KEMELUT DI MAJAPAHIT JILID 10
orang lawan yang sama sekali bukan orang-orang lemah melainkan pertapa-pertapa yang sakti, Ki Jembros terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya dan terjadilah pertandingan yang sangat hebat dan seru,pertandingan yang menyebabkan debu berterbangan dan tercipta intisari angin karena hawa sakti mereka yang terkandung dalam tiap gerakan sehingga tidak ada perajurit biasa-biasa berani mendekat.
Hebatnya bukan perang utama kecil yang terjadi di alun-alun depan keraton itu. Keduanya terjadi dengan mati-matian, karena pihak Lembu Sora berasumsi bahwa mereka dikhianati dan hendak dibasmi oleh Patih Nambi, sedangkan pihak Patih Nambi berasumsi bahwa Lembu Sora dan kawan-kawannya hendak memberontak dan hendak membunuh sang prabu. Maka kedua pihak melawan mati-matian, sungguh pun keadaan mereka tidak seimbang sama sekali karena pihak Lembu Sora hanya ada seratus orang lebih sedikit, sedangkan pihak kerajaan yang dipimpin seribu orang pasukan!
Yang merasa gembira adalah Mahapati dan selirnya, Lestari. Wanita muda ini dengan senyum manis dan sinar mata berkilat-kilat seperti mata harimau melihat darah, menonton pertandingan itu dan dia mengepal-gepal tangan yang kecil,dan dari dalam mencerminkan yang panjang dan indah bentuknya itu terdengar geram-geram kecil seperti orang merintih kenikmatan, seperti orang yang terpuaskan nafsu berahinya.
“Ibu… ibu… Tejo… lihatlah… hemmm… lihatlah… tidakkah puas hati kalian…?”
"Eh, kamu bicara apa, manis?"
Mahapati merangkulnya dan memandangnya dengan dia.
Lestari menggeserkan hidungnya dipipi yang mulai kisut itu, memberi ciuman hangat.
"Paduka hebat! Lihat betapa Lembu Sora dan kawan-kawannya terbasmi! Hatiku girang sekali!"
"Eh, giranglah hatimu? kenapa girang melihat pertempuran mengerikan di bawah itu?"
"Mengerikan? Mereka itu merintis jalan yang paling baik untuk paduka, bukan?"
Mahapati menarik kepala selirnya dan mencium mulutnya dengan penuh dan mesra.
"Untuk kita, manis, untuk kita berdua!"
Dia lalu memandang ke bawah lagi, lupa akan pertanyaannya ketika dia tadi seperti mendengar selirnya menyebut-nyebut "ibu", dan memang pertempuran di bawah itu sungguh hebat. Ki jembros yang dikeroyok oleh dua orang kawannya itu,oleh Empu Tunjungpetak yang merupakan kakak seperguruannya dan memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi darinya, dan oleh Resi Harimurti yang juga tingkat kepandaiannya yang tinggi, akan tetapi tetap saja Ki Jembros memperhatikan keunggulan dan sama sekali tidak terdesak!
Akan tetapi selain Ki Jembros, semua pembantu Lembu Sora termasuk dia sendiri,mulai terdesak hebat. Lembu Sora sudah menderita luka-luka karena dialah yang terkurung dan diserang oleh banyak perajurit yang membantu Patih Nambi, dan Joko Taruno yang kemudian muncul dan ikut mengeroyok untuk kematian membalas ayahnya,Tumenggung Pamandana dan beberapa orang petugas lagi. Namun, tidak pernah senopati yang gagah perkasa ini mengeluh biar pun tubuhnya sudah mulai penuh belepotan darah dan entah sudah berapa banyak perajurit yang roboh oleh keris di tangan kanan kirinya. Dia mengamuk sambil menggereng dan menantang-nantang,bahkan luka-lukanya membuat dia semakin beringas, sepak terjangnya semakin menggiriskan, seolah-olah darahnya sendiri itu menjadi penambah semangatnya!
Juru Demung juga mengamuk dan dia berhadapan dengan senopati Pranarojo yang sakti dan yang juga dibantu oleh banyak perajurit sehingga Juru Demung yang terlihat letih itu mulai terdesak hebat. Demikian pula Raden Gajah Biru yang dihadapi oleh Tumenggung Singosardulo dan belasan orang perajurit, sudah terdesak dan menderita luka-luka, sungguh pun dia masih terus bertahan di puncaknya. Yang sudah terlihat payah adalah para perajurit pengikut Lembu Sora. Mereka itu adalah perajurit-perajurit pilihan dan kalau hanya dikeroyok oleh dua orang perajurit yang dibawa Patih Nambi, agaknya belum tentu mereka kalah. Akan tetapi,perbandingan mereka adalah satu lawan sepuluh! maka biarpun berhasil menjatuhkan lawan masing-masing sedikitnya dua orang, akhirnya mereka sendiri roboh seorang demi seorang sampi akhirnya habis sama sekali!
"Kakangmas resi..."
"Emmm...?"
Resi Mahapati menjawab manja!
"Mereka itu menampilkan kegagahannya di sana, kenapa paduka diam saja? Padahal sudah sering kali paduka memamerkan kejantanan paduka kepada saya. Apakah kejantanan paduka itu hanya kalau berada di pembaringan di kamar saja?"
"Ihh? Ha-ha-ha, kau belum tahu akan sepak terjang suamimu, cah ayu? Kau lihat Resi Mahapati oleh melantunkan kekasihnya itu, maka dipasanglah sebatang anak panah pada gendewanya yang memang telah disediakan dan dipersiapkan kalau-kalau teman-teman di bawah membutuhkan bantuan, maka sejak tadi dia diam saja tidak mau menggunakan gendewa dan anak panahnya.Akan tetapi menyenangkan kekasihnya membakar hatinya.
"Lihat panahku pertama. Aku akan membunuh Juru Demung dari sini dengan sekali jemparing!"
Katanya dengan penuh gaya sambil mementang gendewanya dan mengincar kearah mereka yang sedang bertempur di bawah.
"Mana bisa kena tepat? Dia sedang dikepung dan dikeroyok. Jangan-jangan malah mengenai orang lain!"
Pasti kena dan kalau tepat mengenai payudara, apa upahnya, sayang?
"Upahnya?"
Lestari tersenyum manis, mencibirkan bibir di bawahnya yang merah.
"Upahnya cium satu kali!"
Resi Mahapati tertawa, kemudian melanjutkan penarikan tali gendewanya.
"Nah, lihatlah dia roboh, Tari...!"
Tali gendewa dilepas, terdengar suara menjepret dan nampak sinar kilat meluncur dan menyambar ke bawah. Sang Resi ini memang terkenal sebagai seorang ahli panah yang sangat hebat. Biarpun dalam hal ilmu pukulan dia masih kalah jauh dibandingkan dengan kakak seperguruannya, yaitu Empu Tunjungpetak, akan tetapi dalam hal ilmu sihir panah, dia jauh lebih unggul.
Juru Demung memang sudah payah. Seperti juga keadaan Lembu Sora, dia telah menerima banyak tusukan dan bacokan sehingga tubuhnya mengalami luka-luka. Bahkan lebih parah dari Lembu Sora. Akan tetapi dia masih terus mengamuk dan tidak akan menyerah sebelum roboh. Tiba-tiba, sinar kilat anak panah dari atas itu menyambar dan tepat mengenai dada Juru Demung!
"Wirrr...cepp.. aahhhh!"
Juru Demung mendekap anak panah yang menancap di dadanya, memandang terbelalak ke atas dan melihat Resi Mahapati berada di menara, dia mengeluarkan suara yang tak dapat Dipahami artinya, lalu roboh terjengkang dan tewas seketika. Di atas menara, Lestari sudah merangkul Resi Mahapati dan ditarik ke dalam agar tidak terlihat dari luar, kemudian dengan penuh kegirangan dan kemesraan dia mencium pipi kakek yang merasa sangat bangga itu.
"Eehhh, kenapa cium di pipi? Janjinya cium yang mesra, bukan sekedar ambung saja."
Lestari tersenyum manja dan berkata.
"Upahnya haruslah sesuai dengan jasanya, kakangmas resi! yang paduka panah hanya seorang yang tidak begitu berharga, maka upahnya pun cukup berharga ditukar dengan ambung pipi kiri. Dan nyawa orang yang mengamuk di bawah itu, siapa namanya tadi, yang kakangmas katakan sebagai adik seperguruan Ronggo Lawe..."
"Raden Gajah Biru?"
"Ya, nah kalau nyawa dia aku mau menukar dengan ambung di pipi kanan."
"Ha-ha, kamu memang lucu. Nah, lihat betapa panahku akan menghabiskan nyawa Raden Gajah Biru!"
Kembali gendewanya dipentang, anak panah dibidikkan dan setelah gendewa menjepret dan anak panah meluncur ke bawah seperti kilat menyambar, di bawah sana, di antara mereka yang sedang bertanding, terdengar teriakan keras dan robohlah Raden Gajah Biru karena mencapai tertembus anak panah! Tentu saja Lestari menjadi kagum sekali dan dengan kemesraan yang membuar si resi semakin bangga hatinya, dia mencium pipi kanan sang resi dengan satu kali kecupan. Watak sang resi, di samping kekejaman dan kondisinya sebagai akibat dari tempat cita-citanya yang mencapai langit, juga dia suka sekali dipuji. Apalagi kalau yang memujinya itu seorang seperti selirnya yang dicintainya itu. Dan seperti watak semua orang yang suka sekali menerima pujian, semakin dipuji semakin hebatlah dia berusaha untuk memperoleh pujian selajutnya!
“Tari kekasihku, kalau sekarang aku menggunakan anak panahku untuk merobohkan Lembu Sora sendiri, apa upahnya darimu, manis?”
"Dia? benarkah paduka dapat merobohkan dia yang begitu perkasa dari sini dengan anak panah?"
Tanya Lestari girang.
"Tentu saja. Akan tetapi, aku minta upahnya cium di mulut."
"Baiklah, kakangmas resi!"
Sekali ini Resi Mahapati agak lama mendekatkan anak panahnya, dan lebih kuat pula dia menarik tali gendewanya karena dia pun maklum bahwa merobohkan Lembu Sora dengan anak panah tidaklah melebihi dua orang tadi. Kalau saja Lembu Sora belum terluka seperti itu, malah tidak mungkin dapat mengharapkan panahnya akan mengenai tubuh senopati yang perkasa itu, apalagi melukainya. Akan tetapi, pada saat itu Lembu Sora juga sudah payah sekali, gerakannya sudah mulai mengendur karena banyaknya darah yang keluar dari tubuhnya dan terutama sekali karena dia melihat bahwa dua orang pembantunya yang setia telah roboh sehingga kini hanya tinggal dia sendiri dan Ki Jembros saja yang masih mengamuk dan dikeroyok!
"Prattt...singgg...!!!"
Anak panah yang terlepas dari gendewa di tangan Mahapati kini tak tampak bayangannya, seperti kilat menyambar saja, dan karena Mahapati maklum akan kedigdayaan Lembu Sora, maka yang diarah adalah pusar senopati itu. Memang tidak mudah memanah pusar dari atas, akan tetapi yang diarahnya itu merupakan tempat berbahaya, karena dari tempat dia berdiri, letak pusar sasarannya tertutup oleh ulu hati.
Pada saat itu Lembu Sora memang sedang sibuk membela diri dan juga mengirim serangan-serangan balasan yan masih berbahaya. Sebagai seorang yang sakti, dia dapat melihat berkelebatannya sinar dari atas dan mendengar suara mendesingnya anak panah, dan biar pun dia sama sekali tidak sempat lagi mengelak karena dia masih dapat mendoyongkan tubuh di atas ke belakang dan sinar itu menyambar ke bawah dan mengenai paha kaki kananya.
"Cappp...!"
Tubuh Lembu Sora terhuyung dan dia menengadah. Tampak olehnya Mahapati di atas menara memegang gendewa. Seperti sinar kilat memasuki kepalanya, Lembu Sora kini dapat melihat apa yang kemungkinan besar telah terjadi dan dilakukan oleh Resi mahapati, teringatlah dia akan semua perbuatan dan kata-kata resi itu dari sejak awal terjadinya desas-desus atau berita tentang kematian Kebo Anabrang olehnya,sampai kepada berita-berita selajutnya yang membawa resi itu dan mengunjungi resi itu ke Pegunungan Pandan. Terbukalah matanya dan kini dia mengerti bahwa Resi Mahapati berdiri di balik ini semua, juga mengepung dan penyerbuan terhadap dia seteman di alun-alun ini tentu akibat siasat sang resi itu!
"Mahapati penghianat...!"
Dia berteriak lantang.
"manusia macam kamu kelak akan mati cineleng-celeng (dicincang)!"
akan tetapi Lembu Sora tidak dapat melanjutkan kutukannya karena tubuhnya telah dihujani senjata sehingga dia roboh dan terbunuh. Joko taruno, atau Kebo Taruno putera Kebo Anabrang, cepat meloncat ke depan, menggunakan parangnya yang dicabetkan ke leher musuh besarnya itu,memenggal kepala Lembu Sora sebagai pelaksanaan penyelesaian balas dendamnya.
Para perajurit Mojopahit memaafkan-sorak menghabisakan sisa anak buah Lembu Sora dan akhirnya hanya tinggal Ki jembros seoarang yang masih terus melawan pengeroyokan dua orang pendeta itu. Senopati Pranarojo yang mencoba untuk membantu dua orang pendeta itu, baru segebrakan saja sudah terlempar sampai terwujudnya diserempet hawa pukulan dari tangan Ki Jembros. Melihat ini, tidak ada lagi yang berani mencoba terjun ke gelanggang pertempuran yang sangat dahsyat itu. Setelah mendekap dan mencium mulut Lestari sebagai upahnya merobohkan Lembu Sora, kini Lestari berbisik manja.
"Kakangmas, lihat kakek mengerikan itu yang masih terus mengamuk."
Mahapati menjenguk ke bawah dan tertawa.
"Ha-ha, memang kakek itu hebat sekali dan sekarang aku dapat menebak siapa keberadaan orang itu, seperti yang diceritakan oleh Reksosuro dan Darumuko. Biar aku membantu kakang Empu Tunjungpetak dan kakang Resi Harimurti. Kalau tidak aku yang turun tangan, agaknya sukar merobohkan kakek gila itu,"
Katanya dengan nada suara sombong.
"Kalau benar paduka bisa merobohkan dia..."
"Ha-ha, upahnya...?"
"Upahnya malam nanti..., hi-hik...!"
Lestari terkekeh genit dan manja.
Mahapati kembali memeluk dan menciumnya.
"Engkau selalu menyenangkan hatiku. lihatlah baik-baik betapa suamimu akan merobohkan kakek gila di bawah itu. Kau tunggulah saja di sini!"
Setelah berkata demikian, Resi Mahapati lalu lari menuruni tangga menara dan berloncatan mencapai tempat terjadinya pertandingan dahsyat itu yang dikurung oleh para perajurit dari tempat yang agak jauh karena mereka tidak berani mendekati sama sekali.
