KEMELUT DI MAJAPAHIT JILID 04
mendiang Ronggo Lawe. Dia seorang yang sederhana dan tidak suka pangkat, hidup seperti petani di pedusunan setengah pertapa, maka dia tidak mengenal dua orang ini.
"Andika adalah dua orang perwira Mojopahit yang diutus oleh sang prabu untuk menangkap anak ini!"
Darumuko yang cerdik itu mendahului temannya.
Ki Ageng Palandongan mengerutkan alisnya yang tebal.
"Mustahil kiranya kalau sang prabu mengutus kalian menangkap seorang anak kecil. Aku lihat tadi kalian hendak menganiaya dia dan pergilah andika berdua dari sini, jangan membuat ribut di sini."
Reksosuro bertolak pinggang dan membetak.
"Paman Ki Ageng Palandongan! Ucapan apakah ini? Kami melakukan tugas kali,
Kakek itu membentak marah.
“Kalau begitu paman hendak memberontak pula!”
Reksosuro membentak.
"Keparat bermulut lancang!"
Ki Ageng Palandongan marah, kakinya terayun dan untuk kedua kalinya Reksosuro terhuyung. Dia dan temannya cepat mencabut keris dan menyerang kakek itu. Akan tetapi, Ki Ageng Palandongan yang usianya sudah enam puluh tahun lebih itu adalah bekas jagoan yang berilmu tinggi, maka biar pun dua orang lawannya memegang keris dan dia sendiri bertangan kosong, akan tetapi dengan mudah dia menghindari diri dari semua serangan, kemudian kilat dia membagi-bagi pemikiran sehingga Reksosuro dan Darumuko gelayaran. Kakek itu menyusulkan dua kali tendangan dengan kakinya yang besar dan kuat seperti mengaduh-aduh, terlempar dan jatuh terguling.
“Tahan, Paman Palandongan”.!!”
Tiba-tiba terdengar suara orang dan muncullah Panewu Progodigdoyo!”
Eh, eh, saya lihat dua orang ini adalah pamong Mojopahit! Betulkah kalian ini"."
“Maaf sang panewu yang mulia, memang kami berdua adalah perwira-perwira Mojopahit yang mengemban tugas gusti sinuwun untuk menangkap anak perempuan ini. Akan tetapi paman Ki Ageng Palandongan melawan kami.”
Panewu Progodigdoyo yang kini menjabat kepala di Tuban itu, menoleh ke arah Sulastri, kemudian memandang Ki Ageng Palandongan dan bertanya dengan sikap hormat namun penuh teguran.
"Benarkah, paman? benarkah paman Palandongan utusan Sang Prabu Mojopahit?"
Karena kini bekas pembantu utama mantunya itu telah menjadi kepala, maka Ki Ageng Palandongan menyabarkan hatinya, lalu dia berdehem dan menjawab, suaranya dalam dan lantang.
"Benar, tapi sebetulnya paman tidak menentang siapa pun juga, nak panewu. Karena melihat mereka berdua ini bermaksud kejam dan menganiayanya seorang bocah, maka paman turun tangan melarang mereka."
"Ah, paman. Mengapa paman tidak sabar? Baju saja Tuban diberi pengampunan oleh gusti sinuwun, bagaimana paman sekarang berani menentang dua orang utusan beliau? Bukankah hal itu akan mendatangkan kesan buruk sekali? Eh"., kisanak, saudara-saudara petarung yang gagah . Harap kalian maafkan atas kesalah pahaman ini, ya? Dan lupakan urusan ini, jangan terdengar oleh sang prabu."
Reksosuro dan Darumuko yang sebetulnya sudah mengenal baik Progodigdoyo itu mengangguk dan Reksosuro berkata.
"Tidak kenapalah. Kami akan kembali ke Mojopahit, membawa bocah ini!"
Reksosuro menggerakkan tangannya dan sebelum Sulastri dapat lari, anak itu telah dipengang kedua lengannya dengan satu tangan. Sulastri meronta-ronta, tendangan-nendang.
"Lepaskan! Monyet juling! Biarkan aku! Dan dia hendak menggunakan giginya untuk mengigit tangan yang memegangi kedua lengan, akan tetapi Reksosuro menutir lengan itu dan kini memegangi kedua lengan anak yang ditarik ke belakang tubuhnya sehingga anak kecil iti tidak mampu berkutik lagi.
" dulu"."
Ki Ageng Palandongan berkata marah menyaksikan peristiwa ini.
"Mau diapakan anak itu? Mustahil kalau gusti sinuwun mengutus kalian menangkap seorang bocah".." "
Paman Palandongan, sebenarnya semua rakyat adalah kawula (hamba sahaya dari Mojopahit) Lebih baik kita sebagai pamong yang setia tidak mencampuri urusan ini dan menyerahkannya kepada kebijaksanaan gusti sinuwun. Eh, kisanak, kalian pergilah dan bawa anak itu, hanya kuminta agar kalian tidak berlaku kejam terhadap anak itu di sini!"
Ucapan Progodigdoyo ini membuat Ki Ageng Palandongan tak dapat membantah lagi, dan dua orang itupun mengerti akan apa yang dimaksudkan oleh mereka itu, maka Reksosuro lalu mengangkat dan memondong Sulastri, biar pun masih memegangi kedua lengannya, dan dengan sikap halus berkata.
"Marilah, anak manis, jangan takut dan jangan melawan.
Maka pergilah mereka, diikuti oleh mata kedua orang itu, Progodigdoyo tersenyum tetapi Ki Ageng Palandongan mendelik menahan amarah.
Reksosuro dan Darumuko melanjutkan perjalanan dan reksosuro masih terus memondong Sulastri sampai mereka bertemu Sungai Tambakberas. Setelah mereka tiba di daerah sendiri, yaitu daerah Mojopahit, Reksosuro melemparkan tubuh anak itu ke atas tanah.
"Bruukkkk!!"
Sulastri yang setengah dibanting itu menerima kesakitan, tetapi tidak mengaduh.
"Sialan! Hayo kau sekarang mengaku di mana kau sembunyikan mayat mbakayumu itu!"
Bentaknya sambil menuding telunjuknya ke arah muka Sulastri.
Sulastri kini tidak mau menjawab lagi, malah membuang muka dengan sikap amenghina sekali.
"Heh-heh, kakang Rekso, bagaimana kalau dia kutelanjangi dan kupermainkan dulu? Biar pun masih kecil setelah kutundukkan agaknya dia baru akan mau jinak! Ha-ha-ha!"
"Hah, kau rakus sekali, adi Darumuko! Masa anak sekecil ini, dia tentu akan mampus tak kuat menahannya, dan kita akan mendapat marah sang resi!"
Tukas Reksosuro.
"Kalau begitu, biar kucambuki dia agar mengaku!"
Darumuko lalu mematahkan sebatang mengomel pohon kemlandingan di tepi jalan. Ranting kemlandingan adalah mengomel yang ulet dan lemas Sambil tersedak si bibir tebal ini merantasi daun-daun kemlandingan yang kecil-kecil itu sehingga berhamburan ke bawah.
"Ha-ha, bocah bandel. Apa kamu masih juga tidak mau mengaku? Ataukah harus kupaksa dengan ini?"
Dia menamang-amangkan cambuk mengomel mlandingan itu. Akan tetapi Sulastri bukanlah seorang anak kecil biasa. Jangankan baru diancam mengomel kemlandingan, biar diancam tombak atau keris sekali pun, dia tidak akan merasa gentar. Sudah terlalu banyak orang-orang yang dicintanya mati di depan matanya, maka kematian bukanlah apa-apa bagi anak ini, bahkan berarti dia mengikuti orang-orang yang dicintanya. Dia juga sudah mengalami banyak hal-hal ngeri. Sudah melampaui batas puncak kengerian sehingga dia kini tidak mengenal kengerian lagi, bahkan tidak takut apa-apa lagi! Maka ancaman Darumuko itu malah membuatnya tersenyum mengejek.
"Anjing bibir tebal, kamu pantas memang memegang cambuk menggembala kerbau!"
Makinnya.
Muka Darumuko menjadi merah padam matanya yang pembohong tajam itu melotot dan membungkuk yang tebal karena moncongnya, cuping hidungnya kembang kempis seperti hidung kerbau mencium bahaya.
“Bangsat, anak setan, kamu pingin mampus ya?”
Dengan marah sekali mulai dia menggerakkan mengomel kemlandingan itu, diayun berjanjinya dan bertubi-tubi mengomel kemlandingan itu menimpa tubuh anak kecil itu.
"Siuuuuuttt".. prat!! Siuuuuttt".pratt-pratt-pratt!!"
Dihajar bertubi-tubi oleh cambukan mengomel itu, Sulastri membagikan dan menghasilkanan seperti seekor cacing terkena abu panas. Hampir saja dia mengeluh, maka cepat dia menggigit ciuman kuat-kuat dan terus memasarkanan, kedua tangannya meraba sana-sini di bagian tubuhnya yang terkena cambukan untuk mengusir rasa panas dan perih yang menggerogoti kulit-kulit tubuhnya. Akan tetapi sedikit pun dia tidak mengaduh, bahkan terlihat darah dari mulut kanan kiri, yaitu darah dari bibir bawah yang robek tergigit ketika dia menahan sakit.
"Cepratt-cepratt-pratt-pratt".!"
Darumuko terus mencambuki tanpa pilih tempat sehingga yang terkena cambuk adalah seluruh tubuh Sulastri dari kaki sampai kepala. Cambuk mengomel kemlandingan yang ulet dan lemas itu mengigiti kulitnya, tidak sampai merobek kulit akan tetapi meninggalkan bekas merah kebiruan.
"Hayo mengaku kau, sundal kecil, hayo mengaku kau, keparat! Prat-prat-prat!"
Akan tetapi jangan mengakui, mengeluh satu kali pun tidak dan anak itu hanya terus berputaran dan menggeliat-geliat, semakin lama semakin lemah sampai akhirnya dia tidak berkutik lagi, rebah miring dan sama sekali tidak bergerak ketika mencambuk mengomel kemlandingan itu masih terus menimpa tubuhnya.
"Setop! Setop! Adi Darumuko, apa kau sudah gila? Apa kau ingin membunuh?"
Reksosuro mendesak dan menahan lengan temannya yang masih terus mencambuki.
"Keparat"! Sedikit pun dia tidak meminta maaf, tidak mengeluh. Menantang dia, keparat! Biar kucambuk dia sampai mampus!"
Darumuko terengah-engah dan keringatnya bercucuran.
"Hussh, bodoh! Sekarang kau boleh mencambuki sampai dia mampu, akan tetapi kelak kau yang akan dicambuki oleh sang resi sampao merobek-robek semua kulitmu!"
Mendengar ini, Darumuko terkejut dan baru sadar. Dia memandang cambuk mengomel itu, lalu membuangnya dan cepat dia menunduk dan berlutut.
“Wah, apa dia mampus?”
Reksosuro juga berlutut sambil memeriksa Sulastri.
“Tidak, dia masih bernapas, hanya pingsan saja.”
"Dia keras kepala, anak luar biasa sekali dia, seperti setan. Bagaimana baiknya sekarang, kakang Reksosuro?"
"Sebaiknya kita bawa saja dia pulang dan kita serahkan kepada sang resi. Beliau tentu mempunyai daya upaya untuk membuka mulut anak ini. Dan karena kau yang mencambukinya sampai dia tidak bisa berjalan dan pingsan, kau pula yang harus memondongnya sampai ke gedung sang resi, Adi Darumuko."
"wah-wah sialan"!"
Darumuko mengomel, akan tetapi karena merasa bersalah, terpaksa dia memondong anak itu, disampirkan di pundaknya dengan kaki di depan dan kepala di belakang, merangkul kedua paha anak itu dan berangkatlah dua orang ini melanjutkan perjalanan mereka ke Mojopahit .
"Wah kak Reksosuro, kita akan melewati hutan ini dan malam sudah hampir tiba."
Darumuko mengomel dan memandang khawatir juga.
"Uwaahh, masa kau takut? Malam ini terang bulan."
"Tapi hutan ini terkenal banyak orang jahat dan setannya""
"Hah, siapa yang berani bertarung setelah baru saja terjadi perang itu? Kita kan bisa ke Perwira Mojopahit? Kalau aku berani muncul, aku malah akan merampas semua harta benda, huh, aku Reksosuro adalah sahabat-sahabat setan!"
"Hushh! Bicaramu kok begitu?"
Darumuko menegur, merasa serem.
"Ha-ha, kenapa tidak? Apakah percuma saja setiap Selasa dan malam Jumat biniku membakar kemenyan sekepal besarnya dan menghindangkan kembang setaman? Percayalah, setan-setan tidak akan mengganggu kita, malah akan melindungi. Mereka semua sudah jinak kepada saya."
Biar pun ucapan Reksosuro itu sungguh-sungguh dan terkesan meyakinkan, namun tetap saja meremang bulu tengkuk Darumuko ketika mereka memasuki hutan yang gelap itu. Si muka bulat bibir tebal ini memang seorang pemerintahan yang kejam dan kejam, tidak pernah takut melawan siapa pun juga. Hanya dia mempunyai satu kelemahan yaitu sangat takut terhadap setan yang belum pernah dilihatnya, takut dan ngeri sehingga setiap malam Jumat di rumahnya, kalau dia pada waktu malam terpaksa oleh kebutuhan badan harus ke kamar mandi untuk membuang air kecil atau besar, dia selalu menggugah bininya untuk minta diantar! Andaikata ada lima orang maling mengganggu rumahnya, Darumuko tentu akan meloncat dan membawa tombaknya, siap menghadapi lima orang maling itu. Akan tetapi begitu mendengar tentang setan, atau diingatkan akan setan,
Malam itu cuaca memang terang karena bulan purnama tidak terhalang mendung. Udara dingin menyusup tulang, apa lagi di tengah-tengah hutan itu, karena banyaknya pohon-pohon yang lebat daunnya menambah dinginnya hawa, seolah-olah di sekeliling tempat itu, di kanan kiri depan belakang dan atas, terdapat udara dingin yang mengurung.
