan kebodohanku, maka aku tidak membutuhkan keangkuhan Andika datang tanpa diundang, nah, masuk sajalah, adi Sardulo!"
Tiba-tiba ada bayangan berkelebat menyambar memasuki sanggar pamujan, bagaikan seekor burung garuda terbang masuk dan tahu-tahu, seorang laki-laki telah berdiri di atas sebongkah batu yang berada dua tombak li depan Ki Baka. Laki - laki itu berusia kurang lebih limapuluh tahun, bertubuh tinggi urus dengan wajah yang kurus seperti teng-orak terbungkus kulit, mukanya licin tanpa kumis dan jenggot, matanya sipit terpejam, dan pakaiannya serba hitam, dengan ikat pinggang berwarna putih dari sutera panjang seperti selendang. Tangan kirinya memegang sebatang suling bambu hitam pula. Begitu kedua kakinya hinggap di atas batu, laki - laki ini mengeluarkan suara mendesis yang menggetarkan jantung, mendekati lengking, dan sebongkah batu yang diinjaknya itu amblas ke dalam tanah, lantai sanggar pamujan itu!
Ki Bika masih tetap tersenyum, dia diam dia maklum bahwa adik sepergurud mendiang Ki Baya kakaknya itu ternyata telah memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu tenaga dalam. Itulah ilmu memberatkan tubuh yang dipamerkan sehingga batu itu tidak kuat menahan beban badannya sehingga amblas Jelaslah sudah. Orang yang datang-datang memamerkan kekuatannya, sudah tentu bermaksud menggertak untuk memaksakan kehendaknya melalui kekerasan,
"Adi Sardulo, kalau kunjunganmu ini hanya untuk pamer kekuatan, sungguh tidak lucu. Lihat, jutaan bintang di angkasa menyaksi kan perbuatanmu, apakah engkau tidak malu. Apa artinya kekuatanmu itu bagi kesaktian! bintang-bintang itu?"
"Kakang Baka, aku datang dengan niat baik. Kalau tidak, apa kaukira masih hidup sekarang" Tentu sudah kuserang sejak tadi dengan sulingku."
"Hemm, mati hidupku di dalam tangan Hyang Widhi, Sardulo. Nah, katakan, apa keperluanmu datang berkunjung di tengah malam buta begini ?"
Ki Sardulo memandang ke sekelilingnya dan kembali dia mendesis. "Ssssssh! Hemm, banyak orang mendengarkan kita, kakang Baka. Akan tetapi biarlah, kukira kedatangan merekapun mempunyai niat yang tidak jauh bedanya. Aku datang untuk mengingatkanmu akan kematian kakang Bayaraja !"
"Hemm, adi Sardulo Kakang Baya telah lama meninggal dunia, apalagi yang harus diingat?"
"Sssshhh! Dengar suara khianat!" Ki Sardulo meludah ke kiri dan air ludahnya mengeluarkan bunyi keras ketika mengenai tanah. Kakang Baka, saudara kita itu mati terbunuh. Sekaranglah tiba saatnya kita membalas dendam atas kematiannya!"
"Jagad Dewa Bathara........!" Ki Baka berseru lirih, "Lalu kepada siapa kita harus membalas dendam atas kematian kakang Baya, adi Sardulo?"
"Sssssshh! Kakang Baka tidak perlu berpura-pura. Kepada siapa lagi kalau tidak kepada Kerajaan Singasari " Kerajaan Singasari yang menumpas kakang Baya, dan terutama sekali kepada Raden Wijaya karena dialah yang memimpin pasukan yang telah menewaskan kakang Baya!"
"Engkau keliru, adi Sardulo. Tidak ada manusia mampu membunuh manusia lain, Pembunuh tunggal hanyalah Sang Hyang Pamungkas! Tangan manusia hanya menjadi alat belaka. Hidup mati berada di tangan Hyang Widhi. Kalau Sang Hyang Pamungkas sudi menghendaki, siapapun akan mati, denga cara apapun. Kalau engkau hendak membalas dendam, sepatutnya engkau membalas kcpada Hyang Pamungkas!"
"Engkau gila, kakang Baka! Bagaimanj mungkin aku membalas kepada Sang Pembel Hidup dan Sang Pencabut Nyawa ?"
"Nah, kalau tidak mungkin, buanglah dendammu jauh - jauh. Mendiang kakang Baya meninggal dunia karena akibat ulahnya sendiri. Dia merampok, membunuh, memberontak, melanggar semua hukum para dewata dan hukum para manusia. Apa pula yang perlu di sesalkan kecuali bahwa dia mati dalam keadaan menyimpang dari kebenaran" Mati hidup bukan urusan manusia, akan tetapi kelakuan benar atau jahat sepenuhnya berada di tangan kita sendiri."
"Kakang Baka ! Sejak dahulu engkau memang pengkhianat! Tidak membela kakak sendiri, bahkan melarikan diri dan menyembunyikan diri. Dan kinipun mengelak dari tanggung jawab membalas dendam! Laki - laki macam apakah engkau ini ?"
Tiba tiba Ki Baka bangkit berdiri. Tubuhnya yang tinggi besar itu nampak kokoh kuat dan penuh wibawa. Dadanya yang tak tertutup pakaian itu bidang dan kokoh seperti batu krang yang tidak akan gentar menghadapi hantaman setiap gelombang yang datang menerpa. Sepasang matanya yang lebar itu mencorong penuh semangat hidup.
"Ki Sardulo! Namaku Baka dan aku seorang laki-laki sejati! Seorang laki-laki haruslah mempunyai pendirian dalam hidupnya, haruslah mampu menemukan kebenaran di dalam pandangannya dan setia terhadap kebenaran itu! Tanpa kesetiaan terhadap kebenaran yang didambakannya, dia tidak patut dinamakan laki - laki! Aku adalah seorang kawula Singasari dan sebagai seorang kawula, aku harus setia kepada negara dan bangsa ! Sejengkal tanah hanyalah tanah, namun di situlah kita berpijak, kita hidup dan kita matil Sepercik darah hanyalah darah, namun dengan itulah kita hidup, kita memiliki kehormatan. Kalau para pimpinan di negaraku kuanggap tidak benar, sebagai kawula maka kewajibanku adalah untuk menyadarkan dan mengingatkan, demi negara, demi bangsa! Kalau para pemimpin di negaraku kuanggap benar, sebagai kawula maka kewajibanku adalah untuk mendukung dan membela. Kedua hal ini akan kulakukan demi negara dan bangsa, kalau perlu kupertaruhkan dengan selembar nyawaku, biarpun kakang Baya itu kakangku sendiri, akan tetapi dia membahayakan kewibawaan negara, membahayakan keamanan bangsa.Tentu saja aku tidak sudi membantunya, bahkan aku bersukur bahwa akhirnya dia dapat dibinasakan. Nah, aku sudah bicara, tidak ada apa-apa lagi yang perlu diperbincangkan !" Setelah berkata demikian, Ki Baka duduk bersila kembali di atas batu tempat dia bersamadhi.
Hening sejenak setelah suara Ki Baka yang lantang tadi terdengar. Kata demi kata bukan hanya menghunjam ke dalam batin Ki Sardulo, akan tetapi agaknya juga dirasakan benar oleh setiap orang yang mendengarkan pada waktu itu.
Tiba - tiba Ki Sardulo mengeluarkan suara mendesis hebat, air ludahnya sampai memercik-mercik keluar, matanya yang sipit agak melebar dan kelihatan merah. Dia sudah marah sekali! Kemudian, dia mengeluarkan suara mendesis yang dilanjutkan gerengan seperti seekor binatang buas dan tubuh yang jangkung itu telah menerjang ke arah Ki Baka dengan dahsyatnya. Sukar mengikuti gerakan tubuhnya yang secepat itu, seperti kilat menyambar, didahului suling bambu hitamnya yang rnenghantam ke arah dada Ki Baka. Suling itu berubah menjadi sinar hitam bergulung - gulung, dan serangan itu didahului oleh sambaran angin yang berputar seperti angin lesus !
Ki Baka mengenal baik Ki Sardulo yang memiliki Aji Gereng Sardulo (Auman Harimau) dan juga Aji Suling Lesus. Diapun tahu bahwa Ki Sardulo juga mengenal dirinya, maka sekali serang, tentu Ki Sardulo tidak main-main dan berusaha untuk mencapai kemenangan sekali pukul. Dalam serangan ini, tentu Ki Sardulo mengeluarkan ajinya yang paling ampuh dan tenaganya yang paling kuat. Diapun sudah siap dan melihat hantaman suling dengan Aji Suling Lesus, dibarengi gerengan seperti harimau mengamuk, dia tidak mau sembarangan menangkis Dengan tubuh masih duduk bersila, tiba-tiba tubuhnya itu melayang meninggalkan batu di mana dia duduk bersila. Memindahkan tubuh dalam keadaan masih duduk bersila ini bukanlah ilmu sembarangan saja. Hanya orang yang sudah memiliki kesaktian tinggi saja mampu melakukannya, apa lagi gerakan itu dilakukan tiba-tiba untuk menghindarkan serangan maut yang demikian dahsyatnya.
"Darrrr........!" Terdengar suara keras dan nampak debu mengepul memenuhi ruangan anggar pamujan itu, batu - batu kecil beterbangan ke sana-sini dan ternyata batu besar yang tadi diduduki Ki Baka kini telah hancur berkeping-keping, tidak kuat menerima hantaman Ki Sardulo dalam serangan maut yang dahsyat tadi. Bahkan dinding bambu di belakang batu itupun ikut pula roboh, membawa sebagian genteng, menimbulkan suara berisiki
"Ki Sardulo, membangun adalah pekerjaan manusia bijaksana, sebaliknya merusak hanyalah permainan kanak-kanak bodoh dan manusia-manusia picik yang bejat ahlaknya. Engkau datang datang hanya menimbulkan pengrusakan, sungguh menjijikkan !" kata Ki Baka yang kini sudah berdiri dengan sikap tenang dengan kedua lengan bersedakap dan sinar mata penuh teguran memandang wajah kuruj seperti tengkorak hidup itu.
Ki Sardulo merasa malu, juga penasaran sekali. Serangannya tadi hebat bukan main, sudah diperhitungkannya baik - baik dan dia hampir yakin bahwa sekali serang, Ki Baka tentu akan roboh tewas, setidaknya terluka parah. Akan tetapi apa hasilnya " Dia hanya menghancurkan batu dan merobohkan dinding bambu !
"Babo-babo, keparat! Jangan engkau mengelak, Baka ! Belum lecet kulitmu, belum retak tulangmu, belum menetes darah dan engkau sudah lari dari seranganku, ha-ha. Pengecut, hadapilah seranganku kalau engkau Seorang jantan sejati !"
Muka yang gagah itu menjadi agak kemerahan. Ucapan itu memanaskan telinga dan hitam "Sardulo namamu, seperti harimau pula watakmu. Sombong, tinggi hati dan memandang remeh orang lain. Majulah, Sardulo, dan kerahkan semua aji kedigdayaanmu katanya, suaranya masih tenang, setenang hatinya yang tidak mudah terguncang walau dia mulai panas.
Ki Sardulo yang sudah penasaran dan marah sekali, kini memutar-mutar suling hitamnya di atas kepala dan terdengarlah suara mengaung - ngaung, seolah-olah suling itu ditiup dan dimainkan orang. Suara itu makin lama makin tinggi melengking ketika putaran itu makin cepat dan lenyaplah bentuk sulingnya, berubah menjadi sinar hitam yang melengking lengking. Itulah puncak dari Aji Suling Lesus! Kini Ki Sardulo tidak mau bergerak kepalang tanggung, dia mulai maju dengan langkah-langkah teratur, bermain silat dengan berjingkat, gerakannya aneh dan berputar putar, seolah-olah tubuhnya dituntun oleh gerakan suling yang menjadi gulungan sinar hitam, menghampiri Ki Baka yang sudah siap.
Ki Baka juga maklum akan kehebatan lawan, maka diapun menurunkan kedua lengan yang tadi bersedakap, lalu kedua kakinya terpentang lebar berdiri kokoh kuat bagaikan sebatang pohon karena dia memang sedang mengerahkan ajinya yang disebut Aji Wandin Kingkin Beringin Kokoh). Dengan aji ini kedua kakinya seperti menghisap tenaga dari bumi, seolah-olah akar - akar pohon beringin yang menyedot kekuatan dari bumi dan mengalirlah Aji Sari Patolo (Sari Bumi) ke dalam tubuhnya. Kekuatan yang memenuhi tubuhnya pada saat itu sukar dibayangkan kehebatannya dan pada saat Ki Sardulo menyerangnya sambil mengeluarkan desis yang dilanjutkan gerengan seperti harimau, Ki Baka lalu menggerakkan kedua tangannya, mcnyamhut dengan dorongan kedua telapak tangan dengan Aji Bajradenta (Kilat Putih).
"Desss.......!!!" Tubuh yang tinggi kurus dari Ki Sardulo seperti disambar petir, terdorong ke belakang dan berputaran, terhuyung, kemudian terpelanting dan bergulingan seperti sehelai daun kering tertiup angin. Ketika tubuhnya tiba di luar sanggar pamujan dan dia berhasil bangkit duduk, nampak dia muntah dan darah segar keluar dari mulutnya ! Kakek tinggi kurus ini cepat duduk bersila dan mengatur pernapasannya yang terengah - engah, untuk menyelamatkan nyawanya karena dia telah terluka sebelah dalam tubuhnya oleh guncangan hebat dan oleh tenaganya sendiri yang membalik. Masih untung baginya bahwa Ki Baka tadi bergerak hanya untuk menangkis dan menolak tenaga serangannya, bukan untuk menyerangnya. Kalau Ki Baka tadi berniat menyerangnya, tentu tidak akan seringan itu akibatnya, dan mungkin saja dia tidak akan mampu bangkit lagi!
Kini muncullah seorang laki-laki yang tampan. Usianya kurang lebih empatpuluh lima tahun, tubuhnya sedang dan tegap, pakaiannya seperti priyayi saja, pesolek dan tampan, wajahnya tersenyum - senyum ketika dia melangkah masuk ke dalam sanggar pamujan dan berhadapan dengan Ki Baka yang masih berdiri di situ dan kini sudah bersedakap lagi
"Sampurasun, Ki Baka yang gagah perkasa!" kata-kata laki-laki itu, orang yang tadi bertenbang Pangkur dengan nada penuh tantangan.
"Dhirgahayu kepadamu, Gagak Wulung!" jawab Ki Baka dengan sikap manis dan hormat. "Angin baik apakah yang meniupkan andika sampai ke tempat ini di malam yang mulia ini" Apakah ingin menikmati keindahan dan kesucian malam Jumat Kliwon bersamaku, mencoba untuk menghitung jumlahnya bintang di langit?"
Laki-laki tampan yang bernama Gagak Wu-ung itu tertawa bergelak, suara ketawanya genit dan dibuat-buat agar terdengar gagah dan menarik. Memang Gagak Wulung ini terkenal sekali, selain terkenal sebagai seorang jagoan di Kediri yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, digdaya dan sakti mandra guna juga dia terkenal sebagai seorang pria mata keranjang, seorang perayu wanita yang tidak ketulungan lagi. Istilahnya tuk-mis (batuk klimis), yaitu tidak tahan kalau melibat wanita yang batuknya kelimis (dahinya halus) dalam arti cantik manis! Siapapun wanita itu, perawan atau janda, tunangan atau isteri orang pasti akan digodanya dengan rayuan mautnya Entah berapa banyak sudah wanita yang jatuh ke dalam pelukannya, melalui bujuk rayu atau kalau perlu melalui kekerasan. Dan memang dia seorang pria yang tampan dan gagah, pandai pula merayu sehingga sukar bagi wanita untuk menolaknya.
"Ha-haha-ha! Ki Baka yang bijaksana. Aku belumlah sepandai andika yang sudah mampu menghitung jumlahnya bintang di langit. Kemampuanku barulah menghitung jumlah perempuan jelita yang pernah duduk d atas pangkuanku, ha-ha-ha! Kedatanganku ini selain membawa salam hangat dari para rekan di Kediri, juga menyampaikan undangan mereka kepadamu, Ki Baka. Kami amat mengharapkan bantuanmu dan kerja sama untuk menegakkan kebenaran dan keadilan !"
Ki Baka memandang dengan mata terbelalak. Heran dia mendengar seorang seperti Gagak Wulung ini menyebut-nyebut tentang kebenaran dan keadilan! Padahal dia tahu benar siapa Gagak Wulung ini. Seorang hamba nafsu berahi yang juga malang melintang mengandalkan kepandaiannya, menegakkan hukum rimba yang sama sekali tidak mengenal kaidah kebenaran dan keadilan. Apa maksudnya kini, di malam Jumat yang keramat, secara tiba-tiba bicara tentang penegakan kebenaran dan keadilan"
"Maaf kalau aku belum tanggap akan maksud hatimu, ki sanak," kata Ki Baka halus. "Akan tetapi, kebenaran dan keadilan macam apakah yang kaumaksudkan itu " Kalau memang kebenaran dan keadilan yang kaubawa dan tawarkan kepadaku, sudah tentu Ki Baka siap mempertaruhkan nyawanya untuk menegakkannya !"
"Ha-ha-ha, bagus, bagus! Memang siapapun tahu bahwa Ki Baka adalah seorang satria sejati, seorang pendekar perkasa, seorang gagah yang patut dihormati. Ki Baka, tentu engkau tahu bahwa dahulu Kerajaan Dhaha adalah kerajaan yang besar dan siapakah yang tidak tahu akan Sang Prabu Dandang Gendis " Siapa tidak mengenal nama besar Sang Prabu Kertajaya " Sayang bahwa ketika itu orang " orang seperti kita belum terlahir sehingga ada saja orang hina dari dusun, seorang maling biasa yang bernama Ken Arok sempat bangkit dan mengumpulkan kekuatan menghancurkan Kediri yang jaya. Akibatnya, sampai kini Kediri menjadi taklukan Singasari! Tidakkah merupakan suatu penegakan kebenaran dan keadilan kalau kini orang-orang gagah berusaha untuk membangkitkan kembali kejayaan Kediri" Nah, andika diundang untuk itu, Ki Baka. Marilah ikut bersamaku untuk menemui para satria dan pendekar, untuk membicarakan usaha penegakan kebenaran dan keadilan itu!"
Ki Baka mengerutkan alisnya. "Hemm, omongan apakah yang kaukeluarkan itu, Gagak Wulung" Apakah engkau hendak membujuk aku untuk mengotorkan tanganku dengan permainan pemberontak " Apakah engkau, dengan kata-katamu yang halus, dengan lidahmu yang tajam, hendak membujuk agar aku membalikkan punggungku terhadap Sang Prabu Kertanegara, keturunan dari dua orang pangeran, yaitu Sang Pangeran Rangga Wuni dan Sang Pangeran Mahesa Cempaka, kepada siapa di waktu muda aku telah menjadi pengawal dan senopati mereka" Ketahuilah, Gagak Wulung. Orang harus tegak di atas bumi di mana kedua kakinya berpijak. Kalau engkau sebagal orang .Kediri, hal itu adalah hakmu, bahkan mungkin kewajibanmu. Akan tetapi aku orang Singasari dan aku akan membela Singasari. Aku bukan bangsawan, bukan darah keraton din keluarga raja, oleh karena itu, urusan kerajaan bukanlah urusanku. Aku hanyalah kawula yang harus setia kepada penguasanya, selama penguasa itu benar dan menurut aku, Sang Prabu Kertanagara adalah seorang penguasa yang bijaksana dan patut dibela kawulanya! Nah, simpan bujuk rayumu untuk orang-orang Kediri. Juga ingatlah, bukankah sikap Sang Prabu Kertanagara amat baik dan bijaksana terhadap Kediri" Biarpun Kediri sudah ditaklukkan, bukankah keluarga rajamu masih diberi hak hidup dan kedaulatan" Bahkan diajak berbesan" Nah, sudah cukuplah aku bicara, jangan engkau mengeluarkan kata-kata beracun yang amat berbahaya. Persatuan adalah usaha pembangunan yang bijaksana, akan tetapi perpecahan adalah usaha pengrusakan yang picik dan bahkan jahat "
Muka Gagak Wulung menjadi merah. Semua jawaban itu sudah merupakan pukulan kata-kata yang melumpuhkannya. Akan tetapi tentu saja dia merasa malu untuk mundur begitu saja sebelum berusaha sekuatnya. Kembali dia tertawa dan suara ketawanya semakin nyaring, untuk menutupi rasa malunya. "Ha - haha - ha. engkau memang seorang yang terkenal keras hati dan keras kepala, Ki Baka. Tidak mengherankan kalau kerabatmu sendiri memusuhimu dan engkau dianggap sebagai pengkhianat. Akan tetapi sudahlah, kedatanganku bukan untuk membujukmu menjadi sekutu dan sahabat kami, melainkan untuk menyerahkan Ki Ageng Tejanirmala kepadaku. Serahkan Tejanirmala kepadaku dan aku akan pergi sebagai seorang tamu yang baik dan berterima kasih, Ki Baka."
"Hemm, nampaklah belangnya kini. Memang sebaiknya jujur saja, Gagak Wulung. Engkau datang hendak merampok Ki Ageng Tejanirmala, begitu saja, tidak perlu memakai kata-kata yang berliku - liku. Akan tetapi, pusaka itu sama sekali tidak cocok untuk golonganmu. Gagak Wulung. Untuk apa engkau minta Ki Ageng Tejanirmala" Pusaka itu adalah penolak bala, sedangkan golonganmu adalah justeru pengundang malapetaka . Kebalikannya, Gagak Wulung. Tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala sama sekali tidak akan berjodoh dengan golonganmu."
"Cukup semua alasan itu. Serahkan tombak pusaka Tejanirmala atau terpaksa aku akan mempergunakan kekerasan, Ki Baka."
Ki Baka tersenyum. Dia tidak menjadi heran karena dia sudah mengenal benar watak oring-orang seperti Gagak Wulung. "Engkau melihat sendiri tombak pusaka itu tidak berada di tanganku, dan andaikata adapun tidak akan kuberikan kepadamu. Nah, apa yang ikan kaulakukan terhadap diriku ini, Gagak Wulung?"
"Babo-babo, keparat! Engkau menantangku! jangan mengira aku selemah Ki Sardulo yang hanya pandai mengaum seperti harimau, Ki Baka. Sumbarmu seperti dapat membendung air Kali Brantas. seperti dapat melompati puncak Gunung Semeru !"
"Hemm, kau minta gending apa, akan kulayani. Gagak Wulung "
"Heiiiiittt ahhhh.......!" Gagak Wulung lalu memasang kuda - kuda, mengangkat kaki kanan ke atas, ditekuk lutut dan pergelangannya, menunjuk ke depan, sedangkan kaki kiri tegak lurus, menyerong dan ke samping, tangan kanan dibuka dengan ibu jari ditekuk diletakkan telentang di pinggang, tangan kiri juga dibuka dan diletakkan di depan dada seperti setengah sembah, matanya melirik kearah Ki Baka, sikapnya itu gagah sekali, merupakan pembukaan pencak silat yang penuh gaya, juga mengandung penghimpunan tenaga sakti karena kedua tangan itu mula-mula gemetar, lalu menggigil, dan nampaklah uap nengepul dari kedua telapak tangan yang menjadi kemerahan itu!
Ki Baka terkejut. Dia pernah mendengar tentang ilmu atau aji yang bernama Aji Hasta Rudira (Tangan Darah) atau Hasta Jingga (Tangan Jingga). Yang manakah ini " Agaknya Hasta Jingga, pikirnya dan dugaannya memang benar. Itulah Aji Hasta Jingga yang berhawa panas sekali. Kedua telapak tangan Gagak Wulung menjadi kemerahan dan mengepulkan uap putih seperti asap. Baru tersentuh saja sudah panas, dan kalau terkena pukulan telapak tangan ini, tubuh lawan dapat menjadi hangus kulitnya dan patah - patah tulangnya. Bukan hanya aji ini sangat ampuh, akan tetapi Gagak Wulung juga merupakan seorang ahli pencak silat yang cekatan dan gerakannya indah sekali.Dia tidak hanya menguasai aliran ilmu pencak silat dari dalam Kerajaan Dhaha, bahkan dia telah pula mempelajari aliran dari pesisir kidul ( pantai selatan ), dan pernah pula dia berguru kepada seorang pendeta Buddhis Bangsa Cina yang merantau sampai ke Kediri, mempelajari ilmu silat yang amat cepat dan aneh, yang gerak-geriknya seperti gerak-gerik seekor monyet dan diberi nama Aji Wanoro Sekti (Kera Sakti). Selain itu, Gagak Wulung juga memiliki suatu ilmu yang amat buas, yang diberi nama Aji Gagak Rodra (Gagak Buas), dengan loncatan - loncatan seperti terbang dan cakaran-cakaran yang mematikan.
Ki Baka bersikap tenang. Dia belum pernah bertanding melawan jagoan ini, walaupun sudah lama dia mendengar nama besar Gagak Wuung sebagai seorang ahli pencak silai yang sukar dicari bandingnya. Orang ini bukan musuhnya, dan sesungguhnya, sudah bertahun-tahun dia sudah melenyapkan semua kebencian dari dalam hatinya sehingga dia tidak pernah punya musuh. Dia boleh saja dimusuhi orang karena hal itu merupakan urusan orang itu sendiri, akan tetapi dia tidak akan memusuhi orang lain. Gagak Wulung ini datang untuk merampas Ki Ageng Tejanirmala. Memang pada saat itu, tombak pusaka itu tidak berada padanya, namun, bagaimanapun juga, dia harus mencegah pusaka itu terjatuh ke tangan orang-orang dari golongan hitam. Tombak pusaka itu idak boleh sekali-kali disalahgunakan orang, tombak pusaka itu, seperti segala benda lain didunia ini, dapat saja diselewengkan dan disalahgunakan. Pijar bunga api dapat menghidupkan orang, dapat dipergunakan untuk menerangi kegelapan dan memasak makanan, memasak air dan sebagainya. Namun, pijar bunga api itupun dapat saja disalahgunakan, dipergunakan untuk membakar rumah orang misalnya.! Karena itu, dia harus mempertahankan Ki Ageng Tejanirmala dari sentuhan mereka yang menjadi hamba nafsu agar keagungan dan kesucian pusaka keramat itu tidak tercemar dan ternoda.
"Hyaaaattt.......!" Tiba - tiba Gagak Wulung yang setapak demi setapak maju mendekat dengan jalan memutar untuk tiba di sebelah kiri Ki Baka, melakukan serangan pertama. Kakinya menendang dan kaki itu mencuat dengan cepat, dengan tumit menyambar dan menghantam ke arah lambung Ki Baka. Yang diserang tidak menjadi gugup, melainkan menarik siku nya ke belakang melindungi lambung dan menangkis tumit kaki lawan
"Bukk!" Kaki itu ditarik kembali dan ki tubuh Gagak Wulung sudah membalik, kedua lutut ditekuk dan dari bawah, tangannya menyambar ke atas, yang kiri mencengkeram arah perut, yang kanan menampar ke arah dada. Gerakannya indah dan cepat, juga amat berbahaya karena kedua serangan itu dilakukan dengan dua tangan yang dipenuhi Aji Hasta Jingga. Namun, Ki Baka dengan tenangnya meloncat ke belakang sehingga serangan itu gagal sama sekali. Gagak Wulung lalu mengeluarkan suara parau seperti suara gagak marah dan tubuhnya menyambar-nyambar dengan cepatnya bagai seekor burung gagak kelaparan memperebutkan bangkai.
lnilah Aji Gagak Rodra, semacam ilmu pencak silat dari golongan sesat yang dipelajari Gagak Wulung di pesisir kidul. Gerakannya kacau balau akan tetapi justeru kekacauan ini yang membuat lawan menjadi bingung, disertai teriakan-teriakan parau dan empat buah kaki dan tangannya menyerang dari berbagai jurusan. Dihujani serangan seperti itu, Ki Baka juga cepat memainkan Aji Bajradenta yang ampuh, disertai Aji Wandiro Kingkin yang membuat tubuhnya kokoh kuat. Setiap kali dia menangkis, nampak tubuh Gagak Wulung terpental. Orang ini kaget bukan main. Dia menambah tenaganya dan memancing dengan cengkeraman ke arah kepala. Ki Baka tidak nemperdulikan pancingan ini, melainkan menyambut dengan tangkisannya. Dua tangan bertemu di udara, keduanya sama-sama mengerahkan aji kesaktian.
"Dukkk........!" Tubuh Gagak Wulung tergetar hebat dan diapun terdorong ke belakang, kedua kakinya terasa kehilangan kekuatan dan tanpa dapat dicegah lagi diapun jatuh berlutut! Marahlah Gagak Wulung. Dia mengeluarkan suara pekik nyaring dan kini tubuhnya meloncat ke atas lalu dia menyerang dengan ilmu silat Wanoro Sekti yang membuat tubuhnya berkelebatan cepat sekali. Ki Baka terkejut, dan berusaha mengimbangi kecepatan lawan. Namun, dia kalah cepat dan biarpun dia sudah berusaha untuk mengelak, menangkis dan membalas, tetap saja dua kali dia terkena tamparan tangan lawan, sekali pada pundaknya dan sekali lagi pada dadanya. Dia terhuyung dan merasa betapa dadanya nyeri, napasnya agak sesak, akan tetapi dengan pengerahan Aji Sari Patala, kekuatannya pulih kembali dan dia kini bersikap hati - hati sekali. Dia tahu bahwa ilmu silat yang dimainkan lawan ini cepat bukan main, sukar sekali diduga ke mana perkembangannya. Oleh karena itu, diapun tidak banyak bergerak, melainkan berdiri dengan tenang namun penuh kewaspadaan dan setiap kali nampak bayangan lawan berkelebat dan tangan atau kaki lawan mencuat dalam serangan kilat, dia lalu menyambut dengan dorongan Bajradenta yang amat dahsyat. Akal ini berhasil baik sekali karena pada suatu ketika, sambutannya sedemikian dahsyatnya sehingga tubuh Gagak Wulung terlempar keluar sanggar pamujan dan dia terbanting jatuh. Mukanya pucat sekali, napasnya memburu dan biarpun dia tidak terluka seperti halnya Ki Sardulo, namun jagoan Kediri ini maklum bahwa kalau dilanjutkan, dan kalau lawannya menghendaki, dia dapat menghadapi bahaya maut!
"Bukan main!" Tiba-tiba terdengar pujian suara halus. "Ki Baka sungguh seorang pria yang jantan dan gagah perkasa, ganteng dan menarik. Agaknya seperti andika inilah penjelmaan Raden Gatutkaca dari Pringgadani!"
Ki Baka mengangkat muka memandang wanita itu memang cantik, bukan kecantikan karena pulasan, melainkan memang pada dasarnya cantik dan memiliki daya tarik yang amat kuat. Rambut itu seperti mahkota saja, ikal mayang dan hitam lebat, panjang terurai, sebagian menutupi bukit dada yang membusung padat, sebagian menutupi leher yang kulitnya halus kuning dan mulus, dengan anak rambut berikal di pelipis, sinom halus melingkar-lingkar di dahi, kacau dan tidak tersisir, namun sungguh menambah daya tarik yang menggetarkan jantung setiap orang pria. Wajahnya manis sekali, terutama pada mata dan mulutnya. Sepasang mata itu demikian jeli, demikian jernih, demikian tajam lirikannya.dengan dua ujung mata yang meruncing ke atas, mata penuh gairah dan penuh tantangan, seperti yang tampak pada mata wanita yang memang memiliki kehangatan dan gairah membara sejak dewasa. Lalu mulut itu! Bibir itu demikian hidup, seolah-olah memiliki nyawa tersendiri, seperti sepasang ulat yang dapat bergerak-gcrak menantang, sepasang bibir itu seolah dicipta untuk bercumbu, menjadikan madu asmara yang manis memabukkan, bibir yang merah membasah, bergetar dan bergerak penuh undangan, kadang terbuka memperlihatkan kilatan gigi yang rata dan putih bersih, dan kadang pula cukup lebar memperlihatkan rongga mulut yang merah penuh rahasia, dan ujung sebuah lidah yang merah jambon, yang menjilat-jilat tepian bibir dengan jilatan memikat. Seorang perempuan yang cantik, genit kewes, luwes membuat gemas dalam usia yanj sukar diduga berapa, seperti tigapuluhan tahun lebih, perempuan yang matang segala-galanya, yang menjanjikan segala-galanya yang dapat diharapkan seorang laki-laki.
"Ni Dedeh Sawitri........," kata Ki Baka dan dia menahan napas untuk melawan pengaruh yang memancar keluar dari diri wanita itu yang mengusik hatinya dan mulai membakar gairah kelakiannya. Diam-diam dia terkejut! dan maklum bahwa ini bukan sewajarnya. Sudah lama dia dapat menidurkan naga gairah kelakiannya, akan tetapi mengapa kini tiba-tiba saja naga itu bergerak menggeliat hendak bangun" Memang Ni Dedeh Sawitri ini cantik akan tetapi dia sudah sering melihat wanita, yang lebih cantik lagi sebelumnya tanpa terpengaruh sedikitpun juga. Dan melihat betapa kerling mata dan senyum itu memang tidak sewajarnya. Tahulah dia bahwa tentu wanita ini seorang ahli yang memiliki semacam aji asihan, yaitu ilmu untuk memikat hati melalui kekuatan yang tidak wajar.
"Hi - hik, andika memang seorang satria yang pandai mengingat wanita, Ki Baka. Baru jumpa satu kali saja, engkau masih ingat kepadaku, masih ingat pula akan namaku." kata wanita itu dan kini selagi bicara, tubuhnya ikut pula bicara. Tubuh yang padat dan matang, dengan lekuk lengkung sempurna, terutama bagian dada dan pinggulnya sungguh mengandung daya tarik yang amat kuat, pinggang yang ramping itu seolah-olah dapat digerakkan bagaikan tubuh seekor ular saja, melilit-lilit. Leher, pundak dan pinggul itu seperti tiga bagian yang disambung dengan penyambung yang lentur.
"Ni Dedeh Sawitri, aku yakin bahwa kedatangan andika ini bukan sekedar hendak memuji-mujiku. Katakan saja dengan singkat, apa keperluanmu datang berkunjung" Untunglah bahwa selain andika, masih ada banyak orang lain yang malam ini berkunjung kepadaku,karena andaikata tidak ada mereka dan hanya andika seorang yang datang........."
"Hik - hik, kalau aku sendiri yang datang, jadi berduaan saja denganmu, bukan begitu" Aiihh, tentu akan asyik sekali, Ki Baka. Dan.... emm, engkau memang menarik sekali, jantan dan di dalam hatiku seperti ada. api yang membakar, mendatangkan kehangatan yang panas melihat dirimu....." Ucapan yang dikeluarkan dengan gaya yang khas, dengan suara khas berlagu daerah Parahyangan, sungguh merdu merayu dan memikat hati.
"Bukan demikian maksudku, Ni Dedeh Sawitri. Andikapun tentu tahu bahwa kalau demikian keadaannya, aku tidak akan berani menerimamu. Nah, katakanlah, apakah andika ini datang dengan suatu maksud tertenti Kelirukah dugaanku kalau andika datang untuk merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala pula ?"
Kembali wanita itu tertawa, sekali ini mulutnya terbuka lebih lebar sehingga nampak jelas deretan giginya, rongga mulutnya dan lidahnya. Sambil tertawa itu, Ni Dedeh Sawitri mengerahkan aji kesaktiannya, aji pangasihan yang disebut Aji Asmoro Limut. Ada pancaran aneh dari dalam dirinya, yang membuat jantung pria berdebar penuh pesona dan ia nampak selain cantik manis juga baik hati sekali, Namun, diam-diam Ki Baka telah mengerahkan kekuatan hatinya untuk menolak pengaruh itu dan ketika wanita itu tertawa dengan mulut terbuka agak lebar, ia melihat kekejaman tersembunyi di balik mulut yang terbuka itu, seperti mulut seekor ular yang siap untuk mencaplok mangsanya dan diapun bergidik. Perempuan ini sungguh jauh lebih berbahaya dari pada dua orang yang tadi menyerangnya.
"Ki Baka, ucapanmu memang benar sekali, seorang wanita adalah mahluk lemah yang perlu sekali dilindungi, bukan" Oleh karena aku sungguh amat membutuhkan Tejanirmala untuk menjadi pelindungku. Engkau tahu di dunia ini banyak sekali manusia jahat, aku sebagai wanita lemah, membutuhkan pusaka itu untuk menyelamatkan diri. Dan aku percaya, seorang laki-laki jantan perkasa seperti andika tentu akan selalu mengalah terhadap wanita lemah dan siap melindunginya Ki Baka, serahkanlah Ki Ageng Tejanirmala kepadaku, dan selama hidupnya, Ni Dedeh Sawitri tidak akan melupakan Ki Baka!"
"Hemm, andika segolongan dengan mereka biarpun perempuan, andika memiliki kepandaian tinggi, cukup untuk berjaga membela diri, bahkan sisanya terlampau banyak untuk andika pergunakan menyebar malapetaka kepada orang lain. Ki Ageng Tejanirmala juga tidak jodoh dengan andika, Dedeh Sawitri, dan karena pusaka itu tidak berada padaku, maka akupun tidak dapat menyerahkannya kepadamu."
Senyum lebar yang menghias wajah ayu itu perlahan-lahan berubah. Mula-mula kelihatan wajah itu penuh keraguan dan keheranan, agaknya wanita itu merasa heran dan penasaian bagaimana ilmunya yang biasanya amat ampuh, yaitu Aji Asmoro Limut, kini tidak mempan agaknya terhadap Ki Baka. Buktinya, pria itu tidak kelihatan tertarik, bahkan tidak kelihatan menurut atau memenuhi permintaannya. Senyum itu makin menghilang seperti awan tipis terbawa angin dan alis yang hitam kecil melengkung itu mulai berkerut sepasang mata yang tadinya jeli dan ramah itu kini nampak mencoiong penuh kemarahan mulut yang tadinya tersenyum berubah cemberut.
"Ki Baka, apakah engkau sudah bosan hidup dan memilih mati dari pada menyerahkan pusaka itu kepadaku ?" bentak wanita itu marah.
"Tidak ada manusia yang berhak memilih mati atau hidup, Ni Dedeh Sawitri, namun di dapat memilih antara jalan hidup yang benar dan jalan hidup yang salah. Dan aku memilih kebenaran."
"Keparat, kalau begitu akulah yang akan membunuhmu dan mengirim nyawamu ke neraka jahanam" bentak wanita itu dan iapun sudah menggerakkan kakinya dan tubuhnya sudah berkelebat ke depan Ki Baka dengan gerakan yang amat cepat seperti burung terbang saja. Wanita itu kini menggerakkan kedua lengannya, saling bersilang naik turun dan kedua tangannya dibuka, jari-jari ditegangkan dan terdengarlah suara mendesis dan dari kukuku sepuluh jarinya yang panjang meruncing itu keluarlah uap hitam dengan bau yang amis ! Itulah Aji Sarpakenaka yang amat mengerikan karena setiap kuku jari tangan itu mengandung kekuatan dahsyat dan racun yang amat berbahaya. Jangankan sampai tergurat atau tergores sehingga kulit terluka berdarah, yang tentu akan membuat lawan tewas seketika seperti dipagut ular kobra, bahkan baru tercium saja bau amis itu sudah cukup memuat lawan menjadi pening kepala dan sukar ntuk melakukan perlawanan.
Selain Aji Sarpakenaka yang amat jahat ini, juga Ni Dedeh Sawitri menguasai pencak ilat Parahyangan yang gerakannya cepat dan tangkas. Setelah semua tenaga Aji Sarpakenaaka terkumpul di kedua tangannya dan berpusat di kuku jari tangan, wanita itu mulai menyerang dengan kedua tangan mencakar-cakar, seperti seekor harimau menyerang. Gerakannya cepat sekali, dan serangannya bertubi-tubi !
Ki Baka maklum akan kehebatan ilmu wanita ini, maka diapun tidak berani memandang rendah. Begitu lawan mengerahkan Ajian Sarpakenaka, dia sudah menahan napas da mengerahkan kekuatan batinnya untuk melindungi diri dari hawa beracun, dan ketika Dedeh Sawitri menyerang, diapun cepat meloncat ke samping, mengelak. Ni Dedeh Sawitri menyerang terus, mengejar kemanapun lawan melompat untuk menghindarkan diri dan semakin lama, serangannya menjadi semakin gencar, makin cepat dan kuat bagaikan gelonbang lautan. Namun, kini Ki Baka tidak hanya mengelak saja, melainkan juga menangkis. Kedua lengannya sudah terlindung oleh tenaga sakti Aji Sari Patala (Inti Bumi) dan dengan Bajradenta dia berani pula menangkis dan balas menyerang. Terjadilah perkelahian yang amat seru antara kedua orang sakti itu. Tepat seperti yang sudah diduganya, wanita ini memang hebat dan sakti, jauh lebih tangguh di bandingkan dua orang lawan sebelumnya.
"Plakkkl" Ketika Ki Baka menangkis dengan kuatnya sehingga tubuh lawan agak terhuyung ke belakang, tiba-tiba Ki Baka merasa betapa kulit lengan kirinya gatal-gatal. Dia cepat melihat dan terkejutlah dia karena ada tanda merah Jingga pada kulit lengan kirinya. Teringatlah dia akan perkelahiannya melawan Gagak Wulung tadi. Jelaslah bahwa tanda merah Jingga ini merupakan bekas tapak tangan Gagak Wulung yang menggunakan Aji Hasta Jingga tadi! Kiranya, biarpun dia keluar sebagai pemenang, ada bekas tangan beracun itu. pada kulit lengan kirinya dan sekarang baru terasa setelah berkali-kali dia beradu tenaga dengan Ni Dedeh Sawitri!
"Celaka...." keluhnya dalam hati. Pengaruh racun itu amat berbahaya, kalau dia tidak cepat mengobatinya dengan jalan mengatur pernafasan. Akan tetapi pada saat itu, tidak mungkin dia mengobati luka beracun itu. Ni Dedeh Sawitri sudah menyerang lagi. "Siuuuuutt........ wuuttt........" Dua kali cakaran lewat dekat lehernya, membuat Ki Baka cepat mencurahkan perhatiannya. Kalau dia lengah dan terkena goresan kuku beracun itu akan celakalah dia.
Agaknya, Gagak Wulung juga tahu akan kebingungan Ki Baka. Tiba-tiba dia meloncat ke dalam sanggar pamujan yang kini menjadi gelanggang perkelahian itu dan dia tertawa. "Ha-ha-ha, Ni Dedeh Sawitri yang manis, yang jelita, mari kubantu merobohkan Ki Baka yang sombong ini!" Dan diapun sudah menerjang dan mengeroyok Ki Baka yang terpaksa harus meloncat pula ke samping.
"Cih, laki-laki tak bermalu! Siapa sih yang ingin kaubantu ?" Ni Dedeh Sawitri membentak, akan tetapi Gagak Wulung hanya tertawa dan melanjutkan pengeroyokannya. Pada saat itu Ki Sardulo juga meloncat masuk dan ikut pula mengeroyok tanpa banyak cakap lagi. Muncul pula tiga orang lain yang sejak tadi hanya menjadi penonton. Mereka adalah tiga orang yang bersenjatakan clurit,yaitu arit Madura panjang melengkung. Melihat kumis mereka, pakaian mereka yang jelas menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang Madura, kemudian senjata clurit mereka, Ki Baka maklum siapakah tiga orang itu. Tentulah jagoan - jagoan Madura yang terkenal dengan julukan mereka, yaitu Clurit Lemah Abang. Clurit Lemah Abang ini nama sebuah perkumpulan atau gerombolan yang pernah menjagoi di pantai Madura, kemudian mereka itu ikut terpukul ketika pasukan Singasari menyerbu ke Madura dan menaklukkan pulau itu. .
Dikeroyok oleh enam orang yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi itu, Ki Baka yang sudah terluka oleh Aji Hasta Jingga, menjadi repot juga. Apa lagi tiga orang jagoan Madura itu adalah pimpinan gerombolan Clurit Lemah Abang. Permainan senjata clurit mereka berbahaya sekali dan nampaklah tiga sinar putih bergulung - gulung, bagaikan tiga ekor ular yang menyambar - nyambar.
Namun, sedikitpun tidak ada perasaan gentar di dalam hati Ki Baka. Dia pantang mundur dan mengamuk, bagaikan Sang Gatutkaca mengamuk ketika dikeroyok oleh bala Kurawil yang licik dan curang. Tubuhnya yang kokoh kuat itu bergerak ke sana-sini menyambut serangan setiap orang pengeroyok, gelung rami butnya terlepas sehingga rambut itu riap-riapan menambah kegagahannya seolah - olah setiap helai rambut ikut pula mengamuk membeli diri. Karena para pengeroyoknya bukan orang orang lemah dan tingkat kepandaian mereki hanya sedikit di bawah tingkatnya, maka tentu saja Ki Baka tidak terhindar dari hantaman mereka. Bahu kiri dan paha kanannya berdarah, kulitnya robek oleh sabetan cluril, pundak kanannya juga nampak menghitam karena pukulan suling Ki Sardulo, dan yang amat mencemaskan hatinya adalah goresan kecil pada punggungnya oleh kuku jari tangan Ni Dedeh Sawitri. Dia merasa betapa luka - luka itu mendatangkan kenyerian yang menyusup ke tulang, dan kepalanya mulai pening akibat luka beracun, gerakannya mulai kacau, namun tak sedikitpun keluhan pernah keluar dari mulutnya dan semangat perlawanannya tak pernah mengendur sedikitpun juga.
Bagaimanapun juga, keadaan Ki Baka sudah gawat sekali. Agaknya, tidak lama lagi dia tentu akan roboh juga. Berulang kali para pengeroyoknya membujuknya agar menyerahkan tombak pusaka itu, namun dia tidak penah menjawab dengan kata-kata, melainkan menjawab bujukan mereka dengan pukulan dan tendangan.
Pada saat itu, terdengarlah suara orang bertembang mocopat. Tembangnya Sekar Pangkur dan biarpun suara itu lirih namun kata-itanya jelas terdengar semua orang yang sedang berkelahi itu.
"Kawaca raras kawuryan
miwah mundi suradibya umingis
ing mangka punika tuhu
aling - alinging anggo
ananangi hardaning kang hawa napsu
manawi sampun angreda
dadya rubeda ngribedhi."
"Hardaning kang pancaidria
pan kuwasa amangreh kanang diri
angrubeda mrih tan lulus
saged rumesep ing tyas
amiluto ing dria amrih kepencut
anilepken kawaspadan
lir tiang ningali ringgit "
(Kalian menyukai baju perang dan membawa senjata terhunus, padahal semua itu mengalangi kebenaran dan membangkitkan hawa nafsu, kalau dibiarkan berlarut - larut akan menjadi penghalang yang merepotkan.
Rangsangan panca indera sepenuhnya menguasai diri pribadi, menjadi penghalang yang menggagalkan, menyusup ke dalam batin sanubari, mempengaruhi kepribadian memikat diri. melenyapkan kewaspadaan, bagaikan orang nonton wayang.)
Tembang itu biasa saja dan sederhana, namun semua orang terkejut karena suara yang lirih dan lembut itu seolah - olah mempunyai daya sedot yang menghisap tenaga sakti yang mereka kerahkan dalam perkelahian itu, membuat mereka semua merasa lemas seolah-olah semua tenaga mereka habis dan barulah mereka masing-masing menyadari betapa lelah dan lemasnya tubuh mereka akibat perkelahian itu. Dengan sendirinya mereka menghentikan serangan, menarik napas dalam-dalam untuk mengumpulkan tenaga dan menghilangkan kelelahan dan pada saat itu, Ki Baka yang sudah lelah dan pening, terhuyung dan dia tentu akan roboh kalau saja pada saat iti tidak ada sebuah tangan yang menangkap lengannya. Ki Baka mengangkat muka, melihai bahwa yang menangkap lengannya adalah seorang kakek tua renta yang memakai kain pengikat kepala berwarna putih, juga mukanya putih seperti muka mayat penuh keripu tanda usia tua. dengan rambut, jenggot dan kumis yang sudah berwarna kelabu.
"Marilah, kaki, kita pergi dari sini," bisik kakek itu sambil menarik lengan Ki Baka, diajak pergi dari dalam sanggar pamujan yang sudah menjadi gelanggang yuda itu. Biarpur , kepalanya pening dan tubuhnya lelah, Ki Bak membuat gerakan menolak terhadap ajakan kakek yang tidak dikenalnya itu.
"Aku tidak takut mati."
Kakek itu tertawa tanpa membuka mulut terawa di dalam mulutnya dan matanya bersinar-sinar walaupun mukanya masih seperti mayat. "Tidak takut mati bukan berarti bunuh diri, karena bunuh diri berarti takut hidup " Kalau tidak takut mati kenapa takut hidup?"
Biarpun pening, Ki Baka tercengang mendengar ucapan itu. Dia mencoba untuk membelalakkan mata memandang kakek itu, akan tetapi pandang matanya kabur dan dia menurut saja ketika kakek itu menarik lengannya dan diajak pergi dari situ dengan langkah satu-satu, sama sekali tidak tergesa-gesa ! Bahkan terdengar pula dia rengeng-rengeng (bersenandung) dengan tembangnya, menuntun Ki Baka pada lengannya seperti orang menuntun ekor domba !
Ki Sardulo, Gagak Wulung, Ni Dedeh Sawitri dan tiga orang ketua Clurit Lemah Abang yang tadinya mengatur pernapasan, tiba - tiba sadar ketika melihat Ki Baka digandeng pergi seorang kakek tua renta bermuka mayat yang tadi muncul setelah menembang. Tentu saja mereka terkejut sekali.
"Heii! Berhenti" bentak Ki Sardulo. "Siapa andika " Mau kaubawa ke mana Ki Baka?" Gagak Wulung juga membentak dan loncat mengejar.
"Ki Baka itu harus diserahkan kepadaku !" Ni Dedeh Sawitri juga berseru, dan tiga orang Madura, ketua Clurit Lemah Abang, juga cepat melakukan pengejaran.
Kakek itu tiba-tiba berhenti dan membalikkan tubuhnya, melindungi Ki Baka dan menhadapi enam orang itu. "Kalian ini bocah-bocah tak tahu diri ! Hayo pergi semua dan jangan ganggu aku!"
Akan tetapi, enam orang jagoan itu tidak mengenal kakek ini, maka mereka memandang rendah. Mereka harus membunuh dulu kakek ini, baru menangkap Ki Baka dan memaksanya menyerahkan tombak pusaka. Seperti dikomando saja, enam orang itu lalu menerjang kakek itu. Tiga batang clurit menyambar, sebatang suling hitam meluncur, kuku berbisa Ni Dedeh Sawitri juga mencakar dan pukulan beracun Hasta Jingga dari tangan Gagak Wulung menghantam pula. Kakek itu kembali tertawa tanpa menggerakkan mulutnya dan kedua tangannya mendorong kedepan seperti hendak menolak semua serangan yang ditujukan kepadanya itu
Enamorang itu tiba - tiba merasa seolah-olah ada angin badai menyambut mereka. Mereka mengerahkan tenaga untuk melawan, namun semua tenaga mereka itu membalik dan merekapun seperti daun-daun jati yang kering dan patah dari tangkainya, melayang-layang dan terhuyung - huyung ke belakang, dan kemudian roboh karena merasa kaki mereka seperti kehilangan tenaga sama sekali. Dapat dibayangkan betapa kagetnya enam orang sakti itu dan mereka hanya dapat memandang kakek yang masih terus melangkah satu-satu sambil menggandeng lengan Ki Baka, meninggalkan mereka yang kini tidak lagi berani bergerak dan juga belum mampu bergerak mengejar,
Baru setelah lama kakek dan Ki Baka itu lenyap ditelan kegelapan malam menjelang fajar, mereka bangkit dan menyumpah-nyumpah, kemudian mereka berenam, ditambah dengan anak buah mereka yang jumlahnya semua tak kurang dari tigapuluh orang, mulai mencari-cari di rumah Ki Baka. Mereka merobohkan rumah itu, mengobrak - abrik segala yang ada, bahkan ada yang mencangkuli tanah sekitar tempat di mana rumah itu tadi berdiri. Usaha mereka dilanjutkan sampai matahari naik tinggi. Tempat itu porak poranda rumah itu sudah roboh dan hancur, dan tanahnya menjadi seperti tegalan yang baru saja dicangkul dan diluku untuk segera ditanami. Akhirnya, setelah gagal menemukan benda yang mereka cari, yaitu tombak pusaka Tejanirmala, merekapun pergi berpencaran meninggalkan ujung dusun yang sunyi itu.
*** Biarpun dia berada dalam keadaan setengah adar, namun Ki Baka masih dapat melihat betapa kakek yang menolongnya itu sekali dorong saja dapat membuat enam orang tokoh sesat itu mundur terhuyung dan tidak berani mengejar mereka ketika kakek itu menggandeng dan menariknya pergi meninggalkan para datuk golongan hitam itu. Dalam keadaan setengah pingsan karena luka-luka yang didertanya kini terasa semakin nyeri, bahkan menyesakkan dada, Ki Baka merasakan bahwa dia diajak memasuki sebuah hutan tak jauh dari pondoknya, kemudian kakek tua renta yang mukanya seperti mayat itu berhenti.
"E-ladalah! Aku sudah pikun, hal yang teramat penting kulupakan ! Kaki Baka, mereka itu orang-orang yang nekat dan takkan berhenti mencari sebelum menemukan Tejanirmala. Sungguh berbahaya kalau meninggalkan pusaka itu di sana, sebaiknya kalau kaubawa serta."
Ketika berhenti, Ki Baka sudah duduk bersila kembali dan mengatur pernapasan untuk melawan rasa nyeri yang menghentak-hentak dalam tubuhnya. "Sudah kusimpan baik-baik..."
"Ah, andika tidak mengenal betul siapa meka. Di manapun kau sembunyikan, tentu akan dapat mereka temukan, kecuali kalau bawa serta. Katakan di mana, aku akan mengambilnya agar pusaka itu berada terus ditanganmu."
Ki Baka masih pening, namun dia dapat menangkap kebenaran ucapan itu, maka tanpa sadar bahwa dia melanggar keputusan hatinya sendiri untuk tidak membuka rahasia penyimpan pusaka itu kepada siapapun juga selain pada Nurseta, kini dia berkata lirih, "Di puncak pohon aren kembar di kebun belakang pondok......."
"Tunggu, akan keselamatkan pusaka itu dan serahkan kepadamu!" Sekali berkelebat kakek itupun lenyap dari depan Ki Baka yang tak merasa heran lagi menyaksikan kesaktian penolongnya itu. Dia melanjutkan usahanya mengumpulkan hawa murni untuk melawan rasa nyeri akibat luka - lukanya yang beraccun. Tombak itu, setelah dia lepaskan gagangnya, disimpannya di antara tangkai daun aren, takkan ada yang menyangkanya, dan hanya kepada Nurseta rahasia itu dia beritahukan ketika dia menyuruh Nurseta pergi betapa ke guha Kantong-bolong di pantai Segara Kidul.
Dengan kesaktiannya yang tinggi, kakek tua renta itu dapat menemukan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala, terselip di puncak satu di antara dua batang pohon aren, biarpun tak jauh dari situ dia melihat kawanan gerombolan liar itu masih sibuk mencari - cari, mencangkuli kebun bahkan merobohkan pondok tempat tinggal Ki Baka. Di dalam hatinya, kakek itu menertawakan mereka dan bagaikan setan saja dia sudah berkelebat lenyap dan kembali ke dalam hutan di mana dia meninggalkan Ki Baka.
Ki Baka membuka mata ketika dia mendengar suara kakek itu tertawa kecil. Dibuka nya matanya dan diangkatnya kepalanya memandang. Seorang kakek yang wajahnya amat mengerikan, pucat seperti mayat kering keriput, dan biarpun ada suara ketawa kecil keluar dari mulutnya, namun mulut itu sendiri tak bergerak sama sekali. Dia mengingat-ingat namun tidak pernah dia melihat atau mendengar akan tokoh sakti seperti kakek ini.
"Heh - heh, sudah kudapatkan. Ini bukan pusaka itu?" kata kakek sambil mencabut keluar sebuah tombak yang warnanya putih seperti perak dan menyerahkannya kepada Ki Baka.
Ki Baka menerimanya. Sekali pandang saja ia mengenal pusaka itu dan diapun mengangguk, lalu meletakkan pusaka tanpa gagang yang telanjang itu ke atas batu di sebelahnya. "Benar sekali, kanjeng paman. Paduka telah menyelamatkan nyawa saya, bahkan sudah menyelamatkan pula Ki Tejanirmala. Saya hanya dapat menghaturkan terima kasih dengan sembahan semoga Hyang Maha Agung saja yang akan membalas budi paduka itu dengan berkah yang berlimpahan. Selain itu, saya mohon bertanya, siapakah gerangan paduka yang sakti mandraguna ini?"
Kembali muka mayat itu tertawa tanpa menggerakkan mulut. "Heh-heh-heh, tentang nama itu mudah, Ki Baka, akan tetapi yang lebih penting sekarang adalah memeriksa luka luka mu dan mengobatinya. Biarkan aku memeriksa tubuhmu, kaki."
Kakek itu memeriksa dan memang Ki Baka menderita luka - luka yang cukup parah dan berbahaya. Selain tubuhnya memar-memar, juga luka - luka yang mengeluarkan darah. Namun, kulit daging itu tidaklah sehebat dua luka yang dideritanya sebagai akibat pukulan bekas tangan Hasta Jingga dari Gagak Wulung, dan goresan kuku Sarpakenaka dari Ni Dedeh Sawitri! Dan luka inilah yang dapat mencabut nyawa Ki Baka kalau tidak cepat diobatinya.
"Hong Wilaheng........! Pukulan tangan darah dan kuku ular ini berbahaya sekali, ki Harus dienyahkan hawanya yang beracun di dalam tubuhmu sekarang juga, kalau tidak, terlambat sehari saja, nyawamu tidak akan tertolong lagi, kaki."
Mendengar ini, Ki Baka bersikap tenang saja. Dia seorang laki - laki sejati, seorang jantan yang tidak gentar mendengar ancaman kematian sebagai akibat dari perjuangann menentang gerombolan jahat. Akan tetapi diapun maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek sakti yang agaknya akan mampu mengobatinya maka diapun memberi hormat dengan sembah.
"Tiada lain saya hanya menyerahkan kepada paduka, kanjeng paman, kalau paduka berkenan mengobati dan menyembuhkan saya tentu usia saya tidak akan berhenti sampai di sini saja."
"Heh-beh-heh, engkau seorang satrya yang berhati baja, kaki Baka.Baiklah, aku akan mencoba untuk mengusir hawa beracun dari tubuhmu, akan tetapi untuk itu aku harus menyerangmu dan hawa seranganku itulah yang akan mengusir hawa beracun kedua pukulan penjahat itu."
"Silakan, paman," kata Ki Baka dengan tabah.
Kakek itu kini menyilangkan kedua lengannya, dengan tangan terbuka, kedua lengan itu bergetar dan perlahan-lahan dia berjalan mengitari Ki Baka, berhenti di belakang pendekar itu. Kemudian, dia memukulkan kedua telapak tangannya ke arah punggung Ki Baka sambil mengeluarkan suara melengking.
"Huuuuhhh........ !"
Kedua tangan kakek itu menghantam punggung dan Ki Baka seketika merasa seolah-olah tubuhnya disambar petir, dimasuki hawa panas yang membuatnya hampir tidak tahan. Pandang matanya berkunang dan biarpun dia sudah memejamkan kedua mata, namun tetap saja bumi seakan berputaran, Dia hanya mendengar suara kekeh kakek itu dan perlahan-lahan, hawa panas yang menyusup ke dalam tubuhnya itu makin berkurang dan akhirnya lenyap.
"Heh-heh-heh, bekas pukulan Hasta Jingga dan kuku Sarpakenaka itu telah lenyap, kaki, jiwamu telah diselamatkan."
Ki Baka melihat ke arah bekas pukulan kedua orang lawan tangguh tadi dan hatinya girang karena memang benar bahwa bekas tangan merah itu sudah lenyap dan ketika dia meraba ke arah bekas goresan kuku Sarpakenaka, bekasnya juga telah lenyap dan rasa gatal-gatal dan nyeri dari kedua pukulan beracun itupun tak terasa lagi. Dengan girang diapun menyembah ke arah kakek itu.
"Kembali paduka telah menolong saya, kanjeng paman. Sungguh besar budi yang paduka limpahkan kepada saya."
"Heh - heh, tidak ada budi dan dendam didunia ini, kulup, budi dan dendam hanyalah permainan perasaan orang - orang tolol....."
Ki Baka kagum dan tentu saja dia mengerti, dan mengangguk-angguk.
"........ yang ada hanyalah jual-beli untung rugi....... heh-heh-heh !"
Ki Baka terkejut bukan main, terbelalak memandang kepada kakek itu. "Apa....... apa maksud kanjeng paman?"
Kakek itu mengambil tombak pusaka Ageng Tejanirmala dari atas batu, mengamatinya dan menciumnya penuh kagum, lalu menyelipkan tombak itu diikat pinggang di balik jubahnya.
"Maksudku" Sudah jelas ! Tombak pusaka ini untuk aku, heh-heh !" Kakek itu lalu membalikkan tubuhnya hendak pergi.
"Heiiii.,.......nanti dulu......!" Ki Baka membentak dan diapun meloncat untuk mengejar, akan tetapi dia mengeluh dan terjungkal roboh ke atas tanah karena begitu dia mengerahkan tenaga dan meloncat, perutnya seperti dicengkeram dari sebelah dalam, membuat napasnya sesak dan perutnya nyeri bukan main. Kakek itu berhenti melangkah, lalu membalik dan mentertawakan Ki Baka. tertawa tanpa menggerakkan bibirnya, lalu berkata tanpa menggerakkan mulutnya pula.
"Ha-ha-heh-heh-heh, Ki Baka. Racun pukulan Hasta Jingga dan kuku Sarpakenaka memang telah lenyap, digantikan oleh hawa racun pukulanku. Engkau tidak akan mati oleh hawa itu asal saja engkau tidak mengerahkan tenaga dalammu. Jadilah orang biasa saja, berani dan jangan lagi memikirkan Tejanirmala yang sudah berada di tanganku, heh-heh!"
Bukan main kagetnya hati Ki Baka mendengar ini. Wajahnya pucat sekali. Dia telah tertipu ! Kakek ini, yang memang benar menyelamatkannya ternyata adalah seorang yang juga ingin merampas tombak pusaka, dengan cara yang licik dan curang sekali.
"Engkau........ engkau siapakah........?" tanyanya, sepasang matanya mencoba untuk memandang penuh selidik, seolah hendak menyingkap rahasia orang itu, di balik wajahnya yang seperti wajah mayat.
"Aku......." Heh-heh, aku adalah Sang Wiku Bayunirada." Setelah berkata demikian kembali dia membalikkan tubuh hendak pergi.
Ki Baka sekali lagi mengerahkan tenaga untuk mengejar dan merampas kembali pusaka itu, akan tetapi makin keras dia mengerahkan tenaga, semakin keras pula dia terbanting sampai setengah pingsan. Lapat-lapat dia mendengar suara ketawa kakek itu.
"Heh-heh, pukulanku itu kunamakan Aji Marga-parastra, kalau tadi kukerahkan semua ajiku, tentu engkau sudah mampus. Akan tetapi, aku membatasi tenagaku dan hanya membuat engkau menjadi seorang tapadaksa, ha ha ha, enekau menjadi tapadaksa dan engkau akan hidup sampai hari tua, asal saja jangan mengerahkan tenaga saktimu, Ki Baka, Engkau menjadi orang biasa agar engkau tidak usah lagi mencari aku untuk merampas kembali Ki Ageng Tejanirmala yang sudah berada di tanganku......" Suara itu makin sayup dan akhirnya menghilang bersama orangnya.
Ki Baka duduk bersila, termenung. Dia memang hidup, akan tetapi berada di bawah tekanan Aji Marga-parastra (Jalan Maut) sehingga dia tak berdaya, menjadi manusia lemah, dan tombak pusaka itu tetap berada tangan seorang yang amat sakti! Kalau saja kakek itu seorang baik-baik hatinya tidak akan sekhawatir ini. Akan tetapi kakek yang mengaku bernama Wiku Bayunirada itu, dia sangsikan kebaikannya, penuh rahasia dan caranya mendapatkan tombak pusaka itupun bukan suatu cara yang jantan. Lemaslah Ki Baka dan diapun terkulai pingsan!
*** "Hayo, mengaku saja di mana dia, bocah keparat itu! Atau engkau juga ingin mampus seperti yang lain?" bentak Gagak Wulung, disusul sabetan ranting kayu yang sudah berlepotan darah itu ke punggung kakek dusun itu "Tar-tar-tarrr..... !"
Kakek dusun itu menggeliat dan mengaduh punggungnya yang telanjang itu, punggung yang hanya kulit membungkus tulang, pecah-pecah berdarah.
"Aduh........ ampun, gusti....... hamba.....tidak tahu........!" keluhnya dan mendengar ini Gagak Wulung menjadi semakin marah, Dua kali dia mencambuk, dengan pengerahan tenaga dan kakek itupun terkulai lemas, tak dapat bergerak lagi, tewas karena tulang punggungnya retak-retak. Sekali tendang, mayat kakek itu terlempar ke tumpukan mayat-mayat yang jumlahnya sudah belasan orang, mayat para penduduk dusun Ketinting! Kiranya, kalau para datuk sesat yang lain sudah meninggalkan dusun itu ketika gagal menemukan tombak pusaka, ada dua orang di antara mereka yang belum pergi. Mereka adalah Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri. Kedua orang ini memang saling tertarik dan setelah semua orang pergi, hanya tinggal mereka berdua di antara puing di bekas rumah Ki Baka mereka berdiri saling pandang. Gagak Wulung yang mata keranjang itu tentu saja sejak tadi sudah terpikat, sebaliknya Ni Dedeh Sawitri juga memandang pria itu dengan sinar mata tertarik, karena selain gagah dan tampan, juga datuk dari Kediri itu memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga sempat mendebarkan jantungnya dan membangkitkan gairahnya "Eh, Gagak Wulung, kenapa engkau tidak pergi pula, minggat dari sini dan menggigit telunjukmu karena kegagalan ini?" Ni Dedc Sawitri tersenyum mengejek.
"Aih, Ni Dedeh Sawitri, engkau tentu mengenal aku. Selagi ada mata yang begini indah mengerling tajam, mulut yang begitu indah tersenyum manis, bagaimana aku mampu bergerak pergi" Engkau telah mempesona hatiku Ni Dedeh, bagaimana kalau kita menjadi sahabat dan saling menyenangkan ?"
"Ih, urusan gagal engkau ingat bersenang diri saja," wanita itu mencebilkan bibirnya yang merah basah, membuat Gagak Wulung menjadi gemas. Kalau tidak ingat bahwa Ni Dedeh Sawitri amat berbahaya, tentu telah disergapnya tubuh itu dan digigitnya bibir yang menjebil itu !
'Lalu, apakah kita harus murung" Kakek jahanam itu sakti bukan main, dan pula, apa gunanya Ki Baka tanpa tombak pusakanya" Biarlah dia bersama kekek iblis itu mampus dimakan setan!" Gagak Wulung menyumpah-nyumpah. "Akan tetapi, Ni Dedeh, jangan mengira bahwa Gagak Wulung orang bodoh. Masih ada jalan bagi aku untuk mendapatkan tombak pusaka itu "
"Wah, benarkah" Bagaimana caranya?" Ni Dedeh Sawitri tertarik sekali dan otomatis kakinya melangkah dekat.
Gagak Wulung menggerakkan kedua tangan bertolak pinggang, dengan sikap kemenangan dan menjual mahal, "Wah, enaknya! Engkau yang enak dan senang kalau kuberi tahu dan aku hanya mendatangkan seorang saingan berat saja!"
"Ah, jangan begitu, Gagak Wulung. Bukankh engkau tadi mengatakan bahwa kita dapat menjadi sahabat" Beritahulah.sayang, yang kasep (tampan), yang ganteng......"
Gagak Wulung tertawa. Dia seorang perayu wanita dan kini ada wanita mencoba merayunya "Aku tidak butuh rayuan, Ni Dedeh Sawitri, melainkan membutuhkan bukti bahwa engkau memang benar ingin bersahabat dengan aku."
Sepasang alis yang indah bentuknya itu berkerut. "Bukti yang bagaimana ?"
"Mulutmu itu! Bibirmu amat manis. Ingin aku mencium bibirmu sebagai tanda persahabatan dan bahwa engkau benar ingin bersahabat dengan aku."
Ni Dedeh Sawitri tersenyum, jantung berdebar. Baru kali ini dijumpai seorang pria yang selain berkepandaian tinggi, tampan, perayu dan jantan. Sengaja ia tersenyum agak lebar memperlihatkan deretan gigi dan ujung lidahnya menjilat bibir atas. "Boleh, aku ingin merasakan bagaimana ciuman seorang yang terkenal sebagai seorang penakluk wanita datuk dari Daha ini!"
Rangsangan panca indera sepenuhnya menguasai diri pribadi, menjadi penghalang yang menggagalkan, menyusup ke dalam batin sanubari, mempengaruhi kepribadian memikat diri. melenyapkan kewaspadaan, bagaikan orang nonton wayang.)
Tembang itu biasa saja dan sederhana, namun semua orang terkejut karena suara yang lirih dan lembut itu seolah - olah mempunyai daya sedot yang menghisap tenaga sakti yang mereka kerahkan dalam perkelahian itu, membuat mereka semua merasa lemas seolah-olah semua tenaga mereka habis dan barulah mereka masing-masing menyadari betapa lelah dan lemasnya tubuh mereka akibat perkelahian itu. Dengan sendirinya mereka menghentikan serangan, menarik napas dalam-dalam untuk mengumpulkan tenaga dan menghilangkan kelelahan dan pada saat itu, Ki Baka yang sudah lelah dan pening, terhuyung dan dia tentu akan roboh kalau saja pada saat iti tidak ada sebuah tangan yang menangkap lengannya. Ki Baka mengangkat muka, melihai bahwa yang menangkap lengannya adalah seorang kakek tua renta yang memakai kain pengikat kepala berwarna putih, juga mukanya putih seperti muka mayat penuh keripu tanda usia tua. dengan rambut, jenggot dan kumis yang sudah berwarna kelabu.
"Marilah, kaki, kita pergi dari sini," bisik kakek itu sambil menarik lengan Ki Baka, diajak pergi dari dalam sanggar pamujan yang sudah menjadi gelanggang yuda itu. Biarpur , kepalanya pening dan tubuhnya lelah, Ki Bak membuat gerakan menolak terhadap ajakan kakek yang tidak dikenalnya itu.
"Aku tidak takut mati."
Kakek itu tertawa tanpa membuka mulut terawa di dalam mulutnya dan matanya bersinar-sinar walaupun mukanya masih seperti mayat. "Tidak takut mati bukan berarti bunuh diri, karena bunuh diri berarti takut hidup " Kalau tidak takut mati kenapa takut hidup?"
Biarpun pening, Ki Baka tercengang mendengar ucapan itu. Dia mencoba untuk membelalakkan mata memandang kakek itu, akan tetapi pandang matanya kabur dan dia menurut saja ketika kakek itu menarik lengannya dan diajak pergi dari situ dengan langkah satu-satu, sama sekali tidak tergesa-gesa ! Bahkan terdengar pula dia rengeng-rengeng (bersenandung) dengan tembangnya, menuntun Ki Baka pada lengannya seperti orang menuntun ekor domba !
Ki Sardulo, Gagak Wulung, Ni Dedeh Sawitri dan tiga orang ketua Clurit Lemah Abang yang tadinya mengatur pernapasan, tiba - tiba sadar ketika melihat Ki Baka digandeng pergi seorang kakek tua renta bermuka mayat yang tadi muncul setelah menembang. Tentu saja mereka terkejut sekali.
"Heii! Berhenti" bentak Ki Sardulo. "Siapa andika " Mau kaubawa ke mana Ki Baka?" Gagak Wulung juga membentak dan loncat mengejar.
"Ki Baka itu harus diserahkan kepadaku !" Ni Dedeh Sawitri juga berseru, dan tiga orang Madura, ketua Clurit Lemah Abang, juga cepat melakukan pengejaran.
Kakek itu tiba-tiba berhenti dan membalikkan tubuhnya, melindungi Ki Baka dan menhadapi enam orang itu. "Kalian ini bocah-bocah tak tahu diri ! Hayo pergi semua dan jangan ganggu aku!"
Akan tetapi, enam orang jagoan itu tidak mengenal kakek ini, maka mereka memandang rendah. Mereka harus membunuh dulu kakek ini, baru menangkap Ki Baka dan memaksanya menyerahkan tombak pusaka. Seperti dikomando saja, enam orang itu lalu menerjang kakek itu. Tiga batang clurit menyambar, sebatang suling hitam meluncur, kuku berbisa Ni Dedeh Sawitri juga mencakar dan pukulan beracun Hasta Jingga dari tangan Gagak Wulung menghantam pula. Kakek itu kembali tertawa tanpa menggerakkan mulutnya dan kedua tangannya mendorong kedepan seperti hendak menolak semua serangan yang ditujukan kepadanya itu
Enamorang itu tiba - tiba merasa seolah-olah ada angin badai menyambut mereka. Mereka mengerahkan tenaga untuk melawan, namun semua tenaga mereka itu membalik dan merekapun seperti daun-daun jati yang kering dan patah dari tangkainya, melayang-layang dan terhuyung - huyung ke belakang, dan kemudian roboh karena merasa kaki mereka seperti kehilangan tenaga sama sekali. Dapat dibayangkan betapa kagetnya enam orang sakti itu dan mereka hanya dapat memandang kakek yang masih terus melangkah satu-satu sambil menggandeng lengan Ki Baka, meninggalkan mereka yang kini tidak lagi berani bergerak dan juga belum mampu bergerak mengejar,
Baru setelah lama kakek dan Ki Baka itu lenyap ditelan kegelapan malam menjelang fajar, mereka bangkit dan menyumpah-nyumpah, kemudian mereka berenam, ditambah dengan anak buah mereka yang jumlahnya semua tak kurang dari tigapuluh orang, mulai mencari-cari di rumah Ki Baka. Mereka merobohkan rumah itu, mengobrak - abrik segala yang ada, bahkan ada yang mencangkuli tanah sekitar tempat di mana rumah itu tadi berdiri. Usaha mereka dilanjutkan sampai matahari naik tinggi. Tempat itu porak poranda rumah itu sudah roboh dan hancur, dan tanahnya menjadi seperti tegalan yang baru saja dicangkul dan diluku untuk segera ditanami. Akhirnya, setelah gagal menemukan benda yang mereka cari, yaitu tombak pusaka Tejanirmala, merekapun pergi berpencaran meninggalkan ujung dusun yang sunyi itu.
*** Biarpun dia berada dalam keadaan setengah adar, namun Ki Baka masih dapat melihat betapa kakek yang menolongnya itu sekali dorong saja dapat membuat enam orang tokoh sesat itu mundur terhuyung dan tidak berani mengejar mereka ketika kakek itu menggandeng dan menariknya pergi meninggalkan para datuk golongan hitam itu. Dalam keadaan setengah pingsan karena luka-luka yang didertanya kini terasa semakin nyeri, bahkan menyesakkan dada, Ki Baka merasakan bahwa dia diajak memasuki sebuah hutan tak jauh dari pondoknya, kemudian kakek tua renta yang mukanya seperti mayat itu berhenti.
"E-ladalah! Aku sudah pikun, hal yang teramat penting kulupakan ! Kaki Baka, mereka itu orang-orang yang nekat dan takkan berhenti mencari sebelum menemukan Tejanirmala. Sungguh berbahaya kalau meninggalkan pusaka itu di sana, sebaiknya kalau kaubawa serta."
Ketika berhenti, Ki Baka sudah duduk bersila kembali dan mengatur pernapasan untuk melawan rasa nyeri yang menghentak-hentak dalam tubuhnya. "Sudah kusimpan baik-baik..."
"Ah, andika tidak mengenal betul siapa meka. Di manapun kau sembunyikan, tentu akan dapat mereka temukan, kecuali kalau bawa serta. Katakan di mana, aku akan mengambilnya agar pusaka itu berada terus ditanganmu."
Ki Baka masih pening, namun dia dapat menangkap kebenaran ucapan itu, maka tanpa sadar bahwa dia melanggar keputusan hatinya sendiri untuk tidak membuka rahasia penyimpan pusaka itu kepada siapapun juga selain pada Nurseta, kini dia berkata lirih, "Di puncak pohon aren kembar di kebun belakang pondok......."
"Tunggu, akan keselamatkan pusaka itu dan serahkan kepadamu!" Sekali berkelebat kakek itupun lenyap dari depan Ki Baka yang tak merasa heran lagi menyaksikan kesaktian penolongnya itu. Dia melanjutkan usahanya mengumpulkan hawa murni untuk melawan rasa nyeri akibat luka - lukanya yang beraccun. Tombak itu, setelah dia lepaskan gagangnya, disimpannya di antara tangkai daun aren, takkan ada yang menyangkanya, dan hanya kepada Nurseta rahasia itu dia beritahukan ketika dia menyuruh Nurseta pergi betapa ke guha Kantong-bolong di pantai Segara Kidul.
Dengan kesaktiannya yang tinggi, kakek tua renta itu dapat menemukan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala, terselip di puncak satu di antara dua batang pohon aren, biarpun tak jauh dari situ dia melihat kawanan gerombolan liar itu masih sibuk mencari - cari, mencangkuli kebun bahkan merobohkan pondok tempat tinggal Ki Baka. Di dalam hatinya, kakek itu menertawakan mereka dan bagaikan setan saja dia sudah berkelebat lenyap dan kembali ke dalam hutan di mana dia meninggalkan Ki Baka.
Ki Baka membuka mata ketika dia mendengar suara kakek itu tertawa kecil. Dibuka nya matanya dan diangkatnya kepalanya memandang. Seorang kakek yang wajahnya amat mengerikan, pucat seperti mayat kering keriput, dan biarpun ada suara ketawa kecil keluar dari mulutnya, namun mulut itu sendiri tak bergerak sama sekali. Dia mengingat-ingat namun tidak pernah dia melihat atau mendengar akan tokoh sakti seperti kakek ini.
"Heh - heh, sudah kudapatkan. Ini bukan pusaka itu?" kata kakek sambil mencabut keluar sebuah tombak yang warnanya putih seperti perak dan menyerahkannya kepada Ki Baka.
Ki Baka menerimanya. Sekali pandang saja ia mengenal pusaka itu dan diapun mengangguk, lalu meletakkan pusaka tanpa gagang yang telanjang itu ke atas batu di sebelahnya. "Benar sekali, kanjeng paman. Paduka telah menyelamatkan nyawa saya, bahkan sudah menyelamatkan pula Ki Tejanirmala. Saya hanya dapat menghaturkan terima kasih dengan sembahan semoga Hyang Maha Agung saja yang akan membalas budi paduka itu dengan berkah yang berlimpahan. Selain itu, saya mohon bertanya, siapakah gerangan paduka yang sakti mandraguna ini?"
Kembali muka mayat itu tertawa tanpa menggerakkan mulut. "Heh-heh-heh, tentang nama itu mudah, Ki Baka, akan tetapi yang lebih penting sekarang adalah memeriksa luka luka mu dan mengobatinya. Biarkan aku memeriksa tubuhmu, kaki."
Kakek itu memeriksa dan memang Ki Baka menderita luka - luka yang cukup parah dan berbahaya. Selain tubuhnya memar-memar, juga luka - luka yang mengeluarkan darah. Namun, kulit daging itu tidaklah sehebat dua luka yang dideritanya sebagai akibat pukulan bekas tangan Hasta Jingga dari Gagak Wulung, dan goresan kuku Sarpakenaka dari Ni Dedeh Sawitri! Dan luka inilah yang dapat mencabut nyawa Ki Baka kalau tidak cepat diobatinya.
"Hong Wilaheng........! Pukulan tangan darah dan kuku ular ini berbahaya sekali, ki Harus dienyahkan hawanya yang beracun di dalam tubuhmu sekarang juga, kalau tidak, terlambat sehari saja, nyawamu tidak akan tertolong lagi, kaki."
Mendengar ini, Ki Baka bersikap tenang saja. Dia seorang laki - laki sejati, seorang jantan yang tidak gentar mendengar ancaman kematian sebagai akibat dari perjuangann menentang gerombolan jahat. Akan tetapi diapun maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek sakti yang agaknya akan mampu mengobatinya maka diapun memberi hormat dengan sembah.
"Tiada lain saya hanya menyerahkan kepada paduka, kanjeng paman, kalau paduka berkenan mengobati dan menyembuhkan saya tentu usia saya tidak akan berhenti sampai di sini saja."
"Heh-beh-heh, engkau seorang satrya yang berhati baja, kaki Baka.Baiklah, aku akan mencoba untuk mengusir hawa beracun dari tubuhmu, akan tetapi untuk itu aku harus menyerangmu dan hawa seranganku itulah yang akan mengusir hawa beracun kedua pukulan penjahat itu."
"Silakan, paman," kata Ki Baka dengan tabah.
Kakek itu kini menyilangkan kedua lengannya, dengan tangan terbuka, kedua lengan itu bergetar dan perlahan-lahan dia berjalan mengitari Ki Baka, berhenti di belakang pendekar itu. Kemudian, dia memukulkan kedua telapak tangannya ke arah punggung Ki Baka sambil mengeluarkan suara melengking.
"Huuuuhhh........ !"
Kedua tangan kakek itu menghantam punggung dan Ki Baka seketika merasa seolah-olah tubuhnya disambar petir, dimasuki hawa panas yang membuatnya hampir tidak tahan. Pandang matanya berkunang dan biarpun dia sudah memejamkan kedua mata, namun tetap saja bumi seakan berputaran, Dia hanya mendengar suara kekeh kakek itu dan perlahan-lahan, hawa panas yang menyusup ke dalam tubuhnya itu makin berkurang dan akhirnya lenyap.
"Heh-heh-heh, bekas pukulan Hasta Jingga dan kuku Sarpakenaka itu telah lenyap, kaki, jiwamu telah diselamatkan."
Ki Baka melihat ke arah bekas pukulan kedua orang lawan tangguh tadi dan hatinya girang karena memang benar bahwa bekas tangan merah itu sudah lenyap dan ketika dia meraba ke arah bekas goresan kuku Sarpakenaka, bekasnya juga telah lenyap dan rasa gatal-gatal dan nyeri dari kedua pukulan beracun itupun tak terasa lagi. Dengan girang diapun menyembah ke arah kakek itu.
"Kembali paduka telah menolong saya, kanjeng paman. Sungguh besar budi yang paduka limpahkan kepada saya."
"Heh - heh, tidak ada budi dan dendam didunia ini, kulup, budi dan dendam hanyalah permainan perasaan orang - orang tolol....."
Ki Baka kagum dan tentu saja dia mengerti, dan mengangguk-angguk.
"........ yang ada hanyalah jual-beli untung rugi....... heh-heh-heh !"
Ki Baka terkejut bukan main, terbelalak memandang kepada kakek itu. "Apa....... apa maksud kanjeng paman?"
Kakek itu mengambil tombak pusaka Ageng Tejanirmala dari atas batu, mengamatinya dan menciumnya penuh kagum, lalu menyelipkan tombak itu diikat pinggang di balik jubahnya.
"Maksudku" Sudah jelas ! Tombak pusaka ini untuk aku, heh-heh !" Kakek itu lalu membalikkan tubuhnya hendak pergi.
"Heiiii.,.......nanti dulu......!" Ki Baka membentak dan diapun meloncat untuk mengejar, akan tetapi dia mengeluh dan terjungkal roboh ke atas tanah karena begitu dia mengerahkan tenaga dan meloncat, perutnya seperti dicengkeram dari sebelah dalam, membuat napasnya sesak dan perutnya nyeri bukan main. Kakek itu berhenti melangkah, lalu membalik dan mentertawakan Ki Baka. tertawa tanpa menggerakkan bibirnya, lalu berkata tanpa menggerakkan mulutnya pula.
"Ha-ha-heh-heh-heh, Ki Baka. Racun pukulan Hasta Jingga dan kuku Sarpakenaka memang telah lenyap, digantikan oleh hawa racun pukulanku. Engkau tidak akan mati oleh hawa itu asal saja engkau tidak mengerahkan tenaga dalammu. Jadilah orang biasa saja, berani dan jangan lagi memikirkan Tejanirmala yang sudah berada di tanganku, heh-heh!"
Bukan main kagetnya hati Ki Baka mendengar ini. Wajahnya pucat sekali. Dia telah tertipu ! Kakek ini, yang memang benar menyelamatkannya ternyata adalah seorang yang juga ingin merampas tombak pusaka, dengan cara yang licik dan curang sekali.
"Engkau........ engkau siapakah........?" tanyanya, sepasang matanya mencoba untuk memandang penuh selidik, seolah hendak menyingkap rahasia orang itu, di balik wajahnya yang seperti wajah mayat.
"Aku......." Heh-heh, aku adalah Sang Wiku Bayunirada." Setelah berkata demikian kembali dia membalikkan tubuh hendak pergi.
Ki Baka sekali lagi mengerahkan tenaga untuk mengejar dan merampas kembali pusaka itu, akan tetapi makin keras dia mengerahkan tenaga, semakin keras pula dia terbanting sampai setengah pingsan. Lapat-lapat dia mendengar suara ketawa kakek itu.
"Heh-heh, pukulanku itu kunamakan Aji Marga-parastra, kalau tadi kukerahkan semua ajiku, tentu engkau sudah mampus. Akan tetapi, aku membatasi tenagaku dan hanya membuat engkau menjadi seorang tapadaksa, ha ha ha, enekau menjadi tapadaksa dan engkau akan hidup sampai hari tua, asal saja jangan mengerahkan tenaga saktimu, Ki Baka, Engkau menjadi orang biasa agar engkau tidak usah lagi mencari aku untuk merampas kembali Ki Ageng Tejanirmala yang sudah berada di tanganku......" Suara itu makin sayup dan akhirnya menghilang bersama orangnya.
Ki Baka duduk bersila, termenung. Dia memang hidup, akan tetapi berada di bawah tekanan Aji Marga-parastra (Jalan Maut) sehingga dia tak berdaya, menjadi manusia lemah, dan tombak pusaka itu tetap berada tangan seorang yang amat sakti! Kalau saja kakek itu seorang baik-baik hatinya tidak akan sekhawatir ini. Akan tetapi kakek yang mengaku bernama Wiku Bayunirada itu, dia sangsikan kebaikannya, penuh rahasia dan caranya mendapatkan tombak pusaka itupun bukan suatu cara yang jantan. Lemaslah Ki Baka dan diapun terkulai pingsan!
*** "Hayo, mengaku saja di mana dia, bocah keparat itu! Atau engkau juga ingin mampus seperti yang lain?" bentak Gagak Wulung, disusul sabetan ranting kayu yang sudah berlepotan darah itu ke punggung kakek dusun itu "Tar-tar-tarrr..... !"
Kakek dusun itu menggeliat dan mengaduh punggungnya yang telanjang itu, punggung yang hanya kulit membungkus tulang, pecah-pecah berdarah.
"Aduh........ ampun, gusti....... hamba.....tidak tahu........!" keluhnya dan mendengar ini Gagak Wulung menjadi semakin marah, Dua kali dia mencambuk, dengan pengerahan tenaga dan kakek itupun terkulai lemas, tak dapat bergerak lagi, tewas karena tulang punggungnya retak-retak. Sekali tendang, mayat kakek itu terlempar ke tumpukan mayat-mayat yang jumlahnya sudah belasan orang, mayat para penduduk dusun Ketinting! Kiranya, kalau para datuk sesat yang lain sudah meninggalkan dusun itu ketika gagal menemukan tombak pusaka, ada dua orang di antara mereka yang belum pergi. Mereka adalah Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri. Kedua orang ini memang saling tertarik dan setelah semua orang pergi, hanya tinggal mereka berdua di antara puing di bekas rumah Ki Baka mereka berdiri saling pandang. Gagak Wulung yang mata keranjang itu tentu saja sejak tadi sudah terpikat, sebaliknya Ni Dedeh Sawitri juga memandang pria itu dengan sinar mata tertarik, karena selain gagah dan tampan, juga datuk dari Kediri itu memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga sempat mendebarkan jantungnya dan membangkitkan gairahnya "Eh, Gagak Wulung, kenapa engkau tidak pergi pula, minggat dari sini dan menggigit telunjukmu karena kegagalan ini?" Ni Dedc Sawitri tersenyum mengejek.
"Aih, Ni Dedeh Sawitri, engkau tentu mengenal aku. Selagi ada mata yang begini indah mengerling tajam, mulut yang begitu indah tersenyum manis, bagaimana aku mampu bergerak pergi" Engkau telah mempesona hatiku Ni Dedeh, bagaimana kalau kita menjadi sahabat dan saling menyenangkan ?"
"Ih, urusan gagal engkau ingat bersenang diri saja," wanita itu mencebilkan bibirnya yang merah basah, membuat Gagak Wulung menjadi gemas. Kalau tidak ingat bahwa Ni Dedeh Sawitri amat berbahaya, tentu telah disergapnya tubuh itu dan digigitnya bibir yang menjebil itu !
'Lalu, apakah kita harus murung" Kakek jahanam itu sakti bukan main, dan pula, apa gunanya Ki Baka tanpa tombak pusakanya" Biarlah dia bersama kekek iblis itu mampus dimakan setan!" Gagak Wulung menyumpah-nyumpah. "Akan tetapi, Ni Dedeh, jangan mengira bahwa Gagak Wulung orang bodoh. Masih ada jalan bagi aku untuk mendapatkan tombak pusaka itu "
"Wah, benarkah" Bagaimana caranya?" Ni Dedeh Sawitri tertarik sekali dan otomatis kakinya melangkah dekat.
Gagak Wulung menggerakkan kedua tangan bertolak pinggang, dengan sikap kemenangan dan menjual mahal, "Wah, enaknya! Engkau yang enak dan senang kalau kuberi tahu dan aku hanya mendatangkan seorang saingan berat saja!"
"Ah, jangan begitu, Gagak Wulung. Bukankh engkau tadi mengatakan bahwa kita dapat menjadi sahabat" Beritahulah.sayang, yang kasep (tampan), yang ganteng......"
Gagak Wulung tertawa. Dia seorang perayu wanita dan kini ada wanita mencoba merayunya "Aku tidak butuh rayuan, Ni Dedeh Sawitri, melainkan membutuhkan bukti bahwa engkau memang benar ingin bersahabat dengan aku."
Sepasang alis yang indah bentuknya itu berkerut. "Bukti yang bagaimana ?"
"Mulutmu itu! Bibirmu amat manis. Ingin aku mencium bibirmu sebagai tanda persahabatan dan bahwa engkau benar ingin bersahabat dengan aku."
Ni Dedeh Sawitri tersenyum, jantung berdebar. Baru kali ini dijumpai seorang pria yang selain berkepandaian tinggi, tampan, perayu dan jantan. Sengaja ia tersenyum agak lebar memperlihatkan deretan gigi dan ujung lidahnya menjilat bibir atas. "Boleh, aku ingin merasakan bagaimana ciuman seorang yang terkenal sebagai seorang penakluk wanita datuk dari Daha ini!"
JILID 02
Goa Kantong Bolong
Gagak Wulung girang bukan main, lalu melangkah maju menghampiri. Dia seorang datuk sesat, seorang jagoan yang tinggi ilmunya, maka tentu saja dia bukanlah orang yang sembrono.
Ketika dia merangkul dan mendekap, dia sudah melindungi dirinya dan siap turun tangan kalau wanita cantik namun berbahaya itu mempunyai niat buruk terhadap dirinya. Akan tetapi tidak, Ni Dedeh Sawitri mengalihkan mukanya yang cantik, membuka sedikit mulutnya, bibirnya siap dan matanya dipejamkan. Gagak Wulung agak gemetar, lalu menunduk dan mencium mulut itu dengan bibirnya. mengecupnya dengan sepenuh perasaannya, dengan mesra sedangkan kedua tangannya merangkul, telapak tangannya di punggung dan pundak wanita itu.
Ni Dedeh Sawitri menerimanya dengan mulut panas dan membalas ciuman itu tidak kalah hangat dan mesranya, tangannya juga meiangkul pinggang pria itu.
Pada saat kedua mulut saling mengecup, Ni Dedeh Sawitri menggerakkan kukunya pada pinggang. Gagak Wulung merasakan ini dan otomatis telapak tangannya menekan pundak wanita itu. Sebagai seorang berilmu tinggi, Ni Dedehpun merasakan hal ini dan keduanya lalu melangkah mundur sambil saling pandang Muka mereka merah, oleh gairah api nafsu yang timbul dari ciuman itu, sebagian pula ole kecurigaan akan apa yang masing-masing rasakan tadi.
Ni Dedeh Sawitri menyentuh pundaknya yang ditekan, dan Gagak Wulung meraba pinggangnya yang tadi seperti digurat.
Ni Dedeh Sawitri tersenyum. "Hebat! Ciumanmu memang ciuman maut dan hatiku sudah berkobar oleh ciumanmu. Akan tetapi nyawamu terancam maut, Gagak Wulung.
"Sekarang buka rahasiamu itu, katakan cara bagaimana untuk mendapatkan tombak pusaka itu atau akan kubiarkan kau mampus!"
Ancaman wanita cantik ini disambut senyum mengejek oleh Gagak Wulung. "Kalau begitu, biarlah kita sama-sama mati, Ni Dedeh Sawitri. Dan percayalah, mati bersama denganmu sungguh nikmat, sampai matipun kita akan bergandeng tangan dan sama-sama memasuki neraka kalau perlu. Kaukira aku tidak tahu bahwa Sarpakenaka beracun itu tadi telah menggores pinggangku" Dan tengoklah pundakmu, buka baju itu dan kau akan lihat"
Ni Dedeh Sawitri cepat menyingkap baju yang menutupi pundak dan iapun melihat tanda tapak di situ. "Hasta Jingga?" serunya ngeri dan marah.
"Tentu saja! Engkau terluka Hasta Jingga yang beracun, dan akupun terluka Sarpakenaka
beracun. Keduanya sama mematikan"
"Ah, engkau memang cerdik, Gagak Wulung. Kita sama-sama cerdik, dan agaknya memang kita sudah saling berjodoh. Nah, marilah, kau obati lukaku dulu"
"Hmm, dan lukaku"''
"Akan kuobati pula"
"Tidak perlu susah-susah, Ni Dedeh Sawitri. Jika kau mau menerima cintaku, kalau kau mau melayaniku dan menyerahkan diri kepadaku, dengan sendirinya bekas pukulan itu akan lenyap. Hebat ilmuku, ya"
Mendengar ini, Ni Dedeh terbelalak lalu tertawa, rongga mulutnya yang kemerahan itu tampak menggairahkan bagi Gagak Wulung. Hi-hi-hi-hi, Gagak Wulung. Sungguh aneh, sungguh banyak persamaan diantara kita, racun di tubuhmu karena Sarpakenaka itupun akan lenyap kalau engkau sudah sebadan denganku! Ha, tentu engkau mempergunakan Hasta Jingga itu untuk melukai wanita yang mau melayanimu dan karena pengobatannya hanya melalui hubungan badan, terpaksa ia akan melayanimu dengan sukarela!"
"Dan demikian pula dengan engkau, kau sudah menjatuhkan pilihan kepada seorang pria. Hanya heranku, pria mana di dunia ini ya tidak mau dengan suka rela menggaulimu tanpa kaupergunakan Sarpakenaka?"
Keduanya tertawa dan Gagak Wulung menjelaskan rencananya.
"Engkau tahu, Ni Dedeh Sawitri, bahwa Ki Baka mempunyai seorang putera"
"Ah, aku tidak pernah mendengar akan hal itu!"
"Nah, aku yakin bahwa tombak pusaka tentulah diberikan kepada puteranya. Kini tinggal mencari puteranya itu untuk dapat menemukan dan merampas tombak pusaka Tejanirmala"
Wajah yang cantik itu berseri. "Siapa nama puteranya dan di mana dia?"
"Inilah yang aku tidak tahu. Aku tidak tahu siapa namanya, dan tidak tahu pula dimana kini dia berada"
Wanita itu cemberut. "Hemm, jangan main gila kau, Gagak Wulung. Kalau tidak tau apa artinya semua rencanamu itu?"
"Nah, di sini tandanya engkau belum mengenal benar siapa kekasih barumu ini! memang aku tidak tahu siapa namanya dan tetapi disini ada penduduk dusun yang tentu tahu, diamana dia berada. Marilah kita tanyai mereka!"
Gagak Wulung bangkit dan menyambar tangan Ni Dedeh Sawitri, diajaknya memasuki dusun itu. Ni Dedeh Sawitri sudah tersenyum kembali dan diam-diam ia merasa semakin suka kepada pria ini. Seiain dapat menjadi seorang kekasih yang amat menyenangkan karena kepandaian bermain cinta, juga pria ini memiliki kedigdayaan dan amat cerdik pula, dapat menjadi sekutu yang amat menguntungkan.
Dan hasil dari rencana kedua orang ini merupakan malapetaka bagi penghuni dusun Klinting. Sudah belasan orang menjadi mayat yang bertumpuk dan berserakan ketika dipaksa mengaku.
Mereka mengumpulkan seluruh penduduk dengan kekerasan, tua muda, laki-laki, perempuan, dari bayi sampai kakek nenek jompo, semua disuruh keluar rumah dan dikumpulkan di lapangan terbuka itu.
Tadinya tentu saja ada beberapa orang laki-laki yang tidak mau mentaati perintah itu. Sekali menggerakkan tangan, sepasang manusia iblis itu membunuh dua orang laki-laki muda yang tidak taat itu dan semua penduduk dusun itu menjadi ketakutan dan tidak ada lagi yang berani membantah.
Seorang demi seorang ditanyai dan karena mereka tidak mengaku, mereka disiksa dan dibunuh. Kakek yang terakhir dibunuh oleh Gagak Wulung itu membuat semua orang semakin ketakutan. Namun, mereka adalah orang-orang dusun yang baik. Mereka maklum bahwa dua orang ini jahat dan mereka mencari Raden Nurseta tentu mempunyai niat buruk oleh karena itu ketika mereka ditanyai tentang putera Ki Baka, mereka tidak mau memberi tahu.
Ni Dedeh Sawitri mengerutkan alisnya, dengan jengkel dan ia menahan tangan Gagak Wulung yang hendak menyeret laki-laki berikutnya untuk ditanyai dan disiksa atau dibunuh kalau perlu. Dia memandang temannya dan Ni Dedeh Sawitri tersenyum, menunju ke arah seorang gdis cilik yang berjongkok dengan tubuh gemetar di sudut, diantara ayah dan ibunya yang juga sama takutnya.
"Kau coba perawan itu dengan cara lain" bisik Ni Dedeh Sawitri.
Gagak Wulung yang cerdik segera mengerti akan maksud kawannya. Dia tersenyum dan melangkah maju dan sekali sambar, dia sudah menjambak rambut gadis cilik itu. Gadis itu menjerit, gelungnya terlepas dan bagaikan seekor kelinci yang digantung pada telinganya siap untuk disembelih, ia diangkat oleh Gagak Wulung.
Seorang gadis cilik yang usianya baru duabelas tahun.
"Siapa bapak dan ibunya" Maju ke sini" bertanya Ni Dedeh Sawitri.
Ayah dan ibu anak itu dengan tubuh gemetar dan muka pucat, merangkak maju dan mata ibu itu terbelalak kearah puterinya yang masih tergantung pada rambutnya yang dipegang Gagak Wulung.
"Nah, sekarang kalian katakan, siapa nama anak Ki Baka itu dan di mana dia berada. Jika kalian tidak mau mengaku, perawan kecil ini akan diperkosa di depan kalian! sampai mampus!"
"Ohhh....... tidak.......!" Pria yang menjadi ayah anak itu memekik dengan muka pucat.
"Jangan........ oh, jangan........" teriak ibunya dan menjerit sambil menangis lalu bergulingan di tanah untuk meraih anaknya, akan tetapi sebuah tendangan dari Ni Dedeh Sawitri membuatnya terjungkal.
"Kalau kalian tidak ingin anak kalian diperkosa sampai mati, katakan, siapa nama putera Ki Baka dan di mana dia bersembunyi!" bentak wanita kejam itu.
"Aku ....... kami......... tidak tahu......."
Ayah dan ibu gadis itu menggeleng kepalanya keras-k eras.
"Hemm, Gagak Wulung, hayo, tunggu apa lagi" Perkosa anak itu agar mereka melihatnya!"
"Brett brett-brettt!" Beberapa kali tangan kiri Gagak Wulung merenggut dan mencabik-cabik, pakaian yang tadinya menutupi tubuh anak perempuan itupun robek-robek dan tanggal semua dari tubuhnya. la kini telanjang bulat metonta-ronta, masih tergantung pada rambutnya. Melihat tubuh gadis yang belum mekar benar itu, Gagak Wulung tersenyum senyum dan tangan kirinya kini meraba-raba secara kurang ajar sekali.
"Jangan........! Ah, nama putera Ki Baka adalah Raden Nurseta.........'"tiba-tiba ibu anak itu menjerit.
Gagak Wulung tersenyum, jari-jari tangannya mencubit payudara anak itu yang mulai membukit. "Aih, seperti buah mangga ya ranum!"
Ni Dedeh Sawitri membentak Iagi, dimana dia sekarang" Di mana adanya Nurseta itu sekarang?"
"Itu........ saya........ saya tidak tahu ......." ibu anak menangis menggugu "Ah, ampunkan kaml, ampunkan anak saya..."
Mendengar itu, Gagak Wulung lalu berlutut dan merebahkan anak perempuan itu atas tanah terJentang dan dia membuat gerakan seolah-olah hendak melepaskan pakaianya sendiri. Melihat ini, tiba tiba ayah anak itu berteriak. "Jangan-.....! Raden Nurseta sebulan yang lalu pergi ke Goa Kantong Bolong di pantai Segara Kidul"
Mendengar ini, Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri saling pandang dan tersenyum. Gagak Wulung tersenyum bangga lalu melepaskan gadis cilik itu bangkit berdiri setelah mengelus perut gadis itu, mengebutkan bajunya dan berkata, "Hemm, sayang....... ia mulus dan ranum....... !"
"Huh......." Ni Dedeh Sawitri mendengus, tangan kirinya bergerak ke arah tubuh telanjang yang masih terlentang itu.
"Crattt......!" Tidak nampak gerakan tangannya saking cepatnya, akan tetapi tahu-tahu perut gadis itu tergurat kuku, robek panjang dan ia berkelojotan sebentar, lalu tewas dengan tubuh membiru.
"Ha-ha-ha, engkau cemburu ya..........?" Gagak Wulung tertawa.
"Siapa cemburu!" bentak Ni Dedeh Sawitri.
Ayah dan ibu anak itupun menjerit, menubruk mayat puteri mereka.
Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri tidak perduli, mereka bergandengan tangan dan Gagak Wulung berkata "Mari kita saling mengobati, baru pergi mencari Nurseta"
Ditariknya tangan wanita itu memasuki sebuah rumah yang dianggap paling besar di dusun itu. Mereka menemukan kamar tidur dan segera mereka masuk ke dalamnya, melempar diri ke atas pembaringan dan dua orang hamba nafsu ini tenggelam dalam buaian api nafsu yang membara.
Tak seorangpun diantara penghuni dusun berani mendekati rumah itu, mereka sibuk mengurus mayat-mayat yang berserakan, membawanya ke tanah kuburan untuk menguburkannya secara baik-baik. Bahkan setelah selesai penguburan mayat-mayat itu, sampai hari menjadi malam, mereka masih berkumpul di tempat kuburan, tidak ada yang berani memasuki dusun mereka.
Dua orang hamba nafsu itu puas sekali. Belum pernah selama hidup mereka menemukan seorang kekasih yang dapat mendatangkan kenikmatan dan kepuasan seperti pada hari itu. Tentu saja mereka menjadi saling melekat dan saling membutuhkan, bukan hanya sebagal kekasih yang dapat memuaskan, namuri juga sebagai rekan, sebagai sekutu yang menguntungkan. Setelah bermain puas menyalurkan nafsunya, keduanya merasa lelah sekali, akan tetapi juga ternyata bahwa tanda keracunan benar telah lenyap dari tubuh mereka. Hal ini membuat mereka semakin akrab dan saling percaya.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali mereka sudah meninggalkan dusun Kelinting tanpa ada seorangpun penghuni dusun yang mengetahuinya.
*** Bunyi menggelegar berkali-kali mengguncangkan dinding terjal bukit karang di tepi laut selatan, setiap kali ombak yang semakin besar menuju pantai tertahan oleh dinding karang itu. Air laut pecah berhamburan, bagian terkecil menjadi uap membubung ke ata membasahi daun-daun dan semak-semak yan masih sempat tumbuh di dinding itu. Jauh dibawah sana, nampak air laut berbuiir mengeluarkan suara mendesis-desis, kemerasak seperti air mendidih, buih-buih putih diayun ombak dan bermain-main dengan gembiranya sampai alun yang kuat mendorongnya dan menghancurkannya ke tepi dinding karang. Buih itu hancur berantakan, namun selalu berkumpul kembali di atas permukaan air yan tenang sejenak sehabis gempuran dahsyat pada batu karang. Mereka menanti datangnya ombak yang bergulung datang dari tengah, semakin ke tepi semakin meninggi, untuk kemudian dengan kekuatan terkumpul dahsyat menghantam batu karang yang menjadi dinding terjal bukit karang itu.
Betapa besar, dahsyat, dan kuasanya alam! betapa indahnya, betapa perkasanya. Pemuda yang duduk bersila di mulut Goa itu, di tengah dinding terjal bukit karang, aman dari jangkauan ombak karena terlampau tinggi bagi ombak untuk mencapai Goa
Pemuda itu sejak matahari teibit, duduk bersila di Goa Kantong Bolong itu. Seperti pesona dia memandangi matahari terbit, samudera membiru, lalu permainan alun dan ombak. Penuh kagum dia memandangnya dan tiada bosannya dia mengamati semua itu semenjak dia bertapa di situ sebulan lebih yang lalu. Pemuda itu adalah Nurseta, putera Ki Baka yang kini berusia enambelas tahun.
Nurseta memiliki tubuh yang sedang saja, namun tegap dan kekar karena sejak kecil dia bekerja berat di sawah dan di samping itu, sejak kecil dia digembleng oleh Ki Baka, melatih diri dengan olah raga, pencak silat, melakukan tapa brata, samadhi dan memperkuat tenaga luar dan dalam dari tubuhnya. Wajahnya, halus tampan, namun pakaiannya sederhana sekali. Pagi hari itu, dia hanya mengenakan celana hitam sampai di bawah lutut dan berselimut sarung kasar sederhana.
Dipandang sepintas, dia mirip seorang pemuda tani biasa. Namun, kalau orang memperhatikan sinar matanya yang kadang-kadang mencorong, senyumnya dan bayangan pada wajahnya yang ramah dan penuh kehalusan, gerak geriknya, maka akan terdapat kesan bahwa pemuda ini bukanlah pemuda biasa, melainkan seorang yang "berisi".
Namun, pada saat seperti itu, seperti pada pagi-pagi yang lalu, Nurseta mengalami hal baru, bukan ulangan dan pada saat itu dia merasa benar bahwa dirinya itu bukan apa-apa, hanya menjadi bagian kecil dan tidak ada artinya bagi alam maya pada ini. Tiada bedanya antara dirinya dengan air yang pecah berhamburan itu atau dengan segumpal awan yang melayang-layang di angkasa itu atau bahkan dengan seekor diantara burung-burung camar yang terbang di atas permukaan air laut itu. Dia bukan apa-apa, sebagian kecil saja dari hasil karya cipta yang Maha Agung ini. Kalau pada saat itu dia terjun ke bawah, lenyap ditelan air bergelombang, hal ini tidak akan mengubah segalanya. Segalanya masih akan berlangsung seperti apa adanya dan diapun akan hilang begitu saja. Bukankah semua manusia itu akhirnya juga akan lenyap direnggut maut" Tidak perduli apakah dia itu laki-laki atau perempuan, kaya atau miskin, raja atau jembel, berpendidikan atau tidak.
Seperti tokoh-tokoh wayang itu. Baik raksasanya yang jahat maupun rajanya yang berkuasa, pada akhirnya akan mengalami hal yang sama, yaitu masuk kotak yang ditutup oleh Ki Dalang dan habislah.
Alam sungguh indah dan agung, kalau dipandang oleh mereka yang mampu membuka mampu membuka dengan waspada, tanpa prasangka, tanpa pendapat, tanpa penilaian, tanpa pamrih.
Nurseta terseret kembali oleh pikirannya. Ia terkenang masa kecilnya. Dia tidak ingat lagi bagaimana wajah ibunya, namun dia masih ingat betapa dia ditimang-timang, dikeloni, masih terasa olehnya akan kasih sayang itu. Bukan diingat melainkan terasa batinnya menjadi hangat. Diapun teringat akan ayahnya, Ki Baka yang ditinggalnya sebulan yang lalu.
"Kulup, angger Nurseta" demikian kata ayahnya pada suatu pagi, sebulan yang lalu. "Ketahuilah bahwa sempurnanya ilmu melalui pelaksanaan. Tanpa pelaksanaan, segala ilmu yang dipelajari takkan ada manfaatnya dari untuk memperdalam ilmu, haruslah disertai latihan dan tapa brata merupakan latihan terbaik. Tapa brata memperkuat batin dan membangkitkan tenaga dalam di tubuhmu. Oleh karena itu, kulup. Hari ini juga, pergilah engkau ke Goa Kantong Bolong di tepi Segara Kidul dan bertapalah di sana sampai aku datang menyusulmu"
Teringat akan ayahnya akan muncul, perasaa rindu di hati pemuda itu. Ayahnya seorang yang amat menyayangnya. Terkenang dia akan sikap ayahnya apabila dia bertanya tentang ibunya "la sudah tiada, angger dan tidak ada gunanya membicarakan mendiang ibumu, yang hanya akan mendatangkan kedukaan dan kehilangan belaka" Demikian ayahnya selalu mengelak.
Ayahnya memiliki ilmu kepandaian yang tingai dan biarpun dia telah digembleng sejak kecil, namun baru separuh saja ilmu-ilmu ayahnya dapat dikuasainya. Terutama sekali dalam penggunaan ilmu mengerahkan tenaga dalam seperti Aji Sari Patala, dia masih jauh, belum sekuat ayahnya sehingga kalau dia memainkan silat Aji Bajradenta. Biarpun gerakannya lebih lincah dan cepat dibandingkan ayahnya, namun dia kalah tenaga. Inilah agaknya yang mendorong ayahnya untuk mendesak agar dia bertapa di dalam Goa itu.
Selama satu bulan menyepi di tempat itu. Ia selalu bersamadhi, menghimpun tenaga murni dan berlatih pernapasan, hanya tidur atau mata sudah tidak kuat bertahan, hanya makan atau minum kalau perut sudah menuntut. Minum air sumber di atas bukit, makan sayur dan buah atau ketela, bukan makan mencari kelezatan, melainkan makan atau minum sebagai pemenuhan tuntutan perut belaka.
Jalan naik atau turun antara puncak bukit yang menjadi tepi tebing curam ke Goa Kantong Bolong, merupakan jalan yang amat sukar. Bukan jalan manusia karena dia harus bergantungan pada akar-akar dan batu-batu.
Sangat berbahaya bagi manusia biasa karena sekali injakan kaki atau pegangan tangan terlepas, tubuh akan terjatuh meluncur ke bawah setinggi seratus tombak lebih dan akan hancur lumat diterima batu-batu karang yang runcing dan tajam di bawah sana, atau diterima ombak besar dan badan akan dihempaskan ke dinding karang sampai remuk.
Karena sukarnya jalan yang ditempuh untuk mencapai Goa itu, maka hampir tidak pernah ada orang yang berani mencari Goa itu, karena di situpun tidak ada sesuatu yang menguntungkan mereka.
Akan tetapi, pada pagi hari itu, tanpa sepengetahuan Nurseta yang sedang duduk bersila menikmati keindah dan keagungan alam yang terbentang luas di depannya, nampak dua orang menuruni tebi curam itu dengan cekatan, bagaikan dua ekor kera saja. Hal ini menunjukkan bahwa kedua orang itu sudah pasti bukan orang sembarangan, melainkan orang-orang yang telah memilki ilmu meringankan tubuh yang sudah tinggi tingkatnya.
Maka, dapat dibayangkan betapa kaget dan heran rasa hati Nurseta ketika tiba-tiba saja ada seorang laki laki dan seorang wanita meloncat dari atas dan berdiri di depannya.
Diapun cepat bangkit berdiri dan memandang pada mereka penuh perhatian. Biarpun masih muda dan kurang pengalaman, namun Nurseta memiiiki kecerdikan dan diapun dapat menduga bahwa dua orang ini tentu orang-orang sakti, makanya mereka dapat datang ke Goa itu, juga pandang mata mereka mengeluarkan sinar yang keras dan tajam.
Yang laki-laki berusia empatpuluh tahun lebih, tampan pesolek, dan seorang wanita yang usianya tigapuluhan tahun, namun memiliki kecantikanan luar biasa, juga pakaian dan dandanannya pesolek dan rapi. Keduanya tersenyum memandangnya, seperti orang yang girang menemukan orang yang mereka cari. Nurseta tidak menyukai sinar mata mereka yang mengandung kekerasan.
"Maaf" kata Nurseta yang sejak. kecil sudah diajar kesopanan oleh Ki Baka. "Siapakah paman dan bibi, dari mana dan ada keperluan apa berkunjung di Goa yang sunyi ini".
Sepasang mata wanita itu memandang penuh kagum. Bukan main pemuda remaja ini, pikirnya dan gairahnya telah membuat sepasang pipinya berubah merah dan air liurnya membasahi rongga mulut seperti seorang hamil muda melihat mangga yang ranum. Akan tetapi pada saat itu ia masih teringat akan kebutuhannya, maka ia lalu bertanya dengan suara halus dan nadanya manis memikat.
"Apakah namamu Nurseta?"
Nurseta mengangguk membenarkan, tanpa menjawab karena pandang mata wanita itu, dengan senyumnya yang manis, membuatnya terpesona seolah-olah dia tidak sedang berhadapan dengan manusia biasa, melainkan dengan seorang dewi. Inikah Kanjeng Ratu Nyai Roro Kidul seperti yang pernah didengarnya dalam dongeng" Akan tetapi pakaiannya tidak seperti pakaian ratu, walaupun kecantikannya memang luar biasa.
"Dan engkau putera Ki Baka?" tiba-tiba terdengar suara laki-laki itu bertanya dengan suara membentak seperti orang marah. Memang, di dalam suara Gagak Wulung itu tersembunyi kemarahan karena dia cemburu oleh lihat sikap Ni Dedeh Sawitri yang jelas nampak kagum dan tertarik kepada pemuda remaja ini.
Nurseta kini memandang Kepada penanya itu. Seorang laki laki yang tampan dan gagah seperti juga wanita itu, pesolek dan elok, namun ada sesuatu pada pandang matanya yang membuat dia waspada dan berhati-hati. Ada kekerasan tersembunyi di balik ketampanan itu. Dan diapun merasa heran bagaimana dua orang ini dapat menduga siapa dia dan putera siapa. Nursetapun mengangguk.
"Benar, aku bernama Nurseta, putera Baka di dusun Kelinting"
Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri saling pandang. Diam-diam mereka agak gentar juga mengingat bahwa pemuda ini, biarpun masih remaja, adalah putera Ki Baka yang sakti mandraguna. Mereka tidak meragukan bahwa tentu pemuda yang sedang bertapa dalam Goa seperti ini telah menerima gemblengan ayahnya dan memiliki aji kesaktian yang tak boleh dipandang ringan. Maka, melalui pandang mata, mereka tahu bahwa mereka harus menjalankan siasat pertama seperti yang telah mereka rencanakan sebelum mendaki tebing tadi, yakni hendak membujuk remaja itu secara halus.
"Kaki Bagus Nurseta" kata wanita itu dengan suara halus penuh daya pikat. "Aku ada adalah Ni Dedeh Sawitri, seorang sababat baik dari Ki Baka, dan dia ini adalah Gagak Wulung juga sahabat baik ayahmu. Kami berdua datang ke sini karena diutus oleh ayahmu" sambil berbicara, wanita ini telah mengerahkan ilmunya, yaitu Asmoro Limut yang dapat membuat hati orang tiba-tiba merasa suka dan tunduk bepadanya, suka memenuhi semua permintaannya. Daya yang kuat itu memancar melalui sinar matanya, juga melalui senyumnya yang manis.
Nurseta merasakan pengaruh ini dan dia melihat betapa wanita ini sungguh ramah dan baik hati sekali di samping kecantikannya yang luar biasa, dan seketika diapun menaruh kepercayaan kepada wanita ini. "Tidak mungkin seorang wanita secantik itu, seramah dan sehalus itu mempunyai niat buruk" pikirnya.
"Untuk urusan apakah ayahku mengutus paman dan bibi datang ke sini?" tanyanya.
"Kami diutus oleh ayahmu untuk minta agar engkau menyerahkan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala kepada kami karena pusaka itu amat diperlukan ayahmu sekarang ini" kata Ni Dedeh Sawitri sambil mengerahkan aji kesaktiannya memperkuat daya penakluk melalui Aji Asmoro Limut.
Nurseta memandang heran dan terbelalak. Seketika pengaruh itu lenyap dan dia menyadari bahwa kedua orang ini telah membohonginya. Tidak mungkin ayahnya mengutus mereka untuk meminta tombak pusaka itu, karena tombak itu berada pada ayahnya.
"Akan tetapi....... aku tidak membawa tombak pusaka itu. Tombak itu tidak pernah terpisah dari ayahku!" katanya dengan terus terang karena dia memang merasa heran sekali.
"Ah, mana mungkin" Ayahmu sendiri yang mengutus kami, harap engkau tidak berbohong orang muda!" kata Ni Dedeh Sawitri penasaran.
Nurseta mengerutkan alisnva. "Aku tidak mengatakan kalian berbohong. Tetapi kalau andika berdua tidak percaya, silakan menggeledah Goa yang tidak berapa besar ini"
Dan dua orang itu lalu mencari-cari seluruh sudut dalam Goa, dan memang mereka tidak menemukan apa-apa kecuali beberap potong pakaian pemuda itu, batu-batu yang disusun untuk membakar ubi dan selebihnya tidak ada apa-apa didalam Goa itu.
"Ah, apakah Ki Baka telah menjadi linglung karena luka-lukanya yang parah itu" berkata Gagak Wulung dengan sengaja, karena dia sudah putus asa melihat tempat tinggal pemuda itu, dan dia tidak dapat menemukan tombak pusaka yang diperebutkan itu.
Nurseta terkejut bukan main, sambil memandang wajah Gagak Wulung. Ia berkata "Paman, apakah ayahku sedang terluka parah" Apa yang terjadi atasnya?"
Kembali Gagak Wulung saling pandang dengan Ni Dedeh Sawitri dan mereka melanjutkan siasat yang sudah mereka rencanakan.
"Kaki Nurseta, ayahmu memang terluka parah. Segerombolan orang jahat datang hendak merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala dan ayahmu dikeroyok sampai terluka parah. Untung ayahmu tidak tewas karena kebetulan kami yang menjadi sahabat-sahabatnya datang berkunjung dan kami berhasil mengusir mereka. Karena ayahmu mengkhawatirkan tombak pusaka itu, maka dia minta agar kami suka berkunjung ke sini dan meminta tombak itu dan mengantarkan kepada ayahmu"
Tentu saja Nurseta terkejut bukan main mendengar bahwa ayahnya terluka parah. "Tombak pusaka itu tidak pernah diberikan kepadaku, Kalau sampai ayah berkata demikian, tentu karena dia terluka parah sehingga ayah lupa. Tetapi dimanakah ayahku sekarang?"
"Dia berada di atas tebing ini, kami yang mengawalnya dan karena luka-lukanya, dia tidak dapat turun ke tebing ini"
"Kalau begitu, aku harus melihat ayah" Nurseta tidak memperdulikan kedua orang tamunya dan dengan cekatan, seperti seekor monyet saja, dia meloncat dan merayap naik keatas Goa, terus memanjat melalui tebing terjal, dengan berpegang pada akar-akar atau celah-celah batu karang.
Melihat pemuda itu benar-benar tidak membawa tombak pusaka, kedua orang itupun cepat menyusulnya dan karena mereka berduapun memiliki ilmu kepandaian tinggi, tidak sukar nagi mereka untuk memanjat naik. Hanya beberapa detik saja selisihnya ketika kedua orang itu telah meloncat ke tepi tebing. Mereka melihat Nurseta mencari-cari ayahnya dengan pandang matanya.
"Di mana ayahku?" tanya Nurseta kepada kedua orang itu.
Kedua iblis itu tertawa, mereka tidak lagi mempergunakan siasat berbohong seperti tadi. Gagak Wulung sudah bersiap mempergunakan kekerasan untuk menangkap pemuda remaja itu dan menyiksanya agar suka menunjukkan di mana ayahnya menyimpan tombak pusaka Tejanirmala. Akan tetapi, Ni Dedeh Sawitri memberi isyarat dengan matanya kepada kawannya itu, lalu ia mendekati Nurseta.
"Bocah bagus, ketahuilah bahwa ayahmu telah kami tawan. Nyawanya berada di tangan Kami dan kami akan menukar nyawa ayahmu itu dengan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Nah, karena kau seorang putra yang berbakti, tentu kau mau menukar keselamatan ayahmu dengan tombak pusaka itu. Sekarang berikan tombak pusaka itu kepada kami dan kami akan membebaskan ayahmu"
"Tombak itu ada pada ayah, bukan padaku!" Nurseta berkata, gelisah membayangkan bahwa ayahnya berada dalam cengkeraman kedua iblis ini.
"Akan tetapi kau pasti tahu di mana disimpannya tombak itu oleh ayahmu. Nah. tunjukkan kepada kami tempat penyimpanannya untuk ditukarkan dengan nyawa ayahmu"
Nurseta bukan seorang pemuda yang bodoh, tadi, di dalam Goa, dua orang ini mengatakan bahwa mereka utusan ayahnya yang katanya berada di atas tebing, akan tetapi ternyata ucapan mereka itu hanyalah bohong belaka. Siapa dapat menjamin bahwa perkataan mereka yang telah menawan ayahnya ini bukan merupakan suatu kebohongan yang lain lagi" Lagi pula, dia tahu bahwa ayahnya adalah seorang yang gagah perkasa dan pantang mundur dalam membela kebenaran. Untuk mempertahankan sebuah pusaka seperti Ki Ageng Tejanirmala, tentu ayahnya suka mempertaruhkan nyawanya sebab pusaka seperti itu akan ternoda dan dapat mendatangkan malapetaka kalau terjatuh ke dalam tangan orang orang sesat dan dia dapat menduga bahwa kedua orang ini bukanlah orang baik-baik.
"Tombak pasaka Ki Ageng Tejanirmala adalah milik ayahku dan hanya beliau yang tahu di mana pusaka itu disimpan, Aku tidak mau pergi bersama kalian, aku hendak kembali bertapa dalam Goa Kantong Bolong" Setelah berkata demikian, dia hendak menuruni lagi tebing yang curam itu. Akan tetapi, dua orang itu meloncat dan menghadang di depannya
"Kau harus ikut dengan kami" bentak Gagak Wulung marah.
"Aku tidak mau" jawab Nurseta, yang sudah siap menghadapi kekerasan yang agaknya hendak dipergunakan kedua orang itu.
"Hemm, kau berani membantah perintah kami" Kalau begitu, akan kuseret kau dengan paksa!" bentak Gagak Wulung dan diapun sudah menerkam bagaikan seekor harimau menubruk seekor kijang muda. Namun, kijang muda ini bukan sembarangan kijang, dan dengan sigapnya Nurseta mengelak dan melempar tubuh ke samping memindahkan kaki dengan gerakan cepat sehingga tubrukan itupun hanya mengenai tempat kosong belaka.
Namun pada saat yang sama, dari belakangnya ada angin dahsyat menyambar, Nurseta membalik sambil menangkis lengan wanita yang telah menyerang dari belakang untuk mengcengkeram pundaknya itu. Gerakan Nurseta memang gesit, begitu kakinya diputar tubuhnya membalik dan tangannya sudah menangkis.
"Dukkk!" Wanita itu mengeluarkan teriak tertahan, karena tangkisan pemuda itu yang memutar lengannya ternyata mengandung tenaga yang kuat sekali, sehingga lengannya terpental. Sebaliknya, Nurseta juga merasakan getaran kuat pada lengannya. Maklumlah Nurseta bahwa dia menghadapi dua orang lawan yang memang tangguh. Oleh karena itu, diapun segera membalas serangan mereka dengan mempergunakan kakinya menendang kearah perut Gagak Wulung dari arah samping.
Yang ditendang dapat menghindarkan diri dengan lompatan kecil, kini Ni Dedeh Sawitri sudah menyerang kembali, bahkan ia mempergunakan Aji Sarpakenaka karena ia ingin menangkap pemuda ini yang ternyata memiliki kepandaian yang cukup tangguh.
Nurseta terkejut. Kuku jari itu runcing dan tajam, juga mengeluarkan bau yang amis, tahulah dia bahwa kuku itu mengandung aji pukulan beracun yang jahat. Ayahnya sudah pernah memberitahu akan adanya aji-aji yang jahat dan beracun, dipergunakan oleh orang-orang dari golongan sesat. Maka, diapun tidak berani sembarangan menangkis, melainkan hanya mengelak. Tahu-tahu kini Gagak Wulung sudah menyerangnya kembali, gerakan Gagak Wulung ini lincah dan gesit, seperti seekor monyet saja dan tahu-tahu tangannya sudah menusuk kearah pelipis Nurseta, sedang tangan kedua sudah mencengkeram lambung. Bukan main cepat dan berbahaya.
Nurseta cepat menekuk lututnya sehingga seragnan ke pelipisnya lewat di atas kepalanya, menangkis cengkeraman ke arah lambung sambil mengerahan tenaganya.
"Dukkk!!" Kembali Nurseta terkejut karena lengannya terpental, tanda bahwa tenaga Gagak Wulung inipun kuat sekali dan mungkin dia hanya mampu mengimbanginya. Padahal dia dikeroyok oleh dua orang dan kini dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya karena kedua orang lawannya sudah menghantamnya dari kanan kiri secara bertubi-tubi. Melihat betapa warna telapak tangan Gagak Wulung berubah menjadi merah, Nurseta semakin waspada. Dia sudah mendengar akan pukulan beracun yang membuat kedua tangan mejadi merah dan mengeluarkan hawa panas, maklum bahwa dua orang lawannya ini merupakan tokoh-tokoh sesat yang pandai mempergunakan aji kesaktian yang kotor beracun, Nurseta bersikap hati-hati dan diapun mengeluarkan semua kepandaiannya.
Namun, dia karena ia masih muda dan kurang pengalaman dalam perkelahian, dan kini dia harus menghadapi pengeroyokan oleh dua orang yang selain pandai dan sudah memiliki pengalaman yang banyak. Segala gerak tipu kecurangan mereka miliki sehingga belum sampai duapulub jurus mereka berkelahi, sebuah goresan kuku dengan Aji Sarpakenaka telah mengenai pangkal tangan kiri Nurseta, sedangkan tamparan Hasta Jingga oleh Gagak Wulung juga mengenai paha kanannya. Nurseta merasa betapa kaki kanan yang terkana tamparan itu panas dan terasa lumpuh, sedangkan tangan kirinya juga terasa nyeri dan gatal-gatal. Nurseta maklum bahwa dia telah terkena pukulan beracun di dua tempat.
"Kalian manusia jahat! Jangan harap aku menyerah sebelum nyawa meninggalkan badan!" bentaknya dan diapun mengamuk. Namun, dengan luka-luka itu, tentu saja gerakannya menjadi lamban dan kaku.
"Gagak, jangan bunuh dia! Kita masih memerlukannya"
"Huh, pastilah untuk kau ambil sari perjakanya"
Tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi dengan suara yang lembut sekali, tetapi kata-kata yang dinyanyikan terdengar sangat jelas bagi ketiga orang yang sedang terlibat dalam perkelahian itu.
Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri terkejut bukan main mendengar suar tembang itu. Mereka mengira bahwa yang muncul adalah kakek yang pernah menyelamatkan dan membawa pergi Ki Baka, tentu saja mereka gentar dan takut dan siap untuk melarikan diri, karena mereka sudah maklum akan kehebatan aji kesaktian kakek penolong Ki Baka itu. Apa lagi ketika mereka melihat dari jauh kakek itu juga mengenakan pakaian serba putih, seperti pakaian kakek penolong Ki Baka
Keduanya menahan diri dan tidak lagi menyerang Nurseta melainkan memandang kearah kakek yang sedang bertembang itu. Hal ini melegakan hati Nurseta, karena pada saat yang genting karena dia terluka oleh pukulan yang sangat beracun oleh kedua orang pengeroyoknya.
Setelah orang yang bertembang itu tiba di depan mereka, barulah Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri mendapat kenyataan bahwa mereka salah kira. Kakek ini sama sekali bukanlah kakek yang pernah menolong dan membawa pergi Ki Baka. Kakek ini sangat berbeda. Kalau kakek yang menolong Ki Baka itu mukanya pucat seperti mayat dan penuh keriput dan tak pernah nampak mulutnya bergerak walaupun sedang tertawa atau bicara, sebaliknya kakek ini wajahnya seperti wajah seorang anak muda saja, kulit mukanya belum berkeriput dan masih kemerahan walaupun rambut, kumis dan jenggotnya sudah putih semua.
Mulutnya penuh dengan senyum, sepasang matanya mengeluarkan sinar lembut dan ramah, pakaiannya sangat sederhana hanya terbuat dari kain kasar berwarna putih. Yang mirip diantara kedua kakek itu adalah pakaian dan ikat rambutnya sajalah, kedua-duanya memakai kain berwarna putih. Usia merekapun agaknya sebaya walaupun kakek ini wajahnya tetap segar seperti wajah orang muda saja layaknya.
Melihat kenyataan bahwa kakek ini bukanlah kakek yang mereka takuti itu, timbul pula keberanian Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri. Tentu saja tidak semua kakek memiliki kesaktian seperti kekek penolong Ki Baka.
"Heh, orang tua, mau apa kau ke sini, pergilah, kami tidak ada urusan dengan kakek-kakek!" Gagak Wulung membentak.
"Pergi dan jangan mencampuri urusan kami..!!" Ni Dedeh Sawitri juga membentak marah.
Kakek itu tersenyum lebar, katanya "Heh-heh-heh, kulit memang tidak menentukan isi buah durian, kulitnya buruk akan tetapi isinya manis, sebaliknya mundu halus kuning isinya asam"
Tentu saja ucapan ini mengandung makna bahwa dua orang yang tampan dan cantik itu ternyata hanya elok pada lahirnya saja, akan tetapi wataknya sungguh tidak sesuai, begitu bertemu mengeluarkan kata-kata kasar dan mengusirnya.
"Sudahlah, perlu apa melayani tua bangka yang suah pikun" kata Ni Dedeh Sawitri. "Hayo kita tawan dia!" Dan iapun sudah menyerbu Nurseta yang berdiri sambil melepas lelah. Tubuhnya terasa nyeri semua, terutama bekas goresan kuku Sarpakenaka dan tamparan Hasta Jingga. Kepalanya sudah pening dan kedua kakinya gemetar. Namun, melihat wanita itu sudah menyerangnya lagi, dia masih sempat mengelak dan kini Gagak Wulung juga sudah maju menyerangnya.
"Heh-heh, dua orang yang memiliki aji kesaktian hitam mengeroyok seorang pemuda remaja. Sungguh tidak adil dan aku akan menonton kalian memetik buah pahit dari tanaman yang kalian tanam sendiri. Heh, orang muda, jangan takut dan lawanlah mereka" katanya.
Tanpa diperintah sekalipun, Nurseta memang bertekad untuk mempertahankan nyawanya segigih mungkin, sampai titik darah terakhir! Dia teringat selalu akan satu diantara wejangan ayahnya, yang pernah berkata begini:
"Kulup, anakku Nurseta, ingatlah selain bahwa Hyang Maha Agung telah menganugerahi kita manusia dengan tubuh sempurna dan tanah untuk mempertahankan kehidupan kita. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban kita untuk menjaganya, menjaga tanah dan tubuh kita. Ingatlah kulup, bahwa tanah atau tanah air, harus dijaga dan dibela, kalau perlu dengan taruhan nyawa, karena di tanah air inilah terdapat sejarah semenjak nenek moyang kita, dimana mereka dikuburkan, dimana kita dilahirkan, dimana kita mencari makan, sandang dan papan, dimana kita berbangsa dan berkebudayaan. Sejengkalpun tanah harus kita pertahankan, karena itu milik kita, hak kita sebagai anak bangsa. Dan tubuh kitapun harus dipertahankan sebaik mungkin, karena seperti juga tanah, tubuh merupakan anugerah Hyang Maha Agung, yang hanya dititipkan saja kepada kita, untuk kehidupan dan kebahagian hidup kita. Kalau tubuh kita sakit, kita harus mengobati. kalau terancam, kita harus menyelamatkannya.
Sekarang dia dikeroyok dua orang yang hendak membunuhnya, atau setidaknya Ingin menawan dan menyiksanya untuk memaksanya menunjukkan dimana adanya letak pusaka Tejanirmala. Hanya kepadanyalah ayahnya memberitahukan letak pusaka itu disimpan, yaitu di puncak sebuah diantara dua batang pohon aren di kebun belakang. Dia harus membela diri, sepercik darahnya harus dibela, demikian juga dengan sejengkal tanah airnya.
Akan tetapi, ada keanehan yang membuat Nurseta terkejut, kaget dan juga bingung. Setiap kali tangan atau kaki dua oran lawannya itu melayang untuk menyerangnya, tangan atau kaki lawannya itu tertahan atau seperti tertangkis oleh sesuatu yang tidak nampak sehingga tidak sampai mengenai tubuhnya.
Melihat keanehan ini, Nurseta yang cerdik dapat meduga bahwa ada orang sakti mandraguna ya membantunya dan siapa lagi orang sakti itu kalau bukan si kakek tua renta itu. Karena, selain mereka bertiga yang hadir di situ hanya kakek itulah yang tersisa.
Nurseta menjadi girang dan segera membalas dengan tamparan-tamparan, pertama kearah dada Gagak Wulung dan yang kedua kalinya dia menampar kearah pipi Ni Dede Sawitri.
"Desss! Plakkk!" Dua serangannya itu tepat mengenai sasaran, seolah-olah sama sekali tidak dielakkan oleh kedua orang lawannya.
Gagak Wulung roboh terjengkang dan Ni Dedeh Sawitri terpelanting. Meraka cepat meloncat berdiri kembali dengan muka pucat. Betapa mereka tidak akan menjadi gentar kalau tadi semua serangan mereka tertumbuk pada kekuatan tak nampak yang membuat serangan mereka tidak dapat menyentuh kulit pemuda remaja itu, dan ketika pemuda itu membalas, betapapun mereka berusaha menangkis, namun mereka tidak mampu menggerakkan tubuh, baik untuk menangkis maupun mengelak. Mereka merasa penasaran sekali. Ilmu iblis apakah yang dipergunakan oleh pemuda ini".
"Keparat, rasakan pembalasanku!" bentak Ni Dedeh Sawitri dan kini kedua tangannya terbuka dengan kuku-kuku jari tangannya sudah penuh dengan Aji Sarpakenaka maju menyerang Nurseta.
Serangan ini merupakan serangan maut, karena terkena sekali goresan satu kuku saja sudah berbahaya, apa lagi kalau terkena goresan sepuluh kuku. Akan tetapi, selagi Nurseta menghindar, ternyata gerakan kedua tangan musuhnya itu terhenti di tengah jalan dan melihat Nurseta melangkah maju, lalu mengirim hantaman dengan kekuatan Aji Sari Patala, dan jurus dari Aji Bajradenta dia mengarahkan kearah ubun-ubun kepala wanita itu.
Tetapi, selagi tangannya bergerak, tiba-tiba dia teringat akan pesan ayahnya. "Ingat, kulup. Jangan sekali-kali membunuh, betapapun jahatnya orang itu, kecuali hanya kalau terpaksa untuk membela diri dari ancaman maut. Membunuh adalah kesalahan yang paling besar dan dikutuk oleh Hyang Wisesa, angger"
Teringat akan perkataan ayahnya itu, Nurseta cepat menyelewengkan pukulan tangannya, sehingga pukulan itu tidak mengenai ubun-ubun, melainkan mengenai pundak kiri Ni Dedeh Sawitri, dan tenaganyapun sudah banyak dikurangi.
"Desss........!" Betapapun juga, tubuh itu terpetanting untuk kedua kalinya dan kini tidak dapat segera bangkit karena pundaknya terluka parah, tulangnya seperti patah rasanya dan wanita itu memegangi pundaknya sambil merintih lirih.
Melihat keadaan teman sekaligus kekasihnya ini, marahlah Gagak Wulung. Kedua lengannya digerak-gerakkan dan ketika kepalan tangannya dibuka nampak kedua tangan itu kemerahan dan mengeluarkan uap, lalu mengeluarkan bentakan dahsyat sambil menerjang Nurseta menggunakan kedua telapak tangan yang dialiri Aji Hasta Jingga sepenuhnya. Serangan itu mengarah kebagian kepala dan dada.
Belum lagi pukulan-pukulan itu sampai, Nurseta sadah merasakan datangnya sambaran angin panas dan selagi dia siap untuk rnengelak, tiba-tiba saja Gagak Wulung berteriak kaget karena kedua tangannya terhenti di udara seperti tertahan oleh kekuatan yang tidak tampak.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Nurseta untuk membalas dengan tendangan. Tendangannya meluncur ke arah bawah pusar dan tentu lawan akan roboh tewas kalau mengenai sasaran. Namun Nurseta kembali teringat, tidak boleh membunuh dan diapun mengubah arah tendangannya.
"Desss..!" Tendangan itu mengenai pinggul dari tubuh Gagak Wulung, yang mengakibatkan Gagak Wulung terjengkang dan terbanting keras diatas tanah.
Gagak Wulung mencoba merangkak bangun, dan ia saling pandang dengan Ni Dedeh Sawitri, kemudian keduanya memandang kearah kakek tua renta yang masih tersenyum dan berdiri tidak jauh dari arena perkelahian. Mereka mengerti, bahwa kakek itulah yang menurunkan bantuan kepada Nurseta.
Mereka maklum bahwa keadaan mereka dalam bahaya, maka dengan pandangan mata, keduanya sudah sepakat untuk melarikan diri. Mereka meloncat dan lari sekuat tenaga meninggalkan tempat itu seperti dikejar setan.
Sementara itu, kakek tadi sangat kagum melihat tindakan Nurseta tadi, dua kali Nurseta mengubah gerakannya, serangan maut menjadi serangan yang tidak membabayakan nyawa lawan. Hal inilah membuat dia tersenyum lebar dan kini ia mengamati pemuda remaja itu penuh perhatian. Dia mengangguk-angguk, tangan kirinya mengelus jenggot panjang putih, tangan kanan memutar-mutar seuntai tasbeh seperti menghitung biji-biji tasbeh itu tanpa henti.
Nurseta adalah seorang pemuda yang cerdas. Dia tahu bahwa tanpa ada yang menolongnya, tentu kini ia sudah roboh tertawan atau mungkin juga sudah tewas. Dan penolongnya tentu kakek tua renta ini. Maka, tanpa ragu diapun menjatuhkan diri berlutut didepan kakek itu, menghaturkan hormat
"Berkat pertolongan Eyang, saya masih bisa bernafas sampai saat ini, entah bagaimana saya dapat membalas budi kebaikan itu....."
Sampai di sini, Nurseta tidak kuat lagi menahan nyeri yang sejak tadi menghentak-hentak tubuhnya karena racun-racun pukulan kedua orang lawannya sudah mulai bekerja dan Nursetapun terguling roboh, pingsan.
Kakek itu lalu duduk bersila memeriksa keadaan tubuh Nurseta. Melihat bekas goresan kuku yang menjadi biru kehitaman, bekas tangan Hasta Jingga yang kemerahan. Kakek tersebut menarik napas panjang, lalu mengheningkan cipta. Dari mulutnya mengeluarkan puja-puji mantram lirih.
Kedua telapak tangannya yang agak gemetar karena mengandung tenaga sakti itu kini mengurut-urut bagian tubuh Nurseta yang terkena pukulan beracun. Ketika kedua tangan itu mengurut-urut bekas goresan kuku Sarpa Kenaka, kedua telapak tangannya berubah hitam karena hawa beracun itu tersedot oleh kekuatan yang terkandung di dalam kedua tangan kakek tersebut.
Kakek itu kemudian mencuci tangannya dengan rumput basah. Kemudian ia mengurut lagi luka yang diakibatkan oleh pukulan Hasta Jingga dan racun itupun tersedot sehingga kedua telapak tangan kakek itu berubah merah. Dicucinya kembali kedua telapak tangan itu dengan rumput basah.
Tak lama kemudian Nurseta siuman dari pingsannya, ia membuka kedua matanya dan cepat dia bangkit duduk, Ia mencoba mengingat kembali apa yang terjadi. Dan ketika ia merasa bahwa luka-lukanya tidak terasa nyeri, dan melihat betapa bekas pukulan kedua orang lawannya yang tangguh itupun tidak berbekas lagi, kembali ia menyembah kakek yang duduk bersila di depannva dan kakek itupun sedang memandangnya sambil tersenyum.
"Luka saya telah sembuh,, sudah pasti bahwa paduka yang kembali telah menolong saya. Eyang, terima kasih saya haturkan dan......."
Kakek itu mengangkat tangan kanannya keatas sebagai isyarat agar pemuda itu tidak melanjutkan kata-katanya. "Kulup, lepaskan kembali ikatan itu. Dendam dan budi hanyalah pengikat batin, menjadi beban dan memperkuat rantai karma. Tidak ada menolong atau menolong, karena perbuatan itu selalu menyembunyikan pamrih. Sudah menjadi kewajiban tiap orang manusia untuk menolong dalam batas kemampuannya, untuk mengulurkan tangan memberi makanan bagi yang kelaparan, memberi minum yang kepada yang haus, mengbati yang sakit, dan menginsyafkan yang sesat"
Nurseta menghormat dengan khidmatnya dan iapun maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang kakek yang bukan saja sakti mandraguna, namun juga bijaksana, seorang yang berhati bersih.
"Ampun beribu ampun, Eyang, bukan makud saya untuk membantah. Akan tetapi, jauh bedanya dendam dengan budi. Dendam memang seyogyanya ditiadakan dari batin, akan tetapi budi" Tidakkah sudah sewajarnya kalau kita harus mengenai budi yang dilimpahkan orang lain kepada kita, Eyang?"
"Heh-heh-heh, memang seharusnya demikianlah menjadi orang muda, selalu ingin mengetahui akan kebenaran. Ketahuilah, kulup, dan mari kita selidiki bersama. Apakah bedanya dendam dengan budi" Bukankah keduanya itu timbul dari batin yang mempertimbangkan untung rugi."
"Hamba mengerti, Eyang" katanya mengangguk-angguk.
"Kulup, sekarang aku ingin bertanya. Siapakah andika dan mengapa pula tadi andika dikeroyok oleh dua orang itu?"
Maklum bahwa dia berhadapan dengan orang yang sakti mandraguna dan bijaksana. Nurseta lalu menjawab "Saya kira Eyang tidak akan khilaf lagi siapa saya dan mengapa saya dikeroyok oleh mereka"
"Heh-heh-heh, bocah bagus. Orang yang mengaku mengerti sesungguhnya tidak mengerti, dan orang yang mengaku pintar sesungguhnya adalah bodoh. Jawablah pertanyaanku tadi dan ceritakan semuanya, kalau engkau tidak berkeberatan"
Nurseta terkejut dan teringat bahwa dia teahl salah bicara. "Harap maafkan saya, Eyang. nama saya Nurseta dan nama ayah saya Ki Baka yang bertempat tinggal dusun Kelinting. Kurang lebih sebulan yang lalu saya disuruh oleh saya bertapa di dalam Goa Kantong Bolong di bawah tebing itu. Sedangkan kedua orang yang menyerang saya tadi, adalah Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri. Tiba-tiba saja mereka sudah berada di dalam Goa Kantong Bolong, mereka mengatakan bahwa ayah saya terluka parah oleh orang-orang yang hendak merampas tombak aka Ki Ageng Tejanirmala. Mereka mengatakan diutus ayah untuk mengambil tombak pusaka itu dari saya. Sedangkan saya tidak pernah menerima tombak itu dari ayah, sewaktu saya mendengar bahwa ayah saya terluka, saya lalu naik keatas tebing dan mereka mengejar sampai di sini. Dan mereka lalu mengeroyok saya dan hendak memaksa saya menunjukkan dimana adanya tombak pusaka itu. Demikianlah ceritanya Eyang dan kalau Eyang memperkenankan, mohon saya dapat mengetahui, siapakah nama Eyang dan dimana tempat tinggal Eyang"
Kakek itu mengangguk-angguk. Sejak tadi pandangan matanya selalu mengamati sosok pemuda remaja yang duduk bersila di depannya itu dan dia mendapat kesan bahwa pemuda ini merupakan seorang calon pendekar yang sangat berbakat, seorang calon satria yang dapat dibanggakan kelak.
"Kulup Nurseta, ketahuilah. Orang menyebut aku Panembahan Sidik Danasura. Adapun padepokanku berada di Teluk Prigi, di Segoro Wed (Lautan Pasir) di tepi pantai Laut Selatan. Sudah menjadi kesenanganku untuk menjelajah pegunungan selatan dari timur sampai ke utara dan tuntunan kekuasaan Hyang Widhi sajala yang membawaku ke sini dan melihat engkau terancam bahaya maut. Sekarang, apa yang hendak kaulakukan selanjutnya, kulup?"
"Eyang Panembahan, kemunculan dua orang itu jelas hendak mencari dan merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala, dan saya merasa khawatir akan nasib ayah saya di dusun Kelinting. Saya rencan hendak pulang menengok keadaan ayah saya"
Kembali kakek itu mengangguk-angguk "Sudah lama aku mendengar akan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala itu, angger. Hemh, orang-orang mencari keselamatan melalui pusaka, padahal, tidak ada pusaka yang lebih ampuh dari pada keadaan batin sendiri. Pusaka hanyalah alat, benda mati, kalau dipergunakan untuk kebenaran dan kebaikan maka jadila ia pusaka keramat, sebaliknya, kalau dipergunakan untuk kekeliruan dan kejahatan, jadilah ia benda terkutuk. Mereka yang menyerangmu itu termasuk golongan sesat yang takkan menyerah begitu saja sebelum niat mereka tercapai, maka amatlah berbahayalah kalau engkau melakukan perjalanan seorang diri. Kalau kau tidak keberatan, marilah kita jalan bersama, kulup"
Tentu saja Nurseta merasa girang bukan main. Dengan adanya kakek ini, dia boleh merasa aman terhadap ancaman dan gangGoan orang sakti yang jahat itu. Dan siapa tahu ayahnya benar-benar menderita luka parah dan kakek ini akan dapat menyembuhkannya, seperti yang dilakukan pada dirinya tadi.
Maka Nursetapun menjawab "Tentu saja saya tidak keberatan, bahkan saya merasa gembira dan berterima kasih sekali, Eyang panembahan"
Mereka lalu bangkit dan berjalan meninggalkan tempat itu, menuju ke dusun Kelinting. Ia ingin cepat-cepat tiba di dusunnya. Ia mengerahkan aji kesaktiannya dan berlari cepat. Dia melihat kakek itu berjalan saja, seperti lambat, namun anehnya, kakek itu tidak tertinggal satu langkahpun darinya, bahkan berada di sampingnya, sehingga Nurseta dibuat terkagum-kagum dan takluk
Karena dua orang sakti itu melakukan perjalanan dengan aji kesaktian mereka, maka sore harinya mereka telah memasuki dusun Kelinting. Begitu masuk dusun dan bertemu dengan seorang kakek penduduk itu, Nurseta dirangkul dan kakek itupun menangis.
"Aduh, Den Nurseta....... malapetaka telah menimpa dusun kita !"
Nurseta terkejut sekali. "Paman Karpo, apakah yang telah terjadi?"
"Kurang lebih seminggu yang lalu......., gerombolan manusia iblis yang kejam, memasuki dusun ini. Mereka itu menghancurkan rumah ayahmu, kemudian membunuh belasan orang penduduk yang tidak memberitahu di mana engkau berada......."
"Dan bagaimana dengan ayahku?"
"Kami tidak tahu, ayahmu lenyap bersama mereka. Tidak kami temui seorangpun di bekas tempat tinggal ayahmu, Raden Nurseta"
Nurseta terkejut dan gelisah sekali. "Eyang Panembahan, saya akan mencari ayah dahulu" Dan diapun berlari menuju ke sudut dusun tempat tinggal ayahnya.
Panembahan Si Danasura mengikutinya dari belakang.
Nurseta hanya dapat berdiri bengong memandang bekas rumahnya yang sudah rata dengan tanah, yang tinggal hanya puing-puing yang berantakan saja, bahkan tanah itupun nampak bekas dicangkuli.
"Ah, ayah tentu telah mereka tawan!" katanya, bingung dan juga gelisah. "Tentu ayah tidak mau mengaku dimana adanya tombak pusaka itu, maka mereka menawan ayah"
"Tenanglah angger. Ada dua kemungkinan. Pertama, mereka tidak menemukan tombak Pusaka dan menawan ayahmu. Kedua, ayahmu berhasil melarikan diri dan membawa pergi tombak pusaka itu"
"Aku akan melihatnya, Eyang" Nurseta berlari ke kebun dan dengan cepat memanjat sebatang diantara dua pohon aren itu. Tak lama kemudian dia meloncat turun "Pusaka itu sudah tidak ada" katanya. "Kalau begitu, tidak mungkin ayahmu mereka tawan. Kalau mereka sudah menemukan pusaka itu, untuk apa lagi menawan ayahmu, tentu ayahmu berhasil menyelamatkan diri dan membawa pusaka itu"
"Mudah-mudahan demikianlah, Eyang. Akan tetapi, kemanakah ayah pergi" Kemana saya harus mencarinya?" Pemuda itu menjadi gelisah kembali.
Kakek itu tersenyum "Kalau Hyang Wisesa menghendaki, engkau kelak tentu akan dapat berjumpa kembali dengan ayahmu. angger. Bagaimana kalau sementara ini engkau ikut denganku, memperdalam llmumu agar kelak dapat kau pergunakan untuk mencari ayahmu, membuatmu cukup kuat untuk. menghadapi gerombolan penjahat yang sakti itu"
Memang hal ini sudah diharapkan oleh Nurseta. Menjadi murid kakek yang sakti mandraguna ini. Maka, mendengar ucapan itu lalu menjatuhkan diri berlutut. "Eyang Panembahan, mulai detik ini saya, Nurseta, menghambakan diri kepada Eyang sebagai seorang murid dan apapun perintah Eyang kepada saya, akan saya junjung tinggi dan saya taati"
Panembahan Sidik Danasura mengulur tangan menjamah kepala pemuda itu, memberi isyarat untuk bangkit. "Baiklah, aku menerimamu sebagai murid, kulup. Jangan khawatir, kalau Hyang Maha Agung mengijinkan, kelak engkau tentu akan dapat bertemu kembali dengan ayahmu. Sekarang, marilah engkau ikut bersamaku ke padepokanku di Teluk Prigi, kulup"
"Baik, Eyang"
Keduanya lalu pergi meninggalkan Kelinting, menuju ke selatan. Di sepanjang perjalanan yang dilakukan dengan seenaknya itu, Sang Panembahan Sidik Danasura memberi wejangan kepada Nurseta yang didengarkan oleh pemuda itu dengan penuh perhatian, dan di mana perlu, dia tidak segan untuk mengemukakan pendapatnya agar dia dapat menangkap inti pelajaran itu lebih baik lagi.
"Angger Nurseta, tahukah kau, mengapa aku mengambil keputusan untuk mengangkatmu sebagai murid" Aku tertarik ketika melihat kau tadi tidak memukul mati dua orang lawanmu itu. Aku melihat betapa kau menahan diri, bahkan mengubah arah serangan dan mengurangi banyak tenaga agar kedua orang itu tidak sampai terluka parah atau mati. Mengapa kau melakukan hal itu?"
"Pada saat saya hendak mengirim serangan maut, tiba-tiba saya teringat akan wejangan ayah saya bahwa saya tidak boleh sembarangan saja membunuh orang lain, kecuali kalau terpaksa sekali demi membela dan melindungi diri sendiri yang terancam maut. Karena itulah, saya mengurungkan niat menyerang mereka untuk mematikan"
"Hemm, permulaan yang baik, Angger Nurseta, hidup manusia ini tidak ada artinya sama sekali kecuali kalau hidup ini dipenuhi dengan welas asih"
*** Mereka tiba di puncak sebuah bukit dari barisan bukit selatan yang seolah-olah menjadi tanggul untuk melindungi Pulau Jawa dari Laut Selatan. Kakek itu berhenti dan mereka berdua memandang ke selatan. Nampak bukit-bukit, sawah ladang, hutan-hutan, kemudian lautan membentang luas jauh di selatan, bersatu dengan langit, Kakek itu menarik napas panjang, menghirup hawa udara yang sejuk segar dan bersih, seperti orang kehausan meminum air jernih.
Nurseta juga melakukannya, dia merasa betapa dadanya mekar dan betapa hawa murni memasuki tubuhnya sampai terasa di pusar. "Ah".. betapa nikmatnya hidup ini, angger"
"Benar, Eyang. Pada saat saya menghirup hawa murni, batin tidak terisi apapun, pada detik itu terasa nikmat dan bahagia yang sukar dilukiskan. Akan tetapi, begitu pikiran mengenang keadaan ayah, kekhawatiran timbul dan kenikmatan tak terasa lagi, kebahagiaan lenyap"
Mendengar ini, Panembahan Sidik Danasura tertawa, suara ketawanya lepas, mukanya mengadah ke langit, sehingga suara ketawa itu mengalun ke bawah bukit, bergema sampai jauh
"Ha-ha-ha-ha! Nah itu, engkau telah menemukan sendiri, merasakannya sendiri suatu kenyataan hidup. Nurseta, Menghadapi kenyataan apa yang ada dengan waspada, itulah seni tertinggi dari hidup ini. Kebahagiaan itu sudah ada dan berada dalam batin setiap
orang, namun sayang, batin itu selalu dipenuhi dengan pikiran sehingga keruh dan kebahagian tak nampak lagi, yang terasa hanyalah khawatiran, kekecewaan dan duka"
*** Akhirnya tibalah mereka di tempat tinggal atauu yang biasa disebut padepokan Panembahan Sidik Danasura, di tepi pantai Segara Kidul, dekat teluk Prigi Segara Wedi.
Tempat yang lengang dan sunyi, seperti gurun pasir, namun tak jauh di tikungan pantai nampak pohon-pohon menghijau dan batu-batu karang dengan bentuk yang indah, ada pula dari jauh nampak seperti sebuah candi yang dipahat halus ukiran-ukirannya.
Begitu tiba di luar padepokan, Panembahan Sidik Danasura mengerutkan alisnya dan cuping hidungnya kembang kempis. Juga Nurseta dapat mencium bau yang amat gurih dan sedap, bau ikan dipanggang. Asap itu datang dari belakang padepokan dan terdengar suara orang laki-laki tertawa dengan suaara yang parau.
"Jagad Dewa Bathara......." kakek itu berkata lirih "Benarkah dia yang datang berkunjung itu?"
Pertanyaannya itu segera terjawab ketika mereka melihat dari samping padepokan. Di sana, di belakang padepokan itu, nampaklah seorang laki-laki sedang memangang seekor ikan sebesar betis. Ikan itu ditusuk dengan bambu dan di atas arang membara. Dia membolak-balik ikan yang sudah hampir matang itu sambil tertawa-tawa girang, sedangkan tak jauh di dekatnya, di bawah batang pohon sawo, seorang gadis sedang mengeduk nasi yang masih panas mengepul. Nurseta mengamati mereka dengan pandang mata tajam penuh selidik.
Pria itu berusia paling banyak limapulu tahun, tubuhnya tinggi besar dengan tulan tulang menonjol besar. Pakaiannya serba hitam dengan baju terbuka bagian dadanya, meperlihatkan dada yang berbulu. Mukanya tidak nampak jelas karena tertutup brewok, hanya matanya yang lebar dan mata itu jelalatan namun mencorong. Adapun gadis yang sedang mengeduk nasi diatas hamparan tikar di bawah pohon sawo itu berusia kurang lebih lima belas tahun, belum dewasa benar namun kelihatan cekatan dan wajahnya manis dengan kulit bersih dan pakaiannya juga sederhana seperti seorang perawan dusun.
"Ha-ha-ha, Sari, engkau tidak lupa kepadaku, bagus sekali! Tidak ada ruginya menolongmu dari perahu yang terbalik beberapa tahun yang lalu. Engkau mau menyambutku dan menanakkan nasi, ha-ha-ha bagus, bagus" terdengar pria yang brewokan itu berkata sambil terkekeh senang.
"Bagaimana mungkin aku dapat melupakanmu, paman?" gadis itu menjawab. "Di dunia ini, hanya paman Jembros dan Eyang Panembahan saja dua orang yang paling baik terhadap diriku" Gadis itu menoleh dan melihat dua orang yang muncul dari depan pondok. "Ah, itu eyang telah pulang, paman" katanya gembira, lalu bangkit hendak menyongsong kakek itu, akan tetapi ia menahan langkahnya ketika melihat Nurseta yang sama sekali tidak dikenalnya.
Melihat kakek itu, pria yang sedang memanggang ikan tertawa gembira, "Ha-ha-ha, kebetulan sekali Paman Panembahan pulang. Mari kita nikmati ikan panggang ini, bersama nasi panas, wah, akan enak sekali. Jangan khawatir kurang, dapat kutangkap seekor lagi"
Panembahan Sidik Danasura melangkah perlahan menghampiri orang itu, tersenyum ramah. "Selama lima tahun ini andika pergi kemana saja, kaki Jembros" Ternyata kesukaanmu makan enak belum juga mereda. Andika tahu bahwa aku masih tetap lebih suka makan sayur dan tidak makan makanan berjiwa"
"Eyang, saya telah buatkan masakan sayur untuk Eyang" kata gadis itu cepat "Tunggu sebentar saya ambilkan di dalam" Gadis itupun dengan cekatan memasuki padepokan untuk menghidangkan masakan, dan diaturlah periuk dan alat makan di atas tikar.
Panembahan Sidik Danasura telah duduk bersila diatas tikar dan Nurseta juga dipersilahkan duduk.
"Kaki Jembros, apakah kunjunganmu ini ada hubungannya dengan Wulansari?" kakek itu bertanya, suaranya tetap halus dan ramah.
Orang yang disebut Ki Jembros itu menurunkan ikan dari atas api karena sudah matang, dan diapun memandang kakek itu dengan mata yang lebar.
"Ha-ha-ha, mari kita makan dulu, Paman. Setelah makan, baru kita bicara. Hai, pemuda tampan, Silahkan andika ikut pula makan bersama kami" ajaknya kepada Nurseta.
Diam-diam pemuda ini merasa suka pada pria yang brewokan itu. Walaupun pria itu sederhana dan kasar, namun sikapnya demikian terbuka dan ada sesuatu terpancar dari matanya yang jelalatan itu, yang menunjukkan bahwa orang kasar itu agaknya bukanlah orang sembarangan.
Ramailah keadaan di tempat itu ketika masing-masing mengajukan usul-usul dan siasat. ada yang mengusulkan untuk membuat pertahanan Singosari semakin lemah dengan cara melakukan gangguan keamanan di luar kota raja. menciptakan kekacauan sehingga kehidupan rakyat jelata menjadi semakin kacau, dan hal ini tentu menggelisahkan pamong praja, memecah belah kekuatan mereka. Ada yang mengusulkan untuk secara rahasia membuat para senopati dan pera pembesar yang setia kepada Singosari. Pendeknya, mereka semua berusaha untuk mencari jalan bagaimana caranya ia membuat Kerajaan Singosari menjadi semakin lemah.
Baru setelah malam tiba, perundingan dihentikan dan kembali mereka berpesta lagi dengan menyembelih kerbau-kerbau lagi. reka tidak perlu meninggalkan hutan itu, kecuali mereka yang masih harus mempersiapkan anak buahnya yang belum diajak ke tempat itu. Pondok-pondok dirurat didirikan anan-anak buah yang sudah berada di situ, Ada juga yang lebih dahulu meninggalkan Bukit Gandamayit untuk kembali ke tempat tinggal mereka dan mengumpulkan anak buah untuk dibawa ke tempat itu.
Diam-diam Ni Dedeh Sawitri bergaindengan tangan dengan Raden Bangokuning, meninggalkan orang banyak dan menyusup ke tempat gelap di dalam hutan, mencari petak rumput yang sunyi dan nyaman di mana mereka akan memadu asmara mencurahkan semua nafsu dan gairah mereka yang sudah terbangkitkan sejak tadi.
*** Sudah menjadi kebiasaan bagi Ni Dedeh Sawitri, bahwa setiap kali ia memilih seorang pria untuk melayani permuasan nafsunya, kemudian ia mendapat kenyataan bahwa pria itu tidak memuaskannya, tanpa banyak cakap lagi pada keesokan harinya, pria itu tentu dibunuhnya begitu saja. Atau kalau sebaliknya, ia akan mempertahankan pria itu sampai ia bosan, baru setelah itu dibunuhnya juga. Hal ini ia lakukan agar ia terbebas dari pria itu, juga agar orang itu tidak membicarakan dirinya diluaran, dan agar rahasianya tidak diketahui orang lain. Tentu saja terhadap Gagak Wulung tidak dapat berbuat seperti itu karena Gagak Wulung merupakan seorang rekan setingkat dengan dirinya yang dapat dipercaya dan masing-masing dapat menyimpan rahasia.
Pada pagi hari itu, Setelah membereskan pakaian dan rambutnya, Ni Dedeh yang sudah bangkit lalu melihat kearah Raden Bangokuning yang juga sudah membereskan pakaiannya pula. Dari lirikan wanita itu, jelas bahwa ia merasa kecewa. Ternyata orang muda itu tidak dapat memenuhi nafsunya. Akan tetapi biarpun demikian, ia telah memperoleh keterangan yang amat penting baginya, tentang orang-orang Kediri yang hadir di dalam hutan itu, juga tentang Gagak Wulung.
"Ni Dedeh, kau sungguh seorang wanita yang amat hebat" kata Raden Bangokuning sambil melangkah maju hendak merangkul"
"Sebaliknya, kau menjemukan" kata wanita itu dan tiba-tiba saja tangan kanannya menampar kearah leher Raden Bangokuning.
Orang muda itu terkejut bukan kepalang. Ia bukan orang sembarangan, melainkan seorang yang sudah banyak mempelajari llmu beladiri dan pencak silat di Kediri sehingga diserang, diapun maklum akan datangnya serangan yang amat dahsyat itu, karena di rasa ada angin yang kuat sekali menyambar dari tangan wanita itu kearah lehernya. Maklum akan hal itu dan iapun tidak sempat lagi mengelak, Raden Bangokuning lalu mengangkat kanannya untuk menangkis.
"Plakk"
Dan akibatnya, tubuh pria itu terbanting keras ke atas rumput di mana ia tadi saling menumpahkan semua gairah nafsunya bersama wanita itu. Dan dia betapa lengannya seperti patah dan sakitnya bukan main.
"Huh, terimalah kematianmu" kata Ni Dedeh Sawitri sambil menubruk untuk mengirim pukulan Sarpakenaka yang mematikan.
"Desss.. .." Pukulannya tertangkis oleh Gagak Wulung dan keduanya terdorong mundur.
"Dedeh, kau tidak boleh sembarangan bertindak terhadap seorang tokoh Kediri. Jangan sembarangan membunuh"
Akan tetapi, Ni Dedeh Sawitri kini juga memandang marah kepada kekasihnya ini, kemudian telunjuk kanannya menuding kearah laki-laki yang selama ini tak pernah terpisah dari sisinya.
"Gagak Wulung, kau ternyata utusan kediri yang hendak memperalatku, keparat. Kaupun harus mampus." Setelah berkata begitu, wanita itu menyerang dengan hebatnya.
Gagak Wulung tentu saja cepat mengelak dan balas menyerang sambil menegur Raden bangokuning yang sudah bangkit berdiri. "Bocah tolol. Kau membocorkan semua rahasia kepadanya" Tahukah kau siapa wanita ini" la bukan lagi orang Kediri, melainkan mata-mata dari Pasundan, tolol."
Raden Bangokuning memandang pucat. Semalam dalam dekapan wanita itu, dia tak berdaya dan menceritakan semua keadaan para senopati Kediri yang hadir di dalam pertemuan itu, tentang tugas mereka untuk mendorong agar Mahesa Rangkah memberontak terhadap Singosari, untuk melemahkan Singosari dan mereka dari Kediri itu tidak akan memperlihatkan diri terlibat dalam pemberontakan itu.
Dalam hal ini, Gagak Wulung telah dibuka rahasianya sebagai utusan istimewa dari Raja Kediri, Adipati Jayakatwang.
Karena maklum bahwa ilmu kepandaian masih jauh kalah dibandingkan dengan Gagak Wulung dan dia bahkan terancam bahaya maut, kalau berani membantu menghadapi Ni Sawitri. Raden Bangokuning cepat menyelinap untuk mengundang teman yang lebih tangguh.
Tak lama kemudian, diapun muncul bersama Bango Dolog dan Ki Prutung, dua diantara para senopati yang semalam hadir. Melihat Gagak Wulung sedang berkelahi melawai Dedeh Sawitri dan mendengar dari Raden Bangokuning bahwa Ni Dedeh Sawitri adalah mata-mata Pasundan yang mengetahui rahasia mereka, dua orang senopati itu menjadi marah. Hampir saja Ki Prutung menampar muka Raden Bangokuning yang selain dianggap lancang buka rahasia, juga semalam telah merebut hati Ni Dedeh Sawitri yang tadinya sudah melirik-lirik kearahnya. Kini, dua orang senopati dari Kediri itu tanpa banyak cakap lagi menerjang maju mengeroyok Ni Dedeh Sawitri yang berkelahi melawan Gagak Wulung.
Biarpun dua orang jagoan Kediri itu tidak setangguh Gagak Wulung dan tingkat kepandaian mereka masih di bawah tingkat Ni Dedeh Sawitri, namun karena di situ ada Gagak Wulung, maka dikeroyok tiga orang, Ni Dedeh menjadi terdesak hebat dan lengan kirinya sudah tergores keris dari tangan Bango Dolog, sehingga berdarah.
Ia marah sekali dan mempercepat gerakannya sehingga Bango Dolog dan Ki Prutung menjadi gentar juga. Mereka sudah mendengar akan kehebatan Aji Sarpakenaka yang amat beracun itu, dan wanita itu memiliki gerakan silat yang amat cepat dan indah. Mereka mengepung dari jarak aman dan mengandalkan keris mereka yang kadang-kadang menghunjam dengan cepat selagi wanita itu sibuk menahan desakan Gagak Wulung.
Selagi wanita itu terdesak hebat tiba-tiba terdengar suara yang parau, lantang dan kasar. Sungguh tidak tahu malu. Para jagoan dan Senopati Kediri mengeroyok seorang perempuan. Huh, menyebalkan sekali"
Gagak Wulung, Bango Dolog, dan Ki Prutung cepat meloncat ke belakang dan memandang, Mereka melihat seorang laki-laki yang usianya sudah limapuluh tahun lebih, berpakaian serba hitam dengan dada terbuka sehingga nampak dadanya yang bidang dan kuat juga berbulu, mukanya penuh brewok, matanya lebar jelalatan dan mengeluarkan sinar mencorong. Perutnya agak gendut, akan tetapi tulang-tulang besar menonjol di pundak lengannya. Terkejutlah para jagoan Kediri ketika mengenai orang ini.
Sementara itu, Ni Dedeh Sawitri yang melihat kesempatan baik, sudah melompat menghilang di balik pohon-pohon lebat. Ia tahu bahwa keadaannya amat berbahaya jika lebih lama tinggal di tempat itu. Ia tidak mengenal siapa orang brewok yang menegur jagoan Kediri itu, akan tetapi mendengar nada suaranya, agaknya orang itupun kenal baik kepada mereka, sehingga belum tentu kalau kedatangannya merupakan bintang penolongnya. Kini, ia telah dimusuhi Gagak Wulung dan para senopati Kediri, tentu saja ia merasa tidak aman dan sebaiknyalah kalau ia cepat-cepat meninggalkan mereka.
"Ah, kiranya Ki Jembros yang datang" berkata Gagak Wulung sambil memandang dengan sikap hormat, Bagaimanapun juga, senopati Kediri ini menaruh hormat ke Ki Jembros karena mereka tahu bahwa Ki Jembros adalah seorang pendekar dan tokoh di Singosari yang jujur dan terbuka, akan tetapi juga gagah perkasa, seorang patriot walaupun Ki Jembros tidak pernah mengikat diri dengan suatu jabatan atau kedudukan tertentu. Dia seorang yang suka berkelana dengan bebas, tidak mau terikat, akan tetapi selalu siap untuk membantu negara dan bangsa setiap kali terdapat ancaman keselamatan negara dan bangsa. Karena sikapnya inilah, maka Ki Jembros dihormati dan disegani oleh semua orang, termasuk para tokoh Kediri. Orang semacam Ki Jembros sama sekali tidak boleh dibuat main-main, dan orang inipun sakti mandraguna.
Melelihat Gagak Wulung, Ki Jembros berdehem dan alisnya berkerut. Dia tahu pria macam apa adanya tokoh Kediri yang satu ini, dan kini diapun merasa heran mengapa para senopati Kediri berada di dalam hutan Cempiring ini. Pada hal, dia sedang melakukan penyelidikan ketika mendengar berita betapa banyak tokoh sesat memasuki hutan yang amat angker itu.
Semenjak berpisah dari Panembahan Sidik Danasura di Teluk Prigi Segoro Wedi dan mendapat nasihat kakek yang sakti dan suci itu, Ki Jembros tidak pernah berusaha untuk Mencari Wulansan. Dia kembali ke daerah Singosari dan hidup seperti dahulu, menjadi perantau yang hidup tak tentu tempat tinggalnya, ke manapun dia pergi, dia selalu siap untuk menentang kejahatan, membela kebenaran dan keadilan sebagai seorang ksatria utama.
Dan dia membenarkan wawasan Panembn Sidik Danasura bahwa semenjak terjadi perubahan di dalam susunan pamongpraja Kerajaan Singosari, dan semenjak pasukan besar diberangkatkan menuju ke Pamelayu, banyak terjadi kejahatan yang dilakukan oleh tokoh sesat yang seolah-olah mempergunakan kesempatan itu untuk berpesta pora, Oleh karena itu, dengan segenap kemampuannya, iapun selalu menentang perbuatan jahat dan menentang siapa saja yang berani berbuat jahat di depan hidungnya.
Sampai pada hari itu dia mendengar bahwa banyak tokoh sesat kelihatan berkeliaran di sekifar hutan Cempiring yang terkena angker. Dia hanya iseng-iseng pergi ke hutan itu, memasuki hutan, dan melihat seorang wanita dikeroyok oleh jagoan-jagoan Kediri. Walaupun dia tidak mengenal wanita itu, tetapi dari sikap wanita itu, apa lagi dari ajiannya yang ganas itu dia tidak yakin bahwa wanita itu seorang yang baik-baik, namun jiwa ksatrianya bangkit melihat betapa seorang wanita dikeroyok tiga, apalagi para pengeroyoknya adalah jagoan-jagoan yang berilmu tinggi. Maka diapun lalu maju menegur dan memberi kesempatan kepada wanita itu untuk nyelamatkan diri.
"Hemmm, aku melihat Gagak Wulung, Bango Dolog, Ki Prutung, hemmm........ ada apakah kiranya para senopati Kediri berkumpul di dalam hutan Cempiring ini" Pada hal menurut pendengaranku, tempat ini dipenuhi tokoh sesat yang berkeliaran. Sejak kapankah para senopati Kediri bergaul dengan para tokoh sesat?" Ucapan Ki Jembros yang terus terang ini, diam-diam mengejutkan mereka, apa lagi pada saat itu bermunculan Pencok Sahang, Liking Kangkung dan Ki Kampinis yang tadi nendengar bahwa para rekannya berkelahi melawan Ni Dedeh Sawitri.
"Wah-wah, kiranya bahkan lebih lengkap dan banyak lagi. Hanya Ki Patih dan Panglima Kebo Mundrang saja yang masih belum tampak. Kalau mereka ada, maka lengkaplah sudah para senopati Kediri berada di sini. Ada apakah ini?"
Tentu saja Gagak Wulung merasa khawatir sekali. Kalau sampai orang ini tahu bahwa mereka sebagai tokoh-tokoh Kerajaan Kediri mengadakan persekutuan dengan Mahesa Rangkah yang hendak memberontak, hal itu dapat membahayakan Kediri karena tentu Singosari tidak akan tinggai diam saja.
"Sesungguhnya, Ki Jembros, kami tidak nempunyai apa-apa yang perlu diherankan" kata Gagak Wulung "Terus terang saja, kamipun mendengar akan desas desus bahwa tempat ini dikunjungi banyak orang tokoh sesat, dan karena kami sedang mengadakan perjalanan dan melakukan pengejaran terhadap beberapa orang buronan dari Kediri dan lewat di sini, maka kamipun masuk ke hutan ini untuk melakukan penyelidikan. Dan tadi, seorang antara rekan kami, yaitu Raden Bangokuning yang muda dan belum berpengalaman, hampir saja dibunuh oleh wanita tadi. Kami turun tangan untuk membantunya. Tempat ini memang gawat dan berbahaya sekali dan kami tidak menemukan buronan kami di sini, oleh karena itu, kami sekarangpun hendak keluar saja dari tempat berbahaya ini. Hayo teman-teman, tidak perlu kita berlama lama di tempat ini" katanya kepada teman-teman yang sudah mengerti apa yang dimaksud oieh Gagak Wulung. Mereka lalu mengangguk dan pergi meninggalkan Ki Jembros.
Pertemuan Ki Jembros dengan para jagoan Kediri itulah yang membuat Kediri melepas tangan dan tidak secara langsung ikut membantu gerakan pemberontakan Mahesa Rangkah, karena mereka khawatir kalau-kalau diketahui oleh Kerajaan Singosari. Namun, usaha mereka itu oleh Adipati Jayakatwang sudah dianggap berhasil, karena bagaimanapun juga pemberontakan Mahesa Rangkah itu sesuai dengan rencana Kediri untuk membuat Singosari menjadi semakin lemah.
Setelah para jagoan Kediri itu pergi, Ki Jembros berdiri termenung seorang diri. memikirkan apa yang telah terjadi di tempat itu. Dia tidak tahu siapa wanita cantik yang dikeroyok para jagoan Kediri tadi, namun dia dapat menduga bahwa wanita itu tentulah seorang tokoh sesat pula, melihat cara ia berkelahi mempergunakan aji-aji yang curang dan kejam, ciri khas ilmu yang biasa dipergunakan dunia hitam. Kalau begitu tidaklah berita kosong saja yang ditemukannya dalam perjalanan bahwa hutan yang angker itu didatangi orang-orang sesat. Yang dia herankan adalah mengapa pula para jagoan Kediri berada di tempat ini. Akan tetapi, alasan mereka itu cukup kuat, dan melihat betapa mereka tadi berkelahi melawan seorang wanita dari golongan sesat, kecurigaannya terhadap orang orang Kediri itupun lenyap. Dia akan menyelidiki lebih dalam lagi dan melihat siapa siapa lagi yang akan ditemukan di tempat ini, dan apa yang sedang dilakukan oleh orang-orang dari dunia hitam itu.
Dia menyusup masuk lebih dalam dan tiba di Jereng bukit Gandamayit yang terkenal angker itu. Nampaklah olehnya sebuah pondok di puncak bukit dan ke sanalah dia melangkahkan kakinya.
Ketika tiba di depan pondojc, dia berhenti, bagaimanapun juga Ki Jembros masih memegang tatasusila dan dia tidak berani sembarangan masuk dan mengganggu tempat tinggal orang yang belum dikenalnya.
"Kulonuwun........." Serunya sambil memandang kearah daunt pintu pondok. yang tertutup. Suasana di sekelihngnya sunyi senyap, seolah-olah tiada seorangpun manusia di situ. Namun, dengan inderanya yang terlatih dan menjadi tajam dan peka, Ki Jembros dapat merasa bahwa dia tidak berada seorang diri saja tempat itu. Ada orang atau orang-orang yang tidak diketahui di mana dan siapa, namun tidak berjauhan dengan tempat itu, mungkin di luar atau di dalam pondok. Oleh karena itu diapun, tak pernah mengurangi kewaspadaan.
"Sampurasun......." Dia berteriak lagi, kini ia menambah kekuatan dalam suaranya sehingga gemanya sampai terdengar jauh dan tempat itu.
Tiba-tiba pintu pondok itu terbuka dan yang muncul adalah seorang kakek tua renta.
Ki Jembros memandang dengan tajam dan penuh perhatian. Dia merasa tercengang juga melihat bahwa yang mendiami pondok itu ternyata seorang kakek yang lebih pantas menjadi pertapa atau pendeta, sama sekali buka seperti seorang tokoh sesat. Kakek itu usianya tentu sudah tujuhpuluh tahunan, tubuhnya sedang dan masih tegap, seperti tubuh seorang anak muda. Berkumis dan berjenggot yang sudah banyak ubannya. Namun wajahnya berrseri-seri dan matanya bersinar penuh semangat dan berpakaian sederhana seperti petani.
"Kelihatannya seorang kakek petani biasa saja, atau seorang yang mengasingkan diri dari dunia ramai" Ki Jembros merasa heran sekali. Bagaimana mungkin, kakek tua renta seperti ini dapat berada tempat yang demikian tersohor karena angkernya hutan Cempiring di bukut Gandamayit itu.
Pendekar yang masih tanggung-tanggung ilmu kepandaiannya, tidak akan berani memasaki daerah ini.
Denga sikap waspada Ki Jembros melangkah mendekati kakek itu, karena dia yakin bahwa kakek ini tentulah bukan seorang sembarangan saja, walaupun nampaknya sederhana.
"Kulonuwun, paman. Bolehkah saya tanya, siapakah paman yang mendiami pondok di tempat seperti ini?"
Kakek itu mengerutkan alisnya, akan tetapi ia menandang dingin, lalu setelah beberapa saat kemudian, mereka saling pandang, dan kakek itupun menjawab, "Tidak sepatutnya seorang yang jauh lebih tua, lebih dahulu memperkenarkan diri kepada yang lebih muda. Kau sendiri siapa dan mengapa berkeliaran di tempat ini?"
Ki Jembros tersenyum, dia memang seorang yang biasa bersikap kasar, gembira dan tidak mau menggunakan banyak tata cara, walaupun tidak dapat dibilang kurang ajar. Batinnya bebas dan jiwanya petualang, walaupun condong menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan. jawaban ini menambah keyakinan hatinya bahwa kakek ini bukan orang sembarangan dan memiliki wibawa.
"Andika yang benar saya yang keliru, paman maafkan. Saya disebat Ki Jembros orang yang bebas tanpa ikatan, seorang pengelana dan peluatang yang hendak menikmati kehidupan di dunia ini"
Kakek itu kelihatan biasa saja, pandangan matanya masih dingin dan acuh, sealah-olah nama Ki Jembros yang dapat menggetarkan hati tokoh-tokoh dunia sesat, biginya tak ubahnya hanya nama seorang anak kecil saja.
"Hemm, Ki Jembros, kau pagi ini mendatangi gubuk reyot tempat tinggalku ada keperluan apakah" Aku, Ki Buyut Pranamaya, tidak pernah mempunyai urusan dengan Ki Jembros"
Kini giliran Ki Jembros yang mendengar nama kakek itu dan dia terbelalak. Tentu saja dia pernah mendengar nama Ki Buyut Pranamaya. Seorang kakek sakti mandraguna, yang menjadi semacam datuk besar di kalangaan kaum sesat, akan tetapi bagaimanapun juga, kakek sakti ini tidak pernah langsung terlibat di dalam perbuatan kejahatan, sehingga para pendekarpun tidak dapat menentangnya, bahkan menghormatinya sebagai seorang yang memiliki dudukan tinggi di dalam dunia persilatan. Ki Jembros pun cepat memberi hormat dengan menyembahkan kedua tangan depan dada sambil membungkukkan tubuhnya sedikit.
"Ah, kiranya saya berhadapan dengan Ki Buyut Pranamaya yang namanya sudah banyak saya dengar. Maafkan saya kalau kedatangan saya mengganggu, paman. Akan tetapi saya tidak bermaksud mengganggu andika, juga tidak bermaksud datang berkunjung. Saya hanya mendengar bahwa banyak keanehan terjadi di dalam hutan Cempiring yang angker ini, Tidak tahunya pamanlah yang membuat hutan ini menjadi angker. Pantas"
"Hemm, andika telah lancang memasuki daerah orang tanpa perkenan, juga tidak diundang. Setelah kini mengetahui aku yang tinggal di sini, lalu andika mau apa apa?" Di dalm suara yang halus itu terkandung tantangan yang mengejutkan hati Ki Jembros, tidak layak seorang kakek yang tua renta ini seperti ini berbicara seperti itu dengan nada permusuhan.
Tentu saja Ki Jembros bukan seorang bodoh. Sudah terlalu banyak mendengar tentang kakek ini, dan iapun makum. bahwa kakek ini bukanlah lawannya.
"Sudah aku minta maaf tadi karena tidak tahu. Dan setelah mengetahui bahwa paman yang tinggal di sini, sayapun ingin keluar lagi saja dari hutan ini. Selamat tinggal paman Ki Buyut Pranamaya" sambil memberi hormat lalu membalikkan tubuhnya. Hatinya berdebar-debar keras penuh ketegangan. Sudah banyak ia mendengar tentang kakek ini yang selain amat sakti, juga watak kakek ini mudah membunuh orang yang dianggapnya salah. Ia dapat membunuh seperti orang membunuh nyamuk, akan tetapi juga dapat bersikap baik terhadap siapa saja, dengan kebaikan yang berlebihan.
Watak seorang aneh seperti ini tdiak dapat diduga lebih dahulu. Betapapan juga Ki jembros sudah siap siaga, kalau perlu membela diri terhadap hal-hal yang datang menimpanya.
Akan tetapi Ki Jembros tidak mengalami sesuatu sampai ia tiba di tikungan dimana terdapat dua pohon cemara di kanan dan kiri jalan. Hati Ki Jembros terasa lega.
Akan tetapi ketika ia hendak berbelok, tiba-tiba terasa ada angin menyambar dari belakang.
"Krakkk. Krakkk ...." Dua batang pohon cemara yang besarnya seperti tubuh manusia itu seperti disambar petir dan tumbang.
Ki Jembros cepat meloncat untuk menghindarkan diri terpaan dua batang pohon cemara itu. Dengan kaget sekali Ki Jembros membalik dan melihat kakek itu masih berdiri dengan mata mencorong.
"Lain kali, kalau berani andika melanggar daerahku, bukan batang pohon itu yang tumbang" terdengar kakek itu berkata, suaranya dingin dan mengandung sindiran yang terasa sekali oleh Ki Jembros.
"Terima kasih atas peringatan paman" berkata Ki Jembros, diam-diam terkejut dan kagum. Yakinlah Ki Jembros, bahwa ia bukanlah tandingan kakek itu yang ternyata memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa. Maka, diapun melanjutkan perjalanannya, menyusup diantara pohon-pohon dan semak semak belukar dan keluar dari hutan Cempiring yang angker itu.
Akan tetapi karena hatinya diliputi kecemasan dan kegelisahan, maka Ki Jembros pun salah jalan.
Ketika Ki Jembros sedang menyelusuri jalan keliar, tiba-tiba telinganya yang berpendengaran tajam dan terlatih itu, mendengar suara orang dari arah kiri. Segera dia menyelusuri suara itu. Tak lama kemudian Ki Jembros sudah mendekam di dalam semak belukar untuk mengintai sebuah padang rumput di mana dia melihat kumpulan ratusan orang yang bersenjata tongkat dan golok. Ada yang sedang mengasah golok, membetulkan tombak, ada yang berlatih silat. Jelas di situ berkumpul gerombolan yang merupakan pasukan yang sedang beristirahat, agaknya baru habis berlatih.
Ki Jembros mengintai dengan hati-hati tanpa berani bergerak, bahkan ia menahan pernapasannya. Dia tahu bahwa kalau sampai ketahuan, tentu akan gawat. Tak lama kemudian, orang-orang itu memandang kearah yang berlawanan dan muncullah seorang laki-laki tinggi besar berkulit hitam yang gagah perkasa, usianya kurang lebih empatpuluh tahun. Melihat orang ini, Ki Jembros mengerutkan alisnya. Dia merasa kenal dengan orang ini, atau setidaknya pernah melihatnya, akan tetapi dia lupa lagi di mana dan siapa. Akhirnya, orang itu tiba di tengah pasukan yang sedang beristirahat itu dan terdengar suaranya yang lantang berwibawa.
"Kalian tidak boleh enak-enakan saja. Kita telah bersikap kurang waspada. Mulai hari ini, hutan Cempiring harus kita jaga dan kita kepung ketat dengan penjagaan agar setiap orang yang memasuki hutan sudah kita lihat sebelum dia berhasil memasukinya. Kalian para perwira harus membuat peraturan agar penjagaan dapat dilakukan terus menerus siang malam secara bergiliran"
"Akan tetapi, Gusti Pangeran Mahesa Rangkahkah, siapakah orang yang akan berani memasuki hutan kita ini" Bukankah Cempiring sudah tersohor sebagai hutan maut, hutan angker dan siapa masuk tentu takkan mampu keluar dalam keadaan hidup?"
Ki Jembros terkejut. "Tentu saja" pikirnya. "Mahesa Rangkah. Dan disebut Gusti Pangeran. Memang tidak salah. Mahesa Rangkah adalah putera pemberontak Linggapati di Mahibit, yang pemberontakannya dibasmi oleh mendiang Sang Prabu Wisnuwardhana, ayah Sang Prabu Kertanagara yang sekarang ini. Ah, tentu putera pemberontak itu kini hendak membalaskan kematian dan kekalahan ayahnya, dan hendak mengadakan pemberontakan pula terhadap Singosari. Dan apakah ia hendak bersekutu dengan para tokoh sesat" Lalu apa pula artinya tempat tinggal Ki Buyut Pranamaya yang dipilih?"
Sepengetahuan Ki Jembros, belum pernah Ki Buyut Pranamaya terlibat dalam urusan pemberontakan. Dan agaknya para jagoan Kediri itu berkeliaran di tempa inipun ada hubungannya dengan pemberontakan ini. Ataukah kebetulan saja karena mereka mencari dan mengejar buronan seperti yang mereka ceritakan kepadanya" Buktinya, mereki berselisih dan berkelahi melawan seorang wanita dari golongan sesat, Dia harus berhati-hati menyelidiki hal ini, demikian Ki Jembros berpikir dengan hati berdebar penuh ketegangan.
Agaknya kedatangannya berjumpa dengan Ki Buyut Pranamaya tadi telah diketahui Mahesa Rangkah yang menjadi marah dan kini Mahesa Rangkah memerintahkan anak buahnya untuk melakukan penjagaan ketat agar tidak ada orang luar dapat sembarangan masuk ke hutan itu. Maka, diapun cepat-cepat dan dengan sangat hati-hati, mengundurkan diri, menjauhi tempat itu dan keluar dari dalam hutan sebelum hutan itu dikepung penjagaan ketat sehingga dia akan sukar keluar dari situ.
Setelah keluar dari hutan Cempiring dengan selamat, Ki Jembros cepat melanjutkan perjalanannya menuju ke Singosari. Dia harus segera melaporkan keadaan hutan Cempiring itu ke kota raja, ke istana Sang Prabu, karena jelas bahwa kerajaan terancam pemberontakan yang dapat membahayakan, apa lagi kalau pemberontakan itu didukung oleh dunia hitam di mana terdapat banyak sekali tokoh-tokoh sesat yang sakti. Apa lagi kalau sampai Ki Buyut Pranamaya membantu gerakan pemberontak.
Ingatan ini membuat Ki Jembros tersentak kaget. "Bagaimana dia harus bertindak" Kepada siapa dia harus melapor" Apakah langsung kepada Sribaginda" Tidak mungkin" dan pula dia dak pernah langsung mengadakan kontak dengan kerajaan. Para senopati muda itupun tidak dikenalnya secara pribadi dan kini ia tahu bahwa di kerajaan sedang terjadi perpecahan seperti yang dibicarakannya dengan Sang Panembahan Sidik Danasura. Dia sudah mengenal bekas patih Empu Raganata, akan tetapi Empu Raganata kini telah diturunkan pangkatnya menjadi seorang jaksa di Tumapel. juga Tumenggung Wirakreti, yang pernah menjadi sahabatnya, kini menjadi Mantri Angabaya, termasuk seorang yang diturunkan pangkatnya dan tentu tidak enak membicarakan urusan pemberontakan itu dengan mereka yang baru saja mengalami kepahitan dari keputusan Sang baginda. Dia belum mengenai kedua patih baru yang diangkat Sang Prabu, yaitu Patih Mahesa Anengah dan Panji Angragani. Kemudian iapun teringat akan Empu Supamandrangi, seorang empu pembuat keris yang ahli, juga seora pertapa yang sakti di lereng Gunung Bromo seorang sahabatnya. Empu Supamandrangi dikenalnya denan baik, dan pertapa itulah yang memiliki hubungan lebih dekat dengan para senopati di Singosari, dibandingkan dia. Pula kiranya hanya Empu Supamandrangi sajalah yang akan mampu membendung kekuatan dahsyat dari Ki Buyut Pranamaya, kalau benar Ki Buyut Pranamaya menunjang pemberontakan. ia sendiri tidak dapat menanggulangi kedigdayaan kakek tua renta itu. Tidak ada jalan lain, satu-satunya cara untuk menghubungi pihak kerajaan adalah melalui Empu Supamandrangi.
Berpikir demikian, Ki Jembros lalu membelok dan langsung dia melakukan perjalanan cepatnya menuju ke Gunung Bromo di mana sahabatnya, Empu Supamandrangi bertapa sebagai seorang empu pembuat keris sakti. Dia tahu bahwa empu ini mempunyai hubungan dekat dengan para senopati di Singosari, karena seorang murid dari empu itu, ialah Ronggolawe yang terkenal sebagai seorang senopati muda yang gagah perkasa dan setia, kini merupakan tokoh diantara para senopati di Singosari, dan tentu lebih mudah bagi Empu Supamandrangi untuk menghubungi kerajaan lewat nuridnya, Ronggolawe yang menjadi seorang tokoh senopati di Singosari. Pula, dengan bantuan Empu Supamandrangi, maka dapat diharapkan mereka akan mampu menanggulangi kedigdayaan Ki Buyut Pranamaya.
Dengan perjalanan cepat, akhirnya Ki jembros tiba di lereng Gunung Bromo dan menuju ke padepokan tempat bertapa Empu Supamandrangi.
Ketika Ki Jembros tiba di Gunung Bromo, kebetulan sekali Ronggolawe pun sedang pulang dan menghaddp gurunya. Ronggolawe adalah seorang senopati muda di Singosari yang menjadi murid Empu Supamandrangi. Usianya baru duapuluh tahun, namun dia sudah memberikan banyak jasa terhadap kerajaan sehingga ia diangkat menjadi seorang senopati muda. Kedatangannya adalah untuk minta dibuatkan sebuah keris pusaka kepada gurunya, dan Empu Supamandrangi menyanggupi permintaan muridnya itu.
Baru tiga hari Ronggolawe berada di padepokan gurunya dan hari itu dia berniat hendak kembali ke Singosari, ketika tiba-tiba saja Ki Jembros muncul.
"Kulonuwun, Kakang Empu Supamandrangi. Bagaimana kabarnya" Apakah baik- baik saja bukan?" berkata Ki Jembros sambil masuk dan tertawa, Ia sangat gembira bertemu dengan orang yang pernah menjadi sahabat baiknya di muda dahulu.
"Jagad Dewa Bathara......... Kiranya Ki Jembros yang datang. Ah, sungguh andika masih seperti Sang Bayu, bertiup kemana kau suka, datang tanpa diundang pergi tanpa diusir. Adikku yang gagah perkasa, berita apa kiranya yang kautiupkan ke sini pada hari ini. Mudah-mudahan yang baik-baik dan menyenangkan saja"
"Ha-ha-ha, Kakang Empu, itulah harapan kita semua, selalu mengharapkan yang baik-baik. akan tetapi susahnya, kenyataan tidaklah selalu seindah harapan, sehingga kekecewaan itulah. yang menjadi bigian orang-orang yang mengharap. Ha ha-ha"
Empu Supamandrangi juga tertawa. Kakek yang berusia sebaya dengan Ki Jembros sekitar limapuluh tahun itu, sikapnya nalus, tidak seperti Ki Jembros, namun pertemuan dengan sahabat baiknya ini membuat dia menjadi gembira juga, karena Ki Jembros adalah seorang polos yang selalu mendatangkan kegembiraan bagi para sahabatnya.
"Sebagai manusia biasa, kita tidak terbebas dari harapan baik, sahabatku. Akan tetapi aku selalu siap pula untuk menerima berita yang seburuk-buruknya. Nah, ceritakanlah berita itu"
Ki Jembros memandang kepada pemuda gagah seperti Sang Gatotkaca yang duduk di lantai dengan sikap hormat, lalu dia bertanya, "Nanti dulu, Kakang Empu. Siapakah ananda ini?"
Mendengar pertanyaan tamu gurunya yang nampak demikian akrab dengan gurunya itu, "Ronggolawe cepat menjawab dengan sikap hormat, Paman Jembros, sudah lama bapak Empu Supamandrangi seringkali bercerita tentang paman yang gagah perkasa, saya bernama Ronggolawe, paman"
"Dia ini muridku dan dia adalah seorang senopati dari Singosari, Adi Jembros" Empu Supamandrangi menambahkan.
"Oumm........ shanti-shanti-shanti.." Ki Jembros mengeluarkan suara pujian. "Kiranya Sang Hyang Widhi sendiri yang menuntun diriku ini untuk datang ke sini tepat waktunya. Memang berita yang kubawa ini ada hubungannya dengan kerajaan, maksudku, hubungannya dengan keselamatan Kerajaan Singosari, maka kehadiran muridmu ini sungguh kebetulan sekali, kakang"
"Begitukah" Kamipun sejak kemarin membicarakan keadaan kerajaan, atau lebih tepatnya, muridku ini yang bercerita tentang keadaan kerajaan. Berita apakah yang kau bawa, cepat ceritakan"
"Harap paman suka segera memberitahu, karena hati saya ikut merasa gelisah mendengar adanya berita buruk mengenai keselamatan kerajaan, paman." berkata Ronggolawe.
Ki Jembros lalu menceritakan semua yang dialaminya di hutan Cempiring, betapa melihat para senopati Kediri berkelahi dengan seorang wanita yang dia yakin tentu seorang tokoh sesat, karena sebelumnya ia mendengar betapa banyak tokoh sesat berkeliara di dalam hutan itu"
"Para senopati itu memberitahu bahwa mereka mencari seorang buronan dan mereka seegera pergi dari sana. Kemudian, aku bertemu dengan Ki Biyut Pranamaya di Bukit Gandamayit dalam hutan itu."
"Jagad Dewa Batara......." Empu Supamandrangi berseru halus. "Ki Buyut Pranamaya" telah lama dia tidak pernah muncul di dunia ramai"
"Akupun terkejut sekali bertemu dengannya dan karena aku telah melanggar daerahnya, ia memperlihatkan kedigdayaannya dan mengancam akan membunuhku, kalau aku melakukannya lagi" lalu Ki Jembros menceritakan semua terjadi di hutan itu, kemudian disambungnya dengan penemuannya yang mengejutkan, yaitu ketika ia melihat Mahesa Rangkah yang memimpin ratusan orang anak buah yang agaknya sedang melatih di dalam hutan itu.
"Ah, kalau begitu, jelas sudah bahwa Mahesa Rangkah tentu ingin melakukan pemberontakan" berkata Empu Supamandrangi terkejut.
"Bapak Empu, siapakah Mahesa Rangkah itu sebenarnya?" bertanya Ronggolawe kepada gurunya.
"Dia adalah putera Pemberontak Linggapati yang tewas ditumpas oleh mendiang Sang Prabu Wisnuwardhana. Peristiwa itu terjadi ketika kau masih kecil, muridku. Akan tetapi, cerita yang dibawa pamanmu ini memang sangat penting dan berbahaya bagi keamanan kerajaan. Apa lagi kalau benar bahwa dia bersekutu dengan kaum sesat dan didukung oleh seorang yang demikian saktinya seperti Ki Buyut Pranamaya"
"Siapakah Ki Buyut Pranamaya?" bertanya lagi Ronggolawe.
Gurunya menarik napas panjang. "Ia adalah seorang tua yang memiliki kedigdayaan yang sangat sakti mandraguna dan sukar dilawan. Kau mendengar sendiri tadi betapa dari jarak yang jauh, dia mampu menumbangkan dua batang pohon cemara, pada hal kau boleh yakin bahwa pamanmu Ki Jembros ini bukanlah seorang sembarangan saja . Sudah menjadi kewajibanmu untuk segera pulang ke Singosari, dan merundingkan dengan para senopati lainnya. Terserah kepada kalian apakah akan melapor kepada Sang Prabu. ataukah akan melakukan penyelidikan terlebih dahulu"
"Baik, Bapak Empu. Saya harus cepat kembali ke Singosari" berkata Ronggolawe "tetapi kalau benar Ki Buyut Pranamaya itu demikian saktinya, kalau sampai saatnya penyerbuan tiba, saya mohon petunjuk"
Gurunya mengangguk. "Memang benar kalau sampai dia mendukung serangan pemberontak, kitapun harus mengerahkan tenaga para tokoh sakti seperti pamanmu Ki Jembros ini dan juga yang lain-lain. Aku tentu siap membantumu, angger. Dan aku akan mencari bantuan kawan-kawan"
Ronggolawe menghaturkan terima kasih, lalu berpamit dari kepada kedua orang tua itu yang agaknya masih hendak melepas kerinduan masing-masing dan bercakap-cakap sampai sehari semalam lamanya.
Sesampai di Singosari, Ronggolawe sang senopati muda yang masih penuh semangat, memberitahukan kepada rekan-rekannya dan merekapun mengadakan penyelidikan sebelum melapor kepada Sang Prabu Kertanagara. Akan tetapi, ketika mereka mengadakan penelitian ke dalam hutan Cempiring di bukit Gandamayit, mereka tidak menemukan apa-apa. Tempat itu sudah kosong dan orang-orang itu sudah pergi meninggalkan sarang mereka. Kiranya, para senopati dari Kediri yang merasa tidak aman dengan kemunculan Ki Jembros, diam-diam mengadakan kontak dengan Mahesa Rangkah. Pemberontak ini cepat munghubungi para sekutunya dan merekapun segera meninggalkan hutan itu dan berganti sarang di daerah Kediri. Di daerah baru ini mereka aman karena pihak Singosari tidak melakukan pencarian sampai daerah itu. Dan Kerajaan Kediri pura-pura tidak tahu saja dengan adanya persekutuan dengan golongan hitam yang sedang bersekongkol untuk memberontak kepada Singosari. Di tempat baru ini, Mahesa Rangkah dengan leluasa menghubungi rekan-rekannya untuk mengadakan laltihan, memperkuat pasukannya dan mempersiapkan pemberontakan sampai beberapa tahun lamanya.
Tentu saja Ronggolawe dan kawan-kawanya tidak dapat berbuat sesuatu setelah melakukan penyelidikan ke hutan Cempiring dan melihat bahwa tempat itu sudah kosong. Betapapun juga, mereka merasa lega karena menganggap bahwa para tokoh sesat itu sudah hancur sebelum berdiri tidak jadi melakukan pemberontakan. Mereka sama sakali tidak menduga bahwa rombongan itu sekarang sudah berpindah tempat, bahkan di tempat yang baru, mereka mendapat perlindungan dari pemerintah Kediri.
Dan Karena adanya perpindahan ini, dan karena sudah ketahuan oleh Ki Jembros, maka gerakan pemberontakan yang dilakukan Mahesa Rangkah menjadi mundur. Mereka lebih berhati-hati dan kini mereka menyusun kekuatan di dalam pemerintahan daerah Kediri, dan siap untuk menggempur Singosari kalau saatnya yang dianggap baik sudah tiba.
Raja Jayakatwang pura-pura tidak tahu akan adanya gerombolan yang ada di daerahnya itu, bahkan para senopatinya diam-diam membantu kegiatan itu, karena bagaimanapun juga, pemberontakan itu dapat semakin melemahkan kedudukan Singosari. Walaupun Prabu Kertanagara bersikap baik kepadanya, memperbolehkan ia berdaulat sebagai raja di Kediri, namun ia masih harus tunduk kepada Singosari sebagai sebagai negeri taklukan. Walaupun ia dijadikan besan oleh Prabu Kertanagara, ia tetap saja harus tunduk kepada besannya itu.
*** Waktu berjalan bagaikan anak panah terlepas dari busur yang dipentang tangan sakti. Cepat dan tak terasa. Empat tahun telah lewat sejak Nurseta menjadi murid Panembahan Sidik Danasura di Teluk Prigi, pantai Laut Kidul.
Selama empat tahun itu dia telah digembleng dengan bermacam ilmu silat dan aji kedigdayaan, Nurseta juga digembleng oleh kakek yang bijaksana itu untuk mengerti akan arti kehidupan.
"Nurseta, kini tiba saatnya kau meninggalkan tempat ini dan membaktikan dirimu untuk tanah air di mana kau dilahirkan, demi bangsamu di mana kau menjadi warganya. Barulah akan ada artinya selama bertahun tahun kau bersusah payah mempelajari segala sesuatu yang kini telah kau miliki Sampurnaning ilmu kanthi laku (sempurnanya ilmu disertai pelaksanaan), karena tanpa pelaksanaan dan penghayatan, apa artinya ilmu. Dan pelaksanaan ilmu sepatutnyalah bermanfaat bagi orang lain dan bagi diri sendiri seyogianya bagi masyarakat, bagi bangsa. Sejak kecil kau digembleng untuk berjiwa satria, Nurseta. Oleh karena itu, jadilah seorang satria yang baik, seorang hamba yang membela kebenaran dan keadilan, membela tanah air dan bangsa, demi manusia pada umumnya"
Demikianlah antara lain bekal yang diterimanya dari, Panembahan Sidik Danasura ketika dia diharuskan meninggalkan tempat penggemblengan di pantai laut itu.
Pada pagi hari yang cerah itu, setelah bersembah sujud dan menghaturkan terima kasih di depan kaki kakek sakti yang sudah tua renta itu, Nuiscia lalu melakukan perjalanan, menuju ke utara meninggalkan daerah pantai. Semua wejangan yang diterimanya dari kakek itu diingatnya dengan baik, akan tetapi di dalam lubuk hatinya, dia memang sudah menerima gemblengan ayahnya sendiri bahwa dia haruslah menjadi seorang satria yang membela tanah air dan bangsa, yang harus mempertahankan tanah air dengan keringat dan darahnya. Sejengkal tanah sepercik darah. Demikianlah ayahnya selalu mengobarkan semangatnya. Dia harus mempertahankan tumpah darahnya, tanah di mana darah ibunya tertumpah ketika dia dilahirkan, mempertahankan kehidupan dan ketentraman hidup bangsanya dari gangguan orang-orang jahat yang hanya mementingkan diri pribadi tanpa memperdulikan keadaan orang-orang lain.
Nurseta kini telah menjadi seorang pemuda dewasa yang usianya duapuluh tahun. Wajahnya nampak matang tampan, kumis tipis mulai menghias bawah hidungnya, juga cambangnya di depan telinga mulai menebal dan memanjang. Namun sikapnya tetap halus dan pendiam, pakaiannya tetap sederhana seperti pakaian seorang pemuda petani. Dilihat sepintas lalu, tidak akan ada yang mengira bahwa dia seorang pemuda gemblengan yang memiliki kesaktian yang sukar dicari tandingannya.
Dari ayahnya dia sudah menerima gemblengan aji-aji kesaktian, selain ilmu silat, juga Aji Sari Pratala (Inti Bumi), pukulan Aji Bajradenta (Kilatan Gading) dan Aji Wandira Kingkin (Beringin Kokoh). Dari Panembahan Sidik Dinasura, selain menerima penyempurnaan ilmu-ilmunya yang sudah ada, memperkuat tenaga sakti dalam tubuhnya, juga pemuda ini menerima semacam ilmu yang merupakan aji kesaktian bernama Jagad Pralaya (Dunia Kiamat). Kakek itu memesan dengan sungguh-sungguh kepada muridnya ini agar kalau tidak terpaksa sekali, jangan meggeluarkan Aji Jagad Pralaya ini, karena aji pukulan ini akan memiliki daya yang teramal kuat dan akan mengakhiri kehidupan lawan. seolah-olah pukulan itu merupakan dunia kiamat bagi lawan.
Beberapa hari kemudian, setelah melakukan perjalanan melewati beberapa buah dusun, Nurseta mendengar dari para penduduk yang tinggat di wilayah Kerajaan Kediri itu bahwa kini terjadi banyak kekacauan, baik di daerah Kerajaan Kediri maupun di daerah Kerajaan Singosari, Orang-orang yang melakukan perjalanan berdagang merasa tidak aman dan selalu harus disertai pengawalan ketat. Bahkan kehidupan para petani di dusun-dusunpun mengalami banyak gangguan dari penjabat-penjahat kecil yang berani merajalela di pedusunan karena agaknya wibawa dan kota raja banyak menurun sehingga para pamongpraja di pedusunan juga merasa lemah.
Nurseta merasa prihatin, ia membenarkan gurunya yang menyuruhnya keluar dari tempat penggemblengan, karena memang tenaga orang-orang seperti dia amat dibutuhkan demi membantu usaha penenteraman kehidupan rakyat yang terganggu oleh kejahatan golongan sesat, dan berjaga-jaga kalau sampai terjadi pemberontakan yang mengancam Kerajaan Singosari.
Pada suatu hari, tibalah dia di tepi Kali Campur. Kali ini merupakan anak Kali Brantas yang mengalir ke utara dan akan memasuki Kali Brantas setelah tiba di Karangrejo, di sebelah utara kota Tulungagung.
Nurseta berhenti di tepi sungai. "Ah, kalau saja ada perahu yang dapat ditumpangi, tentu akan lebih cepat dan tidak melelahkan melanjutkan perjalanan lewat air, menunggang perahu" pikirnya. Setelah tiba di Kali Brantas, dia akan melanjutkannya lagi dengan jalan darat. Pagi itu cerah dan indah, dan matahari sudah naik tinggi, menciptakan permukaan perak pada Sungai Campur itu.
Akan tetapi di situ sunyi tidak nampak seorangpun manusia, juga tidak kelihatan ada perahu. Nurseta lalu duduk di tepi sungai, diatas rumput tebal dia mengeluarkan buntalan sisa makanan pagi tadi. Singkong bakar.
Pagi tadi, dia mendapatkan beberapa batang singkong dari seorang petani dan membakarnya untuk sarapan, Sisanya ditaruh di buntalnya dan dibawanya dalam perjalana. Kini, perutnya terasa agak lapar dan diapun mengeluarkan singkong bakarnya dan makan dengan santai di tepi kali itu sambil menikmati semilir angin yang mendatangkan hawa sejuk, mendengarkan tembang riak angin yang diseling kicau burung di pohon-pohon. Burung Kutilang yang riang jenaka, bunyi burung prit gantil yang menyayat hati, semua itu mendatangkan perasaan damai di hati Nurseta.
Tiba-tiba dia melihat sebuah perahu menyeberang dari tepian seberang sana. Sebuah perahu kecil yang hanya ditumpangi seorang saja, seorang laki-laki muda yang dengan gaya yang kuat mendayung perahu itu menyeberang kali. Dari tempat dia duduk, dia melihat betapa laki-laki yang sebaya dengannya itu memiliki tubuh yang kuat dan cara dia mendayung menunjukkan bahwa selain bertenaga besar, juga pemuda itu tentu sudah biasa mendayung perahu. Tadinya Nurseta hendak memanggilnya untuk diminta apakah mau mengantar dia ke hilir, akan tetapi melihat betapa orang itu menyeberangkan perahu, dia tidak jadi memanggilnya. Biarlah dia menanti orang itu sampai seberang sini, pikirnya.
Akan tetapi, ketika perahu itu sudah tiba di darat, orang itu menarik perahunya dan mengikatkan tali perahu dengan sikap seperti orang marah-marah, bahkan kemudian orang itu melempar tubuhnya ke atas tanah berumput di bawah pohon di tepi sungai itu dan diapun menelungkup seperti orang menangis atau seorang anak kecil yang sedang ngambek.
Perlahan-lahan Nurseta menghampiri dan melihat pemuda itu memukul-mukul tanah dengan kedua tangannya, akan tetapi, tiba-tiba pemuda itu bangkit duduk, menggerakkan tangan kirinya dengan jari terbuka kearah pohon di sampingnya.
"Krakkk.." Batang pohon yang besarnya sepaha orang itu seketika patah dan tumbang dan mengeluarkan suara keras.
Diam-diam Nurseta terkejut. Ah, kiranya pemuda ini bukan orang sembarangan, ia memiliki tenaga yang cukup dahsyat sehingga sekali pukul dengan tangan miring, ia mampu menumbangkan batang pohon itu. Dugaannya bahwa pemuda itu seorang tukang perahu atau seorang nelayan ternyata keliru. Akan tetapi diapun merasa penasaran melihat betapa seorang pemuda yang demikian gagahnya, bersikap sedemikian cengeng. Dan kini pemuda itu duduk menyembunyikan mukanya di balik kedua telapak tangannya dan menangis.
Nurseta mengerutkan alisnya. Dia merasa penasaran sekali. Pemuda segagah ini menangis.
"Hemmm, sungguh aneh........." katanya perlahan sekali.
Ternyata suaranya yang halus itu terdengar oleh pemuda itu yang ternyata mempunyai telinga yang tajam dan terlatih.
Pemuda itu menurunkan kedua belah tangannya. Ketika ia melihat bahwa di dekat situ ada seorang pemuda yang berdiri memandangnya, dia terkejut sekali dan cepat mengusap mata yang membasahi kedua pipinya dan diapun meloncat berdiri menghadapi Nurseta.
Nurseta memandang penuh perhatian, seorang pemuda yang tegap dan gagah, tubuhnya membayangkan ketangkasan dan kekuatan. Mukanya persegi dan tampan, kulitnya agak hitam tetapi halus. Sepasang matanya tajam tidak membayangkan kekerasan, bahkan terlihat sifat ramah dan germbira. Tetapi sekarang ia terlihat marah.
"Siapakah andika, Ki Sanak?" bentak pemuda bermuka hitam itu. "Dan apa artinya ucapanmu tadi?"
Nurseta tersenyum ramah, akan tetapi pemuda itu tetap cemberut dan memandang marah.
"Maaf, sobat. Namaku Nurseta dan tadi aku melihat tanpa sengaja, betapa kau memukul roboh batang pohon itu, kemudian melihat pula andika menangis seperti seorang anak kecil yang cengeng. Bukankah itu amat aneh dan mengherankan" Karena itulah maka aku mengeluarkan kata-kata tadi tanpa aku sengaja"
Sepasang mata itu mengamati Nurseta dari kepala sampai ke kaki.
Nurseta balas memandang dengan tenang. Pemuda ini agaknya beberapa tahun lebih tua darinya, dan melihat pakaiannya yang ringkas, ia yakin bahwa pemuda ini tentu seorang yang biasa menghadapi kehidupan yang keras dan mengandalkan ketangkasan dan kekuatan. Walaupun pandangan matanya bukanlah pandang mata seorang yang jahat.
"Bocah lancang. Mau apa kau mencampri urusan orang lain" Hayo pergi dari sini, jangan kau ganggu aku lagi. Cepat, sebelum aku naik darah dan memukul mulutmu yang lancang itu"
Nurseta tetap tersenyum menerima bentakan itu. "Sayang sekali, andika adalah seorang pemuda yang gagah, akan tetapi cengeng dan lemah. Sebetulnya aku mempunyai dua kepentingan denganmu. Pertama, melihat keadaanmu, mungkin aku akan dapat membantumu untuk mengatasi masalah yang kau hadapi. Kedua aku membutuhkan perahumu dan aku ingin kau dapat membantuku pergi ke hilir dengan perahumu"
Pemuda itu menjadi semakin marah, kedua tangannya dikepal. "Apa kau bilang" Aku cengeng dan lemah, dan kau mampu membantuku mengatasi kesukaran ini" Hemm, bocah lancang dan sombong. Kepandaian apa yang kau miliki, beraninya kau bersikap sombong seperti itu?"
"Mungkin aku memiliki sesuatu yang tidak kau miliki, misalnya menundukkan orang yang membuatmu penasaran, bukan sekedar menumbangkan batang pohon yang tidak mampu melawan itu"
"Sepasang mata itu terbelalak. "Hemm, kau bocah petani sungguh sombong. Coba kau buktikan kekuatanmu itu. Kau sambutlah seranganku ini, kalau kau merasa memiliki sesuatu yang tidak aku miliki"
Pemuda itu langsung menerjang dengan tamparan tangan kanannya kearah pundak Nurseta.
Melihat gerakan yang cepat dan berat ini, Nurseta merasa lega, pukulannya membuktikan bahwa ia bukan seorang yang berhati jahat, pikirnya. Serangannya itupun bukan untuk mencelakainya, melainkan hanya untuk menguji saja, yang diserang adalah bagian pundaknya, sehingga andaikata dia tidak memiliki kepandaianpun, pukulan itu tidak akan membahayakan jiwanya. Maka iapun merasa semakin tertarik dan ada perasaan senang kepada pemuda yang bermuka hitam itu.
Nurseta hanya sedikit memiringkan badanya saja, dan ia sudah terhindar dari serangan pemuda itu.
"Bagus, agaknya kau memiliki sedikit kepandaian juga." katanya dan kini dia menggirim serangan lagi, lebih hebat dan cepat dari pada tadi, akan tetapi tetap saja dengan tenaga terbatas, dan yang diserangnya bukan bagian yang berbahaya. Tangan kirinya mencengkeram kearah baju dada, dan tangan kanannya menyambar untuk menangkap lengan kiri Nurseta.
Nurseta tidak mau berpura-pura lagi, diapun menggerakkan kedua lengannya menangkis kedua serangan pemuda itu sambil menyalurkan sedikit tenaganya.
Dua pasang lengan saling bertemu dan pemuda muka hitam itu menyeringai. Pertemuan kedua lengannya itu membuat pemuda itu merasa nyeri dan diapun kini terkejut. Dia adalah seorang diantara jagoan muda yang terkenal di pantai selatan, dan kini dia bertemu dengan seorang bocah petani, dalam pertemuan tenaga kedua lengan itu dia merasa nyeri dan pemuda tani itu masih juga tersenyum.
"Babo-babo. Kiranya kau seorang yang memiliki kesaktian juga. Baik, mari kita menguji tebalnya kulit kerasnya tulang" Dan kini pemuda muka hitam itu yang agaknya sudah tahu bahwa lawannya bukan orang lemah, maka ia maju dan menerjang dengan serangan serangan yang amat cepat dan mengandung tenaga yang kuat pula.
Diam-diam Nurseta kagum. Kalau saja empat tahun yang lalu, sebelum dia digembleng oleh Panembahan Sidi Danasura, tentu dia tidak akan mampu menandingi pemuda muka hitam ini. Bukan saja ilmu silatnya yang hebat, akan tetapi juga tenaga saktinya kuat dan kecepatannya cukup membuat dia merupakan lawan yang tangguh. Akan tetapi bagi Nurseta, setetah kini ia menerima gemblengan Panembahan Sidik Danasura, tingkat kepandaian si muka hitam ini masih terlalu rendah dan dia dapat mengikuti semua geraknnya dengan mudah.
Nurseta tidak mau membuang banyak waktu. Ketika si muka hitam menghantamkan kedua tangannya yang terkepal kearahnya, Iapun menerimanya dengan kedua tangan terbuka.
"Plak. Plakk" Kedua kepalan si muka hitam itu melekat pada telapak tangan Nurseta dan tidak dapat ditariknya kembali. Dia terbelalak dan terkejut sekali, cepat ia menendang dengan kaki kanannya. Akan tetapi Nurseta sudah siap menghadapi serangan ini. Nurseta hanya memiringkan tubuh ke kiri dan membiarkan kaki lawan itu meluncur lewat, lalu dia menggerakkan kakinya ke samping, tepat mengenai belakang lutut kaki kiri si muka hitam sambil mendorong kedua tangannya melepaskan kekuatan Sari Pratala yang tadi menyedot kepalan lawan.
Tak dapat dihindarkan lagi, tubuh si muka hitam itu terjengkang dan terbanting ke atas tanah. Dia mengeluarkan suara tertahan saking kagetnya dan bergulingan, tetapi ia cepat meloncat bangun lagi. Kini kedua matanya mengeluarkan sinar kagum dan terheran-heran ketika memandang kepada Nurseta.
"Andika........ siapakah andika.......?" tanyanya, penuh kagum akan tetapi juga kecurigaan karena sama sekali sukar baginya untuk dapat percaya, bahwa ada seorang pemuda petani yang dapat mengalahkannya di tempat sunyi ini.
Narseta tersenyum ramah. "Kisanak, namaku adalah Narseta dan aku seorang kelana yang secara kebetulan saja bertemu dengan andika di sini. Melihat andika memiliki sebuah perahu dan aku ingin sekali melakukan perjalanan an ke utara dengan perahu, maka tadinya aku ingin minta pertolonganmu. Akan tetapi melihat kau bersikap aneh, aku jadi tertarik dan?""
"Namaku Pragalbo dan memang sesunggunyalah, aku menghadapi suatu masalah yang tak dapat kuatasi. Akan tetapi, aku masih belum puas untuk mengujimu, Ki Sanak. Sebelum kita bicara lebih lanjut, sebelum aku mengeluarkan isi hatiku dan meminta bantuanmu kalau memang kau memiiliki kesaktian itu, aku ingin mencoba lagi. Supaya aku mendapatkan keyakinan"
Pemuda itu kemudian mencabut sebilah keris luk tujuh yang berwarna kelabu. "Harap andika suka mengeluarkan senjata atau pusakamu dan marilah kita melanjutkan adu kesaktian ini agar hatiku puas"
"Kakang Pragalbo, aku menyebutmu kakang, karena andika tentu lebih tua dari padaku. Aku tidak biasa mempergunakan senjata karena aku bukan seorang pembunuh. Kalau kau merasa lebih senang mempergunakan sebuah pusaka, nah, silakan, majulah, aku akan menghadipimu dengan tangan kosong saja"
Pragalbo membelalakkan kedua matanya Dia seorang jagoan pantai selatan yang disegani dan ditakuti, kini dia menanatang pemuda ini dengan kerisnya dan tantangan itu diterima oleh pemuda yang tak terkenal ini dengan melawannya bertangan kosong.
Siluman Betina Dalam Goa
MEREKA berdua duduk di atas rumput, bersila dan dengan muka agak malu-malu Pragalbo lalu bercerita. Dia mempunyai Seorang sahabat baik yang juga menjadi kakak seperguruannya, bernama Padasgunung. Usia mereka sebaya, yaitu hampir duapuluh empat ahun dan Padasgunung yang menjadi kakak seperguruan itu hanya lebih tua beberapa bulan saja darinya. Kedua orang muda ini terkenal sebagai jagoan-jagoan di pantai selatan, bukan jagoan dalam arti yang jahat, melainkan menjadi pendekar-pendekar yang selalu menentang kejahatan dan juga mereka merupakan dua orang pemuda gagah perkasa yang selalu setia terhadap Kerajaan Singosari. namun kepandaian merekapun setingkat, hanya bedanya kalau Pragalbo memiliki sedikit kelebihan dibanding kakak seperguruannya dalam hal ilmu di dalam air karena dia amat suka berenang, maka sebaliknya Padasgunung memiliki kelebihan dibanding adik seperguruannya dalam ilmu pengobatan.
Pada suatu hari, ketika musim hujan turun dengan derasnya, dan seperti biasa air Sungai Campur banjir dan melanda beberapa buah dusun, kebetulan Pragalbo lewat di dusun yang dilanda banjir itu dan diapun berhasil menyelamatkan banyak orang yang kebanjiran. Dengan mengandalkan ilmunya bermain di dalam air, dia dapat menyelamatkan mereka yang terjebak oleh air. Akan tetapi, ketika dia menyelamatkan seorang gadis yang hitam manis dan melihat gadis itu terus menerus pingsan karena kepalanya terpukul batu ketika ia hanyut, Pragalbo menjadi bingung dan panik entah bagaimana, begitu melihat gadis itu, melihat wajahnya yang hitam manis, kulitnya yang hitam mulus, tubuhnya yang semampai dengan lekuk lengkuk yang mulai mekar meranum, dia sudah tergila-gila. Dan setelah bermacam usaha dilakukannya untuk membuat gadis itu siuman tidak berhasil, dia lalu menjadi gelisah dan dia melarikan gadis itu ke pondok kakak seperguruannya, Padasgunung.
"Tolonglah, kakang Padasgunung, tulunglah ia" Dengan tergopoh-gopoh Pragalbo yang memondong tubuh gadis itu menghadap kakak seperguruannya.
Padasgunung adalah seorang pemuda yang pendiam, berkulit kuning dan mukanya bulat telur, di pinggangnya terselip sebatang suling bambu. Sikapnya serius dan dia tersenyum tenang melihat kegugupan adik seperguruannya. "Ceritakanlah dulu di mana kau menjumpai gadis ini, siapa ia dan mengapa ia sampai begini" kata Padasgunung sambil memandang wajah gadis yang seperti tidur nyeyak di depannya itu.
Dengan singkat Pragalbo menceritakan bahwa gadis itu seorang di antara para korban banjir Kali Campur. "Melihat pelipis kirinya terluka, tentu ketika ia hanyut dan kepalanya terantuk sesuatu yang keras, kakang. Tolong sembuhkanlah ia, kakang" pinta sang adik seperguruan dengan suara memohon.
Padasgunung memandang wajah adiknya dengan senyum. Adik seperguruannya itu nampak lelah, dan agaknya juga kelaparan. Agaknya ketika menolong orang-orang itu, dia sampai lupa diri untuk makan dan menguras tenaganya.
"Jangan khawatir, kau berisitirahatlah dulu. Di dapur masih ada jagung godok dan air kendi. Makan minumlah dulu dan istirahatlah, serahkan gadis ini kepadaku"
Melihat sikap kakak seperguruannya yang tenang, hatinya menjadi tenang pula dan diapun segera pergi ke dapur, makan dan minum, tak lama kemudian dia sudah merebahkan tubuhnya yang amat lelah itu ke atas pembaringan dan pulaslah pendekar pantai Selatan itu.
Karena gadis itu perlu perawatan sungguh-sungguh, dan karena dia sendiri masih harus menolong orang-orang lain yang kebanjiran, Pragalbo meninggalkan gadis dalam perawatan kakak seperguruannya.
*** "Bayangkan saja, Adimas Nurseta," kata Pragalbo menutup ceritanya kepada Nurseta "Setelah seminggu kemudian aku kembali ke pondok kakak seperguruanku itu, gadis manis itu sudah hampir sembuh, akan tetapi masih lemah dan pikirannya masih belum pulih seluruhnya. Dan ia hanya teringat bahwa namanya adalah Sriyati. Akan tetapi celakanya, Kakang Padasgunung agaknya jatuh cinta kepada Sriyati"
Nurseta tersenyum. "Apa salahnya, Kakang Pragalbo?"
"Apa salahnya" Huh, apa salahnya, Adimas Nurseta?" Pendekar itu mendengus marah. "Sudah aku katakan bahwa begitu menyelamatkan gadis itu, aku telah jatuh cinta, kini, gadis itu direbut oleh Kakang Padasgunung. Terang-terangan Kakang Padasgunung mengatakan kepadaku bahwa dia mencintai Sriyati dan karena dia sudah cukup dewasa, dia hendak mengambil Sriyati menjadi isterinya"
Nurseta tidak berani tersenyum lagi walaupun ada perasaan geli di dalam hatinya. Kakak beradik seperguruan itu agaknya merebutkan cinta seorang gadis yang mereka tolong.
"Lalu bagaimana?"
"Tentu saja aku menyatakan keberatanku kepadanya, dan kunyatakan bahwa akulah yang lebih dahulu menemukan Sriyati, bahwa akulah yang telah menyelamatkannya dan aku yang lebih dahulu jatuh cinta kepadanya. Aku terus terang menyatakan bahwa Kakang Padasgunung tidak berhak memisahkan aku dari wanita pertama dan satu-satunya yang kucinta"
Nurseta mengangguk-angguk. "Setelah itu bagaimana?"
"Kakang Padasgunung ternyata kehilangan kegagahannya, kehilangan keadilannya. Dia bilang bahwa dialah yang menyelamatkan Sriyati, dan dia yang berhak menyunting gadis itu. Bahkan dia marah-marah dan menamparku. Sehingga kami berkelahi, akan tetapi aku terpaksa melarikan diri, bukan karena aku takut, melainkan karena aku merasa tidak enak harus berkelahi melawan kakak seperguruan sendiri. Nah, sekarang, aku ingin agar andika suka menolongku, Adimas Nurseta"
Nurseta memandang tajam penuh selidik. "Maksudmu, aku kau jadikan jago untuk melawan kakak seperguruanmu dan merampas kembali Sriyati dari tangannya untukmu?"
"Ya, adimas"
"Tunjukkanlah kepadaku, kemana arah menuju ke pondoknya"
Pragalbo kemudian memberikan keterangan arah menuju ke pondok Padasgunung, dengan segera Nurseta pergi kesana.
Ketika Padasgunung melihat seorang pemuda mendaki bukit menuju pondoknya diapun menyambutnya dengan sinar mata penuh tanda tanya. Dia merasa heran karena belum pernah melihat pemuda itu, maka begitu Nurseta tiba di depan pondoknya, diapun bangkit berdiri menyambut.
"Kulonuwun" salam Nurseta "Apakah aku berhadapan dengan Kakang Padasgunung?" sambil berkata pandangan Nurseta melirik ke arah gadis hitam manis itu yang duduk dan juga memandang kepadanya. Dengan sinar matanya yang tajam Nurseta dapat mengetahui bahwa gadis itu belum pulih benar pikirannya, terbukti dari pandang matanya yang kosong seperti orang melamun.
"Benar, aku bernama Padasgunung" kata pemuda itu dengan sikap tegas, suaranya lantang dan sikapnya pendiam, tidak ramah. "Siapakah Andika dan apa keperluanmu?"
Pemuda itu tidak seramah Pragalbo, pikirnya. Sikapnya demikian keras dan dingin, akan tetapi Nurseta tetap tersenyum tenang.
"Kakang Padasgunung, aku bernama Nurseta, kedatanganku ini karena aku hanya ingin menolong Kakang Pragalbo, agar aku datang kepadamu dan berbicara dengan bijaksana mengenai diri gadis yang bernama Sriyati. Apakah ini gadis yang bernama Sriyati itu?"
Mendengar namanya disebut, gadis itu juga bangkit berdiri dan memandang kepada Nurseta penuh perhatian. Akan tetapi, Padasgunung sudah menjadi marah mendengar ucapan itu.
"Tak aku sangka Adi Pragalbo kehilangan kejantanannya sehingga urusan pribadi seperti ini, ia mempergunakan seorang perantara. Asal kau tahu, Sriyati ini adalah calon isteriku. Kau tidak mempuuyai urusan dengan dengan hal ini. Sebaiknya kau pergi sebelum aku menjadi marah"
"Justeru karena Kakang Pragalbo tidak menghendaki keributan denganmu, Kakang Padasgunung, maka, ia meminta tolong kepadaku untuk bicara denganmu. Dia hanya menuntut keadilan, karena menurut pendapatnya, dialah yang lebih dahulu bertemu dan menyelamatkan Sriyati dari ancaman maut di Kali Campur, ia hanya membawa Sriyati kepadamu agar kau mengobatinya. Kalau saja tidak ada Kakang Pragalbo, tentu saja gadis itu sudah tewas......"
"Belum tentu!. kalau saja tidak aku tidak mengobatinya, tentu ia mati atau kehilangan ingatannya"
"Akan tetapi, Kakang Pragalbo yang membawanya dan memperkenalkannya kepadamu. Setidaknya Kakang Pragalbo berhak untuk menanyakan kepada gadis itu siapa di antara kalian yang ia pilih"
"Orang muda, jangan kau membuat aku marah. Kau sama sekali tidak ada sangkut paut dengan urusan pribadi kami berdua. Dan kau boleh menyampaikan kepada Pragalbo setelah mendengar sendiri" Padasgunung berhenti sebentar, kemudia ia berkata kepada Sriyati "Sriyati, bukankah kau sudah setuju untuk menjadi isteriku dan selamanya ikut bersamaku?"
Gadis itu memandang bingung kepada Padasgunung, lalu mengangguk lemah dan terdengar suaranya lirih. "Kakangmas Padasgunung aku tidak memiliki siapapun lagi dan kaulah yang telah menyelamatkan diriku. Tersera kepadamu apa yang akan kau perbuat terhadap diriku, kakang. Aku hanya menurut saja......."
"Nah, kau dengar sendiri. Sekarang pergilah sebelum aku marah dan memaksamu pergi" berkata Padasgunung.
Nurseta mendengar jawaban gadis itu, hatinya tidak merasa puas. Gadis itu seperti terpaksa dan belum sepenuhnya menguasai ingatannya kembali, hanya menyerahkan dirinya yang merasa tidak berdaya. Dengan begini, maka tidaklah adil kalau Padasgunung mempergunakan kelemahan gadis itu untuk memaksanya menjadi isterinya tanpa memperdulikan cinta yang bersemi di dalam hati adik seperguruannya.
"Nanti dulu, Kakang Padasgunung. Kau hanya bertindak sepihak saja, setidaknya kau harus memberi kesempatan kepada Kakang Pragalbo untuk bertanya kepada Sriyati, apakah ia tidak lebih suka menikah dengan Kakang Pragalbo dari pada denganmu" ia berhenti sejenak, lalu "Sriyati, ketahuilah bahwa sebelum kau diobati oleh Kakang Padasgunung, kau terlebih dahulu diselamatkan oleh Kakang Pragalbo ketika kau hanyut oleh air banjir. Dan Kakang Pragalbo jatuh cinta padamu dan ia ingin mengambilmu sebagai calon isterinya dan......"
"Tutup mulutmu, keparatl" bentak Padasgunung marah dan dia sudah menerjang ke depan dan menyerang Nurseta dengan pukulan tangan kanannya yang menampar ke arah dada Nurseta. Dengan mudah Nurseta mengelak, dan ketika Padasgunung mendesaknya dengan dua pukulan beruntun, diapun cepat mengelak, bahkan pukulan ke tiga itu dia tangkis dari samping yang membuat tubuh Padasgunung agak terhuyung.
"Babo-babo, kiranya kau memiliki kepandaian, maka kau berani lancang mulut mewakili Pragalbo menjual lagak di sini!" bentak Padasgunung marah dan juga merasa terkejut ketika mendapat kenyataan betapa pemuda ini selain mampu menghindarkan diri dari tiga kali serangannya, bahkan ketika menangkis membuatnya terhuyung. Diapun sudah mencabut suling bambunya dari ikat pinggang dan kini dengan suling bambu di tangan, dia menghadapi Nurseta.
Melihat betapa lawan ini mempergunakan sebatang suling bambu sebagai senjata, Nurseta tertarik bukan main. Dia sendiri suka meniup suling, bahkan memiliki pula sebatang suling yang dibuatnya dari bambu kuning, dan suling itu selain kadang-kadang dimainkannya, dapat pula dipergunakan sebagai senjata yang ampuh untuk melindungi dirinya.Tentu saja dengan tingkat kepandaiannya yang sudah tinggi, Nurseta jarang mau mempergunakan sulingnya, cukup mempergunakan kaki tangannya saja.
"Anak muda, pergilah sebelum menyesal. Betapapun pandainya kau, kalau aku terlanjur menyerangmu dengan sulingku ini. kau tentu akan celaka, kalau tidak tewas, sedikitnya tentu akan terluka parah dan aku tidak ingin melukai orang, apa lagi membunuhnya"
Biarpun orang ini berhati keras, namun setidaknya dari kata-katanya ini saja sudah dapat dikenal sebagai seorang yang berjiwa ksatria, yang tidah suka bertindak sewenang-wenang membunuh orang tanpa sebab. Ini saja sudah menyenangkan hati Nurseta, dan diapun ingin sekali menguji sampai di mana kehebatan orang yang mempergunakan suling untuk senjata ini.
"Kakang Padasgunung, aku datang hanya untuk mendamaikan, akan tetapi kalau kau hendak mempergunakan kekerasan, silakan"
"Babo-babo, kau bocah sombong, rasakan keampuhan sulingku"
Padasgunung sudah nenerjang ke depan, sulingnya menyambar dan mengeluarkan suara melengking yang nengejutkan Nurseta, karena gerakan suling yang dipergunakan menyerang dapat mengeluarkan suara melengking itu saja sudah menunjukkan bahwa lawannya memang hebat.
Nurseta mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak kesana-sini sambil memperhatikan gerakan jurus serangan lawan. Dia tertarik dan mendapat kenyataan bahwa seperti juga gerakan keris yang dipergunakan Pragalbo tadi, Padasgunung dengan sulingnya ini merupakan seorang pendekar yang cukup kuat. Akan tetapi tentu saja tidak cukup kuat baginya dan dengan amat mudahnya dia dapat menghindarkan setiap serangan sambil kadang-kadang menangkis. Dan setiap kali tertangkis, mulut Padasgunung menyeringai kesakitan.
Tiba-tiba terdengar teriakan Pragalbo ya sudah lari naik ke depan pondok ketika melihat betapa kakak seperguruannya sudah menyerang Nurseta dengan sulingnya.
"Kakang Padasgunung, hentikan seranganmu itu. kakang takkan menang melawan Adimas Nurseta"
Mendengar teriakan itu, Padasgunung menghentikan serangannya, akan tetapi alisnya berkerut dan matanya memandang tajam penuh kemarahan.
"Pragalbo, kau datang membawa jagoan untuk merampas Sriyati dari tanganku. Jangan harap, dan aku tidak takut. kau pengecut" Langsung saja Padasgunung maju menyerang adik seperguruannya dengan marah.
"Eh, kakang!" teriak Pragalbo sambil mengelak cepat. "Aku hanya datang untuk menuntut keadilan darimu, meminta hakku terhadap Sriyati yang aku cintai"
"Ia adalah calon isteriku. Siapapun tidak boleh merampasnya dariku!" bentak Padasgunung yang sudah menyerang kembali.
Kini Pragalbo sudah menjadi marah, apa lagi melihat betapa Sriyati telah sembuh dan kelihatan semaki menarik, semakin manis merak ati! Diapun mencabut kerisnya dan menangkis ketika kakak seperguruannya menyerangnya dengan sulingnya.
"Cring-tranggg.......!"
Mereka sudah saling menyerang dengan sengit, memperebutkan gadis hitam manis yang bernama Sriyati yang kini hanya berdiri dengan bingung. Kedua matanya terbuka lebar dan agaknya ia tidak tahu harus berbuat atau berkata apa.
Melihat betapa kakak beradik seperguruan itu sudah saling serang, Nurseta menarik napas panjang. Diam-diam pemuda yang belum berpengalaman mengenai peristiwa seperti itu, merasa heran sekaii. Bagaimana dua orang kakak beradik seperguruan yang demikian gagah perkasa, kini mendadak saja berubah seperti dua orang pemuda picik dan tolol, saling serang untuk hanya karena seorang gadis. Dia sama sekaii tidak tahu bahwa kekuatan yang terkandung di dalam diri seorang wanita amatlah hebat, dan dapat mempengaruhi seorang pria yang palaing kuat sekalipun. Kerling mata dan senyum bibir seorang wanita memiliki daya kekuatan ang jauh lebih ampuh dari pada keris di tangan laksaan orang musuh.
Cepat Nurseta melompat ke tengah di antara mereka karena dia tidak ingin melihat perkelahian itu menjatuhkan korban di antara kakak beradik seperguruan itu.
Dengan cekatan dia sudah menangkap pergelangan kedua tangan mereka yang memegang senjata dan sekali merenggut, dia sudah merampas keris dan suling itu dari tangan Pragalbo dan Padasgunung.
Pragalbo yang sudah maklum akan kesaktian Nurseta, cepat melompat ke belakang, akan tetapi Padasgunung yang mengira bahwa Nurseta masih hendak membantu Pragalbo, marah sekali, ia menghantam dengan tangan kanannya, dengan jari tangan terbuka ia menghantam dada Nurseta dengan pengerahan tenaga saktinya.
Melihat ini, Nurseta memasang Aji Wandiro Kingkin, menerima hantaman tangan kanan lawan itu, membiarkan dadanya menjadi sasaran pukulan. Tak dapat dihindarkan lagi, telapak tangan Padasgunung menghantam dada Nursela.
"Dessss........!!" Dan akibatnya, tubuh Padasgunung terpental dan diapun roboh terpelanting dengan tubuh lemas karena tenaga pukulannya tadi telah membalik dan mengenai dirinya sendiri.
Cepat dia bergulingan dan bangkit duduk, bersila untuk menghirup udara segar dan menyalurkan hawa sakti untuk melindungi tubuhnya yang terguncang hebat, karena kalau tidak demikian, dia dapat menderita luki dalam yang parah.
Sementara itu, Pragalbo lalu menghampiri Sriyati yang masih berdiri bingung, lalu berkata dengan suara halus, "Diajeng Sriyati, apakan kau kenal kepadaku" Aku Pragalbo, orang yang telah menyelamatkanmu ketika kau hanyut dalam air bah di dusun itu"
Sriyati memandang pemuda yang gagah perkasa, bermuka persegi dan berkulit hitam itu. "Tentu saja saya tidak lupa kepadamu, Kakangmas Pragalbo, karena kaulah orang pertama yang saya kenal dan sudah diperkenalkan kepadaku ketika aku hidup kembali"
"Nah, karena aku yang telah menyeretmu dari tangan kematian di air sungai banjir, tidakkah sudah sepatutnya kalau aku pula yang lebih dahulu menyatakan cintaku kepadamu dan menuntut agar kau suka menjadi iseriku?"
"Pragalbo, keparat kau! kau hendak merayu calon isterikul" bentak Padasgunung yang sudah bangkit berdiri.
"Tidak, Kakang Padasgunung. Ia adalah calon isteriku yang telah kau rebut dariku"
"Ia calon isteriku"
"Calon isteriku"
Kedua orang itu sudah saling pelotot lagi dan Nurseta cepat melangkah maju menengahi dan mengembalikan keris dan suling kepada pemiliknya masing-masing lalu berkata, "Kalian berdua sungguh seperti anak kecil saling memperebutkan mainan. Kakang Padasgunung dan Kakang Pragalbo, tenanglah dan sadarlah, dengarkan kata-kataku. Ingatlah, apakah kalian menganggap gadis ini sebagai seekor kucing atau anjing saja, ataukah sebagai setangkai bunga mawar, atau sebuah benda indah yang mati sehingga dapat kalian perebutkan demikian saja" Ia adalah seorang manusia yang berjiwa, seorang manusia yang berhak menentukan nasibnya dan pilihan hatinya sendiri"
Dua orang kakak beradik itu terkejut dan keduanya memandang wajah Nurseta dengan bingung.
"Nah, sekarang akan aku tanyakan kepada yang bersangkutan" Nurseta behenti sebentar, lalu katayna kepada Sriyati. "Sriyati, aku datang sebagai penengah dan pendamai di antara dua orang pemuda yang sedang memperebutkan dirimu. Aku bernama Nurseta dan kini aku ingin bertanya kepadamu. Maukah kau menjadi isteri Kakang Padasgunung?"
Sriyati menoleh dan memandang kepada Padasgunung, lalu menunduk dan mengangguk berkata lirih, "Terserah, aku hanya menurut saja, aku berhutang budi dan nyawa kepadanya.
"Hahaha. kau dengar sendiri, Pragalbo. Buka telingamu lebar-lebar, kau mendengar sendiri, bukan". Aku tidak merebutnya darimu" Hahaha" Padasgunung tertawa bergelak sehingga Pragalbo memandang heran. Selamanya belum pernah ia melihat kakaknya tertawa seperti itu, kakaknya adalah seorang yang pendiam, tidak pernah ia tertawa kegirangan seperti itu.
Akan tetapi, Nurseta yang merasa tidak yakin akan sikap Sriyati yang seperti sebuah boneka saja berbicaranya. Kini ia melanjutkan pertanyaannya.
"Sriyati, maukah kau menjadi isteri Kakang Pragalbo ini" Dan iapun sudah penah menolongmu dari maut ketika kau hanyut alam banjir"
Sriyati menoleh dan memandang kepada Prgalbo. kembali ia mengangguk dan menjawab "Terserah, aku hanya menurut saja, akupun berhutang budi dan nyawa kepadanya"
"Nahhhh! Dengarkah kau, kakang. Ia asih ingatt betapa aku yang telah menyelamatkan nyawanya untuk pertama kalinya!" teriak Pragalbo dengan suara bersorak penuh kemenangan,
Wajah Padasgunung berubah pucat dan dan terbelalak, ia memandang kepada Sriyati, kemudian kepada Nurseta.
Pragalbo juga memandang kepada Narseta, karena ia sendiri menjadi bingung. Sriyati ternyata setuju saja menjadi isteri kakangnya maupun menjadi isterinya.
"Bagaimana baiknya sekarang, Adimas Nurseta?" tanya Pragalbo penuh keraguan.
"Ya, bagaimana baiknya?" bertanya pula Padasgunung yang kini sudah merasa yakin akan kesaktian pemuda ini dan tidak berani main-main lagi.
Nurseta menarik napas panjang. "Sudah aku katakan tadi, ia bukanlah benda mati dan bukan binatang piaraan, melainkan seorang manusia yang berhak menentukan pilihan hatinya sendiri. Secara kebetulan saja kalian berdua telah menemukannya dan menyelamatkannya. Itu bukan berarti bahwa ia lalu menjadi milik kalian. Apakah ketika kalian menolongnya dahulu, kalian memiliki pamrih untuk memperisterikannya" Betapa rendahnya pertolongan itu kalian kalau begitu.
"Tidak, tadinya aku menolongnya seperti aku menolong yang lain, baru kemudian aku jatuh cinta kepadanya." Berkata Pragalbo.
"Akupun akan menolong siapa saja yang berobat kepadaku, akan tetapi aku kemudian aku jatuh hati kepadanya" berkata Padasgunung kemudian.
"Bagus, kalian memang para pemuda ksatria dan pendekar perkasa, akana tetapi, kalian jangan menurutkan hawa nafsu kalian masing-masing, ingatlah akan kepentingan yang lebih tinggi dari itu"
"Akan tetapi, kami tidak memaksa diajeng Sriyati untuk menjadi isteri kami, kau mendengar sendiri, Adimas Nurseta, bahwa gadis itupun suka menjadi isteri seorang di antara kami"
"Benar ucapan adi Pragalbo. Sriyati juga suka kepada kami, bukan berarti kami memaksakan kehendak kami" sambung Padasgunung.
Nurseta tersenyum. "Lihatlah buktinya, kalian sudah tahu, bahwa Sriyati hanya menurut saja apa yang kalian inginkan, karena ia telah kehilangan masa lalunya, dan melihat kalian adalah dewa-dewa penolongnya, dan ia berhutang budi kepada kalian, maka ia menurut saja, apa yang kalian inginkan darinya" ia berhenti sebentar lalu ia berkata kepada Sriyati "Diajeng Sriyati, berterus teranglah dan jangan takut. Siapakah diantara kedua kesatria ini yang kau cinta?"
Sriyati mengangkat muka dan memandang kepada Padasgunung dan Pragalbo yang juga menatap wajahnya dengan penuh harap, kemudian gadis itu menunduk kembali sambil berkata lirih dan takut-takut, "Aku....... aku tidak tahu......"
"Nah, Kakang Padasgunung dan Kakang Pragalbo, kalian sudah mendengar sendiri perkataan Sriyati. Jelaslah, bahwa gadis ini tidak mempunyai perasaan cinta kepada kalian, melainkan hanya berhutang budi. Kalau kalian hendak memaksanya menjadi isteri kalian hanya untuk membalas budi, bukankah itu berarti bahwa kalian sengaja melepas budi untuk mengharapkan balasannya yaitu hendak memperisterikannya"
Dua orang kakak beradik seperguruan itu kembali tertegun. Mereka memandang Sriyati yang menundukkan wajahnya itu sejenak, kemudian mereka saling pandang dengan muka merah, ucapan Nurseta itu seperti menusuk jantung dan membuat mereka merasa canggung dan malu.
"Dengarlah, kedua kakang yang gagah. Peristiwa ini mirip sekali dengan peristiwa yang aku alami" kemudian Nurseta bercerita tentang Wulansari dan betapa gadis itupun diselamatkan dari dalam air oleh Ki Jembros, kemudian diobati oleh Sang Panembaban Sidik Danasura. Persis seperti apa yang terjadi pada diri Sriyati yang ditolong oleh Pragalbo, kemudian diobati oleh Padasgunung. kemudian gadis itu menjadi murid Panembahan Sidik Danasura, dan setelah lewat lima tahun Ki Jembros datang untuk mengajak pergi gadis itu karena diapun berhak menggembleng gadis itu karena dialah penyelamat gadis dari maut di dalam air, ketika perabunya terbalik. Kemudian muncul Ki Cucut Kalasekti Datuk Blambangan yang membawa lari Larasati, karena menganggap bahwa dia lebih berhak. karena Wulansari itu adalah cucunya yang berasal dari Blambangan.
"Nah, dalam hal ini, Eyang Panembahan Sidik Danasura dan Paman Jembros mengalah. Mereka menganggap bahwa mereka tidak berhak atas diri Wulansari yang dibawa kembali kepada keluarganya, demikian pula dengan diajeng Sriyati. Tidakkah lebih bijaksana kalau mencoba untuk mengembalikannya kepada keluarganya, kemudian tentang perjodohannya serahkan saja kepada pilihannya sendiri atau keluarganya" Kalau ia dan keluarganya memilih seorang di antara kalian, maka yang lain harus berlapang dada"
Cerita Nurseta itu menyadarkan dua orang kakak beradik seperguruan itu dan mereka mengerti akan kesalahan mereka, seperti digerakkan oleh tenaga gaib, lalu mereka saling rangkul.
"Adikku Pragalbo, maafkanlah kakangmu yang sesat ini, Kalau Sriyati memilih kau, aku akan ikut berbahagia"
"Akulah yang mohon maaf kepadamu, kakang. Sepatutnya aku yang mengalah kalau memang Sriyati cinta padamu" kata Pragalbo.
Melihat kejadian ini, Nurseta tersenyum girang, karena ia semakin yakin akan kegagahan kedua orang itu.
"Bagus, aku kagum kepada kalian, Bagaimana kalau sekarang aku ajak diajeng Sriyati mencari keluarganya" Kakang Pragalbo, dari dusun manakah kakang menolongnya?" tanya Nurseta yang sudah mengambil keputusan untuk mengantar gadis itu kembali ke keluarganya
Pragalbo ragu-ragu sejenak, akan tetapi akhirnya ia menjawab juga, "Dari dusun Mentasih, di sebelah barat Karangrejo, di tepi Sungai Campur, hanya menempuh perjalanan satu jam dari sini"
"Ke hilir?"
"Ya, kalau berperahu ke hilir, hanya setengah jam sudah sampai, letaknya berada di sebelah selatan sungai" jawab Pragalbo.
"Kalau begitu, bolehkah kami mempergunakan perahumu itu, kakang Pragalbo?"
"Tentu saja boleh, pakailah Adimas Nurseta"
Nurseta mengangguk sambil tersenyum, kemudian menggandeng tangan Sriyati sambil berkata, "Marilah, diajeng, kita mencari keluargamu di dusun Mentasih"
Gadis itu sejenak memandang kepada Pragalbo dan Padasgunung, seperti ingin minta pendapat mereka, akan tetapi karena kedua orang itu diam saja, iapun menurut saja ketika digandeng oleh Nurseta, jantungnya berdebar penuh ketegangan karena baru sekaranglah ada orang yang hendak mengajaknya mencari keluarganya yang sudah dilupakannya.
Nurseta mengajak gadis itu pergi ke tepi pantai di mana Pragalbo meninggalkan perahunya. Mereka berdua lalu masuk ke dalam perahu dan perahupun hanyut ke hilir, bertambah cepat setelah Nurseta menggunakan dayungnya.
Tak lama kemudian mereka melihat sebuah dusun di sebelah kanan. Sebuah dusun yang masih nampak bekas tanda-tanda habis kebanjiran dan penduduknya nampak sibuk membetulkan rumah rumah mereka yang tadinya ambruk dilanda air bah.
"Ohhhh.......!"
Nurseta menoleh ke arah gadis itu dan melihat betapa gadis itu memandang ke arah dusun itu dengan mata terbelalak bingung dan muka berubah agak pucat.
"Kau mengenal dusun itu, Sriyati?"
"Aku......... aku pernah melihatnya..........ya, ya, pohon-pohon itu........, tidak asing bagiku ....." kata gadis itu dengan suara agak gemetar.
Nurseta merasa girang sekali. "Kalau begitu, mari kita ke sana, mudah-mudahan saja keluargamu berada di sana"
"Keluargaku.........." Aku.......... aku tidak ingat......"gadis itu mengeluh. Akan tetapi Nurseta tidak bicara lagi melainkan mendayung perahu menuju ke dusun itu. Dia tahu bahwa gadis ini kehilangan ingatannya dan dia mengharapkan pertemuan yang tiba-tiba dengan keluarganya akan mendatangkan guncangan yang cukup kuat sehingga akan mampu mengembalikan ingatannya.
Ketika perahu itu tiba menepi, banyak orang memandang ke arah mereka berdua. Nurseta menggandeng tangan Sriyati turun dari atas perahu dan segera terdengar suara banyak orang menyebut nama Sriyati. Mereka datang berlarian ke arah perahu dan diantara banyak suara itu, terdengar teriakan seorang wanita yang menyebut nama Sriyati sambil menangis.
"Sriyati........!"
"Nini Sriyati.......!" Suara seorang laki-laki terdengar pula dan nampak seorang laki-laki dan seorang wanita setengah tua berlari-lari menghampiri Sriyati. Gadis itu terbelalak, mukanya pucat sekali dan akhirnya, setelah kedua orang itu datang agak dekat, iapun menjerit.
"Kanjeng Rama....... Kanjeng ibu........"
Mereka saling tubruk dan saling rangkul, anak dan ibu bapaknya menangis dalam pertemuan yang mengharukan itu. Ayah dan ibunya yang mengira bahwa puterinya telah tewas dalam bencana banjir itu, seolah-olah melihat puteri mereka bangkit dari liang kubur.
"Diajeng Sriyati. Terima kasih kepada para dewa, kau masih hidup diajeng"
Seorang pemuda melangkah maju mendekati mereka yang sedang bertangisan.
Sriyati menengok dari rangkulan ayah dan ibunya dan memandang kepada pemuda itu, mula mula ia agak ragu-ragu sampai ketika ibunya menegurnya.
"Anakku, lupakah kau kepada Parmanto ini?"
"Kakangmasmu Parmanto......." Sriyati berseru girang.
Pemuda bernama Parmanto itu melangkah maju, mereka saling berpegang tangan. Sementara itu, belasan orang laki-laki tua muda, kini maju menghampiri Nurseta dengan pandangan mata mereka yang tidak benahabat.
Seorang di antara mereka yang masih muda berseru "Dia inilah yang menculik Raden Ajeng Sriyati, kita tangkap dia !"
Mendengar ucapan ini, belasan orang itu menyerbu dan menyergap Nurseta yang menjadi terkejut bukan main. Karena orang-orang itu menyerangnya dengan ganas dan dengan teriakan riuh rendah yang menuduh ia penculik, maka dianggapnya akan percuma saja kalau dia membela diri dengan kata-kata. Maka, Nursetapun cepat mengelak sambil melompat ke belakang.
Akan tetapi, kini lebih banyak lagi orang menyerbu. Agaknya semua penduduk yang baru beberapa hari lamanya mengalami malapetaka banjir itu, masih dalam keadaan duka dan marah, mudah tersinggung. Mendengar bahwa Sriyati, puteri kepala dusun mereka yang merupakan gadis kembang dusun mereka, kini ternyata masih hidup, tidak hanyut oleh banjir seperti yang mereka kira, kini pulang bersama seorang pemuda yang menculiknya. Orang-orang itu marah dan kini ada lebih dari tiga puluh orang ramai-ramai mengepung Nurseta.
Banyak di antara mereka yang membawa senjata linggis, kapak, arit dan alat alat membetulkan rumah. Juga pemuda bernama Parmanto tadi, mendengar teriakan teriakan itu, menjadi marah dan dengan hati penuh cemburu diapun ikut puia menyerbu.
Nurseta maklum bahwa para penduduk dusun yang baru saja dilanda kebanjiran itu masih berada dalam keadaan gelisah dan mudah marah, mereka mengepung dan menyerangya karena salah paham, bukan karenu mereka jahat. Maka diapun tidak ingin melukai mereka.
Ketika melihat dirinya dikepung dan mereka itu datang menyerbu dengan senjata di tangan, diapun mengerahkan kepandaiannya. Tubuhnya meloncat jauh melampaui kepala para pengepungnya dan tahu-tahu tubuhnya telah berada diatas atap rumah yang sedang dibangun kembali itu.
Para pengepung itu tadinya bingung, karena tiba-tiba pemuda yang mereka kepung itu lenyap. Hanya nampak bayangan berkelebat dan pemuda yang tadinya mereka kepung itu tidak nampak lagi.
Tiba-tiba seorang di antara mereka berteriak "Itu dia di sana, di atas atap"
Semua orang menengok dan benar saja, pemuda yang mereka keroyok tadi kini telah berdiri di atas atap yang belum selesai mereki pasang dan pemuda itu nampak tenang sambil tersenyum.
Mereka adalah penduduk dusun yang polos, tidak sadar bahwa mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang sakti mandraguna. Mereka tetap saja berlari-larian menghampiri rumah itu dan mengacung-acungkan senjata mereka ke arah Nurseta.
Pada saat itu, Sriyati melepaskan diri dari rangkulan ayah ibunya dan berteriak-teriak. "Jangan bunuh dia. Dia bukan penculik, dia yang mengantar aku pulang"
Mendengar seruan Sriyati itu, semua orang memandang bingung.
Nurseta lalu berkata dengan suara mengandung teguran, "Saudara sekalian, sungguh tidak baik menuruti hati yang keruh penuh kemarahan dan prasangka buruk, Diajeng Sriyati telah ditolong oleh dua orang kesatria dari cengkeraman maut ketika banjir trerjadi dan aku hanyalah sekedar mengantarnya untuk mencari keluarganya di sini. Sekarang ia telah berhasil berkumpul kembali dengan keluarganya, maka tidak perlu lagi aku berlama-lama di tempat ini. Harap lain kali kalian tidak terburu nafsu dan gunakanlah akal sehat dan bersikap tenang"
Setelah berkata demikian, sekali loncat, nampak bayangan berkelebat dan Nurseta lenyap dari atas atap itu.
Tentu saja semua orang terkejut bukan main dan ramailah mereka membicarakan tentang pemuda aneh itu. Mereka menghujani Sriyati dengan pertanyaan dan gadis itupun segera menceritakan semua pengalamannya.
Sementara itu, setelah Nurseta pergi bersama Sriyati, Padasgunung mengerutkan alisnya dan bertanya kepada Pragalbo, "Adi Pragalbo, apakah kau sudah mengenal betul pemuda itu?"
Pragalbo menggeleng kepalanya. "Baru saja aku bertemu dengan dia di tepi sungai, dan ternyata dia memiliki kesaktian yang amat tinggi"
"Hemm, kalau begitu kita telah lengah, Adi Pragalbo. Bagaimana kalau dia pergi membawa Sriyati untuk diambilnya sendiri?"
"Ah, mana mungkin" Dia seorang kesatria yang sakti mandraguna, Kakang Padasgunung"
"Hemm, kau belum mengenal orang macam apa dia itu, hanya yang kau tahu dia seorang pemuda yang sakti mandraguna. Apakah kesaktian itu dapat menjadi menjamin bahwa dia orang yang baik-baik" Banyak di dunia ini orang sakti yang jahat. Kita belum mengenalnya benar dan kita sudah menyerahkan Sriyati untuk dibawanya. Adi Pragalbo, kita telah lengah dan membahayakan diri Sriyati"
"Habis, bagaimana baiknya, kakang?" tanya Pragalbo yang panik juga mendengar kesangsian kakak seperguruannya.
"Tidak ada jalan lain, kita harus cepat menyusulnya ke dusun Mentasih. Kalau benar Sriyati dibawa kembali kepada keluarganya, sukurlah, Dan kita dapat berbicara dengan keluarganya untuk menentukan, siapa di antara kita yang dapat diterima menjadi suaminya. Sedangkan kalau ia dilarikan oleh pemuda bernama Nurseta itu. Kita harus mengejarnya dan merampasnya kembali"
Demikianlah, kakak beradik seperguruan ini lalu melakukan perjalanan cepat, lewat darat. Sepanjang tepi sungai mereka melakukan pengejaran, dan mereka mempergunakan kepandaian mereka untuk berlari cepat. Ketika mereka sudah dekat dengan dusun Mentasih, dari jauh Nurseta melihat mereka. Pemuda ini merasa heran dan cepat menyelinap ke belakang semak belukar untuk mengintai.
Melihat betapa dua orang itu lewat dengan wajah keruh seperti orang marah, diam-diam Nurseta mengikuti mereka secara diam-diam, Ia ingin tahu, apakah yang hendak mereka lakukan.
Setelah tiba di dusun Mentasih, Pragalbo dan Padasgunung melihat kesibukan para penduduk yang sedang membangun kembali dusun yang habis dilanda banjir itu, Pragalbo dan Padasgunung menghentikan larinya, Dan tiba-tiba mereka berhenti melangkah karena melihat dua orang yang sedang duduk di bawah sebatang pohon, seorang pemuda dan seorang gadis, nampaknya mereka sedang bermesraan. Duduk berdekatan dan saling menggenggam tangan masing-masing, saling pandang dengan mesra seperti dua orang yang sedang melepas kerinduan.
Seketika itu juga wajah kedua orang satria muda ini berubah merah, ketika mereka mengenal gadis itu, gadis itu bukan lain adalah Sriyati.
"Keparat!" Padasgunung yang lebih brangasan ketimbang adik seperguruannya tak dapat menahan cemburu dan kemarahannya. Dia langsung saja menerjang ke arah pemuda yang sedang duduk bersanding dengan Sriyati.
Akan tetapi pada saat itu, nampak bayangan berkelebat dan tiba-tiba saja Nurseta telah berdiri di depannya dan menangkis pukulan Padasgunung yang amat keras itu. Tangkisan yang amat kuat, sehingga Padasgunung terhuyung ke belakang.
Melihat dirinya tadi diserang orang, pemuda yang bukan lain adalah Parmanto bangkit berdiri dan memandang dengan heran, sementara itu, Sriyati juga bangkit berdiri dan memandang dengan wajah pucat.
Ketika Padasgunung dan Pragalbo melihat bahwa Nurseta membela pemuda itu, mereka menjadi semakin marah. "Hemm, kiranya kau berada di sini, Nurseta" bentak Pragalbo, kau berjanji hendak membawa Sriyati kepada keluarganya, tidak tahunya kau menjualnya kepada pemuda ini"
Pragalbo maju menyerang Nurseta, disusul pula oleh Padasgunung yang juga menyerang dengan penuh nafsu.
Menghadapi serangan kedua orang yang menyerangnya dengan sungguh-sungguh dan dengan kemarahan, Nurseta hanya mengelak sambil melangkah mundur.
"Tunggu dulu, Kakang Padasgunung dan Kakang Pragalbo"
Akan tetapi kedua orang laki-laki yang sedang marah itu, tidak mau bicara lagi dan bahkan ini mereka mencabut senjata masing-masing. Pragalbo mencabut kerisnya sedangkan Padasgunung mengeluarkan senjatanya yang aneh, yaitu sebatang suling. Dengan bersamaan mereka kakak beradik menyerang kalang kabut.
Nurseta mengerutkan alisnya. Dua orang kakak beradik ini adalah dua orang kesatria yang gagah perkasa, akan tetapi watak mereka keras dan kaku, mudah cemburu dan mudah pula marah. Diapun tidak mau mengalah terus. Melihat berkelebatnya suling dan keris, Nurseta mambalas menerjang ke depan, kedua tangannya bergerak menyambar dengan kecepatan luar. Sesuatu terasa mengetarkan tangan Padasgunung dan Pragalbo, betapa lengan tangan mereka seperti lumpuh, dan senjata mereka kini terlepas dari pegangan.
Sebelum mereka dapat memperbaiki kedudukan mereka, dua kali tendangan kaki Nurseta tepat menyentuh lutut dan kedua kesatria itu, sehingga mereka jatuh terduduk.
"Kakang Padasgunung dan Kakang Pragalbo, simpan dulu kemarahan kalian. Dengarlah baik-baik. Aku telah mengantarkan diajeng Sriyati kepada ayah bundanya dan mengembalikan kembali ingatannya, kalau kakang ingin mengetahui siapakah pemuda itu, tanyalah langsung kepada Diajeng Sriyati"
Sriyati kini berlari menghampiri dua orang itu dan berkata "Kakang Padasgunung dan Kakang Pragalbo, akulah yang bersalah. Ketahuilah, setelah aku berjumpa dengan ayah bundaku, ingatanku kembali. Aku mengingat segalanya kembali. Ini adalah Kakangmas Pramanto. Dia adalah tunanganku, calon suamiku. Harap jangan menuduh yang bukan-bukan, dan kakang Nurseta hanya mengantarkan aku kepada keluargaku"
Padasgunung dan Pragalbo memandang kepada Nurseta, dan berkata "Adimas Nurseta, kami telah bersalah, harap andika bisa memaafkan kami"
"Harap kakang berdua melupakan saja kejadian tadi, yang penting diajeng sudah berkumpul kembali kepada keluarganya dan juga tunangannya dan bahkan ingatannya telah pulih kembali, kalau kita sayang kepada diajeng, biarkanlah ia mendapatkan kebahagiaannya disini"
Ucapan itu bagaikan air dingin yang mengguyur kepala kedua orang gagah itu, dan menyadarkan mereka, betapa piciknya sikap mereka tadi. Mereka memandang kepada Nurseta lalu mengangguk, sinar mata mereka kini berkilat, wajah mereka kembali berseri-seri penuh semangat.
Nurseta merasa gembira sekali, dan iapun menurut saja ketika dua orang itu menggandeng tangannya dan membawanya pergi dari tempat itu, tanpa menoleh satu kalipun kepada Sriyati, seolah-olah kedua orang itu kini sudah melupakan gadis yang pernah dijadikan rebutan itu.
Sebelum Nurseta berpisah dari dua orang kakak beradik itu, mereka sempat bercakap-cakap sebagai seorang sahabat baik. Dari percakapan itulah Nurseta mengetahui bahwa persekutuan pemberontak yang dipimpin oleh Mahesa Rangkah itu, didukung pula oleh kakek sakti Ki Buyut Pranamaya, menurut desas-desus yang mereka dengar, kini mulai bergerak dari timur.
"Beberapa tahun yang lalu, mereka itu bersarang di Bukit Gandamayit, di hutan Cempiring. Akan tetapi ketika para senopati kerajaan melakukan penyelidikan ke tempat itu. Para pemberontak itu telah lenyap, sarang mereka telah ditinggalkan kosong. Mungkin mereka telah mendapatkan sarang baru, dan menurut kabar, mereka memilih tempat yang berada di wilayah Kediri. Kalau pada waktu itu mereka masih berada di Gandamayit, tentu mereka telah diserbu pasukan kerajaan dan sudah dihancurkan" kata Padasgunung.
"Dan sekarang, menurut desas desus, mereka telah keluar dari daerah Kediri dan mulai menduduki beberapa buah dusun di Pegunungan Kidul. Mungkin kerajaan belum mendengarnya, akan tetapi kami yang berada di daerah Selatan, telah mendengar berita itu" berkata pula Pragalbo.
Nurseta mengerutkan alisnya. "Hemm, kalau begitu, negara kita sedang terancam dan sudah menjadi kewajiban kita untuk menentang pemberontakan yang hanya akan mendatangkan perang dan kesengsaraan bagi rakyat jelata"
"Memang sudah seharusnya kita membantu pemerintah untuk menentang para pengacau itu. Akan tetapi, adimas, apa artinya bantuan kami kalau yang memimpin pemberontakan itu didukung oleh seorang kakek sakti seperti Ki Buyut Pranamaya?" kata Padasgunung.
"Siapakah itu?" tanya Nurseta.
"Ah, agaknya Adimas Nurseta baru saja meninggalkan pertapaan sehingga belum banyak mengenal tokoh dari dunia sesat" kata Pragalbo. "Ki Buyut Pranamaya adalah seorang kakek yang memiiiki kesaktian yang amat hebat. Ia sakti mandraguna dan sukar dicari tandingannya. Kami sendiri belum pernah bertemu dengan dia, akan tetapi sudah banyak mendengar tentang nama besar dan kesaktiannya. Terus terang saja, bantuan kami tidak ada artinya.
"Adi Pragalbo benar" kata Padasgunung, "kami tidak akan mampu menandingi mereka, tentu saja kalau Adimas Nurseta sendiri yang maju........."
"Harap kakang berdua tidak beranggapan seperti itu. Di dalam perjuangan menentang kejahatan, kita harus bersatu pada. Seperti halnya sapu lidi, kalau kita maju satu demi satu, memang tidak ada artinya. Akan tetapi, kalau ratusan atau ribuan batang lidi bersatu, maka, mereka akan menjadi sapu yang sanggup membersihkan semua kotoran. Harap kakang berdua mempersiapkan diri saja di daerah Pegunungan Kidul, siapa tahu tenaga kakang berdua kelak dibutuhkan, karena aku yakin bahwa para senopati Singosari dan para pendekar dan kesatria tidak akan tinggal diam saja mendengar gerakan para pemberontak itu.
Setelah puas bercerita, maka merekapun berpisah, setelah berjanji untuk berjumpa kembali di dalam perjuangan menentang para pemberontak.
Nurseta melanjutkan perjalanannya. Ketika ia tiba di dusun Karangreja, di mana Kali Campur memuntahkan airnya ke dalam Sungai Brantas yang menjadi semakin besar, dia lalu mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanan melalui aliran air sungai yang besar itu. Lebih enak dan tidak melelahkan kalau dia dapat melanjutkan perjalanan melalui air sungai ke hilir. Dan lagi, dia sendiri tidak tahu ke mana harus mencari ayahnya.
Sebelum tiba di tepi Kali Campur dan bertemu dengan Padasgunung dan Pragalbo, sekali lagi dia lewat ke dusun Kelinting. Namun, ayahnya tidak berada di sana, dan tak seorangpun penduduk dusun itu yang mengetahui ke mana ayahnya pergi. Ayahnya dibawa pergi orang jahat, berikut tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Ayahnya selalu menggemblengnya untuk menjadi seorang kesatria pembela tanah air, bahkan gurunya, Panembahan Sidik Danasura, juga memesan padanya agar mempergunakan semua llmu yang dipelajarinya untuk menjadi seorang satria sejati, pembela kebenaran dan keadilan, menentang yang jahat dan membela yang benar dan yang lemah tertindas.
Ia sudah mendengar akan adanya pemberontakan yang didukung oleh para tokoh sesat, berarti bahwa Kerajaan Singosari terancam bahaya. Kiranya jalan terbaik baginya adalah pergi ke kota raja dan melapofkan apa yang telah didengarnya dari kedua orang kakak beradik seperguruan itu tentang pergerakan para pemberontak di perbatasan Kediri sebelah selatan.
Kebetulan ada sebuah perahu yang sederhana yang memuat ubi merah, didayung oleh seorang laki-laki setengah tua menuju ke hilir.
Nurseta meneriakinya dari tepi. "Paman, aku ingin ke hilir, bolehkah aku menumpang perahumu?"
Laki-laki itu memandang Nurseta, ia melihat seorang pemuda tampan yang sikapnya ramah, diapun mendayung perahunya ke tepi.
"Andika tidak membawa barang berharga?" tanyanya sambil menahan perahu dengan dayungnya yang ditekankan pada tanah sambil memandang ke arah buntalan pakaian di punggung Nurseta.
Pemuda itu tersenyum "Aku bukan seorang saudagar, paman, melainkan seorang perantau miskin"
"Kalau begitu naiklah, dan bantu aku mendayung"
Nurseta naik ke atas perahu dan duduk di bagian belakang, ia menerima dayung dari orang tua itu yang duduk di bagian depan untuk mengemudikan perahu. Mulailah Nurseta mendayung, perahu meluncur ke tengah.
"Paman, mengapa paman tadi bertanya apakah aku membawa barang berharga?"
"Di depan sana banyak bajak, kalau mereka melihat orang membawa barang berharga, tentu kita akan diganggu"
Nurseta memandang lima buah keranjang yang penuh ubi merah itu, dan berkata "Akan tetapi kau membawa lima keranjang ubi, bukankah ini cukup berharga?"
"Hanya bajak kelaparan saja yang mau membajak ubi merah. Tak mungkin mereka mau bersusah payah menjualnya lebih dulu," kata orang itu, akan tetapi pandang matanya membayangkan kekhawatiran.
Baru saja dia berkata demikian, tiba-tiba nampak sebuah perahu hitam muncul dari semak-semak di tepi sungai. Kanan kiri sungai yang lebar itu penuh dengan semak belukar dan pohon-pohon besar, dan tidak nampak ada manusia, letaknya juga jauh dari pedusunan, sunyi teekali.
Perahu hitam itu ditumpangi lima orang yang, langsung memotong jalan. pemilik ubi merah itu memandang pucat.
"Dayung terus, cepat!" bisiknya kepada Nurseta.
Nurseta dapat menduga bahwa merka ini tentulah bajak yang dimaksud oleh petani ubi tersebut.
"Hei! Berhenti, apakah kalian ingin mampus?" bentak seorang bajak.
"Berhenti dan serahkan samua barang kalian, juga pakaian yang kalian pakai itu!" teriak bajak lain.
Perahu bajak itu meluncur cepat mendampingi perahu petani itu, dan seorang diantara mereka bangkit berdiri dan mengayunkan dayung yang agak besar ke arah kepala Nurseta. Agaknya, mereka menganggap Nurseta yang masih muda itu lebih berbahaya dari pada si petani, maka perlu dirobohkan dahulu.
Melihat ini, Nurseta juga menggerakkan dayungnya menangkis sambil mengerahkan tenaga dan mendorong.
"Dukkk........ byurrr.......!"
Tak dapat dicegah lagi, orang itu terjengkang dan tercebur ke dalam air. Empat orang bajak lainnya terkejut. Mereka lalu berloncatan terjun ke air. Perahu yang ditumpangi Nurseta dan petani itu terguncang hebat dan miring. Tahulah Nurseta bahwa lima orang bajak itu hendak menggulingkan perahu yang ditumpanginya. Dan dia maklum bahwa kepandaian renangnya yang hanya terbatas, itu takkan dapat melindungi dirinya kalau sampai dia terjatuh ke dalam air. Tentulah ia akan celeka, kalau ia dikeroyok dalam air oleh para bajak yang amat mahir bergerak dalam air.
Akan tetapi, Nurseta tidak dapat mencegah mereka. Para bajak itu menyelam dan berusaha membalikkan perahu dari bawah, sehingga Nurseta tidak dapat menyerang untuk mencegah perahu terguncang, semakin lama, guncangannya semakin hebat dan akhirnya terbalik. Petani itu berteriak dan tercebur ke dalam air, akan tetapi Nurseta sudah meloncat dengan sigapnya ke atas perahu bajak yang ditinggalkan.
Dengan marah Nurseta melihat seorang bajak menusukkan goloknya ke punggung petani itu. Petani itu memekik dan terkulai.
"Keparat busuk!" Nurseta berseru, akan tetapi karena dia tidak berdaya menghadapi mereka yang berada di dalam air, terpaksa dia mendayung perahu bajak itu ke tepi dan meloncat ke darat. Dia mengharapkan lima orang bajak itu akan mendarat pula untuk dihajarnya. Mereka telah membunuh petani ubi yang tidak berdosa itu.
Akan tetapi tiba-tiba dia melihat peristiwa yang membuat dia terbelalak dan terkejut sekali. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja sudah muncul seorang gadis berpakaian serba hijau dari dalam air diantara para bajak yang juga menjadi terkejut sekali melihat seorang gadis secara tiba-tiba saja muncul dari bawah air.
Akan tetapi, lima orang itu adalah bajak-bajak yang sudah kebal akan rasa takut. maka hanya sebentar saja mereka terkejut, karena segera mereka mendapat kenyataan bahwa gadis itu adalah gadis cantik sekali, kini sikap mereka berubah menjadi liar. Mereka tertawa-tawa dan tangan merekapun berebutan hendak menjangkau tubuh gadis. yang cantik itu.
Akan tetapi, Nurseta melihat betapa kedua tangan gadis itu dengan gerakan cepat sekali telah menampar secara bertubi-tubi lima orang itu. Terdengar suara keras disusul jerit-jerit mengerikan dan lima orang itupun terkulai dengan kepala retak dan mayat merekapun terapung dan hanyut oleh arus air, mengejar mayat petani yang tadi mereka bunuh.
Wajah Nurseta menjadi pucat dan matanya terbelalak, bukan saja melihat betapa gadis itu dengan cara yang amat ganas telah membunuh lima orang bajak demikian mudahnya, melainkan terutama sekali karena dia mengenal wajah gadis berpakaian serba hijau itu.
"Wulansari....!" teriaknya.
Gadis yang hanya tampak kepalanya saja di permukaan air, menoleh kepadanya, memandang dengan sikap dingin tanpa senyum, kemudian menyelam kembali.
Nurseta hanya melihat bayangan hijau meluncur di bawah permukaan air dan lenyap. Ketika dia memandang ke depan, bayangan hijau itu sudah muncul jauh di hilir kemudian berenang ke tepi dan meloncat ke darat dan lenyap di antara semak belukar.
Nurseta masih terpukau, sampai lama dia memandang ke arah lenyapnya bayangan hijau itu, kemudian memandang ke arah enam mayat yang terapung perlahan mengikuti arus sungai. Iapun menarik napas panjang, perasaannya masih terguncang.
Setelah orang yang bertembang itu tiba di depan mereka, barulah Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri mendapat kenyataan bahwa mereka salah kira. Kakek ini sama sekali bukanlah kakek yang pernah menolong dan membawa pergi Ki Baka. Kakek ini sangat berbeda. Kalau kakek yang menolong Ki Baka itu mukanya pucat seperti mayat dan penuh keriput dan tak pernah nampak mulutnya bergerak walaupun sedang tertawa atau bicara, sebaliknya kakek ini wajahnya seperti wajah seorang anak muda saja, kulit mukanya belum berkeriput dan masih kemerahan walaupun rambut, kumis dan jenggotnya sudah putih semua.
Mulutnya penuh dengan senyum, sepasang matanya mengeluarkan sinar lembut dan ramah, pakaiannya sangat sederhana hanya terbuat dari kain kasar berwarna putih. Yang mirip diantara kedua kakek itu adalah pakaian dan ikat rambutnya sajalah, kedua-duanya memakai kain berwarna putih. Usia merekapun agaknya sebaya walaupun kakek ini wajahnya tetap segar seperti wajah orang muda saja layaknya.
Melihat kenyataan bahwa kakek ini bukanlah kakek yang mereka takuti itu, timbul pula keberanian Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri. Tentu saja tidak semua kakek memiliki kesaktian seperti kekek penolong Ki Baka.
"Heh, orang tua, mau apa kau ke sini, pergilah, kami tidak ada urusan dengan kakek-kakek!" Gagak Wulung membentak.
"Pergi dan jangan mencampuri urusan kami..!!" Ni Dedeh Sawitri juga membentak marah.
Kakek itu tersenyum lebar, katanya "Heh-heh-heh, kulit memang tidak menentukan isi buah durian, kulitnya buruk akan tetapi isinya manis, sebaliknya mundu halus kuning isinya asam"
Tentu saja ucapan ini mengandung makna bahwa dua orang yang tampan dan cantik itu ternyata hanya elok pada lahirnya saja, akan tetapi wataknya sungguh tidak sesuai, begitu bertemu mengeluarkan kata-kata kasar dan mengusirnya.
"Sudahlah, perlu apa melayani tua bangka yang suah pikun" kata Ni Dedeh Sawitri. "Hayo kita tawan dia!" Dan iapun sudah menyerbu Nurseta yang berdiri sambil melepas lelah. Tubuhnya terasa nyeri semua, terutama bekas goresan kuku Sarpakenaka dan tamparan Hasta Jingga. Kepalanya sudah pening dan kedua kakinya gemetar. Namun, melihat wanita itu sudah menyerangnya lagi, dia masih sempat mengelak dan kini Gagak Wulung juga sudah maju menyerangnya.
"Heh-heh, dua orang yang memiliki aji kesaktian hitam mengeroyok seorang pemuda remaja. Sungguh tidak adil dan aku akan menonton kalian memetik buah pahit dari tanaman yang kalian tanam sendiri. Heh, orang muda, jangan takut dan lawanlah mereka" katanya.
Tanpa diperintah sekalipun, Nurseta memang bertekad untuk mempertahankan nyawanya segigih mungkin, sampai titik darah terakhir! Dia teringat selalu akan satu diantara wejangan ayahnya, yang pernah berkata begini:
"Kulup, anakku Nurseta, ingatlah selain bahwa Hyang Maha Agung telah menganugerahi kita manusia dengan tubuh sempurna dan tanah untuk mempertahankan kehidupan kita. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban kita untuk menjaganya, menjaga tanah dan tubuh kita. Ingatlah kulup, bahwa tanah atau tanah air, harus dijaga dan dibela, kalau perlu dengan taruhan nyawa, karena di tanah air inilah terdapat sejarah semenjak nenek moyang kita, dimana mereka dikuburkan, dimana kita dilahirkan, dimana kita mencari makan, sandang dan papan, dimana kita berbangsa dan berkebudayaan. Sejengkalpun tanah harus kita pertahankan, karena itu milik kita, hak kita sebagai anak bangsa. Dan tubuh kitapun harus dipertahankan sebaik mungkin, karena seperti juga tanah, tubuh merupakan anugerah Hyang Maha Agung, yang hanya dititipkan saja kepada kita, untuk kehidupan dan kebahagian hidup kita. Kalau tubuh kita sakit, kita harus mengobati. kalau terancam, kita harus menyelamatkannya.
Sekarang dia dikeroyok dua orang yang hendak membunuhnya, atau setidaknya Ingin menawan dan menyiksanya untuk memaksanya menunjukkan dimana adanya letak pusaka Tejanirmala. Hanya kepadanyalah ayahnya memberitahukan letak pusaka itu disimpan, yaitu di puncak sebuah diantara dua batang pohon aren di kebun belakang. Dia harus membela diri, sepercik darahnya harus dibela, demikian juga dengan sejengkal tanah airnya.
Akan tetapi, ada keanehan yang membuat Nurseta terkejut, kaget dan juga bingung. Setiap kali tangan atau kaki dua oran lawannya itu melayang untuk menyerangnya, tangan atau kaki lawannya itu tertahan atau seperti tertangkis oleh sesuatu yang tidak nampak sehingga tidak sampai mengenai tubuhnya.
Melihat keanehan ini, Nurseta yang cerdik dapat meduga bahwa ada orang sakti mandraguna ya membantunya dan siapa lagi orang sakti itu kalau bukan si kakek tua renta itu. Karena, selain mereka bertiga yang hadir di situ hanya kakek itulah yang tersisa.
Nurseta menjadi girang dan segera membalas dengan tamparan-tamparan, pertama kearah dada Gagak Wulung dan yang kedua kalinya dia menampar kearah pipi Ni Dede Sawitri.
"Desss! Plakkk!" Dua serangannya itu tepat mengenai sasaran, seolah-olah sama sekali tidak dielakkan oleh kedua orang lawannya.
Gagak Wulung roboh terjengkang dan Ni Dedeh Sawitri terpelanting. Meraka cepat meloncat berdiri kembali dengan muka pucat. Betapa mereka tidak akan menjadi gentar kalau tadi semua serangan mereka tertumbuk pada kekuatan tak nampak yang membuat serangan mereka tidak dapat menyentuh kulit pemuda remaja itu, dan ketika pemuda itu membalas, betapapun mereka berusaha menangkis, namun mereka tidak mampu menggerakkan tubuh, baik untuk menangkis maupun mengelak. Mereka merasa penasaran sekali. Ilmu iblis apakah yang dipergunakan oleh pemuda ini".
"Keparat, rasakan pembalasanku!" bentak Ni Dedeh Sawitri dan kini kedua tangannya terbuka dengan kuku-kuku jari tangannya sudah penuh dengan Aji Sarpakenaka maju menyerang Nurseta.
Serangan ini merupakan serangan maut, karena terkena sekali goresan satu kuku saja sudah berbahaya, apa lagi kalau terkena goresan sepuluh kuku. Akan tetapi, selagi Nurseta menghindar, ternyata gerakan kedua tangan musuhnya itu terhenti di tengah jalan dan melihat Nurseta melangkah maju, lalu mengirim hantaman dengan kekuatan Aji Sari Patala, dan jurus dari Aji Bajradenta dia mengarahkan kearah ubun-ubun kepala wanita itu.
Tetapi, selagi tangannya bergerak, tiba-tiba dia teringat akan pesan ayahnya. "Ingat, kulup. Jangan sekali-kali membunuh, betapapun jahatnya orang itu, kecuali hanya kalau terpaksa untuk membela diri dari ancaman maut. Membunuh adalah kesalahan yang paling besar dan dikutuk oleh Hyang Wisesa, angger"
Teringat akan perkataan ayahnya itu, Nurseta cepat menyelewengkan pukulan tangannya, sehingga pukulan itu tidak mengenai ubun-ubun, melainkan mengenai pundak kiri Ni Dedeh Sawitri, dan tenaganyapun sudah banyak dikurangi.
"Desss........!" Betapapun juga, tubuh itu terpetanting untuk kedua kalinya dan kini tidak dapat segera bangkit karena pundaknya terluka parah, tulangnya seperti patah rasanya dan wanita itu memegangi pundaknya sambil merintih lirih.
Melihat keadaan teman sekaligus kekasihnya ini, marahlah Gagak Wulung. Kedua lengannya digerak-gerakkan dan ketika kepalan tangannya dibuka nampak kedua tangan itu kemerahan dan mengeluarkan uap, lalu mengeluarkan bentakan dahsyat sambil menerjang Nurseta menggunakan kedua telapak tangan yang dialiri Aji Hasta Jingga sepenuhnya. Serangan itu mengarah kebagian kepala dan dada.
Belum lagi pukulan-pukulan itu sampai, Nurseta sadah merasakan datangnya sambaran angin panas dan selagi dia siap untuk rnengelak, tiba-tiba saja Gagak Wulung berteriak kaget karena kedua tangannya terhenti di udara seperti tertahan oleh kekuatan yang tidak tampak.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Nurseta untuk membalas dengan tendangan. Tendangannya meluncur ke arah bawah pusar dan tentu lawan akan roboh tewas kalau mengenai sasaran. Namun Nurseta kembali teringat, tidak boleh membunuh dan diapun mengubah arah tendangannya.
"Desss..!" Tendangan itu mengenai pinggul dari tubuh Gagak Wulung, yang mengakibatkan Gagak Wulung terjengkang dan terbanting keras diatas tanah.
Gagak Wulung mencoba merangkak bangun, dan ia saling pandang dengan Ni Dedeh Sawitri, kemudian keduanya memandang kearah kakek tua renta yang masih tersenyum dan berdiri tidak jauh dari arena perkelahian. Mereka mengerti, bahwa kakek itulah yang menurunkan bantuan kepada Nurseta.
Mereka maklum bahwa keadaan mereka dalam bahaya, maka dengan pandangan mata, keduanya sudah sepakat untuk melarikan diri. Mereka meloncat dan lari sekuat tenaga meninggalkan tempat itu seperti dikejar setan.
Sementara itu, kakek tadi sangat kagum melihat tindakan Nurseta tadi, dua kali Nurseta mengubah gerakannya, serangan maut menjadi serangan yang tidak membabayakan nyawa lawan. Hal inilah membuat dia tersenyum lebar dan kini ia mengamati pemuda remaja itu penuh perhatian. Dia mengangguk-angguk, tangan kirinya mengelus jenggot panjang putih, tangan kanan memutar-mutar seuntai tasbeh seperti menghitung biji-biji tasbeh itu tanpa henti.
Nurseta adalah seorang pemuda yang cerdas. Dia tahu bahwa tanpa ada yang menolongnya, tentu kini ia sudah roboh tertawan atau mungkin juga sudah tewas. Dan penolongnya tentu kakek tua renta ini. Maka, tanpa ragu diapun menjatuhkan diri berlutut didepan kakek itu, menghaturkan hormat
"Berkat pertolongan Eyang, saya masih bisa bernafas sampai saat ini, entah bagaimana saya dapat membalas budi kebaikan itu....."
Sampai di sini, Nurseta tidak kuat lagi menahan nyeri yang sejak tadi menghentak-hentak tubuhnya karena racun-racun pukulan kedua orang lawannya sudah mulai bekerja dan Nursetapun terguling roboh, pingsan.
Kakek itu lalu duduk bersila memeriksa keadaan tubuh Nurseta. Melihat bekas goresan kuku yang menjadi biru kehitaman, bekas tangan Hasta Jingga yang kemerahan. Kakek tersebut menarik napas panjang, lalu mengheningkan cipta. Dari mulutnya mengeluarkan puja-puji mantram lirih.
Kedua telapak tangannya yang agak gemetar karena mengandung tenaga sakti itu kini mengurut-urut bagian tubuh Nurseta yang terkena pukulan beracun. Ketika kedua tangan itu mengurut-urut bekas goresan kuku Sarpa Kenaka, kedua telapak tangannya berubah hitam karena hawa beracun itu tersedot oleh kekuatan yang terkandung di dalam kedua tangan kakek tersebut.
Kakek itu kemudian mencuci tangannya dengan rumput basah. Kemudian ia mengurut lagi luka yang diakibatkan oleh pukulan Hasta Jingga dan racun itupun tersedot sehingga kedua telapak tangan kakek itu berubah merah. Dicucinya kembali kedua telapak tangan itu dengan rumput basah.
Tak lama kemudian Nurseta siuman dari pingsannya, ia membuka kedua matanya dan cepat dia bangkit duduk, Ia mencoba mengingat kembali apa yang terjadi. Dan ketika ia merasa bahwa luka-lukanya tidak terasa nyeri, dan melihat betapa bekas pukulan kedua orang lawannya yang tangguh itupun tidak berbekas lagi, kembali ia menyembah kakek yang duduk bersila di depannva dan kakek itupun sedang memandangnya sambil tersenyum.
"Luka saya telah sembuh,, sudah pasti bahwa paduka yang kembali telah menolong saya. Eyang, terima kasih saya haturkan dan......."
Kakek itu mengangkat tangan kanannya keatas sebagai isyarat agar pemuda itu tidak melanjutkan kata-katanya. "Kulup, lepaskan kembali ikatan itu. Dendam dan budi hanyalah pengikat batin, menjadi beban dan memperkuat rantai karma. Tidak ada menolong atau menolong, karena perbuatan itu selalu menyembunyikan pamrih. Sudah menjadi kewajiban tiap orang manusia untuk menolong dalam batas kemampuannya, untuk mengulurkan tangan memberi makanan bagi yang kelaparan, memberi minum yang kepada yang haus, mengbati yang sakit, dan menginsyafkan yang sesat"
Nurseta menghormat dengan khidmatnya dan iapun maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang kakek yang bukan saja sakti mandraguna, namun juga bijaksana, seorang yang berhati bersih.
"Ampun beribu ampun, Eyang, bukan makud saya untuk membantah. Akan tetapi, jauh bedanya dendam dengan budi. Dendam memang seyogyanya ditiadakan dari batin, akan tetapi budi" Tidakkah sudah sewajarnya kalau kita harus mengenai budi yang dilimpahkan orang lain kepada kita, Eyang?"
"Heh-heh-heh, memang seharusnya demikianlah menjadi orang muda, selalu ingin mengetahui akan kebenaran. Ketahuilah, kulup, dan mari kita selidiki bersama. Apakah bedanya dendam dengan budi" Bukankah keduanya itu timbul dari batin yang mempertimbangkan untung rugi."
"Hamba mengerti, Eyang" katanya mengangguk-angguk.
"Kulup, sekarang aku ingin bertanya. Siapakah andika dan mengapa pula tadi andika dikeroyok oleh dua orang itu?"
Maklum bahwa dia berhadapan dengan orang yang sakti mandraguna dan bijaksana. Nurseta lalu menjawab "Saya kira Eyang tidak akan khilaf lagi siapa saya dan mengapa saya dikeroyok oleh mereka"
"Heh-heh-heh, bocah bagus. Orang yang mengaku mengerti sesungguhnya tidak mengerti, dan orang yang mengaku pintar sesungguhnya adalah bodoh. Jawablah pertanyaanku tadi dan ceritakan semuanya, kalau engkau tidak berkeberatan"
Nurseta terkejut dan teringat bahwa dia teahl salah bicara. "Harap maafkan saya, Eyang. nama saya Nurseta dan nama ayah saya Ki Baka yang bertempat tinggal dusun Kelinting. Kurang lebih sebulan yang lalu saya disuruh oleh saya bertapa di dalam Goa Kantong Bolong di bawah tebing itu. Sedangkan kedua orang yang menyerang saya tadi, adalah Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri. Tiba-tiba saja mereka sudah berada di dalam Goa Kantong Bolong, mereka mengatakan bahwa ayah saya terluka parah oleh orang-orang yang hendak merampas tombak aka Ki Ageng Tejanirmala. Mereka mengatakan diutus ayah untuk mengambil tombak pusaka itu dari saya. Sedangkan saya tidak pernah menerima tombak itu dari ayah, sewaktu saya mendengar bahwa ayah saya terluka, saya lalu naik keatas tebing dan mereka mengejar sampai di sini. Dan mereka lalu mengeroyok saya dan hendak memaksa saya menunjukkan dimana adanya tombak pusaka itu. Demikianlah ceritanya Eyang dan kalau Eyang memperkenankan, mohon saya dapat mengetahui, siapakah nama Eyang dan dimana tempat tinggal Eyang"
Kakek itu mengangguk-angguk. Sejak tadi pandangan matanya selalu mengamati sosok pemuda remaja yang duduk bersila di depannya itu dan dia mendapat kesan bahwa pemuda ini merupakan seorang calon pendekar yang sangat berbakat, seorang calon satria yang dapat dibanggakan kelak.
"Kulup Nurseta, ketahuilah. Orang menyebut aku Panembahan Sidik Danasura. Adapun padepokanku berada di Teluk Prigi, di Segoro Wed (Lautan Pasir) di tepi pantai Laut Selatan. Sudah menjadi kesenanganku untuk menjelajah pegunungan selatan dari timur sampai ke utara dan tuntunan kekuasaan Hyang Widhi sajala yang membawaku ke sini dan melihat engkau terancam bahaya maut. Sekarang, apa yang hendak kaulakukan selanjutnya, kulup?"
"Eyang Panembahan, kemunculan dua orang itu jelas hendak mencari dan merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala, dan saya merasa khawatir akan nasib ayah saya di dusun Kelinting. Saya rencan hendak pulang menengok keadaan ayah saya"
Kembali kakek itu mengangguk-angguk "Sudah lama aku mendengar akan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala itu, angger. Hemh, orang-orang mencari keselamatan melalui pusaka, padahal, tidak ada pusaka yang lebih ampuh dari pada keadaan batin sendiri. Pusaka hanyalah alat, benda mati, kalau dipergunakan untuk kebenaran dan kebaikan maka jadila ia pusaka keramat, sebaliknya, kalau dipergunakan untuk kekeliruan dan kejahatan, jadilah ia benda terkutuk. Mereka yang menyerangmu itu termasuk golongan sesat yang takkan menyerah begitu saja sebelum niat mereka tercapai, maka amatlah berbahayalah kalau engkau melakukan perjalanan seorang diri. Kalau kau tidak keberatan, marilah kita jalan bersama, kulup"
Tentu saja Nurseta merasa girang bukan main. Dengan adanya kakek ini, dia boleh merasa aman terhadap ancaman dan gangGoan orang sakti yang jahat itu. Dan siapa tahu ayahnya benar-benar menderita luka parah dan kakek ini akan dapat menyembuhkannya, seperti yang dilakukan pada dirinya tadi.
Maka Nursetapun menjawab "Tentu saja saya tidak keberatan, bahkan saya merasa gembira dan berterima kasih sekali, Eyang panembahan"
Mereka lalu bangkit dan berjalan meninggalkan tempat itu, menuju ke dusun Kelinting. Ia ingin cepat-cepat tiba di dusunnya. Ia mengerahkan aji kesaktiannya dan berlari cepat. Dia melihat kakek itu berjalan saja, seperti lambat, namun anehnya, kakek itu tidak tertinggal satu langkahpun darinya, bahkan berada di sampingnya, sehingga Nurseta dibuat terkagum-kagum dan takluk
Karena dua orang sakti itu melakukan perjalanan dengan aji kesaktian mereka, maka sore harinya mereka telah memasuki dusun Kelinting. Begitu masuk dusun dan bertemu dengan seorang kakek penduduk itu, Nurseta dirangkul dan kakek itupun menangis.
"Aduh, Den Nurseta....... malapetaka telah menimpa dusun kita !"
Nurseta terkejut sekali. "Paman Karpo, apakah yang telah terjadi?"
"Kurang lebih seminggu yang lalu......., gerombolan manusia iblis yang kejam, memasuki dusun ini. Mereka itu menghancurkan rumah ayahmu, kemudian membunuh belasan orang penduduk yang tidak memberitahu di mana engkau berada......."
"Dan bagaimana dengan ayahku?"
"Kami tidak tahu, ayahmu lenyap bersama mereka. Tidak kami temui seorangpun di bekas tempat tinggal ayahmu, Raden Nurseta"
Nurseta terkejut dan gelisah sekali. "Eyang Panembahan, saya akan mencari ayah dahulu" Dan diapun berlari menuju ke sudut dusun tempat tinggal ayahnya.
Panembahan Si Danasura mengikutinya dari belakang.
Nurseta hanya dapat berdiri bengong memandang bekas rumahnya yang sudah rata dengan tanah, yang tinggal hanya puing-puing yang berantakan saja, bahkan tanah itupun nampak bekas dicangkuli.
"Ah, ayah tentu telah mereka tawan!" katanya, bingung dan juga gelisah. "Tentu ayah tidak mau mengaku dimana adanya tombak pusaka itu, maka mereka menawan ayah"
"Tenanglah angger. Ada dua kemungkinan. Pertama, mereka tidak menemukan tombak Pusaka dan menawan ayahmu. Kedua, ayahmu berhasil melarikan diri dan membawa pergi tombak pusaka itu"
"Aku akan melihatnya, Eyang" Nurseta berlari ke kebun dan dengan cepat memanjat sebatang diantara dua pohon aren itu. Tak lama kemudian dia meloncat turun "Pusaka itu sudah tidak ada" katanya. "Kalau begitu, tidak mungkin ayahmu mereka tawan. Kalau mereka sudah menemukan pusaka itu, untuk apa lagi menawan ayahmu, tentu ayahmu berhasil menyelamatkan diri dan membawa pusaka itu"
"Mudah-mudahan demikianlah, Eyang. Akan tetapi, kemanakah ayah pergi" Kemana saya harus mencarinya?" Pemuda itu menjadi gelisah kembali.
Kakek itu tersenyum "Kalau Hyang Wisesa menghendaki, engkau kelak tentu akan dapat berjumpa kembali dengan ayahmu. angger. Bagaimana kalau sementara ini engkau ikut denganku, memperdalam llmumu agar kelak dapat kau pergunakan untuk mencari ayahmu, membuatmu cukup kuat untuk. menghadapi gerombolan penjahat yang sakti itu"
Memang hal ini sudah diharapkan oleh Nurseta. Menjadi murid kakek yang sakti mandraguna ini. Maka, mendengar ucapan itu lalu menjatuhkan diri berlutut. "Eyang Panembahan, mulai detik ini saya, Nurseta, menghambakan diri kepada Eyang sebagai seorang murid dan apapun perintah Eyang kepada saya, akan saya junjung tinggi dan saya taati"
Panembahan Sidik Danasura mengulur tangan menjamah kepala pemuda itu, memberi isyarat untuk bangkit. "Baiklah, aku menerimamu sebagai murid, kulup. Jangan khawatir, kalau Hyang Maha Agung mengijinkan, kelak engkau tentu akan dapat bertemu kembali dengan ayahmu. Sekarang, marilah engkau ikut bersamaku ke padepokanku di Teluk Prigi, kulup"
"Baik, Eyang"
Keduanya lalu pergi meninggalkan Kelinting, menuju ke selatan. Di sepanjang perjalanan yang dilakukan dengan seenaknya itu, Sang Panembahan Sidik Danasura memberi wejangan kepada Nurseta yang didengarkan oleh pemuda itu dengan penuh perhatian, dan di mana perlu, dia tidak segan untuk mengemukakan pendapatnya agar dia dapat menangkap inti pelajaran itu lebih baik lagi.
"Angger Nurseta, tahukah kau, mengapa aku mengambil keputusan untuk mengangkatmu sebagai murid" Aku tertarik ketika melihat kau tadi tidak memukul mati dua orang lawanmu itu. Aku melihat betapa kau menahan diri, bahkan mengubah arah serangan dan mengurangi banyak tenaga agar kedua orang itu tidak sampai terluka parah atau mati. Mengapa kau melakukan hal itu?"
"Pada saat saya hendak mengirim serangan maut, tiba-tiba saya teringat akan wejangan ayah saya bahwa saya tidak boleh sembarangan saja membunuh orang lain, kecuali kalau terpaksa sekali demi membela dan melindungi diri sendiri yang terancam maut. Karena itulah, saya mengurungkan niat menyerang mereka untuk mematikan"
"Hemm, permulaan yang baik, Angger Nurseta, hidup manusia ini tidak ada artinya sama sekali kecuali kalau hidup ini dipenuhi dengan welas asih"
*** Mereka tiba di puncak sebuah bukit dari barisan bukit selatan yang seolah-olah menjadi tanggul untuk melindungi Pulau Jawa dari Laut Selatan. Kakek itu berhenti dan mereka berdua memandang ke selatan. Nampak bukit-bukit, sawah ladang, hutan-hutan, kemudian lautan membentang luas jauh di selatan, bersatu dengan langit, Kakek itu menarik napas panjang, menghirup hawa udara yang sejuk segar dan bersih, seperti orang kehausan meminum air jernih.
Nurseta juga melakukannya, dia merasa betapa dadanya mekar dan betapa hawa murni memasuki tubuhnya sampai terasa di pusar. "Ah".. betapa nikmatnya hidup ini, angger"
"Benar, Eyang. Pada saat saya menghirup hawa murni, batin tidak terisi apapun, pada detik itu terasa nikmat dan bahagia yang sukar dilukiskan. Akan tetapi, begitu pikiran mengenang keadaan ayah, kekhawatiran timbul dan kenikmatan tak terasa lagi, kebahagiaan lenyap"
Mendengar ini, Panembahan Sidik Danasura tertawa, suara ketawanya lepas, mukanya mengadah ke langit, sehingga suara ketawa itu mengalun ke bawah bukit, bergema sampai jauh
"Ha-ha-ha-ha! Nah itu, engkau telah menemukan sendiri, merasakannya sendiri suatu kenyataan hidup. Nurseta, Menghadapi kenyataan apa yang ada dengan waspada, itulah seni tertinggi dari hidup ini. Kebahagiaan itu sudah ada dan berada dalam batin setiap
orang, namun sayang, batin itu selalu dipenuhi dengan pikiran sehingga keruh dan kebahagian tak nampak lagi, yang terasa hanyalah khawatiran, kekecewaan dan duka"
*** Akhirnya tibalah mereka di tempat tinggal atauu yang biasa disebut padepokan Panembahan Sidik Danasura, di tepi pantai Segara Kidul, dekat teluk Prigi Segara Wedi.
Tempat yang lengang dan sunyi, seperti gurun pasir, namun tak jauh di tikungan pantai nampak pohon-pohon menghijau dan batu-batu karang dengan bentuk yang indah, ada pula dari jauh nampak seperti sebuah candi yang dipahat halus ukiran-ukirannya.
Begitu tiba di luar padepokan, Panembahan Sidik Danasura mengerutkan alisnya dan cuping hidungnya kembang kempis. Juga Nurseta dapat mencium bau yang amat gurih dan sedap, bau ikan dipanggang. Asap itu datang dari belakang padepokan dan terdengar suara orang laki-laki tertawa dengan suaara yang parau.
"Jagad Dewa Bathara......." kakek itu berkata lirih "Benarkah dia yang datang berkunjung itu?"
Pertanyaannya itu segera terjawab ketika mereka melihat dari samping padepokan. Di sana, di belakang padepokan itu, nampaklah seorang laki-laki sedang memangang seekor ikan sebesar betis. Ikan itu ditusuk dengan bambu dan di atas arang membara. Dia membolak-balik ikan yang sudah hampir matang itu sambil tertawa-tawa girang, sedangkan tak jauh di dekatnya, di bawah batang pohon sawo, seorang gadis sedang mengeduk nasi yang masih panas mengepul. Nurseta mengamati mereka dengan pandang mata tajam penuh selidik.
Pria itu berusia paling banyak limapulu tahun, tubuhnya tinggi besar dengan tulan tulang menonjol besar. Pakaiannya serba hitam dengan baju terbuka bagian dadanya, meperlihatkan dada yang berbulu. Mukanya tidak nampak jelas karena tertutup brewok, hanya matanya yang lebar dan mata itu jelalatan namun mencorong. Adapun gadis yang sedang mengeduk nasi diatas hamparan tikar di bawah pohon sawo itu berusia kurang lebih lima belas tahun, belum dewasa benar namun kelihatan cekatan dan wajahnya manis dengan kulit bersih dan pakaiannya juga sederhana seperti seorang perawan dusun.
"Ha-ha-ha, Sari, engkau tidak lupa kepadaku, bagus sekali! Tidak ada ruginya menolongmu dari perahu yang terbalik beberapa tahun yang lalu. Engkau mau menyambutku dan menanakkan nasi, ha-ha-ha bagus, bagus" terdengar pria yang brewokan itu berkata sambil terkekeh senang.
"Bagaimana mungkin aku dapat melupakanmu, paman?" gadis itu menjawab. "Di dunia ini, hanya paman Jembros dan Eyang Panembahan saja dua orang yang paling baik terhadap diriku" Gadis itu menoleh dan melihat dua orang yang muncul dari depan pondok. "Ah, itu eyang telah pulang, paman" katanya gembira, lalu bangkit hendak menyongsong kakek itu, akan tetapi ia menahan langkahnya ketika melihat Nurseta yang sama sekali tidak dikenalnya.
Melihat kakek itu, pria yang sedang memanggang ikan tertawa gembira, "Ha-ha-ha, kebetulan sekali Paman Panembahan pulang. Mari kita nikmati ikan panggang ini, bersama nasi panas, wah, akan enak sekali. Jangan khawatir kurang, dapat kutangkap seekor lagi"
Panembahan Sidik Danasura melangkah perlahan menghampiri orang itu, tersenyum ramah. "Selama lima tahun ini andika pergi kemana saja, kaki Jembros" Ternyata kesukaanmu makan enak belum juga mereda. Andika tahu bahwa aku masih tetap lebih suka makan sayur dan tidak makan makanan berjiwa"
"Eyang, saya telah buatkan masakan sayur untuk Eyang" kata gadis itu cepat "Tunggu sebentar saya ambilkan di dalam" Gadis itupun dengan cekatan memasuki padepokan untuk menghidangkan masakan, dan diaturlah periuk dan alat makan di atas tikar.
Panembahan Sidik Danasura telah duduk bersila diatas tikar dan Nurseta juga dipersilahkan duduk.
"Kaki Jembros, apakah kunjunganmu ini ada hubungannya dengan Wulansari?" kakek itu bertanya, suaranya tetap halus dan ramah.
Orang yang disebut Ki Jembros itu menurunkan ikan dari atas api karena sudah matang, dan diapun memandang kakek itu dengan mata yang lebar.
"Ha-ha-ha, mari kita makan dulu, Paman. Setelah makan, baru kita bicara. Hai, pemuda tampan, Silahkan andika ikut pula makan bersama kami" ajaknya kepada Nurseta.
Diam-diam pemuda ini merasa suka pada pria yang brewokan itu. Walaupun pria itu sederhana dan kasar, namun sikapnya demikian terbuka dan ada sesuatu terpancar dari matanya yang jelalatan itu, yang menunjukkan bahwa orang kasar itu agaknya bukanlah orang sembarangan.
JILID 03
Hutan Angker Cempiring
KI JEMBROS makan dengan gembul sekali, sama sekali tidak merasa malu-malu. Gadis yang bernama Wulansari itu melayani mereka, dan karena belum diperkenalkan, maka antara ia dan Nurseta tak pernah terjadi tanya jawab, bahkan hampir tak pernah bertemu pandang. Panembahan Sidik Danasura makan dengan perlahan, tidak banyak dan tidak bicara, membiarkan tamunya yang makan sambil menceritakan dengan gembira, betapa ia tadi berhasil menangkap ikan sebesar betis dengan gerakan tangan.
Dari pengamatan Nurseta yang juga makan dengan diam, mendengarkan saja, dia melihat betapa gadis manis itu memandang kepada kedua orang itu dengan sinar mata gembira dan mengandung kasih sayang, membuktikan kesungguhan ucapnya yang pernah didengarnya tadi bahwa gadis itu hanya mempunyai kedua orang itu saja di dunia ini.
Setelah mereka selesai makan, minum air dingin segar dari kendi dan mencuci tangan, Panembahan Sidik Danasura mengajak mereka semua masuk ke dalam padepokan untuk bercakap-cakap. Pondok itu tidak terlalu besar hanya ada dua buah kamar, sebuah ruang duduk dan sebuah ruangan belakang yang dipergunakan sebagai dapur. Tidak ada kursi di situ dan merekapun duduk di hamparan tikar di atas lantai.
Setelah mereka berempat duduk, Panembahan Sidik Danasura memperkenalkan Nurseta kepada Ki Jembros dan Wulansari. "Kaki Jembros dan engkau angger Wulansari, ketahuilah bahwa pemuda ini bernama Nurseta, ia ikut bersamaku untuk mempelajari ilmu karena ia baru saja terbebas dari ancaman para tokoh sesat."
"Hahaha, sungguh Paman Panembahan masih memiliki semangat besar, setua ini masih saja mengambil seorang murid baru yang terbaik" kata Ki Jembros memuji.
"Kaki Jembros, Nurseta ini bukanlaah orang luar, bukan pula orang asing bagi kita. Ketahuilah bahwa dia putera Ki Baka"
"Hahaha! Begitukah?" Ki Jembros kini berhenti tertawa dan menatap wajah Nurseta dengan matanya yang lebar dan jelalatan. "Orang muda, ayahmu adalah seorang jantan yang patut kami kagumi. Bagaimana keadaan kakang Baka" Apakah ia baik saja bukan?"
"Terima kasih, paman," jawab Nurseta. "Sayang sekali bahwa saya tidak dapat memastikan apakah keadaan ayah saya baik-baik saja sekarang ini, karena ia telah tertawan oleh orang orang jahat."
"Kurang ajar! Siapa berani menawan dia" apakah yang telah terjadi?"
Dengan singkat Nurseta lalu menceritakan pengalamannya. Betapa sebulan vang lalu ayahnya menyuruh dia bertapa di Goa Kantong Bolong di pantai laut selatan dan betapa kemudian tiba-tiba muncul dua orang tokoh sesat yang mengatakan bahwa ayahnya terluka parah. Hampir saja ia tertawan oleh mereka kalau tidak muncul Sang Panembahan Sidik Danasura yang berhasil mengusir kedua orang tokoh jahat itu.
"Ketika saya bersama Eyang Panembahan elihat keadaan di dusun Kelinting, ternyata menurut para penduduk. Dusun itu kedatangan banyak orang jahat yang membunuhi orang-orang dusun. Rumah ayah dihancurkan dan ayah sendiri tidak ada, juga tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala telah lenyap dari tempat di mana ayah menyimpannya."Demkian Nurseta menutup cerita.
"Ah, akan terjadi apakah di jagad ini" Orang-orang menangkap Ki Baka, mencari Tejan Nirmala. Siapakah mereka itu, Paman Panembahan dan apa artinya semua ini?" Ki Jembros berseru dengan suaranya yang parau dan kasar, matanya terbelaiak dan ia kelihatan penasaran sekali.
Panembahan Sidik Danasura tersenyum penuh ketenangan. Bagi kakek ini, tidak ada yang aneh karena segala sesuatu yang terjadi adalah suatu kenyataan, suatu kewajaran yang bukan terjadi tanpa sebab.
"Ketahuilah, kaki. Dua orang yang hendak menangkap Nurseta karena dia dianggap tahu di mana disimpannya Tejanirmala itu adalah Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri."
"Hemmmm !" Ki Jembros mengepal tinjunya yang bertulang besar. "Datuk hitam dari Kediri si laki-Iaki cabul itu bekerja sama dengan siluman betina dari Barat itu" Sungguh seperti tumbu dengan tutupnya! Dan siapa pula penjahat-penjahat yang membunuh penduduk dusun Kelinting dan yang merusak rumah kang Baka itu, Paman Panembahan"
"Tidak ada penduduk yang mengenal mereka, akan tetapi mudah diduga bahwa mereka adalah tokoh-tokoh sesat yang tentu mempunyai dua maksud saja, yaitu pertama membalas dendam kepada kaki Baka karena dia tidak nembantu mendiang Ki Baya yang dibasmi oleh Kerajaan Singosari, dan ke dua, agaknya karena hendak merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala.
"Hmmm, kukira masih ada hal lain lagi paman! Kalau sampai orang-orang seperti Gagak Wulung dari Kediri dan Dedeh Sawitri dari Pasundan ikut terjun ke dalam keramaian ini, maka hal itu berarti bahwa sebagian besar tikus keluar dari lubang persembunyian mereka untuk berpesta pora karena kucing-kucing bertugas di luar dan keadaan di dalam rumah kosong dan aman. Aku lebih mengkhawatirkan datangnya gangguan keamanan dan pemberontakan baru, paman!"
Kakek itu menarik napas panjang. "Semoga manusia menyadari kekeliruannya. Perebutan kekuasaan, gila kekuasaan, dengki dan iri, benci dan permusuhan. Sudahlah, kaki Jembros, semoga la tetap tabah dan selalu ingat akan keagungan Hyang Widhi Wasesa dan waspada pada derap langkah kita sendiri masing-masing. Sekarang katakanlah, apa keinginanmu berkunjung kali ini?"
Ki Jembros kini sudah kembali kepada sikapnya semula. Keseriusan meninggalkan wajahnya yang penuh brewok dan diapun sudah tertawa-tawa lagi. "Ha-ha ha, tentu paman tidak lupa bahwa sudah lima tahun lamanya menitipkan Wulansari di sini. Sekarang aku datang untuk membawanya pergi. Tentu sudah cukup bekal yang paman berikan kepadanya. karena aku yang menemukannya dan menjadi pengganti orang tuanya, maka sudah sepatutnya kalau ia sekarang ikut bersamaku. Bukankah begitu, Wulansari?"
Gadis itu menunduk, lalu mengangkat mukanya memandang kepada Panembahan Sidik Danasura. "Eyang sendiri yang mengajarkan bahwa seorang manusia haruslah selalu memegang teguh janjinya. Lima tahun yang lalu paman Jembros menitipkan saya kepada Eyang Panembahan dan kalau hari ini dia mengambil saya dari Eyang, hal itu sudahlah tepat dengan perjanjiannya. Sebetulnya, hati saya tidak tega meninggalkan Eyang yang sudah tua, karena Eyang membutuhkan seseorang untuk melayani keperluan Eyang sehari-hari. Akan tetapi mendengar bahwa ki sanak ini sekarang menjadi murid Eyang, maka hati sayapun merasa lega dan tidak khauatir kalau harus meninggalkan Eyang."
Panembahan Sidik Danasura mengangguk-angguk. Teringatlah dia akan peristiwa yang terjadi lima tahun yang lalu. Ketika itu, dia tengah duduk bersamadhi, tiba-tiba muncul Ki Jembros yang memondong tubuh seorang anak perempuan berusia kurang lebih sepuluh tahun. Anak itu berada dalam keadaan pingsan dan hampir mati karena lemas, seluruh tubuh dan pakaiannya basah kuyup.
"Paman Panembahan, tolonglah anak ini. Aku tidak sanggup menyelamatkannya, tidak tahu bagaimana caranya. Sebuah perahu terbalik dan semua penumpangnya hanyut, hanya anak ini yang dapat kuselamatkan, akan tetapi iapun nyaris tewas, paman," kata Ki Jembros yang dikenalnya sebagai seorang pendekar petualang yang berwatak kasar namun memiliki kedigdayaan, sakti mandraguna dan berbudi baik.
Dengan pengetahuan dan pengalaman menolong orang yang baru saja hanyut hampir tenggelam, Panembahan Sidik Danasura berhasii mengeluarkan air laut dari dalam perut anak itu dan menyembuhkannya.
Anak perempuan itu bernama Wulansari, dan hanya itulah yang diingatnya. Ia tidak ingat lagi apa yang telah terjadi dengan dirinya, dari mana ia datang dan mengapa ia hanyut di laut dengan perahu yang terbalik. Agaknya, kepanikan ketika hanyut itu melenyapkan sebagian ingatannya.
Ki Jembros lalu menitipkan Wulansari pada Panembahan Sidik Danasura dan berjanji bahwa dalam waktu lima tahun, dia akan datang menjemput Wulansari yang sudah dia anggap sebagai anak angkatnya. Dan pada hari itu, diapun muncul dan ternjata Wulansari yang kehilangan sebagian ingatan masa lalunya ternyata memiliki ingatan yang tajam dan masih mengenal Ki Jembros, penolongnya itu.
Mendengar kata - kata Wulansari, Panembahan Sidik Danasura mengangguk - angguk. Memang seyogianya demikianlah, Sari. Kak Jembros adalah orang yang menyelamatkanmu dari cengkeraman maut di lautan, dan ia berhak menjadi pengganti keluarga dan orang tuamu. Ikutlah dengan dia dan pelajarilah baik-baik semua ilmu yang diajarkannya kepadamu. Ia seorang pendekar yang gagah perkasa dan pantas menjadi guru dan pengganti orang tuamu. Akan tetapi, kaki Jembros. jangan berangkat pergi sekarang. Tinggallah di sini malam ini dan besok pagi barulah, engkau pergi bersama Wulansari."
Selama lima tahun, kakek itu mendidiki Wulansari, bahkan mengajarkan pula beberapa macam ilmu bela diri kepada gadis itu yang menganggap kakek itu seperti kakeknya sendiri dan melayani kakek itu dengan penuh kasih sayang. Oleh karena itu, terjadilah hubungan batin yang cukup akrab di antara mereka dan perpisahan yang tiba tiba tentu saja mendatangkan rasa kehilangan.
Pada senja hari itu, ketika Panemba Sidik Danaasura bercakap-cakap dengan Ki Jembros di dalam padepokan, Nurseta mendapatkan kesempatan untuk berkenalan dengan Wulansari. Sesungguhnya, bukan pemuda itu yang mendahului, karena Nurseta yang seamanya belum pernah bergaul dengan wanita, tidak berani mendahului bicara. Ketika itu, sedang duduk di pantai laut, menikmati keindahan senja di tepi pantai mengagumi air laut kidul yang tak pernah berhenti bergelora itu. Tiba-tiba gadis itu datang menghampirinya. Melihat Wulansari datang menghampirin Nurseta cepat bangkit berdiri dan mereka berdiri berhadapan, saling pandang di dalam keremangan cuaca senja.
"Ki sanak, namamu siapa tadi?" tanya gadis itu, dengan sikap dan suara yang wajar halus, tidak malu-malu.
"Namaku Nurseta, dan aku masih ingat mamu. Wulansari, bukan?"
"Benar, dan karena aku menjadi murid Eyang Panembahan. juga engkau kini menjadi muridnya, berarti kita ini masih saudara seperguruan. Engkau tentu lebih tua dari pada aku kakang Nurseta."
"Tentu saja. Usiamu tidak akan lebih dari limabeias tahun, dan aku Sudan enambelas tahun lebih. Adikku Wulansari, agaknya ada sesuatu yang hendak kaukatakan kepadaku, engkau datang menemuiku di sini. Katakanlah, apa yang dapat aku lakukan untuk membantumu?"
'Terima kasih, engkau baik sekali, kakang Nurseta. Memang sesungguhnya hatiku agak terasa berat, karena besok aku akan meninggalkan Eyang Panembahan. Beliau sudah tua dan hanya akulah yang melayani segala keperluannya, memasak, mencuci dan sebagainya. kalau aku pergi, dan hal ini tak dapat dirubah karena memang sudah semestinya demikian, aku harus ikut dengan Paman Jembros. Apakah engkau........ dapat menggantikan aku dan memperhatikan keperluan Eyang Panembahan" Kasihan, beliau sudah tua, kakang......."
"Tentu saja Wulansari, tentu saja. Sebagai saorang muridnya, sudah menjadi kewajibanku untuk mengurus segala keperluannya. jangan kau khawatir."
Wajah yang manis itu kini tersenyum dan matanya yang bening itu berseri. "Aku tahu, kau seorang yang baik. Jangan lupa, Eyang Panembahan tidak makan daging, hanya buah dan sayuran. Minumnya hanya air atau degan ( kelapa muda )"
Narseta mengangguk-angguk, dengan penuh perhatian, lalu keduanya berdiam lagi sampai beberapa lamanya. Nurseta memandang ke arah laut. Cuaca tidak begitu terang lagi, namun suara alunan menderu semakin kuat tanda bahwa air mulai pasang bersama datangnya malam. "Alangkah hebatnya Iautan......" kata Nurseta seperti kepada diri sendiri.
"Ya, hebat dan indah sekali, kakang Nurseta. Akan tetapi kalau setiap hari dari pagi sampai sore selalu melihatnya, menimbul keinginan dalam hati untuk melihat yang lain lagi, seperti pegunungan, dusun dan kota raja. Aku ingin merantau seperti ombak samudera itu, dan ini pula yang mendorong hatiku mendatangkan kegembiraan bahwa aku akan ikut pergi bersama Paman Jembros."
Ucapan ini mengingatkan Nurseta bahwa baru saja tadi dia berjumpa dan berkenalan dengan gadis yang manis ini, besok pagi mereka sudah harus akan saling berpisah Dia ingin mengetahui lebih banyak tentang diri gadis ini, ingin mengenalnya lebih dekat dengan gadis ini amat menarik hatinya, bukan hanya oleh bentuk tubuh dan keayuan wajahnya, juga oleh kepribadiannya, sikap dan gerak-serta suaranya.
"Adik Wulansari, apakah engkau akan menganggap aku lancang.mulut kalau aku bertanya padamu, sesungguhnya apakah hubunganmu dengan Eyang Panembahan dan dengan Paman Jembros itu" Tentu saja kecuali sebagai murid.
Gadis itu menggeleng kepalanya. "Hanya menjadi murid. Mereka itu adalah dua orang di dunia ini yang aku kenal, yang baik kepadaku, bahkan mereka berdualah yang dulu telah menolongku."
"Dan orang tuamu" Keluargamu...........?"
Sementara itu matahari sudah bergantung rendah di barat, hampir menyentuh permukaan laut dan mereka hanya dapat saling melihat bayangan masing-masing, angin laut bertiup keras bersama pasangnya air.
Wulansari menggeleng kepalanya, "Tidak la keluarga, tidak ada orang tua. Lima tahun yang lalu, ketika aku berusia sepuluh tahun, demikian menurut keterangan Eyang Panembahan, aku dan banyak orang, mungkin diantaranya ada orang tuaku, mengalami kecelakaan. Perahu yang kami tumpangi terbalik dan hanya aku seorang yang dapat diselamatkan oleh Paman Jembros. Aku lalu dititipkan oleh paman Jembros kepada Eyang Panembahan,dengan janji lima tahun kemudian dia akan datang mengambilku. Dan sekarang saatnya sudah tiba, aku harus ikut bersama Paman Jembros"
"Tapi....... tentu engkau tahu siapa nama orang tuamu dan dari mana engkau datang........"
Wulansari tersenyum dan menggeleng kepala. "Eyang Panembahan pun gagal menambahkan ingatanku tentang masa lalu itu. Aku lupa sama sekali, kakang Nurseta. Kata Eyang Panembahan, kepalaku terbentur karang ketika aku hanyut dan hal itu yang menyebabkan aku lupa segala masa laluku. Akan tetapi tidak mengapa, bukankah semua isi perahu itu hanyut dan tidak tertolong lagi" Mengetahui siapa keluarga berarti mengetahui pula bahwa mereka semua tewas. Sudahlah, dan engkau sendiri, kakang Nurseta" Menurut cerita tadi, ayahmu yang bernama Ki Baka telah ditawan orang-orang jahat, juga tombak pusaka itu dirampas orang jahat. Apakah engkau akan membiarkan saja hal itu terjadi" Mengapa tidak kau cari ayahmu itu?"
Nurseta tersenyum pula kini, senyum yang mengandung kepahitan. "Mereka adalah orang-orang yang memiliki kesaktian, bahkan ayahku sampai dapat tertawan membuktikan bet saktinya mereka. Dengan ilmuku yang tidak seberapa ini, apa dayaku" Aku harus mempelajari ilmu yang lebih tinggi dari Eyang Panembahan, barulah kelak aku akan mencari ayah dan tombak pusaka itu. Aku percaya akan bijaksanaan Eyang Panembahan yang mengatakan bahwa kelak akan tiba saatnya aku bertemu kembali dengan ayahku."
"Aahh, Eyang Panembahan juga mengatakan padaku bahwa kalau memang Hyang Maha Widhi menghendaki, ada saja kemungkinan aku kelak juga bertemu dengan orang tuaku, kalau mereka masih dilindungi dan masih hidup. Eyang Panembahan selalu bicara secara samar-samar saja tentang masa depan, tidak pernah mau menjelaskannya, kakang."
"Beliau memang benar, Wulansari. Masa depan yang belum terjadi adalah rahasia Yang Maha Kuasa, pantang bagi manusia untuk menguak dan menjenguknya."
Dua orang muda itu masih bercakap-cakap, tidak tahu bahwa di dalam keremangan senja, muncul sesosok bayangan yang seolah-olah hantu lautan saja, karena bayangan ini benar-benar muncul dari lautan. Bagaikan seekor burung camar laut yang pandai berenang di permukaan air laut saja, layaknya dia datang bersama ombak dari tengah laut. Akan tetapi sesungguhnya, dia mengambang di permukaan air bukan seperti burung camar laut melajnkan dengan menginjak dua buah potongan kayu yang meluncur cepat di atas ombak. Jubahnya yang lebar itu dibentangkan dengan kedua tangan menjadi layar dan kedua tongkat kayu yang diinjaknya itu meluncur dengan amat cepatnya menuju pantai! Setelah tiba di pantai, dengan ringannya dia meloncat neninggalkan dua potong kayu itu dan menghampiri Nurseta dan Wulansari yang sama sekali tidak melihat munculnya orang aneh itu.
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati kedua orang muda itu ketika tiba-tiba saja ada suara orang terkekeh di dekat mereka. Mereka cepat membalikkan tubuh dan hampir saja Wulansari menjerit. Seorang kakek sudah berdiri di dekat mereka, dan biarpun cuaca sudah remang-remang, namun pantulan sinar matahari senja di permukaan air masih mendatangkan cukup cahaya untuk dapat melihat wajah orang demikian menakutkan. Kakek itu usianya sukar ditaksir, tentu hampir tujuhpuluh tahun jubahnya yang lebar berwarna kuning dan dibalik jubah itu dia mengenakan pakaian yang seperti sisik ikan. Yang membuat Wulansari hampir menjerit tadi adalah ketika ia melihat wajah kakek itu. Wajahnya itu berkulit biru kehitaman, dengan sepasang mata yang mencorong seperti mata harimau di dalam kegelapan, mukanya agak memanjang ke depan dengan mulut yang mengarah bentuk meruncing. Aneh dan lucu dan menakutkan.
"Heh-heh-heh, nini, apakah namamu Wulansari?" Tiba-tiba saja terdengar suara kakek itu. Nurseta dan Wulansari adalah dua orang muda yang sejak kecil sudah menerima gemblengan orang pandai dan mereka bukan orang muda biasa, mereka memiliki kedigdayaan dan keberanian, namun pada saat itu mereka merasa gentar sekali, karena ada wibawa yang luar biasa keluar dari kakek ini. Juga mereka merasa bahwa kehadiran orang tua ini mendatangkan suatu perasaan tidak enak seperti ada tanda bahwa dia datang membawa hal yang tidak baik, namun anehnya, pertanyaan yang langsung itu tidak mungkin dapat mereka sangkal. Seperti didorong dan dipaksa saja, Wulansari mengangguk dan menjawab dengan suara yang agak gemetar.
"Benar, saya bernama Wulansari"
''Heh-heh-heh, bagus sekali. Memang sudah aku duga ketika selama beberapa hari ini aku melakukan pengintaian. Wulansari, cucuku yang baik, marilah engkau ikut bersamaku. Akulah eyangmu, sayang"
Berkata demikian, kakek itu menggerakkan tangannya ke depan untuk memegang lengan gadis itu. Tentu saja Wulansari terkejut dan tidak mau percaya begitu saja. Ia cepat menarik tangannya untuk mengelak, akan tetapi ungguh aneh sekali, tiba-tiba saja ia tidak mampu menggerakkan lengan itu, seolah-olah ada kuatan lain yang menahannya dan tak dapat dicegah lagi, lengan kirinya sudah tertangkap oleh tangan kakek itu yang jarinya panjang-panjang dan terasa dingin sekali.
"Iihh, lepaskan tanganku!" Wulansari berseru dan kini ia membalikkan tubuhnya ke kiri, tangan kanannya menampar untuk memukul pundak kanan lawan agar pegangannya itu terlepas. Tentu saja gadis ini mengerahkan tenaga sakti, karena ia dapat menduga bahwa ia berhadap dengan seorang yang pandai.
Tangan kanan gadis itu menyambar dahsyat dengan angin pukulan yang cukup kuat ke arah pundak kakek bermuka biru itu.
"Heh-Heh heh, agaknya tua bangka Sidik Danasura telah mengajarmu dengan cukup baik heh-heh!" kata kakek itu tanpa mengelak ataupun menangkis, sehingga tamparan Wulansari itu tepat mengenai pundaknya.
"Ihhhh.....!" Walansiri mengeluarkan jeritan tertahan karena ketika telapak tangannya yang terisi hawa sakti itu mengenai jubah di pundak, tamparannya melesat seperti mengend sisik ikan yang licin, dan telapak tangannya terasa panas dan nyeri.
Melihat ini, tentu saja Nurseta menjadi marah dan tidak mau membiarkan saja kakek itu menangkap Wulansari.
"Orang tua, tidak baik mempergunakan kekerasan terhadap seorang wanita. Harap engkau suka melepaskannya!" katanya sambl melangkah maju menghampiri, siap untuk menyerang dan membela Wulansari.
Kakek itu memandang kepada Nurseta.
"Hemm, orang muda. Engkau baru tadi datang. tidak perlu mencampuri urusan yang tidak ada sangkut pautnya denganmu"
"Semua urusan yang melanggar kebenaran merupakan urusanku! Lepaskan Wulansari atau terpaksa aku akan menggunakan kekerasan untuk membebaskannya dari tanganmu!"
"Hah-hah, engkau bocah cilik! Masih berbau berambang di pupukmu, masih ingusan hidungmu, sudah berani mengeluarkan kata-kata kasar. Cobalah, aku hendak melihat apa yang dapat kaulakukan terhadap aku, heh heh!"
Karena melihat Wulansari masih dipegang pergelangan tangan kirinva oleh kakek itu dan tidak mampu bergerak, Nurseta lalu menerjang ke depan dan menggunakan aji pukulan Brajadenta memukul ke arah dada kakek itu, dengan maksud agar kakek itu melepaskan tangan Wulansari untuk menghadapi serangannya cukup dahsyat.
Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika dia melihat betapa kakek itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, ia hanya memandang sambil terkekeh saja, seolah-olah menerima hantamannya itu begitu saja.
Di dasar batin Nurseta tidak pernah ada kebencian, maka tentu saja sukar baginya untuk membiarkan pukulannya mengenai tubuh orang tanpa melawan. Otomatis dia mengurangi tenaganya agar jangan sampai membahayakan orang yang dipukulnya, hanya cukup untuk membuatnya melepaskan pegangan tangan Wulansari saja.
"Desss!"
Pukulan itu tepat mengenai dan akibatnya, tubuh Nurseta terpelanting pemuda ini roboh pingsan! Untunglah bahwa dia tadi mengurangi tenaganya dalam pukulan Aji Bajradenta, karena kalau tidak, dia mungkin dia akan menderita luka yang lebih parah membahayakan nyawanya, bukan sekedar pingsan seperti itu !
Melihat ini, Wulansari terbelalak dan menjerit. "Kau........! Kau membunuh dia...."
Jeritan ini mendatangkan akibat, yaitu munculnya Ki Jembros dan Panembahan Sidik Danasura. Ki Jembros datang dengan lompatan-lompatan jauh dan dia kelihatan marah sewaktu melihat seorang kakek berjubah lebar sedang memegangi pergelangan tangan kiri Wulansari, dan melihat Nurseta rebah tak bergerak atas pasir. Akan tetapi, Panembahan Danasura melangkah biasa saja dengan sikap tetap tenang walaupun alis matanya yang sudah berwarna putih sehingga hampir nampak lagi ada hitamnya itu agak berkertu.
"Babo-babo, iblis tua bangka keparat! Tidak tahu malu mengganggu orang-orang muda" Ki Jembros membentak marah. "Hayo lepaskan nini Wulansari!"
Akan tetapi kakek yang berjubah kuning terkekeh. "Heh-heh-heh, ada kerbau hitam mengamuk, heh-heh!"
ki Jembros adalah seorang yang gagah perkasa. walaupun wataknya keras, jujur, gembira tetapi juga galak dan ugal-ugalan. Di lubuk batinnya, dia adalah seorang yang selalu menentang kejahatan, bahkan dia seorang berjiwa patriot dan setia terhadap negara membela bangsa dan rakyat jelata yang tertidndas. Dia paling benci melihat orang yang mempergunakan kekuasaan atau kepentingan untuk menekan, menindas dan menyengsarakan orang lain yang lemah tidak berdaya. Oleh karena itu, melihat sikap kakek aneh memperlihatkan sikap menantang setelah merobohkan Nurseta dan menawan Wulansari, maka si brewokan itu menjadi merah dan matanya yang lebar seperti mengeluarkan api. Akan tetap, dia belum mengenai siapa kakek itu, maka diapun meragu.
"Tua bangka sombong! Kalau memang kau memiliki keberanian, lepaskan anak itu dan kita bertanding sebagai laki-laki sejati" tantangnya. Dia khawatir kalau menyerang pada saat Wulansari masih dipegang orang itu, takut kalau sampai gadis itu terkena pukulan yang menyeleweng.
"Heh-heh-heh, ia ini cucuku yang akan aku bawa pergi, mengapa dilepaskan" Tiba-tiba kakek itu meraba tengkuk Wulansari yang ketika mengeluh dan menjadi lemas terkulai. lalu oleh kakek itu, tubuh Wulansari dipanggul di atas pundak kiri dan dirangkul dengan lengan kiri.
Melihat ini, tentu saja Ki Jembros sangat terkejut dan marah. "Iblis tua, apa yang kau lakukan itu?"
Dan Ki Jembros pun sudah menerjang ke depan, menggunakan tangan kanan yang terbuka untuk menyerang ke arah dada kanan orang itu dengan pukulan sakti Aji Hasti bairowo! (Tangan Dahsyat) mengandung kekuatan yang bukan main hebatnya, apa lagi dilakukan oieh Ki Jembros yang telah melatihnya sampai tingkat yang tinggi sekali. Batu karangpun akan remuk terkena pukulan telapak tangannya itu, apa lagi hanya kulit daging dan tulang manusia !
Kakek itu menggunakan tangan kanan pula untuk menyambut pukulan Aji Hasta Bairowo itu, dengan telapak tangan kanannya juga dibuka. Melihat ini, Ki Jembros menamb tenaganya dan bertemulah kedua tela tangan itu di udara.
"Desss........!" Ki Jembros terkejut bukan main karena dia merasa betapa ada hawa yang dingin sekali menyusup masuk melalui telapak tangannya, dan hawa dingin itu menolak kembali kekuatan dari dalam tubuhnya, membuat dia terhuyung ke belakang namun, cepat dia menggulingkan tubuhnya dan dengan Aji Trenggiling Wesi, yaitu suatu aji kekebalan yang dimilikinya, dia dapat memulihkan tenaganya dan meloncat kembali. Dia marah dan penasaran. Kiranya kakek itu, sambil memanggul tubuh Wulansari, mampu membuat dia terhuyung ke belakang! Tahulah dia bahwa lawan ini ternyata seorang yang sakti mandraguna. Akan tetapi, dia tentu saja tidak membiarkan Wulansari dibawa pergi begitu saja. Maka, diapun kini maju lagi menyerang lebih dahsyat lagi untuk memaksa kakek itu melepaskan Wulansari.
KI JEMBROS makan dengan gembul sekali, sama sekali tidak merasa malu-malu. Gadis yang bernama Wulansari itu melayani mereka, dan karena belum diperkenalkan, maka antara ia dan Nurseta tak pernah terjadi tanya jawab, bahkan hampir tak pernah bertemu pandang. Panembahan Sidik Danasura makan dengan perlahan, tidak banyak dan tidak bicara, membiarkan tamunya yang makan sambil menceritakan dengan gembira, betapa ia tadi berhasil menangkap ikan sebesar betis dengan gerakan tangan.
Dari pengamatan Nurseta yang juga makan dengan diam, mendengarkan saja, dia melihat betapa gadis manis itu memandang kepada kedua orang itu dengan sinar mata gembira dan mengandung kasih sayang, membuktikan kesungguhan ucapnya yang pernah didengarnya tadi bahwa gadis itu hanya mempunyai kedua orang itu saja di dunia ini.
Setelah mereka selesai makan, minum air dingin segar dari kendi dan mencuci tangan, Panembahan Sidik Danasura mengajak mereka semua masuk ke dalam padepokan untuk bercakap-cakap. Pondok itu tidak terlalu besar hanya ada dua buah kamar, sebuah ruang duduk dan sebuah ruangan belakang yang dipergunakan sebagai dapur. Tidak ada kursi di situ dan merekapun duduk di hamparan tikar di atas lantai.
Setelah mereka berempat duduk, Panembahan Sidik Danasura memperkenalkan Nurseta kepada Ki Jembros dan Wulansari. "Kaki Jembros dan engkau angger Wulansari, ketahuilah bahwa pemuda ini bernama Nurseta, ia ikut bersamaku untuk mempelajari ilmu karena ia baru saja terbebas dari ancaman para tokoh sesat."
"Hahaha, sungguh Paman Panembahan masih memiliki semangat besar, setua ini masih saja mengambil seorang murid baru yang terbaik" kata Ki Jembros memuji.
"Kaki Jembros, Nurseta ini bukanlaah orang luar, bukan pula orang asing bagi kita. Ketahuilah bahwa dia putera Ki Baka"
"Hahaha! Begitukah?" Ki Jembros kini berhenti tertawa dan menatap wajah Nurseta dengan matanya yang lebar dan jelalatan. "Orang muda, ayahmu adalah seorang jantan yang patut kami kagumi. Bagaimana keadaan kakang Baka" Apakah ia baik saja bukan?"
"Terima kasih, paman," jawab Nurseta. "Sayang sekali bahwa saya tidak dapat memastikan apakah keadaan ayah saya baik-baik saja sekarang ini, karena ia telah tertawan oleh orang orang jahat."
"Kurang ajar! Siapa berani menawan dia" apakah yang telah terjadi?"
Dengan singkat Nurseta lalu menceritakan pengalamannya. Betapa sebulan vang lalu ayahnya menyuruh dia bertapa di Goa Kantong Bolong di pantai laut selatan dan betapa kemudian tiba-tiba muncul dua orang tokoh sesat yang mengatakan bahwa ayahnya terluka parah. Hampir saja ia tertawan oleh mereka kalau tidak muncul Sang Panembahan Sidik Danasura yang berhasil mengusir kedua orang tokoh jahat itu.
"Ketika saya bersama Eyang Panembahan elihat keadaan di dusun Kelinting, ternyata menurut para penduduk. Dusun itu kedatangan banyak orang jahat yang membunuhi orang-orang dusun. Rumah ayah dihancurkan dan ayah sendiri tidak ada, juga tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala telah lenyap dari tempat di mana ayah menyimpannya."Demkian Nurseta menutup cerita.
"Ah, akan terjadi apakah di jagad ini" Orang-orang menangkap Ki Baka, mencari Tejan Nirmala. Siapakah mereka itu, Paman Panembahan dan apa artinya semua ini?" Ki Jembros berseru dengan suaranya yang parau dan kasar, matanya terbelaiak dan ia kelihatan penasaran sekali.
Panembahan Sidik Danasura tersenyum penuh ketenangan. Bagi kakek ini, tidak ada yang aneh karena segala sesuatu yang terjadi adalah suatu kenyataan, suatu kewajaran yang bukan terjadi tanpa sebab.
"Ketahuilah, kaki. Dua orang yang hendak menangkap Nurseta karena dia dianggap tahu di mana disimpannya Tejanirmala itu adalah Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri."
"Hemmmm !" Ki Jembros mengepal tinjunya yang bertulang besar. "Datuk hitam dari Kediri si laki-Iaki cabul itu bekerja sama dengan siluman betina dari Barat itu" Sungguh seperti tumbu dengan tutupnya! Dan siapa pula penjahat-penjahat yang membunuh penduduk dusun Kelinting dan yang merusak rumah kang Baka itu, Paman Panembahan"
"Tidak ada penduduk yang mengenal mereka, akan tetapi mudah diduga bahwa mereka adalah tokoh-tokoh sesat yang tentu mempunyai dua maksud saja, yaitu pertama membalas dendam kepada kaki Baka karena dia tidak nembantu mendiang Ki Baya yang dibasmi oleh Kerajaan Singosari, dan ke dua, agaknya karena hendak merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala.
"Hmmm, kukira masih ada hal lain lagi paman! Kalau sampai orang-orang seperti Gagak Wulung dari Kediri dan Dedeh Sawitri dari Pasundan ikut terjun ke dalam keramaian ini, maka hal itu berarti bahwa sebagian besar tikus keluar dari lubang persembunyian mereka untuk berpesta pora karena kucing-kucing bertugas di luar dan keadaan di dalam rumah kosong dan aman. Aku lebih mengkhawatirkan datangnya gangguan keamanan dan pemberontakan baru, paman!"
Kakek itu menarik napas panjang. "Semoga manusia menyadari kekeliruannya. Perebutan kekuasaan, gila kekuasaan, dengki dan iri, benci dan permusuhan. Sudahlah, kaki Jembros, semoga la tetap tabah dan selalu ingat akan keagungan Hyang Widhi Wasesa dan waspada pada derap langkah kita sendiri masing-masing. Sekarang katakanlah, apa keinginanmu berkunjung kali ini?"
Ki Jembros kini sudah kembali kepada sikapnya semula. Keseriusan meninggalkan wajahnya yang penuh brewok dan diapun sudah tertawa-tawa lagi. "Ha-ha ha, tentu paman tidak lupa bahwa sudah lima tahun lamanya menitipkan Wulansari di sini. Sekarang aku datang untuk membawanya pergi. Tentu sudah cukup bekal yang paman berikan kepadanya. karena aku yang menemukannya dan menjadi pengganti orang tuanya, maka sudah sepatutnya kalau ia sekarang ikut bersamaku. Bukankah begitu, Wulansari?"
Gadis itu menunduk, lalu mengangkat mukanya memandang kepada Panembahan Sidik Danasura. "Eyang sendiri yang mengajarkan bahwa seorang manusia haruslah selalu memegang teguh janjinya. Lima tahun yang lalu paman Jembros menitipkan saya kepada Eyang Panembahan dan kalau hari ini dia mengambil saya dari Eyang, hal itu sudahlah tepat dengan perjanjiannya. Sebetulnya, hati saya tidak tega meninggalkan Eyang yang sudah tua, karena Eyang membutuhkan seseorang untuk melayani keperluan Eyang sehari-hari. Akan tetapi mendengar bahwa ki sanak ini sekarang menjadi murid Eyang, maka hati sayapun merasa lega dan tidak khauatir kalau harus meninggalkan Eyang."
Panembahan Sidik Danasura mengangguk-angguk. Teringatlah dia akan peristiwa yang terjadi lima tahun yang lalu. Ketika itu, dia tengah duduk bersamadhi, tiba-tiba muncul Ki Jembros yang memondong tubuh seorang anak perempuan berusia kurang lebih sepuluh tahun. Anak itu berada dalam keadaan pingsan dan hampir mati karena lemas, seluruh tubuh dan pakaiannya basah kuyup.
"Paman Panembahan, tolonglah anak ini. Aku tidak sanggup menyelamatkannya, tidak tahu bagaimana caranya. Sebuah perahu terbalik dan semua penumpangnya hanyut, hanya anak ini yang dapat kuselamatkan, akan tetapi iapun nyaris tewas, paman," kata Ki Jembros yang dikenalnya sebagai seorang pendekar petualang yang berwatak kasar namun memiliki kedigdayaan, sakti mandraguna dan berbudi baik.
Dengan pengetahuan dan pengalaman menolong orang yang baru saja hanyut hampir tenggelam, Panembahan Sidik Danasura berhasii mengeluarkan air laut dari dalam perut anak itu dan menyembuhkannya.
Anak perempuan itu bernama Wulansari, dan hanya itulah yang diingatnya. Ia tidak ingat lagi apa yang telah terjadi dengan dirinya, dari mana ia datang dan mengapa ia hanyut di laut dengan perahu yang terbalik. Agaknya, kepanikan ketika hanyut itu melenyapkan sebagian ingatannya.
Ki Jembros lalu menitipkan Wulansari pada Panembahan Sidik Danasura dan berjanji bahwa dalam waktu lima tahun, dia akan datang menjemput Wulansari yang sudah dia anggap sebagai anak angkatnya. Dan pada hari itu, diapun muncul dan ternjata Wulansari yang kehilangan sebagian ingatan masa lalunya ternyata memiliki ingatan yang tajam dan masih mengenal Ki Jembros, penolongnya itu.
Mendengar kata - kata Wulansari, Panembahan Sidik Danasura mengangguk - angguk. Memang seyogianya demikianlah, Sari. Kak Jembros adalah orang yang menyelamatkanmu dari cengkeraman maut di lautan, dan ia berhak menjadi pengganti keluarga dan orang tuamu. Ikutlah dengan dia dan pelajarilah baik-baik semua ilmu yang diajarkannya kepadamu. Ia seorang pendekar yang gagah perkasa dan pantas menjadi guru dan pengganti orang tuamu. Akan tetapi, kaki Jembros. jangan berangkat pergi sekarang. Tinggallah di sini malam ini dan besok pagi barulah, engkau pergi bersama Wulansari."
Selama lima tahun, kakek itu mendidiki Wulansari, bahkan mengajarkan pula beberapa macam ilmu bela diri kepada gadis itu yang menganggap kakek itu seperti kakeknya sendiri dan melayani kakek itu dengan penuh kasih sayang. Oleh karena itu, terjadilah hubungan batin yang cukup akrab di antara mereka dan perpisahan yang tiba tiba tentu saja mendatangkan rasa kehilangan.
Pada senja hari itu, ketika Panemba Sidik Danaasura bercakap-cakap dengan Ki Jembros di dalam padepokan, Nurseta mendapatkan kesempatan untuk berkenalan dengan Wulansari. Sesungguhnya, bukan pemuda itu yang mendahului, karena Nurseta yang seamanya belum pernah bergaul dengan wanita, tidak berani mendahului bicara. Ketika itu, sedang duduk di pantai laut, menikmati keindahan senja di tepi pantai mengagumi air laut kidul yang tak pernah berhenti bergelora itu. Tiba-tiba gadis itu datang menghampirinya. Melihat Wulansari datang menghampirin Nurseta cepat bangkit berdiri dan mereka berdiri berhadapan, saling pandang di dalam keremangan cuaca senja.
"Ki sanak, namamu siapa tadi?" tanya gadis itu, dengan sikap dan suara yang wajar halus, tidak malu-malu.
"Namaku Nurseta, dan aku masih ingat mamu. Wulansari, bukan?"
"Benar, dan karena aku menjadi murid Eyang Panembahan. juga engkau kini menjadi muridnya, berarti kita ini masih saudara seperguruan. Engkau tentu lebih tua dari pada aku kakang Nurseta."
"Tentu saja. Usiamu tidak akan lebih dari limabeias tahun, dan aku Sudan enambelas tahun lebih. Adikku Wulansari, agaknya ada sesuatu yang hendak kaukatakan kepadaku, engkau datang menemuiku di sini. Katakanlah, apa yang dapat aku lakukan untuk membantumu?"
'Terima kasih, engkau baik sekali, kakang Nurseta. Memang sesungguhnya hatiku agak terasa berat, karena besok aku akan meninggalkan Eyang Panembahan. Beliau sudah tua dan hanya akulah yang melayani segala keperluannya, memasak, mencuci dan sebagainya. kalau aku pergi, dan hal ini tak dapat dirubah karena memang sudah semestinya demikian, aku harus ikut dengan Paman Jembros. Apakah engkau........ dapat menggantikan aku dan memperhatikan keperluan Eyang Panembahan" Kasihan, beliau sudah tua, kakang......."
"Tentu saja Wulansari, tentu saja. Sebagai saorang muridnya, sudah menjadi kewajibanku untuk mengurus segala keperluannya. jangan kau khawatir."
Wajah yang manis itu kini tersenyum dan matanya yang bening itu berseri. "Aku tahu, kau seorang yang baik. Jangan lupa, Eyang Panembahan tidak makan daging, hanya buah dan sayuran. Minumnya hanya air atau degan ( kelapa muda )"
Narseta mengangguk-angguk, dengan penuh perhatian, lalu keduanya berdiam lagi sampai beberapa lamanya. Nurseta memandang ke arah laut. Cuaca tidak begitu terang lagi, namun suara alunan menderu semakin kuat tanda bahwa air mulai pasang bersama datangnya malam. "Alangkah hebatnya Iautan......" kata Nurseta seperti kepada diri sendiri.
"Ya, hebat dan indah sekali, kakang Nurseta. Akan tetapi kalau setiap hari dari pagi sampai sore selalu melihatnya, menimbul keinginan dalam hati untuk melihat yang lain lagi, seperti pegunungan, dusun dan kota raja. Aku ingin merantau seperti ombak samudera itu, dan ini pula yang mendorong hatiku mendatangkan kegembiraan bahwa aku akan ikut pergi bersama Paman Jembros."
Ucapan ini mengingatkan Nurseta bahwa baru saja tadi dia berjumpa dan berkenalan dengan gadis yang manis ini, besok pagi mereka sudah harus akan saling berpisah Dia ingin mengetahui lebih banyak tentang diri gadis ini, ingin mengenalnya lebih dekat dengan gadis ini amat menarik hatinya, bukan hanya oleh bentuk tubuh dan keayuan wajahnya, juga oleh kepribadiannya, sikap dan gerak-serta suaranya.
"Adik Wulansari, apakah engkau akan menganggap aku lancang.mulut kalau aku bertanya padamu, sesungguhnya apakah hubunganmu dengan Eyang Panembahan dan dengan Paman Jembros itu" Tentu saja kecuali sebagai murid.
Gadis itu menggeleng kepalanya. "Hanya menjadi murid. Mereka itu adalah dua orang di dunia ini yang aku kenal, yang baik kepadaku, bahkan mereka berdualah yang dulu telah menolongku."
"Dan orang tuamu" Keluargamu...........?"
Sementara itu matahari sudah bergantung rendah di barat, hampir menyentuh permukaan laut dan mereka hanya dapat saling melihat bayangan masing-masing, angin laut bertiup keras bersama pasangnya air.
Wulansari menggeleng kepalanya, "Tidak la keluarga, tidak ada orang tua. Lima tahun yang lalu, ketika aku berusia sepuluh tahun, demikian menurut keterangan Eyang Panembahan, aku dan banyak orang, mungkin diantaranya ada orang tuaku, mengalami kecelakaan. Perahu yang kami tumpangi terbalik dan hanya aku seorang yang dapat diselamatkan oleh Paman Jembros. Aku lalu dititipkan oleh paman Jembros kepada Eyang Panembahan,dengan janji lima tahun kemudian dia akan datang mengambilku. Dan sekarang saatnya sudah tiba, aku harus ikut bersama Paman Jembros"
"Tapi....... tentu engkau tahu siapa nama orang tuamu dan dari mana engkau datang........"
Wulansari tersenyum dan menggeleng kepala. "Eyang Panembahan pun gagal menambahkan ingatanku tentang masa lalu itu. Aku lupa sama sekali, kakang Nurseta. Kata Eyang Panembahan, kepalaku terbentur karang ketika aku hanyut dan hal itu yang menyebabkan aku lupa segala masa laluku. Akan tetapi tidak mengapa, bukankah semua isi perahu itu hanyut dan tidak tertolong lagi" Mengetahui siapa keluarga berarti mengetahui pula bahwa mereka semua tewas. Sudahlah, dan engkau sendiri, kakang Nurseta" Menurut cerita tadi, ayahmu yang bernama Ki Baka telah ditawan orang-orang jahat, juga tombak pusaka itu dirampas orang jahat. Apakah engkau akan membiarkan saja hal itu terjadi" Mengapa tidak kau cari ayahmu itu?"
Nurseta tersenyum pula kini, senyum yang mengandung kepahitan. "Mereka adalah orang-orang yang memiliki kesaktian, bahkan ayahku sampai dapat tertawan membuktikan bet saktinya mereka. Dengan ilmuku yang tidak seberapa ini, apa dayaku" Aku harus mempelajari ilmu yang lebih tinggi dari Eyang Panembahan, barulah kelak aku akan mencari ayah dan tombak pusaka itu. Aku percaya akan bijaksanaan Eyang Panembahan yang mengatakan bahwa kelak akan tiba saatnya aku bertemu kembali dengan ayahku."
"Aahh, Eyang Panembahan juga mengatakan padaku bahwa kalau memang Hyang Maha Widhi menghendaki, ada saja kemungkinan aku kelak juga bertemu dengan orang tuaku, kalau mereka masih dilindungi dan masih hidup. Eyang Panembahan selalu bicara secara samar-samar saja tentang masa depan, tidak pernah mau menjelaskannya, kakang."
"Beliau memang benar, Wulansari. Masa depan yang belum terjadi adalah rahasia Yang Maha Kuasa, pantang bagi manusia untuk menguak dan menjenguknya."
Dua orang muda itu masih bercakap-cakap, tidak tahu bahwa di dalam keremangan senja, muncul sesosok bayangan yang seolah-olah hantu lautan saja, karena bayangan ini benar-benar muncul dari lautan. Bagaikan seekor burung camar laut yang pandai berenang di permukaan air laut saja, layaknya dia datang bersama ombak dari tengah laut. Akan tetapi sesungguhnya, dia mengambang di permukaan air bukan seperti burung camar laut melajnkan dengan menginjak dua buah potongan kayu yang meluncur cepat di atas ombak. Jubahnya yang lebar itu dibentangkan dengan kedua tangan menjadi layar dan kedua tongkat kayu yang diinjaknya itu meluncur dengan amat cepatnya menuju pantai! Setelah tiba di pantai, dengan ringannya dia meloncat neninggalkan dua potong kayu itu dan menghampiri Nurseta dan Wulansari yang sama sekali tidak melihat munculnya orang aneh itu.
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati kedua orang muda itu ketika tiba-tiba saja ada suara orang terkekeh di dekat mereka. Mereka cepat membalikkan tubuh dan hampir saja Wulansari menjerit. Seorang kakek sudah berdiri di dekat mereka, dan biarpun cuaca sudah remang-remang, namun pantulan sinar matahari senja di permukaan air masih mendatangkan cukup cahaya untuk dapat melihat wajah orang demikian menakutkan. Kakek itu usianya sukar ditaksir, tentu hampir tujuhpuluh tahun jubahnya yang lebar berwarna kuning dan dibalik jubah itu dia mengenakan pakaian yang seperti sisik ikan. Yang membuat Wulansari hampir menjerit tadi adalah ketika ia melihat wajah kakek itu. Wajahnya itu berkulit biru kehitaman, dengan sepasang mata yang mencorong seperti mata harimau di dalam kegelapan, mukanya agak memanjang ke depan dengan mulut yang mengarah bentuk meruncing. Aneh dan lucu dan menakutkan.
"Heh-heh-heh, nini, apakah namamu Wulansari?" Tiba-tiba saja terdengar suara kakek itu. Nurseta dan Wulansari adalah dua orang muda yang sejak kecil sudah menerima gemblengan orang pandai dan mereka bukan orang muda biasa, mereka memiliki kedigdayaan dan keberanian, namun pada saat itu mereka merasa gentar sekali, karena ada wibawa yang luar biasa keluar dari kakek ini. Juga mereka merasa bahwa kehadiran orang tua ini mendatangkan suatu perasaan tidak enak seperti ada tanda bahwa dia datang membawa hal yang tidak baik, namun anehnya, pertanyaan yang langsung itu tidak mungkin dapat mereka sangkal. Seperti didorong dan dipaksa saja, Wulansari mengangguk dan menjawab dengan suara yang agak gemetar.
"Benar, saya bernama Wulansari"
''Heh-heh-heh, bagus sekali. Memang sudah aku duga ketika selama beberapa hari ini aku melakukan pengintaian. Wulansari, cucuku yang baik, marilah engkau ikut bersamaku. Akulah eyangmu, sayang"
Berkata demikian, kakek itu menggerakkan tangannya ke depan untuk memegang lengan gadis itu. Tentu saja Wulansari terkejut dan tidak mau percaya begitu saja. Ia cepat menarik tangannya untuk mengelak, akan tetapi ungguh aneh sekali, tiba-tiba saja ia tidak mampu menggerakkan lengan itu, seolah-olah ada kuatan lain yang menahannya dan tak dapat dicegah lagi, lengan kirinya sudah tertangkap oleh tangan kakek itu yang jarinya panjang-panjang dan terasa dingin sekali.
"Iihh, lepaskan tanganku!" Wulansari berseru dan kini ia membalikkan tubuhnya ke kiri, tangan kanannya menampar untuk memukul pundak kanan lawan agar pegangannya itu terlepas. Tentu saja gadis ini mengerahkan tenaga sakti, karena ia dapat menduga bahwa ia berhadap dengan seorang yang pandai.
Tangan kanan gadis itu menyambar dahsyat dengan angin pukulan yang cukup kuat ke arah pundak kakek bermuka biru itu.
"Heh-Heh heh, agaknya tua bangka Sidik Danasura telah mengajarmu dengan cukup baik heh-heh!" kata kakek itu tanpa mengelak ataupun menangkis, sehingga tamparan Wulansari itu tepat mengenai pundaknya.
"Ihhhh.....!" Walansiri mengeluarkan jeritan tertahan karena ketika telapak tangannya yang terisi hawa sakti itu mengenai jubah di pundak, tamparannya melesat seperti mengend sisik ikan yang licin, dan telapak tangannya terasa panas dan nyeri.
Melihat ini, tentu saja Nurseta menjadi marah dan tidak mau membiarkan saja kakek itu menangkap Wulansari.
"Orang tua, tidak baik mempergunakan kekerasan terhadap seorang wanita. Harap engkau suka melepaskannya!" katanya sambl melangkah maju menghampiri, siap untuk menyerang dan membela Wulansari.
Kakek itu memandang kepada Nurseta.
"Hemm, orang muda. Engkau baru tadi datang. tidak perlu mencampuri urusan yang tidak ada sangkut pautnya denganmu"
"Semua urusan yang melanggar kebenaran merupakan urusanku! Lepaskan Wulansari atau terpaksa aku akan menggunakan kekerasan untuk membebaskannya dari tanganmu!"
"Hah-hah, engkau bocah cilik! Masih berbau berambang di pupukmu, masih ingusan hidungmu, sudah berani mengeluarkan kata-kata kasar. Cobalah, aku hendak melihat apa yang dapat kaulakukan terhadap aku, heh heh!"
Karena melihat Wulansari masih dipegang pergelangan tangan kirinva oleh kakek itu dan tidak mampu bergerak, Nurseta lalu menerjang ke depan dan menggunakan aji pukulan Brajadenta memukul ke arah dada kakek itu, dengan maksud agar kakek itu melepaskan tangan Wulansari untuk menghadapi serangannya cukup dahsyat.
Akan tetapi, alangkah kagetnya ketika dia melihat betapa kakek itu sama sekali tidak mengelak atau menangkis, ia hanya memandang sambil terkekeh saja, seolah-olah menerima hantamannya itu begitu saja.
Di dasar batin Nurseta tidak pernah ada kebencian, maka tentu saja sukar baginya untuk membiarkan pukulannya mengenai tubuh orang tanpa melawan. Otomatis dia mengurangi tenaganya agar jangan sampai membahayakan orang yang dipukulnya, hanya cukup untuk membuatnya melepaskan pegangan tangan Wulansari saja.
"Desss!"
Pukulan itu tepat mengenai dan akibatnya, tubuh Nurseta terpelanting pemuda ini roboh pingsan! Untunglah bahwa dia tadi mengurangi tenaganya dalam pukulan Aji Bajradenta, karena kalau tidak, dia mungkin dia akan menderita luka yang lebih parah membahayakan nyawanya, bukan sekedar pingsan seperti itu !
Melihat ini, Wulansari terbelalak dan menjerit. "Kau........! Kau membunuh dia...."
Jeritan ini mendatangkan akibat, yaitu munculnya Ki Jembros dan Panembahan Sidik Danasura. Ki Jembros datang dengan lompatan-lompatan jauh dan dia kelihatan marah sewaktu melihat seorang kakek berjubah lebar sedang memegangi pergelangan tangan kiri Wulansari, dan melihat Nurseta rebah tak bergerak atas pasir. Akan tetapi, Panembahan Danasura melangkah biasa saja dengan sikap tetap tenang walaupun alis matanya yang sudah berwarna putih sehingga hampir nampak lagi ada hitamnya itu agak berkertu.
"Babo-babo, iblis tua bangka keparat! Tidak tahu malu mengganggu orang-orang muda" Ki Jembros membentak marah. "Hayo lepaskan nini Wulansari!"
Akan tetapi kakek yang berjubah kuning terkekeh. "Heh-heh-heh, ada kerbau hitam mengamuk, heh-heh!"
ki Jembros adalah seorang yang gagah perkasa. walaupun wataknya keras, jujur, gembira tetapi juga galak dan ugal-ugalan. Di lubuk batinnya, dia adalah seorang yang selalu menentang kejahatan, bahkan dia seorang berjiwa patriot dan setia terhadap negara membela bangsa dan rakyat jelata yang tertidndas. Dia paling benci melihat orang yang mempergunakan kekuasaan atau kepentingan untuk menekan, menindas dan menyengsarakan orang lain yang lemah tidak berdaya. Oleh karena itu, melihat sikap kakek aneh memperlihatkan sikap menantang setelah merobohkan Nurseta dan menawan Wulansari, maka si brewokan itu menjadi merah dan matanya yang lebar seperti mengeluarkan api. Akan tetap, dia belum mengenai siapa kakek itu, maka diapun meragu.
"Tua bangka sombong! Kalau memang kau memiliki keberanian, lepaskan anak itu dan kita bertanding sebagai laki-laki sejati" tantangnya. Dia khawatir kalau menyerang pada saat Wulansari masih dipegang orang itu, takut kalau sampai gadis itu terkena pukulan yang menyeleweng.
"Heh-heh-heh, ia ini cucuku yang akan aku bawa pergi, mengapa dilepaskan" Tiba-tiba kakek itu meraba tengkuk Wulansari yang ketika mengeluh dan menjadi lemas terkulai. lalu oleh kakek itu, tubuh Wulansari dipanggul di atas pundak kiri dan dirangkul dengan lengan kiri.
Melihat ini, tentu saja Ki Jembros sangat terkejut dan marah. "Iblis tua, apa yang kau lakukan itu?"
Dan Ki Jembros pun sudah menerjang ke depan, menggunakan tangan kanan yang terbuka untuk menyerang ke arah dada kanan orang itu dengan pukulan sakti Aji Hasti bairowo! (Tangan Dahsyat) mengandung kekuatan yang bukan main hebatnya, apa lagi dilakukan oieh Ki Jembros yang telah melatihnya sampai tingkat yang tinggi sekali. Batu karangpun akan remuk terkena pukulan telapak tangannya itu, apa lagi hanya kulit daging dan tulang manusia !
Kakek itu menggunakan tangan kanan pula untuk menyambut pukulan Aji Hasta Bairowo itu, dengan telapak tangan kanannya juga dibuka. Melihat ini, Ki Jembros menamb tenaganya dan bertemulah kedua tela tangan itu di udara.
"Desss........!" Ki Jembros terkejut bukan main karena dia merasa betapa ada hawa yang dingin sekali menyusup masuk melalui telapak tangannya, dan hawa dingin itu menolak kembali kekuatan dari dalam tubuhnya, membuat dia terhuyung ke belakang namun, cepat dia menggulingkan tubuhnya dan dengan Aji Trenggiling Wesi, yaitu suatu aji kekebalan yang dimilikinya, dia dapat memulihkan tenaganya dan meloncat kembali. Dia marah dan penasaran. Kiranya kakek itu, sambil memanggul tubuh Wulansari, mampu membuat dia terhuyung ke belakang! Tahulah dia bahwa lawan ini ternyata seorang yang sakti mandraguna. Akan tetapi, dia tentu saja tidak membiarkan Wulansari dibawa pergi begitu saja. Maka, diapun kini maju lagi menyerang lebih dahsyat lagi untuk memaksa kakek itu melepaskan Wulansari.
Serangannya bertubi-tubi dengan kedua tangan dibuka dan dia menyerangg di bagian tubuh yang lemah, tentu saja ia berhati-hati agar serangannya jangan sampai mengenai tubuh Wulansari yang agaknya pingsan berada di atas pundak kiri kakek itu. Namun, kakek berjubah kuning itu memang hebat. Sambil terkekeh dia menghadapi semua serangan Ki Jembros dengan tangan kanannya saja, dan kalau Ki Jembros mendesak, dia sengaja memutar tubuh dan membiarkan tubuh Wulansari sebagai perisai. Tentu a hal ini mengejutkan Ki Jembros dan menahan serangannya bahkan kini kakek itu balas dengan dorongan-dorongan tangan kanannya yang mendatangkan angin lesus yang dapat berputar dan berhawa dingin sekali. Ki Jembros beberapa kali sampai terhuyung belakang.
"Kaki Jembros, mundurlah, Andika tidak akan menang menghadapi orang ini!" tiba-tiba terdengar seruan halus dan Ki Jembros cepat meloncat mundur karena yang menegur itu adalah Sang Panembahan Sidik Danasura sendiri.
Kini, dua orang kakek yang sama tua itu saling berhadapan, saling pandang. Sepasang mata kakek yang memanggul tubuh Wulansari itu mencorong seperti mata ha mau, kehijauan, sedangkan sepasang mata Panembahan Sidik Danasura memandang ngan lembut. Sepasang mata yang mencorong itu akhirnya agak ditundukkan, seolah-olah merasa risau atau sungkan beradu pandang dengan sepasang mata yang lembut penuh welas asih itu, bahkan kini kakek berjubah kuning itu berkata seperti orang yang membela diri.
"Andika tentulah Panembahan Sidik Danasura, dan kiranya sudah maklum bahwa aku datang untuk mengambil apa yang menjadi hak kami"
"Semoga Sang Nurcahya memberi penerangan kepeda batin kita semua. Ki sanak, apa yang menjadi bukti bahwa Wulansari adalah milik andika sehingga andika berhak untuk mengambilnya?" Suara pendeta tua itu tetap tenang dan sabar dan agaknya sikap inilah yang membuat kakek berjubah kuning itu seperti orang yang gelisah dan tidak betah lebih lama tinggai di situ.
"Panembahan Sidik Danasura ! Andika tentu telah maklum siapa aku. Aku datang jauh Blambangan dan Wulansari juga anak Blambangan. Itu saja sudah membuktikan bahwa aku lebih berhak membawanya dari pada Andika. Nah, aku mau pergi sekarang"
"Nanti dulu, Ki sanak !" kata Sang Panembahan dengan halus. Akan tetapi suara halus itu seolah mengandung tenaga mujijat yang menahan langkah kakek berjubah kuning yang sudah hendak pergi membawa tubuh Wulansari diatas pundaknya. Dia membalik dan menghadapi pendeta itu dan kini kembali sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong penuh kemarahan.
"Mau apa lagi" Aku mau pergi membawa cucuku ini !" bentaknya marah.
"Bagaimana kalau kuperingatkan engkau bahwa memaksakan kehendakmu terhadap seseorang hanya kelak akan mendatangkan bencana kepada dirimu sendiri" Kalau Wulansari memang mau ikut bersamamu, percayalah, aku akan memberi doa restuku. Akan tetapi, kalau secara paksaan begini, sungguh tidak sewajarnya dan tidak baik."
"Masa bodoh! Aku tidak membutuhkan peringatan dan nasihatmu!"
"Dan kalau aku berkeberatan?" tanya Panembahan Sidik Danasura.
"Keberatan" Terimalah ini!" Bentak kakek berjubah kuning itu dan tiba-tiba saja dia sudah menerjang ke depan, tangan kanan yang dibuka itu memukul ke arah dada Panembahan yang tinggi kurus dan agak bongkok itu.
Akan tetapi, Panembahan Sidik Danasura menyambut pukulan itu dengan tangan kiri mendorong lirih saja sambil mulutnya berbunyi "Saddhu........ saddhu....... saddhu.......!"
"Plakkk!" Dua telapak tangan tua itu saling bertemu dan akibatnya tubuh kakek berjubah kuning itu terdorong ke belakang lima langkah, mukanya yang kebiruan itu jadi pucat, matanya terbelalak dan tanpa banyak cakap lagi, diapun membalikkan tubuh, lalu lari ke arah lautan!
"Hei, jangan larikan Wulansari!" Ki Jembros meloncat dan mengejar, akan tetapi kakek berjubah kuning itu sudah meloncat nyambut air berombak besar dan tubuhnya bersama tubuh Wulansari digulung ombak!
Tentu saja Ki Jembros terkejut dan tidak berani menerjang ombak, dia berdiri memadang dengan mata terbelalak, kemudian menjadi panik karena tidak lagi nampak bayangan kakek berjubah kuning maupun Wulansari.
"Wah....... wah....... celaka........! Paman Panembahan, mereka tentu tewas tenggelam teriaknya kepada Panembahan Sidik Danasu. Kakek ini menarik nafas panjang dan mengelengkan kepalanya. "Tidak, kaki Jembros Dia sudah pergi, membawa Wulansari, tentu dengan menyelam karena dia amat pandai ilmu di dalam air."
"Tapi........tapi........ kenapa paman tidak mencegahnya.......?"
Kembali Panembahan Sidik Danasura narik napas panjang. "Akupun tidak akan mampu mencegahnya. Di darat mungkin aku dapat menandinginya, akan tetapi di dalam air?"
Kakek itu lalu menghampiri Nurseta yang masih menggeletak tak sadarkan diri di pasir, berlutut lalu memeriksa keadaan pemuda itu. Hatinya lega karena Nurseta tidak terluka parah, hanya terguncang oleh tenaga pukulannya sendiri dan pingsan saja. Setelah kakek itu mengurut dadanya bebera kali, Nurseta mengeluh dan membuka mata, lalu pemuda itupun cepat bangkit berdiri karena diapun teringat akan segala yang tadi terjadi.
Dia memandang ke kanan kiri, namun ia hanya melihat Panembahan Sidik Danasura dan Ki Jembros, sedangkan Wulansari dan kakek berjubah kuning itu tidak nampak lagi berada di situ.
"Di mana kakek itu" Di mana Wulansari ?" tanyanya sambil memandang kepada Panembahan Sidik Danasura. "Eyang, apa yang telah terjadi?"
Kakek itu tidak menjawab, akan tetapi Ki Jembros dengan suara penasaran menjawab, Iblis itu telah melarikan Wulansari melalui lauutan, dan Paman Panembahan membiarkan saja!"
Di dalam suaranya masih terkandung perasaan marah dan penasaran.
"Ya Tuhan......!" Nurseta berseru kaget sekali dan penuh kekhawatiran, Ia memandang pada pertapa itu. "Tapi, eyang, kenapa dibiarkan saja kakek jahat itu melarikan adik Wulansari?"
"Sudahlah, mari kita kembali ke pondok dan bicara. Munculnya orang itu sungguh menandakan bahwa memang keadaan di kerajaan sudah mengalami perubahan besar dan agaknya cahaya keagungan Sribaginda telah mulai suram," kata Panembahan Sidik Danasura dan mereka bertiga lalu berjalan menuju ke padepokan, dengan sikap lemas dan gelisah, tanpa Wulansari.
Nurseta menyalakaa api penerangan dan mereka lalu duduk bersila di atas tikar. Wajah Ki Jembros masih nampak berkerut penuh rasa penasaran, matanya jelalatan kadang memandang ke arah pintu keluar seolah mengharapkan munculnya Wulansari setiap saat. Nurseta bersila dan menundukkan muka menghadapi kakek pertapa itu.
"Paman, sekarang jelaskanlah agar hati tidak menjadi panas dan penuh dengan penasaran-penasaran seperti ini. Siapakah iblis tadi dan mengapa pula dia menculik Wula sari dan agaknya paman tidak berusaha untuk mencegahnya?"
"Dia adalah seorang datuk yang amat terkenal dari Blambangan, kaki. Ilmu kepandaiannya amat tinggi, memiliki bermacam ilmu kesaktian dan diantaranya dia dapat berma di dalam air lautan seperti seekor ikan. Karena dia mengambil jalan air, bagaimana aku dapat mencegah dia melarikan Wulansari" Namanya adalah Cucut Kalasekti......."
"Wah! Sudah pernah kudengar nama itu.......!" kata Ki Jembros dengan kaget.
"Nah, dia itulah orangnya. Selama belasan tahun, dia tidak pernah mencampuri urusan dunia, oleh karena itu kalau kini dia muncul seperti para tokoh sesat lainnya sampai keluar dari tempat persembunyian bahkan melakukan hal yang menghebohkan, seperti mereka yang telah menawan Kaki Baka dan merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala, maka hal itu hanya mempunyai satu arti, bahwa keadaan kerajaan akan mengalami banyak gangguan. Seorang seperti Cucut Kalasekti itu, tidak mungkin melakukan sesuatu hanya untuk lseng belaka, sudah tentu mempunyai maksud yang lebih besar"
Akan tetapi, kenapa dia datang ke sini dan menculik Wulansari?" Ki Jembros mendesak. "Apa artinya seorang gadis remaja seperti Wulansari bagi seorang seperti dia, jangan disamakan dengan Ki Baka dan tombak pusaka Tejanirmala, paman!"
'Tentu saja engkau benar, akan tetapi ketahuilah, bahwa hal-hal yang belum kita mengerti kadang-kadang mendatangkan perasaan bingung dan penasaran. Ingatlah andika, kaki, ketika pertama kali andika menyelamatkan Wulansari. Ketika pertama kali Wulansari dapat bicara dan hanya dapat mengingat namanya saja, melupakan segala masa lalunya, cara ia bicara, lupakah andika" Dari cara bicaranyapun kita pat menduga dari mana datangnya Wulansari"
"Jagad Dewa Bathara.......!" Ki Jembros menepuk dahinya. "Benar sekali. Ia bicara seperti orang Blambangan! Sekarang, setelah tinggal di sini selama lima tahun, logatnya berubah. Akan tetapi dahulu, ingat benar aku sekarang, ia tentulah seorang anak dari timur. Akan tetapi, aku masih bingung artinya itu........?"
"Tidak sukar diduga, kaki. Ingat, Kalasekti adalah seorang datuk Blambangan pula. Sudah pasti sekali dia tahu akan rahasia mengenai nini Wulansari, maka dia mengatakan bahwa dia datang mengambil cucunya sendiri! Agaknya sudah lama dia mencari menyuruh orang menyelidiki dan mendengar bahwa nini Wulansari masih hidup dan ada di sini. Mungkin dia mendengar bahwa Wulansari hidup bersamaku di sini, maka ia sendirilah yang datang mengambil, dan melarikan anak itu melalui laut, ia maklum hanya itulah jalan satu-satunya untuk melarikan Wulansari dariku. Kiranya ada rahasia yang lebih besar di balik semua peristiwa ini, kaki."
Ki Jembros masih kelihatan penasaran, dia mengepal tinju. "Bagaimanapun juga, aku tidak akan membiarkan Wulansari terjatuh tangan iblis itu ! Aku akan pergi mencari dan merampasnya kembali!"
"Saddhu.......... saddhu........ saddhu..."
Panembahan Sidik Danasura merangkap tangan di depan dada. "Kaki Jembros, tenangkanlah batinmu dan dengarlah. Segala sesuatu yang dikehendaki oleh Hyang Widhipun terjadilah dan tak seorangpun manusia di dunia ini akan mampu merobahnya."
"Benar, akan tetapi kita harus berikhtiar!"
"Itu wajar, kalau memang andika tahu betel bahwa usahamu menentang itu berada di jalan yang benar. Akan tetapi, tahukah andika siapa Wulansari" Tahukah pula andika mengapa orang Blambangan itu bersusah payah membawanya pergi" Masih banyak hal yang lebih penting lagi untuk kita perhatikan, kaki. Terutama andika yang selama ini selalu mencurahkan perhatian dan tenaga untuk melaksanakan darma seorang ksatria utama. Mengenai hal Wulansari, Sang Hyang Widhi sudah menentukan garisnya sendiri,"
"Aku maklum, paman. Akan tetapi hati ini tidak dapat merelakan, karena aku yang dahulu menyelamatkannya dari gelombang lautan
"Nah, nah, di situlah letak kuncinya. Ketika andika menyelamatkannya, apakah ada pamrih di dalam batin andika" Kalau berpamrih, maka perbuatan itu tidak ada artinya."
Ki Jembros nampak terkejut, lalu menggosok kedua telapak tangannya dan mengusap muka dengan kedua telapak tangannya, diapun nampak tenang sekarang.
"Terima kasih, paman. Baru saja paman telah menggugahku dari mimpi buruk." Kini sepasang matanya tidak lagi mencorong liar, melainkan membayangkan kewaspadaan dan kecerdasan "Mohon petunjuk paman tentang keadaan karang ini. Apa hubungannya kemunculan tokoh-tokoh sesat yang menyerang Ki Baka dengan kemunculan datuk Blambangan itu, apa pula kaitannya dengan keadaan kota raja.
Sejak tadi, Nurseta hanya mendengar saja, namun pemuda ini mendengarkan dengan penuh minat dan perhatian sehingga tidak ada yang terlewat dari pendengarannya.
"Segala yang dikehendaki Hyang Widhi terjadilah! Andika tentu sudah mendengar semua peristiwa yang terjadi berturut-turut selama beberapa tahun ini, bahkan sejak lima tahun yang lalu ketika andika menyelamat nini Wulansari. Ingatkah andika apa yang telah terjadi di kota raja, yang mendatangkan banyak pertentangan diantara para kawula dan pamong praja?"
Ki Jembros mengangguk-angguk mengelus jenggot dan kumisnya yang brewok.