Sambil mengeluarkan pedik melengking yang bukan hanya ditujukan untuk menggetarkan Ki Jembros, tetapi terutama sekali agar didengar dari jendela menara, Resi Mahapati terjun ke gelanggang pertarungan itu membantu Empu Tunjung Petak dan Resi Harimurti. Dua orang pertapa ini merasa lega dengan masuknya Resi Mahapati karena mereka berdua sudah merasa kecocokan menghadapi Ki Jembros yang benar-benar amat sakti itu, sungguh pun Ki Jembros sendiri juga tidak begitu mudah saja untuk dapat merobohkan mereka berdua yang menggabungkan kekuatan untuk menghadapinya itu. Kini, masuknya Resi Mahapati yang masih segar tenaganya membuat Ki Jembros terkejut dan terdesak. Akan tetapi, kakek ini tidak menjadi gentar malah tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, inilah kiranya yang bernama Resi Mahapati, si mendengus laknat itu! Celana saja muridku sangat membencimu, biarpun belum pernah melihatmu. Kiranya memang wajahmu membayangkan seorang manusia berwatak rendah!"
“Kakek gila mampuslah kamu!”
Resi Mahapati membentak marah dan dia sudah menerjang ke depan sambil mengerahkan aji kesaktiannya dan juga dia mengerahkan kekuatan batinnya untuk menundukkan Ki Jembros. Kim Jembros menangkis, tetapi diam-diam dia terkejut ketika merasa betapa jantungnya tergetar dan berdebar keras, kepalanya menjadi agak pening. Itulah akibat kekuatan sihir yang mulai digunakan oleh Resi Mahapati melalui pandangan matanya! Kalau saja bukan Ki Jembros yang diserang kekuatan ilmu sihirnya ini,
Betapapun juga, serangan sihir itu merupakah hal yang sangat mencakup Ki Jembros karena dia harus membagi perhatiannya, melawan serangan luar dan juga dalam! Hal ini memotret gerakannya, apalagi tiga orang pengeroyoknya itu menghujankan serangan dan setiap pukulan mereka merupakan pukulan-pukulan maut yang sangat kuat.
"Plakkkk!"
Sebuah penandatanganan dari tangan kiri Empu Tunjung Petak menyelinat di antara banyak serangan yang dapat ditangkis Ki Jembros, dan pembelajaran yang satu ini sukar dielakkannya lagi sehingga mengenai bahunya. Bukan main hebatnya pemecah Empu Tunjungpetak ini karena ukiran tangan kirinya mengandung aji kesaktian Wisa Dahana yang panasnya melebihi api. Dengan aji kesaktian ini, kabarnya tangan kiri Empu Tunjungpetak mampu membuat keris pusaka tanpa menggunakan api! Ki Jembros mengeluarkan teriakan seperti seekor singa meraung dan tubuhnya terhuyung, akan tetapi segera dia meloncat dan kakinya bergerak seperti badai mengamuk sehingga tiga orang pengeroyoknya terpaksa tidak berani mendekat dan mengelak.
Pertarungan berlanjut dan biarpun Ki Jembros merasa betapa pundaknya sangat nyeri dan panas, namun amukannya masih hebat sekali dan setiap kali tiga orang pengeroyoknya itu beradu lengan di dekatnya, mereka tentu mencelat atau terdorong mundur sampai beberapa langkah. Akan tetapi, begitu mereka mendesak dan menyerang dengan berbareng dari tiga arah, ditambah dengan serangan sihir yang tetap mengarahkan dari pandangan mata Resi Mahapati, Ki Jembros menjadi bingung dan kembali terkena pukulan dari seorang di antara mereka. Dan pukulan dari orang-orang tua ini bukanlah pukulan biasa, melainkan pukulan yang mengandung kekuatan dahsyat dari aji kesaktian mereka, yang bagi lawan lain yang tidak memiliki kekebalan seperti Ki Jembros tentu dapat mematikan.
“Ki Jembros, berlututlah kamu…!”
Tiba-tiba terdengar suara bentakan mulit Resi Mahapati dan secara aneh, Ki Jembros merasakan kedua lututnya lemas dan hampir saja dia menjatuhkan diri berlutut.
"Gila...!"
Bentaknya dan.
"Wuuuuttt...!"
Lengan kirinya yang panjang menyambar kearah Mahapati, akan tetapi resi ini dengan tangkas sudah mengelak dengan loncatan ke belakang sedangkan Empu Tunjungpetak dan Resi Harimurti sudah menubruk dari belakang sehingga Ki Jembros terpaksa membalik dan tidak mendesak Resi Mahapati.
"Plak-plak...desss....!"
Ketika Ki Jembros menangkisi serangan-serangan Resi Harimurti yang menggunakan kipas bambunya dan Empu Tunjungpetak yang menggunakan tangan yang ampuh, Resi Mahapati menggunakan kesempatan ini untuk memukul dari belakang dan tepat mengenai punggung Ki Jembros.
Kembali Ki Jembros terhuyung dan dari dalam dadanya keluar gerengan melalui kerongkongannya. Dia membalik dan terus mengamuk. Kalau saja hantaman-hantamannya itu mengenai Resi Mahapati, tentu akan tamatlah riwayatnya. Akan tetapi Mahapati adalah seorang yang cerdik dan dia sudah cepat-cepat menghindar dengan melompat ke belakang, memberi kesempatan kepada dua orang temannya untuk menerjang sela lagi Ki Jembros mengejarnya.
Demikianlah, keadaan Ki Jembros tiadanya dengan seekor harimau buas yang sangat kuat dan berbahaya dikurung oleh orang-orang yang cerdik dan curang, yang menyerang selaga harimau itu membelakanginya dan lari kalau harimau itu membalik dan mengejarnya untuk memberi kesempatan kepada pengurung di belakang harimau untuk menyerang . Beberapa kali Ki Jembros menerima hantaman dari belakang, baik hantaman tangan Resi Mahapati atau Empu Tunjungpetak yang ampuh, juga hantaman kipas bambu atau lecutan pecut panjang di tangan Resi Harimurti.
Karena dia sendiri tidak pernah berhasil membalas pukulan-pukulan itu dan tiga orang pengeroyoknya selalu menghindar dapatkan setiap serangan balasan, marahlah Ki Jembros. Kakek yang biasanya gembira dan tertawa-tawa itu, kini menggereng-gereng seperti harimau terluka. Dia maklum bahwa dia telah dikepung pasukan Mojopahit dan bagaimana pun juga, dia tidak dapat meloloskan diri. Lembu Sora dan kawan-kawannya yang dibantunya telah membunuh semua dan dia harus berani mengadu nyawa dengan tiga orang lawan tangguh ini, karena jika terus bertanding seperti ini, dia akhirnya akan kehabisan tenaga dan kalah.
Terdengar teriakannya yang menggetarkan bumi dan banyak perajurit Mojopahit yang roboh pingsan, ada yang menjadi lumpuh seketika kedua kaki mereka dan ada pula yang mengotori ketika mendengar teriakan ini. Lalu Ki Jembros menubruk maju,kedua tangan menyambar ke arah Empu Tunjungpetak yang baru saja kembali berhasil menampar dadanya. Seperti tadi, Empu Tunjungpetak meloncat ke belakang untuk memberi kesempatan kepada dua kawannya agar menyerang dari belakang. Dan memang, Resi Harimurti dan Resi Mahapati segera menyerang dari belakang dengan hebatnya, dan pecut panjang Resi Harimurti lebih dulu dapat mengenai punggung dan tengkuk Ki Jembros dengan lecutannya.
"Tarrr...plakkk, brettt...!"
Baju di punggung itu robek seperti dikerat pisau,punggung dan tengkuknya terkena lecutan, rasanya panas seperti disengat penyakit. Akan tetapi, sekali ini Ki Jembros tidak memperdulikan serangan dari belakangnya, menubruk ke arah Empu Tunjungpetak.
"Plakk! Dessss....!"
Empu Tunjungpetak cepat menangkis serangan lawan dan pada saat itu, pukulan kipas bambu di tangan Resi Harimurti telah mengenai lambung kiri dan hantaman tangan Resi Mahapati mengenai punggung dengan hebat sehingga tubuh Ki Jembros terdorong ke depan. Hal ini mencelakakan Empu Tunjungpetak,karena kecepatan gerak tubuh Ki Jembros menjadi semakin hebat tersurung oleh serangan dari belakang itu dan tiba-tiba tubuhnya telah berhasil menyelesaikan menubruk tubuh Empu Tunjungpetak dan kedua tangannya telah berhasil mencapai keberhasilan leher Empu Tunjungpetak! Empu Tunjungpetak cepat menggunakan kedua tangannya untuk berusaha melepaskan cekikan, namun terdengar Ki Jembros tertawa tergelak-gelak dan cekikannya tidak pernah mengendur. Resi Mahapati yang melihat kakak seperguruannya terancam bahaya, cepat melakukan pemukulan-pemukulan hebat dari belakang, demikian pula Resi Harimurti,
"Prakkkk!"
Pecahlah kepala Empu Tunjungpetak dan pada saat itu, Resi Mahapati dan Resi Harimurti juga mengerahkan seluruh tenaga mereka menghantam kearah tengkuk dan punggung Ki Jembros.
"Desss! Desss...!"
Ki Jembros melepaskan tubuh Empu Tunjungpetak yang sudah tak bernyawa lagi, dan dia memuntahkan darah segar, cepat membalik dengan kedua lengan menyambar. Akan tetapi kedua orang lawannya telah mencelat mundur dan memandang dengan muka pucat, mata terbelalak penuh rasa kaget dan jerih melihat betapa Empu Tunjungpetak telah terbunuh dan juga betapa Ki Jembros yang telah menerima pukulan-pukulan maut bertubi-tubi itu masih dapat melawan dengan begitu hebatnya . Muka yang penuh cambang bauk itu berlepotan dara yang menyembur dari mulut dan matanya terbelalak, mulutnya terbuka dan masih mengeluarkan suara tertawa! Tiba-tiba Ki Jembros menubruk, mengembangkan kedua lengan. Resi Mahapati dan Resi Harimurti cepat mengelak ke belakang,
Ketika dengan hati-hati dua orang resi itu memeriksa tubuh kakek raksasa itu,ternyata Ki Jembros telah mati pula. Para perajurit gembira melihat orang terakhir yang mengerikan dari pihak musuh itu terbunuh, akan tetapi diam-diam Resi Mahapati dan Resi Harimurti harus mengakui bahwa selama hidup, baru sekarang ini menghadapi lawan yang demikian saktinya. Yang paling ketakutan mendengar berita kematian Lembu Sora adalah sang prabu sendiri. Semenjak kematian Ronggo Lawe, sang prabu sudah merasa sangat khawatir,apalagi kini ditambah dengan kematian Lembu Sora, seorang yang paling percaya,paling disayang selama ini, sejak sebelum dia menjadi raja sampai sekarang!
Kalau dia teringat betapa Lembu Sora di waktu masih sengsara dahulu, melakukan perjalanan penuh derita bersama Dyah Tribuana, melindunginya dan membelanya dengan taruhan nyawa, bahkan pernah menyediakan tubuhnya untuk dijadikan tempat duduk oleh sang prabu dan isterinya karena tempat itu kotor dan becek, teringat akan semua pembelaannya di dalam perang, maka hati sang prabu seperti disayat-sayat rasanya mendengar kematian Lembu Sora sebagai seorang pemberontak! Sang prabu adalah seorang manusia yang bijaksana, yang tidak akan bersumpah menghadapi kematian siapa pun, tetapi yang mendukakan hatinya adalah melihat Lembu Sora mati sebagai seorang pemberontak.
Apalagi ketika para isterinya, putri-putri mendiang Raja Kertanegara, menyatakan penyesalan mereka atas peristiwa yang mengakibatkan kematian Lembu Sora, sang prabu menjadi semakin sedih. Akan tetapi,rasa girang yang diperlihatkan oleh isterinya yang paling disayangnya, yaitu Sri Indreswari atau Dara Petak dari Malayu, yang merasa puas mendengar kematian Lembu Sora yang dianggapnya berdosa karena membunuh Kebo Anabrang senopati yang disayang oleh isteri dari Malayu ini, membuat hati sang prabu yang Kekhawatiran itu menjadi hancur dan bingung. Dan akhirnya, sang prabu jatuh sakit dan semenjak itu, kesehatannya mundur sekali, wajahnya sering sekali murung dan sang prabu banyak termenung dengan wajah muram.
Sementara itu, peristiwa yang terjadi berturut-turut semenjak pemberontakan Ronggo Lawe yang baru lima tahun kemudian disusul pemberontakan Lembu Sora, juga membunuh seorang senopati tua di Kerajaan Mojopahit. Senopati itu adalah Aryo Pranarojo, yang juga merupakan salah satu di antara deretan senopati yang setia dan sudah bertahun-tahun mengabdi kepada Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana semenjak sang prabu masih belum menjadi raja dan bernama Raden Wijaya dulu. Aryo Pranarojo ini bukan lain adalah ayah dari Ki Patih Nambi! Sebagai seorang yang bijaksana, Aryo Pranarojo berkeringat karena melihat kenyataan bahwa terjadinya huru-hara, terjadinya pemberontakan-pemberontakan itu, yang mengakibatkan gugurnya banyak senopati gemblengan dan pilihan, semata-mata adalah karena memunculkan puteranya, Raden Nambi sebagai patih.
Melihat betapa kedudukan yang berkelanjutan puteranya itu telah mengakibatkan gugurnya begitu banyak senopati dan perajurit, hati Aryo Pranarojo seperti diremas-remas rasanya. Begitu banyak sahabat-sahabatnya yang gugur, Ronggo Lawe, Kebo Anabrang, Lembu Sora, Juru Demung, Raden Gajah Biru, bahkan juga pertapa-pertapa sakti seperti Empu Tunjungpetak dan Ki Jembros, belum lagi ratusan bahkan ribuan perajurit, telah terbunuh. Dan setelah terbunuhnya Lembu Sora, dia melihat betapa sang prabu menjadi cemas dan kesehatannya mundur, maka semakin sedihlah hatinya. Maka dia teringat kepada sahabatnya yang terbaik sejak muda, yaitu Aryo Wirorojo,ayah Ronggo Lawe yang kini menjadi adipati di Lumajang. Sahabatnya itu, biar pun telah kehilangan puteranya, namun tidak mau mencampuri urusan perebutan kekuasaan,
Betapa bahagianya sahabatnya itu yang tidak mau mengikat dirinya. Teringat akan sahabatnya, dia pun lalu mengundurkan diri dan membawa keluarganya berangkat ke Lumajang, meninggalkan puteranya, Ki Patih Nambi yang masih haus akan kekuasaan dan mempertahankan kedudukannya melebihi nyawanya sendiri. Dan kepergian Aryo Pranarojo ini semakin mendatangkan rasa kesepian di hari sang prabu, namun mengingat bahwa senopati ini sudah tua dan mampu menghabiskan waktu hidupnya dengan tentram, sang prabu tidak tega untuk mencegahnya.
Waktu berjalan terus, tidak memperdulikan segala peristiwa yang terjadi di dunia. Dan waktu akan menelan semuanya yang terbentang di hadapannya! Waktu akan menghapus segala noda dan luka dari hati manusia. Tidak ada kesukaan atau kedukaan yang dapat ditahan, semuanya digulung oleh waktu! Akan tetapi, sebelum waktu bergulir dan menghapusnya, kita selalu menyimpan segala peristiwa itu sebagai kenangan, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Dan penyimpanan sebagai kenangan atau kenangan inilah yang menimbulkan derita dalam hidup! Peristiwa yang menyenangkan badan atau batin, kita simpan sebagai pengalaman yang nikmat dan menyenangkan dan hal ini membuat kita selalu teringat dan selalu mengejar terulangnya kembali peristiwa itu. Dalam keadaan inilah terjadi banyak sekali hal-hal yang menimbulkan derita hidup, karena melahirkan ini melahirkan kekerasan, yaitu kita ingin menyingkirkan segala penghalang tercapai yang kita kejar-kejar sehingga dengan sendirinya perbuatan ini menimbulkan pertentangan dan permusuhan. Juga,kalau kepuasan kita tidak berhasil,maka timbullah kekecewaan dan duka.