"Ihhh, dinginnya"! Apa kita tidak berhenti dulu, kakang?"
Darumuko mengulangi dan mengungkapkan gemetar, entah oleh dingin saja atau juga oleh hal lain, karena jelas mukanya membayangkan ketakutan dan kengerian. "
Nanti kita berhenti di dekat belik (sumber udara) sana sambil minum,"
Jawab Reksosuro
"Ihhhh" "
Terdengar suara dari mulut Darumuko, seperti orang kedinginan.
"Kau kenapa,
dingin"!"
"Sikapmu seperti orang takut! Hati-hati, anak itu agaknya sudah siuman."
"Ti"
Tidak takut".hanya dingin". hhiiii!"
"Ada apa?"
"Ssssttt, kakang"."
Darumuko memegang lengan temannya. Mata terbelalak memandang ke depan.
"Kau lihat tadi"?"
"Uhh, melihat apa?"
Reksosuro membelalakkan mata, mencari-cari akan tetapi tidak melihat sesuatu yang aneh.
"Aku melihat bayangan orang""
"Hemm, kalau bayangan orang saja kenapa takut? Orang pun kita tidak takut! Pula, siapa yang ada orang di malam-malam begini dan tempat seperti ini? Mungkin bayangan setan yang kau lihat."
Reksosuro berkelakar, akan tetapi kelakar ini malah membuat Darumuko semakin bertambah seperti orang terkena penyakit demam.
"Hah penakut. Hayo!"
Reksosuro menarik tangan temannya dan melanjutkan perjalanan.
"Nguuuuukkk"!"
Darumuko melonjak kaget.
"Ihhh"!"
“Hemm, itu hanya suara lutung.”
Reksosuro mencela teman yang penakut itu.
Mereka berjalan terus, suasana sunyi sekali, membuat Darumuko merasa tengkuknya tebal.
"Huuuuukkkk-huk-hukkk!"
"Hiii"!!"
Darumuko hampir saja melepaskan tubuh kecil yang dipondongnya saking terkejutnya dan dia memegang lengan Reksosuro dengan jari-jarinya.
"Aah, penakut benar kau, adi. Itu hanya suara burung hantu! Kulu-kulu-hu-hu-huuukk!"
Reksosuro menirukan suara burung hantu itu sambil tertawa.
Darumuko menjadi malu pada dirinya sendiri, tetapi dia akan membela diri.
“Ah, tentu saja kau lebih tabah, kakang. Dahulu kau sudah biasa berkeliaran di dalam hutan sebagai merangkul.”
"Hushh! Jangan gali-gali riwayat lama, kawan. Sekarang aku petugas Mojopahit, tahu?"
"Maaf kak Reksosuro."
Mereka berjalan lagi dan Darumuko memandang cemas ke depan. Dari jauh sudah nampak sebatang pohon beringin yang besar sekali sehingga keadaan di sekeliling pohon raksasa itu menyeramkan karena dibawahnya gelap dan mereka agaknya akan lewat di bawah pohon beringin itu.
Reksosuro agaknya mengerti akan keseraman hati temannya. Temannya yang selalu ketakutan itu membuat hatinya menjadi tidak enak juga, maka dia berkata.
"Adi Darumuko, jangan takut. Takut akan setan sesungguhnya hanyalah permainan pikiran sendiri yang membayangkan hal yang bukan-bukan."
"Baik, kakang aku akan berusaha agar tidak takut."
Mereka kini tiba di bawah pohon.
"Lepaskan aku"! Kalian manusia-manusia jahat dan keji! Oke aku!"
Tiba-tiba Sulastri yang kini sudah siuman betiul itu meronta lemah dalam kolam Darumuko.
"Diam kau, bocah setan. Atau". kucekik kau nanti!"
Darumuko membentak.
"Heh-heh, diamlah, manis. Nanti kau akan diberi hadiah yang enak-enak oleh sang resi.
Reksosuro juga menghibur dengan suara mengejek.
Mereka kini tiba di bawah pohon beringin yang agak gelap, suram. Tiba-tiba tubuh Darumuko terhuyung roboh, Sulastri yang tadinya dipondong terlepas dari poolongannya.
"Aduhh"
Kakang".tolong"..ssseee"
Ssseeetan".!"
Darumuko merintih dan telunjuknya menuding kearah batang pohon beringin.
"Apa"? Heii"
Aduhhhh".!"
Kini Reksosuro juga terhuyung ke depan dan terjelengup. Kedua tangannya dapat menahan tanah sehingga mukanya tidak sampai bertemu dengan tanah seperti halnya Darumuko. Akan tetapi dia kaget sekali karena tahu bahwa jatuhnya bukan sembarangan, melainkan dijegal orang! Cepat dia meloncat berdiri dan lemas tubuhnya ke arah batang pohon beringin yang sangat besar itu.
"Tolong kakang". ada setan"!"
Kembali Darumuko merintih dan berusaha untuk bangkit tetapi dia mendekam kembali sambil menendang dengan tubuh gemetar ke arah bayangan hitam yang bersandar pada pohon beringin itu.
"Hah, adi, bangunlah! Setan apa? Dia seorang manusia yang sudah bosan hidup, berani mengganggu kita!"
Kata Reksosuro.
Mendengar ucapan ini, seketika timbullah semangat Darumuko dan lenyaplah rasa takut dan ngerinya tadi. Sungguh tadi dia mengira bahwa bayangan hitam yang bersandar pada batang pohon beringin itu adalah setan yang mengganggunya. Akan tetapi kini mendengar ucapan temannya, dia menjadi marah sekali.
"Apa? Manusia"?"
Dia lalu meloncat berdiri dan mendekati temannya yang sudah melangkah maju.
Setelah rasa takutnya hilang, kini Darumuko dapat melihat bahwa memang bayangan hitam yang bersandar di batang pohon beringin itu adalah seorang manusia. ya tidaklah segelap ketika dia ketakutan akan keadaan tadi. Sinar bulan purnama masih mencapai tempat itu. Kini dia melihat dengan jelas seorang kakek yang berpakaiannya serba hitam duduk bersandar batang pohon sambil melenggut, kakinya yang panjang dilonjorkan di depan tubuhnya. Sulastri yang tadi terlepas dari kolamnya, kini sudah lari ke dekat orang tua yang tertidur itu, agaknya minta perlindungan kakek itu.
Sejenak dua orang petugas Mojopahit pembantu Resi Mahapati itu mengira bahwa lagi-lagi Ki Ageng Palandongan yang menghadang mereka, karena orang itu pun sudah tua dan di dalam cuaca yang suram muram itu pakaiannya seperti hitam. Akan tetapi setelah mereka memandang penuh perhatian, mereka terkejut, terheran dan marah bukan main. Orang itu hanyalah jembel! Seorang pengemis tua! Seorang jembel pengemis yang pakaiannya hanya merupakan gombal-gombalan saking kotornya sehingga tampak hitam, rambut gimbal panjang terurai dan tak pernah dicuci sehingga ruwet dan kotor, kumis dan jenggotnya menutupi bagian bawah mukanya. Pakaiannya yang kotor itu hanya merupakan sebuah baju yang tidak ada kancingnya lagi, terbuka menampilkan payudara yang penuh rambut, dan sebuah celana komprang (besar) sampai ke lutut, kemudian di pinggangnya dilibat kain yang kumal. Dari tempat mereka berdiri pun, dalam jarak dua meter, sudah tercium bau apak, bau pakaian yang sering terkena keringat dan tak pernah dicuci. Seorang jembel!
"Sial! Jembel busuk!"
Darumuko yang tadi ketakutan setengah mati, menjadi marah dan mendongkol sekali bahwa yang membuat ketakutan sampai celananya sedikit basah karena tadi dalam ketakutannya tanpa disadarinya lagi dia "ngompol", kini menjadi "berani" Luar biasa dan ia menyepak paha orang tua itu
!
"Jembel tua bangka busuk! Berani kau menjegal kakiku?"
Kakinya menyepak.
"Plak!"
Dan tubuh orang itu terguncang, tetapi tetap saja dia masih tertidur.
"Dia, kere tua mau mampus! Bangunlah!"
Reksosuro juga membentak, kakinya mencongkel sebuah batu sebesar kepalan tangan. Batu itu terletak di kearah dahi kakek itu.
"Tukkk!"
Batu mengenai dahi dan menggelinding ke bawah. Akan tetapi tetap saja kakek itu tidak bangun!
Melihat ini, Sulastri lalu menggetarkan bahu orang tua itu dan berbisik di telinga.
"Kakek, bangunlah. Dua orang jahat ini akan mencelakakan kamu dan aku. Bangunlah, kek!"
Kakek jembel itu membuka mata sedikit, dikejap-kejapkan dan menggeliat, kedua tangannya direntangkan ke depan dan terdengar suara berkerotokan pada punggung seolah-olah semua tulang punggung patah-patah. Sulastri terkejut bukan main dan memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi kakek itu tidak apa-apa, lalu membuka matanya dan memandang kepada dua orang yang berdiri di depannya, lalu menoleh kearah Sulastri, mulut yang tertutup kumis itu bergerak-gerak yang dapat diduga bahwa dia tersenyum! Sejenak matanya memandangi tiga orang itu bergantian, kemudian terdengar ada suara yang keluar dari balik kumis brewok itu.
"Ela-dhalah.. demi segala setan demit iblis bekasakan yang menjaga hutan ini! Dari mana datangnya dua ekor serigala dan seekor anak harimau ini?"
Jelas bahwa kakek jembel itu menganggap dua orang perwira Mojopahit itu dua ekor serigala, dan Sulastri disebutnya anak harimau. Itu merupakan hinaan yang sangat hebat bagi Reksosuro dan Darumuko!
"Tua bangka bau busuk! Kami adalah dua orang perwira Mojopahit, tahu? Dan kamu berani menganggap kamu serigala? Berapa rangkap sih nyawamu maka kamu berani berlancang mulut seperti ini?"
Bentak Reksosuro.
"Gebuk mampus saja sudah, kakang!"
Kata Darumuko.
Kakek itu memandang kedua orang itu dan terkekeh di dalam.
"Heh-heh, aku melihat orang bukan dari pakaian atau pangkatnya, melainkan dari sifat-sifatnya. Lihat anak perempuan ini, biarpun masih kecil dan perempuan, dia mempunyai sifat seperti seekor harimau, calon harimau betina yang ganas dan tangkas! Dan kalian. .hemm"
Kalian seperti serigala, licik dan hanya berani kalau sudah yakin menang, sebetulnya di dalamnya penakut. Srigala hanya akan menyerang binatang lain yang lebih lemah, atau jika menyerang yang kuat tentu saja dengan keroyokan. Nah, itulah sifat kalian."
Tentu saja Reksosuro dan Darumuko menjadi marah bukan main. Jembel tua itu terang-terangan, tanpa tedeng aling-aling, telah menghina mereka! Seorang kere tua berani menghina mereka, dua orang pasangan Mojopahit? Sungguh sialan!
Darumuko memaki.
"Hayo katakan, apa perlumu menghadang kami dan menjegal kaki kami?"
"Wah, wah, siapa yang menjegal siapa? Tidak ada jegal-jegalan disini seperti yang terjadi di Mojopahit! Di sini hanya ada aku yang tidak membutuhkan apa-apa, perlu apa menjegal orang?"
"Kakek hina! Jelas kau tadi menjegal kami!"
Reksosuro juga membentak, agak hati-hati karena dia dapat menduga bahwa mendengar bicaranya, kakek jembel itu tentulah bukan orang sembarangan."Nah, nah fitnah-memfitnah sudah menjadi watak semua orang di Mojopahit! Jangan dibawa-bawa ke sini, kisanak! Tadi aku sedang tidur di sini, enak-enak mimpi bercengkerama dengan para iblis bekasakan yang berpesta pora di hutan ini, eh, tahu-tahu kalian menginjak-injak kakiku dan berkata bahwa aku menjegal kalian. Mojopahit sekarangkah ini?"
Mendengar ucapan yang semakin tidak karuan itu, Darumuko berkata.
"Kakang, dia tentu orang gila!"
Kakek itu cepat membantah.
"Nah, sudah biasa orang gila memaki orang lain gila!"
"Apa?"
Darmuko melorot.
"Bukan aku yang memaki, orang muda, melainkan kamu sendiri!"
"Kakek, dia itu memang orang ceriwis, suka memaki orang, lihat rekomendasi sampai menjadi tebal karena terlalu sering memaki orang!"
Tiba-tiba Sulastri berkata, terbawa kegembiraan oleh sikap kakek itu yang tabah dan seolah-olah menggembirakan dua orang itu.
"Ha-ha-ha-ha! Kau benar"
Ha-ha-ha! Bibirnya". ahhh, sampai menggandul begitu panjang. Aduh lucunya"!"
Kakek itu berlari-bahak dan memegangi perutnya.
Bisa dibayangkan betapa marahnya hati Darumuko. Selama hidupnya, belum pernah dia dihina orang seperti ini.
"Kere busuk, kuhancurkan isi perutmu! "
Sambil membentak demikian, dia menerjang ke depan dan mengayun kaki kegelapan, menendang dengan pengerahan energi sepenuhnya kearah perut kakek itu yang masih tertawa dan menggeliat terlihat karena bajunya terbuka. Perut yang agak gendut biar pun tubuhnya kurus itu tak terhindarkan lagi menerima tendangan kilat yang sangat kuat.
"Bukkk!"
Sungguh aneh sekali. Sulastri yang melihat dengan mata terbelalak menyelamatkan kakek itu melihat betapa wajah Darumuko berobah, sedangkan kakek itu tetap saja masih tertawa. Darumuko mereproduksi, kemudian roboh terpelanting ke atas tanah dan menjerit-jerit, mengaduh-aduh memegangi perut.