"Aku ingat benar, paman. Sang Prabu telah mengadakan perubahan besar-besaran di kalangan para senopati dan pejabat tinggi, dan banyak hal terjadi di luar perhitungan dan bahkan diam-diam mendatangkan keprihatinan dan kekhawatiran besar. Ki Patih Riganata telah dibebaskan dari jabatannya sebagai patih, dan menjadi Adhyaksa di Tumapel, pada hal Ki Patih Raganata itu memiliki kebijaksanaan yang amat dibutuhkan oleh kerajaan. Kemudian Tumenggung Wirakreti juga dilorot pangkatnya menjadi menteri angabaya. Juga Pujangga Santasrmeti lebih baik meninggalkan pura dan menjadi pertapa dari pada menerima penurunan kedudukannya. Lebih parah lagi, Adipati Wirareja dipindahkan ke Sumenep untuk menjadi bupati di pulau yang baru ditaklukkan itu. Semua ini merupakao peristiwa yang menggemparkan, paman. Akan tetapi, bukankah Sang Prabu melakukan hal itu demi perbaikan keadaan" Bukankah Ki Patih Raganata memang sudah sepuh dan kini diganti degan tenaga-tenaga muda seperti Ki Patih Mahesa Anengah dan dibantu oleh Apanji Angragani" Apa salahnya dengan semua perubahan yang diadakan oleh Sang Maha-Prabu itu?"
Panembahan itu menarik napas panjang "Bukan menjadi hak kita untuk menilai benar atau salahnya tindakan yang diambil oleh Sang Prabu, kaki. Sang Prabu memiliki cita-cita yang luhur, yaitu untuk memperkembangkan Singosari dan menaklukkan seluruh daerah sampai ke Pamalayu. Akan tetapi, dalam hal ini agaknya Sang Prabu tergesa-gesa dan hal itulah yang agaknya tidak disetujui oleh para pamong praja yang kemudian dipindahkan pangkatnya itu. Para pamong itu adalah pejabat-pejabat lama yang sudah berpengalaman dan setia, mereka melihat betapa di dalam kerajaan sendiri masih terdapat ancaman-ancaman perpecahan. Sebelum memperkuat diri dari dalam, bagaimana dapat meluaskan daerah di luar" Akan tetapi sekali lagi, semua itu, adalah urusan kerajaan dan kita tidak berwenang mencampuri. Hanya aku merasa prihatin melihat munculnya para tokoh dan datuk sesat, karena ini merupakan tanda bahwa kewibawaan kerajaan mulai menyuram sehingga mungkin saja sewaktu-waktu timbul pemberontakan dan kekalutan lagi, kaki. Oleh karena itu, dari pada engkau merisaukan keadaan nini Wulansari yang agaknya diambil kembali oleh orang-orang Blambangan, tidakkah lebih bijaksana kalau engkau mempersiapkan diri dan melihat-lihat keadaan di kerajaan" Siapa tahu tenagamu dibutuhkan untuk negara dan bangsa, kaki."
Ki Jembros mengangguk-angguk. "Semua yang dikatakan paman memang tepat. Pada saat seperti ini, memang bukan waktunya kita mementingkan urusan pribadi dan meributkan hati sendiri yang digerakkan karena adanya ikatan. Baiklah, paman. Saya akan melihat-lihat keadaan dan siap mempertaruhkan diri yang tidak berharga ini untuk membela negara kalau memang keadaan menuntutnya."
Kakek itu mengangguk dan tersenyum bangga. "Sejak dahulu aku tahu siapa andika, Kaki Jembros. Andika ksatria lahir batin dan beruntunglah negara memiliki putera-putera seperti andika."
Mereka masih bercakap-cakap, membicarakan keadaan Kerajaan Singosari sampai hampir semalam suntuk dan pada keesokan harinya, pagi-pagi Ki Jembros sudah meninggalka padepokan.
*** Penilaian Sang Panembahan Sidik Danasura mengenai keadaan Kerajaan Singosari memang banyak benarnya. Sang Prabu Kertanegara (1268-1292) memang memiliki cita-cita yang besar, yaitu dia ingin mempersatukan Nusantara menjadi kesatuan yang bulat di bawah pimpinan Singosari ! Bukan saja dia menundukkan daerah daerah di Pulau Jawa, bahkan dia menundukkan daerah di luar Pulau Jawa, dan dia melakukan usaha pula untuk membina hubungan baik dengan negara tetangga seperti Melayu, Champa, Sokadana Kalimantan Barat dan dengan Pahang di pantai timur Semenanjung Malayu. Untuk mengikat hubungan persahabatan dia mengirimkan seorang puteri Singosari untuk menjadi isteri Raja Champa, dan banyak pula dia mengirim benda-benda berharga sebagai tanda persahabatan dengan kerajaan-kerajaan tetangga. Semua ini dilakukan untuk memperkuat diri karena ia maklum bahwa ada bahaya besar mengancam dari utara, yaitu balatentara Kaisar Kubilai Khan, raja Mongol yang telah berhasil menguasai bukan saja seluruh daratan Cina, bahkan balatentaranya terus menyerbu jauh ke barat dan jauh ke selatan, sampai ke Champa dan hal ini merupakan ancaman bagi Singosari sehingga Sang Prabu Kertanegara mengambil kebijaksanaan untuk memperkuat diri.
Semua usahanya itu mendapat banyak tantangan, terutama dari Ki Patih Raganata para pejabat tua lainnya, yang melihat bahwa gerakan yang dilakukan oleh raja mereka itu mengandung bahaya besar. Pasukan dikirim untuk menundukkan daerah-daeran di luar Singosari, padahal di Singosari sendiri masih banyak terdapat perpecahan dan ancaman di dalam tubuh sendiri. Tentangan-tentangan inilah yang membuat Sang Prabu Kertanegara melakukan perubahan yang cukup menghebohkan di dalam Ketata-negaraannya, yaitu dengan menggantikan tenaga-tenaga tua dengan tenaga tenaga muda. Dia sama sekali tidak menyadari bahwa justeru hal ini menambah jumlah seteru di dalam selimut, menambah jumlah mereka yang tidak puas dengan pimpinannya.
Untuk memberi sedikit gambaran kepada para pembaca yang belum mengetahui, Sang Prabu Kertanegara adalah keturunan dari Tunggul Ametung dan Ken Dedes. Tunggnl Ametung adalah Raja Singosari yang dijatuhkan oleh ken Arok dan kemudian Ken Arok mengambil Ken Dedes sebagai isteri, dan Ken Arok lah yang berkusa, menguasai Singosari, bahkan menguasai pula Kediri.
Dari suami pertama, yaitu Tunggul Ametung, Ken Dedes mempunyai seorang purera yang bernama Anusapati. Anusapati mempunyai putera bernama Ranggawuni atau kemudian menjadi Sang Prabu Wishnuwardhana, dan Sang Prabu Kertanegara sekarang ini adalah putera Sang Prabu Wishnuwardhana. Sementara itu, dari suaminya yang ke dua, Ken Arok, Ken Dedes melahirkan Mahesa Wongateleng, yang berputera Mahesa Champaka, kemudian Lembu Tal yang kemudian mempunyai putera yang dikenal sebagai Pangeran Wijaya. Ken Arok masih mempunyai seorang isteri lagi yaitu Ken Umang yang kemudian melahirkan seorang putera bernama Tohjaya. Catatan ini hanya ambil para puteranya saja yang menjadi tokoh-tokoh di Kerajaan Singosari yang dahulu disebut Tumapel.
Bagaimanapun juga, haruslah diakui bahw Sang Prabu Kertanegara telah melaksana cita-citanya untuk mempersatukan nusantara, bahkan juga berusaha untuk memperkuat keadaan Singosari sendiri. Seperti telah dibuktikan betapa untuk memelihara kedamaian antara tokoh-tokoh di dalam mencari sendiri, dia tidak membasmi keturunan Raja Kediri yaitu Raja Kertajaya yang pada tahun 1222 mengalahkan oleh Ken Arok. Bahkan dia tidak merampas Kerajaan Kediri. Kerajaan ini, walaupun tentu saja tunduk kepada Kerajaan Singosari, masih dipertahankan, bahkan mangkatnya Jayakatwang, keturunan Raja Kertajaya, menjadi Raja di Kediri! Masih lagi melanjutan langkah ini yang tentu saja dilakukan dalam usahanya memperkuat persatuan itu, yakni Sang Prabu Kertanegara bahkan berkenan mengambil putera Raja Jayakatwang bersama Ardharaja menjadi mantu. kemudian mengangkatnya menjadi seorang senopati atau panglima yang penting, memimpin pasukan besar untuk menjaga keamanan Singosari.
Selain mengambil putera Jayakatwang sebagai mantu, juga Sang Prabu Kertanagara mengangkat Raden Wijaya, keturunan Mahesa champaka, atau keturunan Ken Arok dan Ken Dedes, menjadi mantunya pula, sekaligus di kawinkan dengan dua orang puterinya! Semua itu tentu saja hanya mempunyai satu tujuan yaitu Sang Prabu Kertanagara hendak mengumpulkan tulang-tulang yang berserakan, atau hendak mempersatukan keturunan dari raja-raja yang tadinya saling bermusuhan, keturunan Tumapel, Dhaha atau Kediri, dan Singosari sendiri, menjadi satu keluarga untuk memperkuat kedudukan Singosari! Demikianlah sedikit gambaran tentang kebijaksanaan yang telah diambil oleh Sang Prabu Kertanagara.
Akan tetapi, sudahlah lama di dunia ini, suatu kebijaksanaan seseorang tidak mungkin memuaskan semua pihak. Ada saja yang menentangnya. Hal inipun tidaklah heran, karena suatu perbuatan itu dianggap bijaksana dan baik, ataupun dianggap lalim dan buruk, oleh mereka yang menilainya. Dan setiap penilaian datangnya dari perhitungan untung rugi pribadi.
Si penilai sudah pasti berdasarkan penilaiannya itu dari suka tidak suka, dari untung atau rugi. Kalau diuntungkan, dia suka dan tentu saja perbuatan itu dianggapnya bijaksana dan baik. Sebaliknya, kalau perbuatan itu mendatangkan kerugian bagi seseorang, sudah pasti perbuatan itu dianggapnya lalim dan buruk!
Demikian pu dengan "kebijaksanaan" yang diambil oleh Sang Prabu Kertanegara. Bagi mereka yang merasa diuntungkan dengan kebijaksanaan itu su pasti mendukungnya dengan setia, karena yang didukungnya itu sesungguhnya bukan Sang Prabu Kertanagara, melainkan keuntungan yang didatangkan oleh kebijaksanaan itu. Sebaliknya, bagi mereka yang merasa dirugikan dengan kebijaksanaan itu, sudah pasti menentangnya mati-matian karena yang ditentangnya adalah kerugian bagi diri sendiri itulah.
Memang tepat seperti yang diterangkan oleh Panembahan Sidik Danasura kepada Ki Jembros, pada waktu itu Kerajaan Singosari ditinggalkan sebagian besar bala tentaranya. Lima tahun yang lalu, pasakan Singosari berhasil menumpas pemberontakan, kemudian pasukan menyeberang selat Madura dan menundukkan Madura. Kemudian Arya Wiraraja yang juga dikenal sebagai Banyak Wide diangkat menjadi bupati di Sumenep untuk mengatur pulau yang baru ditaklukkan itu, angkatan ini bahkan tidak memuaskan Arya Wiraraja karena pada hakekatnya jauhkan dia dari Singosari dan memberinya dengan tugas berat, maka diam-diam diapun merasa tidak puas, bahkan menganggap hal itu sebagai usaha Sang Prabu Kertanagera untuk menjauhkan diri dan mengurangi kuasaannya di Singosari.
Dan kini, pasukan yang sangat besar sekali dikirim ke Pamalayu, dengan harapan agar tanpa banyak mempergunakan kekerasan, Raja Malayu (Sumatera) akan dapat ditundukkan dan mengakui kekuasaan Singosari. Pengiriman pasukan besar inilah yang menjadi perdebatan di dalam istana, karena begitu mendengar akan niat Sang Prabu Kertanagara, maka semua hulubalang dan senopati berkumpul dan menghadap.
Terutama sekali Empu Raganata yang telah lama menjadi patih yang amat bijaksana menyatakan keberatannya. "Hamba mengerti akan pentingnya menarik Malayu sebagai sekutu untuk menghadapi ancaman Tartar dari utara, Kanjeng Sinuwun. Akan tetapi, hamba kira sekarang belum saatnya untuk mengosongkan kerajaan dari penjagaan yang kuat. Baru saja pemberontakan Baya dapat dipadamkan, dan hamba khawatir kalau-kalau masih akan ada lagi pemberontakan lain. Kalau sampai terjadi pemberontakan besar-besar di dalam negeri, sedangkan balatentara sebagian besar berangkat ke tempat sejauh Malayu, lalu bagaimana kita harus membela diri?" Demikian antara lain Empu Raganata memberi nasihat kepada raja yang juga didukung oleh banyak senopati yang hadir.
Akan tetapi Sang Prabu Kertanagara tersenyum melihat bekas patih tua itu. "Siapakah kiranya yang akan berani melakukan pemberontakan, paman Empu" Kami sudah berlaku seadil-adilnya dan kami kira semua pamong praja mendukung kami, bagaimana paman dapat membayangkan hal yang bukan-bukan, Bahwa dikhawatirkan akan ada pemberontakan dalam kerajaan?"
"Ampun beribu ampun, Kanjeng Sinuwun. Dalamnya bengawan dapat diukur, akan tetapi dalamnya hati manusia siapa mampu mengukurnya" Seyogianya paduka ingat bahwa bagaimanapun juga, dendam keluarga turun temurun masih terdapat di Singosari. Bukankah Singosari mempunyai hutang dendam terhadap kerajaan Kediri" Hamba sendiri melihat betapa sudah terlalu lama Sang Adipati Jayakatwang tidak pernah datang menghadap paduka. Hal seperti inilah yang perlu dijaga, juga kaum sesat dari golongan hitam yang menaruh dendam karena pernah mereka itu dibasmi dihadapi dengan kekerasan, kalau melihat betapa kekuatan pasukan kerajaan menjadi lemah dan lengah, kemungkinan besar mereka akan bangkit."
Mendengar ucapan ini, banyak di antara para senopati saling pandang. Hal yang disinggung oleh bekas patih tua itu cukup gawat dan peka, karena jelas menyatakan kesangsian kecurigaan terhadap Adipati Jayakatwang dari Kediri.
Patih Mahesa Anengah, yang baru diangkat menjadi patih menggantikan Empu Raga ketika mendengar ucapan itu, mengerut alisnya dan diapun cepat menghaturkan bah kepada Sribaginda.
"Ampunkan hamba kalau hamba berani lancang menanggapi pendapat Paman Empu. Raganata, Kanjeng Sinuwun. Hamba kira tidak mungkin kalau di dalam batin Raja Jayakatwang terkandung sesuatu yang tidak selayaknya terhadap paduka. Agaknya Paman Empu Raganata lupa siapakah Raja Jayakatwang itu. Bukankah beliau kini menjadi orang yang hidup mulia di istana Kediri hany karena kemurahan hati Kanjeng Sinuwun yang bijaksana" Apa lagi kalau diingat bahw putera beliau juga diambil mantu oleh Kanjeng Sinuwun, berarti bahwa Raja Jayakatwang merupakan besan yang berhutang budi banyak sekali. Kalau beberapa lama beliau tidak datang menghadap, tentu sedang berhalangan dan jangan sekali-kali hal itu dianggap sikap permusuhan. Kanjeng Sinuwun sendiri: mengambil langkah perssatuan yang amat bijaksana, bagaimana mungkin kini kita harus menganjurkan perpecahan?"
Mendengar ucapan patihnya yang baru ini, Sang Prabu Kertanagara sangat menyetujui dan diapun menolak nasebat Empu Raganata tadi. dan diantara para senopati dan hulubalang, diam-diam terjadi pula perpecahan, ada yang diam-diam menyetujui pendapat Empu Raganata, ada pula sebagian yang menentangnya namun, di depan Sang Prabu Kertanagara, mereka tidak memperlihatkan isi hati mereka.
Demikianlah, akhirnya pasukan besar dikirim juga ke Melayu. Pasukan besar itu dipimpin oleh Senopati Kebo Anabrang, dan diantarkan oleh sekalian senopati, bahkan juga Patih Mahesa Anengah dan Panji Angragani sampai ke pantai laut Tuban. Setelah pasukan itu berangkat berlayar, para senopati kembali ke Singosari dan Sang Prabu Kerta-gara merasa gembira dan puas. Dia merasa telah berhasil melaksanakan suatu gerakan besar yang akan memperkuat kedudukan Singosari. Malayu dapat menjadi perisai dan garis terdepan untuk menahan gelombang ancaman pasukan Tartar yang sedang merajalela di utara dan barat.
Akan tetapi, apa yang dikhawatirkan bekas patih tua itu, Empu Raganata, ternyata terbukti dengan amat cepatnya. Melihat betapa keadaan kota raja Singosari kini lemah karena ditinggalkan sebagian besar dari pasukannya, maka bergeraklah dunia hitam. Golongan sesat mulai berani keluar dari tempat persembunyian mereka. Maling dan perampokan mulai sering terjadi dan hukum rimba mulai menguasai daerah pinggiran di mana pasukan keamanan kota raja tidak dapat bertugas Iangsung menangani keamanan.
Tentu saja yang menderita adalah rakyat, karena apa yang selalu didambakan oleh rakyat di dunia manapun juga, yaitu tata-tenteram-kerta-raharja mulai terganggu. Diantara peristiwa-peristiwa yang menjadi akibat dari ulah para tokoh sesat itu, terjadilah hal yang menimpa diri Ki Baka, dan juga apa yang terjadi di Teluk Prigi Segoro Wedi di pantai Segara Kidul, di mana Wulansari diculik oleh seorang kakek sakti yang bernama Cucut Kalasekti.
*** Masih untunglah bagi Singosari bahwa biarpun sebagian besar pasukan kerajaan itu meninggalkan Pulau Jawa untuk melawat ke Melayu, biarpun yang tinggal di Kerajaan Singosari hanya tinggal sebagian kecil saja, namun Kerajaan Singosari memiliki banyak senopati yang gagah perkasa dan setia kepada kerajaa Selain Raden Wijaya, pangeran yang masih amat muda akan tetapi telah memiliki kegagahan dan amat disegani dan dihormati para senopati. Raden Wijaya sebagai keturunan Narasinga, nama lain dari Mahesa Campaka, amat dicintai oleh para senopati karena memang pemuda ini selain gagah perkasa, pandai pula membawa diri dan berjiwa patriot, setia terhadap negara, kerajaan dan bangsa.
Diantara para senopati muda yang setia dan menjadi banteng-banteng Kerajaan Singosari tercatat nama-nama yang terkenal di dalam sejarah seperti Lembu Sora, Gajah Pagon, Medang Dangdi, Mahesa Wagal, Nambi, Banyak Kapuk, Kebo Kapetengan, Wirota Wiragati, Ronggo Lawe dan masih banyak lagi. Sederetan nama inilah yang masih amat disegani oleh para tokoh sesat karena mereka itu adalah senopati-senopati yang memiliki aji kesaktian dan merupakan pendekar-pendekar yang selalu siap mempertahankan negara dan bangsa dengan taruhan nyawa, setiap jengkal tanah mereka pertahankan dengan sepercik darah.
Ki Buyut Pranamaya tinggal di dalam padepokan itu bersama seorang muridnya, seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, berkulit hitam dan gagah perkasa sikapnya, matanya jeli dan hitam mengeluarkan sinar berapi, leher dan lengannya yang besar itu dilingkari otot-otot. Usianya hampir empatpuluh tahun melihat sinar mata dan tarikan dagunya, juga nampak bahwa dia seorang yang memiliki watak yang keras, pemberani dan biasa mengandal kekuatan dan kekerasan.
Murid Ki Buyut Pranamaya ini bernama Mahesa Rangkah. Kira-kira tiga tahun dia menjadi murid Ki Buyut Pranamaya, sehingga dalam hal kesaktian, dia masih jauh sekali kalau dibandingkan dengan gurunya.
Nama besar Ki Buyut Pranamaya banyak dikenal oleh para datuk, baik dari golongan putih maupun golongan hitam, karena memang Ki Buyut Pranamaya terkenal sebagai seorang ahli tapa yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, sakti mandraguna. Akan tetapi, tidak seorangpun mengetahui bahwa selama tiga tahun terakhir ini dia melakukan penggemblen atas diri Mahesa Rangkah. Hal ini sesungguhnya bukan karena kakek itu suka akan bakat yang dimiliki Mahesa Rangkah yang sudah tidak muda lagi, melainkan karena dia melihat bahwa Mahesa Rangkah mempunyai cita-cita yaitu memberontak terhadap Kerajaan Singosari !
Inilah satu-satunya sebab mengapa Ki Buyut Pranamaya mau menurunkan sebagian ilmunya kepada Mahesa Rangkah, apa lagi melihat bahwa Mahesa Rangkah memiliki hubungan yang amat luas di dunia kaum sesat, dan dia percaya bahwa Mahesa Rangkah akan mampu menghimpun kekuatan untuk menumbangkan kekuasaan Sang Prabu Kertanagara. Akan tetapi Ki Buyut Pranamaya tidak ingin terlibat langsung, maka diapun hanya membantu dengan pemberian sebagian ilmunya dan juga ya memberi nasihat dari belakang layar saja.
Siapa Mahesa Rangkah dan mengapa pula merencanakan pemberontakan" Untuk mengtahui hal ini, mari kita ikuti pertemuan aneh yang terjadi di pagi hari itu di Bukit Gandamayit yang terkenal angker itu. Di depan pondok kayu itu mereka nampak duduk berkumpul, duduk begitu saja malang melintang di atas batu-batu, akar kayu atau di atas rumput, seenaknya membuat lingkaran besar. mereka terdiri dari kurang lebih tigapuluh orang, dan masih ada puluhan orang lain yang ada agak jauh karena mereka itu hanyalah anak buah yang tidak berhak duduk di dalam perundingan yang sedang dilakukan oleh para pemimpin mereka.
Mahesa Rangkah sendiri duduk di atas batu bundar yang biasa dipakai duduk di depan pintu pondok yang nampak terbuka. Tidak nampak Ki Buyut Pranamaya di situ walau semua orang yang berdatangan itu tahu bahwa kini Mahesa Rangkah telah menjadi murid pertapa sakti mandraguna itu. Justru kabar inilah yang membuat mereka itu mau merendahkan diri memenuhi panggilan Mahesa Rangkah bahkan siap mengangkat Mahesa Rangkah menjadi pimpinan mereka dalam usaha mereka untuk memberontak, sebagian besar membalas dendam terhadap Kerajaan Singosari sebagian pula tentu saja untuk mencari keuntungan dalam gerakan itu. Siapa tahu kalau gerakan itu berhasil, dari seorang tokoh sesat mereka akan kebagian kursi dan kemulia atau setidaknya, mereka akan dapat memperoleh oleh hasil barang-barang berharga yang dapat mereka rampas, atau juga puteri cantik di istana raja dan para priyayi agung!
Diantara kurang lebih tigapuluh orang itu, nampak pula mereka yang dulu pernah mengeroyok Ki Baka. Ada Ki Sardulo, datuk sesat dari Banyuwangi. Ada pula Gagak Wulung yang agaknya masib bersahabat baik dengan Ni Dedeh Sawitri karena dia duduk dekat dengan wanita cantik itu, dan sepasang mata Gagak Wulung selalu menyambar ganas apa bila ada tokoh lain yang berani bersikap terlalu akrab terhadap wanita cantik dari Pasundan itu.
Ada pula tiga orang pemimpin kumpulan Clurit Lemah Abang dari Madura, itu tiga kakak beradik yang bernama Soradipo, Sorawani dan Sorakayun. Diantara mereka tampak pula orang-orang yang dianggap jago dari Dhaha atau Kediri, Diantaranya ada Bango Dolog, Ki Prutung, Pencok Sahang dan Ki Kampinis. Orang-orang ini sesungguhnya adalah orang-orang percayaan dari Raja Jayakatwang yang sudan mendengar akan gerakan yang akan dipimpin oleh Mahesa Rangkah, dan mereka itu secara diam-diam menyamar sebagai para jagoan untuk menjajagi keadaan dan kalau perlu membantu gerakan itu untuk melemahkan Singosari.
Tentu saja hanya Gagak Wulung yang tahu bahwa mereka itu adalah orang-orang yang terpercaya oleh Sang Prabu Adipati Jayakatwang. Akan tetapi karena Gagak Wulung sendiri adalah seorang datuk Kediri, maka diapun pura-pura tidak tahu saja. Sebagai seorang jagoan Kediri, Gagak Wulung sendiripun tidak sungguh-sungguh mau menjadi anak buah Mahesa Rangkah, seorang pemberontak biasa hanya memberontak karena urusan pribadi dan dia merasa lebih tinggi martabatnya kareena Gagak Wulung menganggap dirinya sebagai seorang pendekar patriot yang setia terhadap Kerajaan Kediri ! Namun, sebagian besar dari mereka yang hadir, masing-masing ingin bergabung dan mengambil keuntungan dari gerakan itu, tentu saja.
Kini nampak Mahesa Rangkah bangkit berdiri. Tubuhnya yang tinggi besar dan kokoh kekar itu memang mendatangkan wibawa. berdiri di atas batu itu, matanya yang bersih tajam jelalatan memandang ke kanan kiri kepada semua orang yang hadir dan duduk seenaknya membuat lingkaran di depan pondoknya. Lalu dia mengangkat tangan kanan kiri ke atas sebagai salam.
"Selamat datang, kawan-kawan semua terima kasih bahwa andika telah mau memenuhi undangan kami, datang di Bukit Gandamayit dan berani memasuki hutan angker Cempiring. Sudah sepantasnya kalau sebelum kita bicara, kita makan minum dulu karena andika tentu telah lapar dan kehausan setelah melakukan perjalanan jauh dan sukar. Untuk itu, kami telah siap dengan sepuluh ekor kerbau yang siap untuk disembelih dan dipanggang dagingnya, juga kami sudah menyediakan tuak, arak yang cukup banyak. Akan tetapi sebelum kita mulai berpesta lalu bicara, ingin kami mendengar lebih dahulu apakah andika sekalian ini tahu akan maksud sebenarnya mengapa kita berkumpul di sini pada hari ini"
Semua orang memandang kepada Mahesa Rangkah dan orang-orang mulai tertawa. Suara tertawa mereka macam-macam, ada yang terbahak, ada yang terkekeh, ada yang meringkik. dan ada yang hanya senyum-senyum. Kalau mendengarkan dari jauh, sungguh membuat orang biasa akan menggigil ketakutan dan mengira bahwa para iblis penghuni tempat angker itu sedang tertawa-tawa.
"Huah-ha-ha-ha, adi Mahesa Rangkah. Perlukah dipertanyakan lagi" Tentu ada hubungannya dengan lemahnya Singosari dan terbukanya kesempatan baik bagi kita untuk bergerak menyerang Kerajaan Singosari. Bukankah begitu, kalau tidak begitu, habis untuk apa lagi?"
Terdengar suara seorang Iaki-laki yang usianya sudah limapuluh tahun lebih, kepalanya botak dan punggungnya berpunuk. Biarpun rupa dan bentuk tubuhnya seperti itu, namun orang ini bukan orang sembarangan karena nama Ki Kalakatung dari Blitar ini cukup terkenal. Suaranya nyaring dan semua orangpun mengangguk-angguk dan menyatakan setuju.
"Hancurkan Singosari"
"Mampuskan Kertanagara !"
"Rampas seluruh harta kekayaannya!"
"Bagi-bagi puteri-puteri dan para dayangnya !"
Ramailah mereka itu berteriak-teriak dan kembali Mahesa Rangkah mengangkat kedua tangan ke atas minta agar mereka tenang. Dia tersenyum gembira sekali karena dari sikap mereka ini, orang-orang ini memang boleh diharapkan untuk memperkuat pasukannya.
"Akan tetapi, kita harus ingat akan kenyataan bahwa para senopati yang berada di Singosari sama sekali tidak boleh dipandang ringan! Dan pasukan merekapun masih ada"
"Tidak berapa banyak!" kata Bango Dolong yang sengaja memancing dan membesarkan semangat Mahesa Rangkah.
"Biarpun demikian, kitapun perlu menghimpun pasukan yang cukup kuat. Aku sendiri sudah siap dengan limaratus orang pilihan kata Mahesa Rangkah sambil memandang mereka. "Dan berapa orangkah anak buah kalian masing-masing?"
Mereka menjawab dengan kacau, ada yang mengatakan ratusan, puluhan, akan tetapi agaknya tak seorangpun Diantara mereka yang tidak mempunyai anak buah dan hal ini makin menggembirakan hati Mahesa Rangkah
"Nanti dulu, aku ingin mengajukan pertanyaan yang harap dijawab oleh Ki Mahesa Rangkah dengan jujur" tiba-tiba terdengar suara orang. Suaranya kecil seperti suara wanita, namun yang bicara itu ternyata seorang laki-laki berusia kurang lebih empatpuluh tahun, wajahnya cukup tampan akan tetapi tubuhnya kurus kecil dan sikapnya agak genit seperti wanita ketika ia berdiri dan bicara.
"Ajukanlah pertanyaanmu, Raden Galinggangjati!" jawab Mahesa Rangkah dan semua orang yang belum mengenal orang laki-laki yang genit ini terkejut. Kiranya inilah yang dikenal dengan sebutan Raden Galinggangjati, yang terkenal sebagai iblis yang menguasai pegunungan Gajahmungkur itu.
"Kami semua jelas membenci Sang Prabu Kartanegara di Singosari karena berbagai alasan, akan tetapi andika sendiri, Ki Mahesa Rangkah. Apa yang menyebabkan andika hari ini mengumpulkan kami semua dan mengajak kami untuk melakukan pemberontakan terhadap Kerajaan Singosari?"
Mahesa Rangkah mengangguk-angguk. "Benar, sekali, andika semua harus tahu dengan jelas. Nah, dengarlah baik-baik. Dendam yang bersemi di dalam hatiku ini dimulai ketika ayah Sang Prabu Kertanegara masih menjadi raja. Sang Prabu Wishnuwardhana yang menyerang Mahibit dan membunuh ayahku. Nah, selama itu aku selalu mencari sempatan untuk membalas dendam, namun selalu gagal dan sekaranglah tiba saatnya yang amat baik. Bukan hanya sekarang Singosari sedang lemah, pasukannya yang terbesar melakukan pelayaran ke Malayu, akan tetapi kawan-kawan semua mengandung dendam sama sehingga kita dapat bekerja sama. Selain itu, di belakangku mendapat dukungan dari Eyang Buyut Pranamaya yang mendatangkan keyakinan akan kemenangan kita. Apa lagi karena menurut Eyang Buyut Pranamaya kita diberkahi oleh tombak pusaka Ki Ajeng Tejanirmala!"
"Ahh........! Mana mungkin" Aku tidak percaya begitu saja, Mahesa Rangkah!" kata Ni Dedeh Sawitri dengan suaranya yang melengking.
Mahesa Rangkah mengerutkan alisnya "Dedeh Sawitri! Andika tidak percaya kepadaku masih tidak mengapa, akan tetapi beranikah andika tidak mempercayai janji Eyang Buyut Pranamaya?"
Mendengar nama orang tua itu, Ni Dedeh Sawitri agak gentar, akan tetapi ia membantah "Begini, Mahesa Rangkah. Ketidakpercayaanku bukan ngawur saja, melainkan berdasarkan. Ketika itu, beberapa orang Diantarara kami menyerbu tempat kediaman Ki Baka untuk merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Akan tetapi, ada seorang kakek aneh yang menyelamatkannya dan kami tidak berhasil mendapatkan Tejanirmala. Bagaimana kini tahu-tahu andika mengatakan bahwa gerakan akan diberkahi tombak pusaka itu" Dan aku melihat sendiri bahwa bukan Eyang Buyut Pranamaya yang menyelamatkan Ki 'Baka"
Mahesa Rangkah tertawa. "Apapun dapat dilakukan oleh Eyang Buyut. Tidak ada yang tidak mungkin bagi beliau. Siapa tahu beliau telah merampasnya dari Ki Baka kakek penolongnya itu. Yang jelas, aku telah melihat dengan mata kepala sendiri tombak pusaka itu di tangan Eyang Buyut Pranamaya, oleh karena itulah maka aku merasa yakin bahwa gerakan kita ini sudah pasti akan hasil"
Mendengar ini, semua orang bersorak gembira dan Mahesa Rangkah berkata, "Sekarang, marilah kita berpesta dulu, mengisi perut, baru kita nanti bicara untuk menentukan waktu dan mengatur siasat yang harus direncanakan sebaiknya!" Dia memberi isarat dan datanglah anak buahnya menuntun sepuluh ekor kerbau beberapa puluh ekor ayam.
Lalu terjadilah penyembelihan kerbau-kerbau itu, dilakukan dengan hiruk pikuk dan terjadilah pesta yang khas pestanya orang-orang kasar seperti mereka. Seperti berebut saja mereka memotongi daging kerbau atau ayam, memberinya bumbu dan memanggang di tempat pemanggangan yang dibuat di banyak tempat oleh anak buah Mahesa Rangkah.
Tuak dan arakpun hidangkan dan mulailah mereka makan minum secara yang amat tidak teratur, seperti sekawanan gerombolan binatang buas, seolah-olah saling berebutan atau berlumba, makan dengan amat gembulnya. Ada pula yang makan daging dalam keadaan setengah matang atau bahkan masih mentah. Semua itu diselingi suara tertawa dan obrolan-obrolan.
Sementara itu, Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri sudah pula memegang setusuk daging besar yang sudah mereka panggang dan mereka berdua kini duduk agak menjauh dari orang lain. Sambil makan daging itu minum tuak, mereka bicara lirih-lirih.
"Kakang Gagak Wulung, aku masih penasaran sekali. Bagaimana mungkin Tejanirmala kini berada di tangan Mahesa Rangkah?" bisik wanita itu dan giginya yang putih kuat itu menggigit daging bakar yang kemerahan lalu mengunyahnya dengan nikmat
"Kaki Jembros, mundurlah, Andika tidak akan menang menghadapi orang ini!" tiba-tiba terdengar seruan halus dan Ki Jembros cepat meloncat mundur karena yang menegur itu adalah Sang Panembahan Sidik Danasura sendiri.
Kini, dua orang kakek yang sama tua itu saling berhadapan, saling pandang. Sepasang mata kakek yang memanggul tubuh Wulansari itu mencorong seperti mata ha mau, kehijauan, sedangkan sepasang mata Panembahan Sidik Danasura memandang ngan lembut. Sepasang mata yang mencorong itu akhirnya agak ditundukkan, seolah-olah merasa risau atau sungkan beradu pandang dengan sepasang mata yang lembut penuh welas asih itu, bahkan kini kakek berjubah kuning itu berkata seperti orang yang membela diri.
"Andika tentulah Panembahan Sidik Danasura, dan kiranya sudah maklum bahwa aku datang untuk mengambil apa yang menjadi hak kami"
"Semoga Sang Nurcahya memberi penerangan kepeda batin kita semua. Ki sanak, apa yang menjadi bukti bahwa Wulansari adalah milik andika sehingga andika berhak untuk mengambilnya?" Suara pendeta tua itu tetap tenang dan sabar dan agaknya sikap inilah yang membuat kakek berjubah kuning itu seperti orang yang gelisah dan tidak betah lebih lama tinggai di situ.
"Panembahan Sidik Danasura ! Andika tentu telah maklum siapa aku. Aku datang jauh Blambangan dan Wulansari juga anak Blambangan. Itu saja sudah membuktikan bahwa aku lebih berhak membawanya dari pada Andika. Nah, aku mau pergi sekarang"
"Nanti dulu, Ki sanak !" kata Sang Panembahan dengan halus. Akan tetapi suara halus itu seolah mengandung tenaga mujijat yang menahan langkah kakek berjubah kuning yang sudah hendak pergi membawa tubuh Wulansari diatas pundaknya. Dia membalik dan menghadapi pendeta itu dan kini kembali sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong penuh kemarahan.
"Mau apa lagi" Aku mau pergi membawa cucuku ini !" bentaknya marah.
"Bagaimana kalau kuperingatkan engkau bahwa memaksakan kehendakmu terhadap seseorang hanya kelak akan mendatangkan bencana kepada dirimu sendiri" Kalau Wulansari memang mau ikut bersamamu, percayalah, aku akan memberi doa restuku. Akan tetapi, kalau secara paksaan begini, sungguh tidak sewajarnya dan tidak baik."
"Masa bodoh! Aku tidak membutuhkan peringatan dan nasihatmu!"
"Dan kalau aku berkeberatan?" tanya Panembahan Sidik Danasura.
"Keberatan" Terimalah ini!" Bentak kakek berjubah kuning itu dan tiba-tiba saja dia sudah menerjang ke depan, tangan kanan yang dibuka itu memukul ke arah dada Panembahan yang tinggi kurus dan agak bongkok itu.
Akan tetapi, Panembahan Sidik Danasura menyambut pukulan itu dengan tangan kiri mendorong lirih saja sambil mulutnya berbunyi "Saddhu........ saddhu....... saddhu.......!"
"Plakkk!" Dua telapak tangan tua itu saling bertemu dan akibatnya tubuh kakek berjubah kuning itu terdorong ke belakang lima langkah, mukanya yang kebiruan itu jadi pucat, matanya terbelalak dan tanpa banyak cakap lagi, diapun membalikkan tubuh, lalu lari ke arah lautan!
"Hei, jangan larikan Wulansari!" Ki Jembros meloncat dan mengejar, akan tetapi kakek berjubah kuning itu sudah meloncat nyambut air berombak besar dan tubuhnya bersama tubuh Wulansari digulung ombak!
Tentu saja Ki Jembros terkejut dan tidak berani menerjang ombak, dia berdiri memadang dengan mata terbelalak, kemudian menjadi panik karena tidak lagi nampak bayangan kakek berjubah kuning maupun Wulansari.
"Wah....... wah....... celaka........! Paman Panembahan, mereka tentu tewas tenggelam teriaknya kepada Panembahan Sidik Danasu. Kakek ini menarik nafas panjang dan mengelengkan kepalanya. "Tidak, kaki Jembros Dia sudah pergi, membawa Wulansari, tentu dengan menyelam karena dia amat pandai ilmu di dalam air."
"Tapi........tapi........ kenapa paman tidak mencegahnya.......?"
Kembali Panembahan Sidik Danasura narik napas panjang. "Akupun tidak akan mampu mencegahnya. Di darat mungkin aku dapat menandinginya, akan tetapi di dalam air?"
Kakek itu lalu menghampiri Nurseta yang masih menggeletak tak sadarkan diri di pasir, berlutut lalu memeriksa keadaan pemuda itu. Hatinya lega karena Nurseta tidak terluka parah, hanya terguncang oleh tenaga pukulannya sendiri dan pingsan saja. Setelah kakek itu mengurut dadanya bebera kali, Nurseta mengeluh dan membuka mata, lalu pemuda itupun cepat bangkit berdiri karena diapun teringat akan segala yang tadi terjadi.
Dia memandang ke kanan kiri, namun ia hanya melihat Panembahan Sidik Danasura dan Ki Jembros, sedangkan Wulansari dan kakek berjubah kuning itu tidak nampak lagi berada di situ.
"Di mana kakek itu" Di mana Wulansari ?" tanyanya sambil memandang kepada Panembahan Sidik Danasura. "Eyang, apa yang telah terjadi?"
Kakek itu tidak menjawab, akan tetapi Ki Jembros dengan suara penasaran menjawab, Iblis itu telah melarikan Wulansari melalui lauutan, dan Paman Panembahan membiarkan saja!"
Di dalam suaranya masih terkandung perasaan marah dan penasaran.
"Ya Tuhan......!" Nurseta berseru kaget sekali dan penuh kekhawatiran, Ia memandang pada pertapa itu. "Tapi, eyang, kenapa dibiarkan saja kakek jahat itu melarikan adik Wulansari?"
"Sudahlah, mari kita kembali ke pondok dan bicara. Munculnya orang itu sungguh menandakan bahwa memang keadaan di kerajaan sudah mengalami perubahan besar dan agaknya cahaya keagungan Sribaginda telah mulai suram," kata Panembahan Sidik Danasura dan mereka bertiga lalu berjalan menuju ke padepokan, dengan sikap lemas dan gelisah, tanpa Wulansari.
Nurseta menyalakaa api penerangan dan mereka lalu duduk bersila di atas tikar. Wajah Ki Jembros masih nampak berkerut penuh rasa penasaran, matanya jelalatan kadang memandang ke arah pintu keluar seolah mengharapkan munculnya Wulansari setiap saat. Nurseta bersila dan menundukkan muka menghadapi kakek pertapa itu.
"Paman, sekarang jelaskanlah agar hati tidak menjadi panas dan penuh dengan penasaran-penasaran seperti ini. Siapakah iblis tadi dan mengapa pula dia menculik Wula sari dan agaknya paman tidak berusaha untuk mencegahnya?"
"Dia adalah seorang datuk yang amat terkenal dari Blambangan, kaki. Ilmu kepandaiannya amat tinggi, memiliki bermacam ilmu kesaktian dan diantaranya dia dapat berma di dalam air lautan seperti seekor ikan. Karena dia mengambil jalan air, bagaimana aku dapat mencegah dia melarikan Wulansari" Namanya adalah Cucut Kalasekti......."
"Wah! Sudah pernah kudengar nama itu.......!" kata Ki Jembros dengan kaget.
"Nah, dia itulah orangnya. Selama belasan tahun, dia tidak pernah mencampuri urusan dunia, oleh karena itu kalau kini dia muncul seperti para tokoh sesat lainnya sampai keluar dari tempat persembunyian bahkan melakukan hal yang menghebohkan, seperti mereka yang telah menawan Kaki Baka dan merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala, maka hal itu hanya mempunyai satu arti, bahwa keadaan kerajaan akan mengalami banyak gangguan. Seorang seperti Cucut Kalasekti itu, tidak mungkin melakukan sesuatu hanya untuk lseng belaka, sudah tentu mempunyai maksud yang lebih besar"
Akan tetapi, kenapa dia datang ke sini dan menculik Wulansari?" Ki Jembros mendesak. "Apa artinya seorang gadis remaja seperti Wulansari bagi seorang seperti dia, jangan disamakan dengan Ki Baka dan tombak pusaka Tejanirmala, paman!"
'Tentu saja engkau benar, akan tetapi ketahuilah, bahwa hal-hal yang belum kita mengerti kadang-kadang mendatangkan perasaan bingung dan penasaran. Ingatlah andika, kaki, ketika pertama kali andika menyelamatkan Wulansari. Ketika pertama kali Wulansari dapat bicara dan hanya dapat mengingat namanya saja, melupakan segala masa lalunya, cara ia bicara, lupakah andika" Dari cara bicaranyapun kita pat menduga dari mana datangnya Wulansari"
"Jagad Dewa Bathara.......!" Ki Jembros menepuk dahinya. "Benar sekali. Ia bicara seperti orang Blambangan! Sekarang, setelah tinggal di sini selama lima tahun, logatnya berubah. Akan tetapi dahulu, ingat benar aku sekarang, ia tentulah seorang anak dari timur. Akan tetapi, aku masih bingung artinya itu........?"
"Tidak sukar diduga, kaki. Ingat, Kalasekti adalah seorang datuk Blambangan pula. Sudah pasti sekali dia tahu akan rahasia mengenai nini Wulansari, maka dia mengatakan bahwa dia datang mengambil cucunya sendiri! Agaknya sudah lama dia mencari menyuruh orang menyelidiki dan mendengar bahwa nini Wulansari masih hidup dan ada di sini. Mungkin dia mendengar bahwa Wulansari hidup bersamaku di sini, maka ia sendirilah yang datang mengambil, dan melarikan anak itu melalui laut, ia maklum hanya itulah jalan satu-satunya untuk melarikan Wulansari dariku. Kiranya ada rahasia yang lebih besar di balik semua peristiwa ini, kaki."
Ki Jembros masih kelihatan penasaran, dia mengepal tinju. "Bagaimanapun juga, aku tidak akan membiarkan Wulansari terjatuh tangan iblis itu ! Aku akan pergi mencari dan merampasnya kembali!"
"Saddhu.......... saddhu........ saddhu..."
Panembahan Sidik Danasura merangkap tangan di depan dada. "Kaki Jembros, tenangkanlah batinmu dan dengarlah. Segala sesuatu yang dikehendaki oleh Hyang Widhipun terjadilah dan tak seorangpun manusia di dunia ini akan mampu merobahnya."
"Benar, akan tetapi kita harus berikhtiar!"
"Itu wajar, kalau memang andika tahu betel bahwa usahamu menentang itu berada di jalan yang benar. Akan tetapi, tahukah andika siapa Wulansari" Tahukah pula andika mengapa orang Blambangan itu bersusah payah membawanya pergi" Masih banyak hal yang lebih penting lagi untuk kita perhatikan, kaki. Terutama andika yang selama ini selalu mencurahkan perhatian dan tenaga untuk melaksanakan darma seorang ksatria utama. Mengenai hal Wulansari, Sang Hyang Widhi sudah menentukan garisnya sendiri,"
"Aku maklum, paman. Akan tetapi hati ini tidak dapat merelakan, karena aku yang dahulu menyelamatkannya dari gelombang lautan
"Nah, nah, di situlah letak kuncinya. Ketika andika menyelamatkannya, apakah ada pamrih di dalam batin andika" Kalau berpamrih, maka perbuatan itu tidak ada artinya."
Ki Jembros nampak terkejut, lalu menggosok kedua telapak tangannya dan mengusap muka dengan kedua telapak tangannya, diapun nampak tenang sekarang.
"Terima kasih, paman. Baru saja paman telah menggugahku dari mimpi buruk." Kini sepasang matanya tidak lagi mencorong liar, melainkan membayangkan kewaspadaan dan kecerdasan "Mohon petunjuk paman tentang keadaan karang ini. Apa hubungannya kemunculan tokoh-tokoh sesat yang menyerang Ki Baka dengan kemunculan datuk Blambangan itu, apa pula kaitannya dengan keadaan kota raja.
Sejak tadi, Nurseta hanya mendengar saja, namun pemuda ini mendengarkan dengan penuh minat dan perhatian sehingga tidak ada yang terlewat dari pendengarannya.
"Segala yang dikehendaki Hyang Widhi terjadilah! Andika tentu sudah mendengar semua peristiwa yang terjadi berturut-turut selama beberapa tahun ini, bahkan sejak lima tahun yang lalu ketika andika menyelamat nini Wulansari. Ingatkah andika apa yang telah terjadi di kota raja, yang mendatangkan banyak pertentangan diantara para kawula dan pamong praja?"
Ki Jembros mengangguk-angguk mengelus jenggot dan kumisnya yang brewok.
"Aku ingat benar, paman. Sang Prabu telah mengadakan perubahan besar-besaran di kalangan para senopati dan pejabat tinggi, dan banyak hal terjadi di luar perhitungan dan bahkan diam-diam mendatangkan keprihatinan dan kekhawatiran besar. Ki Patih Riganata telah dibebaskan dari jabatannya sebagai patih, dan menjadi Adhyaksa di Tumapel, pada hal Ki Patih Raganata itu memiliki kebijaksanaan yang amat dibutuhkan oleh kerajaan. Kemudian Tumenggung Wirakreti juga dilorot pangkatnya menjadi menteri angabaya. Juga Pujangga Santasrmeti lebih baik meninggalkan pura dan menjadi pertapa dari pada menerima penurunan kedudukannya. Lebih parah lagi, Adipati Wirareja dipindahkan ke Sumenep untuk menjadi bupati di pulau yang baru ditaklukkan itu. Semua ini merupakao peristiwa yang menggemparkan, paman. Akan tetapi, bukankah Sang Prabu melakukan hal itu demi perbaikan keadaan" Bukankah Ki Patih Raganata memang sudah sepuh dan kini diganti degan tenaga-tenaga muda seperti Ki Patih Mahesa Anengah dan dibantu oleh Apanji Angragani" Apa salahnya dengan semua perubahan yang diadakan oleh Sang Maha-Prabu itu?"
Panembahan itu menarik napas panjang "Bukan menjadi hak kita untuk menilai benar atau salahnya tindakan yang diambil oleh Sang Prabu, kaki. Sang Prabu memiliki cita-cita yang luhur, yaitu untuk memperkembangkan Singosari dan menaklukkan seluruh daerah sampai ke Pamalayu. Akan tetapi, dalam hal ini agaknya Sang Prabu tergesa-gesa dan hal itulah yang agaknya tidak disetujui oleh para pamong praja yang kemudian dipindahkan pangkatnya itu. Para pamong itu adalah pejabat-pejabat lama yang sudah berpengalaman dan setia, mereka melihat betapa di dalam kerajaan sendiri masih terdapat ancaman-ancaman perpecahan. Sebelum memperkuat diri dari dalam, bagaimana dapat meluaskan daerah di luar" Akan tetapi sekali lagi, semua itu, adalah urusan kerajaan dan kita tidak berwenang mencampuri. Hanya aku merasa prihatin melihat munculnya para tokoh dan datuk sesat, karena ini merupakan tanda bahwa kewibawaan kerajaan mulai menyuram sehingga mungkin saja sewaktu-waktu timbul pemberontakan dan kekalutan lagi, kaki. Oleh karena itu, dari pada engkau merisaukan keadaan nini Wulansari yang agaknya diambil kembali oleh orang-orang Blambangan, tidakkah lebih bijaksana kalau engkau mempersiapkan diri dan melihat-lihat keadaan di kerajaan" Siapa tahu tenagamu dibutuhkan untuk negara dan bangsa, kaki."
Ki Jembros mengangguk-angguk. "Semua yang dikatakan paman memang tepat. Pada saat seperti ini, memang bukan waktunya kita mementingkan urusan pribadi dan meributkan hati sendiri yang digerakkan karena adanya ikatan. Baiklah, paman. Saya akan melihat-lihat keadaan dan siap mempertaruhkan diri yang tidak berharga ini untuk membela negara kalau memang keadaan menuntutnya."
Kakek itu mengangguk dan tersenyum bangga. "Sejak dahulu aku tahu siapa andika, Kaki Jembros. Andika ksatria lahir batin dan beruntunglah negara memiliki putera-putera seperti andika."
Mereka masih bercakap-cakap, membicarakan keadaan Kerajaan Singosari sampai hampir semalam suntuk dan pada keesokan harinya, pagi-pagi Ki Jembros sudah meninggalka padepokan.
*** Penilaian Sang Panembahan Sidik Danasura mengenai keadaan Kerajaan Singosari memang banyak benarnya. Sang Prabu Kertanegara (1268-1292) memang memiliki cita-cita yang besar, yaitu dia ingin mempersatukan Nusantara menjadi kesatuan yang bulat di bawah pimpinan Singosari ! Bukan saja dia menundukkan daerah daerah di Pulau Jawa, bahkan dia menundukkan daerah di luar Pulau Jawa, dan dia melakukan usaha pula untuk membina hubungan baik dengan negara tetangga seperti Melayu, Champa, Sokadana Kalimantan Barat dan dengan Pahang di pantai timur Semenanjung Malayu. Untuk mengikat hubungan persahabatan dia mengirimkan seorang puteri Singosari untuk menjadi isteri Raja Champa, dan banyak pula dia mengirim benda-benda berharga sebagai tanda persahabatan dengan kerajaan-kerajaan tetangga. Semua ini dilakukan untuk memperkuat diri karena ia maklum bahwa ada bahaya besar mengancam dari utara, yaitu balatentara Kaisar Kubilai Khan, raja Mongol yang telah berhasil menguasai bukan saja seluruh daratan Cina, bahkan balatentaranya terus menyerbu jauh ke barat dan jauh ke selatan, sampai ke Champa dan hal ini merupakan ancaman bagi Singosari sehingga Sang Prabu Kertanegara mengambil kebijaksanaan untuk memperkuat diri.
Semua usahanya itu mendapat banyak tantangan, terutama dari Ki Patih Raganata para pejabat tua lainnya, yang melihat bahwa gerakan yang dilakukan oleh raja mereka itu mengandung bahaya besar. Pasukan dikirim untuk menundukkan daerah-daeran di luar Singosari, padahal di Singosari sendiri masih banyak terdapat perpecahan dan ancaman di dalam tubuh sendiri. Tentangan-tentangan inilah yang membuat Sang Prabu Kertanegara melakukan perubahan yang cukup menghebohkan di dalam Ketata-negaraannya, yaitu dengan menggantikan tenaga-tenaga tua dengan tenaga tenaga muda. Dia sama sekali tidak menyadari bahwa justeru hal ini menambah jumlah seteru di dalam selimut, menambah jumlah mereka yang tidak puas dengan pimpinannya.
Untuk memberi sedikit gambaran kepada para pembaca yang belum mengetahui, Sang Prabu Kertanegara adalah keturunan dari Tunggul Ametung dan Ken Dedes. Tunggnl Ametung adalah Raja Singosari yang dijatuhkan oleh ken Arok dan kemudian Ken Arok mengambil Ken Dedes sebagai isteri, dan Ken Arok lah yang berkusa, menguasai Singosari, bahkan menguasai pula Kediri.
Dari suami pertama, yaitu Tunggul Ametung, Ken Dedes mempunyai seorang purera yang bernama Anusapati. Anusapati mempunyai putera bernama Ranggawuni atau kemudian menjadi Sang Prabu Wishnuwardhana, dan Sang Prabu Kertanegara sekarang ini adalah putera Sang Prabu Wishnuwardhana. Sementara itu, dari suaminya yang ke dua, Ken Arok, Ken Dedes melahirkan Mahesa Wongateleng, yang berputera Mahesa Champaka, kemudian Lembu Tal yang kemudian mempunyai putera yang dikenal sebagai Pangeran Wijaya. Ken Arok masih mempunyai seorang isteri lagi yaitu Ken Umang yang kemudian melahirkan seorang putera bernama Tohjaya. Catatan ini hanya ambil para puteranya saja yang menjadi tokoh-tokoh di Kerajaan Singosari yang dahulu disebut Tumapel.
Bagaimanapun juga, haruslah diakui bahw Sang Prabu Kertanegara telah melaksana cita-citanya untuk mempersatukan nusantara, bahkan juga berusaha untuk memperkuat keadaan Singosari sendiri. Seperti telah dibuktikan betapa untuk memelihara kedamaian antara tokoh-tokoh di dalam mencari sendiri, dia tidak membasmi keturunan Raja Kediri yaitu Raja Kertajaya yang pada tahun 1222 mengalahkan oleh Ken Arok. Bahkan dia tidak merampas Kerajaan Kediri. Kerajaan ini, walaupun tentu saja tunduk kepada Kerajaan Singosari, masih dipertahankan, bahkan mangkatnya Jayakatwang, keturunan Raja Kertajaya, menjadi Raja di Kediri! Masih lagi melanjutan langkah ini yang tentu saja dilakukan dalam usahanya memperkuat persatuan itu, yakni Sang Prabu Kertanegara bahkan berkenan mengambil putera Raja Jayakatwang bersama Ardharaja menjadi mantu. kemudian mengangkatnya menjadi seorang senopati atau panglima yang penting, memimpin pasukan besar untuk menjaga keamanan Singosari.
Selain mengambil putera Jayakatwang sebagai mantu, juga Sang Prabu Kertanagara mengangkat Raden Wijaya, keturunan Mahesa champaka, atau keturunan Ken Arok dan Ken Dedes, menjadi mantunya pula, sekaligus di kawinkan dengan dua orang puterinya! Semua itu tentu saja hanya mempunyai satu tujuan yaitu Sang Prabu Kertanagara hendak mengumpulkan tulang-tulang yang berserakan, atau hendak mempersatukan keturunan dari raja-raja yang tadinya saling bermusuhan, keturunan Tumapel, Dhaha atau Kediri, dan Singosari sendiri, menjadi satu keluarga untuk memperkuat kedudukan Singosari! Demikianlah sedikit gambaran tentang kebijaksanaan yang telah diambil oleh Sang Prabu Kertanagara.
Akan tetapi, sudahlah lama di dunia ini, suatu kebijaksanaan seseorang tidak mungkin memuaskan semua pihak. Ada saja yang menentangnya. Hal inipun tidaklah heran, karena suatu perbuatan itu dianggap bijaksana dan baik, ataupun dianggap lalim dan buruk, oleh mereka yang menilainya. Dan setiap penilaian datangnya dari perhitungan untung rugi pribadi.
Si penilai sudah pasti berdasarkan penilaiannya itu dari suka tidak suka, dari untung atau rugi. Kalau diuntungkan, dia suka dan tentu saja perbuatan itu dianggapnya bijaksana dan baik. Sebaliknya, kalau perbuatan itu mendatangkan kerugian bagi seseorang, sudah pasti perbuatan itu dianggapnya lalim dan buruk!
Demikian pu dengan "kebijaksanaan" yang diambil oleh Sang Prabu Kertanegara. Bagi mereka yang merasa diuntungkan dengan kebijaksanaan itu su pasti mendukungnya dengan setia, karena yang didukungnya itu sesungguhnya bukan Sang Prabu Kertanagara, melainkan keuntungan yang didatangkan oleh kebijaksanaan itu. Sebaliknya, bagi mereka yang merasa dirugikan dengan kebijaksanaan itu, sudah pasti menentangnya mati-matian karena yang ditentangnya adalah kerugian bagi diri sendiri itulah.
Memang tepat seperti yang diterangkan oleh Panembahan Sidik Danasura kepada Ki Jembros, pada waktu itu Kerajaan Singosari ditinggalkan sebagian besar bala tentaranya. Lima tahun yang lalu, pasakan Singosari berhasil menumpas pemberontakan, kemudian pasukan menyeberang selat Madura dan menundukkan Madura. Kemudian Arya Wiraraja yang juga dikenal sebagai Banyak Wide diangkat menjadi bupati di Sumenep untuk mengatur pulau yang baru ditaklukkan itu, angkatan ini bahkan tidak memuaskan Arya Wiraraja karena pada hakekatnya jauhkan dia dari Singosari dan memberinya dengan tugas berat, maka diam-diam diapun merasa tidak puas, bahkan menganggap hal itu sebagai usaha Sang Prabu Kertanagera untuk menjauhkan diri dan mengurangi kuasaannya di Singosari.
Dan kini, pasukan yang sangat besar sekali dikirim ke Pamalayu, dengan harapan agar tanpa banyak mempergunakan kekerasan, Raja Malayu (Sumatera) akan dapat ditundukkan dan mengakui kekuasaan Singosari. Pengiriman pasukan besar inilah yang menjadi perdebatan di dalam istana, karena begitu mendengar akan niat Sang Prabu Kertanagara, maka semua hulubalang dan senopati berkumpul dan menghadap.
Terutama sekali Empu Raganata yang telah lama menjadi patih yang amat bijaksana menyatakan keberatannya. "Hamba mengerti akan pentingnya menarik Malayu sebagai sekutu untuk menghadapi ancaman Tartar dari utara, Kanjeng Sinuwun. Akan tetapi, hamba kira sekarang belum saatnya untuk mengosongkan kerajaan dari penjagaan yang kuat. Baru saja pemberontakan Baya dapat dipadamkan, dan hamba khawatir kalau-kalau masih akan ada lagi pemberontakan lain. Kalau sampai terjadi pemberontakan besar-besar di dalam negeri, sedangkan balatentara sebagian besar berangkat ke tempat sejauh Malayu, lalu bagaimana kita harus membela diri?" Demikian antara lain Empu Raganata memberi nasihat kepada raja yang juga didukung oleh banyak senopati yang hadir.
Akan tetapi Sang Prabu Kertanagara tersenyum melihat bekas patih tua itu. "Siapakah kiranya yang akan berani melakukan pemberontakan, paman Empu" Kami sudah berlaku seadil-adilnya dan kami kira semua pamong praja mendukung kami, bagaimana paman dapat membayangkan hal yang bukan-bukan, Bahwa dikhawatirkan akan ada pemberontakan dalam kerajaan?"
"Ampun beribu ampun, Kanjeng Sinuwun. Dalamnya bengawan dapat diukur, akan tetapi dalamnya hati manusia siapa mampu mengukurnya" Seyogianya paduka ingat bahwa bagaimanapun juga, dendam keluarga turun temurun masih terdapat di Singosari. Bukankah Singosari mempunyai hutang dendam terhadap kerajaan Kediri" Hamba sendiri melihat betapa sudah terlalu lama Sang Adipati Jayakatwang tidak pernah datang menghadap paduka. Hal seperti inilah yang perlu dijaga, juga kaum sesat dari golongan hitam yang menaruh dendam karena pernah mereka itu dibasmi dihadapi dengan kekerasan, kalau melihat betapa kekuatan pasukan kerajaan menjadi lemah dan lengah, kemungkinan besar mereka akan bangkit."
Mendengar ucapan ini, banyak di antara para senopati saling pandang. Hal yang disinggung oleh bekas patih tua itu cukup gawat dan peka, karena jelas menyatakan kesangsian kecurigaan terhadap Adipati Jayakatwang dari Kediri.
Patih Mahesa Anengah, yang baru diangkat menjadi patih menggantikan Empu Raga ketika mendengar ucapan itu, mengerut alisnya dan diapun cepat menghaturkan bah kepada Sribaginda.
"Ampunkan hamba kalau hamba berani lancang menanggapi pendapat Paman Empu. Raganata, Kanjeng Sinuwun. Hamba kira tidak mungkin kalau di dalam batin Raja Jayakatwang terkandung sesuatu yang tidak selayaknya terhadap paduka. Agaknya Paman Empu Raganata lupa siapakah Raja Jayakatwang itu. Bukankah beliau kini menjadi orang yang hidup mulia di istana Kediri hany karena kemurahan hati Kanjeng Sinuwun yang bijaksana" Apa lagi kalau diingat bahw putera beliau juga diambil mantu oleh Kanjeng Sinuwun, berarti bahwa Raja Jayakatwang merupakan besan yang berhutang budi banyak sekali. Kalau beberapa lama beliau tidak datang menghadap, tentu sedang berhalangan dan jangan sekali-kali hal itu dianggap sikap permusuhan. Kanjeng Sinuwun sendiri: mengambil langkah perssatuan yang amat bijaksana, bagaimana mungkin kini kita harus menganjurkan perpecahan?"
Mendengar ucapan patihnya yang baru ini, Sang Prabu Kertanagara sangat menyetujui dan diapun menolak nasebat Empu Raganata tadi. dan diantara para senopati dan hulubalang, diam-diam terjadi pula perpecahan, ada yang diam-diam menyetujui pendapat Empu Raganata, ada pula sebagian yang menentangnya namun, di depan Sang Prabu Kertanagara, mereka tidak memperlihatkan isi hati mereka.
Demikianlah, akhirnya pasukan besar dikirim juga ke Melayu. Pasukan besar itu dipimpin oleh Senopati Kebo Anabrang, dan diantarkan oleh sekalian senopati, bahkan juga Patih Mahesa Anengah dan Panji Angragani sampai ke pantai laut Tuban. Setelah pasukan itu berangkat berlayar, para senopati kembali ke Singosari dan Sang Prabu Kerta-gara merasa gembira dan puas. Dia merasa telah berhasil melaksanakan suatu gerakan besar yang akan memperkuat kedudukan Singosari. Malayu dapat menjadi perisai dan garis terdepan untuk menahan gelombang ancaman pasukan Tartar yang sedang merajalela di utara dan barat.
Akan tetapi, apa yang dikhawatirkan bekas patih tua itu, Empu Raganata, ternyata terbukti dengan amat cepatnya. Melihat betapa keadaan kota raja Singosari kini lemah karena ditinggalkan sebagian besar dari pasukannya, maka bergeraklah dunia hitam. Golongan sesat mulai berani keluar dari tempat persembunyian mereka. Maling dan perampokan mulai sering terjadi dan hukum rimba mulai menguasai daerah pinggiran di mana pasukan keamanan kota raja tidak dapat bertugas Iangsung menangani keamanan.
Tentu saja yang menderita adalah rakyat, karena apa yang selalu didambakan oleh rakyat di dunia manapun juga, yaitu tata-tenteram-kerta-raharja mulai terganggu. Diantara peristiwa-peristiwa yang menjadi akibat dari ulah para tokoh sesat itu, terjadilah hal yang menimpa diri Ki Baka, dan juga apa yang terjadi di Teluk Prigi Segoro Wedi di pantai Segara Kidul, di mana Wulansari diculik oleh seorang kakek sakti yang bernama Cucut Kalasekti.
*** Masih untunglah bagi Singosari bahwa biarpun sebagian besar pasukan kerajaan itu meninggalkan Pulau Jawa untuk melawat ke Melayu, biarpun yang tinggal di Kerajaan Singosari hanya tinggal sebagian kecil saja, namun Kerajaan Singosari memiliki banyak senopati yang gagah perkasa dan setia kepada kerajaa Selain Raden Wijaya, pangeran yang masih amat muda akan tetapi telah memiliki kegagahan dan amat disegani dan dihormati para senopati. Raden Wijaya sebagai keturunan Narasinga, nama lain dari Mahesa Campaka, amat dicintai oleh para senopati karena memang pemuda ini selain gagah perkasa, pandai pula membawa diri dan berjiwa patriot, setia terhadap negara, kerajaan dan bangsa.
Diantara para senopati muda yang setia dan menjadi banteng-banteng Kerajaan Singosari tercatat nama-nama yang terkenal di dalam sejarah seperti Lembu Sora, Gajah Pagon, Medang Dangdi, Mahesa Wagal, Nambi, Banyak Kapuk, Kebo Kapetengan, Wirota Wiragati, Ronggo Lawe dan masih banyak lagi. Sederetan nama inilah yang masih amat disegani oleh para tokoh sesat karena mereka itu adalah senopati-senopati yang memiliki aji kesaktian dan merupakan pendekar-pendekar yang selalu siap mempertahankan negara dan bangsa dengan taruhan nyawa, setiap jengkal tanah mereka pertahankan dengan sepercik darah.
Ki Buyut Pranamaya tinggal di dalam padepokan itu bersama seorang muridnya, seorang laki-laki bertubuh tinggi besar, berkulit hitam dan gagah perkasa sikapnya, matanya jeli dan hitam mengeluarkan sinar berapi, leher dan lengannya yang besar itu dilingkari otot-otot. Usianya hampir empatpuluh tahun melihat sinar mata dan tarikan dagunya, juga nampak bahwa dia seorang yang memiliki watak yang keras, pemberani dan biasa mengandal kekuatan dan kekerasan.
Murid Ki Buyut Pranamaya ini bernama Mahesa Rangkah. Kira-kira tiga tahun dia menjadi murid Ki Buyut Pranamaya, sehingga dalam hal kesaktian, dia masih jauh sekali kalau dibandingkan dengan gurunya.
Nama besar Ki Buyut Pranamaya banyak dikenal oleh para datuk, baik dari golongan putih maupun golongan hitam, karena memang Ki Buyut Pranamaya terkenal sebagai seorang ahli tapa yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, sakti mandraguna. Akan tetapi, tidak seorangpun mengetahui bahwa selama tiga tahun terakhir ini dia melakukan penggemblen atas diri Mahesa Rangkah. Hal ini sesungguhnya bukan karena kakek itu suka akan bakat yang dimiliki Mahesa Rangkah yang sudah tidak muda lagi, melainkan karena dia melihat bahwa Mahesa Rangkah mempunyai cita-cita yaitu memberontak terhadap Kerajaan Singosari !
Inilah satu-satunya sebab mengapa Ki Buyut Pranamaya mau menurunkan sebagian ilmunya kepada Mahesa Rangkah, apa lagi melihat bahwa Mahesa Rangkah memiliki hubungan yang amat luas di dunia kaum sesat, dan dia percaya bahwa Mahesa Rangkah akan mampu menghimpun kekuatan untuk menumbangkan kekuasaan Sang Prabu Kertanagara. Akan tetapi Ki Buyut Pranamaya tidak ingin terlibat langsung, maka diapun hanya membantu dengan pemberian sebagian ilmunya dan juga ya memberi nasihat dari belakang layar saja.
Siapa Mahesa Rangkah dan mengapa pula merencanakan pemberontakan" Untuk mengtahui hal ini, mari kita ikuti pertemuan aneh yang terjadi di pagi hari itu di Bukit Gandamayit yang terkenal angker itu. Di depan pondok kayu itu mereka nampak duduk berkumpul, duduk begitu saja malang melintang di atas batu-batu, akar kayu atau di atas rumput, seenaknya membuat lingkaran besar. mereka terdiri dari kurang lebih tigapuluh orang, dan masih ada puluhan orang lain yang ada agak jauh karena mereka itu hanyalah anak buah yang tidak berhak duduk di dalam perundingan yang sedang dilakukan oleh para pemimpin mereka.
Mahesa Rangkah sendiri duduk di atas batu bundar yang biasa dipakai duduk di depan pintu pondok yang nampak terbuka. Tidak nampak Ki Buyut Pranamaya di situ walau semua orang yang berdatangan itu tahu bahwa kini Mahesa Rangkah telah menjadi murid pertapa sakti mandraguna itu. Justru kabar inilah yang membuat mereka itu mau merendahkan diri memenuhi panggilan Mahesa Rangkah bahkan siap mengangkat Mahesa Rangkah menjadi pimpinan mereka dalam usaha mereka untuk memberontak, sebagian besar membalas dendam terhadap Kerajaan Singosari sebagian pula tentu saja untuk mencari keuntungan dalam gerakan itu. Siapa tahu kalau gerakan itu berhasil, dari seorang tokoh sesat mereka akan kebagian kursi dan kemulia atau setidaknya, mereka akan dapat memperoleh oleh hasil barang-barang berharga yang dapat mereka rampas, atau juga puteri cantik di istana raja dan para priyayi agung!
Diantara kurang lebih tigapuluh orang itu, nampak pula mereka yang dulu pernah mengeroyok Ki Baka. Ada Ki Sardulo, datuk sesat dari Banyuwangi. Ada pula Gagak Wulung yang agaknya masib bersahabat baik dengan Ni Dedeh Sawitri karena dia duduk dekat dengan wanita cantik itu, dan sepasang mata Gagak Wulung selalu menyambar ganas apa bila ada tokoh lain yang berani bersikap terlalu akrab terhadap wanita cantik dari Pasundan itu.
Ada pula tiga orang pemimpin kumpulan Clurit Lemah Abang dari Madura, itu tiga kakak beradik yang bernama Soradipo, Sorawani dan Sorakayun. Diantara mereka tampak pula orang-orang yang dianggap jago dari Dhaha atau Kediri, Diantaranya ada Bango Dolog, Ki Prutung, Pencok Sahang dan Ki Kampinis. Orang-orang ini sesungguhnya adalah orang-orang percayaan dari Raja Jayakatwang yang sudan mendengar akan gerakan yang akan dipimpin oleh Mahesa Rangkah, dan mereka itu secara diam-diam menyamar sebagai para jagoan untuk menjajagi keadaan dan kalau perlu membantu gerakan itu untuk melemahkan Singosari.
Tentu saja hanya Gagak Wulung yang tahu bahwa mereka itu adalah orang-orang yang terpercaya oleh Sang Prabu Adipati Jayakatwang. Akan tetapi karena Gagak Wulung sendiri adalah seorang datuk Kediri, maka diapun pura-pura tidak tahu saja. Sebagai seorang jagoan Kediri, Gagak Wulung sendiripun tidak sungguh-sungguh mau menjadi anak buah Mahesa Rangkah, seorang pemberontak biasa hanya memberontak karena urusan pribadi dan dia merasa lebih tinggi martabatnya kareena Gagak Wulung menganggap dirinya sebagai seorang pendekar patriot yang setia terhadap Kerajaan Kediri ! Namun, sebagian besar dari mereka yang hadir, masing-masing ingin bergabung dan mengambil keuntungan dari gerakan itu, tentu saja.
Kini nampak Mahesa Rangkah bangkit berdiri. Tubuhnya yang tinggi besar dan kokoh kekar itu memang mendatangkan wibawa. berdiri di atas batu itu, matanya yang bersih tajam jelalatan memandang ke kanan kiri kepada semua orang yang hadir dan duduk seenaknya membuat lingkaran di depan pondoknya. Lalu dia mengangkat tangan kanan kiri ke atas sebagai salam.
"Selamat datang, kawan-kawan semua terima kasih bahwa andika telah mau memenuhi undangan kami, datang di Bukit Gandamayit dan berani memasuki hutan angker Cempiring. Sudah sepantasnya kalau sebelum kita bicara, kita makan minum dulu karena andika tentu telah lapar dan kehausan setelah melakukan perjalanan jauh dan sukar. Untuk itu, kami telah siap dengan sepuluh ekor kerbau yang siap untuk disembelih dan dipanggang dagingnya, juga kami sudah menyediakan tuak, arak yang cukup banyak. Akan tetapi sebelum kita mulai berpesta lalu bicara, ingin kami mendengar lebih dahulu apakah andika sekalian ini tahu akan maksud sebenarnya mengapa kita berkumpul di sini pada hari ini"
Semua orang memandang kepada Mahesa Rangkah dan orang-orang mulai tertawa. Suara tertawa mereka macam-macam, ada yang terbahak, ada yang terkekeh, ada yang meringkik. dan ada yang hanya senyum-senyum. Kalau mendengarkan dari jauh, sungguh membuat orang biasa akan menggigil ketakutan dan mengira bahwa para iblis penghuni tempat angker itu sedang tertawa-tawa.
"Huah-ha-ha-ha, adi Mahesa Rangkah. Perlukah dipertanyakan lagi" Tentu ada hubungannya dengan lemahnya Singosari dan terbukanya kesempatan baik bagi kita untuk bergerak menyerang Kerajaan Singosari. Bukankah begitu, kalau tidak begitu, habis untuk apa lagi?"
Terdengar suara seorang Iaki-laki yang usianya sudah limapuluh tahun lebih, kepalanya botak dan punggungnya berpunuk. Biarpun rupa dan bentuk tubuhnya seperti itu, namun orang ini bukan orang sembarangan karena nama Ki Kalakatung dari Blitar ini cukup terkenal. Suaranya nyaring dan semua orangpun mengangguk-angguk dan menyatakan setuju.
"Hancurkan Singosari"
"Mampuskan Kertanagara !"
"Rampas seluruh harta kekayaannya!"
"Bagi-bagi puteri-puteri dan para dayangnya !"
Ramailah mereka itu berteriak-teriak dan kembali Mahesa Rangkah mengangkat kedua tangan ke atas minta agar mereka tenang. Dia tersenyum gembira sekali karena dari sikap mereka ini, orang-orang ini memang boleh diharapkan untuk memperkuat pasukannya.
"Akan tetapi, kita harus ingat akan kenyataan bahwa para senopati yang berada di Singosari sama sekali tidak boleh dipandang ringan! Dan pasukan merekapun masih ada"
"Tidak berapa banyak!" kata Bango Dolong yang sengaja memancing dan membesarkan semangat Mahesa Rangkah.
"Biarpun demikian, kitapun perlu menghimpun pasukan yang cukup kuat. Aku sendiri sudah siap dengan limaratus orang pilihan kata Mahesa Rangkah sambil memandang mereka. "Dan berapa orangkah anak buah kalian masing-masing?"
Mereka menjawab dengan kacau, ada yang mengatakan ratusan, puluhan, akan tetapi agaknya tak seorangpun Diantara mereka yang tidak mempunyai anak buah dan hal ini makin menggembirakan hati Mahesa Rangkah
"Nanti dulu, aku ingin mengajukan pertanyaan yang harap dijawab oleh Ki Mahesa Rangkah dengan jujur" tiba-tiba terdengar suara orang. Suaranya kecil seperti suara wanita, namun yang bicara itu ternyata seorang laki-laki berusia kurang lebih empatpuluh tahun, wajahnya cukup tampan akan tetapi tubuhnya kurus kecil dan sikapnya agak genit seperti wanita ketika ia berdiri dan bicara.
"Ajukanlah pertanyaanmu, Raden Galinggangjati!" jawab Mahesa Rangkah dan semua orang yang belum mengenal orang laki-laki yang genit ini terkejut. Kiranya inilah yang dikenal dengan sebutan Raden Galinggangjati, yang terkenal sebagai iblis yang menguasai pegunungan Gajahmungkur itu.
"Kami semua jelas membenci Sang Prabu Kartanegara di Singosari karena berbagai alasan, akan tetapi andika sendiri, Ki Mahesa Rangkah. Apa yang menyebabkan andika hari ini mengumpulkan kami semua dan mengajak kami untuk melakukan pemberontakan terhadap Kerajaan Singosari?"
Mahesa Rangkah mengangguk-angguk. "Benar, sekali, andika semua harus tahu dengan jelas. Nah, dengarlah baik-baik. Dendam yang bersemi di dalam hatiku ini dimulai ketika ayah Sang Prabu Kertanegara masih menjadi raja. Sang Prabu Wishnuwardhana yang menyerang Mahibit dan membunuh ayahku. Nah, selama itu aku selalu mencari sempatan untuk membalas dendam, namun selalu gagal dan sekaranglah tiba saatnya yang amat baik. Bukan hanya sekarang Singosari sedang lemah, pasukannya yang terbesar melakukan pelayaran ke Malayu, akan tetapi kawan-kawan semua mengandung dendam sama sehingga kita dapat bekerja sama. Selain itu, di belakangku mendapat dukungan dari Eyang Buyut Pranamaya yang mendatangkan keyakinan akan kemenangan kita. Apa lagi karena menurut Eyang Buyut Pranamaya kita diberkahi oleh tombak pusaka Ki Ajeng Tejanirmala!"
"Ahh........! Mana mungkin" Aku tidak percaya begitu saja, Mahesa Rangkah!" kata Ni Dedeh Sawitri dengan suaranya yang melengking.
Mahesa Rangkah mengerutkan alisnya "Dedeh Sawitri! Andika tidak percaya kepadaku masih tidak mengapa, akan tetapi beranikah andika tidak mempercayai janji Eyang Buyut Pranamaya?"
Mendengar nama orang tua itu, Ni Dedeh Sawitri agak gentar, akan tetapi ia membantah "Begini, Mahesa Rangkah. Ketidakpercayaanku bukan ngawur saja, melainkan berdasarkan. Ketika itu, beberapa orang Diantarara kami menyerbu tempat kediaman Ki Baka untuk merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Akan tetapi, ada seorang kakek aneh yang menyelamatkannya dan kami tidak berhasil mendapatkan Tejanirmala. Bagaimana kini tahu-tahu andika mengatakan bahwa gerakan akan diberkahi tombak pusaka itu" Dan aku melihat sendiri bahwa bukan Eyang Buyut Pranamaya yang menyelamatkan Ki 'Baka"
Mahesa Rangkah tertawa. "Apapun dapat dilakukan oleh Eyang Buyut. Tidak ada yang tidak mungkin bagi beliau. Siapa tahu beliau telah merampasnya dari Ki Baka kakek penolongnya itu. Yang jelas, aku telah melihat dengan mata kepala sendiri tombak pusaka itu di tangan Eyang Buyut Pranamaya, oleh karena itulah maka aku merasa yakin bahwa gerakan kita ini sudah pasti akan hasil"
Mendengar ini, semua orang bersorak gembira dan Mahesa Rangkah berkata, "Sekarang, marilah kita berpesta dulu, mengisi perut, baru kita nanti bicara untuk menentukan waktu dan mengatur siasat yang harus direncanakan sebaiknya!" Dia memberi isarat dan datanglah anak buahnya menuntun sepuluh ekor kerbau beberapa puluh ekor ayam.
Lalu terjadilah penyembelihan kerbau-kerbau itu, dilakukan dengan hiruk pikuk dan terjadilah pesta yang khas pestanya orang-orang kasar seperti mereka. Seperti berebut saja mereka memotongi daging kerbau atau ayam, memberinya bumbu dan memanggang di tempat pemanggangan yang dibuat di banyak tempat oleh anak buah Mahesa Rangkah.
Tuak dan arakpun hidangkan dan mulailah mereka makan minum secara yang amat tidak teratur, seperti sekawanan gerombolan binatang buas, seolah-olah saling berebutan atau berlumba, makan dengan amat gembulnya. Ada pula yang makan daging dalam keadaan setengah matang atau bahkan masih mentah. Semua itu diselingi suara tertawa dan obrolan-obrolan.
Sementara itu, Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri sudah pula memegang setusuk daging besar yang sudah mereka panggang dan mereka berdua kini duduk agak menjauh dari orang lain. Sambil makan daging itu minum tuak, mereka bicara lirih-lirih.
"Kakang Gagak Wulung, aku masih penasaran sekali. Bagaimana mungkin Tejanirmala kini berada di tangan Mahesa Rangkah?" bisik wanita itu dan giginya yang putih kuat itu menggigit daging bakar yang kemerahan lalu mengunyahnya dengan nikmat
JILID 04
Hutan Cempiring
"MEMANG aneh. Akan tetapi seperti yang dikatakan Mahesa Rangkah tadi, bukan tidak mungkin Ki Buyut Pranamaya merampasnya dari tangan Ki Baka dan kakek penolongnya itu. Kita sudah mendengar akan kehebatan Ki Buyut yang sakti mandraguna" jawab Gagak Wulung sambil menggigit daging kerbau diujung tusukan daging dari bambu.
"Akan tetapi, sebelum melihatnya sendiri, bagaimana aku dapat percaya". Ingat, kakang, bukankah kita berdua sampai ke sini dengan niat untuk kepentingan pribadi kita sendiri, bukan semata-mata ingin menghambakan diri lepada Mahesa Rangkah?"
"Ssttt........ hati-hati kau bicara, Ni Dedeh. Lihat, banyak orang sedang memandang kesini. Kalau katamu didengar orang, kita bisa celaka......"
Ni Dedeh Sawitri tersenyum mengejek, akan tetapi senyumnya berubah manis sekali ketika seorang laki-laki yang ganteng berperawakan tinggi besar berotot datang mendekati tempat mereka. Laki-laki itu adalah Ki Prutung, seorang jagoan dari Kediri. Usianya kurang lebih tigapuluh tahun, biarpun tidak setampan Gigak Wulung, namun jelas dia lebih gagah dan lebih muda, dan sepasang matanya yang memandang kearah Dedeh Sawitri jelas membayangkan kekaguman.
"Bukankah dia seorang jagoan dari Kediri pula, kakang Gagak Wulung" Kulihat ada
banyak orang Kediri di sini. Hemm......." kata wanita itu sambil melepas kerling dan senyumnya yang khas kearah KI Prutung.
Mendengar kata-kata ini, Gagak Wulung cepat berbisik kembali, "Tidak ada hubungan antara mereka dengan aku"
"Tentu saja" jawab Ni Dedeh, "kalau kau menjadi alat Kerajaan Kediri, akupun tidak mau bekerja sama. Kau tahu aku tidak akan mau diperalat oleh kerajaan manapun. Kembali tentang pusaka itu, hatiku masih belum percaya kalau tidak melihat sendiri.......?"
Tiba-tiba Ni Dedeh menghentikan katanya, ia tidak lagi memandang kearah Ki Prutung, melainkan menoleh kearah seorang laki-laki yang berjalan santai mendekati tempat mereka. Gagak Wulung ikut pula menoleh dan alisnya berkerut.
"Huh... kiranya dia ikut datang pula" jelas suaranya mengandung perasaan tidak senang.
"Siapakah dia" Wah, tampan sekali dia, kakang Gagak Wulung"
Makin dalam kerut diantara sepasang alis Gagak Wulung. "Siapa lagi kalau bukan si hidung belang itu" Dia Raden Bangokuning, masih keturunan priyayi Kediri, seorang sombong tapi kosong......"
"Wah, perkenalkan aku padanya, kakang" kata Ni Dedeh pula dengan gembira sambil melepas kerling dan senyum kepada orang itu. memang harus diakui bahwa pria yang bernama Raden Bangokuning itu tampan, lebih menarik dari pada Gagak Wulung sendiri. Usianya juga kurang lebih tigapuluh tahun, wajahnya tampan, pakaiannya pesolek dan agaknya tidak pantas dia berada diantara orang-orang kasar itu.
Ki Prutung yang sejak tadi main mata dengan Ni Dedeh, Kini mengerutkan alisnya melihat betapa wanita itu kini mengalihkan perhatiannya kepada Raden Bangokuning yang juga sudah dikenalnya karena mereka sama-sama datang dari Kediri.
Sementara itu, Raden Bangokuning sudah mendekati Gagak Wulung. "Wah, kiranya Paman Gagak Wulung juga berada di sini. Dan siapakah temanmu yang cantik jelita bagaikan bidadari kahyangan ini, paman" Orang muda itu mendekat dan dengan sepasang matanya dia mengamati wajah dan tubuh Ni Dedeh Sawitri yang merasa seolah-olah pria itu dengan pandang matanya sedang meraba-rabanya dengan mesra.
Iapun tersenyum dan dengan gerak bibir manja dan menarik ia menggigit daging merah itu, mempermainkan daging itu dengan bibir dan giginya sehingga Raden Bangokuning menjadi semakin terpesona dan gemas.
Mendongkol juga prasaan hati Gagak Wulung. Si bedebah ini sengaja menyebut "paman" seolah-olah hendak menonjolkan diri barwa dia jauh lebih muda dari pada Gagak Wulung di depan Ni Dedeh Sawitri.
Sementara itu. Ni Dedeh yang dapat melihat betapa kekasihnya itu dilanda cemburu, sengaja terkekeh genit lalu maju menyambut Raden Bangokuning sambil berkata, "Perlukah ini saling diperkenalkan" Kita sudah cukup dewasa untuk berkenalan sendiri, bukan" bukankah andika ini yang bernama Raden Bagus Bangokuning?"
Raden Bangokuning tersenyum, senang manva ditambah dengan sebutan "Bagus"
"Tobat-tobat, baru sekali ini selama hidupku bertemu dengan seorang puteri yang selain cantik jelita, manis, ayu luwes dan gandes, juga amat cerdik, sehingga sudah dapat menduga siapakah namaku sebenarnya. Akan tetapi akupun tidak mau kalah. Biarkah aku menduga-duga siapa adanya andika ini"
Ni Dedeh tersenyum dan membuang sisa daging yang ada di tusuk bambunya. lalu meminum tuak, menjilati sepasang bibirnya dengan ujung lidahnya dengan gaya erotis dan gerakan ini tentu saja mengundang debar jantung di dalam dada Raden Bangokuning.
Meremang rasa tengkuknya oleh gairah yang dibangkitkan oleh gerakan lidah dan bibir wanita itu.
"Coba kau perlihatkan kemampuanmu orang bagus"
Raden Bangokuning bukaniah seorang bodoh. Tentu saja dan kawan-kawannya para tokoh Kediri, dia tadi sudah bertanya-tanya, siapa adanya wanita ayu yang bersama Gagak Wulung itu.
Kini dia berlagak mengerahkan pikirannya. "Heran, kau wanita yang cantik seperti bidadari, dengan rambut yang agak keriting, kecantikanmu dan cara kau berpakaian berbeda dengan daerah ini, dan suaramu, logat bicaramu, jelas menunjukkan bahwa andika adalah seorang yang datang jauh dari barat dari Pasundan. Akan tetapi andika pandai sekali bicara seperti orang menggunakan bahasa halus dari Dhaha. Hemm, siapa lagi wanita cantik dan Pasundan yang pernah tinggal di Dhaha, siapa lagi kalau bukan Dyah Ayu Ni Dedeh Sawitri?"
"Bukan main. Andika memang hebat, hebat dari yang kuduga. Ah, ingin aku tahu apakah dalam hal-hal lain kau juga sehebat ini" Dan kini pandangan wanita itu kini yang menjelajahi seluruh pria itu, dari kepala sampai ke kaki, seakan-akan hendak membelai seluruh tubuh itu dengan pandangan matanya.
"Ha-ha, Ni Dedeh Sawitri, hal seperti tentu saja harus dibuktikan lebih dahulu" kata Raden Bangokuning.
Sementara itu, kalau menurutkan hatinya yang panas oleh cemburu, ingin Gagak Wulung membentak atau memukul orang muda dari Kediri itu. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau melakukan hal itu. Antara dia dan Ni Dedeh Sawitri memang sudah terdapat pengertian bahwa yang satu tidak boleh mengikat yang lain dalam hal mencari hiburan. Setiap saat, boleh saja Gagak Wulung bergaul dengan wanita lain atau Ni Dedeh bergaul dengan pria lain, asalkan hal itu bukan secara terang-terangan, bukan sembunyi-bunyi, bahkan kemudian mereka akan menceritakan pengalaman masing-masing membandingkan kemampuan kenalan baru dengan diri masing-masing" Akan tetapi, Raden Bangokuning terlalu menyolok dan Gagak Wulung merasa muak, karena sikap Raden Bangokuning itu hanya menunjukkan kementahannya terbadap wanita.
Pada saat itu, terdengarlah suara lantang Mahesa Rangkah yang mengatasi semua kegaduhan yang terjadi di situ karena kini hampir semua orang sudah selesai makan dan dalam keadaan setengah mabuk oleh tuak dan arak.
"Kawan-kawan sekalian. Baru saja kami mendapat isarat dari Eyang Buyut Pranamaya, harap andika sekalian suka mendengarkan baik-baik dan melihat ke sini"
Semua orang menengok kearah pondok. Mahesa Rangkah masih diduk di depan pondok dan kini nampak api unggun menyala besar di depannya. Bahkan Ni Dedeh Sawitri juga tertarik dan dipegangnya tangan Raden Bangokuning yang tadi menyentuh lengannya dengan lembut.
"Hentikan, belum waktunya kita bermain-main, mari kita lihat dan dengar apa yang akan terjadi di sana" bisiknya. Juga Gagak Wulung kini menengok dan memandang penuh perhatian.
Terdengar lagi suara Mahesa Rangkah, "Eyang Buyut Pranamaya memberi isarat bahwa tanpa memperlihatkan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala kepada andika semua, akan timbul keraguan. Oleh karena itu, kami dapat isarat bahwa Eyang Buyut sendiri akan memperiihatkannya dan membuktikan bahwa pusaka keramat itu benar berada beliau dan akan menyinari gerakan kita sampai berhasil"
Mahesa Rangkah melemparkan sekepal menyan ke dalam api dan nampaklah asap bergulung-guiung naik sampai tinggi dan semua orang mencium bau harum kemenyan yang khas. Dan semua mata terbelalak ketika melihat betapa di atas api itu, diantara asap yang bergulung naik, mulailah asap itu membentuk sosok seorang kakek yang berumur tujuh puluh tahun, tubuhnya sedang dan berdiri tegak, mukanya dihias kumis dan jenggot yang keputihan, pakaiannya serba hitam. Akan tetapi bukan kakek itu menjadi pusat perhatian semua orang, melainkan sebatang tombak yang diangkatnya tingi-tinggi oleh kakek itu, Sebatang tombak yang gagangnya terbuat dari bambu kuning, tombak itu sendiri berwarna putih, mengkilap seperti perak. Tak salah lagi, itulah tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala, karena ,walaupun jarang diantara mereka pernah melihatnya, namun sudah mendengar keterangan ciri-ciri tombak itu. Dan bayangan asap itu siapa lagi kalau bukan Ki Buyut Pranama yang terkenal sakti mandraguna.
Asap itu perlahan-lahan membuyar dan bayangan kakek yang mengangkat tinggi sebatang tombak itupun lenyap. Semua orang yang tadi memandang kagum, kini merasa gembira dan mereka percaya sepenuhnya bahwa itulah Ki Buyut Pranamaya, guru dari Mahesa Rangkah yang sakti mandraguna, sudah memperlihatkan bukti bahwa memang benar tombak pusaka Tejanirmala telah berada di pihak mereka dan sudah pasti akan menerangi dan memenangkan gerakan mereka untuk menghancurkan Singosari. Maka, terdengarlah sorak sorai sebagai luapan kegembiraan mereka.
Matahari telah naik tinggi ketika akhirnya Mahesa Rangkah dan para tamunya duduk kembali membuat lingkaran dan merekapun mulai mengadakan perundingan, mengatur siasat yang harus direncanakan sebaik mungkin untuk memulai gerakan mereka.
"Kita harus mengumpulkan anak buah kita untuk digabung menjadi satu di hutan Cempiring ini. Tak akan ada yang menduganya bahwa kita menyusun kekuatan di sini, juga pihak Singosa takkan menduganya. Di Bukit Gandamayit ini anak buah kita itu dijadikan satu dan dilatih sebagai satu pasukan. Sedikitnya akan memakan waktu selama tiga bulan untuk membuat mereka menjadi pasukan yang tangguh dan sementara kita terus mencari dan mengumpulkan teman-teman sehaluan. Dan untuk itu, kami harap andika sekalian suka lebih dulu menerima aku sebagai pimpinan pergerakan ini. Di belakang kami terdapat Ki Buyut Pranamaya sebagai guru kami dan juga tombak pusaka Tejanirmala"
Semua orang mengangguk-angguk dan tanpa ragu lagi mereka lalu menerima Mahesa Rangkah sebagai pimpinan. Mahesa Rangkah menjadi girang dan diapun berkata, "Singosari kini sedang lemah. Raja Kertanagara hanya bersenang-senang saja. Kalau keadaan kita sudah kuat, kita mengambil kesempatan selagi Raja Kertanagara berburu di hutan, kita melakukan penyergapan, sebagian menyergapnya di hutan, sebagian lagi menyerbu ke kota raja dan menduduki istana. Kalau sudah terjadi hal demikian, tentu rakyat akan mendukung kita"
"Akan tetapi, sebelum melihatnya sendiri, bagaimana aku dapat percaya". Ingat, kakang, bukankah kita berdua sampai ke sini dengan niat untuk kepentingan pribadi kita sendiri, bukan semata-mata ingin menghambakan diri lepada Mahesa Rangkah?"
"Ssttt........ hati-hati kau bicara, Ni Dedeh. Lihat, banyak orang sedang memandang kesini. Kalau katamu didengar orang, kita bisa celaka......"
Ni Dedeh Sawitri tersenyum mengejek, akan tetapi senyumnya berubah manis sekali ketika seorang laki-laki yang ganteng berperawakan tinggi besar berotot datang mendekati tempat mereka. Laki-laki itu adalah Ki Prutung, seorang jagoan dari Kediri. Usianya kurang lebih tigapuluh tahun, biarpun tidak setampan Gigak Wulung, namun jelas dia lebih gagah dan lebih muda, dan sepasang matanya yang memandang kearah Dedeh Sawitri jelas membayangkan kekaguman.
"Bukankah dia seorang jagoan dari Kediri pula, kakang Gagak Wulung" Kulihat ada
banyak orang Kediri di sini. Hemm......." kata wanita itu sambil melepas kerling dan senyumnya yang khas kearah KI Prutung.
Mendengar kata-kata ini, Gagak Wulung cepat berbisik kembali, "Tidak ada hubungan antara mereka dengan aku"
"Tentu saja" jawab Ni Dedeh, "kalau kau menjadi alat Kerajaan Kediri, akupun tidak mau bekerja sama. Kau tahu aku tidak akan mau diperalat oleh kerajaan manapun. Kembali tentang pusaka itu, hatiku masih belum percaya kalau tidak melihat sendiri.......?"
Tiba-tiba Ni Dedeh menghentikan katanya, ia tidak lagi memandang kearah Ki Prutung, melainkan menoleh kearah seorang laki-laki yang berjalan santai mendekati tempat mereka. Gagak Wulung ikut pula menoleh dan alisnya berkerut.
"Huh... kiranya dia ikut datang pula" jelas suaranya mengandung perasaan tidak senang.
"Siapakah dia" Wah, tampan sekali dia, kakang Gagak Wulung"
Makin dalam kerut diantara sepasang alis Gagak Wulung. "Siapa lagi kalau bukan si hidung belang itu" Dia Raden Bangokuning, masih keturunan priyayi Kediri, seorang sombong tapi kosong......"
"Wah, perkenalkan aku padanya, kakang" kata Ni Dedeh pula dengan gembira sambil melepas kerling dan senyum kepada orang itu. memang harus diakui bahwa pria yang bernama Raden Bangokuning itu tampan, lebih menarik dari pada Gagak Wulung sendiri. Usianya juga kurang lebih tigapuluh tahun, wajahnya tampan, pakaiannya pesolek dan agaknya tidak pantas dia berada diantara orang-orang kasar itu.
Ki Prutung yang sejak tadi main mata dengan Ni Dedeh, Kini mengerutkan alisnya melihat betapa wanita itu kini mengalihkan perhatiannya kepada Raden Bangokuning yang juga sudah dikenalnya karena mereka sama-sama datang dari Kediri.
Sementara itu, Raden Bangokuning sudah mendekati Gagak Wulung. "Wah, kiranya Paman Gagak Wulung juga berada di sini. Dan siapakah temanmu yang cantik jelita bagaikan bidadari kahyangan ini, paman" Orang muda itu mendekat dan dengan sepasang matanya dia mengamati wajah dan tubuh Ni Dedeh Sawitri yang merasa seolah-olah pria itu dengan pandang matanya sedang meraba-rabanya dengan mesra.
Iapun tersenyum dan dengan gerak bibir manja dan menarik ia menggigit daging merah itu, mempermainkan daging itu dengan bibir dan giginya sehingga Raden Bangokuning menjadi semakin terpesona dan gemas.
Mendongkol juga prasaan hati Gagak Wulung. Si bedebah ini sengaja menyebut "paman" seolah-olah hendak menonjolkan diri barwa dia jauh lebih muda dari pada Gagak Wulung di depan Ni Dedeh Sawitri.
Sementara itu. Ni Dedeh yang dapat melihat betapa kekasihnya itu dilanda cemburu, sengaja terkekeh genit lalu maju menyambut Raden Bangokuning sambil berkata, "Perlukah ini saling diperkenalkan" Kita sudah cukup dewasa untuk berkenalan sendiri, bukan" bukankah andika ini yang bernama Raden Bagus Bangokuning?"
Raden Bangokuning tersenyum, senang manva ditambah dengan sebutan "Bagus"
"Tobat-tobat, baru sekali ini selama hidupku bertemu dengan seorang puteri yang selain cantik jelita, manis, ayu luwes dan gandes, juga amat cerdik, sehingga sudah dapat menduga siapakah namaku sebenarnya. Akan tetapi akupun tidak mau kalah. Biarkah aku menduga-duga siapa adanya andika ini"
Ni Dedeh tersenyum dan membuang sisa daging yang ada di tusuk bambunya. lalu meminum tuak, menjilati sepasang bibirnya dengan ujung lidahnya dengan gaya erotis dan gerakan ini tentu saja mengundang debar jantung di dalam dada Raden Bangokuning.
Meremang rasa tengkuknya oleh gairah yang dibangkitkan oleh gerakan lidah dan bibir wanita itu.
"Coba kau perlihatkan kemampuanmu orang bagus"
Raden Bangokuning bukaniah seorang bodoh. Tentu saja dan kawan-kawannya para tokoh Kediri, dia tadi sudah bertanya-tanya, siapa adanya wanita ayu yang bersama Gagak Wulung itu.
Kini dia berlagak mengerahkan pikirannya. "Heran, kau wanita yang cantik seperti bidadari, dengan rambut yang agak keriting, kecantikanmu dan cara kau berpakaian berbeda dengan daerah ini, dan suaramu, logat bicaramu, jelas menunjukkan bahwa andika adalah seorang yang datang jauh dari barat dari Pasundan. Akan tetapi andika pandai sekali bicara seperti orang menggunakan bahasa halus dari Dhaha. Hemm, siapa lagi wanita cantik dan Pasundan yang pernah tinggal di Dhaha, siapa lagi kalau bukan Dyah Ayu Ni Dedeh Sawitri?"
"Bukan main. Andika memang hebat, hebat dari yang kuduga. Ah, ingin aku tahu apakah dalam hal-hal lain kau juga sehebat ini" Dan kini pandangan wanita itu kini yang menjelajahi seluruh pria itu, dari kepala sampai ke kaki, seakan-akan hendak membelai seluruh tubuh itu dengan pandangan matanya.
"Ha-ha, Ni Dedeh Sawitri, hal seperti tentu saja harus dibuktikan lebih dahulu" kata Raden Bangokuning.
Sementara itu, kalau menurutkan hatinya yang panas oleh cemburu, ingin Gagak Wulung membentak atau memukul orang muda dari Kediri itu. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau melakukan hal itu. Antara dia dan Ni Dedeh Sawitri memang sudah terdapat pengertian bahwa yang satu tidak boleh mengikat yang lain dalam hal mencari hiburan. Setiap saat, boleh saja Gagak Wulung bergaul dengan wanita lain atau Ni Dedeh bergaul dengan pria lain, asalkan hal itu bukan secara terang-terangan, bukan sembunyi-bunyi, bahkan kemudian mereka akan menceritakan pengalaman masing-masing membandingkan kemampuan kenalan baru dengan diri masing-masing" Akan tetapi, Raden Bangokuning terlalu menyolok dan Gagak Wulung merasa muak, karena sikap Raden Bangokuning itu hanya menunjukkan kementahannya terbadap wanita.
Pada saat itu, terdengarlah suara lantang Mahesa Rangkah yang mengatasi semua kegaduhan yang terjadi di situ karena kini hampir semua orang sudah selesai makan dan dalam keadaan setengah mabuk oleh tuak dan arak.
"Kawan-kawan sekalian. Baru saja kami mendapat isarat dari Eyang Buyut Pranamaya, harap andika sekalian suka mendengarkan baik-baik dan melihat ke sini"
Semua orang menengok kearah pondok. Mahesa Rangkah masih diduk di depan pondok dan kini nampak api unggun menyala besar di depannya. Bahkan Ni Dedeh Sawitri juga tertarik dan dipegangnya tangan Raden Bangokuning yang tadi menyentuh lengannya dengan lembut.
"Hentikan, belum waktunya kita bermain-main, mari kita lihat dan dengar apa yang akan terjadi di sana" bisiknya. Juga Gagak Wulung kini menengok dan memandang penuh perhatian.
Terdengar lagi suara Mahesa Rangkah, "Eyang Buyut Pranamaya memberi isarat bahwa tanpa memperlihatkan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala kepada andika semua, akan timbul keraguan. Oleh karena itu, kami dapat isarat bahwa Eyang Buyut sendiri akan memperiihatkannya dan membuktikan bahwa pusaka keramat itu benar berada beliau dan akan menyinari gerakan kita sampai berhasil"
Mahesa Rangkah melemparkan sekepal menyan ke dalam api dan nampaklah asap bergulung-guiung naik sampai tinggi dan semua orang mencium bau harum kemenyan yang khas. Dan semua mata terbelalak ketika melihat betapa di atas api itu, diantara asap yang bergulung naik, mulailah asap itu membentuk sosok seorang kakek yang berumur tujuh puluh tahun, tubuhnya sedang dan berdiri tegak, mukanya dihias kumis dan jenggot yang keputihan, pakaiannya serba hitam. Akan tetapi bukan kakek itu menjadi pusat perhatian semua orang, melainkan sebatang tombak yang diangkatnya tingi-tinggi oleh kakek itu, Sebatang tombak yang gagangnya terbuat dari bambu kuning, tombak itu sendiri berwarna putih, mengkilap seperti perak. Tak salah lagi, itulah tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala, karena ,walaupun jarang diantara mereka pernah melihatnya, namun sudah mendengar keterangan ciri-ciri tombak itu. Dan bayangan asap itu siapa lagi kalau bukan Ki Buyut Pranama yang terkenal sakti mandraguna.
Asap itu perlahan-lahan membuyar dan bayangan kakek yang mengangkat tinggi sebatang tombak itupun lenyap. Semua orang yang tadi memandang kagum, kini merasa gembira dan mereka percaya sepenuhnya bahwa itulah Ki Buyut Pranamaya, guru dari Mahesa Rangkah yang sakti mandraguna, sudah memperlihatkan bukti bahwa memang benar tombak pusaka Tejanirmala telah berada di pihak mereka dan sudah pasti akan menerangi dan memenangkan gerakan mereka untuk menghancurkan Singosari. Maka, terdengarlah sorak sorai sebagai luapan kegembiraan mereka.
Matahari telah naik tinggi ketika akhirnya Mahesa Rangkah dan para tamunya duduk kembali membuat lingkaran dan merekapun mulai mengadakan perundingan, mengatur siasat yang harus direncanakan sebaik mungkin untuk memulai gerakan mereka.
"Kita harus mengumpulkan anak buah kita untuk digabung menjadi satu di hutan Cempiring ini. Tak akan ada yang menduganya bahwa kita menyusun kekuatan di sini, juga pihak Singosa takkan menduganya. Di Bukit Gandamayit ini anak buah kita itu dijadikan satu dan dilatih sebagai satu pasukan. Sedikitnya akan memakan waktu selama tiga bulan untuk membuat mereka menjadi pasukan yang tangguh dan sementara kita terus mencari dan mengumpulkan teman-teman sehaluan. Dan untuk itu, kami harap andika sekalian suka lebih dulu menerima aku sebagai pimpinan pergerakan ini. Di belakang kami terdapat Ki Buyut Pranamaya sebagai guru kami dan juga tombak pusaka Tejanirmala"
Semua orang mengangguk-angguk dan tanpa ragu lagi mereka lalu menerima Mahesa Rangkah sebagai pimpinan. Mahesa Rangkah menjadi girang dan diapun berkata, "Singosari kini sedang lemah. Raja Kertanagara hanya bersenang-senang saja. Kalau keadaan kita sudah kuat, kita mengambil kesempatan selagi Raja Kertanagara berburu di hutan, kita melakukan penyergapan, sebagian menyergapnya di hutan, sebagian lagi menyerbu ke kota raja dan menduduki istana. Kalau sudah terjadi hal demikian, tentu rakyat akan mendukung kita"
Ramailah keadaan di tempat itu ketika masing-masing mengajukan usul-usul dan siasat. ada yang mengusulkan untuk membuat pertahanan Singosari semakin lemah dengan cara melakukan gangguan keamanan di luar kota raja. menciptakan kekacauan sehingga kehidupan rakyat jelata menjadi semakin kacau, dan hal ini tentu menggelisahkan pamong praja, memecah belah kekuatan mereka. Ada yang mengusulkan untuk secara rahasia membuat para senopati dan pera pembesar yang setia kepada Singosari. Pendeknya, mereka semua berusaha untuk mencari jalan bagaimana caranya ia membuat Kerajaan Singosari menjadi semakin lemah.
Baru setelah malam tiba, perundingan dihentikan dan kembali mereka berpesta lagi dengan menyembelih kerbau-kerbau lagi. reka tidak perlu meninggalkan hutan itu, kecuali mereka yang masih harus mempersiapkan anak buahnya yang belum diajak ke tempat itu. Pondok-pondok dirurat didirikan anan-anak buah yang sudah berada di situ, Ada juga yang lebih dahulu meninggalkan Bukit Gandamayit untuk kembali ke tempat tinggal mereka dan mengumpulkan anak buah untuk dibawa ke tempat itu.
Diam-diam Ni Dedeh Sawitri bergaindengan tangan dengan Raden Bangokuning, meninggalkan orang banyak dan menyusup ke tempat gelap di dalam hutan, mencari petak rumput yang sunyi dan nyaman di mana mereka akan memadu asmara mencurahkan semua nafsu dan gairah mereka yang sudah terbangkitkan sejak tadi.
*** Sudah menjadi kebiasaan bagi Ni Dedeh Sawitri, bahwa setiap kali ia memilih seorang pria untuk melayani permuasan nafsunya, kemudian ia mendapat kenyataan bahwa pria itu tidak memuaskannya, tanpa banyak cakap lagi pada keesokan harinya, pria itu tentu dibunuhnya begitu saja. Atau kalau sebaliknya, ia akan mempertahankan pria itu sampai ia bosan, baru setelah itu dibunuhnya juga. Hal ini ia lakukan agar ia terbebas dari pria itu, juga agar orang itu tidak membicarakan dirinya diluaran, dan agar rahasianya tidak diketahui orang lain. Tentu saja terhadap Gagak Wulung tidak dapat berbuat seperti itu karena Gagak Wulung merupakan seorang rekan setingkat dengan dirinya yang dapat dipercaya dan masing-masing dapat menyimpan rahasia.
Pada pagi hari itu, Setelah membereskan pakaian dan rambutnya, Ni Dedeh yang sudah bangkit lalu melihat kearah Raden Bangokuning yang juga sudah membereskan pakaiannya pula. Dari lirikan wanita itu, jelas bahwa ia merasa kecewa. Ternyata orang muda itu tidak dapat memenuhi nafsunya. Akan tetapi biarpun demikian, ia telah memperoleh keterangan yang amat penting baginya, tentang orang-orang Kediri yang hadir di dalam hutan itu, juga tentang Gagak Wulung.
"Ni Dedeh, kau sungguh seorang wanita yang amat hebat" kata Raden Bangokuning sambil melangkah maju hendak merangkul"
"Sebaliknya, kau menjemukan" kata wanita itu dan tiba-tiba saja tangan kanannya menampar kearah leher Raden Bangokuning.
Orang muda itu terkejut bukan kepalang. Ia bukan orang sembarangan, melainkan seorang yang sudah banyak mempelajari llmu beladiri dan pencak silat di Kediri sehingga diserang, diapun maklum akan datangnya serangan yang amat dahsyat itu, karena di rasa ada angin yang kuat sekali menyambar dari tangan wanita itu kearah lehernya. Maklum akan hal itu dan iapun tidak sempat lagi mengelak, Raden Bangokuning lalu mengangkat kanannya untuk menangkis.
"Plakk"
Dan akibatnya, tubuh pria itu terbanting keras ke atas rumput di mana ia tadi saling menumpahkan semua gairah nafsunya bersama wanita itu. Dan dia betapa lengannya seperti patah dan sakitnya bukan main.
"Huh, terimalah kematianmu" kata Ni Dedeh Sawitri sambil menubruk untuk mengirim pukulan Sarpakenaka yang mematikan.
"Desss.. .." Pukulannya tertangkis oleh Gagak Wulung dan keduanya terdorong mundur.
"Dedeh, kau tidak boleh sembarangan bertindak terhadap seorang tokoh Kediri. Jangan sembarangan membunuh"
Akan tetapi, Ni Dedeh Sawitri kini juga memandang marah kepada kekasihnya ini, kemudian telunjuk kanannya menuding kearah laki-laki yang selama ini tak pernah terpisah dari sisinya.
"Gagak Wulung, kau ternyata utusan kediri yang hendak memperalatku, keparat. Kaupun harus mampus." Setelah berkata begitu, wanita itu menyerang dengan hebatnya.
Gagak Wulung tentu saja cepat mengelak dan balas menyerang sambil menegur Raden bangokuning yang sudah bangkit berdiri. "Bocah tolol. Kau membocorkan semua rahasia kepadanya" Tahukah kau siapa wanita ini" la bukan lagi orang Kediri, melainkan mata-mata dari Pasundan, tolol."
Raden Bangokuning memandang pucat. Semalam dalam dekapan wanita itu, dia tak berdaya dan menceritakan semua keadaan para senopati Kediri yang hadir di dalam pertemuan itu, tentang tugas mereka untuk mendorong agar Mahesa Rangkah memberontak terhadap Singosari, untuk melemahkan Singosari dan mereka dari Kediri itu tidak akan memperlihatkan diri terlibat dalam pemberontakan itu.
Dalam hal ini, Gagak Wulung telah dibuka rahasianya sebagai utusan istimewa dari Raja Kediri, Adipati Jayakatwang.
Karena maklum bahwa ilmu kepandaian masih jauh kalah dibandingkan dengan Gagak Wulung dan dia bahkan terancam bahaya maut, kalau berani membantu menghadapi Ni Sawitri. Raden Bangokuning cepat menyelinap untuk mengundang teman yang lebih tangguh.
Tak lama kemudian, diapun muncul bersama Bango Dolog dan Ki Prutung, dua diantara para senopati yang semalam hadir. Melihat Gagak Wulung sedang berkelahi melawai Dedeh Sawitri dan mendengar dari Raden Bangokuning bahwa Ni Dedeh Sawitri adalah mata-mata Pasundan yang mengetahui rahasia mereka, dua orang senopati itu menjadi marah. Hampir saja Ki Prutung menampar muka Raden Bangokuning yang selain dianggap lancang buka rahasia, juga semalam telah merebut hati Ni Dedeh Sawitri yang tadinya sudah melirik-lirik kearahnya. Kini, dua orang senopati dari Kediri itu tanpa banyak cakap lagi menerjang maju mengeroyok Ni Dedeh Sawitri yang berkelahi melawan Gagak Wulung.
Biarpun dua orang jagoan Kediri itu tidak setangguh Gagak Wulung dan tingkat kepandaian mereka masih di bawah tingkat Ni Dedeh Sawitri, namun karena di situ ada Gagak Wulung, maka dikeroyok tiga orang, Ni Dedeh menjadi terdesak hebat dan lengan kirinya sudah tergores keris dari tangan Bango Dolog, sehingga berdarah.
Ia marah sekali dan mempercepat gerakannya sehingga Bango Dolog dan Ki Prutung menjadi gentar juga. Mereka sudah mendengar akan kehebatan Aji Sarpakenaka yang amat beracun itu, dan wanita itu memiliki gerakan silat yang amat cepat dan indah. Mereka mengepung dari jarak aman dan mengandalkan keris mereka yang kadang-kadang menghunjam dengan cepat selagi wanita itu sibuk menahan desakan Gagak Wulung.
Selagi wanita itu terdesak hebat tiba-tiba terdengar suara yang parau, lantang dan kasar. Sungguh tidak tahu malu. Para jagoan dan Senopati Kediri mengeroyok seorang perempuan. Huh, menyebalkan sekali"
Gagak Wulung, Bango Dolog, dan Ki Prutung cepat meloncat ke belakang dan memandang, Mereka melihat seorang laki-laki yang usianya sudah limapuluh tahun lebih, berpakaian serba hitam dengan dada terbuka sehingga nampak dadanya yang bidang dan kuat juga berbulu, mukanya penuh brewok, matanya lebar jelalatan dan mengeluarkan sinar mencorong. Perutnya agak gendut, akan tetapi tulang-tulang besar menonjol di pundak lengannya. Terkejutlah para jagoan Kediri ketika mengenai orang ini.
Sementara itu, Ni Dedeh Sawitri yang melihat kesempatan baik, sudah melompat menghilang di balik pohon-pohon lebat. Ia tahu bahwa keadaannya amat berbahaya jika lebih lama tinggal di tempat itu. Ia tidak mengenal siapa orang brewok yang menegur jagoan Kediri itu, akan tetapi mendengar nada suaranya, agaknya orang itupun kenal baik kepada mereka, sehingga belum tentu kalau kedatangannya merupakan bintang penolongnya. Kini, ia telah dimusuhi Gagak Wulung dan para senopati Kediri, tentu saja ia merasa tidak aman dan sebaiknyalah kalau ia cepat-cepat meninggalkan mereka.
"Ah, kiranya Ki Jembros yang datang" berkata Gagak Wulung sambil memandang dengan sikap hormat, Bagaimanapun juga, senopati Kediri ini menaruh hormat ke Ki Jembros karena mereka tahu bahwa Ki Jembros adalah seorang pendekar dan tokoh di Singosari yang jujur dan terbuka, akan tetapi juga gagah perkasa, seorang patriot walaupun Ki Jembros tidak pernah mengikat diri dengan suatu jabatan atau kedudukan tertentu. Dia seorang yang suka berkelana dengan bebas, tidak mau terikat, akan tetapi selalu siap untuk membantu negara dan bangsa setiap kali terdapat ancaman keselamatan negara dan bangsa. Karena sikapnya inilah, maka Ki Jembros dihormati dan disegani oleh semua orang, termasuk para tokoh Kediri. Orang semacam Ki Jembros sama sekali tidak boleh dibuat main-main, dan orang inipun sakti mandraguna.
Melelihat Gagak Wulung, Ki Jembros berdehem dan alisnya berkerut. Dia tahu pria macam apa adanya tokoh Kediri yang satu ini, dan kini diapun merasa heran mengapa para senopati Kediri berada di dalam hutan Cempiring ini. Pada hal, dia sedang melakukan penyelidikan ketika mendengar berita betapa banyak tokoh sesat memasuki hutan yang amat angker itu.
Semenjak berpisah dari Panembahan Sidik Danasura di Teluk Prigi Segoro Wedi dan mendapat nasihat kakek yang sakti dan suci itu, Ki Jembros tidak pernah berusaha untuk Mencari Wulansan. Dia kembali ke daerah Singosari dan hidup seperti dahulu, menjadi perantau yang hidup tak tentu tempat tinggalnya, ke manapun dia pergi, dia selalu siap untuk menentang kejahatan, membela kebenaran dan keadilan sebagai seorang ksatria utama.
Dan dia membenarkan wawasan Panembn Sidik Danasura bahwa semenjak terjadi perubahan di dalam susunan pamongpraja Kerajaan Singosari, dan semenjak pasukan besar diberangkatkan menuju ke Pamelayu, banyak terjadi kejahatan yang dilakukan oleh tokoh sesat yang seolah-olah mempergunakan kesempatan itu untuk berpesta pora, Oleh karena itu, dengan segenap kemampuannya, iapun selalu menentang perbuatan jahat dan menentang siapa saja yang berani berbuat jahat di depan hidungnya.
Sampai pada hari itu dia mendengar bahwa banyak tokoh sesat kelihatan berkeliaran di sekifar hutan Cempiring yang terkena angker. Dia hanya iseng-iseng pergi ke hutan itu, memasuki hutan, dan melihat seorang wanita dikeroyok oleh jagoan-jagoan Kediri. Walaupun dia tidak mengenal wanita itu, tetapi dari sikap wanita itu, apa lagi dari ajiannya yang ganas itu dia tidak yakin bahwa wanita itu seorang yang baik-baik, namun jiwa ksatrianya bangkit melihat betapa seorang wanita dikeroyok tiga, apalagi para pengeroyoknya adalah jagoan-jagoan yang berilmu tinggi. Maka diapun lalu maju menegur dan memberi kesempatan kepada wanita itu untuk nyelamatkan diri.
"Hemmm, aku melihat Gagak Wulung, Bango Dolog, Ki Prutung, hemmm........ ada apakah kiranya para senopati Kediri berkumpul di dalam hutan Cempiring ini" Pada hal menurut pendengaranku, tempat ini dipenuhi tokoh sesat yang berkeliaran. Sejak kapankah para senopati Kediri bergaul dengan para tokoh sesat?" Ucapan Ki Jembros yang terus terang ini, diam-diam mengejutkan mereka, apa lagi pada saat itu bermunculan Pencok Sahang, Liking Kangkung dan Ki Kampinis yang tadi nendengar bahwa para rekannya berkelahi melawan Ni Dedeh Sawitri.
"Wah-wah, kiranya bahkan lebih lengkap dan banyak lagi. Hanya Ki Patih dan Panglima Kebo Mundrang saja yang masih belum tampak. Kalau mereka ada, maka lengkaplah sudah para senopati Kediri berada di sini. Ada apakah ini?"
Tentu saja Gagak Wulung merasa khawatir sekali. Kalau sampai orang ini tahu bahwa mereka sebagai tokoh-tokoh Kerajaan Kediri mengadakan persekutuan dengan Mahesa Rangkah yang hendak memberontak, hal itu dapat membahayakan Kediri karena tentu Singosari tidak akan tinggai diam saja.
"Sesungguhnya, Ki Jembros, kami tidak nempunyai apa-apa yang perlu diherankan" kata Gagak Wulung "Terus terang saja, kamipun mendengar akan desas desus bahwa tempat ini dikunjungi banyak orang tokoh sesat, dan karena kami sedang mengadakan perjalanan dan melakukan pengejaran terhadap beberapa orang buronan dari Kediri dan lewat di sini, maka kamipun masuk ke hutan ini untuk melakukan penyelidikan. Dan tadi, seorang antara rekan kami, yaitu Raden Bangokuning yang muda dan belum berpengalaman, hampir saja dibunuh oleh wanita tadi. Kami turun tangan untuk membantunya. Tempat ini memang gawat dan berbahaya sekali dan kami tidak menemukan buronan kami di sini, oleh karena itu, kami sekarangpun hendak keluar saja dari tempat berbahaya ini. Hayo teman-teman, tidak perlu kita berlama lama di tempat ini" katanya kepada teman-teman yang sudah mengerti apa yang dimaksud oieh Gagak Wulung. Mereka lalu mengangguk dan pergi meninggalkan Ki Jembros.
Pertemuan Ki Jembros dengan para jagoan Kediri itulah yang membuat Kediri melepas tangan dan tidak secara langsung ikut membantu gerakan pemberontakan Mahesa Rangkah, karena mereka khawatir kalau-kalau diketahui oleh Kerajaan Singosari. Namun, usaha mereka itu oleh Adipati Jayakatwang sudah dianggap berhasil, karena bagaimanapun juga pemberontakan Mahesa Rangkah itu sesuai dengan rencana Kediri untuk membuat Singosari menjadi semakin lemah.
Setelah para jagoan Kediri itu pergi, Ki Jembros berdiri termenung seorang diri. memikirkan apa yang telah terjadi di tempat itu. Dia tidak tahu siapa wanita cantik yang dikeroyok para jagoan Kediri tadi, namun dia dapat menduga bahwa wanita itu tentulah seorang tokoh sesat pula, melihat cara ia berkelahi mempergunakan aji-aji yang curang dan kejam, ciri khas ilmu yang biasa dipergunakan dunia hitam. Kalau begitu tidaklah berita kosong saja yang ditemukannya dalam perjalanan bahwa hutan yang angker itu didatangi orang-orang sesat. Yang dia herankan adalah mengapa pula para jagoan Kediri berada di tempat ini. Akan tetapi, alasan mereka itu cukup kuat, dan melihat betapa mereka tadi berkelahi melawan seorang wanita dari golongan sesat, kecurigaannya terhadap orang orang Kediri itupun lenyap. Dia akan menyelidiki lebih dalam lagi dan melihat siapa siapa lagi yang akan ditemukan di tempat ini, dan apa yang sedang dilakukan oleh orang-orang dari dunia hitam itu.
Dia menyusup masuk lebih dalam dan tiba di Jereng bukit Gandamayit yang terkenal angker itu. Nampaklah olehnya sebuah pondok di puncak bukit dan ke sanalah dia melangkahkan kakinya.
Ketika tiba di depan pondojc, dia berhenti, bagaimanapun juga Ki Jembros masih memegang tatasusila dan dia tidak berani sembarangan masuk dan mengganggu tempat tinggal orang yang belum dikenalnya.
"Kulonuwun........." Serunya sambil memandang kearah daunt pintu pondok. yang tertutup. Suasana di sekelihngnya sunyi senyap, seolah-olah tiada seorangpun manusia di situ. Namun, dengan inderanya yang terlatih dan menjadi tajam dan peka, Ki Jembros dapat merasa bahwa dia tidak berada seorang diri saja tempat itu. Ada orang atau orang-orang yang tidak diketahui di mana dan siapa, namun tidak berjauhan dengan tempat itu, mungkin di luar atau di dalam pondok. Oleh karena itu diapun, tak pernah mengurangi kewaspadaan.
"Sampurasun......." Dia berteriak lagi, kini ia menambah kekuatan dalam suaranya sehingga gemanya sampai terdengar jauh dan tempat itu.
Tiba-tiba pintu pondok itu terbuka dan yang muncul adalah seorang kakek tua renta.
Ki Jembros memandang dengan tajam dan penuh perhatian. Dia merasa tercengang juga melihat bahwa yang mendiami pondok itu ternyata seorang kakek yang lebih pantas menjadi pertapa atau pendeta, sama sekali buka seperti seorang tokoh sesat. Kakek itu usianya tentu sudah tujuhpuluh tahunan, tubuhnya sedang dan masih tegap, seperti tubuh seorang anak muda. Berkumis dan berjenggot yang sudah banyak ubannya. Namun wajahnya berrseri-seri dan matanya bersinar penuh semangat dan berpakaian sederhana seperti petani.
"Kelihatannya seorang kakek petani biasa saja, atau seorang yang mengasingkan diri dari dunia ramai" Ki Jembros merasa heran sekali. Bagaimana mungkin, kakek tua renta seperti ini dapat berada tempat yang demikian tersohor karena angkernya hutan Cempiring di bukut Gandamayit itu.
Pendekar yang masih tanggung-tanggung ilmu kepandaiannya, tidak akan berani memasaki daerah ini.
Denga sikap waspada Ki Jembros melangkah mendekati kakek itu, karena dia yakin bahwa kakek ini tentulah bukan seorang sembarangan saja, walaupun nampaknya sederhana.
"Kulonuwun, paman. Bolehkah saya tanya, siapakah paman yang mendiami pondok di tempat seperti ini?"
Kakek itu mengerutkan alisnya, akan tetapi ia menandang dingin, lalu setelah beberapa saat kemudian, mereka saling pandang, dan kakek itupun menjawab, "Tidak sepatutnya seorang yang jauh lebih tua, lebih dahulu memperkenarkan diri kepada yang lebih muda. Kau sendiri siapa dan mengapa berkeliaran di tempat ini?"
Ki Jembros tersenyum, dia memang seorang yang biasa bersikap kasar, gembira dan tidak mau menggunakan banyak tata cara, walaupun tidak dapat dibilang kurang ajar. Batinnya bebas dan jiwanya petualang, walaupun condong menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan. jawaban ini menambah keyakinan hatinya bahwa kakek ini bukan orang sembarangan dan memiliki wibawa.
"Andika yang benar saya yang keliru, paman maafkan. Saya disebat Ki Jembros orang yang bebas tanpa ikatan, seorang pengelana dan peluatang yang hendak menikmati kehidupan di dunia ini"
Kakek itu kelihatan biasa saja, pandangan matanya masih dingin dan acuh, sealah-olah nama Ki Jembros yang dapat menggetarkan hati tokoh-tokoh dunia sesat, biginya tak ubahnya hanya nama seorang anak kecil saja.
"Hemm, Ki Jembros, kau pagi ini mendatangi gubuk reyot tempat tinggalku ada keperluan apakah" Aku, Ki Buyut Pranamaya, tidak pernah mempunyai urusan dengan Ki Jembros"
Kini giliran Ki Jembros yang mendengar nama kakek itu dan dia terbelalak. Tentu saja dia pernah mendengar nama Ki Buyut Pranamaya. Seorang kakek sakti mandraguna, yang menjadi semacam datuk besar di kalangaan kaum sesat, akan tetapi bagaimanapun juga, kakek sakti ini tidak pernah langsung terlibat di dalam perbuatan kejahatan, sehingga para pendekarpun tidak dapat menentangnya, bahkan menghormatinya sebagai seorang yang memiliki dudukan tinggi di dalam dunia persilatan. Ki Jembros pun cepat memberi hormat dengan menyembahkan kedua tangan depan dada sambil membungkukkan tubuhnya sedikit.
"Ah, kiranya saya berhadapan dengan Ki Buyut Pranamaya yang namanya sudah banyak saya dengar. Maafkan saya kalau kedatangan saya mengganggu, paman. Akan tetapi saya tidak bermaksud mengganggu andika, juga tidak bermaksud datang berkunjung. Saya hanya mendengar bahwa banyak keanehan terjadi di dalam hutan Cempiring yang angker ini, Tidak tahunya pamanlah yang membuat hutan ini menjadi angker. Pantas"
"Hemm, andika telah lancang memasuki daerah orang tanpa perkenan, juga tidak diundang. Setelah kini mengetahui aku yang tinggal di sini, lalu andika mau apa apa?" Di dalm suara yang halus itu terkandung tantangan yang mengejutkan hati Ki Jembros, tidak layak seorang kakek yang tua renta ini seperti ini berbicara seperti itu dengan nada permusuhan.
Tentu saja Ki Jembros bukan seorang bodoh. Sudah terlalu banyak mendengar tentang kakek ini, dan iapun makum. bahwa kakek ini bukanlah lawannya.
"Sudah aku minta maaf tadi karena tidak tahu. Dan setelah mengetahui bahwa paman yang tinggal di sini, sayapun ingin keluar lagi saja dari hutan ini. Selamat tinggal paman Ki Buyut Pranamaya" sambil memberi hormat lalu membalikkan tubuhnya. Hatinya berdebar-debar keras penuh ketegangan. Sudah banyak ia mendengar tentang kakek ini yang selain amat sakti, juga watak kakek ini mudah membunuh orang yang dianggapnya salah. Ia dapat membunuh seperti orang membunuh nyamuk, akan tetapi juga dapat bersikap baik terhadap siapa saja, dengan kebaikan yang berlebihan.
Watak seorang aneh seperti ini tdiak dapat diduga lebih dahulu. Betapapan juga Ki jembros sudah siap siaga, kalau perlu membela diri terhadap hal-hal yang datang menimpanya.
Akan tetapi Ki Jembros tidak mengalami sesuatu sampai ia tiba di tikungan dimana terdapat dua pohon cemara di kanan dan kiri jalan. Hati Ki Jembros terasa lega.
Akan tetapi ketika ia hendak berbelok, tiba-tiba terasa ada angin menyambar dari belakang.
"Krakkk. Krakkk ...." Dua batang pohon cemara yang besarnya seperti tubuh manusia itu seperti disambar petir dan tumbang.
Ki Jembros cepat meloncat untuk menghindarkan diri terpaan dua batang pohon cemara itu. Dengan kaget sekali Ki Jembros membalik dan melihat kakek itu masih berdiri dengan mata mencorong.
"Lain kali, kalau berani andika melanggar daerahku, bukan batang pohon itu yang tumbang" terdengar kakek itu berkata, suaranya dingin dan mengandung sindiran yang terasa sekali oleh Ki Jembros.
"Terima kasih atas peringatan paman" berkata Ki Jembros, diam-diam terkejut dan kagum. Yakinlah Ki Jembros, bahwa ia bukanlah tandingan kakek itu yang ternyata memiliki ilmu kepandaian yang amat luar biasa. Maka, diapun melanjutkan perjalanannya, menyusup diantara pohon-pohon dan semak semak belukar dan keluar dari hutan Cempiring yang angker itu.
Akan tetapi karena hatinya diliputi kecemasan dan kegelisahan, maka Ki Jembros pun salah jalan.
Ketika Ki Jembros sedang menyelusuri jalan keliar, tiba-tiba telinganya yang berpendengaran tajam dan terlatih itu, mendengar suara orang dari arah kiri. Segera dia menyelusuri suara itu. Tak lama kemudian Ki Jembros sudah mendekam di dalam semak belukar untuk mengintai sebuah padang rumput di mana dia melihat kumpulan ratusan orang yang bersenjata tongkat dan golok. Ada yang sedang mengasah golok, membetulkan tombak, ada yang berlatih silat. Jelas di situ berkumpul gerombolan yang merupakan pasukan yang sedang beristirahat, agaknya baru habis berlatih.
Ki Jembros mengintai dengan hati-hati tanpa berani bergerak, bahkan ia menahan pernapasannya. Dia tahu bahwa kalau sampai ketahuan, tentu akan gawat. Tak lama kemudian, orang-orang itu memandang kearah yang berlawanan dan muncullah seorang laki-laki tinggi besar berkulit hitam yang gagah perkasa, usianya kurang lebih empatpuluh tahun. Melihat orang ini, Ki Jembros mengerutkan alisnya. Dia merasa kenal dengan orang ini, atau setidaknya pernah melihatnya, akan tetapi dia lupa lagi di mana dan siapa. Akhirnya, orang itu tiba di tengah pasukan yang sedang beristirahat itu dan terdengar suaranya yang lantang berwibawa.
"Kalian tidak boleh enak-enakan saja. Kita telah bersikap kurang waspada. Mulai hari ini, hutan Cempiring harus kita jaga dan kita kepung ketat dengan penjagaan agar setiap orang yang memasuki hutan sudah kita lihat sebelum dia berhasil memasukinya. Kalian para perwira harus membuat peraturan agar penjagaan dapat dilakukan terus menerus siang malam secara bergiliran"
"Akan tetapi, Gusti Pangeran Mahesa Rangkahkah, siapakah orang yang akan berani memasuki hutan kita ini" Bukankah Cempiring sudah tersohor sebagai hutan maut, hutan angker dan siapa masuk tentu takkan mampu keluar dalam keadaan hidup?"
Ki Jembros terkejut. "Tentu saja" pikirnya. "Mahesa Rangkah. Dan disebut Gusti Pangeran. Memang tidak salah. Mahesa Rangkah adalah putera pemberontak Linggapati di Mahibit, yang pemberontakannya dibasmi oleh mendiang Sang Prabu Wisnuwardhana, ayah Sang Prabu Kertanagara yang sekarang ini. Ah, tentu putera pemberontak itu kini hendak membalaskan kematian dan kekalahan ayahnya, dan hendak mengadakan pemberontakan pula terhadap Singosari. Dan apakah ia hendak bersekutu dengan para tokoh sesat" Lalu apa pula artinya tempat tinggal Ki Buyut Pranamaya yang dipilih?"
Sepengetahuan Ki Jembros, belum pernah Ki Buyut Pranamaya terlibat dalam urusan pemberontakan. Dan agaknya para jagoan Kediri itu berkeliaran di tempa inipun ada hubungannya dengan pemberontakan ini. Ataukah kebetulan saja karena mereka mencari dan mengejar buronan seperti yang mereka ceritakan kepadanya" Buktinya, mereki berselisih dan berkelahi melawan seorang wanita dari golongan sesat, Dia harus berhati-hati menyelidiki hal ini, demikian Ki Jembros berpikir dengan hati berdebar penuh ketegangan.
Agaknya kedatangannya berjumpa dengan Ki Buyut Pranamaya tadi telah diketahui Mahesa Rangkah yang menjadi marah dan kini Mahesa Rangkah memerintahkan anak buahnya untuk melakukan penjagaan ketat agar tidak ada orang luar dapat sembarangan masuk ke hutan itu. Maka, diapun cepat-cepat dan dengan sangat hati-hati, mengundurkan diri, menjauhi tempat itu dan keluar dari dalam hutan sebelum hutan itu dikepung penjagaan ketat sehingga dia akan sukar keluar dari situ.
Setelah keluar dari hutan Cempiring dengan selamat, Ki Jembros cepat melanjutkan perjalanannya menuju ke Singosari. Dia harus segera melaporkan keadaan hutan Cempiring itu ke kota raja, ke istana Sang Prabu, karena jelas bahwa kerajaan terancam pemberontakan yang dapat membahayakan, apa lagi kalau pemberontakan itu didukung oleh dunia hitam di mana terdapat banyak sekali tokoh-tokoh sesat yang sakti. Apa lagi kalau sampai Ki Buyut Pranamaya membantu gerakan pemberontak.
Ingatan ini membuat Ki Jembros tersentak kaget. "Bagaimana dia harus bertindak" Kepada siapa dia harus melapor" Apakah langsung kepada Sribaginda" Tidak mungkin" dan pula dia dak pernah langsung mengadakan kontak dengan kerajaan. Para senopati muda itupun tidak dikenalnya secara pribadi dan kini ia tahu bahwa di kerajaan sedang terjadi perpecahan seperti yang dibicarakannya dengan Sang Panembahan Sidik Danasura. Dia sudah mengenal bekas patih Empu Raganata, akan tetapi Empu Raganata kini telah diturunkan pangkatnya menjadi seorang jaksa di Tumapel. juga Tumenggung Wirakreti, yang pernah menjadi sahabatnya, kini menjadi Mantri Angabaya, termasuk seorang yang diturunkan pangkatnya dan tentu tidak enak membicarakan urusan pemberontakan itu dengan mereka yang baru saja mengalami kepahitan dari keputusan Sang baginda. Dia belum mengenai kedua patih baru yang diangkat Sang Prabu, yaitu Patih Mahesa Anengah dan Panji Angragani. Kemudian iapun teringat akan Empu Supamandrangi, seorang empu pembuat keris yang ahli, juga seora pertapa yang sakti di lereng Gunung Bromo seorang sahabatnya. Empu Supamandrangi dikenalnya denan baik, dan pertapa itulah yang memiliki hubungan lebih dekat dengan para senopati di Singosari, dibandingkan dia. Pula kiranya hanya Empu Supamandrangi sajalah yang akan mampu membendung kekuatan dahsyat dari Ki Buyut Pranamaya, kalau benar Ki Buyut Pranamaya menunjang pemberontakan. ia sendiri tidak dapat menanggulangi kedigdayaan kakek tua renta itu. Tidak ada jalan lain, satu-satunya cara untuk menghubungi pihak kerajaan adalah melalui Empu Supamandrangi.
Berpikir demikian, Ki Jembros lalu membelok dan langsung dia melakukan perjalanan cepatnya menuju ke Gunung Bromo di mana sahabatnya, Empu Supamandrangi bertapa sebagai seorang empu pembuat keris sakti. Dia tahu bahwa empu ini mempunyai hubungan dekat dengan para senopati di Singosari, karena seorang murid dari empu itu, ialah Ronggolawe yang terkenal sebagai seorang senopati muda yang gagah perkasa dan setia, kini merupakan tokoh diantara para senopati di Singosari, dan tentu lebih mudah bagi Empu Supamandrangi untuk menghubungi kerajaan lewat nuridnya, Ronggolawe yang menjadi seorang tokoh senopati di Singosari. Pula, dengan bantuan Empu Supamandrangi, maka dapat diharapkan mereka akan mampu menanggulangi kedigdayaan Ki Buyut Pranamaya.
Dengan perjalanan cepat, akhirnya Ki jembros tiba di lereng Gunung Bromo dan menuju ke padepokan tempat bertapa Empu Supamandrangi.
Ketika Ki Jembros tiba di Gunung Bromo, kebetulan sekali Ronggolawe pun sedang pulang dan menghaddp gurunya. Ronggolawe adalah seorang senopati muda di Singosari yang menjadi murid Empu Supamandrangi. Usianya baru duapuluh tahun, namun dia sudah memberikan banyak jasa terhadap kerajaan sehingga ia diangkat menjadi seorang senopati muda. Kedatangannya adalah untuk minta dibuatkan sebuah keris pusaka kepada gurunya, dan Empu Supamandrangi menyanggupi permintaan muridnya itu.
Baru tiga hari Ronggolawe berada di padepokan gurunya dan hari itu dia berniat hendak kembali ke Singosari, ketika tiba-tiba saja Ki Jembros muncul.
"Kulonuwun, Kakang Empu Supamandrangi. Bagaimana kabarnya" Apakah baik- baik saja bukan?" berkata Ki Jembros sambil masuk dan tertawa, Ia sangat gembira bertemu dengan orang yang pernah menjadi sahabat baiknya di muda dahulu.
"Jagad Dewa Bathara......... Kiranya Ki Jembros yang datang. Ah, sungguh andika masih seperti Sang Bayu, bertiup kemana kau suka, datang tanpa diundang pergi tanpa diusir. Adikku yang gagah perkasa, berita apa kiranya yang kautiupkan ke sini pada hari ini. Mudah-mudahan yang baik-baik dan menyenangkan saja"
"Ha-ha-ha, Kakang Empu, itulah harapan kita semua, selalu mengharapkan yang baik-baik. akan tetapi susahnya, kenyataan tidaklah selalu seindah harapan, sehingga kekecewaan itulah. yang menjadi bigian orang-orang yang mengharap. Ha ha-ha"
Empu Supamandrangi juga tertawa. Kakek yang berusia sebaya dengan Ki Jembros sekitar limapuluh tahun itu, sikapnya nalus, tidak seperti Ki Jembros, namun pertemuan dengan sahabat baiknya ini membuat dia menjadi gembira juga, karena Ki Jembros adalah seorang polos yang selalu mendatangkan kegembiraan bagi para sahabatnya.
"Sebagai manusia biasa, kita tidak terbebas dari harapan baik, sahabatku. Akan tetapi aku selalu siap pula untuk menerima berita yang seburuk-buruknya. Nah, ceritakanlah berita itu"
Ki Jembros memandang kepada pemuda gagah seperti Sang Gatotkaca yang duduk di lantai dengan sikap hormat, lalu dia bertanya, "Nanti dulu, Kakang Empu. Siapakah ananda ini?"
Mendengar pertanyaan tamu gurunya yang nampak demikian akrab dengan gurunya itu, "Ronggolawe cepat menjawab dengan sikap hormat, Paman Jembros, sudah lama bapak Empu Supamandrangi seringkali bercerita tentang paman yang gagah perkasa, saya bernama Ronggolawe, paman"
"Dia ini muridku dan dia adalah seorang senopati dari Singosari, Adi Jembros" Empu Supamandrangi menambahkan.
"Oumm........ shanti-shanti-shanti.." Ki Jembros mengeluarkan suara pujian. "Kiranya Sang Hyang Widhi sendiri yang menuntun diriku ini untuk datang ke sini tepat waktunya. Memang berita yang kubawa ini ada hubungannya dengan kerajaan, maksudku, hubungannya dengan keselamatan Kerajaan Singosari, maka kehadiran muridmu ini sungguh kebetulan sekali, kakang"
"Begitukah" Kamipun sejak kemarin membicarakan keadaan kerajaan, atau lebih tepatnya, muridku ini yang bercerita tentang keadaan kerajaan. Berita apakah yang kau bawa, cepat ceritakan"
"Harap paman suka segera memberitahu, karena hati saya ikut merasa gelisah mendengar adanya berita buruk mengenai keselamatan kerajaan, paman." berkata Ronggolawe.
Ki Jembros lalu menceritakan semua yang dialaminya di hutan Cempiring, betapa melihat para senopati Kediri berkelahi dengan seorang wanita yang dia yakin tentu seorang tokoh sesat, karena sebelumnya ia mendengar betapa banyak tokoh sesat berkeliara di dalam hutan itu"
"Para senopati itu memberitahu bahwa mereka mencari seorang buronan dan mereka seegera pergi dari sana. Kemudian, aku bertemu dengan Ki Biyut Pranamaya di Bukit Gandamayit dalam hutan itu."
"Jagad Dewa Batara......." Empu Supamandrangi berseru halus. "Ki Buyut Pranamaya" telah lama dia tidak pernah muncul di dunia ramai"
"Akupun terkejut sekali bertemu dengannya dan karena aku telah melanggar daerahnya, ia memperlihatkan kedigdayaannya dan mengancam akan membunuhku, kalau aku melakukannya lagi" lalu Ki Jembros menceritakan semua terjadi di hutan itu, kemudian disambungnya dengan penemuannya yang mengejutkan, yaitu ketika ia melihat Mahesa Rangkah yang memimpin ratusan orang anak buah yang agaknya sedang melatih di dalam hutan itu.
"Ah, kalau begitu, jelas sudah bahwa Mahesa Rangkah tentu ingin melakukan pemberontakan" berkata Empu Supamandrangi terkejut.
"Bapak Empu, siapakah Mahesa Rangkah itu sebenarnya?" bertanya Ronggolawe kepada gurunya.
"Dia adalah putera Pemberontak Linggapati yang tewas ditumpas oleh mendiang Sang Prabu Wisnuwardhana. Peristiwa itu terjadi ketika kau masih kecil, muridku. Akan tetapi, cerita yang dibawa pamanmu ini memang sangat penting dan berbahaya bagi keamanan kerajaan. Apa lagi kalau benar bahwa dia bersekutu dengan kaum sesat dan didukung oleh seorang yang demikian saktinya seperti Ki Buyut Pranamaya"
"Siapakah Ki Buyut Pranamaya?" bertanya lagi Ronggolawe.
Gurunya menarik napas panjang. "Ia adalah seorang tua yang memiliki kedigdayaan yang sangat sakti mandraguna dan sukar dilawan. Kau mendengar sendiri tadi betapa dari jarak yang jauh, dia mampu menumbangkan dua batang pohon cemara, pada hal kau boleh yakin bahwa pamanmu Ki Jembros ini bukanlah seorang sembarangan saja . Sudah menjadi kewajibanmu untuk segera pulang ke Singosari, dan merundingkan dengan para senopati lainnya. Terserah kepada kalian apakah akan melapor kepada Sang Prabu. ataukah akan melakukan penyelidikan terlebih dahulu"
"Baik, Bapak Empu. Saya harus cepat kembali ke Singosari" berkata Ronggolawe "tetapi kalau benar Ki Buyut Pranamaya itu demikian saktinya, kalau sampai saatnya penyerbuan tiba, saya mohon petunjuk"
Gurunya mengangguk. "Memang benar kalau sampai dia mendukung serangan pemberontak, kitapun harus mengerahkan tenaga para tokoh sakti seperti pamanmu Ki Jembros ini dan juga yang lain-lain. Aku tentu siap membantumu, angger. Dan aku akan mencari bantuan kawan-kawan"
Ronggolawe menghaturkan terima kasih, lalu berpamit dari kepada kedua orang tua itu yang agaknya masih hendak melepas kerinduan masing-masing dan bercakap-cakap sampai sehari semalam lamanya.
Sesampai di Singosari, Ronggolawe sang senopati muda yang masih penuh semangat, memberitahukan kepada rekan-rekannya dan merekapun mengadakan penyelidikan sebelum melapor kepada Sang Prabu Kertanagara. Akan tetapi, ketika mereka mengadakan penelitian ke dalam hutan Cempiring di bukit Gandamayit, mereka tidak menemukan apa-apa. Tempat itu sudah kosong dan orang-orang itu sudah pergi meninggalkan sarang mereka. Kiranya, para senopati dari Kediri yang merasa tidak aman dengan kemunculan Ki Jembros, diam-diam mengadakan kontak dengan Mahesa Rangkah. Pemberontak ini cepat munghubungi para sekutunya dan merekapun segera meninggalkan hutan itu dan berganti sarang di daerah Kediri. Di daerah baru ini mereka aman karena pihak Singosari tidak melakukan pencarian sampai daerah itu. Dan Kerajaan Kediri pura-pura tidak tahu saja dengan adanya persekutuan dengan golongan hitam yang sedang bersekongkol untuk memberontak kepada Singosari. Di tempat baru ini, Mahesa Rangkah dengan leluasa menghubungi rekan-rekannya untuk mengadakan laltihan, memperkuat pasukannya dan mempersiapkan pemberontakan sampai beberapa tahun lamanya.
Tentu saja Ronggolawe dan kawan-kawanya tidak dapat berbuat sesuatu setelah melakukan penyelidikan ke hutan Cempiring dan melihat bahwa tempat itu sudah kosong. Betapapun juga, mereka merasa lega karena menganggap bahwa para tokoh sesat itu sudah hancur sebelum berdiri tidak jadi melakukan pemberontakan. Mereka sama sakali tidak menduga bahwa rombongan itu sekarang sudah berpindah tempat, bahkan di tempat yang baru, mereka mendapat perlindungan dari pemerintah Kediri.
Dan Karena adanya perpindahan ini, dan karena sudah ketahuan oleh Ki Jembros, maka gerakan pemberontakan yang dilakukan Mahesa Rangkah menjadi mundur. Mereka lebih berhati-hati dan kini mereka menyusun kekuatan di dalam pemerintahan daerah Kediri, dan siap untuk menggempur Singosari kalau saatnya yang dianggap baik sudah tiba.
Raja Jayakatwang pura-pura tidak tahu akan adanya gerombolan yang ada di daerahnya itu, bahkan para senopatinya diam-diam membantu kegiatan itu, karena bagaimanapun juga, pemberontakan itu dapat semakin melemahkan kedudukan Singosari. Walaupun Prabu Kertanagara bersikap baik kepadanya, memperbolehkan ia berdaulat sebagai raja di Kediri, namun ia masih harus tunduk kepada Singosari sebagai sebagai negeri taklukan. Walaupun ia dijadikan besan oleh Prabu Kertanagara, ia tetap saja harus tunduk kepada besannya itu.
*** Waktu berjalan bagaikan anak panah terlepas dari busur yang dipentang tangan sakti. Cepat dan tak terasa. Empat tahun telah lewat sejak Nurseta menjadi murid Panembahan Sidik Danasura di Teluk Prigi, pantai Laut Kidul.
Selama empat tahun itu dia telah digembleng dengan bermacam ilmu silat dan aji kedigdayaan, Nurseta juga digembleng oleh kakek yang bijaksana itu untuk mengerti akan arti kehidupan.
"Nurseta, kini tiba saatnya kau meninggalkan tempat ini dan membaktikan dirimu untuk tanah air di mana kau dilahirkan, demi bangsamu di mana kau menjadi warganya. Barulah akan ada artinya selama bertahun tahun kau bersusah payah mempelajari segala sesuatu yang kini telah kau miliki Sampurnaning ilmu kanthi laku (sempurnanya ilmu disertai pelaksanaan), karena tanpa pelaksanaan dan penghayatan, apa artinya ilmu. Dan pelaksanaan ilmu sepatutnyalah bermanfaat bagi orang lain dan bagi diri sendiri seyogianya bagi masyarakat, bagi bangsa. Sejak kecil kau digembleng untuk berjiwa satria, Nurseta. Oleh karena itu, jadilah seorang satria yang baik, seorang hamba yang membela kebenaran dan keadilan, membela tanah air dan bangsa, demi manusia pada umumnya"
Demikianlah antara lain bekal yang diterimanya dari, Panembahan Sidik Danasura ketika dia diharuskan meninggalkan tempat penggemblengan di pantai laut itu.
Pada pagi hari yang cerah itu, setelah bersembah sujud dan menghaturkan terima kasih di depan kaki kakek sakti yang sudah tua renta itu, Nuiscia lalu melakukan perjalanan, menuju ke utara meninggalkan daerah pantai. Semua wejangan yang diterimanya dari kakek itu diingatnya dengan baik, akan tetapi di dalam lubuk hatinya, dia memang sudah menerima gemblengan ayahnya sendiri bahwa dia haruslah menjadi seorang satria yang membela tanah air dan bangsa, yang harus mempertahankan tanah air dengan keringat dan darahnya. Sejengkal tanah sepercik darah. Demikianlah ayahnya selalu mengobarkan semangatnya. Dia harus mempertahankan tumpah darahnya, tanah di mana darah ibunya tertumpah ketika dia dilahirkan, mempertahankan kehidupan dan ketentraman hidup bangsanya dari gangguan orang-orang jahat yang hanya mementingkan diri pribadi tanpa memperdulikan keadaan orang-orang lain.
Nurseta kini telah menjadi seorang pemuda dewasa yang usianya duapuluh tahun. Wajahnya nampak matang tampan, kumis tipis mulai menghias bawah hidungnya, juga cambangnya di depan telinga mulai menebal dan memanjang. Namun sikapnya tetap halus dan pendiam, pakaiannya tetap sederhana seperti pakaian seorang pemuda petani. Dilihat sepintas lalu, tidak akan ada yang mengira bahwa dia seorang pemuda gemblengan yang memiliki kesaktian yang sukar dicari tandingannya.
Dari ayahnya dia sudah menerima gemblengan aji-aji kesaktian, selain ilmu silat, juga Aji Sari Pratala (Inti Bumi), pukulan Aji Bajradenta (Kilatan Gading) dan Aji Wandira Kingkin (Beringin Kokoh). Dari Panembahan Sidik Dinasura, selain menerima penyempurnaan ilmu-ilmunya yang sudah ada, memperkuat tenaga sakti dalam tubuhnya, juga pemuda ini menerima semacam ilmu yang merupakan aji kesaktian bernama Jagad Pralaya (Dunia Kiamat). Kakek itu memesan dengan sungguh-sungguh kepada muridnya ini agar kalau tidak terpaksa sekali, jangan meggeluarkan Aji Jagad Pralaya ini, karena aji pukulan ini akan memiliki daya yang teramal kuat dan akan mengakhiri kehidupan lawan. seolah-olah pukulan itu merupakan dunia kiamat bagi lawan.
Beberapa hari kemudian, setelah melakukan perjalanan melewati beberapa buah dusun, Nurseta mendengar dari para penduduk yang tinggat di wilayah Kerajaan Kediri itu bahwa kini terjadi banyak kekacauan, baik di daerah Kerajaan Kediri maupun di daerah Kerajaan Singosari, Orang-orang yang melakukan perjalanan berdagang merasa tidak aman dan selalu harus disertai pengawalan ketat. Bahkan kehidupan para petani di dusun-dusunpun mengalami banyak gangguan dari penjabat-penjahat kecil yang berani merajalela di pedusunan karena agaknya wibawa dan kota raja banyak menurun sehingga para pamongpraja di pedusunan juga merasa lemah.
Nurseta merasa prihatin, ia membenarkan gurunya yang menyuruhnya keluar dari tempat penggemblengan, karena memang tenaga orang-orang seperti dia amat dibutuhkan demi membantu usaha penenteraman kehidupan rakyat yang terganggu oleh kejahatan golongan sesat, dan berjaga-jaga kalau sampai terjadi pemberontakan yang mengancam Kerajaan Singosari.
Pada suatu hari, tibalah dia di tepi Kali Campur. Kali ini merupakan anak Kali Brantas yang mengalir ke utara dan akan memasuki Kali Brantas setelah tiba di Karangrejo, di sebelah utara kota Tulungagung.
Nurseta berhenti di tepi sungai. "Ah, kalau saja ada perahu yang dapat ditumpangi, tentu akan lebih cepat dan tidak melelahkan melanjutkan perjalanan lewat air, menunggang perahu" pikirnya. Setelah tiba di Kali Brantas, dia akan melanjutkannya lagi dengan jalan darat. Pagi itu cerah dan indah, dan matahari sudah naik tinggi, menciptakan permukaan perak pada Sungai Campur itu.
Akan tetapi di situ sunyi tidak nampak seorangpun manusia, juga tidak kelihatan ada perahu. Nurseta lalu duduk di tepi sungai, diatas rumput tebal dia mengeluarkan buntalan sisa makanan pagi tadi. Singkong bakar.
Pagi tadi, dia mendapatkan beberapa batang singkong dari seorang petani dan membakarnya untuk sarapan, Sisanya ditaruh di buntalnya dan dibawanya dalam perjalana. Kini, perutnya terasa agak lapar dan diapun mengeluarkan singkong bakarnya dan makan dengan santai di tepi kali itu sambil menikmati semilir angin yang mendatangkan hawa sejuk, mendengarkan tembang riak angin yang diseling kicau burung di pohon-pohon. Burung Kutilang yang riang jenaka, bunyi burung prit gantil yang menyayat hati, semua itu mendatangkan perasaan damai di hati Nurseta.
Tiba-tiba dia melihat sebuah perahu menyeberang dari tepian seberang sana. Sebuah perahu kecil yang hanya ditumpangi seorang saja, seorang laki-laki muda yang dengan gaya yang kuat mendayung perahu itu menyeberang kali. Dari tempat dia duduk, dia melihat betapa laki-laki yang sebaya dengannya itu memiliki tubuh yang kuat dan cara dia mendayung menunjukkan bahwa selain bertenaga besar, juga pemuda itu tentu sudah biasa mendayung perahu. Tadinya Nurseta hendak memanggilnya untuk diminta apakah mau mengantar dia ke hilir, akan tetapi melihat betapa orang itu menyeberangkan perahu, dia tidak jadi memanggilnya. Biarlah dia menanti orang itu sampai seberang sini, pikirnya.
Akan tetapi, ketika perahu itu sudah tiba di darat, orang itu menarik perahunya dan mengikatkan tali perahu dengan sikap seperti orang marah-marah, bahkan kemudian orang itu melempar tubuhnya ke atas tanah berumput di bawah pohon di tepi sungai itu dan diapun menelungkup seperti orang menangis atau seorang anak kecil yang sedang ngambek.
Perlahan-lahan Nurseta menghampiri dan melihat pemuda itu memukul-mukul tanah dengan kedua tangannya, akan tetapi, tiba-tiba pemuda itu bangkit duduk, menggerakkan tangan kirinya dengan jari terbuka kearah pohon di sampingnya.
"Krakkk.." Batang pohon yang besarnya sepaha orang itu seketika patah dan tumbang dan mengeluarkan suara keras.
Diam-diam Nurseta terkejut. Ah, kiranya pemuda ini bukan orang sembarangan, ia memiliki tenaga yang cukup dahsyat sehingga sekali pukul dengan tangan miring, ia mampu menumbangkan batang pohon itu. Dugaannya bahwa pemuda itu seorang tukang perahu atau seorang nelayan ternyata keliru. Akan tetapi diapun merasa penasaran melihat betapa seorang pemuda yang demikian gagahnya, bersikap sedemikian cengeng. Dan kini pemuda itu duduk menyembunyikan mukanya di balik kedua telapak tangannya dan menangis.
Nurseta mengerutkan alisnya. Dia merasa penasaran sekali. Pemuda segagah ini menangis.
"Hemmm, sungguh aneh........." katanya perlahan sekali.
Ternyata suaranya yang halus itu terdengar oleh pemuda itu yang ternyata mempunyai telinga yang tajam dan terlatih.
Pemuda itu menurunkan kedua belah tangannya. Ketika ia melihat bahwa di dekat situ ada seorang pemuda yang berdiri memandangnya, dia terkejut sekali dan cepat mengusap mata yang membasahi kedua pipinya dan diapun meloncat berdiri menghadapi Nurseta.
Nurseta memandang penuh perhatian, seorang pemuda yang tegap dan gagah, tubuhnya membayangkan ketangkasan dan kekuatan. Mukanya persegi dan tampan, kulitnya agak hitam tetapi halus. Sepasang matanya tajam tidak membayangkan kekerasan, bahkan terlihat sifat ramah dan germbira. Tetapi sekarang ia terlihat marah.
"Siapakah andika, Ki Sanak?" bentak pemuda bermuka hitam itu. "Dan apa artinya ucapanmu tadi?"
Nurseta tersenyum ramah, akan tetapi pemuda itu tetap cemberut dan memandang marah.
"Maaf, sobat. Namaku Nurseta dan tadi aku melihat tanpa sengaja, betapa kau memukul roboh batang pohon itu, kemudian melihat pula andika menangis seperti seorang anak kecil yang cengeng. Bukankah itu amat aneh dan mengherankan" Karena itulah maka aku mengeluarkan kata-kata tadi tanpa aku sengaja"
Sepasang mata itu mengamati Nurseta dari kepala sampai ke kaki.
Nurseta balas memandang dengan tenang. Pemuda ini agaknya beberapa tahun lebih tua darinya, dan melihat pakaiannya yang ringkas, ia yakin bahwa pemuda ini tentu seorang yang biasa menghadapi kehidupan yang keras dan mengandalkan ketangkasan dan kekuatan. Walaupun pandangan matanya bukanlah pandang mata seorang yang jahat.
"Bocah lancang. Mau apa kau mencampri urusan orang lain" Hayo pergi dari sini, jangan kau ganggu aku lagi. Cepat, sebelum aku naik darah dan memukul mulutmu yang lancang itu"
Nurseta tetap tersenyum menerima bentakan itu. "Sayang sekali, andika adalah seorang pemuda yang gagah, akan tetapi cengeng dan lemah. Sebetulnya aku mempunyai dua kepentingan denganmu. Pertama, melihat keadaanmu, mungkin aku akan dapat membantumu untuk mengatasi masalah yang kau hadapi. Kedua aku membutuhkan perahumu dan aku ingin kau dapat membantuku pergi ke hilir dengan perahumu"
Pemuda itu menjadi semakin marah, kedua tangannya dikepal. "Apa kau bilang" Aku cengeng dan lemah, dan kau mampu membantuku mengatasi kesukaran ini" Hemm, bocah lancang dan sombong. Kepandaian apa yang kau miliki, beraninya kau bersikap sombong seperti itu?"
"Mungkin aku memiliki sesuatu yang tidak kau miliki, misalnya menundukkan orang yang membuatmu penasaran, bukan sekedar menumbangkan batang pohon yang tidak mampu melawan itu"
"Sepasang mata itu terbelalak. "Hemm, kau bocah petani sungguh sombong. Coba kau buktikan kekuatanmu itu. Kau sambutlah seranganku ini, kalau kau merasa memiliki sesuatu yang tidak aku miliki"
Pemuda itu langsung menerjang dengan tamparan tangan kanannya kearah pundak Nurseta.
Melihat gerakan yang cepat dan berat ini, Nurseta merasa lega, pukulannya membuktikan bahwa ia bukan seorang yang berhati jahat, pikirnya. Serangannya itupun bukan untuk mencelakainya, melainkan hanya untuk menguji saja, yang diserang adalah bagian pundaknya, sehingga andaikata dia tidak memiliki kepandaianpun, pukulan itu tidak akan membahayakan jiwanya. Maka iapun merasa semakin tertarik dan ada perasaan senang kepada pemuda yang bermuka hitam itu.
Nurseta hanya sedikit memiringkan badanya saja, dan ia sudah terhindar dari serangan pemuda itu.
"Bagus, agaknya kau memiliki sedikit kepandaian juga." katanya dan kini dia menggirim serangan lagi, lebih hebat dan cepat dari pada tadi, akan tetapi tetap saja dengan tenaga terbatas, dan yang diserangnya bukan bagian yang berbahaya. Tangan kirinya mencengkeram kearah baju dada, dan tangan kanannya menyambar untuk menangkap lengan kiri Nurseta.
Nurseta tidak mau berpura-pura lagi, diapun menggerakkan kedua lengannya menangkis kedua serangan pemuda itu sambil menyalurkan sedikit tenaganya.
Dua pasang lengan saling bertemu dan pemuda muka hitam itu menyeringai. Pertemuan kedua lengannya itu membuat pemuda itu merasa nyeri dan diapun kini terkejut. Dia adalah seorang diantara jagoan muda yang terkenal di pantai selatan, dan kini dia bertemu dengan seorang bocah petani, dalam pertemuan tenaga kedua lengan itu dia merasa nyeri dan pemuda tani itu masih juga tersenyum.
"Babo-babo. Kiranya kau seorang yang memiliki kesaktian juga. Baik, mari kita menguji tebalnya kulit kerasnya tulang" Dan kini pemuda muka hitam itu yang agaknya sudah tahu bahwa lawannya bukan orang lemah, maka ia maju dan menerjang dengan serangan serangan yang amat cepat dan mengandung tenaga yang kuat pula.
Diam-diam Nurseta kagum. Kalau saja empat tahun yang lalu, sebelum dia digembleng oleh Panembahan Sidi Danasura, tentu dia tidak akan mampu menandingi pemuda muka hitam ini. Bukan saja ilmu silatnya yang hebat, akan tetapi juga tenaga saktinya kuat dan kecepatannya cukup membuat dia merupakan lawan yang tangguh. Akan tetapi bagi Nurseta, setetah kini ia menerima gemblengan Panembahan Sidik Danasura, tingkat kepandaian si muka hitam ini masih terlalu rendah dan dia dapat mengikuti semua geraknnya dengan mudah.
Nurseta tidak mau membuang banyak waktu. Ketika si muka hitam menghantamkan kedua tangannya yang terkepal kearahnya, Iapun menerimanya dengan kedua tangan terbuka.
"Plak. Plakk" Kedua kepalan si muka hitam itu melekat pada telapak tangan Nurseta dan tidak dapat ditariknya kembali. Dia terbelalak dan terkejut sekali, cepat ia menendang dengan kaki kanannya. Akan tetapi Nurseta sudah siap menghadapi serangan ini. Nurseta hanya memiringkan tubuh ke kiri dan membiarkan kaki lawan itu meluncur lewat, lalu dia menggerakkan kakinya ke samping, tepat mengenai belakang lutut kaki kiri si muka hitam sambil mendorong kedua tangannya melepaskan kekuatan Sari Pratala yang tadi menyedot kepalan lawan.
Tak dapat dihindarkan lagi, tubuh si muka hitam itu terjengkang dan terbanting ke atas tanah. Dia mengeluarkan suara tertahan saking kagetnya dan bergulingan, tetapi ia cepat meloncat bangun lagi. Kini kedua matanya mengeluarkan sinar kagum dan terheran-heran ketika memandang kepada Nurseta.
"Andika........ siapakah andika.......?" tanyanya, penuh kagum akan tetapi juga kecurigaan karena sama sekali sukar baginya untuk dapat percaya, bahwa ada seorang pemuda petani yang dapat mengalahkannya di tempat sunyi ini.
Narseta tersenyum ramah. "Kisanak, namaku adalah Narseta dan aku seorang kelana yang secara kebetulan saja bertemu dengan andika di sini. Melihat andika memiliki sebuah perahu dan aku ingin sekali melakukan perjalanan an ke utara dengan perahu, maka tadinya aku ingin minta pertolonganmu. Akan tetapi melihat kau bersikap aneh, aku jadi tertarik dan?""
"Namaku Pragalbo dan memang sesunggunyalah, aku menghadapi suatu masalah yang tak dapat kuatasi. Akan tetapi, aku masih belum puas untuk mengujimu, Ki Sanak. Sebelum kita bicara lebih lanjut, sebelum aku mengeluarkan isi hatiku dan meminta bantuanmu kalau memang kau memiiliki kesaktian itu, aku ingin mencoba lagi. Supaya aku mendapatkan keyakinan"
Pemuda itu kemudian mencabut sebilah keris luk tujuh yang berwarna kelabu. "Harap andika suka mengeluarkan senjata atau pusakamu dan marilah kita melanjutkan adu kesaktian ini agar hatiku puas"
"Kakang Pragalbo, aku menyebutmu kakang, karena andika tentu lebih tua dari padaku. Aku tidak biasa mempergunakan senjata karena aku bukan seorang pembunuh. Kalau kau merasa lebih senang mempergunakan sebuah pusaka, nah, silakan, majulah, aku akan menghadipimu dengan tangan kosong saja"
Pragalbo membelalakkan kedua matanya Dia seorang jagoan pantai selatan yang disegani dan ditakuti, kini dia menanatang pemuda ini dengan kerisnya dan tantangan itu diterima oleh pemuda yang tak terkenal ini dengan melawannya bertangan kosong.
"Adimas Nurseta......" katanya agak lemah karena kini diapun dapat menduga bahwa orang yang tampan dan halus tutur sapanya ini hanya pakaiannya saja seperti petani, mungkin seorang priyayi (bangsawan) yang sedang menyamar sebagai seorang petani dan ternyata memiliki kesaktian yang hebat. "Aku hanya akan menguji, kalau benar andika mampu menandingiku yang berkeris ini dengan tangan kosong, maka aku akan taluk dan kalau andika sudi membantuku seperti yang andika katakan tadi, aku akan lebih bersukur dan berterima kasih lagi"
Nurseta tersenyum. Dia maklum bahwa muka hitam yang namanya Pragalbo ini bukan berniat hendak membunuhnya. Nurseta berkata "Aku selalu siap membantu siapa saja yang berada dalam kebenaran yang tertindas oleh kejahatan, kakang Pragalbo. Kalau kau ingin aku membantumu melakukan kejahatan, jangan harap aku akan membantumu, bahkan andika akan berhadapan denganku"
"Aku bukan penjabat, adimas. Nah, sambutlah seranganku" Kini Pragalbo, tanpa ragu-ragu lagi menerjang dengan kerisnya.
"Wuuuttt "......." Keris menyanbar dan nampak sinar kelabu berkilat kearah dada Nurseta. Namun, dengan gerakan lincah.
Nurseta memiringkan tubuhnya dan tusukan keris itupun mengenai tempat kosong. Namun keris itu membalik dan sudah menyambar dari arah berlawanan, sekali ini menyerang kearah leher degnan dibarengi dengan hantaman tangan kiri pada lambung Nurseta.
Serangan itu cukup hebat, akan tetapi Nurseta yang masih ingin memperpanjang pertandingan itu, sekali menggerakkan kedua tangannya, ia telah berhasil menangkap pergelangan tangan kiri lawan, dan dengan jari telunjuknya Nurseta menyentil pergelangan tangan kanan Pragalbo yang sedang memegang keris.
"Aduhh........" Pragalbo mengeluarkan seruan kaget dan kerisnya terlepas dari pegangan, juga tangan kirinya seperti lumpuh dicengkeram tangan kanan pemuda tampan yang sederhana itu.
Nurseta cepat melepaskan pegangannya, membungkuk dan mengambilkan keris itu dan menyerahkannya kepada Pragalbo sambil tersenyum.
"Sudah puaskah andika main-main, kakang Pragalbo?"
"Aduh adimas Nurseta, sungguh andika membuat aku kebingungan dan kagum. Seorang semuda seperti andika ini telah memiliki kedigdayaan seperti itu, sungguh membuat aku merasa kagum, tunduk dan takluk"
Nurseta menyerahkan keris dan tersenyum. Sudahlah kakang Pragalbo, mari kita duduk dan bicara baik-baik. Kuulangi lagi pertanyaanku yang tadi, mengapa seorang gagah perkasa seperti andika ini bersikap amat aneh, menangis dan marah-marah lalu memukul roboh batang pohon?"
Wajah hitam itu menjadi semakin hitam karena dia merasa malu. Akan tetapi biarpun kulit muka itu hitam, ternyata wajah itu tidak buruk, bahkan gagah dan manis.
Pragalbo menarik napas panjang "Aku harus merasa malu kepadamu, adimas Nurseta. Aku hanya menurutkan kemarahan hati saja, karena memang merasa penasaran sekali terhadap seorang yang tadinya paling dekat dengan aku. Akan tetapi dia mengkhianatiku dan merampas gadis yang membuatku tergila-gila"
Hampir saja Nurseta tertawa mendengar ucapan itu. "Ah, agaknya andika telah memperebutan seorang gadis dengan seorang lain yang tadinya paling dekar dengan andika" Apakah yang telah teriadi" Dan siapakah gerangan orang itu?"
Nurseta tersenyum. Dia maklum bahwa muka hitam yang namanya Pragalbo ini bukan berniat hendak membunuhnya. Nurseta berkata "Aku selalu siap membantu siapa saja yang berada dalam kebenaran yang tertindas oleh kejahatan, kakang Pragalbo. Kalau kau ingin aku membantumu melakukan kejahatan, jangan harap aku akan membantumu, bahkan andika akan berhadapan denganku"
"Aku bukan penjabat, adimas. Nah, sambutlah seranganku" Kini Pragalbo, tanpa ragu-ragu lagi menerjang dengan kerisnya.
"Wuuuttt "......." Keris menyanbar dan nampak sinar kelabu berkilat kearah dada Nurseta. Namun, dengan gerakan lincah.
Nurseta memiringkan tubuhnya dan tusukan keris itupun mengenai tempat kosong. Namun keris itu membalik dan sudah menyambar dari arah berlawanan, sekali ini menyerang kearah leher degnan dibarengi dengan hantaman tangan kiri pada lambung Nurseta.
Serangan itu cukup hebat, akan tetapi Nurseta yang masih ingin memperpanjang pertandingan itu, sekali menggerakkan kedua tangannya, ia telah berhasil menangkap pergelangan tangan kiri lawan, dan dengan jari telunjuknya Nurseta menyentil pergelangan tangan kanan Pragalbo yang sedang memegang keris.
"Aduhh........" Pragalbo mengeluarkan seruan kaget dan kerisnya terlepas dari pegangan, juga tangan kirinya seperti lumpuh dicengkeram tangan kanan pemuda tampan yang sederhana itu.
Nurseta cepat melepaskan pegangannya, membungkuk dan mengambilkan keris itu dan menyerahkannya kepada Pragalbo sambil tersenyum.
"Sudah puaskah andika main-main, kakang Pragalbo?"
"Aduh adimas Nurseta, sungguh andika membuat aku kebingungan dan kagum. Seorang semuda seperti andika ini telah memiliki kedigdayaan seperti itu, sungguh membuat aku merasa kagum, tunduk dan takluk"
Nurseta menyerahkan keris dan tersenyum. Sudahlah kakang Pragalbo, mari kita duduk dan bicara baik-baik. Kuulangi lagi pertanyaanku yang tadi, mengapa seorang gagah perkasa seperti andika ini bersikap amat aneh, menangis dan marah-marah lalu memukul roboh batang pohon?"
Wajah hitam itu menjadi semakin hitam karena dia merasa malu. Akan tetapi biarpun kulit muka itu hitam, ternyata wajah itu tidak buruk, bahkan gagah dan manis.
Pragalbo menarik napas panjang "Aku harus merasa malu kepadamu, adimas Nurseta. Aku hanya menurutkan kemarahan hati saja, karena memang merasa penasaran sekali terhadap seorang yang tadinya paling dekat dengan aku. Akan tetapi dia mengkhianatiku dan merampas gadis yang membuatku tergila-gila"
Hampir saja Nurseta tertawa mendengar ucapan itu. "Ah, agaknya andika telah memperebutan seorang gadis dengan seorang lain yang tadinya paling dekar dengan andika" Apakah yang telah teriadi" Dan siapakah gerangan orang itu?"
JILID 05
Siluman Betina Dalam Goa
MEREKA berdua duduk di atas rumput, bersila dan dengan muka agak malu-malu Pragalbo lalu bercerita. Dia mempunyai Seorang sahabat baik yang juga menjadi kakak seperguruannya, bernama Padasgunung. Usia mereka sebaya, yaitu hampir duapuluh empat ahun dan Padasgunung yang menjadi kakak seperguruan itu hanya lebih tua beberapa bulan saja darinya. Kedua orang muda ini terkenal sebagai jagoan-jagoan di pantai selatan, bukan jagoan dalam arti yang jahat, melainkan menjadi pendekar-pendekar yang selalu menentang kejahatan dan juga mereka merupakan dua orang pemuda gagah perkasa yang selalu setia terhadap Kerajaan Singosari. namun kepandaian merekapun setingkat, hanya bedanya kalau Pragalbo memiliki sedikit kelebihan dibanding kakak seperguruannya dalam hal ilmu di dalam air karena dia amat suka berenang, maka sebaliknya Padasgunung memiliki kelebihan dibanding adik seperguruannya dalam ilmu pengobatan.
Pada suatu hari, ketika musim hujan turun dengan derasnya, dan seperti biasa air Sungai Campur banjir dan melanda beberapa buah dusun, kebetulan Pragalbo lewat di dusun yang dilanda banjir itu dan diapun berhasil menyelamatkan banyak orang yang kebanjiran. Dengan mengandalkan ilmunya bermain di dalam air, dia dapat menyelamatkan mereka yang terjebak oleh air. Akan tetapi, ketika dia menyelamatkan seorang gadis yang hitam manis dan melihat gadis itu terus menerus pingsan karena kepalanya terpukul batu ketika ia hanyut, Pragalbo menjadi bingung dan panik entah bagaimana, begitu melihat gadis itu, melihat wajahnya yang hitam manis, kulitnya yang hitam mulus, tubuhnya yang semampai dengan lekuk lengkuk yang mulai mekar meranum, dia sudah tergila-gila. Dan setelah bermacam usaha dilakukannya untuk membuat gadis itu siuman tidak berhasil, dia lalu menjadi gelisah dan dia melarikan gadis itu ke pondok kakak seperguruannya, Padasgunung.
"Tolonglah, kakang Padasgunung, tulunglah ia" Dengan tergopoh-gopoh Pragalbo yang memondong tubuh gadis itu menghadap kakak seperguruannya.
Padasgunung adalah seorang pemuda yang pendiam, berkulit kuning dan mukanya bulat telur, di pinggangnya terselip sebatang suling bambu. Sikapnya serius dan dia tersenyum tenang melihat kegugupan adik seperguruannya. "Ceritakanlah dulu di mana kau menjumpai gadis ini, siapa ia dan mengapa ia sampai begini" kata Padasgunung sambil memandang wajah gadis yang seperti tidur nyeyak di depannya itu.
Dengan singkat Pragalbo menceritakan bahwa gadis itu seorang di antara para korban banjir Kali Campur. "Melihat pelipis kirinya terluka, tentu ketika ia hanyut dan kepalanya terantuk sesuatu yang keras, kakang. Tolong sembuhkanlah ia, kakang" pinta sang adik seperguruan dengan suara memohon.
Padasgunung memandang wajah adiknya dengan senyum. Adik seperguruannya itu nampak lelah, dan agaknya juga kelaparan. Agaknya ketika menolong orang-orang itu, dia sampai lupa diri untuk makan dan menguras tenaganya.
"Jangan khawatir, kau berisitirahatlah dulu. Di dapur masih ada jagung godok dan air kendi. Makan minumlah dulu dan istirahatlah, serahkan gadis ini kepadaku"
Melihat sikap kakak seperguruannya yang tenang, hatinya menjadi tenang pula dan diapun segera pergi ke dapur, makan dan minum, tak lama kemudian dia sudah merebahkan tubuhnya yang amat lelah itu ke atas pembaringan dan pulaslah pendekar pantai Selatan itu.
Karena gadis itu perlu perawatan sungguh-sungguh, dan karena dia sendiri masih harus menolong orang-orang lain yang kebanjiran, Pragalbo meninggalkan gadis dalam perawatan kakak seperguruannya.
*** "Bayangkan saja, Adimas Nurseta," kata Pragalbo menutup ceritanya kepada Nurseta "Setelah seminggu kemudian aku kembali ke pondok kakak seperguruanku itu, gadis manis itu sudah hampir sembuh, akan tetapi masih lemah dan pikirannya masih belum pulih seluruhnya. Dan ia hanya teringat bahwa namanya adalah Sriyati. Akan tetapi celakanya, Kakang Padasgunung agaknya jatuh cinta kepada Sriyati"
Nurseta tersenyum. "Apa salahnya, Kakang Pragalbo?"
"Apa salahnya" Huh, apa salahnya, Adimas Nurseta?" Pendekar itu mendengus marah. "Sudah aku katakan bahwa begitu menyelamatkan gadis itu, aku telah jatuh cinta, kini, gadis itu direbut oleh Kakang Padasgunung. Terang-terangan Kakang Padasgunung mengatakan kepadaku bahwa dia mencintai Sriyati dan karena dia sudah cukup dewasa, dia hendak mengambil Sriyati menjadi isterinya"
Nurseta tidak berani tersenyum lagi walaupun ada perasaan geli di dalam hatinya. Kakak beradik seperguruan itu agaknya merebutkan cinta seorang gadis yang mereka tolong.
"Lalu bagaimana?"
"Tentu saja aku menyatakan keberatanku kepadanya, dan kunyatakan bahwa akulah yang lebih dahulu menemukan Sriyati, bahwa akulah yang telah menyelamatkannya dan aku yang lebih dahulu jatuh cinta kepadanya. Aku terus terang menyatakan bahwa Kakang Padasgunung tidak berhak memisahkan aku dari wanita pertama dan satu-satunya yang kucinta"
Nurseta mengangguk-angguk. "Setelah itu bagaimana?"
"Kakang Padasgunung ternyata kehilangan kegagahannya, kehilangan keadilannya. Dia bilang bahwa dialah yang menyelamatkan Sriyati, dan dia yang berhak menyunting gadis itu. Bahkan dia marah-marah dan menamparku. Sehingga kami berkelahi, akan tetapi aku terpaksa melarikan diri, bukan karena aku takut, melainkan karena aku merasa tidak enak harus berkelahi melawan kakak seperguruan sendiri. Nah, sekarang, aku ingin agar andika suka menolongku, Adimas Nurseta"
Nurseta memandang tajam penuh selidik. "Maksudmu, aku kau jadikan jago untuk melawan kakak seperguruanmu dan merampas kembali Sriyati dari tangannya untukmu?"
"Ya, adimas"
"Tunjukkanlah kepadaku, kemana arah menuju ke pondoknya"
Pragalbo kemudian memberikan keterangan arah menuju ke pondok Padasgunung, dengan segera Nurseta pergi kesana.
Ketika Padasgunung melihat seorang pemuda mendaki bukit menuju pondoknya diapun menyambutnya dengan sinar mata penuh tanda tanya. Dia merasa heran karena belum pernah melihat pemuda itu, maka begitu Nurseta tiba di depan pondoknya, diapun bangkit berdiri menyambut.
"Kulonuwun" salam Nurseta "Apakah aku berhadapan dengan Kakang Padasgunung?" sambil berkata pandangan Nurseta melirik ke arah gadis hitam manis itu yang duduk dan juga memandang kepadanya. Dengan sinar matanya yang tajam Nurseta dapat mengetahui bahwa gadis itu belum pulih benar pikirannya, terbukti dari pandang matanya yang kosong seperti orang melamun.
"Benar, aku bernama Padasgunung" kata pemuda itu dengan sikap tegas, suaranya lantang dan sikapnya pendiam, tidak ramah. "Siapakah Andika dan apa keperluanmu?"
Pemuda itu tidak seramah Pragalbo, pikirnya. Sikapnya demikian keras dan dingin, akan tetapi Nurseta tetap tersenyum tenang.
"Kakang Padasgunung, aku bernama Nurseta, kedatanganku ini karena aku hanya ingin menolong Kakang Pragalbo, agar aku datang kepadamu dan berbicara dengan bijaksana mengenai diri gadis yang bernama Sriyati. Apakah ini gadis yang bernama Sriyati itu?"
Mendengar namanya disebut, gadis itu juga bangkit berdiri dan memandang kepada Nurseta penuh perhatian. Akan tetapi, Padasgunung sudah menjadi marah mendengar ucapan itu.
"Tak aku sangka Adi Pragalbo kehilangan kejantanannya sehingga urusan pribadi seperti ini, ia mempergunakan seorang perantara. Asal kau tahu, Sriyati ini adalah calon isteriku. Kau tidak mempuuyai urusan dengan dengan hal ini. Sebaiknya kau pergi sebelum aku menjadi marah"
"Justeru karena Kakang Pragalbo tidak menghendaki keributan denganmu, Kakang Padasgunung, maka, ia meminta tolong kepadaku untuk bicara denganmu. Dia hanya menuntut keadilan, karena menurut pendapatnya, dialah yang lebih dahulu bertemu dan menyelamatkan Sriyati dari ancaman maut di Kali Campur, ia hanya membawa Sriyati kepadamu agar kau mengobatinya. Kalau saja tidak ada Kakang Pragalbo, tentu saja gadis itu sudah tewas......"
"Belum tentu!. kalau saja tidak aku tidak mengobatinya, tentu ia mati atau kehilangan ingatannya"
"Akan tetapi, Kakang Pragalbo yang membawanya dan memperkenalkannya kepadamu. Setidaknya Kakang Pragalbo berhak untuk menanyakan kepada gadis itu siapa di antara kalian yang ia pilih"
"Orang muda, jangan kau membuat aku marah. Kau sama sekali tidak ada sangkut paut dengan urusan pribadi kami berdua. Dan kau boleh menyampaikan kepada Pragalbo setelah mendengar sendiri" Padasgunung berhenti sebentar, kemudia ia berkata kepada Sriyati "Sriyati, bukankah kau sudah setuju untuk menjadi isteriku dan selamanya ikut bersamaku?"
Gadis itu memandang bingung kepada Padasgunung, lalu mengangguk lemah dan terdengar suaranya lirih. "Kakangmas Padasgunung aku tidak memiliki siapapun lagi dan kaulah yang telah menyelamatkan diriku. Tersera kepadamu apa yang akan kau perbuat terhadap diriku, kakang. Aku hanya menurut saja......."
"Nah, kau dengar sendiri. Sekarang pergilah sebelum aku marah dan memaksamu pergi" berkata Padasgunung.
Nurseta mendengar jawaban gadis itu, hatinya tidak merasa puas. Gadis itu seperti terpaksa dan belum sepenuhnya menguasai ingatannya kembali, hanya menyerahkan dirinya yang merasa tidak berdaya. Dengan begini, maka tidaklah adil kalau Padasgunung mempergunakan kelemahan gadis itu untuk memaksanya menjadi isterinya tanpa memperdulikan cinta yang bersemi di dalam hati adik seperguruannya.
"Nanti dulu, Kakang Padasgunung. Kau hanya bertindak sepihak saja, setidaknya kau harus memberi kesempatan kepada Kakang Pragalbo untuk bertanya kepada Sriyati, apakah ia tidak lebih suka menikah dengan Kakang Pragalbo dari pada denganmu" ia berhenti sejenak, lalu "Sriyati, ketahuilah bahwa sebelum kau diobati oleh Kakang Padasgunung, kau terlebih dahulu diselamatkan oleh Kakang Pragalbo ketika kau hanyut oleh air banjir. Dan Kakang Pragalbo jatuh cinta padamu dan ia ingin mengambilmu sebagai calon isterinya dan......"
"Tutup mulutmu, keparatl" bentak Padasgunung marah dan dia sudah menerjang ke depan dan menyerang Nurseta dengan pukulan tangan kanannya yang menampar ke arah dada Nurseta. Dengan mudah Nurseta mengelak, dan ketika Padasgunung mendesaknya dengan dua pukulan beruntun, diapun cepat mengelak, bahkan pukulan ke tiga itu dia tangkis dari samping yang membuat tubuh Padasgunung agak terhuyung.
"Babo-babo, kiranya kau memiliki kepandaian, maka kau berani lancang mulut mewakili Pragalbo menjual lagak di sini!" bentak Padasgunung marah dan juga merasa terkejut ketika mendapat kenyataan betapa pemuda ini selain mampu menghindarkan diri dari tiga kali serangannya, bahkan ketika menangkis membuatnya terhuyung. Diapun sudah mencabut suling bambunya dari ikat pinggang dan kini dengan suling bambu di tangan, dia menghadapi Nurseta.
Melihat betapa lawan ini mempergunakan sebatang suling bambu sebagai senjata, Nurseta tertarik bukan main. Dia sendiri suka meniup suling, bahkan memiliki pula sebatang suling yang dibuatnya dari bambu kuning, dan suling itu selain kadang-kadang dimainkannya, dapat pula dipergunakan sebagai senjata yang ampuh untuk melindungi dirinya.Tentu saja dengan tingkat kepandaiannya yang sudah tinggi, Nurseta jarang mau mempergunakan sulingnya, cukup mempergunakan kaki tangannya saja.
"Anak muda, pergilah sebelum menyesal. Betapapun pandainya kau, kalau aku terlanjur menyerangmu dengan sulingku ini. kau tentu akan celaka, kalau tidak tewas, sedikitnya tentu akan terluka parah dan aku tidak ingin melukai orang, apa lagi membunuhnya"
Biarpun orang ini berhati keras, namun setidaknya dari kata-katanya ini saja sudah dapat dikenal sebagai seorang yang berjiwa ksatria, yang tidah suka bertindak sewenang-wenang membunuh orang tanpa sebab. Ini saja sudah menyenangkan hati Nurseta, dan diapun ingin sekali menguji sampai di mana kehebatan orang yang mempergunakan suling untuk senjata ini.
"Kakang Padasgunung, aku datang hanya untuk mendamaikan, akan tetapi kalau kau hendak mempergunakan kekerasan, silakan"
"Babo-babo, kau bocah sombong, rasakan keampuhan sulingku"
Padasgunung sudah nenerjang ke depan, sulingnya menyambar dan mengeluarkan suara melengking yang nengejutkan Nurseta, karena gerakan suling yang dipergunakan menyerang dapat mengeluarkan suara melengking itu saja sudah menunjukkan bahwa lawannya memang hebat.
Nurseta mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak kesana-sini sambil memperhatikan gerakan jurus serangan lawan. Dia tertarik dan mendapat kenyataan bahwa seperti juga gerakan keris yang dipergunakan Pragalbo tadi, Padasgunung dengan sulingnya ini merupakan seorang pendekar yang cukup kuat. Akan tetapi tentu saja tidak cukup kuat baginya dan dengan amat mudahnya dia dapat menghindarkan setiap serangan sambil kadang-kadang menangkis. Dan setiap kali tertangkis, mulut Padasgunung menyeringai kesakitan.
Tiba-tiba terdengar teriakan Pragalbo ya sudah lari naik ke depan pondok ketika melihat betapa kakak seperguruannya sudah menyerang Nurseta dengan sulingnya.
"Kakang Padasgunung, hentikan seranganmu itu. kakang takkan menang melawan Adimas Nurseta"
Mendengar teriakan itu, Padasgunung menghentikan serangannya, akan tetapi alisnya berkerut dan matanya memandang tajam penuh kemarahan.
"Pragalbo, kau datang membawa jagoan untuk merampas Sriyati dari tanganku. Jangan harap, dan aku tidak takut. kau pengecut" Langsung saja Padasgunung maju menyerang adik seperguruannya dengan marah.
"Eh, kakang!" teriak Pragalbo sambil mengelak cepat. "Aku hanya datang untuk menuntut keadilan darimu, meminta hakku terhadap Sriyati yang aku cintai"
"Ia adalah calon isteriku. Siapapun tidak boleh merampasnya dariku!" bentak Padasgunung yang sudah menyerang kembali.
Kini Pragalbo sudah menjadi marah, apa lagi melihat betapa Sriyati telah sembuh dan kelihatan semaki menarik, semakin manis merak ati! Diapun mencabut kerisnya dan menangkis ketika kakak seperguruannya menyerangnya dengan sulingnya.
"Cring-tranggg.......!"
Mereka sudah saling menyerang dengan sengit, memperebutkan gadis hitam manis yang bernama Sriyati yang kini hanya berdiri dengan bingung. Kedua matanya terbuka lebar dan agaknya ia tidak tahu harus berbuat atau berkata apa.
Melihat betapa kakak beradik seperguruan itu sudah saling serang, Nurseta menarik napas panjang. Diam-diam pemuda yang belum berpengalaman mengenai peristiwa seperti itu, merasa heran sekaii. Bagaimana dua orang kakak beradik seperguruan yang demikian gagah perkasa, kini mendadak saja berubah seperti dua orang pemuda picik dan tolol, saling serang untuk hanya karena seorang gadis. Dia sama sekaii tidak tahu bahwa kekuatan yang terkandung di dalam diri seorang wanita amatlah hebat, dan dapat mempengaruhi seorang pria yang palaing kuat sekalipun. Kerling mata dan senyum bibir seorang wanita memiliki daya kekuatan ang jauh lebih ampuh dari pada keris di tangan laksaan orang musuh.
Cepat Nurseta melompat ke tengah di antara mereka karena dia tidak ingin melihat perkelahian itu menjatuhkan korban di antara kakak beradik seperguruan itu.
Dengan cekatan dia sudah menangkap pergelangan kedua tangan mereka yang memegang senjata dan sekali merenggut, dia sudah merampas keris dan suling itu dari tangan Pragalbo dan Padasgunung.
Pragalbo yang sudah maklum akan kesaktian Nurseta, cepat melompat ke belakang, akan tetapi Padasgunung yang mengira bahwa Nurseta masih hendak membantu Pragalbo, marah sekali, ia menghantam dengan tangan kanannya, dengan jari tangan terbuka ia menghantam dada Nurseta dengan pengerahan tenaga saktinya.
Melihat ini, Nurseta memasang Aji Wandiro Kingkin, menerima hantaman tangan kanan lawan itu, membiarkan dadanya menjadi sasaran pukulan. Tak dapat dihindarkan lagi, telapak tangan Padasgunung menghantam dada Nursela.
"Dessss........!!" Dan akibatnya, tubuh Padasgunung terpental dan diapun roboh terpelanting dengan tubuh lemas karena tenaga pukulannya tadi telah membalik dan mengenai dirinya sendiri.
Cepat dia bergulingan dan bangkit duduk, bersila untuk menghirup udara segar dan menyalurkan hawa sakti untuk melindungi tubuhnya yang terguncang hebat, karena kalau tidak demikian, dia dapat menderita luki dalam yang parah.
Sementara itu, Pragalbo lalu menghampiri Sriyati yang masih berdiri bingung, lalu berkata dengan suara halus, "Diajeng Sriyati, apakan kau kenal kepadaku" Aku Pragalbo, orang yang telah menyelamatkanmu ketika kau hanyut dalam air bah di dusun itu"
Sriyati memandang pemuda yang gagah perkasa, bermuka persegi dan berkulit hitam itu. "Tentu saja saya tidak lupa kepadamu, Kakangmas Pragalbo, karena kaulah orang pertama yang saya kenal dan sudah diperkenalkan kepadaku ketika aku hidup kembali"
"Nah, karena aku yang telah menyeretmu dari tangan kematian di air sungai banjir, tidakkah sudah sepatutnya kalau aku pula yang lebih dahulu menyatakan cintaku kepadamu dan menuntut agar kau suka menjadi iseriku?"
"Pragalbo, keparat kau! kau hendak merayu calon isterikul" bentak Padasgunung yang sudah bangkit berdiri.
"Tidak, Kakang Padasgunung. Ia adalah calon isteriku yang telah kau rebut dariku"
"Ia calon isteriku"
"Calon isteriku"
Kedua orang itu sudah saling pelotot lagi dan Nurseta cepat melangkah maju menengahi dan mengembalikan keris dan suling kepada pemiliknya masing-masing lalu berkata, "Kalian berdua sungguh seperti anak kecil saling memperebutkan mainan. Kakang Padasgunung dan Kakang Pragalbo, tenanglah dan sadarlah, dengarkan kata-kataku. Ingatlah, apakah kalian menganggap gadis ini sebagai seekor kucing atau anjing saja, ataukah sebagai setangkai bunga mawar, atau sebuah benda indah yang mati sehingga dapat kalian perebutkan demikian saja" Ia adalah seorang manusia yang berjiwa, seorang manusia yang berhak menentukan nasibnya dan pilihan hatinya sendiri"
Dua orang kakak beradik itu terkejut dan keduanya memandang wajah Nurseta dengan bingung.
"Nah, sekarang akan aku tanyakan kepada yang bersangkutan" Nurseta behenti sebentar, lalu katayna kepada Sriyati. "Sriyati, aku datang sebagai penengah dan pendamai di antara dua orang pemuda yang sedang memperebutkan dirimu. Aku bernama Nurseta dan kini aku ingin bertanya kepadamu. Maukah kau menjadi isteri Kakang Padasgunung?"
Sriyati menoleh dan memandang kepada Padasgunung, lalu menunduk dan mengangguk berkata lirih, "Terserah, aku hanya menurut saja, aku berhutang budi dan nyawa kepadanya.
"Hahaha. kau dengar sendiri, Pragalbo. Buka telingamu lebar-lebar, kau mendengar sendiri, bukan". Aku tidak merebutnya darimu" Hahaha" Padasgunung tertawa bergelak sehingga Pragalbo memandang heran. Selamanya belum pernah ia melihat kakaknya tertawa seperti itu, kakaknya adalah seorang yang pendiam, tidak pernah ia tertawa kegirangan seperti itu.
Akan tetapi, Nurseta yang merasa tidak yakin akan sikap Sriyati yang seperti sebuah boneka saja berbicaranya. Kini ia melanjutkan pertanyaannya.
"Sriyati, maukah kau menjadi isteri Kakang Pragalbo ini" Dan iapun sudah penah menolongmu dari maut ketika kau hanyut alam banjir"
Sriyati menoleh dan memandang kepada Prgalbo. kembali ia mengangguk dan menjawab "Terserah, aku hanya menurut saja, akupun berhutang budi dan nyawa kepadanya"
"Nahhhh! Dengarkah kau, kakang. Ia asih ingatt betapa aku yang telah menyelamatkan nyawanya untuk pertama kalinya!" teriak Pragalbo dengan suara bersorak penuh kemenangan,
Wajah Padasgunung berubah pucat dan dan terbelalak, ia memandang kepada Sriyati, kemudian kepada Nurseta.
Pragalbo juga memandang kepada Narseta, karena ia sendiri menjadi bingung. Sriyati ternyata setuju saja menjadi isteri kakangnya maupun menjadi isterinya.
"Bagaimana baiknya sekarang, Adimas Nurseta?" tanya Pragalbo penuh keraguan.
"Ya, bagaimana baiknya?" bertanya pula Padasgunung yang kini sudah merasa yakin akan kesaktian pemuda ini dan tidak berani main-main lagi.
Nurseta menarik napas panjang. "Sudah aku katakan tadi, ia bukanlah benda mati dan bukan binatang piaraan, melainkan seorang manusia yang berhak menentukan pilihan hatinya sendiri. Secara kebetulan saja kalian berdua telah menemukannya dan menyelamatkannya. Itu bukan berarti bahwa ia lalu menjadi milik kalian. Apakah ketika kalian menolongnya dahulu, kalian memiliki pamrih untuk memperisterikannya" Betapa rendahnya pertolongan itu kalian kalau begitu.
"Tidak, tadinya aku menolongnya seperti aku menolong yang lain, baru kemudian aku jatuh cinta kepadanya." Berkata Pragalbo.
"Akupun akan menolong siapa saja yang berobat kepadaku, akan tetapi aku kemudian aku jatuh hati kepadanya" berkata Padasgunung kemudian.
"Bagus, kalian memang para pemuda ksatria dan pendekar perkasa, akana tetapi, kalian jangan menurutkan hawa nafsu kalian masing-masing, ingatlah akan kepentingan yang lebih tinggi dari itu"
"Akan tetapi, kami tidak memaksa diajeng Sriyati untuk menjadi isteri kami, kau mendengar sendiri, Adimas Nurseta, bahwa gadis itupun suka menjadi isteri seorang di antara kami"
"Benar ucapan adi Pragalbo. Sriyati juga suka kepada kami, bukan berarti kami memaksakan kehendak kami" sambung Padasgunung.
Nurseta tersenyum. "Lihatlah buktinya, kalian sudah tahu, bahwa Sriyati hanya menurut saja apa yang kalian inginkan, karena ia telah kehilangan masa lalunya, dan melihat kalian adalah dewa-dewa penolongnya, dan ia berhutang budi kepada kalian, maka ia menurut saja, apa yang kalian inginkan darinya" ia berhenti sebentar lalu ia berkata kepada Sriyati "Diajeng Sriyati, berterus teranglah dan jangan takut. Siapakah diantara kedua kesatria ini yang kau cinta?"
Sriyati mengangkat muka dan memandang kepada Padasgunung dan Pragalbo yang juga menatap wajahnya dengan penuh harap, kemudian gadis itu menunduk kembali sambil berkata lirih dan takut-takut, "Aku....... aku tidak tahu......"
"Nah, Kakang Padasgunung dan Kakang Pragalbo, kalian sudah mendengar sendiri perkataan Sriyati. Jelaslah, bahwa gadis ini tidak mempunyai perasaan cinta kepada kalian, melainkan hanya berhutang budi. Kalau kalian hendak memaksanya menjadi isteri kalian hanya untuk membalas budi, bukankah itu berarti bahwa kalian sengaja melepas budi untuk mengharapkan balasannya yaitu hendak memperisterikannya"
Dua orang kakak beradik seperguruan itu kembali tertegun. Mereka memandang Sriyati yang menundukkan wajahnya itu sejenak, kemudian mereka saling pandang dengan muka merah, ucapan Nurseta itu seperti menusuk jantung dan membuat mereka merasa canggung dan malu.
"Dengarlah, kedua kakang yang gagah. Peristiwa ini mirip sekali dengan peristiwa yang aku alami" kemudian Nurseta bercerita tentang Wulansari dan betapa gadis itupun diselamatkan dari dalam air oleh Ki Jembros, kemudian diobati oleh Sang Panembaban Sidik Danasura. Persis seperti apa yang terjadi pada diri Sriyati yang ditolong oleh Pragalbo, kemudian diobati oleh Padasgunung. kemudian gadis itu menjadi murid Panembahan Sidik Danasura, dan setelah lewat lima tahun Ki Jembros datang untuk mengajak pergi gadis itu karena diapun berhak menggembleng gadis itu karena dialah penyelamat gadis dari maut di dalam air, ketika perabunya terbalik. Kemudian muncul Ki Cucut Kalasekti Datuk Blambangan yang membawa lari Larasati, karena menganggap bahwa dia lebih berhak. karena Wulansari itu adalah cucunya yang berasal dari Blambangan.
"Nah, dalam hal ini, Eyang Panembahan Sidik Danasura dan Paman Jembros mengalah. Mereka menganggap bahwa mereka tidak berhak atas diri Wulansari yang dibawa kembali kepada keluarganya, demikian pula dengan diajeng Sriyati. Tidakkah lebih bijaksana kalau mencoba untuk mengembalikannya kepada keluarganya, kemudian tentang perjodohannya serahkan saja kepada pilihannya sendiri atau keluarganya" Kalau ia dan keluarganya memilih seorang di antara kalian, maka yang lain harus berlapang dada"
Cerita Nurseta itu menyadarkan dua orang kakak beradik seperguruan itu dan mereka mengerti akan kesalahan mereka, seperti digerakkan oleh tenaga gaib, lalu mereka saling rangkul.
"Adikku Pragalbo, maafkanlah kakangmu yang sesat ini, Kalau Sriyati memilih kau, aku akan ikut berbahagia"
"Akulah yang mohon maaf kepadamu, kakang. Sepatutnya aku yang mengalah kalau memang Sriyati cinta padamu" kata Pragalbo.
Melihat kejadian ini, Nurseta tersenyum girang, karena ia semakin yakin akan kegagahan kedua orang itu.
"Bagus, aku kagum kepada kalian, Bagaimana kalau sekarang aku ajak diajeng Sriyati mencari keluarganya" Kakang Pragalbo, dari dusun manakah kakang menolongnya?" tanya Nurseta yang sudah mengambil keputusan untuk mengantar gadis itu kembali ke keluarganya
Pragalbo ragu-ragu sejenak, akan tetapi akhirnya ia menjawab juga, "Dari dusun Mentasih, di sebelah barat Karangrejo, di tepi Sungai Campur, hanya menempuh perjalanan satu jam dari sini"
"Ke hilir?"
"Ya, kalau berperahu ke hilir, hanya setengah jam sudah sampai, letaknya berada di sebelah selatan sungai" jawab Pragalbo.
"Kalau begitu, bolehkah kami mempergunakan perahumu itu, kakang Pragalbo?"
"Tentu saja boleh, pakailah Adimas Nurseta"
Nurseta mengangguk sambil tersenyum, kemudian menggandeng tangan Sriyati sambil berkata, "Marilah, diajeng, kita mencari keluargamu di dusun Mentasih"
Gadis itu sejenak memandang kepada Pragalbo dan Padasgunung, seperti ingin minta pendapat mereka, akan tetapi karena kedua orang itu diam saja, iapun menurut saja ketika digandeng oleh Nurseta, jantungnya berdebar penuh ketegangan karena baru sekaranglah ada orang yang hendak mengajaknya mencari keluarganya yang sudah dilupakannya.
Nurseta mengajak gadis itu pergi ke tepi pantai di mana Pragalbo meninggalkan perahunya. Mereka berdua lalu masuk ke dalam perahu dan perahupun hanyut ke hilir, bertambah cepat setelah Nurseta menggunakan dayungnya.
Tak lama kemudian mereka melihat sebuah dusun di sebelah kanan. Sebuah dusun yang masih nampak bekas tanda-tanda habis kebanjiran dan penduduknya nampak sibuk membetulkan rumah rumah mereka yang tadinya ambruk dilanda air bah.
"Ohhhh.......!"
Nurseta menoleh ke arah gadis itu dan melihat betapa gadis itu memandang ke arah dusun itu dengan mata terbelalak bingung dan muka berubah agak pucat.
"Kau mengenal dusun itu, Sriyati?"
"Aku......... aku pernah melihatnya..........ya, ya, pohon-pohon itu........, tidak asing bagiku ....." kata gadis itu dengan suara agak gemetar.
Nurseta merasa girang sekali. "Kalau begitu, mari kita ke sana, mudah-mudahan saja keluargamu berada di sana"
"Keluargaku.........." Aku.......... aku tidak ingat......"gadis itu mengeluh. Akan tetapi Nurseta tidak bicara lagi melainkan mendayung perahu menuju ke dusun itu. Dia tahu bahwa gadis ini kehilangan ingatannya dan dia mengharapkan pertemuan yang tiba-tiba dengan keluarganya akan mendatangkan guncangan yang cukup kuat sehingga akan mampu mengembalikan ingatannya.
Ketika perahu itu tiba menepi, banyak orang memandang ke arah mereka berdua. Nurseta menggandeng tangan Sriyati turun dari atas perahu dan segera terdengar suara banyak orang menyebut nama Sriyati. Mereka datang berlarian ke arah perahu dan diantara banyak suara itu, terdengar teriakan seorang wanita yang menyebut nama Sriyati sambil menangis.
"Sriyati........!"
"Nini Sriyati.......!" Suara seorang laki-laki terdengar pula dan nampak seorang laki-laki dan seorang wanita setengah tua berlari-lari menghampiri Sriyati. Gadis itu terbelalak, mukanya pucat sekali dan akhirnya, setelah kedua orang itu datang agak dekat, iapun menjerit.
"Kanjeng Rama....... Kanjeng ibu........"
Mereka saling tubruk dan saling rangkul, anak dan ibu bapaknya menangis dalam pertemuan yang mengharukan itu. Ayah dan ibunya yang mengira bahwa puterinya telah tewas dalam bencana banjir itu, seolah-olah melihat puteri mereka bangkit dari liang kubur.
"Diajeng Sriyati. Terima kasih kepada para dewa, kau masih hidup diajeng"
Seorang pemuda melangkah maju mendekati mereka yang sedang bertangisan.
Sriyati menengok dari rangkulan ayah dan ibunya dan memandang kepada pemuda itu, mula mula ia agak ragu-ragu sampai ketika ibunya menegurnya.
"Anakku, lupakah kau kepada Parmanto ini?"
"Kakangmasmu Parmanto......." Sriyati berseru girang.
Pemuda bernama Parmanto itu melangkah maju, mereka saling berpegang tangan. Sementara itu, belasan orang laki-laki tua muda, kini maju menghampiri Nurseta dengan pandangan mata mereka yang tidak benahabat.
Seorang di antara mereka yang masih muda berseru "Dia inilah yang menculik Raden Ajeng Sriyati, kita tangkap dia !"
Mendengar ucapan ini, belasan orang itu menyerbu dan menyergap Nurseta yang menjadi terkejut bukan main. Karena orang-orang itu menyerangnya dengan ganas dan dengan teriakan riuh rendah yang menuduh ia penculik, maka dianggapnya akan percuma saja kalau dia membela diri dengan kata-kata. Maka, Nursetapun cepat mengelak sambil melompat ke belakang.
Akan tetapi, kini lebih banyak lagi orang menyerbu. Agaknya semua penduduk yang baru beberapa hari lamanya mengalami malapetaka banjir itu, masih dalam keadaan duka dan marah, mudah tersinggung. Mendengar bahwa Sriyati, puteri kepala dusun mereka yang merupakan gadis kembang dusun mereka, kini ternyata masih hidup, tidak hanyut oleh banjir seperti yang mereka kira, kini pulang bersama seorang pemuda yang menculiknya. Orang-orang itu marah dan kini ada lebih dari tiga puluh orang ramai-ramai mengepung Nurseta.
Banyak di antara mereka yang membawa senjata linggis, kapak, arit dan alat alat membetulkan rumah. Juga pemuda bernama Parmanto tadi, mendengar teriakan teriakan itu, menjadi marah dan dengan hati penuh cemburu diapun ikut puia menyerbu.
Nurseta maklum bahwa para penduduk dusun yang baru saja dilanda kebanjiran itu masih berada dalam keadaan gelisah dan mudah marah, mereka mengepung dan menyerangya karena salah paham, bukan karenu mereka jahat. Maka diapun tidak ingin melukai mereka.
Ketika melihat dirinya dikepung dan mereka itu datang menyerbu dengan senjata di tangan, diapun mengerahkan kepandaiannya. Tubuhnya meloncat jauh melampaui kepala para pengepungnya dan tahu-tahu tubuhnya telah berada diatas atap rumah yang sedang dibangun kembali itu.
Para pengepung itu tadinya bingung, karena tiba-tiba pemuda yang mereka kepung itu lenyap. Hanya nampak bayangan berkelebat dan pemuda yang tadinya mereka kepung itu tidak nampak lagi.
Tiba-tiba seorang di antara mereka berteriak "Itu dia di sana, di atas atap"
Semua orang menengok dan benar saja, pemuda yang mereka keroyok tadi kini telah berdiri di atas atap yang belum selesai mereki pasang dan pemuda itu nampak tenang sambil tersenyum.
Mereka adalah penduduk dusun yang polos, tidak sadar bahwa mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang sakti mandraguna. Mereka tetap saja berlari-larian menghampiri rumah itu dan mengacung-acungkan senjata mereka ke arah Nurseta.
Pada saat itu, Sriyati melepaskan diri dari rangkulan ayah ibunya dan berteriak-teriak. "Jangan bunuh dia. Dia bukan penculik, dia yang mengantar aku pulang"
Mendengar seruan Sriyati itu, semua orang memandang bingung.
Nurseta lalu berkata dengan suara mengandung teguran, "Saudara sekalian, sungguh tidak baik menuruti hati yang keruh penuh kemarahan dan prasangka buruk, Diajeng Sriyati telah ditolong oleh dua orang kesatria dari cengkeraman maut ketika banjir trerjadi dan aku hanyalah sekedar mengantarnya untuk mencari keluarganya di sini. Sekarang ia telah berhasil berkumpul kembali dengan keluarganya, maka tidak perlu lagi aku berlama-lama di tempat ini. Harap lain kali kalian tidak terburu nafsu dan gunakanlah akal sehat dan bersikap tenang"
Setelah berkata demikian, sekali loncat, nampak bayangan berkelebat dan Nurseta lenyap dari atas atap itu.
Tentu saja semua orang terkejut bukan main dan ramailah mereka membicarakan tentang pemuda aneh itu. Mereka menghujani Sriyati dengan pertanyaan dan gadis itupun segera menceritakan semua pengalamannya.
Sementara itu, setelah Nurseta pergi bersama Sriyati, Padasgunung mengerutkan alisnya dan bertanya kepada Pragalbo, "Adi Pragalbo, apakah kau sudah mengenal betul pemuda itu?"
Pragalbo menggeleng kepalanya. "Baru saja aku bertemu dengan dia di tepi sungai, dan ternyata dia memiliki kesaktian yang amat tinggi"
"Hemm, kalau begitu kita telah lengah, Adi Pragalbo. Bagaimana kalau dia pergi membawa Sriyati untuk diambilnya sendiri?"
"Ah, mana mungkin" Dia seorang kesatria yang sakti mandraguna, Kakang Padasgunung"
"Hemm, kau belum mengenal orang macam apa dia itu, hanya yang kau tahu dia seorang pemuda yang sakti mandraguna. Apakah kesaktian itu dapat menjadi menjamin bahwa dia orang yang baik-baik" Banyak di dunia ini orang sakti yang jahat. Kita belum mengenalnya benar dan kita sudah menyerahkan Sriyati untuk dibawanya. Adi Pragalbo, kita telah lengah dan membahayakan diri Sriyati"
"Habis, bagaimana baiknya, kakang?" tanya Pragalbo yang panik juga mendengar kesangsian kakak seperguruannya.
"Tidak ada jalan lain, kita harus cepat menyusulnya ke dusun Mentasih. Kalau benar Sriyati dibawa kembali kepada keluarganya, sukurlah, Dan kita dapat berbicara dengan keluarganya untuk menentukan, siapa di antara kita yang dapat diterima menjadi suaminya. Sedangkan kalau ia dilarikan oleh pemuda bernama Nurseta itu. Kita harus mengejarnya dan merampasnya kembali"
Demikianlah, kakak beradik seperguruan ini lalu melakukan perjalanan cepat, lewat darat. Sepanjang tepi sungai mereka melakukan pengejaran, dan mereka mempergunakan kepandaian mereka untuk berlari cepat. Ketika mereka sudah dekat dengan dusun Mentasih, dari jauh Nurseta melihat mereka. Pemuda ini merasa heran dan cepat menyelinap ke belakang semak belukar untuk mengintai.
Melihat betapa dua orang itu lewat dengan wajah keruh seperti orang marah, diam-diam Nurseta mengikuti mereka secara diam-diam, Ia ingin tahu, apakah yang hendak mereka lakukan.
Setelah tiba di dusun Mentasih, Pragalbo dan Padasgunung melihat kesibukan para penduduk yang sedang membangun kembali dusun yang habis dilanda banjir itu, Pragalbo dan Padasgunung menghentikan larinya, Dan tiba-tiba mereka berhenti melangkah karena melihat dua orang yang sedang duduk di bawah sebatang pohon, seorang pemuda dan seorang gadis, nampaknya mereka sedang bermesraan. Duduk berdekatan dan saling menggenggam tangan masing-masing, saling pandang dengan mesra seperti dua orang yang sedang melepas kerinduan.
Seketika itu juga wajah kedua orang satria muda ini berubah merah, ketika mereka mengenal gadis itu, gadis itu bukan lain adalah Sriyati.
"Keparat!" Padasgunung yang lebih brangasan ketimbang adik seperguruannya tak dapat menahan cemburu dan kemarahannya. Dia langsung saja menerjang ke arah pemuda yang sedang duduk bersanding dengan Sriyati.
Akan tetapi pada saat itu, nampak bayangan berkelebat dan tiba-tiba saja Nurseta telah berdiri di depannya dan menangkis pukulan Padasgunung yang amat keras itu. Tangkisan yang amat kuat, sehingga Padasgunung terhuyung ke belakang.
Melihat dirinya tadi diserang orang, pemuda yang bukan lain adalah Parmanto bangkit berdiri dan memandang dengan heran, sementara itu, Sriyati juga bangkit berdiri dan memandang dengan wajah pucat.
Ketika Padasgunung dan Pragalbo melihat bahwa Nurseta membela pemuda itu, mereka menjadi semakin marah. "Hemm, kiranya kau berada di sini, Nurseta" bentak Pragalbo, kau berjanji hendak membawa Sriyati kepada keluarganya, tidak tahunya kau menjualnya kepada pemuda ini"
Pragalbo maju menyerang Nurseta, disusul pula oleh Padasgunung yang juga menyerang dengan penuh nafsu.
Menghadapi serangan kedua orang yang menyerangnya dengan sungguh-sungguh dan dengan kemarahan, Nurseta hanya mengelak sambil melangkah mundur.
"Tunggu dulu, Kakang Padasgunung dan Kakang Pragalbo"
Akan tetapi kedua orang laki-laki yang sedang marah itu, tidak mau bicara lagi dan bahkan ini mereka mencabut senjata masing-masing. Pragalbo mencabut kerisnya sedangkan Padasgunung mengeluarkan senjatanya yang aneh, yaitu sebatang suling. Dengan bersamaan mereka kakak beradik menyerang kalang kabut.
Nurseta mengerutkan alisnya. Dua orang kakak beradik ini adalah dua orang kesatria yang gagah perkasa, akan tetapi watak mereka keras dan kaku, mudah cemburu dan mudah pula marah. Diapun tidak mau mengalah terus. Melihat berkelebatnya suling dan keris, Nurseta mambalas menerjang ke depan, kedua tangannya bergerak menyambar dengan kecepatan luar. Sesuatu terasa mengetarkan tangan Padasgunung dan Pragalbo, betapa lengan tangan mereka seperti lumpuh, dan senjata mereka kini terlepas dari pegangan.
Sebelum mereka dapat memperbaiki kedudukan mereka, dua kali tendangan kaki Nurseta tepat menyentuh lutut dan kedua kesatria itu, sehingga mereka jatuh terduduk.
"Kakang Padasgunung dan Kakang Pragalbo, simpan dulu kemarahan kalian. Dengarlah baik-baik. Aku telah mengantarkan diajeng Sriyati kepada ayah bundanya dan mengembalikan kembali ingatannya, kalau kakang ingin mengetahui siapakah pemuda itu, tanyalah langsung kepada Diajeng Sriyati"
Sriyati kini berlari menghampiri dua orang itu dan berkata "Kakang Padasgunung dan Kakang Pragalbo, akulah yang bersalah. Ketahuilah, setelah aku berjumpa dengan ayah bundaku, ingatanku kembali. Aku mengingat segalanya kembali. Ini adalah Kakangmas Pramanto. Dia adalah tunanganku, calon suamiku. Harap jangan menuduh yang bukan-bukan, dan kakang Nurseta hanya mengantarkan aku kepada keluargaku"
Padasgunung dan Pragalbo memandang kepada Nurseta, dan berkata "Adimas Nurseta, kami telah bersalah, harap andika bisa memaafkan kami"
"Harap kakang berdua melupakan saja kejadian tadi, yang penting diajeng sudah berkumpul kembali kepada keluarganya dan juga tunangannya dan bahkan ingatannya telah pulih kembali, kalau kita sayang kepada diajeng, biarkanlah ia mendapatkan kebahagiaannya disini"
Ucapan itu bagaikan air dingin yang mengguyur kepala kedua orang gagah itu, dan menyadarkan mereka, betapa piciknya sikap mereka tadi. Mereka memandang kepada Nurseta lalu mengangguk, sinar mata mereka kini berkilat, wajah mereka kembali berseri-seri penuh semangat.
Nurseta merasa gembira sekali, dan iapun menurut saja ketika dua orang itu menggandeng tangannya dan membawanya pergi dari tempat itu, tanpa menoleh satu kalipun kepada Sriyati, seolah-olah kedua orang itu kini sudah melupakan gadis yang pernah dijadikan rebutan itu.
Sebelum Nurseta berpisah dari dua orang kakak beradik itu, mereka sempat bercakap-cakap sebagai seorang sahabat baik. Dari percakapan itulah Nurseta mengetahui bahwa persekutuan pemberontak yang dipimpin oleh Mahesa Rangkah itu, didukung pula oleh kakek sakti Ki Buyut Pranamaya, menurut desas-desus yang mereka dengar, kini mulai bergerak dari timur.
"Beberapa tahun yang lalu, mereka itu bersarang di Bukit Gandamayit, di hutan Cempiring. Akan tetapi ketika para senopati kerajaan melakukan penyelidikan ke tempat itu. Para pemberontak itu telah lenyap, sarang mereka telah ditinggalkan kosong. Mungkin mereka telah mendapatkan sarang baru, dan menurut kabar, mereka memilih tempat yang berada di wilayah Kediri. Kalau pada waktu itu mereka masih berada di Gandamayit, tentu mereka telah diserbu pasukan kerajaan dan sudah dihancurkan" kata Padasgunung.
"Dan sekarang, menurut desas desus, mereka telah keluar dari daerah Kediri dan mulai menduduki beberapa buah dusun di Pegunungan Kidul. Mungkin kerajaan belum mendengarnya, akan tetapi kami yang berada di daerah Selatan, telah mendengar berita itu" berkata pula Pragalbo.
Nurseta mengerutkan alisnya. "Hemm, kalau begitu, negara kita sedang terancam dan sudah menjadi kewajiban kita untuk menentang pemberontakan yang hanya akan mendatangkan perang dan kesengsaraan bagi rakyat jelata"
"Memang sudah seharusnya kita membantu pemerintah untuk menentang para pengacau itu. Akan tetapi, adimas, apa artinya bantuan kami kalau yang memimpin pemberontakan itu didukung oleh seorang kakek sakti seperti Ki Buyut Pranamaya?" kata Padasgunung.
"Siapakah itu?" tanya Nurseta.
"Ah, agaknya Adimas Nurseta baru saja meninggalkan pertapaan sehingga belum banyak mengenal tokoh dari dunia sesat" kata Pragalbo. "Ki Buyut Pranamaya adalah seorang kakek yang memiiiki kesaktian yang amat hebat. Ia sakti mandraguna dan sukar dicari tandingannya. Kami sendiri belum pernah bertemu dengan dia, akan tetapi sudah banyak mendengar tentang nama besar dan kesaktiannya. Terus terang saja, bantuan kami tidak ada artinya.
"Adi Pragalbo benar" kata Padasgunung, "kami tidak akan mampu menandingi mereka, tentu saja kalau Adimas Nurseta sendiri yang maju........."
"Harap kakang berdua tidak beranggapan seperti itu. Di dalam perjuangan menentang kejahatan, kita harus bersatu pada. Seperti halnya sapu lidi, kalau kita maju satu demi satu, memang tidak ada artinya. Akan tetapi, kalau ratusan atau ribuan batang lidi bersatu, maka, mereka akan menjadi sapu yang sanggup membersihkan semua kotoran. Harap kakang berdua mempersiapkan diri saja di daerah Pegunungan Kidul, siapa tahu tenaga kakang berdua kelak dibutuhkan, karena aku yakin bahwa para senopati Singosari dan para pendekar dan kesatria tidak akan tinggal diam saja mendengar gerakan para pemberontak itu.
Setelah puas bercerita, maka merekapun berpisah, setelah berjanji untuk berjumpa kembali di dalam perjuangan menentang para pemberontak.
Nurseta melanjutkan perjalanannya. Ketika ia tiba di dusun Karangreja, di mana Kali Campur memuntahkan airnya ke dalam Sungai Brantas yang menjadi semakin besar, dia lalu mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanan melalui aliran air sungai yang besar itu. Lebih enak dan tidak melelahkan kalau dia dapat melanjutkan perjalanan melalui air sungai ke hilir. Dan lagi, dia sendiri tidak tahu ke mana harus mencari ayahnya.
Sebelum tiba di tepi Kali Campur dan bertemu dengan Padasgunung dan Pragalbo, sekali lagi dia lewat ke dusun Kelinting. Namun, ayahnya tidak berada di sana, dan tak seorangpun penduduk dusun itu yang mengetahui ke mana ayahnya pergi. Ayahnya dibawa pergi orang jahat, berikut tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Ayahnya selalu menggemblengnya untuk menjadi seorang kesatria pembela tanah air, bahkan gurunya, Panembahan Sidik Danasura, juga memesan padanya agar mempergunakan semua llmu yang dipelajarinya untuk menjadi seorang satria sejati, pembela kebenaran dan keadilan, menentang yang jahat dan membela yang benar dan yang lemah tertindas.
Ia sudah mendengar akan adanya pemberontakan yang didukung oleh para tokoh sesat, berarti bahwa Kerajaan Singosari terancam bahaya. Kiranya jalan terbaik baginya adalah pergi ke kota raja dan melapofkan apa yang telah didengarnya dari kedua orang kakak beradik seperguruan itu tentang pergerakan para pemberontak di perbatasan Kediri sebelah selatan.
Kebetulan ada sebuah perahu yang sederhana yang memuat ubi merah, didayung oleh seorang laki-laki setengah tua menuju ke hilir.
Nurseta meneriakinya dari tepi. "Paman, aku ingin ke hilir, bolehkah aku menumpang perahumu?"
Laki-laki itu memandang Nurseta, ia melihat seorang pemuda tampan yang sikapnya ramah, diapun mendayung perahunya ke tepi.
"Andika tidak membawa barang berharga?" tanyanya sambil menahan perahu dengan dayungnya yang ditekankan pada tanah sambil memandang ke arah buntalan pakaian di punggung Nurseta.
Pemuda itu tersenyum "Aku bukan seorang saudagar, paman, melainkan seorang perantau miskin"
"Kalau begitu naiklah, dan bantu aku mendayung"
Nurseta naik ke atas perahu dan duduk di bagian belakang, ia menerima dayung dari orang tua itu yang duduk di bagian depan untuk mengemudikan perahu. Mulailah Nurseta mendayung, perahu meluncur ke tengah.
"Paman, mengapa paman tadi bertanya apakah aku membawa barang berharga?"
"Di depan sana banyak bajak, kalau mereka melihat orang membawa barang berharga, tentu kita akan diganggu"
Nurseta memandang lima buah keranjang yang penuh ubi merah itu, dan berkata "Akan tetapi kau membawa lima keranjang ubi, bukankah ini cukup berharga?"
"Hanya bajak kelaparan saja yang mau membajak ubi merah. Tak mungkin mereka mau bersusah payah menjualnya lebih dulu," kata orang itu, akan tetapi pandang matanya membayangkan kekhawatiran.
Baru saja dia berkata demikian, tiba-tiba nampak sebuah perahu hitam muncul dari semak-semak di tepi sungai. Kanan kiri sungai yang lebar itu penuh dengan semak belukar dan pohon-pohon besar, dan tidak nampak ada manusia, letaknya juga jauh dari pedusunan, sunyi teekali.
Perahu hitam itu ditumpangi lima orang yang, langsung memotong jalan. pemilik ubi merah itu memandang pucat.
"Dayung terus, cepat!" bisiknya kepada Nurseta.
Nurseta dapat menduga bahwa merka ini tentulah bajak yang dimaksud oleh petani ubi tersebut.
"Hei! Berhenti, apakah kalian ingin mampus?" bentak seorang bajak.
"Berhenti dan serahkan samua barang kalian, juga pakaian yang kalian pakai itu!" teriak bajak lain.
Perahu bajak itu meluncur cepat mendampingi perahu petani itu, dan seorang diantara mereka bangkit berdiri dan mengayunkan dayung yang agak besar ke arah kepala Nurseta. Agaknya, mereka menganggap Nurseta yang masih muda itu lebih berbahaya dari pada si petani, maka perlu dirobohkan dahulu.
Melihat ini, Nurseta juga menggerakkan dayungnya menangkis sambil mengerahkan tenaga dan mendorong.
"Dukkk........ byurrr.......!"
Tak dapat dicegah lagi, orang itu terjengkang dan tercebur ke dalam air. Empat orang bajak lainnya terkejut. Mereka lalu berloncatan terjun ke air. Perahu yang ditumpangi Nurseta dan petani itu terguncang hebat dan miring. Tahulah Nurseta bahwa lima orang bajak itu hendak menggulingkan perahu yang ditumpanginya. Dan dia maklum bahwa kepandaian renangnya yang hanya terbatas, itu takkan dapat melindungi dirinya kalau sampai dia terjatuh ke dalam air. Tentulah ia akan celeka, kalau ia dikeroyok dalam air oleh para bajak yang amat mahir bergerak dalam air.
Akan tetapi, Nurseta tidak dapat mencegah mereka. Para bajak itu menyelam dan berusaha membalikkan perahu dari bawah, sehingga Nurseta tidak dapat menyerang untuk mencegah perahu terguncang, semakin lama, guncangannya semakin hebat dan akhirnya terbalik. Petani itu berteriak dan tercebur ke dalam air, akan tetapi Nurseta sudah meloncat dengan sigapnya ke atas perahu bajak yang ditinggalkan.
Dengan marah Nurseta melihat seorang bajak menusukkan goloknya ke punggung petani itu. Petani itu memekik dan terkulai.
"Keparat busuk!" Nurseta berseru, akan tetapi karena dia tidak berdaya menghadapi mereka yang berada di dalam air, terpaksa dia mendayung perahu bajak itu ke tepi dan meloncat ke darat. Dia mengharapkan lima orang bajak itu akan mendarat pula untuk dihajarnya. Mereka telah membunuh petani ubi yang tidak berdosa itu.
Akan tetapi tiba-tiba dia melihat peristiwa yang membuat dia terbelalak dan terkejut sekali. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja sudah muncul seorang gadis berpakaian serba hijau dari dalam air diantara para bajak yang juga menjadi terkejut sekali melihat seorang gadis secara tiba-tiba saja muncul dari bawah air.
Akan tetapi, lima orang itu adalah bajak-bajak yang sudah kebal akan rasa takut. maka hanya sebentar saja mereka terkejut, karena segera mereka mendapat kenyataan bahwa gadis itu adalah gadis cantik sekali, kini sikap mereka berubah menjadi liar. Mereka tertawa-tawa dan tangan merekapun berebutan hendak menjangkau tubuh gadis. yang cantik itu.
Akan tetapi, Nurseta melihat betapa kedua tangan gadis itu dengan gerakan cepat sekali telah menampar secara bertubi-tubi lima orang itu. Terdengar suara keras disusul jerit-jerit mengerikan dan lima orang itupun terkulai dengan kepala retak dan mayat merekapun terapung dan hanyut oleh arus air, mengejar mayat petani yang tadi mereka bunuh.
Wajah Nurseta menjadi pucat dan matanya terbelalak, bukan saja melihat betapa gadis itu dengan cara yang amat ganas telah membunuh lima orang bajak demikian mudahnya, melainkan terutama sekali karena dia mengenal wajah gadis berpakaian serba hijau itu.
"Wulansari....!" teriaknya.
Gadis yang hanya tampak kepalanya saja di permukaan air, menoleh kepadanya, memandang dengan sikap dingin tanpa senyum, kemudian menyelam kembali.
Nurseta hanya melihat bayangan hijau meluncur di bawah permukaan air dan lenyap. Ketika dia memandang ke depan, bayangan hijau itu sudah muncul jauh di hilir kemudian berenang ke tepi dan meloncat ke darat dan lenyap di antara semak belukar.
Nurseta masih terpukau, sampai lama dia memandang ke arah lenyapnya bayangan hijau itu, kemudian memandang ke arah enam mayat yang terapung perlahan mengikuti arus sungai. Iapun menarik napas panjang, perasaannya masih terguncang.
"Tidak salah, ia pasti Wulansari......., tapi sikap dan pandang matanya demikian dingin dan...... dan demikian ganasnya...."
Bagaimanapun juga, yang dibunuh oleh gadis itu adalah lima orang bajak yang jahat dan kejam, yang telah membunuh petani ubi, dan bahkan hampir membunuhnya tanpa sebab, padahal dia dan petani itu tidak membawa barang berharga. Walaupun demikian, cara gadis itu membunuh mereka, sungguh ganas, tanpa memberi kesempatan mereka melawan sama sekali. Gadis yang tak lain adalah Wulansari itu ternyata kini telah memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa, baik ilmu di dalam air maupun ilmu pukulan yang dahsyat yang menggiriskan. Teringatlah Nurseta akan kakek yang sakti mandraguna itu, yang menurut gurunya bernama Cucut Kalasekti, kakek yang mukanya biru seperti muka ikan cucut, jubahnya kuning dan bersisik, datuk sesat dari Blambangan yang telah melarikan Wulansari itu. Benarkah gadis itu cucu kakek sakti mandraguna itu dan kini telah mewarisi ilmu-ilmunya"
Akan tetapi, teringat akan perubahan yang terjadi pada sikap Wulansari, yang dulu merupakan seorang gadis manis sederhana yang lemah lembut, kini berubah menjadi seorang gadis yang masih cantik manis, akan tetapi yang sikapnya dingin dan wataknya demikian ganas.
Setelah beberapa lamanya duduk termenung di tepi sungai, Nurseta lalu bangkit dan melanjutkan perjalanannya, kini ia jalan melalui darat dan menyusuri pantai Sungai Brantas. Terlalu berbahaya melanjutkan perjalanannya dengan perahu, apa lagi petani ubi tadi sudah mengatakan bahwa banyak bajak di sungai itu. Kalau hanya perampok di daratan, dia sama sekaii tidak takut menghadapi gangguan mereka.
Di sepanjang perjalanan, ketika melalui hutan, dia memperhatikan keadaan sekelilingnya, dengan harapan kalau-kalau gadis berpakaian serba hijau itu akan muncul kembali. Dia masih merasa penasaran. Kalau gadis itu benar Wulansari, mengapa ia tidak mau menjumpainya" Tidaklah mungkin Wulansari sudah melupakannya, walaupun sudah empat tahun mereka saling berpisah.
Tidak tampak bayangan gadis itu kembali, diam-diam Nurseta merasa kecewa. ia sendiri merasa heran, mengapa ia tidak dapat melupakan gadis itu. Setelah lewat beberapa hari, masih saja bayangan gadis itu tak pernah meninggalkan relung hatinya.
*** Nurseta sudah meninggalkan Sungai Brantas dan kini dia menuju ke timur, meninggalkan daerah Kediri. Gunung Kelud tampak menjulang tinggi di depannya ketika dia sudah melewati dusun Wates yang ramai. Ketika Nurseta tiba di kaki Gunung Kelud, ia melihat belasan orang mengiringi jenazah yang agaknya hendak dikubur. Seorang kakek ikut mengiringi jenazah sambil memegangi bambu pikulan jenazah dan ia menangis sesenggukan. Mereka yang memikul jenazah dan yang mengiringi dari belakang, kesemuanya adalah pria, tidak ada seorangpun yang menangis, seperti menangisnya kakek itu, tetapi mereka semua berwajah muram dan keruh. Pada wajah mereka terbayang kedukaan, penasaran dan juga ketakutan. Melihat hal ini, Nurseta kemudian tertarik, apa lagi ketika ia mendengar keluh kesah kakek itu, di antara tangisnya.
"Huk-huk....... Oh, anakku Dirun........ kenapa kau tidak menurut nasehat orang tua" Sudah berulangkali aku nasehatkan, jangan dekati siluman itu, tapi kau agaknya memang nekat dan, akhirnya begini jadinya, huk-huk"
Nurseta lalu membayangi rombongan itu dari jauh. Dia mengamati ketika jenazah itu dikubur. Ia melihat pula para pengiring tadi satu demi satu meninggalkan tempat itu setelah jenazah dikubur, akan tetapi kakek itu masih saja duduk bersila di depan makam baru itu, Ia menolak ketika beberapa orang berusaha untuk membujuknya pulang. Bahkan dia marah-marah sehingga akhirnya orang terakhir pergi meninggalkan kakek itu sambil menggeleng kepala dan menarik napas panjang.
Sunyi lengang di tanah kuburan itu setelah semua orang pergi, hanya tinggal kakek itu yang duduk bersila sambil menundukkan mukanya di depan makam puteranya.
Nurseta memperhatikan dari dekat, setelah menyusup dan kini berada tidak jauh dari kakek yang usianya kira-kira sudah ada enampuluh tahun, mukanya penuh garis-garis penderitaan hidup. Nurseta melihat betapa wajahnya itu pucat dan matanya membendul merah, ia dapat menduga bahwa kakek ini tentu tidak makan dan tidak tidur serta banyak menangis.
Tiba-tiba kakek itu bangkit berdiri dan berkata dengan suara keras, "Jangan kbawatir, anakku. Ayahmu inilah yang akan membalaskan dendam ini. Aku yang akan membunuh siluman betina itu" tiba-tiba kakek itu mencabut sebatang golok dari ikat pinggangnya dan memutar-mutar senjata itu seolah-oiah dia dikeroyok oleh banyak lawan.
Setelah napasnya terengah-engah, baru ia menghentikan amukannya, kemudian dengan langkah lebar ia meninggalkan tanah kuburan itu.
Nurseta merasa khawatir akan keadaan kakek itu. Apakah ia sudah menjadi gila karena himpitan duka" Ataukah ia benar-benar hendak pergi mencari siluman betina dan hendak dibunuhnya untuk membalas kematian puteranya" Nurseta tetap membayangi dari belakang dan ternyata kakek itu memasuki sebuah hutan di lereng Gunung Kelud, sebuah hutan yang lebat dan liar.
Di sekitar tempat itu tidak nampak ada pedusunan. Melihat betapa hutan itu masih liar, mudah diduga bahwa jarang ada orang memasuki hutan itu.
Dengan langkah yang tidak ragu-ragu, dengan muka merah dan mata masih yang beringas, kakek itu terus masuk ke dalam hutan dan akhirnya tibalah dia di depan sebuah goa yang gelap. Di depan goa itu nampak banyak semak-semak dan alang-alang. Kakek itu membabat alang-alang dengan goloknya sambil berteriak-teriak marah.
"Siiuman betina, keluarlah untuk menerima kematian! Aku datang untuk membunuhmu sebagai pembalasan dendam kematian puteraku, Dirun"
Kakek itu menantang sambil mengacung-acungkan goloknya ke arah pintu goa. Sementara itu, dari balik semak-semak yang berhadapan dengan goa itu, Nurseta memandang ke arah dalam goa. Matanya yang terlatih dapat melihat sampai ke dalam dan jantungnya berdebar. Dia melihat seorang wanita duduk bersila di dalam goa dan wanita itu usianya sekitarnya tigapuluh tahun, wajahnya cantik menggairahkan dan yang lebih hebat lagi, wanita itu telanjang bulat tanpa selembarpun pakaian yang menutupi tubuhnya yang padat dan indah. Hanya rambutnya yang hitam panjang ituulah yang menutupi tubuh bagian depan, turun dari leher kiri, menutupi sebagian dadanya dan terus ke pangkuannya.
Ketika kakek itu mengeluarkan tantangan sambil mengacungkan goloknya, wanita yang tadinya duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya, kini ia membuka matanya.
Nurseta melihat betapa sepasang mata yang indah itu mencorong seperti mata kucing dalam kegelapan. Dan wanita itu tersenyum mengejek, Begitu ia tersenyum, baru mengertilah Nurseta, mengapa wanita itu disebut siluman betina. Senyumnya itu sungguh mengandung daya tarik, manis sekaii. Akan tetapi senyuman itu mengandung ejekan, bahkan mengandung ancamnn maut.
"Tua bangka," terdengar suaranya, halus lembut namun kasar "Sebentar lagi kau juga akan mampus, kalau kau ingin mati, mengapa harus mencari aku. Aku akan membuatmu lebih cepat masuk neraka. He, orang tua. Apakah kau sudah gila?"
"Siluman betina. Aku adalah ayah dari Dirun, pemuda yang menjadi korbanmu, yang kau bunuh dengan racun. Sekarang aku datang untuk membalas dendam"
"Hemm, terlalu banyak pemuda tolol yang datang ke sini, dan aku tidak ingat lagi mama mereka satu persatu. Mungkin juga ada yang bernama Dirun diantara mereka yang tolol itu. Akan tetapi, mereka itu mampus karena salah mereka sendiri, kenapa kau ribut-ribut di sini" Pergilah sebelum aku kehilangan kesabaran dan mengirim nyawamu ke neraka menyusul nyawa anakmu"
"Siluman perempuan, iblis betina, mampuslah!" Kakek itu menerjang ke dalam goa sambil mengangkat goloknya di atas kepala.
Tiba-tiba dari dalam goa menyambar angin dan sinar hitam menangkis golok itu.
"Trakkk........ auhhk.......!" Golok itu patah menjadi dua dan tubuh kakek itu terjengkang ke belakang. Dari balik semak-semak, Nurseta terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa wanita telanjang bulat itu sedemikian saktinya, tanpa bangkit dari duduknya, ia hanya mempergunakan sebuah benda kecil, mungkin batu kerikil, telah berbasil mematahkan golok dan membuat tubuh kakek itu terjengkang oleh hawa pukulannya.
Akan tetapi, kakek itu agaknya tidak menjadi jerih. Dia merangkak bangun kembali, dipandanginya gagang golok yang tinggal sepotong itu.
"Huhh!" bentaknya dan dia membuang potongan golok, lalu hendak nekat menyerbu ke dalam goa dengan tangan kosong.
"Jangan, kek, jangan berbuat bodoh, sebaiknya kakek pergi saja" Tiba-tiba Nurseta sudah berada di belakang kakek itu dan menangkap pinggangnya, lalu ditariknya ke belakang.
Kakek itu hendak meronta, namun sekali pijat saja di punggungnya, Nurseta berhasil membuat kakek itu menjadi lemas dan menurut saja ketika dia digandeng dan dibawa oleh Nurseta. Mereka pergi dan diikuti oleh suara ketawa yang menyeramkan dari wanita itu. Suara ketawa yang halus merdu, namun bukan seperti suara manusia lagi, terkekeh kadang terbahak dan seperti ringkik kuda.
Kakek itu masih mencoba untuk melepaskan diri, tetap tidak berhasil, akhirnya kakek itu bertanya. "Orang muda, siapakah kau dan kenapa kau menghalangi aku membunuh siluman perempuan itu" Apakah kau ini kaki tangannya?"
Nurseta berhenti di dalam hutan itu, cukup jauh dari goa yang menyeramkan tadi dan diapun melepaskan pengaruh pijatan tangannya yang membuat kakek itu seperti lumpuh.
"Maafkan aku, paman. Aku tidak menghalangi paman membunuhnya, sebaliknya mencegah agar ia tidak membunuh paman. Kenapa paman demikian nekat" Tidak tahukah paman bahwa wanita itu amat kejam dan amat sakti" Paman takkan menang melawannya"
"Biarkan saja, aku tidak takut. Lebih baik aku mati dari pada tidak dapat membunuh iblis itu!" Kakek itu hendak lari kembali, akan tetapi Nurseta memegang lengannya.
"Paman, maafkan. Bukan aku hendak menghalangi niat paman membalas dendam, akan tetapi aku harap paman suka mempergunakan pikiran dan akal sehat. Sudah jelas bahwa paman bukanlah lawannya, dan usaha paman itu bukan lain hanya merupakan bunuh diri yang sia sia belaka, Kalau sudah mati, apa artinya" Paman akan tewas dan dendam sakit hati putera paman tidak akan dapat terbalas. Bagaimana kalau paman menceritakan kepadaku apa yang telah terjadi" Kalau memang wanita itu sejahat seperti yang paman katakan, percayalah, aku tidak akan tinggal diam dan akan kutantang wanita itu"
Mendengar ucapan ini, kakek itu agaknya sadar akan kebenaran kata-kata Nurseta. Dia berhenti meronta dan mengamati wajah pemuda itu. Baru sekaranglah dia melihat wajah pemuda itu dengan jelas. Timbul kepercayaannya karena pemuda ini jelas bukan seorang yang jahat. Diapun menjadi lemas dan dia menjatuhkan diri di atas tanah sambil menarik napas panjing berulang-ulang. Agaknya sukar baginya untuk mulai bercerita, karena hal itu mengingatkan dia akan puteranya yang sudah tiada. Berulang kali dia hendak membuka mulut, akan tetapi yang keluar hanyalah keluhan panjang dan helaan napas. Nurseta mengerti akan kesukaran kakek itu, maka diapun menuntunnya dengan pertanyaan.
"Siapakah wanita di dalam goa itu, paman?"
Kakek itu menggeleng kepala. "Tidak ada seorangpun yang tahu. Entah siapa namanya dan dari mana ia datang, entah berapa lamanya ia berada di dalam goa itu. Pertama kali kami sedusun dan para penduduk dusun lain di sekitar kaki Gunung Kelud ini mengetahui keadaannya adalah ketika korban pertama jatuh"
"Korban bagaimana yang paman maksudkan" Dan mengapa pula ia suka membunuh pemuda-pemuda?"
"Setelah banyak pemuda tewas, kami mendengar bahwa wanita itu seperti siluman, seperti iblis yang suka menggoda laki-laki muda. Ia cantik menarik dan tak pernah berpakaian, karena itu, para pemuda mudah sekali jatuh ke tangannya. Para pemuda yang jatuh oleh kecantikannya dan tinggal bersamanya di dalam goa itu, sewaktu pulang, mereka dalam keadaan pusing dan sakit hebat yang akhirnya tewas. Mereka tidak pernah dapat menjelaskan mengapa" kakek itu berhenti lagi dan termenung dengan sedih.
"Dan putera paman juga menjadi korban?"
Kakek itu mengangguk dan air matanya kembali menetes di atas kedua pipinya yang berkeriput. "Dirun sudah aku peringatkan agar jangan mendckati goa itu, jangan menurutkan hati ingin tahu melihat iblis betina itu. Dirun adalah milikku satu-satunya di dunia ini sejak ibunya meninggal dunia. Anakku hanya satu itu dan kini aku tidak punya apa-apa lagi......."
Kakek itu menangis.
Nurseta mengangguk-angguk, dia maklum bahwa kakek ini, seperti para penduduk Iain, tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi ketika para pemuda itu terpikat oleh kecantikan wanita dalam goa. Tahu-tahu, para pemuda itu pulang dalam keadaan sakit parah lalu tewas.
"Paman, sekarang paman pulanglah. Mati atau hidup berada di tangan Hyang Widhi, dan kalau sampai puteramu itu meninggal dunia, maka hal itu berarti sudah dikehendaki Hyang Widhi. Paman tidak boleh putus asa, karena sekarang juga aku sendiri yang akan ke sana, menemui wanita itu dan menuntut keterangan dan tanggung jawabnya mengenai kematian para pemuda itu"
"Kau.......?" Kakek itu kini terbelalak memandang wajah Nurseta, "Kau masih muda dan tampan lagi, bukan pemuda dusun pula, kau hanya akan pulang dalam keadaan sakit dan tewas, seperti para pemuda yang lain. Janganlah orang muda, lebih baik aku mengerahkan seluruh penduduk untuk beramai-ramai menyerbu ke gua itu dan membunuh siluman itu. Ya, itulah caranya. Mengerahkan semua orang dan mengeroyoknya"
"Jangan paman. Akan jatuh korban terlalu banyak sebelum kalian berhasil membasminya. Biarkan aku yang menemuinya. Nah, sekarang aku akan pergi, paman"
Tiba-tiba pemuda itu berkelebat dan lenyap dari depan kakek itu. Kakek itu terkejut dan terbelalak, mencari-cari dengan pandang matanya, lalu menggosok-gosok matanya, akan tetapi pemuda itu sudah lenyap. Dia menjadi ketakutan dan mengira bahwa pemuda itupun sebangsa wanita dalam goa itu, bukan manusia biasa melainkan sebangsa jin atau siluman. Maka diapun lari keluar dari dalam hutan itu untuk pulang dan mengumpulkan kawan-kawan dari dusunnya dan dusun tetangga, untuk beramai-ramai mengeroyok dan membasmi siluman wanita yang sudah mengambil korban banyak pemuda itu.
Sementara itu, dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya, sebentar saia Nurseta telah tiba di depan goa tadi. Matahari sudah naik tinggi sehingga keadaan di dalam goa tidaklah segelap tadi dan dia dapat melihat lebih jelas lagi. Wanita itu masih duduk bersila, tubuhnya ditutupi oleh rambutnya sendiri yang hitam panjang. Agaknya wanita itu menyadari kedatangan Nursela yang sudah berada di depan goa. Terdengar suaranya yang halus merdu, berbeda dengan suara ketawanya ketka ia menyerang kakek tua tadi.
"Siapakah andika, ki sanak" Dan ada keperluan apakah mengganggu aku yang sedang bertapa?"
Nurseta merasa lega. Pertanyaan itu menunjukkan bahwa wanita telanjang itu tidak mengenalnva sebagai orang yang menyelamatkan ayah Dirun tadi. Diapun maju mendekat sampai di depan goa.
"Aku bernama Nurseta dan hanya kebetulan saja lewat di sini. Aku tertarik melihat andika, seorang wanita muda yang cantik, bertapa di tempat ini, tanpa busana pula serta mengurai rambut. Siapakah andika dan mengapa pula andika bertapa seperti ini?"
Sejenak sepasang mata yang tajam dan indah bentuknya itu mengamati Nurseta dengan penuh perhatian. Mata yang tajam itu agaknya mengenal bahwa pemuda sederhana yang datang ini bukanlah sembarangan pemuda, jauh berbeda dengan para pemuda dusun yang bodoh itu.
Tiba-tiba saja iapun menjawab pertanyaan Nurseta dengan tangis. Pemuda itu hanya memandang saja, memperhatikan dan melihat apakah tangis itu tangis buatan ataukah ia benar-benar menangis.
Ternyata, wanita itu memang benar-benar menangis sedih, bukan tangis buatan. Maka, Nursetapun menjadi semakin tertarik dan menanti sampai wanita itu berhenti menangis.
Akhirnya wanita itu menghapus air matanya dengan gumpalan rambutnya sehingga tersingkaplah bagian dadanya, memperlihatkan bukit dada yang montok. Nurseta menundukkan pandang matanya agar tidak melihat dada itu terlalu lama.
Nurseta tidak mengetahui, bahwa wanita itupun memperhatikannya dengan sepasang mata yang bersinar gembira melihat betapa pemuda itu menundukkan pandang mata dan tidak melotot memandang dadanya seperti yang dilakukan oleh para pemuda lain. Memang pemuda ini lain dan pada yang lain. Sehingga wanita itu tertarik sekali kepada Nurseta.
"Ki sanak, aku bertapa di sini karena dendam dan sakit hati setinggi langit dan sedalam laut Kidul. Dan aku bersumpah, takkan memperkenalkan nama, takkan berpakaian dan takkan menyanggul rambut sebelum dendam ini terbalas"
Bagaimanapun juga, yang dibunuh oleh gadis itu adalah lima orang bajak yang jahat dan kejam, yang telah membunuh petani ubi, dan bahkan hampir membunuhnya tanpa sebab, padahal dia dan petani itu tidak membawa barang berharga. Walaupun demikian, cara gadis itu membunuh mereka, sungguh ganas, tanpa memberi kesempatan mereka melawan sama sekali. Gadis yang tak lain adalah Wulansari itu ternyata kini telah memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa, baik ilmu di dalam air maupun ilmu pukulan yang dahsyat yang menggiriskan. Teringatlah Nurseta akan kakek yang sakti mandraguna itu, yang menurut gurunya bernama Cucut Kalasekti, kakek yang mukanya biru seperti muka ikan cucut, jubahnya kuning dan bersisik, datuk sesat dari Blambangan yang telah melarikan Wulansari itu. Benarkah gadis itu cucu kakek sakti mandraguna itu dan kini telah mewarisi ilmu-ilmunya"
Akan tetapi, teringat akan perubahan yang terjadi pada sikap Wulansari, yang dulu merupakan seorang gadis manis sederhana yang lemah lembut, kini berubah menjadi seorang gadis yang masih cantik manis, akan tetapi yang sikapnya dingin dan wataknya demikian ganas.
Setelah beberapa lamanya duduk termenung di tepi sungai, Nurseta lalu bangkit dan melanjutkan perjalanannya, kini ia jalan melalui darat dan menyusuri pantai Sungai Brantas. Terlalu berbahaya melanjutkan perjalanannya dengan perahu, apa lagi petani ubi tadi sudah mengatakan bahwa banyak bajak di sungai itu. Kalau hanya perampok di daratan, dia sama sekaii tidak takut menghadapi gangguan mereka.
Di sepanjang perjalanan, ketika melalui hutan, dia memperhatikan keadaan sekelilingnya, dengan harapan kalau-kalau gadis berpakaian serba hijau itu akan muncul kembali. Dia masih merasa penasaran. Kalau gadis itu benar Wulansari, mengapa ia tidak mau menjumpainya" Tidaklah mungkin Wulansari sudah melupakannya, walaupun sudah empat tahun mereka saling berpisah.
Tidak tampak bayangan gadis itu kembali, diam-diam Nurseta merasa kecewa. ia sendiri merasa heran, mengapa ia tidak dapat melupakan gadis itu. Setelah lewat beberapa hari, masih saja bayangan gadis itu tak pernah meninggalkan relung hatinya.
*** Nurseta sudah meninggalkan Sungai Brantas dan kini dia menuju ke timur, meninggalkan daerah Kediri. Gunung Kelud tampak menjulang tinggi di depannya ketika dia sudah melewati dusun Wates yang ramai. Ketika Nurseta tiba di kaki Gunung Kelud, ia melihat belasan orang mengiringi jenazah yang agaknya hendak dikubur. Seorang kakek ikut mengiringi jenazah sambil memegangi bambu pikulan jenazah dan ia menangis sesenggukan. Mereka yang memikul jenazah dan yang mengiringi dari belakang, kesemuanya adalah pria, tidak ada seorangpun yang menangis, seperti menangisnya kakek itu, tetapi mereka semua berwajah muram dan keruh. Pada wajah mereka terbayang kedukaan, penasaran dan juga ketakutan. Melihat hal ini, Nurseta kemudian tertarik, apa lagi ketika ia mendengar keluh kesah kakek itu, di antara tangisnya.
"Huk-huk....... Oh, anakku Dirun........ kenapa kau tidak menurut nasehat orang tua" Sudah berulangkali aku nasehatkan, jangan dekati siluman itu, tapi kau agaknya memang nekat dan, akhirnya begini jadinya, huk-huk"
Nurseta lalu membayangi rombongan itu dari jauh. Dia mengamati ketika jenazah itu dikubur. Ia melihat pula para pengiring tadi satu demi satu meninggalkan tempat itu setelah jenazah dikubur, akan tetapi kakek itu masih saja duduk bersila di depan makam baru itu, Ia menolak ketika beberapa orang berusaha untuk membujuknya pulang. Bahkan dia marah-marah sehingga akhirnya orang terakhir pergi meninggalkan kakek itu sambil menggeleng kepala dan menarik napas panjang.
Sunyi lengang di tanah kuburan itu setelah semua orang pergi, hanya tinggal kakek itu yang duduk bersila sambil menundukkan mukanya di depan makam puteranya.
Nurseta memperhatikan dari dekat, setelah menyusup dan kini berada tidak jauh dari kakek yang usianya kira-kira sudah ada enampuluh tahun, mukanya penuh garis-garis penderitaan hidup. Nurseta melihat betapa wajahnya itu pucat dan matanya membendul merah, ia dapat menduga bahwa kakek ini tentu tidak makan dan tidak tidur serta banyak menangis.
Tiba-tiba kakek itu bangkit berdiri dan berkata dengan suara keras, "Jangan kbawatir, anakku. Ayahmu inilah yang akan membalaskan dendam ini. Aku yang akan membunuh siluman betina itu" tiba-tiba kakek itu mencabut sebatang golok dari ikat pinggangnya dan memutar-mutar senjata itu seolah-oiah dia dikeroyok oleh banyak lawan.
Setelah napasnya terengah-engah, baru ia menghentikan amukannya, kemudian dengan langkah lebar ia meninggalkan tanah kuburan itu.
Nurseta merasa khawatir akan keadaan kakek itu. Apakah ia sudah menjadi gila karena himpitan duka" Ataukah ia benar-benar hendak pergi mencari siluman betina dan hendak dibunuhnya untuk membalas kematian puteranya" Nurseta tetap membayangi dari belakang dan ternyata kakek itu memasuki sebuah hutan di lereng Gunung Kelud, sebuah hutan yang lebat dan liar.
Di sekitar tempat itu tidak nampak ada pedusunan. Melihat betapa hutan itu masih liar, mudah diduga bahwa jarang ada orang memasuki hutan itu.
Dengan langkah yang tidak ragu-ragu, dengan muka merah dan mata masih yang beringas, kakek itu terus masuk ke dalam hutan dan akhirnya tibalah dia di depan sebuah goa yang gelap. Di depan goa itu nampak banyak semak-semak dan alang-alang. Kakek itu membabat alang-alang dengan goloknya sambil berteriak-teriak marah.
"Siiuman betina, keluarlah untuk menerima kematian! Aku datang untuk membunuhmu sebagai pembalasan dendam kematian puteraku, Dirun"
Kakek itu menantang sambil mengacung-acungkan goloknya ke arah pintu goa. Sementara itu, dari balik semak-semak yang berhadapan dengan goa itu, Nurseta memandang ke arah dalam goa. Matanya yang terlatih dapat melihat sampai ke dalam dan jantungnya berdebar. Dia melihat seorang wanita duduk bersila di dalam goa dan wanita itu usianya sekitarnya tigapuluh tahun, wajahnya cantik menggairahkan dan yang lebih hebat lagi, wanita itu telanjang bulat tanpa selembarpun pakaian yang menutupi tubuhnya yang padat dan indah. Hanya rambutnya yang hitam panjang ituulah yang menutupi tubuh bagian depan, turun dari leher kiri, menutupi sebagian dadanya dan terus ke pangkuannya.
Ketika kakek itu mengeluarkan tantangan sambil mengacungkan goloknya, wanita yang tadinya duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya, kini ia membuka matanya.
Nurseta melihat betapa sepasang mata yang indah itu mencorong seperti mata kucing dalam kegelapan. Dan wanita itu tersenyum mengejek, Begitu ia tersenyum, baru mengertilah Nurseta, mengapa wanita itu disebut siluman betina. Senyumnya itu sungguh mengandung daya tarik, manis sekaii. Akan tetapi senyuman itu mengandung ejekan, bahkan mengandung ancamnn maut.
"Tua bangka," terdengar suaranya, halus lembut namun kasar "Sebentar lagi kau juga akan mampus, kalau kau ingin mati, mengapa harus mencari aku. Aku akan membuatmu lebih cepat masuk neraka. He, orang tua. Apakah kau sudah gila?"
"Siluman betina. Aku adalah ayah dari Dirun, pemuda yang menjadi korbanmu, yang kau bunuh dengan racun. Sekarang aku datang untuk membalas dendam"
"Hemm, terlalu banyak pemuda tolol yang datang ke sini, dan aku tidak ingat lagi mama mereka satu persatu. Mungkin juga ada yang bernama Dirun diantara mereka yang tolol itu. Akan tetapi, mereka itu mampus karena salah mereka sendiri, kenapa kau ribut-ribut di sini" Pergilah sebelum aku kehilangan kesabaran dan mengirim nyawamu ke neraka menyusul nyawa anakmu"
"Siluman perempuan, iblis betina, mampuslah!" Kakek itu menerjang ke dalam goa sambil mengangkat goloknya di atas kepala.
Tiba-tiba dari dalam goa menyambar angin dan sinar hitam menangkis golok itu.
"Trakkk........ auhhk.......!" Golok itu patah menjadi dua dan tubuh kakek itu terjengkang ke belakang. Dari balik semak-semak, Nurseta terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa wanita telanjang bulat itu sedemikian saktinya, tanpa bangkit dari duduknya, ia hanya mempergunakan sebuah benda kecil, mungkin batu kerikil, telah berbasil mematahkan golok dan membuat tubuh kakek itu terjengkang oleh hawa pukulannya.
Akan tetapi, kakek itu agaknya tidak menjadi jerih. Dia merangkak bangun kembali, dipandanginya gagang golok yang tinggal sepotong itu.
"Huhh!" bentaknya dan dia membuang potongan golok, lalu hendak nekat menyerbu ke dalam goa dengan tangan kosong.
"Jangan, kek, jangan berbuat bodoh, sebaiknya kakek pergi saja" Tiba-tiba Nurseta sudah berada di belakang kakek itu dan menangkap pinggangnya, lalu ditariknya ke belakang.
Kakek itu hendak meronta, namun sekali pijat saja di punggungnya, Nurseta berhasil membuat kakek itu menjadi lemas dan menurut saja ketika dia digandeng dan dibawa oleh Nurseta. Mereka pergi dan diikuti oleh suara ketawa yang menyeramkan dari wanita itu. Suara ketawa yang halus merdu, namun bukan seperti suara manusia lagi, terkekeh kadang terbahak dan seperti ringkik kuda.
Kakek itu masih mencoba untuk melepaskan diri, tetap tidak berhasil, akhirnya kakek itu bertanya. "Orang muda, siapakah kau dan kenapa kau menghalangi aku membunuh siluman perempuan itu" Apakah kau ini kaki tangannya?"
Nurseta berhenti di dalam hutan itu, cukup jauh dari goa yang menyeramkan tadi dan diapun melepaskan pengaruh pijatan tangannya yang membuat kakek itu seperti lumpuh.
"Maafkan aku, paman. Aku tidak menghalangi paman membunuhnya, sebaliknya mencegah agar ia tidak membunuh paman. Kenapa paman demikian nekat" Tidak tahukah paman bahwa wanita itu amat kejam dan amat sakti" Paman takkan menang melawannya"
"Biarkan saja, aku tidak takut. Lebih baik aku mati dari pada tidak dapat membunuh iblis itu!" Kakek itu hendak lari kembali, akan tetapi Nurseta memegang lengannya.
"Paman, maafkan. Bukan aku hendak menghalangi niat paman membalas dendam, akan tetapi aku harap paman suka mempergunakan pikiran dan akal sehat. Sudah jelas bahwa paman bukanlah lawannya, dan usaha paman itu bukan lain hanya merupakan bunuh diri yang sia sia belaka, Kalau sudah mati, apa artinya" Paman akan tewas dan dendam sakit hati putera paman tidak akan dapat terbalas. Bagaimana kalau paman menceritakan kepadaku apa yang telah terjadi" Kalau memang wanita itu sejahat seperti yang paman katakan, percayalah, aku tidak akan tinggal diam dan akan kutantang wanita itu"
Mendengar ucapan ini, kakek itu agaknya sadar akan kebenaran kata-kata Nurseta. Dia berhenti meronta dan mengamati wajah pemuda itu. Baru sekaranglah dia melihat wajah pemuda itu dengan jelas. Timbul kepercayaannya karena pemuda ini jelas bukan seorang yang jahat. Diapun menjadi lemas dan dia menjatuhkan diri di atas tanah sambil menarik napas panjing berulang-ulang. Agaknya sukar baginya untuk mulai bercerita, karena hal itu mengingatkan dia akan puteranya yang sudah tiada. Berulang kali dia hendak membuka mulut, akan tetapi yang keluar hanyalah keluhan panjang dan helaan napas. Nurseta mengerti akan kesukaran kakek itu, maka diapun menuntunnya dengan pertanyaan.
"Siapakah wanita di dalam goa itu, paman?"
Kakek itu menggeleng kepala. "Tidak ada seorangpun yang tahu. Entah siapa namanya dan dari mana ia datang, entah berapa lamanya ia berada di dalam goa itu. Pertama kali kami sedusun dan para penduduk dusun lain di sekitar kaki Gunung Kelud ini mengetahui keadaannya adalah ketika korban pertama jatuh"
"Korban bagaimana yang paman maksudkan" Dan mengapa pula ia suka membunuh pemuda-pemuda?"
"Setelah banyak pemuda tewas, kami mendengar bahwa wanita itu seperti siluman, seperti iblis yang suka menggoda laki-laki muda. Ia cantik menarik dan tak pernah berpakaian, karena itu, para pemuda mudah sekali jatuh ke tangannya. Para pemuda yang jatuh oleh kecantikannya dan tinggal bersamanya di dalam goa itu, sewaktu pulang, mereka dalam keadaan pusing dan sakit hebat yang akhirnya tewas. Mereka tidak pernah dapat menjelaskan mengapa" kakek itu berhenti lagi dan termenung dengan sedih.
"Dan putera paman juga menjadi korban?"
Kakek itu mengangguk dan air matanya kembali menetes di atas kedua pipinya yang berkeriput. "Dirun sudah aku peringatkan agar jangan mendckati goa itu, jangan menurutkan hati ingin tahu melihat iblis betina itu. Dirun adalah milikku satu-satunya di dunia ini sejak ibunya meninggal dunia. Anakku hanya satu itu dan kini aku tidak punya apa-apa lagi......."
Kakek itu menangis.
Nurseta mengangguk-angguk, dia maklum bahwa kakek ini, seperti para penduduk Iain, tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi ketika para pemuda itu terpikat oleh kecantikan wanita dalam goa. Tahu-tahu, para pemuda itu pulang dalam keadaan sakit parah lalu tewas.
"Paman, sekarang paman pulanglah. Mati atau hidup berada di tangan Hyang Widhi, dan kalau sampai puteramu itu meninggal dunia, maka hal itu berarti sudah dikehendaki Hyang Widhi. Paman tidak boleh putus asa, karena sekarang juga aku sendiri yang akan ke sana, menemui wanita itu dan menuntut keterangan dan tanggung jawabnya mengenai kematian para pemuda itu"
"Kau.......?" Kakek itu kini terbelalak memandang wajah Nurseta, "Kau masih muda dan tampan lagi, bukan pemuda dusun pula, kau hanya akan pulang dalam keadaan sakit dan tewas, seperti para pemuda yang lain. Janganlah orang muda, lebih baik aku mengerahkan seluruh penduduk untuk beramai-ramai menyerbu ke gua itu dan membunuh siluman itu. Ya, itulah caranya. Mengerahkan semua orang dan mengeroyoknya"
"Jangan paman. Akan jatuh korban terlalu banyak sebelum kalian berhasil membasminya. Biarkan aku yang menemuinya. Nah, sekarang aku akan pergi, paman"
Tiba-tiba pemuda itu berkelebat dan lenyap dari depan kakek itu. Kakek itu terkejut dan terbelalak, mencari-cari dengan pandang matanya, lalu menggosok-gosok matanya, akan tetapi pemuda itu sudah lenyap. Dia menjadi ketakutan dan mengira bahwa pemuda itupun sebangsa wanita dalam goa itu, bukan manusia biasa melainkan sebangsa jin atau siluman. Maka diapun lari keluar dari dalam hutan itu untuk pulang dan mengumpulkan kawan-kawan dari dusunnya dan dusun tetangga, untuk beramai-ramai mengeroyok dan membasmi siluman wanita yang sudah mengambil korban banyak pemuda itu.
Sementara itu, dengan mempergunakan ilmu meringankan tubuhnya, sebentar saia Nurseta telah tiba di depan goa tadi. Matahari sudah naik tinggi sehingga keadaan di dalam goa tidaklah segelap tadi dan dia dapat melihat lebih jelas lagi. Wanita itu masih duduk bersila, tubuhnya ditutupi oleh rambutnya sendiri yang hitam panjang. Agaknya wanita itu menyadari kedatangan Nursela yang sudah berada di depan goa. Terdengar suaranya yang halus merdu, berbeda dengan suara ketawanya ketka ia menyerang kakek tua tadi.
"Siapakah andika, ki sanak" Dan ada keperluan apakah mengganggu aku yang sedang bertapa?"
Nurseta merasa lega. Pertanyaan itu menunjukkan bahwa wanita telanjang itu tidak mengenalnva sebagai orang yang menyelamatkan ayah Dirun tadi. Diapun maju mendekat sampai di depan goa.
"Aku bernama Nurseta dan hanya kebetulan saja lewat di sini. Aku tertarik melihat andika, seorang wanita muda yang cantik, bertapa di tempat ini, tanpa busana pula serta mengurai rambut. Siapakah andika dan mengapa pula andika bertapa seperti ini?"
Sejenak sepasang mata yang tajam dan indah bentuknya itu mengamati Nurseta dengan penuh perhatian. Mata yang tajam itu agaknya mengenal bahwa pemuda sederhana yang datang ini bukanlah sembarangan pemuda, jauh berbeda dengan para pemuda dusun yang bodoh itu.
Tiba-tiba saja iapun menjawab pertanyaan Nurseta dengan tangis. Pemuda itu hanya memandang saja, memperhatikan dan melihat apakah tangis itu tangis buatan ataukah ia benar-benar menangis.
Ternyata, wanita itu memang benar-benar menangis sedih, bukan tangis buatan. Maka, Nursetapun menjadi semakin tertarik dan menanti sampai wanita itu berhenti menangis.
Akhirnya wanita itu menghapus air matanya dengan gumpalan rambutnya sehingga tersingkaplah bagian dadanya, memperlihatkan bukit dada yang montok. Nurseta menundukkan pandang matanya agar tidak melihat dada itu terlalu lama.
Nurseta tidak mengetahui, bahwa wanita itupun memperhatikannya dengan sepasang mata yang bersinar gembira melihat betapa pemuda itu menundukkan pandang mata dan tidak melotot memandang dadanya seperti yang dilakukan oleh para pemuda lain. Memang pemuda ini lain dan pada yang lain. Sehingga wanita itu tertarik sekali kepada Nurseta.
"Ki sanak, aku bertapa di sini karena dendam dan sakit hati setinggi langit dan sedalam laut Kidul. Dan aku bersumpah, takkan memperkenalkan nama, takkan berpakaian dan takkan menyanggul rambut sebelum dendam ini terbalas"
JILID 06
Rahasia Besar Nurseta
Nurseta memandang heran. Wanita ini mengatakan bertapa seperti itu karena dendam, akan tetapi mengapa banyak pemuda yang tewas di tangannya"
"Apakah yang telah terjadi?" tanyanya memancing.
"Aku seorang janda yang malang" wanita itu mulai dengan ceritanya, suaranya gemetar penuh kedukaan "Tadinya aku hidup bersama suamiku tercinta. Kami belum mempunyai anak. Tetapi pada suatu hari, suamiku itu tewas. Dibunuh seorang laki-laki yang menginginkan diriku, akan tetapi aku menolaknya. Aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi setelah suamiku tewas, maka aku kemudian bersumpah untuk bertapa di dalam goa ini sampai dendam suamiku terbalas"
Nurseta menjadi semakin tertarik "Akan tetapi, kanapa andika hanya duduk bertapa seperti ini, bagaimana dendam itu dapat terbalas?"
"Aku menanti datangnya dewa penolong. Aku menanti datangnya seorang pria yang cukup jantan untuk membantu seorang wanita yang sengsara seperti aku ini, untuk menantang laki-laki biadab itu dan membunuhnya. Dan kepada pria yang berhasil melaksanakan dendamku itu, aku akan menyerahkan segala-galanya, diriku, cintaku, kesetiaanku dan selama hidupku akan abdikan kepadanya" ia berhenti sebentarl, lalu "Ki sanak, aku melihat bahwa kau bukan seorang pemuda sembarangan. Aku memohon kepadamu, ki sanak. Sudilah kiranya kau membebaskan aku dari kesengsaraan ini. Bunuhlah laki-laki jahanam itu, dan aku akan menghambakan diri kepadamu dengan seluruh penyerahan jiwa ragaku"
Wanita itu mengangkat kedua lengannya ke depan, seperti orang memohon, gayanya orang mengajak atau memikat, siap menerima pemuda itu dalam pelukannya.
Nurseta mengerutkan alisnya, lalu bertanya "Lalu mengapa banyak pemuda dari dusun-dusun di sekitar kaki Gunung Kelud ini mati dalam keadaan terluka parah, kabar yang tersebar, mereka menjadi korbanmu?" Ucapan ini dikeluarkan dengan nada menuduh, sedangkan sepasang mata pemuda itu memandang penuh seiidik.
"Aahhh....... mereka itu hanyalah pemuda-pemuda dusun yang bodoh, yang hanya menginginkan diriku, akan tetapi tidak memiliki kepandaian sedikitpun juga sehingga ketika mereka mencoba untuk membunuh jahanam itu, mereka sendiri yang menderita luka parah dan akhirnya tewas. Bukan salahku, melainkan kesalahan mereka sendiri yang bodoh dan lemah"
Nurseta tertegun, kiranya para pemuda itu tewas karena dilukai musuh wanita ini. Benarkah itu" ia harus menyelidikinya. Kemudian ia berkata "Siapakah laki-laki itu dan di mana tempat tinggalnya?"
Sepasang mata yang indah itu kini berkilat dan wajah yang ayu manis itu berseri. "Apakah kau sudi menolongku?"
"Kita lihat saja nanti, akan tetapi aku ingin menjumpainya"
"Ah, Raden Nurseta. Terima kasih sebelumnya. Aku merasa yakin bahwa kalau kau yang maju, akhirnya dendam sakit hati ini pasti akan terbalas, dan aku akan bebas dari tempat ini. Aku akan merasa berbahagia sekali kalau dapat menghambakan diri kepadamu, Raden"
"Hemm, aku melakukan sesuatu tanpa pamrih atau menyenangkan diriku sendiri, dan aku belum yakin akan mampu mengalahkan laki-laki yang agaknya sakti itu. Katakanlah, siapa dia dan di mana tempat tinggalnya?"
"Namanya Lembu Petak, dan ia tinggal di lereng Gunung Kelud sebelah selatan, tidak jauh dari sini. Kalau kau terus mendaki gunung ini, berjalankah lurus saja, setelah melewati dusun Lahar, kau akan tiba di padepokan yang berada di luar dusun itu. Nah, di sanalah dia berada, Raden Nurseta"
"Baik, aku akan pergi mencarinya"
"Nanti dulu, Raden. Masuklah dulu ke sini, aku perlu menjamumu untuk membesarkan semangat dan sebagai tanda terima kasihku" Wanita itu kembali mengembangkan kedua lengannya dan tersenyum manis sekali, dengan pandang mata penuh daya pikat.
Nurseta menggeleng kepalanya. "Sudah aku katakan bahwa aku melakukan sesuatu tanpa pamrih. Sekarang aku pergi" sambil berkata demikian, Nurseta meloncat dan sekali berkelebat iapun lenyap dari depan goa.
Wanita itu terbelalak kagum, lalu tersenyum lebar, matanya berkilat, lalu ia memukul telapak tangan kiri dengan kepalan tangan kanannya.
"Ah, ia benar seorang sakti. Sekali ini engkau akan mampus, Lembu Petak!"
Sementara itu, Nurseta melakukan pendakian dengan cepat sambil mengerahkan kepandaiannya dan sebentar saja diapun sudah tiba di dusun Lahar. Di situ Nurseta mendaki terus. Dan benar saja, di luar dusun itu, Nurseta melihat sebuah pondok yang sedang besarnya, Pondok itu berdiri terpencil di luar dusun, kelihatan sunyi dan tenteram. Di luar rumah terdapat dua sangkar burung perkutut yang digantung di ujung batang bambu yang tinggi.
Dari jauh sudah terdengar nyanyian perkutut itu yang saling bersahutan. Suara perkutut menambah suasana yang tenteram dan tenang. Namun Hati Nurseta tidak bisa menikmati nyayian merdu suara perkutut itu, karena kedatangannya untuk menganggu dan mengacaukan suasana yang tenang dan damai itu.
Baru saja Nurseta tiba di luar pondok, dari dalam muncul seorang laki-laki yang usianya sekitar empatpuluh tahun, seorang pria yang gagah perkasa, bertubuh tinggi besar, wajahnya gagah seperti Arya Sena, kulitnya bersih dan kumis serta jenggotnya terpelihara rapi. Pakaiannya sederhana saja, dengan haju hitam yang terbuka bagian dadanya, memperlihatkan dada yang bidang dan kokoh kuat.
Akan tetapi, wajah yang gagah itu kini nampak muram, kemerahan dan matanya bersinar tajam, tanda bahwa dia sedang marah.
"Hemm, orang muda, apakah kau seorang diantara para pemuda tolol yang tergila-gila oleh kecantikan iblis betina itu, dan mau saja diperintah untuk membunuhku?"
Disambut dengan pertanyaan seperti itu, Nurseta tetap tenang, bahkan dia tersenyum. "Maaf Ki Sanak, apakah benar Ki Sanak ini yang bernama Ki Lembu Petak?"
Laki-laki gagah itu memang Lembu Petak dan ia agak heran melihat sikap Nurseta yang tenang dan sopan, tidak seperti para pemuda-pemuda sebelumnya yang datang-datang bersikap keras hendak membunuhnya, padahal tak seorangpun diantara mereka itu yang memiliki kepandaian yang berarti.
"Benar, akulah Ki Lembu Petak. Dan siapakah kau orang muda" Apa maksudmu datang berkunjung" Benarkah dugaanku bahwa kau datang karena diutus wanita yang bertapa telanjang di dalam goa itu untuk membunuhku?"
Dihujani pertanyaan itu, Nurseta kembali tersenyum. "Harap Ki Sanak tenang dan biarkan aku bercerita. Namaku Nurseta, seorang pengembara dan ketika aku lewat di kaki Gunung Kelud, aku mendengar akan kematian banyak pemuda dusun yang katanya menjad korban seorang wanita yang bertapa di dalam goa. Karena tertarik, aku lalu datang mengunjungi wanita itu. Ia menceritakan bahwa ia mendendam kepada seorang musuhnya bernama Lembu Petak yang katanya telah membunuh suaminya yang tercinta. Kemudian, berturut-turut para pemuda dusun datang untuk membantunya membalas dendam, akan tetapi para pemuda itu semua kalah olehmu dan menderita luka parah sampai kemudian tewas. Nah, kedatanganku ini sama sekali bukan karena diutus oleh wanita yang tidak mau menyebutkan namanya itu, melainkan untuk menyelidiki kebenaran ceritanya"
"Hemm, kalau benar bagaimana?"
Nurseta memandang tajam dan Lembu Petak yang diam-diam terkejut, karena pemuda ini yang sikapnya lembut dan sopan, tiba-tiba saja sepasang matanya dapat mencorong penuh wibawa dan menakutkan.
"Kalau cerita itu benar, terpaksa aku harus turun tangan. Sudah menjadi tugas setiap orang yang menjujung kebenaran dan keadilan untuk turun tangan menentang kejahatan dan membela kebenaran, yang melingungi yang lemah dan tertindas. Tetapi sekali lagi, apakah benar semua cerita yang dikatakan wanita itu?"
"Dan bagaimana jika cerita itu tidak benar?"
"Kalau tidak benar, aku akan melakukan penyelidikan sampai mendapatkan kenyataan yang sebenarnya. Siapa pembunuh para pemuda-pemuda itu dan mengapa" Barulah aku akan turun tangan menentang mereka yang bersalah"
Ki Lembu Petak tertawa. "Ha-ha-ha, orang muda. Sikapmu memang mengesankan sekali, ha-ha-ha" Ia berhenti sebentar, lalu "Kau terlihat sopan dan lembut, juga pemberani. Akan tetapi kau bicara seolah-olah kau sudah pasti dapat membereskan persoalan ini, dan mampu menandingi siapa saja yang menjadi lawanmu. Sikapmu membangkitkan keinginanku untuk menguji sampai di mana kepandaianmu. Kau yang masih begini muda sudah mempunyai keberanian dan kepercayaan diri yang tinggi" ia berhenti sebentar, lalu "Nah, sambutlah seranganku, orang muda"
Pria tinggi besar yang bertubuh kokoh kuat itu sudah menerjang maju dengan pukulan lurus ke arah dada Nurseta, sedangkan tangan kirinya mengirim serangan lain. Melihat datangnya pukulan yang kuat itu, Nurseta mengelak dengan mudahnya. Tangan kiri Lembu Petak menyusulkan tamparan ke arah pundak, akan tetapi kembali Nurseta mengelak dengan muda saja, hanya dengan memiringkan tubuhnya. Sedangkan kalau saja Nurseta mau, tentu saja dia dapat membalas secara kontan, akan tetapi Nurseta tidak mau menurunkan tangan keras, karena ia maklum bahwa orang gagah ini hanya mengujinya saja, tidak bermaksud ingin mencelakainya.
Setelah kedua serangannya dapat dielakkan lawan secara mudah, Ki Lembu Petak mulai maklum bahwa pemuda ini memang bukan orang sembarangan. Gerakannya demikian ringan dan sikapnya demikian tenang. Sehingga ia merasa penasaran. Kini, sambil mengeluarkan bentakan nyaring, Pria tinggi besar itupun menghujamkan pukulan dan tendangan yang cukup dahsyat kearah Nurseta. Namun semua pukulan dan tendangan yang ia lancarkan itu tetap saja tidak menggunakan tenaga penuh. Agaknya akan segera ia tarik kembali kalau pukulannya mengenai sasaran.
Nurseta maklum akan hal itu, maka iapun terus berloncatan dan mengelak.
Hal ini membuat Lembu Petak menjadi penasaran bukan main. Bagaimanapun juga, nama Ki Lembu Petak dari Gunung Kelud, adalah nama yang sangat terkenal sebagai seorang jagoan yang sukar dicari bandingnya. Kalau ia sampai dikalahkan orang, hal itu dapat diterimanya, karena ia maklum bahwa di permukaan bumi ini terdapat banyak sekali orang yang sakti mandraguna. Akan tetapi, selamanya ia belum pernah menemukan lawan seorang yang masih amat muda, akan tetapi yang dapat menghindarkan diri dari semua serangannya dengan mudahnya. Ia merasa seperti menyerang seekor burung srikatan atau burung walet saja, atau bahkan menyerang bayangan. Maka, iapun kini menyerang sambil mengerahkan tambahan tenaganya dan mempercepat gerakannya.
Melihat perubahan gerakan ini, Nurseta juga maklum bahwa lawannya menjadi penasaran, maka iapun tidak ingin mempermainkannya lebih lama lagi, Begitu melihat lawannya menyerangnya dengan dorongan kedua tangannya, mengarah dada dan wajahnya, maka, iapun menyambut dengan kedua tangannya.
Akibat dari pertemuan dua pasang telapak tangan itu membuat Ki Lembu Petak terjengkang ke belakang dan terguling-guling seperti baru saja dilanda angin lesus.
Akhirnya, dapat juga ia bangkit dengan tubuh babak bundas dan ia berdiri memandang Nurseta dengan wajah pucat dan mata terbelalak.
Nurseta cepat melangkah maju menghampiri dan berkata dengan sikap hormat "Paman Lembu Petak, harap suka maafkan aku, karena sungguh bukan maksudku untuk mengalahkan atau membunuh orang. Aku hanya ingm menyelidiki sebab kematian para pemuda dusun itu"
Kekaguman membayang dalam pandang mata Ki Lembu Petak. Jelaslah baginya bahwa pemuda ini memiliki kesaktian yang luar biasa dan ia bukanlah lawannya, akan tetapi, setelah mengalahkannya, pemuda ini tidak bersikap sombong, bahkan meminta maaf, maka iapun mengangguk-angguk.
"Bagus, kini aku tidak ragu-ragu lagi bahwa kau akan mampu mempertahankan diri dari gangguannya, tidak seperti para pemuda lainnya yang mati konyol itu"
"Gangguan siapa, paman?"
"Marilah, kita masuk ke dalam pondok dan bicara di dalam, Raden Nurseta"
"Aku bukan Raden, paman"
Kini pria yang gagah itu tersenyum. "Aku tahu bahwa kau bukan pemuda dusun biasa, Raden Nurseta. Mari, silakan masuk"
Nurseta tidak mau berbantah lagi dan diapun ikut masuk. Ruangan dalam pondok itu cukup luas dan sinar matahari masuk melalui celah jendela yang terbuka lebar. Sebuah pondok yang sehat dan bersih. Di sudut ruangan terdapat sebatang tombak dan beberapa macam senjata lain. Jelaslah bahwa jagoan ini suka berlatih silat dengan menggunakan senjata. Tidak nampak orang lain di situ, dan kesunyian semakin terasa.
Ki Lembu Petak mengambil satu sisir pisang raja dan meletakkannya di atas meja, sedangkan Nurseta dan Ki Lembu Petak duduk di atas tikar.
"Maaf, hanya inilah yang dapat aku suguhkan, Raden" katanya sambil mempersilahkan tamunya makan pisang.
Nurseta tidak sungkan lagi dan bersama tuan rumah, iapun memakan pisang raja yang sudah matang pohon dan rasanya manis dan sedap itu.
Ki Lembu Petak mulai bercerita. "Wanita yang kau lihat bertapa telanjang bulat di dalam goa itu bernama Jumirah. Dua ahun yang lalu ia itu masih menjadi isteriku"
"Isterimu, paman" Tapi ia bilang, bahwa suaminya dibunuh oleh Paman"
Lembu Petak tersenyum getir dan menarik nafas panjang, dan berkata "Ia telah berubah, seolah-olah ada iblis yang memasuki tubuhnya semenjak ia bertemu dengan mendiang Gagak ljo"
"Siapakah Gagak Ijo itu, paman?"
"Begini Raden. Kami sudah menjadi suami isteri dan hidup rukun selama hampir sepuluh tahun, walaupun kami masih belum mempunyai seorang keturunan. Pada suatu hari, kami kedatangan seorang tamu yang bernama Gagak Ijo. Sesungguhnya, dia hanya kenalan biasa saja, walaupun ia bukan seorang penjahat, namun cara hidupnya yang liar, dan wataknya yang mata keranjang dan suka mempermainkan wanita mengandalkan kepandaian dan ketampanannya, tidak cocok dengan watakku. Akan tetapi sebagai seorang tamu, dia harus kami terima dengan ramah. Dan apa yang tak terelakkanpun terjadilah. Entah mengapa, tiba-tiba saja watak isteriku, berubah dan agaknya ia tergila-gila kepada Gagak Ijo, atau membalas cumbu rayuan keparat itu. Mungkin juga terkena pengaruh aji japamantra dan guna guna. Sehingga terjadilah hubungan yang tidak sewajarnya diantara mereka...." ia berhenti dan menarik nafas panjang.
Nurseta mendengarkan dan diam saja, akan tetapi mendengar suara dan melihat sikap orang ini, dia condong untuk lebih percaya kepada Ki Lembu Petak dari pada Jumirah, wanita yang bertapa telanjang itu.
"Aku masih memaafkan mereka dan dengan tulus aku menasehati kepada Gagak Ijo agar dia menghentikan perbuatannya itu dan pergi dengan damai. Juga kuperingatkan isteriku dengan tulus. Aku sayang dan cinta padanya, bahkan sampai sekarangpun aku tidak membencinya. dan siap untuk menerimanya kembali dengan senang hati. Kumaafkan semua kesalahannya terhadap diriku. Akan tetapi........" Lembu Petak kembali menarik nafas panjang dan terlihat menyesal sekali.
"Gagak Ijo bukannya mundur, bahkan agaknya ia ingin menguasai isteriku sepenuhnya, dan mereka agaknya sudah sepakat untuk menyingkirkan aku, membunuhku. Mungkin karena mereka merasa lalu sendiri melihat aku memaafkan mereka, atau mungkin juga karena mereka tidak percaya kepadaku dan ingin melihat aku mati agar mereka tidak akan terganggu lagi. Malam itu, mereka menyerang aku dalam kamarku. Tentu saja aku membela diri dan dalam perkelahian itu, aku berhasil merobohkan Gagak Ijo. Dia tewas dan biarpun aku bersedia memaafkan isteriku, akan tetapi agaknya isteriku demikian sakit hati karena kematian kekasihnya dan iapun pergi bertapa telanjang dan bersumpah hendak membalas kematian Gagak Ijo"
Nurseta mengangguk-angguk. Diam-diam ia merasa iba kepada Lembu Petak, dan dan bergidik mengingat akan kecurangan dan kepalsuan Jumirah yang pernah menjadi isteri orang ini.
"Akan tetapi, para pemuda dusun itu......?"
"Itulah yang menyusahkan hatiku, Raden. Percayakah kau, bahwa aku telah membunuh para pemuda itu karena cemburu, padahal ketika pertama kali isteriku bermain gila dengan Gagak Ijo saja aku dapat mengalahkan perasaan cemburu" Para pemuda itu terpikat oleh kecantikan dan rayuan Jumirah. Ia menjanjikan akan menyerahkan dirinya kepada para pemuda itu kalau mereka mampu membunuh aku. Mereka memang datang ke sini ada yang menantangku, dan ada pula yang mencoba membohongi Jumirah. Yang menantangku, aku layani, dan aku kalahkan tanpa melukai mereka. Aku akan merasa malu sendiri harus melukai pemuda-pemuda yang hijau dan tidak memiliki kepandaian apapun. Setelah mereka kembali kepada Jumirah, ada yang diterimanya di dalam goanya selama satu dua malam, ada yang langsung dibunuhnya dengan melukai mereka. Jumirah memiliki ilmu pukulan yang amat berbahaya, tidak terasa berat bagi yang dipukulnya, akan tetapi dapat mematikan, karena pukulan itu beracun"
Nurseta percaya akan semua cerita Lembu Petak. "Akan tetapi, paman Lembu Petak. Kenapa paman mendiamkan saja isteri paman melakukan perbuatan jahat itu, dan paman tidak turun tangan mencegahnya?"
"Apa yang dapat kulakukan" Sudah berkali-kali aku mencoba untuk membujuknya, akan tetapi ia malah menghinaku dan bahkan selalu merimaku dengan serangan-serangan yang mematian, sehingga terpaksa aku menghindar" Ia berhenti sebentar, lalu "Raden, kau seorang yang bijaksana dan sakti mandraguna, biarpun kau masih muda, oleh karena itu, kiranya hanya kau yang dapat menolongku untuk menundukkan dan membujuk ia agar ia kembali ke jalan yang benar"
"Baiklah kalau begitu, sungguh ia merupakan seorang sangat berbahaya dan perlu dibimbing, paman. Marilah kita ke sana dan aku akan berusaha untuk membujuknya ataupun menundukkannya, kemudian terserah kepada paman setelah ia dapat kukalahkan. Mudah-mudahan aku mampu mengatasinya"
"Kau pasti bisa, Raden, karena tingkat kepandaiannya hanya sama dengan tingkatku, Bahkan aku masih lebih kuat darinya. Marilah Raden, mari kita berusaha agar ia sembuh dan tidak mendatangkan korban pemuda yang tidak berrdosa lagi"
Mereka berdua lalu menuruni lereng itu menuju ke hutan di mana Jumirah, bekas isteri Ki Lembu Petak bertapa dalam goa yang menyeramkan.
Sementara itu matahari sudah condong ke barat, cuaca tidak begitu panas, bahkan ketika mereka memasuki hutan itu, suasana di dalam hutan sudah mulai agak gelap.
Tiba-tiba Nurseta mendengar suara ribut-ribut seperti banyak orang berteriak-teriak dan datangnya dari arah goa itu. Nurseta terkejut dan cepat ia meloncat dan lari dengan cepat. Betapapun Ki Lembu Petak mengejarnya, tetap saja Lembu Petak tertinggal jauh.
Ketika Nurseta tiba di tempat itu, ia makin terkejut melihat sedikitnya ada tiga puluh orang laki-laki tua dan muda yang membawa segala macam senjata. Ada yang membawa tombak, golok, linggis bahkan ada pula yang membawa pacul. Sambil berteriak-teriak mereka menyerbu ke dalam goa. Diantara suara teriakan penduduk itu, terdengar suara ketawa melengking yang menyeramkan.
Nurseta melihat korban dari para penduduk sudah jatuh empat orang. Sedangkan wanita yang telanjang bulat itu masih berada di dalam goa, ia hanya menggunakan kedua tangannya saja menyambit-nyambitkan batu untuk membendung serbuan para petani itu, bahkan bahkan merobohkan empat orang.
Melihat hal ini, Nurseta cepat berseru kepada para petani itu. "Saudara sekalian harap mundur dan jangan menyerbu ke dalam goa"
Akan tetapi, para petani tidak mau mendengar perkataannya. Mereka sebagian adalah saudara atau keluarga dari pemuda pemuda yang telah menjadi korban iblis wanita yang telanjang itu dan kini mereka yang sedang dipenuhi dendam. Mereka adalah orang-orang yang diminta oleh ayah Dirun, dan sekarang mereka beramai-ramai datang menyerbu. Setakut-takutnya manusia, kalau sudah maju bersama kawan-kawan, maka keberaniannya menjadi berlipat ganda.
"Ha, ini pemuda itu. Lihatlah, iapun tidak berhasil, mungkin ia malah terpikat oleh siluman itu. Hanya kita yang mampu membasminya" berkata ayah Dirun ketika ia melihat Nurseta.
Kawan-kawannya menjadi semakin marah dan semakin nekat, mereka menyerbu ke mulut goa. Akan tetapi, batu-batu kecil menyambar dari dalam goa dan dua orang lagi roboh.
Iblis wanita itu kini sudah bangkit berdiri di mulut goa, rambutnya riap-riapan panjang sampai ke paha, menutupi sebagian payudara dan perut ke bawah. Kulitnya nampak kuning langsat dan mulus di balik rambut yang hitam itu. Wajahnya yang ayu dan manis kini nampak menyeramkan, karena ia sudah mulai marah. Kemudian ia melihat Nurseta hadir disitu, iapun terkekeh genit.
"Ah, kau telah kembali, Raden, bagaimana", apakah kau sudah berhasil membunuh Ki Lembu Petak". Mari, bantulah aku mengusir petani-petani busuk ini Raden. Setelah itu, baru akan aku serahkan segala yang aku miliki ini kepadamu, hi-hi-hik"
Akan tetapi, Nurseta yang khawatir sekali kalau diantara para petani ada yang terkena pukulan beracun, cepat ia melompat mendorong para petani yang paling depan. Maka petani yang berada paling depan terjengkang dan terhuyung-huyung ke belakang.
Akibat perbuatan Nurseta tersebut, maka, marahlah para petani itu terhadap Nurseta. mereka mengira bahwa pemuda itu benar-benar membantu siluman betina yang sedang mereka serbu. Kini senjata-senjata para petani diarahkan kepada Nurseta.
Nurseta hanya mengelak dan menangkis, ia juga maklum bahwa para petani sudah salah paham terhadapnya.
Sementara itu, Ki Lembu Petak telah tiba di tempat kejadian, dan melihat bahwa para petani berusaha mengeroyok Nurseta yang mencoba menghalangi mereka menyerbu ke dalam goa.
Tiba-tiba terdengar suara Nurseta menggelegar "Saudara-saudara sekalian, harap mundur dulu dan biarkan aku bicara dengan wanita itu"
Namun para petani yang sudah terlanjur salah paham, mereka mengira bahwa Nurseta adalah teman wanita iblis itu dan membantunya, mereka tidak mau mendengarkan seruannya.
Sementara itu, Jumirah yang tadinya terkekeh girang melihat Nurseta dikeroyok oleh penduduk dusun itu, dianggapnya pemuda itu benar-benar membelanya, tiba-tiba menjadi merah mukanya dan matanya mengeluarkan sinar kemerahan ketika ia melihat munculnya Ki Lembu Petak. Akan tetapi, pada saat itu tiba-tiba nampak bayangan hijau berkelebat dan tahu-tahu seorang wanita muda yang berwajah cantik dan bermuka dingin telah berdiri di depan Jumirah.
Gadis berpakaian serba hijau itu mendengus, suaranya lirih namun dingin dan menyeramkan. "Siluman betina tak tahu malu, kau tak layak hidup" cepat sekali gadis berpakaian hijau menerjang Jumirah dengan sebatang keris kecil melengkung yang mengeluarkan sinar kuning.
Jumirah terkejut, akan tetapi bebagai seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, ia tidak menjadi gentar. Karena ia mengenal pusaka ampuh, ia tidak berani menangkis dan cepat melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan di atas tanah, kedua tangannya bergerak dan sinar-sinar hitam berkelebatan ketika beberapa butir kerikil menyambar ke arah tubuh gadis berpakaian hijau itu.
Gadis itu ternyata memiliki kesaktian juga, ia berloncatan dengan gesit mengelak, dan kerisnya menangkis runtuh beberapa butir kerikil.
Ketika Jumirah meloncat bangun, gadis itu tiba-tiba mengeluarkan suara mendesis seperti seekor ular berbisa dan akibatnya sungguh hebat, Jumirah merasa tubuhnya kaku dan tidak mampu bergerak.
Pada saat itu, gadis berpakaian hijau telah menubruk ke depan, keris kuning yang kecil itu menusuk dada, lalu robohlah Jumirah. Ketika wanita yang telanjang bulat itu roboh, gadis berpakaian hijau itu lalu melompat dan lenyap diantara pohon-pohon.
Nurseta merasa tertegun melihat munculnya gadis berpakaian hijau yang sudah pernah dilihatnya. Gadis itu adalah gadis yang muncul ketika ia dan petani ketela dibajak dan perahunya digulingkan. Waktu itu, gadis itu membunuh lima orang bajak sungai, lalu melarikan diri dengan menyelam. Dan kini gadis itu muncul dan membunuh Jumirah, tanpa ada kesempatan untuk dapat mencegahnya. Karena selain ia sendiri dikeroyok oleh puluhan orang petani. Juga kecepatan bergerak dari gadis berpakaian hijau itu sangat cepat, sama seperti ketika gadis itu membunuh para bajak.
Setelah dua kali pertemuan, Nurseta kini dapat memastikan, bahwa gadis itu bukan lain adalah Wulansari. Akan tetapi, kalau benar ia Wulansari, mengapa ia diam saja ketika Nurseta memanggilnya. Dan mengapa pula sikapnya demikian dingin dan menyeramkan. Padahal, Wulansari yang pernah dikenalnya di tempat padepokan Panembahan Sidik Danasura, adalah seorang gadis yang manis dan sederhana, juga lemah lembut. Apakah gadis berpakaian serba hijau ini hanya mirip saja dengan Wulansari".
Sementara itu, melihat setan betina yang bernama Jumirah itu roboh, perkelahian itupun berhenti dengan sendirinya. Para Petani hanya memandang ke arah tubuh wanita telanjang yang menggeletak di depan goa, kemudian terdengar seseorang diantara mereka bersorak. Sorakan ini segera disusul oleh yang lain. Terdengarlah saura yang riuh rendah para penduduk dusun itu karena bersorak sorai gembira.
"Iblis wanita itu sudah mati"
"Siluman perempuan itu sudah mati. Para pemuda kita selamat"
Sementara para penduduk berteriak kegirangan, Ki Lembu Petakpun menghampiri tubuh bekas isterinya itu, wajahnya pucat, matanya terbelalak dan iapun berseru dengan suara yang panjang penuh getaran.
"Jumirah........"
Ki Lembu Petakpun tak kuasa menahan kesedihannya, lalu ia menubruk tubuh wanita yang bermandikan darah itu.
Disangkanya Jumirah sudah meninggal, ternyata tiba-tiba wanita iblis itu membuka kedua matanya, memandang kepada Lembu Petak yang merangkul dan memangkunya, kemudian terdengar suara Jumirah yang lemah bercampur isak tertahan, "Kakang......., kau....... kau..... harap kau maafkan aku kakang" kini leher itu terkulai dan nyawa itu meninggalkan tubuh yang telanjang dan mandi darah.
"Jumirah......!" Ki Lembu Petak mendekap tubuh itu sambil menangis.
Melihat kejadian ini, para penduduk dusun saling pandang dan agaknya mereka merasa tidak enak sendiri, karena tadi mereka bersorak-sorak gembira atas kematian wanita yang sedang ditangisi pria gagah itu. Seperti komando saja, mereka lalu perlahan-lahan meninggalkan tempat itu.
"Jumirah, oh isteriku, betapa buruk nasibmu" Ki Lembu Petak menangis.
"Paman, kenapa paman tidak mengejar pembunuhnya tadi berkata Nurseta untuk mengalihkan pikiran Ki Lembu Petak dari kedukaannya.
Ternyata usabanya berhasil. Ki Lembu Petak mengangkat wajahnya memandang kepadanya, lalu ia menarik nafas panjang, sadar betapa ia telah menurutkan hati yang berduka dan iapun menjawab "Raden Nurseta, kenapa aku harus mengejarnya" Untuk apa" Isteriku Jumirah telah melakukan banyak perbuatan sesat, telah melakukan banyak penyelewengan sehingga membunuh banyak orang, maka, kalau kini ia dibunuh orang, aku sama sekali tidak merasa penasaran. Lagipula, pembunuhnya itu tentu orang yang berilmu tinggi, sehingga ia mampu membunuh Jumirah dalam waktu yang sedemikian cepatnya. Aku bukanlah lawannya dan akupun tidak merasa harus menuntus balas atas kematian Jumirah"
Nurseta memandang heran dan berkata "Akan tetapai, kalau andika tidak merasa dendam, mengapa kini paman menangisi kematiannya?"
Ki Lembu Petak menatap wajah pemuda dan kini suaranya terdengar tegas dan tenang, agaknya dia sudah mampu menguasai perasaannya, "Aku sama sekali tidak menangisi kematiannya, aku hanya menangis karena ia di dalam keadaan sesat dan jahat, Raden" Setelah berkata demikian, Ki Lembu Petak lalu menggali sebuah lubang di depan goa itu dengan mempergunakan sebuah cangkul yang ditinggalkan oleh para petani ketika mereka tadi jatuh bangun dihajar olehnya dan Nurseta dalam usaha mencegah mereka mengeroyok Jumirah.
Dengan sederhana namun penuh khidmat Ki Lembu Petak mengubur jenazah bekas isterinya itu dan meletakkan sebuah batu besar sebagai nisan di atas kuburan Jumirah.
Sementara itu, hari telah berganti malam, Nurseta dan Ki Lembu Petak duduk di dalam goa bekas tempat pertapaan Jumirah, mereka membuat api unggun dan duduk bercakap-cakap. Goa itu bersih dan terawat.
"Paman, aku masih merasa heran dan kurang mengerti akan sikapmu tadi. Paman tadi mengatakan, bahwa paman tidak menangisi kematian isteri paman, melainkan menangisi kematianya yang dalam keadaan sesat dan jahat. Apa yang paman maksudkan dengan itu?"
Ki Lembu Petak menarik nafas panjang panjang, orang yang bertubuh tinggi besar dan gagah itu nampak seperti orang yang menyesal dan sedih.
"Ahh, aku dan isteriku adalah orang-orang yang penuh dosa, pernah malang melintang mengandalkan kepandaian kami, kadang-kadang kami memaksakan keinginan kami kepada orang lain dengan mengandalkan kekuatan. Ya, kami telah bergelimang dengan dosa. Akhirnya aku menyadari kekeliruan jalan hidup ini dan aku mengajak isteriku untuk mengasingkan dan membersihkan diri dari perbuatan jahat, hidup sebagai petani di pondok kecil. Kemudian terjadilah malapetaka bersama munculnya Gigak Ijo itu" Ki Lembu Petik menghela nafas panjang. Sedangkan Nurseta hanya mendengarkan saja penuh dengan penuh perhatian, karena ia emang tertarik untuk mengenal orang ini yang baru saja kehilangan isterinya dan berubah menjadi seorang iblis betina yang amat jahat.
"Semenjak mengajak isteriku pindah, aku bersama isteriku selalu berusaha untuk melakukan kebaikan-kebaikan. Akan tetapi sayangnya, perbuatan jahat di masa lalu tidak dapat ditebus dengan perbuatan-perbuatan baik. Setiap perbuatan jahat pasti akan ada hukumannya, seperti yang kami berdua rasakan" kembali Ki Lembu Petak menghela nafas panjang.
"Raden, kalau boleh aku mengetahui, sebetulnya siapakah Raden ini, dari mana dan hendak ke mana" Sehingga Raden dapat bertemu dengan isteriku, sehingga kau bertemu denganku?"
"Aku hanya seorang pemuda pengelana yang sedang mencari ayahku, paman" Nurseta berhenti sebentar, lalu "Ah, benar juga. Siapa tahu paman mengenal ayahku yang sedang aku cari-cari"
"Siapakah nama ayahmu, Raden Nurseta?"
"Ayahku bernama Ki Baka dan......"
"Lha-dalah........!" Ki Lembu Petak berseru kaget dan iapun memandang wajah pemuda itu. "Kiranya kau ini putera Ki Baka" Pantas........, pantas kalau begitu, kiranya kau putera seorang tokoh sakti mandraguna. Kebetulan sekali, Raden. Beberapa bulan yang lalu aku bertemu dengan Ki Baka"
Tentu saja berita itu sangat menggirangkan ahti Nurseta, agaknya Hyang Maha wihdi sendirilah yang telah menuntunnya sehingga ia bertemu dengan Jumirah dan suaminya ini, sehingga akhirnya ia dapat juga mendengar berita tentang ayah kandungnya.
"Di mana ia sekarang, paman?"
"Ketika itu, aku sedang menuju ke puncak gunung Kelud ini, dan tanpa aku sengaja, aku lewat di depan sebuah gubuk terpencil. Karena sebelumnya aku tidak pernah melihat gubuk itu, hatiku tertarik dan akupun singgah untuk melihat, siapakah penghuni gubuk itu. Aku melihat ke dalam gubuk itu dan aku melihat Ki Baka duduk bersila. Aku segera mengenalnya karena beberapa belas tahun yang lalu aku pernah bertemu dengan satria yang gagah perkasa itu. Aku masuk dan menyalaminya, ternyata iapun masih mengenalku, akan tetapi ia minta agar aku tidak bercerita dengan siapapun juga tentang pertemuan dengannya, dan merahasiakan tempat tinggalnya itu" Ki Lembu Petak berhenti sebentar, kemudian ia menarik nafas panjang, lalu "Raden, Ki Baka dalam keadaan Sakit"
"Sakit" Paman, di mana tempat itu?"
"Di dekat puncak, kalau dari sini Raden terus mendaki kearah puncak, Nanti Raden akan menemukan gubuk itu".."
"Terima kasih, paman" Nurseta memotong keterangan Lembu Petak dan sekali berkelebat, Nurseta sudah lenyap dari hadapan orang yang tinggi besar itu. Ki Lembu Petak hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala penuh kagum dan diapun pergi meninggalkan goa dan makam isterinya, setelah melihat sekali lagi kearah makam itu untuk terakhir kalinya. Dengan langkah tegap dan lapang dada dan dengan harapan baru serta dengan pandang mata baru, seolah-olah cahaya matahari lebih terang dari pada biasanya, Ki Lembu Petak meninggalkan Gunung Kelud, untuk memulai hidup baru.
*** Sementara itu di puncak Gunung Kelud terdapat sebuah gubuk kecil sederhana dan di dalam gubuk inilah Ki Baka tinggal. Semenjak ia dilukai oleh Wiku Bayunirada, seorang kakek sakti seperti iblis itu yang telah menipunya dan berhasil merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala, Kini Ki Baka menjadi seorang yang lemah kesehatan jasmaninya. Usahanya untuk mengobati dirinya selalu gagal karena pengobatan itu memerlukan hawa murni yang sakti untuk melawan pukulan beracun itu, namun setiap kali ia mencoba untuk mengerahkan tenaga sakti itu, ia merasa dadanya sesak dan roboh pingsan. Akhirnya Ki Baka menghentikan usahanya, lalu mencoba untuk mencari puteranya, Nurseta yang sepengetahuannya bertapa di Goa Kantong Bolong.
Dalam keadaan tubuh lemah, amat sukarlah baginya untuk memasuki goa di tebing yang curam itu. Akan tetapi ia tidak berputus asa, dengan susah payah akhirnya Ki Baka berhasil tiba di Goa Kantong Bolong. Tetapi apa daya, ia hanya mendapatkan kekecewaan dan kegelisahan yang sangat, karena ia tidak menemukan puteranya di tempat itu. Nurseta telah lenyap tanpa jejak.
Hilangnya Nurseta ini merupakan pukulan berat bagi Ki Baka, jauh lebih berat dari pada kehilangan tombak pusaka Ki Tejanirmala, lebih berat dari pada keadaan dirinya yang menderita luka pukulan beracun. Dalam keadaan yang lemah itu ia mencoba untuk mencari, namun sekian lama ia mencari, semua usahanya itu sia-sia belaka.
Bertahun-tahun Ki Baka hidup merana, dalam keadaan lemah dan makin lama menjadi semakin parah, kedukaannya semakin mendalam karena memikirkan tentang Nurseta. Akhirnya ia seperti orang berputus asa. Ia telah kehilangan Nurseta dan kehilangan tombak pusaka dan ia tidak berdaya untuk medapatkan keduanya.
Dalam keputus-asannya, Ki Baka mendaki Gunung Kelud, ia ingin menghabiskan sisa hidupnya untuk bertapa tempat itu sampai maut merenggut nyawanya, mungkin melalui letusan gunung yang selalu mengeluarkan asap panas itu.
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika pada suatu hari, di gubuknya muncul seorang laki-laki gagah perkasa yang mengenalnya. Dan iapun mengenal laki-laki itu, yang bukan lain adalah Ki Lembu Petak. Ia sudah merasa jemu untuk berlari dan bersembunyi lagi. Biarlah, ia tidak akan sembunyi lagi akan tetapi dia memesan kepada Lembu Petak agar merahasiakan tempat tinggalnya, karena selain ia sedang menderita sakit, juga Ki Baka tidak ingin terganggu oleh urusan di luar dirinya.
Agaknya Hyang Maha Agung belum ingin mencabut nyawanya, karena dalam keadaan mengasingkan diri itu, ia bertemu dengan seorang gadis serta ayahnya yang sudah menduda. Mereka tinggal di dusun dekat puncak, di dusun terpencil, dan pada suatu waktu, Ki Baka berjalan-jalan lewat dusun itu, ia mendengar gadis itu menangis dengan amat sedihnya, Ki Baka menghampiri rumah mereka dan mendapat kenyataan bahwa ayah gadis itu sedang menderita sakit panas yang parah. Dengan pengetahuannya yang cukup mengenai jamu-jamuan, Ki Baka yang selalu mengulurkan tangan untuk menolong, segera ia menyuruh gadis itu untuk mencari daun-daun jamu di dalam hutan dan memberitahu cara mengobati ayahnya dengan jamu itu, Akhirya, petani itupun sembuh.
Nurseta memandang heran. Wanita ini mengatakan bertapa seperti itu karena dendam, akan tetapi mengapa banyak pemuda yang tewas di tangannya"
"Apakah yang telah terjadi?" tanyanya memancing.
"Aku seorang janda yang malang" wanita itu mulai dengan ceritanya, suaranya gemetar penuh kedukaan "Tadinya aku hidup bersama suamiku tercinta. Kami belum mempunyai anak. Tetapi pada suatu hari, suamiku itu tewas. Dibunuh seorang laki-laki yang menginginkan diriku, akan tetapi aku menolaknya. Aku tidak mempunyai siapa-siapa lagi setelah suamiku tewas, maka aku kemudian bersumpah untuk bertapa di dalam goa ini sampai dendam suamiku terbalas"
Nurseta menjadi semakin tertarik "Akan tetapi, kanapa andika hanya duduk bertapa seperti ini, bagaimana dendam itu dapat terbalas?"
"Aku menanti datangnya dewa penolong. Aku menanti datangnya seorang pria yang cukup jantan untuk membantu seorang wanita yang sengsara seperti aku ini, untuk menantang laki-laki biadab itu dan membunuhnya. Dan kepada pria yang berhasil melaksanakan dendamku itu, aku akan menyerahkan segala-galanya, diriku, cintaku, kesetiaanku dan selama hidupku akan abdikan kepadanya" ia berhenti sebentarl, lalu "Ki sanak, aku melihat bahwa kau bukan seorang pemuda sembarangan. Aku memohon kepadamu, ki sanak. Sudilah kiranya kau membebaskan aku dari kesengsaraan ini. Bunuhlah laki-laki jahanam itu, dan aku akan menghambakan diri kepadamu dengan seluruh penyerahan jiwa ragaku"
Wanita itu mengangkat kedua lengannya ke depan, seperti orang memohon, gayanya orang mengajak atau memikat, siap menerima pemuda itu dalam pelukannya.
Nurseta mengerutkan alisnya, lalu bertanya "Lalu mengapa banyak pemuda dari dusun-dusun di sekitar kaki Gunung Kelud ini mati dalam keadaan terluka parah, kabar yang tersebar, mereka menjadi korbanmu?" Ucapan ini dikeluarkan dengan nada menuduh, sedangkan sepasang mata pemuda itu memandang penuh seiidik.
"Aahhh....... mereka itu hanyalah pemuda-pemuda dusun yang bodoh, yang hanya menginginkan diriku, akan tetapi tidak memiliki kepandaian sedikitpun juga sehingga ketika mereka mencoba untuk membunuh jahanam itu, mereka sendiri yang menderita luka parah dan akhirnya tewas. Bukan salahku, melainkan kesalahan mereka sendiri yang bodoh dan lemah"
Nurseta tertegun, kiranya para pemuda itu tewas karena dilukai musuh wanita ini. Benarkah itu" ia harus menyelidikinya. Kemudian ia berkata "Siapakah laki-laki itu dan di mana tempat tinggalnya?"
Sepasang mata yang indah itu kini berkilat dan wajah yang ayu manis itu berseri. "Apakah kau sudi menolongku?"
"Kita lihat saja nanti, akan tetapi aku ingin menjumpainya"
"Ah, Raden Nurseta. Terima kasih sebelumnya. Aku merasa yakin bahwa kalau kau yang maju, akhirnya dendam sakit hati ini pasti akan terbalas, dan aku akan bebas dari tempat ini. Aku akan merasa berbahagia sekali kalau dapat menghambakan diri kepadamu, Raden"
"Hemm, aku melakukan sesuatu tanpa pamrih atau menyenangkan diriku sendiri, dan aku belum yakin akan mampu mengalahkan laki-laki yang agaknya sakti itu. Katakanlah, siapa dia dan di mana tempat tinggalnya?"
"Namanya Lembu Petak, dan ia tinggal di lereng Gunung Kelud sebelah selatan, tidak jauh dari sini. Kalau kau terus mendaki gunung ini, berjalankah lurus saja, setelah melewati dusun Lahar, kau akan tiba di padepokan yang berada di luar dusun itu. Nah, di sanalah dia berada, Raden Nurseta"
"Baik, aku akan pergi mencarinya"
"Nanti dulu, Raden. Masuklah dulu ke sini, aku perlu menjamumu untuk membesarkan semangat dan sebagai tanda terima kasihku" Wanita itu kembali mengembangkan kedua lengannya dan tersenyum manis sekali, dengan pandang mata penuh daya pikat.
Nurseta menggeleng kepalanya. "Sudah aku katakan bahwa aku melakukan sesuatu tanpa pamrih. Sekarang aku pergi" sambil berkata demikian, Nurseta meloncat dan sekali berkelebat iapun lenyap dari depan goa.
Wanita itu terbelalak kagum, lalu tersenyum lebar, matanya berkilat, lalu ia memukul telapak tangan kiri dengan kepalan tangan kanannya.
"Ah, ia benar seorang sakti. Sekali ini engkau akan mampus, Lembu Petak!"
Sementara itu, Nurseta melakukan pendakian dengan cepat sambil mengerahkan kepandaiannya dan sebentar saja diapun sudah tiba di dusun Lahar. Di situ Nurseta mendaki terus. Dan benar saja, di luar dusun itu, Nurseta melihat sebuah pondok yang sedang besarnya, Pondok itu berdiri terpencil di luar dusun, kelihatan sunyi dan tenteram. Di luar rumah terdapat dua sangkar burung perkutut yang digantung di ujung batang bambu yang tinggi.
Dari jauh sudah terdengar nyanyian perkutut itu yang saling bersahutan. Suara perkutut menambah suasana yang tenteram dan tenang. Namun Hati Nurseta tidak bisa menikmati nyayian merdu suara perkutut itu, karena kedatangannya untuk menganggu dan mengacaukan suasana yang tenang dan damai itu.
Baru saja Nurseta tiba di luar pondok, dari dalam muncul seorang laki-laki yang usianya sekitar empatpuluh tahun, seorang pria yang gagah perkasa, bertubuh tinggi besar, wajahnya gagah seperti Arya Sena, kulitnya bersih dan kumis serta jenggotnya terpelihara rapi. Pakaiannya sederhana saja, dengan haju hitam yang terbuka bagian dadanya, memperlihatkan dada yang bidang dan kokoh kuat.
Akan tetapi, wajah yang gagah itu kini nampak muram, kemerahan dan matanya bersinar tajam, tanda bahwa dia sedang marah.
"Hemm, orang muda, apakah kau seorang diantara para pemuda tolol yang tergila-gila oleh kecantikan iblis betina itu, dan mau saja diperintah untuk membunuhku?"
Disambut dengan pertanyaan seperti itu, Nurseta tetap tenang, bahkan dia tersenyum. "Maaf Ki Sanak, apakah benar Ki Sanak ini yang bernama Ki Lembu Petak?"
Laki-laki gagah itu memang Lembu Petak dan ia agak heran melihat sikap Nurseta yang tenang dan sopan, tidak seperti para pemuda-pemuda sebelumnya yang datang-datang bersikap keras hendak membunuhnya, padahal tak seorangpun diantara mereka itu yang memiliki kepandaian yang berarti.
"Benar, akulah Ki Lembu Petak. Dan siapakah kau orang muda" Apa maksudmu datang berkunjung" Benarkah dugaanku bahwa kau datang karena diutus wanita yang bertapa telanjang di dalam goa itu untuk membunuhku?"
Dihujani pertanyaan itu, Nurseta kembali tersenyum. "Harap Ki Sanak tenang dan biarkan aku bercerita. Namaku Nurseta, seorang pengembara dan ketika aku lewat di kaki Gunung Kelud, aku mendengar akan kematian banyak pemuda dusun yang katanya menjad korban seorang wanita yang bertapa di dalam goa. Karena tertarik, aku lalu datang mengunjungi wanita itu. Ia menceritakan bahwa ia mendendam kepada seorang musuhnya bernama Lembu Petak yang katanya telah membunuh suaminya yang tercinta. Kemudian, berturut-turut para pemuda dusun datang untuk membantunya membalas dendam, akan tetapi para pemuda itu semua kalah olehmu dan menderita luka parah sampai kemudian tewas. Nah, kedatanganku ini sama sekali bukan karena diutus oleh wanita yang tidak mau menyebutkan namanya itu, melainkan untuk menyelidiki kebenaran ceritanya"
"Hemm, kalau benar bagaimana?"
Nurseta memandang tajam dan Lembu Petak yang diam-diam terkejut, karena pemuda ini yang sikapnya lembut dan sopan, tiba-tiba saja sepasang matanya dapat mencorong penuh wibawa dan menakutkan.
"Kalau cerita itu benar, terpaksa aku harus turun tangan. Sudah menjadi tugas setiap orang yang menjujung kebenaran dan keadilan untuk turun tangan menentang kejahatan dan membela kebenaran, yang melingungi yang lemah dan tertindas. Tetapi sekali lagi, apakah benar semua cerita yang dikatakan wanita itu?"
"Dan bagaimana jika cerita itu tidak benar?"
"Kalau tidak benar, aku akan melakukan penyelidikan sampai mendapatkan kenyataan yang sebenarnya. Siapa pembunuh para pemuda-pemuda itu dan mengapa" Barulah aku akan turun tangan menentang mereka yang bersalah"
Ki Lembu Petak tertawa. "Ha-ha-ha, orang muda. Sikapmu memang mengesankan sekali, ha-ha-ha" Ia berhenti sebentar, lalu "Kau terlihat sopan dan lembut, juga pemberani. Akan tetapi kau bicara seolah-olah kau sudah pasti dapat membereskan persoalan ini, dan mampu menandingi siapa saja yang menjadi lawanmu. Sikapmu membangkitkan keinginanku untuk menguji sampai di mana kepandaianmu. Kau yang masih begini muda sudah mempunyai keberanian dan kepercayaan diri yang tinggi" ia berhenti sebentar, lalu "Nah, sambutlah seranganku, orang muda"
Pria tinggi besar yang bertubuh kokoh kuat itu sudah menerjang maju dengan pukulan lurus ke arah dada Nurseta, sedangkan tangan kirinya mengirim serangan lain. Melihat datangnya pukulan yang kuat itu, Nurseta mengelak dengan mudahnya. Tangan kiri Lembu Petak menyusulkan tamparan ke arah pundak, akan tetapi kembali Nurseta mengelak dengan muda saja, hanya dengan memiringkan tubuhnya. Sedangkan kalau saja Nurseta mau, tentu saja dia dapat membalas secara kontan, akan tetapi Nurseta tidak mau menurunkan tangan keras, karena ia maklum bahwa orang gagah ini hanya mengujinya saja, tidak bermaksud ingin mencelakainya.
Setelah kedua serangannya dapat dielakkan lawan secara mudah, Ki Lembu Petak mulai maklum bahwa pemuda ini memang bukan orang sembarangan. Gerakannya demikian ringan dan sikapnya demikian tenang. Sehingga ia merasa penasaran. Kini, sambil mengeluarkan bentakan nyaring, Pria tinggi besar itupun menghujamkan pukulan dan tendangan yang cukup dahsyat kearah Nurseta. Namun semua pukulan dan tendangan yang ia lancarkan itu tetap saja tidak menggunakan tenaga penuh. Agaknya akan segera ia tarik kembali kalau pukulannya mengenai sasaran.
Nurseta maklum akan hal itu, maka iapun terus berloncatan dan mengelak.
Hal ini membuat Lembu Petak menjadi penasaran bukan main. Bagaimanapun juga, nama Ki Lembu Petak dari Gunung Kelud, adalah nama yang sangat terkenal sebagai seorang jagoan yang sukar dicari bandingnya. Kalau ia sampai dikalahkan orang, hal itu dapat diterimanya, karena ia maklum bahwa di permukaan bumi ini terdapat banyak sekali orang yang sakti mandraguna. Akan tetapi, selamanya ia belum pernah menemukan lawan seorang yang masih amat muda, akan tetapi yang dapat menghindarkan diri dari semua serangannya dengan mudahnya. Ia merasa seperti menyerang seekor burung srikatan atau burung walet saja, atau bahkan menyerang bayangan. Maka, iapun kini menyerang sambil mengerahkan tambahan tenaganya dan mempercepat gerakannya.
Melihat perubahan gerakan ini, Nurseta juga maklum bahwa lawannya menjadi penasaran, maka iapun tidak ingin mempermainkannya lebih lama lagi, Begitu melihat lawannya menyerangnya dengan dorongan kedua tangannya, mengarah dada dan wajahnya, maka, iapun menyambut dengan kedua tangannya.
Akibat dari pertemuan dua pasang telapak tangan itu membuat Ki Lembu Petak terjengkang ke belakang dan terguling-guling seperti baru saja dilanda angin lesus.
Akhirnya, dapat juga ia bangkit dengan tubuh babak bundas dan ia berdiri memandang Nurseta dengan wajah pucat dan mata terbelalak.
Nurseta cepat melangkah maju menghampiri dan berkata dengan sikap hormat "Paman Lembu Petak, harap suka maafkan aku, karena sungguh bukan maksudku untuk mengalahkan atau membunuh orang. Aku hanya ingm menyelidiki sebab kematian para pemuda dusun itu"
Kekaguman membayang dalam pandang mata Ki Lembu Petak. Jelaslah baginya bahwa pemuda ini memiliki kesaktian yang luar biasa dan ia bukanlah lawannya, akan tetapi, setelah mengalahkannya, pemuda ini tidak bersikap sombong, bahkan meminta maaf, maka iapun mengangguk-angguk.
"Bagus, kini aku tidak ragu-ragu lagi bahwa kau akan mampu mempertahankan diri dari gangguannya, tidak seperti para pemuda lainnya yang mati konyol itu"
"Gangguan siapa, paman?"
"Marilah, kita masuk ke dalam pondok dan bicara di dalam, Raden Nurseta"
"Aku bukan Raden, paman"
Kini pria yang gagah itu tersenyum. "Aku tahu bahwa kau bukan pemuda dusun biasa, Raden Nurseta. Mari, silakan masuk"
Nurseta tidak mau berbantah lagi dan diapun ikut masuk. Ruangan dalam pondok itu cukup luas dan sinar matahari masuk melalui celah jendela yang terbuka lebar. Sebuah pondok yang sehat dan bersih. Di sudut ruangan terdapat sebatang tombak dan beberapa macam senjata lain. Jelaslah bahwa jagoan ini suka berlatih silat dengan menggunakan senjata. Tidak nampak orang lain di situ, dan kesunyian semakin terasa.
Ki Lembu Petak mengambil satu sisir pisang raja dan meletakkannya di atas meja, sedangkan Nurseta dan Ki Lembu Petak duduk di atas tikar.
"Maaf, hanya inilah yang dapat aku suguhkan, Raden" katanya sambil mempersilahkan tamunya makan pisang.
Nurseta tidak sungkan lagi dan bersama tuan rumah, iapun memakan pisang raja yang sudah matang pohon dan rasanya manis dan sedap itu.
Ki Lembu Petak mulai bercerita. "Wanita yang kau lihat bertapa telanjang bulat di dalam goa itu bernama Jumirah. Dua ahun yang lalu ia itu masih menjadi isteriku"
"Isterimu, paman" Tapi ia bilang, bahwa suaminya dibunuh oleh Paman"
Lembu Petak tersenyum getir dan menarik nafas panjang, dan berkata "Ia telah berubah, seolah-olah ada iblis yang memasuki tubuhnya semenjak ia bertemu dengan mendiang Gagak ljo"
"Siapakah Gagak Ijo itu, paman?"
"Begini Raden. Kami sudah menjadi suami isteri dan hidup rukun selama hampir sepuluh tahun, walaupun kami masih belum mempunyai seorang keturunan. Pada suatu hari, kami kedatangan seorang tamu yang bernama Gagak Ijo. Sesungguhnya, dia hanya kenalan biasa saja, walaupun ia bukan seorang penjahat, namun cara hidupnya yang liar, dan wataknya yang mata keranjang dan suka mempermainkan wanita mengandalkan kepandaian dan ketampanannya, tidak cocok dengan watakku. Akan tetapi sebagai seorang tamu, dia harus kami terima dengan ramah. Dan apa yang tak terelakkanpun terjadilah. Entah mengapa, tiba-tiba saja watak isteriku, berubah dan agaknya ia tergila-gila kepada Gagak Ijo, atau membalas cumbu rayuan keparat itu. Mungkin juga terkena pengaruh aji japamantra dan guna guna. Sehingga terjadilah hubungan yang tidak sewajarnya diantara mereka...." ia berhenti dan menarik nafas panjang.
Nurseta mendengarkan dan diam saja, akan tetapi mendengar suara dan melihat sikap orang ini, dia condong untuk lebih percaya kepada Ki Lembu Petak dari pada Jumirah, wanita yang bertapa telanjang itu.
"Aku masih memaafkan mereka dan dengan tulus aku menasehati kepada Gagak Ijo agar dia menghentikan perbuatannya itu dan pergi dengan damai. Juga kuperingatkan isteriku dengan tulus. Aku sayang dan cinta padanya, bahkan sampai sekarangpun aku tidak membencinya. dan siap untuk menerimanya kembali dengan senang hati. Kumaafkan semua kesalahannya terhadap diriku. Akan tetapi........" Lembu Petak kembali menarik nafas panjang dan terlihat menyesal sekali.
"Gagak Ijo bukannya mundur, bahkan agaknya ia ingin menguasai isteriku sepenuhnya, dan mereka agaknya sudah sepakat untuk menyingkirkan aku, membunuhku. Mungkin karena mereka merasa lalu sendiri melihat aku memaafkan mereka, atau mungkin juga karena mereka tidak percaya kepadaku dan ingin melihat aku mati agar mereka tidak akan terganggu lagi. Malam itu, mereka menyerang aku dalam kamarku. Tentu saja aku membela diri dan dalam perkelahian itu, aku berhasil merobohkan Gagak Ijo. Dia tewas dan biarpun aku bersedia memaafkan isteriku, akan tetapi agaknya isteriku demikian sakit hati karena kematian kekasihnya dan iapun pergi bertapa telanjang dan bersumpah hendak membalas kematian Gagak Ijo"
Nurseta mengangguk-angguk. Diam-diam ia merasa iba kepada Lembu Petak, dan dan bergidik mengingat akan kecurangan dan kepalsuan Jumirah yang pernah menjadi isteri orang ini.
"Akan tetapi, para pemuda dusun itu......?"
"Itulah yang menyusahkan hatiku, Raden. Percayakah kau, bahwa aku telah membunuh para pemuda itu karena cemburu, padahal ketika pertama kali isteriku bermain gila dengan Gagak Ijo saja aku dapat mengalahkan perasaan cemburu" Para pemuda itu terpikat oleh kecantikan dan rayuan Jumirah. Ia menjanjikan akan menyerahkan dirinya kepada para pemuda itu kalau mereka mampu membunuh aku. Mereka memang datang ke sini ada yang menantangku, dan ada pula yang mencoba membohongi Jumirah. Yang menantangku, aku layani, dan aku kalahkan tanpa melukai mereka. Aku akan merasa malu sendiri harus melukai pemuda-pemuda yang hijau dan tidak memiliki kepandaian apapun. Setelah mereka kembali kepada Jumirah, ada yang diterimanya di dalam goanya selama satu dua malam, ada yang langsung dibunuhnya dengan melukai mereka. Jumirah memiliki ilmu pukulan yang amat berbahaya, tidak terasa berat bagi yang dipukulnya, akan tetapi dapat mematikan, karena pukulan itu beracun"
Nurseta percaya akan semua cerita Lembu Petak. "Akan tetapi, paman Lembu Petak. Kenapa paman mendiamkan saja isteri paman melakukan perbuatan jahat itu, dan paman tidak turun tangan mencegahnya?"
"Apa yang dapat kulakukan" Sudah berkali-kali aku mencoba untuk membujuknya, akan tetapi ia malah menghinaku dan bahkan selalu merimaku dengan serangan-serangan yang mematian, sehingga terpaksa aku menghindar" Ia berhenti sebentar, lalu "Raden, kau seorang yang bijaksana dan sakti mandraguna, biarpun kau masih muda, oleh karena itu, kiranya hanya kau yang dapat menolongku untuk menundukkan dan membujuk ia agar ia kembali ke jalan yang benar"
"Baiklah kalau begitu, sungguh ia merupakan seorang sangat berbahaya dan perlu dibimbing, paman. Marilah kita ke sana dan aku akan berusaha untuk membujuknya ataupun menundukkannya, kemudian terserah kepada paman setelah ia dapat kukalahkan. Mudah-mudahan aku mampu mengatasinya"
"Kau pasti bisa, Raden, karena tingkat kepandaiannya hanya sama dengan tingkatku, Bahkan aku masih lebih kuat darinya. Marilah Raden, mari kita berusaha agar ia sembuh dan tidak mendatangkan korban pemuda yang tidak berrdosa lagi"
Mereka berdua lalu menuruni lereng itu menuju ke hutan di mana Jumirah, bekas isteri Ki Lembu Petak bertapa dalam goa yang menyeramkan.
Sementara itu matahari sudah condong ke barat, cuaca tidak begitu panas, bahkan ketika mereka memasuki hutan itu, suasana di dalam hutan sudah mulai agak gelap.
Tiba-tiba Nurseta mendengar suara ribut-ribut seperti banyak orang berteriak-teriak dan datangnya dari arah goa itu. Nurseta terkejut dan cepat ia meloncat dan lari dengan cepat. Betapapun Ki Lembu Petak mengejarnya, tetap saja Lembu Petak tertinggal jauh.
Ketika Nurseta tiba di tempat itu, ia makin terkejut melihat sedikitnya ada tiga puluh orang laki-laki tua dan muda yang membawa segala macam senjata. Ada yang membawa tombak, golok, linggis bahkan ada pula yang membawa pacul. Sambil berteriak-teriak mereka menyerbu ke dalam goa. Diantara suara teriakan penduduk itu, terdengar suara ketawa melengking yang menyeramkan.
Nurseta melihat korban dari para penduduk sudah jatuh empat orang. Sedangkan wanita yang telanjang bulat itu masih berada di dalam goa, ia hanya menggunakan kedua tangannya saja menyambit-nyambitkan batu untuk membendung serbuan para petani itu, bahkan bahkan merobohkan empat orang.
Melihat hal ini, Nurseta cepat berseru kepada para petani itu. "Saudara sekalian harap mundur dan jangan menyerbu ke dalam goa"
Akan tetapi, para petani tidak mau mendengar perkataannya. Mereka sebagian adalah saudara atau keluarga dari pemuda pemuda yang telah menjadi korban iblis wanita yang telanjang itu dan kini mereka yang sedang dipenuhi dendam. Mereka adalah orang-orang yang diminta oleh ayah Dirun, dan sekarang mereka beramai-ramai datang menyerbu. Setakut-takutnya manusia, kalau sudah maju bersama kawan-kawan, maka keberaniannya menjadi berlipat ganda.
"Ha, ini pemuda itu. Lihatlah, iapun tidak berhasil, mungkin ia malah terpikat oleh siluman itu. Hanya kita yang mampu membasminya" berkata ayah Dirun ketika ia melihat Nurseta.
Kawan-kawannya menjadi semakin marah dan semakin nekat, mereka menyerbu ke mulut goa. Akan tetapi, batu-batu kecil menyambar dari dalam goa dan dua orang lagi roboh.
Iblis wanita itu kini sudah bangkit berdiri di mulut goa, rambutnya riap-riapan panjang sampai ke paha, menutupi sebagian payudara dan perut ke bawah. Kulitnya nampak kuning langsat dan mulus di balik rambut yang hitam itu. Wajahnya yang ayu dan manis kini nampak menyeramkan, karena ia sudah mulai marah. Kemudian ia melihat Nurseta hadir disitu, iapun terkekeh genit.
"Ah, kau telah kembali, Raden, bagaimana", apakah kau sudah berhasil membunuh Ki Lembu Petak". Mari, bantulah aku mengusir petani-petani busuk ini Raden. Setelah itu, baru akan aku serahkan segala yang aku miliki ini kepadamu, hi-hi-hik"
Akan tetapi, Nurseta yang khawatir sekali kalau diantara para petani ada yang terkena pukulan beracun, cepat ia melompat mendorong para petani yang paling depan. Maka petani yang berada paling depan terjengkang dan terhuyung-huyung ke belakang.
Akibat perbuatan Nurseta tersebut, maka, marahlah para petani itu terhadap Nurseta. mereka mengira bahwa pemuda itu benar-benar membantu siluman betina yang sedang mereka serbu. Kini senjata-senjata para petani diarahkan kepada Nurseta.
Nurseta hanya mengelak dan menangkis, ia juga maklum bahwa para petani sudah salah paham terhadapnya.
Sementara itu, Ki Lembu Petak telah tiba di tempat kejadian, dan melihat bahwa para petani berusaha mengeroyok Nurseta yang mencoba menghalangi mereka menyerbu ke dalam goa.
Tiba-tiba terdengar suara Nurseta menggelegar "Saudara-saudara sekalian, harap mundur dulu dan biarkan aku bicara dengan wanita itu"
Namun para petani yang sudah terlanjur salah paham, mereka mengira bahwa Nurseta adalah teman wanita iblis itu dan membantunya, mereka tidak mau mendengarkan seruannya.
Sementara itu, Jumirah yang tadinya terkekeh girang melihat Nurseta dikeroyok oleh penduduk dusun itu, dianggapnya pemuda itu benar-benar membelanya, tiba-tiba menjadi merah mukanya dan matanya mengeluarkan sinar kemerahan ketika ia melihat munculnya Ki Lembu Petak. Akan tetapi, pada saat itu tiba-tiba nampak bayangan hijau berkelebat dan tahu-tahu seorang wanita muda yang berwajah cantik dan bermuka dingin telah berdiri di depan Jumirah.
Gadis berpakaian serba hijau itu mendengus, suaranya lirih namun dingin dan menyeramkan. "Siluman betina tak tahu malu, kau tak layak hidup" cepat sekali gadis berpakaian hijau menerjang Jumirah dengan sebatang keris kecil melengkung yang mengeluarkan sinar kuning.
Jumirah terkejut, akan tetapi bebagai seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, ia tidak menjadi gentar. Karena ia mengenal pusaka ampuh, ia tidak berani menangkis dan cepat melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan di atas tanah, kedua tangannya bergerak dan sinar-sinar hitam berkelebatan ketika beberapa butir kerikil menyambar ke arah tubuh gadis berpakaian hijau itu.
Gadis itu ternyata memiliki kesaktian juga, ia berloncatan dengan gesit mengelak, dan kerisnya menangkis runtuh beberapa butir kerikil.
Ketika Jumirah meloncat bangun, gadis itu tiba-tiba mengeluarkan suara mendesis seperti seekor ular berbisa dan akibatnya sungguh hebat, Jumirah merasa tubuhnya kaku dan tidak mampu bergerak.
Pada saat itu, gadis berpakaian hijau telah menubruk ke depan, keris kuning yang kecil itu menusuk dada, lalu robohlah Jumirah. Ketika wanita yang telanjang bulat itu roboh, gadis berpakaian hijau itu lalu melompat dan lenyap diantara pohon-pohon.
Nurseta merasa tertegun melihat munculnya gadis berpakaian hijau yang sudah pernah dilihatnya. Gadis itu adalah gadis yang muncul ketika ia dan petani ketela dibajak dan perahunya digulingkan. Waktu itu, gadis itu membunuh lima orang bajak sungai, lalu melarikan diri dengan menyelam. Dan kini gadis itu muncul dan membunuh Jumirah, tanpa ada kesempatan untuk dapat mencegahnya. Karena selain ia sendiri dikeroyok oleh puluhan orang petani. Juga kecepatan bergerak dari gadis berpakaian hijau itu sangat cepat, sama seperti ketika gadis itu membunuh para bajak.
Setelah dua kali pertemuan, Nurseta kini dapat memastikan, bahwa gadis itu bukan lain adalah Wulansari. Akan tetapi, kalau benar ia Wulansari, mengapa ia diam saja ketika Nurseta memanggilnya. Dan mengapa pula sikapnya demikian dingin dan menyeramkan. Padahal, Wulansari yang pernah dikenalnya di tempat padepokan Panembahan Sidik Danasura, adalah seorang gadis yang manis dan sederhana, juga lemah lembut. Apakah gadis berpakaian serba hijau ini hanya mirip saja dengan Wulansari".
Sementara itu, melihat setan betina yang bernama Jumirah itu roboh, perkelahian itupun berhenti dengan sendirinya. Para Petani hanya memandang ke arah tubuh wanita telanjang yang menggeletak di depan goa, kemudian terdengar seseorang diantara mereka bersorak. Sorakan ini segera disusul oleh yang lain. Terdengarlah saura yang riuh rendah para penduduk dusun itu karena bersorak sorai gembira.
"Iblis wanita itu sudah mati"
"Siluman perempuan itu sudah mati. Para pemuda kita selamat"
Sementara para penduduk berteriak kegirangan, Ki Lembu Petakpun menghampiri tubuh bekas isterinya itu, wajahnya pucat, matanya terbelalak dan iapun berseru dengan suara yang panjang penuh getaran.
"Jumirah........"
Ki Lembu Petakpun tak kuasa menahan kesedihannya, lalu ia menubruk tubuh wanita yang bermandikan darah itu.
Disangkanya Jumirah sudah meninggal, ternyata tiba-tiba wanita iblis itu membuka kedua matanya, memandang kepada Lembu Petak yang merangkul dan memangkunya, kemudian terdengar suara Jumirah yang lemah bercampur isak tertahan, "Kakang......., kau....... kau..... harap kau maafkan aku kakang" kini leher itu terkulai dan nyawa itu meninggalkan tubuh yang telanjang dan mandi darah.
"Jumirah......!" Ki Lembu Petak mendekap tubuh itu sambil menangis.
Melihat kejadian ini, para penduduk dusun saling pandang dan agaknya mereka merasa tidak enak sendiri, karena tadi mereka bersorak-sorak gembira atas kematian wanita yang sedang ditangisi pria gagah itu. Seperti komando saja, mereka lalu perlahan-lahan meninggalkan tempat itu.
"Jumirah, oh isteriku, betapa buruk nasibmu" Ki Lembu Petak menangis.
"Paman, kenapa paman tidak mengejar pembunuhnya tadi berkata Nurseta untuk mengalihkan pikiran Ki Lembu Petak dari kedukaannya.
Ternyata usabanya berhasil. Ki Lembu Petak mengangkat wajahnya memandang kepadanya, lalu ia menarik nafas panjang, sadar betapa ia telah menurutkan hati yang berduka dan iapun menjawab "Raden Nurseta, kenapa aku harus mengejarnya" Untuk apa" Isteriku Jumirah telah melakukan banyak perbuatan sesat, telah melakukan banyak penyelewengan sehingga membunuh banyak orang, maka, kalau kini ia dibunuh orang, aku sama sekali tidak merasa penasaran. Lagipula, pembunuhnya itu tentu orang yang berilmu tinggi, sehingga ia mampu membunuh Jumirah dalam waktu yang sedemikian cepatnya. Aku bukanlah lawannya dan akupun tidak merasa harus menuntus balas atas kematian Jumirah"
Nurseta memandang heran dan berkata "Akan tetapai, kalau andika tidak merasa dendam, mengapa kini paman menangisi kematiannya?"
Ki Lembu Petak menatap wajah pemuda dan kini suaranya terdengar tegas dan tenang, agaknya dia sudah mampu menguasai perasaannya, "Aku sama sekali tidak menangisi kematiannya, aku hanya menangis karena ia di dalam keadaan sesat dan jahat, Raden" Setelah berkata demikian, Ki Lembu Petak lalu menggali sebuah lubang di depan goa itu dengan mempergunakan sebuah cangkul yang ditinggalkan oleh para petani ketika mereka tadi jatuh bangun dihajar olehnya dan Nurseta dalam usaha mencegah mereka mengeroyok Jumirah.
Dengan sederhana namun penuh khidmat Ki Lembu Petak mengubur jenazah bekas isterinya itu dan meletakkan sebuah batu besar sebagai nisan di atas kuburan Jumirah.
Sementara itu, hari telah berganti malam, Nurseta dan Ki Lembu Petak duduk di dalam goa bekas tempat pertapaan Jumirah, mereka membuat api unggun dan duduk bercakap-cakap. Goa itu bersih dan terawat.
"Paman, aku masih merasa heran dan kurang mengerti akan sikapmu tadi. Paman tadi mengatakan, bahwa paman tidak menangisi kematian isteri paman, melainkan menangisi kematianya yang dalam keadaan sesat dan jahat. Apa yang paman maksudkan dengan itu?"
Ki Lembu Petak menarik nafas panjang panjang, orang yang bertubuh tinggi besar dan gagah itu nampak seperti orang yang menyesal dan sedih.
"Ahh, aku dan isteriku adalah orang-orang yang penuh dosa, pernah malang melintang mengandalkan kepandaian kami, kadang-kadang kami memaksakan keinginan kami kepada orang lain dengan mengandalkan kekuatan. Ya, kami telah bergelimang dengan dosa. Akhirnya aku menyadari kekeliruan jalan hidup ini dan aku mengajak isteriku untuk mengasingkan dan membersihkan diri dari perbuatan jahat, hidup sebagai petani di pondok kecil. Kemudian terjadilah malapetaka bersama munculnya Gigak Ijo itu" Ki Lembu Petik menghela nafas panjang. Sedangkan Nurseta hanya mendengarkan saja penuh dengan penuh perhatian, karena ia emang tertarik untuk mengenal orang ini yang baru saja kehilangan isterinya dan berubah menjadi seorang iblis betina yang amat jahat.
"Semenjak mengajak isteriku pindah, aku bersama isteriku selalu berusaha untuk melakukan kebaikan-kebaikan. Akan tetapi sayangnya, perbuatan jahat di masa lalu tidak dapat ditebus dengan perbuatan-perbuatan baik. Setiap perbuatan jahat pasti akan ada hukumannya, seperti yang kami berdua rasakan" kembali Ki Lembu Petak menghela nafas panjang.
"Raden, kalau boleh aku mengetahui, sebetulnya siapakah Raden ini, dari mana dan hendak ke mana" Sehingga Raden dapat bertemu dengan isteriku, sehingga kau bertemu denganku?"
"Aku hanya seorang pemuda pengelana yang sedang mencari ayahku, paman" Nurseta berhenti sebentar, lalu "Ah, benar juga. Siapa tahu paman mengenal ayahku yang sedang aku cari-cari"
"Siapakah nama ayahmu, Raden Nurseta?"
"Ayahku bernama Ki Baka dan......"
"Lha-dalah........!" Ki Lembu Petak berseru kaget dan iapun memandang wajah pemuda itu. "Kiranya kau ini putera Ki Baka" Pantas........, pantas kalau begitu, kiranya kau putera seorang tokoh sakti mandraguna. Kebetulan sekali, Raden. Beberapa bulan yang lalu aku bertemu dengan Ki Baka"
Tentu saja berita itu sangat menggirangkan ahti Nurseta, agaknya Hyang Maha wihdi sendirilah yang telah menuntunnya sehingga ia bertemu dengan Jumirah dan suaminya ini, sehingga akhirnya ia dapat juga mendengar berita tentang ayah kandungnya.
"Di mana ia sekarang, paman?"
"Ketika itu, aku sedang menuju ke puncak gunung Kelud ini, dan tanpa aku sengaja, aku lewat di depan sebuah gubuk terpencil. Karena sebelumnya aku tidak pernah melihat gubuk itu, hatiku tertarik dan akupun singgah untuk melihat, siapakah penghuni gubuk itu. Aku melihat ke dalam gubuk itu dan aku melihat Ki Baka duduk bersila. Aku segera mengenalnya karena beberapa belas tahun yang lalu aku pernah bertemu dengan satria yang gagah perkasa itu. Aku masuk dan menyalaminya, ternyata iapun masih mengenalku, akan tetapi ia minta agar aku tidak bercerita dengan siapapun juga tentang pertemuan dengannya, dan merahasiakan tempat tinggalnya itu" Ki Lembu Petak berhenti sebentar, kemudian ia menarik nafas panjang, lalu "Raden, Ki Baka dalam keadaan Sakit"
"Sakit" Paman, di mana tempat itu?"
"Di dekat puncak, kalau dari sini Raden terus mendaki kearah puncak, Nanti Raden akan menemukan gubuk itu".."
"Terima kasih, paman" Nurseta memotong keterangan Lembu Petak dan sekali berkelebat, Nurseta sudah lenyap dari hadapan orang yang tinggi besar itu. Ki Lembu Petak hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala penuh kagum dan diapun pergi meninggalkan goa dan makam isterinya, setelah melihat sekali lagi kearah makam itu untuk terakhir kalinya. Dengan langkah tegap dan lapang dada dan dengan harapan baru serta dengan pandang mata baru, seolah-olah cahaya matahari lebih terang dari pada biasanya, Ki Lembu Petak meninggalkan Gunung Kelud, untuk memulai hidup baru.
*** Sementara itu di puncak Gunung Kelud terdapat sebuah gubuk kecil sederhana dan di dalam gubuk inilah Ki Baka tinggal. Semenjak ia dilukai oleh Wiku Bayunirada, seorang kakek sakti seperti iblis itu yang telah menipunya dan berhasil merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala, Kini Ki Baka menjadi seorang yang lemah kesehatan jasmaninya. Usahanya untuk mengobati dirinya selalu gagal karena pengobatan itu memerlukan hawa murni yang sakti untuk melawan pukulan beracun itu, namun setiap kali ia mencoba untuk mengerahkan tenaga sakti itu, ia merasa dadanya sesak dan roboh pingsan. Akhirnya Ki Baka menghentikan usahanya, lalu mencoba untuk mencari puteranya, Nurseta yang sepengetahuannya bertapa di Goa Kantong Bolong.
Dalam keadaan tubuh lemah, amat sukarlah baginya untuk memasuki goa di tebing yang curam itu. Akan tetapi ia tidak berputus asa, dengan susah payah akhirnya Ki Baka berhasil tiba di Goa Kantong Bolong. Tetapi apa daya, ia hanya mendapatkan kekecewaan dan kegelisahan yang sangat, karena ia tidak menemukan puteranya di tempat itu. Nurseta telah lenyap tanpa jejak.
Hilangnya Nurseta ini merupakan pukulan berat bagi Ki Baka, jauh lebih berat dari pada kehilangan tombak pusaka Ki Tejanirmala, lebih berat dari pada keadaan dirinya yang menderita luka pukulan beracun. Dalam keadaan yang lemah itu ia mencoba untuk mencari, namun sekian lama ia mencari, semua usahanya itu sia-sia belaka.
Bertahun-tahun Ki Baka hidup merana, dalam keadaan lemah dan makin lama menjadi semakin parah, kedukaannya semakin mendalam karena memikirkan tentang Nurseta. Akhirnya ia seperti orang berputus asa. Ia telah kehilangan Nurseta dan kehilangan tombak pusaka dan ia tidak berdaya untuk medapatkan keduanya.
Dalam keputus-asannya, Ki Baka mendaki Gunung Kelud, ia ingin menghabiskan sisa hidupnya untuk bertapa tempat itu sampai maut merenggut nyawanya, mungkin melalui letusan gunung yang selalu mengeluarkan asap panas itu.
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika pada suatu hari, di gubuknya muncul seorang laki-laki gagah perkasa yang mengenalnya. Dan iapun mengenal laki-laki itu, yang bukan lain adalah Ki Lembu Petak. Ia sudah merasa jemu untuk berlari dan bersembunyi lagi. Biarlah, ia tidak akan sembunyi lagi akan tetapi dia memesan kepada Lembu Petak agar merahasiakan tempat tinggalnya, karena selain ia sedang menderita sakit, juga Ki Baka tidak ingin terganggu oleh urusan di luar dirinya.
Agaknya Hyang Maha Agung belum ingin mencabut nyawanya, karena dalam keadaan mengasingkan diri itu, ia bertemu dengan seorang gadis serta ayahnya yang sudah menduda. Mereka tinggal di dusun dekat puncak, di dusun terpencil, dan pada suatu waktu, Ki Baka berjalan-jalan lewat dusun itu, ia mendengar gadis itu menangis dengan amat sedihnya, Ki Baka menghampiri rumah mereka dan mendapat kenyataan bahwa ayah gadis itu sedang menderita sakit panas yang parah. Dengan pengetahuannya yang cukup mengenai jamu-jamuan, Ki Baka yang selalu mengulurkan tangan untuk menolong, segera ia menyuruh gadis itu untuk mencari daun-daun jamu di dalam hutan dan memberitahu cara mengobati ayahnya dengan jamu itu, Akhirya, petani itupun sembuh.
Setelah sembuh ayah dan anak itu lalu mencari Ki Baka. Ketika melihat bahwa penolong mereka itu tinggal seorang diri di dalam gubuk dekat puncak tidak jauh dari tempapt tinggalnya, maka hampir setiap hari gadis itu atau ayahnya datang mengantar makanan dan minumin sekedarnya. Biarpun Ki Baka sudah melarang agar mereka itu jangan menyusahkan diri, namun mereka tetap saja sering datang berkunjung dan membawa sayur-sayuran, buah-buahan dan bersikap baik sekali atasnya.
Pada suatu pagi, ketika Ki Baka baru saja kembali dari sumber air di mana setiap pagi dan sore ia membersihkan diri. Ketika ia hendak duduk bersila untuk memulai dengan semedinya di pagi hari itu, tiba-tiba ia mendengar suara orang di luar gubuknya.
"Kulonuwun...........!"
Suara orang laki-laki muda, pikirnya. Bukan suara Ki Lembu Petak. Beberapa detik jantung Ki Baka berdetak keras karena tegang, akan tetapi ia lalu bersikap tenang kembali. Mengapa harus takut, pikirnya. Setelah keadaannya seperti sekarang ini, ancaman maut yang datang dari manapm tidak membuatnya menjadi takut. Bahkan kematian agaknya akan membebeskan dia dari pada kedukaannya.
"Siapakah Ki Sanak yang berada di luar?" tanyanya dengan suara tenang.
"Ayah.....! Ini aku, Nurseta anakmu .... "
Pintu gubuk didorong terbuka dari luar, seorang pemuda berjalan masuk, langsung menubruk Ki Baka yang duduk bersila di atas dipan bambu. Pemuda itu merangkul Ki Baka dan memeluknya.
Ki Baka terbelalak, wajahnya pucat sekal. Kemunculan Nurseta demikian mengejutkannya, tak disangka-sangka sehingga hampir saja ia jatuh pingsan kalau tidak cepat-cepat dia merangkul pundak pemuda itu dan menangis.
"Nurseta...... ! Aku bersukur kepada Hyang Widhi. Benarkah kau Nurseta" Apakah kau ini kulup Nurseta" Duh Gusti........terima kasih........terima kasih...."
Mereka berangkulan dan keduanya tak dapat menahan rasa haru hati mereka, merekapun bertangis-tangisan.
Nursetalah yang dapat menguasai hatinya terlebih dahulu. "Ayah, sungguh bahagianya rasa hatiku ketika mendengar dari paman Lembu Petak. bahwa Ayah berada di tempat ini"
"Ah, angger, kiranya Ki Lembu Petak ya menunjukkan tempat ini kepadamu. Aku sangat berterima kasih kepadanya" Diusapnya rambut pemuda itu, ditatapnya wajah Nurseta. Ki Baka merasa kagum, juga bangga sekali. Puteranya telah menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa dan terihat dewasa dan matang.
"Anakku, kulup Nurseta, cepat ceritakan apa yang telah terjadi denganmu. Oh, betapa selama bertahun tahun ini hatiku menderita penuh dengan kerinduan, penuh kegelisah karena memikirkan dirimu, anakku. Betapa dengan susah payah aku menuruni Goa Kantong Bolong untuk mencarimu, namun engkau tidak berada di sana. Oh, betapa aku sudah hampir putus harapan untuk dapat berjumpa kembali denganmu. Namun siapa sangka, hari ini engkau muncul secara tiba-tiba di sini"
Tentu saja Nurseta juga ingin sekali segera mendengar apa yang telah terjadi dengan ayahnya ini setelah ayahnya diserbu oleh gerombolan tokoh jahat yang sakti, kemudian rumah mereka diobrak-abrik dan kabarnya ayahnya diculik gerombolan jahat itu. Akan tetapi, ia menahan keingin-tahunya itu, ia maklum, betapa ayahnya juga ingin sekali mendengar ceritanya tentang apa yang terjadi pada dirinya selama ini.
Dengan singkat namun jelas, Nurseta lalu Menceritakan pengalamannya. Dimulai ketika ia sedang bertapa di Goa Kantong Bolong, tiba-tiba saja muncul Gagak Wulung dan Dedeh Sawitri yang mengatakan bahwa ayahnya terluka dan mereka diutus oleh ayahnya untuk meminta tombak pusaka Tejanirmala. Ketika ia di atas, ia dipaksa oleh kedua iblis itu untuk mengaku di mana adanya tombak pusaka itu.
"Aku mengatakan tidak tahu dan mereka mulai menyerangku. Aku terpaksa melawan dengan sekuat tenagku, akan tetapi, mereka terlalu sakti bagiku. Lalu kemudian muncullah seorang kakek yang menolongku, dengan ilmu kesaktiannya yang hehat sehingga kedua orang jahat itu melarikan diri. Kakek itu adalah Eyang Panembahan Sidik Danasura yang kemudian menjadi guruku"
Ki Baka terkejut, akan tetapi juga girang sekali. Tentu saja dia pernah mendengar nama pertapa sakti mandraguna itu.
"Sebelum aku ikut dengan Eyang Panembahan kami terlebih dahulu menengok dusun kita, dan aku terkejut mendengar betapa dusun Kelinting diserbu orang-orang jahat. Aku sangat gelisah sekali melihat rumah kita hancur dan porak poranda dan beberapa orang penduduk dusun juga tewas secara menyedihkan. Kemudian, aku ikut Eyang Panembahan ke Teluk Prigi Segoro Wedi dan mempelajari ilmu selama ini"
Ayahnya mengangguk-angguk gembira. "Jadi, selama empat tahun kau menjadi murid pendeta yang bijaksana dan sakti mandraguna itu" Duh Gusti, terima kasih atas anugerah yang Paduka limpahkan kepada Nurseta" katanya sambil mengangkat kedua tangan ke atas. Kemudian ia merangkul pemuda itu da berkata, "Lalu bagaimana kau dapat tiba di Gunung Kelud ini dan bertemu dengan Ki Lembu Petak sehingga dari dia kau memperoleh keterangan tentang aku, angger?"
Nurseta menceritakan tentang perjalanannya meninggalkan padepokan Panembahan Sidik Danasura untuk melakukan kelana brata, memenuhi tugasnya sebagai seorang satria, berdarma bakti kepada nusa bangsa berdasarkan kebenaran dan keadilan. Diceritakannya pula pertemuannya dengan Padasgunung dan Pragalbo yang memberi tahu kepadanya tentang gerakan pemberontakan yang dipimpin oleh Mahesa Rangkah, didukung pula oleh Ki Buyut Pranamaya yang tersohor kesaktiannya. Kemudian Nurseta bercerita tentang pertemuannya dengan Jumirah sehingga ia berkenalan dengan Ki Lembu Petak dan akhirnya ia mendengar tentang ayahnya dari orang gagah itu.
Ki Baka mendengarkan cerita puteranya dengan penuh perhatian, nampaknya ia gembira sekali melihat puteranya telah menjadi seorang pemuda dewasa yang memiliki kepandaian tinggi. "Syukurlah, anakku, bahwa engkau berada dalam keadaan selamat, sehat, bahkan menemukan seorang guru yang bijaksana dan sakti. Terobatilah rasanya semua penderitaan yang kurasakan selama ini setelah kini dapat bertemu kembali denganmu, angger.''
"Ayah, apakah yang telah terjadi dengan ayah" Apa yang terjadi di dusun Kelinting kita dan siapa yang telah merusak rumah kita dan mengapa pula mereka itu menyerbu dan memusuhi ayah?"
Ki Baka menarik nafas panjang. "Banyak diantara mereka itu adalah orang-orang jahat yang memusuhi aku dengan dua alasan. Pertama, karena aku tidak membantu pemberontakan kakakku, mendiang Ki Baya, dan ke dua karena tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala"
"Tombak pusaka" Mengapa?"
"Tentu saja karena mereka ingin merampas pusaka itu"
"Ayah, harap suka ceritakan semua yang terjadi di sana ketika itu" Nurseta ingin sekali mendengar apa yang terjadi dengan ayahnya ketika itu.
Ki Baka lalu menceritakan dengan sejelasnya tentang kemunculan orang-orang itu "Aku sudah menduga akan hal itu, anakku. Oleh karena itu, maka aku sengaja menyuruh kau menyingkir dan bertapa di Goa Kantong Bolong. Siapa duga, Gagak Wulung di Ni Dedeh Sawitri memaksa para penduduk dusun untuk menunjukkan dimana kau berada" Ki Baka lalu bercerita betapa orang-orang itu mengeroyoknya dan dalam keadaan terluka parah, ia ditolong oleh seorang kakek yang mengaku bernama Wiku Bayunirada. Semua orang dapat dikalahkan oleh kakek itu dan membawanya pergi, kemudian dengan dalih. menyelamatkan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala, kakek itu meminta keterangan di mana ia menyimpan pusaka itu. Dalam keadaan terluka parah dan percaya karena ia ditolong oleh kakek sakti itu, maka ia memberitahukan tempat pusaka agar dapat diselamatkan.
"Wiku Bayunirada berhasil mengambil pusaka itu sehingga tidak sampai terjatuh ke tangan para penyerbu itu. Akan tetapi, ternyata kakek yang sakti itu bukanlah orang baik-baik. Ia ternyata seorang penipu yang jahat dan kejam sekali"
"Aah!" Nuseta berseru kaget, ia sama sekali tidak menyangka bahwa kakek yang sakti dan telah menyelamatkan ayahnya dari tangan maut penyerbu itu ternyata seorang penjahat yang kejam. "Apa yang telah ia lakukan terhadap ayah?"
"Pertama ia mengobati luka-luka beracun yang berada di tubuhku dengan hawa saktinya. Memang racun ditubuhku berhasil dilenyapkan, akan tetapi sebagai gantinya, ternyata hawa sakti yang dimasukkan ke tubuhku mengandung racun pula. Racun itu mengakibatkan aku kehilangan semua kekuatan hawa sakti yang ada di tubuhku, Kalau aku mencoba mengerahkan tenaga sakti, maka tenaga itu memukul diriku sendiri dari arah dalam"
"Aaah......" Nurseta berseru kaget dan penasaran.
"Kakek sakti itu lalu membawa pergi tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Ternyata, ia menolongku hanya untuk dapat merampas pusaka itu. Aku tertipu dan selama bertahun-tahun ini aku hidup dalam keadaan sakit akibat racun itu"
"Ayah, biarkan aku memeriksa keadaanmu, mudah-mudahan aku dapat mengobati ayah sampai sembuh" Nurseta cepat mendekati ayahnya dan memeriksa sakitnya.
"Di punggung terasa amat nyeri kalau aku mengerahkan tenaga dalam, dan rasa nyeri itu melemahkan seluruh persendian tubuhku"
Nurseta cepat memeriksa dan dia menahan seruan marah, ketika ia melihat betapa pungggung ayahnya itu nampak kehitaman. Tubuhnya yang tadinya besar dan kokoh kuat, kini nampak kurus dan ringkih, kulitnya berkerut dan kering, otot-ototnya layu. Dengan telapak tangannya yang disalurkan dengan tenaga saktinya, ia mencoba untuk mendorong keluar hawa beracun yang menguasai tubuh ayahnya. Tetapi ayahnya tidak kuat menahan rasa sakit dan terkulai pingsan.
Nurseta segera menghentikan usahanya, dengan sabar ia mencoba menyadarkan ayahnya yang sedang pingsan. Ia maklum bahwa ia tidak mampu mengobati penyakit ayahnya. Satu-satunya orang yang dapat diharapkan akan mampu menyembuhkan ayahnya hanyalah Panembahan Sidik Danasura.
Beberapa saat kemudian Ki Baka siuman, terdengar suaranya mengeluh tertahan dan ia mencoba bangkit untuk duduk.
"Maaf, ayah, aku telah membuat ayah kesakitan dan pingsan"
"Tidak mengapa, aku sudah seringkali aku merasakan kesakitan dan pingsan setiap kali aku mencoba untuk mengerahkan tenaga dalam. Anakku, bagaimana menurutku penyakitku ini?"
"Sayang sekali ayah, bahwa aku hanya mempelajari ilmu kedigdayaan, Akan tetapi aku yakin bahwa Eyang Panembahan Sidik Danasura akan dapat menyembuhkanmu. Marilah ayah aku antar menghadap Eyang Panembahan"
"Tidak, anakku. Aku sudah tahu di mana padepokan Sang Panembahan, seperti yang aku ceritakan tadi. Aku dapat pergi sendiri menghadap beliau dan mohon pertolongannya. Kau tidak perlu mengantarku, karena kau sendiri mempunyai banyak tugas yang penting. Pertama, demi keamanan negeri, kau harus berusaha mencari dan merampas kembali tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Kedua, sudah menjadi kewajibanmu untuk menentang pemberontakan yang dipimpin Mahesa Rangkah itu, membela Singosari. Sekarang, dengarkan aku dulu, anakku. Telah lama aku menyimpan rahasia ini dan sekarang, setelah kau menjadi seorang pemuda dewasa, apalagi sekarang kau telah memiliki kepandaian yang tinggi, sudah tiba saatnya bagimu untuk mengetahui rahasia tentang dirimu. Bersiaplah kau mendengarkan dengan tekun dan tenang"
Ki Baka menarik nafas panjang, lalu ia berkata lagi kepada Nurseta "Anakku, aku akan membuka rahasia besar tentang dirimu" Ki Baka berhenti lagi dan kembali menarik nafas panjang, panjang sekali.
Nurseta menatap wajah ayahnya dengan sinar mata tajam penuh selidik, dan biarpun pada lahirnya ia nampak tenang, namun jantungnya berdebar-debar tegang karena melihat sikap ayahnya yang demikian sungguh-sungguh. Rahasia apa gerangan yang hendak diceritaka ayahnya kepadanya" Akan tetapi dengan sikap tenang iapun bertanya "Ayah, rahasia apakah itu" Dan apa sangkut pautnya dengan diriku?"
"Nurseta anakku, coba kau mengingat-ingat lagi, masihkah kau ingat kepada ibamu?"
Nurseta terbelalak dan menggelengkan kepalanya. Ia tidak pernah dapat membayangkan bagaimana wajah ibunya, walaupun samar-samar seperti dalam dongeng saja yang pernah didengarnya, ia seperti dapat melihat seorang wanita berpakaian indah sekali, entah bagaimana rupa wajahnya, wanita itu sedang menggendongnya.
"Ayah, bukankah sejak dahulu aku seringkali mengatakan bahwa aku tidak dapat mengingat wajah ibu" Bukankah menurut cerita ayah, ibu telah meninggal dunia sejak aku masih kecil" Ayah, siapakah nama ibu dan bagaimana rupa ibu" Dan kapankah ia meninggal dunia?"
Ki Baka menggeleng kepala dan tersenyum pahit. "Aku belum pernah menikah, anakku. Dengarlah dan janganlah terkejut, Kau bukanlah anak kandungku, kulup Nurseta"
Biarpun Nurseta nampak tenang, namun wajahnya agak pucat dan terjadi guncangan yang cukup hebat dalam dadanya.
"Ayah, harap suka jelaskan" katanya.
Ki Baka kembali memandang kagum pemuda yang memang hebat, ia dapat mengendalikan perasaan dan menguasai batinnya.
"Aku hanya menerimamu sebagai titipan dari mendiang kakakku, yaitu Ki Baya atau yang kemudian ia menamakan dirinya Bayaraja. Ketika itu, kau berusia delapan tahun. Engkau tentu masih ingat kepada Ki Baya"
Nurseta mengangguk. "Aku masih ingat, ayah. Sejak kecil aku bersama Ayah Baya, kemudian aku diserahkan kepadamu. Ayah sendiri dan ayah Baya mengatakan bahwa sebenarnya aku adalah anak kandung ayah. Mengapa baru sekarang ayah mengatakan bahwa aku bukanlah anak kandung ayah. Dan apakah dengan begitu Ayah Baya itu adalah ayah kandungku?"
Ki Baka menggeleng-gelengkan kepalanya, katanya "Juga bukan anakku. Baiklah akan aku ceritakan dari awal semua kejadian tentang dirimu. Kerajaan Daha, Kediri, terdapat seorang pangeran yang bernama Pangeran Panji Hardoko. Nah, pangeran itulah yang pada suatu hari datang kepada Ki Baya, memondong seorang bayi yang baru berusia tiga bulan. Pangeran Panji Hardoko memberikan bayi itu kepada Ki Baya bersama harta yang banyak sebagai hadiah. Ia mengatakan bahwa anak itu adalah anaknya, namanya Nurseta dan ia memberikan anak bersama harta yang cukup banyak itu kepada Ki Baya dengan permintaan agar Ki Baya mengaku sebagai ayah kandung anak itu. Demikianlah keadaan yang sesungguhnya, anakku"
Tentu saja keterangan tentang dirinya itu amat mengguncang perasaan Nurseta, sesaat ia termenung. Ternyata ia bukan anak kandung Ki Baka, bukan pula anak kandung Ki Baya, melainkan anak seorang pangerab dari Daha. Dia seorang putera pangeran, orang berdarah bangsawan. Teringatlah Nurseta, betapa beberapa orang menyebutnya Raden agaknya hatinya tidak menolak, walaupun tadinya merasa geli dan canggung menerima sebutan itu. Dan ternyata ia benar-benar seorang Raden. Akan tetapi, benarkah semua cerita itu. Sunggug sukar baginya untuk menerima kenyataan, karena selama ini, ia menganggap Ki Baka sebagai ayah kandungnya, dan ia merasa gembira ketika Ki Baya menyerahkan dia ke Ki Baka dan mereka berdua itu menyatakan bahwa ia sesungguhnya anak kandung Ki Baka. Bagaimanapun juga, ia masih ingat akan watak Ki Baya yang keras dan kasar, jauh berbeda dengan watak Ki Baka, maka ia amat senang dan bangga menjadi anak angkat Ki Baka.
"Tetapi, ayah. Mengapa Ki Baya menyerahkan aku kepadamu?"
"Ki Baya memiliki cita-cita yang tinggi dan ia pemimpin gerakan pemberontakan terhadap kerajaan Singosari. Tentu saja aku tidak sudi membantunya. Aku bukan pemberontak. Ia lalu menyerahkan kau kepadaku karena ia merasa tidak sempat lagi menyediakan waktu bagimu di dalam kesibukannya menjadi seorang pemimpin pemberontak. Sewaktu aku melihatmu, aku langsung suka kepadamu, aku mau menerimamu dengan syarat, bahwa ia tidak boleh memintamu kembali, dan untuk itu kami membohongimu, dengan mengatakan bahwa akulah ayah kandungmu, bukan Ki Baya. Tentu saja hal ini merupakan rahasia yang akan aku simpan sampai kau menjadi dewasa. Dan sekarang aku lihat kau sudah dewasa dan cukup matang, maka aku buka semua rahasia ini. Maafkanlah bahwa selama bertahun-tahun ini aku telah membohongimu, Raden Nurseta"
Terkejutlah hati Nurseta mendengar sebutan itu. Orang yang selama ini amat dihormatinya, amat dicintainya, yang dianggapnya sebagai ayah kandungnya, kini menyebutnya Raden.
"Ayah. Janganlah menyebut seperti itu kepadaku. Aku tetap anakmu Nurseta" kemudian Nurseta memeluk ayahnya.
Akan tetapi Ki Baka yang juga balas merangkul, menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Aku adalah seorang yang tahu akan aturan Raden Nurseta. Selama ini, karena kita hidup pedusunan sebagai petani, maka terpaksa aku perlakukan kau sebagai anak petani. Kau menyebut ayah kepadaku dan aku menyebut kulup atau angger, jarang menyebut namamu, karena namamu bukanlah nama rakyat biasa. Nah, marilah kita menghadapi kenyataan dengan tabah, Raden. Hatiku terasa lapang, karena sudah membuka rahasia ini padamu"
Nurseta menenangkan hatinya dan ia berhasil mencegah turunnya air mata dari kedua matanya. Ia merasa terharu sekali, akan tetapa sama sekali tidak merasa girang atau bangga akan kenyataan bahwa dia putera seorang pangeran. Bahkan ia merasa penasaran bukan main mendengar, bahwa oleh ayah kandungnya yang bernama Pangeran Panji Hardoko itu, telah menyerahkan ia kepada orang lain, yaitu kepada Ki Baya, seorang pemberontak.
"Akan tetapi ayah, aku sungguh merasa penasaran sekali. Kalau aku ini adalah anak seorang pangeran, kenapa pangeran itu menyerahkan aku kepada Ayah Baya" Dan siapa ibu kandungku dan dimana ia berada" Juga dimana adanya pangeran itu sekarang?" Berkata demikian, Nurseta teringat pernah melihat dalam bayangan samar-samar seorang wanita berpakaian indah, seorang wanita bangsawan. Sayang ia tidak pernah dapat membayangkan wajah ibunya itu.
Ki Baka menggelengkan kepalanya. "Hal itupun aku tidak tahu, Raden. Mendiang kakang Baya tidak pernah menceritakan mengapa pangeran itu menyerahkan kau kepadanya. Ki Bayapun tidak tahu siapa ibu kandungmu. Kini ia telah tiadam sehingga kita tidak dapat bertanva kepadanya. Aku kira, seandainya ia masih hidup sekalipun, ia tidak akan dapat menjawabnya"
"Akan tetapi masih ada Pangeran Panji Hardoko itu! Aku akan mencarinya di Daha, dan akan kutanya kepadanya mengapa dia menyerahkan aku kepada Ayah Baya, kalau memang aku ini putera kandungnya. Dan akan mencari di mana ibu kandungku berada"
Nurseta berkata dengan penuh semangat karena ia merasa penasaran kepada pangeran yang menjadi ayah kandungnya itu, yang telah menyerahkan da kepada orang lain.
Akan tetapi kembali Ki Baka menggelengkan kepalanya dan memandang dengan sedih kepada pemuda yang sudah dianggapnya sebagai anaknya sendiri itu. "Satu lagi yang kau harus ketahui Raden, menurut Kakang Baya bahwa, Pangeran Panji Hardoko itu sudah meninggal dunia, tidak lama setelah menyerahkan kau kepadanya"
Nurseta merasa terpukul. Baru saja ia menemukan ayah kandungnya yang sebenarnya, ternyata ayah kandungnya telah meninggal dunia.
"Sudahlah, Raden Nurseta. Selain ayahmu sudah meninggal, juga kenyataan bahwa sejak bayi kau telah diserahkan kepada orang lain, hal itu menunjukkan bahwa mereka sebagai orang tuamu itu, tidak menghendaki dirimu. Untuk itu, kau tidak perlu bersusah payah hendak mencari mereka, karena merekalah yang tidak menghendaki dirimu. Sekarang, yang penting bagimu adalah mencari tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Aku sebagai seorang yang menganggapmu sebagai anak sendiri, meminta bahkan aku memohon kepadamu agar kau suka mewakili aku mencari pusaka itu. Anggaplah saja hal itu sebagai balasan kepadaku yang sudah memeliharamu sejak kau kecil"
"Ah, ayah, tidak perlu begitu. Sudah menjadi kewajibanku untuk mencari tombak pusaka itu, akan tetapi, ke manakah aku harus mencarinya" Aku tidak mengenal siapa kakek yang bernama Wiku Bayunirada itu, dan tidak tahu mana dia berada"
Aku rasa namanya itupun nama palsu, Raden. Aku sudah mengenal banyak tokoh besar dunia ini, akan tetapi aku belum pernah mendengar nama Wiku Bayunirada. Akan tetapi, biarlah kau ketahui bahwa, dia seorang kakek yang usianya sekarang mendekati delapan puluh tahun, pada waktu empat tahun yang lalu, rambut, jenggot dan kumisnya sudah hampir putih semua. Pakaian dan ikat kepalanya serba putih, dan mukanya pucat seperti muka mayat dan keriput. Bicaranya halus. Akan tetapi, kalau ia bicara dan ketawa, bibirnya tidak ikut bergerak. Bentuk tubuhnya sedang-sedang saja dan ada suatu ciri yang tak dapat ia sembunyikan, yaitu kedua kakinya hanya berjari empat. Tidak terdapat ibu jari di masing-masing kaki itu"
Nurseta mencatat semua itu dalam ingatannya. "Aku memperhatikan semua yang ayah katakan itu, dan akan aku cari dia, kalau bertemu, akan aku minta kembali tombak pusaka itu"
"Aku girang sekali, Raden Nurseta. Berhati-hatilah terhadap kakek itu yang berwatak palsu dan memiliki kesaktian yang luar biasa. Tombak pusaka itu harus dapat kau rampas kembali, karena amat berbahaya kalau terjatuh ke tangan orang yang bermaksud jahat"
"Baik, ayah. Akan aku usahakan sampai aku berhasil merampas kembali tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala"
"Ada satu hal lagi, Raden. Aku minta kau suka memperhatikan benar-benar. Kini kau sudah tahu bahwa, kau berdarah bangsawan. Ayah kandungmu bahkan seorang pangeran di Kerajaan Daha. Akan tetapi kau harus selalu ingat bahwa, kesetiaan seseorang terhadap negara, bukan ditentukan oleh darah keturunannya, melainkan oleh tempat di mana ia tinggal dan hidup. Sejak kecil kau tinggal di daerah Singosari, menghirup udara Singosari, meminum air Singosari dan makan dari hasil tanah Singosari. Lebih dari, hendaknya kau selalu ingat, Raden, bahwa aku sebagai pengganti orang tua dan juga pengasuhmu, Aku adalah seorang laki-laki sejati yang akan membela tanah air Singosari, siap mempertahankan setiap jengkal tanah dengan sepercik darah. Selain aku, juga aku sudah mendengar bahwa Sang Panembahan Sidik Danasura juga seorang yang sakti mandraguna dan seorang yang setia pula kepada Keraja Singosari"
Nurseta mengangguk-angguk. "Tidak keliru, ayah. Aku pernah mendengarkan persiapan antara Eyang Panembahan dan Paman Jembros, dan mereka berdua itu adalah orang-orang yang setia kepada Kerajaan Singosari"
"Ki Jembros. Ah, aku mengenalnya, karena itulah, Raden. Maka sudah sepatutnya kalau kau juga berjiwa patriot terhadap Kerajaan Singosari. Sudah menjadi tugas kewajibanmu sebagai seorang ksatria untuk bersama para ksatria lainnya, menentang gerakan pemberontak seperti yang sedang dipimpin oleh Mahesa Rangkah. Kalau kau bertemu dengan para ksatria itu, maka, akan lebih mudah bagimu untuk meneliti dan menyelidiki di mana adanya Wiku Bayunirada yang melarikan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala"
"Baik, ayah. Harap jangan khawatir. Aku kan melaksanakan semua perintahmu, yaitu mencari sampai dapat tombak pusaka itu, dan membantu Kerajaan Singosari menentang pemberontakan Mahesa Rangkah. Akan tetapi sebelumnya, biar ayah aku antar menghadap Eyang Panembahan agar penyakit ayah dapat disembuhkan"
"Tidak, Raden. Jangan membuang banyak waktu, aku dapat pergi sendiri menghadap kesana. Akupun ingin sekali cepat sembuh agar aku dapat membantu penumpasan gerombolan pemberontak itu"
Tiba-tiba terdengar langkah lembut di luar gubuk. Nurseta segera mendengarnya sebelum Ki Baka mendengar langkah itu.
"Ada orang di luar" bisik Nurseta.
Akan tetapi, Ki Baka tersenyum. "Kebetulan sekali ia datang. Ah, aku ingin memperkenalkan kau kepada seorang dewi yang menjelma dalam tubuh seorang dara yang sederhana, Raden"
Terdengar daun pintu gubuk itu diketuk dari luar dan terdengar pula suara yang lembut "Paman Baka, ini aku Pertiwi yang datang. Bolehkah aku masuk?"
Suara itu lembut dan merdu, juga mengandung kesopanan.
"Pertiwi. Masuklah masuklah, lihatlah siapa yang berada di sini bersamaku" kata Ki Baka dengan suara gembira sekali.
"Ooh. Ada tamu......." Gadis itu berbisik lirih.
Sejenak suasana menjadi sunyi, agaknya gadis itu merasa ragu untuk membuka daun pintu, setelah mendengar bahwa Ki Baya kedatangan tamu.
"Jangan takut. Masuklah, di sini ada orang yang sudah lama kau kenal" kata pula Ki Baka.
Daun pintu gubuk bambu itu berderit ketika dibuka dari luar dan seorang dara yang bertubuh ramping melangkah masuk dengan ragu-ragu. Nurseta memandang kearah gadis itu. Ia membenarkan perkataan Ki Baka. Gadis dusun yang berpakaian sangat sederhana, juga gelung rambutnya. Akan tetapi gadis ini memiliki aura yang mengesankan. Ada aura keagungan pada wajah yang tidak dirias itu, terutama sekali sepasang matanya terang dan lembut. Kembennya yang sudah tidak baru lagi, memperlihatkan lekuk lengkung tubuhnya yang ramping dan padat. Langkahnya satu-satu, ketika ia memasuki pondok itu, matanya yang lebar memandang ke arah Nurseta. Akan tetapi, ketika ia merasa tidak mengenal wajah tampan pemuda itu, tiba-tiba kedua pipinya menjadi kemerahan, iapun menundukkan wajahnya.
"Ternyata Paman Baka sedang bergurau" pikirnya. "Ia tidak pernah mengenal pemuda itu. Tentulah ia pemuda priyayi, mudah dikenal dari sikap dan wajahnya, walaupun pakaian pemuda itu juga sederhana seperti pakaian pemuda petani biasa.
Ki Baka tertawa melihat keragu-raguan atas gadis itu untuk mendekat, "Ha-ha, Pertiwi, majulah mendekat dan jangan malu-malu. Ia sudah lama kau kenal, karena ia adalah Raden Nurseta"
Terkejutlah hati Nurseta mendengar orang yang selama ini dianggap ayahnya itu memperkenalkan dirinya sebagai Raden Nurseta.
Ketika Pertiwi mendengar nama itu disebutkan oleh Ki Baya, gadis itu mengangkat wajahnya, ia memandang kepada Nurseta dengan penuh perhatian.
"Ah, Paman Baka, kiranya ia ini adalah putera angkat paman itu. Raden Nurseta. Sudah lama aku mendengar Paman Baka menceritakan tentang dirimu, Raden" berkata Pertiwi dengan malu-malu.
Sikap Pertiwi sungguh membuat hati Nurseta terkagum-kagum, karena gadis itu sangat ramah dan sama sekali tidak pemalu Seperti kebanyakan perawan gunung.