Sebaliknya,kalau kita tercapai, kita akan menjadi bosan atau tidak lagi menghargai yang kita kejar-kejar itu karena kita haus akan pengalaman-pengalaman lain yang LEBIH menyenangkan. Sebaliknya, peristiwa yang tidak menyenangkan disimpannya sebagai pengalaman yang tidak menyenangkan sehingga kita ingin selalu menjauh dan menentangnya. Di sisi lain, peristiwa yang tidak menyenangkan menimbulkan amarah dan dendam sehingga membuat kita ingin sekali membalas penyebab dari ketidaksenangan itu! Demikianlah, peristiwa yang tersimpan dalam kenangan, baik yang menyenangkan mau pun yang tidak, menimbulkan serangkaian hal yang dapat menyeret kita ke lembah derita dan duka, sebelum sang waktu menggulung dan menghapusnya.
Betapa akan lain keadaannya apabila kita dapat MENGAKHIRI segala peristiwa kita, baik yang menyenangkan maupun yang tidak, berakhir pada saat itu pula dan tidak menyimpannya sebagai kenangan! Mengakhiri segala peristiwa berarti lenyapnya keinginan untuk mengulang, dan lenyapnya sakit hati dan dendam. Batin menjadi kosong dan hening, siap menghadapi segala macam peristiwa yang terjadi saat ini tanpa dikotori oleh peristiwa masa lalu dan tanpa memusingkan perisitwa yang akan atau mungkin terjadi.
Akan tetapi sayang, kita sudah terbiasa untuk mengenangkan kembali, terbiasa untuk memakan kembali segala peristiwa. Kalau kita berduka, kita sudah biasa untuk meremas-remas batin kita, mengenangkan semua yang mendukakan itu kembali sehingga timbullah penyesalan, sakit hati dan lain-lain. Sebaliknya kalau kita merasakan suatu kesenangan yang kita simpan dalam kesenangan sehingga timbul kesenangan terhadap kesenangan-kesenangan itu yang tiada hentinya. Jadi sebelum sang waktu mengumpulkan semua itu, sebelum sang waktu menggulung kita ke detik terakhir dari hidup kita, kita selalu dipermainkan oleh pikiran kita sendiri,diombang-ambingkan dalam kehidupan seolah-olah kita hidup dalam alam kenangan dan khayal dan tidak pernah hidup dalam alam kini atau saat ini!
Empat tahun telah berlalu tanpa terasa, dan memang empat tahun bukan apa-apa bagi sang waktu yang tak dapat diukur lagi berapa orang tuanya. Sejuta tahun, sepuluh juta tahun, seratus juta? Mungkin lebih! Dan dunia berputar terus. Manusia lahir dan mati, dan hidup selalu penuh derita, penuh permusuhan, dengan hanya sedikit sekali suka cita dibandingkan dengan banyaknya duka.
Gunung Bromo merupakan sebuah di antara gunung-gunung yang besar dan tinggi di Jawa Dwipa dan merupakan sebuah gunung berapi yang mempunyai kawah besar yang selalu mengepulkan uap dan dianggap pula sebagai sebuah gunung yang keramat. Sesuai dengan namanya, gunung itu dianggap sebagai tempat yang dikuasai oleh sang Bathara Bromo, Dewa Api. Seperti keadaan gunung-gunung berapi, di lereng-lereng Gunung Bromo bayak terdapat batu-batu besar dan daerah-daerah tandus yang pernah dilalui oleh lahar,akan tetapi daerah-daerah lain di sekitarnya sangat subur sehingga penuh dengan hutan-hutan yang lebat. Juga pegunungan ini mempunyai banyak puncak-puncak yang indah pemandangan alamnya.
Puncak kecil itu merupakan daerah terpencil, jauh dari dusun yang kebanyakan terdapat di lereng agak bawah, dimana tanahnya paling subur. Hanya ada sebuah gubuk di puncak itu, gubuk kecil berkamar dua terbuat dari bilik bambu sederhana dan atap daun ilalang. Akan tetapi, biar pun sangat sederhana dan tentu saja disebut miskin, harus diakui bahwa gubuk itu bersih dan terpelihara baik-baik, bahkan pelataran di sekitar gubuk itu pun bersih dari daun-daun kering, tanda bahwa setiap hari tempat itu tentu akan mengecewakan orang. Juga disebelah belakang gubuk sebuah taman kecil penuh dengan bunga-bunga indah yang memang sangat subur hidupnya terdapat di tanah pegunungan. Di sebelah dan taman itu terdapat kebun sayur yang cukup luas. Pagi itu, seorang pemuda yang usianya kurang lebih delapan belas tahun, melenggang seenaknya keluar dari dalam kebun,
Kemudian dia melenggang lagi menuju ke gubuk. Ketika dia tiba di depan gubuk menuju ke pintu karena gubuk itu hanya mempunyai satu pintu depan saja, tiba-tiba wajahnya berubah dan dia melihat seorang kakek yang tua renta, pakaiannya hanya kain kuning yang dibelit-belitkan di tubuhnya yang kurus kering, rambutnya panjang, demikian pula janggut dan kumisnya, semuanya telah putih. Kakek itu duduk di atas dipan bambu yang berada di depan gubuk, duduk bersila dengan tenangnya.
“Ah, eyang guru sudah berada di luar sepagi ini?”
Kata pemuda itu dengan suara yang halus namun penuh dengan gairah hidup, penuh dengan kegembiraan seperti suara biasa seorang muda yang belum dikotori batinnya oleh segala macam persoalan hidup. Cepat dia mendekati kakek itu, menaruh sayur di atas dipan lalu berlutut dan mencium tangan kakek itu penuh khidmat.
Wajah kakek yang lembut dan penuh ketenangan dan kesabaran itu tersenyum ketika dia memandang kembang mawat merah di atas kepala pemuda itu. Lalu dia berkata dengan halus.
"Cucuku, Sulastri, kamu memang bocah yang aneh!"
Pemuda itu kini duduk di atas dipan setelah tangannya ditarik oleh kakek itu,dan sambil menatap wajah kakek yang lembut itu dia berkata matanya yang bening lebar terbelalak, kelopak terangkat dan dia menjawab lincah.
"Saya...? Aneh...? Eyang, apakah hidung saya dua, ataukah mata saya hanya sebuah maka eyang bilang saya aneh?"
Senyum di mulut ompong itu melebar. Harus diakuinya bahwa semenjak cucu muridnya ini tinggal di dalam gubug itu, kecerahan dan kegembiraan selalu mengelilinginya dan dia yang sudah tua dan sudah biasa menyepi itu tidak dapat tidak terseret ke dalam arus kegembiraan cucu muridnya itu. Siapakah kakek yang tua renta itu? Dan siapa pula "pemuda"
yang dipanggil dengan nama wanita itu? Pembaca tentu masih ingat akan nama Sulastri, dara yang empat tahun lalu masih merupakan dara remaja yang lincah jenaka dan bengal, murid Ki Jembros, bocah perempuan yang datang dari dusun Gedangan itu. Memang "pemuda"
Ini adalah Sulastri dan kakek itu adalah seorang pertapa yang sudah puluhan tahun bertapa di puncak itu, puncak Pegunungan Bromo dan dia adalah Empu Supamandrangi yang sakti mandraguna dan yang sudah tidak mencampuri lagi urusan duniawi. Dahulu, puluhan tahun yang lalu sebelum dia menjadi pertapa, dia terkenal sebagai seorang ahli pembuat keris yang ampuh-ampuh, di antaranya adalah keris pusaka Kolonadah milik Ronggo Lawe. Kakek ini adalah guru dari Ronggo Lawe, dan karena semenjak kecil Sulastri telah "mengaku murid"
Dari Ronggo Lawe, maka dia menyebut eyang guru kepada kakek yang kini menjadi gurunya itu.
Seperti yang telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini, tadinya Sulastri,empat tahun yang lalu, masih ikut merantau dan berkeliaran tak tentu tempat tinggalnya bersama gurunya yang aneh, yaitu Ki Jembros. Ketika Ki Jembros bertemu dengan Empu Tunjungpetak dan Resi Harimurti, kemudian bertanding di keroyok dua, Ki Jembros terluka dan kebetulan mereka lalu bertemu dengan Juru Demung dan Raden Gajah Biru di Pegunungan Pandan, di mana Ki Jembros akhirnya lalu beristirahat untuk menyembuhkan luka-lukanya di sebelah dalam tubuhnya. Dan karena dia tidak ingin muridnya yang tersayang itu terlibat dalam kutipan yang agaknya akan terjadi antara kawan-kawan Lembu Sora dan Mojopahit, maka dia menyuruh muridnya itu untuk pergi sendiri ke Pegunungan Bromo dan mencari kakek gurunya, yaitu Empu Supamandrangi di puncak Pegunungan Bromo.
Tentu saja perjalanan seorang diri itu merupakan perjalanan yang amat sukar dan berbahaya bagi seorang gadis yang ketika itu baru berusia empat belas tahun seperti Sulastri. Namun berkat ketekunan dan keberaniannya, dengan susah payah, setelah menempuh banyak sekali kegagalan, akhirnya Sulastri juga dapat menemukan Gubug itu dia menyembah di depan kaki sang pertapa. Setelah mendengar akan penuturan Sulastri, kakek itu yang berkeinginannya tinggal di situ dan menjadi muridnya. Demikianlah, ketika pada pagi hari itu Sulastri melihat gurunya pagi-pagi telah berada di depan gubug, dia telah menjadi murid Empu Supamandrangi selama empat tahun dan kini dia bukan lagi Sulastri yang dulu, melainkan telah menjadi seorang dara perkasa yang dewasa, namun masih lincah dan kenes, jenaka dan manja seperti dahulu,
Yang sangat tampan, bahkan "terlalu"
Tampan!
“Kenapa eyang diam saja? Jawablah, eyang, kenapa saya dianggap aneh?”
Sulastri mendesak kakek itu ketika pertanyaannya tidak terjawab.
Kakek itu menarik napas panjang.
"Sulastri, kamu adalah seorang anak perempuan yang cantik dan jenaka, seorang wanita tulen, akan tetapi kamu selalu memakai pakaian pria. Aku tidak hendak melarang kesukaan orang, hanya sedikit hal itu yang merupakan suatu keanehan?"
"Eyang, saya telah bersumpah kepada diri saya sendiri sebelum tercapai atau melaksanakan idaman hati saya, maka saya akan terus mengenakan pakaian pria!"
"Hemmm... begitukah? Dan apakah idaman hatimu itu?"
"Pertama, bunuh Reksosuro dan Darumuko!
"Sulastri, sungguh sedih hatiku mendengar ini. Amat tidak baik idaman hatimu,cucuku. Tak baik hidup mengandung dendam dan permusuhan. Apalagi membunuh orang."
"Habis untuk apa saya bersusah payah sejak kecil mempelajari ilmu kalau saya tidak boleh membunuh mereka yang telah melakukan perbuatan jahat terhadap saya,maksud saya terhadap mendiang kakek saya?"
"Mempelajari segala macam ilmu boleh dan baik saja, akan tetapi kalau dengan tujuan yang buruk, ilmu itu pun menjadi sesuatu yang buruk, merupakan kutukan. Yang paling penting adalah membela kebenaran, cucuku, dan pada siapa pun kebenaran itu berada, haruslah dibela. Sebaliknya , yang salah haruslah ditentang,biar pun yang salah adalah dirimu sendiri."
Kakek itu kembali menghela nafas panjang karena dia maklum betapa sia-sianya memberi nasehat, seperti sia-sianya semua nasehat di dunia ini, karena yang paling penting adalah kesadaran diri sendiri. Tanpa adanya kesadaran dan pemahaman itu sendiri, sesmua nasihat dan wehangan hanya akan merupakan angin lalu berlaka, terasa semilirnya lalu hilang tanpa bekas, atau lebih celaka lagi, wejangan itu hanya akan menjadi semacam hiasan untuk meminta diri, atau disalah gunakan sebagai "bukti"
Kebersihan dan kebaikan dirinya.
"Kalau kamu akan terus memakai pakaian pria, hal itu terserah padamu, tapi janganlah berbuat kepalang tanggung, cucuku, karena kalau begitu,engkau hanya akan menjadi buah tertawaan orang lain saja."
“Maksud eyang…?”
Kakek itu memandang kearah bunga mawar merah di rambut Sulastri.
"Kembang mawar di rambutmu itu."
Sulastri meraba kembang itu dan tersenyum.
"Apa salahnya, eyang? Apakah seorang pria tidak boleh menghias rambutnya dengan kembang?"
"Tidak ada yang mengajarkan dan tidak ada yang menganjurkan, hanya biasanya, wanita sajalah yang menghiasi rambutnya dengan kembang seperti itu. Maka, kalau memang kamu ingin menyamar sebagai pria, hal itu memang baik sekali dan menghindari kesulitan dalam perjalananmu, akan tetapi enkau harus pula menyembunyikan kesukaanmu bersolek seperti kebiasaan seorang wanita."
"Perjalanan? Apakah aku harus melakukan perjalanan, eyang?"
Kakek itu mengangguk.
"Karena itulah pagi-pagi aku menunggumu di sini, Sulastri. Hari ini juga kamu harus turun dari puncak dan melakukan perjalanan jauh."
"Ahhh...!"
Berita ini terlalu mengejutkan buat Sulastri. Sudah selama setahun akhir-akhir ini dia selalu merengek meminta ijin untuk turun gunung, akan tetapi kakek itu selalu melarangnya dan memerintahkannya untuk memperdalam ilmunya yang dikatakan masih belum cukup untuk bekal turun gunung. Maka kini, ucapan kakek itu mengejutkan, sekaligus menggetarkan hati.
"Terima kasih, eyang...!"
Dia cepat menjatuhkan dirinya ke depan kakek Empu Supamandrangi.
"Aihh, bocah ini..."
Sang Empu mengomel geli.
"Sikapmu seperti orang yang mau pergi ke pesta atau mau berlayar saja, padahal perjalananmu akan menempuh berbagai macam bahaya. Engkau harus dapat mengubah sikapmu yang seperti masa kanak-kanak, Lastri, karena hidup bukanlah main-main belaka. Apalagi hidup seorang seperti kamu yang diracuni oleh latar belakang penuh balas dendam. Mulai sekarang keputusan dalam langkah hidupmu sepenuhnya berada di tanganmu, dan kau bisa melakukan apa pun juga berdasarkan keputusan dirimu sendiri, dan hal itu sangat berbahaya. Aku hanya mempunyai suatu pesan yang kuharap kau dapat memenuhinya."
"Pesan apakah itu, eyang? Saya berjanji akan melaksanakannya dan memenuhinya dengan sepenuh hati saya!"
Kembali kakek itu tersenyum.
“Cucuku, lain kali jangan kamu begitu mudah menjatuhkan janji dan sumpah. Yang penting dalam hidup ini bukan segala macam janji melainkan kenyataan dalam perbuatan. Pesanku adalah agar kamu suka mengambil kembali keris pusaka Kolonadah dan kemudian menyerahkan kepada Pangeran Kolo Gemet, putera sang prabu di Mojopahit.”
“Eh, kenapa harus diserahkan kepada Pangeran Kolo Gemet, eyang?”
Sulastri bertanya, heran dan juga kecewa karena tadinya dia ingin memiliki sendiri keris pusaka itu.