"Aughh"
Waduh perutku"
Aduhhh, mulas sekali"
Aih, tak kuat aku..."
Dia menekannya dengan kedua tangannya, menggeliat-geliat seperti dalam desahan, dan segera terdengar suara memberobot dan Darumuko dengan cepat-cepat membuka tali kolor celananya dan melepaskan celana itu. Tercium bau yang sangat tidak sedap dan begitu dia mengerti apa yang terjadi dengan orang yang dibencinya itu, Sulastri membuang muka dan mengomel.
"Hah, manusia tak tahu malu!"
Kiranya Darumuko yang menyerang perut mulas dan sakit tak terkoneksi itu, tanpa dapat dicegah lagi telah terberak-berak disitu!
Diam-diam Sulastri kagum sekali dan anak yang cerdas ini mengerti bahwa kakek jembel itu ternyata adalah seorang manusia sakti. Dia duduk di dekat kakek itu dan tadi dia melihat betapa ketika kakek itu ditendang ke dalamnya, kakek itu tidak akan mengelak tetapi dia melihat tangan kiri kakek itu bergerak naik ke arah perut orang yang menendangnya. Tendangan yang sangat hebat itu mengenai perut si kakek, akan tetapi kakek itu tetap tertawa dan sebaliknya Darumuko yang kena "diraba"
Perutnya itu sampai terberak-berak!
Melihat hal kawannya ini, tentu saja Reksosuro menjadi malu dan marah sekali. Dia semakin yakin bahwa kakek jembel ini tentu bukan orang smebarangan, maka dia lalu cepat mencabut kerisnya, keris pusaka yang dibangga-banggakan, yang dinamakan Kyai Bandot karena selalu dilumuri bisa ular Bandotan.
"Kere busuk, rasakan pusakaku Kyai Bandot ini!"
Reksosuro menerjang ke depan, menghunjamkan kerisnya yang panjang berluk sembilan itu kearah dada kakek yang telanjang.
Kakek itu tertawa geli.
"Kyai Bandot? Ha-ha-ha"
Memang bandot tua tak tahu malu"!"
"Menyumpahi"!"
Keris itu tepat mengenai dada, akan tetapi Reksosuro memekik kesakitan, kerisnya terlepas dan dia terhuyung mundur memegangi tangan kanan dengan tangan kirinya. Tangannya terasa nyeri sekali dan sudah membengkak, agaknya salah urat, kiut-miut rasanya membuat Reksosuro membengkak dan peluhnya memenuhi mukanya, sebesar-besar jagung! Dia menusukkan kerisnya ke dada orang, dan irang itu tidak mengelak tidak menangkis, akan tetapi tangannya sendiri malah keseleo (salah urat) dan bengkak-bengkak!
“Ha-ha-ha, Kyai Bandot tua”
Ha-ha”!”
Kakek jembel itu mengambil keris Kyai Bandot yang tadi terlepas dari pegangan pemiliknya. Dadanya tidak sedikit pun luka juga, dan kini dengan jari-jari tangan yang kurus kecil, dia menekuk-nekuk keris itu seolah-olah keris itu terbuat dari tembaga atau timah lemas saja! Pemiliknya yang masih mengaduh-aduh itu terbelalak melihat kerisnya yang terbuat dari baja tulen yang ditekuk-tekuk seperti itu, kemudian dilemparkan ke atas tanah!
Sulastri tiba-tiba bangkit berdiri, mengambil keris yang sudah ditekuk-tekuk itu dan menghampiri dua orang yang masih merintih-rintih kesakitan.
"Sekarang kalian mampus""
Anak itu berkata dengan amarah yang ditahan-tahan.
"Heiii"
Pengecut".!"
Kakek itu menggerakkan tangannya ke depan dan Sulastri terjungkal! Anak itu bangkit lagi, meraih keris, tetapi untuk kedua kalinya dia terjungkal dan kini dia memandang ke arah kakek itu.
"Kau mau apa? Mau jadi tenggelam? Hah, aku yang mengalahkan mereka, bukan kau, tahu? Kalau kau yang mengalahkan mereka, boleh saja kau mau melakukan apa yang kau suka!"
Sulastri menjadi merah mukanya. Dia dapat mengerti dan dia lalu mengangguk.
"Maaf, eyang!"
Sementara itu, Reksosuro mengerti bahwa dia berhadapan dengan orang yang sakti sekali. Cepat dia menyambar kerisnya dengan tangan kiri, lalu dia berkata kepada temannya.
"Adi Darumuko"
Cepat "
Lari"!"
Dan dia mendahului sambil memegangi tangan kanannya yang ketika dipakai lari dan bergerak, nyerinya bukan alang kepalang.
"Kakang.u.. tungguuuuu"!"
Darumuko cepat meloncat dan tergopoh-gopoh lari.
"Kakooaaang.. tungguuuu...!"
Kakek itu melihat tahi kotoran yang ditinggalkan Darumuko, mengendus jelek, lalu menggunakan sehelai daun mengambil kotoran itu dengan tangan kirinya dan dia berteriak kepada Darumuko.
"Heii"
Bibir tebal"
Ini milikmu ketinggalan!"
"Ehh? Milik apa"?"
Otomatis Darumuko menengok ke arah kakek itu dan pada saat itu sebuah benda menyambar ke arah mukanya. Dia berusaha mengelak namun kurang cepat.
"Plokk..!!"
Kotorannya sendiri mengenai muka, memasuki mulut dan hidungnya.
"Uaakkk"huekkk"kakooaanngg"hueekkk, tunggu""
Darumuko lari pontang-panting seperti dikejar setan, kadang-kadang muntah-muntah, mengejar kawannya, diikuti suara ketawa, kini terdengar dua suara ketawa, yaitu suara ketawa yang parau dan dalam dari kakek jembel dan suara ketawa nyaring tinggi dari Sulastri. Baru sekarang terdengar suara ketawa anak itu.
Tak lama kemudian, tiba-tiba suara ketawa kakek itu berhenti. Sulastri juga berhenti tertawa. Anaknya masih duduk di atas tanah, dan kakeknya masih duduk bersandar di batang pohon beringin seperti tadi. Keduanya saling pandang sampai lama sekali, sinar mereka menembus kesuraman dan akhirnya kakek itu berkata.
"Matamu seperti mata harimau!
"Dan matamu seperti mata setan!"
"Uhh!"
Kakek itu senang.
"benarkah?"
"Benar, eyang menyeramkan, tajam berpengaruh dan aneh!"
"Hemm, eh siapa namamu?"
“Sulastri.”
"Bagus! Nah, Sulastri, lekas kau angkat kaki dan pergi dari sini!"
Anak itu mengangkat muka, memandang kakek itu dan melemahkan kepalanya, lalu menjawab, suaranya tegas.
“Tidak, aku tidak mau pergi, eyang.”
"Heh, kenapa?"
“Karena aku mau ikut eyang saja.”
"Aku bukan eyangmu."
"Akan tetapi aku menganggapmu eyang guruku."
"Wah, eyang guru?
Kau mengangkat aku menjadi guru?” Sulastri mengangguk.
"Gila! Aku orang miskin dan bodoh, kamu mau belajar apa dari orang macam aku?"
“Belajar ilmu kesaktian, eyang.”
"Ilmu kesaktian? Ha-ha-ha, kau kira mudah?"
"Kesukaran apa pun akan kutempuh, dan semua perintah eyang akan kulakukan."
Kakek itu memandang dengan alis berkerut.
"Anak luar biasa kau ini. Siapa sih orang tuamu dan kenapa kau tadi membawa mereka?"
"Aku sudah tidak mempunyai ayah bunda, sudah tidak mempunyai sanak keluarga. Aku seorang yatim piatu yang sebatangkara, eyang. Keluargaku menjadi korban orang-orang jahat itu. Untung ada eyang yang membantuku, dan aku ingin belajar kesaktian dari eyang agar kelak aku dapat membasmi orang-orang macam mereka tadi."
"Ha ha ha, mudah saja kaubicara. Sudah bangkitlah dan pergi!"
“Tidak, aku takkan mau pergi dan aku akan terus berlutut di sini sampai mati kalau eyang tidak mau menerimaku sebagai murid.”
"Keras kepala kau!"
"Eyang juga!"
Celaka, ketemu anak begini kurang terbuka mau minta jadi murid! Hendak kulihat sampai kapan kau kuat berlutut terus di sini.
Kakek itu lalu meraih sebuah bungkusan kain hitam dari balik batang pohon, kemudian dia pergi dari situ tanpa menoleh lagi.
Bisa dibayangkan betapa sulit dan kecewanya hati Sulastri, tetapi anak ini maklum bahwa kalau kakek itu tidak mau membawanya, dia tentu akan jatuh ke tangan dua orang jahat tadi dan akan celaka. Maka dia sudah nekad tidak mau pergi dari situ, dan biarpun kakek itu sudah pergi, dia tetap tergeletak di situ, hatinya seperti ditusuk-tusuk, akan tetapi dia tidak menangis. Udara malam makin dingin, dan tubuh sulastri yang tadinya mengalami cerminan masih sakit-sakit, perih dan panas rasanya seluruh tubuh, kepalanya masih pening, namun dia bertekad untuk berlutut di situ sampai mati. Kedua kakinya kesemutan, akan tetapi dia tetap tidak bergerak sampai akhirnya rasa kesemutan itu hilang lagi. Dalam keadaan kelelahan, kelaparan dan kedinginan anak itu terus mendekam di situ sampai akhirnya, menjelang dia berada dalam keadaan setengah pingsan.!
Matahari pagi mulai mengeluarkan embun dan hawa dingin. Sulastri masih tergeletak di tempat semula, menghadap pohon berdingin seolah-olah dia sedang memuja pohon raksasa itu. Tubuhnya seperti beku, dan memang rasanya seperti hampir membeku, begitu dingin dan kaku, dan lelah, dan lapar, dan pening. Dia sudah tiga perempat bagian pingsan ketika tiba-tiba terdegar orang tertawa di balik pohon itu. Kiranya kakek malam tadi tidak pernah pergi dari situ, hanya bertanya ke balik pohon besar dan tidur di sebelah sana sehingga tidak terlihat oleh Sulastri!
Dalam keadaan setengah pingsan itu, Sulastri mengangkat muka memandang. Kini cuaca sudah cerah dan dia melihat kakek itu dengan hati terkejut. Kakek itu memang mirip setan! Tubuhnya kurus, tinggal tulang-tulang terbungkus kulit akan tetapi tebalnya agak gendut, dan tulang-tulangnya besar. Rambutnya gimbal, ruwet dan kotor, panjang sampai kepinggang, dibelah tengah, matanya tajam bersinar-sinar dan bagian bawah mukanya tertutup brewok.
"Ha-ha-ha, kau ini bocah sungguh hebat. Kau lebih keras kepala daripada aku ketika aku masih sebesarmu. Baiklah, aku kalah. Sulstri, kau boleh menjadi muridku"" "Terma kasih, eyang guru"!!
"
Sulastri berseru girang, suaranya terhenti karena mendengar tercekik keharuan.
"Akan tetapi tidak begitu mudah! Engkau harus selalu menurut perintahku!"
“Aku berjanji, eyang.”
“Nah, bangkitlah berdiri!”
Sukar sekali bagi Sulastri untuk bangkit berdiri. Otot-ototnya berbunyi dan dia berdiri dengan susah payah, beberapa kali terjatuh lagi karena otot-ototnya terasa kaku. Kakek itu hanya memandang saja acuh tak acuh, akan tetapi ketika untuk kesekian nanti Sulastri jatuh lagi, dia menggerakkan tangannya dengan cepat, tahu-tahu Sulastri merasa ada tangan mengangkat di bawah kedua ketiaknya dan ada hawa yang sangat hangat menjalar memasuki tubuhnya, mengusir semua kelakuan ototnya dan dia berdiri!
Kakek itu memaksa tubuh Sulastri dengan hati-hati, melihat kulit yang bilur-bilur bekas tercambuk mengomel kemlandingan.
"Wah, kamu telah mendapat latihan yang baik sekali!"
"Latihan?"
Sulastri bertanya tidak mengerti, meniru kakek itu yang memelihara tubuhnya yang penuh jalur-jalur merah menghitam.
“Pecut mengomel kemlandingan ya?”
Barulah Sulastri mengerti dan dia mengangguk.
"Si bibir tebal itulah yang mencambuki tubuhnya dengan pecut mengomel kemlandingan, eyang."
"Bagus!!"
Kau harus berterima kasih padanya!!"
Sulastri melirik ke arah kakek itu. Celaka, pikirnya, mendapatkan guru seperti ini! Memang benar sakti, akan tetapi di samping sakti juga agaknya miring otaknya! Akan tetapi seorang bocah yang memiliki kecerdasan luar biasa, maka dia tidak menampilkan rasa mendongkolnya, bahkan dia lalu menjawab dengan lancar.
"
Memang benar, eyang guru. Saya sangat berterima kasih kepadanya dan kelak akan saya perlihatkan terima kasih itu dengan balasan yang sama berikut bunga-bunganya. Saya akan membalas kebaikan si bibir tebal itu!"
Kakek itu tertawa, lalu melemparkan bantalan hitam itu ke dekat kaki Sulastri.
"Kau lapar, ya?"
Sulstri mengangguk.
"Nah, tunggu apa lagi? Kamu anak perempuan tentu bisa masak, kan?"
"Bisa, eyang."
"Bagus, lekas kau membuat api, masak air dan nasi. Semua perabot dan berasnya berisi udara di dalam bantalan itu. Lekas kau masak nasi, perutku sudah lapar, aku mau tidur dulu karena semalam kau tidak bisa tidur. Awas, setelah aku bangun nanti, nasi dan wedang teh harus sudah tersedia!"