"Raden, ini adalah Pertiwi. Ia dan ayahnya merupakan keluarga yang amat baik dan mereka adalah sahabat sahabatku. Mereka yang selama ini bersikap ramah dan selalu memberikan pertolongan kepadaku dan aku berhutang budi yang besar sekali kepada nini Pertiwi dan orang tuanya"
"Ah, harap jangan mempercayai pujian Paman Baka yang berlebihan itu, Raden Nurseta"
Pertiwi, gadis yang usianya baru enam belas tahun itu tersenyum. Nampak deretan giginya yang putih bersih, sepasang bibir itu merekah merah. "Kami hanya bersikap ramah, karena kami merasa iba melihat Paman Baka hidup menyendiri dan kadang-kadang kelihatan lemah. Akan tetapi, kalau bicara tentang pertolongan, kamilah yang berhutang budi kepadanya, karena Paman Baka pernah menyelamatkan dusun kami dari serbuan kaum penjahat"
Nurseta memandang kepada ayahnya dengan heran. Orang tua itu jelas dalam keadaan tak berdaya, lemah dan tidak mampu mengerahkan tenaga saktinya. Bagaimana mungkin mampu menyelamatkan dusun dari serbuan kawanan penjahat.
Agaknya Ki Baka dapat mengerti keheranan pemuda itu, maka iapun tertawa. Katanya "Tidak aneh, Raden. Pemimpin perampok itu mengenalku, oleh karena itu, ketika ia melihat aku berada di dusun ini, ia lalu mengajak anak buahnya melarikan diri ketakutan, tanpa aku menggerakkan sebuah jari tanganpun"
Gadis itu kini mendekati Ki Baka. Ketika ia datang, tangan kanannya membawa sebuah ikul dan tangan kirinya membawa sebuah kendi hitam. Dengan hati-hati, diletakkannya bakul dan kendi itu di atas tikar di depan Ki Baka.
"Hari ini aku hanya membuat lauk botok manding dan tempe bakar. Maaf paman, karena kami tidak tahu, bahwa putera angkat paman berada di sini, maka nasi dan lauknya kurang. Biarlah untuk sore nanti akan kembali lagi dan membawa yang lebih banyak"
"Tidak usah, Pertiwi. Ini saja sudah cukup. Lihat, Raden. Beginilah setiap hari, ia selalu mengirim makanan untukku. Sudah aku larang agar mereka menghentikan kerepotan ini, akan tetapi Pertiwi tidak mau mendengar laranganku. Setiap hari ia selalu datang kembali" ia berhenti sebentar lalu "Bagaimana menurutmu Raden", bukankah ia baik dan manis sekali?"
Kembali gadis itu menundukkan wajahnya yang berubah kemerahan, yang membuat ia semakin manis. Mulutnya tersenyum malu-malu, kedua pipinya kemerahan dan matanya bersinar-sinar.
"Ah, Paman Baka, jangan memuji-muji terus. Akukan jadi malu"
Pada suatu pagi, ketika Ki Baka baru saja kembali dari sumber air di mana setiap pagi dan sore ia membersihkan diri. Ketika ia hendak duduk bersila untuk memulai dengan semedinya di pagi hari itu, tiba-tiba ia mendengar suara orang di luar gubuknya.
"Kulonuwun...........!"
Suara orang laki-laki muda, pikirnya. Bukan suara Ki Lembu Petak. Beberapa detik jantung Ki Baka berdetak keras karena tegang, akan tetapi ia lalu bersikap tenang kembali. Mengapa harus takut, pikirnya. Setelah keadaannya seperti sekarang ini, ancaman maut yang datang dari manapm tidak membuatnya menjadi takut. Bahkan kematian agaknya akan membebeskan dia dari pada kedukaannya.
"Siapakah Ki Sanak yang berada di luar?" tanyanya dengan suara tenang.
"Ayah.....! Ini aku, Nurseta anakmu .... "
Pintu gubuk didorong terbuka dari luar, seorang pemuda berjalan masuk, langsung menubruk Ki Baka yang duduk bersila di atas dipan bambu. Pemuda itu merangkul Ki Baka dan memeluknya.
Ki Baka terbelalak, wajahnya pucat sekal. Kemunculan Nurseta demikian mengejutkannya, tak disangka-sangka sehingga hampir saja ia jatuh pingsan kalau tidak cepat-cepat dia merangkul pundak pemuda itu dan menangis.
"Nurseta...... ! Aku bersukur kepada Hyang Widhi. Benarkah kau Nurseta" Apakah kau ini kulup Nurseta" Duh Gusti........terima kasih........terima kasih...."
Mereka berangkulan dan keduanya tak dapat menahan rasa haru hati mereka, merekapun bertangis-tangisan.
Nursetalah yang dapat menguasai hatinya terlebih dahulu. "Ayah, sungguh bahagianya rasa hatiku ketika mendengar dari paman Lembu Petak. bahwa Ayah berada di tempat ini"
"Ah, angger, kiranya Ki Lembu Petak ya menunjukkan tempat ini kepadamu. Aku sangat berterima kasih kepadanya" Diusapnya rambut pemuda itu, ditatapnya wajah Nurseta. Ki Baka merasa kagum, juga bangga sekali. Puteranya telah menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa dan terihat dewasa dan matang.
"Anakku, kulup Nurseta, cepat ceritakan apa yang telah terjadi denganmu. Oh, betapa selama bertahun tahun ini hatiku menderita penuh dengan kerinduan, penuh kegelisah karena memikirkan dirimu, anakku. Betapa dengan susah payah aku menuruni Goa Kantong Bolong untuk mencarimu, namun engkau tidak berada di sana. Oh, betapa aku sudah hampir putus harapan untuk dapat berjumpa kembali denganmu. Namun siapa sangka, hari ini engkau muncul secara tiba-tiba di sini"
Tentu saja Nurseta juga ingin sekali segera mendengar apa yang telah terjadi dengan ayahnya ini setelah ayahnya diserbu oleh gerombolan tokoh jahat yang sakti, kemudian rumah mereka diobrak-abrik dan kabarnya ayahnya diculik gerombolan jahat itu. Akan tetapi, ia menahan keingin-tahunya itu, ia maklum, betapa ayahnya juga ingin sekali mendengar ceritanya tentang apa yang terjadi pada dirinya selama ini.
Dengan singkat namun jelas, Nurseta lalu Menceritakan pengalamannya. Dimulai ketika ia sedang bertapa di Goa Kantong Bolong, tiba-tiba saja muncul Gagak Wulung dan Dedeh Sawitri yang mengatakan bahwa ayahnya terluka dan mereka diutus oleh ayahnya untuk meminta tombak pusaka Tejanirmala. Ketika ia di atas, ia dipaksa oleh kedua iblis itu untuk mengaku di mana adanya tombak pusaka itu.
"Aku mengatakan tidak tahu dan mereka mulai menyerangku. Aku terpaksa melawan dengan sekuat tenagku, akan tetapi, mereka terlalu sakti bagiku. Lalu kemudian muncullah seorang kakek yang menolongku, dengan ilmu kesaktiannya yang hehat sehingga kedua orang jahat itu melarikan diri. Kakek itu adalah Eyang Panembahan Sidik Danasura yang kemudian menjadi guruku"
Ki Baka terkejut, akan tetapi juga girang sekali. Tentu saja dia pernah mendengar nama pertapa sakti mandraguna itu.
"Sebelum aku ikut dengan Eyang Panembahan kami terlebih dahulu menengok dusun kita, dan aku terkejut mendengar betapa dusun Kelinting diserbu orang-orang jahat. Aku sangat gelisah sekali melihat rumah kita hancur dan porak poranda dan beberapa orang penduduk dusun juga tewas secara menyedihkan. Kemudian, aku ikut Eyang Panembahan ke Teluk Prigi Segoro Wedi dan mempelajari ilmu selama ini"
Ayahnya mengangguk-angguk gembira. "Jadi, selama empat tahun kau menjadi murid pendeta yang bijaksana dan sakti mandraguna itu" Duh Gusti, terima kasih atas anugerah yang Paduka limpahkan kepada Nurseta" katanya sambil mengangkat kedua tangan ke atas. Kemudian ia merangkul pemuda itu da berkata, "Lalu bagaimana kau dapat tiba di Gunung Kelud ini dan bertemu dengan Ki Lembu Petak sehingga dari dia kau memperoleh keterangan tentang aku, angger?"
Nurseta menceritakan tentang perjalanannya meninggalkan padepokan Panembahan Sidik Danasura untuk melakukan kelana brata, memenuhi tugasnya sebagai seorang satria, berdarma bakti kepada nusa bangsa berdasarkan kebenaran dan keadilan. Diceritakannya pula pertemuannya dengan Padasgunung dan Pragalbo yang memberi tahu kepadanya tentang gerakan pemberontakan yang dipimpin oleh Mahesa Rangkah, didukung pula oleh Ki Buyut Pranamaya yang tersohor kesaktiannya. Kemudian Nurseta bercerita tentang pertemuannya dengan Jumirah sehingga ia berkenalan dengan Ki Lembu Petak dan akhirnya ia mendengar tentang ayahnya dari orang gagah itu.
Ki Baka mendengarkan cerita puteranya dengan penuh perhatian, nampaknya ia gembira sekali melihat puteranya telah menjadi seorang pemuda dewasa yang memiliki kepandaian tinggi. "Syukurlah, anakku, bahwa engkau berada dalam keadaan selamat, sehat, bahkan menemukan seorang guru yang bijaksana dan sakti. Terobatilah rasanya semua penderitaan yang kurasakan selama ini setelah kini dapat bertemu kembali denganmu, angger.''
"Ayah, apakah yang telah terjadi dengan ayah" Apa yang terjadi di dusun Kelinting kita dan siapa yang telah merusak rumah kita dan mengapa pula mereka itu menyerbu dan memusuhi ayah?"
Ki Baka menarik nafas panjang. "Banyak diantara mereka itu adalah orang-orang jahat yang memusuhi aku dengan dua alasan. Pertama, karena aku tidak membantu pemberontakan kakakku, mendiang Ki Baya, dan ke dua karena tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala"
"Tombak pusaka" Mengapa?"
"Tentu saja karena mereka ingin merampas pusaka itu"
"Ayah, harap suka ceritakan semua yang terjadi di sana ketika itu" Nurseta ingin sekali mendengar apa yang terjadi dengan ayahnya ketika itu.
Ki Baka lalu menceritakan dengan sejelasnya tentang kemunculan orang-orang itu "Aku sudah menduga akan hal itu, anakku. Oleh karena itu, maka aku sengaja menyuruh kau menyingkir dan bertapa di Goa Kantong Bolong. Siapa duga, Gagak Wulung di Ni Dedeh Sawitri memaksa para penduduk dusun untuk menunjukkan dimana kau berada" Ki Baka lalu bercerita betapa orang-orang itu mengeroyoknya dan dalam keadaan terluka parah, ia ditolong oleh seorang kakek yang mengaku bernama Wiku Bayunirada. Semua orang dapat dikalahkan oleh kakek itu dan membawanya pergi, kemudian dengan dalih. menyelamatkan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala, kakek itu meminta keterangan di mana ia menyimpan pusaka itu. Dalam keadaan terluka parah dan percaya karena ia ditolong oleh kakek sakti itu, maka ia memberitahukan tempat pusaka agar dapat diselamatkan.
"Wiku Bayunirada berhasil mengambil pusaka itu sehingga tidak sampai terjatuh ke tangan para penyerbu itu. Akan tetapi, ternyata kakek yang sakti itu bukanlah orang baik-baik. Ia ternyata seorang penipu yang jahat dan kejam sekali"
"Aah!" Nuseta berseru kaget, ia sama sekali tidak menyangka bahwa kakek yang sakti dan telah menyelamatkan ayahnya dari tangan maut penyerbu itu ternyata seorang penjahat yang kejam. "Apa yang telah ia lakukan terhadap ayah?"
"Pertama ia mengobati luka-luka beracun yang berada di tubuhku dengan hawa saktinya. Memang racun ditubuhku berhasil dilenyapkan, akan tetapi sebagai gantinya, ternyata hawa sakti yang dimasukkan ke tubuhku mengandung racun pula. Racun itu mengakibatkan aku kehilangan semua kekuatan hawa sakti yang ada di tubuhku, Kalau aku mencoba mengerahkan tenaga sakti, maka tenaga itu memukul diriku sendiri dari arah dalam"
"Aaah......" Nurseta berseru kaget dan penasaran.
"Kakek sakti itu lalu membawa pergi tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Ternyata, ia menolongku hanya untuk dapat merampas pusaka itu. Aku tertipu dan selama bertahun-tahun ini aku hidup dalam keadaan sakit akibat racun itu"
"Ayah, biarkan aku memeriksa keadaanmu, mudah-mudahan aku dapat mengobati ayah sampai sembuh" Nurseta cepat mendekati ayahnya dan memeriksa sakitnya.
"Di punggung terasa amat nyeri kalau aku mengerahkan tenaga dalam, dan rasa nyeri itu melemahkan seluruh persendian tubuhku"
Nurseta cepat memeriksa dan dia menahan seruan marah, ketika ia melihat betapa pungggung ayahnya itu nampak kehitaman. Tubuhnya yang tadinya besar dan kokoh kuat, kini nampak kurus dan ringkih, kulitnya berkerut dan kering, otot-ototnya layu. Dengan telapak tangannya yang disalurkan dengan tenaga saktinya, ia mencoba untuk mendorong keluar hawa beracun yang menguasai tubuh ayahnya. Tetapi ayahnya tidak kuat menahan rasa sakit dan terkulai pingsan.
Nurseta segera menghentikan usahanya, dengan sabar ia mencoba menyadarkan ayahnya yang sedang pingsan. Ia maklum bahwa ia tidak mampu mengobati penyakit ayahnya. Satu-satunya orang yang dapat diharapkan akan mampu menyembuhkan ayahnya hanyalah Panembahan Sidik Danasura.
Beberapa saat kemudian Ki Baka siuman, terdengar suaranya mengeluh tertahan dan ia mencoba bangkit untuk duduk.
"Maaf, ayah, aku telah membuat ayah kesakitan dan pingsan"
"Tidak mengapa, aku sudah seringkali aku merasakan kesakitan dan pingsan setiap kali aku mencoba untuk mengerahkan tenaga dalam. Anakku, bagaimana menurutku penyakitku ini?"
"Sayang sekali ayah, bahwa aku hanya mempelajari ilmu kedigdayaan, Akan tetapi aku yakin bahwa Eyang Panembahan Sidik Danasura akan dapat menyembuhkanmu. Marilah ayah aku antar menghadap Eyang Panembahan"
"Tidak, anakku. Aku sudah tahu di mana padepokan Sang Panembahan, seperti yang aku ceritakan tadi. Aku dapat pergi sendiri menghadap beliau dan mohon pertolongannya. Kau tidak perlu mengantarku, karena kau sendiri mempunyai banyak tugas yang penting. Pertama, demi keamanan negeri, kau harus berusaha mencari dan merampas kembali tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Kedua, sudah menjadi kewajibanmu untuk menentang pemberontakan yang dipimpin Mahesa Rangkah itu, membela Singosari. Sekarang, dengarkan aku dulu, anakku. Telah lama aku menyimpan rahasia ini dan sekarang, setelah kau menjadi seorang pemuda dewasa, apalagi sekarang kau telah memiliki kepandaian yang tinggi, sudah tiba saatnya bagimu untuk mengetahui rahasia tentang dirimu. Bersiaplah kau mendengarkan dengan tekun dan tenang"
Ki Baka menarik nafas panjang, lalu ia berkata lagi kepada Nurseta "Anakku, aku akan membuka rahasia besar tentang dirimu" Ki Baka berhenti lagi dan kembali menarik nafas panjang, panjang sekali.
Nurseta menatap wajah ayahnya dengan sinar mata tajam penuh selidik, dan biarpun pada lahirnya ia nampak tenang, namun jantungnya berdebar-debar tegang karena melihat sikap ayahnya yang demikian sungguh-sungguh. Rahasia apa gerangan yang hendak diceritaka ayahnya kepadanya" Akan tetapi dengan sikap tenang iapun bertanya "Ayah, rahasia apakah itu" Dan apa sangkut pautnya dengan diriku?"
"Nurseta anakku, coba kau mengingat-ingat lagi, masihkah kau ingat kepada ibamu?"
Nurseta terbelalak dan menggelengkan kepalanya. Ia tidak pernah dapat membayangkan bagaimana wajah ibunya, walaupun samar-samar seperti dalam dongeng saja yang pernah didengarnya, ia seperti dapat melihat seorang wanita berpakaian indah sekali, entah bagaimana rupa wajahnya, wanita itu sedang menggendongnya.
"Ayah, bukankah sejak dahulu aku seringkali mengatakan bahwa aku tidak dapat mengingat wajah ibu" Bukankah menurut cerita ayah, ibu telah meninggal dunia sejak aku masih kecil" Ayah, siapakah nama ibu dan bagaimana rupa ibu" Dan kapankah ia meninggal dunia?"
Ki Baka menggeleng kepala dan tersenyum pahit. "Aku belum pernah menikah, anakku. Dengarlah dan janganlah terkejut, Kau bukanlah anak kandungku, kulup Nurseta"
Biarpun Nurseta nampak tenang, namun wajahnya agak pucat dan terjadi guncangan yang cukup hebat dalam dadanya.
"Ayah, harap suka jelaskan" katanya.
Ki Baka kembali memandang kagum pemuda yang memang hebat, ia dapat mengendalikan perasaan dan menguasai batinnya.
"Aku hanya menerimamu sebagai titipan dari mendiang kakakku, yaitu Ki Baya atau yang kemudian ia menamakan dirinya Bayaraja. Ketika itu, kau berusia delapan tahun. Engkau tentu masih ingat kepada Ki Baya"
Nurseta mengangguk. "Aku masih ingat, ayah. Sejak kecil aku bersama Ayah Baya, kemudian aku diserahkan kepadamu. Ayah sendiri dan ayah Baya mengatakan bahwa sebenarnya aku adalah anak kandung ayah. Mengapa baru sekarang ayah mengatakan bahwa aku bukanlah anak kandung ayah. Dan apakah dengan begitu Ayah Baya itu adalah ayah kandungku?"
Ki Baka menggeleng-gelengkan kepalanya, katanya "Juga bukan anakku. Baiklah akan aku ceritakan dari awal semua kejadian tentang dirimu. Kerajaan Daha, Kediri, terdapat seorang pangeran yang bernama Pangeran Panji Hardoko. Nah, pangeran itulah yang pada suatu hari datang kepada Ki Baya, memondong seorang bayi yang baru berusia tiga bulan. Pangeran Panji Hardoko memberikan bayi itu kepada Ki Baya bersama harta yang banyak sebagai hadiah. Ia mengatakan bahwa anak itu adalah anaknya, namanya Nurseta dan ia memberikan anak bersama harta yang cukup banyak itu kepada Ki Baya dengan permintaan agar Ki Baya mengaku sebagai ayah kandung anak itu. Demikianlah keadaan yang sesungguhnya, anakku"
Tentu saja keterangan tentang dirinya itu amat mengguncang perasaan Nurseta, sesaat ia termenung. Ternyata ia bukan anak kandung Ki Baka, bukan pula anak kandung Ki Baya, melainkan anak seorang pangerab dari Daha. Dia seorang putera pangeran, orang berdarah bangsawan. Teringatlah Nurseta, betapa beberapa orang menyebutnya Raden agaknya hatinya tidak menolak, walaupun tadinya merasa geli dan canggung menerima sebutan itu. Dan ternyata ia benar-benar seorang Raden. Akan tetapi, benarkah semua cerita itu. Sunggug sukar baginya untuk menerima kenyataan, karena selama ini, ia menganggap Ki Baka sebagai ayah kandungnya, dan ia merasa gembira ketika Ki Baya menyerahkan dia ke Ki Baka dan mereka berdua itu menyatakan bahwa ia sesungguhnya anak kandung Ki Baka. Bagaimanapun juga, ia masih ingat akan watak Ki Baya yang keras dan kasar, jauh berbeda dengan watak Ki Baka, maka ia amat senang dan bangga menjadi anak angkat Ki Baka.
"Tetapi, ayah. Mengapa Ki Baya menyerahkan aku kepadamu?"
"Ki Baya memiliki cita-cita yang tinggi dan ia pemimpin gerakan pemberontakan terhadap kerajaan Singosari. Tentu saja aku tidak sudi membantunya. Aku bukan pemberontak. Ia lalu menyerahkan kau kepadaku karena ia merasa tidak sempat lagi menyediakan waktu bagimu di dalam kesibukannya menjadi seorang pemimpin pemberontak. Sewaktu aku melihatmu, aku langsung suka kepadamu, aku mau menerimamu dengan syarat, bahwa ia tidak boleh memintamu kembali, dan untuk itu kami membohongimu, dengan mengatakan bahwa akulah ayah kandungmu, bukan Ki Baya. Tentu saja hal ini merupakan rahasia yang akan aku simpan sampai kau menjadi dewasa. Dan sekarang aku lihat kau sudah dewasa dan cukup matang, maka aku buka semua rahasia ini. Maafkanlah bahwa selama bertahun-tahun ini aku telah membohongimu, Raden Nurseta"
Terkejutlah hati Nurseta mendengar sebutan itu. Orang yang selama ini amat dihormatinya, amat dicintainya, yang dianggapnya sebagai ayah kandungnya, kini menyebutnya Raden.
"Ayah. Janganlah menyebut seperti itu kepadaku. Aku tetap anakmu Nurseta" kemudian Nurseta memeluk ayahnya.
Akan tetapi Ki Baka yang juga balas merangkul, menggelengkan kepalanya sambil tersenyum. Aku adalah seorang yang tahu akan aturan Raden Nurseta. Selama ini, karena kita hidup pedusunan sebagai petani, maka terpaksa aku perlakukan kau sebagai anak petani. Kau menyebut ayah kepadaku dan aku menyebut kulup atau angger, jarang menyebut namamu, karena namamu bukanlah nama rakyat biasa. Nah, marilah kita menghadapi kenyataan dengan tabah, Raden. Hatiku terasa lapang, karena sudah membuka rahasia ini padamu"
Nurseta menenangkan hatinya dan ia berhasil mencegah turunnya air mata dari kedua matanya. Ia merasa terharu sekali, akan tetapa sama sekali tidak merasa girang atau bangga akan kenyataan bahwa dia putera seorang pangeran. Bahkan ia merasa penasaran bukan main mendengar, bahwa oleh ayah kandungnya yang bernama Pangeran Panji Hardoko itu, telah menyerahkan ia kepada orang lain, yaitu kepada Ki Baya, seorang pemberontak.
"Akan tetapi ayah, aku sungguh merasa penasaran sekali. Kalau aku ini adalah anak seorang pangeran, kenapa pangeran itu menyerahkan aku kepada Ayah Baya" Dan siapa ibu kandungku dan dimana ia berada" Juga dimana adanya pangeran itu sekarang?" Berkata demikian, Nurseta teringat pernah melihat dalam bayangan samar-samar seorang wanita berpakaian indah, seorang wanita bangsawan. Sayang ia tidak pernah dapat membayangkan wajah ibunya itu.
Ki Baka menggelengkan kepalanya. "Hal itupun aku tidak tahu, Raden. Mendiang kakang Baya tidak pernah menceritakan mengapa pangeran itu menyerahkan kau kepadanya. Ki Bayapun tidak tahu siapa ibu kandungmu. Kini ia telah tiadam sehingga kita tidak dapat bertanva kepadanya. Aku kira, seandainya ia masih hidup sekalipun, ia tidak akan dapat menjawabnya"
"Akan tetapi masih ada Pangeran Panji Hardoko itu! Aku akan mencarinya di Daha, dan akan kutanya kepadanya mengapa dia menyerahkan aku kepada Ayah Baya, kalau memang aku ini putera kandungnya. Dan akan mencari di mana ibu kandungku berada"
Nurseta berkata dengan penuh semangat karena ia merasa penasaran kepada pangeran yang menjadi ayah kandungnya itu, yang telah menyerahkan da kepada orang lain.
Akan tetapi kembali Ki Baka menggelengkan kepalanya dan memandang dengan sedih kepada pemuda yang sudah dianggapnya sebagai anaknya sendiri itu. "Satu lagi yang kau harus ketahui Raden, menurut Kakang Baya bahwa, Pangeran Panji Hardoko itu sudah meninggal dunia, tidak lama setelah menyerahkan kau kepadanya"
Nurseta merasa terpukul. Baru saja ia menemukan ayah kandungnya yang sebenarnya, ternyata ayah kandungnya telah meninggal dunia.
"Sudahlah, Raden Nurseta. Selain ayahmu sudah meninggal, juga kenyataan bahwa sejak bayi kau telah diserahkan kepada orang lain, hal itu menunjukkan bahwa mereka sebagai orang tuamu itu, tidak menghendaki dirimu. Untuk itu, kau tidak perlu bersusah payah hendak mencari mereka, karena merekalah yang tidak menghendaki dirimu. Sekarang, yang penting bagimu adalah mencari tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Aku sebagai seorang yang menganggapmu sebagai anak sendiri, meminta bahkan aku memohon kepadamu agar kau suka mewakili aku mencari pusaka itu. Anggaplah saja hal itu sebagai balasan kepadaku yang sudah memeliharamu sejak kau kecil"
"Ah, ayah, tidak perlu begitu. Sudah menjadi kewajibanku untuk mencari tombak pusaka itu, akan tetapi, ke manakah aku harus mencarinya" Aku tidak mengenal siapa kakek yang bernama Wiku Bayunirada itu, dan tidak tahu mana dia berada"
Aku rasa namanya itupun nama palsu, Raden. Aku sudah mengenal banyak tokoh besar dunia ini, akan tetapi aku belum pernah mendengar nama Wiku Bayunirada. Akan tetapi, biarlah kau ketahui bahwa, dia seorang kakek yang usianya sekarang mendekati delapan puluh tahun, pada waktu empat tahun yang lalu, rambut, jenggot dan kumisnya sudah hampir putih semua. Pakaian dan ikat kepalanya serba putih, dan mukanya pucat seperti muka mayat dan keriput. Bicaranya halus. Akan tetapi, kalau ia bicara dan ketawa, bibirnya tidak ikut bergerak. Bentuk tubuhnya sedang-sedang saja dan ada suatu ciri yang tak dapat ia sembunyikan, yaitu kedua kakinya hanya berjari empat. Tidak terdapat ibu jari di masing-masing kaki itu"
Nurseta mencatat semua itu dalam ingatannya. "Aku memperhatikan semua yang ayah katakan itu, dan akan aku cari dia, kalau bertemu, akan aku minta kembali tombak pusaka itu"
"Aku girang sekali, Raden Nurseta. Berhati-hatilah terhadap kakek itu yang berwatak palsu dan memiliki kesaktian yang luar biasa. Tombak pusaka itu harus dapat kau rampas kembali, karena amat berbahaya kalau terjatuh ke tangan orang yang bermaksud jahat"
"Baik, ayah. Akan aku usahakan sampai aku berhasil merampas kembali tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala"
"Ada satu hal lagi, Raden. Aku minta kau suka memperhatikan benar-benar. Kini kau sudah tahu bahwa, kau berdarah bangsawan. Ayah kandungmu bahkan seorang pangeran di Kerajaan Daha. Akan tetapi kau harus selalu ingat bahwa, kesetiaan seseorang terhadap negara, bukan ditentukan oleh darah keturunannya, melainkan oleh tempat di mana ia tinggal dan hidup. Sejak kecil kau tinggal di daerah Singosari, menghirup udara Singosari, meminum air Singosari dan makan dari hasil tanah Singosari. Lebih dari, hendaknya kau selalu ingat, Raden, bahwa aku sebagai pengganti orang tua dan juga pengasuhmu, Aku adalah seorang laki-laki sejati yang akan membela tanah air Singosari, siap mempertahankan setiap jengkal tanah dengan sepercik darah. Selain aku, juga aku sudah mendengar bahwa Sang Panembahan Sidik Danasura juga seorang yang sakti mandraguna dan seorang yang setia pula kepada Keraja Singosari"
Nurseta mengangguk-angguk. "Tidak keliru, ayah. Aku pernah mendengarkan persiapan antara Eyang Panembahan dan Paman Jembros, dan mereka berdua itu adalah orang-orang yang setia kepada Kerajaan Singosari"
"Ki Jembros. Ah, aku mengenalnya, karena itulah, Raden. Maka sudah sepatutnya kalau kau juga berjiwa patriot terhadap Kerajaan Singosari. Sudah menjadi tugas kewajibanmu sebagai seorang ksatria untuk bersama para ksatria lainnya, menentang gerakan pemberontak seperti yang sedang dipimpin oleh Mahesa Rangkah. Kalau kau bertemu dengan para ksatria itu, maka, akan lebih mudah bagimu untuk meneliti dan menyelidiki di mana adanya Wiku Bayunirada yang melarikan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala"
"Baik, ayah. Harap jangan khawatir. Aku kan melaksanakan semua perintahmu, yaitu mencari sampai dapat tombak pusaka itu, dan membantu Kerajaan Singosari menentang pemberontakan Mahesa Rangkah. Akan tetapi sebelumnya, biar ayah aku antar menghadap Eyang Panembahan agar penyakit ayah dapat disembuhkan"
"Tidak, Raden. Jangan membuang banyak waktu, aku dapat pergi sendiri menghadap kesana. Akupun ingin sekali cepat sembuh agar aku dapat membantu penumpasan gerombolan pemberontak itu"
Tiba-tiba terdengar langkah lembut di luar gubuk. Nurseta segera mendengarnya sebelum Ki Baka mendengar langkah itu.
"Ada orang di luar" bisik Nurseta.
Akan tetapi, Ki Baka tersenyum. "Kebetulan sekali ia datang. Ah, aku ingin memperkenalkan kau kepada seorang dewi yang menjelma dalam tubuh seorang dara yang sederhana, Raden"
Terdengar daun pintu gubuk itu diketuk dari luar dan terdengar pula suara yang lembut "Paman Baka, ini aku Pertiwi yang datang. Bolehkah aku masuk?"
Suara itu lembut dan merdu, juga mengandung kesopanan.
"Pertiwi. Masuklah masuklah, lihatlah siapa yang berada di sini bersamaku" kata Ki Baka dengan suara gembira sekali.
"Ooh. Ada tamu......." Gadis itu berbisik lirih.
Sejenak suasana menjadi sunyi, agaknya gadis itu merasa ragu untuk membuka daun pintu, setelah mendengar bahwa Ki Baya kedatangan tamu.
"Jangan takut. Masuklah, di sini ada orang yang sudah lama kau kenal" kata pula Ki Baka.
Daun pintu gubuk bambu itu berderit ketika dibuka dari luar dan seorang dara yang bertubuh ramping melangkah masuk dengan ragu-ragu. Nurseta memandang kearah gadis itu. Ia membenarkan perkataan Ki Baka. Gadis dusun yang berpakaian sangat sederhana, juga gelung rambutnya. Akan tetapi gadis ini memiliki aura yang mengesankan. Ada aura keagungan pada wajah yang tidak dirias itu, terutama sekali sepasang matanya terang dan lembut. Kembennya yang sudah tidak baru lagi, memperlihatkan lekuk lengkung tubuhnya yang ramping dan padat. Langkahnya satu-satu, ketika ia memasuki pondok itu, matanya yang lebar memandang ke arah Nurseta. Akan tetapi, ketika ia merasa tidak mengenal wajah tampan pemuda itu, tiba-tiba kedua pipinya menjadi kemerahan, iapun menundukkan wajahnya.
"Ternyata Paman Baka sedang bergurau" pikirnya. "Ia tidak pernah mengenal pemuda itu. Tentulah ia pemuda priyayi, mudah dikenal dari sikap dan wajahnya, walaupun pakaian pemuda itu juga sederhana seperti pakaian pemuda petani biasa.
Ki Baka tertawa melihat keragu-raguan atas gadis itu untuk mendekat, "Ha-ha, Pertiwi, majulah mendekat dan jangan malu-malu. Ia sudah lama kau kenal, karena ia adalah Raden Nurseta"
Terkejutlah hati Nurseta mendengar orang yang selama ini dianggap ayahnya itu memperkenalkan dirinya sebagai Raden Nurseta.
Ketika Pertiwi mendengar nama itu disebutkan oleh Ki Baya, gadis itu mengangkat wajahnya, ia memandang kepada Nurseta dengan penuh perhatian.
"Ah, Paman Baka, kiranya ia ini adalah putera angkat paman itu. Raden Nurseta. Sudah lama aku mendengar Paman Baka menceritakan tentang dirimu, Raden" berkata Pertiwi dengan malu-malu.
Sikap Pertiwi sungguh membuat hati Nurseta terkagum-kagum, karena gadis itu sangat ramah dan sama sekali tidak pemalu Seperti kebanyakan perawan gunung.
"Raden, ini adalah Pertiwi. Ia dan ayahnya merupakan keluarga yang amat baik dan mereka adalah sahabat sahabatku. Mereka yang selama ini bersikap ramah dan selalu memberikan pertolongan kepadaku dan aku berhutang budi yang besar sekali kepada nini Pertiwi dan orang tuanya"
"Ah, harap jangan mempercayai pujian Paman Baka yang berlebihan itu, Raden Nurseta"
Pertiwi, gadis yang usianya baru enam belas tahun itu tersenyum. Nampak deretan giginya yang putih bersih, sepasang bibir itu merekah merah. "Kami hanya bersikap ramah, karena kami merasa iba melihat Paman Baka hidup menyendiri dan kadang-kadang kelihatan lemah. Akan tetapi, kalau bicara tentang pertolongan, kamilah yang berhutang budi kepadanya, karena Paman Baka pernah menyelamatkan dusun kami dari serbuan kaum penjahat"
Nurseta memandang kepada ayahnya dengan heran. Orang tua itu jelas dalam keadaan tak berdaya, lemah dan tidak mampu mengerahkan tenaga saktinya. Bagaimana mungkin mampu menyelamatkan dusun dari serbuan kawanan penjahat.
Agaknya Ki Baka dapat mengerti keheranan pemuda itu, maka iapun tertawa. Katanya "Tidak aneh, Raden. Pemimpin perampok itu mengenalku, oleh karena itu, ketika ia melihat aku berada di dusun ini, ia lalu mengajak anak buahnya melarikan diri ketakutan, tanpa aku menggerakkan sebuah jari tanganpun"
Gadis itu kini mendekati Ki Baka. Ketika ia datang, tangan kanannya membawa sebuah ikul dan tangan kirinya membawa sebuah kendi hitam. Dengan hati-hati, diletakkannya bakul dan kendi itu di atas tikar di depan Ki Baka.
"Hari ini aku hanya membuat lauk botok manding dan tempe bakar. Maaf paman, karena kami tidak tahu, bahwa putera angkat paman berada di sini, maka nasi dan lauknya kurang. Biarlah untuk sore nanti akan kembali lagi dan membawa yang lebih banyak"
"Tidak usah, Pertiwi. Ini saja sudah cukup. Lihat, Raden. Beginilah setiap hari, ia selalu mengirim makanan untukku. Sudah aku larang agar mereka menghentikan kerepotan ini, akan tetapi Pertiwi tidak mau mendengar laranganku. Setiap hari ia selalu datang kembali" ia berhenti sebentar lalu "Bagaimana menurutmu Raden", bukankah ia baik dan manis sekali?"
Kembali gadis itu menundukkan wajahnya yang berubah kemerahan, yang membuat ia semakin manis. Mulutnya tersenyum malu-malu, kedua pipinya kemerahan dan matanya bersinar-sinar.
"Ah, Paman Baka, jangan memuji-muji terus. Akukan jadi malu"
JILID 07
Pergerakan Dimulai
"Tidak, nini, aku tidak memuji kosong. Bahkan, aku akan merasa berbahagia sekali kalau Raden Nurseta, anak angkatku ini, suka mengambilmu sebagai isterinya. Di bawah kolong langit ini sukar ditemukan keduanya perawan seperti engkau, nini Pertiwi" Ki Baja berhenti sejenak,lalu "Bagaimana, nini" maukah kau menjadi isteri Raden Nurseta ini?"
Nurseta sendiri terkejut mendengar ucapan Ki Baka itu. Dia mengenal Ki Baka sebagai ayahnya, sebagai seorang laki-laki yang gagah perkasa, jantan dan pantang mundur, terbuka dan jujur. Sungguhpun tidak mengherankan melihat sikapnya demikian bebas terbuka membicarakan tentang perjodohan di depan gadis itu begitu saja, namun keputusan ayah angkatnya itu sungguh mengejutkan hatinya, karena sama sekali tidak disangka-sangkanya. Memang Ki Baka, biarpun pernah menjadi seorang senopati, menjadi seorang pendekar di sepanjang Lembah Brantas, namun ia tetap sederhana dan terbuka, sehingga anak angkatnya sendiripun disuruhnya memanggil ayah kepadanya, seperti keluarga petani dusun biasa.
Sementara itu, wajah Pertiwi yang kemerahan kini menjadi merah sekali, sepasang mata dara itu terbelalak memandang kepada Ki Baka, seperti seekor kelinci ketakutan dan juga malu-malu, ia lalu berlari keluar dari gubuk itu sambil berteriak kecil, "Aih, paman membikin aku menjadi malu sekali.......!" tanpa pamit lagi, Pertiwi lari diiringi dengan suara ketawa Ki Baka.
Setelah gadis dusun itu pergi jauh, Ki Baka bertanya kepada Nurseta, "Bagaimana pendapatmu tentang nini Pertiwi itu" Bukankah ia seorang dara yang ayu dan manis merak-ati. Ia juga seorang yang lemah lembut dan berhati emas?"
Nurseta harus mengakui bahwa Pertiwi walaupun ia seorang perawan gunung, namun ia memang cantik sekali, ia memiliki daya tarik yang luar biasa, maka iapun mengangguk membenarkan dengan jujur. "Ya, Pertiwi adalah seorang gadis yang sangat cantik, ayah"
"Sejujurnya, aku seringkali membayangkan ketika mengingatmu, setiap kali nini Pertiwi datang, aku membayangkan, betapa akan bahagia rasa hatiku kalau melihat ia bersanding denganmu, sebagai isterimu. Kalau kau tidak berkeberatan dan ingin menyenangkan hatiku, maka, aku akan segera menemui orang tuanya untuk mengajukan pinangan. Percayalah, biarpun aku belum pernah menikah, namun mataku cukup awas untuk dapat mengenal seorang gadis yang baik, seorang calon isteri pilihan dan sukar dicari keduanya"
Nurseta termenung. Mendengar ucapan itu, tanpa disengaja, segera terbayanglah di depan matanya wajah seorang gadis lain. Seorang gadis yang berkulit kuning berwajah manis, dengan sepasang, mata seperti bintang, hidung kecil mancung dan bibir merah basah, ada lesung pipit di sebelah kiri pipinya dan tahi lalat kecil di pipi kanannya, dengan senyum menghias wajahnya. Sepasang matanya bagaikan bintang, kadang-kadang redup, dan dapat pula menyala dengan aneh. Seorang gadis sederhana yang kini muncul sebagai seorang wanita sakti yang aneh berpakaian serba hijau. Wulansari.
"Bagaimana" Apakah kau sudah memikirkannya?"
"Maaf, ayah. Aku belum memikirkannya, karena menganggap bahwa aku belum memikirkan tentang jodoh. Bukankah di depan masih terdapat tugas-tugas penting menanti" Tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala harus aku dapatkan, dan keamanan negara terancam oleh pemberontakan Mahesa Rangkah. Nanti sajalah, ayah, kalau semua tugas telah selesai dengan baik, baru kita bicara lagi tentang perjodohan"
"Ya, ya, kau benar, kulup. Beginilah kalau seorang tua ingin sekali menimang cucu. Kau benar Nurseta, memang tugas itu lebih penting dari pada urusan pribadi. Kedua tugas itu memang teramat penting dan berbahaya" ia berhenti sejenak, lalu " Nurseta. Kakek yang mengaku bernama Wiku Bayunirada itu, mempunyai kesaktiannya seperti iblis. Terhadapnya, kau harus berhati-hati. Adapun si pemberontak Mahesa Rangkah itupun bukan orang sembarangan. Ia adalah putera pemberontak yang bernama Linggapati. Ayahnya seorang pemberontak besar yang sakti, tentu puteranya juga tidak boleh dipandang ringan. Ketika ayahnya memberontak, aku masih membantu Sang Prabu Wisnuwardhana sebagai seorang diantara para senopati dan aku ikut membasmi gerombolannya di Mahibit. Sekarang, anaknya juga memberontak dan betapa gembira hatiku kalau kau sebagai anak angkatku, maju membantu pemerintah dan ikut membasmi gerombolan Mahesa Rangkah" Ia berhenti lagi, lalu "Kau benar, setelah semua tugas selesai, barulah seorang laki-laki boleh beristirahat dan memikirkan kesenangan pribadinya"
Nurseta bermalam di gubuk ayah angkatnya malam itu dan pada keesokan harinya, mereka saling berpisah lagi setelah semalam suntuk mereka hampir tidak tidur, karena waktu dihabiskan untuk melepas kerinduan dan bercakap-cakap panjang lebar menceritakan semua pengalaman masing-masing selama lebih dari empat tahun mereka saling berpisah.
Pada keesokan harinya, seperti telah mereka rundingkan semalam, Ki Baka pergi menuju ke padepokan Panembahan Sidik Danasura di Teluk Prigi Segoro Wedi di pantai Laut Kidui. Sedangkan Nurseta memulai dengan perjalanannya untuk menyelidiki tentang gerakan gerombolan pemberontak pimpinan Mahesa Rangkah, sekalian menyelidiki kakek bernama Wiku Bayunirada yang merampas dan melarikan tombak pusaka Tejanirmala.
** Sementara itu, Mahesa Rangkah sudah siap untuk melakukan penyerbuan ke Singosari. Ia sudah menghimpun pasukan yang dianggapnya cukup kuat karena memperoleh dukungan secara diam-diam oleh Kerajaan Kediri. Tentu saja Sang Prabu Jayakatwang tidak berani secara terang-terangan mendukung pemberontakan Mahesa Rangkah, karena pada lahirnya dia merupakan raja taklukan, juga menjadi besan dari Sang Prabu Kertanagara. Hanya di dalam batinnya sajalah Sang Prabu Jayakatwang membenci dan mendendam kepada Sang Prabu Kertanagara karena dia merasa dirinya lebih patut menjadi raja di raja, menguasai Singosari dan Kediri.
Untuk memulai pemberontakannya, Mahesa Rangkah menyebar para pembantunya, dengan membawa pasukan kecil, untuk menyerbu dan menduduki dusun-dusun besar atau kecil yang berada di sekitar daerah pinggiran Singosari. Gerakan ini dimaksudkan untuk memperkuat kedudukan, juga mengacaukan keamanan Singosari, dan terutama untuk menarik perhatian pasukan Singosari agar meninggalkan kota raja dan berpencaran untuk menanggulangi pengacauan yang dilakukan serentak di daerah pinggiran.
*** Malam bulan bersinar terang, hampir bulat penuh. Dusun Tarutug yang terletak di perbatasan antara daerah Kediri dan Singosari, nampak tenang. Para penduduk dusun itu banyak yang tinggal di luar rumah, menikmati sinar bulan yang sejuk. Akan tetapi, semakin malam, hawa menjadi semakin dingin sehingga mereka merasa lebih enak untuk tinggal di dalam rumah. Belum juga tiba tengah malam, suasana sudah sunyi sekali di dusun Tarutug yang bermandi sinar bulan dan diselimuti hawa yang dingin itu.
Suasana malam terang bulan yang dingin dan sunyi itu menjadi semakin indah dan hening ketika sayup-sayup sampai terdengar suara suling melengking naik turun dengan halus dan merdu sekali. Suling merupakan alat musik, yang seperti alat musik tiup lainnya, amat peka terhadap getaran perasaan peniupnya. mencurahkan isi batin melalui tiupan suling akan amat terasa, melengking dan menggetar menurut keadaan batin peniupnya.
Suara suling yang mengalun dan menyusup-nyusup di malam terang bulan itu datang dari sebuah bukit dekat dusun Tarutug itu. Bukit gundul yang sunyi. Bukit yang hanya ditumbuhi rumput dan alang-alang, tempat yang amat menyenangkan bagi para anak penggembala lembu dan domba, karena tempat itu selain dipenuhi rumput yang subur, juga di sebelah barat lereng bukit itu mengeluarkan air jernih dari sebuah sumber yang tak pernah kering sepanjang musim, baik musim kemarau apa lagi di musim hujan. Para penggembala di waktu pagi dan sore, membiarkan ternak mereka makan rumput dengan santai, dan minum dari genangan air dari sumber itu. Akan tetapi di waktu malam, keadaan di situ sunyi bukan main, tak nampak seorangpun manusia. Dan dari puncak bukit sunyi itulah datangnya suara suling malam itu.
Penyuling itu seorang pria muda yang duduk di atas sebuah batu di puncak bukit itu, menghadap ke barat. Usianya sekitar dua puluh lima tahun, wajahnya cukup tampan berbentuk bulat telur, tubuhnya sedang namun kokoh kuat. Suling yang ditiupnya itu sebatang suling yang berwarna hitam, tidak jelas terbuat dari apa, kayu ataukah bambu. Tiba-tiba, dari kaki bukit itu sebelah barat, terdengar suara suitan melengking tiga kali. Mendengar ini, peniup suling itu menurunkan nada suara sulingnya, makin merendah sampai akhirnya berhenti dan diapun bangkit berdiri, memandang ke arah sesosok bayangan yang berlari naik ke atas bukit dengan cepat dari arah barat.
Kini orang yang berlari naik itu tiba di depan si pemegang suling yang segera menyambutnya dengan pertanyaan, "Adi Pragalbo, bagaimana" Berhasilkah kau bertemu dengan para senopati Singosari?"
"Aku sudah berjumpa dengan para senopati, kakang Padasgunung, bahkan Kanjeng Senopati Ronggolawe sendiri yang menerima laporanku. Mereka sudah mempersiapkan pasukan. Dan bagaimana dengan persiapan kita, kakang" Apakah para pemuda dusun sudah siap pula untuk sewaktu-waktu Kita gerakkan menggempur para pemberontak?"
Padasgunung si penyuling tadi, mengangguk. "Mereka sudah siap dan suara sulingku yang akan menjadi tanda bagi mereka untuk berkumpul di sini. Dari tiga buah dusun di sekitar bukit ini telah berhasil aku kumpulkan dua ratus prang. Dan mereka sudah siap bertempur membela tanah air dengan senjata seadanya namun dengan tekad membaja. Mereka tahu apa artinya perjuangan membasmi para pemberontak. Pengalaman yang lalu ketika Bayaraja memberontak membuat mereka tidak sudi mendiamkan saja para pemberontak itu menyerbu dusun mereka. Mereka maklum bahwa mereka tidak mempunyai pilihan lain kecuali melawan. Kalau para pemberontak itu menduduki dusun, tentu semua milik mereka lenyap, bahkan nyawa merekapun tidak terjamin, sedangkan para wanitanya tentu akan dirusak"
"Bagus sekali kalau begitu, kakang Padasgunung" kata Pragalbo, satria muda gagah perkasa yang berkulit hitam namun berwajah persegi, dengan watak jenaka itu, "Karena sekarang juga mereka itu kita perlukan"
"Eh, apa maksudmu, Adi Pragalbo ?"
"Begini, kakang. Ketika aku pulang menuju ke bukit ini, aku melihat betapa banyak sudah dusun-dusun yang dilanda bencana dengan penyerbuan pasukan pemberontak. Mereka itu agaknya bergerak serentak di dusun-dusun sekitar perbatasan, dengan kelompok-kelompok kecil, Tentu saja para penduduk dusun itu tidak berdaya menghadapi para pemberontak yang menjadi perampok itu, Banyak yang lari mengungsi. Dan yang terpenting, siang tadi aku melihat gerombolan pemberontak yang jumlahnya lebih dari seratus orang menuju ke timur dan aku rasa, selambatnya besuk pagi, gerombolan itu sudah sampai di sini. Karena itu, aku cepat-cepat lari mendahului untuk memberiiahukan kepadamu, kakang"
Padasgunung mengepal tinju kiri dan mengacungkan suling di tangan kanannya sambil memandang marah ke arah barat. "Biarkan mereka datang adi Pragalbo. Dan malam ini juga kita harus mengumpulkan mereka itu dan mengatur siasat untuk menyambut musuh. Kalau sampai terjadi pertempuran, kau pimpin pasukan menurut siasat barisan yang aku atur dengan suara sulingku. Para penduduk sudah aku latih selama beberapa hari ini dan mereka tahu cara merubah barisan berdasarkan petunjuk suara sulingku, Aku akan menonton dari tempat tinggi di sini agar lebih mudah mengamati keadaan dan merubah barisan sesuai dengan perkembangan pertempuran"
Pragalbo sudah maklum akan keunggulan kakak seperguruan itu dalam hal ilmu perang, maka iapun mengangguk. Tak lama kemudian, terdengar pula lengking suling itu ditiup Padasgunung. Akan tetapi kini suara suling itu terdengar lain, penuh semangat dan suara melengking tinggi itu menembus keheningan malam menyusup ke dalam tiga buah dusun yang berada di kaki bukit. Segera terdengar suara kentungan bertalu-talu menyambut suara suling ini dan mulai nampaklah bayangan banyak orang berlarian naik ke atas bukit. Itulah para lelaki muda dari tiga buah dusun yang segera mendaki bukit setelah mendengar isarat berkumpul melalui lengking suling yang ditiup Padasgunung tadi.
Melihat ini, Pragalbo merasa kagum kepada kakak seperguruannya. Dalam waktu kurang dari setengah jam, di puncak bukit itu telah berkumpul kurang lebih duaratus orang. Mereka semua memegang bermacam senjata yang biasa dipergunakan para petani. Linggis, arit, cangkul, ada pula yang membawa tombak, golok atau semacam parang, dan keris.
Setelah semua orang berkumpul, membentuk lingkaran mengelilingi batu besar di mana Padasgunung dan Pragalbo berdiri, Padasgunung lalu berkata, suaranya nyaring dan penuh wibawa. "Saudara-saudara, baru saja kami mendengar bahwa gerombolan pemberontak sudah mulai melakukan serbuan kedusun-dusun di barat. Ada segerombolan penjahat yang sedang menuju ke sini dan agaknya pada hari esok pagi-pagi mereka sudah tiba di kaki bukit ini. Dusun-dusun kita di sekitar ini terancam. Oleh karena itu, saudara-saudara kami kumpulkan, Kita harus segera membentuk pasukan pendam untuk menanti mereka dan sebelum mereka sempat menyerbu dusun, kita serbu mereka lebih dahulu dari semua jurusan. Ingat, kalau terjadi pertempuran, kalian akan dipimpin langsung oleh Adi Pragalbo, dan bentuklah pasukan-pasukan dengan perubahan menurut suara sulingku seperti yang pernah andika sekalian pelajari"
Para anggota pasukan rakyat itu mengangguk dan mereka tidak merasa gentar karena sebelumnya, Padasgunung telah menanam pengertian dalam hati mereka bahwa mereka semua berjuang demi keselamatan keluarga mereka, dan mereka hendak mempertahankan setiap jengkal tanah dengan percikan darah mereka. Bahkan kalau perlu mereka siap mengorbankan nyawa demi membela tanah air dan keluarga.
Selama beberapa jam, mereka sibuk melaksanakan siasat yang diatur oleh Padasgunung dan Pragalbo, mempersiapkan barisan pendam, bersembunyi di lubang-lubang yang mereka gali, di belakang alang-alang dan pohon-pohon dikaki bukit. Ada pula yang bersembunyi di dalam pohon, diantara daun-daun pohon yang lebat. Sementara itu, di dusun-dusun mereka terjadi pula kesibukan. Sesuai dengan siasat yang sudah mereka pelajari sebelumnya, mereka itu, para wanita, juga siap menanak nasi dan lauk pauk sekedarnya, semacam "dapur umum" untuk memberi ransum kepada anak atau suami mereka yang sedang bertugas jaga untuk mempertahankan dusun mereka dari serbuan para pemberontak jahat.
Malam itu tidak terjadi sesuatu. Laskar rakyat yang dipimpin oleh Padasgunung dan Pragalbo itu tidur dalam tempat persembunyian mereka, dan penjagaan diadakan secara bergilir. Ini perintah Padasgunung yang tidak menghendaki pasukannya menjadi mengantuk dan lemah pada hari esok. Suasana di bukit itu sunyi dan yang terdengar hanya suara suling Padasgunung yang dimainkan perlahan-lahan, sayup sampai dengan lagu-lagu yang terdengar sedih. Semenjak kegagalannya menikah dengan Sriyati, memang pemuda ini lebih sering memainkan lagu sedih dalam tiupan sulingnya sehingga Pragalbo kadang-kadang merasa kasihan kepnda kakak seperguruannya itu.
Pada keesokan harinya, ketika mendengar bunyi kokok ayam jantan, tanda bahwa fajar mulai menyingsing, Padasgunung meniup sulingnya. dengan lagu isyarat agar semua pasukannya bangun dan bersiap siaga karena lima orang yang semalam diutusnya untuk, menjadii penyelidik dan melihat gerak gerik musuh di barat, telah datang kembali dan melaporkam bahwa pihak musuh sudah mulai bergerak ke timur pada lewat tengah malam tadi. Agaknya pihak musuh memperhitungkan bahwa mereka akan tiba di dusun-dusun yang berada dii kaki bukit itu pada keesokan harinya setelah matahari naik tinggi.
Tak lama kemudian, setelah matahari pagi mulai menyinarkan cahayanya di permukaam bumi, terdengarlah bunyi derap kaki dan ke bisingan suara pasukan musuh yang sudah mendekati bukit. Di dalam dada setiap anggota pasukan rakyat itu terjadi ketegangan dan jantung mereka berdetak keras. Biarpum mereka sudah bertekad mempertahankan kampung halaman mereka dengan taruhan nyawa, namun mereka adalah para petani yang sama sekali tidak pernah mengalami menjadi perajurit. Hanya mengingat akan keselamatan keluarga mereka dan kampung halaman mereka sajalah yang membuat mereka mengambil keputusan nekat untuk bertempur mati-matian dalam usaha mereka mempertahankan semua yang mereka cinta itu.
Padasgunung sudah berdiri di lereng bukit, sedangkan Pragalbo dengan gagahnya, dengan keris di tangan, sudah siap memimpin pasukannya untuk menyergap pasukan musuh dengan tiba-tiba begitu ada aba-aba dari suara suling kakak seperguruannya.
Kini nampak debu tipis mengepul di bagian barat dan tepat seperti yang diperhitungkan oleh Padasgunung dan Pragalbo, pasukan pemberontak itu melewati jalan di kaki bukit menuju ke dusun terdekat. Mereka nampak gembira, kasar dan kuat, memegang tombaki yang sama bentuknya, dan sebatang golok atau parang tergantung di pinggang. Seperti biasa, mereka yang terdiri dari orang-orang kasar dan anak buah tokoh-tokoh sesat ini, merasa gembira apa bila pasukan sudah dekat dengan dusun karena memasuki dusun bagi mereka berarti pesta pora, membunuh dan merampok sesuka hati tanpa mendapat perlawanan berarti, dan terutama sekali mereka dapat mempermainkan dan memperkosa wanita dusun yang mana saja, dari yang masih remaja dan kanak-kanak sampai yang paling tua. Ada pula yang bergembira membayangkan bahwa dia akan menemukan harta yang dirampas dan menjadi miliknya, dan ada pula yang membayangkan akan segera dapat menyembelih ayam atau domba rampasan dan makan sepuasnya.
Setelah pasukan pemberontak itu tiba tepat di kaki bukit, tiba-tiba terdengar suara suling memecah kesunyian pagi hari yang cerah itu, Kiranya Padasgunung yang mengintai dari lereng bukit, diam-diam membenarkan perhitungan Pragalbo. JumJah musuh kurang lebih seratus orang, dipimpin oleh beberapa orang yang menunggang kuda dan tidak dapat dikenal karena wajah mereka tidak jelas dilihat dari atas itu. Jumlah anak buahnya kurang lebih dua kali lebih banyak dari lawan, maka tenanglah rasa hati Padasgunung. Dia maklum bahwa anak buah pemberontak itu tentu merupakan orang-orang yang sudah terlatih dalam pertempuran, merupakan lawan berat dibandingkan dengan anak buahnya yang terdiri dari para petani yang tidak terlatih, walaupun para petani itu tentu saja memiliki tenaga kuat karena setiap hari biasa bekerja berat. Namun pihaknya mempunyai dua hal yang boleh diandalkan. Pertama sekali adalah semangat. Laskar rakyat tidak mempunyai pamrih untuk mencari kesenangan pribadi, tidak berpamrih mencari kemenangan agar memperoleh pahala, tidak mempunyai pamrih lain kecuali ingin melindungi keluarga mereka, membela tanah air mereka dan menyelamatkan kampung halaman mereka. Dan kedua adalah karena jumlah para petani itu lebih besar, hampir dua kali jumlah perusuh.
Padasgunung menanti sampai pasukan musuh itu tiba di kaki bukit, tepat dalam keadaan terkepung oleh anak buahnya yang sudah bersembunyi mengepung jalan itu. Setelah itu iapun segera mengeluarkan sulingnya dan meniupkan isarat penyerangan.
Suara suling ini dapat ditangkap dengan jelas oleh semua laskar petani yang memang sejak iadi menunggu dan memperhatikan, akan tetapi agaknya sama seknli tidak menarik perhatian pasukan pomberontak. Mereka ini membayangkan hasil perampokan mereka, maka ketika ada suara suling, mereka menganggap bahwa itu tentu permainan seorang bocah penggembala saja. Oleh karena itu, betapa kaget hati mereka ketika tiba-tiba terdengar sorak sorai dan bermunculanlah para petani muda dari semua jurusan dan mereka itu langsung menyerang pasukan pemberontak dengan senjata-senjata mereka yang sederhana.
Biarpun dapat dilihat dengan mudah bahwa mereka itu hanyalah petani-petani muda, dapat dikenal dari pakaian mereka dan keadaan senjata mereka yang sebagian besar terdiri dari cangkul, linggis, kapak dan arit, namun mereka menyerbu sambil berteriak-teriak dan sikap mereka penuh keberanian dan kemarahan. Apa lagi diantara para petani itu terdapat seorang pemuda yang bersenjata keris yang agaknya memimpin laskar petani itu. Sepak terjang pemuda ini hebat bukan main. Setiap kali kakinya menendang atau tangan kirinya menampar atau kerisnya menyambar, sudah pasti ada seorang anak buah pemberontak yang roboh dan tak mampu bangkit kembali. Hal ini membuat para pemberontak itu panik.
Akan tetapi terdengar bentakan-bentakan nyaring dari dua orang berkuda yang menjadi pemimpin pemberontak. Teriakan dan bentakan mereka ini membangkitkan semangat para anak buahnya. Terjadilah pertempuran mati-matian yang seru karena biarpun jumlah para pemberontak itu hanya setengahnya. namun mereka adalah orang-orang kasar dan kuat yang biasa berkelahi, sehingga mereka dapat mengimbangi para petani yang jumlahnya dua kali lebih banyak mereka.
Sementara itu, dua orang pimpinan pemberontak yang menunggang kuda, begitu melihat sepak terjang Pragalbo yang dahsyat, mereka cepat berloncatan turun dari atas kuda mereka dan menghadang Pragalbo yang tadinya mengamuk dengan keris di tangan.
'"Babo-babo, kiranya si PragaIbo yang memimpin pasukan petani ini" bentak seorang diantara mereka yang kepalanya botak dan pungungnya berpunuk. Pragalbo segera memandang dua orang itu dan mengenal mereka. Yang menegurnya itu bukan lain adalah seorang jagoan dari Blitar, termasuk seorang yang condong berkelompok dengan golongan hitam dan tidak mengherankan kalau orang ini menjadi seorang diantara para pemberontak.
"Hemm, aku tidak heran melihat kau menjadi pemimpin serombolan pemberontak dan perampok ini, Ki Kalakatung. Memang orang-orang macam akau ini sudah biasa menjadi pengkhianat dan penjahat yang tidak segan melakukan segala macam kejahatan untuk menyenangkan diri sendiri"
"Heh-heh, keparat Pragalbo. Besar sekali suaramu, tidak sesuai dengan sikapmu yang sederhana dan seperti orang gagah. Kau sudah gila barangkali, mengerahkan para petani hanya untuk menjadi korban pembantaian pasukan kami. Apakah perbuatan itu tidak lebih jahat, menjerumuskan para petani dusun" Ha-ha-ha"
Melihat orang tinggi kurus berwajah tampan ini, yang usianya kurang lebih empat puluh lima tahun, sepuluh tahun lebih muda dari pada Ki Kalakatung, Pragalbo tersenyum mengejek, hatinya merasa muak karena diapun sudah mengenal orang ini. Si tinggi kurus berwajah tampan ini adalah seorang yang dikenal sebagai Iblis Gunung Gajahmungkur, masih berdarah bangsawan dan namanya Raden Galinggangjati. Sakti mandraguna, akan tetapi juga terkenal mempunyai kesukaan bermain cinta dengan pemuda-pemuda tampan. Tokoh sesat ini tidak suka mendekati wanita, akan tetapi suka sekali menculik orang-orang muda yang tampan untuk dipaksa menjadi kekasihnya.
"Heh, Raden Galinggangjati, kejahatanmu sudah sampai ke ubun-ubunmu, sudah berapa banyak pemuda yang menjadi korbanmu, aku dengar mereka banyak yang sudah menjadi gila, selebihnya mati di tanganmu. Tanganmu sudah berlumur darah orang-orang tidak berdosa dan kini kau ingin melengkapi dosa-dosamu dengan bersekutu dalam pemberontakan. Kalian berdua orang-orang jahat, hari ini takkan terlepas diri tanganku"
"Babo-babo, sumbarmu seperti dapat melompati puncak Gunung Semeru, Pragalbo. Akan aku hancurkan kepalamu dengan senjataku Rujakpolo ini" bentak Ki Kalakatung yang sudah menyerang dengan senjatanya yang menggiriskan. Senjata di tangan Ki Kalakatung ini berupa sebuah penggada yang panjangnya sedepa, besar dan berat, berwarna hitam dan terbuat dari galih-asem yang sudah tua dan keras bukan main. Agaknya dia menamakan penggada ini Rujakpolo, meniru nama penggada yang biasa dipergunakan oleh Sang Bima, tokoh pewayangan, orang ke dua dari Pandawa Lima.
"Wuuuuuttt........!" Penggada itu menyambar mengeluarkan angin keras saking berat dan cepatnya sambaran itu. Tenaga yang terkandung dalam serangan itu amat kuat, dan memang senjata Ki Kalakatung ini menggiriskan, sekali pukul saja dia mampu menghancurkan batu gunung yang besar. Apa lagi kalau mengenai kepala lawan, sungguh amat mengenaskan, kalau dibayangkan penggada itu memukul kepala, kepala itu pasti akan lumat.
Pragalbo maklum akan kedahsyatan penggada Rujakpolo ini, maka iapun tidak mau mencoba-coba membiarkan kepalanya dihajar, cepat dia mengelak dengan merendahkan tubuhnya dan menggeser kaki ke kiri, menyuruk di bawah sambaran penggada yang lewat di atas kepalanya. Sementara itu, Pragalbopun tidak tinggal diam, sambil mengelak ke kiri, keris di tangannya meluncur dan menghunjam ke arah dada lawan.
"Heh!" Ki Kalakatung meloncat ke belakang dengan cekatan, dan tusukan keris itupun dapat dihindarkan. Di lain detik, penggada galih asem hitam itu sudah menyambar lagi dari kiri ke kanan. Melihat betapa senjata berat itu, setelah tadi menghantam dari kanan ke kiri dengan dahsyatnya, kini dapat membalik cepat. Menunjukkan betapa si botak berpunuk ini memang memiliki tenaga kuda yang kuat.
Namun Pragalbo tidak kalah gesit. Ia dapat mengelak dan membalas dengan serangan kerisnya, secara bertubi. Terjadilah perkelahian yang seru. Akan tetapi Pragalbo yang memegang sebatang keris sebagai senjata, tentu saja dapat bergerak lebih gesit karena senjatanya jauh lebih ringan. Kecepatan inilah yang membuat Ki Kalakatung kewalahan sehingga ia terdesak. Sebetulnya, tingkat kepandaian kedua orang ini seimbang, hanya karena senjata Kalakatung jauh lebih berat, maka gerakannya kalah gesit, kalah cepat walaupun serangan-serangannya dengan penggada itu jauh lebih berbahaya.
Sementara itu, Raden Galinggangjati dengan mudah merobohkan dua orang petani yang terdekat, kemudian melihat betapa kawannya terdesak oleh keris Pragalbo yang menyambar-nyambar ganas, dia lain meloncat ke dalam medan perkelahian itu, menggerakkan senjata di tangannya, yaitu sebatang pedang melengkung yang gagangnya terbuat dari emas. Sinar kehijauan menyambar bergulung-gulung ketika dia menggerakkan pedangnya menyerang Pragalbo. Orang gagah ini terkejut sekali karena sambaran pedang itu amat dahsyat dan berbahaya, selain cepat sekali luncurannya, juga mengeluarkan suara berdengung dan amat kuat.
"Tringgg........!" Kerisnya menangkis dan kedua orang itu merasa betapa tangan mereka yang memegang senjata masing-masmg tergetar hebat, tanda bahwa tenaga mereka seimbang. Akan tetapi pada saat itu, penggada di tangan Ki Kalakatung sudah menyambar lagi dari samping, mengancam kepala Pragalbo. Ketika Pragalbo mengelak dan merendahkan tubuhnya, sebuah tendangan kaki Raden Galinggangjati menyambar ke arah perutnya dari samping. Pragalbo miringkan tubuh untuk mengelak, akan tetapi tetap saja paha kirinya terkena serempetan tumit kaki lawannya itu.
"Dukkk....... !!" Tidak terlalu keras kenanya karena Pragalbo sudah miringkan tubuh, hanya terserempet saja, namun karena tendangan itu mengandung tenaga kuat, tidak urung tubuh. Pragalbo terhuyung juga. Kesempatan ini dipergunakan oleh Raden Galinggangjati yang dapat bergerak lebih cepat dari kawannya, karena senjata pedangnya jauh lebih ringan, untuk mengejar, dan pedangnya terayun ke arah tubuh yang sedang terhuyung itu.
"Cringgg......" Bunga api berpijar ketika pedang itu bertemu dengan sebuah suling hitam yang menangkisnya.
Raden Galinggangjati mengangkat muka memandang. Wajah yang tampan itu menyeringai dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi.
"Babo babo, kiranya Padasgununglah yang memimpin para petani itu" Engkau pula yang tadi meniup sulingmu" Pantas, para petani tolol itu berani karena ada orang-orang macam kau dan Pragalbo. Mampuslah" Pedangnya menyambar ganas ke arah leher Padasgunung yang cepat menangkis dengan sulingnya lalu membalas. Segera terjadi perkelahian seru antara Raden Galinggangjati dan Padasgunung. Melihat munculnya kakak seperguruannya, besarlah hati Pragalbo dan iapun cepat menerjang Ki Kalakatung dengan kerisnya. Si botak berpunuk ini cepat mengelak dan mengayun penggadanya untuk membaias.
Di sekitar pertempuran mereka, terjadi pula pertempuran antara laskar rakyat petani melawan para pemberontak.
Karena memang tingkat kepandaian Padasgunung dan Pragalbo setingkat dibandingkan dua orang lawannya, maka perkelahian itu bukan main serunya dan sukar diduga siapa diantara mereka yang akan keluar sebagai pemenang. Pedang di tangan Raden Galinggangjati dapat mengimbangi gerakan suling di tangan Padasgunung, sehingga yang nampak diantara mereka hanya dua gulungan sinar hitam dan kehijauan yang saling belit dan saling sambar seperti dua ekor naga bermain di angkasa.
Tidak ada diantara laskar petani dan anggota pasukan pemberontak yang berani mendekati empat orang yang seding berkelahi ini, setelah ada beberapi orang diantara mereka terjungkal dan tidak mampu bangkit kembali ketika mencoba untuk membantu pemimpin-pemimpin mereka. Empat orang ini terlalu kuat bagi anggota pasukan biasa. Karena itu, para anggota laskar petani dan para anggota pemberoutak menjauhkan diri dari mereka dan bertempur kacau balau tanpa komando lagi.
Pada saat empat orang pimpinan kedua pihak itu saling serang dengan serunya, tiba-tiba terdengar bunyi cambuk meledak-ledak di atas kepala Padasgunung dan Pragalbo. Kedua orang gagah ini terkejut bukan main. Mereka sedang saling serang dengan dua orang pimpinan pemberontak, maka tidak sempat menangkis dan hanya meloncat ke belakang, namun ujung cambuk itu sempat menggigit pundak kiri Padasgunung dan merontokkan ujung gumpalan rambut Pragalbo.
Ketika mereka melihat, ternyata yang muncul menyerang mereka itu adalah seorang laki-laki berusia sekitar empat puluh lima tahun. Wajahnya tampan dengan kumis dan jenggot rapi, tampak gagah, sepasang matanya tajam dan liar, pakaiannya menunjukkan bahwa ia seorang yang suka mengolah kebatinan, ahli tapa dan jubahnya jubah pendeta. Tangan kanannya memegang gagang sebatang pecut panjang, pecut sapi yang tadi dilecutkan ke arah kepala Padasgunung dan Pragalbo, sedangkan tangan kirinya memegang sebuah kipas bambu yang bentuknya bundar. Ia tersenyum-senyum mengejek melihat betapa Padasgunung dan Pragalbo tadi terkejut karena serangannya yang hebat.
Akan tetapi sebaliknya, Kalakatung dan Raden Galinggangjati merasa gembira sekali dengan munculnya orang ini. Apalagi melihat betapa lecutan tadi membuat Padasgunung dan Pragalbo terkejut. Mereka segera maju lagi menyerang dan ketika dua orang pemimpin laskar rakyat petani itu menangkis, laki-laki berjubah pendeta itupun menggerakkan cambuknya yang panjang untuk membantu.
Padasgunung dan Pragalbo melawan mati-matian, namun mereka kewalahan dan repot menghadapi desakan tiga orang itu. Terutama sekali si pemegang pecut itu sungguh tangguh sekali, dan memiliki tingkat kepandaian yang masih lebih tinggi dari mereka. Maka, terdesaklah Padasgunung dan Pragalbo, dan mereka hanya mampu melindungi dirinya tanpa mampu membalas serangan tiga orang lawan mereka.
"Hemm, para pemberontak keparat" Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan muncullah seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh lima tahun, tinggi kurus, akan tetapi tulang-tulangnya besar dan kokoh kuat, perutnya gendut. Pakaiannya sederhana serba hitam seperti pakaian petani, bajunya terbuka sehingga nampak dadanya yang berbulu, mukanya brewok, matanya lebar mencorong dan wajahnya membayangkan kekasaran namun juga keramahan dan kegembiraan.
"Heh, keparat Ki Jembros. Jangan mencampuri urusan kami" Laki-laki berpakaiam pendeta tadi berseru ketika melihat munculnya Ki Jembros.
"Ha-ha-ha, kiranya Resi Harimurti yang membantu para pemberontak. Aku membela kerajaan, itu sudah sewajarnya, akan tetapi kalau seorang resi, seorang pendeta dan pertapa macam kau ini membantu pemberontak, sungguh sukar dimengerti." jawab Ki Jembros. Ia mengenal Resi Harimurti itu adalah seorang pertapa atau pendeta yang suka berkelana, namun di samping terkenal karena kesaktiannya, ia juga terkenal sekali karena kelemahannya terhadap wanita cantik, ia seorang pendeta cabul, dan hal ini mudah diketahui dari sinar matanya yang tajam itu.
"Keparat, tak perlu banyak cakap" bentak Ki Kalakatung yang sudah mengangkat galih asemnya dan menimpakannya dengan kuat ke arah kepala Ki Jembros. Melihat ini, Ki Jembros mengangkat lengan kirinya menangkis.
"Dukkk !" Lengan itu menangkis galih asem yang besar dan berat, akan tetapi akibatnya, Ki Kalakatung sendiri yang menyeringai kesakitan dan hampir saja penggada itu terlepas dari tangannya. Raden Gilinggangjati meloncat dengan keris di tangan, menusukkan kerisnya ke arah dada Ki Jembros yang sama sekali tidak menangkis atau mengelak sehingga keris itu tepat menghunjam dadanya.
"Tukk !" Keris itu seperti menusuk baja dan Ki Jembros tertawa bergelak, sementara itu Raden Galinggangjati meloncat mundur dengan muka pucat. Kerisnya tidak mampu melukai dada Ki Jembros. Hal ini tidaklah aneh, karena Ki Jembros telah mengerahkan sebuah diantara ilmunya yang hebat, yaitu aji kesaktian Trenggiling Wesi, suatu aji kekebalan. Tentu saja aji kekebalan ini hanya mampu menahan serangan orang yang lebih rendah ilmunya, yang kekuatannya jauh di bawah tingkat Ki Jembros sendiri. Buktinya, ketika Resi Harimurti menggerakkan pecutnya, menghantam ke arah kepala Ki Jembros, orang kokoh kuat ini tidak berani menerimanya seperti ketika dia diserang oleh keris tadi. Ia miringkan tubuhnya dan ketika pecut itu lewat di pinggir telinganya. Ki Jembros membalikkan tubuhnya dan menghantam dengan tangan terbuka, dengan jari-jari tangan yang menjadi tegang dan keras bagaikan baja, ke arah dada lawannya.
"Plak.........!" Tangan terbuka itu tertangkis oleh seoatang kipas bambu yang terlipat, sebatang kipas yang bukan hanya menangkis, akan tetapi juga dipergunakan ujung gagangnya yang runcing untuk menusuk ke arah urat nadi tangan itu. Resi Harimurti memang seorang tokoh yang terkenal dengan sepasang senjatanya, yaitu sebatang pecut dan sebuh kipas bambu. Ki Jembros cukup mengenal ketangguhan lawan ini, maka ketika tangannya tertangkis, diapun memutar pergelangan lengannya sehingga terbebas dari tusukan ujung gagang kipas lawan. Kaki kirinya mencuat dan menendang ke arah selangkang Resi Harimurti yang juga dapat cepat mengelak dengan loncatan ke belakang.
Terjadilah perkelahian yang amat seru antara kedua orang yang sama-sama memiliki aji kesaktian yang hebat itu. Pecut di tangan kanan Resi Harimurti meledak-ledak sedangkan kipasnya meniupkan angin yang menyambar-nyambar, akan tetapi terjangan Resi Harimurti yang dahsyat itu dapat diimbangi oleh Ki Jembros yang mengerahkan aji kesaktian Hastobairowo yang lebih dahsyat lagi. Dengan aji pukulan Hastobairowo, ditambah aji kekebalan Trenggiling Wesi, maka Resi Harimurti mulai terdesak terus.
Sementara itu, Kalakatung sudah bertanding lagi melawan Pragalbo, sedangkan Raden Galinggangjati melawan Padasgunung. Pertandingan antara mereka ini tidak kalah serunya, akan tetapi seperti juga dengan keadaan Resi Harimurti, dua orang tokoh pembantu Mahesa Rangkah inipun mulai terdesak oleh dua orang satria itu.
Melihat betapa tiga orang pemimpin mereka terdesak, pasukan pemberontak menjadi panik dan kacau. Tadinya, biarpun jumlah mereka hanya setengah jumlah laskar rakyat, namun para pemberontak itu tidak merasa gentar karena mereka adalah orang orang dari dunia sesat yang sudah biasa mempergunakan kekerasan, sudah biasa berkelahi, sebaliknya lawan mereka adalah para petani yang. belum mempunyai pengalaman pertempuran. Akan tetapi, setelah melihat betapa tiga orang pemimpin mereka terdesak, khawatirlah hati mereka dan karenanya, laskar rakyat petani yang lebih banyak jumlahnya dan yang bersemangat besar melihat sepak terjang pimpinan mereka yang gagah perkasa, dapat mendesak para pemberontak dengan pekik semangat menuju kemenangan.
Gentarlah hati Resi Harimurti. Dia adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi akan tetapi juga watak yang licik dan tidak bertanggung jawab. Begitu melihat bahwa keadaan tidak menguntungkan dan kalau dia lanjutkan perkelahian itu, keselamatannya terancam bahaya maut, maka diapun segera memutar-mutar cambuknya dengan cepat sehingga Ki Jembros sendiri terpaksa harus mundur untuk menghindarkan bahaya cambukan. Kesempatan ini dipergunakan oleh Resi Harimurti untuk meloncat jauh ke belakang dan diapun menghilang diantara pasukan pemberontak dan terus melarikan diri meninggalkan medan pertempuran.
Ki Jembros mengejar, namun kehilangan jejak. Dengan hati gemas iapun mengamuk diantara para pemberontak. Sepak terjangnya menggiriskan dan banyak anak buah pemberontak bergelimpangan terkena terjangan kaki tangannya. Ketika melihat betapa Pragalbo dan Padasgunung masih juga belum mampu merobohkan kedua orang lawannya, Ki Jembros lalu terjun ke dalam perkelahian antara mereka. Tendangan kakinya yang dahsyat menyambar ke arah Ki Kalakatung.
Jagoan Blitar yang berkepala botak ini sedang repot mengadap Pragalbo, maka ketika Ki Jembros terjun dan mengayun kakinya, ia menjadi gugup. Apa lagi ia melihat betapa Resi Harimurti, orang yang diandalkannya, tadi telah meiarikan diri, tidak kuat melawan Ki Jembros. Dengan gugupnya, dia menggerakkan ruyung yang terbuat dari galih asem hitam dan diberi nama Gada Rujakpolo itu menyambut, dengan maksud menghantam remuk tulang kaki Ki Jembros.
"Brakkkk.......!" Memang ada yang patah, akan tetapi bukan tulang kaki Ki Jembros melainkan ruyung galih asem itu. Dan pada saat itu, Pragalbo sudah menghunjamkan kerisnya. Ki Kalakatung sedang kaget sekali karena selain ruyungnya patah, juga telapak tangannya yang tadi memegang ruyung terasa nyeri seolah-olah kulitnya terbeset. Ia melepaskan ruyungnya dan pada saat itulah, keris di tangan Pragalbo menusuk, dan ia tidak sempat lagi mengelak.
"Ceppp.....", Jagoan berpunuk itu menjerit mendekap dadanya dan tubuhnya terjengkang ketika Pragalbo mencabut kerisnya dan menendang ke arah lututnya.
Melihat ini, Raden Galinggangjati menjadi panik. Seperti juga Ki Kalakatung, tadi ia sudah merasa bingung melihat larinya Resi Harimurti dan kacaunya pasukan pemberontak. Kini, melihat robohnya Ki Kalakatung, tentu saja ia menjadi ketakutan. Iblis Gunung Gajahmungkur ini cepat mendesak Padasgunung dengan pedangnya yang bentuknya melengkung, bergagang emas dan mengeluarkan sinar kehijauan.
Padasgunung cepat meloncat ke belakang sambil memutar suling hitamnya, akan tetapi ia menjadi marah ketika melihat betapa tiba-tiba lawannya memutar tubuh dan menyelinap diantara para anak buah yang sedang bertempur.
"Pengecut, hendak lari ke mana kau?" bentaknya dan iapun meloncat ke depan, cepat sekali dan sulingnya terayun ke arah tengkuk Raden Galinggangjati. Orang ini mendengar bunyi mengaung dan cepat ia menundukkan kepala sambil miringkan tubuh.
"Takkk!" Suling itu luput mengenai kepala bagian belakang, akan tetapi meleset menghantam pundak kanan Iblis Gunung Gajahmungkur itu. Raden Galinggangjati mengeluh, akan tetapi ia segera menghilang diantara banyak orang yang bertempur.
Padasgunung menjadi marah dan kecewa. Ia telah berhasil melukai lawan, akan tetapi hatinya belum puas kalau belum dapat merobohkannya, maka cepat ia mengejar. Namun, tidak mudah mengejar lawan yang meJarikan diri di antara ratusan orang yang sedang bertempur itu. Ia mengamuk dan merobohkan banyak anak buah pemberontak yang menjadi semakin kocar kacir karena pada saat itu, Ki Jembros dan Pragalbo juga sedang menaamuk.
Setelah terjadi pertempuran yang tidak seimbang, akhirnya sebagian dari pasukan pemberontak itu lari cerai berai meninggalkan banyak kawan yang tewas atau terluka berat. Laskar rakyat yang dipimpin oleh Padasgunung dan Pragalbo melakukan pengejaran. Akan tetapi karena sisa pasukan pemberontak itu lari cerai berai ke segaia jurusan, maka sukarlah melakukan pengejaran terarah.
Ketika melakukan pengejaran ini, dibantu pula oleh Ki Jembros, pasukan rakyat ini bertemu dengan pasukan besar yang tadinya membuat Padasgunung dan Pragalbo terkejut. Pasukan itu rapi, jumlahlah tidak kurang dari seribu orang, dipimpin oleh orang-orang gagah berkuda dan nampak pasukan itu kuat bukan main. Akan tetapi ketika melihat umbul-umbul, bendera dan tanda-tanda pasukan lainnya, Ki Jembros tertawa.
"Itu adalah pasukan Singosari!" katanya dan diapun melangkah paling depan menyambut pasukan besar itu.
Pasukan itu dipimpin beberapa orang senopati, dikepalai oleh Senopati Ronggolawe yang muda dan gagah.perkasa. Tadinya para senopati itu terkejut melihat laskar rakyat itu. Mereka mengira bahwa itu adalah pasukan gerombolan pemberontak, maka para senopati telah memberi aba-aba kepada pasukan mereka agar siap siaga, apa lagi melihat betapa laskar itu seperti berlari-lari, dikejar atau mengejar sesuatu. Akan tetapi setelah mereka melihat seorang kakek tinggi besar gagah perkasa dan berpakaian serba hitam melangkah lebar di depan, Senopati Ronggolawe dan para senopati lainnya segera mengenalnya.
"Paman Jembros.......!" Ronggolawe berseru sambil meloncat turun dari atas kudanya dan menghampiri kakek itu.
Ki Jembros tertawa. "Ha-ha-ha, sungguh membesarkan hati melihat para senopati yang gagah perkasa memimpin pasukan Singosari. Tentu andika sekalian sedang menuju ke perbatasan untuk menumpas pemberontak pimpinan Mahesa Rangkah, bukan?"
"Benar sekali dugaan paman, akan tetapi, laskar manakah ini" Dan dari manakah mereka paman?" tanya Senopati Ronggolawe.
Ki Jembros tersenyum lebar dan mengacungkan ibu jari tangan kanannya.
"Ini laskar bebat, anakmas senopati. Laskar rakyat yang dikumpulkan dan dilatih oleh Padasgunung dan Pragalbo yang gagah perkasa, dalam usaha mereka menentang pemberontak dan membantu pemerintah Singosari. Baru saja tadi laskar ini memukul hancur pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Resi Harimurti, Ki Kalakatung dan Raden Galinggangjati. Sisanya lari cerai berai dan kami tadi berusaha melakukan pengejaran. Sayang bahwa Resi Harimurti dan Raden Galinggangjati berhasil melarikan diri"
Para senopati memuji dan berkenan menerima Padasgunung dan Pragalbo.
"Kalian adalah satria-satria yang patut dibuat contoh" kata Senopati Ronggolawe. "Sekarang, gabungkanlah sisa laskar rakyat yang gagah perkasa ini, mengikuti pasukan kami dan membantu kami menyerbu ke induk pasukan pemberontak"
"Anakmas Senopati Ronggolawe, apakah kau sudah mengetahui di mana adanya induk pasukan pemberontak Mahesa Rangkah itu?" tanya Ki Jembros.
Senopati Ronggolawe mengangguk. "Paman Jembros, kami sudah mendengar banyak tentang Mahesa Rangkah dari para penyelidik kami. Tentu saja sarang merekalah yang sekarang ini merupakan sarang sementara saja semenjak mereka keluar dari daerah Kediri, karena mereka bermaksud untuk menyeberang dan maju ke arah kota raja Singosari. Pasukan mereka terpencar-pencar, oleh karena itu, kamipun sudah mengirim pasukan yang terpencar untuk menghadang mereka di segala penjuru"
Laskar rakyat itu dengan gembira, di bawah pimpinan Padasgunung dan Pragalbo, kini bergabung dengan pasukan pemerintah Singosari, berbaris dengan gagah dan penuh semangat di belakang pasukan Singosari itu.
Ki Jembros dan kedua orang satria itupun diterima oieh para senopati sebagai rekan mereka dan kepada mereka bertiga diberi tiga ekor kuda yang pilihan. Pasukan itupun melanjutkan perjalanan menuju ke sarang Mahesa Rangkah yang sudah diketahui, yaitu di Bukir Lejar.
Siasat yang diambil oleh para senopati di Singosari memang hebat. Para senopati itu maklum bahwa biarpun pemberontakan Mahesa Rangkah mendapat dukungan moril dara Kediri, namun pihak Kerajaan Kediri ataui Daha itu tidak berani secara langsung membantu. Ini membatasi kekuatan Mahesa Rangkah yang tidak berapa. Oleh karena itu, untuk menghemat tenaga, karena. sebagian dari pasukan dibutuhkan untuk menjaga keselamatan Kota Raja, Senopati Ronggolawe lalu memimpin tiga ribu orang pasukan saja. Yang duaribu orang dipecah-pecah menjadi beberapa kelompok, dipimpin masing-masing seorang senopati dan kelompok pasukan kecil yang hanya terdiri dari seratus sampai duaratus orang ini ditugaskan untuk melakukan penghadangan terhadap pasukan pemberontak yang juga dipecah-pecah menjadi kelompok-kelompok kecil untuk mengacaukan suasana dan menyerang dari dusun-dusun terpencil.
Adapun pasukan induk, yang terdiri dari seribu orang, dipimpin sendiri oleh Ronggolawe, menuju ke sarang pemberontak di Bukit Lejar. Dia tidak tergesa-gesa, bahkan berlambat untuk memberi kesempatan kelompok kesatuan kecil yang disebar itu untuk menghalau gerombolan pemberontak agar mereka berkumpul kembali di Bukit Lejar, barulah pasukan induk Singosari akan menyerbu.
Dengan adanya siasat ini, di mana-mana terjadi pertempuran kecil dari pasukan kedua pihak yang jumlahnya antara seratus sampai dua ratus orang itu.
Keuntungan para senopati yang memimpin pasukan-pasukan kecil itu adalah karena di sepanjang perjalanan, mereka mendapat dukungan rakyat yang rata-rata membenci para pemberontak. Setiap kali terjadi pemberontakan dan perang, tentu rakyat di dusun-dusun yang menjadi korban. Para pemberontak itu biasanya amat ganas dan jahat, bakan hanya merampok penduduk dusun, juga membunuh, memperkosa dan melakukam segala macam perbuatan yang sewenang-wenang. Oleh karena itu, ketika mengetahui bahwa, pemerintah Singosari mengirim pasukan untuk menumpas pemberontak, para penghuni dusun-dusun menjadi gembira dan mereka dengan suka rela membantu apa saja yang dapat mereka lakukan. Bahkan, seperti yang telah diusahakan oleh Padasgunung dan Pragalbo, ketika, para satria yang menentang pemberontak menghimpun para penghuni dusun, banyak pemuda dusun yang dengan suka rela masuk menjadi anggota laskar rakyat sehinsga dengan demikian, kekuatan pihak Kerajaan Singosari semakin besar.
Tidaklah mengherankan kalau pasukan Singosari yang memperoleh dukungan rakyat, di mana-mana selalu memperoleh kemenangan dan kelompok pasukan kecil-kecil para pemberontak itu, dapat dipukul mundur dan mereka itu segera kembali ke Bukit Lejar untuk melapor kepada induk pasukan.
Mahesa Rangkah sendiri, yang merupakan pucuk pimpinan, setelah membagi pasukannya menjadi kelompok-kelompok kecil, segera memimpin sisa pasukannya yang terdiri dari tiga ratus orang tentara pilihan, untuk melakukan penyeberangan ke timur menuju ke kota raja Singosari. Menurut siasat yang telah direncanakannya dan diperintahkan kepada semua pembantunya yang menjadi pimpinan setiap kelompok pasukan kecil, kalau pasukan-pasukan mereka berhasil, mereka harus berkumpul di hutan jati yang berada di sebelah barat kota raja Singosari, di mana mereka akan menyusun kekuatan dan melakukan penyerbuan ke kota raja Singosari. Sebaliknya, andaikata pasukan-pasukan itu menemui kegagalan, maka kalau mereka mundur, mereka semua akan kembali ke Bukit Lejar untuk menyusun kembali kekuatan mereka.
*** Terjadi perubahan besar pada diri Nurseta sejak dia naik ke puncak Gunung Kelud. Ketika ia naik ke puncak itu, ia masih berwajah gembira dan sepasang matanya bersinar-sinar, apa lagi ketika ia memperoleh keterangan bahwa di dekat puncak, ia akan dapat menemukan ayahnya, Ki Baka yang telah bertahun-tahun tidak dijumpainya. Dan ternyata iapun benar-benar telah berhasil bertemu dengan ayahnya itu. Akan tetapi, sungguh di luar dugaanya, bahwa pertemuan itu akan menimbulkan guncangan yang amat bebat pada batinnya. Sungguh, berita yang didengarnya dari Ki Baka, merupakan berita yang mengguncang batin dan membuat ia bingung dan kecewa, juga berduka. Betapapun kuat, batinnya, mendengar bahwa Ki Baka bukanlah ayah kandungnya, kemudian mendengar bahwa ayah kandungnya, seorang pangeran di Kediri yang kini telah meneninggal dunia pula, lalu ditambah lagi dengan keinginan Ki Baka untuk menjodohkan dia dengan Pertiwi, gadis dusun yang baik hati itu, sungguh mengguncang batinnya.
Kini. ketika ia berpisah dengan Ki Baka dan menuruni Gunung Kelud, tubuhnya terasa lemas, semangatnya mengendur, sepasang matanya sayu dan mukanya agak pucat.
Namun, Nurseta bukanlah seorang pemuda yang mudah putus asa. Biarpun dia mengalami himpitan batin yang amat hebat, namun dia dapat menenangkan batinnya dan tanpa mengeluh, ia hanya menyerahkan segala keadaan dirinya kepada Hyang Widhi. Sesungguhnyalah, tidak ada kekuatan di dunia ini yang lebih besar dan berkuasa dari pada kekuatan iman kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Nurseta tidak kehilangan kewaspadaan dan kesadarannya. Sebagai seorang manusia biasa, tentu saja ia terpukul batinnya dan perasaannya nyeri, penuh kecewa dan duka karena menemukan dirinya sendiri sebagai seorang yatim piatu, tiada ayah dan ibu, bahkan tidak dapat mengetahui riwayatnya karena sudah tidak ada lagi orang yang dapat ditanyainya. Pangeran Panji Hardoko yang katanya adalah ayah kandungnya itu, telah meninggal dunia, dan orang yang diserahi dirinya, yaitu Ki Baya, juga telah tiada. Dia adalah seorang yatim piatu yang tidak mengenal riwayat diri sendiri, tidak tahu mengapa ia oleh ayah kandungnya diserahkan kepada Ki Baya, dan siapa pula ibu kandungnya. Bahkan diapun tidak atau belum yakin bahwa yang bernama Pangeran Panji Hardoko itu benar-benar ayah kandungnya. Akan tetapi, dalam. keadaan seperti itu, dia mengembalikan dan menyerahkan kesemuanya kepada Tuhan dan hatinyapun menjadi tenang. Kehendak Hyang Widhipun terjadilah. Dengan pikiran ini,. Nurseta menuruni Gunung Kelud untuk memulai dengan tugasnya, yaitu membantu Kerajaan Singosari untuk menentang pemberontakan yang dipimpin oleh Mahesa Rangkah.
Dia tahu ke mana harus pergi. Ke perbatasan antara Kediri dan Singosari, tentu saja. Bukankah di sana Mahesa Rangkah akan memulai pemberontakannya seperti yang pernah ia dengar" Dan di sepanjang perjalanan menuju ke perbatasan itu, iapun mulai mendengar akan adanya pertempuran-pertempuran kecil yang terjadi antara pasukan pemberontak dan pasukan Kerajaan Singosari. Iapun mempercepat perjalanannya dan hatinya lega mendengar dari para penghuni dusun betapa pasukan-pasukan pemberontak dapat dipukul mundur oleh pasukan Kerajaan Singosari yang didukung oleh para penduduk dusun yang mem-bentuk laskar-laskar rakyat.
Pada suatu pagi, tibalah dia di luar sebuah pedusunan, tak jauh dari Bukit Lejar. Dari jauh saja dia sudah mendengar suara sorak sorai dan hiruk pikuk, suara pertempuran". Mendengar ini, Nurseta mempercepat langkahnya, bahkan kini dia berlari menuju ke arah suara itu yang datang dari luar dusun, karena dia dapat menduga bahwa itu tentulah suara pasukan pemberontak yang sedang mengganas, atau sedang bertempur melawan pasukan pemerintah Singosari. Ia harus berhati-hati dan yakin lebih dahulu siapa yang sedang bertempur itu. Maka iapun naik ke sebuah bukit kecil dan dari puncak bukit ini dia melihat ke arah padang rumput di luar dusun. Dari tempat tinggi ini, ia dapat melihat dengaa jelas. Tak salah dugaannya. Terjadi pertempuran yang amat hebat. Debu mengepul dari suara berdentingnya senjata berbaur dengam teriakan-teriakan kemenangan jerit-jerit kesakitan. Dari tempat dia mengintai, Nurseta dapat membedakan dengan mudah antara dui kekuatan yang saling bertempur. Orang-orang yang mengenakan pakaian seragam itu tentulah pasukan Singosari, dan lawan mereka, orang-orang yang pakaiannya campur aduk, yang cara berkelahinya kasar dan ganas, agaknya tentulah para pemberontak, Dari atas, sukair mengenal wajah mereka, akan tetapi dengan perhitungan kasar, Nurseta dapat melihat betapa jumlah kedua pihak sebanding, hanya dari tempat tinggi itu diapun dapat melihat bahwa pihak tentara kerajaan agaknya terdesak hebat. Melihat ini, Nurseta lalu berlari turun dan mempergunakan ilmu berlari cepat menuju ke medan pertempuran.
Setelah dia tiba di sempat itu, makin jelas nampak olehnya betapa pasukan kerajaan memang terdesak hebat. Jumlah mereka memang seimbang, akan tetapi sepak terjang para anggota pemberontak itu memang dahsyat dan ganas sekali. Jelas bahwa para pemberontak ini merupakan pasukan pilihan dan agaknya para perajurit kerajaan kewalaban menghadapi amukan para pemberontak yang ganas itu. Apa lagi karena para pemberontak itu dipimpm oleh seorang yang bertubuh tinggi besar, berkulit hitam dan dadanya yang telanjang memperlihatkan lingkaran otot-otot yang amat kuat. Dengan sepasang mata lebar melotot, orang ini mengamuk dan siapapun yang dekat dengannya pasti roboh oleh tendangan kedua kakinya, tamparan tangan dan bacokan golok besar di kanannya.
Kakek ini sungguh gagah perkasa dan selalu serangannya mengandung tenaga besar sekali. Setiap orang perajurit Kerajaan Singosari yang kena ditendang atau ditampar, terlempar jauh dan terbanting untuk tidak dapat bangun kembali karena tewas seketika.
Dua orang senopati Kerajaan Singosari yang memimpin pasukan itu adalah dua orang senopati yang sudah terkenal, yaitu Senopati Pamandana dan Senopati Banyak Kapuk. Mereka berdua memimpin hampir empat ratus orang karena keduanya yang memimpin masing-masing dua ratus orang itu bertemu di jalan dan mereka lalu bergabung untuk menghadang pasukan yang dipimpin oleh Mahesa Rangkah sendiri yang jumlahnya tiga ratus orang lebih. Dan terjadilah pertempuran yang amat seru itu.
Akan tetapi, dua orang senopati itu sungguh kewalahan menghadapi kehebatan sepak terjang Mahesa Rangkah. Mereka merasa amat sukar mendekati kepala pemberontak yang sakti dan bertenaga besar itu. Golok besar di tangan Mahesa Rangkah itupun berat dan bergerak dengan amat cepatnya, menandakan bahwa raksasa pemberontak itu memang memiliki tenaga gajah. Banyak perajurit berusaha mengeroyok untuk membantu dan menyelamatkan dua orang pimpinan mereka, akan tetapi para perajurit itu bagaikan sekawanan nyamuk menerjang apa lilin saja. Tamparan dan tendangan Mahesa Rangkah membuat mereka berpelantingan, mayat para perajurit sudah berserakan di sekeliling pemimpin pemberontak itu.
"Babo babo, majulah semua, akan kutumpas habis orang-orang Singosari" teriak Mahesa Rangkah yang makin lama semakin buas seperti harimau mencium darah.
"Plak ! Plak" Dua kali tamparan tangan kiri dan kaki kanannya ditangkis orang dan ketika dengan terkejut karena merasa betapa kaki dan tangannya tergetar hebat oleh tangkisan itu. Mahesa mengangkat muka memandang, ia melihat bahwa penangkisnya hanyalah seorang pemuda yang usianya baru dua puluh tahun lebih sedikit, berwajah tampan halus, berpakaian sederhana dan sama sekali tidak berwibawa. Bahkan kumis tipisnya membuat pemuda itu kelihatan sebagai seorang pemuda tanggung yang lemah dan pantasnya dijadikan pemuda penghibur.
"Bojleng-bojleng iblis laknat! Siapakah kau ini" Apakah seorang Senopati Singosari yang baru" Sayang bagusmu, orang muda, jangan kau lanjutkan. Lebih baik kau mengabdi kepadaku, pemuda tampan"
Wajah Nurseta berubah merah. Sialan, pikirnya. Ia dianggap sebagai pemuda yang suka dijadikan kekasih oleh para datuk sesat. Pernah ia mendengar bahwa para datuk sesat banyak yang suka memelihara pemuda-pemuda tampan sebagai gadis-gadis cantik yang mungkin sudah membosankan bagi para datuk itu. Tadi, sebelum ia menerjang maju, ia bertanya kepada seorang perajurit Singosari yang terluka, siapakah pemimpin pasukan pemberontak itu dan siapa pula dua orang Senopati Singosari. Setelah mendapat keterangan, barulah ia menerjang maju dan berhasil menyelamatkan dua orang perajurit dari tamparan dan tendangan Mahesa Rangkah. Mengetahui bahwa raksasa itu bukan lain adalah Mahesa Rangkah sang pemimpin pemberontak, giranglah hati Nurseta. Ia memperoleh kesempatan untuk berbakti kepada Singosari, sesuai yang dipesankan Ki Baka, dan juga gurunya.
"Hemm, Mahesa Rangkah. Sumbarmu seolah-olah kau akan dapat menaklukkan kahyanga. Dengarlah baik-baik. Namaku adalah Nurseta dan biarpun aku bukan seorang senopati maupun perajurit Singosari, akan tetapi aku adalah seorang laki-laki sejati yang semenjak kecil hidup di daerah Singosari, minum air dan makan tumbuh-tumbuhan dari bumi Singosari. Oleh karena itu, mendengar bahwa tanah air Singosari hendak diperkosa seorang pemberontak keji bersama anak buahnya, aku tidak mungkin dapat berpeluk tangan saja" ia berhenti sebentar lalu "Mahesa Rangkah. Sebaiknya kau lekas berlutut dan menyerah, agar dapat kami tawan dan menghadap Sribaginda Raia di Singosari. Dengan demikian, dosamu akan menjadi lebih ringan"
"Babo-babo, keparat!" Mahesa Rangkah membelalakkan kedua matanya yang menjadi bundar sebesar jengkol tua, mukanya yang hitam itu menjadi semakin hitam karena agaknya muka itu dialiri lebih banyak darah dari pada biasanya, mulutnya menyeringai seperti mengeluarkan busa. "Kau ini bocah masih ingusan berani sekali menantang Mahesa Rangkah" Apakah kau bosan hidup?"
Tiba-tiba saja, tanpa peringatan lebih dahulu, Mahesa Rangkah menubruk ke depan, goloknya terayun cepat sekali. Golok itu beratnya paling sedikit ada tiga puluh kati, tebal dan berat dan tajam, akan tetapi dalam tangan Mahesa Rangkah, golok tebal itu seperti sebatang rumput saja ringannya dan gerakannya mengayun golok menyambar leher Nurseta, sungguh mengerikan.
Agaknya bagi penglihatan perajurit-perajurit Singosari yang berada di sekitar lingkaran pertempuran Nurseta, mengira bahwa leher pemuda itu tidak mungkin dapat diselamatkan lagi dan mereka sudah membayangkan dengan hati yang ngeri, betapa kepala pemuda yang tampan itu akan terlempar lepas dari tubuhnya, dan leher itu akan terbabat dan darah akan memancar dari leher Nurseta.
. ''Syuuuuttt.......!" Golok itu terbang lewat di atas kepala Nurseta. Dengan mudah saja tadi Nurseta menekuk kedua lututnya sehingga kepalanya merendah dan golok itu lewat di atas kepala, angin gerakan golok itu memotong gumpalan rambut di kepala Nurseta yang berkibar. Sambil merendahkan diri dengan menekuk kedua lututnya, Nurseta tidak membiarkan kedua tangannya menganggur begitu saja. Dengan jari tangan terbuka, dia menusuk ke arah perut gendut raksasa itu, dan tangan kirinya, juga dengan jari terbuka, mendorong ke atas sehingga telapak tangan bagian bawah yang mencuat itu menendaag ke atas, ke arah dagu lawan.
"Ehhh.....Ohhh......." teriak Mahesa Rangkah dan cepat ia meloncat ke belakang, nyaris dagunya tercium telapak tangan dan ia terkejut sekali. Salahnya sendiri karena tadi ia terlampau memandang rendah pemuda itu. Menurut perhitungannya sekali tabas tentu akan putus lehernya. Untung Mahesa Rangkah memang memiliki tingkat kepandaian tinggi sehingga serangan balasan Nurseta yang demikian cepat dan tak terduga itu masih dapat dielakkannya dengan meloncat surut ke bekakang.
Dengan penasaran kini Mahesa Rangkah menyerang lagi tidak berani main-main, karena maklum bahwa pemuda ini ternyata tidak boleh disamakan dengan dua orang Senopati yang memimpin pasukan Singosari itu. Ia memutar goloknya sehingga lenyaplah bentuk golok itu, berubah menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata. Juga tubuhnya menyelinap ke sana-kemari, kadang-kadang nampak kadang-kadang lenyap dalam gulungan sinar golok. Dari dari dalam gulungan sinar golok ini seringkali mencuat sinar tajam yang meluncur ke arah Nurseta.
Menghadapi serangan yang hebat ini, Nurseta juga bersikap hati-hati sekali. Dia menggerakkan tubuh dengan mantap, mengerahkan Aji Sari Patala dalam tubuhnya dan menghadapi ilmu golok lawan dengan aji kesaktian Bajradenta, sedangkan tangan kirinya mengeluarkan sebatang suling. Benda ini penting baginya dalam menghadapi gulungan sinar golok yang berbahaya itu, karena alat musik tiup ini dapat dia pergunakan untuk menangkis kalau perlu. Dan ternyata dengan Aji Bajradenta, dia tidak hanya dapat menghindarkan serangan lawan, bahkan mampu membalas dengan tak kalah dahsyatnya.
Melihat munculnya seorang pemuda yang mengaku bernama Nurseta dan ternyata amat sakti sehingga mampu menandingi Mahesa Rangkah, dua orang senopati Singosari itu menjadi lega dan girang sekali. Mereka lalu memimpin pasukannya untuk menghadapi pasukan pemberontak yang rata-rata memiliki kepandaian berkelahi yang kuat itu.
Dengan perlawanan dua orang senopati ini, sedangkan Mahesa Rangkah tidak mampu membantu anak buahnya, karena menghadapi Nurseta saja ia sibuk setengah mati. Maka perlahan-lahan pihak pemberontak terdesak mundur dan banyak diantara anak buah mereka yang roboh oleh amukan Senopati Pamandana dan Senopati Banyak Kapuk.
Melihat keadaan anak buahnya, pasukan inti yang diandalkan itu mengalami tekanan dan mendekati kekalahan, Mahesa Rangkah meniadi semakin panik dan dia menjadi nekat. Sambil mengeluarkan pekik menggetarkan, ia menubruk ke depan, goloknya membabat leher Nurseta, tangan kirinya mencengkeram ke arah dada, disusul tendangan kakinya yang mengarah selangkangan. Dihujani serangan berbahaya yang masing-masing merupakan serangan maut itu, Nurseta bersikap tenang sekali. Dia maklum akan kehebatan lawan yang amat berbahaya itu, maka diam-diam dia Ialu mengerahkan Aji Jagad Pralaya, yaitu aji pukuian yang dipelajarinya dari Panembahan Sidik Danasura. Nurseta meloncat ke belakang, cukup jauh dari jangkauan golok lawan, dan pada saat lawan mengejarnya dengan tendangan yang amat kuat, iapun menyambut tendangan kaki kanan itu dengan tangkisan lengan kiri, kemudian, pada saat yang sama, tangan kanannya membuat gerakan mendorong dengan jari tangan terbuka ke arah dada lawan, disertai suara melengking tinggi. Itulah Aji Jagad Pralaya yang ampuhnya tiada kepalang.
"Hyaaattt.......!"
Mahesa Rangkah terkejut ketika tendangannya bertemu dengan lengan yang keras bagaikan sebatang linggis besi, dan ia lebih terkejut lagi menghadapi hantaman tangan kanan pemuda itu yang dibarengi pekik melengking yang mendatangkan angin dahsyat. Terpaksa iapun melepaskan goloknya dan kedua tangannya terbuka, mendorong ke depan untuk menyambut, karena untuk menghindar sudah tiada kesempatan lagi.
"Desss..........!!"
Bagaikan sehelai layang-layang putus talinya, tubuh yang tinggi besar itu terdorong dan terhuyung ke belakang. Untung bagi Mahesa Rangkah, bahwa ia memihki banyak pengawal pribadi yang sejak tadi siap membantunya. Melihat Mahesa Rangkah terhuyung, belasan orang Ialu melindunginya dan raksasa inipun lenyap diantara ratusan orang yang sedang bertempur.
Para perajurit Singosari bersorak gembira melihat Mahesa Rangkah mundur, dan kemenangan Nurseta ini menambah semangat mereka. Juga kedua orang senopati Singosari kagum dan girang bukan main. Mereka berdua menghampiri Nurseta, dan Senopati Pamandana berkata dengan penuh kagum.
"Raden, kau sungguh hebat, mampu mengalahkan Mahesa Rangkah. Terima kasih atas bantuanmu, Raden Nurseta"
Diam-diam Nurseta merasakan sesuatu yang aneh, akan tetapi tidak janggal mendengar dirinya disebut Raden oleh seorang Senopati Kerajaan Singosari. Padahal ia hanyalah seorang pemuda miskin yang besar dalam kehidupan yang sederhana. di dusun-dusun dan pertapaan. Namun kenyataannya, ia adalah seorang putere pangeran, maka sebutan itupun diterimanya sebagai suatu hal yang sudah sewajarnya.
"Sudahlah, paman. Yang penting sekarang adalah mengejar dan menangkap Mahesa Rangkah sampai dapat, hidup ataupun mati karena ialah pemimpin pemberontakan ini, dan sekali ia dapat tertangkap, maka pemberontakan ini tentu akan berakhir"
Dua orang senopati itu membenarkan dan merekapun kemudian mengamuk, merobohkan setiap orang pemberontak yang melawan, namun mereka tidak berhasil menemukan Mahesa Rangkah. Adapun para anggota pemberontak, ketika melihat bahwa pemimpin mereka kalah, menjadi panik.
Sementara itu, Mahesa Rangkah bersembunyi diantara anak buahnya, diam diam ia mengumpulkan tenaga saktinya untuk memulihkan keadaannya. Ia teiah menderita luka dalam karena guncangan hebat akibat benturan tenaga sakti tadi. Ia muntah darah, akan tetapi berkat ilmunya yang tinggi, nyawanya masih dapat diselamatkan, hanya saja ia merasa bahwa untuk maju lagi melawan pemuda yang bernama Nurseta itu, ia tidak akan mampu menang, bahkan akan membahayakan nyawanya.
Nurseta maklum bahwa Mahesa Rangkah tentu belum pergi dari dalam medan pertempuran, maka iapun menyelinap pergi, Ialu melakukan pencarian secara diam-diam. Dan tak lama kemudian, usahanya berhasil ketika ia melihat bekas lawannya itu. Akan tetapi, kini keadaan Mahesa Rangkah telah pulih kembali. Raksasa ini sedang duduk bersila dan seorang kakek berdiri di belakangnya, menekan beberapa kali ke arah kedua pundak dan tengkuk.
Nurseta mengintai dari jauh dan mendekati perlahan-lahan sambil menyusup diantara orang-orang yang sedang bertempur.
Untuk yang terakhir kalinya, kakek itu menampar ke arah punggung Mahesa Rangkah, lalu berkata "Sembuhlah kau, Mahesa Rangkah. Dan lawanlah lagi musuhmu itu, jangan khawatir, aku akan membantumu dari belakang"
Mahesa Rangkah bangkit dengan wajah gembira, lalu berkata, "Terima kasih, Guru. Setelah. Guru datang, saya yakin dapat mengalahkan pemuda bernama Nurseta itu"
Nurseta mengamati kakek itu. Seorang kakek yang tubuhnya sedang dan biarpun kelihatan usianya sudah tua sekali, mungkin sekitar lebih dari tujuh puluh tahun, namun tubuh itu masih nampak tegak dan sehat. Wajahnya terhias kumis dan jenggot yang kelabu, pakaiannya serba hitam, pakaian petani. Wajah itu penuh semangat, sepasang matanya mencorong seperti mata harimau di dalam gelap, atau mata iblis.
Mendengar Mahesa Rangkah menyebut guru kepada kakek itu. Nurseta maklum, bahwa kakek itu tentu seorang yang memiliki kesaktian tinggi dan akan merupakan lawan yang amat tangguh. Namun, ia tidak merasa gentar. Ia sedang berjuang mempertahankan tanah air dan bangsa, pikirnya. Teringat akan petuah petuah gurunya dan juga bapaknya, Ki Baka. Bagi seorang satria utama, seorang pendekar dan pahlawan pembela nusa bangsa, setiap jengkal tanah akan dipertahankan dengan taruhan sepercik darah. Sejengkal tanah sepercik darah, itulah semboyan seorang laki-laki sejati.
Dan untuk perjuangan ini, tidak dikenal perasaan jerih atau takut, terhadap lawan yang bagaimana tangguh sekalipun. Ingatan ini mengobarkan semangatnya dan Nurseta meloncat keluar menghampiri mereka.
"Mahesa Rangkah, hendak lari ke manakak kau" Sudah aku katakan, menyerahlah saja, karena semua pemberontakanmu yang keji ini akan sia-sia belaka" bentaknva.
Melihat lawannya, Mahesa Rangkah yang telah diobati dan disembuhkan oleh gurunya yang muncul secara tiba-tiba, menjadi marah. Kini besarlah hatinya. Ki Buyut Pranamaya gurunya telah berada di situ dan ia percaya bahwa dengan bantuan gurunya, ia akan mampu mengalahkan pemuda itu. Tidak ada manusia di dunia ini yang akan mampu mengalahkan kesaktian gurunya. Demikian kepercayaan Mahesa Rangkah dan karena ada gurunya ini pula maka ia berani melakukan pemberontakan untuk membalas dendam kepada Singosari atas kematian mendiang ayahnya, Linggapati yang juga pemberontak.
Mahesa Rangkah meloncat ke depan Nurseta sambil tertawa bergelak. "Ha-ha ha-ha bocah ingusan. Aku tadi hanya beristirahat sebentar saja untuk menghapus keringatku. Sekarang kau ingin menyerahkan nyawa. Nah, bersiaplah untuk mampus!" Raksasa itu membentak dan tubuhnya sudah menubruk maju. Kali ini tangan kanannya memegang sebatang keris karena dalam perkelahiannya melawan Nurseta tadi, ia telah kehilangan golok besarnya. Golok besar dan berat saja dapat dimainkan dengan amat cepatnya oleh tangan MahesK Rangkah, apalagi sebatang keris yang ringan.
Keris itu bagaikan terbang saja menghunjam ke arah dada Nurseta. Pemuda ini miringkan tubuhnya, tangan kirinya mengikuti gerakan lengan lawan menolak ke arah siku kanan lawan yang memegang keris, sedangkan tangan kanannya sendiri yang memegang suling, telah bergerak untuk menotok ke arah lambung. Biarpun hanya sebatang suling, namun karena digerakkan oleh tangan pemuda itu yang mengandung tenaga dalam yang tinggi, maka suling itu keras bagaikan baja.
Mahesa Rangkah juga maklum akan hal ini, maka dia meloncat ke belakang sambil mengelebatkan kerisnya menangkis sinar hitam suling yang meluncur ke arah lambungnya, dengan gerakan dari atas ke bawah.
"Cringg........"
Kembali Mahesa Rangkah merasa lengan kanannya kesemutan dan tergetar hebat. Pada saat itu, Nurseta telah mendesak. Tangan kirinya menampar ke arah kepala lawan. Akan tetapi, tiba-tiba saja ada hawa aneh menyambarnya dari samping, dan hawa ini menahan tamparannya.
Nurseta terkejut dan meloncat ke samping, sambil menoleh, ia melihat kakek itu membuat gerakan dengan tangannya dan iapun maklum bahwa kakek itu telah membantu muridnya dengan ilmu yang aneh, mungkin ilmu hitam yang dapat menyerangnya dari jarak jauh. Dugaannya ternyata benar. Sekarang kakek itu kembali membuat gerakan aneh dengan tangannya, tiba-tiba ia melihat kakek itu telah berubah bentuk menjadi seperti seekor ular naga bertanduk satu.
Nurseta tidak pernah mempelajari ilmu hitam atau ilmu sihir, walaupun dia sudah banyak mendengar akan ilmu-ilmu hitam dari gurunya, beruntunglah ia, bahwa gurunya juga mengajarkan cara menghadapi dan menangggulangi kekuasaan ilmu hitam. Maka iapun bersikap tenang saja. Pada detik itu, Mahesa Rangkah sudah menerjang lagi dari arah samping. Kerisnya menusuk ke arah lehernya.
Nurseta mengelak dengan bergulingan, dan dalam kesempatan itu, kedua tangannya menepuk tanah dan menggunakan telapak tangan kiri yang terkena tanah itu untuk mengusap mukanya.
JILID 08
Ketika Nurseta meloncat bangun dan memandang ke arah kakek itu, kakek itu kelihatan biasa saja, sama sekali tidak tampak seperti ular naga seperti tadi. Hal ini berarti bahwa kekuasaan ilmu hitam tadi telah dapat ia pecahkan, dan ia tidak lagi terpengaruh ilmu sihir itu.
"Bocah, lihat baik-baik siapa aku" Tiba-tiba terdengar suara kakek itu parau menggetar dan mengandung penuh kekuatan sihir. Namun, kakek itu tidak tahu bahwa Nurseta telah dapat memecahkan kekuasaan ilmu sihirnya, dan pemuda itu tersenyum
"Kau adalah seorang kakek tua yang suka main-main dengan ilmu hitam, dan kau adalah guru Mahesa Rangkah sang pemberontak. Sebagai seorang guru, sepatutnya kau melarang muridmu melakukan hal-hal yang buruk dan sesat"
Sadarlah Ki Buyut Pranamaya bahwa pemuda itu tidak terpengaruh oleh kekuatan sihirnya. Diam-diam ia merasa terkejut dan heran, juga penasaran sekali. Mungkinkah seorang pemuda yang masih hijau begini mampu menolak kekuasaan ilmu hitamnya"
"Mahesa Rangkah, minggirlah. Biar aku yang akan membasmi anak setan ini. Engkau lebih baik memimpin pasukanmu untuk menumpas pasukan Singosari" katanya, nada uaranya tidak tenang atau sabar lagi karena hatinya mulai terasa panas.
Mahesa Rangkah cepat menyingkir karena iapun meiihat betapa anak buahnya mulai kacau. Ketika ia menerjang ke dalam medan pertempuran dan anak buahnya meiihat betapa pemimpin mereka kini menjadi segar bugar dan gagah kembali, mereka bersorak dan dengan penuh semangat mereka kembali melakukan perlawanan sehingga pertempuran berkobar lagi dengan lebih sengit.
Sementara itu, kini Ki Buyut Pranamaya berhadapan langsung dengan Nurseta. Sejenak keduanya saling pandang seperti dua ekor jago aduan dilepas di medan laga. Mereka saling pandang untuk menilai dan menimbang kekuatan lawan. Meiihat betapa sinar mata pemuda itu tajam namun lembut, diam-diam kakek itu terkejut juga. Seorang bocah yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan, pikirnya. Menghadapi seorang lawan sakti saja, ia tidak akan merasa gentar. Akan tetapi untuk menghadapi seorang lawan yang sinar matanya begitu lembut, penuh damai dan suci, pertanda bahwa batin lawannya itu masih murni, diam-diam ia merasa khawatir. Pantas tidak dapat dikuasainya dengan sihir, pikirnya.
Seorang yang mempunyai batin bersih seperti pemuda ini, tentu memiliki dasar tenaga sakti yang luar biasa kuatnya.
"Hohhh......." tiba-tiba orang tua itu membentak. Kedua lengannya dibentang lebar. Karena tubuhnya mengenakan jubah lebar di luar pakaian petani yang serba hitam, maka ia tampak seperti seekor burung gagak yang hendak terbang. Tiba-tiba saja, kedua tangannya bergerak dan tangan kirinya sudah mengirim pukulan jarak jauh dengan dorongan ke depan, mengarah dada Nurseta.
"Wuuut........!" Angin pukulan keras sekali menyambar.
Nurseta mengenal pukulan ampuh, maka iapun menggeser kaki ke samping dan membuat gerakan seperti menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya. Dua kekuatan sakti bertemu di udara. Kembali kakek itu terkagum-kagum. Ternyata pemuda itu mampu mengimbangi kekuatan tenaga saktinya dalam pukulan jarak jauh.
Tadi dia hanya menguji saja dan melihat bahwa dengan ilmu sihir dan pukulan mengandalkan tenaga sakti jarak jauh ia tidak akan mampu menundukkan pemuda ini, kakek itu lalu mengeluarkan teriakan nyaring dan kini menyerang dengan gerakan aneh. Serangannya kali ini langsung. Lengan kanannya yang panjang meluncur ke arah kepala Nurseta untuk mencengkeram ke arah ubun-ubun, sedangkan tangan kirinya menyelonong ke bawah untuk mencengkeram ke arah selakangan.
Sungguh merupakan serangan yang keji dan juga amat berbahaya karena kedua tangan itu seperti cakar maut.
Menghadapi serangan ini, Nurseta juga bertindak dengan cepat. Lengan kirinya diangkat untuk menangkis cengkeraman ke arah ubun-ubun itu, sedangkan suling hitam di tangan kanannya meluncur, menyambut tangan kiri lawan yang mencengkeram ke arah bawah pusarnya, dengan tusukan ke arah pergelangan tangan.
Kalau dilanjutkan cengkeraman itu,. sebelum mengenai sasaran, tentu lebih dulu pergelangan tangan itu akan tertusuk suling. Andaikata kakek itu kebal dan tidak dapat terluka sekalipun, tetapi otot itu akan tertusuk keras yang akan membuat tangan itu seketika menjadi lumpuh.
Ki Buyut Pranamaya tidak mau membiarkan pergelangan tangan kirinya tertusuk, maka ia cepat menarik kembali tangannya, dengan mengerahkan tenaga pada lengan kanan yang ditangkis lawan. Ia tidak dapat mencegah lagi, lengan kanan kakek itu bertemu dengan lengan kiri Kurseta yang menangkisnya.
"Dukkk!!" Pertemuan dua tenaga sakti yang kuat melalui lengan itu membuat keduanya tergetar hebat, bahkan Nurseta sampai terpental ke belakang, namun tidak sampai roboh karena ia telah mampu menguasai dirinya.
Sebaliknya, kakek itupun terdorong dan terhuyung Wajahnya menjadi agak kemerahan, tanda bahwa ia merasa terkejut dan penasaran. Ia adalah seorang datuk yang selama ini merasa paling sakti, tak pernah menemui lawan. Tetapi melawan seorang pemuda ingusan saja, ia sampai terhuyung.
Untung bahwa mereka bertanding di antara orang-orang yang sedang bertempur sehingga tidak ada yang menonton dengan penuh perhatian. Kalau sampai pertandingan itu disaksikan banyak orang dan mengetahui ia terhuyung dalam adu tenaga pertama, tentu ia akan merasa malu bukan main. Rasa penasaran mengundang kemarahannya, bagaikan api disiram minyak, berkobarlah kemarahannya dan hal ini dapat dilihat melalui sinar matanya yang seolah-olah berkilat ketika dia memandang Nurseta.
Tanpa mengeluarkan suara, kakek itu sudah menerjang lagi ke depan dan kali ini, ia sama sekali tidak mau coba-coba lagi, dan begitu menyerang, ia sudah mengerahkan semua tenaganya dan serangan itu merupakan pukulan dan cengkeraman yang bertubi-tubi ke arah bagian tubuh paling lemah dari Nurseta. Namun, pemuda ini telah siap siaga. Maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang lawan yang amat tangguh, iapun segera mengerahkan tenaga sakti Sari Patala (Inti Bumi) sehingga tubuhnya menjadi kokok kuat dan, kebal. Kedua lengannya berisi penuh Aji Bajradenta. Dengan kecepatan gerakan tubuhnya, ia mengelak dan menangkis, bahkan membalas dengan tamparan-tamparan Bajradenta, dan sekali-kali diseling dengan tendangan.
Terjadilah perkelahian yang amat seru dengan angin yang kuat menyambar-nyambar di sekeliling mereka, membuat debu dan daun kering beterbangan seperti diterjang angin badai.
"Kau adalah seorang kakek tua yang suka main-main dengan ilmu hitam, dan kau adalah guru Mahesa Rangkah sang pemberontak. Sebagai seorang guru, sepatutnya kau melarang muridmu melakukan hal-hal yang buruk dan sesat"
Sadarlah Ki Buyut Pranamaya bahwa pemuda itu tidak terpengaruh oleh kekuatan sihirnya. Diam-diam ia merasa terkejut dan heran, juga penasaran sekali. Mungkinkah seorang pemuda yang masih hijau begini mampu menolak kekuasaan ilmu hitamnya"
"Mahesa Rangkah, minggirlah. Biar aku yang akan membasmi anak setan ini. Engkau lebih baik memimpin pasukanmu untuk menumpas pasukan Singosari" katanya, nada uaranya tidak tenang atau sabar lagi karena hatinya mulai terasa panas.
Mahesa Rangkah cepat menyingkir karena iapun meiihat betapa anak buahnya mulai kacau. Ketika ia menerjang ke dalam medan pertempuran dan anak buahnya meiihat betapa pemimpin mereka kini menjadi segar bugar dan gagah kembali, mereka bersorak dan dengan penuh semangat mereka kembali melakukan perlawanan sehingga pertempuran berkobar lagi dengan lebih sengit.
Sementara itu, kini Ki Buyut Pranamaya berhadapan langsung dengan Nurseta. Sejenak keduanya saling pandang seperti dua ekor jago aduan dilepas di medan laga. Mereka saling pandang untuk menilai dan menimbang kekuatan lawan. Meiihat betapa sinar mata pemuda itu tajam namun lembut, diam-diam kakek itu terkejut juga. Seorang bocah yang sama sekali tidak boleh dipandang ringan, pikirnya. Menghadapi seorang lawan sakti saja, ia tidak akan merasa gentar. Akan tetapi untuk menghadapi seorang lawan yang sinar matanya begitu lembut, penuh damai dan suci, pertanda bahwa batin lawannya itu masih murni, diam-diam ia merasa khawatir. Pantas tidak dapat dikuasainya dengan sihir, pikirnya.
Seorang yang mempunyai batin bersih seperti pemuda ini, tentu memiliki dasar tenaga sakti yang luar biasa kuatnya.
"Hohhh......." tiba-tiba orang tua itu membentak. Kedua lengannya dibentang lebar. Karena tubuhnya mengenakan jubah lebar di luar pakaian petani yang serba hitam, maka ia tampak seperti seekor burung gagak yang hendak terbang. Tiba-tiba saja, kedua tangannya bergerak dan tangan kirinya sudah mengirim pukulan jarak jauh dengan dorongan ke depan, mengarah dada Nurseta.
"Wuuut........!" Angin pukulan keras sekali menyambar.
Nurseta mengenal pukulan ampuh, maka iapun menggeser kaki ke samping dan membuat gerakan seperti menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya. Dua kekuatan sakti bertemu di udara. Kembali kakek itu terkagum-kagum. Ternyata pemuda itu mampu mengimbangi kekuatan tenaga saktinya dalam pukulan jarak jauh.
Tadi dia hanya menguji saja dan melihat bahwa dengan ilmu sihir dan pukulan mengandalkan tenaga sakti jarak jauh ia tidak akan mampu menundukkan pemuda ini, kakek itu lalu mengeluarkan teriakan nyaring dan kini menyerang dengan gerakan aneh. Serangannya kali ini langsung. Lengan kanannya yang panjang meluncur ke arah kepala Nurseta untuk mencengkeram ke arah ubun-ubun, sedangkan tangan kirinya menyelonong ke bawah untuk mencengkeram ke arah selakangan.
Sungguh merupakan serangan yang keji dan juga amat berbahaya karena kedua tangan itu seperti cakar maut.
Menghadapi serangan ini, Nurseta juga bertindak dengan cepat. Lengan kirinya diangkat untuk menangkis cengkeraman ke arah ubun-ubun itu, sedangkan suling hitam di tangan kanannya meluncur, menyambut tangan kiri lawan yang mencengkeram ke arah bawah pusarnya, dengan tusukan ke arah pergelangan tangan.
Kalau dilanjutkan cengkeraman itu,. sebelum mengenai sasaran, tentu lebih dulu pergelangan tangan itu akan tertusuk suling. Andaikata kakek itu kebal dan tidak dapat terluka sekalipun, tetapi otot itu akan tertusuk keras yang akan membuat tangan itu seketika menjadi lumpuh.
Ki Buyut Pranamaya tidak mau membiarkan pergelangan tangan kirinya tertusuk, maka ia cepat menarik kembali tangannya, dengan mengerahkan tenaga pada lengan kanan yang ditangkis lawan. Ia tidak dapat mencegah lagi, lengan kanan kakek itu bertemu dengan lengan kiri Kurseta yang menangkisnya.
"Dukkk!!" Pertemuan dua tenaga sakti yang kuat melalui lengan itu membuat keduanya tergetar hebat, bahkan Nurseta sampai terpental ke belakang, namun tidak sampai roboh karena ia telah mampu menguasai dirinya.
Sebaliknya, kakek itupun terdorong dan terhuyung Wajahnya menjadi agak kemerahan, tanda bahwa ia merasa terkejut dan penasaran. Ia adalah seorang datuk yang selama ini merasa paling sakti, tak pernah menemui lawan. Tetapi melawan seorang pemuda ingusan saja, ia sampai terhuyung.
Untung bahwa mereka bertanding di antara orang-orang yang sedang bertempur sehingga tidak ada yang menonton dengan penuh perhatian. Kalau sampai pertandingan itu disaksikan banyak orang dan mengetahui ia terhuyung dalam adu tenaga pertama, tentu ia akan merasa malu bukan main. Rasa penasaran mengundang kemarahannya, bagaikan api disiram minyak, berkobarlah kemarahannya dan hal ini dapat dilihat melalui sinar matanya yang seolah-olah berkilat ketika dia memandang Nurseta.
Tanpa mengeluarkan suara, kakek itu sudah menerjang lagi ke depan dan kali ini, ia sama sekali tidak mau coba-coba lagi, dan begitu menyerang, ia sudah mengerahkan semua tenaganya dan serangan itu merupakan pukulan dan cengkeraman yang bertubi-tubi ke arah bagian tubuh paling lemah dari Nurseta. Namun, pemuda ini telah siap siaga. Maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang lawan yang amat tangguh, iapun segera mengerahkan tenaga sakti Sari Patala (Inti Bumi) sehingga tubuhnya menjadi kokok kuat dan, kebal. Kedua lengannya berisi penuh Aji Bajradenta. Dengan kecepatan gerakan tubuhnya, ia mengelak dan menangkis, bahkan membalas dengan tamparan-tamparan Bajradenta, dan sekali-kali diseling dengan tendangan.
Terjadilah perkelahian yang amat seru dengan angin yang kuat menyambar-nyambar di sekeliling mereka, membuat debu dan daun kering beterbangan seperti diterjang angin badai.
Orang-orang yang bertempurpun menjauh, karena baru tersambar angin pukulan saja, mereka ada yang terhuyung dan bahkan terguling
Tidak percuma Nurseta menjadi murid Panembahan Sidik Danasura. Biarpun ilmu silat yang dimainkannya itu dipelajarinya dari Ki Baka, namun oleh gemblengan Panembahan Sidik Danasura, ilmu-ilmu itu menjadi matang dan jauh lebih ampuh dibandingkan dengan permainan Ki Baka sendiri. Semua gerakan pemuda itu berisi tenaga sakti, gerakan-gerakannya mantap dan penuh ketenangan yang timbul dari kepercayaan kepada diri sendiri.
Sebagai seorang ahli silat yang pandai, Ki Buyut Pranamaya tentu saja terkejut bukan main. Pemuda ini bukan saja mampu menghindarkan semua serangannya, bahkan mampu membalas dengan hebat, mampu menandinginya dalam suatu perkelahian yang seimbang. Dan dia mengenal gerakan pukulan pemuda ini.
"Takkk ! Dessss.......I" Kembali keduanya terdorong mundur oleh adu tenaga yang tak dapat dihindarkan lagi. Wajah kakek itu berkeringat dan matanya mencorong. Sedangkan wajah Nurseta masih tenang saja ketika mereka maju lagi dan saling memandang dengan tajam.
"Hemm, gerakan-gerakanmu seperti gerakan Ki Baka" kata kakek itu, "Apamukah Ki Baka itu?"
Nurseta mengerutkan alisnya dan memandang tajam penuh selidik "Ki Baka adalah ayahku, juga guruku"
Jawaban ini membuat kakek itu tertegun dan matanya terbelalak. Hanya murid Ki Baka" Sungguh sukar untuk dapat dipercaya. Ki Baka sendiri sama sekali bukan tandingannya, Akan tetapi mengapa puteranya dan juga muridnya begini saktinya"
Dia menjadi semakin penasaran dan sebagai tanggapan atas keterangan pemuda itu, dia kini menyerang dengan ilmunya yang dahsyat, yaitu ilmu tendangan Bukan tendangan biasa, karena kedua kakinya itu seperti kitiran angin berputar saja layaknya, kanan kiri menendang silih berganti dan susul menyusul, merupakan serangkaian tendangan yang dahsyat dan kuat. Sambil mengirim serangkaian tendangan yang dahsyat itu, mulut kakek iiu mengeiuarkan suara yang amat berwibawa, "Robohlah. Kau tak akan kuat menghadapi ilmu tendanganku Aji Cakrabairawa. Robohlah kau, Nurseta!"
Nurseta merasa betapa ada kekuatan dahsyat dalam suara itu, seolah-olah memaksanya untuk jatuh. Ia terkejut dan cepat mengerahkan tenaga dalamnya karena maklum bahwa ilmu sihir yang terkandung dalam suara itu bahkan lebih berbahaya dari pada tendangan itu sendiri. Ia hanya dapat mengelak ke sana-sini menghadapi tendangan itu, dan sekali-kali menangkis. Akan tetapi, kekuatan kaki memang lebih besar dari pada kekuatan lengan, maka setiap kali menangkis, ia merasa betapa tubuhnya terguncang keras.
Kini Nurseta Terdesak dan ia harus waspadas mengikuti gerakan kaki yang seperti kitaran angin itu. Dan tiba-tiba dia meiihat sesuatu yang membuat jantungnya berdebar keras, dan matanya terbelalak, ketika ia memperhatikan bahwa kedua kaki telanjang itu masing-masing hanya mempunyai empat buah jari, tidak mempunyai ibu jari.
"Bayunirada......!" Nurseta membentak, teringat akan cerita Ki Baka tentang Wiku Bayunirada yang telah merampas Ki Ageng Tejanirmala, juga telah melukai Ki Baka dengan pukulan yang disebut Aji Margaparastra.
Kakek itu terkejut bukan main mendengar disebutnya nama Bayunirada itu, sehingga rangkaian tendangan kakinya menjadi agak kacau. Nurseta memandang penuh perhatian walaupum dia masih terus mengelak dan menghindarkan diri dari tendangan yang tak kunjung henti itu.
"Kau Wiku Bayunirada yang telah merampas Ki Ageng Tejanirmala, dan telah melukai ayahku" kembali Nurseta membentak dan karena kini dia berhadapan dengan orang yang memang dicarinya, ia melanjutkan, "Kakek jahat, kembalikan tombak pusaka itu"
Kakek itu menghentikan tenndangan-tendangannya dan tertawa bergelak. Sehingga Nurseta merasa heran.
Menurut keterangan Ki Baka, Wiku Bayunirada mengenakan pakaian dan ikat kepala serba putih, mukanya pucat keriputan seperti muka mayat dan kalau bicara atau ketawa bibirnya tidak bergerak. Akan tetapi mengapa kakek ini, yang memakai nama Ki Buyut Pranamaya memiliki wajah yang sama sekali berbeda" Akan tetapi, dia menduga bahwa tentu kakek yang sakti dan pandai ilmu sihir ini pandai pula melakukan penyamaran.
"Ha-ha-ha, tombak pusaka itu kini milikku dan tak seorangpun boleh merampasnya dariku, kecuali kalau tubuh ini sudah menjadi mayat" Berkata demikian, kakek itu mengeluarkan sebuah tombak bergagang pendek dari balik jubahnya. Nampak sinar putih seperti perak berkilat dan tentu saja 'Nurseta mengenal tombak pusaka itu. Akan tetapi, kini kakek itu mempergunakan tombak pusaka yang mempunyai kekuatan menolak bala itu, dipergunakan untuk menyerang dengan dahsyatnya.
Tombak pusaka suci yang merupakan pelindung manusia itu kini disalahgunakan, dipergunakan untuk menyerang dan berusaha membunuh manusia.
"Kakek iblis laknat !" Nurseta berseru dan cepat ia melempar tubuhnya ke samping, kemudian dari bawah ia melontarkan pukulan Bajradenta dengan penuh kekuatan.
"Heiiiitt.......!" Kakek itu berteriak sambil mengelak, kemudian dia berseru "Terimalah Aji Margaparastra ini!" dan kakek itupun mengirim pukulan dengan jari tangan terbuka ke arah dada Nurseta.
Hebat bukan main pukulan ini, dan Nurseta membayangkan keadaan Ki Baka yang menjadi manusia cacat dan tidak berdaya selama bertahun-tahun karena pukulan keji ini. Ia menjadi nekat, mengerahkan Aji Jagad Pralaya yang dipelajarinya dari Panembahan Sidik Danasura, dari bawah dia memukul ke atas, menyambut pukulan lawan.
"Dessss...........!!" Dua aji pukulan yang ampuh dan sakti bertemu dan akibatnya, tubuh kakek itu terjengkang. Ternyata aji pukulannya yang amat sakti itu masih kalah terhadap aji Jagad Pralaya. Akan tetapi karena ia memang sakti, apa lagi karena di tangannya terdapat tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala yang memiliki khasiat penolak bala, kakek itu bangkit kembali. dan tidak mengalami luka Bahkan kini ia sudah menerjang lagi. tangan kirinya diisi aji pukulan Margaparastra, sedangkan tangan kanannya mengayun tombak pusaka itu, menyerang Nurseta dengan penuh kemarahan.
Nurseta terpaksa mempergunakan lagi kelincahan tubuhnya untuk mengelak ke sana-sini.
Kalau dibuat ukuran, maka tentu saja kakek itu menang pengalaman, dan juga lebih kaya akan ilmu-ilmu yang aneh dan ampuh sehingga dapat dikatakan bahwa dia masih setingkat lebih tinggi dari pada Nurseta yang masih muda. Akan tetapi, ilmu yang dipelajari oleh Nurseta lebin bersih dan karenanya memiliki dasar lebih kuat. Apa lagi, tubuhnya yang masih murni itu lebih kuat dan memiliki daya tahan lebih besar ketimbang lawan, sehingga biarpun tingkatnya masih kalah, namun Nurseta masih dapat menandingi lawannya dan sampai sebegitu lamany belum juga roboh atau terluka.
Akan tetapi, setelah kini kakek itu mengamuk dengan tombak pusaka Tejanirmala di tangan, diam-diam Nurseta menjadi gentar juga. Hawa dari tombak pusaka itu memang ampuh sekali, terasa dingin menyusup tulang dan seperti hendak memadamkan semua nafsu berkelahinya.
"Wuuuuuttt....... singgg.......!" Ujung tormbak pusaka itu nyaris mengenai pundak Nurseta yang cepat melempar tubuhnya ke belakang dan bergulingan di atas tanah.
Kakek itu tertawa bergelak dan terus mengejar, bertubi-tubi mengirim serangan dengan tusukan tombak pusaka diseling tamparan tangan kiri dengan Aji Margaparastra.
Nurseta bergulingan, mengelak untuk menyelamatkan nyawanya. Ketika dia meiihat kesempatan baik, tiba tiba dia meloncat bangun, menangkis tangan kin kakek itu dan mengelak dari sambaran tombak, lalu kakinya menendang.
"Plakkk!" Tendangannya menyerempet paha Ki Buyut Pranamaya yang pernah mempergunakan nama Wiku Bayunirada itu.
Kakek itu terkejut dan mengeluarkan sumpah serapah saking marahnya. Akan tetapi, tendangan itu membuat tubuhnya terhuyung dan pada saat itu, nampak bayangan hijau berkelebat. Sebuah pukulan kilat mengenai siku kanan kakek itu yang seketika merasa lengan kanannya lumpuh. Sebelum dia sempat mencegahnya, tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala telah berpindah tangan.
"Keparat.......!" Ki Buyut Pranamaya terkejut dan marah sekali, bagaikan seekor singa yang terluka dia membalik ke kanan dan melihat bahwa yang merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala tadi hanyalah seorang gadis berpakaian serba hijau, usianya paling banyak duapuluh tahun, berkulit kuning langsat, wajahnya manis, dengan sepasang mata seperti bintang yang tajam, akan tetapi juga mengandung sinar dingin yang mengerikan, hidungnya kecil mancung, bibirnya merah membasah dan begitu bibir itu bergerak, nampak lesung pipit di pipi kiri, sedangkan pipi kanannya terhias tahi lalat kecil. Seorang gadis telah merampas tombak pusakanya. Hampir tak dapat dipercaya.
"Perempuan iblis, kembalikan tombakku" bentaknya dan tanpa memperdulikan bahwa yang merampas pusaka itu adalah seorang wanita muda, kakek ini langsung saja mengirim pukulan Aji Margaparastra yang amat ampuh itu.
"Wulan, awas......!" Nurseta berseru keras. melihat kakek itu menubruk ke depan dengan pukulan ampuh itu. Nursetapun cepat menyambar dari samping untuk menangkis.
"Desss........!" Biarpun Nurseta sudah berhasil menangkis, tetap saja hawa pukulan itu menyambar ke arah gadis berpakaian serba hijau itu. Namun, gadis itu mengeluarkan suara mendesis seperti ular dan tubuhnya meliuk ke kiri sehingga hawa pukulan ampuh itu luput, Kemudian, sekali berkelebat, gadis itu lenyap di antara orang-orang yang sedang bertempur sambil membawa tombak pusaka yang disembunyikan di balik bajunya dan diselipkan di ikat pinggangnya.
"Perempuan setan, jangan lari. Kembalikan pusakaku" bentak Ki Buyut Pranamaya yang cepat loncat mengejar.
Nurseta hendak mengejar pula, akan tetapi ia teringat akan keadaan pasukan kerajaan. Kalau ia pergi, tentu kedua orang senopati Singosari itu tidak akan mampu menandingi Mahesa Rangkah dan mungkin mereka akan celaka, dan pasukan pemerintah akan kalah. Oleh karena itu, ia teringat akan tugas utamanya lebih dahulu. Tombak pusaka itu telah dirampas oleh gadis berpakaian hijau yang dia yakin adalah Wulansari, yang kini telah menjadi seorang gadis yang demikian sakti sehingga mampu merampas pusaka itu dari tangan seorang kakek iblis seperti Ki Buyut Pranamaya. Yang penting ia harus membantu pasukan pemerintah agar pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Mahesa Rangkah dapat dikalahkan.
Benar saja, ketika itu, dua orang senopati Singosari telah payah menghadapi amukan Mahesa Rangkah, Melihat situasi yang demikian ini, gerombolan pemberontak berbesar hati dan merekapun mendesak pasukan Singosari yang kini berbalik semakin mundur.
Nurseta menerjang ke dalam pertempuran, dan dengan pukulan Bajradenta, dia menyerang Mahesa Rangkah. Raksasa ini terkejut bukan main meiihat munculnya pemuda ini. Tadi dia sudah merasa yakin bahwa gurunya tentu akan menewaskan pemuda ini. Akan tetapi mengapa kini pemuda ini tiba-tiba muncul" Apakah gurunya......." Ah, tidak mungkin ! Ia mengelak dengan loncatan ke belakang, sambil menoleh ke arah dimana tadi gurunya bertanding melawan Nurseta. Dan ia tidak meiihat adanya Ki Buyut Pranamaya di sana.
"Guru.........!" Teriaknya dan iapun meloncat, lenyap di antara anak buahnya. Nurseta bersama dua orang senopati Singosari mengejar, namun banyak anggota pemberontak menghadang sehingga mereka bertiga mengamuk dan merobohkan banyak musuh.
Meiihat betapa pemimpin mereka kembali melarikan diri, dan tiga orang jagoan dari pasukan Singosari itu mengamuk, para anak buah pemberontak menjadi jeri. Tanpa adanya pimpinan, apa lagi melihat betapa Mahesa Rangkah dan bahkan Ki Buyut Pranamaya sudah meninggalkan gelanggang, merekapun menjadi panik dan akhirnya mereka juga melarikan diri, dikejar oleh pasukan yang dipimpin oleh Senopati Pamandama dan Senopati Banyak Kapuk, dibantu oleh Nurseta.
Setelah meiihat Mahesa Rangkah dan pasukannya mundur dan melarikan diri, dikejar pasukan Singosari, Nurseta lalu meloncat dan berlari cepat melakukan pengejaran ke arah larinya Wulansari yang dikejar oleh Ki Buyut Pranamaya tadi. Dia mengkhawatirkan gadis itu, juga khawatir kalau-kalau tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala akan terampas lagi oleh kakek sakti itu. Dengan pengerahan ilmunya berlari cepat, tubuh Nurseta berkelebatan seperti terbang saja, menuju ke selatan.
*** Kita telah dibuat penasaran o!eh munculnya gadis berpakaian hijau yang telah tiga kali muncul secara tiba-tiba dan penuh rahasia. Pertama kali ia muncul dalam sungai yaitu ketika Nurseta berperahu dihadang para bajak sungai di Kali Campur. Ia membunuhi para bajak yang telah menggulingkan perahu Nurseta dan yang membunuh petani yang berperahu dengan Nurseta di Kali Campur. Kemudian, gadis berpakaian hijau itu pergi tanpa pamit, tidak memberi kesempatan kepada Nurseta untuk bicara dengannya. Pada hal Nurseta merasa yakin bahwa gadis berpakaian hijau adalah Wulansari.
Kemunculannya yang ke dua adalah ketika Nurseta dikeroyok penghuni dusun karena dia mencegah mereka itu membunuh Jumirah, isteri Ki Lembu Petak. Dalam keributan itu, gadis itu muncul dan membunuh Jumirah, kemudian pergi pula tanpa pamit. Dan kemunculannya sekarang ini adalah yang ke tiga, kemunculan yang membuat Nurseta menjadi semakin bingung karena gadis baju hijau yang diyakininya adalah Wulansari itu telah membantunya menghadapi Ki Buyut Pranamaya yang amat sakti, bahkan gadis itu berhasil merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala dan melarikan pusaka itu.
Gadis berpakaian hijau itu memang Wulansari adanya. Kini ia telah menjadi seorang gadis yang berkepandaian tinggi, juga wataknya berubah sama sekali. Dahulu, ketika masih menjadi murid Panembahan Sidik Danasura di teluk Prigi Segoro Wedi, ia merupakan seorang dara remaja berusia limabelas tahun yang manis sederhana, ramah dan lemah lembut tutur sapanya, juga sinar matanya yang jeli itu bersorot lembut.
Akan tetapi, ketika tiga kali Nurseta melihatnya sebagai seorang gadis berpakaian hijau yang penuh rahasia, gadis itu memiliki sinar mata yang aneh, kadang-kadang redup dan ada kalanya mencorong, dan kalau Nurseta merobayangkan betapa gadis itu memiliki ilmu yang aneh, mengeluarkan suara mendesis yang mempunyai daya serang amat kuat, diam-diam dia bergidik. Ada firasat dalam batinnya bahwa gadis itu selama ini telah mempelajari ilmu kesaktian yang tinggi, namun yang termasuk ilmunya orang dari golongan sesat.
Wulansari mempergunakan aji kesaktiannya untuk berlari secepat terbang dan kadang-kadang, tangan kirinya meraba tombak pendek yang terselip dengan amat erat di ikat pinggangnya, tertutup bajunya yang hijau dan lebar. Senyum simpul menghias bibirnya yang merah basah, hatinya senang bukan main. Tak disangkanya bahwa ia berhasil merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala yang diperebutkan orang-orang gagah seluruh negeri. Kakeknya sendiri, yang juga menjadi gurunya yang telah mengajarkan banyak aji kesaktian kepadanya, yaitu Eyang Cucut Kalasekti yang merasa tidak sanggup mencari dan merampas Ki Tejanirmala yang hilang tanpa bekas dari tangan Ki Baka yang dulu menjadi pemilik tombak pusaka itu. Dan sekarang ia, sama sekali tak pernah diduga sebelumnya, telah mampu merampas Ki Tejanirmala secara kebetulan saja.
Sungguh kebetulan saja, karena siapa yang tahu bahwa tombak pusaka yang hilang tanpa meninggaikan jejak itu berada di tangan kakek sakti itu. Kalau saja ia tidak membayangi Nurseta selama ini, sejak pertemuan pertama di Kali Campur, di mana ia diam-diam membantu Nurseta dan membunuhi para bajak sungai, tentu ia tidak akan mengetahui bahwa tombak pusaka itu berada di tangan kakek sakti itu.
Semenjak membantu Nurseta membasmi para bajak. Wulansari tak pernah dapat melupakan pemuda itu, seorang pemuda yang pernah menanam kesan yang menggores kaibunya ketika untuk pertama kali mereka berjumpa di pantai Laut Kidul. Tak pernah ia melupakan pemuda itu walaupun mereka telah jauh berpisah, wa-laupun ia telah mengalami kehidupan yang sama sekali baru. Dan pertemuan di Kali Campur itu membuat ia tidak tega meninggaikan Nurseta dan diam-diam ia terus membayanginya.
Hati-nya panas terbakar cemburu ketika Nurseta berurusan dengan Jumirah, dan mendengar akan jahatnya perempuan cabul itu, iapun turun tangan membunuhnya, menggunakan kesempatan selagi terjadi keributan dan Nurseta dikepung para penehuni dusun.
Ia terus membayangi Nurseta dan dengan heran meiihat betapa pemuda itu membantu pasukan Singosari yang bertempur melawan pasukan pemberontak pimpinan Mahesa Rangkah. Ia tahu akan pemberontakan Mahesa Rangkah terhadap Singosari, akan tetapi ia menganggap hal itu bukan urusannya. Tetapi kenapa kini Nurseta yang bukan senopati bukan perajurit, mencampuri pertempuran itu"
Bagaimunapun juga, dara ini merasa khawatir kalau-kalau Nurseta terancam bahaya maut dalam pertempuran itu, maka iapun memaksa diri memasuki medan pertempuran dan mencari-cari Nurseta.
Ketika dilihatnya Nurseta berhadapan dengan seorang kakek tua renta yang amat sakti, ia terkejut dan mendekati. Ia sempat mendengar akan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala yang menurut tuduhan Nurseta dirampas oleh kakek itu, kemudian bahkan meiihat betapa kakek itu mempergunakan tombak pusaka itu untuk menyerang Nurseta. Meiihat betapa hebatnya perkelahian mi, untuk sejenak Wulansari tertegun, bengong
dan juga bingung.
Baru sekarang ia melihat bahwa sesungguhnya Nurseta memiliki aji kesaktian yang amat hebat Akan tetapi, kakek itu namipaknya lebih hebat dan lebih unggul, dan Nurseta mulai terdesak dan terancam. Maka, iapun keluar dan menerjang kakek itu ketika mendapat kesempatan, bahkan dengan ajinya mendesip seperti ular, ia berhasil membuat kakek itu terkejut, lengah sehingga tombak pusaka itu dapat dirampasnya dan kini dibawanya lari.
Wulansari kembali tersenyum. Jarang sekali ia tersenyum, karena itu senyumnya ini menunjukkan bahwa hatinya girang bukan main. Ia bukan hanya dapat membantu Nurseta, akan tetapi juga berhasil merampas Tejanirmala! Membayangkan betapa wajah gurunya atau kakeknya akan berkeriput-keriput karena kagum dan heran, Wulansari memperlebar senyumnya. Ia harus cepat pergi, pikirnya. Belum aman kalau belum sampai tempat tinggal kakeknya! Ia tahu betapa saktinya kakek tadi yang ia lupa lagi namanya dan ia merasa yakin bahwa kakek itu tentu tidak akan tinggal diam saja. Tentu akan melakukan pengejaran. Dan siapa tahu Nurseta juga tentu akan melakukan pengejaran.
Agaknya pemuda itu juga bermaksud merampas tombak pusaka dari tangan kakek itu, Berpikir demikian, hatinya terasa bimbang. Kepada siapakah tombak pusaka itu harus diberikan" Kakeknya berulang kali mengatakan betapa kakeknya amat membutuhkan tombak pusaka itu, yang menurut kakeknya akan dapat menjamin kesejahteraan hidup mereka untuk selamanya. Akan tetapi bagaimana kalau Nurseta memintanya" Akan tegakah hatinya untuk menolak"
Sambil terus mempergunakan ilmunya berlari cepat, Wulansari melamun. Mendadak ia terkejut ketika mendengar suara orang, lapat-lapat seperti suara dari jarak jauh, namun jelas terdengar olehnya karena suara itu diteriakkan dengan dorongan tenaga sakti.
"Heiiiii perempuan iblis.......! Berhentilah dan serahkan kembali pusaka itu atau engkau akan mampus.......!"
Celaka, pikir Wulansari, jantungnya berdebar kencang. Kakek iblis itu telah dapat menyusulnya. Cepat ia menengok dan nampak sebuah titik hitam meluncur datang dari jauh. Kakek itu masih jauh sekali namun suaranya sudah dapat ia dengar demikian jelasnya. Ini membukrikan bahwa kakek itu memang sakti mandraguna dan merupakan lawan yang amat tangguh. Kalau sampai ia tersusul, apakah ia akan mampu mempertahankan Tejanirmala, bahkan mungkin lebih dari itu, apakah ia akan mampu mempertahankan nyawanya"
Maka, tanpa banyak cakap lagi Wulansari lalu mengerahkan seluruh tenaganya, lari sekuatnya. Ia maklum bahwa Kali Brantas masih agak jauh dari situ, Kalau saja ia dapat tiba di sungai itu sebelum kakek iblis iiu menyusulnya, ia akan dapat membebaskan diri dari kejaran kakek itu melalui air. Biarpun boleh jadi ia tidak akan mampu menandingi kakek itu di daratan, namun ia merasa yakin bahwa kakek itu, betapapun saktinya, takkan berdaya menghadapinya di dalam air.
Ilmu dalam air ini merupakan andalan dari kakek atau gurunya, juga merupakan andalan darinya sekarang. Berpikir demikian, Wulansari mempercepat larinya sampai napasnya memburu dan ia terengah-engah, dan tanpa disadarinya, kedua tangannya memegang tombak pusaka Tejanirmala, seperti khawatir kalau-kalau berda berharga itu akan terlepas lagi darinya.
Akan tetapi Wulansari tidak tahu bahwa satu di antara ilmu-ilmu kesaktian yang dikuasai oleh Ki Buyut Pranamaya adalah ilmu berlari cepat yang diberi nama Aji Garuda Nglayang. Sebetulnya ini bukan sekedar lari, melainkan lebih banyak mempergunakan lompatan-lompatan jauh. Lompatanya itu jauh dan seperti seekor burung garuda melayang saja, apa lagi kakek itu mengenakan jubah yang lebar sehingga ketika melompat itu, jubahnya berkembang seperti sayap. Dengan lompatan-lompatan jauh ini, dia dapat meluncur cepat seperti seekor kijang melompat-lompat, dan akhirnya dia dapat menyusul gadis itu.
Tepi Kali Brantas yang berbentuk tanggul tinggi itu sudah nampak oleh Wulansari yang sudah berkeringat dan terengah-engah itu.
Akan tetapi, sebelum ia mencapai sungai, tiba-tiba nampak bayangan hitam melayang di atas kepalanya dan tahu-tahu kakek itu sudah meluncur turun di depannya, menghadang sambil mengembangkan kedua lengannya dan jubahnya ikut berkembang, berkibar tertiup angin. Kakek itu menyeringai, mengerikan sekali. Sebagian giginya sudah ompong, dan yang masih tinggal juga berwarna hitam oleh kebiasaan mengunyah sirih dan mengulum tembakau.
"Heh-heh-heh, bocah ayu, jangan harap dapat melarikan diri dari Ki Buyut Pranamaya. Heh-heh, kembalikan tombak pusaka Tejanirmala dan kalau engkau bersikap manis kepadaku, mau melayaniku selama satu bulan, aku akan mengampuni nyawamu. Nah, bukalah bajumu itu dan keluarkan tombak pusakaku, cah ayu, heh-heh!"
Ki Buyut Pranamaya membujuk dengan suara halus karena setelah kini dia berhadapan dengan Wulansari, hilanglah kemarahannya. Bagaimanapun juga pusaka itu sudah pasti dapat dirampasnya kembali, dan gadis itu demikian ayu sehingga tiba-tiba tim-bul rasa sayang dalam hatinya. Kakek ini sama sekali tidak mengira bahwa Wulansari telah digembleng oleh seorang datuk sakti, yaitu Cucut Kalasekti yang bukan hanya ahli dalam ilmu silat tinggi, akan tetapi juga ilmu dalam air dan ilmu sihir. Biarpun hanya sedikit, namun Wulansari pernah mendapat gemblengan ilmu sihir, bahkan sudah diberi kekuatan penolak terhadap kekuatan sihir. Maka, ketika diam-diam dia mengerahkan sihirnya untuk menaklukkan gadis itu dengan sikap manis dan kata-kata halus, diam-diam Wulansari sudah mengetahuinya dan tidak terpengaruh sama sekali oleh kekuatan sihir yang terpancar keluar dari pandang mata dan suara Ki Buyut Pranamaya itu.
Tadi Wulansari sudah mengikat baju luarnya dengan sabuk putih sehingga tombak pusaka yang terselip di pinggangnya itu tertutup baju dan tidak nampak. Ia tahu bahwa tidak akan ada gunanya banyak cakap dengan kakek itu yang pasti akan merampas kembali pusaka itu dengan cara apapun juga. Satu-satunya jalan baginya adalah melawan dan berusaha mencapai sungai agar ia dapat melarikan diri melalui air.
"Apakah kakek mau pusaka" Nah, terimalah ini" Tangan Wulansari bergerak ke balik bajunya dan begitu ia menarik kembali tangannya, nampak sinar kuning emas dari sebatang keris kecil melengkung yang telah dicabutnya dan diarahkan ke arah pertu kakek itu. Dengan tusukan yang cepat.
"Eh...... !" Ki Buyut Pranamaya terkejut juga meiihat sinar emas menyarnbar ke arah perutnya. Hawa panas yang datang bersama keris itu menandakan bahwa benda di tangan gadis itu memang sebuah pusaka yang cukup ampuh dan serangan itu amat berbahaya. Iapun lalu mengelak ke kiri sambil menangkis dengan lengan kanannya, langsung berusaha mencengkeram pergelangan tangan gadis itu untuk merampas keris itu.
Namun, Wulansari bukanlah seorang gadis lemah. Sebelum digembleng oleh Cucut Kalasekti dengan ilmu yang aneh-aneh, ia telah menjadi murid Panembahan Sidik Danasura dan telah menerima gemblengan dasar ilmu pencak silat yang tinggi selama lima tahun. Maka, kini ia telah menjadi seorang gadis remaja yang tinggi ilmunya dan tidak akan mudah dikalahkan. Meiihat betapa kakek itu berusaha mencengkeram pergelangan tangannya, Wulansari memutar pergelangan tangan itu sehingga kini keris yang menjadi sinar emas itu meluncur ke atas, membalik dan menyambut tangan kakek itu dengan tusukan.
"Ahh.......!" Kembali kakek itu berseru kaget dan kagum. Terpaksa iapun menarik kembali tangannya dan meloncat ke belakang, kemudian, sebelum gadis itu sempat menyerang lagi, kakinya sudah mencuat dengan amat cepatnya, menyambar dalam sebuah tendangan kilat ke arah dada Wulansari. Gadis ini menyambut dengan tangan kiri yang menangkis sambil memajukan kaki kanan selangkah diikuti tusukan kerisnya ke arah dada lawan yang sedang menendang.
"Dukkk....... plakkkk" Tendangan itu dapat ditangkis dari samping oleh tangan kiri Wulansari, akan tetapi tusukan keris itupun dapat ditangkis oleh tangan kiri kakek itu yang bergerak cepat. Keduanya melangkah mundur oleh getaran sebagai akibat benturan tenaga mereka,
"Heh-heh, agaknya engkau mempunyai juga sedikit kepandaian, bocah ayu. Baiklah, mari kita main-main sebentar, dan nanti kau harus menyerahkan kembali tombak pusaka bersama dirimu kepadaku, heh-heh!"
Akan tetapi, kakek itu tidak dapat tertawa terus karena tubuh Wulansari sudah berkelebat cepat dan menyerang bertubi-tubi dengan kedua tangannya. Tangan kanan menghunjamkan keris berkali-kali diseling oleh tamparan atau cengkeraman tangan kiri yang tidak kalah ampuhnya, karena tangan kiri itu telah diisi tenaga sakti sehingga setiap jari tangan yang kecil mungil itu seolah-olah kini telah berubah menjadi batang-batang baja yang kuat.
Ki Buyut Pranamaya menangkis atau mengelak sambil membalas pula dan terjadilah perkelahian yang amat seru di antara kedua orang yang tidak seimbang usia dan pengalaman itu.
Biarpun lawannya Seorang gadis muda, namun kakek itu harus mengakui bahwa dia tidak boleh main-main dan bahwa perkelahian itu merupakan pertandingan mati-matian karena lengah sedikit saja, dia akan celaka.
Sebaliknya, Wulansari juga maklum bahwa selama meninggaikan perguruan, baru sekali ini ia bertemu lawan yang luar biasa tangguhnya. Kakek ini mungkin setingkat dengan eyangnya atau gurunya, yaitu Cucut Kalasekti, maka menghadapi kakek ini terasa amat berat baginya.
"Syuuuuutt.........!" Sebuah tendangan kilat hampir saja mengenai pinggulnya dan Wulansari terkejut sekali. Apalagi ketika tendangan itu tidak berhenti sampai di situ saja, melainkan dilanjutkan dengan serangkaian tendangan kedua kaki bertubi-tubi dalam ilmu Tendangan Cakrabairawa. Pahanya terserempet pinggir kaki kiri lawan dan iapun terguling, bukan roboh melainkan sengaja menggulingkan diri untuk mengerahkan aji kekebalannya sehingga rasa nyeri di pahanya itu menghilang ketika ia bergulingan. Karena ia bergulingan di atas tanah, maka tentu saja kakek itu tidak dapat mclanjutkan serangannya yang berupa tendangan-tendangan maut dan kesempatan ini dipergunakan oleh Wulansiri untuk meloucat dan melarikan diri dengan cepat.
"Heh heh-heh, mau lari ke mana bocah manis" Lari ke ujung duniapun akan dapat kususul, heh-heh!" Kakek itu semakin tertarik dan semakin suka kepada Wulansari. Seorang gadis yang hebat, pikirnya, bukan saja cantik manis akan tetapi juga memiliki ilmu kepandaian yang cukup hebat sehingga tentu akan menyenangkan sekali kalau menjadi kekasihnya, juga pembantunya. Dan tentu saja, di samping daya tarik ini, ia tetap harus dapat merampas kembali tombak pusaka Ki Tejanirmala dari tangan gadis itu. Maka, iapun cepat melompat dengan langkah-langkah lebar melakukan pengejaran.
Wulansari maklum bahwa kalau sampai ia tersusul sebelum mencapai Kali Brantas, tentu ia akan celaka. Ia tidak akan mungkin dapat mempertahankan tombak pusaka itu, bahkan keselamatannya sendiri akan terancam. Bergidik ia kalau membayangkan apa yang mungkin akan terjadi menimpa dirinya kalau sampai ia terjatuh ke tangan kakek yang mengerikan itu. Ia harus dapat mencapai Kali Brantas karena begitu ia tiba di sungai itu, ia akan selamat, pikirnya.
Akan tetapi, Ki Buyut Pranamaya memang hebat. Ilmu kepandaiannya lebih tinggi dari pada gadis iru, maka sebelum Wulansari dapat mencapai sungai, dia sudah berhasil menyusulnya.
"Heh-heh, perlahan dulu, manis!" Tangannya menjangkau dan hampir dapat menangkap lengan Wulansari, Gadis ini cepat melompat ke samping, membalikkan tubuhnya dan menyerang lagi dengan kerisnya. Namun, sekali ini kakek itu sudah siap. Tadi dia telah mempergunakan ilmu berlari cepat yang disebut Aji Garuda Nglayang.
Setelah dekat, diam-diam dia sudah mempersiapkan ikat kepalanya, kain ikat kepala yang berwarna hitam dan siap di tangan kirinya. Begitu gadis itu membalikkan tubuhnya dan menyerang dengan keris kecil melengkung berwarna kuning emas itu, dia cepat menyambuinya dengan kebutan kain ikat kepala hitam.
"Wuuuttt.......!" Dan Wulanssri terkejut ketika tiba-tiba ada kain hitam menutup kerisnya dan ketika dicobanya menarik kerisnya kembali, keris itu telah terbungkus kain dan tidak dapat ditariknya kembali. Pada saat itu, tangan kanan Ki Buyut Pranamaya telah mencengkeram ke arah kepalanya.
Tiba-tiba Wulansari mengeluarkan suara mendesis seperti ular dan kakek itu terkejut, Suara mendesis ini membuat dadanya terasa seperti tertusuk dan tubuhnya sejenak menjadi kaku. Kesempatan itu dipergunakan oleh Wulansari untuk meloncat jauh ke belakang, lalu lari lagi. Akan tetapi, Ki Buyut Pranamaya
yang sakti mandraguna itu hanya sobentar saja terpengaruh suara mendesis itu. Ia sudah memulihkan. dirinya dan mengejar lagi, dengan lompatan Aji Garuda Nglayang sehingga sebentar saja kembali Wulansari sudah tersusul, babkan kakek itu mendahuluinya dan membalik, menghadang dengan kedua lengan terpentang lebar.
Melihat bahwa ta sudah berada di dekat tepi Kali Brantas akan tetapi kakek itu sudah menghadangnya, Wulansari menjadi marah dan nekat. Ia harus mampu menerobos dan lari ke sungai yang hanya tinggal kurang lebih limapuluh meter di depan, atau ia akan celaka. Kembali ia mengeluarkan suara mendesis hebat dan tubuhnya menubruk ke depan, didahului sinar kuning emas kerisnya, sedangkan tangan kirinya mengeluarkan bau amis ketika ia mendorong sambil mengerahkan tenaga saktinya.
Kini Ki Buyut Pranamaya sudah siap siaga. Dia maklum bahwa gadis ini tidak boleh dipandang ringan dan kalau dia lengah, dapat celaka oleh gadis itu. Maka, dia sudah mengerahkan tenaganya, menyambut serangan gadis itu dengan Aji Margaparastra yang ampuhnya menggiriskan itu.
"Desss.......!" Hawa pukulan Margaparastra menghantam ke depan. Baru terkena hantaman hawa pukulannya saja, tubuh Wulansari sudah terpelanting dan keris kecil di tangannya terlepas, Ia merasa seolah-olah seluruh tenaga di dalam tubuhnya lolos dan iapun tidak mampu bangkit kembali, kepalanya pening, dadanya sesak.
"Ha-ha-ha, akhirnya engkau menyerah juga kepadaku, bocah ayu. Di mana kau sembu-nyikan tombak itu" Ah, tentu di dalam ikat pinggangmu. Ha-ha, biar kulepaskan sama sekali ikat pinggangmu" Berkata demikian, kakek itu menggerakkan tangan kiri ke arah pinggang Wulansari. Dan ikat pinggang itu putus dan bersama terlepasnya kain yang merosot ke bawah, tombak pusaka itupun terjatuh. Wulansari terkejut dan cepat memegang kainnya agar jangan sampai telanjang.
Ki Buyut Pranamaya tertawa bergelak dan mengulur tangan, yang kiri untuk mengambil pusaka Tejanirmala, yang kanan untuk merenggut lepas kain yang membungkus tubuh bawah gadis itu.
Wulansari tidak berdaya lagi, tubuhnya masih lemas dan ia belum mampu bangkit, hanya memandang dengan mata terbelalak ngeri, isak tertahan dan kedua tangan mencengkeram kainnya.
"Heh-heh heh, ke sinilah, manis......"
Pada saat yang amat berbahaya bagi Wulansari, tiba-tiba ada bayangan orang berkelebat dan sebuah tangan menyambar denpan tamparan dahsyat ke arah kepala Ki Buyut Pranamaya.
Kakek ini terkejut sekali karena merasa betapa sambaran hawa pukulan dari tangan yang menampar itu amat kuatnva. Iapun menarik kedua tangan yang tadi hendak merampas tombak pusaka dan kain, lalu memutar tubuh ke kanan sambil mengerakkan lengan kanan menangkis.
"Desss........" Kakek itu semakin kaget karena tangkisan itu membuat tubuhnya terdorong ke belakang dan dia terhuyung. Ketika dia mengangkat muka memandang, dia menjadi marah sekali mengenai bahwa orang yang menyerangnya tadi adalah pemuda yang pernah dilawannya dalam pertempuran. Pemuda yang bernama Nurseta yang telah mengenali penyamarannya, mengenai bahwa dia adalah Wiku Bayunirada.
Hati Ki Buyut Pranamaya atau juga Wiku Bayunirada menjadi kecewa dan marah sekali. Kecewa karena gagal merampas kembali Tejanirmala, pada hal tadi sudah tinggal ambil saja, dan marah karena pemuda bernama Nurseta putera Ki Baka itu sungguh menjadi penghalang besar baginya.
"Keparat, bocah setan, engkau harus mampus di tanganku baru puaslah hatiku" bentaknya dan iapun sudah menyerang dengan dahsyat, mempergunakan tendangannya yang amat berbahaya, yaitu Aji Cakrabairawa. Terdangannya bertubi-tubi, susul menyusul kaki kiri dan kanan seolah-olah takkan pernah berhenti sebelum lawan roboh.
Nurseta sudah mengenai ilmu tendangan yang ampuh ini, maka iapun mengerahkan tenaga dan mengandalkan kecepatan gerakan tubuhnya untuk mengelak, menangkis dan membalas dengan pukulan-pukulan Bajradenta yang cukup ampuh. Tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis dan ternyata Wulansari yang tadi sudah nyaris tertawan, kini sudah menerjang lagi, mengeroyok Ki Buyut Pranamaya. Gadis itu tadi cepat membereskan kainnya, merobek tepi kain untuk dijadikan ikat pinggang, menyimpan tombak pusaka Tejanirmala, kemudian memungut kerisnya. Dan dengan penuh kemarahan ia menyerang kakek itu, membantu Nurseta walaupun tubuhnya terasa sakit-sakit akibat tendangan dan pukulan kakek itu.
Menghadapi pengeroyokan pemuda dan gadis itu, Ki Buyut Pranamaya menjadi repot juga. Dia ingin sekali dapat merampas tombak pusaka lalu melarikan diri. Namun, Wulansari yang maklum akan keinginan hati kakek titu, sudah menyembunyikan tombak pusaka dibalik kainnya, terselip diikat pinggang. Kini, gadis itu menyerang dengan nekat sehingga Ki Buyut Pranamaya menjadi repot untuk menyelamatkan diri dari pengeroyokan dua orang muda itu.
Sebetulnya, tingkat kepandaian Ki Buyut Pranamaya masih lebih unggul karena bagaimanapun juga, dibandingkan Nurseta dan Wulansari, tentu saja dia lebih matang dan lebih banyak pengalaman. Namun, ia masih tegang karena rahasianya sebagai Wiku Bayunirada telah diketahui Nurseta dan dia merasa khawatir kalau-kalau masih ada orang sakti lain di belakang kedua orang muda ini.
"Hyaaatt.......!!" Tiba-tiba Nurseta menyerangnya dengan pukulan Aji Jagad Pralaya yang amat dahsyat itu, dibarengi suara mendesis Wulansari yang juga menyerang dengan tangan kiri dan keris di tangan kanannya. Meiihat hebatnya gelombang serangan ini, kakek itu mengeluarkan suara melengking marah dan kecewa, lalu tubuhnya melayang ke samping, bukan hanya untuk mengelak, melainkan juga untuk melarikan diri, menggunakan Aji Garuda Nglayang sehingga sebentar saja tubuhnya lenyap di antara pohon-pohon.
Nurseta hendak mengejar, akan tetapi terdengar gadis itu mengeluh dan terhuyung. Nurseta terkejut, tidak jadi mengejar dan cepat dia meloncat ke dekat gadis itu dan memegang lengannya sehingga Wulansari tidak jadi roboh. Gadis itu pucat sekali dan terkulai lemas, lalu jatuh pingsan dalam rangkulan Nurseta.
Nurseta memondong tubuh Wulansaii, dibawa dekat sungai dan merebahkannya di atus rumput tebal. Ketika dia memeriksa, dia mendapat kenyataan bahwa gadis itu menderita luka membiru pada pundak kiri, juga kain yang agak tersingkap memperlihatkan paha yang menghitam dan agaknya gadis itu menderita guncangan karena hawa pukulan sakti. Nurseta menempelkan telapak tangan kirinya pada pundak dan punggung gadis itu diurutnya dengan tangan kanan sambil mengerahkan hawa sakti untuk mengusir hawa pukulan yang masih mengeram di dalam tubuh Wulansari.
Tak lama kemudian gadis itu mengeluh dan membuka matanya. Ketika ia melihat Nurseta menempelkan telapak tangan di pundak dan punggung, tiba-tiba ia bangkit duduk dan mendorong kedua lengan pemuda itu.
"Wulansari ......." Nurseta memanggil dengan lembut, khawatir kalau-kalau gadis itu akan melarikan diri lagi. Akan tetapi sekali ini, Wulansari masih pening dan lemah, sehingga ia tidak dapat melarikan diri, dan pula, agaknya ia juga tidak ingin pergi meninggaikan pemuda yang telah menyelamatkannya dari ancaman malapetaka di tangan kakek yang sakti mandraguna tadi.
"Wulan ........ apakah kau masih ingat kepadaku?" Nurseta bertanya dengan lembut, khawatir kalau-kalau gadis itu memang benar telah lupa kepadanya.
"Kakang........kakang Nurseta......." Akhirnya gadis itu berbisik, setengah mengeluh dan nampak ia menggigit bibir bawahnya menahan rasa nyeri.
Bukan main girangnya hati Nurseta mendengar gadis itu menyebut namanya, akan tetapi kegirangannya berubah kekhawatiran meiihat gadis itu menahan nyeri.
"Ah, kau terluka, Wulan......"
Wulansari mengangguk. "Aku ......aku terkena pukulannya yang ampuh, dan juga pahaku terkena tendangan ......."
"Biarkan aku membantumu untuk menyembuhkan luka-lukamu, Wulan. Menurut pemeriksaanku tadi, masih ada hawa pukulan beracun yang mengeram di dalam tubuhmu Biarkan aku mengobatimu."
Kini Wulansari tidak menolak ketika pemuda itu duduk bersila di belakangnya dan menempelkan telapak tangan di punggung dan pundaknya. Ada hawa yang hangat keluar dari kedua telapak tangan itu, memasuki tubuhnya dan mendatangkan rasa yang nyaman. Kurang lebih seperempat jam kemudian, lenyaplah rasa nyeri di dada dan pundaknya.
"Sudah cukup, kakang, nyerinya sudah hilang" katanya lembut dan Nurseta lalu menghentikan pengobatannya. Akan tetapi ketika dia mengajak Wulansari bangkit berdiri, gadis itu hampir terguling roboh kalau tidak dipegang lengannya dengan cepat oleh pemuda itu.
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kenapa, diajeng .......?"
"Paha kananku, nyeri sekali......"
"Biarkan aku memeriksanya........"
"Ihh! Jangan kakang ......." Wulansari yang sudah terduduk kembali itu menarik kakinya dari jangkauan tangan Nurseta.
"Kenapa, Wulan?"
"Aku", aku malu........"
Nurseta menahan senyumnya dan berkata dengan sungguh-sungguh. "Wulansari, dalam hal seperti ini, kurasa tidak perlu kita malu-malu lagi. Aku khawatir kalau ada tulang yang patah atau otot yang rusak"
Wulansari mengangguk. Mukanya yang biasanya dingin dan aneh itu kini menjadi kemerahan dan ia lalu menyingkap kainnya perlahan-lahan, memperlihatkan bagian paha yang kehitaman. Tadi, ketika gadis itu pingsan, Nurseta sudah memeriksanya sebentar, akan tetapi dia tidak berani mencoba untuk mengobatinya karena gadis itu masih pingsan, Memeriksa dan menyentuh bagian tubuh yang biasanya tertutup itu selagi pemilik paha itu pingsan, dianggapnya tidak sopan. Kini, meiihat paha tersingkap putih mulus, Nurseta menekan perasaannya dan mengusir bayangan yang mendatangkan rangsangan, lalu memeriksa paha yang terkena tendangan itu.
"Untung kau memiliki kekebalan yang kuat, diajeng. Pahamu hanya memar saja, tidak ada tulang retak atau otot rusak. Maafkan, aku akan mengurutnya sebentar." Nurseta lalu mempergunakan jari-jari tangannya untuk mengurut, sebentar saja, lalu menutupkan kembali kain yang tersingkap. Wulansari merasa girang dan berterima kasih sekali karena pahanya juga kini tidak begitu nyeri lagi.
Mereka duduk di atas rumput tebal, berhadapan dan sejenak mereka hanya saling pandang tanpa kata-kata sampai akhirnya Wulansari menundukkan mukanya yang menjadi merah. Ia merasa serba salah tingkah dan malu, juga Nurseta merasa betapa jantungnya berdebar keras, dan kedua tangannya yang tadi dengan mantap dan tetap mengurut paha, kini malah gemetar. Terasa benar dalam hatinya betapa dia amat mencinta gadis ini.
"Wulansari, bolehkah aku bertanya?" Akhirnya Nurseta berkata lembut setelah menenteramkan jantungnya yang berdebar.
Wulansari mengangkat muka. Dua pasang mata bertemu pandang, bertaut dan akhirnya Wulansari mengangguk dan menundukkan muka. Tak kuat ia bertemu pandang berlama-lama karena sepasang mata pemuda itu demikian tajam dan jelas sekali menyatakan isi hatinya! "Boleh saja, kakangmas" jawabnya lirih.
"Ketika kau muncul membantu aku membasmi bajak sungai, kemudian kau muncul lagi dan menewaskan Jumirah, isteri Lembu Petak itu......."
"Bajak-bajak itu jahat sekali, membunuh petani yang tidak berdosa dan mengancam keselamatanmu. kakangmas, dan peremuan itu tak tahu malu, cabul dan jahat, maka aku terpaksa membunuh mereka semua!" Wulansari memotong, seolah khawatir kalau Nurseta akan menyalahkannya.
"Bukan itu maksudku, Wulan. Akan tetapi, mengapa kau lalu pergi begitu saja dan tidak mau bicara denganku" Aku khawatir sekali......"
"Mengapa khawatir, kakangmas" Apa yang kau khawatirkan?"
"Aku khawatir kalau-kalau kau tidak sudi lagi berkenalan denganku, atau mungkin kau sudah lupa kepadaku, pada hal aku......."
"Padahal bagaimana, kakang?"
"Aku....... aku selama ini....... amat merindukanmu, diajeng. Aku girang bukan main ketika melihat kau muncul, baik yang pertama kali itu atau yang ke dua kali, akan tetapi kau pergi begitu saja........"
Wulansari mengangkat mukanya, memandang. Kini perasaan malu-malu dapat diatasinya dan pandang matanya bahkan penuh dengan selidik, seolah dara ini ingin menjenguk isi hati Nurseta.
"Engkau......... kau amat merindukan aku, kakang" Benarkah itu.......?"
"Tentu saja benar, diajeng. Aku tidak biasa berbobong dan pula, untuk apa aku harus berbohong kepadamu?"
"Tapi...... kenapa kau amat rindu kepadaku, kakangmas" Kita baru satu kali saja bertemu, di padepokan Eyang Panembahan Sidik Danasura, di Teluk Prigi Segoro Wedi......."
Kembali Nurseta merasa betapa jantungnya berdebar. Dia harus berani menyatakan terus terang. Perasaan cintanya terhadap Wulansari itu demikian jelas dan sering membuatnya tidak dapat tidur, sering menggetarkan hatinya, dan terutama sekali terasa ketika ayah angkatnya, Ki Baka, menjodohkannya dengan Pertiwi. Dan kini, Wulansari bertanya kenapa ia selama ini amat rindu kepada gadis itu.
Beberapa kali Nurseta menelan ludah untuk nenenangkan hatinya, dan iapun memegang tangan Wulansari sambil berkata.
"Wulansari, pertemuan pertama itu, biarpun baru satu kali, namun telah meyakinkan hatiku bahwa aku....... aku amat cinta
kepadamu diajeng. Setelah kami berpisah, aku tidak pernah dapat melupakanmu dan aku merasa amat rindu kepadamu. Diajeng Wulansari, aku cinta padamu......."
Tangan yang dipegangnya itu mendadak saja gemetar, akan tetapi Wulansari tidak menarik tangannya yang digenggam, melainkan kini mengangkat mukanya memandang wajah Nurseta. Pemuda inipun memandangnva, dua pasang mata bertemu dan Nurseta melihat betapa dua buah mata yang jeli dan bening seperti bintang itu menjadi basah dan perlahan-lahan, beberapa butir air mata seperti mutiara menitik keluar dari pelupuk mata dan menggelinding di sepanjang pipi yang kemerahan.
"Diajeng........ kau....... kau menangis" Maafkan kalau aku menyinggung perasaan hatimu, diajeng........"
Nurseta hendak melepaskan tangan gadis itu, akan tetapi Wulansari bahkan menggerakkan tangan kirinya dan memegang tangan pemuda itu. Empat tangan mereka menjadi satu, saling genggam.
"Kakangmas........ aku ....... aku menangis karena merasa berbahagia......."
"Diajeng Wulansari.......!"
"Kakangmas Nurseta.......I"
Seperti dsgerakkan oleh sesuatu yang gaib, keduanya saling rangkul dan Nurseta mendekap kepala itu ke dadanya, kuat- kuat seolah-olah ia ingin memasukkan kepala itu ke dalam dadanya agar tidak terpisah darinya lagi. Kemudian ia menunduk, mendekatkan mukanya dan Wulansari, terdorong oleh naluri kewanitaannya, menyambut. Entah siapa yang memulai karena keduanya selamanva belum pernah mengalami hal seperti itu, akan tetapi tahu-tahu keduanya telah saling cium dengan menumpahkan seluruh kemesraan dari dalam dua hati yang saling merindukan.
Kini mereka duduk di atas batu yang panjang, berdampingan, dan lengan kanan Nurseta merangkul pundak Wulansari sedangkan lengan kiri gadis itu melingkar di pinggang Nurseta. Sampai lama keduanya berdiam diri, Wulansari menyandarkan kepalanya di bahu dan dada kekasihnya.
Angin semilir menyambut senja mempermainkan rambut halus Wulansari. Nurseta mengelus rambut di kepala itu. Rambutmu indab sekali, diajeng........"
"Benarkah........?"
Nurseta menunduk dan mencium kepala itu, "Diajeng, setelah kau dibawa pergi oleh kakek itu, yang menurut Eyang Panembahan namanya Cucut Kalasekti, lalu apa yang terjadi denganmu" Siapakah kakek yang sakti mandraguna itu sebenarnya, diajeng" Benarkah kau cucunya" Dan dari siapa pula kau mempelajari ilmu-ilmu yang hebat dan aneh itu?"
Dihujani pertanyaan itu, Wulansari tersenyum, menoleh dan menggunakan telunjuk tangannya menyentuh bibir Nurseta, sikapnya manja dan mesra sekali.
"Wah, banyak benar pertanyaanmu, kakangmas. Eyang Cucut Kalasekti itu memang eyangku, juga guruku. Akan tetapi... ah, kita sekarang harus berpisah, kakangmas. Aku khawatir kalau kakek jahat tadi datang kembali ke sini bersama teman-temannya, kita bisa celaka. Aku harus pergi sekarang"
Gadis itu'tiba-tiba bangkit berdiri. Nurseta memegang tangannya.
"Nanti dulu, diajeng. Kita baru saja bertemu, baru saja hati kita saling bertemu dan masih banyak yang harus kita bicarakan"
"Untuk saat ini, tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, kakangmas. Cukuplah kalau aku mengetahui bahwa kau mencintaku, dan ketahuilah bahwa akupun mencintamu, sejak dulu. Mulai saat ini, aku telah menjadi milikmu dan aku bersumpah takkan sudi disentuh pria lain Kalau semua urusanmu telah beres, kuharap kau suka berkunjung ke Blambangan, menjumpai Eyang Kalasekti dan meminangku. Maukah kau, kakangmas" Maukah?"
Dengan sikap manja Wulansari mengguncang-guncang tangan pemuda itu yang dipegangnya.
"Tentu saja aku mau, diajeng, akan tetapi aku belum ingin berpisah darimu. Aku tidak ingin berpisah lagi, diajeng......."
Akan tetapi Wulansari meronta dan melepaskan diri dari rangkulan kekasihnya. "Cukup sudah, kakangmas. Kita masing-masing mengetahui bahwa kita saling mencinta! Aku harus pergi sekarang, sampai jumpa, kakang"
Gadis itupun lari ke sungai dan meloncat dari tebing yang cukup tinggi itu. Tubuhnya meluncur ke bawah ketika Nurseta mengejarnya ke tepi sungai.
"Cuppp......." Tubuh itu bagaikan sebatang anak panah memasuki air tanpa menimbulkan banyak percikan air, dan tak lama kemudian nampak ia tersembul di tengah sungai.
" Wulansari.......!"
Nurseta memanggil dan gadis itu membalikkan badan, lalu melambaikan tangan kepadanya. sambil tersenyum manis sekali.
"Wulansari, apakah kau membawa tombak pusaka Tejanirmala?" Baru sekarang pemuda itu teringat akan tombak pusaka yang tadi dirampas oleh Wulansari dari tangan Ki Buyut Pranamaya atau Wiku Bayunirada.
Gadis itu mengangkat tangan kanannya ke atas dan di tangan itu terdapat tombak pusaka Tejanirmala yang ditanyakan Nurseta.
"Diajeng, tombak itu adalah pusaka milik ayah angkatku, harap kau serahkan kepadaku agar dapat kukembalikan kepada ayah"
Wulansari menggeleng kepalanya. "Kakangma, ketahuilah bahwa satu di antara tugasku adalah mencari dan membawa pusaka ini ke Blambangan. Aku akan membawanya kesana, menyerahkannya kepada eyang. Kelak kalau kau datang meminangku, kau boleh minta kembali dari eyang dan aku akan membantumu, kakang. Nah, selamat tinggal, kakangmas Nurseta. Aku cinta padamu dan akan selalu menantimu ........!"
Sebelum Nurseta sempat membantah atau menjawab, gadis itu sudah lenyap, menyelam ke dalam air. Nurseta berdiri mematung di tepi sungai itu, mengharapkan gadis itu muncul kembali karena dia masih ingin bicara. Akan tetapi, tidak nampak gadis itu muncul sehingga akhirnya, terpaksa dia berlari kembali ke tempat pertempuran membantu pasukan Singosari yang masih bertempur melawan pasukan pemberontak.
Pasukan pemberontak yang dipimpin Mahesa Rangkah ternyata dapat digiring kembali. ke pusat sarang mereka setelah di mana-mana mereka bertemu dengan pasukan Singosari dan dipukul mundur. Akhirnya, semua sisa pasukan pemberontak berkumpul di dalam sarang mereka dan diserbu oleh pasukan besar yang dipimpin sendiri oleh Senopati Ronggolawe yang dibantu oleh beberapa orang senopati lainnya.
Pertempuran menjadi berat sebelah, apa lagi setelah Mahesa Rangkah ditinggalkan Ki Buyut Pranamaya yang amat diandalkan oleh muridnya itu. Setelah gurunya pergi, terpaksa Mahesa Rangkah melawan mati-matian, dibantu. oleh para tokoh sesat dan anak buahnya. Perang mati-matian dilakukan oleh Mahesa Rangkah yang sudah hampir putus asa itu, perlawanan yang sia-sia belaka.
Ternyata kemudian akan kepalsuan para tokoh sesat yang tadinya hendak membantu gerakan pemberontakan. Mahesa Rangkah. Setelah meiihat bahwa Ki Buyut Pranamaya melarikan diri dan melihat betapa pasukan pemberontak kewalahan menghadapi pasukan Singosari, apa lagi setelah mereka sendiri berhadapan dengan para senopati Singosari yang amat tangguh, dibantu pula oleh orang-orang gagah seperti Ki Jembros, Ki Padasgunung dan Ki Pragalbo, apa lagi di sana terdapat Nurseta yang amat sakti, para tokoh sesat itu satu demi satu lalu lenyap melarikan diri selagi masih ada kesempatan.
Memang banyak di antara mereka yang tidak sempat melarikan diri dan tewas di tangan para senopati Singosari, akan tetapi para tokoh sesat yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dapat menyusup di antara pasukan pemberontak dan menghilang Di antara mereka yang berhasil menyelamatkan diri termasuk tiga orang pimpinan Clurit Lemah Abang, yaitu Soradipo, Sorawani, dan Sorakayun, kemudian Ki Sardnlo tokoh Banyuwangi adik seperguruan Ki Baya itu, Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri yang berhasil lolos pula.
Setelah dilinggalkan oleh para pembantunya yang diandalkan itu, Mahesa Rangkah yang sudah putus asa ditinggalkan gurunya, kini menjadi semakin lemah dan repot. Namun, ia tidak meninggaikan pasukannya dan mengamuk terus dengan nekat sampai akhirnya tewaslah pemimpin pemberontak ini dalam pengeroyokan para senopati Singosari.
Pasukannyapun dibasmi hancur dan berakhirlah sudah pemberontakan Mahesa Rangkah terhadap Singosari.
Pemberontakan Mahesa Rangkah yang terjadi dalam tahun 1280 itu dapat dihancurkan tanpa banyak kesukaran oleh. Kerajaan Singosari, dan sekali ini, Kerajaan Daha di Kediri terlepas dari kaitan. Untung bahwa para jagoan Kediri sudah mendapat perintah untuk cepat meninggaikan Mahesa Rangkah sehingga Kediri tidak terlibat oleh pemberontakan yang gagal itu.
Karena jasa-jasanya terhadap Singosari dalam penghancuran gerakan pemberontakan Mahesa Rangkah, para orang gagah seperti Ki Jembros, Padasgunung, Pragalbo. dan terutama sekali Nurseta, oleh Senopari Ronggolawe diperkenalkan kepada para senopati Singosari. Dan dalam kesempatan inilah Nurseta berkenalan dengan Raden Wijaya, putera mantu dari Sang Prabu Kertanegara.
Nama pemuda ini mulai dikenal di kalangan para senopati Singosari, bahkan Raden Wijaya sendiri berkenan menghadiahkan sebatang keris kepada Nurseta, keris yang tidak begitu panjang, berbentuk naga, pangkal keris berbentuk kepala naga, dan mata keris itu lidahnya yang terjulur keluar. Nurseta menerimanya dengan girang.
Setelah para orang gagah dijamu makan dalam sebuah pesta kemenangan oleh para senopati, merekapun lalu bubar. Nurseta sendiri meninggaikan tempat itu untuk kembali ke padepokan Panembahan Sidik Danasura di Teluk Prigi, pantai laut selatan. Ayah angkatnya" Ki Baka, tentu berada di sana pula untuk berobat seperti yang pernah mereka rundingkan.Tidak percuma Nurseta menjadi murid Panembahan Sidik Danasura. Biarpun ilmu silat yang dimainkannya itu dipelajarinya dari Ki Baka, namun oleh gemblengan Panembahan Sidik Danasura, ilmu-ilmu itu menjadi matang dan jauh lebih ampuh dibandingkan dengan permainan Ki Baka sendiri. Semua gerakan pemuda itu berisi tenaga sakti, gerakan-gerakannya mantap dan penuh ketenangan yang timbul dari kepercayaan kepada diri sendiri.
Sebagai seorang ahli silat yang pandai, Ki Buyut Pranamaya tentu saja terkejut bukan main. Pemuda ini bukan saja mampu menghindarkan semua serangannya, bahkan mampu membalas dengan hebat, mampu menandinginya dalam suatu perkelahian yang seimbang. Dan dia mengenal gerakan pukulan pemuda ini.
"Takkk ! Dessss.......I" Kembali keduanya terdorong mundur oleh adu tenaga yang tak dapat dihindarkan lagi. Wajah kakek itu berkeringat dan matanya mencorong. Sedangkan wajah Nurseta masih tenang saja ketika mereka maju lagi dan saling memandang dengan tajam.
"Hemm, gerakan-gerakanmu seperti gerakan Ki Baka" kata kakek itu, "Apamukah Ki Baka itu?"
Nurseta mengerutkan alisnya dan memandang tajam penuh selidik "Ki Baka adalah ayahku, juga guruku"
Jawaban ini membuat kakek itu tertegun dan matanya terbelalak. Hanya murid Ki Baka" Sungguh sukar untuk dapat dipercaya. Ki Baka sendiri sama sekali bukan tandingannya, Akan tetapi mengapa puteranya dan juga muridnya begini saktinya"
Dia menjadi semakin penasaran dan sebagai tanggapan atas keterangan pemuda itu, dia kini menyerang dengan ilmunya yang dahsyat, yaitu ilmu tendangan Bukan tendangan biasa, karena kedua kakinya itu seperti kitiran angin berputar saja layaknya, kanan kiri menendang silih berganti dan susul menyusul, merupakan serangkaian tendangan yang dahsyat dan kuat. Sambil mengirim serangkaian tendangan yang dahsyat itu, mulut kakek iiu mengeiuarkan suara yang amat berwibawa, "Robohlah. Kau tak akan kuat menghadapi ilmu tendanganku Aji Cakrabairawa. Robohlah kau, Nurseta!"
Nurseta merasa betapa ada kekuatan dahsyat dalam suara itu, seolah-olah memaksanya untuk jatuh. Ia terkejut dan cepat mengerahkan tenaga dalamnya karena maklum bahwa ilmu sihir yang terkandung dalam suara itu bahkan lebih berbahaya dari pada tendangan itu sendiri. Ia hanya dapat mengelak ke sana-sini menghadapi tendangan itu, dan sekali-kali menangkis. Akan tetapi, kekuatan kaki memang lebih besar dari pada kekuatan lengan, maka setiap kali menangkis, ia merasa betapa tubuhnya terguncang keras.
Kini Nurseta Terdesak dan ia harus waspadas mengikuti gerakan kaki yang seperti kitaran angin itu. Dan tiba-tiba dia meiihat sesuatu yang membuat jantungnya berdebar keras, dan matanya terbelalak, ketika ia memperhatikan bahwa kedua kaki telanjang itu masing-masing hanya mempunyai empat buah jari, tidak mempunyai ibu jari.
"Bayunirada......!" Nurseta membentak, teringat akan cerita Ki Baka tentang Wiku Bayunirada yang telah merampas Ki Ageng Tejanirmala, juga telah melukai Ki Baka dengan pukulan yang disebut Aji Margaparastra.
Kakek itu terkejut bukan main mendengar disebutnya nama Bayunirada itu, sehingga rangkaian tendangan kakinya menjadi agak kacau. Nurseta memandang penuh perhatian walaupum dia masih terus mengelak dan menghindarkan diri dari tendangan yang tak kunjung henti itu.
"Kau Wiku Bayunirada yang telah merampas Ki Ageng Tejanirmala, dan telah melukai ayahku" kembali Nurseta membentak dan karena kini dia berhadapan dengan orang yang memang dicarinya, ia melanjutkan, "Kakek jahat, kembalikan tombak pusaka itu"
Kakek itu menghentikan tenndangan-tendangannya dan tertawa bergelak. Sehingga Nurseta merasa heran.
Menurut keterangan Ki Baka, Wiku Bayunirada mengenakan pakaian dan ikat kepala serba putih, mukanya pucat keriputan seperti muka mayat dan kalau bicara atau ketawa bibirnya tidak bergerak. Akan tetapi mengapa kakek ini, yang memakai nama Ki Buyut Pranamaya memiliki wajah yang sama sekali berbeda" Akan tetapi, dia menduga bahwa tentu kakek yang sakti dan pandai ilmu sihir ini pandai pula melakukan penyamaran.
"Ha-ha-ha, tombak pusaka itu kini milikku dan tak seorangpun boleh merampasnya dariku, kecuali kalau tubuh ini sudah menjadi mayat" Berkata demikian, kakek itu mengeluarkan sebuah tombak bergagang pendek dari balik jubahnya. Nampak sinar putih seperti perak berkilat dan tentu saja 'Nurseta mengenal tombak pusaka itu. Akan tetapi, kini kakek itu mempergunakan tombak pusaka yang mempunyai kekuatan menolak bala itu, dipergunakan untuk menyerang dengan dahsyatnya.
Tombak pusaka suci yang merupakan pelindung manusia itu kini disalahgunakan, dipergunakan untuk menyerang dan berusaha membunuh manusia.
"Kakek iblis laknat !" Nurseta berseru dan cepat ia melempar tubuhnya ke samping, kemudian dari bawah ia melontarkan pukulan Bajradenta dengan penuh kekuatan.
"Heiiiitt.......!" Kakek itu berteriak sambil mengelak, kemudian dia berseru "Terimalah Aji Margaparastra ini!" dan kakek itupun mengirim pukulan dengan jari tangan terbuka ke arah dada Nurseta.
Hebat bukan main pukulan ini, dan Nurseta membayangkan keadaan Ki Baka yang menjadi manusia cacat dan tidak berdaya selama bertahun-tahun karena pukulan keji ini. Ia menjadi nekat, mengerahkan Aji Jagad Pralaya yang dipelajarinya dari Panembahan Sidik Danasura, dari bawah dia memukul ke atas, menyambut pukulan lawan.
"Dessss...........!!" Dua aji pukulan yang ampuh dan sakti bertemu dan akibatnya, tubuh kakek itu terjengkang. Ternyata aji pukulannya yang amat sakti itu masih kalah terhadap aji Jagad Pralaya. Akan tetapi karena ia memang sakti, apa lagi karena di tangannya terdapat tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala yang memiliki khasiat penolak bala, kakek itu bangkit kembali. dan tidak mengalami luka Bahkan kini ia sudah menerjang lagi. tangan kirinya diisi aji pukulan Margaparastra, sedangkan tangan kanannya mengayun tombak pusaka itu, menyerang Nurseta dengan penuh kemarahan.
Nurseta terpaksa mempergunakan lagi kelincahan tubuhnya untuk mengelak ke sana-sini.
Kalau dibuat ukuran, maka tentu saja kakek itu menang pengalaman, dan juga lebih kaya akan ilmu-ilmu yang aneh dan ampuh sehingga dapat dikatakan bahwa dia masih setingkat lebih tinggi dari pada Nurseta yang masih muda. Akan tetapi, ilmu yang dipelajari oleh Nurseta lebin bersih dan karenanya memiliki dasar lebih kuat. Apa lagi, tubuhnya yang masih murni itu lebih kuat dan memiliki daya tahan lebih besar ketimbang lawan, sehingga biarpun tingkatnya masih kalah, namun Nurseta masih dapat menandingi lawannya dan sampai sebegitu lamany belum juga roboh atau terluka.
Akan tetapi, setelah kini kakek itu mengamuk dengan tombak pusaka Tejanirmala di tangan, diam-diam Nurseta menjadi gentar juga. Hawa dari tombak pusaka itu memang ampuh sekali, terasa dingin menyusup tulang dan seperti hendak memadamkan semua nafsu berkelahinya.
"Wuuuuuttt....... singgg.......!" Ujung tormbak pusaka itu nyaris mengenai pundak Nurseta yang cepat melempar tubuhnya ke belakang dan bergulingan di atas tanah.
Kakek itu tertawa bergelak dan terus mengejar, bertubi-tubi mengirim serangan dengan tusukan tombak pusaka diseling tamparan tangan kiri dengan Aji Margaparastra.
Nurseta bergulingan, mengelak untuk menyelamatkan nyawanya. Ketika dia meiihat kesempatan baik, tiba tiba dia meloncat bangun, menangkis tangan kin kakek itu dan mengelak dari sambaran tombak, lalu kakinya menendang.
"Plakkk!" Tendangannya menyerempet paha Ki Buyut Pranamaya yang pernah mempergunakan nama Wiku Bayunirada itu.
Kakek itu terkejut dan mengeluarkan sumpah serapah saking marahnya. Akan tetapi, tendangan itu membuat tubuhnya terhuyung dan pada saat itu, nampak bayangan hijau berkelebat. Sebuah pukulan kilat mengenai siku kanan kakek itu yang seketika merasa lengan kanannya lumpuh. Sebelum dia sempat mencegahnya, tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala telah berpindah tangan.
"Keparat.......!" Ki Buyut Pranamaya terkejut dan marah sekali, bagaikan seekor singa yang terluka dia membalik ke kanan dan melihat bahwa yang merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala tadi hanyalah seorang gadis berpakaian serba hijau, usianya paling banyak duapuluh tahun, berkulit kuning langsat, wajahnya manis, dengan sepasang mata seperti bintang yang tajam, akan tetapi juga mengandung sinar dingin yang mengerikan, hidungnya kecil mancung, bibirnya merah membasah dan begitu bibir itu bergerak, nampak lesung pipit di pipi kiri, sedangkan pipi kanannya terhias tahi lalat kecil. Seorang gadis telah merampas tombak pusakanya. Hampir tak dapat dipercaya.
"Perempuan iblis, kembalikan tombakku" bentaknya dan tanpa memperdulikan bahwa yang merampas pusaka itu adalah seorang wanita muda, kakek ini langsung saja mengirim pukulan Aji Margaparastra yang amat ampuh itu.
"Wulan, awas......!" Nurseta berseru keras. melihat kakek itu menubruk ke depan dengan pukulan ampuh itu. Nursetapun cepat menyambar dari samping untuk menangkis.
"Desss........!" Biarpun Nurseta sudah berhasil menangkis, tetap saja hawa pukulan itu menyambar ke arah gadis berpakaian serba hijau itu. Namun, gadis itu mengeluarkan suara mendesis seperti ular dan tubuhnya meliuk ke kiri sehingga hawa pukulan ampuh itu luput, Kemudian, sekali berkelebat, gadis itu lenyap di antara orang-orang yang sedang bertempur sambil membawa tombak pusaka yang disembunyikan di balik bajunya dan diselipkan di ikat pinggangnya.
"Perempuan setan, jangan lari. Kembalikan pusakaku" bentak Ki Buyut Pranamaya yang cepat loncat mengejar.
Nurseta hendak mengejar pula, akan tetapi ia teringat akan keadaan pasukan kerajaan. Kalau ia pergi, tentu kedua orang senopati Singosari itu tidak akan mampu menandingi Mahesa Rangkah dan mungkin mereka akan celaka, dan pasukan pemerintah akan kalah. Oleh karena itu, ia teringat akan tugas utamanya lebih dahulu. Tombak pusaka itu telah dirampas oleh gadis berpakaian hijau yang dia yakin adalah Wulansari, yang kini telah menjadi seorang gadis yang demikian sakti sehingga mampu merampas pusaka itu dari tangan seorang kakek iblis seperti Ki Buyut Pranamaya. Yang penting ia harus membantu pasukan pemerintah agar pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Mahesa Rangkah dapat dikalahkan.
Benar saja, ketika itu, dua orang senopati Singosari telah payah menghadapi amukan Mahesa Rangkah, Melihat situasi yang demikian ini, gerombolan pemberontak berbesar hati dan merekapun mendesak pasukan Singosari yang kini berbalik semakin mundur.
Nurseta menerjang ke dalam pertempuran, dan dengan pukulan Bajradenta, dia menyerang Mahesa Rangkah. Raksasa ini terkejut bukan main meiihat munculnya pemuda ini. Tadi dia sudah merasa yakin bahwa gurunya tentu akan menewaskan pemuda ini. Akan tetapi mengapa kini pemuda ini tiba-tiba muncul" Apakah gurunya......." Ah, tidak mungkin ! Ia mengelak dengan loncatan ke belakang, sambil menoleh ke arah dimana tadi gurunya bertanding melawan Nurseta. Dan ia tidak meiihat adanya Ki Buyut Pranamaya di sana.
"Guru.........!" Teriaknya dan iapun meloncat, lenyap di antara anak buahnya. Nurseta bersama dua orang senopati Singosari mengejar, namun banyak anggota pemberontak menghadang sehingga mereka bertiga mengamuk dan merobohkan banyak musuh.
Meiihat betapa pemimpin mereka kembali melarikan diri, dan tiga orang jagoan dari pasukan Singosari itu mengamuk, para anak buah pemberontak menjadi jeri. Tanpa adanya pimpinan, apa lagi melihat betapa Mahesa Rangkah dan bahkan Ki Buyut Pranamaya sudah meninggalkan gelanggang, merekapun menjadi panik dan akhirnya mereka juga melarikan diri, dikejar oleh pasukan yang dipimpin oleh Senopati Pamandama dan Senopati Banyak Kapuk, dibantu oleh Nurseta.
Setelah meiihat Mahesa Rangkah dan pasukannya mundur dan melarikan diri, dikejar pasukan Singosari, Nurseta lalu meloncat dan berlari cepat melakukan pengejaran ke arah larinya Wulansari yang dikejar oleh Ki Buyut Pranamaya tadi. Dia mengkhawatirkan gadis itu, juga khawatir kalau-kalau tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala akan terampas lagi oleh kakek sakti itu. Dengan pengerahan ilmunya berlari cepat, tubuh Nurseta berkelebatan seperti terbang saja, menuju ke selatan.
*** Kita telah dibuat penasaran o!eh munculnya gadis berpakaian hijau yang telah tiga kali muncul secara tiba-tiba dan penuh rahasia. Pertama kali ia muncul dalam sungai yaitu ketika Nurseta berperahu dihadang para bajak sungai di Kali Campur. Ia membunuhi para bajak yang telah menggulingkan perahu Nurseta dan yang membunuh petani yang berperahu dengan Nurseta di Kali Campur. Kemudian, gadis berpakaian hijau itu pergi tanpa pamit, tidak memberi kesempatan kepada Nurseta untuk bicara dengannya. Pada hal Nurseta merasa yakin bahwa gadis berpakaian hijau adalah Wulansari.
Kemunculannya yang ke dua adalah ketika Nurseta dikeroyok penghuni dusun karena dia mencegah mereka itu membunuh Jumirah, isteri Ki Lembu Petak. Dalam keributan itu, gadis itu muncul dan membunuh Jumirah, kemudian pergi pula tanpa pamit. Dan kemunculannya sekarang ini adalah yang ke tiga, kemunculan yang membuat Nurseta menjadi semakin bingung karena gadis baju hijau yang diyakininya adalah Wulansari itu telah membantunya menghadapi Ki Buyut Pranamaya yang amat sakti, bahkan gadis itu berhasil merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala dan melarikan pusaka itu.
Gadis berpakaian hijau itu memang Wulansari adanya. Kini ia telah menjadi seorang gadis yang berkepandaian tinggi, juga wataknya berubah sama sekali. Dahulu, ketika masih menjadi murid Panembahan Sidik Danasura di teluk Prigi Segoro Wedi, ia merupakan seorang dara remaja berusia limabelas tahun yang manis sederhana, ramah dan lemah lembut tutur sapanya, juga sinar matanya yang jeli itu bersorot lembut.
Akan tetapi, ketika tiga kali Nurseta melihatnya sebagai seorang gadis berpakaian hijau yang penuh rahasia, gadis itu memiliki sinar mata yang aneh, kadang-kadang redup dan ada kalanya mencorong, dan kalau Nurseta merobayangkan betapa gadis itu memiliki ilmu yang aneh, mengeluarkan suara mendesis yang mempunyai daya serang amat kuat, diam-diam dia bergidik. Ada firasat dalam batinnya bahwa gadis itu selama ini telah mempelajari ilmu kesaktian yang tinggi, namun yang termasuk ilmunya orang dari golongan sesat.
Wulansari mempergunakan aji kesaktiannya untuk berlari secepat terbang dan kadang-kadang, tangan kirinya meraba tombak pendek yang terselip dengan amat erat di ikat pinggangnya, tertutup bajunya yang hijau dan lebar. Senyum simpul menghias bibirnya yang merah basah, hatinya senang bukan main. Tak disangkanya bahwa ia berhasil merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala yang diperebutkan orang-orang gagah seluruh negeri. Kakeknya sendiri, yang juga menjadi gurunya yang telah mengajarkan banyak aji kesaktian kepadanya, yaitu Eyang Cucut Kalasekti yang merasa tidak sanggup mencari dan merampas Ki Tejanirmala yang hilang tanpa bekas dari tangan Ki Baka yang dulu menjadi pemilik tombak pusaka itu. Dan sekarang ia, sama sekali tak pernah diduga sebelumnya, telah mampu merampas Ki Tejanirmala secara kebetulan saja.
Sungguh kebetulan saja, karena siapa yang tahu bahwa tombak pusaka yang hilang tanpa meninggaikan jejak itu berada di tangan kakek sakti itu. Kalau saja ia tidak membayangi Nurseta selama ini, sejak pertemuan pertama di Kali Campur, di mana ia diam-diam membantu Nurseta dan membunuhi para bajak sungai, tentu ia tidak akan mengetahui bahwa tombak pusaka itu berada di tangan kakek sakti itu.
Semenjak membantu Nurseta membasmi para bajak. Wulansari tak pernah dapat melupakan pemuda itu, seorang pemuda yang pernah menanam kesan yang menggores kaibunya ketika untuk pertama kali mereka berjumpa di pantai Laut Kidul. Tak pernah ia melupakan pemuda itu walaupun mereka telah jauh berpisah, wa-laupun ia telah mengalami kehidupan yang sama sekali baru. Dan pertemuan di Kali Campur itu membuat ia tidak tega meninggaikan Nurseta dan diam-diam ia terus membayanginya.
Hati-nya panas terbakar cemburu ketika Nurseta berurusan dengan Jumirah, dan mendengar akan jahatnya perempuan cabul itu, iapun turun tangan membunuhnya, menggunakan kesempatan selagi terjadi keributan dan Nurseta dikepung para penehuni dusun.
Ia terus membayangi Nurseta dan dengan heran meiihat betapa pemuda itu membantu pasukan Singosari yang bertempur melawan pasukan pemberontak pimpinan Mahesa Rangkah. Ia tahu akan pemberontakan Mahesa Rangkah terhadap Singosari, akan tetapi ia menganggap hal itu bukan urusannya. Tetapi kenapa kini Nurseta yang bukan senopati bukan perajurit, mencampuri pertempuran itu"
Bagaimunapun juga, dara ini merasa khawatir kalau-kalau Nurseta terancam bahaya maut dalam pertempuran itu, maka iapun memaksa diri memasuki medan pertempuran dan mencari-cari Nurseta.
Ketika dilihatnya Nurseta berhadapan dengan seorang kakek tua renta yang amat sakti, ia terkejut dan mendekati. Ia sempat mendengar akan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala yang menurut tuduhan Nurseta dirampas oleh kakek itu, kemudian bahkan meiihat betapa kakek itu mempergunakan tombak pusaka itu untuk menyerang Nurseta. Meiihat betapa hebatnya perkelahian mi, untuk sejenak Wulansari tertegun, bengong
dan juga bingung.
Baru sekarang ia melihat bahwa sesungguhnya Nurseta memiliki aji kesaktian yang amat hebat Akan tetapi, kakek itu namipaknya lebih hebat dan lebih unggul, dan Nurseta mulai terdesak dan terancam. Maka, iapun keluar dan menerjang kakek itu ketika mendapat kesempatan, bahkan dengan ajinya mendesip seperti ular, ia berhasil membuat kakek itu terkejut, lengah sehingga tombak pusaka itu dapat dirampasnya dan kini dibawanya lari.
Wulansari kembali tersenyum. Jarang sekali ia tersenyum, karena itu senyumnya ini menunjukkan bahwa hatinya girang bukan main. Ia bukan hanya dapat membantu Nurseta, akan tetapi juga berhasil merampas Tejanirmala! Membayangkan betapa wajah gurunya atau kakeknya akan berkeriput-keriput karena kagum dan heran, Wulansari memperlebar senyumnya. Ia harus cepat pergi, pikirnya. Belum aman kalau belum sampai tempat tinggal kakeknya! Ia tahu betapa saktinya kakek tadi yang ia lupa lagi namanya dan ia merasa yakin bahwa kakek itu tentu tidak akan tinggal diam saja. Tentu akan melakukan pengejaran. Dan siapa tahu Nurseta juga tentu akan melakukan pengejaran.
Agaknya pemuda itu juga bermaksud merampas tombak pusaka dari tangan kakek itu, Berpikir demikian, hatinya terasa bimbang. Kepada siapakah tombak pusaka itu harus diberikan" Kakeknya berulang kali mengatakan betapa kakeknya amat membutuhkan tombak pusaka itu, yang menurut kakeknya akan dapat menjamin kesejahteraan hidup mereka untuk selamanya. Akan tetapi bagaimana kalau Nurseta memintanya" Akan tegakah hatinya untuk menolak"
Sambil terus mempergunakan ilmunya berlari cepat, Wulansari melamun. Mendadak ia terkejut ketika mendengar suara orang, lapat-lapat seperti suara dari jarak jauh, namun jelas terdengar olehnya karena suara itu diteriakkan dengan dorongan tenaga sakti.
"Heiiiii perempuan iblis.......! Berhentilah dan serahkan kembali pusaka itu atau engkau akan mampus.......!"
Celaka, pikir Wulansari, jantungnya berdebar kencang. Kakek iblis itu telah dapat menyusulnya. Cepat ia menengok dan nampak sebuah titik hitam meluncur datang dari jauh. Kakek itu masih jauh sekali namun suaranya sudah dapat ia dengar demikian jelasnya. Ini membukrikan bahwa kakek itu memang sakti mandraguna dan merupakan lawan yang amat tangguh. Kalau sampai ia tersusul, apakah ia akan mampu mempertahankan Tejanirmala, bahkan mungkin lebih dari itu, apakah ia akan mampu mempertahankan nyawanya"
Maka, tanpa banyak cakap lagi Wulansari lalu mengerahkan seluruh tenaganya, lari sekuatnya. Ia maklum bahwa Kali Brantas masih agak jauh dari situ, Kalau saja ia dapat tiba di sungai itu sebelum kakek iblis iiu menyusulnya, ia akan dapat membebaskan diri dari kejaran kakek itu melalui air. Biarpun boleh jadi ia tidak akan mampu menandingi kakek itu di daratan, namun ia merasa yakin bahwa kakek itu, betapapun saktinya, takkan berdaya menghadapinya di dalam air.
Ilmu dalam air ini merupakan andalan dari kakek atau gurunya, juga merupakan andalan darinya sekarang. Berpikir demikian, Wulansari mempercepat larinya sampai napasnya memburu dan ia terengah-engah, dan tanpa disadarinya, kedua tangannya memegang tombak pusaka Tejanirmala, seperti khawatir kalau-kalau berda berharga itu akan terlepas lagi darinya.
Akan tetapi Wulansari tidak tahu bahwa satu di antara ilmu-ilmu kesaktian yang dikuasai oleh Ki Buyut Pranamaya adalah ilmu berlari cepat yang diberi nama Aji Garuda Nglayang. Sebetulnya ini bukan sekedar lari, melainkan lebih banyak mempergunakan lompatan-lompatan jauh. Lompatanya itu jauh dan seperti seekor burung garuda melayang saja, apa lagi kakek itu mengenakan jubah yang lebar sehingga ketika melompat itu, jubahnya berkembang seperti sayap. Dengan lompatan-lompatan jauh ini, dia dapat meluncur cepat seperti seekor kijang melompat-lompat, dan akhirnya dia dapat menyusul gadis itu.
Tepi Kali Brantas yang berbentuk tanggul tinggi itu sudah nampak oleh Wulansari yang sudah berkeringat dan terengah-engah itu.
Akan tetapi, sebelum ia mencapai sungai, tiba-tiba nampak bayangan hitam melayang di atas kepalanya dan tahu-tahu kakek itu sudah meluncur turun di depannya, menghadang sambil mengembangkan kedua lengannya dan jubahnya ikut berkembang, berkibar tertiup angin. Kakek itu menyeringai, mengerikan sekali. Sebagian giginya sudah ompong, dan yang masih tinggal juga berwarna hitam oleh kebiasaan mengunyah sirih dan mengulum tembakau.
"Heh-heh-heh, bocah ayu, jangan harap dapat melarikan diri dari Ki Buyut Pranamaya. Heh-heh, kembalikan tombak pusaka Tejanirmala dan kalau engkau bersikap manis kepadaku, mau melayaniku selama satu bulan, aku akan mengampuni nyawamu. Nah, bukalah bajumu itu dan keluarkan tombak pusakaku, cah ayu, heh-heh!"
Ki Buyut Pranamaya membujuk dengan suara halus karena setelah kini dia berhadapan dengan Wulansari, hilanglah kemarahannya. Bagaimanapun juga pusaka itu sudah pasti dapat dirampasnya kembali, dan gadis itu demikian ayu sehingga tiba-tiba tim-bul rasa sayang dalam hatinya. Kakek ini sama sekali tidak mengira bahwa Wulansari telah digembleng oleh seorang datuk sakti, yaitu Cucut Kalasekti yang bukan hanya ahli dalam ilmu silat tinggi, akan tetapi juga ilmu dalam air dan ilmu sihir. Biarpun hanya sedikit, namun Wulansari pernah mendapat gemblengan ilmu sihir, bahkan sudah diberi kekuatan penolak terhadap kekuatan sihir. Maka, ketika diam-diam dia mengerahkan sihirnya untuk menaklukkan gadis itu dengan sikap manis dan kata-kata halus, diam-diam Wulansari sudah mengetahuinya dan tidak terpengaruh sama sekali oleh kekuatan sihir yang terpancar keluar dari pandang mata dan suara Ki Buyut Pranamaya itu.
Tadi Wulansari sudah mengikat baju luarnya dengan sabuk putih sehingga tombak pusaka yang terselip di pinggangnya itu tertutup baju dan tidak nampak. Ia tahu bahwa tidak akan ada gunanya banyak cakap dengan kakek itu yang pasti akan merampas kembali pusaka itu dengan cara apapun juga. Satu-satunya jalan baginya adalah melawan dan berusaha mencapai sungai agar ia dapat melarikan diri melalui air.
"Apakah kakek mau pusaka" Nah, terimalah ini" Tangan Wulansari bergerak ke balik bajunya dan begitu ia menarik kembali tangannya, nampak sinar kuning emas dari sebatang keris kecil melengkung yang telah dicabutnya dan diarahkan ke arah pertu kakek itu. Dengan tusukan yang cepat.
"Eh...... !" Ki Buyut Pranamaya terkejut juga meiihat sinar emas menyarnbar ke arah perutnya. Hawa panas yang datang bersama keris itu menandakan bahwa benda di tangan gadis itu memang sebuah pusaka yang cukup ampuh dan serangan itu amat berbahaya. Iapun lalu mengelak ke kiri sambil menangkis dengan lengan kanannya, langsung berusaha mencengkeram pergelangan tangan gadis itu untuk merampas keris itu.
Namun, Wulansari bukanlah seorang gadis lemah. Sebelum digembleng oleh Cucut Kalasekti dengan ilmu yang aneh-aneh, ia telah menjadi murid Panembahan Sidik Danasura dan telah menerima gemblengan dasar ilmu pencak silat yang tinggi selama lima tahun. Maka, kini ia telah menjadi seorang gadis remaja yang tinggi ilmunya dan tidak akan mudah dikalahkan. Meiihat betapa kakek itu berusaha mencengkeram pergelangan tangannya, Wulansari memutar pergelangan tangan itu sehingga kini keris yang menjadi sinar emas itu meluncur ke atas, membalik dan menyambut tangan kakek itu dengan tusukan.
"Ahh.......!" Kembali kakek itu berseru kaget dan kagum. Terpaksa iapun menarik kembali tangannya dan meloncat ke belakang, kemudian, sebelum gadis itu sempat menyerang lagi, kakinya sudah mencuat dengan amat cepatnya, menyambar dalam sebuah tendangan kilat ke arah dada Wulansari. Gadis ini menyambut dengan tangan kiri yang menangkis sambil memajukan kaki kanan selangkah diikuti tusukan kerisnya ke arah dada lawan yang sedang menendang.
"Dukkk....... plakkkk" Tendangan itu dapat ditangkis dari samping oleh tangan kiri Wulansari, akan tetapi tusukan keris itupun dapat ditangkis oleh tangan kiri kakek itu yang bergerak cepat. Keduanya melangkah mundur oleh getaran sebagai akibat benturan tenaga mereka,
"Heh-heh, agaknya engkau mempunyai juga sedikit kepandaian, bocah ayu. Baiklah, mari kita main-main sebentar, dan nanti kau harus menyerahkan kembali tombak pusaka bersama dirimu kepadaku, heh-heh!"
Akan tetapi, kakek itu tidak dapat tertawa terus karena tubuh Wulansari sudah berkelebat cepat dan menyerang bertubi-tubi dengan kedua tangannya. Tangan kanan menghunjamkan keris berkali-kali diseling oleh tamparan atau cengkeraman tangan kiri yang tidak kalah ampuhnya, karena tangan kiri itu telah diisi tenaga sakti sehingga setiap jari tangan yang kecil mungil itu seolah-olah kini telah berubah menjadi batang-batang baja yang kuat.
Ki Buyut Pranamaya menangkis atau mengelak sambil membalas pula dan terjadilah perkelahian yang amat seru di antara kedua orang yang tidak seimbang usia dan pengalaman itu.
Biarpun lawannya Seorang gadis muda, namun kakek itu harus mengakui bahwa dia tidak boleh main-main dan bahwa perkelahian itu merupakan pertandingan mati-matian karena lengah sedikit saja, dia akan celaka.
Sebaliknya, Wulansari juga maklum bahwa selama meninggaikan perguruan, baru sekali ini ia bertemu lawan yang luar biasa tangguhnya. Kakek ini mungkin setingkat dengan eyangnya atau gurunya, yaitu Cucut Kalasekti, maka menghadapi kakek ini terasa amat berat baginya.
"Syuuuuutt.........!" Sebuah tendangan kilat hampir saja mengenai pinggulnya dan Wulansari terkejut sekali. Apalagi ketika tendangan itu tidak berhenti sampai di situ saja, melainkan dilanjutkan dengan serangkaian tendangan kedua kaki bertubi-tubi dalam ilmu Tendangan Cakrabairawa. Pahanya terserempet pinggir kaki kiri lawan dan iapun terguling, bukan roboh melainkan sengaja menggulingkan diri untuk mengerahkan aji kekebalannya sehingga rasa nyeri di pahanya itu menghilang ketika ia bergulingan. Karena ia bergulingan di atas tanah, maka tentu saja kakek itu tidak dapat mclanjutkan serangannya yang berupa tendangan-tendangan maut dan kesempatan ini dipergunakan oleh Wulansiri untuk meloucat dan melarikan diri dengan cepat.
"Heh heh-heh, mau lari ke mana bocah manis" Lari ke ujung duniapun akan dapat kususul, heh-heh!" Kakek itu semakin tertarik dan semakin suka kepada Wulansari. Seorang gadis yang hebat, pikirnya, bukan saja cantik manis akan tetapi juga memiliki ilmu kepandaian yang cukup hebat sehingga tentu akan menyenangkan sekali kalau menjadi kekasihnya, juga pembantunya. Dan tentu saja, di samping daya tarik ini, ia tetap harus dapat merampas kembali tombak pusaka Ki Tejanirmala dari tangan gadis itu. Maka, iapun cepat melompat dengan langkah-langkah lebar melakukan pengejaran.
Wulansari maklum bahwa kalau sampai ia tersusul sebelum mencapai Kali Brantas, tentu ia akan celaka. Ia tidak akan mungkin dapat mempertahankan tombak pusaka itu, bahkan keselamatannya sendiri akan terancam. Bergidik ia kalau membayangkan apa yang mungkin akan terjadi menimpa dirinya kalau sampai ia terjatuh ke tangan kakek yang mengerikan itu. Ia harus dapat mencapai Kali Brantas karena begitu ia tiba di sungai itu, ia akan selamat, pikirnya.
Akan tetapi, Ki Buyut Pranamaya memang hebat. Ilmu kepandaiannya lebih tinggi dari pada gadis iru, maka sebelum Wulansari dapat mencapai sungai, dia sudah berhasil menyusulnya.
"Heh-heh, perlahan dulu, manis!" Tangannya menjangkau dan hampir dapat menangkap lengan Wulansari, Gadis ini cepat melompat ke samping, membalikkan tubuhnya dan menyerang lagi dengan kerisnya. Namun, sekali ini kakek itu sudah siap. Tadi dia telah mempergunakan ilmu berlari cepat yang disebut Aji Garuda Nglayang.
Setelah dekat, diam-diam dia sudah mempersiapkan ikat kepalanya, kain ikat kepala yang berwarna hitam dan siap di tangan kirinya. Begitu gadis itu membalikkan tubuhnya dan menyerang dengan keris kecil melengkung berwarna kuning emas itu, dia cepat menyambuinya dengan kebutan kain ikat kepala hitam.
"Wuuuttt.......!" Dan Wulanssri terkejut ketika tiba-tiba ada kain hitam menutup kerisnya dan ketika dicobanya menarik kerisnya kembali, keris itu telah terbungkus kain dan tidak dapat ditariknya kembali. Pada saat itu, tangan kanan Ki Buyut Pranamaya telah mencengkeram ke arah kepalanya.
Tiba-tiba Wulansari mengeluarkan suara mendesis seperti ular dan kakek itu terkejut, Suara mendesis ini membuat dadanya terasa seperti tertusuk dan tubuhnya sejenak menjadi kaku. Kesempatan itu dipergunakan oleh Wulansari untuk meloncat jauh ke belakang, lalu lari lagi. Akan tetapi, Ki Buyut Pranamaya
yang sakti mandraguna itu hanya sobentar saja terpengaruh suara mendesis itu. Ia sudah memulihkan. dirinya dan mengejar lagi, dengan lompatan Aji Garuda Nglayang sehingga sebentar saja kembali Wulansari sudah tersusul, babkan kakek itu mendahuluinya dan membalik, menghadang dengan kedua lengan terpentang lebar.
Melihat bahwa ta sudah berada di dekat tepi Kali Brantas akan tetapi kakek itu sudah menghadangnya, Wulansari menjadi marah dan nekat. Ia harus mampu menerobos dan lari ke sungai yang hanya tinggal kurang lebih limapuluh meter di depan, atau ia akan celaka. Kembali ia mengeluarkan suara mendesis hebat dan tubuhnya menubruk ke depan, didahului sinar kuning emas kerisnya, sedangkan tangan kirinya mengeluarkan bau amis ketika ia mendorong sambil mengerahkan tenaga saktinya.
Kini Ki Buyut Pranamaya sudah siap siaga. Dia maklum bahwa gadis ini tidak boleh dipandang ringan dan kalau dia lengah, dapat celaka oleh gadis itu. Maka, dia sudah mengerahkan tenaganya, menyambut serangan gadis itu dengan Aji Margaparastra yang ampuhnya menggiriskan itu.
"Desss.......!" Hawa pukulan Margaparastra menghantam ke depan. Baru terkena hantaman hawa pukulannya saja, tubuh Wulansari sudah terpelanting dan keris kecil di tangannya terlepas, Ia merasa seolah-olah seluruh tenaga di dalam tubuhnya lolos dan iapun tidak mampu bangkit kembali, kepalanya pening, dadanya sesak.
"Ha-ha-ha, akhirnya engkau menyerah juga kepadaku, bocah ayu. Di mana kau sembu-nyikan tombak itu" Ah, tentu di dalam ikat pinggangmu. Ha-ha, biar kulepaskan sama sekali ikat pinggangmu" Berkata demikian, kakek itu menggerakkan tangan kiri ke arah pinggang Wulansari. Dan ikat pinggang itu putus dan bersama terlepasnya kain yang merosot ke bawah, tombak pusaka itupun terjatuh. Wulansari terkejut dan cepat memegang kainnya agar jangan sampai telanjang.
Ki Buyut Pranamaya tertawa bergelak dan mengulur tangan, yang kiri untuk mengambil pusaka Tejanirmala, yang kanan untuk merenggut lepas kain yang membungkus tubuh bawah gadis itu.
Wulansari tidak berdaya lagi, tubuhnya masih lemas dan ia belum mampu bangkit, hanya memandang dengan mata terbelalak ngeri, isak tertahan dan kedua tangan mencengkeram kainnya.
"Heh-heh heh, ke sinilah, manis......"
Pada saat yang amat berbahaya bagi Wulansari, tiba-tiba ada bayangan orang berkelebat dan sebuah tangan menyambar denpan tamparan dahsyat ke arah kepala Ki Buyut Pranamaya.
Kakek ini terkejut sekali karena merasa betapa sambaran hawa pukulan dari tangan yang menampar itu amat kuatnva. Iapun menarik kedua tangan yang tadi hendak merampas tombak pusaka dan kain, lalu memutar tubuh ke kanan sambil mengerakkan lengan kanan menangkis.
"Desss........" Kakek itu semakin kaget karena tangkisan itu membuat tubuhnya terdorong ke belakang dan dia terhuyung. Ketika dia mengangkat muka memandang, dia menjadi marah sekali mengenai bahwa orang yang menyerangnya tadi adalah pemuda yang pernah dilawannya dalam pertempuran. Pemuda yang bernama Nurseta yang telah mengenali penyamarannya, mengenai bahwa dia adalah Wiku Bayunirada.
Hati Ki Buyut Pranamaya atau juga Wiku Bayunirada menjadi kecewa dan marah sekali. Kecewa karena gagal merampas kembali Tejanirmala, pada hal tadi sudah tinggal ambil saja, dan marah karena pemuda bernama Nurseta putera Ki Baka itu sungguh menjadi penghalang besar baginya.
"Keparat, bocah setan, engkau harus mampus di tanganku baru puaslah hatiku" bentaknya dan iapun sudah menyerang dengan dahsyat, mempergunakan tendangannya yang amat berbahaya, yaitu Aji Cakrabairawa. Terdangannya bertubi-tubi, susul menyusul kaki kiri dan kanan seolah-olah takkan pernah berhenti sebelum lawan roboh.
Nurseta sudah mengenai ilmu tendangan yang ampuh ini, maka iapun mengerahkan tenaga dan mengandalkan kecepatan gerakan tubuhnya untuk mengelak, menangkis dan membalas dengan pukulan-pukulan Bajradenta yang cukup ampuh. Tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis dan ternyata Wulansari yang tadi sudah nyaris tertawan, kini sudah menerjang lagi, mengeroyok Ki Buyut Pranamaya. Gadis itu tadi cepat membereskan kainnya, merobek tepi kain untuk dijadikan ikat pinggang, menyimpan tombak pusaka Tejanirmala, kemudian memungut kerisnya. Dan dengan penuh kemarahan ia menyerang kakek itu, membantu Nurseta walaupun tubuhnya terasa sakit-sakit akibat tendangan dan pukulan kakek itu.
Menghadapi pengeroyokan pemuda dan gadis itu, Ki Buyut Pranamaya menjadi repot juga. Dia ingin sekali dapat merampas tombak pusaka lalu melarikan diri. Namun, Wulansari yang maklum akan keinginan hati kakek titu, sudah menyembunyikan tombak pusaka dibalik kainnya, terselip diikat pinggang. Kini, gadis itu menyerang dengan nekat sehingga Ki Buyut Pranamaya menjadi repot untuk menyelamatkan diri dari pengeroyokan dua orang muda itu.
Sebetulnya, tingkat kepandaian Ki Buyut Pranamaya masih lebih unggul karena bagaimanapun juga, dibandingkan Nurseta dan Wulansari, tentu saja dia lebih matang dan lebih banyak pengalaman. Namun, ia masih tegang karena rahasianya sebagai Wiku Bayunirada telah diketahui Nurseta dan dia merasa khawatir kalau-kalau masih ada orang sakti lain di belakang kedua orang muda ini.
"Hyaaatt.......!!" Tiba-tiba Nurseta menyerangnya dengan pukulan Aji Jagad Pralaya yang amat dahsyat itu, dibarengi suara mendesis Wulansari yang juga menyerang dengan tangan kiri dan keris di tangan kanannya. Meiihat hebatnya gelombang serangan ini, kakek itu mengeluarkan suara melengking marah dan kecewa, lalu tubuhnya melayang ke samping, bukan hanya untuk mengelak, melainkan juga untuk melarikan diri, menggunakan Aji Garuda Nglayang sehingga sebentar saja tubuhnya lenyap di antara pohon-pohon.
Nurseta hendak mengejar, akan tetapi terdengar gadis itu mengeluh dan terhuyung. Nurseta terkejut, tidak jadi mengejar dan cepat dia meloncat ke dekat gadis itu dan memegang lengannya sehingga Wulansari tidak jadi roboh. Gadis itu pucat sekali dan terkulai lemas, lalu jatuh pingsan dalam rangkulan Nurseta.
Nurseta memondong tubuh Wulansaii, dibawa dekat sungai dan merebahkannya di atus rumput tebal. Ketika dia memeriksa, dia mendapat kenyataan bahwa gadis itu menderita luka membiru pada pundak kiri, juga kain yang agak tersingkap memperlihatkan paha yang menghitam dan agaknya gadis itu menderita guncangan karena hawa pukulan sakti. Nurseta menempelkan telapak tangan kirinya pada pundak dan punggung gadis itu diurutnya dengan tangan kanan sambil mengerahkan hawa sakti untuk mengusir hawa pukulan yang masih mengeram di dalam tubuh Wulansari.
Tak lama kemudian gadis itu mengeluh dan membuka matanya. Ketika ia melihat Nurseta menempelkan telapak tangan di pundak dan punggung, tiba-tiba ia bangkit duduk dan mendorong kedua lengan pemuda itu.
"Wulansari ......." Nurseta memanggil dengan lembut, khawatir kalau-kalau gadis itu akan melarikan diri lagi. Akan tetapi sekali ini, Wulansari masih pening dan lemah, sehingga ia tidak dapat melarikan diri, dan pula, agaknya ia juga tidak ingin pergi meninggaikan pemuda yang telah menyelamatkannya dari ancaman malapetaka di tangan kakek yang sakti mandraguna tadi.
"Wulan ........ apakah kau masih ingat kepadaku?" Nurseta bertanya dengan lembut, khawatir kalau-kalau gadis itu memang benar telah lupa kepadanya.
"Kakang........kakang Nurseta......." Akhirnya gadis itu berbisik, setengah mengeluh dan nampak ia menggigit bibir bawahnya menahan rasa nyeri.
Bukan main girangnya hati Nurseta mendengar gadis itu menyebut namanya, akan tetapi kegirangannya berubah kekhawatiran meiihat gadis itu menahan nyeri.
"Ah, kau terluka, Wulan......"
Wulansari mengangguk. "Aku ......aku terkena pukulannya yang ampuh, dan juga pahaku terkena tendangan ......."
"Biarkan aku membantumu untuk menyembuhkan luka-lukamu, Wulan. Menurut pemeriksaanku tadi, masih ada hawa pukulan beracun yang mengeram di dalam tubuhmu Biarkan aku mengobatimu."
Kini Wulansari tidak menolak ketika pemuda itu duduk bersila di belakangnya dan menempelkan telapak tangan di punggung dan pundaknya. Ada hawa yang hangat keluar dari kedua telapak tangan itu, memasuki tubuhnya dan mendatangkan rasa yang nyaman. Kurang lebih seperempat jam kemudian, lenyaplah rasa nyeri di dada dan pundaknya.
"Sudah cukup, kakang, nyerinya sudah hilang" katanya lembut dan Nurseta lalu menghentikan pengobatannya. Akan tetapi ketika dia mengajak Wulansari bangkit berdiri, gadis itu hampir terguling roboh kalau tidak dipegang lengannya dengan cepat oleh pemuda itu.
Sejengkal Tanah Sepercik Darah Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kenapa, diajeng .......?"
"Paha kananku, nyeri sekali......"
"Biarkan aku memeriksanya........"
"Ihh! Jangan kakang ......." Wulansari yang sudah terduduk kembali itu menarik kakinya dari jangkauan tangan Nurseta.
"Kenapa, Wulan?"
"Aku", aku malu........"
Nurseta menahan senyumnya dan berkata dengan sungguh-sungguh. "Wulansari, dalam hal seperti ini, kurasa tidak perlu kita malu-malu lagi. Aku khawatir kalau ada tulang yang patah atau otot yang rusak"
Wulansari mengangguk. Mukanya yang biasanya dingin dan aneh itu kini menjadi kemerahan dan ia lalu menyingkap kainnya perlahan-lahan, memperlihatkan bagian paha yang kehitaman. Tadi, ketika gadis itu pingsan, Nurseta sudah memeriksanya sebentar, akan tetapi dia tidak berani mencoba untuk mengobatinya karena gadis itu masih pingsan, Memeriksa dan menyentuh bagian tubuh yang biasanya tertutup itu selagi pemilik paha itu pingsan, dianggapnya tidak sopan. Kini, meiihat paha tersingkap putih mulus, Nurseta menekan perasaannya dan mengusir bayangan yang mendatangkan rangsangan, lalu memeriksa paha yang terkena tendangan itu.
"Untung kau memiliki kekebalan yang kuat, diajeng. Pahamu hanya memar saja, tidak ada tulang retak atau otot rusak. Maafkan, aku akan mengurutnya sebentar." Nurseta lalu mempergunakan jari-jari tangannya untuk mengurut, sebentar saja, lalu menutupkan kembali kain yang tersingkap. Wulansari merasa girang dan berterima kasih sekali karena pahanya juga kini tidak begitu nyeri lagi.
Mereka duduk di atas rumput tebal, berhadapan dan sejenak mereka hanya saling pandang tanpa kata-kata sampai akhirnya Wulansari menundukkan mukanya yang menjadi merah. Ia merasa serba salah tingkah dan malu, juga Nurseta merasa betapa jantungnya berdebar keras, dan kedua tangannya yang tadi dengan mantap dan tetap mengurut paha, kini malah gemetar. Terasa benar dalam hatinya betapa dia amat mencinta gadis ini.
"Wulansari, bolehkah aku bertanya?" Akhirnya Nurseta berkata lembut setelah menenteramkan jantungnya yang berdebar.
Wulansari mengangkat muka. Dua pasang mata bertemu pandang, bertaut dan akhirnya Wulansari mengangguk dan menundukkan muka. Tak kuat ia bertemu pandang berlama-lama karena sepasang mata pemuda itu demikian tajam dan jelas sekali menyatakan isi hatinya! "Boleh saja, kakangmas" jawabnya lirih.
"Ketika kau muncul membantu aku membasmi bajak sungai, kemudian kau muncul lagi dan menewaskan Jumirah, isteri Lembu Petak itu......."
"Bajak-bajak itu jahat sekali, membunuh petani yang tidak berdosa dan mengancam keselamatanmu. kakangmas, dan peremuan itu tak tahu malu, cabul dan jahat, maka aku terpaksa membunuh mereka semua!" Wulansari memotong, seolah khawatir kalau Nurseta akan menyalahkannya.
"Bukan itu maksudku, Wulan. Akan tetapi, mengapa kau lalu pergi begitu saja dan tidak mau bicara denganku" Aku khawatir sekali......"
"Mengapa khawatir, kakangmas" Apa yang kau khawatirkan?"
"Aku khawatir kalau-kalau kau tidak sudi lagi berkenalan denganku, atau mungkin kau sudah lupa kepadaku, pada hal aku......."
"Padahal bagaimana, kakang?"
"Aku....... aku selama ini....... amat merindukanmu, diajeng. Aku girang bukan main ketika melihat kau muncul, baik yang pertama kali itu atau yang ke dua kali, akan tetapi kau pergi begitu saja........"
Wulansari mengangkat mukanya, memandang. Kini perasaan malu-malu dapat diatasinya dan pandang matanya bahkan penuh dengan selidik, seolah dara ini ingin menjenguk isi hati Nurseta.
"Engkau......... kau amat merindukan aku, kakang" Benarkah itu.......?"
"Tentu saja benar, diajeng. Aku tidak biasa berbobong dan pula, untuk apa aku harus berbohong kepadamu?"
"Tapi...... kenapa kau amat rindu kepadaku, kakangmas" Kita baru satu kali saja bertemu, di padepokan Eyang Panembahan Sidik Danasura, di Teluk Prigi Segoro Wedi......."
Kembali Nurseta merasa betapa jantungnya berdebar. Dia harus berani menyatakan terus terang. Perasaan cintanya terhadap Wulansari itu demikian jelas dan sering membuatnya tidak dapat tidur, sering menggetarkan hatinya, dan terutama sekali terasa ketika ayah angkatnya, Ki Baka, menjodohkannya dengan Pertiwi. Dan kini, Wulansari bertanya kenapa ia selama ini amat rindu kepada gadis itu.
Beberapa kali Nurseta menelan ludah untuk nenenangkan hatinya, dan iapun memegang tangan Wulansari sambil berkata.
"Wulansari, pertemuan pertama itu, biarpun baru satu kali, namun telah meyakinkan hatiku bahwa aku....... aku amat cinta
kepadamu diajeng. Setelah kami berpisah, aku tidak pernah dapat melupakanmu dan aku merasa amat rindu kepadamu. Diajeng Wulansari, aku cinta padamu......."
Tangan yang dipegangnya itu mendadak saja gemetar, akan tetapi Wulansari tidak menarik tangannya yang digenggam, melainkan kini mengangkat mukanya memandang wajah Nurseta. Pemuda inipun memandangnva, dua pasang mata bertemu dan Nurseta melihat betapa dua buah mata yang jeli dan bening seperti bintang itu menjadi basah dan perlahan-lahan, beberapa butir air mata seperti mutiara menitik keluar dari pelupuk mata dan menggelinding di sepanjang pipi yang kemerahan.
"Diajeng........ kau....... kau menangis" Maafkan kalau aku menyinggung perasaan hatimu, diajeng........"
Nurseta hendak melepaskan tangan gadis itu, akan tetapi Wulansari bahkan menggerakkan tangan kirinya dan memegang tangan pemuda itu. Empat tangan mereka menjadi satu, saling genggam.
"Kakangmas........ aku ....... aku menangis karena merasa berbahagia......."
"Diajeng Wulansari.......!"
"Kakangmas Nurseta.......I"
Seperti dsgerakkan oleh sesuatu yang gaib, keduanya saling rangkul dan Nurseta mendekap kepala itu ke dadanya, kuat- kuat seolah-olah ia ingin memasukkan kepala itu ke dalam dadanya agar tidak terpisah darinya lagi. Kemudian ia menunduk, mendekatkan mukanya dan Wulansari, terdorong oleh naluri kewanitaannya, menyambut. Entah siapa yang memulai karena keduanya selamanva belum pernah mengalami hal seperti itu, akan tetapi tahu-tahu keduanya telah saling cium dengan menumpahkan seluruh kemesraan dari dalam dua hati yang saling merindukan.
Kini mereka duduk di atas batu yang panjang, berdampingan, dan lengan kanan Nurseta merangkul pundak Wulansari sedangkan lengan kiri gadis itu melingkar di pinggang Nurseta. Sampai lama keduanya berdiam diri, Wulansari menyandarkan kepalanya di bahu dan dada kekasihnya.
Angin semilir menyambut senja mempermainkan rambut halus Wulansari. Nurseta mengelus rambut di kepala itu. Rambutmu indab sekali, diajeng........"
"Benarkah........?"
Nurseta menunduk dan mencium kepala itu, "Diajeng, setelah kau dibawa pergi oleh kakek itu, yang menurut Eyang Panembahan namanya Cucut Kalasekti, lalu apa yang terjadi denganmu" Siapakah kakek yang sakti mandraguna itu sebenarnya, diajeng" Benarkah kau cucunya" Dan dari siapa pula kau mempelajari ilmu-ilmu yang hebat dan aneh itu?"
Dihujani pertanyaan itu, Wulansari tersenyum, menoleh dan menggunakan telunjuk tangannya menyentuh bibir Nurseta, sikapnya manja dan mesra sekali.
"Wah, banyak benar pertanyaanmu, kakangmas. Eyang Cucut Kalasekti itu memang eyangku, juga guruku. Akan tetapi... ah, kita sekarang harus berpisah, kakangmas. Aku khawatir kalau kakek jahat tadi datang kembali ke sini bersama teman-temannya, kita bisa celaka. Aku harus pergi sekarang"
Gadis itu'tiba-tiba bangkit berdiri. Nurseta memegang tangannya.
"Nanti dulu, diajeng. Kita baru saja bertemu, baru saja hati kita saling bertemu dan masih banyak yang harus kita bicarakan"
"Untuk saat ini, tidak ada lagi yang perlu dibicarakan, kakangmas. Cukuplah kalau aku mengetahui bahwa kau mencintaku, dan ketahuilah bahwa akupun mencintamu, sejak dulu. Mulai saat ini, aku telah menjadi milikmu dan aku bersumpah takkan sudi disentuh pria lain Kalau semua urusanmu telah beres, kuharap kau suka berkunjung ke Blambangan, menjumpai Eyang Kalasekti dan meminangku. Maukah kau, kakangmas" Maukah?"
Dengan sikap manja Wulansari mengguncang-guncang tangan pemuda itu yang dipegangnya.
"Tentu saja aku mau, diajeng, akan tetapi aku belum ingin berpisah darimu. Aku tidak ingin berpisah lagi, diajeng......."
Akan tetapi Wulansari meronta dan melepaskan diri dari rangkulan kekasihnya. "Cukup sudah, kakangmas. Kita masing-masing mengetahui bahwa kita saling mencinta! Aku harus pergi sekarang, sampai jumpa, kakang"
Gadis itupun lari ke sungai dan meloncat dari tebing yang cukup tinggi itu. Tubuhnya meluncur ke bawah ketika Nurseta mengejarnya ke tepi sungai.
"Cuppp......." Tubuh itu bagaikan sebatang anak panah memasuki air tanpa menimbulkan banyak percikan air, dan tak lama kemudian nampak ia tersembul di tengah sungai.
" Wulansari.......!"
Nurseta memanggil dan gadis itu membalikkan badan, lalu melambaikan tangan kepadanya. sambil tersenyum manis sekali.
"Wulansari, apakah kau membawa tombak pusaka Tejanirmala?" Baru sekarang pemuda itu teringat akan tombak pusaka yang tadi dirampas oleh Wulansari dari tangan Ki Buyut Pranamaya atau Wiku Bayunirada.
Gadis itu mengangkat tangan kanannya ke atas dan di tangan itu terdapat tombak pusaka Tejanirmala yang ditanyakan Nurseta.
"Diajeng, tombak itu adalah pusaka milik ayah angkatku, harap kau serahkan kepadaku agar dapat kukembalikan kepada ayah"
Wulansari menggeleng kepalanya. "Kakangma, ketahuilah bahwa satu di antara tugasku adalah mencari dan membawa pusaka ini ke Blambangan. Aku akan membawanya kesana, menyerahkannya kepada eyang. Kelak kalau kau datang meminangku, kau boleh minta kembali dari eyang dan aku akan membantumu, kakang. Nah, selamat tinggal, kakangmas Nurseta. Aku cinta padamu dan akan selalu menantimu ........!"
Sebelum Nurseta sempat membantah atau menjawab, gadis itu sudah lenyap, menyelam ke dalam air. Nurseta berdiri mematung di tepi sungai itu, mengharapkan gadis itu muncul kembali karena dia masih ingin bicara. Akan tetapi, tidak nampak gadis itu muncul sehingga akhirnya, terpaksa dia berlari kembali ke tempat pertempuran membantu pasukan Singosari yang masih bertempur melawan pasukan pemberontak.
Pasukan pemberontak yang dipimpin Mahesa Rangkah ternyata dapat digiring kembali. ke pusat sarang mereka setelah di mana-mana mereka bertemu dengan pasukan Singosari dan dipukul mundur. Akhirnya, semua sisa pasukan pemberontak berkumpul di dalam sarang mereka dan diserbu oleh pasukan besar yang dipimpin sendiri oleh Senopati Ronggolawe yang dibantu oleh beberapa orang senopati lainnya.
Pertempuran menjadi berat sebelah, apa lagi setelah Mahesa Rangkah ditinggalkan Ki Buyut Pranamaya yang amat diandalkan oleh muridnya itu. Setelah gurunya pergi, terpaksa Mahesa Rangkah melawan mati-matian, dibantu. oleh para tokoh sesat dan anak buahnya. Perang mati-matian dilakukan oleh Mahesa Rangkah yang sudah hampir putus asa itu, perlawanan yang sia-sia belaka.
Ternyata kemudian akan kepalsuan para tokoh sesat yang tadinya hendak membantu gerakan pemberontakan. Mahesa Rangkah. Setelah meiihat bahwa Ki Buyut Pranamaya melarikan diri dan melihat betapa pasukan pemberontak kewalahan menghadapi pasukan Singosari, apa lagi setelah mereka sendiri berhadapan dengan para senopati Singosari yang amat tangguh, dibantu pula oleh orang-orang gagah seperti Ki Jembros, Ki Padasgunung dan Ki Pragalbo, apa lagi di sana terdapat Nurseta yang amat sakti, para tokoh sesat itu satu demi satu lalu lenyap melarikan diri selagi masih ada kesempatan.
Memang banyak di antara mereka yang tidak sempat melarikan diri dan tewas di tangan para senopati Singosari, akan tetapi para tokoh sesat yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dapat menyusup di antara pasukan pemberontak dan menghilang Di antara mereka yang berhasil menyelamatkan diri termasuk tiga orang pimpinan Clurit Lemah Abang, yaitu Soradipo, Sorawani, dan Sorakayun, kemudian Ki Sardnlo tokoh Banyuwangi adik seperguruan Ki Baya itu, Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri yang berhasil lolos pula.
Setelah dilinggalkan oleh para pembantunya yang diandalkan itu, Mahesa Rangkah yang sudah putus asa ditinggalkan gurunya, kini menjadi semakin lemah dan repot. Namun, ia tidak meninggaikan pasukannya dan mengamuk terus dengan nekat sampai akhirnya tewaslah pemimpin pemberontak ini dalam pengeroyokan para senopati Singosari.
Pasukannyapun dibasmi hancur dan berakhirlah sudah pemberontakan Mahesa Rangkah terhadap Singosari.
Pemberontakan Mahesa Rangkah yang terjadi dalam tahun 1280 itu dapat dihancurkan tanpa banyak kesukaran oleh. Kerajaan Singosari, dan sekali ini, Kerajaan Daha di Kediri terlepas dari kaitan. Untung bahwa para jagoan Kediri sudah mendapat perintah untuk cepat meninggaikan Mahesa Rangkah sehingga Kediri tidak terlibat oleh pemberontakan yang gagal itu.
Karena jasa-jasanya terhadap Singosari dalam penghancuran gerakan pemberontakan Mahesa Rangkah, para orang gagah seperti Ki Jembros, Padasgunung, Pragalbo. dan terutama sekali Nurseta, oleh Senopari Ronggolawe diperkenalkan kepada para senopati Singosari. Dan dalam kesempatan inilah Nurseta berkenalan dengan Raden Wijaya, putera mantu dari Sang Prabu Kertanegara.
Nama pemuda ini mulai dikenal di kalangan para senopati Singosari, bahkan Raden Wijaya sendiri berkenan menghadiahkan sebatang keris kepada Nurseta, keris yang tidak begitu panjang, berbentuk naga, pangkal keris berbentuk kepala naga, dan mata keris itu lidahnya yang terjulur keluar. Nurseta menerimanya dengan girang.
Dugaan Nurseta ternyata tepat. Ketika dia. tiba di padepokan Sang Panembahan Sidik Danasura, ternyata Ki Baka memang berada di tempat itu. Hatinya menjadi girang sekali, terutama ketika meiihat betapa ayah angkatnya itu telah sembuh sama sekali akibat pukulan beracun Margaparastra. Dengan wajah berseri Nurseta memberi hormat dengan sembah kepada Ki Baka dan Panembahan Sidik Danasura yang duduk bersila di dalam padepokan itu.
"Gembira sekali hatiku meiihat kau sudah tiba di sini dalam keadaan selamat, Raden Nurseta. Dan berkat pertolongan Paman Panembahan luka di dalam tubuhku sudah sembuh sama sekali dan aku memang sengaja menantimu di sini"
"Heh-heh, melihat kau kembali dalam keadaan selamat, kami dapat menduga bahwa tentu tugas yang kau laksanakan itu telah berhasii dengan baik. Raden Nurseta, ceritakanlah tentang usaha menenteramkan keadaan dan mengatasi pemberontakan Mahesa Rangkah itu, angger"
Berkerut alis Nurseta mendengar betapa Ki Baka dan Panembahan Sidik Danasura menyebutnya "Raden" Ia cepat menghaturkan sembah dan berkata dengan lembut, namun mengandung teguran. "Bapak dan Eyang Panembahan, mengapa kalian berdua menyebut Raden kepada saya" Biasanya Eyang berdua menyebut nama saya begitu saja, kenapa sekarang harus ditambah embel-embel Raden" Sungguh tidak enak kata itu memasuki telinga. Saya mohon agar Bapak dan Eyang tidak menyebut seperti itu"
Kedua orang tua itu saling pandang lalu tertawa. "Ha-ha-ha, Raden Nurseta. Sebutan-sebutan itu hanyalah untuk memenuhi tata-susila saja! Kenapa kau menyebut Ki Baka ini dengan sebutan bapak" Karena ia bapak angkatmu. Kenapa pula kau menyebut aku Eyang Guru" Karena aku gurumu dan sepatutnya menjadi eyangmu. Dan kenapa pula kami berdua menyebutmu Raden" Karena kau adalah putera mendiang Raden Panji Hardoko, seorang pangeran dari Kediri. Siapa yang menyimpang dari tata-susila ini, dianggap tidak tahu aturan dan kami tentu saja bukan orang-orang yang tidak tahu aturan."
Kakek itu tertawa halus dan Nurseta merasa terpukul. Kenapa ia harus meributkan urusan panggilan saja" Dan apa yang dikemukakan gurunya itu memang tepat. Urusan itu sepenuhnya menjadi tanggung jawab si pemanggil, mengapa ia yang dipanggil barus meributkannya"
"Maafkan saya, Eyang, dan terima kasih atas wejangan yang menyadarkan saya." Nurseta lalu menceritakan semua pengalamannya, tentang pertempuran antara pasukan Singosari yang dipimpin oleh Senopati Ronggolawe dan Raden Wijaya, dan betapa akhirnya Mahesa Rangkah tewas dan pasukan pemberontak itu dapat dihancurkan.
"Dan saya telah dapat bertemu dengan kakek iblis yang telah merampas Ki Ageng Tejanirmala dan melukaimu, ayah"
Wajah Ki Baka berseri. "Wiku Bayunirada?"
Nurseta menggeleng kepalanya. "Namanya adalah Ki Buyut Pranamaya, Dialah yang telah merampas tombak pusaka kita"
"Tapi.....yang merampas dan memukul adalah Wiku Bayunirada, yang kedua kakinya hanya berjari empat"
Nurseta mengangguk. "Memang betul ia, ayah. Ki Buyut Pranamaya adalah guru Mahesa Rangkah dan pendukung pemberontakan itu. Tadinya sayapun tidak mengira bahwa dia adalah juga Wiku Bayunirada karena bentuk wajahnya berbeda sekali dengan yang ayah ceritakan tentang perampas pusaka itu. Akan tetapi ketika ia mendesak saya dengan tendangan-tendangan maut, nampaklah oleh saya bahwa kedua kakinya kehilangan ibu jarinya, dan tahulah saya bahwa dia adalah Wiku Bayunirada. Agaknya Ki Buyut Pranamaya pandai menyamar dan ketika dia merampas pusaka itu, dia menyamar dengan nama Wiku Bayunirada agar jangan dikenal orang lain."
"Jagad Dewa Bathara.......1 Kiranya Ki Buyut Pranamaya pula yang mempunyai ulah merampas Tejanirmala dan menggerakkan pemberontakan" Sungguh tidak tahu diri, dalam usia tua menghadapi kematian tidak mencari jalan terang namanya.........." Panembahan Sidik Danasura mengelus jenggotnya dan meng-geleng-geleng kepala.
"Lalu bagaimana, Raden" Berhasilkah kau merampas kembali pusaka itu?"
"Saya telah mengenalnya dan kami berkelahi, ayah. Ia memang sakti mandraguna sehingga saya terdesak, terutama oleh tendangan-tendangannya yang ampuh......... "
"Itulah tendangan sakti yang bernama Ajii cakrabairawa" kata Panembahan Sidik Danasura,
"Ketika saya sedang terdesak hebat, tiba-tiba muncul seorang penolong dan ia bukan lain adalah diajeng Wulansari......."
"Jagat Dewa Barbara....... ! Nini Wulansari.......?"' Panembahan itu berseru, wajahnya berseri gembira dan sepasang mata yang lembut Itu bersinar-sinar.
"Siapakah Wulansari?" Ki Baka bertanya kepada anak angkatnya karena ia belum mengenalnya.
"Diajeng Wulansari pernah menjadi murid Eyang Panembahan. Ia pergi dengan tiba-tiba, dibawa pulang kakeknva ke Blambangan dan secara tiba-tiba pula ia muncul dan bantuannya mengeroyok Ki Buyut Pranamaya menyelamatkan saya. Kemudian, dalam perkelahian selanjutnya, Diajeng Wulansari berhasil merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala dan ia membawanya pergi karena menurut keterangannya, eyangnya amat membutuhkan tombak pusaka itu dan ia memang diutus eyangnya untuk mencari pusaka itu."
"Ahh.......! Kenapa kau tidak merampasnya, Raden Nurseta?" Ki Baka menegur.
Tentu saja Nurseta merasa malu untuk men-ceritakan keadaan yang sebenarnya, betapa dia dan Wulansari telah saling jatuh cinta dan tentu saa ia tidak tega untuk merampas tombak pusaka itu dengan kekerasan dari tangan kekasihnya itu. "Tidak mungkin, ayah. la telah meloncat ke Kali Brantas dan menghilang." Nurseta tidak merasa berbohong ketika mengatakan ini.
Ki Baka terbelalak. "Apa" Ia terjun ke dalam Kali Brantas dan menghilang" Apakah ia tewas ataukah........ia siluman air?"
Terdengar Panembahan Sidik Danasura tertawa lembut. "Ha-ha, kiranya ia telah mewarisi ilmu di dalam air dari Cucut Kalasekti"
Kembali Ki Baka terkejut dan memandang kakek itu. "Cucut Kalasekti, datuk sesat yang sakti mandraguna dari Blambangan itu?"
Panembahan itu mengangguk. "Ketahuilah, Ki Baka. Ki Jembros menyelamatkan Wulansari dari bahaya tenggelam dan membawanya ke sini untuk diobati. Kemudian, selama lima tahun, sejak berusia sepuluh tahun, Wulansari belajar di sini. Ketika Ki Jembros datang hendak mengambilnya, kebetulan Raden Nurseta juga berada di sini, muncullah Cucut Kalasekti yang membawa pergi Wulansari karena dia mengaku bahwa gadis itu adalah cucunya. Nah, demikianlah. Kini, Wulansari muncul dan telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan pandai bermain dalam air sehingga ia mampu melarikan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala."
Mendengar keterangan itu, Ki Baka menarik napas panjang. Sunguh celaka, pikirnya. Tombak pusaka itu tadinya terampas oleh Ki Buvut Pranamaya yang menyamar dengan naraa Wiku Bayunirada. Setelah Nurseta berhasil menemukan kakek. itu, tombak pusaka kini terjatuh ke tangan cucu seorang datuk sesat lain yang juga amat sakti mandraguna, yaitu Cucut Kalasekti.
"Aih, sungguh berbahaya. Ketika Ki Ageng Tejanirmala terjatuh ke tangan Ki Buyut Pranamaya, pusaka itu dipergunakan untuk menghimpun kekuatan memberontak. Pusaka dapat dirampas dan pemberontakan gagal. Akan tetapi, kini pusaka berada di tangan seorang datuk lain seperti Cucut Kalasekti, tentu akan disalahgunakan lagi! Sungguh, dunia tidak akan menjadi aman sebelum pusaka itu dapat kembali ke tangan kita dan kita serahkan kepada kekuasaan yang bijaksana"
Melihat wajah yanq penuh keprihatinan dari ayah angkatnya Nurseta diam-diam merasa bersalah. Seolah-olah dia yang telah melepaskan pusaka itu ke tangan Wulansari.
"ayah, saya berjanji akan mencari pusaka Ki Ageng Tejanirmala sampai dapat. Saya akan pergi ke Blambangan."
Ki Baka mengangguk-angguk. "Memang sudah menjadi tugasmu untuk mendapatkan kembali pusaka lambang ketenteraman dan perdamaian itu, Raden. Akan tetapi, sebelum kau pergi, marilah ikut bersarmku lebih dulu, kembali ke lereng Kelud."
Ki Baka dan Nurseta lalu berpamit dari Panembahan Sidik Danasura dan Ki Baka menghaturkan terima kasih atas pertolongan kakek sakti itu yang telah menyembuhkannya dari ancaman maut karena luka pukulan Aji Margaparastra. Juga Narseta mohon doa restu dari gurunya itu yang memberkahi mereka dengan doa dan puja.
*** "Akan tetapi, ayah. Sesungeuhnya saya.....saya belum mempunyai niat untuk mengikatkan diri dengan pernikahan."
Untuk kesekian kalinya Nurseta menyatakan keberatan ketika Ki Baka menyatakan maksud hatinya untuk melamarkan Pertiwi, gadis dusun yang bermata lebar, manis dan lembut itu, setelah mereka tiba di padepokan Ki Baka di dekat puncak Gunung Kelud.
Mereka duduk berhadapan di atas tikar, duduk bersila dan kini Ki Baka menatap wajah putera angkatnya dengan penuh selidik. "Raden Nurseta, kau sudah kuanggap sebagai anakku sendiri dan satu-satunya keinginan di hatiku adalah melihat kau menikah dan aku dapat menimang cucuku. Sudah digariskan oleh Sang Hyang Wisesa bahwa dalam kehidupan hanya ada tiga perkara yang terpenting, yaitu lahir, menikah dan meninggal dunia. Suatu saat, kau pasti akan menikah dengan seorang wanita dan aku tidak menginginkan kau menikah dengan wanita yang keliru. Pertiwi adalah seorang gadis yang amat baik, lahir batin dan hal ini sudah kuketahui benar Raden. Coba katakan, apakah Pertiwi mempunyai kekurangan dan cacat-cela, dan apakah la tidak pantas untuk menjadi isterimu?"
Nurseta merasa terharu mendengar ini. Ia tahu betapa besar kasih sayang Ki Baka kepadanya dan dia membayangkan Pertiwi sebagai seorang gadis yang memang amat baik. Akan tetapi, wajah Wulansari terbayang di depan matanya, mengusir bayangan wajah Pertiwi dan ia merasa amat berat untuk mene-rima usul ayah angkatnya itu.
"Ayah, memang saya tahu bahwa Pertiwi adalah seorang gadis yang amat baik, akan tetapi........ sungguh menyesal bahwa saya tidak....... tidak mencintanya"
Ki Baka mengerutkan alisnya. "Hemmm, witing tresno jalaran soko kulino (cinta tumbuh dari pergaulan), Raden. Kalau kau sudah bergaul dengan Pertiwi, dalam waktu beberapa minggu saja, aku yakin kau akan jatuh cinta"
Nurseta merasa terdesak dan tiba-tiba ia merasa kasihan kepada ayah angkatnya. Perlu apa berbohong" Bukankah ayah angkatnya ini adalah seorang yang amat bijaksana" Lebih baik berterus terang, bahkan dia dapat mengharapkan bantuan ayah angkatnya untuk mempertimbangkan keadaannya. Ia menenangkan atinya yang berguncang, lalu berkata dengan suara yang tenang pula.
"Maaf, ayah. Sesungguhnya, sudah ada gadis yang saya cinta dengan sepenuh hati saya."
"Benarkah" Dan siapa gadis itu, kalau aku boleh mengetahuinya?"
Nurseta menggigit bibirnya. Dalam pertanyaan itu sudah terkandung kepahitan dari kekecewaan. Akan tetapi ia tidak boleh kepalang tanggung, membuat pengakuan setengah- setencah saja. "Ayah, gadis itu bukan lain adalah Wulansari."
"Ee-lha-dha-lah......! Sudah kukhawatirkan hal itu yang telah terjadi! Anakku, angger Raden Nurseta, sekali ini terpaksa aku mengatakan bahwa kau telah membuat kekeliruan"
Nurseta mengangkat muka memandang wajah ayah angkatnya itu dengan heran dan serkejut. "Bapak, kekeliruan apakah yang telah saya lakukan?"
"Pilihanmu itulah yang keliru! Anakku. memilih seorang calon isteri harus mempertimbangkan beberapa hal, sedikitnya dua hat terpenting tak boleh dilewatkan. Pertama adalah keadaan gadis itu sendiri dan ke dua. adalah keadaan orang tuanya. Gadis itu tidak diketahui asal usulnya, dan mendengar ceritanya bahwa ia membawa pergi Ki Ageng Tejanirmala, sudah mendatangkan keraguan apakah ia seorang gadis baik-baik. Kemudian kalau kita meiihat keadaan orang tuanya, lebih meragukan lagi. Ia adalah cucu dari Cucut Kalasekti, dan tahukah kau siapa Cucut Kalasekti itu" Seorang datuk sesat yang terkenal amat jahatnya, menjadi raja sekalian penjahat di daerah Blambangan! Kalau kakeknya seperti itu, mana mungkin mengharapkan cucunya adalah seorang yang baik-baik dan boleh dipercaya" Tidak, angger, terus terang saja, aku tidak setuju dengan pilihanmu itu, tidak setuju kalau kau memilih Wulansari sebagai calon isterimu."
JILID 09
"WAJAH NURSETA sebentar merah sebentar pucat. Terjadi perang di dalam batinnya. Da ingin menolak semua tuduhan dan pertimbangan ayah angkatnya, akan tetapi dia tidak tega. Ayah angkatnya telah demikian baiknya memeliharanya sejak kecil, mengasihinya seperti anak sendiri. Dan diapun tidak merasa heran kalau ayah angkatnya itu meragukan kebaikan Wulansari, karena memang dia sendiri belum yakin benar akan kebaikan gadis itu, belum ada bukti buktinya sehingga sukar baginya untuk membela Wulansari. Wulansari kini telah menjadi seorang gadis yang sakti mandraguna, makin cantik menarik, dan kalau dia mau berterus terang, Wulansari juga kini menjadi seorang gadis yang berbati keras dan ganas, tidak ragu untuk membunuhi orang begitu saja seperti yang pernah ia lakukan terhadap para bajak sungai dan terhadap Jumirah. Sebaliknya, ayah angkatya sudah tahu benar akan watak Pertiwi"
"Bagaimana, angger" Dapatkah kata-kataku tadi kau terima, ataukah kau masih dapat menunjukkan bahwa pendapatku tentang Wulansari tadi salah dan hendak membela gadis itu?"
Dia menggeleng kepala. "Tidak, ayah. Terus terang saja, saya sendiri juga masih ingin menyelidiki keadaannya yang sesungguhnya kalau saya mencari pusaka kita itu di Blambangan"
"Wah, sudah jelas, bukan" Pertiwi jauh lebih baik dan lebih meyakinkan untuk menjadi seorang isteri yang baik"
"Akan tetapi........ bagaimana kalau ia tidak suka kepada saya, ayah" Tidak seperti Wulansari yang mencinta saya"
Ki Baka tertawa. "Hahahi, Pertiwi amat mengagumimu dan cinta kepadamu, Raden. Hal ini kuketahui benar semenjak ia bertemu denganmu. Karena itu, jangan kau khawatir dan sekarang juga kita berkunjung kepada orang tuanya dan mengajukan pinangan"
Nurseta tidak dapat mengelak lagi, tidak berani membantah. Ki Baka telab melimpahkan kebaikan kepadanya dan belum pernah dia membalas orang tua ini. Kalau sekarang dia menolak, tentu Ki Baka akan menjadi berduka sekali dan hal itu dianggapnya tidak semestinya. Biarlah, dia akan membalas segala kebaikan Ki Baka dengan mentaati permintaannya ini.
Nurseta tidak berani membantah dan dia hanya lkut saja ketika Ki Baka mengajaknya berkunjung ke dusun itu, ke rumah Ki Purwoko, ayah Pertiwi yang tinggat di dusun Sintren, di lereng Gunung Kelud. Kedatangan mereka tentu saja disamhut penuh pmghormatan oleh Ki Purwoko, isterinya dan puterinya dan mereka dijamu seperti dua orang tamu kehormatan.
Ketika pinangan diajukan, tentu saja keluarga itu menyambutnya dengan penuh kebanggaan dan kegembiraan, dan Pertiwi, tanpa ditanya dua kali, sudah lari sambil membuang kerling ke arah Nurseta dan tersenyum manis, bersembunyi ke dapur rumah! Ketika ia dibujuk lbunya untuk meugeluarkan hidangan dan minuman, ia telah berganti pakaian baru dan bersisir rapi, dan dengan sikap malu-malu, namun menambah keayuannya, ia menghidangkan makanan dan minuman itu kepada dua orang tamunya.
Ketika mereka meninggalkan dusun Sintren. Nurseta berkata kepada Ki Baka, suaranya lembut namun mengandung ketegasan. "Ayah, saya sudah memenuhi keinginan hati ayah, akan tetapi harap ikatan jodoh ini tidak dilangsungkan pernikahan dengan tergesagesa. Saya masih mempunyai janji dan tugas, yaitu saya akan mencari Ki Ageng Tejanirmala sampai berhasil membawa pulang pusaka itu. barulah saya akan mau melangsungkan pernikahan. Sebelum itu, harap ayah maafkan, saya belum bersedia untuk melakukannya"
Ki Baka memandang anak angkatnya, Diam-diam ada juga kekhawatiran di dalam hatinya. 'Kau hendak pergi ke Blambangan, Raden" Dan dapatkah kupercaya bahwa kau tidak akan terpikat oleh wanita lain dan melupakan ikatan perjodohan dengan puteri Ki Purwoko di lereng Kelud?"
Nurseta mengerutkan alisnya. "Sejak kecil saya menerima gemblengen dan petunjuk dari ayah bahwa bagi seorang satria, kehormatan lebih berharga dari pada nyawa. Saya sudah berjanji dan hanya kematian yang dapat membuat saya ingkar janji terhadap keluarga calon isteri saya di dusun Sintren"
"Bagus! Tenanglah kini naitku, Raden. Kapan kau hendak berangkat?"
"Secepatnya lebih baik, ayah. Hari ini juga saya akan berangkat" Setelah tiba di pondok Ki Baka. Nurseta lalu mengemasi pakaian bekalnya untuk perjalanan yang jauh itu, lalu, pamit dan mohon doa restu dari Ki Baka yang melepas kepergiannya dengan hati lapang. Bagaimanapun juga, dia merasa yakin bahwai anak angkatnya itu tidak akan ingkar janji terhadap ikatan jodoh itu,
*** Rumah itu besar dan angker, seperti sebuah istana tua yang menyendiri, berdiri bagaikan seorang raksasa bertapa di tempat sunyi itu, di lembah Kali Setail sebelah utara Rumah besar kuno itu tidak mempunyai tetangga karena tempat itu jauh dari pedusunan, dan dukuh yang paling dekat adalah dukuh Benculuk, masih jauh di sebelah utaranya, terpisah oleh daerah yang liar berhutan dan berawarawa.
Bagi orang yang belum mengenal daerah ini tentu akan merasa ngeri melihat rumah besar yang nampak sunyi tak berpenghuni itu, akan mengira bahwa rumah itu tentulah rumah setara atau rumah orang jaman dahulu yang kini sudah tidak dipergunakan lagi dan menjadi tempat tinggal iblis dan setan penjaga hutan bukit dan sungai. Akan tetapi bagi mereka yang mengenal daerah ini, rumah besar itu lebih mengerikan lagi. Bahkan mereka, orang-orang sekitar daerah Blambangan dan Banyuwangi, tidak ada yang berani memasuki daerah lembah Kali Setail di mana terdapat rumah Itu. Semua orang tahu belaka, atau pernah mendengar bahwa rumah besar itu adalah tempat tinggal Ki CuCut Kalasekti, seorang kakek yang selain sakti mandraguna, juga berwatak aneh dan dapat berbuat luar biasa kejamnya terhadap siapapun juga. Ki Cucut Kalasekti terkenal sebagai datuk sesat yang ditakuti penjahatpenjahat biasa, seperti perampok, bajak sungai, maling dan sebagainya, merasa ngeri untuk bertemu dengan datuk ini! Salahsalah, sekali tampar atau sekali tendang saja nyawa mereka akan melayang kalau kakek itu sedang marah.
Memang ada yang kadang kadang mernasuki daerah itu dan berkunjung ke rumah besar, akan tetapi mereka ini adalah orang-orang yang sudah mempunyai hubungan, misalnya mereka yang datang untuk memenuhi pesanan keperluan seharihari dari para pembantu rumah besar itu. Dan mereka ini tidak pernah diganggu, bahkan tidak pernah bertemu muka dengan Ki Cucut Kalasekti. Yang mereka kenal hanyalah dua orang wanita tua yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah besar itu, dan mereka mengenal pula seorang gadis cantik jelita yang bernama Wulansari, cucu Ki Cucut Kalasekti yang kadang-kadang menemui mereka kalau mereka datang mengantarkan telur, daging, sayursayur dan sebagainya lagi.
Memang, rumah besar menyeramkan itu adalah tempat tinggal Ki Cucut Kalasekti. Sudah puluhan tahun dia bertapa seperti menyembunyikan diri di rumah besar itu, tanpa teman seorangpun. Hanya kadang-kadang saja dia keluar dan setiap kali dia keluar rumah, sudah pasti terjadi sesuatu yang mengerikan dan hebat di sekitar daerah Blambangan atau Banyuwangi. Tidak ada perbuatan jahat yang bagaimanapun dipantang oleh datuk ini. Benda apapun yang dikehendakinya, wanita manapun yang disukainya, milik orang atau bukan, bahkan barang milik seorang adipati sekalipun, atau wanita isteri orang, pasti takkan terlepas dari tangannya. Dan setiap kali ada yang berani mencoba menghalanginya, tentu orang itu akan tewas secara mengerikan.
Akan tetapi, terjadi perubahan semenjak kurang lebih lima tahun yang lalu dalam kehidupan Ki Cucut Kalasekti. Pada suatu hari, dia pulang bersama seorang gadis remaja, yaitu Wulansari dan gadis yang diaku sebagai cucunya itu tinggal bersamanya di rumah besar itu. Atas permintaan Wulansari pula maka Ki Cucut Kalasekti lalu mempergunakan dua orang wanita pembantu, dan semenjak itu, rumah itu nampak lebih bersih, dan ada beberapa orang langganan mengantarkan barangbarang kebutuhan mereka. Anehnya, biarpun tinggal di rumah terasing, temyata Ki Cucut Kalasekti memiliki banyak uang sehingga Wulansari tak pernah kekurangan uang untuk membeli segala keperluan rumah tangga itu.
Tentii akan mengherankan hati orang lain kalau melihat betapa sikap Ki Cucut Kalasekti terhadap gadis itu. Biasanya, orang sakti ini amat keras dan tidak pernah mau mengalah, juga sombong dan kasar. Namun, terhadap Wulansari, cucunya, dia bersikap manis dan sabar sekali, bahkan dengan teliti dia mulai menggembleng gadis itu dengan ilmuilmunya vang aneh dan menggiriskan. Karena sikap yang amat baik ini, Wulansari juga merasa suka kepada kakeknya yang baik kepadanya itu, apa lagi karena eyangnya itu mengajarkan ilmuilmu yang hebat kepadanya. Untuk ilmu bermain di dalam air, Ki Cucut Kalasekti membawa gadis itu ke Teluk Pangpang dan di tempat yang sunyi itu, di antara gulungan ombak Selat Bali yang kadang-kadang menggelora dan sebesar bukit, gadis itu digembleng dengan ilmu bermain di dalam air laut seperti seekor ikan saia !
Di bagian depan kisah ini telah diceritakan betapa Ki Cucut Kalasekti membawa lari Wulansari dari Teluk Prigi Segoro Wedi secara paksa, dan tak seorangpun dapat menghalanginya, bahkan Panembahan Sidik Danasura juga tidak berdaya karena dia melarikan Wulansari melalui lautan. Setelah berhasil melarikan Wulansari, kakek itu langsung mengajak Wulansari menuju ke timur, daerah Blambangan.
Mulamula Wulansari memang ketakutan dan tidak percaya kepada Ki Cucut Kalasekti, akan tetapi kakek itu mernbujuk dengan kata-kata halus dan sikap yang ramah dan baik sehingga akhirnya gadis itu percaya bahwa kakek itu memang eyangnya dan bersikap amat baik kepadanya.
"Eyang, aku tidak ingat lagi bahwa engkau adalah eyangku, juga aku tidak ingat lagi siapa adanya orang tuaku. Bagaimanakah aku sampai dapat berada di tempat yang jauh itu, mendapat kecelakaan, perahu yang kutumpangi terbalik dan aku hampir saja tewas kalau tidak ditolong oleh Ki Jembros dan Eyang Panembahan Sidik Danasura" Dan mengapa baru sekarang eyang datang mencariku" Mengapa pula eyang datang dan melarikan aku, tidak terang terangan saja minta kepada Eyang Panembahan yang tentu akan mengijinkan aku ikut pergi bersama eyangku sendiri?"
Hujan pertanyaan dari Wulansari ini disambut dengan tertawa bergelak oleh Ki Cicut Kalasekti. Mereka sedang berhenti melepaskan lelah di daratan, di tepi laut dan membuat api unggun di pantai itu. Kakek itu dengan kesaktiannya telah dapat membunuh beberapa ekor burung camar dengan sambitan batu dan memanggacg dagibg burung di api unggun.
"Wah, haha ha, pertanyaanmu seperti hujan datangnya! Ketahuilah, cucuku yang manis. Engkau adalah seoraog anak yatimpiatu, ayah ibumu tewas ketika mereka membantu gerakan perjuangan Ki Baya rrsetawan Singosari. Ayahlbumu tewas oleh para senopati di Singosaro, ingat hal ini baik-baik. Semua senopati Singosari adalah musuhmusuhmu. Engkau sendiri dilarikan seorang musuh dari Singosari, entah siapa. Dan mungkin engkau dilarikan dengan perahu di lautan sehingga engkau tibi di tempat ketika perahu itu terguling dan engkau diselamatkan Ki Jembros dan Panembahan Sidik Danasura. Ketika itu, aku sedang bertapa dan tidak mendengar tentang nasib ayah ibumu dan nasibmu. Ayahmu adalah mantuku, ibumu adalah anakku. Ketika aku menghentikan tapaku, baru aku mendengar bahwa beberapa tahun yang lalu orang tuamu tewas dan engkau dilarikan orang. Aku lalu mulai mencarimu dan akhirnya aku mendengar bahwa engkau berada di padepokan Panembahan Sidik Danasura. Aku mengenal siapa dia, dan karena dia amat sakti apa lagi di sana masih ada Ki Jembros, maka aku terpalsa melarikanmu, cucuku"
"Tapi, Eyang Panembahan adalah seorang yang berhati mulia. Kalau eyang datang menemuinya dan menerangkan duduknya perkara, tentu dengan senang hati beliau akan mengembalikan kepadamu"
"Hohohohaha ! Engkau lupa bahwa kita adalah musuhmusuh Kerajaan Singosan, ayah ibumu tewas di tangan para senopati Singosari. Tahukah engkau siapa Panembahan Sidik Danasura dan siapa pula Ki Jembros" Mereka adalah tokohtokoh yang setia kepada Singosari dan kalau mereka melihat aku, tentu mereka akan berusaha membunuhku yang dianggap musuh besar!"
Demikianlah, Wulansari lalu mengikuti kakeknya menuju ke rumah besar yang menyeramkan itu. Ia amat disayang oleh Ki Cucut Kalasekti, maka iapun menganggap bahwa kakeknya itu seorang yang amat baik dan iapun berlatih ilmu kedigdayaan dengan amat tekun. Cerita kakeknya tentang ayah ibunya yang terbunuh oleh para senopati Singosari membuat gadis ini menjadi bingung dan hal ini merubah wataknya menjadi dingin dan ganas. Apa lagi karena kakeknya selalu membangkitkan dendam sakit hati terhadap Singosari yang dianggapnya pembunuh kedua orang tuanya.
Dalam keadaan seperti itulah Nurseta menjumpai gadis itu, ketika Wulansari menerima tugas dari kakeknya untuk menyeltdiki, tidak mencampuri, pemberontakan Mahesa Rangkah, dan kalau mungkin untuk mencari dan merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejenirmala.
Dapat dibayangkan betapa gembira rasa hati Wulansari ketika ia mendapat kenyataan bahwa Nurseta, pemuda yang selalu dikenang dan dirindukannya itu, mencinta dirinya! Dan lebih gembira lagi karena ia berhasil merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala seperti dipesan guru atau juga kakeknya. Setelah berpisah meninggalkan Nurseta yang telah menjadi kekasihnya, gadis ini lalu melakukan perjalanan secepatnya pulang ke Blambangan.
Tentu saja kedatangannya disambut gembira oleh ki Cucut Kalasekti. Ketika kakek ini menerima tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala, dia mengamati tombak itu dan setelah merasa yakin bahwa tombak itu adalah tombak pusaka aseli, dia mencium tombak itu, mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala dan diapun menari-nari saking girangnya.
"Bagus, bagus sekali! Engkau memang hebat, Wulansari cucuku yang manis! Banyak tokoh sakti memperebutkan pusaka ini tanpa hasil, dan kini engkau cucuku yang manis mampu menguasainya! Hahaha, sekarang kita akan menjadi orang-orang mulia, menjadi orang-orang yang kaya raya. Hahaha!"
Melihat kakeknya menari-nari seperti anak kecil itu, Wulansari terbelalak keheranan. Kakeknya adalah seorang yang amat sakti, berusia sudah tua dan seorang ahli tapa, akan tetapi sekarang menari-nari seperti anak kecil diberi kembang gula atau seorang yang kesurupan setan. Kalau orang lain yang melihat kakek itu, tentu akan menjadi seram. Kakek itu mukanya kebiruan, bentuk mukanya seperti seekor ikan dengan moncong meruncing, dan tubuhnya demikian dekil dan penuh keriput sehingga kelihatannya seperti bersisik. Jubahnya adalah jubah pertapaan berwarna kuning. Dan kini dia menari-nari berlenggak-lenggok girang sekali.
"Eyang, apa yang eyang maksudkan" Bagaimana tombak pusaka ini akan dapat membuat kita menjadi orang mulia dan kaya raya?"
Kakek itu masih tertawa-tawa, akan tetapi tidak menari-nari lagi ketika menjawab sambil menyimpan tombak pusaka itu ke balik jubahnya. "Tombak pusaka ini kalau kubawa ke Kediri dan kupersembahkan kepada Sang Prabu Jayakatwang dari Kerajaan Dhaha, tentu akan ditukar dengan harta yang amat banyak bahkan kedudukan yang tinggi, sedikitnya adipati atau bupati yang menguasai suatu daerah, hahaha!"
"Akan tetapi, eyang. Aku merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala ini untukmu, bukan untuk raja di Kediri!"
"Benar, dan akulah yang akan mendapat untung besar, termasuk juga engkau. Apa artinya kedudukan tinggi, kemuliaan dan harta benda bagiku, kalau bukan untukmu, cucuku" Engkau akan menjadi seorang puteri bangsawan, cucu seorang adipati, kaya raya dan dhormati, hahaha. Dan engkau kelak hanya pantas berjodoh dengan seorang pangeran atau raja, atau adipati!"
"Akan tetapi, eyang. Tombak pusaka itu hanya kupinjam saja, dan sepatutnya dikembalikan kepada pemiliknya"
Tawa itu segera lenyap dan wajah yang menyeramkan itu kini berubah kemerahan, sepasang mata yang besar seperti mata ikan itu mendelik "Apa" Pinjam saja" Dikembalikan" Apa maksudmu?"
"Begini, eyang. Tombak pusaka itu milik ayah dari kakangmas Nurseta yang dirampas oleh Ki Buyut Pranamaya, yaitu guru dari Mahesa Rangkah yang memberontak terhadap Singosari. Di dalam pertempuran, kakangmas Nurseta berebutan pusaka itu dengan Ki Buyut Pranamaya. Aku membantu kakangmas Nurseta dan aku berhasil merampas tombak pusaka ini dan kubawa lari, eyang. Aku hanya pinjam saja dan pusaka ini harus dikembalikan kepada kakangmas Nurseta" kalau dia datang ke sini"
"Dia akan datang ke sini?" Kakek itu memandang ke luar dan nampaknya khawatir. "Siapa sebetulnya Nurseta itu?"
"Eyang pernah berjumpa dengan dia, ketika eyang hendak melarikan aku dari Teluk Prigi Setoro Wedi dahulu itu. "
"Ah, bocah nekat itu?"
"Benar, eyang. Dia adalah murid Eyang Panembahan Sidik Danasura"
"Mau apa dia datang ke sini?"
Setelah hidup bersarna kakeknya, Wulansari tak pernah menyembunyikan rahasia hatinya maka kinipun dengan jujur ia berkata, "Dia datang untuk meminang aku, eyang. Kami sudah saling mencinta"
"Pouahh........!" Kakek itu meludah, "Saling mencinta" Enak sajal Engkau adalah seorang calon puteri adipati. Tidak mungkin sembarang orang saja meminangmu!"
"Tapi, eyang......."
"Sudahlah, Wulansari. Urusan itu kita selesaikan kelak saja kalau dia sudah datang" kata Ki Cucut Kalasekti dengan cerdik, karena dia tahu akan kekerasan hati cucunya itu. "Sekarang, yang terpenting kita harus segera pergi ke Kediri, mengbadap Sang Prabu di Dhaha. Bawalah bekal pakaianmu yang terbaik, kita berangkat sekarang juga"
Mendengar ucapan kakeknya yang agaknya tidak berkeras menolak Nurseta, Wulansari tidak membantah. Dia harus dapat dibujuk agar suka menerima kakangmas Nurseta, pikirnya, dan untuk itu, kakeknya harus ditaati perintahnya, disenangkan hatinya Ia lalu pergi berkemas dan pada hari itu juga, berangkatlah kakek dan cucunya itu menuju ke pantai karena Ki Cucut Kalasekti lebih suka melakukan perjalanan dengan perahu, melalui sepanjang pantai laut selatan. Tidak sembarang orang berani melakukan perjalanan dengan perahu seperti ini karena laut selatan terkenal dengan ombaknya yang dahsyat Namun, kakek dan cucu itu sama sekali tidak merasa gentar, bahkan semakin besar ombak mengalun dan mempermainkan perahu mereka, keduanya merasa semakin gembira. Dengan cekatan sekali, mereka memainkan dayung dan menguasai perahu itu sepenuhnya, meluncur di atas ombak yang kadang-kadang setinggi bukit itu! Permainan itu sungguh berbahaya sekali, bercanda dengan maut. Para nelayan, betapapun pandainya dan penuh pengalaman, tidak akan berani menentang maut seperti ini. Perahu mereka tentu akan dihempaskan ke batu karang oleh ombak yang dahsyat dan akan hancur berkeping-keping bersama tubuh mereka. Namun, Ki Cucut Kalasekti dan Wulansari memiliki tenaga sakti yang kuat sehingga mereka dengan mudahnya dapat menguasai petahu sehingga tetap berada di atas air. Sedikit saja dayung mereka menyentuh permukaan air, perahu mereka itu sudah meloncat ke atas dengan ringannya, mengatasi lidah-lidah ombak. Mereka berdua menuju ke barat, ke arah pantai Kerajaan Dhaha atau Kediri.
*** "Kakangmas Nurseta.........I"
"Eh, engkaukah itu diajeng Pertiwi........?"
"Nurseta yang turun dari padepokan Ki Baka ketika hari masih pagi sekali, melihat gadis itu muncul dalam keremangan pagi buta dan tahulah dia bahwa gadis itu agaknya memang menghadangnya di situ sejak masih gelap tadi. Dengan langkah perlahan dan sikap malu-malu Pertiwi mendekat. Kaku dan canggung rasanya menghadadapi pemuda ini yang biasanya dianggapnya sebagai seorang pemuda bangsawan, yang disebutnya raden, dan kini ia menghadapinya sebagai seorang tunangan, seorang calon suami. Dikuat-kuatkan hatinya untuk menghadang di situ, sejak ayam belum berkokok tadi, betapapun canggung dan malunya, karena di sudut hatinya, ia merasa amat berat ditinggalkan pemuda calon suaminya ini yang sejak dahulu telah dipandangnya dan dikenangnya dengan hati penuh kagum.
"Kakangmas Nurseta, aku mendengar....., kakangmas hendak........ hendak pergi jauh
sekali?" "Hemm, bagaimana gadis ini dapat mendengar bahwa dia hendak pergi ?" Nurseta maklum bahwa tentulah ayah angkatnya, Ki Baka yang memberitahukan. Siapa lagi kalau bukan ayah angkatnya yang tahu akan niatnya untuk pergi jauh ke Blambangan "
"Benar, diajeng Pertiwi. Aku hendak pergi jauh ke timur, ke Blambangan"
"Ahh........I Tentu amat jauh sekali dan ........ amat lama sekali, kakangmas........"
"Ya, jauh dan mungkin lama, diajeng. Akan tetapi aku melaksanakan tugas yang amat penting, dan aku tidak akan pulang sebelum. tugas itu selesai, diajeng Pertiwi"
Gadis itu menundukkan mukanya, menahan keharuan dan Kedukaan hatinya, bahkan menahan air matanya "Aku tahu....... aku mengerti" ia mengangguk-angguk, "dan aku........aku akan menantimu dengan setia, kakangmas Nurseta"
Tersentuh rasa bati Nurseta. Pemuda ini memang memiliki perasaan yang amat peka.
Gadis ini seorang gadis pegunungan yang polos, jujur dan gadis seperti ini memiliki cinta kasih dan kesetiaan yang tiada bandingnya. Sungguh kasihan kalau dia harus menipu seorang sadis seperti Pertiwi. Sebaiknyalah kalau dia berterus terang terhadap gadis ini, dari pada kelak menyakiti hatinya. Lebih baik pahit sekarang namun jujur. Pahit di muka menjadi jamu, sebaliknya pahit di belakang kelak akan menjadi penyakit, pikirnya dengan hati tetap.
"Tentu saja, diajeng Pertiwi. Kita sudah bertunangan, sudah teutu engkau akan setia kepadaku dan akupun akan setia kepadamu. Setelah selesai tugasku, sudah pasti aku akan kembali dan melangsungkan pernikahan kita. Akan tetapi, ada suatu pengakuan yang kuharap engkau akan dapat menerimanya dengan hati lapang, diajeng. Siapkah engkau menerima, pengakuanku, betapapun pahitnya hal itu bagimu?"
Pagi hari yang remang-remang itu tidala mampu menyembunyikan kilatan sepasang mata yang jernih itu ketika Pertiwi mengangkat muka, membelalakkan matanya mengamati wajah pria yang telah meruntuhkan hatinya. Ada sesuatu dalam kata kata dan sikap calon suaminya itu yang membuat hatinya merasa tegang dan tidak nyaman.
"Pengakuan apakah itu, kakangmas" Jangan meragu, katakanlah. Aku telah menjadi milikmu lahir batin, apapun yang kau kehendaki, bahkan selembar nyawa inipun kalau kau minta akan kuserahkan dengan hati dan tangan terbuka penuh kerelaan"
Nurseta memejamkan matanya. Bukan main gadis ini, polos dan murni! Bagaimana mungkin dia akan menipunya" Tidak, dia harus berterus terang karena gadis seperti ini berhak penuh untuk mengetahui segalanya. Dia harus mengbadapi kepolosan dan kemurnian gadis ini dengan kejujuran pula.
"Diajeng Pertiwi, ketahuilah bahwa perjodohan kita terlaksana karena kehendak ayahku, karena aku harus mentaati kehendak beliau. Sesungguhnya, diajeng, walaupun aku merasa kagum, suka dan hormat kepadamu, namun terus terang saja aku.......... tidak cinta
padamu, diajeng, karena sudah ada gadis lain yang menempati hatiku" Nurseta berhenti sebentar, melihat betapa leher gadis itu terkulai dan mukanya menunduk dalam sehingga dia tidak dapat melihat bagaimana keadaan wajah gadis itu. Maka disambungnya cepat, "Maafkan aku, aku harus berterus terang padamu, aku tidak ingin menipumu dan aku ingin jujur. Engkau berhak mengetahui keadaan hatiku, diajeng. Maafkan aku......"
Sampai lama mereka berdiam diri. Pertiwi masih menundukkan mukanya dan kini nampak oleh Nurseta betapa ada air mata menetes, namun gadis itu tetap bertahan, tidak terisak. Agaknya gadis itu menerima tusukan batin yang dipertahankan sekuat mungkin. Kemudian, akhirnya ia menganggkat mukanya dan terkejutlah Nurseta. Muka itu demikian pucat! Walaupun cuaca masih remang-remang, namun dia melihat perubahan yang besar itu, dan sepasang mata yang basah itu nampak demikian sayu.
"Kakangmas Nurseta, pernahkah engkau melihat sebuah kelenting (tempat air) air jatuh dan pecah berkeping-keping " Seperti itulah perasaanku, hancur luluh tak mungkin utuh lagi, hanya bukan air yang mengalir keluar melainkan darah. Akan tetapi biarlah. Hanya aku ingin tahu, kalau memang demikian, kenapa engkau mau ketika Paman Baka mengajakmu meminang aku?"
"Sudah kukatakan tadi, diajeng, aku menerima kehendak Ayah Baka karena hendak membalas budi kebaikan beliau. Akan tetapi, aku telah menerimamu sebagai calon isteri, telah meminangmu dengan sah. Oleh karena itu, bagaimanapun juga, aku akan setia dan akan menetapi janji, kelak kalau sudah selesai urusanku, aku pasti akan kembali dan melangsungkan pernikahan kita"
Sepasang mata itu terbelalak. "Pernikahan ........ tanpa........ tanpa........ cinta........?"
Kembali Nurseta merasa terharu. "Apa boleh buat, diajeng. Agaknya Sang Hyang Tunggal sudah menghendaki demikian......."
Tiba-tiba Pertiwi mengangkat kedua tangan ke atas, memegangi kepalanya dan iapun menjerit, "Tidaaaak....... tidaaaak.......!" dan iapun lari pergi dari situ.
Nurseta yang merasa iba dan terharu sekali, menggerakkan kaki hendak mengejar, namun ditahannya. Tidak ada gunanya, pikirnya, bagaimanapun juga, dia tidak boleh menghibur gadis itu dengan kepura-puraan. Biarlah, kenyataan pahit itu akan menjadi obat bagi Pertiwi. Dan diapun melanjutkan perjalanannya turun dari Pegunungan Kelud.
Pertiwi berlari terus sampai kakinya tersangkut rumput alang-alang (ilalang) yang tebal dan iapun terjerembab, jatuh terduduk di atas rumput ilalang. Dan di sini ia menangis tersedu-sedu, membiarkan semua perasaannya hanyut melalui air mata. Kecewa dan duka menghunjam-hunjam ulu hatinya dan tangisnya menjadi sesenggukan. Teringat ia betapa nasib buruk menantinya. Menikah dengan pria yang dipuja dan dicintanya, akan tetapi pria itu tidak mencintanya! Teringat ia akan bujukan ibunya, ibu tiri yang baru dua tahun dinikahi ayahnya, seorang janda tanpa anak dari dusun tetangga, Ibu tirinya membujuknya agar suka menjadi isteri putera lurah di dusun asal ibunya, Untuk apa menjadi isteri putera Ki Baka, demikian kata ibunya. Biarpun katanya bangsawan akan tetapi hidupnya miskin, untuk makan saja sukar ! Sebaliknya, kalau menjadi isteri anak lurah yang kaya raya itu, tentu akan hidup mulia dan serba kecukupan. Dan tentu saja ia menolak bujukan ibunya, karena ia tidak mencinta putera lurah itu. Ia hanya mencinta Nurseta, akan tetapi sekarang" Nurseta telah meminangnya dan ia merasa seperti diayun di surgaloka, di taman sorga yang indah dan membahagiakan. Hanya untuk mengalami kehancuran di pagi buta ini! Nurseta tidak mencintanya! Nurseta mencinta gadis lain. Nurseta hanya memperisteri ia karena hendak membalas budi Ki Baka. Ah, semua kenyataan itu menghantamnya bertubi-tubi, seolah-olah ada yang meneriakkannya berulang kali.
Gadis yang sedang tenggelam dalam duka ini sama sekali tidak tahu bahwa ada sepasang mata mengamatinya dari balik semak-semak Sepasang mata yang tajam dan bersinar-sinar penuh gairah dari sebuah muka yang tampan. Dan pemilik mata itu, seorang pria berusia hampir lima puluh tahun yang tampan dan berpakaian mewah, tersenyum-senyum.
*** "Ki Ageng Tejanirmala........! Ya Jagad Dewa Bathara.......! Ha haha, benar ini Ki Tejanirmala. Sembah sujud dan terima kasihku kepada Sang Hyang Wisesa !" Sang Prabu Jayakatwang, raja di Kediri itu berulang kali mengucap syukur dan menjunjung tinggi tombak pusaka itu di atas ubun-ubun kepalanya, tertawa-tawa dan tersenyum penuh kepuasan ketika dia menerima persembahan Ki Cucut Kalasekti yang datang menghadap kepadanya bersama Wulansari, cucunya.
"Hahaha, Ki Cucut Kalasekti! Pusaka ini memang benar Ki Ageng Tejanirmala dan kau menyerahkan pusaka ini kepadaku ?"
"Benar sekali, Sribaginda. Hamba sengaja datang dari Blambangan untuk menghaturkan pusaka ini kepada paduka, agar dengan pengaruh pusaka Ki Ageng Tejanirmala ini paduka dapat menaklukkan dan memerintah dunia dengan bijaksana"
Sang Prabu Jayakatwang mengangguk angguk, akan tetapi alisnya berkerut dan matanya menyambar dengan penuh kecerdikan. "Paman Cucut Kalasekti, kami telah mendengar bahwa
kau adalah seorang sakti dari Blambangan akan tetapi mengapa kau menyerahkan pusaka ini kepada kami yang menjadi raja di Dhaha ?" Sambil berkata demikian, sepasang mata yang cerdik dari Sang Prabu Jayakatwang mengamati wajah kakek itu penuh selidik.
"Ampunkan hamba, gusti. Sesungguhnya, tidak ada pamrih Iain dalam hati hamba selain ingin menghambakan diri dan berbakti kepada paduka yang hamba anggap satu-satunya junjungan yang paling bijaksana dan tepat untuk memerintah dunia"
Kembali Sang Prabu Jayakatwang mengangguk-angguk. Sebagai seorang yang berpengalaman, diapun maklum bahwa dengan kata-kata "ingin mengabdi dan berbakti", kakek ini mengharapkan kedudukan sebagai imbalan jasanya. Hal ini baik sekali, pikirnya. Selain memang sudah sepatutnya kalau pusaka sehebat Ki Ageng Tejanirmala itu ditukar dengan kedudukan dan kemuliaan, juga dia sudah mendengar bahwa Ki Cucut Kalasekti merupakan seorang jagoan yang sakti mandraguna dan tenaganya tentu saja amat berguna bagi Kediri.
"Baiklah, Paman Cucut Kalasekti, kami berterima kasih sekali kepada kau. Pusaka Ki Ageng Tejanirmala kami terima dan kami akan mengangkat kau menjadi seorang adipati, akan tetapi dengan satu syarat"
Bukan main girangnya rasa hati Ki Cucut Kalasekti mendengar bahwa dia akan diangkat menjadi seorang adipati, akan tetapi perasaan orang ini disimpannya dengan baik. dan wajahnya nampak biasa saja ketika dia berkata dengan sembab, "Harap paduka jelaskan, apakah syarat itu, pasti hamba akan sanggup memenuhinya"
"Syarat itu juga merupakan kewajiban, Paman Adipati!" kata Sang Prabu Jayakatwang. "Pertama. tentang Ki Tejanirmala yang kini berada di tangan kami, harap dirahasiakan dari siapapun juga. Dan ke dua, setelah kau menjadi adipati, tentu saja kami mengharapkan kesetiaan dan bantuanmu apa bila Kerajaan Kediri membutuhkannya sewaktu-waktu"
Ki Cucut Kalasekti segera menyembab. "Tentu saja, gusti. Hamba akan memegang teguh kedua syarat itu, dan hamba bersumpah setia"
"Bagus! Nah, Paman Adipati, mulai sekarang kau menjadi Adipati Satyanegara di Bendowinangun. Akan tetapi, siapakah gadis yang ikut menghadap bersamamu ini, Paman Adipati?"
Saking girangnya menerima pangkat adipati, ingin rasanya Ki Cucut Kalasekti bersorak dan tertawa. Akan tetapi ditahannya semua keriangan itu dan diapun memperkenalkan.
"Ia adalah cucu hamba bernama Wulansari, gusti, dan sesungguhnya, ialah yang berhasil memperoleh pusaka Ki Tejanirmala"
*Ee, lhadhalah! Sudah cantik jelita dan manis, masih sakti mandraguna lagi!" Sang Prabu Jayakatwang memuji. Raja ini sebagai seorang pria normal tentu saja tertarik akan kecantikan Wulansari, akan tetapi dia bukan sekedar pria mata keranjang, melainkan lebih lagi, yaitu memiliki kecerdikan. Kalau saja dia bisa mendapatkan gadis ini, sebagai selirnya berarti dia memiliki seorang pengawal pribadi yang amat boleh diandalkan untuk menjaga keselamatannya. "Kalau kau ingin menghambakan diri di dalam istana, kami akan menerimamu dengan gembira sekali, Nini Walansari" katanya.
Wulansari menghaturkan sembah. "Ampunkan hamba, gusti. Akan tetapi hamba lebih suka membantu kakek hamba yang baru saja menduduki jabatan baru"
"Haha, seorang cucu yang manis dan berbakti. Baikiah, hal itu dapat dibicarakan kelak" Sang Prabu Jayakatwang lalu mengeluarkan perintah agar semua yang menyaksikan pemberian pusaka Ki Tejanirmala itu merahasiakan hal ini, dan juga mengumumkan pengangkatkan Ki Cucut Kalasekti menjadi Adipati Satyanegara di Bendowinangun, daerah dekat Kali Cempur di sebelah selatan.
Ssng Prabu Jayakatwang memang seorang yang amat cerdik. Dia tidak dapat dibandingkan dengan orang-orang ambisius seperti Mahesa Rangkah yang didukung gurunya, Ki Buyut Pranamaya, yang begitu memperoleh tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala lalu cepat berusaha melakukan pemberontakan. Tidak, Sang Prabu Jayakatwang penuh perhitungan, tidak sembrono seperti itu. Walaupun dia percaya akan keampuhan Ki Tejanirmala, namun dia tetap waspada. Biarpun sejak dahulu ada dendam dalam hatinya untuk membangun kembali kejayaan Kediri, untuk menundukkan Singosari dan semua daerah, namun dia tahu bahwa hal itu tidaklah mudah dan sekali gagal berarti kehancuran Kediri dan keluarganya. Biarpun Tejanirmala telah berada di tangannya, namun dia harus memupuk kekuatan, dia harus bersabar dan menanti tibanya saat yang paling tepat untuk bergerak.
Ki Cucut Kalasekti dan Wulansari kembali ke gedung tua mereka di Blambangan untuk berkemas dan bersiap-siap pindah ke tempat kediaman mereka yang baru, yaitu sebagai adipati di Bendowinangun. Rumah kadipaten di Bendowinangun juga sedang diperbaiki dan dibangun, untuk menjadi tempat tinggal baru bagi adipati baru itu. Kini, kakek dan cucu itu kembali ke Blambangan untuk berkemas. Semenjak meninggalkan istana kerajaan Kediri, Ki Cucut Kalasekti nampak gembira sekali, sebaliknya Wulansari tidak kelihatan gembira. Ia bahkan merasa tidak senang harus meninggalkan rumah lama di Blambangan, di dekat Kali Setail itu karena tempat yang sunyi itu amat disenanginya. Selelah nanti pindah, ia akan tinggal di sebuah istana kadipaten dan di tempat ramai, dikelilingi hamba sahaya dan banyak pembantu.
Ada satu hal yang membuat Wulansari menjadi semakin tidak senang dan wajahnya cemberut saja, yaitu ketika kakeknya menyatakan bahwa ia patut menjadi selir Sang Prabu Jayakatwang. Bahkan pagi hari ini, ketika mereka berkemas, kakeknya mengulang lagi keinginan hatinya.
"Kau tahu, Wulan, Sang Prabu Jayakatwang jatuh hati kepadamu!"
"Ihh! Eyang ini ada-ada sajal" kata Wulansari cemberut. "Aku tidak percaya!"
"Sungguh, cucuku. Betapa sinar mata beliau itu penuh gairah ketika memandang kepadamu"
Wulansari mencibirkan bibirnya yang merah membasah. "Huh, setiap orang laki-lakipun
memandang kepadaku seperti itu, eyang. Apa anehnya itu?"
"Hahaha, memang benar, karena engkau seorang gadis yang arrat menggairahkan, cantik jelita, manis dan memiliki bentuk tubuh yang hebat. Akan tetapi, pandang mata para laki-laki itu tidak masuk hitungun, cucuku. Tidak demikian dengan pandang mata yang keluar dari sepasang mata Sribaginda Rija!"
"Ah, sudahlah, Eyang Aku tidak ingin mendengar lagi, dan aku tidik perduli apakah Sribaginda suka kepadaku atau tidak. Aku tetap tidak percaya, mungkin Eyang hanya mengada-ada saja!"
"Hushh, siapa mengada-ada, Terus terang saja, sebelum kita berangkat, ada utusan pribadi Sribaginda rnenemui aku dan menyampaikan pesan bahwa apa bila kita setuju, Sribaginda akan suka sekali menarikmu ke dalam keputren istana untuk menjadi seorang garwaselir beliau......"
"Apa" Aku tidak sudi menjadi selir!" teliak Wulansari"
"Jangan bodoh, cucuku! Menjadi selir lebih tinggi derajatnya dari pada menjadi isteri Adipati sekalipun. Lebih lagi, kalau engkau menjadi selir raja, dengan kemudaanmu, kecantikanmu dan dengan ilmu yang akan kuajarkan kepadamu, tentu raja akan tergila-gila dan bukan tidak mungkin dari selir terkasih engkau diangkat menjadi permaisuri! Wah, kalau sudah begitu, dunia berada di telapak kakimu, cucuku, dan aku akan ikut terangkat tinggi keatas, hahaha!"
"Sudah, sudah, Eyang, aku tidak mau dengar lagi! Ah, aku akan keluar mencaii hawa segar!" Gadis itu lalu meloncat keluar dari dalam rumah besar itu dan lari ke tempat yang menjadi kesukaannya, yaitu di tebing yang curam sekali. Jauh di bawah sana nampak air laut. Dari tempat setinggi itu, air laut di bawah nampak tenang saja, padahal air laut di bawah itu bergelora terus, menghantam dinding karang di bawah. Tempat ini amat indah, juga amat sunyi dan sering sekali Wulansari pergi ke tempat ini, seorang diri untuk melamun atau untuk berlatih pencak silat. Hawanya sejuk. angin laut bersilir lembut, kadang-kadang amat kuatnya, dan udara sedemikian jernihnya sehingga langit selalu nampak cerah. Terutama sekali di waktu pagi hari, matahari nampak muncul dari permukaan laut di sebelah timur dan di waktu senja matahari tenggelam di balik bukit sebelah barat.
Kini Wulansari tidak dapat menikmati keindahan pemandangan alam di atas tebing itu dan ia duduk melamun, di dekat tebing. Orang lain akan merasa ngeri duduk di dekat tebing yang curam itu, karena sekali orang tergelincir jatuh ke bawah, kecuali kalau dia mempunyai sayap dan dapat terbang seperti burung, tubuhnya tentu akan hancur lebur menimpa batu-batu karabg di bawah sana, lalu diterima ombak yang ganas. Akan tetapi Wulansari adalah seorang gadis yang sakti dan amat tabah. Ia duduk melamun, kadang-kadang menjenguk ke bawah.
Sudah berkali-kali kakeknya memperingatkan agar ia jangan bermain-main di tebing itu. Terlalu berbahaya tempat itu, pesan eyangnya. Namun, semakin dilarang, semakin tertarik hatinya dan akhirnya ia seperti jatuh cinta pada tempat itu. Dan kakeknya akhirnya mendiamkannya saja karena maklum bahwa cucu itupun dapat melindungi diri sendiri dengan baiknya.
Tiba-tiba Wulansari membalikkan mukanya, memandang ke arah belakang karena pendengarannya yang tajam dan perasaannya yang peka seperti memberitahu bahwa ada orang datang menghampirinya. Dan benar saja, ia melihat seorang pria muda mendaki tebing itu dan begitu meiihat bentuk tubuh pria itu, ia meloncat berdiri dan menyongsong kedatangannya.
"Kakangmas Nurseta.......!" teriaknya dengan penuh keriangan, berlari menghampiri sambil merentangkan kedua lengannya.
"Diajeng Wulansari........!"
Mereka berpelukan, Wulansari merangkul dengan eratnya, seolah-olah hendak melekatkan lubuhnya dengan tubuh pemuda itu agar lidak sampai berpisah lagi.
"Kakang....... kakangmas Nurseta........, betapa rinduku kepadamu, kakangmas........!" katanya lagi dan entah siapa yang rnendabului, akan tetapi mereka sudah saling rangkul, saling cium, melepasban seluruh kerinduan hati mereka.
Akhirnya Nurseta yang dapat menenangkan diri dan dengan lembut dia merangkul pundak gadis itu dan berkata, "Diajeng, mari kita duduk vang baik di sana dan bicara dengan tenang"
Wulansari mengangguk, dan dapat menenangkan hatinya, lalu sambil bergandeng tangan mereka menuju ke tepi tebing di mana terdapat beberapa buah batu yang halus dan enak untuk menjadi tempat duduk.
Di atas sebuah batu panjang, mereka duduk berdampingan dan Wulansari dengan sikap manja dan rnencina , menyandarkan kepalanya di dada pemuda itu. Nurseta merangkulnya dan mengusap-usap rambut kepala yane hitam halus dan panjang itu.
"Kakangmas Nurseta, sungguh aku merasa berbahagia sekali bahwa engkau datang begini cepat, tepat pada saat aku amat men butuhkanmu. Enckau tentu datang untuk melamarku, bukan?"
Pertanyaan ini menusuk perasaan Nurseta. Kaiau saja dia dapat membenarkan dan mengangguk. Akan tetapi tidak, dia menggeleng dan menarik napas panjang.
"Sayang sekali tidak, diajeng. Aku datang untuk minta kembali tombak pusaka Ki Ageng Teianirmala darimu" Melihat gadis itu tersentak kaget, Nurseta melanjutkan, "Aku telah bertanya-tanya dan mendapatkan di mana tempat tinggal eyangmu. Ki Cucut Kalasekti dan tadi aku melihat engkau berlari keluar dari rumah besar itu. Aku lalu mengikutimu dan menemuimu di sini. Untung sekali engkau keluar dari rumah itu sehingga aku tidak perlu menemui eyangmu......"
"Tapi..........tapi engkau sudah berjanji untuk datang melamarku! Mari kita temui eyang dan kau pinang aku untuk menjadi isterimu, kakangmas!"
"Nurseta menggeleng dan tersenyum pahit. "Tidak, diajeng, aku datang untuk minta kembali tombak pusaka......."
"Persetan dengan tombak pusaka itu!" teriak Wulansari marah. "Tombak pusaka itu uruan kecil, yang terpenting adalah perjodohan kita, kakangmas!"
"Aku sudah siap menghadapi ini" pikir Nurseta, Memang, di dalam perjalanannya, dia sudah membayangkan betapa dia harus berani menghadapi Wulansari dan berani pula mengadakan pengakuan seperti yang telah dilakukan di depan Pertiwi, hanya sekali ini, pengakuannya berbeda dan terbalik!
"Bagaimana, angger" Dapatkah kata-kataku tadi kau terima, ataukah kau masih dapat menunjukkan bahwa pendapatku tentang Wulansari tadi salah dan hendak membela gadis itu?"
Dia menggeleng kepala. "Tidak, ayah. Terus terang saja, saya sendiri juga masih ingin menyelidiki keadaannya yang sesungguhnya kalau saya mencari pusaka kita itu di Blambangan"
"Wah, sudah jelas, bukan" Pertiwi jauh lebih baik dan lebih meyakinkan untuk menjadi seorang isteri yang baik"
"Akan tetapi........ bagaimana kalau ia tidak suka kepada saya, ayah" Tidak seperti Wulansari yang mencinta saya"
Ki Baka tertawa. "Hahahi, Pertiwi amat mengagumimu dan cinta kepadamu, Raden. Hal ini kuketahui benar semenjak ia bertemu denganmu. Karena itu, jangan kau khawatir dan sekarang juga kita berkunjung kepada orang tuanya dan mengajukan pinangan"
Nurseta tidak dapat mengelak lagi, tidak berani membantah. Ki Baka telab melimpahkan kebaikan kepadanya dan belum pernah dia membalas orang tua ini. Kalau sekarang dia menolak, tentu Ki Baka akan menjadi berduka sekali dan hal itu dianggapnya tidak semestinya. Biarlah, dia akan membalas segala kebaikan Ki Baka dengan mentaati permintaannya ini.
Nurseta tidak berani membantah dan dia hanya lkut saja ketika Ki Baka mengajaknya berkunjung ke dusun itu, ke rumah Ki Purwoko, ayah Pertiwi yang tinggat di dusun Sintren, di lereng Gunung Kelud. Kedatangan mereka tentu saja disamhut penuh pmghormatan oleh Ki Purwoko, isterinya dan puterinya dan mereka dijamu seperti dua orang tamu kehormatan.
Ketika pinangan diajukan, tentu saja keluarga itu menyambutnya dengan penuh kebanggaan dan kegembiraan, dan Pertiwi, tanpa ditanya dua kali, sudah lari sambil membuang kerling ke arah Nurseta dan tersenyum manis, bersembunyi ke dapur rumah! Ketika ia dibujuk lbunya untuk meugeluarkan hidangan dan minuman, ia telah berganti pakaian baru dan bersisir rapi, dan dengan sikap malu-malu, namun menambah keayuannya, ia menghidangkan makanan dan minuman itu kepada dua orang tamunya.
Ketika mereka meninggalkan dusun Sintren. Nurseta berkata kepada Ki Baka, suaranya lembut namun mengandung ketegasan. "Ayah, saya sudah memenuhi keinginan hati ayah, akan tetapi harap ikatan jodoh ini tidak dilangsungkan pernikahan dengan tergesagesa. Saya masih mempunyai janji dan tugas, yaitu saya akan mencari Ki Ageng Tejanirmala sampai berhasil membawa pulang pusaka itu. barulah saya akan mau melangsungkan pernikahan. Sebelum itu, harap ayah maafkan, saya belum bersedia untuk melakukannya"
Ki Baka memandang anak angkatnya, Diam-diam ada juga kekhawatiran di dalam hatinya. 'Kau hendak pergi ke Blambangan, Raden" Dan dapatkah kupercaya bahwa kau tidak akan terpikat oleh wanita lain dan melupakan ikatan perjodohan dengan puteri Ki Purwoko di lereng Kelud?"
Nurseta mengerutkan alisnya. "Sejak kecil saya menerima gemblengen dan petunjuk dari ayah bahwa bagi seorang satria, kehormatan lebih berharga dari pada nyawa. Saya sudah berjanji dan hanya kematian yang dapat membuat saya ingkar janji terhadap keluarga calon isteri saya di dusun Sintren"
"Bagus! Tenanglah kini naitku, Raden. Kapan kau hendak berangkat?"
"Secepatnya lebih baik, ayah. Hari ini juga saya akan berangkat" Setelah tiba di pondok Ki Baka. Nurseta lalu mengemasi pakaian bekalnya untuk perjalanan yang jauh itu, lalu, pamit dan mohon doa restu dari Ki Baka yang melepas kepergiannya dengan hati lapang. Bagaimanapun juga, dia merasa yakin bahwai anak angkatnya itu tidak akan ingkar janji terhadap ikatan jodoh itu,
*** Rumah itu besar dan angker, seperti sebuah istana tua yang menyendiri, berdiri bagaikan seorang raksasa bertapa di tempat sunyi itu, di lembah Kali Setail sebelah utara Rumah besar kuno itu tidak mempunyai tetangga karena tempat itu jauh dari pedusunan, dan dukuh yang paling dekat adalah dukuh Benculuk, masih jauh di sebelah utaranya, terpisah oleh daerah yang liar berhutan dan berawarawa.
Bagi orang yang belum mengenal daerah ini tentu akan merasa ngeri melihat rumah besar yang nampak sunyi tak berpenghuni itu, akan mengira bahwa rumah itu tentulah rumah setara atau rumah orang jaman dahulu yang kini sudah tidak dipergunakan lagi dan menjadi tempat tinggal iblis dan setan penjaga hutan bukit dan sungai. Akan tetapi bagi mereka yang mengenal daerah ini, rumah besar itu lebih mengerikan lagi. Bahkan mereka, orang-orang sekitar daerah Blambangan dan Banyuwangi, tidak ada yang berani memasuki daerah lembah Kali Setail di mana terdapat rumah Itu. Semua orang tahu belaka, atau pernah mendengar bahwa rumah besar itu adalah tempat tinggal Ki CuCut Kalasekti, seorang kakek yang selain sakti mandraguna, juga berwatak aneh dan dapat berbuat luar biasa kejamnya terhadap siapapun juga. Ki Cucut Kalasekti terkenal sebagai datuk sesat yang ditakuti penjahatpenjahat biasa, seperti perampok, bajak sungai, maling dan sebagainya, merasa ngeri untuk bertemu dengan datuk ini! Salahsalah, sekali tampar atau sekali tendang saja nyawa mereka akan melayang kalau kakek itu sedang marah.
Memang ada yang kadang kadang mernasuki daerah itu dan berkunjung ke rumah besar, akan tetapi mereka ini adalah orang-orang yang sudah mempunyai hubungan, misalnya mereka yang datang untuk memenuhi pesanan keperluan seharihari dari para pembantu rumah besar itu. Dan mereka ini tidak pernah diganggu, bahkan tidak pernah bertemu muka dengan Ki Cucut Kalasekti. Yang mereka kenal hanyalah dua orang wanita tua yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah besar itu, dan mereka mengenal pula seorang gadis cantik jelita yang bernama Wulansari, cucu Ki Cucut Kalasekti yang kadang-kadang menemui mereka kalau mereka datang mengantarkan telur, daging, sayursayur dan sebagainya lagi.
Memang, rumah besar menyeramkan itu adalah tempat tinggal Ki Cucut Kalasekti. Sudah puluhan tahun dia bertapa seperti menyembunyikan diri di rumah besar itu, tanpa teman seorangpun. Hanya kadang-kadang saja dia keluar dan setiap kali dia keluar rumah, sudah pasti terjadi sesuatu yang mengerikan dan hebat di sekitar daerah Blambangan atau Banyuwangi. Tidak ada perbuatan jahat yang bagaimanapun dipantang oleh datuk ini. Benda apapun yang dikehendakinya, wanita manapun yang disukainya, milik orang atau bukan, bahkan barang milik seorang adipati sekalipun, atau wanita isteri orang, pasti takkan terlepas dari tangannya. Dan setiap kali ada yang berani mencoba menghalanginya, tentu orang itu akan tewas secara mengerikan.
Akan tetapi, terjadi perubahan semenjak kurang lebih lima tahun yang lalu dalam kehidupan Ki Cucut Kalasekti. Pada suatu hari, dia pulang bersama seorang gadis remaja, yaitu Wulansari dan gadis yang diaku sebagai cucunya itu tinggal bersamanya di rumah besar itu. Atas permintaan Wulansari pula maka Ki Cucut Kalasekti lalu mempergunakan dua orang wanita pembantu, dan semenjak itu, rumah itu nampak lebih bersih, dan ada beberapa orang langganan mengantarkan barangbarang kebutuhan mereka. Anehnya, biarpun tinggal di rumah terasing, temyata Ki Cucut Kalasekti memiliki banyak uang sehingga Wulansari tak pernah kekurangan uang untuk membeli segala keperluan rumah tangga itu.
Tentii akan mengherankan hati orang lain kalau melihat betapa sikap Ki Cucut Kalasekti terhadap gadis itu. Biasanya, orang sakti ini amat keras dan tidak pernah mau mengalah, juga sombong dan kasar. Namun, terhadap Wulansari, cucunya, dia bersikap manis dan sabar sekali, bahkan dengan teliti dia mulai menggembleng gadis itu dengan ilmuilmunya vang aneh dan menggiriskan. Karena sikap yang amat baik ini, Wulansari juga merasa suka kepada kakeknya yang baik kepadanya itu, apa lagi karena eyangnya itu mengajarkan ilmuilmu yang hebat kepadanya. Untuk ilmu bermain di dalam air, Ki Cucut Kalasekti membawa gadis itu ke Teluk Pangpang dan di tempat yang sunyi itu, di antara gulungan ombak Selat Bali yang kadang-kadang menggelora dan sebesar bukit, gadis itu digembleng dengan ilmu bermain di dalam air laut seperti seekor ikan saia !
Di bagian depan kisah ini telah diceritakan betapa Ki Cucut Kalasekti membawa lari Wulansari dari Teluk Prigi Segoro Wedi secara paksa, dan tak seorangpun dapat menghalanginya, bahkan Panembahan Sidik Danasura juga tidak berdaya karena dia melarikan Wulansari melalui lautan. Setelah berhasil melarikan Wulansari, kakek itu langsung mengajak Wulansari menuju ke timur, daerah Blambangan.
Mulamula Wulansari memang ketakutan dan tidak percaya kepada Ki Cucut Kalasekti, akan tetapi kakek itu mernbujuk dengan kata-kata halus dan sikap yang ramah dan baik sehingga akhirnya gadis itu percaya bahwa kakek itu memang eyangnya dan bersikap amat baik kepadanya.
"Eyang, aku tidak ingat lagi bahwa engkau adalah eyangku, juga aku tidak ingat lagi siapa adanya orang tuaku. Bagaimanakah aku sampai dapat berada di tempat yang jauh itu, mendapat kecelakaan, perahu yang kutumpangi terbalik dan aku hampir saja tewas kalau tidak ditolong oleh Ki Jembros dan Eyang Panembahan Sidik Danasura" Dan mengapa baru sekarang eyang datang mencariku" Mengapa pula eyang datang dan melarikan aku, tidak terang terangan saja minta kepada Eyang Panembahan yang tentu akan mengijinkan aku ikut pergi bersama eyangku sendiri?"
Hujan pertanyaan dari Wulansari ini disambut dengan tertawa bergelak oleh Ki Cicut Kalasekti. Mereka sedang berhenti melepaskan lelah di daratan, di tepi laut dan membuat api unggun di pantai itu. Kakek itu dengan kesaktiannya telah dapat membunuh beberapa ekor burung camar dengan sambitan batu dan memanggacg dagibg burung di api unggun.
"Wah, haha ha, pertanyaanmu seperti hujan datangnya! Ketahuilah, cucuku yang manis. Engkau adalah seoraog anak yatimpiatu, ayah ibumu tewas ketika mereka membantu gerakan perjuangan Ki Baya rrsetawan Singosari. Ayahlbumu tewas oleh para senopati di Singosaro, ingat hal ini baik-baik. Semua senopati Singosari adalah musuhmusuhmu. Engkau sendiri dilarikan seorang musuh dari Singosari, entah siapa. Dan mungkin engkau dilarikan dengan perahu di lautan sehingga engkau tibi di tempat ketika perahu itu terguling dan engkau diselamatkan Ki Jembros dan Panembahan Sidik Danasura. Ketika itu, aku sedang bertapa dan tidak mendengar tentang nasib ayah ibumu dan nasibmu. Ayahmu adalah mantuku, ibumu adalah anakku. Ketika aku menghentikan tapaku, baru aku mendengar bahwa beberapa tahun yang lalu orang tuamu tewas dan engkau dilarikan orang. Aku lalu mulai mencarimu dan akhirnya aku mendengar bahwa engkau berada di padepokan Panembahan Sidik Danasura. Aku mengenal siapa dia, dan karena dia amat sakti apa lagi di sana masih ada Ki Jembros, maka aku terpalsa melarikanmu, cucuku"
"Tapi, Eyang Panembahan adalah seorang yang berhati mulia. Kalau eyang datang menemuinya dan menerangkan duduknya perkara, tentu dengan senang hati beliau akan mengembalikan kepadamu"
"Hohohohaha ! Engkau lupa bahwa kita adalah musuhmusuh Kerajaan Singosan, ayah ibumu tewas di tangan para senopati Singosari. Tahukah engkau siapa Panembahan Sidik Danasura dan siapa pula Ki Jembros" Mereka adalah tokohtokoh yang setia kepada Singosari dan kalau mereka melihat aku, tentu mereka akan berusaha membunuhku yang dianggap musuh besar!"
Demikianlah, Wulansari lalu mengikuti kakeknya menuju ke rumah besar yang menyeramkan itu. Ia amat disayang oleh Ki Cucut Kalasekti, maka iapun menganggap bahwa kakeknya itu seorang yang amat baik dan iapun berlatih ilmu kedigdayaan dengan amat tekun. Cerita kakeknya tentang ayah ibunya yang terbunuh oleh para senopati Singosari membuat gadis ini menjadi bingung dan hal ini merubah wataknya menjadi dingin dan ganas. Apa lagi karena kakeknya selalu membangkitkan dendam sakit hati terhadap Singosari yang dianggapnya pembunuh kedua orang tuanya.
Dalam keadaan seperti itulah Nurseta menjumpai gadis itu, ketika Wulansari menerima tugas dari kakeknya untuk menyeltdiki, tidak mencampuri, pemberontakan Mahesa Rangkah, dan kalau mungkin untuk mencari dan merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejenirmala.
Dapat dibayangkan betapa gembira rasa hati Wulansari ketika ia mendapat kenyataan bahwa Nurseta, pemuda yang selalu dikenang dan dirindukannya itu, mencinta dirinya! Dan lebih gembira lagi karena ia berhasil merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala seperti dipesan guru atau juga kakeknya. Setelah berpisah meninggalkan Nurseta yang telah menjadi kekasihnya, gadis ini lalu melakukan perjalanan secepatnya pulang ke Blambangan.
Tentu saja kedatangannya disambut gembira oleh ki Cucut Kalasekti. Ketika kakek ini menerima tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala, dia mengamati tombak itu dan setelah merasa yakin bahwa tombak itu adalah tombak pusaka aseli, dia mencium tombak itu, mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala dan diapun menari-nari saking girangnya.
"Bagus, bagus sekali! Engkau memang hebat, Wulansari cucuku yang manis! Banyak tokoh sakti memperebutkan pusaka ini tanpa hasil, dan kini engkau cucuku yang manis mampu menguasainya! Hahaha, sekarang kita akan menjadi orang-orang mulia, menjadi orang-orang yang kaya raya. Hahaha!"
Melihat kakeknya menari-nari seperti anak kecil itu, Wulansari terbelalak keheranan. Kakeknya adalah seorang yang amat sakti, berusia sudah tua dan seorang ahli tapa, akan tetapi sekarang menari-nari seperti anak kecil diberi kembang gula atau seorang yang kesurupan setan. Kalau orang lain yang melihat kakek itu, tentu akan menjadi seram. Kakek itu mukanya kebiruan, bentuk mukanya seperti seekor ikan dengan moncong meruncing, dan tubuhnya demikian dekil dan penuh keriput sehingga kelihatannya seperti bersisik. Jubahnya adalah jubah pertapaan berwarna kuning. Dan kini dia menari-nari berlenggak-lenggok girang sekali.
"Eyang, apa yang eyang maksudkan" Bagaimana tombak pusaka ini akan dapat membuat kita menjadi orang mulia dan kaya raya?"
Kakek itu masih tertawa-tawa, akan tetapi tidak menari-nari lagi ketika menjawab sambil menyimpan tombak pusaka itu ke balik jubahnya. "Tombak pusaka ini kalau kubawa ke Kediri dan kupersembahkan kepada Sang Prabu Jayakatwang dari Kerajaan Dhaha, tentu akan ditukar dengan harta yang amat banyak bahkan kedudukan yang tinggi, sedikitnya adipati atau bupati yang menguasai suatu daerah, hahaha!"
"Akan tetapi, eyang. Aku merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala ini untukmu, bukan untuk raja di Kediri!"
"Benar, dan akulah yang akan mendapat untung besar, termasuk juga engkau. Apa artinya kedudukan tinggi, kemuliaan dan harta benda bagiku, kalau bukan untukmu, cucuku" Engkau akan menjadi seorang puteri bangsawan, cucu seorang adipati, kaya raya dan dhormati, hahaha. Dan engkau kelak hanya pantas berjodoh dengan seorang pangeran atau raja, atau adipati!"
"Akan tetapi, eyang. Tombak pusaka itu hanya kupinjam saja, dan sepatutnya dikembalikan kepada pemiliknya"
Tawa itu segera lenyap dan wajah yang menyeramkan itu kini berubah kemerahan, sepasang mata yang besar seperti mata ikan itu mendelik "Apa" Pinjam saja" Dikembalikan" Apa maksudmu?"
"Begini, eyang. Tombak pusaka itu milik ayah dari kakangmas Nurseta yang dirampas oleh Ki Buyut Pranamaya, yaitu guru dari Mahesa Rangkah yang memberontak terhadap Singosari. Di dalam pertempuran, kakangmas Nurseta berebutan pusaka itu dengan Ki Buyut Pranamaya. Aku membantu kakangmas Nurseta dan aku berhasil merampas tombak pusaka ini dan kubawa lari, eyang. Aku hanya pinjam saja dan pusaka ini harus dikembalikan kepada kakangmas Nurseta" kalau dia datang ke sini"
"Dia akan datang ke sini?" Kakek itu memandang ke luar dan nampaknya khawatir. "Siapa sebetulnya Nurseta itu?"
"Eyang pernah berjumpa dengan dia, ketika eyang hendak melarikan aku dari Teluk Prigi Setoro Wedi dahulu itu. "
"Ah, bocah nekat itu?"
"Benar, eyang. Dia adalah murid Eyang Panembahan Sidik Danasura"
"Mau apa dia datang ke sini?"
Setelah hidup bersarna kakeknya, Wulansari tak pernah menyembunyikan rahasia hatinya maka kinipun dengan jujur ia berkata, "Dia datang untuk meminang aku, eyang. Kami sudah saling mencinta"
"Pouahh........!" Kakek itu meludah, "Saling mencinta" Enak sajal Engkau adalah seorang calon puteri adipati. Tidak mungkin sembarang orang saja meminangmu!"
"Tapi, eyang......."
"Sudahlah, Wulansari. Urusan itu kita selesaikan kelak saja kalau dia sudah datang" kata Ki Cucut Kalasekti dengan cerdik, karena dia tahu akan kekerasan hati cucunya itu. "Sekarang, yang terpenting kita harus segera pergi ke Kediri, mengbadap Sang Prabu di Dhaha. Bawalah bekal pakaianmu yang terbaik, kita berangkat sekarang juga"
Mendengar ucapan kakeknya yang agaknya tidak berkeras menolak Nurseta, Wulansari tidak membantah. Dia harus dapat dibujuk agar suka menerima kakangmas Nurseta, pikirnya, dan untuk itu, kakeknya harus ditaati perintahnya, disenangkan hatinya Ia lalu pergi berkemas dan pada hari itu juga, berangkatlah kakek dan cucunya itu menuju ke pantai karena Ki Cucut Kalasekti lebih suka melakukan perjalanan dengan perahu, melalui sepanjang pantai laut selatan. Tidak sembarang orang berani melakukan perjalanan dengan perahu seperti ini karena laut selatan terkenal dengan ombaknya yang dahsyat Namun, kakek dan cucu itu sama sekali tidak merasa gentar, bahkan semakin besar ombak mengalun dan mempermainkan perahu mereka, keduanya merasa semakin gembira. Dengan cekatan sekali, mereka memainkan dayung dan menguasai perahu itu sepenuhnya, meluncur di atas ombak yang kadang-kadang setinggi bukit itu! Permainan itu sungguh berbahaya sekali, bercanda dengan maut. Para nelayan, betapapun pandainya dan penuh pengalaman, tidak akan berani menentang maut seperti ini. Perahu mereka tentu akan dihempaskan ke batu karang oleh ombak yang dahsyat dan akan hancur berkeping-keping bersama tubuh mereka. Namun, Ki Cucut Kalasekti dan Wulansari memiliki tenaga sakti yang kuat sehingga mereka dengan mudahnya dapat menguasai petahu sehingga tetap berada di atas air. Sedikit saja dayung mereka menyentuh permukaan air, perahu mereka itu sudah meloncat ke atas dengan ringannya, mengatasi lidah-lidah ombak. Mereka berdua menuju ke barat, ke arah pantai Kerajaan Dhaha atau Kediri.
*** "Kakangmas Nurseta.........I"
"Eh, engkaukah itu diajeng Pertiwi........?"
"Nurseta yang turun dari padepokan Ki Baka ketika hari masih pagi sekali, melihat gadis itu muncul dalam keremangan pagi buta dan tahulah dia bahwa gadis itu agaknya memang menghadangnya di situ sejak masih gelap tadi. Dengan langkah perlahan dan sikap malu-malu Pertiwi mendekat. Kaku dan canggung rasanya menghadadapi pemuda ini yang biasanya dianggapnya sebagai seorang pemuda bangsawan, yang disebutnya raden, dan kini ia menghadapinya sebagai seorang tunangan, seorang calon suami. Dikuat-kuatkan hatinya untuk menghadang di situ, sejak ayam belum berkokok tadi, betapapun canggung dan malunya, karena di sudut hatinya, ia merasa amat berat ditinggalkan pemuda calon suaminya ini yang sejak dahulu telah dipandangnya dan dikenangnya dengan hati penuh kagum.
"Kakangmas Nurseta, aku mendengar....., kakangmas hendak........ hendak pergi jauh
sekali?" "Hemm, bagaimana gadis ini dapat mendengar bahwa dia hendak pergi ?" Nurseta maklum bahwa tentulah ayah angkatnya, Ki Baka yang memberitahukan. Siapa lagi kalau bukan ayah angkatnya yang tahu akan niatnya untuk pergi jauh ke Blambangan "
"Benar, diajeng Pertiwi. Aku hendak pergi jauh ke timur, ke Blambangan"
"Ahh........I Tentu amat jauh sekali dan ........ amat lama sekali, kakangmas........"
"Ya, jauh dan mungkin lama, diajeng. Akan tetapi aku melaksanakan tugas yang amat penting, dan aku tidak akan pulang sebelum. tugas itu selesai, diajeng Pertiwi"
Gadis itu menundukkan mukanya, menahan keharuan dan Kedukaan hatinya, bahkan menahan air matanya "Aku tahu....... aku mengerti" ia mengangguk-angguk, "dan aku........aku akan menantimu dengan setia, kakangmas Nurseta"
Tersentuh rasa bati Nurseta. Pemuda ini memang memiliki perasaan yang amat peka.
Gadis ini seorang gadis pegunungan yang polos, jujur dan gadis seperti ini memiliki cinta kasih dan kesetiaan yang tiada bandingnya. Sungguh kasihan kalau dia harus menipu seorang sadis seperti Pertiwi. Sebaiknyalah kalau dia berterus terang terhadap gadis ini, dari pada kelak menyakiti hatinya. Lebih baik pahit sekarang namun jujur. Pahit di muka menjadi jamu, sebaliknya pahit di belakang kelak akan menjadi penyakit, pikirnya dengan hati tetap.
"Tentu saja, diajeng Pertiwi. Kita sudah bertunangan, sudah teutu engkau akan setia kepadaku dan akupun akan setia kepadamu. Setelah selesai tugasku, sudah pasti aku akan kembali dan melangsungkan pernikahan kita. Akan tetapi, ada suatu pengakuan yang kuharap engkau akan dapat menerimanya dengan hati lapang, diajeng. Siapkah engkau menerima, pengakuanku, betapapun pahitnya hal itu bagimu?"
Pagi hari yang remang-remang itu tidala mampu menyembunyikan kilatan sepasang mata yang jernih itu ketika Pertiwi mengangkat muka, membelalakkan matanya mengamati wajah pria yang telah meruntuhkan hatinya. Ada sesuatu dalam kata kata dan sikap calon suaminya itu yang membuat hatinya merasa tegang dan tidak nyaman.
"Pengakuan apakah itu, kakangmas" Jangan meragu, katakanlah. Aku telah menjadi milikmu lahir batin, apapun yang kau kehendaki, bahkan selembar nyawa inipun kalau kau minta akan kuserahkan dengan hati dan tangan terbuka penuh kerelaan"
Nurseta memejamkan matanya. Bukan main gadis ini, polos dan murni! Bagaimana mungkin dia akan menipunya" Tidak, dia harus berterus terang karena gadis seperti ini berhak penuh untuk mengetahui segalanya. Dia harus mengbadapi kepolosan dan kemurnian gadis ini dengan kejujuran pula.
"Diajeng Pertiwi, ketahuilah bahwa perjodohan kita terlaksana karena kehendak ayahku, karena aku harus mentaati kehendak beliau. Sesungguhnya, diajeng, walaupun aku merasa kagum, suka dan hormat kepadamu, namun terus terang saja aku.......... tidak cinta
padamu, diajeng, karena sudah ada gadis lain yang menempati hatiku" Nurseta berhenti sebentar, melihat betapa leher gadis itu terkulai dan mukanya menunduk dalam sehingga dia tidak dapat melihat bagaimana keadaan wajah gadis itu. Maka disambungnya cepat, "Maafkan aku, aku harus berterus terang padamu, aku tidak ingin menipumu dan aku ingin jujur. Engkau berhak mengetahui keadaan hatiku, diajeng. Maafkan aku......"
Sampai lama mereka berdiam diri. Pertiwi masih menundukkan mukanya dan kini nampak oleh Nurseta betapa ada air mata menetes, namun gadis itu tetap bertahan, tidak terisak. Agaknya gadis itu menerima tusukan batin yang dipertahankan sekuat mungkin. Kemudian, akhirnya ia menganggkat mukanya dan terkejutlah Nurseta. Muka itu demikian pucat! Walaupun cuaca masih remang-remang, namun dia melihat perubahan yang besar itu, dan sepasang mata yang basah itu nampak demikian sayu.
"Kakangmas Nurseta, pernahkah engkau melihat sebuah kelenting (tempat air) air jatuh dan pecah berkeping-keping " Seperti itulah perasaanku, hancur luluh tak mungkin utuh lagi, hanya bukan air yang mengalir keluar melainkan darah. Akan tetapi biarlah. Hanya aku ingin tahu, kalau memang demikian, kenapa engkau mau ketika Paman Baka mengajakmu meminang aku?"
"Sudah kukatakan tadi, diajeng, aku menerima kehendak Ayah Baka karena hendak membalas budi kebaikan beliau. Akan tetapi, aku telah menerimamu sebagai calon isteri, telah meminangmu dengan sah. Oleh karena itu, bagaimanapun juga, aku akan setia dan akan menetapi janji, kelak kalau sudah selesai urusanku, aku pasti akan kembali dan melangsungkan pernikahan kita"
Sepasang mata itu terbelalak. "Pernikahan ........ tanpa........ tanpa........ cinta........?"
Kembali Nurseta merasa terharu. "Apa boleh buat, diajeng. Agaknya Sang Hyang Tunggal sudah menghendaki demikian......."
Tiba-tiba Pertiwi mengangkat kedua tangan ke atas, memegangi kepalanya dan iapun menjerit, "Tidaaaak....... tidaaaak.......!" dan iapun lari pergi dari situ.
Nurseta yang merasa iba dan terharu sekali, menggerakkan kaki hendak mengejar, namun ditahannya. Tidak ada gunanya, pikirnya, bagaimanapun juga, dia tidak boleh menghibur gadis itu dengan kepura-puraan. Biarlah, kenyataan pahit itu akan menjadi obat bagi Pertiwi. Dan diapun melanjutkan perjalanannya turun dari Pegunungan Kelud.
Pertiwi berlari terus sampai kakinya tersangkut rumput alang-alang (ilalang) yang tebal dan iapun terjerembab, jatuh terduduk di atas rumput ilalang. Dan di sini ia menangis tersedu-sedu, membiarkan semua perasaannya hanyut melalui air mata. Kecewa dan duka menghunjam-hunjam ulu hatinya dan tangisnya menjadi sesenggukan. Teringat ia betapa nasib buruk menantinya. Menikah dengan pria yang dipuja dan dicintanya, akan tetapi pria itu tidak mencintanya! Teringat ia akan bujukan ibunya, ibu tiri yang baru dua tahun dinikahi ayahnya, seorang janda tanpa anak dari dusun tetangga, Ibu tirinya membujuknya agar suka menjadi isteri putera lurah di dusun asal ibunya, Untuk apa menjadi isteri putera Ki Baka, demikian kata ibunya. Biarpun katanya bangsawan akan tetapi hidupnya miskin, untuk makan saja sukar ! Sebaliknya, kalau menjadi isteri anak lurah yang kaya raya itu, tentu akan hidup mulia dan serba kecukupan. Dan tentu saja ia menolak bujukan ibunya, karena ia tidak mencinta putera lurah itu. Ia hanya mencinta Nurseta, akan tetapi sekarang" Nurseta telah meminangnya dan ia merasa seperti diayun di surgaloka, di taman sorga yang indah dan membahagiakan. Hanya untuk mengalami kehancuran di pagi buta ini! Nurseta tidak mencintanya! Nurseta mencinta gadis lain. Nurseta hanya memperisteri ia karena hendak membalas budi Ki Baka. Ah, semua kenyataan itu menghantamnya bertubi-tubi, seolah-olah ada yang meneriakkannya berulang kali.
Gadis yang sedang tenggelam dalam duka ini sama sekali tidak tahu bahwa ada sepasang mata mengamatinya dari balik semak-semak Sepasang mata yang tajam dan bersinar-sinar penuh gairah dari sebuah muka yang tampan. Dan pemilik mata itu, seorang pria berusia hampir lima puluh tahun yang tampan dan berpakaian mewah, tersenyum-senyum.
*** "Ki Ageng Tejanirmala........! Ya Jagad Dewa Bathara.......! Ha haha, benar ini Ki Tejanirmala. Sembah sujud dan terima kasihku kepada Sang Hyang Wisesa !" Sang Prabu Jayakatwang, raja di Kediri itu berulang kali mengucap syukur dan menjunjung tinggi tombak pusaka itu di atas ubun-ubun kepalanya, tertawa-tawa dan tersenyum penuh kepuasan ketika dia menerima persembahan Ki Cucut Kalasekti yang datang menghadap kepadanya bersama Wulansari, cucunya.
"Hahaha, Ki Cucut Kalasekti! Pusaka ini memang benar Ki Ageng Tejanirmala dan kau menyerahkan pusaka ini kepadaku ?"
"Benar sekali, Sribaginda. Hamba sengaja datang dari Blambangan untuk menghaturkan pusaka ini kepada paduka, agar dengan pengaruh pusaka Ki Ageng Tejanirmala ini paduka dapat menaklukkan dan memerintah dunia dengan bijaksana"
Sang Prabu Jayakatwang mengangguk angguk, akan tetapi alisnya berkerut dan matanya menyambar dengan penuh kecerdikan. "Paman Cucut Kalasekti, kami telah mendengar bahwa
kau adalah seorang sakti dari Blambangan akan tetapi mengapa kau menyerahkan pusaka ini kepada kami yang menjadi raja di Dhaha ?" Sambil berkata demikian, sepasang mata yang cerdik dari Sang Prabu Jayakatwang mengamati wajah kakek itu penuh selidik.
"Ampunkan hamba, gusti. Sesungguhnya, tidak ada pamrih Iain dalam hati hamba selain ingin menghambakan diri dan berbakti kepada paduka yang hamba anggap satu-satunya junjungan yang paling bijaksana dan tepat untuk memerintah dunia"
Kembali Sang Prabu Jayakatwang mengangguk-angguk. Sebagai seorang yang berpengalaman, diapun maklum bahwa dengan kata-kata "ingin mengabdi dan berbakti", kakek ini mengharapkan kedudukan sebagai imbalan jasanya. Hal ini baik sekali, pikirnya. Selain memang sudah sepatutnya kalau pusaka sehebat Ki Ageng Tejanirmala itu ditukar dengan kedudukan dan kemuliaan, juga dia sudah mendengar bahwa Ki Cucut Kalasekti merupakan seorang jagoan yang sakti mandraguna dan tenaganya tentu saja amat berguna bagi Kediri.
"Baiklah, Paman Cucut Kalasekti, kami berterima kasih sekali kepada kau. Pusaka Ki Ageng Tejanirmala kami terima dan kami akan mengangkat kau menjadi seorang adipati, akan tetapi dengan satu syarat"
Bukan main girangnya rasa hati Ki Cucut Kalasekti mendengar bahwa dia akan diangkat menjadi seorang adipati, akan tetapi perasaan orang ini disimpannya dengan baik. dan wajahnya nampak biasa saja ketika dia berkata dengan sembab, "Harap paduka jelaskan, apakah syarat itu, pasti hamba akan sanggup memenuhinya"
"Syarat itu juga merupakan kewajiban, Paman Adipati!" kata Sang Prabu Jayakatwang. "Pertama. tentang Ki Tejanirmala yang kini berada di tangan kami, harap dirahasiakan dari siapapun juga. Dan ke dua, setelah kau menjadi adipati, tentu saja kami mengharapkan kesetiaan dan bantuanmu apa bila Kerajaan Kediri membutuhkannya sewaktu-waktu"
Ki Cucut Kalasekti segera menyembab. "Tentu saja, gusti. Hamba akan memegang teguh kedua syarat itu, dan hamba bersumpah setia"
"Bagus! Nah, Paman Adipati, mulai sekarang kau menjadi Adipati Satyanegara di Bendowinangun. Akan tetapi, siapakah gadis yang ikut menghadap bersamamu ini, Paman Adipati?"
Saking girangnya menerima pangkat adipati, ingin rasanya Ki Cucut Kalasekti bersorak dan tertawa. Akan tetapi ditahannya semua keriangan itu dan diapun memperkenalkan.
"Ia adalah cucu hamba bernama Wulansari, gusti, dan sesungguhnya, ialah yang berhasil memperoleh pusaka Ki Tejanirmala"
*Ee, lhadhalah! Sudah cantik jelita dan manis, masih sakti mandraguna lagi!" Sang Prabu Jayakatwang memuji. Raja ini sebagai seorang pria normal tentu saja tertarik akan kecantikan Wulansari, akan tetapi dia bukan sekedar pria mata keranjang, melainkan lebih lagi, yaitu memiliki kecerdikan. Kalau saja dia bisa mendapatkan gadis ini, sebagai selirnya berarti dia memiliki seorang pengawal pribadi yang amat boleh diandalkan untuk menjaga keselamatannya. "Kalau kau ingin menghambakan diri di dalam istana, kami akan menerimamu dengan gembira sekali, Nini Walansari" katanya.
Wulansari menghaturkan sembah. "Ampunkan hamba, gusti. Akan tetapi hamba lebih suka membantu kakek hamba yang baru saja menduduki jabatan baru"
"Haha, seorang cucu yang manis dan berbakti. Baikiah, hal itu dapat dibicarakan kelak" Sang Prabu Jayakatwang lalu mengeluarkan perintah agar semua yang menyaksikan pemberian pusaka Ki Tejanirmala itu merahasiakan hal ini, dan juga mengumumkan pengangkatkan Ki Cucut Kalasekti menjadi Adipati Satyanegara di Bendowinangun, daerah dekat Kali Cempur di sebelah selatan.
Ssng Prabu Jayakatwang memang seorang yang amat cerdik. Dia tidak dapat dibandingkan dengan orang-orang ambisius seperti Mahesa Rangkah yang didukung gurunya, Ki Buyut Pranamaya, yang begitu memperoleh tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala lalu cepat berusaha melakukan pemberontakan. Tidak, Sang Prabu Jayakatwang penuh perhitungan, tidak sembrono seperti itu. Walaupun dia percaya akan keampuhan Ki Tejanirmala, namun dia tetap waspada. Biarpun sejak dahulu ada dendam dalam hatinya untuk membangun kembali kejayaan Kediri, untuk menundukkan Singosari dan semua daerah, namun dia tahu bahwa hal itu tidaklah mudah dan sekali gagal berarti kehancuran Kediri dan keluarganya. Biarpun Tejanirmala telah berada di tangannya, namun dia harus memupuk kekuatan, dia harus bersabar dan menanti tibanya saat yang paling tepat untuk bergerak.
Ki Cucut Kalasekti dan Wulansari kembali ke gedung tua mereka di Blambangan untuk berkemas dan bersiap-siap pindah ke tempat kediaman mereka yang baru, yaitu sebagai adipati di Bendowinangun. Rumah kadipaten di Bendowinangun juga sedang diperbaiki dan dibangun, untuk menjadi tempat tinggal baru bagi adipati baru itu. Kini, kakek dan cucu itu kembali ke Blambangan untuk berkemas. Semenjak meninggalkan istana kerajaan Kediri, Ki Cucut Kalasekti nampak gembira sekali, sebaliknya Wulansari tidak kelihatan gembira. Ia bahkan merasa tidak senang harus meninggalkan rumah lama di Blambangan, di dekat Kali Setail itu karena tempat yang sunyi itu amat disenanginya. Selelah nanti pindah, ia akan tinggal di sebuah istana kadipaten dan di tempat ramai, dikelilingi hamba sahaya dan banyak pembantu.
Ada satu hal yang membuat Wulansari menjadi semakin tidak senang dan wajahnya cemberut saja, yaitu ketika kakeknya menyatakan bahwa ia patut menjadi selir Sang Prabu Jayakatwang. Bahkan pagi hari ini, ketika mereka berkemas, kakeknya mengulang lagi keinginan hatinya.
"Kau tahu, Wulan, Sang Prabu Jayakatwang jatuh hati kepadamu!"
"Ihh! Eyang ini ada-ada sajal" kata Wulansari cemberut. "Aku tidak percaya!"
"Sungguh, cucuku. Betapa sinar mata beliau itu penuh gairah ketika memandang kepadamu"
Wulansari mencibirkan bibirnya yang merah membasah. "Huh, setiap orang laki-lakipun
memandang kepadaku seperti itu, eyang. Apa anehnya itu?"
"Hahaha, memang benar, karena engkau seorang gadis yang arrat menggairahkan, cantik jelita, manis dan memiliki bentuk tubuh yang hebat. Akan tetapi, pandang mata para laki-laki itu tidak masuk hitungun, cucuku. Tidak demikian dengan pandang mata yang keluar dari sepasang mata Sribaginda Rija!"
"Ah, sudahlah, Eyang Aku tidak ingin mendengar lagi, dan aku tidik perduli apakah Sribaginda suka kepadaku atau tidak. Aku tetap tidak percaya, mungkin Eyang hanya mengada-ada saja!"
"Hushh, siapa mengada-ada, Terus terang saja, sebelum kita berangkat, ada utusan pribadi Sribaginda rnenemui aku dan menyampaikan pesan bahwa apa bila kita setuju, Sribaginda akan suka sekali menarikmu ke dalam keputren istana untuk menjadi seorang garwaselir beliau......"
"Apa" Aku tidak sudi menjadi selir!" teliak Wulansari"
"Jangan bodoh, cucuku! Menjadi selir lebih tinggi derajatnya dari pada menjadi isteri Adipati sekalipun. Lebih lagi, kalau engkau menjadi selir raja, dengan kemudaanmu, kecantikanmu dan dengan ilmu yang akan kuajarkan kepadamu, tentu raja akan tergila-gila dan bukan tidak mungkin dari selir terkasih engkau diangkat menjadi permaisuri! Wah, kalau sudah begitu, dunia berada di telapak kakimu, cucuku, dan aku akan ikut terangkat tinggi keatas, hahaha!"
"Sudah, sudah, Eyang, aku tidak mau dengar lagi! Ah, aku akan keluar mencaii hawa segar!" Gadis itu lalu meloncat keluar dari dalam rumah besar itu dan lari ke tempat yang menjadi kesukaannya, yaitu di tebing yang curam sekali. Jauh di bawah sana nampak air laut. Dari tempat setinggi itu, air laut di bawah nampak tenang saja, padahal air laut di bawah itu bergelora terus, menghantam dinding karang di bawah. Tempat ini amat indah, juga amat sunyi dan sering sekali Wulansari pergi ke tempat ini, seorang diri untuk melamun atau untuk berlatih pencak silat. Hawanya sejuk. angin laut bersilir lembut, kadang-kadang amat kuatnya, dan udara sedemikian jernihnya sehingga langit selalu nampak cerah. Terutama sekali di waktu pagi hari, matahari nampak muncul dari permukaan laut di sebelah timur dan di waktu senja matahari tenggelam di balik bukit sebelah barat.
Kini Wulansari tidak dapat menikmati keindahan pemandangan alam di atas tebing itu dan ia duduk melamun, di dekat tebing. Orang lain akan merasa ngeri duduk di dekat tebing yang curam itu, karena sekali orang tergelincir jatuh ke bawah, kecuali kalau dia mempunyai sayap dan dapat terbang seperti burung, tubuhnya tentu akan hancur lebur menimpa batu-batu karabg di bawah sana, lalu diterima ombak yang ganas. Akan tetapi Wulansari adalah seorang gadis yang sakti dan amat tabah. Ia duduk melamun, kadang-kadang menjenguk ke bawah.
Sudah berkali-kali kakeknya memperingatkan agar ia jangan bermain-main di tebing itu. Terlalu berbahaya tempat itu, pesan eyangnya. Namun, semakin dilarang, semakin tertarik hatinya dan akhirnya ia seperti jatuh cinta pada tempat itu. Dan kakeknya akhirnya mendiamkannya saja karena maklum bahwa cucu itupun dapat melindungi diri sendiri dengan baiknya.
Tiba-tiba Wulansari membalikkan mukanya, memandang ke arah belakang karena pendengarannya yang tajam dan perasaannya yang peka seperti memberitahu bahwa ada orang datang menghampirinya. Dan benar saja, ia melihat seorang pria muda mendaki tebing itu dan begitu meiihat bentuk tubuh pria itu, ia meloncat berdiri dan menyongsong kedatangannya.
"Kakangmas Nurseta.......!" teriaknya dengan penuh keriangan, berlari menghampiri sambil merentangkan kedua lengannya.
"Diajeng Wulansari........!"
Mereka berpelukan, Wulansari merangkul dengan eratnya, seolah-olah hendak melekatkan lubuhnya dengan tubuh pemuda itu agar lidak sampai berpisah lagi.
"Kakang....... kakangmas Nurseta........, betapa rinduku kepadamu, kakangmas........!" katanya lagi dan entah siapa yang rnendabului, akan tetapi mereka sudah saling rangkul, saling cium, melepasban seluruh kerinduan hati mereka.
Akhirnya Nurseta yang dapat menenangkan diri dan dengan lembut dia merangkul pundak gadis itu dan berkata, "Diajeng, mari kita duduk vang baik di sana dan bicara dengan tenang"
Wulansari mengangguk, dan dapat menenangkan hatinya, lalu sambil bergandeng tangan mereka menuju ke tepi tebing di mana terdapat beberapa buah batu yang halus dan enak untuk menjadi tempat duduk.
Di atas sebuah batu panjang, mereka duduk berdampingan dan Wulansari dengan sikap manja dan rnencina , menyandarkan kepalanya di dada pemuda itu. Nurseta merangkulnya dan mengusap-usap rambut kepala yane hitam halus dan panjang itu.
"Kakangmas Nurseta, sungguh aku merasa berbahagia sekali bahwa engkau datang begini cepat, tepat pada saat aku amat men butuhkanmu. Enckau tentu datang untuk melamarku, bukan?"
Pertanyaan ini menusuk perasaan Nurseta. Kaiau saja dia dapat membenarkan dan mengangguk. Akan tetapi tidak, dia menggeleng dan menarik napas panjang.
"Sayang sekali tidak, diajeng. Aku datang untuk minta kembali tombak pusaka Ki Ageng Teianirmala darimu" Melihat gadis itu tersentak kaget, Nurseta melanjutkan, "Aku telah bertanya-tanya dan mendapatkan di mana tempat tinggal eyangmu. Ki Cucut Kalasekti dan tadi aku melihat engkau berlari keluar dari rumah besar itu. Aku lalu mengikutimu dan menemuimu di sini. Untung sekali engkau keluar dari rumah itu sehingga aku tidak perlu menemui eyangmu......"
"Tapi..........tapi engkau sudah berjanji untuk datang melamarku! Mari kita temui eyang dan kau pinang aku untuk menjadi isterimu, kakangmas!"
"Nurseta menggeleng dan tersenyum pahit. "Tidak, diajeng, aku datang untuk minta kembali tombak pusaka......."
"Persetan dengan tombak pusaka itu!" teriak Wulansari marah. "Tombak pusaka itu uruan kecil, yang terpenting adalah perjodohan kita, kakangmas!"
"Aku sudah siap menghadapi ini" pikir Nurseta, Memang, di dalam perjalanannya, dia sudah membayangkan betapa dia harus berani menghadapi Wulansari dan berani pula mengadakan pengakuan seperti yang telah dilakukan di depan Pertiwi, hanya sekali ini, pengakuannya berbeda dan terbalik!
"Maaf, diajeng, terpaksa harus kukatakan bahwa aku tidak dapat melamarmu"
"Kenapa" Kenapa" Bukankah engkau cinta padaku, kakangmas?"
"Benar, diajeng......"
"Nah, engkau cinta padaku dan aku mencintaimu, apa lagi" Mengapa engkau tidak dapat melamarku?" Desak gadis itu, penuh penasaran membayang di pandang matanya yang tajam menyelidik.
"Memang, aku cinta padamu, diajeng dan tidak ada wanita lain di dunia ini kecuali engkau yang kucinta. Akan tetapi, aku tidak mungkin dapat berjodoh denganmu karena aku telah dijodohkan dengan wanita lain"
"Ahhhh........" Gadis itu menjerit. "Engkau cinta padaku akan tetapi engkau dijodohkan dengan gadis lain" Kenapa engkau mau?"
Nurseta menundukkan mukanya. "Karena itu kehendak ayah angkatku, dan aku tidak dapat menolak, aku harus berbakti kepadanya, membalas budi kebaikannya"
"Gila I Engkau gila, kakangmas Nurseta ! Akupun hendak dijodohkan dengan orang lain, bukan orang sembarangan. Aku telah dilamar oleh Sang Prabu Jayakatwang sendiri, Raja Dhaha! Dengar baik-baik, Sang Prabu Jayakatwang melamarku untuk menjadi selirnya dan aku menolak keras, karena aku cinta padamu, karena aku mengharapkan lamaranmu untuk menjadi isterimu. Dan kini engkau datang hanya untuk mengatakan bahwa engkau tidak dapat berjodoh denganku karena engkau telah berjodoh dengan gadis lain." Di dalam suara gadis itu terkandung kemarahan besar.
"Terserah pendapatmu, diajeng. Agaknya memang Hyang Maha Tunggal telah menentukan bahwa kita tidak saling berjodoh"
"Mustahil! Ini bukan kehendak Hyang Maha Tunggal, melainkan kehendakmu! Kakangmas Nurseta, bersikaplah jantan, katakan terus terang apakah engkau mencinta gadis yang lain itu seperti engkau mencinta aku seperti katamu tadi?"
Nurseta menggeleng kepalanya dengan pasti. "Tidak, diajeng, aku tidak cinta padanya"
"Engkau tidak cinta padanya namun akan menjadi suaminya, dan engkau cinta padaku akan tetapi tidak dapat menjadi jodohku. Adakah yang lebih gila dari ini " Kakangmas Nurseta, siapakah nama gadis itu dan di mana ia tinggal ?" Di dalam pertanyaan itu terkandung ancaman yang membuat hati Nurseta merasa ngeri.
"Engkau tidak perlu tahu, diajeng, tidak ada gunanya bagimu. Aku datang untuk minta kembali tombak pusaka Ki ageng Tejanirmala, harap kau suka memberikan kepadaku"
"Tidak! Tidak akan kuberikan, kecuali kalau engkau membatalkan perjodohanmu dengan gadis itu kemudian menikah dengan aku !"
"Tidak mungkin, diajeng!"
Keduanya telah berdiri dan saling berhadapan, dan Wulansari mengepal kedua tangannya, matanya berlinang air mata akan tetapi mengeluarkan sinar yang ganas penuh kemarahan. "Sekali lagi, kakangmas Nurseta, demi cinta kita, maukah engkau membatalkan perjodohanmu dengan gadis itu lalu menikah dengan aku?"
"Tidak! Tidak mungkin......."
"Nurseta! Engkau menghaucurkan kebahagiaanku, engkau mematahkan semua harapanku! Kalau begitu, dari pada engkau terjatuh ke tangan wanita lain, lebih baik aku melihat engkau mati!" Setelah berkata demikian secara Tiba-tiba sekali Wulansari sudah menerjang dengan serangan kilat yang amat dahsyat ! Nurseta terkejut bukan main melihat pukulan yang datang bagaikan halilintar menyambar itu. Itulah Aji Gelap Sewu, suatu ilmu pukulan yang dipelajari dengan tekun oleh Wulansari dari Ki Cucut Kalasekti. Nurseta cepat meloncat ke samping, jauh, untuk menghindarkan diri dari hantaman tangan yang mengandung Aji Gelap Sewu itu. Wulansari yang melihat betapa serangannya luput, cepat membalik dan bergerak hendak mengejar dan menyerang lagi.
"Diajeng Wulansari, jangan.......!" Nurseta mengeluh dan mengangkat kedua tangannya. Namun, gadis yang sudah marah sekali karena kecewa dan duka itu, tidak perduli dan sudah menerjang lagi dengan pukulan seperti tadi, hanya lebih dahsyat karena ia mengerahkan seluruh tenaganya. Agaknya ia memang ingin membunuh pria yang dicintanya akan tetapi hendak meninggalkannya untuk menikah dengan gadis lain itu.
"Ihhhhb.......!" Wulansari mengeluarkan lengkingan nyaring ketika menyerang. Melihat betapa serangan itu sekali ini demikian dah syatnya sehingga amat membahayakan dirinya kalau dielakkan saja, terpaksa Nurseta mengerahkan tenaganya, yaitu tenaga Sari Patala, dan kedua kakinya memasang kuda-kuda dengan Aji Wandiro Kingkin, seolah-olah kedua kakinya itu tumbuh akar dan kedua lengannya menangkis datangnya pukulan kedua tangan gadis itu.
"Dukkkk!" Hebat bukan main pertemuan antara dua pasang lengan itu dan akibatnya, tubuh Wulansari terdorong mundur dan ia terhuyung.
"Diajeng Wulansari........I" Nurseta melangkah menghampiri untuk menolong kalau-kalau gadis itu menderita luka. Akan tetapi, Wulansari hanya terdorong karena kalah kuat tenaganya, ia tidak terluka, bahkan menjadi semakin marah. Melihat Nurseta menghampirinya, Tiba-tiba gadis itu mengeluarkan suara mendesis seperti ular atau seperti suara air laut mendidih. Mendengar suara ini, Nurseta terkejut karena merasa betapa tubuhnya seolah-olah menjadi kaku. Dan pada saat itu, Wulansari sudah menyerang lagi.
Pukulan-pukulannya datang bergelombang seperti ombak samudera.
Nurseta masih ingat untuk mengerahkan Aji Jagad Pralaya. "Hyaaaat I" dia mengeluarkan bentakan nyaring dan seketika tubuhnya dapat bergerak lagi, lalu dia berloncatan ke belakang sambil mengelak. Namun, serangan Wulansari datang bertubi-tubi, susul menyusul seperti ombak lautan kidul yang sedang marah. Memang itulah Aji Pukulan Segoro Umub (Lautan Mendidih) yang amat ganas dan buas. Datangnya serangan itu bertubi dan bersambung-sambung, amat cepatnya tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk membalas.
Namun, Nurseta memiliki tingkat yang lebih tinggi dan tentu dia akan mampu membalas serangan gadis itu kalau dia mau. Akan tetapi tidak, dia tidak sampai hati untuk membalas dan hanya mengelak atau menangkis saja. Kalau menangkispun, dia tidak mengerahkan seluruh tenaganya, hanya cukup untuk menahan dan mengimbangi pukulan lawan.
Ketika semua serangannya gagal, Wulansari menjadi semakin marah. Saking jengkelnya air mata menetes-netes di atas kedua pipinya, akan tetapi ia tidak mengeluarkan suara tangisan, melainkan menyerang terus, makin lama semakin dahsyat.
"Diajeng, tenanglah, aku bukan musuhmu, aku cinta padamu, diajeng Wulansari.......!"
Berkali kali Nurseta memperingatkan. Akan tetapi, diingatkan tentang cinta pemuda itu kepadanya, cinta yang tidak di Ianjutkan dengan perjodohan, hati Wulansari terasa semakin sakit dan iapun menyerang terus tanpa menjawab. Ia mendesak terus dan mereka berdua berkelahi di dekat tebing yang amat curam itu.
Tiba-tiba muncul Ki Cucut Kalasekti! Melihat cucunya berkelahi melawan seorang pemuda, kakek itu mengerutkan aiisnya. Dia segera mengenal pemuda yang dahulu pernah menyerangnya ketika dia melarikan Wulansari dan teringatlah dia betapa Wulansari mengaku
saling mencinta dengan pemuda ini. Dan sekarang, mereka berkelahi! Diapun terkejut melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak membalas, mengalah dan hanya mengelak dan menangkis. Hal ini menunjukan bahwa pemuda itu memang memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi dari pada cucunya. Pemuda ini cukup sakti dan berbahaya pikirnya.
Diam-diam kakek ini meraba baju yang menempel ketat di dadanya, baju yang seperti sisik ikan. Ternyata ada tujuh buah "sisik" lepas dari baju itu dan berada di tangannya, terselip di antara jari-jari tangan kanan. Sisik itu sebesar kuku ibu jari kaki, tipis dan melengkung terbuat dari baja putih dan ternyata benda ini ketika masih menempel di baju menjadi perisai yang membuat tubuh menjadi kebal, kini jetelah dilepas dapat dipergunakan sebagai senjata rahasia yang ampuh dan beracun! Kemudian, kakek itu meloncat ke depan, menyerang Nurseta sambil membentak dengan suara mendesis parau.
Nurseta yang sedang didesak oleh Wulansari, terkejut sekali ketika Tiba-tiba diserang oleh kakek yang dikenalnya sebagai Ki Cucut Kalasekti. Kembali dia merasa tubuhnya kaku begitu mendengar suara mendesis seperti yang dilakukan Wulansari tadi, akan tetapi sekali ini lebib kuat lagi pengaruhnya. Dan pukulan kedua tangan kakek itu sudah datang menyambar dengan dahsyatnya!
"Hyaaaaatttt....!" Cepat Nurseta mengerahkan Aji Jagad Pralaya untuk menyelamatkan diri. Hawa pukulan yang luar biasa keluar dari kedua tangannya. Wulansari terdorong roboh, juga Ki Cucut Kalasekti terhuyung ke belakang, tidak kuat menghadapi hawa pukulan Jagad Pralaya yang luar biasa ampuhnya itu. Akan tetapi, dari tangan Kanan kakek itu sudah menyambar tujuh buah benda yang mengeluarkan sinar berkilauan. Enam di antara tujuh buah benda yang ternyata adalah sisik beracun tadi, menyeleweng oleh hawa pukulan Jagad Pralaya dan tidak mengenai sasaran, akan tetapi sebuah di antaranya masih dapat mengenai pundak kanan Nurseta.
"Auhh........!" Nuraseta berseru kaget dan kesakitan, tubuhnya terjengkang dan karena dia berdiri di tepi tebing, maka ketika tubuhnya terjengkang ke belakang, otomatis diapun terjatuh ke bawah tebing yang amat curam itu!
"Kakangmas Nurseta.......I Ah, kakangmas .......!" Wulansari menjerit-jerit dan Ki Cucut
Kalasekti terpaksa harus merangkul dan memeganginya erat-erat agar gadis itu jangan sampai ikut meloncat ke bawah tebing. Wulansari menjerit-jerit memanggil nama Nurseta, menangis sesenggukan seperti anak kecil. Hal ini mengejutkan hati Ki Cucut Kalasekti karena belum pernah gadis yang berhati baja ini menangis seperti ini!
"Tenanglah, Wulan! Engkau tadi menyerangnya mati-matian, akan tetapi setelah dia terjatuh ke tebing, kenapa engkau menangis seperti ini?"
"Eyang, kau telah membunuhnya! Aku......aku menyerangnya karena kecewa dan marah, bukan untuk membunuhnya. Engkau........ membunuhnya, eyang. Dia terjatuh ke sana........
ah, kakangmas Nurseta,......"
Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya, lalu menggaruk-garuk belakang telinga. "Sungguh bingung aku. Engkau tadi menyerangnya mati-matian, hal itu aku tahu benar. Kemudian aku membantumu dan dia terkena sambitan Sisik Nogo, andai tidak terjatuhpun dia akan mati oleh racun senjata rahasiaku itu. Sekarang dia sudah tewas, apa perlunya kau menangis" Dan pula, mengapa tadi engkau menyerangnya mati-matian?"
Wulansari sudah dapat menguasai hatinya. Ia duduk terkulai di atas tanah, air matanya masih bercucuran akan tetapi tidak terisak lagi.
"Eyang, engkau menghancurkan kebahagiaanku, engkau membunuh orang yang kucinta. Tadi dia datang untuk minta kembali Tejanirmala, aku mengingatkan dia akan cinta antara kami dan menuntut agar dia melamarku. Tapi dia....... dia bilang tidak dapat melamarku, karena dia telah dijodohkan dengan gadis lain dan dia setuju untuk berbakti kepada Ki Baka, ayah angkatnya itu. Ah, keparat! Akan kucari dan kubunuh gadis itu!" Wulansari mengepal tinju dan matanya mengeluarkan sinar ganas.
Diam-diam Ki Cucut Kalasekti merasa girang sekali. Dengan kematian pemuda itu, maka hilanglah gangguan besar di kemudian hari, dan ada harapan cucunya akan menerima pinangan Sang Prabu Jayakatwang! "Sudahlah, cucuku. Mari kita pulang. Tiada gunanya memikirkan lagi orang yang sudah tiadaDan tentang gadis lain itu, apa sukarnya kelak kaucari dan kau bunuh, kalau memang hatimu masih penasaran?"
"Tapi...... mungkin dia masih hidup......"
Gadis itu berkata sambil memandang ke tepi tebing.
"Ah, tidak mungkin ! Hanya burung bersayap saja yang akan mampu menyelamatkan diri kalau tergelincir ke bawah sana" Mereka lalu menjenguk ke bawah dan tidak nampak sesuatu kecuali air laut dan batu-batu karang yang dari atas nampak kecil-kecil. Wulansari bergidik. Tak dapat disangsikan lagi, Nurseta pasti sudah tewas jauh di bawah sana, tubuhnya hancur dan lenyap dihempaskan ke batu-batu karang oleh ombak laut selatan yang ganas.
"Kakangmas Nurseta......." ia berbisik dan menurut saja ketika lengannya ditarik oleh kakeknya, diajak pulang ke rumah kuno yang besar itu. Mereka melanjutkan pekerjaan mereka berkemas dan setelah selesai merekapun boyongan ke tempat tinggal baru mereka, yaitu di Bendowinangun, di mana Ki Cucut Kalasekti menjadi adipati, dengan julukan Adipati Satyanegara !
*** Tidak salah pendapat Ki Cucut Kalasekt bahwa hanya burung bersayap saja yang mampu menyelamatkan diri kalau tergelincir ke bawah tebing yang curam itu. Ini adalah pendapat manusia, menurut perhitungan dan kekuasaan manusia. Akan tetapi, ada kekuasaan rahasia yang tertinggi, yang merupakan rahasia bagi kita manusia, yang mengatur mati hidupnya seseorang. Kekuasaan tertinggi yang penuh rahasia ini begitu sering terjadi di depan mata kita. Bencana besar terjadi, kecelakaan yang mengerikan di mana manusia-manusia dewasa yang kuat dan berakal budi menjadi korban dan tewas, akan tetapi ada anak bayi yang lemah tak berdaya malah selamat. Siapakah yang mengatur semua ini kalau bukan kekuasaan yang tertinggi"
Inilah yang membuat Nurseta waspada sehingga ketika tubuhnya melewati sebatang pohon yang tumbuh melintang dan yang KEBETULAN sekali searah dengan kejatuhannya, tangan kanan kiri meraih dan mencengkeram, dan....... dahan pohon itu cukup kuat untuk
menahan Iuncuran tubuhnya!
Biarpun kini luka di pundaknya ditambah lagi rasa nyeri pada kedua pangkal lengannya ketika pegangan kepada dahan pohon itu menahan Iuncuran tubuhnya sehingga dia tersentak kuat-kuat, Nurseta masih dapat merayap ke dalam pohon itu, duduk di atas dahan terbesar, terengah-engah dan perlahan-lahan diapun dapat memulihkan keadaan tubuhnya. Dengan menghirup udara segar secara mendalam, dia dapat memulihkan tenaganya dan dapat menyalurkan hawa sakti dalam tubuhnya untuk melawan rasa panas dan nyeri pada pundak kanannya. Dia melihat ke atas. Puncak tebing dari mana dia terjatuh tadi amat tinggi, bahkan pohon itupun dari atas hanya akan nampak seperti semak-semak rumput kecil saja. Ketika menjenguk ke bawah, nampak gelombang besar menghempaskan lidah-lidah ombak ke batu karang ! Masih setinggi pohon kelapa dari pohon itu ke bawah ! Dan andaikata dapat merayap ke bawah, hal yang kiranya tidak mungkin atau amat sukar dan berbahaya, dia hanya akan diterima air laut yang ganas dan tentu akan menghancurkan tubuhnya pada batu-batu karang. Turun tak mungkin, naik lebih tidak mungkin lagi! Hemm, apa bedanya terbanting hancur di bawah sana dan tertahan di pohon ini untuk kemudian tidak ada jalan keluar dan mati pula" Tidak, tidak mungkin, pikirnya. Tidak mungkin Tuhan Yang Maha Kuasa menyelamatkannya dari ancaman maut hanya untuk dibiarkan mati perlahan-lahan di pohon itu ! Semua peristiwa sudah dikehendaki Tuhan dan pasti ada hikmahnya ! Dia merasa yakin akan hal ini dan mulailah pemuda yang tak pernah mengenal putus asa ini mencari-cari sekitar pohon itu dengan pandang matanya.
Ketika pandang matanya bertemu sebuah lubang goa tak jauh dari pohon itu, dia tidak merasa heran. Dia sudah yakin bahwa Tuhan menghendaki dia hidup, dan goa itu agaknya sudah siap untuk menampung dirinya, di mana dia dapat menyelamatkan diri. Betapapun juga, dia seorang manusia biasa dan melihat goa besar itu, jantungnya berdebar tegang. Mampukah dia merayap ke goa yang jauhnya masih kurang lebih sepuluh meter dari pohon itu " Dia harus bisa! Kalau saja dia tidak terluka, pekerjaan itu tentu saja amat mudah baginya. Jangankan hanya merayap melalui permukaan dinding tebing yang kasar dan banyak terdapat bagian yang menonjol sehingga dapat dijadikan pegangan dan injakan sejauh sepuluh meter, biar merayap turun sampai ke dasar tebing yang setinggi pohon kelapa itu dia tentu dapat, kalau dalam keadaan biasa dan tidak terluka. Namun, luka di pundak kanannya terasa nyeri dan kini membengkak I
Nurseta mengumpulkan kekuatannya dan diapun mulai merayap meninggalkan pohon itu, bergantungan di dinding tebing yang kasar, setapak demi setapak menuju ke lubang goa yang menganga. Akhirnya, berhasil juga dia mencapai mulut goa yang lebarnya tidak kurang dari tiga meter itu, dan kini dia berdiri di mulut goa. Ternyata goa itu dalam sekali dan dari luar nampak kegelapan di sebelah dalam.
Tiba-tiba dia mendengar suara ketawa yang mengerikan. Biarpun Nurseta seorang pemuda gemblengan yang gagah perkasa, mau tidak mau dia merasa tengkuknya dingin mendengar suara ketawa ini. Suara ketawa wanita, atau lebih tepat lagi, suara ketawa iblis betina!
"Hlhi hik hehheh, laki-laki iblis, engkau datang mengantar nyawa, hi hik!" Dan Tiba-tiba saja ada angin menyambar dari dalam goa. Untung Nurseta bersikap waspada, maka dengan cepat dia dapat mengelak kekiri lalu ke kanan ketika dua buah batu sebesar buah kelapa itu menyambar ke arah tubuhnya. Akan tetapi, begitu sambitan yang amat kuat itu luput, kini dari dalam goa itu meloncat sesosok tubuh yang membawa sebatang bambu runcing dan orang itu menyerangnya dengan tusukan-tusukan dahsyat sekali!
Nurseta terkejut. Kini matanya sudah terbiasa dengan keremangan dalam goa itu dan dia melihat bahwa yang menyerangnya mati-matian adalah storang wanita! Seorang wanita setengah tua, berusia empatpuluh lebih sedikit, dan biarpun wanita itu berpakaian buruk dan lusuh, dengan rambut panjang riap-riapan, namun wajah itu cantik. Dan serangan dengan tusukan-tusukan bambu runcing itupun aneh dan berbabahaya sekali, gerakannya cepat dan bertubi-tubi. Sungguh. merupakan gerakan silat merepergunakan senjata bambu runcing yang amat dahsyat, dan untungnya dia melihat bahwa tenaga yang terkandung dalam serangan-serangan itu tidak begitu kuat. Oleh karena itu, setelah mengelak dengan berloncatan ke sana-sini untuk beberapa lamanya, Tiba-tiba dia berhasil menangkap bambu runcing itu dan dengan pengerahan tenaganya, dia mencengkeram dan wanita itu tidak mampu menggerakkan senjatanya lagi.
"Maafkan, bibi. Akan tetapi, aku bukan musuhmu!" katanya sambil memandang tajam.
Setelah kini tidak bergerak menyerang, wanita itu terbelalak memandang dengan matanya yang bagus, dan agaknya ia terkejut melihat bahwa yang diserangnya itu seorang pemuda tampan, bukan musuh yang ditunggu dan amat dibencinya selama bertahun-tahun ini.
"Ahh........ engkau bukan dia........ kau ......kau siapakah, orang muda" Dan bagaimana
engkau dapat tiba di sini......." Hemm, engkau tentu kaki tangannya! Engkau tentu datang karena diutus olehnya!" Dan wanita itu mencoba untuk menarik kembali bambu runcingnya. Akan tetapi Nurseta tetap memegang ujungnya sehingga wanita itu tidak mampu menarik lepas. Sejenak wanita itu memandang heran. "Kau........ kau siapakah dan mau apa datang ke sini?" Akhirnya ia bertanya, wajahnya memperlihatkan kecemasan,
"Bibi yang baik, tenanglah, bibi, Saya bukan orang jahat, bukan musuh bibi, dan saya dapat tiba di goa ini karena kebetulan saja. Saya terjatuh dari atas tebing sana, bibi......."