"Tidak perlu kau mengetahui terlalu banyak akan rahasia ini, cucuku, hanya ketahuilah bahwa keris itu terlebih dahulu kubuat dengan susah payah dan kubuat khusus untuk seorang raja. Sayang bahwa keris itu memiliki wibaya yang begitu kuat sehingga muridku Ronggo Lawe-pun terdorong untuk memperebutkan kekuasaan dan karenanya dia membahas kematian. Hanya demikian saja yang dapat kujelaskan, maka Kolonadah itu supaya kau serahkan kepada Pangeran Kolo Gemet."
Sulastri menyembah dan berkata.
"Yah, eyang, akankah aku taati perintah eyang. Akan tetapi..."
"Hemm, apalagi? Mengapa ada bayangan bayangan di wajahmu?"
"Eyang sudah sangat tua, selama empat tahun ini ada saya di sini untuk membantu dan melayani eyang, memelihara tanaman, memasak dan memasak.
"Ha-ha-ha, memang kehadiranmu di sini hanya membuat aku menjadi malas dan keenakan saja, cucuku. Kau kira siapakah yang melayani aku selama kamu belum tiba di sini? Kalau aku ingin dilayani orang, ingin hidup mulia secara lahiriah,apa kau kira aku bertapa dan berada di sini selama puluhan tahun? Ha-ha-ha,dengan membikin dan menjual keris saja aku dapat hidup kaya dan mempunyai banyak pelayan di kota. Jangan khawatir, cucuku, seekor semut saja dapat merawat dan memelihara diri sendiri, masa aku kalah oleh semut?"
Mendapat jawaban demikian, Sulastri tersenyum dan legalah hati. Dia lalu berkemas, mengumpulkan pakaiannya yang tidak banyak, semua pakaian pria yang sederhana namun cukup menutupi tubuhnya sehingga tidak akan ada yang tahu bahwa dia seorang wanita. Kemudian, dengan sebuah buntalan pakaian di pundaknya, dia berlutut lagi di depan kakek yang masih duduk bersila di atas dipan bambu di depan gubug.
"Apakah aku boleh berangkat sekarang, eyang?"
“Berangkatlah, cucuku, dan berhati-hatilah,”
Kata si kakek sambil tersenyum melihat bahwa kembang mawar merah tadi sudah tidak lagi menghiasi rambut kepala Sulastri.
“Dan kamu pun tentu saja tidak dapat menggunakan nama Sulastri dalam perjalanan.
Sulastri tersenyum lagi. Kejenakaan eyangnya itu membuat hatinya ringan dan tidak terasa terlalu berat meninggalkan tempat di mana dia telah tinggal selama empat tahun, terutama meninggalkan kakek renta yang selama ini menggemblengnya dan dilayaninya itu.
“Mohon eyang sudi memberi nama samaran kepada saya.”
"Kenapa kamu tidak mencari sendiri? Apakah kamu sudah memilih nama yang baik?"
"Saya sudah memilih sebuah nama, eyang, nama yang sederhana dan mudah, yaitu Joko Bromatmojo."
"Heh-heh, cukup bagus. Bromatmojo berarti Bromo-atmojo (anak Bromo), anak Gunung Bromo. Nama yang baik sekali."
Setelah berpamit lagi dari kakek itu dan mendapatkan doa restunya, berangkatlah Sulastri turun dari puncak itu, diikuti pandang mata kakek Empu Supamandrangi dengan sinar mata sayu. Setelah bayangan dara itu hilang, kakek itu menarik napas tiga kali dan berkata lirih.
“Betapa kuatnya ikatan yang timbul dari pementingan diri!”
Dia lalu memejamkan matanya dan diam sampai lama sekali.
Memang demikianlah. Biarpun seorang pertapa seperti Empu Supamandrangi yang sudah melepaskan keduniawian, begitu bertemu dengan sesuatu yang menyenangkan dirinya, sesuatu yang dinikmatinya, terjadi ikatan dan terasa nyeri di dalam hati kalau ikatan itu dipatahkan. Hidupnya tadinya tenang dan tenteram, seperti udara yang tiada gelombang. Akan tetapi muncullah Sulastri yang membawa kecerahan di dalam hidupnya yang menyenangkan hatinya, melayaninya dan berbakti kepadanya sehingga timbul rasa sayang di dalam hatinya. Perasaan sayang yang timbul karena dia disenangkan! Perasaan ini menonjolkan sifat pementingan diri pribadi dan menciptakan suatu ikatan di dalam batinnya karena dia ingin agar kesenangan itu dilanjutkan dan jangan sampai diambil dari dia! Karena itulah maka perpisahan merupakan sesuatu yang sangat berat bagi orang yang ikatan batinnya.
Jadi terang bahwa ikatan menimbulkan duka, yaitu apabila kita diharuskan berpisah dari ikatan kepada kita, dan ikatan timbul dari keinginan melanjutkan kesenangan. Hal ini sudah jelas. Bukan berarti bahwa kita harus menolak atau menentang kesenangan, sama sekali tidak, melainkan kita tidak mengejarnya. Dan kita baru bisa mengejar kesenangan kalau kita tidak menyimpan pengalaman yang menyenangkan dalam ingatan atau kesenangan!
Pada suatu pagi tibalah Sulastri di sebuah hutan yang lebat. Baru saja malam tadi dia bermalam di sebuah dusun, di rumah seorang petani tua bersama isterinya dan dari mereka ini dia mendengar bahwa hutan di sebelah barat dusun ini terkenal gawat. Apalagi karena di situ akhir-akhir ini, selama beberapa bulan ini, dikelilingi seorang gila yang sudah membunuh beberapa orang.
"Anehnya, yang dibunuhnya selalu adalah orang muda yang tampan. Oleh karena itu,raden, kami harap andika jangan melalui hutan di barat itu," Kata tuan rumah dengan khawatir melihat
betapa "pemuda"
Yang menjadi tamunya begitu tampan dan halus, tampak begitu lemah . Sulastri berjanji akan mengambil jalan lain agar tidak meremehkan keluarga yang demikian, akan tetapi tentu saja penuturan itu malah membuat hatinya tertarik sekali dan andaikata dia tidak sedang melakukan perjalanan ke barat, melainkan jika mendengar cerita itu dia akan dengan sengaja memasuki hutan itu untuk menyelidiki! Ada orang gila yang berkeliaran membunuhi orang, sungguh sangat berbahaya kalau diamkannya saja.
Mendengar ada orang gila tukang bunuh diri,sama halnya bagi dara perkasa ini seperti melihat sebuah lubang tersembunyi di tengah jalan. Hatinya tidak akan tenang sebelum dia menutup lubang itu agar jangan ada orang lain yang terperosok dan celaka. Maka sekarang pun dia merasa tidak enak sebelum dia memasuki hutan itu dan menaklukkan orang gila yang berbahaya itu! Sejak kecilnya Sulastri memang memiliki ketabahan luar biasa. Keberanian hatinya ini digembleng pula oleh pengalaman-pengalaman pahit dan kemudian ditambah oleh gemblengan Ki Jembros sehingga dia hampir saja menjadi seorang yang pembohong dan ganas! Untung sedemikian rupa menjelang dewasa, dia terdidik oleh Empu Supamandrangi sehingga kesadarannya terbuka dan dia tidak lagi pembohong sungguh pun tidak dapat melenyapkan wataknya yang jenaka, aneh, dan Bengal suka menggoda orang!
Dengan hati yang agak ngeri juga, kengerian orang menghadapi orang gila, kengerian bercampur jelek, Sulastri memasuki bagian paling lebat di hutan itu. Pohon-pohon besar yang usianya mungkin sudah ratusan tahun seperti raksasa-raksasa menyeramkan dan semak-semak belukar kadang-kadang begitu lebat menghalang jalan sehingga Sulastri harus mengambil jalan memutar. Tentu saja dia sama sekali asing dengan daerah ini, dan dia pun sudah lupa lagi jalan mana yang diambilnya empat tahun lalu ketika dia datang dari barat menuju Pegunungan Bromo. Satu-satunya pegangannya agar tidak hilang hanyalah matahari yang dia tahu muncul dari timur dan kalau pagi hari itu dia menuju kearah depan dengan matahari di belakangnya, kemudian kalau sore atau lewat tengah hari dia mengambil arah dengan matahari di depannya, maka dia tidak akan tersesat !
"Hua-ha-ha-hah!"
Sulastri melonjak saking terperanjatnya. Dia enak-enak melamun tiba-tiba saja ada suara ketawa sekeras itu, suara ketawa yang menyeramkan sekali dan orang baru yang tertawa itu tidak kelihatan! Siapa orangnya yang tidak akan kaget dan merasa serem? Sulastri menghentikan langkahnya, terasa betapa jantungnya membuat suara seperti sebuah gendang mengalahkan pertarungannya.
“Duk-duk-duk-duk…”
Berdenyut-denyut sampai terasa ke ubun-ubun kepalanya! Dia menarik napas panjang untuk menenangkan jantungnya dan matanya di sekeliling dengan waspada. Kewaspadaan ini yang membuat dia cepat memutar tubuh ke kanan ketika ada gerakan dari semak-semak di taman sebelah.
"Wuuuuutttt.... blukkkk!"
Batu sebesar gentong itu tergeletak di atas tanah di dekat kakinya ketika Sulastri cepat mengelak, kemudian memandang dengan penuh perhatian ketika dari balik semak-semak belukar itu muncul seorang laki-laki yang bentuk tubuhnya sedang saja, namun wajahnya bengis dan pakaiannya biar pun ada bekasnya sebagai pakaian yang mahal dan pantas, namun karena tidak terawat kini menjadi compang-camping. Matanya bukan seperti orang gila, pikir Sulastri.
Tentu ini dia yang disebut orang gila berbahaya itu, buktinya tiada hujan tiada angin tanpa apa-apa orang itu hampir saja membunuhnya dengan lontaran batu yang sebesar itu. Kalau mengenai orang yang tidak pandai mengelak, tentu akan pecahkan kepalanya atau remuk badannya. Namun di sisi lain, ada bukti lain yang menarik hatinya, yaitu bahwa orang ini bukanlah orang sembarangan. Orang yang dapat melontarkan batu seberat itu dengan tenaga lontaran yang begitu kuat, tentu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi.
"Hei, apa artinya ini?"
Sulastri bertanya kepada laki-laki yang kini sudah mendekatinya, laki-laki yang usianya kurang lebih lima puluh tahun.
"Ha-ha-ha, sekali ini tidak salah lagi. Engkaulah si manusia busuk!"
Laki-laki itu makin beringas matanya dan memang Sulastri melihat sinar mata yang lain dari mata orang biasa, mengandung kebencian dan kemarahan yang sudah mendekati kegilaan. Orang itu sudah menubruk maju, serangannya cepat dan kuat,akan tetapi membabi buta seperti yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang tidak lagi memperdulikan pembelaan dirinya, hanya ingin menyerang dan membunuh!
"Wirr-wirr...plak-plakk!"
Orang itu terhuyung miring ketika Sulastri mengelak kemudian menangkis dengan lengan kirinya dua kali sambil mengerahkan sebagian tenaganya.
"Ha ha ha!"
Orang itu malah tertawa dan menyerang lagi.
"Eh, kisanak, nanti dulu!"
Sulastri mengelak sambil berseru.
"Kenapa kamu menyerangku? Kita belum saling mengenal dan aku tidak pernah melakukan kesalahan padamu. Kalau ada urusan, mari kita bicara dulu sebelum kamu menyerangku!"
"Wuuutt-wir-wirr...!"
Pukulan-pukulan yang keras menyambar-nyambar namun semua dapat dielakkan oleh Sulastri dengan mudah.
"Ha-ha-ha, jelas sekarang! Siapa lagi kalau bukan kau? Kau pandai bicara,suaramu merdu dan halus, dengan itu engkau telah merayu Katmi! Engkau juga pandai berkelahi, tenagamu kuat, dengan itu engkau telah membunuh. Bagus... .kamulah orangnya, kini tidak salah lagi!"
Kakek itu berkata sambil tertawa-tawa dan terus menyerang tak pernah berhenti.
"Bukan! Jangan menuduh yang tidak-tidak. Mari kita bicara!"
Sulastri membentak sambil mengelak lagi. Akan tetapi kini laki-laki itu tidak menjawab, hanya mengeluarkan suara menggereng dan tiba-tiba dia telah mencabut parang yang mengkilap tajam dan dengan senjata ini, dia menyerang dengan ganas.
Sulastri cepat mengelak.
"Hemm... orang sinting! Kau nekat dan hendak berkelahi? Baiklah, nah, terimalah ini!"
"Plakk...!!"
Sebuah tamparan yang dilakukan dari samping mengenai pundak kiri orang itu yang terpelanting dan berputar sampai beberapa langkah. Namun orang itu hanya meringis dan sama sekali tidak gentar walau pun tamparan pertama ini saja sudah membuktikan bahwa dia tidak akan menang menghadapi lawan yang masih muda namun sakti ini.
"Ha-ha, mampus kau...!"
Dia menerjang dan menubruk seperti seekor srigala dan parangnya membacok kearah kepala Sulastri, tangan kirinya masih mencengkeram kearah perut!
"Sialan! Kau memang sinting!"
Sulastri berseru kesal dan tubuhnya miring untuk menghindarkan cengkeraman ke perutnya, kemudian dia mengangkat tangan kiri menangkis ke atas dan tangan kanannya memukul dengan penambahan sedikit tenaga ke arah dada lawan dengan menggunakan punggung tangan.
"Dukk! Plakk...!"
Orang itu mengeluh, parangnya terlepas dari pegangan karena ketika tertangkis tadi, dia merasa lengannya seperti lumpuh dan tidak mampu lagi mempertahankan parangnya, sedangkan pukulan ke dadanya membuat dadanya terasa seperti pecah dan matanya berkunang, tubuhnya terjengkang dan dia roboh bergulingan. Akan tetapi orang itu sungguh sudah nekat. Dengan mata beringas, dia meloncat bangun lagi dan dengan teriakan seperti binatang buas dia menubruk, menggunakan kedua tangannya mencengkeram ke arah Sulastri.
"Dess...!"
Kaki Sulastri yang kecil menendang dan orang itu kembali terpelanting,memegangi perutnya yang kena tending tadi sambil meringis kesakitan. Akan tetapi,kembali dia maju menyerang.
"Orang gila, kau masih nekat?"
Sulastri berseru ganas dan kembali tangannya menampar, kini mengarah tengkuk.
"Plakk...! Aughhh...!"
Orang itu terpelanting dan roboh, mengeluh panjang dan ketika dia bangkit dan duduk, dia menggoyang-goyang kepala untuk mengusir kepeningan kepalanya, akan tetapi tetap saja pandang matanya berkunang dan dunia seperti berpusing di sekelilingnya.
"Heh... kau bunuhlah aku... hemmm, kau bunuhlah biar aku menyusul Katmi anakku..."
Katanya terengah-engah.
"Kisanak, engkau salah sangka,"
Sulastri berkata dengan tenang dan kasihan karena dia maklum bahwa orang ini adalah orang yang agaknya dibikin gila oleh dendam sakit hati yang hebat.
"Aku tidak merayu anakmu, tidak pula membunuhnya,akan tetapi kalau kau mau menceritakan kepadaku apa yang terjadi dengan anakmu, barangkali saja aku akan dapat membantumu menangkap pembunuhnya."
Laki-laki itu kini mengangkat muka, menatap wajah Sulastri, kembali menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu mengerutkan alisnya dan bicara kepada diri sendiri.