Setelah berkata demikian, kakek itu merebahkan tubuhnya di bawah pohon beringin itu dan tak lama kemudian dia sudah tidur mendengkur. Sulastri membuka buntalan itu dan ternyata di dalam buntalan kain hitam itu terdapat perabot masak lengkap. Juga terdapat beras, bumbu masak, garam, teh, minyak kelapa dan lain-lain! Sulastri yang melihat kakek itu sudah tidur mendengkur, lalu membawa kwali dan pergi mencari air. Untung bahwa tak jauh dari pohon itu terdapat sebuah belik yang airnya jernih. Dia memenuhi kwali dengan udara, kemudian menggodok air setelah membuat api setinggi di bawah pohon itu. Mudah saja dia untuk membuat api karena di dalam buntalan itu terdapat batu api berikut alat pengoreknya dan banyak pula di tempat itu daun-daun kering dan mengomel-ranting kering.
Sulastri adalah seorang anak yang sudah ditinggalkan orang tuanya dan hidup berdua dengan kakaknya, maka biarpun usianya belum genap sepuluh tahun, dia sudah biasa menggodok air dan menanak nasi. Dengan cekatan dia membuat air teh, kemudian menanak beras di dalam kwali. Hanya dia yang merasa bingung harus memasak apa? di dalam hutan tidak terdapat sayur-mayur dan di dalam buntalan tidak terdapat ikan asin atau bahan masakan lain, kecuali hanya garam dan bumbu-bumbu. Maka setelah dia menanak nasi, dia lalu mendekati kakek itu dan dengan suara lirih dia memanggil, "
Eyang", eyang guru", eyang",bangunlah sebentar, eyang."
Kakek itu menggulet dan menggerutu,"
Bocah bodoh. Nasi belum matang sudah membangunkan orang."
"Yang, wedang teh sudah kubikin, nasi pun sudah hampr matang. Akan tetapi apa yang harus kumasak untuk teman nasi?"
"Heh, bodoh. Kau lihat lubang-lubang cacing di sebelah kiri pohon. Hayo kau cari cacing sebanyaknya. Cari yang besar-besar saja, yang kecil jangan!"
Lalu kakek itu tidur lagi mendengkur.
Sulastri bengong. Mau membangun lagi tidak berani, tapi untuk apa dia harus mencari cacing? Dia lalu teringat. Ah, untuk apa kalau bukan untuk mancing ikan? Agaknya di dekat hutan itu ada sungainya atau pendengarannya, dan nanti kakek itu akan mancing ikan, maka suruh mencari cacing sebanyaknya. Akan tetapi kalau hanya untuk mancing saja kenapa banyak-banyak? Betapa pun juga, dia teringat bahwa kakek itu telah memesan bahwa dia mau bersedia menjadi murid jika semua perintahnya ditaati. Baik, dia akan mentaatinya. Sambil menanti liwetannya masak, dia akan mencari cacing sebanyaknya. Apa sih sukarnya mencari cacing?
Sulsatri lalu mencari cacing di sebelah kiri pohon. Biarpun dia seorang anak perempuan, akan tetapi karena dusun Genggan di mana dia tinggal adalah dusun dekat kali dan dia biasa pula memancing ikan, maka dia pun tidak asing dengan mancing ikan. Dia tidak merasa jijik ketika menggali dan mengumpulkan banyak sekali cacing-cacing besar yang panjangnya ada satu kilan (sejengkal) dan gemuk-gemuk, berkulit bersih hitam kemerahan. Cacing kalung yang besar-besar. Dia tahu bahwa untuk memancing ikan, sebaiknya kalau mendapatkan cacing ungker, yaitu sejenis cacing yang suka melingkar. Namun, di tempat itu yang ada hanya cacing kalung yang panjang dan gemuk kemerahan.
Akhirnya nasi sudah matang. Ketika dia membuka tutup wajah kwalinya, bau nasi masak yang sedap cukup untuk menggugah kakek itu yang segera mengulet dan menguap.
"Aahhhh" bau nasi sedap. Akan tetapi mana lauknya?”
“Lauk apa, eyang? Belum ada lauk apa-apa karena eyang keenakan tidur dan belum mancing ikan."
Jawaban ini membuat kakek itu seketika meloncat bangun.
"Memancing ikan? Siapa yang mau memancing ikan? Bodoh! Kau kusuruh mencari cacing tadi"mana?"
"Itu di sana, eyang, sudah dapat banyak. Tinggal membawa alat pancing dan pergi ke kali""Kakek itu membanting-banting kakinya, terlihat gemas sekali. "Wah,
celaka tiga belas, dapat murid begini tolol!
Sulastri melongo.
"Dicuci maksud eyang? Untuk memancing ikan mengapa cacing itu harus dicuci?"
"Wah-wah, benar-benar goblok! Lihat nih, begini kalau membersihkan lauk cacing!"
Mendengar kakek itu berkata "lauk cacing", Sulastri bengong dan beberapa kali menelan ludah menahan kemuakan yang naik dari perut. Lauk cacing? Apa maksudnya? Dia memandang kakek itu mengeluarkan beberapa ekor cacing gemuk.
"Wah, kamu pandai juga. Cacing-cacing ini gemuk sekali"hemm, tentu lezat!"
Sulastri terbelalak mengamati kakek itu menggunakan kuku-kuku ukiran untuk memotong sedikit bagian kepala dan ekor cacing-cacing itu, kemudian dari satu ujung dia memijit cacing itu, dipelurutnya sampai ke ujung yang lain dan keluarlah benda kehitam-hitaman seperti tanah dari dalam tubuh cacing itu.
"Nah, begini, pijit dan pelurutlah yang kuat akan tetapi jangan terlalu kuat agar tidak putus, keluarkan tanah dari dalamnya."
sulstri mengangguk dan dengan perasaan jijik juga dia meniru perbuatan gurunya itu, memotong kepala dan ekor setiap cacing, memijit dan mengeluarkan isi tubuhnya yang seperti tanah dan ada sedikit darahnya. Cacing-cacing itu mati dan tinggal seperti kulit panjang yang sudah tidak ada isinya lagi.
"Sekarang sediakan bumbunya, bawang, garam dan merica yang cukup banyak!" Kakek itu memerintah. Sulastri menurut dan menyediakan apa yang diminta gurunya.
"Nah, sekarang goreng! Jangan sampai gosong, akan tetapi juga yang kering agar kemripik!"
Kembali Sulstri menelan ludah. Gurunya ini benar-benar seorang gila. Masa cacing digoreng dan dimakan?"
Tapi eyang"cacing bukan makanan"menjijikan"!
"Diam!"
Kakek itu mendelik dan matanya sangat menakutkan, sebesar jengkol dan seperti mau meloncat keluar dari rongga mata, tetapi pandangannya tajam bukan main.
"Siapa bilang menjijikkan? Bangkai tetap bangkai, biar bangkai sapi, bangkai ayam atau bangkai cacing! Yang enak kan bumbunya! Bodoh, kau kira tidak enak goreng cacing? Kau belum pernah memasukkannya?"
Sulastri menggeleng kepala.
"Bodoh, kau masih harus banyak belajar. Hayo goreng, aku akan mencari lauk lainnya lagi!"
terdengarlah bunyi srang-sreng-srang-sreng ketika Sulstri menggoreng cacing-cacing yang sudah diredam bumbu itu. Dia memandang sekilas melihat cacing-cacing itu agak mekar ketika terkena minyak panas, akan tetapi sungguh aneh, cacing-cacing yang digoreng itu mengeluarkan bau yang gurih!
Akan tetapi dia hampir berteriak saking jelek dan ngerinya ketika kakek itu datang dan kedua tangannya menggengam banyak sekali binatang kelabang dan luwing! Sulastri agak takut melihat kelabang karena maklum bahwa binatang-binatang ini berbisa, dan sejak dulu dia memang jelek melihat luwing karena binatang ini memang menjijikan, kakinya banyak sekali dan selalu melingkar kalau disentuh!
"Itu"
Itu kelabang dan luwing juga di "
Dimakan eyang?"
"Wooohhh, ini paling enak, bodoh!"
Kakek itu berkata, bunuh binatang-binatang itu dengan meremukkan kepalanya sekali tekan dengan kukunya, kemudian dia menggunakan air panas merendam bangkai-bangkai kelabang dan luwing itu. Tak lama kemudian, dia menguliti bangkai binatang-binatang itu dan setelah terkena air panas, ternyata kulit kelabang dan luwing itu dapat digiling dengan mudah dan tinggal hanyalah dagingnya yang putih kemerahan seperti daging udang.
"Nah, goreng juga ini!"
Katanya kepada Sulastri. Anak itu menelan ludah sambil menahan muak, lalu digorengnya daging kelabang dan luwing itu. Dan kembali dia terheran-heran ketika mencium bau yang gurih lagi,
"Wah, hayo makan, Sulastri. Mumpung masih panas-panas. Hemm, itu di dalam bungkusan daun jati, masih ada beberapa butir lombok rawit, bawa sini!"
Kakek itu makan di layani oleh Sulastri. Akan tetapi anak itu hanya mengambil nasi saja, lalu mengambul sejumut garam untuk makan dengan garam saja.
"Eih, ini gorengannya, hayo dimakan!"
Sulastri menggeleng kepala.
"Ushhh, bodoh, hayo makan. Enak sekali ini!"
Kakek tidak mendesak.
"Aku"
Aku tidak doyan", eyang"
Biarlah aku makan dengan garam saja, dan itu"untuk eyang saja."
"Mana bisa begitu? Kau yang sudah payah menggoreng, masa aku saja yang makan? Dan kau makan dengan garam saja, mana enak? Hayo coba, kamu belum pernah makan ini kan? Lihat, betapa lezatnya!"
Kakek itu mengambil seekor cacing goreng dan serbaguna. Terdengar suara keremus-keremus seperti orang makan goreng usus ayam dan kakek itu kelihan menikmati makanan ini.
"Bukan main! Gorenganmu ternyata sangat sedap! Bumbunya pas, gorengannya juga sedang. Kalau aku yang menggoreng, selalu gosong dan terlalu asin! Ha-ha, kata orang kalau masak terlalu asin tandanya kepingin kawin. Ha-ha! Nah, ini daging kelabang , menguatkan badan dan membuat kita tahan racun. Enak sekali dan ini"
Daging luwing banyak gajihnya. Hmm, sedap!"
Kakek itu kini makan dengan daging kelabang dan daging luwing, memang kelihatannya enak daging kedua binatang ini, seperti daging udang yang sudah dibuang kulitnya, putih kemerahan dan baunya gurih bukan main.
Sulastri tidak berani menolak, takut kalau-kalau gurunya marah dan tersinggung. Dengan hati ngeri dia lalu mengambil seekor cacing goreng yang bengkak-bengkok itu, lalu dengan mata terpejam dia memasukkan ke mulut bersama nasi.
"Kriakkk..kriak""
Dan Sulastri membuka lebar matanya. Ternyata enak! Gurih sekali, seperti"hampir seperti kulit ayam goreng. Gurih dan baunya pun sedap! terus saja memakan cacing itu dan mendengar gurunya tertawa, dia memandang gurunya ikut tertawa.
"Nah, enak kan?"
"Enak, eyang.
Sulastri mengambil seekor lagi dan mulai makan nasi dengan cacing goreng.
"Ah, coba kamu makan goreng kelabang dan terutama goreng luwing itu, cobalah dan kamu akan lebih terheran-heran lagi!"
Dengan agak memaksa diri Sulastri mengambil sebagian kelabang goreng dan melintang. Benar sekali! Tiada ubahnya udang goreng! Tanpa ragu lagi kini dia memakan sepotong luwing goreng dan mulutnya mengecap-ngecap. Bukan utama! Seperti udang goreng tetapi lebih berminyak dan manis! Maka hilanglah rasa ragu dan muaknya dan anak itu makan dengan lahapnya dan durunya juga terlihat girang, tertawa-tawa dan sebentar saja nasi dan semua gorengnya habis sama sekali!
Kakek itu mengelus perut yang agak gendut dan minum air panas.
"Cruupp! Ahhh, air tehnya pun sedap kalau kau yang membuat. Waduh untung sekali aku mempunyai murid sepertimu, Sulastri. Sekarang kita ngomong-omong, akan tetapi harus mencari kutu. Kepalaku gatal bukan main!"
Sulastri berlutut di belakang gurunya yang kembali merebahkan dirinya, dan mulai anak itu mencari kutu rambut di kepala kakek itu.
"Pantas saja kepalamu gatal-gatal, eyang. Habis kutunya banyak yang benar!"
Sebentar saja Sulastri sudah mendapatkan kutu rambut yang cukup besar.
"Ke sinikan!"
Kata kakek itu dan setelah muridnya meletakkan kutu itu ke atas telapak tangan, dia lalu menggunakan lidahnya menjilat dan terdengar suara "Tess!"
Ketika kutu itu menjanjikannya!”
“Ihh,
"Aku membalas raksasa dia!"
Kurang terbuka, habis-habis kulit kepalaku penghidupannya!"
Sulastri geli jantungnya. Gurunya ini orang aneh sekali. Akan tetapi kalau sampai kutu rambut pengangguran dan ditelan seperti itu, dia tidak akan menirunya. "Sekarang kau ceritakan riwayatmu,
Sulastri."
Anak itu lalu menceritakan kisahnya dengan sejelasnya, bagaimana dia hidup berdua saja dengan kakaknya, kemudian betapa dia pernah ditolong oleh Adipati Ronggo Lawe kemudian betapa kakaknya membunuh diri membela pati karena cintanya kepada Ronggo Lawe. Betapa dia ditangkap oleh dua orang petugas Mojopahit itu karena dipaksa untuk mengaku di mana dia menyembunyikan mayat kakaknya.
“Dan kau memang menyembunyikan mayatnya?”
