KEMELUT DI MAJAPAHIT JILID 02

menjijikkan. Ada pun orang ke dua sedang mempermainkan seorang anak perempuan berusia delapan tahun yang terbelalak ketakutan dan mengigil ketika laki-laki tinggi besar yang memangkunya itu menciumi mukanya sambil terkekeh dan berkata.

   "Engkau juga calon seorang dara cantik, ha-ha-ha!"

   "Dia, Jubis, hayo cepat, kami sedang menanti giliran kami, ha-ha-ha!"

   Tiga orang itu memandang laki-laki pertama yang menggumuli dara itu dengan mata yang mengandung penuh gairah nafsu.

   Ronggo Lawe merasa betapa dadanya hampir meledak saking marahnya. Bagi dia yang sedang marah kepada Mojopahit, pemandangan yang dilihatnya itu merupakan tanda keruntuhan kerjaan sehingga ada penjahat yang demikian nekat melakukan perbuatan laknat tidak jauh dari wilayah Mojopahit. Dia mengeluarkan suara seperti harimau untuk melepaskan kemarahannya, kemudian tubuhnya meloncat ke depan, dua kali dia menendang dan dua orang laki-laki tinggi besar yang menggumuli dara cantik bersama anak perempuan itu terlepas dari cengkraman mereka dan terpelanting pula. Si dara dengan muka pucat menengok, dan melihat bahwa penolongan itu seorang laki-laki gagah perkasa yang hanya memakai cawat dan pakaian dalam, dia cepat membetulkan kainnya yang koyak

   Sementara itu, dua orang yang kena tendang tadi mengaduh-aduh, akan tetapi dengan marah mereka bangkit berdiri, bersama tiga orang temannya mereka mencabut kelewang (golok) dan memandang ke Ronggo Lawe dengan penuh kemarahan. Tentu saja mereka tidak mengenal adipati yang telah meninggalkan pakaian luarnya, dan mengira bahwa yang mengganggu kesenangan mereka hanyalah seorang dusun belaka.

   "Heh keparat kamu, berani mengantarkan nyawa dengan mengganggu kesenangan kami?"

   Bentak seorang di antara mereka yang berjanggutnya sekepal sebelah dan matanya sebesar jengkol, agaknya pemimpin mereka yang tadi sedang berusaha memperkosa dara itu dan dipanggil dengan nama Jubris oleh kawan-kawannya.

   Sinar mata Rongo Lawe ketika memandang mereka seperti api yang ingin membakar, kemarahan membuat dia suka membuka mulut untuk berbicara, tetapi akhirnya dia juga dapat berkata.

   "Aku mewakili Sang Hyang Yomodipati untuk mencabut nyawa kalian manusia-manusia busuk!"

   Lima orang itu menjadi semakin marah dan dengan teriak-teriak pembohong mereka lalu menyerbu, mengeroyok dan menyerang Ronggo Lawe denagn golok mereka. Terdengar angin bersuitan dan golok itu berdesing ketika senjata-senjata tajam itu menyambar-nyambar ganas ke arah tubuh Ronggo Lawe dari semua arah. Ternyata lima orang penjahat itu tidak meremehkan-perampok sembarangan dan melihat gerakan mereka ketika menyerang, jelas bahwa mereka memiliki kepandaian dan kekuatan yang lumayan. Adipati Ronggo Lawe memang sudah menduga akan hal ini karena melihat dua orang itu tadi masih sanggup bangkit lagi setelah terkena tendangan-tendangannya, dia mklum bahwa mereka bukan orang-orang lemah.

   Akan tetapi betapa pun ganas dan kuatnya lima orang gerombolan penjahat yang pekerjaannya hanya berkeliaran, membajak dan mangganggu rakyat kecil, tentu saja bukan apa-apa bagi Adipati Ronggo Lawe, Senopati Mojopahit yang sudah terkenal sekali memiliki kepandaian hebat, sakti mandraguna dan sudah memeiliki pengalaman luas dalam pertempuran dan perang kampus. Maka begitu melihat lima orang yang amat dibencinya karena perbuatan mereka tadi kini menerjang dengan golok mereka yang berkilauan saking tajamnya dan sering diasah, Ronggo Lawe sama sekali tidak mau mengelak, bahkan dia memapaki mereka dengan gerakan cepat dan tangkas sekali.

   Tangan kedua sudah menyambar ke depan, menyambut dua batang golok yang datang paling dulu, tahu-tahu kedua tangan dari bawah sudah menangkap pergelangan tangan dua orang yang memegang golok itu, kemudian dengan bentakan keras dia mengerahkan tenaga dan dua batang golok itu berikut tangan-tangan yang memegangnya telah terjerumus ke depan menyambut dua batang golok lain sedangkan kaki kirinya yang panjang menendang ke arah depan, tepat menghantam perut seorang diantara lima pengeroyoknya sebelum golok orang itu dapat mendekatinya.

   "Tranggg...cringggg...bukkk...!"

   Lima orang yang meringkuk itu berteriak kaget sekali, dan orang yang kena ditendang ke dalamnya, sekali ini merupakan tendangan yang dilakukan denagn pengerahan tenaga sakti sehingga datangnya sangat cepat dan kuat. Batu gunung sekali pun akan ambyar terkena tendangan maut ini, apalagi hanya perut itu disisi dengan benda-benda kotor sedangkan hawa murni di tubuh itu sudah habis oleh penghamburan melalui nafsu-nafsu rendah.

   Orang itu hanya sempat mengeluh pendek, tubuhnya terlempar ke belakang dan terbanting jatuh dalam keadaan tak bernyawa lagi karena dia terbunuh seketika pada saat kaki telanjang Ronggo Lawe bertemu dengan kedalaman. Ada pun empat orang yang meringkuk lainnya terbelalak kaget karena mereka tadi hanya merasakan senjata golok-golok mereka yang diadu dengan sangat kerasnya itu menjadi patah-patah!

   "Keparat, hidup kalian hanya mengotorkan jagad!"

   Ronggo Lawe membentak dan tidak memberi kesempatan lagi kepada mereka. Selagi mereka melongo saking kaget dan herannya, tubuh Ronggo Lawe bergerak cepat, dua tangan menyambar-nyabar dan dua kali mesing-masing telapak tangan menampar. Tamparan yang tak mungkin dapat dielakkan lagi oleh empat orang itu.

   "Plak-plak-plak-plak!"

   Empat orang terpelanting dan berpusing seperti disambar halilintar, kedua tangan memegangi kepala, kemudian roboh tergelimpang dan tidak bergerak lagi karena kepala mereka mengulang-retak dengan memecahkan maut itu dan mereka tewas seketika. Ronggo Lawe berdiri tegak dan menunduk, memandang ke arah lima mayat yang dirobohkannya, dada yang tadi penuh hawa amarah menyesakkan napas, kini terasa lega seolah-olah telah tersalur ke luar segala rasa penasaran dan kemarahannya yang mulai menyala di dalam istana sang prabu di Mojopahit. Lenyap rasa pening di kepalanya dan pandangan matanya menjadi awas. Mengingat akan kekejian yang dilakukan lima orang ini terhadap gadis dan anak perempuan tadi, dia melihat bahwa sudah seharusnya turun tangan memberi hukuman kepada mereka, maka Ronggo Lawe tidak merasa menyesal telah membunuh mereka, bahkan merasa lega karena gadis dan anak perempuan kecil itu dapat terbebas dari bencana. Ngeri itu membayangkan andaikata dia datang terlambat!

   "Saya dan adik saya menghaturkan banyak terima kasih atas bantuan kisanak yang telah menyelamatkan kami".."

   Suara halus di belakangnya inu membuat Ronggo Lawe sadar dan dia cepat berharap tubuhnya dan memandang ke bawah, di mana gadis tadi sambil menggandeng anak perempuan itu telah berlutut dan menyembahnya. Wajah gadis itu menengadah, memandangnya denagn sinar mata lembut dan bening, penuh keharuan dan penuh rasa terima kasih, memancarkan mata yang bersinar terang di wajah yang masih agak pucat, wajah seorang dara ayu, seperti setangkai bunga yang masih basah dan kekelahan habis diserang badai yang mengganas.

   "Hemmm"..siapakah kamu, nini???"

   Tanya Ronggo Lawe, gadis diam-diam dia mengagumi keindahan yang asli dari tepi sungai Tambakberas ini.

   "Saya bernama Sri Winarti, dan ini adalah adik saya"."