"Yang seorang tampan dan muda, dengan kumis kecil dan tahi lalat di pipi kirinya, dan dua orang lagi yang muda dan juga berkumis, yang seorang tinggi besar dan seorang lagi pesolek dan matanya agak sipit. Hemm... yang dua sudah mampus, akan tetapi kau biar pun muda dan tampan... kau tidak berkumis..."
Hebatnya bukan perang utama kecil yang terjadi di alun-alun depan keraton itu. Keduanya terjadi dengan mati-matian, karena pihak Lembu Sora berasumsi bahwa mereka dikhianati dan hendak dibasmi oleh Patih Nambi, sedangkan pihak Patih Nambi berasumsi bahwa Lembu Sora dan kawan-kawannya hendak memberontak dan hendak membunuh sang prabu. Maka kedua pihak melawan mati-matian, sungguh pun keadaan mereka tidak seimbang sama sekali karena pihak Lembu Sora hanya ada seratus orang lebih sedikit, sedangkan pihak kerajaan yang dipimpin seribu orang pasukan!
Yang merasa gembira adalah Mahapati dan selirnya, Lestari. Wanita muda ini dengan senyum manis dan sinar mata berkilat-kilat seperti mata harimau melihat darah, menonton pertandingan itu dan dia mengepal-gepal tangan yang kecil,dan dari dalam mencerminkan yang panjang dan indah bentuknya itu terdengar geram-geram kecil seperti orang merintih kenikmatan, seperti orang yang terpuaskan nafsu berahinya.
“Ibu… ibu… Tejo… lihatlah… hemmm… lihatlah… tidakkah puas hati kalian…?”
"Eh, kamu bicara apa, manis?"
Mahapati merangkulnya dan memandangnya dengan dia.
Lestari menggeserkan hidungnya dipipi yang mulai kisut itu, memberi ciuman hangat.
"Paduka hebat! Lihat betapa Lembu Sora dan kawan-kawannya terbasmi! Hatiku girang sekali!"
"Eh, giranglah hatimu? kenapa girang melihat pertempuran mengerikan di bawah itu?"
"Mengerikan? Mereka itu merintis jalan yang paling baik untuk paduka, bukan?"
Mahapati menarik kepala selirnya dan mencium mulutnya dengan penuh dan mesra.
"Untuk kita, manis, untuk kita berdua!"
Dia lalu memandang ke bawah lagi, lupa akan pertanyaannya ketika dia tadi seperti mendengar selirnya menyebut-nyebut "ibu", dan memang pertempuran di bawah itu sungguh hebat. Ki jembros yang dikeroyok oleh dua orang kawannya itu,oleh Empu Tunjungpetak yang merupakan kakak seperguruannya dan memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi darinya, dan oleh Resi Harimurti yang juga tingkat kepandaiannya yang tinggi, akan tetapi tetap saja Ki Jembros memperhatikan keunggulan dan sama sekali tidak terdesak!
Akan tetapi selain Ki Jembros, semua pembantu Lembu Sora termasuk dia sendiri,mulai terdesak hebat. Lembu Sora sudah menderita luka-luka karena dialah yang terkurung dan diserang oleh banyak perajurit yang membantu Patih Nambi, dan Joko Taruno yang kemudian muncul dan ikut mengeroyok untuk kematian membalas ayahnya,Tumenggung Pamandana dan beberapa orang petugas lagi. Namun, tidak pernah senopati yang gagah perkasa ini mengeluh biar pun tubuhnya sudah mulai penuh belepotan darah dan entah sudah berapa banyak perajurit yang roboh oleh keris di tangan kanan kirinya. Dia mengamuk sambil menggereng dan menantang-nantang,bahkan luka-lukanya membuat dia semakin beringas, sepak terjangnya semakin menggiriskan, seolah-olah darahnya sendiri itu menjadi penambah semangatnya!
Juru Demung juga mengamuk dan dia berhadapan dengan senopati Pranarojo yang sakti dan yang juga dibantu oleh banyak perajurit sehingga Juru Demung yang terlihat letih itu mulai terdesak hebat. Demikian pula Raden Gajah Biru yang dihadapi oleh Tumenggung Singosardulo dan belasan orang perajurit, sudah terdesak dan menderita luka-luka, sungguh pun dia masih terus bertahan di puncaknya. Yang sudah terlihat payah adalah para perajurit pengikut Lembu Sora. Mereka itu adalah perajurit-perajurit pilihan dan kalau hanya dikeroyok oleh dua orang perajurit yang dibawa Patih Nambi, agaknya belum tentu mereka kalah. Akan tetapi,perbandingan mereka adalah satu lawan sepuluh! maka biarpun berhasil menjatuhkan lawan masing-masing sedikitnya dua orang, akhirnya mereka sendiri roboh seorang demi seorang sampi akhirnya habis sama sekali!
"Kakangmas resi..."
"Emmm...?"
Resi Mahapati menjawab manja!
"Mereka itu menampilkan kegagahannya di sana, kenapa paduka diam saja? Padahal sudah sering kali paduka memamerkan kejantanan paduka kepada saya. Apakah kejantanan paduka itu hanya kalau berada di pembaringan di kamar saja?"
"Ihh? Ha-ha-ha, kau belum tahu akan sepak terjang suamimu, cah ayu? Kau lihat Resi Mahapati oleh melantunkan kekasihnya itu, maka dipasanglah sebatang anak panah pada gendewanya yang memang telah disediakan dan dipersiapkan kalau-kalau teman-teman di bawah membutuhkan bantuan, maka sejak tadi dia diam saja tidak mau menggunakan gendewa dan anak panahnya.Akan tetapi menyenangkan kekasihnya membakar hatinya.
"Lihat panahku pertama. Aku akan membunuh Juru Demung dari sini dengan sekali jemparing!"
Katanya dengan penuh gaya sambil mementang gendewanya dan mengincar kearah mereka yang sedang bertempur di bawah.
"Mana bisa kena tepat? Dia sedang dikepung dan dikeroyok. Jangan-jangan malah mengenai orang lain!"
Pasti kena dan kalau tepat mengenai payudara, apa upahnya, sayang?
"Upahnya?"
Lestari tersenyum manis, mencibirkan bibir di bawahnya yang merah.
"Upahnya cium satu kali!"
Resi Mahapati tertawa, kemudian melanjutkan penarikan tali gendewanya.
"Nah, lihatlah dia roboh, Tari...!"
Tali gendewa dilepas, terdengar suara menjepret dan nampak sinar kilat meluncur dan menyambar ke bawah. Sang Resi ini memang terkenal sebagai seorang ahli panah yang sangat hebat. Biarpun dalam hal ilmu pukulan dia masih kalah jauh dibandingkan dengan kakak seperguruannya, yaitu Empu Tunjungpetak, akan tetapi dalam hal ilmu sihir panah, dia jauh lebih unggul.
Juru Demung memang sudah payah. Seperti juga keadaan Lembu Sora, dia telah menerima banyak tusukan dan bacokan sehingga tubuhnya mengalami luka-luka. Bahkan lebih parah dari Lembu Sora. Akan tetapi dia masih terus mengamuk dan tidak akan menyerah sebelum roboh. Tiba-tiba, sinar kilat anak panah dari atas itu menyambar dan tepat mengenai dada Juru Demung!
"Wirrr...cepp.. aahhhh!"
Juru Demung mendekap anak panah yang menancap di dadanya, memandang terbelalak ke atas dan melihat Resi Mahapati berada di menara, dia mengeluarkan suara yang tak dapat Dipahami artinya, lalu roboh terjengkang dan tewas seketika. Di atas menara, Lestari sudah merangkul Resi Mahapati dan ditarik ke dalam agar tidak terlihat dari luar, kemudian dengan penuh kegirangan dan kemesraan dia mencium pipi kakek yang merasa sangat bangga itu.
"Eehhh, kenapa cium di pipi? Janjinya cium yang mesra, bukan sekedar ambung saja."
Lestari tersenyum manja dan berkata.
"Upahnya haruslah sesuai dengan jasanya, kakangmas resi! yang paduka panah hanya seorang yang tidak begitu berharga, maka upahnya pun cukup berharga ditukar dengan ambung pipi kiri. Dan nyawa orang yang mengamuk di bawah itu, siapa namanya tadi, yang kakangmas katakan sebagai adik seperguruan Ronggo Lawe..."
"Raden Gajah Biru?"
"Ya, nah kalau nyawa dia aku mau menukar dengan ambung di pipi kanan."
"Ha-ha, kamu memang lucu. Nah, lihat betapa panahku akan menghabiskan nyawa Raden Gajah Biru!"
Kembali gendewanya dipentang, anak panah dibidikkan dan setelah gendewa menjepret dan anak panah meluncur ke bawah seperti kilat menyambar, di bawah sana, di antara mereka yang sedang bertanding, terdengar teriakan keras dan robohlah Raden Gajah Biru karena mencapai tertembus anak panah! Tentu saja Lestari menjadi kagum sekali dan dengan kemesraan yang membuar si resi semakin bangga hatinya, dia mencium pipi kanan sang resi dengan satu kali kecupan. Watak sang resi, di samping kekejaman dan kondisinya sebagai akibat dari tempat cita-citanya yang mencapai langit, juga dia suka sekali dipuji. Apalagi kalau yang memujinya itu seorang seperti selirnya yang dicintainya itu. Dan seperti watak semua orang yang suka sekali menerima pujian, semakin dipuji semakin hebatlah dia berusaha untuk memperoleh pujian selajutnya!
“Tari kekasihku, kalau sekarang aku menggunakan anak panahku untuk merobohkan Lembu Sora sendiri, apa upahnya darimu, manis?”
"Dia? benarkah paduka dapat merobohkan dia yang begitu perkasa dari sini dengan anak panah?"
Tanya Lestari girang.
"Tentu saja. Akan tetapi, aku minta upahnya cium di mulut."
"Baiklah, kakangmas resi!"
Sekali ini Resi Mahapati agak lama mendekatkan anak panahnya, dan lebih kuat pula dia menarik tali gendewanya karena dia pun maklum bahwa merobohkan Lembu Sora dengan anak panah tidaklah melebihi dua orang tadi. Kalau saja Lembu Sora belum terluka seperti itu, malah tidak mungkin dapat mengharapkan panahnya akan mengenai tubuh senopati yang perkasa itu, apalagi melukainya. Akan tetapi, pada saat itu Lembu Sora juga sudah payah sekali, gerakannya sudah mulai mengendur karena banyaknya darah yang keluar dari tubuhnya dan terutama sekali karena dia melihat bahwa dua orang pembantunya yang setia telah roboh sehingga kini hanya tinggal dia sendiri dan Ki Jembros saja yang masih mengamuk dan dikeroyok!
"Prattt...singgg...!!!"
Anak panah yang terlepas dari gendewa di tangan Mahapati kini tak tampak bayangannya, seperti kilat menyambar saja, dan karena Mahapati maklum akan kedigdayaan Lembu Sora, maka yang diarah adalah pusar senopati itu. Memang tidak mudah memanah pusar dari atas, akan tetapi yang diarahnya itu merupakan tempat berbahaya, karena dari tempat dia berdiri, letak pusar sasarannya tertutup oleh ulu hati.
Pada saat itu Lembu Sora memang sedang sibuk membela diri dan juga mengirim serangan-serangan balasan yan masih berbahaya. Sebagai seorang yang sakti, dia dapat melihat berkelebatannya sinar dari atas dan mendengar suara mendesingnya anak panah, dan biar pun dia sama sekali tidak sempat lagi mengelak karena dia masih dapat mendoyongkan tubuh di atas ke belakang dan sinar itu menyambar ke bawah dan mengenai paha kaki kananya.
"Cappp...!"
Tubuh Lembu Sora terhuyung dan dia menengadah. Tampak olehnya Mahapati di atas menara memegang gendewa. Seperti sinar kilat memasuki kepalanya, Lembu Sora kini dapat melihat apa yang kemungkinan besar telah terjadi dan dilakukan oleh Resi mahapati, teringatlah dia akan semua perbuatan dan kata-kata resi itu dari sejak awal terjadinya desas-desus atau berita tentang kematian Kebo Anabrang olehnya,sampai kepada berita-berita selajutnya yang membawa resi itu dan mengunjungi resi itu ke Pegunungan Pandan. Terbukalah matanya dan kini dia mengerti bahwa Resi Mahapati berdiri di balik ini semua, juga mengepung dan penyerbuan terhadap dia seteman di alun-alun ini tentu akibat siasat sang resi itu!
"Mahapati penghianat...!"
Dia berteriak lantang.
"manusia macam kamu kelak akan mati cineleng-celeng (dicincang)!"
akan tetapi Lembu Sora tidak dapat melanjutkan kutukannya karena tubuhnya telah dihujani senjata sehingga dia roboh dan terbunuh. Joko taruno, atau Kebo Taruno putera Kebo Anabrang, cepat meloncat ke depan, menggunakan parangnya yang dicabetkan ke leher musuh besarnya itu,memenggal kepala Lembu Sora sebagai pelaksanaan penyelesaian balas dendamnya.
Para perajurit Mojopahit memaafkan-sorak menghabisakan sisa anak buah Lembu Sora dan akhirnya hanya tinggal Ki jembros seoarang yang masih terus melawan pengeroyokan dua orang pendeta itu. Senopati Pranarojo yang mencoba untuk membantu dua orang pendeta itu, baru segebrakan saja sudah terlempar sampai terwujudnya diserempet hawa pukulan dari tangan Ki Jembros. Melihat ini, tidak ada lagi yang berani mencoba terjun ke gelanggang pertempuran yang sangat dahsyat itu. Setelah mendekap dan mencium mulut Lestari sebagai upahnya merobohkan Lembu Sora, kini Lestari berbisik manja.
"Kakangmas, lihat kakek mengerikan itu yang masih terus mengamuk."
Mahapati menjenguk ke bawah dan tertawa.
"Ha-ha, memang kakek itu hebat sekali dan sekarang aku dapat menebak siapa keberadaan orang itu, seperti yang diceritakan oleh Reksosuro dan Darumuko. Biar aku membantu kakang Empu Tunjungpetak dan kakang Resi Harimurti. Kalau tidak aku yang turun tangan, agaknya sukar merobohkan kakek gila itu,"
Katanya dengan nada suara sombong.
"Kalau benar paduka bisa merobohkan dia..."
"Ha-ha, upahnya...?"
"Upahnya malam nanti..., hi-hik...!"
Lestari terkekeh genit dan manja.
Mahapati kembali memeluk dan menciumnya.
"Engkau selalu menyenangkan hatiku. lihatlah baik-baik betapa suamimu akan merobohkan kakek gila di bawah itu. Kau tunggulah saja di sini!"
Setelah berkata demikian, Resi Mahapati lalu lari menuruni tangga menara dan berloncatan mencapai tempat terjadinya pertandingan dahsyat itu yang dikurung oleh para perajurit dari tempat yang agak jauh karena mereka tidak berani mendekati sama sekali.
Sambil mengeluarkan pedik melengking yang bukan hanya ditujukan untuk menggetarkan Ki Jembros, tetapi terutama sekali agar didengar dari jendela menara, Resi Mahapati terjun ke gelanggang pertarungan itu membantu Empu Tunjung Petak dan Resi Harimurti. Dua orang pertapa ini merasa lega dengan masuknya Resi Mahapati karena mereka berdua sudah merasa kecocokan menghadapi Ki Jembros yang benar-benar amat sakti itu, sungguh pun Ki Jembros sendiri juga tidak begitu mudah saja untuk dapat merobohkan mereka berdua yang menggabungkan kekuatan untuk menghadapinya itu. Kini, masuknya Resi Mahapati yang masih segar tenaganya membuat Ki Jembros terkejut dan terdesak. Akan tetapi, kakek ini tidak menjadi gentar malah tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, inilah kiranya yang bernama Resi Mahapati, si mendengus laknat itu! Celana saja muridku sangat membencimu, biarpun belum pernah melihatmu. Kiranya memang wajahmu membayangkan seorang manusia berwatak rendah!"
