KEMELUT DI MAJAPAHIT JILID 39

 

   ke sepasang pipinya.

   "Kau diamlah, jangan banyak bicara, kau perlu istirahat dan lukamu perlu dicuci. Tubuhmu agak panas, aku khawatir kau terserang demam karena lukamu,"

   Kata Sulastri dan dengan cekatan dia lalu berlari ke sungai, mengambil daun lompong yang lebar dan mengambil air jernih dengan daun itu.

   Kemudian, dengan teliti dan penuh perhatian, dengan sentuhan-sentuhan mesra, dia mencuci luka di paha kaki Joko Handoko. Dicucinya darah di sekitar luka itu sampai bersih dan untung bahwa dia masih membawa obat luka berupa bubukan yang dulu dia dapat dari Kaloka untuk mengobati luka di dadanya. Obat itu masih banyak dan sengaja dibawanya karena obat luka memang perlu bagi seorang yang sedang maju menghadapi perang seperti dia. Kini dia dapat mengobati luka di paha suaminya dan membalutnya dengan robekan kembennya setelah luka itu ditutup dengan saputangan yang bersih.

   "Bagaimana rasanya, Kakangmas? Nyeri sekalikah?"

   Tanya Sulastri penuh perhatian setelah selesai merawat luka itu.

   "Kau tunggu di sini dulu, ya? Aku akan mencarikan makanan untukmu..."

   "Diajeng... ah, terima kasih sekali atas segala kebaikanmu ini, Diajeng. Akan tetapi, sungguh aku dapat merawat diri sendiri. Engkau sebaiknya cepat menyusul Dimas Sutejo.

   Jangan kausia-siakan kesempatan baik ini untuk meraih kebahagiaan hidupmu, Diajeng Sulastri."

   Ucapan itu keluar dengan suara bersungguh-sungguh.

   Sulastri menatap wajah suaminya, mukanya menjadi pucat karena tiba-tiba dia memperoleh dugaan bahwa suaminya ini telah menjadi patah hati dan berbalik tidak suka kepadanya! Maka tanpa dapat dicegahnya lagi, dia lalu menangis sesenggukan sambil menutupi mukanya dengan kedua tangannya! Bukan main kagetnya Joko Handoko melihat keadaan isterinya itu. Dia mengenal Sulastri sebagai seorang wanita yang keras hati, yang tidak mudah menangis dan kalau sekali waktu menangis pun tidak pernah sesenggukan dan sesedih ini! Sulastri menangis seperti anak kecil yang putus harapan!

   "Diajeng! Ada apakah...? Mengapa kau... kau berduka seperti ini...? Apakah yang terjadi antara engkau dan Dimas Sutejo?"

   Joko Handoko menduga bahwa tangis ini pasti disebabkan oleh persoalan antara isterinya dan Sutejo karena kiranya tidak ada persoalan yang dapat membuat Sulastri berduka seperti itu kecuali persoalan yang menyangkut diri pria itu.

   "Ahh... Kakangmas... tidak dapatkah... tidak maukah engkau... melupakan Kakang Tejo dan tidak menyebut-nyebut namanya lagi?"

   "Baiklah kalau engkau menghendaki demikian, Diajeng, aku tidak akan menyebut namanya lagi. Akan tetapi engkau... kenapa menangis?"

   Sulastri mengangkat mukanya dan menurunkan kedua tangannya. Mukanya pucat dan basah air mata, dan kini mata yang basah itu menatap wajah Joko Handoko.

   "Kakangmas... apakah... apakah kau sudah tidak cinta lagi kepadaku...?"

   Joko Handoko melongo, penuh keheranan.

   "Demi para Dewata yang Agung...! Mengapa engkau sampai hati pertanyaan seperti itu kepadaku, Diajeng? Aku tidak cinta lagi kepadamu? Ya Tuhan...! Masih perlukah aku harus menyatakan itu dengan kata-kata?"

   Sulastri mengangguk.

   "Katakanlah agar aku yakin Kakangmas..."

   "Tapi... tapi... apa gunanya? Hanya akan menyakitkan hati kita berdua, Diajeng..., sudahlah, engkau tahu bahwa aku cinta padamu dengan sepenuh jiwa ragaku, Diajeng Sulastri, dan aku pun tahu bahwa engkau hanya mencinta Dimas Sutejo seorang..."

   "Kau keliru, Kakangmas!"

   "Apa...? Apa maksudmu...?"

   Wajah yang berduka itu kini pucat dan mata itu terbelalak menatap wajah Sulastri. Bukan main rasa kasihan wanita itu melihat keadaan pria itu seperti orang yang menggantungkan harapannya pada sehelai rambut. Wajah yang patut dikasihani, patut dicinta!