   "Saya Sulastri! Kepandaian paman hebat bukan main, dan saya ingin sekali dapat memiliki kepadanian seperti itu untuk melindungi kakak saya!"

   Dengan lincah dan jenaka anak perempuan itu menyambung kata-kata kakaknya.

   Ronggo Lawe tersenyum dan menghilanglah keangkeran wajahnya yang berkumis seperti Gatutkaca itu, berobah menjadi wajah tampan yang ramah. Namun hanya sebentar saja perasaan ksatria ini tersentuh gembira oleh sikap Sulastri, dan dia sudah memandang lagi penuh wibawa.

   "Sudahlah, bahaya sudah lewat. Kalian pulanglah, aku akan melaporkan kematian mereka itu kepada lurah setempat."

   Setelah berkata demikian, Ronggo Lawe melangkah hendak pergi mengambil pekaiannya di luar hutan dan melapor kepada kepala dusun yang berdekatan agar lima mayat penjahat itu dapat diurus sebagaimana mestinya.

   Akan tetapi baru beberapa langkah dia berjalan, tiba-tiba terdengar suara halus merdu dari belakang penemuan.

   "Kisanak"..!"

   Ronggo Lawe berhenti dan menopang tubuhnya. Dia tahu bahwa Sri Winarti yang menyelami dan maklum bahwa gadis itu tentu saja tidak tahu bahwa dia adalah Adipati Ronggo Lawe karena pada saat itu dia hanya mengenakan pakaian dalam dengan dada telanjang. Diam-diam Ronggo Lawe tersenyum dan teringat akan kenyataan bahwa yang membedakan manusia, dari tingkat dan derajat, pandai dan bodoh, kaya dan miskin mulia dan hina, hanyalah pakaian belaka. Tanggalkanlah pakaian dari tubuh mereka, dan semua manusia adalah sama saja! Apa bedanya dia dengan seorang petani atau nelayan? Juga tidak ada bedanya antara dia dan ang prabu sekali pun! Maka yang terpenting dalam kehidupan bukanlah benda-benda lahiriah, kedudukan, harta, pengetahuan dan nama, karena semua itu tidak ada bedanya dengan pakaian belaka. Yang terpenting adalah batinnya!

   "Ada apa, nini?"

   Tanyanya halus, terharu juga dia mendengar sebutan "kisanak"

   Tadi karena selamanya baru ini ada orang, gadis remaja lagi, menyebut kisanak, padahal biasanya dia disebut dengan penuh pengormatan dan sanjungan.

   Sri Winarti menggandeng tangan Sulastri, berlari kecil mendekati Ronggo Lawe, kemudian dara itu menjatuhkan dirinya berlutut lagi. Ronggp Lawe mengerutkan kening, menduga agaknya gadis ini mengenal siapa dia maka menyembah-nyembah.

   “Ah, aku hanya seorang dusun, jangan kau sembah-sembah, nini.”

   "Tidak, kisanak adalah sesembahan saya, bintang penolong saya".. dan harap suka menaruh kasiahan kepada saya".. kepada adik saya".." "

   Hemm".. apa maksudmu?"

   "Aku dan adikku pasti sudah binasa, bahkan lebih buruk dari itu, jika bukan karena bantuanmu, kisanak. Oleh karena itu, terimalah kami untuk memperbudak diri kami sendiri". .." "

   Ehhh! Maksudmu". maukah kamu menyerahkan dirimu menjadi istriku?"

   Wajah yang masih pucat itu memerah dan segera menundukkan kepalanya. Dengan suara gemetar sang dara berkata lembut.

   "Atas kemauanmu, aku serahkan jiwa dan ragaku padamu"., jadilah seorang istri, menjadi pelayan atau apapun itu akan aku lakukan dengan ikhlas dan setia.”

   Ronggo Lawe mengerutkan alisnya yang tebal.

   "Hemm, nenek, kamu masih sangat muda tetapi kamu sudah mengambil keputusan yang aneh dan penuh tekad. Aku sudah punya dua istri, dan aku baru saja menerima tanpa ketidakseimbangan apa pun, aku tidak punya niat untuk menikahimu."

   “Eh, paman, bukankah adik iparku kurang cantik? Dia adalah bunga desa kita, dan aku akan sangat senang memiliki adik ipar seperti paman perkasa itu! Aku ingin belajar sihir! "

   Sulastri berkata dengan lantang.

   “Kisanak, maafkan aku. Jika kisanak tidak bersedia mengambilku sebagai istri, izinkan aku menjadi pembantu, mencuci pakaianmu, membersihkan lantai dan taman rumahmu”. "Tidak, aku tidak bisa

   menerima"..kalian pulanglah ke rumah kalian , aku masih mempunyai banyak urusan yang harus kuselesaikan."

   Ronggo Lawe berasumsi bahwa peluapan rasa terima kasih yang dirasakannya berlebihan dari dara muda cantik jelita itu sebagai suatu godaan, maka dia segera meninggalkan dara itu. Akan tetapi ketika dia mendengar isak tangis, dia terheran dan cepat menengok. Gadis itu tergeletak sambil menangis dan menutupi mukanya dengan sedih sekali! Sedangkan Sulastri, anak kecil itu, berdiri dekat kakaknya dan memandangnya dengan mata mengandung rasa penasaran dan kemarahan!

   “Eh, kenapa kamu menangis, nini?”

   Ronggo Lawe melangkah kembali dan bertanya dengan suara halus, penuh selidik.

   Dengan suara terisak-isak Sri Winarti menceritakan keadaannya. Dia dan adiknya adalah dua orang anak yatim piatu karena ayah dan ibunya telah tiada. Semenjak ayahnya meninggal karena sakit menyusul ibunya, beberapa bulan yang lalu, dai hanya hidup berdua dengan adiknya di dusun Gengangan dekat sungai Tambakberas. Dan dimulainya mereka, atau lebih tepatnya, mengalami gangguan-gangguan dari para pria di mana pun dia berada. Hari itu dia dan adiknya mencari kayu bakar di hutan dan hampir saja mereka menderita malapetaka yang sangat mengerikan.

   "Berkat pertolongan kisanak maka saya dan adik saya selamat dan saya merasa yakin bahwa di bawah perlindungan kisanak saja maka kehidupan saya dan adik saya akan terjamin keselamatannya. Saya tidak pulang berani".. setelah mereka ini mati"., karena tentu hal ini akan terdengar oleh kawan-kawan mereka dan kami akan celaka."

   Demikianlah Sri Winarti melanjutkan kata-katanya.

   Ronggo Lawe menarik napas panjang, kemudian berlata.

   "Jangan khawatir. Kalau begitu, marilah kamu ikut bersamaku ke dusun Gendangan, di mana aku akan menyerahkan kamu dan adikmu dalam perlindungan Ki Lurah Gendangan."

   "Ahhhh".!"

   Dara itu menjerit lirih seperti orang terkejut dan ketakutan.

   "Kenapa?"

   Ronggo Lawe bertanya heran.

   "Telah lama Lurah Gendangan membujuk-bujuk saya untuk menjadi selirnya, akan tetapi selalu saya tolak. Menyerahkan saya dalam perlindungan Lurah Gendangan sama artinya sengan memasukkan saya ke dalam sarang harimau buas."

   Makin dalam kerut merut di kening adipati itu.

   "begitukah? Mari, kita lihat saja nanti di Gendangan. Aku tanggung jawab bahwa lurah itu tidak akan berani bertindak sewenang-wenang lagi. Jangan kau takut, aku akan melindungimu."

   Akhirnya Sri Winarti dan Sulstri mengikuti Ronggo Lawe yang mengambil pakaiannya di dekat sungai, setelah berpakaian di dekat sungai, setelah berpakaian dan menuntun kudanya lalu adipati itu mengajak Sri Winarati dan adiknya menuju ke dusun Gendangan. Setelah Ronggo Lawe berpakaian, dia lalu berlutut dan menyembah.

   "Harap paduka sudi mengampuni hamba, raden"..hamba tidak tahu bahwa paduka"..seorang bangsawan"."