“Kakek gila mampuslah kamu!”
Resi Mahapati membentak marah dan dia sudah menerjang ke depan sambil mengerahkan aji kesaktiannya dan juga dia mengerahkan kekuatan batinnya untuk menundukkan Ki Jembros. Kim Jembros menangkis, tetapi diam-diam dia terkejut ketika merasa betapa jantungnya tergetar dan berdebar keras, kepalanya menjadi agak pening. Itulah akibat kekuatan sihir yang mulai digunakan oleh Resi Mahapati melalui pandangan matanya! Kalau saja bukan Ki Jembros yang diserang kekuatan ilmu sihirnya ini,
Betapapun juga, serangan sihir itu merupakah hal yang sangat mencakup Ki Jembros karena dia harus membagi perhatiannya, melawan serangan luar dan juga dalam! Hal ini memotret gerakannya, apalagi tiga orang pengeroyoknya itu menghujankan serangan dan setiap pukulan mereka merupakan pukulan-pukulan maut yang sangat kuat.
"Plakkkk!"
Sebuah penandatanganan dari tangan kiri Empu Tunjung Petak menyelinat di antara banyak serangan yang dapat ditangkis Ki Jembros, dan pembelajaran yang satu ini sukar dielakkannya lagi sehingga mengenai bahunya. Bukan main hebatnya pemecah Empu Tunjungpetak ini karena ukiran tangan kirinya mengandung aji kesaktian Wisa Dahana yang panasnya melebihi api. Dengan aji kesaktian ini, kabarnya tangan kiri Empu Tunjungpetak mampu membuat keris pusaka tanpa menggunakan api! Ki Jembros mengeluarkan teriakan seperti seekor singa meraung dan tubuhnya terhuyung, akan tetapi segera dia meloncat dan kakinya bergerak seperti badai mengamuk sehingga tiga orang pengeroyoknya terpaksa tidak berani mendekat dan mengelak.
Pertarungan berlanjut dan biarpun Ki Jembros merasa betapa pundaknya sangat nyeri dan panas, namun amukannya masih hebat sekali dan setiap kali tiga orang pengeroyoknya itu beradu lengan di dekatnya, mereka tentu mencelat atau terdorong mundur sampai beberapa langkah. Akan tetapi, begitu mereka mendesak dan menyerang dengan berbareng dari tiga arah, ditambah dengan serangan sihir yang tetap mengarahkan dari pandangan mata Resi Mahapati, Ki Jembros menjadi bingung dan kembali terkena pukulan dari seorang di antara mereka. Dan pukulan dari orang-orang tua ini bukanlah pukulan biasa, melainkan pukulan yang mengandung kekuatan dahsyat dari aji kesaktian mereka, yang bagi lawan lain yang tidak memiliki kekebalan seperti Ki Jembros tentu dapat mematikan.
“Ki Jembros, berlututlah kamu…!”
Tiba-tiba terdengar suara bentakan mulit Resi Mahapati dan secara aneh, Ki Jembros merasakan kedua lututnya lemas dan hampir saja dia menjatuhkan diri berlutut.
"Gila...!"
Bentaknya dan.
"Wuuuuttt...!"
Lengan kirinya yang panjang menyambar kearah Mahapati, akan tetapi resi ini dengan tangkas sudah mengelak dengan loncatan ke belakang sedangkan Empu Tunjungpetak dan Resi Harimurti sudah menubruk dari belakang sehingga Ki Jembros terpaksa membalik dan tidak mendesak Resi Mahapati.
"Plak-plak...desss....!"
Ketika Ki Jembros menangkisi serangan-serangan Resi Harimurti yang menggunakan kipas bambunya dan Empu Tunjungpetak yang menggunakan tangan yang ampuh, Resi Mahapati menggunakan kesempatan ini untuk memukul dari belakang dan tepat mengenai punggung Ki Jembros.
Kembali Ki Jembros terhuyung dan dari dalam dadanya keluar gerengan melalui kerongkongannya. Dia membalik dan terus mengamuk. Kalau saja hantaman-hantamannya itu mengenai Resi Mahapati, tentu akan tamatlah riwayatnya. Akan tetapi Mahapati adalah seorang yang cerdik dan dia sudah cepat-cepat menghindar dengan melompat ke belakang, memberi kesempatan kepada dua orang temannya untuk menerjang sela lagi Ki Jembros mengejarnya.
Demikianlah, keadaan Ki Jembros tiadanya dengan seekor harimau buas yang sangat kuat dan berbahaya dikurung oleh orang-orang yang cerdik dan curang, yang menyerang selaga harimau itu membelakanginya dan lari kalau harimau itu membalik dan mengejarnya untuk memberi kesempatan kepada pengurung di belakang harimau untuk menyerang . Beberapa kali Ki Jembros menerima hantaman dari belakang, baik hantaman tangan Resi Mahapati atau Empu Tunjungpetak yang ampuh, juga hantaman kipas bambu atau lecutan pecut panjang di tangan Resi Harimurti.
Karena dia sendiri tidak pernah berhasil membalas pukulan-pukulan itu dan tiga orang pengeroyoknya selalu menghindar dapatkan setiap serangan balasan, marahlah Ki Jembros. Kakek yang biasanya gembira dan tertawa-tawa itu, kini menggereng-gereng seperti harimau terluka. Dia maklum bahwa dia telah dikepung pasukan Mojopahit dan bagaimana pun juga, dia tidak dapat meloloskan diri. Lembu Sora dan kawan-kawannya yang dibantunya telah membunuh semua dan dia harus berani mengadu nyawa dengan tiga orang lawan tangguh ini, karena jika terus bertanding seperti ini, dia akhirnya akan kehabisan tenaga dan kalah.
Terdengar teriakannya yang menggetarkan bumi dan banyak perajurit Mojopahit yang roboh pingsan, ada yang menjadi lumpuh seketika kedua kaki mereka dan ada pula yang mengotori ketika mendengar teriakan ini. Lalu Ki Jembros menubruk maju,kedua tangan menyambar ke arah Empu Tunjungpetak yang baru saja kembali berhasil menampar dadanya. Seperti tadi, Empu Tunjungpetak meloncat ke belakang untuk memberi kesempatan kepada dua kawannya agar menyerang dari belakang. Dan memang, Resi Harimurti dan Resi Mahapati segera menyerang dari belakang dengan hebatnya, dan pecut panjang Resi Harimurti lebih dulu dapat mengenai punggung dan tengkuk Ki Jembros dengan lecutannya.
"Tarrr...plakkk, brettt...!"
Baju di punggung itu robek seperti dikerat pisau,punggung dan tengkuknya terkena lecutan, rasanya panas seperti disengat penyakit. Akan tetapi, sekali ini Ki Jembros tidak memperdulikan serangan dari belakangnya, menubruk ke arah Empu Tunjungpetak.
"Plakk! Dessss....!"
Empu Tunjungpetak cepat menangkis serangan lawan dan pada saat itu, pukulan kipas bambu di tangan Resi Harimurti telah mengenai lambung kiri dan hantaman tangan Resi Mahapati mengenai punggung dengan hebat sehingga tubuh Ki Jembros terdorong ke depan. Hal ini mencelakakan Empu Tunjungpetak,karena kecepatan gerak tubuh Ki Jembros menjadi semakin hebat tersurung oleh serangan dari belakang itu dan tiba-tiba tubuhnya telah berhasil menyelesaikan menubruk tubuh Empu Tunjungpetak dan kedua tangannya telah berhasil mencapai keberhasilan leher Empu Tunjungpetak! Empu Tunjungpetak cepat menggunakan kedua tangannya untuk berusaha melepaskan cekikan, namun terdengar Ki Jembros tertawa tergelak-gelak dan cekikannya tidak pernah mengendur. Resi Mahapati yang melihat kakak seperguruannya terancam bahaya, cepat melakukan pemukulan-pemukulan hebat dari belakang, demikian pula Resi Harimurti,
"Prakkkk!"
Pecahlah kepala Empu Tunjungpetak dan pada saat itu, Resi Mahapati dan Resi Harimurti juga mengerahkan seluruh tenaga mereka menghantam kearah tengkuk dan punggung Ki Jembros.
"Desss! Desss...!"
Ki Jembros melepaskan tubuh Empu Tunjungpetak yang sudah tak bernyawa lagi, dan dia memuntahkan darah segar, cepat membalik dengan kedua lengan menyambar. Akan tetapi kedua orang lawannya telah mencelat mundur dan memandang dengan muka pucat, mata terbelalak penuh rasa kaget dan jerih melihat betapa Empu Tunjungpetak telah terbunuh dan juga betapa Ki Jembros yang telah menerima pukulan-pukulan maut bertubi-tubi itu masih dapat melawan dengan begitu hebatnya . Muka yang penuh cambang bauk itu berlepotan dara yang menyembur dari mulut dan matanya terbelalak, mulutnya terbuka dan masih mengeluarkan suara tertawa! Tiba-tiba Ki Jembros menubruk, mengembangkan kedua lengan. Resi Mahapati dan Resi Harimurti cepat mengelak ke belakang,
Ketika dengan hati-hati dua orang resi itu memeriksa tubuh kakek raksasa itu,ternyata Ki Jembros telah mati pula. Para perajurit gembira melihat orang terakhir yang mengerikan dari pihak musuh itu terbunuh, akan tetapi diam-diam Resi Mahapati dan Resi Harimurti harus mengakui bahwa selama hidup, baru sekarang ini menghadapi lawan yang demikian saktinya. Yang paling ketakutan mendengar berita kematian Lembu Sora adalah sang prabu sendiri. Semenjak kematian Ronggo Lawe, sang prabu sudah merasa sangat khawatir,apalagi kini ditambah dengan kematian Lembu Sora, seorang yang paling percaya,paling disayang selama ini, sejak sebelum dia menjadi raja sampai sekarang!
Kalau dia teringat betapa Lembu Sora di waktu masih sengsara dahulu, melakukan perjalanan penuh derita bersama Dyah Tribuana, melindunginya dan membelanya dengan taruhan nyawa, bahkan pernah menyediakan tubuhnya untuk dijadikan tempat duduk oleh sang prabu dan isterinya karena tempat itu kotor dan becek, teringat akan semua pembelaannya di dalam perang, maka hati sang prabu seperti disayat-sayat rasanya mendengar kematian Lembu Sora sebagai seorang pemberontak! Sang prabu adalah seorang manusia yang bijaksana, yang tidak akan bersumpah menghadapi kematian siapa pun, tetapi yang mendukakan hatinya adalah melihat Lembu Sora mati sebagai seorang pemberontak.
Apalagi ketika para isterinya, putri-putri mendiang Raja Kertanegara, menyatakan penyesalan mereka atas peristiwa yang mengakibatkan kematian Lembu Sora, sang prabu menjadi semakin sedih. Akan tetapi,rasa girang yang diperlihatkan oleh isterinya yang paling disayangnya, yaitu Sri Indreswari atau Dara Petak dari Malayu, yang merasa puas mendengar kematian Lembu Sora yang dianggapnya berdosa karena membunuh Kebo Anabrang senopati yang disayang oleh isteri dari Malayu ini, membuat hati sang prabu yang Kekhawatiran itu menjadi hancur dan bingung. Dan akhirnya, sang prabu jatuh sakit dan semenjak itu, kesehatannya mundur sekali, wajahnya sering sekali murung dan sang prabu banyak termenung dengan wajah muram.
Sementara itu, peristiwa yang terjadi berturut-turut semenjak pemberontakan Ronggo Lawe yang baru lima tahun kemudian disusul pemberontakan Lembu Sora, juga membunuh seorang senopati tua di Kerajaan Mojopahit. Senopati itu adalah Aryo Pranarojo, yang juga merupakan salah satu di antara deretan senopati yang setia dan sudah bertahun-tahun mengabdi kepada Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana semenjak sang prabu masih belum menjadi raja dan bernama Raden Wijaya dulu. Aryo Pranarojo ini bukan lain adalah ayah dari Ki Patih Nambi! Sebagai seorang yang bijaksana, Aryo Pranarojo berkeringat karena melihat kenyataan bahwa terjadinya huru-hara, terjadinya pemberontakan-pemberontakan itu, yang mengakibatkan gugurnya banyak senopati gemblengan dan pilihan, semata-mata adalah karena memunculkan puteranya, Raden Nambi sebagai patih.
Melihat betapa kedudukan yang berkelanjutan puteranya itu telah mengakibatkan gugurnya begitu banyak senopati dan perajurit, hati Aryo Pranarojo seperti diremas-remas rasanya. Begitu banyak sahabat-sahabatnya yang gugur, Ronggo Lawe, Kebo Anabrang, Lembu Sora, Juru Demung, Raden Gajah Biru, bahkan juga pertapa-pertapa sakti seperti Empu Tunjungpetak dan Ki Jembros, belum lagi ratusan bahkan ribuan perajurit, telah terbunuh. Dan setelah terbunuhnya Lembu Sora, dia melihat betapa sang prabu menjadi cemas dan kesehatannya mundur, maka semakin sedihlah hatinya. Maka dia teringat kepada sahabatnya yang terbaik sejak muda, yaitu Aryo Wirorojo,ayah Ronggo Lawe yang kini menjadi adipati di Lumajang. Sahabatnya itu, biar pun telah kehilangan puteranya, namun tidak mau mencampuri urusan perebutan kekuasaan,
Betapa bahagianya sahabatnya itu yang tidak mau mengikat dirinya. Teringat akan sahabatnya, dia pun lalu mengundurkan diri dan membawa keluarganya berangkat ke Lumajang, meninggalkan puteranya, Ki Patih Nambi yang masih haus akan kekuasaan dan mempertahankan kedudukannya melebihi nyawanya sendiri. Dan kepergian Aryo Pranarojo ini semakin mendatangkan rasa kesepian di hari sang prabu, namun mengingat bahwa senopati ini sudah tua dan mampu menghabiskan waktu hidupnya dengan tentram, sang prabu tidak tega untuk mencegahnya.
Waktu berjalan terus, tidak memperdulikan segala peristiwa yang terjadi di dunia. Dan waktu akan menelan semuanya yang terbentang di hadapannya! Waktu akan menghapus segala noda dan luka dari hati manusia. Tidak ada kesukaan atau kedukaan yang dapat ditahan, semuanya digulung oleh waktu! Akan tetapi, sebelum waktu bergulir dan menghapusnya, kita selalu menyimpan segala peristiwa itu sebagai kenangan, baik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Dan penyimpanan sebagai kenangan atau kenangan inilah yang menimbulkan derita dalam hidup! Peristiwa yang menyenangkan badan atau batin, kita simpan sebagai pengalaman yang nikmat dan menyenangkan dan hal ini membuat kita selalu teringat dan selalu mengejar terulangnya kembali peristiwa itu. Dalam keadaan inilah terjadi banyak sekali hal-hal yang menimbulkan derita hidup, karena melahirkan ini melahirkan kekerasan, yaitu kita ingin menyingkirkan segala penghalang tercapai yang kita kejar-kejar sehingga dengan sendirinya perbuatan ini menimbulkan pertentangan dan permusuhan. Juga,kalau kepuasan kita tidak berhasil,maka timbullah kekecewaan dan duka.