Tanya kakek itu.
“Sudah kukuburkan mayat mbakayuku, eyang.”
"Andika adalah dua orang perwira Mojopahit yang diutus oleh sang prabu untuk menangkap anak ini!"
Darumuko yang cerdik itu mendahului temannya.
Ki Ageng Palandongan mengerutkan alisnya yang tebal.
"Mustahil kiranya kalau sang prabu mengutus kalian menangkap seorang anak kecil. Aku lihat tadi kalian hendak menganiaya dia dan pergilah andika berdua dari sini, jangan membuat ribut di sini."
Reksosuro bertolak pinggang dan membetak.
"Paman Ki Ageng Palandongan! Ucapan apakah ini? Kami melakukan tugas kali,
Kakek itu membentak marah.
“Kalau begitu paman hendak memberontak pula!”
Reksosuro membentak.
"Keparat bermulut lancang!"
Ki Ageng Palandongan marah, kakinya terayun dan untuk kedua kalinya Reksosuro terhuyung. Dia dan temannya cepat mencabut keris dan menyerang kakek itu. Akan tetapi, Ki Ageng Palandongan yang usianya sudah enam puluh tahun lebih itu adalah bekas jagoan yang berilmu tinggi, maka biar pun dua orang lawannya memegang keris dan dia sendiri bertangan kosong, akan tetapi dengan mudah dia menghindari diri dari semua serangan, kemudian kilat dia membagi-bagi pemikiran sehingga Reksosuro dan Darumuko gelayaran. Kakek itu menyusulkan dua kali tendangan dengan kakinya yang besar dan kuat seperti mengaduh-aduh, terlempar dan jatuh terguling.
“Tahan, Paman Palandongan”.!!”
Tiba-tiba terdengar suara orang dan muncullah Panewu Progodigdoyo!”
Eh, eh, saya lihat dua orang ini adalah pamong Mojopahit! Betulkah kalian ini"."
“Maaf sang panewu yang mulia, memang kami berdua adalah perwira-perwira Mojopahit yang mengemban tugas gusti sinuwun untuk menangkap anak perempuan ini. Akan tetapi paman Ki Ageng Palandongan melawan kami.”
Panewu Progodigdoyo yang kini menjabat kepala di Tuban itu, menoleh ke arah Sulastri, kemudian memandang Ki Ageng Palandongan dan bertanya dengan sikap hormat namun penuh teguran.
"Benarkah, paman? benarkah paman Palandongan utusan Sang Prabu Mojopahit?"
Karena kini bekas pembantu utama mantunya itu telah menjadi kepala, maka Ki Ageng Palandongan menyabarkan hatinya, lalu dia berdehem dan menjawab, suaranya dalam dan lantang.
"Benar, tapi sebetulnya paman tidak menentang siapa pun juga, nak panewu. Karena melihat mereka berdua ini bermaksud kejam dan menganiayanya seorang bocah, maka paman turun tangan melarang mereka."
"Ah, paman. Mengapa paman tidak sabar? Baju saja Tuban diberi pengampunan oleh gusti sinuwun, bagaimana paman sekarang berani menentang dua orang utusan beliau? Bukankah hal itu akan mendatangkan kesan buruk sekali? Eh"., kisanak, saudara-saudara petarung yang gagah . Harap kalian maafkan atas kesalah pahaman ini, ya? Dan lupakan urusan ini, jangan terdengar oleh sang prabu."
Reksosuro dan Darumuko yang sebetulnya sudah mengenal baik Progodigdoyo itu mengangguk dan Reksosuro berkata.
"Tidak kenapalah. Kami akan kembali ke Mojopahit, membawa bocah ini!"
Reksosuro menggerakkan tangannya dan sebelum Sulastri dapat lari, anak itu telah dipengang kedua lengannya dengan satu tangan. Sulastri meronta-ronta, tendangan-nendang.
"Lepaskan! Monyet juling! Biarkan aku! Dan dia hendak menggunakan giginya untuk mengigit tangan yang memegangi kedua lengan, akan tetapi Reksosuro menutir lengan itu dan kini memegangi kedua lengan anak yang ditarik ke belakang tubuhnya sehingga anak kecil iti tidak mampu berkutik lagi.
" dulu"."
Ki Ageng Palandongan berkata marah menyaksikan peristiwa ini.
"Mau diapakan anak itu? Mustahil kalau gusti sinuwun mengutus kalian menangkap seorang bocah".." "
Paman Palandongan, sebenarnya semua rakyat adalah kawula (hamba sahaya dari Mojopahit) Lebih baik kita sebagai pamong yang setia tidak mencampuri urusan ini dan menyerahkannya kepada kebijaksanaan gusti sinuwun. Eh, kisanak, kalian pergilah dan bawa anak itu, hanya kuminta agar kalian tidak berlaku kejam terhadap anak itu di sini!"
Ucapan Progodigdoyo ini membuat Ki Ageng Palandongan tak dapat membantah lagi, dan dua orang itupun mengerti akan apa yang dimaksudkan oleh mereka itu, maka Reksosuro lalu mengangkat dan memondong Sulastri, biar pun masih memegangi kedua lengannya, dan dengan sikap halus berkata.
"Marilah, anak manis, jangan takut dan jangan melawan.
Maka pergilah mereka, diikuti oleh mata kedua orang itu, Progodigdoyo tersenyum tetapi Ki Ageng Palandongan mendelik menahan amarah.
Reksosuro dan Darumuko melanjutkan perjalanan dan reksosuro masih terus memondong Sulastri sampai mereka bertemu Sungai Tambakberas. Setelah mereka tiba di daerah sendiri, yaitu daerah Mojopahit, Reksosuro melemparkan tubuh anak itu ke atas tanah.
"Bruukkkk!!"
Sulastri yang setengah dibanting itu menerima kesakitan, tetapi tidak mengaduh.
"Sialan! Hayo kau sekarang mengaku di mana kau sembunyikan mayat mbakayumu itu!"
Bentaknya sambil menuding telunjuknya ke arah muka Sulastri.
Sulastri kini tidak mau menjawab lagi, malah membuang muka dengan sikap amenghina sekali.
"Heh-heh, kakang Rekso, bagaimana kalau dia kutelanjangi dan kupermainkan dulu? Biar pun masih kecil setelah kutundukkan agaknya dia baru akan mau jinak! Ha-ha-ha!"
"Hah, kau rakus sekali, adi Darumuko! Masa anak sekecil ini, dia tentu akan mampus tak kuat menahannya, dan kita akan mendapat marah sang resi!"
Tukas Reksosuro.
"Kalau begitu, biar kucambuki dia agar mengaku!"
Darumuko lalu mematahkan sebatang mengomel pohon kemlandingan di tepi jalan. Ranting kemlandingan adalah mengomel yang ulet dan lemas Sambil tersedak si bibir tebal ini merantasi daun-daun kemlandingan yang kecil-kecil itu sehingga berhamburan ke bawah.
"Ha-ha, bocah bandel. Apa kamu masih juga tidak mau mengaku? Ataukah harus kupaksa dengan ini?"
Dia menamang-amangkan cambuk mengomel mlandingan itu. Akan tetapi Sulastri bukanlah seorang anak kecil biasa. Jangankan baru diancam mengomel kemlandingan, biar diancam tombak atau keris sekali pun, dia tidak akan merasa gentar. Sudah terlalu banyak orang-orang yang dicintanya mati di depan matanya, maka kematian bukanlah apa-apa bagi anak ini, bahkan berarti dia mengikuti orang-orang yang dicintanya. Dia juga sudah mengalami banyak hal-hal ngeri. Sudah melampaui batas puncak kengerian sehingga dia kini tidak mengenal kengerian lagi, bahkan tidak takut apa-apa lagi! Maka ancaman Darumuko itu malah membuatnya tersenyum mengejek.
"Anjing bibir tebal, kamu pantas memang memegang cambuk menggembala kerbau!"
Makinnya.
Muka Darumuko menjadi merah padam matanya yang pembohong tajam itu melotot dan membungkuk yang tebal karena moncongnya, cuping hidungnya kembang kempis seperti hidung kerbau mencium bahaya.
“Bangsat, anak setan, kamu pingin mampus ya?”
Dengan marah sekali mulai dia menggerakkan mengomel kemlandingan itu, diayun berjanjinya dan bertubi-tubi mengomel kemlandingan itu menimpa tubuh anak kecil itu.
"Siuuuuuttt".. prat!! Siuuuuttt".pratt-pratt-pratt!!"
Dihajar bertubi-tubi oleh cambukan mengomel itu, Sulastri membagikan dan menghasilkanan seperti seekor cacing terkena abu panas. Hampir saja dia mengeluh, maka cepat dia menggigit ciuman kuat-kuat dan terus memasarkanan, kedua tangannya meraba sana-sini di bagian tubuhnya yang terkena cambukan untuk mengusir rasa panas dan perih yang menggerogoti kulit-kulit tubuhnya. Akan tetapi sedikit pun dia tidak mengaduh, bahkan terlihat darah dari mulut kanan kiri, yaitu darah dari bibir bawah yang robek tergigit ketika dia menahan sakit.
"Cepratt-cepratt-pratt-pratt".!"
Darumuko terus mencambuki tanpa pilih tempat sehingga yang terkena cambuk adalah seluruh tubuh Sulastri dari kaki sampai kepala. Cambuk mengomel kemlandingan yang ulet dan lemas itu mengigiti kulitnya, tidak sampai merobek kulit akan tetapi meninggalkan bekas merah kebiruan.
"Hayo mengaku kau, sundal kecil, hayo mengaku kau, keparat! Prat-prat-prat!"
Akan tetapi jangan mengakui, mengeluh satu kali pun tidak dan anak itu hanya terus berputaran dan menggeliat-geliat, semakin lama semakin lemah sampai akhirnya dia tidak berkutik lagi, rebah miring dan sama sekali tidak bergerak ketika mencambuk mengomel kemlandingan itu masih terus menimpa tubuhnya.
"Setop! Setop! Adi Darumuko, apa kau sudah gila? Apa kau ingin membunuh?"
Reksosuro mendesak dan menahan lengan temannya yang masih terus mencambuki.
"Keparat"! Sedikit pun dia tidak meminta maaf, tidak mengeluh. Menantang dia, keparat! Biar kucambuk dia sampai mampus!"
Darumuko terengah-engah dan keringatnya bercucuran.
"Hussh, bodoh! Sekarang kau boleh mencambuki sampai dia mampu, akan tetapi kelak kau yang akan dicambuki oleh sang resi sampao merobek-robek semua kulitmu!"
Mendengar ini, Darumuko terkejut dan baru sadar. Dia memandang cambuk mengomel itu, lalu membuangnya dan cepat dia menunduk dan berlutut.
“Wah, apa dia mampus?”
Reksosuro juga berlutut sambil memeriksa Sulastri.
“Tidak, dia masih bernapas, hanya pingsan saja.”
"Dia keras kepala, anak luar biasa sekali dia, seperti setan. Bagaimana baiknya sekarang, kakang Reksosuro?"
"Sebaiknya kita bawa saja dia pulang dan kita serahkan kepada sang resi. Beliau tentu mempunyai daya upaya untuk membuka mulut anak ini. Dan karena kau yang mencambukinya sampai dia tidak bisa berjalan dan pingsan, kau pula yang harus memondongnya sampai ke gedung sang resi, Adi Darumuko."
"wah-wah sialan"!"
Darumuko mengomel, akan tetapi karena merasa bersalah, terpaksa dia memondong anak itu, disampirkan di pundaknya dengan kaki di depan dan kepala di belakang, merangkul kedua paha anak itu dan berangkatlah dua orang ini melanjutkan perjalanan mereka ke Mojopahit .
"Wah kak Reksosuro, kita akan melewati hutan ini dan malam sudah hampir tiba."
Darumuko mengomel dan memandang khawatir juga.
"Uwaahh, masa kau takut? Malam ini terang bulan."
"Tapi hutan ini terkenal banyak orang jahat dan setannya""
"Hah, siapa yang berani bertarung setelah baru saja terjadi perang itu? Kita kan bisa ke Perwira Mojopahit? Kalau aku berani muncul, aku malah akan merampas semua harta benda, huh, aku Reksosuro adalah sahabat-sahabat setan!"
"Hushh! Bicaramu kok begitu?"
Darumuko menegur, merasa serem.
"Ha-ha, kenapa tidak? Apakah percuma saja setiap Selasa dan malam Jumat biniku membakar kemenyan sekepal besarnya dan menghindangkan kembang setaman? Percayalah, setan-setan tidak akan mengganggu kita, malah akan melindungi. Mereka semua sudah jinak kepada saya."
Biar pun ucapan Reksosuro itu sungguh-sungguh dan terkesan meyakinkan, namun tetap saja meremang bulu tengkuk Darumuko ketika mereka memasuki hutan yang gelap itu. Si muka bulat bibir tebal ini memang seorang pemerintahan yang kejam dan kejam, tidak pernah takut melawan siapa pun juga. Hanya dia mempunyai satu kelemahan yaitu sangat takut terhadap setan yang belum pernah dilihatnya, takut dan ngeri sehingga setiap malam Jumat di rumahnya, kalau dia pada waktu malam terpaksa oleh kebutuhan badan harus ke kamar mandi untuk membuang air kecil atau besar, dia selalu menggugah bininya untuk minta diantar! Andaikata ada lima orang maling mengganggu rumahnya, Darumuko tentu akan meloncat dan membawa tombaknya, siap menghadapi lima orang maling itu. Akan tetapi begitu mendengar tentang setan, atau diingatkan akan setan,
Malam itu cuaca memang terang karena bulan purnama tidak terhalang mendung. Udara dingin menyusup tulang, apa lagi di tengah-tengah hutan itu, karena banyaknya pohon-pohon yang lebat daunnya menambah dinginnya hawa, seolah-olah di sekeliling tempat itu, di kanan kiri depan belakang dan atas, terdapat udara dingin yang mengurung.