Tiba-tiba wanita itu terkekeh, ketawa dan melihat sikapnya, tahulah Nurseta bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita yang tidak waras atau yang agak miring otaknya! Wanita ini amat menderita, dan agaknya guncangan batin membuat ia menjadi gila atau setidaknya, dalam keadaan tidak waras. Timbul perasaan iba di hatinya terhadap wanita ini.
"Hihihik, jatuh dari atas sana" Dan engkau tidak mati, akan tetapi dapat sampai ke sini" Aneh....... hehheh, aneh......"
"Memang kedengarannya aneh, bibi, akan tetapi apakah keanehannya kalau Tuhan Yang Maha Kuasa menghendaki demikian" Buktinya, bibi sendiripun dapat berada di sini dalam keadaan selamat. Ketika terjatuh, aku tersangkut pada pohon di sana itu, lalu dapat merayap ke sini dengan selamat"
"Tapi, kenapa engkau bisa terjatuh dari atas" Apakah engkau hendak bunuh diri?"
Tiba-tiba sepasang mata yang bagus itu mengeluarkan sinar iba sehingga Nurseta merasa terharu. Bagaimanapun juga, pada dasarnya hati wanita di depannya ini baik.
"Tidak, bibi. Aku dipaksa orang sampai terjatuh, diserang dan terluka pundakku......."
"Hemm, dunia memang kotor, banyak dikotori manusia-manusia jahat! Siapa yang menyerangmu sampai engkau jatuh dari atas tebing, orang muda" Siapa dia yang jahat itu?"
"Dia bernama Ki Cucut Kalasekti........."
Tiba-tiba wanita itu melepaskan bambu runcingnya dan melompat ke depan goa sambil menjerit, mengejutkan hati Nurseta.
"Dia! Siapa lagi kalau bukan dia yang sejahat itu! Iblis busuk, manusia jahanam dia itu. Akan kubunuh engkau, Cucut Kalasekti ........!" Dan Tiba-tiba wanita itu menangis terisak-isak.
Nurseta menarik napas panjang. Agaknya Ki Cucut Kalasekti pulalah musuh wanita ini, dan mungkin sekali kakek jahat itu yang membuat wanita ini sengsara di tempat ini. Kini wanita itu telah berhenti menangis dan ketika wanita itu menurunkan kedua tangan yang tadi menutupi mukanya, dan karena ia berdiri di depan goa sehingga mukanya tertimpa sinar matahari pagi, Nurseta dapat melihat wajahnya dengan jelas dan diapun tercengang.
"Kau.......!" Tanpa disadarinya mulutnya berseru dan matanya terbela!ak memandang wajah wanita itu.
Wanita itu balas memandang dengan heran, lalu menghampiri, "Orang muda, apa maksudmu ?" Agaknya kini pikirannya sudah waras kembali.
Nurseta menyadari kekeliruannya. "Maaf, bibi akan tetapi aku........ rasanya pernah melihat bibi, pernah mengenal bibi, entah di mana......."
Wanita itu mengerutkan alisnya dan mengamati wajah Nurseta, lalu menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin. Aku tidak pernah melihatmu, dan berapa sekarang usiamu ?"
"Duapuluh satu tahun, bibi"
"Dan aku sudah sepuiuh tahun berada di sini, di neraka ini. Ketika aku masuk ke sini, engkau baru berusia sebelas tahun, bagaimana mungkin bertemu dengan aku " Sudahlah, sekarang ceritakan bagaimana engkau dapat bertentangan dengan Cucut Kalasekti sehingga engkau terlempar jatuh dari atas tebing itu"
Mereka duduk di mulut goa, Nurseta bersila di atas lantai dan wanita itu duduk di atas sebuah batu, saling berhadapan. Nurseta masih mengamati wajah itu dengan penuh keheranan karena wajah wanita itu sungguh tidak asing haginya. "Begini, bibi, pagi tadi saya sedang bicara dengan ......" Tiba-tiba dia terbelalak menatap wajah wanita itu karena sekarang dia teringat.
"Bibi ........wajah bibi ....... serupa benar dengan diajeng Wulansari........!!"
Tiba-tiba wajah wanita itu menjadi pucat, matanya terbelalak dan iapun menangkap lengan tangan Nurseta. Dicengkeramnya lengan itu, akan tetapi Nurseta mengerahkan tenaga dan karena tenaga wanita itu memang tidak berapa kuat baginya, dia mampu bertahan, dan tetap siap siaga dan waspada kalau-kalau wanita yang setengah gila ini kumat lagi gilanya.
"Wulansari......." Kaukenal Wulansari ......" Ia.........ia anakku ........ ohhh, Wulan anakku
......." Dan wanita itu menangis lagi, terisak-isak ia menangis dengan sedihnya. Nurseta menjadi bengong pula, Kalau wanita ini ibu kandung Wulansari, dan agaknya hal ini tidak diragukan kebenarannya melihat persamaan wajah antara mereka, lalu berarti wanita ini puteri Ki Cucut Kalasekti yang mengaku sebagai kakek Wulansari. Akan tetapi mengapa wanita ini begitu membenci Cucut Kalasekti" Dia membiarkan wanita itu menangis dan akhirnya tangis itupun terhenti,
"Engkau mengenal anakku Wulan" Ah, orang muda, ceritakan padaku, bagaimana ia sekarang" Bagaimana rupanya" Apakah ia sudah besar dan selamat?" Wanita itu mendekat dan duduk di depan Nurseta. Pemuda ini Diam-diam merasa heran. Wanita ini berpakaian kumal dan rambutnya riap-riapan, akan tetapi tubuhnya nampak bersih dan tidak mengeluarkan bau apak.
"Ia sudah dewasa, bibi, dan ia........ ia cantik sekali, wajahnya mirip dengan wajah bibi. Ia manis dan sederbana, kulitnya kuning, matanya tajam seperti mata bintang, hidungnya kecil mancung dan bibirnya indah sekali. Ada lesung pipit di sebelah kiri mulut, dan di atas pipi kanan ada sebuah tahi lalat kecil"
"Benar, benar! Ia anakku Wulan, memang sejak kecil mirip sekali dengan aku. Orang muda yang baik, kau ceritakanlah, bagaimana engkau bertemu dengan Wulan, dan bagaimana pula riwayatnya........ ah, ceritakanlah, aku berterima kasih sekali padamu......" Kini wanita itu nampak waras dan dari pandang matanya, suaranya, terkandung permohonan.
Nurseta mengangguk-angguk, merasa kasihan sekali kepada wanita ini. "Begini ceritanya, bibi. Sepuluh tahun yang lalu, diajeng Wulansari diselamatkan oleh Ki Jembros ketika perahu yang ditumpanginya terbalik di lautan. Ki Jembros membawa diajeng Wulansari kepada Eyang Panembahan Sidik Danasura yang berhasil mengobatinya, akan tetapi biarpun diajeng Wulansari sembuh, namun ia kehilangan ingatannya. Yang diingat hanya namanya saja, yaitu Wulansari. Ia tidak ingat lagi dari mana, siapa keluarganya dan mengapa perahunya terbalik"
"Ahhh....... Wulansari anakku, sungguh kasihan sekali engkau......" Wanita itu menyusut air matanya yang jatuh berderai mendengar akan kemalangan puterinya. "Maaf, orang muda, masfkan kelemahanku, dan lanjutkanlah ceritamu tentang anakku"
"Setelah ia menjadi murid Eyang Panembahan Sidik Danasura selama lima tahun, yaitu ketika ia berusia limabelas tahun, saya bertemu dengan diajeng Wulan ketika saya datang berkunjung ke padepokan Eyang Panembahan. Dan pada saat itu, dari laut muncul Ki Cucut Kalasekti yang mencilik diajeng Wulansari........"
"Ah, si keparat! Si jahanam busuk, iblis betupa manusia!" wanita itu mengepal kedua tangannya dan memaki-maki.
"Maaf, bibi, akan tetapi dia mengaku sebagai kakek dari diajeng Wulansari......."
"Kakek apa" Dia bohong besar! Ah, kasihan anakku Wulan, dalam keadaan kehilangan ingatan, ia tertipu dan terbujuk oleh iblis busuk itu"
"Akan tetapi, bibi, diajeng Wulansari agaknya disayang oleh kakek itu, bahkan menjadi muridnya yang sakti"
"Celaka........celaka........ anakku. Sudahlah, lanjutkan ceritamu tadi, orang muda"
"Ki Cucut Kalasekti menculik diajeng Wulansari, saya hendak mencegah akan tetapi ketika itu saya bukanlah lawannya dan saya dirobohkan, diajeng Wulansari dilarikan melalui lautan, Keinudian, tidak ada kabar ceritanya tentang diajeng Wulansari sampai empat tahun kemudian, saya beberapa kali bertemu dengan diajeng Wulansari" Nurseta menceritakan tentang kemunculan Wulansari sebagai seorang gadis yang sakti, bahkan kemudian gadis itu merampas tombuk pusaka Ki Ageng Tejanirmala.
"Dan pagi ini, saya datang untuk meminta kembali tombak pusaka itu dari diajeng Wulansari....."
"Nanti dulu, orang muda. Engkau menyebat diajeng kepada anakku, dan nampaknya engkau amat akrab dengannya. Sampai berapa jauh perhubungan antara kaliau?"
"Bibi, kami...... kami saling mencinta" jawab Nurseta sejujurnya.
"Ah.......! Ahh........! Anakku......... aku girang sekali, aku setuju, engkau anak baik!" Wanita itu tiba tiba merangkul din Nurseta diam saja walaupun hatinya merasa tegang. Wanita itu lalu melepaskan rangkulannya dan mengamati wiijah Nurseta. "Eit kau tampan dan gagah. Siapakah uamumu, nak?"
"Nama saya Nurseta, kanjeng bibi" katanya penuh hormat.
"Nurseta, nama yang bagus! Dan siapakah orang tuamu, Nurseta?"
"Ayah saya Pangeran Panji Hardoko, sudah meninggal dunia....... "
"Pangeran Panji Hardoko dari Kediri" Jadi engkau orang Kediri, anakku?"
Nurseta mengangguk. "Namun sejak kecil sekali saya dipelihara dan dididik sebagai anak angkat oleh Ayah Ki Baka, seorang kawula Singosari yang setia. Karena itu saya menganggap diri saya juga kawula Singosari" jawab pula Nurseta dengan sejujurnya.
"Kenapa" Kenapa" Bukankah engkau cinta padaku, kakangmas?"
"Benar, diajeng......"
"Nah, engkau cinta padaku dan aku mencintaimu, apa lagi" Mengapa engkau tidak dapat melamarku?" Desak gadis itu, penuh penasaran membayang di pandang matanya yang tajam menyelidik.
"Memang, aku cinta padamu, diajeng dan tidak ada wanita lain di dunia ini kecuali engkau yang kucinta. Akan tetapi, aku tidak mungkin dapat berjodoh denganmu karena aku telah dijodohkan dengan wanita lain"
"Ahhhh........" Gadis itu menjerit. "Engkau cinta padaku akan tetapi engkau dijodohkan dengan gadis lain" Kenapa engkau mau?"
Nurseta menundukkan mukanya. "Karena itu kehendak ayah angkatku, dan aku tidak dapat menolak, aku harus berbakti kepadanya, membalas budi kebaikannya"
"Gila I Engkau gila, kakangmas Nurseta ! Akupun hendak dijodohkan dengan orang lain, bukan orang sembarangan. Aku telah dilamar oleh Sang Prabu Jayakatwang sendiri, Raja Dhaha! Dengar baik-baik, Sang Prabu Jayakatwang melamarku untuk menjadi selirnya dan aku menolak keras, karena aku cinta padamu, karena aku mengharapkan lamaranmu untuk menjadi isterimu. Dan kini engkau datang hanya untuk mengatakan bahwa engkau tidak dapat berjodoh denganku karena engkau telah berjodoh dengan gadis lain." Di dalam suara gadis itu terkandung kemarahan besar.
"Terserah pendapatmu, diajeng. Agaknya memang Hyang Maha Tunggal telah menentukan bahwa kita tidak saling berjodoh"
"Mustahil! Ini bukan kehendak Hyang Maha Tunggal, melainkan kehendakmu! Kakangmas Nurseta, bersikaplah jantan, katakan terus terang apakah engkau mencinta gadis yang lain itu seperti engkau mencinta aku seperti katamu tadi?"
Nurseta menggeleng kepalanya dengan pasti. "Tidak, diajeng, aku tidak cinta padanya"
"Engkau tidak cinta padanya namun akan menjadi suaminya, dan engkau cinta padaku akan tetapi tidak dapat menjadi jodohku. Adakah yang lebih gila dari ini " Kakangmas Nurseta, siapakah nama gadis itu dan di mana ia tinggal ?" Di dalam pertanyaan itu terkandung ancaman yang membuat hati Nurseta merasa ngeri.
"Engkau tidak perlu tahu, diajeng, tidak ada gunanya bagimu. Aku datang untuk minta kembali tombak pusaka Ki ageng Tejanirmala, harap kau suka memberikan kepadaku"
"Tidak! Tidak akan kuberikan, kecuali kalau engkau membatalkan perjodohanmu dengan gadis itu kemudian menikah dengan aku !"
"Tidak mungkin, diajeng!"
Keduanya telah berdiri dan saling berhadapan, dan Wulansari mengepal kedua tangannya, matanya berlinang air mata akan tetapi mengeluarkan sinar yang ganas penuh kemarahan. "Sekali lagi, kakangmas Nurseta, demi cinta kita, maukah engkau membatalkan perjodohanmu dengan gadis itu lalu menikah dengan aku?"
"Tidak! Tidak mungkin......."
"Nurseta! Engkau menghaucurkan kebahagiaanku, engkau mematahkan semua harapanku! Kalau begitu, dari pada engkau terjatuh ke tangan wanita lain, lebih baik aku melihat engkau mati!" Setelah berkata demikian secara Tiba-tiba sekali Wulansari sudah menerjang dengan serangan kilat yang amat dahsyat ! Nurseta terkejut bukan main melihat pukulan yang datang bagaikan halilintar menyambar itu. Itulah Aji Gelap Sewu, suatu ilmu pukulan yang dipelajari dengan tekun oleh Wulansari dari Ki Cucut Kalasekti. Nurseta cepat meloncat ke samping, jauh, untuk menghindarkan diri dari hantaman tangan yang mengandung Aji Gelap Sewu itu. Wulansari yang melihat betapa serangannya luput, cepat membalik dan bergerak hendak mengejar dan menyerang lagi.
"Diajeng Wulansari, jangan.......!" Nurseta mengeluh dan mengangkat kedua tangannya. Namun, gadis yang sudah marah sekali karena kecewa dan duka itu, tidak perduli dan sudah menerjang lagi dengan pukulan seperti tadi, hanya lebih dahsyat karena ia mengerahkan seluruh tenaganya. Agaknya ia memang ingin membunuh pria yang dicintanya akan tetapi hendak meninggalkannya untuk menikah dengan gadis lain itu.
"Ihhhhb.......!" Wulansari mengeluarkan lengkingan nyaring ketika menyerang. Melihat betapa serangan itu sekali ini demikian dah syatnya sehingga amat membahayakan dirinya kalau dielakkan saja, terpaksa Nurseta mengerahkan tenaganya, yaitu tenaga Sari Patala, dan kedua kakinya memasang kuda-kuda dengan Aji Wandiro Kingkin, seolah-olah kedua kakinya itu tumbuh akar dan kedua lengannya menangkis datangnya pukulan kedua tangan gadis itu.
"Dukkkk!" Hebat bukan main pertemuan antara dua pasang lengan itu dan akibatnya, tubuh Wulansari terdorong mundur dan ia terhuyung.
"Diajeng Wulansari........I" Nurseta melangkah menghampiri untuk menolong kalau-kalau gadis itu menderita luka. Akan tetapi, Wulansari hanya terdorong karena kalah kuat tenaganya, ia tidak terluka, bahkan menjadi semakin marah. Melihat Nurseta menghampirinya, Tiba-tiba gadis itu mengeluarkan suara mendesis seperti ular atau seperti suara air laut mendidih. Mendengar suara ini, Nurseta terkejut karena merasa betapa tubuhnya seolah-olah menjadi kaku. Dan pada saat itu, Wulansari sudah menyerang lagi.
Pukulan-pukulannya datang bergelombang seperti ombak samudera.
Nurseta masih ingat untuk mengerahkan Aji Jagad Pralaya. "Hyaaaat I" dia mengeluarkan bentakan nyaring dan seketika tubuhnya dapat bergerak lagi, lalu dia berloncatan ke belakang sambil mengelak. Namun, serangan Wulansari datang bertubi-tubi, susul menyusul seperti ombak lautan kidul yang sedang marah. Memang itulah Aji Pukulan Segoro Umub (Lautan Mendidih) yang amat ganas dan buas. Datangnya serangan itu bertubi dan bersambung-sambung, amat cepatnya tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk membalas.
Namun, Nurseta memiliki tingkat yang lebih tinggi dan tentu dia akan mampu membalas serangan gadis itu kalau dia mau. Akan tetapi tidak, dia tidak sampai hati untuk membalas dan hanya mengelak atau menangkis saja. Kalau menangkispun, dia tidak mengerahkan seluruh tenaganya, hanya cukup untuk menahan dan mengimbangi pukulan lawan.
Ketika semua serangannya gagal, Wulansari menjadi semakin marah. Saking jengkelnya air mata menetes-netes di atas kedua pipinya, akan tetapi ia tidak mengeluarkan suara tangisan, melainkan menyerang terus, makin lama semakin dahsyat.
"Diajeng, tenanglah, aku bukan musuhmu, aku cinta padamu, diajeng Wulansari.......!"
Berkali kali Nurseta memperingatkan. Akan tetapi, diingatkan tentang cinta pemuda itu kepadanya, cinta yang tidak di Ianjutkan dengan perjodohan, hati Wulansari terasa semakin sakit dan iapun menyerang terus tanpa menjawab. Ia mendesak terus dan mereka berdua berkelahi di dekat tebing yang amat curam itu.
Tiba-tiba muncul Ki Cucut Kalasekti! Melihat cucunya berkelahi melawan seorang pemuda, kakek itu mengerutkan aiisnya. Dia segera mengenal pemuda yang dahulu pernah menyerangnya ketika dia melarikan Wulansari dan teringatlah dia betapa Wulansari mengaku
saling mencinta dengan pemuda ini. Dan sekarang, mereka berkelahi! Diapun terkejut melihat betapa pemuda itu sama sekali tidak membalas, mengalah dan hanya mengelak dan menangkis. Hal ini menunjukan bahwa pemuda itu memang memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi dari pada cucunya. Pemuda ini cukup sakti dan berbahaya pikirnya.
Diam-diam kakek ini meraba baju yang menempel ketat di dadanya, baju yang seperti sisik ikan. Ternyata ada tujuh buah "sisik" lepas dari baju itu dan berada di tangannya, terselip di antara jari-jari tangan kanan. Sisik itu sebesar kuku ibu jari kaki, tipis dan melengkung terbuat dari baja putih dan ternyata benda ini ketika masih menempel di baju menjadi perisai yang membuat tubuh menjadi kebal, kini jetelah dilepas dapat dipergunakan sebagai senjata rahasia yang ampuh dan beracun! Kemudian, kakek itu meloncat ke depan, menyerang Nurseta sambil membentak dengan suara mendesis parau.
Nurseta yang sedang didesak oleh Wulansari, terkejut sekali ketika Tiba-tiba diserang oleh kakek yang dikenalnya sebagai Ki Cucut Kalasekti. Kembali dia merasa tubuhnya kaku begitu mendengar suara mendesis seperti yang dilakukan Wulansari tadi, akan tetapi sekali ini lebib kuat lagi pengaruhnya. Dan pukulan kedua tangan kakek itu sudah datang menyambar dengan dahsyatnya!
"Hyaaaaatttt....!" Cepat Nurseta mengerahkan Aji Jagad Pralaya untuk menyelamatkan diri. Hawa pukulan yang luar biasa keluar dari kedua tangannya. Wulansari terdorong roboh, juga Ki Cucut Kalasekti terhuyung ke belakang, tidak kuat menghadapi hawa pukulan Jagad Pralaya yang luar biasa ampuhnya itu. Akan tetapi, dari tangan Kanan kakek itu sudah menyambar tujuh buah benda yang mengeluarkan sinar berkilauan. Enam di antara tujuh buah benda yang ternyata adalah sisik beracun tadi, menyeleweng oleh hawa pukulan Jagad Pralaya dan tidak mengenai sasaran, akan tetapi sebuah di antaranya masih dapat mengenai pundak kanan Nurseta.
"Auhh........!" Nuraseta berseru kaget dan kesakitan, tubuhnya terjengkang dan karena dia berdiri di tepi tebing, maka ketika tubuhnya terjengkang ke belakang, otomatis diapun terjatuh ke bawah tebing yang amat curam itu!
"Kakangmas Nurseta.......I Ah, kakangmas .......!" Wulansari menjerit-jerit dan Ki Cucut
Kalasekti terpaksa harus merangkul dan memeganginya erat-erat agar gadis itu jangan sampai ikut meloncat ke bawah tebing. Wulansari menjerit-jerit memanggil nama Nurseta, menangis sesenggukan seperti anak kecil. Hal ini mengejutkan hati Ki Cucut Kalasekti karena belum pernah gadis yang berhati baja ini menangis seperti ini!
"Tenanglah, Wulan! Engkau tadi menyerangnya mati-matian, akan tetapi setelah dia terjatuh ke tebing, kenapa engkau menangis seperti ini?"
"Eyang, kau telah membunuhnya! Aku......aku menyerangnya karena kecewa dan marah, bukan untuk membunuhnya. Engkau........ membunuhnya, eyang. Dia terjatuh ke sana........
ah, kakangmas Nurseta,......"
Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya, lalu menggaruk-garuk belakang telinga. "Sungguh bingung aku. Engkau tadi menyerangnya mati-matian, hal itu aku tahu benar. Kemudian aku membantumu dan dia terkena sambitan Sisik Nogo, andai tidak terjatuhpun dia akan mati oleh racun senjata rahasiaku itu. Sekarang dia sudah tewas, apa perlunya kau menangis" Dan pula, mengapa tadi engkau menyerangnya mati-matian?"
Wulansari sudah dapat menguasai hatinya. Ia duduk terkulai di atas tanah, air matanya masih bercucuran akan tetapi tidak terisak lagi.
"Eyang, engkau menghancurkan kebahagiaanku, engkau membunuh orang yang kucinta. Tadi dia datang untuk minta kembali Tejanirmala, aku mengingatkan dia akan cinta antara kami dan menuntut agar dia melamarku. Tapi dia....... dia bilang tidak dapat melamarku, karena dia telah dijodohkan dengan gadis lain dan dia setuju untuk berbakti kepada Ki Baka, ayah angkatnya itu. Ah, keparat! Akan kucari dan kubunuh gadis itu!" Wulansari mengepal tinju dan matanya mengeluarkan sinar ganas.
Diam-diam Ki Cucut Kalasekti merasa girang sekali. Dengan kematian pemuda itu, maka hilanglah gangguan besar di kemudian hari, dan ada harapan cucunya akan menerima pinangan Sang Prabu Jayakatwang! "Sudahlah, cucuku. Mari kita pulang. Tiada gunanya memikirkan lagi orang yang sudah tiadaDan tentang gadis lain itu, apa sukarnya kelak kaucari dan kau bunuh, kalau memang hatimu masih penasaran?"
"Tapi...... mungkin dia masih hidup......"
Gadis itu berkata sambil memandang ke tepi tebing.
"Ah, tidak mungkin ! Hanya burung bersayap saja yang akan mampu menyelamatkan diri kalau tergelincir ke bawah sana" Mereka lalu menjenguk ke bawah dan tidak nampak sesuatu kecuali air laut dan batu-batu karang yang dari atas nampak kecil-kecil. Wulansari bergidik. Tak dapat disangsikan lagi, Nurseta pasti sudah tewas jauh di bawah sana, tubuhnya hancur dan lenyap dihempaskan ke batu-batu karang oleh ombak laut selatan yang ganas.
"Kakangmas Nurseta......." ia berbisik dan menurut saja ketika lengannya ditarik oleh kakeknya, diajak pulang ke rumah kuno yang besar itu. Mereka melanjutkan pekerjaan mereka berkemas dan setelah selesai merekapun boyongan ke tempat tinggal baru mereka, yaitu di Bendowinangun, di mana Ki Cucut Kalasekti menjadi adipati, dengan julukan Adipati Satyanegara !
*** Tidak salah pendapat Ki Cucut Kalasekt bahwa hanya burung bersayap saja yang mampu menyelamatkan diri kalau tergelincir ke bawah tebing yang curam itu. Ini adalah pendapat manusia, menurut perhitungan dan kekuasaan manusia. Akan tetapi, ada kekuasaan rahasia yang tertinggi, yang merupakan rahasia bagi kita manusia, yang mengatur mati hidupnya seseorang. Kekuasaan tertinggi yang penuh rahasia ini begitu sering terjadi di depan mata kita. Bencana besar terjadi, kecelakaan yang mengerikan di mana manusia-manusia dewasa yang kuat dan berakal budi menjadi korban dan tewas, akan tetapi ada anak bayi yang lemah tak berdaya malah selamat. Siapakah yang mengatur semua ini kalau bukan kekuasaan yang tertinggi"
Inilah yang membuat Nurseta waspada sehingga ketika tubuhnya melewati sebatang pohon yang tumbuh melintang dan yang KEBETULAN sekali searah dengan kejatuhannya, tangan kanan kiri meraih dan mencengkeram, dan....... dahan pohon itu cukup kuat untuk
menahan Iuncuran tubuhnya!
Biarpun kini luka di pundaknya ditambah lagi rasa nyeri pada kedua pangkal lengannya ketika pegangan kepada dahan pohon itu menahan Iuncuran tubuhnya sehingga dia tersentak kuat-kuat, Nurseta masih dapat merayap ke dalam pohon itu, duduk di atas dahan terbesar, terengah-engah dan perlahan-lahan diapun dapat memulihkan keadaan tubuhnya. Dengan menghirup udara segar secara mendalam, dia dapat memulihkan tenaganya dan dapat menyalurkan hawa sakti dalam tubuhnya untuk melawan rasa panas dan nyeri pada pundak kanannya. Dia melihat ke atas. Puncak tebing dari mana dia terjatuh tadi amat tinggi, bahkan pohon itupun dari atas hanya akan nampak seperti semak-semak rumput kecil saja. Ketika menjenguk ke bawah, nampak gelombang besar menghempaskan lidah-lidah ombak ke batu karang ! Masih setinggi pohon kelapa dari pohon itu ke bawah ! Dan andaikata dapat merayap ke bawah, hal yang kiranya tidak mungkin atau amat sukar dan berbahaya, dia hanya akan diterima air laut yang ganas dan tentu akan menghancurkan tubuhnya pada batu-batu karang. Turun tak mungkin, naik lebih tidak mungkin lagi! Hemm, apa bedanya terbanting hancur di bawah sana dan tertahan di pohon ini untuk kemudian tidak ada jalan keluar dan mati pula" Tidak, tidak mungkin, pikirnya. Tidak mungkin Tuhan Yang Maha Kuasa menyelamatkannya dari ancaman maut hanya untuk dibiarkan mati perlahan-lahan di pohon itu ! Semua peristiwa sudah dikehendaki Tuhan dan pasti ada hikmahnya ! Dia merasa yakin akan hal ini dan mulailah pemuda yang tak pernah mengenal putus asa ini mencari-cari sekitar pohon itu dengan pandang matanya.
Ketika pandang matanya bertemu sebuah lubang goa tak jauh dari pohon itu, dia tidak merasa heran. Dia sudah yakin bahwa Tuhan menghendaki dia hidup, dan goa itu agaknya sudah siap untuk menampung dirinya, di mana dia dapat menyelamatkan diri. Betapapun juga, dia seorang manusia biasa dan melihat goa besar itu, jantungnya berdebar tegang. Mampukah dia merayap ke goa yang jauhnya masih kurang lebih sepuluh meter dari pohon itu " Dia harus bisa! Kalau saja dia tidak terluka, pekerjaan itu tentu saja amat mudah baginya. Jangankan hanya merayap melalui permukaan dinding tebing yang kasar dan banyak terdapat bagian yang menonjol sehingga dapat dijadikan pegangan dan injakan sejauh sepuluh meter, biar merayap turun sampai ke dasar tebing yang setinggi pohon kelapa itu dia tentu dapat, kalau dalam keadaan biasa dan tidak terluka. Namun, luka di pundak kanannya terasa nyeri dan kini membengkak I
Nurseta mengumpulkan kekuatannya dan diapun mulai merayap meninggalkan pohon itu, bergantungan di dinding tebing yang kasar, setapak demi setapak menuju ke lubang goa yang menganga. Akhirnya, berhasil juga dia mencapai mulut goa yang lebarnya tidak kurang dari tiga meter itu, dan kini dia berdiri di mulut goa. Ternyata goa itu dalam sekali dan dari luar nampak kegelapan di sebelah dalam.
Tiba-tiba dia mendengar suara ketawa yang mengerikan. Biarpun Nurseta seorang pemuda gemblengan yang gagah perkasa, mau tidak mau dia merasa tengkuknya dingin mendengar suara ketawa ini. Suara ketawa wanita, atau lebih tepat lagi, suara ketawa iblis betina!
"Hlhi hik hehheh, laki-laki iblis, engkau datang mengantar nyawa, hi hik!" Dan Tiba-tiba saja ada angin menyambar dari dalam goa. Untung Nurseta bersikap waspada, maka dengan cepat dia dapat mengelak kekiri lalu ke kanan ketika dua buah batu sebesar buah kelapa itu menyambar ke arah tubuhnya. Akan tetapi, begitu sambitan yang amat kuat itu luput, kini dari dalam goa itu meloncat sesosok tubuh yang membawa sebatang bambu runcing dan orang itu menyerangnya dengan tusukan-tusukan dahsyat sekali!
Nurseta terkejut. Kini matanya sudah terbiasa dengan keremangan dalam goa itu dan dia melihat bahwa yang menyerangnya mati-matian adalah storang wanita! Seorang wanita setengah tua, berusia empatpuluh lebih sedikit, dan biarpun wanita itu berpakaian buruk dan lusuh, dengan rambut panjang riap-riapan, namun wajah itu cantik. Dan serangan dengan tusukan-tusukan bambu runcing itupun aneh dan berbabahaya sekali, gerakannya cepat dan bertubi-tubi. Sungguh. merupakan gerakan silat merepergunakan senjata bambu runcing yang amat dahsyat, dan untungnya dia melihat bahwa tenaga yang terkandung dalam serangan-serangan itu tidak begitu kuat. Oleh karena itu, setelah mengelak dengan berloncatan ke sana-sini untuk beberapa lamanya, Tiba-tiba dia berhasil menangkap bambu runcing itu dan dengan pengerahan tenaganya, dia mencengkeram dan wanita itu tidak mampu menggerakkan senjatanya lagi.
"Maafkan, bibi. Akan tetapi, aku bukan musuhmu!" katanya sambil memandang tajam.
Setelah kini tidak bergerak menyerang, wanita itu terbelalak memandang dengan matanya yang bagus, dan agaknya ia terkejut melihat bahwa yang diserangnya itu seorang pemuda tampan, bukan musuh yang ditunggu dan amat dibencinya selama bertahun-tahun ini.
"Ahh........ engkau bukan dia........ kau ......kau siapakah, orang muda" Dan bagaimana
engkau dapat tiba di sini......." Hemm, engkau tentu kaki tangannya! Engkau tentu datang karena diutus olehnya!" Dan wanita itu mencoba untuk menarik kembali bambu runcingnya. Akan tetapi Nurseta tetap memegang ujungnya sehingga wanita itu tidak mampu menarik lepas. Sejenak wanita itu memandang heran. "Kau........ kau siapakah dan mau apa datang ke sini?" Akhirnya ia bertanya, wajahnya memperlihatkan kecemasan,
"Bibi yang baik, tenanglah, bibi, Saya bukan orang jahat, bukan musuh bibi, dan saya dapat tiba di goa ini karena kebetulan saja. Saya terjatuh dari atas tebing sana, bibi......."
Tiba-tiba wanita itu terkekeh, ketawa dan melihat sikapnya, tahulah Nurseta bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita yang tidak waras atau yang agak miring otaknya! Wanita ini amat menderita, dan agaknya guncangan batin membuat ia menjadi gila atau setidaknya, dalam keadaan tidak waras. Timbul perasaan iba di hatinya terhadap wanita ini.
"Hihihik, jatuh dari atas sana" Dan engkau tidak mati, akan tetapi dapat sampai ke sini" Aneh....... hehheh, aneh......"
"Memang kedengarannya aneh, bibi, akan tetapi apakah keanehannya kalau Tuhan Yang Maha Kuasa menghendaki demikian" Buktinya, bibi sendiripun dapat berada di sini dalam keadaan selamat. Ketika terjatuh, aku tersangkut pada pohon di sana itu, lalu dapat merayap ke sini dengan selamat"
"Tapi, kenapa engkau bisa terjatuh dari atas" Apakah engkau hendak bunuh diri?"
Tiba-tiba sepasang mata yang bagus itu mengeluarkan sinar iba sehingga Nurseta merasa terharu. Bagaimanapun juga, pada dasarnya hati wanita di depannya ini baik.
"Tidak, bibi. Aku dipaksa orang sampai terjatuh, diserang dan terluka pundakku......."
"Hemm, dunia memang kotor, banyak dikotori manusia-manusia jahat! Siapa yang menyerangmu sampai engkau jatuh dari atas tebing, orang muda" Siapa dia yang jahat itu?"
"Dia bernama Ki Cucut Kalasekti........."
Tiba-tiba wanita itu melepaskan bambu runcingnya dan melompat ke depan goa sambil menjerit, mengejutkan hati Nurseta.
"Dia! Siapa lagi kalau bukan dia yang sejahat itu! Iblis busuk, manusia jahanam dia itu. Akan kubunuh engkau, Cucut Kalasekti ........!" Dan Tiba-tiba wanita itu menangis terisak-isak.
Nurseta menarik napas panjang. Agaknya Ki Cucut Kalasekti pulalah musuh wanita ini, dan mungkin sekali kakek jahat itu yang membuat wanita ini sengsara di tempat ini. Kini wanita itu telah berhenti menangis dan ketika wanita itu menurunkan kedua tangan yang tadi menutupi mukanya, dan karena ia berdiri di depan goa sehingga mukanya tertimpa sinar matahari pagi, Nurseta dapat melihat wajahnya dengan jelas dan diapun tercengang.
"Kau.......!" Tanpa disadarinya mulutnya berseru dan matanya terbela!ak memandang wajah wanita itu.
Wanita itu balas memandang dengan heran, lalu menghampiri, "Orang muda, apa maksudmu ?" Agaknya kini pikirannya sudah waras kembali.
Nurseta menyadari kekeliruannya. "Maaf, bibi akan tetapi aku........ rasanya pernah melihat bibi, pernah mengenal bibi, entah di mana......."
Wanita itu mengerutkan alisnya dan mengamati wajah Nurseta, lalu menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin. Aku tidak pernah melihatmu, dan berapa sekarang usiamu ?"
"Duapuluh satu tahun, bibi"
"Dan aku sudah sepuiuh tahun berada di sini, di neraka ini. Ketika aku masuk ke sini, engkau baru berusia sebelas tahun, bagaimana mungkin bertemu dengan aku " Sudahlah, sekarang ceritakan bagaimana engkau dapat bertentangan dengan Cucut Kalasekti sehingga engkau terlempar jatuh dari atas tebing itu"
Mereka duduk di mulut goa, Nurseta bersila di atas lantai dan wanita itu duduk di atas sebuah batu, saling berhadapan. Nurseta masih mengamati wajah itu dengan penuh keheranan karena wajah wanita itu sungguh tidak asing haginya. "Begini, bibi, pagi tadi saya sedang bicara dengan ......" Tiba-tiba dia terbelalak menatap wajah wanita itu karena sekarang dia teringat.
"Bibi ........wajah bibi ....... serupa benar dengan diajeng Wulansari........!!"
Tiba-tiba wajah wanita itu menjadi pucat, matanya terbelalak dan iapun menangkap lengan tangan Nurseta. Dicengkeramnya lengan itu, akan tetapi Nurseta mengerahkan tenaga dan karena tenaga wanita itu memang tidak berapa kuat baginya, dia mampu bertahan, dan tetap siap siaga dan waspada kalau-kalau wanita yang setengah gila ini kumat lagi gilanya.
"Wulansari......." Kaukenal Wulansari ......" Ia.........ia anakku ........ ohhh, Wulan anakku
......." Dan wanita itu menangis lagi, terisak-isak ia menangis dengan sedihnya. Nurseta menjadi bengong pula, Kalau wanita ini ibu kandung Wulansari, dan agaknya hal ini tidak diragukan kebenarannya melihat persamaan wajah antara mereka, lalu berarti wanita ini puteri Ki Cucut Kalasekti yang mengaku sebagai kakek Wulansari. Akan tetapi mengapa wanita ini begitu membenci Cucut Kalasekti" Dia membiarkan wanita itu menangis dan akhirnya tangis itupun terhenti,
"Engkau mengenal anakku Wulan" Ah, orang muda, ceritakan padaku, bagaimana ia sekarang" Bagaimana rupanya" Apakah ia sudah besar dan selamat?" Wanita itu mendekat dan duduk di depan Nurseta. Pemuda ini Diam-diam merasa heran. Wanita ini berpakaian kumal dan rambutnya riap-riapan, akan tetapi tubuhnya nampak bersih dan tidak mengeluarkan bau apak.
"Ia sudah dewasa, bibi, dan ia........ ia cantik sekali, wajahnya mirip dengan wajah bibi. Ia manis dan sederbana, kulitnya kuning, matanya tajam seperti mata bintang, hidungnya kecil mancung dan bibirnya indah sekali. Ada lesung pipit di sebelah kiri mulut, dan di atas pipi kanan ada sebuah tahi lalat kecil"
"Benar, benar! Ia anakku Wulan, memang sejak kecil mirip sekali dengan aku. Orang muda yang baik, kau ceritakanlah, bagaimana engkau bertemu dengan Wulan, dan bagaimana pula riwayatnya........ ah, ceritakanlah, aku berterima kasih sekali padamu......" Kini wanita itu nampak waras dan dari pandang matanya, suaranya, terkandung permohonan.
Nurseta mengangguk-angguk, merasa kasihan sekali kepada wanita ini. "Begini ceritanya, bibi. Sepuluh tahun yang lalu, diajeng Wulansari diselamatkan oleh Ki Jembros ketika perahu yang ditumpanginya terbalik di lautan. Ki Jembros membawa diajeng Wulansari kepada Eyang Panembahan Sidik Danasura yang berhasil mengobatinya, akan tetapi biarpun diajeng Wulansari sembuh, namun ia kehilangan ingatannya. Yang diingat hanya namanya saja, yaitu Wulansari. Ia tidak ingat lagi dari mana, siapa keluarganya dan mengapa perahunya terbalik"
"Ahhh....... Wulansari anakku, sungguh kasihan sekali engkau......" Wanita itu menyusut air matanya yang jatuh berderai mendengar akan kemalangan puterinya. "Maaf, orang muda, masfkan kelemahanku, dan lanjutkanlah ceritamu tentang anakku"
"Setelah ia menjadi murid Eyang Panembahan Sidik Danasura selama lima tahun, yaitu ketika ia berusia limabelas tahun, saya bertemu dengan diajeng Wulan ketika saya datang berkunjung ke padepokan Eyang Panembahan. Dan pada saat itu, dari laut muncul Ki Cucut Kalasekti yang mencilik diajeng Wulansari........"
"Ah, si keparat! Si jahanam busuk, iblis betupa manusia!" wanita itu mengepal kedua tangannya dan memaki-maki.
"Maaf, bibi, akan tetapi dia mengaku sebagai kakek dari diajeng Wulansari......."
"Kakek apa" Dia bohong besar! Ah, kasihan anakku Wulan, dalam keadaan kehilangan ingatan, ia tertipu dan terbujuk oleh iblis busuk itu"
"Akan tetapi, bibi, diajeng Wulansari agaknya disayang oleh kakek itu, bahkan menjadi muridnya yang sakti"
"Celaka........celaka........ anakku. Sudahlah, lanjutkan ceritamu tadi, orang muda"
"Ki Cucut Kalasekti menculik diajeng Wulansari, saya hendak mencegah akan tetapi ketika itu saya bukanlah lawannya dan saya dirobohkan, diajeng Wulansari dilarikan melalui lautan, Keinudian, tidak ada kabar ceritanya tentang diajeng Wulansari sampai empat tahun kemudian, saya beberapa kali bertemu dengan diajeng Wulansari" Nurseta menceritakan tentang kemunculan Wulansari sebagai seorang gadis yang sakti, bahkan kemudian gadis itu merampas tombuk pusaka Ki Ageng Tejanirmala.
"Dan pagi ini, saya datang untuk meminta kembali tombak pusaka itu dari diajeng Wulansari....."
"Nanti dulu, orang muda. Engkau menyebat diajeng kepada anakku, dan nampaknya engkau amat akrab dengannya. Sampai berapa jauh perhubungan antara kaliau?"
"Bibi, kami...... kami saling mencinta" jawab Nurseta sejujurnya.
"Ah.......! Ahh........! Anakku......... aku girang sekali, aku setuju, engkau anak baik!" Wanita itu tiba tiba merangkul din Nurseta diam saja walaupun hatinya merasa tegang. Wanita itu lalu melepaskan rangkulannya dan mengamati wiijah Nurseta. "Eit kau tampan dan gagah. Siapakah uamumu, nak?"
"Nama saya Nurseta, kanjeng bibi" katanya penuh hormat.
"Nurseta, nama yang bagus! Dan siapakah orang tuamu, Nurseta?"
"Ayah saya Pangeran Panji Hardoko, sudah meninggal dunia....... "
"Pangeran Panji Hardoko dari Kediri" Jadi engkau orang Kediri, anakku?"
Nurseta mengangguk. "Namun sejak kecil sekali saya dipelihara dan dididik sebagai anak angkat oleh Ayah Ki Baka, seorang kawula Singosari yang setia. Karena itu saya menganggap diri saya juga kawula Singosari" jawab pula Nurseta dengan sejujurnya.
JILID 10
" Gagak Wulung Melamar
JAWABAN itu agaknya menyenangkan hati wanita itu, la mengangguk-angguk lalu bertanya, "Dan bagaimana engkau sampai dapat terjatuh dari atas tebing ?"
"Saya datang mencari diajeng Wulansari untuk minta kembali tombak pusaka Ki Tejanirmala yang tadinya milik ayah angkat saya. Di atas tebing itu, dan muncullah Ki Cucut Kalasekti vang menyerang saya dengan senjata rahasia, Pundak kanan saya terkena dan saya terjatuh ke bawah tebing. Hyang Maha Wisesa agaknya belum menghendaki saya mati, maka saya dapat meraih dahan pohon di sana itu, kemudian melihat goa ini dan saya berhasil merayap ke sini, kanjeng bibi" Nurseta tidak berani bercerita tentang perkelahiannya dengan Wulansari karena dia tidak dapat melamar gadis itu, Wanita ini sedang mengalami guncangan batin, kalau sampai mendengar itu lalu marah mungkin akan kambuh kembali penyakitnya. Maka dia merasa lebih baik kalau tidak diceritakannya hal itu.
"Aih, anakku. Engkau terluka " Coba aku melihatnya!" Wanita itu lalu mendekat dan memeriksa luka di pundak kanan Nurseta. Luka itu kini nampak menghitam.
"Wah, kau terluka oleh senjata rahasia Sisik Nogo yang beracun. Kau tahankan nyerinya, benda itu barus dikeluarkan dan akan kuberi obat penolak racun" Berkata demikian, wanita itu menggunakan jari-jari tangannya untuk memijat di kanan kiri luka itu. Perasaan nyeri hebat menusuk sampai ke tulang sumsum, namun Nurseta mematikan rasa dan menahan rasa nyeri.
"Hebat, engkau memang gagah perkasa, patut menjadi mantuku" wanita itu memuji setelah berhasil mencabut keluar benda sebesar kuku ibu jari kaki itu. Darah menghitam keluar dari luka dan wanita itu lalu masuk ke dalam goa, keluar lagi membawa sebuah botol tanah liat. Dituangkannya semacam minyak tanah ke luka itu, digosok-gosok sampai rata.
"Nah. racun itu tidak akan menjalar masuk dan sedikit demi sedikit dapat dikeluarkan melalui pijitan. Juga akan kumasakkan jamu untukmu"
"Terima kasih, kanjeng bibi. Saya kira sudah cukup, dan dengan samadhi dan mengumpulkan hawa sakti, saya akan dapat mendorong keluar racun itu sedikit demi sedikit"
Wanita itu mengangguk angguk, "Engkau memiliki keberanian dan juga ilmu kepandaian yang tinggi. Akan tetapi agaknya masih belum mampu menandingi iblis tua itu, anakku. Karena itu, selagi engkau di sini dan belum ada kesempatan keluar dari tempat ini, engkau berlatihlah ilmu-ilmu yang telah kau kuasai agar mahir benar. Kecuali itu, selama sepuluh tahun lebih ini, aku telah menciptakan ilmu bela diri yang berdasarkan ilmu tombak yang pernah kupelajari dari suamiku dahulu, dengan mempergunakan bambu yang tumbuh di bagian dalam goa ini, Ilmu ini kunamakan Aji Tombak Bambu Runcing.
"Ada rumpun bambu tumbuh di dalam, kanjeng bibi?" Nurseta bertanya heran.
Wanita itu mengangguk dan tersenyum. Baru sekali ini tersenyum dan Nurseta teringat akan wajah Wulansari. "Goa ini merupakan terowongan panjang dan di sebelah dalam luas sekali, anakku. Ada bagian terbuka di belakang, dan karena matahari dapat masuk dari situ, maka banyak pohon tumbuh di sana, di antaranya rumpun bambu kuning, pohon pisang dan juga beberapa pohon obat-obatan.
Ada pula air tawar mengalir dari celah-celah batu, tiada hentinya. Airnya jernih sekali, Mari, mari kita lihat-lihat keadaan di dalam sana"
Nurseta bangkit dan mengikuti wanita itu masuk Ternyata goa itu merupakan terowongan dan di sebelah dalamnya luas sekali dan ada pula bagian terbuka yang luas sehingga di situ ditumbuhi banyak pohon, karena ada tanah yang cukup tebal di lantainya, Sayang bahwa bagian terbuka ini terkurung batu karang yang lurus ke atas, tak mungkin dipanjat karena tingginya, dan ke bawah juga merupakan jalan mati. Di bawah sana, setinggi pohon kelapa, hanya nampak air laut dan batu batu tajam meruncing !
"Dari buah pisang dan daun daun pohon, juga tanaman-tanaman ini aku hidup. Ada kalanya dapat kutangkap burung camar yang kadang-kadang kesasar ke tempat ini. Dan lblis tua itu meninggalkan banyak bibit tanaman obat dan pohon buah"
Nurseta memandang kepada wanita itu. Pada waktu itu, matahari telah naik tinggi dan sinarnya memasuki bagian terbuka itu sepenuhnya. "Kanjeng bibi maksudkan bahwa Ki Cucut Kalasekti pernah ke sini?"
Wanita itu mengangguk, "Kau kira siapa yang meninggalkan aku di neraka ini" Ah, benar, engkau belum mengetahui siapa aku, kecuali bahwa aku adalah ibu kandung Wulansari, dan bagaimana aku dapat berada di neraka ini. Mari, Nurseta, mari kita duduk di petak rumput itu, dan kau dengarkan ceritaku"
Wanita itu lalu menceritakan riwayatnya. Wanita yang usianya empatpuluh dua tahun itu bernama Warsiyem, cantik berkulit kuning mulus, dan ia adalah isteri seorang laki-laki gagah perkasa bernama Ki Medang Dangdi. Kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, suaminya, Ki Medang Dangdi berpamit kepadanya, meninggalkan ia dan anak mereka Wulansari, untuk pergi merantau ke Singosari mencari pekerjaan. Ketika itu mereka tinggal di sebuah dusun di daerah Blambangan. Maklum bahwa suaminya adalah seorang satria yang jngin menyumbangkan tenaganya kepada kerajaan besar itu, Warsiyem menyetujui dengan janji bahwa kalau suaminya sudah memperoleh pekerjaan, ia dan puterinya akan dijemput dan diboyong ke Singosari.
Akan tetapi, malapetika tiba dua bulan semenjak kepergian suaminya. Warsiyem terkenal sebagai bunga dusun itu, cantik manis dan pada waktu itu, usianyapun baru tigapuluh dua tahun. Maka, sepeninggal suaminya, tidak mengherankan kalau banyak pria yang gandrung kepadanya. Hanya, para pria itu tidak berani sembarangan mengganggunya. Mereka mengenal siapa Warsiyem. Isteri Ki Medang Dangdi yang gagah perkasa dan mereka tahu pula bahwa wanita itu sedikit banyak telah mempelajari ilmu pencak silat dari suaminya.
Akan tetapi, muncullah Ki Cucut Kalasekti yang kebetulan lewat di dusun itu. Dan datuk kaum sesat ini mendengar akan kecantikan Warsiyem yang ditinggal suaminya, hanya hidup berdua bersama Wulansari, seorang anak perempuan yang baru berusia kurang lebih sepuluh tahun. Di antara semua perbuatan jahat yang tidak dipantangnya, mempermainkan wanita cantik adalah satu di antara kesukaan Ki Cucut Kalasekti. Akan tetapi tidak serabarang wanita dia suka, harus yang pilihan. Maka, mendengar akan kecantikan Warsiyem, diapun datang berkunjung untuk membuktikan sendiri kabar yang didengarnya. Dan begitu bertemu dengan Warsiyem, Ki Cucut Kalasekti pun terpesona. Entah mungkin karena kecocokan selera, namun diam-diam dia mengakui bahwa selama hidupnya, belum pernah dia tergila-gila kepada wanita lain seperti ketika dia melihat Warsiyem. Langsung saja dia melamar, tidak perduli bahwa wanita itu bukan seorang janda, melainkan isteri orang yang baru ditinggal pergi suaminya mencari pekerjaan.
Warsiyem, sebagai isteri seorang satriya tentu saja sudah pernah mendengar akan nama besar Ki Cucut Kalasekti yang tersohor itu, maka iapun bersikap lembut kepada kakek yang pada waktu itu berusia sekitar enampuluh tahun.
"Harap Paman Cucut Kalasekti suka memaafkan saya" katanya lembut, "sesungguhnya saya masih bersuami. Suami saya adalah Ki Medang Dangdi yang kini sedang merantau ke Singosari untuk mencari pekerjaan. Oleh karena itu, harap paman suka menaruh kasihan kepada kami ibu dan anak dan mencari piHhan wanita lain yang bebas"
"Brakkkk!" Sekali tangan kirinya menghantam, meja di depannya hancur berkeping-keping dan Ki Cucut Kalasekti bangkit berdiri, menudingkan telunjuknya penuh ancaman kepada Warsiyem.
"Heh, perempuan, dengar baik-baik. Biasanya, setiap kali tertarik kepada seorang wanita, aku langsung membawanya pergi dan memaksanya untuk melayani aku, mau atau tidak, baik dia isteri orang atau bukan! Akan tetapi kepadamu aku tidak melakukan kekerasan itu, hanya karena aku cinta padamu! Aku ingin engkau membalas cintaku, menyerah dengan suka rela. Suamimu, Ki Medang Dangdi, pergi ke Singosari untuk menjadi pengkhianat, menghambakan diri kepada raja lain. Kelak kalau bertemu dengan aku, pasti dia akan kubunuh! Nah, anggap saja suamimu sudah mampus, engkau menjadi janda dan menjadi isteriku!"
Biarpun diancam, Warsiyem tidak memperlihatkan rasa takut. "Maaf, Paman Cucut Kalasekti, akan tetapi aku adalah seorang isteri yang setia kepada suami, juga seorang ibu yang menjaga nama dan kehormataa keluargaku. Aku tidak mungkin dapat menerima keinginan hatimu, paman"
"Keparat! Berani engkau menolak pinangan Cucut Kalasekti" Apa kau ingin aku marah dan membunuh seluruh warga dusun ini, dan memaksamu menjadi isteriku" Dengar, aku memberi waktu tiga hari. Tiga hari lagi aku datang ke sini dan engkau harus siap untuk menyerahkan diri menjadi isteriku dengan suka rela. Kalau engkau tetap menolak, aku akan bunuh puterimu ini dan menyeret kau pergi bersamaku dari sini!" Setetah berkata demikian, Ki Cucut Kalasekti meninggalkan tempat itu.
Gegerlah penduduk dusun itu mendengar ancaman Kt Cucut Kalasekti itu. Mereka semua menganjurkan agar Warsiyem dan puterirnya segera pergi saja dari dusun itu, pertama untuk menyelamatkan diri mereka berdua, dan kedua untuk membebaskan penghuni dusun itu dari ancaman K Cucut Kalasekti.
Akan tetapi, Warsiyem menggeleng kepalanya dengan sedih. "Siapa yang mampu melarikan diri dari seorang sakti mandraguna seperti Cucut Kalasekti" Ke manapun aku melarikan diri dengan anakku, pasti dia akan dapat menyusul dan menangkap aku. Yang penting adalah keselamatan puteriku. Asal anakku selamat, aku tidak takut menghadapi ancamannya. Matipun aku tidak takut asal anakku selamat"
Warsiyem lalu memanggil adiknya, seorang laki laki berusia duapuluh lima tahun yang masih belum berkeluarga, lalu minta tolong kepada adiknya itu untuk membawa Wulansari lari ke barat.
"Bawalah ia dengan perahu, lebih aman melarikan din dengan perahu di sepanjang pantai, jauh lebih aman dari pada iari melalui darat. Dan bawalah ia mencari ayahnya di Singosari" Demikian pesannya. Sarjito, adik laki-laki itu, lalu berangkat membawa Wulansari. Dia seorang nelayan yang pandai, akan tetapi dia harus bekerja keras melawan ombak lautan selatan yang ganas untuk melayarkan perahunya terus ke barat. Akan tetapi, seperti diketahui kemudian, perahu itu yang ditumpangi Sarjito, Wulansari dan tiga orang teman-teman Sarjito, terbalik di daerah Teluk Prigi dan semua penumpangnya tewas, kecuali Wulansari yang berhasil diselamatkan oleh Ki Jembros.
Tiga hari kemudian, ketika Ki Cucut Kalasekti muncul, Warsiyem menyambutnya dengan serangan tombak! Tentu saja serangan ini sama sekali tidak ada artinya bagi kakek sakti itu. Sekali renggut saja, tombak itu telah dirampasnya dan dibuangnya. Warsiyem menolak pinangannya, dan tidak mau mengatakan ke mana puterinya pergi. Ki Cucut Kalasekti marah, membujuk dan mengancam, namun Warsiyem tetap bertahan, tidak sudi menyerahkan diri dengan suka rela. Ki Cucut Kalasekti lalu menangkapnya dan menyeretnya pergi dari dusun itu, dan semua penghuni dusun hanya mampu melihat dengan tubuh panas dingin.
Ki Cucut Kalasekti membawa Warsiyem ke rumahnya yang besar dan menyeramkan. Dia masih tergila gila kepada Warsiyem, dan dibujuknya wanita itu, diberinya barang barang berharga dan dijanjikan kemuliaan. Namun Warsiyem tetap menolak, meronta dan berusaha melarikan diri. Akhirnya Ki Cucut Kalasekti memperkosa wanita itu berulang kali sambil tetap membujuk, Namun, Warsiyem tetap saja melawan sekuat tenaga walaupun akhirnya ia tidak mampu lagi melindungi dirinya, ia memaki, menangis, mencakar dan hanya dengan kekerasan saja Ki Cucut Kalasekti dapat menguasai dan memperkosanya. Dibujuk bagaimanapun, Warsiyem tidak pernah mau menyerahkan diri dengan sukarela seperti yang amat diharapkan dan dirindukan Ki Cucut Kalasekti.
Kalau saja Warsiyem seperti wanita lain, tentu sudah dibunuh oleh kakek iblis itu. Akan tetapi entah bagaimana, Ki Cucut Kalasekti tetap tergila gila dan mencinta wanita itu, mengharapkan balasan cintanya, dan betapapun kecewa dan marahnya, dia tetap tidak mau membunuh Warsiyem.
Setelah hampir tiga bulan dikecewakan wanita yang tidak pernah mau melayaninya dengan suka rela itu, dan dia menjadi bosan dengan perkosaan yang sama sekali tidak dia kehendakinya, akhirnya Ki Cucut Kalasekti membawa Warsiyem naik perahu menuju ke pantai yang bertebing tinggi itu. Dengan kepandaiannya yang luar biasa, perahunya dapat mendekati pantai tebing itu pada saat air laut surut, dan dia memanggul tubuh wanita yang sudah dibuat lemas tak dapat bergerak itu, lalu mendaki tebing, menuju ke sebuah goa yang besar dan yang berada di dinding tebing itu, setinggi pohon kelapa dari bawah. Di dalam goa inilah Ki Cucut Kalasekti membiarkan Warsiyem seorang diri, meninggalkan obat-obatan, bahan makanan bahkan dia menanam banyak tanaman obat dan pohon berbuah di bagian yang terbuka di sebelah dalam terowongan goa. Dia hendak membiarkan wanita yang dicintanya itu tetap hidup, akan tetapi juga menghukumnya. Dan kadang kadang, tadinya sebulan sekali lalu semakin jarang, dia datang berkunjung, untuk tetap membujuk, dan untuk tetap ditolak yang berakhir dengan perkosaan yang hanya menghancurkan hati Warsiyem dan mendatangkan kecewa dan penyesalan di hati Ki Cucut Kalasekti yang merindukan kasih sayang dari wanita itu !
"Demikianlah, anakmas Nurseta, riwayatku, sekarang kakek iblis itu bahkan telah menjadikan Wulansari anakku sebagai cucunya dan muridnya pula. Ah, sungguh aku merasa khawatir sekali. Engkau tidak tahu bagaimana jahatnya manusia berhati iblis itu!" kata Warsiyem dengan wajah gelisah.
"Kanjeng bibi, saya berjanji bahwa begitu saya berhasil keluar dan sini, saya akan mencari Ki Cucut Kalasekti dan mengadu nyawa dengannya untuk menyelamatkan diajeng Wulansari"
Namun janji ini ternyata jauh iebih mudah diucapkan dari pada kenyataannya. Sampai lelah Nurseta menyeiidiki tempat itu dan akhirnya dia mendapatkan kenyataan bahwa tiidak mungkin dia dapat meninggalkan goa itu. Mendaki naik tidaklah mungkin, terlalu tinggi. Mendaki naik sama dengan bunuh diri. Kalau merayap turun, yang tingginya hanya setinggi pohon kelapa, dia sanggup, akan tetapi lalu bagaimana setelah tiba di bawah" Dia akan disambut air laut bergelombang ganas, dan batu batu karang yang amat tajam dan runcing. Tidak ada jalan keluar pula di bawah sana.
Hanya orang macam Ki Cucut Kalasekti yang dapat datang dengan perahu ke bawah sana, lalu mendaki ke sini. Satu satunya haapan untuk melarikan diri dari tempat ini hanyalah kalau dia datang berkunjung. "Kalau dia berkunjung, engkau boleh menyergapnya di sini, kemudian turun dan mempergunakan perahunya untuk membebaskan diri selagi air laut surut. Itulah satu satunya jalan untuk meninggalkan tempat ini" kata Warsiyem.
Terpaksa Nurseta menunggu. Dan bertahun-tahun dia harus menunggu karena yang dinanti tidak juga muncul. Namun, dia tidak menyianyiakan waktu bertahun-tahun itu. Selain bersamadhi memperkuat tenaga saktinya, diapun berlatih semua ilmu yang dikuasainya sehingga menjadi matang dan di samping itu, diapun membuat bambu runcing dan mempelajari ilmu memainkan bambu runcing itu seperti yang diciptakan Warsiyem. Dan ilmu in memang hebat. Kalau Warsiyem kurang berhasil menjadi sakti dengan ilmu itu hanyalah karena ia kurang tenaga. Andaikata ia memiliki tenaga sakti yang kuat dengan ilmu itu, mungkin saja ia sudah mampu membunuh atau setidaknya melukai Ki Cucut Kalasekti.
Kita tinggalkan dulu Nurseta yang hidup terasing di tempat itu bersama Warsiyem yang sudah menganggap Nurseta sebagai putera mantunya, untuk melihat perkembangan yang terjadi di dunia ramai, di atas sana, sebetulnya tidak begitu jauh namun tak mungkin terjangkau oleh mereka berdua yang menjadi penghuni goa.
*** Gadis itu menangis tersedu-sedu di atas rumput tebal di pagi hari itu. Menangis sejadi-jadinya, melepaskan seluruh kepedihan perasaan hatinya. Tidak ada kepedihan bagi hati seseorang gadis melebihi kenyataan bahwa pria yang dicintanya, dipuja dan diharapkannya itu mengaku telah mencinta gadis lain !
Pertiwi adalah seorang gadis yang sejak kecil hidup di pedusunan, berwatak polos dan jujur. Ibunya telah meninggal dunia sejak la masih kecil, dan beberapa tahun yang Ialu ketika ayatnya yang sudah lama menduda itu menikah lagi dengan seorang janda, ia mengalami pukulan bafin untuk yang pertama kalinya Biarpun ibu tirinya itu bersikap baik kepadanya, namun ia merasa tidak senang secara diam-diam ketika ibu tirinya itu membujuk nya agar ia suka menjadi isteri putera lurah, dan ibu tirinya itu menjelek-jelekkan Nurseta yang dianggap pemuda pengangguran yang miskin. Dan kini, Nurseta yang dibelanya, yang diharapkan dan dipujanya, dengan terang-terangan, setelah menjadi tunangannya, mengaku bahwa pemuda itu tidak cinta kepadanya melainkan mencinta gadis lain. Hati siapa tidak akan hancur "
Pertiwi sama sekali tidak tahu bahwa semenjak ia bertemu dan bicara dengan Nurseta tadi, sampai sekarang ia menangis di atas rumput, ada sepasang mata yang terus mengamatinya dan pemilik mata itu membayanginya sampai ke tempat itu, Pemilik mata itu seorang laki-laki berusia antara limapuluh tahun, masih nampak tampan dan gagah dengan tubuh sedang namun tegap, matanya bersinar-sinar tajam dan pakaiannya mewah. Dia seorang laki-laki pesolek yang tampan dan dia bukan lain adalah Gagak Wulung, seorang tokoh sesat yang amat berbahaya bagi semua orang gadis cantik seperti Pertiwi!
Siapa tidak mengenal Gagak Wulung, tokoh sesat yang terkenal mata keranjang dan cabul itu, yang tidak pernah mau membiarkan seorang wanita cantik lewat begitu saja tanpa diganggunya" Apa lagi seorang wanita semanis Pertiwi, seorang perawan dusun yang polos lagi. Bagaikan setangkai mawar hutan bermkaun embun, segar dan menggairahkan, membuat Gagak Wulung terpesona dan sejak tadi mengintai dengan pandang mata yang semakin buas. Kini matanya seperti mata harimau yang melihat seekor kelinci muda gemuk lewat di depan hidungnya. Akan tetapi, sebagai seorang yang berpengalaman sekali dalam mengejar kesenangan melalui kecabulan, dia ingin mendapatkan gadis ini tanpa harus menggunakan kekerasan, dia ingin gadis ini menyerah dengan manis, dengan suka rela, dengan penuh kepasrahan dan kehangatan. Maka, wajahnya berubah menjadi manis, pandang matanya lembut ketika dia keluar dari tempat sembunyinya dan menghampiri gadis yang sedang menangis itu.
"Aduh, juwita, mengapa kau menangis" Kau seperti Dewi Nawangwulan yang kehilangan pakaiannya karena disembunyikan Ki Jaka Tarup! Akan tetapi, sungguhpun engkau secantik Dewi Nawangwulan, engkau tentu bukan bidadari itu, dan sungguhpun aku bukan Ki Jaka Tarup, namun aku akan suka sekali menolongmu"
Mendengar suara orang yang demikian balusnya, Pertiwi mengusap kedua matanya dan memandang, terkejut dan heran melihat seorang pria yang pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang priyayi, wajahnya tampan dan menyenangkan, mulutnya tersenyum penuh daya pikat Akan tetapi karena pria itu seorang yang tidak dikenalnya, ia cepat menundukkan mukanya dan berkata halus.
"Aku....... aku tidak minta tolong kepada mu, kisanak"
Gagak Wulung tersenyum dan mendekat. "Biar kau tidak minta tolong, akan tetapi aku bersedia menolongmu, cahayu"
"Akan tetapi kau tidak akan dapat menolongku, dan siapapun tidak akan dapat menolongku. Kebahagiaanku sudah lenyap, kehidupanku sudah hancur......" Pertiwi bangkit berdiri dan hendak pergi, tidak memperdulikan kainnya yang agak basah oleh air embun di rumput. Bagian yang basah ini melekat pada kulitnya, memperlihatkan lekuk lengkung tubuhnya yang membuat Gagak Wulung merasa sesak napas.
"Aku tahu, nimas. Cintamu ditolak oleh Nurseta, bukan?"
Pertiwi terbelalak memandang wajah pria itu. "Kau....... kau........ tahu..........?"
Gagak Wulung tersenyum. "Tentu saja, aku tahu segalanya. Nurseta itu tunanganmu, akan tetapi dia tidak cinta padamu, bukan " Untuk apa menangisi orang yang tidak cinta kepadamu" Di dunia ini masih ada pria yang jauh lebih baik dari Nurseta, yang akan mencintamu dengan seluruh jiwa raganya"
Pertiwi makin heran, "Apa........ apa maksudmu.......?" tanyanya sagap dan bingung.
Diam-diam Gagak Wulung sudah mengerahkan aji kesaktiannya. Tidak percuma orang yang cerdik ini lama menjadi kekasih Ni Dedeh Sawitri wanita tokoh sesat yang cantik dan cabul itu. Demi keuntungan dirinya sendiri dia telah berbasil membujuk kekasihnya itu untuk mengajarkan aji pengasihan Asmoro Limut kepadanya. Dan kini, diam diam dia memperpunakan aji itu untuk menguasai diri Pertiwi. Dia berkemak-kemik, lalu tersenyum-senyum dan suaranya terdengar lembut membujuk ketika dia berkata sambil menatap tajam wajah gadis gunung itu, di antara kedua alisnya. Dia telah mengenal nama gadis ini ketika tadi mengintai dan mendengarkan percakapan antara gadis ini dan Nurseta.
"Nimas Pertiwi........ pandanglah mukaku, tataplah kedua mataku........ nah, begitu........
engkau hanya akan melihat wajahku yang tampan dan menyenangkan...... wajah yang
penuh kasih sayang........ ya, ya....... dan engkau akan tunduk, menyerah, percaya........ semua kasihmu untukku..... dan engkau menurut segala kehendakku yang mengasihimu......"
Pertiwi memandang dengan mata terbelalak, nampak bingung, mulutnya berbisik, "Apa....." Apa.........?" Akan tetapi tubuhnya limbung dan ketika Gagak Wulung merangkulnya dan memondongnya, iapun terkulai dan mandah saja, bahkan ketika Gagak Wulung menundukkan muka dan mencium pipinya, ia memejamkan mata dan melemaskan diri, kepalanya bersandar pada bahu pria itu seperti seorang anak kecil mencari perlindungan dan kehangatan.
Sambil menyeringai seperti iblis yang berbasil dengan pekerjaan jahatnya, Gagak Wulung memondong tubuh yang ringan itu, pergi dari situ dengan cepat. Biarpun ia hanya seorang perawan desa di gunung, andaikata Pertiwi tidak baru saja mengalami guncangan batin karena keterus-terangan Nurseta yang menyatakan tidak cinta padanya, belum tentu akan semudah itu ia terkulai dan terjatuh ke dalam kekuasaan sihir Gagak Wulung yang masih belum berapa kuat itu. Namun, gadis itu sedang lemah batinnya, terguncang dan ketika Gjgak Wulung merangkulnya dan memondongnya, iapun terkulai dan pasrah saja, bahkan ketika Gagak Wulung menundukkan muka dan mencium pipinya, ia memejamkan mata.
Gagak Wulung bukan secara kebetulan saja berada di Pegunungan Kelud. Seperti telah kita ketahui, dia adalah seorang diantara para pembantu Mahesa Rangkah dalam pemberontakannya, yang secara pengecut telah melarikan diri begitu melihat bahwa pemberontakan Mahesa Rangkah menghadapi kegagalan. Dalam pelariannya ini, Gagak Wulung yang juga merupakan seorang mata-mata rahasia dari Kerajaan Dhaha, iapun kembali ke Kediri. Akan tetapi dia bertemu dengan ki Buyut Pranamaya. Gagak Wulung maklum akan kesaktian kakek ini, maka diapun menerima dengan gembira ketika Ki Buyut Pranamava mengajaknya untuk bekerja sama dan menjadi pembantunya.
"Kegagalan muridku Mahesa Rangkah adalah karena tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala terampas orang dari tanganku" demikian antara lain Ki Buyut Pranamaya membujuk. "Andaikata tombak pusaka itu tidak hilang dari tanganku, aku jamin bahwa perjuangan muridku itu akan berhasil menumbangkan Singosari. Sekarang, yang terpenting adalah mencari kembali tombak pusaka itu, dan kalau sudah kembali ke tanganku, tidak akan sukar menumbangkan Kerajaan Singosari"
Gagak Wulung melihat kemungkinan kemungkinan yang akan menguntungkan Kediri kalau dia dapat mendekati kakek sakti ini. Kalau tombak pusaka itu sudah didapatkan kembali oleh kakek sakti ini, maka terbuka harapan baginya untuk menguasainya, atau setidaknya, untuk membujuk kakek itu menyerahkannya kepada Kerajaan Kediri, dan kakek inipun dapat menjadi pembantu yang amat berguna bagi Kediri. Dan dialah yang akan berjasa besar kalau hal itu dapat terjadi, dan Sang Prabu Jayakatwang tentu Tidak akan melupakan jasa besarnya itu.
Demikianlah, setelah menjadi pembantu Ki Buyut Pranamaya, pada suatu hari Gagak Wulung bersama kakek yang sakti mandraguna itu pergi ke Pegunungan Kelud untuk mencari Ki Baka, menurut perhitungan Ki Buyut Pranamaya, tentu Ki Baka tahu di mana adanya tombak pusaka itu. Yang merampas tombak itu dari tangannya adalah seorang gadis baju hijau yang sama sekali tidak dikenalnya. Akan tetapi gadis itu membantu Nurseta, putera Ki Baka. Tentu ada hubungan antara gadis itu dan putera Ki Baka, dan tentu tombak pusaka itu kini sudah kembali ke tangan Ki Baka. Dengan perhitungan ini, maka dia mengajak Gagak Wulung untuk pergi ke Pegunungan Kelud, mencari Ki Baka.
Ki Buyut Pranamaya yang memandang ringan musuhnya, menanti di kaki pegunungan itu dan dia mengutus Gagak Wulung untuk melakukan penyelidikan keatas, untuk menyelidiki di mana adanya Ki Baka dan memberitahu kepadanya kalau sudah berhasil menemukan tempat tinggal Ki Baka.
Itulah sebabnya mengapa Gagak Wulung melakukan penyelidikan seorang diri ke puncak Pegunungan Kelud dan dia sudah berhasil menemukan tempat tinggal Ki Baka. Tentu saja Gagak Wulung tidak begitu bodoh untuk berani turun tangan sendiri. Dia sudah tahu akan kedikdayaan Ki Baka, apa lagi mengingat akan puteranya, Nurseta yang memiliki kesaktian bahkan melebihi bapaknya. Pada pagi hari itu, ketika dia hendak meninggalkan puncak setelah menemukan pondok Ki Baka, kebetulan dia melihat pertemuan antara Nurseta dan Pertiwi, gadis dusun yang manis itu. Gagak Wulung mendekat dan bersembunyi, mengintai dan mendengarkan percakapan mereka. Maka tahukah dia bahwa gadis itu, gadis manis bermata jeli, adalah tunangan Nurseta akan tetapi tidak dicinta pemuda itu. Dan dia terus membayangi gadis itu, melihat betapa gadis itu menangis sedih, dan melihat pula betapa Nurseta melanjutkan perjalanannya menuruni puncak.
Kesempatan itu tentu saja tidak disia-siakan oleh Gagak Wulung. Dia terkenal sebagai seorang penjahat yang cabul dan mata keranjang, selalu mengganggu wanita yang menarik perhatiannya. Dan Pertiwi merupakan gadis dusun yang memikat hatinya, bagaikan buah yang sedang ranum atau bunga yang mulai mekar. Kenyataan bahwa gadis itu adalah calon isteri Nurseta lebih mengobarkan gairahnya, maka dia lalu menghampiri Pertiwi, menegurnya dengan ramah dan mempergunakan aji pengasihan dan ilmu sihir yang dipela jarhya dari Ni Dedeh Sawitri untuk menunundukkan Pertiwi.
Ketika itu, Pertiwi sedang lemah batinnya oleh duka dan kecewa, maka dengan mudahnya iapun takluk dan menyerah, mandah saja ketika dirinya dipondong dari dipeluk Gagak Wulung, dibawa pergi tanpa melawan sedikitpun juga.
Gagak Wulung adalah seorang hamba nafsunya sendiri yang sudah tidak ketulungan lagi, sehingga dia terlena sebagai seorang tokoh sesat, seorang datuk dunia hitam yang jahat. Karena dia mendapatkan waktu tiga hari oleh Ki Buyut Pranamaya untuk melakukan penyelidikan, dan kini dia sudah berhasil mengetahui tempat tinggal Ki Baka, maka sisanya yang dua hari dia pergunakan untuk bersenang-senang. Kesenangan yang keji dan jahat terhadap diri Pertiwi, gadis dusun yang tak berdosa itu. Dia membawa Pertiwi ke sebuah hutan yang sunyi dan di tempat ini dia permainkan Pertiwi sesuka hatinya. Di bawah pengaruh aji pengasihan yang tidak wajar, ditambah lagi oleh keadaan hatinya yang lemah dan berduka, Pertiwi menyerahkan diri dalam keadaan setengah sadar. Pengaruh aji pengasihan membuat ia melihat bahwa pria yang menggaulinya itu adalah seorang pria yang menarik, tampan, perkasa, dan menghibur hatinya dari nyeri setelah mendengar pengakuan Nurseta bahwa calon suaminya itu tidak mencintanya, melainkan mencinta seorang gadis lain, Dalam diri Gagak Wulung dia menemukan pengganti, penghibur dan pengobat kepedihan hatinya.
Gagak Wulung masih belum puas biarpun dia sudah memiliki tubuh Pertiwi sepenuhnya.
Dia ingin pula memiliki hati gadis itu. Dia merasa tidak puas karena selama sehari semalam itu, Pertiwi menyerahkan dirinya kepadanya hanya karena pengaruh sihir dan aji pengasihan. Dia ingin gadis itu menyerahkan diri dengan suka rela, benar-benar mencintanya. Dia membutuhkan seorang kekasih baru semenjak dia berpisah dari Ni Dedeh Sawitri. Oleh karena itu, pada hari ke tiga, dia sengaja melepaskan sihirnya atas diri Pertiwi.
Gadis itu seperti baru tergugah dari tidurnya. Ketika ia mendapatkan dirinya dalam keadaan tidak wajar, berada dalam pelukan seorang laki-laki asing, ia menjerit dan menangis, sadar bahwa ia telah menyerahkan diri kepada pria itu. Ia menangis sejadi-jadinya, dan Gagak Wulung yang pandai merayu itu segera menghiburnya, merangkul dan mencumbunya.
"Sudahlah, nimas, simpan air matamu. Sayang, seorang wanita cantik jelita seperti engkau ini menangis dan berduka. Apa yang harus disedihkan" Kita telah menjadi suami isteri, aku sungguh cinta padamu, sayang, dan mengingat akan apa yang telah kita lakukan selama sehari semalam ini, aku percaya bahwa engkaupun cinta padaku. Bagaimanapun juga, engkau telah menjadi isteriku"
Pertiwi melepaskan diri dari rangkulan pria itu, bangkit dan mundur tiga langkah. Ia
mengamati wajah pria itu. Seorang pria setengah tua yang tampan dan gagah, parasnya seorang priyayi. Bjarpun usia pria itu jauh lebih tua darinya, namun tidak mengecewakan, bahkan cukup membanggakan. Bagaimanapun juga, ia sudah terlanjur menyerahkan dirinya. Tak mungkin ia utuh kembali. Pula, apa gunanya " Nurseta tidak mencintanya, apa lagi sekarang setelah ia bukan perawan lagi, sudah menjadi milik orang lain, disadarina maupun tidak. Melihat Pertiwi berdiri seperti orang melamun, mengamati wajahnya, Gagak Wulung juga berdri dan dia tersenyum manis. Biarkan gadis ini menilai dirinya, pikirnya. Dia membutuhkan gadis ini sebagai kawan barunya, sebagai kekasihnya, dan gadis ini harus mencintanya, atau setidaknya, menyerahkan diri dengan suka rela.
"Siapakah kau ?" Akhirnya Pertiwi bertanya, suaranya lirih. "Dan apa yang telah terjadi dengan aku ?"
Gagak Wulung tersenyum, dan wajahnya nampak menarik. "Aku bernama Raden Gagak Wulung, seorang senopati dari Kediri " Dia memang seorang jagoan dan mata-mata Kerajaan Dhaha, dan mengenai sebutan Raden, hal ini dia tidak berlebihan. Orang yang dekat dengan raja, apa sukarnya untuk mendapatkan gelar" Gelar adalah anugerah raja, dan siapa yang menyenangkan hati raja dan sudah berjasa, tentu akan mudah saja memperoleh gelar, bahkan mungkin lebih dari sekedar Raden. "Apakah kau lupa akan apa yang telah terjadi dengan dirimu, nimas Pertiwi?"
"Bagaimana paduka mengenal nama saya ?" Kini Pertiwi bersikap hormat dan menyebut paduka, karena ia merasa yakin bahwa pria ini adalah seorang priyayi besar.
Gagak Wulung memperlebar senyumnya, hatinya girang sekali. Bukan saja gadis ini tidak nampak menyesal dan berduka setelah tahu bahwa dirinya telah menjadi miliknya, bahkan kini menyebutnya paduka.
"Nimas, aku mengenal namamu karena selain aku mendengar namamu disebut oleh Nurseta, juga selama sehari semalam ini, beberapa kali kau menyebut namamu sendiri. Lupakah kau akan penghinaan yang kau terima dari Nurseta keparat itu" Dia menghinamu, calon isterinya sendiri, dengan mengatakan bahwa dia tidak cinta padamu, melainkan mencinta gadis lain. Ah, betapa kejamnya..."
Pertiwi merasa jantungnya tertusuk, akan tetapi ia tidak mau menangis karena Nurseta lagi. Melihat ini, Gagak Wulung merasa semakin gembira.
"Melihat kau menangis seorang diri di padang rumput itu, merasa terhina dan ditolak pria, aku merasa kasihan sekali, nimas. Aku lalu menghiburmu, kau pingsan dan kubawa ke sini. Selanjutnya, karena di antara kita terdapat perasaan kasih sayang, dan karena kau demikian cantik jelita, sehingga aku tidak dapat menahan diri lagi, maka terjadilah segalanya itu. Kita menjadi suam isteri......., akan tetapi aku tidak menyesal
karena aku cinta padamu"
"Bagimu tidak menyesal karena paduka seorang pria. Akan tetapi saya adalah seorang wanita, raden, dan karena itu, saya minta pertanggungan jawab paduka. Paduka harus mengajak saya menghadap ayah dan ibu, agar perjodohan antara kita disahkan "
Gagak Wulung mengangguk angguk, lalu melangkah maju, meraih dan memeluk, mencium bibir yang nampak agak cemberut itu. "Baiklah dan jangan khawatir, nimas. Aku cinta padamu, dan sekarang juga mari kita pergi berkunjung ke rumah orang tuamu"
Gagak Wulung menggandeng tangan Pertiwi pergi ke dusun tempat tinggal gadis itu. Biarpun Pertiwi merasa canggung digandeng pria yang sebenarnya masih terasa asing baginya, namun ia tidak berani menolak.
Akan tetapi, kedatangan mereka disambut oleh Ki Purwoko, ayah Pertiwi, dengan alis berkerut. Melihat gadisnya digandeng seorang pria asing, tentu saja dia merasa terkejut dan tidak senang sekali sehingga pandang matanya memancarkan kemarahan.
"Pertiwi, sungguh tidak pantas engkau" bentak ayah itu, "Siapa orang ini dan apa artinya engkau bergandeng tangan dengan dia"
"Bapak.........dia....... dia ini......" Tentu saja sukar bagi Pertiwi untuk menjawab karena bagaimana mungkin dia memperkenalkan seorang pria asing sebagai calon suaminya, bahkan telah menjadi suaminya yang tidak sah" Dan tentang bergandeng tangan itu, bukan ia yang menggandeng, akan tetapi ia digandeng dan ia tidak berani melepaskan gandengan tangan Gagak Wulung.
Melihat kegagapan kekasihnya, Gagak Wulung melepaskan tangan gadis itu, lalu dia melangkah maju menghadapi laki-laki berpakaian petani sederhana itu. Tentu saja dia memandang rendah dan memang sukar bagi seorang seperti Gagak Wulung untuk bersikap hormat kepada orang lain, apa lagi kalau orang lain itu hanya seorang yang berpakaian sebagai seorang petani yang miskin, sederhana dan bodoh.
Gagak Wulung tersenyum menyeringai, senyum sinis, senyum seorang yang merasa dirinya lebih besar dan lebih tinggi dari pada orang yang diajak bicara, lalu diapun berkata dengan suara dingin,
"Aku bernama Raden Gagak Wulung dan kedatanganku untuk minta agar kalian sebagai orang tua diajeng Pertiwi suka mengesahkan kami menjadi suami isteri"
Sepasang mata petani itu terbelalak dan mukanya menjadi merah sekali karena marahnya. Dia tahu bahwa yang berada di depannya adalah seorang priyayi, seorang Raden, akan tetapi kemarahan membuat dia tidak takut dan tidak bersikap menjilat seperti kebiasaan orang-orang dusun bersikap terhadap priyayi. Akan tetapi kemarahan Ki Purwoko tertumpah kepada puterinya, maka dengan mata meJotot dia membentak kepada anaknya itu.
"Pertiwi. Apa artinya ini" Engkau adalah tunangan Raden Nurseta"
"Bapak........, Raden Nurseta tidak cinta kepadaku......" jawab Pertiwi lemah sambil
menundukkan mukanya.
"Akan tetapi engkau sudah dipinang dan kami menerima, engkau adalah caion isteri orang. Bagaimana sekarang ....."
"Sudahlah, bapak" kata Gagak Wulung memotong, "Nurseta tidak cinta kepada diajeng Pertiwi dan diajeng Pertiwi juga tidak cinta kepada orang itu. Diajeng Pertiwi hanya cinta kepadaku dan akupun cinta padanya. Kamipun sudah menjadi suami isteri dan kedatangan kami hanya untuk memberitahu dan minta persetujuan kalian, karena semenjak saat ini diajeng Pertiwi telah menjadi isteriku dan akan kubawa ke mana aku pergi"
"Tidak. Tidak bisa, tidak mungkin. Enak saja anak gadis orang diambil begitu saja hendak dibawa pergi" bentak Ki Purwoko marah sekali.
Gagak Wulung tersenyum mengejek. "Petani dusun, jangan bicara terlalu galak. Diajeng
Pertiwi telah menjadi isteriku, telah tidur bersamaku. Kau mau apa ?"
Ki Purwoko menjadi pucat mukanya dan memandang kepada anaknya. "Pertiwi. Benarkah itu?"
Pertiwi tidak berani mengangkat mukanya, hanya mengangguk membenarkan. Tentu saja ayahnya menjadi marah bukan main mendengar bahwa puterinya yang sudah menjadi calon isteri Nurseta itu kini mengaku telah tidur dan menyerahkan diri kepada seorang pria Iain, seorang pria asing yang usianya sebaya dengan dia.
"Keparat. Kalau begitu, engkau telah mencemarkan nama keluarga kita, mendatangkan aib yang hanya dapat ditebus dengan nyawamu" Berkata demikian, Ki Purwoko yang sudah marah sekali lalu meloncat maju hendak menampar muka anaknya. Tangan kanannya melayang dengan kerasnya ke arah pipi kiri Pertiwi.
"Dukkk" Ki Purwoko mengaduh ketika lengannya tertangkis lengan Gagak Wulung yang telah menangkis melihat kekasihnya ditampar.
"Kau*....... kau......... berani mencampuri urusanku dengan anakku sendiri?" bentak Ki Purwoko, kemarahannya memuncak, membuat dia menjadi nekat dan berani.
"Petani busuk" kata Gagak Wulung, juga marah. "Dulu ia anakmu, akan tetapi sekarang ia isteriku dan siapapun, termasuk kau petani dusun, tidak boleh memukulnya. Sudahlah, tanpa persetujuanmu sekalipun diajeng Pertiwi sudah menjadi isteriku dan sekarang akan kubawa pergi. Aku muak melihat mukamu lebih lama lagi. Diajeng Pertiwi. mari kita pergi" berkata demikian, Gagak Wulung merangkul pundak kekasihnya dan hendak menariknya pergi.
"Lepaskan anakku" Ki Purwoko membentak marah. Bagaimanapun juga, ayah ini merasa curiga dan mempunyai persangkaan buruk terhadap Gagak Wulung. Biasanya, dia tahu bahwa Pertiwi mempunyai watak yang amat baik, maka rasanya tidak mungkin kalau anaknya itu kini secara tiba-tiba saja begitu tak tahu rnalu dan berubah sama sekali. Dia menerjang maju dan hendak menarik lengan puterinya. Akan tetapi, kaki Gagak Wulung melayang dengan cepatnya.
"Dessss......." Dan tubuh Ki Purwoko terjengkang dan terlempar sampai dua meter jauhnya, terbanting keras.
"Jahanam busuk" bentak Gagak Wulung. "Apakah engkau sudah bosan hidup?" Dia melepaskan rangkulannya dari pundak Pertiwi. "Kalau begitu, biar kubunuh dulu kau"
"Raden, jangan........" Tiba tiba Pertiwi menubruk dan berlutut di depan Gagak Wulung, menghalanginya untuk menerjang ayahnya. Melihat ini, Gagak Wulung lalu mendorong tubuh Pertiwi dengan tangan kirinya.
"Minggir kau. Biar kubunuh dulu petani busuk ini agar kelak tidak ada yang menghalangi kita lagi"
Dorongan itu membuat tubuh Pertiwi terjengkang dan bergulingan, dan Gagak Wulung lalu meloncat ke depan untuk menyerang Ki Purwoko. Agaknya, dengan sekali pukul saja, petani yang lemah itu tentu akan tewas, tidak kuat menaban pukulan ampuh jagoan ini. Akan tetapi, pada saat itu, nampak berkelebat bayangan orang dan angin menyambar dahsvat dari samping, menerjang ke arah Gagak Wulung yang menjadi terkejut bukan main. Gagak Wulung membalik ke kanan dan menggerakkan kedua tangan menangkis.
"Dessss......." Dna tenaga raksasa bertemu dan akibatnya, Gagak Wulung terhuyung keluar dari pintu rumah itu. Ki Baka, pendatang yang menyelamatkan Ki Purwoko, mengejar keluar. Mereka kini berhadapan dan Gagak Wulung terbelalak dengan hati gelisah ketika mengenal bahwa penyerangnya tadi bukan lain adalah Ki Baka, musuh lamanya yang dia tahu amat digdaya.
"Babo-babo ...... kiranya si keparat Gagak Wulung yang seialu mendatangkan keributan di manapun dia hadir dengan kejahatannya. Entah apa lagi yang menjadi penyebab ulahmu yang gila, hendak membunuh seorang yang tidak berdosa seperti Ki Purwoko?"
Gagak Wulung yang memang sudah gentar itu tidak dapat segera menjawab. Bagaimana dia berani berterus terang bahwa dia telah menodai seorang gadis yang menjadi calon mantu Ki Baka" Ingin dia mentertawakan musuh lama ini, ingin menghinanya, akan tetapi dia ngeri membayangkan akibatnya, betapa Ki Baka akan marah besar dan mendendam. Ki Baka dalam keadaan biasa saja sudah sukar dilawan. Apa lagi Ki Baka yang mendendam sakit hati dan marah.
Pada saat itu, Ki Purwoko sudah terhuyung keluar dari dalam rumahnya dan dia masih mendengar kalimat terakhir pertanyaan Ki Baka kepada orang yang telah merusak gadisnya itu. Maka dengan lantang diapun lalu berseru kepada Ki Baka.
"Dia telah menghina kami. Dia telah .......menodai Pertiwi dan hendak membawa pergi Pertiwi dengan paksa dari sini....."
"Keparat........." Ki Baka terkejut bukan main. Tentu saja dia tahu apa artinya itu. Dia sudah lama mengenal orang macam apa adanya Gagak Wulung, seorang penjahat yang cabul dan suka mengganggu wanita. Kiranya Pertiwi, calon mantunya, calon isteri Nurseta, telah diganggunya. "Jahanam keji, berani kamu menodai calon mantuku?"
Karena peristiwa itu sudah dibocorkan oleh ayah Pertiwi, maka Gagak Wulung merasa tidak perlu merahasiakannya lagi, dan hal itu bahkan dijadikan senjata untuk memukul perasaan Ki Baka.
"Hahahaha, Ki Baka . Gadis ini tidak mencinta anakmu akan tetapi mencinta aku, apa salahnya ia menjadi kekasihku" Apakah kau merasa iri hati" Hahaha "
"Keparat jahanam, engkau sungguh keji dan jahat, dan sudah menjadi kewajiban setiap orang satria untuk membasmi penjahat penjahat macam kau ini dari permukaan bumi, Haiiiiittt"
Ki Baka menerjang dengan pukulan Aji Bajradenta yang amat menggiriskan itu. Tangannya menyambar bagaikan kilat, mendatangkan angin pukulan yang kuat dan mengeluarkan suara menggebu.
Gagak Wulung sudah mengenal kehebatan kakek pendekar ini, maka diapun cepat meloncat sampai dua tombak ke belakang untuk mencari tempat yang luas dan mengatur posisi yang menguntungkan. Ketika Ki Baka meloncat mengejarnya, dia memapaki dengan pukulan Hasta Jingga, dan kedua telapak tangannya berubah merah oleh hawa beracun yang terkandung dalam aji pukulan itu. Diapun bersilat dengan ilmu silat Wanoro Sekti, tubuhnya berloncatan dengan lincahnya bagaikan seekor kera, dan Ki Baka juga menyambutnya dengan serangan dahsyat.
Terjadilah ulangan perkelahian antara kedua orang sakti ini seperti yang pernah terjadi beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi, seperti pada perkelahian pertama, dalam perkelahian inipun segera Gagak Wulung merasa terdesak hebat oleh lawannya . Biarpun Gagak Wulung mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua ilmu kepandaiannya, namun semua serangannya dapat dipatahkan Ki Baka dengan pertahanannya yang amat kuat, yaitu dengan Aji Wandiro Kinkin dan dengan pengerahan tenaga Sari Patala. Sedangkan serangan balasan Ki Baka semakin lama semakin mantap dan kuat sehingga beberapa kali Gagak Wulung nampak terhuyung oleh sambaran pukulan Bajradenta,
Akhirnya, setelah kembali dia terhuyung, bahkan terpaksa melempar tubuh ke belakang dan bergulingan, Gagak Wulung maklum bahwa kalau dilanjutkan, dia akan celaka. Maka dia bergulingan terus menjauh lalu meloncat dan melarikan diri .
Diapun bersilat dengan ilmu silat Wanoro Sekti, tubuhnya berloncatan dengan lincahnya bagaikan seekor kera, dan Ki Baka menyambutnya dengan serangan dahsyat.
Sekali ini, Ki Baka tidak ingin melepaskannya. Orang itu telah melakukan kejahatan besar, telah menodai Pertiwi, berarti bukan saja mendatangkan aib kepada keluarga gadis itu dan merusak kebahagiaan hidup Pertiwi, akan tetapi juga berarti telah menghina dia dan merusak kebahagiaan hidup Nurseta.
"Bedebah, hendak lari ke mana kau?" bentaknya dan diapun melompat dengan cepat, melakukan pengejaran menuruni lereng.
Gagak Wulung mengerahkan seluruh tenaganya untuk melarikan diri secepatnya menuruni lereng itu. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Dia ketakutan. Dia maklum bahwa sekali ini Ki Baka tidak akan mau memaafkannya, dan kalau dia tidak cepat dapat tiba di tempat di mana Ki Buyut Pranamaya menantinya, dia tentu akan celaka di tangan Ki Baka yang sedang marah itu.
Gagak Wulung memang cerdik. Dia dapat lari sambil menghindar, dengan cara berbelak belok dan tentu saja dia menuju ke kaki gunung di mana Ki Buyut Pranamaya yang diandalkannya itu berada. Dan memang pada hari itu sudah merupakan hari ke tiga, seperti yang dijanjikannya bahwa pada hari ke tiga dia akan turun memberi laporan.
Ketika Gagak Wulung mulai merasa semakin gelisah karena Ki Baka nampaknya semakin dekat, tiba tiba saja hatinya lega melihat munculnya Ki Buyut Pranamaya di depannya. Kiranya kakek ini menjadi tidak sabar karena pembantu yang dinanti nantikannya itu tak kunjung muncul, lalu kakek ini mendaki gunung untuk menyusul.
"Hemm, kenapa engkau lari lari seperti orang dikejar setan?" tanya Ki Buyut Pranamaya.
"Bu...... bukan setan....... tapi Ki Baka, paman" kata Gagak Wulung dengan gagap karena napasnya memburu dan muka serta lehernya penuh keringat.
"Hemm, dia?" Ki Buyut Pranamaya membalikkan tubuh memandang dan dia melihat Ki Baka berlari cepat menuruni lereng menuju ke tempat itu.
"Kau minggirlah, kebetulan sekali dia datang "
Ki Baka tiba di tempar itu dan begitu melihat kakek itu, alisnya berkerut menduga duga. Siapa gerangan kakek ini " Seorang kakek yang tubuhnya sedang, meski usianya sudah tinggi sekali namun tubuhnya masib tegak, muka dan kumisnya, juga jenggotnya sudah banyak uban, pakaiannya seperti pakaian petani berwarna hitam. Ketika matanya memandang ke bawah, dia terkejut sekali. Jelas nampak pada kaki yang bertelanjang itu masing-masing hanya ada empat jari, tanpa ibu jari.
"Wiku Bayunirada........ Dan kau juga Ki Buyut Pranamaya" kata Ki Baka, teringat akan cerita Nurseta tentang kakek itu.
Kumis dan jenggot kelabu itu bergerak-gerak ketika Ki Buyut Pranamaya tertawa btrgelak. "Hahahaha, bagus kalau kau masih ingat kepada Wiku Bayunirada, Ki Baka. Kau sudah merasakan ampuhnya tangan ini, oleh karena itu, sekarang kau serahkan Tejanirmaia, baru aku akan memberi ampun kepadamu"
Ki Baka maklum bahwa dia berhadapan dengan lawan yang jauh lebih pandai dan lebih tangguh dari dia, namun dia tidak memperhhatkan sikap gentar, bahkan tersenyum tenang.
"Ki Buyut Pranamaya, dengan menyamar sebagai Wiku Bayunirada, kau menipuku dan merampas Ki Ageng Tejanirmala, bahkan menurunkan tangan kejam kepadaku. Kemudian, kau tidak mampu mempertahankan pusaka itu sehingga terampas oleh orang lain. Bagaimana sekarang kau datang kepadaku menanyakan pusaka itu?"
"Huh, tidak perlu berpura-pura dan berlagak bodoh, Ki Baka. Yang merampas tombak pusaka itu adalah anakmu, si Nurseta yang dibantu oleh seorang gadis berbaju hijau. Maka, engkau tentu tahu di mana pusaka itu. Hayo cepat katakan di mana dan kembalikan kepadaku, ataukah aku harus mempergunakan kekerasan memaksamu?"
"Paman Buyut, robobkan saja dan tangkap dia, biar akan kusiksa dia sampai mengaku di mana adanya pusaka itu" kata Gagak Wulung yang kini timbul kembali kegalakannya setelah merasa aman.
"Ki Buyut Pranamaya, biarpun bukan aku dan bukan pula anakku yang merampas kembali tombak pusaka itu, aku tahu siapa yang merampasnya. Akan tetapi, jangan harap aku akan memberitahukannya kepadamu. Lupakah kau bahwa tombak pusaka itu bukan milikmu dan kau sama sekali tidak berhak untuk memilikinya?"
Ki Buyut Pranamaya menjadi marah, apa lagi mendengar bahwa Ki Baka tahu siapa perampasnva dan di mana tombak pusaka itu berada. "Ki Baka, sekali lagi, katakan di mana tombak pusaka itu"
Akan tetapi Ki Baka tidak menjawab, melainkan menggeleng kepala sambil mengerahkan aji kekuatannya untuk membela diri. Ki Buyut Pranamaya kini sudah marah sekali, Dia mengeluarkan suara melengking parau yang keluar dari perutnya melalui kerongkongan, dan tiba-tiba saja dia sudah menyerang dengan tamparan tangannya yang ampuh. Ki Baka maklum akan kehebatan serangan ini, maka diapun cepat mengelak ke samping. Akan tetapi, tamparan itu terus mengejarnya, seolah-olah di telapak tangan itu terdapat matanya yang dapat melihat ke mana dia mengelak dan tamparan itu tidak luput melainkan mengejar terus ke arah kepala Ki Baka.
"Haiiiittt........" Ki Baka mengerahkan seluruh tenaganya menangkis karena tidak mungkin lagi mengelak dari ancaman tangan yang terus mengejar ke manapun dia mengelak itu.
"Dukkk........" Lengannya bertemu dengan lengan kakek tua renta itu dan akibatnya, tubuh Ki Baka terdorong dan dia terhuyung keras. Pada saat itu, Ki Buyut Pranamaya telah menyerang terus dengan tendangan sakti Cakrabairawa yang datang bertubi-tubi dan amat berbahaya. Menghadapi serangkaian tendangan sakti ini, terpaksa Ki Baka harus melempar tubuhnya jauh ke belakang, lalu bergulingan di atas tanah untuk menghindarkan diri. Begitu tendangan dihentikan, Ki Baka meloncat bangun dan langsung dia mengirim serangan balasan berupa pukulan ampuh Bajradenta.
Ki Buyut, betapapun saktinya, tidak berani sembarangan menerima aji pukulan yang ampuh ini, maka kembali dia menangkis sambil mengerahkan tenaga mendorong. Untuk kedua kalinya tubuh Ki Baka terguling, sekali ini terpental agak jauh ketika tubuhnya terguling dekat kaki Gagak Wulung, orang ini tidak menyia-nyiakan kesempatan, lalu menendang ke arah kepala Ki Baka. Untung Ki Baka masih dapat memutar kepala ke samping sehingga tendangan itu luput mengenai kepala, akan ietapi masih imengenai pundak Ki Baka.
"Desss........ " Tubuh Ki Baka terlempar dan da meloncat bangun, merasa nyeri pada pundaknya. Masih untung bahwa tulang pundaknya tidak patah.
"Ki Baka, engkau masih belum juga mau mengaku ?" bentak Ki Buyut Pranamaya yang kembali sudah tiba di depannya. Kakek ini memang memiliki gerakan yang amat cepat, yaitu dengan ilmunya Garuda Nglayang, yang membuat tubuhnya ringan dan cepat gerakannya seperti seekor burung garuda terbang. Akan tetapi Ki Baka pantang undur. Bagi seorang satria seperti dia, kematian bukanlah apa apa, akan tetapi mempertahankan kebenaran jauh lebih penting. Apa lagi harus menunjukkan di mana adanya tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala, biar matipun dia tidak akan mau melakukannya. Berbahaya sekali kalau tombak pusaka itu sampai terjatuh ke dalam tangan seorang seperti kakek ini, Buktinya, sebentar saja tombak itu terampas oleh Ki Buyut Pranamaya. terjadilah pemberontakan Mahesa Rangkah yang.mengorbankan banyak nyawa manusia. Entah apa akan jadinya dengan, pemberontakan jtu kalau tombak pusaka itu tidak terlepas dari tangan Ki Buyut Pranamaya. Tentu pemberontakan itu tidak akan begitu. mudah dibasmi seperti yang telah terjadi sekarang ini. Maka tanpa menjawab, dia bahkan menyambut pertanyaan itu dengan serangannya, dengan pukulan Bajradenta dan pengerahan tenaga Aji Sari Patala.
Melihat ini, Ki Buyut Pranamaya menjadi marah. "Huh, agaknya engkau sudah bosan hidup bentaknya dan dia menangkis pukulan itu sambil membarengi dengan tendangan yang mengenai paha Ki Baka.
Tubuh Ki Baka terpelanting dan Ki Buyut Pranamaya mengejar menyusulkan pukulan yang ampuh bukan main, yaitu Aji Margaparastra (Jalan Kematian ) seperti yang pernah membuat Ki Baka menjadi penderita cacat dan nyaris mencabut nvawanya kalau saja dia tidak ditolong oleh Panembaban Sidik Danasura.
"Tahan pukulan itu" Tiba tiba terdengar bentakan halus sekali, akan tetapi di dalam kelembutannya terkandung wibawa yang amat kuat sehingga Ki Buyut Pranamaya sendiri otomatis menahan pukulan Margaparastra itu sambil menoleh ke arah suara tadi Kesempatan ini dipergunakan oleh Ki Baka untuk meloncat ke belakang menjauhkan diri.
"Sadhu, sadhu, sadhu........, semoga Hyang Widhi Wisesa mengampuni kita semua. Buyut Pranamaya, tidak takutkah kau akan murka Hyang Tunggal ketika kau hendak menjatuhkan pukulan maut kepada Ki Baka" Siapakah kau ini yang berani hendak mengakhiri hidup seseorang?"
Ki Buyut Pranamaya sudah berhadapan dengan kakek yang baru tiba itu. Kakek tinggi kurus yang usianya juga sudah tua renta, sebaya dengan Ki Buyut Pranamaya sendiri, tubuhnya agak bongkok, pakaian, ikat rambut, juga rambut kumis dan jenggotnya, semua putih. Tangan kirinya memegang seuntai tasbeh dari batu putih, dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat bambu gading. Tentu saja dia mengenal siapa adanya kakek yang tadi menegurnya dengan lembut sehingga membuat dia menahan pukulan mautnya terhadap Ki Baka.
Panembahan Sidik Danasura adalah seorang tokoh yang kedudukannya amat tinggi dan biarpun dia jarang atau hampir tidak pernah mencampuri urusan duniawi, namun semua tokoh di dunia persilatan, baik dari golongan putih maupun golongan hitam, mengenal namanya.
"Hemm, kiranya Kakang Panembahan Sidik Danasura yang nadir" kata Ki Buyut Pranamaya dengan suara ditenangkan untuk menutupi perasaannya yang agak terguncang melihat munculnya kakek itu. Belum pernah dia sendiri menguji kesaktian panembahan itu, namun dari keterangan yang pernah didengarnya, kabarnya kakek pertapa di Teluk Pngi Segoro Wedi itu adalah seorang yang sakti mandraguna dan memiliki kepandaiau seperti dewa saja, dan yang lebih mengerikan lagi adalah wataknya yang bersih dan murni. Manusia dengan kebersihan dan kebebasan seperti inilah yang sukar dilawan dengan kedigdayaan.
"Benar, Adi Buyut Pranamaya, semoga para dewata memberi jalan terang kepada kau"
"Terima kasih, Kakang Panembahan. Akan tetapi agaknya kau hanya pandai memberi nasihat akan tetapi tidak pandai melaksanakannya sendiri, Kakang Panembahan"
Panembahan itu tersenyum dan mengelus jenggotnya, sikapnya tenang dan sinar matanya tak pernah melepaskan sinarnya yang lembut, mulutnyapun selalu tersenyum.
"Adi Buyut, apa maksudmu?"
"Kau menasihatkan orang untuk mengambil jalan terang dan membebaskan diri dari keramaian duniawi, akan tetapi mengapa kau datang datang mencampuri urusan orang lain, dalam hal ini urusanku dan kau sudah bertindak berat sebelah dengan memihak Ki Baka dan menghalangiku ?"
"Sadhu, sadhu, sadhu, semoga para dewata memberkahi semua mahluk di dunia ini. Adi Buyut, aku sama sekali tidak bermaksud mencampuri apa lagi memihak, melainkan aku melihat seseorang, dalam hal ini kau, hendak melakukan dosa besar dengan pembunuhan. Karena itu, aku segera mencegah dan mengingatkan, bukankah ini demi kebaikanmu sendiri?"
"Itu menurut pendapatmu, Kakang Penembahan. Dan pendapat orang dapat berbeda. bahkan berlawanan. Pencegahanmu tadi sama sekali bukan demi kebaikanku, bahkan sebaliknya, pencegahanmu itu amat merugikan aku kakang. Pusakaku dirampas oleh anak Ki Baka, dan aku datang untuk menuntut kembali pusaka itu, akan tetapi dia tidak mau menunjukkan di mana adanya pusaka itu. Bukankah sudah sepatutnya kalau aku memaksanya mengaku" Perbuatanku menuntut hakku sudah benar, sebaliknya perbuatanmu mencegah aku itulah yang sesat karena merugikan aku"
Panembahan Sidik Danasura kembali mengelus jenggotnya dan mengangguk angpuk. sikapnya tetap lembut dan ramah. "Jagad Dewa Batbara......... Belumkah kau mampu
meiihatnya, Adi Buyut" Setiap langkah perbuatan, apa bila mengandung pamrih, adalah perbuatan yang sesat dan palsu"
"Akan tetapi pamrihku baik"
"Yang ada hanya pamrih, tidak ada baik atau buruk. Pamrih merupakan keinginan demi kepentingan diri pribadi yang dapat meluas menjadi kepentingan goiongan dan seterusnya dari pribadi itu, terbuka maupun terselubung, dan keinginan itu menjadi dasar dari suatu perbuatan. Itulah pamrih, dan setiap perbuatan yang d dorong pamrih, sudah pasti akan menimbulkan bentrokan dan keributan belaka. Aku mencegahmu tadi sama sekali tanpa pamrih, sama sekali tanpa kepentingan pribadi, Adi Buyut. Sudahlah, coba ceritakan apa yang telah terjadi sehingga kau kulihat hendak menurunkan tangan maut kepada Ki Bika tadi"
Ki Buyut Pranamaya merasa serba salah. Tentu saja dia mengerti bahwa sesungguhnya, slialah yang merampas pusaka itu mula mula dan tangan Ki Baka. Akan tetapi karena sudah terlanjur, diapun menjawab dengan nekat saja.
"Sudah kukatakan tadi, pusakaku dirampas oleh anak Ki Baka yang bernama Nurseta bersama seorang gadis baju hijau, dan aku datang kepada Ki Baka untuk menuntut agar dia mengembalikan pusaka itu. Akan tetapi, dia bahkan hendak merahasiakan di mana adanya pusaka itu"
Panembahan itu menjawab, "Mendengarkan alasan haruslah dari kedua pihak, baru adi. namanya. Oleh karena itu, Ki Baka, coba ceritakan apa yang sesungguhnya telah terjadi sehingga kau berkelahi dengan Adi Buyut Pranamaya"
Ki Baka tentu saja mengenal baik panembahan yang baru baru ini telah menyelamatkannya dari akibat pukulan Margaparastra dari Wiku Bayunirada yang sesungguhnya adalah penyamaran dari Ki Buyut Pranamaya. Dia lalu memberi hormat kepada panembahan itu dan menjawab dengan sejujurnya, "Terima kasih atas pertolongan Paman Panembahan yang untuk kedua kalinya menghindarkan diri saya dari ancaman maut di tangan Ki Buyut Pranamaya. Awal peristiwa terjadi di dusun Sintren, di mana Gagak Wulung telah secara keji menodai gadis yang menjadi calon mantu saya, calon isteri Nurseta, bahkan dia hendak melarikan gadis itu. Saya menentangnya, kami berkelahi dan dia melarikan diri, saya kejar sampai di sini. Tahu tahu muncul Ki Buyut Pranamaya yang menyerang saya setelah dia menuntut agar saya mengembalikan Ki Ageng Tejanirmala atau memberitahu kepadanya di mana adanya pusaka itu sekarang"
"Sadhu, sadhu, sadhu......... Di manamana" manusia mengumbar nafsunya mengejar kesenangan tanpa rikuh mencelakakan orang lain" Pertapa itu menarik napas panjang dan ketika sinar matanya yang lembut bertemu dengan wajah Gagak Wulung, penjahat ini bergidik dan cepat menundukkan mukanya. "Ki Baka, bagaimana ceritanya dengan tombak pusaka itu sehingga Adi Buyut Pranamaya menuntut dikembalikannya pusaka itu?"
"Tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala tadinya milik saya yang dirampas oleh Wiku Bayunirada yang bukan lain adalah Ki Buyut Pranamaya juga. Dia merampas pusaka dan melukai saya sampai saya tertolong oleh pengobatan Paman Panembahan. Kemudian, Nurseta mencari pusaka itu untuk merampasnya kembali. Akan tetapi pusaka itu terampas oleh seorang gadis. Baik saya ataupun Nurseta tidak bekerja sama dengan gadis itu, akan tetapi Ki Buyut Pranamaya menuduh demikian dan memaksaku memberitahu di mana adanya pusaka itu. Biarpun saya tahu di mana, tentu saja saya tidak mau memberitahukan kepadanya karena dia sama sekali tidak berhak atas pusaka itu"
"Adi Buyut, bukankah perbuatanmu itu sewenang-wenang " Kau tidak berhak memiliki tombak pusaka itu, Sudahilah saja usahamu yang tidak patut itu agar kau tidak terjerat oleh perbuatan sendiri, karena setiap orang akhirnya akan memetik buah dari pohon yang ditanamnya sendiri"
"Aku mempergunakan wewenang dari yang menang. Yang menang itu kuasa melakukan apapun yang dikehendakinya. Pusaka itu telah berada di tanganku, maka harus kembali ke tanganku, dan aku akan memaksa Ki Baka untuk mengaku di mana adanya pusaka itu" Ki Buyut Pranamaya membentak.
"Kakang Panembahan. Kau hendak memihak Ki Baka, membelanya dan menentang aku ?" Ki Buyut Pranamaya membentak, matanya membelalak kemerahan.
Kakek tua renta itu tersenyum dan menggeleng kepala, seperti seorang guru melihat sikap muridnya yang masih bodoh dan nakal.
"Aku tidak membela dan menentang siapapun, kecuali membela yang benar dan lemah, dan menghindarkan yang sesat dan kuat dari pada perbuatan jahat"
"Babo babo, kau kira aku takut padamu, Panembahan Sidik Danasura" Kalau kau menentang aku, berarti kau seorang musuh bagiku" berkata demikian kakek yang berpakaian serba hitam ini sudah menerjang maju dengan pukulan dahsyatnya, yaitu Aji Margaparastra yang menggiriskan. Angin dingin menyambar ketika pukulan itu dilakukan bagaikan tangan Sang Dewa Maut sendiri menjahgkau untuk mencari korban.
"Sadhu, sadhu, sadhu......." Panembahan Sidik Danasura mengebutkan tangan kirinya yang tertutup lengan baju putih yang lebar Angin halus menyambar keluar dan dalam lengan baju itu, menyambut angin pukulan Margaparastra dan akibatnya, tubuh Ki Buyut Pranamaya terdorong dan terhuyung ke belakang, Kakek berpakaian serba hitam itu semakin marah. Sambil mengeluarkan suara menggereng seperti seekor harimau, diapun menerjang maju, sekali ini mengerahkan Aji Cakrabairawa yaitu ilmu tendangan yang dahsyat itu. Kedua kakinya bertubi-tubi melayang ke arah tubuh kakek berpakaian serba putih.
Panembahan Sidik Danasura dengan sikap tenang lalu menggunakan tongkatnya yang terbuat dari Bambu Gading itu menyambut, menggerakkan tongkat seperti memukul anjing dan akibatnya, tubuh penyerang itu terpelanting dan terjatuh. Namun, Ki Buyut Pranamaya meloncat bangkit kembali, memandang kepada lawannya dengan beringas, akan tetapi diapun tahu diri. Dia maklum bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan kakek berpakaian serba putih yang amat sakti itu. Dan diapun tidak berani mengeluarkan ilmu hitam atau ilmu sihirnya, karena diapun tahu bahwa menghadapi kakek sakti ini, ilmu hitamnya hanya akan membalik dan memukul dirinya sendiri, dan hal ini jauh lebih berbahaya daripada tangkisan lawan terhadap serangannya tadi.
"Baiklah, Kakang Panembahan Sidik Danasura, aku mengaku saat ini belum mampu memaksa Ki Baka mengaku. Akan tetapi, masih ada saat lain. Hayo, Gagak Wulung" Dan Ki Buyut Pranamaya lalu membalikkan tubuh dan melangkah pergi dengan cepatnya, dengan wajah penuh kemarahan. Gagak Wulung juga cepat-cepat pergi meninggalkan tempat itu mengejar kakek berpakaian hitam.
"Gagak Wulung keparat, engkau harus mempertanggung jawabkan kejahatanmu " Ki Baka masih penasaran dan hendak mengejar, akan tetapi lengannya disentuh Panembahan Sidik "Danasura maka dia tidak melanjutkan usahanya melakukan pengejaran. Diapun maklum bahwa selama Gagak Wulung berdekatan dengan Ki Buyut Pranamaya, dia tidak akan mampu berbuat apapun terhadap penjahat cajul itu, bahkan dia yang akan terancam oleh kakek tua renta berpakaian hitam itu.
"Paman, mengapa paman melepaskan orang-orang jahat seperti iblis itu" Mereka berdua itu hanya akan mengancam kehidupan manusia lain, mengotori dunia saja" kata Ki Baka, dalam kemarahannya sampai lupa diri. Memang sesungguhnyalah, mengalahkan orang lain itu mudah, namun mengalahkan diri sendiri amat sulitnya. Ki Baka adalah seorang pertapa yang sudah cukup memiliki kebijaksanaan, maklum akan kelirunya menurutkan nafsu perasaan hati. Namun, melihat betapa calon mantunya dinodai orang, diapun dapat menjadi mata gelap dan lupa sehingga sikapnya tiada bedanya dengan orang yang masih mudah dikuasai nafsu amarah dan dendam. Kini, begitu bertemu pandang dengan Panembahan Sidik Danasura, tiba-tiba dia teringat dan tubuhnya terkulai lemas, jatuh berlutut di depan panembahan itu.
Panembahan Sidik Danasura memejamkan mata dan mengangkat mukanya ke atas. Dia
sengaja datang ke Pegunungan Kelud ini karena dia merasakan suatu hal yang mendorongnya untuk bertindak. Mata batinnya yang tajam seperti melihat akan keadaan Ki Baka yang terancam bahaya, dan selain ini, dia melihat pula bahwa Ki Baka masih akan lama dapat bertemu dengan Nurseta yang juga sedang mengalami cobaan atau ujian Yang Maha Kuasa Dia tahu bahwa ancaman Ki Buyut Pranamaya bukanlah gertak kosong belaka. Orang itu tentu tidak akan mau sudah sebelum berhasil merampas kembali Ki Ageng Tejanirmala, maka keamanan Ki Baka tentu akan terancam terus. Satu satunya jalan hanyalah mengajak Ki Baka ke padepokannya di mana dia akan aman dan gangguan Ki Buyut Pranamaya.
"Agaknya kau sudah mengerti mengapa kita tidak sepatutnya menilai dan mengukur jahat tidaknya seseorang, apa lagi menjatuhkan hukuman. Siapakah kita ini yang lancang menghakimi seseoran " Marilah, Ki Baka, mari ikut bersamaku, menikmati ketenteraman hidup di Teluk Prigi. Kalau sudah tiba saatnya, tentu Nurseta akan menyusul ke sana"
"Maaf, Paman Panembahan. Sebelum kita berangkat, saya ingin lebih dulu melihat keadaan Pertiwi, calon mantu saya"
Panembahan itu tersenyum. Dia maklum akan segala yang sudah dan akan teriadi maka dia tidak membantah, hanya tersenyum mengangguk dan keduanya lalu menuju ke dusun Sintren, tempat tinggal Ki Purwoko ayah Pertiwi.
Kedatangan Ki Baka disambut isak tangis oleh Pertiwi yang sejak tadi memang sudah menangis terus. Melihat calon ayah mertuanya ini, Pertiwi yang teringat akan semua peristiwa yang terjadi dengan dirinya, menjadi malu bukan main. Tiba tiba ia lari ke sudut kamar, mengambil sebilah keris milik ayahnya dan dengan keris itu ditsuknya dadanya sendiri. Akan tetapi, dengan satu loncatan saja Ki Baka telah berada di dekatnya dan dengan mudah Ki Baka meranpas keris itu dari tangan calon mantunya.
"Nini Pertiwi, apa yang akan kau lakukan ?" tanyanya dengan suara keren penuh wibawa.
"Paman........" Pertiwi menjatuhkan diri berlutut, menyembah di kaki Ki Baka, sedangkan Panembahan Sidik Dmasura hanya memandang sambil mengelus jenggotnya. "Mengapa paman menghalangiku yang hendak mengakhiri semua derita ini " Paman, apa gunanya hidup di dunia ini bagiku ?"
"Pertiwi. Apa gunanya hidup bukanlah urusam kita. Kita ini dihidupkan untuk kelak dimatikan bukan atas kehendak kita. Urusan kita hanyalah mengisi kehidupan ini, mengisinya dengan perbuatan-perbuatan yang bermanfaat baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Mengakhiri hidup dengan cara membunuh diri adalah lancang dan merupakan dosa besar
(Bersambung jilid ke XI)
Hal-hal yang tidak logis :
1. Nurseta memanggil Warsiyem dengan "kanjeng bibi"
2. Jatuh ke jurang malah ketemu dengan calon Mertua di Goa. Terlalu kebetulan.
3. Pohon bambu dan pisang bisa tumbuh dalam goa, karena goa yang ditempati oleh Nurseta adalah goa yang jauh dari permukaan tanah, pastilah tanahnya keras (batu) Kalau tanahnya lembek, pastilah akan runtuh.
4. Yang biasa tumbuh didalam goa adalah jamur.
5. Warsiyem dapat mengobati luka beracun, kapan belajarnya"
6. Warsiyem mengetahui jenis racun yang diderita oleh Nurseta.
7. Cucut Kalasekti memberi waktu tiga hari kepada Warsiyem. Semestinya culik aja. Kok repot2 nunggu tiga hari. Namanya juga penjahat.
8. Setelah diberi waktu tiga hari, kok Warsiyem tidak kabur" Kenapa nunggu"
9. Kenapa dipenjara di dalam goa, kenapa tidak dipenjara di dalam rumah saja dan dikunci kamarnya dari luar.
10. Kok Ki Buyut tahu ada Goa ditengah2 tebing yang tingi dan curam.
11. Ki Buyut dapat memanjat tebing dengan memanggul Warsiyem, sedangkan Nurseta yang mempunyai ilmu yang hampir sama, tidak bisa memanjat atau menuruni tebing tanpa memanggul beban.
12. Dua penjahat cabul tidak mau memperkosa.
13. Dua penjahat cabul jatuh cinta
14. Menanam pohon obat dalam goa. Tanaman obat biasanya berakar lembut, tidak akan tumbuh di lantai goa yang kerasnya seperti karang, atau memang batu.
15. Tidak ada yang tahu tempat tinggal Ki Baka sebelumnya, tetapi dalam waktu tiga hari saja, Gagak Wulung dapat menemukannya. Padahal pulau jawa sangat luas.
16. Pertiwi memanggil Gagak wulung dengan "Paduka" padahal dialah orang yang memperkosanya.
17. Gagak wulung tidak mau memperkosa, tetapi ia mempergunakan aji pengasihan. Ya sama aja dong.
18. Penjahat cabul kok melamar"
19. Ki Buyut dan Panembahan kok bisa sampai di rumahnya Pertiwi. Tau dari mana" Emang punya hidung seperti anjing"
20. Pertama, Ki Buyut memerintahkan Gagak Wulung untuk mencari alamat Ki Baka. Baru saja tiga hari, Ki Buyut sudah tidak sabar dan menyusul Gagak Wulung. Semestinya tunggu dulu, kalau sudah tidak datang2, barulah ikut mencari. Berarti".. Ki Buyut tidak menunggu, tetapi Ki Buyut ikut kemanapun Gagak Wulung pergi, hal ini akan masuk akal kalau Ki Buyut mempergunakan GPS.
21. Katanya : Pemberontakan ini tidak akan gagal, kalau saja pusaka Tejanirmala tidak terampas. Padahal sewaktu pusaka belum terampas-pun"., pasukan pemberontak sudah kewalahan. Emangnya pusaka itu bisa mengeluarkan pasukan gaib.
22. Semestinya nama pusaka yang dapat mengalahkan tentara singosari bukan "Tejanirmala" tetapi namanya adalah "Machine Gun" atau Granat atau BOM.
Itulah sebabnya mengapa Gagak Wulung melakukan penyelidikan seorang diri ke puncak Pegunungan Kelud dan dia sudah berhasil menemukan tempat tinggal Ki Baka. Tentu saja Gagak Wulung tidak begitu bodoh untuk berani turun tangan sendiri. Dia sudah tahu akan kedikdayaan Ki Baka, apa lagi mengingat akan puteranya, Nurseta yang memiliki kesaktian bahkan melebihi bapaknya. Pada pagi hari itu, ketika dia hendak meninggalkan puncak setelah menemukan pondok Ki Baka, kebetulan dia melihat pertemuan antara Nurseta dan Pertiwi, gadis dusun yang manis itu. Gagak Wulung mendekat dan bersembunyi, mengintai dan mendengarkan percakapan mereka. Maka tahukah dia bahwa gadis itu, gadis manis bermata jeli, adalah tunangan Nurseta akan tetapi tidak dicinta pemuda itu. Dan dia terus membayangi gadis itu, melihat betapa gadis itu menangis sedih, dan melihat pula betapa Nurseta melanjutkan perjalanannya menuruni puncak.
Kesempatan itu tentu saja tidak disia-siakan oleh Gagak Wulung. Dia terkenal sebagai seorang penjahat yang cabul dan mata keranjang, selalu mengganggu wanita yang menarik perhatiannya. Dan Pertiwi merupakan gadis dusun yang memikat hatinya, bagaikan buah yang sedang ranum atau bunga yang mulai mekar. Kenyataan bahwa gadis itu adalah calon isteri Nurseta lebih mengobarkan gairahnya, maka dia lalu menghampiri Pertiwi, menegurnya dengan ramah dan mempergunakan aji pengasihan dan ilmu sihir yang dipela jarhya dari Ni Dedeh Sawitri untuk menunundukkan Pertiwi.
Ketika itu, Pertiwi sedang lemah batinnya oleh duka dan kecewa, maka dengan mudahnya iapun takluk dan menyerah, mandah saja ketika dirinya dipondong dari dipeluk Gagak Wulung, dibawa pergi tanpa melawan sedikitpun juga.
Gagak Wulung adalah seorang hamba nafsunya sendiri yang sudah tidak ketulungan lagi, sehingga dia terlena sebagai seorang tokoh sesat, seorang datuk dunia hitam yang jahat. Karena dia mendapatkan waktu tiga hari oleh Ki Buyut Pranamaya untuk melakukan penyelidikan, dan kini dia sudah berhasil mengetahui tempat tinggal Ki Baka, maka sisanya yang dua hari dia pergunakan untuk bersenang-senang. Kesenangan yang keji dan jahat terhadap diri Pertiwi, gadis dusun yang tak berdosa itu. Dia membawa Pertiwi ke sebuah hutan yang sunyi dan di tempat ini dia permainkan Pertiwi sesuka hatinya. Di bawah pengaruh aji pengasihan yang tidak wajar, ditambah lagi oleh keadaan hatinya yang lemah dan berduka, Pertiwi menyerahkan diri dalam keadaan setengah sadar. Pengaruh aji pengasihan membuat ia melihat bahwa pria yang menggaulinya itu adalah seorang pria yang menarik, tampan, perkasa, dan menghibur hatinya dari nyeri setelah mendengar pengakuan Nurseta bahwa calon suaminya itu tidak mencintanya, melainkan mencinta seorang gadis lain, Dalam diri Gagak Wulung dia menemukan pengganti, penghibur dan pengobat kepedihan hatinya.
Gagak Wulung masih belum puas biarpun dia sudah memiliki tubuh Pertiwi sepenuhnya.
Dia ingin pula memiliki hati gadis itu. Dia merasa tidak puas karena selama sehari semalam itu, Pertiwi menyerahkan dirinya kepadanya hanya karena pengaruh sihir dan aji pengasihan. Dia ingin gadis itu menyerahkan diri dengan suka rela, benar-benar mencintanya. Dia membutuhkan seorang kekasih baru semenjak dia berpisah dari Ni Dedeh Sawitri. Oleh karena itu, pada hari ke tiga, dia sengaja melepaskan sihirnya atas diri Pertiwi.
Gadis itu seperti baru tergugah dari tidurnya. Ketika ia mendapatkan dirinya dalam keadaan tidak wajar, berada dalam pelukan seorang laki-laki asing, ia menjerit dan menangis, sadar bahwa ia telah menyerahkan diri kepada pria itu. Ia menangis sejadi-jadinya, dan Gagak Wulung yang pandai merayu itu segera menghiburnya, merangkul dan mencumbunya.
"Sudahlah, nimas, simpan air matamu. Sayang, seorang wanita cantik jelita seperti engkau ini menangis dan berduka. Apa yang harus disedihkan" Kita telah menjadi suami isteri, aku sungguh cinta padamu, sayang, dan mengingat akan apa yang telah kita lakukan selama sehari semalam ini, aku percaya bahwa engkaupun cinta padaku. Bagaimanapun juga, engkau telah menjadi isteriku"
Pertiwi melepaskan diri dari rangkulan pria itu, bangkit dan mundur tiga langkah. Ia
mengamati wajah pria itu. Seorang pria setengah tua yang tampan dan gagah, parasnya seorang priyayi. Bjarpun usia pria itu jauh lebih tua darinya, namun tidak mengecewakan, bahkan cukup membanggakan. Bagaimanapun juga, ia sudah terlanjur menyerahkan dirinya. Tak mungkin ia utuh kembali. Pula, apa gunanya " Nurseta tidak mencintanya, apa lagi sekarang setelah ia bukan perawan lagi, sudah menjadi milik orang lain, disadarina maupun tidak. Melihat Pertiwi berdiri seperti orang melamun, mengamati wajahnya, Gagak Wulung juga berdri dan dia tersenyum manis. Biarkan gadis ini menilai dirinya, pikirnya. Dia membutuhkan gadis ini sebagai kawan barunya, sebagai kekasihnya, dan gadis ini harus mencintanya, atau setidaknya, menyerahkan diri dengan suka rela.
"Siapakah kau ?" Akhirnya Pertiwi bertanya, suaranya lirih. "Dan apa yang telah terjadi dengan aku ?"
Gagak Wulung tersenyum, dan wajahnya nampak menarik. "Aku bernama Raden Gagak Wulung, seorang senopati dari Kediri " Dia memang seorang jagoan dan mata-mata Kerajaan Dhaha, dan mengenai sebutan Raden, hal ini dia tidak berlebihan. Orang yang dekat dengan raja, apa sukarnya untuk mendapatkan gelar" Gelar adalah anugerah raja, dan siapa yang menyenangkan hati raja dan sudah berjasa, tentu akan mudah saja memperoleh gelar, bahkan mungkin lebih dari sekedar Raden. "Apakah kau lupa akan apa yang telah terjadi dengan dirimu, nimas Pertiwi?"
"Bagaimana paduka mengenal nama saya ?" Kini Pertiwi bersikap hormat dan menyebut paduka, karena ia merasa yakin bahwa pria ini adalah seorang priyayi besar.
Gagak Wulung memperlebar senyumnya, hatinya girang sekali. Bukan saja gadis ini tidak nampak menyesal dan berduka setelah tahu bahwa dirinya telah menjadi miliknya, bahkan kini menyebutnya paduka.
"Nimas, aku mengenal namamu karena selain aku mendengar namamu disebut oleh Nurseta, juga selama sehari semalam ini, beberapa kali kau menyebut namamu sendiri. Lupakah kau akan penghinaan yang kau terima dari Nurseta keparat itu" Dia menghinamu, calon isterinya sendiri, dengan mengatakan bahwa dia tidak cinta padamu, melainkan mencinta gadis lain. Ah, betapa kejamnya..."
Pertiwi merasa jantungnya tertusuk, akan tetapi ia tidak mau menangis karena Nurseta lagi. Melihat ini, Gagak Wulung merasa semakin gembira.
"Melihat kau menangis seorang diri di padang rumput itu, merasa terhina dan ditolak pria, aku merasa kasihan sekali, nimas. Aku lalu menghiburmu, kau pingsan dan kubawa ke sini. Selanjutnya, karena di antara kita terdapat perasaan kasih sayang, dan karena kau demikian cantik jelita, sehingga aku tidak dapat menahan diri lagi, maka terjadilah segalanya itu. Kita menjadi suam isteri......., akan tetapi aku tidak menyesal
karena aku cinta padamu"
"Bagimu tidak menyesal karena paduka seorang pria. Akan tetapi saya adalah seorang wanita, raden, dan karena itu, saya minta pertanggungan jawab paduka. Paduka harus mengajak saya menghadap ayah dan ibu, agar perjodohan antara kita disahkan "
Gagak Wulung mengangguk angguk, lalu melangkah maju, meraih dan memeluk, mencium bibir yang nampak agak cemberut itu. "Baiklah dan jangan khawatir, nimas. Aku cinta padamu, dan sekarang juga mari kita pergi berkunjung ke rumah orang tuamu"
Gagak Wulung menggandeng tangan Pertiwi pergi ke dusun tempat tinggal gadis itu. Biarpun Pertiwi merasa canggung digandeng pria yang sebenarnya masih terasa asing baginya, namun ia tidak berani menolak.
Akan tetapi, kedatangan mereka disambut oleh Ki Purwoko, ayah Pertiwi, dengan alis berkerut. Melihat gadisnya digandeng seorang pria asing, tentu saja dia merasa terkejut dan tidak senang sekali sehingga pandang matanya memancarkan kemarahan.
"Pertiwi, sungguh tidak pantas engkau" bentak ayah itu, "Siapa orang ini dan apa artinya engkau bergandeng tangan dengan dia"
"Bapak.........dia....... dia ini......" Tentu saja sukar bagi Pertiwi untuk menjawab karena bagaimana mungkin dia memperkenalkan seorang pria asing sebagai calon suaminya, bahkan telah menjadi suaminya yang tidak sah" Dan tentang bergandeng tangan itu, bukan ia yang menggandeng, akan tetapi ia digandeng dan ia tidak berani melepaskan gandengan tangan Gagak Wulung.
Melihat kegagapan kekasihnya, Gagak Wulung melepaskan tangan gadis itu, lalu dia melangkah maju menghadapi laki-laki berpakaian petani sederhana itu. Tentu saja dia memandang rendah dan memang sukar bagi seorang seperti Gagak Wulung untuk bersikap hormat kepada orang lain, apa lagi kalau orang lain itu hanya seorang yang berpakaian sebagai seorang petani yang miskin, sederhana dan bodoh.
Gagak Wulung tersenyum menyeringai, senyum sinis, senyum seorang yang merasa dirinya lebih besar dan lebih tinggi dari pada orang yang diajak bicara, lalu diapun berkata dengan suara dingin,
"Aku bernama Raden Gagak Wulung dan kedatanganku untuk minta agar kalian sebagai orang tua diajeng Pertiwi suka mengesahkan kami menjadi suami isteri"
Sepasang mata petani itu terbelalak dan mukanya menjadi merah sekali karena marahnya. Dia tahu bahwa yang berada di depannya adalah seorang priyayi, seorang Raden, akan tetapi kemarahan membuat dia tidak takut dan tidak bersikap menjilat seperti kebiasaan orang-orang dusun bersikap terhadap priyayi. Akan tetapi kemarahan Ki Purwoko tertumpah kepada puterinya, maka dengan mata meJotot dia membentak kepada anaknya itu.
"Pertiwi. Apa artinya ini" Engkau adalah tunangan Raden Nurseta"
"Bapak........, Raden Nurseta tidak cinta kepadaku......" jawab Pertiwi lemah sambil
menundukkan mukanya.
"Akan tetapi engkau sudah dipinang dan kami menerima, engkau adalah caion isteri orang. Bagaimana sekarang ....."
"Sudahlah, bapak" kata Gagak Wulung memotong, "Nurseta tidak cinta kepada diajeng Pertiwi dan diajeng Pertiwi juga tidak cinta kepada orang itu. Diajeng Pertiwi hanya cinta kepadaku dan akupun cinta padanya. Kamipun sudah menjadi suami isteri dan kedatangan kami hanya untuk memberitahu dan minta persetujuan kalian, karena semenjak saat ini diajeng Pertiwi telah menjadi isteriku dan akan kubawa ke mana aku pergi"
"Tidak. Tidak bisa, tidak mungkin. Enak saja anak gadis orang diambil begitu saja hendak dibawa pergi" bentak Ki Purwoko marah sekali.
Gagak Wulung tersenyum mengejek. "Petani dusun, jangan bicara terlalu galak. Diajeng
Pertiwi telah menjadi isteriku, telah tidur bersamaku. Kau mau apa ?"
Ki Purwoko menjadi pucat mukanya dan memandang kepada anaknya. "Pertiwi. Benarkah itu?"
Pertiwi tidak berani mengangkat mukanya, hanya mengangguk membenarkan. Tentu saja ayahnya menjadi marah bukan main mendengar bahwa puterinya yang sudah menjadi calon isteri Nurseta itu kini mengaku telah tidur dan menyerahkan diri kepada seorang pria Iain, seorang pria asing yang usianya sebaya dengan dia.
"Keparat. Kalau begitu, engkau telah mencemarkan nama keluarga kita, mendatangkan aib yang hanya dapat ditebus dengan nyawamu" Berkata demikian, Ki Purwoko yang sudah marah sekali lalu meloncat maju hendak menampar muka anaknya. Tangan kanannya melayang dengan kerasnya ke arah pipi kiri Pertiwi.
"Dukkk" Ki Purwoko mengaduh ketika lengannya tertangkis lengan Gagak Wulung yang telah menangkis melihat kekasihnya ditampar.
"Kau*....... kau......... berani mencampuri urusanku dengan anakku sendiri?" bentak Ki Purwoko, kemarahannya memuncak, membuat dia menjadi nekat dan berani.
"Petani busuk" kata Gagak Wulung, juga marah. "Dulu ia anakmu, akan tetapi sekarang ia isteriku dan siapapun, termasuk kau petani dusun, tidak boleh memukulnya. Sudahlah, tanpa persetujuanmu sekalipun diajeng Pertiwi sudah menjadi isteriku dan sekarang akan kubawa pergi. Aku muak melihat mukamu lebih lama lagi. Diajeng Pertiwi. mari kita pergi" berkata demikian, Gagak Wulung merangkul pundak kekasihnya dan hendak menariknya pergi.
"Lepaskan anakku" Ki Purwoko membentak marah. Bagaimanapun juga, ayah ini merasa curiga dan mempunyai persangkaan buruk terhadap Gagak Wulung. Biasanya, dia tahu bahwa Pertiwi mempunyai watak yang amat baik, maka rasanya tidak mungkin kalau anaknya itu kini secara tiba-tiba saja begitu tak tahu rnalu dan berubah sama sekali. Dia menerjang maju dan hendak menarik lengan puterinya. Akan tetapi, kaki Gagak Wulung melayang dengan cepatnya.
"Dessss......." Dan tubuh Ki Purwoko terjengkang dan terlempar sampai dua meter jauhnya, terbanting keras.
"Jahanam busuk" bentak Gagak Wulung. "Apakah engkau sudah bosan hidup?" Dia melepaskan rangkulannya dari pundak Pertiwi. "Kalau begitu, biar kubunuh dulu kau"
"Raden, jangan........" Tiba tiba Pertiwi menubruk dan berlutut di depan Gagak Wulung, menghalanginya untuk menerjang ayahnya. Melihat ini, Gagak Wulung lalu mendorong tubuh Pertiwi dengan tangan kirinya.
"Minggir kau. Biar kubunuh dulu petani busuk ini agar kelak tidak ada yang menghalangi kita lagi"
Dorongan itu membuat tubuh Pertiwi terjengkang dan bergulingan, dan Gagak Wulung lalu meloncat ke depan untuk menyerang Ki Purwoko. Agaknya, dengan sekali pukul saja, petani yang lemah itu tentu akan tewas, tidak kuat menaban pukulan ampuh jagoan ini. Akan tetapi, pada saat itu, nampak berkelebat bayangan orang dan angin menyambar dahsvat dari samping, menerjang ke arah Gagak Wulung yang menjadi terkejut bukan main. Gagak Wulung membalik ke kanan dan menggerakkan kedua tangan menangkis.
"Dessss......." Dna tenaga raksasa bertemu dan akibatnya, Gagak Wulung terhuyung keluar dari pintu rumah itu. Ki Baka, pendatang yang menyelamatkan Ki Purwoko, mengejar keluar. Mereka kini berhadapan dan Gagak Wulung terbelalak dengan hati gelisah ketika mengenal bahwa penyerangnya tadi bukan lain adalah Ki Baka, musuh lamanya yang dia tahu amat digdaya.
"Babo-babo ...... kiranya si keparat Gagak Wulung yang seialu mendatangkan keributan di manapun dia hadir dengan kejahatannya. Entah apa lagi yang menjadi penyebab ulahmu yang gila, hendak membunuh seorang yang tidak berdosa seperti Ki Purwoko?"
Gagak Wulung yang memang sudah gentar itu tidak dapat segera menjawab. Bagaimana dia berani berterus terang bahwa dia telah menodai seorang gadis yang menjadi calon mantu Ki Baka" Ingin dia mentertawakan musuh lama ini, ingin menghinanya, akan tetapi dia ngeri membayangkan akibatnya, betapa Ki Baka akan marah besar dan mendendam. Ki Baka dalam keadaan biasa saja sudah sukar dilawan. Apa lagi Ki Baka yang mendendam sakit hati dan marah.
Pada saat itu, Ki Purwoko sudah terhuyung keluar dari dalam rumahnya dan dia masih mendengar kalimat terakhir pertanyaan Ki Baka kepada orang yang telah merusak gadisnya itu. Maka dengan lantang diapun lalu berseru kepada Ki Baka.
"Dia telah menghina kami. Dia telah .......menodai Pertiwi dan hendak membawa pergi Pertiwi dengan paksa dari sini....."
"Keparat........." Ki Baka terkejut bukan main. Tentu saja dia tahu apa artinya itu. Dia sudah lama mengenal orang macam apa adanya Gagak Wulung, seorang penjahat yang cabul dan suka mengganggu wanita. Kiranya Pertiwi, calon mantunya, calon isteri Nurseta, telah diganggunya. "Jahanam keji, berani kamu menodai calon mantuku?"
Karena peristiwa itu sudah dibocorkan oleh ayah Pertiwi, maka Gagak Wulung merasa tidak perlu merahasiakannya lagi, dan hal itu bahkan dijadikan senjata untuk memukul perasaan Ki Baka.
"Hahahaha, Ki Baka . Gadis ini tidak mencinta anakmu akan tetapi mencinta aku, apa salahnya ia menjadi kekasihku" Apakah kau merasa iri hati" Hahaha "
"Keparat jahanam, engkau sungguh keji dan jahat, dan sudah menjadi kewajiban setiap orang satria untuk membasmi penjahat penjahat macam kau ini dari permukaan bumi, Haiiiiittt"
Ki Baka menerjang dengan pukulan Aji Bajradenta yang amat menggiriskan itu. Tangannya menyambar bagaikan kilat, mendatangkan angin pukulan yang kuat dan mengeluarkan suara menggebu.
Gagak Wulung sudah mengenal kehebatan kakek pendekar ini, maka diapun cepat meloncat sampai dua tombak ke belakang untuk mencari tempat yang luas dan mengatur posisi yang menguntungkan. Ketika Ki Baka meloncat mengejarnya, dia memapaki dengan pukulan Hasta Jingga, dan kedua telapak tangannya berubah merah oleh hawa beracun yang terkandung dalam aji pukulan itu. Diapun bersilat dengan ilmu silat Wanoro Sekti, tubuhnya berloncatan dengan lincahnya bagaikan seekor kera, dan Ki Baka juga menyambutnya dengan serangan dahsyat.
Terjadilah ulangan perkelahian antara kedua orang sakti ini seperti yang pernah terjadi beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi, seperti pada perkelahian pertama, dalam perkelahian inipun segera Gagak Wulung merasa terdesak hebat oleh lawannya . Biarpun Gagak Wulung mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua ilmu kepandaiannya, namun semua serangannya dapat dipatahkan Ki Baka dengan pertahanannya yang amat kuat, yaitu dengan Aji Wandiro Kinkin dan dengan pengerahan tenaga Sari Patala. Sedangkan serangan balasan Ki Baka semakin lama semakin mantap dan kuat sehingga beberapa kali Gagak Wulung nampak terhuyung oleh sambaran pukulan Bajradenta,
Akhirnya, setelah kembali dia terhuyung, bahkan terpaksa melempar tubuh ke belakang dan bergulingan, Gagak Wulung maklum bahwa kalau dilanjutkan, dia akan celaka. Maka dia bergulingan terus menjauh lalu meloncat dan melarikan diri .
Diapun bersilat dengan ilmu silat Wanoro Sekti, tubuhnya berloncatan dengan lincahnya bagaikan seekor kera, dan Ki Baka menyambutnya dengan serangan dahsyat.
Sekali ini, Ki Baka tidak ingin melepaskannya. Orang itu telah melakukan kejahatan besar, telah menodai Pertiwi, berarti bukan saja mendatangkan aib kepada keluarga gadis itu dan merusak kebahagiaan hidup Pertiwi, akan tetapi juga berarti telah menghina dia dan merusak kebahagiaan hidup Nurseta.
"Bedebah, hendak lari ke mana kau?" bentaknya dan diapun melompat dengan cepat, melakukan pengejaran menuruni lereng.
Gagak Wulung mengerahkan seluruh tenaganya untuk melarikan diri secepatnya menuruni lereng itu. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Dia ketakutan. Dia maklum bahwa sekali ini Ki Baka tidak akan mau memaafkannya, dan kalau dia tidak cepat dapat tiba di tempat di mana Ki Buyut Pranamaya menantinya, dia tentu akan celaka di tangan Ki Baka yang sedang marah itu.
Gagak Wulung memang cerdik. Dia dapat lari sambil menghindar, dengan cara berbelak belok dan tentu saja dia menuju ke kaki gunung di mana Ki Buyut Pranamaya yang diandalkannya itu berada. Dan memang pada hari itu sudah merupakan hari ke tiga, seperti yang dijanjikannya bahwa pada hari ke tiga dia akan turun memberi laporan.
Ketika Gagak Wulung mulai merasa semakin gelisah karena Ki Baka nampaknya semakin dekat, tiba tiba saja hatinya lega melihat munculnya Ki Buyut Pranamaya di depannya. Kiranya kakek ini menjadi tidak sabar karena pembantu yang dinanti nantikannya itu tak kunjung muncul, lalu kakek ini mendaki gunung untuk menyusul.
"Hemm, kenapa engkau lari lari seperti orang dikejar setan?" tanya Ki Buyut Pranamaya.
"Bu...... bukan setan....... tapi Ki Baka, paman" kata Gagak Wulung dengan gagap karena napasnya memburu dan muka serta lehernya penuh keringat.
"Hemm, dia?" Ki Buyut Pranamaya membalikkan tubuh memandang dan dia melihat Ki Baka berlari cepat menuruni lereng menuju ke tempat itu.
"Kau minggirlah, kebetulan sekali dia datang "
Ki Baka tiba di tempar itu dan begitu melihat kakek itu, alisnya berkerut menduga duga. Siapa gerangan kakek ini " Seorang kakek yang tubuhnya sedang, meski usianya sudah tinggi sekali namun tubuhnya masib tegak, muka dan kumisnya, juga jenggotnya sudah banyak uban, pakaiannya seperti pakaian petani berwarna hitam. Ketika matanya memandang ke bawah, dia terkejut sekali. Jelas nampak pada kaki yang bertelanjang itu masing-masing hanya ada empat jari, tanpa ibu jari.
"Wiku Bayunirada........ Dan kau juga Ki Buyut Pranamaya" kata Ki Baka, teringat akan cerita Nurseta tentang kakek itu.
Kumis dan jenggot kelabu itu bergerak-gerak ketika Ki Buyut Pranamaya tertawa btrgelak. "Hahahaha, bagus kalau kau masih ingat kepada Wiku Bayunirada, Ki Baka. Kau sudah merasakan ampuhnya tangan ini, oleh karena itu, sekarang kau serahkan Tejanirmaia, baru aku akan memberi ampun kepadamu"
Ki Baka maklum bahwa dia berhadapan dengan lawan yang jauh lebih pandai dan lebih tangguh dari dia, namun dia tidak memperhhatkan sikap gentar, bahkan tersenyum tenang.
"Ki Buyut Pranamaya, dengan menyamar sebagai Wiku Bayunirada, kau menipuku dan merampas Ki Ageng Tejanirmala, bahkan menurunkan tangan kejam kepadaku. Kemudian, kau tidak mampu mempertahankan pusaka itu sehingga terampas oleh orang lain. Bagaimana sekarang kau datang kepadaku menanyakan pusaka itu?"
"Huh, tidak perlu berpura-pura dan berlagak bodoh, Ki Baka. Yang merampas tombak pusaka itu adalah anakmu, si Nurseta yang dibantu oleh seorang gadis berbaju hijau. Maka, engkau tentu tahu di mana pusaka itu. Hayo cepat katakan di mana dan kembalikan kepadaku, ataukah aku harus mempergunakan kekerasan memaksamu?"
"Paman Buyut, robobkan saja dan tangkap dia, biar akan kusiksa dia sampai mengaku di mana adanya pusaka itu" kata Gagak Wulung yang kini timbul kembali kegalakannya setelah merasa aman.
"Ki Buyut Pranamaya, biarpun bukan aku dan bukan pula anakku yang merampas kembali tombak pusaka itu, aku tahu siapa yang merampasnya. Akan tetapi, jangan harap aku akan memberitahukannya kepadamu. Lupakah kau bahwa tombak pusaka itu bukan milikmu dan kau sama sekali tidak berhak untuk memilikinya?"
Ki Buyut Pranamaya menjadi marah, apa lagi mendengar bahwa Ki Baka tahu siapa perampasnva dan di mana tombak pusaka itu berada. "Ki Baka, sekali lagi, katakan di mana tombak pusaka itu"
Akan tetapi Ki Baka tidak menjawab, melainkan menggeleng kepala sambil mengerahkan aji kekuatannya untuk membela diri. Ki Buyut Pranamaya kini sudah marah sekali, Dia mengeluarkan suara melengking parau yang keluar dari perutnya melalui kerongkongan, dan tiba-tiba saja dia sudah menyerang dengan tamparan tangannya yang ampuh. Ki Baka maklum akan kehebatan serangan ini, maka diapun cepat mengelak ke samping. Akan tetapi, tamparan itu terus mengejarnya, seolah-olah di telapak tangan itu terdapat matanya yang dapat melihat ke mana dia mengelak dan tamparan itu tidak luput melainkan mengejar terus ke arah kepala Ki Baka.
"Haiiiittt........" Ki Baka mengerahkan seluruh tenaganya menangkis karena tidak mungkin lagi mengelak dari ancaman tangan yang terus mengejar ke manapun dia mengelak itu.
"Dukkk........" Lengannya bertemu dengan lengan kakek tua renta itu dan akibatnya, tubuh Ki Baka terdorong dan dia terhuyung keras. Pada saat itu, Ki Buyut Pranamaya telah menyerang terus dengan tendangan sakti Cakrabairawa yang datang bertubi-tubi dan amat berbahaya. Menghadapi serangkaian tendangan sakti ini, terpaksa Ki Baka harus melempar tubuhnya jauh ke belakang, lalu bergulingan di atas tanah untuk menghindarkan diri. Begitu tendangan dihentikan, Ki Baka meloncat bangun dan langsung dia mengirim serangan balasan berupa pukulan ampuh Bajradenta.
Ki Buyut, betapapun saktinya, tidak berani sembarangan menerima aji pukulan yang ampuh ini, maka kembali dia menangkis sambil mengerahkan tenaga mendorong. Untuk kedua kalinya tubuh Ki Baka terguling, sekali ini terpental agak jauh ketika tubuhnya terguling dekat kaki Gagak Wulung, orang ini tidak menyia-nyiakan kesempatan, lalu menendang ke arah kepala Ki Baka. Untung Ki Baka masih dapat memutar kepala ke samping sehingga tendangan itu luput mengenai kepala, akan ietapi masih imengenai pundak Ki Baka.
"Desss........ " Tubuh Ki Baka terlempar dan da meloncat bangun, merasa nyeri pada pundaknya. Masih untung bahwa tulang pundaknya tidak patah.
"Ki Baka, engkau masih belum juga mau mengaku ?" bentak Ki Buyut Pranamaya yang kembali sudah tiba di depannya. Kakek ini memang memiliki gerakan yang amat cepat, yaitu dengan ilmunya Garuda Nglayang, yang membuat tubuhnya ringan dan cepat gerakannya seperti seekor burung garuda terbang. Akan tetapi Ki Baka pantang undur. Bagi seorang satria seperti dia, kematian bukanlah apa apa, akan tetapi mempertahankan kebenaran jauh lebih penting. Apa lagi harus menunjukkan di mana adanya tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala, biar matipun dia tidak akan mau melakukannya. Berbahaya sekali kalau tombak pusaka itu sampai terjatuh ke dalam tangan seorang seperti kakek ini, Buktinya, sebentar saja tombak itu terampas oleh Ki Buyut Pranamaya. terjadilah pemberontakan Mahesa Rangkah yang.mengorbankan banyak nyawa manusia. Entah apa akan jadinya dengan, pemberontakan jtu kalau tombak pusaka itu tidak terlepas dari tangan Ki Buyut Pranamaya. Tentu pemberontakan itu tidak akan begitu. mudah dibasmi seperti yang telah terjadi sekarang ini. Maka tanpa menjawab, dia bahkan menyambut pertanyaan itu dengan serangannya, dengan pukulan Bajradenta dan pengerahan tenaga Aji Sari Patala.
Melihat ini, Ki Buyut Pranamaya menjadi marah. "Huh, agaknya engkau sudah bosan hidup bentaknya dan dia menangkis pukulan itu sambil membarengi dengan tendangan yang mengenai paha Ki Baka.
Tubuh Ki Baka terpelanting dan Ki Buyut Pranamaya mengejar menyusulkan pukulan yang ampuh bukan main, yaitu Aji Margaparastra (Jalan Kematian ) seperti yang pernah membuat Ki Baka menjadi penderita cacat dan nyaris mencabut nvawanya kalau saja dia tidak ditolong oleh Panembaban Sidik Danasura.
"Tahan pukulan itu" Tiba tiba terdengar bentakan halus sekali, akan tetapi di dalam kelembutannya terkandung wibawa yang amat kuat sehingga Ki Buyut Pranamaya sendiri otomatis menahan pukulan Margaparastra itu sambil menoleh ke arah suara tadi Kesempatan ini dipergunakan oleh Ki Baka untuk meloncat ke belakang menjauhkan diri.
"Sadhu, sadhu, sadhu........, semoga Hyang Widhi Wisesa mengampuni kita semua. Buyut Pranamaya, tidak takutkah kau akan murka Hyang Tunggal ketika kau hendak menjatuhkan pukulan maut kepada Ki Baka" Siapakah kau ini yang berani hendak mengakhiri hidup seseorang?"
Ki Buyut Pranamaya sudah berhadapan dengan kakek yang baru tiba itu. Kakek tinggi kurus yang usianya juga sudah tua renta, sebaya dengan Ki Buyut Pranamaya sendiri, tubuhnya agak bongkok, pakaian, ikat rambut, juga rambut kumis dan jenggotnya, semua putih. Tangan kirinya memegang seuntai tasbeh dari batu putih, dan tangan kanannya memegang sebatang tongkat bambu gading. Tentu saja dia mengenal siapa adanya kakek yang tadi menegurnya dengan lembut sehingga membuat dia menahan pukulan mautnya terhadap Ki Baka.
Panembahan Sidik Danasura adalah seorang tokoh yang kedudukannya amat tinggi dan biarpun dia jarang atau hampir tidak pernah mencampuri urusan duniawi, namun semua tokoh di dunia persilatan, baik dari golongan putih maupun golongan hitam, mengenal namanya.
"Hemm, kiranya Kakang Panembahan Sidik Danasura yang nadir" kata Ki Buyut Pranamaya dengan suara ditenangkan untuk menutupi perasaannya yang agak terguncang melihat munculnya kakek itu. Belum pernah dia sendiri menguji kesaktian panembahan itu, namun dari keterangan yang pernah didengarnya, kabarnya kakek pertapa di Teluk Pngi Segoro Wedi itu adalah seorang yang sakti mandraguna dan memiliki kepandaiau seperti dewa saja, dan yang lebih mengerikan lagi adalah wataknya yang bersih dan murni. Manusia dengan kebersihan dan kebebasan seperti inilah yang sukar dilawan dengan kedigdayaan.
"Benar, Adi Buyut Pranamaya, semoga para dewata memberi jalan terang kepada kau"
"Terima kasih, Kakang Panembahan. Akan tetapi agaknya kau hanya pandai memberi nasihat akan tetapi tidak pandai melaksanakannya sendiri, Kakang Panembahan"
Panembahan itu tersenyum dan mengelus jenggotnya, sikapnya tenang dan sinar matanya tak pernah melepaskan sinarnya yang lembut, mulutnyapun selalu tersenyum.
"Adi Buyut, apa maksudmu?"
"Kau menasihatkan orang untuk mengambil jalan terang dan membebaskan diri dari keramaian duniawi, akan tetapi mengapa kau datang datang mencampuri urusan orang lain, dalam hal ini urusanku dan kau sudah bertindak berat sebelah dengan memihak Ki Baka dan menghalangiku ?"
"Sadhu, sadhu, sadhu, semoga para dewata memberkahi semua mahluk di dunia ini. Adi Buyut, aku sama sekali tidak bermaksud mencampuri apa lagi memihak, melainkan aku melihat seseorang, dalam hal ini kau, hendak melakukan dosa besar dengan pembunuhan. Karena itu, aku segera mencegah dan mengingatkan, bukankah ini demi kebaikanmu sendiri?"
"Itu menurut pendapatmu, Kakang Penembahan. Dan pendapat orang dapat berbeda. bahkan berlawanan. Pencegahanmu tadi sama sekali bukan demi kebaikanku, bahkan sebaliknya, pencegahanmu itu amat merugikan aku kakang. Pusakaku dirampas oleh anak Ki Baka, dan aku datang untuk menuntut kembali pusaka itu, akan tetapi dia tidak mau menunjukkan di mana adanya pusaka itu. Bukankah sudah sepatutnya kalau aku memaksanya mengaku" Perbuatanku menuntut hakku sudah benar, sebaliknya perbuatanmu mencegah aku itulah yang sesat karena merugikan aku"
Panembahan Sidik Danasura kembali mengelus jenggotnya dan mengangguk angpuk. sikapnya tetap lembut dan ramah. "Jagad Dewa Batbara......... Belumkah kau mampu
meiihatnya, Adi Buyut" Setiap langkah perbuatan, apa bila mengandung pamrih, adalah perbuatan yang sesat dan palsu"
"Akan tetapi pamrihku baik"
"Yang ada hanya pamrih, tidak ada baik atau buruk. Pamrih merupakan keinginan demi kepentingan diri pribadi yang dapat meluas menjadi kepentingan goiongan dan seterusnya dari pribadi itu, terbuka maupun terselubung, dan keinginan itu menjadi dasar dari suatu perbuatan. Itulah pamrih, dan setiap perbuatan yang d dorong pamrih, sudah pasti akan menimbulkan bentrokan dan keributan belaka. Aku mencegahmu tadi sama sekali tanpa pamrih, sama sekali tanpa kepentingan pribadi, Adi Buyut. Sudahlah, coba ceritakan apa yang telah terjadi sehingga kau kulihat hendak menurunkan tangan maut kepada Ki Bika tadi"
Ki Buyut Pranamaya merasa serba salah. Tentu saja dia mengerti bahwa sesungguhnya, slialah yang merampas pusaka itu mula mula dan tangan Ki Baka. Akan tetapi karena sudah terlanjur, diapun menjawab dengan nekat saja.
"Sudah kukatakan tadi, pusakaku dirampas oleh anak Ki Baka yang bernama Nurseta bersama seorang gadis baju hijau, dan aku datang kepada Ki Baka untuk menuntut agar dia mengembalikan pusaka itu. Akan tetapi, dia bahkan hendak merahasiakan di mana adanya pusaka itu"
Panembahan itu menjawab, "Mendengarkan alasan haruslah dari kedua pihak, baru adi. namanya. Oleh karena itu, Ki Baka, coba ceritakan apa yang sesungguhnya telah terjadi sehingga kau berkelahi dengan Adi Buyut Pranamaya"
Ki Baka tentu saja mengenal baik panembahan yang baru baru ini telah menyelamatkannya dari akibat pukulan Margaparastra dari Wiku Bayunirada yang sesungguhnya adalah penyamaran dari Ki Buyut Pranamaya. Dia lalu memberi hormat kepada panembahan itu dan menjawab dengan sejujurnya, "Terima kasih atas pertolongan Paman Panembahan yang untuk kedua kalinya menghindarkan diri saya dari ancaman maut di tangan Ki Buyut Pranamaya. Awal peristiwa terjadi di dusun Sintren, di mana Gagak Wulung telah secara keji menodai gadis yang menjadi calon mantu saya, calon isteri Nurseta, bahkan dia hendak melarikan gadis itu. Saya menentangnya, kami berkelahi dan dia melarikan diri, saya kejar sampai di sini. Tahu tahu muncul Ki Buyut Pranamaya yang menyerang saya setelah dia menuntut agar saya mengembalikan Ki Ageng Tejanirmala atau memberitahu kepadanya di mana adanya pusaka itu sekarang"
"Sadhu, sadhu, sadhu......... Di manamana" manusia mengumbar nafsunya mengejar kesenangan tanpa rikuh mencelakakan orang lain" Pertapa itu menarik napas panjang dan ketika sinar matanya yang lembut bertemu dengan wajah Gagak Wulung, penjahat ini bergidik dan cepat menundukkan mukanya. "Ki Baka, bagaimana ceritanya dengan tombak pusaka itu sehingga Adi Buyut Pranamaya menuntut dikembalikannya pusaka itu?"
"Tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala tadinya milik saya yang dirampas oleh Wiku Bayunirada yang bukan lain adalah Ki Buyut Pranamaya juga. Dia merampas pusaka dan melukai saya sampai saya tertolong oleh pengobatan Paman Panembahan. Kemudian, Nurseta mencari pusaka itu untuk merampasnya kembali. Akan tetapi pusaka itu terampas oleh seorang gadis. Baik saya ataupun Nurseta tidak bekerja sama dengan gadis itu, akan tetapi Ki Buyut Pranamaya menuduh demikian dan memaksaku memberitahu di mana adanya pusaka itu. Biarpun saya tahu di mana, tentu saja saya tidak mau memberitahukan kepadanya karena dia sama sekali tidak berhak atas pusaka itu"
"Adi Buyut, bukankah perbuatanmu itu sewenang-wenang " Kau tidak berhak memiliki tombak pusaka itu, Sudahilah saja usahamu yang tidak patut itu agar kau tidak terjerat oleh perbuatan sendiri, karena setiap orang akhirnya akan memetik buah dari pohon yang ditanamnya sendiri"
"Aku mempergunakan wewenang dari yang menang. Yang menang itu kuasa melakukan apapun yang dikehendakinya. Pusaka itu telah berada di tanganku, maka harus kembali ke tanganku, dan aku akan memaksa Ki Baka untuk mengaku di mana adanya pusaka itu" Ki Buyut Pranamaya membentak.
"Kakang Panembahan. Kau hendak memihak Ki Baka, membelanya dan menentang aku ?" Ki Buyut Pranamaya membentak, matanya membelalak kemerahan.
Kakek tua renta itu tersenyum dan menggeleng kepala, seperti seorang guru melihat sikap muridnya yang masih bodoh dan nakal.
"Aku tidak membela dan menentang siapapun, kecuali membela yang benar dan lemah, dan menghindarkan yang sesat dan kuat dari pada perbuatan jahat"
"Babo babo, kau kira aku takut padamu, Panembahan Sidik Danasura" Kalau kau menentang aku, berarti kau seorang musuh bagiku" berkata demikian kakek yang berpakaian serba hitam ini sudah menerjang maju dengan pukulan dahsyatnya, yaitu Aji Margaparastra yang menggiriskan. Angin dingin menyambar ketika pukulan itu dilakukan bagaikan tangan Sang Dewa Maut sendiri menjahgkau untuk mencari korban.
"Sadhu, sadhu, sadhu......." Panembahan Sidik Danasura mengebutkan tangan kirinya yang tertutup lengan baju putih yang lebar Angin halus menyambar keluar dan dalam lengan baju itu, menyambut angin pukulan Margaparastra dan akibatnya, tubuh Ki Buyut Pranamaya terdorong dan terhuyung ke belakang, Kakek berpakaian serba hitam itu semakin marah. Sambil mengeluarkan suara menggereng seperti seekor harimau, diapun menerjang maju, sekali ini mengerahkan Aji Cakrabairawa yaitu ilmu tendangan yang dahsyat itu. Kedua kakinya bertubi-tubi melayang ke arah tubuh kakek berpakaian serba putih.
Panembahan Sidik Danasura dengan sikap tenang lalu menggunakan tongkatnya yang terbuat dari Bambu Gading itu menyambut, menggerakkan tongkat seperti memukul anjing dan akibatnya, tubuh penyerang itu terpelanting dan terjatuh. Namun, Ki Buyut Pranamaya meloncat bangkit kembali, memandang kepada lawannya dengan beringas, akan tetapi diapun tahu diri. Dia maklum bahwa dia tidak akan mampu mengalahkan kakek berpakaian serba putih yang amat sakti itu. Dan diapun tidak berani mengeluarkan ilmu hitam atau ilmu sihirnya, karena diapun tahu bahwa menghadapi kakek sakti ini, ilmu hitamnya hanya akan membalik dan memukul dirinya sendiri, dan hal ini jauh lebih berbahaya daripada tangkisan lawan terhadap serangannya tadi.
"Baiklah, Kakang Panembahan Sidik Danasura, aku mengaku saat ini belum mampu memaksa Ki Baka mengaku. Akan tetapi, masih ada saat lain. Hayo, Gagak Wulung" Dan Ki Buyut Pranamaya lalu membalikkan tubuh dan melangkah pergi dengan cepatnya, dengan wajah penuh kemarahan. Gagak Wulung juga cepat-cepat pergi meninggalkan tempat itu mengejar kakek berpakaian hitam.
"Gagak Wulung keparat, engkau harus mempertanggung jawabkan kejahatanmu " Ki Baka masih penasaran dan hendak mengejar, akan tetapi lengannya disentuh Panembahan Sidik "Danasura maka dia tidak melanjutkan usahanya melakukan pengejaran. Diapun maklum bahwa selama Gagak Wulung berdekatan dengan Ki Buyut Pranamaya, dia tidak akan mampu berbuat apapun terhadap penjahat cajul itu, bahkan dia yang akan terancam oleh kakek tua renta berpakaian hitam itu.
"Paman, mengapa paman melepaskan orang-orang jahat seperti iblis itu" Mereka berdua itu hanya akan mengancam kehidupan manusia lain, mengotori dunia saja" kata Ki Baka, dalam kemarahannya sampai lupa diri. Memang sesungguhnyalah, mengalahkan orang lain itu mudah, namun mengalahkan diri sendiri amat sulitnya. Ki Baka adalah seorang pertapa yang sudah cukup memiliki kebijaksanaan, maklum akan kelirunya menurutkan nafsu perasaan hati. Namun, melihat betapa calon mantunya dinodai orang, diapun dapat menjadi mata gelap dan lupa sehingga sikapnya tiada bedanya dengan orang yang masih mudah dikuasai nafsu amarah dan dendam. Kini, begitu bertemu pandang dengan Panembahan Sidik Danasura, tiba-tiba dia teringat dan tubuhnya terkulai lemas, jatuh berlutut di depan panembahan itu.
Panembahan Sidik Danasura memejamkan mata dan mengangkat mukanya ke atas. Dia
sengaja datang ke Pegunungan Kelud ini karena dia merasakan suatu hal yang mendorongnya untuk bertindak. Mata batinnya yang tajam seperti melihat akan keadaan Ki Baka yang terancam bahaya, dan selain ini, dia melihat pula bahwa Ki Baka masih akan lama dapat bertemu dengan Nurseta yang juga sedang mengalami cobaan atau ujian Yang Maha Kuasa Dia tahu bahwa ancaman Ki Buyut Pranamaya bukanlah gertak kosong belaka. Orang itu tentu tidak akan mau sudah sebelum berhasil merampas kembali Ki Ageng Tejanirmala, maka keamanan Ki Baka tentu akan terancam terus. Satu satunya jalan hanyalah mengajak Ki Baka ke padepokannya di mana dia akan aman dan gangguan Ki Buyut Pranamaya.
"Agaknya kau sudah mengerti mengapa kita tidak sepatutnya menilai dan mengukur jahat tidaknya seseorang, apa lagi menjatuhkan hukuman. Siapakah kita ini yang lancang menghakimi seseoran " Marilah, Ki Baka, mari ikut bersamaku, menikmati ketenteraman hidup di Teluk Prigi. Kalau sudah tiba saatnya, tentu Nurseta akan menyusul ke sana"
"Maaf, Paman Panembahan. Sebelum kita berangkat, saya ingin lebih dulu melihat keadaan Pertiwi, calon mantu saya"
Panembahan itu tersenyum. Dia maklum akan segala yang sudah dan akan teriadi maka dia tidak membantah, hanya tersenyum mengangguk dan keduanya lalu menuju ke dusun Sintren, tempat tinggal Ki Purwoko ayah Pertiwi.
Kedatangan Ki Baka disambut isak tangis oleh Pertiwi yang sejak tadi memang sudah menangis terus. Melihat calon ayah mertuanya ini, Pertiwi yang teringat akan semua peristiwa yang terjadi dengan dirinya, menjadi malu bukan main. Tiba tiba ia lari ke sudut kamar, mengambil sebilah keris milik ayahnya dan dengan keris itu ditsuknya dadanya sendiri. Akan tetapi, dengan satu loncatan saja Ki Baka telah berada di dekatnya dan dengan mudah Ki Baka meranpas keris itu dari tangan calon mantunya.
"Nini Pertiwi, apa yang akan kau lakukan ?" tanyanya dengan suara keren penuh wibawa.
"Paman........" Pertiwi menjatuhkan diri berlutut, menyembah di kaki Ki Baka, sedangkan Panembahan Sidik Dmasura hanya memandang sambil mengelus jenggotnya. "Mengapa paman menghalangiku yang hendak mengakhiri semua derita ini " Paman, apa gunanya hidup di dunia ini bagiku ?"
"Pertiwi. Apa gunanya hidup bukanlah urusam kita. Kita ini dihidupkan untuk kelak dimatikan bukan atas kehendak kita. Urusan kita hanyalah mengisi kehidupan ini, mengisinya dengan perbuatan-perbuatan yang bermanfaat baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Mengakhiri hidup dengan cara membunuh diri adalah lancang dan merupakan dosa besar
(Bersambung jilid ke XI)
Hal-hal yang tidak logis :
1. Nurseta memanggil Warsiyem dengan "kanjeng bibi"
2. Jatuh ke jurang malah ketemu dengan calon Mertua di Goa. Terlalu kebetulan.
3. Pohon bambu dan pisang bisa tumbuh dalam goa, karena goa yang ditempati oleh Nurseta adalah goa yang jauh dari permukaan tanah, pastilah tanahnya keras (batu) Kalau tanahnya lembek, pastilah akan runtuh.
4. Yang biasa tumbuh didalam goa adalah jamur.
5. Warsiyem dapat mengobati luka beracun, kapan belajarnya"
6. Warsiyem mengetahui jenis racun yang diderita oleh Nurseta.
7. Cucut Kalasekti memberi waktu tiga hari kepada Warsiyem. Semestinya culik aja. Kok repot2 nunggu tiga hari. Namanya juga penjahat.
8. Setelah diberi waktu tiga hari, kok Warsiyem tidak kabur" Kenapa nunggu"
9. Kenapa dipenjara di dalam goa, kenapa tidak dipenjara di dalam rumah saja dan dikunci kamarnya dari luar.
10. Kok Ki Buyut tahu ada Goa ditengah2 tebing yang tingi dan curam.
11. Ki Buyut dapat memanjat tebing dengan memanggul Warsiyem, sedangkan Nurseta yang mempunyai ilmu yang hampir sama, tidak bisa memanjat atau menuruni tebing tanpa memanggul beban.
12. Dua penjahat cabul tidak mau memperkosa.
13. Dua penjahat cabul jatuh cinta
14. Menanam pohon obat dalam goa. Tanaman obat biasanya berakar lembut, tidak akan tumbuh di lantai goa yang kerasnya seperti karang, atau memang batu.
15. Tidak ada yang tahu tempat tinggal Ki Baka sebelumnya, tetapi dalam waktu tiga hari saja, Gagak Wulung dapat menemukannya. Padahal pulau jawa sangat luas.
16. Pertiwi memanggil Gagak wulung dengan "Paduka" padahal dialah orang yang memperkosanya.
17. Gagak wulung tidak mau memperkosa, tetapi ia mempergunakan aji pengasihan. Ya sama aja dong.
18. Penjahat cabul kok melamar"
19. Ki Buyut dan Panembahan kok bisa sampai di rumahnya Pertiwi. Tau dari mana" Emang punya hidung seperti anjing"
20. Pertama, Ki Buyut memerintahkan Gagak Wulung untuk mencari alamat Ki Baka. Baru saja tiga hari, Ki Buyut sudah tidak sabar dan menyusul Gagak Wulung. Semestinya tunggu dulu, kalau sudah tidak datang2, barulah ikut mencari. Berarti".. Ki Buyut tidak menunggu, tetapi Ki Buyut ikut kemanapun Gagak Wulung pergi, hal ini akan masuk akal kalau Ki Buyut mempergunakan GPS.
21. Katanya : Pemberontakan ini tidak akan gagal, kalau saja pusaka Tejanirmala tidak terampas. Padahal sewaktu pusaka belum terampas-pun"., pasukan pemberontak sudah kewalahan. Emangnya pusaka itu bisa mengeluarkan pasukan gaib.
22. Semestinya nama pusaka yang dapat mengalahkan tentara singosari bukan "Tejanirmala" tetapi namanya adalah "Machine Gun" atau Granat atau BOM.
JILID 11
Tanah Untuk Pertiwi
"AKAN tetapi, paman" Apa gunanva aku hidup terus " Aku hanya akan menjadi sampah yang mengotori dunia saja, aku telah mendatangkan aib dan malu kepada keluarga ayah, juga keluarga paman.......ah, bagaimana aku akan dapat menahan denta ini. Lebih baik aku mati....... mati......." Gadis itu menangis sesenggukan. Perasaan malu, menyesal, dendam dan duka tercampur aduk menjadi satu. la merasa malu karena ia telah menyerahkan diri kepada seorang laki-laki asing. Menyerahkan diri. Bukan dipaksa. Biarpuan ia sendiri merasa heran mengapa ia sampai dapat melakukan hal yang amat memalukan itu, namun ia ingat benar bahwa ia tidak dipaksa, tidak diperkosa, melainkan menyerahkan diri kepada orang bernama Raden Gigak Wulung itu. Ia merasa malu dan menyesal, akan tetapi setelah sadar, iapun merasa dendam kepada orang itu karena bagaimanapun juga, ia tahu bahwa ia menyerahkan diri dalam keadaan seperti orang tak sadar. Dan ia berduka kalau mengingat akan ucapan Nurseta, pernyataannya yang jujur bahwa pemuda yang dipujanya itu tidak mencintanya, melainkan mencinta seorang gadis lain.
"Sudahlah, nini Pertiwi. Tenanglah. Apakah kaukira bahwa dengan membunuh diri engkau akan terbebas dari penderitaan " Siapa tahu engkau malah akan menambah penderitaanmu ini. Tidak perlu engkau menyesali perbuatanmu, Ketahuilah bahwa Gagak Wulung adalah seorang penjahat besar yang keji dan suka mempermainkan wanita. Engkau tentu telah disihirnya maka engkau menjadi tidak sadar. Bukan semata-mata kesalahanmu, kalau engkau melakukan hal itu walaupun aku merasa heran mengapa seorang gadis seperti engkau selemah itu. Tentu ada sesuatu yang membuatmu lemah, tidak dapat menolak pengaruh sihirnya. Tenanglah dan buang jauh-jauh pikiran untuk membunuh diri itu. Kita tidak dapat melarikan diri dari kenyataan, betapapun pahitnya kenyataan itu, apa lagi melarikan diri dengan jalan bunuh diri. Kita harus berani menghadapi kenyataan dan berani menghadapi segala akibat dari pada apa yang kita lakukan atau apa yang telah terjadi menimpa diri kita"
Mendengar kata kata Ki Baka, Pertiwi menjadi agak tenang. "Akan tetapi, paman. Setelah apa yang terjadi, bukankah aku hanya akan menjadi cemoohan orang orang saja"
Apa lagi kakangmas Nurseta....... ah, aku....... aku malu untuk bertemu muka dengan dia, paman"
"Nini, Nurseta bukanlah seorang pemuda yang berpemandangan sempit. Apa yang menimpa dirimu itu bukan karena kesalahanmu, dan akan terjadi kepada semua wanita yang menjadi korban Gagak Wulung. Kita tunggu saja sampai Nurseta pulang. Ingat nini, jangan sekali kali engkau berani membunuh diri karena hal itu tidak akan menyelesaikan persoalan, bahkan akan melibatkan dirimu ke dalam persoalan lain yang lebih rumit. Hadapilah kenyataan dengan tabah karena bagaimanapun juga, engkau tidak melakukan perbuatan sesat dengan sadar, anakku. Aku akan pergi bersama Paman Panembahan, dan tunggulah saja sampai Raden Nurseta pulang"
"Saya........ saya akan mentaati pesan paman......." kata Pertiwi menahan isak. Bagaimanapun juga, kata-kata,Ki Baka membesarkan hatinya, membuat ia semakin percaya bahwa perbuatannya yang tidak tahu malu itu terdorong oleh kekuatan tidak wajar atau semacam guna guna yang dikeluarkan Gagak Wulung dan ditujukan kepada dinnya.
Tiba tiba Ki Purwoko melangkah maju "Akan tetapi, sungguh kami khawatir sekali. Bagaimana kalau orang jahat itu datang kembali dan memaksa Pertiwi pergi bersamanya, Apa yang dapat kami lakukan " Kalau kami menghalangi, kami pasti dibunuhnya dan kami tidak dapat melawannya"
Ki Baka termenung. Benar juga apa yang dikatakan ayah Pertiwi itu. Orang seperti Gagak Wulung tentu tidak akan mau mengalah begitu saja. Kalau Gagak Wulung mengetahui bahwa dia telah pergi, lalu penjahat itu datang kembali ke dusun Sintren, menculik Pertiwi, tentu takkan ada seorangpun yang dapat menentang atau menghalanginya.
Selagi Ki Baka bimbang, Panembahan Sidik Danasura berkata dengan suaranya yang lembut.
"Segala kejahatan dilakukan manusia, namun semua peristiwa yang dianggap baik maupun buruk ditentukan oleh kekuasaan Hyang Widhi Wisesa. Kita manusia hanya berkewajiban untuk berikhtiar saja agar selamat. Nini, jangan khawatir. Malapetaka yang menimpa dirimu disebabkan oleh kecantikanmu yang menimbulkan nafsu buruk Gagak Wulung. Nah, kau pergunakanlah segenggam tanah ini. Setiap kali ada yang datang hendak mengusikmu. pergunakanlah sedikit dari tanah ini, kau campur dengan ludahmu dan kau pakai sebapai bedak pada mukamu, tentu tidak akan ada yang mau mengganggumu lagi, nini"
Biarpun ucapan kakek tua renta itu lemah lembut, namun di dalamnya mengandung wibawa yang membuat orang mau tidak mau tunduk dan percaya sepenuhnya. Pertiwi yang mengangkat muka memanding kakek tua renta berambut putih itu, segera menyembah, menjulurkan kedua lengan menerima segenggam tanah dan membungkus tanah itu dengan ujung kembennya sambil menghaturkan terima kasih.
Ki Baka lalu pergi bersama Panembahan Sidik Danasura, meninggalkan dukuh Sintren menuju ke selatan, ke padepokan kakek berpakaian putih itu di Teluk Prigi, Segoro Wedi dekat pantai Segoro Kidul.
Setelah tiba di tempat itu, untuk kedua kaiinya Ki Baka tinggal di tempat itu dan diapun bertapa dan memperdalam llmunya, mendapat petunjuk dari Panembahan Sidik Danasura, Beberapa kali Ki Baka bertanya kepada kakek tua renta itu tentang anak angkatnya, namua Panembahan Sidik Danasura hanya menjawab bahwa kalau waktunya tiba, tentu Nurseta akan dapat berjumpa kembali dengan Ki Baka, karena jawabannya selalu demikian, akhirnya Ki Baka tidak berani bertanya lagi dan hanya menanti dengan penuh kesabaran, maklum sepenuhnya bahwa dia, sebagai seorang manusia, tidak berdaya menentang kehendak Yang Maha Kuasa. Bagaikan seorang anak wayang, dia hams tunduk dan patuh kepada Sang Sutradara yang sudah menenti kan jalan ceritanya, tugas utamanya hanyalah berkiprah dan bermain sebaik-baiknya dalam mengisi peran yang dipegangnya.
*** Setelah Ki Baka pergi, Pertiwi yang masih merasa nelangsa itu hampir tidak pernah lagi keluar dari rumah. Bahkan lebih banyak ia berada di dalam kamarnya, jarang makan jarang tidur. Hal ini mencemaskan ayahnya, dan menjengkelkan ibu tirinya, bahkan menjadi bahan percekcokan antara suami isteri itu. Akhirnya, Pertiwi minta kepada ayahnya agar dibuatkan sebuah pondok kecil, mirip gubuk sederhana di tengah ladang mereka. Ia ingin hidup menyendiri, mengerjakan ladangnva sendiri dan hidup menyepi agar tidak lagi mendatangkan keributan dalam rumah tangga ayahnya. Ki Purwoko tidak melihat jalan lain kecuali memenuhi permintaan puterinya. Dia tahu bahwa puterinya itu kini hanya tinggal menanti kembalinya Nurseta dan mendengar keputusan calon suami itu. Hati orang tua ini terenyuh sekali, akan tetapi bagaimanapun juga, di dalam hati kecilnya dia menyesali kelemahan anaknya yang mudah tergoda pria sehingga mudah begitu saja menyerahkan diri sehingga ternoda. Masih untung bahwa hasil hubungan itu tidak sampai membuahkan keturunan. Kalau hal itu terjadi, alangkah akan malunya dan dia tidak dapat membayangkan apa yang akan dilakukannya.
Kini Pertiwi hidup di dalam pondok atau gubuk itu. Ia mengerjakan ladangnya dengan rajin, dan hasil ladangnya itu diambil oleh ayahnya, cukup untuk keperluan hidup gadis itu yang tidak membutuhkan banyak barang. Makannya sederhana saja, dan sedikit karena gadis itu makan hanya untuk penyambung hidupnya saja, seperti makannya seorang pertapa. Pakaiannya juga amat sederhana, asal bersih. Kalau tidak bekerja di ladang, ia selalu berada dalam gubuknya, bersila dan bersamadhi memohon kepada Yang Maha Kuasa agar ia segera dibebaskan dari penderitaan batin dan diberi jalan untuk melanjutkan kehidupan yang ganas ini.
Bagaimanapun juga, Pertiwi adalah seorang gadis yang manis, yang terkenal di Sintren sebagai seorang gadis yang lemah lembut, baik budi dan juga memiliki wajah yang manis, bentuk tubuh yang denok indah. Peristiwa yang mendatangkan aib itu hanya diketahui oleh keluarga Pertiwi saja, dan tak seorangpun di luar keluarga itu yang mengetahuinya. Kini penghuni dusun itu hanya merasa terheran-heran melihat betapa gadis itu mengasingan diri di dalam pondok seorang diri, tidak lagi mau bergaul dengan penghuni dusun, bahkan jarang keluar dari pondok kalau tidak untuk bekerja di ladang, mencuci pakaian atau mandi di kali kecil yang mengalir di dekat pondoknya. Tentu saja kesendiriannya itu menarik pula perhatian para pemuda, bahkan membangkitkan gairah para pemuda yang nakal.
Pada suatu malam bulan purnama, tiga orang pemuda diam-diam menghampiri pondok Pertiwi. Agaknya sinar bulan purnama membangkitkan berahi mereka dan membayangkan betapa gadis manis itu tidur sendirian saja di dalam pondok yang sunyi dan terpencil dari rumah-rumah lain, timbul niat buruk dalam benak mereka.
Berindap-indap mereka menghampiri pondok dan mengetuk pintu pondok itu.
"Toktoktok" Mereka mengetuk perlahan sambil cekikikan.
"Siapa itu?" Terdengar suara Pertiwi, masih halus merdu suaranya, membuat tiga orang pemuda itu semakin bergairah.
"AKAN tetapi, paman" Apa gunanva aku hidup terus " Aku hanya akan menjadi sampah yang mengotori dunia saja, aku telah mendatangkan aib dan malu kepada keluarga ayah, juga keluarga paman.......ah, bagaimana aku akan dapat menahan denta ini. Lebih baik aku mati....... mati......." Gadis itu menangis sesenggukan. Perasaan malu, menyesal, dendam dan duka tercampur aduk menjadi satu. la merasa malu karena ia telah menyerahkan diri kepada seorang laki-laki asing. Menyerahkan diri. Bukan dipaksa. Biarpuan ia sendiri merasa heran mengapa ia sampai dapat melakukan hal yang amat memalukan itu, namun ia ingat benar bahwa ia tidak dipaksa, tidak diperkosa, melainkan menyerahkan diri kepada orang bernama Raden Gigak Wulung itu. Ia merasa malu dan menyesal, akan tetapi setelah sadar, iapun merasa dendam kepada orang itu karena bagaimanapun juga, ia tahu bahwa ia menyerahkan diri dalam keadaan seperti orang tak sadar. Dan ia berduka kalau mengingat akan ucapan Nurseta, pernyataannya yang jujur bahwa pemuda yang dipujanya itu tidak mencintanya, melainkan mencinta seorang gadis lain.
"Sudahlah, nini Pertiwi. Tenanglah. Apakah kaukira bahwa dengan membunuh diri engkau akan terbebas dari penderitaan " Siapa tahu engkau malah akan menambah penderitaanmu ini. Tidak perlu engkau menyesali perbuatanmu, Ketahuilah bahwa Gagak Wulung adalah seorang penjahat besar yang keji dan suka mempermainkan wanita. Engkau tentu telah disihirnya maka engkau menjadi tidak sadar. Bukan semata-mata kesalahanmu, kalau engkau melakukan hal itu walaupun aku merasa heran mengapa seorang gadis seperti engkau selemah itu. Tentu ada sesuatu yang membuatmu lemah, tidak dapat menolak pengaruh sihirnya. Tenanglah dan buang jauh-jauh pikiran untuk membunuh diri itu. Kita tidak dapat melarikan diri dari kenyataan, betapapun pahitnya kenyataan itu, apa lagi melarikan diri dengan jalan bunuh diri. Kita harus berani menghadapi kenyataan dan berani menghadapi segala akibat dari pada apa yang kita lakukan atau apa yang telah terjadi menimpa diri kita"
Mendengar kata kata Ki Baka, Pertiwi menjadi agak tenang. "Akan tetapi, paman. Setelah apa yang terjadi, bukankah aku hanya akan menjadi cemoohan orang orang saja"
Apa lagi kakangmas Nurseta....... ah, aku....... aku malu untuk bertemu muka dengan dia, paman"
"Nini, Nurseta bukanlah seorang pemuda yang berpemandangan sempit. Apa yang menimpa dirimu itu bukan karena kesalahanmu, dan akan terjadi kepada semua wanita yang menjadi korban Gagak Wulung. Kita tunggu saja sampai Nurseta pulang. Ingat nini, jangan sekali kali engkau berani membunuh diri karena hal itu tidak akan menyelesaikan persoalan, bahkan akan melibatkan dirimu ke dalam persoalan lain yang lebih rumit. Hadapilah kenyataan dengan tabah karena bagaimanapun juga, engkau tidak melakukan perbuatan sesat dengan sadar, anakku. Aku akan pergi bersama Paman Panembahan, dan tunggulah saja sampai Raden Nurseta pulang"
"Saya........ saya akan mentaati pesan paman......." kata Pertiwi menahan isak. Bagaimanapun juga, kata-kata,Ki Baka membesarkan hatinya, membuat ia semakin percaya bahwa perbuatannya yang tidak tahu malu itu terdorong oleh kekuatan tidak wajar atau semacam guna guna yang dikeluarkan Gagak Wulung dan ditujukan kepada dinnya.
Tiba tiba Ki Purwoko melangkah maju "Akan tetapi, sungguh kami khawatir sekali. Bagaimana kalau orang jahat itu datang kembali dan memaksa Pertiwi pergi bersamanya, Apa yang dapat kami lakukan " Kalau kami menghalangi, kami pasti dibunuhnya dan kami tidak dapat melawannya"
Ki Baka termenung. Benar juga apa yang dikatakan ayah Pertiwi itu. Orang seperti Gagak Wulung tentu tidak akan mau mengalah begitu saja. Kalau Gagak Wulung mengetahui bahwa dia telah pergi, lalu penjahat itu datang kembali ke dusun Sintren, menculik Pertiwi, tentu takkan ada seorangpun yang dapat menentang atau menghalanginya.
Selagi Ki Baka bimbang, Panembahan Sidik Danasura berkata dengan suaranya yang lembut.
"Segala kejahatan dilakukan manusia, namun semua peristiwa yang dianggap baik maupun buruk ditentukan oleh kekuasaan Hyang Widhi Wisesa. Kita manusia hanya berkewajiban untuk berikhtiar saja agar selamat. Nini, jangan khawatir. Malapetaka yang menimpa dirimu disebabkan oleh kecantikanmu yang menimbulkan nafsu buruk Gagak Wulung. Nah, kau pergunakanlah segenggam tanah ini. Setiap kali ada yang datang hendak mengusikmu. pergunakanlah sedikit dari tanah ini, kau campur dengan ludahmu dan kau pakai sebapai bedak pada mukamu, tentu tidak akan ada yang mau mengganggumu lagi, nini"
Biarpun ucapan kakek tua renta itu lemah lembut, namun di dalamnya mengandung wibawa yang membuat orang mau tidak mau tunduk dan percaya sepenuhnya. Pertiwi yang mengangkat muka memanding kakek tua renta berambut putih itu, segera menyembah, menjulurkan kedua lengan menerima segenggam tanah dan membungkus tanah itu dengan ujung kembennya sambil menghaturkan terima kasih.
Ki Baka lalu pergi bersama Panembahan Sidik Danasura, meninggalkan dukuh Sintren menuju ke selatan, ke padepokan kakek berpakaian putih itu di Teluk Prigi, Segoro Wedi dekat pantai Segoro Kidul.
Setelah tiba di tempat itu, untuk kedua kaiinya Ki Baka tinggal di tempat itu dan diapun bertapa dan memperdalam llmunya, mendapat petunjuk dari Panembahan Sidik Danasura, Beberapa kali Ki Baka bertanya kepada kakek tua renta itu tentang anak angkatnya, namua Panembahan Sidik Danasura hanya menjawab bahwa kalau waktunya tiba, tentu Nurseta akan dapat berjumpa kembali dengan Ki Baka, karena jawabannya selalu demikian, akhirnya Ki Baka tidak berani bertanya lagi dan hanya menanti dengan penuh kesabaran, maklum sepenuhnya bahwa dia, sebagai seorang manusia, tidak berdaya menentang kehendak Yang Maha Kuasa. Bagaikan seorang anak wayang, dia hams tunduk dan patuh kepada Sang Sutradara yang sudah menenti kan jalan ceritanya, tugas utamanya hanyalah berkiprah dan bermain sebaik-baiknya dalam mengisi peran yang dipegangnya.
*** Setelah Ki Baka pergi, Pertiwi yang masih merasa nelangsa itu hampir tidak pernah lagi keluar dari rumah. Bahkan lebih banyak ia berada di dalam kamarnya, jarang makan jarang tidur. Hal ini mencemaskan ayahnya, dan menjengkelkan ibu tirinya, bahkan menjadi bahan percekcokan antara suami isteri itu. Akhirnya, Pertiwi minta kepada ayahnya agar dibuatkan sebuah pondok kecil, mirip gubuk sederhana di tengah ladang mereka. Ia ingin hidup menyendiri, mengerjakan ladangnva sendiri dan hidup menyepi agar tidak lagi mendatangkan keributan dalam rumah tangga ayahnya. Ki Purwoko tidak melihat jalan lain kecuali memenuhi permintaan puterinya. Dia tahu bahwa puterinya itu kini hanya tinggal menanti kembalinya Nurseta dan mendengar keputusan calon suami itu. Hati orang tua ini terenyuh sekali, akan tetapi bagaimanapun juga, di dalam hati kecilnya dia menyesali kelemahan anaknya yang mudah tergoda pria sehingga mudah begitu saja menyerahkan diri sehingga ternoda. Masih untung bahwa hasil hubungan itu tidak sampai membuahkan keturunan. Kalau hal itu terjadi, alangkah akan malunya dan dia tidak dapat membayangkan apa yang akan dilakukannya.
Kini Pertiwi hidup di dalam pondok atau gubuk itu. Ia mengerjakan ladangnya dengan rajin, dan hasil ladangnya itu diambil oleh ayahnya, cukup untuk keperluan hidup gadis itu yang tidak membutuhkan banyak barang. Makannya sederhana saja, dan sedikit karena gadis itu makan hanya untuk penyambung hidupnya saja, seperti makannya seorang pertapa. Pakaiannya juga amat sederhana, asal bersih. Kalau tidak bekerja di ladang, ia selalu berada dalam gubuknya, bersila dan bersamadhi memohon kepada Yang Maha Kuasa agar ia segera dibebaskan dari penderitaan batin dan diberi jalan untuk melanjutkan kehidupan yang ganas ini.
Bagaimanapun juga, Pertiwi adalah seorang gadis yang manis, yang terkenal di Sintren sebagai seorang gadis yang lemah lembut, baik budi dan juga memiliki wajah yang manis, bentuk tubuh yang denok indah. Peristiwa yang mendatangkan aib itu hanya diketahui oleh keluarga Pertiwi saja, dan tak seorangpun di luar keluarga itu yang mengetahuinya. Kini penghuni dusun itu hanya merasa terheran-heran melihat betapa gadis itu mengasingan diri di dalam pondok seorang diri, tidak lagi mau bergaul dengan penghuni dusun, bahkan jarang keluar dari pondok kalau tidak untuk bekerja di ladang, mencuci pakaian atau mandi di kali kecil yang mengalir di dekat pondoknya. Tentu saja kesendiriannya itu menarik pula perhatian para pemuda, bahkan membangkitkan gairah para pemuda yang nakal.
Pada suatu malam bulan purnama, tiga orang pemuda diam-diam menghampiri pondok Pertiwi. Agaknya sinar bulan purnama membangkitkan berahi mereka dan membayangkan betapa gadis manis itu tidur sendirian saja di dalam pondok yang sunyi dan terpencil dari rumah-rumah lain, timbul niat buruk dalam benak mereka.
Berindap-indap mereka menghampiri pondok dan mengetuk pintu pondok itu.
"Toktoktok" Mereka mengetuk perlahan sambil cekikikan.
"Siapa itu?" Terdengar suara Pertiwi, masih halus merdu suaranya, membuat tiga orang pemuda itu semakin bergairah.
"Pertiwi, keluarlah sebentar. Kami datang untuk mengajakmu bermain-main. Lihat, bulan bersinar indah, malam yang indah begini sayang kalau tidak dilewatkan dengan bergembira. Keluarlah, sayang"
"Keluarlah, Pertiwi manis, aku sudah rindu sekali kepadamu" kata pemuda yang kedua
"Diajeng Pertiwi, malam dingin begini, mari kuhangatkan dirimu" kata pemuda ketiga, semakin berani saja kata kata mereka.
Pertiwi yang sudah maklum bahwa yang datang tentulah pemuda-pemuda yang beriktikad buruk, segera mengambil sedikit tanah pemberian Panembahan Sidik Danasura, meludahinya dan membedaki mukanya dengan tanah lumpur di telapak tangannya itu. Ia tidak tahu apa jadinya dengan dirinya, namun ia mempunyai kepercayaan sepenuhnya kepada kakek tua renta berambut putih berbaju putih itu, lalu ia membuka daun pintu pondoknya sambil bertanya.
"Mau apa sih kalian ini, datang dan tega menggangu ketenanganku?"
Daun pintu terbuka, Pertiwi muncul dan tiga orang pemuda itu terbelalak, mulut mereka ternganga, kemudian dengan muka pucat dan tubuh gemetar, mereka lalu melarikan diri cerai berai sambil berteriak teriak ketakutan. dan tubuh gemetar, mereka lalu melarikan diri cerai berai sambil berteriak teriak. ketakutan.
Tentu saja Pertiwi merasa heran sekali. Ia lalu pergi ke dalam pondok kembali, merenungkan apa yang terjadi dan merasa berterima kasih sekali kepada Panembahan Sidik Danasura. Ia tidak tahu bahwa bedak lumpur yang sedikit iiu telah membuat ia kelihatan menyeramkan dan menakutkan sekali bagi tiga orang pemuda yang hendak mengganggunya tadi. Belum pernah selama hidup mereka, tiga orang itu pernah melihat wajah yang lebih menakutkan dari pada wajah Pertiwi ketika keluar dari dalam pondok. Inilah "senjata" Pertiwi, pemberian dan Panembahan Sidik Danasura yang menjamin keselamatan dan ketenangannya, karena dengan senjata ampuh itu, tak seorangpun pria akan berani atau mau mengganggunya. Siapakah orangnya yang mau mendekati seorang wanita yang wajahnya bukan hanya buruk, melainkan juga menakutkan seperti wajah setan dan iblis dalam dongeng"
Beberapa bulan kemudian, ketika pada suatu hari Pertiwi sedang panen jagung tanamannya, muncullah seorang gadis cantik di ladangnya. Pertiwi tidak melihatnya karena ia sedang asik memetik jagung-jagung yang sudah tua. Ayahnya tentu akan datang sore nanti untuk mengambil dan memikul hasil panennya itu. Ia tidak tahu betapa gadis berpakaian serba hijau dan berwajah cantik itu sejak tadi berdiri tak jauh darinya dan mengamati gerak geriknya dengan pandang mata heran. Agaknya, pandang mata gadis berpakaian hijau itu memiliki daya tarik, karena Pertiwi menengok ke belakang dan ia terkejut Imelihat seorang gadis berdiri di situ, seorang gadis asing dan ia yakin gadis itu bukanlah penghuni dusun Sintren.
"Engkaukah yang bernama Pertiwi ?"
Pertiwi semakin heran. Gadis cantik itu memiliki suara yang nyaring, akan tetapi logat bicaranya sungguh aneh dan asing sekali walaupun ia masih mampu menangkap artinya. Ia mengangguk heran.
"Benar, namaku Pertiwi. Kau siapakah dan ada keperluan apakah ?"
Gadis berpakaian hijau itu melangkah maju menghampiri. Pertiwi juga melepaskan jagung yang sedang dipegangnya dan melangkah maju. Kini mereka berdiri berhadapan, dalam jarak dua meter. Dua orang gadis yang sama sama memiliki bentuk tubuh yang bagaikan bunga sedang mekar, dan keduanya sama manis, keduanya sederhana pula. Hanya bedanya Pertiwi berkulit hitam, hitam manis, dan gadis itu berkulit kuning mulus.
"Namaku Wulansari" kata gadis itu sambil menatap tajam wajah Pertiwi seolah-olah hendak melihat apa reaksi gadis dusun Sintren itu mendengar namanya. Akan tetapi Pertiwi belum pernah mendengar nama ini, maka tentu saja tidak ada reaksi apapun kecuali terheran.
"Maaf, agaknya saya belum pernah mengenal kau. Ada keperluan apakah kau mencari saya ?"
Wulansari tersenyum dan Pertiwi harus mengakui betapa cantik jelita dan manisnya gadis itu kalau tersenyum, walaupun pandang matanya yang mencorong itu mendatangkan rasa was-was. Ada lesung pipit di pipi kiri, menjadi imbangan yang manis sekali dari tahi lalat kecil di pipi kanan.
"Pertiwi, aku datang mencarimu, dan keperluannya adalah untuk membunuhmu"
Kini Wulansari yang memandang heran dan bingung. Gadis dusun bernama Pertiwi ini, tunangan dan calon isteri Nurseta, sama sekali tidak bergeming mendengar ancamannya. ancaman hendak membunuh. Wajah yang hitam manis itu sama sekali tidak menjadi pucat, mata yang lebar jeli itu tidak terkejut, bahkan mulut yang manis itu masih tersenyum, seolah-olah berita yang didengarnya adalah berita biasa saja, seperti berita musim panen jagung telah tiba. Memang tidak mengherankan kalau sedikitpun Pertiwi tidak merasa takut. Kematian bagi Pertiwi sama sekali tidak menakutkan atau mengejutkan, bahkan kalau kematian yang wajar datang menjemputnya, bukan bunuh diri, ia akan menyambut dengan penuh kerelaan. Karena itu, ancaman orang untuk membunuhnya sama saja dengan penawaran untuk membebaskannya dari derita batin. Hanya ia menyayangkan kalau seorang gadis cantik seperti Wulansari ini akan menjadi seorang pembunuh tanpa sebab tertentu. Akan tetapi, pasti ada sebabnya maka gadis cantik ini datang hendak membunuhnya, dan ia harus mengetahui dulu apa alasannya itu.
"Kalau engkau benar-benar hendak membunuhku, Wulansari, aku akan berterima kasih sekali. Akan tetapi, sebelum engkau melakukannya, kiranya aku berbak untuk mengetahui apa sebabnya engkau hendak membunuh aku"
Biarpun masih merasa heran melihat ketenangan gadis dusun itu. Wulansari yang masih merasa "sakit hati" ingin menyakiti hati saingannya ini lebih dahulu sebelum membunuhnya, maka iapun menjawab dengan ucapan yang ketus, "Aku hendak membunuhmu karena engkau telah merampas kekasihku"
Pertiwi mengerutkan alisnya, menduga-duga apakah gadis ini kekasih pria bernama Gagak Wulung itu. Pantasnya demikian, mengingat bahwa Gagak Wulung adalah seorang penjahat dan melihat sikap gadis ini, pantas kalau menjadi seorang wanita jahat yang kejam.
"Wulansari, engkau salah duga, Aku tidak merampas kekasihmu Gagak Wulung itu, melainkan dialah yang telah menodai aku dengan kekuatan sihir dan ilmu hitamnya"
"Ngawur" Wulansari membentak. "Siapa kekasih Gagak Wulung" Jangan lancang mulut kau. Pria yang kucinta dan yang mencintaku di dunia ini hanya ada seorang saja, yaitu Nurseta"
Kini Pertiwi nampak terkejut, matanya yang lebar jeli dan indah itu menatap wajah Wulansari, seolah-olah tidak percaya. "Apa..... Kakangmas Nurseta" Jadi kau inikah gadis yang dicintanya itu" Sungguh sukar dipercaya, bagaimana mungkin kakangmas Nurseta yang demikian luhur budi, lemah lembut dan bijaksana dapat mencinta seorang gadis yang liar dan kejam seperti kau ini?"
Wajah Wulansari berubah merah. "Tutup mulutmu dan jangan memaki orang. Aku datang untuk membunuhmu karena engkau yang dipilih Nurseta menjadi calon isterinya, padahal, dia mencinta aku seorang" Wulansari lalu mencabut kerisnya, sebatang keris kecil melengkung terbuat dari emas atau setidaknya dilapis emas.
Kembali Pertiwi sama sekali tidak memperlihatkan sikap gentar, bahkan ia tenang saja ketika memandang keris itu, lalu menarik napas panjang dan membusungkan dadanya.
"Wulansari, kalau engkau hendak membunuhku. Bunuhlah, aku tidak akan lari atau melawan. Memang sudah lama aku rindu akan kematian yang wajar. Tiada gunanya lagi aku hidup di dunia ini, hanya mendatangkan aib dan duka saja kepada diri sendiri dan keluargaku, juga orang lain Bunuhlah"
Menghadapi gadis yang menyerahkan dadanya untuk ditusuk itu, Wulansari menjadi ragu. Teringat ia akan nama Gagak Wulung yang disinggung oleh Pertiwi tadi. Ia pernah mendengar dari eyangnya tentang nama orang orang di kalangan sesat, dan nama Gagak Wulung pernah disinggung eyangnya sebagai seorang penjahat penganggu dan pemerkosa wanita.
"Pertiwi, agaknya engkau telah menjadi korban Gagak Wulung?"
Pertiwi mengangguk. "Banar, aku telah ternoda dan aku bukan perawan lagi, maka tidak pantas aku menjadi isteri kakangmas Nurseta. Selain itu, kakangmas Nurseta yang amat kucinta dan kupuja itu ternyata secara terus terang mengatakan kepadaku bahwa dia tidak cinta kepadaku, melainkan mencinta seorang gadis lain yang kiranya kau orangnya. Nah, Wulansari, tusukkan kerismu itu, bunuhlah aku dan aku tidak akan mendendam kepadamu. bahkan berterima kasih. Semoga kau hidup berbahagia di samping kakangmas Nurseta sebagai isterinya yang tercinta"
Keharuan menyusup ke dalam hati Wulansari. Bagaimanapun juga, gadis ini sebenarnya memiliki dasar watak yang halus dan baik, hanya setelah dididik oleh Ki Cucut Kalasekti maka watak itu tertutup oleh perangai yang ganas dan aneh bahkan sadis. Kini, kekerasan hatinya tidak memperkenankan keharuan menyelinap di hatinya, segera ditutupnya dengan sikap yang sadis. Ia tertawa dan memperlihatkan wajah gembira.
"Bagus, bagus sekali" katanya gembira. "Kalau begitu, engkau menderita batin yang amat hebat. Aku senang sekali, aku puas sekali dan enak engkau kalau sekarang kubunuh, berarti engkau terbebas dari derita batin. Ah, aku tidak akan membunuhmu, biar engkau menderita selama hidupmu. Dan untuk menambab derita batinmu, ketahuilah engkau, wahai Pertiwi, bahwa orang yang kauanggap calon suamimu itu ialah Nurseta, sekarang telah mati. Telah mati, dengarkah kau" Telah mati...."
Tiba tiba Wulansari meloncat jauh dan cepat lari meninggalkan Pertiwi sambil terisak menangis karena ia tidak ingin Pertiwi melihat tangisnya, Namun, Pertiwi masih mendengar isak itu dan setelah Wulansari tidak nampak lagi, Pertiwi menarik napas panjang lalu termenung dengan wajah pucat sekali. Ketika ia diancam maut, ia menghadapi itu dengan tenang. Akan tetapi mendengar bahwa Nurseta telah mati, seketika ia menjadi pucat, tubuhnya panas dingin, kaki tangannya gemetar dan ia hampir jatuh pingsan ketika meninggalkan ladang, tidak perduli lagi akan jagungnya dan tak lama kemudian ia telah rebah di atas dipan bambu dalam pondoknya sambil menangis dan mengeluh lirih, memanggil manggil nama Nurseta.
*** Setiap orane manusia, disadari maupun tidak, selalu mendimbakan dan haus akan kekuasaan Baik itu kekuasaan seorang ayah terhadap anaknya, seorang suami terhadap isterinya atau sebaliknya, seorang atasan terhadap bawahannya, seorang guru terhadap muridnya, seorang kaya terhadap si miskin, orang kuat terhadap yang lemah dan selanjutnya. Seorang yang memiliki kekuasaan atas orang lain akan merasa aman, merasa terhormat, merasa lebih dan merasa diri besar. Akan tetapi, seperti juga segala kesenangan yang dikejarkejar manusia, kekuasaan akan sesuatu bukan merupakan tujuan terakhir. Haus akan kekuasaan ini selalu melar, selalu mengembang, tanpa batas dan seperti dengan nafsu mengejar apapun juga, makin terdapat makin baus dan ingin yang lebih dari apa yang telah didapatnya.
Demikian pula dengan yang dirasakan Sang Prabu Kertanegara. Dia makin haus akan kekuasaan, tidak merasa puas dengan keadaan kerajaannya, ingin meluaskan kekuasaannya sampai tanpa batas. Biarpun banyak pamong praja yang setia memperingatkan, dia tidafa memperdulikan semua itu dan pasukan besar dikerahkan sembilan tahun yang lalu untuk menuju ke negeri Malayu. Peristiwa ini tentu saja merupakan pelaksanaan dari keinginannya untuk memperluas, kekuasaan. Apa lagi setelah dia mendengar tentang hasil baik para senopatinya menindas kerusuhan atau pemberontakan yang diadakan Mahesa Rangkah, Sang Prabu Kertanegara merasa bahwa kedudukannya amat kuat. Biarpun lebih dari separuh pasukannya berada di Malayu dan belum kembali dia merasa bahwa pasukannya amat kuat. Hal ini mendorongnya untuk mengincar daerah di seberang lautan di timur, yailu Pulau Bali.
Sang Prabu Kertanegara lalu mengadakan sidang. Semua senopatinya yang utama nadir, diantaranya adalah Nambi, Banyak Kapub, Medang Dangdi, Lembu Sora, Gajah Pangon. Mahesa Wagal, Ronggo Lawe putera Wiraraja yang kini menjadi adipati di Madura, KeboKapetengan, Wirota Wiragati, Pamandana dan lain lam. Tentu saja Riden Wijaya sebagai keponakan dan juga mantu Sang Prabu, juga hadir. Selain para senopati, tentu saja Patih Mahesa Anengah dan pembantunya, Panji Angragani sudah lebih dahulu menghadap raja.
Kepada para senopati yang dipanggil menghadap, Sang Prabu Kertanagara lalu menyatakan niatnya untuk mengirim pasukan menyerbu dan menalukkan Pulau Bali. Raja ini menyatakan bahwa niatnya itu telah didukung sepenuhnya oleh Patih Mahesa Anengah dan Panji Angragani, dan dia minta kepada para senopati untuk mengemukakan pendapat mereka mengenai rencana penyerbuan ke Bali ini. Mendengar ini, para senopati saling pandang. Di dalam hati mereka, terkejut juga mendengar rencana ini. Pasukan besar mereka masih belum kembali dari Melayu, sedangkan bam saja mereka membasmi pemberontakan Mahesa Rangkah. Bagi mereka, yang terpenting adalah menjaga keamanan dalam negeri, bukan menyerang ke luar daerah. Belum tepat saatnya untuk meluaskan wilayah selagi pasukan terpecah seperti itu. Kalau sisa pasukan dikerahkan untuk menyerang Bali, lalu siapa yang akan menjaga keamanan di dalam negeri" Akan tetapi, sebagai senopati, tentu saja mereka tidak berani menolak perintah raja, dan hanya saling pandang.
Akhirnya, Wirota Wiragati yang merupakan seorang senopati yang sudah setengah tua, memberanikan diri berkata, mewakili teman-temannya. "Gusti, bamba semua telah siap untuk melaksanakan perintah paduka. Sewaktu-waktu hamba semua siap ditunjuk sebagai senopati yang memimpin pasukan menyerbu ke Pulau Bali. Hanya saja, kalau boleh hanba berianya, apakah gerangan yang mendorong niat paduka untuk menyerbu dan menalukkan Pulau Bali " Selama ini Pulau Bali tidak pernah melakukan suatu gangguan kepada kita, dan tentu ada maksud yang penting sehingga paduka mempunyai niat menalukkan Bali, mengirim pasukan ke sana meninggalkan Kerajaan. Singosari yang menjadi kosong dan lemah kalau pasukan dikerahkan ke sana"
Sang Prabu Kertanegara mengerutkan alisnya, lalu berkata, "Tentu saja niat kami itu telah kami pikirkan dan kami rundingkan masak-masak dengan Ki Patih Mahesa Anengah dan Panji Anggragani. Kalau kau ingin mengetahui alasannya, biarlah Ki Patih Mahesa Anengah yang akan menjelaskan"
Patih Mahesa Anengah kini memandang kepada Senopati Wirota Wirogati, Iaiu berkata lantang, "Kakang Senopati Wirota Wiragati sungguh saya merasa heran sekali mengapa seorang senopati kawakan seperti kau, masih hendak bertanya lagi akan alasan perintah Sribaginda, seolah-olah meragukan kebijaksanaan yang diambil oleh beliau"
Mendengar ucapan yang seolah-olah menegurnya itu, Wirota Wiragati mengerutkan alisnya. Dia dan kawan kawannya tahu belaka bahwa patih yang baru diangkat menggantikan patih tua Empu Pagananta ini adalah seorang yang selalu menjilat jilat untuk memancing perhatian Sribaginda.
"Gusti Patih" katanya, tegas namun juga dengan sikap hormat "Sama sekali kami tidak meragukan kebijaksanaan Sribaginda, melainkan kami merasa tidak mengerti akan kebijaksanaan yang diambil beliau ini, mengingat bahwa kalau pasukan dikerahkan ke timur, tentu keadaar dalam negeri menjadi kosong dari penjagaan dan agak lemah. Tentu ada alasan yang amat kuat dengan pengiriman pasukan ini, maka inilakyang kami ingin ketahui. Kecuali kalau alasan ini dirahasiakan dari para senopati, tentu saja kami tidak berani banyak bertanya"
Mendengar ucapan yang tegas ini, Patih Mahesa Anengah merasa tersudut dan diapun tersenyum lebar. "Sama sekali tidak dirahasiakan, hanya kami merasa heran mengapa para senopati tidak dapat melihat alasannya Baiklah, akan saya jelaskan. Masih dalam rangkaian mengirim pasukan ke Melayu maka sekarang Sribaginda hendak menalukkan Bali. Semua itu dilakukan dengan satu tujuan, yaitu memperkuat kerajaan dan mengadakan hubungan baik dengan negara-negara di sekeliling Pulau Jawa. Semua orang tahu betapa kini Negara Tartar di utara memperbesar kekuasaan mereka dengan penyerbuan ke selatan dan bukan rahasia lagi kalau negara itupun mengincar tanah air kita yang subur. Untuk menahan mereka, tidak ada jalan lain kecuali memperkuat diri dan juga mempererat hubungan dengan negara-negara tetangga. Kalau Malayu sudah menjadi sekutu kita, juga Pulau Bali, Kalimantan dan sekitar Pulau Jawa sudah tunduk kepada kita, maka kita seolah olah dikurung benteng yang merupakan perisai untuk menahan gelombang serangan pasukan Tartar. Bukankah ini merupakan siasat yang baik sekali dari Sribaginda ?"
Kini Senopati Ronggolawe yang berkata, "Memang merupakan siasat yang amat bijaksana. Akan tetapi kami semua mengkhawatiran keadaan keamanan Kerajaan Singosari kalau pasukan dikerahkan ke Bali. Bagaimaina kalau sampai terjadi pemberontakan?"
Kembali Patih Mahesa Anengah yang menjawab, "Adi Senopati Ronggolawe yang gagah perkasa. Mengapa kita harus menakuti bayangan yang kosong " Ingat, ketika Sang Prabu mengirim pasukan ke Pamalayu, banyak senopati yang khawatirkan akan terjadi sesuatu di sini. Buktinya, tidak ada apa-apa kecuali pemberontakan Mahesa Ringkah yang tidak ada artinya. Siapa yana akan berani memberotak terhadap Singosari" Sang Prabu telah memperlihatkan sikap yang adil dan bijaksana sehingga para adipati merasa puas dan setia. Pula, yang dikirim hanya sebagian pasiukan saja untuk menundukkan Raja Bali yang tidak berapa kuat. Sisanya tetap berjaga di sini dan sudah lebih dari cukup dan kuat untuk memadamkan setiap api pemberontakan kecil seperti yang dilakukan Mahesa Rangkah beberapa tahun yang lalu"
Sang Prabu Kertanagara mengangguk-annguk, puas dan girang mendengar alasan yang dikemukakan patihnya. Dia lalu memerintahkan agar para senopati siap siap, lalu meunjuk Raden Wijaya untuk mengatur persiapan itu dan menentukan siapa diantara para senopati yang akan memimpin pasukan untuk menyerbu ke Bali. Pertemuan lalu dibubarkan dan Raden Wjaya mengadakan perundingan dengan para senopati. Lalu diambil keputusan untuk menyerahkan pimpinan pasukan yang hendak menyerbu ke Bali itu kepada Senopati Nambi, dibantu oleh Senopati Medang Dangdi dan Mahesa Wagal sebagai pimpinan, dan beberapa orang senopati din perwira menengah. Maka berangkatlah pasukan itu meninggaikan Singosari menuju ke Bali. Penyerbuan ini terjadi pada tahun 1284.
Sang Prabu Kertanagara boleh jadi bercita-cita besar memperbesar kekuasaan dan hendak memperkuat kedudukan untuk menghadapi ancaman dari utara, yaitu Negara Cina yang pada waktu itu dikuasai oleh Bangsa Tartar atau Morgol, akan tetapi dia bukanlah seorang yang berkepala besar, bukan hanya mengandalkan kesombongan saja untuk melakukan penyerbuan ke mana-mana. Dia penuh perhitungan, maklum akan kehebatan para senopatinya, dan yakin akan ketanggoan pasukannya yang setia. Bukan hanya itu, juga sebelumnya telah banyak mata-mata dan penyelidik disebar dan dikirimkan ke Pulau Bali untuk melakukan penyelidikan sampai dimana kekuatan pasukan kerajaan yang akan digempurnya itu. Maka, hasil penyerbuan ke Bali itupun amat cemerlang, seperti yang telah diperhitungkan dengan masak masak. Pasukan Bali dapat dikalahkan, dan raja Bali ditawan, dibawa ke Singosari. Pada waktu pasukan Singosari berhasil mengalahkan pasukan Bali itulah, maka terjadi hal lain yang hebat di tebing yang curam dari pantai Laut Selatan.
Seperti kita ketahui, Nurseta terjebak di dalam goa di tebing itu akibat terjatuhnya dari atas tebing ketika dia terkena senjata rahasia Sisik Nogo oleh kakek Cucut Kalasekti. Di dalam goa dia bertemu dengan seorang wanita setengah tua bernama Warsiyem yang ternyata adalah ibu kandung Wulansari. Pemuda itu terpaksa uinggal di dalam goa selama empat tahun lebih karena memang tidak terdapat jalan keluar dari dalam goa itu.
Selama empat tahun lebih, dia tekun bersamadhi dan memperdalam ilmu-ilmunya, bahkan berhasil pula mengusai ilmu Bambu Runcing, yaitu permainan pencak silat dengan bambu yang diruncingkan ujungnya seperti tombak, ilmu yang diciptakan oleh Warsiyem selama bertahun tahun tinggal di dalam goa seorang diri sebelum Nurseta tiba di goa itu.
Dengan adanya Nurseta yang dianggap sebagai anak mantunya, dan mendengarkan keterangan pemuda itu mengenai kebatinan, Warsiyem dapat sembuh pula dari guncangan batin yang membuatnya seperti orang setengah gila. Mereka tekun berlatih dan Nurseta berhasil menghimpun tenaga sakti yang jauh lebih kuat dari pada sebelum dia terpaksa tinggal di dalam goa itu. Biarpun dia dan Warsiyem tidak pernah mau diganggu harapan dan keinginan untuk dapat segera terbebas dari situ, namun mereka tidak pernah mau menghentikan usaha mereka untuk mencari jalan keluar. Dengan kepandaiannya, Nurseta sudah mencoba untuk mencari jalan keluar. Merayap ke atas sungguh tidak mungkin. Hanya manusia yang bersayap seperti burung saja yang akan dapat terbang ke atas. Merayap sejauh itu merupakan pertaruhan yang tidak seimbang. Kemungkinan untuk berhasil merayap naik sampai ke puncak tebing hanya sedikit sekali, jauh lebih besar kemungkinan terpeleset dan terjatuh untuk hancur lebur di bawah sana. Merayap ke bawah lebih mungkin dilakukan, karena dari goa ke air laut di bawah sana hanya setinggi pohon kelapa. Bahkan sudah bcberapa kali dia mencoba merayap ke bawah dan berhasil mencapai dasar, Akan tetapi, tepat seperti pernah dikatakan oleh Warsiyem, di bawah sanapun merupakan jalan mati. Air laut bergelombang dahsyat, dan di waktu air surutpun, tidak mungkin turun ke air. Tempat itu penuh batu karang yang tajam dan runcing, dan bagaimana mungkin seorang biasa turun ke air laut dan berenang mencari tepian yang dapat dipakai mendarat" Kepandaiannya berenang terbatas sekali. Kalau saja dia memiliki ilmu renang seperti Cucut Kalssekti, atau Wulansari, mungkin saja berani dia turun ke air laut di waktu surut.
Juga Warsiyem pernah diajaknya merayap turun, dan wanita inipun melihat betapa tidak mungkinnya untuk turun ke air laut yang mungkin mengandung banyak ikan hiu itu.
Demikianlah, mereka berdua selalu mencari kesempatan untuk dapat keluar dari tempat itu. Akan tetapi mereka tidak mau tenggelam dalam harapan, karena maklum bahwa makin besar harapan dan makin besar keinginan untuk keluar dari situ, akan semakin parah pula kekecewaan dan kedukaan kalau eing nan itu tidak terlaksana.
Dan pada suatu hari, tanpa mereka sangka-sangka, datanglah kesempatan itu. Pagi itu, Nurseta dan Warsiyem seaang duduk di ruangan sebelah dalam di mana terdapat bagian terbuka, melakukan samadhi karena mereka berdua dapat menghirup hawa segar dan menikmati sinar matahari pagi yang mulai masak menyerong ke dalam goa itu. Mereka sudah mandi pagi dan keduanya nampak segar dan sehat. Kini Warsiyem sudah jauh berbeda dibandingkan empat tahun yang lalu. Biarpun usianya sudah mendekati limapuluh tahun. Wajahnya nampak cantik manis, dengan kulit yang bersih dan belum berkerut. Rambutnya juga bersih dan ada sedikit uban menghias diatas telinga, nampak karena rambut itu digelung ke atas secara sederhana. Pikaiannya memang penuh tambalan, namun bersih karena setiap hari ia berganti pakaian.
Nurseta juga mengalami perubahan. Dia bukan seorang pemuda yang mentah lagi, melainkan seorang pemuda yang mulai matang, sudah dewasa benar dengan usianya yang duapuluh lima tahun. Kumisnya berbentuk indah, godegnya menebal dan ada sedikit jenggot di dagunya. Sinar matanya kini mencorong dan penuh wibawa. Di pinggangnya terselip sebatang keris yang bergagang indah. Itulah keris Hat Nogo, hadiah dari Riden Wijaya setelah pemberontakan Mihesa Rangkah, empat tahun yang lalu, dihancurkan.
Keduanya tekun bersamadhi dan di dinding goa itu terdapat dua batang tombak Bambu Runcing yang mereka sering pergunakan untuk berlatih ilmu Bambu Runcing. Warsiyem kini juga memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu bela diri karena bimbingan Nurseta yang dianggap anak mantu atau anaknya sendiri. Juga di atas tanah di bagian yang terbuka itu kini bertambah beberapa macam pohon buah yang terjadi karena ada bibit pohon yang terbawa oleh burung dan terjatuh ke tempat itu.
Tiba-tiba terdengar suara yang mengandung gema panjang. "Yeeemmm........ Siyeeem
......... Warsiyem........ Manisku, aku datang mengunjungimu, hahahaha"
Dua orang yang sedang bersila dengan anteng itu tersentak kaget. Wajah Warsiyem berubah pucat dan ia berbisik. "Itu dia........ Si keparat Cucut Kalasekti. Akan kubunuh dia" Wanita itu sudah meloncat dan menyambar sebatang tombak bambu runcingnya.
Akan tetapi Nurseta juga meloncat dan sudah menangkap lengan wanita itu.
"Kanjeng bibi" bisiknya. "Jangan tergesa-gesa. Ingat betapa saktinya dia. Bibi bukanlah lawannya, biar saya yang menghadapinya. Kalau perlu nanti, kanjeng bibi boleh membantu"
Mendengar ucapan ini, Warsiyem mengangguk, maklum bahwa ucapan pemuda itu memang tepat. Biarpun ia sudah memperoleh kemajuan, namun agaknya masih jauh untuk dapat mengimbangi kesaktian Cucut Kalasekti. Kalau ia tergesa-gesa menyerang dengan sembrono, lalu ia gagal bahkan ia yang terluka, hal itu berarti sia-sia belaka.
Nurseta sudah mempersiapkan diri, mengikat rambutnya dan ujung kainnya, mempersiapkan keris di pinggang, lalu menyambar sebatang bambu Runcing ryang biasa dia pakai berlatih. Kemudian, diapun berindap indap keluar, diikuti dari belakang oleh Warsiyem yang juga sudah memegang bambu Runcing dan siap untuk menyerang.
"Siyem, Warsiyem.......... Hahaha, masih hidupkah engkau" Sudah lima tahun aku tidak datang berkunjung, bagaimana sekarang" Apakah engkau masih tetap cantik manis, dan apakah engkau kini tidak akan menyambutku dengan senyumanmu" Ha ha ha" Suara Cucut Kalasekli makin dekat dan ketika Nurseta tiba di dalam goa, tiba tiba saja sosok bayangan Cucut Kalasekti muncul dari depan goa. Kakek itu, seingat Nurseta, masih sama seperti dulu, empat tahun yang lalu ketika menyerangnya di atas tebing. Mukanya masih membiru seperti muka ikan dengan mulut yang Runcing seperti moncong ikan, jubahnya kuning dengan baju dalam seperti sisik ikan. Akan tetapi kini jubah itu berbeda, biarpun warnanja masih kuning akan tetapi terbuat dari kain yang mewah, juga kedua lengannya terhias emas permata. Kakek ini sekarang berpakaian mewah seperti seorang bangsawan.
Karena sepasang mita kakek itu mencari Warsiyem, agaknya dia tidak perduli atau tidak melihat Nurseta. Melihat Warsiyem berdiri di sudut, dia terbelalak dan tertawa lagi.
"Hahaha, engkau makin tua makin cantik saja. Ah marilah manis. Aku datang untuk menjemputmu, mengajakmu hidup mulia di atas sana. Tahukah engkau bahwa aku sekarang telah menjadi seorang adipati. Ha ha ha, inilah Sang Adipati Satyanegara, adipati di Bendowinangun"
"Keparat jahanam. Manusia busuk kau, Cucut Kalasekti. Lebih baik mati saja bagiku dari pada ikut bersamamu" kata Warsiyem sambil mempersiapkan bambu runcingnya.
Tiba tiba saja kakek itu menjadi marah. "Hemm, manusia tak tahu diri. Aku datang dengan hati menyayang, dengan maksud baik, akan tetapi engkau memaki aku. Aku, seorang adipati, disembah sembah orang sekadipaten, dan engkau ini perempuan hina berani memaki aku " Engkau cepat berlutut menyembah, ikut dengan sukarela bersamaku, atau kubunuh sekarang juga"
"Manusia iblis. Sampai matipun aku tidak sudi tunduk kepadamu, sejak dahulu, sekarang mau pun kapan saja"
"Bedebah" Cucut Kalasekti marah sekali dan dia melepas dua buah sisik dari baju dalamnya. "Kalau begitu mampuslah kau" Tangan kirinya bergerak dan dua sinar meluncur ke arah wanita itu. Akan tetapi, Nurseta sudah menggerakkan bambu runcingnya ke arah sinar sinar yang meluncur itu.
"Tringgg. Tranggg........" Dua sinar itu terpukul dan membalik, yang sebuah runtuh ke
atas tanah, yang sebuah lagi menyambar ke arah pemiliknya.
"Ehhh........?" Cucut Kalasekti terkejut dan cepat mengelak sehingga sisik yang ke dua itu meluncur keluar goa dan lenyap. Kini barulah Cucut Kalasekti menoleh dan memandang penuh perhatian kepada Nurseta, dan dia terbelalak.
"Siapakah kau" Warsiyem, engkau telah menyembunyikan seorang laki-laki, ya " Jahanam, setelah kutinggal beberapa tahun saja, engkau telah mendapatkan gantinya, seorang gendak, seorang kekasih muda, ya" Dasar perempuan tak tahu malu, tidak setia dan menyeleweng"
Nurseta menggeleng geleng kepalanya. Kakek itu sungguh tak tahu diri. Dia melarikan Warsiyem, memaksa dan memperkosanya, membiarkan wanita itu bertahun-tahun lamanya berada di neraka itu, dan kini masih menuduhnya tidak setia dan menyeleweng. Sungguh sukar diikuti jalan pikiran seorang datuk sesat seperti Cucut Kalasekti itu. Dan agaknya kakek itu lupa kepadanya.
"Ki Cucut Kalasekti, jangan menyangka yang bukan bukan. Karena pikiranmu isinya kotor, maka kau menyangka yang kotor-kotor saja. Lihatlah baik-baik siapakah aku ?"
Melihat sikap tenang pemuda itu, dan suaranya yang lembut berwibawa, Ki Cucut Kalasekti mengamati wajah yang tampan gagah itu "Hemm. kau tidak kukenal. Orang muda, siapakah kau, dan kalau kau bukan gendak Warsiyem, bagaimana kau dapat berada di tempat ini?"
Akhirnya dia bertanya menekan kemarahannya karena dia kini ingin sekali tahu bagaimana ada seorang pemuda dapat berada di tempar iiu, padahal menurut keyakinannya, tak mungkin ada orang lain mampu datang ke goa itu.
"Ki Cucut Kalasekti, sudah dua kali selama hidup kita saling bertemu. Pertama kali di tepi Laut Selatan, sembilan tahun yang lalu ketika kau menculik diajeng Wulansari. Kedua kalinya, empat lima tahun yang lalu di puncak tebing ini, ketika kau menjatuhkan aku dengan senjata rahasia Sisik Nogo"
Tiba tiba kakek itu mengeluarkan suara erengan seperti seekor srigala kelaparan. "Aaaughhh, kiranya engkau, si bedebah. Jadi engkau belum mampus dan dapat berada di sini, ketika terjatuh dari atas tebing itu ?"
Nurseta tersenyum "Tuhan Maha Kuasa, Ki Cucut, dan kalau Tuhan belum menghendaki, biar ada seribu orang seperti tidak akan dapat membunuhku"
"Siapa bilang. Sekarang juga aku akan membunuhmu, kemudian membunuh perempuan tak tabu diri itu" Tiba tiba kakek itu mengeluarkan suara mendesis seperti ular-ular yang banyak sekali tiba-tiba datang menyerang. Suaara mendesis itu hebat sekali, dapat membuat tubuh lawan terasa kaku dan lumpuh. Warsiyem mengeluh karena Tiba-tiba saja tubuhnya terasa kaku dan kaki tangannya tidak dapat digerakkan. Ia teringat akan cara menghimpun tenaga sakti seperti yang dilatihnya atas petunjuk Nurseta, maka cepat ia mengatur pernapasan dan memusatkan perhatian, menghimpun kekuatan yang disalurkan ke arah kaki tangannya dan iapun merasa betapa pengaruh suara mendesis itu segera lenyap.
Nurseta sendiri pada waktu itu telah memiliki tingkat yang tinggi sehingga suara mendesis ini hanya sempat mengejutkannya saja, akan tetapi dapat dilawannya dengan pengerahan tenaga sakti, sehingga dia tidak terpengaruh sama sekali. Karena itu, maka ketika Cucut Kalasekti menerjangnya dengan pukuulan Aji Gelap Sewu, dia dapat mengelak dengan mudah.
Ki Cucut Kalasekti kaget, heran dan penasaran bukan main. Aji kesaktiannya melalui suara mendesis itu bukan hanya tidak dapat mempengaruhi pemuda ini sama sekali, bahkan nampaknya Warsiyem juga mampu menolaknya.
Kalau saja aji itu mempengaruhi Nurseta sedikit saja, disusul pukulannya Gelap Sewu tentu pemuda itu takkan mampu mengelak dan sekali pukul saja sudah roboh binasa. Dengan marah dan penasaran, diapun menyusulkan pukulan demi pukulan yang amat ampuh.
Nurseta maklum akan kesaktian lawan, maka diapun tidak membiarkan dirinya diserang terus menerus tanpa melawan. Dia memutar tombak Bambu Runcing ke bawah lengan kanan, dan mengangkat tangan kirinya ke atas untuk menangkis sebuah pukulan sambil mengerahkan tenaga saktinya.
"Dukkk" Dua tenaga raksasa yang dahsyat bertemu melalui dua buah lengan itu dan agaknya seluruh goa ikut tergetar. Akibatnya, tubuh kedua orang itu terguncang hebat dan mereka melangkah mundur dua langkah kebelakang. Makin terkejut rasa hati Ki Cucut Kalasekti. Bocah ini memiliki tenaga sakti yang hebat, yang dapat mengimbangi tenaganya sendiri. Tanpa membuang waktu lagi, dia lalu menerjang lagi, melompat ke depan dan kini kaki tangannya menyerang bagaikan gelombang lautan yang sedang mengamuk. Itulah ilmu pukulan yang disebut Aji Segoro Umub, demikian dahsyatnya dan bertubi-tubi, sementara mulutnya mengeluarkan suara mendesis seolah-olah lautan mendidib sedang menyerang lawan.
"Dukkk" Dua tenaga raksasa yang dahsyat bertemu melalui dua buah lengan itu dan agaknya seluruh goa ikut bergetar. Akibatnya, tubuh kedua orang itu terguncang hebat dan mereka melangkah mundur dua langkah ke belakang.
Nurseta melihat hebatnya serangan ini, cepat diapun menggerakkan tombak bambu Runcing di tangannya. Dia selama empat tahun ini setiap hari melatih ilmu mempermainkan bambu Runcing itu, dan telah memiliki kemahiran dan menguasai ilmu itu sepenuhnya. Karena bambu itu ringan dan mengandung keuletan dan kekuatan tertentu yang tidak terdapat pada logam, memiliki kelenturan bahkan ketajaman yang hidup, ditambah lagi digerakkan dengan tenaga sakti yang kini sudah mencapai tingkat tinggi, maka bambu Runcing itu merupakan senjata yang amat ampuh dan begitu bambu digerakkan, lenyaplah bentuk bambu itu dan yang nampak hanya gulungan sinar kehijauan yang mengeluarkan bunyi mendengung.
Kagetlah hati Ki Cucut Kalasekti melihat betapa ujung bambu yang Runcing tajam itu menyambut kedua tangannya, menusuk ke arah lelapak tangan dan juga ke arah jalan darah di pergelangan dan siku lengan. Gerakan bambu Runcing itu selain cepat. juga dia melihat seolah-olah ujung yang Runcing itu berubah menjadi banyak sekali, menusuk bertubi-tubi kearah kedua lengannya. Kedua lengan tangan yang tadinya menyerang, kini berbalik mengambil posisi membela diri, menangkisi tusukan-tusukan itu. Sebentar saja, kakek itu terdesak hebat dan hanya mampu menangkis sambil melangkah mundur dan berputar pular di ruangan mulut goa itu.
"Dukk. Plakkk" Sambil mengerahkan tenaga, Ki Cucut Kalasekti menangkis dengan kedua tangannya, namun dia tidak berhasil mematahkan bambu atau menolaknya terpental, hanya keduanya kembali tergetar oleh pertemuan dua tenaga dahsyat. Cucut Kalasekti melompat ke belakang dan tangan kanannya bergerak mencabut senjatanya yang hampir tidak pernah dicabutnya, yaitu sebatang keris yang bentuknya melengkung dan berlapis emas, presis seperti keris yang pernah dilihat Nurseta ketika dipergunakan Wulansari, hanya keris milik kakek ini lebih besar. Cucut Kalasekti hampir tidak pernah mempergunakan senjata ini, karena biasanya, hanya dengan kedua tangan dan kakinya, sudah cukuplah baginya untuk mengalahkan lawan. Bahkan jarang dia membawa keris itu. Setelah dia menjadi seorang adipati, barulah keris itu tak pernah berpisah dari badannya, bukan untuk melindungi diri, melainkan untuk penambah wibawa sebagai seorang adipati. Apa akan kata orang kalau seorang adipati tidak memiliki pusaka, tidak berkeris" Kini, menghadapi bambu Runcing yang dimainkan secara hebat oleh Nurseta, Cucut Kalasekti tidak merasa ragu atau rikuh untuk mencabut pusakanya itu.
"Babo babo. Nurseta. Pusakaku akan merobek dadamu" bentaknya dan diam diam kakek ini mengerahkan kekuatan batinnya untuk mempergunakan ilnu sihirnya menguasai lawan. Diapun mengeluarkan lagi suara mendesis tadi, akan tetapi kini lebih kuat dari pada tadi sehingga kembali Warsiyem yang berdiri di sudut seketika gemetar dan cepat wanita ini duduk bersila menghimpun tenaga sakti untuk melawan pengaruh suara mendesis itu. Nurseta sendiri terkejut bukan karena suara mendesis yang dapat ditahannya, akan tetapi dia melihat betapa kakek itu kini nampak menggiriskan, seolah-olah ada cahaya mencorong menerangi mukanya yang mirip ikan. Pemuda ini maklum bahwa lawan mempergunakan ilmu hitam, maka diapun mempergunakan telapak tangan kiri mengusap kedua matanya tiga kali dan keadaan kakek itu menjadi biasa kembali dalam pandang matanya. Akan tetapi pada saat itu, sinar keris meluncur ke arak dadanya.
"Cring trang trangg......Tiga kali Nurseta menggerakkan bambu runcngnya menangkis tusukan keris bertubi-tubi itu dan dia segera balas menyerang. Terjadilah perkelahian yang lebih hebat dari pada tadi. Serang menyerang teriadi dan keduanya bergerak amat cepat, menimbulkan debu di dalam goa. Warsiyem yang nonton perkelahian itu, diam-diam merasa bersukur bahwa Nurseta berada di situ Anda kata tidak, tentu ia sendiri tidak mungkin akan mampu mengalahkan Ci cut Kalasekti dan tentu ia akan mengalami penghinaan lagi, atau mungkin juga sekali ini dibunuh oleh kakek iblis itu.
Menyaksikan perkelahian hebat itu, iapun maklum bahwa kalau ia ikut terjun, hal itu tidak akan membantu Nurseta, bahkan mungkin mengacaukan permainan Bambu Runcing pemuda itu. Untuk membantu dengan sambitan batu, juga selain tidak ada gunanya karena kakek itu memiliki kekebalan juga tidak mudah melihar betapa kedua orang itu berkelahi dengan cepat sehingga tubuh mereka berkelebatan, sukar diikuti dengan pandang mata biasa.
Tiba tiba, serangkaian serangan keris yang dibantu dengan tamparan tamparan maut dari Aji Gelap Sewu, membuat Nurseta terpaksa terdesak mundur sampai mepet dinding goa. Tiba-tiba sinar keris meluncur, mencuat dengan cepat dan dahsyatnya. Dalam detik terakhir. Nurseta masih sempat melempar tubuh kesamping dan ujung keris itu menyentuh dinding goa. Nampak api berpijar dan dinding itu retak. Namun Nurseta sudah menghindarkan diri dan kini bambu di tangannya membalas dengan tusukan tusukan yang beruntun kearah tenggorokan, dada dan lambung lawan. Hebat bukan main pertandingan itu. Masing-masing memiliki tingkat kepandaian yang sudah tinggi sehingga sukar dapat terkena senjata lawan, sama cekatan dan juga sama-sama memiliki tenaga sakti yang kuat. Hampir satu jam mereka berkelahi, namun belum juga ada tanda tanda siapa yang akan kalah dan siapa akan keluar sebagi pemenang. Biarpun usianya sudah tujuhpuluh tahun lebih, ternyata Ki Cucut Kalasekti masih kuat dan memiliki daya tahan luar biasa, tidak kehabisan tenaga dan napas. Diam diam Nurseta harus mengakui bahwa kakek yang menjadi lawannya itu memang hebat. Kiranya setingkat dengan kedigdayaan Ki Buyut Pranamaya dan agaknya hanyalah Panembahan Sidik Danasura saja yang akan dapat mengatasinya. Namun diam-diam diapun merasa girang bahwa dengan pertapaannya selama empat tahun di dalam goa itu, kini dia telah mampu mengimbangi kesaktian Ki Cucut Kalasekti, dan permainan bambu runcingnya tidak pernah mengendur.
Kembali Cucut Kalasekti mengeluarkan bentakan hebat seperti gerengan harimau, kerisnya meluncur ke depan, menyilaukan mata menghunjam ke arah mata Nurseta. Pemuda itu maklum bahwa mengelak amat berbahaya, karena keris itu tentu akan merobah arah dan mengejar, maka diapun memutar tongkat bambunya, menangkis dari samping, menyambut keris itu dengan pukulan.
"Cappp" Keris itu menancap pada bambu dan tembus, terjepit. Ki Cucut Kalasekti menarik keris untuk mencabutnya, namun Nurseta sudah mengerahkan tenaga dalam sehingga bambu itu menjepit keris dengan kuatnya, tidak mau melepaskannya lagi.
Melihat ini, Ki Cucut Kalasekti lalu menggunakan tangan kiri menangkap bambu Runcing itu. Terjadi tarik menarik dan kakek itu menyeringai buas. Akan tetapi, dia tidak tahu bahwa memang Nurseta mempergunakan akal untuk menahan keris Melihat betapa kakek itu menggunakan kedua tangannya, secepat kilat tangan kiri Nurseta melepaskan bambu runcingnya dan melayang, menampar dengan Aji Jagad Pralaya, pukulan maut yang amat ampuh dan dahsyat yang di pelajarinya dari Panembahan Sidik Danasura.
Ki Cucut Kalasekti melihat datangnya pukulan, tidak dapat menangkis dan cepat dia mengelak dengan memiringkan kepalanya. Karena itu, pukulan tidak tepat mengenai kepala, melainkan meleset dan mengenai pundak dekat leher.
"Desss........" Hebat bukan main pukulan itu. Tubuh Ki Cucut Kalasekti terpelanting dan diapun roboh terkulai tak mampu bergerak lagi, entah mati ataukah pingsan. Melihat ini, Warsiyem meloncat menghampiri dan mengangkat bambu runcingnya, siap untuk menusuk dada atau lambung kakek itu dengan bambu runcingnya.
"Jangan, kanjeng bibi" Nurseta menangkap lengan itu dan mencegah dengan suara lembut namun tegas, "Membunuh lawan yang sudah tidak berdaya lagi adalah perbuatan kejam"
Sejenak wanita itu memandang kepada tubuh kakek yang sudah tak bergerak lagi itu, tangannya masih memegang bambu runcingnya dengan kiat, lalu ia menandang wajah Nurseta, nampak keraguan pada pandang matanya karena ptda saat itu terjadi perang di dalam batinnya antara membunuh Ki Cucut Kalasekti atau memenuhi permintaan Nurseta.
"Kanjeng bibi, ingat, sejahat-jahatnya dia, bagaimanapun juga, dialah yang mendidik diajeng Wulansari dengan penuh kasih sayang"
Ucapan ini mengingatkan Warsiyem dan ia terisak, lalu mengangguk dan tangannya yang tadi menegang, kini mengendur "Baiklah. Mari sekarang kita mempergunakan kesempatan ini untuk pergi dari sini. Dia tentu datang dengan perahu dan sekarang saatnya air laut surut" kata wanita itu.
Mendengar ini, Nurseta menjadi gembira sekali. Dengan penuh semangat mereka lalu meloncat ke mulut goa, dan tak lama kemudian keduanya sudah merayap turun. Benar saja, di bawah terdapat sebuah perahu yang tadi dipakai Ki Cucut Kalasekti menyeberang ke tempat itu, terikat dengan tali pada batu karang, dan air laut memang sedang surut dan tenang.
"Cepat, Nurseta. Air surut tidak lama, sebentar lagi kalau pasang, kita tidak mungkin dapat pergi dari sini" kata Warsiyem.
Nurseta tidak menjawab melainkan cepat meloncat ke bawah, membantu wanita itu mendarat di batu karang, melepaskan perahu dan mereka segera naik perahu yang didayungnya ke tengah menjauhi batu karang. Tak lama kemudian, nampaklah daratan jauh di depan sana dan bagaikan mendapat semangat baru, Nurseta dan Warsiyem segera mendayung perahu itu sekuat tenaga. Perahu meluncur cepat di permukaan laut yang sedang tenang itu, dan pohon kelapa di pantai sana seperti melambai-lambai menyambut kedatangan kedua orang itu. Tanpa mereka rasakan, air mata membasahi mata mereka, bahkan mengalir turun ke atas pipi ketika perahu itu akhirnya mendarat di pantai yang landai. Mereka berloncatan ke atas pasir, meninggalkan perahu yang hanyut
ke tengah kembali dibawa ombak, dan tiba-tiba Warsiyem merangkul leher Nurseta sambil menangis sesenggukan di atas dada pemuda itu, menangis seperti anak kecil.
Nurseta maklum apa yang dirasakan wanita itu. Dia sendiri yang baru empat tahun lebih berada di goa yang tidak ada jalan keluarnya itu, merasa terharu dan gembira sekali dapat berada di pantai datar kembali, seolah-olah ada perasaan bahwa dia baru saja bangkit dari kubur. Apa lagi wanita ini yang sudah berada di tempat itu selama belasan tahun.
Setelah keharuannya mereda, Warsiyem melepaskan rangkulannya, menghapus air matanya dan memandang kepada pemuda itu., Kini wajahnya berseri cerah, penuh semangat, matanya yang masih indah itu bersinar sinar dan mulutnya mengandung senyum penuh harapan, "Nurseta, anakku, sekarang cepatlah antar aku kepada anakku Wulansari"
"Baik, kanjeng bibi. Mudah mudahan ia masih berada di sana" Dia menunjuk ke arah, tebing tinggi itu dan mereka berdua memandang ke sana. Tebing itu agak jauh dari situ dan dari situ saja kelihatan amat tinggi. Nurseta bergidik. Memang tidak ada jalan menuju ke goa itu, kecuali dari laut bebas, dari laut itu jarang sekali tenang, selalu penuh dengan ombak bergemuruh dan perahu tentu akan hancur dihempaskan pada batu karang kalau berani mendekat ke tebing itu. Goa itu tidak nampak dari situ, tertutup oleh sudut tebing. Sejenak dia teringat kepada Ki Cucut Kalasekti yang masih rebah di dalam goa, akan tetapi bayangan ini segera diusirnya. Kakek itu jahat seperti iblis, lebih baik bagi kehidupan manusia di dunia ramai kalau kakek itu berada selamanya di tempat terasing itu sampai mati.
Mereka lalu meninggalkan pantai dan mendaki bukit batu karang menuju ke puncak tebing. Sejenak mereka berdiri di tepi puncak tebing di mana Nurseta terjatuh empat tahun yang lalu.
"Di sinilah saya bercakap cakap dengan diajeng Wulansari ketika Ki Cucut Kalasekti muncul dan menyerang saya dengan Sisik Nogo" kata Nurseta yang menjenguk ke bawah tebing. Bukan main tingginya. Pohon yang menyelamatkannya itu tidak nampak dari situ, apa lagi goa itu.
"Di mana ia tinggal " Apakah di istana kuno milik kakek iblis itu?" Warsiyem teringat akan rumah besar kuno di mana ia dahuiu dibawa oleh Cucut Kalasekti ketika ia dilarikan dari dusunnya. Selama beberapa bulan ia dikeram di dalam istana tua itu, diperkosa dan dibujuk, Karena ia tetap menolak untuk menyerahkan diri dengan sukarela, akhirnya ia dibawa ke dalam goa itu dan ditinggalkan. Karena selama berbulan di situ ia tidak pernah keluar dari rumah tua, maka iapun tidak tahu di mana letak rumah itu. Padahal dari puncak tebing itu tidak jauh lagi.
Nurseta mengajak wanita itu menuruni puncak tebing menuju ke gedung tua itu. Akan tetapi, ketika mereka tiba di sana, gedung tua itu telah kosong dan tidak terawat sama sekali, menjadi rumah yang menyeramkan dan angker, rumah tua yang penuh dengan kenangan pahit sekali bagi Warsiyem. Karena tidak dapat menemukan puterinya di gedung itu, Warsiyem lalu mengajak Nurseta untuk mencari anaknya di dusun asalnya di daerah Blambangan. Nurseta menyetujui dan merekapun segera meninggalkan rumah tua itu menuju ke timur, ke dusun Paguh, dusun yang menjadi tempat asal Warsiyem, isteri Medang Dangdi yang kini telah menjadi seorang senopati kenamaan di Singosari.
Penduduk dusun Paguh tidak mengenai lagi Warsiyem yang sudah meninggalkan dusun itu selama belasan tahun. Dulu ketika ia dibawa pergi Ki Cucut Kalasekti, usianya masih muda, baru tigapuluhan tahun dan cantik jelita. Kini, walaupun masih ada sisa kecantikannya, ia adalah seorang nenek setengah tua hampir limapuluh tahun usianya.
Dan kedatangannva di dusun itu disambut oleh suatu peristiwa yang amat hebat, yang mengguncangkan perasaan wanita itu dan hampir saja menghilangkan nyawanya.
Seperti telah diceritakan, pasukan Singosari menyerbu ke Bali, dan pasukan itu dipimpin oleh tiga orang senopati, yaitu Senopati Nambi yang dibantu oleh Senopati Medang Dangdi dan Mahesa Wagal. Penyerbuan itu, tepat seperti telah diperhitungkan oleh Sang Prabu Kertanegara, berhasil dengan baik. Pasukan Bali ditundukkan, rajanya dibawa pulang ke Singosari sebagai tawanan, dan pasukan Singosari pulang dengan gembira membawa kemenangan. Ketika pasukan Singosari dalam perjalanan pulang inilah Medang Dangdi minta perkenan dari Senopati Nambi untuk singgah di dusun Paguh, desa tempat asalnya. Pernah dia menyuruh orang untuk memboyong puteri dan anak perempuannya, akan tetapi suruhan itu gagal mendapatkan isteri dan puterinya.
Menurut pesuruh itu, isteri dan puterinya tidak lagi tinggal di dusun Paguh dan tidak ada seorangpun penduduk dusun itu tahu ke mana perginya mereka Selama belasan tahun ini, sudah beberapa kali dia mengirim utusan dan selalu gagal. Oleh karena itu, setelah kini pasukan yeng dipimpinnya berhasil menundukkan Bali, dalam perjalanan pulang, Senopati Medang Dangdi berkesempatan untuk singgah di dusunnya dan mencari tahu sendiri tentang isteri dan puterinya.
Ketika dia memasuki dusunnya, banyak orang sudah lupa kepadanya. Dahulu, Ki Medang Dangdi hanya terkenal sebagai seorang laki-laki gagah, akan tetapi tetap saja dia seorang penghuni dusun yang sederhana. Kini, dia berpakaian senopati, seperti seorang bangsawan yang gagah perkasa, menunggang seekor kuda yang besar, diiringkan beberapa orang perajurit pula. Medang Dangdi langsung saja pergi menjenguk rumahnya dan benar saja, rumahnya sudah kosong bahkan sudah hampir ambruk karena tidak diurus. Dari situ dia lalu pergi ke rumah kepala dusun.
Melihat seorang senopati datang ke kelurahan, tentu saja kepala dusun menyambut tergopoh-gopoh dan dengan hormat sekali mempersilakan tamunya masuk. Akan tetapi, ketika Medang Dangdi memperkenalkan diri kepada lurah tua itu siapa dirinya, Pak Lurah ini tertegun sejenak, kemudian menjabat tangan Medang Dangdi dengan penuh. kegembiraan dan keharuan. Akan tetapi, ketika dia ditanya tentang isteri dan puteri senopati itu, wajah ki lurah menjadi keruh sekali. Semua penghuni tua di dusun itu tahu belaka bahwa isteri Medang Dangdi telah dilarikan oleh Ki Cucut Kalasekti. Akan tetapi siapakah orangnya berani menceritakan hal ini kepada para suruhan Medang Dangdi" Mereka takut sekaii kepada Ki Cucut Kalasekti yan,g jahat seperti iblis, maka mereka merasa lebih aman untuk mengatakan bahwa mereka tidak tahu ke mana perginya ibu dan anak itu. Kini, setelah Medang Dangdi sendiri muncul, tetap saja tak seorangpun akan berani menyebut nama Ki Cucut Kalasekti sebagai penculik Warsiyem, dan ketika ditanya oleh senopati itu, ki lurah menjadi bingung.
"Kakang lurah, mengapa kakang menjadi ragu-ragu" Katakanlah, apa yang telah terjadi dan ke mana perginya isteriku dan juga anakku" Kakang lurah tentu masih ingat bukan kepada isteriku yang bernama Warsiyem dan anakku yang bernama Wulansari" Di mana mereka?"
Ki lurah menarik napas panjang. Bagaimanapun juga, dia tidak berani menyebut nama Ki Cucut Kalasekti yang kabarnya sakti seperti iblis dan akan tahu belaka kalau namanya disebut-sebut dan dikhianati. Akan tetapi, karena kini Medang Dangdi sendiri yang hadir, bahkan telah menjadi senopati, diapun tidak mungkin berbohong mengatakan tidak tahu. Mustahil dia yang menjadi lurah di dusun itu tidak tahu apa yang telab terjadi dengan penghuni dusunnya. Maka dia menarik napas panjang sekali lagi untuk menenteramkan hatinya yang gelisah.
"Sesungguhnya, para penghuni tidak berani mengaku terus terang karena mereka merasa sungkan kepada kau. Sesungguhnya, semua orang juga mengetahui bahwa isteri kau......
telah....... telah pergi bersama seorang laki-laki asing yang tidak kami kenal"
"Apa........?"" Medang Dangdi terbelalak, mukanya berubah merah dan dia tidak mau percaya bahwa isterinya akan melakukan hal itu. Isterinya yang tercinta, yang mencintanya, isterinya yang setia.
"Maaf, Ki Senopati...... terpaksa saya berterus terang. Malam itu ia pergi bersama seorang pria, kami tidak mengenai siapa pria itu......"
"Dan Wulansari?" Medang Dangdi memotong"
*Isterimu menyuruh adiknya untuk membawa nini Wulansari ke barat, menyusul kau ke Singosari. Apakah ia belum tiba di sana?"
Medang Dangdi tidak menjawab, hanya menggeleng kepala, masih belum percaya akan peristiwa yang telah terjadi. Akan tetapi, yang menceritakan ini adalah ki Lurah dusun itu. Jadi ternyata isterinya telah menyeleweng tidak setia kepadanya. Akan tetapi Wulansari" Di mana ia" Kenapa kalau diajak nenyusul ke Singosari, tidak sampai ke sana"
"Siapakah laki-laki yang mengajak pergi isteriku?" akhirnya dia bertanya kepada lurah itu. Yang ditanya menunduk dan menggeleng kepala.
"Sudah kukatakan tadi, tidak ada seorangpun di antara kami mengetahui siapa dia, seorang asing yang tidak kami kenal......"
Tiba tiba seorang laki-laki berlari lari memasuki pekarangan ke uranan dan dari jauh
dia sudah berteriak, "Bapak Lurah..........?
"Bapak Lurah........., perempuan itu datang....... la sudah datang, bersama seorang pemuda...." orang itu terengah-engah karena tadi berlari-lari, seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun lebih dan ketika tiba di pendopo kelurahan, dia melihat Ki Lurah sedang duduk berhadapan dengan seorang bangsawan.
"Keluarlah, Pertiwi manis, aku sudah rindu sekali kepadamu" kata pemuda yang kedua
"Diajeng Pertiwi, malam dingin begini, mari kuhangatkan dirimu" kata pemuda ketiga, semakin berani saja kata kata mereka.
Pertiwi yang sudah maklum bahwa yang datang tentulah pemuda-pemuda yang beriktikad buruk, segera mengambil sedikit tanah pemberian Panembahan Sidik Danasura, meludahinya dan membedaki mukanya dengan tanah lumpur di telapak tangannya itu. Ia tidak tahu apa jadinya dengan dirinya, namun ia mempunyai kepercayaan sepenuhnya kepada kakek tua renta berambut putih berbaju putih itu, lalu ia membuka daun pintu pondoknya sambil bertanya.
"Mau apa sih kalian ini, datang dan tega menggangu ketenanganku?"
Daun pintu terbuka, Pertiwi muncul dan tiga orang pemuda itu terbelalak, mulut mereka ternganga, kemudian dengan muka pucat dan tubuh gemetar, mereka lalu melarikan diri cerai berai sambil berteriak teriak ketakutan. dan tubuh gemetar, mereka lalu melarikan diri cerai berai sambil berteriak teriak. ketakutan.
Tentu saja Pertiwi merasa heran sekali. Ia lalu pergi ke dalam pondok kembali, merenungkan apa yang terjadi dan merasa berterima kasih sekali kepada Panembahan Sidik Danasura. Ia tidak tahu bahwa bedak lumpur yang sedikit iiu telah membuat ia kelihatan menyeramkan dan menakutkan sekali bagi tiga orang pemuda yang hendak mengganggunya tadi. Belum pernah selama hidup mereka, tiga orang itu pernah melihat wajah yang lebih menakutkan dari pada wajah Pertiwi ketika keluar dari dalam pondok. Inilah "senjata" Pertiwi, pemberian dan Panembahan Sidik Danasura yang menjamin keselamatan dan ketenangannya, karena dengan senjata ampuh itu, tak seorangpun pria akan berani atau mau mengganggunya. Siapakah orangnya yang mau mendekati seorang wanita yang wajahnya bukan hanya buruk, melainkan juga menakutkan seperti wajah setan dan iblis dalam dongeng"
Beberapa bulan kemudian, ketika pada suatu hari Pertiwi sedang panen jagung tanamannya, muncullah seorang gadis cantik di ladangnya. Pertiwi tidak melihatnya karena ia sedang asik memetik jagung-jagung yang sudah tua. Ayahnya tentu akan datang sore nanti untuk mengambil dan memikul hasil panennya itu. Ia tidak tahu betapa gadis berpakaian serba hijau dan berwajah cantik itu sejak tadi berdiri tak jauh darinya dan mengamati gerak geriknya dengan pandang mata heran. Agaknya, pandang mata gadis berpakaian hijau itu memiliki daya tarik, karena Pertiwi menengok ke belakang dan ia terkejut Imelihat seorang gadis berdiri di situ, seorang gadis asing dan ia yakin gadis itu bukanlah penghuni dusun Sintren.
"Engkaukah yang bernama Pertiwi ?"
Pertiwi semakin heran. Gadis cantik itu memiliki suara yang nyaring, akan tetapi logat bicaranya sungguh aneh dan asing sekali walaupun ia masih mampu menangkap artinya. Ia mengangguk heran.
"Benar, namaku Pertiwi. Kau siapakah dan ada keperluan apakah ?"
Gadis berpakaian hijau itu melangkah maju menghampiri. Pertiwi juga melepaskan jagung yang sedang dipegangnya dan melangkah maju. Kini mereka berdiri berhadapan, dalam jarak dua meter. Dua orang gadis yang sama sama memiliki bentuk tubuh yang bagaikan bunga sedang mekar, dan keduanya sama manis, keduanya sederhana pula. Hanya bedanya Pertiwi berkulit hitam, hitam manis, dan gadis itu berkulit kuning mulus.
"Namaku Wulansari" kata gadis itu sambil menatap tajam wajah Pertiwi seolah-olah hendak melihat apa reaksi gadis dusun Sintren itu mendengar namanya. Akan tetapi Pertiwi belum pernah mendengar nama ini, maka tentu saja tidak ada reaksi apapun kecuali terheran.
"Maaf, agaknya saya belum pernah mengenal kau. Ada keperluan apakah kau mencari saya ?"
Wulansari tersenyum dan Pertiwi harus mengakui betapa cantik jelita dan manisnya gadis itu kalau tersenyum, walaupun pandang matanya yang mencorong itu mendatangkan rasa was-was. Ada lesung pipit di pipi kiri, menjadi imbangan yang manis sekali dari tahi lalat kecil di pipi kanan.
"Pertiwi, aku datang mencarimu, dan keperluannya adalah untuk membunuhmu"
Kini Wulansari yang memandang heran dan bingung. Gadis dusun bernama Pertiwi ini, tunangan dan calon isteri Nurseta, sama sekali tidak bergeming mendengar ancamannya. ancaman hendak membunuh. Wajah yang hitam manis itu sama sekali tidak menjadi pucat, mata yang lebar jeli itu tidak terkejut, bahkan mulut yang manis itu masih tersenyum, seolah-olah berita yang didengarnya adalah berita biasa saja, seperti berita musim panen jagung telah tiba. Memang tidak mengherankan kalau sedikitpun Pertiwi tidak merasa takut. Kematian bagi Pertiwi sama sekali tidak menakutkan atau mengejutkan, bahkan kalau kematian yang wajar datang menjemputnya, bukan bunuh diri, ia akan menyambut dengan penuh kerelaan. Karena itu, ancaman orang untuk membunuhnya sama saja dengan penawaran untuk membebaskannya dari derita batin. Hanya ia menyayangkan kalau seorang gadis cantik seperti Wulansari ini akan menjadi seorang pembunuh tanpa sebab tertentu. Akan tetapi, pasti ada sebabnya maka gadis cantik ini datang hendak membunuhnya, dan ia harus mengetahui dulu apa alasannya itu.
"Kalau engkau benar-benar hendak membunuhku, Wulansari, aku akan berterima kasih sekali. Akan tetapi, sebelum engkau melakukannya, kiranya aku berbak untuk mengetahui apa sebabnya engkau hendak membunuh aku"
Biarpun masih merasa heran melihat ketenangan gadis dusun itu. Wulansari yang masih merasa "sakit hati" ingin menyakiti hati saingannya ini lebih dahulu sebelum membunuhnya, maka iapun menjawab dengan ucapan yang ketus, "Aku hendak membunuhmu karena engkau telah merampas kekasihku"
Pertiwi mengerutkan alisnya, menduga-duga apakah gadis ini kekasih pria bernama Gagak Wulung itu. Pantasnya demikian, mengingat bahwa Gagak Wulung adalah seorang penjahat dan melihat sikap gadis ini, pantas kalau menjadi seorang wanita jahat yang kejam.
"Wulansari, engkau salah duga, Aku tidak merampas kekasihmu Gagak Wulung itu, melainkan dialah yang telah menodai aku dengan kekuatan sihir dan ilmu hitamnya"
"Ngawur" Wulansari membentak. "Siapa kekasih Gagak Wulung" Jangan lancang mulut kau. Pria yang kucinta dan yang mencintaku di dunia ini hanya ada seorang saja, yaitu Nurseta"
Kini Pertiwi nampak terkejut, matanya yang lebar jeli dan indah itu menatap wajah Wulansari, seolah-olah tidak percaya. "Apa..... Kakangmas Nurseta" Jadi kau inikah gadis yang dicintanya itu" Sungguh sukar dipercaya, bagaimana mungkin kakangmas Nurseta yang demikian luhur budi, lemah lembut dan bijaksana dapat mencinta seorang gadis yang liar dan kejam seperti kau ini?"
Wajah Wulansari berubah merah. "Tutup mulutmu dan jangan memaki orang. Aku datang untuk membunuhmu karena engkau yang dipilih Nurseta menjadi calon isterinya, padahal, dia mencinta aku seorang" Wulansari lalu mencabut kerisnya, sebatang keris kecil melengkung terbuat dari emas atau setidaknya dilapis emas.
Kembali Pertiwi sama sekali tidak memperlihatkan sikap gentar, bahkan ia tenang saja ketika memandang keris itu, lalu menarik napas panjang dan membusungkan dadanya.
"Wulansari, kalau engkau hendak membunuhku. Bunuhlah, aku tidak akan lari atau melawan. Memang sudah lama aku rindu akan kematian yang wajar. Tiada gunanya lagi aku hidup di dunia ini, hanya mendatangkan aib dan duka saja kepada diri sendiri dan keluargaku, juga orang lain Bunuhlah"
Menghadapi gadis yang menyerahkan dadanya untuk ditusuk itu, Wulansari menjadi ragu. Teringat ia akan nama Gagak Wulung yang disinggung oleh Pertiwi tadi. Ia pernah mendengar dari eyangnya tentang nama orang orang di kalangan sesat, dan nama Gagak Wulung pernah disinggung eyangnya sebagai seorang penjahat penganggu dan pemerkosa wanita.
"Pertiwi, agaknya engkau telah menjadi korban Gagak Wulung?"
Pertiwi mengangguk. "Banar, aku telah ternoda dan aku bukan perawan lagi, maka tidak pantas aku menjadi isteri kakangmas Nurseta. Selain itu, kakangmas Nurseta yang amat kucinta dan kupuja itu ternyata secara terus terang mengatakan kepadaku bahwa dia tidak cinta kepadaku, melainkan mencinta seorang gadis lain yang kiranya kau orangnya. Nah, Wulansari, tusukkan kerismu itu, bunuhlah aku dan aku tidak akan mendendam kepadamu. bahkan berterima kasih. Semoga kau hidup berbahagia di samping kakangmas Nurseta sebagai isterinya yang tercinta"
Keharuan menyusup ke dalam hati Wulansari. Bagaimanapun juga, gadis ini sebenarnya memiliki dasar watak yang halus dan baik, hanya setelah dididik oleh Ki Cucut Kalasekti maka watak itu tertutup oleh perangai yang ganas dan aneh bahkan sadis. Kini, kekerasan hatinya tidak memperkenankan keharuan menyelinap di hatinya, segera ditutupnya dengan sikap yang sadis. Ia tertawa dan memperlihatkan wajah gembira.
"Bagus, bagus sekali" katanya gembira. "Kalau begitu, engkau menderita batin yang amat hebat. Aku senang sekali, aku puas sekali dan enak engkau kalau sekarang kubunuh, berarti engkau terbebas dari derita batin. Ah, aku tidak akan membunuhmu, biar engkau menderita selama hidupmu. Dan untuk menambab derita batinmu, ketahuilah engkau, wahai Pertiwi, bahwa orang yang kauanggap calon suamimu itu ialah Nurseta, sekarang telah mati. Telah mati, dengarkah kau" Telah mati...."
Tiba tiba Wulansari meloncat jauh dan cepat lari meninggalkan Pertiwi sambil terisak menangis karena ia tidak ingin Pertiwi melihat tangisnya, Namun, Pertiwi masih mendengar isak itu dan setelah Wulansari tidak nampak lagi, Pertiwi menarik napas panjang lalu termenung dengan wajah pucat sekali. Ketika ia diancam maut, ia menghadapi itu dengan tenang. Akan tetapi mendengar bahwa Nurseta telah mati, seketika ia menjadi pucat, tubuhnya panas dingin, kaki tangannya gemetar dan ia hampir jatuh pingsan ketika meninggalkan ladang, tidak perduli lagi akan jagungnya dan tak lama kemudian ia telah rebah di atas dipan bambu dalam pondoknya sambil menangis dan mengeluh lirih, memanggil manggil nama Nurseta.
*** Setiap orane manusia, disadari maupun tidak, selalu mendimbakan dan haus akan kekuasaan Baik itu kekuasaan seorang ayah terhadap anaknya, seorang suami terhadap isterinya atau sebaliknya, seorang atasan terhadap bawahannya, seorang guru terhadap muridnya, seorang kaya terhadap si miskin, orang kuat terhadap yang lemah dan selanjutnya. Seorang yang memiliki kekuasaan atas orang lain akan merasa aman, merasa terhormat, merasa lebih dan merasa diri besar. Akan tetapi, seperti juga segala kesenangan yang dikejarkejar manusia, kekuasaan akan sesuatu bukan merupakan tujuan terakhir. Haus akan kekuasaan ini selalu melar, selalu mengembang, tanpa batas dan seperti dengan nafsu mengejar apapun juga, makin terdapat makin baus dan ingin yang lebih dari apa yang telah didapatnya.
Demikian pula dengan yang dirasakan Sang Prabu Kertanegara. Dia makin haus akan kekuasaan, tidak merasa puas dengan keadaan kerajaannya, ingin meluaskan kekuasaannya sampai tanpa batas. Biarpun banyak pamong praja yang setia memperingatkan, dia tidafa memperdulikan semua itu dan pasukan besar dikerahkan sembilan tahun yang lalu untuk menuju ke negeri Malayu. Peristiwa ini tentu saja merupakan pelaksanaan dari keinginannya untuk memperluas, kekuasaan. Apa lagi setelah dia mendengar tentang hasil baik para senopatinya menindas kerusuhan atau pemberontakan yang diadakan Mahesa Rangkah, Sang Prabu Kertanegara merasa bahwa kedudukannya amat kuat. Biarpun lebih dari separuh pasukannya berada di Malayu dan belum kembali dia merasa bahwa pasukannya amat kuat. Hal ini mendorongnya untuk mengincar daerah di seberang lautan di timur, yailu Pulau Bali.
Sang Prabu Kertanegara lalu mengadakan sidang. Semua senopatinya yang utama nadir, diantaranya adalah Nambi, Banyak Kapub, Medang Dangdi, Lembu Sora, Gajah Pangon. Mahesa Wagal, Ronggo Lawe putera Wiraraja yang kini menjadi adipati di Madura, KeboKapetengan, Wirota Wiragati, Pamandana dan lain lam. Tentu saja Riden Wijaya sebagai keponakan dan juga mantu Sang Prabu, juga hadir. Selain para senopati, tentu saja Patih Mahesa Anengah dan pembantunya, Panji Angragani sudah lebih dahulu menghadap raja.
Kepada para senopati yang dipanggil menghadap, Sang Prabu Kertanagara lalu menyatakan niatnya untuk mengirim pasukan menyerbu dan menalukkan Pulau Bali. Raja ini menyatakan bahwa niatnya itu telah didukung sepenuhnya oleh Patih Mahesa Anengah dan Panji Angragani, dan dia minta kepada para senopati untuk mengemukakan pendapat mereka mengenai rencana penyerbuan ke Bali ini. Mendengar ini, para senopati saling pandang. Di dalam hati mereka, terkejut juga mendengar rencana ini. Pasukan besar mereka masih belum kembali dari Melayu, sedangkan bam saja mereka membasmi pemberontakan Mahesa Rangkah. Bagi mereka, yang terpenting adalah menjaga keamanan dalam negeri, bukan menyerang ke luar daerah. Belum tepat saatnya untuk meluaskan wilayah selagi pasukan terpecah seperti itu. Kalau sisa pasukan dikerahkan untuk menyerang Bali, lalu siapa yang akan menjaga keamanan di dalam negeri" Akan tetapi, sebagai senopati, tentu saja mereka tidak berani menolak perintah raja, dan hanya saling pandang.
Akhirnya, Wirota Wiragati yang merupakan seorang senopati yang sudah setengah tua, memberanikan diri berkata, mewakili teman-temannya. "Gusti, bamba semua telah siap untuk melaksanakan perintah paduka. Sewaktu-waktu hamba semua siap ditunjuk sebagai senopati yang memimpin pasukan menyerbu ke Pulau Bali. Hanya saja, kalau boleh hanba berianya, apakah gerangan yang mendorong niat paduka untuk menyerbu dan menalukkan Pulau Bali " Selama ini Pulau Bali tidak pernah melakukan suatu gangguan kepada kita, dan tentu ada maksud yang penting sehingga paduka mempunyai niat menalukkan Bali, mengirim pasukan ke sana meninggalkan Kerajaan. Singosari yang menjadi kosong dan lemah kalau pasukan dikerahkan ke sana"
Sang Prabu Kertanegara mengerutkan alisnya, lalu berkata, "Tentu saja niat kami itu telah kami pikirkan dan kami rundingkan masak-masak dengan Ki Patih Mahesa Anengah dan Panji Anggragani. Kalau kau ingin mengetahui alasannya, biarlah Ki Patih Mahesa Anengah yang akan menjelaskan"
Patih Mahesa Anengah kini memandang kepada Senopati Wirota Wirogati, Iaiu berkata lantang, "Kakang Senopati Wirota Wiragati sungguh saya merasa heran sekali mengapa seorang senopati kawakan seperti kau, masih hendak bertanya lagi akan alasan perintah Sribaginda, seolah-olah meragukan kebijaksanaan yang diambil oleh beliau"
Mendengar ucapan yang seolah-olah menegurnya itu, Wirota Wiragati mengerutkan alisnya. Dia dan kawan kawannya tahu belaka bahwa patih yang baru diangkat menggantikan patih tua Empu Pagananta ini adalah seorang yang selalu menjilat jilat untuk memancing perhatian Sribaginda.
"Gusti Patih" katanya, tegas namun juga dengan sikap hormat "Sama sekali kami tidak meragukan kebijaksanaan Sribaginda, melainkan kami merasa tidak mengerti akan kebijaksanaan yang diambil beliau ini, mengingat bahwa kalau pasukan dikerahkan ke timur, tentu keadaar dalam negeri menjadi kosong dari penjagaan dan agak lemah. Tentu ada alasan yang amat kuat dengan pengiriman pasukan ini, maka inilakyang kami ingin ketahui. Kecuali kalau alasan ini dirahasiakan dari para senopati, tentu saja kami tidak berani banyak bertanya"
Mendengar ucapan yang tegas ini, Patih Mahesa Anengah merasa tersudut dan diapun tersenyum lebar. "Sama sekali tidak dirahasiakan, hanya kami merasa heran mengapa para senopati tidak dapat melihat alasannya Baiklah, akan saya jelaskan. Masih dalam rangkaian mengirim pasukan ke Melayu maka sekarang Sribaginda hendak menalukkan Bali. Semua itu dilakukan dengan satu tujuan, yaitu memperkuat kerajaan dan mengadakan hubungan baik dengan negara-negara di sekeliling Pulau Jawa. Semua orang tahu betapa kini Negara Tartar di utara memperbesar kekuasaan mereka dengan penyerbuan ke selatan dan bukan rahasia lagi kalau negara itupun mengincar tanah air kita yang subur. Untuk menahan mereka, tidak ada jalan lain kecuali memperkuat diri dan juga mempererat hubungan dengan negara-negara tetangga. Kalau Malayu sudah menjadi sekutu kita, juga Pulau Bali, Kalimantan dan sekitar Pulau Jawa sudah tunduk kepada kita, maka kita seolah olah dikurung benteng yang merupakan perisai untuk menahan gelombang serangan pasukan Tartar. Bukankah ini merupakan siasat yang baik sekali dari Sribaginda ?"
Kini Senopati Ronggolawe yang berkata, "Memang merupakan siasat yang amat bijaksana. Akan tetapi kami semua mengkhawatiran keadaan keamanan Kerajaan Singosari kalau pasukan dikerahkan ke Bali. Bagaimaina kalau sampai terjadi pemberontakan?"
Kembali Patih Mahesa Anengah yang menjawab, "Adi Senopati Ronggolawe yang gagah perkasa. Mengapa kita harus menakuti bayangan yang kosong " Ingat, ketika Sang Prabu mengirim pasukan ke Pamalayu, banyak senopati yang khawatirkan akan terjadi sesuatu di sini. Buktinya, tidak ada apa-apa kecuali pemberontakan Mahesa Ringkah yang tidak ada artinya. Siapa yana akan berani memberotak terhadap Singosari" Sang Prabu telah memperlihatkan sikap yang adil dan bijaksana sehingga para adipati merasa puas dan setia. Pula, yang dikirim hanya sebagian pasiukan saja untuk menundukkan Raja Bali yang tidak berapa kuat. Sisanya tetap berjaga di sini dan sudah lebih dari cukup dan kuat untuk memadamkan setiap api pemberontakan kecil seperti yang dilakukan Mahesa Rangkah beberapa tahun yang lalu"
Sang Prabu Kertanagara mengangguk-annguk, puas dan girang mendengar alasan yang dikemukakan patihnya. Dia lalu memerintahkan agar para senopati siap siap, lalu meunjuk Raden Wijaya untuk mengatur persiapan itu dan menentukan siapa diantara para senopati yang akan memimpin pasukan untuk menyerbu ke Bali. Pertemuan lalu dibubarkan dan Raden Wjaya mengadakan perundingan dengan para senopati. Lalu diambil keputusan untuk menyerahkan pimpinan pasukan yang hendak menyerbu ke Bali itu kepada Senopati Nambi, dibantu oleh Senopati Medang Dangdi dan Mahesa Wagal sebagai pimpinan, dan beberapa orang senopati din perwira menengah. Maka berangkatlah pasukan itu meninggaikan Singosari menuju ke Bali. Penyerbuan ini terjadi pada tahun 1284.
Sang Prabu Kertanagara boleh jadi bercita-cita besar memperbesar kekuasaan dan hendak memperkuat kedudukan untuk menghadapi ancaman dari utara, yaitu Negara Cina yang pada waktu itu dikuasai oleh Bangsa Tartar atau Morgol, akan tetapi dia bukanlah seorang yang berkepala besar, bukan hanya mengandalkan kesombongan saja untuk melakukan penyerbuan ke mana-mana. Dia penuh perhitungan, maklum akan kehebatan para senopatinya, dan yakin akan ketanggoan pasukannya yang setia. Bukan hanya itu, juga sebelumnya telah banyak mata-mata dan penyelidik disebar dan dikirimkan ke Pulau Bali untuk melakukan penyelidikan sampai dimana kekuatan pasukan kerajaan yang akan digempurnya itu. Maka, hasil penyerbuan ke Bali itupun amat cemerlang, seperti yang telah diperhitungkan dengan masak masak. Pasukan Bali dapat dikalahkan, dan raja Bali ditawan, dibawa ke Singosari. Pada waktu pasukan Singosari berhasil mengalahkan pasukan Bali itulah, maka terjadi hal lain yang hebat di tebing yang curam dari pantai Laut Selatan.
Seperti kita ketahui, Nurseta terjebak di dalam goa di tebing itu akibat terjatuhnya dari atas tebing ketika dia terkena senjata rahasia Sisik Nogo oleh kakek Cucut Kalasekti. Di dalam goa dia bertemu dengan seorang wanita setengah tua bernama Warsiyem yang ternyata adalah ibu kandung Wulansari. Pemuda itu terpaksa uinggal di dalam goa selama empat tahun lebih karena memang tidak terdapat jalan keluar dari dalam goa itu.
Selama empat tahun lebih, dia tekun bersamadhi dan memperdalam ilmu-ilmunya, bahkan berhasil pula mengusai ilmu Bambu Runcing, yaitu permainan pencak silat dengan bambu yang diruncingkan ujungnya seperti tombak, ilmu yang diciptakan oleh Warsiyem selama bertahun tahun tinggal di dalam goa seorang diri sebelum Nurseta tiba di goa itu.
Dengan adanya Nurseta yang dianggap sebagai anak mantunya, dan mendengarkan keterangan pemuda itu mengenai kebatinan, Warsiyem dapat sembuh pula dari guncangan batin yang membuatnya seperti orang setengah gila. Mereka tekun berlatih dan Nurseta berhasil menghimpun tenaga sakti yang jauh lebih kuat dari pada sebelum dia terpaksa tinggal di dalam goa itu. Biarpun dia dan Warsiyem tidak pernah mau diganggu harapan dan keinginan untuk dapat segera terbebas dari situ, namun mereka tidak pernah mau menghentikan usaha mereka untuk mencari jalan keluar. Dengan kepandaiannya, Nurseta sudah mencoba untuk mencari jalan keluar. Merayap ke atas sungguh tidak mungkin. Hanya manusia yang bersayap seperti burung saja yang akan dapat terbang ke atas. Merayap sejauh itu merupakan pertaruhan yang tidak seimbang. Kemungkinan untuk berhasil merayap naik sampai ke puncak tebing hanya sedikit sekali, jauh lebih besar kemungkinan terpeleset dan terjatuh untuk hancur lebur di bawah sana. Merayap ke bawah lebih mungkin dilakukan, karena dari goa ke air laut di bawah sana hanya setinggi pohon kelapa. Bahkan sudah bcberapa kali dia mencoba merayap ke bawah dan berhasil mencapai dasar, Akan tetapi, tepat seperti pernah dikatakan oleh Warsiyem, di bawah sanapun merupakan jalan mati. Air laut bergelombang dahsyat, dan di waktu air surutpun, tidak mungkin turun ke air. Tempat itu penuh batu karang yang tajam dan runcing, dan bagaimana mungkin seorang biasa turun ke air laut dan berenang mencari tepian yang dapat dipakai mendarat" Kepandaiannya berenang terbatas sekali. Kalau saja dia memiliki ilmu renang seperti Cucut Kalssekti, atau Wulansari, mungkin saja berani dia turun ke air laut di waktu surut.
Juga Warsiyem pernah diajaknya merayap turun, dan wanita inipun melihat betapa tidak mungkinnya untuk turun ke air laut yang mungkin mengandung banyak ikan hiu itu.
Demikianlah, mereka berdua selalu mencari kesempatan untuk dapat keluar dari tempat itu. Akan tetapi mereka tidak mau tenggelam dalam harapan, karena maklum bahwa makin besar harapan dan makin besar keinginan untuk keluar dari situ, akan semakin parah pula kekecewaan dan kedukaan kalau eing nan itu tidak terlaksana.
Dan pada suatu hari, tanpa mereka sangka-sangka, datanglah kesempatan itu. Pagi itu, Nurseta dan Warsiyem seaang duduk di ruangan sebelah dalam di mana terdapat bagian terbuka, melakukan samadhi karena mereka berdua dapat menghirup hawa segar dan menikmati sinar matahari pagi yang mulai masak menyerong ke dalam goa itu. Mereka sudah mandi pagi dan keduanya nampak segar dan sehat. Kini Warsiyem sudah jauh berbeda dibandingkan empat tahun yang lalu. Biarpun usianya sudah mendekati limapuluh tahun. Wajahnya nampak cantik manis, dengan kulit yang bersih dan belum berkerut. Rambutnya juga bersih dan ada sedikit uban menghias diatas telinga, nampak karena rambut itu digelung ke atas secara sederhana. Pikaiannya memang penuh tambalan, namun bersih karena setiap hari ia berganti pakaian.
Nurseta juga mengalami perubahan. Dia bukan seorang pemuda yang mentah lagi, melainkan seorang pemuda yang mulai matang, sudah dewasa benar dengan usianya yang duapuluh lima tahun. Kumisnya berbentuk indah, godegnya menebal dan ada sedikit jenggot di dagunya. Sinar matanya kini mencorong dan penuh wibawa. Di pinggangnya terselip sebatang keris yang bergagang indah. Itulah keris Hat Nogo, hadiah dari Riden Wijaya setelah pemberontakan Mihesa Rangkah, empat tahun yang lalu, dihancurkan.
Keduanya tekun bersamadhi dan di dinding goa itu terdapat dua batang tombak Bambu Runcing yang mereka sering pergunakan untuk berlatih ilmu Bambu Runcing. Warsiyem kini juga memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu bela diri karena bimbingan Nurseta yang dianggap anak mantu atau anaknya sendiri. Juga di atas tanah di bagian yang terbuka itu kini bertambah beberapa macam pohon buah yang terjadi karena ada bibit pohon yang terbawa oleh burung dan terjatuh ke tempat itu.
Tiba-tiba terdengar suara yang mengandung gema panjang. "Yeeemmm........ Siyeeem
......... Warsiyem........ Manisku, aku datang mengunjungimu, hahahaha"
Dua orang yang sedang bersila dengan anteng itu tersentak kaget. Wajah Warsiyem berubah pucat dan ia berbisik. "Itu dia........ Si keparat Cucut Kalasekti. Akan kubunuh dia" Wanita itu sudah meloncat dan menyambar sebatang tombak bambu runcingnya.
Akan tetapi Nurseta juga meloncat dan sudah menangkap lengan wanita itu.
"Kanjeng bibi" bisiknya. "Jangan tergesa-gesa. Ingat betapa saktinya dia. Bibi bukanlah lawannya, biar saya yang menghadapinya. Kalau perlu nanti, kanjeng bibi boleh membantu"
Mendengar ucapan ini, Warsiyem mengangguk, maklum bahwa ucapan pemuda itu memang tepat. Biarpun ia sudah memperoleh kemajuan, namun agaknya masih jauh untuk dapat mengimbangi kesaktian Cucut Kalasekti. Kalau ia tergesa-gesa menyerang dengan sembrono, lalu ia gagal bahkan ia yang terluka, hal itu berarti sia-sia belaka.
Nurseta sudah mempersiapkan diri, mengikat rambutnya dan ujung kainnya, mempersiapkan keris di pinggang, lalu menyambar sebatang bambu Runcing ryang biasa dia pakai berlatih. Kemudian, diapun berindap indap keluar, diikuti dari belakang oleh Warsiyem yang juga sudah memegang bambu Runcing dan siap untuk menyerang.
"Siyem, Warsiyem.......... Hahaha, masih hidupkah engkau" Sudah lima tahun aku tidak datang berkunjung, bagaimana sekarang" Apakah engkau masih tetap cantik manis, dan apakah engkau kini tidak akan menyambutku dengan senyumanmu" Ha ha ha" Suara Cucut Kalasekli makin dekat dan ketika Nurseta tiba di dalam goa, tiba tiba saja sosok bayangan Cucut Kalasekti muncul dari depan goa. Kakek itu, seingat Nurseta, masih sama seperti dulu, empat tahun yang lalu ketika menyerangnya di atas tebing. Mukanya masih membiru seperti muka ikan dengan mulut yang Runcing seperti moncong ikan, jubahnya kuning dengan baju dalam seperti sisik ikan. Akan tetapi kini jubah itu berbeda, biarpun warnanja masih kuning akan tetapi terbuat dari kain yang mewah, juga kedua lengannya terhias emas permata. Kakek ini sekarang berpakaian mewah seperti seorang bangsawan.
Karena sepasang mita kakek itu mencari Warsiyem, agaknya dia tidak perduli atau tidak melihat Nurseta. Melihat Warsiyem berdiri di sudut, dia terbelalak dan tertawa lagi.
"Hahaha, engkau makin tua makin cantik saja. Ah marilah manis. Aku datang untuk menjemputmu, mengajakmu hidup mulia di atas sana. Tahukah engkau bahwa aku sekarang telah menjadi seorang adipati. Ha ha ha, inilah Sang Adipati Satyanegara, adipati di Bendowinangun"
"Keparat jahanam. Manusia busuk kau, Cucut Kalasekti. Lebih baik mati saja bagiku dari pada ikut bersamamu" kata Warsiyem sambil mempersiapkan bambu runcingnya.
Tiba tiba saja kakek itu menjadi marah. "Hemm, manusia tak tahu diri. Aku datang dengan hati menyayang, dengan maksud baik, akan tetapi engkau memaki aku. Aku, seorang adipati, disembah sembah orang sekadipaten, dan engkau ini perempuan hina berani memaki aku " Engkau cepat berlutut menyembah, ikut dengan sukarela bersamaku, atau kubunuh sekarang juga"
"Manusia iblis. Sampai matipun aku tidak sudi tunduk kepadamu, sejak dahulu, sekarang mau pun kapan saja"
"Bedebah" Cucut Kalasekti marah sekali dan dia melepas dua buah sisik dari baju dalamnya. "Kalau begitu mampuslah kau" Tangan kirinya bergerak dan dua sinar meluncur ke arah wanita itu. Akan tetapi, Nurseta sudah menggerakkan bambu runcingnya ke arah sinar sinar yang meluncur itu.
"Tringgg. Tranggg........" Dua sinar itu terpukul dan membalik, yang sebuah runtuh ke
atas tanah, yang sebuah lagi menyambar ke arah pemiliknya.
"Ehhh........?" Cucut Kalasekti terkejut dan cepat mengelak sehingga sisik yang ke dua itu meluncur keluar goa dan lenyap. Kini barulah Cucut Kalasekti menoleh dan memandang penuh perhatian kepada Nurseta, dan dia terbelalak.
"Siapakah kau" Warsiyem, engkau telah menyembunyikan seorang laki-laki, ya " Jahanam, setelah kutinggal beberapa tahun saja, engkau telah mendapatkan gantinya, seorang gendak, seorang kekasih muda, ya" Dasar perempuan tak tahu malu, tidak setia dan menyeleweng"
Nurseta menggeleng geleng kepalanya. Kakek itu sungguh tak tahu diri. Dia melarikan Warsiyem, memaksa dan memperkosanya, membiarkan wanita itu bertahun-tahun lamanya berada di neraka itu, dan kini masih menuduhnya tidak setia dan menyeleweng. Sungguh sukar diikuti jalan pikiran seorang datuk sesat seperti Cucut Kalasekti itu. Dan agaknya kakek itu lupa kepadanya.
"Ki Cucut Kalasekti, jangan menyangka yang bukan bukan. Karena pikiranmu isinya kotor, maka kau menyangka yang kotor-kotor saja. Lihatlah baik-baik siapakah aku ?"
Melihat sikap tenang pemuda itu, dan suaranya yang lembut berwibawa, Ki Cucut Kalasekti mengamati wajah yang tampan gagah itu "Hemm. kau tidak kukenal. Orang muda, siapakah kau, dan kalau kau bukan gendak Warsiyem, bagaimana kau dapat berada di tempat ini?"
Akhirnya dia bertanya menekan kemarahannya karena dia kini ingin sekali tahu bagaimana ada seorang pemuda dapat berada di tempar iiu, padahal menurut keyakinannya, tak mungkin ada orang lain mampu datang ke goa itu.
"Ki Cucut Kalasekti, sudah dua kali selama hidup kita saling bertemu. Pertama kali di tepi Laut Selatan, sembilan tahun yang lalu ketika kau menculik diajeng Wulansari. Kedua kalinya, empat lima tahun yang lalu di puncak tebing ini, ketika kau menjatuhkan aku dengan senjata rahasia Sisik Nogo"
Tiba tiba kakek itu mengeluarkan suara erengan seperti seekor srigala kelaparan. "Aaaughhh, kiranya engkau, si bedebah. Jadi engkau belum mampus dan dapat berada di sini, ketika terjatuh dari atas tebing itu ?"
Nurseta tersenyum "Tuhan Maha Kuasa, Ki Cucut, dan kalau Tuhan belum menghendaki, biar ada seribu orang seperti tidak akan dapat membunuhku"
"Siapa bilang. Sekarang juga aku akan membunuhmu, kemudian membunuh perempuan tak tabu diri itu" Tiba tiba kakek itu mengeluarkan suara mendesis seperti ular-ular yang banyak sekali tiba-tiba datang menyerang. Suaara mendesis itu hebat sekali, dapat membuat tubuh lawan terasa kaku dan lumpuh. Warsiyem mengeluh karena Tiba-tiba saja tubuhnya terasa kaku dan kaki tangannya tidak dapat digerakkan. Ia teringat akan cara menghimpun tenaga sakti seperti yang dilatihnya atas petunjuk Nurseta, maka cepat ia mengatur pernapasan dan memusatkan perhatian, menghimpun kekuatan yang disalurkan ke arah kaki tangannya dan iapun merasa betapa pengaruh suara mendesis itu segera lenyap.
Nurseta sendiri pada waktu itu telah memiliki tingkat yang tinggi sehingga suara mendesis ini hanya sempat mengejutkannya saja, akan tetapi dapat dilawannya dengan pengerahan tenaga sakti, sehingga dia tidak terpengaruh sama sekali. Karena itu, maka ketika Cucut Kalasekti menerjangnya dengan pukuulan Aji Gelap Sewu, dia dapat mengelak dengan mudah.
Ki Cucut Kalasekti kaget, heran dan penasaran bukan main. Aji kesaktiannya melalui suara mendesis itu bukan hanya tidak dapat mempengaruhi pemuda ini sama sekali, bahkan nampaknya Warsiyem juga mampu menolaknya.
Kalau saja aji itu mempengaruhi Nurseta sedikit saja, disusul pukulannya Gelap Sewu tentu pemuda itu takkan mampu mengelak dan sekali pukul saja sudah roboh binasa. Dengan marah dan penasaran, diapun menyusulkan pukulan demi pukulan yang amat ampuh.
Nurseta maklum akan kesaktian lawan, maka diapun tidak membiarkan dirinya diserang terus menerus tanpa melawan. Dia memutar tombak Bambu Runcing ke bawah lengan kanan, dan mengangkat tangan kirinya ke atas untuk menangkis sebuah pukulan sambil mengerahkan tenaga saktinya.
"Dukkk" Dua tenaga raksasa yang dahsyat bertemu melalui dua buah lengan itu dan agaknya seluruh goa ikut tergetar. Akibatnya, tubuh kedua orang itu terguncang hebat dan mereka melangkah mundur dua langkah kebelakang. Makin terkejut rasa hati Ki Cucut Kalasekti. Bocah ini memiliki tenaga sakti yang hebat, yang dapat mengimbangi tenaganya sendiri. Tanpa membuang waktu lagi, dia lalu menerjang lagi, melompat ke depan dan kini kaki tangannya menyerang bagaikan gelombang lautan yang sedang mengamuk. Itulah ilmu pukulan yang disebut Aji Segoro Umub, demikian dahsyatnya dan bertubi-tubi, sementara mulutnya mengeluarkan suara mendesis seolah-olah lautan mendidib sedang menyerang lawan.
"Dukkk" Dua tenaga raksasa yang dahsyat bertemu melalui dua buah lengan itu dan agaknya seluruh goa ikut bergetar. Akibatnya, tubuh kedua orang itu terguncang hebat dan mereka melangkah mundur dua langkah ke belakang.
Nurseta melihat hebatnya serangan ini, cepat diapun menggerakkan tombak bambu Runcing di tangannya. Dia selama empat tahun ini setiap hari melatih ilmu mempermainkan bambu Runcing itu, dan telah memiliki kemahiran dan menguasai ilmu itu sepenuhnya. Karena bambu itu ringan dan mengandung keuletan dan kekuatan tertentu yang tidak terdapat pada logam, memiliki kelenturan bahkan ketajaman yang hidup, ditambah lagi digerakkan dengan tenaga sakti yang kini sudah mencapai tingkat tinggi, maka bambu Runcing itu merupakan senjata yang amat ampuh dan begitu bambu digerakkan, lenyaplah bentuk bambu itu dan yang nampak hanya gulungan sinar kehijauan yang mengeluarkan bunyi mendengung.
Kagetlah hati Ki Cucut Kalasekti melihat betapa ujung bambu yang Runcing tajam itu menyambut kedua tangannya, menusuk ke arah lelapak tangan dan juga ke arah jalan darah di pergelangan dan siku lengan. Gerakan bambu Runcing itu selain cepat. juga dia melihat seolah-olah ujung yang Runcing itu berubah menjadi banyak sekali, menusuk bertubi-tubi kearah kedua lengannya. Kedua lengan tangan yang tadinya menyerang, kini berbalik mengambil posisi membela diri, menangkisi tusukan-tusukan itu. Sebentar saja, kakek itu terdesak hebat dan hanya mampu menangkis sambil melangkah mundur dan berputar pular di ruangan mulut goa itu.
"Dukk. Plakkk" Sambil mengerahkan tenaga, Ki Cucut Kalasekti menangkis dengan kedua tangannya, namun dia tidak berhasil mematahkan bambu atau menolaknya terpental, hanya keduanya kembali tergetar oleh pertemuan dua tenaga dahsyat. Cucut Kalasekti melompat ke belakang dan tangan kanannya bergerak mencabut senjatanya yang hampir tidak pernah dicabutnya, yaitu sebatang keris yang bentuknya melengkung dan berlapis emas, presis seperti keris yang pernah dilihat Nurseta ketika dipergunakan Wulansari, hanya keris milik kakek ini lebih besar. Cucut Kalasekti hampir tidak pernah mempergunakan senjata ini, karena biasanya, hanya dengan kedua tangan dan kakinya, sudah cukuplah baginya untuk mengalahkan lawan. Bahkan jarang dia membawa keris itu. Setelah dia menjadi seorang adipati, barulah keris itu tak pernah berpisah dari badannya, bukan untuk melindungi diri, melainkan untuk penambah wibawa sebagai seorang adipati. Apa akan kata orang kalau seorang adipati tidak memiliki pusaka, tidak berkeris" Kini, menghadapi bambu Runcing yang dimainkan secara hebat oleh Nurseta, Cucut Kalasekti tidak merasa ragu atau rikuh untuk mencabut pusakanya itu.
"Babo babo. Nurseta. Pusakaku akan merobek dadamu" bentaknya dan diam diam kakek ini mengerahkan kekuatan batinnya untuk mempergunakan ilnu sihirnya menguasai lawan. Diapun mengeluarkan lagi suara mendesis tadi, akan tetapi kini lebih kuat dari pada tadi sehingga kembali Warsiyem yang berdiri di sudut seketika gemetar dan cepat wanita ini duduk bersila menghimpun tenaga sakti untuk melawan pengaruh suara mendesis itu. Nurseta sendiri terkejut bukan karena suara mendesis yang dapat ditahannya, akan tetapi dia melihat betapa kakek itu kini nampak menggiriskan, seolah-olah ada cahaya mencorong menerangi mukanya yang mirip ikan. Pemuda ini maklum bahwa lawan mempergunakan ilmu hitam, maka diapun mempergunakan telapak tangan kiri mengusap kedua matanya tiga kali dan keadaan kakek itu menjadi biasa kembali dalam pandang matanya. Akan tetapi pada saat itu, sinar keris meluncur ke arak dadanya.
"Cring trang trangg......Tiga kali Nurseta menggerakkan bambu runcngnya menangkis tusukan keris bertubi-tubi itu dan dia segera balas menyerang. Terjadilah perkelahian yang lebih hebat dari pada tadi. Serang menyerang teriadi dan keduanya bergerak amat cepat, menimbulkan debu di dalam goa. Warsiyem yang nonton perkelahian itu, diam-diam merasa bersukur bahwa Nurseta berada di situ Anda kata tidak, tentu ia sendiri tidak mungkin akan mampu mengalahkan Ci cut Kalasekti dan tentu ia akan mengalami penghinaan lagi, atau mungkin juga sekali ini dibunuh oleh kakek iblis itu.
Menyaksikan perkelahian hebat itu, iapun maklum bahwa kalau ia ikut terjun, hal itu tidak akan membantu Nurseta, bahkan mungkin mengacaukan permainan Bambu Runcing pemuda itu. Untuk membantu dengan sambitan batu, juga selain tidak ada gunanya karena kakek itu memiliki kekebalan juga tidak mudah melihar betapa kedua orang itu berkelahi dengan cepat sehingga tubuh mereka berkelebatan, sukar diikuti dengan pandang mata biasa.
Tiba tiba, serangkaian serangan keris yang dibantu dengan tamparan tamparan maut dari Aji Gelap Sewu, membuat Nurseta terpaksa terdesak mundur sampai mepet dinding goa. Tiba-tiba sinar keris meluncur, mencuat dengan cepat dan dahsyatnya. Dalam detik terakhir. Nurseta masih sempat melempar tubuh kesamping dan ujung keris itu menyentuh dinding goa. Nampak api berpijar dan dinding itu retak. Namun Nurseta sudah menghindarkan diri dan kini bambu di tangannya membalas dengan tusukan tusukan yang beruntun kearah tenggorokan, dada dan lambung lawan. Hebat bukan main pertandingan itu. Masing-masing memiliki tingkat kepandaian yang sudah tinggi sehingga sukar dapat terkena senjata lawan, sama cekatan dan juga sama-sama memiliki tenaga sakti yang kuat. Hampir satu jam mereka berkelahi, namun belum juga ada tanda tanda siapa yang akan kalah dan siapa akan keluar sebagi pemenang. Biarpun usianya sudah tujuhpuluh tahun lebih, ternyata Ki Cucut Kalasekti masih kuat dan memiliki daya tahan luar biasa, tidak kehabisan tenaga dan napas. Diam diam Nurseta harus mengakui bahwa kakek yang menjadi lawannya itu memang hebat. Kiranya setingkat dengan kedigdayaan Ki Buyut Pranamaya dan agaknya hanyalah Panembahan Sidik Danasura saja yang akan dapat mengatasinya. Namun diam-diam diapun merasa girang bahwa dengan pertapaannya selama empat tahun di dalam goa itu, kini dia telah mampu mengimbangi kesaktian Ki Cucut Kalasekti, dan permainan bambu runcingnya tidak pernah mengendur.
Kembali Cucut Kalasekti mengeluarkan bentakan hebat seperti gerengan harimau, kerisnya meluncur ke depan, menyilaukan mata menghunjam ke arah mata Nurseta. Pemuda itu maklum bahwa mengelak amat berbahaya, karena keris itu tentu akan merobah arah dan mengejar, maka diapun memutar tongkat bambunya, menangkis dari samping, menyambut keris itu dengan pukulan.
"Cappp" Keris itu menancap pada bambu dan tembus, terjepit. Ki Cucut Kalasekti menarik keris untuk mencabutnya, namun Nurseta sudah mengerahkan tenaga dalam sehingga bambu itu menjepit keris dengan kuatnya, tidak mau melepaskannya lagi.
Melihat ini, Ki Cucut Kalasekti lalu menggunakan tangan kiri menangkap bambu Runcing itu. Terjadi tarik menarik dan kakek itu menyeringai buas. Akan tetapi, dia tidak tahu bahwa memang Nurseta mempergunakan akal untuk menahan keris Melihat betapa kakek itu menggunakan kedua tangannya, secepat kilat tangan kiri Nurseta melepaskan bambu runcingnya dan melayang, menampar dengan Aji Jagad Pralaya, pukulan maut yang amat ampuh dan dahsyat yang di pelajarinya dari Panembahan Sidik Danasura.
Ki Cucut Kalasekti melihat datangnya pukulan, tidak dapat menangkis dan cepat dia mengelak dengan memiringkan kepalanya. Karena itu, pukulan tidak tepat mengenai kepala, melainkan meleset dan mengenai pundak dekat leher.
"Desss........" Hebat bukan main pukulan itu. Tubuh Ki Cucut Kalasekti terpelanting dan diapun roboh terkulai tak mampu bergerak lagi, entah mati ataukah pingsan. Melihat ini, Warsiyem meloncat menghampiri dan mengangkat bambu runcingnya, siap untuk menusuk dada atau lambung kakek itu dengan bambu runcingnya.
"Jangan, kanjeng bibi" Nurseta menangkap lengan itu dan mencegah dengan suara lembut namun tegas, "Membunuh lawan yang sudah tidak berdaya lagi adalah perbuatan kejam"
Sejenak wanita itu memandang kepada tubuh kakek yang sudah tak bergerak lagi itu, tangannya masih memegang bambu runcingnya dengan kiat, lalu ia menandang wajah Nurseta, nampak keraguan pada pandang matanya karena ptda saat itu terjadi perang di dalam batinnya antara membunuh Ki Cucut Kalasekti atau memenuhi permintaan Nurseta.
"Kanjeng bibi, ingat, sejahat-jahatnya dia, bagaimanapun juga, dialah yang mendidik diajeng Wulansari dengan penuh kasih sayang"
Ucapan ini mengingatkan Warsiyem dan ia terisak, lalu mengangguk dan tangannya yang tadi menegang, kini mengendur "Baiklah. Mari sekarang kita mempergunakan kesempatan ini untuk pergi dari sini. Dia tentu datang dengan perahu dan sekarang saatnya air laut surut" kata wanita itu.
Mendengar ini, Nurseta menjadi gembira sekali. Dengan penuh semangat mereka lalu meloncat ke mulut goa, dan tak lama kemudian keduanya sudah merayap turun. Benar saja, di bawah terdapat sebuah perahu yang tadi dipakai Ki Cucut Kalasekti menyeberang ke tempat itu, terikat dengan tali pada batu karang, dan air laut memang sedang surut dan tenang.
"Cepat, Nurseta. Air surut tidak lama, sebentar lagi kalau pasang, kita tidak mungkin dapat pergi dari sini" kata Warsiyem.
Nurseta tidak menjawab melainkan cepat meloncat ke bawah, membantu wanita itu mendarat di batu karang, melepaskan perahu dan mereka segera naik perahu yang didayungnya ke tengah menjauhi batu karang. Tak lama kemudian, nampaklah daratan jauh di depan sana dan bagaikan mendapat semangat baru, Nurseta dan Warsiyem segera mendayung perahu itu sekuat tenaga. Perahu meluncur cepat di permukaan laut yang sedang tenang itu, dan pohon kelapa di pantai sana seperti melambai-lambai menyambut kedatangan kedua orang itu. Tanpa mereka rasakan, air mata membasahi mata mereka, bahkan mengalir turun ke atas pipi ketika perahu itu akhirnya mendarat di pantai yang landai. Mereka berloncatan ke atas pasir, meninggalkan perahu yang hanyut
ke tengah kembali dibawa ombak, dan tiba-tiba Warsiyem merangkul leher Nurseta sambil menangis sesenggukan di atas dada pemuda itu, menangis seperti anak kecil.
Nurseta maklum apa yang dirasakan wanita itu. Dia sendiri yang baru empat tahun lebih berada di goa yang tidak ada jalan keluarnya itu, merasa terharu dan gembira sekali dapat berada di pantai datar kembali, seolah-olah ada perasaan bahwa dia baru saja bangkit dari kubur. Apa lagi wanita ini yang sudah berada di tempat itu selama belasan tahun.
Setelah keharuannya mereda, Warsiyem melepaskan rangkulannya, menghapus air matanya dan memandang kepada pemuda itu., Kini wajahnya berseri cerah, penuh semangat, matanya yang masih indah itu bersinar sinar dan mulutnya mengandung senyum penuh harapan, "Nurseta, anakku, sekarang cepatlah antar aku kepada anakku Wulansari"
"Baik, kanjeng bibi. Mudah mudahan ia masih berada di sana" Dia menunjuk ke arah, tebing tinggi itu dan mereka berdua memandang ke sana. Tebing itu agak jauh dari situ dan dari situ saja kelihatan amat tinggi. Nurseta bergidik. Memang tidak ada jalan menuju ke goa itu, kecuali dari laut bebas, dari laut itu jarang sekali tenang, selalu penuh dengan ombak bergemuruh dan perahu tentu akan hancur dihempaskan pada batu karang kalau berani mendekat ke tebing itu. Goa itu tidak nampak dari situ, tertutup oleh sudut tebing. Sejenak dia teringat kepada Ki Cucut Kalasekti yang masih rebah di dalam goa, akan tetapi bayangan ini segera diusirnya. Kakek itu jahat seperti iblis, lebih baik bagi kehidupan manusia di dunia ramai kalau kakek itu berada selamanya di tempat terasing itu sampai mati.
Mereka lalu meninggalkan pantai dan mendaki bukit batu karang menuju ke puncak tebing. Sejenak mereka berdiri di tepi puncak tebing di mana Nurseta terjatuh empat tahun yang lalu.
"Di sinilah saya bercakap cakap dengan diajeng Wulansari ketika Ki Cucut Kalasekti muncul dan menyerang saya dengan Sisik Nogo" kata Nurseta yang menjenguk ke bawah tebing. Bukan main tingginya. Pohon yang menyelamatkannya itu tidak nampak dari situ, apa lagi goa itu.
"Di mana ia tinggal " Apakah di istana kuno milik kakek iblis itu?" Warsiyem teringat akan rumah besar kuno di mana ia dahuiu dibawa oleh Cucut Kalasekti ketika ia dilarikan dari dusunnya. Selama beberapa bulan ia dikeram di dalam istana tua itu, diperkosa dan dibujuk, Karena ia tetap menolak untuk menyerahkan diri dengan sukarela, akhirnya ia dibawa ke dalam goa itu dan ditinggalkan. Karena selama berbulan di situ ia tidak pernah keluar dari rumah tua, maka iapun tidak tahu di mana letak rumah itu. Padahal dari puncak tebing itu tidak jauh lagi.
Nurseta mengajak wanita itu menuruni puncak tebing menuju ke gedung tua itu. Akan tetapi, ketika mereka tiba di sana, gedung tua itu telah kosong dan tidak terawat sama sekali, menjadi rumah yang menyeramkan dan angker, rumah tua yang penuh dengan kenangan pahit sekali bagi Warsiyem. Karena tidak dapat menemukan puterinya di gedung itu, Warsiyem lalu mengajak Nurseta untuk mencari anaknya di dusun asalnya di daerah Blambangan. Nurseta menyetujui dan merekapun segera meninggalkan rumah tua itu menuju ke timur, ke dusun Paguh, dusun yang menjadi tempat asal Warsiyem, isteri Medang Dangdi yang kini telah menjadi seorang senopati kenamaan di Singosari.
Penduduk dusun Paguh tidak mengenai lagi Warsiyem yang sudah meninggalkan dusun itu selama belasan tahun. Dulu ketika ia dibawa pergi Ki Cucut Kalasekti, usianya masih muda, baru tigapuluhan tahun dan cantik jelita. Kini, walaupun masih ada sisa kecantikannya, ia adalah seorang nenek setengah tua hampir limapuluh tahun usianya.
Dan kedatangannva di dusun itu disambut oleh suatu peristiwa yang amat hebat, yang mengguncangkan perasaan wanita itu dan hampir saja menghilangkan nyawanya.
Seperti telah diceritakan, pasukan Singosari menyerbu ke Bali, dan pasukan itu dipimpin oleh tiga orang senopati, yaitu Senopati Nambi yang dibantu oleh Senopati Medang Dangdi dan Mahesa Wagal. Penyerbuan itu, tepat seperti telah diperhitungkan oleh Sang Prabu Kertanegara, berhasil dengan baik. Pasukan Bali ditundukkan, rajanya dibawa pulang ke Singosari sebagai tawanan, dan pasukan Singosari pulang dengan gembira membawa kemenangan. Ketika pasukan Singosari dalam perjalanan pulang inilah Medang Dangdi minta perkenan dari Senopati Nambi untuk singgah di dusun Paguh, desa tempat asalnya. Pernah dia menyuruh orang untuk memboyong puteri dan anak perempuannya, akan tetapi suruhan itu gagal mendapatkan isteri dan puterinya.
Menurut pesuruh itu, isteri dan puterinya tidak lagi tinggal di dusun Paguh dan tidak ada seorangpun penduduk dusun itu tahu ke mana perginya mereka Selama belasan tahun ini, sudah beberapa kali dia mengirim utusan dan selalu gagal. Oleh karena itu, setelah kini pasukan yeng dipimpinnya berhasil menundukkan Bali, dalam perjalanan pulang, Senopati Medang Dangdi berkesempatan untuk singgah di dusunnya dan mencari tahu sendiri tentang isteri dan puterinya.
Ketika dia memasuki dusunnya, banyak orang sudah lupa kepadanya. Dahulu, Ki Medang Dangdi hanya terkenal sebagai seorang laki-laki gagah, akan tetapi tetap saja dia seorang penghuni dusun yang sederhana. Kini, dia berpakaian senopati, seperti seorang bangsawan yang gagah perkasa, menunggang seekor kuda yang besar, diiringkan beberapa orang perajurit pula. Medang Dangdi langsung saja pergi menjenguk rumahnya dan benar saja, rumahnya sudah kosong bahkan sudah hampir ambruk karena tidak diurus. Dari situ dia lalu pergi ke rumah kepala dusun.
Melihat seorang senopati datang ke kelurahan, tentu saja kepala dusun menyambut tergopoh-gopoh dan dengan hormat sekali mempersilakan tamunya masuk. Akan tetapi, ketika Medang Dangdi memperkenalkan diri kepada lurah tua itu siapa dirinya, Pak Lurah ini tertegun sejenak, kemudian menjabat tangan Medang Dangdi dengan penuh. kegembiraan dan keharuan. Akan tetapi, ketika dia ditanya tentang isteri dan puteri senopati itu, wajah ki lurah menjadi keruh sekali. Semua penghuni tua di dusun itu tahu belaka bahwa isteri Medang Dangdi telah dilarikan oleh Ki Cucut Kalasekti. Akan tetapi siapakah orangnya berani menceritakan hal ini kepada para suruhan Medang Dangdi" Mereka takut sekaii kepada Ki Cucut Kalasekti yan,g jahat seperti iblis, maka mereka merasa lebih aman untuk mengatakan bahwa mereka tidak tahu ke mana perginya ibu dan anak itu. Kini, setelah Medang Dangdi sendiri muncul, tetap saja tak seorangpun akan berani menyebut nama Ki Cucut Kalasekti sebagai penculik Warsiyem, dan ketika ditanya oleh senopati itu, ki lurah menjadi bingung.
"Kakang lurah, mengapa kakang menjadi ragu-ragu" Katakanlah, apa yang telah terjadi dan ke mana perginya isteriku dan juga anakku" Kakang lurah tentu masih ingat bukan kepada isteriku yang bernama Warsiyem dan anakku yang bernama Wulansari" Di mana mereka?"
Ki lurah menarik napas panjang. Bagaimanapun juga, dia tidak berani menyebut nama Ki Cucut Kalasekti yang kabarnya sakti seperti iblis dan akan tahu belaka kalau namanya disebut-sebut dan dikhianati. Akan tetapi, karena kini Medang Dangdi sendiri yang hadir, bahkan telah menjadi senopati, diapun tidak mungkin berbohong mengatakan tidak tahu. Mustahil dia yang menjadi lurah di dusun itu tidak tahu apa yang telab terjadi dengan penghuni dusunnya. Maka dia menarik napas panjang sekali lagi untuk menenteramkan hatinya yang gelisah.
"Sesungguhnya, para penghuni tidak berani mengaku terus terang karena mereka merasa sungkan kepada kau. Sesungguhnya, semua orang juga mengetahui bahwa isteri kau......
telah....... telah pergi bersama seorang laki-laki asing yang tidak kami kenal"
"Apa........?"" Medang Dangdi terbelalak, mukanya berubah merah dan dia tidak mau percaya bahwa isterinya akan melakukan hal itu. Isterinya yang tercinta, yang mencintanya, isterinya yang setia.
"Maaf, Ki Senopati...... terpaksa saya berterus terang. Malam itu ia pergi bersama seorang pria, kami tidak mengenai siapa pria itu......"
"Dan Wulansari?" Medang Dangdi memotong"
*Isterimu menyuruh adiknya untuk membawa nini Wulansari ke barat, menyusul kau ke Singosari. Apakah ia belum tiba di sana?"
Medang Dangdi tidak menjawab, hanya menggeleng kepala, masih belum percaya akan peristiwa yang telah terjadi. Akan tetapi, yang menceritakan ini adalah ki Lurah dusun itu. Jadi ternyata isterinya telah menyeleweng tidak setia kepadanya. Akan tetapi Wulansari" Di mana ia" Kenapa kalau diajak nenyusul ke Singosari, tidak sampai ke sana"
"Siapakah laki-laki yang mengajak pergi isteriku?" akhirnya dia bertanya kepada lurah itu. Yang ditanya menunduk dan menggeleng kepala.
"Sudah kukatakan tadi, tidak ada seorangpun di antara kami mengetahui siapa dia, seorang asing yang tidak kami kenal......"
Tiba tiba seorang laki-laki berlari lari memasuki pekarangan ke uranan dan dari jauh
dia sudah berteriak, "Bapak Lurah..........?
"Bapak Lurah........., perempuan itu datang....... la sudah datang, bersama seorang pemuda...." orang itu terengah-engah karena tadi berlari-lari, seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun lebih dan ketika tiba di pendopo kelurahan, dia melihat Ki Lurah sedang duduk berhadapan dengan seorang bangsawan.
"Bukankah kau ini Adi Santiko?" Medang Dangdi memandang orang itu dan bertanya.
Santiko balas memandane, lalu terbelalak. "Wah........ Kakang Medang Dangdi. Wah,
kang........ ia....... isterimu itu, mbakayu Warsiyem, juga datang, baru saja"
Mendengar ini, bagaikan seekor kijang, Medang Dangdi sudah melompat keluar tanpa pamit dan diapun berlari cepat menuju ke rumahnya. Ketika tiba di depan rumahnya yang sudah bobrok, benar saja, dia melihat seorang wanita dan seorang pemuda. Wanita itu masih cantik, dan biarpun sudah belasan tahun dia tidak pernah bertemu dengan wanita itu, dia tidak lupa bahwa wanita itu adalah Warsiyem, isterinya. Seketika terdengar kembali keterangan Ki Lurah, tentang isterinya yang pergi bersama laki-laki lain. Isterinya telah menyeleweng dengan laki-laki lain, dan kini isterinya kembali, juga dengan seorang laki-laki, seorang pemuda yang tampan sekali. Hatinya seperti dibakar rasanya dan kemarahan teiah membuat wajahnya menjadi merah seperti udang direbus.
"Warsiyem......." teriaknya, suaranya mengguntur, mengejutkan Warsiyem dan Nurseta yang baru saja tiba di situ dan berdiri di depan rumah yang sudah rusak dan tidak terawat itu. Warsiyem sedang merasa terharu sekali melihat keadaan rumahnya. Lenyaplah semua kegembiraannya, keharuan menyesak di dada. Ia kehilangan suami, kehilangan anak, kehilangan kehormatan dan kini rumahnya juga nampak rusak dan hampir ambruk. Karena ia sedang terharu dan melamun, bentakan itu tentu saja mengejutkan hatinya. Ia membalikkan tubuhnya dan......wajahnya berubah pucat, matanya terbelalak dan ia mengembangkan kedua lengannya.
"Kakangmas Medang Dangdi........ Suamiku........" Ia berlari menghampiri, hendak
memeluk akan tetapi Medang Dangdi mengelak sehingga tubuh wanita itu terhuyung, lalu membalik lagi dan iapun menjatuhkan dirinya berlutut di depan kaki suaminya. Ia menangis sesenggukan, sampai sesak napasnya ketika menangis. Suaranya terputus putus dan tidak jelas. "Kakangmas........ Medang.......Dangdi......., ampunkan aku, kakangmas....... ahhhh, kakangmas suamiku ........ demi semua Dewata, mengapa diriku harus menderita seperti ini................"
"Jangan mengotorkan nama Dewata dengan mulutmu yang palsu" Tiba-tiba Medang Dangdi membentak dan kakinya menendang. Tubuh wanita itu terjengkang sampai dua meter jauhnya. "Perempuan hina, perempuan rendah dan lacur. Suami pergi mencari pekerjaan, bermain gila dengan laki-laki lain"
Warsiyem terbelalak, lalu merangkak menghampiri. "Kakangmas......... Harap mendengar
kan dulu keteranganku........"
"Dengar apa lagi " Engkau pergi bersama seorang laki-laki, dan engkau menyuruh adikmu membawa pergi Wulansari untuk menyusulku. Engkau perempuan tak tahu malu, keparat" Kini Medang Dangdi yang melihat Warsiyem bangkit berdiri melayangkan tangannya menghantam ke arah kepala isterinya. Hantaman itu keras sekali dan kalau mengenai kepala, tentu Warsiyem akan tewas seketika karena memang niat hati yang sudah diracun cemburu dan kemarahan itu hendak membunuh isteri yang dianggapnya tidak setia dan menyeleweng.
"Dukkk........" Karena pernah mempelajari ilmu bela diri dengan tekun, otomatis Warsiyem mengangkat lengan menangkis, dan akibat tangkisan itu, kepalanya luput dari hantaman, akan tetapi saking kerasnya suaminya menghantam, ia terhuyung ke belakang. Medang Dangdi semakin marah.
"Bagus. Engkau sudah mempelajari pula ilmu dari laki laki yang membawamu pergi, ya " Untuk melawan aku sekarang" Baik, keluarkan kepandaianmu dan mari kita mengadu nyawa untuk menebus aib ini"
"Kakangmas........ aduhh, kakangmas........ dengarlah dulu.......... ampunkan aku dan dengarkan penjelasanku......"
Akan tetapi ratap tangis Warsiyem tidak diperdulikan suami yang sudah diracuni cemburu dan dendam itu. Dia sudah meloncat dekat dan kini mengirim pukulan yang lebih hebat lagi. Melihat ini, agaknya Warsiyem yang merasa berduka sekali melihat sikap suaminya, tidak mau menangkis lagi dan dengan air mata bercucuran ia menengadah, memberikan kepalanya untuk dihantam biar ia mati dan terbebas dari pada penderitaan yang tak kunjung henti itu.
"Dukkk........" Sekali ini, pertemuan antara kedua lengan itu membuat Medang Dangdi yang terdorong ke belakang, bahkan terhuyung hampir roboh. Dia mengangkat muka memandang kepada Nurseta dengan marah sekali, lalu telunjuknya menuding.
"Jagad Dewa Bathara. Kiranya engkau ini biang keladinya. Engkau pula barangkali laki-laki yang membawanya, ataukah engkau menjadi gendaknya yang baru" Bagus. Kalau engkau memang mencinta wanita yang lebih tua darimu itu, engkau harus berani mempertaruhkan nyawamu untuknya" berkata demikian, Medang Dangdi sudah mencabut kerisnya dan melangkah maju menghampiri Nurseta.
"Paman Medang Dangdi, apakah kau lupa kepadaku" Memang baru sekali kita saling bertemu dan diperkenalkan, mungkin kau lupa kepadaku" Akan tetapi, apakah kau juga lupa kepada pusaka ini?" 'Nurseta mengeluarkan pusakanya, keris Kilat Nogo pemberian Raden Wijaya. Ketika dia membantu pasukan Singosari menghancurkan pemberontakan Mahesa Rangkah, dia diperkenalkan oleh Senopati Ronggo Lawe kepada Raden Wijaya dan dalam kesempatan ini, diapun diperkenal kepada para senopati Singosari termasuk Medang Dangdi.
Medang Dangdi tadinya memandang dengan alis berkerut, akan tetapi ketika melihat pusaka Kilat Nogo, dia tentu saja mengenal pusaka milik Raden Wijaya itu dan diapun teringat akan pemuda gagah perkasa yang pernah dihadiahi keris itu oleh sang pangeran.
"Kau........ kau pemuda itu......."
"Aku Nurseta, paman"
"Ah, benar. Anakmas Nurseta" katanya kemudian kembali alisnya berkerut. "Akan tetapi......." dia menoleh kepada Warsiyem yang masih menangis, "apa artinya ini" Mengapa kau bersama perempuan ini..........?"
"Tenanglah paman. Untung bahwa paman belum membunuh isteri paman, karena kalau hal itu sampai terjadi, paman akan menyesal selama hidup paman, karena paman akan menjadi seorang pengecut yang rendah budi dan sama sekali tidak adil"
"Apa............ Apa maksudmu, orang muda?" Medang Dangdi yang sudah menyimpan kerisnya itu kini kembali menjadi merah mukanya.
"Mari kita duduk yang baik dan biar aku yang akan menceritakan semua penderitaan yang telah dialami oleh kanjeng bibi Warsiyem, isteri paman yang bernasib malang ini. Mari kita duduk, paman"
Mereka bertiga duduk, biarpun Medang Dangdi masih ragu-ragu dan memandang penuh curiga. Warsiyem duduk pula mendekat, akan tetapi masih menundukkan muka dan menangis terisakisak. Nurseta lalu mulai bercerita. Mula-mula dia bercerita tentang dirinya sendiri yang terjungkal ke bawah tebing curam oleh ulah Ki Cucut Kalasekti yang menyerangnya dengan Sisik Nogo. Kemudian betapa dia selamat dapat mencapai goa di mana dia bertemu dengan Warsiyem yang ditawan oleh Ki Cucut Kalasekti di tempat terasing itu, kemudian betapa sampai empat tahun lebih dia bersama wanita itu tinggal di dalam goa dan berlatih ilmu bela diri. Dan akhirnya betapa dia dan Warsiyem berhasil keluar da. goa ketika Ki Cucut Kalasekti datang berkunjung dan dia berhasil merobohkan kakek iblis itu.
"Dan aku mendengar pengalaman kanjeng bibi Warsiyem darinya sendiri, paman. Ketika paman pergi, tak lama kemudian, Ki Cucut Kalasekti kebetulan lewat di dusun Paguh dan melihat kanjeng bibi. Ki Cucut Kalasekti lalu memaksa kanjeng bibi ikut. Kanjeng bibi tak
berdaya karena siapa berani melawannya" Laripun tiada gunanya. Karena itu, untuk menyelamatkan puteri paman, diajeng Wulansari, kanjeng bibi lalu mengutus adiknya untuk membawa puterinya menyusul paman ke Singosari. Kemudian, kanjeng bibi dibawa dengan paksa oleh Ki Cucut Kalasekti. Kanjeng bibi diancam, dipaksa, diperkosa, dibujuk. Namun kanjeng bibi tetap tidak mau menyerah, sehingga akhirnya karena kecewa dan marah Ki Cucut Kalasekti lalu membawanya ke dalam goa di tebing itu. Nah, demikianlah, paman. Kanjeng bibi Warsiyem telah mengalami penghinaan, perkosaan, dan siksaan lahir batin, namun ia tetap tidak mau menyerah kepada Ki Cucut Kalasekti. Hanya karena teringat kepada paman dan puterinya maka ia tidak membunuh diri. Dan sekarang, setelah Sang Hyang Wisesa mempertemukan kalian berdua, paman bahkan menuduhnya secara keji tanpa bukti"
Selagi Nurseta bercerita, tangis Warsiyem makin menjadi-jadi sampai ia sesenggukan seperti anak kecil, Wajah Medang Dangdi berubah pucat sekali dan kini dia menoleh kepada isterinya, lalu ditubruknya isterinya itu dengan air mata bercucuran.
"Aduhhh........isteriku...... diajeng, maafkan aku........maafkan aku yang terburu nafsu mendengar diajeng pergi bersama seorang pria. Ah, betapa bodoh dan gilanya aku menuduh diajeng yang bukan-bukan........ maafkan aku.."
Dia merangkul isterinya. Warsiyem merintih lirih dalam tangisnya, tak dapat berkata-kata dan terkulai dalam pelukan suaminya. Sejenak mereka saling berangkulan dan Nurseta merasa betapa kedua matanya panas karena dia merasa terharu sekali.
"Tidak......... Tidak......." Tiba-tiba Warsiyem meronta, melepaskan diri dari pelukan suaminya, lalu meloncat ke belakang, wajahnya pucat sekali, air matanya masih bercucuran di sepanjang kedua pipinya. "Tidak, aku tidak berharga lagi untuk menjadi isterimu, kakangmas Medang........ aku telah ternoda, aku telah menjadi permainan Ki Cucut Kalasekti, diperkosa puluhan kali. Aku tidak layak menjadi isterimu, tidak ada gunanya lagi aku hidup. Kau carilah anak kita, carilah Wulansari, tanya kepada anakmas Nurseta......." Tiba-tiba saja wanita yang nekat itu menggerakkan bambu Runcing, mengarahkan ujung bambu yang Runcing itu ke arah perutnya sendiri.
"Warsiyem........." Medang Dangdi berteriak akan tetapi tidak mampu melakukan sesuatu. Dia melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu Nurseta telah merampas bambu Runcing dari tangan wanita itu, yang berlutut sambil menangis dan mengeluh.
"Biarkan aku mati ahh, biarkan aku mati......."
"Kanjeng bibi, ingatlah" Nurseta berkata dengan suaranya yang halus namun meresap ke dalam hati wanita itu. "Kalau suami dan anakmu memang orang orang yang bijaksana, dalam pandang mata mereka kanjeng bibi sama sekali tidak hina, tidak kotor, tidak rendah. Mereka berdua masih membutuhkan kasih sayangmu kanjeng bibi"
JILID 12
MENDENGAR ucapan ini, berhentilah tangis Warsiyem dan ia menengadah, memandang ke arah suaminya, wajahnya pucat, sepasang matanya memandang penuh harap, mukanya basah air mata dan bibirnya bergetar ketika terdengar ia bertanya lirih, "Be....... benarkah itu........?"
Medang Dangdi menubruk dan merangkul isterinya, diciuminya wajah yang basah air mata itu. "Benar sekali, isteriku. Kakek iblis itu boleh jadi merampas tubuhmu, memiliki tubuhmu, mengotori tubuhmu. Akan tetapi siapapun tidak dapat merampas hatimu, tidak dapat memiliki cintamu, tidak dapat mengotori hatimu yang hanya mencinta aku dan anak kita seorang. Engkau tidak hina dalam pandanganku, diajeng, bahkan aku menghormatimu, aku mengagumi pengorbananmu. Engkau isteriku, hatimu tidak ternoda. Noda badan dapat dicuci bersih, dan hatimu tetap milikku, cintamu hanya untuk aku dan anak kita"
Wajah itu kini agak mlerah dan gepasang mata itu agak berseri. "Kakangmas Medang.....
benar....... benarkah itu" Bukan hanya sekedar hiburan belaka " Kelak engkau........ tidak
akan menghinaku dengan peristiwa itu ?"
Suaminya menatapnya sambil tersenyum walaupun matanya masih basah dan menggeleng kepalanya. "Tidak, isteriku. Semua itu terjadi bukan atas kehendakmu. Engkau telah menderita lahir batin selama belasan tahun, sekarang saatnya engkau hidup berbahagia dengan aku, dengan kami, aku dan anakmu"
"Wulan........... Wulansari, dimanakah ia ?"
Warsiyem nampak gelisah dan menoleh ke kanan kiri, seperti mencari-cari dan mengharapkan akan dapat menemukan puterinya di situ.
Medang Dangdi memandang kepada Nurseta. "Bukankah tadi anakmas ini bercerita bahwa puteri kita itu ikut dengan Cucut Kalasekti ?"
"Benar, kanjeng paman. Kami, yaitu kanjeng bibi dan aku, telah mencari ke rumah gedung tua tempat tinggal Ki Cucut Kalasekti, namun rumah itu kosong dan agaknya sudah lama tidak terawat. Kami lalu ke sini dan melihat rumah kanjeng bibi juga kosong dan tidak terawat"
"Ah, Nurseta, sekarang aku teringat. Bukankah iblis tua itu ketika tiba di dalam goa
mengatakan bahwa dia kini telah menjadi adipati bernama Adipati Satyanegara, adipati di Bendowinangun ?" tiba-tiba Warsiyem berseru.
Nurseta mengangguk. "Benar, sayapun ingat sekarang, kita harus melakukan penyelidikan ke Bendowinangun"
Ki Medang Dangdi mengerutkan alisnya. "Bendowinangun adalah kadipaten wilayah Kerajaan Dhaha. Aku sebagai seorang senopati Singosari, sungguh merasa kurang enak kalau harus melakukan penyelidikan ke sana. Dan pula, aku harus ikut dengan pasukan yang kembali ke Singosari setelah berhasil menaklukkan Bali. Diajeng Warsiyem, marilah engkau ikut bersamaku palang ke Singosari, nanti setelah menghadap Sribaginda, aku akan minta ijin untuk pergi mencari anak kita ke Bendowinangun"
Isterinya mengangguk. "Kalau begitu, biarlah Nurseta yang pergi mencari Wulan ke Bendowinangun"
"Ah, bagaimana kita berani merepotkan anakmas Nurseta ?" Medang Dangdi berkata sungkan.
"Kakangmas Medang, ketahuilah bahwa anakmas Nurseta ini bukanlah orang lain. Dia dan Wulan saling mencinta, dia adalah calon mantu kita"
"Ah, begitukah ?" Wajah Ki Medang Dangdi berseri. "Aku girang sekali. Kalau begitu, bolehkah kami berharap anakmas Nurseta akan mencari Wulansari ke Bendowinangun"
Nurseta dalam hatinya membantah bahwa dia dapat menjadi jodoh Wulansari, akan tetapi dia tidak mau mengecewakan dan membuyarkan harapan suami isteri yang baru saja saling bertemu dan dalam kebahagiaan itu. Bagaimanapun juga, dia sudah memberitahukan dengan terus terang kepada yang berkepentingan, yaitu Wulansari sendiri bahwa biarpun dia dan gadis itu saling mencinta, namun tidak mungkin menjadi suami isteri karena dia telah bertunangan dengan seorang gadis lain.
"Baiklah, kanjeng paman dan bibi, saya akan pergi ke Bendowinangun mencari diajeng Wulansari dan akan saya beritahukan tentang keadaan dirinya yang sebenarnya, siapa sesungguhnya ayah dan ibu kandungnya, dan tentang Ki Cucut Kalasekti yang sama sekali bukan kakeknya, melainkan musuh yang mencelakakan ibunya" Dalam hati dia menambahkan bahwa selain mencari Wulansari, diapun ingin meminta kembali tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala.
Ki Medang Dangdi memberi isarat kepada pasukan kecil yang mengawalnya untuk mendekat, lalu minta seekor kuda yang baik untuk isterinya. Kemudian, setelah berpamit, dia dan isterinya berpisah dari Nurseta yang menolak ketika akan diberi seekor kuda. Nurseta melanjutkan perjalanan untuk mencari Wulansari dan tombak pusaka, sedangkan Medang Dangdi membawa isterinya bergabung dengan induk pasukan kembali ke Singosari.
*** Ketika empat lima tahun yang lalu Wulansari melihat Nurseta terjungkal ke dalam jurang, ia menjadi putus asa, berduka, akan tetapi juga sakit hati kepada wanita yang menjadi tunangan Nurseta. Bersama kakeknya, ia pergi ke Pegunungan Kelud mencari calon isteri Nurseta dan setelah melakukan penyelidikan, bertanya kepada para penghuni dusun di daerah Pegunungan Kelud, akhirnya ia mendengar bahwa calon isteri Nurseta itu bernama Pertiwi, seorang gadis manis yang tinggal di dusun Sintren. Ia lalu pergi ke dusun itu, dibayangi oleh Ki Cucut Kalasekti yang merasa khawatir kalau-kalau cucunya akan menghadapi bahaya. Seperti kita ketahui, setelah bertemu dengan Pertiwi dan mendengar bahwa gadis dusun itu telah ternoda oleh Gagak Wulung, Wulansari tidak jadi membunuh Pertiwi, bahkan mentertawakan dan memberitahukan bahwa Nurseta telah mati. Kemudian, ia lari meninggalkan Pertiwi sambil menangis.
Melihat keadaan muridnya itu, Ki Cucut Kalasekti menggeleng-geleng kepala dengan heran sekali. Gadis yang diaku cucunya dan menjadi muridnya itu tidak jadi membunuh tunangan Nurseta, bahkan lari pergi sambil menangis. Dia yang sudah berusia tujuhpuluh lima tahun, tetap saja merasa bingung melihat sikap wanita, dan tidak dapat menyelami perasaan mereka. Diapun lalu mengejar Wulansari dan mereka pulang ke Bendowinangun.
Berulang kali Ki Cucut Kalasekti membujuk Wulansari untuk suka menerima kehendak hati Sang Prabu Jayakatwang agar gadis itu mau menjadi selirnya merangkap puteri pengawal dalam istana. Namun Wulansari selalu menolak sehingga diam-diam Ki Cucut Kalasekti mengambil keputusan di dalam hatinya bahwa kalau gadis itu tetap menolak, dia akan mengambilnya menjadi isterinya sendiri. Kini, setelah dewasa, Wulansari mirip sekali dengan wanita yang membuatnya tergila gila, yaitu Warsiyem, ibu kandung gadis itu.
Wulansari sendiri nampak murung semenjak melihat Nurseta terjungkal ke bawah tebing. Ia merasa seolaholah hidupnya kosong dan tidak mempunyai harapan. Teringatlah ia akan tombak pusaka Ki Tejanirmala. Tombak pusaka itulah yang menjadi gara-gara, pikirnya. Kalau saja tidak ada pusaka yang dipej rebutkan itu, tentu ia tidak berhadapan dengan Nurseta sebagai musuh yang memperebutkan pusaka. Dan kini tombak pusaka itu oleh kakeknya telah diberikan kepada Sang Prabu Jayakatwang dengan ditukar kedudukan adipati. Hatinya mulai tertarik. Mengapa untuk tombak seperti itu saja Sang Prabu Jayakatwang sampai mau menukarnya dengan sebuah kadipaten berikut kedudukan adipati" Apa sih khasiatnya tombak itu" Hatinya mulai diganggu penasaran dan iapun mulai tertarik, ingin hidup di sebuah kota raja seperti Daha, di mana terdadat banyak satria yang perkasa. Ia ingin menghibur hatinya yang berduka itu dan hidup di kota raja. Maka, iapun menerima bujukan kakeknya, akan tetapi hanya mau menjadi pengawal dalam istana, bukan menjadi selir.
"Aku suka menjadi pengawal dalam istana atau pengawal pribadi Sang Prabu, akan tetapi aku tidak mau menjadi selir siapapun juga. Kalau ada yang berani mengganggu dan menyentuhku, siapapun dia, akan kubunuh"
Karena kesanggupan Wulansari, menjadi pengawal pribadi Sang Prabu Jayakatwang, Ki Cucut Kalasekti merasa girang sekali. Hal itu jauh lebih menguntungkan dirinya dari pada kalau dia harus memaksa gadis itu menjadi mangsa nafsunya, karena dia khawatir kalau-kalau gadis itu akan bersikap seperti lbunya, tidak mau menyerahkan diri secara suka rela dan hal ini amat mengecewakan dan menyakitkan hatinya, Dia lalu mengantarkan gadis itu menghadap Sang Prabu Jayakatwang yang merasa girang sekali karena gadis itu mau menjadi pengawal dalam istana atau juga pengawal pribadinya. Biarpun gadis itu tidak bersedia menjadi selirnya, namun sedikitnya dia akan selalu berdekatan dan merasa terlindung oleh seorang gadis yang cantik dan sakti, dan siapa tahu, lambat laun gadis itu akhirnya akan menyerahkan diri juga menjadi selirnya seperti yang diam-diam diberitahukan oleh Adipati Satyanegara atau Ki Cucut Kalasekti itu.
Demikianlah, mulai saat itu, Wulansari tinggal di dalam istana, sebagai seorang penjaga keamanan pribadi raja dan juga kepala pengawal bagian dalam kraton.
Setelah gadis yang selama ini diakui cucu dan juga diambil murid itu pergi meninggalkannya, barulah Ki Cucut Kalasekti merasa kesepian. Maka diapun teringat kepada Warsiyem, ibu kandung gadis itu dan pergilah dia ke Blambangan, ke tebing curam di tepi pantai dan mengunjungi goa tempat dia menawan wanita itu dengan perahu, lalu memanjat ke atas. Seperti kita ketahui, dia dirobohkan oleh Nurseta dan kunjungannya itu bahkan membuka kesempatan kepada Nurseta dan Warsiyem untuk meninggalkan tempat itu.
Setelah berpisah dari Ki Medang Dangdi dan Warsiyem, Nurseta melakukan perjalanan seorang diri dengan cepat menuju ke Kadipaten Bendowinangun, di dekat Kali Campur. Dia akan mencari Wulansari dan menceritakan tentang rahasia gadis itu, tentang ayah dan ibu kandungnya, tentang Ki Cucut Kalasekti yang sebenarnya adalah musuh besarnya. Dan tentu saja, dia mengharapkan gadis itu akan mengembalikan tombak pusaka Ki Tejanirmala. Setelah tombak pusaka itu dapat berada di tangannya kembali, barulah dia akan pergi ke Pegunungan Kelud mengunjungi ayah angkatnya, Ki Baka.
Tentu saja setelah dia tiba di Kadipaten Bendowinangun, dia mendapatkan gedung kadipaten itu kosong, banya ada para abdi dalem dan pasukan pengawal saja. Dari keterangan yang diperolehnya, ternyata bahwa gadis yang dicarinya, Wulansari, kini telah menjadi seorang pengawal pribadi di kraton Sang Prabu Jayakatwang. Dan dia memperoleh keterangan pula bahwa Sang Adipati Satyanegara, yaitu nama baru bagi Ki Cucut Kalasekti, telah beberapa hari lamanya meninggalkan kadipaten, tanpa seorangpun mengetahui ke mana perginya, Nurseta diam-diam mengharapkan kakek itu tidak akan dapat keluar lagi dari goa di tebing curam itu.
Nurseta segera menuju ke Kerajaan Daha di Kediri. Tentu saja dia mengalami kesulitan untuk dapat berjumpa dengan Wulansari yang menjadi kepala penjaga keamanan di kraton, bahkan menjadi pengawal pribadi Sang Prabu Jayakatwang, Kepala pasukan di luar kraton mencurigainya dan Nurseta telah dikepung oleh para penjaga itu, dan komandan mereka mengamati pemuda yang menanyakan dan mencari Wulansari itu dengan penuh selidik.
"Siapakah kau dan ada keperluan apakah kau mencari Raden Roro Wulansari, kepala penjaga istana?" hardik komandan yang berkumis melintang seperti kumis Gatotkaca itu.
Nurseta bersikap tenang saja. "Namaku Nurseta, harap dilaporkan kepada.........Raden
Roro Wulansari bahwa Nurseta datang dan ingin bertemu, tentu ia akan mengenal siapa aku dan akan keluar menemuiku"
Akan tetapi komandan itu takut kalau dia dipersalahkan, maka diapun bertanya dengan nada menyelidik, "Ki sanak, tidak begitu mudah untuk menjumpai beliau. Kami akan melaporkan, akan tetapi katakan dulu apa keperluanmu datang hendak menghadap beliau?"
Nurseta maklum bahwa dia tidak dipercaya, bahkan dicurigai, maka dia lalu teringat akan Ki Cucut Kalasekti yang menjadi adipati, dan diapun menjawab tegas, "Aku adalah utusan dari Sang Adipati Satyanegara, kakek dari Raden Roro Wulansari, dan aku datang membawa pesan penting dari Sang Adipati untuk cucunya itu"
Tepat sekali dugaannya. Begitu mendengar bahwa dia utusan Sang Adipati Satyanegara yang semua orang mengenal sebagai kakek dari Wulansari, komandan itu merobah sikapnya, menjadi ramah sekali.
"Ah, kiranya kau utusan dari Kadipaten Bendowinangun " Mengapa tidak dari tadi kau katakan demikian " Duduklah, ki sanak, kami akan memberi laporan ke dalam istana,"
Nurseta dipersilakan duduk di ruangan tunggu, di luar istana itu. Sambil tersenyum lega pemuda ini lalu duduk di situ, menanti dengan hati agak tegang. Ingin sekali dia melihat bagaimana sikap Wulansari kalau berhadapan dengan dia. Tentu, seperti juga Ki Cucut Kalasekti, gadis itu sama sekali tidak pernah mengira bahwa dia masih hidup.
Tidak terlalu lama Nurseta menunggu. Komandan itu datang dengan sikap hormat membongkok-bongkok, mengiringkan seorang wanita yang berpakaian serba hijau, ringkas, pakaian seorang perwira yang gagah. Rambutnya yang hitam panjang itu digelung dan dihias dengan hiasan rambut terbuat dari pada emas permata, juga lengannya terhias gelang-gelang yang bertaburan intan. Wajahnya yang cantik itu berseri dan mengandung wibawa yang membuat seorang pria tidak akan berani sembarangan saja bersikap kurang ajar terhadap wanita cantik ini.
Ketika wanita itu berhadapan dengan Nurseta yang sudah bangkit berdiri, mereka berdta berdiri saling berbadapan, dalam jarak kurang lebih dua meter, dan keduanya seperti terpesona. Wajah Wulansari yang tadinya berseri itu kini dibayangi keheranan dan ketidak percayaan, sebentar merah sebentar pucat, matanya terbelalak dan sampai lama ia tidak raampu mengeluarkan kata-kata, Juga Nurseta seperti orang kehilangan akal, hanya berdiri menatap wajah gadis itu, terpesona karena dalam hatinya yang penuh kerinduan itu kini penuh kagumi, matanya melihat gadis yang dicintanya itu kini bahkan lebih cantik dari pada dahulu.
"Kakangmas Nurseta......" Akhirnya Wulansari mengeluh, suaranya lirih seperti rintihan.
"Diajeng Wulansari........" Nurseta juga memanggil, penuh kerinduan, Hampir keduanya saling tubruk, akan tetapi Wulansari teringat bahwa ada beberapa pasang mata memandang mereka, yaitu mata para penjaga komandannya, Maka iapun membalik dan menghardik mereka.
"Tinggalkan kami di sini dan jangan ganggu"
Komandan itu memberi hormat, lalu diapun membentak para anak buahnya untuk pergi meninggalkan ruangan itu. Mereka itu dengan muka tunduk dan patuh meninggalkan ruangan dan keluar untuk berjaga di gardu penjagaan yang berada di luar pintu gerbang halaman istana.
Setelah mereka semua pergi, Wulansari melangkah maju dan tanpa dapat ditahannya lagi, langsung ia menubruk dan merangkul Nurseta dan suaranya terdengar menggetar ketika ia memanggil, "Kakangmas........"
Mereka berpelukan, penuh kerinduan dan sejenak Nurseta mendekap kepala, yang amat dirindukan dan disayangnya itu ke dadanya, seolah ingin memasukkan kepala itu ke dalam dadanya agar jangan terpisah lagi darinya. Kemudian, menyadari bahwa mereka berada di ruangan pendopo istana, keduanya saling melepaskan rangkulan dan Wulansari melangkah mundur dua langkah, memandang dengan mata basah dan dengan senyum manis menghias mulutnya.
"Kakangmas Nurseta, duduklah dan ceritakan bagaimana....... bagaimana engkau dapat
hidup lagi. Ah, kakangmas, melihat engkau terjungkal di tebing itu, pikiranku tidak memungkinkan bahwa engkau akan terbebas dari kematian, akan tetapi sesungguhnya, hatiku tidak pernah putus mengharapkan bahwa engkau selamat dan masih hidup"
Mereka duduk berhadapan. "Mungkin cinta kita dan doamu yang mendorong Sang Hyang Wisesa mengulurkan tangan dan menyelamatkan aku, diajeng"
"Ceritakan, kakangmas, ceritakanlah bagaimana engkau dapat menyelamatkan diri dari....
kejatuhan itu" Mau tidak mau Wulansari bergidik membayangkan betapa tubuh kekasihnya itu terjungkal dari atas puncak tebing yang demikian curamnya.
Dengan ringkas namun jelas Nurseta lalu menceritakan betapa batang pohon yang tumbuh di dinding tebing itu yang menyelamatkannya dan betapa dia dapat merayap ke dalam sebuah goa tidak jauh dari situ.
"Dan tahukah engkau siapa yang kujumpai di dalam goa yang besar itu, diajeng?" tanya Nurseta sambil mengamati wajah cantik yang mendengarkan dengan penuh takjub itu, wajah yang mirip sekali dengan wajah wanita dalam goa, akan tetapi tentu saja wajah yang ini jauh lebih muda dan lebih cantik manis. Mendengar pertanyaan ini, Wulansari yang sudah keheranan itu menjadi semakin heran.
"Engkau menjumpai orang di dalam goa itu?" tanyanya, dan matanya yang lebar itu memandang tanpa berkedip.
Nurseta mengangguk dan tersenyum, jantungnya berdebar tegang karena dia menghadapi saat yang dinanti-nantikan, yaitu pembukaan rahasia keluarga gadis ini. "Dan siapakah yang kujumpai itu, diajeng" Ia seorang wanita, setengah tua dan cantik jelita, seperti engkau.."
"Ihh. Kakangmas, apa kau mau mengatakan bahwa aku sudah setengah tua?" Wulansari terbelalak dan mengelus pipinya sendiri.
Nurseta tersenyum lebar. "Bukan begitu maksudku, diajeng. Akan tetapi wanita itu memang memiliki wajah yang cantik dan mirip sekali dengan wajahmu, tentu saja ia jauh lebih tua. Namanya.... Warsiyem.." Nurseta sengaja mengucapkan nama ini dengan.tegas dan dia mengamati wajah cantik itu untuk melihat reaksinya.
Memang menarik sekali mempelajari reaksi gadis itu. Ia seperti orang tertegun, kedua alisnya berkerut dan ia seperti mengingat-ingat, melamun, akan tetapi lalu menggeleng kepala perlahan. "Aku seperti merasa tidak asing dengan nama itu, akan tetapi..... ah, aku tidak mengenalnya..." Lalu ia menyambung cepat, "Akan tetapi, bagaimana wanita itu dapat berada di dalam goa itu, kakangmas?"
Nurseta sedang berpikir-pikir bagaimana caranya untuk membuka rahasia gadis itu. Mendengar pertanyaan itu, diapun sudah mendapatkan cara terbaik, harus perlahan dan tidak mendadak. "Wanita itu, kanjeng bibi Warsiyem, sudah berada di dalam goa itu selama sepuluh tahun ketika aku tiba disana, dan ia berada di sana sebagai tawanan seorang yang amat jahat. Ia diculik dari rumahnya, dipaksa menjadi isteri penjahat itu. Ia tidak mau menyerah sehingga diperkosa dan disiksa, akan tetapi ia tetap tidak mau menyerahkan diri dengan suka rela, maka penjahat itu menjadi marah dan ia ditahan di dalam goa di mana ia tidak akan mampu keluar karena goa itu berada di dinding tebing yang curam, sama sekali tidak ada jalan keluar"
"Hemm, betapa jahatnya laki-laki itu, dan betapa gagah beraninya wanita itu" kata Wulansari dan diam-diam Nurseta merasa girang karena memang inilah yang dikehendakinya. Sebelum membuka rahasia itu, dia ingin menanamkan kebencian dalam hati gadis ini terhadap Ki Cucut Kalasekti dan kekaguman terhadap Warsiyem. "Akan tetapi, kalau tidak ada jalan keluar, bagaimana engkau dapat keluar dari sana, kakangmas?" Wulansari agaknya tidak begitu tertarik kepada wanita dalam goa dan penculiknya, maka pertanyaannya selalu mengenai diri Nurseta.
"Sampai empat lima tahun aku berada di sana, diajeng, sama sekali tidak berdaya untuk dapat keluar. Merayap naik tidak mungkin karena amat tinggi dan curam. Merayap turun sampai ke laut dapat dilakukan, akan tetapi setibanya di bawah, juga tidak ada jalan keluar karena akan disambut air laut dahsyat yang akan menghempaskan kami ke batu karang dan tidak ada perahu di sana. Terpaksa aku tinggal di sana sampai empat tahun lebih, bersama kanjeng bibi Warsiyem dan kami memperdalam ilmu dan memperkuat tenaga sakti. Akhirnya, pada suatu pagi, muncullah penculik jahat itu untuk menjenguk kanjeng bibi. Aku menyerangnya dan berhasil merobohkannya. Lalu kami berdua cepat merayap turun, menggunakan perahu penjahat itu selagi laut menyurut dan akhirnya kami berhasil lolos dan mendarat"
Wulansari mendengarkan dengan hati penuh ketegangan. "Ah, aku girang sekali bahwa engkau selamat, kakangmas, tapi........ bagaimana engkau dapat menjadi utusan kakekku"
Benarkah Eyang Adipati Satyanegara yang mengutusmu ke sini ?"
Nurseta tersenyum mendengar sebutan Eyang Adipati ini kepada Cucut Kalasekti. Dia menggeleng. "Aku berbohong agar para penjaga itu mau percaya kepadaku, diajeng. Akan tetapi nanti dulu, apakah engkau tidak ingin mengetahui siapa adanya kanjeng bibi Warsiyem itu, dan siapa pula penculiknya yang jahat ?"
Wulansari menggeleng kepala dengan acub. "Aku tidak mengenal wanita itu, dan aka tidak perduli siapa pria yang amat jahat itu...."
"Penculik jahat itu bukan lain adalah Ki Cucut Kalasekti"
Wulansari mengerutkan alisnya, Tidak aneh baginya berita ini. Ia sudah tahu akan watak buruk kakeknya itu terhadap wanita, walaupun ia sama sekali tidak menyangka bahwa penculik wanita dalam goa itu adalah kakeknya. Akan tetapi ia teringat betapa penculik itu dirobohkan Nurseta di dalam goa, maka kini ia memandang penuh selidik.
"Dan engkau memukul dia roboh di dalam goa " Engkau....... engkau membunuhnya ?"
Nurseta menggeleng kepalanya. "Aku merobohkannya karena dia hendak membunuhku, dan dia tidak mati. Aku dan kanjeng bibi cepat meninggalkan goa itu untuk meloloskan diri"
"Dan kau tinggalkan kakekku di sana" Ah, aku harus ke sana untuk menoIongnya"
"Nanti dulu, diajeng. Tahukah engkau siapa adanya kanjeng bibi Warsiyem?"
Gadis itu mengamati wajah Nurseta penuh selidik, tidak mengerti mengapa pemuda itu bertanya demikian.
"Kanjeng Bibi Warsiyem adalah........ ibu kandungmu sendiri, diajeng"
"Ohhhh..........." Seketika wajah Wulansari menjadi pucat sekali, matanya terbelalak memandang wajah Nurseta. "Apa........ apa maksudmu, kakangmas Nurseta" Kalau ia ibuku,mengapa kakekku menculiknya dan........ dan....... memperkosanya katamu tadi ?" Gadis itu benar-benar bingung sekali.
"Ki Cucut Kalasekti bukan kakekmu, diajeng. Dia hanya mengaku aku saja sebagai eyangmu. Dia membohongimu "
"Ohhh......." Untuk ke dua kalinya gadis itu menjerit kecil dan mukanya kini berubah lagi menjadi semakin pucat, lalu berubah merah sekali. "Apa maksudmu, kakangmas" Aku
........ aku bingung sekali. Benarkah semua kata-katamu ini dapat dipercaya ?"
"Tenanglah, diajeng dan dengarkan ceritaku, cerita ibumu tentang pengalamannya yang penuh derita" Dengan hati-hati Nurseta lalu mengulang cerita Warsiyem yang pernah didengarnya dari wanita itu, betapa wanita itu yang ditinggal suaminya mencari pekerjaan di Singosari, dilarikan Ki Cucut Kalasekti, diperkosa dan dibujuk, kemudian karena ia selalu menolak, dilempar ke dalam goa itu. Betapa anak tunggalnya, Wulansari, disuruhnya melarikan diri bersama adiknya laki-laki menunggang perahu untuk menyusul suaminya di Singosari. Betapa kemudian setelah berhasil lolos dari goa bersama Nurseta dan berkunjung ke dusun Paguh, wanita itu bertemu dengan suaminya yang telah menjadi senopati Singosari dan yang baru saja kembali memimpin pasukan menaklukkan Bali.
"Demikianlah, diajeng Wulansari. Ayah dan ibumu itu kini kembali ke Singosari dan mengutus aku untuk mencarimu. Aku mencari di Bendowinangun, akan tetapi di sana mendengar keterangan bahwa engkau menjadi pengawal istana di sini, maka aku mencarimu di sini. Ayahmu itu adalah seorang senopati Singosari, namanya Ki Medang......"
"Medang Dangdi........" Tiba-tiba Wulansari berseru keras dan seperti orang terkejut ia bangkit berdiri, wajahnya pucat dan matanya memandang jauh. "Ah, kakangmas Nurseta....., sekarang teringatlah aku........ ayahku Ki Medang Dangdi, ibuku Warsiyem, dan ketika itu s.......... ibu memaksaku pergi melarikan diri, bersama Paman Sarjito...... kami naik perahu. Kemudian berganti perahu besar dengan para penumpang lainnya, dan perahu itu diserang badai dan terbalik. Kepalaku terbentur karang dan aku tidak ingat apaapa lagi....."
Nurseta mengangguk senang. "Sampai,engkau diselamatkan oleh Ki Jembros dan disembuhkan oleh Eyang Panembahan Sidik Danasura, akan tetapi engkau lupa akan riwayat dirimu"
"Ya........ ya......., dan muncullah eyang..... ah, dia itu, Ki Cucut Kalasekti yang mengaku sebagai kakekku, dan dengan penuh kasih sayang dia menggemblengku dengan ilmu-ilmu kesaktian. Dia kelihatan begitu baik kepadaku, tapi...." tapi......"
"Diajeng, dialah laki-laki yang telah merusak kehidupan ibu kandungmu"
"Dan dia bahkan hampir membunuhmu, kakangmas. Dia jahat sekali, akan tetapi dia begitu sayang kepadaku......... ah, sungguh bingung aku, kakangmas. Aku harus pergi menemui ayah dan ibu kandungku........"
"Memang seharusnya demikian. Mereka telah menantimu di Singosari dengan hati penuh kerinduan. Marilah, diajeng, mari kita pergi bersama ke Singosari"
"Aku akan minta ijin dulu dari Sribaginda. Engkau tunggulah di sini, kakangmus" Dan
gadis itu dengan wajah masih tegang lalu meninggalkan Nurseta dan masuk ke dalam istana Selama hampir empat tahun menjadi pengawal istana, Wulansari memperlihatkan kesetiaan dan semua orang di istana menghormatinya dan segan kepadanya. Bahkan Sang Prabu Jayakatwang sendiri merasa suka kepadanya, dan melihat bahwa gadis itu sama sekali tidak dapat digoda, raja yang pandai inipun tidak mau mendesak, Baginya, lebih penting tenaga dan kesetiaan Wulansari. Kalau hanya wanita, akan mudah baginya mendapatkan yang jauh lebih cantik menggairahkan dari pada gadis perkasa itu. Maka, ketika Wulansari minta ijin kepada Sang Prabu Jayakatwang untuk pulang ke Bendowinangun dan menengok kakeknya, ia tidak berani mengatakan bahwa ia akan menemui ayahnya yang menjadi senopati Singosari yang diam-diam dimusuhi oleh Raja Kediri itu, Sang Prabu dengan senang hati memberi ijin.
Berangkatlah Wulansari dan Nurseta, bukan ke Bendowinangun melainkan langsung ke Singosari. Sebelum berangkat, Nurseta sempat bertanya kepada Wulansari, "Diajeng, jangan lupa, bawalah tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala, karena pusaka itu harus kukembalikan kepada ayahku"
Tiba-tiba sikap Wulansari berubah kaku dan ia memandang kepada pemuda itu dengan alis berkerut. "Kakangmas, apakah yang menjadi pikiranmu hanya tombak pusaka itu saja" Jadi kedatanganmu ini bukan sengaja mencari aku melainkan mencari tombak itu?"
"Kedua duanya, diajeng. Tombak pusaka itu amat penting bagi kami, dan harus kukembalikan kepada ayahku. Di manakah pusaka itu, diajeng Wulansari ?"
"Pusaka itu disimpan oleh eyang........ eh, oleh Ki Cucut Kalasekti" gadis itu membohong. Ia sudah tahu bahwa pusaka itu oleh kakeknya diberikan kepada Sang Prabu Jayakatwang, akan tetapi iapun sudah bersumpah, seperti semua pejabat di Kediri, untuk tidak membocorkan hal itu. Setelah beberapa tahun menghambakan diri di istana itu, ia merasa suka dan timbul kesetiaannya, maka iapun tidak mau membocorkan rahasia itu. Bagaimanapun juga, bukan ia yang menyerahkan pusaka itu kepada Raja Kediri, melainkan Ki Cucut Kalasekti.
"Ah......" Nurseta nampak menyesal. Dia percaya kepada keterangan Wulansari itu. "Kalau aku tahu begitu, tentu takkan kulepaskan dia yang sudah tidak berdaya menggeletak di dalam goa itu......"
"Sudahlah, kakangmas. Sekarang yang terpenting adalah menemui ayah ibuku. Tentang
tombak pusaka itu, kita bicarakan kelak saja" Karena pada saat itu tidak mungkin menjumpai Ki Cucut Kalasekti untuk minta kembali Ki Ageng Tejanirmala, terpaksa Nurseta tidak membantah lalu menemani gadis itu pergi ke Singosari.
Tidaklah sukar bagi mereka untuk mencari rumah kediaman Senopati Medang Dangdi di kota raja Singosari. Ki Medang Dangdi melupakan seorang di antara para senopati yang terkenal, apa lagi baru saja dia pulang memimpin pasukan yang menang perang.
Sungguh merupakan pertemuan yang amat mengharukan dan juga menggembirakan yang terjadi di pagi hari itu di rumah kediaman Senopati Medang Dangdi.
Begitu bertemu. Wulansari dan ibunya saling tubruk dan saling rangkul sambil menangis, Tanpa kata-kata, ibu dan anak ini sudah saling mengenal walaupun ketika berpisah dahulu, usia Wulansari baru sepuluh tahun dan kini gadis itu sudah berusia hampir dua puluh lima tahun.
"Kanjeng ibu......."
"Wulan......... Wulansari anakku........"
Setelah bertangis tangisan dengan ibunya, Wulansari lalu menyembah ayahnya yang juga merangkulnya. Ayah ini memandang puterinya penuh perhatian, lalu tertawa girang.
"Wah, wah, engkau sudah begini besar, anakku. Sudah menjadi seorang gadis dewasa dan nampak gagah perkasa. Anakmas Nurseta sudah menceritakan bahwa engkau kini memiliki kesaktian yang hebat"
Mereka duduk di ruangan sebelah dalam. Nurseta juga diajak masuk dan suami isteri itu menganggap Nurseta seperti keluarga sendiri. Ketika mendengar bahwa puterinya kini menjadi pengawal istana di Daha, Ki Medang Dangdi mengangguk angguk. "Tidak ada salahnya menjadi pengawal istana Daha, apa lagi kepala pengawal istana, pangkat itu cukup terhormat. dan Kerajaan Daha juga merupakan kerajaan keluarga Singosari dan juga mengakui kekuasaan Singosari. Akan tetapi, setelah kita berkumpul, engkau harus melepaskan pekerjaanmu itu, nini, dan tinggal bersama ayah ibumu di sini"
"Memang seharusnya begitu. Usiamu sudah cukup dewasa, nini, dan di sini....... sudah ada
anakmas Nurseta, calon suamimu, Mau tunggu sampai kapan lagi " Engkau pulanglah dan kita segera mempersiapkan pernikahan kalian"
"Aih, kanjeng ibu........." Wulansari memeluk ibunya dengan sikap manja. Hatinya senang sekali melihat ayah ibunya agaknya sudah tahu akan percintaannya dengan Nurseta dan agaknya menyetujuinya. Sejenak ia teringat akan Pertiwi, akan tetapi ingatannya itu
tidak menggelisahkan hatinya. Kini, Pertiwi tidak merupakan saingan lagi. Bukankah gadis dusun itu telah ternoda dan sudah pasti Nurseta tidak akan mau memperisterinya setelah dia mendengar akan hal itu.
Melihat kemanjaan Wulansari, Ki Medang Dangdi dan isterinya tersenyum penuh kebahagiaan, sedangkan Nurseta hanya termenung. Harus diakuinya bahwa cintanya terhadap Wulansari tidak pernah berubah, bahkan makin mendalam. Akan tetapi juga dia tetap memegang kesetiaannya terhadap tunangannya, Pertiwi. Akan tetapi, bagaimana mungkin dia tega merusak kebahagiaan keluarga yang baru saja berkumpul ini dengan penolakannya" Maka diapun diam saja, hanya menundukkan muka,
"Yaaa, aku sudah mendengar dari ibumu tentang anakmas Nurseta, anakku. Memang dia pantas menjadi suamimu, dia gagah perkasa, tampan dan berbudi luhur......"
"Ah, ya, aku belum memberitahu kepadamu bahwa selain itu semua, diapun berdarah bangsawan. Ayahnya adalah seorang pangeran "
Mendengar ini, baik Ki Medang Dangdi maupun Wulansari terkejut karena Wulansari sendiri baru sekarang mendengar akan hal itu.
"Putera pangeran kiranya" Siapakah ayahnya itu?" tanya Ki Medang Dangdi.
Isterinya tersenyum. "Engkau "juga mengenalnya, kakangmas. Mendiang avahnya adalah Pangeran Panji Hardoko dari Daha,"
'Ahhhh........" Ki Medang Dangdi nampak terkejut sekali.
"Benar," kata isterinya yang tetap gembira, mengira bahwa suaminya terkejut dan gembira, "sayang bahwa pangeran itu telah meninggal, dan menurut cerita anakmas Nurseta, ketika masih kecil sekali oleh ayahnya dia diberikan kepada mendiang Ki Bayaraja yang dulu memberontak itu, dan dari mendiang Ki Baya lalu diserahkan kepada Ki Baka yang gagah perkasa......"
"Nanti dulul" tiba-tiba Ki Medang Dangdi berseru dan dalam suaranya terkandung kekerasan yang mengejutkan isterinya dan juga Wulansari memandang ayahnya, bahkan Nurseta mengangkat muka memandang senopati itu. Senopati itu bangkit dari kursinya dan wajahnya berubah merah sekali, nampaknya seperti orang marah sehingga mengejutkan mereka bertiga.
"Kenapa, kangjeng rama?" Wulansari bertanya heran.
"Anakmas Nurseta, tahukah kau siapa ibu kandungmu?"
Pertanyaan ini terdengar agak kaku, tidak ramah seperti tadi sehingga Nurseta memandang heran. Dia menggeleng kepalanya. "Saya tidak tahu, kanjeng paman. Ayah Baka sendiri juga tidak tahu siapa ibu kandung saya, sedangkan Ki Baya dan ayah kandung saya sudah meninggal sehingga tidak ada seorangpun yang dapat memberi keterangan siapa ibu saya"
"Akan tetapi aku tahu. Aku tahu siapa ibumu. la adalah seorang tokoh golongan sesat dari Pasundan, namanya terkenal sekali, yaitu Ni Dedeh Sawitri"
"Ahhh........." Tentu saja Nurseta terkejut bagaikan disambar petir. Dia melompat berdiri dan matanya terbelalak memandang kepada Ki Medang Dangdi. Tentu saja dia terkejut mendengar bahwa ibu kandungnya adalah Ni Dedeh Sawitri, wanita iblis itu yang pernah bersama Gagak Wulung nyaris membunuhnya kalau saja dia tidak ditolong oleh Panembahan Sidik Danasura. Wanita iblis yang amat jahat dan keji itu ibu kandungnya"
"Tidak mungkin...." Dia berteriak, wajahnya berubah pucat lalu merah sekali. Lebih baik dia tidak mempunyai ibu kandung dari pada ibu kandung seorang wanita iblis seperti Ni Dedeh Sawitri.
"Aku masih ingat benar akan semua peristiwa itu," kata pula Ki Medang Dangdi seperti kepada diri sendiri, matanya termenung memandang jauh. "Kami sama sama masih
muda, Pangeran Pan ji Hardoko dan aku, Kami bersahabat dan aku kagum dan suka kepada bangsawan yang berbudi baik dan tidak sombong itu. Sayang, dia tergila gila kepada seorang wanita cantik, yang bukan lain adalah Ni Dedeh Sawitri, wanita muda yang cantik menarik, tokoh dari Pasundan yang agaknya memang dikirim oleh Kerajaan Pasundan untuk memata matai Singosari dan Daha. Hubungan antara mereka akrab dan mesra, bahkan Ni Dedeh Sawitri lalu menjadi seorang selir dari pangeran yang belum menikah itu. Dan hubungan itu membuahkan lahirnya seorang anak laki-laki. Akan tetapi, agaknya Ni Dedeh Sawitri merasa bosan kepada sang pangeran yang mulai sakit-sakitan, bahkan mungkin karena tugasnya selesai, pada suatu hari ia meninggalkan Pangeran Panji Hardoko dan anaknya, tanpa pamit. Hal ini, mengguncang batin pangeran yang sudah lemah itu. Dan itulah sebabnya mengapa dia menyerahkan puteranya kepada Ki Baya yang pada waktu itu juga merupakan seorang kepercayaan sang pangeran. Tak lama sesudah menyerahkan puteranya, diapun meninggal dunia. Agaknya, kepergian Ni Dedeh Sawitri yang sesungguhnya amat dicintanya itu telah menghancurkan hatinya dan membuat penyakitnya menjadi semakin parah. Nah, itulah yang kuketahui dan kalau kau ini putera mendiang Pangeran Panji Hardoko yang diberikan kepada mendiang Ki Baya, maka kaulah putera kandung Ni Dedeh Sawitri"
"Ahh......... ahhh......" Nurseta tidak dapat berkata-kata, kepalanya seperti tiba tiba menjadi pening.
"Aku adalah seorang yang biasa bersikap terus terang dan jujur, anakmas Nurseta. Oleh karena itu, setelah mengetahui bahwa kau adalah anak kandung Ni Dedeh Sawitri, terpaksa aku menyatakan bahwa hubunganmu dengan puteri kami Wulansari harus putus sampai di sini saja, karena tidak mungkin kami mengijinkan puteri kami menjadi mantu Ni Dedeh Sawitri "
"Kanjeng rama........" Wulansari berseru kaget.
"Nanti dulu " kata Warsiyem yang juga terkejut sekali mendengar ucapan suaminya. "Andai benar dia putera Ni Dedeh Sawitri, lalu mengapa " Apa salahnya dia menjadi suami Wulansari ?"
"Hemm, engkau belum tahu siapa itu Ni Dedeh Sawitri, isteriku. Dan engkaupun belum tahu, anakku. Dengarlah kalian baik-baik, Ni Dedeh Sawitri adalah seorang wanita iblis. seorang tokoh jahat yang amat keji, kejam dan cabul. Entah berapa banyak orang yang
tewas di tangannya tanpa sebab, orang-orang tidak berdosa. Dan entah berapa ratus banyaknya pria yang menjadi korban kecabulannya, banyak pula yang dibunuh kalau tidak mau menuruti kehendaknya. Ia cabul dan kotor, lebih hina dari pada seorang perempuan peiacur"
"Ahhh......." Isterinya berseru.
"Kanjeng rama........" Wulansari juga kembali menjerit.
"Agaknya anakmas Nurseta sudah tahu orang macam apa adanya Ni Dedeh Sawitri, Coba jawab sejujurnya, anakmas, tidak benarkah apa yang kukatakan mengenai diri Ni Dedeh Sawitri tadi?"
Nurseta tidak menjawab, hanya mengangguk karena memang diapun tahu orang macam apa adanya Ni Dedeh Sawitri.
"Ah, kalau begitu, tidak mungkin anakku menjadi mantu wanita semacam itu" teriak Warsiyem. "Wulansari, engkau tidak boleh menjadi isteri Nurseta. Aku tidak sudi berbesan dengan seorang wanita cabul, seorang tokoh sesatyang rendah budi dan tak tahu malu"
Dipat dibayangkan betapa sakit rasa hati Nurseta. Kalau benar dia putera Ki Dedeh Sawitri, wanita iblis yang amat jahat itu, kalau memang benar demikian, salahkah dia" Namun, dia masih dapat menguasai dirinya dan berkata dengan suara mengandung kegetiran,
"Kanjeng Paman Medang Dangdi dan kanjeng Bibi Warsiyem harap kau berdua tenang dan tidak khawatir. Memang saya akui bahwa saya mencinta diajeng Wulansari, akan tetapi aku tidak dapat menjadi suaminya, karena saya telah dijodohkan dengan seorang gadis lain. Karena itu, jangan khawatir, kau berdua tidak akan berbesan dengan ibuku, wanita yang jahat itu. Saya mohon pamit. Diajeng Wulansari, selamat tinggal dan maafkan semua kesalahanku, diajeng" Berkata demikian, Nurseta mengerahkan kepandaiannya dan sekali meloncat, tubuhnya berkelebat keluar dari rumah gedung itu.
"Kakangmas Nurseta........" Wulansari mengeluh dan gadis inipun menutupi mukanya, menangis. Biasanya, Wulansari jarang bahkan hampir tidak pernah menangis. Semenjak menjadi murid Ki Cucut Kalasekti, hatinya telah mengeras. Akan tetapi kini ia merasa amat duka dan sengsara kehilangan pria yang dicintanya, maka tidak dapat ia menahan dirinya dan menangis.
Ketika ayah dan ibunya merangkul dan mencoba untuk menghiburnya, tiba-tiba Wulansari menepiskan tangan mereka, meloncat berdiri dan sambil menyusut air matanya, ia memandang ayah bundanya itu dengan mata berang.
"Kanjeng rama dan kanjeng ibu mendatangkan perasaan bahagia dalam hatiku karena pertemuan antara kita, akan tetapi juga mendatangkan perasaan duka dengan sikap menolak kakangmas Nurseta. Biarlah saya akan kembali ke Daha dan melupakan semua ini"
Setelah berkata demikian, gadis yang merasa hancur hatinya karena perpisahannya dengan Nurseta itu juga mempergunakan ilmunya, meloncat dan berlari keluar gedung dan meninggalkan tempat itu.
"Wulan....... " Warsiyem berseru memanggil, akan tetapi anaknya tidak menjawab dan karena tidak kuasa mengejar, wanita ini terkulai dan menangis dalam pelukan suaminya yang menghiburnya.
"Sudahlah, diajeng. Lebih baik begitu, biar ia kembali ke Daha dan melupakan kedukaan dan kekecewaannya, Lebih baik begitu dari pada ia menjadi isteri putera Ni Dedeh Sawitri. Bagaimannpun juga, ia adalah anak kita. Kelak kalau rindu, kita dapat mencarinya di Kediri dan tentu sekali waktu ia akan kembali ke sini menengok kita"
Warsiyem hanya terisak, akan tetapi dapat menerima hiburan suaminva. Bigaimanapun juga, ia tidak rela kalau anaknya harus menjadi mantu seorang wanita iblis seperti Ni Dedeh Sawitri yang khabarnya amat jahat dari keji, juga berwatak hina dan rendah itu.
*** Nurseta berlari cepat meninggalkan Singosari. Hampir saja dia lupa diri saking hebatnya guncangan batin yang dirasakannya ketika dia mendengar bahwa ibu kandungnya adalah Ni Dedeh Sawitril Akan tetapi, dia segera dapat menguasai dirinya, dapat membuka mata dan menghadapi kenyataan dengan sewajarnya, betapapun pahit dan menyakitkan adanya kenyataan itu. Kini dia berjalan menuju ke Gunung Kelud yang sudah nampak di depannya. Dia harus menerima kenyataan. Kalau memang benar dia putera Ni Dedeh Sawitri, mengapa dia harus kecewa, mengapa dia harus berduka, atau merasa malu" Ini merupakan kenyatakan dan tidak ada kekuatan apapun di dunia ini yang mampu merobah kenyataan. Baik buruk hanya penilaian. Dia harus berani menghadapi kenyataan itu, tanpa menilainya.
Dia akan menghadap Ki Baka lebih dulu, menjenguk orang tua itu yang tentu merasa gelisah sekali karena selama hampir lima tahun dia pergi tanpa berita. Setelah itu, barulah dia akan mencari Ki Cucut Kalasekti kalau perlu ke goa di tebing itu, entah dengan cara bagaimana nanti, untuk meminta kembalinya tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala.
Membayangkan wajah ayah angkatnya itu, timbul perasaan rindu di hatinya. Entah bagaimana, setelah dia mendengar bahwa ibu kandungnya adalah Ni Dedeh Sawitri, perasaan cintanya terhadap Ki Baka menjadi semakin mendalam. Betapa luhur budi ayah angkatnya itu. Maka Nurseta lalu cepat cepat mempergunakan kepandaiannya berlari seperti terbang mendaki Gunung Kelud, menuju ke padepokan Ki Baka.
Akan tetapi, setibanya di pondok yang menjadi padepokan Ki Baka, Nurseta termangu-mangu memandang pondok yang kosong. Agaknya sudah lama pondok itu ditinggalkan, nampak terlantar, bahkan ladang di belakang pondokpun kini penuh dengan rumput dan semak-semak, tanda bahwa tidak dirawat sejak lama.
Nurseta termenung. Ki Baka sudah pergi" Pindah" Ataukah sudah tidak ada lagi, sudah meninggal dunia" Alisnya berkerut membayangkan kemungkinan terakhir itu. Dia harus mencari keterangan dan dia tahu ke mana harus bertanya. Ke dusun Sintren, di rumah Pertiwi. Maka diapun cepat menuruni lereng Kelud dan menuju ke dusun Sintren.
"Raden Nurseta......." Ki Purwoko menyambut kedatangan Nurseta dengan seruan kaget.
Nurseta melihat wajah Ki Purwoko nampak tua dan sinar matanya suram, wajahnya buram tanda bahwa orang ini telah menderita tekanan batin dan berada dalam duka. Hatinya semakin tidak enak maka segera dia bertanya.
"Paman Purwoko, saya tadi naik ke atas akan tetapi padepokan ayah Baka kosong dan....."
"Ayah angkatmu itu telah pergi beberapa tahun yang lalu, ikut dengan Panembahan Sidik Danasura, Raden"
Legalah rasa hati Nurseta, wajahnya berseri dan diapun ingat akan basa basi lagi.
"Bagaimana kabarnya, Paman " Baik baik saja, bukan" Dan bagaimana dengan bibi, dan dengan diajeng Pertiwi?"
Mendengar disebutnya nama puterinya, Ki Purwoko memejamkan kedua matanya. "Kami........ kami baik-baik saja, tapi........ tapi Pertiwi....... ahhhh......" Dia tidak dapat melanjutkan kata katanya dan matanya tetap terpejam.
Medang Dangdi menubruk dan merangkul isterinya, diciuminya wajah yang basah air mata itu. "Benar sekali, isteriku. Kakek iblis itu boleh jadi merampas tubuhmu, memiliki tubuhmu, mengotori tubuhmu. Akan tetapi siapapun tidak dapat merampas hatimu, tidak dapat memiliki cintamu, tidak dapat mengotori hatimu yang hanya mencinta aku dan anak kita seorang. Engkau tidak hina dalam pandanganku, diajeng, bahkan aku menghormatimu, aku mengagumi pengorbananmu. Engkau isteriku, hatimu tidak ternoda. Noda badan dapat dicuci bersih, dan hatimu tetap milikku, cintamu hanya untuk aku dan anak kita"
Wajah itu kini agak mlerah dan gepasang mata itu agak berseri. "Kakangmas Medang.....
benar....... benarkah itu" Bukan hanya sekedar hiburan belaka " Kelak engkau........ tidak
akan menghinaku dengan peristiwa itu ?"
Suaminya menatapnya sambil tersenyum walaupun matanya masih basah dan menggeleng kepalanya. "Tidak, isteriku. Semua itu terjadi bukan atas kehendakmu. Engkau telah menderita lahir batin selama belasan tahun, sekarang saatnya engkau hidup berbahagia dengan aku, dengan kami, aku dan anakmu"
"Wulan........... Wulansari, dimanakah ia ?"
Warsiyem nampak gelisah dan menoleh ke kanan kiri, seperti mencari-cari dan mengharapkan akan dapat menemukan puterinya di situ.
Medang Dangdi memandang kepada Nurseta. "Bukankah tadi anakmas ini bercerita bahwa puteri kita itu ikut dengan Cucut Kalasekti ?"
"Benar, kanjeng paman. Kami, yaitu kanjeng bibi dan aku, telah mencari ke rumah gedung tua tempat tinggal Ki Cucut Kalasekti, namun rumah itu kosong dan agaknya sudah lama tidak terawat. Kami lalu ke sini dan melihat rumah kanjeng bibi juga kosong dan tidak terawat"
"Ah, Nurseta, sekarang aku teringat. Bukankah iblis tua itu ketika tiba di dalam goa
mengatakan bahwa dia kini telah menjadi adipati bernama Adipati Satyanegara, adipati di Bendowinangun ?" tiba-tiba Warsiyem berseru.
Nurseta mengangguk. "Benar, sayapun ingat sekarang, kita harus melakukan penyelidikan ke Bendowinangun"
Ki Medang Dangdi mengerutkan alisnya. "Bendowinangun adalah kadipaten wilayah Kerajaan Dhaha. Aku sebagai seorang senopati Singosari, sungguh merasa kurang enak kalau harus melakukan penyelidikan ke sana. Dan pula, aku harus ikut dengan pasukan yang kembali ke Singosari setelah berhasil menaklukkan Bali. Diajeng Warsiyem, marilah engkau ikut bersamaku palang ke Singosari, nanti setelah menghadap Sribaginda, aku akan minta ijin untuk pergi mencari anak kita ke Bendowinangun"
Isterinya mengangguk. "Kalau begitu, biarlah Nurseta yang pergi mencari Wulan ke Bendowinangun"
"Ah, bagaimana kita berani merepotkan anakmas Nurseta ?" Medang Dangdi berkata sungkan.