   "Hushhh, sudahlah. Bangsawan atau bukan, aku hanya seorang manusia saja, tidak ada bedanya dengan dirimu. Mari kita berangkat ke Gendangan!” Bisa dibayangkan betapa kagetnya Sri Winarti ketika sampai di gedung Ki Lurah Gendangan, dia melihat sendiri ki lurah bersama para pembantunya menyambut pembantunya sambil beribadah dan

   menyebutnya sebagai adu adipati!  dan sambil mendengarkan menarik adiknya untuk ikut berlutut.Mudah  -mudahan yang membantunya adalah Adipati Tuban, Adipati Ronggo Lawe yang terkenal itu!  Perasaan aneh melihati hati perawan muda ini. Sungguh ia pernah merasakan rasa kagum dan syukur, perasaan itu telah membangkitkan rasa cinta dan pasrah dalam hati dara ini terhadap penolongnya. Sekalipun asistennya bukanlah seorang laki-laki dewasa yang usianya hampir empat puluh tahun, namun ia melihat seorang laki-laki yang gagah dan perkasa, Dengan singkat

   Ronggo Lawe menceritakan kepada Ki Lurah Genangan tentang lima penjahat yang hendak mengganggu Sri Winarti dan adiknya.

   “Mereka telah mati dan mayat mereka berada di dalam hutan,”

   Adipati melanjutkan.

   "Harap kamu suka mengurus mayat-mayat itu."

   “Baik, gusti adipati,”

   Ki lurah menjawab cepat.

   “Selain itu, aku mendengar bahwa Sri Winarti dan Sulastri ini sudah yatim piatu, maka sudah sepatutnya kalau ki lurah melindungi mereka di dusun ini.”

   Wajah ki lurah yang sudah lebih dari lima puluh tahun usianya berseri gembira mendengar ini.

   "Tentu".., tentu mereka baik-baik, harap paduka jangan khawatir, gusti adipati.""Aku mendengar bahwa kamu pernah membujuk Sri Winarti untuk menjadi selirmu?" Pertanyaan yang tiba-tiba ini sekaligus mengusir seri wajah ki lurah

   dan dia menjadi gugup.

   "Ini". Ini"."

   Dia tergagap.

   "Aku tidak akan melarangmu untuk mengambil selir. Itu adalah hakmu, ki lurah. Akan tetapi jika kamu memaksa seorang wanita menjadi selirmu, dengan menggunakan kekuatanmu, berarti kamu akan sama jahatnya dengan mereka yang kubunuh di dalam hutan itu!"

   "Ti".Tidak ".Hamba takkan memaksa orang"."

   "Baik kalau kamu tidak melakukannya, dan ingat dua orang anak ini berada di bawah perlindungaku, jika sampai terjadi sesuatu di atas diri mereka, aku akan meminta pertanggungan jawabmu. Mengerti?"

   Dengan muka berobah lurah itu mengangguk-angguk seperti seekor ayam mematuki gabah, menyatakan janji ketaatannya.

   Ronggo Lawe lalu menoleh ke Sri Winarti dan Sulastri yang masih berlutut.

   "Nini, kauajaklah adikmu pulang."

   Sri Winarti menyembah, mengangkat muka dan memandang denagn muka penuh kedukaan kemudian pergi bersama adiknya dari halaman gedung kelurahan itu. Setelah menerima penyambutan dan jamuan Ki Lurah Gendangan, tak lama kemudian Adipati Ronggo Lawe meninggalkan dusun Gendangan, membedal kudanya menuju ke Tuban. Akan tetapi baru saja keluar dari batas dusun, di tengah jalan dia melihat di dalam gelap sosok tubuh seorang wanita. Dia menahan kudanya dan ternyata Sri Winarti dan Sulastri telah menanti di tengah jalan.

   "Eh, kamu lagi, nini? Mengapa kamu menghadangku di sni?"

   Ronggo Lawe meloncat turun dari atas kudanya dan mendekati dara itu sambil menuntun kudanya.

   Dengan isak tertahan Sri Winarti melangkah maju kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan kaki sang adipati dan menyembah-nyembah.

   “Gusti adipati”. Hamba".Hamba sekali lagi mohon agar paduka menerima hamba bersuwita (menghambakan diri)"."

   Setelah meragu sebentar seolah-olah berat dia mengeluarkan kata-kata itu, Sri Winarti menyambung.

   "Hamba telah bersumpah tidak akan menghentikan usaha hamba untuk membalas budi paduka "."

   "Sudahlah, nini. Engkau masih amat muda, dan cantik rupawan. Dunia terbentang luas dihadapanmu dan ki lurah tidak akan berani mengganggumu lagi. Kau akan bertemu dengan seorang pemuda yang tampan dan cakap,



   Dara itu memotong dengan cepat.

   Ronggo Lawe terkejut sekali, apalagi ketika dia melihat di antara kesuraman cuaca senja yang hampir terganti malam, betapa terlihat mata yang jernih itu memandangnya dengan sinar yang mengandung asmara! Ronggo Lawe menghela napas panjang.

   "Dan hamba pun bertekad untuk berguru kepada paduka!"

   Sulastri yang kecil dan pandai bicara, juga tabah sekali itu, berkata.

   Ronggo Lawe lalu mengambil sebuah pundi-pundi kecil dari sela kudanya. Pundi-pundi itu berisi uang yang diserahkan kepada Sri Winarrti.

   "Nini ketahuilah bahwa aku sedang menghadapi masalah negara yang sangat ruwet, maka tentu saja pada saat seperti ini aku tidak mempunyai waktu dan minat untuk berbicara tentang niatmu menghambakan diriku, sungguh pun aku berkumpul dengan hati terharu dan gembira. Kauterimalah pundi-pundi ini dariku , dan kelak kalau sudah menyelesaikan urusan negara, percayalah bahwa aku tidak melupakan seorang dara bernama Sri Winarti yang tinggal di susun Gendangan."

   Ucapan halus yang merupakan bayangan janji itu membuat Sri Winarti girang bukan main, dan sendang sesengukan dia mencium kaki sang adipati sambil menerima pundi-pundi dan menghaturkan terima kasih. Kemudian Adipati Ronggo Lawe juga menyerahkan sebuah benda kepada Sulastri. Benda ini adalah sebuah cincin yang tadi dilolos dari jari manis kiri sang adipati.

   Sulastri, aku tahu bahwa kamu adalah seorang calon pendekar wanita yang hebat, tetapi sekarang bukanlah saatnya untuk menerima murid seperti kamu ini. Akan tetapi, kau terimalah Kundolo Mirah ini sebagai tanda bahwa kau adalah murid Adipati Ronggo Lawe. Kundolo ini akan membuka pintu bagimu untuk dapat berhubungan dengan orang-orang yang sakti mandra guna di seluruh nusantara.

   Sulastri menerima perhiasan itu dengan girang. Kundolo adalah perhiasan cincin untuk telinga, yang oleh adipati itu dipakai di jari tangan. Terbuat dari emas berukir dan di tengahnya terhias sebutir batu mirah yang aseli.

   Setelah memberikan pundi-pundi dan kundolo, Adipati Ronggo Lawe lalu meloncat ke atas kudanya dan melanjutkan perjalanannya ke utara, ke Tuban. Sri Winarti berdiri sambil memeluk adiknya dan memandang sampai bayangan pria yang telah merenggut cinta kasih hatinya itu lenyap dalam cuaca yang meulai menggelap. Kemudian, dengan pundi-pundi ditekan di dada, seolah-olah benda itu menggantikan pemberinya, dara ini bersama adiknya perlahan-lahan memasuki dusun Genggan, membayangkan wajah yang gagah perkasa itu penuh kemesraan.

   Keesokan harinya, Aryo Wirorojo yang bernama Banyak Wide atau Aryo Adikoro, Bupati Sumenep yang semenjak Raden Wijaya menjadi raja di Mojopahit tidak kembali ke Madura, melainkan tinggal bersama puteranya, Ronggo Lawe di Tuban, pergi ke kadipaten untuk menemui puteranya setelah dia mendengar bahwa puteranya telah kembali malam tadi dari Mojopahit.

   Senopati Mojopahit yang telah berusia enam puluh tahun lebih ini masih tampil gagah dan sehat, sikapnya tenang dan bijaksana, tidak seperti puteranya yang berdarah panas. Semenjak Ronggo Lawe pergi dengan marah ke Mojopahit, ayah ini merasa tidak enak hatinya, maka begitu mendengar bahwa puteranya telah kembali, pagi-pagi itu dia sudah mengunjungi puteranya di kadipaten.

   Begitu bertemu dengan Ronggo Lawe yang menyambutnya dan mereka duduk berhadapan di rungan dalam kadipaten, Aryo Wirorojo telah dapat menebak dari tingkah laku dan gerak-gerik puteranya bahwa ada sesuatu yang hebat terjadi dengan puteranya itu. Makin khawatirlah hati orang tua ini dan dia cepat bertanya tentang kunjungan puteranya itu ke istana sri baginda di Mojopahit.