"Ihhh, dinginnya"! Apa kita tidak berhenti dulu, kakang?"
Darumuko mengulangi dan mengungkapkan gemetar, entah oleh dingin saja atau juga oleh hal lain, karena jelas mukanya membayangkan ketakutan dan kengerian. "
Nanti kita berhenti di dekat belik (sumber udara) sana sambil minum,"
Jawab Reksosuro
"Ihhhh" "
Terdengar suara dari mulut Darumuko, seperti orang kedinginan.
"Kau kenapa,
dingin"!"
"Sikapmu seperti orang takut! Hati-hati, anak itu agaknya sudah siuman."
"Ti"
Tidak takut".hanya dingin". hhiiii!"
"Ada apa?"
"Ssssttt, kakang"."
Darumuko memegang lengan temannya. Mata terbelalak memandang ke depan.
"Kau lihat tadi"?"
"Uhh, melihat apa?"
Reksosuro membelalakkan mata, mencari-cari akan tetapi tidak melihat sesuatu yang aneh.
"Aku melihat bayangan orang""
"Hemm, kalau bayangan orang saja kenapa takut? Orang pun kita tidak takut! Pula, siapa yang ada orang di malam-malam begini dan tempat seperti ini? Mungkin bayangan setan yang kau lihat."
Reksosuro berkelakar, akan tetapi kelakar ini malah membuat Darumuko semakin bertambah seperti orang terkena penyakit demam.
"Hah penakut. Hayo!"
Reksosuro menarik tangan temannya dan melanjutkan perjalanan.
"Nguuuuukkk"!"
Darumuko melonjak kaget.
"Ihhh"!"
“Hemm, itu hanya suara lutung.”
Reksosuro mencela teman yang penakut itu.
Mereka berjalan terus, suasana sunyi sekali, membuat Darumuko merasa tengkuknya tebal.
"Huuuuukkkk-huk-hukkk!"
"Hiii"!!"
Darumuko hampir saja melepaskan tubuh kecil yang dipondongnya saking terkejutnya dan dia memegang lengan Reksosuro dengan jari-jarinya.
"Aah, penakut benar kau, adi. Itu hanya suara burung hantu! Kulu-kulu-hu-hu-huuukk!"
Reksosuro menirukan suara burung hantu itu sambil tertawa.
Darumuko menjadi malu pada dirinya sendiri, tetapi dia akan membela diri.
“Ah, tentu saja kau lebih tabah, kakang. Dahulu kau sudah biasa berkeliaran di dalam hutan sebagai merangkul.”
"Hushh! Jangan gali-gali riwayat lama, kawan. Sekarang aku petugas Mojopahit, tahu?"
"Maaf kak Reksosuro."
Mereka berjalan lagi dan Darumuko memandang cemas ke depan. Dari jauh sudah nampak sebatang pohon beringin yang besar sekali sehingga keadaan di sekeliling pohon raksasa itu menyeramkan karena dibawahnya gelap dan mereka agaknya akan lewat di bawah pohon beringin itu.
Reksosuro agaknya mengerti akan keseraman hati temannya. Temannya yang selalu ketakutan itu membuat hatinya menjadi tidak enak juga, maka dia berkata.
"Adi Darumuko, jangan takut. Takut akan setan sesungguhnya hanyalah permainan pikiran sendiri yang membayangkan hal yang bukan-bukan."
"Baik, kakang aku akan berusaha agar tidak takut."
Mereka kini tiba di bawah pohon.
"Lepaskan aku"! Kalian manusia-manusia jahat dan keji! Oke aku!"
Tiba-tiba Sulastri yang kini sudah siuman betiul itu meronta lemah dalam kolam Darumuko.
"Diam kau, bocah setan. Atau". kucekik kau nanti!"
Darumuko membentak.
"Heh-heh, diamlah, manis. Nanti kau akan diberi hadiah yang enak-enak oleh sang resi.
Reksosuro juga menghibur dengan suara mengejek.
Mereka kini tiba di bawah pohon beringin yang agak gelap, suram. Tiba-tiba tubuh Darumuko terhuyung roboh, Sulastri yang tadinya dipondong terlepas dari poolongannya.
"Aduhh"
Kakang".tolong"..ssseee"
Ssseeetan".!"
Darumuko merintih dan telunjuknya menuding kearah batang pohon beringin.
"Apa"? Heii"
Aduhhhh".!"
Kini Reksosuro juga terhuyung ke depan dan terjelengup. Kedua tangannya dapat menahan tanah sehingga mukanya tidak sampai bertemu dengan tanah seperti halnya Darumuko. Akan tetapi dia kaget sekali karena tahu bahwa jatuhnya bukan sembarangan, melainkan dijegal orang! Cepat dia meloncat berdiri dan lemas tubuhnya ke arah batang pohon beringin yang sangat besar itu.
"Tolong kakang". ada setan"!"
Kembali Darumuko merintih dan berusaha untuk bangkit tetapi dia mendekam kembali sambil menendang dengan tubuh gemetar ke arah bayangan hitam yang bersandar pada pohon beringin itu.
"Hah, adi, bangunlah! Setan apa? Dia seorang manusia yang sudah bosan hidup, berani mengganggu kita!"
Kata Reksosuro.
Mendengar ucapan ini, seketika timbullah semangat Darumuko dan lenyaplah rasa takut dan ngerinya tadi. Sungguh tadi dia mengira bahwa bayangan hitam yang bersandar pada batang pohon beringin itu adalah setan yang mengganggunya. Akan tetapi kini mendengar ucapan temannya, dia menjadi marah sekali.
"Apa? Manusia"?"
Dia lalu meloncat berdiri dan mendekati temannya yang sudah melangkah maju.
Setelah rasa takutnya hilang, kini Darumuko dapat melihat bahwa memang bayangan hitam yang bersandar di batang pohon beringin itu adalah seorang manusia. ya tidaklah segelap ketika dia ketakutan akan keadaan tadi. Sinar bulan purnama masih mencapai tempat itu. Kini dia melihat dengan jelas seorang kakek yang berpakaiannya serba hitam duduk bersandar batang pohon sambil melenggut, kakinya yang panjang dilonjorkan di depan tubuhnya. Sulastri yang tadi terlepas dari kolamnya, kini sudah lari ke dekat orang tua yang tertidur itu, agaknya minta perlindungan kakek itu.
Sejenak dua orang petugas Mojopahit pembantu Resi Mahapati itu mengira bahwa lagi-lagi Ki Ageng Palandongan yang menghadang mereka, karena orang itu pun sudah tua dan di dalam cuaca yang suram muram itu pakaiannya seperti hitam. Akan tetapi setelah mereka memandang penuh perhatian, mereka terkejut, terheran dan marah bukan main. Orang itu hanyalah jembel! Seorang pengemis tua! Seorang jembel pengemis yang pakaiannya hanya merupakan gombal-gombalan saking kotornya sehingga tampak hitam, rambut gimbal panjang terurai dan tak pernah dicuci sehingga ruwet dan kotor, kumis dan jenggotnya menutupi bagian bawah mukanya. Pakaiannya yang kotor itu hanya merupakan sebuah baju yang tidak ada kancingnya lagi, terbuka menampilkan payudara yang penuh rambut, dan sebuah celana komprang (besar) sampai ke lutut, kemudian di pinggangnya dilibat kain yang kumal. Dari tempat mereka berdiri pun, dalam jarak dua meter, sudah tercium bau apak, bau pakaian yang sering terkena keringat dan tak pernah dicuci. Seorang jembel!
"Sial! Jembel busuk!"
Darumuko yang tadi ketakutan setengah mati, menjadi marah dan mendongkol sekali bahwa yang membuat ketakutan sampai celananya sedikit basah karena tadi dalam ketakutannya tanpa disadarinya lagi dia "ngompol", kini menjadi "berani" Luar biasa dan ia menyepak paha orang tua itu
!
"Jembel tua bangka busuk! Berani kau menjegal kakiku?"
Kakinya menyepak.
"Plak!"
Dan tubuh orang itu terguncang, tetapi tetap saja dia masih tertidur.
"Dia, kere tua mau mampus! Bangunlah!"
Reksosuro juga membentak, kakinya mencongkel sebuah batu sebesar kepalan tangan. Batu itu terletak di kearah dahi kakek itu.
"Tukkk!"
Batu mengenai dahi dan menggelinding ke bawah. Akan tetapi tetap saja kakek itu tidak bangun!
Melihat ini, Sulastri lalu menggetarkan bahu orang tua itu dan berbisik di telinga.
"Kakek, bangunlah. Dua orang jahat ini akan mencelakakan kamu dan aku. Bangunlah, kek!"
Kakek jembel itu membuka mata sedikit, dikejap-kejapkan dan menggeliat, kedua tangannya direntangkan ke depan dan terdengar suara berkerotokan pada punggung seolah-olah semua tulang punggung patah-patah. Sulastri terkejut bukan main dan memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi kakek itu tidak apa-apa, lalu membuka matanya dan memandang kepada dua orang yang berdiri di depannya, lalu menoleh kearah Sulastri, mulut yang tertutup kumis itu bergerak-gerak yang dapat diduga bahwa dia tersenyum! Sejenak matanya memandangi tiga orang itu bergantian, kemudian terdengar ada suara yang keluar dari balik kumis brewok itu.
"Ela-dhalah.. demi segala setan demit iblis bekasakan yang menjaga hutan ini! Dari mana datangnya dua ekor serigala dan seekor anak harimau ini?"
Jelas bahwa kakek jembel itu menganggap dua orang perwira Mojopahit itu dua ekor serigala, dan Sulastri disebutnya anak harimau. Itu merupakan hinaan yang sangat hebat bagi Reksosuro dan Darumuko!
"Tua bangka bau busuk! Kami adalah dua orang perwira Mojopahit, tahu? Dan kamu berani menganggap kamu serigala? Berapa rangkap sih nyawamu maka kamu berani berlancang mulut seperti ini?"
Bentak Reksosuro.
"Gebuk mampus saja sudah, kakang!"
Kata Darumuko.
Kakek itu memandang kedua orang itu dan terkekeh di dalam.
"Heh-heh, aku melihat orang bukan dari pakaian atau pangkatnya, melainkan dari sifat-sifatnya. Lihat anak perempuan ini, biarpun masih kecil dan perempuan, dia mempunyai sifat seperti seekor harimau, calon harimau betina yang ganas dan tangkas! Dan kalian. .hemm"
Kalian seperti serigala, licik dan hanya berani kalau sudah yakin menang, sebetulnya di dalamnya penakut. Srigala hanya akan menyerang binatang lain yang lebih lemah, atau jika menyerang yang kuat tentu saja dengan keroyokan. Nah, itulah sifat kalian."
Tentu saja Reksosuro dan Darumuko menjadi marah bukan main. Jembel tua itu terang-terangan, tanpa tedeng aling-aling, telah menghina mereka! Seorang kere tua berani menghina mereka, dua orang pasangan Mojopahit? Sungguh sialan!
Darumuko memaki.
"Hayo katakan, apa perlumu menghadang kami dan menjegal kaki kami?"
"Wah, wah, siapa yang menjegal siapa? Tidak ada jegal-jegalan disini seperti yang terjadi di Mojopahit! Di sini hanya ada aku yang tidak membutuhkan apa-apa, perlu apa menjegal orang?"
"Kakek hina! Jelas kau tadi menjegal kami!"
Reksosuro juga membentak, agak hati-hati karena dia dapat menduga bahwa mendengar bicaranya, kakek jembel itu tentulah bukan orang sembarangan."Nah, nah fitnah-memfitnah sudah menjadi watak semua orang di Mojopahit! Jangan dibawa-bawa ke sini, kisanak! Tadi aku sedang tidur di sini, enak-enak mimpi bercengkerama dengan para iblis bekasakan yang berpesta pora di hutan ini, eh, tahu-tahu kalian menginjak-injak kakiku dan berkata bahwa aku menjegal kalian. Mojopahit sekarangkah ini?"
Mendengar ucapan yang semakin tidak karuan itu, Darumuko berkata.
"Kakang, dia tentu orang gila!"
Kakek itu cepat membantah.
"Nah, sudah biasa orang gila memaki orang lain gila!"
"Apa?"
Darmuko melorot.
"Bukan aku yang memaki, orang muda, melainkan kamu sendiri!"
"Kakek, dia itu memang orang ceriwis, suka memaki orang, lihat rekomendasi sampai menjadi tebal karena terlalu sering memaki orang!"
Tiba-tiba Sulastri berkata, terbawa kegembiraan oleh sikap kakek itu yang tabah dan seolah-olah menggembirakan dua orang itu.
"Ha-ha-ha-ha! Kau benar"
Ha-ha-ha! Bibirnya". ahhh, sampai menggandul begitu panjang. Aduh lucunya"!"
Kakek itu berlari-bahak dan memegangi perutnya.
Bisa dibayangkan betapa marahnya hati Darumuko. Selama hidupnya, belum pernah dia dihina orang seperti ini.
"Kere busuk, kuhancurkan isi perutmu! "
Sambil membentak demikian, dia menerjang ke depan dan mengayun kaki kegelapan, menendang dengan pengerahan energi sepenuhnya kearah perut kakek itu yang masih tertawa dan menggeliat terlihat karena bajunya terbuka. Perut yang agak gendut biar pun tubuhnya kurus itu tak terhindarkan lagi menerima tendangan kilat yang sangat kuat.
"Bukkk!"
Sungguh aneh sekali. Sulastri yang melihat dengan mata terbelalak menyelamatkan kakek itu melihat betapa wajah Darumuko berobah, sedangkan kakek itu tetap saja masih tertawa. Darumuko mereproduksi, kemudian roboh terpelanting ke atas tanah dan menjerit-jerit, mengaduh-aduh memegangi perut.