"Kakangmas Medang, ketahuilah bahwa anakmas Nurseta ini bukanlah orang lain. Dia dan Wulan saling mencinta, dia adalah calon mantu kita"
"Ah, begitukah ?" Wajah Ki Medang Dangdi berseri. "Aku girang sekali. Kalau begitu, bolehkah kami berharap anakmas Nurseta akan mencari Wulansari ke Bendowinangun"
Nurseta dalam hatinya membantah bahwa dia dapat menjadi jodoh Wulansari, akan tetapi dia tidak mau mengecewakan dan membuyarkan harapan suami isteri yang baru saja saling bertemu dan dalam kebahagiaan itu. Bagaimanapun juga, dia sudah memberitahukan dengan terus terang kepada yang berkepentingan, yaitu Wulansari sendiri bahwa biarpun dia dan gadis itu saling mencinta, namun tidak mungkin menjadi suami isteri karena dia telah bertunangan dengan seorang gadis lain.
"Baiklah, kanjeng paman dan bibi, saya akan pergi ke Bendowinangun mencari diajeng Wulansari dan akan saya beritahukan tentang keadaan dirinya yang sebenarnya, siapa sesungguhnya ayah dan ibu kandungnya, dan tentang Ki Cucut Kalasekti yang sama sekali bukan kakeknya, melainkan musuh yang mencelakakan ibunya" Dalam hati dia menambahkan bahwa selain mencari Wulansari, diapun ingin meminta kembali tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala.
Ki Medang Dangdi memberi isarat kepada pasukan kecil yang mengawalnya untuk mendekat, lalu minta seekor kuda yang baik untuk isterinya. Kemudian, setelah berpamit, dia dan isterinya berpisah dari Nurseta yang menolak ketika akan diberi seekor kuda. Nurseta melanjutkan perjalanan untuk mencari Wulansari dan tombak pusaka, sedangkan Medang Dangdi membawa isterinya bergabung dengan induk pasukan kembali ke Singosari.
*** Ketika empat lima tahun yang lalu Wulansari melihat Nurseta terjungkal ke dalam jurang, ia menjadi putus asa, berduka, akan tetapi juga sakit hati kepada wanita yang menjadi tunangan Nurseta. Bersama kakeknya, ia pergi ke Pegunungan Kelud mencari calon isteri Nurseta dan setelah melakukan penyelidikan, bertanya kepada para penghuni dusun di daerah Pegunungan Kelud, akhirnya ia mendengar bahwa calon isteri Nurseta itu bernama Pertiwi, seorang gadis manis yang tinggal di dusun Sintren. Ia lalu pergi ke dusun itu, dibayangi oleh Ki Cucut Kalasekti yang merasa khawatir kalau-kalau cucunya akan menghadapi bahaya. Seperti kita ketahui, setelah bertemu dengan Pertiwi dan mendengar bahwa gadis dusun itu telah ternoda oleh Gagak Wulung, Wulansari tidak jadi membunuh Pertiwi, bahkan mentertawakan dan memberitahukan bahwa Nurseta telah mati. Kemudian, ia lari meninggalkan Pertiwi sambil menangis.
Melihat keadaan muridnya itu, Ki Cucut Kalasekti menggeleng-geleng kepala dengan heran sekali. Gadis yang diaku cucunya dan menjadi muridnya itu tidak jadi membunuh tunangan Nurseta, bahkan lari pergi sambil menangis. Dia yang sudah berusia tujuhpuluh lima tahun, tetap saja merasa bingung melihat sikap wanita, dan tidak dapat menyelami perasaan mereka. Diapun lalu mengejar Wulansari dan mereka pulang ke Bendowinangun.
Berulang kali Ki Cucut Kalasekti membujuk Wulansari untuk suka menerima kehendak hati Sang Prabu Jayakatwang agar gadis itu mau menjadi selirnya merangkap puteri pengawal dalam istana. Namun Wulansari selalu menolak sehingga diam-diam Ki Cucut Kalasekti mengambil keputusan di dalam hatinya bahwa kalau gadis itu tetap menolak, dia akan mengambilnya menjadi isterinya sendiri. Kini, setelah dewasa, Wulansari mirip sekali dengan wanita yang membuatnya tergila gila, yaitu Warsiyem, ibu kandung gadis itu.
Wulansari sendiri nampak murung semenjak melihat Nurseta terjungkal ke bawah tebing. Ia merasa seolaholah hidupnya kosong dan tidak mempunyai harapan. Teringatlah ia akan tombak pusaka Ki Tejanirmala. Tombak pusaka itulah yang menjadi gara-gara, pikirnya. Kalau saja tidak ada pusaka yang dipej rebutkan itu, tentu ia tidak berhadapan dengan Nurseta sebagai musuh yang memperebutkan pusaka. Dan kini tombak pusaka itu oleh kakeknya telah diberikan kepada Sang Prabu Jayakatwang dengan ditukar kedudukan adipati. Hatinya mulai tertarik. Mengapa untuk tombak seperti itu saja Sang Prabu Jayakatwang sampai mau menukarnya dengan sebuah kadipaten berikut kedudukan adipati" Apa sih khasiatnya tombak itu" Hatinya mulai diganggu penasaran dan iapun mulai tertarik, ingin hidup di sebuah kota raja seperti Daha, di mana terdadat banyak satria yang perkasa. Ia ingin menghibur hatinya yang berduka itu dan hidup di kota raja. Maka, iapun menerima bujukan kakeknya, akan tetapi hanya mau menjadi pengawal dalam istana, bukan menjadi selir.
"Aku suka menjadi pengawal dalam istana atau pengawal pribadi Sang Prabu, akan tetapi aku tidak mau menjadi selir siapapun juga. Kalau ada yang berani mengganggu dan menyentuhku, siapapun dia, akan kubunuh"
Karena kesanggupan Wulansari, menjadi pengawal pribadi Sang Prabu Jayakatwang, Ki Cucut Kalasekti merasa girang sekali. Hal itu jauh lebih menguntungkan dirinya dari pada kalau dia harus memaksa gadis itu menjadi mangsa nafsunya, karena dia khawatir kalau-kalau gadis itu akan bersikap seperti lbunya, tidak mau menyerahkan diri secara suka rela dan hal ini amat mengecewakan dan menyakitkan hatinya, Dia lalu mengantarkan gadis itu menghadap Sang Prabu Jayakatwang yang merasa girang sekali karena gadis itu mau menjadi pengawal dalam istana atau juga pengawal pribadinya. Biarpun gadis itu tidak bersedia menjadi selirnya, namun sedikitnya dia akan selalu berdekatan dan merasa terlindung oleh seorang gadis yang cantik dan sakti, dan siapa tahu, lambat laun gadis itu akhirnya akan menyerahkan diri juga menjadi selirnya seperti yang diam-diam diberitahukan oleh Adipati Satyanegara atau Ki Cucut Kalasekti itu.
Demikianlah, mulai saat itu, Wulansari tinggal di dalam istana, sebagai seorang penjaga keamanan pribadi raja dan juga kepala pengawal bagian dalam kraton.
Setelah gadis yang selama ini diakui cucu dan juga diambil murid itu pergi meninggalkannya, barulah Ki Cucut Kalasekti merasa kesepian. Maka diapun teringat kepada Warsiyem, ibu kandung gadis itu dan pergilah dia ke Blambangan, ke tebing curam di tepi pantai dan mengunjungi goa tempat dia menawan wanita itu dengan perahu, lalu memanjat ke atas. Seperti kita ketahui, dia dirobohkan oleh Nurseta dan kunjungannya itu bahkan membuka kesempatan kepada Nurseta dan Warsiyem untuk meninggalkan tempat itu.
Setelah berpisah dari Ki Medang Dangdi dan Warsiyem, Nurseta melakukan perjalanan seorang diri dengan cepat menuju ke Kadipaten Bendowinangun, di dekat Kali Campur. Dia akan mencari Wulansari dan menceritakan tentang rahasia gadis itu, tentang ayah dan ibu kandungnya, tentang Ki Cucut Kalasekti yang sebenarnya adalah musuh besarnya. Dan tentu saja, dia mengharapkan gadis itu akan mengembalikan tombak pusaka Ki Tejanirmala. Setelah tombak pusaka itu dapat berada di tangannya kembali, barulah dia akan pergi ke Pegunungan Kelud mengunjungi ayah angkatnya, Ki Baka.
Tentu saja setelah dia tiba di Kadipaten Bendowinangun, dia mendapatkan gedung kadipaten itu kosong, banya ada para abdi dalem dan pasukan pengawal saja. Dari keterangan yang diperolehnya, ternyata bahwa gadis yang dicarinya, Wulansari, kini telah menjadi seorang pengawal pribadi di kraton Sang Prabu Jayakatwang. Dan dia memperoleh keterangan pula bahwa Sang Adipati Satyanegara, yaitu nama baru bagi Ki Cucut Kalasekti, telah beberapa hari lamanya meninggalkan kadipaten, tanpa seorangpun mengetahui ke mana perginya, Nurseta diam-diam mengharapkan kakek itu tidak akan dapat keluar lagi dari goa di tebing curam itu.
Nurseta segera menuju ke Kerajaan Daha di Kediri. Tentu saja dia mengalami kesulitan untuk dapat berjumpa dengan Wulansari yang menjadi kepala penjaga keamanan di kraton, bahkan menjadi pengawal pribadi Sang Prabu Jayakatwang, Kepala pasukan di luar kraton mencurigainya dan Nurseta telah dikepung oleh para penjaga itu, dan komandan mereka mengamati pemuda yang menanyakan dan mencari Wulansari itu dengan penuh selidik.
"Siapakah kau dan ada keperluan apakah kau mencari Raden Roro Wulansari, kepala penjaga istana?" hardik komandan yang berkumis melintang seperti kumis Gatotkaca itu.
Nurseta bersikap tenang saja. "Namaku Nurseta, harap dilaporkan kepada.........Raden
Roro Wulansari bahwa Nurseta datang dan ingin bertemu, tentu ia akan mengenal siapa aku dan akan keluar menemuiku"
Akan tetapi komandan itu takut kalau dia dipersalahkan, maka diapun bertanya dengan nada menyelidik, "Ki sanak, tidak begitu mudah untuk menjumpai beliau. Kami akan melaporkan, akan tetapi katakan dulu apa keperluanmu datang hendak menghadap beliau?"
Nurseta maklum bahwa dia tidak dipercaya, bahkan dicurigai, maka dia lalu teringat akan Ki Cucut Kalasekti yang menjadi adipati, dan diapun menjawab tegas, "Aku adalah utusan dari Sang Adipati Satyanegara, kakek dari Raden Roro Wulansari, dan aku datang membawa pesan penting dari Sang Adipati untuk cucunya itu"
Tepat sekali dugaannya. Begitu mendengar bahwa dia utusan Sang Adipati Satyanegara yang semua orang mengenal sebagai kakek dari Wulansari, komandan itu merobah sikapnya, menjadi ramah sekali.
"Ah, kiranya kau utusan dari Kadipaten Bendowinangun " Mengapa tidak dari tadi kau katakan demikian " Duduklah, ki sanak, kami akan memberi laporan ke dalam istana,"
Nurseta dipersilakan duduk di ruangan tunggu, di luar istana itu. Sambil tersenyum lega pemuda ini lalu duduk di situ, menanti dengan hati agak tegang. Ingin sekali dia melihat bagaimana sikap Wulansari kalau berhadapan dengan dia. Tentu, seperti juga Ki Cucut Kalasekti, gadis itu sama sekali tidak pernah mengira bahwa dia masih hidup.
Tidak terlalu lama Nurseta menunggu. Komandan itu datang dengan sikap hormat membongkok-bongkok, mengiringkan seorang wanita yang berpakaian serba hijau, ringkas, pakaian seorang perwira yang gagah. Rambutnya yang hitam panjang itu digelung dan dihias dengan hiasan rambut terbuat dari pada emas permata, juga lengannya terhias gelang-gelang yang bertaburan intan. Wajahnya yang cantik itu berseri dan mengandung wibawa yang membuat seorang pria tidak akan berani sembarangan saja bersikap kurang ajar terhadap wanita cantik ini.
Ketika wanita itu berhadapan dengan Nurseta yang sudah bangkit berdiri, mereka berdta berdiri saling berbadapan, dalam jarak kurang lebih dua meter, dan keduanya seperti terpesona. Wajah Wulansari yang tadinya berseri itu kini dibayangi keheranan dan ketidak percayaan, sebentar merah sebentar pucat, matanya terbelalak dan sampai lama ia tidak raampu mengeluarkan kata-kata, Juga Nurseta seperti orang kehilangan akal, hanya berdiri menatap wajah gadis itu, terpesona karena dalam hatinya yang penuh kerinduan itu kini penuh kagumi, matanya melihat gadis yang dicintanya itu kini bahkan lebih cantik dari pada dahulu.
"Kakangmas Nurseta......" Akhirnya Wulansari mengeluh, suaranya lirih seperti rintihan.
"Diajeng Wulansari........" Nurseta juga memanggil, penuh kerinduan, Hampir keduanya saling tubruk, akan tetapi Wulansari teringat bahwa ada beberapa pasang mata memandang mereka, yaitu mata para penjaga komandannya, Maka iapun membalik dan menghardik mereka.
"Tinggalkan kami di sini dan jangan ganggu"
Komandan itu memberi hormat, lalu diapun membentak para anak buahnya untuk pergi meninggalkan ruangan itu. Mereka itu dengan muka tunduk dan patuh meninggalkan ruangan dan keluar untuk berjaga di gardu penjagaan yang berada di luar pintu gerbang halaman istana.
Setelah mereka semua pergi, Wulansari melangkah maju dan tanpa dapat ditahannya lagi, langsung ia menubruk dan merangkul Nurseta dan suaranya terdengar menggetar ketika ia memanggil, "Kakangmas........"
Mereka berpelukan, penuh kerinduan dan sejenak Nurseta mendekap kepala, yang amat dirindukan dan disayangnya itu ke dadanya, seolah ingin memasukkan kepala itu ke dalam dadanya agar jangan terpisah lagi darinya. Kemudian, menyadari bahwa mereka berada di ruangan pendopo istana, keduanya saling melepaskan rangkulan dan Wulansari melangkah mundur dua langkah, memandang dengan mata basah dan dengan senyum manis menghias mulutnya.
"Kakangmas Nurseta, duduklah dan ceritakan bagaimana....... bagaimana engkau dapat
hidup lagi. Ah, kakangmas, melihat engkau terjungkal di tebing itu, pikiranku tidak memungkinkan bahwa engkau akan terbebas dari kematian, akan tetapi sesungguhnya, hatiku tidak pernah putus mengharapkan bahwa engkau selamat dan masih hidup"
Mereka duduk berhadapan. "Mungkin cinta kita dan doamu yang mendorong Sang Hyang Wisesa mengulurkan tangan dan menyelamatkan aku, diajeng"
"Ceritakan, kakangmas, ceritakanlah bagaimana engkau dapat menyelamatkan diri dari....
kejatuhan itu" Mau tidak mau Wulansari bergidik membayangkan betapa tubuh kekasihnya itu terjungkal dari atas puncak tebing yang demikian curamnya.
Dengan ringkas namun jelas Nurseta lalu menceritakan betapa batang pohon yang tumbuh di dinding tebing itu yang menyelamatkannya dan betapa dia dapat merayap ke dalam sebuah goa tidak jauh dari situ.
"Dan tahukah engkau siapa yang kujumpai di dalam goa yang besar itu, diajeng?" tanya Nurseta sambil mengamati wajah cantik yang mendengarkan dengan penuh takjub itu, wajah yang mirip sekali dengan wajah wanita dalam goa, akan tetapi tentu saja wajah yang ini jauh lebih muda dan lebih cantik manis. Mendengar pertanyaan ini, Wulansari yang sudah keheranan itu menjadi semakin heran.
"Engkau menjumpai orang di dalam goa itu?" tanyanya, dan matanya yang lebar itu memandang tanpa berkedip.
Nurseta mengangguk dan tersenyum, jantungnya berdebar tegang karena dia menghadapi saat yang dinanti-nantikan, yaitu pembukaan rahasia keluarga gadis ini. "Dan siapakah yang kujumpai itu, diajeng" Ia seorang wanita, setengah tua dan cantik jelita, seperti engkau.."
"Ihh. Kakangmas, apa kau mau mengatakan bahwa aku sudah setengah tua?" Wulansari terbelalak dan mengelus pipinya sendiri.
Nurseta tersenyum lebar. "Bukan begitu maksudku, diajeng. Akan tetapi wanita itu memang memiliki wajah yang cantik dan mirip sekali dengan wajahmu, tentu saja ia jauh lebih tua. Namanya.... Warsiyem.." Nurseta sengaja mengucapkan nama ini dengan.tegas dan dia mengamati wajah cantik itu untuk melihat reaksinya.
Memang menarik sekali mempelajari reaksi gadis itu. Ia seperti orang tertegun, kedua alisnya berkerut dan ia seperti mengingat-ingat, melamun, akan tetapi lalu menggeleng kepala perlahan. "Aku seperti merasa tidak asing dengan nama itu, akan tetapi..... ah, aku tidak mengenalnya..." Lalu ia menyambung cepat, "Akan tetapi, bagaimana wanita itu dapat berada di dalam goa itu, kakangmas?"
Nurseta sedang berpikir-pikir bagaimana caranya untuk membuka rahasia gadis itu. Mendengar pertanyaan itu, diapun sudah mendapatkan cara terbaik, harus perlahan dan tidak mendadak. "Wanita itu, kanjeng bibi Warsiyem, sudah berada di dalam goa itu selama sepuluh tahun ketika aku tiba disana, dan ia berada di sana sebagai tawanan seorang yang amat jahat. Ia diculik dari rumahnya, dipaksa menjadi isteri penjahat itu. Ia tidak mau menyerah sehingga diperkosa dan disiksa, akan tetapi ia tetap tidak mau menyerahkan diri dengan suka rela, maka penjahat itu menjadi marah dan ia ditahan di dalam goa di mana ia tidak akan mampu keluar karena goa itu berada di dinding tebing yang curam, sama sekali tidak ada jalan keluar"
"Hemm, betapa jahatnya laki-laki itu, dan betapa gagah beraninya wanita itu" kata Wulansari dan diam-diam Nurseta merasa girang karena memang inilah yang dikehendakinya. Sebelum membuka rahasia itu, dia ingin menanamkan kebencian dalam hati gadis ini terhadap Ki Cucut Kalasekti dan kekaguman terhadap Warsiyem. "Akan tetapi, kalau tidak ada jalan keluar, bagaimana engkau dapat keluar dari sana, kakangmas?" Wulansari agaknya tidak begitu tertarik kepada wanita dalam goa dan penculiknya, maka pertanyaannya selalu mengenai diri Nurseta.
"Sampai empat lima tahun aku berada di sana, diajeng, sama sekali tidak berdaya untuk dapat keluar. Merayap naik tidak mungkin karena amat tinggi dan curam. Merayap turun sampai ke laut dapat dilakukan, akan tetapi setibanya di bawah, juga tidak ada jalan keluar karena akan disambut air laut dahsyat yang akan menghempaskan kami ke batu karang dan tidak ada perahu di sana. Terpaksa aku tinggal di sana sampai empat tahun lebih, bersama kanjeng bibi Warsiyem dan kami memperdalam ilmu dan memperkuat tenaga sakti. Akhirnya, pada suatu pagi, muncullah penculik jahat itu untuk menjenguk kanjeng bibi. Aku menyerangnya dan berhasil merobohkannya. Lalu kami berdua cepat merayap turun, menggunakan perahu penjahat itu selagi laut menyurut dan akhirnya kami berhasil lolos dan mendarat"
Wulansari mendengarkan dengan hati penuh ketegangan. "Ah, aku girang sekali bahwa engkau selamat, kakangmas, tapi........ bagaimana engkau dapat menjadi utusan kakekku"
Benarkah Eyang Adipati Satyanegara yang mengutusmu ke sini ?"
Nurseta tersenyum mendengar sebutan Eyang Adipati ini kepada Cucut Kalasekti. Dia menggeleng. "Aku berbohong agar para penjaga itu mau percaya kepadaku, diajeng. Akan tetapi nanti dulu, apakah engkau tidak ingin mengetahui siapa adanya kanjeng bibi Warsiyem itu, dan siapa pula penculiknya yang jahat ?"
Wulansari menggeleng kepala dengan acub. "Aku tidak mengenal wanita itu, dan aka tidak perduli siapa pria yang amat jahat itu...."
"Penculik jahat itu bukan lain adalah Ki Cucut Kalasekti"
Wulansari mengerutkan alisnya, Tidak aneh baginya berita ini. Ia sudah tahu akan watak buruk kakeknya itu terhadap wanita, walaupun ia sama sekali tidak menyangka bahwa penculik wanita dalam goa itu adalah kakeknya. Akan tetapi ia teringat betapa penculik itu dirobohkan Nurseta di dalam goa, maka kini ia memandang penuh selidik.
"Dan engkau memukul dia roboh di dalam goa " Engkau....... engkau membunuhnya ?"
Nurseta menggeleng kepalanya. "Aku merobohkannya karena dia hendak membunuhku, dan dia tidak mati. Aku dan kanjeng bibi cepat meninggalkan goa itu untuk meloloskan diri"
"Dan kau tinggalkan kakekku di sana" Ah, aku harus ke sana untuk menoIongnya"
"Nanti dulu, diajeng. Tahukah engkau siapa adanya kanjeng bibi Warsiyem?"
Gadis itu mengamati wajah Nurseta penuh selidik, tidak mengerti mengapa pemuda itu bertanya demikian.
"Kanjeng Bibi Warsiyem adalah........ ibu kandungmu sendiri, diajeng"
"Ohhhh..........." Seketika wajah Wulansari menjadi pucat sekali, matanya terbelalak memandang wajah Nurseta. "Apa........ apa maksudmu, kakangmas Nurseta" Kalau ia ibuku,mengapa kakekku menculiknya dan........ dan....... memperkosanya katamu tadi ?" Gadis itu benar-benar bingung sekali.
"Ki Cucut Kalasekti bukan kakekmu, diajeng. Dia hanya mengaku aku saja sebagai eyangmu. Dia membohongimu "
"Ohhh......." Untuk ke dua kalinya gadis itu menjerit kecil dan mukanya kini berubah lagi menjadi semakin pucat, lalu berubah merah sekali. "Apa maksudmu, kakangmas" Aku
........ aku bingung sekali. Benarkah semua kata-katamu ini dapat dipercaya ?"
"Tenanglah, diajeng dan dengarkan ceritaku, cerita ibumu tentang pengalamannya yang penuh derita" Dengan hati-hati Nurseta lalu mengulang cerita Warsiyem yang pernah didengarnya dari wanita itu, betapa wanita itu yang ditinggal suaminya mencari pekerjaan di Singosari, dilarikan Ki Cucut Kalasekti, diperkosa dan dibujuk, kemudian karena ia selalu menolak, dilempar ke dalam goa itu. Betapa anak tunggalnya, Wulansari, disuruhnya melarikan diri bersama adiknya laki-laki menunggang perahu untuk menyusul suaminya di Singosari. Betapa kemudian setelah berhasil lolos dari goa bersama Nurseta dan berkunjung ke dusun Paguh, wanita itu bertemu dengan suaminya yang telah menjadi senopati Singosari dan yang baru saja kembali memimpin pasukan menaklukkan Bali.
"Demikianlah, diajeng Wulansari. Ayah dan ibumu itu kini kembali ke Singosari dan mengutus aku untuk mencarimu. Aku mencari di Bendowinangun, akan tetapi di sana mendengar keterangan bahwa engkau menjadi pengawal istana di sini, maka aku mencarimu di sini. Ayahmu itu adalah seorang senopati Singosari, namanya Ki Medang......"
"Medang Dangdi........" Tiba-tiba Wulansari berseru keras dan seperti orang terkejut ia bangkit berdiri, wajahnya pucat dan matanya memandang jauh. "Ah, kakangmas Nurseta....., sekarang teringatlah aku........ ayahku Ki Medang Dangdi, ibuku Warsiyem, dan ketika itu s.......... ibu memaksaku pergi melarikan diri, bersama Paman Sarjito...... kami naik perahu. Kemudian berganti perahu besar dengan para penumpang lainnya, dan perahu itu diserang badai dan terbalik. Kepalaku terbentur karang dan aku tidak ingat apaapa lagi....."
Nurseta mengangguk senang. "Sampai,engkau diselamatkan oleh Ki Jembros dan disembuhkan oleh Eyang Panembahan Sidik Danasura, akan tetapi engkau lupa akan riwayat dirimu"
"Ya........ ya......., dan muncullah eyang..... ah, dia itu, Ki Cucut Kalasekti yang mengaku sebagai kakekku, dan dengan penuh kasih sayang dia menggemblengku dengan ilmu-ilmu kesaktian. Dia kelihatan begitu baik kepadaku, tapi...." tapi......"
"Diajeng, dialah laki-laki yang telah merusak kehidupan ibu kandungmu"
"Dan dia bahkan hampir membunuhmu, kakangmas. Dia jahat sekali, akan tetapi dia begitu sayang kepadaku......... ah, sungguh bingung aku, kakangmas. Aku harus pergi menemui ayah dan ibu kandungku........"
"Memang seharusnya demikian. Mereka telah menantimu di Singosari dengan hati penuh kerinduan. Marilah, diajeng, mari kita pergi bersama ke Singosari"
"Aku akan minta ijin dulu dari Sribaginda. Engkau tunggulah di sini, kakangmus" Dan
gadis itu dengan wajah masih tegang lalu meninggalkan Nurseta dan masuk ke dalam istana Selama hampir empat tahun menjadi pengawal istana, Wulansari memperlihatkan kesetiaan dan semua orang di istana menghormatinya dan segan kepadanya. Bahkan Sang Prabu Jayakatwang sendiri merasa suka kepadanya, dan melihat bahwa gadis itu sama sekali tidak dapat digoda, raja yang pandai inipun tidak mau mendesak, Baginya, lebih penting tenaga dan kesetiaan Wulansari. Kalau hanya wanita, akan mudah baginya mendapatkan yang jauh lebih cantik menggairahkan dari pada gadis perkasa itu. Maka, ketika Wulansari minta ijin kepada Sang Prabu Jayakatwang untuk pulang ke Bendowinangun dan menengok kakeknya, ia tidak berani mengatakan bahwa ia akan menemui ayahnya yang menjadi senopati Singosari yang diam-diam dimusuhi oleh Raja Kediri itu, Sang Prabu dengan senang hati memberi ijin.
Berangkatlah Wulansari dan Nurseta, bukan ke Bendowinangun melainkan langsung ke Singosari. Sebelum berangkat, Nurseta sempat bertanya kepada Wulansari, "Diajeng, jangan lupa, bawalah tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala, karena pusaka itu harus kukembalikan kepada ayahku"
Tiba-tiba sikap Wulansari berubah kaku dan ia memandang kepada pemuda itu dengan alis berkerut. "Kakangmas, apakah yang menjadi pikiranmu hanya tombak pusaka itu saja" Jadi kedatanganmu ini bukan sengaja mencari aku melainkan mencari tombak itu?"
"Kedua duanya, diajeng. Tombak pusaka itu amat penting bagi kami, dan harus kukembalikan kepada ayahku. Di manakah pusaka itu, diajeng Wulansari ?"
"Pusaka itu disimpan oleh eyang........ eh, oleh Ki Cucut Kalasekti" gadis itu membohong. Ia sudah tahu bahwa pusaka itu oleh kakeknya diberikan kepada Sang Prabu Jayakatwang, akan tetapi iapun sudah bersumpah, seperti semua pejabat di Kediri, untuk tidak membocorkan hal itu. Setelah beberapa tahun menghambakan diri di istana itu, ia merasa suka dan timbul kesetiaannya, maka iapun tidak mau membocorkan rahasia itu. Bagaimanapun juga, bukan ia yang menyerahkan pusaka itu kepada Raja Kediri, melainkan Ki Cucut Kalasekti.
"Ah......" Nurseta nampak menyesal. Dia percaya kepada keterangan Wulansari itu. "Kalau aku tahu begitu, tentu takkan kulepaskan dia yang sudah tidak berdaya menggeletak di dalam goa itu......"
"Sudahlah, kakangmas. Sekarang yang terpenting adalah menemui ayah ibuku. Tentang
tombak pusaka itu, kita bicarakan kelak saja" Karena pada saat itu tidak mungkin menjumpai Ki Cucut Kalasekti untuk minta kembali Ki Ageng Tejanirmala, terpaksa Nurseta tidak membantah lalu menemani gadis itu pergi ke Singosari.
Tidaklah sukar bagi mereka untuk mencari rumah kediaman Senopati Medang Dangdi di kota raja Singosari. Ki Medang Dangdi melupakan seorang di antara para senopati yang terkenal, apa lagi baru saja dia pulang memimpin pasukan yang menang perang.
Sungguh merupakan pertemuan yang amat mengharukan dan juga menggembirakan yang terjadi di pagi hari itu di rumah kediaman Senopati Medang Dangdi.
Begitu bertemu. Wulansari dan ibunya saling tubruk dan saling rangkul sambil menangis, Tanpa kata-kata, ibu dan anak ini sudah saling mengenal walaupun ketika berpisah dahulu, usia Wulansari baru sepuluh tahun dan kini gadis itu sudah berusia hampir dua puluh lima tahun.
"Kanjeng ibu......."
"Wulan......... Wulansari anakku........"
Setelah bertangis tangisan dengan ibunya, Wulansari lalu menyembah ayahnya yang juga merangkulnya. Ayah ini memandang puterinya penuh perhatian, lalu tertawa girang.
"Wah, wah, engkau sudah begini besar, anakku. Sudah menjadi seorang gadis dewasa dan nampak gagah perkasa. Anakmas Nurseta sudah menceritakan bahwa engkau kini memiliki kesaktian yang hebat"
Mereka duduk di ruangan sebelah dalam. Nurseta juga diajak masuk dan suami isteri itu menganggap Nurseta seperti keluarga sendiri. Ketika mendengar bahwa puterinya kini menjadi pengawal istana di Daha, Ki Medang Dangdi mengangguk angguk. "Tidak ada salahnya menjadi pengawal istana Daha, apa lagi kepala pengawal istana, pangkat itu cukup terhormat. dan Kerajaan Daha juga merupakan kerajaan keluarga Singosari dan juga mengakui kekuasaan Singosari. Akan tetapi, setelah kita berkumpul, engkau harus melepaskan pekerjaanmu itu, nini, dan tinggal bersama ayah ibumu di sini"
"Memang seharusnya begitu. Usiamu sudah cukup dewasa, nini, dan di sini....... sudah ada
anakmas Nurseta, calon suamimu, Mau tunggu sampai kapan lagi " Engkau pulanglah dan kita segera mempersiapkan pernikahan kalian"
"Aih, kanjeng ibu........." Wulansari memeluk ibunya dengan sikap manja. Hatinya senang sekali melihat ayah ibunya agaknya sudah tahu akan percintaannya dengan Nurseta dan agaknya menyetujuinya. Sejenak ia teringat akan Pertiwi, akan tetapi ingatannya itu
tidak menggelisahkan hatinya. Kini, Pertiwi tidak merupakan saingan lagi. Bukankah gadis dusun itu telah ternoda dan sudah pasti Nurseta tidak akan mau memperisterinya setelah dia mendengar akan hal itu.
Melihat kemanjaan Wulansari, Ki Medang Dangdi dan isterinya tersenyum penuh kebahagiaan, sedangkan Nurseta hanya termenung. Harus diakuinya bahwa cintanya terhadap Wulansari tidak pernah berubah, bahkan makin mendalam. Akan tetapi juga dia tetap memegang kesetiaannya terhadap tunangannya, Pertiwi. Akan tetapi, bagaimana mungkin dia tega merusak kebahagiaan keluarga yang baru saja berkumpul ini dengan penolakannya" Maka diapun diam saja, hanya menundukkan muka,
"Yaaa, aku sudah mendengar dari ibumu tentang anakmas Nurseta, anakku. Memang dia pantas menjadi suamimu, dia gagah perkasa, tampan dan berbudi luhur......"
"Ah, ya, aku belum memberitahu kepadamu bahwa selain itu semua, diapun berdarah bangsawan. Ayahnya adalah seorang pangeran "
Mendengar ini, baik Ki Medang Dangdi maupun Wulansari terkejut karena Wulansari sendiri baru sekarang mendengar akan hal itu.
"Putera pangeran kiranya" Siapakah ayahnya itu?" tanya Ki Medang Dangdi.
Isterinya tersenyum. "Engkau "juga mengenalnya, kakangmas. Mendiang avahnya adalah Pangeran Panji Hardoko dari Daha,"
'Ahhhh........" Ki Medang Dangdi nampak terkejut sekali.
"Benar," kata isterinya yang tetap gembira, mengira bahwa suaminya terkejut dan gembira, "sayang bahwa pangeran itu telah meninggal, dan menurut cerita anakmas Nurseta, ketika masih kecil sekali oleh ayahnya dia diberikan kepada mendiang Ki Bayaraja yang dulu memberontak itu, dan dari mendiang Ki Baya lalu diserahkan kepada Ki Baka yang gagah perkasa......"
"Nanti dulul" tiba-tiba Ki Medang Dangdi berseru dan dalam suaranya terkandung kekerasan yang mengejutkan isterinya dan juga Wulansari memandang ayahnya, bahkan Nurseta mengangkat muka memandang senopati itu. Senopati itu bangkit dari kursinya dan wajahnya berubah merah sekali, nampaknya seperti orang marah sehingga mengejutkan mereka bertiga.
"Kenapa, kangjeng rama?" Wulansari bertanya heran.
"Anakmas Nurseta, tahukah kau siapa ibu kandungmu?"
Pertanyaan ini terdengar agak kaku, tidak ramah seperti tadi sehingga Nurseta memandang heran. Dia menggeleng kepalanya. "Saya tidak tahu, kanjeng paman. Ayah Baka sendiri juga tidak tahu siapa ibu kandung saya, sedangkan Ki Baya dan ayah kandung saya sudah meninggal sehingga tidak ada seorangpun yang dapat memberi keterangan siapa ibu saya"
"Akan tetapi aku tahu. Aku tahu siapa ibumu. la adalah seorang tokoh golongan sesat dari Pasundan, namanya terkenal sekali, yaitu Ni Dedeh Sawitri"
"Ahhh........." Tentu saja Nurseta terkejut bagaikan disambar petir. Dia melompat berdiri dan matanya terbelalak memandang kepada Ki Medang Dangdi. Tentu saja dia terkejut mendengar bahwa ibu kandungnya adalah Ni Dedeh Sawitri, wanita iblis itu yang pernah bersama Gagak Wulung nyaris membunuhnya kalau saja dia tidak ditolong oleh Panembahan Sidik Danasura. Wanita iblis yang amat jahat dan keji itu ibu kandungnya"
"Tidak mungkin...." Dia berteriak, wajahnya berubah pucat lalu merah sekali. Lebih baik dia tidak mempunyai ibu kandung dari pada ibu kandung seorang wanita iblis seperti Ni Dedeh Sawitri.
"Aku masih ingat benar akan semua peristiwa itu," kata pula Ki Medang Dangdi seperti kepada diri sendiri, matanya termenung memandang jauh. "Kami sama sama masih
muda, Pangeran Pan ji Hardoko dan aku, Kami bersahabat dan aku kagum dan suka kepada bangsawan yang berbudi baik dan tidak sombong itu. Sayang, dia tergila gila kepada seorang wanita cantik, yang bukan lain adalah Ni Dedeh Sawitri, wanita muda yang cantik menarik, tokoh dari Pasundan yang agaknya memang dikirim oleh Kerajaan Pasundan untuk memata matai Singosari dan Daha. Hubungan antara mereka akrab dan mesra, bahkan Ni Dedeh Sawitri lalu menjadi seorang selir dari pangeran yang belum menikah itu. Dan hubungan itu membuahkan lahirnya seorang anak laki-laki. Akan tetapi, agaknya Ni Dedeh Sawitri merasa bosan kepada sang pangeran yang mulai sakit-sakitan, bahkan mungkin karena tugasnya selesai, pada suatu hari ia meninggalkan Pangeran Panji Hardoko dan anaknya, tanpa pamit. Hal ini, mengguncang batin pangeran yang sudah lemah itu. Dan itulah sebabnya mengapa dia menyerahkan puteranya kepada Ki Baya yang pada waktu itu juga merupakan seorang kepercayaan sang pangeran. Tak lama sesudah menyerahkan puteranya, diapun meninggal dunia. Agaknya, kepergian Ni Dedeh Sawitri yang sesungguhnya amat dicintanya itu telah menghancurkan hatinya dan membuat penyakitnya menjadi semakin parah. Nah, itulah yang kuketahui dan kalau kau ini putera mendiang Pangeran Panji Hardoko yang diberikan kepada mendiang Ki Baya, maka kaulah putera kandung Ni Dedeh Sawitri"
"Ahh......... ahhh......" Nurseta tidak dapat berkata-kata, kepalanya seperti tiba tiba menjadi pening.
"Aku adalah seorang yang biasa bersikap terus terang dan jujur, anakmas Nurseta. Oleh karena itu, setelah mengetahui bahwa kau adalah anak kandung Ni Dedeh Sawitri, terpaksa aku menyatakan bahwa hubunganmu dengan puteri kami Wulansari harus putus sampai di sini saja, karena tidak mungkin kami mengijinkan puteri kami menjadi mantu Ni Dedeh Sawitri "
"Kanjeng rama........" Wulansari berseru kaget.
"Nanti dulu " kata Warsiyem yang juga terkejut sekali mendengar ucapan suaminya. "Andai benar dia putera Ni Dedeh Sawitri, lalu mengapa " Apa salahnya dia menjadi suami Wulansari ?"
"Hemm, engkau belum tahu siapa itu Ni Dedeh Sawitri, isteriku. Dan engkaupun belum tahu, anakku. Dengarlah kalian baik-baik, Ni Dedeh Sawitri adalah seorang wanita iblis. seorang tokoh jahat yang amat keji, kejam dan cabul. Entah berapa banyak orang yang
tewas di tangannya tanpa sebab, orang-orang tidak berdosa. Dan entah berapa ratus banyaknya pria yang menjadi korban kecabulannya, banyak pula yang dibunuh kalau tidak mau menuruti kehendaknya. Ia cabul dan kotor, lebih hina dari pada seorang perempuan peiacur"
"Ahhh......." Isterinya berseru.
"Kanjeng rama........" Wulansari juga kembali menjerit.
"Agaknya anakmas Nurseta sudah tahu orang macam apa adanya Ni Dedeh Sawitri, Coba jawab sejujurnya, anakmas, tidak benarkah apa yang kukatakan mengenai diri Ni Dedeh Sawitri tadi?"
Nurseta tidak menjawab, hanya mengangguk karena memang diapun tahu orang macam apa adanya Ni Dedeh Sawitri.
"Ah, kalau begitu, tidak mungkin anakku menjadi mantu wanita semacam itu" teriak Warsiyem. "Wulansari, engkau tidak boleh menjadi isteri Nurseta. Aku tidak sudi berbesan dengan seorang wanita cabul, seorang tokoh sesatyang rendah budi dan tak tahu malu"
Dipat dibayangkan betapa sakit rasa hati Nurseta. Kalau benar dia putera Ki Dedeh Sawitri, wanita iblis yang amat jahat itu, kalau memang benar demikian, salahkah dia" Namun, dia masih dapat menguasai dirinya dan berkata dengan suara mengandung kegetiran,
"Kanjeng Paman Medang Dangdi dan kanjeng Bibi Warsiyem harap kau berdua tenang dan tidak khawatir. Memang saya akui bahwa saya mencinta diajeng Wulansari, akan tetapi aku tidak dapat menjadi suaminya, karena saya telah dijodohkan dengan seorang gadis lain. Karena itu, jangan khawatir, kau berdua tidak akan berbesan dengan ibuku, wanita yang jahat itu. Saya mohon pamit. Diajeng Wulansari, selamat tinggal dan maafkan semua kesalahanku, diajeng" Berkata demikian, Nurseta mengerahkan kepandaiannya dan sekali meloncat, tubuhnya berkelebat keluar dari rumah gedung itu.
"Kakangmas Nurseta........" Wulansari mengeluh dan gadis inipun menutupi mukanya, menangis. Biasanya, Wulansari jarang bahkan hampir tidak pernah menangis. Semenjak menjadi murid Ki Cucut Kalasekti, hatinya telah mengeras. Akan tetapi kini ia merasa amat duka dan sengsara kehilangan pria yang dicintanya, maka tidak dapat ia menahan dirinya dan menangis.
Ketika ayah dan ibunya merangkul dan mencoba untuk menghiburnya, tiba-tiba Wulansari menepiskan tangan mereka, meloncat berdiri dan sambil menyusut air matanya, ia memandang ayah bundanya itu dengan mata berang.
"Kanjeng rama dan kanjeng ibu mendatangkan perasaan bahagia dalam hatiku karena pertemuan antara kita, akan tetapi juga mendatangkan perasaan duka dengan sikap menolak kakangmas Nurseta. Biarlah saya akan kembali ke Daha dan melupakan semua ini"
Setelah berkata demikian, gadis yang merasa hancur hatinya karena perpisahannya dengan Nurseta itu juga mempergunakan ilmunya, meloncat dan berlari keluar gedung dan meninggalkan tempat itu.
"Wulan....... " Warsiyem berseru memanggil, akan tetapi anaknya tidak menjawab dan karena tidak kuasa mengejar, wanita ini terkulai dan menangis dalam pelukan suaminya yang menghiburnya.
"Sudahlah, diajeng. Lebih baik begitu, biar ia kembali ke Daha dan melupakan kedukaan dan kekecewaannya, Lebih baik begitu dari pada ia menjadi isteri putera Ni Dedeh Sawitri. Bagaimannpun juga, ia adalah anak kita. Kelak kalau rindu, kita dapat mencarinya di Kediri dan tentu sekali waktu ia akan kembali ke sini menengok kita"
Warsiyem hanya terisak, akan tetapi dapat menerima hiburan suaminva. Bigaimanapun juga, ia tidak rela kalau anaknya harus menjadi mantu seorang wanita iblis seperti Ni Dedeh Sawitri yang khabarnya amat jahat dari keji, juga berwatak hina dan rendah itu.
*** Nurseta berlari cepat meninggalkan Singosari. Hampir saja dia lupa diri saking hebatnya guncangan batin yang dirasakannya ketika dia mendengar bahwa ibu kandungnya adalah Ni Dedeh Sawitril Akan tetapi, dia segera dapat menguasai dirinya, dapat membuka mata dan menghadapi kenyataan dengan sewajarnya, betapapun pahit dan menyakitkan adanya kenyataan itu. Kini dia berjalan menuju ke Gunung Kelud yang sudah nampak di depannya. Dia harus menerima kenyataan. Kalau memang benar dia putera Ni Dedeh Sawitri, mengapa dia harus kecewa, mengapa dia harus berduka, atau merasa malu" Ini merupakan kenyatakan dan tidak ada kekuatan apapun di dunia ini yang mampu merobah kenyataan. Baik buruk hanya penilaian. Dia harus berani menghadapi kenyataan itu, tanpa menilainya.
Dia akan menghadap Ki Baka lebih dulu, menjenguk orang tua itu yang tentu merasa gelisah sekali karena selama hampir lima tahun dia pergi tanpa berita. Setelah itu, barulah dia akan mencari Ki Cucut Kalasekti kalau perlu ke goa di tebing itu, entah dengan cara bagaimana nanti, untuk meminta kembalinya tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala.
Membayangkan wajah ayah angkatnya itu, timbul perasaan rindu di hatinya. Entah bagaimana, setelah dia mendengar bahwa ibu kandungnya adalah Ni Dedeh Sawitri, perasaan cintanya terhadap Ki Baka menjadi semakin mendalam. Betapa luhur budi ayah angkatnya itu. Maka Nurseta lalu cepat cepat mempergunakan kepandaiannya berlari seperti terbang mendaki Gunung Kelud, menuju ke padepokan Ki Baka.
Akan tetapi, setibanya di pondok yang menjadi padepokan Ki Baka, Nurseta termangu-mangu memandang pondok yang kosong. Agaknya sudah lama pondok itu ditinggalkan, nampak terlantar, bahkan ladang di belakang pondokpun kini penuh dengan rumput dan semak-semak, tanda bahwa tidak dirawat sejak lama.
Nurseta termenung. Ki Baka sudah pergi" Pindah" Ataukah sudah tidak ada lagi, sudah meninggal dunia" Alisnya berkerut membayangkan kemungkinan terakhir itu. Dia harus mencari keterangan dan dia tahu ke mana harus bertanya. Ke dusun Sintren, di rumah Pertiwi. Maka diapun cepat menuruni lereng Kelud dan menuju ke dusun Sintren.
"Raden Nurseta......." Ki Purwoko menyambut kedatangan Nurseta dengan seruan kaget.
Nurseta melihat wajah Ki Purwoko nampak tua dan sinar matanya suram, wajahnya buram tanda bahwa orang ini telah menderita tekanan batin dan berada dalam duka. Hatinya semakin tidak enak maka segera dia bertanya.
"Paman Purwoko, saya tadi naik ke atas akan tetapi padepokan ayah Baka kosong dan....."
"Ayah angkatmu itu telah pergi beberapa tahun yang lalu, ikut dengan Panembahan Sidik Danasura, Raden"
Legalah rasa hati Nurseta, wajahnya berseri dan diapun ingat akan basa basi lagi.
"Bagaimana kabarnya, Paman " Baik baik saja, bukan" Dan bagaimana dengan bibi, dan dengan diajeng Pertiwi?"
Mendengar disebutnya nama puterinya, Ki Purwoko memejamkan kedua matanya. "Kami........ kami baik-baik saja, tapi........ tapi Pertiwi....... ahhhh......" Dia tidak dapat melanjutkan kata katanya dan matanya tetap terpejam.
"Paman. Apa yang terjadi dengan diajeng Pertiwi" Kenapa ia........?" Hati Nurseta terasa tidak enak sekali. Teringatlah dia akan pertemuannya terakhir dengan tunangannya itu, di pagi hari pada saat dia akan meninggalkan Gunung Kelud. Pada waktu itu, dia berterus terang kepada Pertiwi bahwa dia tidak mencinta calon isterinya itu walaupun dia akan setia kepadanya. Terbayang kembali ketika gadis itu lari sambil menangis, maka kini melihat sikap dan mendengar kata-kata Ki Purwoko, dia merasa gelisah dan tegang sekali.
Ki Purwoko menuding ke arah belakang rumah. "Ia berada di gubuk, di kebun belakang, kau temuilah ia dan bicara saja sendiri, Raden"
Diam-diam Nurseta terkejut. Dia tahu bahwa tentu Pertiwi merasa kecewa dan berduka karena dia berterus terang dahulu titu, akan tetapi sama sekali tidak menyangka bahwa kedukaan itu akan membuat Pertiwi hidup menyendiri di dalam sebuah gubuk di kebun belakang. Maka diapun bergegas pergi ke kebun belakang, Nampak sebuah gubuk sederhana di belakang, agak jauh dari rumah Ki Purwoko, menyendiri dan terpencil. Hatinya diliputi keharuan dan diapun cepat menghampiri gubuk itu.
"Diajeng Pertiwi......." Dia memanggil dari luar gubuk. "Aku Nurseta datang berkunjung, diajeng"
Diri dalam gubuk terdengar oleh Nurseta suara tertahan, lalu disusul isak tertahan, dan keluarlah Pertiwi dari dalam gubuk itu, Nurseta terkejut melihat gadis itu kini menjadi kurus, dan begitu keluar dari dalam gubuk, Pertiwi lari menghampiri Nurseta lalu menjatuhkan diri berlutut sambil menangis.
Nurseta menarik napas panjang. Dia merasa terharu sekali, kasihan kepada gadis ini. Namun, betapapun juga hatinya lega melihat gadis itu dalam keadaan sehat selamat walaupun kurus.
"Diajeng Pertiwi, tenanglah. Mari kita bicara yang baik. Kenapa engkau menangis," Dan mengapa pula engkau berada di gubuk ini, tidak di rumah ayahmu ?"
"Kakangmas Nurseta....... hanya kaulah yang kutunggu........ sekarang setelah kau
datang, aku....... aku rela untuk mati......" Ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya dan menangis lagi tersedu sedan.
Tentu saja Nurseta terkejut bukan main. Dia membungkuk, memegang kedua pundak gadis itu, menariknya berdiri lalu mengajak gadis itu duduk di atas bangku di depan gubuk. Bagaikan orang yang kehilangan semangat Pertiwi menurut saja. Mereka duduk di atas bangku bambu, berdampingan.
"Nah, sekarang keringkan air matamu dan ceritakanlah, apa maksud ucapanmu tadi, diajeng," Nurseta berhenti sebentar, lalu melanjutkan, "Apakah karena bertahun tahun ini aku tidak memberi kabar kepadamu" Percayalah, hal itu tidak kusengaja, diajeng, Aku tidak berdaya. Setelah sekarang aku dapat datang, aku pasti akan segera menemui ayahku untuk melaksanakan pernikahan kita, Akupun sedang mencarinya dan ingin bertanya kepada keluargamu di mana adanya ayahku. Ayahmu memberitahu bahwa dia pergi bersama Eyang Panembahan Sidik Danasura, maka sekarang aku akan menyusul ke sana dan akan kuminta agar pernikahan kita segera dilangsungkan"
Nurseta bicara seperti itu karena dia ingin menebus kesalahannya yaitu menyakiti hati gadis itu ketika dia mengaku mencinta gadis lain. Akan tetapi, mendengar ucapannya itu, Pertiwi bahkan menangis semakin sedih, sampai sesenggukan.
"Tidak, kakangmas....... tidak........, aku tidak mungkin menjadi isterimu......., tidak
mungkin........"
Nurseta mengerutkan alisnya. Gidis ini tentu merasa sakit hati sekali mendengar bahwa dia tidak mencintanya, melainkan mencinta gadis lain. "Diajeng Pertiwi, apakah engkau demikian sakit hati karena pengakuanku ketika aku hendak pergi dahulu itu " Maafkan kalau begitu, karena aku tidak ingin membohongimu, tidak ingin berpura pura kepada gadis yang kusayang dan kukasihani"
"Tidak, kakangmas, bukan karena itu. Aku........ aku tidak patut menjadi isterimu, aku hanya akan menyeretmu ke lembah penghinaan, aku hanya akan mendatangkan aib. Aku......... aku telah ternoda, kakangmas Nurseta........." Kalimat terakhir ini seperti jerit yang keluar dari lubuk hatinya.
"Diajeng Pertiwi. Apa........... apa maksudmu.......?"
Pertiwi menangis sampai mengguguk, baru ia dapat menjawab setelah beberapa lamanya. "Aku....... aku bukan perawan lagi, kakangmas, aku....... aku telah menyerahkan diri kepada pria lain........"
"Diajeng Pertiwi. Engkau....... engkau tidak setia kepadaku ?"
Pertiwi mengangguk sambil menangis. "Ya, begitulah......... karena itu aku tidak berharga
menjadi isterimu, kakangmas. Karena itu aku mengasingkan diri agar lain orang tidak ada yang ternoda oleh kotoran yang menempel padaku. Engkau nikahilah saja gadis yang
kaucinta itu, kakangmas, ia........ ia cantik jelita dan pantas menjadi isterimu....."
Nurseta mengerutkan alisnya. "Hem, engkau cemburu lalu engkau menyerahkan diri kepada pria lain ?"
Pertiwi menangis dan tidak menjawab, tangisnya semakin mengguguk ketika Nurseta meloncat pergi meninggalkannya. Ia sengaja bersikap demikian agar Nurseta marah dan membencinya. Biarlah pemuda yang tidak mencintanya itu menikah dengan gadis yang dicintanya. la sendiri harus mengalah, ia bahkan harus menghukum diri sendiri karena bagaimanapun juga, ia ternoda bukan karena diperkosa, melainkan karena ia menyerahkan diri dengan suka rela, karena ia lemah. Ada dua hal yang mendorongnya sengaja bersikap demikian untuk membuat pemuda itu meninggalkan dirinya, pemuda yang sesungguhnya amat dicintanya. Pertama, pemuda itu tidak mencintanya, maka orang yang dicintanya itu hanya akan hidup menderita batin saja kalau sampai menikah dengannya, dan ke dua, ia akan selalu rendah diri dan tak berharga setelah ternoda kalau sampai menjadi isteri Nurseta. Ia tahu bahwa seorang pemuda seperti Nurseta akan memegang janji, setia sampai mati walaupun tidak ada cinta. Dan satu-satunya jalan hanyalah memperlihatkan sikap seperti tadi, agar Nuiseta membencinya, dan agar perjodohan di antara mereka diputuskan saja.
Tanpa pamit lagi kepada orang tua Pertiwi, Nurseta meninggalkan Gunung Kelud dan langsung saja dia melakukan perjalanan cepat ke selatan, ke padepokan Panembahan Sidik Danasura di Teluk Prigi Segoro Wedi.
Pada saat pemuda itu melakukan perjalanan cepat dan sudah mendekati daerah Teluk Prigi, Panembahan Sidik Danasura dan Ki Baka sedang duduk bersantai di luar pondok, duduk bersila di atas dua buah batu datar sambil bercakap cakap. Biasanya, pada saat-saat seperti ini, di waktu menjelang senja, kesempatan bersantai itu dipergunakan oleh Sang Panembahan untuk bicara tentang kehidupan dan dari percakapan ini Ki Baka menimba kesadaran yang banyak dan mendalam. Akan tetapi pada sore hari itu, Sang Panembahan nampak gembira dan wajahnya berseriseri. Ki Baka juga merasakan kegembiraan ini. Hawa amat sejuk dan warna langit di barat nampak amatlah indahnya, penuh awan yang keperakan dibentuk oleh sinar matahari yang mulai mengendur, siap untuk tenggelam di barat.
"Alangkah nyaman sore ini," demikian Sang Panembahan berkata.
"Sayapun merasakan hal itu, Paman Panembahan. Rasanya nyaman dan menyenangkan sekali"
Tak lama kemudian, dari jauh nampak bayangan Nurseta yang berlari cepat menuju ke tempat itu.
"Raden Nurseta......." Ki Baka berseru gembira bukan main.
Panembahan Sidik Danasura tersenyum pula dan pada saat mata mereka saling bertemu tahulah Ki Baka bahwa kakek tua renta itu gaknya sudah tahu bahwa pertanda ada hubungannya dengan kemunculan Nurseta ini.
"Ayah, Eyang......... Saya menghatur salam hormati........." Nurseta sudah menjatuhkan
diri berdiri di depan mereka dan menyembah. Bagaimanapun juga, hati pemuda ini diliputi keharuan. Kedua orang itu telah nampak tua. Panembahan Sidik Danasura memang telah berusia kurang lebih delapanpuluh tahun, sedangkan Ki Baka sendiri juga sudah tujuhpuluh tahun usianya.
"Jagad Dewa Bathara...... kulup Nurseta, akhirnya kau datang juga. Ayahmu dan aku seringkali bertanya-tanya dalam hati, apa yang telah terjadi denganmu maka selama bertahun-tahun kau tidak pernah pulang"
"Benar sekali ucapan Paman Panembahan, Raden. Ke mana saja kau pergi dan apa yang telah terjadi?" tanya Ki Baka.
Nurseta lalu menceritakan semua pengalamannya, betapa ketika dia mencari Wulansari untuk meminta kembali tombak pusaka, dia diserang oleh Ki Cucut Kalasekti sehingga jatuh terjungkal ke bawah tebing curam dan betapa dia bertemu dengan ibu kandung Wulansari. Semua dia ceritakan dengan jelas sampai pertemuannya terakhir dengan keluarga atau ayah bunda Wulansari di mana dia mendapat keterangan bahwa ibu kandungnya adalah Ni Dedeh Sawitri.
"Jagad Dewa Bathara........" Ki Baka berseru dengan terkejut bukan main sedangkan Panembahan Sidik Danasura hanya mengelus jenggotnya sambil tersenyum, "Ni Dedeh Sawitri......." Ah, aku hanya pernah mendengar bahwa ia menjadi selir seorang pangeran di Daha, akan tetapi sama sekali tidak mengira bahwa kau adalah puteranya"
"Inilah hal yang menghancurkan perasaanku dan membuat hatiku menjadi bimbang sekali, ayah....." Nurseta mengeluh.
"Hemm, kulup Raden Nurseta, mengapa terluka" Mengapa bimbang " Bukan kehendakmu dilahirkan di dunia ini, dari ibu yang manapun juga" tiba-tiba Panembahan Sidik Danasura berkata dan ucapan ini sungguh mengejutkan dan menyadarkan Nurseta sehingga sertamerta diapun menyembah.
"Maafkan saya, Eyang. Saya sesat dan keliru, dan terima kasih atas peringatan Eyang" Dengan suara ringan karena beban batin itu telah lenyap seketika oleh ucapan sang panembahan, Nurseta melanjutkan ceritanya sampai pertemuannya dengan Pertiwi. Di sini dia menarik napas panjang,
"Mohon nasihat Eyang dan Ayah, apa yang harus saya lakukan sekarang" Diajeng Pertiwi agaknya sudah tidak mau lagi menjadi isteri saya, dan terus terang saja, sayapun sejak dahulu tidak ada rasa cinta kepadanya. Cinta saya hanya terhadap diajeng Wulansari, akan tetapi dengan iapun agaknya tidak berjodoh, apa lagi ayah bundanya kini tidak setuju"
Ki Baka menarik napas panjang. "Sekarang akupun menyadari bahwa jodoh ditentukan oleh Sang Hyang Widhi Wasa, anakku. Kalau nini Pertiwi memang tidak menghendaki perjodoban itu dilanjutkan, sudahlah. Akan tetapi satu hal perlu kau ketahui, yaitu dalam peristiwa yang menimpa dirinya, jangan sekali-kali menyalahkan Nini Pertiwi "
Nurseta mengangkat muka menatap wajah ayah angkatnya. "Akan tetapi, Ayah, menurut
keterangan diajeng Pertiwi sendiri, ia........ ia telah....... menyerahkan dirinya kepada pria
lain. Ia telah...... melanggar susila, tidak setia terhadap pertunangan kami "
Ki Baka tersenyum. "Agaknya nini Pertiwi memang terlalu menyalahkan diri sendiri, atau hal itu dilakukannya agar mendapat alasan bagimu untuk memisahkan diri dan memutuskan ikatan. Sesungguhnya, ia menjadi korban kekejian seorang yang amat jahat, anakku. Apakah ia tidak menceritakan siapa yang telah........ menodainya"
Nurseta menggeleng kepala. Tadinya dia memang sama sekali tidak ingin mengetahui, Pria mana yang telah menerima penyerahan diri tunangannya itu.
"Dia adalah Gagak Wulung"
"Ahh...,......" Nurseta terkejut bukan main, matanya terbelalak lebar dan mukanya berubah merah. "Apa...... apa yang sesungguhnya telah terjadi, Ayah" Bagaimana tokoh sesat yang keji itu dapat menjadi pria yang dipilih diajeng Pertiwi?"
"Bukan dipilih, anakku. Pada pagi hari itu, setelah engkau berahgkat, Gagak Wulung mempergunakan sihir, memikat dan membawa pergi Pertiwi dan dengan ilmu hitamnya, dengan guna-guna dan pengasihan, dia berhasil membuat nini Pertiwi tidak berdaya. Kalau tidak ada aku, tentu ayah nini Pertiwi sudah dibunuh pula oleh penjahat itu" Ki Baka lalu menceritakan apa yang telah terjadi.
Mendengar ini, Nurseta mengepal tinju. "Ayah, aku akan pergi lagi. Akan kucari Gagak Wulung sampai dapat, akan kuhancurkan dia. Dan akupun akan pergi mencari Ki Cucut Kalasekti, akan kupaksa dia menyerahkan kembali Ki Ageng Tejanirmala"
"Nanti dulu, Raden. Harap jangan terburu nafsu dan tanyakanlah dulu kepada Eyangmu, karena segala hal yang dilakukan tergesa-gesa dan didorong oleh nafsu amarah dan dendam, sungguh tidak baik akibatnya"
"Eyang, mohon petunjuk" kata Nurseta.
"Sadhu, sadhu, sadhu.........*" Panembahan Sidik Danasura yang sejak tadi diam mendengarkan saja, kini mengangkat kedua tangan ke depan daseperti berdoa. "Benar apa yang dikatakan ayahmu Baka, kulup. Apa yang terjadipun terjadilah, tidak ada satupun kekuatan di dunia ini yang mampu merobah apa yang telah dan sedang terjadi, sedangkan apa varg akan terjadi tidak terlepas daii pada perbuatan kita sekarang. Jangan mencoba menjadi hakim mewakili kekuasaan Sang Hyang Pamungkas, angger, Perbuatan yang didorong dendapi merupakan perbuatan jahat pula. Orang berdosa akan menerima hukumannya sendiri, entah dari mana datangnya"
"Terima kasih. Eyang, Kalau begitu, saya tidak akan pergi dan sengaja mencari Gagak Wulung, akan tetapi saya akan pergi untuk merampas kembali tombak pusaka...."
"Kukira belum waktunya, angger. Agaknya sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa bahwa tombak pusaka itu masih belum kembali ke tangan yang berhak. Waktunya belum tiba. Akan terjadi perubahan besar sekali di tanah air kita, pergolakam yang bukan main hebatnya. Nampaknya satu hal yang terjadi amat merugikan, namun sesungguhnya tidak," karena segala peristiwa mengandung hikmah. Yang nampak merugikan mungkin hanya merupakan jalan untuk mendatangkan keuntungan, yang nampaknya buruk menyembunyikan sesuatu yang amat baik. Bakankan jamu itu pahit sekali namun mengandung manfaat yang amat besar" Karena itu, kalau kau dapat menerima nasihatku, tunggulah di sini dan memperdalam llmu agar kelak, di saatnya yang tepat, dapat kau pergunakan untuk nusa dan bangsa"
"Eyang, mohon tanya, apa artinva semua yang Eyang gambarkan tadi " Apa yang akan terjadi di tanah air kita?" Nurseta bertanya, merasa betapa tengkuknva meremang,
kakek itu seperti sadar dari keadaan termenung dan dia memandang wajah pemuda itu, tersenyum. "Aku ini manusia biasa, tanpa kekuasaan Tuhan Yang Maha Kasih tidak akan mampu berbuat sesuatu. Oleh karena itu, bagimana aku berani membuka rahasiaNya" Sadhu, sadhu, sadhu" Setelah berkata demikian, kakek itu duduk bersila, diam tak bargerak dan kedua matanya terpejam. Melihat ini, Ki Baka lalu menyentuh lengah Nurseta dan diajaknya pemuda itu berjalan jalan di tepi laut kidul yang sedang bergelora,
"Patuhi saja nasihat Eyangmu, Raden. Yang penting, engkau memperdalam llmu di sini agar kelak dapat kaupergunakan untuk membela nusa bangsa. Ingat, sejengkal tanah sepercik darah. Agaknya akan terjadi peristiwa hebai mengenai Singosari dan kelak harus kau pertahankan tiap jengkal tanah dengan tiap percik darah kalau perlu. Mungkin sekali pergolakan yang digambarkan oleh Paman Panembahan ada hubungannya pula dengan lenyapnya tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Juga, engkau baru saja pulang setelah pergi selama lima tahun. Engkau baru saja mengalami guncangan lahir batin, perlu menenteramkan batin di sini, angger. Taatilah petunjuk Eyangmu. Kalau saatnya tiba, tentu Eyangmu akan inemberi petunjuk pula. Sebagai seorang satria, tentu saja engkau tidak boleh tinggal diam, siap untuk mempertahankan setiap jengkal tanah air dengan setiap percik darahmu"
"Baiklah, Ayah. Saya akan mentaati semua petunjuk Eyang dan Ayah" kata pemuda itu dengan patuh. Bagaimanapun juga, dia memang baru saja mengalami guncangan batin yang hebat, yaitu persoalannya dengan Wulansari, kemudian dengan Pertiwi, lalu kenyataan tentang ibu kandungnya, tentang Gagak Wulung yang menodai tunangannya. Kalau menuruti nafsu, tentu dia ingin sekali menghadapi semua itu dengan kekerasan, ingin dia menghancurkan Gagak Wulung, ingin dia menjumpai Ni Dedeh Sawitri yang ternyata ibu kandungnya entah apa yang akan dilakukannya kalau ia berhadapan dengan wanita itu. Ingin dia merampas kembali tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Ingin pula minta keputusan Wulansari tentang cinta kasih mereka, dan ingin pula dia menjumpai Pertiwi dan minta maaf karena ternyata gadis itu tidak berdosa seperti yang semula diduganya. Akan tetapi, kalau dia menurutkan semua keinginan itu, batinnya akan semakin kacau. Dia membutuhkan ketenteraman, ketenangan dan agaknya Panembahan Sidik Danasura merasa perlu agar dia memperdalam ilmu ilmunya, mungkin. untuk menghadapi peristiwa besar yang agaknya akan terjadi di tanah airnya.
*** "Maafkan" saya, kanjeng rama. Bukan maksud saya hendak membantah pendapat paduka. Akan tetapi, bukankah pekerjaan menentang Kerajaan Singosari itu amat berbahaya " Hendaknya paduka ingat bahwa di sana masih terdapat orang-orang terkemuka, senopati-senopati yang digdaya seperti misalnya Senopati Nambi, Lembu Sora, Lembu Pereng, Medang Dangdi, Gajah Pagon dan yang lain-lain. Saya khawatir, kanjeng rama, bahwa usaha itu akan menemui kegagalan" Demikianlah Wirondaya memperingatkan" ayahnya, yaitu Arya Wiraraja yang juga dikenai sebagai Banyak Wide, bupati di Sumenep, Madura. Wirondaya, putera sang bupati itu, adalah seorang pria berusia kurang lebih tigapuluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus dan berkulit hitam manis, sepasang matanya mengandung kecerdikan seperti mata ayahnya. Adapun Sang Bupati Wiraraja memang terkenal akan kecerdikannya. Bupati ini berusia kurang lebih limapuluh lima tahun.
Tadinya Bupati Arya Wiraraja adalah seorang yang setia kepada Kerajaan Singosari. Akan tetapi, semenjak Sang Prabu Kertanagara menjadi Raja dan melakukan peremajaan di antara para pejabat tinggi, menggantikan tenaga tua dengan tenaga muda sehingga banyak pembantu setia menjadi sakit hati, maka Arya Wiraraja juga diam-diam menaruh dendam kepada sang raja. Dia menganggap bahwa Sang Prabu Kertanagara tidak patut menjadi raja, dan dia menginginkan agar Sang Prabu Kertanagara jatuh dan kedudukannya diganti oleh orang yang selama ini dikaguminya dan dicalonkannya untuk menjadi raja baru, yaitu Sang Pangeran Wijaya. Kesempatan dia nanti-nantikan dan sekarang, dia melihat betapa Sang Prabu Kertanagara yang ambisius itu mengirim balatentaranya ke mana mana untuk menundukkan raja raja yang tidak mau menakluk kepada kekuasaan Singosari.
Banyak hal yang tidak disetujui oleh Arya Wiraraja telah dilakukan oleh Sang Prabu Kertanagara. Pertama-tama diturunkannya pangkat dan kedudukan patih yang setia dan tua, yaitu Empu Raganata yang dilorot menjadi Jaksa di Tumapel, dan diturunkannya pula pangkat Tumenggung Wirakerti yang tua menjadi Mantri Angabaya, bahkan Pujangga Santasmerti yang bijaksana mengundurkan diri dan menjadi pertapa dari pada mengalami penurunan pangkat yang dianggap penghinaan dan melupakan budi dan jasa. Yang ke dua adalah pengiriman balatentara besar besaran ke Negeri Malayu yang disebut Pamalayu sehingga pengiriman itu sama dengan pengosongan kekuatan dalam negeri yang membahayakan keadaan dan keselamatan negeri sendiri. Ke tiga adalah penyerbuan-penyerbuan yang dilakukan sehingga makin melemahkan keadaan dalam negeri, penyerbuan ke Bali dan ke Pasundan. Bahkan Sang Prabu Kertanagara begitu sembrononya untuk menghina dan mengusir utusan dari Kulai Khan, Raja Tartar yang amat terkenal kekuatannya dari utara itu. Masih belum puas dengan ambisinya, sang prabu juga mengirim pasukan untuk menyerang ke Kalimantan.
Pengosongan demi pengosongan dalam kerajaan dari pasukan-pasukan pilihan ini membuka kesempatan bagi Arya Wiraraja. Maka, pada pagi hari itu, dia memanggil puteranya, yaitu Wirondaya, diajak berbincang-bincang mengenai niat hatinya untuk menjatuhkan Sang Prabu Kertanagara, Namun Bupati Sumenep ini memang cerdik sekali, Biarpun di dalam Kerajaan Singosari kini kekurangan pasukan, namun dia sendiri masih tidak berani untuk melakukan peraberontakan. Tidak, dia tidak sebodoh itu. Dia tidak akan turun tangan sendiri, melainkan hendak meminjam lain tangan, yaitu Sang Prabu Jayakatwang, raja di Kediri yang dia tabu amat mendendam kepada Kerajaan Singosari, Dia sendiri juga merasa sakit hati karena diangkatnya dia menjadi Bupati Sumenep dianggapnya juga merupakan penurunan pangkat atau semacam penyingkiran agar dia berada jauh dari kerajaan.
"Sekali lagi saya mohon kanjeng rama ingat bahwa di. Sana terdapat pula saudara-saudara saya yang amat sakti mandraguna seperti Seperti senopati Nambi, Senopati Ronggolawe......"
"Cukup, puteraku. Mengagungkan kekuatan musuh berarti melemahkan semangat sendiri. Ketahuilah bahwa aku sama sekali tidak memusuhi kerajaan tidak niemusuhi para senopati yang menjadi rekan-rekan, bahkan anak-anakku. Yang kutentang hanyalah Sang Prabu Kertanagara yang tidak bi jaksana. Dia harus dilorot dari singasana dan sudah sepatutnya singasari diduduki orang yang lebih tepat menjadi raja, seperti misalnya Pangeran Wijaya. Bupati Arya Wiraraja mengemukakan alasan-alasan yang tepat, sehingga akhirnya Raden Wirondaya, puteranya" dapat melihat alasan itu dan membenarkan keinginan ayahnya. Diapun tidak membantah lagi ketika ayahnya mengakibatkan dia sebagai seorang utusan untuk menyerahkan sepucuk 'surat dari ayahnya yang ditujukan kepada Sang Prabu Jayakatwang di Kediri.
Memang telah lama terdapat hubungan baik antara Bupati Sumenep ini dengan Raja Kediri. Keduanya memiliki dedam terhadap Sang Prabu Kertanagara. Apa lagi Raja Kediri ini, mengingat betapa Kerajaan Kediri yang tadinya merupakan kerajaan besar dan berkuasa, dikalahkan dan ditundukkan oleh Ken Arok raja pertama dari Singosari.
Biarpun Raja Singosaro kemudian membiarkan keturunan raja-raja Kediri untuk melanjutkan pemerintahan mereka dan membiarkan Kerajaan Kediri tetap berdiri, namun selama itu Kerajaan Kediri menjadi negara taklukan dan hal ini dianggap amat merendahkan martabat Kediri.
Seringkali terjadi perundingan antara Arya Wiraraja dan Sang Prabu Jayakatwang, dan tanpa sungkan lagi, Sang Prabu Jayakatwang menyatakan kebenciannya terhadap Kerajaan Singosari dan menyatakan niatnya untuk sewaktu-waktu menggempur kerajaan yang dianggap musuh besar itu. Adanya kenyataan bahwa puteranya, yaitu Raden Ardaraja, telah menjadi mantu Sang Prabu Kertanagara, tidak mengurangi kebenciannya terhadap Kerajaan Singosari. Justru pernikahan antara puteranya dan seorang puteri Singosari membuktikan kelemahannya karena dia tidak berani mencoba untuk berbesan dengan Raja Singosari.
Setelah menerima petunjuk dan juga sepucuk surat dari ayahnya, barangkatlah Raden Wirondaya menuju ke Kediri. Kedatangannya di istana Sang Prabu Jayakatwang mendapat sanbutan meriah oleh Raja Kediri sendiri dan diapun dipersilakan masuk ke ruangan dalam dan diterima sebagai seorang tamu agung oleh Sang Prabu Jayakatwang.
Pida saat menerima kunjungan Wirondaya sebagai putera dan utusan Arya Wiraraja, Sang Prabu Jayakatwang dihadap oleh Ki Patih Mundarang, para Senopati Jaran Guyang, Bango Dolog, Prutung, Pencok Sahang, Liking Kangkung, Kampanis dan beberapa orang senopati lain yang dipercaya. Raden Wirondaya mengenal mereka semua dan maklum bahwa mereka adalah para ponggawa yang setia dan dipercaya. Oleh karena itu, tanpa ragu lagi diapun menghaturkan sembah kepada Sang Praba Jayakatwang disusul dengan penyerahan sepucuk surat dari ayahnya kepada raja itu.
Sang Prabu Jayakatwang menerima surat dari sahabatnya itu dengan gembira dan langsung dia membaca surat itu. Sementara itu, Wirondaya beberapa kali melirik ke arah seorang di antara penghadap Sang Prabu Jayakatwang dan beberapa kali alisnya berkerut. Ponggawa itu belum pernah dilihatnya, agaknya seorang kepercayaan yang baru, Akan tetapi ponggawa ini seorang wanita. Seorang wanita muda yang amat cantik jelita dan sikapnya gagah perkasa. Gadis itu tidak duduk bersila di depan Sang Prabu Jayakatwang seperti para senopati, juga tidak duduk di samping raja itu seperti kebiasaan para selir dan dayang, melainkan berdiri tegak di belakang Sang Prabu Jayakatwang dengan sikap gagah. Lagaknya seperti seorang pengawal pribadi, akan tetapi kalau benar pengawal kenapa seorang wanita " Diam-diam putera Arya Wiraraja ini melirik sambil memperhatikan gadis itu.
Ia seorang gadis yang cantik manis, berkuiit kuning mulus, sepasang matanya mencorong seperti bintang, hidungnya kecil mancung. Mulutnya amat menggairahkan, dengan bibir yang merah basah tanpa pemerah, dihias lesung pipit di kanan kiri kalau mulut itu menyungging senyum, dan di atas dahi yang halus bagaikan lilin itu tumbuh sinom yang halus. Bentuk tubuh yang tertutup pakaian yang indah dan ringkas itu menambah daya tariknya. Sesosok tubuh yang padat, ranum, membayangkan kelembutan, kehangatan, namun juga kekuatan tersembunyi.
Diam-diam Raden Wirondaya bertanya-tanya di dalam hatinya, siapa gerangan gadis ini dan apa kedudukannya di Kediri"
Gadis itu memang benar seorang pengawal-Pengawal pribadi Sang Prabu Jayakatwang yang dipercaya sekali. Namanya adalah. Wulansari dan biarpun, ia seorang gadis berusia duapuluh empat tahun yang cantik manis, namun dibalik sifat yangmenggairahkan hati setiap orang pria itu, tersembunyi kedigdayaan yang akan membuat setiap orang laki-laki menjadi gentar, Ia adalah murid seorang yang sakti mandraguna, yaitu Ki Cucut Kalasekti yang telah dianugerahi pangkat Adipati Satyanegara dan berkuasa di Bendowinangun karena jasa-jasanya. Bahkan bagi Sang Prabu Jayakatwang sendiri, Wulansari bukan hanya dipandang sebagai seorang pengawal pribadi, bahkan juga seorang wanita yang menggairahkan dan pernah Raja Kediri ini ingin mempersuntingnya sebagai seorang selir. Namun, Wulansari menolak dengan halus walaupun ia akhirnya menjadi seorang pengawal pribadi yang boleh dipercaya.
(Bersambung jilid ke XIII)
Hal yang tdk logis :
1. Wulansari memanggil ibunya dengan Kanjeng Ibu dan Kanjeng Rama kepada ayahnya. Emangnya orang tuanya seorang Adipati atau Raja.
2. Nurseta memanggil Kanjeng paman kepada Medang Dangdi.
3. Medang Dangdi tidak mau menerima Nurseta menjadi mantunya, padahal ia pernah bilang, manusia itu dilihat dari hatinya bukan wadagnya. Sedangkan Nurseta adalah seorang ksatria, dan juga, ia adalah anak seorang pangeran.
4. Cucut memelihara, mengajarkan ilmu kesaktiannya dan menganggap Wulansari yang cantik dan seksi sbg cucunya. Padahal Cucut adalah penjahat kelamin yang keji dan mungkar.
Ki Purwoko menuding ke arah belakang rumah. "Ia berada di gubuk, di kebun belakang, kau temuilah ia dan bicara saja sendiri, Raden"
Diam-diam Nurseta terkejut. Dia tahu bahwa tentu Pertiwi merasa kecewa dan berduka karena dia berterus terang dahulu titu, akan tetapi sama sekali tidak menyangka bahwa kedukaan itu akan membuat Pertiwi hidup menyendiri di dalam sebuah gubuk di kebun belakang. Maka diapun bergegas pergi ke kebun belakang, Nampak sebuah gubuk sederhana di belakang, agak jauh dari rumah Ki Purwoko, menyendiri dan terpencil. Hatinya diliputi keharuan dan diapun cepat menghampiri gubuk itu.
"Diajeng Pertiwi......." Dia memanggil dari luar gubuk. "Aku Nurseta datang berkunjung, diajeng"
Diri dalam gubuk terdengar oleh Nurseta suara tertahan, lalu disusul isak tertahan, dan keluarlah Pertiwi dari dalam gubuk itu, Nurseta terkejut melihat gadis itu kini menjadi kurus, dan begitu keluar dari dalam gubuk, Pertiwi lari menghampiri Nurseta lalu menjatuhkan diri berlutut sambil menangis.
Nurseta menarik napas panjang. Dia merasa terharu sekali, kasihan kepada gadis ini. Namun, betapapun juga hatinya lega melihat gadis itu dalam keadaan sehat selamat walaupun kurus.
"Diajeng Pertiwi, tenanglah. Mari kita bicara yang baik. Kenapa engkau menangis," Dan mengapa pula engkau berada di gubuk ini, tidak di rumah ayahmu ?"
"Kakangmas Nurseta....... hanya kaulah yang kutunggu........ sekarang setelah kau
datang, aku....... aku rela untuk mati......" Ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya dan menangis lagi tersedu sedan.
Tentu saja Nurseta terkejut bukan main. Dia membungkuk, memegang kedua pundak gadis itu, menariknya berdiri lalu mengajak gadis itu duduk di atas bangku di depan gubuk. Bagaikan orang yang kehilangan semangat Pertiwi menurut saja. Mereka duduk di atas bangku bambu, berdampingan.
"Nah, sekarang keringkan air matamu dan ceritakanlah, apa maksud ucapanmu tadi, diajeng," Nurseta berhenti sebentar, lalu melanjutkan, "Apakah karena bertahun tahun ini aku tidak memberi kabar kepadamu" Percayalah, hal itu tidak kusengaja, diajeng, Aku tidak berdaya. Setelah sekarang aku dapat datang, aku pasti akan segera menemui ayahku untuk melaksanakan pernikahan kita, Akupun sedang mencarinya dan ingin bertanya kepada keluargamu di mana adanya ayahku. Ayahmu memberitahu bahwa dia pergi bersama Eyang Panembahan Sidik Danasura, maka sekarang aku akan menyusul ke sana dan akan kuminta agar pernikahan kita segera dilangsungkan"
Nurseta bicara seperti itu karena dia ingin menebus kesalahannya yaitu menyakiti hati gadis itu ketika dia mengaku mencinta gadis lain. Akan tetapi, mendengar ucapannya itu, Pertiwi bahkan menangis semakin sedih, sampai sesenggukan.
"Tidak, kakangmas....... tidak........, aku tidak mungkin menjadi isterimu......., tidak
mungkin........"
Nurseta mengerutkan alisnya. Gidis ini tentu merasa sakit hati sekali mendengar bahwa dia tidak mencintanya, melainkan mencinta gadis lain. "Diajeng Pertiwi, apakah engkau demikian sakit hati karena pengakuanku ketika aku hendak pergi dahulu itu " Maafkan kalau begitu, karena aku tidak ingin membohongimu, tidak ingin berpura pura kepada gadis yang kusayang dan kukasihani"
"Tidak, kakangmas, bukan karena itu. Aku........ aku tidak patut menjadi isterimu, aku hanya akan menyeretmu ke lembah penghinaan, aku hanya akan mendatangkan aib. Aku......... aku telah ternoda, kakangmas Nurseta........." Kalimat terakhir ini seperti jerit yang keluar dari lubuk hatinya.
"Diajeng Pertiwi. Apa........... apa maksudmu.......?"
Pertiwi menangis sampai mengguguk, baru ia dapat menjawab setelah beberapa lamanya. "Aku....... aku bukan perawan lagi, kakangmas, aku....... aku telah menyerahkan diri kepada pria lain........"
"Diajeng Pertiwi. Engkau....... engkau tidak setia kepadaku ?"
Pertiwi mengangguk sambil menangis. "Ya, begitulah......... karena itu aku tidak berharga
menjadi isterimu, kakangmas. Karena itu aku mengasingkan diri agar lain orang tidak ada yang ternoda oleh kotoran yang menempel padaku. Engkau nikahilah saja gadis yang
kaucinta itu, kakangmas, ia........ ia cantik jelita dan pantas menjadi isterimu....."
Nurseta mengerutkan alisnya. "Hem, engkau cemburu lalu engkau menyerahkan diri kepada pria lain ?"
Pertiwi menangis dan tidak menjawab, tangisnya semakin mengguguk ketika Nurseta meloncat pergi meninggalkannya. Ia sengaja bersikap demikian agar Nurseta marah dan membencinya. Biarlah pemuda yang tidak mencintanya itu menikah dengan gadis yang dicintanya. la sendiri harus mengalah, ia bahkan harus menghukum diri sendiri karena bagaimanapun juga, ia ternoda bukan karena diperkosa, melainkan karena ia menyerahkan diri dengan suka rela, karena ia lemah. Ada dua hal yang mendorongnya sengaja bersikap demikian untuk membuat pemuda itu meninggalkan dirinya, pemuda yang sesungguhnya amat dicintanya. Pertama, pemuda itu tidak mencintanya, maka orang yang dicintanya itu hanya akan hidup menderita batin saja kalau sampai menikah dengannya, dan ke dua, ia akan selalu rendah diri dan tak berharga setelah ternoda kalau sampai menjadi isteri Nurseta. Ia tahu bahwa seorang pemuda seperti Nurseta akan memegang janji, setia sampai mati walaupun tidak ada cinta. Dan satu-satunya jalan hanyalah memperlihatkan sikap seperti tadi, agar Nuiseta membencinya, dan agar perjodohan di antara mereka diputuskan saja.
Tanpa pamit lagi kepada orang tua Pertiwi, Nurseta meninggalkan Gunung Kelud dan langsung saja dia melakukan perjalanan cepat ke selatan, ke padepokan Panembahan Sidik Danasura di Teluk Prigi Segoro Wedi.
Pada saat pemuda itu melakukan perjalanan cepat dan sudah mendekati daerah Teluk Prigi, Panembahan Sidik Danasura dan Ki Baka sedang duduk bersantai di luar pondok, duduk bersila di atas dua buah batu datar sambil bercakap cakap. Biasanya, pada saat-saat seperti ini, di waktu menjelang senja, kesempatan bersantai itu dipergunakan oleh Sang Panembahan untuk bicara tentang kehidupan dan dari percakapan ini Ki Baka menimba kesadaran yang banyak dan mendalam. Akan tetapi pada sore hari itu, Sang Panembahan nampak gembira dan wajahnya berseriseri. Ki Baka juga merasakan kegembiraan ini. Hawa amat sejuk dan warna langit di barat nampak amatlah indahnya, penuh awan yang keperakan dibentuk oleh sinar matahari yang mulai mengendur, siap untuk tenggelam di barat.
"Alangkah nyaman sore ini," demikian Sang Panembahan berkata.
"Sayapun merasakan hal itu, Paman Panembahan. Rasanya nyaman dan menyenangkan sekali"
Tak lama kemudian, dari jauh nampak bayangan Nurseta yang berlari cepat menuju ke tempat itu.
"Raden Nurseta......." Ki Baka berseru gembira bukan main.
Panembahan Sidik Danasura tersenyum pula dan pada saat mata mereka saling bertemu tahulah Ki Baka bahwa kakek tua renta itu gaknya sudah tahu bahwa pertanda ada hubungannya dengan kemunculan Nurseta ini.
"Ayah, Eyang......... Saya menghatur salam hormati........." Nurseta sudah menjatuhkan
diri berdiri di depan mereka dan menyembah. Bagaimanapun juga, hati pemuda ini diliputi keharuan. Kedua orang itu telah nampak tua. Panembahan Sidik Danasura memang telah berusia kurang lebih delapanpuluh tahun, sedangkan Ki Baka sendiri juga sudah tujuhpuluh tahun usianya.
"Jagad Dewa Bathara...... kulup Nurseta, akhirnya kau datang juga. Ayahmu dan aku seringkali bertanya-tanya dalam hati, apa yang telah terjadi denganmu maka selama bertahun-tahun kau tidak pernah pulang"
"Benar sekali ucapan Paman Panembahan, Raden. Ke mana saja kau pergi dan apa yang telah terjadi?" tanya Ki Baka.
Nurseta lalu menceritakan semua pengalamannya, betapa ketika dia mencari Wulansari untuk meminta kembali tombak pusaka, dia diserang oleh Ki Cucut Kalasekti sehingga jatuh terjungkal ke bawah tebing curam dan betapa dia bertemu dengan ibu kandung Wulansari. Semua dia ceritakan dengan jelas sampai pertemuannya terakhir dengan keluarga atau ayah bunda Wulansari di mana dia mendapat keterangan bahwa ibu kandungnya adalah Ni Dedeh Sawitri.
"Jagad Dewa Bathara........" Ki Baka berseru dengan terkejut bukan main sedangkan Panembahan Sidik Danasura hanya mengelus jenggotnya sambil tersenyum, "Ni Dedeh Sawitri......." Ah, aku hanya pernah mendengar bahwa ia menjadi selir seorang pangeran di Daha, akan tetapi sama sekali tidak mengira bahwa kau adalah puteranya"
"Inilah hal yang menghancurkan perasaanku dan membuat hatiku menjadi bimbang sekali, ayah....." Nurseta mengeluh.
"Hemm, kulup Raden Nurseta, mengapa terluka" Mengapa bimbang " Bukan kehendakmu dilahirkan di dunia ini, dari ibu yang manapun juga" tiba-tiba Panembahan Sidik Danasura berkata dan ucapan ini sungguh mengejutkan dan menyadarkan Nurseta sehingga sertamerta diapun menyembah.
"Maafkan saya, Eyang. Saya sesat dan keliru, dan terima kasih atas peringatan Eyang" Dengan suara ringan karena beban batin itu telah lenyap seketika oleh ucapan sang panembahan, Nurseta melanjutkan ceritanya sampai pertemuannya dengan Pertiwi. Di sini dia menarik napas panjang,
"Mohon nasihat Eyang dan Ayah, apa yang harus saya lakukan sekarang" Diajeng Pertiwi agaknya sudah tidak mau lagi menjadi isteri saya, dan terus terang saja, sayapun sejak dahulu tidak ada rasa cinta kepadanya. Cinta saya hanya terhadap diajeng Wulansari, akan tetapi dengan iapun agaknya tidak berjodoh, apa lagi ayah bundanya kini tidak setuju"
Ki Baka menarik napas panjang. "Sekarang akupun menyadari bahwa jodoh ditentukan oleh Sang Hyang Widhi Wasa, anakku. Kalau nini Pertiwi memang tidak menghendaki perjodoban itu dilanjutkan, sudahlah. Akan tetapi satu hal perlu kau ketahui, yaitu dalam peristiwa yang menimpa dirinya, jangan sekali-kali menyalahkan Nini Pertiwi "
Nurseta mengangkat muka menatap wajah ayah angkatnya. "Akan tetapi, Ayah, menurut
keterangan diajeng Pertiwi sendiri, ia........ ia telah....... menyerahkan dirinya kepada pria
lain. Ia telah...... melanggar susila, tidak setia terhadap pertunangan kami "
Ki Baka tersenyum. "Agaknya nini Pertiwi memang terlalu menyalahkan diri sendiri, atau hal itu dilakukannya agar mendapat alasan bagimu untuk memisahkan diri dan memutuskan ikatan. Sesungguhnya, ia menjadi korban kekejian seorang yang amat jahat, anakku. Apakah ia tidak menceritakan siapa yang telah........ menodainya"
Nurseta menggeleng kepala. Tadinya dia memang sama sekali tidak ingin mengetahui, Pria mana yang telah menerima penyerahan diri tunangannya itu.
"Dia adalah Gagak Wulung"
"Ahh...,......" Nurseta terkejut bukan main, matanya terbelalak lebar dan mukanya berubah merah. "Apa...... apa yang sesungguhnya telah terjadi, Ayah" Bagaimana tokoh sesat yang keji itu dapat menjadi pria yang dipilih diajeng Pertiwi?"
"Bukan dipilih, anakku. Pada pagi hari itu, setelah engkau berahgkat, Gagak Wulung mempergunakan sihir, memikat dan membawa pergi Pertiwi dan dengan ilmu hitamnya, dengan guna-guna dan pengasihan, dia berhasil membuat nini Pertiwi tidak berdaya. Kalau tidak ada aku, tentu ayah nini Pertiwi sudah dibunuh pula oleh penjahat itu" Ki Baka lalu menceritakan apa yang telah terjadi.
Mendengar ini, Nurseta mengepal tinju. "Ayah, aku akan pergi lagi. Akan kucari Gagak Wulung sampai dapat, akan kuhancurkan dia. Dan akupun akan pergi mencari Ki Cucut Kalasekti, akan kupaksa dia menyerahkan kembali Ki Ageng Tejanirmala"
"Nanti dulu, Raden. Harap jangan terburu nafsu dan tanyakanlah dulu kepada Eyangmu, karena segala hal yang dilakukan tergesa-gesa dan didorong oleh nafsu amarah dan dendam, sungguh tidak baik akibatnya"
"Eyang, mohon petunjuk" kata Nurseta.
"Sadhu, sadhu, sadhu.........*" Panembahan Sidik Danasura yang sejak tadi diam mendengarkan saja, kini mengangkat kedua tangan ke depan daseperti berdoa. "Benar apa yang dikatakan ayahmu Baka, kulup. Apa yang terjadipun terjadilah, tidak ada satupun kekuatan di dunia ini yang mampu merobah apa yang telah dan sedang terjadi, sedangkan apa varg akan terjadi tidak terlepas daii pada perbuatan kita sekarang. Jangan mencoba menjadi hakim mewakili kekuasaan Sang Hyang Pamungkas, angger, Perbuatan yang didorong dendapi merupakan perbuatan jahat pula. Orang berdosa akan menerima hukumannya sendiri, entah dari mana datangnya"
"Terima kasih. Eyang, Kalau begitu, saya tidak akan pergi dan sengaja mencari Gagak Wulung, akan tetapi saya akan pergi untuk merampas kembali tombak pusaka...."
"Kukira belum waktunya, angger. Agaknya sudah digariskan oleh Yang Maha Kuasa bahwa tombak pusaka itu masih belum kembali ke tangan yang berhak. Waktunya belum tiba. Akan terjadi perubahan besar sekali di tanah air kita, pergolakam yang bukan main hebatnya. Nampaknya satu hal yang terjadi amat merugikan, namun sesungguhnya tidak," karena segala peristiwa mengandung hikmah. Yang nampak merugikan mungkin hanya merupakan jalan untuk mendatangkan keuntungan, yang nampaknya buruk menyembunyikan sesuatu yang amat baik. Bakankan jamu itu pahit sekali namun mengandung manfaat yang amat besar" Karena itu, kalau kau dapat menerima nasihatku, tunggulah di sini dan memperdalam llmu agar kelak, di saatnya yang tepat, dapat kau pergunakan untuk nusa dan bangsa"
"Eyang, mohon tanya, apa artinva semua yang Eyang gambarkan tadi " Apa yang akan terjadi di tanah air kita?" Nurseta bertanya, merasa betapa tengkuknva meremang,
kakek itu seperti sadar dari keadaan termenung dan dia memandang wajah pemuda itu, tersenyum. "Aku ini manusia biasa, tanpa kekuasaan Tuhan Yang Maha Kasih tidak akan mampu berbuat sesuatu. Oleh karena itu, bagimana aku berani membuka rahasiaNya" Sadhu, sadhu, sadhu" Setelah berkata demikian, kakek itu duduk bersila, diam tak bargerak dan kedua matanya terpejam. Melihat ini, Ki Baka lalu menyentuh lengah Nurseta dan diajaknya pemuda itu berjalan jalan di tepi laut kidul yang sedang bergelora,
"Patuhi saja nasihat Eyangmu, Raden. Yang penting, engkau memperdalam llmu di sini agar kelak dapat kaupergunakan untuk membela nusa bangsa. Ingat, sejengkal tanah sepercik darah. Agaknya akan terjadi peristiwa hebai mengenai Singosari dan kelak harus kau pertahankan tiap jengkal tanah dengan tiap percik darah kalau perlu. Mungkin sekali pergolakan yang digambarkan oleh Paman Panembahan ada hubungannya pula dengan lenyapnya tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Juga, engkau baru saja pulang setelah pergi selama lima tahun. Engkau baru saja mengalami guncangan lahir batin, perlu menenteramkan batin di sini, angger. Taatilah petunjuk Eyangmu. Kalau saatnya tiba, tentu Eyangmu akan inemberi petunjuk pula. Sebagai seorang satria, tentu saja engkau tidak boleh tinggal diam, siap untuk mempertahankan setiap jengkal tanah air dengan setiap percik darahmu"
"Baiklah, Ayah. Saya akan mentaati semua petunjuk Eyang dan Ayah" kata pemuda itu dengan patuh. Bagaimanapun juga, dia memang baru saja mengalami guncangan batin yang hebat, yaitu persoalannya dengan Wulansari, kemudian dengan Pertiwi, lalu kenyataan tentang ibu kandungnya, tentang Gagak Wulung yang menodai tunangannya. Kalau menuruti nafsu, tentu dia ingin sekali menghadapi semua itu dengan kekerasan, ingin dia menghancurkan Gagak Wulung, ingin dia menjumpai Ni Dedeh Sawitri yang ternyata ibu kandungnya entah apa yang akan dilakukannya kalau ia berhadapan dengan wanita itu. Ingin dia merampas kembali tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Ingin pula minta keputusan Wulansari tentang cinta kasih mereka, dan ingin pula dia menjumpai Pertiwi dan minta maaf karena ternyata gadis itu tidak berdosa seperti yang semula diduganya. Akan tetapi, kalau dia menurutkan semua keinginan itu, batinnya akan semakin kacau. Dia membutuhkan ketenteraman, ketenangan dan agaknya Panembahan Sidik Danasura merasa perlu agar dia memperdalam ilmu ilmunya, mungkin. untuk menghadapi peristiwa besar yang agaknya akan terjadi di tanah airnya.
*** "Maafkan" saya, kanjeng rama. Bukan maksud saya hendak membantah pendapat paduka. Akan tetapi, bukankah pekerjaan menentang Kerajaan Singosari itu amat berbahaya " Hendaknya paduka ingat bahwa di sana masih terdapat orang-orang terkemuka, senopati-senopati yang digdaya seperti misalnya Senopati Nambi, Lembu Sora, Lembu Pereng, Medang Dangdi, Gajah Pagon dan yang lain-lain. Saya khawatir, kanjeng rama, bahwa usaha itu akan menemui kegagalan" Demikianlah Wirondaya memperingatkan" ayahnya, yaitu Arya Wiraraja yang juga dikenai sebagai Banyak Wide, bupati di Sumenep, Madura. Wirondaya, putera sang bupati itu, adalah seorang pria berusia kurang lebih tigapuluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus dan berkulit hitam manis, sepasang matanya mengandung kecerdikan seperti mata ayahnya. Adapun Sang Bupati Wiraraja memang terkenal akan kecerdikannya. Bupati ini berusia kurang lebih limapuluh lima tahun.
Tadinya Bupati Arya Wiraraja adalah seorang yang setia kepada Kerajaan Singosari. Akan tetapi, semenjak Sang Prabu Kertanagara menjadi Raja dan melakukan peremajaan di antara para pejabat tinggi, menggantikan tenaga tua dengan tenaga muda sehingga banyak pembantu setia menjadi sakit hati, maka Arya Wiraraja juga diam-diam menaruh dendam kepada sang raja. Dia menganggap bahwa Sang Prabu Kertanagara tidak patut menjadi raja, dan dia menginginkan agar Sang Prabu Kertanagara jatuh dan kedudukannya diganti oleh orang yang selama ini dikaguminya dan dicalonkannya untuk menjadi raja baru, yaitu Sang Pangeran Wijaya. Kesempatan dia nanti-nantikan dan sekarang, dia melihat betapa Sang Prabu Kertanagara yang ambisius itu mengirim balatentaranya ke mana mana untuk menundukkan raja raja yang tidak mau menakluk kepada kekuasaan Singosari.
Banyak hal yang tidak disetujui oleh Arya Wiraraja telah dilakukan oleh Sang Prabu Kertanagara. Pertama-tama diturunkannya pangkat dan kedudukan patih yang setia dan tua, yaitu Empu Raganata yang dilorot menjadi Jaksa di Tumapel, dan diturunkannya pula pangkat Tumenggung Wirakerti yang tua menjadi Mantri Angabaya, bahkan Pujangga Santasmerti yang bijaksana mengundurkan diri dan menjadi pertapa dari pada mengalami penurunan pangkat yang dianggap penghinaan dan melupakan budi dan jasa. Yang ke dua adalah pengiriman balatentara besar besaran ke Negeri Malayu yang disebut Pamalayu sehingga pengiriman itu sama dengan pengosongan kekuatan dalam negeri yang membahayakan keadaan dan keselamatan negeri sendiri. Ke tiga adalah penyerbuan-penyerbuan yang dilakukan sehingga makin melemahkan keadaan dalam negeri, penyerbuan ke Bali dan ke Pasundan. Bahkan Sang Prabu Kertanagara begitu sembrononya untuk menghina dan mengusir utusan dari Kulai Khan, Raja Tartar yang amat terkenal kekuatannya dari utara itu. Masih belum puas dengan ambisinya, sang prabu juga mengirim pasukan untuk menyerang ke Kalimantan.
Pengosongan demi pengosongan dalam kerajaan dari pasukan-pasukan pilihan ini membuka kesempatan bagi Arya Wiraraja. Maka, pada pagi hari itu, dia memanggil puteranya, yaitu Wirondaya, diajak berbincang-bincang mengenai niat hatinya untuk menjatuhkan Sang Prabu Kertanagara, Namun Bupati Sumenep ini memang cerdik sekali, Biarpun di dalam Kerajaan Singosari kini kekurangan pasukan, namun dia sendiri masih tidak berani untuk melakukan peraberontakan. Tidak, dia tidak sebodoh itu. Dia tidak akan turun tangan sendiri, melainkan hendak meminjam lain tangan, yaitu Sang Prabu Jayakatwang, raja di Kediri yang dia tabu amat mendendam kepada Kerajaan Singosari, Dia sendiri juga merasa sakit hati karena diangkatnya dia menjadi Bupati Sumenep dianggapnya juga merupakan penurunan pangkat atau semacam penyingkiran agar dia berada jauh dari kerajaan.
"Sekali lagi saya mohon kanjeng rama ingat bahwa di. Sana terdapat pula saudara-saudara saya yang amat sakti mandraguna seperti Seperti senopati Nambi, Senopati Ronggolawe......"
"Cukup, puteraku. Mengagungkan kekuatan musuh berarti melemahkan semangat sendiri. Ketahuilah bahwa aku sama sekali tidak memusuhi kerajaan tidak niemusuhi para senopati yang menjadi rekan-rekan, bahkan anak-anakku. Yang kutentang hanyalah Sang Prabu Kertanagara yang tidak bi jaksana. Dia harus dilorot dari singasana dan sudah sepatutnya singasari diduduki orang yang lebih tepat menjadi raja, seperti misalnya Pangeran Wijaya. Bupati Arya Wiraraja mengemukakan alasan-alasan yang tepat, sehingga akhirnya Raden Wirondaya, puteranya" dapat melihat alasan itu dan membenarkan keinginan ayahnya. Diapun tidak membantah lagi ketika ayahnya mengakibatkan dia sebagai seorang utusan untuk menyerahkan sepucuk 'surat dari ayahnya yang ditujukan kepada Sang Prabu Jayakatwang di Kediri.
Memang telah lama terdapat hubungan baik antara Bupati Sumenep ini dengan Raja Kediri. Keduanya memiliki dedam terhadap Sang Prabu Kertanagara. Apa lagi Raja Kediri ini, mengingat betapa Kerajaan Kediri yang tadinya merupakan kerajaan besar dan berkuasa, dikalahkan dan ditundukkan oleh Ken Arok raja pertama dari Singosari.
Biarpun Raja Singosaro kemudian membiarkan keturunan raja-raja Kediri untuk melanjutkan pemerintahan mereka dan membiarkan Kerajaan Kediri tetap berdiri, namun selama itu Kerajaan Kediri menjadi negara taklukan dan hal ini dianggap amat merendahkan martabat Kediri.
Seringkali terjadi perundingan antara Arya Wiraraja dan Sang Prabu Jayakatwang, dan tanpa sungkan lagi, Sang Prabu Jayakatwang menyatakan kebenciannya terhadap Kerajaan Singosari dan menyatakan niatnya untuk sewaktu-waktu menggempur kerajaan yang dianggap musuh besar itu. Adanya kenyataan bahwa puteranya, yaitu Raden Ardaraja, telah menjadi mantu Sang Prabu Kertanagara, tidak mengurangi kebenciannya terhadap Kerajaan Singosari. Justru pernikahan antara puteranya dan seorang puteri Singosari membuktikan kelemahannya karena dia tidak berani mencoba untuk berbesan dengan Raja Singosari.
Setelah menerima petunjuk dan juga sepucuk surat dari ayahnya, barangkatlah Raden Wirondaya menuju ke Kediri. Kedatangannya di istana Sang Prabu Jayakatwang mendapat sanbutan meriah oleh Raja Kediri sendiri dan diapun dipersilakan masuk ke ruangan dalam dan diterima sebagai seorang tamu agung oleh Sang Prabu Jayakatwang.
Pida saat menerima kunjungan Wirondaya sebagai putera dan utusan Arya Wiraraja, Sang Prabu Jayakatwang dihadap oleh Ki Patih Mundarang, para Senopati Jaran Guyang, Bango Dolog, Prutung, Pencok Sahang, Liking Kangkung, Kampanis dan beberapa orang senopati lain yang dipercaya. Raden Wirondaya mengenal mereka semua dan maklum bahwa mereka adalah para ponggawa yang setia dan dipercaya. Oleh karena itu, tanpa ragu lagi diapun menghaturkan sembah kepada Sang Praba Jayakatwang disusul dengan penyerahan sepucuk surat dari ayahnya kepada raja itu.
Sang Prabu Jayakatwang menerima surat dari sahabatnya itu dengan gembira dan langsung dia membaca surat itu. Sementara itu, Wirondaya beberapa kali melirik ke arah seorang di antara penghadap Sang Prabu Jayakatwang dan beberapa kali alisnya berkerut. Ponggawa itu belum pernah dilihatnya, agaknya seorang kepercayaan yang baru, Akan tetapi ponggawa ini seorang wanita. Seorang wanita muda yang amat cantik jelita dan sikapnya gagah perkasa. Gadis itu tidak duduk bersila di depan Sang Prabu Jayakatwang seperti para senopati, juga tidak duduk di samping raja itu seperti kebiasaan para selir dan dayang, melainkan berdiri tegak di belakang Sang Prabu Jayakatwang dengan sikap gagah. Lagaknya seperti seorang pengawal pribadi, akan tetapi kalau benar pengawal kenapa seorang wanita " Diam-diam putera Arya Wiraraja ini melirik sambil memperhatikan gadis itu.
Ia seorang gadis yang cantik manis, berkuiit kuning mulus, sepasang matanya mencorong seperti bintang, hidungnya kecil mancung. Mulutnya amat menggairahkan, dengan bibir yang merah basah tanpa pemerah, dihias lesung pipit di kanan kiri kalau mulut itu menyungging senyum, dan di atas dahi yang halus bagaikan lilin itu tumbuh sinom yang halus. Bentuk tubuh yang tertutup pakaian yang indah dan ringkas itu menambah daya tariknya. Sesosok tubuh yang padat, ranum, membayangkan kelembutan, kehangatan, namun juga kekuatan tersembunyi.
Diam-diam Raden Wirondaya bertanya-tanya di dalam hatinya, siapa gerangan gadis ini dan apa kedudukannya di Kediri"
Gadis itu memang benar seorang pengawal-Pengawal pribadi Sang Prabu Jayakatwang yang dipercaya sekali. Namanya adalah. Wulansari dan biarpun, ia seorang gadis berusia duapuluh empat tahun yang cantik manis, namun dibalik sifat yangmenggairahkan hati setiap orang pria itu, tersembunyi kedigdayaan yang akan membuat setiap orang laki-laki menjadi gentar, Ia adalah murid seorang yang sakti mandraguna, yaitu Ki Cucut Kalasekti yang telah dianugerahi pangkat Adipati Satyanegara dan berkuasa di Bendowinangun karena jasa-jasanya. Bahkan bagi Sang Prabu Jayakatwang sendiri, Wulansari bukan hanya dipandang sebagai seorang pengawal pribadi, bahkan juga seorang wanita yang menggairahkan dan pernah Raja Kediri ini ingin mempersuntingnya sebagai seorang selir. Namun, Wulansari menolak dengan halus walaupun ia akhirnya menjadi seorang pengawal pribadi yang boleh dipercaya.
(Bersambung jilid ke XIII)
Hal yang tdk logis :
1. Wulansari memanggil ibunya dengan Kanjeng Ibu dan Kanjeng Rama kepada ayahnya. Emangnya orang tuanya seorang Adipati atau Raja.
2. Nurseta memanggil Kanjeng paman kepada Medang Dangdi.
3. Medang Dangdi tidak mau menerima Nurseta menjadi mantunya, padahal ia pernah bilang, manusia itu dilihat dari hatinya bukan wadagnya. Sedangkan Nurseta adalah seorang ksatria, dan juga, ia adalah anak seorang pangeran.
4. Cucut memelihara, mengajarkan ilmu kesaktiannya dan menganggap Wulansari yang cantik dan seksi sbg cucunya. Padahal Cucut adalah penjahat kelamin yang keji dan mungkar.
JILID 13
SUASANA dalam balairung itu sunyi sepi ketika Sang Prabu Jayakatwang membaca surat yang baru saja diterimanya dari Wirondaya itu. Agaknya penting sekali surat itu karena dia membacanya dengan serius, sepasang matanya tidak pernah berkedip, bahkan diulang bacanya surat itu sekali lagi.
"Bagus, bagus ! Kami gembira sekali menerima surat ayahmu, Wirondaya, dan kami merasa setuju sekali. Terima kasih atas petunjuk ayahmu kepada kami !" Lalu dia menoleh kepada Ki Patih Mundarang yang usianya sudah mendekati enampuluh tahun itu. "Kakang Patih Mundarang, surat dari Arya Wiraraja ini penting sekali diketahui oleh semua ponggawa. Bacalah keras - keras agar didengar oleh semua senopati, setelah itu baru kita akan merundingkannya." Sang Prabu Jayakatwang menyerahkan surat itu kepada patihnya yang menerimanya dengan sembah. Akan tetapi sebelum patih itu membaca surat dari Arya Wiraraja, Raden Wirondaya cepat berkata kepada Sang Prabu iayakatwang.
"Ampun, Sribaginda! Hamba mohon sudilah kiranya paduka berhati - hati dan tidak mengutus Paman Patih membaca, surat rahasia itu di depan banyak orang, terutama mereka yang masih belum dipercaya benar kesetiaannya." berkata demikian, Wirondaya memandang ke arah gadis yang berdiri di belakang raja itu.
Mendengar ucapan Wirondaya dan melihat arah pandang para utusan dari Sumenep itu, Sang Prabu Jayakatwang tertawa, kemudian berkata lantang.
"Wirondaya, andika tentu telah mengenal baik semua ponggawa kami yang hadir pada saat ini, kecuali barangkali wanita ini yang belum kaukenal. Ketahuilah bahwa ia adalah Nini Wulansari, yang menjadi kepala pengawal dalam keraton, juga pengawal pribadiku yang amat kami percaya. Tidak ada rahasia baginya, bahkan ia harus mengetahui semua rahasia kami agar ia dapat melaksanakan tugas jaga dengan lebih sempurna. Jangan andika khawatir, Wirondaya l"
Wirondaya melihat betapa gadis manis itu memandang kepadanya dengan mata mencorong dan alis berkerut, tanda bahwa ia merasa tidak senang karena tidak dipercaya, dan Wirondaya segera menyembah kepada Sang Prabu Jaya-katwang dengan muk'a merah.
"Mohon paduka mengampuni bamba yang tidak tahu. Kalau begitu, terserah kebijaksanaan paduka, karena paduka tentu lebih mengetahui keadaan di sini, Sribaginda."
"Kakang Patih, mulailah membaca surat dari Madura itu !"
Sejak tadi Ki Patih Mundarang sudah membuka surat itu dan membacanya dalam hati, maka kini dengan lantang dia lalu membaca surat di tangannya sehingga terdengar jelas oleh mereka semua yang hadir di situ.
"Kepada Paduka Raja Binetara patik mengirim berita gembira jika paduka hendak berburu sekaranglah saat yang paling jitu medan sedang tandus dan gersang tiada semak belukar dan ilalang tiada satupun aral melintang tiada pula suat u penghalang binatang-binatang buas tidak ada kecuali seekor macan tua tak berdaya "
"Masan tua tak berdaya! Ha - ha - ha, ya benar, dia macan ompong yang tidak berbahaya lagi!" Sang Prabu Jayakatwang berkata setelah Ki Patih Mundarang menyelesaikan bacaannya. "Anakmas Wirondaya, banyak saudaramu menjadi senopati di Singosari, tentu andika lebih iahu bagaimana sesungguhnya keadaan di sana-sekarang?"
Dengan terus terang Wirondaya menceritakan betapa ambisiusnya Sang Prabu Kertanagara, dan betapa banyak diadakan perubahan yang mengejutkan oleh Sang Prabu Kertanggara yang membuat banyak pejabat dan kawula merasa tidak senang dan tidak puas. "Semua nasehat baik dari Paman Patih Raganata yang bijaksana diabaikan, bahkan kedudukan patih setia itu dilorot. Juga semua nasehat menteri wreda tidak didengar. Yang didengar hanya bujukan para pejabat baru yang kurang pengalaman, hanya mengandalkan keberanian tanpa perhitungan. Akibatnya, kini keadaan kerajaan kosong dari balatentara yang sebagian besar dikirim ke negeri Melayu, bahkan sisanya yang sedikit menjadi semakin lemah karena dipakai menyerbu ke berbagai tempat. Tepat seperti ditulis oleh kanjeng rama, sekarang keadaan Kerajaan Singosari sedang lemah sekali."
"Akan tetapi, bukankah di sana masih terdapat banyak sekali senopati yang sakti mandraguna dan setia kepada Kerajaan Singosari ?"
"Hal itu memang benar, Sribaginda," jawab Wirondaya, teringat akan pendapat ayahnya, "akan tetapi apa artinya para senopati sakti mandraguna kalau mereka tidak memiliki pasukan yang kuat dan banyak " Tidak mungkin mereka akan kuat menghadapi serbuan pasukan yang puluhan atau ratusan ribu jumlahnya."
Sang Prabu Jayakatwang mengangguk-angguk, lalu menoleh kepada Ki Patih Munda-rang. "Bagaimana, kakang Patih " Apa penda-patma tentang isi surat dari Bupati Sumenep itu?"
"Menurut pendapat hamba, apa yang dikemukakan Bupati Sumenep itu memang tepat sekali. Kalau memang kesempatan itu terbuka, memang siapa lagi kalau bukan paduka yang membalaskan kekalahan Kerajaan Kediri yang membuat Kerajaan Kediri kehilangan kejayaannya " Nenek moyang paduka, yaitu yang mulia Sang Prabu Dandang Gendis telah dikalahkan oleh seorang anak petani rendah dari Pangkur, yaitu Ken Arok yang menjadi raja pertama Singosari. Dan semenjak itu, Kerajaan Kediri yang besar dianggap sebagai negara talukan oleh Singosari. Sekarang, kalau kesempatan itu terbuka, sudah selayaknya kalau paduka yang menegakkan kembali kejayaan Kediri dan membalas kekalahan nenek moyang paduka."
Sang Prabu Jayakatwang mengangguk-angguk lagi tanda setuju, akaa tetapi alisnya berkerut ka'au dia teringat kepada puteranya, yaitu Pangeran Ardaraja yang kini telah menjadi mantu Sang Prabu Kertanagara di Singo-sari.
"Ampunkan hamba, Gusti, kalau apa yang hamba katakan tadi tidak berkenan di hati paduka." kata Ki Patih Mundarang yang merasa khawatir melihat junjungannya termenung setelah mendengarkan ucapannya.
"Sama sekali tidak, Kakang Patih. Semua yang kaukatakan tadi benar belaka. Kalau kami termenung, hanya karena kami mau tidak mau teringat kepada keponakanmu, Pangeran Ardaraja yang menjadi mantu Sang Prabu Kertanagara di Singosari."
Ki Patih Mundarang menyembah. "Hal seperti itu tidak mungkin dapat dihindarkan, Gusti. Akan tetapi kiranya paduka lebih arif dan mengetahui bahwa demi perjuangan kerajaan, kadang-kadang diperlukan pengorbanan dan semua kepentingan pribadi hanya jatuh nomor dua untuk mementingkan dan menomorsatukan kepentingan negara."
Mendengar ucapan patihnya ini, Sang Prabu Jayakatwang menepuk pahanya sendiri dengan telapak tangan. "Ah, sungguh tepat ucapanmu itu, Kakang Patih! Tepat dan arif! Anakmas Wirondaya, sampaikan ucapan terima kasih kami kepada ramandamu dan disertai salam hormat kami,"
Setelah Wirondaya mohon diri dan menin-galkan Istana Kediri, Sang Prabu Jayakatwang segera memanggil seluruh senopatinya dan mengsdakan perundingan kilat untuk mengatur rencana penyerbuan ke Singosari yang sedang kosong seperti yang dikabarkan oleh Arya Wiraraja Bupati Sumenep di Madura itu. Semenjak datangnya surat itu sampai dengan ketika Sribaginda mengadakan musyawarah dan perundingan dengan para senopatinya, Wulansari selalu berada dekat Sribaginda karena memang gadis cantik jelita dan perkasa ini merupakan pengawal pribadi yang amat dipercaya.
Wulansarifadalah seorang gadis yang berusia kurang lebih duapuluh empat tahun, seorang wanita yang sudah matang, dengan bentuk tubuh menggairahkan, namun gerak geriknya yang cekatan bagaikan seekor burung seriti itu menunjukkan bahwa di balik kelembutan itu tersembunyi kekuatan yang dahsyat. Kulitnya kuning mulus, pakaiannya ringkas sederhana, juga sikapnya sederhana bahkan seperti orang yang acuh, Namurt, matanya yang seperti sepasang bintang itu tajam sekali dan pandang matanya menembus. Hidungnya kecil mancung, bibirnya selalu basah kemerahan dan kalau ia bicara apa lagi tersenyum, muncullah lesung pipit di pipi kiri, mengimbangi kemanisan tahi lalat kecil di pipi kanan. Rambutnya agak avut-awutan, dengan sinom melingkar-lingkar di dahi. Yang amat menarik perhatian orang adalah sinar matanya yang kadang-kadang redup, akan tetapi kadang-kadang bernyala aneh. Seorang gadis yang manis sekali.
Akan tetapi, gadis manis ini memiliki kepandaian yang membuat pria yang sudah tahu akan keadaan dirinya menjadi gemar. Biarpun dirinya nampak sebagai seorang gadis yang lembut dan manis, namun ia adalah seorang wanita sakti yang ketika kecil pernah digembleng ilmu oleh Sang Panembahan Sidik Danasura, kemudian setelah remaja sampai dewasa ia mewarisi ilmu-ilmu yang dahsyat mengerikan dari Ki Cucut Kalasekti Mendiang Panembahan Sidik Danasura adalah seorang pendeta dan pertapa di padepokan Teluk Prigi Segoro Wedi, yaitu di Laut Selatan dan panembahan ini terkenal sakti mandraguna. Adapun nama Ki Cucut Kalasekti, siapa yang tidak mengenalnya" Tadinya dia merupakan seorang datuk di antara golongan sesat dan namanya ditakuti di dunia hitam. Akan tetapi, kemudian dia berjasa telah mendapatkan dan menyerahkan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala kepada Sang Prabu Jayakatwang di Kediri sehingga dia dianugerahi pangkat sebagai seorang adipati dengan julukan Adipati Satya-negara di Bendowinangun. Hampir semua ilmu yang dabyat dari datuk ini telah diwarisi Wulansari. Oleh ka'rena itu, dapat dibayangkan betapa hebatnya ilmu kedigdayaan gadis manis ini.
Memang aneh melihat betapa Wulansari kini menjadi pengawal pribadi yang amat dipercaya dari Sang Prabu Jayakatwang. Ayah gadis ini adalah Ki Medang Dangdi, seorang di antara para senopati yang perkasa dari Kerajaan Singosari Ibunya bernama Warsiyem, juga seorang wanita sakti yang baru-baru ini berkumpul kembali dengan suaminya, Ki Medang Dangdi setelah saling berpisah selama belasan tahun karena ulah Ki Cucut Kala-sekti yang menculik Warsiyem. Akan tetapi, Wulansari tidak begitu dekat dengan ayah bundanya. Hal ini tidak aneh mengingat betapa gadis ini sejak berusia sepuluh tahun sudah saling berpisah dengan kedua orang tuanya, bahkan ia tidak ingat lagi siapa ayah ibunya. Ingatannya pernah hilang sebagai akibat kecelakaan ketika perahu yang ditumpanginya hanyut. Baru akhir - akhir ini saja, dengan bantuan Nurseta, seorang pendekar yang gagah perkasa, ia mengetahui siapa sebenarnya ayah ibunya dan sempat berkumpul sebentar dengan kedua orang tuanya itu. Akan tetapi tidak lama ia meninggalkan lagi orang tuanya, bahkan karena sakit hatinya kepada
ofahg tuanya, iaputi nekat menerima uluran tangan Raja Kediri untuk menjadi pengawal pribadinya! Pada hal, ia tahu bahwa Raja Kediri membenci Kerajaan Singosari di mana ayahnya menjadi senopatinya. Ia marah kepada ayah ibunya dan sakit hatinya karena mereka, terutama ayahuya, melarang ia berjodoh dengan Nurseta setelah ayahnya mengetahui bahwa pemuda itu adalah putera kandung dari Ni Dedeh Sawitri, seorang tokoh sesat wanita dari Pasundan ! Karena perjodohannya dengan Nurseta dilarang ayah ibunya itulah maka kini ia menjadi pengawal pribadi yang setia dari Sang Prabu Jayakatwang di Kediri.
Biarpun sejak berusia limabelas tahun sampai dewasa ia diaku sebagai cucu Ki Cucut Kalasekti dan mewarisi ilmu ilmunya, namun di dalam hatinya ia tidak suka kepada kakek itu, bahkan kemudian setelah ia bertemu dengan ayah dan ibu kandungnya, ia membenci Ki Cucut Kalasekti yang ternyata sama sekali bukan kakeknya, bahkan musuh besar yang pernah menculik dan memperkosa ibunya! Namun, mengingat bahwa Ki Cucut Kalasekti pernah menjadi gurunya dan memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, maka Wulansari tidak mau sembrono menentangnya, melainkan mencari kesempatan baik untuk kelak dapat membalaskan sakit hati ibu kandungnya kepada datuk sesat itu.
Demikianlah sedikit riwayat Wulansari yang" kini menjadi pengawal pribadi Sang Prabu Ja yakatwang dan seperti diceritakan di bagian depan, Wulansari ikut mendengarkan semua percakapan antara Sribaginda dan para pong-gawanya ketika utusan dari Madura, yaitu Raden Wirondaya datang menghadap.
Bahkan ketika Sang Prabu Jayakatwang memanggil semua senopatinya untuk diajak bermusyawarah tentang siasat penyerbuan ke Singosari, Wulansari juga tetap berjaga di belakang Sribaginda. Para senopati merasa terkejut juga mendengar akan keputusan Sribaginda untuk mengadakan penyerbuan ke Singosari dan sebagian di antara mereka ada yang gentar.
"Mohon ampun, Gusti," kata Senopati Jaran Guyang sambil menyembah. "Bukan hamba hendak menentang. Hamba siap untuk melaksanakan perintah paduka, biar dengan taruhan nyawa sekalipun. Akan tetapi, apakah paduka sudah memikirkan masak - masak tentang penyerbuan ini " Hamba hanya khawatir kalau sampai gerakan ini gagal, tentu berbalik akan mencelakakan Kediri. Bagaimanapun juga, Singosari adalah kedungnya (sumbernya) para senopati yang sakti mandraguna dan digdaya."
Sang Prabu jayakatwang mengerutkan alisnya dan memandang kepada senopatinya itu dengan sinar mata mencorong. "Besarkan hatimu, Jaran Guyang. Semua telah kami perhitungkan dengan matang, bahkan selama bertahun-tahun ini telah kami perhitungan. Kinilah saatnya yang amat baik, dan kiranya tidak percuma kalau kami mendapat berkah dari Ki Ageng Tejanirmala!"
Para senopati terkejut dan juga girang, Raja mereka telah memiliki tombak pusaka, lambang kejayaan itu " Memang, ketika Sri-baginda menerima tombak pusaka itu dari tangan Ki Cucut Kalasekti, hal itu dirahasiakan sehingga para senopatinya sendiripun banyak yang tidak mengetahuinya. Melihat para senopatinya tercengang, Sang Prabu Jayakatwang menjadi gembira dan ingin memamerkan pusakanya agar para senopatinya menjadi besar hati mereka.
"Wulan, ambilkan pusaka Ki Ageng Tejanirmala dan bawa ke sini!" perintahnya sambil menoleh kepada pengawal pribadinya itu. Perintah ini saja sudah membuktikan betapa besar kepercayaan Sang Prabu Jayakatwang kepada gadis pengawal yang tadinya ingin dijadikan selir akan tetapi gadis itu menolak. Wulansari menyembah lalu pergi ke dalam istana, langsung memasuki kamar Sribaginda dan hanya ia seorang bersama Sribaginda yang dapat membuka tempat rahasia di dalam kamar itu di mana disembunyikan tombak pusaka itu.
Setelah tombak pusaka itu berada di tangannya, dalam kamar yang sunyi karena ia telah menyuruh semua anak buahnya, para pengawal istana untuk keluar, juga para dayang, ia menimang-nimang tombak pusaka itu di tangannya dan terbayanglah semua peristiwa masa lalu ketika untuk pertama kalinya ia mendapatkan tombak pusaka itu. Tombak pusaka ini adalah milik Ki Baka, ayah angkat Nurseta. Tombak pusaka itu dirampas oleh Ki Buyut Pranamaya yang menyamar sebagai Wiku Bayunirada. Ketika terjadi pemberontakan Mahesa Rangkah, murid Ki Buyut Pranamaya, Nurseta membantu pasukan pemerintah untuk menghancurkan pemberontakan itu. Dalam pertempuran ini, Nurseta bertemu dengan Ki Buyut Pranamaya dan pemuda perkasa itu diserang oleh Ki Buyut Pranamaya dengan mempergunakan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala! Pada saat itulah ia muncul dan ia berhasil merampas tombak itu dari tangan Ki Buyut Pranamaya dan melarikan tombak pusaka itu, Biarpun ia dapat disusul oleh kakek sakti itu, namun berkat bantuan Nurseta, akhirnya ia berbasil m.miliki tombak pusaka itu dan tidak mau mengembalikannya kepada Nurseta, karena dianggapnya tombak pusaka itu sebagai tanda mata dari pemuda yang d cintanya itu! Kemudian tombak pusaka itu ia serahkan kepada Ki Cucut Kalasekti yang pada waktu itu masih ia anggap sebagai kakeknya yang baik hati. Oleh kakek itu, tombak pusaka diserahkan kepada Sang Prabu Jayakatwang dan sebagai imbalan jasanya, kakek itu diangkat menjadi adipati di Bendowinangun.
Wulansari sadar dari lamunannya. Di mana adanya Nurseta" Pemuda itulah sebetulnya yang berhak memiliki tombak pusaka ini! Akan tetapi kini tombak pusaka telah menjadi milik Raja Kediri dan ia sebagai seorang pengawal pribadi yang setia, harus membela junjungannya! Bergegas ia keluar dari kamar membawa tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala, lalu memasuki ruangan di mana Sribaginda dan para senopati masih menanti.
Setelah menerima tombak pusaka itu dari tangan Wulansari, Sang Prabu Jayakatwang membuka kain penutup tombak pusaka itu dan mengangkatnya tinggi di atas kepala. "Kalian lihat. Inilah Ki Ageng Tejanirmala yang akan memberkahi kita sehingga kita akan dapat mencapai kemenangan melawan Singosari "
Para senopati memandang dengan penuh khidmat dan juga gembira, hati mereka besar sekali rasanya dan mantap karena mereka percaya sepenuhnya bahwa siapa yang memiliki tombak pusaka itu seolah-olah mendapatkan wahyu kerajaan.
Kini Sang Prabu Jayakatwang mengadakan perundingan dengan Ki Patih Kebo Mundarang dan para senopati. Balatentara Kediri dibagi dua. Yang sebagian dipimpin oleh Senopati Jaran Guyang, pasukan ini menyerbu Singosari dari utara dan senopati ini dibantu oleh para perwira yang suaah terkenal pandai dari Kediri, di antaranya adalah Bango Dolog, Prutung, Pencok Sahang, Liking Kangkung, dan Kampinis. Adapun sebagian lagi dipimpin langsung oleh Ki Patih Kebo Mundarang, menyerang Singosari dari arah selatan.
Sementara itu, jauh di utara, di negara Tiongkok, pada waktu itu terjadi pula peristiwa yang menarik di dalam istana kaisar. Pada waktu itu, Tiongkok dijajah oleh Bangsa Mongol dan yang menjadi kaisar adalah Ku-bilai Khan. Seperti juga kaisar pertama dari Kerajaan Moneol ini, yaitu Jenghis Knan, Kubilai Khan tidak kalah besar ambisi dan keangkara-murkaannya. Dia tidak akan puas sebelum seluruh dunia ditalukkannya. Biarpun seluruh Tiongkok telah dikuasainya, dia masih belum puas, Dikirimnya balatentara yang besar, menyerang sampai, jauh ke daerah Europa ! Dan diapun memperluas kekuasaannya ke selatan dan pada suatu hari, dia mengirim utusannya yang dikepalai oleh perwira Meng Ki menuju ke Kerajaan Singosari. Akan tetapi pada waktu Meng Ki datang menghadap Sang Prabu Kertanagara di Singosari, Sang Prabu ini juga sedang memperbesar kekuasaannya. Keberhasilan pasukan Singosari menundukkan daerah-daerah bahkan sampai ke negeri Melayu, membuat Sang Prabu Kertanagara merasa dirinya besar dan dia sama sekali tidak sudi tunduk kepada kebesaran Kaisar Kubilai Khan. Untuk memperlihatkan bahwa dia tidak takut kepada kaisar di utara itu, dia menolak untuk mengakui kekuasaan Kubilai Khan, bahwa dengan cara yang menantang sekali dia menulis pesan yang mecghina dan menantang di atas dahi Meng Ki, sang utusan itu.
Kaisar Kubilai Khan menerima kedatangan utusannya itu dengan kemarahan besar. Dia segera memerintahkan tiga orang panglimanya yang bernama She Pei, Kau Seng, dan Ji Kauw Mosu, memimpin duapuluh ribu orang pasukan, lengkap dengan kapal perang dan kapal pengangkut yang membawa segala perlengkapan perang dan bahan makan-untuk jangka waktu satu tahun lamanya. Mereka dipenntahkan untuk menghukum Raja Kertanagara di Singosari yang telah berani,menghina utusan kaisar. Berangkatlah pasukan yang terdiri dari para perajurit pilihan itu dengan kapal-kapal besar ke selatan. Peristiwa ini terjadi dalam tahun 1292. Sebagian besar dari ang-gauta pasukan adalah perajurit-perajurit Mo-ngol yang sudah terlatih, sudah berulang kali mengadakan penyerbuan ke barat, menalukkan banyak negara dan merupakan perajurit-pera-jurit yang perkasa. Sedikit di antara mereka adalah orang - orang Han yang merupakan orang talukan dari Bangsa Mongol yang menjajah Tiongkok. Bahkan seorang di antara tiga panglima itu, yang bernama Kau Seng, bukan pula orang Mongol, melainkan seorang peranakan Han Mancu, ayahnya orang Han dan ibunya orang Mancu. Kau Seng adalah seorang panglima yang selain pandai dalam ilmu perang, juga pandai ilmu silat, terkenal pula dengan anak panahnya, yang menurut kabar, sekali dilepas pasti merobohkan seorang lawan 1 Kau Seng yang sudah berusia enam-puluh lima tahun ini mempunyai seorang sute (adik seperguruan) bernama Lie Hok Yan, seorang pemuda berusia duapuluh enam tahun yang ditariknya menjadi seorang perwira dalam pasukannya. Sebetulnya Ue Hok Yan, seorang yang terkenal berjiwa pendekar, agak legan untuk membantu pasukan Mongol yang menjajah tanah airnya, akan tetapi karena dia sungkan terhadap suhengnya (kakak seperguruannya), maka terpaksa dia menerima pengangkatan sebagai perwira muda itu. Apa lagi sudah lama dia mendengar akan dunia selatan yang cantik, dan sebagai seorang pemuda yang belum berumah tangga, diapun ingin meluaskan pengalaman dan bertualang. Maka diapun ikut pula dalam ekspedisi ke selatan itu.
Pelayaran itu merupakan perjalanan yang amat melelahkan bagi pasukan besar itu. Mereka, terutama sekali para perajurit Mongol, merupakan ahli-ahli penunggang kuda, biasanya mereka bergerak melalui daratan, dapat melakukan perjalanan cepat baik menunggang kuda atau berjalan kaki. Akan tetapi sekali ini mereka berada di kapal dan merasa tidak berdaya sama sekali ketika kapal dipermainkan angin ribut. Badai membuat air laut bergelombang besar dan kapal-kapal itu bagaikan benda - benda kecil yang tak berdaya, oleng dan jalannya seperti kuda mabok. Para perajurit banyak yang mabok laut, tidak suka makan dan hanya bertiduran dengan kepala pusing.
Sementara itu, di Singosari terjadi geger ketika pasukan Kediri mulai menyerang. Penyerangan yang terjadi tanpa disangka-sangka oleh pihak Singosari.
Pasukan yang dipimpin Senopati jaran Gu-yang dan para pembantunya mengambil jalan melintas, melalui sawah ladang ke jurusan utara untuk menyerbu Singosari dari utara. Mereka membawa kereta, bende, gong dan tunggul, perlengkapan perang yang banyak dan mereka berhenti di desa Mameling. Melihat pasukan Kediri memasuki daerah Singosari, rakyat pedesaan menjadi panik dan terkejut bukan main. Di antara anak buah pasukan itu ada yang melakukan kekerasan, merampok dan memperkosa wanita dan tentu saja hal ini membuat penduduk dusun itu bangkit melakukan perlawanan. Akan tetapi, apa daya mereka menghadapi serbuan pasukan yang bersenjata lengkap dan terlatih" Banyak penduduk dusun yang tewas, dan sisanya melarikan diri mengungsi meninggalkan dusun mereka. Titir ditabuh bertalu-talu tanda bahaya dan mereka cepat melarikan dan menjauhi Mameling, sebagian pula menjadi utusan dari dusun Mameling untuk menghadap Sribaginda Kertana-gara dan melaporkan bahwa balatentara Kediri telah menyerbu dan tiba di Mameling.
Mendengar laporan ini, Sang Prabu Kerta-nagara tidak percaya. Mana mungkin Raja Kediri menyerbu Singosari" Bukankah Sang Prabu Jayakatwang itu masih besannya " Bukankah selama ini Singosari membiarkan raja itu berkuasa di Kediri" Akan tetapi, para pengungsi membanjir, hujan tangis di antara mereka, dan banyak pula yang terluka parah. Melihat keadaan ini, barulah Sribaginda percaya. Dipanggilnya calon mantunya, Raden Wijaya, dan diperintahkannya berangkat ke Mameling memimpin pasukan untuk mengusir pasukan musuh yang berani menyerbu wilayah Singosari.
Perasaan yang marah dan penasaran mengganggu hati Sang Prabu Kertanagara. Biarpun dia sudah memerintahkan mantunya, Raden Wijaya untuk memimpin pasukan menyambut para penyerbu yang datang dari utara itu, dia masih belum puas dan segera diutusnya Ki Patih Kebo Anengah untuk membawa pasukan besar menyusul pasukan pertama pimpinan Raden Wijaya ke dusun Mameling.
Mendengar perintah ini, Adhyaksa (jaksa) Empu Raganata, bekas patih yang diturunkan pangkatnya itu karena sudah tua, segera maju menyembah dan berkata, "Mohon ampun, Gusti, Akan tetapi hamba kira tidaklah bijaksana kalau paduka mengutus Patih Kebo Anengah untuk membawa sisa pasukan menyusul Raden Wijaya ke Mameling. Dengan demikian, maka Singosari menjadi kosong dan tidak ada kekuatan pasukan besar yang menjaganya. Apa artinya pasukan pengawal yang kecil jumlahnya jika menghadapi bahaya serbuan musuh"'*
Juga Mantri Angabaya Wirakreti, bekas tumenggung yang juga dilorot pangkatnya karena sudah tua itu, ikut membujuk. "Hamba kira pasukan yang dipimpin Raden Wijaya sudah cukup untuk menanggulangi musuh yang menyerbu dari Mameling, Gusti. Sebaiknya ibu kota jangan dikosongkan !"
"Ah, kalian ini orang - orang tua yang penakut. Musuh masih amat jauh dan kalian telah menjadi gugup. Wijaya itu masih muda, kurang pengalaman, maka sebaiknya kalau dia dibantu oleh Kebo Anengah agar sekali pukul, pihak musuh akan dapat dihancurkan. Mereka menyerbu dari utara, maka bahaya hanya datang dari arah utara. Mengapa harus takut akan kemungkinan penyerbuan lain?" Sang Prabu Kertanagara tetap tidak memperdulikan nasehat dua orang ponggawa tua itu dan berangkatlah Kebo Anengah membawa hampir semua sisa pasukan yang berada di Singosari
Memang inilah yang dinanti - nanti oleh barisan dari Kediri yang mengatur siasat memancing harimau meninggalkan sarang itu. Diam-diam, pasukan yang dipimpin oleh Ki Patih Kebo Mundarang dari Kediri, menyusup dari selatan dan dapat menyerbu tanpa banyak perlawanan!
Dengan mudahnya pasukan Kediri ini masuk dari selatan melalui Lawor terus ke Sida-bawana. Sementara itu, Sang Prabu Kertanagara masih enak-enak saja, seolah-olah tidak ada bahaya mengancam, bersenang - senang di keputren bersama para selir dan dayang, berpesta pora dihibur gamelan yang mengiringi alunan suara merdu dan tubuh muda indah me-liak-liuk ketika para dayang bertembang dan menari. Ki Patih Angragani menemani junjungannya berpesta pora, yakin bahwa para senopati pasti akan mampu menindas dan menumpas pemberontak itu. Bahkan Ki Patih Angragani demikian gembira ketika Sang Prabu Kertanagara minta agar dia suka ikut berjoget, ditemani seorang dayang yang cantik. Ki Patih memperoleh kesempatan memperagakan dirinya dan memamerkan kepandaiannya berjoget di antara demikian banyaknya wanita ayu. Pengaruh minuman keras membuat sang patih yang sudah setengah mabok ini agak lupa diri, berani pula ketika berjoget tangannya kadang-kadang menjamah dan menyentuh tubuh lawannya berjoget dengan genit, Sang Prabu yang melihat ini hanya tertawa saja karena dia sendiri-pun sudah setengah mabok.
Tiba-tiba, terdengar sorak sorai yang meng-gegap gempita, mengatasi riuhnya suara gamelan. Dengan sendirinya, tanpa diperintah lagi, para penabuh gamelan menghentikan tabuhari mereka dan para dayang menghentikan tarian dan nyanyian mereka. Semua orang menoleh ke arah pura di depan istana karena dari sanalah datangnya sorak sorai itu.
Muncullah Adhyaksa Empu Raganata yang tua dan Mantri Angabaya Wirakreti tergopoh-gopoh menghadap Sang Prabu Kertanagara. Melihat mereka menghadap, langsung saja sang prabu bertanya apa yang telah terjadi di luar maka demikian bising.
"Ampun, Kanjeng Ousti. Pasukan dari Kediri telah datang menyerbu!"
"Apa!?" Sang Prabu Kertanagara berteriak heran. "Bukakah Wijaya dan Mahesa Angragani telah mengerahkan pasukan untuk menggempur mereka ?"
"Ampun, Gusti. Yang kini menyerbu masuk ke Singosari bukankah pasukan yang 'menyerbu ke Mameling, melainkan pasukan Kediri lain yang menyerbu dari selatan, pasukan besar sekali yang dipimpin oleh Kebo Mundarang l"
"Patih Angragani, kerahkan seluruh sisa pasukan untuk menyelamatkan istana! Paman Raganata dan Wirakreti, ajak semua pengawal
untuk mempertahankan istana. Kami.....kami
menanti di sini dan berdoa......."
Ki Patih Angragani cepat keluar dari kepu-tren untuk melaksanakan perintah junjunganhya. Akan tetapi Adhyaksa Empu ftaganata Mantri Angabaya Wirakreti -menyembah kepada Sang Prabu Kertanagara. Kakek Empu Raga-, nata berkata dengan suara yang tegas. "Kanjeng Gusti, ampunkan kalau hamba mengeluarkan ucapan yang tidak sedap didengar. Akan tetapi, Gusti semenjak dahulu, para eyang paduka adalah raja-raja bijaksana yang berjiwa pahlawan. Tidak mabok kesenangan ka-' lau negara sedang makmur, dan tidak menyem-? bunyikan diri kalau negara sedang dilanda musibah. Bahkan pantang bagi seorang junjungan untuk bersembunyi di keputren di kala negara dilanda perang. Sungguh merupakan aib kalau sampai paduka ditemukan pihak musuh di dalam keputren. Hamba hanya mengingatkan paduKa, Gusti, agar paduka tidak mengecewakan para junjungan yang terdahulu."
Bangkit semangat Sang Prabu Kertanagara mendengar nasihat bekas patih yang tua dan bijaksana ini. Baru dia sadar akan kesetiaan dan kebijaksanaan Empu Raganata dan dia merasa menyesal mengapa sebelum ini dia tidak pernah mendengarkan nasihat - nasihat yang amat bijaksana darinya. Diapun bangkit dan merangkul bekas patih itu.
"Aduh paman Raganata, baru terbuka kesadaranku sekarang. Ucapanmu tadi sungguh tepat sekali. Bagi searang raja yang bertanggung jawab, Jebih'baik gugur sebagai kusuma: bangsa dari pada hidup menjadi tawanan perang pihak musuh dan menerima penghinaan ! Mari, paman, mari kita lawan para pengkhianat Kediri itu sampai titik darah penghabisan!"
"Sejengkal tanah, sepercik darah!" Kakek itu berseru sambil mengepal tinju, membangkitkan semangat semua orang yang mendengarnya,
Berbondong-bondong mereka keluar, Sang Prabu Kertanagara dengan tombak dan keris di tangan, Patih Anggragani yang sudah mendahului mereka, Empu Raganata dan Mantri Wirakreti- Mereka membawa pengawal, sisa pasukan kecil yang ada dan mengamuk menahan seibuan pihak musuh yang sudah mulai menyerbu istana. Akan tetapi, jumlah pasukan Kediri jauh lebih besar sehingga gagallah semua pertahanan dan perlawanan sisa pasukan Singosari mempertahankan istana dan melindungi raja mereka. Mereka semua gugur dan tewas di bawah hujan senjata pihak musun.
Ketika itu, pasukan yang dipimpin oleh Mahesa Anengah belum jauh meninggalkan Singosari, menuju ke utara untuk membantu Raden Wijaya yang menyambut serbuan pasukan Kediri' di Mameling. Ketika mendengar sora*k-sorai pasukan musuh yang menyerbu
Singosari dari selatan. Ki ?atih Mahesa Anengah lalu membalik dan kembali ke Singosari. bermaksud menyelamatkan rajanya. Namun, kedatangannya terlambat. Bukan saja Mahesa Anengah dan pasukannya tidak mampu menyelamatkan Sang Prabu Kertanagara, bahkan pasukan yang dipimpinnya juga dihancurkan oleh pihak musuh yang jauh lebih kuat. dan Ki Patih'Mahesa Anengah sendiri tewas dalam pertempuran itu.
Sambil bersorak sorai pasukan dari Kediri menyerbu istana dan pertempuran itu kini berubah menjadi pembantaian, perampokan dan perkosaan. Terdengar jerit tangis para wanita, teriakan mereka yang tersiksa dan terbunuh.
Perang, kapan dan di manapun juga, memang amat jahat dan kejam. Perang merupakan puncak keganasan mahluk yang dinamakan manusia. Dengan dalih apapun juga, di dalam peperangan manusia menjadi amat kejam dan buas melebihi binatang yang paling buas, siap membunuh atau dibunuh demi memperebutkan kemenangan. Perang merupakan bencana bagi umat manusia, di mana nyawa manusia tidak lebih berharga dari pada nyawa semut, di mana maut berpesta pora.
Selagi para perajurit Kediri menjarah-rayah, menculik dan memperkosa wanita, mcrampok! barang beiharga, membunuhi orang tua dan kanak-kanak, nampak ada dua orang puteri menyelinap keluar dari dalam istana melalui jalan rahasia yang berada di belakang taman istana. Mereka tidak menangis seperti para puteri istana yang lain, yang hanya mampu menangis dan tidak berdaya ketika pasukan musuh menyerbu keputren. Dua orang puteri ini adalah Sang Puteri Tribuwana dan Sang Puteri Giyatri, dua orang puteri dari Sang Prabu Kertanagara. Mereka berhasil lolos dari keputren sebelum pasukan musuh menyerbu bagian paling dalam dari istana itu, dan mereka melarikan diri lewat pintu rahasia di taman. Kini mereka melarikan diri, di antara rumah-rumah yang terbakar, tidak tahu arah tujuan, pokoknya menjauhi istana dan menjauhi pasukan musuh.
"Aduh, diajeng Pusparasmi, di mana-mana ada musuh. Kita hanya dapat mohon perlindungan para dewata semoga kita akan dapat meloloskan diri dari tangan mereka........"
keluh Puteii Tribuwana atau yang juga bernama Puspawati. Adapun Puteri Giyatri juga disebut dengan nama Pusparasmi.
Pusparasmi atau Puteri Gayatri maklum bahwa kakaknya merasa lebih aman kalau mereka berdua mempergunakan nama kecil itu. Ia mengeluh dan berhenti lari, bahkan lalu menjatuhkan dirinya duduk di bawah pohon di tepi jalan, memijit-mijit betisnya.
"Aduh, kakangmbok Puspawati........ aku sudah tidak kuat lagi. Lihat, kakiku bengkak-bengkak, ujung jarinya berdarah....... nyeri bukan main !"
Puspawati melibat ke arah betis adiknya, Kain itu disingkap ke atas, nampak di bawah sinar api kebakaran, betis yang memadi bunting berkulit kuning putih mulus dan memang benar, telapak kaki yang halus itu, yang tumitnya kemerahan, nampak bengkak - bengkak dan ujung jarinya luka berdarah. Keadaan kaki Pusparasmi menyedihkan, akan tetapi kaki Puspawati sendiripun tidak lebih baik keadaannya. Dua orang puteri ini tentu saja tidak biasa berjalan di atas batu kerakal yang tajam dan kasar. Akan tetapi Puspawati mencoba untuk men.bangunkan adiknya.
"Diajeng Pusparasmi, kita tidak boleh berhenti di sini. Hayo bangunlah, kita harus berlari terus sampai jauh agar jangan sampai tertangkap oleh iblis-iblis itu ......."
Pusparasmi dipaksa kakaknya bangkit lagi dan terhuyung - huyung ketika ia dipapah kakaknya melanjutkan lari mereka. Di sana-sini masih terjedi pertempuran yang berat sebelah. Banyak pula rakyat yang bangkit dan melawan para penyerbu karena melihat betapa barang
mereka dirampok, anak gadis dan isteri mereka diculik, orang tua dan anak kecil dibunuh. Banyak pula yang berbondong-bondong melarikan diri cerai berai. Keadaan Singosari geser seperti sekelompok semut ditiup, lari ke sana-sini tak menentu dan para wanita menangis, anak - anak memanggil - manggil ayah ibunya, kakek dan nenek lari tersaruk-saruk. Ada yang jatuh terinjak kuda, ada yang berkelahi mati - matian.
Ketika dua orang puteri itu tiba di jalan perempatan, datang serombongan pengungsi yang lari dikejar-kejar beberapa orang perajurit Kediri. Karena mereka lari tunggang-langgang, maka dua orang gadis bangsawan itu terseret dan akhirnya mereka berpisah karena tangan mereka yang saling berpegang itu terlepas oleh desakan orang-orang yang lari ketakutan.
Puteri Tribuwana terkejut dan panik. "Pusparasmi .........! Diajeng Pusparasmi ........!"
teriaknya berkali-kali sambil mengejar ke sana-sini. ia tidak berani memanggil adiknya dengan nama Gayatri karena kalau sampai terdengar oleh pasukan Kediri, tentu akan menjadi perhatian. Namun panggilannya tidak ada jawaban. Puteri Tribuwana lari ke sana ke mari sambil berteriak - teriak memanggil, tidak tahu bahwa ia mencari ke jurusan yang berlawanan sehingga semakin jauh terpisah dari adiknya. Iapun tidak tahu bahwa adiknya itu telah tertawan oleh perajurit-perajurit Kediri yang mengenal puteri itu, maka segera tawanan yang amat penting itu dipisahkan diperlakukan dengan hormat, menjadi tawanan yang akan dihaturkan ke hadapan Sang Prabu Jayakatwang di Kediri.
Puspawati atau Puteri Tribuwana terpaksa melarikan diri sambil memanggil - mang nama adiknya. Ia tidak menangis. Puteri ini memang tabah sekali dan tidak mudah putus asa.
Akan tetapi, tiba-tiba dari samping ada seorang laki-laki tinggi besar yang menubruknya. Sang puteri mengelak, akan tetapi lengannya dapat ditangkap orang itu, ia menoleh dan melihat bahwa yang menangkap lengannya adalah seorang perajurit Kediri yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, bercambang bauk mengerikan sekali.
"Lepaskan!" bentak sang puteri dan dengan gerakan mendadak, ia berhasil melepaskan lengannya dan melarikan diri.
"Ha - ha - ha, engkau cantik manis sekali! Hendak lari ke mana kau, manis ?" orang itu tertawa dan mengejar. Tentu saja dengan langkah-langkah yang lebar dengan mudah dia dapat menyusul Puspawati. Puteri ini mendengar langkah kaki yang berat dan dengus napas seperti kerbau gila di belakangnya, lalu berhenti dan mencabut sebatang keris keci! dari pinggangnya. Dengan keris di tangan ia. menanti pengejarnya lalu membentak dengan suara nyaring berwibawa.
"Berhenti, atau engkau akan mati di tanganku l"
Laki - laki tinggi besar itu terbelalak dan tertawa, "Ha-ha-ha, engkau semakin manis dan cantik jelita saja! Wah, tidak kalah oleh para; puteri istana ! Mari. manis, marilah engkau-ikut Yuyu Rumpung dan hidup dengan mulia. Aku perajurit gemblengan dan sebentar lagi naik pangkat !" Laki-laki itu menubruk, Puspawati menyambutnya dengan tusukan kerisnya. Akan tetapi yang dihadapinya adalah seorang perajurit kawakan yang sudah berpengalaman. Dengan mudahnya, lengan kanan gadis itu ditangkap, dipuntir sehingga kerisnya terlepas dan di lain saat, tubuh yang ramping itu telah dirangkul dan didekap. Akan tetapi sebelum mulut yang lebar dan basah itu sempat mencium, pundaknya ditampar orang.
"Lepaskan gadis itu "
Tamparan itu membuat Yuyu Rumpung terkejut dan rangkulannya terlepas, tulang pundaknya seperti patah - patah rasanya. Dengan penuh geram dia membalik dan melotot. Kiranya yang menamparnya itu seorang pemuda yang memanggul seorang kakek yang agaknya menderita luka-luka parah. Tentu saja Yuyu Rumpung memandang rendah dan kemarahannya memuncak. Dia adalah seorang perajurit Kediri yang sudah gemblengan dan terkenal di antara kawan-kawannya. Kini, melihat seorang pemuda biasa saja berani menampar pundaknya dan menghalangi kesenangannya, apa lagi menggagalkan dia memetik sekuntum mawar indah ini, tentu saja dia marah sekali. Gadis jelita yang terlepas dari pelukannya itu kini telah lari ke belakang pemuda tadi, agaknya mencari perlidungan.
"Babo-babo keparat! Engkau ini pamongan Singosari berani kurang ajar kepadaku" Haha, belum mengenal tangan besi Yuyu Rumpung kamu !" Setelah berkata demikian, Yuyu Rumpung menyerang dengan ganasnya, tangan ikanannya mencengkeram ke arah leher, tangan kanan dikepal menghantam ke arah muka pemuda itu.
Pemuda itu sedang memanggul tubuh seorang kakek yang agaknya pingsan, dengan tubuh yang luka - luka, memanggulnya di atas pundak kiri dan dirangkulnya dengan lengan kiri. Lengan kanannya saja yang bebas. Akan letapi menghadapi serangan Yuyu Rumpung yang dahsyat itu, dia bersikap tenang saja.
Ketika kedua tangan lawan itu sudah menyambar dekat, dia menggeser kaki ke kiri dan dari kiri tangan kanannya menyambar ke kanan, sekaligus menangkis kedua lengan Yuyu Rumpung. Tenaganya demikian dahsyat sehingga begitu kedua lengan Yuyu Rumpung bertemu dengan tangan pemuda itu, Yuyu Rumpung terpekik dan terpelanting roboh seperti dibanting oleh tenaga raksasa! Yuyu Rumpung penasaran dan semakin marah, akan tetapi begitu dia berusaha bangkit, kaki pemuda itu menyambar bagaikan kilat.
"Krokkkk !" Kaki itu mengenai dagu, demikian kerasnya sehingga tulang leher Yuyu Rumpung patah dan tubuhnya terbanting keras dengan kepala terpuntir ke belakang dan dia tewas seketika!
Sementara itu, Puspawati atau Puteri Tribuwana yang tadi ketakutan, ketika melihat penyerangnya itu mulai berkelahi melawan pemuda yang menolongnya, sudah cepat melarikan diri memasuki rombongan pengungsi. Pemuda itu membalikkan tubuh, dengan pandang matanya mencari-cari, dan ketika dia tidak melihat gadis yang ditolongnya, dia menghela napas.
"Hemm, kalau tidak keliru, dara tadi adalah Sang Puteri Kedaton Tribuwana....... Aduh,
sungguh malang nasib keluarga Sang Prabu...."
Pada saat itu, datang lima orang perajurit yang menjadi marah sekali melihat seorang kawannya menggeletak tewas. Mereka segera mengepung pemuda yang memanggul tubuh kakek itu, dengan parang di tangan. Kemudian, tanpa banyak cakap lagi, mereka menyerang dengan parang, membacok sekenanya, tidak perduli apakah parang mereka itu akan. mengenai si pemuda atau kakek yang dipanggulnya. Tugas mereka sebagai perajurit Kediri, hanyalah membunuh, merampok dan membasmi orang - orang Singosari !
Pemuda itu nampaknya sudah lelah sekali dan selain pakaiannya robek - robek, juga ada beberapa luka di tubuhnya. Kini, menghadapi pengeroyokan lima orang itu, dia mendahului dengan loncatan ke kiri, tangan kanannya menyambar dan robohlah seorang pengepung di sebelah kiri. Ketika empat orang lainnya maju mengejar, kakinya menendang dan kembali seorang di antara mereka roboh dan pemuda itu lalu meloncat dan menghilang di antara rumah - rumah yang mulai terbakar Tiga orang perajurit itu mengejar, namun tidak dapat menemukannya dan mereka menimpakan kemarahan kepada para penduduk yang sedang lari mengungsi. Mereka membabat siapa saja yang mereka temukan!
Siapakah pemuda perkasa itu" Dia adalak seorang pendekar muda yang sakti mandraguna, berjiwa ksatria dan namanya adalah Nurseta. Pemuda ini berusia tigapuluh tahun lebih, berwajah tampan dan bersikap halus dengan pakaian yang sederhana. Biarpun nampaknya saja dia seorang pemuda biasa yang lemah lembut, namun sesungguhnya di dalam tubuhnya mengalir banyak aji kesaktian yang ampuh ! Kalau belum mengenal orangnya, maka tidak akan ada yang menyangka bahwa pemuda tampan yang cambangnya agak tebal, kumis tipis tanpa jenggot ini memiliki kepandaian yang hebat, yang membuatnya menjadi seorang yang digdaya,
Nurseta adalah putera angkat dari Ki Baka, seorang kakek pendekar yang berjiwa pahlawan, seorang ksatria tulen yang ditakuti lawan disegani kawan. Sebagai putera angkat Ki Baka, tentu saja Nurseta mewarisi ilmu - ilmu kakek ini, antara lain yang amat terkenal adalah Aji Sari Patala yang mendatangkan kekuatan dahsyat dari bumi, aji pukulan Bajradenta dan ilmu memberatkan tubuh yang disebut Wandi-ro Kingkin. Kalau hanya mewarisi ilmu - ilmu dari ayah angkatnya saja, belumlah Nurseta dapat dianggap sebagai seorang pemuda yang sakti mandraguna. Dia bahkan mendapat gemblengan dari gurunya, yaitu mendiang Sang Panembahan Sidik Danasura, seorang pertapa .yang sudah mencppai tingkat tinggi dalam ilmu kebatinan. Dari Sang Panembahan ini dia mewarisi aji pukulan yang dinamakan Aji Jagad Pralaya (Dunia Kiamat)! Pemuda perkasa ini pernah membantu Kerajaan Singosari ketika membasmi pemberontakan Mahesa Rangkah dan Raden Wijaya, calon mantu Sang Prabu Kertanagara, dia memperoleh hadiah sebatang keris yang diberi nama Hat Nogo.
Biarpun Nurseta seorang pemuda gagah perkasa, seorang satria utama, namun dia memiliki rahasia pribadi yang amat memprihatinkan hatinya, yaitu kenyataan yang baru diketahuinya setelah dia dewasa bahwa dia hanyalah putera angkat dari Ki Baka dan bahwa sesungguhnya dia adalah putera kandung dari mendiang Pangeran Panji Hardoko dari Kerajaan Kediri l Dia masih darah keturunan keluarga Kerajaan. Daha atau Kediri! Ini masih belum menyedihkan hatinya. Yang membuat dia selama ini merasa prihatin dan terpukul adalah bahwa ibu kandungnya adalah Ni Dedeh Sawitri, seorang wanita tokoh sesat yang terkenal sakti mandraguna akan tetapi juga kejam, jahat, cantik, genit dan cabul, ahli menggunakan racun yang amat keji dan berbahaya!
Kenyataan inilah yang menghancurkan hatinya, yang memisahkan dia dari kekasihnya. Dia saling mencinta dengan Wulansari, gadis cantik jelita dan gagah perkasa yang kini menjadi -
pengawal pribadi Sang Prabu Jayakatwang-Wulansari adalah puteri dari Ki Medang Dangdi seorang di antara para senopati Kerajaan Singosari. Ketika Ki Medang Dangdi mendengar bahwa dia putera kandung Ni Dedeh Sawitri senopati itu dengan bersikeras tidak memperbolehkan puterinya menjadi isterinya! Inilah pukulan batin yang membuat Nurseta melarikan diri karena malu, sedangkan kekasihnya Wulansari juga melarikan diri. Mereka saling, berpisah dan tidak mengetahui keadaan masing-masing.
Ketika .Kerajaan Kediri memberontak dan menyerang Singosari, kebetulan sekali Nurseta. dan Ki Baka sedang berkunjung ke ibu kota-Singosari. Kunjungan ini bukan perjalanan biasa, melainkan karena Ki Baka yang usianya, sudah amat lanjut itu, sudah tujuhpuluh empat tahun lebih, ikut merasa prihatin melihat nasib putera angkatnya yang dikasihinya. Dia mengajak Nurseta ke ibu kota Singosari, untuk menemui Ki Medang Dangdi dan Ki Baka sendiri yang akan melamar Wulansari untuk putera angkatnya, meyakinkan hati Ki Medang Dangdi bahwa biarpun Nurseta putera kandung ibunya yang terkenal jahat, namun sejak kecil dialah yang mendidik Nurseta yang kemudian menjadi murid Sang Panembahan Sidik Danasura.
Pertemuan antara Ki Baka dan Ki Medang Dangdi berlangsung dengan akrab sekali. Ki Medang Dangdi menghormati Ki Baka yang terkenal sebagai seorang pendekar dan pahlawan, walaupun Ki Baka tidak pernah mau memegang jabatan di Kerajaan Singosari. Memang, Ki Baka adalah adik kandung dari mendiang Ki Baya atau Bayaraja yang pernah terkenal sebagai seorang tokoh sesat, seorang penjahat besar yang pernah memberontak kepada Kerajaan Singosari sehingga ditumpas dan tewas. Namun, Ki Baka amat berbeda dari kakaknya itu. Ki Baka selalu membantu pemerintah kerajaan untuk menentang semua pem-be ntakkan dan kejahatan. Inilah sebabnya maka Ki Baka diterima dengan penuh kehormatan oleh Ki Medang Dangdi, senopati Singosari itu.
Ketika Ki Baka mengutarakan maksud ke-datangannya, yaitu dengan resmi meminang Wulansari untuk dijodohkan dengan putera angkatnya dan dengan singkat dia menceritakan riwayat Nurseta, Ki Medang Dangdi menghela napas panjang, dan isterinya yang bernama Warsiyem, juga seorang wanita gagah, nampak berduka.
"Kami telah menyadari kekeliruan kami, Kakang Baka. Memang pada waktu kami mendengar bahwa anakmas Nurseta putera kandung Ni Dedeh Sawitri, hati kami terkejut bukan main. Siapa yang tidak akan merasa ngeri, mendengar nama........iblis betina itu" Maafkan, anakmas Nurseta, kalau aku memakinya. Dan penolakan kami terhadap ikatan jodoh itu ternyata berakibat besar. Puteri kami, Wulansari, lolos dari sini dan pergi tanpa pamit. Kami tidak tahu ke mana anak kami itu pergi-bahkan kabar yang amat menyusahkan hati kami adalah bahwa ia menghambakan diri di Kerajaan Daha."
Nurseta mengerutkan alisnya. Kalau Wulansari meninggalkan rumah, berarti gadis itu memang memberatkan dia dan sungguh - sungguh mencintanya. Mungkin saja gadis itu mengabdi di Kerajaan Kediri, karena bukankah gurunya, Ki Cucut Kalasekti, juga dianugerahi pangkat oleh Sang Prabu Jayakatwang, menjadi Adipati Satyanegara di Bendowinangun "
Ki Baka dapat mengerti akan perasaan hati Nurseta. "Adimas Medang Dangdi. Mengenai kepergian puterimu, biarlah Nurseta yang akan mencarinya, yang penting sekarang apakah adimas berdua dapat menerima pinangan-ku ataukah tidak. Kalau adimas menerima, serahkan saja kepada calon mantu kalian ini; untuk mencari Wulansari sampai dapat."
"Seperti kami telah menyatakan tadi, Kacang Baka, kami merasa menyesal akan kesalahan kami dan tentu saja kami menerima -dengan hati dan kedua tangan terbuka. Bahkan kami menghaturkan terima kasih kepada Ka-kangmas dan juga kepada anakmas Nurseta yang tidak menaruh hati dendam kepada kami, masih sudi datang mengajukan pinangan, Kami terima dengan hati gembira, Kakang. Akan tetapi, tentu saja kami menyerahkan selanjutnya kepada puteri kami sendiri, Kalau ia masih suka menjadi isteri anakmas Nurseta setelah penolakan kami dahulu, kami akan berbahagia sekali."
Lega rasa hati Ki Baka. Tugasnya yang terakhir telah diselesaikannya dengan baik. Dalam usianya yang sudah tua itu, dia merasa prihatin melihat kesengsaraan putera angkatnya yang gagal dalam bercinta, Mereka menjadi tamu yang dihormati di rumah keluarga Ki Medang Dangdi,
Akan tetapi baru sehari Ki Baka dan Nurseta berada di ibu kota, mendadak Ki Medang Dangdi menyampaikan berita akan penyerbuan pasukan Kediri dan bahwa dia harus berangkat untuk membantu Raden Wijaya yang mendapat tugas dari Sang Prabu untuk menyambut serbuan musuh dari utara!
Setelah Ki Medang Dangdi berangkat, Ki Baka dan Nurseta juga pergi untuk melihat keadaan. Demikianlah, ketika pasukan besar dari Kediri menyerbu ibu kota dari selatan, di waktu pasukan kosong karena Sang Prabu Kertanagara menguras semua pasukan untuk diberangkatkan ke utara, terkena tipu daya yang dilakukan pasukan Kediri, Ki Baka dan Nurseta yang berada di ibu kota lalu mengamuk !
"Sejengkal tanah sepercik darah, Nurseta!" bentak Ki Baka ketika mereka berhadapan dengan ratusan orang pasukan dari Kediri,
"Sejengkal tanah sepercik darah, Bapa!" Nurseta juga berseru penuh semangat kepahlawanan, berdiri tegak di samping ayah angkatnya sambil menghunus keris Tlat Nogo hadiah dari Raden Wijaya.
Anak dan ayah angkat itu mengamuk, dikeroyok oleh ratusan orang perajurit! Mereka berdua adalah orang-orang yang digdaya dan sakti mandraguna. Ki Baka yang sudah berusia tujuhpuluh lima tahunan itu mengamuk seperti banteng terluka, juga Nurseta mengamuk seperti seekor harimau kelaparan. Entah berapa banyaknya pihak musuh yang roboh malang melintang dan bertumpuk-tumpuk oleh pengamukan dua orang yang sakti ini. Akan tetapi, makin banyak saja pasukan yang muncul.
Tiba-tiba terdengar suara mendesis seperti" ular, disusul lengkingan panjang dan nyaringi Nurseta dan Ki Baka terkejut. Mereka berdua*, walaupun digdaya dan kebal, tetap saja kewalahan menghadapi pengeroyokan ratusan orang: musuh. Apa lagi Ki Baka yang usianya sudah" tua. Dia sudah lelah sekali, keringat membasahi seluruh tubuh, bahkan kelelahan membuat kekebalannya berkurang dan sudah ada beberapa bagian tubuhnya terluka bacokan Bahkan Nurseta sendiripun sudah mengalami beberapa luka yang ringan di pangkal lengan dan paha, bajunya sudah robek-robek. Lengkingan yang mengandung tenaga dahsyat itu menunjukkan akan munculnya seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan kekuatan dahsyat !
Tiba-tiba, orang yang mengeluarkan lengking panjang itu muncul dan kedua orang pahlawan itu makin kaget lagi, Mereka segera mengenal orang ini, yang merupakan datuk sesat yang amat kejam dan licik, juga memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Seorang kakek yang usianya sebaya dengan Ki Baka. mukanya membiru seperti muka ikan dengan mulut yang meruncing. Jubahnya kuning menutupi pakaian adipati dan di sebelah dalam terdapat pakaian yang seperti sisik ikan. Inilah dia datuk sesat Ki Cucut Kalasekti yang1
Tcini telah menjadi Adipati Satyanegara, adipati yang berkuasa di Bendowinangun dekat Kali Campur, daerah Kerajaan Kediri. Kiranya, dalam penyerbuan ke Singosari ini, Adipati Satyanegara atau Ki Cucut Kalasekti juga diperbantukan.
Nurseta juga heran melihat munculnya kakek iblis itu, Dahulu, ketika dia terjerumus ke dalam jurang oleh perbuatan Ki Cucut Ka-? lasekti dan dia bertemu dengan Warsiyem isteri Ki Medang Dangdi atau ibu kandung Wulansari yang oleh Ki Cucut Kalasekti ditawan di dalam guha di tebing maut, dia berhasil memukul roboh datuk sesat itu sehingga pingsan. Kemudian, dia mengajak ibu Wulansari untuk menyelamatkan diri keluar dari guha, mempergunakan perahu milik datuk sesat itu. Datuk sesat itu ditinggalkannya di dalam guha di tebing laut yang curam. Tanpa adanya perahu, bagaimana mungkin kini kakek itu mendadak sudah muncul kembali " Akan tetapi dia lalu teringat akan satu di antara ilmu-ilmu kepandaian Ki Cucut Kalasekti yang luar biasa, yaitu ilmu ikan, atau ilmu bermain di dalam air seperti ikan. Agaknya, bagi kakek itu tidak sukar menyelamatkan diri dari guha di tebing itu dengan terjun ke lautan walaupun tidak ada perahu. TJentu dia pandai menyelam dan berenang di antara ombak-ombak sebesar bukit dari Lautan Selatan dan berhasil mendarat dengan selamat!
Melihat ayah dan anak itu, Adipati Satya-negara tertawa bergelak lalu berkata den u nada angkuh. "Babo - babo, kiranya Ki Baka dan Nurseta yang mengamuk di sini! Pan saja pasukan kocar kacir! Ha-ha-ha, sungguh, kebetulan sekali. Nurseta, di sinilah aku membuat pembalasan karena engkau dan Ki Bak tentu akan mampus di tanganku!" Dia lalu memberi aba-aba kepada pasukan untuk mengeroyok lagi, dan dia sendiri lalu menggerakkan sebatang pedang yang dicabut dari pinggangnya, menyerang Ki Baka
Nurseta hendak melindungi ayah angkatnya yang dia tahu sudah lelah sekali dari serangan lawan yang amat berbahaya itu. Akan tetapv banyak sekali perajurit Kediri sudah mengepung dan mengeroyoknya sehingga tidak ada lain jalan baginya kecuali mengamuk lagi,, mencoba untuk membobolkan kepungan agar dia dapat melindungi ayah angkatnya.
Ki Baka juga dikeroyok banyak perajurit bahkan kini ada bahaya yang selalu mengancam dari pedang Ki Cucut Kalasekti yang amar berbahaya itu. Kakek ini mengamuk dengan? hebatnya. Seorang kakek yang usianya sudah ujuhpuluh empat tahun lebih, akan tetapi tubuhnya yang tinggi besar itu masih kokoh kuat bagaikan batu gunung. Kumisnya yang sudah berwarna putih itu masih tebal dan matanya yang lebar melotot penuh kemarahan. Setiap tendangan atau tamparan tangannya tentu merobohkan seorang pengeroyok dan yang roboh itu tidak mungkin dapat bangkit kembali. Hal ini tidak mengherankan karena tendangannya itu mengandung tenaga sakti Aji Sari Patala, sedangkan tamparan tangannya adalah Aji Bajradenta. Akan tetapi pihak musuh terlalu banyak. Roboh satu maju dua, roboh dua maju empat! Terutama sekali serangan-serangan pedang di tangan Ki Cucut Kalasekti membuat kakek gagah perkasa itu menjadi repot sekali. Terpaksa dia merampas sebatang tombak dan dengan tombak ini dia menangkis sambaran pedang Ki Cucut Kalasekti. Namun, tetap saja tubuhnya menjadi sasaran banyak senjata lawan sehingga penuh luka-luka. luga dua kali ujung pedang Ki Cucut Kalasekti mengenai pundak dan pahanya. Luka oleh pedang ini terasa nyeri bukan main, panas menggigit dan gatal, tanda bahwa pedang itu tentu mengandung racun.
"Wuuuuttt....... desss......" Sebuah ruyung
besi menghantam punggung Ki Baka dari belakang. Ki Baka mengeluh dan muntah darah, tombaknya menyambar ke belakang, menembusi perut lawan yang menghantamkan ruyung.
Akan tetapi, Ki Baka sendiri terhuyung-huyung karena hantaman ruyung tadi membuat dia terluka dalam dadanya dan pandang matanya ber-kunang. Dia maklum bahwa keadaannya terancam maut, maka diapun memekik dengan suara dahsyat, "Sejengkal tanah sepercik darah!!" Tombaknya kembali menyambut para pengepung dan demikian kuatnya dia menusukkan tombaknya sehingga tombak itu menembus perut seorang pengeroyok, tembus ke punggung dan memasuki perut orang ke dua! Akan tetapi, dia mendapat kesulitan untuk mencabut tombak yang menembus tubuh dua orang lawan itu dan pada saat itu, tangan kiri Ki Cucut Kalasekti menyambar ganas,
"Desss........" Dada Ki Baka kena hantaman tangan terbuka dari Ki Cucut Kalasekti. Ki Baka mengeluh lirih dan tubuhnya terjengkang ke belakang dalam keadaan pingsan!
Sementara itu, Nurseta yang mengkhawatirkan keadaan ayah angkatnya, berhasil membobolkan kepungan dengan terjangannya yang dahsyat sehingga ketika dia menerjang maju itu, enam orang perajurit musuh terjengkang dan yang lain merasa jerih dan mundur. Kesempatan ini dipergunakan oleh Nurseta untuk melompat keluar dari kepungan. Pada saat itu dia melihat ayah angkatnya terjengkang oleh pukulan Ki Cucut Kalasekti yang tertawa-tawa bergelak melihat robohnya lawan.
Nurseta melompat ke arah Ki Cucut Kalasekti, mulutnya mengeluarkan teriakan melengking nyaring yang membuat banyak perajurit seperti lumpuh seketika dan banyak pula yang terguling roboh.
"Hyaaaaatttt ........' Angin dahsyat menyambar ke arah Ki Cucut Kalasekti yang terkejut sekali, Kakek ini mencoba untuk menangkis dentan pengerahan tenaganya sambil membacokkan pedangnya.
"Bressss!!" Pedang itu terpental lepas dari tangannya dan tubuh kakek itu sendiri juga terdorong sampai beberapa meter jauhnya kemudian roboh telentang. Hebat sekali pukulan itu, karena pukulan yang dilakukan Nurseta itu adalah Aji Jagad Pralaya! Kalau bukan Ki Cucut Kalasekti, tentu sudah remuk isi dadanya !
Nurseta cepat menyambar tubuh ayah angkatnya, dipanggulnya tubuh itu dan diapun melarikan diri. Ki Cucut Kalasekti bangkit duduk, tidak berani mengejar dan dia memandang ke arah dadanya, bergidik ngeri. Bajunya Sisik Nogo telah pecah ! Padahal, baju itu tidak dapat ditembus senjata tajam yang bagaimanapun ampuhnya.
Demikianlah, ketika dia sedang melarikan tubuh ayah angkatnya yang terluka parah dan pingsan, di dalam perjalanan itu Nurseta melihat Puspawati atau Puteri Tribuwana yang dihadang Yuyu Rumpung yang akan menangkapnya dan Nurseta menyelamatkan puteri itu yang melarikan diri setelah terlepas dari tangan Yuyu Rumpung.
Karena dia sendiri ingin menyelamatkan ayah angkatnya, maka Nurseta tidak dapat mencari lagi puteri itu dan diapun cepat melarikan diri keluar dari ibu kota Singosari yang sedang dilanda kemelut perang itu dan berhasil keluar dari pintu gerbang menuju ke sebuah bukit yang sunyi.
Maklum akan bahaya yang mengancam Singosari, Raden Wijaya yang mendapatkan tugas mengepalai pasukan untuk menanggulangi penyerbuan pasukan Kediri yang kuat, mengerahkan para pembantunya, yaitu para senopati yang setia kepadanya. Mereka itu antara lain adalah Lembu Sora, Gajah Pagon, Medang Dangdi, Mahesa Wagal, Nambi, Banyak Kapuk, Kebo Kapetengen, Wirota Wirogati, Pamandana dan banyak lagi. Mereka semua dengan semangat tinggi memimpin pasukan Singosari menuju ke Mameling di mana menurut para penduduk yang lari mengungsi, kini telah diduduki oleh pasukan Kediri. Yang menjadi pembantu utama atau juga wakilnya adalah Raden Ardaraja, mantu dari Sang Prabu Kertanagara. Raden Ardaraja ini adalah putera dari Sang Prabu Jayakatwang dari Kediri. Akan tetapi, di hadapan ayah mertuanya, Raden Ardaraja telah bersumpah untuk setia kepada Singosari dan akan menentang ayahnya sendiri yang dianggapnya memberontak dan tidak mengenal budi itu. Raden Wijaya juga sudah percaya sepenuhnya kepada saudara iparnya ini.
Begitu tiba di Mameling, Raden Wijaya dan Raden Ardaraja, dibantu oleh para senopati Singosari, segera mengerahkan pasukan menggempur balatentara musuh. Terjadilah perang tanding yang seru dan mati-matian antara pasukan Singosari dan pasukan Kediri. Akan tetapi segera ternyata bahwa pasukan Kediri yang berada di Mameling itu tidaklah berapa besar. Dengan mudah saja pasukan Singosari dapat mematahkan perlawanan pasukan Kediri dan mereka melarikan diri keluar dari Mameling.
Raden Wijaya merasa penasaran. Dia membagi pasukannya menjadi dua, dan mengadakan perundingan kilat dengan Raden Ardaraja dan para senopatinya.
"Musuh sudah dapat dipukul mundur. Kita harus terus melakukan pengejaran dan memasuki daerah Kediri. Kalau perlu kita terus menggempur Kediri, menghukum para pemberontak itu. Kakangmas Ardaraja, kita membagi pasukan menjadi dua, kakangmas memimpin sebagian menyerbu dari sayap kanan, yang sebagian lagi menyerbu dari kiri dan kupimpin sendiri bersama para pembantuku."
Raden Ardaraja menyetujui dan demikianlah, pisukan Singosari dibagi dua dan mereka melakukan pengejaran terhadap tentara Kediri yang mengundurkan diri. Juga para senopati dibagi dua. Kebo Kapetengeo, Wirota Wiragati dan Pamandana membantu Raden Ardaraja memimpin pasukan melakukan pengejaran dari sayap kanan, sedangkan para senopati lainnya membantu Raden Wijaya.
Akan tetapi, pada sore harinya, tiga orang senopati yang membantu Riden Ardaraja itu berlari-lari kembali menjumpai Raden Wijaya dalam keadaan luka-luka di tubuh mereka.
"Ah, kakang senopati sekalian mengapa mundur dan luka-luka" Apakah bertemu dengan musuh yang lebih kuat?" tanya Radan Wijaya terkejut.
"Celaka, Raden. Agaknya Raden Ardaraja telah berkhianat! Dia membawa pasukan menyeberang dan memihak pasukan Kediri!"
"Apa" Sungguh keparat " Raden Wijaya berseru marah.
"Hamba bertiga tidak setuju dan menolak keinginannya itu. Akibatnya, kami dikeroyok dan terpaksa melarikan diri untuk memberi laporan."
Raden Wijaya termenung. Di dalam batinnya, dia tidak dapat terlalu menyalahkan Ar-daraja. Bagaimanapun juga, yang memberontak adalah ayahnya sendiri Ardaraja berdiri di antara dua api! Di antara ayah kandung dan ayah mertua. Agaknya akhirnya dia memilih berpihak kepada ayahnya sendiri dan membawa pasukan itu untuk berpihak kepada Kerajaan Kediri.
"Kumpulkan sisa pasukan dan hitung ada berapa banyaknya."
Ketika pasukan dikumpulkan, ternyata hanya ada enamratus orang lebih saja. Berat, pikir Raden Wijaya. Kalau Ardaraja memihak Kediri, maka kekuatan pasukannya terlalu lemah untuk dapat mengimbangi pihak musuh yang jauh lebih besar dan banyak. Juga hatinya kesal mendengar akan pengkhianatan Ardaraja. Pada saat itu dia mendengar berita yang amat mengejutkan lagi, yaitu bahwa Singosari telah diserang dan diduduki pasukan Kediri yang menyerbu dari selatan. Mendengar ini, Raden Wijaya lalu menbiwa pasukannya kembali ke Singosari, melakukan perjalanan secepatnya untuk menyelamatkan Singosari.
Namun terlambat. Singosari telah diduduki musuh. Dengan semangat kepahlawanan yang berkobar, dengan nekat, Raden Wijaya memimpin para senopati dan sisa pasukannya untuk menyerbu ke dalam pura Singosari yang sudah diduduki tentara Kediri. Namun, pihak musuh terlalu banyak sehingga selalu usaha Raden Wijaya untuk merebut kembali Singosari itu gagal. Karena pasukannya hanya tinggal sedikit, maka dia hanya mampu mengadakan serangan - serangan kecil di waktu malam, yang hanya merupakan gangguan kecil saja bagi pasukan Kediri yang sudah menguasai Singosari sepenuhnya. Dan setiap hari terjadilah hal - hal mengerikan seperti lajim terjadi di waktu perang. Yang menang lalu mempergunakan kekuasaannya untuk bertindak sewenang-wenang. Perampokan, penyiksaan, perkosaan, penculikan dan pembunuhan terjadi setiap hari!
Keluarga Sang Prabu Kertanagara mengalami kehancuran. Sang Prabu Kertanagara sendiri tewas dalam pertempuran. Banyak selirnya yang ikut pula berbela sungkawa dan berbela pati membunuh diri. Banyak pula yang ditawan oleh pasukan musuh yang menawan mereka dan membawa mereka ke Kediri. Di antara para tawanan ini termasuk pula Sang Puteri Gayatri atau
Pusparasmi yang menjadi tawanan agung dan dibawa ke Kediri. Seperti kita ketahui? dua orang puteri istana itu, Puteri Tribuwana atau Puspawati dan adiknya, Puteri Gayatri atau Pusparasmi, lolos dari istana untuk melarikan diri ketika Singosari diserbu musuh. Akan tetapi mereka berdua berpisah di tengah jalan yang penuh sesak dengan para pengungsi yang melarikan diri. Puteri Gayatri bertemu dengan perajurit musuh, dikenal dan ditawan. Adapun Sang Puteri Tribuwana, hampir saja tertangkap oleh Yuyu Rumpung, seorang perajurit Kediri yang jahat. Untung ia bertemu dengan Nurseta yang berhasil menyelamatkannya dan puteri ini terus menyelinap dan bersembunyi di antara para pengungsi.
Raden Wijaya dan para pengikutnya yang tetia, di antaranya adalah para Senopati Lembu Sora, Gajah Pagon, Medang Dangdi, Mahesa Wagal, Nambi, Banyak Kapuk, Kebo Kapetengan, Wirota Wirogati, Pamandana dan beberapa orang lagi, dengan gigih mengadakan serangan-serangan gerilya di waktu malam untuk mengacaukan pihak musuh yang sudah menduduki Singosari.
Pada malam hari itu, Raden Wijaya dan para pengikutnya seperti biasa menyusup masuk ke dalam pura Singosari dan mengadakan kekacauan dan pembakaran di sana-sini. Pihak musuh membunyikan tanda bahaya dan terjadilah pertempuran kecil-kecilan. Ketika Raden Wijaya sedang mengintai daii tempat gelap, di bawah sinar api kebakaran rumah yang dilakukan para pejuang ini, nampaklah olehnya sesosok bayangan orang melarikan diri menyusup - nyusup antara rumah ke rumah yang sudah kosong ditinggalkan penghuninya yang lari mengungsi. Karena Raden Wijaya khawatir bahwa orang itu jadalah perajurit musuh atau mata-mata yang akan membahayakan kelompoknya kalau sampai diketahui tempat persembunyian mereka, diapun melompat dengan gerakan tangkas, dan di lain saat dia sudah menangkap orang itu pada pundak dan lengannya. Akan tetapi, orang itu mengeluarkan jerit tertahan dan pundaknya lunak dan lembut. Seorang wanitai Dan ketika sinar api menjilat wajah mereka berdua, mereka saling pandang.
"Diajeng Tribuwana......."
"Kakangmas Wijaya......" Gadis bangsawan itu menangis di dada tunangannya.
"Tenanglah, dia jeng dan mari kita cepat keluar dari sini." Raden Wijaya lalu memberi isarat kepada para pengikutnya untuk lolos keluar dari Singosari sambil menggandeng tangan puteri itu.
Baru setelah mereka berada jauh.dari pura dan di tempat aman, keduanya bertangisan dan Tribuwana Dewi menceritakan betapa ia ketika melarikan diri terpisah dari adiknya, Puteri Gayatri dan ia terpaksa bersembunyi di rumah rakyat agar jangan sampai tertawan. Karena keadaan semakin mendesak dan rumah-rumah rakyat setiap hari diserbu dan digeledah, akhirnya malam itu ia berusaha untuk menyelinap keluar dari pura Singosari dan kebetulan sekali bertemu dengah tunangannya. Ia mendengar dari rakyat yang masih setia kepadanya bahwa adiknya, Puteri Gayatri, telah tertawan musuh dan diboyong ke Kediri.
Dalam serbuan - serbuan yang dilakukan oleh Raden Wijaya, jatuh pula korban-korban sehingga pasukannya makin lama menjadi semakin lemah dan kecil jumlahnya. Akhirnya, para senopati membujuk sang pangeran itu untuk mundur saja dan meninggalkan Singosari yang kini sudah dikuasai oleh pasukan Kediri.
"Kalau paduka tidak cepat-cepat pergi mengungsi ke tempat yang aman, lambat laun tentu kita akan terkepung pasukan musuh dan hamba sekalian kiranya tidak akan dapat bertahan menghadapi musuh yang terlalu banyak dan tidak kuat melindungi paduka berdua." kata Lembu Sora kepada Raden Wijaya. Para senopati memang menjadi lebih khawatir setelah Raden Wijaya menemukan Puteri Tribuwana karena bagaimanapun juga, sang puteri itu lebih membutuhkan perlindungan yang ketat.
"Akan tetapi, ke manakah aku harus pergi, kakang Lembu Sora" Di manakah ada tempat yang aman untukku yang kini menjadi pelarian?" tanya Raden Wijaya.
"Maaf, Raden. Agaknya paduka lupa bahwa paduka masih mempunyai seorang kerabat jauh yang dapat dipercaya dan juga bijaksana dan setia kepada Singosari, yaitu Kanjeng Paman Bupati di Sumenep, Madura."
"Ah, Kanjeng Paman Arya Wiraraja" Engkau benar, kakang. Hanya beliau saja yang kiranya dapat kumintai perlindungan. Baik, kita pergi ke sana."
Raden Wijaya bersama para senopati setia yang menjadi pengikutnya, membawa sisa pasukan yang hanya tinggal beberapa ratus orang itu meninggalkan Singosari menuju ke utara. Mereka bermaksud untuk pergi ke Terung, untuk menemui Akuwu Agraja di Terung yang tentu akan suka membantu mereka dengan tenaga-tenaga muda yang menjadi pasukan
Rombongan ini melakukan perjalanan dengan hati-hati agar gerakan mereka tidak diketahui musuh, maka perjalanan banyak dilakukan pada malam ban. Akan tetapi ketika mereka tiba di dusun Kulawan, pada waktu fajar mereka diketahui .oleh pasukan Kediri yang segera menyerang mereka. Terjadilah pertempuran yang berat sebelah yang memaksa Raden Wijaya dan rombongannya untuk melarikan diri ke Kembangsri. Namun di tempat ini mereka juga disergap musuh. Jalan satu-satunya hanyalah menyeberang sungai yang pada saat itu airnya penuh mendekati banjir.
Terjadilah penyeberangan yang dipaksakan dan dalam penyeberangan ini sisa pasukan Raden Wijaya benar - benar hancur! Banyak sekali di antara mereka yang hanyut tenggelam, banyak pula yang tertawan musuh. Namun, Raden Wijaya, Puteri Tribuwana dan para pengikutnya, berjumlah hanya duabelas orang, berhasil menyeberang dan lolos dari pengejaran pasukan Kediri. Mereka terus melarikan diri ke dusun Kudadu dalam keadaan letih, lapar dan kehilangan semangat. Untung bahwa mereka telah berhasil terlepas dari jangkauan musuh, karena dalam keadaan seperti itu, kalau ada musuh menyerbu, mereka sudah tidak memiliki kekuatan lagi untuk melakukan perlawanan. Dalam keadaan seperti itu, Raden Wijaya melihat kenyataan betapa setianya para senopati yang mengikutinya, hal yang membuatnya terharu sekali dan diam-diam dia mencatat jasa mereka,
Perasaan letih, lapar dan lesu- itu segera terobati ketika penduduk dusun Kudadu menyambut pangeran mereka dengan ramah dan penuh kehormatan dan kasih sayang. Ketua dusun itu memimpin penduduknya untuk menanak nasi dan menyediakan lauk - pauknya, menghidangkan makanan dan minuman seadanya kepada rombongan pelarian dari Singosari itu. Bahkan, kepala dusun memesan kepada para penghuni dusun agar merahasiakan kedatangan Raden Wijaya dan Puteri Tribuwana, menyembunyikan mereka agar jangan sampai terdengar musuh akan kehadiran mereka didusun itu,........
Kemudian, setelah melepas lelah di dusun itu, kepala. dusun sendiri mengantar rombongan Raden Wijaya melanjutkan perjalanan, sampai ke Rembang. Semua jasa dari penduduk Kudadu inipun dicatat oleh Raden Wijaya yang merasa berterima kasih sekali. Pangeran yang bijaksana ini tidak pernah melupakan jasa yang sekecil - kecilnya dari mereka yang telah menolongnya ketika dia menderita kesengsaraan sebagai pelarian itu. Apa lagi sikap kepala dusun Kudadu, amat menggugah rasa sukur dan terima kasihnya. Kelak, setelah Raden Wijaya menjadi raja, seluruh daerah Kudadu diberikan kepada kepala dusun dan dinyatakan sebagai daerah merdeka, bebas dari pembayaran pajak dan dapat diwariskan kepada anak keturunan selama-lamanya
Ketika terjadi pertempuran selama penyeberangan sungai, seorang di antara pengikut Raden Wijaya terluka cukup parah. Dia adalah Senopati Gajah Pagon yang terluka oleh senjata musuh di pahanya, Biarpun pahanya terluka parah dan jalannya terpincang - pincang, namun Gajah Pagon tidak mengeluh sedikitpun juga. Jalannya terpincang-pincang dan mukanya agak pucat.
Kttika rombongan itu beristirahat karena selain Gajah Pagon merasa kakinya nyeri dan tubuhnya panas, juga sang puteri merasa lelah sekali, Raden Wijaya yang duduk dilingkari para senopati yang setia itu menyatakan perasaan khawatirnya.
"Kita sedang pergi mengungsi ke Sumenep, Madura. Kita belum tahu bagaimana nanti sikap Kanjeng Paman Bupati Wiraraja. Baik sekali kalah beliau menerima kedatanganku dengan senang hati. Kalau tidak" Tentu aku akan merasa malu sekali,"
"Raden, kiranya tidak ada alasan bagi beliau untuk menolak kedatangan paduka. Bukankah selama ini beliau seorang ponggawa yang amat setia dan bijaksana?" demikian para senopati itu membesarkan hatinya dan perjalanan yang amat melelahkan itupun dilanjutkan. Para senopati bergiliran memikul tandu yang diduduki Puteri Tribuwana.
Ketika mereka tiba di sebuah hutan, tiba-tiba saja dari balik pohon-pohon besar berlompatan sekitar duapuluh orang yang dipimpin oleh seorang kakek yang usianya sudah tujuhpuluh lima tahun, mukanya membiru, mulutnya meruncing seperti muka ikan. Inilah Adipati Bendowinangun, yaitu Adipati Satyanegara atau yang lebih terkenal dengan julukannya, Ki Cucut Kalasekti!
Begitu tiba di Mameling, Raden Wijaya dan Raden Ardaraja, dibantu oleh para senopati Singosari, segera mengerahkan pasukan menggempur balatentara musuh. Terjadilah perang tanding yang seru dan mati-matian antara pasukan Singosari dan pasukan Kediri. Akan tetapi segera ternyata bahwa pasukan Kediri yang berada di Mameling itu tidaklah berapa besar. Dengan mudah saja pasukan Singosari dapat mematahkan perlawanan pasukan Kediri dan mereka melarikan diri keluar dari Mameling.
Raden Wijaya merasa penasaran. Dia membagi pasukannya menjadi dua, dan mengadakan perundingan kilat dengan Raden Ardaraja dan para senopatinya.
"Musuh sudah dapat dipukul mundur. Kita harus terus melakukan pengejaran dan memasuki daerah Kediri. Kalau perlu kita terus menggempur Kediri, menghukum para pemberontak itu. Kakangmas Ardaraja, kita membagi pasukan menjadi dua, kakangmas memimpin sebagian menyerbu dari sayap kanan, yang sebagian lagi menyerbu dari kiri dan kupimpin sendiri bersama para pembantuku."
Raden Ardaraja menyetujui dan demikianlah, pisukan Singosari dibagi dua dan mereka melakukan pengejaran terhadap tentara Kediri yang mengundurkan diri. Juga para senopati dibagi dua. Kebo Kapetengeo, Wirota Wiragati dan Pamandana membantu Raden Ardaraja memimpin pasukan melakukan pengejaran dari sayap kanan, sedangkan para senopati lainnya membantu Raden Wijaya.
Akan tetapi, pada sore harinya, tiga orang senopati yang membantu Riden Ardaraja itu berlari-lari kembali menjumpai Raden Wijaya dalam keadaan luka-luka di tubuh mereka.
"Ah, kakang senopati sekalian mengapa mundur dan luka-luka" Apakah bertemu dengan musuh yang lebih kuat?" tanya Radan Wijaya terkejut.
"Celaka, Raden. Agaknya Raden Ardaraja telah berkhianat! Dia membawa pasukan menyeberang dan memihak pasukan Kediri!"
"Apa" Sungguh keparat " Raden Wijaya berseru marah.
"Hamba bertiga tidak setuju dan menolak keinginannya itu. Akibatnya, kami dikeroyok dan terpaksa melarikan diri untuk memberi laporan."
Raden Wijaya termenung. Di dalam batinnya, dia tidak dapat terlalu menyalahkan Ar-daraja. Bagaimanapun juga, yang memberontak adalah ayahnya sendiri Ardaraja berdiri di antara dua api! Di antara ayah kandung dan ayah mertua. Agaknya akhirnya dia memilih berpihak kepada ayahnya sendiri dan membawa pasukan itu untuk berpihak kepada Kerajaan Kediri.
"Kumpulkan sisa pasukan dan hitung ada berapa banyaknya."
Ketika pasukan dikumpulkan, ternyata hanya ada enamratus orang lebih saja. Berat, pikir Raden Wijaya. Kalau Ardaraja memihak Kediri, maka kekuatan pasukannya terlalu lemah untuk dapat mengimbangi pihak musuh yang jauh lebih besar dan banyak. Juga hatinya kesal mendengar akan pengkhianatan Ardaraja. Pada saat itu dia mendengar berita yang amat mengejutkan lagi, yaitu bahwa Singosari telah diserang dan diduduki pasukan Kediri yang menyerbu dari selatan. Mendengar ini, Raden Wijaya lalu menbiwa pasukannya kembali ke Singosari, melakukan perjalanan secepatnya untuk menyelamatkan Singosari.
Namun terlambat. Singosari telah diduduki musuh. Dengan semangat kepahlawanan yang berkobar, dengan nekat, Raden Wijaya memimpin para senopati dan sisa pasukannya untuk menyerbu ke dalam pura Singosari yang sudah diduduki tentara Kediri. Namun, pihak musuh terlalu banyak sehingga selalu usaha Raden Wijaya untuk merebut kembali Singosari itu gagal. Karena pasukannya hanya tinggal sedikit, maka dia hanya mampu mengadakan serangan - serangan kecil di waktu malam, yang hanya merupakan gangguan kecil saja bagi pasukan Kediri yang sudah menguasai Singosari sepenuhnya. Dan setiap hari terjadilah hal - hal mengerikan seperti lajim terjadi di waktu perang. Yang menang lalu mempergunakan kekuasaannya untuk bertindak sewenang-wenang. Perampokan, penyiksaan, perkosaan, penculikan dan pembunuhan terjadi setiap hari!
Keluarga Sang Prabu Kertanagara mengalami kehancuran. Sang Prabu Kertanagara sendiri tewas dalam pertempuran. Banyak selirnya yang ikut pula berbela sungkawa dan berbela pati membunuh diri. Banyak pula yang ditawan oleh pasukan musuh yang menawan mereka dan membawa mereka ke Kediri. Di antara para tawanan ini termasuk pula Sang Puteri Gayatri atau
Pusparasmi yang menjadi tawanan agung dan dibawa ke Kediri. Seperti kita ketahui? dua orang puteri istana itu, Puteri Tribuwana atau Puspawati dan adiknya, Puteri Gayatri atau Pusparasmi, lolos dari istana untuk melarikan diri ketika Singosari diserbu musuh. Akan tetapi mereka berdua berpisah di tengah jalan yang penuh sesak dengan para pengungsi yang melarikan diri. Puteri Gayatri bertemu dengan perajurit musuh, dikenal dan ditawan. Adapun Sang Puteri Tribuwana, hampir saja tertangkap oleh Yuyu Rumpung, seorang perajurit Kediri yang jahat. Untung ia bertemu dengan Nurseta yang berhasil menyelamatkannya dan puteri ini terus menyelinap dan bersembunyi di antara para pengungsi.
Raden Wijaya dan para pengikutnya yang tetia, di antaranya adalah para Senopati Lembu Sora, Gajah Pagon, Medang Dangdi, Mahesa Wagal, Nambi, Banyak Kapuk, Kebo Kapetengan, Wirota Wirogati, Pamandana dan beberapa orang lagi, dengan gigih mengadakan serangan-serangan gerilya di waktu malam untuk mengacaukan pihak musuh yang sudah menduduki Singosari.
Pada malam hari itu, Raden Wijaya dan para pengikutnya seperti biasa menyusup masuk ke dalam pura Singosari dan mengadakan kekacauan dan pembakaran di sana-sini. Pihak musuh membunyikan tanda bahaya dan terjadilah pertempuran kecil-kecilan. Ketika Raden Wijaya sedang mengintai daii tempat gelap, di bawah sinar api kebakaran rumah yang dilakukan para pejuang ini, nampaklah olehnya sesosok bayangan orang melarikan diri menyusup - nyusup antara rumah ke rumah yang sudah kosong ditinggalkan penghuninya yang lari mengungsi. Karena Raden Wijaya khawatir bahwa orang itu jadalah perajurit musuh atau mata-mata yang akan membahayakan kelompoknya kalau sampai diketahui tempat persembunyian mereka, diapun melompat dengan gerakan tangkas, dan di lain saat dia sudah menangkap orang itu pada pundak dan lengannya. Akan tetapi, orang itu mengeluarkan jerit tertahan dan pundaknya lunak dan lembut. Seorang wanitai Dan ketika sinar api menjilat wajah mereka berdua, mereka saling pandang.
"Diajeng Tribuwana......."
"Kakangmas Wijaya......" Gadis bangsawan itu menangis di dada tunangannya.
"Tenanglah, dia jeng dan mari kita cepat keluar dari sini." Raden Wijaya lalu memberi isarat kepada para pengikutnya untuk lolos keluar dari Singosari sambil menggandeng tangan puteri itu.
Baru setelah mereka berada jauh.dari pura dan di tempat aman, keduanya bertangisan dan Tribuwana Dewi menceritakan betapa ia ketika melarikan diri terpisah dari adiknya, Puteri Gayatri dan ia terpaksa bersembunyi di rumah rakyat agar jangan sampai tertawan. Karena keadaan semakin mendesak dan rumah-rumah rakyat setiap hari diserbu dan digeledah, akhirnya malam itu ia berusaha untuk menyelinap keluar dari pura Singosari dan kebetulan sekali bertemu dengah tunangannya. Ia mendengar dari rakyat yang masih setia kepadanya bahwa adiknya, Puteri Gayatri, telah tertawan musuh dan diboyong ke Kediri.
Dalam serbuan - serbuan yang dilakukan oleh Raden Wijaya, jatuh pula korban-korban sehingga pasukannya makin lama menjadi semakin lemah dan kecil jumlahnya. Akhirnya, para senopati membujuk sang pangeran itu untuk mundur saja dan meninggalkan Singosari yang kini sudah dikuasai oleh pasukan Kediri.
"Kalau paduka tidak cepat-cepat pergi mengungsi ke tempat yang aman, lambat laun tentu kita akan terkepung pasukan musuh dan hamba sekalian kiranya tidak akan dapat bertahan menghadapi musuh yang terlalu banyak dan tidak kuat melindungi paduka berdua." kata Lembu Sora kepada Raden Wijaya. Para senopati memang menjadi lebih khawatir setelah Raden Wijaya menemukan Puteri Tribuwana karena bagaimanapun juga, sang puteri itu lebih membutuhkan perlindungan yang ketat.
"Akan tetapi, ke manakah aku harus pergi, kakang Lembu Sora" Di manakah ada tempat yang aman untukku yang kini menjadi pelarian?" tanya Raden Wijaya.
"Maaf, Raden. Agaknya paduka lupa bahwa paduka masih mempunyai seorang kerabat jauh yang dapat dipercaya dan juga bijaksana dan setia kepada Singosari, yaitu Kanjeng Paman Bupati di Sumenep, Madura."
"Ah, Kanjeng Paman Arya Wiraraja" Engkau benar, kakang. Hanya beliau saja yang kiranya dapat kumintai perlindungan. Baik, kita pergi ke sana."
Raden Wijaya bersama para senopati setia yang menjadi pengikutnya, membawa sisa pasukan yang hanya tinggal beberapa ratus orang itu meninggalkan Singosari menuju ke utara. Mereka bermaksud untuk pergi ke Terung, untuk menemui Akuwu Agraja di Terung yang tentu akan suka membantu mereka dengan tenaga-tenaga muda yang menjadi pasukan
Rombongan ini melakukan perjalanan dengan hati-hati agar gerakan mereka tidak diketahui musuh, maka perjalanan banyak dilakukan pada malam ban. Akan tetapi ketika mereka tiba di dusun Kulawan, pada waktu fajar mereka diketahui .oleh pasukan Kediri yang segera menyerang mereka. Terjadilah pertempuran yang berat sebelah yang memaksa Raden Wijaya dan rombongannya untuk melarikan diri ke Kembangsri. Namun di tempat ini mereka juga disergap musuh. Jalan satu-satunya hanyalah menyeberang sungai yang pada saat itu airnya penuh mendekati banjir.
Terjadilah penyeberangan yang dipaksakan dan dalam penyeberangan ini sisa pasukan Raden Wijaya benar - benar hancur! Banyak sekali di antara mereka yang hanyut tenggelam, banyak pula yang tertawan musuh. Namun, Raden Wijaya, Puteri Tribuwana dan para pengikutnya, berjumlah hanya duabelas orang, berhasil menyeberang dan lolos dari pengejaran pasukan Kediri. Mereka terus melarikan diri ke dusun Kudadu dalam keadaan letih, lapar dan kehilangan semangat. Untung bahwa mereka telah berhasil terlepas dari jangkauan musuh, karena dalam keadaan seperti itu, kalau ada musuh menyerbu, mereka sudah tidak memiliki kekuatan lagi untuk melakukan perlawanan. Dalam keadaan seperti itu, Raden Wijaya melihat kenyataan betapa setianya para senopati yang mengikutinya, hal yang membuatnya terharu sekali dan diam-diam dia mencatat jasa mereka,
Perasaan letih, lapar dan lesu- itu segera terobati ketika penduduk dusun Kudadu menyambut pangeran mereka dengan ramah dan penuh kehormatan dan kasih sayang. Ketua dusun itu memimpin penduduknya untuk menanak nasi dan menyediakan lauk - pauknya, menghidangkan makanan dan minuman seadanya kepada rombongan pelarian dari Singosari itu. Bahkan, kepala dusun memesan kepada para penghuni dusun agar merahasiakan kedatangan Raden Wijaya dan Puteri Tribuwana, menyembunyikan mereka agar jangan sampai terdengar musuh akan kehadiran mereka didusun itu,........
Kemudian, setelah melepas lelah di dusun itu, kepala. dusun sendiri mengantar rombongan Raden Wijaya melanjutkan perjalanan, sampai ke Rembang. Semua jasa dari penduduk Kudadu inipun dicatat oleh Raden Wijaya yang merasa berterima kasih sekali. Pangeran yang bijaksana ini tidak pernah melupakan jasa yang sekecil - kecilnya dari mereka yang telah menolongnya ketika dia menderita kesengsaraan sebagai pelarian itu. Apa lagi sikap kepala dusun Kudadu, amat menggugah rasa sukur dan terima kasihnya. Kelak, setelah Raden Wijaya menjadi raja, seluruh daerah Kudadu diberikan kepada kepala dusun dan dinyatakan sebagai daerah merdeka, bebas dari pembayaran pajak dan dapat diwariskan kepada anak keturunan selama-lamanya
Ketika terjadi pertempuran selama penyeberangan sungai, seorang di antara pengikut Raden Wijaya terluka cukup parah. Dia adalah Senopati Gajah Pagon yang terluka oleh senjata musuh di pahanya, Biarpun pahanya terluka parah dan jalannya terpincang - pincang, namun Gajah Pagon tidak mengeluh sedikitpun juga. Jalannya terpincang-pincang dan mukanya agak pucat.
Kttika rombongan itu beristirahat karena selain Gajah Pagon merasa kakinya nyeri dan tubuhnya panas, juga sang puteri merasa lelah sekali, Raden Wijaya yang duduk dilingkari para senopati yang setia itu menyatakan perasaan khawatirnya.
"Kita sedang pergi mengungsi ke Sumenep, Madura. Kita belum tahu bagaimana nanti sikap Kanjeng Paman Bupati Wiraraja. Baik sekali kalah beliau menerima kedatanganku dengan senang hati. Kalau tidak" Tentu aku akan merasa malu sekali,"
"Raden, kiranya tidak ada alasan bagi beliau untuk menolak kedatangan paduka. Bukankah selama ini beliau seorang ponggawa yang amat setia dan bijaksana?" demikian para senopati itu membesarkan hatinya dan perjalanan yang amat melelahkan itupun dilanjutkan. Para senopati bergiliran memikul tandu yang diduduki Puteri Tribuwana.
Ketika mereka tiba di sebuah hutan, tiba-tiba saja dari balik pohon-pohon besar berlompatan sekitar duapuluh orang yang dipimpin oleh seorang kakek yang usianya sudah tujuhpuluh lima tahun, mukanya membiru, mulutnya meruncing seperti muka ikan. Inilah Adipati Bendowinangun, yaitu Adipati Satyanegara atau yang lebih terkenal dengan julukannya, Ki Cucut Kalasekti!
JILID 14
TENTU saja rombongan Raden Wijaya yang sudah lelah itu terkejut melihat kakek yang memimpin duapuluh orang itu menghadang di depan mereka. Dari pakaian para perajurit itu saja mereka mengenal bahwa para penghadang itu adalah orang-orang Kediri.
"Hahahaha, akhirnya dapat juga kukepung pelarian dari Singosari. Raden Wijaya, Sang Puteri Tribuwana dan para senopati yang sudah kelelahan. Kalian lebih baik menyerah agar dengan baik-baik kalian kugiring ke Kediri untuk kuhadapkan kepada Sribaginda" kata Ki Cucut Kalasekti dengan lagaknya yang congkak.
Raden Wijaya belum mengenal kakek itu. Dia tahu bahwa para senopatinya sedang lelah, maka kalau dapat dia hendak menghindarkan pertempuran. Sambil menggandeng tangan tunangannya, diapun melangkah maju dan dengan sikap tenang berwibawa, Raden Wijaya bertanya, "Siapakah kau, kakek tua " Kami idak pernah mengenal kau sebagai senopati Kediri, dan mengapa pula kau menghadang perjalanan kami ?"
"Hahaha, Sang Pangeran Raden Wijaya. Aku bukan sekedar seorang senopati, melainkan aku seorang adipati, yaitu Adipati Satyanegara dari Bendowinangun. Sebagai seorang ponggawa Kediri, tentu saja aku membantu Kediri dan aku ditugaskan untuk menangkap rombonganmu. Menyerahlah saja demi keselamatan kalian, dari pada kami harus mempergunakan kekerasan"
Melihat sikap congkak ini, Medang Dangdi melangkah maju. Tentu saja senopati ini marah sekali mendengar bahwa yang berada di depannya adalah orang yang pernah hampir menghancurkan kehidupan isterinya, yaitu, Warsiyem. Ketika dia mengembara ke Singosari, datuk sesat itu telah menculik Warsiyem, memperkosanya dan bahkan menawannya ke dalam goa di tebing, tempat yang seperti neraka di mana Warsiyem merana sampai bertahun-tahun. Akhirnya, Warsiyem dapat bertemu dengan Nurseta, dapat bersama pemuda itu menyelamatkan diri keluar dari goa dan lolos dari cengkeraman manusia iblis Ki Cucut Kalasekti itu, dan bertemu lalu berkumpul kembali dengan dia.
"Babo-babo, keparat laknat manusia iblis Cucut Kalasekti" bentaknya marah, mukanya merah dan dia sudah menghunus kerisnya. "Bukalah mata dan telingamu baik-baik. Kami para senopati Singosari akan melindungi junjungan kami sampai titik darah terakhir. Kami pantang menyerah sebelum nyawa meninggalkan badan. Kebetulan sekali, saat ini aku berkesempatan untuk membalaskan sakit hati yang telah kau timpakan kepada ibunya Wulansari"
Mendengar ini, Ki Cucut Kalasekti mengamati laki-laki yang gagah perkasa itu penuh perhatian. Terkejut juga dia mendengar disebutnya ibunya Wulansari. Akan tetapi, dia menutupi kekagetannya dengan tawanya yang congkak.
"Ha-ha-ha, kiranya engkau ini yang bernama Medang Dangdi" Bagus, kalau begitu memang kalian sudah bosan hidup" Berkata demikian, kakek ini memberi isarat kepada para perajuritnya untuk mengepung dan menyerang. Dia melihat betapa semua senopati Singosari telah mengeluarkan senjata, maka dia maklum bahwa tidak mungkin mereka itu akan sudi menyerah.
Terjadilah pertempuran mati-matian yang amat seru. Andaikata di situ tidak ada Ki Cucut
Kalasekti, tentu para senopati Singosari akan sanggup menandingi pengeroyokan duapuluh orang perajurit Kediri itu, bahkan dengan mudah akan mengalahkan mereka. Akan tetapi di pihak Kediri terdapat kakek sakti Cucut Kalasekti. Dia mengamuk dengan ilmu-ilmunya yang dahsyat. Pukulan dengan Aji Gelap Sewu, juga Aji Segoro Umub terlalu kuat bagi para senopati itu sehingga mereka terdesak. hebat, dan beberapa orang senopati bahkan telah menderita luka-luka, biarpun mereka semua, termasuk Raden Wijaya, masih terus membela diri dan melindungi Sang Putri Tribuwana.
Keadaan para senopati Singosari kini terdesak hebat dan agaknya tak lama kemudian mereka itu akan roboh satu demi satu. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring sekali.
"Ki Cucut Kalasekti, keparat jahanam yang selalu mengumbar nafsu kejahatan di mana-mana" Dan muncullah seorang kakek berusia hampir enampuluh tahun, berpakaian serba hitam dengan baju terbuka di bagian dada memperlihatkan dada yang berbulu, mukanya brewok, matanya lebar dan tajam mencorong. kurus akan tetapi tulang-tulangnya besar kokoh kuat, perutnya gendut. Dia adalah Ki Jembros seorang tokoh besar yang gagah perkasa, terkenal sebagai seorang gagah yang setia kepada Singosari walaupun dia tidak pernah menjadi senopati. Terkenal pula sebagai seorang penentang kejahatan.
Di samping Ki Jembros nampak seorang pemuda tampan yang bukan lain adalah Nurseta. Seperti kita ketahui, Nurseta bersama ayah angkatnya, yaitu Ki Baka, ikut mengamuk mempertahankan Singosari ketika pasukan Kediri menyerbu. Namun, Ki Baka terluka parah oleh pukulan Ki Cucut Kalasekti sehingga Nurseta menyelamatkannya dan membawanya lari. Dalam pelarian ini, Nurseta, sempat menyelamatkan Sang puteri Tribuwana dari tangan Yuyu Rumpung. Dia kehilangan sang puteri yang telah melarikan diri menyusup diantara para pengungsi. Melihat keadaan ayah angkatnya yang payah, Nurseta lalu melarikan Ki Baka keluar dari pura, membawanya ke dalam hutan. Dengan segala daya upayanya, dicobanya untuk mengobati ayah angkatnya, namun sia-sia. Pukulan Ki Cucut Kalasekti itu terlalu hebat, mengandung hawa beracun dan akhirnya Ki Baka yang usianya sudah tujuhpuluh lima tahun itupun meninggal dunia dalam rangkulan Nurseta.
Kematian Ki Baka diterima sewajarnya oleh Nurseta. Dia tidak mendendam kepada Ki Cucut Kalasekti, karena dia maklum bahwa Ki Baka tewas sebagai seorang pejuang, gugur sebagai kesuma bangsa seperti yang selal diharapkan oleh kakek yang gagah perkasa dan berjiwa pahlawan itu. Namun, kematian itu memperbesar semangatnya untuk membela Singosari yang sudah jatuh. Dia masih teringat akan pesan mendiang Panembahan Sidik Danasura bahwa kelak yang menjadi raja penerus di Nusantara adalah Raden Wijaya. Oleh karena itu, kini timbul semangatnya untuk mengabdikan diri atau membantu perjuangan Raden Wijaya. Dia mengubur jenazah ayah angkatnya, kemudian diapun melakukan penyelidikan di mana adanya Raden Wijaya yang hendak dibantunya itu. Ketika mendengar betapa pasukan Raden Wijaya dihancurkan musuh dan kini pangeran itu melarikan diri bersama pengikutnya, dia merasa prihatin sekali dan cepat-cepat dia melakukan pengejaran.
Demikianlah maka pada saat rombongan Raden Wijaya terancam malapetaka ketika diserang oleh Adipati Satyanegara atau Ki Cucut Kalasekti bersama pasukannya, dia muncul dan segera membentak nyaring.
"Ki Cucut Kalasekti, akulah lawanmu" berkata demikian, Nurseta sudah menerjang kakek itu. Melihat munculnya Nurseta, Ki Jembros menjadi girang bukan main. Dia tentu saja mengenal Nurseta yang dia tahu telah digembleng oleh mendiang Panembahan Sidik Danasura, dan kalau tadi dia nekat membant Raden Wijaya menghadapi Ki Cucut Kalasekti, adalah terdorong oleh kesetiaannya. Dia maklum bahwa dia sama sekali tidak akan mampu menandingi kakek dari Blambangan yang amat sakti itu.
"Hahahaha, akhirnya dapat juga kukepung pelarian dari Singosari. Raden Wijaya, Sang Puteri Tribuwana dan para senopati yang sudah kelelahan. Kalian lebih baik menyerah agar dengan baik-baik kalian kugiring ke Kediri untuk kuhadapkan kepada Sribaginda" kata Ki Cucut Kalasekti dengan lagaknya yang congkak.
Raden Wijaya belum mengenal kakek itu. Dia tahu bahwa para senopatinya sedang lelah, maka kalau dapat dia hendak menghindarkan pertempuran. Sambil menggandeng tangan tunangannya, diapun melangkah maju dan dengan sikap tenang berwibawa, Raden Wijaya bertanya, "Siapakah kau, kakek tua " Kami idak pernah mengenal kau sebagai senopati Kediri, dan mengapa pula kau menghadang perjalanan kami ?"
"Hahaha, Sang Pangeran Raden Wijaya. Aku bukan sekedar seorang senopati, melainkan aku seorang adipati, yaitu Adipati Satyanegara dari Bendowinangun. Sebagai seorang ponggawa Kediri, tentu saja aku membantu Kediri dan aku ditugaskan untuk menangkap rombonganmu. Menyerahlah saja demi keselamatan kalian, dari pada kami harus mempergunakan kekerasan"
Melihat sikap congkak ini, Medang Dangdi melangkah maju. Tentu saja senopati ini marah sekali mendengar bahwa yang berada di depannya adalah orang yang pernah hampir menghancurkan kehidupan isterinya, yaitu, Warsiyem. Ketika dia mengembara ke Singosari, datuk sesat itu telah menculik Warsiyem, memperkosanya dan bahkan menawannya ke dalam goa di tebing, tempat yang seperti neraka di mana Warsiyem merana sampai bertahun-tahun. Akhirnya, Warsiyem dapat bertemu dengan Nurseta, dapat bersama pemuda itu menyelamatkan diri keluar dari goa dan lolos dari cengkeraman manusia iblis Ki Cucut Kalasekti itu, dan bertemu lalu berkumpul kembali dengan dia.
"Babo-babo, keparat laknat manusia iblis Cucut Kalasekti" bentaknya marah, mukanya merah dan dia sudah menghunus kerisnya. "Bukalah mata dan telingamu baik-baik. Kami para senopati Singosari akan melindungi junjungan kami sampai titik darah terakhir. Kami pantang menyerah sebelum nyawa meninggalkan badan. Kebetulan sekali, saat ini aku berkesempatan untuk membalaskan sakit hati yang telah kau timpakan kepada ibunya Wulansari"
Mendengar ini, Ki Cucut Kalasekti mengamati laki-laki yang gagah perkasa itu penuh perhatian. Terkejut juga dia mendengar disebutnya ibunya Wulansari. Akan tetapi, dia menutupi kekagetannya dengan tawanya yang congkak.
"Ha-ha-ha, kiranya engkau ini yang bernama Medang Dangdi" Bagus, kalau begitu memang kalian sudah bosan hidup" Berkata demikian, kakek ini memberi isarat kepada para perajuritnya untuk mengepung dan menyerang. Dia melihat betapa semua senopati Singosari telah mengeluarkan senjata, maka dia maklum bahwa tidak mungkin mereka itu akan sudi menyerah.
Terjadilah pertempuran mati-matian yang amat seru. Andaikata di situ tidak ada Ki Cucut
Kalasekti, tentu para senopati Singosari akan sanggup menandingi pengeroyokan duapuluh orang perajurit Kediri itu, bahkan dengan mudah akan mengalahkan mereka. Akan tetapi di pihak Kediri terdapat kakek sakti Cucut Kalasekti. Dia mengamuk dengan ilmu-ilmunya yang dahsyat. Pukulan dengan Aji Gelap Sewu, juga Aji Segoro Umub terlalu kuat bagi para senopati itu sehingga mereka terdesak. hebat, dan beberapa orang senopati bahkan telah menderita luka-luka, biarpun mereka semua, termasuk Raden Wijaya, masih terus membela diri dan melindungi Sang Putri Tribuwana.
Keadaan para senopati Singosari kini terdesak hebat dan agaknya tak lama kemudian mereka itu akan roboh satu demi satu. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring sekali.
"Ki Cucut Kalasekti, keparat jahanam yang selalu mengumbar nafsu kejahatan di mana-mana" Dan muncullah seorang kakek berusia hampir enampuluh tahun, berpakaian serba hitam dengan baju terbuka di bagian dada memperlihatkan dada yang berbulu, mukanya brewok, matanya lebar dan tajam mencorong. kurus akan tetapi tulang-tulangnya besar kokoh kuat, perutnya gendut. Dia adalah Ki Jembros seorang tokoh besar yang gagah perkasa, terkenal sebagai seorang gagah yang setia kepada Singosari walaupun dia tidak pernah menjadi senopati. Terkenal pula sebagai seorang penentang kejahatan.
Di samping Ki Jembros nampak seorang pemuda tampan yang bukan lain adalah Nurseta. Seperti kita ketahui, Nurseta bersama ayah angkatnya, yaitu Ki Baka, ikut mengamuk mempertahankan Singosari ketika pasukan Kediri menyerbu. Namun, Ki Baka terluka parah oleh pukulan Ki Cucut Kalasekti sehingga Nurseta menyelamatkannya dan membawanya lari. Dalam pelarian ini, Nurseta, sempat menyelamatkan Sang puteri Tribuwana dari tangan Yuyu Rumpung. Dia kehilangan sang puteri yang telah melarikan diri menyusup diantara para pengungsi. Melihat keadaan ayah angkatnya yang payah, Nurseta lalu melarikan Ki Baka keluar dari pura, membawanya ke dalam hutan. Dengan segala daya upayanya, dicobanya untuk mengobati ayah angkatnya, namun sia-sia. Pukulan Ki Cucut Kalasekti itu terlalu hebat, mengandung hawa beracun dan akhirnya Ki Baka yang usianya sudah tujuhpuluh lima tahun itupun meninggal dunia dalam rangkulan Nurseta.
Kematian Ki Baka diterima sewajarnya oleh Nurseta. Dia tidak mendendam kepada Ki Cucut Kalasekti, karena dia maklum bahwa Ki Baka tewas sebagai seorang pejuang, gugur sebagai kesuma bangsa seperti yang selal diharapkan oleh kakek yang gagah perkasa dan berjiwa pahlawan itu. Namun, kematian itu memperbesar semangatnya untuk membela Singosari yang sudah jatuh. Dia masih teringat akan pesan mendiang Panembahan Sidik Danasura bahwa kelak yang menjadi raja penerus di Nusantara adalah Raden Wijaya. Oleh karena itu, kini timbul semangatnya untuk mengabdikan diri atau membantu perjuangan Raden Wijaya. Dia mengubur jenazah ayah angkatnya, kemudian diapun melakukan penyelidikan di mana adanya Raden Wijaya yang hendak dibantunya itu. Ketika mendengar betapa pasukan Raden Wijaya dihancurkan musuh dan kini pangeran itu melarikan diri bersama pengikutnya, dia merasa prihatin sekali dan cepat-cepat dia melakukan pengejaran.
Demikianlah maka pada saat rombongan Raden Wijaya terancam malapetaka ketika diserang oleh Adipati Satyanegara atau Ki Cucut Kalasekti bersama pasukannya, dia muncul dan segera membentak nyaring.
"Ki Cucut Kalasekti, akulah lawanmu" berkata demikian, Nurseta sudah menerjang kakek itu. Melihat munculnya Nurseta, Ki Jembros menjadi girang bukan main. Dia tentu saja mengenal Nurseta yang dia tahu telah digembleng oleh mendiang Panembahan Sidik Danasura, dan kalau tadi dia nekat membant Raden Wijaya menghadapi Ki Cucut Kalasekti, adalah terdorong oleh kesetiaannya. Dia maklum bahwa dia sama sekali tidak akan mampu menandingi kakek dari Blambangan yang amat sakti itu.
"Bagus engkau datang, Nurseta" seru Ki Jembros. "Hadapi cucut busuk itu, aku akan menghajar anak buahnya" Dan diapun membantu para senopati, mengamuk dengan hebat. Kakek brewokan ini memiliki aji kekebalan yang disebut Aji Trenggiling Wesi. Kalau tubuhnya sudah bergulungan ke arah musuh, biar dihujani senjata bagaimanapun juga, tidak ada bacokan yang mampu menembus kekebalannya. Kemudian, Aji Hastobairowo, yaitu pukulan kedua tangannya yang ampuh, selalu merobohkan setiap orang pengeroyok yang, terkena pukulan ampuh itu.
Bangkitlah semangat para senopati melihat munculnya dua orang gagah perkasa ini dan merekapun menghajar anak buah Ki Cucut Kalasekti sehingga dalam waktu singkat saja, duapuluh orang anak buah Ki Cucut Kalasekti sudah roboh semua.
Sementara itu, perkelahian antara Ki Cucut Kalasekti dan Nurseta berlangsung amat hebatnya. Nurseta yang maklum betapa saktinya kakek yang menjadi lawannya, tidak mau membuang banyak waktu dengan ilmu-ilmu yang lain. Dia segera mengerahkan aji pukulan Jagad Pralaya yang dipelajarinya dari mendiang Panembahan Sidik Danasura. Memang kakek sakti itu sudah memesan kepadanya agar dia tidak sembarangan mengeluarkan aji pukulan ampuh ini kalau tidak amat terpaksa. Namun Nurseta maklum bahwa menghadapi Ki Cucut Kalasekti, kiranya hanya aji kesaktian ini sajalah yang akan mampu menahannya.
Kenyataannya memang demikian. Begitu menghadapi aji pukulan ini, Ki Cucut Kalasekti beberapa kali terdorong mundur sampai terhuyung. Tidak kuat dia menahan aji pukulan dahsyat yang mengandung hawa panas itu. Namun, dia memang amat pandai. Karena tidak; mungkin melawan aji pukulan pemuda itu dengan mengadu tenaga, diapun mempergunakan kelincahannya, selalu menghindarkan diri dari sambaran pukulan itu dan membalas dari samping atau dari belakang, mengandalkan kelincahan gerakannya. Maka, terpaksa Nurseta mengeluarkan Aji Brajadenta yang dipelajarinya dari mendiang Ki Baka, yang memiliki gerakan lebih cepat, namun aji pukulan ini, biarpun cukup hebat, tldaklah sedahsyat Jagad Pralaya (Dunia Kiamat).
Melihat betapa duapuluh orang anak buahnya sudah roboh, hati Ki Cucut Kalasekti menjadi semakin gentar. Apa lagi kini Ki Jembros dan para senopati Singosari, yang rata-rata merupakan ksatria-ksatria yang gagah perkasa, sudah maju dan siap mengeroyoknya. Dia dapat celaka di tangan mereka, pikirnya, maka tiba-tiba dia mengeluarkan suara mendesis seperti seekor ular dan dari mulutnya menyambar uap hitam. Semua senopati terkejut, tidak berani maju dan kesempatan itu dipergunakan oleh Ki Cucut Kalasekti untuk meloncat jaurr dan melarikan diri.
Ki Jembros dan Nurseta segera menghaturkan sembah kepada Raden Wijaya yang merasa girang sekali bahwa keselamatan dia serombongannya telah diselamatkan oleh dua orang gagah perkasa ini. Dari mereka dia memperoleh keterangan bahwa mereka itu muncul secara kebetulan saja.
"Kakangmas, ki sanak inilah yang telah menyelamatkan saya dari cengkeraman penjahat yang hendak menangkap saya ketika lari mengungsi, seperti pernah saya ceritakan padamu" kata Puteri Tribuwana.
Raden Wijaya berseru girang. "Ah, kiranya kau pula yang telah menyelamatkan sang puteri, Nurseta. Akan tetapi, benarkah ketika itu engkau memanggul seorang kakek yang terluka?"
"Benar sekali, Raden. Yang hamba panggul itu adalah mendiang Ki Baka, ayah angkat hamba yang terluka parah oleh pukulan Ki Cucut Kalasekti pula, yang kemudian menyebabkan kematiannya.
"Jagad Dewa Bathara........" tiba-tiba Ki Jembros berseru lantang. "Jadi Kakang Baka telah tewas........?"
"Benar sekali, paman" kata Nurseta.
Raden Wijaya lalu mengajak semua pengikutnya untuk mencari tempat yang bersih dan sunyi untuk berunding, agar tidak sampai percakapan mereka terdengar oleh para anak buah Ki Cucut Kalasekti yang diantaranya ada yang belum tewas dan hanya terluka.
Setelah memasuki sebuah hutan kecil, merekapun bercakap-cakap dengan leluasa. Tentu saja mereka membicarakan keadaan Singosari yang sudah terjatuh ke tangan orang-orang Kediri. Nurseta juga menceritakan keadaan Singosari seperti yang dilihatnya. Demikian pula Ki Jembros. Mendengar akan keadaan Singosari yang sudah sepenuhnya dikuasai musuh, Raden Wijaya merasa berduka sekali.
"Sungguh tidak kusangka sama sekali bahwa Paman Prabu Jayakatwang dari Kediri sampai hati menyerbu Singosari, pada hal Kerajaan Singosari telah memperlakukannya dengan baik-baik. Juga amat mengherankan bagaimana dia sampai berhasil" Pangeran Wijaya termenung sedih.
"Inilah akibat dari kelalaian yang telah dilakukan oleh Sang Prabu, Raden. Pasukan yang kuat dikirim ke Melayu, dan kekuatan pasukan anyak berkurang karena telah dipergunakan untuk menggempur Bali dan daerah lain. Dalam keadaan kosong dan kekuatan pasukan kecil, maka Raja Kediri lalu menyerbu dan pasukan mereka jauh lebih besar dan lebih kuat" kata Lembu Sora dengan penuh penyesalan.
Mendengar ayah mertuanya dipersalahkan, hati Raden Wijaya merasa tidak enak kepada tunangannya, yaitu Puteri Tribuwana, maka diapun cepat berkata, "Maksud dari Ramanda Prabu memang baik, meluaskan wilayah dan menjalin hubungan baik dengan negara lain di seberang, Akan tetapi sungguh mengherankan bagaimana Kediri dapat menghimpun kekuatan demikian cepatnya, dan kuat pula. Sekarang, yang menjadi persoalan adalah bagaimana kita akan mampu menjatuhkan kekuatan Kediri yang telah menguasai Singosari"
"Bagaimana mungkin hal itu dapat dilakukan tanpa memiliki pasukan yang kuat, Raden?" kata Lembu Sora. "Nanti setelah paduka menapatkan tempat yang aman, yaitu di Madura, barulah perlahan-lahan paduka menghimpun pula kekuatan pasukan untuk menggempur dan melakukan pembalasan, merebut kembali Singosari dan menjatuhkan Kediri"
Raden Wijaya menganggukangguk dan semua senopati menyetujui pendapat Lembu Sora itu. Melihat betapa Nurseta seolah-olah hendak bicara akan tetapi selalu ditahannya, Raden Wijaya lalu berkata.
"Nurseta, walaupun kau bukan senopati Singosari, namun sudah berkali-kali kau membuat jasa besar. Dahulu membantu penumpasan Mahesa Rangkah yang memberontak, sekarang juga engkau telah menyelamatkan kami. Bagaimana menurut pendapa melihat keadaan sekarang ini ?"
Memang tadinya Nurseta hendak mengemukakan sesuatu akan tetapi ragu-ragu karena dia tidak berani lancang bicara. Dia bukan seorang ponggawa Singosari dan bukan bawahan Raden Wijaya. Kini, mendengar uluran tangan Raden Wijaya, dia menjadi berani dan menyembah.
"Mohon maaf, Raden. Agaknya hamba dapat menduga apa yang menyebabkan Raja Kediri sampai berhasil menundukkan Singosari"
Para senopati dan Raden Wijaya memandang dengan penuh perhatian. "Benarkah, Nurseta " Lalu apa yang menyebabkannya ?"
"Karena Kediri memiliki tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala"
Semua orang terkejut, dan Raden Wijaya berseru. "Tejanirmala" Kami sudah mendengar tentang pusaka itu " Apakah itu merupakan pusaka yang mengandung wahyu kerajaan?"
"Mungkin saja, Raden. Pusaka itu peninggalan Sang Prabu Sanjaya di Kerajaan Mataram, lebih dari limaratus tahun yang lalu. Tadinya, pusaka Ki Ageng Tejanirmala menjadi milik mendiang Ki Baka, ayah angkat hamba"
"Eh " Lalu bagaimana sampai dapat terjatuh ke tangan Raja Kediri?" Raden Wijaya bertanya dengan penuh perhatian karena hatinya merasa tertarik sekali.
Nurseta melirik ke arah Ki Medang Dangdi, ayah Wulansari. Ki Medang Dangdi balas memandang. Senopati ini sejak tadi hanya mendengarkan saja, dan diam-diam dia amat kagum kepada pemuda yang pernah ditolaknya menjadi suami puterinya itu. Diapun merasa ikut berduka mendengar betapa Ki Baka, kakek perkasa yang baru saja bertamu di rumahnya, telah gugur dalam membela Singosari yang diserbu musuh.
"Pusaka itu terampas oleh Wiku Bayunirada dari tangan ayah angkat hamba, kemudian diperebutkan oleh banyak orang. Akhirnya pusaka itu dapat terampas dari tangan
Wiku Bayunirada dan terjatuh ke tangan...... diajeng Wulansari......" Kembali Nurseta me
lirik ke arah Ki Medang Dangdi karena merasa tidak enak harus menyebut nama gadis itu.
Melihat sikap pemuda ini, Ki Medang' Dangdi menganggukangguk perlahan seolaholeh memberi isarat kepada Nurseta agar jangan ragu-ragu menceritakan tentang puterinya itu.
"Wulansari" Siapakah ia?" tanya Raden Wijaya, makin tertarik.
Melihat keraguan Nurseta, Ki Medang Dangdi lalu berkata, "Raden, Wulansari adalah anak perempuan hamba yang sejak kecil berpisah dari hamba dan kemudian menjadi murid Ki Cucut Kalasekti. Anakmas Nurseta, lanjutkanlah ceritamu dan jangan ragu-ragu"
Raden Wijaya menjadi semakin tertarik, "Puterimu, Paman Medang Dangdi" Wah, sungguh menarik. Nurseta, lanjutkan ceritamu"
"Pusaka Ki Ageng Tejanirmala itu terjatuh ke tangan diajeng Wulansari dan hamba melakukan pengejaran ke daerah Kediri. Ternyata. pusaka itu oleh diajeng Wulansari telah diserahkan kepada gurunya, yaitu Ki Cucut Kalasekti"
"Hemm, sungguh aneh. Bagaimana puterimu" sampai dapat menjadi murid seorang sakti
yang jahat seperti Ki Cucut Kalasekti itu, paman?" kata Raden Wijaya kepada Ki Medang Dangdi. Senopati ini segera menyembah, hatinya terasa perih karena dia teringat akan semua peristiwa yang menimpa isterinya dan puterinya. Kinipun, dia teringat kepada isterinya berpisah pula darinya ketika terjadi penyerbuan pasukan Kediri di Singosari.
Dia mengikuti Raden Wijaya dan entah bagaimana dengan isterinya yang ketika itu dia ditinggalkan di rumah.
"Raden, anak perempuan hamba itu berpisah dari hamba sejak kecil dan kemudian ia diambil murid olah Ki Cucut Kalasekti" Hanya itulah yang dia katakan dan Raden Wijaya yang bijaksana itu dapat mengerti bahwa tentu ada suatu rahasia yang agaknya hendak disimpan oleh Ki Medang Dangdi, maka diapun tidak mendesak lebih jauh. Raden Wijaya adalah seorang yang bijaksana dan menghormati rahasia pribadi semua orang. Dia mengangguk, lalu bertanya kepada Nurseta.
"Lalu bagaimana lanjutan ceritamu, Nurseta"
"Pusaka Ki Tejanirmala yang terjatuh ke tangan Ki Cucut Kalasakti itu lalu diserahkan kepada Sang Prabu Jayakatwang dari Kediri dengan imbalan kedudukan adipati di Bendowinangun bagi Ki Cucut Kalasekti"
"Ah, pantas saja dia kini membela Kediri" kata Raden Wijaya. "Dan pantas saja keadaan Kediri demikian kuatnya. Ki Tejanirmala telah berada di sana" Ucapannya ini mengandung penyesalan besar sehingga Ki Medang Dangdi menundukkan mukanya, merasa terpukul karena bagaimanapun juga, puterinyalah yang menjadi gara-gara sehingga pusaka itu terjatuh ke tangan Raja Kediri.
"Habis, bagaimana baiknya sekarang" Pusaka itu telah berada di Kediri, apakah tidak ada harapan lagi bagi kita untuk merebut kembali Singosari?" Pertanyaan ini diajukan kepada semua yang hadir. Para senopati juga terdiam, masih terkesan oleh cerita Nurseta tadi. Tak mereka sangka bahwa pusaka yang dikabarkan amat ampuh itu kini telah menjadi pusaka Kerajaan Kediri. Mungkin pusaka itulah yang membuat Kediri menjadi jaya.
Melihat kekecewaan dan kedukaan membayang di wajah Raden Wijaya, Nurseta segera menyembah. "Raden, ketika ayah angkat hamba hendak meninggal dunia, beliau berpesan kepada hamba bahwa hamba harus mencari dan merampas kembali pusaka Ki Ageng Tejanirmala itu, kemudian kalau sudah hamba dapatkan, hamba harus menyerahkannya kepada paduka, Raden"
Mendengar ini, teibelalak mata Raden Wijaya dan dia memandang kepada Nurseta dengan wajah berseri. "Jagad Dewa Bhathara............. Begitu mulia hati mendiang Paman Baka, demikian setia. Nurseta, sebelumnya kami mengucap banyak terima kasih atas kemurahan hati mendiang ayah angkatmu, dan terima kasih kepadamu yang hendak merampas kembali Ki Ageng Tejanirmala. Apakah yang kau perlukan untuk tugas itu" Apakah engkau membutuhkan teman" Boleh kaupilih diantara para senopatiku"
Para senopati itu dengan penuh gairah siap untuk membantu. Akan tetapi Nurseta menggeleng kepala. "Raden, satu-satunya jalan untuk dapat merampas kembali pusaka itu hanyalah bahwa hamba harus menyusup ke dalam pura Kerajaan Kediri. Hal ini dapat hamba lakukan karena hamba tidak dikenal. Sebaliknya, tidak mungkin kalau seorang diantara senopati Singosari yang menyusup ke sana, tentu akan dikenal dan ditangkap. Biarlah hamba akan lakukan hal itu seorang diri saja, sebagai tugas yang diberikan oleh mendiang ayah angkat hamba, dan juga sebagai tugas dari paduka"
"Baiklah, Nurseta. Mulai saat ini juga engkau kutugaskan untuk mencari dan merampas pusaka itu, dan kelak kalau berhasil, engkau boleh minta apa saja dariku Sebagai imbalan, tentu akan kupenuhi permintaanmu itu"
Para senopati saling pandang dan mengerutkan alisnya. Janji yang diberikan Raden Wijaya itu terlalu muluk dan kalau orang yang menerima janji itu seorang yang rakus dan tamak, tentu akan dapat menimbulkan hal-hal yang menggegerkan kelak. Bayangkan saja, akan dipenuhi permintaan apa saja dari pangeran itu.
Nurseta menyembah, lalu minta diri dan meninggalkan tempat itu untuk mulai melaksanakan tugasnya yang sulit dan berat. Namun, Nurseta akan melaksanakan tugas ini dengan sepenuh batinya. Bagi dia, bukan hanya mencari dan merampas kembali Ki Ageng Tejanirmala saja inti dari perjalanan dan tugasnya itu, melainkan juga berarti mencari dan berusaha menguasai kembali hati Wulansari.
Rombongan Raden Wijaya juga melanjutkan perjalanan, diiringkan oleh para Senopatinya, sedangkan Ki Jembros sudah pula memisahkan diri karena ksatria ini tidak pernah mau terlibat langsung sebagai seorang ponggawa. Dia ingin bebas, walaupun dia selalu siap membela Raden Wijaya.
Kepala dusun Pandakan bernama Ki Macan Kuping. Ketika rombongan Raden Wijaya tiba di Pandakan, mereka disambut dengan penuh keramahan dan kehormatan oleh Macan Kuping dan seluruh penduduk dusun Pandakan. Mereka dipersilakan duduk di ruangan rumah kepala dusun dan dijamu hidangan nasi putih dengan lauk pauknya, dan kelapa muda. Kembali Raden Wijaya merasa terharu dan berterima kasih atas sambutan yang amat baik dari penduduk dusun Pandakan ini.
Ketika rombongan itu melanjutkan perjalanan menuju ke Madura. Gajah Pagon terpaksa ditinggalkan di dusun Pandakan itu. Luka di kakinya terlalu parah dan dia perlu beristirahat dan berobat. Karena Ki Macan Kuping maklum bahwa kalau Gajah Pagon yang merupakan seorang senopati Singosari itu sampai kedapatan pasukan Kediri, tentu orang-orang di seluruh Pandakan akan celaka. Maka dia lalu menyembunyikan Gajah Pagon di tengah-tengah kebun yang penuh ilalang, dan diamdiam dia dirawat oleh penduduk Pandakan.
Perjalanan Raden Wijaya dan Puteri Tribuwana sungguh merupakan perjalanan yang amat sukar. Terutama sekali bagi sang putri, sungguh perjalanan itu amat sengsara dan melelahkan. Untung bagi mereka bahwa para pengikut Raden Wijaya adalah orang-orang gagah yang amat setia kepada junjungan mereka. Mereka semua berusaha sedapat mungkin untuk membuat perjalanan itu tidak terlalu melelahkan bagi sang puteri.
Akhirnya, tibalah rombongan ini di daerah Sumenep setelah melakukan penyeberangan yang bukan tidak mengandung bahaya di tengah lautan atau selat yang lebar itu. Setelah tiba di daerah Sumenep, di pesisir mereka berhenti dan Raden Wijaya lalu mengutus Lembu Sora untuk melakukan penyelidikan ke Sumenep, melihat apakah Arya Wiraraja berada di kabupaten. Tentu saja Riden Wijaya dan para senopatinya sama sekali tidak pernah mimpi bahwa sesungguhnya penyerbuan pasukan dari Kediri yang menduduki Singosari itu adalah akibat dari bujukan Arya Wiraraja.
Lembu Sora segera melakukan penyelidikan dan dia melihat bahwa Sang Bupati itu sedang dihadap para ponggawanya di pendapa kabupaten. Lembu Sora segera melaporkan hal ini kepada Raden Wijaya. Rombongan itu lalu cepat memasuki kota Sumenep dan menuju ke Kabupaten.
Ketika itu, Arya Wiraraja, juga disebut Banyak Wide, Bupati Sumenep, Madura, sedang dihadap para ponggawa dan pembantunya. Mereka tentu saja membicarakan peristiwa yang menggegerkan Singosari, yaitu penyerbuan pasukan Kediri yang menduduki Singosari dan betapa Sang Prabu Kertanagara telah gugur. Di depan para ponggawanya yang sama sekali tidak tahu akan peranan yang dipegang bupati itu dalam peristiwa pengkhianatan Raja Kediri, Arya Wiraraja memperlihatkan sikap duka mendengar tewasnya Sang Prabu Kertanagara dan khawatir akan nasib keluarga raja itu. Akan tetapi, para ponggawanya juga tidak mengemukakan pendapat mereka, karena mereka tahu bahwa atasan mereka itu tidak ingin melibatkan diri dengan perang itu.
Selagi mereka berbincang-bincang, tiba-tiba mereka melihat rombongan Raden Wijaya berjalan di alun-alun depan pendapa, menghampiri pendapa itu. Melihat ini, tentu saja mereka semua terkejut. Arya Wiraraja lalu membubarkan semua ponggawanya yang juga menjadi bingung melihat munculnya pangeran dari Singosari yang tidak mereka sangka-sangka itu, sedangkan Bupati Arya Wiraraja juga tergesa-gesa meninggalkan balairung, pulang ke dalam rumah gedungnya tanpa menemui atau menyambut kedatangan rombongan itu.
Melihat ini, dan menemukan pendapa itu telah kosong, dan mendengar keterangan perajurit penjaga bahwa Sang Bupati telah pulang sedangkan para ponggawa juga pergi setelah persidangan Itu dibubarkan tiba-tiba, tentu saja hati Raden Wijaya merasa tidak enak sekali.
"Nah, terjadilah seperti apa yang kukhawatirkan" katanya menarik napas panjang.
"Jagad Dewa Bathara........ betapa malunya hati ini menerima kenyataan yang amat pahit ini. Jauh lebih baik kalau kita tinggal di Singosari dan gugur sebagai kesuma bangsa dari pada menjadi pelarian yang terhina dinegeri orang ......." Para senopati juga merasa terpukul dan mereka merasa kasihan mendengar keluh kesah junjungan mereka.
Selagi Raden Wijaya dan para pengikutnya kebingungan dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan selanjutnya, tiba-tiba saja mereka melihat Arya Wiraraja datang tergopoh-gopoh diiringkan seluruh keluarganya, dengan pakaian kebesaran dan membawa hidangan persembahan sirih dan juga kereta dan kuda, menyambut Raden Wijaya dan Puteri Tribuwana. Arya Wiraraja memberi hormat, demikian pula keluarganya, dan mengadakan penyambutan yang amat ramah dan penuh hormat, seolah-olah Raden Wijaya masih seorang pangeran dan junjungan dari Singosari, bukan seorang pelarian yang kalah perang
Tentu saja peristiwa ini melegakan hati Raden Wijaya. Kiranya tadi Arya Wiraraja membubarkan persidangan dan tergesa-gesa meninggalkan pendopo bukan untuk menghindarinya, melainkan untuk berkemas-kemas mengadakan penyambutan yang layak untuk menghormatinya.
Memang demikianlah apa yang dialami kemudian. Keluarga bupati itu menyambut penuh kehormatan, mempersilakan Raden Wijaya menunggang kuda dan puteri Tribuwana menunggang kereta, dan keluarga itu sendiri berjalan kaki mengiringkan di belakang. Setibanya di dalam gedung tamu-tamu agung itu mendapat pesalin pakaian bersih, bermandikan air bunga, dan memperoleh kamar-kamar yang terbesar, dijamu makan minum yang mewah.
Raden Wijaya bersukur bukan main. Setelah membicarakan peristiwa kejatuhan Singosari di tangan Raja Kediri, Bupati Wiraraja lalu berkata dengan sikap hormat.
"Dengan hati yang penuh duka dan penyesalan, namun tidak berdaya, kami telah mendengar tentang peristiwa itu, Raden. Lalu, apakah rencana paduka selanjutnya ?"
"Kanjeng paman, kalau sekiranya kanjeng paman mengijinkan, untuk sementara ini saya ingin tinggal dulu di sini, menghimpun kekuatan untuk kelak melakukan pembalasan atas pengkhianatan Paman Jayakatwang" jawab Raden Wijaya sambil mengepal tinju.
Arya Wiraraja menarik napas panjang. "Memang cita-cita itu baik sekali, Sang Pangeran. Tentu saja paduka dapat tinggal di sini dan anggaplah ini sebagai rumah paduka sendiri. Akan tetapi tentang pembalasan itu, sebaiknya paduka berhati-hati dan tidak tergesa-gesa, semua harus diatur bagaimana baiknya karena pada waktu ini, kekuatan pasukan Daha amatlah besarnya"
Demikianlah, Raden Wijaya dan para pengikutnya tinggal di Sumenep dengan aman walaupun hati mereka selalu ingin mencari kesempatan untuk membalas atas kekalahan Singosari yang amat menyakitkan hati itu.
*** Wulansari menerima sebuah tugas baru, yaitu menemani dan menjaga keselamatan seorang tawanan, yaitu Sang Puteri Gayatri atau Pusparasmi, Puteri yang ditawan ini adalah adik dari Puteri Tribuwana, puteri dari mendiang Sang Prabu Kertanagara yang sudah ditunangkan dengan Raden Wijaya. Ada pun Sang Puteri Tribuwana yang tadinya berlari dari istana bersama Puteri Gayatri kemudian mereka terpisah, telah ditemukan oleh Raden Wijaya. Puteri Gayatri ditangkap, ditawan dibawa ke istana Daha atau Kediri. Biarpun ia seorang tawanan, namun ia diperlakukan dengan hormat karena ia adalah puteri Raja Singosari. Bahkan seorang diantara saudaranya, seorang puteri yang lahir dari selir, telah menjadi mantu Raja Jayakatwang dari Daha atau Kediri itu.
Berbeda dengan Puteri Tribuwana yang berwatak halus dan Iembut, Puteri Gayatri atau juga disebut Pusparasmi ini, yang baru berusia tujuhbelas tahun, adalah seorang gadis remaja yang kenes, galak dan pemberani. Kecantikan dan daya tariknya juga berbeda dari kakaknya. Kalau Puteri Tribuwana seorang gadis yang berkulit kuning langsat, wajahnya cantik dan bulat seperti bulan purnama, wataknya halus lembut dan tenang, sebaliknya Puteri Gayatri ini berkulit hitam manis, wajahnya cantik manis dengan dagu meruncing. Wataknya agak keras, pemberani dan pandai bicara, manja, jenaka dan periang sehingga nampak kegenit-genitan. Namun, seperti juga para puteri istana lainnya, masih jelas nampak darah kebangsawanannya, nampak pada bulu mata yang lentik itu, sinar mata yang tajam, lekukan dagu dan bibir.
Biarpun hatinya merasa amat berduka mendengar bahwa ayahnya telah tewas, keluarganya hancur berantakan, banyak diantara puteri yang tewas atau menjadi korban kebiadaban para perajurit Daha, dan ia sendiri kehilangan kakaknya tercinta, yaitu Puteri Tribuwana, namun Puteri Gayatri tidak mau menangis lagi setelah tiba di istana Daha la memperlihatkan sikap angkuh, bukan seperti seorang puteri tawanan dan ia bahkan tidak pernah mau menjawab kalau ditanya oleh Raja Daha dan keluarganya. Bahkan puteri Singosari yang menjadi mantu Sang Prabu Jayakatwang, yaitu kakaknya sendiri berlainan ibu, tidak mampu menundukkan hati Puteri Gayatri, yang juga menganggap kakaknya ini sebagai keluarga pengkhianat dan musuh besarnya.
Keluarga Sang Prabu Jayakatwang kewalahan menghadapi sikap puteri yang galak ini, dan akhirnya Wulansari yang menerima tugas untuk menemaninya dan juga menjaga keselamatannya, bukan hanya dari ancaman luar, melainkan menjaga agar puteri yang berani itu tidak sampai nekat membunuh diri. Memang benar bahwa puteri itu tidak kelihatan berduka sehingga tidak ada alasan untuk dikhawatirkan membunuh diri, akan tetapi sejak ditawan, sudah dua hari lamanya setibanya di istana Daha, Puteri Gayatri tidak mau makan atau minum sehingga wajahnya mulai pucat. Dikhawatirkan kalau sang puteri akan berpuasa sampai mati.
Ketika pertama kali Wulansari menerima tugas ini, di dalam hati ia merasa penasaran. Ia adalah seorang wanita digdaya, biasanya ia diserahi tugas menjadi pengawal pribadi Sang Prabu jayakatwang dengan kesaktiannya, ia menjamin keamanan dan keselamatan raja, ia selalu waspada dan ia merasa dirinya besar dan berkedudukan tinggi. Betapa tidak " Sang Prabu Jayakatwang, Raja Daha, telah begitu mempercayainya sehingga ia menjadi orang nomor dua di dalam istana. Tidak ada rahasia raja yang tidak diketahuinya, bahkan benda-benda pusaka dapat diambilnya setiap saat. Semua orang dalam istana segan dan takut kepadanya, apa lagi ketika mereka mengetahui bahwa pengawal pribadi ini bukan seperti wanita biasa. Tidak mau tunduk dan tidak suka menjadi selir Sang Prabu Jayakatwang. Hal ini saja membuat para selir dan puteri istana tunduk dan segan kepadanya.
Kini, ia harus menjaga dan menemani seorang puteri tawanan, seorang gadis remaja yang kelihatannya manja. Ketika pertama kali ia memasuki kamar tawanan itu, sebuah kamar yang indah, membawa menampan (baki) terisi hidangan makanan dan minuman, ia melihat sang puteri sedang duduk bersila di atas pembaringan. Wajahnya penuh nestapa, akan tetapi begitu mendengar langkahnya, wajah itu menjadi keras kembali dan sepasang mata yang mencorong seperti mata kucing di dalam kegelapan malam, menatapnya. Mereka berdua saling pandang, dua pasang mata bertemu dan keduanya merasa tertarik dan kagum.
Sepasang mata Wulansari yang tajam itu memandang dan mengamati penuh perhatian selagi ia melangkah masuk dengan baki penuh hidangan itu. Ia melihat seorang gadis remaja yang usianya kurang lebih tujuhbelas tahun, bertubuh langsing dengan pinggang kecil, tubuh yang lekuk-lengkungnya mulai menjadi, seperti setangkai bunga yang mulai mekar dari kuncupnya. Gadis remaja itu berkulit hitam manis, mulus tanpa cacat, wajahnya yang bulat telur itu manis sekali dan setiap anggauta badannya seolah-olah memiliki daya tarik yang luar biasa. Sepasang matanya itu. Sepasang bintang cemerlang, bening dan jeli, bentuknya indah meruncing ke tepi dan agak berjungkit sedikit. dengan sepasang alis yang kecil panjang menghias dahi yang landai dengan sinom (anak rambut) yang merumbai dari atas, bulu mata yang panjang melengkung sehingga bayangannya menimpa pipi, hidung kecil mancung dengan cuping tipis yang dapat bergerak kembang kempis, mulut yang amat manis setiap kali bergerak, dengan lesung pipit di kanan kiri. Seorang gadis hitam manis yang amat cantik jelita.
Sebaliknya, Puteri Gayati juga memandang kagum. Ia seolah melihat seorang Srikandi di depannya. Wanita itu usianya tentu ada dua puluh lima tahun, seorang wanita yang sudah matang. Berkulit putih kuning, wajahnya manis namun membayangkan ketabahan dan keberanian yang menantang. Matanya seperti mata harimau mencorong dan hidup, bibirnya merah basah bukan oleh gincu, ada lesung pipit di pipi kiri dan tahi lalat di pipi kanan. Sepasang mata yang kadang-kadang menakutkan karena amat tajam itu dapat berubah menjadi redup. Tubuhnya penuh lekuk lengkung yang tentu akan menggairahkan setiap orang pria. Pakaiannya menunjukkan bahwa ia bukan pelayan, bukan pula puteri, melainkan pakaian yang ringkas sederhana namun gagah, seperti pakaian seorang perajurit perwira. Diam-diam Puteri Gayatri merasa heran sekali dan karena ia yakin bahwa wanita ini bukan keluarga raja, maka iapun bsrtanya, "Siapakah kau ?"
Wulansari adalah seorang wanita yang keras hati dan ia tidak pernah mau merendahkan diri, apa lagi kalau merendahkan diri itu untuk menjilat atau bermuka-muka. Ia memang biasa bersikap sopan kepada siapa saja, akan tetapi tidak mau sembarangan merendahkan diri. Bagaimanapun juga, ia telah diberi tahu bahwa gadis tawanan ini adalah seorang puteri, puteri Singosari yang kabarnya sudah dihancurkan dan sudah terjatuh ke tangan pasukan Kediri. Diam-diam ia merasa kasihan kepada gadis ini, dan karena maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang istana Singosari, maka iapun bersikap sopan.
"Saya bernama Wulansari dan ditugaskan oleh Sribaginda untuk menemani dan menjaga keselamatanmu" Berkata demikian, Wulansari menurunkan baki itu dan meletakkannya ke atas meja dekat pembaringan. Kekerasan masih belum meninggalkan hati Puteri Gayatri, maka sambil cemberut iapun membalikkan tubuhnya dan duduk membelakangi Wulansari.
"Aku, Sang Dyah Gayatri dari Singosari bukan seorang yang sudi menerima kebaikan musuh Raja Daha telah berkhianat, dan sekarang hendak menjamu aku yang dijadikan tawanan" Lebih baik aku mati kelaparan"
Wulansari mengamati puteri itu dari belakang. Ia tersenyum kagum. Puteri ini masih remaja, bahkan masih kekanak-kanakan, akan tetapi tubuhnya itu sudah mulai mekar menggairahkan, dan sikapnya memang anggun dan berwibawa, juga sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut pada wajahnya dan sikapnya, bahkan sebaliknya, sikapnya menantang dan tidak takut mati.
Dengan hati-hati Wulansari lalu duduk di atas bangku setelah menarik bangku itu dekat pembaringan di mana sang puteri duduk membelakanginya. "Saya mendengar bahwa seorang puteri sejati berjiwa ksatria dan luhur budinya. Kau adalah seorang puteri raja, tentu memiliki pula jiwa ksatria dan budi luhur. Akan tetapi mengapa kau mudah sekali putus asa ?"
Mendengar teguran ini, Puteri Giyatri cepat membalik lagi dan kini kedua kakinya turun tergantung di tepi pembaringan, matanya mengamati wajah Wulansari dan sikapnya menantang. "Mulutmu lancang sekali. Siapa yang mudah putus asa" Aku tidak putus asa. "Aku bukan pengecut. Aku tidak putus asal Kau....... lancang mulut dan berani menghina aku ?"
"Kau tidak mau makan, lebih baik mati kelaparan dari pada makan, bukankah itu sama halnya dengan membunuh din" Dan orang yang membunuh diri berati seorang pengecut yang putus asa. Saya yakin kau bukan orang. seperti itu"
Wulansari tersenyum girang. Pancingannya mengena dan ia tidak khawatir lagi gadis remaja ini akan bunuh diri. "Saya juga tidak percaya bahwa kau pengecut atau penakut. Akan tetapi, kalau sekarang saya beritahukan bahwa makanan dan minuman ini mengandung racun untuk membunuhmu, apakah kau berani memakan dan meminumnya". Sama-sama kita lihat saja nanti" berkata demikian, Wulansari sengaja meninggalkan puteri itu dan keluar dari dalam kamar, menutupkan pintu kamar itu dari luar. Akan tetapi, dengan kepandaiannya, ia menyelinap ke balik jendela dan mengintai ke dalam kamar. ia melihat sang, puteri marah-marah. Puteri itu kini sudah turun dari atas pembaringan dan ia berjalanjalan hilir mudik seperti seekor harimau betina dalam kurungan.
"Kau kira aku tidak berani dengan ancaman kematian itu " Huh, pelayan keparat, lancang mulut. Kita sama lihat saja" tiba-tiba puteri remaja itu duduk di atas bangku menghadapi meja, membuka tutup makanan yang dihidangkan tadi lalu mulai makan dengan lahapnya. Memang perutnya amat lapar, sudah hampir dua hari dua malam ia tidak makan apa-apa, dan diminum ya pula minuman yang tersedia. Sedikitpun ia tidak nampak ngeri atau takut,. bahkan setelah lidahnya terbiasa dan dapat menikmati lesatnya makanan, ia tidak ingat apa-apa lagi kecuali mengisi perutnya yang lapar. Di luar jendela, Wulansari tertawa tanpa suara dan iapun semakin tertarik kepada puteri remaja itu. Seorang puteri yang selain cantik jelita dan manis, juga amat menyenangkan, pemberani, lincah dan galak. Ia tidak mau masuk sebelum puteri itu selesai makan minum dan menutupi kembali baki tempat makanan.
Setelah sang puteri duduk kembali di tepi pembaringan, barulah Wulansari memasuki kamar setelah lebih dulu ia batuk-batuk agar kedatangannya didengar oleh puteri remaja itu. Ketika ia membuka pintu dan masuk, ia masih sempat melihat sang puteri untuk terakhir kalinya mengusap bibir dengan kain agaknya untuk yakin benar bahwa tidak ada tertinggal sebutir nasi di tepi mulutnya.
Wulansari pura-pura tidak tahu dan ia memandang ke arah baki terisi makanan yang nampaknya masih utuh dan ditutupi kain penutup. "Aih, ternyata kau benar-benar tidak mau menyentuh makanan dan minuman yang diberi racun ini " Sudah kuduga demikian,
Kau tidak akan berani......" kata Wulansari dengan nada suara seperti mengejek.
"Siapa yang tidak berani" Aku bukan penakut. Lihat, makanan itu telah kumakan. minuman itu telah kuminum dan aku menanti saat kematian tanpa rasa takut sedikitpun Wulansari pura pura terkejut dan ia membuka penutup baki itu, terbelalak. "Aih, kiranya kau telah makan minum " Hebat, kau memang puteri sejati, tidak takut mati, dan juga tidak ingin membunuh diri. Saya bicara sekali kepada paduka. Sesungguhnya, nakanan dan minuman itu sama sekali tidak mengandung racun, sebaliknya mengandung bumbu penyedap dan penguat badan"
Wajah yang manis itu menjadi merah sekali, sepasang mata bintang itu terbelalak dan seperti mengeluarkan sinar api. Puteri Gayatri meloncat turun dari atas pembaringan, telunjuk kirinya menuding ke arah muka Wulansari.
"Kau.....kau...... menipuku. Berani engkau mempermainkan aku, ya?" Tangan kanannya menyambar sebatang keris kecil yang selalu rerselip di ikat pinggangnya, lalu dengan gerakan cepat ia menusukkan keris kecil semaam candrik itu ke arah dada Wulansari Walita ini tidak mengelak maupun menangkis, melainkan diam-diam ia mengerahkan tenaga sakti ke arah dada yang ditusuk.
"Krekk........"
Sang Dyah Gayatri terbelalak dan menahan pekiknya, matanya melihat gagang keris yang tertinggal di tangannya sedangkan kerisnya sendiri telah patah dan jatuh ke atas lantai. Dengan tenang Wulansari membungkuk dan memungut dua potong besi patahan keris itu, meletakkannya di atas baki bersama sisa makanan.
"Kau....... kau......... begini digdaya......., siapakah sebenarnya engkau ini?" Puteri Gayatri berkata lirih, gagap.
"Nanti dulu puteri. Saya akan menyingkirkan dulu baki ini, sekarang untuk sementara cukuplah kau ketahui bahwa saya adalah seorang kawan, bukan saorang lawan. Saya kagum kepadamu dan ingin berbaik denganmu" Setelah berkata demikian, Wulansari membawa baki itu meninggalkan kamar Puteri Gayatri.
Sang puteri duduk melamun, masih merasa tegang dan heran. kalau mengingat peristiwa tadi. Kerisnya itu, biarpun kecil, merupakan keris yang terbuat dari besi mulia, atau besi aji, sebuah keris pusaka. Akan tetapi keris itu patah ketika dipakai menusuk dada wanita itu. Seorang gadis sakti. Dan gadis itu oleh Sang Prabu Jayakatwang diutus untuk menemani dan menjaganya. Bagaimana mungkin ia dapat mengharapkan perlindungan atau bantuan seorang punggawa pihak musuh" Ia harus berhati-hati.
Setelah memperingatkan para pelayan dan pengawal istana agar mereka itu jangan mengganggu atau memasuki kamar puteri tawanan itu kalau tidak ia panpgil. Semua karyawan di dalam istana itu, tidak ada yang tidak mentaati perintah kepala pengawal yang juga merupakan pengawal pribadi Sri baginda yang amat dipercaya ini. Apa lagi mereka semua tahu belaka betapa sakti mandraguna gadis cantik itu.
Ketika Wulansari memasuki kamar Puteri Gayatri, ia melihat.puteri itu duduk dan wajah yang tegang, sinar matanya mengamatinya penuh selidik dan mengandung kecurigaan besar. Iapun dapat menduga bahwa tentu puteri remaja itu mencurigainya dan masih belum percaya kepadanya, maka iapun mengambil tempat duduk di atas bangku, berhadapan dengan puteri itu.
"Nah, sekarang kita dapat bercakap-cakap dengan tenang. Kau boleh bertanya apa saja dan boleh pula menceritakan apa saja. Tentu saja kalau kau percaya kepada saya dan suka bersahabat dengan saya"
Gayatri melemparkan pandang mata penuh tuduhan. "Engkau........ ingin membujuk aku?"
"Aduh, puteri yang jelita. Apa gunanya saya membujukmu" Untuk apa" Bukankah kau telah menjadi seorang tawanan disini?"
"Tentu membujuk agar aku suka bersikap manis dan tunduk, menakluk kepada orang orang Kediri, mau makan seperti yang tela berhasil kau lakukan dengan tipuanmu tadi bukan" Jangan mengira aku akan mudah terkena bujuk rayumu lagi dan cepatlah engkau minggat dari kamar ini sebelum aku bersikap kasar dan memaki-makimu" Puteri itu bangkit dan biarpun ia masih remaja, tinggi tubuhnya, belum sepenuhnya, namun ia nampak angkuh, anggun dan berwibawa.
Wulansari memandang kagum dan tersenyum lebar, lesung pipit di pipi kirinya makin dalam dan mata bintangnya bersinar-sinar.
"Apa cengar-cengir. Jangan cengengesan. kau" Puteri Gayatri membentak. "Biarpun kau digdaya, jangan kira aku gentar dan takut padamu"
Wulansari tersenyum semakin lebar melihat sikap puteri itu Ia tahu bahwa puteri itu memaksakan diri untuk bersikap galak, pada hal pada pandang matanya jelas nampak bahwa puteri itu kagum kepadanya dan mulai suka padanya.
Ia harus dapat memenangkan kepercayaan puteri ini, pikir Wulansari dan iapun berkata dengan suara sungguh-sungguh, "Puteri, apakah kau mengenal seorang yang bernama Medang Dangdi ?"
"Tentu saja. Paman Medang Dangdi adalah seorang diantara para senopati Singosari yang gagah perkasa. Mengapa engkau memanyakan Paman Medang Dangdi?"
"Karena dia adalah ayah kandungku"
Sepasang mata itu terbelalak dan Putri Gayatri menatap wajah Wulansari penuh selidik, ketidak percayaan terbayang di wajahnya.
"Hemm, permainan apa pula yang kau lakukan ini" Aku tidak pernah melihat Paman Medang Dangdi mempunyai seorang anak perempuan"
"Sesungguhnya demikian, gusti. Mungkin tidak ada seorangpun di Singosari yang tahu bahwa dia mempunyai seorang anak perempuan" bahkan mungkin isterinya sendiripun baru beberapa tahun, sejak dia pulang dari penyerbuan Singosari ke Bali, tinggal bersamanya di Singosari"
"Hem, memang aku ada mendengar bahwa Paman Medang Dangdi telah mempunyai seorang isteri yang kabarnya juga digdaya....."
"Ia bernama Warsiyem dan ia adalah ibu kandung saya, gusti. Memang, sejak berusia sepuluh tahun, saya telah berpisah dari ayah dan ibu, dan baru setelah dewasa, saya berumpa dengan mereka" Wulansari lalu menceritakan riwayatnya secara singkat namuni meyakinkan sehingga Puteri Gayatri mulai percaya.
"Akan tetapi, kalau engkau puteri kandung seorang senopati Singosari, kenapa engkau menjadi hamba dari Kerajaan Daha yang menjadi musuh kami?" Setelah Wulansari mengakhiri ceritanya, Puteri Gayatri menegur dengan hati tidak puas.
"Harap kau ingat bahwa sebelum terjadi perang, Daha sama sekali bukanlah musuh
Singosari. Bukanlah antara kedua Sribaginda bahkan ada hubungan kekeluargaan dan menjadi besan" Hamba bekerja di sini menjadi pengawal Sribaginda dan hamba sama sekali tidak mau mencampuri urusun perang antara Singosari dan Kediri (Daha). Bahkan hamba sama sekali tidak tahu dan tidak mengerti mengapa ada perang antara kedua kerajaan ini, dan tidak tahu pula mengapa paduka menjadi tawanan di sini, pada hal seorang diantara kakak paduka menjadi mantu Sribaginda. Sungguh saya menjadi bingung, akan tetapi karena saya tidak mencampuri urusan perang, maka sayapun tidak perduli. Saya menghambakan diri di sini hanya untuk mendapatkan pekerjaan, dan juga untuk menghibur hati saya yang merasa sakit karena sikap ayah ibu saya"
Diam-diam Puteri Gayatri semakin tertarik. Tak pernah disangkanya bahwa gadis yang digdaya dan ditugaskan menjadi pelayan dan penjaganya ini adalah puteri dari Senopati Medang Dangdi di Singosari, seorang senopati yang terkenal setia.
"Hemm, bagaimana aku dapat mempercayai keteranganmu" Betapa mungkin engkau merasa sakit hati terhadap ayah dan ibumu sendiri?" Dengan cerdik ia memancing. Memang Puteri Gayatri ini lincah dan cerdik sehingga kini, dengan pandainya ia memutar balik keadaan sehingga Wulansari yang dituntut menceritakan keadaan dirinya.
Wulansari juga sadar akan hal ini, akan tetapi karena ia merasa kaguni dan suka kepada puteri lincah ini, ia tidak merasa berkeberatan untuk menceritakan riwayat hidupnya.
"Bagaimana hati ini tidak akan merasa sakit, puteri" Saya mempunyai seorang pilihan hati, seorang pemuda yang saya pilih untuk. menjadi jodoh saya. Kami saling mencinta. Akan "tetapi ayah dan ibu tidak menyetujui, terutama sekali ayah. Maka, saya lalu minggat dari rumah, dan mengabdi di istana. Daha ini"
Puteri Gayatri semakin tertarik. Cerita itu amat romantis dan menyenangkan hatinya. Ia, ikut merasa prihatin dan tanpa disadarinya, ia kini duduk lagi di tepi pembaringan, lalu dengan tangannya mempersilakan Wulansari duduk pula di atas bangku di depannya. Ia merasa kasihan kepada gadis itu.
"Ah, buruk sekali nasibmu, Wulansari. Siapakah perjaka yang menjadi pilihan hatimu itu?"
"Namanya Nurseta, Walaupun dia bukan seorang senopati Singosari, akan tetapi dia seorang pendekar sejati yang membela Singosari, walaupun sesungguhnya dia keturunan seorang pangeran Dhaha"
"Aih, sungguh menarik sekali" Gayatri menjadi semakin tertarik. Bayangkan saja, pikirnya, puteri senopati Singosari kini menjadi pengawal pribadi Raja Kediri, dan putera seorang pangeran Kediri menjadi seorang pahlawan Singosari. "Yang ingin sekali kuketahui tentang perasaanmu, bagaimana engkau rasakan sekarang setelah terjadi pengkhianatan rajamu terhadap Singosari" Kanjeng Rama telah memberi kesempatan kepada Raja Daha untuk tetap menjadi raja walaupun Kediri telah dikalahkan Singosari, bahkan telah memberi kehormatan untuk berbesan. Akan tetapi, secara pengecut sekali, Raja Kediri menyerang Singosari dan mengakibatkan hancurnya keluarga Kanjeng Rama, bahkan beliau sendiri gugur bersama banyak anggauta keluarga. Sekarang, engkau berpihak kepada siapa, Wulansari" Ingat, sekarang ayahmu itu, Paman Medang Dangdi, mungkin sudah gugur atau masih terus berjuang melawan pasukan Kediri. Dia
adalah seorang diantara para pembantu....... eh, tunanganku, yaitu Raden Wijaya"
"Saya bingung, gusti puteri. Saya tidak perjnah mencampuri urusan kerajaan, dan sekarang saya bingung sekali"
Melihat kesempatan ini, Puteri Gayatri lalu mulai menceritakan keadaan Kerajaan Singosari dan Kediri, hubungan antara kedua keraiaan itu dan perbuatan Raja Kediri yang berkhianat dan pengecut, menyerang Singosari sclagi kerajaan ini mengirim pasukan besar ke Negeri Melayu.
"Aku ingin bersikap keras dan menentang terhadap keluarga Raja Kediri, maka aku menolak untuk bicara dengan mereka, bahkan adinya aku nekat untuk berpuasa sampai mati. Akan tetapi engkau malah menggagalkan tekatku itu dan mempermainkan aku"
Sang Puteri kini duduk dan menutupi kedua matanya, menangis lirih.
"Ampunkan saya, puteri. Bukan sekali-kali saya bermaksud mempermainkan kau. Hanya saya melihat bahwa tekat itu sungguh tidak ada gunanya, Kenapa paduka putus asa " Kalau kau sampai tewas karena berpuasa, apa manfaatnya" Lebih baik kau menjaga kesehatan dan menanti saatnya. Saya selalu percaya bahwa orang yang benar selalu akan dilindungi Sang Hyang Widhi. Dan apakah kau tidak ingin bertemu dengan........ tunanganmu" Jangan putus asa, percayalah, saya akan melindungi di sini"
Demikianlah, percakapan antara kedua orang gadis itu membuat mereka menjalin persahabatan yang akrab, dan dalam kesempatan itu, Puteri Gayatri membangkitkan semangat Wulansari sehingga gadis perkasa ini mulai ragu-ragu akan kedudukannya sebagai hamba Sang Prabu Jayakatwang. Iapun mulai merasa khawatir akan keselamatan ayah ibunya ketika mendengar dari Puteri Gayatri betapa Singosari telah diduduki pasukan Kediri dan betapa pasukan itu telah menyebar maut, membunuhi rakyat yang tidak berdosa, merampok dan memperkosa. Biarpun ia tidak ikut perang, namun karena ia menghambakan diri kepada Kerajaan Daha, ia merasa seolah-olah ia ikut berada di pihak yang lalim dan jahat.
*** Malam telah agak larut dan istana Kerajaan Daha sudah sunyi. Para penghuninya sudah masuk ke dalam kamar masing-masing. Malam itu, para pangeran dan bangsawan tinggi lainnya dari Kerajaan Daha masih berpesta pora merayakan kemenangan Kediri atau Daha. Sang Prabu Jayakatwang sendiri sudah beristirahat. Akan tetapi para pangeran masih melanjutkan pesta itu dan seperti biasa, diadakan pertunjukan tari-tarian yang dilakukan oleha penari-penari muda yang cantik dan genit dan yang menjadi pasangan menari para pangeran yang sudah mulai mabuk.
Seorang diantara para pangeran itu, pangeran yang lahir dari selir, diam-diam meninggalkan tempat pesta. Sebagai seorang pangeran mudah saja baginya untuk memasuki istana melalui pintu samping. Para penjaga dan pengawal tidak ada yang berani menahannya dan demikianlah, Pangeran Sindumoyo, seorang pangeran berusia tigapuluh tahunan yang terkenal sebagai seorang pria yang gila wanita, menyelinap ke dalam taman bunga di bagian belakang istana. Pangeran ini terkenal sebagai seorang penaluk wanita dan dalam hal kesenangan ini, dia terkenal rakus dan tidak pandang bulu. Tak perduli wanita itu seorang peIayan rendah, atau isteri orang atau seorang dusun yang miskin, kalau mata keranjangnya sudah kumat, akan diganyangnya tanpa pandang bulu lagi. Dia mempergunakan harianya, atau kedudukannya, juga ketampanannya atau kekuasaannya, untuk menundukkan setiap orang wanita yang diinginkannya. Suami manakah berani banyak ribut kalau melihat isterinya dihina oleh seorang pangeran yang besar kekuasaannya. Ayah manakah berani berkutik kalau melihat puterinya dicemarkan, kemudian ditelantarkan begitu saja oleh Pangeran Sindumoyo "
Akan tetapi sekali ini Pangeran Sindumoyo tidak tertarik kepada para penari cantik itu. Tidak, dia tidak menginginkan mereka. Dia membutuhkan wanita yang lebih terhormat. Dia membutuhkan seorang perawan bangsawan tinggi, bukan seorang perempuan umum yang pernah melayani pria mana saja yang mampu menyewa tubuhnya. Dan dia sudah mendengar bahwa di istana terdapat beberapa orang puteri istana Singosari yang menjadi tawanan. Akan tetapi diantara semua itu, yang amat menarik perhatiannya adalah Sang Puteri Gayatri. Ketika puteri itu dibawa ke istana, dia sempat melihatnya dan dia terpesona, lalu sejak saat itu dia gandrung dan menundukan puteri yang dalam pandang matanya teramat cantik jelita dan manis itu. Setiap malam dia bermimpi
berjumpa dengan Puteri Gayatri, dan kalau tidak tidur, bayangan dan wajah puteri itu tak pernah meninggalkan ingatannya, Namun, dia tetap tidak berani karena maklum bahwa puteri itu merupakan seorang tawaran perang yang agung dan dihormati. Akan tetapi malam ini, setelah pengaruh minuman keras membuat keberanian dan kenekatannya menjadi berlipat ganda, dia memasuki taman istana dengan niat hendak mengunjungi Puteri Gayatri untuk melampiaskan rindu dendam dan naluri birahinya. apapun yang terjadi, malam ini dia harus mampu mendekap puteri ayu itu. Dia tahu dimana kamar puteri itu, hal ini sudah diselidikinya dari para dayang yang menjadi talukannya pula.
Malam telah larut. Para dayang dan pelayanpun sudah tidur. Hanya ada penjaga di luar keputren, namun melihat bahwa yang masuk adalah Pangeran Sindumoyo, para penjaga hanya memberi hormat dan tersenyum. Mereka sudah sering melihat pangeran ini memasuki keputren untuk berkencan dengan para dayang. Dan merekapun sudah seringkali menerima hadiah dan suapan pangeran itu yang royal sekali membagi hadiah kepada mereka yang sudah menutup mata dan membiarkan sang pangeran memasuki daerah keputren yang terlarang itu tanpa meiaporkan kepada atasan mereka.
Pangeran Sindumoyo lalu berindap-indap menuju ke bagian keputren itu, langsung melalui lorong yang meuuju ke bagian belakang karena dia tahu bahwa kamar puteri tawanan itu berada di kamar besar paling ujung dekar tamansari.
Malam itu, Wulansari tidur pulas dalam kamarnya. Karena mendapat tugas menjaga dan, melayani puteri tawanan, maka ia mendapatkan sebuah kamar di dekat kamar besar puteri itu. Setelah kini mereka menjadi sahabat yang akrab, seringkali Puteri Gayatri minta kepada Wulansari untuk tidur di kamarnya saja. Akan tetapi malam ini Wulansari minta diri dan tidur di kamarnya sendiri. Hatinya gundah dan makin ia pikirkan, makin gelisah hatinya. Semenjak ia bergaul dengan Puteri Gayatri dan mendengai urusan Kerajaan Singosari dan Daha, mulailah ia merasa ragu dan bingung ayahnya sendiri menjadi senopati Singosari, juga Narseta menjadi seorang pahlawan Singosari. Selain itu, juga ia tahu bahwa Ki Jembros dan Sang Panembahan Sidik Danasura, dua orang yang dahulu menyelamatkannya dari lautan, mereka adalah orang-orang yang setia kepada Singosari. Ibunya sendiri sekarangpun berada di Singosari dan tentu saja juga membantu kerajaan itu.
Akan tetapi, ia sendiri membantu Kerajaan Kediri. Padahal kakek yang amat jahat itu, kakek yang mengaku sebagai kakeknya, bahkan telah menjadi gurunya, Ki Cucut Kalasekti, membantu Kerajaan Kediri bahkan diangkat menjadi seorang Adipati. Kalau yang membantu Raja seorang seperti Cucut Kalasekti, maka sungguh meragukan kalau Kerajaan Daha berada di pihak yang benar. Mulailah ia ragu-ragu. Biarpun hatinya yang keras juga mempertahankan pendapat itu, namun kalau ia terkenang kepada Nurseta. satu-sntunya pria di dunia ini yang dicintanya, hatinya seperti tertusuk, perih dan sedih dan ia menjadi semakin bingung. Kin, Singosari sudah runtuh. Akan tetapi menurut Puteri Gayatri, masih ada keturunan Singosari yang menjadi tumpuan harapan seluruh rekyat, yaitu Raden Wiiaya. Dan semua senopati, termasuk ayahnya, bahkan juga Nurseta dan semua ksatria Singosari, berdiri di belakang Raden Wijaya yang dicalonkan untuk membangun kembali Singosari yang telah jatuh. Akan tetapi ia sendiri, masih berada di istana Kediri. Wulansari bimbang sekali, dan akhirnya karena lelah, ia tidur pulas di dalam kamarnya.
Jeritan itu hanya dua kali lalu terdiam.
Bagi orang lain tentu tidak menarik perhatian, apa lagi kalau orang itu tadinya sedang tidur pulas, tentu dianggap mimpi atau suara lain, namun, tidak demikian bagi Wulansari. Gadis perkasa ini seketika sadar. Pendengarannya yang terlatih amat tajam dan perasaannya amat peka sehingga begitu mendengar jeritan dua kali itu, la sudah menduga bahwa tentu terjadi sesuatu yang tidak wajar.
Rambutnya agak kusut, juga pakaiannya karena tadi ia tertidur nyenyak, akan tetapi ia tidak memperdulikan pakaian dan rambutnya. Tubuhnya sudah berkelebat cepat dan ia telah tiba di luar pintu kamar Putri Gayatri. Walaupun pintu kamar itu tertutup, namun pendengarannya dapat menangkap gerakan dan suara yang mencurigakan di dalam kamar itu. Sekali dorong saja, pintu kamar itu terbuka dan matanya terbelalak, mengeluarkan sinar kemarahan ketika ia melihat apa yang terjadi di dalam kamar itu. Di atas pembaringan sang puteri, Puteri Gayatri sedang bergumul dengan pria yang berusaha untuk menciumi dan merenggut lepas pakaian sang puteri.
Puteri Gayatri mempertahankan diri, meronta dan mencakar memukul, akan tetapi tidak mampu berteriak karena mulutnya dibungkam oleh tangan kiri pria itu.
"Keparat" Wulansari mencaci dalam hatinya dan sekali melompat ia telah berada di dekat pembaringan. Tangan kanannya diangkat, siap untuk menjatuhkan pukulan maut, akan tetapi segera ia mengenal siapa pria itu dain otomatis pukulannya berubah menjadi cengkeraman ke arah lengan pria itu dan sekali renggut, tubuh pria itu terlepas dari Puteri Gayatri dan terlempar sampai ke sudut kamar.
Puteri Gayatri terengah-engah, membetulkan bajunya yang hampir terlepas. rambut yang panjang itu terurai dan ia nampak cantik ayu bukan main, akan tetapi sepasang mata yang lebar itu terbelalak, masih membayangkan kengerian akan malapetaka yang hampir menimpa dirinya. Akan tetapi, melihat kehadiran Wulansari dan melihat betapa laki-laki itu telah terlempar bergulingan sampai ke sudut kamar, hatinya terasa lega dan kemarahannya bangkit.
Dengan sikap tenang, mata bersinar marah akan tetapi tetap menghormat, Wulansari berkata dengan suara dingin, memandang kepada pangeran yang mulai bangkit itu.
"Pangeraia Sindumoyo, tidak sepatutnya paduka mengganggu Gusti Putri Gayatri"
Mendengar bahwa pria yang hampir memperkosanya itu adalah seorang pangeran, Puteri Gayatri memandang dengan alis berkerut dan mata bernyala. "Henm, jadi kau seorang pangeran" Pangeran macam apa perbuatannya melebihi seorang manusia biadab" kata Puteri Gayatri.
Tentu saja Pangeran Sindumoyo tadi terkejut bukan main karena ada orang berani mencegahnva bahkan melemparkannya seperti itu. Akan tetapi ketika dia mehhat bahwa yang melakukan hal itu adalah seorang waniia cantik yang gagah, diapun mengenal Wulansari pengawal pribadi ayahnya dan pangeran ini sudah dapat memulihkan keangkuhan dan ketenangannya. Dia mengebutkan ujing bajunya yang terkena debu, lalu tersenyum.
"Ah, kiranya engkau Wulansari, pengawa pribadi kanjeng rama " Wulansari, engkau mengenal siapa aku. Mengapa engkau berani turun tangan terhadap aku, dan melindungi wanita ini" biarpun ia seorang puteri, akan tetapi ia puteri Singosari, puteri tawanan dan musuh kita, keluarlah kau, dan biarkan aku berdua dengan sang puteri ini" Wulansari menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin, gusti pangeran. Saya menerima tugas dari Sribaginda untuk menemani dan menjaga keselamatan Gusti Puteri Gavatri. Siapapun juga tidak boleh mengganggunya dan saya bertanggung jawab untuk itu. Sebaiknya paduka meninggalkan kamar ini sebelum diketahui orang lain dan terdengar oleh Sang Prabu"
Wajah pangeran itu berubah merah. "Haha, agaknya Kanjeng Rama menginginkan sendiri puteri ini" Sungguh tak tahu diri. Akupun mendengar bahwa Kanjeng Rama merayu engkau akan tetapi engkau tetap tidak mau melayaninya, bukankah begitu, Wulansari" Engkau benar. Dia sudah tua, dan biarlah aku saja yang membahagiakanmu. Engkau keluarlah dulu, biarkan aku bersama Puteri Gayatri, baru nanti datang giliranmu. Ataukah engkau minta lebih dulu?"Bangkitlah semangat para senopati melihat munculnya dua orang gagah perkasa ini dan merekapun menghajar anak buah Ki Cucut Kalasekti sehingga dalam waktu singkat saja, duapuluh orang anak buah Ki Cucut Kalasekti sudah roboh semua.
Sementara itu, perkelahian antara Ki Cucut Kalasekti dan Nurseta berlangsung amat hebatnya. Nurseta yang maklum betapa saktinya kakek yang menjadi lawannya, tidak mau membuang banyak waktu dengan ilmu-ilmu yang lain. Dia segera mengerahkan aji pukulan Jagad Pralaya yang dipelajarinya dari mendiang Panembahan Sidik Danasura. Memang kakek sakti itu sudah memesan kepadanya agar dia tidak sembarangan mengeluarkan aji pukulan ampuh ini kalau tidak amat terpaksa. Namun Nurseta maklum bahwa menghadapi Ki Cucut Kalasekti, kiranya hanya aji kesaktian ini sajalah yang akan mampu menahannya.
Kenyataannya memang demikian. Begitu menghadapi aji pukulan ini, Ki Cucut Kalasekti beberapa kali terdorong mundur sampai terhuyung. Tidak kuat dia menahan aji pukulan dahsyat yang mengandung hawa panas itu. Namun, dia memang amat pandai. Karena tidak; mungkin melawan aji pukulan pemuda itu dengan mengadu tenaga, diapun mempergunakan kelincahannya, selalu menghindarkan diri dari sambaran pukulan itu dan membalas dari samping atau dari belakang, mengandalkan kelincahan gerakannya. Maka, terpaksa Nurseta mengeluarkan Aji Brajadenta yang dipelajarinya dari mendiang Ki Baka, yang memiliki gerakan lebih cepat, namun aji pukulan ini, biarpun cukup hebat, tldaklah sedahsyat Jagad Pralaya (Dunia Kiamat).
Melihat betapa duapuluh orang anak buahnya sudah roboh, hati Ki Cucut Kalasekti menjadi semakin gentar. Apa lagi kini Ki Jembros dan para senopati Singosari, yang rata-rata merupakan ksatria-ksatria yang gagah perkasa, sudah maju dan siap mengeroyoknya. Dia dapat celaka di tangan mereka, pikirnya, maka tiba-tiba dia mengeluarkan suara mendesis seperti seekor ular dan dari mulutnya menyambar uap hitam. Semua senopati terkejut, tidak berani maju dan kesempatan itu dipergunakan oleh Ki Cucut Kalasekti untuk meloncat jaurr dan melarikan diri.
Ki Jembros dan Nurseta segera menghaturkan sembah kepada Raden Wijaya yang merasa girang sekali bahwa keselamatan dia serombongannya telah diselamatkan oleh dua orang gagah perkasa ini. Dari mereka dia memperoleh keterangan bahwa mereka itu muncul secara kebetulan saja.
"Kakangmas, ki sanak inilah yang telah menyelamatkan saya dari cengkeraman penjahat yang hendak menangkap saya ketika lari mengungsi, seperti pernah saya ceritakan padamu" kata Puteri Tribuwana.
Raden Wijaya berseru girang. "Ah, kiranya kau pula yang telah menyelamatkan sang puteri, Nurseta. Akan tetapi, benarkah ketika itu engkau memanggul seorang kakek yang terluka?"
"Benar sekali, Raden. Yang hamba panggul itu adalah mendiang Ki Baka, ayah angkat hamba yang terluka parah oleh pukulan Ki Cucut Kalasekti pula, yang kemudian menyebabkan kematiannya.
"Jagad Dewa Bathara........" tiba-tiba Ki Jembros berseru lantang. "Jadi Kakang Baka telah tewas........?"
"Benar sekali, paman" kata Nurseta.
Raden Wijaya lalu mengajak semua pengikutnya untuk mencari tempat yang bersih dan sunyi untuk berunding, agar tidak sampai percakapan mereka terdengar oleh para anak buah Ki Cucut Kalasekti yang diantaranya ada yang belum tewas dan hanya terluka.
Setelah memasuki sebuah hutan kecil, merekapun bercakap-cakap dengan leluasa. Tentu saja mereka membicarakan keadaan Singosari yang sudah terjatuh ke tangan orang-orang Kediri. Nurseta juga menceritakan keadaan Singosari seperti yang dilihatnya. Demikian pula Ki Jembros. Mendengar akan keadaan Singosari yang sudah sepenuhnya dikuasai musuh, Raden Wijaya merasa berduka sekali.
"Sungguh tidak kusangka sama sekali bahwa Paman Prabu Jayakatwang dari Kediri sampai hati menyerbu Singosari, pada hal Kerajaan Singosari telah memperlakukannya dengan baik-baik. Juga amat mengherankan bagaimana dia sampai berhasil" Pangeran Wijaya termenung sedih.
"Inilah akibat dari kelalaian yang telah dilakukan oleh Sang Prabu, Raden. Pasukan yang kuat dikirim ke Melayu, dan kekuatan pasukan anyak berkurang karena telah dipergunakan untuk menggempur Bali dan daerah lain. Dalam keadaan kosong dan kekuatan pasukan kecil, maka Raja Kediri lalu menyerbu dan pasukan mereka jauh lebih besar dan lebih kuat" kata Lembu Sora dengan penuh penyesalan.
Mendengar ayah mertuanya dipersalahkan, hati Raden Wijaya merasa tidak enak kepada tunangannya, yaitu Puteri Tribuwana, maka diapun cepat berkata, "Maksud dari Ramanda Prabu memang baik, meluaskan wilayah dan menjalin hubungan baik dengan negara lain di seberang, Akan tetapi sungguh mengherankan bagaimana Kediri dapat menghimpun kekuatan demikian cepatnya, dan kuat pula. Sekarang, yang menjadi persoalan adalah bagaimana kita akan mampu menjatuhkan kekuatan Kediri yang telah menguasai Singosari"
"Bagaimana mungkin hal itu dapat dilakukan tanpa memiliki pasukan yang kuat, Raden?" kata Lembu Sora. "Nanti setelah paduka menapatkan tempat yang aman, yaitu di Madura, barulah perlahan-lahan paduka menghimpun pula kekuatan pasukan untuk menggempur dan melakukan pembalasan, merebut kembali Singosari dan menjatuhkan Kediri"
Raden Wijaya menganggukangguk dan semua senopati menyetujui pendapat Lembu Sora itu. Melihat betapa Nurseta seolah-olah hendak bicara akan tetapi selalu ditahannya, Raden Wijaya lalu berkata.
"Nurseta, walaupun kau bukan senopati Singosari, namun sudah berkali-kali kau membuat jasa besar. Dahulu membantu penumpasan Mahesa Rangkah yang memberontak, sekarang juga engkau telah menyelamatkan kami. Bagaimana menurut pendapa melihat keadaan sekarang ini ?"
Memang tadinya Nurseta hendak mengemukakan sesuatu akan tetapi ragu-ragu karena dia tidak berani lancang bicara. Dia bukan seorang ponggawa Singosari dan bukan bawahan Raden Wijaya. Kini, mendengar uluran tangan Raden Wijaya, dia menjadi berani dan menyembah.
"Mohon maaf, Raden. Agaknya hamba dapat menduga apa yang menyebabkan Raja Kediri sampai berhasil menundukkan Singosari"
Para senopati dan Raden Wijaya memandang dengan penuh perhatian. "Benarkah, Nurseta " Lalu apa yang menyebabkannya ?"
"Karena Kediri memiliki tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala"
Semua orang terkejut, dan Raden Wijaya berseru. "Tejanirmala" Kami sudah mendengar tentang pusaka itu " Apakah itu merupakan pusaka yang mengandung wahyu kerajaan?"
"Mungkin saja, Raden. Pusaka itu peninggalan Sang Prabu Sanjaya di Kerajaan Mataram, lebih dari limaratus tahun yang lalu. Tadinya, pusaka Ki Ageng Tejanirmala menjadi milik mendiang Ki Baka, ayah angkat hamba"
"Eh " Lalu bagaimana sampai dapat terjatuh ke tangan Raja Kediri?" Raden Wijaya bertanya dengan penuh perhatian karena hatinya merasa tertarik sekali.
Nurseta melirik ke arah Ki Medang Dangdi, ayah Wulansari. Ki Medang Dangdi balas memandang. Senopati ini sejak tadi hanya mendengarkan saja, dan diam-diam dia amat kagum kepada pemuda yang pernah ditolaknya menjadi suami puterinya itu. Diapun merasa ikut berduka mendengar betapa Ki Baka, kakek perkasa yang baru saja bertamu di rumahnya, telah gugur dalam membela Singosari yang diserbu musuh.
"Pusaka itu terampas oleh Wiku Bayunirada dari tangan ayah angkat hamba, kemudian diperebutkan oleh banyak orang. Akhirnya pusaka itu dapat terampas dari tangan
Wiku Bayunirada dan terjatuh ke tangan...... diajeng Wulansari......" Kembali Nurseta me
lirik ke arah Ki Medang Dangdi karena merasa tidak enak harus menyebut nama gadis itu.
Melihat sikap pemuda ini, Ki Medang' Dangdi menganggukangguk perlahan seolaholeh memberi isarat kepada Nurseta agar jangan ragu-ragu menceritakan tentang puterinya itu.
"Wulansari" Siapakah ia?" tanya Raden Wijaya, makin tertarik.
Melihat keraguan Nurseta, Ki Medang Dangdi lalu berkata, "Raden, Wulansari adalah anak perempuan hamba yang sejak kecil berpisah dari hamba dan kemudian menjadi murid Ki Cucut Kalasekti. Anakmas Nurseta, lanjutkanlah ceritamu dan jangan ragu-ragu"
Raden Wijaya menjadi semakin tertarik, "Puterimu, Paman Medang Dangdi" Wah, sungguh menarik. Nurseta, lanjutkan ceritamu"
"Pusaka Ki Ageng Tejanirmala itu terjatuh ke tangan diajeng Wulansari dan hamba melakukan pengejaran ke daerah Kediri. Ternyata. pusaka itu oleh diajeng Wulansari telah diserahkan kepada gurunya, yaitu Ki Cucut Kalasekti"
"Hemm, sungguh aneh. Bagaimana puterimu" sampai dapat menjadi murid seorang sakti
yang jahat seperti Ki Cucut Kalasekti itu, paman?" kata Raden Wijaya kepada Ki Medang Dangdi. Senopati ini segera menyembah, hatinya terasa perih karena dia teringat akan semua peristiwa yang menimpa isterinya dan puterinya. Kinipun, dia teringat kepada isterinya berpisah pula darinya ketika terjadi penyerbuan pasukan Kediri di Singosari.
Dia mengikuti Raden Wijaya dan entah bagaimana dengan isterinya yang ketika itu dia ditinggalkan di rumah.
"Raden, anak perempuan hamba itu berpisah dari hamba sejak kecil dan kemudian ia diambil murid olah Ki Cucut Kalasekti" Hanya itulah yang dia katakan dan Raden Wijaya yang bijaksana itu dapat mengerti bahwa tentu ada suatu rahasia yang agaknya hendak disimpan oleh Ki Medang Dangdi, maka diapun tidak mendesak lebih jauh. Raden Wijaya adalah seorang yang bijaksana dan menghormati rahasia pribadi semua orang. Dia mengangguk, lalu bertanya kepada Nurseta.
"Lalu bagaimana lanjutan ceritamu, Nurseta"
"Pusaka Ki Tejanirmala yang terjatuh ke tangan Ki Cucut Kalasakti itu lalu diserahkan kepada Sang Prabu Jayakatwang dari Kediri dengan imbalan kedudukan adipati di Bendowinangun bagi Ki Cucut Kalasekti"
"Ah, pantas saja dia kini membela Kediri" kata Raden Wijaya. "Dan pantas saja keadaan Kediri demikian kuatnya. Ki Tejanirmala telah berada di sana" Ucapannya ini mengandung penyesalan besar sehingga Ki Medang Dangdi menundukkan mukanya, merasa terpukul karena bagaimanapun juga, puterinyalah yang menjadi gara-gara sehingga pusaka itu terjatuh ke tangan Raja Kediri.
"Habis, bagaimana baiknya sekarang" Pusaka itu telah berada di Kediri, apakah tidak ada harapan lagi bagi kita untuk merebut kembali Singosari?" Pertanyaan ini diajukan kepada semua yang hadir. Para senopati juga terdiam, masih terkesan oleh cerita Nurseta tadi. Tak mereka sangka bahwa pusaka yang dikabarkan amat ampuh itu kini telah menjadi pusaka Kerajaan Kediri. Mungkin pusaka itulah yang membuat Kediri menjadi jaya.
Melihat kekecewaan dan kedukaan membayang di wajah Raden Wijaya, Nurseta segera menyembah. "Raden, ketika ayah angkat hamba hendak meninggal dunia, beliau berpesan kepada hamba bahwa hamba harus mencari dan merampas kembali pusaka Ki Ageng Tejanirmala itu, kemudian kalau sudah hamba dapatkan, hamba harus menyerahkannya kepada paduka, Raden"
Mendengar ini, teibelalak mata Raden Wijaya dan dia memandang kepada Nurseta dengan wajah berseri. "Jagad Dewa Bhathara............. Begitu mulia hati mendiang Paman Baka, demikian setia. Nurseta, sebelumnya kami mengucap banyak terima kasih atas kemurahan hati mendiang ayah angkatmu, dan terima kasih kepadamu yang hendak merampas kembali Ki Ageng Tejanirmala. Apakah yang kau perlukan untuk tugas itu" Apakah engkau membutuhkan teman" Boleh kaupilih diantara para senopatiku"
Para senopati itu dengan penuh gairah siap untuk membantu. Akan tetapi Nurseta menggeleng kepala. "Raden, satu-satunya jalan untuk dapat merampas kembali pusaka itu hanyalah bahwa hamba harus menyusup ke dalam pura Kerajaan Kediri. Hal ini dapat hamba lakukan karena hamba tidak dikenal. Sebaliknya, tidak mungkin kalau seorang diantara senopati Singosari yang menyusup ke sana, tentu akan dikenal dan ditangkap. Biarlah hamba akan lakukan hal itu seorang diri saja, sebagai tugas yang diberikan oleh mendiang ayah angkat hamba, dan juga sebagai tugas dari paduka"
"Baiklah, Nurseta. Mulai saat ini juga engkau kutugaskan untuk mencari dan merampas pusaka itu, dan kelak kalau berhasil, engkau boleh minta apa saja dariku Sebagai imbalan, tentu akan kupenuhi permintaanmu itu"
Para senopati saling pandang dan mengerutkan alisnya. Janji yang diberikan Raden Wijaya itu terlalu muluk dan kalau orang yang menerima janji itu seorang yang rakus dan tamak, tentu akan dapat menimbulkan hal-hal yang menggegerkan kelak. Bayangkan saja, akan dipenuhi permintaan apa saja dari pangeran itu.
Nurseta menyembah, lalu minta diri dan meninggalkan tempat itu untuk mulai melaksanakan tugasnya yang sulit dan berat. Namun, Nurseta akan melaksanakan tugas ini dengan sepenuh batinya. Bagi dia, bukan hanya mencari dan merampas kembali Ki Ageng Tejanirmala saja inti dari perjalanan dan tugasnya itu, melainkan juga berarti mencari dan berusaha menguasai kembali hati Wulansari.
Rombongan Raden Wijaya juga melanjutkan perjalanan, diiringkan oleh para Senopatinya, sedangkan Ki Jembros sudah pula memisahkan diri karena ksatria ini tidak pernah mau terlibat langsung sebagai seorang ponggawa. Dia ingin bebas, walaupun dia selalu siap membela Raden Wijaya.
Kepala dusun Pandakan bernama Ki Macan Kuping. Ketika rombongan Raden Wijaya tiba di Pandakan, mereka disambut dengan penuh keramahan dan kehormatan oleh Macan Kuping dan seluruh penduduk dusun Pandakan. Mereka dipersilakan duduk di ruangan rumah kepala dusun dan dijamu hidangan nasi putih dengan lauk pauknya, dan kelapa muda. Kembali Raden Wijaya merasa terharu dan berterima kasih atas sambutan yang amat baik dari penduduk dusun Pandakan ini.
Ketika rombongan itu melanjutkan perjalanan menuju ke Madura. Gajah Pagon terpaksa ditinggalkan di dusun Pandakan itu. Luka di kakinya terlalu parah dan dia perlu beristirahat dan berobat. Karena Ki Macan Kuping maklum bahwa kalau Gajah Pagon yang merupakan seorang senopati Singosari itu sampai kedapatan pasukan Kediri, tentu orang-orang di seluruh Pandakan akan celaka. Maka dia lalu menyembunyikan Gajah Pagon di tengah-tengah kebun yang penuh ilalang, dan diamdiam dia dirawat oleh penduduk Pandakan.
Perjalanan Raden Wijaya dan Puteri Tribuwana sungguh merupakan perjalanan yang amat sukar. Terutama sekali bagi sang putri, sungguh perjalanan itu amat sengsara dan melelahkan. Untung bagi mereka bahwa para pengikut Raden Wijaya adalah orang-orang gagah yang amat setia kepada junjungan mereka. Mereka semua berusaha sedapat mungkin untuk membuat perjalanan itu tidak terlalu melelahkan bagi sang puteri.
Akhirnya, tibalah rombongan ini di daerah Sumenep setelah melakukan penyeberangan yang bukan tidak mengandung bahaya di tengah lautan atau selat yang lebar itu. Setelah tiba di daerah Sumenep, di pesisir mereka berhenti dan Raden Wijaya lalu mengutus Lembu Sora untuk melakukan penyelidikan ke Sumenep, melihat apakah Arya Wiraraja berada di kabupaten. Tentu saja Riden Wijaya dan para senopatinya sama sekali tidak pernah mimpi bahwa sesungguhnya penyerbuan pasukan dari Kediri yang menduduki Singosari itu adalah akibat dari bujukan Arya Wiraraja.
Lembu Sora segera melakukan penyelidikan dan dia melihat bahwa Sang Bupati itu sedang dihadap para ponggawanya di pendapa kabupaten. Lembu Sora segera melaporkan hal ini kepada Raden Wijaya. Rombongan itu lalu cepat memasuki kota Sumenep dan menuju ke Kabupaten.
Ketika itu, Arya Wiraraja, juga disebut Banyak Wide, Bupati Sumenep, Madura, sedang dihadap para ponggawa dan pembantunya. Mereka tentu saja membicarakan peristiwa yang menggegerkan Singosari, yaitu penyerbuan pasukan Kediri yang menduduki Singosari dan betapa Sang Prabu Kertanagara telah gugur. Di depan para ponggawanya yang sama sekali tidak tahu akan peranan yang dipegang bupati itu dalam peristiwa pengkhianatan Raja Kediri, Arya Wiraraja memperlihatkan sikap duka mendengar tewasnya Sang Prabu Kertanagara dan khawatir akan nasib keluarga raja itu. Akan tetapi, para ponggawanya juga tidak mengemukakan pendapat mereka, karena mereka tahu bahwa atasan mereka itu tidak ingin melibatkan diri dengan perang itu.
Selagi mereka berbincang-bincang, tiba-tiba mereka melihat rombongan Raden Wijaya berjalan di alun-alun depan pendapa, menghampiri pendapa itu. Melihat ini, tentu saja mereka semua terkejut. Arya Wiraraja lalu membubarkan semua ponggawanya yang juga menjadi bingung melihat munculnya pangeran dari Singosari yang tidak mereka sangka-sangka itu, sedangkan Bupati Arya Wiraraja juga tergesa-gesa meninggalkan balairung, pulang ke dalam rumah gedungnya tanpa menemui atau menyambut kedatangan rombongan itu.
Melihat ini, dan menemukan pendapa itu telah kosong, dan mendengar keterangan perajurit penjaga bahwa Sang Bupati telah pulang sedangkan para ponggawa juga pergi setelah persidangan Itu dibubarkan tiba-tiba, tentu saja hati Raden Wijaya merasa tidak enak sekali.
"Nah, terjadilah seperti apa yang kukhawatirkan" katanya menarik napas panjang.
"Jagad Dewa Bathara........ betapa malunya hati ini menerima kenyataan yang amat pahit ini. Jauh lebih baik kalau kita tinggal di Singosari dan gugur sebagai kesuma bangsa dari pada menjadi pelarian yang terhina dinegeri orang ......." Para senopati juga merasa terpukul dan mereka merasa kasihan mendengar keluh kesah junjungan mereka.
Selagi Raden Wijaya dan para pengikutnya kebingungan dan tidak tahu apa yang harus mereka lakukan selanjutnya, tiba-tiba saja mereka melihat Arya Wiraraja datang tergopoh-gopoh diiringkan seluruh keluarganya, dengan pakaian kebesaran dan membawa hidangan persembahan sirih dan juga kereta dan kuda, menyambut Raden Wijaya dan Puteri Tribuwana. Arya Wiraraja memberi hormat, demikian pula keluarganya, dan mengadakan penyambutan yang amat ramah dan penuh hormat, seolah-olah Raden Wijaya masih seorang pangeran dan junjungan dari Singosari, bukan seorang pelarian yang kalah perang
Tentu saja peristiwa ini melegakan hati Raden Wijaya. Kiranya tadi Arya Wiraraja membubarkan persidangan dan tergesa-gesa meninggalkan pendopo bukan untuk menghindarinya, melainkan untuk berkemas-kemas mengadakan penyambutan yang layak untuk menghormatinya.
Memang demikianlah apa yang dialami kemudian. Keluarga bupati itu menyambut penuh kehormatan, mempersilakan Raden Wijaya menunggang kuda dan puteri Tribuwana menunggang kereta, dan keluarga itu sendiri berjalan kaki mengiringkan di belakang. Setibanya di dalam gedung tamu-tamu agung itu mendapat pesalin pakaian bersih, bermandikan air bunga, dan memperoleh kamar-kamar yang terbesar, dijamu makan minum yang mewah.
Raden Wijaya bersukur bukan main. Setelah membicarakan peristiwa kejatuhan Singosari di tangan Raja Kediri, Bupati Wiraraja lalu berkata dengan sikap hormat.
"Dengan hati yang penuh duka dan penyesalan, namun tidak berdaya, kami telah mendengar tentang peristiwa itu, Raden. Lalu, apakah rencana paduka selanjutnya ?"
"Kanjeng paman, kalau sekiranya kanjeng paman mengijinkan, untuk sementara ini saya ingin tinggal dulu di sini, menghimpun kekuatan untuk kelak melakukan pembalasan atas pengkhianatan Paman Jayakatwang" jawab Raden Wijaya sambil mengepal tinju.
Arya Wiraraja menarik napas panjang. "Memang cita-cita itu baik sekali, Sang Pangeran. Tentu saja paduka dapat tinggal di sini dan anggaplah ini sebagai rumah paduka sendiri. Akan tetapi tentang pembalasan itu, sebaiknya paduka berhati-hati dan tidak tergesa-gesa, semua harus diatur bagaimana baiknya karena pada waktu ini, kekuatan pasukan Daha amatlah besarnya"
Demikianlah, Raden Wijaya dan para pengikutnya tinggal di Sumenep dengan aman walaupun hati mereka selalu ingin mencari kesempatan untuk membalas atas kekalahan Singosari yang amat menyakitkan hati itu.
*** Wulansari menerima sebuah tugas baru, yaitu menemani dan menjaga keselamatan seorang tawanan, yaitu Sang Puteri Gayatri atau Pusparasmi, Puteri yang ditawan ini adalah adik dari Puteri Tribuwana, puteri dari mendiang Sang Prabu Kertanagara yang sudah ditunangkan dengan Raden Wijaya. Ada pun Sang Puteri Tribuwana yang tadinya berlari dari istana bersama Puteri Gayatri kemudian mereka terpisah, telah ditemukan oleh Raden Wijaya. Puteri Gayatri ditangkap, ditawan dibawa ke istana Daha atau Kediri. Biarpun ia seorang tawanan, namun ia diperlakukan dengan hormat karena ia adalah puteri Raja Singosari. Bahkan seorang diantara saudaranya, seorang puteri yang lahir dari selir, telah menjadi mantu Raja Jayakatwang dari Daha atau Kediri itu.
Berbeda dengan Puteri Tribuwana yang berwatak halus dan Iembut, Puteri Gayatri atau juga disebut Pusparasmi ini, yang baru berusia tujuhbelas tahun, adalah seorang gadis remaja yang kenes, galak dan pemberani. Kecantikan dan daya tariknya juga berbeda dari kakaknya. Kalau Puteri Tribuwana seorang gadis yang berkulit kuning langsat, wajahnya cantik dan bulat seperti bulan purnama, wataknya halus lembut dan tenang, sebaliknya Puteri Gayatri ini berkulit hitam manis, wajahnya cantik manis dengan dagu meruncing. Wataknya agak keras, pemberani dan pandai bicara, manja, jenaka dan periang sehingga nampak kegenit-genitan. Namun, seperti juga para puteri istana lainnya, masih jelas nampak darah kebangsawanannya, nampak pada bulu mata yang lentik itu, sinar mata yang tajam, lekukan dagu dan bibir.
Biarpun hatinya merasa amat berduka mendengar bahwa ayahnya telah tewas, keluarganya hancur berantakan, banyak diantara puteri yang tewas atau menjadi korban kebiadaban para perajurit Daha, dan ia sendiri kehilangan kakaknya tercinta, yaitu Puteri Tribuwana, namun Puteri Gayatri tidak mau menangis lagi setelah tiba di istana Daha la memperlihatkan sikap angkuh, bukan seperti seorang puteri tawanan dan ia bahkan tidak pernah mau menjawab kalau ditanya oleh Raja Daha dan keluarganya. Bahkan puteri Singosari yang menjadi mantu Sang Prabu Jayakatwang, yaitu kakaknya sendiri berlainan ibu, tidak mampu menundukkan hati Puteri Gayatri, yang juga menganggap kakaknya ini sebagai keluarga pengkhianat dan musuh besarnya.
Keluarga Sang Prabu Jayakatwang kewalahan menghadapi sikap puteri yang galak ini, dan akhirnya Wulansari yang menerima tugas untuk menemaninya dan juga menjaga keselamatannya, bukan hanya dari ancaman luar, melainkan menjaga agar puteri yang berani itu tidak sampai nekat membunuh diri. Memang benar bahwa puteri itu tidak kelihatan berduka sehingga tidak ada alasan untuk dikhawatirkan membunuh diri, akan tetapi sejak ditawan, sudah dua hari lamanya setibanya di istana Daha, Puteri Gayatri tidak mau makan atau minum sehingga wajahnya mulai pucat. Dikhawatirkan kalau sang puteri akan berpuasa sampai mati.
Ketika pertama kali Wulansari menerima tugas ini, di dalam hati ia merasa penasaran. Ia adalah seorang wanita digdaya, biasanya ia diserahi tugas menjadi pengawal pribadi Sang Prabu jayakatwang dengan kesaktiannya, ia menjamin keamanan dan keselamatan raja, ia selalu waspada dan ia merasa dirinya besar dan berkedudukan tinggi. Betapa tidak " Sang Prabu Jayakatwang, Raja Daha, telah begitu mempercayainya sehingga ia menjadi orang nomor dua di dalam istana. Tidak ada rahasia raja yang tidak diketahuinya, bahkan benda-benda pusaka dapat diambilnya setiap saat. Semua orang dalam istana segan dan takut kepadanya, apa lagi ketika mereka mengetahui bahwa pengawal pribadi ini bukan seperti wanita biasa. Tidak mau tunduk dan tidak suka menjadi selir Sang Prabu Jayakatwang. Hal ini saja membuat para selir dan puteri istana tunduk dan segan kepadanya.
Kini, ia harus menjaga dan menemani seorang puteri tawanan, seorang gadis remaja yang kelihatannya manja. Ketika pertama kali ia memasuki kamar tawanan itu, sebuah kamar yang indah, membawa menampan (baki) terisi hidangan makanan dan minuman, ia melihat sang puteri sedang duduk bersila di atas pembaringan. Wajahnya penuh nestapa, akan tetapi begitu mendengar langkahnya, wajah itu menjadi keras kembali dan sepasang mata yang mencorong seperti mata kucing di dalam kegelapan malam, menatapnya. Mereka berdua saling pandang, dua pasang mata bertemu dan keduanya merasa tertarik dan kagum.
Sepasang mata Wulansari yang tajam itu memandang dan mengamati penuh perhatian selagi ia melangkah masuk dengan baki penuh hidangan itu. Ia melihat seorang gadis remaja yang usianya kurang lebih tujuhbelas tahun, bertubuh langsing dengan pinggang kecil, tubuh yang lekuk-lengkungnya mulai menjadi, seperti setangkai bunga yang mulai mekar dari kuncupnya. Gadis remaja itu berkulit hitam manis, mulus tanpa cacat, wajahnya yang bulat telur itu manis sekali dan setiap anggauta badannya seolah-olah memiliki daya tarik yang luar biasa. Sepasang matanya itu. Sepasang bintang cemerlang, bening dan jeli, bentuknya indah meruncing ke tepi dan agak berjungkit sedikit. dengan sepasang alis yang kecil panjang menghias dahi yang landai dengan sinom (anak rambut) yang merumbai dari atas, bulu mata yang panjang melengkung sehingga bayangannya menimpa pipi, hidung kecil mancung dengan cuping tipis yang dapat bergerak kembang kempis, mulut yang amat manis setiap kali bergerak, dengan lesung pipit di kanan kiri. Seorang gadis hitam manis yang amat cantik jelita.
Sebaliknya, Puteri Gayati juga memandang kagum. Ia seolah melihat seorang Srikandi di depannya. Wanita itu usianya tentu ada dua puluh lima tahun, seorang wanita yang sudah matang. Berkulit putih kuning, wajahnya manis namun membayangkan ketabahan dan keberanian yang menantang. Matanya seperti mata harimau mencorong dan hidup, bibirnya merah basah bukan oleh gincu, ada lesung pipit di pipi kiri dan tahi lalat di pipi kanan. Sepasang mata yang kadang-kadang menakutkan karena amat tajam itu dapat berubah menjadi redup. Tubuhnya penuh lekuk lengkung yang tentu akan menggairahkan setiap orang pria. Pakaiannya menunjukkan bahwa ia bukan pelayan, bukan pula puteri, melainkan pakaian yang ringkas sederhana namun gagah, seperti pakaian seorang perajurit perwira. Diam-diam Puteri Gayatri merasa heran sekali dan karena ia yakin bahwa wanita ini bukan keluarga raja, maka iapun bsrtanya, "Siapakah kau ?"
Wulansari adalah seorang wanita yang keras hati dan ia tidak pernah mau merendahkan diri, apa lagi kalau merendahkan diri itu untuk menjilat atau bermuka-muka. Ia memang biasa bersikap sopan kepada siapa saja, akan tetapi tidak mau sembarangan merendahkan diri. Bagaimanapun juga, ia telah diberi tahu bahwa gadis tawanan ini adalah seorang puteri, puteri Singosari yang kabarnya sudah dihancurkan dan sudah terjatuh ke tangan pasukan Kediri. Diam-diam ia merasa kasihan kepada gadis ini, dan karena maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang istana Singosari, maka iapun bersikap sopan.
"Saya bernama Wulansari dan ditugaskan oleh Sribaginda untuk menemani dan menjaga keselamatanmu" Berkata demikian, Wulansari menurunkan baki itu dan meletakkannya ke atas meja dekat pembaringan. Kekerasan masih belum meninggalkan hati Puteri Gayatri, maka sambil cemberut iapun membalikkan tubuhnya dan duduk membelakangi Wulansari.
"Aku, Sang Dyah Gayatri dari Singosari bukan seorang yang sudi menerima kebaikan musuh Raja Daha telah berkhianat, dan sekarang hendak menjamu aku yang dijadikan tawanan" Lebih baik aku mati kelaparan"
Wulansari mengamati puteri itu dari belakang. Ia tersenyum kagum. Puteri ini masih remaja, bahkan masih kekanak-kanakan, akan tetapi tubuhnya itu sudah mulai mekar menggairahkan, dan sikapnya memang anggun dan berwibawa, juga sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut pada wajahnya dan sikapnya, bahkan sebaliknya, sikapnya menantang dan tidak takut mati.
Dengan hati-hati Wulansari lalu duduk di atas bangku setelah menarik bangku itu dekat pembaringan di mana sang puteri duduk membelakanginya. "Saya mendengar bahwa seorang puteri sejati berjiwa ksatria dan luhur budinya. Kau adalah seorang puteri raja, tentu memiliki pula jiwa ksatria dan budi luhur. Akan tetapi mengapa kau mudah sekali putus asa ?"
Mendengar teguran ini, Puteri Giyatri cepat membalik lagi dan kini kedua kakinya turun tergantung di tepi pembaringan, matanya mengamati wajah Wulansari dan sikapnya menantang. "Mulutmu lancang sekali. Siapa yang mudah putus asa" Aku tidak putus asa. "Aku bukan pengecut. Aku tidak putus asal Kau....... lancang mulut dan berani menghina aku ?"
"Kau tidak mau makan, lebih baik mati kelaparan dari pada makan, bukankah itu sama halnya dengan membunuh din" Dan orang yang membunuh diri berati seorang pengecut yang putus asa. Saya yakin kau bukan orang. seperti itu"
Wulansari tersenyum girang. Pancingannya mengena dan ia tidak khawatir lagi gadis remaja ini akan bunuh diri. "Saya juga tidak percaya bahwa kau pengecut atau penakut. Akan tetapi, kalau sekarang saya beritahukan bahwa makanan dan minuman ini mengandung racun untuk membunuhmu, apakah kau berani memakan dan meminumnya". Sama-sama kita lihat saja nanti" berkata demikian, Wulansari sengaja meninggalkan puteri itu dan keluar dari dalam kamar, menutupkan pintu kamar itu dari luar. Akan tetapi, dengan kepandaiannya, ia menyelinap ke balik jendela dan mengintai ke dalam kamar. ia melihat sang, puteri marah-marah. Puteri itu kini sudah turun dari atas pembaringan dan ia berjalanjalan hilir mudik seperti seekor harimau betina dalam kurungan.
"Kau kira aku tidak berani dengan ancaman kematian itu " Huh, pelayan keparat, lancang mulut. Kita sama lihat saja" tiba-tiba puteri remaja itu duduk di atas bangku menghadapi meja, membuka tutup makanan yang dihidangkan tadi lalu mulai makan dengan lahapnya. Memang perutnya amat lapar, sudah hampir dua hari dua malam ia tidak makan apa-apa, dan diminum ya pula minuman yang tersedia. Sedikitpun ia tidak nampak ngeri atau takut,. bahkan setelah lidahnya terbiasa dan dapat menikmati lesatnya makanan, ia tidak ingat apa-apa lagi kecuali mengisi perutnya yang lapar. Di luar jendela, Wulansari tertawa tanpa suara dan iapun semakin tertarik kepada puteri remaja itu. Seorang puteri yang selain cantik jelita dan manis, juga amat menyenangkan, pemberani, lincah dan galak. Ia tidak mau masuk sebelum puteri itu selesai makan minum dan menutupi kembali baki tempat makanan.
Setelah sang puteri duduk kembali di tepi pembaringan, barulah Wulansari memasuki kamar setelah lebih dulu ia batuk-batuk agar kedatangannya didengar oleh puteri remaja itu. Ketika ia membuka pintu dan masuk, ia masih sempat melihat sang puteri untuk terakhir kalinya mengusap bibir dengan kain agaknya untuk yakin benar bahwa tidak ada tertinggal sebutir nasi di tepi mulutnya.
Wulansari pura-pura tidak tahu dan ia memandang ke arah baki terisi makanan yang nampaknya masih utuh dan ditutupi kain penutup. "Aih, ternyata kau benar-benar tidak mau menyentuh makanan dan minuman yang diberi racun ini " Sudah kuduga demikian,
Kau tidak akan berani......" kata Wulansari dengan nada suara seperti mengejek.
"Siapa yang tidak berani" Aku bukan penakut. Lihat, makanan itu telah kumakan. minuman itu telah kuminum dan aku menanti saat kematian tanpa rasa takut sedikitpun Wulansari pura pura terkejut dan ia membuka penutup baki itu, terbelalak. "Aih, kiranya kau telah makan minum " Hebat, kau memang puteri sejati, tidak takut mati, dan juga tidak ingin membunuh diri. Saya bicara sekali kepada paduka. Sesungguhnya, nakanan dan minuman itu sama sekali tidak mengandung racun, sebaliknya mengandung bumbu penyedap dan penguat badan"
Wajah yang manis itu menjadi merah sekali, sepasang mata bintang itu terbelalak dan seperti mengeluarkan sinar api. Puteri Gayatri meloncat turun dari atas pembaringan, telunjuk kirinya menuding ke arah muka Wulansari.
"Kau.....kau...... menipuku. Berani engkau mempermainkan aku, ya?" Tangan kanannya menyambar sebatang keris kecil yang selalu rerselip di ikat pinggangnya, lalu dengan gerakan cepat ia menusukkan keris kecil semaam candrik itu ke arah dada Wulansari Walita ini tidak mengelak maupun menangkis, melainkan diam-diam ia mengerahkan tenaga sakti ke arah dada yang ditusuk.
"Krekk........"
Sang Dyah Gayatri terbelalak dan menahan pekiknya, matanya melihat gagang keris yang tertinggal di tangannya sedangkan kerisnya sendiri telah patah dan jatuh ke atas lantai. Dengan tenang Wulansari membungkuk dan memungut dua potong besi patahan keris itu, meletakkannya di atas baki bersama sisa makanan.
"Kau....... kau......... begini digdaya......., siapakah sebenarnya engkau ini?" Puteri Gayatri berkata lirih, gagap.
"Nanti dulu puteri. Saya akan menyingkirkan dulu baki ini, sekarang untuk sementara cukuplah kau ketahui bahwa saya adalah seorang kawan, bukan saorang lawan. Saya kagum kepadamu dan ingin berbaik denganmu" Setelah berkata demikian, Wulansari membawa baki itu meninggalkan kamar Puteri Gayatri.
Sang puteri duduk melamun, masih merasa tegang dan heran. kalau mengingat peristiwa tadi. Kerisnya itu, biarpun kecil, merupakan keris yang terbuat dari besi mulia, atau besi aji, sebuah keris pusaka. Akan tetapi keris itu patah ketika dipakai menusuk dada wanita itu. Seorang gadis sakti. Dan gadis itu oleh Sang Prabu Jayakatwang diutus untuk menemani dan menjaganya. Bagaimana mungkin ia dapat mengharapkan perlindungan atau bantuan seorang punggawa pihak musuh" Ia harus berhati-hati.
Setelah memperingatkan para pelayan dan pengawal istana agar mereka itu jangan mengganggu atau memasuki kamar puteri tawanan itu kalau tidak ia panpgil. Semua karyawan di dalam istana itu, tidak ada yang tidak mentaati perintah kepala pengawal yang juga merupakan pengawal pribadi Sri baginda yang amat dipercaya ini. Apa lagi mereka semua tahu belaka betapa sakti mandraguna gadis cantik itu.
Ketika Wulansari memasuki kamar Puteri Gayatri, ia melihat.puteri itu duduk dan wajah yang tegang, sinar matanya mengamatinya penuh selidik dan mengandung kecurigaan besar. Iapun dapat menduga bahwa tentu puteri remaja itu mencurigainya dan masih belum percaya kepadanya, maka iapun mengambil tempat duduk di atas bangku, berhadapan dengan puteri itu.
"Nah, sekarang kita dapat bercakap-cakap dengan tenang. Kau boleh bertanya apa saja dan boleh pula menceritakan apa saja. Tentu saja kalau kau percaya kepada saya dan suka bersahabat dengan saya"
Gayatri melemparkan pandang mata penuh tuduhan. "Engkau........ ingin membujuk aku?"
"Aduh, puteri yang jelita. Apa gunanya saya membujukmu" Untuk apa" Bukankah kau telah menjadi seorang tawanan disini?"
"Tentu membujuk agar aku suka bersikap manis dan tunduk, menakluk kepada orang orang Kediri, mau makan seperti yang tela berhasil kau lakukan dengan tipuanmu tadi bukan" Jangan mengira aku akan mudah terkena bujuk rayumu lagi dan cepatlah engkau minggat dari kamar ini sebelum aku bersikap kasar dan memaki-makimu" Puteri itu bangkit dan biarpun ia masih remaja, tinggi tubuhnya, belum sepenuhnya, namun ia nampak angkuh, anggun dan berwibawa.
Wulansari memandang kagum dan tersenyum lebar, lesung pipit di pipi kirinya makin dalam dan mata bintangnya bersinar-sinar.
"Apa cengar-cengir. Jangan cengengesan. kau" Puteri Gayatri membentak. "Biarpun kau digdaya, jangan kira aku gentar dan takut padamu"
Wulansari tersenyum semakin lebar melihat sikap puteri itu Ia tahu bahwa puteri itu memaksakan diri untuk bersikap galak, pada hal pada pandang matanya jelas nampak bahwa puteri itu kagum kepadanya dan mulai suka padanya.
Ia harus dapat memenangkan kepercayaan puteri ini, pikir Wulansari dan iapun berkata dengan suara sungguh-sungguh, "Puteri, apakah kau mengenal seorang yang bernama Medang Dangdi ?"
"Tentu saja. Paman Medang Dangdi adalah seorang diantara para senopati Singosari yang gagah perkasa. Mengapa engkau memanyakan Paman Medang Dangdi?"
"Karena dia adalah ayah kandungku"
Sepasang mata itu terbelalak dan Putri Gayatri menatap wajah Wulansari penuh selidik, ketidak percayaan terbayang di wajahnya.
"Hemm, permainan apa pula yang kau lakukan ini" Aku tidak pernah melihat Paman Medang Dangdi mempunyai seorang anak perempuan"
"Sesungguhnya demikian, gusti. Mungkin tidak ada seorangpun di Singosari yang tahu bahwa dia mempunyai seorang anak perempuan" bahkan mungkin isterinya sendiripun baru beberapa tahun, sejak dia pulang dari penyerbuan Singosari ke Bali, tinggal bersamanya di Singosari"
"Hem, memang aku ada mendengar bahwa Paman Medang Dangdi telah mempunyai seorang isteri yang kabarnya juga digdaya....."
"Ia bernama Warsiyem dan ia adalah ibu kandung saya, gusti. Memang, sejak berusia sepuluh tahun, saya telah berpisah dari ayah dan ibu, dan baru setelah dewasa, saya berumpa dengan mereka" Wulansari lalu menceritakan riwayatnya secara singkat namuni meyakinkan sehingga Puteri Gayatri mulai percaya.
"Akan tetapi, kalau engkau puteri kandung seorang senopati Singosari, kenapa engkau menjadi hamba dari Kerajaan Daha yang menjadi musuh kami?" Setelah Wulansari mengakhiri ceritanya, Puteri Gayatri menegur dengan hati tidak puas.
"Harap kau ingat bahwa sebelum terjadi perang, Daha sama sekali bukanlah musuh
Singosari. Bukanlah antara kedua Sribaginda bahkan ada hubungan kekeluargaan dan menjadi besan" Hamba bekerja di sini menjadi pengawal Sribaginda dan hamba sama sekali tidak mau mencampuri urusun perang antara Singosari dan Kediri (Daha). Bahkan hamba sama sekali tidak tahu dan tidak mengerti mengapa ada perang antara kedua kerajaan ini, dan tidak tahu pula mengapa paduka menjadi tawanan di sini, pada hal seorang diantara kakak paduka menjadi mantu Sribaginda. Sungguh saya menjadi bingung, akan tetapi karena saya tidak mencampuri urusan perang, maka sayapun tidak perduli. Saya menghambakan diri di sini hanya untuk mendapatkan pekerjaan, dan juga untuk menghibur hati saya yang merasa sakit karena sikap ayah ibu saya"
Diam-diam Puteri Gayatri semakin tertarik. Tak pernah disangkanya bahwa gadis yang digdaya dan ditugaskan menjadi pelayan dan penjaganya ini adalah puteri dari Senopati Medang Dangdi di Singosari, seorang senopati yang terkenal setia.
"Hemm, bagaimana aku dapat mempercayai keteranganmu" Betapa mungkin engkau merasa sakit hati terhadap ayah dan ibumu sendiri?" Dengan cerdik ia memancing. Memang Puteri Gayatri ini lincah dan cerdik sehingga kini, dengan pandainya ia memutar balik keadaan sehingga Wulansari yang dituntut menceritakan keadaan dirinya.
Wulansari juga sadar akan hal ini, akan tetapi karena ia merasa kaguni dan suka kepada puteri lincah ini, ia tidak merasa berkeberatan untuk menceritakan riwayat hidupnya.
"Bagaimana hati ini tidak akan merasa sakit, puteri" Saya mempunyai seorang pilihan hati, seorang pemuda yang saya pilih untuk. menjadi jodoh saya. Kami saling mencinta. Akan "tetapi ayah dan ibu tidak menyetujui, terutama sekali ayah. Maka, saya lalu minggat dari rumah, dan mengabdi di istana. Daha ini"
Puteri Gayatri semakin tertarik. Cerita itu amat romantis dan menyenangkan hatinya. Ia, ikut merasa prihatin dan tanpa disadarinya, ia kini duduk lagi di tepi pembaringan, lalu dengan tangannya mempersilakan Wulansari duduk pula di atas bangku di depannya. Ia merasa kasihan kepada gadis itu.
"Ah, buruk sekali nasibmu, Wulansari. Siapakah perjaka yang menjadi pilihan hatimu itu?"
"Namanya Nurseta, Walaupun dia bukan seorang senopati Singosari, akan tetapi dia seorang pendekar sejati yang membela Singosari, walaupun sesungguhnya dia keturunan seorang pangeran Dhaha"
"Aih, sungguh menarik sekali" Gayatri menjadi semakin tertarik. Bayangkan saja, pikirnya, puteri senopati Singosari kini menjadi pengawal pribadi Raja Kediri, dan putera seorang pangeran Kediri menjadi seorang pahlawan Singosari. "Yang ingin sekali kuketahui tentang perasaanmu, bagaimana engkau rasakan sekarang setelah terjadi pengkhianatan rajamu terhadap Singosari" Kanjeng Rama telah memberi kesempatan kepada Raja Daha untuk tetap menjadi raja walaupun Kediri telah dikalahkan Singosari, bahkan telah memberi kehormatan untuk berbesan. Akan tetapi, secara pengecut sekali, Raja Kediri menyerang Singosari dan mengakibatkan hancurnya keluarga Kanjeng Rama, bahkan beliau sendiri gugur bersama banyak anggauta keluarga. Sekarang, engkau berpihak kepada siapa, Wulansari" Ingat, sekarang ayahmu itu, Paman Medang Dangdi, mungkin sudah gugur atau masih terus berjuang melawan pasukan Kediri. Dia
adalah seorang diantara para pembantu....... eh, tunanganku, yaitu Raden Wijaya"
"Saya bingung, gusti puteri. Saya tidak perjnah mencampuri urusan kerajaan, dan sekarang saya bingung sekali"
Melihat kesempatan ini, Puteri Gayatri lalu mulai menceritakan keadaan Kerajaan Singosari dan Kediri, hubungan antara kedua keraiaan itu dan perbuatan Raja Kediri yang berkhianat dan pengecut, menyerang Singosari sclagi kerajaan ini mengirim pasukan besar ke Negeri Melayu.
"Aku ingin bersikap keras dan menentang terhadap keluarga Raja Kediri, maka aku menolak untuk bicara dengan mereka, bahkan adinya aku nekat untuk berpuasa sampai mati. Akan tetapi engkau malah menggagalkan tekatku itu dan mempermainkan aku"
Sang Puteri kini duduk dan menutupi kedua matanya, menangis lirih.
"Ampunkan saya, puteri. Bukan sekali-kali saya bermaksud mempermainkan kau. Hanya saya melihat bahwa tekat itu sungguh tidak ada gunanya, Kenapa paduka putus asa " Kalau kau sampai tewas karena berpuasa, apa manfaatnya" Lebih baik kau menjaga kesehatan dan menanti saatnya. Saya selalu percaya bahwa orang yang benar selalu akan dilindungi Sang Hyang Widhi. Dan apakah kau tidak ingin bertemu dengan........ tunanganmu" Jangan putus asa, percayalah, saya akan melindungi di sini"
Demikianlah, percakapan antara kedua orang gadis itu membuat mereka menjalin persahabatan yang akrab, dan dalam kesempatan itu, Puteri Gayatri membangkitkan semangat Wulansari sehingga gadis perkasa ini mulai ragu-ragu akan kedudukannya sebagai hamba Sang Prabu Jayakatwang. Iapun mulai merasa khawatir akan keselamatan ayah ibunya ketika mendengar dari Puteri Gayatri betapa Singosari telah diduduki pasukan Kediri dan betapa pasukan itu telah menyebar maut, membunuhi rakyat yang tidak berdosa, merampok dan memperkosa. Biarpun ia tidak ikut perang, namun karena ia menghambakan diri kepada Kerajaan Daha, ia merasa seolah-olah ia ikut berada di pihak yang lalim dan jahat.
*** Malam telah agak larut dan istana Kerajaan Daha sudah sunyi. Para penghuninya sudah masuk ke dalam kamar masing-masing. Malam itu, para pangeran dan bangsawan tinggi lainnya dari Kerajaan Daha masih berpesta pora merayakan kemenangan Kediri atau Daha. Sang Prabu Jayakatwang sendiri sudah beristirahat. Akan tetapi para pangeran masih melanjutkan pesta itu dan seperti biasa, diadakan pertunjukan tari-tarian yang dilakukan oleha penari-penari muda yang cantik dan genit dan yang menjadi pasangan menari para pangeran yang sudah mulai mabuk.
Seorang diantara para pangeran itu, pangeran yang lahir dari selir, diam-diam meninggalkan tempat pesta. Sebagai seorang pangeran mudah saja baginya untuk memasuki istana melalui pintu samping. Para penjaga dan pengawal tidak ada yang berani menahannya dan demikianlah, Pangeran Sindumoyo, seorang pangeran berusia tigapuluh tahunan yang terkenal sebagai seorang pria yang gila wanita, menyelinap ke dalam taman bunga di bagian belakang istana. Pangeran ini terkenal sebagai seorang penaluk wanita dan dalam hal kesenangan ini, dia terkenal rakus dan tidak pandang bulu. Tak perduli wanita itu seorang peIayan rendah, atau isteri orang atau seorang dusun yang miskin, kalau mata keranjangnya sudah kumat, akan diganyangnya tanpa pandang bulu lagi. Dia mempergunakan harianya, atau kedudukannya, juga ketampanannya atau kekuasaannya, untuk menundukkan setiap orang wanita yang diinginkannya. Suami manakah berani banyak ribut kalau melihat isterinya dihina oleh seorang pangeran yang besar kekuasaannya. Ayah manakah berani berkutik kalau melihat puterinya dicemarkan, kemudian ditelantarkan begitu saja oleh Pangeran Sindumoyo "
Akan tetapi sekali ini Pangeran Sindumoyo tidak tertarik kepada para penari cantik itu. Tidak, dia tidak menginginkan mereka. Dia membutuhkan wanita yang lebih terhormat. Dia membutuhkan seorang perawan bangsawan tinggi, bukan seorang perempuan umum yang pernah melayani pria mana saja yang mampu menyewa tubuhnya. Dan dia sudah mendengar bahwa di istana terdapat beberapa orang puteri istana Singosari yang menjadi tawanan. Akan tetapi diantara semua itu, yang amat menarik perhatiannya adalah Sang Puteri Gayatri. Ketika puteri itu dibawa ke istana, dia sempat melihatnya dan dia terpesona, lalu sejak saat itu dia gandrung dan menundukan puteri yang dalam pandang matanya teramat cantik jelita dan manis itu. Setiap malam dia bermimpi
berjumpa dengan Puteri Gayatri, dan kalau tidak tidur, bayangan dan wajah puteri itu tak pernah meninggalkan ingatannya, Namun, dia tetap tidak berani karena maklum bahwa puteri itu merupakan seorang tawaran perang yang agung dan dihormati. Akan tetapi malam ini, setelah pengaruh minuman keras membuat keberanian dan kenekatannya menjadi berlipat ganda, dia memasuki taman istana dengan niat hendak mengunjungi Puteri Gayatri untuk melampiaskan rindu dendam dan naluri birahinya. apapun yang terjadi, malam ini dia harus mampu mendekap puteri ayu itu. Dia tahu dimana kamar puteri itu, hal ini sudah diselidikinya dari para dayang yang menjadi talukannya pula.
Malam telah larut. Para dayang dan pelayanpun sudah tidur. Hanya ada penjaga di luar keputren, namun melihat bahwa yang masuk adalah Pangeran Sindumoyo, para penjaga hanya memberi hormat dan tersenyum. Mereka sudah sering melihat pangeran ini memasuki keputren untuk berkencan dengan para dayang. Dan merekapun sudah seringkali menerima hadiah dan suapan pangeran itu yang royal sekali membagi hadiah kepada mereka yang sudah menutup mata dan membiarkan sang pangeran memasuki daerah keputren yang terlarang itu tanpa meiaporkan kepada atasan mereka.
Pangeran Sindumoyo lalu berindap-indap menuju ke bagian keputren itu, langsung melalui lorong yang meuuju ke bagian belakang karena dia tahu bahwa kamar puteri tawanan itu berada di kamar besar paling ujung dekar tamansari.
Malam itu, Wulansari tidur pulas dalam kamarnya. Karena mendapat tugas menjaga dan, melayani puteri tawanan, maka ia mendapatkan sebuah kamar di dekat kamar besar puteri itu. Setelah kini mereka menjadi sahabat yang akrab, seringkali Puteri Gayatri minta kepada Wulansari untuk tidur di kamarnya saja. Akan tetapi malam ini Wulansari minta diri dan tidur di kamarnya sendiri. Hatinya gundah dan makin ia pikirkan, makin gelisah hatinya. Semenjak ia bergaul dengan Puteri Gayatri dan mendengai urusan Kerajaan Singosari dan Daha, mulailah ia merasa ragu dan bingung ayahnya sendiri menjadi senopati Singosari, juga Narseta menjadi seorang pahlawan Singosari. Selain itu, juga ia tahu bahwa Ki Jembros dan Sang Panembahan Sidik Danasura, dua orang yang dahulu menyelamatkannya dari lautan, mereka adalah orang-orang yang setia kepada Singosari. Ibunya sendiri sekarangpun berada di Singosari dan tentu saja juga membantu kerajaan itu.
Akan tetapi, ia sendiri membantu Kerajaan Kediri. Padahal kakek yang amat jahat itu, kakek yang mengaku sebagai kakeknya, bahkan telah menjadi gurunya, Ki Cucut Kalasekti, membantu Kerajaan Kediri bahkan diangkat menjadi seorang Adipati. Kalau yang membantu Raja seorang seperti Cucut Kalasekti, maka sungguh meragukan kalau Kerajaan Daha berada di pihak yang benar. Mulailah ia ragu-ragu. Biarpun hatinya yang keras juga mempertahankan pendapat itu, namun kalau ia terkenang kepada Nurseta. satu-sntunya pria di dunia ini yang dicintanya, hatinya seperti tertusuk, perih dan sedih dan ia menjadi semakin bingung. Kin, Singosari sudah runtuh. Akan tetapi menurut Puteri Gayatri, masih ada keturunan Singosari yang menjadi tumpuan harapan seluruh rekyat, yaitu Raden Wiiaya. Dan semua senopati, termasuk ayahnya, bahkan juga Nurseta dan semua ksatria Singosari, berdiri di belakang Raden Wijaya yang dicalonkan untuk membangun kembali Singosari yang telah jatuh. Akan tetapi ia sendiri, masih berada di istana Kediri. Wulansari bimbang sekali, dan akhirnya karena lelah, ia tidur pulas di dalam kamarnya.
Jeritan itu hanya dua kali lalu terdiam.
Bagi orang lain tentu tidak menarik perhatian, apa lagi kalau orang itu tadinya sedang tidur pulas, tentu dianggap mimpi atau suara lain, namun, tidak demikian bagi Wulansari. Gadis perkasa ini seketika sadar. Pendengarannya yang terlatih amat tajam dan perasaannya amat peka sehingga begitu mendengar jeritan dua kali itu, la sudah menduga bahwa tentu terjadi sesuatu yang tidak wajar.
Rambutnya agak kusut, juga pakaiannya karena tadi ia tertidur nyenyak, akan tetapi ia tidak memperdulikan pakaian dan rambutnya. Tubuhnya sudah berkelebat cepat dan ia telah tiba di luar pintu kamar Putri Gayatri. Walaupun pintu kamar itu tertutup, namun pendengarannya dapat menangkap gerakan dan suara yang mencurigakan di dalam kamar itu. Sekali dorong saja, pintu kamar itu terbuka dan matanya terbelalak, mengeluarkan sinar kemarahan ketika ia melihat apa yang terjadi di dalam kamar itu. Di atas pembaringan sang puteri, Puteri Gayatri sedang bergumul dengan pria yang berusaha untuk menciumi dan merenggut lepas pakaian sang puteri.
Puteri Gayatri mempertahankan diri, meronta dan mencakar memukul, akan tetapi tidak mampu berteriak karena mulutnya dibungkam oleh tangan kiri pria itu.
"Keparat" Wulansari mencaci dalam hatinya dan sekali melompat ia telah berada di dekat pembaringan. Tangan kanannya diangkat, siap untuk menjatuhkan pukulan maut, akan tetapi segera ia mengenal siapa pria itu dain otomatis pukulannya berubah menjadi cengkeraman ke arah lengan pria itu dan sekali renggut, tubuh pria itu terlepas dari Puteri Gayatri dan terlempar sampai ke sudut kamar.
Puteri Gayatri terengah-engah, membetulkan bajunya yang hampir terlepas. rambut yang panjang itu terurai dan ia nampak cantik ayu bukan main, akan tetapi sepasang mata yang lebar itu terbelalak, masih membayangkan kengerian akan malapetaka yang hampir menimpa dirinya. Akan tetapi, melihat kehadiran Wulansari dan melihat betapa laki-laki itu telah terlempar bergulingan sampai ke sudut kamar, hatinya terasa lega dan kemarahannya bangkit.
Dengan sikap tenang, mata bersinar marah akan tetapi tetap menghormat, Wulansari berkata dengan suara dingin, memandang kepada pangeran yang mulai bangkit itu.
"Pangeraia Sindumoyo, tidak sepatutnya paduka mengganggu Gusti Putri Gayatri"
Mendengar bahwa pria yang hampir memperkosanya itu adalah seorang pangeran, Puteri Gayatri memandang dengan alis berkerut dan mata bernyala. "Henm, jadi kau seorang pangeran" Pangeran macam apa perbuatannya melebihi seorang manusia biadab" kata Puteri Gayatri.
Tentu saja Pangeran Sindumoyo tadi terkejut bukan main karena ada orang berani mencegahnva bahkan melemparkannya seperti itu. Akan tetapi ketika dia mehhat bahwa yang melakukan hal itu adalah seorang waniia cantik yang gagah, diapun mengenal Wulansari pengawal pribadi ayahnya dan pangeran ini sudah dapat memulihkan keangkuhan dan ketenangannya. Dia mengebutkan ujing bajunya yang terkena debu, lalu tersenyum.
"Ah, kiranya engkau Wulansari, pengawa pribadi kanjeng rama " Wulansari, engkau mengenal siapa aku. Mengapa engkau berani turun tangan terhadap aku, dan melindungi wanita ini" biarpun ia seorang puteri, akan tetapi ia puteri Singosari, puteri tawanan dan musuh kita, keluarlah kau, dan biarkan aku berdua dengan sang puteri ini" Wulansari menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin, gusti pangeran. Saya menerima tugas dari Sribaginda untuk menemani dan menjaga keselamatan Gusti Puteri Gavatri. Siapapun juga tidak boleh mengganggunya dan saya bertanggung jawab untuk itu. Sebaiknya paduka meninggalkan kamar ini sebelum diketahui orang lain dan terdengar oleh Sang Prabu"
Bukan main marahnya hati Wulansari mendengar ucapan tidak senonoh itu. Kalau saja ia tidak ingat bahwa yang bicara itu seorang pangeran, tentu ia telah turun tangan dan dibunuhnya pria yang lancang mulut itu. Matanya mencorong ketika ia memandang wajah pangeran itu dan kesopanannya menipis.
"Ucapan paduka itu tidak pantas keluar dari mulut seorang pangeran. Cepat paduka keluar dari sini, atau terpaksa saya akan melempar paduka dan mulut kotor paduka itu keluar"
"Wulan, menghadapi seorang penjahat tidak perlu memandang kedudukannya. Biar dia pangeran, dia lebih pantas kalau kau hajar biar mampus" tiba-tiba Puteri Gayatri berkata. "Kalau saja aku memiliki kedigdayaan sepertimu, sudah tadi-tadi dia kubunuh"
Pangeran itu sudah terbiasa disanjung dan dihormati orang. Kini, dia dihina dan menelan kata-kata yang amat kasar dari seorang pengawal, tentu saja dia merasa malu sekali dan menjadi marah. Kehormatannya sebagai seorang pangeran tersinggung. Dia pernah mempelajari ulah keperajuritan dan aji kesaktian, maka kini bangkit kemarahannya untuk memperlihatkan bahwa kekuasaannya masih berlaku dan bahwa dia tidak selemah anggapan dua orang wanita itu.
"Wulansari, keparat engkau. Lupakah engkau siapa dirimu " Engkau hanyalah seorang abdi di sini. Seorang pengawal yang sepatutnya mentaati perintahku. Aku Pangeran Daha, tahu kamu" Engkau abdiku. Adi yang kurang ajar macam engkau memang pantas dihukum" Pangeran itu sudah menerjang maju dan menampar ke arah pipi Wulansari.
Tentu saja sikap pangeran ini bagaikan minyak disiramkan pada api kemarahan yang mulai membakar hati Wulansari. Kemarahan itu berkobar dan iapun menangkis pukulan itu, terus menangkap lengan si pangeran dan sekali kakinya bergerak dan tangannya memuntir, tubuh pangeran itu kembali terlempar, kini lebih keras dari pada tadi sampai tubuhnya menabrak dinding kemudian terbanting mengeluarkan bunyi keras.
Diam-diam Puteri Gayatri kagum bukan main menyaksikan ketangkasan Wulansari dan iapun bertepuk tangan memuji. Diam-diam dalam kemarahannya, Wulansari tersenyum. Puteri itu memang jenaka sekali, seperti kanak-kanak saja, begitu gembira menyaksikan pria yang hampir memperkosanya, dihajar.
"Wah, andaikata puteri itu memiliki kepandaian. tentu akan lebih payah lagi nasib Pangeran Sindumoyo. Ia hanya mengharapkan agar pangeran itu menjadi jera dan suka segera pergi karena bagaimanapun juga, ia tidak mau melibatkan diri dalam kesulitan kalau bermusuh dengan seorang pangeran.
Akan tetapi harapan Wulansari ini ternyata sebaliknya dari kenyataannya. Pangeran Sindumoyo yang terbanting keras itu hanya sebentar saja menjadi pening. Dia sudah bangkit lagi karena memang Wulansari tadi hanya membuat dia terlempar, tidak melukainya dan kini pangeran itu menjadi mata gelap. Nafsu amarah memenuhi hati dan pikirannya dan diapun lupa akan keadaan, lupa akan kewaspadaan, lupa bahwa yang dihadapinya adalah seorang yang amat sakti, walaupun seorang wanita. Dia sudah mencabut kerisnya. Keris milik seorang pangeran tentu saja bukan keris sembarangan, melainkan keris yang "bedsi?" atau ampuh. Begitu keris itu dicabut dari sanjungnya, hawa keampuhannya sudah terasa oleh "Wulansari, akan tetapi gadis ini tidak merasa gentar sama sekali, bahkan ia yang memperingatkan pangeran itu.
"Pangeran Sindumoyo, simpanlah kembali keris paduka dan jangan main-main dengan senjata yang ampuh"
Akan tetapi peringatan yang sebenarnya menyayangkan pangeran itu, diterima keliru dan Pangeran Sindumoyo mengira bahwa ucapan itu keluar dari mulut Wulansari karena gadis itu merasa gentar menghadapi kerisnya yang ampuh.
"Perempuan tak tahu malu. Dari golongan rendah dan hina engkau diangkat ke dalam istana, dan setelah berada di sini engkau lupa diri dan besar kepala. Derajatmu tidak lebih tinggi dari pada seorang dayang istana, akan tetapi engkau telah berani menghina aku, seorang pangeran. Untuk dosa itu, hukumannya hanyalah kematian. Bersiaplah untuk mati di ujung keris pusakaku ini"
"Pangeran, sekali lagi kuperingatkan........., mundurlah sebelum terlambat" Wulansari masih berseru ketika pangeran itu menyerang dengan tusukan kerisnya ke arah dadanya. Wulansari mengelak dengan amat mudahnya ke kiri. Akan tetapi pangeran itu yang mengira bahwa lawannya gentar menghadapi keris pusakanya, memperoleh semangat dan dengan gerakan cepat, tubuhnya berputar ke kanan dan kerisnya terus meluncur dengan serangan maut ke arah wanita perkasa itu.
Wulansari maklum betapa sebatang keris yang ampuh tidak boleh dibuat main-main, maka sekali lagi ia mengelak, kini dengan loncatan ke belakang dan berputar ke kanan. Pada saat pangeran mengikuti gerakannya dan hendak melanjutkan serangannya, Wulansari sudah meloncat lagi ke kanan dan kakinya kini menyambar dengan dahsyatnya. Sebuah tendangan kilat yang dilakukan dengan pengerahan tenaga meluncur dan mencuat ke arah pinggang Pangeran Sindumoyo.
"Dessss......." Tubuh itu terlempar seperti daun kering tertiup angin. "Brakkkk........ Tubuh pangeran itu meluncur dan menimpa dinding kamar, lalu jatuh terbanting dan tidak berkutik lagi. Ketika Wulansari memandang, ia mengerutkan alisnya karena ada darah mengalir di bawah tubuh yang menelungkup itu. Ketika ia menghampiri dan membalikkan tubuh itu, ternyata keris pusaka itu telah menancap di lambung pangeran itu sendiri dan dia telah tewas seketika.
"Ah, celaka, dia........ dia tewas....... "
Dalam kagetnya, Wulansari berseru lirih dan cepat ia melompat dan mengunci pintu kamar itu agar jangan sampai ada orang lain mengetahui peristiwa itu.
"Bagus. Memang orang seperti dia itu lebih baik mati saja" kata Puteri Gayatri.
"Tidak semudah itu, gusti puteri. Yang tewas ini adalah Pangeran Sindumoyo, seorang diantara para putera Sribaginda. Dan dia tewas di kamar ini. Tentu akan geger seluruh istana, dan bukan hanya saya, akan tetapi kau juga tentu akan menghadapi akibat yang hebat"
"Aku tidak takut" kata dara remaja itu dengan gagah. "Dan engkaupun tidak perlu takut. Aku akan mengatakan kepada paman Prabu Jayakatwang bahwa akulah yang membunuh pangeran ini, bukan engkau. Hendak kulihat dia mau berbuat apa kalau kukatakan bahwa aku yang telah membunuh puteranya"
Mendengar ucapan ini, Wulansari merasa kagum bukan main. Puteri ini sungguh patut menjadi seorang puteri raja, begitu anggun, cantik jelita dan agung, juga berjiwa ksatria
"Tidak, puteri. Itu bukan penyelesaian yang baik. Harap paduka tenang saja di sini, saya akan membawanya pergi dan menghilangkan semua jejaknya dari kamar ini" Berkata demikian, Wulansari lalu menggulung mayat pangeran itu dengan babut yang telah kotor oleh darah. Kemudian, dipanggulnya gulungan jenazah itu dan iapun keluar dari dalam kamar dengan cepat. Ilmu kepandaiannya yang tinggi membuat ia tidak mengalami banyak kesukaran untuk membawa mayat itu keluar dari istana tanpa diketahui seorangpun pengawal. Andaikata ada yang melihatnya, tentu tidak akan ada yang berani menegurnya pula, karena ia adalah kepala seluruh pengawal dalam istana, Juga kepercayaan Sribaginda.
Puteri Gayatri menanti di dalam kamarnya, agak bingung juga memandang sebagian lantai kamar yang tidak ditutup babut atau permadani hijau. Diam-diam ia bersyukur sekali bahwa Wulansari muncul pada saat yang amat tepat. Ia masjh bergidik kalau membayangkan betapa hampir saja ia dinodai oleh pangeran itu, dan kalau hal itu sampai terjadi, sudah pasti ia akan membunuh diri.
Tentu saja Puteri Gayatri tidak dapat tidur, bahkan berbaringpun dara ini tidak mau. Masih nampak saja pangeran yang terbunuh oleh Wulansari tadi dan berkali-kali ia bergidik. Ia menanti kembalinya Wulansari dengan hati gelisah. Ia tidak memikirkan dirinya sendiri. Bahkan ia berani untuk mengaku bahwa ia yang membunuh pangeran itu. Akan tetapi yang ia khawatirkan adalah Wulansari. Gadis perkasa itu telah membelanya dengan sesungguh hati, bahkan gadis itu untuk menyelamatkannya sampai berani membunuh seorang pangeran, padahal ia adalah seorang pengawal pribadi raja dan menjadi orang kepercayaan. Kalau sampai ketahuan bahwa Wulansari yang membunuh Pangeran Sindumoyo, tentu gadis itu akan ditangkap dan dihukum berat sekali, mungkin hukum siksa sampai mati.
Baru menjelang subuh nampak bayangan berkelebat dan Wulansari telah memasuki kamarnya sambil membawa gulungan babut yang kini digelar kembali oleh gadis perkasa itu seperti semula. Dan babut itu sudah bersih, tidak ada tanda percikan darah. Kiranya gadisi perkasa itu telah mencuci babut itu di bagian yang ternoda darah, bahkan mengeringkan bekas yang dicuci dengan api.
"Mbakayu Wulan, bagaimana..,,..?" Puteri Gayatri berbisik sambil memegang lengan gadis perkasa itu. Kini tanpa ragu dan kikuk ia menyebut mbakayu kepada Wulansari karena ia merasa seolah-olah gadis perkasa itu kakaknya sendiri yang membela dan melindunginya.
JILID 15
WULANSARI tersenyum dan nampak betapa wajahnya amat anggun, cantik, akan tetapi berwibawa. "Sudah beres, harap paduka jangan khawatir. Dia mati di dalam hutan dan pembunuhnya tidak meninggalkan jejak. Tentu istana akan geger, akan tetapi tiada seorangpun akan menduga bahwa dia mati di sini"
Benar saja seperti yang dikatakan Wulansari, jenazah Pangeran Sindumoyo ditemukan orang dan setelah berita itu sampai ke istana, penghuni istana menjadi gempar Sang Prabu Jayakatwang marah sekali mendengar bahwa seorang diantara para puteranya tewas di dalam hutan tanpa diketahui siapa pembunuhnya.
"Tidak salah lagi. Pembunuhnya tentu pihak musuh, seorang mata-mata dari Singosari. Cari dia sampai dapat dan seret dia ke sini" perintahnya dengan muka merah. Namun, tentu saja tidak ada yang mampu menangkap pembunuh yang tidak diketahui siapa itu dan pembunuh itu sama sekali tidak meninggalkan jejak. Lebih mengherankan lagi, pangeran itu tewas dengan kerisnya sendiri menancap di lambungnya. Karena itu, para penyelidik mengira bahwa pangeran itu tentu telah membunuh diri. Ketika mereka membuat laporan kepada Sang Prabu Jayakatwang, raja itu hanya termenung dengan wajah muram. Akan tetapi, kemurungan ini hanya sebentar saja karena dia sudah disibukkan kembali dengan kemenangannya atas Singosari yang telah diduduki
pasukannya. Semenjak terjadinya peristiwa itu, Puteri Gayatri bersahabat akrab sekali dengan Wulansari. Ia tidak lagi mogok makan, tidak lagi bermuram durja. Timbul kembali kelincahan dan kejenakaannya sehingga dara remaja menjelang dewasa ini nampak lebih cantik dan anggun. Dan pada suatu hari, Sang Prabu Jayakatwang memanggil Wulansari menghadap. Gadis perkasa ini merasa heran mengapa ia dipanggil menghadap Sribaginda tanpa adanya para ponggawa yang lain dan Sribaginda mengajak ia bicara empat mata.
Melihat sikap Wulansari yang nampak heran dan bingung, Sang Prabu Jayakatwang tersenyum. "Wulansari, jangan engkau merasa heran karena. kupanggil menghadap dan bicara empat mata, Kita semua merayakan kemenangan besar yang kita capai, kita telah menguasai Singosari. Maka, biarpun engkau selama ini bertugas di sini menjaga keselamatanku dan tidak ikut menyerbu ke Singosari, namun jasamu cukup besar dan karena itu ingin aku memberi hadiah kepadamu. Terimalah hadiah ini, Wulansari. Ini sebagian dari harta pusaka yang kami rampas dari istana Singosari" Sang Prabu Jayakatwang menyerahkan sebuah peti hitam kepada gadis itu. Wulansari menerima lalu menyembah dan menghaturkan terima kasih.
"Bukalah, Wulansari dan lihat isinya. Eng?kau akan gembira melihatnya" kata Sang Prabu Jayakatwang melihat betapa wanita itu setelah menerima kotak hitam lalu menaruhnya saja di atas lantai. Wulansari tidak berani membantah dan iapun membuka tutup kotak atau peti kecil hitam itu. Ia melihat perhiasan lengkap dari emas dan batu permata, amat indahnya. Walaupun hatinya tidak begitu tertarik akan benda-benda berharga seperti itu, namun gadis yang cerdik ini sengaja membelalakkan matanya dan memandang kagum.
"Benda benda amat berharga ini bagus sekali, gusti. Sekali lagi hamba menghatur?kan banyak terima kasih" Wulansari me?nyembah setelah menutup kembali kotak hi?tam itu.
Prabu Jayakatwang tertawa. "Wulansari, hadiah yang kami berikan kepadamu itu masih belum seberapa dibandingkan dengan jasa-jasamu. Kami merasa girang sekali melihat perubahan pada Puteri Gayatri yang kini nampak sehat, gembira dan bertambah denok ayu. Dan sekarang kami membutuhkan bantuanmu, Wu?lansari. Kami melihat betapa hubunganmu dengan Gayatri akrab sekali"
"Sesungguhnya demikian, gusti. Semua ini hamba lakukan untuk menyenangkan hatinya dan menghibur hatinya seperti yang paduka perintahkan"
"Bagus. Engkau memang seorang hamba yang amat setia. Sayang sekali engkau tidak mau menjadi seorang selirku, Wulansari. Akan tetapi tidak mengapalah. Sekarang sudah ada penggantimu, yaitu Gayatri. Engkau bujuk ia agar suka menjadi selirku"
Wajah Wulansari berubah merah dan matanya terbelalak. Melihat ini, Sang Prabu Jayakatwang cepat menyambung. "Diantara kami tidak ada hubungan darah sama sekali, Wulan?sari. Memang benar ada puteraku yang menjadi kakak ipar dari Gayatri, namun ikatan pernikahan itu dilakukan hanya sebagai siasat Daha terhadap Singosari. Antara kami dan Gayatri, tidak terdapat hubungan darah, maka sudah sepatutnya kalau ia, seorang puteri tawanan kuangkat menjadi selirku yang paling muda. Nah, aku perintahkan kepadamu agar engkau suka membujuknya, Wulansari. Kalau engkau berhasil membuat ia suka menyerahkan diri dengan suka rela, kami akan mengingat jasamu yang besar ini dan akan memberi hadiah yang lebih besar pula"
Di dalam hatinya, Wulansari merasa marah dan khawatir bukan main. Akan tetapi, tentu saja semua perasaan itu ia simpan di dalam hatinya, dan iapun menyembah. "Hamba akan berusaha sekuat kemampuan hamba"
Setelah ia diijinkan mundur, Wulansari membawa kotak hitam itu dan ia langsung saja memasuki kamar Puteri Gayatri. Sang puteri sedang menyisiri rambutnya yang berikal dan panjang, hitam dan semerbak harum oleh air kembang. Melihat Wulansari tidak seperti biasanya, wajah yang cantik dan anggun itu nampak muram, mulutnya yang biasanya penuh senyum ramah itu ditekuk kaku, Puteri Gayatri segera bangkit dari duduknya dan merangkul Wulansari.
"Mbakayu Wulan, apa yang telah terjadi" Bukankah tadi engkau dipanggil oleh Paman Prabu?"
Wulansari melemparkan kotak hitam itu ke atas meja. Tutupnya terbuka dan nampak isinya, perhiasan lengkap dari emas permata yang amat indahnya. Melihat itu, Gayatri mengeluarkan seruan lirih dan iapun mendekati meja, lalu memegang kotak hitam itu dan mengamati isinya.
"Aihh........, ini........ ini....... perhiasan se?orang selir kanjeng rama........"
Wulansari mengangguk. "Memang itu adalah perhiasan rampasan dari istana Singosari, dan Sribaginda berkenan memberikan kepada saya sebagai hadiah" kata Wulansari, suaranya kaku dan wajahnya sama sekali tidak membayangkan kegembiraan.
Puteri Gayatri menengok dan memandang heran. "Mbakayu Wulan. Perhiasan ini amat berharga, mengapa engkau tidak senang mendapat hadiah seperti ini?"
"Hemm, gusti puteri, apakah kau menganggap saya ini seorang perempuan yang tamak dan tergila-gila kepada perhiasan" Ketahuilah, Sribaginda memberi hadiah itu kepada saya bukan hanya karena jasa saya di sini, melainkan karena di balik itu, beliau memiliki pamrih"
"Eh" Pamrih" Apa pamrihnya, mbak ayu Wulan?"
"Beliau mengutus saya untuk membujuk paduka, agar paduka dengan suka rela suka menjadi selirnya termuda "
"Brakkk" Peti kecil yang tadinya dipegang di tangan Puteri Gayatri itu terlepas dan terjatuh ke atas meja kembali. Wajah puteri itu berubah merah sekali dan matanya mencorong penuh kemarahan.
"Gila. Apakah dia sudah gila" Paman Pra?bu......... hendak........ mengambil aku menjadi
selirnya" Bahkan seorang kakak tiriku menjadi mantunya. Apakah dia sudah gila?"
"Tidak, gusti puteri. Akan tetapi, begituIah perintahnya kepada saya. Untuk membu?juk paduka agar suka menjadi selirnya" Berkata demikian Wulansari menatap tajam wa?jah puteri dari Singosari itu, seperti hendak menjenguk isi hatinya.
"Tidak. Sekali lagi tidak sudi. Lebih baik aku mati dari pada menjadi selirnya. Dia telah menghancurkan kerajaan ayahku, dia telah membasmi keluargaku, sehingga kanjeng rama gugur dan entah bagaimana dengan keluarga lain. Tidak. Seribu kali aku tidak sudi" Pu?teri Gayatri lalu melempar tubuhnya ke atas pembaringan, menelungkup dan menangis sesenggukan.
Wulansari memandang khawatir, lalu ia duduk di tepi pembaringan, dan merangkul puteri juwita itu. Ia khawatir kalau kalau sang puteri kembali menjadi berduka dan putus asa maka iapun menghibur.
"Eiit, eitt......... Di manakah sang puteri yang jenaka, riang gembira, tabah dan berani menghadapi segala macam tantangan itu" Gusti puteri, tenang dan sadarlah, kembalilah men?jadi Sang Puteri Dyah Gayatri yang tabah dan berwatak satrya. Saya akan melindungimu, gus?ti, dan percayalah, sayapun sama sekali tidak setuju kalau paduka menjadi selir Sribaginda. Percayalah, saya yang akan menjaga agar jangan sampai paduka dipaksa"
Seketika tangis itu terhenti. Puteri Gayatri bangkit duduk dan dengan muka masih basah air mata, ia memandang kepada wajah Wulan?sari, penuh selidik dan suaranya masih terdengar parau bercampur isak ketika ia berkata, "Benarkah itu, mbakayu Wulansari" Benarkah engkau akan melindungi aku dan mencegah Sribaginda memaksaku menjadi selirnya?"
Wulansari mengangguk, tersenyum dan mengusap muka yang jelita itu dengan saputangan, mengeringkan air mata. Dan wajah itupun kini tersenyum kembali, mata itu bersinar-sinar kembali.
"Terima kasih, mbak ayu Wulan. Aku percaya, kalau andika yang menjaga, aku akan selamat. Percayalah bahwa selama hidupku, aku tidak akan melupakan budi kebaikanmu ini" Puteri Gayatri lalu merangkul dan mencium kedua pipi Wulansari yang menahan air matanya karena terharu. la lalu berkata dengan lirih akan tetapi jelas dan dengan sikap bersungguh-sungguh.
"Sekarang dengarlah baik baik, gusti pu?teri. Jelas bahwa Sribaginda tergila-gila kepadamu dan ingin mengambil puteri sebagai selirnya. Akan tetapi, agaknya beliau menghendaki agar paduka menyerahkan diri de?ngan suka rela, tanpa paksaan, tentu saja mengingat bahwa paduka adalah seorang pu?teri Singosari. Oleh karena itu, masih banyak waktu bagi paduka untuk bersikap tenang saja, dan jangan memperlihatkan kedukaan atau kekhawatiran sehingga tidak mendatangkan kecurigaan kepada Sribaginda. Kalau se?kali waktu Sribaginda bicara tentang niat ha?tinya itu, paduka katakan saja bahwa paduka masih ingin sendiri, masih belum mempunyai keinginan untuk melayani pria. Pula, paduka boleh mencari alasan, dan katakan kepada Sribaginda bahwa paduka baru mau menikah kalau sudah bertemu dengan kakak paduka, yaitu Sang Puteri Dyah Tribuwana. Bukankah menurut keterangan paduka, paduka terpisah dari kakak paduka itu dan sampai kini belum diketahui di mana adanya beliau " Tidak mungkin kakak paduka tertawan, karena tentu saya akan mengetahuinya. Nah, alasan itu cukup masuk akal dan kuat. Kalau sampai terjadi Sribaginda hendak memaksakan kehendaknya, jangan khawatir, ada saya di sini yang akan melindungi paduka"
Puteri Gayatri merasa girang sekali dan kembali ia merangkul Wulansari dan sampai lama tidak melepaskan rangkulannya. "Ah, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan kalau tidak ada andika di sini, mbakayu....."
*** "Kanjeng paman telah menerima saya de?ngan segala keramahan, sungguh budi paman ini teramat besar, tergores ke dalam kalbu dan sampai bagaimanapun saya tidak akan melupakannya. Saya merasa bersukur dan berterima kasih sekali kepada Kanjeng Paman dan sekeluarga" Raden Wijaya menyatakan isi hatinya ketika dia makan bersama Bupati Sumenep, yaitu Arya Wiraraja atau juga dikenal dengan nama Arya Banyak Wide. Bupati itu tertawa mendengar ucapan Raden Wijaya.
"Ah, jangan terlalu sungkan, Raden. Raden adalah seorang pangeran, dan sekarang ini hanya padukalah harapan kami semua. Raden yang kelak berkewajiban untuk membangun kembali Kerajaan Singosari. Raden adalah junjungan kami semua, maka sudah sewajarnya kalau sekarang ini kami menerima paduka dan membantu sekuat kemampuan kami"
"Paman Bupati memang amat bijaksana dan berhati mulia," kata Raden Wijaya terharu. "Biarlah saya berjanji bahwa kalau kelak berhasil perjuangan saya, dapat menjadi raja di Pulau Nusantara, saya tidak akan lupa kepada paman dan akan membagi kerajaan menjadi dua, dan yang separuh akan saya berikan ke?pada kanjeng paman sebagai balas budi"
Mendengar ucapan ini, diam diam Arya Wiraraja terkejut, akan tetapi juga girang bukan main, Makin besarlah hatinya dan keyakinannya untuk membantu pangeran ini agar berhasil apa yang dicitakannya, karena dengan demikian berarti dia akan mendapat anugerag yang amat besar pula.
"Raden, tiada hasil baik datang begitu saja dari langit. Keberuntungan harus ditebus dengan usaha dan jerih payah. Kerajaan Daha kini menjadi kuat dan kekuatan kita sendiri tidak dapat dibandingkan dengan kekuatan mereka. Oleh karena itu, belum waktunya untuk membalas dendam, menyerang Kerajaan Daha. Kalau gagal, berarti kita akan hancur sama sekali. Oleh karena itu, paduka harus bersabar, menanti saatnya yang tepat sehingga kelak, sekali pukul, paduka harus berhasil"
Raden Wijaya mengangguk-angguk, menyetujui ucapan itu. "Lalu, menurut paman, apa yang sebaiknya harus saya lakukan?"
"Pertama, kita harus dapat membuat Sang Prabu di Daha tidak menaruh kecurigaan kepada paduka dan bal ini dapat dilakukan kalau paduka berbaik dengan beliau. Kedua, paduka harus dapat menyelidiki sampai dimana kekuatan pasukan Kerajaan "Daha, agar kelak dapat membuat perbandingan untuk mengimbanginya. Dan untuk mencapai hasil baik dari kedua hal ini, seyogianya kalau pa?duka kini pergi ke Daha dan menghambakan diri kepada Sang Prabu Jayakatwang"
"Apa......" Ti...... tidak kelirukah usul paman ini?" Raden Wijaya terkejut bukan main mendengar usul Arya Wiraraja agar dia menghambakan diri kepada Raja Daha, ke?pada musuh yang telah menghancurkan Si?ngosari.
Melihat kekagetan pangeran itu, Arya Wi?raraja tertawa. "Memang terasa aneh bahwa paduka menghambakan diri kepada pihak mu?suh, Raden, Akan tetapi harap paduka mengerti bahwa yang dimusuhi oleh Sang Prabu Jayakatwang bukanlah Raden, melainkan mendiang Sang Prabu Kertanagara. Dalam keluarga Sang Prabu Kertanagara, Raden hanyalah calon mantu. Percayalah, karena saya sudah seringkali bercangkerama dengan Sang Prabu Jayakatwang sehingga saya mengetahui isi ha?tinya. Untuk menenangkan hati paduka, baiklah saya akan menulis surat pribadi kepada Sang Prabu Jayakatwang, menceritakan tentang niat Raden menghambakan diri ke sana, dan kita lihat saja bagaimana nanti jawabannya"
Raden Wijaya menyetujui karena dia tidak melihat jalan lain yang lebih baik. Memang dia harus dapat memasuki Daha, bukan hanya untuk menyelidiki kekuatan mereka, akan tetapi juga untuk mencari tunanganya. Yang kedua, yaitu Puteri Gayatri yang kabarnya men?jadi tawanan di Daha, Surat dibuat oleh Arya Wiraraja dan dikirimkan ke Kerajaan Daha.
Tepat seperti yang sudah diperhitungkan Arya Wiraraja, surat itu mendapat jawaban yang menyenangkan sekali. Sang Prabu Jaya?katwang yang sedang merayakan pesta kemenangannya itu berbesar hati dan memperlibatkan kebijaksanaannya untuk menerima Raden Wijaya sebagai tamu terhormat dan akan diterima kalau hendak membantu Kerajaan Daha.
Setelah menerima surat balasan ini, Raden Wijaya mengadakan pertemuan dan rapat dengan Arya Wiraraja dan sekalian pengikutnya. Lalu diambil keputusan bahwa Raden Wijaya, dan para pengikutnya akan memasuki Daha, dan Pu?teri Tribuwana ditinggalkan untuk sementara di Sumenep. Bagaimanapun juga, perjalanan menuju ke kerajaan bekas musuh itu bukan tidak berbahaya, maka demi keselamatannya, sang puteri ditinggalkan di Kabupaten Sumenep.
Rombongan itu berangkat dan diantar sendiri oleh Arya Wiraraja sampai ke dusun Terung. Di sini mereka berpisah, Raden Wijaya dan rombongannya melanjutkan perjalanan ke Da?ha seJangkan Arya Wiraraja kembali ke Su?menep. Setelah tiba perbatasan Daha, Raden Wijaya dan rombongannya menuju ke Jung Bitu dan dia lalu menyuruh dua orang utusannya ke Daha untuk menghadap Sribaginda dan mengabarkan tentang kedatangannya.
Seperti yang telah dijanjikan dalam surat balasannya kepada Arya Wiraraja, Sang Prabu Ja?yakatwang menerima mereka dengan gembira. Diutusnya dua orang senopatinya, yaitu Mantri Sagara Winotan dan Jangkung Angilo untuk menyambut rombongan Raden Wijaya ke kota raja.
Raden Wijaya sama sekali tidak tahu bah?wa baru beberapa bari yang lalu, setelah Sang Prabu Jayakatwang menerima surat dari Arya Wiraraja telah terjadi suatu hal yang menimpa diri tunangannya yang kedua, yaitu Sang Dyah Gayatri. Apakah yang telah terjadi"
Ketika Sang Prabu Jayakatwang menerima surat dari Bupati Sumenep, Arya Wiraraja, diapun merasa senang sekali. Kalau Raden Wijaya hendak menghambakan diri kepadanya, hal ini berarti bahwa dari pihak keluarga Kerajaan Singosari sudah tidak ada lagi ancaman, tidak ada lagi usaha balas debdam. Dan memang dia tidak membenci Raden Wijaya yang biasanya amat hormat kepadanya. Yang dibencinya hanyalah Sribaginda Kertanagara. Akan tetapi ada sebuah hal yang mengganjal hatinya, yaitu Puteri Gayatri. Tentu saja dia sudah mendengar bahwa puteri itu telah ditunangkan dengan Raden Wijaya. Kalau pemuda itu datang dan bekerja di Daha, sungguh tidak enak rasanya kalau dia tetap menahan Puteri Gayatri. Tentu dia terpaksa akan mengembalikan sang puteri kepada tunangannya. Dan dia sudah tergila-gila kepada dara hitam manis yang cantik jelita itu.
Satu-satunya jalan hanyalah mempersunting gadis itu, mengambilnya sebagai selir sebelum Raden Wijaya tiba. Kalau gadis itu sudah terlanjur menjadi selirnya, sudah melayaninya, tentu Raden Wijaya tidak akan mau menerima tunangannya yang sudah bukan perawan lagi itu. Dan dia sendiri dapat berpura-pura tidak tahu akan pertunangan itu.
"Panggil Wulansari" perintahnya kepada se?orang dayang.
Setelah Wulansari datang menghadap, Sri?baginda memerintah semua dayang, pengawal dan selir meninggalkan ruangan itu karena dia ingin bicara berdua saja dengan Wulansari. Se?telah semua orang pergi, Sang Prabu Jayakatwang memandang Wulansari dan bertanya de?ngan suara penuh harapan.
"Bagaimana dengan Gayatri, Wulansari" Apakah ia sekarang sudah bersedia untuk menjadi selirku?"
Wulansari menyembah. "Sudah hamba usahakan untuk membujuknya, gusti. Akan tetapi ia selalu mengatakan bahwa ia belum bersedia melayani pria, dan bahwa ia harus menanti dulu sampai bertemu kembali dengan kakaknya, yaitu Gusti Puteri Tribuwana, baru ia mau me?nerima pinangan paduka. Hamba hanya mengharap agar paduka bersabar, gusti, karena ia masih seorang remaja, belum dewasa benar"
"Seorang perawan berusia tujubelas tahun belum dewasa" Ah, Wulansari agaknya ia sengaja hendak mempersulit. Mau atau tidak, malam ini aku akan bermalam dan tidur di kamarnya dan ia harus melayaniku malam ini. Kesabaranku sudah habis, dan kau usahakan agar ia menerimaku dengan suka rela, dari pada ha?rus dipaksa" Setelah berkata demikian, de?ngan wajah muram Sribaginda memberi isarat kepada Wulansari untuk pergi.
Wulansari kembali ke kamarnya dan beberapa kali ia mengepal tinju. Ingin rasanya tadi ia turun tangan membunuh Sang Prabu Jayakatwang ketika raja itu menyatakan ke?inginan hatinya hendak memaksa Gayatri untuk melayani raja itu malam nanti. Kini saat yang dikhawatirkan telah tiba. Dan ia memang su?dah bersiap-siap untuk menghadapi ini. Maka, iapun cepat bersiap siaga dan malam itu, bagaikan bayangan setan, tanpa diketahui orang lain, ia menyelinap ke dalam kamar pribadi Sang Prabu Jayakatwang yang masih bercengkerama di luar bersama para selirnya yang menghiburnya, dan ia mengambil tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Lalu ia menyeli?nap kembali ke dalam kamar Puteri Gayatri yang siang tadi sudah ia beritahu. Puteri itu pun sudah siap. Nampak tegang, namun tetap tenang. Malam inilah saatnya untuk menentukan mati hidupnya. la akan lolos dari istana Daha bersama Wulansari. Kalau ketahuan dan dikeroyok mungkin ia akan tewas. Lebih baik ia mati dari pada harus melayani Sang Prabu Jayakatwang secara paksa.
Setelah mengikatkan buntalan kain berisi pakaian dan perhiasan dari Puteri Gayatri, Wulansari yang berpakaian ringkas itu lalu menggandeng tangan sang puteri dan merekapun meninggalkan bagian keputren. Wulansari maklum betapa besar bahayanya pelarian ini. Kalau ia sendiri yang melarikan diri, hal itu dianggapnya amat mudah. Akan tetapi kini ia harus melarikan seorang puteri yang tidak pandai bergerak cepat, seperti dirinya, dan ia harus melindungi sang puteri, maka pelarian itu harus dilakukan dengan amat berhati-hati.
Baru tiba di pintu puri bagian puteri, dua orang pengawal istana sudah memalangkan tombak menghadang mereka. Akan tetapi, dua orang pengawal itu terkejut dan heran ketika melihat bahwa dua orang yang mereka hadang itu adalah kepala pengawal atau komandan mereka sendiri, yaitu Wulansari. Dan yang se?orang lagi adalah Puteri Gayatri, puteri Singo?sari yang menjadi tawanan di istana.
"Ah, kiranya kau" kata seorang diantara dua penjaga itu sambil mengerutkan alisnya. "Kenapa kau bersama puteri ini dan hendak dibawa ke manakah ia ?"
Wulansari mengerutkan alisnya dan me?mandang marah. "Berani kalian menyelidiki dan menghalangi aku" Aku melaksanakan tugas rahasia dari Sribaginda. Kalian tidak perlu ribut dan tidak boleh tahu. Lakukan saja penjagaan baik baik sebelum aku pulang. Mengerti?"
Dibentak seperti itu, kedua orang penjaga ini menjadi terkejut dan nyali mereka menguncup. "Kami siap" mereka menjawab dengan sigap.
Wulansari tersenyum dan menggandeng ta?ngan Puteri Gayatri, diajaknya terus menyusup-nyusup keluar dan dalam iingkungan ista?na. Sementara itu Sang Prabu Jayakatwang me?rasa yakin bahwa malam itu dia akan berhasil menguasai diri Puteri Gayatri yang selama beberapa malam ini menjadi kembang impian dalam tidurnya. Dia bersuka ria di ruangan dalam, dihibur oleh para selir dan dayang, makan dan minum sambil mendengarkan me?reka bertembang, melihat mereka menari. Akhirnya, setelah kenyang, dalam keadaan setengah mabok diapun melangkah menuju ke kamar Puteri Gayatri. Biasanya, kalau dia menentukan pilihannya diantara para selir atau dayang untuk menemaninya pada malam tertentu, dia hanya menanti di dalam kamarnya dan wanita yang dipilihnya itulah yang datang ke kamarnya. Akan tetapi sekali ini dia tidak tega membiarkan Puteri Gayatri menderita malu, harus dilihat para selir dan dayang ketika memasuki kamarnya. Selain itu, diapun merasa agak sungkan dan malu kepada permaisuri dan para selir, karena bagaimanapun juga, Puteri Gayatri adalah adik dari seorang mantunya.
Dengan langkah gontai dan mulut tersenyum Sang Prabu Jayakatwang melangkah menuju ke kamar Puteri Gayatri. Kadang kadang dia menjilat bibir sendiri seperti seorang kehausan membayangkan minuman segar, dan dia me?rasa seperti seekor kumbang yang terbang menuja ke sekuntum bunga yang sedang mekar mengharum, penuh dengan madu yang sebentar lagi akan dihisapnya.
Setibanya di depan pintu kamar Puteri Gayatri, pria yang sudah dibuai nafsu berahinya sendiri itu menanti sambil mengetuk pintu, jantungnya berdebar tegang.
"Tok tok tok. Dyah Gayatri, bukalah daun pintu kamarmu. Aku datang menjengukmu, sayang...."
Akan tetapi, bcberapa kali sudah dia me?ngetuk dan memanggil, tidak ada jawaban dari dalam, apa lagi dibukakan pintunya. Dia mulai tidak sabar. Dengan mengetuk pintu dan memanggil, dia sudah merendahkan martabatnya sebagai seorang raja besar yang biasanya mengeluarkan perintah satu kali dan selalu ditaati orang. Maka, diapun lalu mendorong daun pintu itu. Ternyata mudah sekali terbuka.