Sebaliknya,kalau kita tercapai, kita akan menjadi bosan atau tidak lagi menghargai yang kita kejar-kejar itu karena kita haus akan pengalaman-pengalaman lain yang LEBIH menyenangkan. Sebaliknya, peristiwa yang tidak menyenangkan disimpannya sebagai pengalaman yang tidak menyenangkan sehingga kita ingin selalu menjauh dan menentangnya. Di sisi lain, peristiwa yang tidak menyenangkan menimbulkan amarah dan dendam sehingga membuat kita ingin sekali membalas penyebab dari ketidaksenangan itu! Demikianlah, peristiwa yang tersimpan dalam kenangan, baik yang menyenangkan mau pun yang tidak, menimbulkan serangkaian hal yang dapat menyeret kita ke lembah derita dan duka, sebelum sang waktu menggulung dan menghapusnya.
Betapa akan lain keadaannya apabila kita dapat MENGAKHIRI segala peristiwa kita, baik yang menyenangkan maupun yang tidak, berakhir pada saat itu pula dan tidak menyimpannya sebagai kenangan! Mengakhiri segala peristiwa berarti lenyapnya keinginan untuk mengulang, dan lenyapnya sakit hati dan dendam. Batin menjadi kosong dan hening, siap menghadapi segala macam peristiwa yang terjadi saat ini tanpa dikotori oleh peristiwa masa lalu dan tanpa memusingkan perisitwa yang akan atau mungkin terjadi.
Akan tetapi sayang, kita sudah terbiasa untuk mengenangkan kembali, terbiasa untuk memakan kembali segala peristiwa. Kalau kita berduka, kita sudah biasa untuk meremas-remas batin kita, mengenangkan semua yang mendukakan itu kembali sehingga timbullah penyesalan, sakit hati dan lain-lain. Sebaliknya kalau kita merasakan suatu kesenangan yang kita simpan dalam kesenangan sehingga timbul kesenangan terhadap kesenangan-kesenangan itu yang tiada hentinya. Jadi sebelum sang waktu mengumpulkan semua itu, sebelum sang waktu menggulung kita ke detik terakhir dari hidup kita, kita selalu dipermainkan oleh pikiran kita sendiri,diombang-ambingkan dalam kehidupan seolah-olah kita hidup dalam alam kenangan dan khayal dan tidak pernah hidup dalam alam kini atau saat ini!
Empat tahun telah berlalu tanpa terasa, dan memang empat tahun bukan apa-apa bagi sang waktu yang tak dapat diukur lagi berapa orang tuanya. Sejuta tahun, sepuluh juta tahun, seratus juta? Mungkin lebih! Dan dunia berputar terus. Manusia lahir dan mati, dan hidup selalu penuh derita, penuh permusuhan, dengan hanya sedikit sekali suka cita dibandingkan dengan banyaknya duka.
Gunung Bromo merupakan sebuah di antara gunung-gunung yang besar dan tinggi di Jawa Dwipa dan merupakan sebuah gunung berapi yang mempunyai kawah besar yang selalu mengepulkan uap dan dianggap pula sebagai sebuah gunung yang keramat. Sesuai dengan namanya, gunung itu dianggap sebagai tempat yang dikuasai oleh sang Bathara Bromo, Dewa Api. Seperti keadaan gunung-gunung berapi, di lereng-lereng Gunung Bromo bayak terdapat batu-batu besar dan daerah-daerah tandus yang pernah dilalui oleh lahar,akan tetapi daerah-daerah lain di sekitarnya sangat subur sehingga penuh dengan hutan-hutan yang lebat. Juga pegunungan ini mempunyai banyak puncak-puncak yang indah pemandangan alamnya.
Puncak kecil itu merupakan daerah terpencil, jauh dari dusun yang kebanyakan terdapat di lereng agak bawah, dimana tanahnya paling subur. Hanya ada sebuah gubuk di puncak itu, gubuk kecil berkamar dua terbuat dari bilik bambu sederhana dan atap daun ilalang. Akan tetapi, biar pun sangat sederhana dan tentu saja disebut miskin, harus diakui bahwa gubuk itu bersih dan terpelihara baik-baik, bahkan pelataran di sekitar gubuk itu pun bersih dari daun-daun kering, tanda bahwa setiap hari tempat itu tentu akan mengecewakan orang. Juga disebelah belakang gubuk sebuah taman kecil penuh dengan bunga-bunga indah yang memang sangat subur hidupnya terdapat di tanah pegunungan. Di sebelah dan taman itu terdapat kebun sayur yang cukup luas. Pagi itu, seorang pemuda yang usianya kurang lebih delapan belas tahun, melenggang seenaknya keluar dari dalam kebun,
Kemudian dia melenggang lagi menuju ke gubuk. Ketika dia tiba di depan gubuk menuju ke pintu karena gubuk itu hanya mempunyai satu pintu depan saja, tiba-tiba wajahnya berubah dan dia melihat seorang kakek yang tua renta, pakaiannya hanya kain kuning yang dibelit-belitkan di tubuhnya yang kurus kering, rambutnya panjang, demikian pula janggut dan kumisnya, semuanya telah putih. Kakek itu duduk di atas dipan bambu yang berada di depan gubuk, duduk bersila dengan tenangnya.
“Ah, eyang guru sudah berada di luar sepagi ini?”
Kata pemuda itu dengan suara yang halus namun penuh dengan gairah hidup, penuh dengan kegembiraan seperti suara biasa seorang muda yang belum dikotori batinnya oleh segala macam persoalan hidup. Cepat dia mendekati kakek itu, menaruh sayur di atas dipan lalu berlutut dan mencium tangan kakek itu penuh khidmat.
Wajah kakek yang lembut dan penuh ketenangan dan kesabaran itu tersenyum ketika dia memandang kembang mawat merah di atas kepala pemuda itu. Lalu dia berkata dengan halus.
"Cucuku, Sulastri, kamu memang bocah yang aneh!"
Pemuda itu kini duduk di atas dipan setelah tangannya ditarik oleh kakek itu,dan sambil menatap wajah kakek yang lembut itu dia berkata matanya yang bening lebar terbelalak, kelopak terangkat dan dia menjawab lincah.
"Saya...? Aneh...? Eyang, apakah hidung saya dua, ataukah mata saya hanya sebuah maka eyang bilang saya aneh?"
Senyum di mulut ompong itu melebar. Harus diakuinya bahwa semenjak cucu muridnya ini tinggal di dalam gubug itu, kecerahan dan kegembiraan selalu mengelilinginya dan dia yang sudah tua dan sudah biasa menyepi itu tidak dapat tidak terseret ke dalam arus kegembiraan cucu muridnya itu. Siapakah kakek yang tua renta itu? Dan siapa pula "pemuda"
yang dipanggil dengan nama wanita itu? Pembaca tentu masih ingat akan nama Sulastri, dara yang empat tahun lalu masih merupakan dara remaja yang lincah jenaka dan bengal, murid Ki Jembros, bocah perempuan yang datang dari dusun Gedangan itu. Memang "pemuda"
Ini adalah Sulastri dan kakek itu adalah seorang pertapa yang sudah puluhan tahun bertapa di puncak itu, puncak Pegunungan Bromo dan dia adalah Empu Supamandrangi yang sakti mandraguna dan yang sudah tidak mencampuri lagi urusan duniawi. Dahulu, puluhan tahun yang lalu sebelum dia menjadi pertapa, dia terkenal sebagai seorang ahli pembuat keris yang ampuh-ampuh, di antaranya adalah keris pusaka Kolonadah milik Ronggo Lawe. Kakek ini adalah guru dari Ronggo Lawe, dan karena semenjak kecil Sulastri telah "mengaku murid"
Dari Ronggo Lawe, maka dia menyebut eyang guru kepada kakek yang kini menjadi gurunya itu.
Seperti yang telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini, tadinya Sulastri,empat tahun yang lalu, masih ikut merantau dan berkeliaran tak tentu tempat tinggalnya bersama gurunya yang aneh, yaitu Ki Jembros. Ketika Ki Jembros bertemu dengan Empu Tunjungpetak dan Resi Harimurti, kemudian bertanding di keroyok dua, Ki Jembros terluka dan kebetulan mereka lalu bertemu dengan Juru Demung dan Raden Gajah Biru di Pegunungan Pandan, di mana Ki Jembros akhirnya lalu beristirahat untuk menyembuhkan luka-lukanya di sebelah dalam tubuhnya. Dan karena dia tidak ingin muridnya yang tersayang itu terlibat dalam kutipan yang agaknya akan terjadi antara kawan-kawan Lembu Sora dan Mojopahit, maka dia menyuruh muridnya itu untuk pergi sendiri ke Pegunungan Bromo dan mencari kakek gurunya, yaitu Empu Supamandrangi di puncak Pegunungan Bromo.
Tentu saja perjalanan seorang diri itu merupakan perjalanan yang amat sukar dan berbahaya bagi seorang gadis yang ketika itu baru berusia empat belas tahun seperti Sulastri. Namun berkat ketekunan dan keberaniannya, dengan susah payah, setelah menempuh banyak sekali kegagalan, akhirnya Sulastri juga dapat menemukan Gubug itu dia menyembah di depan kaki sang pertapa. Setelah mendengar akan penuturan Sulastri, kakek itu yang berkeinginannya tinggal di situ dan menjadi muridnya. Demikianlah, ketika pada pagi hari itu Sulastri melihat gurunya pagi-pagi telah berada di depan gubug, dia telah menjadi murid Empu Supamandrangi selama empat tahun dan kini dia bukan lagi Sulastri yang dulu, melainkan telah menjadi seorang dara perkasa yang dewasa, namun masih lincah dan kenes, jenaka dan manja seperti dahulu,
Yang sangat tampan, bahkan "terlalu"
Tampan!
“Kenapa eyang diam saja? Jawablah, eyang, kenapa saya dianggap aneh?”
Sulastri mendesak kakek itu ketika pertanyaannya tidak terjawab.
Kakek itu menarik napas panjang.
"Sulastri, kamu adalah seorang anak perempuan yang cantik dan jenaka, seorang wanita tulen, akan tetapi kamu selalu memakai pakaian pria. Aku tidak hendak melarang kesukaan orang, hanya sedikit hal itu yang merupakan suatu keanehan?"
"Eyang, saya telah bersumpah kepada diri saya sendiri sebelum tercapai atau melaksanakan idaman hati saya, maka saya akan terus mengenakan pakaian pria!"
"Hemmm... begitukah? Dan apakah idaman hatimu itu?"
"Pertama, bunuh Reksosuro dan Darumuko!
"Sulastri, sungguh sedih hatiku mendengar ini. Amat tidak baik idaman hatimu,cucuku. Tak baik hidup mengandung dendam dan permusuhan. Apalagi membunuh orang."
"Habis untuk apa saya bersusah payah sejak kecil mempelajari ilmu kalau saya tidak boleh membunuh mereka yang telah melakukan perbuatan jahat terhadap saya,maksud saya terhadap mendiang kakek saya?"
"Mempelajari segala macam ilmu boleh dan baik saja, akan tetapi kalau dengan tujuan yang buruk, ilmu itu pun menjadi sesuatu yang buruk, merupakan kutukan. Yang paling penting adalah membela kebenaran, cucuku, dan pada siapa pun kebenaran itu berada, haruslah dibela. Sebaliknya , yang salah haruslah ditentang,biar pun yang salah adalah dirimu sendiri."
Kakek itu kembali menghela nafas panjang karena dia maklum betapa sia-sianya memberi nasehat, seperti sia-sianya semua nasehat di dunia ini, karena yang paling penting adalah kesadaran diri sendiri. Tanpa adanya kesadaran dan pemahaman itu sendiri, sesmua nasihat dan wehangan hanya akan merupakan angin lalu berlaka, terasa semilirnya lalu hilang tanpa bekas, atau lebih celaka lagi, wejangan itu hanya akan menjadi semacam hiasan untuk meminta diri, atau disalah gunakan sebagai "bukti"
Kebersihan dan kebaikan dirinya.
"Kalau kamu akan terus memakai pakaian pria, hal itu terserah padamu, tapi janganlah berbuat kepalang tanggung, cucuku, karena kalau begitu,engkau hanya akan menjadi buah tertawaan orang lain saja."
“Maksud eyang…?”
Kakek itu memandang kearah bunga mawar merah di rambut Sulastri.
"Kembang mawar di rambutmu itu."
Sulastri meraba kembang itu dan tersenyum.
"Apa salahnya, eyang? Apakah seorang pria tidak boleh menghias rambutnya dengan kembang?"
"Tidak ada yang mengajarkan dan tidak ada yang menganjurkan, hanya biasanya, wanita sajalah yang menghiasi rambutnya dengan kembang seperti itu. Maka, kalau memang kamu ingin menyamar sebagai pria, hal itu memang baik sekali dan menghindari kesulitan dalam perjalananmu, akan tetapi enkau harus pula menyembunyikan kesukaanmu bersolek seperti kebiasaan seorang wanita."
"Perjalanan? Apakah aku harus melakukan perjalanan, eyang?"
Kakek itu mengangguk.
"Karena itulah pagi-pagi aku menunggumu di sini, Sulastri. Hari ini juga kamu harus turun dari puncak dan melakukan perjalanan jauh."
"Ahhh...!"
Berita ini terlalu mengejutkan buat Sulastri. Sudah selama setahun akhir-akhir ini dia selalu merengek meminta ijin untuk turun gunung, akan tetapi kakek itu selalu melarangnya dan memerintahkannya untuk memperdalam ilmunya yang dikatakan masih belum cukup untuk bekal turun gunung. Maka kini, ucapan kakek itu mengejutkan, sekaligus menggetarkan hati.
"Terima kasih, eyang...!"
Dia cepat menjatuhkan dirinya ke depan kakek Empu Supamandrangi.
"Aihh, bocah ini..."
Sang Empu mengomel geli.
"Sikapmu seperti orang yang mau pergi ke pesta atau mau berlayar saja, padahal perjalananmu akan menempuh berbagai macam bahaya. Engkau harus dapat mengubah sikapmu yang seperti masa kanak-kanak, Lastri, karena hidup bukanlah main-main belaka. Apalagi hidup seorang seperti kamu yang diracuni oleh latar belakang penuh balas dendam. Mulai sekarang keputusan dalam langkah hidupmu sepenuhnya berada di tanganmu, dan kau bisa melakukan apa pun juga berdasarkan keputusan dirimu sendiri, dan hal itu sangat berbahaya. Aku hanya mempunyai suatu pesan yang kuharap kau dapat memenuhinya."
"Pesan apakah itu, eyang? Saya berjanji akan melaksanakannya dan memenuhinya dengan sepenuh hati saya!"
Kembali kakek itu tersenyum.
“Cucuku, lain kali jangan kamu begitu mudah menjatuhkan janji dan sumpah. Yang penting dalam hidup ini bukan segala macam janji melainkan kenyataan dalam perbuatan. Pesanku adalah agar kamu suka mengambil kembali keris pusaka Kolonadah dan kemudian menyerahkan kepada Pangeran Kolo Gemet, putera sang prabu di Mojopahit.”
“Eh, kenapa harus diserahkan kepada Pangeran Kolo Gemet, eyang?”
Sulastri bertanya, heran dan juga kecewa karena tadinya dia ingin memiliki sendiri keris pusaka itu.
"Tidak perlu kau mengetahui terlalu banyak akan rahasia ini, cucuku, hanya ketahuilah bahwa keris itu terlebih dahulu kubuat dengan susah payah dan kubuat khusus untuk seorang raja. Sayang bahwa keris itu memiliki wibaya yang begitu kuat sehingga muridku Ronggo Lawe-pun terdorong untuk memperebutkan kekuasaan dan karenanya dia membahas kematian. Hanya demikian saja yang dapat kujelaskan, maka Kolonadah itu supaya kau serahkan kepada Pangeran Kolo Gemet."