"Aughh"
Waduh perutku"
Aduhhh, mulas sekali"
Aih, tak kuat aku..."
Dia menekannya dengan kedua tangannya, menggeliat-geliat seperti dalam desahan, dan segera terdengar suara memberobot dan Darumuko dengan cepat-cepat membuka tali kolor celananya dan melepaskan celana itu. Tercium bau yang sangat tidak sedap dan begitu dia mengerti apa yang terjadi dengan orang yang dibencinya itu, Sulastri membuang muka dan mengomel.
"Hah, manusia tak tahu malu!"
Kiranya Darumuko yang menyerang perut mulas dan sakit tak terkoneksi itu, tanpa dapat dicegah lagi telah terberak-berak disitu!
Diam-diam Sulastri kagum sekali dan anak yang cerdas ini mengerti bahwa kakek jembel itu ternyata adalah seorang manusia sakti. Dia duduk di dekat kakek itu dan tadi dia melihat betapa ketika kakek itu ditendang ke dalamnya, kakek itu tidak akan mengelak tetapi dia melihat tangan kiri kakek itu bergerak naik ke arah perut orang yang menendangnya. Tendangan yang sangat hebat itu mengenai perut si kakek, akan tetapi kakek itu tetap tertawa dan sebaliknya Darumuko yang kena "diraba"
Perutnya itu sampai terberak-berak!
Melihat hal kawannya ini, tentu saja Reksosuro menjadi malu dan marah sekali. Dia semakin yakin bahwa kakek jembel ini tentu bukan orang smebarangan, maka dia lalu cepat mencabut kerisnya, keris pusaka yang dibangga-banggakan, yang dinamakan Kyai Bandot karena selalu dilumuri bisa ular Bandotan.
"Kere busuk, rasakan pusakaku Kyai Bandot ini!"
Reksosuro menerjang ke depan, menghunjamkan kerisnya yang panjang berluk sembilan itu kearah dada kakek yang telanjang.
Kakek itu tertawa geli.
"Kyai Bandot? Ha-ha-ha"
Memang bandot tua tak tahu malu"!"
"Menyumpahi"!"
Keris itu tepat mengenai dada, akan tetapi Reksosuro memekik kesakitan, kerisnya terlepas dan dia terhuyung mundur memegangi tangan kanan dengan tangan kirinya. Tangannya terasa nyeri sekali dan sudah membengkak, agaknya salah urat, kiut-miut rasanya membuat Reksosuro membengkak dan peluhnya memenuhi mukanya, sebesar-besar jagung! Dia menusukkan kerisnya ke dada orang, dan irang itu tidak mengelak tidak menangkis, akan tetapi tangannya sendiri malah keseleo (salah urat) dan bengkak-bengkak!
“Ha-ha-ha, Kyai Bandot tua”
Ha-ha”!”
Kakek jembel itu mengambil keris Kyai Bandot yang tadi terlepas dari pegangan pemiliknya. Dadanya tidak sedikit pun luka juga, dan kini dengan jari-jari tangan yang kurus kecil, dia menekuk-nekuk keris itu seolah-olah keris itu terbuat dari tembaga atau timah lemas saja! Pemiliknya yang masih mengaduh-aduh itu terbelalak melihat kerisnya yang terbuat dari baja tulen yang ditekuk-tekuk seperti itu, kemudian dilemparkan ke atas tanah!
Sulastri tiba-tiba bangkit berdiri, mengambil keris yang sudah ditekuk-tekuk itu dan menghampiri dua orang yang masih merintih-rintih kesakitan.
"Sekarang kalian mampus""
Anak itu berkata dengan amarah yang ditahan-tahan.
"Heiii"
Pengecut".!"
Kakek itu menggerakkan tangannya ke depan dan Sulastri terjungkal! Anak itu bangkit lagi, meraih keris, tetapi untuk kedua kalinya dia terjungkal dan kini dia memandang ke arah kakek itu.
"Kau mau apa? Mau jadi tenggelam? Hah, aku yang mengalahkan mereka, bukan kau, tahu? Kalau kau yang mengalahkan mereka, boleh saja kau mau melakukan apa yang kau suka!"
Sulastri menjadi merah mukanya. Dia dapat mengerti dan dia lalu mengangguk.
"Maaf, eyang!"
Sementara itu, Reksosuro mengerti bahwa dia berhadapan dengan orang yang sakti sekali. Cepat dia menyambar kerisnya dengan tangan kiri, lalu dia berkata kepada temannya.
"Adi Darumuko"
Cepat "
Lari"!"
Dan dia mendahului sambil memegangi tangan kanannya yang ketika dipakai lari dan bergerak, nyerinya bukan alang kepalang.
"Kakang.u.. tungguuuuu"!"
Darumuko cepat meloncat dan tergopoh-gopoh lari.
"Kakooaaang.. tungguuuu...!"
Kakek itu melihat tahi kotoran yang ditinggalkan Darumuko, mengendus jelek, lalu menggunakan sehelai daun mengambil kotoran itu dengan tangan kirinya dan dia berteriak kepada Darumuko.
"Heii"
Bibir tebal"
Ini milikmu ketinggalan!"
"Ehh? Milik apa"?"
Otomatis Darumuko menengok ke arah kakek itu dan pada saat itu sebuah benda menyambar ke arah mukanya. Dia berusaha mengelak namun kurang cepat.
"Plokk..!!"
Kotorannya sendiri mengenai muka, memasuki mulut dan hidungnya.
"Uaakkk"huekkk"kakooaanngg"hueekkk, tunggu""
Darumuko lari pontang-panting seperti dikejar setan, kadang-kadang muntah-muntah, mengejar kawannya, diikuti suara ketawa, kini terdengar dua suara ketawa, yaitu suara ketawa yang parau dan dalam dari kakek jembel dan suara ketawa nyaring tinggi dari Sulastri. Baru sekarang terdengar suara ketawa anak itu.
Tak lama kemudian, tiba-tiba suara ketawa kakek itu berhenti. Sulastri juga berhenti tertawa. Anaknya masih duduk di atas tanah, dan kakeknya masih duduk bersandar di batang pohon beringin seperti tadi. Keduanya saling pandang sampai lama sekali, sinar mereka menembus kesuraman dan akhirnya kakek itu berkata.
"Matamu seperti mata harimau!
"Dan matamu seperti mata setan!"
"Uhh!"
Kakek itu senang.
"benarkah?"
"Benar, eyang menyeramkan, tajam berpengaruh dan aneh!"
"Hemm, eh siapa namamu?"
“Sulastri.”
"Bagus! Nah, Sulastri, lekas kau angkat kaki dan pergi dari sini!"
Anak itu mengangkat muka, memandang kakek itu dan melemahkan kepalanya, lalu menjawab, suaranya tegas.
“Tidak, aku tidak mau pergi, eyang.”
"Heh, kenapa?"
“Karena aku mau ikut eyang saja.”
"Aku bukan eyangmu."
"Akan tetapi aku menganggapmu eyang guruku."
"Wah, eyang guru?
Kau mengangkat aku menjadi guru?” Sulastri mengangguk.
"Gila! Aku orang miskin dan bodoh, kamu mau belajar apa dari orang macam aku?"
“Belajar ilmu kesaktian, eyang.”
"Ilmu kesaktian? Ha-ha-ha, kau kira mudah?"
"Kesukaran apa pun akan kutempuh, dan semua perintah eyang akan kulakukan."
Kakek itu memandang dengan alis berkerut.
"Anak luar biasa kau ini. Siapa sih orang tuamu dan kenapa kau tadi membawa mereka?"
"Aku sudah tidak mempunyai ayah bunda, sudah tidak mempunyai sanak keluarga. Aku seorang yatim piatu yang sebatangkara, eyang. Keluargaku menjadi korban orang-orang jahat itu. Untung ada eyang yang membantuku, dan aku ingin belajar kesaktian dari eyang agar kelak aku dapat membasmi orang-orang macam mereka tadi."
"Ha ha ha, mudah saja kaubicara. Sudah bangkitlah dan pergi!"
“Tidak, aku takkan mau pergi dan aku akan terus berlutut di sini sampai mati kalau eyang tidak mau menerimaku sebagai murid.”
"Keras kepala kau!"
"Eyang juga!"
Celaka, ketemu anak begini kurang terbuka mau minta jadi murid! Hendak kulihat sampai kapan kau kuat berlutut terus di sini.
Kakek itu lalu meraih sebuah bungkusan kain hitam dari balik batang pohon, kemudian dia pergi dari situ tanpa menoleh lagi.
Bisa dibayangkan betapa sulit dan kecewanya hati Sulastri, tetapi anak ini maklum bahwa kalau kakek itu tidak mau membawanya, dia tentu akan jatuh ke tangan dua orang jahat tadi dan akan celaka. Maka dia sudah nekad tidak mau pergi dari situ, dan biarpun kakek itu sudah pergi, dia tetap tergeletak di situ, hatinya seperti ditusuk-tusuk, akan tetapi dia tidak menangis. Udara malam makin dingin, dan tubuh sulastri yang tadinya mengalami cerminan masih sakit-sakit, perih dan panas rasanya seluruh tubuh, kepalanya masih pening, namun dia bertekad untuk berlutut di situ sampai mati. Kedua kakinya kesemutan, akan tetapi dia tetap tidak bergerak sampai akhirnya rasa kesemutan itu hilang lagi. Dalam keadaan kelelahan, kelaparan dan kedinginan anak itu terus mendekam di situ sampai akhirnya, menjelang dia berada dalam keadaan setengah pingsan.!
Matahari pagi mulai mengeluarkan embun dan hawa dingin. Sulastri masih tergeletak di tempat semula, menghadap pohon berdingin seolah-olah dia sedang memuja pohon raksasa itu. Tubuhnya seperti beku, dan memang rasanya seperti hampir membeku, begitu dingin dan kaku, dan lelah, dan lapar, dan pening. Dia sudah tiga perempat bagian pingsan ketika tiba-tiba terdegar orang tertawa di balik pohon itu. Kiranya kakek malam tadi tidak pernah pergi dari situ, hanya bertanya ke balik pohon besar dan tidur di sebelah sana sehingga tidak terlihat oleh Sulastri!
Dalam keadaan setengah pingsan itu, Sulastri mengangkat muka memandang. Kini cuaca sudah cerah dan dia melihat kakek itu dengan hati terkejut. Kakek itu memang mirip setan! Tubuhnya kurus, tinggal tulang-tulang terbungkus kulit akan tetapi tebalnya agak gendut, dan tulang-tulangnya besar. Rambutnya gimbal, ruwet dan kotor, panjang sampai kepinggang, dibelah tengah, matanya tajam bersinar-sinar dan bagian bawah mukanya tertutup brewok.
"Ha-ha-ha, kau ini bocah sungguh hebat. Kau lebih keras kepala daripada aku ketika aku masih sebesarmu. Baiklah, aku kalah. Sulstri, kau boleh menjadi muridku"" "Terma kasih, eyang guru"!!
"
Sulastri berseru girang, suaranya terhenti karena mendengar tercekik keharuan.
"Akan tetapi tidak begitu mudah! Engkau harus selalu menurut perintahku!"
“Aku berjanji, eyang.”
“Nah, bangkitlah berdiri!”
Sukar sekali bagi Sulastri untuk bangkit berdiri. Otot-ototnya berbunyi dan dia berdiri dengan susah payah, beberapa kali terjatuh lagi karena otot-ototnya terasa kaku. Kakek itu hanya memandang saja acuh tak acuh, akan tetapi ketika untuk kesekian nanti Sulastri jatuh lagi, dia menggerakkan tangannya dengan cepat, tahu-tahu Sulastri merasa ada tangan mengangkat di bawah kedua ketiaknya dan ada hawa yang sangat hangat menjalar memasuki tubuhnya, mengusir semua kelakuan ototnya dan dia berdiri!
Kakek itu memaksa tubuh Sulastri dengan hati-hati, melihat kulit yang bilur-bilur bekas tercambuk mengomel kemlandingan.
"Wah, kamu telah mendapat latihan yang baik sekali!"
"Latihan?"
Sulastri bertanya tidak mengerti, meniru kakek itu yang memelihara tubuhnya yang penuh jalur-jalur merah menghitam.
“Pecut mengomel kemlandingan ya?”
Barulah Sulastri mengerti dan dia mengangguk.
"Si bibir tebal itulah yang mencambuki tubuhnya dengan pecut mengomel kemlandingan, eyang."
"Bagus!!"
Kau harus berterima kasih padanya!!"
Sulastri melirik ke arah kakek itu. Celaka, pikirnya, mendapatkan guru seperti ini! Memang benar sakti, akan tetapi di samping sakti juga agaknya miring otaknya! Akan tetapi seorang bocah yang memiliki kecerdasan luar biasa, maka dia tidak menampilkan rasa mendongkolnya, bahkan dia lalu menjawab dengan lancar.
"
Memang benar, eyang guru. Saya sangat berterima kasih kepadanya dan kelak akan saya perlihatkan terima kasih itu dengan balasan yang sama berikut bunga-bunganya. Saya akan membalas kebaikan si bibir tebal itu!"
Kakek itu tertawa, lalu melemparkan bantalan hitam itu ke dekat kaki Sulastri.
"Kau lapar, ya?"
Sulstri mengangguk.
"Nah, tunggu apa lagi? Kamu anak perempuan tentu bisa masak, kan?"
"Bisa, eyang."
"Bagus, lekas kau membuat api, masak air dan nasi. Semua perabot dan berasnya berisi udara di dalam bantalan itu. Lekas kau masak nasi, perutku sudah lapar, aku mau tidur dulu karena semalam kau tidak bisa tidur. Awas, setelah aku bangun nanti, nasi dan wedang teh harus sudah tersedia!"