"Gayatri......." Dia berseru memanggil dan jantung berdebar sambil melangkah masuk. Akan tetapi, dia segera terbelalak heran. Kamar itu kosong. Tidak nampak perawan manis yang dirindukannya. Dia merasa seperti seekor kucing memandangi sangkar burung yang kosong. Burungnya telah terbang pergi. Prabu Jayakatwang merasa adanya sesuatu yang janggal. Dia lalu berteriak me?manggil, "Wulansari...... " berulang kali dia
berteriak memanggil, akan tetapi gadis perkasa yang menjadi pengawal pribadinya dan yang pada akhir-akhir ini ditugaskan menjaga dan menemani Gayatri tidak menjawab, juga tidak muncul. Akibat teriakan-teriakannya, yang bermunculan adalah para perajurii pengawal, penjaga, para selir dan para dayang. Tidak nampak diantara mereka itu Gayatri maupun Wulansari.
"Kalian cari sampai dapat Gayatri dan Wu?lansari. Hayo cepat. Cari mereka sampai da?pat" Sang Prabu Jayakatwang berseru marah dan dengan bersungut-sungut diapun kembali ke kamarnya sendiri.
Laporan para dayang dan selir membuat dia semakin narah. Ternyata dua orang wanita itu benar-benar lenyap dari istana bagian pu?teri. Bahkan ketika para pengawal melapor, dia mendengar bahwa mereka berdua itu tidak terdapat pula di bagian lain dari istana. Me?reka telah lolos dari istana .
"Panggil kepala pengawal istana yang di luar" Teriak Sang Prabu Jayakatwang. Ketika perwira yang masih kumal karena baru bangun tidur itu datang, Sribaginda memerintahkan untuk mengerahkan seluruh pasukan dan melakukan pengejaran terhadap dua orang wanita yang lolos dari istana itu. Namun, tentu saja mereka itu gagal. Wulansari terlampau cerdik dan pandai bagi mereka. Selagi semua orang mencari-cari dengan bingung, Wulansari telah membawa Puteri Gayatri keluar dari tembok kota raja dan menggendong sang puteri berlari cepat naik turun bukit menuju ke selatan.
*** Biarpun hatinya masih merasa kecewa dan juga marah karena lolosnya Gayatri dan Wulansari dari dalam istana, namun wajah Sang Prabu Jayakatwang tidak memperlihatkan sesuatu ketika dia berada diantara para senopati dan menterinya, karena mereka semua sedang merayakan pesta Galungan. Dan tepat ketika Kerajaan Daha sedang merayakan pesta Ga?lungan inilah, utusan Raden Wijaya datang menghadap untuk memberitakan tentang kedatangan Raden Wijaya dari Sumenep.
Prabu Jayakatwang mengutus dua orang senopatinya menyambut dan tak lama kemudian, muncullah Raden Wijaya dengan sikapnya yang anggun dan tenang, disambut sendiri dengan rangkulan oleh Sang Prabu Jayakatwang.
Sama sekali Raden Wijaya tidak tahu bahwa tunangannya, Dyah Gayatri, baru tiga hari yang lalu, lolos dari istana yang berarti juga lolos dari cengkeraman Sang Prabu Jayakatwang yang hendak memaksanya menyerahkan diri dan menjadi selirnya.
Sang Prabu Jayakatwang sendiri juga bermain sandiwara. Ada suatu hal yang amat membingungkan hatinya. Bukan karena larinya Ga?yatri, gadis yang dirindukan, karena dia akan mampu memperoleh puluhan, bahkan ratusan orang gadis lain sebagai pengganti Gayatri, juga bukan karena kepergian Wulansari karena dia masih mempunyai banyak jagoan yang da?pat melindungi dirinya. Akan tetapi yang mem?buat dia merasa bingung dan berduka sekali adalah hilangnya tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Tombak pusaka itu yang dianggap sebagai pusaka yang mendatangkan wahyu kerajaan, bahkan dia tadinya merasa yakin bahwa akibat adanya tombak pusaka itu di tangannya, maka Daha berhasil menghancurkan Singosari. Dan kini tombak itu hilang. Dia merasa yakin bahwa tentu Wulansari yang mencurinya. Hanya dia dan Wulansari yang mengetahui di mana disimpannya tombak pusaka itu. Permaisuri dan para selirnyapun tidak ada yang mengetahui. Dan diapun tahu bahwa pusaka itu memang tadinya didapatkan oleh Wulansari, yang kemudian diberikan kepada Ki Cucut Kalasekti yang menyerahkan pusaka itu kepa?danya. Siapa lagi kalau bukan Wulansari, si pengkhianat itu yang mencurinya" Namun lenyapnya pusaka itu disimpan dan dirahasiakan sandiri. Tidak baik kalau sampai ketahuan para ponggawa dan senopati, karena hal itu dapat menjatuhkan semangat mereka.
Namun, malam kemarin diam-diam dia mengirim utusan kepada Ki Cucut Kalasekti atau yang kini telah menjadi seorang adipati di Bendowinangun bernama Adipati Satyanegara. Kakek yang memiliki kesaktian seperti iblis itu menghadap dan diajak bicara empat mata oleh Sang Prabu Jayakatwang, dan kepada ka?kek inilah Sribaginda bercerita bahwa Wulan?sari telah lolos dari istana dan membawa lari Ki Ageng Tejanirmala. Sribaginda menugaskan Adipati Satyanegara untuk mencari dan merampas kembali pusaka itu, dan dia diperbolehkan memilih pembantu diantara para senopati di Daha. Tentu saja Sribaginda menjanjikan hadiah yang amat besar kalau berha?sil, dan ancaman hukuman kalau tidak ber?hasil.
"Ingat, yang memasukkan Wulansari ke istana adalah kau, paman" demikian an?caman Sribaginda kepada Adipati Satyanegara.
Raden Wijaya dan para pengikutnya men?jadi pusat perhatian para senopati dan ponggawa Daha ketika mereka memasuki tempat pesta Galungan yang diadakan di alun-alun depan istana itu. Sang Prabu Jayakatwang yang menyambut pangeran muda itu dengan rangkulan, lalu mengajaknya duduk di tempat yang paling terhormat, yaitu di samping tem?pat duduk sang raja. Hidangan berlimpah ruah dan serba mewah. Akan tetapi, Raden Wijaya hanya melihat saja dan hanya kalau ditawari oleh Sribaginda, dia mau mengambil makanan yang serba sedikit. Pemuda ini keti?ka meninggalkan Sumenep, bersumpah bahwa dia akan berprihatin, tidak mau makan enak dan minum tuak sebelum cita-citanya bertemu kembali dengan Dyah Gayatri tercapai. Dan dia tidak melihat tunangannya itu diantara para puteri dan selir Sribaginda.
Hati Raden Wijaya mulai terasa gelisah. Kemana perginya Dyah Gayatri, pikirnya. Jangan-jangan ia telah menjadi korban perang" Sudah........ sudah tewas" Hatinya semakin ge?lisah.
Pesta Galungan itu ramai sekali dan seperti biasa, diadakan pula perlombaan dan ketangkasan bermacam macam. Diadakan pula adu kesaktian yang disaksikan oleh Sang Prabu Jayakatwang sendiri. Diantara para jagoan yang memasuki medan laga, nampak seorang laki-laki berkulit kasar seperti kulit buaya, wajahnya persegi empat dengan sepasang mata besar melotot, yang memiliki kemampuan jauh melebihi para lawannya. Satu demi satu lawannya dilemparkan keluar panggung dan kehebatannya ini disambut sorak sorai tepuk dan tangan para penonton, sedangkan para penabuh gamelan juga memukul gamelan mereka de?ngan gencar hingga sunsana menjadi meriah dan ramai sekali. Sang Prabu Jayakatwang dan para ponggawanya tertawa tawa gembira dan mereka merasa bangga dan kagum akan kehebatan jagoan yang bernama Klabang Gunung itu.
Klabang Gunung adalah seorang yang kasar. Melihat betapa semua orang memujinya, bah-kan rajanya juga mengaguminya, timbul kecongkakannya. Dia tahu pula bahwa di tempat itu terdapat serombongan tamu dari Singosari. Dan karena baru saja Singosari jatuh dan dikalahkan oleh Daha, maka diapun memandang rendah dan dalam kesempatan itu dia ingin meninggikan Daha dan meremehkan Singosari, agar makin menyenangkan hati Sang Prabu Ja?yakatwang dan para senopatinya. Setelah tidak ada seorangpun lawan tersisa di atas panggung, diapun mengangkat tangan memberi isarat ke?pada para penabuh gamelan untuk menghentikan tabuhan itu agar suasana menjadi hening karena dia hendak bicara. Gamelan berhenti dan kini Klabang Gunung memberi hormat sembah ke arah Sang Prabu Jayakatwang, lalu dia bangkit lagi memandang ke arah para tamu dari Singosari yang duduk berkelompok di sebelah kiri panggung.
"Saudara-saudara sekalian. Kalian sekalian mengetahui bahwa di Daha terdapat banyak sekali orang orang gemblengan, sakti mandraguna dan digdaya. Saya hanyalah seorang diantara mereka dan agaknya para saudara yang memiliki kesaktian, merasa sungkan untuk menandingi saya dalam lomba kedigdayaan ini. Dahulu, yang menandingi saya adalah jagoan-jagoan dari Singosari, akan tetapi saya tidak pernah kalah oleh mereka. Sayang sekali, se?karang Singosari telah kehabisan jago. Kalau saja di sini terdapat orang Singosari yang dig?daya dan jantan, alangkah senangnya kalau sa?ya dipat bertanding dengan dia" Jelas bahwa ucapannya itu merupakan tantangan bagi orang-orang Singosari.
Para senopati, pengikut Raden Wijaya. adalah orang-orang yang gagan perkasa, Mendengar bualan Klabang Gunung itu, tentu saja wajah mereka menjadi merah. Terutarna sekali Ki Lembu Sora yang berwatak keras dan pemberani. Dia melotot, kemudian dia menoleh ke arah Ridera Wijaya yang duduk di dekat Sang Prabu Jayakatwang. Raden Wijaya sendiripun malah men?dengar kesombangan Klabang Gunung, akan tetapi diapun berhati-hati dan tidak membiar?kan perasaannya terpancing tantangan dan menjadi marah. Kalau saja senopati lain yang melontarkan pandang mata kepadanya seperti yang dilakukan Lembu Sora, tentu dia akan menggeleng kepala karena dia tidak ingin membikin ribut, juga tidak ingin melihat se?orang pengikutnya dilempar keluar gelanggang oleh Klabang Gunung yang sombong itu. Akan tetapi ketika dia melihat Lembu Sora menoleh dan memandang kepadanya, Raden Wijaya segera mengangguk lirih. Dia cukup mengenal senopatinya yang seorang ini. Selain sakti mandraguna dan digdaya, juga Lembu Sora bukan seorang yang hanya mengandalkan keberanian dan kedigdayaan saja. Dia seorang yang panjang akal dan waspada, tidak sembrono, maka kalau Lembu Sora yang maju, Raden Wijaya percaya sepenuhnya bahwa pengikutnya ini pasti sudah memiliki perhitungan dan ti?dak mau sembarangan membikin ribut pesta Galungan Kerajaan Daha itu. Maka diapun cepat menghaturkan sembah kepada Sang Prabu Jayakatwang sambil berkata dengan sikap hormat.
"Harap paduka suka memaafkan kalau hamba menyuruh seorang pengikut hamba turut meramaikan pesta ini, Kanjeng Paman Prabu. Kalau paduka memperkenankan, hamba ingin mengajukan seorang ksatria pengikut hamba untuk menandingi Klabang Gunung agar suasana pesta bertambah meriah"
Sang Prabu Jayakatwang yang sudah terlalu banyak minum arak itu tertawa. "Hahaha, tidak ada orang vang mampu menandingi ke?kuatan Klabang Gunung. Akan tetapi kalau kau hendak mengajukan seorang jagoan, silahkan. Biar suasana pesta bertambah menggembirakan"
Raden Wijaya memberi isarat kepada Lem?bu Sora untuk maju. Pria yang bertubuh tegap dan bersikap tenang ini lalu bangkit dari tem?pat duduknya, lalu dia meloncat ke atas pang-gung. Melihat bahwa yang meloncat ke atas panggung adalah seorang dari Singosari, seorang diantara para pengikut Raden Wijaya, suasana menjadi tegeng dan tiba-tiba saja semua suara terhenti sehingga keadaan amat hening. Lem?bu Sora lalu berlutut menyembah ke arah tem?pat duduk Sang Prabu Jayakatwang dan Raden Wijaya sehingga dia yang menyembah ke arah Raden Wijaya itu nampaknya seperti juga menyembah ke arah Raja Daha.
"Hamba mohon diberi ijin untuk menan?dingi kedigdayaan Klabang Gunung" kata Ki Lembu Sora.
Tentu saja ucapan dan sembahnya itu ditujukan kepada Raden Wijaya, dan pangeran ini mengangguk tanpa menjawab. Akan tetapi, Sang Prabu Jayakatwang menjawab dengan lantang. "Baiklah, engkau boleh main menandingi Klabang Gunung. Jangan khawatir, kalau kau menang, akan kami beri hadiah, kalau kalah, akan kami beri bobok param untuk mengurangi rasa nyeri" Ucapan Sribaginda ini disambut dengan tawa oleh para senopati Daha yang mengenal siapa pria yang hendak menan?dingi Klabang Gunung itu.
Sementara itu, karena pertunjukan diada?kan di alun-alun, maka rakyat jelata banyak yang menonton, walaupun dari jarak yang sudah dibatasi. Gelanggang adu kedigdayaan itu berada di atas panggung, maka cukup jelas dapat ditonton oleh rakyat yang berada di luar batas.
Lembu Sora kembali menyembah, lalu bangkit berdiri dan menghampiri Klabang Gunung yang memandang kepadanya sambil menyeringai sombong. Kini mereka saling berhadapan. Biarpun Lembu Sora termasuk seorang laki-laki yang bertubuh tegap dan berotot, namun sete?lah berhadapan dengan Klabang Gunung, dia nampak kecil. Klabang Gunung mirip raksasa, apa lagi karena tubuh atasnya yang telanjang itu memperlihatkan kulit yang keras dan kasar seperti bersisik, Tadi Lembu Sora sudah melihat betapa semua pukulan dan tendangan para lawan Klabang Gunung, sedikitpun tidak pernah mampu melukai kulit yang keras itu. Dan tadi dia sudah melihat betapa besarnya tenaga tubuh raksasa ini yang mampu melemparkan para lawan satu demi satu ke?luar panggung.
Klabang Gunung menyambut Lembu Sora dengan mulut tersenyum lebar, menyeringai sombong. Dia tidak mengenal Lembu Sora, maka diapun dapat menduga bahwa tentu orang ini merupakan seorang diantara para tamu dari Singosari.
"Apakah kau seorang dari Singosari ?" tanyanya langsung saja, Memang watak Kla?bang Gunung ini kasar dan tidak pernah memperdulikan tata sopan santun. Apa lagi dia memang amat menyombongkan kedigdayaan dirinya. "Siapa namamu?"
"Aku memang dari Singosari, namaku Lem?bu Sora" jawab Ki Lembu Sora dengan te?nang.
"Aha. Bukankah Lembu Sora itu seorang senopati Singosari" Bagus, masih ada senopati Singosari tercecer " Lembu Sora, kau se?orang tamu, maka harus disambut secara istimewa pula. Kalau tadi, para lawanku hanya kulemparkan ke bawah panggung, untuk andika akan kupatah-patahkan kedua kaki dan lenganmu, baru kulempar ke bawah panggung"
Gamelan sudah dipukul gencar sehingga ucapan Klabang Gunung itu hanya dapat terdengar oleh Lembu Sora saja. Lembu Sora ter?senyum, tidak mau dipancing kemarahannya oleh kata kata yang merendahkan itu, lalu menjawab tenang.
"Klabang Gunung, coba hendak kulihat apa?kah kau mampu membuktikan omonganmu itu, ataukah kau hanya tukang membual belaka"
"Jaga seranganku" bentak Klabang Gunung dan dia sudah mengambil sikap atau kuda-kuda yang dinamakan "Biruang Mengamuk". Dia berdiri dengan kedua kaki terpentang, kedua lengan dikembangkan ke atas dan kedua tangannya membentuk cakar, siap untuk menerkam. Matanya melotot merah, mulutnya menyeringai dan napasnya mendengus-dengus seperti seekor kuda. Baru sikapnya saja sudah dapat membuat lawan menjadi gentar. Namun Lembu Sora bersikap tenang saja. Dia berdiri dengan kaki kanan di depan kaki kiri di belakang, lutut agak ditekuk, tangan kanan menempel di pinggang kanan dengan jari terbuka dan telapak tangan telentang, sedangkan tangan kiri berada. di depan, menempel di dada dengan jari-jari tangan lurus ke atas, sepasang matanya tajam menatap lawan, pecuh kewaspadaan.
"Grrrrr........" Dari mulut Klabang Gunung keluar gerengan seperti seekor binatang buas dan diapun sudah menubruk ke depan, kedua tangannya menerkam dari atas untuk mencengkeram kepala dan pundak lawan. Gerakannya itu selain amat kuat, juga cepat bukan main.
"Namun, Lembu Sora lebih cepat lagi mengelak sehingga terkaman itu hanya mengenai tempat kosong saja. Lembu Sora tidak segera membalas, banya tenang menanti sampai lawan membalik dan kini tangan kanan raksasa itu menyambar dari atas samping mengarah kepalanya, sedangkan tangan kirinya, pada detik berikutnya, me?nyambar dari bawah seolah-olah kedua tangan itu hendak menggencet dari atas bawah. Serangan ini berbahaya bukan main. Namun, Lembu Sora kembali memperlihatkan kelincahan gerakan tubuhnya dan dia sudah menghindarkan diri dengan melangkah mundur sehingga kedua tangan yang menyerang itu kembali mengenai tempat kosong.
"Tarrr" Kedua telapak tangan Klabang Gunung bertemu di udara dan mengeluarkan suara seperti ledakan, Diam-diam Lembu Sora terkejut, Tak disangkanya sedemikian hebatnya tenaga lawan itu.
"Heiiiitttt......." Kembali Klabang Gunung menyerang, kini tangan kirinya menampar ke arah pelipis kanan Lembu Sora, dan tangan anannya yang dikepal, menyusul dengan tonjokan maut ke arah dada.
"Wut....... wuuuttt" dan serangan kedua tangan itu menyambar.
"Wirrr......., luput lagi, Klabang Gunung"
Lembu Sora mempermainkan lawan dengan kelincahannya mengelak.
"Pengecut, jangan lari. Kalau memang jantan, terimalah seranganku" bentak Klabang Gunung yang semakin penasaran dan marah karena berulang kali serangannya hanya me-ngenai angin kosong belaka. Dia lalu tiba-tiba melakukan tendangan. Kaki kanan yang panjang dan berat itu menyambar ke arah dada lawan.
"Ambrol dadamul" bentaknya. Kembali Lembu Sora mengelak dengan cekatan.
"Luput, Klabang Gunung"
"Pengecut, balaslah menyerang, jangan lari saja" Klabang Gunung membentak Lawannya terlalu cekatan, dan dia merasa seperti bertanding melawan seekor burung walet saja, sukar sekali serangannya mengenai sasaran.
"Baik, kau terima seranganku ini"
Lembu Sora kini menghantamkan kepalan kanannya Ke arah dada lawan, Klabang Gunung maklum bahwa lawannya ini bukan orang lemah, maka diapun mempergunakan tangan ka?nan yang berjari panjang dan besar itu untuk menangkis dari tengah, langsung tangannya diputar dan dia berhasil menangkap pergelangan tangan Lembu Sora.
Senopati Singosari ini terkejut. Tak disangkanya bahwa si raksasa Daha ini memiliki banyak macam ilmu, diantaranya ilmu tangkapan secepat itu. Begitu pergelangan tangannya ditangkap, Lembu Sora mengeluarkan teriakan nyaring, menarik ta?ngan yang dicengkeram lawan, Klabang Gu?nung mengerahkan tenaga mempertahankan dan pada saat tubuhnya condong ke depan itu. Lembu Sora tiba-tiba menarik lengan kanan. yang pergelangannya dicengkeram, kakinya maju ke depan dan tubuhnya condong ke de?pan dengan siku kanan menghantam ke arah dada lawan.
"Dukkk" Siku kanan Lembu Sora dengan kerasnya menghantam dada Klabang Gunung dan pada saat itu, Lembu Sora merenggut lengannya yang dicengkeram itu lepas melalui. ibu jari dan telunjuk tangan yang. mencengkeram. Lengannya terlepas dan hebatnya, Klabang Gunung yang terkena hantaman siku pada dadanya tadi hanya mundur dua langkah saja. Ternyata tubuhnya memang kebal sehingga hantaman siku yang keras tadi tidak membuatnya merasa nyeri. Hanya membuat dia marah bukan main dan sambil mengeluarkan gerengan seperti srigala, diapun menerjang ke depan.
Kini, kedua tangannya yang dikepal melakukan pukulan bertubi tubi dari depan, atas
dan bawah. Namun, Lembu Sora juga mengelak dan menangkis sehingga semua pukulan lawan dapat dihindarkan. Bahkan diapun mulai membalas dengan tamparan dan pukulan yang jugar dapat ditangkis dengan baik oleh Klabang Gunung. Pertandingan itu semakin lama men?jadi semakin seru. Pukul memukul, tendang menendang, tampar menampar, kadang-kadang mereka mengadu tenaga dengan kedua tangan saling tangkap, beradu dada, mengerahkan tenaga sehingga panggung itu kadang-kadang tergetar hebat.
Penonton bersorak sorai. Belum pernah mereka menyaksikan pertarungan sehebat itu.
Lembu Sora juga merasa penasaran sekali. Lawannya ternyata lebih digdaya dari pada yang dia bayangkan. Ketika lawan memukul dan dia mengelak kekiri, lalu melihat kesempatan baik selagi tubuh lawan condong membungkuk, diapun cepat mengirim tendangan dengan kaki kanan secepat kilat ke arah dada lawan.
Benar saja seperti yang dikatakan Wulansari, jenazah Pangeran Sindumoyo ditemukan orang dan setelah berita itu sampai ke istana, penghuni istana menjadi gempar Sang Prabu Jayakatwang marah sekali mendengar bahwa seorang diantara para puteranya tewas di dalam hutan tanpa diketahui siapa pembunuhnya.
"Tidak salah lagi. Pembunuhnya tentu pihak musuh, seorang mata-mata dari Singosari. Cari dia sampai dapat dan seret dia ke sini" perintahnya dengan muka merah. Namun, tentu saja tidak ada yang mampu menangkap pembunuh yang tidak diketahui siapa itu dan pembunuh itu sama sekali tidak meninggalkan jejak. Lebih mengherankan lagi, pangeran itu tewas dengan kerisnya sendiri menancap di lambungnya. Karena itu, para penyelidik mengira bahwa pangeran itu tentu telah membunuh diri. Ketika mereka membuat laporan kepada Sang Prabu Jayakatwang, raja itu hanya termenung dengan wajah muram. Akan tetapi, kemurungan ini hanya sebentar saja karena dia sudah disibukkan kembali dengan kemenangannya atas Singosari yang telah diduduki
pasukannya. Semenjak terjadinya peristiwa itu, Puteri Gayatri bersahabat akrab sekali dengan Wulansari. Ia tidak lagi mogok makan, tidak lagi bermuram durja. Timbul kembali kelincahan dan kejenakaannya sehingga dara remaja menjelang dewasa ini nampak lebih cantik dan anggun. Dan pada suatu hari, Sang Prabu Jayakatwang memanggil Wulansari menghadap. Gadis perkasa ini merasa heran mengapa ia dipanggil menghadap Sribaginda tanpa adanya para ponggawa yang lain dan Sribaginda mengajak ia bicara empat mata.
Melihat sikap Wulansari yang nampak heran dan bingung, Sang Prabu Jayakatwang tersenyum. "Wulansari, jangan engkau merasa heran karena. kupanggil menghadap dan bicara empat mata, Kita semua merayakan kemenangan besar yang kita capai, kita telah menguasai Singosari. Maka, biarpun engkau selama ini bertugas di sini menjaga keselamatanku dan tidak ikut menyerbu ke Singosari, namun jasamu cukup besar dan karena itu ingin aku memberi hadiah kepadamu. Terimalah hadiah ini, Wulansari. Ini sebagian dari harta pusaka yang kami rampas dari istana Singosari" Sang Prabu Jayakatwang menyerahkan sebuah peti hitam kepada gadis itu. Wulansari menerima lalu menyembah dan menghaturkan terima kasih.
"Bukalah, Wulansari dan lihat isinya. Eng?kau akan gembira melihatnya" kata Sang Prabu Jayakatwang melihat betapa wanita itu setelah menerima kotak hitam lalu menaruhnya saja di atas lantai. Wulansari tidak berani membantah dan iapun membuka tutup kotak atau peti kecil hitam itu. Ia melihat perhiasan lengkap dari emas dan batu permata, amat indahnya. Walaupun hatinya tidak begitu tertarik akan benda-benda berharga seperti itu, namun gadis yang cerdik ini sengaja membelalakkan matanya dan memandang kagum.
"Benda benda amat berharga ini bagus sekali, gusti. Sekali lagi hamba menghatur?kan banyak terima kasih" Wulansari me?nyembah setelah menutup kembali kotak hi?tam itu.
Prabu Jayakatwang tertawa. "Wulansari, hadiah yang kami berikan kepadamu itu masih belum seberapa dibandingkan dengan jasa-jasamu. Kami merasa girang sekali melihat perubahan pada Puteri Gayatri yang kini nampak sehat, gembira dan bertambah denok ayu. Dan sekarang kami membutuhkan bantuanmu, Wu?lansari. Kami melihat betapa hubunganmu dengan Gayatri akrab sekali"
"Sesungguhnya demikian, gusti. Semua ini hamba lakukan untuk menyenangkan hatinya dan menghibur hatinya seperti yang paduka perintahkan"
"Bagus. Engkau memang seorang hamba yang amat setia. Sayang sekali engkau tidak mau menjadi seorang selirku, Wulansari. Akan tetapi tidak mengapalah. Sekarang sudah ada penggantimu, yaitu Gayatri. Engkau bujuk ia agar suka menjadi selirku"
Wajah Wulansari berubah merah dan matanya terbelalak. Melihat ini, Sang Prabu Jayakatwang cepat menyambung. "Diantara kami tidak ada hubungan darah sama sekali, Wulan?sari. Memang benar ada puteraku yang menjadi kakak ipar dari Gayatri, namun ikatan pernikahan itu dilakukan hanya sebagai siasat Daha terhadap Singosari. Antara kami dan Gayatri, tidak terdapat hubungan darah, maka sudah sepatutnya kalau ia, seorang puteri tawanan kuangkat menjadi selirku yang paling muda. Nah, aku perintahkan kepadamu agar engkau suka membujuknya, Wulansari. Kalau engkau berhasil membuat ia suka menyerahkan diri dengan suka rela, kami akan mengingat jasamu yang besar ini dan akan memberi hadiah yang lebih besar pula"
Di dalam hatinya, Wulansari merasa marah dan khawatir bukan main. Akan tetapi, tentu saja semua perasaan itu ia simpan di dalam hatinya, dan iapun menyembah. "Hamba akan berusaha sekuat kemampuan hamba"
Setelah ia diijinkan mundur, Wulansari membawa kotak hitam itu dan ia langsung saja memasuki kamar Puteri Gayatri. Sang puteri sedang menyisiri rambutnya yang berikal dan panjang, hitam dan semerbak harum oleh air kembang. Melihat Wulansari tidak seperti biasanya, wajah yang cantik dan anggun itu nampak muram, mulutnya yang biasanya penuh senyum ramah itu ditekuk kaku, Puteri Gayatri segera bangkit dari duduknya dan merangkul Wulansari.
"Mbakayu Wulan, apa yang telah terjadi" Bukankah tadi engkau dipanggil oleh Paman Prabu?"
Wulansari melemparkan kotak hitam itu ke atas meja. Tutupnya terbuka dan nampak isinya, perhiasan lengkap dari emas permata yang amat indahnya. Melihat itu, Gayatri mengeluarkan seruan lirih dan iapun mendekati meja, lalu memegang kotak hitam itu dan mengamati isinya.
"Aihh........, ini........ ini....... perhiasan se?orang selir kanjeng rama........"
Wulansari mengangguk. "Memang itu adalah perhiasan rampasan dari istana Singosari, dan Sribaginda berkenan memberikan kepada saya sebagai hadiah" kata Wulansari, suaranya kaku dan wajahnya sama sekali tidak membayangkan kegembiraan.
Puteri Gayatri menengok dan memandang heran. "Mbakayu Wulan. Perhiasan ini amat berharga, mengapa engkau tidak senang mendapat hadiah seperti ini?"
"Hemm, gusti puteri, apakah kau menganggap saya ini seorang perempuan yang tamak dan tergila-gila kepada perhiasan" Ketahuilah, Sribaginda memberi hadiah itu kepada saya bukan hanya karena jasa saya di sini, melainkan karena di balik itu, beliau memiliki pamrih"
"Eh" Pamrih" Apa pamrihnya, mbak ayu Wulan?"
"Beliau mengutus saya untuk membujuk paduka, agar paduka dengan suka rela suka menjadi selirnya termuda "
"Brakkk" Peti kecil yang tadinya dipegang di tangan Puteri Gayatri itu terlepas dan terjatuh ke atas meja kembali. Wajah puteri itu berubah merah sekali dan matanya mencorong penuh kemarahan.
"Gila. Apakah dia sudah gila" Paman Pra?bu......... hendak........ mengambil aku menjadi
selirnya" Bahkan seorang kakak tiriku menjadi mantunya. Apakah dia sudah gila?"
"Tidak, gusti puteri. Akan tetapi, begituIah perintahnya kepada saya. Untuk membu?juk paduka agar suka menjadi selirnya" Berkata demikian Wulansari menatap tajam wa?jah puteri dari Singosari itu, seperti hendak menjenguk isi hatinya.
"Tidak. Sekali lagi tidak sudi. Lebih baik aku mati dari pada menjadi selirnya. Dia telah menghancurkan kerajaan ayahku, dia telah membasmi keluargaku, sehingga kanjeng rama gugur dan entah bagaimana dengan keluarga lain. Tidak. Seribu kali aku tidak sudi" Pu?teri Gayatri lalu melempar tubuhnya ke atas pembaringan, menelungkup dan menangis sesenggukan.
Wulansari memandang khawatir, lalu ia duduk di tepi pembaringan, dan merangkul puteri juwita itu. Ia khawatir kalau kalau sang puteri kembali menjadi berduka dan putus asa maka iapun menghibur.
"Eiit, eitt......... Di manakah sang puteri yang jenaka, riang gembira, tabah dan berani menghadapi segala macam tantangan itu" Gusti puteri, tenang dan sadarlah, kembalilah men?jadi Sang Puteri Dyah Gayatri yang tabah dan berwatak satrya. Saya akan melindungimu, gus?ti, dan percayalah, sayapun sama sekali tidak setuju kalau paduka menjadi selir Sribaginda. Percayalah, saya yang akan menjaga agar jangan sampai paduka dipaksa"
Seketika tangis itu terhenti. Puteri Gayatri bangkit duduk dan dengan muka masih basah air mata, ia memandang kepada wajah Wulan?sari, penuh selidik dan suaranya masih terdengar parau bercampur isak ketika ia berkata, "Benarkah itu, mbakayu Wulansari" Benarkah engkau akan melindungi aku dan mencegah Sribaginda memaksaku menjadi selirnya?"
Wulansari mengangguk, tersenyum dan mengusap muka yang jelita itu dengan saputangan, mengeringkan air mata. Dan wajah itupun kini tersenyum kembali, mata itu bersinar-sinar kembali.
"Terima kasih, mbak ayu Wulan. Aku percaya, kalau andika yang menjaga, aku akan selamat. Percayalah bahwa selama hidupku, aku tidak akan melupakan budi kebaikanmu ini" Puteri Gayatri lalu merangkul dan mencium kedua pipi Wulansari yang menahan air matanya karena terharu. la lalu berkata dengan lirih akan tetapi jelas dan dengan sikap bersungguh-sungguh.
"Sekarang dengarlah baik baik, gusti pu?teri. Jelas bahwa Sribaginda tergila-gila kepadamu dan ingin mengambil puteri sebagai selirnya. Akan tetapi, agaknya beliau menghendaki agar paduka menyerahkan diri de?ngan suka rela, tanpa paksaan, tentu saja mengingat bahwa paduka adalah seorang pu?teri Singosari. Oleh karena itu, masih banyak waktu bagi paduka untuk bersikap tenang saja, dan jangan memperlihatkan kedukaan atau kekhawatiran sehingga tidak mendatangkan kecurigaan kepada Sribaginda. Kalau se?kali waktu Sribaginda bicara tentang niat ha?tinya itu, paduka katakan saja bahwa paduka masih ingin sendiri, masih belum mempunyai keinginan untuk melayani pria. Pula, paduka boleh mencari alasan, dan katakan kepada Sribaginda bahwa paduka baru mau menikah kalau sudah bertemu dengan kakak paduka, yaitu Sang Puteri Dyah Tribuwana. Bukankah menurut keterangan paduka, paduka terpisah dari kakak paduka itu dan sampai kini belum diketahui di mana adanya beliau " Tidak mungkin kakak paduka tertawan, karena tentu saya akan mengetahuinya. Nah, alasan itu cukup masuk akal dan kuat. Kalau sampai terjadi Sribaginda hendak memaksakan kehendaknya, jangan khawatir, ada saya di sini yang akan melindungi paduka"
Puteri Gayatri merasa girang sekali dan kembali ia merangkul Wulansari dan sampai lama tidak melepaskan rangkulannya. "Ah, aku tidak tahu apa yang harus kulakukan kalau tidak ada andika di sini, mbakayu....."
*** "Kanjeng paman telah menerima saya de?ngan segala keramahan, sungguh budi paman ini teramat besar, tergores ke dalam kalbu dan sampai bagaimanapun saya tidak akan melupakannya. Saya merasa bersukur dan berterima kasih sekali kepada Kanjeng Paman dan sekeluarga" Raden Wijaya menyatakan isi hatinya ketika dia makan bersama Bupati Sumenep, yaitu Arya Wiraraja atau juga dikenal dengan nama Arya Banyak Wide. Bupati itu tertawa mendengar ucapan Raden Wijaya.
"Ah, jangan terlalu sungkan, Raden. Raden adalah seorang pangeran, dan sekarang ini hanya padukalah harapan kami semua. Raden yang kelak berkewajiban untuk membangun kembali Kerajaan Singosari. Raden adalah junjungan kami semua, maka sudah sewajarnya kalau sekarang ini kami menerima paduka dan membantu sekuat kemampuan kami"
"Paman Bupati memang amat bijaksana dan berhati mulia," kata Raden Wijaya terharu. "Biarlah saya berjanji bahwa kalau kelak berhasil perjuangan saya, dapat menjadi raja di Pulau Nusantara, saya tidak akan lupa kepada paman dan akan membagi kerajaan menjadi dua, dan yang separuh akan saya berikan ke?pada kanjeng paman sebagai balas budi"
Mendengar ucapan ini, diam diam Arya Wiraraja terkejut, akan tetapi juga girang bukan main, Makin besarlah hatinya dan keyakinannya untuk membantu pangeran ini agar berhasil apa yang dicitakannya, karena dengan demikian berarti dia akan mendapat anugerag yang amat besar pula.
"Raden, tiada hasil baik datang begitu saja dari langit. Keberuntungan harus ditebus dengan usaha dan jerih payah. Kerajaan Daha kini menjadi kuat dan kekuatan kita sendiri tidak dapat dibandingkan dengan kekuatan mereka. Oleh karena itu, belum waktunya untuk membalas dendam, menyerang Kerajaan Daha. Kalau gagal, berarti kita akan hancur sama sekali. Oleh karena itu, paduka harus bersabar, menanti saatnya yang tepat sehingga kelak, sekali pukul, paduka harus berhasil"
Raden Wijaya mengangguk-angguk, menyetujui ucapan itu. "Lalu, menurut paman, apa yang sebaiknya harus saya lakukan?"
"Pertama, kita harus dapat membuat Sang Prabu di Daha tidak menaruh kecurigaan kepada paduka dan bal ini dapat dilakukan kalau paduka berbaik dengan beliau. Kedua, paduka harus dapat menyelidiki sampai dimana kekuatan pasukan Kerajaan "Daha, agar kelak dapat membuat perbandingan untuk mengimbanginya. Dan untuk mencapai hasil baik dari kedua hal ini, seyogianya kalau pa?duka kini pergi ke Daha dan menghambakan diri kepada Sang Prabu Jayakatwang"
"Apa......" Ti...... tidak kelirukah usul paman ini?" Raden Wijaya terkejut bukan main mendengar usul Arya Wiraraja agar dia menghambakan diri kepada Raja Daha, ke?pada musuh yang telah menghancurkan Si?ngosari.
Melihat kekagetan pangeran itu, Arya Wi?raraja tertawa. "Memang terasa aneh bahwa paduka menghambakan diri kepada pihak mu?suh, Raden, Akan tetapi harap paduka mengerti bahwa yang dimusuhi oleh Sang Prabu Jayakatwang bukanlah Raden, melainkan mendiang Sang Prabu Kertanagara. Dalam keluarga Sang Prabu Kertanagara, Raden hanyalah calon mantu. Percayalah, karena saya sudah seringkali bercangkerama dengan Sang Prabu Jayakatwang sehingga saya mengetahui isi ha?tinya. Untuk menenangkan hati paduka, baiklah saya akan menulis surat pribadi kepada Sang Prabu Jayakatwang, menceritakan tentang niat Raden menghambakan diri ke sana, dan kita lihat saja bagaimana nanti jawabannya"
Raden Wijaya menyetujui karena dia tidak melihat jalan lain yang lebih baik. Memang dia harus dapat memasuki Daha, bukan hanya untuk menyelidiki kekuatan mereka, akan tetapi juga untuk mencari tunanganya. Yang kedua, yaitu Puteri Gayatri yang kabarnya men?jadi tawanan di Daha, Surat dibuat oleh Arya Wiraraja dan dikirimkan ke Kerajaan Daha.
Tepat seperti yang sudah diperhitungkan Arya Wiraraja, surat itu mendapat jawaban yang menyenangkan sekali. Sang Prabu Jaya?katwang yang sedang merayakan pesta kemenangannya itu berbesar hati dan memperlibatkan kebijaksanaannya untuk menerima Raden Wijaya sebagai tamu terhormat dan akan diterima kalau hendak membantu Kerajaan Daha.
Setelah menerima surat balasan ini, Raden Wijaya mengadakan pertemuan dan rapat dengan Arya Wiraraja dan sekalian pengikutnya. Lalu diambil keputusan bahwa Raden Wijaya, dan para pengikutnya akan memasuki Daha, dan Pu?teri Tribuwana ditinggalkan untuk sementara di Sumenep. Bagaimanapun juga, perjalanan menuju ke kerajaan bekas musuh itu bukan tidak berbahaya, maka demi keselamatannya, sang puteri ditinggalkan di Kabupaten Sumenep.
Rombongan itu berangkat dan diantar sendiri oleh Arya Wiraraja sampai ke dusun Terung. Di sini mereka berpisah, Raden Wijaya dan rombongannya melanjutkan perjalanan ke Da?ha seJangkan Arya Wiraraja kembali ke Su?menep. Setelah tiba perbatasan Daha, Raden Wijaya dan rombongannya menuju ke Jung Bitu dan dia lalu menyuruh dua orang utusannya ke Daha untuk menghadap Sribaginda dan mengabarkan tentang kedatangannya.
Seperti yang telah dijanjikan dalam surat balasannya kepada Arya Wiraraja, Sang Prabu Ja?yakatwang menerima mereka dengan gembira. Diutusnya dua orang senopatinya, yaitu Mantri Sagara Winotan dan Jangkung Angilo untuk menyambut rombongan Raden Wijaya ke kota raja.
Raden Wijaya sama sekali tidak tahu bah?wa baru beberapa bari yang lalu, setelah Sang Prabu Jayakatwang menerima surat dari Arya Wiraraja telah terjadi suatu hal yang menimpa diri tunangannya yang kedua, yaitu Sang Dyah Gayatri. Apakah yang telah terjadi"
Ketika Sang Prabu Jayakatwang menerima surat dari Bupati Sumenep, Arya Wiraraja, diapun merasa senang sekali. Kalau Raden Wijaya hendak menghambakan diri kepadanya, hal ini berarti bahwa dari pihak keluarga Kerajaan Singosari sudah tidak ada lagi ancaman, tidak ada lagi usaha balas debdam. Dan memang dia tidak membenci Raden Wijaya yang biasanya amat hormat kepadanya. Yang dibencinya hanyalah Sribaginda Kertanagara. Akan tetapi ada sebuah hal yang mengganjal hatinya, yaitu Puteri Gayatri. Tentu saja dia sudah mendengar bahwa puteri itu telah ditunangkan dengan Raden Wijaya. Kalau pemuda itu datang dan bekerja di Daha, sungguh tidak enak rasanya kalau dia tetap menahan Puteri Gayatri. Tentu dia terpaksa akan mengembalikan sang puteri kepada tunangannya. Dan dia sudah tergila-gila kepada dara hitam manis yang cantik jelita itu.
Satu-satunya jalan hanyalah mempersunting gadis itu, mengambilnya sebagai selir sebelum Raden Wijaya tiba. Kalau gadis itu sudah terlanjur menjadi selirnya, sudah melayaninya, tentu Raden Wijaya tidak akan mau menerima tunangannya yang sudah bukan perawan lagi itu. Dan dia sendiri dapat berpura-pura tidak tahu akan pertunangan itu.
"Panggil Wulansari" perintahnya kepada se?orang dayang.
Setelah Wulansari datang menghadap, Sri?baginda memerintah semua dayang, pengawal dan selir meninggalkan ruangan itu karena dia ingin bicara berdua saja dengan Wulansari. Se?telah semua orang pergi, Sang Prabu Jayakatwang memandang Wulansari dan bertanya de?ngan suara penuh harapan.
"Bagaimana dengan Gayatri, Wulansari" Apakah ia sekarang sudah bersedia untuk menjadi selirku?"
Wulansari menyembah. "Sudah hamba usahakan untuk membujuknya, gusti. Akan tetapi ia selalu mengatakan bahwa ia belum bersedia melayani pria, dan bahwa ia harus menanti dulu sampai bertemu kembali dengan kakaknya, yaitu Gusti Puteri Tribuwana, baru ia mau me?nerima pinangan paduka. Hamba hanya mengharap agar paduka bersabar, gusti, karena ia masih seorang remaja, belum dewasa benar"
"Seorang perawan berusia tujubelas tahun belum dewasa" Ah, Wulansari agaknya ia sengaja hendak mempersulit. Mau atau tidak, malam ini aku akan bermalam dan tidur di kamarnya dan ia harus melayaniku malam ini. Kesabaranku sudah habis, dan kau usahakan agar ia menerimaku dengan suka rela, dari pada ha?rus dipaksa" Setelah berkata demikian, de?ngan wajah muram Sribaginda memberi isarat kepada Wulansari untuk pergi.
Wulansari kembali ke kamarnya dan beberapa kali ia mengepal tinju. Ingin rasanya tadi ia turun tangan membunuh Sang Prabu Jayakatwang ketika raja itu menyatakan ke?inginan hatinya hendak memaksa Gayatri untuk melayani raja itu malam nanti. Kini saat yang dikhawatirkan telah tiba. Dan ia memang su?dah bersiap-siap untuk menghadapi ini. Maka, iapun cepat bersiap siaga dan malam itu, bagaikan bayangan setan, tanpa diketahui orang lain, ia menyelinap ke dalam kamar pribadi Sang Prabu Jayakatwang yang masih bercengkerama di luar bersama para selirnya yang menghiburnya, dan ia mengambil tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Lalu ia menyeli?nap kembali ke dalam kamar Puteri Gayatri yang siang tadi sudah ia beritahu. Puteri itu pun sudah siap. Nampak tegang, namun tetap tenang. Malam inilah saatnya untuk menentukan mati hidupnya. la akan lolos dari istana Daha bersama Wulansari. Kalau ketahuan dan dikeroyok mungkin ia akan tewas. Lebih baik ia mati dari pada harus melayani Sang Prabu Jayakatwang secara paksa.
Setelah mengikatkan buntalan kain berisi pakaian dan perhiasan dari Puteri Gayatri, Wulansari yang berpakaian ringkas itu lalu menggandeng tangan sang puteri dan merekapun meninggalkan bagian keputren. Wulansari maklum betapa besar bahayanya pelarian ini. Kalau ia sendiri yang melarikan diri, hal itu dianggapnya amat mudah. Akan tetapi kini ia harus melarikan seorang puteri yang tidak pandai bergerak cepat, seperti dirinya, dan ia harus melindungi sang puteri, maka pelarian itu harus dilakukan dengan amat berhati-hati.
Baru tiba di pintu puri bagian puteri, dua orang pengawal istana sudah memalangkan tombak menghadang mereka. Akan tetapi, dua orang pengawal itu terkejut dan heran ketika melihat bahwa dua orang yang mereka hadang itu adalah kepala pengawal atau komandan mereka sendiri, yaitu Wulansari. Dan yang se?orang lagi adalah Puteri Gayatri, puteri Singo?sari yang menjadi tawanan di istana.
"Ah, kiranya kau" kata seorang diantara dua penjaga itu sambil mengerutkan alisnya. "Kenapa kau bersama puteri ini dan hendak dibawa ke manakah ia ?"
Wulansari mengerutkan alisnya dan me?mandang marah. "Berani kalian menyelidiki dan menghalangi aku" Aku melaksanakan tugas rahasia dari Sribaginda. Kalian tidak perlu ribut dan tidak boleh tahu. Lakukan saja penjagaan baik baik sebelum aku pulang. Mengerti?"
Dibentak seperti itu, kedua orang penjaga ini menjadi terkejut dan nyali mereka menguncup. "Kami siap" mereka menjawab dengan sigap.
Wulansari tersenyum dan menggandeng ta?ngan Puteri Gayatri, diajaknya terus menyusup-nyusup keluar dan dalam iingkungan ista?na. Sementara itu Sang Prabu Jayakatwang me?rasa yakin bahwa malam itu dia akan berhasil menguasai diri Puteri Gayatri yang selama beberapa malam ini menjadi kembang impian dalam tidurnya. Dia bersuka ria di ruangan dalam, dihibur oleh para selir dan dayang, makan dan minum sambil mendengarkan me?reka bertembang, melihat mereka menari. Akhirnya, setelah kenyang, dalam keadaan setengah mabok diapun melangkah menuju ke kamar Puteri Gayatri. Biasanya, kalau dia menentukan pilihannya diantara para selir atau dayang untuk menemaninya pada malam tertentu, dia hanya menanti di dalam kamarnya dan wanita yang dipilihnya itulah yang datang ke kamarnya. Akan tetapi sekali ini dia tidak tega membiarkan Puteri Gayatri menderita malu, harus dilihat para selir dan dayang ketika memasuki kamarnya. Selain itu, diapun merasa agak sungkan dan malu kepada permaisuri dan para selir, karena bagaimanapun juga, Puteri Gayatri adalah adik dari seorang mantunya.
Dengan langkah gontai dan mulut tersenyum Sang Prabu Jayakatwang melangkah menuju ke kamar Puteri Gayatri. Kadang kadang dia menjilat bibir sendiri seperti seorang kehausan membayangkan minuman segar, dan dia me?rasa seperti seekor kumbang yang terbang menuja ke sekuntum bunga yang sedang mekar mengharum, penuh dengan madu yang sebentar lagi akan dihisapnya.
Setibanya di depan pintu kamar Puteri Gayatri, pria yang sudah dibuai nafsu berahinya sendiri itu menanti sambil mengetuk pintu, jantungnya berdebar tegang.
"Tok tok tok. Dyah Gayatri, bukalah daun pintu kamarmu. Aku datang menjengukmu, sayang...."
Akan tetapi, bcberapa kali sudah dia me?ngetuk dan memanggil, tidak ada jawaban dari dalam, apa lagi dibukakan pintunya. Dia mulai tidak sabar. Dengan mengetuk pintu dan memanggil, dia sudah merendahkan martabatnya sebagai seorang raja besar yang biasanya mengeluarkan perintah satu kali dan selalu ditaati orang. Maka, diapun lalu mendorong daun pintu itu. Ternyata mudah sekali terbuka.
"Gayatri......." Dia berseru memanggil dan jantung berdebar sambil melangkah masuk. Akan tetapi, dia segera terbelalak heran. Kamar itu kosong. Tidak nampak perawan manis yang dirindukannya. Dia merasa seperti seekor kucing memandangi sangkar burung yang kosong. Burungnya telah terbang pergi. Prabu Jayakatwang merasa adanya sesuatu yang janggal. Dia lalu berteriak me?manggil, "Wulansari...... " berulang kali dia
berteriak memanggil, akan tetapi gadis perkasa yang menjadi pengawal pribadinya dan yang pada akhir-akhir ini ditugaskan menjaga dan menemani Gayatri tidak menjawab, juga tidak muncul. Akibat teriakan-teriakannya, yang bermunculan adalah para perajurii pengawal, penjaga, para selir dan para dayang. Tidak nampak diantara mereka itu Gayatri maupun Wulansari.
"Kalian cari sampai dapat Gayatri dan Wu?lansari. Hayo cepat. Cari mereka sampai da?pat" Sang Prabu Jayakatwang berseru marah dan dengan bersungut-sungut diapun kembali ke kamarnya sendiri.
Laporan para dayang dan selir membuat dia semakin narah. Ternyata dua orang wanita itu benar-benar lenyap dari istana bagian pu?teri. Bahkan ketika para pengawal melapor, dia mendengar bahwa mereka berdua itu tidak terdapat pula di bagian lain dari istana. Me?reka telah lolos dari istana .
"Panggil kepala pengawal istana yang di luar" Teriak Sang Prabu Jayakatwang. Ketika perwira yang masih kumal karena baru bangun tidur itu datang, Sribaginda memerintahkan untuk mengerahkan seluruh pasukan dan melakukan pengejaran terhadap dua orang wanita yang lolos dari istana itu. Namun, tentu saja mereka itu gagal. Wulansari terlampau cerdik dan pandai bagi mereka. Selagi semua orang mencari-cari dengan bingung, Wulansari telah membawa Puteri Gayatri keluar dari tembok kota raja dan menggendong sang puteri berlari cepat naik turun bukit menuju ke selatan.
*** Biarpun hatinya masih merasa kecewa dan juga marah karena lolosnya Gayatri dan Wulansari dari dalam istana, namun wajah Sang Prabu Jayakatwang tidak memperlihatkan sesuatu ketika dia berada diantara para senopati dan menterinya, karena mereka semua sedang merayakan pesta Galungan. Dan tepat ketika Kerajaan Daha sedang merayakan pesta Ga?lungan inilah, utusan Raden Wijaya datang menghadap untuk memberitakan tentang kedatangan Raden Wijaya dari Sumenep.
Prabu Jayakatwang mengutus dua orang senopatinya menyambut dan tak lama kemudian, muncullah Raden Wijaya dengan sikapnya yang anggun dan tenang, disambut sendiri dengan rangkulan oleh Sang Prabu Jayakatwang.
Sama sekali Raden Wijaya tidak tahu bahwa tunangannya, Dyah Gayatri, baru tiga hari yang lalu, lolos dari istana yang berarti juga lolos dari cengkeraman Sang Prabu Jayakatwang yang hendak memaksanya menyerahkan diri dan menjadi selirnya.
Sang Prabu Jayakatwang sendiri juga bermain sandiwara. Ada suatu hal yang amat membingungkan hatinya. Bukan karena larinya Ga?yatri, gadis yang dirindukan, karena dia akan mampu memperoleh puluhan, bahkan ratusan orang gadis lain sebagai pengganti Gayatri, juga bukan karena kepergian Wulansari karena dia masih mempunyai banyak jagoan yang da?pat melindungi dirinya. Akan tetapi yang mem?buat dia merasa bingung dan berduka sekali adalah hilangnya tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Tombak pusaka itu yang dianggap sebagai pusaka yang mendatangkan wahyu kerajaan, bahkan dia tadinya merasa yakin bahwa akibat adanya tombak pusaka itu di tangannya, maka Daha berhasil menghancurkan Singosari. Dan kini tombak itu hilang. Dia merasa yakin bahwa tentu Wulansari yang mencurinya. Hanya dia dan Wulansari yang mengetahui di mana disimpannya tombak pusaka itu. Permaisuri dan para selirnyapun tidak ada yang mengetahui. Dan diapun tahu bahwa pusaka itu memang tadinya didapatkan oleh Wulansari, yang kemudian diberikan kepada Ki Cucut Kalasekti yang menyerahkan pusaka itu kepa?danya. Siapa lagi kalau bukan Wulansari, si pengkhianat itu yang mencurinya" Namun lenyapnya pusaka itu disimpan dan dirahasiakan sandiri. Tidak baik kalau sampai ketahuan para ponggawa dan senopati, karena hal itu dapat menjatuhkan semangat mereka.
Namun, malam kemarin diam-diam dia mengirim utusan kepada Ki Cucut Kalasekti atau yang kini telah menjadi seorang adipati di Bendowinangun bernama Adipati Satyanegara. Kakek yang memiliki kesaktian seperti iblis itu menghadap dan diajak bicara empat mata oleh Sang Prabu Jayakatwang, dan kepada ka?kek inilah Sribaginda bercerita bahwa Wulan?sari telah lolos dari istana dan membawa lari Ki Ageng Tejanirmala. Sribaginda menugaskan Adipati Satyanegara untuk mencari dan merampas kembali pusaka itu, dan dia diperbolehkan memilih pembantu diantara para senopati di Daha. Tentu saja Sribaginda menjanjikan hadiah yang amat besar kalau berha?sil, dan ancaman hukuman kalau tidak ber?hasil.
"Ingat, yang memasukkan Wulansari ke istana adalah kau, paman" demikian an?caman Sribaginda kepada Adipati Satyanegara.
Raden Wijaya dan para pengikutnya men?jadi pusat perhatian para senopati dan ponggawa Daha ketika mereka memasuki tempat pesta Galungan yang diadakan di alun-alun depan istana itu. Sang Prabu Jayakatwang yang menyambut pangeran muda itu dengan rangkulan, lalu mengajaknya duduk di tempat yang paling terhormat, yaitu di samping tem?pat duduk sang raja. Hidangan berlimpah ruah dan serba mewah. Akan tetapi, Raden Wijaya hanya melihat saja dan hanya kalau ditawari oleh Sribaginda, dia mau mengambil makanan yang serba sedikit. Pemuda ini keti?ka meninggalkan Sumenep, bersumpah bahwa dia akan berprihatin, tidak mau makan enak dan minum tuak sebelum cita-citanya bertemu kembali dengan Dyah Gayatri tercapai. Dan dia tidak melihat tunangannya itu diantara para puteri dan selir Sribaginda.
Hati Raden Wijaya mulai terasa gelisah. Kemana perginya Dyah Gayatri, pikirnya. Jangan-jangan ia telah menjadi korban perang" Sudah........ sudah tewas" Hatinya semakin ge?lisah.
Pesta Galungan itu ramai sekali dan seperti biasa, diadakan pula perlombaan dan ketangkasan bermacam macam. Diadakan pula adu kesaktian yang disaksikan oleh Sang Prabu Jayakatwang sendiri. Diantara para jagoan yang memasuki medan laga, nampak seorang laki-laki berkulit kasar seperti kulit buaya, wajahnya persegi empat dengan sepasang mata besar melotot, yang memiliki kemampuan jauh melebihi para lawannya. Satu demi satu lawannya dilemparkan keluar panggung dan kehebatannya ini disambut sorak sorai tepuk dan tangan para penonton, sedangkan para penabuh gamelan juga memukul gamelan mereka de?ngan gencar hingga sunsana menjadi meriah dan ramai sekali. Sang Prabu Jayakatwang dan para ponggawanya tertawa tawa gembira dan mereka merasa bangga dan kagum akan kehebatan jagoan yang bernama Klabang Gunung itu.
Klabang Gunung adalah seorang yang kasar. Melihat betapa semua orang memujinya, bah-kan rajanya juga mengaguminya, timbul kecongkakannya. Dia tahu pula bahwa di tempat itu terdapat serombongan tamu dari Singosari. Dan karena baru saja Singosari jatuh dan dikalahkan oleh Daha, maka diapun memandang rendah dan dalam kesempatan itu dia ingin meninggikan Daha dan meremehkan Singosari, agar makin menyenangkan hati Sang Prabu Ja?yakatwang dan para senopatinya. Setelah tidak ada seorangpun lawan tersisa di atas panggung, diapun mengangkat tangan memberi isarat ke?pada para penabuh gamelan untuk menghentikan tabuhan itu agar suasana menjadi hening karena dia hendak bicara. Gamelan berhenti dan kini Klabang Gunung memberi hormat sembah ke arah Sang Prabu Jayakatwang, lalu dia bangkit lagi memandang ke arah para tamu dari Singosari yang duduk berkelompok di sebelah kiri panggung.
"Saudara-saudara sekalian. Kalian sekalian mengetahui bahwa di Daha terdapat banyak sekali orang orang gemblengan, sakti mandraguna dan digdaya. Saya hanyalah seorang diantara mereka dan agaknya para saudara yang memiliki kesaktian, merasa sungkan untuk menandingi saya dalam lomba kedigdayaan ini. Dahulu, yang menandingi saya adalah jagoan-jagoan dari Singosari, akan tetapi saya tidak pernah kalah oleh mereka. Sayang sekali, se?karang Singosari telah kehabisan jago. Kalau saja di sini terdapat orang Singosari yang dig?daya dan jantan, alangkah senangnya kalau sa?ya dipat bertanding dengan dia" Jelas bahwa ucapannya itu merupakan tantangan bagi orang-orang Singosari.
Para senopati, pengikut Raden Wijaya. adalah orang-orang yang gagan perkasa, Mendengar bualan Klabang Gunung itu, tentu saja wajah mereka menjadi merah. Terutarna sekali Ki Lembu Sora yang berwatak keras dan pemberani. Dia melotot, kemudian dia menoleh ke arah Ridera Wijaya yang duduk di dekat Sang Prabu Jayakatwang. Raden Wijaya sendiripun malah men?dengar kesombangan Klabang Gunung, akan tetapi diapun berhati-hati dan tidak membiar?kan perasaannya terpancing tantangan dan menjadi marah. Kalau saja senopati lain yang melontarkan pandang mata kepadanya seperti yang dilakukan Lembu Sora, tentu dia akan menggeleng kepala karena dia tidak ingin membikin ribut, juga tidak ingin melihat se?orang pengikutnya dilempar keluar gelanggang oleh Klabang Gunung yang sombong itu. Akan tetapi ketika dia melihat Lembu Sora menoleh dan memandang kepadanya, Raden Wijaya segera mengangguk lirih. Dia cukup mengenal senopatinya yang seorang ini. Selain sakti mandraguna dan digdaya, juga Lembu Sora bukan seorang yang hanya mengandalkan keberanian dan kedigdayaan saja. Dia seorang yang panjang akal dan waspada, tidak sembrono, maka kalau Lembu Sora yang maju, Raden Wijaya percaya sepenuhnya bahwa pengikutnya ini pasti sudah memiliki perhitungan dan ti?dak mau sembarangan membikin ribut pesta Galungan Kerajaan Daha itu. Maka diapun cepat menghaturkan sembah kepada Sang Prabu Jayakatwang sambil berkata dengan sikap hormat.
"Harap paduka suka memaafkan kalau hamba menyuruh seorang pengikut hamba turut meramaikan pesta ini, Kanjeng Paman Prabu. Kalau paduka memperkenankan, hamba ingin mengajukan seorang ksatria pengikut hamba untuk menandingi Klabang Gunung agar suasana pesta bertambah meriah"
Sang Prabu Jayakatwang yang sudah terlalu banyak minum arak itu tertawa. "Hahaha, tidak ada orang vang mampu menandingi ke?kuatan Klabang Gunung. Akan tetapi kalau kau hendak mengajukan seorang jagoan, silahkan. Biar suasana pesta bertambah menggembirakan"
Raden Wijaya memberi isarat kepada Lem?bu Sora untuk maju. Pria yang bertubuh tegap dan bersikap tenang ini lalu bangkit dari tem?pat duduknya, lalu dia meloncat ke atas pang-gung. Melihat bahwa yang meloncat ke atas panggung adalah seorang dari Singosari, seorang diantara para pengikut Raden Wijaya, suasana menjadi tegeng dan tiba-tiba saja semua suara terhenti sehingga keadaan amat hening. Lem?bu Sora lalu berlutut menyembah ke arah tem?pat duduk Sang Prabu Jayakatwang dan Raden Wijaya sehingga dia yang menyembah ke arah Raden Wijaya itu nampaknya seperti juga menyembah ke arah Raja Daha.
"Hamba mohon diberi ijin untuk menan?dingi kedigdayaan Klabang Gunung" kata Ki Lembu Sora.
Tentu saja ucapan dan sembahnya itu ditujukan kepada Raden Wijaya, dan pangeran ini mengangguk tanpa menjawab. Akan tetapi, Sang Prabu Jayakatwang menjawab dengan lantang. "Baiklah, engkau boleh main menandingi Klabang Gunung. Jangan khawatir, kalau kau menang, akan kami beri hadiah, kalau kalah, akan kami beri bobok param untuk mengurangi rasa nyeri" Ucapan Sribaginda ini disambut dengan tawa oleh para senopati Daha yang mengenal siapa pria yang hendak menan?dingi Klabang Gunung itu.
Sementara itu, karena pertunjukan diada?kan di alun-alun, maka rakyat jelata banyak yang menonton, walaupun dari jarak yang sudah dibatasi. Gelanggang adu kedigdayaan itu berada di atas panggung, maka cukup jelas dapat ditonton oleh rakyat yang berada di luar batas.
Lembu Sora kembali menyembah, lalu bangkit berdiri dan menghampiri Klabang Gunung yang memandang kepadanya sambil menyeringai sombong. Kini mereka saling berhadapan. Biarpun Lembu Sora termasuk seorang laki-laki yang bertubuh tegap dan berotot, namun sete?lah berhadapan dengan Klabang Gunung, dia nampak kecil. Klabang Gunung mirip raksasa, apa lagi karena tubuh atasnya yang telanjang itu memperlihatkan kulit yang keras dan kasar seperti bersisik, Tadi Lembu Sora sudah melihat betapa semua pukulan dan tendangan para lawan Klabang Gunung, sedikitpun tidak pernah mampu melukai kulit yang keras itu. Dan tadi dia sudah melihat betapa besarnya tenaga tubuh raksasa ini yang mampu melemparkan para lawan satu demi satu ke?luar panggung.
Klabang Gunung menyambut Lembu Sora dengan mulut tersenyum lebar, menyeringai sombong. Dia tidak mengenal Lembu Sora, maka diapun dapat menduga bahwa tentu orang ini merupakan seorang diantara para tamu dari Singosari.
"Apakah kau seorang dari Singosari ?" tanyanya langsung saja, Memang watak Kla?bang Gunung ini kasar dan tidak pernah memperdulikan tata sopan santun. Apa lagi dia memang amat menyombongkan kedigdayaan dirinya. "Siapa namamu?"
"Aku memang dari Singosari, namaku Lem?bu Sora" jawab Ki Lembu Sora dengan te?nang.
"Aha. Bukankah Lembu Sora itu seorang senopati Singosari" Bagus, masih ada senopati Singosari tercecer " Lembu Sora, kau se?orang tamu, maka harus disambut secara istimewa pula. Kalau tadi, para lawanku hanya kulemparkan ke bawah panggung, untuk andika akan kupatah-patahkan kedua kaki dan lenganmu, baru kulempar ke bawah panggung"
Gamelan sudah dipukul gencar sehingga ucapan Klabang Gunung itu hanya dapat terdengar oleh Lembu Sora saja. Lembu Sora ter?senyum, tidak mau dipancing kemarahannya oleh kata kata yang merendahkan itu, lalu menjawab tenang.
"Klabang Gunung, coba hendak kulihat apa?kah kau mampu membuktikan omonganmu itu, ataukah kau hanya tukang membual belaka"
"Jaga seranganku" bentak Klabang Gunung dan dia sudah mengambil sikap atau kuda-kuda yang dinamakan "Biruang Mengamuk". Dia berdiri dengan kedua kaki terpentang, kedua lengan dikembangkan ke atas dan kedua tangannya membentuk cakar, siap untuk menerkam. Matanya melotot merah, mulutnya menyeringai dan napasnya mendengus-dengus seperti seekor kuda. Baru sikapnya saja sudah dapat membuat lawan menjadi gentar. Namun Lembu Sora bersikap tenang saja. Dia berdiri dengan kaki kanan di depan kaki kiri di belakang, lutut agak ditekuk, tangan kanan menempel di pinggang kanan dengan jari terbuka dan telapak tangan telentang, sedangkan tangan kiri berada. di depan, menempel di dada dengan jari-jari tangan lurus ke atas, sepasang matanya tajam menatap lawan, pecuh kewaspadaan.
"Grrrrr........" Dari mulut Klabang Gunung keluar gerengan seperti seekor binatang buas dan diapun sudah menubruk ke depan, kedua tangannya menerkam dari atas untuk mencengkeram kepala dan pundak lawan. Gerakannya itu selain amat kuat, juga cepat bukan main.
"Namun, Lembu Sora lebih cepat lagi mengelak sehingga terkaman itu hanya mengenai tempat kosong saja. Lembu Sora tidak segera membalas, banya tenang menanti sampai lawan membalik dan kini tangan kanan raksasa itu menyambar dari atas samping mengarah kepalanya, sedangkan tangan kirinya, pada detik berikutnya, me?nyambar dari bawah seolah-olah kedua tangan itu hendak menggencet dari atas bawah. Serangan ini berbahaya bukan main. Namun, Lembu Sora kembali memperlihatkan kelincahan gerakan tubuhnya dan dia sudah menghindarkan diri dengan melangkah mundur sehingga kedua tangan yang menyerang itu kembali mengenai tempat kosong.
"Tarrr" Kedua telapak tangan Klabang Gunung bertemu di udara dan mengeluarkan suara seperti ledakan, Diam-diam Lembu Sora terkejut, Tak disangkanya sedemikian hebatnya tenaga lawan itu.
"Heiiiitttt......." Kembali Klabang Gunung menyerang, kini tangan kirinya menampar ke arah pelipis kanan Lembu Sora, dan tangan anannya yang dikepal, menyusul dengan tonjokan maut ke arah dada.
"Wut....... wuuuttt" dan serangan kedua tangan itu menyambar.
"Wirrr......., luput lagi, Klabang Gunung"
Lembu Sora mempermainkan lawan dengan kelincahannya mengelak.
"Pengecut, jangan lari. Kalau memang jantan, terimalah seranganku" bentak Klabang Gunung yang semakin penasaran dan marah karena berulang kali serangannya hanya me-ngenai angin kosong belaka. Dia lalu tiba-tiba melakukan tendangan. Kaki kanan yang panjang dan berat itu menyambar ke arah dada lawan.
"Ambrol dadamul" bentaknya. Kembali Lembu Sora mengelak dengan cekatan.
"Luput, Klabang Gunung"
"Pengecut, balaslah menyerang, jangan lari saja" Klabang Gunung membentak Lawannya terlalu cekatan, dan dia merasa seperti bertanding melawan seekor burung walet saja, sukar sekali serangannya mengenai sasaran.
"Baik, kau terima seranganku ini"
Lembu Sora kini menghantamkan kepalan kanannya Ke arah dada lawan, Klabang Gunung maklum bahwa lawannya ini bukan orang lemah, maka diapun mempergunakan tangan ka?nan yang berjari panjang dan besar itu untuk menangkis dari tengah, langsung tangannya diputar dan dia berhasil menangkap pergelangan tangan Lembu Sora.
Senopati Singosari ini terkejut. Tak disangkanya bahwa si raksasa Daha ini memiliki banyak macam ilmu, diantaranya ilmu tangkapan secepat itu. Begitu pergelangan tangannya ditangkap, Lembu Sora mengeluarkan teriakan nyaring, menarik ta?ngan yang dicengkeram lawan, Klabang Gu?nung mengerahkan tenaga mempertahankan dan pada saat tubuhnya condong ke depan itu. Lembu Sora tiba-tiba menarik lengan kanan. yang pergelangannya dicengkeram, kakinya maju ke depan dan tubuhnya condong ke de?pan dengan siku kanan menghantam ke arah dada lawan.
"Dukkk" Siku kanan Lembu Sora dengan kerasnya menghantam dada Klabang Gunung dan pada saat itu, Lembu Sora merenggut lengannya yang dicengkeram itu lepas melalui. ibu jari dan telunjuk tangan yang. mencengkeram. Lengannya terlepas dan hebatnya, Klabang Gunung yang terkena hantaman siku pada dadanya tadi hanya mundur dua langkah saja. Ternyata tubuhnya memang kebal sehingga hantaman siku yang keras tadi tidak membuatnya merasa nyeri. Hanya membuat dia marah bukan main dan sambil mengeluarkan gerengan seperti srigala, diapun menerjang ke depan.
Kini, kedua tangannya yang dikepal melakukan pukulan bertubi tubi dari depan, atas
dan bawah. Namun, Lembu Sora juga mengelak dan menangkis sehingga semua pukulan lawan dapat dihindarkan. Bahkan diapun mulai membalas dengan tamparan dan pukulan yang jugar dapat ditangkis dengan baik oleh Klabang Gunung. Pertandingan itu semakin lama men?jadi semakin seru. Pukul memukul, tendang menendang, tampar menampar, kadang-kadang mereka mengadu tenaga dengan kedua tangan saling tangkap, beradu dada, mengerahkan tenaga sehingga panggung itu kadang-kadang tergetar hebat.
Penonton bersorak sorai. Belum pernah mereka menyaksikan pertarungan sehebat itu.
Lembu Sora juga merasa penasaran sekali. Lawannya ternyata lebih digdaya dari pada yang dia bayangkan. Ketika lawan memukul dan dia mengelak kekiri, lalu melihat kesempatan baik selagi tubuh lawan condong membungkuk, diapun cepat mengirim tendangan dengan kaki kanan secepat kilat ke arah dada lawan.
"Wuuuuttt......." Tendangan dahsyat itu menyambar. Akan tetapi ternyata Klabang Gunung bukan seorang yang bodoh. Dia cepat menarik tubuhnya ke belakang dan begitu kaki lawan menyambar, tangan kirinya sudah ber?hasil menangkap belakang kaki dekat tumit dan dengan pengerahan tenaga, dia mendorong kaki itu ke atas dan membuat gerakan tenaga melemparl. Tanpa dapat dihindarkan lagi, tubuh Lembu Sora terlempar ke atas ka-rena tenaga tendangannya tadi ditambah tenaga dorongan Klabang Gunung. Akan tetapi, dia mengerahkan tenaga dan keseimbangan tubuh?nya, dapat berjungkir balik beberapa kali di udara sehingga dia dapat turun lagi ke atas panggung dengan baik.
Penonton menyambut dengan tepuk dan sorak untuk keduanya. Me?reka saling serang lagi dan Lembu Sora tidak mau kalah. Ketika dia melihat kesempatan selagi lawannya menendang, diapun mengelak dan cepat dia menangkap tumit kaki kiri lawan yang menendangnya itu dan diapun meminjam tenaga tendangan ditambah temganya sendiri untuk mendorong. Akan tetapi tidak seperti Klabang Gunung tadi yang mendorong ke atas sehingga tubuhnya terlempar ke atas, kini Lembu Sora mendorong ke depan sehingga tubuh lawan yang tinggi besar itu melayang ke belakang. Tanpa dapat dihindarkan lagi, tubuhnya keluar dari panggung dan jatuh berdebak ke atas tanah dibawah panggung.
Akan tetapi dia tidak mengaku kalah. Me?mang sedikitpun dia tidak terluka, dan begitu terjatuh, dia sudah meloncat lagi ke atas pang?gung dan menghantamkan kepalan tangan kananya ke arah dada Lembu Sora. Lembu Sora mengukur kekuatan itu, dan dia menerima pu?kulan pada dadanya itu sambil mengerahkan tenaga dalam yang membuat dadanya kebal.
"Bukkk" Kepalan itu mengenai dada, dan membalik seolah-olah memukul sebuah benda dari karet yang keras saja.
Klabang Gunung menjadi penasaran. "Babo babo, kau pamer kekebalan" Hayo boleh kau pukul tubuhku, kita mengadu kekebalan, siapa lebih kuat" bentaknya sambil membusungkan perut dan dadanya yang amat kokoh.
Lembu Sora mengerahkan tenaganya dan me?mukul ke arah dada. Lawannya tidak mengelak.
"Desss......." Pukulannya juga membalik.
Tepuk tangan dan sorak sorai mengiringi kedua orang jagoan yang saling pukul dan memperlihatkan kekebalan mereka itu. Dalam hal kekebalan, keduanya memang setanding. Akan tetapi, Klabang Gunung berlaku curang dan dalam gilirannya, dia memukul ke arah muka. Lembu Sora kembali mengelak dan membalas dengan tusukan jari-jari tangan yang diluruskan ke arah leher lawan yang juga ditangkis oleh Klabang Gunung.
Mereka sudah berkelahi lagi, saling serang dan karena mereka mengarahkan seiangan pada daerah atau bagian tubuh yang lemah dan berbahaya, kedua?nya tidak berani mengandalkan kekebalan un?tuk melindungi bagian yang diserang.
Para penonton menjadi semakin gembira dan banyak terjadi pertaruhan diantara mereka, seperti orang-orang menonton adu ayam saja. Para puteri yang juga berada di situ, banyak yang sudah menutupi muka karena me?rasa tegang dan ngeri. Raden Wijaya tenang saja karena dia percaya sepenuhnya kepada Lembu Sora. Sementara itu. Sang Prabu Jaya?katwang juga menjadi gembira bukan main menyaksikan dua jagoan yang setanding itu.
"Hebat jagomu, anak mas Wijaya. Kalau jagomu menang, kami akan menghadiahi dia dan juga kau berhak mendapatkan hadiah. Akan tetapi, belum tentu dia akan menang, heh-heh"
"Saya merasa yakin bahwa Paman Lembu Sora akan mampu mengalahkan Klabang Gunung, Kanjeng Paman Prabu" jawab Raden Wijaya dengan sikap tenang dan suara penuh keyakinan.
Agaknya memang Lembu Sora kalah tenaga sedikit dibandingkan musuhnya. Beberapa kali nampak dia terhuyung dan hampir terpelanting kalau mereka mengadu tenaga dan Klabang Gunung sudah mentertawakannya karena raksasa ini yakin bahwa akhirnya dia yang akan keluar sebagai pemenang.
Pada suatu saat, keduanya saling berpegang lengan. Keringat sudah membuat seluruh tubuh mereka basah dan licin, pernapasan mereka sudah agak terengah dan keduanya sudah lelah sekali. Tiba-tiba Klabang Gunung membuat gerakan menyelinap dari bawah lengan lawan dan tahu tahu dia sudah tiba di belakang tu?buh Lembu Sora dan kedua lengannya yang panjang dan besar itu menyusup ke bawah ke?dua lengan lawan, lalu jari jari tangannya sa?ling bertemu di tengkuk Lembu Sora. Dia su?dah berhasil memiting lawan dengan kunci pitingan yang amat kuat. Sepuluh jari dari ke?dua tangan itu sudah saling melekat di bela?kang tengkuk Lembu Sora dan agaknya sudah tidak ada jalan bagi Lembu Sora untuk melepaskan diri dari kuncian yang amat kuat ini.
"Hahaha, engkau berlututlah dan menyatakan diri kalah. Kalau tidak, akan kupatahkan tulang punggungmu" kata Klabang Gunung. Gamelan dipukul bertalu-talu dan mereka yang berpihak kepada Lembu Sora dalam taruban sudah merasa cemas. Bahkan Raden Wijaya sendiri memandang tajam, dan para pengikut?nya sudah nampak gelisah pula.
Lemba Sora juga terkejut. Tak disangkanya bahwa lawannya memiliki ilmu gulat yang membuat tubuhnya licin bagaikan belut dan tadi diapun terkecoh sehingga lawan kini dapat menguasainya dengan kunci pitingan yang demikian kuat. Namun, Lembu Sora adalah seorang senopati yang sudah banyak pengalaman dan diapun seorang ydng tabah dan tenang, tak pernah kehilangan akal.
Jari-jari tangan lawan yang besar itu menekan tengkuknya dengan amat kuat, membuat tubuhnya membungkuk dan agaknya dia sudah tidak berdaya lagi. Dia semakin membungkukkan tubuhnya, membuat perhitungan dengan sikap tenang. Perhitungannya harus tepat, kalau tidak, dia gagal dan akan kalah, bukan saja dia yang akan mengalami derita kesakitan dan malu, bahkan junjungannya, Raden Wijaya, juga akan menderita malu dan terhina.
"Hahaha, anak mas Wijaya, jagomu kini kalah. Lihat, dia sudah tidak mampu berkutik lagi" Sang Prabu Jayakatwang berseru gembira sambil tertawa.
"Harap paduka bersabar, Kanjeng Paman. Pertandingan itu saya kira belum berakhir" kata Raden Wijaya, masih tenang karena dia melihat sinar mata Lembu Sura mencorong penuh ketajaman, tanda bahwa jagonya itu be?lum putus asa dan sedang mencari akal.
"Kalau aku belum mengaku kalah, apa yang akan kau lakukan?" Lembu Sora bertanya, mem?buat napasnya terengah-engah. Mendengar suara yang napasnya sudah memburu itu, Klabang Gunung tertawa.
"Hahaha, punggungmu akan kupatahkan kupatahkan"
Tiba-tiba saja dia menghentikan kata-katanya kare?na pada saat itu, Lembu Sora menghantamkan kepalanya ke belakang.
"Dessss.." Bagian belakang kepala Lem?bu Sora yang keras itu menghantam mulut dan hidung Klabang Gunung, Serangan kepala ini demikian tiba-tiba datangnya sehingga Klabang Gunung tidak sempat menghindar dan bukit hidungnya remuk, darah mengucur keluar, Pada saat itu, dengan perhitungan yang amat tepat, kedua tangan Lembu Sora sudah bergerak naik ke tengkuknya dan dia berhasil memegang ke?dua ibu jari lawan yang mengunci tengkuknya. Di lain saat, kaki kirinya menyepak ke bela?kang seperti gerakan kaki kuda, dan tepat mengarah selakangan lawan.
"Desss........ Aughhhhh....... " Hanya me?reka yang pernah ditendang atau disepak anggauta rahasianya di bawah pusar saja yang akan mampu membayangkan betapa nyeri rasanya. ketika tumit kaki Lembu Sora memasuki selangkangan dan menghantam alat kelamin lawan. Kiut miut rasanya, nyeri menusuk-nusuk ke jantung dan perut seketika mulas, mata berkunang. Pada saat itu, Lembu Sora menarik ibu jari kedua tangan lawan, mengerahkan seluruh tenaga menekuk kedua ibu jari itu ke belakang. Pada saat itu, Klabang Gunung se-dang mengalami siksaan yang amat hebat. Bu?kan saja hidungnya remuk berdarah, akan tetapi alat kelaminnya kena disepak tumit se?hingga tentu saja dia kurang dapat memusatkan tenaganya melindungi kedua ibu jari yang ditekuk ke belakang.
"Krekk. Krekkl" Kedua ibu jari yang ditekuk itu akhirnya patah, atau lebih tepat lagi, terlepas sambungan buku-buku jarinya dan rasa nyeri yang amat hebat menusuk sampai ke seluruh isi dada. Pada saat itu, kedua tangan Lembu Sora melepaskan ibu jari, mencengkeram rambut kepala lawan dan tubuhnya mem?buat gerakan membungkuk dengan tiba tiba, pinggulnya diangkat ke atas dan kedua ta?ngannya menarik rambut sekuatnya lalu mem?buat gerakan melempar.
"Wuuuuttttt........I" Tak dapat dihindarkan lagi, tubuh tinggi besar yang sedang menderita seribu satu macam perasaan nyeri dan tidak mampu lagi mengerahkan tenaga itu, terlempar jauh ke luar panggung dan terbanting keras ke atas tanah. Di situ dia tidak mampu bangkit lagi, melainkan merintih dan mengaduh, kedua tangannya membuat gerakangerakan aneh, kadang-kadang ke hidung, lalu ke bawah pusar, lalu ke ibu jari masing-masing, dan raksasa itu menangis saking nyerinya.
Suasana hening sejenak karena peristiwa itu sungguh di luar dugaan semua orang. Akan tetapi kemudian mereka yang dalam taruhan berpihak kepada Lembu Sora, bersorak sorai.
Sorakan itu terhenti ketika di atas pang?gung sudah muncul seorang senopati yang wajahnya bengis. Dia mengangkat tangan memberi isarat kepada mereka yang bersorak ajar te?nang. Semua orang mengenai Senopati Segara Winotan yang galak, maka kini tidak ada seorangpun berani bersorak walaupun mereka menang, apa lagi kini mereka teringat bahwa yang menang adalah orang Singosari.
Senopati Daha itu memandang tajam ke?pada Lembu Sora, sinar matanya seperti hen?dak membakar. Dia marah bukan main karena Klabang Gunung adalah anak buahnya. Kekalahan Klabang Gunung dirasakannya seperti menampar mukanya. Kalau Klabang Gunung kalah oleh seorang jagoan lain dari Daha, hal itu tentu saja tidak mengapa, Akan tetapi se?kali ini lain. Klabang Gunung dikalahkan oleh seorang jago dari Singosari yang dia tahu ada?lah seorang senopati Singosari, kerajaan yang telah kalah perang melawan Daha.
''Lembu Sora, aku tahu engkau seorang se?nopati Singosari. Tidak mengherankan kalau engkau mampu mengalahkan Klabang Gunung dengan akal curang. Hayo, cabutlah kerismu, lawanmu adalah aku" berkata demikian, Senopati Segara Wirotan sudah mencabut sebatang kerisnya dan berdiri dengan sikap menantang.
Lembu Sora mengerutkan alisnya. Semua orang tahu bahwa bukan dia yang tadi berbuat curang, melainkan Klabang Gunung sendiri Kalau saja dia bukan pengikut Raden Wiiaya" yang kini hendak menghambakan diri ke Daha tentu sudah disambutnya tantangan itu. Namun dia ragu-ragu dan bingung, tidak menjawab melainkan dia menoleh kearah Raden Wi?jaya seperti hendak minta keputusan dan junjungannya itu.
Raden Wijaya mengenai watak Lembu Sora Kalau dibiarkan, tentu senopati itu akan menerima tantangan siapapun juga dan kalau sam?pai terjadi keributan, berarti gagallah semua usahanya untuk membangun kembali Kerajaan Singosari yang sudah runtuh dengan jalan menghambakan diri ke Kerajaan Daha. Maka diapun cepat bangkit, memberi hormat kepada Prabu Jayakatwang. "Hamba melerai pertikaian itu" Tanpa menjawab, Raden Wijaya sudah melangkah lalu meloncat naik ke atas punggung.
"Kakang Lembu Sora, turunlah" katanya halus.
Lembu Sora menyembah, lalu tanpa menoleh kepada Segara Winotan dia meloncat turun dari panggung, kembali ke tempat du duknya semula, disambut dengan gembira oleh teman-temannya.
Sementara itu, ketika melihat bahwa yang menghadapinya adalah Raden Wijaya yang dia kenal sebagai seorang pangeran di Singosari, Segara Winotan menjadi bingung dan kikuk. Akan tetapi, dia teringat bahwa bagaimanapun juga pangeran di depannya ini hanyalah se-orang pangeran dari kerajaan yang dikalahkan, maka dengan sikap hormat pura pura, yang menyembunyikan kecongkakannya, dia mem?beri hormat lalu berkata.
"Hamba ingin mengadu kepandaian melawan Senopati Lembu Sora, mengapa paduka melerai " Apakah paduka ingin maju sendiri untuk mencoba kemampuan saya?" Senopati itu tersenyum, menyura mengejek.
"Paman Segara Winotan, kiranya kau ju?ga mengetahui bahwa dua orang senopati hanya saling bertanding di dalam suatu peperangan kakang Lembu Sora naik ke panggung ini, bukan sebagai senopati, melainkan sebagai pengiringku dan kini menjadi tamu di Daha, bukan musuh. Kalau kau menantangnya, berarti sama dengan menantang aku" Berkata demikian Raden Wijaya memandang tajam dan sinar ma?tanya mencorong, membuat Segara Winotan menjadi gentar juga. Dia menyarungkan kerisnya dan berkata sambil menunduk.
"Hamba tidak ingin melawan seorang bangsawan tinggi seperti paduka yang menjadi tamu junjungan hamba. Maafkan hamba........"
Pada saat itu, Sang Prabu Jayakatwang sudah berteriak, "Sudah cukup. Tidak perlu ada pertandingan lagi. Ke sinilah, anak mas Wijaya. kita bercakap cakap"
Raden Wijaya meninggalkan panggung dan menghaturkan sembah kepada Sang Prabu Jayakatwang. "Harap paduka sudi mengampuni kakang Lembu Sora dan kami semua kalau kami dianggap membikin ribut di sini"
Raja itu tertawa. "Ah, sama sekali tidak. Kalian bahkan sudah ikut meramaikan suasana. Lembu Sora memang hebat, dan ternyata jago?mu yang menang, anak mas Wijaya. Katakan hadiah apa yang kau inginkan?"
Entah apa yang menyebabkannnya, pada saa itu Raden Wijaya teringat kepada tunangannya yang belum ditemukan, yaitu Sang Dyah Gayatri, maka dengan penuh harap dia lalu mempergunakan kesempatan itu dengan jawaban yang halus, "Kanjeng Paman Prabu, kalau sekiranya paduka mengijinkan, hamba mohon agar diajeng Gayatri dapat diberikan kepada hamba. Ia ada?lah tunangan hamba......"
Mendengar disebutnya nama puteri ini, seketika wajah Sribaginda menjadi keruh dan alisnya berkerut. Baru beberapa hari Gayatri lenyap bersama Wulansari dan hal itu masih membuat dia marah dan penasaran, sekarang disebutnya nama itu seperti mengingatkan dia kembali bahwa bersama mereka berdua, lolos pula tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Karena hatinya tidak senang, dengan alls masih berkerut diapun menjawab kaku.
"Ah, kalau yang itu tidak bisa. la adalah seorang tawanan, dan belum waktunya dibebaskan dari tawanan"
Raden Wijaya bungkam dan tidak berani lagi mengulang nama itu. Namun, maklum akan kedudukannya, dia tidak berani memperlihatkan penyesalan walaupun di sudut hatinya, dia merasa gelisah sekali. Melihat sikap Sang Pra?bu Jayakatwang, agaknya Sribaginda ini hen?dak menahan Gayatri dan hal itu hanya mempunyai satu arti, yaitu bahwa Sribaginda sendi?ri agaknya ingin memiliki puteri yang jelita itu. Namun, Raden Wijaya tidak merasa putus harapan dan diapun mulai memperlihatkan sikap yang amat baik sehingga Sang Prabu Ja?yakatwang maka percaya kepadanya dan tidak pernah meragukannya niat hatinya untuk meng?hambakan diri kepadanya. Para pengikut Raden Wijaya yang amat setiapun menahan hati mereka dan bersikap sebagai orang-orang yang beriar benar takluk sehingga timbullah kesan pada seluruh ponggawa Kerajaan Doha bahwa Kerajaan Singosari telah musnah, dan tidak ada lagi keturunan Ken Arok yang akan bangkit lagi.
*** Pantai Laut Selatan mempunyai banyak tebing yang curam. Bukit Seribu di sepanjang pantai selatan memiliki banyak sekali bukit yang mencapai pantai, bukit bukit karang yang tandus, seolah-olah menjadi semacam tanggul untuk membendung air laut yang bergelombang dahsyat dan Laut Selatan agar jangan sampai menelan Pulau Jawa.
Banyak terdapat goa-goa di perbukitan selatan itu, goa-goa di bukit karang dan kapur. Di lereng sebuah bukit terdapat sebuah goa yang aneh bentuknya. Sebuah goa yang menghadap ke arah lautan dan bentuknya se?perti tengkorak manusia. Tidak mudah mencapai goa ini karena berada di lereng bukit yang penuh dengan semak berduri dan batu-batu karang malang melintang. Tempat ini tak pernah dikunjungi orang.
Namun ternyata goa yang aneh itu dihuni orang. Itulah Goa Siluman yang berada di bukit Garing dan yang menjadi penghuni tetapnva adalah seorang kakek yang usianya sudah delapan puluh tahun lebih. Dia dilayani enam orang anak remaja, tiga pria dan tiga wanita, yang melayani segala keperluan hidup sang kakek.
Memang luar biasa sekali. Di tempat sesunyi dan segersang itu, tinggal seorang iakek dengan enam orang pelayan. Apa lagi kalau orang dapat tiba di goa itu dan memasukinya, dia akan terheran-heran. Goa yang bentuk?nya seperti tengkorak manusia itu besar se?kali. Ruangan depan saja lebarnya ada dua puluh meter dan dalamnya tidak kurang dari sepuluh meter dan karena lebarnya maka ru?angan goa itu memperoleh sinar matahari yang cukup, dan di sebelah dalamnya terdapat lorong-lorong bahkan ada ruangan ruangan yang dipakai sebagai kamar-kamar tidur. Ada tiga kamar di sebelah dalam, sebuah kamar untuk sang kakek dan yang dua kamar lagi masing-masing dipakai oleh tiga orang pela?yan perempuan dan tiga orang pelayan laki-laki.
Kakek tua renta itu bukanlah orang biasa, melainkan seorang tokoh sesat yang namanya sudah amat terkenal, apa lagi ketika dua belas tahun yang lalu dia menbantu pemberontakan muridnya. Dia adalah Ki Buyut Pranamaya yang dulu tingga| sebagai pertapa di Bukit Gandamayit di hutan Cempiring. Ketika muridnya Mahesa Rangkah memberontak, dia mambantu sepenuhnya. Akan tetapi pemberontakan Mahesa Rangkah itu gagal, bahkan Mahesa Rangkah sendiri tewas dalam pertempuran, Ki Buyut Pranamaya sendiri juga melarikan diri, apa lagi setelah tombak pusaka Ki Ageng Tejanirnala yang tadinya berada di tangannya itu telah terampas oleh Wulan?sari.
Semenjak itu, Ki Buyut Pranamaya lalu bertapa di dalam Goa Siluman itu. Dia men?dengar bahwa tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala kini terjatuh ke dalam tangan Kerajaan Daha. Dia merasa menyesal sekali. Ka?lau saja pusaka itu tidak terampas dari ta?ngannya, tentu pemberontakan Mahesa Rang?kah dahulu itu berhasil dan muridnya itu telah menjadi raja, dan dia menjadi penasihat raja. Dia tidak merasa heran mendengar betapa Doha mampu mengalahkan Singosari. Tentu berkat tompak pusaka itu, pikirnya.
Manusia pada umumnya, kalau usianya su?dah mulai tua, teringat akan keadaan dirinya lalu berpaling kepada Tuhan, ingat akan dosa yang telah banyak ditumpuknya di waktu muda, dan selagi masih ada kesempatan, berusaha membersihkan diri lahir batin, mendekatkan diri dengan Tuhan dan menjauhi bujukan iblis dan setan. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan Ki Buyut Pranamaya. Dalam usianya yang sudah amat tua itu, ia masib menjadi hamba nafsu nafsunya. Tiga orang pemuda remaja dan tiga orang gadis remaja itu, selalu menjadi para pembantunya, juga dilatih ilmu kedigdayaan dan juga mereka itu dia jadikan alat nafsu berahinya. Dia menculik anak-anak itu sejak mereka berusia lima enam tahun, dan mendidik mereka sehingga mereka menjadi anak-anak patuh kepadanya.
Selain enam orang anak yang menjadi pelayannya, muridnya, dan juga kekasihnya itu, Ki Buyut Pranamaya juga nempunyai seorang murid yang dianggapnya amat baik. Sejak
muridnya, Mahesa Rangkah, tewas dalam pemberontakannya, dia lalu bertemu dengan seorang pemuda gemblengan bernama Jaka Pati yang berusia tigapuluh tahun lebih Pemuda ini tekun bertapa dan menumpuk ilmu dengan cita-cita mencari wahyu kraton, atau setidak-tidaknya agar dia dapat menduduki pangkat yang tinggi dan mendapatkan kemuliaan. Ilmu-ilmu dari Agama Syiwa dipelajarinya dengan tekun.
Bertemu dengan Jaka Pati, Ki Buyut Prana?maya merasa suka sekali, maka dia yang telah kehilangan murid lalu mengambil Jaka Pati sebaga muridnya, mengajarkan banyak macam ilmu kesaktian, bahkan lalu memberi petunjuk kepada murid itu untuk bertapa di tempat-tempat yang angker.
Pada waktu itu, Ki Buyut menyuruh Jaka Pati yang usianya kini sudah empat puluh tahun lebih untuk bertapa di se?buah goa kecil tak jauh dari Goa Siluman.
Pagi hari itu, Ki Buyut Pranamaya telah keluar dari kamarnya dan berada di ruangan depan Matahari telah menyorotkan sinarnya sampai ke dalam ruangan goa, dan lautan di depan goa nampak tenang, putih keperakan tertimpa sinar matahari pagi.
Seorang pelayan wanita menuruni batu karang curam di sebelah kiri goa, lalu menghadap Ki Buyut Pranamaya sambil berkata, "Aki Buyut, Paman Gagak Wulung dan Bibi Ni Dedeh Sawitri datang berkunjung"
Wajah kakek tua renta itu tersenyum dan dia mengangguk-angguk. Bagus, memang sudah lama mereka kunanti-nanti"
Tak lama kemudian, dua orang menuruni batu karang dengan cekatan dan mereka itu ternyata adalah dua orang tokoh yang telah erkenal sekali, yaitu Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri.
Gagak Wulung adalah seorang datuk dari Kediri, berusia hampir enampuluh tahun, namun masih nampak muda. Wajahnya tampan, tubuhnya tegap, pakaiannya juga mewah dan pesolek, seperti seorang bangsawan saja.
Dahulu pernah dia membantu Kerajaan Daha secara diam-diam, bukan sebagai ponggawa karena dia seorang petualang yang hanya membutuhkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Ketika Mahesa Rangkah memberontak terhadap Singosari, diapun ikut membantu. Setelah pemberontakan itu gagal, dia melarikan diri, kemudian berhubungan dengan Ki Buyut Pra?namaya dan sering berkunjung untuk minta petunjuk karena dia menganggap kakek itu se?bagai orang yang jauh lebih sakti dan patut dihormati. Bahkan dia siap membantu kalau kakek itu mempunyai suatu rencana yang menguntungkan.
Adapun wanita itu adalah Ni Dedeh Sawitri, juga seorang datuk dari Pasundan, namun di waktu mudanya, ia sudah banyak dijumpai orang di daerah Daha dan Singosari. Wanita ini usianya hampir limapuluh tahun, akan tetapi masih nampak cantik, menggairahkan, dan genit. Iapun pesolek dan berpakaiau indah, sungguh merupakan pasangan yang cocok dengan Gagak Wulung. Dan seperti juga Gagak Wulung, ia memiliki kedig?dayaan, bahkan ia terkenal dengan pukulan-pukulan beracun yang amat berbahaya.
Memang, sudah lama sekali, sejak belasan tahun yang lalu, Ni Dedeh Sawitri menjadi sababat baik Gagak Wulung, bahkan iapun dahulu membaw?tu pemberontakan Mahesa Rangkah yang kemu?dian gagal.
Setelah gagal, Ni Dedeh juga melari?kan diri dan untuk beberapa waktu lamanya, kembali ke Pasundan. Baru kurang lebih setahun ia kembali ke timur dan bertemu dengan dagak Wulung yang membawanya menghadap Ki Buyut Pranamaya, kemudiau mereka berdua. oleh kakek itu diberi tugas untuk melakukan penyelidikan ke Singosari dan Daha yang kabarnya sedang berperang.
Demikianlah keadaan dua orang pasangan yang serasi itu. Sama-sama tampan dan cantik. Sama-sama pesolek dan cabul, dan sa?ma-sama berbahaya dan pandai. Karena kecocokan ini maka mereka melakukan perjalanan sebagai dua orang kekasih saja, kecocokan membuat mereka saling menyukai. Akan tetapi, walaupun mereka saling mencinta, masing-masing tidak mengekang. Dalam melakukan perjalanan bersama, masing-masing bebas untuk mencari pasangan masing-masing, bahkan kalau perlu mereka saling membantu untuk mendapatkan pasangan masing-masing, apa bila menemui halangan. Memang pasangan ini istimewa sekali, dan bagi mereka tidak ada hal yang dipantang untuk mencapai kepuasan hati dan kesenangan. Keduanya merupakan hamba-hamba nafsu yang sudah tidak ketulungan lagi.
Melihat dua orang itu menghadap padanya, duduk di atas lantai bertilam jerami kering, Ki Buyut Pranamaya tertawa senang, memper?lihatkan mulut yang sudah tidak ada giginya lagi.
"He he he he, bagus........ bagus........ Kalian sudah datang" Memang amat kunanti-nanti. Wah, Dedeh, setelah pergi selama tiga bulan kau nampak semakin cantik manis saja, he he he"
Gagak Wulung tertawa. "Paman Buyut Prana?maya, tentu saja ia nampak segar karena selama tiga bulan ini ia telah mendapatkan jamu dari belasan orang perjaka muda belia, hahaha" kata-kata Ga:ak Wulung yang disertai tawa ini membuat Ni Dedeh Sawitri cemberut, namun cemberut buatan agar nampak lebih mamis dan manja.
"Hemm, dan engkau sendiri" Sedikitnya duapuluh orang perawan kau hisap"
Mendengar ini, Ki Buyut Pranamaya tertawa. Dia sudah tahu betapa dua orang pembantunya ini memang mempunyai watak yang sama kerasnya dan hampir setiap kaii mereka bercekcok. Akan tetapi percekcokan itu akan berakhir dengan kemesraan di dalam kamar karena sesungguhnya mereka itu saling mencinta. Sungguh merupakan dua orang pembantu yang amat baik baginya.
"Sudahlah, kalian memang sama saja. Seka?rang ceritakan bagaimana keadaan di Daha. bukankah Daha telah berhasil menaklukkan Singosari?"
"Benar sekali, paman" kata Ni Dedeh Sa?witri. "Habislah sudah keluarga Kerajaan Singosari. Bahkan pangeran yang diharapkan akan dapat mempertahankan Singosari, yaitu Raden Wijaya, telah melarikan diri ke Madura"
"Kabar terakhir ini katanya bahwa Raden Wijaya bahkan telah menghambakan diri ke Ke-rajaan Daha" sambung Gagak Wulung.
"Jagad Dewa Batara........" kata Ki Buyut Pranamaya. "Kalau begitu, habis sudah harapan bagi Singosari untuk bangkit lagi. Agaknya hanva sampai di sini saja riwayat keturunan Ken Arok. Semua ini gara gara tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Hemm, keparat gadis baju hijau bernama Wulansari itu, dan si keparat Nurseta. Mereka berdualah yang telah merampas ki Ageng Tejanirmala dan akhirnya pusaka itu terjatuh ke tangan Ki Cucut Kalasekti dan jahanam itu menukarkan pusaka dengan kedudukan sebagai Adipati Bendowmangun. Demikianlah, pusaka terjatuh ke tangan Raja Kediri, maka tidak mengherankan kalau sekarang Kediri telah menjatuhkan Singosari" Kakek itu menarik napas panjang penuh penyesalan.
"Lalu sekarang apa yang harus kita lakukan, paman?" tanya Gigak Wulung.
"Kita tidak akan dapat berbuat apa-apa tanpa pusaka itu. Setelah pusaka itu kembali ke tanganku, barulah kita bicara apa yang akan kita lakukan selanjutnya. Dan untuk mendapatkan kembali pusaka itu, kita harus mendekati Daha. Kita semua pindah dan sini mencari tempat tinggal yang baik dan cocok di Daha"
Mendengar ini, dua orang datuk sesat itu menjadi girang sekali. Merekapun tidak suka tinggal terlalu lama di goa ini. tempat yang amat sunyi. Memang di situ terdapat tiga orang pemuda remaja yang tampan dan tiga orang gadis remaja yang manis, akan tetapi enam orang anak itu adalah milik Ki Buyut Prana?maya dan mereka berdua sama sekali tidak boleh mengganggu mereka.
Pada saat itu, seorang pemuda remaja da?tang menghadap gurunya dan berkata lantang "Aki Buyut, Paman Pati datang hendak merghadap"
Wajah kakek itu berseri dan tak lama ke?mudian muncullah seorang laki laki berusia empat puluhan tahun. Wajahnya cukup ganteng dengan kumis dan jenggot terpelihara rapi. Ketika melihat Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri, dia tersenyum, terutama sekali kepada Ni Dedeh, dia tersenyum ramah sekali.
"Kiranya kalian berdua sudah berada disini, Selamat bertemu, Kakang Gakak Wulung dan mbakayu Dedeh Sawitri " Katanya, ke?mudian dia menghadap gurunya dan memberi hormat.
"Bagus, memang kau kuharapkan datang dan kalau tidak datang tentu akan kusuruh panggil, Pati" kata kakek itu sambil terkekeh girang, "Akan tetapi....... aku melihat perubahan padamu. Nanti dulu....... apa gerangan yang berubah" Ah, benar. Pakaianmu kau mengenakan jubah, pakaianmu seperti pakaian seorang resi (pendeta)"
Pria itu kembali menghormat "Memang benar sekali ucapan Guru. Para resi yang memiliki kuil di Daha bertemu dengan saya. Setelah menjadi kenalan dan seringkali kami bertukar pikiran tentang Agarna Syiwa, juga setelah mereka mengenai kemampuan saya, mereka lalu mengusulkan agar saya suka mengikuti mereka dan menjadi seorang resi. Meli?hat betapa baiknya kedudukan mereka, juga mereka mempunyai pengaruh yang cukup besar di kalangan rakyat, maka saya mengambil keputusan untuk mengikuti mereka dan saya datang untuk mohon diri dari guru dan mohon doa restu"
Ki Buyut Pranamaya mengangguk-angguk. "Baik sekali, muridku Memang orang mengejar kemuliaan dapat melalui jalan apa saja Dan kau memang berbakat menjadi seorang resi. Aku hanya ikut memuji semoga akan tercapai apa yang kau citakan dan kalau sudah mendapatkan kedudukan yang mulia, jangan kau lupakan gurumu yang sudah tua ini"
"Saya akan selalu mengingat semua petuah dari guru. Dan para resi juga sudah memberi sebuah nama kepada saya, yaitu Resi Mahapati"
Penonton menyambut dengan tepuk dan sorak untuk keduanya. Me?reka saling serang lagi dan Lembu Sora tidak mau kalah. Ketika dia melihat kesempatan selagi lawannya menendang, diapun mengelak dan cepat dia menangkap tumit kaki kiri lawan yang menendangnya itu dan diapun meminjam tenaga tendangan ditambah temganya sendiri untuk mendorong. Akan tetapi tidak seperti Klabang Gunung tadi yang mendorong ke atas sehingga tubuhnya terlempar ke atas, kini Lembu Sora mendorong ke depan sehingga tubuh lawan yang tinggi besar itu melayang ke belakang. Tanpa dapat dihindarkan lagi, tubuhnya keluar dari panggung dan jatuh berdebak ke atas tanah dibawah panggung.
Akan tetapi dia tidak mengaku kalah. Me?mang sedikitpun dia tidak terluka, dan begitu terjatuh, dia sudah meloncat lagi ke atas pang?gung dan menghantamkan kepalan tangan kananya ke arah dada Lembu Sora. Lembu Sora mengukur kekuatan itu, dan dia menerima pu?kulan pada dadanya itu sambil mengerahkan tenaga dalam yang membuat dadanya kebal.
"Bukkk" Kepalan itu mengenai dada, dan membalik seolah-olah memukul sebuah benda dari karet yang keras saja.
Klabang Gunung menjadi penasaran. "Babo babo, kau pamer kekebalan" Hayo boleh kau pukul tubuhku, kita mengadu kekebalan, siapa lebih kuat" bentaknya sambil membusungkan perut dan dadanya yang amat kokoh.
Lembu Sora mengerahkan tenaganya dan me?mukul ke arah dada. Lawannya tidak mengelak.
"Desss......." Pukulannya juga membalik.
Tepuk tangan dan sorak sorai mengiringi kedua orang jagoan yang saling pukul dan memperlihatkan kekebalan mereka itu. Dalam hal kekebalan, keduanya memang setanding. Akan tetapi, Klabang Gunung berlaku curang dan dalam gilirannya, dia memukul ke arah muka. Lembu Sora kembali mengelak dan membalas dengan tusukan jari-jari tangan yang diluruskan ke arah leher lawan yang juga ditangkis oleh Klabang Gunung.
Mereka sudah berkelahi lagi, saling serang dan karena mereka mengarahkan seiangan pada daerah atau bagian tubuh yang lemah dan berbahaya, kedua?nya tidak berani mengandalkan kekebalan un?tuk melindungi bagian yang diserang.
Para penonton menjadi semakin gembira dan banyak terjadi pertaruhan diantara mereka, seperti orang-orang menonton adu ayam saja. Para puteri yang juga berada di situ, banyak yang sudah menutupi muka karena me?rasa tegang dan ngeri. Raden Wijaya tenang saja karena dia percaya sepenuhnya kepada Lembu Sora. Sementara itu. Sang Prabu Jaya?katwang juga menjadi gembira bukan main menyaksikan dua jagoan yang setanding itu.
"Hebat jagomu, anak mas Wijaya. Kalau jagomu menang, kami akan menghadiahi dia dan juga kau berhak mendapatkan hadiah. Akan tetapi, belum tentu dia akan menang, heh-heh"
"Saya merasa yakin bahwa Paman Lembu Sora akan mampu mengalahkan Klabang Gunung, Kanjeng Paman Prabu" jawab Raden Wijaya dengan sikap tenang dan suara penuh keyakinan.
Agaknya memang Lembu Sora kalah tenaga sedikit dibandingkan musuhnya. Beberapa kali nampak dia terhuyung dan hampir terpelanting kalau mereka mengadu tenaga dan Klabang Gunung sudah mentertawakannya karena raksasa ini yakin bahwa akhirnya dia yang akan keluar sebagai pemenang.
Pada suatu saat, keduanya saling berpegang lengan. Keringat sudah membuat seluruh tubuh mereka basah dan licin, pernapasan mereka sudah agak terengah dan keduanya sudah lelah sekali. Tiba-tiba Klabang Gunung membuat gerakan menyelinap dari bawah lengan lawan dan tahu tahu dia sudah tiba di belakang tu?buh Lembu Sora dan kedua lengannya yang panjang dan besar itu menyusup ke bawah ke?dua lengan lawan, lalu jari jari tangannya sa?ling bertemu di tengkuk Lembu Sora. Dia su?dah berhasil memiting lawan dengan kunci pitingan yang amat kuat. Sepuluh jari dari ke?dua tangan itu sudah saling melekat di bela?kang tengkuk Lembu Sora dan agaknya sudah tidak ada jalan bagi Lembu Sora untuk melepaskan diri dari kuncian yang amat kuat ini.
"Hahaha, engkau berlututlah dan menyatakan diri kalah. Kalau tidak, akan kupatahkan tulang punggungmu" kata Klabang Gunung. Gamelan dipukul bertalu-talu dan mereka yang berpihak kepada Lembu Sora dalam taruban sudah merasa cemas. Bahkan Raden Wijaya sendiri memandang tajam, dan para pengikut?nya sudah nampak gelisah pula.
Lemba Sora juga terkejut. Tak disangkanya bahwa lawannya memiliki ilmu gulat yang membuat tubuhnya licin bagaikan belut dan tadi diapun terkecoh sehingga lawan kini dapat menguasainya dengan kunci pitingan yang demikian kuat. Namun, Lembu Sora adalah seorang senopati yang sudah banyak pengalaman dan diapun seorang ydng tabah dan tenang, tak pernah kehilangan akal.
Jari-jari tangan lawan yang besar itu menekan tengkuknya dengan amat kuat, membuat tubuhnya membungkuk dan agaknya dia sudah tidak berdaya lagi. Dia semakin membungkukkan tubuhnya, membuat perhitungan dengan sikap tenang. Perhitungannya harus tepat, kalau tidak, dia gagal dan akan kalah, bukan saja dia yang akan mengalami derita kesakitan dan malu, bahkan junjungannya, Raden Wijaya, juga akan menderita malu dan terhina.
"Hahaha, anak mas Wijaya, jagomu kini kalah. Lihat, dia sudah tidak mampu berkutik lagi" Sang Prabu Jayakatwang berseru gembira sambil tertawa.
"Harap paduka bersabar, Kanjeng Paman. Pertandingan itu saya kira belum berakhir" kata Raden Wijaya, masih tenang karena dia melihat sinar mata Lembu Sura mencorong penuh ketajaman, tanda bahwa jagonya itu be?lum putus asa dan sedang mencari akal.
"Kalau aku belum mengaku kalah, apa yang akan kau lakukan?" Lembu Sora bertanya, mem?buat napasnya terengah-engah. Mendengar suara yang napasnya sudah memburu itu, Klabang Gunung tertawa.
"Hahaha, punggungmu akan kupatahkan kupatahkan"
Tiba-tiba saja dia menghentikan kata-katanya kare?na pada saat itu, Lembu Sora menghantamkan kepalanya ke belakang.
"Dessss.." Bagian belakang kepala Lem?bu Sora yang keras itu menghantam mulut dan hidung Klabang Gunung, Serangan kepala ini demikian tiba-tiba datangnya sehingga Klabang Gunung tidak sempat menghindar dan bukit hidungnya remuk, darah mengucur keluar, Pada saat itu, dengan perhitungan yang amat tepat, kedua tangan Lembu Sora sudah bergerak naik ke tengkuknya dan dia berhasil memegang ke?dua ibu jari lawan yang mengunci tengkuknya. Di lain saat, kaki kirinya menyepak ke bela?kang seperti gerakan kaki kuda, dan tepat mengarah selakangan lawan.
"Desss........ Aughhhhh....... " Hanya me?reka yang pernah ditendang atau disepak anggauta rahasianya di bawah pusar saja yang akan mampu membayangkan betapa nyeri rasanya. ketika tumit kaki Lembu Sora memasuki selangkangan dan menghantam alat kelamin lawan. Kiut miut rasanya, nyeri menusuk-nusuk ke jantung dan perut seketika mulas, mata berkunang. Pada saat itu, Lembu Sora menarik ibu jari kedua tangan lawan, mengerahkan seluruh tenaga menekuk kedua ibu jari itu ke belakang. Pada saat itu, Klabang Gunung se-dang mengalami siksaan yang amat hebat. Bu?kan saja hidungnya remuk berdarah, akan tetapi alat kelaminnya kena disepak tumit se?hingga tentu saja dia kurang dapat memusatkan tenaganya melindungi kedua ibu jari yang ditekuk ke belakang.
"Krekk. Krekkl" Kedua ibu jari yang ditekuk itu akhirnya patah, atau lebih tepat lagi, terlepas sambungan buku-buku jarinya dan rasa nyeri yang amat hebat menusuk sampai ke seluruh isi dada. Pada saat itu, kedua tangan Lembu Sora melepaskan ibu jari, mencengkeram rambut kepala lawan dan tubuhnya mem?buat gerakan membungkuk dengan tiba tiba, pinggulnya diangkat ke atas dan kedua ta?ngannya menarik rambut sekuatnya lalu mem?buat gerakan melempar.
"Wuuuuttttt........I" Tak dapat dihindarkan lagi, tubuh tinggi besar yang sedang menderita seribu satu macam perasaan nyeri dan tidak mampu lagi mengerahkan tenaga itu, terlempar jauh ke luar panggung dan terbanting keras ke atas tanah. Di situ dia tidak mampu bangkit lagi, melainkan merintih dan mengaduh, kedua tangannya membuat gerakangerakan aneh, kadang-kadang ke hidung, lalu ke bawah pusar, lalu ke ibu jari masing-masing, dan raksasa itu menangis saking nyerinya.
Suasana hening sejenak karena peristiwa itu sungguh di luar dugaan semua orang. Akan tetapi kemudian mereka yang dalam taruhan berpihak kepada Lembu Sora, bersorak sorai.
Sorakan itu terhenti ketika di atas pang?gung sudah muncul seorang senopati yang wajahnya bengis. Dia mengangkat tangan memberi isarat kepada mereka yang bersorak ajar te?nang. Semua orang mengenai Senopati Segara Winotan yang galak, maka kini tidak ada seorangpun berani bersorak walaupun mereka menang, apa lagi kini mereka teringat bahwa yang menang adalah orang Singosari.
Senopati Daha itu memandang tajam ke?pada Lembu Sora, sinar matanya seperti hen?dak membakar. Dia marah bukan main karena Klabang Gunung adalah anak buahnya. Kekalahan Klabang Gunung dirasakannya seperti menampar mukanya. Kalau Klabang Gunung kalah oleh seorang jagoan lain dari Daha, hal itu tentu saja tidak mengapa, Akan tetapi se?kali ini lain. Klabang Gunung dikalahkan oleh seorang jago dari Singosari yang dia tahu ada?lah seorang senopati Singosari, kerajaan yang telah kalah perang melawan Daha.
''Lembu Sora, aku tahu engkau seorang se?nopati Singosari. Tidak mengherankan kalau engkau mampu mengalahkan Klabang Gunung dengan akal curang. Hayo, cabutlah kerismu, lawanmu adalah aku" berkata demikian, Senopati Segara Wirotan sudah mencabut sebatang kerisnya dan berdiri dengan sikap menantang.
Lembu Sora mengerutkan alisnya. Semua orang tahu bahwa bukan dia yang tadi berbuat curang, melainkan Klabang Gunung sendiri Kalau saja dia bukan pengikut Raden Wiiaya" yang kini hendak menghambakan diri ke Daha tentu sudah disambutnya tantangan itu. Namun dia ragu-ragu dan bingung, tidak menjawab melainkan dia menoleh kearah Raden Wi?jaya seperti hendak minta keputusan dan junjungannya itu.
Raden Wijaya mengenai watak Lembu Sora Kalau dibiarkan, tentu senopati itu akan menerima tantangan siapapun juga dan kalau sam?pai terjadi keributan, berarti gagallah semua usahanya untuk membangun kembali Kerajaan Singosari yang sudah runtuh dengan jalan menghambakan diri ke Kerajaan Daha. Maka diapun cepat bangkit, memberi hormat kepada Prabu Jayakatwang. "Hamba melerai pertikaian itu" Tanpa menjawab, Raden Wijaya sudah melangkah lalu meloncat naik ke atas punggung.
"Kakang Lembu Sora, turunlah" katanya halus.
Lembu Sora menyembah, lalu tanpa menoleh kepada Segara Winotan dia meloncat turun dari panggung, kembali ke tempat du duknya semula, disambut dengan gembira oleh teman-temannya.
Sementara itu, ketika melihat bahwa yang menghadapinya adalah Raden Wijaya yang dia kenal sebagai seorang pangeran di Singosari, Segara Winotan menjadi bingung dan kikuk. Akan tetapi, dia teringat bahwa bagaimanapun juga pangeran di depannya ini hanyalah se-orang pangeran dari kerajaan yang dikalahkan, maka dengan sikap hormat pura pura, yang menyembunyikan kecongkakannya, dia mem?beri hormat lalu berkata.
"Hamba ingin mengadu kepandaian melawan Senopati Lembu Sora, mengapa paduka melerai " Apakah paduka ingin maju sendiri untuk mencoba kemampuan saya?" Senopati itu tersenyum, menyura mengejek.
"Paman Segara Winotan, kiranya kau ju?ga mengetahui bahwa dua orang senopati hanya saling bertanding di dalam suatu peperangan kakang Lembu Sora naik ke panggung ini, bukan sebagai senopati, melainkan sebagai pengiringku dan kini menjadi tamu di Daha, bukan musuh. Kalau kau menantangnya, berarti sama dengan menantang aku" Berkata demikian Raden Wijaya memandang tajam dan sinar ma?tanya mencorong, membuat Segara Winotan menjadi gentar juga. Dia menyarungkan kerisnya dan berkata sambil menunduk.
"Hamba tidak ingin melawan seorang bangsawan tinggi seperti paduka yang menjadi tamu junjungan hamba. Maafkan hamba........"
Pada saat itu, Sang Prabu Jayakatwang sudah berteriak, "Sudah cukup. Tidak perlu ada pertandingan lagi. Ke sinilah, anak mas Wijaya. kita bercakap cakap"
Raden Wijaya meninggalkan panggung dan menghaturkan sembah kepada Sang Prabu Jayakatwang. "Harap paduka sudi mengampuni kakang Lembu Sora dan kami semua kalau kami dianggap membikin ribut di sini"
Raja itu tertawa. "Ah, sama sekali tidak. Kalian bahkan sudah ikut meramaikan suasana. Lembu Sora memang hebat, dan ternyata jago?mu yang menang, anak mas Wijaya. Katakan hadiah apa yang kau inginkan?"
Entah apa yang menyebabkannnya, pada saa itu Raden Wijaya teringat kepada tunangannya yang belum ditemukan, yaitu Sang Dyah Gayatri, maka dengan penuh harap dia lalu mempergunakan kesempatan itu dengan jawaban yang halus, "Kanjeng Paman Prabu, kalau sekiranya paduka mengijinkan, hamba mohon agar diajeng Gayatri dapat diberikan kepada hamba. Ia ada?lah tunangan hamba......"
Mendengar disebutnya nama puteri ini, seketika wajah Sribaginda menjadi keruh dan alisnya berkerut. Baru beberapa hari Gayatri lenyap bersama Wulansari dan hal itu masih membuat dia marah dan penasaran, sekarang disebutnya nama itu seperti mengingatkan dia kembali bahwa bersama mereka berdua, lolos pula tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Karena hatinya tidak senang, dengan alls masih berkerut diapun menjawab kaku.
"Ah, kalau yang itu tidak bisa. la adalah seorang tawanan, dan belum waktunya dibebaskan dari tawanan"
Raden Wijaya bungkam dan tidak berani lagi mengulang nama itu. Namun, maklum akan kedudukannya, dia tidak berani memperlihatkan penyesalan walaupun di sudut hatinya, dia merasa gelisah sekali. Melihat sikap Sang Pra?bu Jayakatwang, agaknya Sribaginda ini hen?dak menahan Gayatri dan hal itu hanya mempunyai satu arti, yaitu bahwa Sribaginda sendi?ri agaknya ingin memiliki puteri yang jelita itu. Namun, Raden Wijaya tidak merasa putus harapan dan diapun mulai memperlihatkan sikap yang amat baik sehingga Sang Prabu Ja?yakatwang maka percaya kepadanya dan tidak pernah meragukannya niat hatinya untuk meng?hambakan diri kepadanya. Para pengikut Raden Wijaya yang amat setiapun menahan hati mereka dan bersikap sebagai orang-orang yang beriar benar takluk sehingga timbullah kesan pada seluruh ponggawa Kerajaan Doha bahwa Kerajaan Singosari telah musnah, dan tidak ada lagi keturunan Ken Arok yang akan bangkit lagi.
*** Pantai Laut Selatan mempunyai banyak tebing yang curam. Bukit Seribu di sepanjang pantai selatan memiliki banyak sekali bukit yang mencapai pantai, bukit bukit karang yang tandus, seolah-olah menjadi semacam tanggul untuk membendung air laut yang bergelombang dahsyat dan Laut Selatan agar jangan sampai menelan Pulau Jawa.
Banyak terdapat goa-goa di perbukitan selatan itu, goa-goa di bukit karang dan kapur. Di lereng sebuah bukit terdapat sebuah goa yang aneh bentuknya. Sebuah goa yang menghadap ke arah lautan dan bentuknya se?perti tengkorak manusia. Tidak mudah mencapai goa ini karena berada di lereng bukit yang penuh dengan semak berduri dan batu-batu karang malang melintang. Tempat ini tak pernah dikunjungi orang.
Namun ternyata goa yang aneh itu dihuni orang. Itulah Goa Siluman yang berada di bukit Garing dan yang menjadi penghuni tetapnva adalah seorang kakek yang usianya sudah delapan puluh tahun lebih. Dia dilayani enam orang anak remaja, tiga pria dan tiga wanita, yang melayani segala keperluan hidup sang kakek.
Memang luar biasa sekali. Di tempat sesunyi dan segersang itu, tinggal seorang iakek dengan enam orang pelayan. Apa lagi kalau orang dapat tiba di goa itu dan memasukinya, dia akan terheran-heran. Goa yang bentuk?nya seperti tengkorak manusia itu besar se?kali. Ruangan depan saja lebarnya ada dua puluh meter dan dalamnya tidak kurang dari sepuluh meter dan karena lebarnya maka ru?angan goa itu memperoleh sinar matahari yang cukup, dan di sebelah dalamnya terdapat lorong-lorong bahkan ada ruangan ruangan yang dipakai sebagai kamar-kamar tidur. Ada tiga kamar di sebelah dalam, sebuah kamar untuk sang kakek dan yang dua kamar lagi masing-masing dipakai oleh tiga orang pela?yan perempuan dan tiga orang pelayan laki-laki.
Kakek tua renta itu bukanlah orang biasa, melainkan seorang tokoh sesat yang namanya sudah amat terkenal, apa lagi ketika dua belas tahun yang lalu dia menbantu pemberontakan muridnya. Dia adalah Ki Buyut Pranamaya yang dulu tingga| sebagai pertapa di Bukit Gandamayit di hutan Cempiring. Ketika muridnya Mahesa Rangkah memberontak, dia mambantu sepenuhnya. Akan tetapi pemberontakan Mahesa Rangkah itu gagal, bahkan Mahesa Rangkah sendiri tewas dalam pertempuran, Ki Buyut Pranamaya sendiri juga melarikan diri, apa lagi setelah tombak pusaka Ki Ageng Tejanirnala yang tadinya berada di tangannya itu telah terampas oleh Wulan?sari.
Semenjak itu, Ki Buyut Pranamaya lalu bertapa di dalam Goa Siluman itu. Dia men?dengar bahwa tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala kini terjatuh ke dalam tangan Kerajaan Daha. Dia merasa menyesal sekali. Ka?lau saja pusaka itu tidak terampas dari ta?ngannya, tentu pemberontakan Mahesa Rang?kah dahulu itu berhasil dan muridnya itu telah menjadi raja, dan dia menjadi penasihat raja. Dia tidak merasa heran mendengar betapa Doha mampu mengalahkan Singosari. Tentu berkat tompak pusaka itu, pikirnya.
Manusia pada umumnya, kalau usianya su?dah mulai tua, teringat akan keadaan dirinya lalu berpaling kepada Tuhan, ingat akan dosa yang telah banyak ditumpuknya di waktu muda, dan selagi masih ada kesempatan, berusaha membersihkan diri lahir batin, mendekatkan diri dengan Tuhan dan menjauhi bujukan iblis dan setan. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan Ki Buyut Pranamaya. Dalam usianya yang sudah amat tua itu, ia masib menjadi hamba nafsu nafsunya. Tiga orang pemuda remaja dan tiga orang gadis remaja itu, selalu menjadi para pembantunya, juga dilatih ilmu kedigdayaan dan juga mereka itu dia jadikan alat nafsu berahinya. Dia menculik anak-anak itu sejak mereka berusia lima enam tahun, dan mendidik mereka sehingga mereka menjadi anak-anak patuh kepadanya.
Selain enam orang anak yang menjadi pelayannya, muridnya, dan juga kekasihnya itu, Ki Buyut Pranamaya juga nempunyai seorang murid yang dianggapnya amat baik. Sejak
muridnya, Mahesa Rangkah, tewas dalam pemberontakannya, dia lalu bertemu dengan seorang pemuda gemblengan bernama Jaka Pati yang berusia tigapuluh tahun lebih Pemuda ini tekun bertapa dan menumpuk ilmu dengan cita-cita mencari wahyu kraton, atau setidak-tidaknya agar dia dapat menduduki pangkat yang tinggi dan mendapatkan kemuliaan. Ilmu-ilmu dari Agama Syiwa dipelajarinya dengan tekun.
Bertemu dengan Jaka Pati, Ki Buyut Prana?maya merasa suka sekali, maka dia yang telah kehilangan murid lalu mengambil Jaka Pati sebaga muridnya, mengajarkan banyak macam ilmu kesaktian, bahkan lalu memberi petunjuk kepada murid itu untuk bertapa di tempat-tempat yang angker.
Pada waktu itu, Ki Buyut menyuruh Jaka Pati yang usianya kini sudah empat puluh tahun lebih untuk bertapa di se?buah goa kecil tak jauh dari Goa Siluman.
Pagi hari itu, Ki Buyut Pranamaya telah keluar dari kamarnya dan berada di ruangan depan Matahari telah menyorotkan sinarnya sampai ke dalam ruangan goa, dan lautan di depan goa nampak tenang, putih keperakan tertimpa sinar matahari pagi.
Seorang pelayan wanita menuruni batu karang curam di sebelah kiri goa, lalu menghadap Ki Buyut Pranamaya sambil berkata, "Aki Buyut, Paman Gagak Wulung dan Bibi Ni Dedeh Sawitri datang berkunjung"
Wajah kakek tua renta itu tersenyum dan dia mengangguk-angguk. Bagus, memang sudah lama mereka kunanti-nanti"
Tak lama kemudian, dua orang menuruni batu karang dengan cekatan dan mereka itu ternyata adalah dua orang tokoh yang telah erkenal sekali, yaitu Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri.
Gagak Wulung adalah seorang datuk dari Kediri, berusia hampir enampuluh tahun, namun masih nampak muda. Wajahnya tampan, tubuhnya tegap, pakaiannya juga mewah dan pesolek, seperti seorang bangsawan saja.
Dahulu pernah dia membantu Kerajaan Daha secara diam-diam, bukan sebagai ponggawa karena dia seorang petualang yang hanya membutuhkan keuntungan bagi dirinya sendiri. Ketika Mahesa Rangkah memberontak terhadap Singosari, diapun ikut membantu. Setelah pemberontakan itu gagal, dia melarikan diri, kemudian berhubungan dengan Ki Buyut Pra?namaya dan sering berkunjung untuk minta petunjuk karena dia menganggap kakek itu se?bagai orang yang jauh lebih sakti dan patut dihormati. Bahkan dia siap membantu kalau kakek itu mempunyai suatu rencana yang menguntungkan.
Adapun wanita itu adalah Ni Dedeh Sawitri, juga seorang datuk dari Pasundan, namun di waktu mudanya, ia sudah banyak dijumpai orang di daerah Daha dan Singosari. Wanita ini usianya hampir limapuluh tahun, akan tetapi masih nampak cantik, menggairahkan, dan genit. Iapun pesolek dan berpakaiau indah, sungguh merupakan pasangan yang cocok dengan Gagak Wulung. Dan seperti juga Gagak Wulung, ia memiliki kedig?dayaan, bahkan ia terkenal dengan pukulan-pukulan beracun yang amat berbahaya.
Memang, sudah lama sekali, sejak belasan tahun yang lalu, Ni Dedeh Sawitri menjadi sababat baik Gagak Wulung, bahkan iapun dahulu membaw?tu pemberontakan Mahesa Rangkah yang kemu?dian gagal.
Setelah gagal, Ni Dedeh juga melari?kan diri dan untuk beberapa waktu lamanya, kembali ke Pasundan. Baru kurang lebih setahun ia kembali ke timur dan bertemu dengan dagak Wulung yang membawanya menghadap Ki Buyut Pranamaya, kemudiau mereka berdua. oleh kakek itu diberi tugas untuk melakukan penyelidikan ke Singosari dan Daha yang kabarnya sedang berperang.
Demikianlah keadaan dua orang pasangan yang serasi itu. Sama-sama tampan dan cantik. Sama-sama pesolek dan cabul, dan sa?ma-sama berbahaya dan pandai. Karena kecocokan ini maka mereka melakukan perjalanan sebagai dua orang kekasih saja, kecocokan membuat mereka saling menyukai. Akan tetapi, walaupun mereka saling mencinta, masing-masing tidak mengekang. Dalam melakukan perjalanan bersama, masing-masing bebas untuk mencari pasangan masing-masing, bahkan kalau perlu mereka saling membantu untuk mendapatkan pasangan masing-masing, apa bila menemui halangan. Memang pasangan ini istimewa sekali, dan bagi mereka tidak ada hal yang dipantang untuk mencapai kepuasan hati dan kesenangan. Keduanya merupakan hamba-hamba nafsu yang sudah tidak ketulungan lagi.
Melihat dua orang itu menghadap padanya, duduk di atas lantai bertilam jerami kering, Ki Buyut Pranamaya tertawa senang, memper?lihatkan mulut yang sudah tidak ada giginya lagi.
"He he he he, bagus........ bagus........ Kalian sudah datang" Memang amat kunanti-nanti. Wah, Dedeh, setelah pergi selama tiga bulan kau nampak semakin cantik manis saja, he he he"
Gagak Wulung tertawa. "Paman Buyut Prana?maya, tentu saja ia nampak segar karena selama tiga bulan ini ia telah mendapatkan jamu dari belasan orang perjaka muda belia, hahaha" kata-kata Ga:ak Wulung yang disertai tawa ini membuat Ni Dedeh Sawitri cemberut, namun cemberut buatan agar nampak lebih mamis dan manja.
"Hemm, dan engkau sendiri" Sedikitnya duapuluh orang perawan kau hisap"
Mendengar ini, Ki Buyut Pranamaya tertawa. Dia sudah tahu betapa dua orang pembantunya ini memang mempunyai watak yang sama kerasnya dan hampir setiap kaii mereka bercekcok. Akan tetapi percekcokan itu akan berakhir dengan kemesraan di dalam kamar karena sesungguhnya mereka itu saling mencinta. Sungguh merupakan dua orang pembantu yang amat baik baginya.
"Sudahlah, kalian memang sama saja. Seka?rang ceritakan bagaimana keadaan di Daha. bukankah Daha telah berhasil menaklukkan Singosari?"
"Benar sekali, paman" kata Ni Dedeh Sa?witri. "Habislah sudah keluarga Kerajaan Singosari. Bahkan pangeran yang diharapkan akan dapat mempertahankan Singosari, yaitu Raden Wijaya, telah melarikan diri ke Madura"
"Kabar terakhir ini katanya bahwa Raden Wijaya bahkan telah menghambakan diri ke Ke-rajaan Daha" sambung Gagak Wulung.
"Jagad Dewa Batara........" kata Ki Buyut Pranamaya. "Kalau begitu, habis sudah harapan bagi Singosari untuk bangkit lagi. Agaknya hanva sampai di sini saja riwayat keturunan Ken Arok. Semua ini gara gara tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Hemm, keparat gadis baju hijau bernama Wulansari itu, dan si keparat Nurseta. Mereka berdualah yang telah merampas ki Ageng Tejanirmala dan akhirnya pusaka itu terjatuh ke tangan Ki Cucut Kalasekti dan jahanam itu menukarkan pusaka dengan kedudukan sebagai Adipati Bendowmangun. Demikianlah, pusaka terjatuh ke tangan Raja Kediri, maka tidak mengherankan kalau sekarang Kediri telah menjatuhkan Singosari" Kakek itu menarik napas panjang penuh penyesalan.
"Lalu sekarang apa yang harus kita lakukan, paman?" tanya Gigak Wulung.
"Kita tidak akan dapat berbuat apa-apa tanpa pusaka itu. Setelah pusaka itu kembali ke tanganku, barulah kita bicara apa yang akan kita lakukan selanjutnya. Dan untuk mendapatkan kembali pusaka itu, kita harus mendekati Daha. Kita semua pindah dan sini mencari tempat tinggal yang baik dan cocok di Daha"
Mendengar ini, dua orang datuk sesat itu menjadi girang sekali. Merekapun tidak suka tinggal terlalu lama di goa ini. tempat yang amat sunyi. Memang di situ terdapat tiga orang pemuda remaja yang tampan dan tiga orang gadis remaja yang manis, akan tetapi enam orang anak itu adalah milik Ki Buyut Prana?maya dan mereka berdua sama sekali tidak boleh mengganggu mereka.
Pada saat itu, seorang pemuda remaja da?tang menghadap gurunya dan berkata lantang "Aki Buyut, Paman Pati datang hendak merghadap"
Wajah kakek itu berseri dan tak lama ke?mudian muncullah seorang laki laki berusia empat puluhan tahun. Wajahnya cukup ganteng dengan kumis dan jenggot terpelihara rapi. Ketika melihat Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri, dia tersenyum, terutama sekali kepada Ni Dedeh, dia tersenyum ramah sekali.
"Kiranya kalian berdua sudah berada disini, Selamat bertemu, Kakang Gakak Wulung dan mbakayu Dedeh Sawitri " Katanya, ke?mudian dia menghadap gurunya dan memberi hormat.
"Bagus, memang kau kuharapkan datang dan kalau tidak datang tentu akan kusuruh panggil, Pati" kata kakek itu sambil terkekeh girang, "Akan tetapi....... aku melihat perubahan padamu. Nanti dulu....... apa gerangan yang berubah" Ah, benar. Pakaianmu kau mengenakan jubah, pakaianmu seperti pakaian seorang resi (pendeta)"
Pria itu kembali menghormat "Memang benar sekali ucapan Guru. Para resi yang memiliki kuil di Daha bertemu dengan saya. Setelah menjadi kenalan dan seringkali kami bertukar pikiran tentang Agarna Syiwa, juga setelah mereka mengenai kemampuan saya, mereka lalu mengusulkan agar saya suka mengikuti mereka dan menjadi seorang resi. Meli?hat betapa baiknya kedudukan mereka, juga mereka mempunyai pengaruh yang cukup besar di kalangan rakyat, maka saya mengambil keputusan untuk mengikuti mereka dan saya datang untuk mohon diri dari guru dan mohon doa restu"
Ki Buyut Pranamaya mengangguk-angguk. "Baik sekali, muridku Memang orang mengejar kemuliaan dapat melalui jalan apa saja Dan kau memang berbakat menjadi seorang resi. Aku hanya ikut memuji semoga akan tercapai apa yang kau citakan dan kalau sudah mendapatkan kedudukan yang mulia, jangan kau lupakan gurumu yang sudah tua ini"
"Saya akan selalu mengingat semua petuah dari guru. Dan para resi juga sudah memberi sebuah nama kepada saya, yaitu Resi Mahapati"
JILID 16
"RESI MAHAPATI?" Ki Buyut Pranamaya berkata sambil tersenyum. "Wah, bagus sekali nama itu. Dan Jaka Pati menjadi Resi Mahapati. Baiklah Resi Mahapati, doa restuku menyertaimu. Ketahuilah bahwa kamipun akan pindah ke Daha, mencari suatu tempat yang tepat di sana. Kita akan saling bertemu di sana dan mudah-mudahan kita akan dapat saling bantu"
Resi Mahapati girang mendengar bahwa gurunya juga akan pindah ke Daha, akan tetapi, karena para resi sudah menantinya di dataran pantai, diapun berpamit dan meninggalkan goa itu, diikuti pandang mata Ki Buyut Pranamaya.
Setelah Resi Mahapati pergi, kakek itu. mengangguk-angguk dun berkata kepada dua orang datuk itu.
"Kalian lihat saja, muridku itu kelak akan dapat melangkah jauh dan memperoleh kedudukan yang tinggi. Dia amat cerdik, dan ilma kepandaiannya juga mendalam"
Beberapa hari kemudian, Ki Buyut Pranamaya dengan enam orang pelayannya, diikuti oleh Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri, juga meninggalkan Goa Siluman, menuju ke Daha. Mereka itu bagaikan bayangan siluman-siluman yang berangkat untuk menyebar malapetaka di antara manusia. Goa Siluman itu menjadi semakin sunyi dan semakin angker setelah kini tidak lagi berpenghuni.
*** Pemuda itu tampan bukan main. Usianya sekitar tiga puluh tahun atau bahkan jauh lebih muda. Kulitnya kuning bersih dan sepasang matanya bersinar seperti bintang kejora, kadang-kadang sepasang mata itu mencorong seperti mata harimau di tempat gelap. Tubuhnya tidak berapa besar, bahkan tergolong kecil ramping, namun dalam langkahnya terkandung kegagahan. Pakaiannya sederhana, seperti pakaian seorang pemuda dusun, namun melihat wajah dan sikapnya, orang akan menduga bahwa tentu dia bukan seorang pemuda sembarangan. Juga sepasang mata itu bukanlah mata seorang pemuda dusun yang sederhana.
Akan tetapi, gadis remaja yang berjalan di sisinya juga luar biasa cantiknya. Kulitnya Agak gelap, akan tetapi hitam manis, dengan dagu meruncing dan matanya jeli bersinar-sinar penuh gairah hidup, mulut yang bibirnya merah basah itu selalu tersenyum, la seorang gadis yang lincah, jenaka dan penuh gairah, Pakaiannya juga seperti seorang gadis petani, akan tetapi, gadis berusia tujuhbelas tahun ini juga tidak patut menjadi seorang gadis dusun. Seolah-olah tingkah dan wibawanya tidak seperti seorang gadis yang bodoh dan sederhana.
Mereka berdua berjalan perlahan di dalam hutan itu. Tiba-tiba pemuda itu memegang legan si gadis, mulutnya diruncingkan. "Sshhhh........" Dia memberi isarat agar gadis itu tidak mengeluarkan suara. Gadis itupun menutup mulutnya dengan tangan, lalu ikut melirik ke kanan karena ia melihat pemuda itu menoleh ke kanan. Benar saja, ada seekor kijang muda berjalan tak jauh dari situ, di antara semak-semak.
Saking gembiranya, gadis itu menunjuk dengan jari tangannya dan berbisik........ "itu di sana ......."
Sedikit suara ini sudah cukup bagi sang kijang yang memiliki pendengaran amat peka. Tadi binatang itu tidak mengetahui kedatangan mereka karena arah angin datang dari depan, akan tetapi begitu gadis remaja itu berbisik, binatang itu mendengarnya dan sekali bergerak, tubuhnya yang ramping itu telah meloncat dengan cepat bukan main.
Akan tetapi, pemuda tampan itu menggerakkan tangannya dan nampak sinar terang menyambar. Kijang itu yang sedang melompat dan masih berada di udara, lalu terpelanting dan terbanting roboh, berkelojotan sebentar lalu diam Pemuda itu menggandeng tangan sang gadis remaja. Mereka berlari mengbampiri dan ternyata kijang itu telah mati dengan dada ditembusi sebatang bambu runcing yang tadi dia lontarkan. Akan tetapi ketika pemuda itu menjulurkan tangan hendak meraba, dia berseru, "Ihh" dan menarikkembali tangannya.
Melihat pemuda itu terkejut, gadis yang lincah tadi memandang heran dan bertanya "Ada apakah, mbakayu Wulan?"
"Pemuda itu sebenarnya adalab Wulansari yang menyamar sebagai pria, sedangkan gadis lincah itu adalah Puteri Gayatri. Seperti kita ketahui, Wulansari terpaksa mengajak Gayatri minggat dari istana Daha ketika Sang Prabu Jayakatwang memaksa agar Gayatri malam itu melayaninya, baik dengan sukarela maupun dipaksa. Karena tidak melihat lain jalan untuk menyelamatkan sang puteri, terpaksa Wulansari mengajaknya minggat. Ia juga merasa tidak suka kepada raja yang kini seolah mabuk kemenangan dan mengandalkan kekuasaan itu, maka sambil mengajak Dyah Gayatri melarikan diri, iapun membawa tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala bersamanya.
Wulansari mengajak Gayatri melarikan diri ke utara, menyusuri sepanjang Sungai Brantas, lalu mempergunakan perahu terus mengikuti aliran sungai yang makin ke utara semakin membesar itu. Setelah melakukan perjalanan dengan perahu berhari-hari lamanya, ketika perahu membelok ke timur, Wulansari mengajak Gayatri melanjutkan perjalanan dengan kaki, terus ke utara sampai jauh meninggalkan tapal batas Kediri dan memasuki tapal batas Tuban. Dengan menyamar sebagai seorang pria dengan nama Bambang Wulandoro dan adiknya perempuan yang diberi nama Pusparasmi. Mereka tinggal mondok di rumah seorang janda tua di dusun Kalasan.
Dengan simpanan barang perhiasan mereka, kedua orang ini mampu hidup serba cukup di dusun itu. Janda tua itu sama sekali tidak tahu bahwa Bambang Wulandoro sesungguhnya seorang wanita cantik. Juga sama sekali tidak pernah menduga bahwa Pusparasmi adalah Sang Puteri Dyah Gayatri.
Merasa aman dalam persembunyian mereka, Wulansari kadang-kadang mengajak Puteri Gayatri untuk berburu binatang di hutan seperti yang mereka lakukan pada hari itu. Tentu saja tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala telah disembunyikan oleh Wulansari. Tidak mau ia menyimpan pusaka itu sembarangan. Ia menyembunyikan pusaka itu di dalam pohon. beringin, di puncaknya, diikatkan pada batang pohon itu dengan erat. Takkan ada seorangpun menduga pusaka itu disimpan di sana, dan tidak kelihatan dari bawah. Juga tidak ada babaya ketahuan orang karena tidak ada penduduk dusun berani memanjat pohon beringin yang tua dan besar itu. Bukan takut karena tingginya melainkan takut karena sudah menjadi kebiasaan dan kepercayaan umum mereka menganggap pohon beringin, apa lagi yang besar dan tua, sebagai pohon keramat.
Demikianlah, pada hari itu Wulansari dan Gayatri memburu binatang. Wulansari yang memiliki kesaktian itu hanya mempergunakan senjata sebatang bambu runcing, bambu kuning yang kecil dan kuat. Dan dengan lontaran bambu runcing ini ia sudah berhasil merobohkan seekor kijang muda. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia hendak menjamah kijang itu, melihat sesuatu pada leher binatang itu sehingga ia menarik kembali tangannya dan mengeluarkan seruan kaget. Teguran Gayatri, yang menyebutnya "mbakayu Wulan" membuat ia semakin kaget dan cepat ia menangkap lengan puteri itu dan berbisik.
"Awas, jangan sebut aku mbakayu, ada orang di sini........" Ketika puteri itu memandang semakin heran, Wulansari atau Bambang Wulandoro menudingkan telunjuknya ke arah leher kijang. Puteri Gayatri atau Pusparasmi memandang dan iapun terbelalak. Pada leher kijang itu nampak menancap sebatang besi yang bentuknya segi tiga runcing, dan benda itu menancap di leher kijang sampai masuk semua, yang nampak hanya sedikit gagangnya dan ronce benang merah terjurai di leher binatang itu.
"Adikku Puspa, engkau berdiamlah di sini dan jangan bergerak. Ada orang lain di sini dan biarkan aku menghadapinya" kata Bambang Wulandoro kepada adiknya.
Pusparasmi maklum bahwa sekali ini ia harus bersandiwara, maka iapun menjawab, "Baklah, kakang Wulandoro"
Bambang Wulandoro siap menghadapi segala kemungkinan. Dia berdiri dengan kaki terpentang lebar, kepalanya bergerak ke kanan kiri, matanya melirik ke sekeliling dan sikapnya waspada. Tak lama kemudian, terdengar suara orang, suara yang agaknya terkejut dan terheran.
Dengan gerakan cepat, Bambang Wulandoro membalikkan tubuhnya, siap menghadapi segala kemungkinan, sedangkan Pusparasmi juga memutar tubuhnya. Kedua orang gadis ini terkejut dan memandang terheran-heran kepada pemuda yang berdiri di depan mereka. Seorang pemuda yang aneh bentuk pakaiannya. Baju lengan panjang dan celana itu berwarna biru tua, kakinya dari lutut ke bawah dibelit kain tebal kuning dan kakinya bersepatu. Rambutnya panjang digelung dan diikat ke atas. Wajah pemuda itu tampan, hanya sepasang matanya sipit dan kulit mukanya kekuningan walaupun gelap karena banyak tertimpa sinar matahari. Tubuhnya tinggi tegap. Mata yang sipit itu bersinar tajam, nampak tabah, apa lagi karena dilindungi sepasang alis yang hitam tebal. Akan tetapi mulut itu tersenyum ramah dan aneh.
Sebagai seorang puteri raja, Pusparasmi pernah melihat utusan dari Negara Cina, maka begitu melihat pemuda di depannya ini, iapun dapat menduga bahwa pemuda itu seorang Cina. Akan tetapi, Bambang Wulandoro belum pernah melihat bangsa itu, maka diapun memandang heran.
Sejenak, tiga orang itu saling pandang dan pemuda Cina itu lalu memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada. Dia tersenyum dan ketika dia mengeluarkan suara, ternyata dia dapat berbahasa daerah, walaupun logatnya aneh dan pelo, namun cukup dapat dimengerti.
"Maafkan saya. Ini....." kijang ini punya saya karena saya menjatuhkannya dengan senjata piauw ( senjata rahasia ). Nah, itu masih nampak piauw saya di lehernya"
Pemuda itu memang seorang pemuda Cina dan dia bukan lain adalah Lie Hok Yan, pendekar yang menjadi sute dari Kau Seng, seorang di antara tiga orang panglima yang memimpin dua ratus ribu orang perajurit dari Tiongkok yang diutus oleh Kaisar Kubilai Khan untuk berlayar ke Jawa dan untuk menyerang Raja Kertanagara yang telah berani menghina utusan kaisar, yaitu Panglima Meng Ki.
Kaisar Kubilai Khan mengutus tiga orang panglimanya, yaitu She Pei, Kau Seng, dan Ji Kauw Mosu, memimpin duaratus ribu orang perajurit berlayar ke selatan menuju Kerajaan Singosari. Di antara para perwira muda terdapat banyak pula orang Han, dan satu di antaranya adalah Lie Hok Yan. seorang pendekar yang masih terhitung sute (adik seperguruan) dari Panglima Kau Seng.
Ketika kapal-kapal dalam suatu armada besar itu berlayar ke selatan, mereka diserang angin ribut. Namun mereka telah siap menghadapi itu dan mereka membawa banyak ahli pelayaran sehingga pelayaran itu dapat lancar menuju selatan walaupun sebagian besar para perajurit yang biasanya hanya bergerak di darat, menjadi mabuk. Berhari-harian mereka itu bertiduran saja, tidak mau makan.
Akhirnya, setelah armada sampai di Pulau Biliton, armada itu dipecah. Ji Kauw Mosu berangkat lebih dulu dengan limaratus orang perajurit dalam sepuluh buah kapal, sedangkan yang lainnya melalui Karimun Jawa menuju ke Tuban. Setelah tiba di Tuban, separuh dari balatentara mereka mendarat, sedangkan yang separuh lagi melanjutkan pelayaran mereka ke arah timur di bawah pimpinan Panglima She Pei, menuju ke Sungai Sedayu menyusul pasukan yang berangkat lebih dulu dipimpin Ji Kauw Mosu. Mereka mendarat di muara Sungai Sedayu.
Sebelum melakukan gerakan penyerbuan ke arah selatan, Panglima She Pai lebih dulu menyebar para mata-mata untuk menyelundup dan mengamati keadaan. Dan mereka yang diselundupkan menjadi mata-mata adalah orang-orang muda yang selain memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi, juga yang sudah dipersiapkan untuk pekerjaan ini maka mereka itu rata-rata sudah mahir berbahasa daerah. Di antara mereka itu terdapat Lie Hok Yan. Dan pada hari itu tibalah dia di daerah Kalasan, sebuah dusun di tapal batas Tuban, dan karena perutnya terasa lapar dan dia berada di hutan, maka ketika melihat berkelebatya seekor kijang yang lari tak jauh dari situ, dia cepat menyerangnya dengan senjata rahasia piauw.
Sambitannya tepat mengenai leher kijang dan dia melihat betapa kijang itu roboh dalam semak belukar. Maka, diapun cepat mencari kijang itu dan bertemu dengan seorang pemuda tampan bersama seorang gadis vang amat cantiknya. Maka, setelah memberi hormat, Lie Hok Yan lalu mengatakan bahwa kijang itu miliknya karena dia telah membunuhnya dengan senjata piauw yang masih menancap di leher binatang itu.
Akan tetapi pemuda tampan itu mengerutkan alisnya dan suaranya terdengar ketus ketika dia berkata, "Apa kau bilang" Bukan engkau yang merobohkan kijang ini, melainkan aku. Lihat bambu runcing itu. Aku yang melontarkan bambu runcing dan kijang ini mati karena adanya ditembusi bambu runcingku Engkau enak saja mengaku-aku. Ini adalah hasil buruanku"
Lie Hok Yan memandang ke arah bangkai kijang itu dan matanya yang sipit agak dilebarkan. Sama sekali tidak disangkanya bahwa memang ada bambu kuning yang runcing menembus dada kijang itu dan tidak perlu diperdebatkan senjata mana yang lebih ampuh dan lebih pantas membunuh binatang itu. Piauwnya hanya kecil saja, terbenam di leher kijang itu tidak lebih dari sejengkal. Akan tetapi bambu runcing itu menembus dari dada sampai ke punggung. Tadi, pandang matanya terpesona oleh gadis cantik jelita yang berdiri sambil tersenyum di situ maka dia kurang memperhatikan kijang yang menggeletak mati di antara semak-semak.
"Ah, binatang ini sungguh sial, mati di bawah serangan dua senjata. Tak dapat kusangkal, sobat. Tombak bambumu lebih mutlak membunuh binatang ini. Akan tetapi kalau diteliti, jelas bahwa senjataku yang lebih dulu mengenai tubuh kijang ini, setelah itu barulah senjatamu yang mengenainya"
"Wah, enak saja kau bicara" tiba-tiba Pusparasmi berseru dengan sikap galak. Ia maju dan bertolak pinggang, memandang kepada pemuda itu dengan mata bersinar-sinar. "Apa buktinya bahwa senjatamu yang lebih dulu mengenainya" Yang jelas, senjata kakakku yang telah merobohkannya"
Hok Yan memandang dan dia terpesona sampai lama tidak mampu dia menjawabnya Sudah banyak dia melihat wanita cantik, akan tetapi selama hidupnya baru ini dia bertemu dengan seorang gadis yang begini cantik jelita dan manisnya. Kulit wajah sampai leher, pundak dan kedua lengannya begitu putih mulus tanpa cacat sedikitpun. Wajah itu demikian manis dan cantik, rambutnya panjang terurai ke belakang dan anak rambut yang halus melingkar-lingkar di dahi. Sepasang mata yang seperti bintang dan biarpun ia sedang marah, namun kalau bicara matanya menari-nari dan bibirnya bergerak-gerak penuh tantangan untuk dicumbu. Wajah yang seperti dalam dongeng saja. Semenjak kapalnya berlabuh di pantai Tuban dan dia mendarat bersama pasukan, kemudian dia ditugaskan sebagai mata-mata mencari berita, banyak sudah dia melihat wanita Jawa, akan tetapi belum permah yang seperti ini. Seketika jantung dalam dada Hok Yan seperti berhenti berdenyut dan dia terpesona, hanya memandang tanpa dapat mengeluarkan kata-kata.
"Hei, kenapa kau bengong saja" Hayo jawab pertanyaan adikku" Bambang Wulandoro membentak, juga diam-diam geli melihat tingkah pemuda asing itu. Sebagai seorang wanita, tentu saja ia dapat menduga bahwa pemuda asing ini terpesona oleh kecantikan Dyah Gayatri dan iapun tidak merasa heran. Pemuda mana yang tidak akan terpesona melihat kecantikan sang puteri itu"
Dibentak seperti itu, Hok Yan tersipu dan mukanya yang berkulit putih kekuningan itu berubah kemerahan. "Eh....... ahh........ begini... Bukan maksud saya hendak mencari keributan. Kalau memang kalian menghendaki kijang ini, silakan. Akan tetapi saya merasa lapar sekali, kalau boleh saya mendapatkan sebuah kakinya saja, kaki belakang berikut pahanya, atau boleh juga kaki depan, sudah cukuplah......"
"Sudah, tidak perlu banyak cakap. Jawab pertanyaanku tadi. Apa buktinya bahwa senjatamu yang lebih, dulu mengenainya?" Pusparasmi mendesak.
"Begini....... ah, mudah saja. Lihat, bambu runcing itu menusuk dari dada tembus ke punggung. Hal ini tidak mungkin terjadi kalau kijang itu sedang berlari, tentu yang terkena tombak bambu itu bagian sisi, menembus ke sisi yang lain atau kalau tombak itu meluncur dengan lengkungan, maka yang tertusuk adalah punggungnya yang menembus ke dada bukan dari dada menembus ke punggung. Maka, jelas bahwa tentu kijang itu terlebih dahulu terkena senjata piauwku dan saking kaget dan nyeri, mungkin juga sekarat, dia melompat ke atas dan tubuhnya miring sehingga tepat dadanya disambar tombak bambu itu. Dengan demikian, maka senjata rahasiaku yang lebih dulu mengenai tubuhnya"
Bambang Wulandoro mengerutkan alisnya dan dia memandang bangkai kijang itu penuh perhatian. Diam-diam dia harus mengakui kebenaran alasan yang dikemukakan pemuda asing itu, dan dia menjadi penasaran sekali.
"Hemm, sobat. Apakah dengan demikian engkau hendak mengatakan bahwa lontaran bambu runcingku masih kalah hebat dibandingkan sambitan senjata rahasiamu itu?"
Pemuda itu menggeleng kepala dan tersenyum. "Ah, tidak....... maksudku bukan begitu ......."
Akan tetapi Bambang Wulandoro sudah mencabut bambu rucingnya dari tubuh kijang. "Ambil senjata rahasiamu itu dan kita boleh buktikan, sambitan siapa yang lebih jitu" tantang Bambang Wulandoro.
Lie Hok Yan teringat akan tugasnya. Dia tahu betapa tidak baiknya kalau mencari permusuhan selagi dia menjalankan tugas penting itu. Apa lagi dengan pemuda tampan itu adalah kakak dari gadis yang seperti bidadari itu" Tidak, dia sama sekali tidak ingin mencari permusuhan. Akan tetapi, sebagai seorang pemdekar, dia sudah merasa amat tertarik melihat betapa bambu runcing itu tepat mengenai dada kijang dan menembus ke punggung. Juga ketika pemuda tampan itu tadi mencabut bambunya, pemuda itu tidak mempergunakan tenaga kasar dan diam-diam diapun terkejut, menduga bahwa orang ini tentu bukan orang sembarangan Dia merasa tertarik dan ingin sekali melihat sendiri betapa hebatnya orang itu melontarkan tombak bambunya. Maka, diapun mencabut piauw yang masih menancap di leher kijang.
"Biar kubuatkan sasarannya" tiba-tiba Pusparasmi berseru dan ia sudah berlari kecil menuju ke sebuah pohon besar.
Di batang pohon besar itu ia menempelkan sebatang daun sirih, lalu ia menghampiri lagi mereka.
Bambang Wulandoro mengangguk. "Dari sini, jaraknya cukup dan daun itupun cukup kecil. Hendak kulihat sampai di mana kejituan sambitanmu dengan senjata rahasia itu. Nah, sambitlah daun yang menempel di batang pohon itu"
Sebetulnya, dalam keadaan biasa, Hok Yan bukan seorang pemuda yang suka menyombongkan kepandaianya. Dia sudah mempelajari penggunaan piauw secara mahir sekali dan belum pernah dia sengaja mempertontonkan kepandaiannya ini di depan orang lain. Akan tetapi sekali ini, selain untuk menyambut tantangan pemuda tampan itu, juga dia secara tiba-tiba saja ingin memamerkan kepandaiannya di depan gadis jelita seperti bidadari itu.
"Baiklah, lihat piauwku" Dengan gerakan tiba-tiba dan sangat cepat, tangannya bergerak dan nampak sinar merah meluncur cepat ke arah pohon, dan tahu-tahu senjata piauw itu telah menancap di pohon tepat di tengah daun sirih, menembus daun dan menancap dalam. Tinggal sisa sedikit gagang piauw yang berada, di luar kulit batang pohon.
"Hebat......" Pusparasmi berseru dan bertepuk tangan memuji. Gadis ini memang memiliki watak yang terbuka dan langsung saja ia memuji karena ia merasa kagum sekali. Melihat gadis seperti bidadari itu bertepuk tangan memuji, Hok Yan merasa seolah-olah, kepala dan dadanya menggelembung besar seperti balon karet ditiup.
Bambang Wulandoro mengangguk-angguk, Diam-diam diapun kagum, bukan hanya oleh ketepatan bidikan pemuda itu, melainkan terutama sekali oleh kecepatannya menggerakkan senjata rahasia itu. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau kalah.
"Basus, sekarang lihat kejituan bambu rancingku" kata Bambang Wulandoro dan diapun membidikkan bambu runcing di tangannya, dipegangnya seperti memegang tombak dengan tangan di atas pundak, kemudian tiba-tiba dia melontarkan tombak itu dari belakang pundak ke depan. Sinar kuning berkelebat ketika bambu kuning yang ujungnya runcing itu meluncur bagaikan kilat ke arah pohon.
"Cappp......." Gagang tombak bambu itu bergoyang-goyang dan tergetar dan bambu menancap pada batang pohon, persis di tengah daun sirih dan kini senjata rahasia piauw tadi lenyap tertekan oleh ujung bambu ke dalam batang pohon, lenyap berikut ronce merahnya.
Kembali Pusparasmi bertepuk tangan memuji. "Engkau hebat, kakang Wulandoro" soraknya.
Lie Hok Yan juga mengangguk-angguk dengan penuh kagum. Pemuda Jawa yang amat tampan ini sungguh memiiiki ilmu kepandaian vang hebat.
Bambang Wulaudoro yang merasa menang karema bambu runcing itu tepat mengenai senjata lawan sehingga senjata rahasia yang Kecil itu lenyap ke dalam batang pohon, sogera ia menghadapi Hok Yan dan bertanya, "Nah, bukankah bambu runcingku lebih menang dibadingkan senjatamu itu ?"
Tadinya Lie Hok Yan tidak ingin bersitegang, akan tetapi nada suara yang mengandung ketinggian hati dan kemenangnn itu sempat membuat hati mudanya penasaran. Ia memberi hormat dan berkata dengan lembut, "Sobat. Memang ilmu melontarkan tombak bambu itu sungguh hebat. Akan tetapi terlalu lambat. Dibandingkan dengan piauwku, maka tombakmu itu jauh kalah cepat penggunaannya. Kalau engkau sedang menarik tombak itu ke belakang pundak, piauwku sudah meluncur mengenai sasaran. Itulah kelebihan senjataku"
Bambang Wulandoro menjadi marah mendengar pemuda asing ini belum juga mau mengakui keunggulannya. "Begitukah " Engkau masih merasa lebih hebat dariku " Kalau begitu, sobat asing, majulah dan mari kita coba-coba mengadu kepandaian" Berkata demikian, Bambang Wulandoro memasang kuda-kuda dan siap berdiri di depan pemuda asing itu.
Hok Yan cepat menggerak-gerakan tangan Kanan menolak "Sobat, aku datang ke sini bukan untuk mencari permusuhan tanpa sebab. Kalau engkau hendak mengambil kijang itu, silakan, dan kalau engkau tidak mau memberi bagian sedikit kepadaku juga tidak mengapalah. Akan tetapi aku tidak ingin bermusuhan, tidak ingin berkelahi"
Bambang Wulandoro menurunkan kedua angannya dan berdiri tegak.
"Hemm, siapa yang mengajak bermusuhan dan siapa yang mengajak berkelahi" Aku hanya ingin menguji kepandaianmu. Kalau engkau memang memiliki kepandaian tinggi dan lantas menjadi sahabat, aku akan memberi bagian daging kijang. Sebaliknya kalau engkau hanya seorang pembual dan pengganggu saja, engkau boleh pergi tanpa bagian daging kijang. Nah, sekali lagi aku tantang kau untuk mengadu ilmu kepandaian" Majulah, kecuali kalau kau takut. Aku tidak akan. memaksa orang yang takut"
Sepasang mata yang sipit itu berkilat. Kelemahan seorang pendekar tersentuh, dan hal ini memang disengaja oleh Bambang Wulandoro yang cerdik. Pendekar manapun di dunia ini akan bangkit kalau disebut pengecut atau penakut. Demikian pula Hok Yan. Alisnya yang tebal berkerut dan diapun memandang kepada Bambang Wulandoro dengan pandang mata tajam,
"Takut" Aku .......takut" Sobat, apakah kau hanya akan menguji kepandaian " Tidak ada dendam kebencian sebagai musuh " Yakinkah hatimu " Kalau benar demikian, dengan senang hati aku akan melayanimu bertanding. Akan tetapi kalau dalam hatimu ada dendam kebencian, aku akan mundur karena aku tidak ingin berkelahi, tidak ingin mencari musuh"
Bambang Wulandoro mulai merasa suka kepada pemuda asing ini. Seorang pemuda yang pandai menyembunyikan kepandaian dibalik sikap yang rendah hati.
"Aku yakin, sobat, Marilah, aku ingin sekali mengenai ilmu silatmu" katanya dan kembali ia memasang kuda-kuda.
Lie Hok Yan merangkap kedua tangan depan dada, kepalan kanan digenggam menempel pada telapak tangan kiri yang dibuka, lalu. tiba-tiba kedua kakinya dipentang lebar, kedua lutut ditekuk, tangan kanan diacungkan keatas, yang kiri ke bawah, lalu kedua lengan itu perlahan-lahan bergerak ke kanan kiri, terentang seperti sikap seekor burung hendak terbang.
Sepasang mata yang indah dari Bambang Wulandoro bersinar, wajahnya berseri dan diapun sudah menerjang ke depan sambil berseru, "Lihat seranganku. Aiiittt ........ " Tangan kanannya menyambar, dengan jari tangan terbuka menempiling ke arah pelipis kiri kepala lawan. Melihat tamparan yang datang dengan dihului sambaran angin pukulan yang dahsyat itu, Hok Yan terkejut dan cepat dia mengelak dan melangkah mundur. Namun, lawannya tidak memberi kesempatan, susulan tangan kiri yang terbuka menghantam ke arah dadanya.
Sekali ini, untuk mengukur tenaga lawan. Hok Yan menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Dukk" dua buah lengan beradu dan akibatnya, keduanya terdorong ke belakang sampai tiga langkah. Dua orang muda itu terkejut dan saling pandang, kini kekaguman terpancar dari pandang mata mereka. Akan tetap di samping kekaguman mereka atas kekuatan lawan, bukan kekuatan tenaga otot melainkan tenaga dalam yang terasa sekali dalam adu lengan tadi, ada pula perasaan penasaran mengganjal di hati Bambang Wulandoro.
"Lihat serangan" bentaknya lagi dan kini dia menyerang setelah menggosok-gosok kedua telapak tangan. Serangannya cepat dan ketika Hek Yan mengelak, dia terkejut bukan main, karena ada hawa panas menyambar bersam apukulan itu, Dia tidak tahu bahwa Bambang Wulandoro telah mempergunakan aji kesaktiam Segoro Umub, yaitu ilmu pukulan yang mengandung hawa panas. Tahulah Hok Yan bahwa lawannya benar amat tangguh dan memiliki ilmu yang membuat pukulannya mengandung hawa yang panas, seorang lawan yang telah memiliki sinkang (tenaga sakti) yang ampuh. Maka, diapun mengeluarkan ilmu silatnya yang membuat tubuhnya bergerak cepat, berloncatan. ke sana-sini menghindarkan setiap sambar tangan lawan sambil kadang-kadang membalas dengan pukulan yang tidak kalah hebatnya.
Setelah lewat tiga puluh jurus, tiba-tiba Bambang Wulandoro mengeluarkan teriakan, melengking dan tangan kirinya menyambar dahsyat bukan main, Itulah Aji Gelap Sewu yang amat berbahaya, yang terpaksa dikeluarkan olehnya karena dia merasa kewalahan untuk dapat mengalahkan lawan yang memiliki gerakan gesit laksana monyet itu.
Tamparan yang dahsyat itu tidak mungkin dapat dielakkan, maka Hok Yan lalu menangkis sambil miringkan tubuhnya.
"Desss......." Dia mampu menangkis sehingga terhindar dari tamparan maut, akan tetapi kekuatan Aji Gelap Sewu sedemikian hebatnya sehingga Hok Yan terhuyung ke belakang dan nyaris terbanting jatuh kalau dia tidak lekas berjungkir balik membuat poksay (salto) sampai tiga kali ke belakang.
Begitu dia berdiri, pemuda ini cepat membungkuk dan memberi hormat. "Hebat.........Sungguh engkau hebat sekali, sobat"
Akan tetapi Bambang Wulandoro masih belum puas. Dia tidak ingin melukai lawan, dan melihat kegesitan lawan, dia percaya bahwa lawan akan mampu menghindarkan diri dari ancaman maut. Dia hanya ingin melihat lawannya itu terjatuh, karena sebelum hal ini terjadi, dia belum dapat dikatakan menang. Maka, diapun meloncat dengan gesitnya ke depan lawan, lalu menyerang lagi sambil membentak, "Kita lanjutkan. Lihat seranganku"
Kembali dia menyerang dengan pukulan Gelap Sewu yang ampuh. Melihat ini, sambil meloncat ke samping untuk menghindarkan diri, Hok Yan merasa penasaran sekali. Mengapa orang ini mendesak terus, pikirnya. Bukankah katanya hanya ingin menguji kepandaian" Karena merasa penasaran, diapun mengeluarkan semua kepandaiannya dan seperti tadi mengandalkan kecepatan gerakannya berloncatan ke sana-sini sambil balas menyerang.
Kembali terjadi pertandingan yang amat seru dan demikian cepat gerakan mereka berdua sehingga Pusparasmi yang sejak tadi menonton merasa pening dan pandang matanya kabur. Kembali belasan jurus lewat dengan cepatnya.
"Heiiitt........" Tiba-tiba Bambang Wulandoro berteriak dan menyerang dengan gerakan menyamping, tangannya menampar ke arah dada lawan. Hok Yan terkejut sekali dan dia miringkan tubuh sambil tangannya mencengkeram ke arah leher lawan.
"Bukkk" Pundak Hok Yan terkena tamparan sakti.
"Brettt" Baju yang menutupi tubuh atas Bambang Wulandoro kena dicengkeram dan terenggut robek di bagian dada.
Hok Yan terpelanting, dan ketika dia roboh terlentang, dia melihat dada itu dan dia pun mengeluarkan seruan sambil bergulingan menjauhkan dirinya. Dia duduk membelakangi lawan, kedua tangan memegangi kepala yang terasa pening,
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Wulansari ketika bajunya tercengkeram robek sehingga dadanya nampak telanjang. Ia tadi melihat lawannya terbelalak lalu bergulingan menjauh. Dengan muka merah sekali dan hati panas karena marah ia menutupi dadanya dengan tangan kiri, lalu melangkah maju dengan kemarahan meluap.
"Kau........ kau........ kurang ajar......" bentaknya.
Hok Yan tidak bergerak. "Maaf, aku tidak tahu....... maaf........ saya tidak sengaja....."
Wulansari yang sudah marah sekali itu masih teringat akan keadaan dirinya yang kelihatan buah dadanya itu, maka ia menahan kemarahannya, lalu mempergunakan sisa baju itu untuk membalut bagian dadanya. Bajunya menjadi tidak karuan, kedua lengannya kini telanjang, akan tetapi setidaknya, dadanya tertutup rapat. Melihat betapa Hok Yan masih duduk membelakanginya, ia maju dan bermaksud memukul lagi karena dianggapnya pemuda asing itu telah menghinanya.
Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan-teriakan dan muncullah belasan orang perajurit Daha yang berpakaian seragam. Mereka dipimpin oleh seorang perwira tinggi besar seperti raksasa.
"Tangkap mata-mata musuh" demikian mereka berteriak-teriak dan mengepung tiga orang muda itu. Ketika perwira itu melihat Pusparasmi, dia terbelalak dan menudingkan goloknya.
"Wah, itu Sang Puteri Dyah Gayatri yang melarikan diri dari istana. Dan ini........ bukankah dia ini Wulansari yang menyamar sebagai pria?" Dia lalu memberi isarat kepada anak buahnya. "Tangkap mereka"
Melihat ini, Wulansari mengurungkan niatnya menghantam pemuda asing tadi dan ia alu menerjang dan menyerang si raksasa yang cepat memutar goloknya. Dia segera dibantu oleh anak buahnya dan kini Wulansari dikeroyok oleh belasan orang. Dua orang anggauta pasukan kecil itu kini menghampiri Dyah Gayatri dengan sikap mengancam. Mereka menyeringai menakutkan.
"Haha, puteri cantik. Menyerah saja kami tawan dan bawa kembali ke istana Daha" kata seorang dari mereka. Keduanya sudah maju untuk menubruk sang puteri yang cantik itu. Tentu saja mereka tidak berani mengganggu, akan tetapi baru dapat memegang saja mereka sudah akan merasa puas dan senang.
"Plak. Plakk" Dua buah tamparan membuat mereka terpelanting dan tidak mampu bangkit kembali. Kiranya sebelum mereka tadi "berhasil menyentuh tubuh Gayatri, Hok Yan sudah meloncat dan mengirim pukulan ke arah mereka. Pukulan cepat yang tidak tersangka-sangka dan membuat mereka berdua terpelanting untuk tidak bangun kembali karena mereka roboh pingsan. Dan kini Hok Yan sudah terjun ke dalam medan perkelahian, membantu Wulansari yang masih dikeroyok oleh belasan orang.
Gadis perkasa itu juga sudah merobohkan tiga orang pengeroyok, akan tetapi raksasa yang memimpin pasukan itu ternyata kuat juga. Goloknya menyambar nyambar sehingga membuat Wulansari harus waspada dan berloncatan ke sana-sini.
Melihat itu, Hok Yan sudah menerjang raksasa itu dengan tendangan kilatnya dari samping. Raksasa itu menggunakan lengan kirinya menangkis tendangan.
"Desss......" Tubuh raksasa itu terdorong ke belakang dan dia menjadi geram bukan main melihat pemuda asing itu membantu Wulansari. Maka, dengan golok diputar-putar, dia sudah menyerang Hok Yan dengan ganas. Akan tetapi, sekali ini dia berhadapan dengan seorang pemuda yang memiliki kegesitan melebihi seekor kera. Tubuh Hok Yan berubah menjadl bayangan biru yang berkelebatan diantara sinar goloknya, bahkan setelah lewat belasan jurus, tangan kiri Hok Yan berhasil enampar pundaknya.
Perwira tinggi besar itu terhuyung ke belakang dan meringis kesakitan, akan tetapi ternyata tubuhnya juga memiliki kekuatan dan kekebalan. Tamparan itu hanya membuat dia meringis dan merasa nyeri sebentar, lalu dia membalik dan menyerang lagi membabi buta.
Sementara itu, setelah kini perwira raksasa itu dihadapi Hok Yan dan ia hanya dikeroyok oleh para perajurit, Wulansari mengamuk bagaikan seekor harimau betina terluka. Dua pasang kaki dan tangannya merupakan senjata-senjata ampuh dan setiap kali kaki atau tangannya menyambar, tentu disusul robohnya seorang pengeroyok, didahului teriakannya.
Hok Yan maklum bahwa sebelum perwira raksasa itu dikalahkannya, tentu para perajurit itu akan terus mengeroyok dengan nekat. Maka, sambil terus mempergunakan kecepatan gerak badannya untuk menghindarkan diri dari semua serangan golok lawan, diapun mengerahkan tenaga dan kepandaiannya untuk membalas. Dua kali lagi tangannya yang menampar mengenai tubuh lawan, disusul sebuah tendangan yang tepat mengenai perut lawan dan akhirnya robohlah perwira yang kuat itu, Wulansari juga sudah merobohkan enam orang lagi.
Melihat robohnya pemimpin mereka, sisa para perajurit menjadi panik dan mereka lalu menolong teman-teman yang terluka atau pingsan, dan bersama-sama melarikan diri. Si tinggi besar itupun terpaksa melarikan diri dengan kaki terpincang-pincang.
Wulansari dan Hok Yan berdiri saling berpandangan, Melihat betapa gadis yang menyamar pria itu kini tidak karuan lagi pakaiannya, baju lengan panjang itu kini dibelitkan dada, Hok Yan menundukkan mukanya, Gara-gara dialah gadis itu terbuka rahasia penyamarannya dan dia merasa menyesal, juga kasihan dan kagum. Tak disangkanya bahwa pemuda tampan yang gagah perkasa itu malah hanya seorang gadis. Seorang gadis perkasa yang bukan main.
"Nona, maafkan saya, Sungguh mati saya tadi tidak sengaja hendak menghinamu, tidak sengaja hendak merobek pakaianmu. Saya mengira bahwa engkau seorang pemuda tulen. Maafkan saya, dan saya siap menanti hukuman kalau nona merasa terhina"
Wulansari tersenyum. Memang tadi ia marah sekali karena nafsu amarah membisikkan bahwa pemuda asing di depannya ini telah menghinanya, menelanjangi dadanya. Akan tetapi kini, setelah melihat betapa pemuda asing itu mati-matian membelanya, bahkan mengalahkan perwira raksasa tadi, dan kini melihat pemuda itu minta maaf dan menyatakan penyesalannya, iapun menyadari bahwa pemuda asing itu sama sekali tidak bermaksud menghinanya.
"Sobat, sebetulnya, siapakah kau dan dari mana" Apa maksud tujuan kalian berada di sini"
Tadi Hok Yan mendengar ucapan para prajurit dan dia tadi terkejut bukan main mendengar bahwa gadis yang cantik seperti bidadari itu ternyata adalah Sanig Puteri Dyah Gayatri. Sebagai mata-mata, dia tentu saja sudah mempelajari keadaan keluarga Sang Prabu Kertanegara, dan tahu bahwa Sang Dyah Gayatri adalah seorang di antara puteri raja yang akan diserang oleh pasukannya. Dan kini sang puteri ituberada di sini. Dari hasil penyelidikannya, diapun mendengar bahwa Raja Kertanegara telah tewas dalam perang ketika Kerajaan Singosari diserbu oleh Raja Daha. Dia mendengar bahwa kini keadaan menjadi kacau. Singosari yang akan diserang pasukannya telah terjatuh ke tangan Raja Jayakatwang dari Daha atau Kediri. Dan puteri itu adalah seorang pelarian. Juga wanita cantik yang menyamar" sebagai pria ini jelas yang membantu pelarian Sang Puteri, maka mudah dia menduganya bahwa tentu wanita perkasa ini seorang dari Singosari, sedangkan pasukan yang menyerang tadi adalah pasukan dari Kerajaan Daha yang menang perang. Keadaan ini jelas bagi Hok Yan, maka diapun menjawab tanpa ragu lagi.
"Nona, terus terang saja, saya bernama Lie Hok Yan dan saya adalah seorang perwira muda dari pasukan yang datang dari Negara Cina, utusan dari kaisar kami yang mulia Kubilai Khan. Saya bertugas untuk melakukan penyelidikan ke pedalaman ibu kota Kerajaan Singosari.
Wulansari terkejut bukan main mendengar ini dan pandangannya terhadap pemuda asing itu berubah seketika. Kiranya seorang perwira muda dari Negeri Cina yang kabarnya amat besar dan kuat itu. Pantas memiliki ilmu kepandaian yang demikian tinggi.
"Ah, kiranya begitukah " Mari kita pergi ke tempat aman karena pasukan tadi tentu akan datang lagi membawa bala bantuan yang lebih besar. Sebaiknya kita mencari tempat aman baru bicara" Berkata demikian, Wulansari menggandeng tangan Dyah Gayatri dan pergi meninggalkan tempat itu. Hok Yan mengikutinya dari belakang. Mereka keluar dari hutan itu, melewati bukit dan memasuki sebuah hutan lain yang berada di puncak sebuah bukit lain sehingga dari tempat itu mereka akan dapat melihat kalau ada pasukan yang melakukan pengejaran.
"Nah, sekarang kita bicara. Kau tadi tentu mendengar bahwa gadis ini adalah Sang Puteri Dyah Gayatri dari Kerajaan Singosari yang kini telah diduduki Kerajaan Daha. Dan aku adalah seorang bekas panglima pasukan. pengawal Raja Daha yang minggat dari istama karena tidak suka melihat kelakuan Raja Jayakatwang yang tidak senonoh. Ceritakan, apa maksud kaisarmu mengirim pasukan ke sini?"
"Tadinya, pasukan kami bertugas menyerang Singosari sebagai hukuman atas tindakan Sang Prabu Kertanegara terhadap utusan kaisar kami Akan tetapi menurut hasil penyelidikanku. Sang Prabu Kertanegara telah tewas dan Kerajaan Singosari telah jatuh ke tangan Raja Kediri. Aku sendiri bingung memikirkan perubahan ini dan tidak tahu apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh atasanku kalau sudah menerima pelaporanku"
Tiba tiba Dyah Gayatri mendapat pikiran yang amat baik. "Sobat karena pasukanmu sudah tiba di sini, kenapa tidak membantu saja kepada Raden Wijaya untuk menyerang Kerajaan Daha yang jahat itu ?"
Tentu saja Hok Yan bingung mendengar ini, karena dia sama sekali tidak berwenang untuk memutuskan apa yang harus dilakukan pasukannya. Tugasnya hanya menyelidik, maka dia merasa kebetulan sekali berjumpa dengan dua orang ini dan mengharapkan keterangan lebih banyak dari mereka untuk dilaporkan kepada atasannya.
"Usulanmu itu akan saya sampaikan kepada atasan saya, Puteri. Akan tetapi saya harus mengetahui lebih dahulu, siapakah Raden Wijaya itu dan mengapa pula kau mengusulkan agar kami membantunya menghadapi Raja Kediri"
Wulansari lalu memberi keterangan, "Selama berbulan tinggal bersembunyi di sini, kami telah mendengar banyak. Ketahuilah, bahwa Raden Wijaya adalah mantu dari mendiang "Sang Prabu Kertanegara, dan sang puteri ini adalah tunaagannya. Raja Daha amat jahat dan tidak mengenal budi. Singosari yang telah berbuat baik kepada Daha, kini malah diserangnya dan didudukinya selagi Kerajaan Singosari kosong dan lemah. Harapan rakyat tingyal kepada Riden Wijaya"
Hok Yan mengangguk-angguk mengerti. Sebagian dari apa yang diceritakan itu telah didengarnya pula dalam penyelidikan. "Akan tetapi, di mana sekarang adanya Raden Wijaya?" tanyanya.
"Menurut apa yang kami dengar dari rakyat yang masih setia kepada Singosari, Raden Wijaya tadinya melarikan diri ke Madura, kemudian atas bantuan Bupati Sumenep, yaitu Arya Wiraraja, Raden Wijaya menghadap Raja Daha yang menerima dengan baik. Kini, kabarnya Raden Wijaya bertugas membuka sebuah hutan besar untuk dijadikan perkampungan besar dan tempat itu diberi nama Majapahit. Kamipun akan menyusul ke sana, akan tetapi harus berhati-hati karena kalau bertemu dengan pasukan Daha, tentu mereka itu akan berusaha mati-matian untuk menangkap kami"
Hok Yan girang sekali mendengar keterangan yang cukup berharga itu. Terserah kepada atasannya apa yang akan mereka lakukan, akan tetapi dia telah melakukan tugasnya dengan amat baik dan berhasil mengumpulkan keterangan-keterangan yang berharga.
Tiba-tiba Hok Yan bangkit berdiri dan memandang ke arah selatan. "Lihat, di sana ada kebakaran"
Wulansari cepat meloncat berdiri, juga Gayatri. "Celaka" serunya kaget. "Dusun Kalasan terbakar" Aku harus cepat ke sana menolong penduduk"
"Kalasan " Dusun Kalasan, tempat siapa?" Hok Yan bertanya.
"Kami tinggal di sana. Kami harus cepat pulang. Mari, puteri. Kau aku gendong saja" kata Wulansari dan tanpa menanti jawaban, ia telah memondong tubuh Dyah Gayatri lalu mempergunakan kesaktiannya untuk belari cepat menuruni bukit ke arah dusun yang terbakar itu.
Hok Yan memandang kagum "Bukan main wanita itu, dan bukan main cantiknya puteri itu" pikirpya. Hatinya ikut merasa khawatri akan keselamatan mereka. Bukankah baru saja mereka itu hampir celaka di tangan pasukan Daha" Siapa tahu kebakaran di bawah sana pada suatu dusun itu ada hubungannya dengan pasukan Daha dan kalau benar demikian, berarti dua orang wanita itu menuju ke tempat yang amat berbahaya. Maka, Hok Yan terus membayangi Wulansari yang berlari cepat sambil memondong tubuh puteri itu.
Setelah mereka tiba di iuar dusun, api nampak berkobar semakin besar. Agaknya ada beberapa buah rumah yang terbakar, dan terdengarlah jerit-jerit wanita.
Ketika melihat bahwa agaknya dusun itu diserang sekelompok orang, Wulansari mengkhawatirkan keselamatan Dyah Gayatri. Maka ia menurunkan puteri itu. "Harap puteri bersembunyi di sini dulu, di balik semak-semak belukar itu. Aku akan melihat apa yang terjadi di dalam dusun" katanya.
Puteri Gayatri maklum bahwa ia hanya akan menjadi beban dan ia akan dapat terancam bahaya, maka iapun mengangguk dan dengan tenang ia lalu mencari tempat persembunyian di luar dusun itu. Kini, dengan gerakan yang amat gesit dan cepat karena sudah tidak memondong tubuh sang puteri, Wulansari meloncat dan berlari ke dalam dusun. Hok Yan merasa kagum dan diapun berkelebat menyusul masuk dusun dari mana terdengar keributan itu.
Ketika Wulansari memasuki dusun, ia segera menuju ke rumah janda tua yang merelea pondoki. Dapat dibayangkan betapa besar rasa kaget dan kemarahannya ketika ia melihat janda tua itu telah menggeletak menjadi mayat berlumuran darah di depan rumahnya, dan rumah itupun berkobar dimakan api.
"Keparat jahanam........." Bentaknya dan iapun cepat lari ke arah rumah lain di mana nampak ribut-ribut dan ia melihat beberapa orang perajurit Daha sedang memukuli orang-orang dusun itu.
"Hayo katakan di mana mereka" terdengar bentakan seorang perajurit. "katakan di mana Puteri Dyah Gayatri dan Wulansari"
Wulansari menjadi marah sekali. Kiranya benar seperti dugaannya, ada pasukan Daha yang mencarinya, dan melihat banyaknya perajurit yang mengamuk di dusun itu, ia tahu bahwa tentu pasukan yang tadi dihajarnya di hutan, telah mendapat balabantuan dan sedang mencari ia dan Puteri Dyah Gayatri dan karena gagal mereka mengamuk dan membakari rumah dusun, menyiksa penduduk dusun Kalasan.
"Jahanam busuk, inilah Wulansari. Jangan kalian menyiksa orang dusun yang tidak berdosa" teriaknya dan iapun menerjang ke depan. Sekali ia bergerak menyerang dua orang perajurit yang sedang memukuli beberapa orang dusun itu terpelanting dan tidak dapat bangkit lagi. Perajurit ke tiga berteriak-teriak ketika melihat Wulansari dan sebentar saja di situ sudah berdatangan puluhan orang perajurit Daha yang mempergunakan tombak atau pedang mengeroyok gadis perkasa yang tadinya menjadi panglima pasukan pengawal Prabu Jayakatwang itu.
Sementara itu, Hok Yan juga lari memasuki dusun. Tiba-tiba ia mendengar jerit wanita yang menyayat hati dari sebuah rumah yang cukup besar. Rumah itu tidak terbakar. Maka, mendengar ada wanita menjerit di dalam Hok Yan menduga bahwa tentu ada orang jahat di dalam rumah itu. Diapun melompai masuk dari di pintu ruangan depan dia melihat seorang pria setengah tua dan seorang wanita setengah tua menggeletak di atas lantai sambil mengaduh-aduh. Mereka terluka oleh bacokan pedang. Ketika Hok Yan berlutut hendak menolong mereka, pria setengah tua itu berkata lemah "Tolonglah Sumirah.... tolong Sumirah......"
Hok Yan melihat pria itu menudingkan telunjuknya yang gemetar kearah sebuah kamar yang daun pintunya tertutup. Diapun meloncat dan sekali terjang daun pintu itu jebol dan apa yang dilihatnya di dalam kamar itu membuat sepasang matanya yang sipit itu berkilat dan alisnya yang tebal hitam berkerut. Seorang laki-laki yang berkulit hitam, dengan muka bopeng penuh brewok, bertubuh tinggi besar, sedang menggeluti seorang gadis yang mempertahankan diri mati-matian.
Tangan laki-laki itu yang kiri membungkam mulut si gadis, tangan kanannya merenggut dan merobek kain yang menutupi tubuhnya. Kain itu sudah robek-robek dan hanya tinggal sedikit yang menempel di tubuhnya, tidak cukup untuk menyembunyikan tubuhnya yang berkulit putih kuning mulus menggairahkan. Namun, gadis yang jelas kalah jauh tenaganya itu, yang tidak berdaya, berusaha mempertahankan diri, meronta dan mencakar.
Ketika mendengar daun pintu roboh, pria tinggi besar itu cepat membalik. Dia sendiri sudah menanggalkan pakaian luar, tinggal sebuah celana hitam sebatas lutut saja. Dadanya berbulu dan kekar, tanda bahwa dia memiliki tenaga yang besar.
"Jahanam. Siapa kau berani menggangguku?" bentaknya dan dia mendorong gadis itu ke atas pembaringan di mana gadis itu terbanting dan merintih-rintih ketakutan, berusaha menutupi ketelanjangannya secepat mungkin dengan kain-kain yang sudah compang-camping.
"Manusia busuk" Hok Yan hanya memaki dengan marah. Pria itu adalah seorang perwira Daha yang jagoan. Namanya Tonggeng Cemeng dan dia terkenal sebagai seorang perwira yang galak, juga sebagai seorang jagoan yang kejam dan jarang ada yang mampu menandingi kekuatan tubuhnya yang dahsyat. Akan tetapi dia memiliki kelemahan, yaitu mudah sekal tergila-gila wanita cantik dan kalau sudah melihat seorang wanita yang menarik hatinya dia lupa diri. Dia tidak perduli lagi apakah wanita itu isteri orang atau anak perawan orang, tidak perduli di mana saja dan kapan saja, dia harus dapat menggauli wanita itu, baik dengan suka rela atau kalau perlu dia tidak segan untuk memperkosanya. Tonggeng Cemeng bertemu dengan pasukan yang baru saja dihajar oleh Wulansari dan Hok Yan. Dia menjadi marah dan dia mengerahkan pasukannya yang berjumlah limapuluh orang lebih untuk mencari Wulansari dan Dyah Gayatri. Ketika tidak berhasil menemukan dua orang wanita itu dan pemuda asing di hutan, dia membawa pasukannya memasuki dusun Kalasan dan di sini dia menyiksa penduduk untuk mengaku di mana adanya Wulansari dan Dyah Gayatri. Para penduduk dusun yang ketakutan, biarpun mereka masih setia kepada Singosari, namun karena. disiksa dan dipaksa, mereka menceritakan bahwa dua orang yang dicari itu, kalau benar memang mereka, berada di rumah seorang janda tua. Rumah janda tua ini diserbu, dan janda itu disiksa sampai mati ketika dua orang buruan itu tidak ditemukan, bahkan rumah itu lalu dibakar. Dan mulailah para perajurit mencari dan memasuki semua rumah, menggeledah dan seperti biasa, perajurit-perajurit yang dipimpin oleh perwira yang jahat, maka tentu saja mereka mencontoh sikap pemimpin mereka. Terjadilah pemukulan, siksaan, perkosaan dan perampasan barang berharga. Tonggeng Cemeng sendiri memasuki rumah lurah dusun itu dan ketika dia menemukan seorang gadis yang amat manis, yaitu Sumirah puteri kepala dusun Kalasan, dia segera menangkapnya. Dia merasa tertarik sekali dan timbul birahinya melihat gadis manis berusia delapanbelas tahun itu.
Diseretnya gadis itu, lalu dipondongnya masuk kamar. Tentu saja lurah dan isterinya berusaha untuk mencegah dan menolong puteri mereka, akan tetapi mereka roboh oleh bacokan pedang, kemudian Jumlah dipondong masuk kamar. Gadis itu meronta dan berhasil menjerit-jerit sebelum mulutnya dibungkam. Jeritan inilah yang menarik datangnya Hok Yan ke dalam kamar itu.
Melihat munculnya seorang pemuda berkulit kuning bermata sipit, seorang pemuda asing di kamar itu, membuat keinginannya gagal, padahal gadis itu sudah hampir menyerah, tentu saja Tonggeng Cemeng menjadi marah bukan main. Pemuda asing itu tidak memegang senjata, maka diapun memandang rendah dan sekali mengeluarkan gerengan seperti seekor biruang marah, dia sudah menubruk ke depan, kedua lengan yang panjang besar penuh otot melingkar-lingkar itu mencengkeram dari kanan kiri. Saking marahnya, dia ingin menangkap pemuda asing itu untuk dipatah-patahkan seluruh tulangnya, dan kepalanya dibanting hancur ke lantai.
"Wuuuuttt......." Serangannya yang kuat dan cepat itu ternyata tidak mengenai sasaran, dan kedua tangannya hanya menangkap angin.
Tonggeng Cemeng menjadi semakin marah. Pemuda asing itu ternyata mampu menghindarkan serangannya tadi dengan tenang melangkah mundur dua langkah. Diapun menerjang lagi, kini lebih hebat, dengan kedua tangan menyambar dengan cengkeraman tangan kiri yang membayangi tonjokan kepalan kanannya ke arah muka Hok Yan.
Melihat gerakan itu, maklumlah Hok Yan bahwa si kasar ini hanya memiliki tenaga raksasa saja di samping kecepatannya, namun tidak memiliki dasar ilmu silat yang tinggi.
Karena kedua lengan lawan itu terangkat ke atas, diapun menyambut dengan terjangan ke depan, dengan kecepatan kilat kedua tangannya mendahului sehingga ketika kedua lengan lawan turun untuk menyerangnya, jari-jari tangannya telah lebih dulu menyambut dan mengenai lengan dekat siku.
"Tukkkk " Tonggeng Cemeng mengeluarkan gerengan aneh dan kedua lengannya terasa lumpuh seketika. Dia terbelalak, dan menggerak-gerakkan kedua lengan sampai akibat totokan jari tangan Hok Yan tadi lenyap. Untung baginya bahwa Hok Yan tidak menyerangnya selagi dia lumpuh selama beberapa puluh detik itu. Kini, Tonggeng Cemeng tidak mampu lagi menahan kemarahannya yang memuncak. Dia menyambar tombaknya yang tadi diletakkan di atas meja bersama pedangnva ketika dia hendak memperkosa Sumirah dan dengan tombak di tangan, dia menyerang. Tombak itu meluncur dengan cepatnya ke arah perut Hok Yan.
Ketika pemuda yang telah mewarisi ilmu-ilmu dari Siauw-lim-pai ini mengelak dengan cekatan ke arah kiri, tombak yang meluncur lewat itu sudah ditarik kembali dan kini tombak meluncur ke arah lehernya.
"Hemm......." Hok Yan kembali mengelak dan miringkan tubuhnya. Kiranya di muka burik brewok itu pandai juga memainkan tombak pikirnya. Begitu tombak lewat di samping pundaknya, kedua tangannya diputar dan kedua tangan yang jarinya terbuka, bagaikan dua batang golok, dimiringkan menghantam ke arah tombak itu.
"Krekkk" Gagang tombak itu patah dan kembali mata Tonggeng Cemeng terbelalak. Barulah dia mengerti bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan tangguh. Disambarnya pedang yang berada di atas meja dan kini dia menyerang dengan pedangnya.
Karena marah, gerakan Tonggeng Cemeng membabi-buta dan pedangnya diputar cepat, mengeluarkan suara berdesing dan gulungan sinar pedang itu menyambar-nyambar ke arah tubuh Hok Yan.
Pemuda ini cepat mengelak ke sana-sini. Dia tahu betapa besar bahayanya seorang lawan yang sudah nekat dan marah seperti itu. Gerakan seorang yang sedang marah sukar diduga, kacau balau akan tetapi justeru malah berbahaya sekali karena tidak menurut ilmu silat yang semestinya sehingga gerakannya sukar diduga perkembangannya. Namun, dia berhati-hati sekali dan hanya mengandalkan keringanan tubuh dan kecepatannya untuk selalu menghindar.
Sementara itu, Sumirah yang mendekam di atas pembaringannya, pucat ketakutan dan seluruh tubuhnya menggigil. Untuk menutupi ketelanjangannya, ia meraih sehelai kain miliknya yang tergantung di tepi pembaringan dan merasa lega bahwa dirinya kini telah tertutup kembali, walaupun hanya dengan sehelai kain. Ia memandang ke arah perkelahian itu dan diam-diam tentu saja ia mengharapkan kemenangan bagi pemuda asing yang telah menyelamatkannya dari malapetaka tadi.
Dengan penuh nafsu membunuh, Tonggeng Cemeng mendesak terus lawan yang sejak tadi hanya mengelak itu. Karena lawan tidak pernah dapat membalas dan selalu mengelak mundur, maka Tonggeng. Cemeng beranggapan bahwa lawannya jerih terhadap pedangnya. Hal ini membuat dia semakin buas. Ingin dia segera membunuh lawan ini agar dia dapat melanjutkan keasyikan yang tadi terganggu. Alangkah akan senangnya kalau sampai gangguan ini dapat dihalau dan dia dapat memetik upahnya.
"Mampuslah" bentaknya dan pedangnya membacok dari atas ke bawah. Karena di belakangnya terdapat meja, Hok Yan tidak dapat mundur lagi dan tubuhnya cepat menyelinap ke samping.
"Wuuuttt, crokkl" Meja itupun pecah menjadi dua potong ketika terbabat pedang.
Melihat meja roboh, Hok Yan menyambar sepotong kaki meja yang patah. Hanya sebatang kayu yang panjangnya tidak lebih dari satu meter, namun lumayan untuk dijadikan senjata menghadapi pedang yang digerakkan dengan membabi-buta itu. Tonggeng Cemeng kembali mengeluarkan bentakan dan menyerang dengan bacokan ke arah kepala lawan.
Hok Yan menggeser tubuh ke samping dan menyodorkan sepotong kayu kaki meja itu.
"Crokkk " Sepotong kayu itu terbabat dan karena Hok Yan sengaja menyodorkan dari samping menyerong, maka kini di tangannya tinggal sepotong kayu yang panjangnya lima puluh senti dan ujungnya yang terpotong pedang itu runcing seperti mata tombak. Sebelum Tonggeng Cemeng tahu apa yang terjadi, tiba tiba saja "tombak" pendek itu sudah meluncur dan mengenai dadanya.
"Cepppp "
Tonggeng Cemeng terbelalak, pedang di tangannya terlepas dan dia merasa betapa dadanya nyeri dan perih sekali. Dia menunduk dan melihat betapa dadanya telah ditembusi sepotong kayu kaki meja. Dia mengeluarkan gerengan hendak menubruk ke depan, akan tetapi kakinya terkulai dan diapun roboh terjengkang.
Melihat gadis itu menegigil di atas pembaringan, Lie Hok Yan cepat menghampiri dan menjulurkan tanganya. "Marilah, nona. Turunlah dan tolong orang tuamu.............."
Tadinya Sumirah masih ketakutan walaupun melihat raksasa hitam itu roboh. Ia tidak tahu siapa penolongnya dan pamrih apa yang tersembunyi di balik pertolongan itu. Jangan-jangan penolongnya mempunvai niat busuk yang sama, maka ketika penolong itu mendekati pembaringan dan menjulurkan tangan, tentu saja ia ketakutan. Akan tetapi, ketika mendengar ucapan Hok Yan dengan suara yang aneh dan kaku akan tetapi cukup dapat dimengertinya itu, ia merasa terkejut dan gelisah,
"Ayah..." ibu...... mereka........ kenapa dan di mana........ "
"Marilah, nona. Turunlah. Mereka terluka di depan....."
Mendengar ini, Sumirah tanpa ragu-ragu lagi lalu memegang tangan Hok Yan yang membantu turun dan sambil mengikatkan ujung kainnya di atas dada. Sumirah lalu melangkahi tubuh Tonggeng Cemeng yang menghalang di depan, lalu berlari keluar.
'Ayah, Ibu......." Gadis itu menubruk dan menangisi mereka.
Ayahnya sudah bangkit duduk. Lukanya hanya di pundak, cukup parah akan tetapi tidak berbahaya. Ibu Sumirah terluka pada pahanya dan dengan bantuan Sumirah mereka lalu membalut luka masing-masing, kemudian dengan singkat Sumirah menceritakan betapa raksasa jahat tadi telah dirobohkan oleh pemuda asing dan mungkin sekarang telah tewas di kamarnya.
Ia bergidik ketika ayah dan ibunya mengajak ia menjenguk ke dalam kamarnya, Dan memang benar. Tonggeng Cemeng telah tewas dengan dada terpanggang kayu kaki meja. Matanya masih mendelik menyeramkan.
"Cepat, kita harus mengumpulkan semua barang berharga yang dapat kita bawa. Kita harus melarikan diri dari tempat ini" kata Ki Sardu, kepala dusun Kalasan itu.
"Akan tetapi, kita lari ke mana?" tanya isterinya. "Dengar, di luar masih ramai orang mengamuk"
"Kalian bersembunyi di kamar besar, biar aku melihat keadaan di luar" kata Ki Sardu.
Ketika dia berindap keluar, dia melihat perkelahian yang amat hebat. Dua orang muda dikeroyok oleh puluban orang perajurit Daha dan dia terbelalak kagum. Dua orang muda itu adalah pemuda yang dikenalnya sebagai Bambang Wulandoro, yang dicari-cari oleh para, perajurit Daha, dan yang seorang lagi adalah seorang pemuda asing yang tadi telah menyelamatkan anaknya. Dan dua orang muda itu mengamuk seperti banteng terluka. Sudah banyak perajurit Daha yang roboh terluka atau tewas. Sepak terjang pemuda yang dikenalnya sebagai Bambang Wulandoro itu menggiriskan. Dengan hanya sebatang keris kecil melengkung kuning emas, pemuda tampan itu mengamuk. Dan setiap kali ia menerjang, banyak pengeroyoknya mundur dan gentar.
Juga pemuda asing berpakaian biru itu mengamuk dengan sebatang pedang rampasan di tangannya, Gerakan pemuda asing ini cepat bukan main, seperti seekor burung walet beterbangan menyambar-nyambar ke sana-sini.
Tiba-tiba terdengar darap kaki kuda dan ada dua belas orang berkuda tiba di tempat itu. Mereka berloncatan turun dan segera terjun ke dalam pertempuran. Mereka itu adalah beberapa orang perwira Daha bersama para perajurit pengikut mereka. Dan begitu mereka terjun ke dalam pertempuran, Wulansari terkejut mengenai bahwa dua orang diantara mereka adalah senopati-senopati Daha yang terkena. Yaitu Baru Kuntul dan Banggo Ijo. juga dua orang senopati ini segera mengenalnya walaupun ia menyamar sebagai pria.
Akan tetapi, munculnya dua orang senopati Daha ini masih belum begitu mengejutkan hati Wulansari seperti ketika ia melihat pula orang ketiga yang tak disangkanya muncul pula di situ. Dia seorang pria yang usianya enampuluh tahun, berubuh tinggi kurus, rambutnya riap-riapan dan sudah bercampur banyak uban, pakaiannya serba hitam dengan sabuk sutera putih.
Ketika ia menjadi panglima pengawal di istana Daha, pernah satu kali ia melihat pria ini dibawa mengbadap Sang Prabu Jayakatwang dan diterima penghambaan dirinya. Nama orang ini Ki Sardulo, seorang tokoh besar dari Banyuwangi Kakek inilah yang segera melangkah lebar menghadapi Wulansari dan berteriak agar para perajurit yang mengeroyok gadis perkasa ini mundur. Kemudian sambil mengelus kumisnya yang seperti kumis tikus, parang dan tipis panjang, dia menyeringai, lalu ketika dia bicara, terdengar suaranya mendesis seperti suara ular atau seperti suara orang sakit gigi.
"Hemm....... ssssshh, kau yang bernama ......... ssssshh, Wulansari pengawal pribadi istana Daha yang melarikan diri" Ha, lebih baik kau menyerah ....... sayang wajahmu yang jelita itu kalau sampai terluka, sayang tubuhmu yang denok kalau sampai rusak........ ssss, menyerahlah kepadaku, hemmmm....... kubawa menghadap Sang Prabu di Daha"
Wulansari tersenyum mengejek. "Kau tentu Ki Sardulo, jagoan dari Banyuwangi itu, bukan" Terhadap orang lain kau boleh menyombongkan diri, akan tetapi aku tidak takut kepadamu"
"Bocah sombong, kau mencari penyakit" setelah berkata demikian, tiba-tiba saja tubuhnya yang tinggi kurus membungkuk dan keluarlah dari mulutnya suara yang dahsyat, gerengan yang mengandung getaran kuat sekali seperti, gerengan seekor harimau.
Wulansari terkejut karena getaran suara itu langsung menyerangnya dan mengguncang jantungnya. Akan tetapi gadis ini adalah seorang gadis gemblengan yang bukan saja pernah menjadi murid yang diaku cucu tersayang dari Ki Cucut Kalasekti, akan tetapi sebelum itu juga sudah digembleng oleh Ki Jembros pendekar sakti itu, dan Panembahan Sidik Danasura sehingga ia tidak hanya memiliki banyak aji kesaktian yang ampuh akan tetapi juga memiliki kekuatan batin dan tenaga sakti yang kuat.
Dengan pengerahan tenaga saktinya, Wulansari dapat menolak getaran suara gerengan. yang amat kuat itu, sehingga ia tetap waspada ketika Ki Sardulo menyerangnya sebagai lanjutan dari serangan dengan suara gerengan itu. Nampak sinar hitam menyambar ganas dibarengi suara melengking nyaring.
Kembali Wulansari terkejut. Ia tidak tahu bahwa gerengan, tadi memang merupakan suatu aji kesaktian yang disebut Aji Gereng Sardulo (Geraman Harimau), sedangkan kakek itu menyerangnya dengan senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang suling bambu hitam. Permainan suling itupun disebut Aji Suling Lesus, dan merupakan andalan Ki Sardulo.
Biarpun ia terkejut, Wulansari tidak menjadi gugup. Dengan keris kecil kuning mas di tangan, iapun menangkis ke arah sinar hitam itu dengan pengerahan tenaga saktinya.
"Trangtranggg......." Dua kali sinar hitam bertemu dengan sinar kuning emas dan terdengar Ki Sardulo berseru kaget. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis yang menyamar pria itu memiliki tenaga yang demikian kuatnya sehingga lengan kanan yang memegang suling itu sampai tergetar hebat ketika sulingya ditangkis dua kali oleh keris yang kecil melengkung itu. Dia menjadi penasaran dan marah, dan sulingnya kini melengking-lengking karena digerakkan dengan cepat dan dia mengirim serangan bertubi-tubi.
Namun, Ki Sardulo yang kini terkejut dan semakin penasaran karena semua serangan sulingnya yang biasanya ampuh itu dapat dielakkan atau ditangkis oleh gadis itu, bahkan Wulansari membalas dengan tak kalah dahsyatnya, bahkan kini mulai mendesak lawan dengan permainan kerisnya yang amat cepat.
Sinar hitam dari suling itu makin lama semakin menyempit, sedangkan sinar kuning emas dari keris di tangan Wulansari semakin melebar dan menyambar nyambar ganas.
Sementara itu, Hok Yan juga mengamuk dengan hebat, kini dia dikeroyok oleh dua orang senopati Daha, yaitu Baru Kuntul. dan si Bango Ijo dan terjadilah perkelahian yang seru dan mati-matian, Bango Ijo mempergunakan golok dan perisai, sedangkan Baru Kuntul mempergunakan sebuah penggada atau ruyung dibantu perisai pula. Namun kedua orang senopati itu sebentar saja bingung menghadapi lawan yang demikian cepat gerakannya, seperti seekor burung walet saja sehingga beberapa kali mereka kehilangan lawan yang tahu-tahu, membalas serangan mereka dari samping atau bahkan dari belakang. Dan setiap kali mereka menangkis pedang yang menyambar itu dengan perisai mereka, serasa betapa lengan mereka nyeri dan tergetar, tanda bahwa lawan memiliki tenaga yang dahsyat.
Karena merasa tidak akan mampu mengalahkan Wulansari tanpa bantuan, Ki Sardulo berteriak teriak memerintahkan para perajurit untuk membantunya. Demikian pula dua orang senopati itu. Setelah para pimpinan mereka berteriak minta bantuan, barulah para perajurit terjun ke dalam lapangan perkelahian dan kini Wulansari dan Hok Yan dikeroyok oleh puluhan orang lagi. Repotlah kini dua orang muda itu. bagaimanapun juga, tiga orang senopati Daha itu merupakan lawan yang cukup tangguh. Baru saja mereka berdua mulai mendesak lawan, belum sempat merobohkan mereka, puluhan orang perajurit telah maju mengeroyok, maka tentu saja kedua orang muda perkasa ini menjadi kewalahan dan terdesak hebat. bahkan terancam bahaya besar.
"Wulansari, engkau........ pergilah cepat. Biar aku yang menahan mereka ini" teriak Hok Yan beberapa kali karena dia merasa
khawatir kalau gadis perkasa itu akhirnya akan terluka dan roboh. Robohnya Wulansari tentu berarti tertawannya Dyah Gayatri, maka dia menyuruh Wulansari pergi, tentu saja dengan harapan untuk melarikan sang puteri.
Akan tetapi Wulansari adalah seorang wanita gagah perkasa yang menjunjung tinggi kegagahan dan keadilan. Yang dimusuhi oleh para senopati Daha ini adalah dirinya. Pasukan Daha itu hendak menangkapnya dan juga menawan Dyah Gayatri.
Lie Hok Yan adalah orang asing yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pertempuran ini walaupun dia seorang mata-mata pasukan asing. Orang-orang Daha ini tentu belum tahu bahwa dia seorang mata-mata, maka tidak sepatutnya kalau Hok Yan mengorbankan diri untuknya dan sang puteri.
"Tidak, Hok Yan. Engkaulah yang lari selagi masih ada kesempatan. Biar aku yang menghajar mereka. Dan kau selamatkan sang puteri"
"Ah, tidak, Wulansari. Engkau seorang wanita, sedangkan aku seorang pria. Akulah yang harus tinggal di sini"
Pada saat itu, ruyung di tangan Baru Kuntul menyambar ke arah kepalanya. Padahal, ketika itu Hok Yan sedang memutar pedang menangkis hujan tombak dari depan, kanan dan kiri. dan sebagian perhatiannya ditujukan kepada Wulansari yang sedang bicara dengannya. Sambaran ruyung itu cepat datangnya. Satu-satunya jalan untuk menghindar bagi Hok Yan hanyalah mengelak dan dia tidak dapat mengelak cukup cepat karena keadaannya yang terdesak, maka dia hanya miringkan tubuh dan kepalanya, terpaksa mengerahkan sinkang (tenaga sakti) ke arah pundak kiri.
''Dessss..." Hantaman ruyung yang mengenai pundak kirinya itu meleset karena pundaknya dilindungi kekebalan, namun tetap saja mendatangkan rasa nyeri dan saking kerasnya pukulan, tubuh Hok Yan terpelanting. Ketika dia terjatuh itu, tombak dan pedang datang bagaikan hujan. Namun pemuda ini lihai sekali Dia menggelindingkan tubuhnya, bergulingan dan pedangnya diputar bagaikan payung melindungi tubuhnya sehingga semua senjata yang menyerangnya terpental.
Pada saat itu, Wulansari yang melihat bahaya mengancam Hok Yan, cepat ia meloncat dan kaki tangannya bergerak cepat. Beberapa orang pengeroyok terlempar dan roboh sehingga yang lain menjadi gentar.
Kesempatan ini dipergunakan Oleh Hok Yan untuk meloncat bangun.
"Terima kasih" katanya.
"Mari kita saling melindungi" kata Wulansari dan kedua orang ini berdiri saling membelakangi Dengan demikian, keduanya hanya menghadapi pengeroyokan dari depan, kanan dan kiri. Tidak ada lagi lawan yang datang menyerang dari belakang dan keadaan ini lebih baik dari pada tadi, walaupun keduanya masih tetap terkepung dan hanya mampu melindungi diri saja, tidak sempat balas menyerang saking banyaknya pengeroyok. Keduanya maklum bahwa keadaan mereka amat berbahaya, bahkan kini tidak ada kesempatan lagi untuk melarikan diri karena kepungan demikian ketat dan kuatnya.
Mereka berdua terpaksa mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan semua tenaga untuk membela diri. Wulansari, biarpun didesak hebat, masih sempat menyebar maut dengan pukulan-pukulan Gelap Sewu dan sambaran kerisnya, sedangkan Hok Yan juga mengamuk dengan pedang rampasannya yang kini menjadi pidang merah karena berlepotan darah lawan. Hok Yan dan Wulansari telah merobohkan tidak kurang dari dua puluh orang pengeroyok. Akan tetapi, jumlah pengeroyok masih amat banyak sisanya, dan mereka berdua sudah mulai lelah. Untuk dapat meloloskan diri agaknya tidak mungkin lagi, kecuali kalau seorang di antara mereka mau tinggal untuk melindungi yang lari atau untuk menghadang para pengejar. Tak seorang di antara mereka mau melakukan hal itu, yaitu meninggalkan kawan untuk menyelamatkan diri.
Celana yang menutup paha kiri Wulansari juga sudah robek berikut sedikit kulit dan daging pahanya sehingga terluka dan mengeluarkan darah, terbabat pedang yang untung hanya menyerempet saja dan pahanya masih terlindung tenaga sakti yang membuatnya kebal. Keadaan mereka berdua sungguh gawat dan agaknya takkan lama lama lagi para pengeroyok akan berhasil merobohkan mereka.
Para perajurit Daha sudah bersorak-sorak untuk menambah semangat kawan kawan mereka. Bagaimanapun juga, mereka juga marah kepada dua orang muda itu melihat betapa banyak sekali kawan mereka roboh, terluka hebat atau tewas oleh dua orang muda perkasa itu.
Tiba-tiba, ketika dia menangkis ruyung yang dibantamkan sekuat tenaga oleh Baru Kuntul, Hok Yan terpelanting karena sebuah tendangan dari samping yang dilakukan Bango Ijo mengenai pinggangnya. Dalam keadaan terhuyung ini, sebatang golok menyambar, yaitu goiok di tangan Bango Ijo yang mendesak lawan yang terhuyung itu.
"Tranggg" Hok Yan berhasil menangkis, akan tetapi tusukan sebatang tombak tetap aja mengenai paha kanannya. Dia mengeluh dan berhasil menarik kakinya sehingga pahanya hanya terobek kulit dagingnya, cukup besar luka itu sehingga darah berencuran. Namun, sambil memutar pedangnya, Hok Yan masih mampu menghalau hujan senjata.
"Wulansari. larilah kau........" Hok Yan berseru, suaranya membentak karena dia merasa khawatir sekali dan juga marah melilat betapa kawan baru itu sama sekali tidak mau melarikan diri.
Akan tetapi, Wulansari tidak menjawab dan siap melawan sampai titik darah terakhir. Kalau ia melarikan diri, bukan saja Hok Yan yang tewas, akan tetapi juga ia dalam keadaan luka, tak mungkin akan mampu melindungi Gayatri. Tidak ada lain jalau yang lebih baik dan terhormat kecuali melawan sampai mati. Ia menjadi nekat daa tiba-tiba ia mendapatkan pikiran yang baik sekali. Para pengeroyoknya banya mencurahkan perhatian kepadanya, seperti juga para pengeroyok pemuda
asing itu hanya memperhatikan pemuda itu. Kalau ia dan Hok Yan mampu merobohkan, tiga orang senopati ini, tentu para perajurit akan ketakutan dan tidak akan berani melanjutkan pengeroyokan.
Tiba-tiba ia membalik dan melihat betapa Baru KuntuI sedang mendesak Hok Yan dengan ruyungnya, ia meloncat cepat sekali kebelakang meninggalkan para pengeroyoknya dan dari belakang tubuh Hok Yan, ia menerjang ke depan dan secara tiba-tiba ia menyerang Baru Kuntul dari samping, langan kirinya menyambar dengan ganasnya.
Baru Kuntul sedang mendesak Hok Yan, sama sekali tidak pernah menyangka bahwa dia akan diserang oleh Wulansari, maka dia terkejut bukan main dan tidak mungkin dapaf mengelak atau menangkis lagi.
"Desss ......." Tamparan dengan Aji Gelap Sewu yang dilakukan dengan telapak tangan kiri Wulansari itu tepat mengenai pelipis kepala Baru Kuntul.
"Aughhh........" Tubuh Baru Kuntul terpelanting dan diapun roboh tak dapat bergerak Jagi karena seketika tewas terkena pukulan yang dahsyat bukan main itu. Hal ini sudah tentu saja membuat semua pengeroyok terkejut, dan Hok Yan girang dan kagum bukan main. Dia mengerti akan siasat yang dipergunakan Wulansari itu, maka diapun membalik dan menerjang mereka yang tadi mengeroyok Wulansari. Mereka bertukar lawan.
Bangkitlah semangat dua orang muda itu, sebaliknya pihak para pengeroyok menjadi semakin marah dan penasaran, juga gentar. Kiranya dua orang muda yang sudah kelihatan terluka dan kewalahan itu, masih mampu melawan demikian hebat, bahkan berhasil menewaskan Baru Kuntul. Namun kini mereka menjadi lebih waspada dan agaknya tidak akan mudah bagi Wulansari atau Hok Yan untuk dapat membuat serangan membalik tiba-tiba seperti tadi dengan berhasil. Dan merekapun tidak bodoh untuk mengulang lagi akal tadi. Kembali mereka didesak dan dihimpit dan keduanya yang terlalu banyak mempergunakan tenaga untuk dapat bergerak cepat menghadapi hujan senjata, kini mulai lelah dan gerakan mereka mulai mengendur. Hal ini diketahui oleh para pengeroyok, maka mereka bersorak-sorak lagi dan mendesak penuh semangat.
Beberapa kali Hok Yan dan juga Wulansari terhuyung, bahkan beberapa kali mereka roboh, akan tetapi mereka bangkit kembali dan melawan mati-matian, Dalam keadaan yang amat berbahaya itu, tiba-tiba terjadi kekacauan di antara para pengeroyok dan muncuilah dua orang yang mengamuk dan menerjang para pengeroyok dari belakang.
Hok Yan melirik dengan heran melihat dua orang itu, dia tidak mengenai mereka. Akan tetapi ketika Wulansari melihat seorang diantara mereka berdua, ia memandang dengan wajah berseri dan semangatnya bangkit lagi.
(Bersambung jilid ke XVII)
Hal2 yang tidak logis :
1. Lie Hok Yan dapat berkomunikasi dalam bahasa jawa, padahal ia belum lama mendarat di jawa.
2. Orang bopeng penuh brewok?"" Biasanya orang bopeng tidak tumbuh brewok, karena kulitnya sudah mati.
3. Kenapa setiap musuh Singosari, tentaranya bejat2 dan pemerkosa" Padahal Kediri juga sebuah negeri yang masyarakatnya hampir sama dengan Singosari.
4. Hanya mencari dua orang, pasukan Daha membakar dusun, membunuh penduduk, dan memperkosa wanita.
5. Pasukan Daha tugas utamanya mencari mata-mata Cina, tetapi sewaktu komandan pasukan bertemu dengan Hok Yan, komandan pasukan tidak kenal
JILID 17
"PAMAN Jembros........!" serunya dengan suara mengandung kegirangan luar biasa.
Kakek yang mengamuk itu bukan lain adalah Ki Jembros, seorang tokoh besar yang berjiwa satria. Dia adalah seorang pendekar gagah perkasa yang setia kepada Singosari, akan tetapi tidak pernah mau menjabat kedudukan. Dia lebih suka berkeliaran dengan bebas, menentang kejahatan dan membela mereka yang lemah tertindas. Nama Ki Jembros amat terkenal, ditakuti lawan disegani kawan. Tentu saja Wulansari amat mengenal tokoh ini karena ketika ia masih kecil, berusia sepuluh tahun, ketika perahu yang ditumpanginya terbalik dan ia hanyut di laut selatan, Ki Jembroslah yang menyelamatkannya. Ki Jembros menolongnya, kemudian dalam keadaan hampir mati lemas dan bilang ingatan karena hanyut itu, Ki Jembros menyerahkannya kepada mendiang Panembaban Sidik Danasura.
Pada waktu ia masih kecil itu, hanya dua orang yang amat dipuja dan disayangnya, yaitu Ki Jembros dan Panembahan Sidik Danasura. Sudah amat lama ia berpisah dari Ki Jembros dan baru sekarang bertemu. Berpisah sejak ia berusia limabelas tahun dan ia diculik dari tempat pertapaan sang Panembahan oleh Ki Cucut Kalasekti yang mengaku sebagai kakeknya, padahal Ki Cucut Kalasekti itu musuh besarnya. Sudah kurang lebih sepuluh tahun ia berpisah dari penolongnya itu dan kini tiba-tiba saja Ki Jembros muncul sebagai penolong pula.
"Paman Jembros.......!" Untuk kedua kalinya, Wulansari berseru memanggil, suaranya mengandung isak karena ia benar benar merasa terharu.
Mendengar ini, Ki Jembros yang menggunakan kedua kakinya menendangi para pengeroyok itu tertawa.
"Hahaha, Wulan. Mari kita hajar anjing-anjing Daha yang curang ini, ha ha ha"
Sepak terjang kakek ini memang menggiriskan hati para pengeroyok itu. Dia seorang kakek yang usianya kurang lebih enampuluh tahun. Pakaiannya seperti petani, serba hitam, baju bagian dada terbuka sehingga nampak dada yang bidang berbulu. Mukanya brewok dan brewok itu masih hitam. Matanya lebar sekali, mencorong dan nampak liar, sikapnya kasar dan mulutnya selalu dihias senyum gembira. Sebetulnya, tubuhnya kurus karena tulang-tulangnya menonjol, akan tetapi karena dia memang bertulang besar, maka kelihatan tinggi besar. Akan tetapi perutnya gendut tanda bahwa dia seorang tukang makan yang gembul. Itulah Ki Jembros dan Ki Sardulo terbelalak. kaget. Juga Bango Ijo menjadi pucat melihat munculnya kakek itu.
Adapun orang kedua juga hebat. Seorang pemuda yang usianya kurang lebih duapuluh satu tahun, berwajah tampan dan manis, dengan sepasang mata yang lebar. Pemuda ini memakai baju lengan panjang, rambutnya digelung keatas dan ditutup kain kepala ungu, celana sampai ke bawah lutut dan berselimut kain. Senjatanya amat sederhana, yaitu sebatang ranting sebesar lengannya, akan tetapi ranting ini sudah merobohkan empat orang sejak dia terjun ke dalam medan pertempuran itu dan dia mengamuk di samping Ki Jembros tanpa mengeluarkan kata apapun. Wulansari tidak mengenal pemuda itu, namun ia girang bukan main melihat munculnya Ki Jembros.
Bango Ijo yang berada paling dekat dengan Ki Jembros, dengan marah menerjang dan menyerang Ki Jembros yang bertangan kosong itu dengan goloknya. Golok jagoan Daha ini menyambar dan membacok ke arah dada yang bajunya terbuka. Cepat dan kuat sekali golok itu menyambar ke arah dada, akan tetapi Ki Jembros yang sedang menendangi para pengeroyok itu agaknya tidak melihat datangnya serangan kilat ini sehingga golok itu dengan tepat menghantam dadanya yang telanjang.
"Dukk" Golok itu membalik dan sebelum Bango Ijo yang merasa amat terkejut itu sempat mengelak, pinggangnya telah ditangkap oleh sepasang tangan yang amat kuat dan tahu-tahu tubuhnya terangkat tinggi lalu dibanting.
"Bresss" Bango Ijo tidak mampu berkutik lagi karena kepalanya terbanting ke atas batu sehingga retak dan beberapa buah tulang iganya patah-patah. Semua orang tentu saja semakin gentar melihat kehebatan Ki Jembros ini. Memang jago tua ini terkenal memiliki ilmu kekebalan yang disebut Aji Trenggiling Wesi, maka tadi ketika dadanya dibacok golok, dia sambut sambil tertawa saja.
"Hahaha, Sardulo. Hayo majulah ke sini, kita tua lawan tua, kita adalah musuh lama, hahaha" Ki Jembros menantang. Akan tetapi Ki Sardulo ternyata seorang jagoan yang licik. Setelah melihat betapa di pihaknya menderita kerugian besar dan menjadi lemah setelah dua orang senopati itu tewas, diapun berteriak menyuruh semua perajurit maju mengepung, akan tetapi dia sendiri diam-diam menyelinap pergi dan melarikan diri.
Melihat ini, tentu saja para perajurit menjadi gentar dan merekapun melarikan diri, meninggalkan korban diantara mercka yang jumlahnya lebih dari separuh. Ada sedikitnya tigapuluh lima orang perajurit Daha tewas dalam perkelahian yang berat sebelah itu. Setelah semua lawan melarikan diri, Wulansari dan Hok Yan terguling roboh dan pingsan saking lelahnya dan nyeri dari luka yang merek derita sejak tadi.
Kakek yang mengamuk itu bukan lain adalah Ki Jembros, seorang tokoh besar yang berjiwa satria. Dia adalah seorang pendekar gagah perkasa yang setia kepada Singosari, akan tetapi tidak pernah mau menjabat kedudukan. Dia lebih suka berkeliaran dengan bebas, menentang kejahatan dan membela mereka yang lemah tertindas. Nama Ki Jembros amat terkenal, ditakuti lawan disegani kawan. Tentu saja Wulansari amat mengenal tokoh ini karena ketika ia masih kecil, berusia sepuluh tahun, ketika perahu yang ditumpanginya terbalik dan ia hanyut di laut selatan, Ki Jembroslah yang menyelamatkannya. Ki Jembros menolongnya, kemudian dalam keadaan hampir mati lemas dan bilang ingatan karena hanyut itu, Ki Jembros menyerahkannya kepada mendiang Panembaban Sidik Danasura.
Pada waktu ia masih kecil itu, hanya dua orang yang amat dipuja dan disayangnya, yaitu Ki Jembros dan Panembahan Sidik Danasura. Sudah amat lama ia berpisah dari Ki Jembros dan baru sekarang bertemu. Berpisah sejak ia berusia limabelas tahun dan ia diculik dari tempat pertapaan sang Panembahan oleh Ki Cucut Kalasekti yang mengaku sebagai kakeknya, padahal Ki Cucut Kalasekti itu musuh besarnya. Sudah kurang lebih sepuluh tahun ia berpisah dari penolongnya itu dan kini tiba-tiba saja Ki Jembros muncul sebagai penolong pula.
"Paman Jembros.......!" Untuk kedua kalinya, Wulansari berseru memanggil, suaranya mengandung isak karena ia benar benar merasa terharu.
Mendengar ini, Ki Jembros yang menggunakan kedua kakinya menendangi para pengeroyok itu tertawa.
"Hahaha, Wulan. Mari kita hajar anjing-anjing Daha yang curang ini, ha ha ha"
Sepak terjang kakek ini memang menggiriskan hati para pengeroyok itu. Dia seorang kakek yang usianya kurang lebih enampuluh tahun. Pakaiannya seperti petani, serba hitam, baju bagian dada terbuka sehingga nampak dada yang bidang berbulu. Mukanya brewok dan brewok itu masih hitam. Matanya lebar sekali, mencorong dan nampak liar, sikapnya kasar dan mulutnya selalu dihias senyum gembira. Sebetulnya, tubuhnya kurus karena tulang-tulangnya menonjol, akan tetapi karena dia memang bertulang besar, maka kelihatan tinggi besar. Akan tetapi perutnya gendut tanda bahwa dia seorang tukang makan yang gembul. Itulah Ki Jembros dan Ki Sardulo terbelalak. kaget. Juga Bango Ijo menjadi pucat melihat munculnya kakek itu.
Adapun orang kedua juga hebat. Seorang pemuda yang usianya kurang lebih duapuluh satu tahun, berwajah tampan dan manis, dengan sepasang mata yang lebar. Pemuda ini memakai baju lengan panjang, rambutnya digelung keatas dan ditutup kain kepala ungu, celana sampai ke bawah lutut dan berselimut kain. Senjatanya amat sederhana, yaitu sebatang ranting sebesar lengannya, akan tetapi ranting ini sudah merobohkan empat orang sejak dia terjun ke dalam medan pertempuran itu dan dia mengamuk di samping Ki Jembros tanpa mengeluarkan kata apapun. Wulansari tidak mengenal pemuda itu, namun ia girang bukan main melihat munculnya Ki Jembros.
Bango Ijo yang berada paling dekat dengan Ki Jembros, dengan marah menerjang dan menyerang Ki Jembros yang bertangan kosong itu dengan goloknya. Golok jagoan Daha ini menyambar dan membacok ke arah dada yang bajunya terbuka. Cepat dan kuat sekali golok itu menyambar ke arah dada, akan tetapi Ki Jembros yang sedang menendangi para pengeroyok itu agaknya tidak melihat datangnya serangan kilat ini sehingga golok itu dengan tepat menghantam dadanya yang telanjang.
"Dukk" Golok itu membalik dan sebelum Bango Ijo yang merasa amat terkejut itu sempat mengelak, pinggangnya telah ditangkap oleh sepasang tangan yang amat kuat dan tahu-tahu tubuhnya terangkat tinggi lalu dibanting.
"Bresss" Bango Ijo tidak mampu berkutik lagi karena kepalanya terbanting ke atas batu sehingga retak dan beberapa buah tulang iganya patah-patah. Semua orang tentu saja semakin gentar melihat kehebatan Ki Jembros ini. Memang jago tua ini terkenal memiliki ilmu kekebalan yang disebut Aji Trenggiling Wesi, maka tadi ketika dadanya dibacok golok, dia sambut sambil tertawa saja.
"Hahaha, Sardulo. Hayo majulah ke sini, kita tua lawan tua, kita adalah musuh lama, hahaha" Ki Jembros menantang. Akan tetapi Ki Sardulo ternyata seorang jagoan yang licik. Setelah melihat betapa di pihaknya menderita kerugian besar dan menjadi lemah setelah dua orang senopati itu tewas, diapun berteriak menyuruh semua perajurit maju mengepung, akan tetapi dia sendiri diam-diam menyelinap pergi dan melarikan diri.
Melihat ini, tentu saja para perajurit menjadi gentar dan merekapun melarikan diri, meninggalkan korban diantara mercka yang jumlahnya lebih dari separuh. Ada sedikitnya tigapuluh lima orang perajurit Daha tewas dalam perkelahian yang berat sebelah itu. Setelah semua lawan melarikan diri, Wulansari dan Hok Yan terguling roboh dan pingsan saking lelahnya dan nyeri dari luka yang merek derita sejak tadi.
Hok Yan mengeluh lirh, Yang pertama te rasa amat nyeri dan pedih adalah paha kanannya, luka yang paling parah di tubuhnya. Akan tetapi, dia merasa betapa ada benda yang dingin sejuk menutupi luka di pahanya, dan benda itu diraba-raba jari tangan yang lemah. Dia merasa heran dan membuka matanya. Dia merasa semakin heran. Dirinya telah rebah telentang di atas sebuah dipan dalam sebuah kamar. Dan di tepi dipan itu duduk seorang gadis yang wajahnya amat dikenalnya, wajah seorang gadis yang berkulit kuning langsat, wajah yang manis sekali. Wajah itu menunduk dan tangan gadis itulah yang menaruhkan obat, yaitu semacam daun yang dilembutkan dan basah, dibalurkan pada luka di pahanya dengan sentuhan sentuhan lembut sekali. Terasa begitu sejuk, nyaman dan menyenangkan, bukan hanya mengurangi rasa pedih dan panas, bahkan menimbulkan perasaan nyaman.
"Kau...,....?" Dia berbisik agak lemah, Sumirah yang sejak tadi mencurahkan perhatiam kepada luka di paha itu, terkejut dan mengangkat muka memandang. Pandang mata mereka saling bertemu dan bertaut, dan wajah gadis itu menjadi kemerahan.
"Bagaimana rasanya".?"
Hok Yan tersenyum dan mengangguk.
"Nyaman......" dia menggerakkan pundak hendak bangkit duduk.
"Auhhhh......" Dia rebah kembali karena pundaknya terasa nyeri.
Dengan lembut Sumirah meraba pundaknya"Berbaringlah saja, jangan bangkit dahulu.
Pundakmu memar dan matang biru, juga lambung kirimu nampak biru. Engkau menderita banyak luka, akan tetapi yang paling parah yang di paha ini......"
Hok Yan rebah kembali, mengingat-ingat sambil memejamkan matanya. Kini dia teringat akan semua yang telah terjadi. Ada pasukan mengamuk di dusun itu. Dia menyelamatkan gadis ini yang telah ditelanjangi dan hampir diperkosa orang. Kemudian dia keluar
meninggalkannya dan dia membantu Wulansari. Terjadi perkelahian mati-matian dan dia hampir saja roboh, juga Wulansari. Lalu muncul seorang kakek gagah dan seorang pemuda. Mereka mengamuk dan menyelamatkannya. Dia membuka matanya kembali dan gadis itu sedang mengamati wajahnya. Dan gadis itu tersenyum. Manisnya. Rasanya tidak kalah oleh Puteri Dyah Gayatri yang tadinya dianggap bidadari. Gadis ini, gadis dusun ini, manis bukan main. Apalagi saat itu ia tersenyum malu-malu.
"Kenapa kau senyumsenyum....... ?" tanyanya lemah, karena memang tubuhnya masih terasa lemah sekali.
Wajah itu makin merah, akan tetapi senyumnya melebar sehingga nampak deretan puncak gigi yang putih rata. Manisnya.
"Habis engkau lucu sih" Gadis itu menutupi mulut dengan tangan kiri, menahan tawa.
Hok Yan membelalakkan kedua matanya dan gadis itu kini tertawa lirih seolah-olah melihat sesuatu yang lebih lucu lagi.
"Apanya yang lucu ?" Hok Yan bertanya, heran mengapa dia dikatakan lucu.
"Apanya, ya " Entah, mungkin...... kedua matamu itu. Sinar matamu tajam sekali, akan tetapi selalu bersembunyi, kedua matamu hampir selalu kelihatan terpejam........ Ah. Aku....... aku tidak bermaksud mencela utau menghina, jangan kau marah, ya ?"
Hok Yan tersenyum. Bagaimana mungkin dia bisa marah kepada gadis seperti ini"
"Engkau telah bersikap baik sekali kepadaku, engkau merawatku, bagaimana aku bisa marah kepadamu" Nona, kenapa engkau begini baik kepadaku?" Sepasang mata yang diangga selalu bersembunyi itu kini memandang dengan penuh perhatia dan penuh selidik.
"Kenapa tidak " Engkau telah menyelamatkan aku, telah menolongku terbebas dari malapetaka yang lebih mengerikan dari pada maut. Aku hanya dapat membalas merawat lukamu, tidak dapat membalas menyelamatkan nyawamu. Aku...... aku berterima kasih sekali kepadamu"
"Tapi, nona. Kalau ayah ibumu mengetahui ........kita hanya berdua saja di kamar ini, engkau akan mendapat marah"
Gadis itu menggeleng kepalanya. Manis sekali"Tidak ada yang marah. Mereka bahkan menyuruh aku merawatmu. Pula, apa salahnya, aku merawatmu" Engkau orang baik-baik, dalam keadaan sehatpun aku tidak takut berada sekamar denganmu, apa lagi engkau sakit seperti ini, tidak berdaya. Apa yang dapat kau lakukan" Gadis itu tertawa lirih lagi.
Seketika hati Hok Yan jatuh. belum pernah selama hidupnya dia merasakan dalam hatinya seperti ini terhadap seorang gadis. Bahkan terhadap Sang Puteri Dyah Gayatri juga tidak seperti ini. Dia hanya kagum melihat kecantikan Dyah Gayatri, dan kagum melihat kegagahan Wulansari, akan tetapi terhadap gadis ini. Entah apa yang terjadi dengan hatinya. Ada kemesraan yang terasa dalam lubuk hatinya, yang membuat dia ingin terus berdekatan seperti ini dengan gadis itu.
Tiba-tiba dia teringat akan orang-orang lain. Wulansari, Puteri Gayatri, dan dua orang gagah yang tadi datang menolong mereka. Juga orang tua gadis ini dan dimana mereka sekarang berada. Kalau masih di dusun itu, tentu berbahaya sekali karena pasukan Daha tentu tidak akan tinggal diam. Kalau mereka datang membawa bala bantuan. tentu mereka semua akan celaka.
"Di manakah kita sekarang berada" Apa masih di rumahmu, di dusun itu?"
Gadis itu menggeleng kepalanya"Kita sudah berada jauh dari dusun Kalasan. Ini rumah pamanku, di balik bukit dan dusun ini sudah terlindung oleh pasukan Tubau yang belum tunduk kepada Daha"
Hok Yan menarik napas panjang, hatinya lega"Dan di mana adanya Wulansari" Dan Sang Puteri Dyah Gayatri" Dan dua orang penolong itu?"
Dihujani pertanyaan ini, Sumirah tersenyum, "Mereka semua berada di dusun ini. Tenangkan hatimu. Kalau lukamu sudah sembuh, kalau badanmu sudah sehat kembali, engkau akan bertemu dengan mereka"
Mendengar ini, hati Hok Yan merasa lega dan senang sehingga dia memejamkan matanya dan tiba-tiba dia merasa mengantuk sekali. Ingin dia bertanya siapa nama gadis itu, akan tetapi kepulasan menghapus pertanyaannya.
Sementara itu, di sebuah rumah lain yang tidak berjauhan dari rumah di mana Hok Yan dirawat Sumirah, Wulansari juga rebah telentang di atas dipan dalam sebuah kamar dan, yang merawatnya bukan lain adalah Sang Puteri Dyah Gayatri. Ketika ia siuman dari pingsannya dan mendapatkan dirinya berada diatas pembaringan, melihat sang puteri duduk di tepi pembaringan menjaganya, ia hendak bangkit duduk, akan tetapi puteri segera mencegahnva Wulansari meringis kesakitan. Seluruh tubuh rasanya sakit-sakit.
"Kenapa puteri yang merawat....."
"Ssttt, diamlah, mbakayu Wulan. Siapa lagi kalau bukan aku yang merawatmu" engkau membelaku mati-matian dan hampir saja mengorbankan nyawamu, masa aku tidak boleh membalasmu hanya dengan merawatmu selagi engkau sakit" Tenanglah dan mengasolah"
Wulansari teringat akan semua yang terjadi dan ia menengok ke kanan kiri. Kamar itu kosong, hanya ada mereka berdua "Kita berada di mana" Dan mana orang asing bernama Lie Hok Yan itu" Dia gagah bukan main dan dia membelaku mati-matian. Oh ya, di mana pula Paman Jembros dan pemuda yang sagah tadi?"
"Mereka semua berada di dusun ini, mbakayu Wulan. Lie Hok Yan itu berada di dalam rumah lain, dirawat oleh anak bapak lurak Kalasan itu. Akan tetapi, dua orang penolong itu berada di rumah ini pula. Apakah engkau ingin bertemu dengan mereka?"
"Mana Paman Jembros" Aku ingin bicara dengan dia"
Dyah Gayatri turun dari pembaringan dan keluar dari dalam kamar itu. Tak lama kemudian iapun masuk kembali, kini diikuti oleh dua orang. Wulansari tidak memperhatikan pemuda yang ikut masuk itu karena ia mencurahkan seluruh perhatiannya kepada Ki Jembros dan dengan wajah berseri iapun berseru.
"Paman Jembros........"
Pemuda itu dengan sikap sopan duduk di atas kursi agak jauh dari pembaringan, sedangkan Ki Jembros duduk di atas kursi dekat pembarinan dan Puteri Dyah Gayatri kembali naik ke atas pembaringan, berlutut dekat Wulansari.
Kakek itu tertawa, sepasang matanya bersinar-sinar ketika dia memandang kepada gadis perkasa itu. "Wulan, suaramu memanggil namaku dengan demikian manisnya itu sungguh merupakan hal yang amat menyenangkan hatiku. Kiranya engkau masih belum lupa kepada Ki Jembros, hahaha"
"Aku melupakan paman?" Wulansari berseru penasaran "Bagaimana mungkin aku melupakanmu, paman " Sampai matipun aku tidak mungkin akan dapat melupakan ketika paman menolongku dari gelombang lautan itu. Dan sekarang, kembali paman telah menyelamatkan aku pada, saat aku sudah hampir roboh oleh keroyokan para perajurit itu"
"Hemh, para perajurit Daha yang pengecut. Mengeroyok seorang wanita seperti itu. Tak tahu malu" kata kakek itu geram.
"Paman Jembros, aku tidak pernah melupakan paman. Kalau selama ini kita saling berpisah dan aku........aku bahkan menghambakan diri kepada istana Daha adalah karena....... karena aku terpaksa oleh keadaan"
Kakek itu tersenyum. dan mengangguk-angguk" Dahulunya akupun merasa heran dan khawatir sekali mendengar bahwa engkau menjadi kepala pasukan pengawal di lstana Daha. Aku sudah mendengar semuanya dan mendiang Paman Panembahan Sidik Danasura......"
"Mendiang?" Wulansari bertanya kaget" jadi Eyang Panembahan sudah........"
"Dia sudah kembali keasalnya, Wulan, sudah terbebas dari pada segala kekacauan yang terjadi di permukaan bumi"
"Ahh, eyang......" Wulansari memejamkan kedua matanya dan beberapa titik air mata, menuruni pipinya. Melihat ini, Ki Jembros mengangguk-angguk. Kecengengan seorang wanita bukan hanya menunjukkan kelemahan baginya, juga menunjukkan kepekaan perasaannya. Dahulu dia mendengar bahwa setelah dibawa pergi Cucut Kalasekti, terjadi perubahan besar pada diri Wulansari. Kabarnya ia menjadi seorang wanita yang dingin dan ganas, dan wanita yang digambarkan seperti itu pasti tidak pernah mencucurkan air mata. Akan tetapi kini, bertemu dengan dia, Wulansari menitikkan air mata, juga mendengar akan kematian Panembahan Sidik Danasura, ia menitikkan air mata pula. Itu tanda bahwa Wulansari kini telah kembali menjadi seorang wanita yang hangat dan berperasaan peka.
Pada saat itu, baru Wulansari menyadari bahwa di situ terdapat orang lain, yaitu pemuda tampan yang bersama Ki Jembros membantunya mengusir orangorang Daha, dan yang kini duduk pula dalam kamar itu, agak jauh. Ia tersipu ketika ingat bahwa ia telah mencucurkan air mata memperlihatkan kelemahannya, apa lagi ketika sang puteri merangkulnya dan berkata.
"Ihhh, sungguh luar biasa sekali. Sejak aku mengenalmu, baru sekarang ini aku melihat air mata keluar dari matamu, mbakayu Wulan. Luar biasa sekali. Tadinya aku mengira bahwa engkau seorang wanita berhati baja yang takkan pernah dapat mengeluarkan air mata"
Wulansari hanya balas merangkul, lalu ia tersenyum "Puteri tidak tahu. Kalau tidak ada Paman Jembros ini dan mendiang Eyang Panembahan, sejak berusia sepuluh tahun aku tentu sudah mati. Paman, siapakah sobat yang datang bersama paman itu?"
Sebelum Ki Jembros menjawab, pemuda itu bangkit dari tempat duduknya, menghampiri pembaringan itu dan dengan senyum penuh keramahan sehingga wajahnya menjadi semakin tampan, dia berkata, "Selamat berjumpa, mbakyu Wulansari, gembira sekali hatiku dapat bertemu kembali denganmu"
Wulansari terbelalak dan memandang heran, ia memeras ingatannya akan tetapi walaupun sepasang mata yang lebar dan jeli itu rasanya tidak asing baginya, namun ia sama sekali tidak dapat ingat kembali kapan dan di mana ia pernah berjumpa dengan pemuda ini.
"Siapa........ siapakah engkau, sobat" tanyanya heran.
Ki Jembros tertawa bergelak "Hahaga, yang yang biasa menyamar sebagai pria, kini terkecoh oleh penyamaran seorang wanita lain, hahaha"
"Mbakayu Wulansari, maafkan aku. Aku adalah Pertiwi......"
"Oohhh........" Wulansari terkejut bukan main dan matanya terbelalak menatap wajah "pemuda" itu, kemudian ia menarik napas panjang, hatinya terasa pedih seperti ditusuk, karena ia teringat akan segala yang pernah ia lakukan terhadap gadis dusun lereng Gunung Kelud ini "Yaaah........ aku ingat sekarang..... engkau.....engkau tunangan Nurseta. Ketahuilah, Nurseta masih hidup........ engkau tentu akan mencarinya......."
Akan tetapi Pertiwi tersenyum pahit dan dara ini lalu duduk di tepi pembaringan, memegang lengan Wulansari, dan menggeleng kepalanya.
"Tidak, mbakayu Wulansari. Aku bukan tunangannya lagi. Perjodohan tak mungkin dapafi dipaksakan, dan ikatan jodoh antara kami sudah putus. Ingat, dia tidak mencintai aku. Diantara kami sudah tidak ada apa apa lagi, mbak ayu Wulansari"
Wulansari memandang kepada wajah Pertiwi yang menyamar pria itu, dan melihat sepasang mata yang lebar bening itu memandang penuh kejujuran, mengingat betapa Nurseta yang saling mencinta dengannya itu kini tidak lagi terikat perjodohan dengan gadis ini, ia merasa begitu terharu sehingga kembali kedua matanya menjadi basah dan iapun kini merangkul Pertiwi "Pertiwi, maafkan semua perbuatanku yang lalu......."
Pertiwi balas merangkul" Tidak ada yang perlu dimaafkan, mbakayu. Kau tidak bersalah apapun kepadaku"
Wulansari segera dapat menguasai hatinya, lagi ketika mendengar Ki Jembros tertawa-tawa, mentertawakan dua orang wanita gagah yang menyamar pria itu kini berangkulan dan bertangisan. Ia bangkit duduk dan memandang kepada Ki Jembros, senyum membayang di bibirnya, senyum yang berbahagia dan penuh harapan, yang timbul setelah mendengar bahwa tidak ada hubungan dan pertalian apapun kini antara Pertiwi dan Nurseta.
"Paman Jembros, apa artinya ini " Bagaimana semua ini dapat terjadi " Tiba tiba saja Pertiwi datang bersama paman, menyamar pria dan ia telah menjadi seerang gadis yang perkasa"
"Hahaha, panjang ceritanya Wulan. Mengenai riwayat Pertiwi, biar ia sendiri nanti yang akan bercerita kepadamu. Aku pergi berkunjung ke puncak Kelud, bertemu dengan Nurseta dan Kakang Baka di tempat padepokan Paman Panembahan Sidik Danasura. Dari Kakang Baka aku mendengar tentang Pertiwi yang ketika itu sedang bertapa. Aku merasa kasihan kepadanya, menemuinya dan ia suka menjadi muridku. Selanjutnya, mendengar akan geger Singosari yang diserang Daha, kami turun gunung dan di sini kami kebetuian bertemu denganmu. Sekarang kau ceritakan, bagaimana engkau dapat bertemu dengan gusti puteri ini, dan siapa pula pemuda Cina yang bersamamu melawan pasukan Daha itu"
Dengan singkat Wulansari lalu menceritakan riwayatnya, betapa setelah Singosari jatuh oleh Daha, Dyah Gayatri tertawan dan menjadi tawanan di istana Daha. Kemudian betapa Sang Prabu Jayakatwang mempunyai niat jahat terhadap Dyah Gayatri sehingga ia terpaka membawa Dyah Gayatri lari keluar dari istana dan bersembunyi di dusun Kalasan sampai akhirnya muncul pasukan Daha yang megenalnya dan menyerang.
Memang saya sudah merencanakan untuk meninggalkan istana Daha, paman. Yaitu setelah saya terpaksa membunuh Pangeran Sinduboyo yang hendak memperkosa Puteri Dyah Gayatri. Adapun mengenai saudara Lie Hok Yan itu, kami bertemu dengan dia dalam hutan, memperebutkan kijang, kemudian ketika muncul pasukan Daha, tanpa diminta dia membantuku. Dia adalah seorang penyelidik yang dikirim oleh pasukan Cina yang kini berada di pesisir Tuban dan yang bermaksud untuk menyerang Singosari"
'Jagad Dewa Barbara ........" Ki Jembros membelalakkan matanya yang sudah lebar itu. Agaknya memang sudah ditakdirkan bahwa Singosari harus runtuh ......."
"Akan tetapi, Paman Jembros. Kita dapat mempergunukan pasukan dari Cina itu untuk membalas dendam kepada Daha, dan Lie Hok Yan sudah menyanggupi untuk menyampaikan usul itu kepada pemimpinnya" kata Puteri Dyah Gayatri penuh semangat.
Ki Jembros mengangguk-angguk, kagum kepada puteri yang kelihatan tabah walaupun mengalami banyak hal buruk itu.
"Aku perlu sekali bicara dengan Lie Hok Yan itu. Nah, Wulan dan Pertiwi, kalian bicaralah, aku hendak menemui pemuda Cina itu" Ki Jembros lalu meninggalkan tiga orang gadis itu.
Pertiwi lalu menceritakan semua pengalamannya. Betapa ia sebagai seorang gadis dusus bertemu dengan Ki Baka yang menderita sakit. Ia merawat orang tua itu, kemudian ketika bertemu dengan murid Ki Baka, yaitu Nurseta, orang tua itu telah menjodohkan mereka. Na mun kemudian Nurseta dengan terus terang mengatakan kepadanya bahwa dia hanya menerima keputusan itu karena hendak mentaati gurunya yang juga menjadi ayah angkatnya, namun bahwa sebetulnya Nurseta tidak mencintainya.
"Dia mencintaimu, mbakayu Wulansari, Hanya engkau seorang yang dicintanya dan aku tidak menyalahkannya. Engkau gagah perkasa dan cantik, dan aku bahkan kagum kepadanya karena dia mau mengaku terus terang secara jantan"
Pertiwi melanjutkan ceritanya. Betapa dalam kedukaannya ditinggal Nurseta yang menyatakan terus terang bahwa pemuda itu tidak cinta kepadanya, ia tertimpa rnalapetaka yang sangat hebat. Muncullah seorang penjahat yang memperkosanya dengan penggunaan sihir sehingga ia menyerah dengan suka rela. Betapa kemudian penjahat itu hampir membunuh ayah ibunya, kalau saja tidak muncul Ki Baka yang menyelamatkan mereka.
"Akan tetapi, aku telah ternoda, mbakayu Wulansari. Kalau tidak ada nasihat-nasihat dari Paman Baka dan juga dari Eyang Panembahan Sidik Danasura, tentu aku telah membunuh diri, Aku diberi nasihat dan diberi lempung yang dapat melindungi aku dari gangguan pria. dan aku lalu bertapa. Engkau muncul dan"."
"Adikku Pertiwi, kau maafkan aku. Ketika aku mencarimu, memang aku bermaksud membunuhmu karena aku menganggap engkaulah yang menjadi penghalang bagi aku dan Nurseta untuk berjodoh. Akan tetapi, ketika itu aku mengira Nurseta telah tewas jatuh ke dalam jurang, dan melihat keadaanmu, aku tidak jadi membunuhmu. Siapakah jahanam yang menodaimu itu, Pertiwi. Aku lupa lagi apakah dahulu engkau pernah menyebutkan namanya kepadaku. Kalau aku bertemu dengannya, dia akan kubunuh untuk membalaskan dendammu"
Pertiwi tersenyum dan menggeleng kepalan "Tidak perlu, mbakayu, karena aku telah mempelajari ilmu dari Guru, aku sendirilah yang akan mencarinya dan membalasnya. Namanya adalah Gagak Wulung"
"Gagak Wulung " Si keparat jahanam itu. memang amat jahat" seru Wulansari "Sekarang baru aku merasa menyesal, Pertiwi. Aku melihat bahwa engkau tidak bersalah, engkau pantas menjadi isteri Nurseta, engkau dijodohkan oleh orang tua, sedangkan aku......."
"Cukup, mbakayu Wulansari. Jodoh tak dapat dipaksakan, cinta tak dapat dibuat. Dia dan engkau saling mencinta, Cinta yang bertepuk tangan sebelah hanya akan menciptakan perjodohan yang penuh penyesalan dan duka. Sudah kukatakan, tidak ada ikatan apapun juga antara kakangmas Nurseta dan aku, mbakayu. Aku merasa tidak berharga, dan aku tahu bahwa dia amat mencintamu"
Sementara itu, di rumah lain dalam dusun kecil itu, di mana Lie Hok Yan dirawat oleh Sumirah, terjadi percakapan lain antara pemuda itu dan Ki Jembros yang mengunjunginya. Ayah dan ibu Sumirah yang tidak begitu parah lukanya, menyambut Ki Jembros, kemudian kakek ini dipersilakan masuk ke dalam kamar Hok Yan. Sumirah diperbolehkan tinggal di kamar itu ketika mereka berdua bercakap-cakap. Hok Yan memaksa diri bangkit duduk untuk menghormati Ki Jembros yang dikaguminya karena dia telah melihat sepak terjang kakek perkasa ini, ketika menolong dia dan Wulansari dari kepungan para perajurit Daha.
"Aku sudah mendengar sedikit tentang dirimu dari Wulansari, saudara Lie Hok Yan. Engkau adalah seorang penyelidik yang diutus oleh pimpinan pasukan Cina yang dikirim oleh kaisarmu untuk menyerang Singosari. Akan, tetapi mengapa kaisarmu mengirim barisan besar untuk menyerang Singosari ?"
Hok Yan duduk bersila di atas pembaringan. Luka di pahanya hanya nyeri, akan tetapi tidak berbahaya dan bobok param yang dibalurkan Sumirah pada lukanya lalu pahanya dibalut, membuat luka ita tidak terasa panas lagi. Dia menarik napas panjang. Sungguh amat tidak enak tugas yang diberikan kepada seorang perajurit untuk menyerang negara lain.
"Saya hanya seorang perwira muda yang melaksanakan tugas, paman. Akan tetapi sepanjang yang saya ketahui, pernah Raja Singosari menghina utusan kaisar kami dan hal itu dianggap sebagai tantangan. Kaisar kami lalu mengirim pasukan besar untuk menyerang Singosari dan saya diberi tugas untuk melakukan penyelidikan ke daerah Singosari"
"Hemm, begitukah" Dan hasil apa yang kau peroleh dari penyelidikanmu itu ?" tanyai Ki Jembros sambil mengamati wajah pemuda itu dengan penuh perhatian.
"Saya mendapatkan keterangan bahwa Kerajaan Singosari baru saja diserang dan dikalahkan oleh Kerajaan Daha, bahwa Raja Singosari telah tewas dalam perang. Keadaan ini membuat saya menjadi bingung, paman, dan kebetulan saya bertemu dengan Wulansari dan Puteri Dyah Gayatri yang mengusulkan agar pasukan kami membantu saja perjuangan Raden Wijaya, pangeran dari Singosari untuk menyerang Kerajaan Daha. Hal itu tentu saja tergantung kepada pimpinan kami dan saya akan melaporkan usul itu kepada mereka"
Ki Jembros mengangguk-angguk "Sebuah usul yang amat baik" katanya "Ketahuilah dan sampaikan kepada para pimpinanmu, Hok Yan. Tidak dapat kusangkal bahwa menjelang kekalahan Singosari, mendiang Sang Prabu Kertanegara telah melakukan banyak kesalahan, diantaranya menentang dan menghina Kaisar Cina. Akan tetapi sekarang Kerajaan Singosari telah dikalahkan oleh Kerajaan Daha yang berkhianat. Satu satunya jalan terbaik bagi pasukan kalian adalah membantu Raden Wijaya yang akan membangun kembali Singosari dan hanya dengan cara itulah kiranya hubungan baik antara Cina dan Singosari dapat dijalin kembali"
Hok Yan mengangguk angguk "Memang saya akan melaporkan kepada pimpinan kami akan hal itu, paman"
"Ketahuilah bahwa kini Raden Wijaya sedang memupuk kekuatan di daerah baru yang dinamakan Mojopahit, dan Raden Wijaya didukung oleh Bupati Sumenep di Madura, yaitu Arya Wiraraja"
Lie Hok Yan mendengarkan dengan teliti semua keterangan tentang Raden Wijaya yang diperoleh dari Ki Jembros. Dia mendapatkan keterangan yang amat penting tentang Raden Wijaya. Setelah Ki Jembros meninggalkan pemuda itu, Sumirah yang sejak tadi hanya mendengarkan, lalu duduk di tepi pembaringan, minta kepada Hok Yan agar rebah kembali.
"Engkau perlu banyak beristirahat agar segera pulih kembali kesehatanmu"
"Terima kasih"
Hening sejenak dan mereka hanya saling pandang. Setiap kali bertemu pandang, Sumirah lalu menunduk.
"Aneh" katanya lirih.
"Apanya yang aneh, nona?"
"Engkau telah menyelamatkan aku dari malapetaka mengerikan, dan aku kini telah merawatmu, berarti kita sudah menjadi kenalan bahkan sahabat baik, bukan ?"
"Tentu saja, akan tetapi mengapa aneh?"
"Aneh karena kita belum saling mengenal mama"
"Aih, aku lupa. Maafkan, namaku Lie Hok Yan"
"Lie........ Hok........ Yan .......?" Sumirah mengulang-ulangi, seolah hendak menghafal nama yang terdengar asing bagi telinganya itu.
"Benar nona. Lie itu nama keluarga ayahku, dan Hok Yan itu artinya Taman Rejeki. Dan siapakah namamu, nona ?"
"Namaku Sumirah"
"Sumilah........?"
"Bukan Sumilah, akan tetapi Sumirah"
"Ya, ya.......Sumilah" Hok Yan mengulang, merasa sudah benar.
Sumirah mengerutkan alisnya, akan tetapi tidak mendesak "Namamu Lie Hok Yan, lalu aku harus memanggilmu bagaimana?" Ia berpikir alangkah akan lucunya kalau di depan nama itu ditambah kakang, apa lagi kakangmas.
Hok Yan tersenyum"Panggil saja aku Hok Yan, nona"
"Dan kau sudah tahu namaku, jangan sebut nona, Panggil saja aku Sumirah, atau Mirah begitu saja"
"Milah, nama bagus"
Sumirah mengerutkan alisnya. Keterlaluan orang ini, pikirnya, suka mengganti nama, "Bukan Milah, akan tetapi Mirah"
"Ya, betul. Milah...... Milah....."
"Mirah. Pakai rrr, bukan pakai lll Coba kau bilang rrrr ......"
"Lllll ........"
"Wah, repot. Kau tidak bisa mengatakan rrr. Engkau pelo, lidahmu....... lidahmu terlalu pendek, hihik ......"Sumirah tertawa geli.
Hok Yan juga tertawa "Lidahku pendek" Tidak mungkin. Lihat" Dan dia menjulurkan lidahnya keluar. Dan memang tidak pendek "Nah, tidak lebih pendek dari lidahmu kukira. Coba, Milah, apakah lidahmu luar biasa panjangnya ?"
Sambil tertawa Sumirah juga menjulurkan lidahnya yang kecil dan merah jambon.
"Wah, lidahku masih lebih panjang" kata Hok Yan dan keduanya kini saling menjulurkan lidah, seperti dua orang anak kecil saling mengejek. Dan keduanya merasa demikian lucu sehingga mereka tertawa-tawa.
Ki Sardu dan isterinya masuk kamar itu. Mereka terheran-heran melihat betapa penolong puteri mereka itu tertawa-tawa geli bersama puteri mereka.
"Eh eh, ada apa ini kalian tertawa tawa seperti itu ?" Ki Sardu bertanya.
"Ayah, ibu, ini......... Hok Yan ini sungguh lucu sekali. Dia tidak dapat menyebut rrrr dan namaku dia robah menjadi Sumilah. Coba lagi, Hok Yan, coba sebut namaku, Sumirah"
"Sumilah" Hok Yan sedapat mungkin berusaha agar pengucapannya benar.
"Mirah........"
"Milah"
"Nah, ayah dan ibu dengar, bukan" Namaku dirubahnya menjadi Sumilah atau Milah" kata Sumirah tertawa. Ayah dan ibunya juga tertawa.
"Mirah, jangan memperolok kekurangan orang" kata Ki Sardu.
"Ia tidak memperolok, paman. Memang di kampung saya, orang orang tidak pernah mempergunakan huruf yang berbunyi rrr itu, maka sukarlah bagi kami untuk mengucapkannya" Hok Yan membela gadis itu.
Ki Sardu dan isterinya duduk di atas kursi, menghadapi pembaringan di mana Hok Yan sudah bangkit duduk kembali, tidak mentaati permintaan Sumirah agar dia rebah saja karena dia merasa tidak enak menyambut kunjungan Ki Sardu dan isterinya sambil rebahan.
"Hok Yan, aku ingin bicara dengan engkau, Engkau tentu hanya beberapa hari saja tinggal disini, oleh karena itu, kami ingin mengajak engkau bicara agar selama beberapa hari ini, sebelum engkau pergi, engkau sudah dapat mengambil keputusan"
Melihat sikap yang serius dari orang tua itu, Hok Yan merasa heran, dan dia merasa, lebih heran lagi ketika melihat wajah Sumirah, berubah kemerahan dan gadis itu lalu bangkit berdiri "Ayah, ibu, aku akan membantu bibi di dapur" Tanpa menanti jawaban, dan tanpa pamit kepada Hok Yan, gadis itu lalu pergi setengah berlari meninggalkan kamar. Yang dimaksudkan dengan panggilan bibi oleh Sumirah adalah nyonya rumah karena mereka tinggal di rumah Ki Sarlan, adik dari Ki Sardu.
"Silakan, paman. Apakah yang hendak paman dan bibi bicarakan?" tanya Hok Yan sambil memandang wajah kedua orang itu dengam penuh perhatian.
"Sebelum kami membicarakan soal itu denganmu, lebih dulu kami ingin mengetahui. Hok Yan, apakah di negerimu sana engkau meninggalkan seorang isteri?"
"Saya belum beristeri, paman"
"Tunangan ?"
"Juga tidak"
Suami isteri itu saling pandang dan bernapas lega. Bagus, itulah yang kami harapkan. Ketahuilah, Hok Yan. Mirah telah bicara dengan kami dan ia amat berterima kasih kepadamu, ia merasa hutang budi yang hanya dipat dibalas dengan nyawa, dan disamping hutang budi, juga ia merasa amat malu karena engkau telah melihat ia dalam keadaan yang baginya amat memalukan. Oleh karena itu, untuk menebus aib yang memalukan itu dan untuk membalas budimu, bagi Mirah hanya ada satu jalan, yaitu menjadi isterimu"
"Ah......." Tersentak Hok Yan merasa keharuan menyesak dadanya.
"Kami juga merasa setuju, Hok Yan. Sekarang, kami telah kehilangan segalanya dan Mirah memerlukan seorang suami yang akan mampu melindunginya dari marabahaya. Nah, bagaimana pendapatmu Hok Yan" Ataukah kami harus menanti agar engkau dapat mempertimbangkan keinginan kami ini?"
"Paman........ bibi......" kata pemuda itu dengan suara gemetar karena keharuan "Sungguh saya merasa terharu dan berterima kasih sekali kepada paman dan bibi dan ...... Milah.
Saya merasa terhormat sekali, bangga dan juga bahagia. Terus terang saja, semenjak perjumpaan pertama kali saya....... saya sudah meresa jatuh cinta kepada Milah. Tentu saja saya tidak berani mengharapkan yang muluk-muluk. Akan tetapi sekarang.......... paman dan bibi dan Milah justeru mengajukan usul yang memang amat saya harapkan. Tentu saja saya setuju sekali dan terima kasih sekali. Akan tetapi, hendaknya paman dan bibi dan juga Milah mengetahui bahwa saya adalah seorang perwira yang sedang bertugas. Tidak mungkin tugas diabaikan atau giitinggalkan karena urusan pribadi. Oleh karena itu, saya akan menyelesaikan tugas ini dulu, paman. Setelah saya membuat laporan kepada atasan saya, setelah tugas dipastikan selesai, saya akan minta ijin kepada atasan saya agar ditinggal di sini dan saya berjanji akan datang berkunjung dan menerima uluran tangan keluarga paman dengan hati dan tangan terbuka"
Bukan main girang rasa hati Ki Sardu dan isterinya mendengar kesanggupan pemuda itu. Mereka setuju dengan syarat yang diajukan Hok Yan, dan mereka segera meninggalkan pemuda itu untuk mengabarkan kepada puteri mereka tentang keputusin Hok Yan yang
menerina ikatan perjodohan itu. Tentu saja Sumirah merasa girang bukan main sehingga ia menangis seorang diri. Ia merasa tertarik dan kagum kepada Hok Yan, juga merasa berhutang budi, disamping ia akan selamanya merasa malu kalau mengingat betapa pemuda itu merupakan satu-satunya pria yang melihatnya dalam keadaan yang amat memalukan, bertelanjang bulat. Kalau ia dapat menjadi isteri Hok Yan, maka segalanya itu akan tertebus. Aib dan malu akan lenyap, hutang budi terbalas, apa lagi kalau mereka memang saling mencinta.
Malam itu, setelah gelap, baru Sumirah berani memasuki kamar Hok Yan. Yang mengirim makan malam dan menyalakan pelita dalam kamar pemuda itu adalah ibunya. Dengan berindap ia memasuki kamar, mengharapkan pemuda itu telah pulas agar ia tidak usah tersipu malu. Ia hanya ingin mengantarkan jamu secangkir, dan menggantikan bobok pada luka di paha itu. Melihat pemuda itu telentang, tak bergerak dan ia selalu sukar untuk mengambil keputusan apakah mata pemuda itu terpejam ataukah terbuka. Begitu sipit.
"Milah....." Sumirah tersentak kaget mendengar panggilan lirih itu. Hampir saja cangkir jamu lepas dari tangannya. Pemuda itu tidak tidur. Dengan jantung berdebar dan muka terasa panas ia tinggal berdiri seperti patung.
Hok Yan maklum bahwa gadis yang telah menjatuhkan hatinya itu tersipu malu. Diapun tidak ingin menggoda, lalu berkata dengan suara biasa saja. "Milah, engkau mengantar jamu dan obat luka yang baru?"
"Benar, Hok Yan ........."
"Taruh saja di atas meja. Nanti kuminum sendiri dan bobok itu akan kupakai sendiri. Sekarang aku sudah dapat duduk dan mengobati lukaku sendiri. Dan engkau duduklah disini, aku ingin bicara, Milah"
Kalau saja ucapan itu dikeluarkan tadi sebelum ayah lbunya bicara dengan Hok Yan, tentu Sumirah akan menolak dan marah-marah. Akan tetapi kini ia tidak membantah, menaruh cangkir jamu dan bungkusan bobok di atas meja, kemudian iapun duduk. Tidak di tepi pembaringan seperti biasa, melainkan di atas kursi yang berada di dekat pembaringan.
Hok Yan sendiri lalu bangkit duduk di tepi pembaringannya sehingga mereka duduk berhadapan, dekat.
Sumirah menundukkan mukanya, jantungnya berdebar demikian kerasnya sehingga ketika ia menunduk, ia melihat sendiri betapa dada yang tertutup baju itu berdetak-detak dan berguncang.
"Milah, apakah engkau sudah mendengar dari ayah dan ibumu tentang.... tentang kita?"
Sumirah tidak menjawab, melainkan menundukkan muka semakin rendah, lalu menggerakkan kepalanya, mengangguk. Memang ayah dan ibunya sudah memberi tahu kepadanya bahwa pemuda ini menerima ikatan jodoh dengan syarat bahwa dia akan menyelesaikan tugasnya lebih dulu.
"Milah, sungguh aku heran sekali" kata Hok Yan, biarpun suaranya dibuat keren dan tegas namun terdengar gemetar.
Dari muka yang menunduk itu, Sumirah melihat ke atas"Mengapa heran ?"
"Aku heran kenapa seorang gadis seperti engkau ini suka untuk menjadi isteriku"
Kini Sumirah mengangkat mukanya. Mukanya merah akan tetapi tidak begitu kentara karena penerangan pelita di atas meja itu tidak terang benar, akan tetapi sepasang matanya berkilat-kilat. "Dan engkau " Mengapa engkau sendiripun suka ?"
"Tentu saja aku suka. Engkau seorang gadis yang cantik jelita, berbudi mulia, halus tutur sapanya, ramah dan amat baik sekali, dan sejak pertemuan pertama aku memang sudah jatuh cinta kepadamu. Tapi kau...... ?"
"Aku kagum dan bersukur kepadamu"
"Juga........ cinta........?"
Sumirah menjadi gemas. Mengapa tanya-tanya tentang cinta segala" Ia hanya mengangguk tanpa menjawab.
"Itulah yang aneh" Mengapa ?"
"Hemm, lupakah engkau, Milah " Mataku"
"Kenapa matamu?"
"Bukankah kau bilang mataku selalu terpejam, tidak bisa melek ?"
"Malah lucu"
"Dan lidahku"
"Lidahmu kenapa?"
"Katamu lidahku pendek?"
"Tentu saja, engkau seorang manusia, bukan seekor ular" jawab Sumirah sambil tersenyum geli.
Sejenak keduanya berdiam diri. Lidah rasanya kelu, tidak seperti biasanya. Sukar bagi mereka berdua untuk mengeluarkan kata-kata dan jantung mereka berdebar aneh. Bagi mereka berdua, baru sekali ini selama bidup mereka mengalami jatuh cinta.
Cinta memang sungguh ajaib. Kalau seseorang sudah jatuh cinta, maka apapun yang ada. pada orang yang dicinta itu nampak mudah, nampak baik dan sempurna. Kalaupun ada cacat pada diri orang yang dicinta, maka cacat itu bahkan menjadi pemanis, bahkan menimbulkan rasa iba. Tidak ada manusia di dunia ini yang lebih baik dari pada orang yang dicinta, tidak ada yang lebih tampan atau lebih cantik. Cinta tidak mengenal usia, tidak mengenal harta, tidak mengenal kedudukan, tidak mengenal golongan, suku ataupun bangsa. Cinta adalah jerasaan yang paling halus dari seorang manusia terhadap seorang manusia lain. Dan kalau sudah disebut manusia, maka segala embel-embel seperti harta kedudukan, bangsa atau bahkan agama tidak ada artinya lagi.
Demikian pula halnya dengan dua orang manusia itu, Hok Yan dan Sumirah. Gidis itu menyadari bahwa Hok Yan seorang pemuda yang kulitnya terlalu putih kuning, matanya terlalu sipit, logat bicaranya aneh dan asing bahkan tidak mampu menyebut suara "r" atau yang dinamakan pelo. Dia bahkan tidak tahu lagi apanya yang menarik hatinya dari diri pemuda Cina itu. Bahkan mungkin sipitnya warna kulitnya, dan pelonya itulah. Namun yang jelas, ia merasa kagum, merasa suka dan ingin selalu hidup berdampingan dengan pemuda Cina yang pernah menyelamatkannya dari aib dan bencana itu. Apakah cinta yang terkandung dalam hati Sumirah itu tumbuh karena perasaan hutang budi"
Sebagian mungkin. Banyak segi yang menyuburkan pertumbuhan cinta, akan tetapi benih cinta itu sendiri tumbuh dalam perasaan hati yang merupakan rahasia bagi akal pikiran, seolah-olah perasaan cinta itu datang karena tuntunan yang penuh rahasia.
Hok Yan sendiripun tidak mengerti mengapa dia jatuh cinta kepada seorang gadis seperti Sumirah. Gadis itu amat berbeda dengan gadis-gadis yang ada di negerinya. Memang kulit gadis ini juga putih dan mulus, akan tetapi cara ia menggelung rambutnya. bentuk matanya, pakaiannya, gerak geriknya, bicaranya, suaranya, semua itu sungguh berbeda dengan gadis-gadis di negerinya. Bahkan sukar biginya menentukan dimana letak kecantikan Sumirah, karena dia sudah terbiasa dengan kecantikan yang ditentukan umum di negerinya, Kecantikan Sumirah kelihatan aneh dan asing. Mungkin justeru keanehan ini yang menairik hatinya. Dia takkan pernah melupakan betapa gadis itu telah ditelanjangi dan hampir diperkosa penjahat itu, betapa sepasang mata itu terbelalak ketakutan seperti mata seekor kelinci yang sudah diterkam srigala. Dan sinar mata gadis itu kalau memandang kepadanya, begitu penuh kelembutan, begitu penuh kemesraan, mengelus perasaannya dan membuat dia tidak mampu lagi melupakan Sumirah. Dia bersedia untuk mengorbankan apa saja asal. dapat hidup berdampingan dengan gadis itu untuk selama hidupnya. Dia siap untuk meninggalkan negerinya, bangsanya. Tentu saja, dia harus menyelesaikan dulu tugasnya, karena sebagai seorang pendekar, sebagai seorang petugas, dia harus melaksanakan tugas Itu sampai selesai. Setelah dia membuat laporan kepada atasannya, dia akan berterus terang, akan keluar dari pekerjaannya sebagai seorang petugas minta perkenan dari suhengnya, yaitu Panglima Kau Seng, untuk meninggalkan pasukan dan hidup bebas, tidak lagi pulang ke negerinya.
Seminggu kemudian, luka-luka yang diderita Wulansari dan Lie Hok Yan telah sembuh. Mereka tidak mungkin terlalu lama tinggal di dusun itu. Terlalu dekat dengan Kalasan. Bahkan seluruh penduduk dusun itu sudah lari mengungsi. Setelah peristiwa pertempuran itu, setelah banyak perajurit Daha tewas di dusun Kalasan, mereka tidak mungkin terus tinggal di dusun itu. Pasti sekali Daha akan mengirim pasukan besar untuk membasmi penduduk dusun itu pula. Maka, Ki Lurah Sardu, ayah Sumirah, lalu menganjurkan kepada para penduduknya untuk lari mengungsi. Hanya tinggal keluarga lurah itu saja yang tinggal, karena dua orang tamu yang mereka agungkan, yaitu Wulansari dan Lie Hok Yan, penolong mereka, masih dirawat di situ. Seminggu kemudian mereka sembuh dan mereka terpaksa harus meningalkan dusun yang merupakan tempat berbahaya itu.
Sebelum berpisah, Sumirah dan Hok Yan sempat mengadakan pertemuan berdua di bawah rumpun bambu, tak jauh dari rumah Ki Sarlan. Mereka berdua kelihatan prihatin. dan rnuram. Mereka duduk di atas batu-batu yang berada di bawah rumpun bambu itu, saling berhadapan.
"Kenapa kita harus berpisah, Hok Yan. Aku tidak ingin berpisah darimu....." kata
gadis itu dengan sendu.
Hok Yan memandang wajah tunangannya yang agak pucat dan rambutnya yang kusut
itu. Jelas nampak bahwa gadis itu semalam kurang tidur, dan matanya agak kemerahan.
"Akupun demikian, Milah. Kalau bisa, mulai saat inipun aku tidak mau lagi berpisah darimu. Akan tetapi, tugas mengharuskan kita berpisah sebentar. Aku akan cepat kembali ke induk pasukan membuat laporan, setelah itu aku minta berhenti dan akan kembali ke sini maksudku, mencarimu ke tempat kediamanmu yang baru. Menurut keterangan Paman Sardu, kalian akan pergi mengungsi ke dukuh Klinren, tak jauh dari Singosari, sebelah selatan kota itu. Setelah itu, kita takkan saling berpisah lagi, Milah"
"Akan tetapi, Hok Yan, keadaan sedang tidak aman. Perang akan terus berkobar, negara dalam kacau balau ...... kejahatan terjadi di mana-mana....... ah, aku khawatir sekali,
Hok Yan. Bagaimana kalau sampai kita tidak dapat bertemu kembali?" Gadis itu tidak dapat menagan air matanya yang mengalir turun dt sepanjang pipinya.
Hok Yan menjulurkan tangannya dan memegang tangan gadis itu "Milah, percayakah engkau kepadaku" Aku cinta padamu dan aku tidak akan pernah dapat melupakanmu. Selama hayat dikandung badan, setelah selesai tugasku, pasti aku akan mencarimu"
"Aku percaya kepadamu, Hok Yan. Akan tetapi....... demikian banyaknya bahaya menghadang di depan, dan engkau seorang perwira, tentu banyak bertemu musuh ....... ah, aku khawatir sekali, Hok Yan"
Jari-jari tangan Hok Yan meremas jari tangan gadis itu "Milah, percayakah engkau kepada para dewa" Kalau memang para dewa menghendaki agar kita saling berjodoh dan dapat bertemu kembali, pasti kita berdua akan dilindungi dan dapat saling bertemu kembali dalam keadaan selamat"
"Engkau benar, Hok Yan" jawab Sumirah dan ia membalas remasan jari tangan pemuda itu "Aku akan selalu berdoa mohon berkah para dewa agar engkau selalu dilindungi dan kelak kita akan dapat saling berjumpa pula dalam keadaan selamat"
"Akupun akan selalu bersembahyang. Milah" Hok Yan mencabut sebuah cincin dari jari manis tangan kirinya "Aku tidak mempunyai apa apa yang cukup berharga sebagai tanda mata, Milah. Biarlah cincin ini, cincin yang selalu berada di jari tanganku, kau simpan sebagai tanda mata dariku"
Sumirah menerima cincin itu, memandang cincin emas yang ada ukiran huruf itu dengan mata bersinar "Hok Yan, apakah artinya ukiran ini" Gambar apakah itu?"
"Itu bukan gambar, Milah. melainkan sebuah huruf yang berbunyi LIE, yaitu nama she (marga) ayahku"
Sumirah mengangguk-angguk dan iapun melepaskan sebuah tusuk konde dari perak yang berbentuk daun semanggi"Aku juga tidak punya apa-apa kecuali tusuk sanggul ini, Hok Yan. Kau simpanlah"
Hok Yan menerima dan mencium benda itu. Melihat ini. Sumirah juga mencium cincin pemben Han Hok Yan dan keduanya saling pandang dengan wajah berubah kemerahan. Cinta memang aneh, getarannya sedemikian kuatnya, terutama bagi mereka yang baru pertama kali mengalaminya. Melihat barang yang biasanya menjadi miliknya, dicium oleh orang yang dicintanya, jantung terasa berdebar kencang dan badan menjadi panas dingin, seakan terasa bahwa bukan benda itu melainkan dirinyalah yang dicium.
Pada saat dua pasang mata itu saling pandang, bertaut dengan sinar penuh kasih sayang dan kemesraan, Tiba-tiba pendengaran Hok Yan yang amat tajam terlatih, menangkap adanya gerakan orang di balik serumpun semak tak jauh dari situ. Sebagai seorang pendekar yang selalu berhati-hati dan waspada, apa lagi setelah dia bertugas sebagai penyelidik atau mata-mata, Tiba-tiba Hok Yan melakukan gerakan meloncat dan dia sudah berada di balik semak belukar itu.
Ternyata di situ berjongkok seorang pemuda yang bertubuh tinggi kurus dan bermata jalang. Pemuda itu terkejut bukan main ketika orang yang diintainya itu Tiba-tiba meloncat seperti terbang saja dan tahu tahu telah berada di sebelabnya. Diapun bangkit berdiri dengan mata terbelalak kaget, Pada saat dia bangkit berdiri. Sumirah melihat dan mengenalnya. Gadis itu lalu berlari menghampiri dan ia berseru lantang dengan suara marah.
"Kakang Kabiso. Apa yang kau lakukan di situ" Engkau mengintai kami, ya?"
Sumirah kini sudah tiba di sebelah Hok Yan dan ia memandang pemuda yang bernama Kabiso itu densan muka merah dan mata bersirtar marah. Kabiso adalah seorang pemuda Kalasan dan pernah pemuda ini menggodanya ian menyatakan cinta, akan tetapi ditolaknya karena selain ia tidak mencinta pemuda itu, juga ia tidak suka karena mendengar bahwa K.abiso pernah mencuri pisang dan jeruk di kebun tetangga satu dusun. Ayahnya, Ki Lurah Sardu sendiri pernah mengancam pemuda itu agar tidak mengulangi perbuatannya.
"Memang kuakui bahwa aku mengintai kalian, Sumirah. Sungguh tidak tahu malu engkau, berpacaran dengan seorang pemuda Cina, pemuda asing ini. Tidak patut engkau seorang, gadis terhormat......"
"Tutup mulutmu" Sumirah membentak dengan muka merah padam "Engkaulah yang tidak tahu malu. Ketahuilah, hei manusia tidak sopan, bahwa Lie Hok Yan ini adalah tunanganku, calon suamiku yang sah. Orang tuaku sudah menyetujui"
Mendengar ini, Kabiso terbelalak, lalu mengerutkan alisnya dan dia tertawa mengejek "Ha ha he h he, sungguh aneh dan menggelikan sekali. Apakah engkau perawan tidak laku maka mau diperisteri seorang pemuda Cina ?"
"Kabiso" Sumirah membentak, tiduk lagi menyebut kakang "Apa perdulimu dengan urusan pribadadiku " Engkau tidak berhak mencampuri, juga engkau tidak berhak menghina tunanganku. Pergi kau, keparat jahanam tak bermalu, atau aku akan memberitahukan ayah agar engkau dihajar"
"Hahaha, ayahmu sekarang bukan lurah lagi melainkan pelarian seperti aku. Memang. aku mencampuri. Aku tidak rela kau menjadi isteri Cina ini. Kalau kau berjodoh dengan seorang pemuda Jawa lainnya, biarpun engkau menolakku, aku tidak perduli dan aku rela. Akan tetapi menolak aku lalu. menikah dengan Cina ini" Aku tidak rela"
Sumirah menjadi semakin marah, "Laki-laki tak tahu malu. Engkau bukan apa-apa bagi keluargaku, kau tidak berhak mengurusi diriku. Kalau kau tidak rela, habis mau apa?"
"Aku mau bunuh Cina ini" Kabiso lalu mencabut sebatang golok dari pinggangnya dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu mengayun senjata itu ke arah kepala HoK Yan.
Tentu saja serangan ini tidak ada artinya bagi Hok Yan yang sejak tadi hanya mendengarkan saja tanpa mencampuri, akan tetapi diam-diam dia waspada, apa lagi ketika Kabiso mengatakan bahwa pemuda itu hendak membunuhnya. Sambaran golok itu dihindarkannya dengan miringkan tubuhnya lalu melangkah ke camping.
"Sobat, diantara kita tidak ada permusuhan, kenapa engkau menyerangku ?" tanyanya, terus melangkah mundur tiga langkah menjauhi pemuda yang sedang marah itu.
Kabiso mengamangkan goloknya kepada Hok Yan lalu berkata dengan nada suara marah, "Engkau manusia jahat. Karena gara-gara engkaulah maka dusun Kalasan dibasmi pasukan Kediri, dan seluruh penduduk terpaksa lari mengungsi meninggalkan dusun dan rumah. Engkau sudah membikin sengsara penduduk Kalasan dan masih begitu kurang ajar untuk memper-isteri Sumirah, puteri lurah kami"
Sebelum Hok Yan menjawab, Sumirah yang cepat menjawab "Kabiso, engkau yang tolol dan tidak tahu urusan. Diserbunya Kalasan oleh pasukan Kediri adalah karena Puteri Gayatri ternyata bersembunyi di dusun kita. Gadis yang bernama Pusparasmi itu, yang mondok di rumah mbok Randa, ternyata adalah Puteri Gayatri. Pasukan itu hendak mencarinya. Dan Hok Yan bahkan menyelamatkan aku, menyelamatkan penduduk dengan melawan dan mengusir para penyerbu itu"
"Tidak perduli. Dia yang melawan pasukan sehingga tentu pasukan Kediri mendendam kepada semua penduduk Kalasan. Dia harus mati di tanganku" Kabiso kembali menyerang, kini goloknya menyambar ke arah leher Hok Yan. Hok Yan menganggap bahwa Kabiso sudah keterlaluan. Kalau pemuda itu menyerangnya dan hendak membunuhnya karena salah paham mengira dia menjadi gara-gara dibasminya dusun Kalasan, hal itu masih dapat dimengerti. Akan tetapi, pemuda ini nekat menyerang dan mau membunuhnya bukan karena itu. Sumirah telah memberl penjelasan dan pemuda itu nekat menyerangnya. Dari sinar matanya saja dia tahu bahwa pemuda ini membencinya, bukan karena urusan penyerbuan pasukan Kediri, melainkan karena cemburu, karena iri hati. Maka, melihat golok itu menyambar ke arah lehernya, dia miringkan tubuh dan begitu golok lewat di depan mukanya, tangannya menyambar dan sebuah ketukan dengan tangan miring ke arah pergelangan tangan yang memegang golok, membuat Kabiso mengeluarkan teriakan kesakitan dan golok itupun terpental dan terlepas dari pegangannya.
"Sobat, aku tidak ingin berkelahi denganmu. Pergilah dan jangan ganggu kami lagi" kata Hok Yan, masih mencoba untuk menyabarkan penyerangnya itu. Dia tahu bahwa Kabiso adalah seorang pemuda biasa yang tidak pandai ilmu silat, maka tidak selayaknya kalau dia melayaninya, apa lagi balas menyerang.
Akan tetapi, Kabiso bahkan menjadi semakin marah. Memang tepat dugaan Hok Yan, Pemuda ini dimabok cemburu dan iri hati.. Sudah lama dia menaruh hati kepada Sumirah puteri lurah dusun Kalasan itu, dan pernah dia menggoda Sumirah dan menyatakan cintanya, akan tetapi gadis itu menolaknya. Dan kini, melihat Sumirah bermesraan dengan seorang pemuda Cina. apa lagi tadi mendengar bahwa mereka telah bertunangan dengan resmi rasa cemburu membuat dia membenci sekali. Biarpun dia sudah kehilangan goloknya, kemarahan membuat dia nekat dan sambil mengeluarkan suara gerengan marah, dia sudah menerjang dan menyerang dengan kedua tangannya.
Hok Yan kembali mengelak ke samping dan sekali kakinya bergerak menendang lutut lawan, Kabiso terpelanting jatuh.
"Kabiso, engkau akan mati kalau melawan Hok Yan. Dia seorang pendekar, bukan lawanmu. Pergilah dan jangan ganggu kami" Sumirah berteriak marah.
Kabiso maklum bahwa ucapan itu memang benar. Dia tidak akan mampu mengalahkan pemuda Cina itu yang demikian mudahnya membuat goloknya terlempar, dan membuat dia terpelanting keras. Setelah melempar pandang mata penuh kebencian kepada Hok Yan, dia lalu pergi dari situ setelah berlari. Sumirah menghampiri Hok Yan dan memegang tangannya dan memandang dengan kagum.
"Terima kasih, Hok Yan. Engkau telah memaafkan dia dan bersikap mengalah" katanya.
tadi melihat jelas betapa tunangannya itu sama sekali tidak kelihatan marah, bahkan ketika menghadapi serangan Kabiso, tunangannya ini hanya mengelak dan hanya merobohkan tanpa melukai Dia tahu akan kehebatan ilmu kepandaian Hok Yan, dan kalau tadi tunangannya menghendaki, tentu Kabiso sudah roboh tak mampu bangkit kembali.
Hok Yan menarik napas panjang. Aku kasihan kepadanya, Milah"
Sumirah mengerutkan alisnya"Kasihan kepadanya" Setelah dia menghinamu seperti tadi itu?"
Hok Yan menggeleng kepalanya "Dia menjadi korban kelemahannya sendiri, Milah. Dia diburu cemburu sehingga dia membenciku. Dia cinta padamu dan amat sakit rasa hatinya karena cintanya kau tolak dan melihat betapa engkau memilih aku"
"Sudahlah, Hok Yan. Tidak perlu kita membicarakan dia. Bagaimanapun juga, salahnya sendiri. Dia harus tahu diri dan tidak memaksakan cintanya kepadaku atau wanita manapun juga. Cinta tidak mungkin bertepuk tangan sebelah"
Hok Yan meremas tangannya dan sambil bergandeng tangan merekapun kembali ke rumah.
Sementara itu, di sebuah rumah lain di dusun itu, dusun yang telah sepi ditinggalkan semua penghuninya, empat orang sedang bercakap-cakap. Mereka adalah Wulansari, Gayatri, Ki Jembros dan Pertiwi. Baru sekarang, setelah hendak meninggalkan dusun, melanjutkan perjalanan masing-masing dan saling berpamit, sebelum saling berpisah mereka sempat bercakap-cakap dengan serius dan panjang lebar.
"Belum lama ini aku berjumpa dengan Raden Wijaya dan dengan Nurseta" kata Ki Jembros dan mendengar ucapan itu, baik Gayatri maupun Wulansari memandang dengan wajah berseri. Pertiwi sudah mendengar akan pertemuan gurunya itu dengan mereka, maka iapun bersikap tenang dan tersenyum melihat betapa kedua pipi Wulansari berubah kemerahan dan matanya bersinar-sinar ketika mendengar disebutnya nama Nurseta. Ia maklum betapa besar cinta kasih gadis perkasa itu Kepada Nurseta dan ia merasa bersukur. Ia sudah mendengar pengakuan Nurseta yang mencinta gadis ini, dan sekarang ia melihat sendiri bahwa gadis inipun membalas cinta pemuda yang dikaguminya itu. Ia ikut merasa berbahagia.
"Ah, bagaimana dengan kakangmas Wijaya, paman?" tanya Puteri Gayatri dengan gembira "Dan apakah paman pernah melihat pula ayunda Tribuwana?"
Ki Jembros mengangguk "Raden Wijaya dalam sehat, dan saya melihat pula Gusti Puteri Tribuwana bersama rombongan Raden Wijaya"
"Ah, puji syukur kepada Gusti Maha Kuasa" Puteri Gayatri berseru dengan hati terharu akan tetapi juga girang mendengar bahwa kakaknya berada dalam keadaan selamat, bahkan telah bertemu dengan tunangannya.
"Bagaimana pula dengan kakangmas Nurseta paman?" tanya Wulansari.
"Sebaiknya kuceritakan saja perjumpaanku dengan mereka itu" kata Ki Jembros "Ketika itu, Pertiwi kutinggalkan dalam goa karena ia sedang melakukan tapa dan samadhi untuk menghimpun tenaga sakti agar ia dapat mempelajari ilmu kedigdayaan dariku. Seorang diri aku turun dari bukit itu dan di dalam hutan, aku melihat rombongan Raden Wijaya dan para senopati yang masih setia kepadanya, sedang dikepung dan diserang oleh pasukan yang dipimpin oleh Ki Cucut Kalasekti......."
"Ahh, kakek iblis itu" Wulansari mengepal tinju mendengar disebutnya nama kakek itu yang pernah menjadi kakeknya, juga gurunya, akan tetapi yang ternyata adalah musuh besar ibunya itu.
"Aku segera membantu dan pada saat itu muncul pula Nurseta yang juga membantu. Untung ada Nurseta, kalau tidak, aku sendiri tidak akan mampu menandingi Ki Cucut Kalasekti. Kami berhasil menewaskan duapuluh orang anak buah Cucut Kalasekti, akan tetapi dia sendiri dapat meloloskan diri"
"Sayang......." kata pula Wulansari.
"Lalu ke mana sekarang kakangmas Wijaya, paman ?" tanya Gayatri.
"Menurut keterangan beliau, karena tidak ada tempat yang aman, beliau hendak mengungsi ke Sumenep, ke tempat tinggal Sang Bupati Wiraraja. Dan berita terakhir yang saya dengar kini Raden Wijaya telah berada di kota raja Kediri, menghambakan diri kepada Prabu Jayakatwang di Kediri"
"Ihhh........ Kenapa begitu?" Gayatri berseru dengan mata terbelalak penuh rasa penasaran "Bagaimana mungkin kakang mas Wijaya menghambakan diri kepada musuh" Sungguh keji dan memalukan......."
"Harap puteri bersabar" kata Ki Jembros "Saya merasa yakin bahwa hal itu dilakukan hanya sebagai siasat untuk menyusun kekuatan. Saya telah mendengar bahwa kini Raden Wijaya sedang membabat hutan, dan saya merasa yakin bahwa beliau sedang membangun kekuatan baru" "Benarkah itu, paman" Ah, mbakayu Wulan, mari kita menyusul ke sana, aku ingin mendengar sendiri dari mulut kakangmas Wijaya bahwa dia bukan seorang pengkhianat"
"Jangan khawatir, kita akan menyelidik" sendiri ke sana" kata Wulansari "Paman Jembros, tahukah paman di mana adanya kakangmas Nurseta sekarang ?""Kau...,....?" Dia berbisik agak lemah, Sumirah yang sejak tadi mencurahkan perhatiam kepada luka di paha itu, terkejut dan mengangkat muka memandang. Pandang mata mereka saling bertemu dan bertaut, dan wajah gadis itu menjadi kemerahan.
"Bagaimana rasanya".?"
Hok Yan tersenyum dan mengangguk.
"Nyaman......" dia menggerakkan pundak hendak bangkit duduk.
"Auhhhh......" Dia rebah kembali karena pundaknya terasa nyeri.
Dengan lembut Sumirah meraba pundaknya"Berbaringlah saja, jangan bangkit dahulu.
Pundakmu memar dan matang biru, juga lambung kirimu nampak biru. Engkau menderita banyak luka, akan tetapi yang paling parah yang di paha ini......"
Hok Yan rebah kembali, mengingat-ingat sambil memejamkan matanya. Kini dia teringat akan semua yang telah terjadi. Ada pasukan mengamuk di dusun itu. Dia menyelamatkan gadis ini yang telah ditelanjangi dan hampir diperkosa orang. Kemudian dia keluar
meninggalkannya dan dia membantu Wulansari. Terjadi perkelahian mati-matian dan dia hampir saja roboh, juga Wulansari. Lalu muncul seorang kakek gagah dan seorang pemuda. Mereka mengamuk dan menyelamatkannya. Dia membuka matanya kembali dan gadis itu sedang mengamati wajahnya. Dan gadis itu tersenyum. Manisnya. Rasanya tidak kalah oleh Puteri Dyah Gayatri yang tadinya dianggap bidadari. Gadis ini, gadis dusun ini, manis bukan main. Apalagi saat itu ia tersenyum malu-malu.
"Kenapa kau senyumsenyum....... ?" tanyanya lemah, karena memang tubuhnya masih terasa lemah sekali.
Wajah itu makin merah, akan tetapi senyumnya melebar sehingga nampak deretan puncak gigi yang putih rata. Manisnya.
"Habis engkau lucu sih" Gadis itu menutupi mulut dengan tangan kiri, menahan tawa.
Hok Yan membelalakkan kedua matanya dan gadis itu kini tertawa lirih seolah-olah melihat sesuatu yang lebih lucu lagi.
"Apanya yang lucu ?" Hok Yan bertanya, heran mengapa dia dikatakan lucu.
"Apanya, ya " Entah, mungkin...... kedua matamu itu. Sinar matamu tajam sekali, akan tetapi selalu bersembunyi, kedua matamu hampir selalu kelihatan terpejam........ Ah. Aku....... aku tidak bermaksud mencela utau menghina, jangan kau marah, ya ?"
Hok Yan tersenyum. Bagaimana mungkin dia bisa marah kepada gadis seperti ini"
"Engkau telah bersikap baik sekali kepadaku, engkau merawatku, bagaimana aku bisa marah kepadamu" Nona, kenapa engkau begini baik kepadaku?" Sepasang mata yang diangga selalu bersembunyi itu kini memandang dengan penuh perhatia dan penuh selidik.
"Kenapa tidak " Engkau telah menyelamatkan aku, telah menolongku terbebas dari malapetaka yang lebih mengerikan dari pada maut. Aku hanya dapat membalas merawat lukamu, tidak dapat membalas menyelamatkan nyawamu. Aku...... aku berterima kasih sekali kepadamu"
"Tapi, nona. Kalau ayah ibumu mengetahui ........kita hanya berdua saja di kamar ini, engkau akan mendapat marah"
Gadis itu menggeleng kepalanya. Manis sekali"Tidak ada yang marah. Mereka bahkan menyuruh aku merawatmu. Pula, apa salahnya, aku merawatmu" Engkau orang baik-baik, dalam keadaan sehatpun aku tidak takut berada sekamar denganmu, apa lagi engkau sakit seperti ini, tidak berdaya. Apa yang dapat kau lakukan" Gadis itu tertawa lirih lagi.
Seketika hati Hok Yan jatuh. belum pernah selama hidupnya dia merasakan dalam hatinya seperti ini terhadap seorang gadis. Bahkan terhadap Sang Puteri Dyah Gayatri juga tidak seperti ini. Dia hanya kagum melihat kecantikan Dyah Gayatri, dan kagum melihat kegagahan Wulansari, akan tetapi terhadap gadis ini. Entah apa yang terjadi dengan hatinya. Ada kemesraan yang terasa dalam lubuk hatinya, yang membuat dia ingin terus berdekatan seperti ini dengan gadis itu.
Tiba-tiba dia teringat akan orang-orang lain. Wulansari, Puteri Gayatri, dan dua orang gagah yang tadi datang menolong mereka. Juga orang tua gadis ini dan dimana mereka sekarang berada. Kalau masih di dusun itu, tentu berbahaya sekali karena pasukan Daha tentu tidak akan tinggal diam. Kalau mereka datang membawa bala bantuan. tentu mereka semua akan celaka.
"Di manakah kita sekarang berada" Apa masih di rumahmu, di dusun itu?"
Gadis itu menggeleng kepalanya"Kita sudah berada jauh dari dusun Kalasan. Ini rumah pamanku, di balik bukit dan dusun ini sudah terlindung oleh pasukan Tubau yang belum tunduk kepada Daha"
Hok Yan menarik napas panjang, hatinya lega"Dan di mana adanya Wulansari" Dan Sang Puteri Dyah Gayatri" Dan dua orang penolong itu?"
Dihujani pertanyaan ini, Sumirah tersenyum, "Mereka semua berada di dusun ini. Tenangkan hatimu. Kalau lukamu sudah sembuh, kalau badanmu sudah sehat kembali, engkau akan bertemu dengan mereka"
Mendengar ini, hati Hok Yan merasa lega dan senang sehingga dia memejamkan matanya dan tiba-tiba dia merasa mengantuk sekali. Ingin dia bertanya siapa nama gadis itu, akan tetapi kepulasan menghapus pertanyaannya.
Sementara itu, di sebuah rumah lain yang tidak berjauhan dari rumah di mana Hok Yan dirawat Sumirah, Wulansari juga rebah telentang di atas dipan dalam sebuah kamar dan, yang merawatnya bukan lain adalah Sang Puteri Dyah Gayatri. Ketika ia siuman dari pingsannya dan mendapatkan dirinya berada diatas pembaringan, melihat sang puteri duduk di tepi pembaringan menjaganya, ia hendak bangkit duduk, akan tetapi puteri segera mencegahnva Wulansari meringis kesakitan. Seluruh tubuh rasanya sakit-sakit.
"Kenapa puteri yang merawat....."
"Ssttt, diamlah, mbakayu Wulan. Siapa lagi kalau bukan aku yang merawatmu" engkau membelaku mati-matian dan hampir saja mengorbankan nyawamu, masa aku tidak boleh membalasmu hanya dengan merawatmu selagi engkau sakit" Tenanglah dan mengasolah"
Wulansari teringat akan semua yang terjadi dan ia menengok ke kanan kiri. Kamar itu kosong, hanya ada mereka berdua "Kita berada di mana" Dan mana orang asing bernama Lie Hok Yan itu" Dia gagah bukan main dan dia membelaku mati-matian. Oh ya, di mana pula Paman Jembros dan pemuda yang sagah tadi?"
"Mereka semua berada di dusun ini, mbakayu Wulan. Lie Hok Yan itu berada di dalam rumah lain, dirawat oleh anak bapak lurak Kalasan itu. Akan tetapi, dua orang penolong itu berada di rumah ini pula. Apakah engkau ingin bertemu dengan mereka?"
"Mana Paman Jembros" Aku ingin bicara dengan dia"
Dyah Gayatri turun dari pembaringan dan keluar dari dalam kamar itu. Tak lama kemudian iapun masuk kembali, kini diikuti oleh dua orang. Wulansari tidak memperhatikan pemuda yang ikut masuk itu karena ia mencurahkan seluruh perhatiannya kepada Ki Jembros dan dengan wajah berseri iapun berseru.
"Paman Jembros........"
Pemuda itu dengan sikap sopan duduk di atas kursi agak jauh dari pembaringan, sedangkan Ki Jembros duduk di atas kursi dekat pembarinan dan Puteri Dyah Gayatri kembali naik ke atas pembaringan, berlutut dekat Wulansari.
Kakek itu tertawa, sepasang matanya bersinar-sinar ketika dia memandang kepada gadis perkasa itu. "Wulan, suaramu memanggil namaku dengan demikian manisnya itu sungguh merupakan hal yang amat menyenangkan hatiku. Kiranya engkau masih belum lupa kepada Ki Jembros, hahaha"
"Aku melupakan paman?" Wulansari berseru penasaran "Bagaimana mungkin aku melupakanmu, paman " Sampai matipun aku tidak mungkin akan dapat melupakan ketika paman menolongku dari gelombang lautan itu. Dan sekarang, kembali paman telah menyelamatkan aku pada, saat aku sudah hampir roboh oleh keroyokan para perajurit itu"
"Hemh, para perajurit Daha yang pengecut. Mengeroyok seorang wanita seperti itu. Tak tahu malu" kata kakek itu geram.
"Paman Jembros, aku tidak pernah melupakan paman. Kalau selama ini kita saling berpisah dan aku........aku bahkan menghambakan diri kepada istana Daha adalah karena....... karena aku terpaksa oleh keadaan"
Kakek itu tersenyum. dan mengangguk-angguk" Dahulunya akupun merasa heran dan khawatir sekali mendengar bahwa engkau menjadi kepala pasukan pengawal di lstana Daha. Aku sudah mendengar semuanya dan mendiang Paman Panembahan Sidik Danasura......"
"Mendiang?" Wulansari bertanya kaget" jadi Eyang Panembahan sudah........"
"Dia sudah kembali keasalnya, Wulan, sudah terbebas dari pada segala kekacauan yang terjadi di permukaan bumi"
"Ahh, eyang......" Wulansari memejamkan kedua matanya dan beberapa titik air mata, menuruni pipinya. Melihat ini, Ki Jembros mengangguk-angguk. Kecengengan seorang wanita bukan hanya menunjukkan kelemahan baginya, juga menunjukkan kepekaan perasaannya. Dahulu dia mendengar bahwa setelah dibawa pergi Cucut Kalasekti, terjadi perubahan besar pada diri Wulansari. Kabarnya ia menjadi seorang wanita yang dingin dan ganas, dan wanita yang digambarkan seperti itu pasti tidak pernah mencucurkan air mata. Akan tetapi kini, bertemu dengan dia, Wulansari menitikkan air mata, juga mendengar akan kematian Panembahan Sidik Danasura, ia menitikkan air mata pula. Itu tanda bahwa Wulansari kini telah kembali menjadi seorang wanita yang hangat dan berperasaan peka.
Pada saat itu, baru Wulansari menyadari bahwa di situ terdapat orang lain, yaitu pemuda tampan yang bersama Ki Jembros membantunya mengusir orangorang Daha, dan yang kini duduk pula dalam kamar itu, agak jauh. Ia tersipu ketika ingat bahwa ia telah mencucurkan air mata memperlihatkan kelemahannya, apa lagi ketika sang puteri merangkulnya dan berkata.
"Ihhh, sungguh luar biasa sekali. Sejak aku mengenalmu, baru sekarang ini aku melihat air mata keluar dari matamu, mbakayu Wulan. Luar biasa sekali. Tadinya aku mengira bahwa engkau seorang wanita berhati baja yang takkan pernah dapat mengeluarkan air mata"
Wulansari hanya balas merangkul, lalu ia tersenyum "Puteri tidak tahu. Kalau tidak ada Paman Jembros ini dan mendiang Eyang Panembahan, sejak berusia sepuluh tahun aku tentu sudah mati. Paman, siapakah sobat yang datang bersama paman itu?"
Sebelum Ki Jembros menjawab, pemuda itu bangkit dari tempat duduknya, menghampiri pembaringan itu dan dengan senyum penuh keramahan sehingga wajahnya menjadi semakin tampan, dia berkata, "Selamat berjumpa, mbakyu Wulansari, gembira sekali hatiku dapat bertemu kembali denganmu"
Wulansari terbelalak dan memandang heran, ia memeras ingatannya akan tetapi walaupun sepasang mata yang lebar dan jeli itu rasanya tidak asing baginya, namun ia sama sekali tidak dapat ingat kembali kapan dan di mana ia pernah berjumpa dengan pemuda ini.
"Siapa........ siapakah engkau, sobat" tanyanya heran.
Ki Jembros tertawa bergelak "Hahaga, yang yang biasa menyamar sebagai pria, kini terkecoh oleh penyamaran seorang wanita lain, hahaha"
"Mbakayu Wulansari, maafkan aku. Aku adalah Pertiwi......"
"Oohhh........" Wulansari terkejut bukan main dan matanya terbelalak menatap wajah "pemuda" itu, kemudian ia menarik napas panjang, hatinya terasa pedih seperti ditusuk, karena ia teringat akan segala yang pernah ia lakukan terhadap gadis dusun lereng Gunung Kelud ini "Yaaah........ aku ingat sekarang..... engkau.....engkau tunangan Nurseta. Ketahuilah, Nurseta masih hidup........ engkau tentu akan mencarinya......."
Akan tetapi Pertiwi tersenyum pahit dan dara ini lalu duduk di tepi pembaringan, memegang lengan Wulansari, dan menggeleng kepalanya.
"Tidak, mbakayu Wulansari. Aku bukan tunangannya lagi. Perjodohan tak mungkin dapafi dipaksakan, dan ikatan jodoh antara kami sudah putus. Ingat, dia tidak mencintai aku. Diantara kami sudah tidak ada apa apa lagi, mbak ayu Wulansari"
Wulansari memandang kepada wajah Pertiwi yang menyamar pria itu, dan melihat sepasang mata yang lebar bening itu memandang penuh kejujuran, mengingat betapa Nurseta yang saling mencinta dengannya itu kini tidak lagi terikat perjodohan dengan gadis ini, ia merasa begitu terharu sehingga kembali kedua matanya menjadi basah dan iapun kini merangkul Pertiwi "Pertiwi, maafkan semua perbuatanku yang lalu......."
Pertiwi balas merangkul" Tidak ada yang perlu dimaafkan, mbakayu. Kau tidak bersalah apapun kepadaku"
Wulansari segera dapat menguasai hatinya, lagi ketika mendengar Ki Jembros tertawa-tawa, mentertawakan dua orang wanita gagah yang menyamar pria itu kini berangkulan dan bertangisan. Ia bangkit duduk dan memandang kepada Ki Jembros, senyum membayang di bibirnya, senyum yang berbahagia dan penuh harapan, yang timbul setelah mendengar bahwa tidak ada hubungan dan pertalian apapun kini antara Pertiwi dan Nurseta.
"Paman Jembros, apa artinya ini " Bagaimana semua ini dapat terjadi " Tiba tiba saja Pertiwi datang bersama paman, menyamar pria dan ia telah menjadi seerang gadis yang perkasa"
"Hahaha, panjang ceritanya Wulan. Mengenai riwayat Pertiwi, biar ia sendiri nanti yang akan bercerita kepadamu. Aku pergi berkunjung ke puncak Kelud, bertemu dengan Nurseta dan Kakang Baka di tempat padepokan Paman Panembahan Sidik Danasura. Dari Kakang Baka aku mendengar tentang Pertiwi yang ketika itu sedang bertapa. Aku merasa kasihan kepadanya, menemuinya dan ia suka menjadi muridku. Selanjutnya, mendengar akan geger Singosari yang diserang Daha, kami turun gunung dan di sini kami kebetuian bertemu denganmu. Sekarang kau ceritakan, bagaimana engkau dapat bertemu dengan gusti puteri ini, dan siapa pula pemuda Cina yang bersamamu melawan pasukan Daha itu"
Dengan singkat Wulansari lalu menceritakan riwayatnya, betapa setelah Singosari jatuh oleh Daha, Dyah Gayatri tertawan dan menjadi tawanan di istana Daha. Kemudian betapa Sang Prabu Jayakatwang mempunyai niat jahat terhadap Dyah Gayatri sehingga ia terpaka membawa Dyah Gayatri lari keluar dari istana dan bersembunyi di dusun Kalasan sampai akhirnya muncul pasukan Daha yang megenalnya dan menyerang.
Memang saya sudah merencanakan untuk meninggalkan istana Daha, paman. Yaitu setelah saya terpaksa membunuh Pangeran Sinduboyo yang hendak memperkosa Puteri Dyah Gayatri. Adapun mengenai saudara Lie Hok Yan itu, kami bertemu dengan dia dalam hutan, memperebutkan kijang, kemudian ketika muncul pasukan Daha, tanpa diminta dia membantuku. Dia adalah seorang penyelidik yang dikirim oleh pasukan Cina yang kini berada di pesisir Tuban dan yang bermaksud untuk menyerang Singosari"
'Jagad Dewa Barbara ........" Ki Jembros membelalakkan matanya yang sudah lebar itu. Agaknya memang sudah ditakdirkan bahwa Singosari harus runtuh ......."
"Akan tetapi, Paman Jembros. Kita dapat mempergunukan pasukan dari Cina itu untuk membalas dendam kepada Daha, dan Lie Hok Yan sudah menyanggupi untuk menyampaikan usul itu kepada pemimpinnya" kata Puteri Dyah Gayatri penuh semangat.
Ki Jembros mengangguk-angguk, kagum kepada puteri yang kelihatan tabah walaupun mengalami banyak hal buruk itu.
"Aku perlu sekali bicara dengan Lie Hok Yan itu. Nah, Wulan dan Pertiwi, kalian bicaralah, aku hendak menemui pemuda Cina itu" Ki Jembros lalu meninggalkan tiga orang gadis itu.
Pertiwi lalu menceritakan semua pengalamannya. Betapa ia sebagai seorang gadis dusus bertemu dengan Ki Baka yang menderita sakit. Ia merawat orang tua itu, kemudian ketika bertemu dengan murid Ki Baka, yaitu Nurseta, orang tua itu telah menjodohkan mereka. Na mun kemudian Nurseta dengan terus terang mengatakan kepadanya bahwa dia hanya menerima keputusan itu karena hendak mentaati gurunya yang juga menjadi ayah angkatnya, namun bahwa sebetulnya Nurseta tidak mencintainya.
"Dia mencintaimu, mbakayu Wulansari, Hanya engkau seorang yang dicintanya dan aku tidak menyalahkannya. Engkau gagah perkasa dan cantik, dan aku bahkan kagum kepadanya karena dia mau mengaku terus terang secara jantan"
Pertiwi melanjutkan ceritanya. Betapa dalam kedukaannya ditinggal Nurseta yang menyatakan terus terang bahwa pemuda itu tidak cinta kepadanya, ia tertimpa rnalapetaka yang sangat hebat. Muncullah seorang penjahat yang memperkosanya dengan penggunaan sihir sehingga ia menyerah dengan suka rela. Betapa kemudian penjahat itu hampir membunuh ayah ibunya, kalau saja tidak muncul Ki Baka yang menyelamatkan mereka.
"Akan tetapi, aku telah ternoda, mbakayu Wulansari. Kalau tidak ada nasihat-nasihat dari Paman Baka dan juga dari Eyang Panembahan Sidik Danasura, tentu aku telah membunuh diri, Aku diberi nasihat dan diberi lempung yang dapat melindungi aku dari gangguan pria. dan aku lalu bertapa. Engkau muncul dan"."
"Adikku Pertiwi, kau maafkan aku. Ketika aku mencarimu, memang aku bermaksud membunuhmu karena aku menganggap engkaulah yang menjadi penghalang bagi aku dan Nurseta untuk berjodoh. Akan tetapi, ketika itu aku mengira Nurseta telah tewas jatuh ke dalam jurang, dan melihat keadaanmu, aku tidak jadi membunuhmu. Siapakah jahanam yang menodaimu itu, Pertiwi. Aku lupa lagi apakah dahulu engkau pernah menyebutkan namanya kepadaku. Kalau aku bertemu dengannya, dia akan kubunuh untuk membalaskan dendammu"
Pertiwi tersenyum dan menggeleng kepalan "Tidak perlu, mbakayu, karena aku telah mempelajari ilmu dari Guru, aku sendirilah yang akan mencarinya dan membalasnya. Namanya adalah Gagak Wulung"
"Gagak Wulung " Si keparat jahanam itu. memang amat jahat" seru Wulansari "Sekarang baru aku merasa menyesal, Pertiwi. Aku melihat bahwa engkau tidak bersalah, engkau pantas menjadi isteri Nurseta, engkau dijodohkan oleh orang tua, sedangkan aku......."
"Cukup, mbakayu Wulansari. Jodoh tak dapat dipaksakan, cinta tak dapat dibuat. Dia dan engkau saling mencinta, Cinta yang bertepuk tangan sebelah hanya akan menciptakan perjodohan yang penuh penyesalan dan duka. Sudah kukatakan, tidak ada ikatan apapun juga antara kakangmas Nurseta dan aku, mbakayu. Aku merasa tidak berharga, dan aku tahu bahwa dia amat mencintamu"
Sementara itu, di rumah lain dalam dusun kecil itu, di mana Lie Hok Yan dirawat oleh Sumirah, terjadi percakapan lain antara pemuda itu dan Ki Jembros yang mengunjunginya. Ayah dan ibu Sumirah yang tidak begitu parah lukanya, menyambut Ki Jembros, kemudian kakek ini dipersilakan masuk ke dalam kamar Hok Yan. Sumirah diperbolehkan tinggal di kamar itu ketika mereka berdua bercakap-cakap. Hok Yan memaksa diri bangkit duduk untuk menghormati Ki Jembros yang dikaguminya karena dia telah melihat sepak terjang kakek perkasa ini, ketika menolong dia dan Wulansari dari kepungan para perajurit Daha.
"Aku sudah mendengar sedikit tentang dirimu dari Wulansari, saudara Lie Hok Yan. Engkau adalah seorang penyelidik yang diutus oleh pimpinan pasukan Cina yang dikirim oleh kaisarmu untuk menyerang Singosari. Akan, tetapi mengapa kaisarmu mengirim barisan besar untuk menyerang Singosari ?"
Hok Yan duduk bersila di atas pembaringan. Luka di pahanya hanya nyeri, akan tetapi tidak berbahaya dan bobok param yang dibalurkan Sumirah pada lukanya lalu pahanya dibalut, membuat luka ita tidak terasa panas lagi. Dia menarik napas panjang. Sungguh amat tidak enak tugas yang diberikan kepada seorang perajurit untuk menyerang negara lain.
"Saya hanya seorang perwira muda yang melaksanakan tugas, paman. Akan tetapi sepanjang yang saya ketahui, pernah Raja Singosari menghina utusan kaisar kami dan hal itu dianggap sebagai tantangan. Kaisar kami lalu mengirim pasukan besar untuk menyerang Singosari dan saya diberi tugas untuk melakukan penyelidikan ke daerah Singosari"
"Hemm, begitukah" Dan hasil apa yang kau peroleh dari penyelidikanmu itu ?" tanyai Ki Jembros sambil mengamati wajah pemuda itu dengan penuh perhatian.
"Saya mendapatkan keterangan bahwa Kerajaan Singosari baru saja diserang dan dikalahkan oleh Kerajaan Daha, bahwa Raja Singosari telah tewas dalam perang. Keadaan ini membuat saya menjadi bingung, paman, dan kebetulan saya bertemu dengan Wulansari dan Puteri Dyah Gayatri yang mengusulkan agar pasukan kami membantu saja perjuangan Raden Wijaya, pangeran dari Singosari untuk menyerang Kerajaan Daha. Hal itu tentu saja tergantung kepada pimpinan kami dan saya akan melaporkan usul itu kepada mereka"
Ki Jembros mengangguk-angguk "Sebuah usul yang amat baik" katanya "Ketahuilah dan sampaikan kepada para pimpinanmu, Hok Yan. Tidak dapat kusangkal bahwa menjelang kekalahan Singosari, mendiang Sang Prabu Kertanegara telah melakukan banyak kesalahan, diantaranya menentang dan menghina Kaisar Cina. Akan tetapi sekarang Kerajaan Singosari telah dikalahkan oleh Kerajaan Daha yang berkhianat. Satu satunya jalan terbaik bagi pasukan kalian adalah membantu Raden Wijaya yang akan membangun kembali Singosari dan hanya dengan cara itulah kiranya hubungan baik antara Cina dan Singosari dapat dijalin kembali"
Hok Yan mengangguk angguk "Memang saya akan melaporkan kepada pimpinan kami akan hal itu, paman"
"Ketahuilah bahwa kini Raden Wijaya sedang memupuk kekuatan di daerah baru yang dinamakan Mojopahit, dan Raden Wijaya didukung oleh Bupati Sumenep di Madura, yaitu Arya Wiraraja"
Lie Hok Yan mendengarkan dengan teliti semua keterangan tentang Raden Wijaya yang diperoleh dari Ki Jembros. Dia mendapatkan keterangan yang amat penting tentang Raden Wijaya. Setelah Ki Jembros meninggalkan pemuda itu, Sumirah yang sejak tadi hanya mendengarkan, lalu duduk di tepi pembaringan, minta kepada Hok Yan agar rebah kembali.
"Engkau perlu banyak beristirahat agar segera pulih kembali kesehatanmu"
"Terima kasih"
Hening sejenak dan mereka hanya saling pandang. Setiap kali bertemu pandang, Sumirah lalu menunduk.
"Aneh" katanya lirih.
"Apanya yang aneh, nona?"
"Engkau telah menyelamatkan aku dari malapetaka mengerikan, dan aku kini telah merawatmu, berarti kita sudah menjadi kenalan bahkan sahabat baik, bukan ?"
"Tentu saja, akan tetapi mengapa aneh?"
"Aneh karena kita belum saling mengenal mama"
"Aih, aku lupa. Maafkan, namaku Lie Hok Yan"
"Lie........ Hok........ Yan .......?" Sumirah mengulang-ulangi, seolah hendak menghafal nama yang terdengar asing bagi telinganya itu.
"Benar nona. Lie itu nama keluarga ayahku, dan Hok Yan itu artinya Taman Rejeki. Dan siapakah namamu, nona ?"
"Namaku Sumirah"
"Sumilah........?"
"Bukan Sumilah, akan tetapi Sumirah"
"Ya, ya.......Sumilah" Hok Yan mengulang, merasa sudah benar.
Sumirah mengerutkan alisnya, akan tetapi tidak mendesak "Namamu Lie Hok Yan, lalu aku harus memanggilmu bagaimana?" Ia berpikir alangkah akan lucunya kalau di depan nama itu ditambah kakang, apa lagi kakangmas.
Hok Yan tersenyum"Panggil saja aku Hok Yan, nona"
"Dan kau sudah tahu namaku, jangan sebut nona, Panggil saja aku Sumirah, atau Mirah begitu saja"
"Milah, nama bagus"
Sumirah mengerutkan alisnya. Keterlaluan orang ini, pikirnya, suka mengganti nama, "Bukan Milah, akan tetapi Mirah"
"Ya, betul. Milah...... Milah....."
"Mirah. Pakai rrr, bukan pakai lll Coba kau bilang rrrr ......"
"Lllll ........"
"Wah, repot. Kau tidak bisa mengatakan rrr. Engkau pelo, lidahmu....... lidahmu terlalu pendek, hihik ......"Sumirah tertawa geli.
Hok Yan juga tertawa "Lidahku pendek" Tidak mungkin. Lihat" Dan dia menjulurkan lidahnya keluar. Dan memang tidak pendek "Nah, tidak lebih pendek dari lidahmu kukira. Coba, Milah, apakah lidahmu luar biasa panjangnya ?"
Sambil tertawa Sumirah juga menjulurkan lidahnya yang kecil dan merah jambon.
"Wah, lidahku masih lebih panjang" kata Hok Yan dan keduanya kini saling menjulurkan lidah, seperti dua orang anak kecil saling mengejek. Dan keduanya merasa demikian lucu sehingga mereka tertawa-tawa.
Ki Sardu dan isterinya masuk kamar itu. Mereka terheran-heran melihat betapa penolong puteri mereka itu tertawa-tawa geli bersama puteri mereka.
"Eh eh, ada apa ini kalian tertawa tawa seperti itu ?" Ki Sardu bertanya.
"Ayah, ibu, ini......... Hok Yan ini sungguh lucu sekali. Dia tidak dapat menyebut rrrr dan namaku dia robah menjadi Sumilah. Coba lagi, Hok Yan, coba sebut namaku, Sumirah"
"Sumilah" Hok Yan sedapat mungkin berusaha agar pengucapannya benar.
"Mirah........"
"Milah"
"Nah, ayah dan ibu dengar, bukan" Namaku dirubahnya menjadi Sumilah atau Milah" kata Sumirah tertawa. Ayah dan ibunya juga tertawa.
"Mirah, jangan memperolok kekurangan orang" kata Ki Sardu.
"Ia tidak memperolok, paman. Memang di kampung saya, orang orang tidak pernah mempergunakan huruf yang berbunyi rrr itu, maka sukarlah bagi kami untuk mengucapkannya" Hok Yan membela gadis itu.
Ki Sardu dan isterinya duduk di atas kursi, menghadapi pembaringan di mana Hok Yan sudah bangkit duduk kembali, tidak mentaati permintaan Sumirah agar dia rebah saja karena dia merasa tidak enak menyambut kunjungan Ki Sardu dan isterinya sambil rebahan.
"Hok Yan, aku ingin bicara dengan engkau, Engkau tentu hanya beberapa hari saja tinggal disini, oleh karena itu, kami ingin mengajak engkau bicara agar selama beberapa hari ini, sebelum engkau pergi, engkau sudah dapat mengambil keputusan"
Melihat sikap yang serius dari orang tua itu, Hok Yan merasa heran, dan dia merasa, lebih heran lagi ketika melihat wajah Sumirah, berubah kemerahan dan gadis itu lalu bangkit berdiri "Ayah, ibu, aku akan membantu bibi di dapur" Tanpa menanti jawaban, dan tanpa pamit kepada Hok Yan, gadis itu lalu pergi setengah berlari meninggalkan kamar. Yang dimaksudkan dengan panggilan bibi oleh Sumirah adalah nyonya rumah karena mereka tinggal di rumah Ki Sarlan, adik dari Ki Sardu.
"Silakan, paman. Apakah yang hendak paman dan bibi bicarakan?" tanya Hok Yan sambil memandang wajah kedua orang itu dengam penuh perhatian.
"Sebelum kami membicarakan soal itu denganmu, lebih dulu kami ingin mengetahui. Hok Yan, apakah di negerimu sana engkau meninggalkan seorang isteri?"
"Saya belum beristeri, paman"
"Tunangan ?"
"Juga tidak"
Suami isteri itu saling pandang dan bernapas lega. Bagus, itulah yang kami harapkan. Ketahuilah, Hok Yan. Mirah telah bicara dengan kami dan ia amat berterima kasih kepadamu, ia merasa hutang budi yang hanya dipat dibalas dengan nyawa, dan disamping hutang budi, juga ia merasa amat malu karena engkau telah melihat ia dalam keadaan yang baginya amat memalukan. Oleh karena itu, untuk menebus aib yang memalukan itu dan untuk membalas budimu, bagi Mirah hanya ada satu jalan, yaitu menjadi isterimu"
"Ah......." Tersentak Hok Yan merasa keharuan menyesak dadanya.
"Kami juga merasa setuju, Hok Yan. Sekarang, kami telah kehilangan segalanya dan Mirah memerlukan seorang suami yang akan mampu melindunginya dari marabahaya. Nah, bagaimana pendapatmu Hok Yan" Ataukah kami harus menanti agar engkau dapat mempertimbangkan keinginan kami ini?"
"Paman........ bibi......" kata pemuda itu dengan suara gemetar karena keharuan "Sungguh saya merasa terharu dan berterima kasih sekali kepada paman dan bibi dan ...... Milah.
Saya merasa terhormat sekali, bangga dan juga bahagia. Terus terang saja, semenjak perjumpaan pertama kali saya....... saya sudah meresa jatuh cinta kepada Milah. Tentu saja saya tidak berani mengharapkan yang muluk-muluk. Akan tetapi sekarang.......... paman dan bibi dan Milah justeru mengajukan usul yang memang amat saya harapkan. Tentu saja saya setuju sekali dan terima kasih sekali. Akan tetapi, hendaknya paman dan bibi dan juga Milah mengetahui bahwa saya adalah seorang perwira yang sedang bertugas. Tidak mungkin tugas diabaikan atau giitinggalkan karena urusan pribadi. Oleh karena itu, saya akan menyelesaikan tugas ini dulu, paman. Setelah saya membuat laporan kepada atasan saya, setelah tugas dipastikan selesai, saya akan minta ijin kepada atasan saya agar ditinggal di sini dan saya berjanji akan datang berkunjung dan menerima uluran tangan keluarga paman dengan hati dan tangan terbuka"
Bukan main girang rasa hati Ki Sardu dan isterinya mendengar kesanggupan pemuda itu. Mereka setuju dengan syarat yang diajukan Hok Yan, dan mereka segera meninggalkan pemuda itu untuk mengabarkan kepada puteri mereka tentang keputusin Hok Yan yang
menerina ikatan perjodohan itu. Tentu saja Sumirah merasa girang bukan main sehingga ia menangis seorang diri. Ia merasa tertarik dan kagum kepada Hok Yan, juga merasa berhutang budi, disamping ia akan selamanya merasa malu kalau mengingat betapa pemuda itu merupakan satu-satunya pria yang melihatnya dalam keadaan yang amat memalukan, bertelanjang bulat. Kalau ia dapat menjadi isteri Hok Yan, maka segalanya itu akan tertebus. Aib dan malu akan lenyap, hutang budi terbalas, apa lagi kalau mereka memang saling mencinta.
Malam itu, setelah gelap, baru Sumirah berani memasuki kamar Hok Yan. Yang mengirim makan malam dan menyalakan pelita dalam kamar pemuda itu adalah ibunya. Dengan berindap ia memasuki kamar, mengharapkan pemuda itu telah pulas agar ia tidak usah tersipu malu. Ia hanya ingin mengantarkan jamu secangkir, dan menggantikan bobok pada luka di paha itu. Melihat pemuda itu telentang, tak bergerak dan ia selalu sukar untuk mengambil keputusan apakah mata pemuda itu terpejam ataukah terbuka. Begitu sipit.
"Milah....." Sumirah tersentak kaget mendengar panggilan lirih itu. Hampir saja cangkir jamu lepas dari tangannya. Pemuda itu tidak tidur. Dengan jantung berdebar dan muka terasa panas ia tinggal berdiri seperti patung.
Hok Yan maklum bahwa gadis yang telah menjatuhkan hatinya itu tersipu malu. Diapun tidak ingin menggoda, lalu berkata dengan suara biasa saja. "Milah, engkau mengantar jamu dan obat luka yang baru?"
"Benar, Hok Yan ........."
"Taruh saja di atas meja. Nanti kuminum sendiri dan bobok itu akan kupakai sendiri. Sekarang aku sudah dapat duduk dan mengobati lukaku sendiri. Dan engkau duduklah disini, aku ingin bicara, Milah"
Kalau saja ucapan itu dikeluarkan tadi sebelum ayah lbunya bicara dengan Hok Yan, tentu Sumirah akan menolak dan marah-marah. Akan tetapi kini ia tidak membantah, menaruh cangkir jamu dan bungkusan bobok di atas meja, kemudian iapun duduk. Tidak di tepi pembaringan seperti biasa, melainkan di atas kursi yang berada di dekat pembaringan.
Hok Yan sendiri lalu bangkit duduk di tepi pembaringannya sehingga mereka duduk berhadapan, dekat.
Sumirah menundukkan mukanya, jantungnya berdebar demikian kerasnya sehingga ketika ia menunduk, ia melihat sendiri betapa dada yang tertutup baju itu berdetak-detak dan berguncang.
"Milah, apakah engkau sudah mendengar dari ayah dan ibumu tentang.... tentang kita?"
Sumirah tidak menjawab, melainkan menundukkan muka semakin rendah, lalu menggerakkan kepalanya, mengangguk. Memang ayah dan ibunya sudah memberi tahu kepadanya bahwa pemuda ini menerima ikatan jodoh dengan syarat bahwa dia akan menyelesaikan tugasnya lebih dulu.
"Milah, sungguh aku heran sekali" kata Hok Yan, biarpun suaranya dibuat keren dan tegas namun terdengar gemetar.
Dari muka yang menunduk itu, Sumirah melihat ke atas"Mengapa heran ?"
"Aku heran kenapa seorang gadis seperti engkau ini suka untuk menjadi isteriku"
Kini Sumirah mengangkat mukanya. Mukanya merah akan tetapi tidak begitu kentara karena penerangan pelita di atas meja itu tidak terang benar, akan tetapi sepasang matanya berkilat-kilat. "Dan engkau " Mengapa engkau sendiripun suka ?"
"Tentu saja aku suka. Engkau seorang gadis yang cantik jelita, berbudi mulia, halus tutur sapanya, ramah dan amat baik sekali, dan sejak pertemuan pertama aku memang sudah jatuh cinta kepadamu. Tapi kau...... ?"
"Aku kagum dan bersukur kepadamu"
"Juga........ cinta........?"
Sumirah menjadi gemas. Mengapa tanya-tanya tentang cinta segala" Ia hanya mengangguk tanpa menjawab.
"Itulah yang aneh" Mengapa ?"
"Hemm, lupakah engkau, Milah " Mataku"
"Kenapa matamu?"
"Bukankah kau bilang mataku selalu terpejam, tidak bisa melek ?"
"Malah lucu"
"Dan lidahku"
"Lidahmu kenapa?"
"Katamu lidahku pendek?"
"Tentu saja, engkau seorang manusia, bukan seekor ular" jawab Sumirah sambil tersenyum geli.
Sejenak keduanya berdiam diri. Lidah rasanya kelu, tidak seperti biasanya. Sukar bagi mereka berdua untuk mengeluarkan kata-kata dan jantung mereka berdebar aneh. Bagi mereka berdua, baru sekali ini selama bidup mereka mengalami jatuh cinta.
Cinta memang sungguh ajaib. Kalau seseorang sudah jatuh cinta, maka apapun yang ada. pada orang yang dicinta itu nampak mudah, nampak baik dan sempurna. Kalaupun ada cacat pada diri orang yang dicinta, maka cacat itu bahkan menjadi pemanis, bahkan menimbulkan rasa iba. Tidak ada manusia di dunia ini yang lebih baik dari pada orang yang dicinta, tidak ada yang lebih tampan atau lebih cantik. Cinta tidak mengenal usia, tidak mengenal harta, tidak mengenal kedudukan, tidak mengenal golongan, suku ataupun bangsa. Cinta adalah jerasaan yang paling halus dari seorang manusia terhadap seorang manusia lain. Dan kalau sudah disebut manusia, maka segala embel-embel seperti harta kedudukan, bangsa atau bahkan agama tidak ada artinya lagi.
Demikian pula halnya dengan dua orang manusia itu, Hok Yan dan Sumirah. Gidis itu menyadari bahwa Hok Yan seorang pemuda yang kulitnya terlalu putih kuning, matanya terlalu sipit, logat bicaranya aneh dan asing bahkan tidak mampu menyebut suara "r" atau yang dinamakan pelo. Dia bahkan tidak tahu lagi apanya yang menarik hatinya dari diri pemuda Cina itu. Bahkan mungkin sipitnya warna kulitnya, dan pelonya itulah. Namun yang jelas, ia merasa kagum, merasa suka dan ingin selalu hidup berdampingan dengan pemuda Cina yang pernah menyelamatkannya dari aib dan bencana itu. Apakah cinta yang terkandung dalam hati Sumirah itu tumbuh karena perasaan hutang budi"
Sebagian mungkin. Banyak segi yang menyuburkan pertumbuhan cinta, akan tetapi benih cinta itu sendiri tumbuh dalam perasaan hati yang merupakan rahasia bagi akal pikiran, seolah-olah perasaan cinta itu datang karena tuntunan yang penuh rahasia.
Hok Yan sendiripun tidak mengerti mengapa dia jatuh cinta kepada seorang gadis seperti Sumirah. Gadis itu amat berbeda dengan gadis-gadis yang ada di negerinya. Memang kulit gadis ini juga putih dan mulus, akan tetapi cara ia menggelung rambutnya. bentuk matanya, pakaiannya, gerak geriknya, bicaranya, suaranya, semua itu sungguh berbeda dengan gadis-gadis di negerinya. Bahkan sukar biginya menentukan dimana letak kecantikan Sumirah, karena dia sudah terbiasa dengan kecantikan yang ditentukan umum di negerinya, Kecantikan Sumirah kelihatan aneh dan asing. Mungkin justeru keanehan ini yang menairik hatinya. Dia takkan pernah melupakan betapa gadis itu telah ditelanjangi dan hampir diperkosa penjahat itu, betapa sepasang mata itu terbelalak ketakutan seperti mata seekor kelinci yang sudah diterkam srigala. Dan sinar mata gadis itu kalau memandang kepadanya, begitu penuh kelembutan, begitu penuh kemesraan, mengelus perasaannya dan membuat dia tidak mampu lagi melupakan Sumirah. Dia bersedia untuk mengorbankan apa saja asal. dapat hidup berdampingan dengan gadis itu untuk selama hidupnya. Dia siap untuk meninggalkan negerinya, bangsanya. Tentu saja, dia harus menyelesaikan dulu tugasnya, karena sebagai seorang pendekar, sebagai seorang petugas, dia harus melaksanakan tugas Itu sampai selesai. Setelah dia membuat laporan kepada atasannya, dia akan berterus terang, akan keluar dari pekerjaannya sebagai seorang petugas minta perkenan dari suhengnya, yaitu Panglima Kau Seng, untuk meninggalkan pasukan dan hidup bebas, tidak lagi pulang ke negerinya.
Seminggu kemudian, luka-luka yang diderita Wulansari dan Lie Hok Yan telah sembuh. Mereka tidak mungkin terlalu lama tinggal di dusun itu. Terlalu dekat dengan Kalasan. Bahkan seluruh penduduk dusun itu sudah lari mengungsi. Setelah peristiwa pertempuran itu, setelah banyak perajurit Daha tewas di dusun Kalasan, mereka tidak mungkin terus tinggal di dusun itu. Pasti sekali Daha akan mengirim pasukan besar untuk membasmi penduduk dusun itu pula. Maka, Ki Lurah Sardu, ayah Sumirah, lalu menganjurkan kepada para penduduknya untuk lari mengungsi. Hanya tinggal keluarga lurah itu saja yang tinggal, karena dua orang tamu yang mereka agungkan, yaitu Wulansari dan Lie Hok Yan, penolong mereka, masih dirawat di situ. Seminggu kemudian mereka sembuh dan mereka terpaksa harus meningalkan dusun yang merupakan tempat berbahaya itu.
Sebelum berpisah, Sumirah dan Hok Yan sempat mengadakan pertemuan berdua di bawah rumpun bambu, tak jauh dari rumah Ki Sarlan. Mereka berdua kelihatan prihatin. dan rnuram. Mereka duduk di atas batu-batu yang berada di bawah rumpun bambu itu, saling berhadapan.
"Kenapa kita harus berpisah, Hok Yan. Aku tidak ingin berpisah darimu....." kata
gadis itu dengan sendu.
Hok Yan memandang wajah tunangannya yang agak pucat dan rambutnya yang kusut
itu. Jelas nampak bahwa gadis itu semalam kurang tidur, dan matanya agak kemerahan.
"Akupun demikian, Milah. Kalau bisa, mulai saat inipun aku tidak mau lagi berpisah darimu. Akan tetapi, tugas mengharuskan kita berpisah sebentar. Aku akan cepat kembali ke induk pasukan membuat laporan, setelah itu aku minta berhenti dan akan kembali ke sini maksudku, mencarimu ke tempat kediamanmu yang baru. Menurut keterangan Paman Sardu, kalian akan pergi mengungsi ke dukuh Klinren, tak jauh dari Singosari, sebelah selatan kota itu. Setelah itu, kita takkan saling berpisah lagi, Milah"
"Akan tetapi, Hok Yan, keadaan sedang tidak aman. Perang akan terus berkobar, negara dalam kacau balau ...... kejahatan terjadi di mana-mana....... ah, aku khawatir sekali,
Hok Yan. Bagaimana kalau sampai kita tidak dapat bertemu kembali?" Gadis itu tidak dapat menagan air matanya yang mengalir turun dt sepanjang pipinya.
Hok Yan menjulurkan tangannya dan memegang tangan gadis itu "Milah, percayakah engkau kepadaku" Aku cinta padamu dan aku tidak akan pernah dapat melupakanmu. Selama hayat dikandung badan, setelah selesai tugasku, pasti aku akan mencarimu"
"Aku percaya kepadamu, Hok Yan. Akan tetapi....... demikian banyaknya bahaya menghadang di depan, dan engkau seorang perwira, tentu banyak bertemu musuh ....... ah, aku khawatir sekali, Hok Yan"
Jari-jari tangan Hok Yan meremas jari tangan gadis itu "Milah, percayakah engkau kepada para dewa" Kalau memang para dewa menghendaki agar kita saling berjodoh dan dapat bertemu kembali, pasti kita berdua akan dilindungi dan dapat saling bertemu kembali dalam keadaan selamat"
"Engkau benar, Hok Yan" jawab Sumirah dan ia membalas remasan jari tangan pemuda itu "Aku akan selalu berdoa mohon berkah para dewa agar engkau selalu dilindungi dan kelak kita akan dapat saling berjumpa pula dalam keadaan selamat"
"Akupun akan selalu bersembahyang. Milah" Hok Yan mencabut sebuah cincin dari jari manis tangan kirinya "Aku tidak mempunyai apa apa yang cukup berharga sebagai tanda mata, Milah. Biarlah cincin ini, cincin yang selalu berada di jari tanganku, kau simpan sebagai tanda mata dariku"
Sumirah menerima cincin itu, memandang cincin emas yang ada ukiran huruf itu dengan mata bersinar "Hok Yan, apakah artinya ukiran ini" Gambar apakah itu?"
"Itu bukan gambar, Milah. melainkan sebuah huruf yang berbunyi LIE, yaitu nama she (marga) ayahku"
Sumirah mengangguk-angguk dan iapun melepaskan sebuah tusuk konde dari perak yang berbentuk daun semanggi"Aku juga tidak punya apa-apa kecuali tusuk sanggul ini, Hok Yan. Kau simpanlah"
Hok Yan menerima dan mencium benda itu. Melihat ini. Sumirah juga mencium cincin pemben Han Hok Yan dan keduanya saling pandang dengan wajah berubah kemerahan. Cinta memang aneh, getarannya sedemikian kuatnya, terutama bagi mereka yang baru pertama kali mengalaminya. Melihat barang yang biasanya menjadi miliknya, dicium oleh orang yang dicintanya, jantung terasa berdebar kencang dan badan menjadi panas dingin, seakan terasa bahwa bukan benda itu melainkan dirinyalah yang dicium.
Pada saat dua pasang mata itu saling pandang, bertaut dengan sinar penuh kasih sayang dan kemesraan, Tiba-tiba pendengaran Hok Yan yang amat tajam terlatih, menangkap adanya gerakan orang di balik serumpun semak tak jauh dari situ. Sebagai seorang pendekar yang selalu berhati-hati dan waspada, apa lagi setelah dia bertugas sebagai penyelidik atau mata-mata, Tiba-tiba Hok Yan melakukan gerakan meloncat dan dia sudah berada di balik semak belukar itu.
Ternyata di situ berjongkok seorang pemuda yang bertubuh tinggi kurus dan bermata jalang. Pemuda itu terkejut bukan main ketika orang yang diintainya itu Tiba-tiba meloncat seperti terbang saja dan tahu tahu telah berada di sebelabnya. Diapun bangkit berdiri dengan mata terbelalak kaget, Pada saat dia bangkit berdiri. Sumirah melihat dan mengenalnya. Gadis itu lalu berlari menghampiri dan ia berseru lantang dengan suara marah.
"Kakang Kabiso. Apa yang kau lakukan di situ" Engkau mengintai kami, ya?"
Sumirah kini sudah tiba di sebelah Hok Yan dan ia memandang pemuda yang bernama Kabiso itu densan muka merah dan mata bersirtar marah. Kabiso adalah seorang pemuda Kalasan dan pernah pemuda ini menggodanya ian menyatakan cinta, akan tetapi ditolaknya karena selain ia tidak mencinta pemuda itu, juga ia tidak suka karena mendengar bahwa K.abiso pernah mencuri pisang dan jeruk di kebun tetangga satu dusun. Ayahnya, Ki Lurah Sardu sendiri pernah mengancam pemuda itu agar tidak mengulangi perbuatannya.
"Memang kuakui bahwa aku mengintai kalian, Sumirah. Sungguh tidak tahu malu engkau, berpacaran dengan seorang pemuda Cina, pemuda asing ini. Tidak patut engkau seorang, gadis terhormat......"
"Tutup mulutmu" Sumirah membentak dengan muka merah padam "Engkaulah yang tidak tahu malu. Ketahuilah, hei manusia tidak sopan, bahwa Lie Hok Yan ini adalah tunanganku, calon suamiku yang sah. Orang tuaku sudah menyetujui"
Mendengar ini, Kabiso terbelalak, lalu mengerutkan alisnya dan dia tertawa mengejek "Ha ha he h he, sungguh aneh dan menggelikan sekali. Apakah engkau perawan tidak laku maka mau diperisteri seorang pemuda Cina ?"
"Kabiso" Sumirah membentak, tiduk lagi menyebut kakang "Apa perdulimu dengan urusan pribadadiku " Engkau tidak berhak mencampuri, juga engkau tidak berhak menghina tunanganku. Pergi kau, keparat jahanam tak bermalu, atau aku akan memberitahukan ayah agar engkau dihajar"
"Hahaha, ayahmu sekarang bukan lurah lagi melainkan pelarian seperti aku. Memang. aku mencampuri. Aku tidak rela kau menjadi isteri Cina ini. Kalau kau berjodoh dengan seorang pemuda Jawa lainnya, biarpun engkau menolakku, aku tidak perduli dan aku rela. Akan tetapi menolak aku lalu. menikah dengan Cina ini" Aku tidak rela"
Sumirah menjadi semakin marah, "Laki-laki tak tahu malu. Engkau bukan apa-apa bagi keluargaku, kau tidak berhak mengurusi diriku. Kalau kau tidak rela, habis mau apa?"
"Aku mau bunuh Cina ini" Kabiso lalu mencabut sebatang golok dari pinggangnya dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu mengayun senjata itu ke arah kepala HoK Yan.
Tentu saja serangan ini tidak ada artinya bagi Hok Yan yang sejak tadi hanya mendengarkan saja tanpa mencampuri, akan tetapi diam-diam dia waspada, apa lagi ketika Kabiso mengatakan bahwa pemuda itu hendak membunuhnya. Sambaran golok itu dihindarkannya dengan miringkan tubuhnya lalu melangkah ke camping.
"Sobat, diantara kita tidak ada permusuhan, kenapa engkau menyerangku ?" tanyanya, terus melangkah mundur tiga langkah menjauhi pemuda yang sedang marah itu.
Kabiso mengamangkan goloknya kepada Hok Yan lalu berkata dengan nada suara marah, "Engkau manusia jahat. Karena gara-gara engkaulah maka dusun Kalasan dibasmi pasukan Kediri, dan seluruh penduduk terpaksa lari mengungsi meninggalkan dusun dan rumah. Engkau sudah membikin sengsara penduduk Kalasan dan masih begitu kurang ajar untuk memper-isteri Sumirah, puteri lurah kami"
Sebelum Hok Yan menjawab, Sumirah yang cepat menjawab "Kabiso, engkau yang tolol dan tidak tahu urusan. Diserbunya Kalasan oleh pasukan Kediri adalah karena Puteri Gayatri ternyata bersembunyi di dusun kita. Gadis yang bernama Pusparasmi itu, yang mondok di rumah mbok Randa, ternyata adalah Puteri Gayatri. Pasukan itu hendak mencarinya. Dan Hok Yan bahkan menyelamatkan aku, menyelamatkan penduduk dengan melawan dan mengusir para penyerbu itu"
"Tidak perduli. Dia yang melawan pasukan sehingga tentu pasukan Kediri mendendam kepada semua penduduk Kalasan. Dia harus mati di tanganku" Kabiso kembali menyerang, kini goloknya menyambar ke arah leher Hok Yan. Hok Yan menganggap bahwa Kabiso sudah keterlaluan. Kalau pemuda itu menyerangnya dan hendak membunuhnya karena salah paham mengira dia menjadi gara-gara dibasminya dusun Kalasan, hal itu masih dapat dimengerti. Akan tetapi, pemuda ini nekat menyerang dan mau membunuhnya bukan karena itu. Sumirah telah memberl penjelasan dan pemuda itu nekat menyerangnya. Dari sinar matanya saja dia tahu bahwa pemuda ini membencinya, bukan karena urusan penyerbuan pasukan Kediri, melainkan karena cemburu, karena iri hati. Maka, melihat golok itu menyambar ke arah lehernya, dia miringkan tubuh dan begitu golok lewat di depan mukanya, tangannya menyambar dan sebuah ketukan dengan tangan miring ke arah pergelangan tangan yang memegang golok, membuat Kabiso mengeluarkan teriakan kesakitan dan golok itupun terpental dan terlepas dari pegangannya.
"Sobat, aku tidak ingin berkelahi denganmu. Pergilah dan jangan ganggu kami lagi" kata Hok Yan, masih mencoba untuk menyabarkan penyerangnya itu. Dia tahu bahwa Kabiso adalah seorang pemuda biasa yang tidak pandai ilmu silat, maka tidak selayaknya kalau dia melayaninya, apa lagi balas menyerang.
Akan tetapi, Kabiso bahkan menjadi semakin marah. Memang tepat dugaan Hok Yan, Pemuda ini dimabok cemburu dan iri hati.. Sudah lama dia menaruh hati kepada Sumirah puteri lurah dusun Kalasan itu, dan pernah dia menggoda Sumirah dan menyatakan cintanya, akan tetapi gadis itu menolaknya. Dan kini, melihat Sumirah bermesraan dengan seorang pemuda Cina. apa lagi tadi mendengar bahwa mereka telah bertunangan dengan resmi rasa cemburu membuat dia membenci sekali. Biarpun dia sudah kehilangan goloknya, kemarahan membuat dia nekat dan sambil mengeluarkan suara gerengan marah, dia sudah menerjang dan menyerang dengan kedua tangannya.
Hok Yan kembali mengelak ke samping dan sekali kakinya bergerak menendang lutut lawan, Kabiso terpelanting jatuh.
"Kabiso, engkau akan mati kalau melawan Hok Yan. Dia seorang pendekar, bukan lawanmu. Pergilah dan jangan ganggu kami" Sumirah berteriak marah.
Kabiso maklum bahwa ucapan itu memang benar. Dia tidak akan mampu mengalahkan pemuda Cina itu yang demikian mudahnya membuat goloknya terlempar, dan membuat dia terpelanting keras. Setelah melempar pandang mata penuh kebencian kepada Hok Yan, dia lalu pergi dari situ setelah berlari. Sumirah menghampiri Hok Yan dan memegang tangannya dan memandang dengan kagum.
"Terima kasih, Hok Yan. Engkau telah memaafkan dia dan bersikap mengalah" katanya.
tadi melihat jelas betapa tunangannya itu sama sekali tidak kelihatan marah, bahkan ketika menghadapi serangan Kabiso, tunangannya ini hanya mengelak dan hanya merobohkan tanpa melukai Dia tahu akan kehebatan ilmu kepandaian Hok Yan, dan kalau tadi tunangannya menghendaki, tentu Kabiso sudah roboh tak mampu bangkit kembali.
Hok Yan menarik napas panjang. Aku kasihan kepadanya, Milah"
Sumirah mengerutkan alisnya"Kasihan kepadanya" Setelah dia menghinamu seperti tadi itu?"
Hok Yan menggeleng kepalanya "Dia menjadi korban kelemahannya sendiri, Milah. Dia diburu cemburu sehingga dia membenciku. Dia cinta padamu dan amat sakit rasa hatinya karena cintanya kau tolak dan melihat betapa engkau memilih aku"
"Sudahlah, Hok Yan. Tidak perlu kita membicarakan dia. Bagaimanapun juga, salahnya sendiri. Dia harus tahu diri dan tidak memaksakan cintanya kepadaku atau wanita manapun juga. Cinta tidak mungkin bertepuk tangan sebelah"
Hok Yan meremas tangannya dan sambil bergandeng tangan merekapun kembali ke rumah.
Sementara itu, di sebuah rumah lain di dusun itu, dusun yang telah sepi ditinggalkan semua penghuninya, empat orang sedang bercakap-cakap. Mereka adalah Wulansari, Gayatri, Ki Jembros dan Pertiwi. Baru sekarang, setelah hendak meninggalkan dusun, melanjutkan perjalanan masing-masing dan saling berpamit, sebelum saling berpisah mereka sempat bercakap-cakap dengan serius dan panjang lebar.
"Belum lama ini aku berjumpa dengan Raden Wijaya dan dengan Nurseta" kata Ki Jembros dan mendengar ucapan itu, baik Gayatri maupun Wulansari memandang dengan wajah berseri. Pertiwi sudah mendengar akan pertemuan gurunya itu dengan mereka, maka iapun bersikap tenang dan tersenyum melihat betapa kedua pipi Wulansari berubah kemerahan dan matanya bersinar-sinar ketika mendengar disebutnya nama Nurseta. Ia maklum betapa besar cinta kasih gadis perkasa itu Kepada Nurseta dan ia merasa bersukur. Ia sudah mendengar pengakuan Nurseta yang mencinta gadis ini, dan sekarang ia melihat sendiri bahwa gadis inipun membalas cinta pemuda yang dikaguminya itu. Ia ikut merasa berbahagia.
"Ah, bagaimana dengan kakangmas Wijaya, paman?" tanya Puteri Gayatri dengan gembira "Dan apakah paman pernah melihat pula ayunda Tribuwana?"
Ki Jembros mengangguk "Raden Wijaya dalam sehat, dan saya melihat pula Gusti Puteri Tribuwana bersama rombongan Raden Wijaya"
"Ah, puji syukur kepada Gusti Maha Kuasa" Puteri Gayatri berseru dengan hati terharu akan tetapi juga girang mendengar bahwa kakaknya berada dalam keadaan selamat, bahkan telah bertemu dengan tunangannya.
"Bagaimana pula dengan kakangmas Nurseta paman?" tanya Wulansari.
"Sebaiknya kuceritakan saja perjumpaanku dengan mereka itu" kata Ki Jembros "Ketika itu, Pertiwi kutinggalkan dalam goa karena ia sedang melakukan tapa dan samadhi untuk menghimpun tenaga sakti agar ia dapat mempelajari ilmu kedigdayaan dariku. Seorang diri aku turun dari bukit itu dan di dalam hutan, aku melihat rombongan Raden Wijaya dan para senopati yang masih setia kepadanya, sedang dikepung dan diserang oleh pasukan yang dipimpin oleh Ki Cucut Kalasekti......."
"Ahh, kakek iblis itu" Wulansari mengepal tinju mendengar disebutnya nama kakek itu yang pernah menjadi kakeknya, juga gurunya, akan tetapi yang ternyata adalah musuh besar ibunya itu.
"Aku segera membantu dan pada saat itu muncul pula Nurseta yang juga membantu. Untung ada Nurseta, kalau tidak, aku sendiri tidak akan mampu menandingi Ki Cucut Kalasekti. Kami berhasil menewaskan duapuluh orang anak buah Cucut Kalasekti, akan tetapi dia sendiri dapat meloloskan diri"
"Sayang......." kata pula Wulansari.
"Lalu ke mana sekarang kakangmas Wijaya, paman ?" tanya Gayatri.
"Menurut keterangan beliau, karena tidak ada tempat yang aman, beliau hendak mengungsi ke Sumenep, ke tempat tinggal Sang Bupati Wiraraja. Dan berita terakhir yang saya dengar kini Raden Wijaya telah berada di kota raja Kediri, menghambakan diri kepada Prabu Jayakatwang di Kediri"
"Ihhh........ Kenapa begitu?" Gayatri berseru dengan mata terbelalak penuh rasa penasaran "Bagaimana mungkin kakang mas Wijaya menghambakan diri kepada musuh" Sungguh keji dan memalukan......."
"Harap puteri bersabar" kata Ki Jembros "Saya merasa yakin bahwa hal itu dilakukan hanya sebagai siasat untuk menyusun kekuatan. Saya telah mendengar bahwa kini Raden Wijaya sedang membabat hutan, dan saya merasa yakin bahwa beliau sedang membangun kekuatan baru" "Benarkah itu, paman" Ah, mbakayu Wulan, mari kita menyusul ke sana, aku ingin mendengar sendiri dari mulut kakangmas Wijaya bahwa dia bukan seorang pengkhianat"
"Dia pergi mencarimu, Wulan"
"Ahhh....... ?"
"Ketika kami bercakap-cakap dengan Raden Wijaya, Nurseta bercerita bahwa ayah angkatnya, juga gurunya yang pertama, yaitu Ki Baka, telah tewas pula ketika mereka berdua itu ikut terjun dalam pertempuran pada saat pasukan Daha datang menyerbu Singosari. Ki Baka dan Nurseta ketika itu sedang bertamu ke rumah ayahmu, Wulansari"
"Ehhh......?"
"Mereka datang berkunjung ke rumah Ki Medang Dangdi, ayahmu untuk meminang dirimu. Pinangan itu diterima oleh ayahmu, dan pada saat mereka bertamu itulah Singosari diserbu pasukan Daha, Nurseta dan Ki Baka ikut mengamuk, dan dalam pertempuran itu muncul pula Ki Cucut Kalasekti dan Ki Baka terkena anak panah beracun dari iblis tua itu"
"Hemm, kembali kakek iblis itu........" Wulansari bergumam marah.
"Karena lukanya, Ki Baka tewas, demikian cerita Nurseta. Sebelum tewas. Ki Baka memesan kepada Nurseta agar mencari sampai dapat tombak pusaka Ki Tejanirmala, dan agar dia mempersembahkan tombak itu kepada "Raden Wijaya. Dengan tombak pusaka itulah kiranya Raden Wijaya akan berhasil membangun kembali Kerajaan Singosari yang runtuh Nah, ketika dalam pertemuan di hutan setelah menolong rombongan Raden Wijaya itu. Nurseta menerima tugas pula dari Raden Wijaya untuk mencari dan menemukan tombak pusaka Tejanirmala itu. Dan Nurseta lalu pergi untuk mencarimu, Wulan, karena menurut dia, tombak pusaka itu berada padamu dan agaknya. telah diberikan kepada Sang Prabu Jayakatwang. Karena tombak pusaka itu maka Kediri menang perang melawan Singosari. Benarkah itu Wulan" Benarkah cerita Nurseta bahwa tombak. pusaka itu berada padamu dan kau berikan kepada Sang Prabu Jayakatwang?"
Wulansari menundukkan mukanya yang nampak menyesal "Memang benar, paman. Seperti paman ketahui, aku telah ditipu oleh Ki Cucut Kalasekti yang menculikku dan aku diakuinya sebagai cucunya, bahkan dia mengajarkan ilmu-ilmunya kepadaku. Karena aku menganggap dia benar kakekku yang amat sayang kepadaku. maka ketika dia menyuruh aku mencari dan merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala, aku melakukannya. Aku berhasil merampas pusaka itu dan kuserahkan kepadanya. Dia menghaturkan pusaka itu kepada Sang Prabu Jayakatwang dan sejak itu, tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala menjadi milik Raja Kediri itu" Wulansari nampak menyesal sekali ketika melanjutkan, "Sungguh aku sama sekali tidak mengira bahwa pusaka itu yang akhirnya menyebabkan runtuhnya Singosari karena diserbut oleh Kediri........"
"Hemm, tidak benar demikian, Wulan. Kalau sebuah kerajaan besar seperti Singosari sampai runtuh, hal itu hanya dapat terjadi karena sudah dikehendaki oleh Sang Hyang Widhi Wasa. Dan runtuhnya Kerajaan Singosari merupakan peristiwa besar, tentu tidak dapat terjadi begitu saja tanpa banyak hal yang menyebabkannya. Diantara sebab-sebab itu mungkin karena Raja Kediri mendapatkan Ki Ageng Tejanirmala, juga karena kekeliruan mendiang Sang Prabu Kertanegara yang membiarkan negeri dalam keadaan kosong dan lemah dengan mengirim pasukan terbesar ke Pamalayu, Bali dan lain-lain. Jadi, sekarang tombak pusaka itu berada di tangan Sang Prabu Jayakatwang" Kalau begitu, akan sukar sekali tugas yang dipikul Nurseta. Tidak mudah merampas sebuah pusaka yang telah berada di tangan Sang Prabu Jayakatwang"
Wulansari mengangkat mukanya "Jangan khawatir, paman. Aku yang akan membantu kakangmas Nurseta, dan aku yang sanggup untuk mendapatkan pusaka itu dan menyerahkannya kembali kepada kakangmas Nurseta"
Ki Jembros memandang kepada gadis itu dengan wajah berseri "Aku percaya padamu, Wulan. Dan kalau engkau berhasil menyerahkan pusaka itu sehingga kelak dapat menjadi pusaka Raden Wijaya, sungguh aku merasa semakin berbahagia bahwa belasan tahun yang lalu aku telah menyelamatkan engkau dari gulungan ombak laut kidul"
Demikianlah, mereka semua saling berpisah dalam suasana yang akrab dan penuh haru. Wulansari yang sudah menyamar lagi sebagai pria pergi bersama Dyah Gayatri yang berpakaian sebagai seorang gadis dusun biasa. Mereka akan pergi ke hutan di mana kabarnya Raden Wijaya sedang mendirikan sebuah tempat pemukiman baru,
Lie Hok Yan pergi seorang diri ke utara untuk kembali ke pangkalan pasukan Mongol dan menjumpai seorang diantara panglimanya, yaitu Panglima Kau Seng yang menjadi suhengnya (kakak seperguruannya), melaporkan basil penyelidikannya kemudian minta ijin untuk keluar dari pasukan dan kembali mencari tunangannya ke dusun Klintren sebelah selatan Singosari.
Ki Lurah Sardu, isterinya dan Sumirah lari mengungsi ke dukuh Klintren di mana dia memiliki seorang adik keponakan, di mana keluarga ini akan membuka hidup baru dan bersembunyi dari jangkauan tangan pasukan Daha yang tentu akan membalas dendam karena kegagalan mereka membasmi dusun Kalasan di mana banyak anggauta pasukan mereka tewas.
Ki Jembros jaga melanjutkan perjalanannya dengan Pertiwi, gadis yang telah menjadi muridnya dan yang seperti juga Wulansari, selalu berpakaian seperti seorang pemuda untuk menghindarkan gangguan dalam perjalanan. Sebctulnya, Pertiwi yang merasa sudah cukup menerima gemblengan Ki Jembros, ingin pergi mencari sendiri musuh besarnya, yaitu Gagak Wulung. Akan tetapi, Ki Jembros melarangnya pergi mencari sendiri.
"Gagak Wulung bukanlah seorang lawan yang lemah" demikian kakek itu berkata "Biarpun engkau sudah mempelajari berbagai ilmu, aku masih belum rela membiarkan engkau menghadapinya sendiri. Akulah lawan bedebah itu"
Dan Ki Jembros selalu menemani muridnya. Mereka mulai bertanya tanya dan melakukan penyelidikan di mana kiranya musuh besar itu berada. Setelah berputar-putar tanpa hasil, akhirnya mereka memutuskan untuk menyelundup ke wilayah Kerajaan Daha, karena Ki Jembros tahu bahwa Gagak Wulung adalah seorang tokoh Daha, walaupun namanya tidak pernah terkenal sebagai seorang senopati. Orang macam dia tentu tidak akan menyia-nyiakan kesempatan dan dalam kemenangan yang dicapai oleh Daha, tentu dia ingin memetik pula buahnya.
Biarpun Raden Wijaya berikut semua senopati yang setia kepadanya kini tinggal di Kerajaan Daha, dan nampaknya saja Raden Wijaya dan para pengikutnya menghambakan diri kepada Sang Prabu Jayakatwang, namun sesungguhnya semua itu hanya merupakan siasatnya yang telah diatur bersama Bupati Wiraraja di Sumenep. Bupati Wiraraja yang ahli siasat itu tahu bahwa Sang Prabu Jayakatwang hanya membenci mendiang Sang Prabu Kertanagara, akan tetapi tidak membenci Raden Wijaya,
Raden Wijaya tidak menyianyiakan waktunya. Dia menyebar para pembantunya untuk mencari dan memilih tempat yang baik yang akan dijadikan pangkalan mereka. Tak lama kemudian, para pembantu yang setia itu mengusulkan daerah Tarik sebagai tempat yang dicari oleh Raden Wijaya itu. Daerah Tarik terletak di tepi Sungai Brantas, karena itu mempunyai tanah yang loh jinawi ( subur). Apa lagi letaknya amat baik, dekat pelabuhan Canggu. Banyak sekali perahu hilir mudik di pelabuhan Canggu ini untuk berdagang. Tanahnya subur, dekat sungai sehingga perjalanan dapat dilakukan lancar, mudah berhubungan dengan daerah lain, bahkan dapat berhubungan dengan Madura melalui sungai. Tempat yang diidamkan oleh Raden Wijaya.
Maka menghadaplah Raden Wijaya kepada Sang Prabu Jayakatwang. Kesukaan Sang Prabu Jayakatwang adalah berburu binatang di hutan. Maka dengan wajah yang bersungguh-sungguh, Raden Wijaya mengusulkan kepada Sribaginda raja agar memperkenankan dia untuk membuat daerah Tarik sebagai daerah hutan perburuan bagi sang raja. Raden Wijaya sendiri setiap kali Sribaginda melakukan perburuan, tentu diajaknya. Mendengar usul yang mengenai kesukaannya itu. Sang Prabu Jayakatwang segera menerima dan menyetujui usul itu.
"Bagus sekali usulmu itu, Wijaya. Cepat laksanakan, dan jangan lupa untuk melepas beberapa pasang harimau, rusa dan banteng ke dalam hutan itu agar mereka itu berkembang biak dan menambab banyak jumlah binatang buruan di hutan itu"
Setelah menerima ijin dari Sang Prabu Jayakatwang, Raden Wijaya lalu membawa para pembantunya menuju ke daerah Tarik, dan diapun mengirim utusan ke Sumenep untuk memberitahukan hal itu kepada Bupati Sumenep, yaitu Arya Wiraraja atau yang juga dikenal dengan sebutan Banyak Wide.
Bupati Wiraraja girang sekali mendenga akan hal itu dan diapun cepat mengirim orang orang Madura, banyak sekali jumlahnya, untuk membantu Raden Wijaya membuka hutan itu. Setelah menentukan tempatnya dan memilih-milih, membuat gambar, Raden Wijaya lalu menyerahkan pelaksanaan pembukaan hutan itu kepada para senopatinya yang setia. Dia sendiri segera kembali ke Kediri untuk melaporkan kepada Sang Prabu Jayakatwang bahwa pekerjaan itu sudah mulai dilaksanakan. Dia kembali ke Kediri agar sang prabu tidak menaruh curiga. Namun diam-diam selalu ada utusannya yang mengadakan hubungan dengan para senopati yang mengepalai pekerjaan membabat hutan itu.
Karena banyaknya tenaga pekerja dari Madura yang dikirim oleh Bupati Sumenep, maka, pekerjaan membongkar dan membabat hutan itu berjalan lancar sekali. Tak lama kemudian, dari utusan rahasia Raden Wijaya mendengar kabar bahwa daerah itu telah selesai dibabat dan bahwa para senopatinya mengharapkan Raden Wijaya untuk datang sendiri menyaksikan hasil pekerjaan mereka.
Raden Wijaya memang sudah bersiap-siap. Dia lalu minta ijin kepada Raja Jayakatwang untuk memimpin sendiri pekerjaan di daerah Tarik itu.
"Hamba akan membangun sebuah bangunan pesanggrahan untuk paduka, agar perburuan di sana dapat dilakukan siang malam tanpa gangguan dan paduka mempunyai tempat yang baik dan enak untuk melewatkan malam"
Demikian antara lain Raden Wijaya menjanjikan. Sang Prabu Jayakatwang girang sekali dan berangkatlah Raden Wijaya bersama seluruh pengikut dan pembantunya.
Dengan jantung berdebar penuh harapan, Raden Wijaya dan rombongannya melakukan perjalanan yang memakan waktu tidak kurang dari satu minggu itu.
Ternyata para senopati telah mempersiapkan pesanggrahan untuk junjungan mereka. Sebuah bangunan yang amat sederhana, terbuat dari bambu, dan pagarnya dibuat dari bambu pula. Di sekeliling pesanggrahan itu terdapat kolam, Letaknya pesanggrahan itu di tengah-tengah daerah yang dibabat hutannya, yang direncanakan akan dijadikan sebuah kota. Kota ini menghadap ke sungai besar, yaitu Sungai Brantas yang mengalir dari sebelah barat, dan sungai besar ini bertemu dengan sebuah sungai kecil yang mengalir dari sebelah selatan, yaitu Kali Kencana (Kalimas).
Begitu tiba di situ, Raden Wijaya dengan penuh semangat lalu mengadakan pemeriksaan dan berjalan mengelilingi daerah yang sudah dibabat. Dia melihat banyak pohon yang mengandung banyak buah. Dia ingin sekati melihat dan merasakan buah dari pohon itu.
"Buah pohon itu tidak enak rasanya, Raden" kata Senopati Pamandana.
"Ambilkan aku sebuah, aku ingin melihat dan merasakannya sendiri" jawab Raden Wijaya,
Segera beberapa butir buah itu diberikan kepadanya dan diapun mencicipinya. Benar saja, pahit sekali rasanya "Ihh, buah apakah ini?"
"Namanya pohon itu pohon Wilwa atau pohon Maja, Raden" para pekerja itu menerangkan.
"Wilwa tikta (Maja pahit)" kata Radent Wijaya, kemudian dia termenung seperti mengingat akan sesuatu "Majapahit...... hemm, itulah nama yang kuberikan kepada tempat ini. Para paman dan kakang senopati sekalian, harap menjadi saksi. Mulai sekarang, tempat ini kuberi nama Majapahit"
(Bersambung jilid ke 18)
Hal yang menggelitik hatiku :
1. Ki Jembros suka makan atau gembul, tetapi badannya kurus, perutnya gendut, hanya tulangnya saja yang besar. Cacingan dong".
2. Hok Yan menyebut nama Sumirah dengan Sumilah, tetapi sebelumnya dia bisa menyebut nama Gayatri, Wulansari, Singosari, Kediri dan Kertanegara.
3. Pihak Milah melamar Hok Yan".. gampang banget ya" baru satu hari ketemu" orang asing lagi". Mata-mata lagi" Kayak James Bond dong"
4. Yang melihat Milah telanjang bulat, bukan Hok Yan satu-satunya, ada satu orang lagi, yaitu : Tonggeng Cemeng si pemerkosa. hehehe
JILID 18
SETELAH mendengar bahwa Raden Wijaya telah berada di daerah baru yang diberi nama Majapahit, maka berdatanganlag orang-orang dari Daha, Tumapel dan Madura untuk ikut membuka hutan dan tinggal di da?erah itu. Orang-orang dari Madura berkelompok dan memilih bagian sebelah utara dari tempat ini, dan dinamakan dukuh Wirasaba. Dalam waktu sebentar saja, daerah baru yang diberi nama Majapahit itu menjadi ramai dan banyak sekali penduduknya.
Raden Wijaya bersikap baik sekali kepada mereka yang berbondong datang ke daerah baru itu untuk menjadi penghuni di situ. Dia bersikap ramah dan penuh kekeluargaan, bahkan. membantu mereka yang kekurangan untuk dapat membangun rumah sederhana dan dia membagi-bagikan tanah garapan sehingga kehidupan para penduduk baru itu cukup terjamin. Sikap yang baik ini tentu saja segera tersiar luas dan semakin banyaklah orang-orang terusir dari daerah Singosari berdatangan dan kemudian menetap di situ, bersumpah setia kepada Raden Wijaya. yang mereka anggap sebagai junjungan baru.
Biarpun bangunan yang menjadi tempat tinggalnya hanya merupakan pesanggrahan amat sederhana, namun melihat bahwa dia telah memiliki potensi sebagai tempat pergerakan dan penyusun kekuatan. Raden Wijaya lalu mengutus dua orang pembantunya yang setia, yaitu Banyak Kapuk dan Mahesa Wagal, pergi ke Madura dan menphadap Bupati Wiraraja di Sumenep. Dua orang utusan itu berankat.
Dan giranglah hati Bupati Wiraraja mendengar bahwa Raden Wijaya telah mendapatkan suatu daerah baru yang amat baik sebagai tempat penghimpunan tenaga dan persiapan perang untuk menyerang Kerajaan Kediri.
Diapun merasa setuju dengan permintaan Raden Wijaya agar Dyah Tribuwana yang ketika dia pergi ke Kediri dititipkan di Sumenep, agar ikut pula ke Majapahit bersama para utusannya. Diapun menitip pesan kepada para utusan itu bahwa untuk sementara ini, agar jangan sampai menyolok, dia tidak akan berkunjung dulu ke Majapahit. Akan tetapi, pasukannya dipersiapkan untuk membantu Raden Wijaya dan dia berpesan agar Raden Wijaya segera mempersiapkan diri, menghimpun te?naga pasukan. Dia sendiri akan mengirim utusan resmi kepada pimpinan pasukan Cina yang berada di sekitar pantai utara.
Kedatangan kembali kedua utusan bersama Dyah Tribuwana disambut gembira oleh Raden Wijaya. Pertemuan antara dua kekasih itu tentu saja amat membahagiakan hati dan biarpun tadinya Dyah Tribuwana sejak kecil dimanja dan dilimpahi kemuliaan, berenang dalam kemewahan di dalam istana yang indah, dan kini dia melihat betapa tempat tinggal calon suaminya hanyalah sebuah pesanggrahan dari bambu yang amat sederhana bahkan miskin, namun ia berbahagia sekali. Hidup disamping orang yang dicinta selalu mendatangkan perasaan bahagia.
Setelah menerima berita dari Bupati Wira?raja di Sumenep, makin berkobarlah semangat Raden Wijaya. Dia lalu mengumpulkan para senopatinya yang setia. Raden Wijaya mengajak para pembantunya yang setia itu untuk berbincang-bincang tentang persiapan untuk me?nyerang Kediri. Mengajak mereka menyusun dan merencanakan siasat kalau saatnya sudah tiba, dan bagaimana mereka harus bertindak untuk mengumpulkan perajurit, membentuk pa?sukan yang kuat, menerima sisa-sisa pasukan Singosari yang melarikan diri cerai berai ketika kalah perang oleh pasukan Kediri, bagaimana untuk mengumpulkan senjata, kereta dan sebagainya. Segala sesuatu mereka perbincangkan dan rencana diatur sebaiknya, bahkan sudah di rencanakan tempat-tempat yang akan mereka jadikan markas dalam gerakan mereka kalau tiba saatnya menyerbu Kediri.
"Hanya ada satu hal yang sukar untuk didapatkan" kata Raden Wijaya. "Yaitu kuda tunggangan yang baik bagi para senopati. Hal ini amatlah penting karena para senopati yang selalu harus memimpin pasukan, harus memiliki kuda tunggangan yang tangkas, kuat dan cepat. Akan tetapi, kuda yang kita miliki hanyalah kuda biasa yang kurang tepat untuk menjadi tunggangan para senopati"
"Harap paduka jangan khawatir, Raden" kata Ronggo Lawe dengan sikap gagah perkasa. "Perkenankan hamba pergi ke Madura. Disana terdapat banyak kuda yang berasal dari Bima, kuda pilihan yang baik, tinggi besar dan tangkas, bahkan sudah dilatih perang-perangan sehingga kuda-kuda itu tidak akan ketakutan apabila dibawa berperang"
Raden Wijaya memandang dengan wajah berseri. "Ah, bagus sekali, Ronggo Lawe. Kalau begitu, biar kutitipkan surat untuk Paman Bupati Wiraraja, agar dia mau membantu dengan menyerahkan kuda-kuda pilihan dari Madura"
Ronggo Lawe segera berangkat ke Madura? untuk memenuhi tugas penting itu, dan para senopati lainnya juga bubaran untuk melaksanakan tugas mereka masing-masing yang sudah mereka terima dari Raden Wijaya. Ada yang menyebar para perwira untuk mengumpulkan calon-calon perajurit dan mengumpulkan para pemuda yang kini tinggal di Majapahit untuk menjadi perajurit. Ada yang melatih mereka yang menjadi perajurit baru. Ada yang me?mimpin mereka yang ditugaskan membuat sen?jata, dan lain-Iain. Kesibukan terjadi di Maja?pahit, daerah baru yang kelak akan menjadi pusat sebuah negara yang jaya dan besar kekuasaannya itu. Mereka bekerja keras karena mereka harus cepat-cepat bersiaga karena selain khawatir kalau sampai persiapan mereka ketahuan oleh Sang Prabu Jayakatwang, juga kalau pasukan Cina dari utara sudah bergerak, mereka harus bergerak pula dengan cepat membantu pasukan dari Cina itu. Kekhawatiran mereka memang beralasan karena pada suatu hari, tiba-tiba muncullah senopati Segara Winotan, senopati yang galak dan garang dari Kediri. Karena senopati ini memang congkak dan tinggi hati, apa lagi ketika itu dia tiba di daerah baru Majapahit sebagai utusan Sang Prabu Jayakatwang. maka sikapnyapun angkuh bukan main.
Sikapnya itu masih angkuh ketika dia dibawa menghadap Raden Wijaya sehingga para senopati pembantu Raden Wijaya mengerutkan alis dengan hati tak senang. Akan tetapi Raden Wijaya menyambutnya dengan ramah. Sikap senopati itu dianggapnya wajar saja. Bukankah pada saat itu dia masih termasuk orang yang menghambakan diri kepada Kerajaan Kediri dan menjadi petugas Sang Prabu Jayakatwang untuk membuka hutan baru untuk berburu" Dan yang datang adaiah seorang senopati yang dipercaya, bahkan kini menjadi utusan.
"Selamat datang, kakang Senopati Segara Winotan" kata Raden Wijaya dengan sikap yang cukup hormat. "Angin apakah gerangan yang meniup kakang senopati berkunjung ke tengah hutan ini?"
Segara Winotan tersenyum menyeringai se?nang melihat sikap pangeran itu demikian penuh hormat. Dia membusungkan dadanya dan menjawab dengan sikap dan lagak jagoan.
"Bukan angin sembarang angin, Raden Wijaya, melainkan angin yang bertiup dari istana. Saya datang sebagai utusan resmi dari Sang Prabu Jayakatwang, junjungan kita" Dia sengaja menyebut "junjungan kita" seperti hendak mengingatkan Raden Wijaya bahwa pangeran itupun kini menjadi "kawula" Kediri.
"Ah, kiranya kakang senopati diutus oleh Paman Prabu Jayakatwang. Silakan duduk
kakang senopati. Berita apakah yang kakang bawa dari kotaraja" Perintah apakah yang diberikan oleh Paman Prabu untukku?"
"Berita dari kota raja baik-baik saja, Raden Pemerintah Gusti Prabu semakin kuat dan jaya tetelah Singosari ditaklukkan. Dan Gusti Prabu mengutus saya untuk menemui Raden, dengan perintah agar Raden cepat kembali ke kota raja karena beliau sudah ingin sekali mengajak Raden untuk berburu di hutan buruan yang baru ini"
Raden Wijaya memperlihatkan muka kaget, bukan dibuat-buat karena memang dia sungguh terkejut mendengar keinginan hati Sang Prabu Jayakatwang itu. "Bagaimana mungkin, kakang senopati" Persiapannya belum selesai seluruhnya. Penambahan binatang buruan baru terlaksana sebagian, yang ada baru kijang, harimau dan bantengnya belum dapat. Pula, perlengkapan perburuan juga belum didapatkan semua. Aku sedang menyuruh pembantuku untuk mencarikan kuda-kuda yang baik untuk berburu Paman Prabu, juga anjing-anjing pemburu yang galak dan cekatan. Dan kalau aku kem?bali ke Kediri, tentu pekerjaan di sini akan terbengkalai dan tidak segera selesai"
Pada saat itu terdengar bunyi derap kaki banyak kuda dan seorang pekerja melapor kepada Raden Wijaya, "Ki Ronggo Lawe telah datang membawa banyak kuda yang besar, Raden "
Raden Wijaya lalu berkata kepada Segara Winotan, "Nah, itulah kakang senopati. Utusanku untuk mencari kuda sudah pulang dan mem?bawa banyak kuda yang baik untuk berburu"
"Boleh saya melihatnya, Raden?" tanya Segara Winotan yang sebetulnya ingin melihat dan menyelidiki sendiri pekerjaan yang dilakukan Raden Wijaya agar kalau ada sesuatu yang tidak beres, dia dapat melaporkan kepa?da Sang Prabu Jayakatwang.
Ketika mereka berdua keluar, mereka melihat Ronggo Lawe dan beberapa orang Madura menggiring dua puluh empat ekor kuda yang besar dan tangkas. Bagi Segara Winotan. cara orang-orang Madura menggiring sekelompok kuda itu kasar sekali, baik teriakan mereka maupun tingkah laku mereka. Ketika ada se?orang Madura lewat dekat di depannya sambit membunyikan cambuk yang meledak seperti di dekat telinganya, dan mendengar teriakan parau panjang, debu mengebul dan mengenai pakaiannya, senopati yang congkak itu men?jadi tak senang hatinya.
"Hemm, Raden Wijaya. Kenapa kau memperbolehkan orang-orang Madura yang tak tahu aturan dan kasar ini bekerja untuk Raden" Petani-petani Madura ini sungguh menjemukan"
Ucapan itu dikeluarkan dengan suara lantang sehingga terdengar oleh Ronggo Lawe dan orang-orang Madura yang meng?giring kuda itu.
Ronggo Lawe adalah seorang pemuda yang pendiam akan tetapi berhati baja dan wataknya amat keras. Melihat sikap congkak dari senopati Daha itu. hati Ronggo Lawe sudah merasa tidak senang, apa lagi ketika men?dengar ucapan yang nadanya menghina orang-orang Madura. Dia menghampiri tamu itu dan dengan mata mendelik diapun berkata.
"Hemm, kurasa para petani Madura lebih baik dari pada orang-orang Daha. Kalau perlu, boleh dicoba kemampuan orang Madura" Berkata demikian, Ronggo Lawe sudah mengikatkan ujung kainnya ke pinggang, siap untuk bertanding.
Melihat sikap ini dan mende?ngar ucapan Ronggo Lawe, terkejutlah hati Raden Wijaya. Kalau dibiarkan, sungguh berbabaya sekali, tentu akan terjadi perkelahiam dan semua rahasianya akan dapat terbuka sebelum waktunya. Dia segera melerai dan me?ngedipkan mata kepada Lembu Sora. Senopati yang lebih tua dan banyak pengalaman ini maklum, lalu dia menggandeng tangan Ronggo Lawe diajak pergi dari situ untuk cepat-cepat mengatur kuda-kuda yang baru tiba. Dengan muka merah Ronggo Lawe menurut saja dibawa pergi oleh Lembu Sora.
Andaikata tidak di depan Raden Wijaya, tentu dia akan menolak dan berkeras untuk menantang Segaia Winotan.
Semeniara itu, Segara Winotan bengong melihat lagak Ronggo Lawe. Dia tidak mengenal Ronggo Lawe yang ketika bertemu orang-orang Daha sengaja tidak menonjolkan diri seperti para senopati lain, karena maklum bahwa junjungan mereka, Raden Wijaya, sedang mengalah dan diam-diam memupuk kekuatan.
"Raden, siapakah orang kasar itu?"
Raden Wijaya tersenyum "Maafkan dia, kakang. Dia itu keponakan Lembn Sora dan sebagai seorang yang berasal dari Tunjung di bagian barat Madura. Dia adalah seorang dusun yang masih bodoh dan tidak tahu banyak tentang peraturan, masih lugu dan kasar sekali, akan tetapi dia amat jujur dan tidak mempunyai niat buruk di hatinya. Oleh karena itu, harap kakang senopati suka memaafkan dia dan memandang kepadaku. Harap kakang Segara Winotan suka melaporkan kepada Paman Prabu bahwa persiapan yang kulakukan disini sudah hampir selesai. Kuda sudah siap, tinggal menanti kelompok anjing pemburu dan juga jaring-jaring yang kuat untuk menangkap harimau dan binatang lain yang liar dan buas"
"Hemm, sampai kapan kiranya persiapan ni selesai dan kapan kiranya Raden dapat menghadap Gusti Prabu?"