   Semenjak peristiwa di dalam hutan di mana dia menyelamatkan Sulastri dan Sri Winarti, membunuh lima orang penjahat keji, Adipati Ronggo Lawe telah dapat menenangkan hatinya, sungguh pun perasaan penasaran dan marah masih merupakan titik api yang tak datang padam. Maka kini mendengar pertanyaan ayahnya, diceritakannyalah semua peristiwa yang terjadi semenjak dia menghadap sang prabu sampai kromosom yang terjadi sebagai semenjak dia menghadap sang prabu sampai persaudaraan yang terjadi sebagai akibat protesnya terhadap menunjuk Nambi sebagai patih hamangku bumi di Mojopahit. Diceritakannya pula bahwa pamannya, Lembu Sora sendiri yang maju dan menasihatinya untuk pulang ke Tuban sehingga dia tidak melanjutkan amukannya.

   Mendengar penuturan puteranya itu, Sang Aryo Wirorojo terkejut dan menjadi pucat pasiya. Sejenak dia menatap wajah puteranya tanpa mampu mengeluarkan kata-kata. Jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya. Betapa tidak akan sakit perasaannya. Dia adalah seorang panglima yang sangat setia kepada sang prabu dan dia rela untuk menyerahkan nyawanya sewaktu-waktu demi membela Mojopahit, dan kini puteranya yang amat dibanggakannya itu telah menampilkan sikap pemberontakan terhdap raja junjungannya, kiranya tidak akan dapat dibandingkan dengan cinta kasihnya terhadap puteranya. Oleh karena itu, dia lebih mengutamakan keselamatan puteranya dan mendengar penuturan Ronggo Lawe, ayah yang tua dan sedang di himpit duka dan kebingungan karena bersinggungan pada pilihan berat, yaitu kesetiaan terhadap raja atau kecintaan terhdap putera,

   “Ayah menangis?”

   Ronggo Lawe tampak terkejut, hampir tak percaya. Ayahnya adalah seorang ksatria utama yang sangat gagah berani, dan bagi seorang ksatria perkasa, air mata jauh lebih berharga daripada darah. Lebih baik menumpahkan darah dari tubuh daripada menitikkan air mata! Air mata dianggap permainan wanita dan tanda kelemahan.

   “Apakah ayah ingin menyalahkanku seperti para senopati lainnya?”

   Aryo Wirorojo menggeleng dan mampu mengendalikan dirinya kembali.

   "Anakku, jangan kamu alah sangka. Memang, demi keadilan, rasa penasaran di hatimu itu benar. Melihat jasa dan kesetiaan, sepatutnya Lembu Sora atau kamu yang harus menjadi patih, bukan si Nambi. Akan tetapi kamu harus ingat bahwa seorang senopati mengutamakan kesetiaan dan Kepatuhan terhadap semua sabda sang prabu yang menjadi junjungannya. Andaikata sang prabu menghendaki agar kita mendaki lautan api, kita akan mentaatinya, tanpa mengingat akan kepentingan diri pribadi. Hendaknya engkau ingat baik-baik, Lawe. Sikapmu itu berarti pemberontakan, dan pemberontakan berarti penghianatan terhadap sang prabu.tahukah kamu apa akibatnya kalau kamu berkhianat?Hasilnya sangat berat dunia akhirat, anakku.Nama keturunanmu akan terseret pula ke dalam lumpur kehinaan.Camkanlah baik-baik, mengingatlah dengan kesadaran,sebelum terlambat oleh perbuatan yang hanya didorong oleh nafsu amarah yang membuta."

   Ronggo Lawe menjadi pucat dan dia termenung dengan persetujuan kepala menengar nasihat ayahnya itu. Terbayang olehnya betapa dua orang isterinya dan terutama sekali puteranya yang terkasih dan masih kecil kelak akan menjadi orang-orang yang dipandang rendah dan terhina, sebagai keluarga pemberontak dan penghianat!

   Melihat betapa puteranya mulai sadar, Aryo Wirorojo melanjutkan dengan penuh harapan.

   “Anakku, ksatria janji, adipati yang bijaksana, kata-kata raja dan berjanjilah padaku. Bukankah raja berjanji ketika belum menjadi raja, jika Mojopahit berhasil dibangun, maka negerinya akan terbagi menjadi dua dan sebagian lagi akankah diserahkan kepada saya sebagai ketidakseimbangan atas jasaku? Nah, jika bagian itu telah diserahkan kepada saya, siapa lagi selain kamu yang akan menjadi rajanya? Jika demikian, maka kita akan berdiri sendiri sebagai kerajaan tersendiri dari kedaulatan Mojopahit dan jika kami bukan lagi pengikut Mojopahit, maka kamu boleh mengizinkan sesukamu tanpa ada bahaya yang dianggap pemberontak dan pengkhianat, anakku."

   Ronggo Lawe mengangguk-angguk dan dia dapat melihat kebijaksanaan dalam kata-kata ayahnya itu. Dia telah memacu nafsunya, terdorong oleh kemarahan yang kini dia lihat jelas dipicu oleh perasaan iri hati terhadap Nambi. Timbul penyesalannya dan baru membuka matanya kini betapa dia telah menyatakan keterlaluan dan tidak menghormati depan sri baginda. Dia harus mohon maaf kepada junjungannya itu!

   Akan tetapi, selagi sang adipati mulai sadar dan mendengarkan wejangan-wejangan selanjutnya dari Aryo Wirorojo, tiba-tiba seorang pengawal melaporkan bahwa ada seorang prajurit datang dari Mojopahit yang mengaku sebagai utusan Sang Resi Mahapati. Resi Mahapati adalah seorang di antara para pendeta yang mengepalai keagamaan di Mojopahit, dan Resi Mahapati adalah kepala Agama Syiwa.

Ronggo Lawe berinteraksi dengan ayahnya. Mereka tentu saja mengenal Sang Resi Mahapati yang sakti mandrahuna, seorang yang memiliki kedudukan tinggi di samping Pendeta Brahmanaraja yang mengepalai agama penyembah Brahma. Resi Mahapati terkenal ramah dan baik sikapnya terhadap semua senopati di Mojopahit.

   “Suruh dia masuk saja ke sini,”

   Perintah Ronggo Lawe kepada pengawalnya.

   Tak lama kemudian, seorang perajurit yang bertubuh tinggi kurus dan bermata tajam menandakan kecerdikannya datang. Bersujud di depan Adipati Ronggo Lawe. Adipati ini cepat bertanya siapa dia dan apa keperluannya datang menghadap ke Kadipaten Tuban."Harap paduka gusti adipati sudi mengampunkan kalau hamba mengganggu. Hamba bernama Maruto, pengawal peribadi Sang Resi Mahapati dan hamba diutus oleh sang resi untuk menyampaikan berita yang sangat penting bagi paduka gusti adipati.”

   Ronggo Lawe mengerutkan kening dan Aryo Wirorojo menyela.

   “Apakah kamu tidak membawa surat dari beliau?”

   Maruto menghormati hormat.

   "Karena terburu-buru, sang resi tidak sempat mengirim surat dan hanya mengutus hamba untuk melapor ke sini secara lisan saja."

   "Katakan, apa yang diberitahukan oleh sang resi aku?"

   Ronggo Lawe bertanya tak sabar lagi.

   "Sang resi membangun agar paduka gusti adipati hendaknya segera menyelamatkan diri mengungsi dan pergi dari Kadipaten demi keselamatan paduka"."

   "Apa".?"

   Ronggo Lawe menggebrak meja dengan muka merah. Biarpun pesan sang resi itu bermaksud baik, tetapi menyuruh dia melarikan diri sugguh-sungguh merupakan suatu berita yang berisi dan menghina!"

   Apa maksud sang resi dengan anjuran itu?"

   “Sang resi mengutus hamba memberi tahu bahwa sekrang ini,



   Ronggo Lawe bangkit berdiri dengan mata mendelik saking marahnya.

   "

   Heh, Maruto, pulanglah kau dan sampaikan terima kasihku kepada Sang Resi Mahapati, akan tetapi katakan bahwa Ronggo Lawe bukan seorang yang menerima dan akan menyambut serbuan Nambi keparat dengan keris di tangan!"

   Marunto menjadi ketakutan, menyembah dan bergeas meninggalkan gedung kadipaten, melompat ke atas kudanya dan membalapkan tunggangannya itu keluar dari Kadipaten Tuban, kembali ke selatan ke Mojopahit.

   Sementara itu, Aryo Wirorojo mencoba menenangkan hati puteranya.