Setelah berkata demikian, kakek itu merebahkan tubuhnya di bawah pohon beringin itu dan tak lama kemudian dia sudah tidur mendengkur. Sulastri membuka buntalan itu dan ternyata di dalam buntalan kain hitam itu terdapat perabot masak lengkap. Juga terdapat beras, bumbu masak, garam, teh, minyak kelapa dan lain-lain! Sulastri yang melihat kakek itu sudah tidur mendengkur, lalu membawa kwali dan pergi mencari air. Untung bahwa tak jauh dari pohon itu terdapat sebuah belik yang airnya jernih. Dia memenuhi kwali dengan udara, kemudian menggodok air setelah membuat api setinggi di bawah pohon itu. Mudah saja dia untuk membuat api karena di dalam buntalan itu terdapat batu api berikut alat pengoreknya dan banyak pula di tempat itu daun-daun kering dan mengomel-ranting kering.
Sulastri adalah seorang anak yang sudah ditinggalkan orang tuanya dan hidup berdua dengan kakaknya, maka biarpun usianya belum genap sepuluh tahun, dia sudah biasa menggodok air dan menanak nasi. Dengan cekatan dia membuat air teh, kemudian menanak beras di dalam kwali. Hanya dia yang merasa bingung harus memasak apa? di dalam hutan tidak terdapat sayur-mayur dan di dalam buntalan tidak terdapat ikan asin atau bahan masakan lain, kecuali hanya garam dan bumbu-bumbu. Maka setelah dia menanak nasi, dia lalu mendekati kakek itu dan dengan suara lirih dia memanggil, "
Eyang", eyang guru", eyang",bangunlah sebentar, eyang."
Kakek itu menggulet dan menggerutu,"
Bocah bodoh. Nasi belum matang sudah membangunkan orang."
"Yang, wedang teh sudah kubikin, nasi pun sudah hampr matang. Akan tetapi apa yang harus kumasak untuk teman nasi?"
"Heh, bodoh. Kau lihat lubang-lubang cacing di sebelah kiri pohon. Hayo kau cari cacing sebanyaknya. Cari yang besar-besar saja, yang kecil jangan!"
Lalu kakek itu tidur lagi mendengkur.
Sulastri bengong. Mau membangun lagi tidak berani, tapi untuk apa dia harus mencari cacing? Dia lalu teringat. Ah, untuk apa kalau bukan untuk mancing ikan? Agaknya di dekat hutan itu ada sungainya atau pendengarannya, dan nanti kakek itu akan mancing ikan, maka suruh mencari cacing sebanyaknya. Akan tetapi kalau hanya untuk mancing saja kenapa banyak-banyak? Betapa pun juga, dia teringat bahwa kakek itu telah memesan bahwa dia mau bersedia menjadi murid jika semua perintahnya ditaati. Baik, dia akan mentaatinya. Sambil menanti liwetannya masak, dia akan mencari cacing sebanyaknya. Apa sih sukarnya mencari cacing?
Sulsatri lalu mencari cacing di sebelah kiri pohon. Biarpun dia seorang anak perempuan, akan tetapi karena dusun Genggan di mana dia tinggal adalah dusun dekat kali dan dia biasa pula memancing ikan, maka dia pun tidak asing dengan mancing ikan. Dia tidak merasa jijik ketika menggali dan mengumpulkan banyak sekali cacing-cacing besar yang panjangnya ada satu kilan (sejengkal) dan gemuk-gemuk, berkulit bersih hitam kemerahan. Cacing kalung yang besar-besar. Dia tahu bahwa untuk memancing ikan, sebaiknya kalau mendapatkan cacing ungker, yaitu sejenis cacing yang suka melingkar. Namun, di tempat itu yang ada hanya cacing kalung yang panjang dan gemuk kemerahan.
Akhirnya nasi sudah matang. Ketika dia membuka tutup wajah kwalinya, bau nasi masak yang sedap cukup untuk menggugah kakek itu yang segera mengulet dan menguap.
"Aahhhh" bau nasi sedap. Akan tetapi mana lauknya?”
“Lauk apa, eyang? Belum ada lauk apa-apa karena eyang keenakan tidur dan belum mancing ikan."
Jawaban ini membuat kakek itu seketika meloncat bangun.
"Memancing ikan? Siapa yang mau memancing ikan? Bodoh! Kau kusuruh mencari cacing tadi"mana?"
"Itu di sana, eyang, sudah dapat banyak. Tinggal membawa alat pancing dan pergi ke kali""Kakek itu membanting-banting kakinya, terlihat gemas sekali. "Wah,
celaka tiga belas, dapat murid begini tolol!
Sulastri melongo.
"Dicuci maksud eyang? Untuk memancing ikan mengapa cacing itu harus dicuci?"
"Wah-wah, benar-benar goblok! Lihat nih, begini kalau membersihkan lauk cacing!"
Mendengar kakek itu berkata "lauk cacing", Sulastri bengong dan beberapa kali menelan ludah menahan kemuakan yang naik dari perut. Lauk cacing? Apa maksudnya? Dia memandang kakek itu mengeluarkan beberapa ekor cacing gemuk.
"Wah, kamu pandai juga. Cacing-cacing ini gemuk sekali"hemm, tentu lezat!"
Sulastri terbelalak mengamati kakek itu menggunakan kuku-kuku ukiran untuk memotong sedikit bagian kepala dan ekor cacing-cacing itu, kemudian dari satu ujung dia memijit cacing itu, dipelurutnya sampai ke ujung yang lain dan keluarlah benda kehitam-hitaman seperti tanah dari dalam tubuh cacing itu.
"Nah, begini, pijit dan pelurutlah yang kuat akan tetapi jangan terlalu kuat agar tidak putus, keluarkan tanah dari dalamnya."
sulstri mengangguk dan dengan perasaan jijik juga dia meniru perbuatan gurunya itu, memotong kepala dan ekor setiap cacing, memijit dan mengeluarkan isi tubuhnya yang seperti tanah dan ada sedikit darahnya. Cacing-cacing itu mati dan tinggal seperti kulit panjang yang sudah tidak ada isinya lagi.
"Sekarang sediakan bumbunya, bawang, garam dan merica yang cukup banyak!" Kakek itu memerintah. Sulastri menurut dan menyediakan apa yang diminta gurunya.
"Nah, sekarang goreng! Jangan sampai gosong, akan tetapi juga yang kering agar kemripik!"
Kembali Sulstri menelan ludah. Gurunya ini benar-benar seorang gila. Masa cacing digoreng dan dimakan?"
Tapi eyang"cacing bukan makanan"menjijikan"!
"Diam!"
Kakek itu mendelik dan matanya sangat menakutkan, sebesar jengkol dan seperti mau meloncat keluar dari rongga mata, tetapi pandangannya tajam bukan main.
"Siapa bilang menjijikkan? Bangkai tetap bangkai, biar bangkai sapi, bangkai ayam atau bangkai cacing! Yang enak kan bumbunya! Bodoh, kau kira tidak enak goreng cacing? Kau belum pernah memasukkannya?"
Sulastri menggeleng kepala.
"Bodoh, kau masih harus banyak belajar. Hayo goreng, aku akan mencari lauk lainnya lagi!"
terdengarlah bunyi srang-sreng-srang-sreng ketika Sulstri menggoreng cacing-cacing yang sudah diredam bumbu itu. Dia memandang sekilas melihat cacing-cacing itu agak mekar ketika terkena minyak panas, akan tetapi sungguh aneh, cacing-cacing yang digoreng itu mengeluarkan bau yang gurih!
Akan tetapi dia hampir berteriak saking jelek dan ngerinya ketika kakek itu datang dan kedua tangannya menggengam banyak sekali binatang kelabang dan luwing! Sulastri agak takut melihat kelabang karena maklum bahwa binatang-binatang ini berbisa, dan sejak dulu dia memang jelek melihat luwing karena binatang ini memang menjijikan, kakinya banyak sekali dan selalu melingkar kalau disentuh!
"Itu"
Itu kelabang dan luwing juga di "
Dimakan eyang?"
"Wooohhh, ini paling enak, bodoh!"
Kakek itu berkata, bunuh binatang-binatang itu dengan meremukkan kepalanya sekali tekan dengan kukunya, kemudian dia menggunakan air panas merendam bangkai-bangkai kelabang dan luwing itu. Tak lama kemudian, dia menguliti bangkai binatang-binatang itu dan setelah terkena air panas, ternyata kulit kelabang dan luwing itu dapat digiling dengan mudah dan tinggal hanyalah dagingnya yang putih kemerahan seperti daging udang.
"Nah, goreng juga ini!"
Katanya kepada Sulastri. Anak itu menelan ludah sambil menahan muak, lalu digorengnya daging kelabang dan luwing itu. Dan kembali dia terheran-heran ketika mencium bau yang gurih lagi,
"Wah, hayo makan, Sulastri. Mumpung masih panas-panas. Hemm, itu di dalam bungkusan daun jati, masih ada beberapa butir lombok rawit, bawa sini!"
Kakek itu makan di layani oleh Sulastri. Akan tetapi anak itu hanya mengambil nasi saja, lalu mengambul sejumut garam untuk makan dengan garam saja.
"Eih, ini gorengannya, hayo dimakan!"
Sulastri menggeleng kepala.
"Ushhh, bodoh, hayo makan. Enak sekali ini!"
Kakek tidak mendesak.
"Aku"
Aku tidak doyan", eyang"
Biarlah aku makan dengan garam saja, dan itu"untuk eyang saja."
"Mana bisa begitu? Kau yang sudah payah menggoreng, masa aku saja yang makan? Dan kau makan dengan garam saja, mana enak? Hayo coba, kamu belum pernah makan ini kan? Lihat, betapa lezatnya!"
Kakek itu mengambil seekor cacing goreng dan serbaguna. Terdengar suara keremus-keremus seperti orang makan goreng usus ayam dan kakek itu kelihan menikmati makanan ini.
"Bukan main! Gorenganmu ternyata sangat sedap! Bumbunya pas, gorengannya juga sedang. Kalau aku yang menggoreng, selalu gosong dan terlalu asin! Ha-ha, kata orang kalau masak terlalu asin tandanya kepingin kawin. Ha-ha! Nah, ini daging kelabang , menguatkan badan dan membuat kita tahan racun. Enak sekali dan ini"
Daging luwing banyak gajihnya. Hmm, sedap!"
Kakek itu kini makan dengan daging kelabang dan daging luwing, memang kelihatannya enak daging kedua binatang ini, seperti daging udang yang sudah dibuang kulitnya, putih kemerahan dan baunya gurih bukan main.
Sulastri tidak berani menolak, takut kalau-kalau gurunya marah dan tersinggung. Dengan hati ngeri dia lalu mengambil seekor cacing goreng yang bengkak-bengkok itu, lalu dengan mata terpejam dia memasukkan ke mulut bersama nasi.
"Kriakkk..kriak""
Dan Sulastri membuka lebar matanya. Ternyata enak! Gurih sekali, seperti"hampir seperti kulit ayam goreng. Gurih dan baunya pun sedap! terus saja memakan cacing itu dan mendengar gurunya tertawa, dia memandang gurunya ikut tertawa.
"Nah, enak kan?"
"Enak, eyang.
Sulastri mengambil seekor lagi dan mulai makan nasi dengan cacing goreng.
"Ah, coba kamu makan goreng kelabang dan terutama goreng luwing itu, cobalah dan kamu akan lebih terheran-heran lagi!"
Dengan agak memaksa diri Sulastri mengambil sebagian kelabang goreng dan melintang. Benar sekali! Tiada ubahnya udang goreng! Tanpa ragu lagi kini dia memakan sepotong luwing goreng dan mulutnya mengecap-ngecap. Bukan utama! Seperti udang goreng tetapi lebih berminyak dan manis! Maka hilanglah rasa ragu dan muaknya dan anak itu makan dengan lahapnya dan durunya juga terlihat girang, tertawa-tawa dan sebentar saja nasi dan semua gorengnya habis sama sekali!
Kakek itu mengelus perut yang agak gendut dan minum air panas.
"Cruupp! Ahhh, air tehnya pun sedap kalau kau yang membuat. Waduh untung sekali aku mempunyai murid sepertimu, Sulastri. Sekarang kita ngomong-omong, akan tetapi harus mencari kutu. Kepalaku gatal bukan main!"
Sulastri berlutut di belakang gurunya yang kembali merebahkan dirinya, dan mulai anak itu mencari kutu rambut di kepala kakek itu.
"Pantas saja kepalamu gatal-gatal, eyang. Habis kutunya banyak yang benar!"
Sebentar saja Sulastri sudah mendapatkan kutu rambut yang cukup besar.
"Ke sinikan!"
Kata kakek itu dan setelah muridnya meletakkan kutu itu ke atas telapak tangan, dia lalu menggunakan lidahnya menjilat dan terdengar suara "Tess!"
Ketika kutu itu menjanjikannya!”
“Ihh,
"Aku membalas raksasa dia!"
Kurang terbuka, habis-habis kulit kepalaku penghidupannya!"
Sulastri geli jantungnya. Gurunya ini orang aneh sekali. Akan tetapi kalau sampai kutu rambut pengangguran dan ditelan seperti itu, dia tidak akan menirunya. "Sekarang kau ceritakan riwayatmu,
Sulastri."
Anak itu lalu menceritakan kisahnya dengan sejelasnya, bagaimana dia hidup berdua saja dengan kakaknya, kemudian betapa dia pernah ditolong oleh Adipati Ronggo Lawe kemudian betapa kakaknya membunuh diri membela pati karena cintanya kepada Ronggo Lawe. Betapa dia ditangkap oleh dua orang petugas Mojopahit itu karena dipaksa untuk mengaku di mana dia menyembunyikan mayat kakaknya.
“Dan kau memang menyembunyikan mayatnya?”
Tanya kakek itu.
“Sudah kukuburkan mayat mbakayuku, eyang.”
Komentar
Posting Komentar