Sulastri menyembah dan berkata.
"Yah, eyang, akankah aku taati perintah eyang. Akan tetapi..."
"Hemm, apalagi? Mengapa ada bayangan bayangan di wajahmu?"
"Eyang sudah sangat tua, selama empat tahun ini ada saya di sini untuk membantu dan melayani eyang, memelihara tanaman, memasak dan memasak.
"Ha-ha-ha, memang kehadiranmu di sini hanya membuat aku menjadi malas dan keenakan saja, cucuku. Kau kira siapakah yang melayani aku selama kamu belum tiba di sini? Kalau aku ingin dilayani orang, ingin hidup mulia secara lahiriah,apa kau kira aku bertapa dan berada di sini selama puluhan tahun? Ha-ha-ha,dengan membikin dan menjual keris saja aku dapat hidup kaya dan mempunyai banyak pelayan di kota. Jangan khawatir, cucuku, seekor semut saja dapat merawat dan memelihara diri sendiri, masa aku kalah oleh semut?"
Mendapat jawaban demikian, Sulastri tersenyum dan legalah hati. Dia lalu berkemas, mengumpulkan pakaiannya yang tidak banyak, semua pakaian pria yang sederhana namun cukup menutupi tubuhnya sehingga tidak akan ada yang tahu bahwa dia seorang wanita. Kemudian, dengan sebuah buntalan pakaian di pundaknya, dia berlutut lagi di depan kakek yang masih duduk bersila di atas dipan bambu di depan gubug.
"Apakah aku boleh berangkat sekarang, eyang?"
“Berangkatlah, cucuku, dan berhati-hatilah,”
Kata si kakek sambil tersenyum melihat bahwa kembang mawar merah tadi sudah tidak lagi menghiasi rambut kepala Sulastri.
“Dan kamu pun tentu saja tidak dapat menggunakan nama Sulastri dalam perjalanan.
Sulastri tersenyum lagi. Kejenakaan eyangnya itu membuat hatinya ringan dan tidak terasa terlalu berat meninggalkan tempat di mana dia telah tinggal selama empat tahun, terutama meninggalkan kakek renta yang selama ini menggemblengnya dan dilayaninya itu.
“Mohon eyang sudi memberi nama samaran kepada saya.”
"Kenapa kamu tidak mencari sendiri? Apakah kamu sudah memilih nama yang baik?"
"Saya sudah memilih sebuah nama, eyang, nama yang sederhana dan mudah, yaitu Joko Bromatmojo."
"Heh-heh, cukup bagus. Bromatmojo berarti Bromo-atmojo (anak Bromo), anak Gunung Bromo. Nama yang baik sekali."
Setelah berpamit lagi dari kakek itu dan mendapatkan doa restunya, berangkatlah Sulastri turun dari puncak itu, diikuti pandang mata kakek Empu Supamandrangi dengan sinar mata sayu. Setelah bayangan dara itu hilang, kakek itu menarik napas tiga kali dan berkata lirih.
“Betapa kuatnya ikatan yang timbul dari pementingan diri!”
Dia lalu memejamkan matanya dan diam sampai lama sekali.
Memang demikianlah. Biarpun seorang pertapa seperti Empu Supamandrangi yang sudah melepaskan keduniawian, begitu bertemu dengan sesuatu yang menyenangkan dirinya, sesuatu yang dinikmatinya, terjadi ikatan dan terasa nyeri di dalam hati kalau ikatan itu dipatahkan. Hidupnya tadinya tenang dan tenteram, seperti udara yang tiada gelombang. Akan tetapi muncullah Sulastri yang membawa kecerahan di dalam hidupnya yang menyenangkan hatinya, melayaninya dan berbakti kepadanya sehingga timbul rasa sayang di dalam hatinya. Perasaan sayang yang timbul karena dia disenangkan! Perasaan ini menonjolkan sifat pementingan diri pribadi dan menciptakan suatu ikatan di dalam batinnya karena dia ingin agar kesenangan itu dilanjutkan dan jangan sampai diambil dari dia! Karena itulah maka perpisahan merupakan sesuatu yang sangat berat bagi orang yang ikatan batinnya.
Jadi terang bahwa ikatan menimbulkan duka, yaitu apabila kita diharuskan berpisah dari ikatan kepada kita, dan ikatan timbul dari keinginan melanjutkan kesenangan. Hal ini sudah jelas. Bukan berarti bahwa kita harus menolak atau menentang kesenangan, sama sekali tidak, melainkan kita tidak mengejarnya. Dan kita baru bisa mengejar kesenangan kalau kita tidak menyimpan pengalaman yang menyenangkan dalam ingatan atau kesenangan!
Pada suatu pagi tibalah Sulastri di sebuah hutan yang lebat. Baru saja malam tadi dia bermalam di sebuah dusun, di rumah seorang petani tua bersama isterinya dan dari mereka ini dia mendengar bahwa hutan di sebelah barat dusun ini terkenal gawat. Apalagi karena di situ akhir-akhir ini, selama beberapa bulan ini, dikelilingi seorang gila yang sudah membunuh beberapa orang.
"Anehnya, yang dibunuhnya selalu adalah orang muda yang tampan. Oleh karena itu,raden, kami harap andika jangan melalui hutan di barat itu," Kata tuan rumah dengan khawatir melihat
betapa "pemuda"
Yang menjadi tamunya begitu tampan dan halus, tampak begitu lemah . Sulastri berjanji akan mengambil jalan lain agar tidak meremehkan keluarga yang demikian, akan tetapi tentu saja penuturan itu malah membuat hatinya tertarik sekali dan andaikata dia tidak sedang melakukan perjalanan ke barat, melainkan jika mendengar cerita itu dia akan dengan sengaja memasuki hutan itu untuk menyelidiki! Ada orang gila yang berkeliaran membunuhi orang, sungguh sangat berbahaya kalau diamkannya saja.
Mendengar ada orang gila tukang bunuh diri,sama halnya bagi dara perkasa ini seperti melihat sebuah lubang tersembunyi di tengah jalan. Hatinya tidak akan tenang sebelum dia menutup lubang itu agar jangan ada orang lain yang terperosok dan celaka. Maka sekarang pun dia merasa tidak enak sebelum dia memasuki hutan itu dan menaklukkan orang gila yang berbahaya itu! Sejak kecilnya Sulastri memang memiliki ketabahan luar biasa. Keberanian hatinya ini digembleng pula oleh pengalaman-pengalaman pahit dan kemudian ditambah oleh gemblengan Ki Jembros sehingga dia hampir saja menjadi seorang yang pembohong dan ganas! Untung sedemikian rupa menjelang dewasa, dia terdidik oleh Empu Supamandrangi sehingga kesadarannya terbuka dan dia tidak lagi pembohong sungguh pun tidak dapat melenyapkan wataknya yang jenaka, aneh, dan Bengal suka menggoda orang!
Dengan hati yang agak ngeri juga, kengerian orang menghadapi orang gila, kengerian bercampur jelek, Sulastri memasuki bagian paling lebat di hutan itu. Pohon-pohon besar yang usianya mungkin sudah ratusan tahun seperti raksasa-raksasa menyeramkan dan semak-semak belukar kadang-kadang begitu lebat menghalang jalan sehingga Sulastri harus mengambil jalan memutar. Tentu saja dia sama sekali asing dengan daerah ini, dan dia pun sudah lupa lagi jalan mana yang diambilnya empat tahun lalu ketika dia datang dari barat menuju Pegunungan Bromo. Satu-satunya pegangannya agar tidak hilang hanyalah matahari yang dia tahu muncul dari timur dan kalau pagi hari itu dia menuju kearah depan dengan matahari di belakangnya, kemudian kalau sore atau lewat tengah hari dia mengambil arah dengan matahari di depannya, maka dia tidak akan tersesat !
"Hua-ha-ha-hah!"
Sulastri melonjak saking terperanjatnya. Dia enak-enak melamun tiba-tiba saja ada suara ketawa sekeras itu, suara ketawa yang menyeramkan sekali dan orang baru yang tertawa itu tidak kelihatan! Siapa orangnya yang tidak akan kaget dan merasa serem? Sulastri menghentikan langkahnya, terasa betapa jantungnya membuat suara seperti sebuah gendang mengalahkan pertarungannya.
“Duk-duk-duk-duk…”
Berdenyut-denyut sampai terasa ke ubun-ubun kepalanya! Dia menarik napas panjang untuk menenangkan jantungnya dan matanya di sekeliling dengan waspada. Kewaspadaan ini yang membuat dia cepat memutar tubuh ke kanan ketika ada gerakan dari semak-semak di taman sebelah.
"Wuuuuutttt.... blukkkk!"
Batu sebesar gentong itu tergeletak di atas tanah di dekat kakinya ketika Sulastri cepat mengelak, kemudian memandang dengan penuh perhatian ketika dari balik semak-semak belukar itu muncul seorang laki-laki yang bentuk tubuhnya sedang saja, namun wajahnya bengis dan pakaiannya biar pun ada bekasnya sebagai pakaian yang mahal dan pantas, namun karena tidak terawat kini menjadi compang-camping. Matanya bukan seperti orang gila, pikir Sulastri.
Tentu ini dia yang disebut orang gila berbahaya itu, buktinya tiada hujan tiada angin tanpa apa-apa orang itu hampir saja membunuhnya dengan lontaran batu yang sebesar itu. Kalau mengenai orang yang tidak pandai mengelak, tentu akan pecahkan kepalanya atau remuk badannya. Namun di sisi lain, ada bukti lain yang menarik hatinya, yaitu bahwa orang ini bukanlah orang sembarangan. Orang yang dapat melontarkan batu seberat itu dengan tenaga lontaran yang begitu kuat, tentu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi.
"Hei, apa artinya ini?"
Sulastri bertanya kepada laki-laki yang kini sudah mendekatinya, laki-laki yang usianya kurang lebih lima puluh tahun.
"Ha-ha-ha, sekali ini tidak salah lagi. Engkaulah si manusia busuk!"
Laki-laki itu makin beringas matanya dan memang Sulastri melihat sinar mata yang lain dari mata orang biasa, mengandung kebencian dan kemarahan yang sudah mendekati kegilaan. Orang itu sudah menubruk maju, serangannya cepat dan kuat,akan tetapi membabi buta seperti yang hanya dapat dilakukan oleh orang yang tidak lagi memperdulikan pembelaan dirinya, hanya ingin menyerang dan membunuh!
"Wirr-wirr...plak-plakk!"
Orang itu terhuyung miring ketika Sulastri mengelak kemudian menangkis dengan lengan kirinya dua kali sambil mengerahkan sebagian tenaganya.
"Ha ha ha!"
Orang itu malah tertawa dan menyerang lagi.
"Eh, kisanak, nanti dulu!"
Sulastri mengelak sambil berseru.
"Kenapa kamu menyerangku? Kita belum saling mengenal dan aku tidak pernah melakukan kesalahan padamu. Kalau ada urusan, mari kita bicara dulu sebelum kamu menyerangku!"
"Wuuutt-wir-wirr...!"
Pukulan-pukulan yang keras menyambar-nyambar namun semua dapat dielakkan oleh Sulastri dengan mudah.
"Ha-ha-ha, jelas sekarang! Siapa lagi kalau bukan kau? Kau pandai bicara,suaramu merdu dan halus, dengan itu engkau telah merayu Katmi! Engkau juga pandai berkelahi, tenagamu kuat, dengan itu engkau telah membunuh. Bagus... .kamulah orangnya, kini tidak salah lagi!"
Kakek itu berkata sambil tertawa-tawa dan terus menyerang tak pernah berhenti.
"Bukan! Jangan menuduh yang tidak-tidak. Mari kita bicara!"
Sulastri membentak sambil mengelak lagi. Akan tetapi kini laki-laki itu tidak menjawab, hanya mengeluarkan suara menggereng dan tiba-tiba dia telah mencabut parang yang mengkilap tajam dan dengan senjata ini, dia menyerang dengan ganas.
Sulastri cepat mengelak.
"Hemm... orang sinting! Kau nekat dan hendak berkelahi? Baiklah, nah, terimalah ini!"
"Plakk...!!"
Sebuah tamparan yang dilakukan dari samping mengenai pundak kiri orang itu yang terpelanting dan berputar sampai beberapa langkah. Namun orang itu hanya meringis dan sama sekali tidak gentar walau pun tamparan pertama ini saja sudah membuktikan bahwa dia tidak akan menang menghadapi lawan yang masih muda namun sakti ini.
"Ha-ha, mampus kau...!"
Dia menerjang dan menubruk seperti seekor srigala dan parangnya membacok kearah kepala Sulastri, tangan kirinya masih mencengkeram kearah perut!
"Sialan! Kau memang sinting!"
Sulastri berseru kesal dan tubuhnya miring untuk menghindarkan cengkeraman ke perutnya, kemudian dia mengangkat tangan kiri menangkis ke atas dan tangan kanannya memukul dengan penambahan sedikit tenaga ke arah dada lawan dengan menggunakan punggung tangan.
"Dukk! Plakk...!"
Orang itu mengeluh, parangnya terlepas dari pegangan karena ketika tertangkis tadi, dia merasa lengannya seperti lumpuh dan tidak mampu lagi mempertahankan parangnya, sedangkan pukulan ke dadanya membuat dadanya terasa seperti pecah dan matanya berkunang, tubuhnya terjengkang dan dia roboh bergulingan. Akan tetapi orang itu sungguh sudah nekat. Dengan mata beringas, dia meloncat bangun lagi dan dengan teriakan seperti binatang buas dia menubruk, menggunakan kedua tangannya mencengkeram ke arah Sulastri.
"Dess...!"
Kaki Sulastri yang kecil menendang dan orang itu kembali terpelanting,memegangi perutnya yang kena tending tadi sambil meringis kesakitan. Akan tetapi,kembali dia maju menyerang.
"Orang gila, kau masih nekat?"
Sulastri berseru ganas dan kembali tangannya menampar, kini mengarah tengkuk.
"Plakk...! Aughhh...!"
Orang itu terpelanting dan roboh, mengeluh panjang dan ketika dia bangkit dan duduk, dia menggoyang-goyang kepala untuk mengusir kepeningan kepalanya, akan tetapi tetap saja pandang matanya berkunang dan dunia seperti berpusing di sekelilingnya.
"Heh... kau bunuhlah aku... hemmm, kau bunuhlah biar aku menyusul Katmi anakku..."
Katanya terengah-engah.
"Kisanak, engkau salah sangka,"
Sulastri berkata dengan tenang dan kasihan karena dia maklum bahwa orang ini adalah orang yang agaknya dibikin gila oleh dendam sakit hati yang hebat.
"Aku tidak merayu anakmu, tidak pula membunuhnya,akan tetapi kalau kau mau menceritakan kepadaku apa yang terjadi dengan anakmu, barangkali saja aku akan dapat membantumu menangkap pembunuhnya."
Laki-laki itu kini mengangkat muka, menatap wajah Sulastri, kembali menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu mengerutkan alisnya dan bicara kepada diri sendiri.
"Yang seorang tampan dan muda, dengan kumis kecil dan tahi lalat di pipi kirinya, dan dua orang lagi yang muda dan juga berkumis, yang seorang tinggi besar dan seorang lagi pesolek dan matanya agak sipit. Hemm... yang dua sudah mampus, akan tetapi kau biar pun muda dan tampan... kau tidak berkumis..."
Komentar
Posting Komentar