   "Lawe, tenanglah dan pikirkan masak-masak sebelum melakukan sesuatu."

   “Ayah, bagaimana aku bisa tenang dan sabar jika dihina orang seperti ini? Siapakah bocah Nambi yang berani menghina Ronggo Lawe itu? Mojopahit. Tapi sebagai seorang kesatria, mundur dan melarikan diri adalah tabu besar di suatu tempat! Mati bukanlah apa-apa karena semuamakhluk tidak bisa lepas dari kematian. Tapi kehormatan jauh lebih berharga daripada nyawa. Lebih baik mati seribu kali sebagai kesatria perkasa, mati sebagai orang terhormat daripada hidup sebagai perokok yang lari dari bahaya.Tidak ayah, aku harus melawan si brengsek Nambi itu,biar pun dia menggunakan nama sang prabu di Mojopahit untuk menghinaku!"

   Percuma saja Aryo Wirorojo menyabarkannya. Ronggo Lawe lalu mengumpulkan para pembantunya yang dihimpun oleh Panewu Progodigdoyo dan segera mereka melakukan perundingan. Semua ponggawa Tuban dikumpulkan dan para pembesar, akuwu, demang, dan tumenggung mengucapkan sumpah setia sampai mati kepada Ronggo Lawe Adipati Tuban. Utusan dikirim ke daerah Mojopahit menghubungi kawan-kawan yang menaruh simpati kepada Adipati Tuban.

   Awan mulai menggelapkan langit di atas Kerajaan Mojopahit. Api pemberontakan mulai berkobar dan api ini rupanya akan semakin membesar, itu adalah krisis di Mojopahit yang tidak akan pernah dilupakan oleh masyarakat dan tercoreng dalam sejarah sebagai halaman hitam, karena pemberontak tersebut adalah seorang senopati yang pernah menjadi banteng banteng. Mojopahit, bahkan pilar pendiri Kerajaan Mojopahit Raden Wijaya yang kini menjadi raja!

   Dua hari kemudian, saat Sang Prabu Kertarajasa Jayawardhana sedang dihadang para menteri dan para senopati seperti biasa, dalam suasana hati anak yang tertekan karena peristiwa yang disebabkan oleh Ronggo Lawe yang masih membekas di hati raja dan para pejabat, tiba-tiba seorang tentara datang menghadap raja, memanjatkan doa dan dengan wajah pucat prajurit itu melaporkan.

   “Hamba adalah seorang prajurit penjaga di dekat Sungai Tambakberas, di perbatasan antara Mojopahit dan Tuban, gusti, dan pagi hari tadi hamba mendengar berita bahwa sang adipati di Tuban telah mempersiapkan pasukan untuk menggempur Mojopahit, bahkan hamba melihat sendiri banyak pasukan di sepanjang ke Tuban””

   Tentu saja sang prabu menjadi terkejut sekali, dan juga marah mendengar pelaporan perajurit yang bernama Maruto ini.

   "Sungguh tak tahu diri sekali kakang Ronggo Lawe!"

   Sang Prabu berseru,

   "Ijinkan hamba memimpin pasukan untuk menghancurkan pemberontak, gusti!"

   Nambi mendahului yang lain, mengajukan permohonan dengan kata-kata tegas. Sang Prabu maklum bahwa Nambi menjadi sasaran kemarahan Ronggo Lawe, maka sudah sepantasnya kalau Nambi yang menanggulangi cuplikan itu pula, maka sang prabu memberi ijin persetujuannya. Nambi menyembah dan dengan tangkas patih ini lalu keluar dari istana dan mempersiapkan pasukan besar yang terdiri dari seribu orang pilihan untuk menghadapi pasukan Tuban. Hari itu juga Nambi memimpin pasukan ini ke utara dengan gerakan cepat.

   Sang Prabu membubarkan perdamaian dan para senopati dengan rasa prihatin kembali ke rumah masing-masing. Tidak ada yang tahu, bahkan membayangkan betapa tidak tingginya setelah konferensi bubar, terjadi hal yang sangat luar biasa di dalam gedung tempat tinggal Sang Resi Mahapati. Seorang tinggi kurus dengan sikap sembunyi-sembunyi agar tidak terlihat oleh orang lain yang menuduh dan masuk ke dalam gedung itu, lagsung menuju ke ruangan belakang yang dijaga oleh beberapa orang prajurit pengawal Sang Resi Majapahit.

   Sebagai seorang pendeta yang mempunyai kedudukan tinggi di istana, tentu saja Resi Mahapati bukanlah sebangsa pendeta miskin, melainkan seorang pendeta yang memiliki rumah gedung, lengkap dengan perabotan rumah mewah dan dijaga oleh prajurit-prajurit pengawal. Ternyata di ruangan itu telah menanti Sang Resi Mahapati dan orang yang mengaku masuk tadi, yang bukan lain adalah Maruto, orang kepercayaan Mahapati yang telah disuruh oleh pendeta itu, mula-mula ke Tuban kemudian menghadap sang prabu.

   Dengan muka girang Maruto memberi hormat dengan sembah, kemudian berkata, wajahnya berseri, terdengar mengandung kebanggaan dan kegirangan.

   “Semua perintah paduka telah hamba jalankan denagn baik, Adipati Tuban menjadi membakar jantungnya dan mempersiapkan bala tentara, sedangkan sang prabu sendiri juga telah membantu Gusti Patih Nambi mempersiapkan pasukan untuk mengempur Tuban. Hamba telah menjalankan tugas dengan baik agar paduka memakluminya.”

   "Apakah kau telah menjaganya dengan baik sehingga tidak ada orang kedua yang mengetahui semua perbuatanmu itu, Maruto?"

   "Tidak ada, sang resi yang mulia. Setanpun tidak ada yang melihatnya."

   "Kalau begitu, biarlah kamu menjadi setan!"

   "Apa ".,apa maksud paduka"..? Maruto bertanya oucat ketika Resi Mahapati memberi isarat dengan tangan kirinya diangkat ke atas. Empat orang pengawal muncul dan menyerang Maruto dengan keris mereka. Maruto terkejut sekali, meloncat dan mengelak, berusaha melawan pertahanannya. Akan tetapi denagn satu lagkah saja, Resi Mahapati menerjang dengan pukulan tanagn terbuka.

   "Plakk!"

   Tubuh Maruto terpelanting dan sebelum mampu bangkit atau menangkis, empat batang keris telah menghujam di tubuhnya. Dia terpekik satu kali dan mati.

   "Singkirkan mayatnya, kubur denagn baik, jangan sampai ada yang tahu."

   Resi Mahapati memerintah dan empat orang pengawal itu lalu membawa pergi mayat Maruto yang sial itu.

   Resi Mahapati lalu melangkah ke dalam kamarnya, tersenyum penuh kemenangan dan mengangguk-angguk.

   "Ronggo Lawe harus dilenyapkan dulu, dia merupakan penghalang pertama yang berbahaya".."

   Gerutunya seorang diri.

   Berbondong-bondong memang pasukan-pasukan kecil yang dipimpin oleh mereka yang bersimpati kepada Adipati Ronggo Lawe, meninggalkan Mojopahit untuk menyeberang ke Tuban dan membantu adipati yang gagah perkasa itu. Akan tetapi, ketika ratusan orang itu tiba di tepi Sungai Tambakberas, air sungai waktu itu sedang apsang karena di sebelah turun hujan lebat sehingga memenuhi sungai. Selagi ratusan orang ini sibuk membuat persiapan untuk melintasi sungai yang airnya naik tinggi itu, tiba-tiba datang pasukan seribu orang prajurit Mojopahit yang dipimpin oleh Nambi. Patih Nambi yang merasa sakit hati dan marah oleh pemberontakan Ronggo Lawe yang ditujukan kepadanya, segera mengeraahkan bala tentaranya dan menyerbu.

   Para pengikut Ronggo Lawe melakukan perlawanan mati-matian. Mereka berdiri dari orang-orang gagah yang dipimpin oleh bekas perwira-perwira Mojopahit atau dahulu menjadi anak buah Ronggo Lawe ketika adipati ini masih menjadi senopati di Mojopahit, di antara mereka adalah Ki Tosan, Empu Siddhi, Kidang Glatik, dan Muringgang. Namun jumlah pasukan Mojopahit yang dipimpin oleh Nambi itu jauh lebih beruang sehingga akhirnya, setelah melawan mati-matian sampai senja hari, akhirnya para pengikut Ronggo Lawe dapat dihancurkan dan selain banyak yang roboh terbunuh, selebihnya lari cerai-berai mencari keselamatan masing-masing.