   "Maksudku..., lupakah engkau bahwa aku ini isterimu, Kakangmas?"

   "Eh, Isteriku...?"

   "Dan bahwa seorang isteri hanya mencinta suaminya seorang?"

   "Ehh?"

   Joko Handoko merasa seperti dalam mimpi.

   "Apa maksudmu? Kau... maksudkan bahwa engkau... mencintaiku...? Tak mungkin...?"

   "Mengapa tak mungkin, Kakangmas? Kalau engkau mencintaku dengan sepenuh jiwa ragamu, yang sudah kulihat kenyataannya, mengapa aku sebagai seorang isteri tidak mungkin membalas cinta kasih seorang suami yang demikian hebat seperti engkau?"

   "Tapi, tapi... dia..."

   "Selama ini aku seperti buta, Kakangmas. Sesungguhnya cinta kasihku hanya kepada kau seorang..., yaitu kalau... kalau belum terlambat... kalau kau sudi memaafkan segala kebodohanku selama ini..."

   Naik sedu sedan di tenggorokan Joko Handoko. Sejenak dia hanya terbelalak memandang wajah isterinya, sukar mengeluarkan kata-kata. Matanya basah dan dua titik air mata tergantung di bulu matanya.

   "Aku... memaafkanmu...? Diajeng...! Sulastri isteriku sayang...!"

   Dan melupakan luka di pahanya, Joko Handoko lalu merangkul dan memeluk, mendekap kepala isterinya itu di dadanya, erat-erat seolah-olah dia khawatir kalau akan kehilangan isterinya, khawatir kalau-kalau semua itu hanya mimpi belaka, seolah-olah dia hendak membenamkan kepala itu dalam-dalam di lubuk hatinya!

   "Kakangmas...!"

   Sulastri terisak, hatinya penuh keharuan, penuh kebahagiaan!

   "Diajeng... tidak... tidak sedang mimpikah aku...?"

   Joko Handoko berbisik, masih pening oleh pesona. Sulastri menggerakkan kepalanya, mengangkat mukanya sehingga mukanya dekat sekali dengan muka Joko Handoko yang menunduk. Sulastri mengangkat lagi mukanya lebih tinggi sehingga hidungnya menyentuh pipi suaminya, bibirnya menyentuh bibir suaminya, lembut dan halus, lalu dia berbisik,

   "Apakah ini mimpi, suamiku?"

   "Sulastri...!"

   Joko Handoko memeluk dan menciumi wajah itu, mata itu, pipi dan bibir itu, berulang-ulang seolah-olah dia masih belum percaya benar. Sulastri terisak dan membalas pencurahan kasih sayang suaminya.

   Mereka lupa segala-galanya. Bergembira seperti sepasang pengantin baru! Sulastri bersikap seperti seekor burung merpati yang malu-malu, kadang-kadang menjauhi, lalu mendekat dan membiarkan dirinya dicumbu, menggoda dan menantang suaminya agar mengejarnya. Tentu saja Joko Handoko tidak dapat mengejar karena berjalan saja dia masih pincang. Mesra sekali kedua orang yang sedang diayun gelombang asmara itu. Dan malamnya, di bawah cahaya bulan yang sejuk, bertilamkan rumput hijau tebal, di alam terbuka, di dekat sungai yang gemericik seperti lagu pengantin, Joko Handoko dan Sulastri saling mencurahkan cinta mereka yang menggelora. Mereka seolah-olah ingin menebus semua penundaan antara mereka selama ini.

   Perbuatan apa pun yang dilakukan orang dengan dasar cinta, termasuk perbuatan dalam hubungan sex, adalah indah dan bersih! Tidak ada pikiran kotor di dalamnya,yang ada hanya pencurahan kemesraan dan kasih sayang antara pria dan wanita yang berpuncak pada hubungan sex yang wajar dan bersih. Akan tetapi, hubungan sex tanpa didasari cinta kasih, hanya merupakan pengejaran kesenangan belaka, hanya keinginan memuaskan nafsu berahi belaka dan karenanya sudah pasti menimbulkan berbagai macam akibat yang buruk. Dalam pelaksanaan pengejaran itu, terjadilah pelacuran, perjinaan, perkosaan, dan sebagainya dan semua itu pasti mendatangkan rasa takut, konflik batin dan penderitaan. Cinta bukanlah permainan pikiran.