"Bulan depan, dari awal sampai pertengahm bulan, kurasa sudah selesai semua dan aku akan cepat-cepat pergi menghadap Paman Prabu"
Segara Winotan lalu dijamu makan oleh Raden Wijaya dan utusan ini melihat keramahan Raden Wijaya, percaya akan semua keterangan yang diberikan pangeran itu. Diapun kembali ke Daha untuk memberi laporan seperti yang dikehendaki Raden Wijaya. Seperginya utusan itu, Raden Wijaya mengumpulkan semua pembantunya dan mereka bersepakat untuk mempercepat persiapan perang.
Nurseta menyelundup ke ibu kota Kedir, sepanjang perjalanannya, dia dengan hati sedih melihat bencana yang telah melanda rakyat sebagai akibat perang yang dilakukan Ke?diri terhadap Singosari. Bukan hanya Kerajaan Singosari yang hancur, bukan hanya keluarga Raja Kertanagara yang ditimpa malapetaka karena kalah perang. Akan tetapi, yang lebih menyedihkan lagi adalah melihat akibat pe?rang yang diderita oleh rakyat jelata. Perang mendatangkan kekacauan yang mengerikan. Hukum tidak berlaku lagi di pedusunan kare-na perang. Apa lagi setelah mendengar bah?wa Kerajaan Singosari kalah oleh Kerajaan Ke-diri. Semua pamong praja, semua pejabat pemerintah yang berkuasa di daerah dan pedu-sunan, kehilangan wibawa dan keadaan itu dipergunakan oleh gerombolan dan orang-orang jahat untuk merajalela. Pasukan keamanan ti?dak bergerak lagi karena takut kepada pasukan musuh.
Terjadilah kejahatan-kejahatan, peram?pokan, balas dendam tanpa ada yang mengadili. Terjadilah hukum rimba di mana-mana siapa kuat dia menang dan siapa menang dia benar. Para penjahat yang tadinya takut ka?rena adanya kekuasaan kerajaaan yang melindungi keamanan rakyat di dusun-dusun, kini menjadi raja-raja kecii. tidak ada yang ditakutinya lagi. Semua ini menambah penderitaan mereka yang dusunnya dilanda atau dilewati pasukan yang sedang berperang. Dalam keadaan perang semua orang seolah-olah menjadi, kejam dan tidak mengenal prikemanusiaan la?gi. Setan-setan merajalela menguasai hati manusia dan segala macam tindakan yang keji dan kejampun terjadilah. Dan rakyat tidak berdaya, menderita tanpa ada yang melindungi, tanpa ada yang membela karena semua orang menyelamatkan diri dan keluarganya masing-masing. Setiap hari terjadi perampokan, pembunuhan, perkosaan dan dunia bagaikan kiamat bagi mereka yang lemah. Setan berpesta pora melalui orang-orang yang diperhambanya, orang-orang yang mengandalkan kekuatan, mengandalkan pengeroyokan, merayakan pesta-pesta biadab yang tiada prikemanusiaan sama sekali.
Sebagai seorang yang berjiwa satria, Nurseta tidak tahan untuk berdiam diri. Di dalam perjalanannya itu, setiap kali bertemu dengan kejahatan, penindasan, perampokan, perkosaan atau pembunuhan, selalu dia turun tangan menentang yang jahat dan membela yang lemah tertindas. Tidak percuma dia, menjadi anak angkat mendiang Ki Baka dan menjadi murid tersayang mendiang Panembaban Sidik Danasura. Ilmu-ilmunya, aji kedigdayaannya, dapat dipergunakan untuk menentang kejahatan.
*** Nurseta berjalan menuju ke ibu kota Ke?diri sambil melamun. Terbayanglah wajah Wulansari di lubuk hatinya, Wajah yang be?lum pernah dia lupakan, siang menjadi kenangan malam menjadi impian, Akan tetapi sekarang, wajah itu lebih jelas dari pada biasanya. Dia sedang menuju ke ibu kota Kediri, di mana Wulansari berada. Keterangan yang diperolehnya adalah bahwa Wulansari menjadi seorang pengawal pribadi Sang Prabu Jayakatang dan hal ini sungguh merisaukan hatinya, Alangkah akan sukarnya bertemu dengan Wu?lansari. Dan andaikata dia dapat bertemu dengannya, bagaimana mungkin dia dapat membujuknya agar Wulansari mau meninggalkan Kerajaan Kediri, mau meninggalkan pekerjaannya menghambakan diri kepada Sang Prabu Jayakatwang" Dan bagaimana pula akalnya agar dia dapat merampas kembali tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala yang kabarnya sudah terjatuh ke tangan Sang Prabu Jayakatwang itu "
Bagaimana nanti sajalah, pikirnya. Yang penting, dia harus dapat bertemu dan berbicara dengan Wulansari. Dia akan memberitahu kepada gadis itu bahwa dia telah meminang Wulansari kepada ayah dan ibu kandung gadis itu dan bahwa pinangan itu telah diterima. Tiba-tiba, ketika dia melihat dua orang pria menunggang kuda mendahuluinya, diapun menyelinap kaget karena dia mengenal seorang di antara mereka. Gagak Wulung. Tidak salah lagi. Pria yang berusia kurang lebih enampuluh empat tahun itu masih nampak gagah duduk di atas punggung kuda dengan tegak, perutnya tidak gendut seperti pria-pria seusia itu, bahkan wajahnya masih tampan dan gagah. Rambutnya yang sudah berwarna dua itu bahkan menambah daya tarik kejantanannya.
Pakaiannya masih tetap mewah dan pesolek. Tak salah lagi, pikir Nurseta, pria itu adalah Gagak Wulung dan tentu saja kini wajah Pertiwi terbayang di depan matanya. Gagak Wulung. Pria jahanam yang telah menodai Pertiwi, memaksa gadis itu menyerahkan diri de?ngan kekuatan sihirnya. Kasihan Pertiwi. Gagak Wulung harus menerima hukumannya atas perbuatannya yang biadab itu. Dia tidak mengenal pria ke dua yang juga menunggang kuda di samping Gagak Wulung itu. Seorang pria berusia kurang lebih empat puluh tahun, berpakaian seperti seorang resi, seorang pendeta.
Begitu mengenal Gagak Wulung, Nurseta cepat membayanginya dari jauh. Untung kedua orang itu membiarkan kuda mereka berjalan congklang, tidak terlalu cepat sehingga Nurseta tidak harus berlari yang tentu akan mendatangkan keheranan dan kecurigaan orang lain. Akan tetapi, dua orang penunggang kuda itu, di suatu perempatan jalan, membelok ke kiri, menuju ke sebuah bukit kecil yang pe?nuh dengan pohon-pohon, bukan terus menuju ke Kediri. Nurseta tetap membayangi dari ja?uh. Karena mereka menunggang kuda, maka tidak sukar baginya membayangi dari jauh tanpa mereka lihat.
Apa yang diduga Nurseta memang benar. Pria penunggang kuda yang tampan dan gagah biarpun usianya sudah tua itu memang benar Gagak Wulung. Dan pria lebih muda yang ber?pakaian pendeta itu bukan lain adalah murid Ki Buyut Pranamaya yang tadinya bernama Jaka Pati, akan tetapi kini telah menjadi se?orang pendeta yang menghambakan diri ke?pada Sang Prabu Jayakatwang dan memiliki julukan Resi Mahapati. Seperti kita ketahui, Ki Buyut Pranamaya, guru Resi Mahapati ini, adalah seorang datuk sesat yang berilmu ting?gi. Muridnya yang amat disayang inilah yang telah mewarisi Ilmu-ilmu dan aji-aji kesaktian kakek tua renta itu. Karena Resi Maha?pati kini telah mendapatkan kedudukan tinggi sebagai seorang pendeta kerajaan di Daha, maka dia mengajak gurunya itu agar ikut meikmati kemuliaan di Kediri. Apa lagi mengingat bahwa kini Kediri telah berbasil mengalahkan dan menguasai Singosari. Dan kebetulan sekali dua orang tokoh sesat yang terkenal, yaitu Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri, datang berkunjung sebagai tamu. Maka penawaran Resi Mahapati itu amat menarik hati dua orang tokoh sesat itu. Gagak Wulung sendiri biarpun belum pernah menjadi senopati Kerajaan Daha, namun dia adalah kawula Ke?diri dan dia pernah membantu para senopati Daha sebagai seorang mata-mata yang tangguh.
Karena Gagak Wulung bukan seorang ponggawa Kerajaan Daha, melainkan seorang petualang, maka ketika terjadi pemberontakan Mahesa Rangkah, murid tangguh yang tertua dari Ki Buyut Pranamaya, diapun membantu pemberontak itu. Namun pemberontakan itu gagal dan Mahesa Rangkah yang ketika itu memberontak terhadap Kerajaan Singosari, kurang lebih duabelas tahun yang lalu, tewas. Semenjak itu, Gagak Wulung menganggap Ki Buyut Pranamaya sebagai atasannya dan seringkali dia membantu kakek sakti mandraguna yang jahat seperti iblis itu. Maka, tidak mengherankan kalau sekarang dia mengajak Ni Dedeh Sawitri yang menjadi rekannya, sahabat dan juga kekasihnya menghadap kakek itu. Kemudian, mendengar bahwa Jaka Pati murid Ki Buyut Pranamaya kini telah menjadi se?orang pendeta istana Daha yang dipercaya dan berkedudukan tinggi, dan yang datang meng?ajak Ki Buyut Pranamaya untuk mengabdikan diri kepada Sang Prabu Jayakatwang, Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri juga ikut untuk membonceng kemuliaan.
Akan tetapi, Ki Buyut Pranamaya adalah seorang yang tinggi hati. Dia merasa bahwa dirinya bukan "orang biasa" melainkan seorang tua yang sakti mandraguna dan tidak sepatutnya kalau dia merangkak-rangkak di depan Sang Prabu Jayakatwang untuk mohon diberi kedudukan.
"Tidak, aku belum tahu bagaimana Sang Prabu Jayakatwang akan menerima diriku. Sebelum ada kepastian, aku tidak akan mau menghadapnya. Karena itu, muridku Mahapati, kalian pergilah dulu menghadap Sang Prabu Jayakatwang dan minta keputusannya, apakah akan suka menerima bantuan seorang tua se?perti aku ataukah tidak. Aku harus disambut sebagai seorang calon pembantu yang dibutuhkan dan terbormat, bukan sebagai seorang yang datang minta-minta anugerah dan pekerjaan"
Demikianlah kata kakek itu yang menanti di sebuah gubuk darurat di dalam sebuah hutan di Bukit Srindil, tidak jauh dari ibu kota Ke?diri. Mendengar ini, Gagak Wulung lalu mengajukan diri untuk menemani Mahapati meng?hadap Sang Prabu Jayakatwang untuk lebih meyakinkan Sribaginda akan kesaktian Ki Bu?yut Pranamaya dan betapa kakek itu akan da?pat menjadi seorang penasibat yang amat berguna bagi kerajaan. Sebagai seorang tokoh yang seringkali membantu Kerajaan Daha, tentu dia dipercaya oleh Sang Prabu Jayakatwang.
Tepat seperti yang sudah diduga oleh Resi Mahapati dan juga Gagak Wulung, Sang Prabu Jayakatwang dengan gembira menyatakan bah?wa dia mau menerima bantuan Ki Buyut Pranamaya, apa lagi ketika mendengar bahwa ka?kek sakti mandragura itu adalah guru Resi Ma?hapati, juga guru mendiang Mahesa Rangkah yang dahulu memberontak terhadap Singosari.
"Kalian tahu, bahwa mengabdi kepada seorang raja tidaklah mudah, harus lebih dulu memperlihatkan darma baktinya" kata Sang Prabu Jayakatwang kepada Resi Mahapati yang menghadap bersama Gagak Wulung. "Oleh karena itu, kalau benar Ki Buyut Pranama?ya hendak mengabdi kepada kami, diapun harus memperlihatkan darma baktinya dan membuat jasa"
Resi Mahapati memberi sembah. "Harap paduka suka memberitahu kepada hamba agar hamba sampaikan kepada Guru, tugas apa gerangan yang paduka perintahkan, tentu akan dilaksanakan, dengan sebaiknya oleh Guru"
Sang Prabu Jayakatwang mengangguk-angguk. "Memang ada tugas penting, tugas rahasia yang akan kami berikan kepadanya. Akan te?tapi tidak dapat kami katakan sekarang. Biarlah dia menanti di Bukit Srindil sampai datang utusan kami untuk memberitahukan apa yang harus dia lakukan untuk kami"
Demikianlah, Resi Mahapati dan Gagak Wulung merasa puas dan gembira, apa lagi ke?tika Sang Prabu Jayakatwarg mengutus nereka untuk cepat pergi mencari Ki Cucut Kalasekti atau Adipati Satyanegara di Bendowinangun. "Minta dia untuk datang menghadap kepadaku secepat mungkin"
Mereka berdua lalu membalapkan kuda me?reka mencari Adipati Satyanegara dan menyampaikan perintah Sang Prabu Jayakatwang kepada adipati tua yang sakti itu. Ketika itu, Sang Adipati Satyanegara atau yang dahulunya terkenal dengan nama Ki Cucut Kalasekti, sedang kebingungan dan marah. Dia telah menerima berita yang amat buruk dari Sang Prabu Jaya?katwang, bahwa tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala telah lenyap bersama perginya Wu?lansari yang mengajak minggat Sang Puteri Dyah Gayatri. Dan Sang Prabu Jayakatwang dengan berang mengutus agar dia mencari dan merampas kembali tombak pusaka itu. Dia tahu bahwa kalau dia gagal mendapatkan kembali tombak itu, tentu Raja Kediri akan marah kepadanya dan kedudukannya sebagai adipati terancam.
Akan tetapi, kemanakah dia harus mencari Wulansari" Dia tahu bahwa gadis yang pernah menjadi muridnya itu, yang pernah disayangnya sebagai cucunya, adalah.seorang gadis yang memiliki keberanian luar biasa, juga amat cerdik. Tidak akan mudah menemukan jejak gadis itu. Dia sudah menyebar orang-orang untuk melakukan penye?
lidikan, namun sampai sekarang belum juga ada laporan tentang hasil baik penyelidikan itu.
Ketika Resi Mahapati dan Gagak Wulung datang berkunjung sebagai utusan Sang Prabu Jayakatwang, dia sangat kaget, mengira bahwa tentu Raja Kediri itu akan menumpahkan kemarahan kepadanya. Akan tetapi, Resi Maha?pati memberitahukan tentang keinginan Ki Buyut Pranamaya mengabdikan diri ke Kediri.
"Mungkin guru akan dijadikan utusan Sang Prabu untuk menyampaikan tugas pen?ting sebagai uji coba kesetiaan yang diberi kan Sang Prabu kepada Guru" Demikian antara lain Resi Mahapati mengemukakan pendapatnya. Mendengar ini, legalah hati Ki Cucut Kalasekti, bahkan dia seperti mendapat sinar terang. Kenapa tidak mengajak Ki Buyut Pranamaya untuk membantu dia mencari Wu?lansari dan merampas kembali tombak pusaka itu" Dia sudah mendengar akan kesaktian Ki Buyut Pranamaya, seorang datuk sesat yang kedudukannya setingkat dengan dia sendiri.
Demikianlah, Resi Mahapati dan Gagak Wulung meninggalkan Bendowinangun dan kembali ke Bukit Srindil untuk menghadap Ki Buyut Pranamaya, dan dalam perjalanan ini, tanpa setahu mereka, mereka mendahului Nurseta yang segera membayangi mereka dari jauh karena Nurseta mengenal 6agak Wulung yang memang dicarinya bertalian dengan perbuatannya kepada Pertiwi.
Adapun Adipati Satyanegara atau Ki Cucut Kalasekti sendiri, dengan cepat segera pergi ke ibu kota Kediri untuk menghadap Sang Prabu Jayakatwang. Sang Prabu Jayakatwang membubarkan persidangan dan menerima Ki Cucut Kalasekti berdua saja karena apa yang akan dibicarakan merupakan rahasia yang raja itu tidak ingin orang lain mendengarnya. Yaitu mengenai lenyapnya tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Kalau hal ini diketahui oleh pa?ra senopati dan ponggawa, tentu akan melemahkan semangat mereka karena pusaka itu dianggap sebagai wahyu kerajaan. Para senopati bahkan seluruh perajurit Daha percaya penuh akan keampuhan Tejanirmala. Bukankah setelah raja mereka menguasai pusaka itu, penyerbuan ke Singosari berhasil dengan cepat dan dengan baik sekali" Maka, kalau sampai hilangnya pusaka ini ketahuan para ponggawa, tentu akan menimbulkan kegemparan dan menjatuhkan semangat mereka,
Dengan alis berkerut, Sang Prabu Jayakat?wang mendengarkan laporan Adipati Satyanegara tentang belum berhasilnya adipati itu melacak jejak Wulansari dan Puteri Gayatri. Bagi Sribaginda, kedua orang gadis itu tidak terlalu banyak artinya. Yang terpenting, tom?bak pusaka Ki Ageng Tejanirmala harus kem?bali ke tangannya.
"Harap paduka jangan khawatir. Hamba sudah menyebar banyak orang untuk menyelidiki di mana adanya Wulansari. Begitu ham?ba mengetahui di mana ia berada, biar di neraka sekalipun, tentu hamba akan mendatanginya dan kalau pusaka itu tidak dapat hamba minta dengan baik, biar ia pernah menjadi murid hamba, tentu ia akan hamba bunuh dan hamba rampas pusaka itu untuk paduka".
Sang Prabu Jayakatwang mengangguk-angguk. "Aku percaya kepadamu, akan tetapi ingat, Kau yang dahulu menjadi gurunya, maka, kau pula yang bertanggung jawab. Sekarang, kau kuutus untuk menemui Ki Buyut Pranamaya di Bukit Srindil. Ajaklah dia untuk mendapatkan kembali pusaka itu. Selain itu, ajak dia untuk melakukan penyelidikkan terhadap Raden Wijaya yang kini membuka hutan baru di daerah Tarik. Ada kabar angin yang menyatakan bahwa banyak orang Madura berdatangan di tempat itu yang dinamakan Majapahit. Biarpun belum ada tanda-tanda mencurigakan, namun kami ingin se?kali merasa yakin bahwa Raden Wijaya tetap setia kepada kami. Kalau dia dapat melaksanakan dua tugas itu dengan baik, barulah kami menerimanya dan akan memberi kedudukan yang sepadan dengan jasanya"
Bukan main girang rasa hati Ki Cucut Ka?lasekti. Memang itulah yang dia kehendaki. Dengan bantuan seorang datuk seperti Ki Bu?yut Pranamaya, akan lebih mudahlah baginya untuk mendapatkan kembali pusaka itu. Dia tidak khawatir menghadapi Wulansari, bekas muridnya itu. Akan tetapi dia tahu bahwa Wu?lansari mencinta seorang pemuda yang amat tangguh, yaitu Nurseta dan di belakang Nur?seta terdapat banyak tokoh yang pandai. Ka?lau dia dan Ki Buyut Pranamaya maju bersa?ma, dia merasa yakin bahwa mereka berdua akan mampu menandingi siapapun juga. Biar mendiang Panembahan Sidik Danasura hidup lagi, dia tidak akan takut menandinginya ka?lau dibantu Ki Buyut Pranamaya.
*** Hari telah mulai gelap dan Nurseta terpaksa turun dari Bukit Srindil karena setelah menanti sejak tadi, yang ditunggu-tunggu, yaitu Gagak Wulung, tidak juga turun. Ketika dia membayangi Gagak Wulung dan Resi Ma?hapati yang tidak dikenalnya itu, dia melihat mereka mendaki Bukit Srindil. Karena bukit itu penuh dengan hutan, mudah baginya untuk membayangi mereka tanpa diketahui dan akhir?nya, dari jauh dia melihat betapa mereka berdua itu berhenti di depan sebuah gubuk besar darurat. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia melihat seorang wanita cantik berada di depan gubuk itu. Ni Dedeh Sawitri.
Nurseta merasa betapa jantungnya berdebar tegang, dan kedua lututnya mendadak menjadi lemas. Wanita itu, yang dikenalnya sebagai se?orang iblis betina, adalah ibu kandungnya. Seorang wanita yang cantik dan anggun me?mang, biarpun usianya sudah limapuluh tahun lebih. Dia akan merasa bangga mempunyai se?orang ibu yang demikian anggunnya. Akan te?tapi wataknya. Sungguh mengerikan dan memalukan. Terkenal sebagai iblis betina yang amat kejam dan penuh racun. Dan wanita itu adalah lbunya, ibu kandung yang pernah mengandung dan melahirkan dirinya.
Pukulan batin ini lebih dikejutkan lagi ketika dari dalam gubuk itu muncul storang kakek tua renta yang. berpakaian hitam, pakaian petani. Ki Buyut Pranamaya atau yang pernah menyamar sebagai Wiku Bayunirada datuk sesat pertama yang merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala dan gara gara perbuatan datuk inilah maka tombak pusaka itu sampai terampas dari tangan mendiang Ki Baka, ayah angkatnya sehingga kini pusaka itu hilang dan kemungkinan besar berada di tangan Sang Prabu Jayakatwang di Kediri.
Bahkan mungkin sekali lenyapnya tombak pusaka itu yang mendatangkan keruntuhan dan kejatuhan bagi Si?ngosari. Dia mengenal kakek itu dan tahu akan kesaktiannya. Menghadapi kakek itu dia tidak takut, akan tetapi di sana ada Gagak Wulung, ada pula Ni Dedeh Sawitri yang belum tahu bahwa dia adalah anak kandungnya, dan ada pula penunggang kuda berpakaian pendeta itu. Selain itu masih nampak pula tiga orang pria dan tiga wanita. Kalau dia menyerang Gagak Wulung, tentu mereka semua akan membantu Gagak Wulung dan berbahayalah bagi dirinya kalau harus menghadapi pengeroyokan mereka. Maka, dia lalu bersembunyi dan menanti sam?pai Gagak Wulung meninggalkan tempat itu dan turun dari bukit. Akan tetapi, sampai sore dan cuaca mulai gelap, Gagak Wulung tidak nam?pak turun. Tahulah dia bahwa Gagak Wulung agaknya tinggal pula di sana. Dia harus bersabar dan menanti sampai besok.
Ketika dia menuruni bukit hendak mencari dusun di kaki bukit agar dia dapat mondok melewatkan malam itu, tiba-tiba dari kaki bu?kit itu nampak bayangan orang mendaki naik dengan cepat sekali. Dia menyelinap ke balik batang pohon besar dan ketika bayangan itu lewat, dia kaget bukan main mengenal orang itu sebagai Ki Cucut Kalasekti. Kakek iblis ini berkunjung kepada Ki Buyut Pranamaya. Ada hubungan apakah antara kedua orang datuk be?sar golongan hitam itu" Kalau|mereka berdua itu bersekutu, alangkah berbahayanya dan kuatnya. Untung dia tadi mengambil keputusan untuk turun dari bukit. Kalau dia nekat menyerang Gagak Wulung di sana, kemudian dikeroyok dan datang pula Ki Cucut Kalasekti yang membantu mereka, sukar diharapkan dia akan dapat menyelamatkan diri.
Di kaki Bukit Srindil sebelah selatan terdapat sebuah dusun yang nampak dari atas. Nurseta segera menuju ke dusun itu. Di dusun itu dia tentu akan dapat mencari keterangan tentang mereka yang tinggal di puncak bukit. Dusun itu kecil saja, hanya ditinggali tigapuluh keluarga lebih. Mereka adalah petani-petani yang hidup sederhana. Melihat sebuah rumah yang agak besar dan memiliki pekarangan yang luas, rumah yang kelihatan bersih dan terawat, juga dari dalam rumah itu nampak sinar pelita yang jauh lebih terang dari pada rumah-rumah lain, Narseta lalu menghampiri rumah itu. Dia percaya akan keramahan para petam dusun yang tentu akan menerimanya de?ngan baik untuk melewatkan malam itu di da?lam rumah.
Akan tetapi, ketika dia sudah mendekati rumah itu, dia mendengar suara ribut ribut. Pertengkaran mulut antara suami isteri terdengar dari dalam rumah itu. Perang mulut antara suami dan isteri, atau lebih tepat lagi serangan bertubi-tubi lewat suara mulut dari seorang isteri yang marah-marah.
"Dasar kau memang seorang isteri yang cemburuan dan cerewet" suara pria yang diserang bertubi-tubi itu mencoba untuk membalas. Akan tetapi balasan yang sekalimat ini segera disambut oleh serangan yang semakin ganas.
"Apa kau bilang" Seorang isteri yang cem?buruan dan cerewet" Huh, kaulah laki-laki yang mata keranjang, hidung belang. Kau bermuka-muka dan menjilat-jilat secara tak ta?hu malu kalau sudah melihat wanita lain tidak ingat bahwa wanita itu biarpun cantik sudah tua. Engkau laki-laki muka tebal, lupa bahwa keadaan sendiri tidak mampu, berlagak kaya dan royal kalau sudah bertemu wanita cantik.
Engkau sungguh memuakkan........ ahhhh........ benci aku.......benci.........benci" Wanita
itupun menangis.
"Cukup. Kalau engkau tidak menutup mulutmu, terpaksa akan kuhajar"
Ucapan laki-laki ini agaknya bagaikan minyak bakar yang disiramkan pada api. Kemarahan wanita itu semakin berkobar. "Apa kau? biiang tadi" Kau mau menghajarku" Cobalah. Lakukanlah. Kaukira aku takut" Hayo hajar aku, lekas hajar. Kau mau apa, huh, laki-laki pengecut"
"Cukup, mbokne, sekali lagi kau bicara, akan kupukul mulutmu" suara laki laki itu membentak dan dari suaranya, dapat dirasakan betapa dia sudah tidak mampu menahan kemarahannya lagi. Nurseta sudah mengintai da?ri balik pintu yang masih terbuka dan dia me?lihat seorang laki-laki dan seorang wanita yang sedang perang mulut itu berdiri seperti dua ekor ayam aduan yang berlagak, siap akan bertarung. Usia mereka antara empatpuluh sampai empatpuluh lima tahun.
"Apa " Mau pukul " Pukullah, hayo, Pukullah. Pukul aku sampai mati. Lebih baik mati dari pada mempunyai suami seperti kau.."
Pria itu melangkah maju dan tangannya menampar. "Plakkk........I" Wanita itu terpelanting dan menjerit, lalu menangis menjerit-jerit. Bibirnya pecah dan berdarah. Pria itu berdiri terbelalak, seolah tidak percaya akan apa yang telah terjadi. Belum pernah dia memukul isterinya semenjak mereka men?jadi suami isteri.
Pada saat itu, Nurseta batuk batuk dan bwseru. "Kulonuwun......."
Suami itu membalikkan tubuh menghadap ke pintu, sedangkan sang isteri menghentikan tangisnya, menengok dan melihat munculnya seorang tamu, iapun masuk ke dalam sambil terisak ditahan.
Pria itu menghampiri Nurseta yang berdiri di ambang pintu. "Mari silakan masuk, kisanak" kata tuan rumah dan suaranya tidak marah lagi, melainkan ramah. "Mari silakan dudik"
"Terima kasih, dan maafKan kalau aku mengganggu"
"Ah, tidak sama sekali. Silakan duduk" Setelah tamunya duduk berhadapan dengannya terhalang meja, tuan rumah itu mengamati wajah yang tampan dari tamunya, lalu bertanya "Siapakah kisanak, dan ada keperluan apakah datang berkunjung ke gubuk yang buruk kami ini ?"
"Maafkan aku, kisanak. Namaku Nurseta dan aku sedang melakukan perjalanan jauh, lalu kemalaman di sini. Oleh karena itu, apa bila sekiranya kalian tidak berkeberatan, aku ingin mondok satu malam saja di sini. Besok pagi-pagi aku akan melanjutkan perjalanan. Akan tetapi kalau kalian merasa keberatan, tentu saja aku tidak berani memaksa dan.."
"Ah, tidak sama sekali, kisanak. Kami ha?nya tinggal berdua saja di rumah ini. Anak tunggal kami baru sudah setengah tahun ini tinggal bersama suammya ke dusun lain. Silakan tinggal di sini semalam. Ada sebuah bilik bekas tempat anak kami. Perkenalkan, namaku Ki Puter dan para penduduk di dusun kecil ini memilih aku sebagai kepala dusun" Ki Puter menoleh kearah dalam. "Mbokne....... Ada tamu, cepat sediakan makan dan minum"
"Ah, aku tidak ingin merepotkan, hanya ingin melewatkan malam. Harap kalian jangan repot-repot..."
"Tidak mengapa, kisanak. Memang kami belum makan malam dan makanan sudah sedia. Mbokneee......".
"Tungguuuu......., sedang kupersiapkan ......." terdengar jawaban dari dalam rumah.
Suara wanita tadi, pikir Nurseta, sudah tidak menangis lagi akan tetapi suaranya masih parau bekas tangis.
Sambil menanti dihidangkannya makan ma?lam, Nurseta mulai memancing keterangan tuan rumah. "Tadi aku sudah mendaki bukit ini dan sampai diatas, akan tetapi di sana tidak terdapat dusun, hanya hutan dan di puncak aku melihat sebuah gubuk besar dengan orang-orang yang aneh. Aku lalu turun kem?bali dan menuju ke dusun ini, melihat rumah kalian dan aku merasa tertarik"
Ki Puter mengangguk-angguk. "Aku girang sekali bahwa kau telah memilih rumah kami, kisanak. Kulihat andika masih muda, lebih muda dariku, biarlah aku menyebutmu adi. Adi Nurseta, kukatakan tadi, aku girang kau datang karena kau telah menghentikan pertengkaran kami yang tentu telah kau dengar dari luar rumah tadi"
Nurseta tersenyum dan di dalam hatinya, dia mulai merasa kagum dan suka kepada orang ini. "Bolehkah aku menyebutmu kakang", akupun girang sekali tidak salah memilih tempat bermalam karena kau ternyata ramah sekali. Maafkan kalau aku mengganggu. Terus terang saja, ketika memasuki rumah ini, aku mendengar pertengkaran kalian, maka aku sengaja berseru agar pertengkaran itu berhenti"
Ki Puter tersenyum lebar, "Ha ha, terima kasih. Kau baik sekali" Dia menoleh ke dalam lalu berkata lirih. "Ia memalukan saja, memang cerewetnya bukan main"
Nurseta tidak mau membicarakan keburukan isteri tuan rumah maka dia mengalihkan percakapan. "Kakang Puter, siapakah orang-orang aneh di puncak bukit itu" Kulihat gubuk itu masih baru. Orang-orangnya kelihatan aneh"
Karena pertanyaan itu sambil lalu saja, Ki Puter tidak mencurigai sesuatu dan diapun mengangguk. "Memang aneh. Mereka adalah orang-orang kota, berpakaian indah dan me-nunggang kuda yang tinggi besar, Anehnya, mengapa para prlyayi (bangsawan) itu membuat gubug di puncak itu dan tinggal di sana?"
"Siapakah mereka itu, kakang" Dan mau apa mereka tinggai di tempat sunyi penuh hutan itu?"
Ki lurah dusun kecil itu menggeleng kepala. "Aku tidak tahu. Mereka datang sembilan orang. Beberapa hari yang lalu mereka datang dan berhenti di dusun ini. Seorang ka?kek tua renta yang menyeramkan, seorang wanita cantik pesolek dan seorang pria, mung?kin suami isteri, dan enam orang yang agaknya menjadi pengikut, tiga pria tiga wanita yang nampak taat terhadap kakek tua renta. Mereka lalu naik ke bukit dan membuat gubuk di sana, Karena mereka tidak mengganggu kami sedusun, kamipun tidak melakukan sesuatu, bahkan tidak berani naik karena kakek tua renta itu menyeramkan. Dan wanita cantik itu ........ ialah yang tadi membuat kami bertengkar" Wajah Ki Puter nampak kemerahan dan dia agak tersipu.
"Kalau boleh aku bertanya, kakang. Meng?apa ia menjadi bahan pertengkaran " Apakah yang telah dilakukan wanita itu?" Nurseta membayangkan wajah cantik Ni Dsdeh Sawitri, wajah ibu kandungnya.
Ki Puter menahan ketawanya. "Ah, dasar isteriku yang cerewet bukan main. Kemarin
dulu wanita itu datang ke sini dan ia ingin membeli dua ekor ayam dan beberapa butir. telur. Karena kulihat ia seorang priyayi dan sikapnya manis sekali, maka aku yang bukan pedagang merasa sungkan, lalu kuberikan saja kepadanya dua ekor ayam dan sepuluh butir telur. Nah, itulah yang membuat isteriku marah-marah sejak saat itu, penuh cemburu dan cerewet sekali"
Pada saat itu, isteri Ki Puter keluar membawa baki berisi makanan dan minuman. Wa?nita itu tidak menangis lagi walaupun matanya masih merah dan bibirnya agak menjendol, akan tetapi ia masih sempat tersenyum kepada Nurseta.
Raden Wijaya bersikap baik sekali kepada mereka yang berbondong datang ke daerah baru itu untuk menjadi penghuni di situ. Dia bersikap ramah dan penuh kekeluargaan, bahkan. membantu mereka yang kekurangan untuk dapat membangun rumah sederhana dan dia membagi-bagikan tanah garapan sehingga kehidupan para penduduk baru itu cukup terjamin. Sikap yang baik ini tentu saja segera tersiar luas dan semakin banyaklah orang-orang terusir dari daerah Singosari berdatangan dan kemudian menetap di situ, bersumpah setia kepada Raden Wijaya. yang mereka anggap sebagai junjungan baru.
Biarpun bangunan yang menjadi tempat tinggalnya hanya merupakan pesanggrahan amat sederhana, namun melihat bahwa dia telah memiliki potensi sebagai tempat pergerakan dan penyusun kekuatan. Raden Wijaya lalu mengutus dua orang pembantunya yang setia, yaitu Banyak Kapuk dan Mahesa Wagal, pergi ke Madura dan menphadap Bupati Wiraraja di Sumenep. Dua orang utusan itu berankat.
Dan giranglah hati Bupati Wiraraja mendengar bahwa Raden Wijaya telah mendapatkan suatu daerah baru yang amat baik sebagai tempat penghimpunan tenaga dan persiapan perang untuk menyerang Kerajaan Kediri.
Diapun merasa setuju dengan permintaan Raden Wijaya agar Dyah Tribuwana yang ketika dia pergi ke Kediri dititipkan di Sumenep, agar ikut pula ke Majapahit bersama para utusannya. Diapun menitip pesan kepada para utusan itu bahwa untuk sementara ini, agar jangan sampai menyolok, dia tidak akan berkunjung dulu ke Majapahit. Akan tetapi, pasukannya dipersiapkan untuk membantu Raden Wijaya dan dia berpesan agar Raden Wijaya segera mempersiapkan diri, menghimpun te?naga pasukan. Dia sendiri akan mengirim utusan resmi kepada pimpinan pasukan Cina yang berada di sekitar pantai utara.
Kedatangan kembali kedua utusan bersama Dyah Tribuwana disambut gembira oleh Raden Wijaya. Pertemuan antara dua kekasih itu tentu saja amat membahagiakan hati dan biarpun tadinya Dyah Tribuwana sejak kecil dimanja dan dilimpahi kemuliaan, berenang dalam kemewahan di dalam istana yang indah, dan kini dia melihat betapa tempat tinggal calon suaminya hanyalah sebuah pesanggrahan dari bambu yang amat sederhana bahkan miskin, namun ia berbahagia sekali. Hidup disamping orang yang dicinta selalu mendatangkan perasaan bahagia.
Setelah menerima berita dari Bupati Wira?raja di Sumenep, makin berkobarlah semangat Raden Wijaya. Dia lalu mengumpulkan para senopatinya yang setia. Raden Wijaya mengajak para pembantunya yang setia itu untuk berbincang-bincang tentang persiapan untuk me?nyerang Kediri. Mengajak mereka menyusun dan merencanakan siasat kalau saatnya sudah tiba, dan bagaimana mereka harus bertindak untuk mengumpulkan perajurit, membentuk pa?sukan yang kuat, menerima sisa-sisa pasukan Singosari yang melarikan diri cerai berai ketika kalah perang oleh pasukan Kediri, bagaimana untuk mengumpulkan senjata, kereta dan sebagainya. Segala sesuatu mereka perbincangkan dan rencana diatur sebaiknya, bahkan sudah di rencanakan tempat-tempat yang akan mereka jadikan markas dalam gerakan mereka kalau tiba saatnya menyerbu Kediri.
"Hanya ada satu hal yang sukar untuk didapatkan" kata Raden Wijaya. "Yaitu kuda tunggangan yang baik bagi para senopati. Hal ini amatlah penting karena para senopati yang selalu harus memimpin pasukan, harus memiliki kuda tunggangan yang tangkas, kuat dan cepat. Akan tetapi, kuda yang kita miliki hanyalah kuda biasa yang kurang tepat untuk menjadi tunggangan para senopati"
"Harap paduka jangan khawatir, Raden" kata Ronggo Lawe dengan sikap gagah perkasa. "Perkenankan hamba pergi ke Madura. Disana terdapat banyak kuda yang berasal dari Bima, kuda pilihan yang baik, tinggi besar dan tangkas, bahkan sudah dilatih perang-perangan sehingga kuda-kuda itu tidak akan ketakutan apabila dibawa berperang"
Raden Wijaya memandang dengan wajah berseri. "Ah, bagus sekali, Ronggo Lawe. Kalau begitu, biar kutitipkan surat untuk Paman Bupati Wiraraja, agar dia mau membantu dengan menyerahkan kuda-kuda pilihan dari Madura"
Ronggo Lawe segera berangkat ke Madura? untuk memenuhi tugas penting itu, dan para senopati lainnya juga bubaran untuk melaksanakan tugas mereka masing-masing yang sudah mereka terima dari Raden Wijaya. Ada yang menyebar para perwira untuk mengumpulkan calon-calon perajurit dan mengumpulkan para pemuda yang kini tinggal di Majapahit untuk menjadi perajurit. Ada yang melatih mereka yang menjadi perajurit baru. Ada yang me?mimpin mereka yang ditugaskan membuat sen?jata, dan lain-Iain. Kesibukan terjadi di Maja?pahit, daerah baru yang kelak akan menjadi pusat sebuah negara yang jaya dan besar kekuasaannya itu. Mereka bekerja keras karena mereka harus cepat-cepat bersiaga karena selain khawatir kalau sampai persiapan mereka ketahuan oleh Sang Prabu Jayakatwang, juga kalau pasukan Cina dari utara sudah bergerak, mereka harus bergerak pula dengan cepat membantu pasukan dari Cina itu. Kekhawatiran mereka memang beralasan karena pada suatu hari, tiba-tiba muncullah senopati Segara Winotan, senopati yang galak dan garang dari Kediri. Karena senopati ini memang congkak dan tinggi hati, apa lagi ketika itu dia tiba di daerah baru Majapahit sebagai utusan Sang Prabu Jayakatwang. maka sikapnyapun angkuh bukan main.
Sikapnya itu masih angkuh ketika dia dibawa menghadap Raden Wijaya sehingga para senopati pembantu Raden Wijaya mengerutkan alis dengan hati tak senang. Akan tetapi Raden Wijaya menyambutnya dengan ramah. Sikap senopati itu dianggapnya wajar saja. Bukankah pada saat itu dia masih termasuk orang yang menghambakan diri kepada Kerajaan Kediri dan menjadi petugas Sang Prabu Jayakatwang untuk membuka hutan baru untuk berburu" Dan yang datang adaiah seorang senopati yang dipercaya, bahkan kini menjadi utusan.
"Selamat datang, kakang Senopati Segara Winotan" kata Raden Wijaya dengan sikap yang cukup hormat. "Angin apakah gerangan yang meniup kakang senopati berkunjung ke tengah hutan ini?"
Segara Winotan tersenyum menyeringai se?nang melihat sikap pangeran itu demikian penuh hormat. Dia membusungkan dadanya dan menjawab dengan sikap dan lagak jagoan.
"Bukan angin sembarang angin, Raden Wijaya, melainkan angin yang bertiup dari istana. Saya datang sebagai utusan resmi dari Sang Prabu Jayakatwang, junjungan kita" Dia sengaja menyebut "junjungan kita" seperti hendak mengingatkan Raden Wijaya bahwa pangeran itupun kini menjadi "kawula" Kediri.
"Ah, kiranya kakang senopati diutus oleh Paman Prabu Jayakatwang. Silakan duduk
kakang senopati. Berita apakah yang kakang bawa dari kotaraja" Perintah apakah yang diberikan oleh Paman Prabu untukku?"
"Berita dari kota raja baik-baik saja, Raden Pemerintah Gusti Prabu semakin kuat dan jaya tetelah Singosari ditaklukkan. Dan Gusti Prabu mengutus saya untuk menemui Raden, dengan perintah agar Raden cepat kembali ke kota raja karena beliau sudah ingin sekali mengajak Raden untuk berburu di hutan buruan yang baru ini"
Raden Wijaya memperlihatkan muka kaget, bukan dibuat-buat karena memang dia sungguh terkejut mendengar keinginan hati Sang Prabu Jayakatwang itu. "Bagaimana mungkin, kakang senopati" Persiapannya belum selesai seluruhnya. Penambahan binatang buruan baru terlaksana sebagian, yang ada baru kijang, harimau dan bantengnya belum dapat. Pula, perlengkapan perburuan juga belum didapatkan semua. Aku sedang menyuruh pembantuku untuk mencarikan kuda-kuda yang baik untuk berburu Paman Prabu, juga anjing-anjing pemburu yang galak dan cekatan. Dan kalau aku kem?bali ke Kediri, tentu pekerjaan di sini akan terbengkalai dan tidak segera selesai"
Pada saat itu terdengar bunyi derap kaki banyak kuda dan seorang pekerja melapor kepada Raden Wijaya, "Ki Ronggo Lawe telah datang membawa banyak kuda yang besar, Raden "
Raden Wijaya lalu berkata kepada Segara Winotan, "Nah, itulah kakang senopati. Utusanku untuk mencari kuda sudah pulang dan mem?bawa banyak kuda yang baik untuk berburu"
"Boleh saya melihatnya, Raden?" tanya Segara Winotan yang sebetulnya ingin melihat dan menyelidiki sendiri pekerjaan yang dilakukan Raden Wijaya agar kalau ada sesuatu yang tidak beres, dia dapat melaporkan kepa?da Sang Prabu Jayakatwang.
Ketika mereka berdua keluar, mereka melihat Ronggo Lawe dan beberapa orang Madura menggiring dua puluh empat ekor kuda yang besar dan tangkas. Bagi Segara Winotan. cara orang-orang Madura menggiring sekelompok kuda itu kasar sekali, baik teriakan mereka maupun tingkah laku mereka. Ketika ada se?orang Madura lewat dekat di depannya sambit membunyikan cambuk yang meledak seperti di dekat telinganya, dan mendengar teriakan parau panjang, debu mengebul dan mengenai pakaiannya, senopati yang congkak itu men?jadi tak senang hatinya.
"Hemm, Raden Wijaya. Kenapa kau memperbolehkan orang-orang Madura yang tak tahu aturan dan kasar ini bekerja untuk Raden" Petani-petani Madura ini sungguh menjemukan"
Ucapan itu dikeluarkan dengan suara lantang sehingga terdengar oleh Ronggo Lawe dan orang-orang Madura yang meng?giring kuda itu.
Ronggo Lawe adalah seorang pemuda yang pendiam akan tetapi berhati baja dan wataknya amat keras. Melihat sikap congkak dari senopati Daha itu. hati Ronggo Lawe sudah merasa tidak senang, apa lagi ketika men?dengar ucapan yang nadanya menghina orang-orang Madura. Dia menghampiri tamu itu dan dengan mata mendelik diapun berkata.
"Hemm, kurasa para petani Madura lebih baik dari pada orang-orang Daha. Kalau perlu, boleh dicoba kemampuan orang Madura" Berkata demikian, Ronggo Lawe sudah mengikatkan ujung kainnya ke pinggang, siap untuk bertanding.
Melihat sikap ini dan mende?ngar ucapan Ronggo Lawe, terkejutlah hati Raden Wijaya. Kalau dibiarkan, sungguh berbabaya sekali, tentu akan terjadi perkelahiam dan semua rahasianya akan dapat terbuka sebelum waktunya. Dia segera melerai dan me?ngedipkan mata kepada Lembu Sora. Senopati yang lebih tua dan banyak pengalaman ini maklum, lalu dia menggandeng tangan Ronggo Lawe diajak pergi dari situ untuk cepat-cepat mengatur kuda-kuda yang baru tiba. Dengan muka merah Ronggo Lawe menurut saja dibawa pergi oleh Lembu Sora.
Andaikata tidak di depan Raden Wijaya, tentu dia akan menolak dan berkeras untuk menantang Segaia Winotan.
Semeniara itu, Segara Winotan bengong melihat lagak Ronggo Lawe. Dia tidak mengenal Ronggo Lawe yang ketika bertemu orang-orang Daha sengaja tidak menonjolkan diri seperti para senopati lain, karena maklum bahwa junjungan mereka, Raden Wijaya, sedang mengalah dan diam-diam memupuk kekuatan.
"Raden, siapakah orang kasar itu?"
Raden Wijaya tersenyum "Maafkan dia, kakang. Dia itu keponakan Lembn Sora dan sebagai seorang yang berasal dari Tunjung di bagian barat Madura. Dia adalah seorang dusun yang masih bodoh dan tidak tahu banyak tentang peraturan, masih lugu dan kasar sekali, akan tetapi dia amat jujur dan tidak mempunyai niat buruk di hatinya. Oleh karena itu, harap kakang senopati suka memaafkan dia dan memandang kepadaku. Harap kakang Segara Winotan suka melaporkan kepada Paman Prabu bahwa persiapan yang kulakukan disini sudah hampir selesai. Kuda sudah siap, tinggal menanti kelompok anjing pemburu dan juga jaring-jaring yang kuat untuk menangkap harimau dan binatang lain yang liar dan buas"
"Hemm, sampai kapan kiranya persiapan ni selesai dan kapan kiranya Raden dapat menghadap Gusti Prabu?"
"Bulan depan, dari awal sampai pertengahm bulan, kurasa sudah selesai semua dan aku akan cepat-cepat pergi menghadap Paman Prabu"
Segara Winotan lalu dijamu makan oleh Raden Wijaya dan utusan ini melihat keramahan Raden Wijaya, percaya akan semua keterangan yang diberikan pangeran itu. Diapun kembali ke Daha untuk memberi laporan seperti yang dikehendaki Raden Wijaya. Seperginya utusan itu, Raden Wijaya mengumpulkan semua pembantunya dan mereka bersepakat untuk mempercepat persiapan perang.
Nurseta menyelundup ke ibu kota Kedir, sepanjang perjalanannya, dia dengan hati sedih melihat bencana yang telah melanda rakyat sebagai akibat perang yang dilakukan Ke?diri terhadap Singosari. Bukan hanya Kerajaan Singosari yang hancur, bukan hanya keluarga Raja Kertanagara yang ditimpa malapetaka karena kalah perang. Akan tetapi, yang lebih menyedihkan lagi adalah melihat akibat pe?rang yang diderita oleh rakyat jelata. Perang mendatangkan kekacauan yang mengerikan. Hukum tidak berlaku lagi di pedusunan kare-na perang. Apa lagi setelah mendengar bah?wa Kerajaan Singosari kalah oleh Kerajaan Ke-diri. Semua pamong praja, semua pejabat pemerintah yang berkuasa di daerah dan pedu-sunan, kehilangan wibawa dan keadaan itu dipergunakan oleh gerombolan dan orang-orang jahat untuk merajalela. Pasukan keamanan ti?dak bergerak lagi karena takut kepada pasukan musuh.
Terjadilah kejahatan-kejahatan, peram?pokan, balas dendam tanpa ada yang mengadili. Terjadilah hukum rimba di mana-mana siapa kuat dia menang dan siapa menang dia benar. Para penjahat yang tadinya takut ka?rena adanya kekuasaan kerajaaan yang melindungi keamanan rakyat di dusun-dusun, kini menjadi raja-raja kecii. tidak ada yang ditakutinya lagi. Semua ini menambah penderitaan mereka yang dusunnya dilanda atau dilewati pasukan yang sedang berperang. Dalam keadaan perang semua orang seolah-olah menjadi, kejam dan tidak mengenal prikemanusiaan la?gi. Setan-setan merajalela menguasai hati manusia dan segala macam tindakan yang keji dan kejampun terjadilah. Dan rakyat tidak berdaya, menderita tanpa ada yang melindungi, tanpa ada yang membela karena semua orang menyelamatkan diri dan keluarganya masing-masing. Setiap hari terjadi perampokan, pembunuhan, perkosaan dan dunia bagaikan kiamat bagi mereka yang lemah. Setan berpesta pora melalui orang-orang yang diperhambanya, orang-orang yang mengandalkan kekuatan, mengandalkan pengeroyokan, merayakan pesta-pesta biadab yang tiada prikemanusiaan sama sekali.
Sebagai seorang yang berjiwa satria, Nurseta tidak tahan untuk berdiam diri. Di dalam perjalanannya itu, setiap kali bertemu dengan kejahatan, penindasan, perampokan, perkosaan atau pembunuhan, selalu dia turun tangan menentang yang jahat dan membela yang lemah tertindas. Tidak percuma dia, menjadi anak angkat mendiang Ki Baka dan menjadi murid tersayang mendiang Panembaban Sidik Danasura. Ilmu-ilmunya, aji kedigdayaannya, dapat dipergunakan untuk menentang kejahatan.
*** Nurseta berjalan menuju ke ibu kota Ke?diri sambil melamun. Terbayanglah wajah Wulansari di lubuk hatinya, Wajah yang be?lum pernah dia lupakan, siang menjadi kenangan malam menjadi impian, Akan tetapi sekarang, wajah itu lebih jelas dari pada biasanya. Dia sedang menuju ke ibu kota Kediri, di mana Wulansari berada. Keterangan yang diperolehnya adalah bahwa Wulansari menjadi seorang pengawal pribadi Sang Prabu Jayakatang dan hal ini sungguh merisaukan hatinya, Alangkah akan sukarnya bertemu dengan Wu?lansari. Dan andaikata dia dapat bertemu dengannya, bagaimana mungkin dia dapat membujuknya agar Wulansari mau meninggalkan Kerajaan Kediri, mau meninggalkan pekerjaannya menghambakan diri kepada Sang Prabu Jayakatwang" Dan bagaimana pula akalnya agar dia dapat merampas kembali tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala yang kabarnya sudah terjatuh ke tangan Sang Prabu Jayakatwang itu "
Bagaimana nanti sajalah, pikirnya. Yang penting, dia harus dapat bertemu dan berbicara dengan Wulansari. Dia akan memberitahu kepada gadis itu bahwa dia telah meminang Wulansari kepada ayah dan ibu kandung gadis itu dan bahwa pinangan itu telah diterima. Tiba-tiba, ketika dia melihat dua orang pria menunggang kuda mendahuluinya, diapun menyelinap kaget karena dia mengenal seorang di antara mereka. Gagak Wulung. Tidak salah lagi. Pria yang berusia kurang lebih enampuluh empat tahun itu masih nampak gagah duduk di atas punggung kuda dengan tegak, perutnya tidak gendut seperti pria-pria seusia itu, bahkan wajahnya masih tampan dan gagah. Rambutnya yang sudah berwarna dua itu bahkan menambah daya tarik kejantanannya.
Pakaiannya masih tetap mewah dan pesolek. Tak salah lagi, pikir Nurseta, pria itu adalah Gagak Wulung dan tentu saja kini wajah Pertiwi terbayang di depan matanya. Gagak Wulung. Pria jahanam yang telah menodai Pertiwi, memaksa gadis itu menyerahkan diri de?ngan kekuatan sihirnya. Kasihan Pertiwi. Gagak Wulung harus menerima hukumannya atas perbuatannya yang biadab itu. Dia tidak mengenal pria ke dua yang juga menunggang kuda di samping Gagak Wulung itu. Seorang pria berusia kurang lebih empat puluh tahun, berpakaian seperti seorang resi, seorang pendeta.
Begitu mengenal Gagak Wulung, Nurseta cepat membayanginya dari jauh. Untung kedua orang itu membiarkan kuda mereka berjalan congklang, tidak terlalu cepat sehingga Nurseta tidak harus berlari yang tentu akan mendatangkan keheranan dan kecurigaan orang lain. Akan tetapi, dua orang penunggang kuda itu, di suatu perempatan jalan, membelok ke kiri, menuju ke sebuah bukit kecil yang pe?nuh dengan pohon-pohon, bukan terus menuju ke Kediri. Nurseta tetap membayangi dari ja?uh. Karena mereka menunggang kuda, maka tidak sukar baginya membayangi dari jauh tanpa mereka lihat.
Apa yang diduga Nurseta memang benar. Pria penunggang kuda yang tampan dan gagah biarpun usianya sudah tua itu memang benar Gagak Wulung. Dan pria lebih muda yang ber?pakaian pendeta itu bukan lain adalah murid Ki Buyut Pranamaya yang tadinya bernama Jaka Pati, akan tetapi kini telah menjadi se?orang pendeta yang menghambakan diri ke?pada Sang Prabu Jayakatwang dan memiliki julukan Resi Mahapati. Seperti kita ketahui, Ki Buyut Pranamaya, guru Resi Mahapati ini, adalah seorang datuk sesat yang berilmu ting?gi. Muridnya yang amat disayang inilah yang telah mewarisi Ilmu-ilmu dan aji-aji kesaktian kakek tua renta itu. Karena Resi Maha?pati kini telah mendapatkan kedudukan tinggi sebagai seorang pendeta kerajaan di Daha, maka dia mengajak gurunya itu agar ikut meikmati kemuliaan di Kediri. Apa lagi mengingat bahwa kini Kediri telah berbasil mengalahkan dan menguasai Singosari. Dan kebetulan sekali dua orang tokoh sesat yang terkenal, yaitu Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri, datang berkunjung sebagai tamu. Maka penawaran Resi Mahapati itu amat menarik hati dua orang tokoh sesat itu. Gagak Wulung sendiri biarpun belum pernah menjadi senopati Kerajaan Daha, namun dia adalah kawula Ke?diri dan dia pernah membantu para senopati Daha sebagai seorang mata-mata yang tangguh.
Karena Gagak Wulung bukan seorang ponggawa Kerajaan Daha, melainkan seorang petualang, maka ketika terjadi pemberontakan Mahesa Rangkah, murid tangguh yang tertua dari Ki Buyut Pranamaya, diapun membantu pemberontak itu. Namun pemberontakan itu gagal dan Mahesa Rangkah yang ketika itu memberontak terhadap Kerajaan Singosari, kurang lebih duabelas tahun yang lalu, tewas. Semenjak itu, Gagak Wulung menganggap Ki Buyut Pranamaya sebagai atasannya dan seringkali dia membantu kakek sakti mandraguna yang jahat seperti iblis itu. Maka, tidak mengherankan kalau sekarang dia mengajak Ni Dedeh Sawitri yang menjadi rekannya, sahabat dan juga kekasihnya menghadap kakek itu. Kemudian, mendengar bahwa Jaka Pati murid Ki Buyut Pranamaya kini telah menjadi se?orang pendeta istana Daha yang dipercaya dan berkedudukan tinggi, dan yang datang meng?ajak Ki Buyut Pranamaya untuk mengabdikan diri kepada Sang Prabu Jayakatwang, Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri juga ikut untuk membonceng kemuliaan.
Akan tetapi, Ki Buyut Pranamaya adalah seorang yang tinggi hati. Dia merasa bahwa dirinya bukan "orang biasa" melainkan seorang tua yang sakti mandraguna dan tidak sepatutnya kalau dia merangkak-rangkak di depan Sang Prabu Jayakatwang untuk mohon diberi kedudukan.
"Tidak, aku belum tahu bagaimana Sang Prabu Jayakatwang akan menerima diriku. Sebelum ada kepastian, aku tidak akan mau menghadapnya. Karena itu, muridku Mahapati, kalian pergilah dulu menghadap Sang Prabu Jayakatwang dan minta keputusannya, apakah akan suka menerima bantuan seorang tua se?perti aku ataukah tidak. Aku harus disambut sebagai seorang calon pembantu yang dibutuhkan dan terbormat, bukan sebagai seorang yang datang minta-minta anugerah dan pekerjaan"
Demikianlah kata kakek itu yang menanti di sebuah gubuk darurat di dalam sebuah hutan di Bukit Srindil, tidak jauh dari ibu kota Ke?diri. Mendengar ini, Gagak Wulung lalu mengajukan diri untuk menemani Mahapati meng?hadap Sang Prabu Jayakatwang untuk lebih meyakinkan Sribaginda akan kesaktian Ki Bu?yut Pranamaya dan betapa kakek itu akan da?pat menjadi seorang penasibat yang amat berguna bagi kerajaan. Sebagai seorang tokoh yang seringkali membantu Kerajaan Daha, tentu dia dipercaya oleh Sang Prabu Jayakatwang.
Tepat seperti yang sudah diduga oleh Resi Mahapati dan juga Gagak Wulung, Sang Prabu Jayakatwang dengan gembira menyatakan bah?wa dia mau menerima bantuan Ki Buyut Pranamaya, apa lagi ketika mendengar bahwa ka?kek sakti mandragura itu adalah guru Resi Ma?hapati, juga guru mendiang Mahesa Rangkah yang dahulu memberontak terhadap Singosari.
"Kalian tahu, bahwa mengabdi kepada seorang raja tidaklah mudah, harus lebih dulu memperlihatkan darma baktinya" kata Sang Prabu Jayakatwang kepada Resi Mahapati yang menghadap bersama Gagak Wulung. "Oleh karena itu, kalau benar Ki Buyut Pranama?ya hendak mengabdi kepada kami, diapun harus memperlihatkan darma baktinya dan membuat jasa"
Resi Mahapati memberi sembah. "Harap paduka suka memberitahu kepada hamba agar hamba sampaikan kepada Guru, tugas apa gerangan yang paduka perintahkan, tentu akan dilaksanakan, dengan sebaiknya oleh Guru"
Sang Prabu Jayakatwang mengangguk-angguk. "Memang ada tugas penting, tugas rahasia yang akan kami berikan kepadanya. Akan te?tapi tidak dapat kami katakan sekarang. Biarlah dia menanti di Bukit Srindil sampai datang utusan kami untuk memberitahukan apa yang harus dia lakukan untuk kami"
Demikianlah, Resi Mahapati dan Gagak Wulung merasa puas dan gembira, apa lagi ke?tika Sang Prabu Jayakatwarg mengutus nereka untuk cepat pergi mencari Ki Cucut Kalasekti atau Adipati Satyanegara di Bendowinangun. "Minta dia untuk datang menghadap kepadaku secepat mungkin"
Mereka berdua lalu membalapkan kuda me?reka mencari Adipati Satyanegara dan menyampaikan perintah Sang Prabu Jayakatwang kepada adipati tua yang sakti itu. Ketika itu, Sang Adipati Satyanegara atau yang dahulunya terkenal dengan nama Ki Cucut Kalasekti, sedang kebingungan dan marah. Dia telah menerima berita yang amat buruk dari Sang Prabu Jaya?katwang, bahwa tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala telah lenyap bersama perginya Wu?lansari yang mengajak minggat Sang Puteri Dyah Gayatri. Dan Sang Prabu Jayakatwang dengan berang mengutus agar dia mencari dan merampas kembali tombak pusaka itu. Dia tahu bahwa kalau dia gagal mendapatkan kembali tombak itu, tentu Raja Kediri akan marah kepadanya dan kedudukannya sebagai adipati terancam.
Akan tetapi, kemanakah dia harus mencari Wulansari" Dia tahu bahwa gadis yang pernah menjadi muridnya itu, yang pernah disayangnya sebagai cucunya, adalah.seorang gadis yang memiliki keberanian luar biasa, juga amat cerdik. Tidak akan mudah menemukan jejak gadis itu. Dia sudah menyebar orang-orang untuk melakukan penye?
lidikan, namun sampai sekarang belum juga ada laporan tentang hasil baik penyelidikan itu.
Ketika Resi Mahapati dan Gagak Wulung datang berkunjung sebagai utusan Sang Prabu Jayakatwang, dia sangat kaget, mengira bahwa tentu Raja Kediri itu akan menumpahkan kemarahan kepadanya. Akan tetapi, Resi Maha?pati memberitahukan tentang keinginan Ki Buyut Pranamaya mengabdikan diri ke Kediri.
"Mungkin guru akan dijadikan utusan Sang Prabu untuk menyampaikan tugas pen?ting sebagai uji coba kesetiaan yang diberi kan Sang Prabu kepada Guru" Demikian antara lain Resi Mahapati mengemukakan pendapatnya. Mendengar ini, legalah hati Ki Cucut Kalasekti, bahkan dia seperti mendapat sinar terang. Kenapa tidak mengajak Ki Buyut Pranamaya untuk membantu dia mencari Wu?lansari dan merampas kembali tombak pusaka itu" Dia sudah mendengar akan kesaktian Ki Buyut Pranamaya, seorang datuk sesat yang kedudukannya setingkat dengan dia sendiri.
Demikianlah, Resi Mahapati dan Gagak Wulung meninggalkan Bendowinangun dan kembali ke Bukit Srindil untuk menghadap Ki Buyut Pranamaya, dan dalam perjalanan ini, tanpa setahu mereka, mereka mendahului Nurseta yang segera membayangi mereka dari jauh karena Nurseta mengenal 6agak Wulung yang memang dicarinya bertalian dengan perbuatannya kepada Pertiwi.
Adapun Adipati Satyanegara atau Ki Cucut Kalasekti sendiri, dengan cepat segera pergi ke ibu kota Kediri untuk menghadap Sang Prabu Jayakatwang. Sang Prabu Jayakatwang membubarkan persidangan dan menerima Ki Cucut Kalasekti berdua saja karena apa yang akan dibicarakan merupakan rahasia yang raja itu tidak ingin orang lain mendengarnya. Yaitu mengenai lenyapnya tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Kalau hal ini diketahui oleh pa?ra senopati dan ponggawa, tentu akan melemahkan semangat mereka karena pusaka itu dianggap sebagai wahyu kerajaan. Para senopati bahkan seluruh perajurit Daha percaya penuh akan keampuhan Tejanirmala. Bukankah setelah raja mereka menguasai pusaka itu, penyerbuan ke Singosari berhasil dengan cepat dan dengan baik sekali" Maka, kalau sampai hilangnya pusaka ini ketahuan para ponggawa, tentu akan menimbulkan kegemparan dan menjatuhkan semangat mereka,
Dengan alis berkerut, Sang Prabu Jayakat?wang mendengarkan laporan Adipati Satyanegara tentang belum berhasilnya adipati itu melacak jejak Wulansari dan Puteri Gayatri. Bagi Sribaginda, kedua orang gadis itu tidak terlalu banyak artinya. Yang terpenting, tom?bak pusaka Ki Ageng Tejanirmala harus kem?bali ke tangannya.
"Harap paduka jangan khawatir. Hamba sudah menyebar banyak orang untuk menyelidiki di mana adanya Wulansari. Begitu ham?ba mengetahui di mana ia berada, biar di neraka sekalipun, tentu hamba akan mendatanginya dan kalau pusaka itu tidak dapat hamba minta dengan baik, biar ia pernah menjadi murid hamba, tentu ia akan hamba bunuh dan hamba rampas pusaka itu untuk paduka".
Sang Prabu Jayakatwang mengangguk-angguk. "Aku percaya kepadamu, akan tetapi ingat, Kau yang dahulu menjadi gurunya, maka, kau pula yang bertanggung jawab. Sekarang, kau kuutus untuk menemui Ki Buyut Pranamaya di Bukit Srindil. Ajaklah dia untuk mendapatkan kembali pusaka itu. Selain itu, ajak dia untuk melakukan penyelidikkan terhadap Raden Wijaya yang kini membuka hutan baru di daerah Tarik. Ada kabar angin yang menyatakan bahwa banyak orang Madura berdatangan di tempat itu yang dinamakan Majapahit. Biarpun belum ada tanda-tanda mencurigakan, namun kami ingin se?kali merasa yakin bahwa Raden Wijaya tetap setia kepada kami. Kalau dia dapat melaksanakan dua tugas itu dengan baik, barulah kami menerimanya dan akan memberi kedudukan yang sepadan dengan jasanya"
Bukan main girang rasa hati Ki Cucut Ka?lasekti. Memang itulah yang dia kehendaki. Dengan bantuan seorang datuk seperti Ki Bu?yut Pranamaya, akan lebih mudahlah baginya untuk mendapatkan kembali pusaka itu. Dia tidak khawatir menghadapi Wulansari, bekas muridnya itu. Akan tetapi dia tahu bahwa Wu?lansari mencinta seorang pemuda yang amat tangguh, yaitu Nurseta dan di belakang Nur?seta terdapat banyak tokoh yang pandai. Ka?lau dia dan Ki Buyut Pranamaya maju bersa?ma, dia merasa yakin bahwa mereka berdua akan mampu menandingi siapapun juga. Biar mendiang Panembahan Sidik Danasura hidup lagi, dia tidak akan takut menandinginya ka?lau dibantu Ki Buyut Pranamaya.
*** Hari telah mulai gelap dan Nurseta terpaksa turun dari Bukit Srindil karena setelah menanti sejak tadi, yang ditunggu-tunggu, yaitu Gagak Wulung, tidak juga turun. Ketika dia membayangi Gagak Wulung dan Resi Ma?hapati yang tidak dikenalnya itu, dia melihat mereka mendaki Bukit Srindil. Karena bukit itu penuh dengan hutan, mudah baginya untuk membayangi mereka tanpa diketahui dan akhir?nya, dari jauh dia melihat betapa mereka berdua itu berhenti di depan sebuah gubuk besar darurat. Dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika dia melihat seorang wanita cantik berada di depan gubuk itu. Ni Dedeh Sawitri.
Nurseta merasa betapa jantungnya berdebar tegang, dan kedua lututnya mendadak menjadi lemas. Wanita itu, yang dikenalnya sebagai se?orang iblis betina, adalah ibu kandungnya. Seorang wanita yang cantik dan anggun me?mang, biarpun usianya sudah limapuluh tahun lebih. Dia akan merasa bangga mempunyai se?orang ibu yang demikian anggunnya. Akan te?tapi wataknya. Sungguh mengerikan dan memalukan. Terkenal sebagai iblis betina yang amat kejam dan penuh racun. Dan wanita itu adalah lbunya, ibu kandung yang pernah mengandung dan melahirkan dirinya.
Pukulan batin ini lebih dikejutkan lagi ketika dari dalam gubuk itu muncul storang kakek tua renta yang. berpakaian hitam, pakaian petani. Ki Buyut Pranamaya atau yang pernah menyamar sebagai Wiku Bayunirada datuk sesat pertama yang merampas tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala dan gara gara perbuatan datuk inilah maka tombak pusaka itu sampai terampas dari tangan mendiang Ki Baka, ayah angkatnya sehingga kini pusaka itu hilang dan kemungkinan besar berada di tangan Sang Prabu Jayakatwang di Kediri.
Bahkan mungkin sekali lenyapnya tombak pusaka itu yang mendatangkan keruntuhan dan kejatuhan bagi Si?ngosari. Dia mengenal kakek itu dan tahu akan kesaktiannya. Menghadapi kakek itu dia tidak takut, akan tetapi di sana ada Gagak Wulung, ada pula Ni Dedeh Sawitri yang belum tahu bahwa dia adalah anak kandungnya, dan ada pula penunggang kuda berpakaian pendeta itu. Selain itu masih nampak pula tiga orang pria dan tiga wanita. Kalau dia menyerang Gagak Wulung, tentu mereka semua akan membantu Gagak Wulung dan berbahayalah bagi dirinya kalau harus menghadapi pengeroyokan mereka. Maka, dia lalu bersembunyi dan menanti sam?pai Gagak Wulung meninggalkan tempat itu dan turun dari bukit. Akan tetapi, sampai sore dan cuaca mulai gelap, Gagak Wulung tidak nam?pak turun. Tahulah dia bahwa Gagak Wulung agaknya tinggal pula di sana. Dia harus bersabar dan menanti sampai besok.
Ketika dia menuruni bukit hendak mencari dusun di kaki bukit agar dia dapat mondok melewatkan malam itu, tiba-tiba dari kaki bu?kit itu nampak bayangan orang mendaki naik dengan cepat sekali. Dia menyelinap ke balik batang pohon besar dan ketika bayangan itu lewat, dia kaget bukan main mengenal orang itu sebagai Ki Cucut Kalasekti. Kakek iblis ini berkunjung kepada Ki Buyut Pranamaya. Ada hubungan apakah antara kedua orang datuk be?sar golongan hitam itu" Kalau|mereka berdua itu bersekutu, alangkah berbahayanya dan kuatnya. Untung dia tadi mengambil keputusan untuk turun dari bukit. Kalau dia nekat menyerang Gagak Wulung di sana, kemudian dikeroyok dan datang pula Ki Cucut Kalasekti yang membantu mereka, sukar diharapkan dia akan dapat menyelamatkan diri.
Di kaki Bukit Srindil sebelah selatan terdapat sebuah dusun yang nampak dari atas. Nurseta segera menuju ke dusun itu. Di dusun itu dia tentu akan dapat mencari keterangan tentang mereka yang tinggal di puncak bukit. Dusun itu kecil saja, hanya ditinggali tigapuluh keluarga lebih. Mereka adalah petani-petani yang hidup sederhana. Melihat sebuah rumah yang agak besar dan memiliki pekarangan yang luas, rumah yang kelihatan bersih dan terawat, juga dari dalam rumah itu nampak sinar pelita yang jauh lebih terang dari pada rumah-rumah lain, Narseta lalu menghampiri rumah itu. Dia percaya akan keramahan para petam dusun yang tentu akan menerimanya de?ngan baik untuk melewatkan malam itu di da?lam rumah.
Akan tetapi, ketika dia sudah mendekati rumah itu, dia mendengar suara ribut ribut. Pertengkaran mulut antara suami isteri terdengar dari dalam rumah itu. Perang mulut antara suami dan isteri, atau lebih tepat lagi serangan bertubi-tubi lewat suara mulut dari seorang isteri yang marah-marah.
"Dasar kau memang seorang isteri yang cemburuan dan cerewet" suara pria yang diserang bertubi-tubi itu mencoba untuk membalas. Akan tetapi balasan yang sekalimat ini segera disambut oleh serangan yang semakin ganas.
"Apa kau bilang" Seorang isteri yang cem?buruan dan cerewet" Huh, kaulah laki-laki yang mata keranjang, hidung belang. Kau bermuka-muka dan menjilat-jilat secara tak ta?hu malu kalau sudah melihat wanita lain tidak ingat bahwa wanita itu biarpun cantik sudah tua. Engkau laki-laki muka tebal, lupa bahwa keadaan sendiri tidak mampu, berlagak kaya dan royal kalau sudah bertemu wanita cantik.
Engkau sungguh memuakkan........ ahhhh........ benci aku.......benci.........benci" Wanita
itupun menangis.
"Cukup. Kalau engkau tidak menutup mulutmu, terpaksa akan kuhajar"
Ucapan laki-laki ini agaknya bagaikan minyak bakar yang disiramkan pada api. Kemarahan wanita itu semakin berkobar. "Apa kau? biiang tadi" Kau mau menghajarku" Cobalah. Lakukanlah. Kaukira aku takut" Hayo hajar aku, lekas hajar. Kau mau apa, huh, laki-laki pengecut"
"Cukup, mbokne, sekali lagi kau bicara, akan kupukul mulutmu" suara laki laki itu membentak dan dari suaranya, dapat dirasakan betapa dia sudah tidak mampu menahan kemarahannya lagi. Nurseta sudah mengintai da?ri balik pintu yang masih terbuka dan dia me?lihat seorang laki-laki dan seorang wanita yang sedang perang mulut itu berdiri seperti dua ekor ayam aduan yang berlagak, siap akan bertarung. Usia mereka antara empatpuluh sampai empatpuluh lima tahun.
"Apa " Mau pukul " Pukullah, hayo, Pukullah. Pukul aku sampai mati. Lebih baik mati dari pada mempunyai suami seperti kau.."
Pria itu melangkah maju dan tangannya menampar. "Plakkk........I" Wanita itu terpelanting dan menjerit, lalu menangis menjerit-jerit. Bibirnya pecah dan berdarah. Pria itu berdiri terbelalak, seolah tidak percaya akan apa yang telah terjadi. Belum pernah dia memukul isterinya semenjak mereka men?jadi suami isteri.
Pada saat itu, Nurseta batuk batuk dan bwseru. "Kulonuwun......."
Suami itu membalikkan tubuh menghadap ke pintu, sedangkan sang isteri menghentikan tangisnya, menengok dan melihat munculnya seorang tamu, iapun masuk ke dalam sambil terisak ditahan.
Pria itu menghampiri Nurseta yang berdiri di ambang pintu. "Mari silakan masuk, kisanak" kata tuan rumah dan suaranya tidak marah lagi, melainkan ramah. "Mari silakan dudik"
"Terima kasih, dan maafKan kalau aku mengganggu"
"Ah, tidak sama sekali. Silakan duduk" Setelah tamunya duduk berhadapan dengannya terhalang meja, tuan rumah itu mengamati wajah yang tampan dari tamunya, lalu bertanya "Siapakah kisanak, dan ada keperluan apakah datang berkunjung ke gubuk yang buruk kami ini ?"
"Maafkan aku, kisanak. Namaku Nurseta dan aku sedang melakukan perjalanan jauh, lalu kemalaman di sini. Oleh karena itu, apa bila sekiranya kalian tidak berkeberatan, aku ingin mondok satu malam saja di sini. Besok pagi-pagi aku akan melanjutkan perjalanan. Akan tetapi kalau kalian merasa keberatan, tentu saja aku tidak berani memaksa dan.."
"Ah, tidak sama sekali, kisanak. Kami ha?nya tinggal berdua saja di rumah ini. Anak tunggal kami baru sudah setengah tahun ini tinggal bersama suammya ke dusun lain. Silakan tinggal di sini semalam. Ada sebuah bilik bekas tempat anak kami. Perkenalkan, namaku Ki Puter dan para penduduk di dusun kecil ini memilih aku sebagai kepala dusun" Ki Puter menoleh kearah dalam. "Mbokne....... Ada tamu, cepat sediakan makan dan minum"
"Ah, aku tidak ingin merepotkan, hanya ingin melewatkan malam. Harap kalian jangan repot-repot..."
"Tidak mengapa, kisanak. Memang kami belum makan malam dan makanan sudah sedia. Mbokneee......".
"Tungguuuu......., sedang kupersiapkan ......." terdengar jawaban dari dalam rumah.
Suara wanita tadi, pikir Nurseta, sudah tidak menangis lagi akan tetapi suaranya masih parau bekas tangis.
Sambil menanti dihidangkannya makan ma?lam, Nurseta mulai memancing keterangan tuan rumah. "Tadi aku sudah mendaki bukit ini dan sampai diatas, akan tetapi di sana tidak terdapat dusun, hanya hutan dan di puncak aku melihat sebuah gubuk besar dengan orang-orang yang aneh. Aku lalu turun kem?bali dan menuju ke dusun ini, melihat rumah kalian dan aku merasa tertarik"
Ki Puter mengangguk-angguk. "Aku girang sekali bahwa kau telah memilih rumah kami, kisanak. Kulihat andika masih muda, lebih muda dariku, biarlah aku menyebutmu adi. Adi Nurseta, kukatakan tadi, aku girang kau datang karena kau telah menghentikan pertengkaran kami yang tentu telah kau dengar dari luar rumah tadi"
Nurseta tersenyum dan di dalam hatinya, dia mulai merasa kagum dan suka kepada orang ini. "Bolehkah aku menyebutmu kakang", akupun girang sekali tidak salah memilih tempat bermalam karena kau ternyata ramah sekali. Maafkan kalau aku mengganggu. Terus terang saja, ketika memasuki rumah ini, aku mendengar pertengkaran kalian, maka aku sengaja berseru agar pertengkaran itu berhenti"
Ki Puter tersenyum lebar, "Ha ha, terima kasih. Kau baik sekali" Dia menoleh ke dalam lalu berkata lirih. "Ia memalukan saja, memang cerewetnya bukan main"
Nurseta tidak mau membicarakan keburukan isteri tuan rumah maka dia mengalihkan percakapan. "Kakang Puter, siapakah orang-orang aneh di puncak bukit itu" Kulihat gubuk itu masih baru. Orang-orangnya kelihatan aneh"
Karena pertanyaan itu sambil lalu saja, Ki Puter tidak mencurigai sesuatu dan diapun mengangguk. "Memang aneh. Mereka adalah orang-orang kota, berpakaian indah dan me-nunggang kuda yang tinggi besar, Anehnya, mengapa para prlyayi (bangsawan) itu membuat gubug di puncak itu dan tinggal di sana?"
"Siapakah mereka itu, kakang" Dan mau apa mereka tinggai di tempat sunyi penuh hutan itu?"
Ki lurah dusun kecil itu menggeleng kepala. "Aku tidak tahu. Mereka datang sembilan orang. Beberapa hari yang lalu mereka datang dan berhenti di dusun ini. Seorang ka?kek tua renta yang menyeramkan, seorang wanita cantik pesolek dan seorang pria, mung?kin suami isteri, dan enam orang yang agaknya menjadi pengikut, tiga pria tiga wanita yang nampak taat terhadap kakek tua renta. Mereka lalu naik ke bukit dan membuat gubuk di sana, Karena mereka tidak mengganggu kami sedusun, kamipun tidak melakukan sesuatu, bahkan tidak berani naik karena kakek tua renta itu menyeramkan. Dan wanita cantik itu ........ ialah yang tadi membuat kami bertengkar" Wajah Ki Puter nampak kemerahan dan dia agak tersipu.
"Kalau boleh aku bertanya, kakang. Meng?apa ia menjadi bahan pertengkaran " Apakah yang telah dilakukan wanita itu?" Nurseta membayangkan wajah cantik Ni Dsdeh Sawitri, wajah ibu kandungnya.
Ki Puter menahan ketawanya. "Ah, dasar isteriku yang cerewet bukan main. Kemarin
dulu wanita itu datang ke sini dan ia ingin membeli dua ekor ayam dan beberapa butir. telur. Karena kulihat ia seorang priyayi dan sikapnya manis sekali, maka aku yang bukan pedagang merasa sungkan, lalu kuberikan saja kepadanya dua ekor ayam dan sepuluh butir telur. Nah, itulah yang membuat isteriku marah-marah sejak saat itu, penuh cemburu dan cerewet sekali"
Pada saat itu, isteri Ki Puter keluar membawa baki berisi makanan dan minuman. Wa?nita itu tidak menangis lagi walaupun matanya masih merah dan bibirnya agak menjendol, akan tetapi ia masih sempat tersenyum kepada Nurseta.
"Hanya hidangan sederhana saja" katanya lembut. "Nasi dan sayur gori dan sambal. Minumnya juga hanya air teh. Silakan"
"Terima kasih, mbakayu, aku hanya merepotkan saja" kata Nurseta,
"Ah, sama sekali tidak, hanya hidangan se?perti ini. Silakan" katanya pula dan iapun mundur lagi masuk ke dalam.
Merekapun makan. Karena jelas bahwa tuan rumah tidak tahu apa-apa tentang mereka yang tinggal di puncak Bukit Srindil, Nurseta juga tidak bertanya lagi. "Kulihat isterimu ramah dan baik sekali, juga masakannya ini, walaupun hanya sayur gori dan sambal, enak sekali" Nurseta memuji.
Tuan rumah itu tersenyum senang "Me?mang, ia pandai masak, rajin mengurus rumah
dan pada umumnya baik. Hanya itu Iho....... cerewetnya tidak ketulungan lagi. Minta ampun aku sama cerewetnya. Kalau dia sedang marah, dia mengomel terus menerus panjang pendek dan bukan main kuatnya. Dia dapat bertahan mengomel dari pagi_sampai malam. Hanya satu itu saja yang kupinta darinya, yaitu jangan cerewet. Apa sih sukarnya menutup mulut dan menelan kembali semua kata-kata yang hendak menerocos keluar itu"
"Itulah sebabnya, kakang. Keinginanmu agar ia tidak cerewet itulah yang menyebabkan ia cerewet" kata Nurseta.
"Wah " Apa maksudmu?"
Nurseta tidak menjawab karena pada saat itu, isteri Ki Puter keluar untuk menyingkirkan bekas makan dan membersihkan tikar. Setelah wanita ita masuk lagi, Ki Puter mendesak.
"Adi Nurseta, aku masih penasaran. Kau tadi mengatakan bahwa justeru keinginanku agar ia tidak cerewet itulah yang menyebabkan ia cerewet. Bagaimana ini " Aku tidak mengerti"
"Kakang Puter, bukankah kau ingin merobah keadaan isterimu itu, ingin melihat ia yang kakang anggap cerewet menjadi tidak cerewet?"
"Tentu saja. Dan bukankah keinginan itu baik" Aku ingin melihat ia dari keadaan yang tidak baik menjadi baik "
Nurseta tersenyum. Teringat dia akan percakapan tentang keinginan merubah ini antara dia dan mendiang Panembahan Sidik Danasura dan mata hatinya terbuka oleh penjelasan mendiang gurunya itu, Keadaan Ki Puter sama seperti dia sebelum dia mendapatkan penjelas?an dan menyadari akan kebenaran yang terbuka sihingga dia dapat dan mampu melihatnya.
"Baik untuk siapa, kakang " Bukankah yang kakang inginkan itu adalah satu keadaan dari isteri kakang yang baik untukmu" Menyenangkan untukmu " Kita selalu condong untuk me?ngatakan baik kalau seseorang menguntungkan kita, dan buruk kalau sebaliknya merugikan kita lahir batin. Keinginan melihat suatu ke?adaan seperti yang dikehendakinya, yang berlawanan dengan kenyataannya, nah, keingin?an inilah yang menimbulkan sengketa dan pertentangan yang dimulai dari pertentangan jalan batin kita sendiri. Kita selalu menghendaki yang kita anggap baik dan menyenangkan kita, dan kita menuntut ini dari apa sa?ja, dari benda sampai dari manusia lain. Kita ingin seluruh alam dan isinya ini semua menyenangkan kita belaka. Karena itu, timbullah pertentangan batin yang tiada hentinya. Kita tidak mampu menerima kenyataan apa adanya. Padahal, di sinilah letak rahasia apa yang dinamakan kebahagiaan hidup, yaitu dalam sikap dapat menerima kenyataan seperti apa adanya tanpa menilainya sebagai yang baik ataupun yang buruk, Kalau penerimaan akan kenyataan ini bebas dari penilaian, bebas dari kehendak siaku yang selalu ingin senang, ten?tu tidak akan timbul pertentangan"
Biarpun dia diangkat menjadi lurah dusun kecil itu, apa yang dikatakan Nurseta terlalu sukar bagi Ki Puter untuk dapat menerimanya dan mengerti.
"Nanti dulu, adi Nurseta. Aku sungguh ti?dak mengerti dan menjadi bingung. Apa yang kau maksudkan dengan semua kata-katamu itu?"
Nurseta tersenyum. Dia lupa bahwa dia berhadapan dengan seorang petani yang po?los dan sederhana. Kata-kata hanya merupakan suatu keindahan yang muluk-muluk, tentu tidak dapat dimengerti oleh Ki Puter. Dia mencoba yang lain, dengan contoh yang sederhana.
"Kakang Puter, kalau kakang hendak mulai menanam padi lalu turun hujan, bagaimana perasaan kakang ?"
"Tentu saja girang"
"Kalau padi mulai menua lalu turun hujan lebat " Bagaimana perasaanmu?"
"Wah, tentu susah karena padi itu terancam kerusakan"
"Akan tetapi, mungkinkah kau merubah turunnya hujan " Damikianlah, kakang Puter. Hujan itu suatu keadaan, tidak baik maupun buruk. Akan tetapi kita manusia ini selalu menghendaki agar hujan, seperti juga segala keadaan di dunia ini. terjadi sesuai dengan ke?inginan kita, yang menguntungkan kita. Kalau terjadi sebaliknya, maka kita merasa tidak se?nang dan menentangnya. Kita tidak mampu menerima segala sesuatu seperti apa adanya saat itu. Kalau kita memiliki seni menerima kenyataan, maka, kita tidak akan menentang dan akan timbul kebijaksanaan bagaimana kita dapat menyesuaikan diri dengan kenyataan itu. Mengertikah kakang?"
Ki Puter mengerutkan alisnya, akan tetapi mengangguk. "Sedikit, adi. Mengerti sedikit. Kita menerima kenyataan tentang hujan, tanpa menentang dan kita menyesuaikan diri, menja?di bijaksana sehingga kita menanam padi menurut perhitungan agar mendapat air cukup dan tidak tertimpa hujan lebat. Kita atur musimnya menanam padi......"
"Benar kakang Pater"
"Tapi, apa hubungannya antara hujan de?ngan....... isteri cerewet?"
Nurseta tersenyum. Alangkah sederhana jalan pikiran Ki Puter, pikirnya, kagum karena sesungguhnya, pikiran sederhana itu tidak menimbulkan banyak persoalan hidup.
"Satu contoh lagi, kakang. Ada seekor an?jing menggonggong dan menggereng-gereng seperti marah kalau kita lewat. Kita menjadi marah dan memakinya sebagai anjing yang kurang ajar dan sebagainya, kita mengambil batu dan menyambitnya. Anjing itu bahkan semakin marah dan gonggongannya semakin keras. Tidak benarkah begitu?"
Ki Puter mengangguk-angguk, makin tidak mengerti mengapa contohnya seekor anjing.
"Nah, pertentangan batin timbul karena ki?ta ingin agar anjing itu tidak bersikap seperti itu. Kita ingin melihat anjing itu duduk diam baik-baik. Kita lalu menyebutnya anjing jahat, kurang ajar dan sebagainya. Kita ingin anjing itu berubah. Inilah yang tidak mungkin. Kita tidak mungkin merobah anjing itu, seperti juga tidak mungkin merobah turunnya hujan. Apa yang seyogianya kita lakukan" Kitalah yang harus berobah. Kitalah yang harus me-nyesuaikan diri. Kalau hujan turun, kita buatkan belokan dan saluran agar tanaman kita tidak kebanjiran, kita pergunakan payung agar tidak kehujanan dan sebagainya. Bagaimana kalau kita menghadapi anjing yang menyalak dan menggonggong marah" Kalau kita tidak menentangnya, tidak menganggapnya jahat, lalu timbul kebijaksanaan dan kita dapat mempergunakan akal budi. Kita bersikap ramah, kita beri sesuatu, tanpa ingin merobah anjing itu. Dan apa yang terjadi" Bukan mustahil bahwa kalau kita sudah merobah diri kita sendiri, anjing yang tadinya menyalak-nyalak itu berubah menjadi jinak dan lunak, mengikuti kita dengan ekornya bergoyang-goyang manja"
Sejenak Ki Puter melongo, kemudian meledaklah suara ketawanya. Dia merasa baru tergugah dari tidur nyenyak. Kini matanya terbuka dan dia dapat melihat kenyataan itu. Dia tertawa bergelak gelak dan melihat ini, Nurseta juga tertawa, dalam hatinya merasa girang karena melihat tuan rumah telah ter?buka hatinya dan dapat melihat kenyataan itu.
Isteri Ki Puter keluar dari dalam, memandang kepada suaminya dengan heran. "Eh, eh, apa yang terjadi" Kenapa engkau tertawatawa seperti itu, pakne" Apanya yang lucu?"
"Hahahaha........ engkau benar, mbokne. Baru sekarang aku tahu bahwa perbuatanku
yang kemaren dulu itu tidak benar. Aku ingin ramah kepada seorang tamu, akan tetapi tamu itu wanita dan cantik pula. Tentu saja engkau menjadi cemburu dan marah. Bukan salahmu, akulah yang bodoh tidak melihat kenyataan. Biarlah, kalau ia datang lagi, aku akan beri harga kepada barang yang dibutuhkannya, de?ngan harga dua kali lipat"
Jelas nampak oleh Ki Puter dan Nurseta betapa wajah yang tadinya mengeras itu kini melunak, pandang mata yang keras itu kini melembut dan bibir yang masih menyendol bekas tamparan itu merekah dalam senyum.
"Akupun tahu engkau tidak mata keranjang, pakne. Hanya aku merasa panas. Biar?lah, kalau ia datang lagi, aku yang akan urus. Akan kuberi dengan harga murah. Engkau be?nar, memang kita harus ramah dan murah hati terhadap tamu. Akan tetapi kalau tamunya wanita, biar aku yang menghadapi, kalau pria, bagianmulah itu. Engkau tidak bersalah, aku yang pencemburu......." Wanita itu terse?nyum lebar dan masuk kembali. Ki Puter dan Nurseta saling pandang dan Ki Puter tertawa lagi, tertawa dengan penuh kegembiraan.
Dia kini menemukan kunci rahasia yang amat se?derhana namun yang merupakan kunci penghalau semua pertentangan batin. Segala sesuatu itu wajar, yang begitu sudah begitu, yang be?gini biarlah begini. Kita tidak berhak merobah yang berada di luar diri, akan tetapi wajib merobah diri sendiri. Dengan merobah diri sendiri, segalanya akan berjalan lancar. An?jing galak itu menjadi jinak.
"Hahahaha, harimau galak dapat menjadi jinak. Haha, terima kasih, adi Nurseta"
Malam itu Nurseta tidur di atas dipan bambu di kamarnya. Dia tersenyum senyum kalau ingat akan peristiwa tadi. Sikap suami isteri itu tadi nampak begitu mesra, saling mengalah. Dan pada keesokan harinya, ketika pagi pagi sekali dia bangun, suami isteri itu telah bangun dan mereka nampak rukun bukan main, rukun dan mesra sehingga diam diam Nurseta merasa geli akan tetapi juga girang.
"Terima kasih, kakang Puter dan mbakayu. Kalian baik sekali kepadaku. Mudah-mudahan kelak kita akan dapat saling berjumpa kembali"
"Sepagi ini sudah hendak melanjutkan per?jalanan, adi Nurseta " Wah, tahukah kau bahwa kau yang banya datang semalam ini, bagaikan karunia dewata saja bagiku" Akulah yang berterima kasih kepadamu, adi Nurseta"
Nurseta pergi dan tanpa dilihat siapapun, dia menyelinap di antara pohon pohon, lalu mendaki Bukit Srirdil karena dia hendak me?lanjutkan penyelidikannya. Kini tidak hanya
untuk menemui Gigak Wulung dan menghukumnya, akan tetapi kalau mungkin dia ingin pula berjumpa berdua saja dengan Ni Dedeh Sawitri, ibu kandungnya.
*** Tadinya Nurseta bermaksud untuk bersembunyi dan mengintai, mencari kesempatan baik menemui sendiri Gagak Wulung atau Ni Dedeh Sawitri karena dia tahu bahwa kalau dia langsung menjumpai mereka, tentu dua orang datuk sakti Ki Cucut Kalasekti dan Ki Buyut Pranamaya tidak akan membiarkan dia lolos. Akan tetapi. ketika dia menyusup di antara pohon-pohon besar dan semak semak belukar dan tiba di dekat gubuk itu, dia men?dengar teriakan-teriakan nyaring dan kasar dari seorang laki-laki.
"Gagak Wulung jahanam busuk, manusia berhati binatang dan pengecut besar, keluarlah engkau dan jangan bersembunyi"
Berulangkali suara ini menantang, Suara yang tidak asing bagi Nurseta. Dia cepat mendekat dan mengintai. Tak salah dugaannya. Suara Ki Jembros, kakek yang gagah perkasa itu. Dan di samping kakek ini berdiri seorang pemuda yang tampan dan bersikap tenang ga?gah. Celaka, pikir Nurseta. Ki Jembros adalah seorang pendekar yang besar dan gagah per?kasa, namun terlalu berani sehingga sembrono sekali. Tempat itu merupakan sarang yang amat berbahaya. Dia hendak menegur dan memperingatkan Ki Jembros, namun terlambat karena pada saat itu, nampak beberapa orang telah keluar dari gubuk besar itu.
Ketika me?lihat orang-orang yang muncul itu, Ki Jembros terbelalak. Matanya yang lebar itu menjadi besar sekali karena dia melihat dua orang kakek tua renta yang sama sekali tak disangkanya berada di tempat itu.
"Ki Cucut Kalasekti dan........dan Ki Buyut Pranamaya.......?" katanya seperti tidak percaya.
Sementara itu, pemuda tampan yang berdiri di samping Ki Jembros, yang bukan lain adalah Pertiwi, begitu melihat bahwa seorang di antara mereka yang muncul itu adalah Gagak Wulung, tidak memperdulikan apapun lagi dan ia sudah mencabut kerisnya, langsung saja ia menyerang Gigak Wulung dengan ganas dan nekat.
Serangan itu cukup berbahaya, cepat dan kuat, maka Gagak Wulung yang tidak mengenal gadis yang menyamar pria itu terkejut, lalu melompat ke samping.
"Eh........, ohh......... Siapa kau dan mengapa menyerangku ?" serunya, akan tetapi Pertiwi tidak mengeluarkan kata-kata, melainkan terus saja menyerang dengan dahsyat, dengan niat membunuh karena serangannya itu terdorong oleh hati yang amat sakit dan penuh dendam. Kembali Gagak Wulung mengelak dan meloncat ke belakang.
"Hem, bocah setan, agaknya engkau sudah bosan hidup" bentak Gagak Wulung sambil mencabut pedangnya. Dia tadi melihat betapa serangan pemuda tampan itu ganas sekali, maka dia mencabut pedang untuk membela diri dan membalas serangan. Terjadilah perkelahian yang seru antara mereka. Ternyata Pertiwi telah mewarisi ilmu kepandaian dari Ki Jembros, sehingga gadis itu kini mampu menandingi Gagak Wulung. Betapapun juga, ia masih kalah pengalaman, maka pedang di tangan Gagak Wulung mulai mendesaknya.
Melihat ini, tiba-tiba Ni Dedeh Sawitri yang sejak tadi memperhatikan Pertiwi dan kagum melihat pemuda yang demikian tampan dan manisnya, melompat ke depan.
"Gagak Wulung, jangan bunuh dulu pemuda ini" katanya dan iapun menyerang dengan cakaran tangannya. Tentu saja Pertiwi terkejut dan makin terdesak oleh dua orang yang selain tinggi ilmunya, juga memiliki pengalaman berkelahi yang luas itu, tidak seperti ia yang bagaikan burung baru belajar terbang.
Melihat muridnya dikeroyok dua dan ter?desak, Ki Jembros tidak mungkin tinggal diam saja. "Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri, kalian memang manusia-manusia iblis" bentaknya dan diapun meloncat.ke depan, tangan?nya bergerak menyambar mendatangkan angin pukulan dahsyat ke arah Gagak Wulung. Itulah aji pukulan Hastobairowo yang ampuhnya bu?kan kepalang.
"Dukkk" Pukulan dahsyat itu tertahan di udara oleh tangkisan sebuah tangan Iain. Tangan Ki Buyut Pranamaya dan tangkisan itu membuat tubuh Ki Jembros terhuyung ke belakang.
"Bagus, Ki Buyut Pranamaya melidungi iblis-iblis ini. Sudah sepatutnya, iblis tua membela iblis-iblis yang muda. Biarlah aku mengadu nyawa dengan kalian iblis-iblisj jahat"
Setelah berkata demikian, dengan nekat, untuk membe?la muridnya, Ki Jembros menerjang lagi, sekali ini dia menyerang Ki Buyut Pranamaya yang disambut oleh kakek tua renta yang amat tangguh itu.
Melihat betapa Ki Jembros dan pemuda itu terdesak hebat, tentu saja Nurseta tidak mung-kin berdiam diri saja. Dia tahu betapa lawan berjumlah banyak dan amat sakti, namun dia-pun tidak dapat membiarkan Ki Jembros terancam bahaya maut tanpa membantu. Dia lalu meloncat dan sekali meloncat dia sudah tiba di tempat pertempuran.
"Paman Jembros, jangan khawatir, saya mem?bantu paman" serunya dan pada saat itu, Ki Jembros sedang terdesak hebat karena diancam tendangan Cakrabairawa yang bertubi-tubi datangnya. Kalau Nurseta tidak datang agaknya Ki Jembros akhirnya akan roboh tertendang.
"Desss" Tangkisan lengan Nurseta mengenai kaki Ki Buyut Pranamaya dan kakek ini mengeluarkan seruan kaget dan tubuhnya sampai terputar. Memang Nurseta telah menerima gemblengan paling akhir dari Panembahan Sidik Danasura sehingga ilmu kepandaiannya kini mencapai tingkat yang tinggi, dengan tenaga sakti yang amat kuat. Ki Buyut Pranamaya sam?pai terkejut bukan main ketika tendangan kakinya yang tadi mengancam Ki Jembros tertangkis tangan pemuda itu sehingga tubuhnya sampai berputar.
"Haha, kiranya Nurseta yang datang mengantarkan nyawa" Ki Cucut Kalasekti tertawa dan diapun maju menyerang Nurseta, dari mulutnya keluar suara mendesis seperti ular dan tangannya sudah menyambar-nyambar dahsyat karena kakek ini, yang sudah tahu akan ketangguhan Nurseta, begitu menyerang telah mengerahkan tenaganya dan mengeluarkan satu di antara aji-aji kesaktiannya yang ampuh, yaitu aji pukulan Gelap Sewu,
Nurseta mengenal aji pukulan yang ampuh ini maka diapun mengerahkan tenaganya, menangkis dan membalas dengan pukulan yang tidak kalah ampuhnya, yaitu aji pukulan Jagad Pralaya yang kalau mengenai lawan tak mung?kin dapat bertahan lagi. Ki Cucut Kalasekti terkejut dan cepat dia meloncat ke belakang untuk mengelak, kemudian membalas lagi de?ngan pukulan jarak jauh yang disertai tenaga sakti.
"Wuuuttt........ " Angin pukulan dahsyat menyambar, ganas ke arah Nurseta dan terdengar suaranya seperti air mendidih, itulah aji pukulan Segoro Umub, pukulan yang mengandung tenaga panas. Nurseta mengelak dan dua orang itu mulai serang-menyerang dengan aji-aji pukulan dahsyat yang mendatangkan angin menyambar nyambar.
Ki Jembros boleh jadi digdaya, memiliki kekebalan dan juga memiliki kegagahan, Na?mun, berhadapan dengan Ki Buyut Pranamaya dia kalah jauh. Lawannya adalah seorang da?tuk besar yang memiliki aji kesaktian seperti iblis. Biarpun Ki Jembros mengamuk seperti Werkudara, tetap saja dia terdesak. Pada saat itu, Pertiwi juga didesak hebat oleh pengeroyokan Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri. Pertiwi juga berkelahi dengan nekat tanpa memperdulikan keselamatan dirinya lagi. Tujuannya hanya satu, yaitu membunuh Gagak Wulung yang amat dibencinya.
Namun arena ia selalu menyerang dan memperhatikan Gagak Wulung, akhirnya, tamparan tangan Ni Dcdeh Sawitri tak dapat dihindarkan, mengenai tengkuknya dan Pertiwi roboh dengan tubuh lemas terkulai.
"Hihik, dia tidak boleh mati dulu, Gagak Wulung. Sayang begini muda dan tampan kalau dibunuh begitu saja" Setelah berkata demikian, wanita iblis ini menjulurkan tangannya hendak mencengkeram baju Pertiwi dan akan dibawanya pergi. Akan tetapj begitu tangannya menyentuh dada yang padat, menyentuh payudara yang ranum, ia menjerit dan menarik tangannya. Lalu jari tangannya bergerak kearah baju di dada itu.
"Brettt...... " Direnggutnya baju itu sehingga terobek dan nampaklah sepasang payudara Pertiwi.
"Hahaha, dia merupakan hadiah untukku, Ni Dedeh, bukan untukmu " kata Gagak Wu?lung dan sekali sambar, dia telah memondong tubuh Peitiwi dan dibawanya pergi dari tempat itu.
Melihat ini, Ki Jembros marah dan merasa khawatir bukan main. "Jahanam Gagak Wulung, lepaskan muridku" Dia meloncat dan meninggalkan Ki Buyut Pranamaya. Saat itu, Ki Buyut Pranamaya mengejar dan menyusulkan tendangan sakti Cakrabairawa.
"Dess. DssssI" Ki Jembros tidak mampu menghindarkan diri lagi karena pada saat itu tubuhnya sedang meloncat untuk mengejar Gaguk Wulung. Kekebalan tubuhnya tidak cukup kuat untuk menahan tendangan sakti itu dan kakek yang gagab perkasa ini roboh pingsan.
Atas isarat Ki Buyut Pranamaya, enam orang muridnya, tiga pria dan tiga wa?nita, sudah cepat menubruk dan membelenggu kaki tangan Ki Jembros. Ki Buyut Pranamaya sendiri sudah terjun ke dalam. pertempuran, membantu Ki Cucur Kalasekti, mengeroyok Nurseta.
Tentu saja Nurseta menjadi repot sekali menghadapi pengeroyokan dua orang kakek tua renta yang sakti mandraguna itu. Baru melawan seorang diantara mereka saja, satu lawan satu, dia tidak akan dapat mengalahkahnya dengan mudah. Apa lagi dikeroyok dua. Memang, dasar ilmu kepandaiannya lebih murni dari pada kedua orang lawannya, akan tetapi jelas dia kalah pengalaman dan kalah matang. Masih untung bahwa kedua orang lawannya sudah tua renta sehingga tenaga mereka tidaklah sekuat dahulu, Akan tetapi, pada saat itu Ni Dedeh Sawitri juga meloncat dan ikut pula mengeroyoknya dengan sambaran kaku kuku jari tangan yang mengandung racun. Pedih perih rasa hati Nurseta melihat kenyataan ini.
Ibunya sendiri, ibu yang dahulu mengandung dan melahirkannya, kini berusaha mati-matian untuk membunuhnya. Untuk meneriakkan kenyataan itu tentu saja dia merasa malu, maka diapun diam saja dan melawan mati-matian. Betapapun juga, karena dia sudah tahu bahwa wanita itu adalah ibu kandungnya, be?tapapun sakit rasa hatinya, betapapun tidak ada sedikit juga terasa kasih sayang dalam hatinya terhadap wanita itu, tetap saja dia tidak tega untuk membalas dengan serangan maut terhadap wanita itu. Serangan balasannya hanya ditujukan kepada dua orang kakek tua renta. Dan semua serangan itu gagal, dan dia bahkan terdesak hebat, hanya mampu menangkis atau berloncatan ke sana sini untuk menghindarkan diri dari sambaran dan hujan serangan tiga orang pengeroyok yang tangguh.
Ketika Nurseta melihat robohnya Ki Jembrds, dia terkejut dan khawatir sekali. Keadaan ini tentu saja mengurangi kewaspadaannya dan kesempatan itu dimanfaatkan oleh kedua orang lawannya yang selain tangguh juga berpengalaman luas. Sebuah tendangan kaki Ki Buyut Pranamaya menyambar dan paha kiri Nurseta terkena sambaran ujung kaki yang amat kuat itu. Nurseta terhuyung dan kesem?patan ini dipergunakan oleh Ki Cucut Kalasekti untuk menggerakkan tangannya dengan aji pu?kulan Gelap Sewu.
Tubuh Nurseta terjungkal. Dia hanya mampu mengeluh lirih dan |atuh pingsan. Ketika Ki Cucut Kalasekti hendak menyusulkan pukulan maut untuk membunuh pemuda itu, Ni Dedeh Sawitri cepat menghalangi dan berkata, "Jangan dibunuh dulu" Dan ia lalu mengangkat tubuh Nurseta, kemudian minta bantuan para murid Ki Buyut Pranamaya untuk membelenggu kaki tangan pemuda itu.
"Hemm, tidak dibunuh untuk apa" Dia berbahaya sekali " kata Ki Cucut Kalasekti.
Ki Buyut Pranamaya tertawa. "Hahaha, seperti tidak mengenal kesukaan Ni Dedeh Sawitri saja, Ki Cucut. Biarkan ia bersenang-senang sejenak. Pula, kalau kita membunuh. Ki Jembros dan Nurseta, tidak ada gunanya bagi kita. Kalau membiarkan me?reka ini hidup, mungkin besar manfaatnya"
"Eh" Apa maksudmu, Ki Buyut?"
"Semalam kau telah menerangkan tentang tugas yang diberikan oleh Sang Prabu Jayakatwang untuk kita berdua. Untuk tugas menyelidiki ke Majapahit memang dua orang mi tidak ada gunanya. Akan tetapi untuk mencari Wulansari yang melarikan tombak pusaka, kurasa mereka ini merupakan umpan yang baik sekali"
Ki Cucut Kalasekti mengerutkan alisnya dan mulutnya yang meruncing seperti mulut ikan itu nampak semakin meruncing ketika dia mencurahkan pikirannya. Hemm, umpan" Apa maksudmu, Ki Buyut?"
"Dahulu, aku pernah menguasai tombak pu?saka itu. Ketika Wulansari merampasnya dariku, kukejar ia dan tentu pusaka itu sudah da?pat kurampas kalau saja tidak muncul Nurseta yang membantu Wulansari sehingga akhirnya pusaka itu terjatuh ke tangan gadis itu. Nah, dengan bukti itu jelas bahwa ada hubungan dekat antara Wulansari dan Nurseta. Maka, kalau kita menahan Nurseta dan Ki Jembros ini tentu saja dengan menjaga ketat, besar kemungkinan Wulansari akan muncul di sini. De?ngan demikian, maka tidak perlu lagi kita bersusah payah mencarinya. Bagaimana pendapatmu ?"
Tiba-tiba Ki Cucut Kalasekti tertawa dan suara ketawanya aneh, bercampur desis seperti desis ular. "Kau sungguh cerdik. Dan me?mang benar, bekas muridku itu memang jatuh cinta kepada Nurseta. Kalau ia mengetahui bahwa Nurseta menjadi tawanan kita, pasti ia akan datang untuk berusaba menolongnya"
"Bagus kalau begitu" Ki Buyut Pranamaya lalu memerintahkan enam orang muridnya untuk membawa Nurseta dan Ki Jembros yang sudah dlbelenggu kaki tangannya ilu ke dalam rumah dan memasukkan mereka berdua ke sebuah kamar dengan dirantai dan dijaga ketat.
"Ki Dedeh Sawitri, kau dan Gagak Wu?lung harus memperkuat penjagaan. Kalian ber?dua yang bertanggung jawab kalau sampai pen?jagaan kurang ketat sehingga mereka berdua dapat lolos"
"Jangan khawatir, aku akan menjaga Nur?seta dengan ketat, demikian ketat kalau perlu aku akan memeluknya dan tidak akan melepaskannya lagi" jawab Ni Dedeh Sawitri genit dan tanpa malu-malu biarpun di situ terdapat enam orang murid Ki Buyut Pranamaya.
Kakek ini terkekeh dan Ni Dedeh Sawitri memondong tubuh Nurseta yang masih pingsan, dibawa masuk, diikuti enam orang mund Ki Buyut Pranamaya yang membawa Ki Jembros yang juga masih pingsan.
Ketika Gagak Wulung mengetahui bahwa pemuda tampan itu ternyata seorang gadis muda yang melihat ketampanannya dalam penyamaran tentulah cantik, melihat payudaranya ketika bajunya dirobek Ni Dedeh Sawitri, seketika diapun terpesona dan bangkitlah berahinya. Maka, tanpa memperdulikan yang lain, dia lalu memondong tubuh Pertiwi dan dibawanya gadis yang menyamar pria itu ke dalam hutan, ke sebuah tempat yang ditumbuhi rumput subur.
(Bersambung jilid ke 19)
Hal-hal yang menggelitik di hatiku :
1. Text diatas : "Keterangan yang diperolehnya adalah bahwa Wulansari menjadi seorang pengawal pribadi Sang Prabu Jayakatang" text ini menyatakan bahwa Nurseta tidak tahu bahwa Wulansari menjadi pengawal pribadi Prabu Jayakatwang. Padalah pada Jilid.2, Nurseta pernah datang menemui Wulansari di istana Daha dan bertemu dengannya. Kok di jilid ini Nurseta tidak tahu?""
2. Ki Jembros punya GPS kali ya" tau aja dimana Gagak Wulung berada.
"Terima kasih, mbakayu, aku hanya merepotkan saja" kata Nurseta,
"Ah, sama sekali tidak, hanya hidangan se?perti ini. Silakan" katanya pula dan iapun mundur lagi masuk ke dalam.
Merekapun makan. Karena jelas bahwa tuan rumah tidak tahu apa-apa tentang mereka yang tinggal di puncak Bukit Srindil, Nurseta juga tidak bertanya lagi. "Kulihat isterimu ramah dan baik sekali, juga masakannya ini, walaupun hanya sayur gori dan sambal, enak sekali" Nurseta memuji.
Tuan rumah itu tersenyum senang "Me?mang, ia pandai masak, rajin mengurus rumah
dan pada umumnya baik. Hanya itu Iho....... cerewetnya tidak ketulungan lagi. Minta ampun aku sama cerewetnya. Kalau dia sedang marah, dia mengomel terus menerus panjang pendek dan bukan main kuatnya. Dia dapat bertahan mengomel dari pagi_sampai malam. Hanya satu itu saja yang kupinta darinya, yaitu jangan cerewet. Apa sih sukarnya menutup mulut dan menelan kembali semua kata-kata yang hendak menerocos keluar itu"
"Itulah sebabnya, kakang. Keinginanmu agar ia tidak cerewet itulah yang menyebabkan ia cerewet" kata Nurseta.
"Wah " Apa maksudmu?"
Nurseta tidak menjawab karena pada saat itu, isteri Ki Puter keluar untuk menyingkirkan bekas makan dan membersihkan tikar. Setelah wanita ita masuk lagi, Ki Puter mendesak.
"Adi Nurseta, aku masih penasaran. Kau tadi mengatakan bahwa justeru keinginanku agar ia tidak cerewet itulah yang menyebabkan ia cerewet. Bagaimana ini " Aku tidak mengerti"
"Kakang Puter, bukankah kau ingin merobah keadaan isterimu itu, ingin melihat ia yang kakang anggap cerewet menjadi tidak cerewet?"
"Tentu saja. Dan bukankah keinginan itu baik" Aku ingin melihat ia dari keadaan yang tidak baik menjadi baik "
Nurseta tersenyum. Teringat dia akan percakapan tentang keinginan merubah ini antara dia dan mendiang Panembahan Sidik Danasura dan mata hatinya terbuka oleh penjelasan mendiang gurunya itu, Keadaan Ki Puter sama seperti dia sebelum dia mendapatkan penjelas?an dan menyadari akan kebenaran yang terbuka sihingga dia dapat dan mampu melihatnya.
"Baik untuk siapa, kakang " Bukankah yang kakang inginkan itu adalah satu keadaan dari isteri kakang yang baik untukmu" Menyenangkan untukmu " Kita selalu condong untuk me?ngatakan baik kalau seseorang menguntungkan kita, dan buruk kalau sebaliknya merugikan kita lahir batin. Keinginan melihat suatu ke?adaan seperti yang dikehendakinya, yang berlawanan dengan kenyataannya, nah, keingin?an inilah yang menimbulkan sengketa dan pertentangan yang dimulai dari pertentangan jalan batin kita sendiri. Kita selalu menghendaki yang kita anggap baik dan menyenangkan kita, dan kita menuntut ini dari apa sa?ja, dari benda sampai dari manusia lain. Kita ingin seluruh alam dan isinya ini semua menyenangkan kita belaka. Karena itu, timbullah pertentangan batin yang tiada hentinya. Kita tidak mampu menerima kenyataan apa adanya. Padahal, di sinilah letak rahasia apa yang dinamakan kebahagiaan hidup, yaitu dalam sikap dapat menerima kenyataan seperti apa adanya tanpa menilainya sebagai yang baik ataupun yang buruk, Kalau penerimaan akan kenyataan ini bebas dari penilaian, bebas dari kehendak siaku yang selalu ingin senang, ten?tu tidak akan timbul pertentangan"
Biarpun dia diangkat menjadi lurah dusun kecil itu, apa yang dikatakan Nurseta terlalu sukar bagi Ki Puter untuk dapat menerimanya dan mengerti.
"Nanti dulu, adi Nurseta. Aku sungguh ti?dak mengerti dan menjadi bingung. Apa yang kau maksudkan dengan semua kata-katamu itu?"
Nurseta tersenyum. Dia lupa bahwa dia berhadapan dengan seorang petani yang po?los dan sederhana. Kata-kata hanya merupakan suatu keindahan yang muluk-muluk, tentu tidak dapat dimengerti oleh Ki Puter. Dia mencoba yang lain, dengan contoh yang sederhana.
"Kakang Puter, kalau kakang hendak mulai menanam padi lalu turun hujan, bagaimana perasaan kakang ?"
"Tentu saja girang"
"Kalau padi mulai menua lalu turun hujan lebat " Bagaimana perasaanmu?"
"Wah, tentu susah karena padi itu terancam kerusakan"
"Akan tetapi, mungkinkah kau merubah turunnya hujan " Damikianlah, kakang Puter. Hujan itu suatu keadaan, tidak baik maupun buruk. Akan tetapi kita manusia ini selalu menghendaki agar hujan, seperti juga segala keadaan di dunia ini. terjadi sesuai dengan ke?inginan kita, yang menguntungkan kita. Kalau terjadi sebaliknya, maka kita merasa tidak se?nang dan menentangnya. Kita tidak mampu menerima segala sesuatu seperti apa adanya saat itu. Kalau kita memiliki seni menerima kenyataan, maka, kita tidak akan menentang dan akan timbul kebijaksanaan bagaimana kita dapat menyesuaikan diri dengan kenyataan itu. Mengertikah kakang?"
Ki Puter mengerutkan alisnya, akan tetapi mengangguk. "Sedikit, adi. Mengerti sedikit. Kita menerima kenyataan tentang hujan, tanpa menentang dan kita menyesuaikan diri, menja?di bijaksana sehingga kita menanam padi menurut perhitungan agar mendapat air cukup dan tidak tertimpa hujan lebat. Kita atur musimnya menanam padi......"
"Benar kakang Pater"
"Tapi, apa hubungannya antara hujan de?ngan....... isteri cerewet?"
Nurseta tersenyum. Alangkah sederhana jalan pikiran Ki Puter, pikirnya, kagum karena sesungguhnya, pikiran sederhana itu tidak menimbulkan banyak persoalan hidup.
"Satu contoh lagi, kakang. Ada seekor an?jing menggonggong dan menggereng-gereng seperti marah kalau kita lewat. Kita menjadi marah dan memakinya sebagai anjing yang kurang ajar dan sebagainya, kita mengambil batu dan menyambitnya. Anjing itu bahkan semakin marah dan gonggongannya semakin keras. Tidak benarkah begitu?"
Ki Puter mengangguk-angguk, makin tidak mengerti mengapa contohnya seekor anjing.
"Nah, pertentangan batin timbul karena ki?ta ingin agar anjing itu tidak bersikap seperti itu. Kita ingin melihat anjing itu duduk diam baik-baik. Kita lalu menyebutnya anjing jahat, kurang ajar dan sebagainya. Kita ingin anjing itu berubah. Inilah yang tidak mungkin. Kita tidak mungkin merobah anjing itu, seperti juga tidak mungkin merobah turunnya hujan. Apa yang seyogianya kita lakukan" Kitalah yang harus berobah. Kitalah yang harus me-nyesuaikan diri. Kalau hujan turun, kita buatkan belokan dan saluran agar tanaman kita tidak kebanjiran, kita pergunakan payung agar tidak kehujanan dan sebagainya. Bagaimana kalau kita menghadapi anjing yang menyalak dan menggonggong marah" Kalau kita tidak menentangnya, tidak menganggapnya jahat, lalu timbul kebijaksanaan dan kita dapat mempergunakan akal budi. Kita bersikap ramah, kita beri sesuatu, tanpa ingin merobah anjing itu. Dan apa yang terjadi" Bukan mustahil bahwa kalau kita sudah merobah diri kita sendiri, anjing yang tadinya menyalak-nyalak itu berubah menjadi jinak dan lunak, mengikuti kita dengan ekornya bergoyang-goyang manja"
Sejenak Ki Puter melongo, kemudian meledaklah suara ketawanya. Dia merasa baru tergugah dari tidur nyenyak. Kini matanya terbuka dan dia dapat melihat kenyataan itu. Dia tertawa bergelak gelak dan melihat ini, Nurseta juga tertawa, dalam hatinya merasa girang karena melihat tuan rumah telah ter?buka hatinya dan dapat melihat kenyataan itu.
Isteri Ki Puter keluar dari dalam, memandang kepada suaminya dengan heran. "Eh, eh, apa yang terjadi" Kenapa engkau tertawatawa seperti itu, pakne" Apanya yang lucu?"
"Hahahaha........ engkau benar, mbokne. Baru sekarang aku tahu bahwa perbuatanku
yang kemaren dulu itu tidak benar. Aku ingin ramah kepada seorang tamu, akan tetapi tamu itu wanita dan cantik pula. Tentu saja engkau menjadi cemburu dan marah. Bukan salahmu, akulah yang bodoh tidak melihat kenyataan. Biarlah, kalau ia datang lagi, aku akan beri harga kepada barang yang dibutuhkannya, de?ngan harga dua kali lipat"
Jelas nampak oleh Ki Puter dan Nurseta betapa wajah yang tadinya mengeras itu kini melunak, pandang mata yang keras itu kini melembut dan bibir yang masih menyendol bekas tamparan itu merekah dalam senyum.
"Akupun tahu engkau tidak mata keranjang, pakne. Hanya aku merasa panas. Biar?lah, kalau ia datang lagi, aku yang akan urus. Akan kuberi dengan harga murah. Engkau be?nar, memang kita harus ramah dan murah hati terhadap tamu. Akan tetapi kalau tamunya wanita, biar aku yang menghadapi, kalau pria, bagianmulah itu. Engkau tidak bersalah, aku yang pencemburu......." Wanita itu terse?nyum lebar dan masuk kembali. Ki Puter dan Nurseta saling pandang dan Ki Puter tertawa lagi, tertawa dengan penuh kegembiraan.
Dia kini menemukan kunci rahasia yang amat se?derhana namun yang merupakan kunci penghalau semua pertentangan batin. Segala sesuatu itu wajar, yang begitu sudah begitu, yang be?gini biarlah begini. Kita tidak berhak merobah yang berada di luar diri, akan tetapi wajib merobah diri sendiri. Dengan merobah diri sendiri, segalanya akan berjalan lancar. An?jing galak itu menjadi jinak.
"Hahahaha, harimau galak dapat menjadi jinak. Haha, terima kasih, adi Nurseta"
Malam itu Nurseta tidur di atas dipan bambu di kamarnya. Dia tersenyum senyum kalau ingat akan peristiwa tadi. Sikap suami isteri itu tadi nampak begitu mesra, saling mengalah. Dan pada keesokan harinya, ketika pagi pagi sekali dia bangun, suami isteri itu telah bangun dan mereka nampak rukun bukan main, rukun dan mesra sehingga diam diam Nurseta merasa geli akan tetapi juga girang.
"Terima kasih, kakang Puter dan mbakayu. Kalian baik sekali kepadaku. Mudah-mudahan kelak kita akan dapat saling berjumpa kembali"
"Sepagi ini sudah hendak melanjutkan per?jalanan, adi Nurseta " Wah, tahukah kau bahwa kau yang banya datang semalam ini, bagaikan karunia dewata saja bagiku" Akulah yang berterima kasih kepadamu, adi Nurseta"
Nurseta pergi dan tanpa dilihat siapapun, dia menyelinap di antara pohon pohon, lalu mendaki Bukit Srirdil karena dia hendak me?lanjutkan penyelidikannya. Kini tidak hanya
untuk menemui Gigak Wulung dan menghukumnya, akan tetapi kalau mungkin dia ingin pula berjumpa berdua saja dengan Ni Dedeh Sawitri, ibu kandungnya.
*** Tadinya Nurseta bermaksud untuk bersembunyi dan mengintai, mencari kesempatan baik menemui sendiri Gagak Wulung atau Ni Dedeh Sawitri karena dia tahu bahwa kalau dia langsung menjumpai mereka, tentu dua orang datuk sakti Ki Cucut Kalasekti dan Ki Buyut Pranamaya tidak akan membiarkan dia lolos. Akan tetapi. ketika dia menyusup di antara pohon-pohon besar dan semak semak belukar dan tiba di dekat gubuk itu, dia men?dengar teriakan-teriakan nyaring dan kasar dari seorang laki-laki.
"Gagak Wulung jahanam busuk, manusia berhati binatang dan pengecut besar, keluarlah engkau dan jangan bersembunyi"
Berulangkali suara ini menantang, Suara yang tidak asing bagi Nurseta. Dia cepat mendekat dan mengintai. Tak salah dugaannya. Suara Ki Jembros, kakek yang gagah perkasa itu. Dan di samping kakek ini berdiri seorang pemuda yang tampan dan bersikap tenang ga?gah. Celaka, pikir Nurseta. Ki Jembros adalah seorang pendekar yang besar dan gagah per?kasa, namun terlalu berani sehingga sembrono sekali. Tempat itu merupakan sarang yang amat berbahaya. Dia hendak menegur dan memperingatkan Ki Jembros, namun terlambat karena pada saat itu, nampak beberapa orang telah keluar dari gubuk besar itu.
Ketika me?lihat orang-orang yang muncul itu, Ki Jembros terbelalak. Matanya yang lebar itu menjadi besar sekali karena dia melihat dua orang kakek tua renta yang sama sekali tak disangkanya berada di tempat itu.
"Ki Cucut Kalasekti dan........dan Ki Buyut Pranamaya.......?" katanya seperti tidak percaya.
Sementara itu, pemuda tampan yang berdiri di samping Ki Jembros, yang bukan lain adalah Pertiwi, begitu melihat bahwa seorang di antara mereka yang muncul itu adalah Gagak Wulung, tidak memperdulikan apapun lagi dan ia sudah mencabut kerisnya, langsung saja ia menyerang Gigak Wulung dengan ganas dan nekat.
Serangan itu cukup berbahaya, cepat dan kuat, maka Gagak Wulung yang tidak mengenal gadis yang menyamar pria itu terkejut, lalu melompat ke samping.
"Eh........, ohh......... Siapa kau dan mengapa menyerangku ?" serunya, akan tetapi Pertiwi tidak mengeluarkan kata-kata, melainkan terus saja menyerang dengan dahsyat, dengan niat membunuh karena serangannya itu terdorong oleh hati yang amat sakit dan penuh dendam. Kembali Gagak Wulung mengelak dan meloncat ke belakang.
"Hem, bocah setan, agaknya engkau sudah bosan hidup" bentak Gagak Wulung sambil mencabut pedangnya. Dia tadi melihat betapa serangan pemuda tampan itu ganas sekali, maka dia mencabut pedang untuk membela diri dan membalas serangan. Terjadilah perkelahian yang seru antara mereka. Ternyata Pertiwi telah mewarisi ilmu kepandaian dari Ki Jembros, sehingga gadis itu kini mampu menandingi Gagak Wulung. Betapapun juga, ia masih kalah pengalaman, maka pedang di tangan Gagak Wulung mulai mendesaknya.
Melihat ini, tiba-tiba Ni Dedeh Sawitri yang sejak tadi memperhatikan Pertiwi dan kagum melihat pemuda yang demikian tampan dan manisnya, melompat ke depan.
"Gagak Wulung, jangan bunuh dulu pemuda ini" katanya dan iapun menyerang dengan cakaran tangannya. Tentu saja Pertiwi terkejut dan makin terdesak oleh dua orang yang selain tinggi ilmunya, juga memiliki pengalaman berkelahi yang luas itu, tidak seperti ia yang bagaikan burung baru belajar terbang.
Melihat muridnya dikeroyok dua dan ter?desak, Ki Jembros tidak mungkin tinggal diam saja. "Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri, kalian memang manusia-manusia iblis" bentaknya dan diapun meloncat.ke depan, tangan?nya bergerak menyambar mendatangkan angin pukulan dahsyat ke arah Gagak Wulung. Itulah aji pukulan Hastobairowo yang ampuhnya bu?kan kepalang.
"Dukkk" Pukulan dahsyat itu tertahan di udara oleh tangkisan sebuah tangan Iain. Tangan Ki Buyut Pranamaya dan tangkisan itu membuat tubuh Ki Jembros terhuyung ke belakang.
"Bagus, Ki Buyut Pranamaya melidungi iblis-iblis ini. Sudah sepatutnya, iblis tua membela iblis-iblis yang muda. Biarlah aku mengadu nyawa dengan kalian iblis-iblisj jahat"
Setelah berkata demikian, dengan nekat, untuk membe?la muridnya, Ki Jembros menerjang lagi, sekali ini dia menyerang Ki Buyut Pranamaya yang disambut oleh kakek tua renta yang amat tangguh itu.
Melihat betapa Ki Jembros dan pemuda itu terdesak hebat, tentu saja Nurseta tidak mung-kin berdiam diri saja. Dia tahu betapa lawan berjumlah banyak dan amat sakti, namun dia-pun tidak dapat membiarkan Ki Jembros terancam bahaya maut tanpa membantu. Dia lalu meloncat dan sekali meloncat dia sudah tiba di tempat pertempuran.
"Paman Jembros, jangan khawatir, saya mem?bantu paman" serunya dan pada saat itu, Ki Jembros sedang terdesak hebat karena diancam tendangan Cakrabairawa yang bertubi-tubi datangnya. Kalau Nurseta tidak datang agaknya Ki Jembros akhirnya akan roboh tertendang.
"Desss" Tangkisan lengan Nurseta mengenai kaki Ki Buyut Pranamaya dan kakek ini mengeluarkan seruan kaget dan tubuhnya sampai terputar. Memang Nurseta telah menerima gemblengan paling akhir dari Panembahan Sidik Danasura sehingga ilmu kepandaiannya kini mencapai tingkat yang tinggi, dengan tenaga sakti yang amat kuat. Ki Buyut Pranamaya sam?pai terkejut bukan main ketika tendangan kakinya yang tadi mengancam Ki Jembros tertangkis tangan pemuda itu sehingga tubuhnya sampai berputar.
"Haha, kiranya Nurseta yang datang mengantarkan nyawa" Ki Cucut Kalasekti tertawa dan diapun maju menyerang Nurseta, dari mulutnya keluar suara mendesis seperti ular dan tangannya sudah menyambar-nyambar dahsyat karena kakek ini, yang sudah tahu akan ketangguhan Nurseta, begitu menyerang telah mengerahkan tenaganya dan mengeluarkan satu di antara aji-aji kesaktiannya yang ampuh, yaitu aji pukulan Gelap Sewu,
Nurseta mengenal aji pukulan yang ampuh ini maka diapun mengerahkan tenaganya, menangkis dan membalas dengan pukulan yang tidak kalah ampuhnya, yaitu aji pukulan Jagad Pralaya yang kalau mengenai lawan tak mung?kin dapat bertahan lagi. Ki Cucut Kalasekti terkejut dan cepat dia meloncat ke belakang untuk mengelak, kemudian membalas lagi de?ngan pukulan jarak jauh yang disertai tenaga sakti.
"Wuuuttt........ " Angin pukulan dahsyat menyambar, ganas ke arah Nurseta dan terdengar suaranya seperti air mendidih, itulah aji pukulan Segoro Umub, pukulan yang mengandung tenaga panas. Nurseta mengelak dan dua orang itu mulai serang-menyerang dengan aji-aji pukulan dahsyat yang mendatangkan angin menyambar nyambar.
Ki Jembros boleh jadi digdaya, memiliki kekebalan dan juga memiliki kegagahan, Na?mun, berhadapan dengan Ki Buyut Pranamaya dia kalah jauh. Lawannya adalah seorang da?tuk besar yang memiliki aji kesaktian seperti iblis. Biarpun Ki Jembros mengamuk seperti Werkudara, tetap saja dia terdesak. Pada saat itu, Pertiwi juga didesak hebat oleh pengeroyokan Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri. Pertiwi juga berkelahi dengan nekat tanpa memperdulikan keselamatan dirinya lagi. Tujuannya hanya satu, yaitu membunuh Gagak Wulung yang amat dibencinya.
Namun arena ia selalu menyerang dan memperhatikan Gagak Wulung, akhirnya, tamparan tangan Ni Dcdeh Sawitri tak dapat dihindarkan, mengenai tengkuknya dan Pertiwi roboh dengan tubuh lemas terkulai.
"Hihik, dia tidak boleh mati dulu, Gagak Wulung. Sayang begini muda dan tampan kalau dibunuh begitu saja" Setelah berkata demikian, wanita iblis ini menjulurkan tangannya hendak mencengkeram baju Pertiwi dan akan dibawanya pergi. Akan tetapj begitu tangannya menyentuh dada yang padat, menyentuh payudara yang ranum, ia menjerit dan menarik tangannya. Lalu jari tangannya bergerak kearah baju di dada itu.
"Brettt...... " Direnggutnya baju itu sehingga terobek dan nampaklah sepasang payudara Pertiwi.
"Hahaha, dia merupakan hadiah untukku, Ni Dedeh, bukan untukmu " kata Gagak Wu?lung dan sekali sambar, dia telah memondong tubuh Peitiwi dan dibawanya pergi dari tempat itu.
Melihat ini, Ki Jembros marah dan merasa khawatir bukan main. "Jahanam Gagak Wulung, lepaskan muridku" Dia meloncat dan meninggalkan Ki Buyut Pranamaya. Saat itu, Ki Buyut Pranamaya mengejar dan menyusulkan tendangan sakti Cakrabairawa.
"Dess. DssssI" Ki Jembros tidak mampu menghindarkan diri lagi karena pada saat itu tubuhnya sedang meloncat untuk mengejar Gaguk Wulung. Kekebalan tubuhnya tidak cukup kuat untuk menahan tendangan sakti itu dan kakek yang gagab perkasa ini roboh pingsan.
Atas isarat Ki Buyut Pranamaya, enam orang muridnya, tiga pria dan tiga wa?nita, sudah cepat menubruk dan membelenggu kaki tangan Ki Jembros. Ki Buyut Pranamaya sendiri sudah terjun ke dalam. pertempuran, membantu Ki Cucur Kalasekti, mengeroyok Nurseta.
Tentu saja Nurseta menjadi repot sekali menghadapi pengeroyokan dua orang kakek tua renta yang sakti mandraguna itu. Baru melawan seorang diantara mereka saja, satu lawan satu, dia tidak akan dapat mengalahkahnya dengan mudah. Apa lagi dikeroyok dua. Memang, dasar ilmu kepandaiannya lebih murni dari pada kedua orang lawannya, akan tetapi jelas dia kalah pengalaman dan kalah matang. Masih untung bahwa kedua orang lawannya sudah tua renta sehingga tenaga mereka tidaklah sekuat dahulu, Akan tetapi, pada saat itu Ni Dedeh Sawitri juga meloncat dan ikut pula mengeroyoknya dengan sambaran kaku kuku jari tangan yang mengandung racun. Pedih perih rasa hati Nurseta melihat kenyataan ini.
Ibunya sendiri, ibu yang dahulu mengandung dan melahirkannya, kini berusaha mati-matian untuk membunuhnya. Untuk meneriakkan kenyataan itu tentu saja dia merasa malu, maka diapun diam saja dan melawan mati-matian. Betapapun juga, karena dia sudah tahu bahwa wanita itu adalah ibu kandungnya, be?tapapun sakit rasa hatinya, betapapun tidak ada sedikit juga terasa kasih sayang dalam hatinya terhadap wanita itu, tetap saja dia tidak tega untuk membalas dengan serangan maut terhadap wanita itu. Serangan balasannya hanya ditujukan kepada dua orang kakek tua renta. Dan semua serangan itu gagal, dan dia bahkan terdesak hebat, hanya mampu menangkis atau berloncatan ke sana sini untuk menghindarkan diri dari sambaran dan hujan serangan tiga orang pengeroyok yang tangguh.
Ketika Nurseta melihat robohnya Ki Jembrds, dia terkejut dan khawatir sekali. Keadaan ini tentu saja mengurangi kewaspadaannya dan kesempatan itu dimanfaatkan oleh kedua orang lawannya yang selain tangguh juga berpengalaman luas. Sebuah tendangan kaki Ki Buyut Pranamaya menyambar dan paha kiri Nurseta terkena sambaran ujung kaki yang amat kuat itu. Nurseta terhuyung dan kesem?patan ini dipergunakan oleh Ki Cucut Kalasekti untuk menggerakkan tangannya dengan aji pu?kulan Gelap Sewu.
Tubuh Nurseta terjungkal. Dia hanya mampu mengeluh lirih dan |atuh pingsan. Ketika Ki Cucut Kalasekti hendak menyusulkan pukulan maut untuk membunuh pemuda itu, Ni Dedeh Sawitri cepat menghalangi dan berkata, "Jangan dibunuh dulu" Dan ia lalu mengangkat tubuh Nurseta, kemudian minta bantuan para murid Ki Buyut Pranamaya untuk membelenggu kaki tangan pemuda itu.
"Hemm, tidak dibunuh untuk apa" Dia berbahaya sekali " kata Ki Cucut Kalasekti.
Ki Buyut Pranamaya tertawa. "Hahaha, seperti tidak mengenal kesukaan Ni Dedeh Sawitri saja, Ki Cucut. Biarkan ia bersenang-senang sejenak. Pula, kalau kita membunuh. Ki Jembros dan Nurseta, tidak ada gunanya bagi kita. Kalau membiarkan me?reka ini hidup, mungkin besar manfaatnya"
"Eh" Apa maksudmu, Ki Buyut?"
"Semalam kau telah menerangkan tentang tugas yang diberikan oleh Sang Prabu Jayakatwang untuk kita berdua. Untuk tugas menyelidiki ke Majapahit memang dua orang mi tidak ada gunanya. Akan tetapi untuk mencari Wulansari yang melarikan tombak pusaka, kurasa mereka ini merupakan umpan yang baik sekali"
Ki Cucut Kalasekti mengerutkan alisnya dan mulutnya yang meruncing seperti mulut ikan itu nampak semakin meruncing ketika dia mencurahkan pikirannya. Hemm, umpan" Apa maksudmu, Ki Buyut?"
"Dahulu, aku pernah menguasai tombak pu?saka itu. Ketika Wulansari merampasnya dariku, kukejar ia dan tentu pusaka itu sudah da?pat kurampas kalau saja tidak muncul Nurseta yang membantu Wulansari sehingga akhirnya pusaka itu terjatuh ke tangan gadis itu. Nah, dengan bukti itu jelas bahwa ada hubungan dekat antara Wulansari dan Nurseta. Maka, kalau kita menahan Nurseta dan Ki Jembros ini tentu saja dengan menjaga ketat, besar kemungkinan Wulansari akan muncul di sini. De?ngan demikian, maka tidak perlu lagi kita bersusah payah mencarinya. Bagaimana pendapatmu ?"
Tiba-tiba Ki Cucut Kalasekti tertawa dan suara ketawanya aneh, bercampur desis seperti desis ular. "Kau sungguh cerdik. Dan me?mang benar, bekas muridku itu memang jatuh cinta kepada Nurseta. Kalau ia mengetahui bahwa Nurseta menjadi tawanan kita, pasti ia akan datang untuk berusaba menolongnya"
"Bagus kalau begitu" Ki Buyut Pranamaya lalu memerintahkan enam orang muridnya untuk membawa Nurseta dan Ki Jembros yang sudah dlbelenggu kaki tangannya ilu ke dalam rumah dan memasukkan mereka berdua ke sebuah kamar dengan dirantai dan dijaga ketat.
"Ki Dedeh Sawitri, kau dan Gagak Wu?lung harus memperkuat penjagaan. Kalian ber?dua yang bertanggung jawab kalau sampai pen?jagaan kurang ketat sehingga mereka berdua dapat lolos"
"Jangan khawatir, aku akan menjaga Nur?seta dengan ketat, demikian ketat kalau perlu aku akan memeluknya dan tidak akan melepaskannya lagi" jawab Ni Dedeh Sawitri genit dan tanpa malu-malu biarpun di situ terdapat enam orang murid Ki Buyut Pranamaya.
Kakek ini terkekeh dan Ni Dedeh Sawitri memondong tubuh Nurseta yang masih pingsan, dibawa masuk, diikuti enam orang mund Ki Buyut Pranamaya yang membawa Ki Jembros yang juga masih pingsan.
Ketika Gagak Wulung mengetahui bahwa pemuda tampan itu ternyata seorang gadis muda yang melihat ketampanannya dalam penyamaran tentulah cantik, melihat payudaranya ketika bajunya dirobek Ni Dedeh Sawitri, seketika diapun terpesona dan bangkitlah berahinya. Maka, tanpa memperdulikan yang lain, dia lalu memondong tubuh Pertiwi dan dibawanya gadis yang menyamar pria itu ke dalam hutan, ke sebuah tempat yang ditumbuhi rumput subur.
(Bersambung jilid ke 19)
Hal-hal yang menggelitik di hatiku :
1. Text diatas : "Keterangan yang diperolehnya adalah bahwa Wulansari menjadi seorang pengawal pribadi Sang Prabu Jayakatang" text ini menyatakan bahwa Nurseta tidak tahu bahwa Wulansari menjadi pengawal pribadi Prabu Jayakatwang. Padalah pada Jilid.2, Nurseta pernah datang menemui Wulansari di istana Daha dan bertemu dengannya. Kok di jilid ini Nurseta tidak tahu?""
2. Ki Jembros punya GPS kali ya" tau aja dimana Gagak Wulung berada.
JILID 19
DENGAN lembut dia merebahkan Pertiwi di atas rumput tebal yang lunak, tersenyum senyum penuh kegembiraan karena kini dia mendapat kenyataan bahwa gadis yang menyamar pria itu sungguh seorang gadis yang masih amat muda dan berwajah manis sekali. Dia tertawa-tawa teringat kepada Ni Dedeh Sawitri yang tadinya mengira gadis ini seorang pemuda tampan. Kegembiraannya memuncak ketika dia mendapat kenyataan bahwa gadis itu memiliki kecantikan yang menawan dan bentuk tubuh yang padat indah sekali. Lalu dia memijit tengkuk gadis itu, berusaha menyadarkannya dari pingsan. Bagi Gagak Wulung, yang paling menyenangkan adalah kalau seorang wanita menyerahkan diri kepadanya dengan suka rela, yang jatuh oleh rayuannya, bukan karena pengaruh sihir, apa lagi bukan karena diperkosa. Maka, diapun menginginkan agar gadis ini menyerahkan diri dengan suka rela tanpa pengaruh sihir atau paksaan.
Pertiwi mengeluh lirih dan ia membuka matanya. Begitu ia membuka mata, ia melihat Gagak Wulung yang duduk di dekatnya. la cepat bangkit dan pada saat itu ia melihat bahwa ia sudah tidak berpakaian lagi, bahkan rambutnya yang hitam dan panjang sudah teturai lepas. Ia menahan jeritnya.
"Ahhh....... kau........'" Tangannya memukul, akan tetapi lengannya ditangkap oleh Gagak Wulung, juga lengan kirinya ditangkap dan ia tidak mampu berkutik lagi. Kini Gagak Wulung memandangnya dengan mata terbelalak heran. Setelah gadis itu siuman dan membuka matanya yang lebar dan bening jeli, baruluh dia teringat.
"Kau........ kau......... Pertiwi?"" Serunya kaget dan heran. "Benar, kau Pertiwi, gadis dusun Sintren itu, gadis di lereng Ciunung Kelud, bukan?"
Pada saat itu, Pertiwi sudah menyadari keadaannya. Kembali ia terjatuh ke tangan Gagak Wulung. Tak berdaya. Akan sia sia saja kalau ia melawan. Ilmunya belum mampu menandingi Gagak Wulung, Ingin ia menjerit. Ingin ia meronta. Ingin ia mengutuk dan memaki. Namun, Pertiwi sekarang adalah seorang gadis yang penuh perhitungan, yang menjadi cerdik karena sakit hati. Ia tabu bahwa mempergunakan kekerasan, ia takkan berhasil, bahkan ia tentu akan diperkosa oleh pria iblis ini.
"Benar, aku........aku Pertiwi........ dan engkau....... engkau seorang pria yang kejam, yang tidak tahu akan kasih sayang wanita. Engkau bukan bertanggung jawab, bahkan meninggalkan aku begitu saja, meninggalkan aku merana dan merindukanmu. Ah, kakangmas Gagak Wulung, betapa kejam hatimu......"
Gagak Wulung terbelalak memandang gadis yang menangis itu. Dia melepaskan kedua tangan Pertiwi, tetap waspada kalau-kalau gadis itu akan menyerangnya. Akan tetapi Pertiwi menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menangis sedih.
"Pertiwi, kau merindukan aku" Kau cinta kepadaku" Tapi, baru saja engkau berdaya upaya sekuatmu untuk membunuhku Engkau mempelajari ilmu dan hendak membunuhku"
"Tentu saja" kata Pertiwi dengan suara bercampur isak. "Hati siapa yang takkan benci" Bertahun-tahun aku mencarimu, merindukanmu, rela menyamar sebagai pria dan mempelajari ilmu agar lebih mudah mencarimu. Setelah bertemu, engkau bergaul akrab dengan wanita lain, wanita cantik yang tadi membelamu mati-matian. Kakangmas Gagak Wulung, benarkah engkau tidak ingat betapa aku telah menyerahkan jiwa ragaku kepadamu ketika itu ?"
"Ah, Pertiwi, benarkah itu" Benarkah engkau cinta padaku dan merindukan aku?" Gagak Wulung tetap waspada, lalu menangkap lengan gadis itu, ditariknya dekat lain didekapnya. "Coba, aku ingin membuktikan apakah engkau benar merindukan aku"
Gagak Wulung yang penuh pengalaman itu lalu membelai, menciumi gadis itu. Pertiwi menahan gejolak hatinya yang hendak meronta. Kebencian dan dendamnya terlampau besar sehingga membuat ia mampu melakukan apa saja. Ia membiarkan dirinya hanyut dibuai nafsu berahi dan kemesraan, ia membalas rangkulan dan ciuman pria itu dengan semangat menggebu-gebu, dengan penuh gairah yang panas seolah-olah ia benar seorang wanita yang kehausan, yang lama merindukan dekapan pria yang dicintanya. Ia bahkan menggumuli Gagak Wulung bagaikan mabuk, penuh nafsu membakar sehingga Gagak Wulung yang kini terseret dan pria inipun kehilangan kewaspadaannya.
Bagaimana dia dapat meragukan lagi kalau Pertiwi dapat mendekap seperti itu, menciuminya seperti itu" Diapun membiarkan dirinya tenggelam.
Dengan penuh perhitungan Pertiwi menanti kesempatan itu, Setelah tiba saatnya yang tepat, ia menggigit lidah Gagak Wulung yang bermain di dalam mulutnya, berbareng kedua tangannya mencengkeram ke bawah.
Gagak Wulung tersentak, kerongkongannya mengeluarkan gerengan aneh, tangannya menghantam dengan pengerahan tenaga seorang yang sekarat.
"Prakkk" Tangan itu menghantam kepala Pertiwi, gadis itu terkulai, tewas seketika karena kepalanya pecah terkena hantaman Gagak Wulung. Sebaliknya, Gagak Wulung berkelojotan dalam sekarat. Mulutnya menyemburkan darah dari lidah yang putus, dan selangkangannya juga penuh darah dari alat kelaminnya yang remuk karena cengkeraman tangan Pertiwi yang dilakukan dengan sepenuh tenaga didorong kebencian yang amat mendalam
*** Ki Buyut Pranamaya dan Ki Cucut Kalasekti bercakap-cakap di luar, mengatur siasat bagaimana agar mereka dapat merampas kembali tombak pusaka Ki Tejanirmala seperti diperintahkan oleh Sang Prabu Jayakatwang, juga tentang tugas mereka menyelidiki keadaan di Majapahit. Mereka tidak memperdulikan lagi keadaan Nurseta, Ki Jembros atau gadis yang menyamar pemuda itu. Mereka maklum bahwa di tangan Gagak Wulung dan Ni Dedeh Sawitri, tiga orang tawanau itu tidak akan mampu meloloskan diri, apa lagi dua orang pembantu yang boleh. diandalkan itu dibantu oleh enam orang murid atau pelayan Ki Buyut Pranamaya yang bukan merupakan orang-orang lemah lembut.
Sementara itu, Ni Dedeh Sawitri membawa Nurseia ke dalam kamarnya di belakang. "Lempar kerbau itu ke sudut kamar, biar aku yang mengawasinya. Dia sudah dibelenggu dan pingsan. Kalau banyak tingkah, akan kuhabisi sekali kerbau tua itu" kata Ni Dedeh Sawitri kepada enam orang yang menggotong ubuk Ki Jembros yang masih pingsan,
"Setelah itu, kalian keluarlah dari kamar ini, biar aku yang menjaga mereka berdua"
Enam orang murid Ki Buyut Pranamaya itu tiga pria dan iiga wanita, saling pandang sambil tersenyum maklum, kemudian sambil tertawa-tawa mereka keluar dari kamar itu dan menutupkan daun pintunya. Terangsang oleh sikap Ni Dedeh Sawitri yang jelas mempunyai niat cabul terhadap tawanan yang tampan itu, mereka bertiga lalu menggandeng pasangan inasing-masing dan meninggalkan tempat itu, tiga pasang orang muda yang menjadi murid-murid dan juga pelayan pelayan Ki Buyut Pranamaya ini setiap hari menyaksikan terjadinya kecabulan yang dilakukan guru mereka, juga tamu-tamu guru mereka. Juga mereka diharuskan melayani guru mereka dan para tamunya, maka dengan sendirinya merekapun bergelimang nafsu rendah.
*** Ki Jembros menggerakkan pelupuk matanya. Dia mulai siuman dari pingsannya dan pertama kali yang dirasakannya adalah kenyerian yang menusuk pada dadanya. Rasa nyeri ini seketika menyadarkannya dan mengingatkannya akan apa yang terjadi. Dia berkelahi dan terkena tendangan ampuh yang dilakukan kaki Ki Buyut Pranamaya. Dia sudah pernah mendengar akan aji kesaktian kakek itu, dan pernah mendengar akan ilmu tendangan yang disebut Cakrabairawa. Din kini dia merasakannya. Tendangan maut yang amat hebat sehingga biarpun dia sudah mengerahkan kekebalannya, tetap saja ketika dadanya tertendang, dia merasa seperti disambar petir dan segalanya menjadi gelap. Dia pingsan. Dia hendak menggerakkan tangan untuk meraba dadanya, namun tangan itu tak dapat digerakkan. Ki Jembros maklum bahwa dia tertawan musuh, kaki tangannya dibelenggu. Dia tidak sudi memperlihatkan kelemahan, maka iapun sama sekali tidak mengeluarkan suara. Dia membuka matanya. Kiranya dia rebah terlentang di atas lantai sebuah kamar, karena kepalanya terasa agak pening ketika dia membuka mata, maka dipejamkannya kembali. Dia meraba-raba dada dengan perasaannya dan merasa lega bahwa dada itu hanya nyeri saja di bagian luarnya. Ternyata ilmu kekebalannya telah menyelamatkan nyawanya, menahan tendangan itu sehingga hanya kulit dadanya saja yang menderita nyeri, tidak menembus ke dalam.
"Ahhh, Nurseta, bocah bagus. Sejak dahulu aku sudah tergila-gila kepadamu. Betapa jantannya engkau, betapa tampan. Aku cinta padamu Nurseta"
Mendengar suara lembut ini yang disusul suara terkekeh genit, Ki Jembros membuka matanya kembali dan menggerakkan leher menoleh ke kiri. Dia melihat betapa Ni Dedeh Sawitri duduk di tepi sebuah pembaringan dan Nurseta rebah di atas pembaringan dengan tangan dan kaki terbelenggu pula. Wanita itu dengan tak tahu malu sedang merayu dan membelai Nurseta. Kedua tangan wanita itu membelai mesra, kadang kadang membungkuk untuk menciumi muka pemuda yang telentang dalam keadaan pingsan itu.
Ki Jembros melotot. Kalau saja kedua pasang kaki tangannya tidak dibelenggu, tentu dia sudah meloncat dan menerkam wanita jahat itu. Akan tetapi dia sendiri tidak berdaya.
"Nurseta, sekali ini engkau harus memenuhi hasratku, engkau harus melayaniku, mau tidak mau........, harus....... hihihi......... engkau pasti akan tunduk, sayangku. Akan tetapi engkau harus siuman dulu untuk dapat kuminumkan jamu ini......."
Wanita itu mengeluarkan bungkusan dan agaknya memang ia sudah mempersiapkan segalanya. Dimasukkan isi bungkusan yang merupakan rumuan jamu , bubuk itu ke dalam sebuah cangkir, ducampurnya dengan air teh yang berada di poci lalu diaduknya sampai rata. Setelah itu, ia meletakkan jamu dalam cangkir itu di atas meja dan kembali ia menciumi seluruh muka Nurseta sabelum berusaha membuat pemuda itu siuman.
Ki Jembros tak dapat menahan dan kemarahannya lagi. "Ni Dedeh Sawitri, perempuan cabul, perempuan hina tak tahu malu"
Mendengar suara iri, Ni Dedeh Sawitri yang sedang merangkul dan menciumi Nurseta, menoleh dan tersenyum manis. "Hik hik Ki Jembros, engkau kepingin " Ah, kalau ada Nurseta disini, aku tidak sudi berdekatan dengan laki-laki macam kau"
"Perempuan rendah, engkau melebihi binatang. Ketahuilah, siapa pemuda yang kau pangku itu " Siapakah Nurseta " Dia adalah anakmu. Dia anak kandungmu sendiri dan sekarang engkau hendak memaksa puteramu sendiri berzina denganmu" Huh, perempuan macam apa engkau ini. Seorang ibu hendak memaksa puteranya sendiri menggaulinya" Cuhh..! Ki Jembros meludah dan Ni Dedeh Sawtri terbelalak, mukanya pucat dan ia memandang kepada Ki Jembros, lalu kepada Nurseta.
"Bohong. kau bohong, kau iri dan kau hanya menggertak. Aku tidak percaya !" bentak Ni Dedeh Sawitri, akan tetapi tetap saja ia menurunkan kepala Nurseta yang tadi dipangku dan dibelainya.
"Ki Jembros, engkau pembohong besar. Engkau sengaja hendak menggertakku, agar aku kehilangan gairahku. Keparat jahanam kubunuh kau" Wanita itu meloncat turun dari atas pembaringan dan menghampiri Ki Jembros dengan sikap mengancam, kini wajahnya yang tadi pucat berubah merah sekali karena amarah dan ia sudah mengerahkan Aji Sarpakenaka sehingga kuku-kuku jari tangannya yang panjang runcing itu kini dipenuhi hawa beracun dan sekali guratan kuku jari itu sudah cukup untuk membunuh orang.
"Ha ha ha, kau bunuhlah aku, Ni Dedeh Sawitri. Lebih baik aku mati dari pada hidup menyaksikan seorang ibu kandung memperkosa puteranya sendiri. Ibu kandung meniduri dan menggauli puteranya sendiri. Ih, iblis nerakapun tidak akan sekeji itu, Dedeh"
''Bohong. Kau bohong. Mana buktinya?"
"Buktinya " Engkau sungguh tidak tahu diri, Dedeh. Bercerminlah dan Iihat betapa mata dan mulutmu sama benar dengan mala dan mulut anakmu itu. Dan engkau tidak melihat bentuk tubuhnya" Tidak melihat dahinya dan hidungnya" Tidakkah serupa benar dengan bentuk tubuh, dahi dan hidung mendiang Pangeran Panji Hardoko ?"
Kini wajah yang memerah itu pucat kembali, lebih pucat dari tadi. Ia menoleh dan mengamati wajah yang berada di atas pembaringan itu. Ia menjerit lirih, "Tidak. Tidaaaakk.,....... Engkau bohong........"
"Hemm, engkau memang iblis betina yang tidak pernah mau bertaubat, tidak pernah mau menyadari kekotoran diri sendiri. Engkau tentu tahu siapa Nurseta" Murid dan putera angkat Ki Baka. Putera angkat. bukan anak kandung. Dari mana Ki Baka mendapatkan Nurseta" Dari kakaknya, mendiang Ki Bayaraja. Sebelum memberontak, Ki Bayaraja menyerahkan puteranya kepada Ki Baka agar dirawat.
Puteranya, putera angkat, bukan anak sendiri. Dan kau tahu dari siapa Ki Bayaraja menerima anak yang bernarna Nurseta itu" Dari Pangeran Panji Hardoko"
"Tidak........, tidaaaakk........." Kini Ni Dedeh Sawitri menutupi muka dengan kedua tangannya, akan tetapi segera diturunkannya dua tangan, itu dan ia kembali mengamati wajah Nurseta.
"Hemm, engkau meninggalkan anakmu itu kepada Pangeran Panji Hardoko ketika Nurseta masih bayi. Dan Pangeran Panji Hardoko sudah meninggal dunia karena duka, karena ulahmu. Dan engkau kini bahkan hendak berbuat cabul dengan puteramu sendiri" Cuhh!" Kembali Ki Jembros meludah.
"Tidak....... ah, tidak....ya Tuhan, tidak...." Ni Dedeh Sawitri hendak menjerit, akan tetapi suaranya lemah dan lirih.
. Pada saat itu, Nurseta membuka matanya Dia siuman dan seperti juga Ki Jembros, dia segera teringat akan keadaaanya dan tahulah dia bahwa dia terbelenggu dan berada di atas pembaringan, Ketika dia membuka mata, dia melihat Ni Dedeh Sawitri berdiri disitu, memandang kepadanya dengan mata terbelalak muka pucat sekali.
"Hahaha, Dedeh, perempuan hina. Lihat Nurseta sudah siuman, boleh kau tanya sendiri
kepadanya" terdengar Ki Jembros berkata dengan nada suara mengejek.
Setelah mendengar suara itu, baru Nurseta menoleh dan melihat bahwa kakek itu menggeletak di atas lantai, di sudut kamar itu.
Kini Ni Dedeh Sawitri meloncat, mendekati pembaringan, lalu dengan kedua tangan menggigil dan dingin ia memegang pundak Nurseta, mengguncangnya dan suaranya gemetar ketika ia berkata, "Nurseta, katakanlah, demi para dewata. katakan siapa ayah kandungmu dan siapa pula ibu kandungmu ?"
Nurseta yang merasa betapa bajunya bagian masih terbuka dan hidungnya mencium bau harum, dapat menduga apa yang tadi terjadi dan dilakukan Ni Dedeh Sawitri terhadap dirinya. Dia dapat pula menduga bahwa tentu Ki Jembros yang mencegah terjadinya keributan itu lebih lanjut dengan membuka rahasia mengenai hubungan antara dia dan wanita ini. Dia tahu bahwa jawabannya akan merupakan tikaman yang lebih hebat dari pada serangan keris pusaka. maka dengan penuh geram diapun menjawab dengan mata yang tajam mencorong menatap wajah wanita itu.
"Dengailah baik-baik. Ayah Eandungku adalah Pangeran Panji Hardoko dari Kediri, dan ibu kandungku adalafh seorang wanita gagah perkasa dari Pasundan yang bernama. Ni Dedeh Sawitri"
"Nurseta....... Aku ....... aku........ kalau begitu, akulah ibumu.........." Wanita itu menatap.
"Tidak. Bagaimana kau berani mengaku demikian" Ibuku adalah seorang wanita gagah perkasa yang berbudi luhur. Sedangkan kau. Kau ini seorang perempuan hina dan rendah, iblis betina yang kejam dan keji, tak tahu malu........ Aku akan malu sekali menjadi
anakmu. Tidak sudi aku mempunyai seorang ibu macam kau"
Ni Dedeh Sawitri mengeluarkan keluhan lirih dan iapun terkulai ke bawah pembaringan. Ia berlutut diatas lantai dan merataplah ia dengan suara merintih. "Nurseta.......aku ibumu, nak. Kau anakku........, aduh dewa....., ampuni hamba........ kau anakku......., wajahmu itu....... ah, sama benar dengan wajahnya, ayahmu. Nurseta anakku. tahukah engkau betapa rinduku kepadamu " Setelah aku meninggalkan engkau dan ayahmu....... ah, aku
lelah dikutuk untuk perbuatan itu, aku rindu kepada kalian. Aku kembali ke Kediri, akan
tetapi ayahmu telah meninggal dan kau.......kau lenyap. Tak seorangpun tahu dt mana kau berada, bahkan tidak ada yang tahu tahwa Pangeran Panji Hardoko mempunyai seorang putera. Aku menjadi seperti gila" aduh, anakku........ anakku....... aku menjadi gila dan makin tersesat......"
"Hemm, kau perempuan keji, iblis betina, jangan mencoba merayuku. Kalau kau ibuku, mengapa kau berusahu membunuhku" Kau........ perempuan tak bermalu....... muak aku melihatmu........"
Seluruh perasaan dendam dan bencinya kepada wanita. yang menjadi ibu kandungnya itu tercurah keluar dari dalam hati Nurseta. Lenyaplah semua kebijaksanaannya, terbakar oleh apa dendam dan sakit hati.
Ni Dedeh Sawitri menjerit. Bagaikan di tikam keris berkarat rasa jantungnya dan ia pun terkulai, lalu menangis tersedu-sedu, sesenggukan sampai sesak napasnya.
"Ampunkan aku........duhh dewa...... anakku....... ampunkan ibumu........ Panperan Panji Hardoko...... ampunkan aku....... duh Nurseta, ampunkan ibumu ini, anakku....... ia
Merintih-rintih dan membentur-benturkan dahinya di atas lantai. Nurseta diam saja terlentang dan tidak menoleh, akan tetapi kedua matanya basah, berlinang air mata mengingat betapa yang merintih-rintih itu adalah rintihan ibu kandungnya. Terbayang di dalam benaknya betapa wanita ini dahulu merintih rintih seperti itu ketika melahirkan dia di dalam dunia ini. Ingin dia merangkul, ingin dia menyembah dan minta ampun. Akan tetapi, diberatkannya hatinya. Wanita ini memang ibu kandungnya, akan tetapi terlalu jahat, terlalu kejam.
Melihat keadaan ibu dan anak itu, Ki Jembros merasa kasihan pula. Dia yang mewakili Nurseta menjawab. "Ni Dedeh Sawitri, mintalah ampun kepada Sang Hyang Widhi, kepada Yang Maha Kuasa. Bertauhatlah dan mohon ampun kepadaNya"
Ni Dedeh Sawitri bangkit berlutut, merangkap kedua tangan, menyembah-nyembah dari membentur-benturkan dahinya ke lantai. "Duh para dewa......., duh Hyang Widhi...... ampunilah hamba....... ya Tuhan, ampuni hambaMu ini uhhuhuuuu, ampun.... ampun......
ampun....." la meratap-ratap dan air matanya bercucuran, rambutnya terlepas dari sanggul dan awut-awutan, wajahnya pucat dan layu, tubuhnya mengigil.
"Ni Dedeh Sawitri, apa gunanya semua itu" Kau telah membantu sehingga puteramu. anak kandungmu tertawan dan setiap saatnya" nyawanya terancam maut......." kata Ki Jembros mengingatkan.
Tiba tiba Ni Dedeh Sawitri meloncat berseru. "Tidak " Tidak ada yang boleh roembunuh
anakku. Dia tidak boleb diganggu" Dan bagai orang gila, ia lalu melepaskan belenggu dari kaki dan tangan Nurseta. Pemuda ini begitu terbebas, lalu membereskan pakaiannya yang hampir ditelanjangi wanita itu tadi, dan dia meloncat ke dekat Ki Jembros dan membebaskannya dari ikatan kaki tangannya.
Pada saat itu, daun pintu terbuka dari luar dan enam orang murid Ki Buyut Pranamaya berloncatan masuk. Mereka tadi di luar mendengar suara ribut-ribut dalam kamar itu. Tadinya mereka sambil menahan tawa hendak menglntai, hendak melihat apa yang sedang dilakukan Ni Dedeh Sawitri terhadap tawanannya, dan mereka mengharapkan penglihatan yang menggairahkan dan mengobarkan nafsu berahi mereka. Akan tetapi, ternyata yang mereka dengar adalah tangis Ni Dedeh Sawitri, maka mereka segera mendorong daun pintu dan berloncatan masuk. Akan tetapi, mereka hanya mengantar nyawa, karena begitu mereka masuk, Ni Dedeh Sawitri sudah menyambut mereka dengan serangan kuku-kuku jari tangannya yang ampuh dan mengandung bisa itu. Empat orang roboh dan tewas seketika dengan muka menghitam, dan dua orang lainnya yang hendak melarikan diri, roboh oleh tendangan Ki Jembros yang sudah bebas. Nurseta sendiri hanya bengong saja melihat sepak terjang wanita yang sebetulnya ibu kandungnya akan tetapi selama ini menjadi musuhnya itu.
"Ni Dedeh, bawa kami kepada Gagak Wulung. Kami harus menolong Pertiwi yang tadi dibawanya lari" kata Ki Jembros yang teringat akan muridnya.
Ni Dedeh Sawitri memandang kepada Nurseta yang juga sedang menatapnya, dan dua pusang mata bertemu dan bertaut untuk beberapa detik lamanya. Melihat betapa pandang mata pemuda itu kepadanya kini mulai bebas duri kebencian yang mendalam, Ni Dedeh Sawitri merasa demikian berbahagia sehingga iapun meloncat ke pintu kamar sambil berseru dengan suara ringan dan gembira, Mari kalian ikuti aku"
Tanpa banyak cakap Ki Jembros dan Nurseta mengikuti wanita itu yang keluar dari rumah melalui pintu belakang. Karena pada saat itu, dua orang kakek gakti Ki Cucut Kalasekti dan Ki Buyut Pranamaya sedang bercakap-cakap di ruangan depan, mereka tidak tahu bahwa dua orang tawanan telah lolos dan enam orang murid Ki Buyut Pranamaya telah tewas.
Ni Dedeh Sawitri dapat menduga ke mana Gagak Wulung membawa pergi gadis tadi. Tentu ke dalam hutan dan iapun tahu di mana terdapat lapangan rumpu yang tebal
dan mengasyikkan. Kesanalah ia berlari, diikuti oleh Nurseta dan Ki Jembros.
Setelah mereka tiba di tengah hutan, di tempat yang ditumbuhi rumput tebal, tiba-tiba Ni Dedeh Sawitri berhenti berlari dan ia tidak bicara, hanya menudingkan telunjuk kanannya ke depan.
Ki Jembros dan Nurseta memandang dan mereka terbelalak, Gagak Wulung dan Pertiwi, keduanya dalam keadaan terlanjang bulat, rebah dalam keadaan mandi darah dan tak bernyawa lagi.
"Pertiwi........" Ki Jembros meraung dan diapun meloncat ke depan, dan di lain saat dia menubruk mayat Pertiwi sambil menangis menggerung gerung. Nurseta terbelalak, termangu dan terharu. Sebagai seorang pria, dia dapat merasakan apa yang dirasakan kakek itu. Ki Jembros bukan sekedar kehilangan seorang murid, melainkan lebih dari pada itu. jauh lebih dari pada itu. Dia kehilangan seorang yang amat dikasihi, seorang yang amat dicintanya.
"Pertiwi...... aduh, jagad dewa bathara....... Pertiwi........" Ki Jembros merangkul dan memangku mayat yang kepalanya pecah itu. Tiba-tiba dia menurunkan kembali mayat itu dan seperti orang yang mendadak menjadi gila, dia berteriak kepada mayat Gagak Wulung.
"Gagak Wulung, jahanam keparat kau. Terkutuk kau, semoga nyawamu disiksa di neraka yang paling rendah. Dan diapun mengayun tangannya dua kali. Terdengar bunyi keras dan kepala mayat Gagak Wulung menjadi remuk. Setelah melampiaskan kedukaan dan kearahannya dengan menghancurkan kepala mayat Gagak Wulung, kembali Ki Jembros merangkul mayat Pertiwi dan sambil menangis dia mengenakan pakaian laki-laki yang tadi ditinggalkan dari tubuh Pertiwi kepada mayat gadis itu lagi.
Nurseta berdiri seperti berubah menjadi arca. Dia teringat akan nasib Pertiwi dan diamddiam dia merasa terharu dan iba. Buruk sekali nasib gadis manis itu. Gadis itu jatuh cinta kepadanya, namun dia tidak dapat membalas cinta Pertiwi karena dia telah lebih dulu jatuh cinta kepada Wulansari. Kemudian, Pertiwi dalam keadaan putus harapan dan patah hati, bertemu dengan Gagak Wulung dan gadis itu menyerahkan diri di bawah pengaruh sihir Gagak Wulung. Gadis itu menjadi sakit hati dan setelah bertemu Ki Jembros, ia mempelajari ilmu dan berusaha membalas dendan. Akan tetapi, kembali ia dikalahkan, bahkan diperkosa kembali. Dan dia dapat membayangkan apa yang telah terjadi, melihat keadaan mayat Gagak Wulung yang amat mengerikan tadi.
Mulutnya penuh darah dengan lidah putus, dan alat kelaminnya remuk. Melihat betapa tangan kanan Pertiwi penuh darah, diapun dapat membayangkan betapa gadis itu tentu telah bersiasat, berpura-pura menyerah dan melayani jahanam itu, kemudian membunuhnya dengan meremas alat kelaminnya. Dan pada saat sekarat itu, Gagak Wulung sempat memukul pecah kepala Pertiwi. Gadis yang malang sekali. Padahal, Ki Jembros jelas amat mencinta gadis itu.
Tiba-tiba Nurseta yang melamun itu dikejutkan oleh teriakan Ni Dedeh Sawitri, "Nurseta. Ki Jembros. Cepat kalian lari, biar aku yang menahan dua ekor monyet tua itu"
Ki Jembros dan Nurseta cepat memutar tubuh dan mereka masih sempat melihat Ni Dedeh Sawitri meloncat dan menyerang dua orang kakek sakti yang datang ke tempat itu. Bagaikan seekor singa betina melindungi anaknya, Ni Dedeh Sawitri menggunakan pukulan mautnya, yaitu dengan Aji Sarpakenaka mencakar ke arah muka Ki Cucut Kalasekti yang berada di depan, Namun, tentu saja kakek sakti itu dengan mudah dapat mengelak bahkan rnembalas dengan tamparan tangan Gelap Sewu yang ampuh Dengan kelincahan tubuhnya, Ni Dedeh Sawitri mengelak, meloncat ke kanan dan karena Ki Buyut Pranamaya kini berada dekat dengannya, iapun membalik dan kedua tangannya mencengkeram, yang kiri ke arah perut kakek itu, yang kanan ke arah lehernya. Sementara itu, kakinya masih menyambar ke kiri untuk menjaga kalau Ki Cucut Kalasekti menyerangnya dari samping. Juga Ki Buyut Pranamaya dengan mudah mengelak dengan melangkah mundur, dan pada saat itu, Ki Cucut Kalasekti sudah menangkis tendangan kaki wanita itu. Tangkisan yang kuat membuat tubuh Ni Dedeh Sawitri terputar dan terhuyung. Saat itu, tendangan kaki Ki Buyut Pranamaya yang terkenal hebat itu, dengan Aji Cakrabairawa, telah menyambar.
"Desss......" Tubuh wanita itu terpelanting keras dan iapun roboh tak bergerak lagi.
Biasanya, sejak dia tahu bahwa Ni Dedeh Sawitri adalah ibu kandungnya, Nurseta merasa berduka dan bahkan amat membenci wanita itu, lebih benci dari pada sebelum dia tahu bahwa ia ibunya. Akan tetapi, kini, melihat wanita itu roboh dan tak berkutik lagi, agaknya tewas, tiba-tiba dia menjadi beringas. Dari dalam perutnya keluar suara melengking nyaring yang mengejutkan dua orang kakek sakti, dan tubuh Nurseta sudah menerjang ke depan dengan hebatnya, Dahsyat sekali serangan Nurseta yang dia tujukan kepada Ki Buyut Pranamaya yang telah membunuh ibu kandungnya. Dia telah menggunakan Aji Pukulan Jagad Pralaya yang amat dahsyat itu, pemberian gurunya, Panembahan Sidik Danasura. Melihat datangnya pukulan yang seperti halilintar itu, Ki Buyut Pranamaya terkejut dan cepat menangkis.
"Desss......." Biarpun Ki Buyut Pranamaya telah mempergunakan seluruh tenaganya, namun pertemuan antara kedua tangan yang sama-sama mengandung tenaga ampuh itu membuat kakek itu terpental ke belakang dan terhuyung-huyung. Gentarlah Ki Buyut Pranamaya. Dia meloncat jauh ke belakang.
"Ki Cucut, mari kita pergi" katanya, menyembunyikan perasaan nyeri di dadanya akibat gempuran tenaga ampuh dari lawannya yang muda tadi.
Ki Cucut Kalasekti juga agak gentar menghadapi Nurseta. Walaupun dia sama sekali tidak takut karena di situ ada Ki Buyut Pranamaya, akan tetapi kalau rekannya itu pergi dan dia harus seorang diri saja menghadapi Nurseta, berbahaya juga. Pula, tugasnya adalah merampas kembali tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala dan menyelidiki Majapahit. Biarpun dia membenci Nurseta, akan tetapi pemuda itu tidak cukup penting. Maka, mendengar ajakan Ki Buyut Pranamaya, diapun cepat meloncat jauh dan melarikan diri bersama rekannya itu.
Nurseta dan Ki Jembros juga tidak melakukan pengejaran karena mereka segera menghampiri dua orang wanita yang telah roboh itu. Ki Jembros kembali berlutut dekat mayat Pertiwi, sedangkon Nurseta kini berlutut dekat tubuh ibu kandungnya yang sudah tidak mampu bergerak lagi. Dia memeriksa dan mendapat kenyataan bahwa biarpun Ni Dedeh Sawitri masih bernapas, namun napasnya sesak dan dari ujung bibirnya mengalir darah segar. Ia telah terluka hebat di sebelah dalam tubuhnya. "Nurseta, mari kita cepat membawa mereka pergi dari sini. Kalau dua jahanam tua itu kembali membawa bala bantuan, sukar bagi kita untuk melindungi mereka ini. Aku.......
aku harus mengubur jenazih Pertiwi di tempat yang layak......" Suaranya terdengar penuh duka dan kakek perkasa ini lalu mengangkat dan memondong tubuh Pertiwi yang sudah menjadi mayat.
Nurseta juga memondong tubuh Ni Dedeh Sawitri dan merekapun meninggalkan tempat itu. Menurut petunjuk Ki Jembros, mereka mendaki sebuah bukit yang nampak subur dan menurut pendapat Ki Jembros, merupakan tempat yang amat baik untuk mengubur jenazah. Setelah tiba di lereng bukit itu, di tempat terbuka yang penuh rumput, Ki Jembros berhenti.
Dengan hati hati mereka menurunkan tubuh yang mereka pondong. Ni Dedeh Sawitri bernapas satu-satu. Tendangan Cakrabirawa dari Ki Buyut Pranamaya yang ampuh tadi telah membuat beberapa tulang iganya remuk dan isi dadanya terguncang hebat. Setelah memeriksa dengan seksama, Nurseta terkejut dan berduka melihat keadaan dada ibunya. Diapun menempelkan tangannya ke tempat yang tertendang itu, di sebelah kanan ulu hati agak ke bawah, lalu mengerahkan tenaga saktinya untuk membantu ibunya mengatasi lukanya.
Ni Dedeh Sawitri mengeluarkan suara keluhan lirih dan membuka matanya. "Anakku........ kau anakku......" bisiknya dengan suara lirih dan terputus-putus.
"Tenanglah dan biarkan aku mencoba untuk mengobati" kata Narseta.
Ni Dedeh Sawitri tersenyum. Wajahnya yang pucat itu nampak cerah dan cantik, matanya bersinar-sinar. Jelas terbayang kebahagiaan di wajahnya, walaupun wajah itu nampak juga menahan rasa nyeri yang hebat. Lalu ia menggeleng kepalanya.
"Percuma....... tendangan itu hebat....... aku....... aku merasa..... takkan kuat lagi...."
Tiba tiba wanita itu tumpah dan banyak darah keluar dari mulutnya. Nurseta terkejut
dan maklum bahvva memang apa yang dikatakan wanita itu benar. Lukanya amat parah dan tidak mungkin dapat disembuhkan lagi. Nurseta menelan ludah untuk menekan keharuan hatinya.
"Kau....... telah mengorbankan nyawa untukku......."
Ni Dedeh Sawitri kembali tersenyum dam nampak jelas oleh Narseta betapa cantik ibu kandungnya ini. Usianya sudah kurang lebih lima puluh tahun, akan tetapi wajah itu belum dimakan keriput, masih halus dan garis-garisnya amat sempurna.. Ketika tersenyum nampak deretan giginya yang masih rapi dan putih bersih. Tidak mengherankan kalau banyak pria tergila-gila kepada wanita ini, pikirnya. Ada rasa bangga menyelinap di hatinya, akan tetapi juga perasaan kecewa mengingat betapa ibunya telah tersesat yang terkenal kejam dan juga cabul.
"Aku girang, aku bahagia...... setidaknya aku dapat melukukan sesuatu untuk anakku.
Nurseta........ ah, maukah....... maukah kau memenuhi permintaanku yang terakhir " Anakku........ ah, anakku........ kalau kau tidak sudi mengaku ibu kepadaku, setidaknya..... maukah engkau memenuhi permintaan...... permohonan...... seorang wanita yang mendekati kematiannya ?"
Nurseta mengangguk, tidak bersuara karena ia tahu bahwa keharuan dan kedukaan hatinya akan membuat suaranya gemetar mengandung isak.
"Pertama...... maukah kau....... memaafkan semua kesalahanku, nak" Kau........ kau
ampunkan aku?"
Nurseta merangkap kedua tangannyu "Semoga para dewata mengampuni semua kesalahanmu..." bisiknya.
"Tapi kau " Biar semua dewata mengampuniku, kalau kau anakku tidak mau memaafkan aku, masih mendendam dan membenciku, tidak ada artinya........ aku hanya..... butuh pengampunanmu......"
Nurseta mengangguk. "Aku sudah melupakan semua kesalahanmu......"
"Kau maafkan dan tidak membenciku lagi?" tanya wanita itu penuh harap dan agaknya ada kekuatan baru datang padanya sehingga ia dapat bicara dengan lancar.
"Aku tidak membencimu lagi" kata Nurseta dengan suara sungguh-sungguh karena ucapan itu keluar dari lubuk hatinya.
"Ah ....... terima kasih ....... kau anakku.......satu. permintaan lagi, kalau........
aku mati........ bakarlah jenazahku dan bawa abuku ke Kediri........ kuburkan
ibu di dekat makam ayahmu....... Pangeran Panji Hardoko ...... Maukah kau melaksakan itu?"
Kembali Nurseta mengangguk dan dia menggigit bibirnya, hatinya seperti diremas rasanya. Wanita ini ibunya. Dan ibunya minta abunya dikubur dekat makam ayahnya.
"Akan aku laksanakan" katanyu tegas.
Ni Dedeh Sawitri menggerakkan kedua tangannya dan merangkul leher Nurseta. Dengan tenaga lemah dia menarik leher puteranya itu. Merasakan hal ini, Nurseta mendekatkan diri karena wanita itu agaknya tiba-tiba kehilangan, suaranya dan hanya berbisik-bisik. Dia mendekatkan telinganya.
"Anakku....... maukah........ maukah kau........?" Senyum dan pandang mata itu amat
mengharukan dan sikapnya seperti seorang wanita yang dengan penuh kasih sayang dan kemesraan membutuhkan cumbu rayu seorang pria yang dicintanya.
"Apakah itu________?" Nurseta bertanya.
"Maukah....... maukah kau........ menyebut....... ibu kepadaku.......?" suara itu hanya
Bisik-bisik dan napas itu makin lemah.
Nurseta menatap wajah itu dan tak terasa lagi kedua matanya menjadi basah. Rangkulan kedua lengan ibunya pada lehernya makin melemah sehingga dia harus menopang tubuh ibunya dengan kedua lengannya yang memeluk, lalu dia berkata, suaranya penuh perasaan sayang dan iba.
"Ibu........ ibu......."
Wajah itu berseri, mata itu berkilat. mulut itu tersenyum lebar akan tetapi tenaga pada kedua lengan yang merangkul itu hilang, tubuhhnya terkulai dalam pelukan Nurseta.
"Ibu...Ibuuu" " Kini panggilan Nurseta bukan untuk memenuhi permintaan ibunya, melainkan teriakan yang keluar sebagai jeritan hati melihat wanita itu meninggalkan dunia ini dengan wajah penuh senyum kepuasan, penuh kebahagiaan.
"Ibuuuu......." Nurseta mendekap dan menyembunyikan mukanya di dada wanita itu" membasahi dada itu dengan cucuran air matanya,
"Tenangkan hatimu, Narsetai" terdengar suara Ki Jembros. "Bagaimanapun juga, ia mati dalam keadaan bahagia, diantar tangis puteranya yang tercinta" Setelah berkata demikian Ki Jembros memandang kepada jenazah Pertiwi dengan sedih. Ada sesuatu yang dirasakannya ikut mati dalam hatinya melihat Pertiwi yang kini tidak bernyawa lagi itu
Dua orang pria yang kehilangan orang yang dicintanya itu kini bekerja. Ki Jembros menggali sebuah lubang kuburan yang dalam untuk mengubur jerazah Pertiwi, sedangkan Nurseta, melaksanakan pesan terakhir ibu kandungnya, yaitu mengumpulkan kayu bakar yang amat banvak untuk memperabukan jenazah itu.
Pada keesokan harinya, dua orang laki-laki perkasa itu menuruni bukit itu dengan wajah lesu. Nurseta membawa abu jenazah ibunya yang dibungkus dengan kain, sedangkan Ki Jembros membawa hati yang merasa sunyi melengang. Seolah-olah semangatnya ikut dimakamkan di kuburan Pertiwi, sebuah kuburan sederhana yang ditandai dengan sebuah batu persegi tiga.
Setelah tiba di kaki bukit, keduanya berhenti dan saling pandang Mereka dapat mengetahui isi hati masing-masing. Nurseta amat terharu melihat Ki Jembros. Malam tadi, setelah mengubur jenazah Pertiwi, Ki Jembros menangis di depan makam. Ketika Nurseta mendekatinya duduk pula bersama di situ sambil menanti terbakar habisnya jenazah Ni Dedeh Sawitri, Ki Jembros mengusap air matanya dan berkata kepada Nurseta.
"Nurseta, dapatkah kau merasakan betapa nyerinya hati yang merasa kehilangan dan kesepian ?"
Tanpa menjawab Nurseta mengangguk. Nurseta merasa iba sekali. Dia tahu apa yang berkecamuk dalam hati dan pikiran orang tua itu. Baru saja Ki Jembros kehilangan Pertiwi, satu-satunya orang yang dia anggap sebagai miliknya, entah itu sebagai murid, sebagai kawan, atau sebagai wanita yang dicintainya. Dan Ki Jembros yang gagah perkasa itu merasa kehilangan, merasa kosong hidupnya, kesepian dan merana.
Tiba-tiba Ki Jembros berkata dengan sungguh-sungguh "Nah, Nurseta. Di sini kita berpisah. kau hendak melanjutkan perjalanan ke mana?"
"Aku hendak melanjutkan perjalanan memenuhi tugasku, paman. Yaitu ke dalam ibu kota Kediri. Pertama, aku akan menguburkan abu jenazah ibuku ini di dekat makam ayah. Kemudian, aku akan menyelidiki tentang Wulansari dan tombak pesaka Tejanirmala"
"Baiklah, memang tombak pusaka itu penting sekali. Kurasa Wulansari sudah mengantarkan Puteri Dyah Gayatri ke Majapahit dan ukupun akan ke sana. Kalau aku bertemu dengannya, akan kuberitahu bahwa kau mecarinya dan berada di Kediri"
"Baiklah, paman. Kita berpisah di sini dan selamat jalan"
"Selamat berpisah, Raden. Berhati-hatilah"
"Di Kediri banyak musuh yang pandai" kata Ki Jembros.
"Paman menyebut Raden pula?"
"Tentu saja, Kau putera pangeran, bukan"'' Ki Jembros tertawa dan merekapun berpisah.
*** Para pimpinan pasukan dari Cina yang dikirim Kubilai Khan mengadakan perundingan. Mereka telah mendengar laporan yang dibawa oleh Lie Hok Yan dan beberapa orang perwira yang bertugas mata-mata. Musuh mereka yang menurut perintah kaisar mereka harus mereka tumpas adalah Prabu Kertanegara dari Kerajaan Singosari. Akan tetapi kini Prabu Kertanegara telah tewas, Kerajaan Singosari telah jatuh ke tangan seorang raja lain yaitu Raja Jayakatwang dari Kediri. Padahal tidak ada perintah dari kaisar mereka untuk menyerang raja ini.
"Bagaimanapun juga, tidak bijaksana kalau kita kembali dengan tangan kosong" kata Pangima Kau Seng kepada dua orang rekannya, satu Pauglima She Pei dan Panglima Ji Kauw Mosu, dihadiri pula oleh para perwira yang membantu mereka, termasuk Lie Hok Yan. "Perintah Sribaginda Kaisar adalah untuk menghukum Kerajaan Singosari. Walaupun kini Kerajaan Singosari sudah terjatuh ke tangan raja lain, namun kalau dia sebagai penguasa baru tidak mau tunduk kepada kaisar kita, sepantasnya kita serang dan kita menundukkannya agar dia mengakui kebesaran kaisar kita"
"Akan tetapi kita belum mengetahui bagaimana sikap Prabu Jayakatwang dari Kediri yang telah menaklukkan Singosari itu" kata Ji Kauw Mosu hati-hati.
"Benar, kita harus melihat dahulu bagaimana sikapnya. Kalau memang dia mau mengakui kebesaran Sribaginda Kaisar dan mengirimkan upeti dan tanda penghormatan melalui kita, tentu kita tidak perlu membuang tenaga untuk menyerangnya" kata pula Panglima She Pei.
"Akan tetapi, ada hal yang amat menarik dalam peristiwa di Singosari ini" kata Panglima Kau Seng. "Kita dengarkan saja penjelasan sute Lie Hok Yan. Sute, kau ceritakanlah tentang pertemuanmu dengan orang-orang yang setia kepada Singosari dan adanya usaha pemberontakan terhadap Raja Jayakatwang itu"
Lie Hok Yan lalu menceritakan tentang semua pengalamannya, mengenai penyelidikannya dan pertemuannya dengan orang orang gagah dari Singosari. Dia bercerita bahwa Raden Wijnya, yaitu seorang pangeran Singosari, mantu mendiang Prabu Kertanegara, kini sudah melakukan persiapan untuk memberontak dan menyerang Kerajaan Kediri dan membangun kembali Singosari yang sudah runtuh. Sekarang, Raden Wijaya itu, dibantu oleh bupati Sumenep Arya Wiraraja atau Bupati Banyak Wide, sedang menyusun kekuatan di dekat daerah yang disebut Majapahit. Betapa pihak Raden Wijaya mengharapkan kerja sama dengan pasukan Kubilai Khan untuk bersama-sama. menyerang Kerajaan Daha.
Mendengar keterangan Lie Hok Yan, tiga orang panglima itu kembali berunding. "Kita harus berhati-hati" kata Ji Kauw Mosu. "Kita belum tahu bagaimana sikap Raja Jayakatwang, dan apa untungnya kalau kita membantu Raden Wijaya memerangi Kerajaan Daha"
Bagaikan suatu jawaban langsung dari keraguan yang dilontarkan Ji Kauw Mosu itu, seorang pengawal datang menghadap dan menghadap, bahwa ada tamu yang mengaku utusan dari Bupati Sumenep, yaitu Arya Wiraraja, mohon untuk menghadap pimpinan pasukan.
Orang itu adalah utusan yang dikirim oleh Arya Wiraraja, bersama beberapa orang pengikutnya. Setelah menghadap, utusan itu menyerahkan surat dari Arya Wiraraja. Melalui seorang penterjemah, tiga orang panglima itu meniliti isi surat. Dalam suratnya, Arya Wiraraja menyatakan keinginannya untuk bekerja sama dengan pasukan Tartar untuk melawan Kerajaan Daha. Dalam surat itu, Arya Wiraraja yang terkenal cerdik itu menggambarkan keadaan Daha dan tentang Sang Prabu Jayakatwang yang berwatak licik. Sedangkan terhadap Kerajaan Singosari yang masih keluarga sendiri dan yang selalu melepas budi kebaikan saja, dia masih mau memberontak dan berkhianat, apa lagi terbadap Kaisar Kubilai Khan, demikian Arya Wiraraja menulis. Sebaiknya, kalau Raden Wijaya yang menjadi raja, maka hubungan antara kerajaan baru itu dengan Cina akan menjadi baik kembali. Juga Raden Wijaya dan Arya. Wiraraja tidak akan melupakan bantuan pasukan itu, dan kalau mencapai kemenangan, tentu akan mengirim upeti yang banyak, diantaranya beberapa orang puteri kerajaan yang cantik untuk dihaturkan kepada Kaisar Kubilai Khan.
Setelah mengadakan perundingan, akhirnya para pimpinan pasukan Tartar itu menerima uluran tangan ini dan merekapun membalas surat Arya Wiraraja, menyatakan setuju untuk bekerja sama memukul Kerajaan Daha.
Perjanjian telah disepakati dan tiga orang panglima itu bersiap siap untuk mulai bergerak. Tinggal menanti berita dari Raden Wijaya dan Arya Wiraraja. Akan tetapi mulai saat itu hubungan diantara mereka selalu ada.
Ketika Kau Seng dihadap sute-nya (adik sepergurannya) yang menyatakan untuk mengundurkan diri karena hendak menikah dengan seorang gadis puteri lurah dusun Kalasan dan tidak kembali ke Cina, panglima itu mengerutkan alisnya. "Sute, kalau saja kau bukan sute-ku, dan kau tidak bekerja dalam pasukanku, tentu akan kusuruh tangkap kau dan dijatuhi hukuman berat. Bagaimana mungkin kau hendak meninggalkan pasukan begitu saja untuk keperluan pribadi" Dalam pasukan, kepentingan pasukan harus didahulukan, baru kepentingan pribadi. Apa lagi kau menjadi anggata pasukan yang melakuakan perjalanan jauh dari negeri sendiri"
"Saya tahu, Tai Ciangkun (panglima)" jawab Hok Yan. "Kalau bukan Ciangkun yang menjadi pemimpin saya, tentu sayapun tidak akan berani mengajukan permintaan ini"
"Hemm, sudahlah, urusan pribadimu boleh ditunda dulu, dan kau harus melaksanakan tugasmu sebagai perwira dalam pasukan kita. Kalau tugas kita ini sudah selesai dan kau tidak ikut pulang ke utara, terserah kepadamu.
Hok Yan memberi hormat dan tersenyum, memang maksudnya bukan langsung meninggalkan pasukan. Kalau dia tadi menyatakan demikian hanya untuk memancing bagaimana pendapat suhengnya saja. Kini, suhengnya menyetujui kalau tugas sudah selesai dan itulah yang dia harapkan. Tanpa persetujuan suhengnya, biarpun tugas sudah selesaipun tidak mungkin dia meninggalkan pasukan.
"Terima kasih, Ciangkun"
*** Sementara itu, di daerah baru yang telah dibuka oleh Raden Wijaya dan para pengikutnya, yaitu yang diberi nama Majapahit, Raden Wijaya juga mengadakan perundingan dengan para pembantunya, yaitu bekas senopati Singosari. Perundingan itu dilakukan dalam bangunan sederhana yang menjadi tempat tinggat Raden Wijaya dan Puteri Tribuwana, dan dilakukan dengan penuh rahasia. Sekeliling, rumah itu dijaga ketat agar jangan sampai ada orang luar dapat mendengarkan perundingan itu.
"Kini agaknya waktunya sudah matang untuk melakukan gerakan" antara lain Raden Wijaya berkata kepada para pembantunya "Kita telah berhasil mengumpulkan sisa pasukan Singosari yang dulu lari cerai berai, juga banyak menarik tenaga baru menjadi pasukan kita. Kita sudah melatih mereka dan mereka semua sudah dalam keadaan siap. Juga Paman Wiraraja sudah mempersiapkan diri dengan pasukan Madura yang akan membantu kita. bagaimana pendapat kalian sekalian" Sebelum melangkah, kita harus merundingkannya masak-masak dan saya mengharapkan nasehat dan pendapat kalian sekalian agar gerakan kita tidak sampai mengalami kegagalan"
Segera Ronggo Lawe maju menyembah. "Menurut pendapat hamba, seyogianya kalau perang dimulai dengan alasan yang kuat. Tanpa alasan langsung menyerbu Kediri akan menimbulkan anggapan seolah-olah paduka tidak mengenal budi dan terima kasih karena bukankah Sang Prabu Jayakatwang selama ini bersikap baik dan menerima paduka dan para pengiring paduka?"
Raden Wijaya menganguk angguk. "Lalu, alasan apa yang harus kita pakai untuk menggempur Kediri"''
"Gusti Pangeran, sampai sekarang paduka belum dapat menemukan Puteri Dyah Gayatri, padahal menurut berita, tadinya beliau menjadi tawanan di istana Kediri. Nah, paduka dapat menuntut agar Gasti Puteri itu diserahkan kepada paduka. Kalau hal itu tidak dipenuhi maka paduka mempunyai alasan untuk menyerbu Kediri"
"Bagaimana kalau paman prabu Jayakatwang mengembalikan diajeng Gayatri kepadaku?"
"Hal itu tidak mungkin, Raden. Karena kita sudah mendengar dari para penyelidik kita bahwa Sang Puteri telah berhasil lolos dari istana Kediri dan tak seorangpun mengetahui di mana beliau berada" bantah Ronggo Lawe.
Raden Wijaya memandang kepada para pembantunya yang lain. "Bagaimana pendapat kalian sekalian?"
Lembu Sora menyembah. "Kenapa kita harus menggunakan alasan itu, Raden" Sudah dapat dipastikan bahwa andaikata Gusti Pateri Dyah Gayatri masih berada di Kediri pun, Sang Prabu Jajakatwang tidak akan mengabulkan permintaan itu Pula, semua orang mengetahui belaka bahwa Sang Prabu Jayakatwang yang berkhianat dan memberontak tehadap Singosari. Kalau paduka kini menyerang Kediri, hal itu sudah jamak. Kejahatannya menghancurkan Singosari tidak mungkin dapat ditebus hanya oleh sikapnya yang baik ketika menerima paduka. Tidak perlu rasanya bersungkan-sungkan terhadap seorang yang demikian tidak mengenal budi seperti Sang Prabu Jayakatwang. Dia telah membalas kebaikan Singosari kepadanya dengan penyerbuan yang amat curang, yaitu selagi Singosari mengirimkan balatentaranya keluar Jawa"
Mendengar ucapan itu, Gajah Pagon dan Lembu Peteng menyatakan setuju dan merekapun menganjurkan agar penyerangan segera dilakukan untuk menghukum Raja Kediri.
Senopati Nambi tidak mau kalah dan diapun maju dengan usulnya. "Menurut pendapat hamba, akan lebih menguntungkan kalau kita berusaha mendekati dan memikat para menteri dan hulubalang Kerajaan Daha, membujuk mereka agar suka memberontak. Kalau sudah begitu, akan mudah menaklukkan Sang Prabu Jayakatwang yang diserang dari luar dan dalam. Kalau paduka hendak membalas budi, paduka dapat membiarkan Prabu Jayakatwang tetap menjadi raja di bawah kekuasaan Singosari kembali, asal dia suka menyerahkan puterinya kepada paduka sehingga terdapat ikatan kekeluargaan yang lebih erat lagi. Kalau Sang Puteri Kedaton yaitu Dyah Retna Kesari dari Daha dapat menjadi isteri Paduka, tentu keluarga Kerajaan Daha tidak akan dapat berkutik lagi dan akan terdapat perdamaian antara kedua kerajaan"
Ketika Raden Wijaya minta para pembantunya yang lain, para senopati lainnya tidak setuju. Mereka itu pada umumnya menghendaki agar tidak perlu mempergunakan siasat yang berlika-liku, melainkan terus terang saja menyerbu Kediri sebagai pembalasan atas perbuatan Prabu Jayakatwang yang telah menaklukkan Singosari.
Ronggo Lawe kembali menyembah. "Hamba juga setuju kalau semua rekan menghendaki agar kita langsung saja menyerbu Kediri tanpa banyak urusan lagi. Memang kalau dipikir, perbuatan Prabu Jayakatwang yang telah menundukkan Singosari dengan pengkhianatannya itu amat menyakitkan hati. Akan tetapi, harap paduka tidak melupakan Pamanda Bupati di Sumenep. Saran dan nasihat beliau selalu berguna bagi paduka"
"Andika benar, Kakang Ronggo Lawe" Seru Raden Wijaya. "Memang seharusnya kalau kita lebih dulu minta nasihat Paman Wiraraja, karena selama ini akupun selalu bergerak sesuai dengan nasihatnya" Raden Wijaya sudah mengambil keputusan dan pada hari itu juga dia mengutus Lembu Peteng untuk pergi ke Sumenep membawa suratnya yang isinya mohon petunjuk tentang maksud penyerbuannya ke Daha.
Sambil menanti kembalinya Lembu Peteng dari Sumenep, Raden Wijaya mengajak para pembantu yang lain untuk berburu binatang ke dalam hutan-hutan di sekitar daerah Majapahit.
Para senopati itu berpencar untuk menggiring binatang buruan ke arah Radeh Wijaya yang siap menanti dengan busur dan anak panah. Gajah Pagon dan Banyak Kapuk, dua orang senopati setia berjalan beriringan untuk mencari binatang buruan dan menggiringnya. Mereka memasuki hutan dari arah timur.
Pagi itu matahari cerah dan selagi dua orang senopati itu berjalan berindap-indap, tiba-tiba Gajah Pagon memberi isarat kepada kawannya untuk berhenti. Banyak Kapuk mengira bahwa rekannya melihat binatang hutan, maka diapun diam tak bergerak sambil memandang ke arah yang ditunjuk oleh Gajah Pagon.
Akan tetapi yang dilihatnya bukan binatang hutan, melainkan seorang manusia yang berdiri di depan sebuah gubuk tua. Gubuk iiu memang dibangun oleh para pekerja ketika mereka menjelajahi hutan dan ketika terjadi babat hutan di daerah Majapahit, sebagai tempat berteduh dan bermalam mereka yang melaksanakan tugas. "
"Eh, siapa ........"
"Ssttt......." Gajah Pagon memberi isarat kepada kawannya untuk tidak bersuara, lalu mendekatkan mulutnya ke telinga kawan itu sambil berbisik, "Dia bukan kawula di sini, siapa tahu dia mata-mata musuh.,....."
Banyak Kapuk mengangguk dan mereka berdua menyelinap di balik semak belukar dan mengintai. Yang mereka intai itu seorang laki-laki muda sekali, dengan wajah yang amat tampan. Mungkin usianya baru dua puluh tahun lebih. Tubuhnya kecil saja, ramping, akan tetapi pemuda itu memiliki sepasang mata yang amat tajam mencorong seperti mata seekor harimau. Dari tempat mereka bersembunyi, dua orang senopati pembantu Raden Wijaya itu mendengar pemuda itu bicara dengan seseorang yang agaknya berada di dalam gubuk.
"Bersembunyilah saja di dalam, dan jangan keluar. Aku mendengar suara banyak orang memasuki hutan ini" kata pemuda itu menjawab pertanyaan yang tidak jelas dari dalam gubuk.
Akan tetapi, Gajah Pagon dan Banyak Kapuk mendengar suara wanita dari dalam gubuk itu. Ucapan pemuda itu menambah besar kecurigaan mereka. Pemuda itu bersikap aneh dan agaknya dengan sembunyi-sembunyi memasuki daerah itu. Gajah Pagon memberi isarat kepada kawannya dan merekapun berloncatan keluar dari balik semak belukar dan lari menghampiri pemuda yang berdiri di depan gubuk itu. Mereka melihat betapa gubuk itu ditutup pintunya sehingga wanita yang berada di dalamnya tidak nampak. Dan kini mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang amat ganteng dan tampan, yang menghadapi mereka dengan sikap tenang sekali, Pemuda itu tidak terkejut melihat munculnya dua orang laki-laki gagah itu.
"Heh, orang muda. Siapakah kau" Dan siapa pula yang berada di dalam gubuk itu " Hayo keluar dan kalian memperkenalkan diri kepada kami dengan terus terang" kata Gajah Pagon dengan suara lembut namun tegas dan berwibawa.
Pemuda itu memandang kepadanya dengan sorot mata penuh selidik. Gajah Pagon adalah seorang laki-laki jantan berusia empat puluhan tubuh, bertubuh tinggi besar dengan perut agak gendut, dan sikapnya berwibawa.
"Kisanak, kita tidak saling mengenal, juga tidak mempunyai urusan satu sama lain. Pergilah dan jangan ganggu kami"
Sikap dan jawaban pemuda itu yang nampak demikian angkuh membuat Banyak Kapuk yang wataknya keras berangasan itu seketika menjadi marah. Matanya melotot merah dan dia memelintir kumisnya yang panjang dan tebal.
"Babo babo keparat. Orang muda sombong, tahukah kau dengan siapa kau berhadapan " Aku adalah Banyak Kapuk dan ini kakang Gajah Pagon. Kami adalah bekas senopati Singosari, tahu ?"
Pada saat itu terdengar suara wanita dari dalam gubuk. "Kakang Bambang Wulandoro, siapakah mereka yang datang membikin gaduh itu?"
"Ah, mereka ini hanya dua orang bekas Senopati Singosari yang mengaku bernama Banyak Kapuk dan Gajah Pagon" kata pemuda dengan sikap acuh, seolah memandang rendah sekali kepada dua orang bekas senopati itu.
"Bocah sombong" Banyak Kapuk tidak dapat menahan kesabarannya lagi. "Siapa namanu" Bambang Wulandoro" Hayo kau menyerah untuk kami tawan karena sikapmu ini menunjukkan bahwa kau adalah seorang musuh, mungkin kau mata-mata"
"Banyak Kapuk, kau ini sesuai dengan namamu, kau seperti seekor banyak (angsa) yang kurus dan galak" Pemuda itu mengejek.
Kembali terdengar suara dari dalam gubuk. "Kebetulan sekali, kakang. Kalau begitu suruh mereka itu minta agar Raden Wijaya datang ke sini"
Pemuda itu bukan lain Wulansari, dan wanita yang bersembunyi di dalam gubuk adalah Puteri Dyah Gayatri. Wulansari kini berkata lagi kepada dua oiang itu, "Nah, kalian
sudah mendengar, bukan" Lebih baik kalian cepat pergi dan mengundang Raden Wijaya agari datang ke sini"
Mendengar ucapan ini, Gajah Pagon yang tabiatnya lebih sabar itu menjadi merah mukanya, pemuda ini dan wanita yang berada di dalam gubuk sungguh memandang rendah kepada Raden Wijaya dan para senopatinya.
"Orang muda, kau ini masih seorang bocah, akan tetapi kau bersikap sombong bukan main. Terpaksa kami harus menangkapmu untuk kami hadapkau kepada Raden Wijaya"
Wulansari yang memang sengaja hendak memancing datangnya Raden Wijaya ke tempat itu, ia masih bersikap tinggi hati. "Hemm, hendak kulihat bagaimana kalian akan dapat menangkap aku?"
"Babo. babo, bocah ingusan sombong. Beginilah aku menangkapmu"
Dengan gerakan cepat, bagaikan seekor harimau menubruk kelinci, Banyak Kapuk sudah meloncat dan menerkam kearah "pemuda" itu, Akan tetapi tentu saja dengan amat mudahnya Wulansari mengelak ke simping sehingga tubrukan itu luput dan tubuh Banyak Kapuk terhuyung ke depan. Banyak Kapuk menjadi semakin marah dan penasaran. Tadi dia sudah merasa yakin bahwa tubrukannya pasti akan berhasil, akan tetapi pada detik terakhir, pemuda itu dapat menyelinap ke samping sehingga tubrukannya tidak mengenai sasaran. Dengan marah dia membalik dan kini dia menyerang sungguh-sungguh, bukan hanya untuk menangkap melainkan memukul dengan lengan kanannya yang panjang, memukul kearah dada pemuda itu sambil mengerahkan tenaganya.
"Pecah dadamu" bentaknya ketika kepalan tangan kanannya menyambar.
Wulansari membuat gerakan dan tubuhnya menjadi miring. Ketika lengan lawan yang memukul itu lewat di samping tubuhnya, diapun cepat mengangkat kakinya menendang ke arah belakang lutut lawan.
"Dukk" Dan Banyak Kapuk tak mampu mempertahankan diri lagi, kakinya tertendang, diapun jatuh bertekuk lutut.
"Sudahlah, tidak perlu memberi hormat dengan berlutut kepadaku" kata Wulansari mengejek.
Ejekan ini tentu saja membuat Banyak Kapuk menjadi semakin marah. Dia sudah mencabut kerisnya, akan tetapi pada saat itu Gajah Pagon memegang lengannya.
"Biarkan aku menghadapinya" Dan diapun sudah melangkah maju menghadapi Wulansari. Setelah memandang dengan penuh perhatian, Gajah Pagon lalu berkata dengan suaranya yang berwibawa.
"Orang muda, ketahulah, bahwa kau telah memasuki daerah Majapahit yang dikuasakan oleh Raden Wijaya. Kami adalah pengikut-pengikut Raden Wijaya. Karena itu, sebelum aku terpaksa menggunakan kekerasan menangkapmu, lebih baik kau berterus terang, apa keperluanmu datang ke tempat ini dan menyerahlah dengan damai"
Wulansari tersenyum mengejek "Sudah aku katakan bahwa aku tidak memiliki urusan apapun dengan kalian. Aku tidak mengganggu kalian, maka kalianpun tidak boleh meneganggu aku. Kalau kalian pengikut Raden Wijaya, maka pergilah kalian menghadap Raden Wijaya dan undang dia agar datang ke sini"
Tentu saja bukan maksud Wulansari untuk bersikap tinggi hati terhadap Raden Wijaya. Dara ini hanya bertindak mewakili Puteri Gayatri saja dan mengingat betapa puteri telah mengalami banyak sekali kesengsaraan, maka sudah sepatutnya kalau kini, menghadapi pertemuan ini, Raden Wijaya yang mengalah dan mau datang menyambut atau menjemput puteri Gayatri.
Tentu saja Gajah Pagon tidak tahu akan hal itu. Sikap pemuda itu dianggapnya terlalu sombong dan diapun memandang marah. "Bambang Wulandoro, aku tidak mengenal siapa kau, akan tetapi sikapmu ini sungguh terlalu sombong. Terpaksa aku menggunakan
kekerasan. Jangan menganggap aku yang lebih tua keterlaluan terhadap yang muda"
Wulansari mengagumi sikap senopati ini, akan tetapi ia menjawab sambil tersenyum. "Tidak ada yang bersikap keterlaluan. Kalau memang ada kemampuan, majulah dan keluarkan semua kedigdayaanmu"
Gajah Pagon makin marah. "Lihat serangan" bentaknya dan diapun sudah menerjang maju. Biarpun tubuhnya tinggi besar, namun ternyata gerakannya amat cepat dan tenaga yang terkandung dalam kedua tangannya jauh lebih kuat dibandingkan Banyak Kapuk tadi. Namun, bagi Wulansari, serangan itu biasa saja dan dengan mudah iapun mengelak dengan tarikan kaki ke belakang. Namun, Gajah Pagon menyusulkan serangan bertubi-tubi. Dengan gencar kedua tangannya menyambar-nyambar dari kanan kiri, dan dari bawah kakinyapun ikut pula menyerang dengan tendangan kilat. Untuk beberapa jurus lamanya, Wulansari hanya mengandalkan kegesitan tubuhnya untuk mengelak dan berloncatan ke sana-sini. Tubuhnya bagaikan bayangan saja, atau bagaikan seekor burung walet sukar sekali dijadikan sasaran sehingga semua tamparan, pukulan maupun tendangan yang dilakukan Gajah Pagon tak pernah mampu menyentuhnya. Bahkan menyentuh ujung bajupun tidak.
Ketika untuk kesekian kalinya kaki kiri Gajah Pagon menendang, dengan lincah Wulansari menggeser kaki dan tubuhnya miring. Ketika kaki itu menyambar lewat, tangan Wulansari menyambar dan mendorong kaki itu ke atas. Tanpa dapat dihindarkan lagi, tubuh yang tinggi besar itu terangkat dan terlempar, lalu jatuh terbanting ke atas tanah.
Melihat ini, Banyak Kapuk yang masih memegang keris, segera menerjang maju dan menyerang Wulansari dengan tikaman kerisnya. Namun, sekali ini Wulansari tidak mau membuang banyak waktu. Ia menghindar dan tusukan dengan loncatan ke samping, kemudian tangan kirinya menampar kearah pundak Banyak Kapuk.
"Plakkk" Banyak Kapuk mengeluarkan seruan kaget, kerisnya terlepas dan diapun terpelanting.
Gajah Pagon juga sudah mencabut kerisnya yang besar luk tujuh belas, akan tetapi sebelum dia sempat menyerang, Wulansari sudah menerjangnya dengan dahsyat. Gajah Pagon berusaha menyambut terjangan itu dengan serangan keris, namun dia kalah cepat dan tendangan Wulansari sudah mengenai lambungnva, membuat untuk ke dua kalinya dia terpelanting jatuh.
Tahulah kini dua orang itu bahwa pemuda yang menjadi lawan mereka itu sungguh memiliki kepandaian tinggi. Tanpa bantuan teman-teman, tak mungkin mereka menang dan merekapun harus cepat membuat laporan karena siapa tahu pemuda yang sakti itu mata-mata musuh yang akan membahayakan gerakan mereka. Mengingat akan hal ini, Gajah Pagon lalu meloncat dan melarikan diri sambil meneriaki Banyak Kapuk untuk mengikutinya.
Dua orang itu lari secepatnya meninggalkan Wulansari yang hanya memandang sambil tersenyum. Kalau ia menghendaki, tentu tamparan dan tendangan tadi dapat ia perkuat sehingga dua orang lawannya roboh tak dapat bangun kembali. Akan tetapi ia tidak mau melakukan hal itu tentu saja, karena yang dikehendakinya hanyalah munculnya Raden Wijaya di tempat itu untuk menjemput Dyah Gayatri.
Dua orang pengikut Raden Wijaya itu kini lari berpencar. Gajah Pagon menyuruh kawannya untuk segera lari mencari Lembu Sora dan Ronggo Lawe, dua orang jagoan yang memiliki ilmu kesaktian paling tinggi diantara mereka. Sedangkan dia sendiri akan lari melapor kepada Raden Wijaya tentang pemuda yang aneh dan sakti mandraguna itu.
Yang lebih dahulu datang berlari lari ke gubuk itu adalah Ronggo Lawe dan Lembu Sora. Mereka berdua lebih dahulu dapat ditemui Banyak Kapuk.
Mendengar bahwa ada seorang pemuda berani mengalahkan dua orang rekan mereka, bahkan dengan sombong sekali berani memanggil Raden Wijaya agar datang ke gubuk itu, Ronggo Lawe dan Lembu Sora yang keduanya berwatak gagah dan keras itu segera berlari-lari mengikuti Banyak Kapuk ke tempat itu.
Pemuda itu ternyata masih berada di depan gubuk, duduk dengan santai sekali. Ketika melihat tiga orang yang datang berlarian ke gubuk itu, dia hanya tersenyum dan tidak bangkit berdiri. Ronggo Lawe dan Lembu Sora terkejut, heran dan kagum juga melihat bahwa yang mengalahkan Banyak Kapuk dan Gajah Pagon hanyalah seorang pemuda yang masih amat muda.
"Hei, orang muda. Cepat katakan kepada kami siapa kau. Kami adalah senopati-senopati Singosari, para pembantu Raden Wijaya. Namaku Lembu Sora dan rekanku ini Ronggo Lawe, katakan siapa kau dan mengapa pula kau datang ke sini dan menimbulkan keributan" kata Lembu Sora.
Wulansari bangkit berdiri dengan perlahan, mengkadapi tiga orang itu dan sejenak ia mengamati Lembu Sora dan Ronggo Lawe yang memang nampak gagah perkasa. Ia sudah mendengar akan dua orang senopati ini. Mereka masih paman dan keponakan. Menurut yang pernah didengarnya, Lembu Sora adalah adik Arya Wiraraja sedangkan Ronggo Lawe adalah putera Bupati Sumenep itu.
"Heran, kiranya kau berdua adalah senopati-senopati........ eh, maksudku bekas senopati dari Singosari yang terkenal itu" Dan sekarang kalian menjadi pembantu-pembantu Raden Wijaya" Bagus, kalau begitu, kalian pargilah dan minta kepada Raden Wijaya untuk datang ke sini. Aku Bambang Wulandoro ingin bicara dengan Raden Wijaya"
"Bambang Wulandoro, katakan dulu apa keperluanmu ingin menghadap Raden Wijaya" Tidak sembarangan orang dapat bertemu dengan beliau begitu saja" kata Lembu Sora, masih menahan sabar.
JILID 20
AKAN tetapi Wulansari yang sengaja hendak menguji sampai di mana kehebatan dua orang senopati yang amat terkenal itu, sengaja tersenyum mengejek. "Hemm, aku tidak mungkin dapat bicara dengan orang-orang sembarangan saja. Aku barus bicara sendiri dengan Raden Wijaya. Oleh karena itu, kalian pergilah dan jangan ganggu aku, laporkan saja kepada Raden Wijaya bahwa aku ingin bicara dengan beliau di sini"
Sejak tadi Ronggo Lawe hanya memandang saja. Melihat sikap yang angkuh, wajah yang terlalu tampan dan mendengar kata-kata itu, Ronggo Lawe yang dibesarkan di Madura dan memiliki watak keras, segera melangkah maju. Dia amat tidak suka melihat pria yang sifatnya genit seperti wanita itu, terlalu halus dan terlalu tampan. Dengan tangan kiri bertolak pinggang, telunjuk kanannya menuding ke arah muka Wulansari.
"Heh, keparat Bambang Wulandoro! Kau sungguh sombong tidak menghormati pamanku Lembu Sora. Jangan kira setelah dapat mengalahkan dua orang rekan kami Banyak Kapak dan Gajah Pagon, lalu tidak ada orang yang akan berani melawanmu. Hemm, majulah dan mari kita mengadu kesaktian. Aku Ronggo Lawe menjadi lawanmu"
Wulansari tersenyum. "Sudah lama aku mendengar akan nama Ronggo Lawe yang kabarnya memiliki aji kesaktian yang dahsyat sebagal murid Eyang Empu Supamandrangi di puncak Bromo. Ingin sekali aku melihat apakah berita itu bukan hanya omong kosong belaka" Setelah berkata demikian, Wulansari melangkah maju menghampiri Ronggo Lawe.
Lembu Sora mulai curiga melihat keberanian "pemuda" tampan itu. Dia khawatir kalau-kalau pemuda itu memang bukan orang sembarangan dan sudah pantas kalau mengundang Raden Wijaya ke situ, maka dia tidak ingin melihat Ronggo Lawe yang keras hati itu salah tangan. Dia tidak ingin melihat pemuda tampan itu terbunuh atau terluka parah sebelum tahu siapa dia sebenarnya dan apa maksud kedatangannya.
"Ronggo Lawe, jangan lancang melukai atau membunuh orang tanpa sebab, Kau boleh mencoba saja kesaktiannya"
Ronggo Lawe menoleh dan memandang kepada pamannya dan diapun sadar. Orang muda yang tampan ini memang penuh rahasia, tidak boleh dilukai parah atau dibunuh begitu saja tanpa lebih dulu yakin bahwa dia adalah seorang musuh yang berbahaya dan harus dienyahkan. Tidak boleh menuruti nafsu amarah. Diapun mengangguk lalu kembali menghadapi Wulansari. Pandang matanya penuh selidik. Bagaimanapun juga, pemuda tampan ini sudah mengenalnya, tahu bahwa dia adalah murid Empu Supamandrangi di puncak Bromo. Dia harus berhati-hati.
"Bambang Wulandoro, mari kita saling menguji kepandaian. Akupun ingin sekali melihat berapa banyak bekalmu, maka kau berani bersikap seperti ini. Majulah"
Setelah berkata demikian, Ronggo Lawe memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang lebar, lutut ditekuk, kedua lengan terbuka, yang kanan di julurkan ke depan, yang kiri ditarik ke atas, dengan kedua tangan terbuka. Tubuhnya tegak dan kokoh kekar, nampak gagah bagaikan Gatutkaca.
Wulansari memandang kagum. Bukan main, pikirnya. Pria ini memang jantan dan perkasa sekali. Seakan-akan ia dapat merasakan betapa ada kekuatan dahsyat mengalir di dalam tubuh yang kokoh itu. Seorang jantan yang mengagumkan hatinya, hati seorang wanita. Kalau saja hatinya tidak penuh dengan bayangan Nurseta, akan mudah jatuh hati kepada seorang pria seperti Ronggo Lawe ini, Iapun tersenyum.
"Aku datang untuk bertemu dengan Raden Wijaya, bukan untuk mencari musuh. Ronggo Lawe. Pihak kalianlah yang memaksaku untuk bertanding, oleh karena itu, kaulah yang mulai, bukan aku. Aku hanya melayani saja" kata Wulansari dan iapun memasang kuda-kuda yang sederhana, berdiri tegak di depan Ronggo Lawe dan kedua tangannya tergantung lepas dan santai di kedua sisi tubuhnya.
"Baik, kau jaga seranganku. Heiiiiitttl" Ronggo Lawe menyerang, dan karena dia belum tahu sampai di mana kekuatan lawan, dia hanya mempergunakan tenaga otot biasa untuk menampar ke arah pundak lawan.
Wulansari tersenyum dan makin kagum. Satria ini memang gagah perkasa dan memegang janji, taat kepada atasan, juga di balik kekerasannya, berhati lembut. Karena tidak ingin mencelakainya, maka dalam serangan pertama itu dia hanya mempergunakan tenaga otot. Hal ini dapat dirasakannya dan diketahuinya. Maka, agar lawan jangan memandang rendah kepadanya dan mau mengeluarkan semua aji kesaktiannya, ia lalu menangkis sambil mengerahkan tenaga, tidak terlalu kuat, cukup untuk menunjukkan bahwa ia "berisi"
"Dukkl" Dan tubuh Ronggo Lawe hampir terjengkang. Dia terhuyung dan cepat meloncat ke belakang untuk mematahkan dorongan tenaga tangkisan itu. Mukanya menjadi agak kemerahan dan kini sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong. Tahulah Ronggo Lawe bahwa lawannya yang muda ini memang benar seorang yang memiliki tenaga sakti, maka tanpa ragu lagi kini dia menerjang lagi.
"Hyaaattt......." Dan sekali ini dia menyerang dengan pukulan yang mengandung tenaga sakti Gelap Sayuto, walaupun tidak sepenuhnya tenaga itu dia keluarkan. Tangan kirinya menampar ke arah dada lawan, sedangkan tangan kanan siap menyusulkan serangan berikutnya.
Wulansari melihat tenaga pukulan yang dilakukan mirip dengan aji kesaktian yang dipelajarinya dari Ki Cucut Kalasekti, yaitu Gelap Sewu. Hanya bedanya, pukulan Ronggo Lawe ini lebih kuat dan lebih bersih. Pukulan pemuda seperti Gatutkaca ini sejak semula sudah nampak kekuatannya, sebaliknya pukulannya Aji Gelap Sewu, pada permulaannya tidak nampak, akan tetapi setelah mendekati lawan baru nampak kedahsyatannya. Aji Gelap Sewu mengandung kelicikan dan kecurangan.
Karena maklum betapa hebatnya pukulan itu, Wulancari lalu mempergunakan kelincahan gerakan tubuhnya. Bagaikan seekor burun> alet saja, tubuhnya sudah melonjat ke be lakang dan pukulan itupun luput, bahkan serangan susulanpun tidak dapat dilakukan lawan, karena loncatannya ke belakang itu cukup jauh. Ronggo Lawe melakukan beberapa langkah ke depan dan menyerang lagi, namun Wulansari selalu mengelak. Bagaikan bayangan saja ia berputar-putar, berloncatan ke sana-sini seolah mempermainkan lawan.
Melihat betapa dengan mudahnya lawannya itu selalu mengelak dan semua serangannya luput, makin panaslah hati Ronggo Lawe. Makin lama, makin kuat serangannya sehingga angin menyambar-nyambar dan pukulan tangannya menjadi semakin berbahaya. Lembu Sora, memandang dengan alis berkerut. Dia kagum sekali. Pemuda itu sangat lincah. Pada hal pemuda itu sama sekali belum membalas serangan Ronggo Lawe, baru menggunakan kelincahan tubuhnya saja dan Ronggo Lawe nampaknya tidak berdaya. Seperti orang yang menyerang bayangannya sendri. Kemanapun Ronggo Lawe menyerang, lawannya sudah dapat menghindar dengan luar biasa cepatnya. Sukar membayangkan bagaimana jadinya, kalau pemuda tampan itu membalas. Ataukah dia hanya memiliki ilmu yang membuat tubuhnya ringan dan lincah saja dan tidak memiliki kepandaian untuk menyerang lawan"
Agaknya Ronggo Lawe juga penasaran sekali. Sudah puluhan kali dia menyerang, namun tak pernah serangannya itu menyentuh lawan, bahkan satu kalipun tidak pernah ditangkis sehingga sukar baginya untuk mengukur tenaga lawan. Maka, dengan gemas diapun mengerahkan kecepatan tubuhnya dan mulailah dia menyerang dengan cepat sekali. Dan sungguh hebat. Makin cepat dia menyerang, semakin cepat pula lawannya berloncatan mengelak sampai tubuhnya lenyap bentuknya, berubah menjadi bayangan yang berkelebatan. Bukan main.
Dari penasaran, Ronggo Lawe yang wataknya keras itu menjadi marah. Dia menghentikan serangannya dan berkata dengan keras "Kisanak. Kalau kau memang takut menghadapi seranganku, katakan saja dan aku akan menghentikan serangan. Kalau berani, hadapilah seranganku sebapai laki-laki, bukan berlari-larian seperti itu"
Wulansari tersenyum. "Ah, begitukah" Kau menghendaki agar aku menggunakan kekerasan pula untuk menangkis dan balas menyerang?"
"Kalau kau ada kemampuan" balas Ronggo Lawe marah.
"Hemm, bagus. Majulah, Ronggo Lawe dan aku akan menangkis dan membalas"
Mendengar ini, Ronggo Lawe merasa ditantang dan diapun menerjang maju sambil mengayun tangan menampar ke arah kepala lawan.
"Wuuutttt........ plakkk" Kini pukulannya ditangkis oleh tangan yang halus namun yang mengandung kekuatan hebat, sehingga dia merasa seluruh lengannya tergetar hebat. Akan tetapi dia tidak menjadi gentar dan terus memukul dan menampar. Kini Wulansari selalu menangkis dan ia juga mengerahkan tenaganya sehingga beberapa kali dua tangan itu bertemu dalam benturan yang dahsyat, yang menggetarkan tubuh mereka, juga bahkan getarannya terasa oleh Lembu Sora dan Banyak Kapuk yang menonton pertandingan itu.
Diam-diam keduanya kagum bukan main. Wulansari maklum bahwa kalau ia mengandalkan tenaga sakti yang keras seperti yang ia pelajari dari Ki Jembros dan Ki Cucut Kalasekti, biarpun ia tidak kalah kuat, namun akhirnya ia sendiri dapat menderita luka. Kedua lengannya sudah merasa nyeri karena beradu kekerasan dengan lengan lawan. Ia harus dapat mengalahkan lawan, akan tetapi dengan cara yang halus dan tidak sampai membahayakan keselamatan lawan.
"Haiiiitttt......." Kembali Ronggo Lawe menyerang dengan tamparan tangan kanannya.
Wulansari menangkis dan sekali ini Ronggo Lawe terkejut bukan main. Tangan yang menyambut tamparannya itu terasa demikian lembut sehingga tenaga kerasnya seperti tenggelam ke dalam kelembutan, seperti sebuah palu godam yang kuat dan keras dipukulkan pada air atau pada kapas. Pada saat dia terkejut dan tidak mampu menarik kembali lengannya, dadanya sudah didorong oleh telapak tangan yang kuat dan tak dapat dipertahankan lagi, tubuhnya terjengkang dan diapun terbanting jatuh.
Dengan muka merah sekali Ronggo Lawe meloncat bangun dan kini dia sudah mencabut sebatang keris luk lima yang mengeluarkan sinar mencorong merah. Itulah keris pusaka Kolonadah, pemberian Empu Supamandrangi yang menjadi gurunya.
"Bambang Wulandoro, keluarkan pusakamu dan mari kita mengadu kesaktian menggunakan pusaka" tantangnya marah.
Lembu Sora hendak melerai, akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan, "Wulan........"
Dan muncullah seorang laki-laki gagah berusia. Lima puluhan tahun. Melihat pria ini, Wulansari menundukkan mukanya.
"Kanjeng rama......"
Pada saat dia terkejut dan tidak mampu menarik kembali lengannya, dadanya sudah didorong oleh telapak tangan yang kuat dan tak dapat dipertahankan lagi. tubuhnya terjengkang.
Lembu Sora, Banyak Kapuk dan juga Ronggo Lawe sendiri memandang heran dan kaget. Mereka tentu saja mengenal rekan mereka, yaitu Medang Dangdi, seorang diantara para pengikut Raden Wijaya.
"Dimas Medang. Kiranya pemuda ini puteramu?" tanya Lembu Sora.
"Bukan putera, melainkan puteri" jawab Medang Dangdi. "Anakmas Ronggo Lawe, maafkanlah puteriku Wulansari"
"Puteri.......?" Lembu Sora dan terutama sekali Ronggo Lawe terbelalak dan wajah Ronggo Lawe menjadi merah padam. Dia tadi telah dikalahkan oleh seorang puteri. Juga Banyak Kapuk terbelalak. Dia akan kehilangan muka kalau diketahui orang bahwa dia dipermainkan dan dikalahkan oleh seorang wanita. Untung baginya bahwa dia menjadi saksi akan kekalahan Ronggo Lawe pula.
"Kanjeng rama, aku tidak bersalah" Wulansari membela diri ketika melihat sikap ayahnya yang memintakan maaf itu. Akan tetapi Medang Dangdi memandang puterinya itu dengan sinar mata penuh teguran walaupun dia merasa gembira dan terharu melihat puterinya berada dalam keadaan selamat dan sehat itu.
"Wulansari, kau tahu bahwa ayahmu senopati Singosari dan pengikut Raden Wijaya yang setia. Ayahmu seorang satria yang rela mengorbankan nyawa untuk membela tanah air dan bangsa. Kau datang di tempat ini dan membikin ribut, menentang para senopati dan pengikut Raden Wijaya yang menjadi rekan rekanku. Dan kau masih mengatakan bahwa kau masih mengatakan bahwa kau tidak bersalah?" Suara senopati ini penuh teguran dan penyesalan.
"Kanjeng rama, bertahun-tahun aku menjadi murid Ki Jembros dan menerima gemblengan Eyang Panembahan Sidik Danasura apakah kanjeng rama masih belum percaya akan kata-kataku dan menyangka aku berbohong" Tanyakan saja kepada para senopati yang terhormat ini, siapa yang lebih dulu mengajak bertanding, siapa yang lebih dulu melakukan penyerangan. Aku sama sekali tidak membuat ribut sama sekali tidak mengganggu mereka, sebaliknya merekalah yang mengganggu aku. Kanjeng rama tanyakanlah dan kalau memang mereka itu satria-satria sejati tentu tidak akan malu mengakui perbuatan mereka"
Berkata demikian, dengan sepasang matanya yang tajam Wulansari menatap wajah Banyak Kapuk, Lembu Sora dan Ronggo Lawe. Tiga orang senopati ini menjadi semakin rikuh dan terdengar Lembu Sora berkata, "Adimas Medang, terus terang saja kami akui bahwa kami yang bersalah. Kami melihat pemuda .......eh, puterimu ini berada seorang diri disini dan ketika kami tanya, ia mengatakan bahwa ia ingin bicara dengan Raden Wijaya dan minta kepada kami untuk mengundang Raden Wijaya ke sini. Terus terang saja, kami mengira ia seorang pemuda dan kami mencurigainya sebagai seorang mata-mata musuh"
"Tentu saja kau curiga, kakang Lembu Sora dan aku tidak menyalahkan kau bertiga. Kalau ia bukan anakku, mungkin sekali akupun merasa curiga kepadanya dalam kemunculannya seperti ini di tempat ini. Wulansari, sebetulnya apa yang menjadi kehendakmu maka kau muncul di sini dan minta bicara dengan Raden Wijaya, bukan mencari aku ayahmu ?"
"Kanjeng rama, aku memang datang di sini untuk menemui Raden Wijaya, karena urusan yang teramat penting. Hanya kepada beliau sajalah aku dapat bicara, oleh karena itu tadi aku berkeras minta kepada mereka ini untuk melaporkan kepada Raden Wijaya, bahwa aku datang ke sini ingin bicara dengan beliau"
"Wulansari. Apakah kau hendak membikin ayahmu ini kehilangan muka di depan Raden Wijaya " Bagaimana mungkin kau mengundang Raden Wijaya begitu saja untuk menemuimu " Sepantasnya, kaulah yang ikut dengan para senopati ini untuk menghadap beliau, kalau memang ada suatu keperluan yang hendak kau bicarakan atau haturkan kepada Raden Wijaya"
"Begitukah pendapatmu, kanjeng rama" Tentu saja karena kanjeng rama dan para senopati ini mengabdi kepada Raden Wijaya. Akan tetapi aku tidak, dan kalau kanjeng rama mentaati Raden Wijaya, akupun mentaati seseorang, dan karena beliau itulah maka aku minta agar Raden Wijaya datang ke sini"
Ki Medang Dangdi terbelalak. Dia teringat bahwa puterinya ini kabarnya mengabdi kepada Sang Prabu Jayakatwang, walaupun ia tidak ikut maju berperang ketika Kediri menyerang Singosari dan kabarnya puterinya itu bahkan menjadi pengawal pribadi Prabu Jayakatwang. Diam-diam dia sudah merasa heran mengapa ketika dia mengikuti Raden Wijaya yang berpura-pura mengabdi kepada Prabu Jayakatwang, dia tidak melihat puterinya itu bersama Raja Daha itu. Dan kini puterinya tahu-tahu muncul di daerah Majapahit dan mengatakan mengabdi seseorang.
"Wulansari, siapakah orang yang kau taati itu ?"
"Hemm, aku hendak melihat bagaimana sikap kanjeng rama dan kalian sekalian kalau melihat orang yang kutaati. Nah, lihatlah baik-baik"
Wulansari mendorong daun pintu gubuk itu terbuka, Ki Medang Dangdi, Lembu Sora, Banyak, Kapuk dan Ronggo Lawe terbelalak, kemudian mereka berempat menjatuhkan diri berlutut dan menyembah ketika mereka mengenal siapa yang berada di dalam gubuk itu.
Akan tetapi, Puteri Dyah Gayatri tidak memandang kepada mereka, melainkan kepada seorang pria yang berjalan menuju ke gubuk itu. Pria itupun memandang dan keduanya berseru hampir bersamaan.
"Diajeng Gayatri........"
"Kakangmas pangeran ......."
Dyah Gayatri keluar dari dalam gubuk, menyongsong Raden Wijaya yang kini juga berlari-lari, diikuti oleh para pengiringnya. Dua orang kekasih itu saling rangkul dan Gayatri menangis di dada Raden Wijaya, Para senopati hanya berlutut sambil menundukkan muka. Mereka ikut berbahagia menyaksikan pertemuan yang mengharukan itu.
Setelah membiarkan puteri jelita itu menangis dalam rangkulannya beberapa saat, Raden Wijaya mengelus rambutnya dan sang puteri menjadi tenang kembali.
"Diajeng, aku mendengar bahwa kau ditawan di istana Daha. Bigaimana tahu-tahu dapat berada di sini ?"
"Memang benar demikian, kakangmas, akan tetapi ia yang telah menolongku, membebaskanku dan istana Daha dan mengajakku ke sini untuk menghadap paduka....."'
Raden Wijaya mengangkat muka memandang kepada pemuda yang berdiri di situ, pemuda tampan yang tidak berlutut seperti yang lain, melainkan berdiri saja dan pangeran ini merasa hatinya tidak nyaman. Alisnya berkerut dan perasaan cemburu muncul dalam hatinya. Kekasihnya itu ditolong oleh seorang pemuda yang amat tampan, bahkan melakukan perjalanan berdua saja sampai sekian jauh dan lamanya.
"Hemm, siapakah pemuda ini ?" tanyanya. "Maafkan, Raden. Ia adalah Wulansari, puteri hamba....." kata Ki Medang Dangdi.
Seketika wajah Raden Wijaya menjadi merah padam dan dia mengamati "pemuda" tampan itu, merasa malu sekali kepada dirinya sendiri dan sampai beberapa saat lamanya dia tidak mampu mengeluarkan suara. Merasa malu dan juga menyesal karena dia tadi telah diserang perasaan cemburu terhadap "pemuda" itu.
"Jagad Dewa Bhatara......." Akhirnya dia berseru lirih sambil menarik napas panjang dan mengamati gadis berpakaian pria itu. Kini dia mengerti mengapa ada pemuda yang demikian tampannya. Dan dia teringat akan nama ini. Wulansari puteri Medang Dangdi. Teringat dia akan pertemuannya dengan Nurseta. "Paman Medang Dangdi. Jadi inikah tunangan Nurseta itu?" tanyanya.
"Benar, Raden"
"Ah, Wulansari, kami berterima kasih sekali bahwa kau telah berhasil menyelamatkan diajeng Giyatri, membawanya lolos darl istana Daha. Sekarang aku ingat. Kau sedang dicari Nurseta dan dia hendak bicara tentang tombak pusaka......" Raden Wijaya
memandang ragu.
Wulansari mengangguk. "Paduka maksudkan Ki Ageng Tejanirmala?"
"Benar sekali, Wulansari. Dia berjanji kepadaku untuk mencarimu dan minta kembali tombak pusaka itu, kemudian, memenuhi pesan terakhir mendiang Ki Baka, dia akan menyerahkan tombak pusaka itu kepadaku"
"Jangan khawatir, Raden. Saya akan membantunya mendapatkan kembali Ki Ageng Tejanirmala" kata Wulansari dengan suara tegas.
"Wulan, anakmas Nurseta sekarang mencarimu ke Daha" tiba tiba Ki Medang Dangdi
berkata, suaranya membayangkan kekhawatiran.
Gadis perkasa itu kini menatap wajah ayahnya dengan penuh ketajaman dan teguran. "Mengapa kanjeng rama memperdulikan benar kepadanya" Bukankah dia keturunan orang jahat?"
Sejak tadi Ronggo Lawe hanya memandang saja. Melihat sikap yang angkuh, wajah yang terlalu tampan dan mendengar kata-kata itu, Ronggo Lawe yang dibesarkan di Madura dan memiliki watak keras, segera melangkah maju. Dia amat tidak suka melihat pria yang sifatnya genit seperti wanita itu, terlalu halus dan terlalu tampan. Dengan tangan kiri bertolak pinggang, telunjuk kanannya menuding ke arah muka Wulansari.
"Heh, keparat Bambang Wulandoro! Kau sungguh sombong tidak menghormati pamanku Lembu Sora. Jangan kira setelah dapat mengalahkan dua orang rekan kami Banyak Kapak dan Gajah Pagon, lalu tidak ada orang yang akan berani melawanmu. Hemm, majulah dan mari kita mengadu kesaktian. Aku Ronggo Lawe menjadi lawanmu"
Wulansari tersenyum. "Sudah lama aku mendengar akan nama Ronggo Lawe yang kabarnya memiliki aji kesaktian yang dahsyat sebagal murid Eyang Empu Supamandrangi di puncak Bromo. Ingin sekali aku melihat apakah berita itu bukan hanya omong kosong belaka" Setelah berkata demikian, Wulansari melangkah maju menghampiri Ronggo Lawe.
Lembu Sora mulai curiga melihat keberanian "pemuda" tampan itu. Dia khawatir kalau-kalau pemuda itu memang bukan orang sembarangan dan sudah pantas kalau mengundang Raden Wijaya ke situ, maka dia tidak ingin melihat Ronggo Lawe yang keras hati itu salah tangan. Dia tidak ingin melihat pemuda tampan itu terbunuh atau terluka parah sebelum tahu siapa dia sebenarnya dan apa maksud kedatangannya.
"Ronggo Lawe, jangan lancang melukai atau membunuh orang tanpa sebab, Kau boleh mencoba saja kesaktiannya"
Ronggo Lawe menoleh dan memandang kepada pamannya dan diapun sadar. Orang muda yang tampan ini memang penuh rahasia, tidak boleh dilukai parah atau dibunuh begitu saja tanpa lebih dulu yakin bahwa dia adalah seorang musuh yang berbahaya dan harus dienyahkan. Tidak boleh menuruti nafsu amarah. Diapun mengangguk lalu kembali menghadapi Wulansari. Pandang matanya penuh selidik. Bagaimanapun juga, pemuda tampan ini sudah mengenalnya, tahu bahwa dia adalah murid Empu Supamandrangi di puncak Bromo. Dia harus berhati-hati.
"Bambang Wulandoro, mari kita saling menguji kepandaian. Akupun ingin sekali melihat berapa banyak bekalmu, maka kau berani bersikap seperti ini. Majulah"
Setelah berkata demikian, Ronggo Lawe memasang kuda-kuda dengan kedua kaki terpentang lebar, lutut ditekuk, kedua lengan terbuka, yang kanan di julurkan ke depan, yang kiri ditarik ke atas, dengan kedua tangan terbuka. Tubuhnya tegak dan kokoh kekar, nampak gagah bagaikan Gatutkaca.
Wulansari memandang kagum. Bukan main, pikirnya. Pria ini memang jantan dan perkasa sekali. Seakan-akan ia dapat merasakan betapa ada kekuatan dahsyat mengalir di dalam tubuh yang kokoh itu. Seorang jantan yang mengagumkan hatinya, hati seorang wanita. Kalau saja hatinya tidak penuh dengan bayangan Nurseta, akan mudah jatuh hati kepada seorang pria seperti Ronggo Lawe ini, Iapun tersenyum.
"Aku datang untuk bertemu dengan Raden Wijaya, bukan untuk mencari musuh. Ronggo Lawe. Pihak kalianlah yang memaksaku untuk bertanding, oleh karena itu, kaulah yang mulai, bukan aku. Aku hanya melayani saja" kata Wulansari dan iapun memasang kuda-kuda yang sederhana, berdiri tegak di depan Ronggo Lawe dan kedua tangannya tergantung lepas dan santai di kedua sisi tubuhnya.
"Baik, kau jaga seranganku. Heiiiiitttl" Ronggo Lawe menyerang, dan karena dia belum tahu sampai di mana kekuatan lawan, dia hanya mempergunakan tenaga otot biasa untuk menampar ke arah pundak lawan.
Wulansari tersenyum dan makin kagum. Satria ini memang gagah perkasa dan memegang janji, taat kepada atasan, juga di balik kekerasannya, berhati lembut. Karena tidak ingin mencelakainya, maka dalam serangan pertama itu dia hanya mempergunakan tenaga otot. Hal ini dapat dirasakannya dan diketahuinya. Maka, agar lawan jangan memandang rendah kepadanya dan mau mengeluarkan semua aji kesaktiannya, ia lalu menangkis sambil mengerahkan tenaga, tidak terlalu kuat, cukup untuk menunjukkan bahwa ia "berisi"
"Dukkl" Dan tubuh Ronggo Lawe hampir terjengkang. Dia terhuyung dan cepat meloncat ke belakang untuk mematahkan dorongan tenaga tangkisan itu. Mukanya menjadi agak kemerahan dan kini sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong. Tahulah Ronggo Lawe bahwa lawannya yang muda ini memang benar seorang yang memiliki tenaga sakti, maka tanpa ragu lagi kini dia menerjang lagi.
"Hyaaattt......." Dan sekali ini dia menyerang dengan pukulan yang mengandung tenaga sakti Gelap Sayuto, walaupun tidak sepenuhnya tenaga itu dia keluarkan. Tangan kirinya menampar ke arah dada lawan, sedangkan tangan kanan siap menyusulkan serangan berikutnya.
Wulansari melihat tenaga pukulan yang dilakukan mirip dengan aji kesaktian yang dipelajarinya dari Ki Cucut Kalasekti, yaitu Gelap Sewu. Hanya bedanya, pukulan Ronggo Lawe ini lebih kuat dan lebih bersih. Pukulan pemuda seperti Gatutkaca ini sejak semula sudah nampak kekuatannya, sebaliknya pukulannya Aji Gelap Sewu, pada permulaannya tidak nampak, akan tetapi setelah mendekati lawan baru nampak kedahsyatannya. Aji Gelap Sewu mengandung kelicikan dan kecurangan.
Karena maklum betapa hebatnya pukulan itu, Wulancari lalu mempergunakan kelincahan gerakan tubuhnya. Bagaikan seekor burun> alet saja, tubuhnya sudah melonjat ke be lakang dan pukulan itupun luput, bahkan serangan susulanpun tidak dapat dilakukan lawan, karena loncatannya ke belakang itu cukup jauh. Ronggo Lawe melakukan beberapa langkah ke depan dan menyerang lagi, namun Wulansari selalu mengelak. Bagaikan bayangan saja ia berputar-putar, berloncatan ke sana-sini seolah mempermainkan lawan.
Melihat betapa dengan mudahnya lawannya itu selalu mengelak dan semua serangannya luput, makin panaslah hati Ronggo Lawe. Makin lama, makin kuat serangannya sehingga angin menyambar-nyambar dan pukulan tangannya menjadi semakin berbahaya. Lembu Sora, memandang dengan alis berkerut. Dia kagum sekali. Pemuda itu sangat lincah. Pada hal pemuda itu sama sekali belum membalas serangan Ronggo Lawe, baru menggunakan kelincahan tubuhnya saja dan Ronggo Lawe nampaknya tidak berdaya. Seperti orang yang menyerang bayangannya sendri. Kemanapun Ronggo Lawe menyerang, lawannya sudah dapat menghindar dengan luar biasa cepatnya. Sukar membayangkan bagaimana jadinya, kalau pemuda tampan itu membalas. Ataukah dia hanya memiliki ilmu yang membuat tubuhnya ringan dan lincah saja dan tidak memiliki kepandaian untuk menyerang lawan"
Agaknya Ronggo Lawe juga penasaran sekali. Sudah puluhan kali dia menyerang, namun tak pernah serangannya itu menyentuh lawan, bahkan satu kalipun tidak pernah ditangkis sehingga sukar baginya untuk mengukur tenaga lawan. Maka, dengan gemas diapun mengerahkan kecepatan tubuhnya dan mulailah dia menyerang dengan cepat sekali. Dan sungguh hebat. Makin cepat dia menyerang, semakin cepat pula lawannya berloncatan mengelak sampai tubuhnya lenyap bentuknya, berubah menjadi bayangan yang berkelebatan. Bukan main.
Dari penasaran, Ronggo Lawe yang wataknya keras itu menjadi marah. Dia menghentikan serangannya dan berkata dengan keras "Kisanak. Kalau kau memang takut menghadapi seranganku, katakan saja dan aku akan menghentikan serangan. Kalau berani, hadapilah seranganku sebapai laki-laki, bukan berlari-larian seperti itu"
Wulansari tersenyum. "Ah, begitukah" Kau menghendaki agar aku menggunakan kekerasan pula untuk menangkis dan balas menyerang?"
"Kalau kau ada kemampuan" balas Ronggo Lawe marah.
"Hemm, bagus. Majulah, Ronggo Lawe dan aku akan menangkis dan membalas"
Mendengar ini, Ronggo Lawe merasa ditantang dan diapun menerjang maju sambil mengayun tangan menampar ke arah kepala lawan.
"Wuuutttt........ plakkk" Kini pukulannya ditangkis oleh tangan yang halus namun yang mengandung kekuatan hebat, sehingga dia merasa seluruh lengannya tergetar hebat. Akan tetapi dia tidak menjadi gentar dan terus memukul dan menampar. Kini Wulansari selalu menangkis dan ia juga mengerahkan tenaganya sehingga beberapa kali dua tangan itu bertemu dalam benturan yang dahsyat, yang menggetarkan tubuh mereka, juga bahkan getarannya terasa oleh Lembu Sora dan Banyak Kapuk yang menonton pertandingan itu.
Diam-diam keduanya kagum bukan main. Wulansari maklum bahwa kalau ia mengandalkan tenaga sakti yang keras seperti yang ia pelajari dari Ki Jembros dan Ki Cucut Kalasekti, biarpun ia tidak kalah kuat, namun akhirnya ia sendiri dapat menderita luka. Kedua lengannya sudah merasa nyeri karena beradu kekerasan dengan lengan lawan. Ia harus dapat mengalahkan lawan, akan tetapi dengan cara yang halus dan tidak sampai membahayakan keselamatan lawan.
"Haiiiitttt......." Kembali Ronggo Lawe menyerang dengan tamparan tangan kanannya.
Wulansari menangkis dan sekali ini Ronggo Lawe terkejut bukan main. Tangan yang menyambut tamparannya itu terasa demikian lembut sehingga tenaga kerasnya seperti tenggelam ke dalam kelembutan, seperti sebuah palu godam yang kuat dan keras dipukulkan pada air atau pada kapas. Pada saat dia terkejut dan tidak mampu menarik kembali lengannya, dadanya sudah didorong oleh telapak tangan yang kuat dan tak dapat dipertahankan lagi, tubuhnya terjengkang dan diapun terbanting jatuh.
Dengan muka merah sekali Ronggo Lawe meloncat bangun dan kini dia sudah mencabut sebatang keris luk lima yang mengeluarkan sinar mencorong merah. Itulah keris pusaka Kolonadah, pemberian Empu Supamandrangi yang menjadi gurunya.
"Bambang Wulandoro, keluarkan pusakamu dan mari kita mengadu kesaktian menggunakan pusaka" tantangnya marah.
Lembu Sora hendak melerai, akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan, "Wulan........"
Dan muncullah seorang laki-laki gagah berusia. Lima puluhan tahun. Melihat pria ini, Wulansari menundukkan mukanya.
"Kanjeng rama......"
Pada saat dia terkejut dan tidak mampu menarik kembali lengannya, dadanya sudah didorong oleh telapak tangan yang kuat dan tak dapat dipertahankan lagi. tubuhnya terjengkang.
Lembu Sora, Banyak Kapuk dan juga Ronggo Lawe sendiri memandang heran dan kaget. Mereka tentu saja mengenal rekan mereka, yaitu Medang Dangdi, seorang diantara para pengikut Raden Wijaya.
"Dimas Medang. Kiranya pemuda ini puteramu?" tanya Lembu Sora.
"Bukan putera, melainkan puteri" jawab Medang Dangdi. "Anakmas Ronggo Lawe, maafkanlah puteriku Wulansari"
"Puteri.......?" Lembu Sora dan terutama sekali Ronggo Lawe terbelalak dan wajah Ronggo Lawe menjadi merah padam. Dia tadi telah dikalahkan oleh seorang puteri. Juga Banyak Kapuk terbelalak. Dia akan kehilangan muka kalau diketahui orang bahwa dia dipermainkan dan dikalahkan oleh seorang wanita. Untung baginya bahwa dia menjadi saksi akan kekalahan Ronggo Lawe pula.
"Kanjeng rama, aku tidak bersalah" Wulansari membela diri ketika melihat sikap ayahnya yang memintakan maaf itu. Akan tetapi Medang Dangdi memandang puterinya itu dengan sinar mata penuh teguran walaupun dia merasa gembira dan terharu melihat puterinya berada dalam keadaan selamat dan sehat itu.
"Wulansari, kau tahu bahwa ayahmu senopati Singosari dan pengikut Raden Wijaya yang setia. Ayahmu seorang satria yang rela mengorbankan nyawa untuk membela tanah air dan bangsa. Kau datang di tempat ini dan membikin ribut, menentang para senopati dan pengikut Raden Wijaya yang menjadi rekan rekanku. Dan kau masih mengatakan bahwa kau masih mengatakan bahwa kau tidak bersalah?" Suara senopati ini penuh teguran dan penyesalan.
"Kanjeng rama, bertahun-tahun aku menjadi murid Ki Jembros dan menerima gemblengan Eyang Panembahan Sidik Danasura apakah kanjeng rama masih belum percaya akan kata-kataku dan menyangka aku berbohong" Tanyakan saja kepada para senopati yang terhormat ini, siapa yang lebih dulu mengajak bertanding, siapa yang lebih dulu melakukan penyerangan. Aku sama sekali tidak membuat ribut sama sekali tidak mengganggu mereka, sebaliknya merekalah yang mengganggu aku. Kanjeng rama tanyakanlah dan kalau memang mereka itu satria-satria sejati tentu tidak akan malu mengakui perbuatan mereka"
Berkata demikian, dengan sepasang matanya yang tajam Wulansari menatap wajah Banyak Kapuk, Lembu Sora dan Ronggo Lawe. Tiga orang senopati ini menjadi semakin rikuh dan terdengar Lembu Sora berkata, "Adimas Medang, terus terang saja kami akui bahwa kami yang bersalah. Kami melihat pemuda .......eh, puterimu ini berada seorang diri disini dan ketika kami tanya, ia mengatakan bahwa ia ingin bicara dengan Raden Wijaya dan minta kepada kami untuk mengundang Raden Wijaya ke sini. Terus terang saja, kami mengira ia seorang pemuda dan kami mencurigainya sebagai seorang mata-mata musuh"
"Tentu saja kau curiga, kakang Lembu Sora dan aku tidak menyalahkan kau bertiga. Kalau ia bukan anakku, mungkin sekali akupun merasa curiga kepadanya dalam kemunculannya seperti ini di tempat ini. Wulansari, sebetulnya apa yang menjadi kehendakmu maka kau muncul di sini dan minta bicara dengan Raden Wijaya, bukan mencari aku ayahmu ?"
"Kanjeng rama, aku memang datang di sini untuk menemui Raden Wijaya, karena urusan yang teramat penting. Hanya kepada beliau sajalah aku dapat bicara, oleh karena itu tadi aku berkeras minta kepada mereka ini untuk melaporkan kepada Raden Wijaya, bahwa aku datang ke sini ingin bicara dengan beliau"
"Wulansari. Apakah kau hendak membikin ayahmu ini kehilangan muka di depan Raden Wijaya " Bagaimana mungkin kau mengundang Raden Wijaya begitu saja untuk menemuimu " Sepantasnya, kaulah yang ikut dengan para senopati ini untuk menghadap beliau, kalau memang ada suatu keperluan yang hendak kau bicarakan atau haturkan kepada Raden Wijaya"
"Begitukah pendapatmu, kanjeng rama" Tentu saja karena kanjeng rama dan para senopati ini mengabdi kepada Raden Wijaya. Akan tetapi aku tidak, dan kalau kanjeng rama mentaati Raden Wijaya, akupun mentaati seseorang, dan karena beliau itulah maka aku minta agar Raden Wijaya datang ke sini"
Ki Medang Dangdi terbelalak. Dia teringat bahwa puterinya ini kabarnya mengabdi kepada Sang Prabu Jayakatwang, walaupun ia tidak ikut maju berperang ketika Kediri menyerang Singosari dan kabarnya puterinya itu bahkan menjadi pengawal pribadi Prabu Jayakatwang. Diam-diam dia sudah merasa heran mengapa ketika dia mengikuti Raden Wijaya yang berpura-pura mengabdi kepada Prabu Jayakatwang, dia tidak melihat puterinya itu bersama Raja Daha itu. Dan kini puterinya tahu-tahu muncul di daerah Majapahit dan mengatakan mengabdi seseorang.
"Wulansari, siapakah orang yang kau taati itu ?"
"Hemm, aku hendak melihat bagaimana sikap kanjeng rama dan kalian sekalian kalau melihat orang yang kutaati. Nah, lihatlah baik-baik"
Wulansari mendorong daun pintu gubuk itu terbuka, Ki Medang Dangdi, Lembu Sora, Banyak, Kapuk dan Ronggo Lawe terbelalak, kemudian mereka berempat menjatuhkan diri berlutut dan menyembah ketika mereka mengenal siapa yang berada di dalam gubuk itu.
Akan tetapi, Puteri Dyah Gayatri tidak memandang kepada mereka, melainkan kepada seorang pria yang berjalan menuju ke gubuk itu. Pria itupun memandang dan keduanya berseru hampir bersamaan.
"Diajeng Gayatri........"
"Kakangmas pangeran ......."
Dyah Gayatri keluar dari dalam gubuk, menyongsong Raden Wijaya yang kini juga berlari-lari, diikuti oleh para pengiringnya. Dua orang kekasih itu saling rangkul dan Gayatri menangis di dada Raden Wijaya, Para senopati hanya berlutut sambil menundukkan muka. Mereka ikut berbahagia menyaksikan pertemuan yang mengharukan itu.
Setelah membiarkan puteri jelita itu menangis dalam rangkulannya beberapa saat, Raden Wijaya mengelus rambutnya dan sang puteri menjadi tenang kembali.
"Diajeng, aku mendengar bahwa kau ditawan di istana Daha. Bigaimana tahu-tahu dapat berada di sini ?"
"Memang benar demikian, kakangmas, akan tetapi ia yang telah menolongku, membebaskanku dan istana Daha dan mengajakku ke sini untuk menghadap paduka....."'
Raden Wijaya mengangkat muka memandang kepada pemuda yang berdiri di situ, pemuda tampan yang tidak berlutut seperti yang lain, melainkan berdiri saja dan pangeran ini merasa hatinya tidak nyaman. Alisnya berkerut dan perasaan cemburu muncul dalam hatinya. Kekasihnya itu ditolong oleh seorang pemuda yang amat tampan, bahkan melakukan perjalanan berdua saja sampai sekian jauh dan lamanya.
"Hemm, siapakah pemuda ini ?" tanyanya. "Maafkan, Raden. Ia adalah Wulansari, puteri hamba....." kata Ki Medang Dangdi.
Seketika wajah Raden Wijaya menjadi merah padam dan dia mengamati "pemuda" tampan itu, merasa malu sekali kepada dirinya sendiri dan sampai beberapa saat lamanya dia tidak mampu mengeluarkan suara. Merasa malu dan juga menyesal karena dia tadi telah diserang perasaan cemburu terhadap "pemuda" itu.
"Jagad Dewa Bhatara......." Akhirnya dia berseru lirih sambil menarik napas panjang dan mengamati gadis berpakaian pria itu. Kini dia mengerti mengapa ada pemuda yang demikian tampannya. Dan dia teringat akan nama ini. Wulansari puteri Medang Dangdi. Teringat dia akan pertemuannya dengan Nurseta. "Paman Medang Dangdi. Jadi inikah tunangan Nurseta itu?" tanyanya.
"Benar, Raden"
"Ah, Wulansari, kami berterima kasih sekali bahwa kau telah berhasil menyelamatkan diajeng Giyatri, membawanya lolos darl istana Daha. Sekarang aku ingat. Kau sedang dicari Nurseta dan dia hendak bicara tentang tombak pusaka......" Raden Wijaya
memandang ragu.
Wulansari mengangguk. "Paduka maksudkan Ki Ageng Tejanirmala?"
"Benar sekali, Wulansari. Dia berjanji kepadaku untuk mencarimu dan minta kembali tombak pusaka itu, kemudian, memenuhi pesan terakhir mendiang Ki Baka, dia akan menyerahkan tombak pusaka itu kepadaku"
"Jangan khawatir, Raden. Saya akan membantunya mendapatkan kembali Ki Ageng Tejanirmala" kata Wulansari dengan suara tegas.
"Wulan, anakmas Nurseta sekarang mencarimu ke Daha" tiba tiba Ki Medang Dangdi
berkata, suaranya membayangkan kekhawatiran.
Gadis perkasa itu kini menatap wajah ayahnya dengan penuh ketajaman dan teguran. "Mengapa kanjeng rama memperdulikan benar kepadanya" Bukankah dia keturunan orang jahat?"
Medang Dangdi terkejut. Watak puterinya ini sungguh kasar dan keras bukan main. Di depan banyak orang, bahkan di depan Raden Wijaya, puterinya itu secara langsung saja menyerangnya, tentu karena gadis itu merasa sakit hati bahwa dulu dia melarang puterinya berjodoh dengan Nurseta karena dia tidak suka mendengar pemuda itu putera Ni Dedeh Sawitri. Diapun maklum bahwa dia tidak lagi berpura-pura atau malu menghadapi watak puterinya yang demikian terbuka.
"Anakku, bagaimana aku tidak akan memperdulikan anakmas Nurseta" Dia adalah calon mantuku. Dan jangan bicara lagi tentang keturunan. Ayahmu inipun bukan orang baik-baik. Lupakan saja semua penolakanku dahulu Anakmas Nurseta dan mendiang Ki Baka telah datang kepadaku dan meminangmu. Ibumu dan aku telah menerima pinangan itu, Wulan, kau telah menjadi calon isteri anakmas Nurseta.
Wulansari telah mendengar akan hal ini dari Ki Jambros maka iapun tenang saja mendengar keterangan ayahnya itu. "Kalau saja kanjeng rama dahulu berpendirian seperti ini, tentu aku tidak sampai mengabdikan diri ke istana Daha" kata Wulansari dan Ki Medang Dangdi menarik napas panjang, merasa menyesal sekali.
Melihat ini, Raden Wijaya yang bijaksana segera menengahi. "Wulansari, mengapa kau berkata demikian" Sungguh beruntung sekali bahwa kau menjadi abdi di istana Daha. Kalau tidak demikian, bagaimana mungkin diajeng Gayatri dapat lolos dari sana" Sungguh besar rasa sukur dan terima kasih kami kepadamu, Wulansari. Apa lagi kalau kau mau membantu agar Ki Ageng Tejanirmala dapat diserahkan kepada kami, sungguh jasamu teramat besar"
Wulansari menyembah sambil tetap berdiri. "Akan saya coba, Raden. Akan saya cari kakangmas Nurseta di Daha, dan saya berani memastikan bahwa setelah saya bertemu dengan kakangmas Nurseta, Ki Ageng Tejanirmala pasti akan dapat paduka terima"
Bukan main gembiranya hati Raden Wijaya mendengar kesanggupan ini dan mereka lalu bubaran. Wulansari minta bicara empat mata dengan ayahnya sebelum ia meninggalkan hutan itu
Dalam kesempatan ini, dengan hati lega Wulansari mendengar dari ayahnya bahwa ayah dan ibunya selamat dan kini mereka berdua berada di daerah baru Majapahit, menjadi pengikut Raden Wijaya yang setia. Dia mendengar pula akan rencana Raden Wijaya untuk menyusun kekuatan dan menyerang Daha.
"Aku sudah mendengar akan hal itu dari Ki Jembros, kanjeng rama. Dan tahulah Raden Wijaya bahwa kini di pantai utara telah mendarat pasukan Tartar yang amat kuat" Pasukan itu tadinya hendak menyerang Kerajaan Singosari dan kini mereka masih ragu-ragu karena mereka mendengar bahwa Singosari telah jatuh ke tangan Kerajaan Daha" Wulansari lalu bercerita tentang perjumpaannya dengan Lie Hok Yan.
Ki Medang Dangdi mengangguk. "Kami sudah mendengar akan hal itu, dan kini Raden Wijaya sedang menanti berita dari Bupati Sumenep yang dimintai nasihat. Wulansari, kau anakku dan kau memiliki ilmu kepandaian tinggi, sakti dan digdaya. Kalau kau mau, kau dapat menjadi seorang senopati wanita yang dapat diandalkan, membantu perjuangan Raden Wijaya"
"Tidak, kanjeng ramal Aku tidak mau terlibat dalam perang. Bagaimanapun juga, aku pernah mengabdi Kerajaan Daha dan pernah menerima budi kebaikan Prabu Jayakatwang. Ketika aku mengabdi di sanapun dan terjadi perang, aku sama sekali tidak mau mencampuri dan Sang Prabu Jayakatwang tidak dapat memaksaku. Aku ingin bebas dalam pertikaian antara keluarga Kerajaan Singosari dan Daha"
"Akan tetapi, kau mau menyerahkan Ki Ageng Tejanirmala kepada Raden Wijaya, bukan?"
"Hal itu baru akan ditentukan setelah aku bertemu dengan kakangmas Nurseta"
Dara perkasa itu menolak ketika oleh ayahnya diajak ke Majapahit untuk bertemu dengan ibunya. "Tidak ada waktu lagi, kanjeng rama. Aku akan segera kembali ke Daha mencari kakangmas Nurseta. Sampaikan saja sembah sujudku kepada ibu"
Pergilah Wulansari setelah berpamit kepada Dyah Gayatri dan Radtn Wijaya yang saling menumpahkan rasa rindu mereka. Raden Wijaya lalu kembali ke Majapahit dengan gembira sekali dan di sana, terjadilah pertemuan yang mengharukan dan juga membahagiakan antara Dyah Gayatri dan kakaknya, yaitu Dyah Tribuwana.
Lembu Peteng yang diutus Raden Wijaya menyerahkan suratnya kepada Bupati Sumenep, telah datang kembali membawa balasan Arya Wiraraja. Dalam balasannya itu, Arya Wiraraja yang terkenal ahli siasat itu, menasihatkan Raden Wijaya agar pangeran ini bersabar dan tidak tergesa-gesa melakukan penyerbuan ke Kediri. Dalam surat balasannya, Arya Wiraraja mengatakan bahwa dia sedang mengadakan hubungan dengan pasukan Tartar yang telah mendarat. Dia mengajak pasukan Tartar yang sedianya hendak menghukum Sang Prabu Kertanegara dari Kerajaan Singosari itu untuk bersama-sama menyerbu Kerajaan Daha dengan janji bahwa kalau Daha dapat ditalukkan maka para penguasa baru akan mengakui kekuasjan Kaisar Kubilai Khan dan akan mengirim upeti yang besar, bahkan menjanjikan akan mengirimkan beberapa orang puteri istana, juga Puteri Kedaton Kediri, yaitu Sang Dyah Ayu Retna Kesari.
Raden Wijaya adalah seorang pangeran keturunan Singosari yang terkenal memiliki harga diri tinggi. Nasihat dalam surat dari Arya Wiraraja itu membuat alisnya berkerut. Haruskah dia merendahkan diri demikian rupa kepada Kaisar Kubilai Khan " Akan tetapi diapun segera mengadakan perundingan dengan para pembantunya.
"Harus kita sadari bahwa bagaimanapun juga, kekuatan yang telah kita susun tidaklah berapa besar, Raden. Biarpun ada bantuan dari Madura, namun tidak akan mudah mengalahkan pasukan Daha yang kuat. Tentu akan membutuhkan waktu lama sekali untuk dapat mencapai kemenangan, dan perang yang berkepanjangan akan menyengsarakan rakyat. Kalau pasukan Tartar itu datang membantu, kiranya kita akan dapat mengalahkan Kediri lebih cepat dan lebih mudah sehingga rakyat tidak akan menderita banyak" demikian pendapat Lembu Sora.
"Pendapat Paman Lembu Sora itu benar, Raden" kata Ronggo Lawe. "Bagaimanapun juga, janji yang dikemukakan oleh kanjeng rama itu hanyalah merupakan siasat saja. Pasukan Tartar datang sebagai musuh Singosari, dan menyalahi janji kepada musuh merupakan siasat perang, tidak akan merendahkan martabat"
Raden Wijaya menghela napas. Biarpun di lubuk hatinya, dia kurang setuju, namun tidak ada pilihan lain. Kalau dia menghendaki agar Kediri segera dapat ditundukkan, dia harus menerima bantuan pasukan Tartar. Demikianiah, Raden Wijaya setuju dengan nasihat Arya Wiraraja dan sementara itu, para pembantunya mempersiapkan diri menghadapi perang yang sudah akan meletus itu.
Setelah mengadakan hubungan dengan para pimpinan pasukan Tartar, Arya Wiraraja lalu mempertemukan Raden Wijaya dengan Panglima She Pei, Kau Seng, dan Ji Kauw Mosu. Dan mulailah pasukan Tartar bergerak ke selatan dengan satu tujuan, ialah menyerbu Kerajaan Daha. Sedangkan pasukan yang terdiri dari orang-orang Madura dan dari Jawa Timur bagian ujung, dipimpin oleh Arya Wiraraja sendiri. Raden Wijaya juga menggerakkan pasukannya dan yang dijadikan titik pusat dari mana mereka semua bergerak adalah di Tegal Bobot Sari. Pasukan Tartar sudah membuat pertahanan di Ujung Galuh, sebagian menduduki Canggu dan sebagian pula bergabung dengan pasukan Majapahit dan Madura di Tegal Bobot Sari.
Kesibukan yang terjadi oleh gerakan pasukan-pasukan yang hendak menyerbu Kerajaan Daha itu tentu saja segera terdengar oleh para penjaga dan mereka itu bergegas memberi laporan ke Kediri. Terkejutlah Sang Prabu Jayakatwang dan wajahnya berubah merah padam, matanya melotot dan dia menggebrak meja mendengar berita itu.
"Si keparat Wijaya. Bocah itu sungguh tidak tahu diri. Dia kami terima baik-baik disini, kiranya diam-diam dia mempersiapkan pemberontakan. Dan Bupati Sumenep, Arya Wiraraja yang menjadi botohnya. Babo babo keparat. Kita harus hancurkan mereka"
Para senopati Daha juga marah sekali mendengar berita itu. Apa lagi mendengar bahwa pasukan Tartar juga bergabung dengan para pemberontak itu.
"Semua ini kesalahan Segoro Winotan" Tiba-tiba senopati Kebo Rubuh menudingkan telunjuknya ke arah senopati Segoro Winotan. Memang sudah lama terdapat persaingan antara kedua orang senopati itu, dimulai dengan perebutan seorang wanita yang mereka jadikan selir, kemudian ketika Segoro Winotan diutus oleh Sang Prabu Jayakatwang untuk melakukan penyelidikan ke Majapahit, Kebo Rubuh merasa iri hati. Kini, terbukalah kesempatan bagi Kebo Rubuh untuk menumpahkan kebenciannya.
"Bukankah dia sudah paduka utus untuk melakukan penyelidikan ke Majapahit baru-baru ini " Dan dia melaporkan bahwa segalanya baik-baik saja di Majapahit, bahwa Raden Wijaya membuat persiapan untuk perburuan. Jelaslah bahwa Segoro Winotan seorang pengkhianat. Diam-diam dia melindungi Raden Wijaya"
"Kebo Rubuh, tutup mulutmu yang busuk" Segoro Winotan memaki dengan mata melotot. "Bukan hanya mataku yang meligat persiapan perburuan itu, juga pasukan yang kubawa. Lancang mulutmu menuduhku dan melontarkan fitnah"
"Siapa menuduh" Jelas bahwa kau adalah seorang pengkhianat. Gusti Prabu, ijinkan hamba menghukum pengkhianat ini" kata Kebo Rubuh dan dia sudah menghunus kerisnya.
"Cukup, kalian jangan ribut" Sang Prabu Jayakatwang membentak. "Kebo Rubuh, sarungkan kerismu" Mendengar perintah ini, Kebo Rubuh menyarungkan kembali kerisnya dan menyembah, mohon maaf.
"Kita diancam musuh dan kalian ribut sendiri. Kita harus cepat mempersiapkan pasukan untuk menghancurkan para pemberontak jahanam itu" Pasukan Daha lalu dibagi menjadi tiga bagian dan mereka bergerak ke utara untuk menyambut musuh yang kabarnya mulai bergerak
*** Pagi hari itu, serombongan pasukan Daha yang terdiri dari lima belas orang berkeliaran memasuki dusun Klintren. Seperti pasukan-pasukan Daha yang lain, mereka itu bersiap siaga dan mengadakan perondaan ke dusun-dusun, dengan dalih mengamati keadaan dan melakukan pembersihan lerhadap mata-mata musuh.
Memang, perang masih jauh dari situ, namun pasukan lima belas orang perajurit Daha yang memasuki dusun Klintren pada pagi hari itu bersikap seolah-olah musuh sudah berada di depan hidung mereka. Cara mereka memegang pedang, golok atau tombak dalam tangan seperti sudah siap untuk menusuk atau membacok musuh. Langkah merekapun tidak wajar lagi, langkah yang penuh dengan gejolak nafsu sehingga nampak seperti dibuat-buat agar kelihatan gagah, penuh kuasa.
Pada umumnya, para perajurit Daha itu menganggap balwa semua orang di daerah Singosari adalah musuh mereka, Singosari telah dtundukkan Daha, dan kini Raden Wijaya memberontak, maka mereka menduga dengan mudahnya saja bahwa semua orang Singosari tidak dapat dipercaya karena mereka tentu akan membantu Raden Wijaya. Dugaan inilah yang menimbulkan perbuatan yang kejam dan jahat, dilakukan oleh sebagian perajurit Daha yang tidak berjiwa satria terhadap rakyat Singosari.
Dusun Klintren berada di sebelah selatan Singosari, termasuk daerah Singosari. Kekejaman para perajurit Daha semenjak timbulnya kabar bahwa Raden Wijaya mulai bergerak untuk menentang Daha, sudah terdengar oleh penduduk dusun Klintren. Maka tidaklah mengherankan apa bila pagi hari itu, penduduk menggigil ketakutan melihat limabelas orang perajurit Daha berkeliaran di dusun mereka itu.
Penduduk yang terdiri dari kaum petani itu, yang tadinya telah siap berangkat ke sawah ladang, segera kembali ke rumah masing-masing. Anak-anak berlarian pulang dipanggil ibu masing-masing, dan terutama para gadis bersembunyi dalam kamar dengan tubuh gemetar, seperti kelinci-kelinci yang mencium bau segerombolan srigala yang datang mendekat.
Setelah tiba di dusun Klintren dan melihat betapa orang-orang dusun itu yang tadinya sudah memenuhi dusun kini berlarian dan bersembunyi sehingga sebentar saja dusun itu nampak sunyi karena semua orang masuk ke dalam rumah, limabelas orang itu saling pandang dan tertawa-tawa. Mereka merasa gembira dan lucu melihat tingkah para penduduk yang ketakutan itu dan mereka merasa seperti segerombolan kucing yang mempermainkan tikus-tikus yang ketakutan. Rombongan itu lalu dipecah menjadi tiga rombongan kecil terdiri dari lima orang, masing-masing dipimpin seorang kepala.
"Kami akan menangkap ayam-ayam gemuk dan kambing untuk pesta malam nanti" kata kepala rombongan pertama yang mukanya penuh bopeng bekas penyakit cacar.
"Kami akan mencari beberapa orang perawan dusun yang manis untuk teman berpesta malam nanti" kata kepala rombongan kedua yang tubuhnya gemuk dengan perut gendut.
Kepala rombongan ke tiga, yang masih muda dan bertubuh tinggi kurus, memimpin rombongannya dan dia berkata kepada mereka, "Mari ikut dengan aku. Kalau kita berhasil membunuh ayah dan ibu gadis itu dan menangkap gadis itu, aku takkan melanggar janji dan akan membagi hadiah kepada kalian seperti yang telah kujanjikan" Kepala rombongan itu lalu mengajak rombongannya menuju ke rumah yang berada di sudut dusun itu.
Tak lama kemudian, suasana yang sunyi di dusun itu segera terisi dengan keributan, suara wanita menjerit-jerit dan suara orang-orang mengaduh kesakitan. Gerombolan Daha yang sebetulnya lebih tepat dinamakan gerombolan penjahat dari pada pasukan perajurit itu mulai beraksi. Ada yang merampas barang berharga, menangkapi kambing dan ayam, dan ada pula yang menyeret gadis-gadis manis keluar dari kamar persembunyian mereka. Orang orang yang berani menghalangi perbuatan mereka, dirobohkan dengan kejam, dibacok atau ditusuk dan darahpun mulai mengalir.
Rombongan yang dipimpin pemuda tinggi kurus itu mendatangi rumah yang didiami oleh keluarga Ki Sardu, yaitu Ki Sardu, isterinya dan puterinya. Seperti kita telah ketahui, Ki Sardu adalah bekas lurah di dusun Kalasan yang pergi mengungsi ke dusun Klintren dan di tempat ini dia tinggal di sebuah rumah kecil bersama isterinya dan puterinya, Sumirah.
Pada pagi hari itu, Sumirah sedang menyapu pekarangan. Ibunya sedang sibuk mempersiapkan sarapan untuk Ki Sardu dan Ki Sardu sendiri sudah siap untuk pergi ke ladang setelah sarapan. Mereka sama sekali tidak tahu akan bahaya yang mengancam, tidak tahu betapa orang-orang dusun yang melihat masuknya pasukan kecil orang Daha ke dusun itu segera melarikan diri dan bersembunyi.
Selagi Sumirah menyapu, ia mendengar teriakan wanita dan ia terkejut lalu mengangkat muka. Pada saat itu, lima orang berlari masuk ke pekarangan rumahnya dan iapun terbelalak dan memandang dengan sinar mata gelisah. Akan tetapi, orang muda tinggi kurus itu telah melompat dan menangkap lengannya. Sumirah memandang dan iapun menjadi marah bukan main.
"Kabiso" teriaknya marah. "Apa yang kaulakukan ini" Lepaskan aku. Lepaskan" Ia meronta-ronta.
Perajurit tinggi kurus itu memang Kabiso, pemuda dari Kalasan yang cintanya ditolak oleh Sumirah itu. Setelah lari meninggalkan desanya, Kabiso dapat mengabdikan diri kepada pasukan Kerajaan Daha dan karena dia pandai mengambil hati atasan, maka diapun memperoleh kepercayaan menjadi anggauta pasukan peronda. Ketika pasukannya meronda ke dusun Klintren, di mana dia tahu Sumirah dan orang tuanya berada, diapun membujuk empat orang kawannya itu untuk membantunya menyerbu rumah Ki Sardu dan menjanjikan upah dan hadiah kepada mereka. Dia mengatakan bahwa Ki Sardu adalah seorang yang setia kepada Raden Wijaya dan merupakan mata-mata yang amat berbahaya. "Kita bunuh dia dan isterinya, akan tetapi puterinya untuk aku karena aku cinta kepadanya" demikian dia berkata kepada para temannya.
"Lepaskan aku. Lepaskan........ Kabiso, kau jahanam keparat" Sumirah meronta-ronta, akan tetapi sambil tertawa-tawa Kabiso malah memeluknya dan menelikung kedua lengan gadis itu ke belakang, lalu menyeretnya keluar pekarangan. Empat orang temannya hanya tertawa-tawa saja melihat ulah kawan itu.
Mendengar jerit puterinya, isteri Ki Sardu berlari keluar. Melihat Sumirah ditarik-tarik oleh Kabiso yang segera dikenalnya, Nyi Sardu lari mengejar dan menarik-narik tangan Kabiso.
"Lepaskan anakku. Lepaskan........"
Kabiso memberi isarat kepada kawan-kawannya dan seorang diantara " mereka mengayun golok yang menyambar ke arah leher Nyi Sardu. Wanita itu menjerit dan roboh terkulai.
"ibu........ Ibu........" Sumirah terbelalak dan menjerit-jerit meronta-ronta untuk melepaskan diri. Akan tetapi Kabiso sudah mengikat kedua pergelangan tangan gadis itu dengan tali di belakang tubuhnya.
Ki Sardu berlari keluar. Bukan main kagetnya melihat isterinya menggeletak berlumuran darah dan puterinya diseret Kabiso. "Keparat........." bentaknya. Dia sedang memegang cangkul karena memang sudah siap untuk bekerja di ladang. Ki Sardu menjadi mata gelap dan nekat ketika dia melihat isterinya menggeletak mandi darah dan puterinya diseret seorang perajurit Daha yang tinggi kurus. Apa lagi ketika dia mengenal orang itu sebagai Kabiso. Dia sudah mendengar dari puterinya tentang perbuatan Kabiso dan dia kini tahu bahwa Kabiso yang telah menjadi perajurit Daha itu datang untuk membalas dendam, membunuh isterinya dan menculik puterinya.
Dengan cangkul diayun di atas kepala, dia lari untuk menyerang Kabiso. Akan tetapi, dari kanan kiri menyambar tombak dan golok. Tombak itu menancap di perutnya dan golok menyambar ke lehernya. Ki Sardu mengeluh dan diapun roboh terguling, mandi darah.
"Ayah........ " Sumirah menjerit-jerit dan akhirnya ia roboh pingsan dalam rangkulan Kabiso.
"Kalian boleh ambil semua barang mereka, haha" kata Kabiso gembira sekali melihat betapa ayah ibu Sumirah telah tewas dan gadis manis itu telah berada dalam pondongannya. Kini tidak ada lagi orang yang akan menghalangi dia memiliki tubuh gadis yang montok dan kuning langsat mulus itu.
Akan tetapi, ketika empat orang kawannya hendak memasuki rumah yang sudah kosong itu, untuk merampas apa saja yang berharga, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
"Lepaskan Sumirah"
Kabiso cepat menoleh, juga empat orang kawannya berhenti berlari dan membalikkan tubuh memandang. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja di situ sudah berdiri seorang wanita yang membuat empat orang teman Kabiso itu terbelalak kagum, dan Kabiso sendiri juga memandang heran. Dia seperti sudah pernah mengenal wanita ini, akan tetapi lupa lagi di mana. Seorang wanita yang cantik jelita. Tentu saja Kabiso lupa lagi karena ketika untuk pertama kalinya Wulansari bertemu dengan dia, yaitu ketika Wulansari menolong penduduk Kalasan, gadis perkasa itu menyamar sebagai seorang pria.
"Hahaha, Kabiso, kini muncul lagi seorang wanita yang malah lebih cantik jelita. Kita harus menangkapnya" Empat orang itu seperti hendak berebut saja, ulahnya seperti empat ekor harimau kelaparan melihat seekor kelinci gemuk. Mereka menyergap dan menubruk dari empat penjuru, berlumba untuk lebih dulu merangkul wanita yang cantik jelita itu.
"Bresss......" Wulansari memutar tubuhnya seperti gasing dan sekaligus ia menyambut mereka dengan tamparan kedua tangannya. Empat orang itu terpelanting dan mereka terbelalak sambil memegangi mulut mereka yang berdarah. Tamparan itu membuat beberapa buah gigi mereka copot dan bibir mereka berdarah. Marahlah mereka. Dengan muka merah mereka bangkit dan menyambar tombak masing-masing, lalu menyerang Wulansari, Lenyaplah semua gairah berahi dari benak mereka, sebagai gantinya, kini nafsu amarah dan keinginan membunuh yang membakar hati dan mereka kini berlumba untuk menembus tubuh yang ramping itu dengan tombak mereka.
Melihat ini, Wulansari menjadi marah. Ia melompat ke kiri sambil mengelak ketika tombak dari arah kiri meluncur dan sekali tubuhnya bergerak, kakinya menendang tubuh penyerangnya dan tangannya merampas tombak. Orang itu terjengkang dan tewas seketika karena tulang tulang iganya remuk dan isi dadanya terguncang.
Wulansari memutar tombaknya dan terdengar suara beradunya tombaknya dengan tiga batang tombak penyerang lainnya. Tiga orang pengeroyok itu terpekik kaget karena tombak mereka patah-patah dan sebelum mereka sempat menghindar, tombak di tangan Wulansari menyambar-nyambar dan merekapun roboh terjengkang dengan darah bercucuran dari dada dan perut. Tewaslah mereka termakan tombak di tangan gadis perkasa itu.
Sepuluh orang anggauta pasukan yang sedang merampok itu, segera datang berlarian dan melihat empat orang kawan mereka tewas, merekapun segera maju mengeroyok, mempergunakan senjata tombak dan golok mereka" Dan Wulansari mengamuk. Gadis ini tidak memperhatikan lagi siapa mereka, tidak tahu bahwa mereka itu pasukan dari Daha. Dalam keadaan seperti itu, yang dimusuhinya bukanlah pasukan dari manapun, melainkan orang-orang jahat yang dengan kejam merampok dan mengganggu sebuah dusun. Bagaikan seekor singa betina terluka, Wulansari mengamuk. Tombak tadi sudah dibuangnya dan kini ia mengamuk dengan menggunakan kaki tangannya saja. Sepuluh anggauta pasukan Daha itu tentu saja memandang rendah dan merasa yakin bahwa mereka akan mampu merobohkan seorang wanita yang bertangan kosong itu. Mereka tidak mengenal Wulansari, karena biarpun mereka itu perajurit Daha dan Wulansari pernah menjadi pengawal pribadi Sang Prabu Jayakatwang, namun Wulansari tidak pernah keluar dari istana, bahkan di dalam perang menyerbu Singosari, iapun tidak ikut.
Senjata golok dan tombak di tangan sepuluh orang pengeroyok itu menyambar-nyambar bagaikan hujan lebat ke arah tubuh Wulansari. Dengan kepandaiannya yang tinggi, tentu saja Wulansari tidak gentar dan tubuhnya dapat dibuat kebal sehingga tidak akan terluka oleh sambaran semua senjata itu. Akan tetapi, ia khawatir kalau pakaiannya terobek dan rambutnya terputus, maka iapun mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk berloncatan ke sana-sini mengelak, dan kadang ia menangkis dengan kedua lengan tangannya yang berkulit putih lembut dan yang kecil saja itu. Namun, kedua lengan itu telah terisi kekuatan dahsyat dan kebal sehingga tidak terluka oleh bacokan golok dan tusukan tombak. Dan sambil berloncatan mengelak, iapun mulai membagi-bagi pukulan. Setiap tamparan tangannya tentu mengenai sasaran dan mulailah terdengar pekik kesakitan disusul robohnya tubuh yang menggelepar karena kepalanya pecah, atau yang roboh karena tulang iganya patah-patah oleh tendangan kaki mungil itu.
Dalam waktu yang tidak begitu lama, sepuluh orang perajurit Daha itupun sudah roboh semua, tewas atau sekarat. Wulansari tidak memperdulikan lagi mereka. Ia mencar-icari, akan tetapi tidak melihat Sumirah yang tadi dipondong seorang perajurit muda. Laki laki itu telah lenyap bersama Sumirah. Dan pada saat itu, orang-orang dusun itu berdatangan dan mereka semua berterima kasih kepada Wulansari karena merasa sudah diselamatkan.
"Sudahlah, para paman dan bibi, lebih baik kalian cepat urus mayat mereka ini. kuburkan mereka baik-baik dan....... " Tiba-tiba ia melihat mayat Ki Sardu dan isterinya. Iapun berlari menghampiri dan setelah ia melihat bahwa memang benar itu mayat suami isteri lurah yang sudah dikenalnya, Wulansari mengepal tinju dan teringatlah ia lagi kepada Sumirah. Cepat ditanyakannya kepada para penduduk kalau kalau ada diantara mereka. yang melihat Sumirah.
"Sumirah ditangkap seorang diantara mereka dan dibawa lari ke sana" kata seorang penduduk yang tadi kebetulan melihat gadis itu dipondong dan dilarikan seorang pemuda tinggi kurus.
"Aku akan mencarinya" kata Wulansari dan iapun cepat melompat dan lari cepat sekali bagaikan terbang saja ke arah yang ditunjuk orang itu.
Akan tetapi, betapapun Wulansari berusaha menemukan Sumirah yang dilarikan orang, usahanya gagal, ia telah kehilangan jejak. Sampai sehari ia mencari-cari di daerah itu, namun sia-sia. Akhirnya ia hanya dapat menenarik napas panjang dan merasa kasihan sekali kepada gadis dusun itu yang kehilangan ayah bundanya dan sekaligus terancam bahaya di tangan penculiknya. Ia hanya dapat menyerahkan segalanya ke tangan Sang Hyang Widi saja.
Karena ada urusan yang lebih penting lagi baginya, yaitu mencari Nurseta yang kabarnya menyelundup ke dalam kota raja Kediri, Wulansari terpaksa meninggalkan tempat itu dan melanjutkan perjalanannya ke Kediri
*** Kemana perginya Kabiso yang melarikan Sumirah " Pemuda ini sudah mengenal daerah pegunungan itu dan ketika Wulansari mencari-cari tadi, dia bersembunyi di dalam sebuah goa kecil yang tertutup rumpun semak belukar.
Sumirah masih pingsan, akan tetapi Kabiso yang cerdik telah mempergunakan kain untuk mengikat mulut gadis itu sehingga ketika siumanpun Sumirah tidak marnpu mengeluarkan teriakan. Dan diapun terus memegangi kedua lengan gadis itu sehingga tidak mampu meronta pula.
Setelah hari menjadi gelap dan dia merasa yakin bahwa tidak ada lagi orang yang mencarinya, baru Kabiso memanggul tubuh Sumirah dan membawanya keluar dari goa itu. Dia terus membawa gadis itu pergi mendaki sebuah bukit yang penuh hutan.
Malam telah tiba ketika dia tiba di tengah sebuah hutan di lereng bukit, Dengan girang dia melihat sebuah gubuk yang agaknya didirikan oleh para pemburu binatang hutan untuk beristirahat. Direbahkannya tubuh itu ke atas lantai gubuk itu dan sambil masih memegangi kedua pergelangan tangan Sumirah, Kabiso berkata.
"Sumirah, kau tahu aku sayang padamu, aku tergila-gila kepadamu. Maka, kau harus menjadi milikku, menjadi isteriku, lebih baik kau menyerah dari pada harus kupergunakan kekerasan" Dia lalu melepaskan kain yang menutupi mulut gadis itu. Begitu ia mampu bicara, Sumirah lalu berteriak.
"Tidak sudi. Lebih baik aku mati. Lepaskan aku. Ah, lepaskan aku, keparat. Tolonggg........"
Kabiso tertawa. "Hahaha, di dalam hutan yang sunyi ini, percuma saja kau menjerit, Sumirah. Hanya monyet dan kijang yang akan dapat mendengarmu. Kau tidak mau menyerah" Kau ingin aku mempergunakan kekerasan" Mau tidak mau, sekarang ini kau harus menjadi milikku"
Bagaikan seekor harimau kelaparan menubruk domba, Kabiso menerkam Sumirah dan mereka bergumul di dalam gubuk itu, di dalam kegelapan yang pekat. Terdengar kain robek dan pakaian Sumirah sudah dicabik-cabik oleh pria yang sudah dibuat seperti gila oleh nafsu berahi itu. Sumirah mempertahankan diri mati-matian. Ia menampar, mencakar, menggigit, menggeliat. Namun, tenaga seorang gadis seperti ia tentu saja tidak mampu melawan tenaga Kabiso. seorang pemuda yang sudah dipenuhi nafsu dan gairah yang membara. Makin lama Sumirah menjadi semakin lemah, teriaknya juga melemah dan yang terdengar hanya isak tangisnya saja. Akan tetapi, ia terus melawan mati-matian sehingga Kabiso akhirnya menjadi marah.
"Plak. Plakl" Ditamparnya muka Sumirah dua kali sehingga gadis itu terkulai. Akan tetapi tetap saja Sumirah melawan sehingga sukarlah bagi Kabiso untuk dapat menggagahinya. Dia mengambil keputusan untuk memukul Sumirah agar pingsan, karena hanya itulah satu-satunya cara untuk berhasil menguasai gadis itu.
Dalam gairah berahinya yang bernyala-nyala itu Kabiso lupa segala bahkan sama sekali tidak memperhatikan sekelilingnya. Dia bahkan tidak melihat betapa kini di dalam gubuk tidak segelap tadi. Dia mulai dapat melihat wajah Sumirah, mulai dapat melihat kulit tubuhnya yang putih mulus, yang sudah tidak tertutup kain lagi karena pakaian gadis itu sudah dicabik-cabik dan direnggutnya dalam pergumulan mereka tadi. Karena dapat melihat lekuk lengkung tubuh gadis itu, berahinya semakin memuncak dan diapun lupa diri dan lupa keadaan.
Baru setelah keadaan di situ menjadi terang sekali, dia terkejut dan heran. Dia belum berhasil menguasai Sumirah sepenuhnya dan kini dia menoleh dan....... wajahnya
pucat, matanya terbelalak karena di dalam gubuk itu telah hadir belasan orang yang wajahnya bengis dan buas, ada beberapa orang diantara mereka yang memegang obor.
Dengan pakaian kedodoran Kabiso meloncat bangun, akan tetapi dia disambut pukulan-pukulan sehingga jatuh bangun, berusaha melawan akan tetapi dikeroyok dan akhirnya dia roboh lalu merintih dan minta-minta ampun.
Seorang diantara belasan orang yang memasuki gubuk itu, yang bertubuh tinggi besar dan mukanya buruk sekali karena ada cacat bekas luka melintang, mengeluarkan bentakan.
"Jangan bunuh dia. Terlalu enak. Gantung kakinya di pohon, sayat-sayat kulit jahanam ini. Dia perajurit Daha, siksa dia sampai mati, hahaha. Dan gadis ini, hemmm, aku suka padanya. beri pakaian yang baik, dan siapkan dia untuk menjadi pengantinku besok"
Belasan orang itu tertawa bergelak. Sumirah juga bangkit duduk dan sedapat mungkin menutupi tubuhnya dengan rambut dan kedua tangan. Akan tetapi, seorang anggauta gerombolan itu menyelimutinya dengan kain, kemudian, iapun ditarik keluar.
Karena baru saja diselamatkan dari malapetaka yang mengerikan, dan karena iapun sudah lelah dan lemas, Sumirah tidak dapat melawan dan pasrah saja ketika dengan lembut tangannya ditarik oleh seorang laki-laki tua.
Gerombolan itu ternyata adalah sisa-sisa perajurit Singosari yang sudah dikalahkan oleh pasukan Daha. Mereka tidak mau menakluk, dan mereka melarikan diri ke hutan-hutan. Karena sudah kehilangan induk, kehilangan keluarga dan harapan, mereka menjadi buas dan merekapun menjadi perampok-perampok yang ganas dan buas.
Sumirah yang terjatuh ke tangan mereka... biarpun ia menangis dan mohon agar dibebaskan, namun gerombolan itu memaksanya untuk mandi dan berganti pakaian baru.
Gerombolan perampok itu ternyata mempunyai sarang di puncak bukit itu. Disitu terdapat pondok-pondok darurat yang agaknya baru saja dibangun. Sumirah berada di sebuah diantara pondok-pondok sederhana itu. Ia sudah mandi dan mengenakan pakaian baru. Ia tidak mempunyai kesempatan untuk melarikan diri sama sekali karena selalu ada dua orang anggauta perampok yang menjaganya. Biarpun kedua orang penjaga ini kasar sikapnya, namun mereka tidak berani mengganggunya karena ia sudah dianggap sebagai calon isteri kepala gerombolan.
Sumirah duduk di atas dipan kayu, satu-satunya prabot rumah yang berada di dalam pondok itu, dengan wajah pucat dan jantung berdebar penuh ketegangan dan perasaan ngeri. Dua orang yang selalu menjaganya itu memasuki pondok.
"Kau diharuskan keluar dan ikut berpesa. Pesta akan dimulai, Hayolah" kata seorang diantara mereka. Sumirah tidak mau bangkit, hanya menggeleng kepalanya.
"Hemm, kau calon isteri pemimpin kami. Kami tidak ingin berbuat kasar, akan tetapi kalau kau menolak, terpaksa akan kami seret atau pondong keluar" kata orang kedua. ancaman ini berhasil. Bagaimanapun juga, jauh lebih baik berjalah sendiri daripada diseret apa lagi dipondong.
Dengan tubuh lemas Sumirah bangkit dan melangkah keluar, diapit oleh dua orang pen jaga itu.
Matahari pagi telah muncul. Pagi itu cerah sekali. Akan tetapi, ketika Sumirah tiba di tempat yang dimaksudkan, ia terbelalak. Tempat itu merupakan lapangan terbuka. Ada sedikitnya tigapuluh orang anggauta perampok berkumpul disitu. Mereka itu nampak bergembira dan apa yang membuat Sumirah terbelalak ngeri, adalah ketika ia melihat sesosok tubuh digantung di pohon tak jauh dari situ, Kabiso. Orang ini digantung dengan kaki di atas kepala di bawah, dalam keadaan telanjang bulat. Dan tubuh itu penuh dengan darah, berlepotan di seluruh tubuh. Kulit tubuh itu disayat-sayat benda tajam. Agaknya Kabiso menderita siksaan yang amat hebat.
Tubuh itu belum tewas, masih bergerak-gerak menggeliat-geliat dan terdengar rintihan panjang lemah dari mulutnya. Sumirah membuang muka dengan hati penuh rasa ngeri.
"Hehhehheh, manis, kenapa kau membuang muka" Lihat, itu orang yang hampir memperkosamu semalam. Hahaha, puas hatimu, bukan" Jangan khawatir, mulai saat ini kau berada dalam perlindunganku, engkau akan menjadi isteriku. Aku, Bandupati, ditakuti semua orang dan kau akan hidup aman dan senang. Akan tetapi, isteriku yang manis aku belum mengenal siapa namamu, hahaha"
Melihat laki-laki tinggi besar yang wajahnya buruk menakutkan itu demikian dekat dengannya, Sumirah merasa ngeri dan takut sekali. Ia memberanikan dirinya.
"Paman, namaku Sumirah dari dusun Klintren. Kasihanilah aku, paman dan biarkan aku pulang ke Klintren....... ayah dan ibuku luka ketika pasakuan Daha menyerbu........ ah, biarkan aku pulang untuk menengok keadaan ayah ibuku......."
"Paman" Hahaha, jangan sebut paman padaku, manis. Aku ini akan menjadi suamimu, kau harus menyebut kakangmas" Bandupati tertawa bergelak dan sekali tangannya bergerak, pergelangan lengan gadis itu telah ditangkapnya. "Kau ingin menengok ayah ibu di Klintren " Boleh, nanti kalau sudah menjadi isteriku, akan kuantarkan kau ke Klintren, aku menghadap ayah dan ibu mertua, hahaha"
"Jangan........aku tidak mau, aku sudah mempunyai tunangan......"
Tiba tiba sikap kepala gerombolan itu berubah. "Apa?"
Dia memandang dengan mata mendelik sehingga Sumirah menjadi semakin ketakutan. "Kau lihat itu?" Dia menuding ke tubuh telanjang bulat yang mandi darah dan tergantung di pohon itu. "Kau ingin seperti itu" Kalau kau menolak, nasibmu akan lebib buruk dari pada itu. Kau akan kupaksa, dan kalau aku sudah bosan, kau akan kuberikan kepada anak buahku, kau akan dipaksa melayani mereka semua sampai mati. Nah, kau pilih menjadi isteriku atau kami paksa sampai mati ?"
Sumirah bergidik dan ia hanya dapat menangis.
"Sumirah manis, sudahlah jangan menangis. Mari kita makan minum dulu untuk merayakan pernikahan kita, hahaha"
Dengan paksa Gandupati menarik Sumirah untuk duduk di atas rumput di mana telah disediakan hidangan untuknya. Kepala gerombolan itu makan dengan rakus dan gembulnya, sambil melihat tubuh Kabiso yang menggeliat-geliat dan merintih-rintih.
Sumirah tentu saja tidak mau makan atau minum. Bagaimana mungkin ia dapat makan minum kalau hatinya dipenuhi perasaan takut, ngeri dan penuh duka. Baru saja ia terlepas dari tangan Kabiso, ia terjatuh ke tangan kepala perampok yang lebih kejam dan lebih menakutkan lagi. Dan kalau ia teringat akan nasib ayah ibunya, hatinya seperti disayat-sayat rasanya. Teringatlah ia kepada Hok Yan. Kalau saja ada Hok Yan di situ, tentu tunangannya itu akan dapat menyelamatkannya
"Hok Yan....... ah, Hok Yan........I" la merintih dan ia hanya menangis, bahkan tidak berani memandang ke arah tubuh Kabiso yang masih tergantung dan menggeliat-geliat mengerikan.
Pikiran yang penuh duka dan takut, juga pengalaman-pengalaman yang amat hebat yang baru saja menimpanya, membuat Sumirah menjadi lemas dan seperti orang yang kehilangan semangat. la hanya menangis dan menangis lagi. Ketika pesta itu berakhir dan kepala perampok memegang lengannya dan menariknya bangkit, ia hanya menurut saja. Ia seperti orang dalam mimpi dan sama sekali sudah tidak merasakan apa-apa lagi.
Akan tetapi, ketika kepala perampok tinggi besar yang wajahnya mengerikan itu menariknya masuk ke dalam sebuah pondok, iapun teringat dan dapat menduga apa yang akan terjadi dengan dirinya. Mendadak teringatlah kesemuanya oleh Sumirah. Teringat bahwa ia akan dijadikan isteri kepala perampok ini dan tentu akan mengalami perkosaan yang lebih mengerikan dibandingkan apa yang akan dilakukan Kabiso kepada dirinya. Seketika itulah lahir batinnya memberontak.
"Tidaaaaak. Aku tidak sudi........J" teriaknya dan sekali renggut ia dapat melepaskan diri dari pegangan kepala perampok yang tidak menyangka bahwa calon korban yang tadi kelihatan penurut itu tiba-tiba memberontak, Akan tetapi, melihat gadis itu melarikan diri, kepala perampok itu tertawa bergelak dan dengan beberapa langkah saja dia sudah dapat menubruk dan menangkap Sumirah.
"Ha ha ha ha, manisku, kau akan pergi ke mana" Ha ha, kau akan menjadi isteriku tercinta, jangan lari, sayang" Dan diapun meringkus kedua lengan Sumirah, lalu mengangkat tubuh gadis itu yang ringan sekali baglnya, kemudian memondong Sumirah yang tidak mampu berkutik lagi, membawanya masuk ke dalam pondok.
Sumirah meronta-ronta ketika ia dilempar keatas pembaringan, meronta dan melawan, mencakar, menampar dan menggigit. sambil menjerit jerit dan menangis. Akan tetapi kepala perampok itu hanya tertawa saja karena jerit tangis itu tentu hanya akan disambut gembira saja oleh para anak buahnya. Dan kepala perampok ini jauh lebih kuat daripada Kabiso, maka semua perlawanan Sumirah tidak ada artinya sama sekali.
Pada saat kepala perampok itu sudah tertawa bergelak dan hampir memperoleh kemenangan, pada saat Sumirah sudah hampir putus asa dan keadaannya gawat sekali, tiba-tiba pintu pondok itu terbuka dari luar dan seorang wanita melangkah masuk dan terdengar suaranya membentak nyaring.
"Bagus. Begitu ya tingkahmu kalau aku pergi, kakang Bandupati " Sebulan saja aku pergi, dan kau sudah melakukan penyelewengan. Huh, agaknya kau sudah bosan hidup" Ucapan ini disusul menyambarnya sebatang pecut dan terdengar suara ledakan-ledakan pecut yang menyambar ke arah tubuh Bandupati si kepala perampok.
"Tar tar tarrr....... "
Kepala perampok itu terkejut bukan main, apa lagi ketika ujung pecut mencambuki mata, leher dan punggungnya. Dia melepaskan 5uimirah dan meloncat turun dari atas pembaringan, berdiri seperti seorang anak kecil ketakutan berhadapan dengan gurunya.
"hahhh, Minten, maafkan aku. Aku hanya iseng-iseng ....... habis aku kesepian karena
engkau terlalu lama pergi ....." katanya dan sungguh aneh sekali, semua sikap garangnya lenyap, dan dia menjadi begitu jinak dan takut seperti seekor anjing galak yang menghadapi majikannya, Sumirah cepat membereskan pakaiannya dan ia masih terisak-isak, akan tetapi ia memandang kepada wanita itu dengan penuh harapan akan mendapatkan pertolongan. Wanita itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, Hitam manis dan galak, tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan memegang sebatang pecut yang panjang.
"Tarr " Pecut itu bergerak menyambar dan ujungnya menimpa muka Bandupati. Nampa muka itu dihiasi garis merah berdarah dam Bandupati menutupi mukanya.
"Ampunkan aku, Minten ....." Dia mengeluh.
"Huh, berapa kali aku harus mengampunimu ". kau mengotori perjuangan kita"
"Tidak, Minten. Lihat yang digantung itu. Dia adalah perajurit Daha, berarti kita telah mampu menghukum seorang musuh"
"Akan tetapi gadis ini adalah orang Singosari. Hei, kau. katakan kau ini orang Singosari atau orang Daha?"
Tentu saja Samirah walaupun masih menggigil karena baru saja terlepas dari cengkeraman Bandupati segera menjawab, "Aku........aku orang Singosari....... aku anak lurah Kalasan yang mengungsi ke dukuh Klintren....."
"Nah, kau dengar itu" Kau malah akan memperkosa anak seorang lurah ponggawa Singosari" wanita itu merobentak Bandupati.
"Tidak, Minten, sama sekali tidak. Aku tidak memaksa, tidak memperkosa, ia memang
suka menjadi selirku........ eh, bukankah begitu. Sumirah ?"
"Bohong. Siapa sudi menjadi selirmu, kau memaksaku, dan aku lebih baik mati dari pada menjadi isterimu" Sumirah membentak.
"Jahanam. Hayo bicara lagi. Apa kau ingin sekarang juga kubunuh?" Wanita bernama Suminten itu membentak. Ia adalah isteri Bandupati, akan tetapi ia jauh lebih berkuasa dari pada suaminya karena memang Suminten ini seorang wanita yang memiliki kedigdayasn melebihi suaminya.
"Ampun, Minten, ampunkan aku........ aku memang bersalah dan aku bersumpah takkan berani lagi......" Bandupati meratap karena dia maklum hahwa isterinya itu bukan hanya mengeluarkan gertak kosong belaka. Codet da mukanya juga akibat pedang isterinya.
Suminten mengeluarkan suara mendengus dari bidungnya. "Huh, tidak perlu minta ampun. Sekali lagi aku melihat kau melakukan perbuatan seperti ini, aku tidak akan banyak omong lagi dan kau akan aku bunuh"
Suaminya mengangguk-angguk seperti ayam makan beras dan Suminten kini menghadapi Sumirah.
"Kau boleh pulang ke dusunmu. Pergilah"
Sumirah mengangguk dan merasa seolah-olah terlepas dari cengkeraman harimau ganas. Ia lalu pergi meninggalkan tempat itu tanpa menoleh lagi, keluar dari perkampungan perampok di puncak bukit.
Suminten bertepuk tangan dau dua orang anggauta gerombolan dataog menghadap. "Huh, kalian berdua amat-amati perjalanan gadis itu sampai ia selamat tiba di dusun Klintren. Kalau ada yang berani mengganggunya, awas, aku sendiri yang akan menghukumnya"
Dua orang anggauta gerombolan itu memberi hormat lalu pergi dan membayangi perjalanan Sumirah. Lewat tengah hari, menjelang sore, barulah Sumirah yang melakukan perjalanan dengan susah payah itu tiba di luar dusun Klintren, dan dua orang anggauta perampok itupun segera kembali ke puncak bukit untuk memberi laporan.
Dengan tubuh lunglai dan hati masih terguncang oleh pengalaman pengalaman yang menengerikan itu, rambutnya awut-awutan dan mukanya pucat, Sumirah memasuki dusun Klintren.
Beberapa orang penduduk yang mengenal Sumirah. segera berlari menghampirinya.
"Sumirah......., ah kau Sumirah......."
Dengan muka pucat, mata terbelalak penuh kekhawatiran, Sumirah lalu bertanya kepada saereka, "Bagaimana ayah........ " Bagaimana buku.......?"
Beberapa orang itu hanya menggeleng kepala, tidak mampu menjawab. Melihat ini, Sumirah menjadi semakin cemas dan iapun mengerahkan sisa tenaganya untuk berlari menuju ke rumah orang tuanya.
Dengan terhuyung-huyung ia mendorong daun pintu rumahnya yang tertutup dan memasuki rumah itu. "Ayaaaahhhh..... Ibuuu....." Berulang-ulang ia memanggil ayah ibunya sambil mencari-cari di dalam rumah itu. Akan tetapi rumah itu kosong sama sekali. Ketika dengan nanar ia melangkah keluar, ia melihat banyak tetangga sudah berkumpul di pekarangan depan rumahnya, memandang dengan wajah penuh prihatin. Bahkan ada beberapa orang tetangga wanita menangis.
"Mana ayahku. Mana ibuku " Di mana mereka...." berulang-ulang ia bertanya dengan suara lirih dan penuh kekhawatiran.
Seorang tetangga wanita yang sudah tua melangkah maju dan merangkul Sumirah sambil menangis.
"Sumirah...... ahh, sungguh kasihan kau ....... ayah ibumu........ mereka"." wanita itu tidak dapat melanjutkan dan sudah terisak-isak menangis.
Sumirah terbelalak, mengguncang kedua pundak wanita itu. "Kenapa " Ayah ibu kenapa." Katakanlah........"
"Mereka........ mereka...... tewas dibunuh gerombolan......"
Sumirah menjerit dengan lengkingan panjang, lalu mengeluh dan terkulai pingsan. Beberapa orang tetangga merangkulnya dan mengangkutnya ke dalam rumah. Ketika ia sadar, ia menangis tersedu-sedu, dihibur oleh para tetangga wanita.
"Di mana ayah ...... di mana ibu ........ dimana mereka dikubur ....."
Karena ia berkeras ingin berkunjung kekuburan orang tuanya, akhirnya iapun diantar oleh beberapa orang tetangganya ke tanah perkuburan. Melihat dua gundukan tanah kuburan yang masih baru itu, yang oleh para tetangga dikatakan bahwa itu kuburan kedua orang tuanya, Sumirah menjatuhkan diri berlutut di atas kedua makam itu dan terkulai pingsan lagi.
Ketika Sumirah siuman dari pingsannya, ia sudah dikelilingi para tetangganya di tanah kuburan itu. Mereka mencoba untuk menghibur gadis itu, akan tetapi Sumirah hanya menangis terisak-isak.
"Ayah........ibu........ah, kalian telah mati meninggalkan aku....... seorang diri......... ayah dan ibu ......kenapa tidak membawa saja aku bersama kalian........" Ayah......ibu........
kalian terbunuh oleh si keparat Kabiso ...... si jahanam Kabiso....."
Tiba-tiba tangisnya terhenti. Semua orang memandang. Wajah itu pucat, mata itu terbelalak dan tiba-tiba Sumirah tertawa "Heh hi hi hik, kau telah digantung Kabiso. Hi hik, rasakan sekarang ....... haha, kau digantung dengan kepala di bawah, tubuhmu disayat sayat ....... terkutuk kau, Kabiso ....... " Sumirah tertawa-tawa.
"Sumirah, ingatlah, nak, ingatlah........"
Seorang tetangga tua berkata dengan hati penuh perasaan iba. "Ya, ingatlah, Sumirah. Jangan terlalu berduka......"
"Hahaha, Kabiso, kau telah menerima hukuman. Hihik, puas hatiku, Kematian ayah
ibu sudah terbalas. Kematian......." Ayah ibu sudah mati, aohhh ....... " Dan iapun menangis lagi.
Semua orang saling pandang dan maklum Pengalaman-pengalaman yang amat hebat, yang diderita Sumirah selama sehari semalam itu. terlampau berat baginya. Perasaan penah kongerian dan ketakutan, disusul pula kedukaan karena kematian orang tuanya, merupakan hantaman terlalu berat baginya sehingga batinnya terguncang hebat. Sumirah menjadi gila karena semua perasaan yang amat menekan dan mengguncang itu. Ia menangis dan tertawa. Menangis memanggil ayah dan ibunya, kadang-kadang memanggil nama Hok Yan, dan tertawa-tawa kalau menyebut nama Kabiso.
*** Kita tinggalkan dulu Sumirah yang tergoncang batinnya dan menjadi seperti orang gila di dukuh Klintren itu, dan mari kita ikuti perjalanan Wulansari yang mencari Nurseta ke kota raja Kediri.
Dengan menyamar sebagai seorang pria Wulansari dengan mudah menyusup masuk ke kota raja Kediri walaupun pintu gerbang dijaga ketat karena pada waktu itu, Kerajaan Daha sedang menghadapi perang dan telah mempersiapkan diri melawan pemberontakan Raden Wijaya dan Adipati Wiraraja yang bergerak bersama dengan datangnya pasukan Tartar dari utara.
Akan tetapi, begitu masuk kota raja, di mana-mana ia mendengar berita bahwa Nurseta telah ditawan oleh Sang Prabu Jayakawang Wulansari melakukan penyelidikan dan agaknya memang berita itu sengaja disebar karena di mana-mana dengan mudah ia dapat mendengar tentang ditawannya Nurseta.
Bagaimana Nurseta sampai dapat tertawan dan benarkah berita yang didengar Wulansari itu" Seperti kita ketahui, Nurseta memang pergi ke kota raja Kediri, pertama untuk menguburkan abu jenazah Ni Dedeh Sawitri, ibu kandungnya ke dekat makam ayah kandungnya, yaitu Pangeran Panji Hardoko, dan kedua kalinya untuk mencari Wulansari dan berusaha mendapatkan kembali tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala.
Dengan aji kesaktiannya, mudah pula bagi Nurseta untuk memasuki kota roja Kediri. Akan tetapi, sekali ini Nurseta tidak tahu bahwa dua orang manusia sakti, yaitu Ki Bjyut Pranamaya dan Ki Cucut Kalasekti, telah bersekutu dan kedua orang kakek sakti ini telah menyebar kaki tangannya untuk diam-diam membuat pengamatan yang teliti. Tidak aneh kalau kedua orang kakek ini dapat mengetahui bahwa Nurseta memasuki kota raja Kediri. Mereka berdua cepat membuat persiapan karena menurut dugaan mereka, hanya ada dua orang saja di dua ini yang mungkin menyimpan Ki Ageng Tejanirmala di saat itu. Mereka adalah Wulansari atau Nurseta.
Nurseta melakukan penyelidikan di mana adanya makam Pangeran Panji Hardoko. Ternyata tidak sukar mencarinya karena pangeran itu dimakamkan di tanah kuburan agung yang diperuntukkan pemakaman keluarga Kerajaan Kediri. Pada sore hari, setelah tanah kuburan itu sunyi, Nurseta menyelinap masuk dengan melompati pagar tembok, tidak berani memalui pintu gerbang yang selalu terjaga. Dia Sama sekali tidak mengira bahwa setiap gerak geriknya sudah diikuti oleh dua orang kakek
"Anakku, bagaimana aku tidak akan memperdulikan anakmas Nurseta" Dia adalah calon mantuku. Dan jangan bicara lagi tentang keturunan. Ayahmu inipun bukan orang baik-baik. Lupakan saja semua penolakanku dahulu Anakmas Nurseta dan mendiang Ki Baka telah datang kepadaku dan meminangmu. Ibumu dan aku telah menerima pinangan itu, Wulan, kau telah menjadi calon isteri anakmas Nurseta.
Wulansari telah mendengar akan hal ini dari Ki Jambros maka iapun tenang saja mendengar keterangan ayahnya itu. "Kalau saja kanjeng rama dahulu berpendirian seperti ini, tentu aku tidak sampai mengabdikan diri ke istana Daha" kata Wulansari dan Ki Medang Dangdi menarik napas panjang, merasa menyesal sekali.
Melihat ini, Raden Wijaya yang bijaksana segera menengahi. "Wulansari, mengapa kau berkata demikian" Sungguh beruntung sekali bahwa kau menjadi abdi di istana Daha. Kalau tidak demikian, bagaimana mungkin diajeng Gayatri dapat lolos dari sana" Sungguh besar rasa sukur dan terima kasih kami kepadamu, Wulansari. Apa lagi kalau kau mau membantu agar Ki Ageng Tejanirmala dapat diserahkan kepada kami, sungguh jasamu teramat besar"
Wulansari menyembah sambil tetap berdiri. "Akan saya coba, Raden. Akan saya cari kakangmas Nurseta di Daha, dan saya berani memastikan bahwa setelah saya bertemu dengan kakangmas Nurseta, Ki Ageng Tejanirmala pasti akan dapat paduka terima"
Bukan main gembiranya hati Raden Wijaya mendengar kesanggupan ini dan mereka lalu bubaran. Wulansari minta bicara empat mata dengan ayahnya sebelum ia meninggalkan hutan itu
Dalam kesempatan ini, dengan hati lega Wulansari mendengar dari ayahnya bahwa ayah dan ibunya selamat dan kini mereka berdua berada di daerah baru Majapahit, menjadi pengikut Raden Wijaya yang setia. Dia mendengar pula akan rencana Raden Wijaya untuk menyusun kekuatan dan menyerang Daha.
"Aku sudah mendengar akan hal itu dari Ki Jembros, kanjeng rama. Dan tahulah Raden Wijaya bahwa kini di pantai utara telah mendarat pasukan Tartar yang amat kuat" Pasukan itu tadinya hendak menyerang Kerajaan Singosari dan kini mereka masih ragu-ragu karena mereka mendengar bahwa Singosari telah jatuh ke tangan Kerajaan Daha" Wulansari lalu bercerita tentang perjumpaannya dengan Lie Hok Yan.
Ki Medang Dangdi mengangguk. "Kami sudah mendengar akan hal itu, dan kini Raden Wijaya sedang menanti berita dari Bupati Sumenep yang dimintai nasihat. Wulansari, kau anakku dan kau memiliki ilmu kepandaian tinggi, sakti dan digdaya. Kalau kau mau, kau dapat menjadi seorang senopati wanita yang dapat diandalkan, membantu perjuangan Raden Wijaya"
"Tidak, kanjeng ramal Aku tidak mau terlibat dalam perang. Bagaimanapun juga, aku pernah mengabdi Kerajaan Daha dan pernah menerima budi kebaikan Prabu Jayakatwang. Ketika aku mengabdi di sanapun dan terjadi perang, aku sama sekali tidak mau mencampuri dan Sang Prabu Jayakatwang tidak dapat memaksaku. Aku ingin bebas dalam pertikaian antara keluarga Kerajaan Singosari dan Daha"
"Akan tetapi, kau mau menyerahkan Ki Ageng Tejanirmala kepada Raden Wijaya, bukan?"
"Hal itu baru akan ditentukan setelah aku bertemu dengan kakangmas Nurseta"
Dara perkasa itu menolak ketika oleh ayahnya diajak ke Majapahit untuk bertemu dengan ibunya. "Tidak ada waktu lagi, kanjeng rama. Aku akan segera kembali ke Daha mencari kakangmas Nurseta. Sampaikan saja sembah sujudku kepada ibu"
Pergilah Wulansari setelah berpamit kepada Dyah Gayatri dan Radtn Wijaya yang saling menumpahkan rasa rindu mereka. Raden Wijaya lalu kembali ke Majapahit dengan gembira sekali dan di sana, terjadilah pertemuan yang mengharukan dan juga membahagiakan antara Dyah Gayatri dan kakaknya, yaitu Dyah Tribuwana.
Lembu Peteng yang diutus Raden Wijaya menyerahkan suratnya kepada Bupati Sumenep, telah datang kembali membawa balasan Arya Wiraraja. Dalam balasannya itu, Arya Wiraraja yang terkenal ahli siasat itu, menasihatkan Raden Wijaya agar pangeran ini bersabar dan tidak tergesa-gesa melakukan penyerbuan ke Kediri. Dalam surat balasannya, Arya Wiraraja mengatakan bahwa dia sedang mengadakan hubungan dengan pasukan Tartar yang telah mendarat. Dia mengajak pasukan Tartar yang sedianya hendak menghukum Sang Prabu Kertanegara dari Kerajaan Singosari itu untuk bersama-sama menyerbu Kerajaan Daha dengan janji bahwa kalau Daha dapat ditalukkan maka para penguasa baru akan mengakui kekuasjan Kaisar Kubilai Khan dan akan mengirim upeti yang besar, bahkan menjanjikan akan mengirimkan beberapa orang puteri istana, juga Puteri Kedaton Kediri, yaitu Sang Dyah Ayu Retna Kesari.
Raden Wijaya adalah seorang pangeran keturunan Singosari yang terkenal memiliki harga diri tinggi. Nasihat dalam surat dari Arya Wiraraja itu membuat alisnya berkerut. Haruskah dia merendahkan diri demikian rupa kepada Kaisar Kubilai Khan " Akan tetapi diapun segera mengadakan perundingan dengan para pembantunya.
"Harus kita sadari bahwa bagaimanapun juga, kekuatan yang telah kita susun tidaklah berapa besar, Raden. Biarpun ada bantuan dari Madura, namun tidak akan mudah mengalahkan pasukan Daha yang kuat. Tentu akan membutuhkan waktu lama sekali untuk dapat mencapai kemenangan, dan perang yang berkepanjangan akan menyengsarakan rakyat. Kalau pasukan Tartar itu datang membantu, kiranya kita akan dapat mengalahkan Kediri lebih cepat dan lebih mudah sehingga rakyat tidak akan menderita banyak" demikian pendapat Lembu Sora.
"Pendapat Paman Lembu Sora itu benar, Raden" kata Ronggo Lawe. "Bagaimanapun juga, janji yang dikemukakan oleh kanjeng rama itu hanyalah merupakan siasat saja. Pasukan Tartar datang sebagai musuh Singosari, dan menyalahi janji kepada musuh merupakan siasat perang, tidak akan merendahkan martabat"
Raden Wijaya menghela napas. Biarpun di lubuk hatinya, dia kurang setuju, namun tidak ada pilihan lain. Kalau dia menghendaki agar Kediri segera dapat ditundukkan, dia harus menerima bantuan pasukan Tartar. Demikianiah, Raden Wijaya setuju dengan nasihat Arya Wiraraja dan sementara itu, para pembantunya mempersiapkan diri menghadapi perang yang sudah akan meletus itu.
Setelah mengadakan hubungan dengan para pimpinan pasukan Tartar, Arya Wiraraja lalu mempertemukan Raden Wijaya dengan Panglima She Pei, Kau Seng, dan Ji Kauw Mosu. Dan mulailah pasukan Tartar bergerak ke selatan dengan satu tujuan, ialah menyerbu Kerajaan Daha. Sedangkan pasukan yang terdiri dari orang-orang Madura dan dari Jawa Timur bagian ujung, dipimpin oleh Arya Wiraraja sendiri. Raden Wijaya juga menggerakkan pasukannya dan yang dijadikan titik pusat dari mana mereka semua bergerak adalah di Tegal Bobot Sari. Pasukan Tartar sudah membuat pertahanan di Ujung Galuh, sebagian menduduki Canggu dan sebagian pula bergabung dengan pasukan Majapahit dan Madura di Tegal Bobot Sari.
Kesibukan yang terjadi oleh gerakan pasukan-pasukan yang hendak menyerbu Kerajaan Daha itu tentu saja segera terdengar oleh para penjaga dan mereka itu bergegas memberi laporan ke Kediri. Terkejutlah Sang Prabu Jayakatwang dan wajahnya berubah merah padam, matanya melotot dan dia menggebrak meja mendengar berita itu.
"Si keparat Wijaya. Bocah itu sungguh tidak tahu diri. Dia kami terima baik-baik disini, kiranya diam-diam dia mempersiapkan pemberontakan. Dan Bupati Sumenep, Arya Wiraraja yang menjadi botohnya. Babo babo keparat. Kita harus hancurkan mereka"
Para senopati Daha juga marah sekali mendengar berita itu. Apa lagi mendengar bahwa pasukan Tartar juga bergabung dengan para pemberontak itu.
"Semua ini kesalahan Segoro Winotan" Tiba-tiba senopati Kebo Rubuh menudingkan telunjuknya ke arah senopati Segoro Winotan. Memang sudah lama terdapat persaingan antara kedua orang senopati itu, dimulai dengan perebutan seorang wanita yang mereka jadikan selir, kemudian ketika Segoro Winotan diutus oleh Sang Prabu Jayakatwang untuk melakukan penyelidikan ke Majapahit, Kebo Rubuh merasa iri hati. Kini, terbukalah kesempatan bagi Kebo Rubuh untuk menumpahkan kebenciannya.
"Bukankah dia sudah paduka utus untuk melakukan penyelidikan ke Majapahit baru-baru ini " Dan dia melaporkan bahwa segalanya baik-baik saja di Majapahit, bahwa Raden Wijaya membuat persiapan untuk perburuan. Jelaslah bahwa Segoro Winotan seorang pengkhianat. Diam-diam dia melindungi Raden Wijaya"
"Kebo Rubuh, tutup mulutmu yang busuk" Segoro Winotan memaki dengan mata melotot. "Bukan hanya mataku yang meligat persiapan perburuan itu, juga pasukan yang kubawa. Lancang mulutmu menuduhku dan melontarkan fitnah"
"Siapa menuduh" Jelas bahwa kau adalah seorang pengkhianat. Gusti Prabu, ijinkan hamba menghukum pengkhianat ini" kata Kebo Rubuh dan dia sudah menghunus kerisnya.
"Cukup, kalian jangan ribut" Sang Prabu Jayakatwang membentak. "Kebo Rubuh, sarungkan kerismu" Mendengar perintah ini, Kebo Rubuh menyarungkan kembali kerisnya dan menyembah, mohon maaf.
"Kita diancam musuh dan kalian ribut sendiri. Kita harus cepat mempersiapkan pasukan untuk menghancurkan para pemberontak jahanam itu" Pasukan Daha lalu dibagi menjadi tiga bagian dan mereka bergerak ke utara untuk menyambut musuh yang kabarnya mulai bergerak
*** Pagi hari itu, serombongan pasukan Daha yang terdiri dari lima belas orang berkeliaran memasuki dusun Klintren. Seperti pasukan-pasukan Daha yang lain, mereka itu bersiap siaga dan mengadakan perondaan ke dusun-dusun, dengan dalih mengamati keadaan dan melakukan pembersihan lerhadap mata-mata musuh.
Memang, perang masih jauh dari situ, namun pasukan lima belas orang perajurit Daha yang memasuki dusun Klintren pada pagi hari itu bersikap seolah-olah musuh sudah berada di depan hidung mereka. Cara mereka memegang pedang, golok atau tombak dalam tangan seperti sudah siap untuk menusuk atau membacok musuh. Langkah merekapun tidak wajar lagi, langkah yang penuh dengan gejolak nafsu sehingga nampak seperti dibuat-buat agar kelihatan gagah, penuh kuasa.
Pada umumnya, para perajurit Daha itu menganggap balwa semua orang di daerah Singosari adalah musuh mereka, Singosari telah dtundukkan Daha, dan kini Raden Wijaya memberontak, maka mereka menduga dengan mudahnya saja bahwa semua orang Singosari tidak dapat dipercaya karena mereka tentu akan membantu Raden Wijaya. Dugaan inilah yang menimbulkan perbuatan yang kejam dan jahat, dilakukan oleh sebagian perajurit Daha yang tidak berjiwa satria terhadap rakyat Singosari.
Dusun Klintren berada di sebelah selatan Singosari, termasuk daerah Singosari. Kekejaman para perajurit Daha semenjak timbulnya kabar bahwa Raden Wijaya mulai bergerak untuk menentang Daha, sudah terdengar oleh penduduk dusun Klintren. Maka tidaklah mengherankan apa bila pagi hari itu, penduduk menggigil ketakutan melihat limabelas orang perajurit Daha berkeliaran di dusun mereka itu.
Penduduk yang terdiri dari kaum petani itu, yang tadinya telah siap berangkat ke sawah ladang, segera kembali ke rumah masing-masing. Anak-anak berlarian pulang dipanggil ibu masing-masing, dan terutama para gadis bersembunyi dalam kamar dengan tubuh gemetar, seperti kelinci-kelinci yang mencium bau segerombolan srigala yang datang mendekat.
Setelah tiba di dusun Klintren dan melihat betapa orang-orang dusun itu yang tadinya sudah memenuhi dusun kini berlarian dan bersembunyi sehingga sebentar saja dusun itu nampak sunyi karena semua orang masuk ke dalam rumah, limabelas orang itu saling pandang dan tertawa-tawa. Mereka merasa gembira dan lucu melihat tingkah para penduduk yang ketakutan itu dan mereka merasa seperti segerombolan kucing yang mempermainkan tikus-tikus yang ketakutan. Rombongan itu lalu dipecah menjadi tiga rombongan kecil terdiri dari lima orang, masing-masing dipimpin seorang kepala.
"Kami akan menangkap ayam-ayam gemuk dan kambing untuk pesta malam nanti" kata kepala rombongan pertama yang mukanya penuh bopeng bekas penyakit cacar.
"Kami akan mencari beberapa orang perawan dusun yang manis untuk teman berpesta malam nanti" kata kepala rombongan kedua yang tubuhnya gemuk dengan perut gendut.
Kepala rombongan ke tiga, yang masih muda dan bertubuh tinggi kurus, memimpin rombongannya dan dia berkata kepada mereka, "Mari ikut dengan aku. Kalau kita berhasil membunuh ayah dan ibu gadis itu dan menangkap gadis itu, aku takkan melanggar janji dan akan membagi hadiah kepada kalian seperti yang telah kujanjikan" Kepala rombongan itu lalu mengajak rombongannya menuju ke rumah yang berada di sudut dusun itu.
Tak lama kemudian, suasana yang sunyi di dusun itu segera terisi dengan keributan, suara wanita menjerit-jerit dan suara orang-orang mengaduh kesakitan. Gerombolan Daha yang sebetulnya lebih tepat dinamakan gerombolan penjahat dari pada pasukan perajurit itu mulai beraksi. Ada yang merampas barang berharga, menangkapi kambing dan ayam, dan ada pula yang menyeret gadis-gadis manis keluar dari kamar persembunyian mereka. Orang orang yang berani menghalangi perbuatan mereka, dirobohkan dengan kejam, dibacok atau ditusuk dan darahpun mulai mengalir.
Rombongan yang dipimpin pemuda tinggi kurus itu mendatangi rumah yang didiami oleh keluarga Ki Sardu, yaitu Ki Sardu, isterinya dan puterinya. Seperti kita telah ketahui, Ki Sardu adalah bekas lurah di dusun Kalasan yang pergi mengungsi ke dusun Klintren dan di tempat ini dia tinggal di sebuah rumah kecil bersama isterinya dan puterinya, Sumirah.
Pada pagi hari itu, Sumirah sedang menyapu pekarangan. Ibunya sedang sibuk mempersiapkan sarapan untuk Ki Sardu dan Ki Sardu sendiri sudah siap untuk pergi ke ladang setelah sarapan. Mereka sama sekali tidak tahu akan bahaya yang mengancam, tidak tahu betapa orang-orang dusun yang melihat masuknya pasukan kecil orang Daha ke dusun itu segera melarikan diri dan bersembunyi.
Selagi Sumirah menyapu, ia mendengar teriakan wanita dan ia terkejut lalu mengangkat muka. Pada saat itu, lima orang berlari masuk ke pekarangan rumahnya dan iapun terbelalak dan memandang dengan sinar mata gelisah. Akan tetapi, orang muda tinggi kurus itu telah melompat dan menangkap lengannya. Sumirah memandang dan iapun menjadi marah bukan main.
"Kabiso" teriaknya marah. "Apa yang kaulakukan ini" Lepaskan aku. Lepaskan" Ia meronta-ronta.
Perajurit tinggi kurus itu memang Kabiso, pemuda dari Kalasan yang cintanya ditolak oleh Sumirah itu. Setelah lari meninggalkan desanya, Kabiso dapat mengabdikan diri kepada pasukan Kerajaan Daha dan karena dia pandai mengambil hati atasan, maka diapun memperoleh kepercayaan menjadi anggauta pasukan peronda. Ketika pasukannya meronda ke dusun Klintren, di mana dia tahu Sumirah dan orang tuanya berada, diapun membujuk empat orang kawannya itu untuk membantunya menyerbu rumah Ki Sardu dan menjanjikan upah dan hadiah kepada mereka. Dia mengatakan bahwa Ki Sardu adalah seorang yang setia kepada Raden Wijaya dan merupakan mata-mata yang amat berbahaya. "Kita bunuh dia dan isterinya, akan tetapi puterinya untuk aku karena aku cinta kepadanya" demikian dia berkata kepada para temannya.
"Lepaskan aku. Lepaskan........ Kabiso, kau jahanam keparat" Sumirah meronta-ronta, akan tetapi sambil tertawa-tawa Kabiso malah memeluknya dan menelikung kedua lengan gadis itu ke belakang, lalu menyeretnya keluar pekarangan. Empat orang temannya hanya tertawa-tawa saja melihat ulah kawan itu.
Mendengar jerit puterinya, isteri Ki Sardu berlari keluar. Melihat Sumirah ditarik-tarik oleh Kabiso yang segera dikenalnya, Nyi Sardu lari mengejar dan menarik-narik tangan Kabiso.
"Lepaskan anakku. Lepaskan........"
Kabiso memberi isarat kepada kawan-kawannya dan seorang diantara " mereka mengayun golok yang menyambar ke arah leher Nyi Sardu. Wanita itu menjerit dan roboh terkulai.
"ibu........ Ibu........" Sumirah terbelalak dan menjerit-jerit meronta-ronta untuk melepaskan diri. Akan tetapi Kabiso sudah mengikat kedua pergelangan tangan gadis itu dengan tali di belakang tubuhnya.
Ki Sardu berlari keluar. Bukan main kagetnya melihat isterinya menggeletak berlumuran darah dan puterinya diseret Kabiso. "Keparat........." bentaknya. Dia sedang memegang cangkul karena memang sudah siap untuk bekerja di ladang. Ki Sardu menjadi mata gelap dan nekat ketika dia melihat isterinya menggeletak mandi darah dan puterinya diseret seorang perajurit Daha yang tinggi kurus. Apa lagi ketika dia mengenal orang itu sebagai Kabiso. Dia sudah mendengar dari puterinya tentang perbuatan Kabiso dan dia kini tahu bahwa Kabiso yang telah menjadi perajurit Daha itu datang untuk membalas dendam, membunuh isterinya dan menculik puterinya.
Dengan cangkul diayun di atas kepala, dia lari untuk menyerang Kabiso. Akan tetapi, dari kanan kiri menyambar tombak dan golok. Tombak itu menancap di perutnya dan golok menyambar ke lehernya. Ki Sardu mengeluh dan diapun roboh terguling, mandi darah.
"Ayah........ " Sumirah menjerit-jerit dan akhirnya ia roboh pingsan dalam rangkulan Kabiso.
"Kalian boleh ambil semua barang mereka, haha" kata Kabiso gembira sekali melihat betapa ayah ibu Sumirah telah tewas dan gadis manis itu telah berada dalam pondongannya. Kini tidak ada lagi orang yang akan menghalangi dia memiliki tubuh gadis yang montok dan kuning langsat mulus itu.
Akan tetapi, ketika empat orang kawannya hendak memasuki rumah yang sudah kosong itu, untuk merampas apa saja yang berharga, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
"Lepaskan Sumirah"
Kabiso cepat menoleh, juga empat orang kawannya berhenti berlari dan membalikkan tubuh memandang. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja di situ sudah berdiri seorang wanita yang membuat empat orang teman Kabiso itu terbelalak kagum, dan Kabiso sendiri juga memandang heran. Dia seperti sudah pernah mengenal wanita ini, akan tetapi lupa lagi di mana. Seorang wanita yang cantik jelita. Tentu saja Kabiso lupa lagi karena ketika untuk pertama kalinya Wulansari bertemu dengan dia, yaitu ketika Wulansari menolong penduduk Kalasan, gadis perkasa itu menyamar sebagai seorang pria.
"Hahaha, Kabiso, kini muncul lagi seorang wanita yang malah lebih cantik jelita. Kita harus menangkapnya" Empat orang itu seperti hendak berebut saja, ulahnya seperti empat ekor harimau kelaparan melihat seekor kelinci gemuk. Mereka menyergap dan menubruk dari empat penjuru, berlumba untuk lebih dulu merangkul wanita yang cantik jelita itu.
"Bresss......" Wulansari memutar tubuhnya seperti gasing dan sekaligus ia menyambut mereka dengan tamparan kedua tangannya. Empat orang itu terpelanting dan mereka terbelalak sambil memegangi mulut mereka yang berdarah. Tamparan itu membuat beberapa buah gigi mereka copot dan bibir mereka berdarah. Marahlah mereka. Dengan muka merah mereka bangkit dan menyambar tombak masing-masing, lalu menyerang Wulansari, Lenyaplah semua gairah berahi dari benak mereka, sebagai gantinya, kini nafsu amarah dan keinginan membunuh yang membakar hati dan mereka kini berlumba untuk menembus tubuh yang ramping itu dengan tombak mereka.
Melihat ini, Wulansari menjadi marah. Ia melompat ke kiri sambil mengelak ketika tombak dari arah kiri meluncur dan sekali tubuhnya bergerak, kakinya menendang tubuh penyerangnya dan tangannya merampas tombak. Orang itu terjengkang dan tewas seketika karena tulang tulang iganya remuk dan isi dadanya terguncang.
Wulansari memutar tombaknya dan terdengar suara beradunya tombaknya dengan tiga batang tombak penyerang lainnya. Tiga orang pengeroyok itu terpekik kaget karena tombak mereka patah-patah dan sebelum mereka sempat menghindar, tombak di tangan Wulansari menyambar-nyambar dan merekapun roboh terjengkang dengan darah bercucuran dari dada dan perut. Tewaslah mereka termakan tombak di tangan gadis perkasa itu.
Sepuluh orang anggauta pasukan yang sedang merampok itu, segera datang berlarian dan melihat empat orang kawan mereka tewas, merekapun segera maju mengeroyok, mempergunakan senjata tombak dan golok mereka" Dan Wulansari mengamuk. Gadis ini tidak memperhatikan lagi siapa mereka, tidak tahu bahwa mereka itu pasukan dari Daha. Dalam keadaan seperti itu, yang dimusuhinya bukanlah pasukan dari manapun, melainkan orang-orang jahat yang dengan kejam merampok dan mengganggu sebuah dusun. Bagaikan seekor singa betina terluka, Wulansari mengamuk. Tombak tadi sudah dibuangnya dan kini ia mengamuk dengan menggunakan kaki tangannya saja. Sepuluh anggauta pasukan Daha itu tentu saja memandang rendah dan merasa yakin bahwa mereka akan mampu merobohkan seorang wanita yang bertangan kosong itu. Mereka tidak mengenal Wulansari, karena biarpun mereka itu perajurit Daha dan Wulansari pernah menjadi pengawal pribadi Sang Prabu Jayakatwang, namun Wulansari tidak pernah keluar dari istana, bahkan di dalam perang menyerbu Singosari, iapun tidak ikut.
Senjata golok dan tombak di tangan sepuluh orang pengeroyok itu menyambar-nyambar bagaikan hujan lebat ke arah tubuh Wulansari. Dengan kepandaiannya yang tinggi, tentu saja Wulansari tidak gentar dan tubuhnya dapat dibuat kebal sehingga tidak akan terluka oleh sambaran semua senjata itu. Akan tetapi, ia khawatir kalau pakaiannya terobek dan rambutnya terputus, maka iapun mempergunakan kelincahan tubuhnya untuk berloncatan ke sana-sini mengelak, dan kadang ia menangkis dengan kedua lengan tangannya yang berkulit putih lembut dan yang kecil saja itu. Namun, kedua lengan itu telah terisi kekuatan dahsyat dan kebal sehingga tidak terluka oleh bacokan golok dan tusukan tombak. Dan sambil berloncatan mengelak, iapun mulai membagi-bagi pukulan. Setiap tamparan tangannya tentu mengenai sasaran dan mulailah terdengar pekik kesakitan disusul robohnya tubuh yang menggelepar karena kepalanya pecah, atau yang roboh karena tulang iganya patah-patah oleh tendangan kaki mungil itu.
Dalam waktu yang tidak begitu lama, sepuluh orang perajurit Daha itupun sudah roboh semua, tewas atau sekarat. Wulansari tidak memperdulikan lagi mereka. Ia mencar-icari, akan tetapi tidak melihat Sumirah yang tadi dipondong seorang perajurit muda. Laki laki itu telah lenyap bersama Sumirah. Dan pada saat itu, orang-orang dusun itu berdatangan dan mereka semua berterima kasih kepada Wulansari karena merasa sudah diselamatkan.
"Sudahlah, para paman dan bibi, lebih baik kalian cepat urus mayat mereka ini. kuburkan mereka baik-baik dan....... " Tiba-tiba ia melihat mayat Ki Sardu dan isterinya. Iapun berlari menghampiri dan setelah ia melihat bahwa memang benar itu mayat suami isteri lurah yang sudah dikenalnya, Wulansari mengepal tinju dan teringatlah ia lagi kepada Sumirah. Cepat ditanyakannya kepada para penduduk kalau kalau ada diantara mereka. yang melihat Sumirah.
"Sumirah ditangkap seorang diantara mereka dan dibawa lari ke sana" kata seorang penduduk yang tadi kebetulan melihat gadis itu dipondong dan dilarikan seorang pemuda tinggi kurus.
"Aku akan mencarinya" kata Wulansari dan iapun cepat melompat dan lari cepat sekali bagaikan terbang saja ke arah yang ditunjuk orang itu.
Akan tetapi, betapapun Wulansari berusaha menemukan Sumirah yang dilarikan orang, usahanya gagal, ia telah kehilangan jejak. Sampai sehari ia mencari-cari di daerah itu, namun sia-sia. Akhirnya ia hanya dapat menenarik napas panjang dan merasa kasihan sekali kepada gadis dusun itu yang kehilangan ayah bundanya dan sekaligus terancam bahaya di tangan penculiknya. Ia hanya dapat menyerahkan segalanya ke tangan Sang Hyang Widi saja.
Karena ada urusan yang lebih penting lagi baginya, yaitu mencari Nurseta yang kabarnya menyelundup ke dalam kota raja Kediri, Wulansari terpaksa meninggalkan tempat itu dan melanjutkan perjalanannya ke Kediri
*** Kemana perginya Kabiso yang melarikan Sumirah " Pemuda ini sudah mengenal daerah pegunungan itu dan ketika Wulansari mencari-cari tadi, dia bersembunyi di dalam sebuah goa kecil yang tertutup rumpun semak belukar.
Sumirah masih pingsan, akan tetapi Kabiso yang cerdik telah mempergunakan kain untuk mengikat mulut gadis itu sehingga ketika siumanpun Sumirah tidak marnpu mengeluarkan teriakan. Dan diapun terus memegangi kedua lengan gadis itu sehingga tidak mampu meronta pula.
Setelah hari menjadi gelap dan dia merasa yakin bahwa tidak ada lagi orang yang mencarinya, baru Kabiso memanggul tubuh Sumirah dan membawanya keluar dari goa itu. Dia terus membawa gadis itu pergi mendaki sebuah bukit yang penuh hutan.
Malam telah tiba ketika dia tiba di tengah sebuah hutan di lereng bukit, Dengan girang dia melihat sebuah gubuk yang agaknya didirikan oleh para pemburu binatang hutan untuk beristirahat. Direbahkannya tubuh itu ke atas lantai gubuk itu dan sambil masih memegangi kedua pergelangan tangan Sumirah, Kabiso berkata.
"Sumirah, kau tahu aku sayang padamu, aku tergila-gila kepadamu. Maka, kau harus menjadi milikku, menjadi isteriku, lebih baik kau menyerah dari pada harus kupergunakan kekerasan" Dia lalu melepaskan kain yang menutupi mulut gadis itu. Begitu ia mampu bicara, Sumirah lalu berteriak.
"Tidak sudi. Lebih baik aku mati. Lepaskan aku. Ah, lepaskan aku, keparat. Tolonggg........"
Kabiso tertawa. "Hahaha, di dalam hutan yang sunyi ini, percuma saja kau menjerit, Sumirah. Hanya monyet dan kijang yang akan dapat mendengarmu. Kau tidak mau menyerah" Kau ingin aku mempergunakan kekerasan" Mau tidak mau, sekarang ini kau harus menjadi milikku"
Bagaikan seekor harimau kelaparan menubruk domba, Kabiso menerkam Sumirah dan mereka bergumul di dalam gubuk itu, di dalam kegelapan yang pekat. Terdengar kain robek dan pakaian Sumirah sudah dicabik-cabik oleh pria yang sudah dibuat seperti gila oleh nafsu berahi itu. Sumirah mempertahankan diri mati-matian. Ia menampar, mencakar, menggigit, menggeliat. Namun, tenaga seorang gadis seperti ia tentu saja tidak mampu melawan tenaga Kabiso. seorang pemuda yang sudah dipenuhi nafsu dan gairah yang membara. Makin lama Sumirah menjadi semakin lemah, teriaknya juga melemah dan yang terdengar hanya isak tangisnya saja. Akan tetapi, ia terus melawan mati-matian sehingga Kabiso akhirnya menjadi marah.
"Plak. Plakl" Ditamparnya muka Sumirah dua kali sehingga gadis itu terkulai. Akan tetapi tetap saja Sumirah melawan sehingga sukarlah bagi Kabiso untuk dapat menggagahinya. Dia mengambil keputusan untuk memukul Sumirah agar pingsan, karena hanya itulah satu-satunya cara untuk berhasil menguasai gadis itu.
Dalam gairah berahinya yang bernyala-nyala itu Kabiso lupa segala bahkan sama sekali tidak memperhatikan sekelilingnya. Dia bahkan tidak melihat betapa kini di dalam gubuk tidak segelap tadi. Dia mulai dapat melihat wajah Sumirah, mulai dapat melihat kulit tubuhnya yang putih mulus, yang sudah tidak tertutup kain lagi karena pakaian gadis itu sudah dicabik-cabik dan direnggutnya dalam pergumulan mereka tadi. Karena dapat melihat lekuk lengkung tubuh gadis itu, berahinya semakin memuncak dan diapun lupa diri dan lupa keadaan.
Baru setelah keadaan di situ menjadi terang sekali, dia terkejut dan heran. Dia belum berhasil menguasai Sumirah sepenuhnya dan kini dia menoleh dan....... wajahnya
pucat, matanya terbelalak karena di dalam gubuk itu telah hadir belasan orang yang wajahnya bengis dan buas, ada beberapa orang diantara mereka yang memegang obor.
Dengan pakaian kedodoran Kabiso meloncat bangun, akan tetapi dia disambut pukulan-pukulan sehingga jatuh bangun, berusaha melawan akan tetapi dikeroyok dan akhirnya dia roboh lalu merintih dan minta-minta ampun.
Seorang diantara belasan orang yang memasuki gubuk itu, yang bertubuh tinggi besar dan mukanya buruk sekali karena ada cacat bekas luka melintang, mengeluarkan bentakan.
"Jangan bunuh dia. Terlalu enak. Gantung kakinya di pohon, sayat-sayat kulit jahanam ini. Dia perajurit Daha, siksa dia sampai mati, hahaha. Dan gadis ini, hemmm, aku suka padanya. beri pakaian yang baik, dan siapkan dia untuk menjadi pengantinku besok"
Belasan orang itu tertawa bergelak. Sumirah juga bangkit duduk dan sedapat mungkin menutupi tubuhnya dengan rambut dan kedua tangan. Akan tetapi, seorang anggauta gerombolan itu menyelimutinya dengan kain, kemudian, iapun ditarik keluar.
Karena baru saja diselamatkan dari malapetaka yang mengerikan, dan karena iapun sudah lelah dan lemas, Sumirah tidak dapat melawan dan pasrah saja ketika dengan lembut tangannya ditarik oleh seorang laki-laki tua.
Gerombolan itu ternyata adalah sisa-sisa perajurit Singosari yang sudah dikalahkan oleh pasukan Daha. Mereka tidak mau menakluk, dan mereka melarikan diri ke hutan-hutan. Karena sudah kehilangan induk, kehilangan keluarga dan harapan, mereka menjadi buas dan merekapun menjadi perampok-perampok yang ganas dan buas.
Sumirah yang terjatuh ke tangan mereka... biarpun ia menangis dan mohon agar dibebaskan, namun gerombolan itu memaksanya untuk mandi dan berganti pakaian baru.
Gerombolan perampok itu ternyata mempunyai sarang di puncak bukit itu. Disitu terdapat pondok-pondok darurat yang agaknya baru saja dibangun. Sumirah berada di sebuah diantara pondok-pondok sederhana itu. Ia sudah mandi dan mengenakan pakaian baru. Ia tidak mempunyai kesempatan untuk melarikan diri sama sekali karena selalu ada dua orang anggauta perampok yang menjaganya. Biarpun kedua orang penjaga ini kasar sikapnya, namun mereka tidak berani mengganggunya karena ia sudah dianggap sebagai calon isteri kepala gerombolan.
Sumirah duduk di atas dipan kayu, satu-satunya prabot rumah yang berada di dalam pondok itu, dengan wajah pucat dan jantung berdebar penuh ketegangan dan perasaan ngeri. Dua orang yang selalu menjaganya itu memasuki pondok.
"Kau diharuskan keluar dan ikut berpesa. Pesta akan dimulai, Hayolah" kata seorang diantara mereka. Sumirah tidak mau bangkit, hanya menggeleng kepalanya.
"Hemm, kau calon isteri pemimpin kami. Kami tidak ingin berbuat kasar, akan tetapi kalau kau menolak, terpaksa akan kami seret atau pondong keluar" kata orang kedua. ancaman ini berhasil. Bagaimanapun juga, jauh lebih baik berjalah sendiri daripada diseret apa lagi dipondong.
Dengan tubuh lemas Sumirah bangkit dan melangkah keluar, diapit oleh dua orang pen jaga itu.
Matahari pagi telah muncul. Pagi itu cerah sekali. Akan tetapi, ketika Sumirah tiba di tempat yang dimaksudkan, ia terbelalak. Tempat itu merupakan lapangan terbuka. Ada sedikitnya tigapuluh orang anggauta perampok berkumpul disitu. Mereka itu nampak bergembira dan apa yang membuat Sumirah terbelalak ngeri, adalah ketika ia melihat sesosok tubuh digantung di pohon tak jauh dari situ, Kabiso. Orang ini digantung dengan kaki di atas kepala di bawah, dalam keadaan telanjang bulat. Dan tubuh itu penuh dengan darah, berlepotan di seluruh tubuh. Kulit tubuh itu disayat-sayat benda tajam. Agaknya Kabiso menderita siksaan yang amat hebat.
Tubuh itu belum tewas, masih bergerak-gerak menggeliat-geliat dan terdengar rintihan panjang lemah dari mulutnya. Sumirah membuang muka dengan hati penuh rasa ngeri.
"Hehhehheh, manis, kenapa kau membuang muka" Lihat, itu orang yang hampir memperkosamu semalam. Hahaha, puas hatimu, bukan" Jangan khawatir, mulai saat ini kau berada dalam perlindunganku, engkau akan menjadi isteriku. Aku, Bandupati, ditakuti semua orang dan kau akan hidup aman dan senang. Akan tetapi, isteriku yang manis aku belum mengenal siapa namamu, hahaha"
Melihat laki-laki tinggi besar yang wajahnya buruk menakutkan itu demikian dekat dengannya, Sumirah merasa ngeri dan takut sekali. Ia memberanikan dirinya.
"Paman, namaku Sumirah dari dusun Klintren. Kasihanilah aku, paman dan biarkan aku pulang ke Klintren....... ayah dan ibuku luka ketika pasakuan Daha menyerbu........ ah, biarkan aku pulang untuk menengok keadaan ayah ibuku......."
"Paman" Hahaha, jangan sebut paman padaku, manis. Aku ini akan menjadi suamimu, kau harus menyebut kakangmas" Bandupati tertawa bergelak dan sekali tangannya bergerak, pergelangan lengan gadis itu telah ditangkapnya. "Kau ingin menengok ayah ibu di Klintren " Boleh, nanti kalau sudah menjadi isteriku, akan kuantarkan kau ke Klintren, aku menghadap ayah dan ibu mertua, hahaha"
"Jangan........aku tidak mau, aku sudah mempunyai tunangan......"
Tiba tiba sikap kepala gerombolan itu berubah. "Apa?"
Dia memandang dengan mata mendelik sehingga Sumirah menjadi semakin ketakutan. "Kau lihat itu?" Dia menuding ke tubuh telanjang bulat yang mandi darah dan tergantung di pohon itu. "Kau ingin seperti itu" Kalau kau menolak, nasibmu akan lebib buruk dari pada itu. Kau akan kupaksa, dan kalau aku sudah bosan, kau akan kuberikan kepada anak buahku, kau akan dipaksa melayani mereka semua sampai mati. Nah, kau pilih menjadi isteriku atau kami paksa sampai mati ?"
Sumirah bergidik dan ia hanya dapat menangis.
"Sumirah manis, sudahlah jangan menangis. Mari kita makan minum dulu untuk merayakan pernikahan kita, hahaha"
Dengan paksa Gandupati menarik Sumirah untuk duduk di atas rumput di mana telah disediakan hidangan untuknya. Kepala gerombolan itu makan dengan rakus dan gembulnya, sambil melihat tubuh Kabiso yang menggeliat-geliat dan merintih-rintih.
Sumirah tentu saja tidak mau makan atau minum. Bagaimana mungkin ia dapat makan minum kalau hatinya dipenuhi perasaan takut, ngeri dan penuh duka. Baru saja ia terlepas dari tangan Kabiso, ia terjatuh ke tangan kepala perampok yang lebih kejam dan lebih menakutkan lagi. Dan kalau ia teringat akan nasib ayah ibunya, hatinya seperti disayat-sayat rasanya. Teringatlah ia kepada Hok Yan. Kalau saja ada Hok Yan di situ, tentu tunangannya itu akan dapat menyelamatkannya
"Hok Yan....... ah, Hok Yan........I" la merintih dan ia hanya menangis, bahkan tidak berani memandang ke arah tubuh Kabiso yang masih tergantung dan menggeliat-geliat mengerikan.
Pikiran yang penuh duka dan takut, juga pengalaman-pengalaman yang amat hebat yang baru saja menimpanya, membuat Sumirah menjadi lemas dan seperti orang yang kehilangan semangat. la hanya menangis dan menangis lagi. Ketika pesta itu berakhir dan kepala perampok memegang lengannya dan menariknya bangkit, ia hanya menurut saja. Ia seperti orang dalam mimpi dan sama sekali sudah tidak merasakan apa-apa lagi.
Akan tetapi, ketika kepala perampok tinggi besar yang wajahnya mengerikan itu menariknya masuk ke dalam sebuah pondok, iapun teringat dan dapat menduga apa yang akan terjadi dengan dirinya. Mendadak teringatlah kesemuanya oleh Sumirah. Teringat bahwa ia akan dijadikan isteri kepala perampok ini dan tentu akan mengalami perkosaan yang lebih mengerikan dibandingkan apa yang akan dilakukan Kabiso kepada dirinya. Seketika itulah lahir batinnya memberontak.
"Tidaaaaak. Aku tidak sudi........J" teriaknya dan sekali renggut ia dapat melepaskan diri dari pegangan kepala perampok yang tidak menyangka bahwa calon korban yang tadi kelihatan penurut itu tiba-tiba memberontak, Akan tetapi, melihat gadis itu melarikan diri, kepala perampok itu tertawa bergelak dan dengan beberapa langkah saja dia sudah dapat menubruk dan menangkap Sumirah.
"Ha ha ha ha, manisku, kau akan pergi ke mana" Ha ha, kau akan menjadi isteriku tercinta, jangan lari, sayang" Dan diapun meringkus kedua lengan Sumirah, lalu mengangkat tubuh gadis itu yang ringan sekali baglnya, kemudian memondong Sumirah yang tidak mampu berkutik lagi, membawanya masuk ke dalam pondok.
Sumirah meronta-ronta ketika ia dilempar keatas pembaringan, meronta dan melawan, mencakar, menampar dan menggigit. sambil menjerit jerit dan menangis. Akan tetapi kepala perampok itu hanya tertawa saja karena jerit tangis itu tentu hanya akan disambut gembira saja oleh para anak buahnya. Dan kepala perampok ini jauh lebih kuat daripada Kabiso, maka semua perlawanan Sumirah tidak ada artinya sama sekali.
Pada saat kepala perampok itu sudah tertawa bergelak dan hampir memperoleh kemenangan, pada saat Sumirah sudah hampir putus asa dan keadaannya gawat sekali, tiba-tiba pintu pondok itu terbuka dari luar dan seorang wanita melangkah masuk dan terdengar suaranya membentak nyaring.
"Bagus. Begitu ya tingkahmu kalau aku pergi, kakang Bandupati " Sebulan saja aku pergi, dan kau sudah melakukan penyelewengan. Huh, agaknya kau sudah bosan hidup" Ucapan ini disusul menyambarnya sebatang pecut dan terdengar suara ledakan-ledakan pecut yang menyambar ke arah tubuh Bandupati si kepala perampok.
"Tar tar tarrr....... "
Kepala perampok itu terkejut bukan main, apa lagi ketika ujung pecut mencambuki mata, leher dan punggungnya. Dia melepaskan 5uimirah dan meloncat turun dari atas pembaringan, berdiri seperti seorang anak kecil ketakutan berhadapan dengan gurunya.
"hahhh, Minten, maafkan aku. Aku hanya iseng-iseng ....... habis aku kesepian karena
engkau terlalu lama pergi ....." katanya dan sungguh aneh sekali, semua sikap garangnya lenyap, dan dia menjadi begitu jinak dan takut seperti seekor anjing galak yang menghadapi majikannya, Sumirah cepat membereskan pakaiannya dan ia masih terisak-isak, akan tetapi ia memandang kepada wanita itu dengan penuh harapan akan mendapatkan pertolongan. Wanita itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, Hitam manis dan galak, tangan kiri bertolak pinggang, tangan kanan memegang sebatang pecut yang panjang.
"Tarr " Pecut itu bergerak menyambar dan ujungnya menimpa muka Bandupati. Nampa muka itu dihiasi garis merah berdarah dam Bandupati menutupi mukanya.
"Ampunkan aku, Minten ....." Dia mengeluh.
"Huh, berapa kali aku harus mengampunimu ". kau mengotori perjuangan kita"
"Tidak, Minten. Lihat yang digantung itu. Dia adalah perajurit Daha, berarti kita telah mampu menghukum seorang musuh"
"Akan tetapi gadis ini adalah orang Singosari. Hei, kau. katakan kau ini orang Singosari atau orang Daha?"
Tentu saja Samirah walaupun masih menggigil karena baru saja terlepas dari cengkeraman Bandupati segera menjawab, "Aku........aku orang Singosari....... aku anak lurah Kalasan yang mengungsi ke dukuh Klintren....."
"Nah, kau dengar itu" Kau malah akan memperkosa anak seorang lurah ponggawa Singosari" wanita itu merobentak Bandupati.
"Tidak, Minten, sama sekali tidak. Aku tidak memaksa, tidak memperkosa, ia memang
suka menjadi selirku........ eh, bukankah begitu. Sumirah ?"
"Bohong. Siapa sudi menjadi selirmu, kau memaksaku, dan aku lebih baik mati dari pada menjadi isterimu" Sumirah membentak.
"Jahanam. Hayo bicara lagi. Apa kau ingin sekarang juga kubunuh?" Wanita bernama Suminten itu membentak. Ia adalah isteri Bandupati, akan tetapi ia jauh lebih berkuasa dari pada suaminya karena memang Suminten ini seorang wanita yang memiliki kedigdayasn melebihi suaminya.
"Ampun, Minten, ampunkan aku........ aku memang bersalah dan aku bersumpah takkan berani lagi......" Bandupati meratap karena dia maklum hahwa isterinya itu bukan hanya mengeluarkan gertak kosong belaka. Codet da mukanya juga akibat pedang isterinya.
Suminten mengeluarkan suara mendengus dari bidungnya. "Huh, tidak perlu minta ampun. Sekali lagi aku melihat kau melakukan perbuatan seperti ini, aku tidak akan banyak omong lagi dan kau akan aku bunuh"
Suaminya mengangguk-angguk seperti ayam makan beras dan Suminten kini menghadapi Sumirah.
"Kau boleh pulang ke dusunmu. Pergilah"
Sumirah mengangguk dan merasa seolah-olah terlepas dari cengkeraman harimau ganas. Ia lalu pergi meninggalkan tempat itu tanpa menoleh lagi, keluar dari perkampungan perampok di puncak bukit.
Suminten bertepuk tangan dau dua orang anggauta gerombolan dataog menghadap. "Huh, kalian berdua amat-amati perjalanan gadis itu sampai ia selamat tiba di dusun Klintren. Kalau ada yang berani mengganggunya, awas, aku sendiri yang akan menghukumnya"
Dua orang anggauta gerombolan itu memberi hormat lalu pergi dan membayangi perjalanan Sumirah. Lewat tengah hari, menjelang sore, barulah Sumirah yang melakukan perjalanan dengan susah payah itu tiba di luar dusun Klintren, dan dua orang anggauta perampok itupun segera kembali ke puncak bukit untuk memberi laporan.
Dengan tubuh lunglai dan hati masih terguncang oleh pengalaman pengalaman yang menengerikan itu, rambutnya awut-awutan dan mukanya pucat, Sumirah memasuki dusun Klintren.
Beberapa orang penduduk yang mengenal Sumirah. segera berlari menghampirinya.
"Sumirah......., ah kau Sumirah......."
Dengan muka pucat, mata terbelalak penuh kekhawatiran, Sumirah lalu bertanya kepada saereka, "Bagaimana ayah........ " Bagaimana buku.......?"
Beberapa orang itu hanya menggeleng kepala, tidak mampu menjawab. Melihat ini, Sumirah menjadi semakin cemas dan iapun mengerahkan sisa tenaganya untuk berlari menuju ke rumah orang tuanya.
Dengan terhuyung-huyung ia mendorong daun pintu rumahnya yang tertutup dan memasuki rumah itu. "Ayaaaahhhh..... Ibuuu....." Berulang-ulang ia memanggil ayah ibunya sambil mencari-cari di dalam rumah itu. Akan tetapi rumah itu kosong sama sekali. Ketika dengan nanar ia melangkah keluar, ia melihat banyak tetangga sudah berkumpul di pekarangan depan rumahnya, memandang dengan wajah penuh prihatin. Bahkan ada beberapa orang tetangga wanita menangis.
"Mana ayahku. Mana ibuku " Di mana mereka...." berulang-ulang ia bertanya dengan suara lirih dan penuh kekhawatiran.
Seorang tetangga wanita yang sudah tua melangkah maju dan merangkul Sumirah sambil menangis.
"Sumirah...... ahh, sungguh kasihan kau ....... ayah ibumu........ mereka"." wanita itu tidak dapat melanjutkan dan sudah terisak-isak menangis.
Sumirah terbelalak, mengguncang kedua pundak wanita itu. "Kenapa " Ayah ibu kenapa." Katakanlah........"
"Mereka........ mereka...... tewas dibunuh gerombolan......"
Sumirah menjerit dengan lengkingan panjang, lalu mengeluh dan terkulai pingsan. Beberapa orang tetangga merangkulnya dan mengangkutnya ke dalam rumah. Ketika ia sadar, ia menangis tersedu-sedu, dihibur oleh para tetangga wanita.
"Di mana ayah ...... di mana ibu ........ dimana mereka dikubur ....."
Karena ia berkeras ingin berkunjung kekuburan orang tuanya, akhirnya iapun diantar oleh beberapa orang tetangganya ke tanah perkuburan. Melihat dua gundukan tanah kuburan yang masih baru itu, yang oleh para tetangga dikatakan bahwa itu kuburan kedua orang tuanya, Sumirah menjatuhkan diri berlutut di atas kedua makam itu dan terkulai pingsan lagi.
Ketika Sumirah siuman dari pingsannya, ia sudah dikelilingi para tetangganya di tanah kuburan itu. Mereka mencoba untuk menghibur gadis itu, akan tetapi Sumirah hanya menangis terisak-isak.
"Ayah........ibu........ah, kalian telah mati meninggalkan aku....... seorang diri......... ayah dan ibu ......kenapa tidak membawa saja aku bersama kalian........" Ayah......ibu........
kalian terbunuh oleh si keparat Kabiso ...... si jahanam Kabiso....."
Tiba-tiba tangisnya terhenti. Semua orang memandang. Wajah itu pucat, mata itu terbelalak dan tiba-tiba Sumirah tertawa "Heh hi hi hik, kau telah digantung Kabiso. Hi hik, rasakan sekarang ....... haha, kau digantung dengan kepala di bawah, tubuhmu disayat sayat ....... terkutuk kau, Kabiso ....... " Sumirah tertawa-tawa.
"Sumirah, ingatlah, nak, ingatlah........"
Seorang tetangga tua berkata dengan hati penuh perasaan iba. "Ya, ingatlah, Sumirah. Jangan terlalu berduka......"
"Hahaha, Kabiso, kau telah menerima hukuman. Hihik, puas hatiku, Kematian ayah
ibu sudah terbalas. Kematian......." Ayah ibu sudah mati, aohhh ....... " Dan iapun menangis lagi.
Semua orang saling pandang dan maklum Pengalaman-pengalaman yang amat hebat, yang diderita Sumirah selama sehari semalam itu. terlampau berat baginya. Perasaan penah kongerian dan ketakutan, disusul pula kedukaan karena kematian orang tuanya, merupakan hantaman terlalu berat baginya sehingga batinnya terguncang hebat. Sumirah menjadi gila karena semua perasaan yang amat menekan dan mengguncang itu. Ia menangis dan tertawa. Menangis memanggil ayah dan ibunya, kadang-kadang memanggil nama Hok Yan, dan tertawa-tawa kalau menyebut nama Kabiso.
*** Kita tinggalkan dulu Sumirah yang tergoncang batinnya dan menjadi seperti orang gila di dukuh Klintren itu, dan mari kita ikuti perjalanan Wulansari yang mencari Nurseta ke kota raja Kediri.
Dengan menyamar sebagai seorang pria Wulansari dengan mudah menyusup masuk ke kota raja Kediri walaupun pintu gerbang dijaga ketat karena pada waktu itu, Kerajaan Daha sedang menghadapi perang dan telah mempersiapkan diri melawan pemberontakan Raden Wijaya dan Adipati Wiraraja yang bergerak bersama dengan datangnya pasukan Tartar dari utara.
Akan tetapi, begitu masuk kota raja, di mana-mana ia mendengar berita bahwa Nurseta telah ditawan oleh Sang Prabu Jayakawang Wulansari melakukan penyelidikan dan agaknya memang berita itu sengaja disebar karena di mana-mana dengan mudah ia dapat mendengar tentang ditawannya Nurseta.
Bagaimana Nurseta sampai dapat tertawan dan benarkah berita yang didengar Wulansari itu" Seperti kita ketahui, Nurseta memang pergi ke kota raja Kediri, pertama untuk menguburkan abu jenazah Ni Dedeh Sawitri, ibu kandungnya ke dekat makam ayah kandungnya, yaitu Pangeran Panji Hardoko, dan kedua kalinya untuk mencari Wulansari dan berusaha mendapatkan kembali tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala.
Dengan aji kesaktiannya, mudah pula bagi Nurseta untuk memasuki kota roja Kediri. Akan tetapi, sekali ini Nurseta tidak tahu bahwa dua orang manusia sakti, yaitu Ki Bjyut Pranamaya dan Ki Cucut Kalasekti, telah bersekutu dan kedua orang kakek sakti ini telah menyebar kaki tangannya untuk diam-diam membuat pengamatan yang teliti. Tidak aneh kalau kedua orang kakek ini dapat mengetahui bahwa Nurseta memasuki kota raja Kediri. Mereka berdua cepat membuat persiapan karena menurut dugaan mereka, hanya ada dua orang saja di dua ini yang mungkin menyimpan Ki Ageng Tejanirmala di saat itu. Mereka adalah Wulansari atau Nurseta.
Nurseta melakukan penyelidikan di mana adanya makam Pangeran Panji Hardoko. Ternyata tidak sukar mencarinya karena pangeran itu dimakamkan di tanah kuburan agung yang diperuntukkan pemakaman keluarga Kerajaan Kediri. Pada sore hari, setelah tanah kuburan itu sunyi, Nurseta menyelinap masuk dengan melompati pagar tembok, tidak berani memalui pintu gerbang yang selalu terjaga. Dia Sama sekali tidak mengira bahwa setiap gerak geriknya sudah diikuti oleh dua orang kakek
JILID 21
SETELAH menemukan makam ayah kandungnya, yaitu sebuah makam yang tidak begitu mewah di antara para makam yang lebih besar itu, dengan batu nisan yang ada tulisan nama Pangeran Panji Hardoko, Nurseta lalu cepat menggali lubang di tanah dekat makam itu. Tidak terlalu besar karena abu jenazah ibu kandungnya hanya satu periuk yang sudah dibawanya dan dibungkus kain kuning Cepat sekali dia bekerja dan tak lama kemudian dia sudah selesai mengubur periuk terisi abu jenazah ibunya itu di dekat makam ayahnya, tepat seperti pesan terakhir ibu kandungnya. Dan ketika dia berlutut di depan makam ayahnya dan ibunya itu, diam-diam dia memaafkan semua perbuatan ayah dan ibunya yang telah menyia-nyiakan dirinya. Dia memaafkan mereka dengan hati rela, Dan dia berdoa semoga ayah dan ibunya memberi doa restu kepadanya.
Tiba-tiba Nurseta mengangkat mukanya dan cepat dia sudah bangkit berdiri. Ada suara yang mencurigakan tertangkap pendengarannya. Ketika dia membalik, dia sudih melihat betapa tempat itu terkurung banyak orang, dan di depannya telah berdiri dun orang kakek yang diam-diam mengejutkan hatinya, Ki Buyut Pranamaya dan Ki Cucut Kalasekti, dua orang musuh besarnya telah berdiri di situ. Di belakang dua orang kakek sakti itu, dan juga kini sudah mengepung dirinya, terdapat sedikitnya duapuluh orang perwira dan senopati Daha, dan dia dapat melihat pula bahwa tanah kuburan itu sudah dikepung oleh pasukan yang entah berapa orang banyaknya. Tidak ada jalan kehiar baginya kecuali membela diri mati-matian.
"Haha, bocah sombong Nurseta. Kini kau telah terkepung dan tidak akan dapat melarikan diri dari kami. Lebih baik kau cepat berlutut dan menyerahl" kata Ki Cucut Kalasekti yang diam-diam amat membenci pemuda ini karena beberapa kali dia pernah kewalahan, bahkan pernah di dalam goa di tebing itu dia hampir tewas oleh pemuda ini.
"Nurseta, cepat serahkan tombak pusaka itu kepada kami, baru kami akan mempertimbangkan nyawamu" kata pula Ki Buyut Pranamaya dengan suara yang berwibawa.
Dari ucapan itu tahulah Nurseta bahwa tombak pusaka itu tentu telah terlepas dari tangan Prabu Jayakatwang dan diapun dapat menduga dengan hati penuh kegembiraan bahwa siapa lagi yang mengambil tombak pusaka itu kalau bukan Wulansari. Kegembiraannya membuat dia lupa akan bahaya yang mengancam dirinya, dan diapun tertawa.
"Ki Buyut Pranamaya dan Ki Cucut Kalasekti. Aku datang untuk menghormati makam orang tuaku, dan aku sama sekali tidak tahu tentang tombak pusaka. Kalian percaya atau tidak terserah. Jangan harap aku akan sudi menyerah kepada kakek kakek Iblis macam kalian"
Ki Buyut Pranamaya baru-baru ini menderita luka di dalam dadanya oleh serangan Nurseta. Dia mendendam kepada pemuda ini, maka kini dia memperoleh kesempatan untuk membalas, karena sekarang pemuda itu hanya seorang diri sedangkan dia berdua dengan Ki Cucut Kalasekti masih dibantu para senopati Daha dan pasukan mereka.
"Bocah setan, sekarang saatnya kau mampus di tanganku" bentaknya dan kakek ini sudah menerjang dengan tendangan-tendangannya yang amat ampuh, yaitu aji tendangan Cakrabairawa. Nurseta sudah mengenal ilmu tendangan yang amat berbahaya ini, maka cepat diapun mengelak dan membalas dengan tamparan tangan kirinya Ki Buyut Pranamaya tidak berani lagi memandang ringan lawan muda ini, maka diapun melompat mundur untuk menghindarkan diri. Ki Cucut Kalasekti tidak mau kalah. cepat diapun maju menyerang dengan pukulannya Aji Gelap Sewu.
Nurseta menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Dakkk" Keduanya terdorong mundur, akan tetapi Ki Cucut Kalasekti menyeringai menahan rasa nyeri pada lengannya ketika bertemu dengan lengan pemuda itu.
Dan orang kakek itu lalu mengeroyok Nurseta. Pemuda perkasa ini terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan semua kepandaiannya karena dia maklmn bahwa dua orang kakek pengeroyoknya adalah lawan-lawan paling tangguh yang pernah dia hadapi. Diapun cepat menggunakan jurus-jurus pukulan aji kesaktian Jagad Pralaya, yaitu aji kesaktian yang dia pelajari dari mendiang Panembahan Sidik Danasura. Aji kesaktian ini hebat bukan main, bahkan pertapa itu pernah memesan kepada Nurseta bahwa kalau tidak terpaksa sekali agar dia jangan mengeluarkan aji kesaktian itu. Akan tetapi sekarang, menghadapi dua orang kakek itu, tidak ada pilihan lain bagi Nurseta. Kalau dia ingin selamat, dia harus meugeluarkan aji itu. Dan memang dua orang kakek itupun sudah mengenal aji kesaktian ini. Mereka berdua nampak gentar dan berloncatan mundur begitu Nurseta mengeluarkan ilmu ini.
Nurseta yang melihat dua orang lawannya mundur, cepat dia membalik dan bermaksud untuk melarikan diri. Akan tetapi pada saat itu, duapuluh orang lebih perwira yang tangguh dari Daha sudah mengepungnya dan mengeroyoknya dengan segala macam senjata di tangan mereka. Ada yang bertombak, berpedang, ada pula yang menggunakan ruyung, golok dan keris. Repotlah Nurseta menghadapi pengeroyokan dan hujan senjata ini. Dia melawan mati-matian, dengan tamparan-tamparan saktinya dia berhasil merobohkan tiga orang pengeroyok, akan tetapi pengeroyokan tidak menjadi longgar, bahkan menjadi semakin ketat karena kini dua orang kakek itu sudah maju pula mengeroyoknya. Aji kesaktian Jagad Pralaya adalah suatu aji pukulan yang hanya dapat dimainkan kalau menghadapi satu atau dua orang lawan saja. Kalau menghadapi pengeroyokan, biarpun aji pukulan ampuh itu mampu memukul tewas dengan sekali pukul beberapa orang pengeroyok, namun gerakannya tidaklah begitu cepat sehingga pertahanannya terbuka dan diapun tentu akan dapat terkena serangan para pengeroyok yang bagaikan hujan datangnya itu. Untuk mempertahankan dirinya, terpaksa dia mainkan ilmu lain, yaitu mempergunakan kuda-kuda Wandiro Kingkin dan memainkan pukulan Bajradenta. Bahkan kemudian dia terpaksa mencabul keris Hat Nogo pemberian Raden Wijaya untuk membela diri. Dengan keris itu, dia menangkis sambaran senjata-senjata lawan yang tak dapat dielakkan, sementara itu, kedua kakinya dan tangan kirinya melakukan serangan balasan yang kembali berhasil merobohkan beberapa orang pengeroyok, akan tetapi jumlah pengeroyok tidak pernah berkurang karena selalu bertambah orang kalau ada pengeroyok yang roboh.
Cuaca menjadi semakin gelap dan Nurseta sudah terkena pukulan bermacam senjala lawan. Akan tetapi karena dia mengerahkan kekebalan, maka yang robek-robek hanya pakaiannya saja sedangkan kulit tubuhnya belum ada yang terluka sedikitpun. Akan tetapi, dia menjadi lelah bukan main. Sejak tadi dia terus menerus mengerahkan tenaga menghadapi pengeroyokan banyak orang.
Ketika gerakannya agak mengendur, tiba-tiba sebuah tendangan kaki Ki Buyut Pranamaya menyambar dan mengenai pinggangnya.
"Desss........" Tendangan Aji Cakrabairawa itu amat kuatnya dan biarpun Nurseta sudah menahan dengan kekebalan tubuhnya, telah mengerahkan tenaga sakti ke dalam pinggang yang tertendang, tetap saja dia terpelanting roboh. Pada saat itu, sebatang pedang dan sebatang tombak menyambar dari kanan kiri. Dia mengeluarkan bentakan nyaring, tangannya mendorong ke atas dalam keadaan telentang, dan dari kedua tangan itu menyambar tenaga dahsyat dari Aji Jagad Pralaya. Dua orang perwira yang menyerangnya itu menjerit dan tobuh mereka terlempar sampai jauh dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Akan tetapi pada saat itu juga, Ki Cucut Kalasekti sudah menubruk dari samring dan kedua lengan Nurseta dapat ditangkap dan ditelikungnya, Ki Buyut Pranamaya datang membantu, tangannya menghantam tengkuk pemuda itu dan Nurseta terkulai pingsan.
"Jangan bunuh dia" Ki Cucut Kalasekti membentak dan melarang para perwira Daha yang hendak menyerang pemuda yang sudah pingsan itu. Karena semua perwira mengenal Ki Cucut Kalasekti atau Adipati Satyanegara dari Bendowinangun sebagai seorang kepercayaan Snbaginda, maka merekapun tidak berani membantah.
Ketika Ki Buyut Pranamaya bertanya mengapa pemuda yang amat berbahaya itu tidak dibunuh saja, Ki Cucut Kalasekti tertawa.
"Hahahaha, kita rugi besar kalau dia dibunuh. Ingat, tombak pusaka itu belum jatuh ke tangan kita. Nurseta inllah yang akan mendatangkan tombak pusaka itu kepada kita. Untuk menebus nyawanya, kalau tombak itu berada padanya, tentu dia akan menukar tombak itu dengan nyawanya. Sebaliknya kalau tidak ada padanya dan masih berada di tangan WuJansari, maka kalau gadis setan itu mendengar bahwa Nurseta menjadi tawanan di Kediri, tentu ia akan datang ke sini"
"Hemm, gadis itu bukan orang bodoh. Bagaimana kalau ia tidak datang" Berarti kita akan membuang waktu sia-sa saja" kata Ki Buyut Pranamaya.
"Ha haha, ia memang bukan orang bodoh, akan tetapi apakah kau kira aku ini bodoh" Ingat, Wulansari itu aku yang mendidiknya sehingga menjadi pintar, maka tentu aku lebih pintar dari padanya. Aku mengenalnya sejak ia masih remaja, dan aku tahu benar akan wataknya. la seorang gadis yang keras hati dan pemberani, juga ia amat mencinta Nurseta. Kalau ia mendengar bahwa orang yang dikasihinya itu tertawan, tentu ia akan menggunakan segala dayanya untuk menyelamatkan Nurseta. Aku merasa yakin bahwa ia tentu akan muncul disini"
Demikianlah, Nurseta menjadi seorang tawanan yang ditahan di dalam penjara bawah tanah yang amat kuat. Bukan hanya kaki tangannya yang dibelenggu. juga tempat tahanan itu dijaga ketat bahkan selalu diamati oleh dua orang kakek sakti sehingga dia sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk lolos dari situ.
Mulailah Narseta merasa menyesal mengapa dia tidak ingat akan dua orang kakek yang sakti itu sehingga dia sampai tertawan. Dia tidak menyesal menjadi tawanan, bahkan andaikata dia matipun dia tidak akan menyesal. Yang disesalkan adalah karena tugasnya belum selesai. Ki Ageng Tejanirmala belum dapat dia serahkan kepada Raden Wijaya.
Sang Prabi Jayakatwing girang mendengar laporan Ki Cucut Kalasekti bahwa tombak pusaka itu tentu akan dapat ditemukan kembali dengan ditawannya Nurseta. Hal ini sedikitnya menjadi penghibur hatinya yang gelisah karena adanya gerakan pemberontakan dari Majapahit dan Madura, apa lagi dengan adanya berita bahwa dari pantai utara datang pasukan Tartar yang amat kuat.
Dugaan Ki Cucut Kalasekti memang tidak ngawur. Ketika Wulansari yang menyamar sebagai pria menyelundup ke dalam kota raja Kediri, dan ia mendengar berita yang sengaja disebar bahwa Nurseta telah menjadi tawanan Sang Prabu Jayakatwang, ia terkejut bukan main.
Dengan hati-hati ia meiakukan penyelidikan dimana pemuda yang dikasihinya itu ditahan. Ketika ia mendengar bahwa Nurseta ditahan di dalam penjara bawah tanah dan dijaga sendiri oleh Ki Cucut Kalasekti dan Ki Buyut Pranamaya, ia terkejut bukan main dan iapun tahu bahwa menolong kekasihnya dengan kekerasan merupakan suatu hal yang tidak mungkin terjadi. Sebagai seorang bekas pengawal pribadi Sang Prabu Jayakatwang, ia tahu apa artinya ditahan di dalam penjara bawah tanah, yaitu bahwa orang yang ditahan di sana tidak mungkin dapat dibebaskan dari luar. Selain penjagaan amat ketat, juga memiliki banyak pintu yang tebal. Apa lagi ada dua orang kakek sakti itu yang berjaga. Jalan kekerasan tidak mungkin dapat membebaskan kekasihnya, akan tetapi bagaimanapun juga ia harus membebaskan Nurseta. Hidupnya takkan ada artinya lagi kalau sampai Nurseta tewas, apa lagi tewas sebagai seorang tawanan. Andaikata kekasihnya itu gugur di medan pertempuran, hal itu masih dapat diterimanya, Akan tetapi mati dalam tawanan musuh. Tidak, ia harus dapat menolongnya. Harus.
*** "Berhenti. Siapa kau yang berani lancang masuk ke sini?" bentak seorang komandan jaga dan selusin perajurit pengawal diluar istana Kerajaan Daha sudah menodongkan tombak mereka kepada pemuda yang berani memasuki pekarangan itu.
"Hemm, apakah kalian sudah tidak mengenalku lagi?" kata Wulansari dengan suara biasa, suara wanita.
"Ia...... ia........ seorang wanita......"
"Seperti........ Wulansari........"
Wulansari tersenyum"Benar, aku Wulansari. Aku ingin menghadap Sribaginda. Harap laporkan ke dalam, katakan bahwa aku Wulansari ingin menghadap Gasti Prabu Jayakatwang. Penting sekali"
Gegerlah keadaan para perajurit pengawal itu. Mereka tentu saja sudah mengenai Wulansari, bahkan biasanya mereka kagum dan juga jerih terhadap pangawal pribadi Sribaginda yang sakti ini. Akan tetapi merekapun mendengar bahwa gadis perkasa ini telab minggat dan kini menjadi buruan. Dan merekapun sudah mendengar pesan Ki Cucut Kalasekti agar cepat melapor kalau Wulansari muncul.
Selagi mereka itu kebingungan, tiba-tiba terdengar suara ketawa dan muncullah dua orang kakek sakti yang membuat para perajurit itu bernapas lega. Ki Cucut Kalasekti dan Ki Buyut Pranamaya yang kebetulan baru keluar dari istana segera mengenal "pemuda" yang dihadapi oleh para perajurit pengawal dengan sikap bingung itu.
"Ha haha, tidak salah dugaanku. Kau pasti akan muncul, Wulansari cucuku yang cantik, hehheh " kata Ki Cucut Kalasekti sambil menghampiri gadis yang berpakaian pria itu.
"Ki Cucut Kalasekti, ingat, aku bukan cucumu" kata Wulansari dengan sikap angkuh"Heh heh, Wulansari muridku yang manis?"
"Hanya bekas murid, Ki Cucut. Ingat, sekarang aku musuhmu, bukan lagi muridmu"
"Ha ha ha, baru mendapatkan beberapa petunjuk dari mendiang Panembaban Sidik Danasura, kau sudah menjadi begini sombong, Wulan. Nah, katakan kepadaku, bukankah kedatanganmu ini karena Nurseta?"
Wulansari mengerutkan alisnya. Sebelum ia datang ke istana Daha, ia telah mengatur siasat sematangnya, bahkan munculnya dua orang kakek sakti inipun tidak mengejutkan hatinya karena memang sudah ia perhitungkan dan iapun sudah mengatur siasat bagaimana untuk menghadapi dua orang kakek sakti ini.
"Ketahuilah. Ki Cucut Kalasekti, juga kau Ki Buyut Pranamaya. Aku datang ini sama sekali tidak ada urusannya dengan kau berdua, atau dengan siapa saja. Aku datang untuk menghadap Sang Prabu Jayakatwang sendiri"
"Wah, Ki Cucut, bekas muridmu ini sungguh tinggi hati dan besar kepala" Ki Buyut Pranamaya mencela dengan hati panas karena dia sama sekali tidak dipandang mata oleh gadis itu.