   Patih Nambi yang memperoleh kemenangan di tepi Sungai Tambakberas tidak puas dengan hasil kemenangannya. Pada senja hari itu, air sungai sudah surut, maka dia melewati seluruh Sungai Tambakberas dan memenuhi Tuban. Kekalahan para pengikut Ronggo Lawe yang datang dari Mojopahit ini segera terdengar oleh Ronggo Lawe. Sang adipati menjadi marah sekali, segera mengumpulkan pasukan dan menyuruh Panewu Progodigdoyo dan para pembantunya yang lain untuk mengerahkan pasukan, menyambut musuh yang atang dari selatan. Ada pun sang adipati sendiri lalu memasuki istananya untuk meminta diri kepada dua orang isterinya.

   Begitu dia masuk ke dalamnya, dia disambut oleh dua orang isterinya yang tercinta itu. Mertaraga tampak muram wajahnya dan kusut rambut serta pakaiannya, sedangkan Tirtawati yang mengandeng Kuda Anjampiani, putera sang adipati yang baru berusia delapan tahun, juga tampak suram. Mereka telah mendengar usaha pemberontakan suami mereka dan kedua orang isteri ini merasa prihatin dan khawatir sekali. Begitu melihat suaminya, Mertaraga lalu menjatuhkan dirinya tergeletak di depan kaki suaminya sambil menangis. Melihat hal ini, Tirtawati juga menangis sedangkan Kuda Anjampiani atau yang juga disebut Raden Turonggodewa, memandang kepada ibunya, ibu tirinya dan ayahnya dengan terheran-heran.

   "Ah, kenapa kalian menangis? Mertaraga, adinda sayang, bangkitlah dan jangan seperti anak kecil."

   Ronggo Lawe menarik lengan isterinya dan menuntunnya duduk di tengah kamar.

   "Kakangmas adipati, saya mendengar bahwa Tuban akan berperang melawan Mojopahit. Benarkah itu?"

   Tanya Tirtawati yang agak lebih tabah dibandingkan dengan madunya, Mertaraga.

   Benar sekali, adinda Tirtawati,

   Jawab sang adipati dengan tenang.

   "Ohh, kenapakah, kakangmas? Kenapa paduka hendak memberontak terhadap Mojopahit?"

   Kisah ini disampaikan oleh Tirtowati dengan suara terheran-heran dan terkejut, karena sesungguhnya sukar dia percaya bahwa suaminya yang dia tahu adalah seorang pahlawan Mojopahit yang setia kepada kerajaan sampai ke tulang sumsumnya itu kini dapat memberontak terhadap Mojopahit!

   Melihat wajah isterinya dan mendengar suara serta menatap sinar mata, Adipati Ronggo Lawe maklum apa yang bergolak di dalam batin isterinya, maka dia merangkul isteri ke dua, ibu kuda Anjampiani itu dan menjawab dengan tenang.

   "aku sama sekali tidak memberontak terhadap Mojopahit, isteriku sayang, melainkan sedang melawan kejaliman dan melawan penghinaan yang ditimpakan kepada saya."

   Dengan singkat Adipati Ronggo Lawe yang dialaminya kepada dua orang isterinya dan memandang suami tercinta mereka denagn muka pucat dan sinar mata penuh kegelisahan.

   "Demikianlah, diajeng sekalian, bukan aku pemberontak melainkan hendak melawan si keparat Nambi yang hendak menghinaku dengan menggunakan nama sri baginda dan menggunakan bala tentara Mojopahit."

   "Aduh,

   Tirtawati menubruk suami sambil mengis. “

   Bagaimana mungkin paduka akan melawan bala tentara Mojopahit yang besar dan kuat itu?”

   "Kalah menang bukan soal yang sangat penting dalam hal ini, adinda. Ini adalah soal kehormatan dan sekarang si Nambi telah menyerang Sungai tambakberas, telah memasuki wilayah Tuban, berarti telah melanggar hak milikku dan aku harus berangkat untuk menumpasnya!"

   “Kakangmas”.!”

   Mertaraga menjerit dan menjatuhkan diri berlutut, merankul kedua kaki suami dan menangis tersedu-sedu. Melihat ini, Tirtawati juga ikut menangis, sedangkan Kuda Anjampiani berdiri serlongong di sudut kamar, bingung karena tidak tahu apa yang terjadi sehingga kedua orang ibu itu menangis seperti itu.

   Ronggo Lawe agak terheran melihat Mertaraga. Isterinya yang pertama ini adalah puteri dari Ki Ageng Palandongan, seorang yang tahu akan sifat-sifat kegagahan dan isterinya ini pun bukan seorang wanita lemah. Akan tetapi mengapa saat ini isterinya itu menampilkan sikap seorang wanita yang cengeng dan sangat lemah? Kekalahan para pengikut Ronggo Lawe yang datang dari Mojopahit ini segera terdengar oleh Ronggo Lawe. Sang adipati menjadi marah sekali, segera mengumpulkan pasukan dan menyuruh Panewu Progodigdoyo dan para pembantunya yang lain untuk mengerahkan pasukan, menyambut musuh yang atang dari selatan. Ada pun sang adipati sendiri lalu memasuki istananya untuk meminta diri kepada dua orang isterinya.

   Begitu dia masuk ke dalamnya, dia disambut oleh dua orang isterinya yang tercinta itu. Mertaraga tampak muram wajahnya dan kusut rambut serta pakaiannya, sedangkan Tirtawati yang mengandeng Kuda Anjampiani, putera sang adipati yang baru berusia delapan tahun, juga tampak suram. Mereka telah mendengar usaha pemberontakan suami mereka dan kedua orang isteri ini merasa prihatin dan khawatir sekali. Begitu melihat suaminya, Mertaraga lalu menjatuhkan dirinya tergeletak di depan kaki suaminya sambil menangis. Melihat hal ini, Tirtawati juga menangis sedangkan Kuda Anjampiani atau yang juga disebut Raden Turonggodewa, memandang kepada ibunya, ibu tirinya dan ayahnya dengan terheran-heran.    Ronggo Lawe menarik lengan isterinya dan menuntunnya duduk di tengah kamar.

   "Ah, kenapa kalian menangis? Mertaraga, adinda sayang, bangkitlah dan jangan seperti anak kecil."



   "Kakangmas adipati, saya mendengar bahwa Tuban akan berperang melawan Mojopahit. Benarkah itu?"

   Tanya Tirtawati yang agak lebih tabah dibandingkan dengan madunya, Mertaraga.

   Benar sekali, adinda Tirtawati,

   Jawab sang adipati dengan tenang.

   "Ohh, kenapakah, kakangmas? Kenapa paduka hendak memberontak terhadap Mojopahit?"

   Kisah ini disampaikan oleh Tirtowati dengan suara terheran-heran dan terkejut, karena sesungguhnya sukar dia percaya bahwa suaminya yang dia tahu adalah seorang pahlawan Mojopahit yang setia kepada kerajaan sampai ke tulang sumsumnya itu kini dapat memberontak terhadap Mojopahit!

   Melihat wajah isterinya dan mendengar suara serta menatap sinar mata, Adipati Ronggo Lawe maklum apa yang bergolak di dalam batin isterinya, maka dia merangkul isteri ke dua, ibu kuda Anjampiani itu dan menjawab dengan tenang.

   "aku sama sekali tidak memberontak terhadap Mojopahit, isteriku sayang, melainkan sedang melawan kejaliman dan melawan penghinaan yang ditimpakan kepada saya."

   Dengan singkat Adipati Ronggo Lawe yang dialaminya kepada dua orang isterinya dan memandang suami tercinta mereka denagn muka pucat dan sinar mata penuh kegelisahan.

   "Demikianlah, diajeng sekalian, bukan aku pemberontak melainkan hendak melawan si keparat Nambi yang hendak menghinaku dengan menggunakan nama sri baginda dan menggunakan bala tentara Mojopahit."

   "Aduh,

   Tirtawati menubruk suami sambil mengis. “

   Bagaimana mungkin paduka akan melawan bala tentara Mojopahit yang besar dan kuat itu?”

   "Kalah menang bukan soal yang sangat penting dalam hal ini, adinda. Ini adalah soal kehormatan dan sekarang si Nambi telah menyerang Sungai tambakberas, telah memasuki wilayah Tuban, berarti telah melanggar hak milikku dan aku harus berangkat untuk menumpasnya!"

   “Kakangmas”.!”