   Sebaliknya, nafsu berahi dan kesenangan ditimbulkan oleh pikiran yang mengenangkan segala pengalaman yang lalu, baik pengalaman sendiri maupun pengalaman orang lain. Pada malam terang bulan itu, di waktu suami isteri memadu kasih, saling mencurahkan kasih asmara penuh kemesraan dan keindahan di alam terbuka,beratapkan langit, bertilamkan rumput, berdinding pohon-pohon, diterangi sinar bulan dan dibuai gendang gemericik air sungai, tepat pada saat itu, jauh di puncak Gunung Kawi, seorang pemuda duduk bersila di luar sebuah pondok, duduk diam dan tenggelam ke dalam keheningan yang gaib, dengan wajah tenang berseri, mulutnya tersenyum dan bermandikan cahaya bulan. Pemuda ini bukan lain adalah Sutejo!

   Lumajang jatuh. Bala tentara Mojopahit terlampau besar dan kuat bagi Lumajang sehingga pertahanan Lumajang bobol dan kadipaten itu ditundukkan. Ki Patih Nambi, Adipati Wirorojo, dan para senopati lain, gugur dalam perang. Ada pula sebagian senopati yang menakluk. Perang pemberontakan Lumajang yang dipimpin oleh Ki Patih Nambi berakhir.

   Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa kemelut di Mojopahit sudah berakhir! Jauh daripada itu. Pengangkatan Pangeran Kolo Gemet menjadi Raja Jayanagara menimbulkan serangkaian pemberontakan yang susul-menyusul. Pertentangan yang bersumber pada persaingan antara keturunan Sang Prabu Kertanegara dan keturunan Dara Petak dari Melayu berlangsung terus, bahkan makin menghebat. Setelah pemberontakan Ki Patih Nambi berhasil dipadamkan pada tahun 1316, maka dua tiga tahun kemudian pecah pula pemberontakan yang dipimpin oleh Semi dan Kuti.

   Seperti tercatat dalam sejarah, dalam pemberontakan Kuti dalam tahun 1319, muncullah nama Gajah Mada, seorang berpangkat bekel dengan belasan orang anak buah pasukannya yang kebetulan pada waktu itu menjadi pengawal Sang Prabu Jayanagara. Kepala bhayangkara Gajah Mada inilah yang kemudian mempersatukan Mojopahit setelah kematian Sang Prabu Jayanagara yang terbunuh oleh Tanca,seorang dharma putera, yaitu abdi kinasih dari Sang Prabu sendiri. Kelak Gajah Mada ini yang menjadi Patih Gajah Mada yang terkenal dalam sejarah yang berhasil mendatangkan jaman keemasan kepada Mojopahit sehingga kerajaan itu menjadi sebuah kerajaan yang amat besar.

   Resi Mahapati yang telah berjasa dalam penumpasan pemberontakan Lumajang, diangkat menjadi orang kepercayaan Sang Prabu dan menjadi orang yang berpengaruh besar. Akan tetapi akhirnya setelah dia berhasil melakukan hasutan-hasutan yang mengobarkan pemberontakan Kuti, ketahuan pula akan kepalsuannya, bahwa selama ini dia adalah seorang penghasut dan pengadu domba, maka akhirnya Sang Resi Mahapati terbunuh juga!

   Bermacam-macam catatan mengenai kematian Resi Mahapati ini, ada yang mengatakan bahwa dia dihukum picis, tubuhnya cineleng-celeng, yaitu disayat-sayat sampai mati. Ada pula yang mengatakan bahwa dia tewas dalam tangan seorang wanita bernama Dyah Retnawulan yang membalas dendam. Betapapun juga, jelas Sang Resi ini mati dalam keadaan tubuh tidak utuh, sesuai dengan kutuk yang dikeluarkan oleh Lembu Sora sebelum senopati ini tewas, juga oleh pengkhianatan Resi Mahapati.

   Sampai di sini, berakhirlah cerita KEMELUT DI MOJOPAHIT ini, dan pengarang mengucapkan selamat berpisah sampai jumpa lagi di dalam karangan lain, dengan harapan mudah-mudahan karangan ini selain dapat menghibur hati pembaca di kala senggang, juga mengandung manfaat untuk dapat mengenal diri sendiri lahir batin setiap saat.

   Sebagai catatan perlu diberitahukan bahwa latar belakang untuk cerita ini diambil dari buku sejarah Kerajaan Mojopahit yang ditulis oleh Prof. Dr. Slamet Mulyono berjudul "Menuju Puncak kemegahan"

   Terbitan P.N. Balai Pustaka tahun 1965.

   TAMAT

   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KERIS MAUT

PENDEKAR GUNUNG LAWU

KEMELUT DI MAJAPAHIT