"Wulan, jangan kau bersikap begini. Kau datang untuk minta agar Nurseta dibebaskan, bukan" Nah, serahkanlah tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala kepada kami, dan kami akan menyerahkan Nurseta kepadamu"
"Ki Cucut, sudah kukatakan bahwa aku tidak mau berurusan dengan kalian berdua. Aku hanya mau berurusan dengan Sang Prabu Jayakatwang"
"Babo babo, bocah sombong" Ki Buyut Pranamaya berseru "Kalau kami turun tangan menangkapmu, apa kau kira akan mampu lolos dari tangan kami " Kau sudah berada di sini. terkepung, biar pandai terbangpun takkan dapat lolos. Tidak perlu berlagak lagi"
"Siapa perduli obrolanmu, Ki Buyut " Kalian boleh. tangkap aku, boleh bunuh aku, akan tetapi jangan harap bisa mendapatkan tombak pusaka itu. Boleh pilih, hadapkan aku kepada Sang Prabu Jayakatwang sekarang juga dan aku akan menyerahkan tombak pusaka kepadanya, atau kalian menghalangiku dan aku akan melawan sampai mati, akan tetapi jangan harap tombak pusaka itu akan dapat kalian peroleh"
Ki Buyut Pranamaya membentak, "Huh, kau kira bisa menggertakku" Kalau kau sudah kusiksa, hendak kulihat apakah kau tidak akan menyerahkan tombak itu" Dia sudah hendak bergerak menyerang, akan tetapi Ki Cucut Kalasekti menengahi. Dia sudah mengenai watak gadis yang pernah menjadi murid dan cucu terkasih ini. Dia tahu bahwa Wulansari amat keras hati dan tidak takut mati. Biar disiksa bagaimacapun juga, sampai mati, ia pasti tidak akan sudi menyerah. Dan akibatnya, dia dan Ki Buyut Pranamaya yang akan menanggung kemarahan Sang Prabu Jayakatwang. Dan hal itu tentu saja amat berbahaya bagi mereka.
"Baiklah, Wulansari. Kami akan mengantarmu menghadap Prabu Jayakatwang. Akan tetapi awas, kami selalu berada di dekatmu dan kalau kau membuat ulah yang tidak-tidak, kami tidak akan segan segan untuk membunuhmu" kata Ki Cucut Kalasekti.
"Dan menyiksamu" tambah Ki Buyut Pranamaya.
Seorang perajurit lalu diperintah oleh Ki Cucut Kalasekti untuk melapor ke dalam agar disampaikan kepada Sang Prabu Jayakatwang bahwa dia dan Ki Buyut Pranamaya mohon menghadap bersama Wulansari.
Mendengar laporan itu, Sang Prabu Jayakatwang dengan bersemangat sekali lalu memerintahkan tiga orang itu menghadapnya. Dia pun mempersiapkan pasukan pengawal pribadi untuk menjaga keselamatannya, karena bagaimanapun juga, dia masih curiga kepada Wulansari yang telah melarikan Dyah Gayatrt dan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala dari dalam istana.
Ketika dua orang kakek sakti itu menyembah kepada Sang Prabu Jayakatwang, Wulansari juga memberi hormat, akan tetapi ia tidak berlutut, hanya menyembah sambil berdiri saja. Melihat sikap ini, Sang Prabu Jayakatwang memandang kepada gadis yang pernah disayangnya itu.
"Hemm, kiranya kau, Wulansari. Kalau kami menghendaki, sekarang juga tanpa banyak cakap, aku dapat memerintahkan agar kau ditangkap dan dijatuhi hukuman berat. Akan tetapi sebelum aku lakukan itu, aku ingin mendengar dulu apa maksudmu datang menghadap kami" Jelas babwa dalam suara Sribaginda mengandung kemarahan terhadap gadis ini. Akan tetapi Wulansari bersikap tenang saja. Hal inipu sudah diperhatikannya dan sudah diduganya akan terjadi.
"Hamba mengerti akan kemarahan paduka, gusti. Akan tetapi hambapun tidak merasa bersalah. Kepergian Puteri Gusti Dyah Gayatri adalah atas kehendaknya sendiri......."
"Akan tetapi kau telah berani mencurl Ki Ageng Tejanirmala" Sang Prabu Jajakatwang membentak marah.
"Bagaimanapun juga, tombak pusaka itu daiulunya adalah hamba yang mendapatkan. Akan tetapi, gusti, Hamba datang bukan untuk membicarakan soal yang telah lalu, Hamba datang untuk menyerahkan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala kepada paduka dengan syarat agar kakangmas Nurseta yang paduka tawan itu dibebaskan. Hamba hendak menukarkan Ki Ageng Tejanirmala dengan kakangmas Nurseta"
"Omong besar" Raja itu membentak, marah karena ada orang berani mengajukan tuntutan kepadanya seperti itu, seolah-olah dia yang hendak diperintah "Kau sungguh sumbong, Wulansari. Kalau sekarang aku perintahkan kau ditangkap, dan kami paksu untuk mengembalikan tombak pusaka itu, apa kau kira akan mampu lolos ?"
Wulansari tersenyum. Senyum yang dahulunya selalu mendatangkan perasaan aman dalam hati Sribaginda, kini senyum itu seperti keris penusuk ulu hatinya, "Gusti, kalau hamba takut akan ancaman itu, tentu hamba tidak akan datang ke sini. Kalau paduka menyuruh menangkap dan membunuh hamba, tombak pusaka itu selamanya tidak akan kembali ke tangan paduka. Biar paduka menyuruh orang menyiksa hamba sampai mati, hamba tidak akan menyerahkan tombak pusaka itu. Maka, paduka tinggal pilih. Menurutl permintaan hamba agar kakangmas Nurseta ditukar dengan Ki Ageng Tejanirmala, atau hamba akan mengamuk. Dan kiranya tidak akan mudah menangkap hamba, biar di sini ada dua orang kakek iblis ini" Kini suara Wulansari penuh tantangan. Wajah raja itu menjadi agak pucat. Dia marah sekali dan ingin dia mengeluarkan perintah agar gadis ini dikeroyok dan ditangkap, akan tetapi dia teringat akan kepentingan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Tombak pusaka itu adalah wahyu kerajaan. Kerajaan Daha akan selalu jaya kalau dia memiliki tombak pusaka itu. Pada hal, sekarang Kerajaan Daha sedang terancam malapetaka karena pemberontakan Raden Wijaya. Dia merasa bimbang, diombang-ambingkan kemarahan dan juga keinginan memiliki kembali tombak pusaka itu.
Pada saat itulah Ki Cucut Kalasekti yang maklum akan isi hati junjungannya, menyembah dan berkata, "Ampunkan hamba, gusli. Kalau paduka mengijinkan, biarlah hamba berdua Ki Buyut Pranamaya berurusan dengan Wulansari. Hamba berdua yang akan menanggung bahwa tombak pusaka itu pasti akan diserahkan oleh Wulansari kepada hamba berdua. Hamba yang akan mengawal Nurseta ketika pertukaran terjadi, dan hamba jamin Wulansari tidak akan dapat menipu paduka. Percayalah, segalanya tentu akan berakhir dengan beres dan menyenangkan, sesuai dengan keinginan hati paduka"
Raja Jayakatwang dapat menangkap apa yang tersembunyi dalam katakata Ki Cucut Kalasekti itu. Dalam kalimat terakhir itu jelas tersimpul janji kakek sakti itu bahwa dia tidak akan begitu bodoh untuk memenuhi permintaan gadis itu begitu saja. Tentu kakek itu telah mengatur akal agar tombak pusaka dapat dikuasai kembali, dan di samping itu, selain Nurseta tidak perlu dibebaskan, juga agar gadis itu dapat ditangkap.
"Heh, Wulansari. Kau sungguh berani mati sekali mengajukan tuntutan kepadaku. Mengapa kau begitu mati-matian untuk membebaskan Nurseta" Apakah alasanmu?"
Tanpa merasa sungkan sedikitpun, Wulansari menjawab dengan suara lantang "Gusti, hendaknya paduka ketahui bahwa kakangmas Nurseta sebenarnya masih sanak keluarga paduka sendiri"
"Ehhh........?"" Sang Prabu Jayakatwang terbelalak, lalu memandang kepada Ki Cucut Kalasekti.
"Bagaimana ini, Adipati Satyanegara, benarkah ucapan Wulansari itu?"
"Hamba sendiri juga tidak tahu, gusti" kata Ki Cucut Kalasekti yang memandang heran kepada bekas muridnya itu.
"Wulansari, bagaimana kau dapat mengatakan demikian" Ada hubungan apa antara Nurseta dengan keluargaku?"
"Hendaknya paduka ketahui bahwa kakangmas Nurseta adalah putera kandung mendiang Pangeran Panji Hardoko"
Sepasang mata Sribaginda makin melebar. Mendiang Pangeran Panji Hardoko adalah adik tirinya, seorang pangeran putera seorang diantara selir ayahnya.
"Tapi.... setahuku, dia meninggal dunia tanpa meninggalkan putera" katanya menyangkal.
"Memang tidak ada yang mengetahui hal itu, gusti. Ayahnya adalah mendiang Pangeran Panji Hardoko dan ibunya adalah Ni Dedeh Sawitri. Sebelum meninggal dunia, Raden Panji Hardoko menyerahkan Nurseta yang masih, bayi kepada Ki Bayaraja yang kemudian memberontak kepada Kerajaan Singosari dan tewas. Nurseta oleh Ki Bayaraja diserahkan kepada adiknya, yaitu mendiang Ki Baka. Demikianlah, gusti. Karena kakangmas Nurseta adalah darah keluarga paduka sendiri, sudah sepatutnya kalau dia diampuni"
"Hemmm, akan tetapi, andaikata dia itu benar keluarga kami, masih tidak ada hubungannya denganmu. Kenapa kau bersusah payah mempertaruhkan nyawa untuk membebaskannya?"
"Dia adalah tunangan hamba" jawab Wulansari dengan berani.
Prabu Jayakatwang tertawa dan mengelus jenggotnya "Aha, kiranya demikian. Pantaslah kalau begitu. Baik, Wulansari. Aku mau menukar Nurseta dengan Ki Ageng Tejanirmala. Apakah sekarang juga kau akan menyerahkan tombak pusaka itu kepada kami?"
"Tombak pusaka itu hamba simpan di suatu tempat dan di sanalah pertukaran itu dapat hamba lakukan, Kakangmas Nurseta harus dibawa ke tempat itu dan di sana hamba akan menukarkan tombak pusaka itu dengan kakangmas Nurseta"
"Hemm, di manakah tempat itu?" Ki Cucut Kalasekti bertanya.
"Di sebuah goa di suatu bukit" jawab Wulansari dengan cerdik. Kalau ia menyebutkan tempat itu dengan jelas, tentu dua orang kakek jahat dan licik ini akan melanggar janji, akan menangkapnya dan mereka akan mengambil sendiri pusaka itu.
"Katakan di mana?" Ki Buyut Pranamaya membentak.
Wulansari tersenyum mengejek "Tidak akan kuberitahu di mana. Pendeknya, tempat itu baru dapat kalian ketahui kalau kakangmas Nurseta sudah dibawa ke sana"
"Hah. Jauhkah dari sini?" Ki Cucut Kalasekti bertanya, khawatir kalau-kalau gadis itu telah mempersiapkan perangkap untuk dia
"Hanya setenjah hari perjalanan" jawab Wulansari dan hati kakek itu merasa lega. Kalau hanya perjalanan setengafa hari, berarti tempat itu masih termasuk wilayah Kediri dan tidak begitu jauh dari kota raja. Tempat itu tentu aman baginya, tidak termasuk daerah musuh.
"Baiklah, mari kita berangkat" katanya kepada Wulansari, dan dia menyembah kepada Sang Prabu Jayakatwang "Gusti, hamba mohon diri, hamba akan membawa Nurseta dari dalam tahanan untuk ditukar dengan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala"
Prabu Jayakatwang, dengan wajah berserl, mengangguk "Baik, paman adipati. Laksanakan tugasmu sebaik mungkin"
Ki Buyut Pranamaya juga berpamit, dan Wulansari berkata kepada raja itu "Gusti.. hamba menghaturkan terima kasih atas segala kebaikan paduka kepada hamba, dan hamba berjanji bahwa hamba tidak akan mencampuri perang antara Kediri dengan musuh dari manapun juga"
Prabu Jayakatwang mengangguk dan tersenyum. Kau boleh bicara apa saja, gadis manis, pikirnya. Tombak pusaka itu akan kembali kepadanya, dan Nurseta akan tetap ditahan, juga gadis ini akan ditangkap, hidup ataupun mati.
"Diajeng Wulan......." Nurseta terbelalak memandang kepada gadis itu ketika dia dibawa keluar dari dalam penjara bawah tanab oleh Ki Cucut Kalasekti dan Ki Buyut Pranamaya dengan kedua tangan dibelenggu ke belakang.
Wulansari memandang pemuda itu. Kerinduan membayang di matanya. Ingin ia menubruk pemuda yang dicintanya itu, akan tetapi ia menahan gejolak hatinya dan ia hanya tersenyum.
"Kakangmas Nurseta, sukur kau masih selamat dan sehat" katanya lirih dan singkat.
Setelah sejenak menatap wajah pemuda itu dengan sepenuh kasih sayangnya, ia lalu menundukkan pandang matanya. Sikap ini saja sudah dapat ditangkap oleh Nurseta bahwa gadis itu sungguh masih amat mencintanya seperti dia mencinta Wulansari, akan tetapi gadis itu sengaja menunduk dan ini berarti bahwa keadaan gawat dan dia tidak boleh banyak bicara. Akan tetapi, kalau dia diam saja, hal itu bahkan akan menimbulkan kecurigaan dua orang kakek sakti itu, pula, hatinya juga merasa tidak enak sekali kalau dia belum mengetahui apa maksudnya dia dibawa keluar dari penjara dan di situ dia melihat Wulansari telah menanti di alun-alun istana Kerajaan Daha.
"Diajeng Wulansari, apa artinya semua ini" Kenapa kau berada di sini" Apa yang terjadi?"
Sikap dan pertanyaan Nurseta demikiam wajarnya, akan tetapi Wulansari melihat suatu ketidak-wajaran. Dara ini sudah mengenal benar watak Nurseta yang biasanya tenang sekali. Kini pemuda itu kelihatan begitu terheran-heran disertai kekhawatiran, maka iapun dapat menduga bahwa memang pemuda itu sengaja bersikap demikian agar tidak mendatangkan perasaan curiga kepada dua orang kakek sakti. Diam-diam Wulansari kagum bukan main. Kekasihnya itu selain tampan dan sakti, juga cerdik sekali. Akan tetapi ia menymipan kegembiraan dan kekagumannya ini dalam hati, lalu iapun menarik muka khawatir, dan menjawab lirih.
"Kakangmas Nurseta, aku mendengar bahwa kau ditahan di sini. Hatiku menjadi risau dan gelisah bukan main, maka aku lalu nekat menghadap Prabu Jayakatwang untuk memintakan pengampunan untukmu"
"Apa" Kau yang sudah menjadi pelarian dan orang buruan karena melarikan Puteri Dyah Gayatri datang menghadap Sang Prabu Jayakatwang" Diajeng Wulan, itu namanya sama dengan mencari penyakit" Nurseta berseru dan menegur, kembali hal ini tidak wajar bagi Wulansari dan iapun semakin yakin bahwa pemuda itu bersandiwara untuk membantunya menyempurnakan siasat yang sedang ia jalankan.
"Hahaha, Nurseta. Muridku ini bukan mencari penyakit, akan tetapi ia datang untuk menolongmu, dan ia berhasil, hahaha. Kalau tidak ada muridku ini, jangan harap kau dapat hidup" Ki Cucut Kalasekti berkata mengejek.
"Ki Cucut Kalasekti, aku bukan muridmu lagi" Wulansari membentak.
"Tapi....... tapi...... bagaimana kau dapat menolongku, diajeng" Aku masih dibelenggu, dan di sini........ ada dua orang kakek iblis ini........"
"Kakangmas, jangan khawatir. Kau pasti akan dibebaskan, karena sudah kujanjikan kepada Sang Prabu Jayakatwang bahwa engkau, akan kutukar dengan tombak pusaka......"
"Ki Ageng Tejanirmala?" Nurseta berseru seperti orang terkejut" dan Wulansari tahu pula bahwa ini adalah buatan, karena betapapun terkejutnya, kekasihnya itu tidak akan memperlihatkannya seperti itu kalau memang tidak disengaja.
"Benar, kakangmas. Hanya itulah yang akan dapat membebaskanmu. Dua orang kakek ini akan ikut bersamaku dengan membawamu, ke tempat pusaka itu kusimpan. Setelah pusaka kuberikan kepada mereka, kau akan dibebaskan. Aku harus melakukan ini, kakangmas, untuk menyelamatkanmu"
"Hahaha, benar sekali itu. Pusaka, tombak pusaka, untuk apa sih bagi seorang gadis manis seperti Wulansari" Tombak pusaka tidak bisa bicara, tidak hidup, tidak bisa bergerak, tidak dapat diajak bercumbu rayu......."
"Tutup mulutmu" Nurseta membentak dan sekali ini bukan hanya pura-pura karena memang dia marah mendengar ucapan itu Ki Cucut Kalasekti, "aku tidak pernah tunduk dan menyerah kepadamu, sampai sekarangpun. Karena itu, jaga baik-baik mulutmu yang kotor"
Demikianlah, kakangmas Nurseta. Mari kau ikut dengan kami, dan kau akan dibebaskan di sana....."
"Tidak. Bagaimana kau hendak menyerahkan tombak pusaka kepada orang-orang ini, diajeng " Tombak pusaka itu berharga sekali, jauh lebih penting dari pada diriku"
"Kakangmas, tombak pusaka itu kuserahkan kepada mereka ini untuk dihaturkun kepada Sang Prabu Jayakatwang. Dan bagiku, di dunia ini tidak ada yang lebih penting dari pada keselamatanmu. Sudahlah, kakangmas, harap jangan membantah lagi. Mari, Ki Cucut dan Ki Buyut, kita berangkat"
"Nanti dulu, Wulansari. Kami akan membawa pasukan pengawal karena kami khawatir kalau-kalau kau akan menjebak kami, hahaha" kata Ki Cucut Kalasekti tertawa.
Diam-diam Nurseta terkejut. Kalau benar dugaannya bahwa Wulansari pasti tidak akan menyerahkan pusaka itu begitu saja melainkan hendak menggunakan akal, maka dengan adanya pasukan pengawal, maka tentu usaha Wulansari itu akan sia-sia belaka.
"Hemm, Ki Cucut Kalasekti, sungguh kau tidak patut dinamakan seorang datuk yang sakti. Kau sudah berdua bersama Ki Buyut Pranamaya, keduanya orang-orang tua yang katanya sakti mandraguna, digdaya dan tidak takut melawan siapapun juga. Kini, menghadapi seorang gadis seperti diajeng Wulansari saja, kalian sudah ketakutan setengah mati sehingga kalian merasa perlu membawa pasukan pengawal. Sungguh tidak tahu malu sekali"
"Hahaha, kami berdua tidak takut kepada Wulansari dan kepadamu, Nurseta" kata Ki Cucut Kalasekti "Akan tetapi siapa tahu Wulansari menyembunyikan teman temannya di tempat itu. Kami harus membawa pasukan"
"Sesukamulah, Ki Cucut Kalasekti. Aku memang tahu bahwa kau seorang pengecut. Berapa ribukah pasukan yang kau bawa serta?" kata Wulansari dengan suara dan sikap mengejek sekali sehingga mau tidak mau wajah kakek itu berubah kemerahan.
"Keparat, berani kau memaki aku pengecut" Pasukan ini hanya untuk berjaga-jaga, seratus orangpun sudah cukup"
"Wulansari, awas kau kalau menipu kami" kata Ki Buyut Pranamaya
"Diajeng Wulan, hati-hatilah. Aku tahu bahwa kau jujur dan memegang janji, akan tetapi mereka ini orang-orang yang amat kejam dan curang. Aku tetap tidak percaya kepada mereka"
"Jangan khawatir, kakangmas. Sang Prabu sendiri sudah berjanji kepadaku. Akan tetapi, baik juga kalau kau berdua, Ki Cucut Kalasekti dan Ki Buyut Pranamaya, sekarang mengucapkan janji bahwa kalian di sana tidak akan mengganggu kami dan melepaskan kakangmas Nurseta"
"Aku berjanji tidak akan mengganggu Nurseta dan akan melepaskannya" kata Ki Cucut Kalasekti.
"Dan aku berjanji tidak akan menpganggumu, Wulansari" kata Ki Buyut, Pranamaya cepat-cepat.
"Mari kita berangkat" kata Wulansari, agaknya tidak perduli bahwa dua orang kakek itu membawa seratus orang perajurit pengawal. Mereka semua menunggang kuda. Wulansari menunggang kuda, dan Nurseta juga mendapatkan seekor kuda. Kedua tangannya yang tadinya dibelenggu ke belakang, kini dibelenggu di depan sehingga dia dapat memegang kendali kuda, akan tetapi kalau Wulansari menunggang kuda di depan sendiri, Nurseta harus menjalankan kudanya di antara dua orang kakek itu. Pasukan seratus orang perajurit pengawal mengikuti dari belakang.
Karena mereka menunggang kuda, maka rombongan ini dapat tiba di tempat tujuan lebih cepat. Tengahari lewat sedikit mereka sudah mendaki sebuah bukit, yaitu Bukit Menur. Bukit itu merupakan satu diantara ribuan bukit yang memanjang di sebelah selatan dari barat ke timur, sebuah bukit kapur di mana terdapat banyak goa. Bukit yang hutannya tidak begitu lebat namun daerahnya liar dan tidak ditinggali penduduk.
Dua orang kakek itu memberi isarat kepada pasukannya agar berhati-hati walaupun bukit ini masih berada di wilayah Kediri.
Setelah tiba di bawah sebuah puncak batu karang dan kapur, Wulansari menghentikan kudanya, lalu melompat turun., Melihat ini, dua orang kakek itupun berlompatan turun dan Nurseta juga disuruh turun akan tetapi tetap berada di antara dua orang kakek itu yang menghampiri Wulansari.
Wulansari menunjuk ke puncak itu "Pusaka itu kusimpan di sana, dan untuk mendaki ke sana harus berjalan kaki, tidak dapat berkuda"
Dua orang kakek itu, juga Nurseta, memandang ke atas. Puncak itu penuh dengan batu-batu besar dan dari bawah memang nampak lubang-lubang goa, akan tetapi entah di goa yang mana pusaka itu disimpan.
Ki Cucut Kalasekti memberi isarat dengan gerak tangannya kepada empat orang perwira yang memimpin pasukan itu, kemudian dia berkata kepada Wulansari. Baiklah, mari kita mendaki ke atas" Dan diapun menggapai kepada seorang perwira agar ikut mendaki ke atas.
Wulansari melihat betapa pasukan itu bergerak mengepung puncak, akan tetapi ia berpura-pura tidak melihat ini, lalu ia menjadi penunjuk jalan dan mendaki naik. Ternyata memang hanya ada jalan setapak menuju puncak itu. Jalan setapak yang tidak dapat dilalui kuda. Selain jalan itu, tidak ada jalan lain yang lebih baik karena selain di bawah puncak terdapat benyak jurang, juga penuh dengan batu-batu yang mudah longsor.
Puncak itu sendiri merupakan dataran yang penuh batu dan goa.
Nurseta merasa betapa jantungnya berdebar kcras. Dia tidak tahu apa yang akan dilakakan gadis itu, namun dia yakin bahwa tentu Wulansari telah mempergunakan perhitungan yang matang maka berani melakukan penukaran yang nampaknya sia-sia ini. Pihak lawan adalah dua orang kakek sakti, dan masih ada lagi seratus orang perajurit yang mengepung puncak itu. Agaknya, keadaan mereka berdua sungguh lemah sekali dan kalau dua orang kakek itu tidak melanggar janji, merekapun agaknya sukar untuk dapat meloloskan diri.
Wulansari berhenti di depan dinding batu besar di mana terdapat tiga buah lubang goa "Kalian tunggu di sini, biar aku mengambil dulu pusaka itu. Akan tetapi, kakangmas Nurseta harus dibebaskan dari belenggunya"
Ki Buyut Pranamaya hendak membantah. akan tetapi Ki Cucut Kalasekti yang sudah yakin akan kekuatan pihaknya, segera mengambil kunci dan membuka belenggu besi dari kedua pergelangan tangan Nurseta.
"Nah, kau ambillah, Wulan. Dia harus di sini dulu sebelum pusaka itu kau serahkan kepada kami" katanya. Dua orang kakek itu bersiap menyerang dengan pukulan maut kepada Nurseta yang berdiri di antara mereka. Wulansari mengangguk.
"Tunggulah sebentar" Dan iapun melompat ke dalam goa yang berada di tengah. Dua orang kakek dan Nurseta memandang dan menunggu dengan jantung berdebar penuh ketegangan. Goa itu gelap dan tidak nampak lagi gadis itu dari luar.
Tak lama kemudian, gadis itu keluar lagi. dan kini ia membawa sebuah bungkusan panjang dari kain kuning "Inilah tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Terimalah, Ki Cucut Kalasekti, dan bebaskan kakangmas Nurseta, biar dia masuk ke goa ini"
"Nanti dulu" kata Ki Cucut Kalasekti "Ki Buyut, kau jaga dulu Nurseta karena aku harus memeriksa dengan teliti apakah tombak itu aseli ataukah palsu"
Wulansari membuka kain pembungkus benda itu dan nampaklah sebatang tombak. Mata tombak itu putih seperti perak yang berkilauan.
"Ki Cucut Kalasekti, kau pernah menerima tombak ini dariku, tentu dapat mengenalnya. Ki Buyut Pranamaya, kaupun pernah merampas tombak ini, tentu kau mengenalnya pula" kata Wulansari.
"Ki Ageng Tejanirmala........" Dua orang kakek itu berseru hampir berbareng.
"Ki Ageng Tejanirmala. Itu tombak pusaka ayahku, itu tombak milikku, diajeng Wulansari. Jangan kau serahkan kepada orang lain. Aku tidak sudi menyerahkannya kepada mereka, lebih baik aku mati" teriak Nurseta dan teriakan ini menyenangkan hati dua orang itu karena ini merupakan bukti bahwa tombak pusaka itu memang aseli. Mereka tadi sudah melihatnya dan tidak ragu lagi, akan tetapi pernyataan Nurseta itu lebih meyakinkan hati mereka.
"Serahkan tombak itu kepadaku, Wulan" kata Ki Cucut Kalasekti.
Wulansari membungkus kembali tombak itu, "Hemm, janjinya adalah ditukar, maka kalian harus pula membiarkan kakangmas Nurseta ke sini lebih dulu"
"Kau serahkan tombaknya dulu" kata Ki Cucut Kalasekti sambil menjulurkan tangan.
"Kakangmas Nurseta biar ke sini dulu" kata Wulansari.
Melihat mereka tidak mau saling mengalah, Ki Buyut Pranamaya berkata, "Berbareng saja. Kau serahkan tombak dan biar pemuda ini lari ke situ" Tentu saja dia tidak khawatir kedua orang muda itu akan dapat lari. Kemana mereka akan lari" Pasukan sudah mengepung puncak itu, dan di situ ada pula mereka berdua.
Agaknya Ki Cucut Kalasekti juga berpikir demikian, maka diapun berkata.
"Baiklah, berbareng saja. Nah, lemparkan tombak itu, biar Nurseta lari ke situ"
"Baiklah. Kakangmas Nurseta, kalau kulemparkan tombak ini kepada mereka, kau larilah ke sini"
"Tidak. Aku tidak mau ditukar dengan Ki Ageng Tejanirmala. Jangan berikan tombak pusaka itu kepada mereka, diajeng Wulan'" kata Nurseta dengan suara keras, tanda bahwa dia marah,
"Kakangmas Nurseta, kuharap kau tidak akan menghalangiku. Kakangmas, maukah kau........ demi aku.......... ?"
Kalau tadinya Nurseta terkejut dan meragu melihat bahwa agaknya gadis ini benar-benar hendak menyerahkan tombak pusaka Tejanirmala kepada dua orang kakek itu, kini pulih kembali kepercayaannya. Mustahil Wulansari akan sebodoh itu. Dengan mengambil sikap apa boleh buat dan masa bodoh, dia menggerakkan kedua pundaknya.
"Terserahlah, diajeng, akan tetapi jangan sesalkan aku kalau nanti mereka itu menipumu"
"Kesinilah, kakangmas, Ki Cucut terimalah tombak pusaka ini" kata Wulansari sambil menjulurkan tombak itu ke arah Ki Cucut, sedangkan Nurseta melangkah memasuki goa. Melihat bahwa tombak sudah dijulurkan, Ki Buyut Pranamaya tidak menghalangi Nurseta memasuki goa. Untuk apa dihalangi, pikirnya. Dua orang muda itu tidak akan mampu melarikan diri.
Setelah Ki Cucut Kalasekti menerima tombak pusaka itu, dia cepat menyerahkannya kepada perwira yang tadi diajaknya naik, "Cepat kau larikan pusaka ini ke istana dan haturkan kepada gusti prabu"
Agaknya memang telah mereka atur sebelumnya. Perwira itu menyembah, menerima pusaka, lalu diapun lari menuruni puncak tadi dan tak lama kemudian diapun sudah membalapkan kuda, dikawal oleh selusin perajurit, meninggalkan lereng Bukit Menur, membawa pusaka itu.
Akan tetapi dua orang kakek itu tidak meninggalkan depan goa, bahkan kini keduanya tertawa bergelak, agaknya mereka merasa lega dan gembira sekali karena tombak pusaka telah mereka selamatkan dan kirimkan kepada Sang Prabu Jayakatwang, sedangkan dua orang muda itu berada di dalam cengkeraman mereka,
"Hahahaha. Nurseta dan Wulansari, kalian seperti dua ekor tikus berada di dalam perangkap, hahaha" Ki Cucut Kalasekti tertawa bergelak, diikuti oleh Ki Buyut Pranamaya yang kagum melihat keberhasilan siasat kawannya.
"Ki Cucut Kalasekti, apa maksudmu " Ingat, kau sudah berjanji untuk tidak mengganggu kakangmas Nurseta" Wulansari membentak marah sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka kakek itu.
"Hahahaha, aku tidak akan melanggar janji, Wulan manis. Aku berjanji tidak akan mengganggu Nurseta, bukan" Nah, sekarang aku akan menangkap kau, bukan Nurseta"
"Dan aku berjanji tidak akan mengganggu Wulansari, sekarang aku akan menangkap kembali Nurseta, haha" Ki Buyut Pranamaya juga berkata sambil tertawa.
"Hemm, kalian dua orang manusia iblis. Kalian kira mudah saja menangkap kami?" bentak pula Wulansari.
"Hehheh, Wulansari, lebih baik kalian menyerah saja untuk kami tawan dan kami bawa ke Kediri. Lihat, seratus orang perajurit sudah mengepung tempat ini. Percuma saja kalian melawan kami" kata pula Ki Cucut Kalasekti.
"Nah, diajeng, dari tadi aku sudah menduga bahwa dua orang iblis ini pasti akan menggunakan muslihat" kata Nurseta yang kini menjadi gelisah juga melihat bahwa keadaan mereka memang tidak berdaya.
Tiba-tiba Wulansari tertawa, ketawanya bebas akan tetapi tidak kasar dan wajahnya menjadi manis dan cerah sekali "Hahahihihi, kakangmas Nurseta. Aku tidak akan pantas menjadi calon garwamu (isterimu) kalau aku sebodoh itu. Heh, Ki Cucut Kalasekti dan Ki Buyut Pranamaya, bukan kami yang terjebak dalam perangkap, melainkan kalian yang seperti dua ekor srigala tua masuk dalam perangkap. Lihat baik-baik" Setelah berkata demikian tiba-tiba Wulansari memegang pergelangan tangan Nurseta dan menariknya ke belakang, ke sebelah dalam goa yang gelap itu dan tiba-tiba terdengar sorak sorai gemuruh. Dari kanan kiri goa itu, yaitu dari dalam kedua goa yang lain, muncul duapuluh orang, dan dari batu-batu besar di puncak itupun berlonqatan keluar duapuluh orang lain. Mereka itu segera mendorong batu-batu di atas puncak dan terdengarlah suara gemuruh ketika batu-batu itu menggelundung ke bawah, menerjang batu-batu lain sehingga kini dari puncak itu turun hujan batu ke arah lereng di mana seratus orang perajurit Daha itu menanti.
Tentu saja para perajurit menjadi kacau balau, apa lagi ketika dari bawah bukit kini berlarian naik sedikitnya duaratus orang yang telah mengepung lereng itu. Terpaksa mereka berloncatan turun dan melakukan perlawanan mati matian untuk membela diri sedapatnya. Ternyata bahwa jumlah lawan dua kali lebih banyak dari mereka.
Tentu saja dua orang kakek itu terkejut bukan main. Ketika mereka hendak melarikan diri, tiba-tiba nampak dua bayangan berkelebat keluar dari dalam goa itu dan dua orang muda itu sudah berdiri di depan mereka sambil tersenyum.
Ki Cucut Kalasekti marah bukan main, Mulutnya yang bentuknya meruncing seperti mulut ikan itu menjadi semakin runcing. Mukanya yang berwarna kebiruan itu kini menjadi gelap bercampur warna merah.
"Wulansari, kau bocah durhaka, kubunuh kau" sambil mengeluarkan suara mendesis seperti seekor ular, kakek itu sudah maju. menubruk dan menyerang bekas muridnya itu dengan gerakan dahsyat penuh kemarahan.
Begitu menyerang, dia telah mengerahkan Aji Segoro Umub dan pukulan Gelap Sewu. Wulansari mengenai aji-aji itu, dan iapun menggunakan kegesitan tubuhnya untuk mengelak dan balas menyerang. Gadis ini telah mewarisi hampir seluruh ilmu kepandaian Ki Cucut Kalasekti, maka ia sama sekali tidak merasa gentar. Apa lagi, selama ini diam-diam ia telah melatih dan menggembleng dirinya, dan juga ilmu-ilmu yang pernah dipelajarinya dari Panembahan Sidik Danasura, menambah kehebatan tenaga saktinya sehingga dibandingkan dengan Ki Cucut Kalasekti yang usianya sudah tujuhpuluh empat tahun, ia tidak dapat dibilang lebih lemah. Ia bahkan memiliki kecepatan melebihi bekas gurunya itu, dan tentu saja memiliki napas lebih panjang walaupun harus diakuinya bahwa ia masih kalah pengalaman dan bahwa Ki Cucut Kalasekti memiliki, banyak akal yang aneh-aneh.
"Wuuuttt....... dukkk" Ketika Wulansari membalas dengan serangan tamparan Aji Gelap Sewu, Ki Cucut Kalasekti menyambut dengan tangkisan dengan maksud untuk menangkap pergelangan tangan bekas murid itu. Akan tetapi, tak disangkanya begitu kedua lengan bertemu, tubuhnya tergetar hebat dan jangankan dapat menangkap lengan gadis itu, bahkan dia hampir saja terjengkang.
"Ssssshhhh........." Dia mengeluarkan suara mendesis, jari jari tangannya mencengkeram ke depan dengan gerakan aneh dan cepat sekali.
Namun, Wulansari sudah maklum akan akal ini dan iapun berloncatan ke belakang, lalu ke kiri dan dari kakinya melayang dan menendang ke arah pinggang lawan. Ketika Ki Cucut Kalasekti mengelak sambil menggerakkan tangan ke kanan untuk menangkis, tiba-tiba gadis itu menggerakkan tangannya dan jari tangannya yang runcing itu sudah mencuat dan menusuk ke arah mata dan muka lawan. Itulah ilmu pukulan yang pernah ia pelajari dari mendiang Panembahan Sidik Danasura. Dan jari-jari tangannya menyambar hawa yang amat panas sehingga Ki Cucut Kalasekti terkejut dan cepat melempar tubuh ke belakang untuk menghindarkan diri dari pukulan panas yang tak dikenalnya itu. Itulah Aji Dahana Puspita (Bunga Api) yang pernah dipelajari gadis itu dari Panembahan Sidik Danasura dan yang telah mematangkan dengan latihan yang tekun sehingga ilmu itu kini menjadi ilmu pukulan yang bebat karena jari-jari tangannya itu seperti besi-besi panas menyerang lawan.
Ki Cucut Kalasekti yang melempar tubuh ke belakang terpaksa bergulingan karena dikejar oleh gadis itu yang mengirim tendangan-tendangan ke arah bagian-bagian berbahaya dari tubuhnya. Akhirnya, dia mampu pula melompat bangun dan membalas dengan serangan dahsyat yang dapat dielakkan oleh gadis itu. Terjadilah perkelahian yang mati-matian antara bekas guru dan murid ini, yang pada umumnya memiliki gerakan yang sama.
Pertempuran yang terjadi antara Nurseta dan Ki Buyut Pranamaya tidak kalah hebatnya. Ki Buyut Pranamaya amat membenci Nurseta yang dianggap penghalang keberuntungannya itu. Dan diapun tahu bahwa murid mendiang Panembahan Sidik Danasura ini memiliki kesaktian yang hebat, sakti mandraguna dan amat digdaya sehingga biarpun lawan itu masih muda, pantas menjadi cucunya, namun dia tidak berani memandang ringan. Begitu menyerang, dia sudah mengeluarkan pukulan ampuhnya, yaitu Aji Marga Parastra (Jalan Maut). Kedua lengannya bergerak-gerak seperti dua ekor ular menyambar nyambar. Kedua tangannya yang terbuka itu mengeluarkan angin dan mengeluarkan bunyi bercuitan dan sekali saja tangan itu mengenai tubuh lawan, akan hebat akibatnya, karena kalau tangan itu mengenai batu karang saja akan remuklah batu karang itu, mengenai batang pohon akan tumbanglah pohon itu. Apa lagi kalau mengenai tubuh orang" terutama kepalanya.
Nurseta bersikap tenang. Dia lebih mengkhawatirkan Wulansari dari pada dirinya sendiri. Dia mempergunakan kelincahan gerakan tubuhnya untuk mengelak ke sana-sini sambil memperhatikan keadaan Wulansari. Setelah dia melihat dengan kagum betapa gadis itu sama sekali tidak terdesak oleh Ki Cucut Kalasekti dan dapat melawan dalam keadaan seimbang, legalah hati Nurseta dan dia dapat memusatkan perhatiannya kepada lawannya.
"Hahl Ambrol dadamu" Ki Buyut Pranamaya yang menjadi marah karena semua pukulannya dapat dielakkan oleh Nurseta, tiba-tiba mengirim tendangannya yang ampuh, yaitu Aji Cakrabairawa.
"Wuuuuttt......." Tendangan yang dilakukan dengan tubuh melayang itu memang berbahaya bukan main. Selain cepat, juga tendangan itu. mengandung tenaga yang amat dahsyat. Nurseta sudah mengenal tendangan ampuh ini, maka diapun cepat meloncat ke samping untuk
mengelak. Akan tetapi begitu tubuh kakek itu turun ke tanah, dia sudah mengeluarkan bentakan lagi dan tubuhnya membalik, melayang dan kembali tendangan maut menyambar. Terpaksa Nurseta harus mengelak lagi. Sekali ini, begitu membalik Ki Buyut Pranamaya menyusulikan pukulan-pukulannya yang ampuh dengan bertubi-tubi. Pukulan berantai itu amat cepat datangnya, susul menyusu dan setiap pukulan mendatangkan angin dan terasa berat dan kuat bukan main. Nurseta menghadapinya dengan tenang. Kalau dia mengelak, maka lengan kakek itu meluncur dan mengeluarkan suara mendesir.
Nurseta maklum bahwa dia tidak mungkin mengelak terus. Setelah terdesak terus, akhirya diapun mengumpulkan tenaga dan menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.
"Dukkkl" Dua lengan bertemu dan akibatnya, keduanya terpental dan meloncat ke belakang. Ki Buyut Pranamaya mengerutkan alisnya yang tebal. Lengan kirinya yang bertemu dengan lengan kanan Nurseta terasa nyeri seolah tulangnya akan patah. Akan tetapi, dia tidak memperlihatkan hal ini dan sudah menyerang lagi. Serangannya bertubi, diseling dengan tendangan Aji Cakrabairawa yang amat berbahaya itu. Namun, kini Nurseta melawan dengan sama kerasnya.
Tamparan-tamparan tangan Nurseta mengandung Aji Bajradenta menyambar-nyambar ketika dia membalas serangan lawan. Ki Buyut Pranamaya juga mengenal pukulan ampuh. Pemuda itu adalah seorang murid yang sudah digembleng oleh mendiang Panembahan Sidik Danasura, satu-satunya orang yang ditakuti ketika masih hidup. Maka diapun berhati-hati sekali, tidak berani menyambut tamparan pemuda itu secara langsung walaupun kakek ini memiliki aji kekebalan. Dia mengelak atau menangkis dari samping, dan membalas dengan tak kalah sengitnya.
Perkelahian antara Nurseta dan Ki Buyut Pranamaya berlangsung dengan hebat sekali. Ki Buyut Pranamaya terkenal memiliki ilmu meringinkan tubuh yang disebut Garuda Nglayang yang membuat dia dapat berlari cepat seperti terbang dan membuat gerakannya ringan dan cepat sekali, seperti seekor burung garuda vang melayang dan menyambar-nyambar. Akan tetapi, menghadapi Nurseta, dia tidak berani bergerak terlalu cepat karena dia harus membuat setiap pukulan dan tendangannya mantap dan penuh dengan tenaga sakti. Kalau tidak, dia akan kalah karena pemuda itu menggunakan tenaga yang sakti dan kuat sekali. Maka, perkelahian antara mereka berjalan lamban dibandingkan dengan perkelahian antara Wulansari dan Ki Cucut Kalasekti yang nampak lebih cepat.
Bayangan tubuh kedua orang ini berkelebatan dan keduanya berusaha keras untuk saling menekan mengandalkan kecepatan dan kekuatan.
Sementara itu, pertempuran antara seratus orang perajurit pengawal Daha dengan kurang lebih dua ratus orang itu terjadi dengan ramainya. Memang seperti telah diduga dan diharapkan Nurseta, Wulansari telah mengatur siasat yang direncanakan dengan matang sebelum dara ini menghadap Sang Piabu Jayakatwang.
Setelah ia menyelidiki keadaan Nurseta yang ditawan di dalam penjara bawah tanah, ia tidak melihat cara lain untuk menolong kekasihnya itu. Maka, satu-satunya jalan hanyalah menukarkan tombak pusaka Tejanirmala dengan keselamatan Nurseta.
Ia tahu pula akan kelicikan dua orang kakek itu, maka diam-diam ia meninggalkan kota raja itu lagi untuk mengatur persiapan. Perlu diketahui bahwa ketika Singosari jatuh ke tangan pasukan Daha, banyak perajurit Singosari yang terpaksa melarikan diri dan menyusup ke gunung-gunung dan ke dusun-dusun, menjadi petani-petani biasa. Hal ini diketahui benar oleh Wulansari. Sebagai seorang pendekar wanita yang selalu turun tangan membasmi kejahatan, namanya terkenal dan dikagumi. Maka, ketika ia membutuhkan tenaga bantuan, tidak sukar bagi Wulansari untuk menghubungi para bekas perajurit Singosari dan merekapun segera mengumpulkan kawan kawan untuk membantu Wulansari ketika gadis itu mengatakan bahwa dia perlu bantuan untuk menghadapi pasukan Daha. Dalam waktu dua hari saja ia sudah berhasil mengumpulkan lebih dari duaratus orang laki laki yang siap untuk membantunya karena mereka adalah orang-orang yang membenci pasukan Daha. Ia lalu mengatur siasat, menyuruh duaratus orang lebih itu menjadi semacam barisan pendam, bersembunyi di dalam goa dan di balik batu-batu di puncak, dan sebagian besar lagi menanti di kaki Bukit Menur, agar mereka bersembunyi dan siap menunggu saat ia memberi isarat untuk menyerang.
Demikianlah, setelah saatnya tiba, Wulansari menarik Nurseta memasuki goa dan ternyata di dalam goa itu terdapat atap goa yang terbuka dan dari lubang itu Wulansari melepas sebatang anak panah ke udara. Anak panah ini membawa ronce-ronce merah sehingga ketika melayang ke udara, nampak jelas oleh mereka yang bersembunyi dan itulah isaratnya. Mereka lalu menyerbu dan berloncatan keluar dari tempat persembunyian mereka, mengejutkan pasukan pengawal Daha yang seratus orang banyaknya itu.
Pertempuran itu terjadi berat sebelab. Bukan saja pasukan Daha kalah banyak jumlahnya, akan tetapi juga semangat mereka kalah besar. Pasukan Daha itu terkejut dan sama sekali tidak mengira akan diserang oleh orang demikian banyaknya. Juga kedudukan mereka terjepit sekali. Kuda tunggangan mereka tidak dapat bergerak luasa dan ketika mereka berloncatan turun, kuda mereka itu lari cerai-berai. Karena tidak terpimpin dengan baik, keadaan kacau balau, hal ini sudah membuat nyali mereka menjadi kecil dan semangat mereka pudar. Sebaliknya, orang-orang yang menyerbu memang sudah merencanakan sebelumnya, kedudukan mereka lebih baik, jumlah mereka lebih besar dan ditambah pula dendam yang membara di hati mereka, maka tentu saja semangat merekapun jauh lebih besar.
Para perajurit Daha roboh bergelimpangan. Ada yang lari dan terjerumus ke dalam jurang, ada pula yang nekat menuruni bukit melalui jalan lain dan merekapun ikut longsor terbawa batu-batu yang menggelundung turun. Pekik dan jerit kesakitan terdengar dan disambut sorak-sorai para pembantu Wulansari. Lebih dari setengah jumlah perajurit Daha roboh dan sebagian lagi ada yang terjerumus ke dalam jurang atau jatuh bergulingan ke bawah bukit. Hanya sebagian kecil saja yang berhasil lolos dari maut.
Perkelahian tingkat tinggi antara Nurseta melawan Ki Buyut Pranamaya dan Wulansari melawan Ki Cucut Kalasekti masih berlangsung dengan hebatnya.
"Ahhhh........ " Ki Buyut Pranamaya menubruk bagaikan seekor beruang marah, lengan kanannya yang panjang itu meluncur dan telapak tangan terbuka yang mengandung tenaga sakti yang berbahaya itu memukul kearah dada Nurseta.
Pemuda ini miringkan tubuh, menangkis dengan lengan kanan pula, dan ketika kakinya bergeser, tangan kirinya membalas dengan pukulan kearah muka lawan. Ki Buyut Pranamaya menekuk lengan kanan yang tadi gagal memukul, memutarnya dan menangkis pukulan tangan kiri Nurseta, lalu kaki kirinya maju dan dengan kiri ditekuk, sikunya disodokkan ke arah dada Nurseta. Pemuda ini melangkah mundur mengelak, akan tetapi siku yang ditekuk itu dilonjorkan dan tangan kiri itu mencengkeram ke arah bawah pusar. ini merupakan serangan yang amat curang dan berbahaya sekali.
Namun, Nurseta tidak menjadi gugup. Lengannya mengibas ke bawah dan menangkis. Akan tetapi, kiranya cengkeraman ke arah bawah pusar itupun hanya pancingan saja karena tiba-tiba, dalam keadaan yang dekat itu, Ki Buyut Pranamaya menekuk lututnya dan lutut itu sudah menghantam ke arah perut Nurseta. Hal ini sungguh tidak tersangka sama sekali dan Nurseta tidak mampu mengelak atau menangkis lagi, hanya mengerahkan kekebalan kearah perutnya.
"Desss.........." Perut itu ditumbuk lulut seperti dihantam palu godam dan biarpun kekebalannya membuat isi perut tidak terguncang, namun tetap saja saking kerasnya tumbukan lutut itu, tubuh Nurseta terjengkang, Dia malah sengaja melempar tubuh ke belakang, lalu bergulingan. Untung dia melakukan ini, karena kalau tidak, tentu dia sudah celaka oleh lawannya yang sudah mengejar dan kini kedua kaki Ki Buyut Pranamaya berusaha untuk menendang kepala atau dada pemuda itu. Nurseta yang bergulingan mampu menghindar dan diapun meloncat bangun lagi.
"Hahaha, hancur isi perutmu" bentak Ki Buyut Pranamaya dan diapun menyerang dengan tendangan tendangannya yang hebat. Dengan sigap, Nurseta mengelak terus. Akan tetapi dia mulai terdesak. Dia terus mundur kearah Wulansari yang juga nampak terdesak oleh Ki Cucut Kalasekti.
Sebetulnya, Nurseta tidak terdesak, hanya dia memang sengaja terus mundur untuk mendekati Wuiansari yang sudah terdesak sampai ke dekat jurang oleh lawannya.
Wulansari memang terdesak oleh Ki Cucut Kalasekti yang mempunyai banyak sekali jurus-jurus pukulan yang curang. Bahkan kaki kini gadis itu pernah tersabet tendangan Ki Cucut Kalasekti, sehingga terasa nyeri dan membuat gadis itu agak terpincang. Namun, Wulansari tidak pernah mengeluh dan terus mempertahankan dirinya. Kini ia memegang kerisnya yang kecil bersinar kuning emas itu, sedangkan Ki Cucut Kalasekti juga memegang sebatang keris panjang yang hitam dan bentuknva seperti ular.
Wulansari maklum bahwa keris di tangan bekas gurunya itu adalah sebatang keris yang beracun. Akan tetapi keris di tangannya juga beracun dan kini perkelahian diantara mereka sudah merupakan perkelahian mati-matian.
Wulansari memang kalah pengalaman dan kalah matang gerakannya, namun ia menang ulet dan menang napas. Ki Cucut Kalasekti, seperti halnya Ki Buyut Pranamaya, sadah mulai berkeringat dan napas mereka sudah mulai terengah-engah. Perkelahian itu terlalu lama dan terlalu banyak memeras tenaga mereka yang sudah tua.
Melihat keadaan kekasihnya, Nurseta merasa khawatir juga. Dia harus dapat cepat merobohkan Ki Buyut Pranamaya agar dia dapat membantu Wulansari. Para pembantu Wulansari yang sudah menang dalam pertempuran itu, kini hanya berani menonton dari jauh saja, karena mereka semua maklum bahwa kalau mereka membantu, mereka seperti mengantar nyawa dan akan mati konyol saja.
Nurseta mulai memperhatikan keadaannya. Ki Buyut Pranamaya terus melancarkan serangan berhati-hati, pukulan dan cengkeraman susul menyusul, diselingi tendangan Cakrabairawa. Agaknya kakek yang sudah terengah-engah itu bendak mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk mencapai kemenangan karena dia sudah mulai mendesak lawan sehingga lawan itu mundur terus.
Nurseta bergerak sampai dia dekat dengan sebuah jurang yang amat curam, dan ketika lawannya menendang lagi, dia mengerahkan tenaganya meloncat ke atas melampaui atas kepala lawan.
Ki Buyut Pranamaya terkejut dan cepat membalikkan tubuh dan pada saat itu, Nurseta sudah mengerahkan seluruh tenaga saktinya melalui kedua lengannya, kemudian, dengan Aji Jagad Pralaya yang dahsyat dia menyerang dengan kedua telapak tangan mendorong.
Ketika gerakannya agak mengendur, tiba-tiba sebuah tendangan kaki Ki Buyut Pranamaya menyambar dan mengenai pinggangnya.
"Desss........" Tendangan Aji Cakrabairawa itu amat kuatnya dan biarpun Nurseta sudah menahan dengan kekebalan tubuhnya, telah mengerahkan tenaga sakti ke dalam pinggang yang tertendang, tetap saja dia terpelanting roboh. Pada saat itu, sebatang pedang dan sebatang tombak menyambar dari kanan kiri. Dia mengeluarkan bentakan nyaring, tangannya mendorong ke atas dalam keadaan telentang, dan dari kedua tangan itu menyambar tenaga dahsyat dari Aji Jagad Pralaya. Dua orang perwira yang menyerangnya itu menjerit dan tobuh mereka terlempar sampai jauh dalam keadaan tidak bernyawa lagi. Akan tetapi pada saat itu juga, Ki Cucut Kalasekti sudah menubruk dari samring dan kedua lengan Nurseta dapat ditangkap dan ditelikungnya, Ki Buyut Pranamaya datang membantu, tangannya menghantam tengkuk pemuda itu dan Nurseta terkulai pingsan.
"Jangan bunuh dia" Ki Cucut Kalasekti membentak dan melarang para perwira Daha yang hendak menyerang pemuda yang sudah pingsan itu. Karena semua perwira mengenal Ki Cucut Kalasekti atau Adipati Satyanegara dari Bendowinangun sebagai seorang kepercayaan Snbaginda, maka merekapun tidak berani membantah.
Ketika Ki Buyut Pranamaya bertanya mengapa pemuda yang amat berbahaya itu tidak dibunuh saja, Ki Cucut Kalasekti tertawa.
"Hahahaha, kita rugi besar kalau dia dibunuh. Ingat, tombak pusaka itu belum jatuh ke tangan kita. Nurseta inllah yang akan mendatangkan tombak pusaka itu kepada kita. Untuk menebus nyawanya, kalau tombak itu berada padanya, tentu dia akan menukar tombak itu dengan nyawanya. Sebaliknya kalau tidak ada padanya dan masih berada di tangan WuJansari, maka kalau gadis setan itu mendengar bahwa Nurseta menjadi tawanan di Kediri, tentu ia akan datang ke sini"
"Hemm, gadis itu bukan orang bodoh. Bagaimana kalau ia tidak datang" Berarti kita akan membuang waktu sia-sa saja" kata Ki Buyut Pranamaya.
"Ha haha, ia memang bukan orang bodoh, akan tetapi apakah kau kira aku ini bodoh" Ingat, Wulansari itu aku yang mendidiknya sehingga menjadi pintar, maka tentu aku lebih pintar dari padanya. Aku mengenalnya sejak ia masih remaja, dan aku tahu benar akan wataknya. la seorang gadis yang keras hati dan pemberani, juga ia amat mencinta Nurseta. Kalau ia mendengar bahwa orang yang dikasihinya itu tertawan, tentu ia akan menggunakan segala dayanya untuk menyelamatkan Nurseta. Aku merasa yakin bahwa ia tentu akan muncul disini"
Demikianlah, Nurseta menjadi seorang tawanan yang ditahan di dalam penjara bawah tanah yang amat kuat. Bukan hanya kaki tangannya yang dibelenggu. juga tempat tahanan itu dijaga ketat bahkan selalu diamati oleh dua orang kakek sakti sehingga dia sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk lolos dari situ.
Mulailah Narseta merasa menyesal mengapa dia tidak ingat akan dua orang kakek yang sakti itu sehingga dia sampai tertawan. Dia tidak menyesal menjadi tawanan, bahkan andaikata dia matipun dia tidak akan menyesal. Yang disesalkan adalah karena tugasnya belum selesai. Ki Ageng Tejanirmala belum dapat dia serahkan kepada Raden Wijaya.
Sang Prabi Jayakatwing girang mendengar laporan Ki Cucut Kalasekti bahwa tombak pusaka itu tentu akan dapat ditemukan kembali dengan ditawannya Nurseta. Hal ini sedikitnya menjadi penghibur hatinya yang gelisah karena adanya gerakan pemberontakan dari Majapahit dan Madura, apa lagi dengan adanya berita bahwa dari pantai utara datang pasukan Tartar yang amat kuat.
Dugaan Ki Cucut Kalasekti memang tidak ngawur. Ketika Wulansari yang menyamar sebagai pria menyelundup ke dalam kota raja Kediri, dan ia mendengar berita yang sengaja disebar bahwa Nurseta telah menjadi tawanan Sang Prabu Jayakatwang, ia terkejut bukan main.
Dengan hati-hati ia meiakukan penyelidikan dimana pemuda yang dikasihinya itu ditahan. Ketika ia mendengar bahwa Nurseta ditahan di dalam penjara bawah tanah dan dijaga sendiri oleh Ki Cucut Kalasekti dan Ki Buyut Pranamaya, ia terkejut bukan main dan iapun tahu bahwa menolong kekasihnya dengan kekerasan merupakan suatu hal yang tidak mungkin terjadi. Sebagai seorang bekas pengawal pribadi Sang Prabu Jayakatwang, ia tahu apa artinya ditahan di dalam penjara bawah tanah, yaitu bahwa orang yang ditahan di sana tidak mungkin dapat dibebaskan dari luar. Selain penjagaan amat ketat, juga memiliki banyak pintu yang tebal. Apa lagi ada dua orang kakek sakti itu yang berjaga. Jalan kekerasan tidak mungkin dapat membebaskan kekasihnya, akan tetapi bagaimanapun juga ia harus membebaskan Nurseta. Hidupnya takkan ada artinya lagi kalau sampai Nurseta tewas, apa lagi tewas sebagai seorang tawanan. Andaikata kekasihnya itu gugur di medan pertempuran, hal itu masih dapat diterimanya, Akan tetapi mati dalam tawanan musuh. Tidak, ia harus dapat menolongnya. Harus.
*** "Berhenti. Siapa kau yang berani lancang masuk ke sini?" bentak seorang komandan jaga dan selusin perajurit pengawal diluar istana Kerajaan Daha sudah menodongkan tombak mereka kepada pemuda yang berani memasuki pekarangan itu.
"Hemm, apakah kalian sudah tidak mengenalku lagi?" kata Wulansari dengan suara biasa, suara wanita.
"Ia...... ia........ seorang wanita......"
"Seperti........ Wulansari........"
Wulansari tersenyum"Benar, aku Wulansari. Aku ingin menghadap Sribaginda. Harap laporkan ke dalam, katakan bahwa aku Wulansari ingin menghadap Gasti Prabu Jayakatwang. Penting sekali"
Gegerlah keadaan para perajurit pengawal itu. Mereka tentu saja sudah mengenai Wulansari, bahkan biasanya mereka kagum dan juga jerih terhadap pangawal pribadi Sribaginda yang sakti ini. Akan tetapi merekapun mendengar bahwa gadis perkasa ini telab minggat dan kini menjadi buruan. Dan merekapun sudah mendengar pesan Ki Cucut Kalasekti agar cepat melapor kalau Wulansari muncul.
Selagi mereka itu kebingungan, tiba-tiba terdengar suara ketawa dan muncullah dua orang kakek sakti yang membuat para perajurit itu bernapas lega. Ki Cucut Kalasekti dan Ki Buyut Pranamaya yang kebetulan baru keluar dari istana segera mengenal "pemuda" yang dihadapi oleh para perajurit pengawal dengan sikap bingung itu.
"Ha haha, tidak salah dugaanku. Kau pasti akan muncul, Wulansari cucuku yang cantik, hehheh " kata Ki Cucut Kalasekti sambil menghampiri gadis yang berpakaian pria itu.
"Ki Cucut Kalasekti, ingat, aku bukan cucumu" kata Wulansari dengan sikap angkuh"Heh heh, Wulansari muridku yang manis?"
"Hanya bekas murid, Ki Cucut. Ingat, sekarang aku musuhmu, bukan lagi muridmu"
"Ha ha ha, baru mendapatkan beberapa petunjuk dari mendiang Panembaban Sidik Danasura, kau sudah menjadi begini sombong, Wulan. Nah, katakan kepadaku, bukankah kedatanganmu ini karena Nurseta?"
Wulansari mengerutkan alisnya. Sebelum ia datang ke istana Daha, ia telah mengatur siasat sematangnya, bahkan munculnya dua orang kakek sakti inipun tidak mengejutkan hatinya karena memang sudah ia perhitungkan dan iapun sudah mengatur siasat bagaimana untuk menghadapi dua orang kakek sakti ini.
"Ketahuilah. Ki Cucut Kalasekti, juga kau Ki Buyut Pranamaya. Aku datang ini sama sekali tidak ada urusannya dengan kau berdua, atau dengan siapa saja. Aku datang untuk menghadap Sang Prabu Jayakatwang sendiri"
"Wah, Ki Cucut, bekas muridmu ini sungguh tinggi hati dan besar kepala" Ki Buyut Pranamaya mencela dengan hati panas karena dia sama sekali tidak dipandang mata oleh gadis itu.
"Wulan, jangan kau bersikap begini. Kau datang untuk minta agar Nurseta dibebaskan, bukan" Nah, serahkanlah tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala kepada kami, dan kami akan menyerahkan Nurseta kepadamu"
"Ki Cucut, sudah kukatakan bahwa aku tidak mau berurusan dengan kalian berdua. Aku hanya mau berurusan dengan Sang Prabu Jayakatwang"
"Babo babo, bocah sombong" Ki Buyut Pranamaya berseru "Kalau kami turun tangan menangkapmu, apa kau kira akan mampu lolos dari tangan kami " Kau sudah berada di sini. terkepung, biar pandai terbangpun takkan dapat lolos. Tidak perlu berlagak lagi"
"Siapa perduli obrolanmu, Ki Buyut " Kalian boleh. tangkap aku, boleh bunuh aku, akan tetapi jangan harap bisa mendapatkan tombak pusaka itu. Boleh pilih, hadapkan aku kepada Sang Prabu Jayakatwang sekarang juga dan aku akan menyerahkan tombak pusaka kepadanya, atau kalian menghalangiku dan aku akan melawan sampai mati, akan tetapi jangan harap tombak pusaka itu akan dapat kalian peroleh"
Ki Buyut Pranamaya membentak, "Huh, kau kira bisa menggertakku" Kalau kau sudah kusiksa, hendak kulihat apakah kau tidak akan menyerahkan tombak itu" Dia sudah hendak bergerak menyerang, akan tetapi Ki Cucut Kalasekti menengahi. Dia sudah mengenai watak gadis yang pernah menjadi murid dan cucu terkasih ini. Dia tahu bahwa Wulansari amat keras hati dan tidak takut mati. Biar disiksa bagaimacapun juga, sampai mati, ia pasti tidak akan sudi menyerah. Dan akibatnya, dia dan Ki Buyut Pranamaya yang akan menanggung kemarahan Sang Prabu Jayakatwang. Dan hal itu tentu saja amat berbahaya bagi mereka.
"Baiklah, Wulansari. Kami akan mengantarmu menghadap Prabu Jayakatwang. Akan tetapi awas, kami selalu berada di dekatmu dan kalau kau membuat ulah yang tidak-tidak, kami tidak akan segan segan untuk membunuhmu" kata Ki Cucut Kalasekti.
"Dan menyiksamu" tambah Ki Buyut Pranamaya.
Seorang perajurit lalu diperintah oleh Ki Cucut Kalasekti untuk melapor ke dalam agar disampaikan kepada Sang Prabu Jayakatwang bahwa dia dan Ki Buyut Pranamaya mohon menghadap bersama Wulansari.
Mendengar laporan itu, Sang Prabu Jayakatwang dengan bersemangat sekali lalu memerintahkan tiga orang itu menghadapnya. Dia pun mempersiapkan pasukan pengawal pribadi untuk menjaga keselamatannya, karena bagaimanapun juga, dia masih curiga kepada Wulansari yang telah melarikan Dyah Gayatrt dan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala dari dalam istana.
Ketika dua orang kakek sakti itu menyembah kepada Sang Prabu Jayakatwang, Wulansari juga memberi hormat, akan tetapi ia tidak berlutut, hanya menyembah sambil berdiri saja. Melihat sikap ini, Sang Prabu Jayakatwang memandang kepada gadis yang pernah disayangnya itu.
"Hemm, kiranya kau, Wulansari. Kalau kami menghendaki, sekarang juga tanpa banyak cakap, aku dapat memerintahkan agar kau ditangkap dan dijatuhi hukuman berat. Akan tetapi sebelum aku lakukan itu, aku ingin mendengar dulu apa maksudmu datang menghadap kami" Jelas babwa dalam suara Sribaginda mengandung kemarahan terhadap gadis ini. Akan tetapi Wulansari bersikap tenang saja. Hal inipu sudah diperhatikannya dan sudah diduganya akan terjadi.
"Hamba mengerti akan kemarahan paduka, gusti. Akan tetapi hambapun tidak merasa bersalah. Kepergian Puteri Gusti Dyah Gayatri adalah atas kehendaknya sendiri......."
"Akan tetapi kau telah berani mencurl Ki Ageng Tejanirmala" Sang Prabu Jajakatwang membentak marah.
"Bagaimanapun juga, tombak pusaka itu daiulunya adalah hamba yang mendapatkan. Akan tetapi, gusti, Hamba datang bukan untuk membicarakan soal yang telah lalu, Hamba datang untuk menyerahkan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala kepada paduka dengan syarat agar kakangmas Nurseta yang paduka tawan itu dibebaskan. Hamba hendak menukarkan Ki Ageng Tejanirmala dengan kakangmas Nurseta"
"Omong besar" Raja itu membentak, marah karena ada orang berani mengajukan tuntutan kepadanya seperti itu, seolah-olah dia yang hendak diperintah "Kau sungguh sumbong, Wulansari. Kalau sekarang aku perintahkan kau ditangkap, dan kami paksu untuk mengembalikan tombak pusaka itu, apa kau kira akan mampu lolos ?"
Wulansari tersenyum. Senyum yang dahulunya selalu mendatangkan perasaan aman dalam hati Sribaginda, kini senyum itu seperti keris penusuk ulu hatinya, "Gusti, kalau hamba takut akan ancaman itu, tentu hamba tidak akan datang ke sini. Kalau paduka menyuruh menangkap dan membunuh hamba, tombak pusaka itu selamanya tidak akan kembali ke tangan paduka. Biar paduka menyuruh orang menyiksa hamba sampai mati, hamba tidak akan menyerahkan tombak pusaka itu. Maka, paduka tinggal pilih. Menurutl permintaan hamba agar kakangmas Nurseta ditukar dengan Ki Ageng Tejanirmala, atau hamba akan mengamuk. Dan kiranya tidak akan mudah menangkap hamba, biar di sini ada dua orang kakek iblis ini" Kini suara Wulansari penuh tantangan. Wajah raja itu menjadi agak pucat. Dia marah sekali dan ingin dia mengeluarkan perintah agar gadis ini dikeroyok dan ditangkap, akan tetapi dia teringat akan kepentingan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Tombak pusaka itu adalah wahyu kerajaan. Kerajaan Daha akan selalu jaya kalau dia memiliki tombak pusaka itu. Pada hal, sekarang Kerajaan Daha sedang terancam malapetaka karena pemberontakan Raden Wijaya. Dia merasa bimbang, diombang-ambingkan kemarahan dan juga keinginan memiliki kembali tombak pusaka itu.
Pada saat itulah Ki Cucut Kalasekti yang maklum akan isi hati junjungannya, menyembah dan berkata, "Ampunkan hamba, gusli. Kalau paduka mengijinkan, biarlah hamba berdua Ki Buyut Pranamaya berurusan dengan Wulansari. Hamba berdua yang akan menanggung bahwa tombak pusaka itu pasti akan diserahkan oleh Wulansari kepada hamba berdua. Hamba yang akan mengawal Nurseta ketika pertukaran terjadi, dan hamba jamin Wulansari tidak akan dapat menipu paduka. Percayalah, segalanya tentu akan berakhir dengan beres dan menyenangkan, sesuai dengan keinginan hati paduka"
Raja Jayakatwang dapat menangkap apa yang tersembunyi dalam katakata Ki Cucut Kalasekti itu. Dalam kalimat terakhir itu jelas tersimpul janji kakek sakti itu bahwa dia tidak akan begitu bodoh untuk memenuhi permintaan gadis itu begitu saja. Tentu kakek itu telah mengatur akal agar tombak pusaka dapat dikuasai kembali, dan di samping itu, selain Nurseta tidak perlu dibebaskan, juga agar gadis itu dapat ditangkap.
"Heh, Wulansari. Kau sungguh berani mati sekali mengajukan tuntutan kepadaku. Mengapa kau begitu mati-matian untuk membebaskan Nurseta" Apakah alasanmu?"
Tanpa merasa sungkan sedikitpun, Wulansari menjawab dengan suara lantang "Gusti, hendaknya paduka ketahui bahwa kakangmas Nurseta sebenarnya masih sanak keluarga paduka sendiri"
"Ehhh........?"" Sang Prabu Jayakatwang terbelalak, lalu memandang kepada Ki Cucut Kalasekti.
"Bagaimana ini, Adipati Satyanegara, benarkah ucapan Wulansari itu?"
"Hamba sendiri juga tidak tahu, gusti" kata Ki Cucut Kalasekti yang memandang heran kepada bekas muridnya itu.
"Wulansari, bagaimana kau dapat mengatakan demikian" Ada hubungan apa antara Nurseta dengan keluargaku?"
"Hendaknya paduka ketahui bahwa kakangmas Nurseta adalah putera kandung mendiang Pangeran Panji Hardoko"
Sepasang mata Sribaginda makin melebar. Mendiang Pangeran Panji Hardoko adalah adik tirinya, seorang pangeran putera seorang diantara selir ayahnya.
"Tapi.... setahuku, dia meninggal dunia tanpa meninggalkan putera" katanya menyangkal.
"Memang tidak ada yang mengetahui hal itu, gusti. Ayahnya adalah mendiang Pangeran Panji Hardoko dan ibunya adalah Ni Dedeh Sawitri. Sebelum meninggal dunia, Raden Panji Hardoko menyerahkan Nurseta yang masih, bayi kepada Ki Bayaraja yang kemudian memberontak kepada Kerajaan Singosari dan tewas. Nurseta oleh Ki Bayaraja diserahkan kepada adiknya, yaitu mendiang Ki Baka. Demikianlah, gusti. Karena kakangmas Nurseta adalah darah keluarga paduka sendiri, sudah sepatutnya kalau dia diampuni"
"Hemmm, akan tetapi, andaikata dia itu benar keluarga kami, masih tidak ada hubungannya denganmu. Kenapa kau bersusah payah mempertaruhkan nyawa untuk membebaskannya?"
"Dia adalah tunangan hamba" jawab Wulansari dengan berani.
Prabu Jayakatwang tertawa dan mengelus jenggotnya "Aha, kiranya demikian. Pantaslah kalau begitu. Baik, Wulansari. Aku mau menukar Nurseta dengan Ki Ageng Tejanirmala. Apakah sekarang juga kau akan menyerahkan tombak pusaka itu kepada kami?"
"Tombak pusaka itu hamba simpan di suatu tempat dan di sanalah pertukaran itu dapat hamba lakukan, Kakangmas Nurseta harus dibawa ke tempat itu dan di sana hamba akan menukarkan tombak pusaka itu dengan kakangmas Nurseta"
"Hemm, di manakah tempat itu?" Ki Cucut Kalasekti bertanya.
"Di sebuah goa di suatu bukit" jawab Wulansari dengan cerdik. Kalau ia menyebutkan tempat itu dengan jelas, tentu dua orang kakek jahat dan licik ini akan melanggar janji, akan menangkapnya dan mereka akan mengambil sendiri pusaka itu.
"Katakan di mana?" Ki Buyut Pranamaya membentak.
Wulansari tersenyum mengejek "Tidak akan kuberitahu di mana. Pendeknya, tempat itu baru dapat kalian ketahui kalau kakangmas Nurseta sudah dibawa ke sana"
"Hah. Jauhkah dari sini?" Ki Cucut Kalasekti bertanya, khawatir kalau-kalau gadis itu telah mempersiapkan perangkap untuk dia
"Hanya setenjah hari perjalanan" jawab Wulansari dan hati kakek itu merasa lega. Kalau hanya perjalanan setengafa hari, berarti tempat itu masih termasuk wilayah Kediri dan tidak begitu jauh dari kota raja. Tempat itu tentu aman baginya, tidak termasuk daerah musuh.
"Baiklah, mari kita berangkat" katanya kepada Wulansari, dan dia menyembah kepada Sang Prabu Jayakatwang "Gusti, hamba mohon diri, hamba akan membawa Nurseta dari dalam tahanan untuk ditukar dengan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala"
Prabu Jayakatwang, dengan wajah berserl, mengangguk "Baik, paman adipati. Laksanakan tugasmu sebaik mungkin"
Ki Buyut Pranamaya juga berpamit, dan Wulansari berkata kepada raja itu "Gusti.. hamba menghaturkan terima kasih atas segala kebaikan paduka kepada hamba, dan hamba berjanji bahwa hamba tidak akan mencampuri perang antara Kediri dengan musuh dari manapun juga"
Prabu Jayakatwang mengangguk dan tersenyum. Kau boleh bicara apa saja, gadis manis, pikirnya. Tombak pusaka itu akan kembali kepadanya, dan Nurseta akan tetap ditahan, juga gadis ini akan ditangkap, hidup ataupun mati.
"Diajeng Wulan......." Nurseta terbelalak memandang kepada gadis itu ketika dia dibawa keluar dari dalam penjara bawah tanab oleh Ki Cucut Kalasekti dan Ki Buyut Pranamaya dengan kedua tangan dibelenggu ke belakang.
Wulansari memandang pemuda itu. Kerinduan membayang di matanya. Ingin ia menubruk pemuda yang dicintanya itu, akan tetapi ia menahan gejolak hatinya dan ia hanya tersenyum.
"Kakangmas Nurseta, sukur kau masih selamat dan sehat" katanya lirih dan singkat.
Setelah sejenak menatap wajah pemuda itu dengan sepenuh kasih sayangnya, ia lalu menundukkan pandang matanya. Sikap ini saja sudah dapat ditangkap oleh Nurseta bahwa gadis itu sungguh masih amat mencintanya seperti dia mencinta Wulansari, akan tetapi gadis itu sengaja menunduk dan ini berarti bahwa keadaan gawat dan dia tidak boleh banyak bicara. Akan tetapi, kalau dia diam saja, hal itu bahkan akan menimbulkan kecurigaan dua orang kakek sakti itu, pula, hatinya juga merasa tidak enak sekali kalau dia belum mengetahui apa maksudnya dia dibawa keluar dari penjara dan di situ dia melihat Wulansari telah menanti di alun-alun istana Kerajaan Daha.
"Diajeng Wulansari, apa artinya semua ini" Kenapa kau berada di sini" Apa yang terjadi?"
Sikap dan pertanyaan Nurseta demikiam wajarnya, akan tetapi Wulansari melihat suatu ketidak-wajaran. Dara ini sudah mengenal benar watak Nurseta yang biasanya tenang sekali. Kini pemuda itu kelihatan begitu terheran-heran disertai kekhawatiran, maka iapun dapat menduga bahwa memang pemuda itu sengaja bersikap demikian agar tidak mendatangkan perasaan curiga kepada dua orang kakek sakti. Diam-diam Wulansari kagum bukan main. Kekasihnya itu selain tampan dan sakti, juga cerdik sekali. Akan tetapi ia menymipan kegembiraan dan kekagumannya ini dalam hati, lalu iapun menarik muka khawatir, dan menjawab lirih.
"Kakangmas Nurseta, aku mendengar bahwa kau ditahan di sini. Hatiku menjadi risau dan gelisah bukan main, maka aku lalu nekat menghadap Prabu Jayakatwang untuk memintakan pengampunan untukmu"
"Apa" Kau yang sudah menjadi pelarian dan orang buruan karena melarikan Puteri Dyah Gayatri datang menghadap Sang Prabu Jayakatwang" Diajeng Wulan, itu namanya sama dengan mencari penyakit" Nurseta berseru dan menegur, kembali hal ini tidak wajar bagi Wulansari dan iapun semakin yakin bahwa pemuda itu bersandiwara untuk membantunya menyempurnakan siasat yang sedang ia jalankan.
"Hahaha, Nurseta. Muridku ini bukan mencari penyakit, akan tetapi ia datang untuk menolongmu, dan ia berhasil, hahaha. Kalau tidak ada muridku ini, jangan harap kau dapat hidup" Ki Cucut Kalasekti berkata mengejek.
"Ki Cucut Kalasekti, aku bukan muridmu lagi" Wulansari membentak.
"Tapi....... tapi...... bagaimana kau dapat menolongku, diajeng" Aku masih dibelenggu, dan di sini........ ada dua orang kakek iblis ini........"
"Kakangmas, jangan khawatir. Kau pasti akan dibebaskan, karena sudah kujanjikan kepada Sang Prabu Jayakatwang bahwa engkau, akan kutukar dengan tombak pusaka......"
"Ki Ageng Tejanirmala?" Nurseta berseru seperti orang terkejut" dan Wulansari tahu pula bahwa ini adalah buatan, karena betapapun terkejutnya, kekasihnya itu tidak akan memperlihatkannya seperti itu kalau memang tidak disengaja.
"Benar, kakangmas. Hanya itulah yang akan dapat membebaskanmu. Dua orang kakek ini akan ikut bersamaku dengan membawamu, ke tempat pusaka itu kusimpan. Setelah pusaka kuberikan kepada mereka, kau akan dibebaskan. Aku harus melakukan ini, kakangmas, untuk menyelamatkanmu"
"Hahaha, benar sekali itu. Pusaka, tombak pusaka, untuk apa sih bagi seorang gadis manis seperti Wulansari" Tombak pusaka tidak bisa bicara, tidak hidup, tidak bisa bergerak, tidak dapat diajak bercumbu rayu......."
"Tutup mulutmu" Nurseta membentak dan sekali ini bukan hanya pura-pura karena memang dia marah mendengar ucapan itu Ki Cucut Kalasekti, "aku tidak pernah tunduk dan menyerah kepadamu, sampai sekarangpun. Karena itu, jaga baik-baik mulutmu yang kotor"
Demikianlah, kakangmas Nurseta. Mari kau ikut dengan kami, dan kau akan dibebaskan di sana....."
"Tidak. Bagaimana kau hendak menyerahkan tombak pusaka kepada orang-orang ini, diajeng " Tombak pusaka itu berharga sekali, jauh lebih penting dari pada diriku"
"Kakangmas, tombak pusaka itu kuserahkan kepada mereka ini untuk dihaturkun kepada Sang Prabu Jayakatwang. Dan bagiku, di dunia ini tidak ada yang lebih penting dari pada keselamatanmu. Sudahlah, kakangmas, harap jangan membantah lagi. Mari, Ki Cucut dan Ki Buyut, kita berangkat"
"Nanti dulu, Wulansari. Kami akan membawa pasukan pengawal karena kami khawatir kalau-kalau kau akan menjebak kami, hahaha" kata Ki Cucut Kalasekti tertawa.
Diam-diam Nurseta terkejut. Kalau benar dugaannya bahwa Wulansari pasti tidak akan menyerahkan pusaka itu begitu saja melainkan hendak menggunakan akal, maka dengan adanya pasukan pengawal, maka tentu usaha Wulansari itu akan sia-sia belaka.
"Hemm, Ki Cucut Kalasekti, sungguh kau tidak patut dinamakan seorang datuk yang sakti. Kau sudah berdua bersama Ki Buyut Pranamaya, keduanya orang-orang tua yang katanya sakti mandraguna, digdaya dan tidak takut melawan siapapun juga. Kini, menghadapi seorang gadis seperti diajeng Wulansari saja, kalian sudah ketakutan setengah mati sehingga kalian merasa perlu membawa pasukan pengawal. Sungguh tidak tahu malu sekali"
"Hahaha, kami berdua tidak takut kepada Wulansari dan kepadamu, Nurseta" kata Ki Cucut Kalasekti "Akan tetapi siapa tahu Wulansari menyembunyikan teman temannya di tempat itu. Kami harus membawa pasukan"
"Sesukamulah, Ki Cucut Kalasekti. Aku memang tahu bahwa kau seorang pengecut. Berapa ribukah pasukan yang kau bawa serta?" kata Wulansari dengan suara dan sikap mengejek sekali sehingga mau tidak mau wajah kakek itu berubah kemerahan.
"Keparat, berani kau memaki aku pengecut" Pasukan ini hanya untuk berjaga-jaga, seratus orangpun sudah cukup"
"Wulansari, awas kau kalau menipu kami" kata Ki Buyut Pranamaya
"Diajeng Wulan, hati-hatilah. Aku tahu bahwa kau jujur dan memegang janji, akan tetapi mereka ini orang-orang yang amat kejam dan curang. Aku tetap tidak percaya kepada mereka"
"Jangan khawatir, kakangmas. Sang Prabu sendiri sudah berjanji kepadaku. Akan tetapi, baik juga kalau kau berdua, Ki Cucut Kalasekti dan Ki Buyut Pranamaya, sekarang mengucapkan janji bahwa kalian di sana tidak akan mengganggu kami dan melepaskan kakangmas Nurseta"
"Aku berjanji tidak akan mengganggu Nurseta dan akan melepaskannya" kata Ki Cucut Kalasekti.
"Dan aku berjanji tidak akan menpganggumu, Wulansari" kata Ki Buyut, Pranamaya cepat-cepat.
"Mari kita berangkat" kata Wulansari, agaknya tidak perduli bahwa dua orang kakek itu membawa seratus orang perajurit pengawal. Mereka semua menunggang kuda. Wulansari menunggang kuda, dan Nurseta juga mendapatkan seekor kuda. Kedua tangannya yang tadinya dibelenggu ke belakang, kini dibelenggu di depan sehingga dia dapat memegang kendali kuda, akan tetapi kalau Wulansari menunggang kuda di depan sendiri, Nurseta harus menjalankan kudanya di antara dua orang kakek itu. Pasukan seratus orang perajurit pengawal mengikuti dari belakang.
Karena mereka menunggang kuda, maka rombongan ini dapat tiba di tempat tujuan lebih cepat. Tengahari lewat sedikit mereka sudah mendaki sebuah bukit, yaitu Bukit Menur. Bukit itu merupakan satu diantara ribuan bukit yang memanjang di sebelah selatan dari barat ke timur, sebuah bukit kapur di mana terdapat banyak goa. Bukit yang hutannya tidak begitu lebat namun daerahnya liar dan tidak ditinggali penduduk.
Dua orang kakek itu memberi isarat kepada pasukannya agar berhati-hati walaupun bukit ini masih berada di wilayah Kediri.
Setelah tiba di bawah sebuah puncak batu karang dan kapur, Wulansari menghentikan kudanya, lalu melompat turun., Melihat ini, dua orang kakek itupun berlompatan turun dan Nurseta juga disuruh turun akan tetapi tetap berada di antara dua orang kakek itu yang menghampiri Wulansari.
Wulansari menunjuk ke puncak itu "Pusaka itu kusimpan di sana, dan untuk mendaki ke sana harus berjalan kaki, tidak dapat berkuda"
Dua orang kakek itu, juga Nurseta, memandang ke atas. Puncak itu penuh dengan batu-batu besar dan dari bawah memang nampak lubang-lubang goa, akan tetapi entah di goa yang mana pusaka itu disimpan.
Ki Cucut Kalasekti memberi isarat dengan gerak tangannya kepada empat orang perwira yang memimpin pasukan itu, kemudian dia berkata kepada Wulansari. Baiklah, mari kita mendaki ke atas" Dan diapun menggapai kepada seorang perwira agar ikut mendaki ke atas.
Wulansari melihat betapa pasukan itu bergerak mengepung puncak, akan tetapi ia berpura-pura tidak melihat ini, lalu ia menjadi penunjuk jalan dan mendaki naik. Ternyata memang hanya ada jalan setapak menuju puncak itu. Jalan setapak yang tidak dapat dilalui kuda. Selain jalan itu, tidak ada jalan lain yang lebih baik karena selain di bawah puncak terdapat benyak jurang, juga penuh dengan batu-batu yang mudah longsor.
Puncak itu sendiri merupakan dataran yang penuh batu dan goa.
Nurseta merasa betapa jantungnya berdebar kcras. Dia tidak tahu apa yang akan dilakakan gadis itu, namun dia yakin bahwa tentu Wulansari telah mempergunakan perhitungan yang matang maka berani melakukan penukaran yang nampaknya sia-sia ini. Pihak lawan adalah dua orang kakek sakti, dan masih ada lagi seratus orang perajurit yang mengepung puncak itu. Agaknya, keadaan mereka berdua sungguh lemah sekali dan kalau dua orang kakek itu tidak melanggar janji, merekapun agaknya sukar untuk dapat meloloskan diri.
Wulansari berhenti di depan dinding batu besar di mana terdapat tiga buah lubang goa "Kalian tunggu di sini, biar aku mengambil dulu pusaka itu. Akan tetapi, kakangmas Nurseta harus dibebaskan dari belenggunya"
Ki Buyut Pranamaya hendak membantah. akan tetapi Ki Cucut Kalasekti yang sudah yakin akan kekuatan pihaknya, segera mengambil kunci dan membuka belenggu besi dari kedua pergelangan tangan Nurseta.
"Nah, kau ambillah, Wulan. Dia harus di sini dulu sebelum pusaka itu kau serahkan kepada kami" katanya. Dua orang kakek itu bersiap menyerang dengan pukulan maut kepada Nurseta yang berdiri di antara mereka. Wulansari mengangguk.
"Tunggulah sebentar" Dan iapun melompat ke dalam goa yang berada di tengah. Dua orang kakek dan Nurseta memandang dan menunggu dengan jantung berdebar penuh ketegangan. Goa itu gelap dan tidak nampak lagi gadis itu dari luar.
Tak lama kemudian, gadis itu keluar lagi. dan kini ia membawa sebuah bungkusan panjang dari kain kuning "Inilah tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Terimalah, Ki Cucut Kalasekti, dan bebaskan kakangmas Nurseta, biar dia masuk ke goa ini"
"Nanti dulu" kata Ki Cucut Kalasekti "Ki Buyut, kau jaga dulu Nurseta karena aku harus memeriksa dengan teliti apakah tombak itu aseli ataukah palsu"
Wulansari membuka kain pembungkus benda itu dan nampaklah sebatang tombak. Mata tombak itu putih seperti perak yang berkilauan.
"Ki Cucut Kalasekti, kau pernah menerima tombak ini dariku, tentu dapat mengenalnya. Ki Buyut Pranamaya, kaupun pernah merampas tombak ini, tentu kau mengenalnya pula" kata Wulansari.
"Ki Ageng Tejanirmala........" Dua orang kakek itu berseru hampir berbareng.
"Ki Ageng Tejanirmala. Itu tombak pusaka ayahku, itu tombak milikku, diajeng Wulansari. Jangan kau serahkan kepada orang lain. Aku tidak sudi menyerahkannya kepada mereka, lebih baik aku mati" teriak Nurseta dan teriakan ini menyenangkan hati dua orang itu karena ini merupakan bukti bahwa tombak pusaka itu memang aseli. Mereka tadi sudah melihatnya dan tidak ragu lagi, akan tetapi pernyataan Nurseta itu lebih meyakinkan hati mereka.
"Serahkan tombak itu kepadaku, Wulan" kata Ki Cucut Kalasekti.
Wulansari membungkus kembali tombak itu, "Hemm, janjinya adalah ditukar, maka kalian harus pula membiarkan kakangmas Nurseta ke sini lebih dulu"
"Kau serahkan tombaknya dulu" kata Ki Cucut Kalasekti sambil menjulurkan tangan.
"Kakangmas Nurseta biar ke sini dulu" kata Wulansari.
Melihat mereka tidak mau saling mengalah, Ki Buyut Pranamaya berkata, "Berbareng saja. Kau serahkan tombak dan biar pemuda ini lari ke situ" Tentu saja dia tidak khawatir kedua orang muda itu akan dapat lari. Kemana mereka akan lari" Pasukan sudah mengepung puncak itu, dan di situ ada pula mereka berdua.
Agaknya Ki Cucut Kalasekti juga berpikir demikian, maka diapun berkata.
"Baiklah, berbareng saja. Nah, lemparkan tombak itu, biar Nurseta lari ke situ"
"Baiklah. Kakangmas Nurseta, kalau kulemparkan tombak ini kepada mereka, kau larilah ke sini"
"Tidak. Aku tidak mau ditukar dengan Ki Ageng Tejanirmala. Jangan berikan tombak pusaka itu kepada mereka, diajeng Wulan'" kata Nurseta dengan suara keras, tanda bahwa dia marah,
"Kakangmas Nurseta, kuharap kau tidak akan menghalangiku. Kakangmas, maukah kau........ demi aku.......... ?"
Kalau tadinya Nurseta terkejut dan meragu melihat bahwa agaknya gadis ini benar-benar hendak menyerahkan tombak pusaka Tejanirmala kepada dua orang kakek itu, kini pulih kembali kepercayaannya. Mustahil Wulansari akan sebodoh itu. Dengan mengambil sikap apa boleh buat dan masa bodoh, dia menggerakkan kedua pundaknya.
"Terserahlah, diajeng, akan tetapi jangan sesalkan aku kalau nanti mereka itu menipumu"
"Kesinilah, kakangmas, Ki Cucut terimalah tombak pusaka ini" kata Wulansari sambil menjulurkan tombak itu ke arah Ki Cucut, sedangkan Nurseta melangkah memasuki goa. Melihat bahwa tombak sudah dijulurkan, Ki Buyut Pranamaya tidak menghalangi Nurseta memasuki goa. Untuk apa dihalangi, pikirnya. Dua orang muda itu tidak akan mampu melarikan diri.
Setelah Ki Cucut Kalasekti menerima tombak pusaka itu, dia cepat menyerahkannya kepada perwira yang tadi diajaknya naik, "Cepat kau larikan pusaka ini ke istana dan haturkan kepada gusti prabu"
Agaknya memang telah mereka atur sebelumnya. Perwira itu menyembah, menerima pusaka, lalu diapun lari menuruni puncak tadi dan tak lama kemudian diapun sudah membalapkan kuda, dikawal oleh selusin perajurit, meninggalkan lereng Bukit Menur, membawa pusaka itu.
Akan tetapi dua orang kakek itu tidak meninggalkan depan goa, bahkan kini keduanya tertawa bergelak, agaknya mereka merasa lega dan gembira sekali karena tombak pusaka telah mereka selamatkan dan kirimkan kepada Sang Prabu Jayakatwang, sedangkan dua orang muda itu berada di dalam cengkeraman mereka,
"Hahahaha. Nurseta dan Wulansari, kalian seperti dua ekor tikus berada di dalam perangkap, hahaha" Ki Cucut Kalasekti tertawa bergelak, diikuti oleh Ki Buyut Pranamaya yang kagum melihat keberhasilan siasat kawannya.
"Ki Cucut Kalasekti, apa maksudmu " Ingat, kau sudah berjanji untuk tidak mengganggu kakangmas Nurseta" Wulansari membentak marah sambil menudingkan telunjuknya ke arah muka kakek itu.
"Hahahaha, aku tidak akan melanggar janji, Wulan manis. Aku berjanji tidak akan mengganggu Nurseta, bukan" Nah, sekarang aku akan menangkap kau, bukan Nurseta"
"Dan aku berjanji tidak akan mengganggu Wulansari, sekarang aku akan menangkap kembali Nurseta, haha" Ki Buyut Pranamaya juga berkata sambil tertawa.
"Hemm, kalian dua orang manusia iblis. Kalian kira mudah saja menangkap kami?" bentak pula Wulansari.
"Hehheh, Wulansari, lebih baik kalian menyerah saja untuk kami tawan dan kami bawa ke Kediri. Lihat, seratus orang perajurit sudah mengepung tempat ini. Percuma saja kalian melawan kami" kata pula Ki Cucut Kalasekti.
"Nah, diajeng, dari tadi aku sudah menduga bahwa dua orang iblis ini pasti akan menggunakan muslihat" kata Nurseta yang kini menjadi gelisah juga melihat bahwa keadaan mereka memang tidak berdaya.
Tiba-tiba Wulansari tertawa, ketawanya bebas akan tetapi tidak kasar dan wajahnya menjadi manis dan cerah sekali "Hahahihihi, kakangmas Nurseta. Aku tidak akan pantas menjadi calon garwamu (isterimu) kalau aku sebodoh itu. Heh, Ki Cucut Kalasekti dan Ki Buyut Pranamaya, bukan kami yang terjebak dalam perangkap, melainkan kalian yang seperti dua ekor srigala tua masuk dalam perangkap. Lihat baik-baik" Setelah berkata demikian tiba-tiba Wulansari memegang pergelangan tangan Nurseta dan menariknya ke belakang, ke sebelah dalam goa yang gelap itu dan tiba-tiba terdengar sorak sorai gemuruh. Dari kanan kiri goa itu, yaitu dari dalam kedua goa yang lain, muncul duapuluh orang, dan dari batu-batu besar di puncak itupun berlonqatan keluar duapuluh orang lain. Mereka itu segera mendorong batu-batu di atas puncak dan terdengarlah suara gemuruh ketika batu-batu itu menggelundung ke bawah, menerjang batu-batu lain sehingga kini dari puncak itu turun hujan batu ke arah lereng di mana seratus orang perajurit Daha itu menanti.
Tentu saja para perajurit menjadi kacau balau, apa lagi ketika dari bawah bukit kini berlarian naik sedikitnya duaratus orang yang telah mengepung lereng itu. Terpaksa mereka berloncatan turun dan melakukan perlawanan mati matian untuk membela diri sedapatnya. Ternyata bahwa jumlah lawan dua kali lebih banyak dari mereka.
Tentu saja dua orang kakek itu terkejut bukan main. Ketika mereka hendak melarikan diri, tiba-tiba nampak dua bayangan berkelebat keluar dari dalam goa itu dan dua orang muda itu sudah berdiri di depan mereka sambil tersenyum.
Ki Cucut Kalasekti marah bukan main, Mulutnya yang bentuknya meruncing seperti mulut ikan itu menjadi semakin runcing. Mukanya yang berwarna kebiruan itu kini menjadi gelap bercampur warna merah.
"Wulansari, kau bocah durhaka, kubunuh kau" sambil mengeluarkan suara mendesis seperti seekor ular, kakek itu sudah maju. menubruk dan menyerang bekas muridnya itu dengan gerakan dahsyat penuh kemarahan.
Begitu menyerang, dia telah mengerahkan Aji Segoro Umub dan pukulan Gelap Sewu. Wulansari mengenai aji-aji itu, dan iapun menggunakan kegesitan tubuhnya untuk mengelak dan balas menyerang. Gadis ini telah mewarisi hampir seluruh ilmu kepandaian Ki Cucut Kalasekti, maka ia sama sekali tidak merasa gentar. Apa lagi, selama ini diam-diam ia telah melatih dan menggembleng dirinya, dan juga ilmu-ilmu yang pernah dipelajarinya dari Panembahan Sidik Danasura, menambah kehebatan tenaga saktinya sehingga dibandingkan dengan Ki Cucut Kalasekti yang usianya sudah tujuhpuluh empat tahun, ia tidak dapat dibilang lebih lemah. Ia bahkan memiliki kecepatan melebihi bekas gurunya itu, dan tentu saja memiliki napas lebih panjang walaupun harus diakuinya bahwa ia masih kalah pengalaman dan bahwa Ki Cucut Kalasekti memiliki, banyak akal yang aneh-aneh.
"Wuuuttt....... dukkk" Ketika Wulansari membalas dengan serangan tamparan Aji Gelap Sewu, Ki Cucut Kalasekti menyambut dengan tangkisan dengan maksud untuk menangkap pergelangan tangan bekas murid itu. Akan tetapi, tak disangkanya begitu kedua lengan bertemu, tubuhnya tergetar hebat dan jangankan dapat menangkap lengan gadis itu, bahkan dia hampir saja terjengkang.
"Ssssshhhh........." Dia mengeluarkan suara mendesis, jari jari tangannya mencengkeram ke depan dengan gerakan aneh dan cepat sekali.
Namun, Wulansari sudah maklum akan akal ini dan iapun berloncatan ke belakang, lalu ke kiri dan dari kakinya melayang dan menendang ke arah pinggang lawan. Ketika Ki Cucut Kalasekti mengelak sambil menggerakkan tangan ke kanan untuk menangkis, tiba-tiba gadis itu menggerakkan tangannya dan jari tangannya yang runcing itu sudah mencuat dan menusuk ke arah mata dan muka lawan. Itulah ilmu pukulan yang pernah ia pelajari dari mendiang Panembahan Sidik Danasura. Dan jari-jari tangannya menyambar hawa yang amat panas sehingga Ki Cucut Kalasekti terkejut dan cepat melempar tubuh ke belakang untuk menghindarkan diri dari pukulan panas yang tak dikenalnya itu. Itulah Aji Dahana Puspita (Bunga Api) yang pernah dipelajari gadis itu dari Panembahan Sidik Danasura dan yang telah mematangkan dengan latihan yang tekun sehingga ilmu itu kini menjadi ilmu pukulan yang bebat karena jari-jari tangannya itu seperti besi-besi panas menyerang lawan.
Ki Cucut Kalasekti yang melempar tubuh ke belakang terpaksa bergulingan karena dikejar oleh gadis itu yang mengirim tendangan-tendangan ke arah bagian-bagian berbahaya dari tubuhnya. Akhirnya, dia mampu pula melompat bangun dan membalas dengan serangan dahsyat yang dapat dielakkan oleh gadis itu. Terjadilah perkelahian yang mati-matian antara bekas guru dan murid ini, yang pada umumnya memiliki gerakan yang sama.
Pertempuran yang terjadi antara Nurseta dan Ki Buyut Pranamaya tidak kalah hebatnya. Ki Buyut Pranamaya amat membenci Nurseta yang dianggap penghalang keberuntungannya itu. Dan diapun tahu bahwa murid mendiang Panembahan Sidik Danasura ini memiliki kesaktian yang hebat, sakti mandraguna dan amat digdaya sehingga biarpun lawan itu masih muda, pantas menjadi cucunya, namun dia tidak berani memandang ringan. Begitu menyerang, dia sudah mengeluarkan pukulan ampuhnya, yaitu Aji Marga Parastra (Jalan Maut). Kedua lengannya bergerak-gerak seperti dua ekor ular menyambar nyambar. Kedua tangannya yang terbuka itu mengeluarkan angin dan mengeluarkan bunyi bercuitan dan sekali saja tangan itu mengenai tubuh lawan, akan hebat akibatnya, karena kalau tangan itu mengenai batu karang saja akan remuklah batu karang itu, mengenai batang pohon akan tumbanglah pohon itu. Apa lagi kalau mengenai tubuh orang" terutama kepalanya.
Nurseta bersikap tenang. Dia lebih mengkhawatirkan Wulansari dari pada dirinya sendiri. Dia mempergunakan kelincahan gerakan tubuhnya untuk mengelak ke sana-sini sambil memperhatikan keadaan Wulansari. Setelah dia melihat dengan kagum betapa gadis itu sama sekali tidak terdesak oleh Ki Cucut Kalasekti dan dapat melawan dalam keadaan seimbang, legalah hati Nurseta dan dia dapat memusatkan perhatiannya kepada lawannya.
"Hahl Ambrol dadamu" Ki Buyut Pranamaya yang menjadi marah karena semua pukulannya dapat dielakkan oleh Nurseta, tiba-tiba mengirim tendangannya yang ampuh, yaitu Aji Cakrabairawa.
"Wuuuuttt......." Tendangan yang dilakukan dengan tubuh melayang itu memang berbahaya bukan main. Selain cepat, juga tendangan itu. mengandung tenaga yang amat dahsyat. Nurseta sudah mengenal tendangan ampuh ini, maka diapun cepat meloncat ke samping untuk
mengelak. Akan tetapi begitu tubuh kakek itu turun ke tanah, dia sudah mengeluarkan bentakan lagi dan tubuhnya membalik, melayang dan kembali tendangan maut menyambar. Terpaksa Nurseta harus mengelak lagi. Sekali ini, begitu membalik Ki Buyut Pranamaya menyusulikan pukulan-pukulannya yang ampuh dengan bertubi-tubi. Pukulan berantai itu amat cepat datangnya, susul menyusu dan setiap pukulan mendatangkan angin dan terasa berat dan kuat bukan main. Nurseta menghadapinya dengan tenang. Kalau dia mengelak, maka lengan kakek itu meluncur dan mengeluarkan suara mendesir.
Nurseta maklum bahwa dia tidak mungkin mengelak terus. Setelah terdesak terus, akhirya diapun mengumpulkan tenaga dan menangkis sambil mengerahkan tenaga saktinya.
"Dukkkl" Dua lengan bertemu dan akibatnya, keduanya terpental dan meloncat ke belakang. Ki Buyut Pranamaya mengerutkan alisnya yang tebal. Lengan kirinya yang bertemu dengan lengan kanan Nurseta terasa nyeri seolah tulangnya akan patah. Akan tetapi, dia tidak memperlihatkan hal ini dan sudah menyerang lagi. Serangannya bertubi, diseling dengan tendangan Aji Cakrabairawa yang amat berbahaya itu. Namun, kini Nurseta melawan dengan sama kerasnya.
Tamparan-tamparan tangan Nurseta mengandung Aji Bajradenta menyambar-nyambar ketika dia membalas serangan lawan. Ki Buyut Pranamaya juga mengenal pukulan ampuh. Pemuda itu adalah seorang murid yang sudah digembleng oleh mendiang Panembahan Sidik Danasura, satu-satunya orang yang ditakuti ketika masih hidup. Maka diapun berhati-hati sekali, tidak berani menyambut tamparan pemuda itu secara langsung walaupun kakek ini memiliki aji kekebalan. Dia mengelak atau menangkis dari samping, dan membalas dengan tak kalah sengitnya.
Perkelahian antara Nurseta dan Ki Buyut Pranamaya berlangsung dengan hebat sekali. Ki Buyut Pranamaya terkenal memiliki ilmu meringinkan tubuh yang disebut Garuda Nglayang yang membuat dia dapat berlari cepat seperti terbang dan membuat gerakannya ringan dan cepat sekali, seperti seekor burung garuda vang melayang dan menyambar-nyambar. Akan tetapi, menghadapi Nurseta, dia tidak berani bergerak terlalu cepat karena dia harus membuat setiap pukulan dan tendangannya mantap dan penuh dengan tenaga sakti. Kalau tidak, dia akan kalah karena pemuda itu menggunakan tenaga yang sakti dan kuat sekali. Maka, perkelahian antara mereka berjalan lamban dibandingkan dengan perkelahian antara Wulansari dan Ki Cucut Kalasekti yang nampak lebih cepat.
Bayangan tubuh kedua orang ini berkelebatan dan keduanya berusaha keras untuk saling menekan mengandalkan kecepatan dan kekuatan.
Sementara itu, pertempuran antara seratus orang perajurit pengawal Daha dengan kurang lebih dua ratus orang itu terjadi dengan ramainya. Memang seperti telah diduga dan diharapkan Nurseta, Wulansari telah mengatur siasat yang direncanakan dengan matang sebelum dara ini menghadap Sang Piabu Jayakatwang.
Setelah ia menyelidiki keadaan Nurseta yang ditawan di dalam penjara bawah tanah, ia tidak melihat cara lain untuk menolong kekasihnya itu. Maka, satu-satunya jalan hanyalah menukarkan tombak pusaka Tejanirmala dengan keselamatan Nurseta.
Ia tahu pula akan kelicikan dua orang kakek itu, maka diam-diam ia meninggalkan kota raja itu lagi untuk mengatur persiapan. Perlu diketahui bahwa ketika Singosari jatuh ke tangan pasukan Daha, banyak perajurit Singosari yang terpaksa melarikan diri dan menyusup ke gunung-gunung dan ke dusun-dusun, menjadi petani-petani biasa. Hal ini diketahui benar oleh Wulansari. Sebagai seorang pendekar wanita yang selalu turun tangan membasmi kejahatan, namanya terkenal dan dikagumi. Maka, ketika ia membutuhkan tenaga bantuan, tidak sukar bagi Wulansari untuk menghubungi para bekas perajurit Singosari dan merekapun segera mengumpulkan kawan kawan untuk membantu Wulansari ketika gadis itu mengatakan bahwa dia perlu bantuan untuk menghadapi pasukan Daha. Dalam waktu dua hari saja ia sudah berhasil mengumpulkan lebih dari duaratus orang laki laki yang siap untuk membantunya karena mereka adalah orang-orang yang membenci pasukan Daha. Ia lalu mengatur siasat, menyuruh duaratus orang lebih itu menjadi semacam barisan pendam, bersembunyi di dalam goa dan di balik batu-batu di puncak, dan sebagian besar lagi menanti di kaki Bukit Menur, agar mereka bersembunyi dan siap menunggu saat ia memberi isarat untuk menyerang.
Demikianlah, setelah saatnya tiba, Wulansari menarik Nurseta memasuki goa dan ternyata di dalam goa itu terdapat atap goa yang terbuka dan dari lubang itu Wulansari melepas sebatang anak panah ke udara. Anak panah ini membawa ronce-ronce merah sehingga ketika melayang ke udara, nampak jelas oleh mereka yang bersembunyi dan itulah isaratnya. Mereka lalu menyerbu dan berloncatan keluar dari tempat persembunyian mereka, mengejutkan pasukan pengawal Daha yang seratus orang banyaknya itu.
Pertempuran itu terjadi berat sebelab. Bukan saja pasukan Daha kalah banyak jumlahnya, akan tetapi juga semangat mereka kalah besar. Pasukan Daha itu terkejut dan sama sekali tidak mengira akan diserang oleh orang demikian banyaknya. Juga kedudukan mereka terjepit sekali. Kuda tunggangan mereka tidak dapat bergerak luasa dan ketika mereka berloncatan turun, kuda mereka itu lari cerai-berai. Karena tidak terpimpin dengan baik, keadaan kacau balau, hal ini sudah membuat nyali mereka menjadi kecil dan semangat mereka pudar. Sebaliknya, orang-orang yang menyerbu memang sudah merencanakan sebelumnya, kedudukan mereka lebih baik, jumlah mereka lebih besar dan ditambah pula dendam yang membara di hati mereka, maka tentu saja semangat merekapun jauh lebih besar.
Para perajurit Daha roboh bergelimpangan. Ada yang lari dan terjerumus ke dalam jurang, ada pula yang nekat menuruni bukit melalui jalan lain dan merekapun ikut longsor terbawa batu-batu yang menggelundung turun. Pekik dan jerit kesakitan terdengar dan disambut sorak-sorai para pembantu Wulansari. Lebih dari setengah jumlah perajurit Daha roboh dan sebagian lagi ada yang terjerumus ke dalam jurang atau jatuh bergulingan ke bawah bukit. Hanya sebagian kecil saja yang berhasil lolos dari maut.
Perkelahian tingkat tinggi antara Nurseta melawan Ki Buyut Pranamaya dan Wulansari melawan Ki Cucut Kalasekti masih berlangsung dengan hebatnya.
"Ahhhh........ " Ki Buyut Pranamaya menubruk bagaikan seekor beruang marah, lengan kanannya yang panjang itu meluncur dan telapak tangan terbuka yang mengandung tenaga sakti yang berbahaya itu memukul kearah dada Nurseta.
Pemuda ini miringkan tubuh, menangkis dengan lengan kanan pula, dan ketika kakinya bergeser, tangan kirinya membalas dengan pukulan kearah muka lawan. Ki Buyut Pranamaya menekuk lengan kanan yang tadi gagal memukul, memutarnya dan menangkis pukulan tangan kiri Nurseta, lalu kaki kirinya maju dan dengan kiri ditekuk, sikunya disodokkan ke arah dada Nurseta. Pemuda ini melangkah mundur mengelak, akan tetapi siku yang ditekuk itu dilonjorkan dan tangan kiri itu mencengkeram ke arah bawah pusar. ini merupakan serangan yang amat curang dan berbahaya sekali.
Namun, Nurseta tidak menjadi gugup. Lengannya mengibas ke bawah dan menangkis. Akan tetapi, kiranya cengkeraman ke arah bawah pusar itupun hanya pancingan saja karena tiba-tiba, dalam keadaan yang dekat itu, Ki Buyut Pranamaya menekuk lututnya dan lutut itu sudah menghantam ke arah perut Nurseta. Hal ini sungguh tidak tersangka sama sekali dan Nurseta tidak mampu mengelak atau menangkis lagi, hanya mengerahkan kekebalan kearah perutnya.
"Desss.........." Perut itu ditumbuk lulut seperti dihantam palu godam dan biarpun kekebalannya membuat isi perut tidak terguncang, namun tetap saja saking kerasnya tumbukan lutut itu, tubuh Nurseta terjengkang, Dia malah sengaja melempar tubuh ke belakang, lalu bergulingan. Untung dia melakukan ini, karena kalau tidak, tentu dia sudah celaka oleh lawannya yang sudah mengejar dan kini kedua kaki Ki Buyut Pranamaya berusaha untuk menendang kepala atau dada pemuda itu. Nurseta yang bergulingan mampu menghindar dan diapun meloncat bangun lagi.
"Hahaha, hancur isi perutmu" bentak Ki Buyut Pranamaya dan diapun menyerang dengan tendangan tendangannya yang hebat. Dengan sigap, Nurseta mengelak terus. Akan tetapi dia mulai terdesak. Dia terus mundur kearah Wulansari yang juga nampak terdesak oleh Ki Cucut Kalasekti.
Sebetulnya, Nurseta tidak terdesak, hanya dia memang sengaja terus mundur untuk mendekati Wuiansari yang sudah terdesak sampai ke dekat jurang oleh lawannya.
Wulansari memang terdesak oleh Ki Cucut Kalasekti yang mempunyai banyak sekali jurus-jurus pukulan yang curang. Bahkan kaki kini gadis itu pernah tersabet tendangan Ki Cucut Kalasekti, sehingga terasa nyeri dan membuat gadis itu agak terpincang. Namun, Wulansari tidak pernah mengeluh dan terus mempertahankan dirinya. Kini ia memegang kerisnya yang kecil bersinar kuning emas itu, sedangkan Ki Cucut Kalasekti juga memegang sebatang keris panjang yang hitam dan bentuknva seperti ular.
Wulansari maklum bahwa keris di tangan bekas gurunya itu adalah sebatang keris yang beracun. Akan tetapi keris di tangannya juga beracun dan kini perkelahian diantara mereka sudah merupakan perkelahian mati-matian.
Wulansari memang kalah pengalaman dan kalah matang gerakannya, namun ia menang ulet dan menang napas. Ki Cucut Kalasekti, seperti halnya Ki Buyut Pranamaya, sadah mulai berkeringat dan napas mereka sudah mulai terengah-engah. Perkelahian itu terlalu lama dan terlalu banyak memeras tenaga mereka yang sudah tua.
Melihat keadaan kekasihnya, Nurseta merasa khawatir juga. Dia harus dapat cepat merobohkan Ki Buyut Pranamaya agar dia dapat membantu Wulansari. Para pembantu Wulansari yang sudah menang dalam pertempuran itu, kini hanya berani menonton dari jauh saja, karena mereka semua maklum bahwa kalau mereka membantu, mereka seperti mengantar nyawa dan akan mati konyol saja.
Nurseta mulai memperhatikan keadaannya. Ki Buyut Pranamaya terus melancarkan serangan berhati-hati, pukulan dan cengkeraman susul menyusul, diselingi tendangan Cakrabairawa. Agaknya kakek yang sudah terengah-engah itu bendak mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk mencapai kemenangan karena dia sudah mulai mendesak lawan sehingga lawan itu mundur terus.
Nurseta bergerak sampai dia dekat dengan sebuah jurang yang amat curam, dan ketika lawannya menendang lagi, dia mengerahkan tenaganya meloncat ke atas melampaui atas kepala lawan.
Ki Buyut Pranamaya terkejut dan cepat membalikkan tubuh dan pada saat itu, Nurseta sudah mengerahkan seluruh tenaga saktinya melalui kedua lengannya, kemudian, dengan Aji Jagad Pralaya yang dahsyat dia menyerang dengan kedua telapak tangan mendorong.
"Hyaaaatttt........"
Bukan main hebatnya serangan ini. Setiap kali menghadapi serangan jurus dari Aji Jagad Pralaya, selalu Ki Buyut Pranamaya tidak berani menangkis, dan selalu menghindarkan diri mengelak. Akan tetapi sekali ini dia tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mengelak ke kiri atau ke kanan, sedangkan untuk meloncat mundur berarti membunuh diri karena di belakangnya terdapat jurang yang menganga seperti mulut Sang Batara Kala yang siap menelannya bulat-bulat. Terpaksa sekali diapun mengerahkan tenaga terakhir dan menyambut serangan Aji Jigad Pralaya itu dengan Aji Marca Parastra (Ular Maut).
"Dessss........'" Hebat bukan main pertemuan dua pasang telapak tangan itu, dan akibatnya, Nurseta terhuyung ke belakang akan tetapi tubuh Ki Buyut Pranamaya terjengkang dan langsung saja dia terjatuh ke dalam jurang yang teramat curam itu.
Terdengar pekik melengking mengerikan keluar dari mului tubuh kakek yang melayang ke dalam jurang itu, betapapun saktinya, terjatuh seperti itu ke dalam jurang yang tak nampak dasarnya dari atas, agaknya akan sulit baginya untuk menyelamatkan dirinya.
Nurseta tidak memperdulikan lagi lawannya yang sudah lenyap, juga tidak merasakan dadanya yang sesak. Dia terlalu mengkhawatirkan Wulansari yang terdesak oleh hujan tusukan keris hitam di tangan Ki Cucut Kalasekti. Pada saat itu, Ki Cucut Kalasekti juga terkejut dan tertegun mendengar pekik dari rekannya. Dia menjadi gugup, maka ketika Nurseta meloncat dan menyerangnya dengan pukulan Jagad Pralaya, dia menggulingkan tubuh ke bawah.
Saat itu dipergunakan oleh Wulansari untuk menendangkan tanah dan batu kerikil ke arah muka kakek itu. Ada sepotong batu yang mengenai mata kiri Ki Cucut Kalasekti, sehingga dia menggereng dan melompat berdiri. Akan tetapi, Wulansari sudah menyambitkan kerisnya. Keris kecil itu meluncur seperti anak panah.
"Ceppp" Keris kecil melengkung milik Wulansari yang dulunya pemberian Ki Cucut Kalasekti sendiri itu dengan tepatnya menghunjarn dada Ki Cucut Kalasekti sampai ke gagangnya.
Kakek itu tersentak kaget dan dia masih dapat melemparkan keris hitamnya yang meluncur ke arah Wulansari, dengan ilmu melempar keris yang sama.
Namun, Wulansari dapat mengelak dan keris itu meluncur terus dan lenyap.
Dengan nekat, Ki Cucut Kalasekti yang melihat kini Nurseta terhuyung, segera menarik pemuda yang berada di tepi jurang itu.
Nurseta memang terhuyung. Kiranya tadi ketika dia menyerang Ki Buyut Pranamaya dan ditangkis pertemuan tenaga yang membuat Ki Buyut Pranamaya itu terlempar ke dalam jurang membuat Nurseta menderita luka di dadanya. Ketika dia kembali mengerahkan tenaga menggunakan Aji Jagad Pralaya menyerang Ki Cucut Kalasekti untuk membantu Wulansari dan dapat dielakkan oleh kakek itu.
Nurseta merasa betapa dadanya nyeri sekali dan dia terhuyung.
Tubrukan Ki Cucut Kalasekti tidak tersangka-sangka datangnya dan Nurseta sedang terhuyung, maka tak dapat dihindarkan lagi, pemuda itu kena ditubruk dengan keras dan keduanya terjungkal ke dalam jurang.
"Kakangmas Nurseta... ah, kakangmas...." Wulansari terbelalak pucat, lalu menangis sambil lari menghampiri tebing jurang itu. Dunia bagaikan gelap baginya dan hampir saja ia jatuh pingsan, dan kalau hal itu terjadi, tentu ia akan terguling pula ke dalam jurang. Untung pada saat itu, dari bawah terdengar suara Nurseta.
"Diajeng Wulan......."
Hampir Wulansari tidak percaya akan pendengarannya sendiri, akan tetapi suara kekasihnya itu menghidupkan lagi secercah harapan dan mencegah ia jatuh pingsan. Ia menjenguk ke bawah jurang dan harus memejamkan lagi matanya saking ngerinya. Kiranya kekasihnya itu tersangkut pada sebatang pohon semak yang tumbuh di bawah tebing itu, hanya kurang lebih tiga meter dari atas.
Dan bukan hanya Nurseta yang menggunakan tangan kirinya menggantung pada dahan pohon, juga Ki Cucut Kalasekti bergayut di pohon itu dalam jarak hanya dua meter dari Nurseta. Pohon yang tumbuh miring itu tidak terlalu besar maka kini digantungi tubuh dua orang dewasa, sudah bergoyang-goyang dan seperti akan patah. Kalau sampai patah, habislab. sudah riwayat dua orang itu.
Yang hebat adalah Ki Cucut Kalasekti, karena biarpun dia sudah terluka parah, keris kuning kecil itu masih menancap di dadanya namun dia masih berusaha untuk menendang-nendang ke arah Nurseta sambil tertawa seperti orang gila.
"Heh heh ha ha ha, Nurseta. Sekali ini kita akan mati bersama. Tidak, kau harus mampus lebih dulu. Hahaha, aku ingin melihat kau jatuh lebih dulu ke dalam jurang, ingin mendengar pekik kematianmu, hahaha"
Dan dia menendang-nendang sehingga pohon kecil itu semakin bergoyang-goyang.
Nurseta sudah merasa lemah sekali. Ketika terjatuh tadi, lengan kanannya menjadi salah urat ketika dia menangkap dahan pohon, dam kini lengan kanan itu tergantung lemas dan nyeri. Dia hanya menggunakan tangan kiri saja untuk bergantung, sedangkan dadanya semakin sesak rasanva karena luka dalam yang dideritanya.
Tendangan kaki kakek itu hanya kurang belasan senti saja nyaris mengenainya dan kalau sampai dia terkena tendangan, tak mungkin tangannya kuat bertahan. Dan pobon kecil itupun sudah bergoyang-goyang, akarnya mengeluarkan bunyi berkeretakan.
"Kakangmas, pertahankan...... kakangmas, tangkap ujung kembenku ini"
Tiba-tiba Wulansari berseru sambil menahan napas sakin tegangnya. Biarpun ia memakai pakaian pria, namun kemben itu tak pernah lepas dari pinggangnya yang ramping dan tadi, begitu melihat keadaan kekasihnya, ia cepat melolos kembennya dengan membuka bajunya, tidak perduli akan banyak orang yang melihat dari jauh. Sebagian perut dan punggungnya nampak telanjang tak diperdulikannya dan kini ia sudah menelungkup dengan kepala dan pundak di tepi jurang, menjulurkan kemben itu ke bawah.
Akan tetapi, lengan kanan Nurseta tak dapat dipergunakan lagi dan tangan kirinya memegang dahan pohon erat-erat. Tangan kiri
itulah yang menjadi penahan nyawanya, sekaii lepas diapun akan tewas. Akan tetapi dia tidak mau menggelisahkan hati kekasihnya diatas. Ketika ujung kemben itu menyentuh lehernya, cepat dia membuka mulut dan menggigit ujung kemben, setelah menggigitnya dengan kuat, baru dia berani melepas tangan kiri dari dahan dari cepat menangkap ujung kemben itu dengan tangan kirinya.
Pada saat itu, Ki Cucut Kalasekti yang melihat kemben itu sudah menyumpah-nyumpah dan berusaha sekuat tenaga untuk menendang tubuh Nurseta.
"Wuuut" plakk...... kreekkkkk......." Tendangan itu mengenai pinggul Nurseta sehingga tubuh Nurseta bergoyang goyang di ujung kemben dan Wulansari yang memegang ujung lain kemben itu sambil menelungkup harus mengerahkan seluruh tenaga agar kemben itu tidak sampai terlepas dari pegangannya.
Akan tetapi karena Ki Cucut Kalasekti bergerak terlampau kuat ketika memaksakan tendangan tadi, pohon kecil yang sudah hampir jebol itu tidak kuat menahan lagi. Dahan yang dipegang Ki Cucut Kalasekti patah dan tubuhnya meluncur ke bawah menyusul rekannya.
Bedanya, kalau tadi Ki Buyut Pranamaya mengeluarkan pekik mengerikan ketika terjatuh, kini terdengar suara gelak tawa yang aneh dari Ki Cucut Kalasekti.
Dengan seluruh tenaganya, hati-hati sekali dan hampir tak bernapas karena ketenangan hatinya, takut kalau kalau kembennya tidak kuat menahan berat tubuh kekasihnya, Wulansari menarik tubuh Nurseta melalui kemben itu perlahan-lahan ke atas.
Akhirnya, disaksikan oleh puluhan pasang mata yang ikut merasa tegang dan menahan nafas, Nurseta dapat ditarik ke atas tebing.
"Kakangmas Nurseta......... "
"Diajeng Wulan........" Mereka berangkulan.
Wulansari merangkul pemuda itu dan menciumi mukanya dengan penuh kasih sayang, penuh keharuan dan rasa bahagia sehingga air matanya bercucuran. Sampai lama mereka berlutut sambil saling berangkulan. Akhirnya Wulansari menyusupkan mukanya ke dada kekasihnya.
Nurseta juga merasa berbahagia sekali. Nyaris nyawanya melayang dan kekasihnya ini yang menyelamatkannya. Nyeri pada lengan kanannya tak dirasakannya lagi, bahkan sesak pada dadanya juga tidak dirasakan.
"Kakangmas........ akhirnya kita dapat bertemu kembali......" bisik Wulansari.
Nurseta seperti ditarik kembali ke dunia setelah tadi tenggelam ke dalam alam sorga penuh kebahagiaan dan diapun teringat akan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Dia menarik napas panjang, penuh penyesalan.
Wulansari merasa benar tarikan napas panjang itu karena telinganya menempel di dada kekasihnya. la mengangkat mukanya dan menatap wajah kekasihnya dengan sinar mata penuh selidik.
"Kau" kenapakah, kakangmas " Kenapa menarik napas panjang?"
"Ki Tejanirmala......." Nurseta mengeluh.
Wulansari tersenyum, "Kakangmas, masihkah kau belum percaya kepada calon isterimu yang bodoh ini " Apakah kau kira aku begitu bodoh untuk menyerahkan tombak pusaka itu kepada mereka"
"Tapi.... tapi.... sudah kau berikan, diajeng..."
Senyum itu melebar sehingga nampak kilatan gigi putih berderet rapi,
"Itu yang palsu, kakangmas. Yang aseli masih kusimpan, dan hanya akan kuserahkan kepadamu seorang, kakangmas"
"Diajeng........." kini Nurseta yang merangkul dan saking girangnya. dia mencium mulut yang mengeluarkan kata-kata yang amat menyenangkan hatinya itu sampai Wulansari gelagapan dan meronta lemah.
Ketika Nurseta melepaskan ciumannya yang berapi-api itu, Wulansari berbisik.
"ihh, kakangmas, apakah tidak malu" Lihat, puluhan, bahkan seratus lebih orang memandang kita........"
Nurseta terkejut, menoleh dan wajahnya berubah kemerahan. Benar saja, banyak sekali orang-orang yang tadi membantu Wulansari berdiri memandang dari jauh dan tentu saja miereka semua melihat ketika dia dan kekasihnya berangkulan dan berciuman tadi. Dia lalu menarik bangun kekasihnya dan pada saat itu, orang-orang itu bersorak gembira dan mereka mendaki ke puncak sambil tertawa-tawa.
Sambil bergandeng tangan dengan Nurseta, Wulansari menyambut mereka dengan senyum "Kita telah menang" katanya "Sekarang, kalian cepat kumpulkan kuda merea dan kumpulkan pula semua senjata yang ada. Mulai sekarang, kalian haras menghambakan diri kepada Majapahit. Kami berdua akan membawa kalian ke sana"
Kembali orang-orang itu bersorak dan merekapun berlarian turun untuk menangkap kuda yang bercerai-berai tadi, mengumpulkan pula senjata-senjata lawan, merawat teman yang terluka.
Nurseta mengeluh. Baru sekarang terasa nyeri lengan kanannya dan dadanya.
Wulansari merangkui "Kau kenapa, kakangmas ?"
"Hemm, lengan kananku rerkilir rupanya, "Mari kuperiksa, kakangmas"
Dengan penuh kasih sayang dan kelembutan, Wulansari memeriksa lengan kanan kekasihnya setelah mernbuka bajunya. Diam-diam gairahnya timbul melihat lengan yang kokoh berotot dan berkulit halus bersih itu. Ditahannya gairah dan iapun memeriksa. Memang terkilir lengan itu, dipangkal lengan agak membengkak.
"Tahankan, kakangmas, akan kutarik" kata Wulansari dan iapun menggunakan sediki tenaga untuk membetot lengan itu. Terdengar bunyi dan lengan itu sudah pulih kembali.
Nurseta menggerak-gerakkan lengan kanannya dan Wulansari memandang penuh perhatian.
"Bagaimana, kakangmas?"
"Kau hebat, sudah sembuh, tapi........"
Dia menggit bibir karena dadanya terasa nyeri dan sesak. Dia meraba dadanya.
"Kenapa dadamu, kakangmas?"
"Tadi ketika beradu tenaga dengan Ki Buyut Pranamaya, biarpun dia terlempar ke alam jurang, aku sendiri agaknya menderita guncagan hebat sehingga terluka dalam. Aku harus cepat memulihkannya, diajeng"
"Kau memang hebat, kakangmas. Mari aku bantu kau"
Mereka duduk bersila dan Nurseta memejamkan matanya, mengatur pernapasan untuk memulihkan keadaan dalam dadanya yang terguncang.
Wulansari bersila di depannya, menjulurkan kedua lengan ke depan, telapak kedua tangannya menempel di dada kekasihnya yang telanjang. Mereka berdua harus memejamkan mata karena kalau membuka mata, tidlak mungkin mereka akan dapat memusatkan perhatian dan tenaga.
Begitu dekat, bersila berhadapan seperti itu, tentu akan membangkitkan gairah dan kemesraan. Mereka itu bagaikan dua orang yang kehausan akan kasih sayang dan kini setelah saling menemukan kembali, mereka bagaikan dua orang kehausan melihat air sejuk segar.
Hal ini tidaklah mengherankan. Keduanya sudah saling mencinta sejak mereka masih remaja. Namun, kasih sayang itu selalu terpendam dan selalu terhalang. Kini, Nurseta telah berusia tigapuluh tiga tahun dan Wulansari tigapuluh dua tahun. Bagaikar kembang sudah mekar sepenuhnya, bagaikan buah sudah matang pohon.
Bukan main hebatnya serangan ini. Setiap kali menghadapi serangan jurus dari Aji Jagad Pralaya, selalu Ki Buyut Pranamaya tidak berani menangkis, dan selalu menghindarkan diri mengelak. Akan tetapi sekali ini dia tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mengelak ke kiri atau ke kanan, sedangkan untuk meloncat mundur berarti membunuh diri karena di belakangnya terdapat jurang yang menganga seperti mulut Sang Batara Kala yang siap menelannya bulat-bulat. Terpaksa sekali diapun mengerahkan tenaga terakhir dan menyambut serangan Aji Jigad Pralaya itu dengan Aji Marca Parastra (Ular Maut).
"Dessss........'" Hebat bukan main pertemuan dua pasang telapak tangan itu, dan akibatnya, Nurseta terhuyung ke belakang akan tetapi tubuh Ki Buyut Pranamaya terjengkang dan langsung saja dia terjatuh ke dalam jurang yang teramat curam itu.
Terdengar pekik melengking mengerikan keluar dari mului tubuh kakek yang melayang ke dalam jurang itu, betapapun saktinya, terjatuh seperti itu ke dalam jurang yang tak nampak dasarnya dari atas, agaknya akan sulit baginya untuk menyelamatkan dirinya.
Nurseta tidak memperdulikan lagi lawannya yang sudah lenyap, juga tidak merasakan dadanya yang sesak. Dia terlalu mengkhawatirkan Wulansari yang terdesak oleh hujan tusukan keris hitam di tangan Ki Cucut Kalasekti. Pada saat itu, Ki Cucut Kalasekti juga terkejut dan tertegun mendengar pekik dari rekannya. Dia menjadi gugup, maka ketika Nurseta meloncat dan menyerangnya dengan pukulan Jagad Pralaya, dia menggulingkan tubuh ke bawah.
Saat itu dipergunakan oleh Wulansari untuk menendangkan tanah dan batu kerikil ke arah muka kakek itu. Ada sepotong batu yang mengenai mata kiri Ki Cucut Kalasekti, sehingga dia menggereng dan melompat berdiri. Akan tetapi, Wulansari sudah menyambitkan kerisnya. Keris kecil itu meluncur seperti anak panah.
"Ceppp" Keris kecil melengkung milik Wulansari yang dulunya pemberian Ki Cucut Kalasekti sendiri itu dengan tepatnya menghunjarn dada Ki Cucut Kalasekti sampai ke gagangnya.
Kakek itu tersentak kaget dan dia masih dapat melemparkan keris hitamnya yang meluncur ke arah Wulansari, dengan ilmu melempar keris yang sama.
Namun, Wulansari dapat mengelak dan keris itu meluncur terus dan lenyap.
Dengan nekat, Ki Cucut Kalasekti yang melihat kini Nurseta terhuyung, segera menarik pemuda yang berada di tepi jurang itu.
Nurseta memang terhuyung. Kiranya tadi ketika dia menyerang Ki Buyut Pranamaya dan ditangkis pertemuan tenaga yang membuat Ki Buyut Pranamaya itu terlempar ke dalam jurang membuat Nurseta menderita luka di dadanya. Ketika dia kembali mengerahkan tenaga menggunakan Aji Jagad Pralaya menyerang Ki Cucut Kalasekti untuk membantu Wulansari dan dapat dielakkan oleh kakek itu.
Nurseta merasa betapa dadanya nyeri sekali dan dia terhuyung.
Tubrukan Ki Cucut Kalasekti tidak tersangka-sangka datangnya dan Nurseta sedang terhuyung, maka tak dapat dihindarkan lagi, pemuda itu kena ditubruk dengan keras dan keduanya terjungkal ke dalam jurang.
"Kakangmas Nurseta... ah, kakangmas...." Wulansari terbelalak pucat, lalu menangis sambil lari menghampiri tebing jurang itu. Dunia bagaikan gelap baginya dan hampir saja ia jatuh pingsan, dan kalau hal itu terjadi, tentu ia akan terguling pula ke dalam jurang. Untung pada saat itu, dari bawah terdengar suara Nurseta.
"Diajeng Wulan......."
Hampir Wulansari tidak percaya akan pendengarannya sendiri, akan tetapi suara kekasihnya itu menghidupkan lagi secercah harapan dan mencegah ia jatuh pingsan. Ia menjenguk ke bawah jurang dan harus memejamkan lagi matanya saking ngerinya. Kiranya kekasihnya itu tersangkut pada sebatang pohon semak yang tumbuh di bawah tebing itu, hanya kurang lebih tiga meter dari atas.
Dan bukan hanya Nurseta yang menggunakan tangan kirinya menggantung pada dahan pohon, juga Ki Cucut Kalasekti bergayut di pohon itu dalam jarak hanya dua meter dari Nurseta. Pohon yang tumbuh miring itu tidak terlalu besar maka kini digantungi tubuh dua orang dewasa, sudah bergoyang-goyang dan seperti akan patah. Kalau sampai patah, habislab. sudah riwayat dua orang itu.
Yang hebat adalah Ki Cucut Kalasekti, karena biarpun dia sudah terluka parah, keris kuning kecil itu masih menancap di dadanya namun dia masih berusaha untuk menendang-nendang ke arah Nurseta sambil tertawa seperti orang gila.
"Heh heh ha ha ha, Nurseta. Sekali ini kita akan mati bersama. Tidak, kau harus mampus lebih dulu. Hahaha, aku ingin melihat kau jatuh lebih dulu ke dalam jurang, ingin mendengar pekik kematianmu, hahaha"
Dan dia menendang-nendang sehingga pohon kecil itu semakin bergoyang-goyang.
Nurseta sudah merasa lemah sekali. Ketika terjatuh tadi, lengan kanannya menjadi salah urat ketika dia menangkap dahan pohon, dam kini lengan kanan itu tergantung lemas dan nyeri. Dia hanya menggunakan tangan kiri saja untuk bergantung, sedangkan dadanya semakin sesak rasanva karena luka dalam yang dideritanya.
Tendangan kaki kakek itu hanya kurang belasan senti saja nyaris mengenainya dan kalau sampai dia terkena tendangan, tak mungkin tangannya kuat bertahan. Dan pobon kecil itupun sudah bergoyang-goyang, akarnya mengeluarkan bunyi berkeretakan.
"Kakangmas, pertahankan...... kakangmas, tangkap ujung kembenku ini"
Tiba-tiba Wulansari berseru sambil menahan napas sakin tegangnya. Biarpun ia memakai pakaian pria, namun kemben itu tak pernah lepas dari pinggangnya yang ramping dan tadi, begitu melihat keadaan kekasihnya, ia cepat melolos kembennya dengan membuka bajunya, tidak perduli akan banyak orang yang melihat dari jauh. Sebagian perut dan punggungnya nampak telanjang tak diperdulikannya dan kini ia sudah menelungkup dengan kepala dan pundak di tepi jurang, menjulurkan kemben itu ke bawah.
Akan tetapi, lengan kanan Nurseta tak dapat dipergunakan lagi dan tangan kirinya memegang dahan pohon erat-erat. Tangan kiri
itulah yang menjadi penahan nyawanya, sekaii lepas diapun akan tewas. Akan tetapi dia tidak mau menggelisahkan hati kekasihnya diatas. Ketika ujung kemben itu menyentuh lehernya, cepat dia membuka mulut dan menggigit ujung kemben, setelah menggigitnya dengan kuat, baru dia berani melepas tangan kiri dari dahan dari cepat menangkap ujung kemben itu dengan tangan kirinya.
Pada saat itu, Ki Cucut Kalasekti yang melihat kemben itu sudah menyumpah-nyumpah dan berusaha sekuat tenaga untuk menendang tubuh Nurseta.
"Wuuut" plakk...... kreekkkkk......." Tendangan itu mengenai pinggul Nurseta sehingga tubuh Nurseta bergoyang goyang di ujung kemben dan Wulansari yang memegang ujung lain kemben itu sambil menelungkup harus mengerahkan seluruh tenaga agar kemben itu tidak sampai terlepas dari pegangannya.
Akan tetapi karena Ki Cucut Kalasekti bergerak terlampau kuat ketika memaksakan tendangan tadi, pohon kecil yang sudah hampir jebol itu tidak kuat menahan lagi. Dahan yang dipegang Ki Cucut Kalasekti patah dan tubuhnya meluncur ke bawah menyusul rekannya.
Bedanya, kalau tadi Ki Buyut Pranamaya mengeluarkan pekik mengerikan ketika terjatuh, kini terdengar suara gelak tawa yang aneh dari Ki Cucut Kalasekti.
Dengan seluruh tenaganya, hati-hati sekali dan hampir tak bernapas karena ketenangan hatinya, takut kalau kalau kembennya tidak kuat menahan berat tubuh kekasihnya, Wulansari menarik tubuh Nurseta melalui kemben itu perlahan-lahan ke atas.
Akhirnya, disaksikan oleh puluhan pasang mata yang ikut merasa tegang dan menahan nafas, Nurseta dapat ditarik ke atas tebing.
"Kakangmas Nurseta......... "
"Diajeng Wulan........" Mereka berangkulan.
Wulansari merangkul pemuda itu dan menciumi mukanya dengan penuh kasih sayang, penuh keharuan dan rasa bahagia sehingga air matanya bercucuran. Sampai lama mereka berlutut sambil saling berangkulan. Akhirnya Wulansari menyusupkan mukanya ke dada kekasihnya.
Nurseta juga merasa berbahagia sekali. Nyaris nyawanya melayang dan kekasihnya ini yang menyelamatkannya. Nyeri pada lengan kanannya tak dirasakannya lagi, bahkan sesak pada dadanya juga tidak dirasakan.
"Kakangmas........ akhirnya kita dapat bertemu kembali......" bisik Wulansari.
Nurseta seperti ditarik kembali ke dunia setelah tadi tenggelam ke dalam alam sorga penuh kebahagiaan dan diapun teringat akan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala. Dia menarik napas panjang, penuh penyesalan.
Wulansari merasa benar tarikan napas panjang itu karena telinganya menempel di dada kekasihnya. la mengangkat mukanya dan menatap wajah kekasihnya dengan sinar mata penuh selidik.
"Kau" kenapakah, kakangmas " Kenapa menarik napas panjang?"
"Ki Tejanirmala......." Nurseta mengeluh.
Wulansari tersenyum, "Kakangmas, masihkah kau belum percaya kepada calon isterimu yang bodoh ini " Apakah kau kira aku begitu bodoh untuk menyerahkan tombak pusaka itu kepada mereka"
"Tapi.... tapi.... sudah kau berikan, diajeng..."
Senyum itu melebar sehingga nampak kilatan gigi putih berderet rapi,
"Itu yang palsu, kakangmas. Yang aseli masih kusimpan, dan hanya akan kuserahkan kepadamu seorang, kakangmas"
"Diajeng........." kini Nurseta yang merangkul dan saking girangnya. dia mencium mulut yang mengeluarkan kata-kata yang amat menyenangkan hatinya itu sampai Wulansari gelagapan dan meronta lemah.
Ketika Nurseta melepaskan ciumannya yang berapi-api itu, Wulansari berbisik.
"ihh, kakangmas, apakah tidak malu" Lihat, puluhan, bahkan seratus lebih orang memandang kita........"
Nurseta terkejut, menoleh dan wajahnya berubah kemerahan. Benar saja, banyak sekali orang-orang yang tadi membantu Wulansari berdiri memandang dari jauh dan tentu saja miereka semua melihat ketika dia dan kekasihnya berangkulan dan berciuman tadi. Dia lalu menarik bangun kekasihnya dan pada saat itu, orang-orang itu bersorak gembira dan mereka mendaki ke puncak sambil tertawa-tawa.
Sambil bergandeng tangan dengan Nurseta, Wulansari menyambut mereka dengan senyum "Kita telah menang" katanya "Sekarang, kalian cepat kumpulkan kuda merea dan kumpulkan pula semua senjata yang ada. Mulai sekarang, kalian haras menghambakan diri kepada Majapahit. Kami berdua akan membawa kalian ke sana"
Kembali orang-orang itu bersorak dan merekapun berlarian turun untuk menangkap kuda yang bercerai-berai tadi, mengumpulkan pula senjata-senjata lawan, merawat teman yang terluka.
Nurseta mengeluh. Baru sekarang terasa nyeri lengan kanannya dan dadanya.
Wulansari merangkui "Kau kenapa, kakangmas ?"
"Hemm, lengan kananku rerkilir rupanya, "Mari kuperiksa, kakangmas"
Dengan penuh kasih sayang dan kelembutan, Wulansari memeriksa lengan kanan kekasihnya setelah mernbuka bajunya. Diam-diam gairahnya timbul melihat lengan yang kokoh berotot dan berkulit halus bersih itu. Ditahannya gairah dan iapun memeriksa. Memang terkilir lengan itu, dipangkal lengan agak membengkak.
"Tahankan, kakangmas, akan kutarik" kata Wulansari dan iapun menggunakan sediki tenaga untuk membetot lengan itu. Terdengar bunyi dan lengan itu sudah pulih kembali.
Nurseta menggerak-gerakkan lengan kanannya dan Wulansari memandang penuh perhatian.
"Bagaimana, kakangmas?"
"Kau hebat, sudah sembuh, tapi........"
Dia menggit bibir karena dadanya terasa nyeri dan sesak. Dia meraba dadanya.
"Kenapa dadamu, kakangmas?"
"Tadi ketika beradu tenaga dengan Ki Buyut Pranamaya, biarpun dia terlempar ke alam jurang, aku sendiri agaknya menderita guncagan hebat sehingga terluka dalam. Aku harus cepat memulihkannya, diajeng"
"Kau memang hebat, kakangmas. Mari aku bantu kau"
Mereka duduk bersila dan Nurseta memejamkan matanya, mengatur pernapasan untuk memulihkan keadaan dalam dadanya yang terguncang.
Wulansari bersila di depannya, menjulurkan kedua lengan ke depan, telapak kedua tangannya menempel di dada kekasihnya yang telanjang. Mereka berdua harus memejamkan mata karena kalau membuka mata, tidlak mungkin mereka akan dapat memusatkan perhatian dan tenaga.
Begitu dekat, bersila berhadapan seperti itu, tentu akan membangkitkan gairah dan kemesraan. Mereka itu bagaikan dua orang yang kehausan akan kasih sayang dan kini setelah saling menemukan kembali, mereka bagaikan dua orang kehausan melihat air sejuk segar.
Hal ini tidaklah mengherankan. Keduanya sudah saling mencinta sejak mereka masih remaja. Namun, kasih sayang itu selalu terpendam dan selalu terhalang. Kini, Nurseta telah berusia tigapuluh tiga tahun dan Wulansari tigapuluh dua tahun. Bagaikar kembang sudah mekar sepenuhnya, bagaikan buah sudah matang pohon.
JILID 22
SETELAH lewat kurang lebih satu jam Nurseta merasa betapa dadanya sudah pulih kembali. Dia mampu cepat memulihkan kesehatan dalam dadanya berkat bantuan Wulansari. Dua telapak tangan gadis itu terasa hangat dan menyalurkan tenaga getaran yang hangat dan lembut.
"Cukuplah, diajeng" katanya dan diapun memegang kedua tangan yang kecil itu. Wulansari membuka kedua matanya dan mereka saling pandang. Muka dan leher mereka berkeringat dan mereka saling pandang dengan senyum penuh kasih sayang. Jari-jari tangan mereka saling genggam dan terasa getaran mesra sampai ke lubuk hati masing-masing.
"Terima kasih, diajeng" bisik pula Nurseta. Sekarang kita dapat berangkat"
"Berangkat?" tanya Wulansari seperti mimpi indah.
"Tentu saja. Ke Majapahit, bukan?"
"Ya, menyerahkan tombak pusaka itu kepada Pangeran Raden Wijaya. Akan tetapi kakangmas yang menyerahkannya"
"Kenapa, diajeng" Bukankah pusaka itu berada padamu?"
"Mari kita ambil, kakangmas. Akan kuserahkan kepadamu" Ia bangkit berdiri sambil menenarik tangan Nurseta, kemudian menggandeng tangan pemuda itu memasuki goa di tengah tadi.
Kiranya pusaka itu disimpan di dalam goa ini oleh Wulansari. Terbungkus kain putih bersih. Dengan sikap yang sungguh-sungguh dan penuh hormat gadis itu memegang tombak pusaka itu dengan kedua tangan, lalu membungkuk dan menyerahkannya kepada Nurseta.
"Kakangmas Nurseta, terimalah tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala ini dari tanganku. Dahulu aku merampasnya darimu, dan maafkanlah semua kesalahanku, kakangmas. Aku menyerahkan pusaka ini sebagai bukti cintakasih dan baktiku kepadamu, calon suamiku yang kupuja dan kuhormati"
Sepasang mata Nurseta menjadi basah. Dia merasa terharu sekali, terharu dan berbahagia. "Duhai diajeng Wulansari yang kukasihi melebihi segala apapun di dunia ini. Terima kasih, diajeng. Kau tidak bersalah apapun, tidak perlu meminta maaf. Marilah kita lupakan segala hal yang telah lewat, diajeng, dan mulai detik ini, kita bersama membangun suatu kehidupan baru yang bersih dan penuh dengan kasih sayang. Semoga para dewata memberkahi kita berdua, diajeng" kata Nurseta sambil menerima pusaka itu dengan kedua tangan pula Kedua tangannya memegang kedua tangan Wulansari yang menyangga pusaka itu dan sejenak mereka saling berpandangan di dalam ruangan goa yang remang remang itu. Sinar matahari masuk dari lubang di atas, amat indahnya seperti seberkas cahaya putih, jatuh menimpa pusaka yarg berada di tengah-tengah antara mereka.
"Semoga para dewata memberkahi kita, kakangmas"
Mereka lalu melangkah keluar sambil bergandeng tangan dan pusaka itu sudah berada di tangan Nurseta. dia tidak membuka lagi kain putih pembungkus pusaka, karena dia tidak ragu lagi, dia sudah percaya kepada calon isterinya dan merasa yakin sepenuhnya bahwa pusaka itu tentulah yang aseli.
Orang-orang yang tadi mengumpulkan kuda dan senjata, telah siap pula. Mereka menyerahkan dua ekor kuda kepada Nurseta dan Wulansari, setelah dua orang muda ini menuruni puncak. Berangkatlah rombongan ini menuju ke Majapahit.
*** Sepasang orang muda perkasa itu menunggang kuda di depan, Rombongan hampir dua ratus orang itu mengikuti dari belakang, ada yang berkuda, ada yang berjalan kaki. Mereka bergantian menunggangi kuda yang terkumpul kurang dari seratus ekor itu. Kadang-kadang Nurseta dan Wulansari saling menceritakan pengalaman masing-masing ketika mereka melakukan perjalanan seenaknya ini. Kuda-kuda itu tidak dapat dilarikan karena banyak diantara rombongan yang berjalan kaki.
"Kakangmas, aku sudah berjanji kepada Sang Prabu Jayakatwang bahwa aku tidak akan ikut berperang melawan Kediri, tidak akan membantu pihak manapun dalam perang yang timbul" tiba-tiba Wulansari berkata lirih.
Nurseta menoleh dan memandang gadis yang menunggang kuda di sebelahnya itu. Alisnya berkerut dan hati kecilnya merasa tidak setuju dengan janji yang diceritakan kekasihnya itu.
"Hemmm, kenapa begitu, diajeng" Bukankah baru saja kau dengan para pembantumu ini telah menyerbu dan membasmi sepasukan perajurit Kediri?"
"Ah, hal itu lain lagi, kakangmas, Apa yarg baru saja terjadi di Bukit Menur itu bukan merupakan perang antara dua kerajaan, melainkan pertempuran yang kulakukan untuk menentang yang jahat dan untuk menyelamatkan kau. Akan tetapi kalau terjadi perang, aku tidak mau terlibat, kakangmas. Aku tidak mau berperang memusuhi Kediri"
"Kenapa begitu, diajeng" Kau adalah puteri Paman Senopati Medang Dangdi, seorang senopati Singosari yang setia. Dan kau pernah digembleng oleh mendiang Eyang Panembahan Sidik Danasura sendiri, dan juga ditolong oleh Paman Jembros yang juga seorang pendekar yang berjiwa pahlawan. Sudah sepantasnya kalau kau juga kini membela Sineosari sebagai tanah air dan bangsamu"
Wulansari tersenyum "Kalau kau bicara tentang tanah air dan bangsa, aku menjadi semakin bingung, kakangmas. Bukankah Kediri juga setanah air dan sebangsa dengan kita " Ingat, keluarga Kerajaan Kediri bahkan masih keluarga Kerajaan Singosari pula. Memang, sudah sepatutnya kalau aku membela dan membantu Singosari, akan tetapi tidak kalau memusuhi Kediri, kakangmas. Bayangkan saja Aku pernah menjadi seorang bayangkara di Kediri, menjadi seorang panglima pengawal pribadi Prabu Jayakatwang dan ketika itu aku dipercaya, dihargai dan dihormati. Hanya karena urusan pribadi aku meninggalkan Kediri Bagaimana mungkin sekarang aku harus memusuhi kerajaan itu, padahal seluruh keluarga Prabu Jayakatwang di istana pernah bersikap baik sekaii kepadaku" Tidak, kakangmas, aku bukan seorang yang tidak mengenal budi seperti itu"
Nurseta mengangguk-angguk. Dia merasa betapa alasan yang dikemukakan Wulansari memang masuk diakal dan kuat pula. Bahkan diam-diam dia merasa kagum dan senang bahwa calon isterinya ini ternyata memiliki dasar watak yang baik dan lembut, juga mengenal budi dan tidak mudah merobah pendirian demi keuntungan pribadi.
"Aku dapat memaklumi dan menerima pendapatmu itu, diajeng. Apa lagi kalau kita mengingat akan semua petuah mendiang Eyang Panembahan Sidik Danusura, perang merupakan peluasan dari pada nafsu-nafsu angkara murka manusia yang menimbulkan kekejaman-kekejaman dan dendam kebencian"
"Dan bagaimana dengan kau sendiri, kakangmas Nurseta" Maafkan kalau aku berterus terang. Aku tahu bahwa kau adalah putera Pangeran Panji Hardoko seorang pangeran Kediri. Tanah tumpah darahmu adalah Kediri. Bagaimana kalau sampai terjadi perang antara Kediri dan keturunan Singosari yang kini berada di Majapahit?"
Nurseta mengerutkan alisnya, akan tetapi dia tersenyum. Bukan main kekasihnya ini. Lembut, setia, gagah perkasa, adil, akan tetapi juga jujur bukan main sehingga tidak ragu lagi untuk bertanya kepadanya tentang hal yang sebetulnya amat peka itu. Diapun terpaksa harus berterus terang mengemukakan pendapatnya karena menghadapi seorang yang berwatak terbuka seperti itu, tidak perlu menyembunyikan sesuatu
"Pertanyaanmu itu tepat dan baik sekali, diajeng. Juga amat jujur, maka akupun akan menjawab sejujurnya pula. Kurasa, amat tidak bijaksana bagi setiap orang manusia untuk mengikatkan diri secara berlebihan dan kaku terhadap keturunannya . Biarpun aku keturunan Kediri, akan tetapi sejak kecil aku hidup di bumi Singosari, diasuh oleh pendekar Singosari, yaitu mendiang Ayah Baka. Sejak kecil aku hidup di bumi Singosari, bergaul dengan kawula Singosari, mengalami suka duka di Singosari. Biarpun kemudian kenyataannya aku keturunan seorang pangeran Kerajaan Kediri, namun apa artinya keturunan kalau hidupku selama ini di bumi Singosari " Tentu saja seluruh perasaan hatiku condong membela Singosari. Kediri seperti kerajaan asing
bagiku, Aku sudah mengalami banyak senang dan susah bersama Singosari. Apa lagi mendiang Ayah Baka selalu mengajarkan bahwa seorang gagah harus selalu dapat mempertahankan tanah airnya. Sejengkal tanah sepercik darah. Demikian kata Ayah Baka selalu. Jelaslah, diajeng, kalau terjadi perang dengan Kediri atau dengan siapapun juga, hatiku condong untuk membela Singosari"
Gadis itu mengangguk-angguk dan tersenyum manis sekali, sepasang mata bintang itu bersinar-sinar. "Aduh gagahnya calon suamiku. Aku kelak ingin mempunyai seorang anak laki-laki yang seperti ayahnya ini"
Nurseta tersipu. Calon isterinya ini sungguh terbuka dan jujur. Ini tentu pengaruh didikan Ki Cucut Kalasekti yang diharapkannya kini sudah tewas benar-benar.
"Ihh, diajeng, kau terlalu memuji, membuat aku malu saja" katanya dan kekasihnya itu menutupi mulut, tertawa geli melihat kecanggungan Nurseta.
"Kalau begitu, jika nanti timbul perang antara Majapahit dan Kediri, kau akan maju perang, kakangmas" Dalam pertanyaan ini terkandung kekhawatlran dan Nurseta dapat merasakan ini. Dia merasa tidak tega untuk mendatangkan kekecewaan dan kedukaan di dalam hati kekasihnya yang sudah demikian lamanya terbenam di dalam kedukaan dan keputus-asaan. Kini mereka telah bertemu dan bersatu, tidak ada apapun di dunia ini yang lebih penting dari pada itu, tidak ada apapun yang akan mampu memisahkan mereka lagi.
"Bagaimana baiknya kalau menurut pendapatmu, diajeng Wulan?" Dalam jawaban inipun Nurseta sudah menjelaskan bahwa dia akan mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh, bahkan kalau perlu mentaati nasihat dan pendapat calon isterinya. Wulansari dapat menangkap apa yang tersembunyi di balik kata-kata kekasihnya, maka iapun merasa berbahagia sekali dan juga bersukur. Ia yakin benar akan besarnya kasih sayang Nurseta kepadanya dan dalam percakapan itu saja sudah nampak jelas rasa cinta kasih calon suaminya itu. Maka iapun tidak ingin dianggap mau menang sendiri, tidak ingin memaksakan kehendak atau mementingkan diri sendiri.
"Begini, kakangmas Nurseta Semua pendirianmu tadi kuhormati dan kubenarkan Sejengkal tanah sepercik darah, memang demikianlah sepatutnya pendirian seorang satria sejati. Akan tetapi, kakangmas. Masih kurangkah jasamu terhadap Pangeran Raden Wijaya" Kalau kakangmas sudah menyerahkan tombak pusaka Ki AgengTejanirmala, bukankah itu merupakan jasa yang jauh lebih besar dibandingkan andaikata kakangmas berhasil membunuh seribu orang musuh " Karena itu, kakangmas, kalau setelah kita menyerahkan pusaka itu kepada Raden Wijaya, lalu kakang mas mengundurkan diri dan tidak mencampuri perang, aku yakin tidak ada seorangpun yang akan mencelamu. Ingatlah, sudah lama sekali kita saling terpisah oleh keadaan. Apakah kakangmas tega untuk sekali lagi meninggalkan aku, menempuh bahaya dalam perang sehingga hidupku akan selalu was-was dan gelisah" Aku tidak memaksamu, kakangmas Nurseta, hanya mengharapkan keadilan dan pertimbanganmu"
Nurseta menoleh dan memandang kekasihnya. Terkejutlah dia melihat betapa sepasang mata yang jeli dan jernih itu berlinang air mata. Tahulah dia bahwa kekasihnya itu benar-benar amat merindukan hidup dalam damai dan bahagia di sampingnya, tidak terpisahkan apapun juga dan Wulansari memang berhak mengingat betapa sejak kecil ia hidup selalu diliputi kekerasan dan kedukaan. Kalau gadis itu tidak memiliki dasar watak yang baik, watak satria seperti dimiliki ayah ibunya, kemungkinan besar ia telah menjadi seorang wanita, yang menyeleweng dari pada jalan kebenaran, mengingat betapa ia hidup dalam asuhan seorang datuk iblis seperti Ki Cucut Kalasekti. Sudah sepatutnya kalau dia mengalah dan menyenangkan bati calon isterinya itu. Pula, apa yang dikatakan kekasihnya tadi memang mendatangkan kesan mendalam di hatinya. Bagaimunapun juga, Kediri adalah sedarah dan sebangsa dengan Singosari. Perang yang terjadi antar saudara atau antara keluarga kerajaan itu pada hakekatnya. adalah urutan dendam mendendam antara mereka. Dendam turun menurun sejak Ken Arok. Para senopati dan perajurit hanyalah terbawa-bawa, terseret arus perang yang ditimbulkan karena urusan pribadi atau dendam keluarga kerajaan. Dia sendiripun bukan seorang senopati, bukan ponggawa kerajaan. Bahkan lebih dari itu, dia masih keturunan seorang pangeran Kediri, ayah kandungnya adik tiri Sang Prabu Jayakatwang sendiri.
"Baiklah, diajeng. Aku berjanji tidak akan ikut berperang"
Wulansari mendekatkan kudanya, menjulurkan tangan kanannya dan memegang lengan kiri kekasihnya.
"Terima kasih kakangmas. Aku semakin kagum dan semakln cinta padamu. Percayalah, aku hanya tidak ingin kita terlibat dalam perang saudara itu, akan tetapi tentu saja kalau kita menghadapi kejahatan, baik kejahatan itu dilakukan orang-orang Kediri ataupun orang-orang Singosari, tentu kita harus turun tangan menentang mereka dan menolong rakyat tak berdosa yang tertindas oleh kejahatan mereka"
Pandang mata wanita itu lebih jelas lagi membayangkan rasa haru dan terima kasihnya kepada Nurseta. Pemuda itupun memandang kepadanya dengan senyum.
"Diajeng, kalau aku mau menuruti kehendakmu, bukan berarti bahwa aku mengalah, hanya karena aku melihat bahwa alasanmu tadi memang benar dan tepat. Tentu saja aku mengerti bahwa pada dasarnya, kau berjiwa pendekar. Lihat di sana, agaknya pasukan Majapahit sudah mulai bergerak, diajeng"
Wulansari memandang dan mereka menahan kuda dan memberi isarat dengan tangan agar pasukan rakyat itu berhenti. Semua orang berhenti dan memandang kearah pasukan besar yang bergerak dari depan itu dengan hati gembira.
Segera kehadiran mereka dilihat oleh para senopati Majapahit yang mulai bergerak. Dua orang penunggang kuda yang gagah memacu kuda mereka dari pasukan Majapahit itu dan menghampiri mereka.
"Kanjeng rama......." Wulansari berseru girang.
"Ah, kau kiranya, Wulansari" seru pula segtopati Ki Medarg Dangdi, ayah gadis perkasa itu "Dan bersama kau pula, anakmas Nurseta" Kini Ki Medang Dangdi girang bukan main melihat puterinya telah dapat bertemu dan pulang bersama calon mantunya itu dalam keadaan sehat. "Dan bagaimana dengan tugas kalian " Berhasilkah?" Segera dia teringat akan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala
"Berkat bimbingan Gusti Yang Maha Kuasa dan doa restu ayah, kami berhasil dan pusaka itu telah kami bawa untuk dihaturkan kepada Pangeran Raden Wijaya"
Mendengar ucapan puterinya ini, Ki Medang Dangdi memandang dengan wajah berseri. "Bugus sekali, Wulansari. Aku bangga sekali menjadi ayahmu. Akan tetapi, siapakah pasukan kecil di belakangmu itu?"
"Apalah kanjeng rama tidak mengenal mereka" Harap ayah lihat baik-baik, tentu ada diantara mereka yang ayah kenal karena mereka adalah orang orang Singosari, bahkan ada yang bekas perajurit Singosari"
Sementara itu, ketika melihat kedua orang senopati, Ki Medang Dangdi dan Ki Mahesa Wagal, diantara pasukan rakyat yang mengenal mereka segera berseru, "Hidup senopati Medang Dangdi dan Mahesa Wagal. Hidup Singosari"
Dua orang senopati itu tersenyum, lalu Ki Medang Dangdi berseru kepada mereka. "Apakah kalian sudah siap semua untuk menyerbu Kediri dan membaias kekalahan Singosari ?"
"Siaaaaapp" teriak mereka serempak.
"Bagus, kalau begitu kalian boleh bergabung dengan pasukan kami" Beberapa orang perwira Majapahit segera menerima dan menampung mereka bergabung dengan pasukan besar.
"Wulansari. lebih baik kau dan anakmas Nurseta segera menghadap Raden Wijaya dan menghaturkan pusaka itu, kemudian kalian cepat menyusul kami dan membantu kami menyerbu Kediri" kata pula Ki Medang Dangdi kepada puterinya.
"Ayah, kami berdua sudah bersepakat untuk menghaturkan pusaka kepada Raden Wijaya, setelah itu kami tidak akan lkut bertrmpur dalam perang, melainkan kami akan melakukan perondaan dan penjagaan keamanan dalam kehidupan rakyat agar jangan sampai mereka, seperti biasanya, kalau terjadi perang, menjadi korban kejahatan yang timbul di mana-mana. Yang akan kami musuhi dan hadapi adalah penjahat-penjahat pengganggu keamanan kehidupan rakyat jelata, dari manapun datangnya"
Ki Medang Dangdi mengangguk-angguk dan tidak membantah kehendak puterinya. Sebagai seorang senopati kawakan yang sudah sering melakukan perang, dia tahu apa yang dimaksudkan oleh puterinya itu. Sudah banyak dia melihat dan mendengar mengalami sendiri akan timbulnya kejahatan setiap kali terjadi peperangan. Penjahat-penjahat mendapat kesempatan untuk mengumbar nafsu angkara murka mereka tanpa ada alat pemerintah yang dapat menen tang karena alat pemerintah sibuk dalam perang. Bahkan tidak jarang nggauta pasukan yang mabuk kemenangan, atau putus asa karena kekalahan, menumpahkan segala gejolak nafsu mereka kepada rakyat jelata yang tidak mampu melawan.
Mereka lalu berpisah. Nurseta dan Wulansari berdua saja melanjutkan perjalan mereka, membalapkan kuda memasuki wilayah Majapahit. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan pasukan induk Majapahit yang dipimpin oleh Raden Wijaya sendiri. Tentu saja mereka diterima oleh Raden Wijaya dengan ramah dan gembira. Apa lagi setelah Nurseta mempersembahkan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala kepada pangeran itu.
Sang Pangeran Wijaya membuka bungkusan tombak pusaka itu dan melihat sinar mencorong penuh wibawa dari tombak pusaka itu, Raden Wijaya mengangkatnya tinggi di atas kepalanya.
"jagad Dewa Bathara....... Akhirnya, berkat kemurahan para dewata, pusaka ini sampai juga ke tanganku. Agaknya Sang Hyang Widhi memang sudah memberi restu agar aku membangun kembali Singosari yang runtuh dan mendirikan Majapahit menjadi sebuah kerajaan besar. Nurseta, dan kau juga, Wulansari. Kalian telah berjasa besar kepada Majapahit. Kami masih ingat akan janji kami, Nurseta. Kami pernah berjanji kepadamu bahwa kalau tombak pusaka ini dapat kau serahkan kepada kami sampai Majapahit berhasil berdiri dengan jaya, maka apapun yang kau minta akan kami penuhi. Sekarang, tombak pusaka sudah kau serahkan kepada kami. Bantulah kami untuk mengalahkan Kediri, agar kejayaan Singosari dapat bangkit kembali dalam kerajaan yang baru, yaitu Majapahit yang akan mempersatukan bukan saja Singosari dan Kediri, akan tetapi juga seluruh kerajaan dan kadipaten di Nusantara. Setelah itu, baru kami akan bertanya, balas jasa apa, anugerah apa yang kau minta, dan kami pasti akan memenuhinya"
Nurseta cepat menghaturkan sembah "Hamba menghaturkan banyak terima kasih atas segala kemurahan hati paduka, Gusti Pangeran. Akan tetapi, hamba tidak mengharapkan balas jasa karena penyerahan pusaka ini selain merupakan pesan terakhir dari mendiang ayah Baka, juga merupakan tugas kewajiban hamba terhadap Singosari, terhadap paduka yang melanjutkan perjuangan Singosari. Yang hamba harapkan hanya satu, gusti. Yaitu hamba dan diajeng Wulansari mohon perkenan paduka untuk tidak ikut dalam perang ini"
Raden Wijaya terbelalak dan mengerutkan alisnya. "Tidak kelirukah pendengaranku, Nurseta" Coba ulangi lagi permintaanmu tadi"
Nurseta menyembah. "Hamba berdua diajeng Wulansari mohon perkenan paduka untuk tidak ikut dalam perang ini, Gusti Pangeran"
"Sungguh aneh sekali, Nurseta. Kau dan Wulansari adalah dua orang muda perkasa yang berjiwa satria, dan yang sudah membuat jasa besar dengan mendapatkan tombak pusaka untuk kami. Akan tetapi kalian tidak mau membantu kami berperang melawan Kediri. Sungguh kami tidak dapat mengerti mengapa kau berdua mengambil sikap seperti ini"
Melihat kekasihnya tersudut, Wulansari cepat menghaturkan sembah dan berkata dengan suara lantang. "Mohon paduka ampunkan kalau hamba yang mewakili kakangmas Nurseta menjawab pertanyaan paduka itu, gusti pangeran. Menurut pendapat hamba, untuk mengabdi negara dalam perjuangan, bukan hanya dengan
jalan melibatkan diri dalam perang saja. Masih banyak jalan untuk mengabdi kepada negara dan bangsa, gusti. Dan hamba berdua mengambil keputusan untuk mengabdi dengan cara lain. Selagi paduka dan semua pasukan mengadakan perang melawan Kediri, maka keamanan hidup rakyat jelata tidak akan terjamin, kejahatan muncul di mana-mana. Hamba berdua akan mengadakan perondaan dan akan menanggulangi kekacauan yang timbul, menghadapi orang-orang jahat yang mempergunakan kesempatan dalam kesempitan mengail di air keruh. Terutama sekali di daerah yang telah dikuasai pasukan paduka. Dengan demikian, rakyat akan menyambut kemenangan paduka dengan gembira, dan dengan pengabdian seperti itu, hamba berdua sudah menjaga kewibawaan dan nama baik paduka"
Raden Wijaya mengangguk-angguk, Diapun maklum bahwa setiap kali terjadi perang, ketika Singosari dahulu menundukkan pemberontak, ketika Daha menyerbu Singosari, selalu timbul kekacauan karena para penjahat tentu akan keluar merajaiela. Maka, apa yang dikemukakan Wulansari itu memang benar. Disamping itu, calon raja yang bijaksana ini dapat pula menduga bahwa tentu ada alasan lain yang sifatnya pribadi, namun dia cukup bijaksana untuk tidak mendesak. Bagaimanapun juga harus diakuinya bahwa jasa kedua orang itu sungguh sudah teramat besar dengan diserahkannya tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala ke tangannya. Dahulu, ketika Prabu Jayakatwang menguasai tombak pusaka itu, Kerajaan Singosari jatuh oleh Daha. Kini, tombak pusaka itu berada di tangannya, maka dia merasa yakin bahwa tentu dia akan mampu menaklukkan Daha. Dia tidak akan mendirikan kembali Singosari, yang telah jatuh. Dia cukup cerdik. Kalau dia mendirikan lagi Singosari, maka tentu akan terus menerus terjadi pemberontakan, karena Kerajaan Singosari merupakan kerajaan turunan yang diperebutkan oleh keturunan Ken Arok, keturunan Tunggul Ametung, dan keturunan Kerajaan Kediri. Akan tetapi dia akan membangun sebuah kerajaan baru, Kerajaan Mijapahit. Dengan demikian, tidak akan terjadi keributan dan perebutan kekuasaan.
Karena kesanggupan dua orang muda perkasa itu untuk menjaga keamanan juga merupakan suatu perjuangan yang tidak kecil artinya, maka Raden Wijaya segera memberikan persetujuannya. Menghadapi para penjahat bukan tidak berbahaya bahkan lebih berbahaya dari pada kalau bertempur dalam perang di mana terdapat banyak kawan dalam satu pasukan. Mereka bahkan akan menentang orang-orang jahat yang berbahaya, dan banyak diantara para datuk sesat yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Raden Wijaya lalu menyerahkan tanda kekuasaan berupa dua helai kain yang ditulisnya sendiri kepada dua orang muda itu. "Dengan tanda kekuasaan ini, kau berdua dapat bergerak dengan bebas dan semua ponggawa Majapahit akan tunduk dan mentaati keinginan kalian berdua sebagai wakil kami" Demikian pesannya sebelum pasukan itu melanjutkan gerakan, dipimpin sendiri oleh pangeran itu.
Wulansari dan Nurseta menghaturkan terima kasih dan mereka berduapun melanjutkan perjalanan memasuki daerah baru Majapahit untuk bertemu dengan Warsiyem, isteri Ki Medang Dandi dan ibu kandung Wulansari.
Tentu saja ibu yang pernah menderita siksaan ketika menjadi tawanan Ki Cucut Kalasekti ini gembira dan terharu bukan main dapat bertemu kembali dengan puterinya, apa lagi bersama Nurseta, calon mantunya yang sudah banyak berjasa ketika mereka berdua berada di dalam goa di dalam jurang akibat perbuatan Ki Cucut Kalasekti. Iapun merasa girang dan puas mendengar bahwa Ki Cucut Kalasekti, musuh besar yang amat jahat itu telah terjatuh ke dalam jurang yang amat dalam dan besar kemungkinan tewas, bersama Ki Buyut Pranamaya. Ia memuji puteri dan mantunya ketika mendengar bahwa mereka telah menyerahkan tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala kepada Raden Wijaya.
"Ah, betapa bahagia hatiku mendengar itu semua, Wulansari dan Nurseta Ayahmu pernah bercerita bahwa tombak pusaka Ki Ageng Tejanirmala itu bukan saja memilikl khasiat tolak bala, akan tetapi juga dapat dianggap sebagai wahyu keraton. Agaknya sudar menjadi kehendak Sang Hyang Widhi bahwa Gusti Pangeran Raden Wijaya yang akan membangun kembali Singosari dan menjadi seorang raja yang adil dan bijaksana, maka pusaka itu dapat kalian serahkan kepadanya"
"Saya yakin akan hal itu, kanjeng ibu. Buktinya, ketika Sang Prabu Jayakatwang menguasai tombak pusaka itu, dia berhasil menalukkan Singosari. Kini pusaka berada di tangan Gusti Pangeran Raden Wijaya, maka tentu Majapahit yang akan menang" kata Wulansari.
"Akan tetapi, anak-anakku, ketika kalian bertemu dengan pasukan Majapahit yang dipimpin gusti pangeran di mana terdapat pula ayahmu, kenapa kalian tidak ikut menggabung dan membantu gerakan pasukan yang hendak menyerbu Kediri itu?"
"Tidak, ibu. Kami memang sudah bersepakat untuk tidak ikut dalam perang dan hal itu sudah kami jelaskan kepada Raden Wijaya. Kami hanya akan menjaga keamanan, saja, memberantas semua penjahat yang mempergunakan kesempatan selagi terjadi peperangan untuk mengacau kota dan dusun yang tidak terjaga. Dan kanjeng pangeran sudah memberi ijin, bahkan telah memberikan tanda kuasa kepada kami" kata Wulansari.
Warsiyem mengangguk-angguk. Tanpa bicarapun ia dapat mengerti akan isi hati puterinya dan mantunya. Ia tahu bahwa puterinya pernah menjadi pengawal pribadi Raja Kediri dan calon mantunya itu bahkan putera seorang pangeran Kediri. Tentu saja mereka merasa rikuh untuk ikut menyerbu Kediri.
"Kalau begitu, kurasa sebaiknya kalau kalian melangsungkan pernikahan sekarang juga. Biarpun secara sederhana, disaksikan oleh para ibu, aku dapat mengatur peresmian pernikahan kalian, Wulansari dan Nurseta"
Wajah Wulansari berubah kemerahan. "Tidak ibu, Kami tidak akan meresmikan pernikahan kami sekarang" Nurseta juga mengangguk membenarkan ucapan calon isterinya, karena memang urusan pernikahan itu telah mereka bicarakan sebelumnya.
"Akan tetapi mengapa, anak-anakku" Kalian berdua sudah cukup lama saling mencinta, cukup lama terpisah dan menanti, dan usia kalian juga sudah lebih dari cukup" Menunggu apa lagi ?"
"Ibu, hal inipun sudah kami sepakati bersama. Biarpun kami berdua tidak ikut bertempur dalam perang, namun kami ikut berprihatin dan kami sudah mengambil keputusan untuk menikah setelah perang ini selesai dan pangeran sudah berhasil dan menang"
"Kalian memang anak-anak yang tabah dart tahan uji. Semoga perang ini cepat selesai, kalian menikah dan menerima anugerah kedudukan tinggi dari Gusti Pangeran"
"Tidak demikian, ibu. Cita-cita kami, kalau perang sulah selesai dan keadaan negara kembali aman, kami akan mecnikah, kemudian kami akan mengundarkan diri, menjadi petani-petani di pegunungan, hidup bersih, tentram dan damai, jauh dari keramaian dan kekerasan. Kami sudah muak karena sejak kecil bergelimang dengan kekerasan, dengan perkelahian dan permusuhan, ibu"
Warsiyem menarik napas panjang. "Alangkah akan bahagia dan tenteramnya hidup seperti itu, anak-anakku. Akupun merindukan kehidupan yang penuh damai dan ketenteraman, akan tetapi ayahmu adalah seorang senopati....... mana mungkin....."
"Ayah sudah telalu banyak jasanya terhadap kerajaan, Ibu. Setelah perang selesai, bisa aja ayah dan ibu mengundurkan diri dan hidup tenteram di pegunungan"
Warsiyem diam saja, akan tetapi di dalam batinnya, ia tahu bahwa hal itu tidak akan mungkin terjadi, ia mengenal baik watak suaminya, seorang senopati yang setia kepada kerajaan yang tidak akan mau mundur selama tenaganya masih dibutuhkan.
Nurseta dan Wulansari hanya beberapa hari saja tinggal bersama ibu gadis itu. Mereka lalu berangkat untuk melakukan perondaan, terutama di daerah yang sudah dikuasai pasukan Majapahit, untuk menjaga keamanam Melindungi rakyat dan menentang segala bentuk kejahatan yang timbul akibat perang.
** Setelah Prabu Jayakatwang menerima tombak pasaka dari tangan seorang perwiranya yang diutus oleh Ki Cucut Kalasekti untuk menyerahkan pusaka itu ke istana Kediri, hatinya menjadi besar. Sama seekali ia tidak menduga bahwa pusaka itu adalah tombak pusaka yang palsu, karena demikian miripnya pembuatan benda tiruan itu. Maka, Prabu Jayakatwang lalu mengratur barisannya untuk menghajar pasukan Majapahit yang dibantu oleh pasukan Madura dan bergabung dengan pasukan Tartar itu.
Prabu Jayakatwang maklun akan ancaman bahaya besar setelah menerima laporan bahwa pihak musuh telah menguasai daerah utara, dari Tuban sampai mendekati daerah kediri. Cepat diperintahkannya untuk membuat persiapan. Belatentara Kediri dibagi dalam tiga barisan pertahanan yang kuat. Pertahanan di bagian utara dipimpin oleh Mahesa Antaka dan Ki Bowong, dan karena pertahanan ini merupakan pasukan induk, Prabu Jayakatwang sendiri juga ikut memimpin pertahanan utara ini. Pertahanan di bagian timur dipimpin oleh Senopati Segoro Winotan dibantu oleh Senopati Ronggo Janur. Pertahanan di selatan dipimpin oleh Ki Patih Kebo Mundarang dan Senopati Pangelet.
Terjadilah pertempuran hebat di mana-mana. Kekuatan pasukan gabungan dari Majapahit. Madura, dan Tartar itu amat kuatnya. Sehingga di mana-mana balatentara Kediri mengaiami kekalahan dan kehancuran.
Pertahanan di bagian timur yang dipimpin oleh Segoro Winotan, mengalami serbuan hebat dari tentara Majapahit yang dipimpin oleh Ronggo Lawe. Dua orang musuh yang saling membenci itu bertempur di medan laga.
Tak dapat dicegah lagi, bertemulah dua orang senopati yang saling membenci itu di dalam medan yuda. Ronggo Lawe dengan gagahnya menunggang kudanya yang diberi nama Andawesi, sedanykan Segoro Winotan sebagai pimpinan pasukan kerajaan, mengendarai sebuah kereta perang. Namun, begitu keduanya bertemu, keduanya segera berlompatan turun dan kini berdiri saling berhadapan dengan sikap beringas.
"Heh keparat Ronggo Lawe, orang kasar dusun tak tahu aturan. Sudah kuduga, ternyata kau hanyalah antek dari si pemberontak Wijaya. Menyerahlah saja, kau akan aku bawa sebagai tawanan, dari pada harus kupenggal batang lehermu dan kugantung kepalamu di pohon waru menjadi setan penasaran" kata Segoro Winotan yang marah teringat akan dirinya yang tertipu oleh Raden Wijaya dan Rongge Lawe ketika dia diutus rajanya menyelidiki Majapahit.
Ronggo Lawe yang kerwatak keras itu menjadi merah mukanya, akan tetapi walaupun suaranya lantang, sikapnya masih tenang, sikap seorang satria yang tidak dikacau oleh amarah.
"Hemm, Segoro Winotan. Sudah jamak kalau ada maling berteriak maling, seperti yang kau lakukan. Kau mengatakan bahwa Gusti Pangeran Raden Wijaya adalah pemberontak. Bercerminlah. Siapa sesungguhnya pemberontak" Kau orang-orang Kediri, bukan kami. Bukankah Kediri yang selalu. diperlakukan dengan baik oleh Singosari, membalas kebaikan dengan kepalsuan, dengan pemberontakan. Kediri yang memberontak terhadap Singosari, sedangkan Gusti Pangeran Raden Wijaya hanyalah pejuang yang hendak menghajar dan membasmi pemberontak Kediri"
"Babo babo si keparat RonggqLawe, sungguh lancang ucapanmu. Sekali lagi, kau tidak mau menyerah?"
"Sebelum pecah dadaku atau putus leherku, Ronggo Lawe tidak mengenal menyerah"
"Kalau begitu, akan pecah dadamu dan putus lehermu" Segoro Winotan membentak dan menerjang dengan dahsyatnya. Serangan dahsyat ini dapat dielakkan oleh Ronggo Lawe yang membalas dengan tak kalah dahsyatnya. Kedua orang senopati ini segera bertanding, keduanya mempergunakan tombak. Melihat pimpinan mereka sudah bertanding, pasukan kedua pihak segera bersorak dan terjadilah pertempuran hebat antara pasukan Kediri melawan pasukan Majapahit yang dibantu oleh pasukan Mongol.
Seru dan mati-matian pertandingan antara Segoro Winotan dan Ronggo Lawe. Keduanya merupakan senopati yang bertenaga besar dan memiliki pengalaman dalam pertandingan, juga keduanya telah mempelajari aji kedigdayaan. Namun, Ronggo Lawe lebih muda dan juga Ronggo Lawe adalah murid Empu Supamandrangi pertapa di Gunung Bromo. Sepak terjangnya trengginas, dan setiap serangannya membuat tombak di tangannya seperti kilat menyambar, penuh tenaga yang amat kuat dan cepat sekali.
Segoro Winotan susah mengimbangi kecepatan dan kekuatan Ronggo Lawe dan sebelum lewat limapuluh jurus, tubuhnya sudah basah oleh keringat. Apa lagi dia melihat betapa pasukannya mulai terdesak dan terhimpit maka hatinya merasa risau dan hal ini membuat pertahanannya kurang kokoh. Karena kelengahan ini, kaki kiri Ronggo Lawe yang menyambar dalam sebuah tendangan, berhasil mengenai pinggangnya dan Segoro Winotan terhuyung dan hampir roboh. Dia menjadi marah bukan main.
"Aaaaagggghhhh......." Dengan gerengan seperti seekor beruang marah, Segoro Winotan menubruk dan tombaknya meluncur cepat ke arah perut Ronggo Lawe.
"Terburai ususmul" bentaknya menyambung gerengannya.
Ronggo Lawe sudah siap siaga dengan tenang. Ketenangannya membuatnya waspada, sebaliknya dari lawannya yang menjadi lengah, karena amarah yang berkobar. Ketika tombak Segoro Winotan meluncur ke arah perutnya. Ronggo Lawe membalikkan tombaknya, menangkis dengan gagang tombak dari samping sambil mengerahkan tenaganya.
"Trang......." Tombak di tangan Segoro Winotan menyeleweng dan tiba-tiba tombak Ronggo Lawe sudah membalik lagi dan mata tombaknya, tanpa dapat dihindarkan lagi, menusuk dada Segoro Winotan.
"Ceppp......." Ronggo Lawe sudah mencabut kembuli tombaknya sambil menendang. Tubuh Segoro Winotan terpelanting, darah mengucur dari dadanya. Tombaknya terlepas dan kedua. tangannya mendekap dada yang terluka. Ronggo Lawe tidak memberi kesempatan lagi kepada lawan. Dia sudah mencabut pedangnya dan sekali dia mengayun pedang, leher Segoro Winotan terbabat putus.
Melihat ini, seorang perwira Majapahit lalu menggunakan tombaknya menusuk kepala itu pada lehernya, dan mengangkat kepala itu tinggi-tinggi sambil bersorak. Para perajurit Majapahit yang melihat ini, ikut pula bersorak. Senopati Ronggo Janur, pembantu Segoro Winotan, marah sekali dan dengan keris terhunus dia menyerang Ronggo Lawe. Namun, Ronggo Lawe kembali menggerakkan pedangnya dan dalam beberapa gebrakan saja, Senopati Ronggo Janur juga terpelanting dan tewas dengan dada robek.
Robohnya para senopati Daha membuat para perajurit Kediri merasa semakin panik. Mereka memang sudah terdesak oleh pasukan gabungan Majapahit dan Mongol, Terutama sekali sepak terjang para perajurit Mongol itu amat menggiriskan. Pasukan dari Mongol itu memang merupakan pasukan yang sudah berpengalaman, dan mereka terkenal buas, Bahkan pasukan Mongol sampai menggegerkan negara-negara di barat karena keberanian dan kebuasan mereka. Dengan badan terlindung pakaian perang, pedang di tangan digerakkan dengan amat cepat dan kuat, dengan kebuasan binatang liar, pasukan Mongol ini menggiriskan hati para perajurit Kediri.
Robohnya Segoro Winotan dan Ronggo Janur membuat para perajurit Kediri menjadi gentar dan akhirnya merekapun mundur meninggalkan banyak korban, bahkan diantara mereka ada yang melarikan diri atau takluk. Celakanya, mereka yang takluk itu kalau berhadapan dengan pasukan Mongol, sama sekali tidak memperoleh ampun. Pasukan Mongol biasa membasmi pihak musuh yang kalah, bahkan membunuhi musuh yang sudah menyerah dan menyerah. Mereka yang kebetulan berhadapan dengan tentara Majapahit, dapat diterima sebagai taklukan dan tidak dibunuh.
Bukan hanya di bagian timur ini saja pasukan Kediri mengalami kekalahan besar, juga di bagian selatan, pertahanan yang dipimpin sendiri oleh Ki Patih Kebo Mundarang dan Senopati Pangelet, mengalami kekalahan. Ketika sorak-sorai pasukan Majapahit menyambut kemenangan di bagian timur itu, di bagian selatan sedang terjadi perang yang juga amat seru dan mati-matian.
Pasukan Majapahit yang menyerbu dari selatan dipimpin oleh Senopati Lembu Sora yang gagah perkasa. Yang dipimpinnya adalah gabungan pasukan Majapahit dan Madura, karena pasukan Mongol hanya menyerbu dan bergabung dengan pasukan yang menyerang dari utara dan timur saja. Namun, pasukan gabungan pimpinan Lembu Sora ini cukup tangguh, karena di sampingnya terdapat senopati-senopati yang gagah perkasa seperti Pamandana, Wirota Wiragati, dan Mahesa Wagal.
Ki Patih Kebo Mundarang tadinya mengadakan perlawanan mati-matian dan dia sendiri mengamuk bagaikan seekor banteng terluka. Namun, dia mendengar berita kekalahan pasukan Kediri di bagian timur, bakkan banyak perajurit Kediri yang melarikan diri ke selatan. Hal ini membuat dia merasa panik, juga anak buahnya menjadi panik. Sebaliknya. ketika para perajurit Majapahit dan Madura mendengar akan kemenangan kawan-kawan mereka di bagian timur, mereka bersorak sorai dan semangat merekapun berkobar-kobar. Maka, tak tertahankan lagi oleh pasukan Kediri. Mereka terdesak mundur dan akhirnya Ki Patih Kebo Mundarang tidak lagi dapat menguasai anak buahnya yang kacau balau. Bahkan banyak pula yang sudah melarikan dari gelanggang.
Ternyata Ki Patih Kebo Mundarang, patih yang dipercaya oleh Sang Prabu Jayakatwang itu, bukanlah seorang senopati yang berjiwa pahlawan. Ketika dia melihat betapa Senopati Pangelet roboh tewas, diapun segera melarikan diri bersama pasukan pengawalnya yang terdiri dari belasan orang saja. Dia membiarkan sisa pasukannva melakukan perlawanan dan diam-diam diapun melarikan diri tanpa pamit kepada anak buahnya.
Melihat ini, Senopati Lembu Sora merasa penasaran dan segera melakukan pengejaran dengan membawa dua puluh orang pasukan. Baginya, kemenangan pertempuran tanpa dapat menawan pimpinan pasukan lawan, baik mati atau hidup. tidaklah sempurna. Dia barus dapat membawa kepala Ki Patih Kebo Mundarang sebagai tanda kemenangan pasukan yang dipimpinnya. Maka pengejaranpun dilakukan dengan cepat.
Ki Patih Kebo Mundarang berhasil melarikan diri ke sebuah dusun, dan bersembunyi di rumah Ki Lurah Trini Panti. Ki Lurah tentu saja menyambut orang yang kedudukannya jauh lebih tinggi darinya itu dengan segala kehormatan. Di dapur, isterinya sibuk mempersiapkan masakan, ayam dan domba disembelih seketika dan rombongan Ki Patih Kebo Mundarang dijamu dengan makanan yang royal.
Akan tetapi, setelah mereka selesai makan dan matahari mulai condong ke barat, tiba-tiba terdengar suara ribut ribur di luar rumah. Kiranya, Senopati Lembu Sora dan para pengikutnya telah tiba di rumah Ki Lurah Trini Panti dan para pengawal Ki Patih Kebo Mundaran tidak melakukan perlawanan mati-matian. Namun, belasan orang yang sudah kelelahan dan kehilangan semangat karena kalah perang itu, dengan mudah dihabisi oleh dua puluh orang lebih pasukan Lembu Sora.
Ki Patih Mundarang sendiri yang mengintai dari dalam rumah, dengan muka pucat dan tubuh menggigil lalu melarikan diri melalui pintu belakang, tidak memperdulikan lagi kepada para pengawalnya yang sedang mati-matian melakukan perlawanan.
Dia di kebun rumah Ki Lurah Trini Panti. Hatinya lega melihat bahwa kebun itu sunyi dan tidak ada seorangpun perajurit Majapahit yang menghadangnya. Dia berlari terus. Akan tetapi, baru saja dia keluar dari kebun dan tiba di bawah rumpun bambu, dia dikejutkan oleh seorang yang telah berdiri menghadang di depannya, Lembu Sora!
Gemetar kedua kaki Ki Patih Kebo Mundarang ketika dia melihat senopati yang gagah perkasa itu.
"Hahaha, Ki Patih Kebo Mundarang, hendak melarikan diri ke mana" Pengecut, hayo hadapi aku Lembu Sora seperti seorang perajurit sejati, bukan seperti anjing yang melarikan diri sambil mengepit ekornya. Hahaha"
Wajah Ki Patih Kebo Mundarang sebeetar pucat sebentar merah. Dia merasa gentar terhadap senopati yang sudag diketahuinya amat digdaya ini, akan tetapi diapun merasa amat malu. Dia bukan seorang yang lemah. Sama sekali tidak. Belum tentu dia kalah oleh Lembu Sora. Akan tetapi, semangatnya bertempur sudah lenyap, dan dia yang jauh lebih tua dari Lembu Sora, merasa putus asa.
"Lembu Sora, biarkan aku pergi. Pasukanku sudah kalah, apakah kau masih belum puas" Ingat, kita pernah menjadi sahabat ketika kau sebagai pengikut Raden Wijaya dan tinggal di Kediri"
"Ki Patih Kebo Mundarang. Kita adalah dua orang perajurit yang saling bermusuhan, kita berdiri di sini sebagai musuh dan lawan. Tidak perlu membicarakan masa lalu. Kau adalah wakil Kediri, sedangkan aku adalah prajurit Majapahit. Hayo kita selesaikan urusan kita sebagai laki-laki jantan yang berjiwa satria"
Ki Patih Kebo Mundarang tetap tidak bersemangat. "Lembu Sora, sekali lagi aku minta. Kasihanilah aku yang sudah tua. Aku tidak ingin berkelahi lagi, aku sudah mengaku kalah"
"Keparat pengecut. Apa kau ingin mati konyol begitu saja, dan ingin aku memanggil seorang perajuritku untuk membunuhmu?"
Bangkitiah kemarahan Ki Patih Kebo Mundarang. Biarpun dia merasa gentar, kalau dia tersudut dan tidak melihat jalan keluar, dia menjadi marah dan nekat. Dia kini membusungkan dadanya. "Keparat kau Lembu Sora. Aku sudah merendahkan diri dan minta belas kasihan, kau bahkan menghinaku. Hemm. Kau kira aku tidak akan sanggup menandingimu " Keparat kau"
Dan tiba-tiba saja Ki Patih Kebo Mundarang sudah mencabut kerisnya dan menyerang dengan tusukan ganas kearah dada Lembu Sora. Namun, Senopati Lembu Sora, bekas senopati Singosari yang kini menjadi senopati Majapahit itu sudah waspada sejak tadi. Dia mengenal kelicikan Ki Patih Kebo Mundarang, maka begitu lawan bergerak menyerang, dia sudah meloncat ke belakang sambil mencabut kerisnya.
"Nah, demikian baru bagus, Ki Patih Kebo Mundarang. Aku sengaja menghinamu agar bangkit kejantananmu. Kita adalah perajurit, maka mati di ujung keris merupakan mati yang terhormat, matinya seekor harimau jantan, bukan matinya seekor domba yang mengembik-embik minta belas kasihan"
"Babo babo, rasakan ampuhnya pusakaku" bentak Ki Kebo Mundarang lagi dan kini dia menyerang bertubi-tubi dengan gerakan cepat dan kuat.
Lembu Sora menggerakkan kerisnya menangkis dan terjadilah serang menyerang yang seru dan mati-matian.
Ki Patih Kebo Mundarang memang bukan orang yang lemah. Bahkan dibandingkan Lembu Sora, dia memiliki lebih banyak pengalaman dalam hal bertempur. Akan tetapi, dia kalah tenaga, dan terutama sekali dalam hal semangat. Apa lagi dia sedang putus asa melihat kehancuran pasukan yang dipimpinnya, bahkan melihat kehancuran Kediri sudah di depan mata. Inilah yang membuat tenaganya makin berkurang dan gerakannya kadang-kadang kacau. Mereka saling tusuk, saling elak atau tangkis. Setiap kali kedua batang keris itu bertemu dengan hebatnya tubuh Ki Patih Kebo Mundarang terhayung, tanda bahwa dia kalah tenaga. "Mampus kau" bentaknya ketika kerisnya meluncur ke arah leher Lembu Sora.
Senopati Majapahit ini menggerakkan kerisnya dari bawah ke atas, menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Tranggg...." Pertemuan antara dua batang keris itu sekali ini teramat kuatnya dan keris patih itu terlepas dari tangan, jatuh ke atas tanah. Sebuah tendangan kaki Lembu Sora mengenai lututnya dan patih itupun terpelanting.
"Hemm, Ki Patih Kebo Mundarang. Kau belum terluka parah. Ambillah kerismu dan mari kita lanjutkan pertandingan ini" kata Lembu Sora yang tidak suka menyerang lawan yang sudah tak berdaya.
Ki Patih Kebo Mundarang memandang kerisnya yang jatuhnya tepat di depan kakinya, tinggal meraih saja. Akan tetapi, dia tahu bahwa kalau dilanjutkan pertandingan itu, akhirnya dia yang akan roboh dan tewas menjadi korban keris di tangan lawannya yang amat perkasa itu. Dia sudah merasa lelah dan lemah lahir batin, sedangkan Lembu Sora masih nampak demikian gagah dan penuh semangat. Teringatlah dia betapa ketika masih tinggal di Kediri, Lembu Sora pernah mengantarkan Raden Wijaya yang berkunjung ke rumahnya dan ketika Lembu Sora berjumpa dengan puterinya, Mayawati, sepasang mata senopati ini bercahaya, wajahnya berseri. Sebagai seorang tua yang berpengalaman, diapun tabu bahwa seperti para pria lain, Lembu Sora juga terpesona melihat kecantikan puterinya, Ingatan ini mendatangkan akal baginya.
"Lembu Sora, anak mas Lembu Sora. kau ampunkanlah aku, bebaskanlah aku dan jika tak akan melupakan budi kebaikan kau selamanya. Aku akan menyerahkan puteriku, Si Mayawati yang denok ayu, kepadamu. Nikahilah ia Lembu Sora, akan tetapi bebaskan aku. Bukankah kau suka kepada puteriku itu" Ingat, ia seorang perawan yang denok ayu, tiada bandingannya di seluruh Kediri......"
"Ki Patih Kebo Mundarang. Tutup mulutmu. Tidak malukah kau menawarkan puteri sendiri seperti barang dagangan, hanya untuk menyelamatkan nyawamu yang tiada berharga " Kau hendak menukar nyawa dengan kehormatan keluargamu " Betapa rendah dan hinanya"
Melihat sikap ini, tahulah Ki Patih Kebo Mundarang bahwa segala bujuk rayunya takkan termakan oleh Lembu Sora. Habislah harapannya dan timbul kembali kelicikannya dalam usahanya menyelamatkan diri. Tiba-tiba sekali dia menyambar keris di depan kakinya dan tanpa peringatan lebih dahulu. Diapapun meloncat dan menubruk, menyerang perut Lembu Sora dengan tusukan kerisnya. Gerakan ini Tiba-tiba datangnya dan cepat sekali, gerakan orang yang sudah nekat. Namun, Lembu Sora adalah seorang senopati yang sudah berpengalaman pula, dan sejak tadipun dia sudah bersikap waspada karena dia sudah mengenal orang macam apa adanya lawannya itu.
Maka, begitu lawan menubruk dengan serangan kerisnya, dia sudah cepat mengelak dengan menggeser kaki ke samping, kemudian dari samping, keris di tangannya menghunjam, tepat memasuki dada lawan dari arah kiri.
Ki Patih Kebo Mundarang terpekik, terbelalak, kerisnya terlepas, kemudian ketika Lembu Sora mencabut kerisnya, tubuhnya terkulai lemas dan tewaslah patih Kediri itu.
Kalau pertahanan di timur dan selatan mengalami kehancuran, di utarapun pasukan Kediri mengalami nasib yang tidak jauh beda. Induk pasukan Kediri dikerahkan untuk membendung serbuan lawan yang datang dari utara dan balatentara Kediri yang berjaga di utara ini paling besar dan paling kuat, merupakan induk pasukan. Bahkan Sang Prabu Jayakatwang sendiri maju memimpin pasukannya.
Akan tetapi, balatentara Kediri di bagian utara ini bertemu dengan pasukan yang dipimpin Raden Wijaya, yaitu orang-orang Majapahit yang bergabung dengan pasukan Madura, yang dipimpin oleh Arya Wiraraja atau Banyak Wide Bupati Sumenep, bahkan bergabung dengan pasukan induk dari balatentara Mongol yang amat kuat.
Perang campuh yang hebat terjadi di daerah utara ini, di sekitar pantai dan muara Sungai Brantas sampai ke Canggu. Diantara anak buah pasukan Mongol terdapat pula Lie Hok Yan. Pemuda ini memang baru saja menjadi perwira di dalam pasukan Mongol, berkat bantuan suhengnya, yaitu Kau Seng. Niatnya memasuki tentara hanya untuk meluaskan pengalaman, apa lagi ketika mendengar bahwa pasukan itu akan dikirim jauh ke negara lain di seberang lautan selatan. Dia belum berpangalaman dalam pertempuran besar dalam perang. Baru sekali ini dia mengalami pertempuran dan pemuda ini harus mengakui kehebatan para perajurit Mongol. Mereka itu adalah para perajurit yang berpengalaman, penuh keberanian dan di dalam perang, mereka itu sungguh buas dan ganas. Akan tetapi, segera Hok Yan merasa tak senang dan harus seringkali mengerutkan alisnya. menyaksikan kekejaman orang-orang Mongol itu Meraka itu tidak merasa puas kalau melihat musuh roboh sebelum membunuhnya dengan kejam.
Kemudian dia melihat kekejaman yang lebih mengerikan lagi, yaitu setiap kali pasukan Mongol mengalahkan musuh dan memasuki sebuah dusun, maka terjadilah kekejaman yang tiada taranya. Mereka itu membunuhi setiap orang dalam dusun itu, tua muda laki perempuan, setelah lebih dahulu memperkosa wanita-wanita mudanya. merampoki barang-barangnya. Semua ini mereka lakukan secara kejam seperti binatang buas. Tahulah dia mengapa Bangsa Mongol dapat mengalahkan seluruh daratan Cina, bahkan sampai berhasil memperluas kekuasaan jauh ke barat.
Kiranya semua hasil baik itu bukan hanya berdasarkan siasat perang yang ampuh, melainkan terutama sekali karena semangat mereka yang bernyala-nyala, kekejaman yang haus darah, dan ketrampilan mereka, membuat mereka itu masing-masing merupakan iblis berujud manusia yang amat mengerikan. Dia sendiri merasa muak dan tidak mampu berbuat apa-apa, karena biarpun dia seorang perwira, namun hanya perwira rendah saja. Kekuasaannya tidak besar. Apa lagi dia seorang Han, bukan orang Mongol sehingga kalau sampai dia menyinggung perasaan orang Monggol, seorang perajuri biasapun kalau dia seorang Mongol tentu akan berani melawannya.
Selagi Sang Prabu Jayakatwang dan pasukannya melakukan perlawanan mati-matian di bagian utara, di luar kota raja Kediri, di dalam istana terjadi hal yang hebat pula. Semua senopati Kediri diberangkatkan untuk menyambut musuh, maka kota raja kosong dan hanya dijaga oleh puluhan orang perajurit pengawal saja.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Resi Mahapati, yaitu Jaka Pati murid Pranamaya yang berhasil menjadi pendeta di Kerajaan Kediri. Sebagai seorang pendeta aliran penyembah Syiwa, Resi Mahapati memperoleh kepercayaan dari Sang Prabu Jayakatwang, dan sedikit demi sedikit dia mulai memupuk kekuasaan di Kediri. Ketika melihat betapa Kediri terancam bahaya, dia sama sekali tidak ikut berperang. Hal ini mudah saja baginya karena sebagai seorang pendeta, tentu saja bukan kewajibannya untuk maju berperang seperti perajurit. Diam-diam dia memperhatikan perkembangan perang itu dan mengatur siasat.
Ketika dia mendengar bahwa pertahan di timur sudah jebol, juga di selatan pasukan Kediri mengalami kekalahan besar, Resi Mahapati cepat mengumpulkan para pendeta kerajaan. Ada tiga belas orang kepala pendeta berbagai aliran di Kediri, dan Resi Mahapati yang telah berhasil menarik kepercayaan Prabu Jayakatwang, merupakan seorang diantara para kepala yang berkuasa.
"Sudah jelas bahwa Kediri akan kalah. Musuh akan menyerbu ke sini, dan kalau kita tidak cepat mengambil tindakan, tentu kita semua akan dibasmi musuh, kita semua akan tewas" katanya setelah mereka semua berkumpul.
"Memang kita harus mengambil tindakan" kata seorang diantara mereka. Semua orang menengok dan dia adalah Resi Mahaprana, seorang pendeta keturunan India yang tubuhnya tinggi dan kulitnya hitam. Sebetulnya. dia adalah pendeta tertua. Juga paling ahli dalam soal keagamaan sehingga para pendeta yang lain menganggap dia sebagai guru dalam soal keagamaan. Selain itu, juga dia yang usianya sudah enam puluh lima tahun itu dikenal sebagai seorang yang digdaya. "Kita tidak boleh tinggal diam. Kita harus cepat keluar dari sini dan membantu pasukan yang di pimpin Sribaginda untuk menghalau musuh"
Resi Mahapati tersenyum memandang kepada pendeta tua itu, Dia tahu bahwa satu-satunya orang yang akan menentangnya dengan keras tentu pendeta ini karena diantara mereka memang sudah ada perasaan bersaing dan tidak suka, saling bermusuhan secara diam-diam.
"Hemm, Sang Bhagawan Mahaprana. Kita adalah pendeta, bagaimana kita harus bertempur seperti perajurit" Pula, apa artinya bantuan kita dengan anak buah kita yang hanya ratusan orang jumlahnya, dan rata-rata mereka hanya pandai berdoa saja akan tetapi tidak pernah latihan bertempur" Tidak, kurasa tidak benar sama sekali kalau kita keluar membantu pasukan Kediri untuk melawan musuh"
Para pendeta yang lain menyambut dengan bisik-bisik, dan jelas bahwa hanya ada tiga orang yang menyetujui keinginan Bhagawan Mahaprana, sedangkan yang lain menyetujui pendapat Resi Mahapati. Mereka yang berpihak kepada Bhagawan Mahaprana adalah terdorong oleh kesetiaan mereka terhadap Sribaginda. Akan tetapi sebagian besar dari mereka memang tidak pernah bertempur, maka membayangkan pertempuran saling bunuh itu saja sudah membuat mereka merasa ngeri.
Mendengar ucapan Resi Mahapati itu, Sang Bhagawan Mahaprana yang memang tidak suka kepada Resi Mahapati yang amat dicurigainya sebagai seorang yang tidak patut menjadi pemuka agama, tersenyum pahit. "Resi Mahapati, kalau membantu pasukan Kediri menghalau musuh kau katakan tidak benar, lalu bagaimana yang benar" Apa yang harus kita lakukan menurut pendapatmu?"
Resi Mahapati tersenyum. "Kita adalah orang-orang bijaksana yang suka akan suasana damai, bukan perang. Kita harus pula cerdik dan melihat suasana yang menguntungkan bagi agama kita. Jelas bahwa Kediri akan jatuh. Kalau kita mati-matian membela Kediri, itu berarti kita akan mati konyol. Oleh karena itu, sebaiknya kalau kita membuat persiapan menyambut Raden Wijaya yang kuyakin pasti ukan memperoleh kemenangan"
Wajah Bhagawan Mahaprana berubah kemerahan, namun dia masih menahan kemarahannya ketika bertanya, "Persiapan yang bagaimana kau maksudkan, Resi Mahapati?"
"Kita harus menguasai istana Kediri dan mengatur agar istana dibuka dan menyerah, tidak ada perlawanan apa bila Raden Wijaya memasukinya, dan kita sambut Raden Wijaya sebagai seorang raja baru yang menjadi junjungan kita dan....."
"Cukup." Sang Bhagawan Mahaprana membentak dengan suara lantang penuh kemarahan. Dia bangkit berdiri dan memandang kepada Resi Mahapati dengan mata melotot, tongkat di tangan kirinya gemetar, lalu telunjuk tangan kanan menuding ke arah muka Resi Mahapati.
"Mahapati, kau seorang pengkhianat jahanam. Kau ular kepala dua yang harus dibasmi dan dilenyapkan dari permukaan bumi?"
Resi Mahapati tertawa. "Haha, Bhagawan Mahaprana, kau hanyalah seorang pendeta tua yang lemah dan mau mati. Kau dapat berbuat apa terhadap diriku" Aku bertindak demi keselamatan semua anggauta, agar kita dapat beribadat dengan baik dan tenteram, bukan melibatkan diri dengan pertempuran dan pertumpahan darah"
"Pengkhianat. Pemberontak. Saudara-saudara para pendeta, siapa diantara kau yang setuju dengan aku untuk membasmi pengkhianat Mahapati ini?" Bhagawan Mahaprana menengok ke arah para pendeta yang hadir di situ. Para pendeta itu saling pandang dengan bingung, dan akbirnya hanya ada tiga orang pendeta tua yang bangkit dan menghampiri Sang Bhagawan Mahaprana, dan berdiri di belakangnya. Para pendeta lain tetap duduk dan menundukkan muka karena mereka lebih condong menyetujui Resi Mahapati yang lebih menguntungkan.
"Resi Mahapati, kami berempat harus menangkapmu karena jelas bahwa kau seorang pengkhianat dan pemberontak" kata Bhagawan Mahaprana sambil melangkah maju.
Akan tetapi Resi Mahapati tersenyum dan dia bahkan melangkah maju pula. "Bhagawan Mahaprana, aku memberi jalan kehidupan yang baik kau malah memilih jalan kematian yang gelap. Nah kalau aku tidak mau ditangkap, kalian berempat mau apa?" Dia menantang akan tetapi diam-diam dia sudah siap siaga. Resi Mahapati adalah murid tersayang dari Ki Buyut Pranamaya, tentu saja dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Hal itu tidak begitu diketahui oleh para pendeta lainnya, karena memang Resi Mahapati pandai menyembunyikan kedigdayaannya, hanya menonjolkan pengetahuan agamanya.
"Resi Mahapati, karena kau jelas berkhianat dan memberontak, kami atas nama Sribaginda, menangkapmu. Kalau kau tidak mau menyerah, terpaksa kami menggunakan kekerasan" kata Sang Bhagawan Mahaprana yang menoleh kepada tiga orang rekannya. "Mari kita tangkap dia"
Tiga orang pendeta itu melangkah maju dan mereka menjulurkan tangan untuk menangkap Resi Mahapati yang mereka anggap sebagai seorang pengkhianat dan pemberontak itu. Melihat ini, Resi Mahapati diam-diam mengerahkan tenaga saktinya lalu. dia bergerak dengan teriakan lantang melengking.
"Haayyyytttt.........."
Terdengar pekik tiga kali dan tiga orang pendeta tua itupun roboh terpelanting dan tewas seketika dengan mulut mengeluarkan darah dan mata terbelalak. Mereka telah menjadi korban pukulan ampuh, yaitu aji pukulan Margaparastra. Sekali saja terkena pukulan ini pada dada mereka, tiga orang pendeta itu roboh dan tewas. Dan pukulan bertubi itu datang amat cepatnya.
"Kau........ kau berani membunuh mereka........?" Sang Bhagawan Mahaprana terbelalak, membentak marah lalu tongkatnya bergerak menyerang Mahapati dengan dahsyat. Namun, Resi Mahapati memang sudah siap siaga. Dia mengelak dengan loncatan ke samping. Ketika tongkat itu menyambar lagi, dia menangkap ujung tongkat itu, kakinya melayang dan tepat mengenai lengan kanan lawan. Bhagawan Mahaprana terkejut, terpaksa melepaskan tongkatnya dan kini tongkat itu berbalik menyambar ke arah kepalanya Sang Bhagawan bukan seorang lemah, namun dibandingkan Resi Mahapati, dia masih kalah jauh. Dia pernah mempelajari aji kesaktian, akan tetapi tidak pernah melatih diri karena dia tidak membutuhkan kepandaian itu, maka, diapun termasuk lemah kalau dibandingkan Resi Mahapati yang selain menguasai aji-aji yang sakti juga tekun berlatih diri.
Menghadapi ancaman tongkatnya sendiri, Bhagawan Mahaprana mengerahkan tenaganya dan menangkis karena tidak mungkin mengelak dari sambaran tongkat yang amat cepat itu.
"Krakkk" Tongkat itu patah-patah ketika bertemu lengan Sang Bhagawan, akan tetapi pendeta tua itupun terhuyung ke belakang. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Resi Mahapati. Diapun menubruk ke depan, tangannya bergerak menyambar dengan pukulan Aji Margaparastra. Bhagawan Mahaprana mencoba untuk melindungi diri dengan menangkis, namun ketika lengannya bertemu dengan tangan Resi Mahapati, dia menyeringai dan tangan lawan itu tidak dapat ditahannya, terus menyambar dan menampar kepalanya.
"Prokk" Tubuh Sang Bhagawan Mahaprana terjengkang dan diapun roboh tewas seketika karena kepalanya retak-retak terkena hantaman tangan ampuh Resi Mahapati.
Para pendeta lainnya menjadi panik melihat pembunuhan atas diri empat orang rekan mereka itu. Akan tetapi dengan sikap tenang Resi Mahapati berkata, "Harap kau tidak menjadi bingung. Mereka memang sepantasnya dilenyapkan. Kau melihat sendiri bahwa merekalah yang menyerang lebih dulu tadi, dan kalau mereka tidak dilenyapkan, maka tentu kita semua kelak menjadi mati konyol di tangan Raden Wijaya dan para pengikutnya. Sekarang, sebaiknya kalau dengan diam-diam kita menyingkirkan mayat-mayat ini, kemudian kalian ikut dengan aku untuk menguasai istana sehingga kelak kita dapat menyambut penguasa baru dengan baik dan tentu kita akan membuat jasa besar dan menerima anugerah"
Karena istana memang sudah kosong, hanya para puteri, para dayang, selir dan sedikit pengawal saja yang tinggal, dengan mudah Resi Mahapati menguasainya, dibantu oleh para pendeta lain dan juga anak buah para penganut agama penyembah Syiwa.
*** Perang yang dilakukan di sebelah utara kota raja, yaitu perlawanan dari pasukan induk yang dipimpin sendiri oleh Sang Prabu Jayakatwang dan para senopatinya yang pilihan, merupakan usaha mati-matian dari raja itu untuk mempertahankan kekuasaannya. Namun, kekuatan lawan terlampau besar. Orang-orang Majapahit merupakan pejuang-pejuang yang hendak membangun kembali Singosari yang telah dikhianati Kediri, dalam hati mereka terkandung keinginan membalas kekalahan mereka, maka merekapun menganggap perang itu sebagai perjuangan menuntut hak mereka dan merekapun bertempur dengan penuh semangat.
Orang-orang Madura memang pemberani dan gagah perkasa dalam pertempuran, terbiasa dengan kehidupan yang keras baik di daratan yang tidak subur atau di laut yang setiap saat diancam gelombang dan badai. Adapun pasukan Mongol memang merupakan orang orang ahli bertempur. Sejak kecil mereka sudah bertempur, maka tentu saja mereka itu liar, buas dan ganas, menggiriskan hati musuh.
Betapapun Prabu Jayakatwang mencoba untuk membendung penyerbuan musuh, tetap saja dia kewalahan. Apa lagi setelah benteng di timur dan di selatan jebol, Banyak pula yang ditawan, menyerah dan sisanya melarikan diri cerai berai. Prabu Jayakatwang sendiri akhirnya ditawan oleh panglima pasukan Mongol, yaitu Ji Kau Mosu. Raja ini ditawan dan dipenjarakan di benteng pertahanan pasukan Mongol, yaitu di muara Sungai Brantas yang disebut Ujung Galuh. Dia dijaga ketat akan tetapi diperlakukan dengan baik karena oleh para pimpinan pasukan Mongol, Prabu Jayakatwang, hendak diserahkan kepada sekutu yang pertama kali menghubungi mereka, yaitu Arya Wiraraja Bupati Sumenep, yang menjanjikan banyak kepada mereka kalau Kediri sudah jatuh.
Antara Raden Wijaya dan Arya Wiraraja " sudah terdapat kesepakatan yang mereka direncanakan jauh hari sebelum perang dimulai dan sebelum mereka bergabung dengan pasukan Mongol. Maka, sesuai dengan rencana itu, begitu pertahanan Kediri jebol, Raden Wijaya yang mendahului semua pibak, rnembawa pasukan pilihan dan dibantu para pengikutnya yang setia cepat memasuki kota raja Kediri. Menurut rencana mereka berdua, istana Kerajaan Kediri harus lebih dulu mereka kuasai untuk mencegah kerusakan yang tentu akan terjadi kalau pasukan Mongol lebih dulu memasukinya.
Dan harapan Raden Wijaya ternyata terpenuhl dengan amat mudahnya. Tanpa disangka sebelumnya, ketika dia dan pasukannya hendak menguasai istana Kerajaan Kediri, muncuilah Sang Resi Mahapati dan para pengikutnya, menyambut dengan hormat dan mempersilakan pangeran itu menguasai istana dengan tenang dan damai, tanpa perlawanan apapun karena sebelumnya, istana itu memang sudah lebih dulu "diamankan" oleh Resi Mahapati dan kawan-kawannya.
Tentu saja Raden Wijaya menjadi girang sekali, menganggap bahwa Resi Mahapati telah berjasa besar dan ini yang menjadi sebab mengapa kelak setelah Raden Wijaya menjadi Raja di Majapahit, dia menerima Resi Mahapati menjadi seorang diantara para ponggawanya, mengangkatnya sebagai pendeta kepala atau pendeta istana bagi agama penyembah Syiwa di Majapahit.
Dan sesuai dengan rencana yang telah diatur oleh Raden Wijaya dan Arya Wiraraja, istana Kediri dapat diselamatkan dari perampokan yang tentu dilakukan pasukan Mongol yang buas dan ganas itu, dan para puterinya juga dapat diselamatkan dari penghinaan dan perkosaan. Namun, Raden Wijaya dan Arya Wiraraja terpaksa harus menutup mata dan membiarkan pasukan Mongol melampiaskan nafsu angkara murka mereka yang mabuk kemenangan itu atas diri para penduduk kota raja Kediri.
Mereka itu seperti biasa yang mereka lakukan kalau pasukan memperoleh kemenangan di manapun, berpesta pora dengan kekejaman yang mengerikan. Merampok, membunuh, memperkosa.
Melihat semua akibat ini, sakit rasa hati Pangeran Raden Wijaya dan cepat dia mengadakan pertemuan rahasia dengan Arya Wiraraja. Bupati Sumenep ini mendapatkan sang pangeran duduk termangu dengan wajah duka, dan tentu saja Arya Wiraraja terkejut dan terheran. Mereka baru caja mendapatkan kemenangan yang gemilang, akan tetapi kenapa Raden Wijaya tidak merasa gembira bahkan berduka "
Setelah mempersilakan Bupati Sumenep itu duduk, Raden Wijaya lalu mengeluh. "Aduh, Paman Arya Wiraraja, apa yang harus kita lakukan sekarang " Lihat saja sepak terjang para perajurit Tartar itu. Mereka seperti bukan manusia lagi, begitu buas, ganas dan kejamnya. Melihat mereka mengganas terhadap para penduduk Kediri, ahh....."
Arya Wiraraja meraba-raba kumisnya. "Pangeran, sudah jamak kalau mereka yang kalah, menderita dan menjadi budak dari mereka yang menang. Ketika orang-orang Kediri mengalahkan Singosari, bukankah terjadi pula jarah-rayah yang tidak jauh bedanya terhadap orang-orang di Singosari" Anggap saja bahwa hal itu adalah hukum karma"
Hiburan ini tidak meredakan kedukaan hatl Raden Wijaya. "Akan tetapi, paman. Melihat orang-orang Kediri yang juga sebangsa dengan kita, bahkan ada pertalian kekeluargaan antara Singosari dan Kediri. kini disiksa dan dihina oleh orang-orang Tartar, bagaimana hati ini tidak menjadi sakit?"
"Masih baik bahwa rencana kita berjalan dengan baik, Pangeran, Istana Kediri seisinya darat kita selamitkan dari tangan mereka"
"Akan tetapi, bagimana kalau mereka menuntut janji paman kepada mereka" Bukankah paman berjanji akan menyerahkan puteri-puteri Kediri untuk mereka bawa dan mereka persembahkan kepada raja mereka" Dan kalau dibiarkan mereka itu tinggal lebih lama di sini, tentu rakyat akan mergalami penderitaan hebat. Mereka itu puluhan ribu orang banyaknya, kesemuanya laki-laki yang buas dan ganas, penuh nafsu. Mereka membutuhkan wanita. Ah, paman, ngeri saya membayangkan apa akan jadinya kalau mereka itu menuntut janji, menuntut agar para puteri Kediri diserahkan kepada mereka, dan kalau sampai mereka mengganas dan menculiki para wanita dari rakyat kita"
Arya Wiraraja menarik napas panjang. Dia adalah seorang yang sudah banyak makan asam garam dunia, sudah banyak mengalami psristiwa dalam kehidupan ini. Dia tahu pula apa akibat perang. Nyawa rakyat menjadi murah. Wanita diperhina dan harta benda dirampok. Apa yang ditakutkan Pangeran itu memang dapat terjadi.
"Pangeran, dalam keadaan seperti ini, mengapa pangeran melupakan para pembantu yang setia" Hamba usulkan agar pangeran memanggil semua pembantu pangeran dan kita menjadakan rapat kilat mengatur siasat bagaimana baiknya menghadapi pasukan Tartar itu"
Berseri wajah Raden Wijaya mendengar ini. Dia seperti baru teringat. Tentu saja para pembantunya yang gagah perkasa itu akan dapat menemukan akal untuk mengatasi hal ini. Makin banyak kepala makin banyak pula akal yang dapat dihasilkan. Cepat Raden Wijaya memanggil semua pembantunya dan tak lama kemudian, di ruangan yang paling dalam dari istana Kediri, mereka telah mengadakan rapat. Raden Wijaya dan Arya Wiraraja yang memimpin, dihadap oleh para senopati yang setia.
Setelah Arya Wiraraja menceritakan kepada para senopati itu apa yang membuat Sang Pangeran gelisah dan berduka, mereka segera tenggelam ke dalam pemikiran yang mendalam.
Ken Sora dan beberapa orang senopati lain, sebagai orang-orang gagah perkasa yang menjunjung tinggi kehormatan dan kejujuran, tidak melihat jalan lain kecuali memenuhi janji Arya Wiraraja kepada para pimpinan pasukan Mongol itu.
"Paman Arya Wiraraja" kata Ken Sora dengan sikap tenang, "paman telah berjanji bahwa kalau sampai mendapat kemenangan, maka kita akan menyerahkan para puteri Kediri untuk dihadiahkan kepada raja orang-orang Mongol dan membiarkan mereka membawa puteri-puteri itu ke negara mereka. Bagaimana mungkin kita melanggar janji?"
"Akan tetapi, bukan hanya nasib para puteri itu yang menggelisahkan hatiku" kata Raden Wijaya. "Bagaimanapun juga, mereka tentu akan diperlakukan dengan hormat sebagai hadiah dari kami kepada raja mereka, dan di sanapun mereka tentu akan diperisteri oleh raja dan orang-orang berkedudukan tinggi sehingga nasib mereka terjamin. Yang merisaukan hati kami sesungguhnya adalah sepak terjang pasukan Mongol itu. Mereka begitu buas dan ganas, kalau dibiarkan terlalu lama di sini tentu akan terjadi kerusakan besar dan kesengsaraan yang berlarut-larut pada rakyat jelata. Mereka begitu mudah membunuh, merampok dan menculik wanita. Bagaimana sebaiknya kita harus bertindak terhadap semua itu?"
Para senopati itu terdiam. Merekapun sudah tahu akan hal itu dan mereka tidak mampu berbuat apapun. Bukankah pasukan Mongol itu telah berjasa besar" Dan bukankah yang diganggu mereka adalah orang-orang Kediri, yaitu pihak musuh yang kalah"
Tiba-tiba Ronggo Lawe bangkit berdiri. Senopati muda ini terkenal gagah perkasa, berani, dan amat keras hati. Diapun sudah merasa tidak senang dengan sepak terjang orang-orang Mongol itu, maka kini, mendengar akan isi hati junjungannya, diapun mendapat kesempatan untuk menyatakan ketidak senangan hatinya itu.
"Harap paduka jangan khawatir dan jangan bersikap lemah, Gusti Pangeran" Suaranya Lantang dan semua mendengarkan penuh perhatian "Memang kalau dibiarkan, bisa rusak Kediri oleh pasukan setan itu. Bahkan siapa tahu mereka belum puas dan akan mengalahkan paduka pula. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya hal-hal yang merugikan, kita harus bertindak. Kita sergap dan kita hancurkan mereka"
"Hemm, mudah saja kau bicara" Arya Wiraraja mencela. "Mereka itu merupakan kekuatan yang tangguh, tidak mudah dikalahkan begitu saja. Apa lagi, kau semua sudah melihat sendiri betapa para perwira mereka pandai memainkan senjata pedang sehingga mereka akan merupakan lawan yang sukar dikalahkan"
"Ki Patih Kebo Mundarang. Kita adalah dua orang perajurit yang saling bermusuhan, kita berdiri di sini sebagai musuh dan lawan. Tidak perlu membicarakan masa lalu. Kau adalah wakil Kediri, sedangkan aku adalah prajurit Majapahit. Hayo kita selesaikan urusan kita sebagai laki-laki jantan yang berjiwa satria"
Ki Patih Kebo Mundarang tetap tidak bersemangat. "Lembu Sora, sekali lagi aku minta. Kasihanilah aku yang sudah tua. Aku tidak ingin berkelahi lagi, aku sudah mengaku kalah"
"Keparat pengecut. Apa kau ingin mati konyol begitu saja, dan ingin aku memanggil seorang perajuritku untuk membunuhmu?"
Bangkitiah kemarahan Ki Patih Kebo Mundarang. Biarpun dia merasa gentar, kalau dia tersudut dan tidak melihat jalan keluar, dia menjadi marah dan nekat. Dia kini membusungkan dadanya. "Keparat kau Lembu Sora. Aku sudah merendahkan diri dan minta belas kasihan, kau bahkan menghinaku. Hemm. Kau kira aku tidak akan sanggup menandingimu " Keparat kau"
Dan tiba-tiba saja Ki Patih Kebo Mundarang sudah mencabut kerisnya dan menyerang dengan tusukan ganas kearah dada Lembu Sora. Namun, Senopati Lembu Sora, bekas senopati Singosari yang kini menjadi senopati Majapahit itu sudah waspada sejak tadi. Dia mengenal kelicikan Ki Patih Kebo Mundarang, maka begitu lawan bergerak menyerang, dia sudah meloncat ke belakang sambil mencabut kerisnya.
"Nah, demikian baru bagus, Ki Patih Kebo Mundarang. Aku sengaja menghinamu agar bangkit kejantananmu. Kita adalah perajurit, maka mati di ujung keris merupakan mati yang terhormat, matinya seekor harimau jantan, bukan matinya seekor domba yang mengembik-embik minta belas kasihan"
"Babo babo, rasakan ampuhnya pusakaku" bentak Ki Kebo Mundarang lagi dan kini dia menyerang bertubi-tubi dengan gerakan cepat dan kuat.
Lembu Sora menggerakkan kerisnya menangkis dan terjadilah serang menyerang yang seru dan mati-matian.
Ki Patih Kebo Mundarang memang bukan orang yang lemah. Bahkan dibandingkan Lembu Sora, dia memiliki lebih banyak pengalaman dalam hal bertempur. Akan tetapi, dia kalah tenaga, dan terutama sekali dalam hal semangat. Apa lagi dia sedang putus asa melihat kehancuran pasukan yang dipimpinnya, bahkan melihat kehancuran Kediri sudah di depan mata. Inilah yang membuat tenaganya makin berkurang dan gerakannya kadang-kadang kacau. Mereka saling tusuk, saling elak atau tangkis. Setiap kali kedua batang keris itu bertemu dengan hebatnya tubuh Ki Patih Kebo Mundarang terhayung, tanda bahwa dia kalah tenaga. "Mampus kau" bentaknya ketika kerisnya meluncur ke arah leher Lembu Sora.
Senopati Majapahit ini menggerakkan kerisnya dari bawah ke atas, menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Tranggg...." Pertemuan antara dua batang keris itu sekali ini teramat kuatnya dan keris patih itu terlepas dari tangan, jatuh ke atas tanah. Sebuah tendangan kaki Lembu Sora mengenai lututnya dan patih itupun terpelanting.
"Hemm, Ki Patih Kebo Mundarang. Kau belum terluka parah. Ambillah kerismu dan mari kita lanjutkan pertandingan ini" kata Lembu Sora yang tidak suka menyerang lawan yang sudah tak berdaya.
Ki Patih Kebo Mundarang memandang kerisnya yang jatuhnya tepat di depan kakinya, tinggal meraih saja. Akan tetapi, dia tahu bahwa kalau dilanjutkan pertandingan itu, akhirnya dia yang akan roboh dan tewas menjadi korban keris di tangan lawannya yang amat perkasa itu. Dia sudah merasa lelah dan lemah lahir batin, sedangkan Lembu Sora masih nampak demikian gagah dan penuh semangat. Teringatlah dia betapa ketika masih tinggal di Kediri, Lembu Sora pernah mengantarkan Raden Wijaya yang berkunjung ke rumahnya dan ketika Lembu Sora berjumpa dengan puterinya, Mayawati, sepasang mata senopati ini bercahaya, wajahnya berseri. Sebagai seorang tua yang berpengalaman, diapun tabu bahwa seperti para pria lain, Lembu Sora juga terpesona melihat kecantikan puterinya, Ingatan ini mendatangkan akal baginya.
"Lembu Sora, anak mas Lembu Sora. kau ampunkanlah aku, bebaskanlah aku dan jika tak akan melupakan budi kebaikan kau selamanya. Aku akan menyerahkan puteriku, Si Mayawati yang denok ayu, kepadamu. Nikahilah ia Lembu Sora, akan tetapi bebaskan aku. Bukankah kau suka kepada puteriku itu" Ingat, ia seorang perawan yang denok ayu, tiada bandingannya di seluruh Kediri......"
"Ki Patih Kebo Mundarang. Tutup mulutmu. Tidak malukah kau menawarkan puteri sendiri seperti barang dagangan, hanya untuk menyelamatkan nyawamu yang tiada berharga " Kau hendak menukar nyawa dengan kehormatan keluargamu " Betapa rendah dan hinanya"
Melihat sikap ini, tahulah Ki Patih Kebo Mundarang bahwa segala bujuk rayunya takkan termakan oleh Lembu Sora. Habislah harapannya dan timbul kembali kelicikannya dalam usahanya menyelamatkan diri. Tiba-tiba sekali dia menyambar keris di depan kakinya dan tanpa peringatan lebih dahulu. Diapapun meloncat dan menubruk, menyerang perut Lembu Sora dengan tusukan kerisnya. Gerakan ini Tiba-tiba datangnya dan cepat sekali, gerakan orang yang sudah nekat. Namun, Lembu Sora adalah seorang senopati yang sudah berpengalaman pula, dan sejak tadipun dia sudah bersikap waspada karena dia sudah mengenal orang macam apa adanya lawannya itu.
Maka, begitu lawan menubruk dengan serangan kerisnya, dia sudah cepat mengelak dengan menggeser kaki ke samping, kemudian dari samping, keris di tangannya menghunjam, tepat memasuki dada lawan dari arah kiri.
Ki Patih Kebo Mundarang terpekik, terbelalak, kerisnya terlepas, kemudian ketika Lembu Sora mencabut kerisnya, tubuhnya terkulai lemas dan tewaslah patih Kediri itu.
Kalau pertahanan di timur dan selatan mengalami kehancuran, di utarapun pasukan Kediri mengalami nasib yang tidak jauh beda. Induk pasukan Kediri dikerahkan untuk membendung serbuan lawan yang datang dari utara dan balatentara Kediri yang berjaga di utara ini paling besar dan paling kuat, merupakan induk pasukan. Bahkan Sang Prabu Jayakatwang sendiri maju memimpin pasukannya.
Akan tetapi, balatentara Kediri di bagian utara ini bertemu dengan pasukan yang dipimpin Raden Wijaya, yaitu orang-orang Majapahit yang bergabung dengan pasukan Madura, yang dipimpin oleh Arya Wiraraja atau Banyak Wide Bupati Sumenep, bahkan bergabung dengan pasukan induk dari balatentara Mongol yang amat kuat.
Perang campuh yang hebat terjadi di daerah utara ini, di sekitar pantai dan muara Sungai Brantas sampai ke Canggu. Diantara anak buah pasukan Mongol terdapat pula Lie Hok Yan. Pemuda ini memang baru saja menjadi perwira di dalam pasukan Mongol, berkat bantuan suhengnya, yaitu Kau Seng. Niatnya memasuki tentara hanya untuk meluaskan pengalaman, apa lagi ketika mendengar bahwa pasukan itu akan dikirim jauh ke negara lain di seberang lautan selatan. Dia belum berpangalaman dalam pertempuran besar dalam perang. Baru sekali ini dia mengalami pertempuran dan pemuda ini harus mengakui kehebatan para perajurit Mongol. Mereka itu adalah para perajurit yang berpengalaman, penuh keberanian dan di dalam perang, mereka itu sungguh buas dan ganas. Akan tetapi, segera Hok Yan merasa tak senang dan harus seringkali mengerutkan alisnya. menyaksikan kekejaman orang-orang Mongol itu Meraka itu tidak merasa puas kalau melihat musuh roboh sebelum membunuhnya dengan kejam.
Kemudian dia melihat kekejaman yang lebih mengerikan lagi, yaitu setiap kali pasukan Mongol mengalahkan musuh dan memasuki sebuah dusun, maka terjadilah kekejaman yang tiada taranya. Mereka itu membunuhi setiap orang dalam dusun itu, tua muda laki perempuan, setelah lebih dahulu memperkosa wanita-wanita mudanya. merampoki barang-barangnya. Semua ini mereka lakukan secara kejam seperti binatang buas. Tahulah dia mengapa Bangsa Mongol dapat mengalahkan seluruh daratan Cina, bahkan sampai berhasil memperluas kekuasaan jauh ke barat.
Kiranya semua hasil baik itu bukan hanya berdasarkan siasat perang yang ampuh, melainkan terutama sekali karena semangat mereka yang bernyala-nyala, kekejaman yang haus darah, dan ketrampilan mereka, membuat mereka itu masing-masing merupakan iblis berujud manusia yang amat mengerikan. Dia sendiri merasa muak dan tidak mampu berbuat apa-apa, karena biarpun dia seorang perwira, namun hanya perwira rendah saja. Kekuasaannya tidak besar. Apa lagi dia seorang Han, bukan orang Mongol sehingga kalau sampai dia menyinggung perasaan orang Monggol, seorang perajuri biasapun kalau dia seorang Mongol tentu akan berani melawannya.
Selagi Sang Prabu Jayakatwang dan pasukannya melakukan perlawanan mati-matian di bagian utara, di luar kota raja Kediri, di dalam istana terjadi hal yang hebat pula. Semua senopati Kediri diberangkatkan untuk menyambut musuh, maka kota raja kosong dan hanya dijaga oleh puluhan orang perajurit pengawal saja.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Resi Mahapati, yaitu Jaka Pati murid Pranamaya yang berhasil menjadi pendeta di Kerajaan Kediri. Sebagai seorang pendeta aliran penyembah Syiwa, Resi Mahapati memperoleh kepercayaan dari Sang Prabu Jayakatwang, dan sedikit demi sedikit dia mulai memupuk kekuasaan di Kediri. Ketika melihat betapa Kediri terancam bahaya, dia sama sekali tidak ikut berperang. Hal ini mudah saja baginya karena sebagai seorang pendeta, tentu saja bukan kewajibannya untuk maju berperang seperti perajurit. Diam-diam dia memperhatikan perkembangan perang itu dan mengatur siasat.
Ketika dia mendengar bahwa pertahan di timur sudah jebol, juga di selatan pasukan Kediri mengalami kekalahan besar, Resi Mahapati cepat mengumpulkan para pendeta kerajaan. Ada tiga belas orang kepala pendeta berbagai aliran di Kediri, dan Resi Mahapati yang telah berhasil menarik kepercayaan Prabu Jayakatwang, merupakan seorang diantara para kepala yang berkuasa.
"Sudah jelas bahwa Kediri akan kalah. Musuh akan menyerbu ke sini, dan kalau kita tidak cepat mengambil tindakan, tentu kita semua akan dibasmi musuh, kita semua akan tewas" katanya setelah mereka semua berkumpul.
"Memang kita harus mengambil tindakan" kata seorang diantara mereka. Semua orang menengok dan dia adalah Resi Mahaprana, seorang pendeta keturunan India yang tubuhnya tinggi dan kulitnya hitam. Sebetulnya. dia adalah pendeta tertua. Juga paling ahli dalam soal keagamaan sehingga para pendeta yang lain menganggap dia sebagai guru dalam soal keagamaan. Selain itu, juga dia yang usianya sudah enam puluh lima tahun itu dikenal sebagai seorang yang digdaya. "Kita tidak boleh tinggal diam. Kita harus cepat keluar dari sini dan membantu pasukan yang di pimpin Sribaginda untuk menghalau musuh"
Resi Mahapati tersenyum memandang kepada pendeta tua itu, Dia tahu bahwa satu-satunya orang yang akan menentangnya dengan keras tentu pendeta ini karena diantara mereka memang sudah ada perasaan bersaing dan tidak suka, saling bermusuhan secara diam-diam.
"Hemm, Sang Bhagawan Mahaprana. Kita adalah pendeta, bagaimana kita harus bertempur seperti perajurit" Pula, apa artinya bantuan kita dengan anak buah kita yang hanya ratusan orang jumlahnya, dan rata-rata mereka hanya pandai berdoa saja akan tetapi tidak pernah latihan bertempur" Tidak, kurasa tidak benar sama sekali kalau kita keluar membantu pasukan Kediri untuk melawan musuh"
Para pendeta yang lain menyambut dengan bisik-bisik, dan jelas bahwa hanya ada tiga orang yang menyetujui keinginan Bhagawan Mahaprana, sedangkan yang lain menyetujui pendapat Resi Mahapati. Mereka yang berpihak kepada Bhagawan Mahaprana adalah terdorong oleh kesetiaan mereka terhadap Sribaginda. Akan tetapi sebagian besar dari mereka memang tidak pernah bertempur, maka membayangkan pertempuran saling bunuh itu saja sudah membuat mereka merasa ngeri.
Mendengar ucapan Resi Mahapati itu, Sang Bhagawan Mahaprana yang memang tidak suka kepada Resi Mahapati yang amat dicurigainya sebagai seorang yang tidak patut menjadi pemuka agama, tersenyum pahit. "Resi Mahapati, kalau membantu pasukan Kediri menghalau musuh kau katakan tidak benar, lalu bagaimana yang benar" Apa yang harus kita lakukan menurut pendapatmu?"
Resi Mahapati tersenyum. "Kita adalah orang-orang bijaksana yang suka akan suasana damai, bukan perang. Kita harus pula cerdik dan melihat suasana yang menguntungkan bagi agama kita. Jelas bahwa Kediri akan jatuh. Kalau kita mati-matian membela Kediri, itu berarti kita akan mati konyol. Oleh karena itu, sebaiknya kalau kita membuat persiapan menyambut Raden Wijaya yang kuyakin pasti ukan memperoleh kemenangan"
Wajah Bhagawan Mahaprana berubah kemerahan, namun dia masih menahan kemarahannya ketika bertanya, "Persiapan yang bagaimana kau maksudkan, Resi Mahapati?"
"Kita harus menguasai istana Kediri dan mengatur agar istana dibuka dan menyerah, tidak ada perlawanan apa bila Raden Wijaya memasukinya, dan kita sambut Raden Wijaya sebagai seorang raja baru yang menjadi junjungan kita dan....."
"Cukup." Sang Bhagawan Mahaprana membentak dengan suara lantang penuh kemarahan. Dia bangkit berdiri dan memandang kepada Resi Mahapati dengan mata melotot, tongkat di tangan kirinya gemetar, lalu telunjuk tangan kanan menuding ke arah muka Resi Mahapati.
"Mahapati, kau seorang pengkhianat jahanam. Kau ular kepala dua yang harus dibasmi dan dilenyapkan dari permukaan bumi?"
Resi Mahapati tertawa. "Haha, Bhagawan Mahaprana, kau hanyalah seorang pendeta tua yang lemah dan mau mati. Kau dapat berbuat apa terhadap diriku" Aku bertindak demi keselamatan semua anggauta, agar kita dapat beribadat dengan baik dan tenteram, bukan melibatkan diri dengan pertempuran dan pertumpahan darah"
"Pengkhianat. Pemberontak. Saudara-saudara para pendeta, siapa diantara kau yang setuju dengan aku untuk membasmi pengkhianat Mahapati ini?" Bhagawan Mahaprana menengok ke arah para pendeta yang hadir di situ. Para pendeta itu saling pandang dengan bingung, dan akbirnya hanya ada tiga orang pendeta tua yang bangkit dan menghampiri Sang Bhagawan Mahaprana, dan berdiri di belakangnya. Para pendeta lain tetap duduk dan menundukkan muka karena mereka lebih condong menyetujui Resi Mahapati yang lebih menguntungkan.
"Resi Mahapati, kami berempat harus menangkapmu karena jelas bahwa kau seorang pengkhianat dan pemberontak" kata Bhagawan Mahaprana sambil melangkah maju.
Akan tetapi Resi Mahapati tersenyum dan dia bahkan melangkah maju pula. "Bhagawan Mahaprana, aku memberi jalan kehidupan yang baik kau malah memilih jalan kematian yang gelap. Nah kalau aku tidak mau ditangkap, kalian berempat mau apa?" Dia menantang akan tetapi diam-diam dia sudah siap siaga. Resi Mahapati adalah murid tersayang dari Ki Buyut Pranamaya, tentu saja dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Hal itu tidak begitu diketahui oleh para pendeta lainnya, karena memang Resi Mahapati pandai menyembunyikan kedigdayaannya, hanya menonjolkan pengetahuan agamanya.
"Resi Mahapati, karena kau jelas berkhianat dan memberontak, kami atas nama Sribaginda, menangkapmu. Kalau kau tidak mau menyerah, terpaksa kami menggunakan kekerasan" kata Sang Bhagawan Mahaprana yang menoleh kepada tiga orang rekannya. "Mari kita tangkap dia"
Tiga orang pendeta itu melangkah maju dan mereka menjulurkan tangan untuk menangkap Resi Mahapati yang mereka anggap sebagai seorang pengkhianat dan pemberontak itu. Melihat ini, Resi Mahapati diam-diam mengerahkan tenaga saktinya lalu. dia bergerak dengan teriakan lantang melengking.
"Haayyyytttt.........."
Terdengar pekik tiga kali dan tiga orang pendeta tua itupun roboh terpelanting dan tewas seketika dengan mulut mengeluarkan darah dan mata terbelalak. Mereka telah menjadi korban pukulan ampuh, yaitu aji pukulan Margaparastra. Sekali saja terkena pukulan ini pada dada mereka, tiga orang pendeta itu roboh dan tewas. Dan pukulan bertubi itu datang amat cepatnya.
"Kau........ kau berani membunuh mereka........?" Sang Bhagawan Mahaprana terbelalak, membentak marah lalu tongkatnya bergerak menyerang Mahapati dengan dahsyat. Namun, Resi Mahapati memang sudah siap siaga. Dia mengelak dengan loncatan ke samping. Ketika tongkat itu menyambar lagi, dia menangkap ujung tongkat itu, kakinya melayang dan tepat mengenai lengan kanan lawan. Bhagawan Mahaprana terkejut, terpaksa melepaskan tongkatnya dan kini tongkat itu berbalik menyambar ke arah kepalanya Sang Bhagawan bukan seorang lemah, namun dibandingkan Resi Mahapati, dia masih kalah jauh. Dia pernah mempelajari aji kesaktian, akan tetapi tidak pernah melatih diri karena dia tidak membutuhkan kepandaian itu, maka, diapun termasuk lemah kalau dibandingkan Resi Mahapati yang selain menguasai aji-aji yang sakti juga tekun berlatih diri.
Menghadapi ancaman tongkatnya sendiri, Bhagawan Mahaprana mengerahkan tenaganya dan menangkis karena tidak mungkin mengelak dari sambaran tongkat yang amat cepat itu.
"Krakkk" Tongkat itu patah-patah ketika bertemu lengan Sang Bhagawan, akan tetapi pendeta tua itupun terhuyung ke belakang. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Resi Mahapati. Diapun menubruk ke depan, tangannya bergerak menyambar dengan pukulan Aji Margaparastra. Bhagawan Mahaprana mencoba untuk melindungi diri dengan menangkis, namun ketika lengannya bertemu dengan tangan Resi Mahapati, dia menyeringai dan tangan lawan itu tidak dapat ditahannya, terus menyambar dan menampar kepalanya.
"Prokk" Tubuh Sang Bhagawan Mahaprana terjengkang dan diapun roboh tewas seketika karena kepalanya retak-retak terkena hantaman tangan ampuh Resi Mahapati.
Para pendeta lainnya menjadi panik melihat pembunuhan atas diri empat orang rekan mereka itu. Akan tetapi dengan sikap tenang Resi Mahapati berkata, "Harap kau tidak menjadi bingung. Mereka memang sepantasnya dilenyapkan. Kau melihat sendiri bahwa merekalah yang menyerang lebih dulu tadi, dan kalau mereka tidak dilenyapkan, maka tentu kita semua kelak menjadi mati konyol di tangan Raden Wijaya dan para pengikutnya. Sekarang, sebaiknya kalau dengan diam-diam kita menyingkirkan mayat-mayat ini, kemudian kalian ikut dengan aku untuk menguasai istana sehingga kelak kita dapat menyambut penguasa baru dengan baik dan tentu kita akan membuat jasa besar dan menerima anugerah"
Karena istana memang sudah kosong, hanya para puteri, para dayang, selir dan sedikit pengawal saja yang tinggal, dengan mudah Resi Mahapati menguasainya, dibantu oleh para pendeta lain dan juga anak buah para penganut agama penyembah Syiwa.
*** Perang yang dilakukan di sebelah utara kota raja, yaitu perlawanan dari pasukan induk yang dipimpin sendiri oleh Sang Prabu Jayakatwang dan para senopatinya yang pilihan, merupakan usaha mati-matian dari raja itu untuk mempertahankan kekuasaannya. Namun, kekuatan lawan terlampau besar. Orang-orang Majapahit merupakan pejuang-pejuang yang hendak membangun kembali Singosari yang telah dikhianati Kediri, dalam hati mereka terkandung keinginan membalas kekalahan mereka, maka merekapun menganggap perang itu sebagai perjuangan menuntut hak mereka dan merekapun bertempur dengan penuh semangat.
Orang-orang Madura memang pemberani dan gagah perkasa dalam pertempuran, terbiasa dengan kehidupan yang keras baik di daratan yang tidak subur atau di laut yang setiap saat diancam gelombang dan badai. Adapun pasukan Mongol memang merupakan orang orang ahli bertempur. Sejak kecil mereka sudah bertempur, maka tentu saja mereka itu liar, buas dan ganas, menggiriskan hati musuh.
Betapapun Prabu Jayakatwang mencoba untuk membendung penyerbuan musuh, tetap saja dia kewalahan. Apa lagi setelah benteng di timur dan di selatan jebol, Banyak pula yang ditawan, menyerah dan sisanya melarikan diri cerai berai. Prabu Jayakatwang sendiri akhirnya ditawan oleh panglima pasukan Mongol, yaitu Ji Kau Mosu. Raja ini ditawan dan dipenjarakan di benteng pertahanan pasukan Mongol, yaitu di muara Sungai Brantas yang disebut Ujung Galuh. Dia dijaga ketat akan tetapi diperlakukan dengan baik karena oleh para pimpinan pasukan Mongol, Prabu Jayakatwang, hendak diserahkan kepada sekutu yang pertama kali menghubungi mereka, yaitu Arya Wiraraja Bupati Sumenep, yang menjanjikan banyak kepada mereka kalau Kediri sudah jatuh.
Antara Raden Wijaya dan Arya Wiraraja " sudah terdapat kesepakatan yang mereka direncanakan jauh hari sebelum perang dimulai dan sebelum mereka bergabung dengan pasukan Mongol. Maka, sesuai dengan rencana itu, begitu pertahanan Kediri jebol, Raden Wijaya yang mendahului semua pibak, rnembawa pasukan pilihan dan dibantu para pengikutnya yang setia cepat memasuki kota raja Kediri. Menurut rencana mereka berdua, istana Kerajaan Kediri harus lebih dulu mereka kuasai untuk mencegah kerusakan yang tentu akan terjadi kalau pasukan Mongol lebih dulu memasukinya.
Dan harapan Raden Wijaya ternyata terpenuhl dengan amat mudahnya. Tanpa disangka sebelumnya, ketika dia dan pasukannya hendak menguasai istana Kerajaan Kediri, muncuilah Sang Resi Mahapati dan para pengikutnya, menyambut dengan hormat dan mempersilakan pangeran itu menguasai istana dengan tenang dan damai, tanpa perlawanan apapun karena sebelumnya, istana itu memang sudah lebih dulu "diamankan" oleh Resi Mahapati dan kawan-kawannya.
Tentu saja Raden Wijaya menjadi girang sekali, menganggap bahwa Resi Mahapati telah berjasa besar dan ini yang menjadi sebab mengapa kelak setelah Raden Wijaya menjadi Raja di Majapahit, dia menerima Resi Mahapati menjadi seorang diantara para ponggawanya, mengangkatnya sebagai pendeta kepala atau pendeta istana bagi agama penyembah Syiwa di Majapahit.
Dan sesuai dengan rencana yang telah diatur oleh Raden Wijaya dan Arya Wiraraja, istana Kediri dapat diselamatkan dari perampokan yang tentu dilakukan pasukan Mongol yang buas dan ganas itu, dan para puterinya juga dapat diselamatkan dari penghinaan dan perkosaan. Namun, Raden Wijaya dan Arya Wiraraja terpaksa harus menutup mata dan membiarkan pasukan Mongol melampiaskan nafsu angkara murka mereka yang mabuk kemenangan itu atas diri para penduduk kota raja Kediri.
Mereka itu seperti biasa yang mereka lakukan kalau pasukan memperoleh kemenangan di manapun, berpesta pora dengan kekejaman yang mengerikan. Merampok, membunuh, memperkosa.
Melihat semua akibat ini, sakit rasa hati Pangeran Raden Wijaya dan cepat dia mengadakan pertemuan rahasia dengan Arya Wiraraja. Bupati Sumenep ini mendapatkan sang pangeran duduk termangu dengan wajah duka, dan tentu saja Arya Wiraraja terkejut dan terheran. Mereka baru caja mendapatkan kemenangan yang gemilang, akan tetapi kenapa Raden Wijaya tidak merasa gembira bahkan berduka "
Setelah mempersilakan Bupati Sumenep itu duduk, Raden Wijaya lalu mengeluh. "Aduh, Paman Arya Wiraraja, apa yang harus kita lakukan sekarang " Lihat saja sepak terjang para perajurit Tartar itu. Mereka seperti bukan manusia lagi, begitu buas, ganas dan kejamnya. Melihat mereka mengganas terhadap para penduduk Kediri, ahh....."
Arya Wiraraja meraba-raba kumisnya. "Pangeran, sudah jamak kalau mereka yang kalah, menderita dan menjadi budak dari mereka yang menang. Ketika orang-orang Kediri mengalahkan Singosari, bukankah terjadi pula jarah-rayah yang tidak jauh bedanya terhadap orang-orang di Singosari" Anggap saja bahwa hal itu adalah hukum karma"
Hiburan ini tidak meredakan kedukaan hatl Raden Wijaya. "Akan tetapi, paman. Melihat orang-orang Kediri yang juga sebangsa dengan kita, bahkan ada pertalian kekeluargaan antara Singosari dan Kediri. kini disiksa dan dihina oleh orang-orang Tartar, bagaimana hati ini tidak menjadi sakit?"
"Masih baik bahwa rencana kita berjalan dengan baik, Pangeran, Istana Kediri seisinya darat kita selamitkan dari tangan mereka"
"Akan tetapi, bagimana kalau mereka menuntut janji paman kepada mereka" Bukankah paman berjanji akan menyerahkan puteri-puteri Kediri untuk mereka bawa dan mereka persembahkan kepada raja mereka" Dan kalau dibiarkan mereka itu tinggal lebih lama di sini, tentu rakyat akan mergalami penderitaan hebat. Mereka itu puluhan ribu orang banyaknya, kesemuanya laki-laki yang buas dan ganas, penuh nafsu. Mereka membutuhkan wanita. Ah, paman, ngeri saya membayangkan apa akan jadinya kalau mereka itu menuntut janji, menuntut agar para puteri Kediri diserahkan kepada mereka, dan kalau sampai mereka mengganas dan menculiki para wanita dari rakyat kita"
Arya Wiraraja menarik napas panjang. Dia adalah seorang yang sudah banyak makan asam garam dunia, sudah banyak mengalami psristiwa dalam kehidupan ini. Dia tahu pula apa akibat perang. Nyawa rakyat menjadi murah. Wanita diperhina dan harta benda dirampok. Apa yang ditakutkan Pangeran itu memang dapat terjadi.
"Pangeran, dalam keadaan seperti ini, mengapa pangeran melupakan para pembantu yang setia" Hamba usulkan agar pangeran memanggil semua pembantu pangeran dan kita menjadakan rapat kilat mengatur siasat bagaimana baiknya menghadapi pasukan Tartar itu"
Berseri wajah Raden Wijaya mendengar ini. Dia seperti baru teringat. Tentu saja para pembantunya yang gagah perkasa itu akan dapat menemukan akal untuk mengatasi hal ini. Makin banyak kepala makin banyak pula akal yang dapat dihasilkan. Cepat Raden Wijaya memanggil semua pembantunya dan tak lama kemudian, di ruangan yang paling dalam dari istana Kediri, mereka telah mengadakan rapat. Raden Wijaya dan Arya Wiraraja yang memimpin, dihadap oleh para senopati yang setia.
Setelah Arya Wiraraja menceritakan kepada para senopati itu apa yang membuat Sang Pangeran gelisah dan berduka, mereka segera tenggelam ke dalam pemikiran yang mendalam.
Ken Sora dan beberapa orang senopati lain, sebagai orang-orang gagah perkasa yang menjunjung tinggi kehormatan dan kejujuran, tidak melihat jalan lain kecuali memenuhi janji Arya Wiraraja kepada para pimpinan pasukan Mongol itu.
"Paman Arya Wiraraja" kata Ken Sora dengan sikap tenang, "paman telah berjanji bahwa kalau sampai mendapat kemenangan, maka kita akan menyerahkan para puteri Kediri untuk dihadiahkan kepada raja orang-orang Mongol dan membiarkan mereka membawa puteri-puteri itu ke negara mereka. Bagaimana mungkin kita melanggar janji?"
"Akan tetapi, bukan hanya nasib para puteri itu yang menggelisahkan hatiku" kata Raden Wijaya. "Bagaimanapun juga, mereka tentu akan diperlakukan dengan hormat sebagai hadiah dari kami kepada raja mereka, dan di sanapun mereka tentu akan diperisteri oleh raja dan orang-orang berkedudukan tinggi sehingga nasib mereka terjamin. Yang merisaukan hati kami sesungguhnya adalah sepak terjang pasukan Mongol itu. Mereka begitu buas dan ganas, kalau dibiarkan terlalu lama di sini tentu akan terjadi kerusakan besar dan kesengsaraan yang berlarut-larut pada rakyat jelata. Mereka begitu mudah membunuh, merampok dan menculik wanita. Bagaimana sebaiknya kita harus bertindak terhadap semua itu?"
Para senopati itu terdiam. Merekapun sudah tahu akan hal itu dan mereka tidak mampu berbuat apapun. Bukankah pasukan Mongol itu telah berjasa besar" Dan bukankah yang diganggu mereka adalah orang-orang Kediri, yaitu pihak musuh yang kalah"
Tiba-tiba Ronggo Lawe bangkit berdiri. Senopati muda ini terkenal gagah perkasa, berani, dan amat keras hati. Diapun sudah merasa tidak senang dengan sepak terjang orang-orang Mongol itu, maka kini, mendengar akan isi hati junjungannya, diapun mendapat kesempatan untuk menyatakan ketidak senangan hatinya itu.
"Harap paduka jangan khawatir dan jangan bersikap lemah, Gusti Pangeran" Suaranya Lantang dan semua mendengarkan penuh perhatian "Memang kalau dibiarkan, bisa rusak Kediri oleh pasukan setan itu. Bahkan siapa tahu mereka belum puas dan akan mengalahkan paduka pula. Oleh karena itu, untuk mencegah terjadinya hal-hal yang merugikan, kita harus bertindak. Kita sergap dan kita hancurkan mereka"
"Hemm, mudah saja kau bicara" Arya Wiraraja mencela. "Mereka itu merupakan kekuatan yang tangguh, tidak mudah dikalahkan begitu saja. Apa lagi, kau semua sudah melihat sendiri betapa para perwira mereka pandai memainkan senjata pedang sehingga mereka akan merupakan lawan yang sukar dikalahkan"
JILID 23
"SAYA tidaki takut! Kanjeng Pangeran, kalau tidak ada senopati yang berani menentang mereka, biarlah hamba vang maju dan hamba akan basmi mereka itu!"
"Hemm, kakang Ronggo Lawe, bagaimana caranya andika akan membasmi orang - orang Mongol itu?" tanya Raden Wijaya sambil menahan senyum, kagum melihat keberanian senopati itu, akan tetapi juga tidak mau sem-barangan saja menuruti kemauannya, karena senopati ini hanya mengandalkan kekerasan dan keberanian saja sehingga kadang kurang perhitungan.
"Hamba akan memimpin pasukan dan menyerbu benteng mereka, membunuh mereka semua!" kata Ronggo Liwe.
"Dan engkau akan mati konyol !" kata Arya Wiraraja mencela. Puteranya stu terlalu berani akan tetapi kurang perhitungan.
"Apa artinya mati dalam perjuangan" Aku rela mati, aku tidak takut mati untuk membasmi musuhi" kata Ronggo Lawedenpan marah.
Riden Wijaya mengangkat tangan dan Ronggo Lawe menunduk, duduk kembali. "Kakang Ronggo Lawe, kita semua memang tidak takut mati, akan tetapi kalau andika nekat menyerbu lalu mati di tangan mereka, lalu apa artinya engkau mengorbankan nyawa begitu saja " Apa hasilnya dan apa pjla keuntungannya bagi kita?"
Ditanya demikian, Ronggo Lawe bengong dan barulah dia sadar akan kekeliruannya. Memang dia terlalu terburu napsu Kalau dia nekat dan gagal, bukan saja dia mati konyol, juga pasukannya mati konyol dan Raden Wijaya akan menderita kerugian hebat. Bahkan mungkin pasukan Mongo! akan menyerang dan menghancurkan orang orang Majapahit. Dan kalau semua itu terjadi, maka dialah yang bersalah!
"Kanjeng pangeran, kalau begitu, sebaiknya menggunakan siasat, menggunakan tipu muslihat agar para pimpinan mereka dapat kita hancurkan I" katanya pula.
"Hmm, nanti dulu, Ronggo Lawe!" kata Lembu Sora, yaitu paman Ronggo Lawe. Lembu Sora yang tinggi besar dan gagai perkasa itu adalah adik Arya Wiraraja. "Kita adalah orang-orang gagah yang menjunjung kebenaran dan keadilan, bagaimana dapat mempergunakan muslihat dan akal busuk?"
Ronggo Lawe memandang pamannya dan matanya bersinar-sinar. "Paman Lembu Sora. Di dalam perjuangan, tidak selamanya harus menggunakan kuatnya tulang otot dan tebalnya kulit belaka! Bukankah selama inipun kita telah menggunakan siasat" Kita menghambakan diri ke Dana, bukankah itu siasat " Kita menarik pasukan Mongol untuk bersekutu, bukankah itu juga muslihat" Untuk mencapai kemenangan, apa salahnya menggunakan siasat dan akal muslihat Nah, karena dengan menggunakan okol (kekuatan badan) agaknya kiia tidak akan mampu mengatasi orang-orang Mongol, maka jalan satu-satunya hanyalah akal!"
Semua orang mengangguk angguk menyetujui pendapat ini. Bahkan Lembu Sora tertawa "Ha-ha ha, andika memang pandai, Ronggo Lawe. Akan tetapi siasat yang bagaimanakah dapat kita pergunakan untuk mengusir orang-orang Mongol itu ?"
"Benar sekali pertanyaan itu, kakanp Ronggo Lawe. Muslihat apakah yang dapat kita pergunakan ?" tanya Raden Wijaya.
Mendengar pertanyaan Raden Wijaya ini, Ronggo Lawe termenung, lalu memandang ke kanan kiri, kepada semua senopati yang hadir, kemudian dia menjawab. "Wah, mohon paduka, sudi mengampuni hamba. Hamba adalah orang yang biasa mempergunakan okol, bukan akal. Oleh karena itu, mengenai siasat, hamba serahkan saja kepada para pinisepuh ( orang-orang tua) dan saudara-saudara tua yang hadir di sini."
Ramailah mereka berbincang-bincang mencari akal yang baik untuk dapat mengusir orang orang Mongol. Akhirnya Arya Wiraraja jugalah, sang ahli siasat itu, yang mengemukakan siasatnya dan yang diterima oleh semua orang. Dengan penuh rahasia mereka lalu mengatur siasat dan membagi tugas untuk melaksanaan siasat itu.
Siasat direncanakan dan setelah matang, beberapa hari kemudian Raden Wijaya mengirim utusan ke benteng pasukan Mongol yang sedang bersenang senang karena memperoleh kemenangan. Utusan itu menyampaikan undangan Raden Wijaya bagi semua pimpinan pasukan, dari para panglimanya sampai semua perwiranya. Mereka diundang ke istana Kediri, untuk menerima jamuan makan merayakan kemenangan, dan untuk menerima puteri-puteri yang dijanjikan oleh Arya Wiraraja kepada para panglima pasukan Mongol.
"Hendaknya para undangan memasuki ruangan pesta tanpa membawa senjata." demikian pesan Raden Wijaya kepada utusannya. "Karena para puteri itu selalu merasa ketakutan kalau melibat senjata. Semua senjata agar dititipkan pada para penjaga di luar ruangan pesta. Dengan demikian, barulah pesta akan berlangsung dengan meriah dan para puteri tidak akan merasa ngeri dan ketakutan, bahkan akan merasa gembira karena mereka akan diserahkan kepada orang-orang yang lemah lembut dan tidak suka menggunakan senjata yang menggiriskan hati."
Selain undangan itu, juga akan disediakan jamuan makan minum untuk para perajurit Mongol di dalam benteng Ujung Galuh dan di sepanjang muara Kali Brantas. Daging dan tuak (arak) berlimpahan, dihibur pula oleh nyanyian dan tarian yang menggairahkan dan menggembirakan oleh ratusan orang ledek yang dikerahkan untuk perayaan kemenangan itu.
Tiga orang panglima pasukan Mongol, yaitu She Pei, Kau Seng, dan Ji Kau Mosu tidak mempunyai dugaan buruk, tidak pernah bercuriga dan menerima baik undangan itu. Dan sebelum tiba hari undangan itu, Lie Hok Yang menghadap suhengnya di kamarnya.
"Suheng, aku telah melaksanakan tugas sampai akhir, tepat seperti yang kujanjikan kepadamu. Oleh karena itu, sekarang aku mohon perkenan suheng untuk mencari tunanganku itu. Aku akan menikah dengan tunanganku itu, dan kalau ia mau kuajak pulang ke Cina, sukurlah."
"Bagaimana kalau ia tidak mau ikut denganmu ke utara?" tanya Panglima Kau Seng.
"Kalau demikian, terpaksa aku yang tinggal di sini, suheng. Aku terlalu mencintanya dan aku mau berkorban apa saja. Kalau ia tidak mau, aku akan tinggal selamanya di sini."
Kau Seng menghela napas dan menggeleng-geleng kepalanya. Akan tetapi, sebagai seorang yang sudah berpengalaman, dia tahu apa artinya orang muda yarg sedang jaluh cinta. Bagaimanapun juga, Hok Yan telah memperlihatkan diri sebagai seorang perajurit yang baik, sudah memenuhi tugasnya. Kini hanya tinggal pulang ke utara saja, maka tidak ada keberatan apapun untuk memberi ijin".
"Baiklah, sute (adik seperguruan) Akan tetapi jangan tergesa-gesa, sebaiknya tunggu kalau sudeh selesai kita menghadiri perjamuan yang diadakan oleh Pangeran Raden Wijaya."
"Tidak, suheng (kakak septrguruan) Aku tidak ingin berpesta. Aku khawatir akan keselamatan Sumilah. Entah bagaimana keadaannya ketika terjadi perang. Aku harus segera mencarinya, suheng. Maafkan kalau aku tidak dapat ikut hadir dalam pesta itu "
"Akan tetapi, engkaupun berjasa, dan engkau berhak memperoleh hadiah yang tentu akan dibagi-bagikan oleh Raden Wijaya."
Lie Hok Yan menggeleng kepala. "Aku tidak menginginkan hadiah apapun, suheng. Sumilah merupakan hadiah yang tak ternilai harganya bagiku."
Panglima Kau Seng hanya bisa menggeleng-geleng kepala saja dan dia membekali sutenya itu dengan sekantung kecil emas dan perak. Hok Yan meninggalkan kota raja Kediri dengan hati yang lapang dan kaki yang ringan. Pergi ke tempat tinggal Sumirah. Betapa akan bahagianya pertemuannya dengan kekasihnya itu! Dan dia tahu bahwa Sumirah telah mengungsi ke dusun Klintren, di sebelah selatan Singosari.
-ooo0dw0ooo- "Tolooonggg........ ah, tolooongg ........!"
Terdengar jerit wanita di malam hari itu. Penduduk dusun itu menjadi panik, yang berada di luar rumah cepat berlarian masuk ke dalam. Pintu-pintu rumah dan jendela-jendela rumah ditutup rapat, dian-dian dimatikan dan seluruh penghuni dusun itu bersembunyi di dalam rumah, ketakutan.
Perasaan ketakutan mencekam hampir semua dusun semenjak terjadi perang antara Majapahit dan Kediri. Penjahat-penjahat merajalela, para perampok bermunculan bahkan bertambah banyak. Belum lagi ulah para perajurit yang memperoleh kemenangan, terutama sekali para perajurit asing, orang-orang Mongol yang buas dan ganas mengerikan itu I
Apa saja yang merintangi mereka, dibabat. Kanak-kanak orang tua, siapa saja, dibunuh sambil tertawa-tawa. Wanita muda, apalagi yang bersih, diperkosa dengan ganas. Rumah-rumah dibakar, harta kekayaan dirampok.
Malam hari itu, ada belasan orang memasuki dusun dan merekapun melakukan perampokan dengan bebas tanpa ada yang berani menghalangi mereka. Jerit dan lolong terdengar dari wanita-wanita yang hendak diperkosa, tangis anak-anak yang ketakutan dan teriakan orang-orang yang disiksa karena mempertahankan harta kekayaan mereka yang dirampok. .
"Tolooonggg........ lepaskan aku, ahhhh,tolooonggg .......!" Akan tetapi, siapakah di
antara penghuni dusun yang berani menolong wanita yang menjerit-jerit dari sebuah rumah itu " Setiap orang sudah ketakutan, setiap keluarga mengkhawatirkan keselamatan sendiri.
Akan tetapi tiba-tiba nampak dua sosokan bayangan berkelebat memasuki dusun itu. Mereka adalah Nurseta dan Wulansari. "Aku menolong wanita itu, kakangmasl" kata Wulansari yang berkelebat cepat menuju ke rumah dari mana terdengar jeritan wanita itu. Nurseta juga berlari ke arah rumah terdekat dari mana terdengar teriakan orang yarig agaknya dipukuli,'di antara tangis kanak-kanak.
Sekali dorong, daun pintu rumab itu jebol dan Wulansari memasuki kamar yang diterangi lampu tempel itu. Wajahnya seketika berubah merah sekali ketika ia melibat seorang laki-laki tinggi besar sedang bersitegang menggumuli seorang gadis yang berusaha mempertahankan diri agar tidak ditelanjangi oleh laki. laki yang terkekeh - kekeh dan menggeram seperti seekor binatang buas itu.
"Keparat jahanam!" bentak Wulansari.
Laki-laki itu terkejut dan melepaskan gadis itu, membalik dan matanya terbelalak, lalu dia menyeringai. "Wah, ada yang lebih cantik!" katanya seperti kepada diri sendiri dan bagaikan seekor harimau dia menerkam ke arah Wulansari. Akan tetapi, gadis perkasa ini menyambutnya dengan tendangan kaki kiri ke arah dada.
"Ngukkk I" Laki-laki itu terjengkang, matanya terbelalak, mulutnya memuntahkan darah segar dan diapun terbanting keras lalu berkelojotan sekarat! Wulansari tidak memperdulikannya lagi, lalu berkelebat keluar.
Wulandari dan Nurseta mengamuk dan belasan orang penjahat yang ternyata adalah perampok - perampok yang mempergunakan kesempatan selagi perang berkobar lalu merajalela di dusun itu, roboh bergelimpangan. Delapan orang perampok roboh dan tewa?, sisanya melarikan diri di kegelapan malam. Setelah para penduduk dusun tahu dan mendengar bahwa ada dua orang muda perkasa yang membasmi belasan orang penjahat itu, timbal keberanian mereka. Obor dipasang dan merekapun berdatangan dan berkumpul.
Wulansari dan Nurseta menghadapi mereka. Semua orang kagum bukan main melihat bahwa seorang di antara dua orang muda itu adalah seorang gadis yang cantik jelita. Apa lagi mendengar dari gadis yang hampir diperkosa tadi bahwa gadis cantik itulah yang menyelamatkannya dan membunuh penjahat yang hampir memperkosanya.
"Andika sekalian begiai banyak jumlahnya. Yang pria saja tidak kurang dari tigapuluh orang belum yang tua - tua dan yang wanita. Kalau andika bersatu, kami kira tidak mungkin belasan orang jahit itu berani mengganggu andika sekalian " Nurseta berkata dengan suara mengandung teguran.
Kepala dusun yang juga hadir tersipu........
"Kami...... kami tidak berdaya, kerajaan sedang mengalami perang dan kami......."
"Andika kepala dusun di sini ?" Wulansari bertanya dan ketika yang ditanya mengangguk, Wulansari berkata, "Kenapa andika begini lemah dan penakut " Kalau negara sedang aman, boleh andika mengandalkan penjaga keamanan dari pemerintah. Akan tetapi dalam keadaan parang, andika sekalian haruslah pandai menjaga diri sendiri dari serbuan orang jahat ! Kalau kalian bersatu menghadapi penjahat untuk melindungi keluarga sendiri, tentu kekuatan kalian cukup besar dan tidak mudah para perampok itu datang mengganggu."
Setelah dua orang muda perkasa itu memberi banyak nasihat, barulah para penghuni dusun itu menyadari kelemahan mereka. Bang kit semangat mereka dan mulai malam hari itu juga, mereka bersatu padu dan bertekad untuk menjaga dan menyelamatkan dusun mereka sendiri.
Demikianlah pekerjaan yang dilakukan Nurseta dan Wulansari setiap harinya. Mereka menjelajahi dusun-dusun, membasmi penjahat dan menuntun para penduduk dusun untuk membentuk pasukan keamanan sendiri, untuk bersatu padu dan membela dusun sendiri dari gangguan penjahat.
Ada pula mereka mendapatkan beberapa buah dusun yang memang sudah memiliki pertahanan yang kuat terhadap gangguan gerombolan sehingga selama perang berlangsung, dusun-dusun ini selamat dari gangguan. Tentu saja hanya dusun yang tidak dilanda atau dilewati pasukan yang berperang sajalah yang selamat. Dusun-dusun yang dilewati pasukan, apa lagi pasukan Mongol, mengalami kerusakan hebat. Banyak sekali dusun , yang termasuk wilayah Kediri dan dilewati pasukan Mongol. diamuk oleh pasukan yang buas itu di mana terjadi pembunuhan, perampokan dan perkosaan.
Memang pasukan Mongol terkenal sekali sebagai pasukan yang selain berani mati dan kuat, juga amat buas, ganas dan kejam sekali. Agaknya keistimewaan inilah ciri khas pasukan Mongol dan mungkin justeru karena itu pasukan Mongol berhasil menyerbu ke mana-mana dan menaklukkan banyak negara. Sejak kebangkitan mereka yang pertama, di bawah pimpinan Jenghis Khan yang dahulu ketika mudanya bernama Temucin, pasukan Mongol menjadi besar dan jaya, dan karena sepak terjangnya itu maka ditakuti dan banyak negara di barat menyerah sebelum diserbu.
"Hemm, kakang Ronggo Lawe, bagaimana caranya andika akan membasmi orang - orang Mongol itu?" tanya Raden Wijaya sambil menahan senyum, kagum melihat keberanian senopati itu, akan tetapi juga tidak mau sem-barangan saja menuruti kemauannya, karena senopati ini hanya mengandalkan kekerasan dan keberanian saja sehingga kadang kurang perhitungan.
"Hamba akan memimpin pasukan dan menyerbu benteng mereka, membunuh mereka semua!" kata Ronggo Liwe.
"Dan engkau akan mati konyol !" kata Arya Wiraraja mencela. Puteranya stu terlalu berani akan tetapi kurang perhitungan.
"Apa artinya mati dalam perjuangan" Aku rela mati, aku tidak takut mati untuk membasmi musuhi" kata Ronggo Lawedenpan marah.
Riden Wijaya mengangkat tangan dan Ronggo Lawe menunduk, duduk kembali. "Kakang Ronggo Lawe, kita semua memang tidak takut mati, akan tetapi kalau andika nekat menyerbu lalu mati di tangan mereka, lalu apa artinya engkau mengorbankan nyawa begitu saja " Apa hasilnya dan apa pjla keuntungannya bagi kita?"
Ditanya demikian, Ronggo Lawe bengong dan barulah dia sadar akan kekeliruannya. Memang dia terlalu terburu napsu Kalau dia nekat dan gagal, bukan saja dia mati konyol, juga pasukannya mati konyol dan Raden Wijaya akan menderita kerugian hebat. Bahkan mungkin pasukan Mongo! akan menyerang dan menghancurkan orang orang Majapahit. Dan kalau semua itu terjadi, maka dialah yang bersalah!
"Kanjeng pangeran, kalau begitu, sebaiknya menggunakan siasat, menggunakan tipu muslihat agar para pimpinan mereka dapat kita hancurkan I" katanya pula.
"Hmm, nanti dulu, Ronggo Lawe!" kata Lembu Sora, yaitu paman Ronggo Lawe. Lembu Sora yang tinggi besar dan gagai perkasa itu adalah adik Arya Wiraraja. "Kita adalah orang-orang gagah yang menjunjung kebenaran dan keadilan, bagaimana dapat mempergunakan muslihat dan akal busuk?"
Ronggo Lawe memandang pamannya dan matanya bersinar-sinar. "Paman Lembu Sora. Di dalam perjuangan, tidak selamanya harus menggunakan kuatnya tulang otot dan tebalnya kulit belaka! Bukankah selama inipun kita telah menggunakan siasat" Kita menghambakan diri ke Dana, bukankah itu siasat " Kita menarik pasukan Mongol untuk bersekutu, bukankah itu juga muslihat" Untuk mencapai kemenangan, apa salahnya menggunakan siasat dan akal muslihat Nah, karena dengan menggunakan okol (kekuatan badan) agaknya kiia tidak akan mampu mengatasi orang-orang Mongol, maka jalan satu-satunya hanyalah akal!"
Semua orang mengangguk angguk menyetujui pendapat ini. Bahkan Lembu Sora tertawa "Ha-ha ha, andika memang pandai, Ronggo Lawe. Akan tetapi siasat yang bagaimanakah dapat kita pergunakan untuk mengusir orang-orang Mongol itu ?"
"Benar sekali pertanyaan itu, kakanp Ronggo Lawe. Muslihat apakah yang dapat kita pergunakan ?" tanya Raden Wijaya.
Mendengar pertanyaan Raden Wijaya ini, Ronggo Lawe termenung, lalu memandang ke kanan kiri, kepada semua senopati yang hadir, kemudian dia menjawab. "Wah, mohon paduka, sudi mengampuni hamba. Hamba adalah orang yang biasa mempergunakan okol, bukan akal. Oleh karena itu, mengenai siasat, hamba serahkan saja kepada para pinisepuh ( orang-orang tua) dan saudara-saudara tua yang hadir di sini."
Ramailah mereka berbincang-bincang mencari akal yang baik untuk dapat mengusir orang orang Mongol. Akhirnya Arya Wiraraja jugalah, sang ahli siasat itu, yang mengemukakan siasatnya dan yang diterima oleh semua orang. Dengan penuh rahasia mereka lalu mengatur siasat dan membagi tugas untuk melaksanaan siasat itu.
Siasat direncanakan dan setelah matang, beberapa hari kemudian Raden Wijaya mengirim utusan ke benteng pasukan Mongol yang sedang bersenang senang karena memperoleh kemenangan. Utusan itu menyampaikan undangan Raden Wijaya bagi semua pimpinan pasukan, dari para panglimanya sampai semua perwiranya. Mereka diundang ke istana Kediri, untuk menerima jamuan makan merayakan kemenangan, dan untuk menerima puteri-puteri yang dijanjikan oleh Arya Wiraraja kepada para panglima pasukan Mongol.
"Hendaknya para undangan memasuki ruangan pesta tanpa membawa senjata." demikian pesan Raden Wijaya kepada utusannya. "Karena para puteri itu selalu merasa ketakutan kalau melibat senjata. Semua senjata agar dititipkan pada para penjaga di luar ruangan pesta. Dengan demikian, barulah pesta akan berlangsung dengan meriah dan para puteri tidak akan merasa ngeri dan ketakutan, bahkan akan merasa gembira karena mereka akan diserahkan kepada orang-orang yang lemah lembut dan tidak suka menggunakan senjata yang menggiriskan hati."
Selain undangan itu, juga akan disediakan jamuan makan minum untuk para perajurit Mongol di dalam benteng Ujung Galuh dan di sepanjang muara Kali Brantas. Daging dan tuak (arak) berlimpahan, dihibur pula oleh nyanyian dan tarian yang menggairahkan dan menggembirakan oleh ratusan orang ledek yang dikerahkan untuk perayaan kemenangan itu.
Tiga orang panglima pasukan Mongol, yaitu She Pei, Kau Seng, dan Ji Kau Mosu tidak mempunyai dugaan buruk, tidak pernah bercuriga dan menerima baik undangan itu. Dan sebelum tiba hari undangan itu, Lie Hok Yang menghadap suhengnya di kamarnya.
"Suheng, aku telah melaksanakan tugas sampai akhir, tepat seperti yang kujanjikan kepadamu. Oleh karena itu, sekarang aku mohon perkenan suheng untuk mencari tunanganku itu. Aku akan menikah dengan tunanganku itu, dan kalau ia mau kuajak pulang ke Cina, sukurlah."
"Bagaimana kalau ia tidak mau ikut denganmu ke utara?" tanya Panglima Kau Seng.
"Kalau demikian, terpaksa aku yang tinggal di sini, suheng. Aku terlalu mencintanya dan aku mau berkorban apa saja. Kalau ia tidak mau, aku akan tinggal selamanya di sini."
Kau Seng menghela napas dan menggeleng-geleng kepalanya. Akan tetapi, sebagai seorang yang sudah berpengalaman, dia tahu apa artinya orang muda yarg sedang jaluh cinta. Bagaimanapun juga, Hok Yan telah memperlihatkan diri sebagai seorang perajurit yang baik, sudah memenuhi tugasnya. Kini hanya tinggal pulang ke utara saja, maka tidak ada keberatan apapun untuk memberi ijin".
"Baiklah, sute (adik seperguruan) Akan tetapi jangan tergesa-gesa, sebaiknya tunggu kalau sudeh selesai kita menghadiri perjamuan yang diadakan oleh Pangeran Raden Wijaya."
"Tidak, suheng (kakak septrguruan) Aku tidak ingin berpesta. Aku khawatir akan keselamatan Sumilah. Entah bagaimana keadaannya ketika terjadi perang. Aku harus segera mencarinya, suheng. Maafkan kalau aku tidak dapat ikut hadir dalam pesta itu "
"Akan tetapi, engkaupun berjasa, dan engkau berhak memperoleh hadiah yang tentu akan dibagi-bagikan oleh Raden Wijaya."
Lie Hok Yan menggeleng kepala. "Aku tidak menginginkan hadiah apapun, suheng. Sumilah merupakan hadiah yang tak ternilai harganya bagiku."
Panglima Kau Seng hanya bisa menggeleng-geleng kepala saja dan dia membekali sutenya itu dengan sekantung kecil emas dan perak. Hok Yan meninggalkan kota raja Kediri dengan hati yang lapang dan kaki yang ringan. Pergi ke tempat tinggal Sumirah. Betapa akan bahagianya pertemuannya dengan kekasihnya itu! Dan dia tahu bahwa Sumirah telah mengungsi ke dusun Klintren, di sebelah selatan Singosari.
-ooo0dw0ooo- "Tolooonggg........ ah, tolooongg ........!"
Terdengar jerit wanita di malam hari itu. Penduduk dusun itu menjadi panik, yang berada di luar rumah cepat berlarian masuk ke dalam. Pintu-pintu rumah dan jendela-jendela rumah ditutup rapat, dian-dian dimatikan dan seluruh penghuni dusun itu bersembunyi di dalam rumah, ketakutan.
Perasaan ketakutan mencekam hampir semua dusun semenjak terjadi perang antara Majapahit dan Kediri. Penjahat-penjahat merajalela, para perampok bermunculan bahkan bertambah banyak. Belum lagi ulah para perajurit yang memperoleh kemenangan, terutama sekali para perajurit asing, orang-orang Mongol yang buas dan ganas mengerikan itu I
Apa saja yang merintangi mereka, dibabat. Kanak-kanak orang tua, siapa saja, dibunuh sambil tertawa-tawa. Wanita muda, apalagi yang bersih, diperkosa dengan ganas. Rumah-rumah dibakar, harta kekayaan dirampok.
Malam hari itu, ada belasan orang memasuki dusun dan merekapun melakukan perampokan dengan bebas tanpa ada yang berani menghalangi mereka. Jerit dan lolong terdengar dari wanita-wanita yang hendak diperkosa, tangis anak-anak yang ketakutan dan teriakan orang-orang yang disiksa karena mempertahankan harta kekayaan mereka yang dirampok. .
"Tolooonggg........ lepaskan aku, ahhhh,tolooonggg .......!" Akan tetapi, siapakah di
antara penghuni dusun yang berani menolong wanita yang menjerit-jerit dari sebuah rumah itu " Setiap orang sudah ketakutan, setiap keluarga mengkhawatirkan keselamatan sendiri.
Akan tetapi tiba-tiba nampak dua sosokan bayangan berkelebat memasuki dusun itu. Mereka adalah Nurseta dan Wulansari. "Aku menolong wanita itu, kakangmasl" kata Wulansari yang berkelebat cepat menuju ke rumah dari mana terdengar jeritan wanita itu. Nurseta juga berlari ke arah rumah terdekat dari mana terdengar teriakan orang yarig agaknya dipukuli,'di antara tangis kanak-kanak.
Sekali dorong, daun pintu rumab itu jebol dan Wulansari memasuki kamar yang diterangi lampu tempel itu. Wajahnya seketika berubah merah sekali ketika ia melibat seorang laki-laki tinggi besar sedang bersitegang menggumuli seorang gadis yang berusaha mempertahankan diri agar tidak ditelanjangi oleh laki. laki yang terkekeh - kekeh dan menggeram seperti seekor binatang buas itu.
"Keparat jahanam!" bentak Wulansari.
Laki-laki itu terkejut dan melepaskan gadis itu, membalik dan matanya terbelalak, lalu dia menyeringai. "Wah, ada yang lebih cantik!" katanya seperti kepada diri sendiri dan bagaikan seekor harimau dia menerkam ke arah Wulansari. Akan tetapi, gadis perkasa ini menyambutnya dengan tendangan kaki kiri ke arah dada.
"Ngukkk I" Laki-laki itu terjengkang, matanya terbelalak, mulutnya memuntahkan darah segar dan diapun terbanting keras lalu berkelojotan sekarat! Wulansari tidak memperdulikannya lagi, lalu berkelebat keluar.
Wulandari dan Nurseta mengamuk dan belasan orang penjahat yang ternyata adalah perampok - perampok yang mempergunakan kesempatan selagi perang berkobar lalu merajalela di dusun itu, roboh bergelimpangan. Delapan orang perampok roboh dan tewa?, sisanya melarikan diri di kegelapan malam. Setelah para penduduk dusun tahu dan mendengar bahwa ada dua orang muda perkasa yang membasmi belasan orang penjahat itu, timbal keberanian mereka. Obor dipasang dan merekapun berdatangan dan berkumpul.
Wulansari dan Nurseta menghadapi mereka. Semua orang kagum bukan main melihat bahwa seorang di antara dua orang muda itu adalah seorang gadis yang cantik jelita. Apa lagi mendengar dari gadis yang hampir diperkosa tadi bahwa gadis cantik itulah yang menyelamatkannya dan membunuh penjahat yang hampir memperkosanya.
"Andika sekalian begiai banyak jumlahnya. Yang pria saja tidak kurang dari tigapuluh orang belum yang tua - tua dan yang wanita. Kalau andika bersatu, kami kira tidak mungkin belasan orang jahit itu berani mengganggu andika sekalian " Nurseta berkata dengan suara mengandung teguran.
Kepala dusun yang juga hadir tersipu........
"Kami...... kami tidak berdaya, kerajaan sedang mengalami perang dan kami......."
"Andika kepala dusun di sini ?" Wulansari bertanya dan ketika yang ditanya mengangguk, Wulansari berkata, "Kenapa andika begini lemah dan penakut " Kalau negara sedang aman, boleh andika mengandalkan penjaga keamanan dari pemerintah. Akan tetapi dalam keadaan parang, andika sekalian haruslah pandai menjaga diri sendiri dari serbuan orang jahat ! Kalau kalian bersatu menghadapi penjahat untuk melindungi keluarga sendiri, tentu kekuatan kalian cukup besar dan tidak mudah para perampok itu datang mengganggu."
Setelah dua orang muda perkasa itu memberi banyak nasihat, barulah para penghuni dusun itu menyadari kelemahan mereka. Bang kit semangat mereka dan mulai malam hari itu juga, mereka bersatu padu dan bertekad untuk menjaga dan menyelamatkan dusun mereka sendiri.
Demikianlah pekerjaan yang dilakukan Nurseta dan Wulansari setiap harinya. Mereka menjelajahi dusun-dusun, membasmi penjahat dan menuntun para penduduk dusun untuk membentuk pasukan keamanan sendiri, untuk bersatu padu dan membela dusun sendiri dari gangguan penjahat.
Ada pula mereka mendapatkan beberapa buah dusun yang memang sudah memiliki pertahanan yang kuat terhadap gangguan gerombolan sehingga selama perang berlangsung, dusun-dusun ini selamat dari gangguan. Tentu saja hanya dusun yang tidak dilanda atau dilewati pasukan yang berperang sajalah yang selamat. Dusun-dusun yang dilewati pasukan, apa lagi pasukan Mongol, mengalami kerusakan hebat. Banyak sekali dusun , yang termasuk wilayah Kediri dan dilewati pasukan Mongol. diamuk oleh pasukan yang buas itu di mana terjadi pembunuhan, perampokan dan perkosaan.
Memang pasukan Mongol terkenal sekali sebagai pasukan yang selain berani mati dan kuat, juga amat buas, ganas dan kejam sekali. Agaknya keistimewaan inilah ciri khas pasukan Mongol dan mungkin justeru karena itu pasukan Mongol berhasil menyerbu ke mana-mana dan menaklukkan banyak negara. Sejak kebangkitan mereka yang pertama, di bawah pimpinan Jenghis Khan yang dahulu ketika mudanya bernama Temucin, pasukan Mongol menjadi besar dan jaya, dan karena sepak terjangnya itu maka ditakuti dan banyak negara di barat menyerah sebelum diserbu.
Nurseta dan Wulansari menjadi marah sekali mendengar akan keganasan pasukan Mongol, apa lagi melihat bekas kekejaman mereka pada beberapa dusun yang mereka lalui. Bahkan, sempat pula mereka berdua menghajar beberapa orang perajurit Mongol yang berkeliaran dan mengganas di dusun-dusun. Setiap kali bertemu dengan perajurit Mongol yang sedang mengganas di dusun-dusun, tentu dua orang muda perkasa ini tidak tinggal diam dan tidak mau memberi ampun lagi.
Ketika mereka memasuki daerah Singosari untuk melakukan perondaan di sana, Wulansari teringat akan Sumirah. Ia mengajak Nurseta untuk berkunjung ke dusun Klintren, selain untuk meronda di sana, juga untuk menengok keadaan Sumirah dan orang tuanya, yaitu Lurah Kalasan yang mengungsi di dusun Klintren. Murseta menyetujui dan pergilah mereka menuju dusun itu.
-oo0dw0oo- Lie Hok Yan mendengar akan keganasan pasukan Mongol, bahkan melihat sendiri akibat keganasan itu di beberapa buah dusun yang dilewati pasukan itu ketika dia melakukan perjalanan mencari Sumirah. Diam-diam dia merasa penasaran dan berduka, dan teringat dia akan keadaan di negerinya sendiri. Banyak sudah dia mendengar dari orang - orang tua di negerinya betapa ketika pasukan Mongol dahulu menyerbu ke selatan, rakyat di negerinya juga menderita hebat karena keganasan orang Mongol. Tadinya, cerita itu hanya seperti dongeng saja baginya. Akan tetapi kini dia menyaksikannya sendiri dan hatinya memberontak. Diam - diam dia menyesal mengapa dia ikut membantu pasukan itu karena terbujuk suhengya. Akan tetapi kalau dia teringat bahwa kini dia telah keluar dari pasukan, telah bebas dari ikatannya dengan pasukan Mongol, hatinya girang sekali. Apa lagi membayangkan Sumirah yang akan menyambutnya dengan penuh kebahagiaan dan kasih sayangi Dengan penuh semangat Hok Yan melanjutkan perjalanannya mencari kekasihnya.
Dia maklum bahwa kalau dia mengenakan pakaian sebagai perwira Mongol, keadaannya berbahaya sekali. Pula, dia merasa malu memakai pakaian perwira Mongol. Kini dia bukan perwira Mongol, melainkan seorang yang bebas. Untuk mempermudah perjalanannya, dia-pun mengenakan pakaian yang biasa dipakai seorang laki - laki pribumi yang umum. Tidak banyak perbedaan antara dia dan pemuda pribumi, kecuali matanya yang sipit. Akan tetapi pakaian itu membuat perbedaan pada matanya itu tidak terlalu menyolok. Biarpun lidahnya masih amat sukar untuk menyebut suara "r", selalu diucapkan "I", namun dia sudah menguasai Bahasa Jawa cukup baik sehingga dia dapat bertanya-tanya kepada orang di jalan di mana adanya dusun Klintren.
Akhirnya, setelah melakukan perjalanan yang tidak mengenal lelah hampir dapat dikata siang malam karena terdorong kerinduan hatinya untuk dapat cepat bertemu dengan kekasihnya, pada suatu siang dia tiba di dusun Klintren. Matahari telah mulai condong ke barat, tengahari sudah lama lewat dan sinar matahari tidak begitu menyengat lagi, walaupun panas masih memanggang bumi.
Dengan jantung berdebar tegang, hati dipenuhi harapan, Hok Yan memasuki dusun yang nampak sunyi itu. Dia melihat seorang laki-laki tua berjalan terbongkok - bongkok dari depan. Hatinya girang dan dengan berdebar tegang dia menghampiri kakek itu.
"Paman, selamat sore, paman." kata Hok Yan denpan sikap hormat.
Kakek itu berhenti melangkah, mengangkat muka memandang dan sinar matanya penuh keheranan dan selidik. Kalau saja pada saat itu Hok Yan mengenakan pakaian perwira Mongol, tentu kakek itu tanpa ragu-ragu lagi akan menggigil ketakutan atau lari terbirit-birit. Akan tetapi pakaian dan sikap Hok Yan membuat dia bingung dan heran, juga ragu-ragu.
"Selamat sore, siapakah andika dan ada apakah.......?" Ujarnya dengan mata tetap memandang penuh selidik dan dahi berkerut.
"Maafkan kalau saya mengganggu, paman. Saya hanya ingin bertanya di mana rumah Sumilah........"
Kakek itu semakin tertarik. Pemuda tinggi, tegap ini bicara dengan sikap sopan sekali, akan tetapi suaranya pelo
"Sumilah...... ?"
Hok Yan maklum akan ketidakjelasan lidahnya menyebutkan nama kekasihnya itu. Betapa seringnya dia melamunkan hal itu, teringat ketika Surairah mentertawakannya karena dia keliru menyebutkan nama gadis itu. Maka diapun berusaha keras, seperti yang sering dilatihnya seorang diri kalau teringat akan kepeloannya, dan menyebutkan nama gadis itu, memberi tekanan kepada suara " r " agar
orang tua itu menjadi jelas. "Sumi........ rah, paman." Bukan main sukarnya menggetarkan ujung lidah untuk mengeluarkan bunyi "r" itu walaupun untuk itu dia sudah seringkali berlatih !
"Ooo, Sumirah " Nanti dulu....... Sumirah...... ' Petani tua itu mengingat-ingat.
"Anu, paman, puterinya Ki Saldu....... eh ...... Sardu....... du."
Kini kakek itu terbelalak. "Ah, kiranya Sumirah piteri Ki Sardu itu yang kautanyakan" Kisanak, siapakah andika dan apa hubunganmu dengan keluarga itu?"
Dengan hati girang karena ternyata kakek ini mengenal keluarga Sumirah,. Hok Yan segera menjawab, "Mohon kebaikan hatimu, paman. Di manakah mereka tinggal" Saya adalah seorang...... sahabat baik keluarga itu. Saya..... saya ingin sekali melihat mereka dalam keadaan selamat setelah adanya geger ini........, katakanlah, paman yang baik. Di mana mereka?"
Melihat gairah orang muda itu menanyakan keadaan keluarga Ki Sardu, kakek itu merasa kasihan sekali. Dia menarik napas panjang beberapa kali, kemudian dengan pandang mata penuh iba dia berkata, "Mari kita bicara di biwah pohon itu. ki-sanak."
Wajah Hok Yan berubah pucat dan hatinya seperti ditusuk. Dia merasa sesuatu yang amat tidak enak. Tanpa dapat mengeluarkan kata-kata diapun mengikuti kakek itu duduk di atas batu di bawah pohon asam di tepi jalan.
"Ada .... ada apakah, paman.......?" Akhirnya dia dapat bertanya dengan jantung berdebar tegang.
Kakek itu menghela napas dan menggeleng-geleng kepalanya. "Ketahuilah, ki-sanak. Dusun Klintren ini dilanda malapetaka ketika terjadi perang."
"Apa yang terjadi, paman " Bagimana dengan Sumilah dan keluarganya?" Dia sudah tidak perduli lagi akan kepeloannya ketika menyebut nama kekasihnya. Suaranya bahkan gemetar penuh kekhawatiran.
"Pada suatu malam, segerombolan perajurit Daha datang mengganas di dusun ini. Beberapa orang tewas di tangan gerombolan itu, termasuk....... Ki Sardu dan isterinya "
"Ahhhh........!" Sepasang mata yang sipit itu terbuka lebar. "Dan bagaimana dengan Sumilah?" tanyanya hampir berteriak.
"Sumirah........ ia dilarikan gerombolan, diculik pergi dari dusun ini........"
Hok Yan meloncat berdiri, demikian cepatnya sehingga kakek itu terkejut.
"Paman........ paman yang baik........ katakan, lalu bagaimana nasib Sumilah " Ah,
katakanlah, paman......." Suara Hok Yan kini benar-benar menggigil karena dia sudah membayangkan hal yang amat buruk, malapetaka yang menimpa diri kekasihnya. Bahkan ayah ibu Sumirah telah tewas I
Melihat kakek itu tidak mampu menjawab, Hok Yan menabahkan hatinya bertanya, "Paman, apakah la........ sudah....... mati pula?"
Sikap Hok Yan itu mengusir semua .'keraguan di hati kakek petani itu. Kalau orang jabat, tidak mungkin bersikap seperti pemuda bermata sipit in', pikirnya. Jelas bahwa pemuda ini kelihatan terkejut dan bersedih sekali mendengar akan malapetaka yang menimpa keluarga Ki Sardu.
"Ia tidak mati, orang muda. Tapi........ tapi ia......."
Hok Yan memegang lengan kakek itu. Hampir saja dia lupa dan karena dia menatap: wajah kakek itu, baru dia tabu bahwa kakek itu menyeringai kesakitan, maka dia melepaskan cengkeramannya. "Paman yang baik........ tapi mengapa" Di mana ia .......?"
"Orang muda, engkau lihatlah sendiri. Ia berada di tanah kuburan, di sebelah barat dusun ini, di luar dusun. Tengoklah ke sana...."
Hok Yan sudah meloncat hendak pergi. "Nanti dulu, orang muda. Katakan dulu siapa andika!" Orang tua itu berseru.
"Nama saya Hok Yan paman I" kata Hok Yan tanpa menengok lagi dan dia sudah berlari menuju ke luar dusun sebelah barat.
Petani tua itu termangu-mangu. "Hok Yan......." Hok........ wah, kalau begitu dia
orang Cina Tar-tar?" Dan terbongkok-bongkok kakek ini bergegas pulang ke rumahnya.
Sementara Itu, dengan hati yang tidak karuan rasanya, Hok Yan keluar dari dusun itu dan berlari ke arah barat, Mudah saja mencari tanah kuburan itu. Tanah kuburan di dekat tegal rumput dan ada sungai kecil mengalir di situ. Mudah dikenal karena banyaknya pohon kamboja tumbuh dan ditanam orang di tempat itu.
Ketika dia tiba di luar tanah kuburan, dia melibat belasan ekor kerbau sedang makan rumput dan terdengar suara beberapa orang anak penggembala berteriak - teriak dan tertawa-tawa, datangnya suara dari dalam pekarangan kuburan itu.
"Kabiso! Kabiso! Ha-ha-ha, Kabiso!" Terdengar suara kanak - kanak itu berteriak dan tertawa-tawa. Tiba-tiba terdengar suara wanita, melengking tinggi.
"Hi bi-hi hik! Ha-ha-ha! Kabiso! Mampus kamu, Kabiso, digantung dan disayat-sayat! Ha-ha-ha, puas hatiku, kamu mampus tersiksa, Kabiso. Hi hi-hi-hik!" Menyeramkan sekali suara itu, bahkan Hok Yan sendiri yang berhati tabah merasa betapa bulu tengkuknya meremang mendengar teriakan diseling suara ketawa ini. Akan tetapi agaknya anak-anak penggembala kerbau itu sudah terbiasa dan mereka tidak merasa takut lagi. Kini anak-anak itu berteriak dan sekali ini Hok Yan menjadi pucat.
"Hoyan-Hoyan-Hoyan .......! Di mana engkau, Hoyan........"' Anak - anak jitu berteriak-teriak dan kembali terdengar suara wanita itu, kini tidak lagi melengking nyaring penuh kegembiraan, melainkan bercampur tangis.
"Hok Yan........ uhu-hu-huuuuhbh....... aih, Hok Yan........ di mana engkau, Hok Yan........
Uhu-huuuuuhh....... kembalilah, Hok Yan........ ayah dan ibu........ uhu-huuuuh, mereka sudah tewas....... Hok Yan........ Hok....... Yaaaaannn ........!" Dan suara wanita itupun menangis tersedu-sedu.
Menggigil kedua kaki Hok Yan. Kini dia tidak ragu lagi. "Sumilah......!" bisiknya dan,
diapun lari ke dalam pekarangan kuburan itu dan apa yang dilihatnya membuat dia seperti berubah menjadi arca hanya terbelalak memandang ke depan.
Seorang wanita, dengan rambut riap riapan, pakaian lusuh, kotor dan kusut, compang camping seperti jembel terlantar, beriutut di depan dua pundukan tanah kuburan, menangis dan tersedu-sedu. Empat orang anak berusia kurung lebih tujuh tahun memperolok-oloknya. Agaknya anak-anak itu sudah terbiasa dengan pemandangan ini, maka mereka dapat menirukan ulah dan suara wanita itu dan memancing untuk menggodanya.
Setelah dapat menenangkan hatinya yang mengalami guncangan hebat, Hok Yan lalu meloncat ke dekat anak-anak itu dan membentak, "Anak-anak nakal! Hayo kalian pergi, kalau tidak tentu akan kupukul kalian!"
Empat orang acak - anak itu terkejut setengah mati ketika tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki yang tidak, mereka kenal, dan mendengar bentakan Itu, mereka lalu melarikan diri tunggang langgang dan cepat menggiring kerbau mereka meninggalkan tempat itu.
Hok Yan melangkah menghampiri wanita yang masih berlutut sambiI menangis itu. Dia masih meragu. Benarkah ini Sumirah" Gadis jelita kekasihnya itu" Tunangannya itu" Benarkah perempuan yang menjijikkan karena kotor dan gila ini calon isterinya"
"Sum........ Sumilah........I" dia memanggil lirih, suaranya gemetar.
Wanita itu tiba-tiba berhenti menangis, lalu mengangkat mukanya memandang laki - laki yang menghampirinya itu. Mereka saling pandang dan Hok Yan merasa jantungnya seperti disayat pedang beracun. Wajah itu masih ada bekas kecantikannya, akan tetapi sekarang nampak kotor berlepotan lumpur, mulut itu menyeringai setengah tertawa setengah menangis, sepasang mata itu agak kemerahan, sebagian muka tertutup rambut yang kotor dan gimbal. Seluruh tubuh itu kotor dan pakaiannya menjijikkan. Agaknya wanita ini tak pernah berganti pakaian, tak pernah mandi dan tulang tulangnya menonjol di balik kulit yang kotor.
"Sumilah.......!" Hok Yan tidak ragu lagi sekarang.
"Hok Yan......." Hok....... Hok Yan,......?"
Bibir itu koma kamit, lalu wanita itu menjerit,, "Hok Yan........!!"
"Sumilah! Aih, Sumilah...... kekasihku.....!"
Hok Yan menjatuhkan diri berlutut di depan wanita itu dan merangkulnya.
"Hok Yan ......" Apakah mungkin........kau .......... kau benar Hok Yan ........ " Kau.......
kau benar datang.......?" Mata yang kemerahan itu penuh air mata berderai dan sejenak pandang mata itu waras.
"Sumilah, ini benar aku. Hok Yan.......i Ah, Sumilah, mengapa engkau sampai begini......." Hok Yan mendekap dengan hati penuh haru dan iba.
"Hok Yan! Engkau benar Hok Yan........ ah, engkau benar Hok Yan!" Wanita itu kini memandang dengan wajah berseri, lalu iapun merangkul pemuda itu dan menangis, mengguguk di dada Hok Yan. Hok Yan merangkulnya dan mencium bau yang apak dan tidak enak. Keadaan kekasihnya itu seperti binatang saja, bahkan lebih kotor lagi !
Tiba - tiba Sumirah tertawa. "Ha-ha-hi-hi-hik, Kabiso! Kamu mampus tersiksa ! Ha ha........"
"Sumilah, ingatlah........!" Hok Yan menghiburnya.
"Hok Yan" Hik-hik, tahukah engkau, Hok Yan "Kabiso disiksa, tubuhnya digantung jungkir balik, disayat sayat penuh darah.....hi-hik !" Dan tiba-tiba gadis itupun menangis lagi. "Hok Yan, ayah dan ibu ....... merekamati....... mati....... hu - hu - huuhh......."
Pada saat itu terdengar suara ribut - ribut. .
"Itu dia I Tangkap Cina Tartar itu!"
"Lihat, dia menangkap Sumirah!"
"Cegah dia ! Bunuh dia I"
Hok Yan terkejut dan menengok. Ternyata ada puluhan orang penduduk dusun Klintren yang membawa senjata seadanya, linggis cangkul alu keris dan sebagainya, berbondong memasuki pekarangan kuburan itu dan 'mengepungnya!
Hok Yan maklum bahwa penjelasan tidak ada gunanya. Yang penting, Sumirah harus diselamatkan dan dibawa pergi dari tempat ini untuk diobati. Akan tetapi, dalam keadaan seperti gila itu, Sumirah dapat menjadi pengganggu, maka diapun cepat menggerakkan tangan menotok tengkuk gadis itu. Sumirah mengeluh dan terkulai lemas, pingsan. Hok Yan cepat memanggul tubuh gadis yang sudah pingsan itu. Melihat ini para penduduk dusun itu menjadi semakin marah, yakin bahwa Cina Tartar itu "tentu seorang perajurit Mongol yang ganas dan jahat, dan jelas hendak menculik Sumirah yang gila. Mereka berteriak - teriak dan menerjang Hok Yan dengari serangan senjata mereka yang bermacam-macam itu. Hok Yan dikepung dan dikeroyok. Pemuda ini hanya khawatir kalau sampai tubuh kekasihnya terkena senjata tajam, maka diapun terpaksa menangkis dan merobohkan para pengeroyoknya dengan tendangan atau dorongan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya memanggul tubuh Sumirah. Dia tahu bahwa orang - orang dusun ini salah sangka. Mereka bukan orang jahat, bahkan bermaksud menolong Sumirah yang mereka kira akan diculik. Oleh karena itu, Hok Yang membatasi tenaganya dan hanya merobohkan mereka untuk mencari jalan keluar, bukan bermaksud melukai mereka, apa lagi membunuh.
Sementara itu, Nurseta dan Wulansari kebetulan tiba di dusun Klintren pada sore hari itu.. Ketika mereka melihat orang-orang dusun berlarian sambil membawa alat senjata, mereka terkejut dan bertanya - tanya apa yang sedang terjadi.
"Apakah ada perampok mengganggu dusun ?" tanya Nurseta. "Kalau demikian halnya, kami akan membantu kalian !"
"Bukan perampok ! Lebih berbahaya lagi Ada seorang Cina Tar-tar mengamuk dan hendak menculik seorang gadis 1" kata seorang di antara mereka sambil lari.
Mendengar ini, Nurseta dan Wulansari tidak banyak bertanya lagi dan merekapun lari cepat menuju ke kuburan di sebelah barat luar dusun itu. Dan ketika mereka tiba di sana, benar saja mereka melihat seorang laki-laki yang memanggul tubuh seorang gadis yang agaknya pingsan, dikepung dan dikeroyok oleh banyak orang dusun. Dan melihat gerakannya, jelas bahwa orang itu amat gesit dan kuat. Melihat ini, Wulansari menjadi marah.
"Hemm, hanya seorang pengacau. Biar aku yang menangkapnya !" Dan lapun meloncat ke medan perkelahian sambil berteriak, "Saudara sekalian mundurlah ! Aku yang akan menangkapnya !" Ia menyuruh para pengeroyok mundur, bukan hanya karena ia sungkan untuk mengeroyok orang, akan tetapi terutama sekali ia tidak ingin melihat penduduk ada yang terluka atau tewas, juga ia mengkhatirkan gadis yang dipanggul oleh pengacau itu, kalau-kalau terkena bacokan senjata tajam. Mendengar teriakan Wulansari, para pengeroyok yang memang sudah gentar melihat ketangguhan orang yang hendak menculik Sumirah itu, segera berloncatan mundur,
"Lepaskan gadis itu!" bentak Wulansari dan tubuhnya menerjang ke depan, tangan kiri mencengkeram ke arah kepala Hok Yan, tangan kanan hendak merampas tubuh Sumirah yang dipanggul pemuda itu.
Melihat serangan yang mendatangkan angin pukulan dahsyat itu, Hok Yan terkejut. Cepat dia mengelak ke belakang dan tangan kanannya digerakkan menangkis serangan ke arah kepalanya.
"Dukkk!" Keduanya terkejut dan melompat ke belakang ketika merasakan getaran hebat pada lengan mereka karena pertemuan tenaga sakti itu.
"Nona Wulan......! Nona Wulansari .......!"
Hok Yan berseru girang bukan main sehingga lidahnya tidak keseleo ketika menyebut Wulansari, bukan Wulansali
"Lle Hok Yan! Kau......." Tapi........ tapi kenapa engkau hendak menculik.......?"
"Nona Wulan, ini adalah Sumirah, tunanganku! Aku datang mengunjunginya, dan ia......
ia.......ah, sengsara sekali........"
Nurseta juga melompat dekat. Melihat betapa Wulansari mengenal pemuda bermata sipit itu, diapun terheran.
Kini Wulansari mendekat untuk melihat keadaan Sumirah. "Ini........ini........ Sumirah"
Ihh. apa yang telah terjadi dengannya?"
"Panjang ceritanya, nona Wulan. Mari kita pergi dari sini. Aku harus merawat Sumilah dulu......."
Wulansari lalu berpaling kepada para penduduk dusun yang memandang dengan heran,, lalu terdengar ia berkata lantang, "Saudara-saudara semua telah salah sangka! Pemuda ini bernama Lie Hok Yan, dan dia bukan penjahat. Dia adalah tunangan Sumirah, calon mantu paman Sardu. Di mana paman Sardu dan isterinya?"
Seorang petani tua melangkah maju. "Aku. pernah mendengar keterangan mendiang Ki Sardu tentang calon mantunya itu. Marilah, orang - orang muda perkasa, mari ke rumah kami dan kita rawat Sumirah di sana. Kasihan anak itu......"
Dengan berterima kasih sekali Hok Yan lalu memondong tubuh Sumirah dan diikuti oleh Wulansari dan Nurseta, mereka beramai-ramai kembali ke dalam dusun dan kakek itu mengajak mereka ke rumahnya. Rumah yang cukup besar karena kakek ini adalah ayah dari lurah Klintren.
Dengan penuh kasih sayang, Hok Yan memandikan Sumirah setelah membebaskan totokan pada tubuh tunangannya itu, Setelah ada Hok Yan, Sumirah kini menjadi jinak. Biasanya, ia tidak mau didekati siapapun, apa lagi dimandikan. Orang-orang dusun yang kasihan kepadanya tidak dapat berbuat apa-apa kecuali mendiamkan gadis itu yang siang malam berada di kuburan, dan setiap hari saja dua kali mereka mengirim makanan untuk gadis itu.
Wulansari menyerahkan beberapa potong pakaian untuk Sumirah. Tanpa ragu, tanpa jijik, bahkan dengan penuh kasih sayang, Hok Yan memandikan gadis itu seperti memandikan seorang anak kecil. Setelah Sumirah mengenakan pakaian bersih, dengan manja iapun duduk di atas pangkuan Hok Yan yang menyisiri rambutnya yang tadi dikeramasinya sampai bersih.
Bahkan kini Sumirah mau makan malam bersama Hok Yan, Wulansari dan Nurseta dan mulailah ia nampak pandai membawa diri. Setelah dibujuk oleh Hok Yan sehingga gadis itu mau minum obat yang dibuat oleh Nurseta, Sumirah mau tidur. Nurseta pernah mempelajari ilmu pengobatan dari mendiang Panembahan Sidik Danasura dan ternyata obatnya amat manjur. Sumirah dapat tidur pulas dan nampak tenang sekali. Setelah gadis itu tidur pulas, barulah Hok Yan keluar dari kamar dan bercakap-cakap dengan Wulansari dan Nurseta, mendengarkan cerita Bapak Kepala Dusun yang sudah datang berkunjung ke rumah ayahnya,
Dengan panjang lebar kepala dusun itu bercerita tentang malapetaka yang menimpa keluarga Sumirah ketika segerombolan perajurit Daha menyerbu dusun itu. Ayah ibu Sumirah, yaitu Ki Sardu dan isterinya, tewas oleh gerombolan itu dan Sumirah diculik seorang penjahat.
"Untung pada waktu itu andika datang membasmi gerombolan itu sehingga malapetaka tidak berlarut-larut." Lurah itu mengakhiri ceritanya sambil memandang Wulansari. "Akan tetapi, Ki Sardu dan isterinya sudah tewas, dan Sumirah dilarikan seorang penjahat yang berhasil lolos."
"Penjahat itu tentu Kabiso," kata Hok Yan "dahulu pernah dia dengan nekat menyerangku karena cemburu. Dia mencinta Sumirah dan ingin memperisteri Sumirah." Lalu Hok Yan memandang kepada Wulansari. "Kenapa engkau tidak mengejar dan menolong Sumirah, nona Wulan?"
Wulansari tersenyum. "Sudah kulakukan itu. Akan tetapi terlambat. Penjahat itu sudah menghilang ke dalam hutan dan aku tidak berhasil menemukan jejaknya. Karena aku sedang mempunyai urusan yang penting sekali, yaitu mencari dia ini, tunanganku kakangmas Nurseta ini maka terpaksa aku melanjutkan perjalananku dan tidak berhasil menolong Sumirah."
Nurseta tersenyum saja melihat calon isterinya memperkenalkan dirinya. Diam-diam'
diapun kagum kepada Lie Hok Yan, juga terharu melibat betapa cinta kasih pemuda Cina ini amat tulus terhadap Sumirah. Gadis itu sudah dalam keadaan demikian menjijikkan gila, kotor dan mendekatinya saja orang lain tentu jijik. Akan tetapi Lie Hok Yan ini jelas amat mengasihinya sehingga merawatnya seperti seorang anak kecil. Ketulusan cinta kasih itu mengharukan hatinya dan membuat dia merasa suka kepada Hok Yan.
"Kemudian, bagaimana kelanjutan ceritanya setelah Sumirah lenyap dilarikan penjahat itu, Bapak Lurah?" Lie Hok Yan bertanya dengan hati ingin tahu sekali. Dari ocehan Sumirah tadi dia mendengar betapa Sumirah mentertawakan Kabiso yang dikatakannya digantung terbalik dan disayat - sayat tubuhnya, disiksa. Siapa yang melakukan penyiksaan itu"
"Ia lenyap sampai tiga hari lamanya. Kamii sudah putus asa. Akan tetapi tiba-tiba saja ia muncul. Ketika mendengar bahwa ayah ibunya tewas, gadis yang malang itu tiba-tiba telah menjadi berubah ingatannya. Kami mencoba, untuk menghiburnya atau mengobatinya, akan tetapi tidak mau didekati siapapun juga. Kamii berusaha bertanya apa yang dialaminya selama ia diculik penjahat dan bagaimana ia dapat kembali ke dusun, namun ia hanya tertawa dan menangis, memaki-maki dan mentertawaan orang yang bernama Kabiso, menangisi ematian ayah ibunya dan memanggil-manggil nama........ Hok Yan begitu."
Hok Yan merasa terharu sekali. Dalam keadaan berubah ingatan seperti itu, Sumirah masih selalu ingat kepadanya! Sungguh besar cinta kasih gadis itu kepadanya dan dia harus bertanggung jawab. Dia harus melindungi kekasihnya itu, apapun yang telah terjadi atas diri tunangannya itu.
"Sudahlah," katanya lirih. "Apa yang sudah lewat, biarkan lewat. Sumirah tetap Sumirah yang dulu bagiku, tetap gadis satu-satunya di dunia ini yang kucinta. Ia tetap tunanganku dan aku akan segera menikahinya kalau ia sudah pulih kembali ingatan dan kesehatannya. Dan mulai saat ini, ia akan selalu berada dalam perlindunganku dan takkan pernah kutinggalkan lagi."
Nurseta memandang tajam dan kagum. Namun, dia masih belum yakin kalau belum mendengar sendiri pendapat pemuda Cina yang berjiwa satria itu. "Saudara Lie Hok Yan, maafkan pertanyaanku, akan tetapi aku terus terang saja tertarik sekali dan ingin mendengar sendiri pendapat dan pengakuanmu. Bolehkah aku mengajukan pertanyaan dan tidak akan tersinggungkah hatimu?"
Lie Hok Yan menatap wajah Nurseta dan dia tersenyum. "Aku mengenal baik nona Wulansari sebagai seorang pendekar wanita yang berhati keras namun berbudi mulia dan bijaksana. Kalau andika ini calon suaminya,, aku yakin bahwa andika juga seorang yang gagah perkasa yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan! Tanyalah, sobat. Ajukan pertanyaanmu dan aku tidak akan merasa tersinggung."
"Begini, Hok Yan. Karena engkau kawan baik tunanganku, biar kusebut engkau Hok Yan saja dan engkaupun boleh menyebutku Nurseta."
"Baik, dan terima kasih, Nurseta."
"Kita semua tadi mendengar bahwa Sumirah telah diculik penjahat dan baru pulang selama tiga hari. Bagaimana keadaan apa yang dialaminya selama tiga hari itu tidak seorangpun tahu."
"Tidak apa, Nurseta. Kalau ia sudah waras kembali tentu ia akan dapat menceritakan semua yang telah dialaminya itu." kata Hok Yan tenang
"Bukan itu maksudku, Hok Yan." kata Nurseta dan dia memandang kekasihnya. Wulansari tersenyum, agaknya tahu akan isi hati kekasihnya dan iapun mengangguk, seolah-olah memberi tanda setuju kalau Nurseta melanjutkan pertanyaannya. "Aku ingin mengetahui perasaanmu dan tanggapanmu andaikata kemudian engkau mendengar bahwa selama dalam tawanan gerombolan penjahat itu, ia telah....... diperkosa orang jahat. Andaikata demikian, lalu bagaimana tanggapanmu, Hok Yan" Apakah engkau masih tetap ingin memperisteri Sumirah?"
Wajah yang berkulit putih kuning itu seketika berubah merah sekali. Sepasang mata sipit itu mencorong ketika menyambar ke arah muka Nurseta, akan tetapi hanya sebentar karena muka itu menjadi biasa kembali, matanya juga bersinar lembut kembali.
"Untung bahwa tadi engkau telah berterus terang, dan juga untung bahwa aku telah mengenal siapa engkau, Nurseta. Kalau orang lain yang mengeluarkan pertanyaan itu, tentu hatiku tersinggung sekali dan aku merasa dihina. Nurseta, ketahuilah bahwa apapun yang telah, menimpa diri Sumirah, aku tetap mencintanya dan aku akan tetap menikahinya. Aku mencinta Sumirah, bukan hanya mencinta bubuhnya, juga mencinta hatinya, batinnya segalanya. Andaikata ia telah diperkosa orang, ia hanya kehilangan keperawanannya, dan aku bukan mencinta keperawanan, melainkan mencinta Sumirah! Pula, diperkosa berbeda dengan penyelewengan, Nurseta. Sungguh tidak adil dan dungu kalau menyalahkan seorang gadis yang diperkosa orang tanpa ia berdaya mempertahankan dirinya. Maafkan kalau aku bicara terus terang, nona Wulan I" Akan tetapi Wulansari hanya tersenyum, dan Nurseta bangkit lalu mengulurkan tangan mengajak Hok Yan bersalaman.
"Bagus! Engkau sungguh seorang jantan sejati, Hok Yan, dan aku senang sekali menjadi sahabatmu!" Mereka berjabat tangan dengan perasaan gembira dan akrab.
"Ada satu hal lagi, Hok Yan. Akupun ingin bicara terus terang saja seperti yang dilakukan kakangmas Nurseta, kuharap saja engkau tidak akan merasa canggung atau tersinggung."
Hok Yan kini tertawa gembira. "Bagus sekali! Senang bukan main bergaul dengan kalian orang-orang yang jujur dan terbuka, yang dapat menghargai kegagahan. Akupun paling tidak suka dengan sikap orang yang plintat-plintut, yang tidak mau berterus terang, hanya berani membuka mulut demi keuntungan pihak sendiri. Bicaralah, nona Wulan, aku siap mendengarkan yang paling tidak sedap sekalipun."
"Begini, Hok Yan. Terus terang saja, dalam perang antara Majapahit dan Kediri ini, kami berdua tidak ikut terlibat. Kami hanya melakukan perondaan untuk menentang terjadinya pengacauan yang dilakukan para penjahat. Untuk itu kami mempunyai alasan tersendiri. Akan tetapi, kami melihat sepak terjang bangsamu, para perajurit itu sungguh amat buas ganas dan kejam!"
Hok Yan tersenyum. "Memang tidak salah penglihatanmu itu, nona. Memang mereka itu amat buas, ganas dan kejam. Akan tetapi keliru kalau engkau mengatakan bahwa mereka itu bangsaku. Bahkan bangsaku sendiri, penduduk aseli di daratan Cina kini dijajah oleh bangsa itu, ialah Bangsa Mongol. Kalau aku sampai ikut ke sini menjadi perwira pasukan Mongol adalah karena aku terbawa oleh kakak seperguruanku yang menjadi panglima,, dan karena aku ingin meluaskan pengalaman."
"Ah, begitukah" Pantas engkau amat berbeda dengan mereka, Hok Yan. Maksudku, berbeda sikap dan kelakuan. Engkau pantas menjadi seorang pendekar dan satria, sedangkan, para perajurit itu rata - rata buas dan kejam sekali. Nah, karena melihat gelagat yang tidak baik ini, andaikata nanti timbul perang antara pasukan Mongol dan Majapahit, sudah pasti aku dan kakangmas Nurseta akan membantu Majapahit ! Dan kami kira engkau sudah seharusnya, sebagai seorang perwira, membantu pasukan Mongol, Hok Yan."
Kalau Nurseta dan Wulansari menduga bahwa Hok Yan akan merasa canggung mendengar kata kata itu, mereka salah duga. Hok Yan tersenyum tenang saja.
"Tidak, aku tidak akan membantu pasukan Mongol." katanya.
"Akan tetapi, itu adalah sikap yang sama sekali tidak baik, Hok Yan!" seru Nurseta penasaran. "Engkau seorang perajurit, bahkan seorang perwira, bagaimana mungkin engkau tidak membantu pasukanmu yang sedang berperang?"
"Jangan salah mengerti, Nurseta. Sejak aku berkenalan dengan Sumirah, aku langsung menemui kakak seperguruanku dan menyatakan keluar dari ketentaraan dan ingin menikah dengan Sumirah. Akan tetapi kakak seperguruanku melarang dan mengatakan bahwa tugasku belum selesai. Terpaksa aku menangguhkan dan setelah perang selesai, kakak seperguruanku memberi ijin itu. Kini aku bukan lagi anggauta pasukan Mongol, Nurseta. Aku telah bebas, menjadi orang biasa sehingga tidak ada salahnya kalau aku tidak lagi mencampuri perang yang dilakukan pasukan Mongol terhadap siapapun juga."
Nurseta dan Wulansari saling pandang dan mereka merasa kagum dan juga gembira sekali. Semalam itu mereka bercakap-cakap dengan akrab, dan pada keesokan harinya, Wulansari dan Nurseta berpamit. Mereka melanjutkan perjalanan melakukan perondaan untuk-menentang kejahatan.
Hok. Yan maklum bahwa selama Sumirah masih tinggal di Klintren, ia akan selalu teringat akan malapetaka itu dan akan memperlambat jalannya kesembuhan. Maka diapun segera mengajak gadis itu meninggalkan Klintren. Dia mengajak gadis itu ke lereng Gunung Bromo, tinggal di sebuah dusun yang sunyi dan sederhana. Di situ dia merawat dan mengobati Sumirah dengan daun-daun obat seperti yang diberikan Nurseta, dan lambat laun, pulih kembalilah ingatan Sumirah.
Perlahan-lahan Sumirah mulai dapat menceritakan pengalamannya ketika ia diculik oleh Kabiso. Betapa nyaris ia diperkosa Kabiso, akan tetapi tertolong oleh Bandupati, kepala perampok yang menyeramkan itu. Betapa kemudian diapun dipaksa menjadi isteri muda Bandupati, akan tetapi kembali ia lolos dari ancaman perkosaan ketika muncul Suminten isteri Bandupati yang galak dan ditakuti suaminya itu. Dan iapun selamat, kembali ke dusun, hanya untuk dipukul guncangan hebat dalam hatinya ketika mendengar bahwa ayah ibunya telah tewas oleh gerombolan orang Daha !
Hok Yan merasa bahagia dan gembira bukan main mendengar itu. Bukan karena dia.
mendapatkan Sumirah dalam keadaan belum ternoda, sama sekali tidak. Melainkan dia gembira karena dengan demikian, Sumirah tidak akan merasa rendah diri, tidak akan merasa kotor ternoda. Dengan gembira mereka bergandeng tangan menyongsong sinar matahari pagi yang amat cerah dari kehidupan mereka. Kalau dua buah hati sudah saling mencinta, cinta yang tulus, bukan sekedar pengumbaran nafsu berahi, maka tidak ada lagi yang perlu ditakutkan I Tuhan akan selalu memberkahi dan melindungi orang-orang yang disinari cinta kasih.
-ooodwooo- Walaupun mereka percaya akan niat baik Raden Wijaya yang mengundang para pimpinan pasukan untuk berpesta di istana, namun tiga orang panglima perang itu hanya mengirimkan semua perwira saja sebagai utusan mereka untuk berpesta dan menjemput para puteri Kediri yang dijanjikan kepada mereka, untuk dipersembahkan kepada Kaisar Kubilai Khan. She Pai, Kau Seng, dan Ji Kauw Mosu menganggap diri mereka sebagai utusan-utusan kaisar, yang berarti mewakili kaisar sendiri. Oleh karena itu, sungguh tidak pada tempat-nya kalau mereka harus menghadiri pesta dengan menanggalkan senjata. Bagi mereka, senjata pedang yang selalu mereka bawa adalah tanda Kekuasaan mereka dan mereka memperolehnya dari kaisar. Kalau mereka menanggalkan pedang mereka sebelum memasuki istana, berarti mereka menanggalkan kekuasaan mereka ! Akan tetapi untuk menolak begitu saja merekapun merasa tidak enak. Maka, tiga orang panglima itu mengambil jalan tengah. Mereka mengirim para perwira yang jumlahnya antara tigaratus orang untuk mewakili mereka.
Di benteng Ujung Galuh sendiri, para perajurit berpesta pora karena Arya Wiraraja atas nama Raden Wijaya telah mengirim banyak sekali babi, ayam dan lembu, juga minuman keras. Mereka makan minum sepuas hati mereka. Dan selagi para perajurit dalam benteng itu berpesta pora, Sang Prabu Jayakatwang yang sejak ditawan dalam benteng itu menderita sakit dan setiap hari hanya menulis atau menggubah kakawih yang diberi judul Wukir Polaman, meninggal dalam keadaan sengsara. Srorang raja besar yang berambisi besar pula meninggal dunia sebagai tawanan, tanpa diantar ratap tangis sanak keluarga, bahkan diantar sorak sorai dan tawa gembira dari mereka yang sedang berpesta dan yang suaranya sampai ke tempat tahanan itu dengan bisingnya.
Kehidupan jasmani dengan segala macam susah1 senangnya ini tiada kekal adanya. Senang susah hanyalah akibat permainan nafsu, seperti sebarisan awan tipis, berarak d' angkasa, hanya selewat saja. Yang satu datang dan lewat, di-susul yang lain.
Adalah menjadi hak mutlak kita manusia untuk menikmati kehidupan ini. Memang sudah dikodratkan oleh Yang Maha Kasih bahwa kita dapardan berhak menikmati kesenangan dan untuk itu kita sudah diperlengkapi dengan sempurna. Tubuh kita sudah diberi pelengkap yang sempurna sejak lahir, ada panca-indra, peraba dan perasa, mata uniuk menikmati penglihatan indah, hidung untuk menikmati penciuman yang sedap, telinga untuk menikmati pendengaran yang merdu, mulut untuk menikmati makanan dan minuman yang Iezat dan selanjutnya. Dengan kenyataan bahwa semua itu kita lakukan dengan penuh kesadaran bahwa segala macam bentuk kesenangan hanyalah selewat saja, tidak kekal. Hanya merupakan pelengkap kehidupan, merupakan anugerah dan kasih sayang Tuhan kepada kita. Namun, kalau saoipai kesenangan itu melekat dan menguasai kita, maka tidak lucu lagi akibatnya. Segala mseim bentuk perbuatan yang jahat, merugikan orang iain maupun diri sendiri, bermunculan untuk mengejar dan mempertahankan kesenangan yang hanya selewat sifatnya itu. Dan karena kita terbelenggu, terikat dan kesenangan itu sudah mengakar di dalam batin, maka setiap kali terjadi perpisahan dengan kesenangan itu, timbullah duka. Pada hal, tak mungkin dapat dihindarkan lagi, perpisahan akan datang setiap saat! Kalau bukan kita yang ditinggalkan, maka tentu kita yang meninggalkan semua kesenangan duniawi itu. Harta kekayaan, nama besar, pangkat dan kedudukan mulia, dan semua kesenangan yang didatang kannya melalui panca indra, semua itu akan lenyap atau kita tinggalkan setelah maut datang menjemput.
Sekali lagi. Kita berhak menikmati kesenangan. Namun, itu hanya merupakan perlengkapan hidup, merupakan permainan kita, merupakan suatu hal yang selewat dan sementara saja. Jangan sampai kita yang dibelenggu dan menjadi permainan kesenangan, diperhamba nafsu dan melakukan perbuatan yang jahat hanya untuk mengejar kesenangan yang sesungguhnya hanya awan tipis yang lewat, atau gelembung sabun yang indah namun sebentar saja akan meletus dan lenyap.
Sementara itu, tigaratus orang perwira utusan para panglima pasukan Mongol, diterima dengan penuh kehormatan dan keramahan di istana Kediri. Dengan hormat mereka dipersilakan menanggalkan dan menitipkan
semua senjata mereka, sebagian besar pedang, di tempat penjagaan di luar istana, dan mereka memasuki istana tanpa membawa sepotong-pun senjata. Dari jauh mereka sudah disambut suara gamelan dan nyanyian merdu.
Ruangan pesta itupun dirias dengan indah. Jendela-jendela ruangan itu dibuka semua dan dari luar masuklah keharuman bunga semerbak, dan hidangan yang mengepulkan uap yang sedap menantang selera segera dihidangkan, bersama arak yang keras dan sedap. Pestapun dimulai dan para penari cantik itu sambil menari-nari bertugas pula untuk menjaga agar cawan arak di depan setiap orang tamu tidak pernah kosongi Dengan penuh kegembiraan karena pihak tuan rumah demikian ramahnya, para tamu yang terdiri dari perwira-perwira Mongol itu makan minum sepuasnya tanpa menaruh sedikitpun kecurigaan.
Menjelang tengah malam, semua tamu itu telah berada dalam keadaan setengah mabok, bahkan ada yang sudah mabok benar. Tanpa mereka sadari, seorang demi seorang para penari dan penyanyi meninggalkan ruangan itu dan mendadak, dari luar jendela-jendela vang terbuka, meluncurlah anak panah yang menyerang bagaikan air hujan. Beberapa orang perwira Mongol terkena anak panah dan terjungkal, Teriakan-teriakan terdengar dan suasana menjadi panik. Para perwira itu berloncatan dan pada saat itu, daii pintu yang terbuka lebar menyerbulah para senopati dan perajurit Majapahit dengan keris terhunus!
Terjadilah pembantaian! Para perwira Mongol itu adalah orang-orang yang tangguh dan sudah biasa bertempur. Akan tetapi, pada waktu itu, mereka sama sekali tidak mempunyai senjata, dalam keadaan mabok atau setengah mabok dan diserang secara mendadak pula. Tentu saja mereka kewalahan dan hanya beberapa orang di antara mereka yang berilmu tinggi saja dapat meloloskan diri, melarikan diri keluar dari istana dan menuju ke benteng mereka di Ujung Galuh.
Akan tetapi apa yang mereka dapatkan di benteng itu " Sebuah pertempuran hebat! Kiranya para perajurit dalam benteng itupun mengalami nasib yang sama. Menjelang tengah malam, ketika mereka semua sudah banyak minum arak dan mabok - mabokan, tiba-tiba saja datang pasukan Majapahit dan Madura yang menyerbu ! Terjadilah pertempuran hebat dan kacau, tentu saja kacau di pihak pasukan Mongol. Mereka melakukan perlawanan sedapatnya. Para perwira, yaitu sisa mereka yang dibantai di istana, menggabungkan diri dengan pasukan mereka. Mereka melakukan perlawanan sampai pagi. Akan tetapi, banyak berjatuhan korban di antara pasukan yang mabok itu.
Pasukan Mongol berada dalam keadaan yang payah. Mereka baru saja berhenti berperang melawan Daha di mana mereka kehilangan banyak perajurit yang gugur sehingga jumlah mereka berkurang. Belum lagi para perajurit yang tewas karena diserang penyakit setiba mereka di Pulau Jawa. Dan malam itu mereka yang masih kelelahan berada dalam keadaan mabok, lalu diserang dengan tiba-tiba. Tentu saja mereka menjadi panik dan kacau.
Perang yang terjadi selanjutnya antara pasukan Mongol dan gabungan pasukan Majapahit dan Madura itu tidak berlangsung lama. Rakyat yang membenci pasukan Mongol karena ulah mereka yang ganas dan kejam selama ini, bangkit dan membantu Majapahit. Setelah bertahan mati - matian selama beberapa hari, akhirnya pasukan Mongol terpaksa harus mengundurkan diri ke perahu - perahu mereka.
Dengan membawa beberapa orang tawanan dari Kediri sebagai bukti hasil kemenangan mereka melawan Kediri, dan sisa pasukan yang sudah banyak berkurang, akhirnya para panglima Mongol itu membawa pasukan mereka berlayar untuk pulang ke negeri asal mereka jauh di utara.
Setelah pasukan Mongol itu mengangkat jangkar dan berlayar meninggalkan pantai utara Pulau Jawa, padamlah api peperangan yang melanda Singosari dan Daha secara berturut-turut itu. Dan mulailah rakyat membangun kembali yang dirusakkan perang, sedikit demi sedikit karena membangun tidaklah semudah merusak! Sesuatu yang dibangun selama bertahun-tahun, dapat dirusakkan dalam waktu sehari saja ! Demikian pula dengan membangun isi kehidupan ini. Bersusah payah membangun dengan perbuatan-perbuatan yang wajar dan baik dapat menjadi rusak oleh suatu perbuatan jahat yang dilakukan satu kali saja . Nama baik yang dibangun melalui seribu perbuatan benar menjadi rusak hanya karena satu perbuatan yang salah.
Dan muncullah sebuah kerajaan baru yang kelak akan menjadi sebuah kerajaan yang besar dan jaya, yaitu Kerajaan Majapahit! Bukan merupakan kelanjutan atau pembangkitan kembali Kerajaan Singosari atau Daha, melainkan sebuah kerajaan baru dan raja pertamanya adalah Raden Wijaya yang bergelar Sri Maharaja Kertarajasa Jayawardana, raja pertama dari Kerajaan Majapahit. Dan raja yang bijaksana ini tidak melupakan para senopati dan ponggawa yang telah berjasa membantunya selama ini. Dia membagi-bagikan pangkat dan kedudukan tinggi sehingga semua orang menjadi gembira.
Bagaimana dengan Nurseta dan Wulansari " Mereka berdua ikut membantu ketika Majapahit menghalau pasukan Mongol. Setelah perang selesai, mereka melangsungkan pernikahan, dirayakan oleh Senopati Ki Medang Dangdi ayah Wulansari dengan meriah sekali. Akan tetap. Nurseta tetap tidak mau menerima pangkat dan dia bahkan mengajak isterinya untuk tinggal di lereng Gunung Anjasmoro, menjadi seorang petani yang hidup tenteram dan penuh damai.
Juga Lie Hok.Yan hidup berbahagia dengan isterinya, Sumirah. Mereka memilih hidup di pantai utara dekat lautan, di mana Hok Yan dapat mempergunakan keahliannya sebagai seorang nelayan. Apa lagi di sekitar pantai utara terdapat banyak sudah orang Cina yana tinggal sebagai nelayan dan pedagang.
Demikianlah, kisah "Sejengkal Tanah Sepercik Darah" ini selesai sampai di sini dengan harapan pengarang semoga ada manfaatnya bagi para pembaca. Pengarang selalu tetap yakin bahwa hanya dengan penyerahan penuh keikhlasan dan kcawakalan kepada Tuhan Yang Maha Kasih sajalah maka kita akan dapat terlepas dan pada cengkeraman dan permainan nafsu kita sendiri ! Hanya kekuasaan Tuhan yang mampu menjinakkan nafsu. Melalui penyerahan diri, kekuasaan .Tuhan akan selalu membimbing kita sehingga setiap gerak langkah kita terbimbing, dan kalau nafsu sudah tidak lagi memperhamba kita, maka kasih sayang akan memancarkan cahayanya dan apapun yang kita lakukan adalah benar dan baik. Semoga, amin.
TAMAT
Ketika mereka memasuki daerah Singosari untuk melakukan perondaan di sana, Wulansari teringat akan Sumirah. Ia mengajak Nurseta untuk berkunjung ke dusun Klintren, selain untuk meronda di sana, juga untuk menengok keadaan Sumirah dan orang tuanya, yaitu Lurah Kalasan yang mengungsi di dusun Klintren. Murseta menyetujui dan pergilah mereka menuju dusun itu.
-oo0dw0oo- Lie Hok Yan mendengar akan keganasan pasukan Mongol, bahkan melihat sendiri akibat keganasan itu di beberapa buah dusun yang dilewati pasukan itu ketika dia melakukan perjalanan mencari Sumirah. Diam-diam dia merasa penasaran dan berduka, dan teringat dia akan keadaan di negerinya sendiri. Banyak sudah dia mendengar dari orang - orang tua di negerinya betapa ketika pasukan Mongol dahulu menyerbu ke selatan, rakyat di negerinya juga menderita hebat karena keganasan orang Mongol. Tadinya, cerita itu hanya seperti dongeng saja baginya. Akan tetapi kini dia menyaksikannya sendiri dan hatinya memberontak. Diam - diam dia menyesal mengapa dia ikut membantu pasukan itu karena terbujuk suhengya. Akan tetapi kalau dia teringat bahwa kini dia telah keluar dari pasukan, telah bebas dari ikatannya dengan pasukan Mongol, hatinya girang sekali. Apa lagi membayangkan Sumirah yang akan menyambutnya dengan penuh kebahagiaan dan kasih sayangi Dengan penuh semangat Hok Yan melanjutkan perjalanannya mencari kekasihnya.
Dia maklum bahwa kalau dia mengenakan pakaian sebagai perwira Mongol, keadaannya berbahaya sekali. Pula, dia merasa malu memakai pakaian perwira Mongol. Kini dia bukan perwira Mongol, melainkan seorang yang bebas. Untuk mempermudah perjalanannya, dia-pun mengenakan pakaian yang biasa dipakai seorang laki - laki pribumi yang umum. Tidak banyak perbedaan antara dia dan pemuda pribumi, kecuali matanya yang sipit. Akan tetapi pakaian itu membuat perbedaan pada matanya itu tidak terlalu menyolok. Biarpun lidahnya masih amat sukar untuk menyebut suara "r", selalu diucapkan "I", namun dia sudah menguasai Bahasa Jawa cukup baik sehingga dia dapat bertanya-tanya kepada orang di jalan di mana adanya dusun Klintren.
Akhirnya, setelah melakukan perjalanan yang tidak mengenal lelah hampir dapat dikata siang malam karena terdorong kerinduan hatinya untuk dapat cepat bertemu dengan kekasihnya, pada suatu siang dia tiba di dusun Klintren. Matahari telah mulai condong ke barat, tengahari sudah lama lewat dan sinar matahari tidak begitu menyengat lagi, walaupun panas masih memanggang bumi.
Dengan jantung berdebar tegang, hati dipenuhi harapan, Hok Yan memasuki dusun yang nampak sunyi itu. Dia melihat seorang laki-laki tua berjalan terbongkok - bongkok dari depan. Hatinya girang dan dengan berdebar tegang dia menghampiri kakek itu.
"Paman, selamat sore, paman." kata Hok Yan denpan sikap hormat.
Kakek itu berhenti melangkah, mengangkat muka memandang dan sinar matanya penuh keheranan dan selidik. Kalau saja pada saat itu Hok Yan mengenakan pakaian perwira Mongol, tentu kakek itu tanpa ragu-ragu lagi akan menggigil ketakutan atau lari terbirit-birit. Akan tetapi pakaian dan sikap Hok Yan membuat dia bingung dan heran, juga ragu-ragu.
"Selamat sore, siapakah andika dan ada apakah.......?" Ujarnya dengan mata tetap memandang penuh selidik dan dahi berkerut.
"Maafkan kalau saya mengganggu, paman. Saya hanya ingin bertanya di mana rumah Sumilah........"
Kakek itu semakin tertarik. Pemuda tinggi, tegap ini bicara dengan sikap sopan sekali, akan tetapi suaranya pelo
"Sumilah...... ?"
Hok Yan maklum akan ketidakjelasan lidahnya menyebutkan nama kekasihnya itu. Betapa seringnya dia melamunkan hal itu, teringat ketika Surairah mentertawakannya karena dia keliru menyebutkan nama gadis itu. Maka diapun berusaha keras, seperti yang sering dilatihnya seorang diri kalau teringat akan kepeloannya, dan menyebutkan nama gadis itu, memberi tekanan kepada suara " r " agar
orang tua itu menjadi jelas. "Sumi........ rah, paman." Bukan main sukarnya menggetarkan ujung lidah untuk mengeluarkan bunyi "r" itu walaupun untuk itu dia sudah seringkali berlatih !
"Ooo, Sumirah " Nanti dulu....... Sumirah...... ' Petani tua itu mengingat-ingat.
"Anu, paman, puterinya Ki Saldu....... eh ...... Sardu....... du."
Kini kakek itu terbelalak. "Ah, kiranya Sumirah piteri Ki Sardu itu yang kautanyakan" Kisanak, siapakah andika dan apa hubunganmu dengan keluarga itu?"
Dengan hati girang karena ternyata kakek ini mengenal keluarga Sumirah,. Hok Yan segera menjawab, "Mohon kebaikan hatimu, paman. Di manakah mereka tinggal" Saya adalah seorang...... sahabat baik keluarga itu. Saya..... saya ingin sekali melihat mereka dalam keadaan selamat setelah adanya geger ini........, katakanlah, paman yang baik. Di mana mereka?"
Melihat gairah orang muda itu menanyakan keadaan keluarga Ki Sardu, kakek itu merasa kasihan sekali. Dia menarik napas panjang beberapa kali, kemudian dengan pandang mata penuh iba dia berkata, "Mari kita bicara di biwah pohon itu. ki-sanak."
Wajah Hok Yan berubah pucat dan hatinya seperti ditusuk. Dia merasa sesuatu yang amat tidak enak. Tanpa dapat mengeluarkan kata-kata diapun mengikuti kakek itu duduk di atas batu di bawah pohon asam di tepi jalan.
"Ada .... ada apakah, paman.......?" Akhirnya dia dapat bertanya dengan jantung berdebar tegang.
Kakek itu menghela napas dan menggeleng-geleng kepalanya. "Ketahuilah, ki-sanak. Dusun Klintren ini dilanda malapetaka ketika terjadi perang."
"Apa yang terjadi, paman " Bagimana dengan Sumilah dan keluarganya?" Dia sudah tidak perduli lagi akan kepeloannya ketika menyebut nama kekasihnya. Suaranya bahkan gemetar penuh kekhawatiran.
"Pada suatu malam, segerombolan perajurit Daha datang mengganas di dusun ini. Beberapa orang tewas di tangan gerombolan itu, termasuk....... Ki Sardu dan isterinya "
"Ahhhh........!" Sepasang mata yang sipit itu terbuka lebar. "Dan bagaimana dengan Sumilah?" tanyanya hampir berteriak.
"Sumirah........ ia dilarikan gerombolan, diculik pergi dari dusun ini........"
Hok Yan meloncat berdiri, demikian cepatnya sehingga kakek itu terkejut.
"Paman........ paman yang baik........ katakan, lalu bagaimana nasib Sumilah " Ah,
katakanlah, paman......." Suara Hok Yan kini benar-benar menggigil karena dia sudah membayangkan hal yang amat buruk, malapetaka yang menimpa diri kekasihnya. Bahkan ayah ibu Sumirah telah tewas I
Melihat kakek itu tidak mampu menjawab, Hok Yan menabahkan hatinya bertanya, "Paman, apakah la........ sudah....... mati pula?"
Sikap Hok Yan itu mengusir semua .'keraguan di hati kakek petani itu. Kalau orang jabat, tidak mungkin bersikap seperti pemuda bermata sipit in', pikirnya. Jelas bahwa pemuda ini kelihatan terkejut dan bersedih sekali mendengar akan malapetaka yang menimpa keluarga Ki Sardu.
"Ia tidak mati, orang muda. Tapi........ tapi ia......."
Hok Yan memegang lengan kakek itu. Hampir saja dia lupa dan karena dia menatap: wajah kakek itu, baru dia tabu bahwa kakek itu menyeringai kesakitan, maka dia melepaskan cengkeramannya. "Paman yang baik........ tapi mengapa" Di mana ia .......?"
"Orang muda, engkau lihatlah sendiri. Ia berada di tanah kuburan, di sebelah barat dusun ini, di luar dusun. Tengoklah ke sana...."
Hok Yan sudah meloncat hendak pergi. "Nanti dulu, orang muda. Katakan dulu siapa andika!" Orang tua itu berseru.
"Nama saya Hok Yan paman I" kata Hok Yan tanpa menengok lagi dan dia sudah berlari menuju ke luar dusun sebelah barat.
Petani tua itu termangu-mangu. "Hok Yan......." Hok........ wah, kalau begitu dia
orang Cina Tar-tar?" Dan terbongkok-bongkok kakek ini bergegas pulang ke rumahnya.
Sementara Itu, dengan hati yang tidak karuan rasanya, Hok Yan keluar dari dusun itu dan berlari ke arah barat, Mudah saja mencari tanah kuburan itu. Tanah kuburan di dekat tegal rumput dan ada sungai kecil mengalir di situ. Mudah dikenal karena banyaknya pohon kamboja tumbuh dan ditanam orang di tempat itu.
Ketika dia tiba di luar tanah kuburan, dia melibat belasan ekor kerbau sedang makan rumput dan terdengar suara beberapa orang anak penggembala berteriak - teriak dan tertawa-tawa, datangnya suara dari dalam pekarangan kuburan itu.
"Kabiso! Kabiso! Ha-ha-ha, Kabiso!" Terdengar suara kanak - kanak itu berteriak dan tertawa-tawa. Tiba-tiba terdengar suara wanita, melengking tinggi.
"Hi bi-hi hik! Ha-ha-ha! Kabiso! Mampus kamu, Kabiso, digantung dan disayat-sayat! Ha-ha-ha, puas hatiku, kamu mampus tersiksa, Kabiso. Hi hi-hi-hik!" Menyeramkan sekali suara itu, bahkan Hok Yan sendiri yang berhati tabah merasa betapa bulu tengkuknya meremang mendengar teriakan diseling suara ketawa ini. Akan tetapi agaknya anak-anak penggembala kerbau itu sudah terbiasa dan mereka tidak merasa takut lagi. Kini anak-anak itu berteriak dan sekali ini Hok Yan menjadi pucat.
"Hoyan-Hoyan-Hoyan .......! Di mana engkau, Hoyan........"' Anak - anak jitu berteriak-teriak dan kembali terdengar suara wanita itu, kini tidak lagi melengking nyaring penuh kegembiraan, melainkan bercampur tangis.
"Hok Yan........ uhu-hu-huuuuhbh....... aih, Hok Yan........ di mana engkau, Hok Yan........
Uhu-huuuuuhh....... kembalilah, Hok Yan........ ayah dan ibu........ uhu-huuuuh, mereka sudah tewas....... Hok Yan........ Hok....... Yaaaaannn ........!" Dan suara wanita itupun menangis tersedu-sedu.
Menggigil kedua kaki Hok Yan. Kini dia tidak ragu lagi. "Sumilah......!" bisiknya dan,
diapun lari ke dalam pekarangan kuburan itu dan apa yang dilihatnya membuat dia seperti berubah menjadi arca hanya terbelalak memandang ke depan.
Seorang wanita, dengan rambut riap riapan, pakaian lusuh, kotor dan kusut, compang camping seperti jembel terlantar, beriutut di depan dua pundukan tanah kuburan, menangis dan tersedu-sedu. Empat orang anak berusia kurung lebih tujuh tahun memperolok-oloknya. Agaknya anak-anak itu sudah terbiasa dengan pemandangan ini, maka mereka dapat menirukan ulah dan suara wanita itu dan memancing untuk menggodanya.
Setelah dapat menenangkan hatinya yang mengalami guncangan hebat, Hok Yan lalu meloncat ke dekat anak-anak itu dan membentak, "Anak-anak nakal! Hayo kalian pergi, kalau tidak tentu akan kupukul kalian!"
Empat orang acak - anak itu terkejut setengah mati ketika tiba-tiba saja muncul seorang laki-laki yang tidak, mereka kenal, dan mendengar bentakan Itu, mereka lalu melarikan diri tunggang langgang dan cepat menggiring kerbau mereka meninggalkan tempat itu.
Hok Yan melangkah menghampiri wanita yang masih berlutut sambiI menangis itu. Dia masih meragu. Benarkah ini Sumirah" Gadis jelita kekasihnya itu" Tunangannya itu" Benarkah perempuan yang menjijikkan karena kotor dan gila ini calon isterinya"
"Sum........ Sumilah........I" dia memanggil lirih, suaranya gemetar.
Wanita itu tiba-tiba berhenti menangis, lalu mengangkat mukanya memandang laki - laki yang menghampirinya itu. Mereka saling pandang dan Hok Yan merasa jantungnya seperti disayat pedang beracun. Wajah itu masih ada bekas kecantikannya, akan tetapi sekarang nampak kotor berlepotan lumpur, mulut itu menyeringai setengah tertawa setengah menangis, sepasang mata itu agak kemerahan, sebagian muka tertutup rambut yang kotor dan gimbal. Seluruh tubuh itu kotor dan pakaiannya menjijikkan. Agaknya wanita ini tak pernah berganti pakaian, tak pernah mandi dan tulang tulangnya menonjol di balik kulit yang kotor.
"Sumilah.......!" Hok Yan tidak ragu lagi sekarang.
"Hok Yan......." Hok....... Hok Yan,......?"
Bibir itu koma kamit, lalu wanita itu menjerit,, "Hok Yan........!!"
"Sumilah! Aih, Sumilah...... kekasihku.....!"
Hok Yan menjatuhkan diri berlutut di depan wanita itu dan merangkulnya.
"Hok Yan ......" Apakah mungkin........kau .......... kau benar Hok Yan ........ " Kau.......
kau benar datang.......?" Mata yang kemerahan itu penuh air mata berderai dan sejenak pandang mata itu waras.
"Sumilah, ini benar aku. Hok Yan.......i Ah, Sumilah, mengapa engkau sampai begini......." Hok Yan mendekap dengan hati penuh haru dan iba.
"Hok Yan! Engkau benar Hok Yan........ ah, engkau benar Hok Yan!" Wanita itu kini memandang dengan wajah berseri, lalu iapun merangkul pemuda itu dan menangis, mengguguk di dada Hok Yan. Hok Yan merangkulnya dan mencium bau yang apak dan tidak enak. Keadaan kekasihnya itu seperti binatang saja, bahkan lebih kotor lagi !
Tiba - tiba Sumirah tertawa. "Ha-ha-hi-hi-hik, Kabiso! Kamu mampus tersiksa ! Ha ha........"
"Sumilah, ingatlah........!" Hok Yan menghiburnya.
"Hok Yan" Hik-hik, tahukah engkau, Hok Yan "Kabiso disiksa, tubuhnya digantung jungkir balik, disayat sayat penuh darah.....hi-hik !" Dan tiba-tiba gadis itupun menangis lagi. "Hok Yan, ayah dan ibu ....... merekamati....... mati....... hu - hu - huuhh......."
Pada saat itu terdengar suara ribut - ribut. .
"Itu dia I Tangkap Cina Tartar itu!"
"Lihat, dia menangkap Sumirah!"
"Cegah dia ! Bunuh dia I"
Hok Yan terkejut dan menengok. Ternyata ada puluhan orang penduduk dusun Klintren yang membawa senjata seadanya, linggis cangkul alu keris dan sebagainya, berbondong memasuki pekarangan kuburan itu dan 'mengepungnya!
Hok Yan maklum bahwa penjelasan tidak ada gunanya. Yang penting, Sumirah harus diselamatkan dan dibawa pergi dari tempat ini untuk diobati. Akan tetapi, dalam keadaan seperti gila itu, Sumirah dapat menjadi pengganggu, maka diapun cepat menggerakkan tangan menotok tengkuk gadis itu. Sumirah mengeluh dan terkulai lemas, pingsan. Hok Yan cepat memanggul tubuh gadis yang sudah pingsan itu. Melihat ini para penduduk dusun itu menjadi semakin marah, yakin bahwa Cina Tartar itu "tentu seorang perajurit Mongol yang ganas dan jahat, dan jelas hendak menculik Sumirah yang gila. Mereka berteriak - teriak dan menerjang Hok Yan dengari serangan senjata mereka yang bermacam-macam itu. Hok Yan dikepung dan dikeroyok. Pemuda ini hanya khawatir kalau sampai tubuh kekasihnya terkena senjata tajam, maka diapun terpaksa menangkis dan merobohkan para pengeroyoknya dengan tendangan atau dorongan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya memanggul tubuh Sumirah. Dia tahu bahwa orang - orang dusun ini salah sangka. Mereka bukan orang jahat, bahkan bermaksud menolong Sumirah yang mereka kira akan diculik. Oleh karena itu, Hok Yang membatasi tenaganya dan hanya merobohkan mereka untuk mencari jalan keluar, bukan bermaksud melukai mereka, apa lagi membunuh.
Sementara itu, Nurseta dan Wulansari kebetulan tiba di dusun Klintren pada sore hari itu.. Ketika mereka melihat orang-orang dusun berlarian sambil membawa alat senjata, mereka terkejut dan bertanya - tanya apa yang sedang terjadi.
"Apakah ada perampok mengganggu dusun ?" tanya Nurseta. "Kalau demikian halnya, kami akan membantu kalian !"
"Bukan perampok ! Lebih berbahaya lagi Ada seorang Cina Tar-tar mengamuk dan hendak menculik seorang gadis 1" kata seorang di antara mereka sambil lari.
Mendengar ini, Nurseta dan Wulansari tidak banyak bertanya lagi dan merekapun lari cepat menuju ke kuburan di sebelah barat luar dusun itu. Dan ketika mereka tiba di sana, benar saja mereka melihat seorang laki-laki yang memanggul tubuh seorang gadis yang agaknya pingsan, dikepung dan dikeroyok oleh banyak orang dusun. Dan melihat gerakannya, jelas bahwa orang itu amat gesit dan kuat. Melihat ini, Wulansari menjadi marah.
"Hemm, hanya seorang pengacau. Biar aku yang menangkapnya !" Dan lapun meloncat ke medan perkelahian sambil berteriak, "Saudara sekalian mundurlah ! Aku yang akan menangkapnya !" Ia menyuruh para pengeroyok mundur, bukan hanya karena ia sungkan untuk mengeroyok orang, akan tetapi terutama sekali ia tidak ingin melihat penduduk ada yang terluka atau tewas, juga ia mengkhatirkan gadis yang dipanggul oleh pengacau itu, kalau-kalau terkena bacokan senjata tajam. Mendengar teriakan Wulansari, para pengeroyok yang memang sudah gentar melihat ketangguhan orang yang hendak menculik Sumirah itu, segera berloncatan mundur,
"Lepaskan gadis itu!" bentak Wulansari dan tubuhnya menerjang ke depan, tangan kiri mencengkeram ke arah kepala Hok Yan, tangan kanan hendak merampas tubuh Sumirah yang dipanggul pemuda itu.
Melihat serangan yang mendatangkan angin pukulan dahsyat itu, Hok Yan terkejut. Cepat dia mengelak ke belakang dan tangan kanannya digerakkan menangkis serangan ke arah kepalanya.
"Dukkk!" Keduanya terkejut dan melompat ke belakang ketika merasakan getaran hebat pada lengan mereka karena pertemuan tenaga sakti itu.
"Nona Wulan......! Nona Wulansari .......!"
Hok Yan berseru girang bukan main sehingga lidahnya tidak keseleo ketika menyebut Wulansari, bukan Wulansali
"Lle Hok Yan! Kau......." Tapi........ tapi kenapa engkau hendak menculik.......?"
"Nona Wulan, ini adalah Sumirah, tunanganku! Aku datang mengunjunginya, dan ia......
ia.......ah, sengsara sekali........"
Nurseta juga melompat dekat. Melihat betapa Wulansari mengenal pemuda bermata sipit itu, diapun terheran.
Kini Wulansari mendekat untuk melihat keadaan Sumirah. "Ini........ini........ Sumirah"
Ihh. apa yang telah terjadi dengannya?"
"Panjang ceritanya, nona Wulan. Mari kita pergi dari sini. Aku harus merawat Sumilah dulu......."
Wulansari lalu berpaling kepada para penduduk dusun yang memandang dengan heran,, lalu terdengar ia berkata lantang, "Saudara-saudara semua telah salah sangka! Pemuda ini bernama Lie Hok Yan, dan dia bukan penjahat. Dia adalah tunangan Sumirah, calon mantu paman Sardu. Di mana paman Sardu dan isterinya?"
Seorang petani tua melangkah maju. "Aku. pernah mendengar keterangan mendiang Ki Sardu tentang calon mantunya itu. Marilah, orang - orang muda perkasa, mari ke rumah kami dan kita rawat Sumirah di sana. Kasihan anak itu......"
Dengan berterima kasih sekali Hok Yan lalu memondong tubuh Sumirah dan diikuti oleh Wulansari dan Nurseta, mereka beramai-ramai kembali ke dalam dusun dan kakek itu mengajak mereka ke rumahnya. Rumah yang cukup besar karena kakek ini adalah ayah dari lurah Klintren.
Dengan penuh kasih sayang, Hok Yan memandikan Sumirah setelah membebaskan totokan pada tubuh tunangannya itu, Setelah ada Hok Yan, Sumirah kini menjadi jinak. Biasanya, ia tidak mau didekati siapapun, apa lagi dimandikan. Orang-orang dusun yang kasihan kepadanya tidak dapat berbuat apa-apa kecuali mendiamkan gadis itu yang siang malam berada di kuburan, dan setiap hari saja dua kali mereka mengirim makanan untuk gadis itu.
Wulansari menyerahkan beberapa potong pakaian untuk Sumirah. Tanpa ragu, tanpa jijik, bahkan dengan penuh kasih sayang, Hok Yan memandikan gadis itu seperti memandikan seorang anak kecil. Setelah Sumirah mengenakan pakaian bersih, dengan manja iapun duduk di atas pangkuan Hok Yan yang menyisiri rambutnya yang tadi dikeramasinya sampai bersih.
Bahkan kini Sumirah mau makan malam bersama Hok Yan, Wulansari dan Nurseta dan mulailah ia nampak pandai membawa diri. Setelah dibujuk oleh Hok Yan sehingga gadis itu mau minum obat yang dibuat oleh Nurseta, Sumirah mau tidur. Nurseta pernah mempelajari ilmu pengobatan dari mendiang Panembahan Sidik Danasura dan ternyata obatnya amat manjur. Sumirah dapat tidur pulas dan nampak tenang sekali. Setelah gadis itu tidur pulas, barulah Hok Yan keluar dari kamar dan bercakap-cakap dengan Wulansari dan Nurseta, mendengarkan cerita Bapak Kepala Dusun yang sudah datang berkunjung ke rumah ayahnya,
Dengan panjang lebar kepala dusun itu bercerita tentang malapetaka yang menimpa keluarga Sumirah ketika segerombolan perajurit Daha menyerbu dusun itu. Ayah ibu Sumirah, yaitu Ki Sardu dan isterinya, tewas oleh gerombolan itu dan Sumirah diculik seorang penjahat.
"Untung pada waktu itu andika datang membasmi gerombolan itu sehingga malapetaka tidak berlarut-larut." Lurah itu mengakhiri ceritanya sambil memandang Wulansari. "Akan tetapi, Ki Sardu dan isterinya sudah tewas, dan Sumirah dilarikan seorang penjahat yang berhasil lolos."
"Penjahat itu tentu Kabiso," kata Hok Yan "dahulu pernah dia dengan nekat menyerangku karena cemburu. Dia mencinta Sumirah dan ingin memperisteri Sumirah." Lalu Hok Yan memandang kepada Wulansari. "Kenapa engkau tidak mengejar dan menolong Sumirah, nona Wulan?"
Wulansari tersenyum. "Sudah kulakukan itu. Akan tetapi terlambat. Penjahat itu sudah menghilang ke dalam hutan dan aku tidak berhasil menemukan jejaknya. Karena aku sedang mempunyai urusan yang penting sekali, yaitu mencari dia ini, tunanganku kakangmas Nurseta ini maka terpaksa aku melanjutkan perjalananku dan tidak berhasil menolong Sumirah."
Nurseta tersenyum saja melihat calon isterinya memperkenalkan dirinya. Diam-diam'
diapun kagum kepada Lie Hok Yan, juga terharu melibat betapa cinta kasih pemuda Cina ini amat tulus terhadap Sumirah. Gadis itu sudah dalam keadaan demikian menjijikkan gila, kotor dan mendekatinya saja orang lain tentu jijik. Akan tetapi Lie Hok Yan ini jelas amat mengasihinya sehingga merawatnya seperti seorang anak kecil. Ketulusan cinta kasih itu mengharukan hatinya dan membuat dia merasa suka kepada Hok Yan.
"Kemudian, bagaimana kelanjutan ceritanya setelah Sumirah lenyap dilarikan penjahat itu, Bapak Lurah?" Lie Hok Yan bertanya dengan hati ingin tahu sekali. Dari ocehan Sumirah tadi dia mendengar betapa Sumirah mentertawakan Kabiso yang dikatakannya digantung terbalik dan disayat - sayat tubuhnya, disiksa. Siapa yang melakukan penyiksaan itu"
"Ia lenyap sampai tiga hari lamanya. Kamii sudah putus asa. Akan tetapi tiba-tiba saja ia muncul. Ketika mendengar bahwa ayah ibunya tewas, gadis yang malang itu tiba-tiba telah menjadi berubah ingatannya. Kami mencoba, untuk menghiburnya atau mengobatinya, akan tetapi tidak mau didekati siapapun juga. Kamii berusaha bertanya apa yang dialaminya selama ia diculik penjahat dan bagaimana ia dapat kembali ke dusun, namun ia hanya tertawa dan menangis, memaki-maki dan mentertawaan orang yang bernama Kabiso, menangisi ematian ayah ibunya dan memanggil-manggil nama........ Hok Yan begitu."
Hok Yan merasa terharu sekali. Dalam keadaan berubah ingatan seperti itu, Sumirah masih selalu ingat kepadanya! Sungguh besar cinta kasih gadis itu kepadanya dan dia harus bertanggung jawab. Dia harus melindungi kekasihnya itu, apapun yang telah terjadi atas diri tunangannya itu.
"Sudahlah," katanya lirih. "Apa yang sudah lewat, biarkan lewat. Sumirah tetap Sumirah yang dulu bagiku, tetap gadis satu-satunya di dunia ini yang kucinta. Ia tetap tunanganku dan aku akan segera menikahinya kalau ia sudah pulih kembali ingatan dan kesehatannya. Dan mulai saat ini, ia akan selalu berada dalam perlindunganku dan takkan pernah kutinggalkan lagi."
Nurseta memandang tajam dan kagum. Namun, dia masih belum yakin kalau belum mendengar sendiri pendapat pemuda Cina yang berjiwa satria itu. "Saudara Lie Hok Yan, maafkan pertanyaanku, akan tetapi aku terus terang saja tertarik sekali dan ingin mendengar sendiri pendapat dan pengakuanmu. Bolehkah aku mengajukan pertanyaan dan tidak akan tersinggungkah hatimu?"
Lie Hok Yan menatap wajah Nurseta dan dia tersenyum. "Aku mengenal baik nona Wulansari sebagai seorang pendekar wanita yang berhati keras namun berbudi mulia dan bijaksana. Kalau andika ini calon suaminya,, aku yakin bahwa andika juga seorang yang gagah perkasa yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan! Tanyalah, sobat. Ajukan pertanyaanmu dan aku tidak akan merasa tersinggung."
"Begini, Hok Yan. Karena engkau kawan baik tunanganku, biar kusebut engkau Hok Yan saja dan engkaupun boleh menyebutku Nurseta."
"Baik, dan terima kasih, Nurseta."
"Kita semua tadi mendengar bahwa Sumirah telah diculik penjahat dan baru pulang selama tiga hari. Bagaimana keadaan apa yang dialaminya selama tiga hari itu tidak seorangpun tahu."
"Tidak apa, Nurseta. Kalau ia sudah waras kembali tentu ia akan dapat menceritakan semua yang telah dialaminya itu." kata Hok Yan tenang
"Bukan itu maksudku, Hok Yan." kata Nurseta dan dia memandang kekasihnya. Wulansari tersenyum, agaknya tahu akan isi hati kekasihnya dan iapun mengangguk, seolah-olah memberi tanda setuju kalau Nurseta melanjutkan pertanyaannya. "Aku ingin mengetahui perasaanmu dan tanggapanmu andaikata kemudian engkau mendengar bahwa selama dalam tawanan gerombolan penjahat itu, ia telah....... diperkosa orang jahat. Andaikata demikian, lalu bagaimana tanggapanmu, Hok Yan" Apakah engkau masih tetap ingin memperisteri Sumirah?"
Wajah yang berkulit putih kuning itu seketika berubah merah sekali. Sepasang mata sipit itu mencorong ketika menyambar ke arah muka Nurseta, akan tetapi hanya sebentar karena muka itu menjadi biasa kembali, matanya juga bersinar lembut kembali.
"Untung bahwa tadi engkau telah berterus terang, dan juga untung bahwa aku telah mengenal siapa engkau, Nurseta. Kalau orang lain yang mengeluarkan pertanyaan itu, tentu hatiku tersinggung sekali dan aku merasa dihina. Nurseta, ketahuilah bahwa apapun yang telah, menimpa diri Sumirah, aku tetap mencintanya dan aku akan tetap menikahinya. Aku mencinta Sumirah, bukan hanya mencinta bubuhnya, juga mencinta hatinya, batinnya segalanya. Andaikata ia telah diperkosa orang, ia hanya kehilangan keperawanannya, dan aku bukan mencinta keperawanan, melainkan mencinta Sumirah! Pula, diperkosa berbeda dengan penyelewengan, Nurseta. Sungguh tidak adil dan dungu kalau menyalahkan seorang gadis yang diperkosa orang tanpa ia berdaya mempertahankan dirinya. Maafkan kalau aku bicara terus terang, nona Wulan I" Akan tetapi Wulansari hanya tersenyum, dan Nurseta bangkit lalu mengulurkan tangan mengajak Hok Yan bersalaman.
"Bagus! Engkau sungguh seorang jantan sejati, Hok Yan, dan aku senang sekali menjadi sahabatmu!" Mereka berjabat tangan dengan perasaan gembira dan akrab.
"Ada satu hal lagi, Hok Yan. Akupun ingin bicara terus terang saja seperti yang dilakukan kakangmas Nurseta, kuharap saja engkau tidak akan merasa canggung atau tersinggung."
Hok Yan kini tertawa gembira. "Bagus sekali! Senang bukan main bergaul dengan kalian orang-orang yang jujur dan terbuka, yang dapat menghargai kegagahan. Akupun paling tidak suka dengan sikap orang yang plintat-plintut, yang tidak mau berterus terang, hanya berani membuka mulut demi keuntungan pihak sendiri. Bicaralah, nona Wulan, aku siap mendengarkan yang paling tidak sedap sekalipun."
"Begini, Hok Yan. Terus terang saja, dalam perang antara Majapahit dan Kediri ini, kami berdua tidak ikut terlibat. Kami hanya melakukan perondaan untuk menentang terjadinya pengacauan yang dilakukan para penjahat. Untuk itu kami mempunyai alasan tersendiri. Akan tetapi, kami melihat sepak terjang bangsamu, para perajurit itu sungguh amat buas ganas dan kejam!"
Hok Yan tersenyum. "Memang tidak salah penglihatanmu itu, nona. Memang mereka itu amat buas, ganas dan kejam. Akan tetapi keliru kalau engkau mengatakan bahwa mereka itu bangsaku. Bahkan bangsaku sendiri, penduduk aseli di daratan Cina kini dijajah oleh bangsa itu, ialah Bangsa Mongol. Kalau aku sampai ikut ke sini menjadi perwira pasukan Mongol adalah karena aku terbawa oleh kakak seperguruanku yang menjadi panglima,, dan karena aku ingin meluaskan pengalaman."
"Ah, begitukah" Pantas engkau amat berbeda dengan mereka, Hok Yan. Maksudku, berbeda sikap dan kelakuan. Engkau pantas menjadi seorang pendekar dan satria, sedangkan, para perajurit itu rata - rata buas dan kejam sekali. Nah, karena melihat gelagat yang tidak baik ini, andaikata nanti timbul perang antara pasukan Mongol dan Majapahit, sudah pasti aku dan kakangmas Nurseta akan membantu Majapahit ! Dan kami kira engkau sudah seharusnya, sebagai seorang perwira, membantu pasukan Mongol, Hok Yan."
Kalau Nurseta dan Wulansari menduga bahwa Hok Yan akan merasa canggung mendengar kata kata itu, mereka salah duga. Hok Yan tersenyum tenang saja.
"Tidak, aku tidak akan membantu pasukan Mongol." katanya.
"Akan tetapi, itu adalah sikap yang sama sekali tidak baik, Hok Yan!" seru Nurseta penasaran. "Engkau seorang perajurit, bahkan seorang perwira, bagaimana mungkin engkau tidak membantu pasukanmu yang sedang berperang?"
"Jangan salah mengerti, Nurseta. Sejak aku berkenalan dengan Sumirah, aku langsung menemui kakak seperguruanku dan menyatakan keluar dari ketentaraan dan ingin menikah dengan Sumirah. Akan tetapi kakak seperguruanku melarang dan mengatakan bahwa tugasku belum selesai. Terpaksa aku menangguhkan dan setelah perang selesai, kakak seperguruanku memberi ijin itu. Kini aku bukan lagi anggauta pasukan Mongol, Nurseta. Aku telah bebas, menjadi orang biasa sehingga tidak ada salahnya kalau aku tidak lagi mencampuri perang yang dilakukan pasukan Mongol terhadap siapapun juga."
Nurseta dan Wulansari saling pandang dan mereka merasa kagum dan juga gembira sekali. Semalam itu mereka bercakap-cakap dengan akrab, dan pada keesokan harinya, Wulansari dan Nurseta berpamit. Mereka melanjutkan perjalanan melakukan perondaan untuk-menentang kejahatan.
Hok. Yan maklum bahwa selama Sumirah masih tinggal di Klintren, ia akan selalu teringat akan malapetaka itu dan akan memperlambat jalannya kesembuhan. Maka diapun segera mengajak gadis itu meninggalkan Klintren. Dia mengajak gadis itu ke lereng Gunung Bromo, tinggal di sebuah dusun yang sunyi dan sederhana. Di situ dia merawat dan mengobati Sumirah dengan daun-daun obat seperti yang diberikan Nurseta, dan lambat laun, pulih kembalilah ingatan Sumirah.
Perlahan-lahan Sumirah mulai dapat menceritakan pengalamannya ketika ia diculik oleh Kabiso. Betapa nyaris ia diperkosa Kabiso, akan tetapi tertolong oleh Bandupati, kepala perampok yang menyeramkan itu. Betapa kemudian diapun dipaksa menjadi isteri muda Bandupati, akan tetapi kembali ia lolos dari ancaman perkosaan ketika muncul Suminten isteri Bandupati yang galak dan ditakuti suaminya itu. Dan iapun selamat, kembali ke dusun, hanya untuk dipukul guncangan hebat dalam hatinya ketika mendengar bahwa ayah ibunya telah tewas oleh gerombolan orang Daha !
Hok Yan merasa bahagia dan gembira bukan main mendengar itu. Bukan karena dia.
mendapatkan Sumirah dalam keadaan belum ternoda, sama sekali tidak. Melainkan dia gembira karena dengan demikian, Sumirah tidak akan merasa rendah diri, tidak akan merasa kotor ternoda. Dengan gembira mereka bergandeng tangan menyongsong sinar matahari pagi yang amat cerah dari kehidupan mereka. Kalau dua buah hati sudah saling mencinta, cinta yang tulus, bukan sekedar pengumbaran nafsu berahi, maka tidak ada lagi yang perlu ditakutkan I Tuhan akan selalu memberkahi dan melindungi orang-orang yang disinari cinta kasih.
-ooodwooo- Walaupun mereka percaya akan niat baik Raden Wijaya yang mengundang para pimpinan pasukan untuk berpesta di istana, namun tiga orang panglima perang itu hanya mengirimkan semua perwira saja sebagai utusan mereka untuk berpesta dan menjemput para puteri Kediri yang dijanjikan kepada mereka, untuk dipersembahkan kepada Kaisar Kubilai Khan. She Pai, Kau Seng, dan Ji Kauw Mosu menganggap diri mereka sebagai utusan-utusan kaisar, yang berarti mewakili kaisar sendiri. Oleh karena itu, sungguh tidak pada tempat-nya kalau mereka harus menghadiri pesta dengan menanggalkan senjata. Bagi mereka, senjata pedang yang selalu mereka bawa adalah tanda Kekuasaan mereka dan mereka memperolehnya dari kaisar. Kalau mereka menanggalkan pedang mereka sebelum memasuki istana, berarti mereka menanggalkan kekuasaan mereka ! Akan tetapi untuk menolak begitu saja merekapun merasa tidak enak. Maka, tiga orang panglima itu mengambil jalan tengah. Mereka mengirim para perwira yang jumlahnya antara tigaratus orang untuk mewakili mereka.
Di benteng Ujung Galuh sendiri, para perajurit berpesta pora karena Arya Wiraraja atas nama Raden Wijaya telah mengirim banyak sekali babi, ayam dan lembu, juga minuman keras. Mereka makan minum sepuas hati mereka. Dan selagi para perajurit dalam benteng itu berpesta pora, Sang Prabu Jayakatwang yang sejak ditawan dalam benteng itu menderita sakit dan setiap hari hanya menulis atau menggubah kakawih yang diberi judul Wukir Polaman, meninggal dalam keadaan sengsara. Srorang raja besar yang berambisi besar pula meninggal dunia sebagai tawanan, tanpa diantar ratap tangis sanak keluarga, bahkan diantar sorak sorai dan tawa gembira dari mereka yang sedang berpesta dan yang suaranya sampai ke tempat tahanan itu dengan bisingnya.
Kehidupan jasmani dengan segala macam susah1 senangnya ini tiada kekal adanya. Senang susah hanyalah akibat permainan nafsu, seperti sebarisan awan tipis, berarak d' angkasa, hanya selewat saja. Yang satu datang dan lewat, di-susul yang lain.
Adalah menjadi hak mutlak kita manusia untuk menikmati kehidupan ini. Memang sudah dikodratkan oleh Yang Maha Kasih bahwa kita dapardan berhak menikmati kesenangan dan untuk itu kita sudah diperlengkapi dengan sempurna. Tubuh kita sudah diberi pelengkap yang sempurna sejak lahir, ada panca-indra, peraba dan perasa, mata uniuk menikmati penglihatan indah, hidung untuk menikmati penciuman yang sedap, telinga untuk menikmati pendengaran yang merdu, mulut untuk menikmati makanan dan minuman yang Iezat dan selanjutnya. Dengan kenyataan bahwa semua itu kita lakukan dengan penuh kesadaran bahwa segala macam bentuk kesenangan hanyalah selewat saja, tidak kekal. Hanya merupakan pelengkap kehidupan, merupakan anugerah dan kasih sayang Tuhan kepada kita. Namun, kalau saoipai kesenangan itu melekat dan menguasai kita, maka tidak lucu lagi akibatnya. Segala mseim bentuk perbuatan yang jahat, merugikan orang iain maupun diri sendiri, bermunculan untuk mengejar dan mempertahankan kesenangan yang hanya selewat sifatnya itu. Dan karena kita terbelenggu, terikat dan kesenangan itu sudah mengakar di dalam batin, maka setiap kali terjadi perpisahan dengan kesenangan itu, timbullah duka. Pada hal, tak mungkin dapat dihindarkan lagi, perpisahan akan datang setiap saat! Kalau bukan kita yang ditinggalkan, maka tentu kita yang meninggalkan semua kesenangan duniawi itu. Harta kekayaan, nama besar, pangkat dan kedudukan mulia, dan semua kesenangan yang didatang kannya melalui panca indra, semua itu akan lenyap atau kita tinggalkan setelah maut datang menjemput.
Sekali lagi. Kita berhak menikmati kesenangan. Namun, itu hanya merupakan perlengkapan hidup, merupakan permainan kita, merupakan suatu hal yang selewat dan sementara saja. Jangan sampai kita yang dibelenggu dan menjadi permainan kesenangan, diperhamba nafsu dan melakukan perbuatan yang jahat hanya untuk mengejar kesenangan yang sesungguhnya hanya awan tipis yang lewat, atau gelembung sabun yang indah namun sebentar saja akan meletus dan lenyap.
Sementara itu, tigaratus orang perwira utusan para panglima pasukan Mongol, diterima dengan penuh kehormatan dan keramahan di istana Kediri. Dengan hormat mereka dipersilakan menanggalkan dan menitipkan
semua senjata mereka, sebagian besar pedang, di tempat penjagaan di luar istana, dan mereka memasuki istana tanpa membawa sepotong-pun senjata. Dari jauh mereka sudah disambut suara gamelan dan nyanyian merdu.
Ruangan pesta itupun dirias dengan indah. Jendela-jendela ruangan itu dibuka semua dan dari luar masuklah keharuman bunga semerbak, dan hidangan yang mengepulkan uap yang sedap menantang selera segera dihidangkan, bersama arak yang keras dan sedap. Pestapun dimulai dan para penari cantik itu sambil menari-nari bertugas pula untuk menjaga agar cawan arak di depan setiap orang tamu tidak pernah kosongi Dengan penuh kegembiraan karena pihak tuan rumah demikian ramahnya, para tamu yang terdiri dari perwira-perwira Mongol itu makan minum sepuasnya tanpa menaruh sedikitpun kecurigaan.
Menjelang tengah malam, semua tamu itu telah berada dalam keadaan setengah mabok, bahkan ada yang sudah mabok benar. Tanpa mereka sadari, seorang demi seorang para penari dan penyanyi meninggalkan ruangan itu dan mendadak, dari luar jendela-jendela vang terbuka, meluncurlah anak panah yang menyerang bagaikan air hujan. Beberapa orang perwira Mongol terkena anak panah dan terjungkal, Teriakan-teriakan terdengar dan suasana menjadi panik. Para perwira itu berloncatan dan pada saat itu, daii pintu yang terbuka lebar menyerbulah para senopati dan perajurit Majapahit dengan keris terhunus!
Terjadilah pembantaian! Para perwira Mongol itu adalah orang-orang yang tangguh dan sudah biasa bertempur. Akan tetapi, pada waktu itu, mereka sama sekali tidak mempunyai senjata, dalam keadaan mabok atau setengah mabok dan diserang secara mendadak pula. Tentu saja mereka kewalahan dan hanya beberapa orang di antara mereka yang berilmu tinggi saja dapat meloloskan diri, melarikan diri keluar dari istana dan menuju ke benteng mereka di Ujung Galuh.
Akan tetapi apa yang mereka dapatkan di benteng itu " Sebuah pertempuran hebat! Kiranya para perajurit dalam benteng itupun mengalami nasib yang sama. Menjelang tengah malam, ketika mereka semua sudah banyak minum arak dan mabok - mabokan, tiba-tiba saja datang pasukan Majapahit dan Madura yang menyerbu ! Terjadilah pertempuran hebat dan kacau, tentu saja kacau di pihak pasukan Mongol. Mereka melakukan perlawanan sedapatnya. Para perwira, yaitu sisa mereka yang dibantai di istana, menggabungkan diri dengan pasukan mereka. Mereka melakukan perlawanan sampai pagi. Akan tetapi, banyak berjatuhan korban di antara pasukan yang mabok itu.
Pasukan Mongol berada dalam keadaan yang payah. Mereka baru saja berhenti berperang melawan Daha di mana mereka kehilangan banyak perajurit yang gugur sehingga jumlah mereka berkurang. Belum lagi para perajurit yang tewas karena diserang penyakit setiba mereka di Pulau Jawa. Dan malam itu mereka yang masih kelelahan berada dalam keadaan mabok, lalu diserang dengan tiba-tiba. Tentu saja mereka menjadi panik dan kacau.
Perang yang terjadi selanjutnya antara pasukan Mongol dan gabungan pasukan Majapahit dan Madura itu tidak berlangsung lama. Rakyat yang membenci pasukan Mongol karena ulah mereka yang ganas dan kejam selama ini, bangkit dan membantu Majapahit. Setelah bertahan mati - matian selama beberapa hari, akhirnya pasukan Mongol terpaksa harus mengundurkan diri ke perahu - perahu mereka.
Dengan membawa beberapa orang tawanan dari Kediri sebagai bukti hasil kemenangan mereka melawan Kediri, dan sisa pasukan yang sudah banyak berkurang, akhirnya para panglima Mongol itu membawa pasukan mereka berlayar untuk pulang ke negeri asal mereka jauh di utara.
Setelah pasukan Mongol itu mengangkat jangkar dan berlayar meninggalkan pantai utara Pulau Jawa, padamlah api peperangan yang melanda Singosari dan Daha secara berturut-turut itu. Dan mulailah rakyat membangun kembali yang dirusakkan perang, sedikit demi sedikit karena membangun tidaklah semudah merusak! Sesuatu yang dibangun selama bertahun-tahun, dapat dirusakkan dalam waktu sehari saja ! Demikian pula dengan membangun isi kehidupan ini. Bersusah payah membangun dengan perbuatan-perbuatan yang wajar dan baik dapat menjadi rusak oleh suatu perbuatan jahat yang dilakukan satu kali saja . Nama baik yang dibangun melalui seribu perbuatan benar menjadi rusak hanya karena satu perbuatan yang salah.
Dan muncullah sebuah kerajaan baru yang kelak akan menjadi sebuah kerajaan yang besar dan jaya, yaitu Kerajaan Majapahit! Bukan merupakan kelanjutan atau pembangkitan kembali Kerajaan Singosari atau Daha, melainkan sebuah kerajaan baru dan raja pertamanya adalah Raden Wijaya yang bergelar Sri Maharaja Kertarajasa Jayawardana, raja pertama dari Kerajaan Majapahit. Dan raja yang bijaksana ini tidak melupakan para senopati dan ponggawa yang telah berjasa membantunya selama ini. Dia membagi-bagikan pangkat dan kedudukan tinggi sehingga semua orang menjadi gembira.
Bagaimana dengan Nurseta dan Wulansari " Mereka berdua ikut membantu ketika Majapahit menghalau pasukan Mongol. Setelah perang selesai, mereka melangsungkan pernikahan, dirayakan oleh Senopati Ki Medang Dangdi ayah Wulansari dengan meriah sekali. Akan tetap. Nurseta tetap tidak mau menerima pangkat dan dia bahkan mengajak isterinya untuk tinggal di lereng Gunung Anjasmoro, menjadi seorang petani yang hidup tenteram dan penuh damai.
Juga Lie Hok.Yan hidup berbahagia dengan isterinya, Sumirah. Mereka memilih hidup di pantai utara dekat lautan, di mana Hok Yan dapat mempergunakan keahliannya sebagai seorang nelayan. Apa lagi di sekitar pantai utara terdapat banyak sudah orang Cina yana tinggal sebagai nelayan dan pedagang.
Demikianlah, kisah "Sejengkal Tanah Sepercik Darah" ini selesai sampai di sini dengan harapan pengarang semoga ada manfaatnya bagi para pembaca. Pengarang selalu tetap yakin bahwa hanya dengan penyerahan penuh keikhlasan dan kcawakalan kepada Tuhan Yang Maha Kasih sajalah maka kita akan dapat terlepas dan pada cengkeraman dan permainan nafsu kita sendiri ! Hanya kekuasaan Tuhan yang mampu menjinakkan nafsu. Melalui penyerahan diri, kekuasaan .Tuhan akan selalu membimbing kita sehingga setiap gerak langkah kita terbimbing, dan kalau nafsu sudah tidak lagi memperhamba kita, maka kasih sayang akan memancarkan cahayanya dan apapun yang kita lakukan adalah benar dan baik. Semoga, amin.
TAMAT
Komentar
Posting Komentar