   Mertaraga menjerit dan menjatuhkan diri berlutut, merankul kedua kaki suami dan menangis tersedu-sedu. Melihat ini, Tirtawati juga ikut menangis, sedangkan Kuda Anjampiani berdiri serlongong di sudut kamar, bingung karena tidak tahu apa yang terjadi sehingga kedua orang ibu itu menangis seperti itu.

   Ronggo Lawe agak terheran melihat Mertaraga. Isterinya yang pertama ini adalah puteri dari Ki Ageng Palandongan, seorang yang tahu akan sifat-sifat kegagahan dan isterinya ini pun bukan seorang wanita lemah. Akan tetapi mengapa saat ini isterinya itu menampilkan sikap seorang wanita yang cengeng dan sangat lemah? Dengan langkah lebar sang adipati meninggalkan istananya, akan tetapi baru beberapa langkah, dia berpaling, dan berkali-kali dia berpaling, hatinya penuh keharuan karena dia harus meninggalkan orang-orang yang sangat dikasihinya itu.

   Sedangkan Tirtawati dan Mertaraga disusul dengan sorot mata sayu, dengan air mata bagai untaian mutiara membasahi pipinya, namun kedua wanita itu dengan tabah menahan isak tangisnya dan bibir mereka masih hangat akibat kecupan dan kecupan sang suami yang kini tersenyum bahagianya. suaminya sesuai permintaan Adipati Ronggo Lawe.  Para pelayan yang mengetahui perasaan sebenarnya dari sang adipati dan kedua istrinya, tidak tega menyaksikan perpisahan ini dan mereka yang menangis tersedu-sedu, menyembunyikan wajah mereka di balik syal. Perpisahan yang sangat menyentuh  .

   Setelah sampai di depan pintu gerbang, sang adipati melihat untuk terakhir kalinya, terlihat seperti ingin mengubur bayangan kedua istri dan putranya jauh di dalam hatinya, lalu dengan cepat dia membalikkan badannya dan melompat dengan cepat membalikkan badannya dan melompat ke atas. punggung Ki Mego Lamat, kuda kesayangannya yang bulunya berwarna putih hampir abu-abu seperti warna awan tipis, kemudian memacu kudanya menuju barisannya yang telah disiapkan di luar kota Tuban. Kedua istrinya tak dapat lagi melihat bayangan suaminya, hanya mendengar derap kuda Mego Lamat yang semakin pelan, semakin jauh arwah mereka terbang. Tubuh mereka lemas dan tiba-tiba terjatuh, dipukul oleh para pengasuh yang berteriak-teriak, kemudian mereka didorong masuk ke kamar, diiringi tangisan Kuda Anjampiani.

   Baru saja Ronggo Lawe tiba di luar kota Tuban di mana pasukan-pasukannya telah siap dalam barisan yang rapi, dipimpin oleh Panewu Progodigdoyo dan para pembantunya yang lain, tiba-tiba seorang kakek menghampirinya. Melihat kakek ini, Adipati Ronggo Lawe cepat meloncat turun dari kudanya dan memberi salam, karena kakek ini bukan yang lain adalah Ki Ageng Palandongan, ayah dari isterinya yang pertama, Mertaraga. Setelah memberi salam balasan, Ki Ageng Palandongan dengan wajah yang keriputan itu mengkhawatirkan jantung, berkata.

   "Puteranda adipati, saya mendengar bahwa Tuban akan menghubungi Mojopahit! Apakah hal ini sudah kaupikirkan baik-baik? Apakah tidak ada jalan lain untuk mendamaikan urusan antara Tuban dan Mojopahit?"

   Ronggo Lawe menggeleng kepala.

   "Harap kanjeng rama tidak mencampuri urusan ini, karena urusan ini adalah urusan kehormatan antara saya dan Nambi. Nambi yang curang telah menghasut sang prabu, kini telah membawa pasukan untuk menggempur Tuban, biar bagaimana pun juga, harus saya tandingi dia!"

   Melihat mantunya yang dia tahu sangat keras hati, Ki Ageng Palandongan hanya menarik napas panjang.

   “Kehendak Hyang Widhi tak apat dicegah oleh kekuasaan manusia. Saya hanya membekali pangestu, sang adipati dan hendaknya kau selalu ingat bahwa segala tindakanmu adalah demi kebenaran, bukan didorong oleh kebencian.”

   “Terima kasih, kanjeng rama.”

   Demikianlah, tanpa menghiraukan bujukan mertuanya, Ronggo Lawe lalu menggerakkan pasukannya dan membanjirlah pasukan Tuban itu ke selatan,

   Keesokan harinya, tim Tuban bertemu dengan tim Mojopahit yang dipimpin oleh Patih Nambi sendiri. Begitu konflik pecah, Ronggo Lawe turun dari kudanya, berputar-putar mencari musuh besarnya. Akhirnya dia melihat Patih Nambi mengamuk di timur. Nambi menunggangi seekor kuda berbulu hingga kuningan, seekor kuda bernama Brahma Cikur. Melihat lawannya, Ronggo Lawe menggeram seperti harimau lapar, lalu memacu kudanya ke tempat itu. Setelah mendekat dan bertatap muka, Ronggo Lawe membentak keras-keras,

   "Dasar bajingan Nambi! Bagaimana kamu mau menjadi patih hamangkubumi di Mojopahit? Bisakah kamu menjadi patih kalau bisa melangkahi jenazah Ronggo Lawe! Kalau tidak, maka kamu akan berbaring di tanah, kepalamu akan menginjak-injaknya ke tanah!”

   "Babo-babo Ronggo Lawe adalah manusia yang sombong, pemberontak rendahan. Majulah untuk menerima hukuman mati!"

   Nambi pun membentak dengan marah sambil mencabut keris cabang tiga miliknya yang bernama Kyai Bangodolong. Keris ini memancarkan sinar hitam dan merupakan keris pusaka yang sakti.

   "Bagus, silakan, bajingan!"

   Ronggo Lawe pun mengeluarkan kerisnya, yaitu Kyai Kolondah, keris bercabang lima yang memiliki irisan bercahaya kemerahan. Keris Kyai Kolonadah ini merupakan keris pusaka pemberian gurunya, bahkan keris ini diciptakan atau dibuat oleh gurunya sendiri, Sang Empu Supamandrangi yang merupakan seorang mandraguna sakti, seorang pertapa di puncak gunung Bromo yang sudah sangat terkenal.

   Kini dua ekor kuda pilihan itu mulai berlaga, dikendarai oleh dua orang senopati perang yang sama digdaya, sama gemblengan. Kuda Brahma Cikur dan kuda Mego Lamat meringkik dan menyepak-nyepak, menyirik dan berputar dalam lingkaran ketika kedua tuan mereka mulai bertanding. Keris pusaka dan kepalan melayang saling tikam saling hantam dan saling tangkis. Bunyi nyaring pertemuannya dua pusaka disusul oleh berpijarnya bunga api yang menyilaukan mata dan setiap kali dua lengan mereka saling bertemu dengan dorongan tenaga sakti yang sangat kuat, keduanya terdorong dan hampir roboh dari atas kuda.

   Perang tanding yang sangat seru di antara dua orang musuh yang saling membenci ini berlangsung di tengah-tengah perang campuh antara orang-orang Tuban dan orang-orang Mojopahit, yang dahulunya merupakan kawan-kawan seperjuangan yang mendorong bahu-membahu menghadapi musuh mereka bersama. Akan tetapi, antara para perwira Mojopahit, dan juga para prajuritnya, banyak yang diam-diam merasa jerih dan juga segan terhadap Adipati Ronggo Lawe, maka mereka mencapai setengah hati, apalagi karena jumlah barisan Tuban lebih banyak dari mereka. Akhirnya, setelah mencapai hampir setengah hari lamanya, setelah banyak korban jatuhan, barisan Mojopahit terdesak mundur. Apalagi ketika Ronggo Lawe berhasil menikam leher kuda Brahma Cikur yang menjadi kesakitan, meloncat-loncat dalam nafas kemudian terbanting mati, semangat para perwira Mojopahit mengendur. Untung bahwa Patih Nambi dapat cepat meloncat dan menyelamatkan diri dengan bersembunyi di dalam pasukannya.

   Dua orang wanita itu merangkul suami mereka dan mereka berduka kasih sayang dan berkasih-kasihan dengan hati jiwa raga karena mereka berdua sedang tenggelam dalam keharuan yang mendalam. Tiada puas-puasnya agaknya Ronggo Lawe menyampaikan cinta kasihnya kepada mereka berdua, dan dua orang isterinya itu pun agaknya tidak pernah mau melepaskan suami tercintanya dari dekapan mereka.

   Setengah hari lamanya Ronggo Lawe dan kedua orang isterinya berada di dalam kamar mereka, saling mengungkapkan cinta kasih mereka, lupa segalanya, lupa waktu, lupa diri dan tenggelam dalam kemesraan. Akhirnya suara canang menyadarkan Ronggo Lawe bahwa bala bantuan tentaranya yang dikumpulkan oleh para pembantunya sudah siap, tinggal menanti dia untuk diberangkatkan menyambut musuh.
Dengan menggandeng tangan kedua isterinya yang kusut pakaian dan rambutnya, pucat mukanya namun wajah dan sinar mata mereka menyorotkan kemesraan, Ronggo Lawe lalu menuju ke kamar mandi. Dengan bantuan dua orang isterinya, dia mandi keramas lalu mengenakan pakaian keprajuritan yang sederhana sekali, tubuh aatasnya hanya terhias pelindung pergelangan tangan, gelang perak di pangkal lengan, baju penutup dada, dan ikat pinggang emas melingkar di pinggang. Celana abu-abu mencapai bawah lutut, tertutup kain yang dilipat pendek di atas lutut, dengan ujung diwiru berjuntai ke depan. Kepalanya hanya terhias ikat kepala yang kecil saja, terbuat dari emas dan perak terukir, sehelai tali yang mengikat hiasan tanda pangkat sebagai adipati, merupakan permainan yang bermata mirah tergantung di leher. Kyai Kolonadah, keris luk lima yang biasa dipakai dalam perang, terselip di pinggangnya.

   Dengan wajah bercahaya dan sikap yang gagah sekali, Ronggo Lawe memeluk dan mencium bibir isterinya yang kini telah tenang dan pasrah itu, Tirtawati dan Martaraga, bergantian, dibalas denagn penuh kemesraan oleh mereka, kemudian adipati ini memondong puteranya yang dibawa masuk.

   Tiba-tiba Kuda Anjampiani menangis, membuat ayahanya dan kedua orang ibunya terkejut dan terharu. Diam-diam Ronggo Lawe makin yakin bahwa sesuatu pasti akan menimpa dirinya dan dia merasa bangga bahwa puteranya ini memiliki kepekaan halus.

   "Hishh, anak yang gagah kenapa menangis?"

   Ronggo Lawe berkata sambil mencium dahi puteranya.

   "Rama jangan pergi meninggalkan saya,"

   Anak itu berkata.

   "Rama akan pergi ke Mojopahit, jangan menangis nanti akan rama belikan kereta kencana dan kuda sembrani."

   Anak itu berhenti menangis dan memandang ayahnya denagn sepasang matanya yang bening dan tajam.

   "Kuda sembrani yang pandai terbang, rama? Rama naik kereta kencana dan diterbangkan oeh kuda sembrani?"

   Ucapan anak-anak itu makin mengandung arti, maka Ronggo Lawe hanya mengangguk-angguk saja, menyerahkan anak itu kepada Tirtawati, kemudian dia berkata.

   "Selamat tinggal, aku berangkat!"

   Sorak-sorai menggegap gempita menyambut kemenangan tentara Tuban yang terus dipimpin oleh Ronggo Lawe, melakukan pengejaran ke selatan. Sisa pasukan Mojopahit melarikan diri ke selatan. Ronggo Lawe yang merasa kecewa bahwa dia hanya dapat membunuh kuda tunggangan Nambi,

"Aku tidak tahu!!"

   Akan tetapi Reksosuro dan Darumuko juga bukan orang-orang bodoh. Sama sekali tidak. Biar pun mereka itu kasar dan kejam, namun sebagai pembantu-pembantu yang dipercaya oleh Resi Mahapati yang bercita-cita besar, mereka selain memiliki ilmu silat yang kuat, juga memiliki kecerdikan. Melihat sikap sulastri ketika menjawab, begitu ketus dan keras, mereka menduga bahwa anak ini tentu tahu lebih banyak.

   "Hemm, hayo katakan, di mana mayat mbakayumu?"

   Reksosuro sudah mengancam dan melangkah maju mendekati.

   "Tidak tahu!"

   "Plakkk!"

   Pipi Sulastri ditampar oleh Reksosuro sehingga anak itu terpelanting. Pipi yang halus itu menjadi bengkak kemerahan, rasa nyeri menggigit-gigit, kepalanya terasa penig, akan tetapi, Sulastri bangkit berdiri dan memandang dengan mata melotot kepada Reksosuro, sama sekali tidak menangis, tidak mengaduh, dan sedikit pun tidak takut.

   Dua orang itu saling pandang dan merasa kaget dan heran juga. Selama hidup belum pernah mereka berhadapan dengan seorang anak kecil, perempuan lagi, yang sedemikian keras dan tabah sikapnya, sungguh amat luar biasa.

   "Eh, manis, katakanlah baik-baik, di mana mayat mbakayumu. Nanti kami beri hadiah uang perak. Kalau tidak, engkau akan kami siksa sampai mati!"

   "Persetan! Aku tidak tahu dan tidak takut!"

   "Anak setan!"

   Darumuko marah sekali dan kaki kirinya bergerak.

   "Desss".!!"

   Tendangannya mengenai pinggul anak itu, membuat tubuh anak itu terlempar sampai tiga tombak dan terbanting ke atas tanah, terguling-guling sampai jauh akhirnya terhenti karena menabrak batang pohon.

   "Wah, jangan-jangan kau membunuhnya!"

   Reksosuro menegur temananya dan cepat mereka berdua lari mengampiri anak itu.

   Kembali mereka tertegun. Anak itu sama sekali tidak mati, bahkan pingsan pun tidak. Tubuhnya babak-bundas, barut-barut dan berdarah, akan tetapi sama sekali anak itu tidak mengeluh, bahkan kini bangkit susuk, memegangi kepalanya yang berdarah dengan tangan kiri kanannya yang lecet dan matanya mendelik dengan penuh kebencian kepada dua orang itu. Akan tetapi sama sekali tidak menangis, dan tidak takut!

   Dua orang perwira Majapahit itu merasa serem.

   "Eh, kakang Reksosuro, manusia atau ibliskah anak ini?"

   Reksosuro juga penasaran.

   "Manusia atau iblis, kita harus memaksakan membuka mulut!"

   Dan dia sudah mencabut kerisnya sambil menghampiri Sulastri.

   "Bocah setan, kau masih juga membandel? Apa kau tidak takut melihat keris pusakaku ini? Ini adalah Kyai Bandot, mengandung bisa ular, sekali kerat saja kulitmu akan melepuh dan bengkak-bengkak!"

   Sulastri berjebi, bahkan meludah ke arah muka bermata juling yang didekatkan kepadanya.

   "Cuhhhh!! Crottt".. !"

   Air ludah itu tepat mengenal tengah di antara matanya yang juling sehingga mata itu makin menjuling memandang air ludah yang menempel di atas hidung. Lalu dia membanting kaki.

   "Setan alas, kau minta disiksa!"

   Reksosuro menubruk, kerisnya digerakkan untuk meyayat lengan anak itu dan untuk menyiksa dan memaksanya mengaku.

   "Plak!"

   Reksosuro terhuyung ke belakang memandang kepada seorang kakek yang pakaiannya serba hitam, juga ikat kepalanya hitam, mukanya tertutup brewok dan cambang bauk yang lebat, menyeramkan sekali apa lagi matanya besar dan ketika itu memandang penuh kemarahan. Kakek itu muncul dari balik batang pohon dan tadi menggunakan kakinya menendang sehingga Reksosuro terhuyung ke belakang dan sayatan kerisnya ke arah lengan Sulastri luput.

   "Manusia-manusia tak bermalu, menggangu seorang kanan-kanan!"

   Kakek itu membentak dengan suara yang dalam.

   Reksosuro dan Darumuko mengenal kakek ini dan mereka saling pandang, akan tetapi mengingat bahwa kakek ini adalah angota keluarga Tuban yang telah baru saja dikalahkan, dan mengingat bahwa mereka adalah abdi-abdi terkasih dari Resi Mahapati, Reksosuro mengangkat dada dan berkata.

   "ah, kiranya paman Ki Ageng Palandongan yang datang!"

   Ki Ageng Palandongan, kakek itu, adalah ayah dari mendiang Mertaraga, isteri pertama dari

  

    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KERIS MAUT

PENDEKAR GUNUNG LAWU

KEMELUT DI MAJAPAHIT